Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 27
Akan tetapi
tidak demikianlah pertempuran, antara dua orang wanita itu melawan Ji-ok dan
Sam-ok. Semenjak dari permulaan Yu Hwi sudah terdesak hebat oleh Ji-ok, juga
terutama sekali Cu Pek In terdesak hebat oleh Sam-ok.
Tingkat
kepandaian mereka kalah jauh dibandingkan dengan Jahat Nomor Dua dan Jahat
Nomor Tiga itu. Cu Kang Bu dan Sim Hong Bu yang melihat ini merasa gelisah
sekali namun mereka berdua tidak berdaya membantu kedua orang wanita itu.
Betapa pun
juga, dua orang wanita itu dengan semangat bernyala-nyala melakukan terus
perlawanan dengan gigih. Namun, belum lewat lima puluh jurus, suling di tangan
Pek In telah dirampas oleh Sam-ok dan sebelum dara itu dapat menghindarkan
diri, ia sudah roboh tertotok oleh Sam-ok.
“Sumoi....!”
Hong Bu berseru dan hendak menolongnya.
Akan tetapi
tombak Long-ge-pang di tangan Hek-i Mo-ong berkelebat. Hong Bu terkejut sekali.
Gerakannya untuk menolong Pek In tadi membuatnya lengah dan posisinya lemah,
maka biar pun dia sudah menangkis dengan pedang Koai-liong-kiam, tetap saja
ujung tombak Gigi Serigala itu menyerempet pundaknya, merobek pundak sehingga
darah mengucur membasahi bajunya yang robek. Terpaksa Hong Bu membalas dengan
serangan-serangan dahsyat dan dia tak memiliki kesempatan lagi untuk
memperhatikan Pek In karena lawannya benar-benar amat lihai sekali.
Sementara
itu, Ji-ok juga sudah mendesak Yu Hwi. Biar pun Yu Hwi telah memutar pedangnya
dan mempergunakan Ilmu Kiam-to Sin-ciang yang membuat tangan kirinya dapat
memukul seperti tajamnya pedang dan golok, namun karena tingkatnya kalah jauh
oleh Ji-ok, nenek yang bertopeng tengkorak itu, maka ia pun didesak terus.
Apalagi Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) nenek itu mirip dengan ilmu yang pernah
dipelajarinya dari gurunya yang pertama, yaitu Hek-sin Touw-ong Si Raja Maling.
Akan tetapi,
ilmu dari gurunya itu, ialah Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok),
tidaklah seganas dan sedahsyat Kiam-ci (Jari Pedang) dari Jahat Nomor Dua ini.
Jari tangan nenek itu menyambar dan seolah-olah mengeluarkan sinar maut yang
amat hebat. Dan setelah Pek In itu roboh tertotok, hati Yu Hwi menjadi gentar
dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ji-ok untuk menendang lututnya. Yu Hwi
terpelanting roboh dan Ji-ok mengeluarkan suara ketawa terkekeh, lalu menubruk
maju.
Sam-ok
mengenal temannya ini. Jika Ji-ok sudah mengeluarkan suara ketawa terkekeh lalu
menubruk, berarti nenek itu hendak menurunkan tangan maut membunuh orang. Maka
dia pun cepat menubruk dan menangkis tangan Ji-ok yang sudah menyerang ke arah
Yu Hwi yang masih rebah miring itu.
“Dukkk....!”
Keduanya terpental ke belakang.
“Ji-ci,
jangan bunuh, kita tawan saja!”
Akan tetapi
Ji-ok telah menjadi marah bukan main. Baginya, menghalangi kehendaknya berarti
memusuhinya. Apalagi yang menghalanginya itu adalah Sam-ok yang terhitung
‘adik’ dalam urutan tingkat mereka, maka kemarahannya meluap.
“Sam-te,
berani engkau menghalangiku?” Dan nenek itu pun sudah cepat menerjang dan
menyerang Sam-ok dengan tusukan-tusukan jari mautnya!
“Eh, apakah
engkau sudah gila?” Sam-ok membentak dan mengelak sambil membalas.
Keduanya
sudah berkelahi dengan hebatnya! Dan melihat ini, Toa-ok dan Hek-i Mo-ong
menjadi marah.
“Sam-te,
jangan berkelahi dengan teman sendiri!” kata Toa-ok.
“Ji-ok,
tidak boleh membunuh lawan!” Hek-i Mo-ong juga membentak Ji-ok.
Mendengar
bentakan mereka itu, Ji-ok dan Sam-ok masing-masing lalu meloncat ke belakang.
Kemudian Sam-ok melihat betapa Yu Hwi telah meloncar bangun dan meski
terpincang-pincang, nyonya ini sudah siap lagi dengan pedang di tangan. Dia
menubruk ke depan, ketika Yu Hwi menggerakkan pedang menusuk, Sam-ok memukulnya
dari samping.
“Plakk!”
Pedang terpental dan terlepas dari tangan Yu Hwi dan di lain saat, Sam-ok juga
sudah berhasil merobohkan Yu Hwi.
“Ji-ci, kau
tawan dan jaga yang ini, aku yang itu!” kata Sam-ok.
Sementara
itu, Cu Kang Bu dan Sim Hong Bu tentu saja sudah melihat betapa Yu Hwi dan Pek
In telah ditawan musuh, maka mereka berdua mengamuk dan memutar senjata dengan
sekuat tenaga.
Tiba-tiba
kedua pendekar itu mendengar suara Sam-ok yang nyaring, “Ban-kin-sian dan
pemuda yang memegang Koai-liong-kiam! Tahan senjata dan menyerahlah, kalau
tidak, aku akan membunuh lebih dulu dua orang wanita ini!”
Sim Hong Bu
dan Cu Kang Bu meloncat ke belakang dan menoleh. Mereka melihat betapa Yu Hwi
dan Pek In telah dibelenggu oleh anak buah Koa-kauwsu, dan sekarang Sam-ok dan
Ji-ok mengancam kedua orang wanita itu dengan tangan di atas kepala.
Mereka
berdua maklum bahwa sekali saja menggerakkan tangan, maka nyawa dua orang
wanita itu tidak akan dapat tertolong lagi. Melihat isterinya dan keponakannya
diancam, lemaslah rasa tubuh Cu Kang Bu dan dia pun melepaskan senjata sabuk
baja.
“Aku
menyerah....,” katanya dengan suara lemah.
“Susiok,
jangan menyerah!” kata Sim Hong Bu, akan tetapi Kang Bu hanya menggeleng kepala
dan mudah saja ketika dia didekati oleh Sam-ok yang kemudian menotoknya dan
pendekar ini pun dibelenggu seperti Yu Hwi dan Pek In.
“Keparat
engkau Hek-i Mo-ong dan iblis-iblis Im-kan Ngo-ok! Sampai mati aku tidak akan
menyerah!” kata Hong Bu dan dia pun sudah menubruk maju dan menyerang Sam-ok
yang menotok roboh Kang Bu tadi.
“Orang muda!
Kalau engkau tidak menyerah, mereka bertiga ini akan kami bunuh!” teriak Sam-ok
sambil meloncat mundur.
“Bunuhlah!
Akan tetapi kalian pun akan mampus semua di tanganku!” bentak Sim Hong Bu.
Pemuda ini
mengerti bahwa terhadap orang-orang macam mereka itu, tidak mungkin
mengharapkan pengampunan. Kalau dia dan Kang Bu menyerah, akhirnya toh mereka
itu, juga dia, akan dibunuh. Maka, dari pada mati dalam keadaan tidak berdaya,
mati konyol, lebih mati dalam perlawanan!
Melihat
betapa Sim Hong Bu nekad melakukan perlawanan, Cu Pek In dan Yu Hwi memandang
dengan alis berkerut. Mereka merasa penasaran mengapa pemuda itu nekad melawan.
Terutama sekali Pek In memandang dengan mata basah air mata. Salahkah dugaannya
selama ini bahwa Hong Bu juga mencintanya? Setelah kini ia terancam maut,
mengapa pemuda itu tak mempedulikan ancaman musuh yang hendak membunuhnya dan nekad
melawan?
Hanya Cu
Kang Bu yang memandang dengan sikap tenang. Dia sendiri menyerah karena dia
tahu bahwa kalau dia dan Hong Bu tetap melawan, bukan ancaman kosong belaka
kalau pihak musuh hendak membunuh dua orang wanita itu. Akan tetapi setelah dia
sendiri menyerah, dia dapat mengerti mengapa Hong Bu tetap melawan dan dia pun
dapat membenarkan tindakan pemuda itu.
Memang, jika
Hong Bu juga menyerah, apakah dapat dijamin bahwa orang-orang jahat ini mau
membebaskan mereka berempat? Setidaknya, setelah dia sendiri menyerah, tentu
isterinya dan keponakannya takkan diganggu, dan Hong Bu masih dapat berdaya
melawan musuh kalau tidak ikut menyerah. Jadi, masih ada harapan. Maka dia pun
hanya mengikuti jalannya pertandingan itu dengan hati tegang walau pun dia
nampak tenang saja.
Hong Bu
memang nekad. Dia akan melawan sampai mati. Kini, ketiga orang Im-kan Ngo-ok
sudah mengepungnya. Toa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok mengeroyoknya dari tiga penjuru.
Akan tetapi Hong Bu sekali ini benar-benar memperlihatkan kemampuannya.
Tubuhnya lenyap diselimuti sinar biru yang bergulung-gulung dan dari gulungan
sinar ini kadang-kadang nampak kilatan biru menyambar ke arah musuh-musuhnya.
Biar pun
dikeroyok oleh tiga orang datuk yang sakti itu, Hong Bu tidak menjadi gentar
dan permainan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang dimainkan dengan pengerahan
seluruh tenaga itu memang dahsyat luar biasa, mengeluarkan suara mengaum-aum
seperti seekor naga mengamuk dan juga membawa angin berpusing yang sangat
kuatnya. Betapa pun lihainya ketiga orang dari Im-kan Ngo-ok itu, menghadapi
ilmu pedang yang demikian hebatnya, mereka tidak dapat mendekati pemuda itu.
Melihat ini,
Hek-i Mo-ong merasa penasaran sekali. Dia sendiri pernah dikalahkan oleh pemuda
ini yang bekerja sama dengan seorang gadis bersenjata suling. Kini, melihat
betapa tiga orang murid keponakannya yang telah memiliki tingkat ilmu yang
tidak begitu jauh selisihnya dengan ilmunya sendiri tidak dapat mengalahkan
pemuda itu, dia pun kemudian mengeluarkan suara menggereng keras dan tombak
Long-ge-pang di tangannya sudah digerakkan dan kakek ini pun menerjang maju
ikut mengeroyok Hong Bu!
Sungguh
merupakan kejadian yang luar biasa sekali kalau sampai tiga orang pertama dari
Im-kan Ngo-ok mengeroyok seorang pemuda, dan lebih lagi tidak mungkin dapat
dipercaya orang kang-ouw kalau mendengar bahwa mereka itu bahkan dibantu pula
oleh Hek-i Mo-ong mengeroyok seorang pemuda. Akan tetapi kenyataannya demikian
dan mereka pun agaknya sudah tidak lagi mempedulikan rasa malu dan harga diri.
Mereka hanya ingin menundukkan pemuda yang amat lihai ini.
Cu Kang Bu
menonton dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri, penuh dengan kebanggaan
akan tetapi juga kekhawatiran. Dia melihat kehebatan Koai-liong Kiam-sut dan
merasa bangga bahwa ilmu itu adalah ilmu keturunan nenek moyangnya, dan bahwa
pemuda itu adalah murid keponakannya, pewaris dari pusaka neneknya.
Dia kagum
bukan main, akan tetapi juga khawatir karena maklum betapa lihainya empat orang
yang mengeroyok Hong Bu itu. Kekhawatirannya terbukti ketika dia melihat ujung tombak
Long-ge-pang di tangan Hek-i Mo-ong menyambar dan menyerempet bahu kiri Hong Bu
sehingga bahu itu berdarah dan terluka. Namun Hong Bu masih mengamuk seperti
seekor naga.
“Hong Bu
larilah engkau!” teriaknya kepada murid keponakan itu.
Hong Bu
memang sudah mengerti bahwa kalau dilanjutkan, betapa pun juga dia tidak
mungkin dapat menandingi pengeroyokan empat orang itu. Kalau dia melawan terus,
dia akan roboh mati dan kematiannya tidak akan ada gunanya bagi tiga orang yang
tertawan itu. Kalau dia meloloskan diri dan masih hidup, setidaknya dia masih
dapat berdaya-upaya untuk menolong tiga orang itu.
Maka, dia
lalu mengeluarkan bentakan nyaring. Pedangnya bergerak dengan hebatnya,
mengeluarkan jurus Naga Siluman Menyemburkan Api. Pedangnya menimbulkan sinar
berkeredepan ke arah empat orang lawannya sehingga mereka terkejut dan meloncat
ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hong Bu untuk meloncat jauh
sekali dari tempat itu.
Empat orang
itu berloncatan mengejar, akan tetapi Hong Bu telah berlari cepat sekali dan
mereka tidak berani untuk mengejar satu-satu, kalau tidak berbarengan karena
pemuda itu memang berbahaya sekali. Melihat kekasihnya lari meninggalkan ia
dalam tangan musuh, Pek In merasa sedemikian kecewa dan menyesalnya sehingga
gadis ini roboh pingsan! Akan tetapi Kang Bu diam-diam bersyukur bahwa murid
keponakannya itu tidak sampai tewas di tangan orang-orang yang lihai itu.
Bagaimana pun juga, dia akan merasa menyesal kalau sampai murid keponakan itu,
pewaris nenek moyangnya, sampai mati konyol.
Empat orang
datuk itu tidak mengejar terus. Betapa pun juga, tiga orang anggota keluarga
Lembah Suling Emas telah berada di tangan mereka dan melalui tiga orang tawanan
ini, mereka dapat menguasai pusaka-pusaka dari lembah itu. Maka, tanpa banyak
cakap Hek-i Mo-ong lalu memberi perintah kepada kawan-kawan guru silat Koa
untuk mengangkat tiga orang yang sudah tertotok itu dan membawa mereka ke
tempat persembunyian mereka, di rumah guru silat Koa Cin Gu.
Hong Bu
berlari terus secepatnya, mengerahkan seluruh ilmu ginkang-nya. Dia sudah
terluka dan banyak darah mengalir dari pundaknya, tetapi dia harus dapat
melarikan diri. Kalau dia sampai tertawan pula, maka habislah harapannya untuk
dapat menolong tiga orang itu.
Maka, dia
memaksa tenaganya yang mulai lemah dan barulah setelah dia melihat bahwa
dirinya tidak dikejar musuh, dan dia tiba di lereng sebuah bukit, tubuhnya
terguling di bawah sebuah bukit, tubuhnya terguling di bawah pohon besar di
mana dia duduk terengah-engah lalu dia bersila dan mengatur pernapasan untuk
mengembalikan tenaganya yang hampir habis.
Melawan
empat orang tadi sungguh terasa amat berat dan dia tadi telah mengerahkan
seluruh sinkang-nya sehingga setelah berlari secepat itu, dia merasa tenaganya
hampir habis dan napasnya hampir putus.
Setelah
bersemedhi kurang lebih satu jam lamanya, barulah pernapasannya menjadi tenang
kembali dan perlahan-lahan dia berhasil menghimpun tenaga murni di lereng
gunung yang sejuk bersih itu. Tenaganya pun berangsur-angsur pulih kembali dan
dia sudah mempergunakan kekuatan dalam untuk menghentikan darahnya yang
mengucur keluar. Dalam kedaan hening itu, Hong Bu melupakan segala-galanya,
melupakan keadaan tiga orang yang tertawan, karena kalau pikirannya terganggu,
tentu dia tidak mungkin dapat mengosongkan dan mengheningkan batinnya.
“Hong
Bu....!”
Pemuda itu
terkejut. Dalam keadaannya seperti tadi, kalau tiba-tiba yang datang itu musuh
dan menyerangnya, dia pasti celaka. Dia cepat membuka mata dan ketika dia
melihat siapa orangnya yang datang, hatinya merasa girang sekali dan dia pun
segera bangkit.
“Cin
Liong....! Ahhh, hanya Tuhan yang membimbingmu datang kepadaku pada saat
seperti ini, Cin Liong!” Dia pun memegang tangan bekas lawan yang telah menjadi
sahabat baik yang dikaguminya itu.
Sejak dia
berlawan tangan dengan jenderal muda ini dan merasakan betapa lihainya jenderal
muda ini, ia merasa kagum sekali. Apa lagi setelah ia mendapatkan kenyataan
bahwa pertentangan di antara mereka sebagai buronan dan pengejar telah habis
dengan adanya pengumuman kaisar baru bahwa pedang pusaka Koai-liong Po-kiam
dinyatakan sebagai miliknya yang syah.
Seperti kita
ketahui, Cin Liong lari meninggalkan Ci Sian setelah mendapat kenyataan bahwa
dara yang dicintanya dan dipinangnya itu ternyata telah jatuh cinta kepada pria
lain, bahkan kepada suheng-nya sendiri, Kam Hong, pendekar yang dikaguminya
itu. Hal ini dapat dilihatnya dengan jelas ketika gadis itu marah-marah karena
lamarannya, marah kepada suheng-nya.
Dia segera
dapat menduga apa yang terjadi antara kedua orang suheng dan sumoi itu. Dia
tahu bahwa Ci Sian mencinta Kam Hong, dan dia dapat menduga pula dengan hati
kagum bahwa Kam Hong juga mencinta sumoi-nya, akan tetapi dengan cinta yang
demikian suci murninya, sehingga Kam Hong rela menyampaikan pinangan pria lain
kepada sumoi-nya itu. Sikap Kam Hong ini membuat Cin Liong merasa terpukul dan
malu kepada diri sendiri, maka dia pun lalu minta maaf dan melarikan diri.
Ketika dia
melihat seorang pemuda duduk bersila, dia merasa terheran-heran, lalu
didekatinya pemuda itu. Giranglah hatinya ketika dia mengenal pemuda itu yang
bukan lain adalah Sim Hong Bu, sahabat barunya, bekas lawan yang dikaguminya
karena kelihaiannya dan juga kejujurannya itu.
“Apakah yang
terjadi, Hong Bu? Wajahmu agak pucat dan engkau gelisah.... dan pundakmu luka!
Apa yang telah terjadi?” tanya Cin Liong sambil membalas pegangan tangan
sahabat barunya itu.
Hong Bu lalu
menceritakan tentang Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan Pek In yang tertawan oleh empat
orang datuk sesat itu. “Aku mohon bantuanmu, Cin Liong. Tanpa bantuanmu, aku
tidak tahu bagaimana caranya aku dapat menyelamatkan mereka.” Hong Bu
mengakhiri ceritanya.
Cin Liong
terkejut bukan main. Tiga orang dari Im-kan Ngo-ok muncul lagi! Dan malah
ditambah seorang datuk yang telah lama dikenalnya sebagai seorang penjahat yang
sakti, yaitu Hek-i Mo-ong yang pernah menguasai daerah Sin-kiang di barat
dengan gerombolannya, yaitu gerombolan Hek-i-mo yang amat terkenal itu.
“Jangan
khawatir, Hong Bu. Aku tentu membantumu. Akan tetapi di manakah mereka berada?
Dan.... keluarga Cu itu, apakah tidak berbahaya sekali tertawan oleh mereka?
Tiga orang dari Im-kan Ngo-ok itu adalah manusia-manusia busuk yang amat
kejam.”
“Aku tidak
terlalu mengkhawatirkan keadaan mereka,” kata Hong Bu. “Aku tahu bahwa mereka
sengaja menawan keluarga Cu karena mereka menghendaki pusaka-pusaka Lembah Naga
Siluman. Tentu mereka tidak akan mengganggu keluarga Cu untuk sementara waktu
ini. Dan menurut penuturan Sumoi Cu Pek In, agaknya kita akan bisa menemukan
tempat persembunyian mereka melalui seorang guru silat bernama Koa Cin Gu yang
tinggal di Lo-couw. Mari kita menyelidiki ke sana.”
“Baik, mari
kita cepat pergi. Aku khawatir sekali akan keadaan keluarga Cu,” jawab Cin
Liong.
Dua orang
pemuda perkasa itu, lalu berangkat menuju ke kota Lo-couw yang tidak jauh dari
situ letaknya. Dalam perjalanan itu Cin Liong selalu menghibur hati Hong Bu dan
mengatakan bahwa dia pasti akan dapat menghancurkan persekutuan penjahat itu
dan dia akan minta bantuan pasukan keamanan di kota Lo-couw untuk membantunya
mengepung sarang penjahat.
“Tiga orang
Im-kan Ngo-ok itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan aku dapat menduga bahwa
Hek-i Mo-ong tentu juga lihai sekali.”
“Kakek itu
lebih lihai dari pada mereka bertiga,” kata Hong Bu.
“Hemm,
mungkin bagi kita berdua tidak akan mudah mengalahkan mereka berempat, akan
tetapi dengan bantuan pengepungan pasukan, tentu setidaknya keluarga Cu akan
dapat diselamatkan dan dibebaskan.”
“Kalau saja
kita dapat lebih dulu membebaskan Cu Kang Bu Susiok, kita bertiga dengan dia
tentu akan mampu menandingi mereka berempat.”
“Sebaiknya
kita menggunakan siasat memancing harimau-harimau keluar dari sarang, Hong Bu.
Biar kukerahkan pasukan untuk menyerbu. Ketika mereka sibuk menghadapi pasukan,
kita menyelinap masuk untuk lebih dahulu membebaskan keluarga Cu,” kata Cin
Liong.
“Terserah
kepadamu, dalam keadaan seperti ini aku hanya dapat mengharapkan bantuanmu.”
Ketika
mereka tiba di Lo-couw, Cin Liong langsung mencari markas pasukan keamanan dan
menemui komandannya. Ketika komandan mengenal Cin Liong sebagai Jenderal Muda
Kao yang terkenal, tentu saja dia terkejut dan menyambut dengan sikap amat
hormat. Cin Liong lalu mencari keterangan tentang guru silat Koa Cin Gu dan
dengan mudah mendapat keterangan di mana guru silat itu tinggal. Kiranya
kehadiran para datuk itu merupakan rahasia dan tidak diketahui orang di
Lo-couw.
Cin Liong
memerintahkan kepada komandan itu untuk menyiapkan sepasukan prajurit dan
mengepung rumah guru silat itu dari jarak agak jauh, menanti tanda darinya,
sedangkan dia sendiri berdua dengan Hong Bu lalu melakukan penyelidikan ke
rumah guru silat yang cukup besar dan dikelilingi pagar tembok yang tinggi itu.
Senja telah
mendatang dan cuaca mulai menjadi gelap ketika mereka tiba di luar pagar
tembok, di mana pintu gerbangnya telah tertutup dan tidak nampak seorang pun di
luar pintu. Hanya dapat terdengar suara orang-orang di dalam pintu, mungkin
suara para anak buah guru silat yang melakukan penjagaan.
Dua orang
muda perkasa itu tidak mau lancang turun tangan, karena mereka harus yakin dulu
bahwa empat orang datuk itu benar-benar berada di situ, dan terutama sekali
bahwa keluarga Cu juga tertawan di tempat itu. Kalau tidak demikian, mereka
akan menangkap guru silat Koa dan memaksanya mengaku di mana tawanan
disembunyikan dan di mana pula adanya para datuk kaum sesat itu! Dan untuk ini
tentu saja tidak perlu dikerahkan pasukan yang telah dipersiapkan itu.
Mereka
menanti sampai cuaca menjadi gelap betul dan ketika mereka sedang menyelinap di
luar tembok, tiba-tiba mereka melihat berkelebatnya bayangan dua orang di
depan. Tentu saja keduanya terkejut melihat betapa cepat dan ringannya gerakan
dua orang di depan itu. Karena menduga bahwa tentu dua orang itu adalah dua di
antara para datuk yang sedang mereka cari, mereka cepat menyelinap ke depan
untuk mengejar. Akan tetapi bayangan dua orang di depan itu telah lenyap,
padahal jelas bahwa dua orang itu tadi belum meloncat ke sebelah dalam pagar
tembok.
“Aneh,”
bisik Hong Bu. “Kalau mereka itu orang dalam, mengapa mereka bergerak di luar
pagar tembok, dan bukan langsung masuk melalui pintu gerbang?”
“Siapa pun
adanya mereka, kita harus mengetahui dengan jelas sebelum turun tangan,” bisik
Cin Liong.
Karena dua
orang itu lenyap, Hong Bu dan Cin Liong melanjutkan perjalanan mereka untuk
memeriksa keadaan sekeliling pagar tembok itu, untuk mencari jalan masuk yang
baik dan tepat sambil menanti cuaca sampai gelap benar. Akan tetapi, ketika
mereka melalui semak-semak tiba-tiba ada dua sosok tubuh orang menerjang mereka
dari balik semak-semak itu. Gerakan dua orang itu demikian cepatnya sehingga
Hong Bu dan Cin Liong terpaksa bergerak cepat pula. Sambil mengerahkan tenaga
mereka menangkis lengan dua orang itu yang bergerak untuk menotok.
“Dukkk!”
“Desss....!”
Empat orang
itu terdorong mundur dan semua merasa kaget bukan main saat mendapat kenyataan
betapa kuatnya tenaga pihak lawan. Akan tetapi, mereka menjadi semakin kaget,
heran dan juga gembira setelah saling mengenal. Kiranya dua orang itu bukan
lain adalah Kam Hong dan Ci Sian! Melihat mereka seketika wajah Cin Liong
menjadi kemerahan karena merasa malu, akan tetapi sebaliknya Hong Bu menjadi
girang bukan main.
Di lain
pihak, Kam Hong dan Ci Sian juga terkejut melihat dua orang pemuda itu yang
baru mereka kenal setelah mereka bertanding tangan tadi karena cuaca sudah
mulai gelap.
“Saudara Sim
Hong Bu dan Kao Cin Liong!” seru Kam Hong dengan mata terbelalak lebar.
“Kiranya kalian berdua! Kami sangka peronda!”
Sementara
itu, Ci Sian hanya memandang kepada dua orang pemuda itu dengan wajah
kemerahan. Dua orang pemuda yang baru saja mengajukan pinangan kepadanya!
“Mari kita
bicara agak jauh dari sini,” bisik Hong Bu sambil meloncat pergi dan yang lain
mengikutinya.
Setelah tiba
di tempat agak jauh dari pagar tembok, Hong Bu lalu menjura kepada Kam Hong dan
Ci Sian, lalu berkata, “Sungguh beruntung sekali aku dapat bertemu dengan Ji-wi
di sini, seolah-olah Ji-wi dituntun oleh Tuhan untuk membantuku, setelah
Jenderal Kao Cin Liong juga datang membantuku.” Lalu dengan singkat namun jelas
Hong Bu menceritakan tentang rombongannya yang berjumpa dengan tiga orang datuk
Im-kan Ngo-ok dan Hek-i Mo-ong dan betapa keluarga Cu telah ditawan oleh empat
orang datuk sesat itu.
“Aku seorang
diri tidak mampu melawan mereka dan terpaksa melarikan diri,” Hong Bu
mengakhiri ceritanya, “Dan kebetulan sekali aku berjumpa dengan Cin Liong.
Malam ini kami melakukan penyelidikan untuk melihat apakah benar empat orang
datuk itu berada di sini dan apakah keluarga Cu ditawan di tempat ini. Pada
saat melihat bayangan Ji-wi, kami mengira Ji-wi adalah dua orang di antara
mereka.”
“Dan
bagaimanakah Kam-taihiap dan Nona Bu juga dapat berada di sini?” Cin Liong
bertanya.
Melihat
sikap kedua orang pemuda itu biasa saja, seolah-olah tidak ada kandungan
penyesalan hati sedikit pun tentang peristiwa penolakan pinangan mereka
terhadap Ci Sian, hati Kam Hong merasa girang dan juga kagum sekali. Mereka
sungguh patut menjadi pendekar-pendekar muda yang gemblengan, tidak mudah
menaruh dendam pribadi. Juga Ci Sian merasa lega melihat sikap mereka.
“Kebetulan
sekali ketika kami lewat di sini, kami melihat berkelebatnya bayangan Hek-i
Mo-ong memasuki rumah ini. Kami merasa curiga dan terheran-heran bagaimana
datuk itu tiba-tiba muncul di tempat ini, maka kami lalu mengambil keputusan
untuk melakukan penyelidikan, kalau perlu membasmi kakek iblis itu. Dan baru
saja kami melakukan penyelidikan, kami melihat kalian berdua dan mengira bahwa
kalian adalah peronda atau anak buah Koa-kauwsu,” Kam Hong menjelaskan.
“Janganlah
khawatir, Hong Bu. Aku akan membantumu menghadapi iblis-iblis itu dan
membebaskan keluarga Cu!” kata Ci Sian dan suaranya kini biasa kembali terhadap
Hong Bu, mengingatkan pemuda ini ketika mereka berdua dahulu pernah bekerja sama
menghadapi Hek-i Mo-ong yang lihai. Maka gembiralah hatinya.
“Terima
kasih, terima kasih!” katanya gembira dan kini dia tidak merasa ragu lagi bahwa
dia akan dapat menyelamatkan keluarga Cu, terutama Pek In yang dicintanya.
Tanpa ragu-ragu lagi dia pun berkata melanjutkan, “Kini aku yakin bahwa
tunanganku akan dapat diselamatkan!”
Kam Hong dan
Ci Sian memandang dengan mata terbelalak, dan Cin Liong sendiri pun bertanya,
“Tunanganmu....? Ahh, kiranya engkau telah bertunangan dengan Nona Cu Pek In?
Bagus! Selamat, Hong Bu!”
Kam Hong dan
Ci Sian juga memberi selamat yang diterima dengan gembira oleh Hong Bu.
“Sekarang belum waktunya kita bergembira,” tiba-tiba Cin Liong mengingatkan,
“Yang penting sekarang adalah rencana penyerbuan untuk menyelamatkan keluarga
Cu. Setelah Kam-taihiap dan Nona Bu hadir, hatiku tidak khawatir lagi. Kami
berempat kiranya akan sanggup menghadapi mereka berempat. Betapa pun juga, yang
paling perlu adalah membebaskan keluarga Cu yang tertawan. Maka, menurut
pendapatku, harus digunakan siasat untuk memberi kesempatan kepada Hong Bu
untuk menyelinap ke dalam dan membebaskan mereka.”
Jenderal
muda ini kemudian menjelaskan siasatnya dan tiga orang pendekar yang
mendengarkan dengan penuh perhatian hanya mengangguk menyetujui karena mereka
tahu bahwa Kao Cin Liong, selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga adalah
seorang ahli siasat perang sehingga tentu saja lebih ahli dalam melakukan
penyerbuan seperti itu.
Tak lama
kemudian, sesuai dengan rencana yang diatur oleh Kao Cin Liong, sepasukan
prajurit penjaga keamanan kota Lo-couw telah mengepung rumah perguruan silat
itu, dipimpin oleh Jenderal Kao Cin Liong sendiri yang ditemani oleh Kam Hong
dan Ci Sian. Pintu gerbang digedor dari luar dan dengan suara lantang seorang
prajurit pelapor meneriakkan kepada guru silat Kao Cin Gu untuk membuka pintu
gerbang karena komandan pasukan keamanan kota Lo-couw hendak bicara.
Tentu saja
para penghuni perguruan itu menjadi panik ketika mereka mengintai dari balik
pintu gerbang dan melihat bahwa tempat mereka sedang dikepung pasukan
pemerintah yang bersenjata lengkap! Dengan wajah pucat terpaksa Koa Cin Gu
keluar setelah pintu gerbang dibuka. Dia mengenal komandan Thio yang mengepalai
pasukan keamanan kota itu, maka segera dia menghadap Thio-ciangkun yang berdiri
di sebelah kiri Cin Liong yang tidak dikenalnya karena pemuda ini mengenakan
pakaian biasa.
“Thio-ciangkun,
ada terjadi apakah maka malam-malam Ciangkun datang bersama para pasukan?” Koa
Cin Gu bertanya, sedapat mungkin mengambil sikap tenang.
“Koa Cin Gu,
tak perlu engkau menutup-nutupi dosamu!” berkata Thio-ciangkun dengan suara
galak. “Kami memperoleh keterangan bahwa engkau menyembunyikan tokoh-tokoh
penjahat besar yang terkenal dengan nama Hek-i Mo-ong, Toa-ok, Ji-ok dan
Sam-ok. Suruh mereka segera keluar. Kalau tidak, engkau akan kami anggap
sebagai pemberontak dan sekalian penghuni rumah ini akan kami tangkap sebagai
anggota-anggota pemberontak!”
Bukan main
kagetnya hati Koa-kauwsu mendengar ucapan ini. Akan tetapi sebelumnya tadi dia
memang sudah berunding dengan empat orang tamunya itu, maka kini sesuai dengan
rencana mereka tadi, Koa-kauwsu berkata, “Ah, Thio-ciangkun.... bagaimana
Ciangkun dapat mempercayai fitnah seperti itu? Ciangkun sudah mengenal baik
siapa saya. Saya tanggung bahwa tidak ada penjahat di sini. Harap Ciangkun suka
menarik kembali pasukan dan besok saya akan menghadap Ciangkun untuk bicara
soal ini.” Di balik kata-katanya itu seperti biasa tersembunyi maksud, yaitu
bahwa dia hendak membereskan persoalan ini dengan hadiah atau sogokan!
Akan tetapi
biar pun komandan itu bukan seorang pejabat yang tidak biasa menerima sogokan
macam itu, kini di depan seorang jenderal yang terkenal dari kota raja, tentu
saja dia menjadi marah sekali. “Koa Cin Gu, jangan engkau main-main! Hayo cepat
suruh empat orang itu keluar, kalau tidak, terpaksa kami akan mengerahkan
pasukan untuk menangkap semua orang dan menggeledah ke dalam!”
Melihat
bujukannya tidak berhasil, orang she Koa itu lalu berkata, “Ciangkun, memang
benar saya mempunyai empat orang tamu, akan tetapi mereka adalah para Locianpwe
yang datang memberi petunjuk-petunjuk ilmu silat, sama sekali bukan penjahat.
Semua itu adalah fitnah belaka.”
“Tidak
peduli mereka itu pendekar atau penjahat, suruh mereka keluar supaya dapat
menemui dan bicara dengan kami!” kata pula Thio-ciangkun.
Karena tidak
melihat jalan lain, sesuai dengan rencana mereka, Koa Cin Gu terpaksa lalu
menghadap ke dalam rumah dan berseru, “Harap Cu-wi Locianpwe suka keluar
menemui Thio-ciangkun!”
“Ciangkun,
kami adalah orang baik-baik, mengapa….?”
Akan tetapi
ucapan Sam-ok yang menjadi juru bicara mereka itu tertahan dan matanya
terbelalak ketika dia mengenal Kam Hong, Ci Sian, dan Jenderal Muda Kao Cin
Liong. Juga Hek-i Mo-ong mengenal Kam Hong dan Ci Sian, maka kakek ini pun tahu
bahwa dia telah berhadapan dengan musuh yang pandai, maka tangannya bergerak
dan senjata Long-ge-pang telah berada di tangannya.
“Ah, kiranya
kalian bocah-bocah setan yang datang mengacau!” katanya dan langsung saja Hek-i
Mo-ong menerjang maju.
Kam Hong
menyambutnya, dengan suling emas yang sudah dicabutnya, sebab maklum betapa
dahsyatnya serangan kakek raksasa berambut putih dan berpakaian serba hitam
itu.
Tiga orang
dari Im-kan Ngo-ok yang juga mengenal tiga orang muda perkasa itu maklum bahwa
tidak ada gunanya lagi berpura-pura dan bahwa untuk menyelamatkan diri mereka
harus mempergunakan kekerasan. Maka mereka bertiga pun segera menerjang ke
depan, disambut oleh Kao Cin Liong dan Ci Sian.
Melihat ini,
guru silat Koa Cin Gu juga mengerti bahwa rahasianya telah terbongkar, maka dia
pun menjadi nekat. Dengan teriakan nyaring dia pun memimpin anak buahnya untuk
mencegah pasukan memasuki rumahnya. Terjadilah pertempuran hebat di pekarangan
depan rumah itu.
Sementara
itu, Cu Kang Bu, Yu Hwi, Cu Pek In ditahan dalam kamar-kamar terpisah-pisah.
Mereka dalam keadaan tertotok dan dibelenggu tangan mereka, rebah di atas dipan
dalam kamar tahanan masing-masing, dan setiap orang dijaga oleh dua orang anak
buah Koa-kauwsu.
Para anak
buah Koa-kauwsu bukanlah orang-orang baik. Koa-kauwsu sendiri biar pun seorang
guru silat, akan tetapi dia adalah orang yang berkecimpung dalam dunia hitam
sehingga para muridnya tentu saja terdiri dari tukang-tukang pukul dan
penjahat-penjahat yang ingin memperkuat dirinya. Ketika semua orang menyerbu
keluar untuk menyambut musuh, enam orang yang bertugas jaga itu ditinggal
berdua saja dengan masing-masing tawanan mereka. Kesempatan ini menimbulkan
niat yang keji dalam benak mereka yang menjaga Yu Hwi dan Pek In.
Dua orang
wanita ini adalah wanita-wanita yang tergolong cantik, maka melihat di situ
tidak ada orang-orang lain, para penjaga dua orang tawanan wanita ini timbul
niat yang kotor untuk mengganggu dua orang tawanan mereka. Mereka mulai
mendekati tawanan masing-masing yang rebah terbelenggu dan tertotok di atas
dipan, memandang dengan mulut menyeringai dan berliur.
Dua orang
yang menjaga Cu Pek In sudah mendekati gadis itu. Cu Pek In merasa bulu romanya
meremang ketika melihat sikap mereka berdua itu. Akan tetapi ia tidak mampu
bergerak karena telah tertotok jalan darahnya. Andai kata tidak tertotok, biar
pun kaki tangannya terbelenggu, tentu ia dapat bergerak dan berdaya untuk
melawan. Akan tetapi, kini ia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak
ketika dua orang itu mendekatinya dan terkekeh-kekeh.
“Heh-heh,
kita tidak bisa maju berbareng, harus antri. Siapa yang lebih dulu?” kata yang
bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.
“Kita undi
saja!” kata kawannya yang bermata juling.
“Kita main
bertanding jari saja, siapa menang boleh maju lebih dulu dan yang lain menjaga
di luar kamar menanti giliran!” kata Si Tinggi Besar.
Dua orang
itu tertawa-tawa dan bermain jari. Ternyata Si Tinggi Besar yang menang dan
dengan muka kecewa Si Mata Juling lalu keluar dari kamar itu, meninggalkan
kawannya dan berjalan di luar. Daun pintu ditutupkan, akan tetapi Si Mata
Juling itu mengintai dari celah-celah daun pintu.
Cu Pek In
memandang dengan mata terbelalak, melihat betapa sambil terkekeh dan
menyeringai menyeramkan, Si Muka Hitam yang tinggi besar itu mulai menanggalkan
pakaiannya sendiri. Wajah Pek In menjadi pucat dan mulutnya berbisik,
“Jangan.... ah, jangan....!”
“Ha-ha-ha
diamlah, manis,” kata Si Tinggi Besar yang kini melangkah mendekati dipan,
membuat Pek In merasa ngeri dan takut sehingga hampir ia roboh pingsan.
Akan tetapi
pada saat jari tangan Si Tinggi Besar menyentuh pakaian Pek In, tiba-tiba
terdengar suara gaduh di luar pintu. Daun pintu terbuka. Si Tinggi Besar
menoleh dan seketika mukanya menjadi pucat ketika dia melihat temannya, Si Mata
Juling itu sudah roboh mandi darah di depan pintu. Sebelum dia sempat menguasai
hatinya, sesosok bayangan berkelebat dan Hong Bu telah menghantamnya dengan
telapak tangan kanan.
Si Tinggi
Besar tak sempat lagi berteriak karena terdengar suara keras ketika kepalanya
kena ditampar. Tubuhnya terpelanting dan kepalanya retak, mengeluarkan darah
dan otaknya. Dia tewas seketika tanpa sekarat lagi.
Hong Bu
cepat membebaskan totokan Pek In, kemudian mematahkan belenggu kaki tangannya.
“Engkau
tidak apa-apa, In-moi....?” tanyanya.
“Ahh....
Bu-ko....!” Pek In merangkul dan menangis di dalam pelukan pemuda itu. Pek In
melirik ke arah tubuh telanjang yang kepalanya retak itu dan menggigil. “Untung
engkau segera datang, Buko....,” katanya dan hatinya lega sekali karena rasa
penasaran dan duka karena ditinggal lari oleh Hong Bu itu kini terobati dengan
munculnya kekasihnya yang telah menyelamatkannya.
Sebelum
menolong Pek In, Hong Bu tadi telah memasuki kamar tahanan Cu Kang Bu,
merobohkan dua orang penjaganya dan membebaskan Cu Kang Bu. Dan begitu bebas,
Kang Bu segera minta kepada Hong Bu untuk menolong Pek In di kamar sebelah
kanan sedangkan dia sendiri cepat lari ke kamar sebelah kiri di mana dia tahu
isterinya ditawan. Dia memandang daun pintu itu dan dapat dibayangkan betapa
marahnya saat dia melihat ada dua orang penjaga sedang menggerayangi tubuh
isterinya dalam usaha mereka untuk melepaskan pakaian isterinya yang tertotok
dan terbelenggu tak mampu melawan itu.
“Keparat!”
bentak Cu Kang Bu dan sekali loncat dia sudah tiba di belakang dua orang
penjaga yang kurang ajar itu.
Mereka
membalikkan tubuh, akan tetapi tahu-tahu rambut kepala mereka telah dijambak
oleh Cu Kang Bu dan sekali menggerakkan kedua tangannya, pendekar tinggi besar
dari Lembah Naga Siluman itu sudah membenturkan dua buah kepala itu.
“Prokk!”
terdengar suara, dan dua buah kepala itu pecah berhamburan!
Ketika Kang
Bu membebaskan isterinya dan mereka berdua keluar dari dalam kamar itu, mereka
bertemu dengan Hong Bu yang juga sudah berhasil membebaskan Pek In.
“Di luar
sana aku dibutuhkan, harap Susiok bertiga suka membantu pasukan dari dalam. Aku
sendiri harus membantu mereka menghadapi empat iblis itu!” Setelah berkata
demikian, Hong Bu meloncat keluar dengan cepat sekali.
Kang Bu tadi
telah diberi tahu oleh Hong Bu bahwa yang dimaksudkan dengan ‘mereka’ itu
adalah Jenderal Muda Kao Cin Liong dan Pendekar Suling Emas Kam Hong beserta
sumoi-nya, Bu Ci Sian. Dengan singkat dia pun memberi tahu kepada isterinya dan
keponakannya, lalu mereka bertiga juga menyerbu keluar dan mengamuk, menyerang
para anak buah guru silat Koa dari sebelah dalam. Tentu saja anak buah
Koa-kouwsu menjadi terkejut dan semakin panik karena mereka pun sudah terdesak
oleh pasukan keamanan yang menyerbu dari luar.
Perkelahian
antara Kam Hong melawan Hek-i Mo-ong masih berlangsung dengan amat serunya,
tetapi Cin Liong dan Ci Sian yang bekerja sama menghadapi pengeroyokan tiga
orang Im-kan Ngo-ok terdesak hebat. Mereka berdua itu hanya mampu memutar senjata
untuk melindungi diri belaka, tanpa mempunyai banyak kesempatan untuk membalas.
Tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Hong Bu sudah menerjang dan
membantu mereka berdua.
Melihat
betapa Koa-kauwsu dan anak buahnya sudah roboh semua karena amukan Cu Kang Bu
bertiga, dan melihat betapa mereka berempat sudah terkurung oleh pasukan dan di
situ terdapat orang-orang muda yang amat lihai itu, Hek-i Mo-ong maklum bahwa
kalau terjadi pertempuran keroyokan tentu pihaknya akan mengalami kerugian karena
kalah banyak, maka tiba-tiba dia meloncat ke belakang dan berseru dengan
lantang, “Tahan senjata! Kami hendak bicara!”
Empat orang
pendekar muda itu menahan senjata mereka dan Kam Hong mewakili teman-temannya,
sambil melintangkan suling emas di depan dada dia pun menegur, “Hek-i Mo-ong,
engkau hendak bicara dan menggunakan kecurangan apa lagi?”
Wajah kakek
itu berubah merah. Teringat dia bahwa dia pernah melukai pemuda luar biasa ini,
akan tetapi hal itu dilakukannya karena dia main curang, yaitu pada saat Kam
Hong melawan delapan orang muridnya, ialah Hek-i Pat-mo dan ketika pendekar ini
terdesak delapan orang itu, dia turun tangan membantu murid-muridnya sehingga
Kam Hong menderita luka dalam yang cukup parah.
“Bocah she
Kam! Kalau memang kalian adalah orang-orang muda yang gagah perkasa dan mengaku
sebagai pendekar-pendekar sakti, mari kita melakukan pertandingan satu lawan
satu tanpa pengeroyokan dan tanpa mengandalkan bantuan. Kita masing-masing
mengadakan pertandingan satu lawan satu sampai mati dan tidak boleh ada orang
lain yang membantu. Nah, bagaimana? Apa kalian berempat berani menyambut
tantangan kami berempat?”
Kam Hong
mengerutkan alis dan memandang kepada tiga orang kawannya. Dia melihat betapa
Ci Sian, Hong Bu, dan Cin Liong mengangguk kepadanya, dan dia sendiri pun
percaya sepenuhnya bahwa ketiga orang muda itu cukup tangguh dan kuat untuk
melawan tiga orang datuk dari Im-kan Ngo-ok, maka ia pun menjawab dengan
lantang,
“Baik, Hek-i
Mo-ong. Kami berempat menerima tantangan kalian!”
Thio-ciangkun
lalu membuat lingkaran dengan pasukannya, lingkaran yang cukup luas di
pekarangan rumah itu, dan memasang obor yang cukup banyak sehingga tempat itu
menjadi terang dan merupakan gelanggang pertandingan yang dipagari pasukan. Cu
Kang Bu dan Yu Hwi yang sudah selesai membasmi Koa-kauwsu dan anak buahnya itu
pun kini berdiri menonton dengan penuh kepercayaan terhadap empat orang muda
yang sakti itu, hanya Cu Pek In yang mengerutkan alisnya dan merasa khawatir.
“Bagus! Kami
akan mengajukan jago pertama kali. Sam-ok, kau majulah!” berkata Hek-i Mo-ong.
Sam-ok
Ban-hwa Sengjin, bekas Koksu Nepal yang nama aslinya Lakshapadma itu segera
melangkah maju ke tengah lapangan. Dia pun maklum bahwa jalan keluar tidak ada,
maka tindakan Hek-i Mo-ong itu dianggapnya tepat. Hanya melalui pertandingan
perorangan maka mereka mendapat kesempatan untuk lolos, asal dapat memenangkan
lawan. Dan bagaimana pun lihainya, empat orang lawan itu hanyalah orang-orang
muda yang tentu masih jauh kurang pengalamannya dibandingkan deagan mereka
berempat.
Dia maju
dengan tenang. Kakek raksasa yang kepalanya botak ini nampak gagah dengan
mantelnya yang merah, dan kini dia menanggalkan mantel merahnya dan melemparkan
mantel itu kepada Ji-ok. Dia sendiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua
lututnya agak ditekuk dan kedua lengannya membuat silang di depan dada, yang
kanan miring di depan dahi, yang kiri miring di depan dada, sikapnya seperti
seorang pendeta sedang melakukan sembahyang dengan sikap aneh.
“Biar aku
yang menghadapi tua bangka Nepal ini!” kata Kao Cin Liong dan majunya Cin Liong
melegakan hati Kam Hong.
Dibandingkan
dengan Cin Liong, mungkin sumoi-nya masih kalah, dan biar pun di pihak musuh
Sam-ok merupakan orang terakhir, namun dia tahu bahwa bekas Koksu Nepal ini
mempunyai banyak tipu muslihat sehingga kalau Ci Sian yang melayani dia, hal
itu amat berbahaya. Berbeda kalau Cin Liong yang menyambut kakek itu, karena
biar pun masih muda, namun Cin Liong juga seorang yang memiliki banyak
pengalaman dan mengenal banyak siasat-siasat licik pihak musuh.
“Baiklah,
Saudara Kao Cin Liong. Kau lawan Sam-ok dan hati-hatilah terhadap akal busuk!”
kata Kam Hong.
Cin Liong
melangkah maju dengan tenang. Di bawah sinar obor yang banyak dinyalakan itu,
pemuda ini nampak tegap dan gagah perkasa sekali. Wajahnya yang bundar itu
nampak halus dan tampan, sepasang matanya yang lebar bersinar-sinar dan tahi
lalat kecil di bawah telinga kirinya itu menambah kewibawaannya. Ketenangan
pemuda ini nampak pada senyumnya, seolah-olah dia sama sekali tidak merasa jeri
menghadapi lawan yang sudah amat tersohor karena kelihaiannya ini. Masih begitu
muda sudah memperoleh kepercayaan Kaisar, maka dapat dibayangkan betapa
hebatnya pemuda ini.
Sam-ok juga
merasa agak terkejut ketika melihat bahwa jenderal muda itu yang maju. Dia tahu
akan kelihaian pemuda ini. Baru mengingat bahwa pemuda ini adalah putera
tunggal dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir saja sudah membuat dia menjadi
agak ngeri. Akan tetapi, dia segera dapat mengusir perasaan ini dengan
keyakinan akan kepandaian sendiri. Betapa pun juga, pemuda ini bukanlah
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, pikirnya, melainkan seorang yang masih muda
dan tentu masih hijau pula dalam pengalaman.
“Ha-ha-ha!”
Sam-ok tertawa bergelak untuk membesarkan hati. “Inikah Jenderal Muda Kao Cin
Liong yang terkenal itu? Ha-ha-ha, orang muda, sudah rela benarkah engkau untuk
mati konyol maka engkau berani melawanku?”
“Ban-hwa
Sengjin! Engkau telah berdosa terhadap pemerintah dan negara ketika engkau
menjadi Koksu Nepal, dan engkau berdosa terhadap rakyat ketika engkau menjadi
Sam-ok. Dosamu sudah terlampau bertumpuk, terlampau banyak maka sudah
sewajarnyalah kalau kini engkau menerima hukuman dari tanganku sendiri!
Majulah!”
Sebelum maju
tadi Cin Liong telah menitipkan pedangnya kepada Hong Bu dan kini dia
menghadapi lawan dengan tangan kosong. Dia tahu bahwa Sam-ok adalah seorang
yang memiliki ilmu silat yang sudah agak tinggi tingkatnya, maka datuk ini
tidak lagi mengandalkan senjata. Dan karena dia sendiri pun murid ayah
kandungnya yang memiliki ilmu silat tangan kosong pula, maka dia menghadapi
lawan dengan tangan kosong.
Dia berdiri
tegak lurus, mula-mula kedua lengannya tergantung lurus di kanan kiri, lalu
diangkatnya sampai ke pinggang dengan jari-jari terbuka dan ibu jari ditekuk ke
telapakan. Perlahan-lahan lengannya diangkat ke atas, lalu setelah sampai di
atas kepala ditarik ke bawah sambil mengerahkan tenaga sinkang. Kedua lengannya
itu nampak tergetar halus, dan kini tubuhnya penuh dengan saluran sinkang yang
dahsyat!
Sam-ok
mengeluarkan suara menggereng dan oleh karena gerengan ini mengandung getaran
tenaga khikang yang amat kuat, maka para prajurit yang mengepung tempat itu
untuk nonton perkelahian itu menjadi terkejut dan tubuh mereka menggigil.
Sam-ok menyusul gerengannya ini dengan terjangan dahsyat, kedua lengannya yang
panjang dan besar itu bergerak cepat. Tahu-tahu dia telah mengirim serangan
beruntun sampai empat kali, memukul dengan kedua tangan dari atas ke bawah
disusul cengkeraman dari kanan kiri.
Cin Liong
juga bergerak cepat. Dua lengannya sudah menangkis dua pukulan pertama dan
menghadapi cengkeraman dari kanan kiri itu dia meloncat ke belakang sambil
membalik dan tiba-tiba saja tubuhnya berputar dan dia pun sudah membalas dengan
sebuah tendangan kilat yang mengarah dagu lawan.
Ketika
Sam-ok menggerakkan tangan hendak menangkap kaki yang menendangnya, Cin Liong
menarik kembali kakinya dan tubuhnya meluncur ke depan, tangan kanan menotok ke
arah pusar dan tangan kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala botak itu! Dia
telah mulai menggunakan jurus-jurus dari Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat yang
hebat. Karena dia tahu bahwa lawannya adalah seorang yang lihai, maka pemuda
ini tidak mau membuang waktu dengan mengeluarkan ilmu silat lain, melainkan
langsung mengeluarkan ilmu ciptaan kakek gurunya, yaitu Si Dewa Bongkok itu.
Sesungguhnya
Ilmu Sin-liong Ciang-hoat asalnya adalah ilmu ciptaan Dewa Bongkok yang khas,
yaitu untuk seorang yang berlengan tunggal. Akan tetapi Kao Kok Cu, Si Naga
Sakti Gurun Pasir telah menyempurnakan ilmu tangan kosong ini untuk puteranya,
sehingga kini yang dikuasai oleh Kao Cin Liong adalah ilmu silat tangan kosong
yang cocok untuk di mainkan oleh seorang yang berlengan utuh, walau pun
dasarnya masih ilmu asli. Justru karena dasarnya adalah ilmu silat yang tadinya
diperuntukkan seorang yang berlengan buntung, maka sekarang setelah dimainkan
oleh Cin Liong, gerakan-gerakannya amat aneh dan tak dapat diduga-duga oleh
musuh.
Kadang-kadang
pemuda itu hanya menggerakkan tangan kanannya saja, dan tangan kirinya
bergantung mati, akan tetapi pada detik-detik yang sama sekali tidak disangka
oleh lawan, tiba-tiba saja tangan kirinya bergerak mengirim serangan susulan,
serangan maut yang amat dahsyat, lebih dahsyat dari pada serangan-serangan
tangan kanannya!
Biar pun
Sam-ok seorang yang tinggi ilmunya, namun menghadapi ilmu silat ini dia merasa
bingung juga sehingga setelah lewat lima puluh jurus, ia kurang cepat mengelak
dan tamparan tangan kiri yang tadinya tergantung mati itu sempat mengenai
pundak kanannya, dan membuat tubuh yang tinggi besar itu terhuyung ke belakang.
Sam-ok meloncat untuk mengatur keseimbangan badannya dan mulutnya menyeringai
menahan rasa nyeri yang membuat separuh tubuhnya sebelah kanan seperti lumpuh
sejenak.
“Haiiiikkk!”
Tiba-tiba Sam-ok menubruk ke depan.
Cin Liong
mengelak dengan loncatan ke kiri, akan tetapi tiba-tiba dari lengan baju yang
lebar itu meluncur sinar-sinar hitam yang lembut menuju ke seluruh tubuh Cin
Liong dari atas ke bawah! Itulah jarum-jarum rahasia beracun yang dilepas dari
jarak dekat sekali!
Dan ini
merupakan satu di antara kecurangan-kecurangan Sam-ok. Akan tetapi, sejak tadi
Cin Liong memang sudah waspada terhadap serangan gelap, maka begitu melihat
sinar hitam menyambar dia sudah meloncat tinggi sehingga semua jarum lewat di
bawah kakinya. Cin Liong bukan sembarangan meloncat, melainkan meloncat ke
depan dan kini dari atas dia terjun menyerang ke arah kepala lawan dengan
menggunakan kedua kakinya!
Sam-ok
terkejut bukan main. Tak disangka-sangkanya bahwa pemuda itu selain dapat
menghindarkan semua jarumnya, juga memiliki ginkang sedemikian hebatnya
sehingga sambil mengelak kini bahkan langsung balas menyerang. Cepat dia secara
terpaksa menggulingkan tubuhnya ke atas tanah sehingga serangan dari atas itu
pun tidak mengenai sasaran dan begitu dia meloncat bangkit lagi, Sam-ok sudah
mengeluarkan ilmunya yang paling diandalkan karena aneh dan tangguhnya.
Tubuhnya
tiba-tiba berpusing bagaikan sebuah gasing dan terus berpusing sehingga tubuh
itu tidak nampak lagi. Dan dari gerakan berpusing ini dengan cepat bagaikan
kilat menyambar, ada serangan-serangan mencuat yang menuju ke arah lawan. Cin
Liong menggerakkan kaki tangan menangkis, akan tetapi karena pusingan tubuh
lawan itu mendatangkan angin dahsyat, dan oleh karena serangan yang mencuat
dari tubuh yang berputar cepat itu sukar diikuti dengan pandangan mata, maka
Cin Liong terkena sambaran pukulan yang mengarah lambungnya.
Tangkisannya
menyeleweng dan biar pun dia tidak terkena pukulan langsung, namun tetap saja
dia terdorong sampai hampir terjengkang dan merasa betapa paha kanannya panas
oleh hawa pukulan lawan. Hanya dengan melempar diri ke belakang dan berjungkir
balik saja pemuda itu dapat menyelamatkan diri dan tidak sampai roboh
terjengkang.
Melihat
hebatnya lawan, Cin Liong tiba-tiba mendekam di atas tanah dan ketika lawan
yang berpusing itu mendekatinya, tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara
melengking dahsyat dan tubuhnya meluncur dari bawah dengan pukulan kedua tangan
didorongkan ke depan. Itulah pukulan dari Ilmu Sin-liong Hok-te yang amat hebat
dari Istana Gurun Pasir!
“Desssss....!”
Oleh karena
hebatnya pukulan itu, Sam-ok mana mampu mengelak? Terpaksa dia menangkis dengan
pengerahan seluruh tenaganya dan akibatnya, tubuhnya terlempar dan terbanting
keras sekali! Itulah hebatnya pukulan Ilmu Sin-liong Hok-te (Naga Sakti
Mendekam di Bumi). Kalau saja tadi Sam-ok mempergunakan tenaga lembut, tidak
mempergunakan tangkisan tenaga kasar, dia pun akan celaka kalau Cin Liong juga
mempergunakan tenaga Im.
Tubuh yang
tinggi besar itu terguling-guling dan akhirnya dapat meloncat bangkit kembali,
berdiri agak bergoyang-goyang dan di ujung bibir kakek itu nampak darah segar
yang keluar dari mulutnya! Dengan bajunya, Sam-ok menghapus darah itu dan
mukanya berubah merah sekali. Dia menggereng nyaring, gerengan yang keluar dari
dalam perutnya saking marahnya dan tiba-tiba dia merenggut ke arah lehernya.
Nampak sinar berkilauan ketika tangannya sudah memegang seuntai rantai hitam
yang tadinya dipakai sebagai kalung lehernya. Rantai ini adalah untaian
batu-batu hitam dari Nepal yang diuntai dengan tali baja yang amat kuat!
Jarang
sekali Sam-ok mempergunakan senjata dalam perkelahian menghadapi lawan yang
betapa pandai sekali pun. Ilmu silatnya sudah sangat tinggi, tenaga sinkang-nya
amat kuatnya sehingga tanpa bantuan senjata pun dia sudah merupakan seorang
yang sukar dikalahkan. Akan tetapi, sekali ini dia bertemu tanding, bahkan dia
telah menderita guncangan dalam tubuh yang membuatnya terluka, maka tanpa
malu-malu lagi dia mengeluarkan senjata simpanannya yang tadinya dipakainya
sebagai sebuah kalung jimat! Menurut kepercayaan tahyul di Nepal, batu-batu
hitam yang dipakainya sebagai kalung itu mempunyai daya kekuatan untuk menolak
penyakit dan mala petaka. Selain itu, juga batu-batu hitam itu keras sekali dan
kuat, dapat menahan senjata pusaka lawan yang bagaimana ampuh sekali pun.
“Trrrik....
wirr.... wirr!”
Senjata aneh
itu mengeluarkan bunyi berketrik ketika digerakkan dan angin dahsyat menyambar
ganas ke arah Cin Liong. Pemuda ini terkejut sekali dan mengelak, akan tetapi
sinar hitam itu mengejarnya terus. Cin Liong terpaksa mengebutkan ujung lengan
bajunya untuk menangkis, tidak berani langsung menangkis dengan lengannya
karena dia belum mengenal sifat senjata lawan. Akan tetapi, biar pun lengan
bajunya itu hanya merupakan kain saja, di dalam tangan pemuda ini berubah
menjadi senjata penangkis yang ampuh dan kuat sekali.
“Prattttt!”
Tangkisan
ujung lengan baju dari Cin Liong itu membuat serangan Sam-ok gagal dan sinar
hitam senjata rantainya itu menyeleweng, akan tetapi pemuda itu terkejut bukan main
ketika melihat betapa ujung lengan bajunya pecah-pecah! Dan kini sinar hitam
itu telah menyambar lagi bertubi-tubi, mengarah kepalanya dan ujung sinar hitam
itu dapat melakukan serangan totokan ke arah jalan darah yang mematikan. Maka
Cin Liong segera mengelak dan berloncatan ke sana-sini, dan terdesak hebat oleh
sinar hitam yang mengeluarkan bunyi berketrikan itu.
“Cin Liong,
nih terima pedangmu!”
Tiba-tiba
terdengar Hong Bu berseru dan nampak sinar terang ketika pedang Cin Liong yang
tadi dititipkan kepada pemuda itu telah dicabut oleh Hong Bu dan dilemparkannya
kepada jenderal muda itu. Cin Liong cepat menyambut pedangnya dengan tangan
kanan.
“Terima
kasih, Hong Bu!” katanya gembira dan seketika pedang itu diputar-putarnya di
tangannya, berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyilaukan mata ketika
tertimpa sinar obor.
Pedang itu
adalah sebuah pedang yang baik karena pedang itu merupakan pedang pemberian
Kaisar sebagai tanda pangkatnya. Seperti juga Sam-ok, putera Pendekar Naga
Sakti Gurun Pasir ini sebetulnya tak lagi memerlukan senjata untuk membantunya
dalam perkelahian. Akan tetapi karena lawannya yang tangguh itu mempergunakan
senjata yang aneh dan yang mungkin saja dapat melukai lengannya, maka tentu
saja dia merasa gembira untuk mempergunakan pedangnya menghadapi senjata lawan.
Sam-ok masih
terus mendesak dengan senjatanya yang diputar-putar dan menghujani lawannya
dengan serangan-serangan maut. Cin Liong juga memutar pedangnya dan menyambut
serangan itu dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaganya.
“Tranggg....
cringggg....!”
Keduanya
melompat ke belakang ketika merasa betapa telapak tangan mereka panas dan
nyeri, seolah-olah kulitnya terkupas. Mereka masing-masing memeriksa senjata
sendiri, akan tetapi hati mereka lega melihat bahwa senjata mereka tidak rusak
oleh benturan yang hebat tadi. Mereka gembira karena senjatanya dapat menahan
senjata lawan, keduanya lalu saling terjang lagi dengan dahsyatnya. Tubuh
mereka lenyap terbungkus gulungan sinar hitam dan sinar terang dari pedang Cin
Liong, dan kedua sinar yang bergulung-gulung itu saling belit, saling tekan
dalam sebuah pertempuran yang amat seru.
Semua orang
yang menyaksikan pertandingan ini, diam-diam merasa tegang bukan main karena
memang jaranglah terdapat perkelahian antara dua orang yang demikian lihainya.
Yang menegangkan adalah karena kedua pihak tidak mau turun tangan membantu
teman. Pihak Hek-i Mo-ong tentu saja tidak berani melakukan ini sebagai pihak
yang lebih lemah atau yang lebih sedikit jumlah temannya, sebaliknya pihak Kam
Hong dan kawan-kawannya tentu tidak mau melanggar perjanjian sebagai
pendekar-pendekar yang menjunjung tinggi kehormatan dan kegagahan. Maka semua
orang tahu bahwa pertandingan antara Sam-ok dan Cin Liong ini, seperti juga
pertandingan lain yang akan terjadi antara kedua pihak, merupakan perkelahian
mati-matian tanpa dapat mengharapkan bantuan orang lain.
Kembali
puluhan jurus lewat dengan cepat dan kedua pihak belum juga mampu saling
melukai, apalagi merobohkan. Cin Liong maklum akan kelihaian lawan, dia
gerakkan tubuh dan pedangnya dengan tenang dan hati-hati, sebaliknya Sam-ok
yang memang merasa gelisah oleh karena maklum bahwa pihaknya kalah kuat dan
telah terkepung, menyerang dengan penuh nafsu. Melihat betapa pertahanan pemuda
itu tangguh sekali, dia menjadi penasaran.
Tiba-tiba,
pada saat kedua senjata itu saling bertemu di udara, Sam-ok menggerakkan
pergelangan tangannya, dan senjata rantai batu hitam itu segera bergerak
membelit-belit pedang di tangan Cin Liong, seperti seekor ular. Kedua senjata
itu tidak dapat terlepas kembali dan mereka kini saling tarik-menarik dan
tiba-tiba kaki kanan Cin Liong terpeleset karena dia menginjak batu yang basah
dan licin. Pemuda itu terjatuh miring di atas tanah. Tentu saja semua temannya
menahan teriakan kaget melihat hal ini.
Melihat
kesempatan yang amat baik baginya ini, Sam-ok menjadi girang sekali dan dia pun
lalu menubruk ke bawah, tangan kirinya bergerak mencengkeram ke arah kepala
pemuda itu! Hebat bukan main serangan ini dan semua orang tahu bahwa sekali
kepala itu terkena cengkeraman jari-jari tangan yang kuat itu, tentu pemuda itu
akan tewas seketika!
Melihat hal
ini, Ci Sian tentu sudah meloncat kalau saja suheng-nya tidak memegang
lengannya. Hong Bu juga mengepal tinju dan matanya melotot memandang ke arah
sahabatnya yang rebah miring itu sedangkan kepalanya terancam cengkeraman yang
mengandung ancaman maut itu.
Sam-ok tidak
tahu, juga para ahli silat di situ tidak ada yang tahu bahwa ketika terjatuh
tadi, otomatis Cin Liong mengatur gerakan jurus dari ilmu silat sakti Sin-liong
Hok-te. Ilmu silat ini memang meminjam kekuatan bumi dan dilakukan dengan lebih
banyak mendekam di atas tanah.
Maka ketika
Sam-ok menyerangnya dengan cengkeraman tangan ke arah kepalanya, sebenarnya Cin
Liong sudah siap siaga dengan jurus ilmu silatnya yang ampuh. Dia cepat-cepat
menggerakkan kepalanya menyingkir, dan tangan Sam-ok itu kini mencengkeram
pundaknya dan pada saat itu juga, tiba-tiba dari bawah, tangan kiri pemuda ini
meluncur dengan dahsyat mengirim serangan-serangan pukulan mendadak.
“Dessss....!”
Terdengar
gerengan serak dari mulut Sam-ok ketika tubuh raksasa itu terlempar sampai tiga
meter lebih, terbanting jatuh ke atas tanah! Sam-ok merangkak bangun, berdiri
dan terhuyung-huyung, memandang dengan mata melotot ke arah Cin Liong, tangan
kiri mencengkeram dadanya yang terpukul, tangan kanan mengangkat rantainya
tinggi-tinggi, sikapnya seperti hendak menyerang. Akan tetapi, tiba-tiba
mulutnya terbuka dan menyemburkan darah segar, kedua kakinya terkulai dan dia
pun roboh menelungkup dan nyawanya melayang meninggalkan tubuhnya! Mati.
Cin Liong
bangkit dan menyeringai, tangan kirinya memegangi pundak kanannya yang tadi
kena dicengkeram lawan. Cu Kang Bu yang pandai dalam hal pengobatan cepat
meloncat mendekatinya dan memeriksa pundaknya.
Untung hanya
luka daging saja, dan tenaga sinkang telah melindungi tulang pundak itu
sehingga tidak remuk. Cu Kang Bu cepat memberi sebuah pel merah untuk ditelan
oleh jenderal muda itu dan luka di pundaknya ditempeli koyok hitam.
Kemenangan
jenderal muda ini disambut sorak-sorai oleh para pasukan, akan tetapi Toa-ok,
Ji-ok, dan Hek-i Mo-ong mengerutkan alis dan muka mereka sebentar pucat
sebentar merah.
Tiba-tiba
Ji-ok mengeluarkan pekik melengking nyaring dan ia sudah meloncat ke depan,
lalu ia menoleh kepada Hek-i Mo-ong sambil berkata, “Biarkan aku menebus nyawa
Sam-te!”
Nenek
bertopeng tengkorak ini adalah seorang datuk kaum sesat yang kejam sekali
sehingga ia mampu memperoleh julukan Si Jahat ke Dua. Akan tetapi kini melihat
betapa Sam-ok tewas di depan matanya, hatinya terasa seperti disayat dan ia
merasa sakit hati sekali. Kini, Ji-ok Kui-bin Nio-nio sudah berdiri tegak,
tubuhnya yang kecil ramping seperti tubuh orang muda itu bergoyang-goyang,
dadanya turun naik terbawa tarikan napas panjang karena kemarahannya, sepasang
mata di balik topeng tengkorak itu bagai dua titik api yang mencorong.
Rambutnya yang sudah putih semua riap-riapan, sebagian menutupi muka tengkorak,
kedua tangannya yang berkuku runcing bertolak pinggang, sikapnya menantang
sekali.
“Bocah-bocah
sombong, lekas majulah dan terimalah kematian di tanganku!” bentaknya
menantang.
Ci Sian
melangkah maju dan berkata kepada suheng-nya, “Suheng, ia adalah satu-satunya
wanita di pihak lawan seperti juga aku di pihak kita. Biarkan aku menghadapi
iblis betina ini!”
Kam Hong
mengerutkan alisnya. Tentu saja diam-diam dia merasa khawatir sekali akan
keselamatan gadis yang amat dicintanya ini, dan dia pun tahu akan kelihaian
Ji-ok. Akan tetapi, di antara lawan yang masih tinggal tiga orang, kiranya Ji-ok
masih terhitung yang paling lemah dibandingkan dengan Toa-ok, dan Hek-i Mo-ong,
dan selain itu, dia pun maklum bahwa sumoi-nya sekarang sama sekali tidak boleh
disamakan dengan sumoi-nya setahun yang lalu.
Sumoi-nya
telah mewarisi ilmu sinkang dari Pulau Es saat digembleng oleh pendekar sakti
Suma Kian Bu, dan dibandingkan dengan dirinya, sumoi-nya hanya kalah setingkat
saja. Maka dia pun merasa yakin bahwa sumoi-nya akan mampu menandingi Ji-ok
Kui-bin Nio-nio. Maka dia pun mengangguk.
“Hati-hati,
Sumoi. Hadapi ia dengan tenang saja, karena engkau tidak akan kalah!” katanya
memperingatkan sumoi-nya bahwa menghadapi seorang datuk kaum sesat yang tentu
saja memiliki banyak pengalaman bertanding dan juga mempunyai banyak tipu
muslihat, harus dilakukan dengan penuh ketenangan dan kepercayaan kepada diri
sendiri. Terburu nafsu menghadapi orang seperti Ji-ok ini bisa celaka sendiri.
Ci Sian mengangguk dan tersenyum.
“Suheng, aku
tidak akan membikin malu dan kecewa padamu,” katanya dan janji ini mengelus hati
Kam Hong yang merasa terharu dan juga berbahagia sekali.
Ci Sian kini
menghadapi Ji-ok dan ia telah mencabut suling emasnya. Dara ini sekarang telah
menjadi seorang gadis dewasa. Wajahnya yang berbentuk bulat manis itu masih
membayangkan kelincahan dan kejenakaan. Sinar matanya penuh keberanian sedang
senyum di mulutnya masih membayangkan kenakalan remajanya walau pun sikapnya
kini nampak tenang dan membayangkan kematangan pengalaman-pengalaman yang
selama ini dihadapinya. Mukanya yang bulat itu nampak amat manis ketika
diangkatnya suling melintang di depan dada dan matanya memandang kepada lawan
dengan tajam, kedua kakinya agak terpentang dan jari telunjuk dan tengah tangan
kiri menyentuh ujung sulingnya yang melintang.
Melihat
bahwa yang maju dan hendak melawannya hanya seorang gadis yang nampak masih
remaja itu, Ji-ok mengeluarkan suara tertawa mengejek, lalu ia mendengus dengan
suara memandang rendah sekali, sikap yang disengaja untuk menjatuhkan nyali
lawan. “Hi-hik, bocah ini yang hendak menandingiku? Apakah tidak sayang kalau
gadis secantik dan semuda ini harus mampus di tanganku? Bocah manis, lebih baik
kalau lekas berlutut minta ampun dan nenekmu mungkin akan menaruh kasihan
kepadamu!”
Ucapan ini
selain hendak merendahkan dan mengecilkan nyali lawan, juga disengaja
dikeluarkan untuk membakar hati lawan, agar marah. Kemarahan yang mengawali
pertandingan berarti merugikan sekali dan hal ini diketahui dengan baik oleh Ci
Sian yang selain menerima gemblengan Kam Hong, juga pernah digembleng oleh seorang
pendekar sakti seperti Suma Kian Bu. Maka, mendengar ucapan dan melihat sikap
nenek itu, ia tetap tersenyum, bahkan mengambil sikap seperti seorang dewasa
melihat tingkah laku seorang anak kecil yang nakal.
“Ji-ok
Kui-bin Nio-nio,” katanya lantang, “Sudah lama aku mendengar bahwa engkau
adalah seorang nenek yang amat kejam seperti siluman, banyak membunuh anak-anak
kecil untuk kau hisap darah dan otaknya. Kejahatanmu sudah melampaui takaran
dan engkau telah layak untuk mati sampai seratus kali. Maka sekarang tiba
saatnya engkau menebus dosa-dosamu di dasar neraka menyusul Sam-ok yang sudah
mendahuluimu dan sedang menantimu di ambang pintu neraka. Bersiaplah engkau,
wahai nenek iblis!”
Kini
terjadilah senjata makan tuan. Senjata yang dipergunakan oleh Ji-ok, yaitu
kata-kata untuk memancing kemarahan lawan, ternyata dipergunakan pula oleh Ci
Sian yang cerdik. Dara ini maklum akan kelemahan lawan pada saat itu, maka Ci
Sian sengaja mengingatkannya tentang kematian Sam-ok.
Di luar
kesadarannya sendiri, mendengar ucapan ini, Ji-ok teringat akan kematian Sam-ok
dan ia menjadi marah bukan main. Sambil mengeluarkan suara mendengus karena
tidak mampu lagi mengeluarkan kata-kata saking marahnya, nenek ini sudah
menggerakkan tubuhnya dan tangan kirinya yang berkuku panjang itu telah
melakukan penyerangan dahsyat, mencengkeram ke arah muka Ci Sian!
Ci Sian
tersenyum mengejek dan cepat mengelak sambil menggerakkan sulingnya menotok ke
arah sambungan siku lengan nenek yang menyerangnya itu dari samping, memaksa
Ji-ok untuk cepat menarik kembali lengannya yang melakukan penyerangan tadi.
Mereka segera mulai serang-menyerang dengan sengit dan terjadilah perkelahian
yang tidak kalah serunya dibandingkan dengan pertandingan pertama antara Cin
Liong dan Sam-ok tadi.
Pelampiasan
kemarahan merupakan pembuangan kekuatan batin yang amat besar, merupakan
penghamburan energi yang sungguh sia-sia. Orang yang melampiaskan kemarahan
melalui kata-kata keras atau tindakan-tindakan kekerasan, tentu akan merasa
betapa sesudahnya dia akan kehabisan tenaga, lemas lahir batin.
Oleh karena
itu, orang yang mampu menghadapi nafsu-nafsu yang muncul seperti nafsu amarah,
tanpa menghamburkan kekuatan dahsyat itu melalui pelampiasan, berarti akan
menyimpan kekuatan batin yang kuat. Bukan mengendalikan kemarahan, melainkan
menghadapinya dan memandangnya dengan wajar dan waspada dan sadar, tidak
dikuasai olehnya. Pengendalian kemarahan hanya akan meredakan nafsu itu untuk
sementara waktu saja.
Ji-ok telah
dikuasai nafsu kemarahan sendiri, dan kemarahannya ini semakin melonjak saja
ketika ia mendapatkan kenyataan betapa ia tidak mampu mengalahkan lawan yang
dianggapnya masih bocah ingusan ini, betapa pun ia telah mengerahkan seluruh
tenaga dan memeras seluruh kepandaiannya. Bahkan sebaliknya, serangan-serangan
balasan dari suling emas itu sungguh membuat ia kadang-kadang terkejut dan
beberapa kali nyaris terkena totokan ujung suling emas.
Lebih dari
itu pula, setelah lewat puluhan jurus, suling emas itu selain mengeluarkan
serangan yang sangat berbahaya, juga mengeluarkan suara melengking tinggi
rendah bagaikan ditiup mulut yang tidak nampak, dan di dalam suara ini
terkandung tenaga khikang yang teramat kuat, membuat kepalanya pening dan
pengumpulan tenaganya kadang-kadang membuyar!
Ji-ok yang
biasanya amat yakin akan kemampuan sendiri, yang biasanya memandang rendah
kepada pihak lawan, sekali ini merasa penasaran bukan main dan hal ini lalu
mendorong kemarahannya menjadi semakin memuncak sampai napasnya terengah engah
dan dari atas kepala yang penuh rambut putih itu mengepul uap putih yang tebal!
“Mampuslah
engkau! Haiiittt....!”
Tiba-tiba
nenek itu merendahkan dirinya untuk membiarkan suling itu meluncur lewat,
kemudian kakinya mengirim tendangan kilat ke arah dada Ci Sian. Bukan sembarang
tendangan karena tendangan itu dilakukan sambil meloncat dan merupakan
tendangan berantai, dilakukan oleh kaki bersepatu yang dilapisi besi meruncing
itu. Bertubi-tubi kedua kaki itu menendang, dan setiap kaki dapat melakukan
tendangan berantai sampai tiga empat kali mengarah bagian-bagian berbahaya dari
tubuh lawan!
“Tak-tuk-tak-tuk!”
Terdengar
suara pada saat Ci Sian mengelak dan menangkis dengan sulingnya sampai akhirnya
nenek itu terpaksa menghentikan serangan tendangan berantai yang selain tak
berhasil, juga membuat kedua kaki yang terbungkus sepatu itu terasa nyeri
bertemu dengan suling emas. Akan tetapi masih dua kali lagi ia menendang dan
sekali ini, dari pinggiran ujung sepatunya menyambar sinar kecil-kecil merah ke
arah tubuh Ci Sian!
“Tring-tring-tring....!”
Paku-paku
berwarna merah yang mengandung racun itu runtuh semua ketika tertangkis suling
dan dengan marah Ci Sian memutar sulingnya, menggunakan jurus yang ampuh dari
Kim-siauw Kiam-sut untuk balas menyerang. Gulungan sinar keemasan dari suling
itu menghimpit dan nenek itu terpaksa berloncatan mundur karena terdesak oleh
serangan suling berubi-tubi yang mengeluarkan bunyi melengking tinggi itu.
Untuk
menghindarkan diri dari serangan suling bertubi-tubi yang sinarnya menggulung
dirinya itu, terpaksa Ji-ok harus melempar tubuhnya ke belakang, ke atas tanah
lalu ia bergulingan sampai jauh. Ketika Ci Sian yang melihat lawan bergulingan
menjauhi ini mengejar dengan serangan sulingnya, dengan hati girang karena
lawan memperlihatkan kelemahannya, tiba-tiba saja Ji-ok melakukan penyerangan
dari bawah, menggunakan ilmunya yang ampuh, yaitu Kiam-ci (Jari Pedang).
Telunjuknya menusuk atau menotok, mengeluarkan suara bercicitan seperti tikus
terjepit dan dari telunjuk tangannya itu keluarlah sinar berkilat yang
mengandung hawa dingin sekali!
Melihat telunjuk
lawan menuju ke arah tenggorokannya, dan merasakan hawa dingin yang menyambar,
Ci Sian kemudian menggerakkan tangan kirinya menangkis sambil mengerahkan
Hwi-yang Sinkang atau sinkang yang mengandung hawa panas yang pernah dilatihnya
dari Pendekar Pulau Es Suma Kian Bu.
“Tasssss....!”
Pertemuan
dua tenaga yang saling bertentangan itu merupakan benturan keras lawan keras
hingga akibatnya keduanya terdorong ke belakang. Ji-ok merasa betapa seluruh
lengannya tergetar dan panas sekali, sebaliknya Ci Sian cepat mengerahkan
sinkang untuk melawan hawa dingin yang menyusup ke tubuh melalui tangan yang
menangkis tadi.
Betapa pun,
girang juga hati Ji-ok melihat betapa ilmunya yang hebat itu sempat membuat
lawan tangguh ini terhuyung, maka ia pun sudah meloncat ke depan lagi sambil
menyerang dengan ilmu Kiam-ci secara dahsyat dan bertubi-tubi.
Menghadapi
serangan aneh dan amat berbahaya ini, Ci Sian cepat menggerakkan dan memutar
sulingnya dengan tangan kanan, dan tangan kirinya membantu, bukan hanya untuk
menangkis, melainkan juga untuk menyerang dengan pukulan-pukulan jarak jauh
untuk mengimbangi serangan lawan. Tentu saja ia sudah mempergunakan tenaga
gabungan Im dan Yang dari Pulau Es yang pernah diajarkan Suma Kian Bu
kepadanya.
Kini
pertandingan itu berjalan lebih seru, tetapi juga aneh karena jarak antara
mereka agak jauh dan agaknya kedua tangan mereka tidak pernah saling menyentuh,
namun di antara dua orang wanita ini menyambar-nyambar hawa pukulan yang
mengeluarkan bunyi bercicitan dan juga terasa betapa angin pukulan yang
kadang-kadang dingin bukan main, kadang-kadang panas, menyambar-nyambar ke
semua jurusan.
Hebat memang
perkelahian itu dan semua orang yang menonton menjadi kagum luar biasa.
Terutama Kam Hong, pendekar ini bangga bukan main. Sumoi-nya itu, setelah
memiliki sinkang gabungan dari Pulau Es, benar-benar menjadi seorang wanita
yang sangat hebat!
Adu pukulan
jarak jauh itu berlangsung sampai seratus jurus, dan keduanya mulai lelah
karena perkelahian macam ini membutuhkan pengerahan sinkang yang terus menerus
dan siapa lengah tentu akan celaka. Dan hal ini pun menguntungkan Ci Sian. Dara
ini masih muda sekali, tentu saja memiliki daya tahan yang jauh lebih kuat
dibandingkan lawannya yang mulai terengah-engah dan uap yang mengepul dari
kepala itu kini makin tebal saja, dan nampak keringat menetes-netes dari balik
kedok tengkorak, juga di leher nenek itu nampak keringat membasahi kulit dan
baju.
Memang tidak
dapat disangkal pula bahwa Ci Sian juga sudah merasa lelah, dadanya
bergelombang, pernapasannya mulai terdengar, dan dahi serta lehernya nampak
basah. Namun, dibandingkan dengan lawannya, ia masih lebih segar.
Tentu saja
Ji-ok menjadi semakin penasaran dan marah, sungguh pun kemarahannya itu mulai
bercampur dengan kekhawatiran. Sungguh tidak disangkanya, lawannya yang masih
amat muda ini ternyata benar-benar lihai bukan main, bukan saja memiliki ilmu
silat yang amat tinggi dengan suling emasnya, juga ternyata memiliki tenaga
sinkang yang hebat sekali di samping tenaga khikang yang membuat sulingnya
dapat bersuara melengking tinggi menggetarkan jantung.
Maka nenek
ini pun mengambil keputusan bulat untuk mengeluarkan ilmunya yang paling ampuh,
yang merupakan senjata rahasianya yang selama ini bahkan belum pernah
dikeluarkannya menghadapi lawan-lawan tangguh. Pada waktu itu, Ci Sian yang
melihat betapa lawannya sudah nampak lelah sekali, memutar sulingnya dan
melakukan desakan hebat sehingga Ji-ok terpaksa hanya main mundur dan mengelak
ke sana sini. Tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya seperti orang hendak lari.
Tentu saja
Ci Sian tidak membiarkan lawannya melarikan diri dan ia pun cepat meloncat
mengejar. Dan pada saat itu pula, tiba-tiba Ji-ok membalikkan tubuh lagi dan
kedua tangannya menyerang dengan jurus Kiam-ci yang mengeluarkan suara
bercuitan. Dan bukan hanya tusukan-tusukan jari yang dahsyat ini saja yang
menyambar ke arah Ci Sian, akan tetapi juga didahului oleh dua sinar hitam yang
menyambar dan tahu-tahu dua sinar itu telah mengenai leher dan juga pinggang Ci
Sian.
Semua orang
terkejut sekali melihat dua sinar ini adalah dua ekor ular yang sangat
berbahaya. Semacam ular cobra yang jahat dan beracun sekali! Ular-ular cobra
itu sudah melingkari leher dan pinggang Ci Sian dan semua orang tahu bahwa
sekali saja terkena gigitan ular seperti ini, maka tidak ada obat di dunia ini
yang akan dapat menyelamatkan nyawa orang yang digigitnya.
Hanya Kam
Hong yang masih nampak tenang-tenang saja, padahal Cin Liong dan Hong Bu sudah
menahan seruan dan wajah kedua orang muda ini sudah menjadi pucat sekali. Juga
Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan Cu Pek In memandang dengan mata terbelalak, walau pun
Yu Hwi juga segera tersenyum karena ia teringat bahwa Ci Sian akan mampu
menghadapi ular-ular itu.
Dugaannya
memang benar dan hal ini pun diketahui oleh Kam Hong maka pendekar ini nampak
tenang saja. Ci Sian adalah murid terkasih dari See-thian Coa-ong, raja ular
yang memiliki ilmu pawang ular yang lihai bukan main. Gadis ini selain telah
menguasai Sin-coa Thian-te-ciang, ilmu silat ular yang lihai, juga telah
menguasai ilmu pawang ular.
Maka begitu
ia tadi melihat bahwa senjata rahasia lawannya adalah dua ekor ular cobra,
diam-diam ia tertawa dan segera mengerahkan ilmu menundukkan ular itu.
Hebatnya, begitu ular-ular itu mengenai leher dan pinggangnya, dua ekor ular
yang segera mengenal ilmu itu dan tahu bahwa manusia ini adalah ‘ratu’ mereka,
sama sekali tidak menggigit malah lalu melingkar dengan manja!
Yu Hwi
maklum bahwa Ci Sian pernah menjadi murid See-thian Coa-ong, dan Kam Hong juga
tahu akan hal ini, maka mereka berdua tidak merasa khawatir. Akan tetapi,
tiba-tiba Ci Sian mengeluarkan teriakan nyaring dan roboh terjengkang! Kam Hong
sendiri sampai terkejut setengah mati melihat hal yang tidak diduga-duganya
ini.
Ji-ok
terkekeh girang, lalu menubruk untuk memberi pukulan maut terakhir. Akan
tetapi, mendadak kedua tangan Ci Sian bergerak dan dua ekor ular itu kini
meluncur ke arah tubuh Ji-ok yang sedang menubruk, dengan mulut mendesis penuh
kemarahan! Ji-ok terkejut, namun tidak mampu mengelak lagi dan dua ekor ular
itu telah mengenai pundak kanan dan paha kirinya, terus saja dua ekor ular cobra
itu mematuk dan menggigit! Ji-ok menjerit ngeri, lalu terpelanting.
Ci Sian juga
sudah melompat bangun, sulingnya menotok ke arah tenggorokan wanita itu. Ji-ok
mengelak dan suling itu mengenai topengnya. Terdengar suara keras dan topeng
itu terlepas dari muka Ji-ok. Dan semua orang pun menahan seruan kaget dan
ngeri ketika melihat muka nenek itu.
Muka yang
cantik sesungguhnya, biar pun sudah tua akan tetapi kulit muka itu masih halus
dan putih. Bentuk mulutnya, hidungnya, matanya, semua jelas menunjukkan bahwa
muka itu dahulu adalah wajah seorang wanita yang amat cantik. Akan tetapi,
sungguh mengerikan sekali, wajah yang demikian eloknya itu ternoda oleh goresan
bersilang dari atas kiri ke bawah kanan dan dari atas kanan ke bawah kiri
sehingga membuat muka itu nampak mengerikan sekali! Sekarang semua orang baru
tahu bahwa di balik topeng tengkorak itu tersembunyi wajah cantik yang sudah
cacad.
Tentu saja
Ji-ok yang mempunyai senjata rahasia ular cobra yang amat berbahaya telah
menggunakan obat sehingga tubuhnya kebal terhadap gigitan ular-ular itu, dan
biar pun tadi dua ekor ular yang telah dikuasai oleh ilmu Ci Sian itu membalik
dan menggigit majikan sendiri, namun Ji-ok tidak terancam bahaya maut oleh
gigitan itu. Yang membuatnya terkejut bukan main adalah terlepasnya kedok. Ia
marah sekali dan menubruk ke arah Ci Sian tanpa mempedulikan lagi keselamatan
dirinya, sama sekali tidak lagi memperhatikan daya tahan untuk melindungi
dirinya. Ia seperti orang nekad yang hendak mengadu nyawa dengan lawannya.
Dan memang
sesungguhnya demikianlah. Wanita ini ketika mula-mula memakai kedok tengkorak,
telah bersumpah bahwa tidak ada orang lain yang boleh melihat wajahnya dan
kalau sampai wajahnya nampak oleh orang lain berarti ia akan mati! Maka, begitu
kedoknya terlepas oleh pukulan suling lawan, ia pun menjadi marah dan melakukan
serangan nekad, menubruk dengan jari-jari tangan terbuka seperti cakar garuda,
dengan kuku panjang yang mengandung tenaga dahsyat dari Kiam-ci itu.
Tentu saja
Ci Sian dapat melihat kenekadan lawan, maka ia pun cepat meloncat ke samping
dan melihat betapa tubuh orang terbuka tanpa perlindungan, sulingnya sudah
menyambar, merupakan sinar kuning emas yang meluncur cepat.
“Takkk....!
Aihhhh....!”
Ji-ok
mengeluarkan jeritan satu kali lalu tubuhnya terguling dan jatuh menelungkup di
atas tanah, tewas seketika karena dua kali tubuhnya tertotok ujung suling,
pertama kali pada lambungnya lalu disusul totokan pada leher bawah telinganya.
Bukan main
sedihnya hati Toa-ok melihat tewasnya Ji-ok dan Sam-ok di depan matanya tanpa
ia mampu melindungi mereka itu. Kini tinggal dia seorang diri di dunia. Im-kan
Ngo-ok yang terdiri dari lima orang itu kini tinggal dia seorang saja. Su-ok
dan Ngo-ok telah tewas lebih dulu dan kini menyusul Sam-ok dan Ji-ok. Biar pun
Toa-ok merupakan seorang datuk kaum sesat yang biasa berhati kejam sekali, akan
tetapi sekali ini dia merasa betapa hatinya perih dan nyeri.
Dengan muka
berubah merah dia sudah melompat ke depan. Ketika dia menggerakkan tangannya,
lengan bajunya berkibar dan dari situ menyambar angin dahsyat ke depan, membuat
debu mengebul dan daun-daun kering beterbangan. Akan tetapi Ci Sian yang merasa
lelah dan juga girang karena telah berhasil keluar sebagai pemenang, kini telah
meloncat ke belakang dan tidak mau melayani Toa-ok yang memandang kepadanya
dengan mata terbelalak dan bersinar-sinar penuh kemarahan dan dendam.
Tanpa
membuang waktu lagi, Sim Hong Bu melangkah maju sambil berkata kepada Kam Hong,
“Biar aku yang melayaninya.”
Kam Hong
mengangguk. “Hati-hatilah, Saudara Hong Bu, lawanmu itu cukup tangguh.”
Melihat
majunya pemuda tegap sederhana yang sikapnya gagah ini, Toa-ok segera
menghadapinya dan sepasang matanya yang masih terbelalak penuh kemarahan itu
seperti hendak menelan Hong Bu bulat-bulat. Dia mengenal pemuda ini, bahkan dia
tahu pula bahwa pemuda inilah yang dahulu bersahabat dengan Yeti. Mengingat
bahwa pemuda ini baru beberapa tahun saja mempelajari ilmu silat, tentu saja
Toa-ok yakin bahwa dia akan mampu mengalahkan pemuda ini, walau pun dia sama
sekali tidak mau bersikap sembrono dan memandang rendah.
Tadi sudah
disaksikannya betapa orang-orang muda seperti Kao Cin Liong dan Bu Ci Sian
telah mampu merobohkan dan menewaskan Sam-ok dan Ji-ok. Dia sekarang harus
dapat membalas kematian dua orang adik-adiknya itu. Akan tetapi ketika Hong Bu
mencabut pedang Koai-liong Po-kiam dan nampak sinar biru berkelebat, Toa-ok
merasa gentar juga. Bagaimana pun juga, pemuda ini sudah pernah membuktikan
kelihaiannya ketika dikeroyok dan dapat juga melarikan diri. Pedang di tangan
pemuda itu adalah sebatang pedang yang amat ampuh, dan juga ilmu pedang yang
dimiliki pemuda ini luar biasa aneh dan lihainya, maka Toa-ok bersikap
hati-hati.
Di antara
kelima orang Im-kan Ngo-ok, hanya Toa-ok sajalah yang tidak pernah mau
mempergunakan senjata. Tentu saja, sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi, dia
pandai memainkan segala macam senjata yang dipergunakan orang di dunia
persilatan. Tetapi, tokoh ini memiliki tingkat yang tinggi dan tenaga sinkang
yang kuat sekali sehingga dia tidak lagi membutuhkan bantuan senjata. Kedua
lengannya yang panjang dan besar itu telah dilindungi oleh kekuatan sinkang dan
dapat menahan senjata tajam yang bagai mana pun kuatnya. Setiap serangan tangan
atau kakinya juga lebih berbahaya dari pada senjata tajam.
Setelah
melihat pemuda pewaris Koai-liong Po-kiam itu mencabut pedangnya, Toa-ok juga
tidak mau banyak cakap lagi. Sambil mengeluarkan suara menggereng seperti
seekor monyet raksasa, kakek ini pun lalu mulai membuka serangannya.
Gerakannya
biasa saja, seperti bukan gerakan silat, juga nampak kaku dan dia hanya
mengembangkan kedua lengannya ke depan dan kedua tangannya itu menyambar dari
atas, kanan dan kiri, akan tetapi, biar pun nampak kaku dan lamban, namun dari
kedua tangannya itu menyambar angin pukulan yang dahsyat sekali, yang
mengeluarkan suara angin keras.
Dan baru
saja kakek itu mulai dengan serangannya, Hong Bu sudah merasakan sambaran hawa
pukulan yang amat panas. Maka pemuda ini pun lalu memutar pedangnya dan selain
mengelak serta melindungi diri dengan gulungan sinar pedang kebiruan, juga dia
membalas secara kontan dengan tusukan pedangnya ke arah perut lawan yang agak
gendut itu.
“Trakkk!”
Toa-ok
menangkis dengan lengannya, sengaja menangkis sambil mengerahkan tenaga,
mencoba membuat pedang lawan terpental, bahkan tangkisan itu disambung dengan
cengkeraman untuk merampas pedang. Ketika lengan bertemu pedang, Hong Bu merasa
betapa pedangnya tergetar hebat, akan tetapi dia pun cepat menarik pedangnya
itu dan gulungan sinar pedang kembali berkelebat dan sudah membabat ke arah
leher lawan. Ketika Toa-ok mengelak, pedang itu sudah menyambar lagi dengan
dahsyatnya, seolah-olah mempunyai nyawa dan setiap serangan yang tidak mengenai
sasaran disambung dengan serangan berikutnya.
Terjadilah
perkelahian yang sama serunya dengan dua pertandingan yang terdahulu. Bahkan
lebih menegangkan lagi karena para pendekar itu maklum bahwa kepandaian Toa-ok
ini masih lebih lihai dibandingkan dengan Ji-ok atau Sam-ok. Sekali ini, yang
paling khawatir adalah Cu Pek In. Dara ini biar pun merupakan puteri dari
pendekar sakti keluarga Cu, namun tingkat kepandaiannya belumlah setinggi Hong
Bu, maka ia hanya dapat menonton dengan hati gelisah. Ia pun tahu betapa
lihainya kakek yang seperti gorila itu dan biar pun gerakan kakek itu kaku dan
aneh seperti gerakan seekor monyet raksasa, namun ia mengerti bahwa kalau tidak
lihai bukan main, tidak nanti kakek yang mukanya menyerupai monyet ini dapat
menjadi orang pertama dari Im-kan Ngo-ok!
Sim Hong Bu
maklum akan hal ini, maka dia pun tidak berani memandang rendah dan kini pemuda
itu mulai memainkan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang amat hebat itu.
Perlahan-lahan nampak sinar pedang berwarna biru begulung-gulung, makin lama
makin cepat dan makin lebar. Mula-mula hanya terdengar bunyi berdesing, lalu
bunyi itu makin meninggi menjadi lengking yang aneh, seperti auman singa, makin
lama makin nyaring sampai menggetarkan anak telinga.
Pedang itu
lenyap membentuk gulungan sinar biru yang agaknya memenuhi tempat itu,
membungkus tubuh Sim Hong Bu sehingga yang nampak pada diri pendekar muda
perkasa ini hanya kedua kakinya yang kadang-kadang turun ke atas tanah, akan
tetapi sebentar saja sudah lenyap lagi.
“Hyaaaattt....!”
Tiba-tiba
terdengar teriakan Hong Bu di antara lengking suara pedangnya, dan dengan
gerakan kilat sinar biru menyambar ke arah leher Toa-ok. Jurus ini amat
hebatnya, tusukan pedang itu bergetar, membuat ujung sinar pedang itu menjadi
banyak dan membingungkan lawan karena sukar untuk menduga ke arah mana pedang
itu akan menyerang.
Akan tetapi,
Toa-ok yang juga berkelahi dengan amat hati-hati itu tahu bahwa lehernya yang
menjadi sasaran utama, maka dia pun sudah miringkan tubuh menarik kepalanya ke
belakang dan kedua lengannya membuat gerakan menggunting dalam usahanya
menangkap pedang lawan. Tapi Hong Bu menarik sedikit pedangnya dan menggunakan
ujung pedang untuk menusuk ke arah sambungan siku kanan Toa-ok.
“Hemmm!”
Toa-ok mendengus, menarik sikunya turun dan tangan kirinya menangkis pedang sedangkan
tangan kanan sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Sim Hong Bu.
Pemuda ini
tentu saja tahu akan datangnya bahaya maut, maka sambil menarik pedangnya dia
melompat ke belakang. Akan tetapi, alangkah terkejut hati pemuda itu ketika
melihat betapa tangan yang besar berbulu seperti tangan monyet itu masih terus
saja mengejar kepalanya dan mengancam dengan cengkeraman yang mengerikan.
Kiranya orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini mempunyai ilmu memanjangkan lengan
tangan sehingga biar pun Hong Bu sudah mundur sampai dua meter, lengan itu
masih dapat menjangkaunya dan tangan itu masih meneruskan serangannya.
“Plakkk!”
Terpaksa
Hong Bu menangkis dengan lengan kirinya yang kebetulan berada dalam posisi yang
baik untuk menangkis sedangkan pedangnya tidak sempat melindungi dirinya. Dan
tangkisan ini membuat Hong Bu terhuyung. Diam-diam pemuda ini merasa kagum dan
juga kaget. Nyaris dia menjadi korban ilmu aneh memanjangkan lengan itu! Maka
dia pun cepat menyusuli tangkisannya dengan babatan pedangnya ke arah sambungan
siku lengan yang memanjang itu.
“Wwuuuuttt....!”
Tiba-tiba
saja lengan yang panjangnya lebih dari dua meter itu menjadi pendek kembali
seolah-olah ditarik dengan amat cepatnya dan kini kakek raksasa seperti monyet
itu sudah memutar tubuhnya dan kedua kakinya sudah melakukan serangan Im-yang
Soan-hong-twi (Ilmu Tendangan Angin Puyuh Im dan Yang). Kedua kaki yang besar
dan panjang itu dengan amat cepatnya berputar-putar silih berganti melakukan
tendangan berantai dan ketika Hong Bu mengelak dan beberapa kali menangkis, dia
memperoleh kenyataan bahwa tendangan itu selang-seling dengan dua macam tenaga
lemas dan kasar.
Menghadapi
tendangan berantai yang ganas ini, Hong Bu lantas memutar pedangnya dengan
jurus Naga Sakti Bercanda Dengan Mustika. Pedang itu berputar membentuk
lingkaran sinar biru di depannya, merupakan benteng yang berbahaya bagi kedua
kaki Toa-ok yang terpaksa menghentikan tendangan berantai itu karena terdapat
bahaya kakinya akan menjadi buntung kalau berani memasuki lingkaran sinar biru
itu.
Setelah kini
Hong Bu mainkan Koai-liong Kiam-sut, mengeluarkan jurus-jurus pilihan saja
sehingga pedangnya mengeluarkan suara mengaum-aum nyaring, perlahan-lahan
Toa-ok nampak repot juga, terdesak karena memang ilmu pedang ini luar biasa
sekali dan dia belum dapat mengenal dasar-dasarnya.
“Arrrghhh....!”
Bentakan yang keluar dari kerongkongan Toa-ok ini mirip benar dengan gerengan
seekor monyet yang sedang marah, dan tiba-tiba saja tangan kiri kakek itu dapat
menangkap pedang Koai-liong Po-kiam!
Dapat
dibayangkan betapa lihainya kakek ini yang telah dapat menangkap pedang
telanjang dengan tangan kosong, padahal pedang itu tadi berubah menjadi sinar
berkelebatan. Hong Bu terkejut, merasa betapa pedangnya seperti terjepit pada
sebuah jepitan baja yang amat kuat! Dia menarik dan membetot, tidak dapat ditarik
kembali.
Dan pada
saat itu, Toa-ok telah menghantamkan tangan kanannya yang terbuka lebar itu ke
arah dada Hong Bu dengan dorongan tenaga sinkang yang amat kuatnya! Karena
pedangnya masih terjepit di tangan lawan, tentu saja Hong Bu tidak mau mengelak
dan melepaskan pedang. Dia tahu bahwa kalau dia kehilangan pedang pusaka itu,
maka dia akan menjadi bagaikan harimau yang dicabuti giginya, dan jalan
satu-satunya untuk menghadapi pukulan telapak tangan lawan itu hanya dengan
keras melawan keras. Maka dia pun cepat menggerakkan tangan kirinya, menerima
hantaman itu dengan memapaki tangan dengan tangan pula.
“Dessss....!”
Dua telapak
tangan bertemu, dan telapak tangan kakek itu dua kali lebih lebar dari pada
telapak tangan Hong Bu. Akan tetapi pendekar muda ini pun tadi sudah
menggunakan sinkang sekuatnya sehingga ketika dua telapak tangan bertemu, kedua
tangan itu seperti saling melekat, tidak dapat ditarlk kembali karena siapa
yang menarik lebih dulu, akan menghadapi bahaya maut karena lawan tentu langsung
menyerangnya.
Maka kini
keduanya berkutetan, sebelah tangan saling menarik pedang untuk merampasnya,
sebelah tangan yang lain saling dorong mengadu kekuatan sinkang! Keadaan amat
menegangkan, bahkan Cin Liong sudah mengepal-ngepal tinjunya, ragu-ragu apakah
pemuda itu akan mampu menandingi Toa-ok dalam adu tenaga ini.
Memang Hong
Bu mulai terdesak dalam adu tenaga ini. Bagaimana pun juga inti ilmu yang
diwarisinya adalah ilmu pedang dan kini setelah pedangnya tertangkap dan dia
tidak lagi mampu mempergunakan ilmu pedangnya, maka tentu saja kelihaian Hong
Bu seperti mati langkah, dan dalam hal tenaga sinkang, dia masih kalah oleh
orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu!
Kalau
dilanjutkan adu tenaga itu, tentu Hong Bu akan kalah dan Kam Hong sudah
bersiap-siap untuk menyelamatkan sahabatnya itu, bukan untuk mengeroyok namun
untuk menyelamatkan sahabatnya dan tentu saja mengaku kalah. Kekalahan di
pihaknya berarti harus membiarkan yang menang untuk pergi dengan aman!
Sedangkan orang seperti Toa-ok itu amatlah berbahaya kalau dibiarkan
berkeliaran di dunia ini.
Akan tetapi,
mendadak saja Toa-ok yang seperti juga Hong Bu tidak mampu lagi mempergunakan
kedua tangan itu, menggerakkan kepalanya dan mulut yang agak lonjong ke depan
seperti monyong monyet itu, dengan giginya yang besar-besar dan bersiung,
dibuka dan hendak menggigit ke arah tenggorokan Hong Bu!
Semua orang
terkejut sekali melihat ini, bahkan Hong Bu sendiri juga kaget. Tidak
disangkanya bahwa seorang tokoh persilatan yang begitu tinggi kedudukannya, seorang
datuk seperti Toa-ok, mau mempergunakan cara yang hanya dilakukan binatang buas
dalam perkelahian, yaitu menggigit! Betapa pun aneh dan lucunya hal ini, namun
harus diakui bahwa serangan menggunakan mulut untuk menggigit tenggorokan ini
amat berbahaya.
Tentu saja
Hong Bu tak lagi bisa mengelak. Tangan kanannya masih mempertahankan pedang
pusaka yang hendak dirampas, dan tangan kirinya masih menahan telapak tangan
Toa-ok. Dua tangannya tak dapat dipakai untuk menangkis, dan untuk mengelak ke
belakang pun tidak mungkin.
Akan tetapi,
pemuda ini teringat bahwa dahulu, sebelum dia menjadi murid pendekar sakti
keluarga Cu, dia pernah mempelajari ilmu silat tingkat rendahan dari ayahnya
dan para pamannya. Dan di dalam latihan-latihan ketangkasan dan latihan tenaga
ini ada semacam latihan yang pernah dilatihnya, bahkan telah dikuasainya dengan
baik, yaitu melatih kepalanya, terutama bagian dahi untuk menyerang! Dengan
latihan yang tekun, di waktu dia masih kecil saja dia sudah mempunyai batok
kepala yang kuat dan dengan dahi kepalanya dia sudah mampu menghancurkan batu
bata yang keras.
Kini,
kepandaian ini timbul dalam benaknya ketika dia menghadapi bahaya. Kekuatan
kepalanya yang hanya berkat latihan dan dilandasi kekuatan otot dan kekerasan
tulang kepala yang dilatih itu tentu saja tidak akan berguna, bahkan berbahaya
kalau dilawan oleh tenaga sinkang lawan, maka dia pun tidak pernah mau
menggunakan kepalanya dalam pertempuran.
Akan tetapi
sekali ini dia menghadapi gigi! Dan tidak terdapat jalan lain untuk
menyelamatkan tenggorokanhya dari ancaman gigi yang besar-besar dan runcing
itu. Maka, dengan cepat Hong Bu juga menggerakkan kepalanya, menyambut mulut
lawan yang dimoncongkan untuk menggigitnya itu dengan benturan yang dilakukan
dengan sekuat tenaga.
“Bresss....!”
Bukan main
hebatnya pertemuan antara mulut dengan dahi itu dan terdengar Toa-ok berteriak
keras sambil meloncat ke belakang. Mulutnya berdarah dan ternyata giginya
rontok dan bibirnya pecah-pecah berdarah. Gigi orang yang sudah tua ini, yang
hanya tinggal beberapa potong dan itu pun sudah kurang kuat, tidak dapat
bertahan ketika bertemu dengan dahi yang terlatih dan kuat itu!
Toa-ok
menjadi marah sekali. Bukan hanya dia telah dibikin rugi, kehilangan semua sisa
giginya dan bibirnya berdarah, tetapi juga dia telah mendapat malu karena
keadaannya itu sama saja artinya dengan dia menderita kekalahan. Sambil
menggereng, dia pun lalu menerjang maju dan angin yang keras mendahului
terjangannya ini. Kedua lengannya dipentang lebar-lebar ke atas, seperti seekor
orang hutan raksasa sedang marah dan menyerang, dari tenggorokannya keluar
gerengan yang menggetarkan jantung.
Akan tetapi,
Hong Bu sudah siap menanti kemarahan lawan ini, pedangnya berkelebat ke depan
dan pada saat kedua tangan dari atas itu menerkam, Hong Bu menyelinap di bawah
ketiak kanan lawan sambil membalik dan pedangnya menusuk lambung.
“Crotttt!”
Biar pun
pedang itu tidak dapat memasuki lambung yang penuh dengan hawa sinkang yang
kuat itu, namun tetap saja baju kakek itu di bagian lambung terobek, berikut
kulit lambung dan sedikit dagingnya, cukup untuk membuat darahnya mengucur dari
tempat itu. Sedangkan Hong Bu sudah meloncat menjauh.
Kembali
kakek yang semakin marah itu menerjang, dan sekali lagi Hong Bu mengelak sambil
menyerang, sekali ini pedangnya berhasil menggores pipi dan leher lawan yang
menjadi robek kulitnya dan berdarah. Dan ketika kakek itu membalik, lawannya
yang lincah itu sudah menjauh pula. Hong Bu kini memperoleh akal, mempergunakan
siasat seperti seekor lebah menyengat lalu terbang menjauh, menyengat lagi dan
menjauh lagi. Dan dia pun tahu di mana letak kelemahan lawannya atau di mana
dia dapat mengungguli lawan, yaitu pada kecepatan gerakan.
Mengandalkan
kecepatannya ini, dan mengandalkan pedang Koai-liong Po-kiam yang amat tajam,
maka mulailah Hong Bu dapat mengacau lawan, bahkan kini sengatan pedangnya
semakin cepat dan semakin sering sehingga lewat tiga puluh jurus saja, baju
yang menutupi tubuh Toa-ok sudah robek-robek di sana-sini dan pada setiap
tempat yang terobek itu tentu ternoda darah.
Toa-ok
merasa penasaran sekali, dia pun sudah mengerahkan tenaga dan kecepatannya,
namun pemuda itu terlalu lincah baginya, dan ilmu pedang pemuda itu masih belum
juga dapat dia pecahkan rahasia dasarnya sehingga dia selalu dibuat bingung,
tidak dapat mengikuti ke mana arah perkembangan sinar pedang yang cepat itu.
Toa-ok
benar-benar merasa kewalahan sekarang. Kalau tadinya, dengan sinkang-nya dia
masih dapat melindungi seluruh tubuh sehingga sengatan-sengatan ujung pedang
itu hanya mendatangkan luka kulit daging yang kecil dan dangkal saja, makin
lama sengatan-sengatan itu makin dalam karena tenaga pemuda itu semakin
bertambah sedangkan tenaganya sendiri sudah menjadi makin lemah. Tubuh yang
mulai tua dan kurangnya latihan membuat dia terpaksa mengakui keunggulan lawan
yang masih muda itu.
Betapa pun
juga setelah lewat seratus jurus lebih, ketika untuk kesekian kalinya ujung
pedang pemuda itu menyengat dan mengenai paha kirinya, tiba-tiba dia membarengi
dengan hantaman kedua tangannya, dengan pengerahan tenaga yang masih bersisa,
tanpa mempedulikan sengatan pedang pada pahanya.
“Crott!
Desss....!”
Tubuh Hong
Bu terlempar dan terguling-guling sampai lima meter jauhnya, akan tetapi celana
di paha Toa-ok terobek dan darah muncrat dari lukanya yang cukup dalam karena
pedang itu menusuk sampai mengenai tulangnya! Rasa nyeri membuat Toa-ok
menggereng dan melihat pemuda itu bergulingan, dia pun menubruk ke depan tanpa
memberi kesempatan pemuda itu untuk bangun kembali.
Serangan ini
hebat bukan main dan Pek In sudah menjerit, akan tetapi Cu Kang Bu, juga Kam
Hong dan Ci Sian dapat melihat gerakan pemuda itu ketika menerima hantaman
dengan bahunya dan mereka bertiga menduga dengan penuh harapan bahwa Hong Bu
setengah sengaja membiarkan dirinya dihantam tadi.
“Wuuuttt....!”
Toa-ok menubruk seperti seekor singa kelaparan menubruk seekor domba saja.
“Crottt....!”
Pedang Koai-liong Po-kiam menembus lambung.
Hong Bu
cepat meloncat menyingkir dan terpaksa meninggalkan pedang yang terbenam di
lambung lawan itu karena kalau tidak, tentu dia terpaksa menerima cengkeraman
yang dahsyat sekali itu.
“Bressss....!”
Biar pun
Toa-ok sudah terluka hebat, pedang itu pun menembus lambung sampai ke belakang
tubuh, namun batu besar yang kena ditubruknya dan dicengkeramnya itu pecah
berhamburan. Debu mengepul tinggi dan bumi rasanya terguncang! Dia masih
bangkit, menggereng-gereng dan dengan kedua tangannya, dia memegang gagang
pedang pusaka itu dan mencabutnya.
Begitu
dicabut, darah muncrat-muncrat dan Toa-ok memutar-mutar pedang Koai-liong
Po-kiam yang berlepotan darah itu, menyerbu ke arah Hong Bu! Pemuda ini
terpaksa mengelak ke sana-sini dengan hati penuh kagum dan juga gentar melihat
lawan yang lambungnya sudah ditembusi pedang itu masih dapat mengamuk seperti
itu. Akan tetapi tiba-tiba serangan Toa-ok terhenti. Kakek itu berdiri kejang,
matanya terbelalak, lalu terpelanting dan roboh miring.
Dia masih
bangkit, menggereng-gereng dan dengan kedua tangannya, dia memegang gagang
pedang pusaka itu dan mencabutnya dengan pedang masih di tangan! Dia tewas
dalam keadaan penasaran dan pedang lawan masih digenggamnya, mukanya masih
memperlihatkan kebengisan. Dengan hati-hati Hong Bu menghampiri, khawatir
kalau-kalau orang jahat itu menjebaknya dan pura-pura pingsan atau mati. Akan
tetapi ternyata ketika dia merampas pedangnya, pedang itu dengan mudah
berpindah tangan dan dengan kakek itu terkulai lemas dan ketika diperiksa,
ternyata lawannya itu telah tewas.
Melihat ini,
para pasukan, seperti juga ketika tadi ketika menyambut kemenangan Cin Liong
dan kemudian Ci Sian, bersorak dan memuji. Tetapi sebaliknya Hek-i Mo-ong
memandang kepada mayat Toa-ok dengan mata pucat dan mata terbelalak. Tiga orang
pembantunya atau sekutunya telah tewas semua dan kini hanya tinggal dia seorang
diri! Kam Hong sudah melangkah maju dan memandangnya sambil tersenyum, akan
tetapi sinar matanya penuh tantangan.
“Hek-i
Mo-ong, kini tiba giliran kita untuk menentukan siapa di antara kita berdua
yang berhak untuk hidup!”
Akan tetapi
tiba-tiba kakek raksasa yang rambutnya sudah putih dan pakaiannya serba hitam
itu mengeluarkan suara menggeram parau yang aneh, akan tetapi suara ini
mengandung pengaruh yang amat berwibawa dan semua orang yang ada di situ
tergetar hatinya dan memandang dengan kaget dan gentar. Nampak sinar merah
ketika kakek itu sudah mengeluarkan sebatang kipas merah yang sudah
dikembangkan, matanya berapi-api memandang kepada Kam Hong, kemudian terdengar
suaranya yang parau menggetar.
“Orang she
Kam! Kau kira akan dapat melawanku? Ha-ha-ha-ha, lihat baik-baik, kalian semua,
ha-ha-ha-ha!”
Kam Hong
maklum bahwa kakek ini mempunyai kekuatan sihir, maka dia pun sudah siap dan
mengerahkan kekuatan batin untuk melawannya. Akan tetapi, tetap saja dia
terbelalak, seperti semua orang lain yang berada di situ, melihat betapa kakek
raksasa berjubah hitam itu tiba-tiba saja, perlahan-lahan, berubah menjadi besar
dan tinggi, sampai tiga meter tingginya dan suara ketawanya makin lama makin
nyaring bergema! Jenderal Muda Kao Cin Liong juga terkejut dan pemuda perkasa
ini maklum bahwa kakek yang pandai ilmu silat itu berbahaya sekali, maka dia
pun cepat memberi aba-aba kepada pasukan.
“Kepung
tempat ini, jangan biarkan iblis itu melarikan diri!”
Dengan panik
karena mereka merasa ketakutan, para penjaga keamanan itu segera melakukan
pengepungan. Sementara itu, Kam Hong sudah mencabut sulingnya dan terdengar
suara melengking lembut sekali ketika pemuda perkasa ini menyerang raksasa itu
dengan suling emasnya.
“Blarrrr....!”
Raksasa yang dihantamnya dengan suling itu seperti meledak dan lenyap dalam
asap hitam tebal.
“Ha-ha-ha-ha!”
Suara ketawa Hek-i Mo-ong kini terdengar di sebelah belakang Kam Hong.
Ci Sian juga
sudah mencabut sulingnya dan kembali terdengar suling melengking ketika gadis
ini pun menerjang maju, menyerang kakek itu yang berada di belakang Kam Hong.
Baru mereka tahu bahwa raksasa tinggi besar tadi hanyalah jadi-jadian saja,
hasil ilmu hitam kakek itu. Akan tetapi, terpaksa Ci Sian mundur lagi ketika
dari tempat dia berdiri, kakek itu sudah menggerakkan tangan ke arahnya dan
tiba-tiba saja terdengar ledakan di depan Ci Sian dan asap hitam menggelapkan
segalanya.
“Sian-moi,
hati-hati....!” Kam Hong berseru saat melihat dara itu terhuyung ke belakang.
Dia cepat
meloncat mendekati dan menyambar tangan dara itu. Akan tetapi Ci Sian tidak
terluka, hanya terkejut saja dan terhuyung karena terkejut oleh ledakan dan
asap. Suara ketawa itu masih terdengar terus, disusul dengan ledakan-ledakan
yang mengeluarkan asap hitam.
“Cegah dia
lari!” Kam Hong berseru.
Juga Hong Bu
bersama Ci Sian yang pernah melawan kakek ini dan melihat betapa kakek ini
dapat melarikan diri dengan bantuan asap-asap hitam, sudah cepat meloncat ke
sana-sini untuk mencari kakek itu dan mencegahnya melarikan diri.
Akan tetapi
ledakan-ledakan masih terus berbunyi dan asap semakin tebal. Di antara gumpalan
asap hitam itu, terdengar suara ketawa Hek-i Mo-ong, disusul suaranya yang
parau, “Biarlah sekali ini aku mengaku kalah. Tetapi tunggu saja kalau Hek-i
Mo-ong sudah mengumpulkan kembali kekuatannya. Ha-ha-ha!”
Suara ketawa
itu semakin jauh dan biar pun para pendekar, termasuk Cu Kang Bu dan Yu Hwi,
mencari dan mengejar, usaha mereka tidak berhasil dan setelah asap hitam bergumpal-gumpal
itu membuyar, kakek iblis itu pun sudah tidak nampak lagi dan tidak
meninggalkan jejak. Untuk kedua kalinya, dalam keadaan terdesak, kakek yang
memiliki ilmu iblis itu telah dapat meloloskan diri.
Kam Hong
menarik napas panjang. “Ahh, sukar memang menghadapi ilmu hitamnya. Dan selama
Hek-i Mo-ong masih berkeliaran dengan bebas dipermukaan bumi ini, tentu dia
hanya akan menyebar kejahatan belaka.”
“Betapa pun
juga, Kam-taihiap telah berhasil membasmi sisa dari Im-kan Ngo-ok dan ini
merupakan hasil gemilang,” kata Cin Liong.
“Kenapa aku?
Yang membasmi adalah termasuk engkau pula, Saudara Kao. Memang, kalau para
pendekar muda mau bersatu, kiranya orang-orang jahat akan menerima hajaran
keras dan mereka tidak akan berani merajalela secara semena-mena.”
Thio-ciangkun,
komandan pasukan itu, lalu mengerahkan pasukannya untuk membuat pembersihan,
mengangkut mayat-mayat dan menangkapi sebagian dari anak buah guru silat Koa
Cin Gu yang tadi melempar senjata dan menyerahkan diri.
Para
pendekar muda itu bercakap-cakap dan saling mengagumi kepandaian masing-masing.
Hati Kam Hong merasa girang dan juga kagum sekali kepada Sim Hong Bu dan Kao
Cin Liong. Biar pun dua orang pemuda itu belum lama berselang telah menderita
pukulan batin dengan penolakan Ci Sian atas pinangan mereka, namun kini sikap
mereka sama sekali tidak berubah, tidak memperlihatkan penyesalan atau
kekecewaan hati, seperti sikap seorang sahabat karib yang tidak pernah terjadi
sesuatu yang tidak baik di antara mereka.
Juga Cu Kang
Bu merasa kagum sekali pada mereka. Semenjak muda dia banyak bersembunyi di
lembah dan kini baru dia mengenal para pendekar yang benar-benar amat
mengagumkan hatinya dan diam-diam dia pun merasa betapa keluarganya, keluarga
Cu, selama ini merasa bahwa merekalah yang paling pandai sehingga mereka itu
menjadi agak angkuh dan memandang rendah orang lain. Kini, semua perasaan
penasaran terhadap Kao Cin Liong dan Kam Hong yang pernah dianggap musuh oleh
keluarganya itu, lenyap dari dalam hatinya.
Yu Hwi juga
girang sekali. Kini dengan terjadinya peristiwa itu, di mana mereka semua
berkumpul sebagai sahabat-sahabat baik yang saling bantu, ia dapat memandang
wajah Kam Hong, bekas tunangannya itu, dengan sinar mata terbuka, memandangnya
sebagai seorang sahabat baik yang berilmu tinggi dan tidak ada perasaan lain
yang tidak baik tersisa di dalam hatinya terhadap bekas tunangannya ini.
Bahkan Cu
Pek In sendiri pun berubah, dan dara ini pun mengagumi Cin Liong, Kam Hong, dan
Ci Sian, yang bagaimana pun juga telah menyelamatkan keluarganya, bahkan dengan
cara yang mati-matian, mengadu ilmu dengan tokoh-tokoh sesat yang amat lihai.
Kini,
mendengar akan pertunangan antara Sim Hong Bu dan Cu Pek In, Ci Sian adalah
orang pertama yang memberi hormat. “Kionghi (Selamat), kionghi atas pertalian
jodoh antara kalian Pek In dan Hong Bu!”
Cu Pek In
menjadi merah mukanya. Ia mengucapkan terima kasih sambil menundukkan mukanya.
Juga wajah Hong Bu menjadi merah sekali, tapi dia membalas penghormatan Ci Sian
dan berkata sambil tersenyum, “Terima kasih, Ci Sian. Kami pun mengharapkan
agar segera menerima undangan kartu merahmu!”
“Ha, tidak
perlu menanti lama. Tentu sebentar lagi Kam-taihiap akan mengirim kartu
merahnya!”
Mendengar
ini, Ci Sian mengerling kepada jenderal muda itu dan Kam Hong hanya tersenyum,
sedangkan Hong Bu diam-diam merasa kaget sekali, lalu dia mendekati Kam Hong
dan memegang tangan pendekar itu. “Ahhh, betapa buta mataku.... ehh, selamat,
Kam-taihiap, sungguh mati, berita ini merupakan berita yang sungguh amat
mengejutkan dan menggembirakan hatiku!”
Kam Hong
merasa tidak enak terhadap Cin Liong. Bekas tunangannya, Yu Hwi, telah
mendapatkan seorang suami yang gagah perkasa seperti Cu Kang Bu itu, dan Hong
Bu juga sudah memperoleh jodoh, yaitu Nona Cu Pek In yang cukup jelita dan
gagah, sedangkan dia sendiri saling mencinta dengan Ci Sian.
Akan tetapi,
hanya Kao Cin Liong seoranglah yang masih belum memperoleh ganti setelah dia
tidak berhasil berjodoh dengan Ci Sian. Agaknya semua orang juga merasakan hal
ini, maka Kam Hong lalu berkata, “Dan bagaimana denganmu sendiri, Jenderal?
Kapan kiranya kami semua akan dapat diperkenalkan kepada calon nyonya
Jenderal?”
Ucapan Kam
Hong ini, kalau orang lain yang mengucapkan, tentu merupakan kata-kata yang
mengandung bahaya, dapat disangkanya sebagai ejekan. Akan tetapi, cara Kam Hong
mengucapkannya, dan pandang matanya, sama sekali tidak mengandung ejekan,
melainkan merupakan kelakar yang mengandung kesungguhan. Wajah Cin Liong
menjadi merah, akan tetapi jenderal muda itu pun tertawa gembira.
“Ha-ha-ha,
kalian tunggu saja! Masa aku kalah oleh kalian? Lihat saja nanti, masa di dunia
ini tidak ada gadis yang mau menjadi sisihanku? Kalian semua pasti akan
menerima undanganku, dan mudah-mudahan tidak akan terlalu lama lagi.”
Setelah
bercakap-cakap dengan hati tulus dan dalam suasana gembira, akhirnya mereka
semua saling berpisah. Sim Hong Bu bersama Cu Pek In, Cu Kang Bu dan Yu Hwi
kembali ke barat, ke Lembah Naga Siluman di daerah Himalaya di mana mereka
segera pergi menghadap kepada Cu Han Bu dan Cu Seng Bu yang kini bertapa
mengasingkan diri, untuk membuat semua laporan. Juga Sim Hong Bu melaporkan
tentang tugas-tugas yang diberikan kepadanya oleh gurunya.
Mendengar
semua penuturan itu, Cu Han Bu menarik napas panjang.
“Kalau
pedang pusaka kita itu oleh Kaisar yang baru sudah direlakan kepada kita, tentu
saja hal itu baik sekali dan kita harus berterima kasih kepada Sri Baginda
Kaisar yang bijaksana. Dan bagaimana pun juga, engkau telah mengadu ilmu
melawan putera Naga Sakti Gurun Pasir, juga dengan pewaris Suling Emas,
sehingga dunia tidak akan memandang rendah kepada Pedang Pusaka Naga Siluman.”
Kemudian kakek ini lalu merundingkan tentang perjodohan puterinya dengan Hong
Bu yang akan dilakukan secepat mungkin dengan mengundang sahabat-sahabat baik
saja ke lembah.
Ada pun Kam
Hong dan Ci Sian, dua pewaris Ilmu Pedang Suling Emas, meninggalkan tempat itu
dan pergi menuju ke Puncak Bukit Nelayan, yaitu tempat yang indah di lereng
Tai-hang-san di tepi sungai itu, di mana mereka tinggal berdua dan untuk
mengesahkan pernikahan mereka, dua orang ini, atas bujukan Kam Hong, lalu pergi
menghadap keluarga Bu Seng Kin yang kini menetap di Cin-an.
Tentu Bu
Seng Kin merasa girang sekali melihat betapa puterinya mau menganggapnya sebagai
ayah dan dengan terharu dia pun memberi doa restunya, bahkan keluarga Bu ini
pula yang merayakan pernikahan ganda antara puterinya Bu Ci Sian dengan Kam
Hong, dan antara Siok Lan dengan Cia Han Beng.
Perayaan itu
meriah sekali, dikunjungi oleh para tokoh besar dunia kang-ouw, terutama sekali
para pendekar patriot. Kemudian, sebagai suami isteri, Kam Hong bersama Ci Sian
tinggal di puncak Bukit Nelayan, di istana kuno bekas tempat tinggal Sai-cu
Kai-ong Yu Kong Tek.
Bagaimana
dengan Kao Cin Liong, jenderal muda yang gagal dalam bercinta itu? Dia tidak
patah hati, bahkan dia merasa bergembira sekali melihat dara yang dicintanya
itu berjodoh dengan Kam Hong, seorang pendekar yang amat dikagumi.
Pendekar
muda putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir ini terlalu gagah untuk mudah begitu
saja patah hati seperti seorang yang cengeng….
T A M A T
********** Sahabat Karib.com **********
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment