Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Emas Naga Siluman
Jilid 26
Bu Seng Kin
mengangguk-angguk, tersenyum dan mengelus jenggotnya. Kemudian dia menarik
napas panjang dan berkata, “Kao-taihiap tentu percaya kalau saya katakan bahwa
kami sekeluarga merasa terhormat sekali dengan pinangan ini, dan sekiranya
anakku Ci Sian itu setuju, tentu dengan hati dan tangan terbuka akan kami
terima pinangan ini. Akan tetapi, hendaknya Sam-wi mengerti keadaan kami dan
anak kami itu. Pernah Sam-wi saksikan sendiri sikap anak itu terhadap saya, dan
ibunya sudah tiada. Agaknya, dalam urusan perjodohannya, saya pun tidak dapat
memutuskannya sama sekali. Anakku itu agaknya... ahhh, lebih dekat dengan
suheng-nya dari pada dengan kami, dan ini... saya tidak dapat menyalahkannya.
Sudahlah, tentu Sam-wi mengerti, yang jelas, saya akan merasa berbangga sekali
kalau dapat mempunyai mantu seperti Jenderal Muda Kao Cin Liong. Akan tetapi,
saya tidak berkuasa atas diri Ci Sian. Sebaiknya jika Sam-wi menghubungi Ci
Sian secara langsung saja. Kalau ia menerima, kami akan berbahagia sekali. Akan
tetapi kalau dia menolak, saya pun tidak dapat berbuat apa-apa. Nah, hanya
inilah yang dapat saya katakan sebagai jawaban atas pinangan Sam-wi.”
Keluarga Kao
merasa puas dan gembira dengan jawaban itu. Memang mereka pun mengerti bahwa
antara Ci Sian dan ayah kandungnya ini tidak ada hubungan yang baik. Dan
tentang perjodohan gadis itu tentu berada di tangan gadis itu sendiri. Hal ini
dimengerti benar oleh Cin Liong yang sudah mengenal watak Ci Sian
Akan tetapi,
Bu Seng Kin adalah ayah kandung Ci Sian, dan melewatinya dalam urusan
perjodohan Ci Sian sungguh dapat diartikan sebagai penghinaan. Kini, mereka
telah menyampaikan pinangan kepada pendekar itu dan biar pun pendekar itu tidak
dapat memutuskan, namun pada dasarnya pendekar Bu telah menyetujui kalau
puterinya berjodoh dengan Cin Liong dan ini sudah cukup bagi pemuda itu.
Ketika pesta
bubar, mereka berpamit dan menghaturkan terima kasih. Setelah keluar dari kota
Cin-an, Cin Liong tidak ikut dengan ayah bundanya yang hendak pulang kembali ke
utara, ke tempat tinggal mereka, yaitu di Istana Gurun Pasir.
“Aku akan
pergi ke kota raja lebih dahulu,” kata pemuda itu, “Setelah melapor kepada
Pangeran yang kini telah menjadi Kaisar, aku akan minta cuti dan akan pergi
mencari Ci Sian sampai dapat. Setelah bertemu dan memperoleh keputusan, barulah
aku akan menyusul Ayah dan Ibu pulang ke utara.”
Ayah dan ibu
itu memberi banyak nasehat sebelum mereka berpisah, atau lebih banyak ibunya
yang menghujaninya dengan nasehat-nasehat agar berhati-hati dan sebagainya.
Ayahnya, Kao Kok Cu, tidak banyak bicara, dan dengan suara yang berwibawa hanya
berkata, “Cin Liong, satu hal harus kau ingat baik-baik bahwa perjodohan hanya
dapat dilaksanakan apabila keinginan itu terdapat dari kedua belah pihak! Kalau
keinginan itu hanya terdapat di satu pihak saja, kelak akan mendatangkan banyak
masalah dalam rumah tangga. Dan ingat, cinta kasih bukan berarti harus menikah!
Tapi kalau keduanya ada cinta kasih, menikah merupakan jalan yang paling tepat.
Syukurlah andai kata gadis itu juga menghendaki perjodohan denganmu. Kalau ia
tidak setuju, hal itu wajar saja dan tidak sepatutnya menyengsarakan perasaan
hatimu.”
Pesan
ayahnya ini meninggalkan kesan mendalam di hati Cin Liong. Dia tahu bahwa kalau
sampai Ci Sian menolak cintanya, menolak menjadi isterinya, dia akan menderita
pukulan batin, hatinya akan terasa sakit. Akan tetapi dia melihat pula
kebenaran ucapan ayahnya, maka dia pun sudah bersiap-siap untuk menghadapi
kemungkinan yang paling buruk sekali pun…..
***************
Ketika Sim
Hong Bu melarikan diri dari Cin-an, dari sarang para patriot karena dia panik
dan berduka melihat betapa Ci Sian menyerangnya kalang-kabut, diam-diam Cu Pek
In juga melakukan pengejaran. Akan tetapi kalau seorang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi seperti Cin Liong saja tidak mudah dapat menyusul Sim Hong
Bu, apalagi Pek In yang ilmunya kalah jauh dibandingkan dengan suheng-nya yang
dicintanya itu. Akan tetapi, ia tidak pernah berhenti mencari jejak Hong Bu dan
telah mengambil keputusan bahwa baginya hanya ada dua pilihan, yaitu mencari
sampai jumpa atau mati dalam usahanya itu!
Berpekan-pekan
lamanya Cu Pek In mencari dan mengikuti jejak suheng-nya itu. Tetapi ia pun
dibikin bingung ketika ia melihat jejak suheng-nya itu setelah menuju ke timur
lalu kembali lagi ke barat, ke kota Cin-an dan menurut penyelidikannya,
suheng-nya itu pergi ke Cin-an bersama seorang laki-laki setengah tua. Dan
setelah pergi mengejar dan mencari Hong Bu selama hampir dua bulan, akhirnya
Pek In kembali ke Cin-an dan bertemu dengan keluarga Bu. Dari Bu-taihiap ia
mendengar banyak.
Bu Seng Kin
yang mempunyai banyak sekali pengalaman itu dapat memaklumi bahwa gadis ini
amat mencinta Hong Bu akan tetapi dia tahu pula bahwa Pek In bertepuk sebelah
tangan dalam hal ini. Karena, baru beberapa hari yang lalu, Sim Hong Bu datang
bersama seorang pamannya dan mengajukan pinangan atas diri Ci Sian! Dan hal ini
terjadi baru beberapa hari setelah dia dan keluarganya menerima kunjungan dan
pinangan dari keluarga Kao!
Bu-taihiap
dan keluarganya menceritakan bahwa kini keadaan telah banyak berubah setelah
Kaisar tua meninggal dan setelah Pangeran Kian Liong memegang kendali
pemerintahan. Dia bercerita banyak tentang keadaan para pendekar patriot
sekarang, yang sudah tidak dikejar sebagai musuh dan bagaimana pun juga harus
mengakui kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan oleh kaisar baru.
Semua itu
didengarkan dengan penuh perhatian oleh Cu Pek In, tetapi sesungguhnya di dalam
hatinya, gadis ini tidak begitu tertarik. Kalau ia tadinya ikut pula dalam
kelompok para pendekar patriot, hal itu hanya dilakukan karena ia mengikuti
Hong Bu dan karena suheng-nya itu dianggap buronan dan di dalam pengejaran
orang-orangnya Kaisar.
“Bu-locianpwe,
saya mencari Sim-suheng sampai jauh, akan tetapi jejaknya malah menuju kembali
ke Cin-an. Apakah dia datang ke sini?” akhirnya dia bertanya dan Bu Seng Kin
yang memberi isyarat kepada isteri-isterinya itu segera menjawab.
“Dia memang
pernah datang ke sini bersama seorang pamannya, tetapi tidak bermalam dan hari
itu juga telah pergi lagi. Kurang lebih seminggu yang lalu dia datang. Ada hal
yang amat menggembirakan, yaitu bahwa katanya, kaisar baru juga membebaskan
dia, dan ia menyatakan bahwa pedang Koai-liong-kiam oleh Kaisar telah
dinyatakan sebagai pedang milik keluargamu. Jadi sekarang dia tidak lagi
dikejar-kejar.”
Berita ini
memang menggembirakan hati Cu Pek In. “Akan tetapi, Locianpwe, setelah
meninggalkan Cin-an, dia pergi ke manakah?”
Pendekar itu
menarik napas panjang. Tentu saja dia tak tega untuk menceritakan bahwa Hong Bu
telah datang melamar Ci Sian. Namun dia dapat menduga ke mana perginya Hong Bu.
Ke mana lagi kalau tidak mencari Ci Sian? Untuk mengatakan bahwa Hong Bu kini
mencari-cari Ci Sian, apalagi kalau dijelaskan bahwa pemuda itu mencarinya
untuk melamarnya, berarti tentu menghancurkan perasaan gadis ini. Maka dia pun
lalu berkata, “Setelah dia dibebaskan oleh Kaisar, tentu dia akan memenuhi
tugas yang dibebankan kepadanya oleh gurunya. Apakah engkau tidak dapat
menduganya?”
“Tugas itu
adalah mengalahkan Kim-Siauw Kiam-sut.”
Bu Seng Kin
mengangguk. “Tentu saja. Dia tentu mencari Pendekar Suling Emas Kam Hong untuk
melaksanakan tugas yang dipikulnya, yaitu mengadu ilmu dengan pendekar itu
atau.... sumoi-nya.”
Cu Pek In
mengepal tinju. “Aku harus membantunya!” Lalu dipandangnya pendekar itu dan ia
bertanya, “Ke manakah dia mencari mereka?”
“Kami tidak
tahu, Nona, hanya kami mendengar bahwa pamannya itu masih mempunyai keluarga di
Lok-yang. Mungkin saja mereka itu pergi ke Lok-yang.”
Keterangan
ini memang benar, dan lagi pula, menurut beberapa orang pendekar patriot yang
melihatnya, memang paman dan keponakan itu meninggalkan Cin-an menuju ke barat.
“Kalau
begitu, saya akan segera menyusul dan mencarinya, Locianpwe.” Cu Pek In
berpamit.
Setelah
gadis yang selalu berpakaian pria itu pergi, Bu Seng Kin menarik napas panjang
dan berkata kepada tiga orang isterinya yang masih duduk di situ bersamanya.
“Ahh, betapa cinta telah mengombang-ambingkan kehidupan para muda seperti
gelombang samudera mempermainkan perahu-perahu kecil! Betapa cinta menciptakan
sorga atau neraka di dunia ini.”
“Cinta
memang selalu mendatangkan sorga dan sekaligus juga neraka dalam hidup!”
tiba-tiba Nandini berkata. Dan anehnya, dua orang madunya lalu
mengangguk-angguk membenarkan. Melihat ini, Bu Seng Kin membelalakkan matanya.
“Ehhh,
agaknya kalian bertiga sudah sepakat begitu. Apa maksud kalian?”
“Lihat saja
kehidupan kami! Kami mencari sorga bersamamu akan tetapi yang kami dapat
neraka!” kata pula Nandini cemberut, dan dua orang madunya juga cemberut.
Mau tidak
mau Bu-taihiap tertawa. “Akan tetapi mengakulah, bukankah di samping neraka
kalian juga mendapatkan sorga? Bukankah kalau satu di antara kita saling
berpisah kita merasa rindu dan menderita?”
Tiga orang
isterinya diam saja karena memang mereka harus mengakui bahwa mereka baru
merasa berbahagia kalau di samping suami ini, walau pun kadang-kadang mereka
harus menahan panas hati karena cemburu.
“Memang
demikianlah hidup,” pendekar itu menyambung. “Di mana ada senang tentu ada
susah, kalau ada sorga tentu ada neraka. Akan tetapi, jangan dikira bahwa yang
pahit-pahit dalam hidup itu tidak perlu. Coba saja bayangkan, tanpa kita
merasakan pahit, bagaimana mungkin kita dapat menikmati manis? Tanpa kita
merasakan bagai mana yang dinamakan susah itu, bagaimana kita dapat mengenal
senang? Demikian pula, kalau kita tidak pernah mengenal neraka, mana mungkin
kita dapat menikmati sorga? Ha-ha, selama kita berada dalam cengkeraman Im
Yang, tentu saja keduanya itu saling kait-mengait dan tidak mungkin kita dapat terbebas
dari kekuasaan dan roda perputarannya.”
Apa yang
diucapkan oleh Bu Seng Kin itu memang merupakan kenyataan. Sayang dia tidak
menyelami lebih mendalam lagi sehingga dia hanya menerima hal itu sebagai
sesuatu yang seharusnya demikian, sehingga dia sendiri masih terseret ke dalam
lingkaran setan dari baik dan buruk, senang dan susah dan sebagainya itu.
Senang dan
susah adalah dua permukaan dari sesuatu yang sama. Keduanya tak dapat
dipisahkan karena memang keduanya itu merupakan dua saudara kembar yang tak
terpisahkan. Ada yang satu pasti ada yang lain. Karena itu, setiap pengejaran
akan kesenangan sudah pasti akan bertemu pula dengan kesusahan karena
kesenangan dan kesusahan itu berbadan satu tapi bermuka dua. Apa yang nampak
pada muka itu, baik nampak sebagai senang mau pun sebagai susah, hanya
merupakan akibat dari pada pilihan pikiran sendiri belaka. Apa yang hari ini
dianggap sebagai menyenangkan, mungkin saja pada hari esok akan dianggap
sebagai menyusahkan, dan demikian sebaliknya.
Senang dan susah
muncul sebagai akibat dari pada penilaian. Dan penilaian ini selalu bersumber
kepada kepentingan si aku. Si aku adalah pikiran, si aku adalah nafsu. Wajarlah
bagi seorang manusia untuk dimasuki perasaan-perasaan itu. Senang, susah,
takut, malu, marah, dan sebagainya. Namun, dengan pengamatan terhadap diri
sendiri secara penuh kewaspadaan dan perhatian, di waktu perasaan-perasaan itu
memasuki hati dan pikiran, maka kita tidak akan terseret. Mengamati semua itu,
menghadapi semua itu, tanpa menilai-nilai sebagai baik atau buruk. Mengamati
saja penuh kewaspadaan tanpa ada si aku yang mengamati. Jadi hanya pengamatan
saja yang ada, kewaspadaan saja yang ada.
Menerima
semua itu sebagai suatu hal yang sudah semestinya begitu, seperti yang
dilakukan oleh Bu Seng Kin, maka tidak akan timbul perubahan dan untuk selama
hidup, kita akan selalu terombang-ambing antara suka dan duka, dan biasanya,
lebih banyak dukanya dari pada sukanya. Dan selama kita menjadi permainan si
kembar ini, kita takkan pernah bahagia. Yang kita anggap kebahagiaan bukan lain
hanyalah kesenangan belaka yang pada lain saat sudah akan berubah lagi menjadi
kesusahan.
Cu Pek In
melakukan perjalanan ke barat dalam usahanya mencari Sim Hong Bu. Dia pergi
menuju ke Lok-yang, sebuah kota yang besar dan ramai dan juga kuno di Propinsi
Ho-nan. Gadis yang bagi yang tidak tahu dianggap sebagai seorang pemuda remaja
yang amat tampan ini, melakukan perjalanan sambil bertanya-tanya dan menyelidik
kalau-kalau ada yang melihat Sim Hong Bu lewat di situ. Akan tetapi, agaknya
sampai di Lok-yang, tidak ada seorang pun yang dapat memberi keterangan tentang
suheng-nya itu. Tidak ada yang melihat adanya seorang pemuda seperti Sim Hong
Bu lewat di jalan yang dilaluinya.
Dengan hati
yang gelisah dan berduka, kedua kakinya yang lemas karena melakukan perjalanan
jauh dan tubuhnya lelah sekali. Hari telah menjelang senja ketika terpaksa
untuk hari itu ia menunda dulu pencariannya dan mencari kamar di sebuah losmen.
Karena ia merasa amat lelah dan ingin beristirahat sebaiknya, maka dipilihlah
hotel yang paling besar di kota itu. Hotel itu nampak besar dan cukup megah,
dengan huruf-huruf besar dengan tinta emas di depannya berbunyi ‘Thian Hok Li
Koan’.
Ketika Pek
In memasuki ruangan depan hotel itu dan menuju ke kantor di sudut, ia melihat
enam orang laki-laki duduk menghadapi meja bercakap-cakap di ruangan itu.
Seorang pelayan segera menyambutnya dan sesaat alis pelayan ini berkerut
melihat pakaian dan sepatu Pek In yang kotor dan berdebu, akan tetapi ketika
dia memandang wajah yang tampan itu, dia segera bertanya dengan suara yang
cukup ramah, “Selamat sore, Tuan Muda. Kalau anda mencari kamar, sungguh sayang
sekali karena semua kamar telah penuh.”
Cu Pek In
memandang pelayan itu dan hatinya menjadi kesal sekali. Ia sudah lelah dan juga
jengkel dan berduka karena kehilangan jejak suheng-nya. Dan begitu tiba di
hotel, di mana ia ingin cepat-cepat merebahkan diri, pelayan itu mengatakan
bahwa semua kamar telah penuh! Ia merasa curiga, karena pelayan itu tadi
memandang pakaian dan sepatunya yang berdebu. Karena sedang duka dan jengkel,
maka Pek In menjadi mudah berprasangka dan marah-marah. Ia menyangka bahwa
tentu pelayan ini tidak percaya kepadanya, pakaiannya berdebu, jangan-jangan ia
dianggap tidak punya uang untuk membayar kamar! Hotel ini begitu besar, tentu
mempunyai banyak kamar, masa sudah penuh?
“Benarkah
tidak ada kamar kosong sama sekali? Aku sanggup membayar sewanya, berapa pun
juga!” tanyanya dengan suara yang mengandung kejengkelan.
Ia tidak
tahu bahwa enam orang pria yang tadi bercakap-cakap kini berhenti bicara dan
semua melirik ke arahnya. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar
dan berkulit hitam, seorang pria yang usianya kurang lebih empat puluh tahun,
memandang kepada Pek In dengan sepasang matanya melotot lebar dan mulutnya
mengandung senyum penuh arti. Tangannya meraba-raba kumisnya yang melintang
ketika sepasang matanya itu menatap ke arah wajah dan tubuh Pek In dari
pinggir.
“Sungguh,
Kongcu, semua kamar telah penuh. Hari ini memang ramai sekali sehingga tidak
ada lagi kamar di hotel kami yang kosong. Harap Anda memaafkan kami,” kata
pengurus hotel yang sudah menjenguk keluar dari dalam kantornya.
Cu Pek In
menarik napas panjang. Memang dia sedang sial, pikirnya, segala-galanya tidak
pernah berhasil. Ingin ia menangis.
“Bung
pengurus, biarlah kami mengosongkan sebuah di antara kamar-kamar yang kami sewa
dan berikanlah kepada Tuan Muda ini!” Mendadak terdengar suara parau dan kasar,
suara dari pria tinggi besar berkulit hitam itu.
“Tapi....
tapi Koa-kauwsu telah membayar semua kamar itu,” Si Pengurus berkata.
“Tidak
mengapa, seorang temanku dapat tidur bersama temannya dan mengosongkan kamar
itu untuk Kongcu ini. Atau kalau Kongcu ini mau, tempat tidurku cukup lebar dan
boleh saja aku membagi tempat tidur dengan dia.”
Wajah Cu Pek
In menjadi merah. Kalau didengarnya kata-kata itu sebagai seorang wanita, tentu
saja kata-kata itu amat kurang ajar. Hampir saja ia marah sekali kalau tidak
diingatnya bahwa ia kini sedang menyamar sebagai seorang pria. Maka ia pun
berkata kepada pengurus hotel itu, “Kalau memang sudah penuh, sudahlah, aku
bisa mencari kamar di hotel lain.”
Cu Pek In
membalikkan tubuh tanpa menoleh kepada enam orang pria itu. Dia hendak
meninggalkan ruangan hotel.
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara parau itu, “Nanti dulu, Siauwte, aku hendak bicara
denganmu!”
Cu Pek In
menoleh dan melihat laki-laki tinggi besar itu sudah berdiri dan menjura
kepadanya, demi kesopanan ia pun lalu balas menjura.
“Ada urusan
apakah yang hendak dibicarakan?” Ia bertanya sambil memandang tajam.
Laki-laki
itu bersikap cukup sopan dan ramah, dan sepasang matanya yang lebar
memandangnya dengan kekaguman yang tak disembunyikannya. Bukan pandang mata
orang jahat, pikirnya, melainkan pandang mata seorang yang mata keranjang. Akan
tetapi ia lalu teringat bahwa ia berpakaian pria dan biasanya jarang ada orang
yang dapat mengetahui penyamarannya, maka ia membantah penilaiannya sendiri,
karena tidak mungkin pria tinggi besar itu tertarik kepada seorang pemuda!
“Siauwte,
maafkan kalau aku mencampuri urusanmu. Akan tetapi melihat bahwa engkau nampak
lelah, pakaian dan sepatumu penuh debu menunjukkan bahwa engkau telah melakukan
perjalanan jauh, dan agaknya tidak akan mudah bagimu untuk mencari kamar di
hotel-hotel lain yang tentu juga penuh, maka aku menawarkan sebuah kamar kami
kepadamu. Kami berenam menyewa lima kamar, kalau dikurangi satu kamar kami
masih dapat tidur. Sebuah kamar untuk berdua pun tidak mengapa.”
Cu Pek In
tersenyum dan tak tahu betapa senyumnya yang membuat wajahnya nampak semakin
tampan itu membuat Si Tinggi Besar semakin kagum. “Ahhh, aku tidak ingin
merepotkan Paman yang belum kukenal.”
“Sama sekali
tidak merepotkan. Atau Adik boleh pilih, memakai sebuah kamar sendirian atau
berdua denganku. Tempat tidur di kamar kami cukup besar....”
“Tidak,
terima kasih! Aku tak biasa tidur berdua....,” jawab Pek In cepat-cepat
memotong perkataan orang.
“Kalau
begitu, pakailah sebuah kamar sendirian saja. Temanku dapat mengalah,” kata
pula Si Tinggi Besar.
Melihat
kebaikan orang, Cu Pek In merasa ragu-ragu untuk menolak.
Dan pengurus
hotel itu pun cepat berkata kepadanya, “Kongcu, apa yang dikatakan oleh
Koa-kauwsu ini memang benar. Sekarang sedang ramainya orang berdagang hasil
bumi. Banyak tamu pedagang dari luar kota ini dan setiap hari semua hotel di
kota ini penuh. Agaknya akan sukar bagi Kongcu untuk memperoleh kamar di hotel
yang baik, kecuali di hotel-hotel kecil yang kotor.”
Ucapan
pengurus hotel ini menghilangkan keraguan Cu Pek In dan ia pun kemudian
menghaturkan terima kasih kepada Si Tinggi Besar.
“Ah, tidak perlu
sungkan, Adik yang baik. Kita manusia di mana-mana memang harus saling bantu,
bukan? Dengan begini, kita menjadi kenalan baru. Aku senang sekali berkenalan
denganmu, Siauwte. Perkenalkanlah, aku Koa Cin Gu dari Lo-couw sebelah selatan
kota ini.”
“Koa-kauwsu
adalah guru silat yang terkenal di Lo-couw, bahkan di kota Lok-yang ini, Tuan
Muda,” kata Si Pelayan memuji.
“Koa-kauwsu,”
kata Pek In sambil menjura, “Terima kasih atas kebaikanmu. Aku sudah lelah
sekali dan ingin beristirahat.” Sambil berkata demikian, Pek In lalu
meninggalkan orang tinggi besar itu dan mengikuti pelayan dan seorang teman Si
Tinggi Besar yang hendak mengambil barang-barangnya dari kamar yang diberikan
kepada Pek In.
Setelah
kamar itu bersih, Cu Pek In membersihkan tubuhnya, berganti pakaian dan memesan
makan minum dalam kamarnya. Ia sudah lelah dan agak turun semangat, maka ia
tidak keluar lagi dan memesan makan di kamarnya saja. Setelah makan dan
istirahat sebentar, duduk termenung memikirkan nasibnya, dia pun merebahkan
dirinya dan tidur.
Ia sendiri
tidak tahu berapa lama ia tertidur, akan tetapi tiba-tiba ia terbangun oleh
ketukan di pintu. Cu Pek In membuka matanya dan tanpa turun dari pembaringan ia
bertanya, “Siapa di luar?”
Suara parau
di luar segera dikenalnya sebagai suara Koa-kauwsu. “Aku Koa Cin Gu,
Cu-siauwte!”
“Koa-kauwsu,
ada keperluan apakah mengetuk pintu kamarku?” tanya Pek In sambil duduk di tepi
pembaringan. Saking lelahnya, tadi dia sudah tertidur dengan pakaian lengkap,
hanya sepatunya saja yang dilepaskan.
“Harap buka
pintunya, Adik Cu! Aku memiliki hal yang amat penting untuk dibicarakan
denganmu.”
Cu Pek In
adalah seorang gadis gagah yang tidak pernah mengenal takut, akan tetapi
setelah banyak merantau seorang diri meninggalkan lembah, ia sudah mempunyai
banyak pengalaman dan bersikap hati-hati. Betapa pun juga, ia harus mencurigai
orang yang telah bersikap terlalu baik kepadanya itu. Dipakainya sepatunya dan
diselipkan sulingnya di pinggang, tertutup baju, lalu ia pun melangkah ke pintu
dan membukanya.
Koa Cin Gu
masuk sambil tersenyum ramah. “Sudah tidurkah, Siauwte? Maafkan kalau aku
mengganggu, ya?” Ketika dia bicara itu, Pek In mencium bau arak dan biar pun
sikap guru silat itu masih biasa saja, namun melihat muka hitam itu kemerahan,
juga matanya, ia dapat menduga bahwa orang ini tentu terlalu banyak minum arak
dan agak mabok.
Tanpa
mempersilakan duduk, ia pun bertanya, “Koa-kauwsu, ada keperluan apakah yang
hendak kau bicarakan?”
“Banyak,
banyak sekali. Cu-siauwte,” kata guru silat Koa itu dan dia pun menutupkan
kembali daun pintu.
Karena
mengira bahwa orang itu menutupkan pintu karena memang mempunyai urusan yang
penting, maka Pek In juga diam saja, hanya memandang dengan penuh perhatian.
Akan tetapi, orang she Koa itu tanpa dipersilakan lagi kini sudah duduk, bukan
duduk di atas kursi, melainkan di tepi pembaringan!
Si Muka
Hitam itu kini tersenyum menyeringai sambil berkata, “Aku ingin berkenalan
lebih baik denganmu, Adik Cu Pek In. Sini duduklah di dekatku sini, agar kita
lebih enak bicara. Sejak melihatmu tadi, aku sudah suka sekali kepadamu, Adik
yang baik.”
Muka Pek In
menjadi merah sekali. Akan tetapi ia masih teringat bahwa orang itu bicara
kepadanya sebagai seorang pemuda, bukan seorang gadis!
“Ah, Paman
Koa, mengapa begitu? Katakanlah apa yang perlu kau bicarakan sehingga
malam-malam engkau datang ke sini. Aku mengantuk sekali.”
“Ha-ha,
mengantuk? Tidurlah, tidurlah biar kita bicara sambil merebahkan diri. Ataukah
engkau lelah dan perlu kupijati? Ke sinilah, sayang.”
Pek In mulai
mengerutkan alisnya. Apakah orang ini sudah tahu akan penyamarannya dan
bersikap kurang ajar karena tahu bahwa ia adalah seorang wanita?
Tetapi
hatinya belum yakin benar dan ia masih berpura-pura menegur, “Koa-kauwsu, apa
artinya sikapmu ini? Lupakah engkau bahwa aku adalah seorang pria?”
“Ha-ha-ha,
lupa? Tentu saja tidak, Adik tampan! Kalau engkau seorang wanita, apa kau kira
aku sudi mendekatimu? Aku membenci wanita, dan aku sayang kepada pemuda-pemuda
tampan seperti engkau ini. Ke sinilah, Adik tampan, akan kupijiti engkau agar
lelahmu lenyap dan engkau temani aku tidur. Marilah....!” Dan guru silat
bermuka hitam itu sudah mengembangkan kedua lengannya ke arah Pek In!
Pek In
memandang dengan mata terbelalak. Betapa pun banyaknya pengalaman yang
dihadapinya selama ini, baru sekarang melihat keganjilan ini. Seorang pria yang
hendak mencumbu pria lain! Inikah yang dinamakan orang banci? Tubuh guru silat
itu demikian tinggi besar, kulitnya kasar hitam dan kumisnya melintang,
tubuhnya jelas menunjukkan laki-laki seratus prosen. Akan tetapi mengapa dia
menyukai pria muda tampan?
Teringat
akan hal ini, Pek In bisa menduga betapa banyaknya pemuda-pemuda tampan yang
menjadi korban orang aneh ini. Tentu di antara murid-muridnya yang belajar ilmu
silat banyak terdapat pemuda-pemuda remaja yang tampan. Entah dipermainkan
secara bagaimana. Tak dapat ia membayangkannya dan ia sudah merasa jijik dan
geli, seperti melihat seekor ular.
“Manusia
keparat! Keluarlah engkau dari sini!” Pek In membentak marah sekali dan
menudingkan telunjuknya ke arah pintu.
Koa-kauwsu
memandang bengis, lalu bangkit berdiri dan bertolak pinggang. “Ahhh.... kiranya
engkau hanya seorang pemuda yang tak mengenal budi. Beginikah balasannya
ditolong orang?”
“Hemm, kalau
memberikan kamar kosong kepadaku kau anggap sebagai budi besar yang harus
dibalas dengan kemesuman dan kecabulanmu, engkau mimpi, orang berhati binatang.
Sudahlah, kau cepat keluar dari sini sebelum kuhancurkan kepalamu!” Pek In
sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi.
Guru silat
itu membelalakkan kedua matanya, dan dia tersenyum. Barulah kini nampak oleh
Pek In betapa senyum pria ini mengandung sifat kegenit-genitan seperti wanita!
Koa Cin Gu
sebetulnya bukanlah seorang penjahat, melainkan seorang guru silat yang cukup
kenamaan. Akan tetapi, dia mempunyai kelainan dengan orang-orang biasa, yaitu,
dia suka bermain cinta dengan pria-pria muda yang tampan. Dia sungguh tidak
suka menyukai wanita, karena walau tubuhnya tinggi besar dan kasar seperti pria
tulen, adalah hatinya seperti seorang wanita, terutama mengenai selera dan
birahi. Dia tidak pernah melakukan pemaksaan terhadap pria-pria muda, karena
dengan pengaruhnya sebagai guru silat, banyaklah murid-murldnya sendiri yang
mau melayaninya dengan harapan memperoleh pelajaran silat yang lebih tinggi
dari pada murid-murid lain. Maka, terhadap Pek In yang dianggapnya sebagai
seorang pemuda yang tampan sekali ini pun Koa-kauwsu tidak bermaksud
menggunakan kekerasan. Akan tetapi dia telah dihina dan dimaki, maka bangkitlah
kemarahannya.
“Bocah
kurang ajar! Engkau ditolong baik-baik, diperlakukan dengan sikap ramah dan
manis, dan engkau malah menghina orang. Bocah sombong, benarkah engkau hendak
menghancurkan kepalaku? Coba saja kalau engkau mampu!”
“Mampu? Apa
sukarnya? Tetapi aku tidak ingin membikin kacau dengan pembunuhan, maka bukan
kepalamu yang akan kuhancurkan, melainkan lengan tanganmu saja!” Berkata
demikian, Pek In sudah menerjang ke depan dengan pukulan tangan kirinya.
Pukulannya
mantap dan cepat sekali, sehingga guru silat itu yang mengenal serangan
berbahaya, mengeluarkan seruan dan cepat menangkis dengan lengan kanannya, dan
berbareng dengan itu langsung membalas dengan sodokan tangan kirinya ke arah
dada Pek In. Walau pun hal ini bukan dimaksudkan untuk kurang ajar, akan tetapi
sebagai seorang gadis, Pek In menganggapnya demikian, maka dia pun sudah
mengerahkan tenaga sinkang pada lengan kanannya dan dia menghantam ke bawah, ke
arah lengan kiri lawan.
“Krakkk....!”
Tulang
lengan kiri Koa-kauwsu, dekat pergelangan, patah-patah dan di lain saat Pek In
telah menendang tubuhnya sehingga guru silat terpelanting. Pek In cepat membuka
pintu dan sekali lagi menendang. Tubuh guru silat itu terlempar keluar pintu
kamar!
Tentu saja
ia mengaduh-aduh karena bukan hanya lengan kirinya yang patah-patah tulangnya,
akan tetapi juga dua kali tendangan itu membuat dadanya sesak dan perutnya
mulas. Ribut-ribut ini mendatangkan lima orang temannya dan melihat betapa guru
silat itu mengaduh-aduh, memegangi lengan kiri dengan tangan kanan, lima orang
itu lalu menyerbu ke dalam kamar Pek In. Akan tetapi Cu Pek In sudah muncul di
pintu dan membentak marah.
“Masih ada
lagi yang hendak kurang ajar kepadaku?”
“Dia
memukulku, dia mematahkan lenganku, pukul dia!” Koa-kauwsu yang merasa
kesakitan itu sudah bangkit berdiri dan dengan meringis dia menuding ke arah
Pek In dengan telunjuk kanannya.
Lima orang
temannya terkejut bukan main, tidak disangkanya bahwa pemuda remaja yang halus
tampan itu mampu merobohkan guru silat Koa yang lihai! Mereka berlima dapat
menduga bahwa tentu pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, maka mereka sudah
mencabut senjata golok mereka dan menyerbu ke dalam kamar!
Akan tetapi
Cu Pek In sudah marah sekali. Ketika tangannya bergerak, nampak sinar emas
berkelebatan, dan terdengar bunyi nyaring ketika sinar emas itu bertemu dengan
golok-golok di tangan lima orang yang mengaduh-aduh, ada yang kepalanya benjol,
ada yang lengannya patah, dan ada pula yang mendekap perutnya yang kena
ditendang! Keadaan menjadi geger karena semua tamu kini terbangun dan
berdatangan ke tempat itu. Tiba-tiba, di antara para tamu itu, muncullah
sepasang suami isteri yang gagah perkasa.
“Pek
In....!” Mereka menegur.
Cu Pek In
yang masih bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan dengan suling di tangan,
cepat menengok dan melihat bahwa yang menegurnya itu adalah seorang laki-laki
tinggi besar bersama seorang wanita cantik, segera mengenalnya. Pria itu adalah
pamannya sendiri, Cu Kang Bu dan wanita itu adalah isteri pamannya, Yu Hwi.
“Paman....!”
teriaknya ketika mengenal pamannya.
“Pek In,
mari kita pergi saja dari sini!” kata Kang Bu.
Pek In
begitu girang bertemu dengan pamannya sehingga ia tidak membantah, cepat
mengambil pakaiannya dan keluar dari dalam kamarnya bersama paman dan bibinya.
Setelah mereka mengambil pakaian dari kamar suami isteri itu, Kang Bu lalu
mengajak mereka keluar, berhenti di kantor pengurus, membayar untuk dua kamar
mereka dan segera mengajak keponakannya pergi meninggalkan hotel.
Hal ini
dilakukan oleh Kang Bu yang tidak mau menghadapi keributan setelah terjadi
perkelahian antara keponakannya dan beberapa orang laki-laki tamu hotel itu.
Mereka lalu mencari kamar di rumah penginapan kecil di pinggir kota. Di sini
mereka lalu saling menceritakan pengalaman masing-masing. Cu Pek In dengan hati
sedih menceritakan betapa ia sudah bertemu dengan Hong Bu, bersama-sama pergi
ke Cin-an di mana mereka berdua tinggal di sarang para patriot.
“Aku bertemu
dengan Bibi Tang Cun Ciu di sana, Paman. Engkau tahu, yang menjadi pemimpin
para pendekar patriot adalah Bu Seng Kin Locianpwe?”
“Hemm,
pantas kalau begitu!” Hanya demikian Kang Bu berkata karena dia tidak mau
mencampuri kehidupan pribadi bekas kakak iparnya itu.
Pek In lalu
melanjutkan ceritanya, betapa Hong Bu bertemu dengan dua orang yang harus
dilawannya, yaitu keluarga Kao dan juga Pendekar Suling Emas Kam Hong. Betapa
kemudian karena diserang oleh Ci Sian, Hong Bu melarikan diri dan dikejar oleh
Jenderal Muda Kao Cin Liong.
“Aku pun
mengejarnya, Paman, namun aku tertinggal jauh dan aku terus mencarinya sampai
berbulan-bulan. Jejaknya membawaku kembali ke Cin-an. Menurut keterangan
Bu-locianpwe mungkin Sim-suheng pergi ke Lok-yang ini.” Kemudian ia
menceritakan pengalamannya di hotel itu dan sikap guru silat she Koa yang aneh
dan kurang ajar terhadap dirinya.
“Sungguh
aneh, Paman. Dia sudah mengatakan bahwa dia menganggap aku pria, akan tetapi
mengapa dia hendak merayuku? Apakah dia itu orang-orang gila, Paman?”
Pamannya
tertawa, demikian pula Yu Hwi. Yu Hwi yang menjawab. “Pek In, ketahuilah bahwa
di dunia ini memang terdapat orang-orang yang sejak lahir telah mempunyai
kelainan-kelainan yang mungkin saja diperkuat oleh keadaan sekeliling di waktu
dia masih kanak-kanak. Atau mungkin ada sesuatu yang salah dalam tubuhnya
sehingga ada orang yang tubuhnya pria akan tetapi perasaan hatinya wanita,
seperti orang yang mengganggumu tadi. Akan tetapi ada orang yang tubuhnya
wanita akan tetapi perasaan hatinya pria, dan orang begitu hanya suka
berdekatan dengan sesama wanita, dan membenci pria.”
“Demikianlah
yang dinamakan banci, Bibi?”
“Biasanya,
sebutan banci ditujukan kepada seorang pria yang berhati wanita seperti
pengganggumu tadi. Pria-pria seperti itu condong untuk menjadi wanita, merasa
dirinya sebagai wanita, bahkan yang sudah terlalu berat kecondongannya itu,
tidak ragu-ragu lagi untuk berpakaian sebagai wanita dan bersikap sebagai
wanita pula. Sebaliknya, wanita yang berhati pria itu pun condong untuk menjadi
pria dan berpakaian sebagai pria....”
Tiba-tiba Yu
Hwi berhenti dan memandang kepada Pek In dengan muka berubah dan sikap sungkan.
Melihat sikap isterinya ini, Kang Bu tertawa.
“Jangan
khawatir, Pek In adalah seorang wanita asli, buktinya ia jatuh cinta kepada
Hong Bu. Kalau ia suka berpakaian pria adalah karena mendiang orang tuanya
memberi pakaian pria kepada Pek In.”
Wajah Cu Pek
In menjadi merah sekali. “Ah, jadi ada wanita yang hatinya seperti pria dan
lebih suka menjadi pria? Aku tidak mempunyai perasaan seperti itu, Bibi. Akan
tetapi setelah mendengar penuturan itu, aku jadi muak untuk memakai pakaian
pria, jangan-jangan aku disangka orang banci lagi! Biarlah, mulai sekarang aku
akan mengenakan pakaian wanita. Harap Bibi membantuku!”
Demikianlah
pada keesokan harinya, kedua orang wanita itu berbelanja dan mulailah Cu Pek In
mengenakan pakaian wanita. Dan sungguh harus diakui bahwa setelah ia mengenakan
pakaian wanita, mau berbedak dan berhias, ia nampak sebagai seorang dara yang
cantik jelita! Bahkan Cu Kang Bu sendiri memuji keponakannya itu dan menyatakan
sayangnya, mengapa sejak dahulu keponakannya tidak mau berpakaian sebagai
seorang wanita. Kemudian mereka bertiga melanjutkan usaha Pek In untuk mencari
Sim Hong Bu…..
***************
Dan ke
manakah perginya Sim Hong Bu? Seperti telah kita ketahui, Hong Bu lari dan
mencari pamannya untuk mengajak pamannya itu melakukan peminangan atas diri Ci
Sian. Dan dia sudah berhasil bertemu dengan pamannya itu. Akan tetapi Kao Cin
Liong juga berhasil mengejarnya dan menyusulnya sehingga tidak dapat
dihindarkan lagi terjadilah perkelahian di antara mereka. Perkelahian yang amat
seru dan mati-matian dan tentu akhirnya akan menimbulkan akibat hebat, dan
mungkin tewasnya seorang di antara mereka kalau saja tidak muncul Kao Kok Cu
yang melerai.
Setelah
kaisar yang baru ternyata telah menyatakan bahwa pedang Koai-liong-kiam itu
adalah hak milik keluarga Cu, maka tentu saja antara Hong Bu dan keluarga Kao
tidak ada permusuhan lagi. Mereka bahkan menjadi sahabat dan berpisah sebagai
sahabat.
Setelah
berpisah dari Kao Cin Liong dan ayahnya, Sim Hong Bu kemudian mengajak pamannya
pergi ke Cin-an untuk mengajukan lamaran atas diri Ci Sian kepada keluarga Bu.
Dan Bu Seng Kin, seperti jawabannya terhadap lamaran keluarga Kao, juga
menyuruh Hong Bu untuk langsung saja melamar kepada Ci Sian atau kepada suheng
gadis itu karena dia sendiri tidak berkuasa atas diri puterinya itu.
Mendapatkan jawaban ini, Hong Bu lalu pergi mencari Ci Sian dan memang dia
pergi ke Lok-yang karena pamannya hendak pergi mencari keluarga yang jauh di
dekat Lok-yang. Setelah tiba di Lok-yang keduanya saling berpisah, Hong Bu
melanjutkan perjalanannya seorang diri mencari Ci Sian.
Ketika Cu
Pek In tiba di Lok-yang, selain Cu Kang Bu dan Yu Hwi yang juga berada di kota
itu, sesungguhnya Hong Bu juga berada di situ. Hanya pemuda ini tidak bermalam
di kota, melainkan di luar kota, di dalam sebuah kuil tua karena pemuda ini
telah dapat mengikuti jejak Ci Sian dan Kam Hong!
Pada pagi
hari itu, Kam Hong dan Ci Sian sedang mengamati pemandangan yang amat indah di
lembah Sungai Huang-ho di utara kota Lok-yang. Lembah itu sunyi karena memang
mereka menghindari tempat ramai. Sambil memandang di atas air yang tenang
karena baru saja arusnya terpatahkan di selokan, Ci Sian melamun dan akhirnya
berkata.
“Suheng,
sudahlah kita tidak perlu mengejar dan mencari orang she Sim itu. Kalau memang
dia yang menghendaki untuk melanjutkan adu ilmu antara Koai-liong Kiam-sut dan
Kim-siauw Kiam-sut, biar dia yang mencari kita. Melihat sungai yang amat lebar
dan tenang ini, timbul niatku untuk melakukan perjalanan melalui air. Kalau
kita naik perahu mengikuti aliran sungai ini, kita akan sampai ke manakah,
Suheng?”
“Air sungai
Huang-ho ini akan membawa kita kembali ke Cin-an lagi, kemudian masuk Laut
Po-hai,” jawab Kam Hong.
“Dan dari
sana ke kota raja apakah masih jauh?”
“Tentu lebih
dekat dibandingkan dari sini.”
“Kalau
begitu, mari kita menyewa perahu, Suheng.”
“Ahh, mana
mungkin ada orang mau menyewakan perahu untuk dipakai melalui jarak sejauh itu?
Pemilik perahu tentu mengalami kesukaran untuk kembali ke sini menentang arus.
Sewanya akan mahal sekali, mungkin sewanya itu sudah cukup untuk membeli sebuah
perahu kecil.”
“Wah, kalau
begitu kita beli saja. Kita dayung sendiri, kan terbawa arus air, jadi tak
perlu membuang banyak tenaga. Kita mancing setiap hari, makan daging ikan
setiap hari. Wah, senangnya!”
Kam Hong
tertawa dan memandang kepada sumoi-nya. Betapa sumoi-nya ini kadang-kadang
masih seperti anak kecil saja. Dan dia pun menarik napas panjang. Memang,
dibandingkan dengan dia, sumoi-nya masih seperti anak kecil. Dia sendiri sudah
berusia hampir tiga puluh lima tahun sedangkan sumoi-nya ini hanya seorang dara
remaja berusia paling banyak sembilan belas tahun! Dia merasa sudah tua dan
tidak pantas berdekatan dengan sumoi-nya.
“Kenapa kau
tertawa lalu menarik napas, Suheng? Heran, habis tertawa kok menarik napas,
engkau ini bergembira atau berduka?”
“Suka dan
duka hanya seperti siang dan malam, muncul silih berganti, Sumoi, demikian pula
dengan senang dan susah. Membayangkan melakukan perjalanan melalui air, tentu
saja yang terbayangkan hanya senangnya saja, tetapi kalau sudah dilaksanakan,
barulah muncul susah-susahnya. Di dunia ini tiada kesenangan kekal atau
kesusahan abadi, selalu silih berganti menguasai kehidupan manusia.”
“Wah, wah,
sepagi ini sudah berfilsafat, Suheng! Apakah engkau mencari sesuatu yang
kekal?”
“Tidak,
Sumoi, karena aku tahu bahwa tidak ada yang kekal dalam hidup ini.
Mencari-carinya sama saja dengan mimpi di siang hari! Aku siap menerima segala
sesuatu dalam hidup ini, Sumoi, menghadapi apa adanya tanpa keluhan. Kalau
memang diri sudah tua dan buruk, apa perlunya mengeluh?”
Ci Sian
memandang wajah suheng-nya. Tertawanya bebas karena gadis ini tak pernah
berpura-pura di depan suheng-nya, tidak pernah menyembunyikan keburukannya,
maka di depan suheng-nya ia dapat tertawa bebas tanpa berusaha untuk bersikap
seperti orang yang hendak bersopan-sopan. “Wah, lihat kakek-kakek ini yang
berfilsafat dan merasa sudah tua dan pikun! Wahai Suheng, siapa bilang engkau
tua dan pikun dan jelek? Aku kadang-kadang merasa jauh lebih tua dari pada
Suheng!”
“Kadang-kadang?
Kalau sedang bagaimana kau merasa lebih tua?”
“Kalau
sedang begini ini. Kalau Suheng sedang menyesali nasib dan usia tua seperti
itu. Sudah, mari kita mencari perahu untuk kita beli Suheng.”
Akan tetapi
tiba-tiba Kam Hong menyentuh lengannya. “Ssttt, ada orang datang....,” bisiknya.
Mereka
berdua menanti karena memang nampak ada bayangan orang berlari cepat sekali
menuju ke tempat itu dan setelah orang itu tiba di depan mereka, dapat
dibayangkan betapa kaget dan heran hati mereka melihat bahwa yang muncul di
depan mereka itu adalah Sim Hong Bu!
Melihat
pemuda ini, Kam Hong tersenyum. “Ah, ternyata benar kata orang jaman dahulu
bahwa dunia ini sesungguhnya tidak begitu luas seperti disangka orang. Kami
mencari-carimu setengah mati tanpa hasil, dan sekarang engkau muncul di sini,
Adik Sim Hong Bu!”
Hong Bu
sudah dapat menenangkan hatinya yang berdebar kencang ketika melihat Ci Sian.
Hatinya girang bukan main bahwa akhirnya dia dapat menemukan gadis ini, dan
dalam pandangannya, Ci Sian semakin cantik menarik, lincah dan gagah saja.
“Engkau
mencariku, Kam-taihiap? Sungguh, aku pun sudah lama mencari-carimu dan....
ehhh…., Nona Ci Sian.”
“Hemm, mau
apa engkau mencariku, Hong Bu?” tiba-tiba Ci Sian berkata. “Apakah hendak
menantangku lagi?” Di dalam pertanyaannya terkandung tantangan.
“Ada dua hal
yang mendorong untuk mencari kalian,” kata Hong Bu dan dia berusaha sekuat
tenaga untuk menekan debar jantungnya.
Hampir saja
dia tidak berani mengeluarkan kata-kata berikutnya, akan tetapi dia menjadi
nekad. Kalau tidak sekarang dikeluarkan isi hatinya, mau tunggu kapan lagi?
Maka dia pun menarik napas panjang, mengumpulkan kekuatan, lalu berkatalah dia
dengan sikap gagah dan suara lantang.
“Kam-taihiap
dan Nona Bu Ci Sian, dengarlah baik-baik. Aku bersama salah seorang pamanku
telah pergi menemui dan menghadap Bu-locianpwe di Cin-an dan kami telah
mengajukan pinangan kepadanya, untuk meminangmu, Nona. Akan tetapi Bu-locianpwe
mengatakan bahwa aku harus mencarimu dan menyatakan ini kepadamu dan kepada
Kam-taihiap. Nah, sekarang aku sudah menemukan kalian dan di sini aku
menyatakan bahwa aku meminang Nona Bu Ci Sian untuk menjadi jodohku,
Kam-taihiap.”
Ucapan ini
sungguh amat di luar dugaan Ci Sian dan Kam Hong. Kam Hong menahan senyumnya
dan memandang wajah pemuda itu dengan kagum dan dengan hati senang. Betapa
gagahnya pemuda ini, begitu jujur dan terbuka. Sungguh merupakan pemuda yang
memang tepat kalau menjadi jodoh sumoi-nya!
Akan tetapi setelah
sejenak melongo dengan muka agak pucat mendengar pinangan itu, Ci Sian lalu
meledak karena marahnya!
“Tidak! Aku
tidak mau! Engkau manusia lancang, enak saja melamar orang seperti hendak
membeli bakpao saja! Aku tidak mau, aku tidak suka, aku.... aku benci padamu!”
“Ci Sian,
jangan tergesa-gesa menjawab dan tidak boleh engkau menghadapi pinangan orang
seperti itu,” Kam Hong menegur, terkejut melihat sikap itu.
“Tidak,
tidak adil! Suheng, biar pun engkau suheng-ku, jika engkau menerima pinangan orang
terhadap diriku, nah, engkau boleh kawin dengan orang itu! Aku tidak sudi!” Ci
Sian berteriak-teriak marah dan matanya mulai basah dengan air mata.
Baik Kam
Hong, terutama sekali Sim Hong Bu, sama sekali tidak pernah menduga bahwa
tanggapan Ci Sian akan seperti itu terhadap pinangan yang diajukan oleh Hong
Bu. Wajah Hong Bu menjadi pucat sekali dan sinar matanya sayu, membayangkan
perihnya hati mendengar jawaban Ci Sian yang sudah amat jelas itu. Ci Sian sama
sekali tidak membalas cintanya, bahkan membencinya!
“Maaf....
maaf.... bukan maksudku untuk menyusahkan orang lain....,” kata Hong Bu,
mukanya pucat dan ia menundukkan mukanya. “Aku telah mengatakan urusan pertama
yang hendak kusampaikan, yaitu pinangan dan aku telah ditolak, bukan salah
siapa-siapa melainkan salahku sendiri yang tidak tahu diri....”
“Sim Hong
Bu, setiap pinangan tentu mempunyai dua macam jawaban, diterima atau ditolak,
hal itu wajar saja kukira. Dan urusan jodoh adalah urusan hati dua orang yang
bersangkutan, maka engkau agak terburu-buru kukira, sebelum melihat lebih dulu
bagai mana keadaan hati orang lain dalam urusan ini. Betapa pun, semua sudah
terlanjur dan aku kagum akan kejujuranmu, juga aku ikut menyesal atas
kegagalanmu. Lalu ada sebuah soal lagi yang hendak kau bicarakan, apakah itu,
Saudara Sim?”
“Maafkan,
Kam-taihiap. Engkau selalu amat bijaksana dan gagah, sejak dahulu aku kagum
sekali, dan terima kasih atas hiburanmu tadi. Memang salahku sendiri maka
urusan pertama aku tidak berhasil. Maka biarlah sekarang kusampaikan urusan ke
dua kepadamu, Taihiap. Bukan lain aku mencarimu untuk memenuhi tugas yang
diberikan oleh guru-guruku, yaitu untuk menentukan mana yang lebih unggul
antara Ilmu Pedang Naga Siluman dan Ilmu Pedang Suling Emas. Kuharap sekali ini
engkau tidak berlaku kepalang tanggung, Kam-taihiap. Aku mohon petunjukmu!”
Setelah berkata demikian, Sim Hong Bu yang wajahnya masih pucat dan sepasang
matanya masih suram itu mencabut pedang Koai-liong Po-kiam dan nampaklah sinar
pedang biru menyilaukan mata.
“Kau menantang....?”
Ci Sian berseru.
Akan tetapi
Kam Hong sudah memegang lengannya dan berkata dengan suara yang lembut akan
tetapi mengandung wibawa. “Sumoi, serahkan urusan ini kepadaku. Akulah yang
dahulu mengalahkan keluarga Cu dan menimbulkan rasa penasaran ini.”
Kemudian
pendekar ini melangkah maju menghadapi Sim Hong Bu sambil berkata, “Baiklah,
Sim Hong Bu. Kalau engkau berkeras hendak memenuhi pesan gurumu yang hanya
terdorong oleh rasa penasaran di dalam hatinya, aku tidak akan mengecewakan
hatinya. Akan tetapi, apakah engkau menyadari bahwa permusuhan yang ditanam
oleh pihak keluarga Cu ini sungguh tidak bijaksana? Di antara kita sesungguhnya
tidak ada permusuhan apa pun juga. Dahulu, nenek moyangku secara kebetulan
memperoleh pusaka Suling Emas. Dan kemudian aku sebagai keturunannya yang
terakhir, secara kebetulan pula mewarisi Ilmu Suling Emas. Bukankah itu sudah
jodoh namanya? Biar pun penciptanya adalah nenek moyang keluarga Cu, apa
salahnya kalau terjatuh kepada orang lain? Bukankah kini Ilmu Pedang Naga
Siluman yang berasal dari keluarga Cu juga diwarisi oleh seorang she Sim?
Saudara Sim Hong Bu, hendaknya engkau menyadari hal itu.”
Tentu saja
Hong Bu tahu akan hal itu dan memang tadinya dia sudah lemah semangat untuk
menantang Kam Hong mengadu ilmu, apalagi semenjak dia bertemu dan mendengar
nasehat dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Akan tetapi, setelah dia gagal
dalam urusan cintanya terhadap Ci Sian, setelah dia patah hati, dia tidak
peduli lagi dan biarlah kalau urusan kebaktian yang keliru terhadap gurunya ini
gagal pula, dia rela mati di tangan seorang pendekar seperti Kam Hong.
“Kam-taihiap,
aku memang telah keliru segala-galanya, maka biarlah kekeliruan berbakti kepada
guruku ini merupakan kekeliruan yang terakhir. Keluarkanlah senjatamu dan mari
kita segera laksanakan pesan guruku. Hendak kulihat, sesungguhnya sampai di
mana kehebatan Ilmu Suling Emas itu dan kuharap engkau tidak berlaku kepalang
tanggung sekali ini. Marilah!”
Meski pun
agak ragu-ragu dan setengah hati, Kam Hong mengeluarkan juga suling emasnya.
Pendekar ini dapat menduga, melihat sikap dan mendengar suara pemuda itu bahwa
memang Hong Bu agaknya sengaja, terdorong kepedihan hati oleh penolakan Ci Sian
yang kasar tadi. Dia menarik napas panjang dengan penuh penyesalan.
“Aku dapat
membayangkan betapa para nenek moyang keluarga Cu yang menjadi pencipta Ilmu
Pedang Suling Emas dan Naga Siluman akan mengeluh dan menyesal bahwa ciptaannya
hanya akan saling berlawanan, padahal sudah sepatutnya kalau saling bekerja
sama untuk menghadapi kejahatan di dunia ini. Silakan, Saudara Sim!”
Maklum bahwa
lawannya juga sungkan, maka Sim Hong Bu yang merasa sebagai penantang lalu
menggerakkan pedangnya melakukan serangan pembukaan. Kam Hong juga menggerakkan
sulingnya dan mulailah mereka saling serang. Mula-mula memang ada keraguan dan
rasa kesungkanan dalam hati mereka sehingga serangan-serangan mereka itu tidak
dilakukan dengan tenaga sepenuhnya. Akan tetapi sebagai ahli-ahli silat di mana
ilmu silat itu telah mendarah daging kepada tubuh mereka, makin lama mereka
menjadi semakin bersemangat karena menghadapi lawan yang amat tangguh.
Maka gerakan
senjata mereka menjadi makin cepat dan berat dan tak lama kemudian, lenyaplah
kedua orang itu terselimut gulungan sinar emas dan sinar biru yang terang
menyilaukan mata. Terdengar pula suara pedang seperti suara mengaum-aum dan
suara suling yang melengking-lengking, dan angin yang sangat keras menyambar,
membuat daun-daun pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang dan
kadang-kadang seperti dilanda angin berpusing.
Ci Sian
sendiri bengong, kagum sekali menyaksikan pertandingan yang amat hebat ini.
Diam-diam harus diakuinya bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh Sim Hong Bu
memang hebat bukan main, dan agaknya sama sekali tidak kalah dibandingkan
dengan Kim-siauw Kiam-sut yang dimainkan dengan suling emas itu. Sebagai
seorang ahli, ia pun dapat mengikuti gerakan mereka, walau pun kadang-kadang
gerakan kedua orang itu terlalu cepat untuk dapat diikuti dengan mata. Ia
melihat betapa suheng-nya bersilat dengan baik sekali, hampir dapat dikata
sempurna malah, memainkan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut, akan tetapi tetap
saja ia masih melihat keraguan dalam gerakan suheng-nya itu, seolah-olah dia tak
menghendaki perkelahian itu dan bertanding karena terpaksa sekali.
Setelah
lewat seratus jurus, keduanya sudah benar-benar bebas dari keraguan dan
keduanya kini sudah lupa diri. Yang ada hanyalah kegembiraan bertanding karena
baru sekarang mereka benar-benar bertemu lawan yang setanding, dan baru sekali
ini mereka bertanding tanpa ada sedikit pun perasaan benci atau marah. Kini
mereka bertanding demi ilmu itu sendiri, seperti orang berlatih saja, akan
tetapi jauh lebih hebat dan sungguh-sungguh karena keduanya tidak mau sampai
kalah.
Maka, kini
hanya jurus-jurus yang paling ampuh sajalah yang mereka keluarkan dan di dalam
hati mereka penuh kekaguman terhadap lawan. Sukar dilihat siapa yang terdesak
dan siapa yang mendesak di antara keduanya, karena betapa pun juga, setelah
kini mereka melihat intinya, ada unsur-unsur yang sama dalam dasar ilmu pedang
mereka. Hanya dalam hal tenaga dalam, Sim Hong Bu harus mengakui bahwa dia
masih kalah setingkat! Akan tetapi, Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut demikian hebatnya
sehingga kekalahan tenaga ini dapat ditutupnya dengan gerakan cepat dan aneh
sehingga dia tidak harus mengadu tenaga secara langsung.
Serang
menyerang terjadi, tikaman dan totokan ditukar, bacokan dan pukulan silih
berganti, dan bukan hanya senjata mereka yang saling menyambar, melainkan juga
tangan kiri mereka sering kali melakukan totokan dan pukulan maut yang amat
hebat, yang kalau ditangkis menimbulkan getaran yang bahkan terasa pula oleh Ci
Sian yang berdiri di pinggir.
Setelah
lewat dua ratus jurus, Ci Sian memandang dengan alis berkerut. Sebagai seorang
ahli, maklumlah dara ini bahwa perkelahian sehebat ini kalau dilanjutkan tentu
hanya berakibat robohnya seorang di antara mereka, mungkin roboh untuk tidak
dapat bangkit kembali atau tewas. Setiap serangan yang dilakukan mereka adalah
serangan maut yang amat hebat, yang kalau mengenai lawan sudah pasti akan
merenggut nyawa lawan!
Memang
benarlah apa yang dipikirkan oleh Ci Sian ini. Setelah lewat dua ratus jurus
Kam Hong yang lebih matang dalam hal latihan, dan juga memang lebih sempurna
menguasai ilmunya, dapat melihat kelemahan-kelemahan yang walau pun sedikit
dalam gerakan Hong Bu, namun cukuplah untuk dimasukinya dengan serangan kilat
yang akan membuat lawan roboh. Akan tetapi pendekar ini tidak tega merobohkan
Hong Bu dengan serangan maut. Dia sama sekali tidak ingin melukainya dengan
berat.
Timbul
keraguan dalam hatinya. Apa gunanya kalau dia menang? Sebaliknya, andai kata
dia mengalah sekali pun, hal itu pasti akan diketahui oleh Sim Hong Bu dan juga
oleh Bu Ci Sian dan tidak akan ada manfaatnya lagi, bahkan mungkin Hong Bu akan
merasa tersinggung kalau dia sengaja mengalah. Maka, sebaiknya kalau dia
memberi isyarat kepada pemuda itu bahwa dia tidak ingin bermusuhan dan bahwa
dia bersedia menghentikan pertandingan itu dan bersedia pula mengalah.
Oleh karena
itu, ketika dia kembali melihat lowongan yang merupakan kekosongan atau
kelemahan dari lawan, secepat kilat sulingnya meluncur ke arah kiri dada Hong
Bu dan sebelum pemuda ini dapat menghindarkan diri karena memang posisinya
telah terdesak dan terkurung, tahu-tahu ujung suling sudah mengenai dada
kirinya.
“Dukkk!”
Sim Hong Bu
terkejut bukan main karena biar pun ujung suling itu dengan tepat sekali
mengenai dada, namun tidak terasa apa-apa dan totokan tadi sama sekali tidak
mengandung kekuatan sinkang sehingga ketika mengenai kulit dadanya lalu
membalik! Dari heran, Hong Bu menjadi merah mukanya karena dia pun maklum bahwa
lawannya sengaja tidak mengisi tenaga pada totokan tadi, dan hal ini hanya
dapat diartikan bahwa lawan memang tidak menghendaki berkelahi dengannya.
Padahal, dia pun mengerti benar bahwa kalau tadi Kam Hong mengisi totokannya
dengan tenaga sinkang, dia tentu sudah roboh, kalau tidak mati seketika,
sedikitnya tentu terluka parah atau roboh tertotok dan kalah.
Jelaslah
bahwa pendekar yang dikagumi dan dihormatinya itu memang sengaja tidak mau
mengalahkannya, hal ini benar-benar membuat dia merasa berterima kasih tetapi
juga membuka matanya bahwa dia kalah jauh dalam hal pengalaman dibandingkan
dengan pendekar sakti ini. Maka, kalau dia melanjutkan pertandingan itu, sama
saja dengan mengaku bahwa dia tidak tahu diri….
“Trang....!”
Pedang bertemu dengan suling dan pedang itu terlepas dari tangan Hong Bu.
Pemuda ini
melangkah mundur dan menjura. “Kam-taihiap, saya Sim Hong Bu yang mewakili
keluarga Cu mengaku bahwa di tanganku, Koai-liong Kiam-sut telah kalah melawan
Kim-siauw Kiam-sut!” Lalu dia menjura lagi dan mengambil pedangnya dari atas
tanah.
“Saudara Sim
Hong Bu, engkau terlalu merendah. Koai-liong Kiam-sut hebat bukan main dan
kalau toh aku dapat mengunggulimu sedikit, hal itu bukan karena ilmunya,
melainkan karena engkau kalah matang dalam latihan dan pengalaman. Ilmu
pedangmu hebat bukan main!”
“Apa ini?
Saling mengalah dan saling merendah! Sim Hong Bu, kakak seperguruanku memang
lemah. Biarlah aku yang mewakili Kim-siauw Kiam-sut, ingin kucoba sampai di
mana hebatnya Koai-liong Kiam-sut, dan antara kita tidak perlu ada
sungkan-sungkanan dan mengalah segala macam!”
Berkata
demikian, Ci Sian sudah menyerang dengan suling emasnya, serangan maut yang
hebat sekali sehingga terpaksa Hong Bu menangkis.
“Cringggg....!”
Bunga api berpijar saking kerasnya pertemuan senjata itu.
“Sumoi,
jangan....!” teriak Kam Hong.
“Ci Sian,
aku sudah mengaku kalah,” kata Hong Bu, suaranya mengandung kegetiran hati. Dia
telah patah hati dan dia tadi menghendaki tewas di tangan pendekar sakti Kam
Hong, siapa kira pendekar itu mengalah dan dia kalah tanpa terluka sedikit pun.
Hal ini membuatnya merasa perih sekali karena dibiarkan hidup menderita patah
hati!
“Tidak, tadi
Suheng telah banyak mengalah dan engkau sendiri sengaja membiarkan pedangmu
lepas. Kau kira siapa aku ini? Anak kecil yang mudah saja dibodohi? Hayo, lawan
aku, kalau engkau tidak berani dan kalau engkau takut, selanjutnya engkau harus
mengaku sebagai seorang pengecut!”
“Ci
Sian....!” Hong Bu berseru, jantungnya seperti ditusuk rasanya.
“Sumoi,
engkau terlalu....!”
“Engkau
berpihak kepadanya, Suheng? Boleh, kalian berdua keroyoklah aku!” Berkata
demikian, Ci Sian sudah menyerang lagi kepada Hong Bu.
Hong Bu
terpaksa harus menggerakkan pedang dan melindungi dirinya kalau tidak mau mati
konyol. Hatinya berduka bukan main. Tentu saja pantang baginya untuk hidup
sebagai pengecut! Maka terpaksa dia pun menangkis dan balas menyerang sehingga
seaat kemudian mereka berdua telah bertanding dengan seru dan hebat.
Kam Hong
berdiri bingung sekali, tidak mengerti mengapa sumoi-nya demikian marah dan
membenci Hong Bu.
Pada saat
itu muncul tiga orang yang bukan lain adalah Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan Cu Pek In!
Mereka bertiga itu akhirnya dapat menemukan jejak Sim Hong Bu dan tiba di
tempat itu pada saat Hong Bu sedang bertanding dengan hebatnya melawan Ci Sian.
Melihat ini
Cu Pek In sudah hendak meloncat untuk membantu suheng-nya, akan tetapi Cu Kang
Bu memegang lengannya. Pendekar ini melihat betapa Kam Hong berdiri di situ
sejak mereka datang dan sama sekali tidak membantu Ci Sian. Oleh karena itu,
kalau sekarang dia serombongan datang-datang lalu membantu Sim Hong Bu, sungguh
hal ini merupakan suatu kecurangan yang membikin malu. Inilah sebabnya maka dia
mencegah keponakannya untuk membantu Hong Bu.
Dan pendekar
tinggi besar ini sudah memandang penuh dengan kekaguman karena pertandingan
antara mereka itu sungguh hebat luar biasa. Baru sekaranglah dia dapat
mengagumi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang diwarisi oleh Hong Bu, akan
tetapi dia juga berkesempatan menyaksikan kehebatan suling emas di tangan dara
itu. Hebat sekali! Kedua ilmu itu sungguh-sungguh merupakan ilmu yang jarang
dapat ditemukan tandingannya di dunia ini.
Akan tetapi
hanya Kam Hong seorang yang sudah dapat mengenal kedua ilmu itu dan dapat
mengikuti pertandingan itu dengan amat jelas yang melihat kenyataan betapa Sim
Hong Bu kini selalu mengalah terhadap Ci Sian! Jika tadi dia sendiri mengalah
terhadap Sim Hong Bu, mengalah sedikit saja, sekarang Hong Bu mengalah secara
keterlaluan! Pemuda itu tidak pernah melakukan serangan yang sungguh-sungguh,
sebaliknya, Ci Sian malah telah melakukan serangan dengan jurus-jurus terampuh
dari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut.
Sementara
itu, pada saat Hong Bu melihat datangnya susiok-nya dan dua orang wanita yang
tidak dilihatnya jelas karena dia didesak hebat oleh lawan, hatinya terguncang
dan kedukaannya memuncak, maka ketika itu gerakannya menangkis kurang tepat dan
kurang kuat.
“Tukkk!”
Ujung suling
itu mengenai lehernya, dan biar pun dia sudah miringkan kepalanya, masih saja
ujung suling itu mengenai pangkal lehernya. Serangan ini hebat sekali dan Hong
Bu terjungkal dan terbanting, tak mampu bergerak lagi!
“Suheng....!”
Cu Pek In menjerit dan menubruk tubuh itu.
Sedangkan
Kam Hong sudah menarik tangan Ci Sian yang juga terbelalak memandang ke arah
Hong Bu. Wajahnya agak pucat karena ia tidak bermaksud membunuh Hong Bu dan
kini melihat pemuda itu terjungkal, hatinya merasa ngeri karena ia khawatir
kalau-kalau ia telah kelepasan tangan membunuh orang yang sebenarnya amat
disukainya itu!
Pek In sudah
menangis sambil memeluk tubuh Hong Bu yang tidak bergerak seperti mayat itu.
Mata pemuda itu mendelik dan mukanya pucat, napasnya berhenti! Cu Kang Bu cepat
memeriksa dan mengurut beberapa jalan darah di dada, punggung dan leher, maka
nampaklah Hong Bu mengeluh lirih dan napasnya pun berjalan kembali.
“Dia akan
sembuh....,” kata Cu Kang Bu dan melihat ini, Kam Hong dan Ci Sian merasa lega
bukan main.
“Maafkan
kami!” kata Kam Hong sambil menjura ke arah Cu Kang Bu, kemudian dia memegang
tangan sumoi-nya dan menariknya pergi meninggalkan tempat itu.
Kam Hong
maklum bahwa jika dibiarkan sumoi-nya berada di situ lebih lama lagi, bukan tak
mungkin timbul kesalah pahaman baru dengan keluarga Cu. Dia tidak menghendaki
hal ini, apa lagi di situ terdapat pula Yu Hwi, bekas tunangannya dan hal ini
pun membuat dia merasa tidak enak sekali. Dan agaknya Cu Kang Bu juga tidak
ingin mencari urusan. Dia sudah melihat betapa jago dari keluarga Cu telah
kalah dan dia tahu bahwa melawan Pendekar Suling Emas dan sumoi-nya yang amat
lihai itu dia dan isterinya tidak akan menang.
Cu Pek In
sudah memondong tubuh Hong Bu. “Mari kita mencari tempat yang baik untuk
merawatnya,” kata gadis itu kepada pamannya.
“Baik, akan
tetapi biarkan aku memondongnya, Pek In,” kata pamannya.
“Biarlah,
Paman, biarlah aku memondongnya,” Pek In berkata dan mendekap tubuh pemuda itu
seperti orang memondong anak kecil saja. Bagi seorang gadis seperti Pek In yang
memiliki kepandaian cukup tinggi, memondong tubuh seorang dewasa bukan hal yang
sukar.
Akhirnya
mereka menemukan sebuah pondok kecil terpencil di luar dusun. Mereka menyewa
pondok ini dari kakek petani yang memilikinya dan Pek In lalu merebahkan Hong
Bu di atas dipan bambu sederhana yang berada di dalam kamar. Cu Kang Bu dan Yu
Hwi segera memeriksa kembali keadaan pemuda itu. Mereka adalah suami isteri
yang berilmu tinggi, bahkan Yu Hwi mengerti pula tentang ilmu pengobatan.
Totokan
suling tadi memang hebat, akan tetapi untung meleset dari urat penting yang
dapat membawa maut. Totokan itu menggetarkan jantung, akan tetapi karena tubuh
Hong Bu memang amat kuat, maka tidak sampai membahayakan dirinya, walau pun
membuatnya roboh pingsan dan sekitar pundak dan pangkal leher menjadi kebiruan
karena ada otot yang pecah.
Cu Kang Bu
dan isterinya lalu mencari obat ke Lok-yang, sedangkan Pek In menjaga pemuda
itu dengan penuh perhatian. Pek In yang terus menjaga dan meminumkan obat
sedikit demi sedikit, menjaga siang dan malam dan merawatnya penuh kasih sayang
sehingga melihat ini, Cu Kang Bu dan Yu Hwi merasa terharu bukan main. Baru
pada keesokan harinya, pernapasan Hong Bu berjalan seperti biasa dan mukanya
yang tadinya pucat itu menjadi agak kemerahan kembali.
Hari telah
larut ketika Hong Bu mengeluh lirih. Pek In cepat mendekatinya, duduk di tepi
dipan dan meraba dahi pemuda itu, lalu mempergunakan sapu tangan untuk mengusap
keringat yang membasahi dahi dan leher. Pemuda itu telah berkeringat dan
menurut paman dan bibinya, kalau pemuda itu sudah mengeluarkan keringat berarti
akan segera sembuh. Bukan main girang hati Pek In dan ia menatap wajah yang
tampan itu dengan penuh kemesraan.
Kedua mata
itu terbuka perlahan, lalu berkedip-kedip karena agak silau oleh sinar matahari
yang memasuki kamar lewat jendela. Kemudian, setelah mata itu agak terbiasa,
Hong Bu memandang kepada Pek In, lalu berkata lirih, “Siapa Nona....?”
Mendengar
pertanyaan ini, hampir saja Pek In tertawa geli, akan tetapi ia segera teringat
bahwa semenjak menjadi suheng-nya, barulah sekali ini Hong Bu melihat ia
berpakaian sebagai seorang wanita dengan rambut digelung ke atas.
Pek In
tersenyum manis. “Coba kau terka, siapa aku ini?” Suaranya terdengar merdu
sekali karena hatinya riang melihat pemuda itu telah siuman dan tampak sehat.
“Seperti....
seperti tak asing bagiku....” Hong Bu mengerutkan alisnya. Memang gadis ini
telah dikenalnya! Akan tetapi dalam detik-detik pertama dia lupa lagi siapa ia.
Akan tetapi dia segera menepuk dahinya.
“Sumoi....!
Ahhh, benar, engkau Sumoi Cu Pek In....!”
Pek In
tertawa dan menutupi mulutnya. “Aku sudah khawatir kalau engkau tidak akan
mengenalku,” katanya tertawa.
Hong Bu juga
tertawa. “Siapa dapat mengenalmu? Engkau telah menjadi seorang gadis yang....
manis sekali!”
Cu Pek In
cemberut. “Apa kau kira biasanya aku bukan seorang gadis?”
Hong Bu baru
sadar bahwa ia telah kesalahan bicara. “Maaf, bukan begitu maksudku.... eh,
maksudku....” memang baru sekarang inilah dia menyadari bahwa sumoi-nya adalah
seorang gadis, seorang gadis yang cantik manis. Mungkin biasanya dia hampir
tidak memperhatikan Pek In karena gadis itu baginya seperti adik seperguruan
biasa saja, hampir seorang saudara atau kawan baik laki-laki karena gadis itu
selalu berpakaian pria.
“Maksudmu
bagaimana?” Pek In menggodanya.
“Maksudku....
ehhh, di mana aku ini? Apa yang telah terjadi? Ahhh....”
Dan Hong Bu
bangkit duduk dengan wajah muram. Teringatlah dia akan semua itu, akan
pertandingannya melawan Ci Sian dan betapa karena mengalah maka ia terkena
totokan suling emas.
“Sekarang
engkau sudah ingat, Suheng?” tanya Pek In halus, suaranya mengandung
kekhawatiran.
Pemuda itu
mengangguk dan menatap wajah sumoi-nya. “Kiranya aku belum mati....”
“Engkau
nyaris tewas, Suheng. Kata Paman, kalau sedikit saja ke atas, mengenai urat penting,
engkau takkan tertolong lagi. Menurut Paman dan Bibi, agaknya gadis itu memang
sengaja tidak membunuhmu....”
“Hemm....,
mana Susiok Cu Kang Bu?”
“Dia dan
Bibi sedang berada di luar tadi....”
Akan tetapi
pada saat itu, Cu Kang Bu dan Yu Hwi memasuki kamar dan mereka berdua merasa
girang melihat betapa Hong Bu telah siuman dan nampak sehat kembali. Hong Bu
cepat memberi hormat kepada suami isteri itu dan berkata dengan suara penuh
penyesalan,
“Susiok,
harap maafkan bahwa teecu tidak berhasil memenuhi pesan Suhu sehingga teecu
kalah ketika melawan pewaris Kim-siauw Kiam-sut.”
Cu Kang Bu
menarik napas panjang. “Aku sudah menyaksikan pertandingan itu dan aku tidak
menyalahkanmu, Hong Bu. Memang hebat sekali Ilmu Suling Emas itu, tiada
keduanya di dunia ini. Bagaimana pun juga, kita harus bijaksana dan dapat
melihat kelemahan sendiri. Aku tidak setuju dengan pendapat kakakku yang
berkeras hendak membalas kekalahan. Biar pun kedua ilmu itu bersumber dari
keluarga kita, akan tetapi jelaslah bahwa Ilmu Suling Emas ini jauh lebih tua
dan tidak mengherankan kalau lebih kuat dari pada Koai-liong Kiam-sut yang
tercipta ratusan tahun kemudian. Sudahlah, Hong Bu, tidak perlu hal itu dibuat
menjadi beban batin dan rasa penasaran. Bagaimana pun juga, harus kita akui
bahwa mereka berdua itu adalah pendekar-pendekar yang hebat.”
Atas bujukan
Cu Kang Bu, akhirnya Sim Hong Bu mau untuk ikut kembali ke lembah. Bahkan Cu
Kang Bu yang berwatak jujur itu menambahkan pula secara blak-blakan, di depan
Pek In.
“Engkau
tentu masih ingat akan pesan Twako bahwa dia menghendaki agar engkau dan Pek In
berjodoh, Hong Bu. Kurasa hal itu sangat baik, dan kalau memang engkau
menyetujui, marilah kita segera langsungkan saja pernikahan itu di sana. Usia
Pek In sudah cukup untuk segera membentuk rumah tangga denganmu.”
Mendengar
ucapan itu otomatis Hong Bu menoleh dan memandang kepada Pek In. Sejenak mereka
saling pandang, akan tetapi Pek In lalu menundukkan mukanya yang menjadi merah
sekali. Dan Hong Bu mempunyai perasaan yang aneh. Mengapa baru sekarang dia
seolah-olah baru melihat Pek In? Seorang gadis yang amat manis, dan dia
mendengar betapa gadis ini merawatnya sehari semalam tanpa pernah beranjak dari
sampingnya, tidak makan tidak tidur.
Dia tahu
benar betapa besar rasa cinta kasih sumoi-nya ini terhadap dirinya dan dia
selama ini tidak memperhatikan karena keadaan Pek In yang selalu berpakaian
seperti pria itu seolah-olah memiliki daya tolak yang besar. Akan tetapi
sekarang lain sekali keadaannya. Gadis itu ternyata memiliki daya tarik yang
cukup kuat dan terus terang saja, dia suka melihat wajah yang manis itu, bentuk
tubuh yang padat, indah dan menggairahkan sebagai wanita itu. Dan dia pun kini
sudah tidak mempunyai harapan lagi terhadap diri Ci Sian. Mengapa tidak? Kalau
dia menolak, apa pula alasannya? Dan penolakannya tentu akan membuat Pek In
merasa sengsara, di samping membuat hubungannya dengan keluarga Cu menjadi
hambar.
“Baiklah,
Susiok. Akan tetapi usul Susiok itu mengingatkan kepada teecu bahwa untuk
memperoleh doa restu dari arwah ayah teecu, selagi teecu berada di Propinsi
Ho-nan ini, sebaiknya kalau teecu mengunjungi makam ayah dan bersembahyang di
sana.”
“Tentu saja,
itu baik sekali! Di manakah makam ayahmu?”
“Di dekat
kota Sin-yang, di selatan Sungai Huai.”
“Baik, kalau
begitu mari kita pergi beramai ke sana, aku pun ingin memberi hormat kepada
makam ayahmu,” kata Cu Kang Bu yang tidak ingin kehilangan lagi murid
keponakannya itu kalau mereka harus berpisah lagi.
Maka berangkatlah
mereka meninggalkan dusun itu menuju ke selatan. Tubuh Hong Bu yang kuat itu
membuat dia sembuh kembali dalam waktu singkat dan beberapa hari kemudian dia
sudah pulih kembali seperti biasa…..
***************
“Ci Sian,
sungguh aku menyesal sekali mengapa engkau sampai melukai Hong Bu seperti itu,
nyaris saja dia tewas di tanganmu,” kata Kam Hong ketika mereka berjalan
meninggalkan lembah itu.
Ci Sian
merasa ngeri mendengar ini dan ia pun bersungut-sungut, “Habis hatiku mengkal
sekali sih!”
“Kenapa?
Bukankah dia hanya memenuhi tugas yang diperintahkan gurunya untuk mengadu ilmu
denganku? Dan bukankah dia sudah mengaku kalah? Kenapa engkau mendesaknya
sehingga melukainya, Ci Sian? Padahal, engkau sendiri tentu sudah tahu benar
betapa selama dalam perkelahian melawanmu itu dia terus mengalah. Ahhh, kenapa
engkau begitu kejam kepadanya, Ci Sian? Engkau pasti tahu bahwa dia amat
mencintamu....”
“Suheng!” Ci
Sian berkata dengan suara membentak sehingga mengejutkan hati Kam Hong. “Justru
itulah yang membikin hatiku jengkel!”
Kam Hong
memandang dengan terheran-heran. “Apa katamu? Kau jengkel karena dia
mencintamu?”
“Bukan!”
“Habis apa?
Apakah engkau jengkel karena dia mentaati perintah gurunya dan lalu
menantangku?”
“Juga
tidak!”
“Habis, apa
yang membuatmu jengkel?”
“Karena dia
berani melamarku!”
“Ah, lebih
aneh lagi itu. Dia melamarmu adalah sudah wajar, karena dia mencintamu, dan
kulihat dia memang seorang pemuda pilihan yang hebat. Aku pun masih merasa
heran serta penasaran mengapa engkau tidak menerima pinangannya dan malah
marah-marah, padahal pinangan itu wajar saja?”
Tiba-tiba Ci
Sian memandang kepada suheng-nya dengan sinar mata muram. “Suheng, mengapa
engkau begitu membenciku?”
“Ehhh?” Kam
Hong memandang bengong dan terheran.
“Engkau
sedemikian membenciku sehingga engkau ingin agar aku meninggalkanmu. Begitukah?
Engkau seperti mendorongku untuk menerima pinangan Hong Bu. Itulah yang
membuatku jengkel!”
Kam Hong
memandang dengan jantung berdebar. Tak salah lagi, Ci Sian mencintanya! Dia
berusaha untuk menyangkal kenyataan ini, untuk membantah hatinya sendiri, untuk
mendorong sumoi-nya agar berjodoh dengan pemuda yang lebih patut menjadi
sisihan Ci Sian, yang sama mudanya. Akan tetapi ternyata itu malah mendatangkan
kemarahan di dalam hati Ci Sian!
“Kalau
begitu maafkanlah aku, Sumoi. Maksudku baik....”
“Sudahlah,
Suheng, harap jangan bicarakan itu lagi. Aku pun menyesal sekali telah
merobohkan Hong Bu. Sebenarnya aku suka kepadanya. Masih untung bahwa dia tidak
tewas olehku tadi. Aku menyesal.”
Kam Hong
percaya. Dari suaranya saja jelas terbukti bahwa sumoi-nya benar-benar menyesal
dan sebetulnya sumoi-nya sama sekali tidak membenci Hong Bu. Hanya karena Hong
Bu sudah meminangnya, dan karena dia sendiri seperti menyetujui dan mendorong,
maka hal itu mendatangkan kemarahan di hati sumoi-nya.
“Baiklah,
Sumoi. Apakah kita jadi membeli perahu?”
“Tidak,
sudah hilang seleraku untuk melakukan perjalanan melalui air. Kita berpesiar
saja di Pegunungan Fu-niu-san ini, aku mendengar bahwa pemandangan di situ amat
indahnya.”
“Benar,
Sumoi. Dan bambu-bambu dari Fu-niu-san amat terkenal. Banyak terdapat
bambu-bambu yang indah dan aneh-aneh bentuknya di pegunungan ini.”
Mereka pun
lalu melakukan perjalanan seenaknya di pegunungan itu, dan kalau malam mereka
bermalam di hutan-hutan. Mereka tidak kekurangan makanan karena terdapat
dusun-dusun berpencaran di pegunungan itu di mana mereka dapat membeli
buah-buah dan juga daging yang mereka masak di rumah para penduduk dusun.
Pada suatu
pagi, ketika mereka keluar dari sebuah dusun di lereng timur setelah malam tadi
mereka bermalam di dusun itu, tiba-tiba Ci Sian menuding ke depan. “Suheng,
bukankah itu ada orang datang?”
Kam Hong
juga sudah melihatnya. Pagi itu kabut tebal memenuhi lereng sehingga yang
nampak hanya bayangan berlari dari depan, kadang-kadang nampak kadang-kadang
tidak, tergantung tebal tipisnya kabut yang lewat dengan cepat seolah-olah
kabut-kabut itu ketakutan oleh munculnya sinar matahari di balik puncak.
Akhirnya
bayangan itu tiba di depan mereka dan terkejut ketika saling mengenal. Yang
datang itu bukan lain adalah Jenderal Muda Kao Cin Liong! Kalau Kam Hong dan
sumoi-nya terkejut, sebaliknya Cin Liong tersenyum gembira sekali melihat
mereka. Cepat jenderal yang berpakaian preman itu menjura dengan hormat sambil
berseru, “Ahhh, akhirnya saya dapat juga bertemu dengan Ji-wi setelah dengan
susah payah mencari jejak Ji-wi! Akan tetapi, tidak saya sangka akan bertemu
dalam kabut ini sehingga agak mengejutkan juga.”
“Kiranya
Kao-goanswe yang datang!” kata Kam Hong dan tersenyum kagum.
Pemuda ini
adalah putera tunggal Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Hati siapa takkan kagum
memandangnya? Seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, memiliki ilmu
kepandaian yang jarang ditemukan tandingannya, dan semuda itu telah menjadi
seorang panglima, seorang jenderal!
“Ah, selamat
datang, Kao-goanswe, dan ada kepentingan besar apakah maka engkau bersusah
payah mencari kami?”
“Harap
Kam-taihiap jangan menyebut saya goanswe, biar pun saya seorang jenderal akan
tetapi pada saat ini saya tidak bertugas dan lihat saja pakaianku adalah orang
biasa, bukan? Dan keperluanku adalah keperluan pribadi, bukan sebagai seorang
berpangkat.”
Kam Hong
tersenyum. “Baiklah, Saudara Kao Cin Liong. Nah, keperluan apakah yang kau
bawa?”
Cin Liong
memandang kepada Ci Sian dan tersenyum. Gadis itu juga tersenyum karena sudah
lama ia mengenal Cin Liong. “Bagaimana kabarnya, Nona Bu? Kuharap engkau
sehat-sehat saja.”
“Terima
kasih, aku baik-baik saja, Saudara Cin Liong. Ada keperluan apakah engkau
datang mencari kami?”
Mereka
saling berpandangan dan teringatlah mereka akan pengalaman mereka berdua ketika
bersama-sama beraksi di dalam benteng pasukan Nepal yang dipimpin oleh Nandini,
ibu Siok Lan. Kalau mengenangkan masa lalu, di dalam hati keduanya ada suatu
kehangatan karena pada saat itu mereka berjuang sehidup semati menghadapi
lawan-lawan tangguh.
Betapa pun
juga, kini, menghadapi pengakuan cintanya, dan peminangannya, Cin Liong si
jenderal yang tidak gentar menghadapi ribuan orang pasukan musuh itu tiba-tiba
merasa badannya panas dingin dan jantung berdebar tegang! Sampai lama dia tidak
mampu menjawab, hanya memandang kepada Ci Sian dengan bingung.
Kam Hong
yang bepandangan tajam itu agaknya dapat menduga bahwa jenderal muda itu ingin
menyampaikan sesuatu kepada Ci Sian, maka dia pun lalu berkata dengan suara
halus, “Kalau engkau hendak bicara berdua dengan Sumoi, silakan, Saudara Cin
Liong, aku akan menyingkir lebih dulu....”
“Ahhh,
tidak.... saya.... saya hendak bicara denganmu, Kam-taihiap!” kata Cin Liong
dengan gugup.
“Kalau
begitu, biarlah aku saja yang menyingkir!” kata Ci Sian dan sebelum ada yang
menjawab, ia sudah pergi dari tempat itu, agak menjauh dan melihat-lihat
pemandangan alam yang indah.
“Nah,
sekarang bicaralah Saudara Kao Cin Liong,” kata Kam Hong sambil tersenyum untuk
memberanikan hati pemuda itu.
“Kam-taihiap,
terus terang saja.... kedatangan saya mencari Taihiap berdua adalah untuk
melamar Nona Bu Ci Sian!”
Hampir saja
Kam Hong tertawa mendengar ini. Memang tadi, melihat sikap Cin Liong, dia sudah
setengah menduga bahwa jangan-jangan pemuda ini hendak menyatakan cintanya
kepada Ci Sian, maka tadi dia mengusulkan untuk menyingkir kalau pemuda itu
hendak bicara berdua dengan sumoi-nya. Akan tetapi dia tidak percaya akan
dugaannya sendiri. Dan ternyata memang benar! Bahkan jenderal muda ini
mengajukan lamaran. Hampir sukar untuk dapat dipercaya bagaimana bisa begini
kebetulan! Dalam waktu beberapa hari saja, Ci Sian sudah dilamar oleh dua orang
pemuda! Sumoi-nya itu sungguh ‘laris’, dihujani lamaran dan yang melamarnya
adalah pemuda-pemuda pilihan.
Cin Liong
ini dalam segala-galanya bahkan tidak kalah dibandingkan dengan Hong Bu, maka
timbullah harapan di dalam hatinya. Siapa tahu kalau-kalau sumoi-nya akan suka
menjadi jodoh pemuda ini. Dia sendiri akan ikut merasa bangga!
Menjadi
mantu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Dan pemuda ini pun jujur, seperti Hong
Bu. Hanya bedanya, karena pemuda ini terdidik di kota raja, dan hidup sebagai
seorang berkedudukan tinggi, tentu saja pemuda ini masih terikat oleh
kesusilaan sehingga merasa malu dan sungkan menyatakan isi hatinya. Berbeda
dengan Hong Bu yang sejak kecil hidup setengah liar, maka kejujurannya lebih
terbuka tanpa halangan sesuatu lagi.
“Ahh,
Saudara Kao! Bagaimana ini? Aku hanyalah suheng dari Sumoi Bu Ci Sian, bagai
mana engkau melamarnya kepadaku? Bukankah seharusnya kepada ayahnya....?”
“Tentu saja
saya tidak berani melampaui Bu-locianpwe, Taihiap. Sebelum saya mencari Taihiap
berdua, saya bersama orang tua saya pernah datang mengajukan lamaran kepada
Bu-locianpwe dan beliau sendiri yang menganjurkan agar saya mencari Ji-wi dan
langsung saja meminang kepada Nona Bu atau kepada Kam-taihiap sebagai walinya.”
“Hemm....,
Bu-locianpwe sungguh menaruh kepercayaan besar kepadaku. Saudara Kao Cin Liong,
kalau tidak salah, menurut penuturan Sumoi, kalian berdua telah lama sekali
saling berkenalan, bahkan telah menjadi sahabat baik dan pernah berjuang
bahu-membahu, bukan? Aku yakin bahwa yang mendorongmu mengajukan pinangan ini
tentu berdasarkan hatimu yang mencinta, bukan?”
Wajah Cin
Liong menjadi agak merah, akan tetapi dengan tenang dia menatap wajah pendekar
itu dan menjawab, “Benar demikian, Taihiap.”
“Dan engkau
tentu tahu bahwa aku atau siapa pun juga tidak akan dapat memaksa Sumoi, dan
hal itu tergantung sepenuhnya kepadanya. Akan tetapi, aku tidak tahu bagai mana
dengan isi hatinya. Apakah ia mencintamu, Saudara Kao? Maafkan pertanyaanku
ini.”
Cin Liong
menggeleng kepala. “Aku tidak tahu dengan pasti....,” katanya lirih seperti
kepada dirinya sendiri, kemudian dia memandang kembali kepada pendekar itu.
“Terus terang saja, kami tidak pernah bicara tentang cinta, Taihiap, akan
tetapi kalau saya melihat sinar matanya, saya kira.... yah, mudah-mudahan ia
pun mencinta saya seperti saya mencintanya selama ini.”
“Hemm....
kalau begitu, kiranya sebaiknya kalau engkau mengatakannya kepadanya sendiri,
karena keputusannya terserah kepadanya.”
Kembali Cin
Liong nampak gugup. “Ahhh, sukar sekali saya dapat bicara kalau di depannya,
Taihiap. Ia seorang berwatak keras, saya sudah mengenalnya baik-baik, dan sikap
keras itu justru merupakan satu di antara sifatnya yang menarikku. Saya....
saya mohon bantuan, Taihiap, sukalah menjadi perantara membuka percakapan
tentang itu. Kalau sudah dimulai, agaknya saya akan berani mengemukakan
kepadanya.”
Kam Hong
mengerutkan alisnya. Sungguh tugas yang berat. Dia sendiri, walau pun
dilawannya sendiri dengan melihat kenyataan bahwa dia tidak pantas menjadi
jodoh sumoi-nya, dia telah jatuh cinta kepada dara itu. Dan kini dia diminta
tolong untuk menjadi perantara perjodohan dara itu dengan orang lain! Akan
tetapi, bukankah ini yang dia kehendaki? Bukankah dia akan merasa girang kalau
Ci Sian menjadi jodoh Cin Liong, bahkan lebih baik malah dari pada menjadi
jodoh Hong Bu?
Ci Sian
mungkin akan marah kepadanya. Akan tetapi biarlah. Ia harus dapat mengambil
keputusan yang tepat dan melihat kenyataannya bagaimana. Dia masih tidak dapat
menerima kenyataan bahwa sumoi-nya hanya mencinta dia seorang. Agaknya tidak
mungkin, kalau di samping dia masih terdapat pemuda-pemuda seperti Hong Bu dan
Cin Liong yang mencintanya, bahkan mengajukan pinangan kepadanya!
“Sumoi....!”
dia memanggil, suaranya terdengar agak gemetar.
Gadis itu
menoleh. Melihat suheng-nya menggapai, ia kemudian menghampiri setengah
berlari. Nampak masih kekanak-kanakan ketika ia berlari-lari itu, akan tetapi
juga manis sekali. Ci Sian tersenyum memandang kepada Cin Liong.
“Nah, sudah
selesaikah urusan besar yang teramat penting itu?”
“Belum,
Sumoi, bahkan baru dimulai.”
“Ehhh, kalau
begitu mengapa memanggil aku?”
“Karena
urusan ini memang mengenai dirimu. Duduklah, Sumoi, dan dengarlah baik-baik,”
kata Kam Hong.
Ci Sian
mengerutkan alisnya, sejenak memandang kepada Cin Liong dengan sinar mata tajam
penuh selidik, akan tetapi ia duduk juga di atas batu besar yang banyak
terdapat di situ.
“Ada apa
sih, begini penuh rahasia?”
“Begini,
Sumoi. Saudara Kao Cin Liong ini pernah pergi berkunjung kepada Ayahmu di
Cin-an bersama ayah bundanya, lalu sekarang ia mencari kita. Ada pun
keperluannya adalah untuk meminangmu, Sumoi, engkau dilamar untuk menjadi
isteri Saudara Kao Cin Liong....”
“Suheng! Lagi....?
Engkau.... engkau....,” dan Ci Sian lalu menangis!
Tentu saja
Cin Liong terkejut bukan main sedangkan Kam Hong hanya termenung saja, maklum
bahwa kembali dia telah menyakiti hati sumoi-nya.
“Nona Bu Ci
Sian, maafkanlah aku....” kata Cin Liong. “Sungguh mati, aku meminangmu dengan
hormat, sama sekali tidak bermaksud menyinggung perasaanmu....”
“Kau tahu
apa tentang menyinggung hati? Kalian laki-laki sungguh memandang rendah kaum
wanita! Kenapa laki-laki tidak mau tahu tentang perasaan hati wanita? Kenapa
tanpa meneliti perasaan wanita, mudah saja datang melamar seolah-olah wanita
itu barang dagangan yang boleh saja ditawar orang seenak perutnya? Kam-suheng,
kalau memang engkau begitu benci kepadaku, bilang saja terus terang dan aku
pasti akan pergi dari sampingmu, meski apa jadinya denganku! Tidak perlu engkau
mendorongku untuk menjadi isteri orang lain! Tak kusangka kau.... sekejam
ini....”
“Sumoi, sama
sekali tidak begitu....”
“Nona Bu,
sekali lagi maafkanlah aku....”
Tapi Ci Sian
sudah mencabut sulingnya dan menghadapi Cin Liong sambil menantang. “Jenderal
Kao Cin Liong! Engkau telah meminangku melalui ayah kandungku, juga engkau
telah meminangku kepada Kam-suheng yang agaknya tidak peduli kepadaku dan ingin
melihat aku menjadi isteri siapa pun juga dan mau memberikan aku kepada pria
pertama yang mau datang meminangku. Sekarang engkau dengarlah syaratku. Aku mau
menjadi isterimu asal engkau dapat mengalahkan aku dan dapat menewaskan aku di
sini. Majulah!”
Wajah Cin
Liong menjadi pucat seketika dan dia merasa jantungnya seperti ditusuk. Dia
telah salah sangka! Dara ini tidak mencintanya, melainkan mencinta Kam Hong!
Akan tetapi agaknya Kam Hong tidak tahu akan hal ini, maka pendekar itu seperti
mendorong sumoi-nya untuk menerima pinangan orang lain. Tapi dia sendiri dapat
melihat dengan jelas dan tahulah dia mengapa Ci Sian marah-marah, yaitu karena
sikap Kam Hong itulah. Dia menarik napas panjang dan menundukkan mukanya.
“Sumoi,
harap engkau jangan bersikap begini!” Kam Hong menegur. Dia jadi terkejut
sekali mendengar tantangan Ci Sian terhadap Cin Liong.
Akan tetapi
tegurannya ini bagaikan minyak yang menyiram api, membuat kedukaan dan
kemarahan dalam hati Ci Sian menjadi semakin berkobar. Dengan kedua mata yang
agak kemerahan oleh karena menangis tadi, ia menoleh dan memandang wajah
suheng-nya.
“Suheng,
dari pada engkau mendorong-dorongku untuk menjadi isterinya, lebih baik engkau
membelanya sekalian dan biarlah aku mati di tangan kalian. Majulah dan
keroyoklah aku!”
“Sumoi....!”
Cin Liong
sudah maju mendekati Ci Sian dan menjura, mukanya masih pucat akan tetapi
dengan gagahnya pemuda ini menekan perasaan nyeri dan mencoba untuk tersenyum.
“Nona Bu Ci
Sian, ternyata aku telah buta. Telah begitu lama aku mengenalmu, akan tetapi
ternyata aku salah menafsirkan sikapmu kepadaku. Engkau baik kepadaku bukan
karena cinta, dan cintaku bertepuk tangan sebelah. Aku tahu bahwa engkau telah
mencinta orang lain, Nona, dan memang orang itu patut menerima cinta kasihmu
karena dia adalah seorang yang hebat, cintanya kepadamu tanpa pamrih untuk
dirinya sendiri dan dia hanya mendambakan kebahagiaanmu. Kam-taihiap, Nona Bu,
selamat tinggal, maafkanlah aku sebanyaknya dan semoga kalian berdua
berbahagia.” Tanpa menanti jawaban, Cin Liong lalu meloncat pergi dari situ
meninggalkan mereka berdua.
Keadaan
menjadi sunyi sekali setelah Cin Liong pergi dan Ci Sian sudah menyimpan
sulingnya dan membalikkan tubuhnya. Kini ia berhadapan dengan Kam Hong, saling
berpandangan sampai beberapa lama dan akhirnya Kam Hong menarik napas panjang
dan berkata,
“Sumoi,
sungguh kasihan sekali pemuda itu. Dia tidak boleh sekali-kali dipersalahkan
karena dia jatuh cinta kepadamu dan meminangmu, ahhh, dapat kubayangkan betapa
hancur rasa hatinya....”
Akan tetapi
ucapan ini sama sekali tidak dipedulikan oleh Ci Sian, bahkan seperti tidak
didengarnya, matanya masih menatap wajah suheng-nya dan akhirnya ia pun
berkata, “Suheng, benarkah apa yang dikatakan oleh Cin Liong tadi....?”
“Apa?
Kata-kata yang mana maksudmu?”
“Tentang
orang yang mencintaku tanpa pamrih untuk dirinya sendiri dan dia hanya
mendambakan kebahagiaanku. Benarkah itu, Suheng?” Di dalam suara ini terkandung
nada permohonan dan pengharapan yang menggetar melalui suaranya.
Sejenak Kam
Hong memandang tajam, mereka saling pandang dan akhirnya Kam Hong hanya menarik
napas panjang lalu mengangguk.
“Kam-suheng....!”
Ci Sian berseru dan menangis sambil menubruk suheng-nya yang lalu memeluknya.
Dara itu
menangis di dada Kam Hong yang menggunakan tangannya untuk mengelus rambut yang
hitam halus itu. Air mata membasahi bajunya dan menembus membasahi kulit
dadanya, bahkan terasa seolah-olah menembus kulit dan menyiram perasaan,
menimbulkan kesejukan seperti bunga kekeringan menerima curahan air hujan.
“Suheng....!”
akhirnya Ci Sian dapat meredakan tangisnya dan bertanya, suaranya lirih tanpa
mengangkat mukanya dari dada pendekar itu, “Kalau benar engkau mencintaku
seperti cintaku kepadamu.... ya, tak perlu aku mengaku, aku memujamu sejak
dahulu, Suheng.... kalau benar engkau cinta padaku, kenapa sikapmu begitu?
Kenapa engkau seperti mendorongku untuk menerima pinangan orang lain?”
Kam Hong
mencium rambut kepala yang bersandar di dadanya itu, dekapannya menjadi kuat
untuk beberapa lama, kemudian mengendur lagi dan dia pun berkata, “Sumoi, sejak
aku merasakan bahwa hubungan antara kita berubah.... semenjak aku melihat
gejala bahwa engkau jatuh cinta kepadaku seperti cinta seorang wanita terhadap
pria, dan aku pun dapat melihat kenyataan bahwa perasaan hatiku pun condong
seperti itu, mencintamu bukan sebagai seorang suheng terhadap sumoi-nya
melainkan sebagai seorang pria terhadap seorang wanita, maka aku menjadi
khawatir sekali. Karena itulah maka aku dahulu sengaja meninggalkanmu bersama
Sim Hong Bu....”
Pendekar itu
berhenti bicara dan Ci Sian yang tadi mendengarkan penuh perhatian, lalu
bertanya, “Akan tetapi, mengapa, Suheng? Mengapa? Apa salahnya kalau kita
saling mencinta sebagai wanita dan pria, bukan hanya sebagai suheng dan sumoi?
Apa salahnya?”
“Ingatkah
engkau akan ucapan Cin Liong tadi? Dia bermata tajam dan berotak cerdas,
sekilas pandang saja dia telah dapat menyelami sampai mendalam. Aku mencinta
padamu, Sumoi, dan cintaku bukan hanya untuk menyenangkan diriku sendiri. Aku
ingin melihat engkau berbahagia. Aku melihat kenyataan bahwa aku adalah seorang
yang sudah berusia jauh lebih tua dari padamu. Selisih antara kita belasan
tahun! Aku khawatir bahwa kelak engkau akan menyesal dan tidak berbahagia di
sampingku. Aku melihat betapa engkau jauh lebih tepat menjadi sisihan
pendekar-pendekar muda seperti Hong Bu atau Cin Liong. Karena itulah maka aku
seperti mendorongmu, aku hanya ingin melihat engkau berbahagia, Sumoi. Nah,
sudah kukeluarkan semua isi hatiku....” Pendekar itu menarik napas panjang,
kini hatinya terasa lapang setelah dia mengeluarkan semua itu.
Ci Sian
melepaskan diri dari pelukan dan melangkah mundur selangkah, kemudian memandang
suheng-nya dengan sinar mata penasaran. “Suheng, kalau aku mencinta hanya
karena melihat usia muda, wajah tampan, kedudukan, harta benda, kepandaian dan
semacamnya lagi, berarti aku hanya mencinta semua keadaan dan sifat itu, bukan
mencinta orangnya. Akan tetapi aku mencintamu karena dirimu, karena engkau
adalah engkau, Suheng.... mengapa bicara tentang perbedaan usia segala? Kenapa
engkau yang katanya mencintaku dan ingin melihat aku berbahagia, malah tega
meninggalkan aku sendirian, membiarkan aku merana dan sengsara dan menderita
rindu, kemudian malah tega hendak mendorongku menjadi isteri orang lain? Suheng
ingin melihat aku berbahagia, atau ingin melihat aku sengsara? Kebahagiaan
hanyalah apabila aku berada di sampingmu, Suheng!”
“Sumoi, kau
maafkan aku....” Dengan penuh keharuan hati Kam Hong lalu merangkul dara itu.
Ci Sian
mengangkat mukanya, berdekatan dengan muka suheng-nya dan seperti ada daya
tarik sembrani yang kuat, entah siapa yang bergerak lebih dulu, tahu-tahu
mereka telah berciuman dengan mesra.
Cinta asmara
bukan sekedar terdorong oleh daya tarik masing-masing antara pria dan wanita,
walau pun tentu saja dimulai oleh suatu daya tarik. Daya tarik itu bisa saja
berupa wajah rupawan, kedudukan tinggi, harta benda, kepandaian, atau keturunan
keluarga orang besar. Akan tetapi juga dapat berupa sikap yang menyenangkan
hati yang tertarik, tentu saja sikap ini pun bermacam-macam sesuai dengan
selera masing-masing yang tertarik. Akan tetapi, hubungan kasih sayang barulah
mendalam dan juga membahagiakan orang yang dicintanya apabila ada keinginan dan
tindakan-tindakan nyata untuk membahagiakan orang yang dicinta.
Sebaliknya,
cinta asmara yang didorong oleh keinginan menyenangkan diri sendiri sudah tentu
akan bertumbuk kepada banyak hal yang mendatangkan derita. Derita ini timbul
karena sekali waktu tentu orang yang dicintanya itu akan melakukan sesuatu yang
dianggapnya tidak menyenangkan hatinya lagi! Tiada sesuatu yang kekal di dalam
kehidupan ini kecuali cinta kasih!
Seperti kita
ketahui, Sim Hong Bu meninggalkan daerah Lok-yang dan pergi menuju ke Sin-yang
bersama Cu Pek In, Cu Kang Bu dan Yu Hwi. Mereka tidak tahu bahwa gerak-gerik
mereka itu telah diawasi sejak lama dari jauh oleh banyak pasang mata yang
bersembunyi-sembunyi. Baru setelah mereka tiba di sebuah hutan kecil di lereng
gunung, mereka berempat merasa heran melihat munculnya belasan orang yang sudah
mengepung mereka.
Empat orang
itu bersikap tenang, bahkan Hong Bu tersenyum mengejek dengan hati terasa geli.
Orang-orang ini mencari penyakit, pikirnya. Akan tetapi sedikit pun hatinya
tidak menjadi marah. Kemarahan jauh dari hati Hong Bu pada saat itu. Dia telah
menemukan kesejukan hati yang baru, setelah dia ‘mengenal’ Pek In sebagai
seorang gadis yang wajar, sebagai kekasihnya, bahkan lebih dari itu, sebagai
tunangannya, calon isterinya! Dan di dalam perjalanan itu, Cu Kang Bu dan
isterinya yang bijaksana memang sengaja memberi banyak kesempatan kepada mereka
untuk berduaan. Hong Bu selalu merasa gembira dan bahagia. Terlupakanlah sudah
kegetiran yang terasa oleh penolakan Ci Sian!
Memang,
segala macam perasaan hanya timbul oleh karena permainan pikiran yang
mengingat-ingat belaka. Seperti juga kepuasan yang hanya sebentar, kekecewaan
pun lewat bagai angin lalu saja. Suka dan duka silih berganti seperti awan-awan
bergerak di angkasa.
Ketika Hong
Bu merasa kecewa dan berduka karena penolakan Ci Sian, hal itu timbul karena
pikirannya mengenang semua itu dan menimbulkan rasa iba diri dan kecewa. Akan
tetapi sekarang, begitu pikirnya penuh dengan kegembiraan karena hasil baru
yang amat menyenangkan dan baik dalam hubungannya dengan Pek In, maka semua
kedukaan yang lalu pun lenyap tanpa bekas.
Kita ini,
biar pun sudah dewasa, namun masih tiada bedanya dengan anak-anak, hanya badan
kita saja yang tumbuh menjadi besar. Kita masih mudah tertawa dan menangis,
seperti kanak-kanak yang mudah tertawa memperoleh permainan baru dan mudah
menangis ketika kehilangan sesuatu yang disenanginya. Tetapi setiap muncul
pengganti yang baru, yang lama, baik yang menyenangkan mau pun yang
menyusahkan, akan terlupa dan hilang tak berbekas. Yang berbeda hanyalah macam
permainan itu saja.
Biasanya,
kita manusia, di ujung dunia yang mana pun juga, selalu mengejar-ngejar
pengulangan kesenangan atau mencari keadaan yang lebih menyenangkan atau
dianggap lebih menyenangkan lagi, selalu mencoba untuk menjauhi atau
menghindari apa saja yang dianggap menyusahkan. Kita ingin hidup ini penuh
dengan yang manis-manis saja. Kita lupa bahwa selama kita mendambakan yang
manis, maka akan bermunculanlah yang pahit, yang getir, yang masam dan
sebagainya karena semua itu muncul apabila yang manis dan kita dambakan itu
tidak tercapai.
Itulah
romantika hidup. Ya manis, ya pahit, ya getir. Semua itu merupakan kesatuan
yang tak terpisahkan, yang menjadi isi dari pada kehidupan kita sekarang ini.
Mengapa kita tidak menerima semua itu secara wajar saja? Mengapa mesti
bersenang kalau mendapatkan yang manis akan tetapi mengeluh kalau memperoleh
yang pahit? Kalau kita menghadapinya dengan pengamatan mendalam, tanpa
penilaian si pikiran yang selalu mencari manis, mungkin kita akan melihat
sesuatu yang ajaib. Benar pahitkah yang kita anggap pahit itu dan benar
maniskah yang kita anggap manis? Apakah akan terasa nikmatnya manis kalau kita
tidak merasakan tidak enaknya pahit? Apakah kita dapat mengenal terang kalau
kita tidak mengenal gelap?
Melihat
munculnya belasan orang yang memegang senjata golok dan pedang lalu mengepung
tempat itu, Yu Hwi juga tersenyum lebar seperti melihat sesuatu yang lucu
sekali. Akan tetapi tidak demikian dengan Cu Pek In. Gadis ini mengenal seorang
di antara mereka, yaitu orang yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam,
usianya sekitar empat puluh tahun, berkumis tebal melintang dan lengan kiri
orang itu masih dibalut. Orang itu bukan lain adalah Koa Cin Gu, guru silat dari
Lo-couw yang lebih suka pria tampan dari pada wanita cantik itu! Maka, melihat
orang ini, marahlah Pek In.
“Orang she
Koa yang tidak tahu malu! Sudah kupatahkan lengan kirimu engkau masih berani
datang berlagak, apakah harus kupatahkan tulang lehermu?” Sambil berkata
demikian, Cu Pek In melangkah maju ke arah laki-laki tinggi besar itu.
Si Tinggi
Besar itu terbelalak. Tentu saja dia tidak mengenal Pek In sebelum dara ini
membuka suara dan sekarang dia memandang, dengan mata terbelalak, “Ahh, kiranya
seorang perempuan....?” katanya perlahan.
Sebelum Pek
In dapat turun tangan atau bicara lagi, tiba-tiba Si Tinggi Besar itu dan
beberapa orang kawannya membuat gerakan minggir dan terdengar suara yang tenang
dan halus, “Ahhh, kiranya keluarga Lembah Suling Emas yang berada di sini!”
Pek In tidak
jadi menyerang Si Tinggi Besar dan cepat mundur kembali mendekati paman dan
bibinya dan Hong Bu ketika mengenal siapa yang mengeluarkan suara itu. Nampak
empat orang berjalan perlahan memasuki kepungan itu dan ternyata mereka itu
adalah Toa-ok Su Lo Ti, Ji-ok Kui-bin Nio-nio, Sam-ok Ban-hwa Sengjin, dan
orang ke empat adalah seorang kakek raksasa yang rambutnya sudah putih semua
dan pakaiannya serba hitam, membawa sebuah kipas merah dan mengipasi lehernya
tanpa bicara, akan tetapi jelas memiliki sikap yang amat berwibawa.
Cu Kang Bu,
isterinya, dan Pek In tidak mengenal kakek ini, akan tetapi Sim Hong Bu
terkejut bukan main ketika mengenal bahwa kakek berpakaian hitam itu bukan lain
adalah Hek-i Mo-ong, yaitu manusia iblis yang pernah menjadi ketua perkumpulan
iblis Hek-i-mo itu!
Sementara
itu, pada saat Hek-i Mo-ong melihat Hong Bu, wajahnya langsung berubah. Tadinya
kakek ini sama sekali tidak tertarik dan amat memandang rendah kepada
orang-orang yang hendak dihukum oleh Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok. Akan tetapi
begitu melihat Hong Bu, tentu saja dia mengenal musuh besar yang pernah
menghancurkan perkumpulannya bersama seorang gadis bersuling emas dengan
suheng-nya yang lihai bukan main itu. Dia merasa girang bukan main, merasa
bahwa secara kebetulan dia dapat membalas dendam atas kekalahannya dikeroyok
tempo hari.
“Ha-ha-ha,
kiranya engkau bocah setan datang mengantar nyawa!” katanya sambil menudingkan
kipasnya, ke arah muka Sim Hong Bu.
Melihat
lagak ini, Pek In yang tidak mengenal lagak Hek-i Mo-ong, menjadi marah.
Tunangan atau kekasihnya dimaki orang bocah setan, tentu saja ia marah.
“Iblis tua
bermulut busuk!” katanya dan dia pun sudah mencabut sulingnya dan bersiap
menyerang.
“Sumoi,
jangan....!” teriak Hong Bu dan cepat dia melompat ke depan.
Akan tetapi,
suling itu telah mengeluarkan suara melengking ketika menyambar ke arah kakek
itu, berubah menjadi sinar kuning emas. Melihat gadis ini menggunakan senjata
suling emas, kakek itu terkejut dan mengira bahwa tentu gadis ini mempunyai
hubungan dengan gadis yang pernah mengalahkannya bersama pemuda berpedang biru
itu. Maka dia pun menggunakan lengan menangkis sambil mengerahkan tenaga karena
kalau gadis ini selihai gadis yang dulu pernah mengeroyoknya, serangan itu
cukup berbahaya.
“Dukkk....!”
Dan
akibatnya, tubuh Pek In terlempar dan tentu ia akan terbanting keras kalau saja
pamannya, Cu Kang Bu, tidak cepat-cepat mengulurkan tangan dan menangkap tangan
keponakannya itu, terus dilontarkan ke atas sehingga Pek In dapat turun dengan
enak, tidak sampai terbanting. Pek In terkejut bukan main, dan kakek itu
tertawa. Kiranya gadis itu masih amat lemah, sebaliknya laki-laki tinggi besar
yang amat gagah perkasa itu cukup lihai. Hal ini dapat dilihatnya dengan mudah
ketika laki-laki itu menahan jatuhnya gadis yang terlempar.
Bagaimanakah
tiga orang sisa dari Im-kan Ngo-ok itu tahu-tahu telah bisa bersekutu dengan
Hek-i Mo-ong dan agaknya membantu guru silat She Koa itu? Persekutuan antara
mereka tidaklah aneh karena Hek-i Mo-ong sebetulnya masih terhitung susiok
(paman guru) dari Toa-ok Su Lo Ti, orang pertama Im-kan Ngo-ok.
Karena
keduanya telah mengalami musibah, yaitu Im-kan Ngo-ok selain kehilangan
pekerjaan atau kedudukan sebagai pendukung Sam-thaihouw juga telah kehilangan
dua orang anggota termuda yaitu Su-ok dan Ngo-ok, sedangkan Hek-i Mo-ong juga
telah menderita kekalahan dari sepasang orang muda yang mewakili pewaris Suling
Emas dan Naga Siluman, sedangkan perkumpulannya juga diobrak-abrik, maka mereka
saling membutuhkan dan saling membantu.
Setelah
mengadakan pertemuan, maka mereka bersepakat untuk bekerja sama agar nama
mereka dapat diangkat kembali ke dunia kang-ouw. Persekutuan mereka itu tentu
saja membuat mereka merasa lebih kuat dari pada sebelumnya. Ketiga orang
anggota Im-kan Ngo-ok itu bagi Hek-i Mo-ong merupakan pembantu yang amat kuat
dan boleh diandalkan, lebih kuat dari pada semua anak buahnya yang telah
diobrak-abrik oleh Sim Hong Bu, Ci Sian dan Kam Hong.
Sebaliknya,
tentu saja bagi sisa Im-kan Ngo-ok lebih terasa lagi karena keadaan mereka
berempat jauh lebih kuat dari pada ketika mereka masih berlima! Akan tetapi,
urutan tingkat kepandaian mereka sekarang tentu saja mengalami perubahan, yaitu
Hek-i Mo-ong berada paling atas dan Toa-ok menjadi orang ke dua!
Biar pun
merasa diri mereka kuat, akan tetapi melihat betapa Pangeran Kian Liong yang
bijaksana dan didukung oleh semua pendekar perkasa itu telah menjadi kaisar dan
mengambil sikap tangan besi terhadap orang-orang dari golongan sesat, maka
untuk sementara empat orang datuk ini tidak berani menonjolkan diri mereka.
Dan mereka
telah menemukan tempat persembunyian sementara yang amat baik, yaitu di tempat
perguruan Koa Cin Gu, yang baru beberapa tahun bekerja membuka perguruan
sebagai seorang guru silat. Koa Cin Gu yang tinggal di Lok-yang ini adalah
seorang kenalan baik dari Sam-ok Ban-hwa Sengjin dan merupakan orang yang sudah
amat dipercaya.
Demikianlah
keadaan para datuk itu mengapa mereka dapat bersekutu dan mengapa mereka
membantu Koa-kauwsu. Guru silat ini dan anak buahnya atau murid-muridnya
merupakan pembantu-pembantu untuk menyelidiki keadaan di kota raja dan
kota-kota besar bagi para datuk ini. Oleh karena itu, ketika pada suatu hari
Koa Cin Gu pulang dengan lengan kiri patah, mereka terkejut sekali.
Koa-kauwsu
lalu menyuruh para kaki tangannya membayangi dan menyelidiki keadaan ‘pemuda’
itu. Sam-ok sendiri melakukan penyelidikan dan ketika melihat bahwa yang
disebut pemuda oleh Koa Cin Gu itu adalah Cu Pek In puteri majikan Lembah
Suling Emas, bersama Cu Kang Bu yang dikenalnya sebagai pendekar dan penghuni
Lembah Suling Emas, dan juga isteri pendekar itu, Sam-ok terkejut bukan main
dan itulah sebabnya mengapa Koa Cin Gu muncul bersama empat orang datuk itu!
“Lembah
Suling Emas merupakan tempat rahasia di Pegunungan Himalaya,” berkata Sam-Ok,
terutama kepada Hek-i Mo-ong, “Dan di sana terkumpul banyak pusaka-pusaka yang
tidak ternilai harganya. Bahkan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam yang
dihebohkan itu pun dicuri oleh penghuni lembah itu. Mereka memiliki ilmu
kepandaian tinggi, dan kalau kita dapat menahan tiga orang ini sebagai sandera,
tentu kita akan dapat memaksa mereka untuk menyerahkan pusaka-pusaka itu,
terutama Koai-liong Po-kiam kepada kita.”
Ji-ok dan
Toa-ok tentu saja merasa setuju sekali. Mereka berbesar hati dan timbul
keberanian mereka untuk memusuhi para penghuni Lembah Suling Emas setelah kini
Hek-i Mo-ong menjadi sekutu mereka.
Hek-i Mo-ong
hanya mengangguk-angguk. Orang yang setua dia sebetulnya sudah tak ingin lagi
untuk memperoleh pusaka-pusaka, dan dia sudah terlalu mengagulkan diri sendiri
sehingga dia menganggap bahwa tanpa merampas pusaka orang lain sekali pun dia
tidak mempunyai tandingan lagi di dunia ini.
Akan tetapi
untuk menyenangkan hati tiga orang pembantu barunya itu, yang dianggapnya
sebagai keponakan-keponakan muridnya juga, ia menyetujui untuk bersama mereka
menghadang perjalanan tiga orang itu.
Dan dapat
dibayangkan betapa kaget dan juga girangnya ketika dia melihat bahwa musuh
besarnya pemuda yang pernah mengeroyoknya bersama dara bersenjata suling emas,
ternyata berada pula dalam rombongan keluarga Lembah Suling Emas itu!
Demikianlah,
empat orang datuk itu kini berhadapan dengan empat orang pendekar dari Lembah
Suling Emas yang telah berubah sebutannya menjadi Lembah Naga Siluman itu.
“Hek-i
Mo-ong, bagus bahwa engkau masih hidup! Kini aku dapat menyempurnakan usahaku
untuk membunuhmu!” kata Sim Hong Bu, ucapan yang sengaja dikeluarkan untuk memberi
tahu kepada Cu Kang Bu dan Yu Hwi bahwa kakek itu adalah Ketua Hek-i-mo yang
terkenal itu.
Dan memang
suami isteri ini terkejut bukan main mendengar bahwa kakek yang berpakaian
serba hitam ini adalah kakek iblis yang namanya pernah menjulang tinggi dan
menggetarkan dunia Kang-ouw itu.
“Ha-ha,
sekali ini engkaulah yang akan mampus di tanganku, bocah setan!” kata kakek itu
yang segera menerjang maju sambil mencabut keluar senjatanya yang sangat
menyeramkan, yaitu tombak Long-ge-pang (Gigi Srigala). Dia memegang tombak itu
di tangan kanan dan dibantu kipas merah di tangan kirinya, menyerang sambil
tertawa nyaring, suara ketawa yang mengandung khikang amat kuatnya.
“Trang-trang-trang....!”
“Wuuuuttt....
cringggg....!”
Dalam
segebrakan saja mereka telah saling serang dengan hebat, dan sinar kebiruan
dari Koai-liong Po-kiam menyilaukan mata. Melihat bahwa pemuda itu
mempergunakan pedang pusaka yang membuat mereka dahulu ikut pula
memperebutkannya, tiga orang dari Im-kan Ngo-ok menjadi girang sekali dan mereka
pun sudah bergerak maju. Tentu saja Cu Kang Bu dan Yu Hwi segera menyambut
mereka, juga Cu Pek In sudah mempergunakan sulingnya untuk membantu paman dan
bibinya.
Toa-ok
disambut oleh Cu Kang Bu, hingga Yu Hwi terpaksa melawan Ji-ok sedangkan Sam-ok
dilawan oleh Pek In. Tentu saja Hong Bu dan Kang Bu merasa khawatir sekali,
karena mereka tahu bahwa kepandaian kedua orang wanita itu masih kalah jauh
kalau dibandingkan dengan lawan mereka yang merupakan datuk-datuk yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi sekali.
Akan tetapi,
mereka tidak berdaya untuk melindungi Yu Hwi dan Pek In. Sim Hong Bu yang ingin
melindungi Pek In, tidak mungkin dapat keluar dari kurungan sinar senjata
lawannya yang amat hebat itu, dan tanpa melindungi gadis itu pun dia sudah
harus mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya
untuk mengimbangi Hek-i Mo-ong. Diputarnya pedangnya sehingga nampak gulungan
sinar biru yang bukan hanya melindungi tubuhnya melainkan juga membalas
serangan lawan dengan dahsyat.
Hek-i Mo-ong
mengenal kelihaian pemuda ini, maka dia pun tidak berani memandang ringan dan
sudah menggerakkan senjata tombak Long-ge-pang itu dengan gerakan aneh, cepat
dan kuat sekali, dibantu oleh gerakan kipas merahnya yang menotok jalan darah
lawan bagaikan patuk burung garuda.
Ban-kin-sian
Cu Kang Bu merupakan lawan yang setanding dari Toa-ok Su Lo Ti. Pendekar tinggi
besar yang gagah perkasa ini sudah mencabut senjata cambuknya, yaitu sehelai
cambuk baja yang tadinya menjadi ikat pinggangnya.
Walau pun
Toa-ok merupakan orang pertama dari Im-kan Ngo-ok dan merupakan datuk yang amat
lihai, akan tetapi menghadapi Cu Kang Bu dia tidak dapat main-main dan terpaksa
harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya kalau dia tidak ingin menjadi korban
sambaran cambuk baja yang berkelebatan membentuk sinar bergulung-gulung seperti
seekor naga mengamuk itu.
Julukan Cu
Kang Bu adalah Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati), maka tentu saja
tenaganya hebat luar biasa sehingga sabuk yang diputarnya itu lenyap bentuknya
dan menimbulkan angin yang dahsyat sekali. Namun lawannya adalah Toa-ok, Si
Jahat Nomor Satu yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga mempunyai
pengalaman yang amat luas.
Kedua
lengannya yang tidak bersenjata itu penuh dengan tenaga sinkang sehingga
menjadi kebal, akan tetapi dia juga cukup cerdik untuk tidak mengadu lengannya
secara langsung dengan cambuk baja yang digerakkan amat kuatnya.
Dia lebih
banyak mengelak dan kalau menangkis, selalu menangkis dari arah samping, juga
membalas dengan dorongan-dorongan telapak tangannya yang mendatangkan hawa
pukulan kuat sekali.
Seperti
pertandingan antara Hong Bu dan Hek-i Mo-ong, maka perkelahian antara Cu Kang
Bu melawan Toa-ok ini pun berjalan dengan seru sekali.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment