Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Naga
Jilid 01
PENILAIAN,
dalam bentuk apa pun juga, tentu dipengaruhi oleh suka dan tidak suka dari si
penilai. Dan perasaan suka atau tidak suka ini timbul dari perhitungan rugi
untung. Kalau si penilai merasa dirugikan, baik lahir mau pun batin, oleh yang
dinilainya, maka perasaan tidak suka karena dirugikan ini yang akan menentukan
penilaiannya, sehingga tentu saja hasil penilaian itu adalah BURUK. Sebaliknya,
kalau merasa diuntungkan lahir mau pun batin, akan timbul perasaan suka dan
hasil penilaiannya tentu BAIK.
Penilaian
menimbulkan dua sifat atau keadaan yang berlawanan, yaitu baik atau buruk.
Tentu saja baik atau buruk itu bukanlah sifat asli yang dinilai, melainkan
timbul karena keadaan hati si penilai sendiri.
Agaknya
belum pernah ada kaisar atau orang biasa siapa pun juga yang dinilai baik oleh
orang seluruh dunia. Kaisar Kian Liong, seperti dapat dilihat dalam catatan
sejarah, adalah kaisar yang terkenal berhasil dalam memajukan kebesaran
pemerintahannya. Akan tetapi, dia pun menjadi bahan penilaian rakyat dan karena
itu, tentu saja dia pun memperoleh pendukung dan juga memperoleh penentang.
Seperti
dalam pemerintahan kaisar-kaisar terdahulu, dalam pemerintahan Kian Liong ini
pun tidak luput dari pemberontakan-pemberontakan, baik besar mau pun kecil.
Akan tetapi, Kaisar Kian Liong selalu bertindak tegas dalam menghadapi
pemberontakan-pemberontakan itu dan karena dalam pemerintahannya terdapat
banyak panglima-panglima yang tangguh dan pandai, dengan bala tentara yang
cukup besar, maka dia selalu berhasil memadamkan api-api pemberontakan yang
terjadi di sana-sini.
Pemberontakan
yang hebat terjadi pula di daerah Yunan barat daya. Bangsa Birma bersekutu
dengan para pemberontak di Propinsi Yunan. Pasukan besar Bangsa Birma memasuki
Propinsi Yunan bagian barat daya, menyeberangi Sungai Nu-kiang, bahkan bergerak
sampai di tepi Sungai Lan-cang (Mekong).
Tentu saja
Kaisar Kian Liong tidak mendiamkan saja bangsa tetangga itu mengganggu wilayah
Yunan dan dia segera mengirimkan panglima-panglima perangnya, memimpin pasukan
besar untuk menghalau para pengganggu dari Birma itu serta menumpas
pemberontakan di Yunan. Kembali terjadi perang!
Perang
adalah sebuah peristiwa yang amat jahat dan buruk dalam dunia ini. Puncak
kebuasan manusia menuruti nafsu mengejar KESENANGAN. Perang merupakan perluasan
dan pembiakan nafsu kotor dalam diri yang mengejar kesenangan dengan cara apa
pun juga. Setiap orang atau benda yang dianggap menjadi penghalang usahanya
mengejar kesenangan itu akan dihancurkan, dibinasakan.
Perang
adalah permainan beberapa gelintir manusia yang kebetulan saja memperoleh
kesempatan untuk duduk di tingkat paling atas, menjadi apa yang dinamakan
pemimpin-pemimpin bangsa atau golongan atau kelompok, dalam usaha mereka untuk
mencapai kedudukan paling tinggi dan kesenangan. Dan siapakah yang menjadi
korban kalau bukan rakyat jelata? Para prajurit yang telah digembleng menjadi
alat-alat membunuh atau dibunuh itu pun sebagian dari rakyat yang menjadi
korban ulah beberapa gelintir manusia yang berambisi itu.
Perang itu
amat kejam! Manusia-manusia dirubah untuk menjadi serigala-serigala dan
harimau-harimau yang haus darah, menjadi orang-orang yang teramat kejam karena
ketakutan, yang berdaya upaya untuk membunuh lebih dulu sebelum terbunuh,
menjadi pembunuh berdarah dingin yang disanjung-sanjung serta dipuji-puji oleh
mereka yang memperalatnya.
Di dalam
perang berlakulah hukum rimba. Siapa kuat dia menang, siapa menang dia pasti
benar dan berkuasa atas yang kalah. Bukan ini saja, tetapi di dalam perang juga
timbul kejahatan-kejahatan yang diumbar karena desakan nafsu yang paling sesat.
Para prajurit yang digembleng untuk melakukan kekerasan itu tentu saja berwatak
keras. Bahaya-bahaya dan ancaman-ancaman di dalam perang membuat mereka
berwatak keras dan kadang-kadang malah buas.
Ada pula
akibat sampingan yang amat menyedihkan. Adanya perang membuat banyak
daerah-daerah yang tak bertuan, hukum yang ada hanya hukum rimba. Kesempatan
ini digunakan oleh gerombolan-gerombolan yang biasa melakukan perbuatan jahat
untuk merajalela. Rakyat pula yang menjadi korban. Tempat atau daerah-daerah
yang dilanda perang membuat rakyat jelata ketakutan dan larilah mereka
pontang-panting, cerai-berai dan kacau balau meninggalkan dusun atau kota
mereka yang mereka tinggali selama ini, sejak mereka kecil.
Terpaksa
mereka melarikan diri demi mencari keselamatan, meninggalkan segala yang mereka
sayang dan cinta, menuju ke tempat yang belum mereka ketahui atau kenal,
memasuki nasib baru yang suram penuh rasa ketakutan dan tanpa adanya ketentuan.
Mereka ini adalah rakyat jelata pula.
Pasukan
prajurit, yang merupakan sebagian rakyat pula, dipaksa oleh para penguasa untuk
menjadi bidak-bidak catur yang dimainkan oleh para penguasa kedua pihak yang
saling bertentangan atau berebut kemenangan. Mereka, para prajurit itulah yang
akan gugur tanpa dikenal.
Jika menang?
Beberapa orang penguasa itulah yang akan menikmati hasil sepenuhnya, dan para
prajurit yang mempertaruhkan nyawa dalam arti kata seluas-luasnya itu sudah
cukup kalau diberi pujian dan sekedar hadiah atau kenaikan pangkat. Bagaimana
kalau kalah? Prajurit-prajurit itu mempertahankan sampai titik darah terakhir,
mati konyol atau tertawan, tersiksa, terbunuh, sedangkan para penguasa yang
hanya beberapa gelintir orang itu kalau terbuka kesempatan akan cepat-cepat
melarikan diri, menyelamatkan diri beserta keluarganya, tidak lupa membawa
barang-barang berharga. Mereka akan mengungsi ke negara lain sebagai
orang-orang yang kaya raya!
Hal ini
bukanlah dongeng, melainkan kenyataan yang dapat kita saksikan, baik dengan
menengok ke belakang melalui sejarah mau pun melihat keadaan sekarang di mana
timbul perang yang keji itu.
Keluarga
kecil itu terdiri dari suami-isteri dan seorang anak perempuan. Ayah itu
berusia hampir empat puluh tahun, sang ibu baru berusia tiga puluhan tahun dan
masih nampak cantik, sedangkan anak perempuan itu berusia kurang lebih sepuluh
tahun. Mereka berhasil menyeberangi Sungai Lan-cang dengan sebuah perahu nelayan
kecil. Mereka adalah penduduk di sebelah barat sungai itu. Karena
pasukan-pasukan Birma sudah tiba di daerah itu, maka mereka melarikan diri
mengungsi ke timur.
Namun mereka
mendengar pula betapa pasukan Kerajaan Mancu tidak kalah buasnya dengan pasukan
Birma atau pasukan pemberontak. Ternak peliharaan para penduduk desa habis
disikat mereka, segala barang berharga dirampas dan banyak pula wanita-wanita
diganggu untuk melampiaskan nafsu angkara mereka yang datang dengan dalih
‘hendak melindungi rakyat dari ancaman pemberontakan dan pasukan Birma’. Rakyat
dihadapkan pada dua api yang sama-sama panas membakar.
"Ibu,
aku capai sekali...," anak perempuan itu mengeluh setelah perahu yang
mereka pergunakan untuk menyeberangi Sungai Lan-cang itu hampir tiba di tepi
bagian timur.
Anak yang
usianya kurang lebih sepuluh tahun itu agak pucat dan nampak lelah sekali.
Pakaiannya seperti biasa anak petani dan wajahnya yang ditutupi sebagian rambut
panjang kusut itu memiliki garis-garis yang cantik manis, terutama sekali
mulutnya yang kecil dengan hiasan lesung pipit di kanan kirinya.
Ibu muda ini
merangkulnya, mencoba untuk tersenyum walau pun jelas ada garis-garis
kegelisahan dan kelelahan di sekitar matanya. Ibu yang usianya tiga puluhan
tahun ini bertubuh montok, dengan kulitnya yang putih dan rambutnya yang
panjang hitam. Meski pun pakaiannya sederhana, namun nampak cantik dan manis.
"Kuatkanlah
dirimu, Bi Lan, kita menderita kecapaian untuk mencari keselamatan." Ibu
itu lalu mengusap air mata anaknya dan memijati kedua kaki anaknya yang nampak
membengkak.
Selama
sepekan mereka berjalan terus, hampir tak pernah beristirahat. Bahkan makan pun
sambil berjalan dan boleh dibilang tidur sambil berjalan pula. Untung bagi
mereka, ketika melarikan diri dari dusun mereka dan menyusup-nyusup keluar
masuk hutan, naik turun bukit, mereka tidak pernah bertemu dengan gerombolan,
hanya bertemu dengan orang-orang yang lari ke sana ke mari untuk menyelamatkan
diri dari ancaman perang. Akhirnya mereka pun tiba di tepi Sungai Lan-cang dan
berhasil menemukan seorang nelayan tua yang mau menyeberangkan mereka.
"Tenanglah,
anakku. Setibanya di seberang kita dapat mengaso untuk menghilangkan lelah.
Setelah tiba di seberang, barulah kita aman dan selanjutnya dapat meneruskan
perjalanan seenaknya," kata si ayah menghibur.
Ayah ini
dengan hati terharu dan duka melihat keadaan mereka yang benar-benar sengsara.
Bukan saja kaki isteri dan anaknya luka-luka dan bengkak-bengkak, juga
persediaan makan tinggal satu dua hari lagi, sedangkan mereka hanya membawa
bekal uang yang kiranya hanya cukup untuk dibelikan makanan selama paling lama
sebulan. Setelah itu, bagaimana?
Ngeri dia
membayangkan. Belum tahu ke mana tujuan pelarian mereka, belum tahu bagaimana
harus mendapatkan penghasilan, dan tidak mempunyai rumah atau tanah, dengan
pakaian hanya tiga empat setel saja. Akan tetapi semua itu soal nanti. Yang
penting sekarang adalah berada di tempat yang aman! Dan di seberang sungai
itulah tempat aman!
Akan tetapi,
itu hanya harapan saja. Di jaman seperti itu, tempat manakah yang dapat
dianggap aman? Baik di dalam kota, mau pun dusun, di atas bukit atau di tengah
hutan sekali pun, selama tempat itu masih didatangi orang, maka keamanan diri
pun tidak terjamin lagi. Kejahatan tak memilih tempat, karena kejahatan muncul
dari dalam batin, dan selama ada manusia, maka perbuatan jahat pun terjadilah.
Dengan
ucapan terima kasih, keluarga yang terdiri dari tiga orang itu meninggalkan
nelayan tua yang juga cepat-cepat menengahkan lagi perahunya ke sungai karena
bagi nelayan ini, tempat yang paling aman adalah di tengah sungai, di mana dia
hanya bergaul dengan perahu, dengan kemudi, dengan dayung, kail, jala dan
ikan-ikan. Dan Can Kiong bersama isteri dan puteri tunggalnya, Can Bi Lan,
melanjutkan perjalanan memasuki hutan di tepi sungai itu.
Setelah tiba
di sebuah pohon besar di mana terdapat petak rumput, tempat yang teduh dan
nyaman, barulah Can Kiong mengajak anak isterinya berhenti. Isterinya yang
sudah hampir merasa lumpuh kedua kakinya lalu menjatuhkan diri duduk di atas
rumput tebal sambil menghela napas panjang karena lega. Puterinya, Bi Lan,
segera menjatuhkan diri rebah di atas rumput, berbantal paha ibunya dan dalam
waktu sebentar saja anak yang sudah hampir pingsan kelelahan ini pun pulaslah.
Bi Lan tidak
tahu berapa lama ia tertidur. Tiba-tiba tubuhnya terguncang dan terdengar suara
riuh. Ia cepat membuka matanya dan ternyata ia telah rebah di atas tanah, tidak
lagi berbantal paha ibunya karena ibunya sudah bangkit berdiri sambil
berteriak-teriak ketakutan. Ketika ia melihat, ternyata mereka telah dikepung
oleh belasan orang yang berpakaian seragam namun compang-camping, dengan
jenggot kasar dan pandang mata liar! Belasan orang itu semua memegang senjata
golok yang mengkilap tajam.
Yang amat
mengejutkan hati Bi Lan adalah ketika melihat ayahnya sedang mati-matian
melawan dua orang di antara mereka yang menyerang ayahnya dengan golok. Ayahnya
berusaha mengelak ke sana-sini, tapi diiringi suara ketawa belasan orang itu,
akhirnya dua orang itu dapat mempermainkan ayahnya dengan menyarangkan golok
mereka, mula-mula hanya menyerempet saja, merobek-robek pakaian dan kulit,
kemudian makin dalam dan akhirnya ayahnya, yang terus melawan mati-matian,
roboh terguling dalam keadaan mandi darah. Dua batang golok masih terus
mengejarnya dan menghujankan bacokan sampai tubuh ayahnya hanya menjadi
onggokan daging merah yang berlumur darah!
Selagi
terjadi pembantaian itu, ibunya menjerit-jerit, apa lagi ketika melihat ayahnya
mandi darah dan terguling. Ibu ini hendak lari menubruk suaminya, akan tetapi
tiba-tiba seorang laki-laki yang bercambang bauk, paling tinggi besar di antara
mereka, dengan muka hitam totol-totol dan buruk sekali, menyambar tubuh ibunya
dari belakang. Kedua tangannya meremas-remas dan muka penuh brewokan itu
menciumi muka ibunya.
Wanita itu
berteriak-teriak, meronta-ronta dan bahkan memukul dan mencakar, akan tetapi
dengan hanya satu tangan saja, dua pergelangan tangan wanita itu ditangkap dan
tubuhnya lalu dipanggul. Semua orang tertawa-tawa melihat wanita yang dipanggul
itu menggerak-gerakkan kedua kaki dan pinggul, meronta-ronta dan
menjerit-jerit. Mereka berbicara dalam bahasa asing karena memang mereka adalah
Bangsa Birma, sisa pasukan yang terpukul mundur dan tercecer berkeliaran di
dalam hutan.
Seorang di
antara mereka yang bertubuh tinggi kurus, yang mukanya pucat seperti orang
berpenyakitan, akan tetapi yang mempunyai sepasang mata tajam dan liar penuh
kebengisan dan kekejaman, berkata sesuatu kepada si tinggi besar yang memanggul
wanita itu. Si tinggi besar tertawa dan terkekeh ketika si tinggi kurus
menuding ke arah Bi Lan yang masih tetap duduk di atas tanah dengan muka pucat
dan tubuh menggigil ketakutan.
Anak ini
tadi ikut menjerit-jerit dan menutupi mukanya saat ayahnya dibantai, kemudian
melihat ibunya ditangkap, dia pun menangis dan berteriak-teriak. Hampir dia
pingsan melihat semua itu dan kini ia hanya bisa duduk dengan mata terbelalak
seperti seekor kelinci tersudut dan terkurung oleh segerombolan serigala.
Si tinggi
kurus muka pucat itu dengan beberapa langkah saja sudah mendekati Bi Lan.
Sebelum tahu apa yang terjadi, rambut Bi Lan yang panjang itu sekali
dijambaknya dan dengan sekali sentakan saja membuat gadis cilik itu tubuhnya
melayang ke atas dan kepalanya terasa sakit karena rambutnya dijambak dan
disentakkan ke atas. Ia menjerit dan tubuhnya sudah dipondong oleh si tinggi
kurus. Bi Lan menjerit dan meronta-ronta sekuat tenaga.
"Lepaskan
anakku...! Jangan ganggu anakku, ohhh... bunuhlah aku, tapi jangan ganggu
anakku...!" Ibu itu menjerit-jerit ketika melihat anaknya ditangkap pula.
Akan tetapi
orang-orang kasar itu hanya tertawa bergelak dan Bi Lan dibawa pergi oleh si
tingggi kurus. Bi Lan meronta-ronta, akan tetapi mana mungkin ia dapat
melepaskan diri? Ia dibawa semakin jauh dan ia kini tidak melihat ibunya lagi,
hanya mendengar jerit tangis ibunya yang makin lama makin jauh, kemudian tidak
terdengar lagi sama sekali.
Kini baru Bi
Lan teringat akan nasib dirinya sendiri setelah ia jauh dari ayah ibunya. Tadi
ia lupa akan keadaan diri sendiri karena melihat mereka dan kini baru ia tahu
bahwa dirinya dibawa pergi menjauh dari pada yang lain oleh si tinggi kurus
bermuka pucat. Rasa takut membuat dia menangis sesenggukan dan tidak
berteriak-teriak lagi, tidak meronta lagi.
Ketika tiba
di tengah hutan, di dekat sebuah sumber air di mana tumbuh rumput tebal di
bawah pohon-pohon rindang, si tinggi kurus itu melempar turun Bi Lan ke atas
rumput. Anak itu terbanting perlahan, dan karena rumput itu tebal dan lunak,
dia tidak terlalu menderita nyeri.
Akan tetapi,
Bi Lan segera bangkit duduk. Tubuhnya masih lemas karena kelelahan, ditambah
lagi dengan kengerian yang dilihatnya, dan rasa takut yang amat sangat, membuat
dia seperti lumpuh. Kini, dengan muka pucat, dengan mata merah basah, dengan
rambut kusut dan tubuh panas dingin, ia memandang kepada laki-laki yang berdiri
amat tingginya di depannya itu dengan sinar mata liar ketakutan. Ia melihat
wajah yang pucat kurus itu menyeringai, mata yang buas dan bengis itu ditujukan
kepadanya.
"Nah,
begitulah, anak manis. Diam saja dan jangan menangis. Aku paling benci kalau
mendengar anak menangis. Nah, begitulah, jangan membikin aku marah."
Laki-laki
itu menanggalkan bajunya, kemudian duduk di depan Bi Lan. Anak perempuan ini
melihat betapa kulit dadanya yang kurus itu, kulit yang hanya membungkus
tulang, cacat dengan guratan-guratan panjang bekas luka. Mengerikan sekali dan
gadis itu semakin ketakutan. Apa lagi melihat laki-laki itu menjulurkan tangan
dan jari-jari yang kecil panjang itu menyentuh dan mengusap pipinya, kemudian
tangan itu mengusap rambutnya.
"Kembalikan...
kembalikan aku... kepada ibuku..." Akhirnya Bi Lan mampu juga bicara
karena melihat laki-laki itu tak bersikap kasar kepadanya.
Baru sekali
ini nampak laki-laki itu tertawa dan hampir Bi Lan jatuh pingsan saking takut
dan seramnya. Laki-laki kurus ini sejak tadi diam saja dan sikapnya itu penuh
dengan kebengisan, akan tetapi kalau ia diam, masih baiklah. Akan tetapi kini
dia tertawa dan suasana menjadi menyeramkan. Dia tertawa tanpa disertai bibir
dan matanya. Mulutnya seperti diam saja akan tetapi dari kerongkongannya
terdengar kekeh lirih yang amat mengerikan, pantasnya iblis yang bisa tertawa
seperti itu.
Dan kini
laki-laki itu, masih terkekeh, mencengkeram baju Bi Lan dan sekali renggut,
terdengar kain robek dan baju itu pun terlepas dari pundak dan lengan Bi Lan!
Tentu saja Bi Lan terkejut setengah mati dan ia pun menjerit dan menangis.
"Ehhh!
Aku paling benci..." Laki-laki itu berteriak dan tangan kirinya menampar.
"Plakkk...!"
Rasa nyeri
membuat Bi Lan yang terpelanting ke atas rumput itu seketika menghentikan
tangisnya. Nyeri dan kaget bukan main. Tamparan pada pipinya itu membuat
pandang matanya berkunang dan ujung bibirnya berdarah. Ketika ia membuka
matanya lagi, tahu-tahu laki-laki itu telah menyambar tubuhnya, dipangkunya dan
laki-laki itu mulai menciumi bibirnya yang berdarah.
Bagaikan
seekor serigala, laki-laki itu menjilati bibir sendiri yang berlepotan darah
yang keluar dari bibir Bi Lan yang pecah, kemudian menciumi lagi dengan
buasnya, bukan mencium, melainkan lebih mirip hendak menghisap darah yang
keluar itu sampai habis dari tubuh Bi Lan. Tentu saja Bi Lan semakin ketakutan
dan kesakitan, meronta-ronta tanpa dapat mengeluarkan suara karena mulutnya
tertutup mulut pria itu. Ia muak dan takut, matanya terbelalak dan ia masih
belum mengerti mengapa orang itu melakukan hal seperti itu kepada dirinya.
Keadaan orang tinggi kurus itu seperti mabok.
Memang,
orang yang membiarkan dirinya dikuasai nafsu, tiada bedanya dengan orang yang
mabok. Makin dibiarkan nafsu menguasai diri semakin parah pula maboknya itu
sehingga ia lupa segala-galanya, yang teringat hanyalah bagaimana caranya untuk
bisa melampiaskan nafsunya secepat mungkin dan sepuas mungkin.
Orang yang
dikuasai oleh nafsu birahi seperti orang tinggi kurus itu, yang memang menjadi
hamba dari nafsu birahinya dan membiasakan diri untuk tunduk kepada nafsu ini,
tidak lagi melihat apakah perbuatannya dalam melampiaskan nafsunya itu sudah
tepat dan benar. Dia lupa bahwa yang dicengkeramnya adalah seorang anak kecil
yang baru berusia sepuluh tahun, bukan seorang wanita yang sudah dewasa dan
sudah layak dijadikan pemuas nafsu birahinya. Dia tidak peduli lagi, yang penting
baginya adalah bagaimana nafsunya dapat cepat tersalurkan.
Pada saat
yang amat berbahaya bagi keselamatan diri Bi Lan itu, tiba-tiba terdengar suara
orang ketawa-tawa. Suara ketawa itu terdengar aneh dan halus, tetapi menusuk
anak telinga sehingga si tinggi kurus yang sedang menciuminya, atau seperti
hendak memakannya dengan lahapnya itu, tiba-tiba mengangkat muka yang
dibenamkannya pada leher anak perempuan itu dan menoleh.
Dia terkejut
sekali melihat munculnya tiga orang yang tahu-tahu telah berada di situ. Karena
tiga orang itu bukan anak buahnya, dia pun menjadi marah dan sekali dorong, dia
telah membuat tubuh Bi Lan yang dipangkunya itu terlempar sampai dua meter
lebih di depannya, bergulingan di atas rumput. Kemudian dengan sikap beringas
karena merasa kesenangannya terganggu, dia meloncat ke atas seperti seekor
harimau dan menghadapi tiga orang itu dengan dada dibusungkan. Tetapi karena
memang tubuhnya kerempeng, biar pun dadanya dibusungkan, tetap saja nampak
tidak gagah dan tidak menakutkan, malah lucu karena dadanya itu makin kelihatan
kerempengnya.
Tiga orang
itu memang aneh sekali keadaannya. Tiga orang kakek yang buruk rupa dan aneh,
bahkan lucu dan agak menyeramkan. Usia mereka tentu tidak kurang dari enam
puluh tahun.
Yang seorang
bertubuh tinggi sekali, hampir satu setengah kali orang biasa dan seperti biasa
orang yang mempunyai tubuh tinggi, dia condong untuk merendahkan tubuhnya
hingga agak membungkuk dan kedua pundaknya pun terlipat ke dalam atau ke depan.
Orang tinggi ini bertulang besar namun agak kurus, kulitnya penuh keriput
kehitaman.
Mukanya agak
meruncing ke depan seperti muka kuda. Kedua matanya yang berjauhan itu seperti
menjuling jika memandang ke depan dan telah terbiasa untuk melihat dengan mata
melirik hingga mukanya selalu tidak lurus menghadapi benda-benda yang sedang
dipandangnya. Hidungnya juga mancung dan mulutnya meruncing. Mukanya yang lucu
sekali, apa lagi di tambah dengan telinganya yang berdaun lebar dan panjang
seperti telinga keledai.
Matanya yang
menjuling itu seringkali disipitkan karena dia memang kurang awas. Kedua
lengannya panjang sekali sampai tergantung ke tepi lutut, seperti lengan kera
saja. Pakaiannya serba hitam yang menambah keburukannya, dengan sepatu hitam
pula yang dilapisi dengan baja. Kedua kakinya juga panjang-panjang dan sedikit
bengkok seperti punggungnya pula.
Orang buruk
rupa ini sama sekali bukan orang yang biasa saja, bahkan keburukannya itu
menambah ketenarannya di dunia kaum sesat karena orang ini adalah Hek-kwi-ong
(Raja Iblis Hitam) yang memiliki kesaktian luar biasa, juga memiliki kekejaman
yang hanya dapat disamakan dengan raja iblis sendiri. Akan tetapi, selama
puluhan tahun ini dia tak pernah keluar dan baru sekarang nampak di hutan itu,
suatu hal yang kebetulan saja nampaknya.
Orang yang
kedua tidak kalah anehnya. Orangnya bulat seperti bal. Tingginya hanya tiga
perempat orang biasa dan karena dia amat gemuk, terutama sekali perutnya yang
gendut seperti bola, maka dia kelihatan bulat seperti sebuah gentong yang
mempunyai kaki dan tangan. Mukanya yang bulat itu nampak cerah selalu karena
dia memiliki mulut yang tidak dapat ditutup rapat, selalu terbuka sehingga
nampaknya selalu tersenyum atau tertawa ramah.
Orang ini
memang segala-galanya serba bulat. Matanya, hidungnya, mulutnya yang lebar
bahkan telinganya juga bundar bentuknya. Lengan dan kakinya juga gemuk bulat,
apa lagi pinggul dan perutnya. Pendeknya, manusia bundar ini memang kelihatan
lucu sekali dari samping atau belakang. Akan tetapi jangan melihat dari depan,
karena kalau melihat sinar matanya dan kalau tersenyum, baru nampak sesuatu
yang mengerikan membayang dari sinar mata dan senyumnya.
Kalau dia
diam saja malah mulutnya kelihatan tersenyum ramah, akan tetapi kalau dia
tertawa atau tersenyum, sungguh mukanya seketika berubah seperti muka iblis!
Dan matanya itu mengeluarkan sinar mencorong yang bagaikan bukan mata manusia
lagi, melainkan mata serigala buas atau mata harimau di tempat gelap. Dia ini
pun seorang yang luar biasa sekali, selain sakti juga pada puluhan tahun yang
lalu amat terkenal dengan julukan Im-kan Kwi (Iblis Akhirat).
Orang ke
tiga lebih menakutkan lagi. Tubuhnya hanya kulit pembungkus tulang saja,
agaknya sama sekali tidak berdaging lagi, apa lagi bergajih. Mirip seperti
tengkorak dan rangka terbungkus kulit, juga mukanya amat pucat seperti mayat.
Bahkan kalau berjalan kadang-kadang mengeluarkan suara berkerotokan seakan-akan
tulang-tulangnya saling beradu! Hanya kedua matanya saja yang nampak hidup,
bahkan mata ini mencorong menakutkan. Orang ini sama dengan dua orang yang
pertama, pada puluhan tahun yang lalu amat terkenal dengan julukan Iblis Mayat
Hidup.
Karena tiga
orang ini selalu saling bantu dari bekerja sama, maka mereka bertiga itu
dikenal di dunia kaum sesat sebagai Sam Kwi (Tiga Iblis). Kurang lebih dua
puluh tahun yang lalu, Sam Kwi ini pernah mencoba kepandaian Pendekar Super
Sakti dari Pulau Es. Dan melalui perkelahian yang amat sengit, di mana Pandekar
Super Sakti dikeroyok oleh mereka bertiga, akhirnya Sam Kwi dapat dikalahkan
dan masing-masing menderita kekalahan yang cukup parah.
Oleh karena
tadinya mereka menyombongkan diri, merasa bahwa dengan maju bertiga mereka
dapat mengalahkan siapa pun juga, dan bersumbar di depan Pendekar Super Sakti
bahwa kalau mereka bertiga kalah mereka takkan muncul lagi di dunia persilatan,
maka setelah dikalahkan, mereka bertiga kemudian pergi menyembunyikan diri
bertapa. Mereka merasa malu dan juga penasaran. Oleh karena itu, mereka
mengasingkan diri jauh ke puncak yang terpencil dari Pegunungan Thai-san, di
mana mereka bertapa dan memperdalam ilmu mereka, ditemani seorang murid yang
pandai.
Setelah
merasa bahwa ilmu mereka mencapai tingkat yang tertinggi, dan mendengar betapa
negara kacau oleh pemberontakan-pemberontakan, tiga orang itu akhirnya turun
gunung dan pergi ke timur. Pada hari itu, tanpa disengaja mereka tiba di hutan
yang sunyi di sebelah timur Sungai Lan-cang. Di tempat inilah mereka melihat
seorang pria tinggi kurus sedang mempermainkan dan agaknya hendak memperkosa
seorang anak perempuan yang masih kecil.
Perbuatan
seperti itu tentu saja tiada artinya bagi tiga orang datuk sesat yang pernah
melakukan segala macam kejahatan seperti iblis itu, bahkan dianggap sebagai
suatu perbuatan yang tak ada artinya dan memalukan, hanya pantas dilakukan oleh
bajingan kecil saja. Maka, tadinya mereka hanya tersenyum-senyum melihat
tingkah laku laki-laki tinggi kurus itu dan membiarkannya saja.
Akan tetapi
ketika pada suatu ketika anak perempuan itu mengangkat mukanya yang pucat dan
ketiga orang kakek itu melihat anak itu, tiba-tiba mereka bertiga melangkah
maju dan ketiganya merasa amat tertarik. Pandang mata mereka yang tajam segera
melihat bakat terpendam yang amat hebat dalam diri anak perempuan itu! Tentu
saja Hek-kwi-ong tidak dapat melihat jelas, hanya melihat betapa anak perempuan
itu sama sekali tidak berteriak minta tolong walau pun berusaha dan meronta
untuk melawan dan hal ini saja dianggapnya sebagai suatu keberanian luar biasa.
"Wah,
anak itu bagus sekali!" kata Im-kan-kwi.
"Benar,
bahkan lebih bagus dari pada murid kita," sambung Iblis Mayat Hidup.
"Dan dia pemberani dan tabah," berkata pula Raja Iblis Hitam tidak
mau ketinggalan, karena hal ini sama saja mengakui bahwa matanya lamur!
"Sayang
daging lunak dan lezat itu hendak dimakan anjing kotor," kata Iblis
Akhirat.
Ketiganya
lalu mengeluarkan suara ketawa dan tubuh mereka melesat seperti terbang saja,
dalam sekejap mata tiba di dekat si tinggi kurus yang sedang menciumi anak itu.
Suara ketawa inilah yang mengejutkan prajurit Birma tinggi kurus itu dan dia
mendorong pergi Bi Lan, kemudian meloncat bangun dengan marah.
"Keparat
busuk, sungguh kalian ini tiga orang tua bangka sudah bosan hidup, berani
menggangguku!" bentak si tinggi kurus sambil mengamangkan goloknya ke arah
tiga orang kakek itu.
Iblis
Akhirat yang lebih suka bicara dari pada dua orang kawannya, kini tertawa
bergelak dan seketika prajurit Birma tinggi kurus itu tercengang dan bergidik.
Setelah tertawa, kakek yang kelihatannya ramah itu menjadi begitu menakutkan
mukanya. Seperti setan!
"Ha-ha-ha-hah!
Cucuku, siapakah engkau?" Iblis Akhirat bertanya, suaranya tentu saja
memandang rendah sekali.
Melihat
sikap ketiga orang ini, si tinggi kurus yang juga bukan seorang yang hijau atau
bodoh, dapat menduga bahwa tentu tiga orang kakek ini bukanlah orang
sembarangan sehingga sikap dan keadaannya demikian aneh. Akan tetapi dia tidak
takut, bahkan dia ingin mendatangkan kesan dan wibawa pada tiga orang ini untuk
menggertak mereka, maka jawabnya dengan angkuh, "Aku adalah perwira pasukan
Birma yang jaya!"
Pada waktu
itu, semua orang tahu bahwa pasukan Birma bersekutu dengan pasukan pemberontak,
dan semua orang takut kepada pasukan Birma ini.
Akan tetapi,
Iblis Akhirat itu agaknya sama sekali tidak takut. "Apa?! Dari bahasamu,
jelas kamu ini bukan orang asing, bukan orang Birma, akan tetapi pekerjaanmu
sebagai perwira pasukan Birma. Wah, kalau begitu engkau ini adalah seekor
cacing busuk, seorang pengkhianat, ya? Kami paling benci deh melihat
pengkhianat!"
"Anjing
penjilat busuk!" kata Raja Iblis Hitam.
"Serigala
masih lebih baik dari pada kamu!" bentak pula Iblis Mayat Hidup.
Tentu saja
si tinggi kurus menjadi marah bukan main mendengar ucapan mereka. Dia sama
sekali tidak tahu bahwa walau pun Sam Kwi merupakan iblis-iblis yang merajai
dunia kaum sesat dan tidak segan melakukan kejahatan macam apa pun juga, akan
tetapi mereka itu pada dasarnya merupakan orang-orang yang membenci
pemerintahan Mancu dan karena itu tentu saja membenci negara Birma yang berani
masuk dan mengganggu wilayah Yunan, dan lebih benci lagi terhadap orang-orang
yang berkhianat membantu kekuasaan asing untuk memerangi bangsa sendiri.
"Keparat,
kalian memang sudah bosan hidup!" bentak si tinggi kurus.
Dengan
goloknya dia menerjang maju dan membacok ke arah kepala Iblis Akhirat yang
berada paling dekat di depannya. Golok yang mengkilap itu menyambar ganas, kuat
dan cepat ke arah kepala Iblis Akhirat yang botak. Akan tetapi si gendut itu
sama sekali tidak mengelak dan agaknya bahkan tidak tahu bahwa kepalanya
terancam senjata tajam yang akan dapat membelah kepalanya yang bundar dan botak
itu menjadi dua!
"Singggg...
krakkk!"
Perwira
Birma yang sebenarnya berbangsa Cina itu mengeluarkan suara teriakan kaget.
Tangannya terpaksa melepaskan gagang golok karena goloknya menimpa kepala yang
kerasnya bagaikan baja, membuat golok itu rompal dan rusak. Dan saking kerasnya
pertemuan antara golok dan kepala tadi, tangannya tergetar hebat dan menjadi
seperti lumpuh sehingga terpaksa gagang golok terlepas dan dia sendiri kemudian
terhuyung ke belakang! Barulah dia kaget dan takut. Kiranya kakek yang
diserangnya itu adalah seorang sakti!
Sudah banyak
dia mendengar mengenai orang sakti, dan kini, melawan seorang saja, dan baru
sekali bacok goloknya malah rompal dan terlepas, apa lagi harus melawan tiga
orang yang sedemikian saktinya. Dasar wataknya yang kejam itu terdorong oleh
sifat pengecut dan penakut, begitu tahu bahwa dengan kekuatan dan kekuasaannya
dia tak akan menang menghadapi tiga orang ini, tanpa banyak pikir lagi dia lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan Iblis Akhirat. Tubuhnya menggigil dan
suaranya gemetar ketika dia berkata dengan suara mengandung penuh rasa takut.
"Harap
sam-wi locianpwe (tiga orang tua sakti) sudi mengampuni nyawa hamba..."
"Uhhih,
memuakkan!" Iblis Akhirat berseru sambil menggerakkan hidungnya yang bulat
seperti orang mendengus bau busuk. Lalu dia menoleh kepada dua orang temannya.
"Kita apakan saja tikus ini?"
"Kita
bantai saja!" kata Raja Iblis Hitam.
"Siksa
dia!" kata pula Iblis Mayat Hidup.
"Ampun...
ampun...” Si tinggi kurus itu mengeluh ketakutan.
"Desss...!"
Tiba-tiba
Iblis Akhirat menggerakkan kakinya dan kaki kanan yang pendek itu sudah
menendang. Tubuh yang berlutut itu terlempar ke atas, tinggi sekali, sampai ada
lima tombak tingginya. Si tinggi kurus berteriak kesakitan dan ketakutan.
Ketika tubuhnya melayang turun, dia disambut oleh tendangan Raja Iblis Hitam.
"Desss...!"
Kembali
tubuhnya terlempar ke atas, kini tendangan itu lebih keras lagi. Akan tetapi
seperti juga tendangan Iblis Akhirat tadi, tendangan ini mengenai pangkal
pahanya dan tidak mematikan, hanya menimbulkan rasa nyeri dan membuat tubuhnya
terlempar jauh ke atas. Kembali si tinggi kurus berteriak ketakutan ketika
tubuhnya melayang turun.
"Dukkk...!"
Sekali lagi
tubuhnya mencelat ke atas ketika Iblis Mayat Hidup memperoleh giliran menyambut
tubuhnya dengan tendangan. Agaknya tiga orang kakek ini tidak mau cepat
membunuh korban mereka dan mereka seperti bermain bola, menendangi tubuh itu
sampai berkali-kali terlempar ke atas. Baru setelah si tinggi kurus tidak
mengeluh lagi, mereka membiarkan tubuh itu terjatuh ke atas tanah.
"Brukkk..."
Si tinggi
kurus terbanting keras dan tidak mengeluh lagi karena sudah pingsan.
"Byurrrrr...!"
Tubuh itu
terbaring ke kubangan air yang tidak dalam, akan tetapi cukup membenamkan tubuh
yang jatuh miring itu. Begitu mukanya terbenam ke dalam air yang amat dingin,
si tinggi kurus sadar kembali dan gelagapan bangkit dari genangan air. Dia
segera teringat akan ancaman mengerikan dari tiga orang kakek itu yang kini
berdiri melihat kepadanya sambil menyeringai. Rasa takut mendatangkan tenaga
dalam tubuhnya yang ngilu dan nyeri semua itu, lalu dia melompat dan melarikan
diri.
"Ho-ho-ho,
berani melarikan diri?" tiba-tiba Iblis Akhirat berseru.
Sekali
tubuhnya yang bulat bergerak, bagaikan sebuah bola yang menggelinding, cepat
sekali dia mengejar dan tahu-tahu rambut kepala si tinggi kurus yang terurai
karena tadi terlepas dari lindungan topi pasukan dan ikatan rambutnya ketika
dijadikan bulan-bulan tendangan, sudah dijambaknya dan tubuh itu lalu
diseretnya seperti seorang anak kecil menyeret sebuah benda permainannya.
"Ampun,
locianpwe... ampun!" Si tinggi kurus merintih ketakutan.
"Brukkk...!"
Kakek gendut
itu membanting tubuh korbannya ke atas tanah dan mereka bertiga lalu
mengepungnya, seperti tiga orang anak yang sedang bermain-main dengan gembira.
"Ha-ha-ha,
kau suka bermain-main dengan golok dan tadi mengetuk kepalaku dengan golokmu?
Hemmm, coba sampai di mana ketajaman golok rompalmu!" Kakek gendut itu
mengambil golok rompal milik si tinggi kurus yang memandang dengan pucat sekali
dan mata terbelalak.
"Iblis
Hitam dan Mayat Hidup," kata Iblis Akhirat kepada dua orang temannya.
"Aku telah melatih semacam ilmu yang menarik sekali. Dari jauh, dengan
golok ini, aku mampu mengambil daun telinga kiri tikus ini. Kalian mau
lihat?"
"Apa
sukarnya itu?" Iblis Mayat Hidup mendengus.
"Golok
ini kubikin terbang mengambil daun telinga dan membawanya kembali ke tempat aku
berdiri," sambung si gendut.
"Ahhh,
masih harus dibuktikan itu!" kata Raja Iblis Hitam tak percaya.
Tentu saja
dua orang datuk iblis itu tahu dan bahkan pandai menyerang lawan dengan golok
terbang, yaitu hui-to atau golok yang disambitkan. Akan tetapi membuat golok
itu mengambil daun telinga dan membawanya kembali ke tuannya, sungguh mustahil!
"Ha-ha-ha,
kalian lihatlah baik-baik," berkata kakek gendut itu sambil meloncat
menjauhi korbannya sampai sejauh lima belas meter.
Dia lalu
menggunakan jari-jari kedua tangannya menekuk golok itu menjadi sebuah benda
melengkung seperti gendewa patah tengahnya, dan beberapa kali ditimangnya di
tangan kiri, lalu dibenarkan tekukannya. Setelah merasa puas dan menganggap
bahwa bentuk senjatanya itu sudah sempurna, dia lalu mengukur jarak dengan matanya.
Si tinggi kurus hanya memandang dengan muka pucat sekali, tidak tahu apa yang
akan menimpa dirinya.
"Terbanglah!"
Tiba-tiba Iblis Akhirat menggerakkan lengan kanannya yang pendek dan benda
melengkung terbuat dari golok tadi telah melayang cepat ke arah si tinggi
kurus, dengan berputar-putar aneh.
"Cratttt...!
Auhhh..."
Tiba-tiba si
tinggi kurus berteriak dan menutupi telinga kirinya yang berdarah. Kiranya daun
telinga kirinya sudah putus disambar benda terbang tadi dan hebatnya, daun
telinga itu seperti menempel pada benda itu yang kini terbang terus, kembali
kepada Iblis Akhirat! Kakek gendut ini bergelak dan menerima kembali senjata
aneh itu yang dilemparkannya ke atas tanah bersama daun telinga itu.
"Bagus...!"
Dua orang kakek yang menjadi temannya memuji.
"Kalau
hanya buntung sebelah menjadi kurang patut," tiba-tiba Raja Iblis Hitam
berkata.
Dan sebelum
si tinggi kurus tahu maksudnya, tiba-tiba si tinggi besar seperti raksasa itu
sudah menjulurkan tangannya. Lengannya yang panjang itu terjulur dan betapa
takutnya hati si tinggi kurus melihat betapa lengan yang dijulurkan itu terus
mulur makin panjang mengejarnya. Dia terkejut dan ketakutan, bangkit berdiri
dan dengan tangan memegangi bagian telinga kiri yang buntung, dia mencoba lari.
"Krakkk...
aduhhhh...!"
Tubuh si
tinggi kurus terpelanting dan dia bergulingan ke atas tanah. Sekarang sebelah
tangannya menutupi telinga kanan yang sudah tidak berdaun lagi karena tadi,
jari-jari tangan yang diulurkan panjang itu tahu-tahu sudah meremas daun
telinga itu sehingga hancur dan buntung!
"He-he-heh-heh,
ilmu memanjangkan lenganmu itu pasti bagus sekali untuk melakukan pencopetan di
pasar, Iblis Hitam!" Iblis Akhirat terkekeh kagum. Sungguh tidak mudah
menguasai ilmu untuk membuat anggota tubuh dapat mulur seperti itu.
"Kedua
tangannya menyembunyikan hasil pertunjukan kalian, biar kusingkirkan!"
kata Iblis Mayat Hidup yang melangkah maju menghampiri si tinggi kurus yang
kini sudah ketakutan setengah mati.
Melihat
betapa kakek yang seperti mayat hidup itu menghampirinya, dia melupakan rasa
nyeri pada kedua telinganya dan dia pun cepat bangkit berdiri dan lari
sekuatnya!
"Tak-tuk-krok-krok...!"
Terdengar suara berkerotokan dan itulah suara tubuh Iblis Mayat Hidup yang lari
berloncatan mengejar.
Gerakannya
cepat sekali dan tahu-tahu iblis ini sudah berdiri menghadang di depan si
tinggi kurus yang tentu saja terbelalak kaget melihat iblis itu telah berada di
depannya. Dia membalikkan diri dan berlari ke lain jurusan, akan tetapi
terdengar kembali suara berkeretokan dan tahu-tahu iblis itu sudah menghadang
pula di depannya. Beberapa kali dia membalik sampai akhirnya dia digiring
kembali ke tempat tadi.
"Ampun...
ampun...!" katanya mengangkat kedua tangan ke atas, melepaskan pinggir
kepala yang tadi ditutupinya. Nampak kedua telinga itu tidak bardaun lagi dan
hanya merupakan sebuah lubang berlumuran darah.
"Wuuuuut...
krakkkkk!"
Tangan Iblis
Mayat Hidup bergerak menyambar ke arah dua pundak si tinggi kurus dengan cepat
bukan main dan tahu-tahu nampak darah menyembur dari kedua pundak si tinggi
kurus itu ketika lengannya tahu-tahu sudah buntung disambar jari-jari tangan
kurus dari Iblis Mayat Hidup! Dengan babatan jari-jari tangan saja tengkorak
hidup itu mampu membikin buntung dua lengan sebatas pundak. Sungguh merupakan
ilmu yang amat luar biasa dan kekejaman yang mencapai puncaknya.
"Ha-ha-ha,
bagus!" teriak Iblis Akhirat.
"Bagus
sekali!" Raja Iblis Hitam juga memuji.
Akan tetapi
si tinggi kurus hanya dapat menjerit dan dia pun roboh pingsan. Darah
bercucuran dari kedua pundak yang sudah tidak berlengan lagi itu.
"Heh-heh,
dia tidak boleh mati dulu!" Iblis Akhirat berkata.
Dan cepat
dia meloncat ke dekat tubuh yang pingsan itu, sedangkan Iblis Mayat Hidup
memutar-mutar kedua lengan yang dipatahkannya itu seperti seorang anak kecil
main-main, lalu melemparkan kedua lengan itu jauh sekali ke dalam jurang. Si
gendut itu mengeluarkan sebuah botol dan menuangkan isi botol yang berupa
cairan hitam ke atas luka di kedua pundak dan juga di kedua telinga. Obat ini
manjur bukan main, cepat kerjanya karena seketika darah berhenti mengalir.
Dengan beberapa tekanan pada jalan darah, si tinggi kurus disadarkan kembali
oleh Iblis Akhirat.
Begitu sadar
si tinggi kurus itu merintih-rintih karena merasakan nyeri yang amat hebat
menusuk sampai ke ulu hati. Ketika dia melihat bahwa dua lengannya telah
lenyap, dia mengeluh dan dengan susah payah dia dapat bangkit duduk, memandang
ke arah tiga orang kakek itu. Kini tahulah dia bahwa minta ampun tidak ada
gunanya, maka dia pun menggigit bibirnya menahan nyeri, kemudian berkata,
"Kalian bunuh sajalah aku!" Dia memang tidak dapat melihat jalan
keluar lain kecuali mati dengan cepat.
Sementara itu,
Bi Lan sejak tadi sudah bangkit duduk di atas rumput dan mengenakan kembali
bajunya yang tadi direnggut lepas dan robek. Dia menonton semua peristiwa itu
dengan mata terbelalak dan muka pucat. Selama hidup belum pernah ia menyaksikan
tontonan yang demikian mengerikan. Seluruh tubuhnya menjadi panas dingin dan
dia merasa ngeri sekali.
Bukan main
hebatnya pengalaman yang dihadapi gadis cilik ini secara beruntun. Mula-mula
dia melihat ayahnya terbunuh oleh perampok, lalu melihat ibunya diculik, dan
dia sendiri dilarikan si tinggi kurus yang melakukan hal-hal tidak senonoh
terhadap dirinya, perlakuan yang belum dimengertinya benar akan tetapi yang
membuat ia hampir gila karena ngeri, muak dan takut.
Kemudian,
munculnya tiga orang kakek aneh yang menyiksa si tinggi kurus itu membuat dia
mencapai ketegangan yang sudah tiba pada puncaknya. Agaknya pemandangan
menegangkan dan mengerikan yang datang bertubi-tubi menghantam perasaan Bi Lan,
membuat gadis cilik itu terbiasa dan kini, meski dia memandang dengan mata
terbelalak dan muka pucat, mulutnya tidak mampu mengeluarkan suara apa pun,
akan tetapi dia tidak takut lagi, bahkan mulai menggunakan pikirannya.
Jelas
baginya bahwa tiga orang kakek itu telah menyelamatkannya, bahwa ketiga orang
kakek yang aneh itu tentu orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi akan
tetapi juga memiliki kekejaman yang luar biasa. Dan ia tentu tidak akan
terlepas dari tangan tiga orang kakek itu.
Dia harus
pandai membawa diri, demikian pikirnya. Ia tidak boleh cengeng, tidak boleh
bingung, harus dapat mempergunakan akalnya karena tidak ada orang lain di dunia
ini yang akan dapat diharapkan menolongnya kecuali dirinya sendiri. Bahkan, di
samping kengerian, timbul pula rasa senang dan puas ketika melihat betapa si
tinggi kurus itu mengalami penyiksaan yang demikian mengerikan.
"Wah,
ilmu kiam-ciang (tangan pedang) yang kau kuasai sudah hebat sekali, Mayat
Hidup. Bagaimana pendapatmu, Iblis Hitam? Apa kau mampu menandinginya dalam hal
kehebatan kiam-ciang itu?" kata si Iblis Akhirat kepada Hek-kwi-ong.
Raksasa
hitam itu menggeleng kepala. "Aku tidak mampu sehebat dia."
"He-he,
aku pun demikian. Akan tetapi, kita berdua pernah melatihnya. Coba kita lihat,
apakah orang pengecut dan pengkhianat seperti dia ini mampu hidup tanpa lengan
dan tanpa kaki," kata pula Iblis Akhirat yang melangkah maju mendekati si
tinggi kurus yang sudah buntung kedua lengannya.
Hek-kwi-ong
si Raja Iblis Hitam mengangguk dan menghampiri pula. Tiba-tiba mereka berdua
menggerakkan tangan seperti yang dilakukan oleh Iblis Mayat Hidup tadi, tangan
mereka membacok, masing-masing ke arah kaki kanan dan kaki kiri si tinggi
kurus.
"Krokkk!
Krokkk!"
Si tinggi
kurus kembali menjerit dan tubuhnya roboh. Kedua kakinya, sebatas paha, buntung
oleh bacokan tangan dua orang kakek itu! Kembali darah muncrat dan Im-kan Kwi
si Iblis Akhirat yang gendut itu kembali mempergunakan obat cairan yang cepat
menghentikan cucuran darah.
Ketika
Im-kan Kwi mengurut jalan darah dan si tinggi kurus itu siuman kembali, tentu
saja dia tidak mampu bangkit lagi. Tubuhnya hanya tinggal kepala dan badan,
tanpa kaki tanpa lengan tanpa daun telinga, nampak menyedihkan sekali. Dia hanya
merintih-rintih dan tergolek ke kanan kiri, mendesis-desis kesakitan. Dia tidak
akan mati karena darahnya tidak bercucuran keluar, akan tetapi hidupnya takkan
berguna lagi. Dan kalau tidak ditolong orang lain, tentu akhirnya akan tewas
kelaparan atau diterkam binatang buas kalau dia dibiarkan di tempat itu.
Kini tiga
orang kakek itu agaknya sudah bosan mempermainkan si tinggi kurus, dan mereka
lalu menghampiri Bi Lan. Akan tetapi anak perempuan ini tidak takut. Ia bahkan
bangkit berdiri, memandang tiga orang kakek itu dengan sinar matanya yang
jernih. Mukanya masih pucat, akan tetapi tidak terbayang ketakutan pada muka
yang manis itu.
"Tiga
orang kakek buruk, sesudah kalian membunuh bangsat itu, apakah juga akan
membunuh aku? Tapi jangan siksa aku seperti dia."
Tiga orang
kakek itu saling pandang. Lalu Iblis Akhirat yang gendut terkekeh, Raja iblis
Hitam yang seperti raksasa itu tersenyum lebar dan Mayat Hidup menyeringai
aneh.
"Ha-ha-ha-ha,
anak baik. Kami suka padamu dan tidak akan membunuhmu, akan tetapi kami ingin
mengambilmu sebagai murid. Bagaimana, maukah kau menjadi murid kami? Mau tidak
mau harus mau!" Dalam suara kakek gendut itu terdengar nada mengancam!
Akan tetapi
Bi Lan tetap tenang. Anak ini tadi sudah memutar otaknya dan mengambil keputusan
bahwa ia harus dapat menggunakan kepandaian tiga orang kakek ini untuk menolong
ibunya dan membalas dendam!
"Tentu
saja aku mau, akan tetapi kalian juga harus memenuhi permintaanku lebih
dulu!"
Tiga orang
kakek itu kembali saling pandang dan tersenyum girang. Mereka amat suka pada
anak pemberani dan anak perempuan ini cukup berani, bahkan berani menyebut
mereka ‘tiga kakek buruk’, sebutan yang menggembirakan hati mereka!
"Permintaan
apa?" tanya Iblis Mayat Hidup yang biasanya jarang sekali bicara.
"Pertama,
kalian harus menolong ibuku. Ke dua, kalian harus membunuh gerombolan penjahat
yang tadi membunuh ayah dan menculik ibu."
"Ha-ha-ha,
permintaan yang mudah saja. Coba, ceritakan siapa namamu dan apa yang terjadi
dengan ayah ibumu," kata Iblis Akhirat.
Meski Iblis
Akhirat tertawa-tawa, akan tetapi hatinya menjadi tak senang karena iri hati
mendengar anak itu menyebut-nyebut ayah ibunya. Apa pun yang terjadi, jika ayah
dan ibu anak itu masih ada, harus mereka bunuh dulu sebelum mengambil anak ini
menjadi murid, pikirnya. Pikiran yang luar biasa kotor dan jahatnya!
"Namaku
Can Bi Lan. Aku bersama ayah dan ibu sedang melakukan perjalanan untuk
mengungsi dari sebelah barat Sungai Nu Kiang. Pada waktu kami menyeberang
Sungai Lan-cang, di tepi sungai sebelah timur kami dikepung oleh belasan orang
perampok itu dan Ayah yang melakukan perlawanan mereka bunuh, Ibu diculik dan
aku dilarikan oleh si keparat itu. Nah, kalau kalian mau menolong Ibu dan
membunuh belasan orang itu, aku pun mau menjadi murid kalian."
"Baik,
baik, mari kita pergi!" kata iblis Akhirat. "Hek-kwi, kau yang tinggi
besar dan kuat gendonglah Bi Lan murid kita ini."
Hek-kwi-ong
Si Raja Iblis Hitam itu mendengus, lalu tangannya yang besar itu dijulurkan ke
arah Bi Lan. Gadis ini merasa ngeri melihat lengan yang panjang itu dapat mulur
ke arahnya, akan tetapi ia menahan rasa takutnya dan diam saja ketika tiba-tiba
tangan itu menangkap tangannya dan sekali disentakkan tubuhnya melayang ke atas
dan tiba di punggung kakek raksasa hitam itu!
Mereka
bertiga lalu melangkah pergi dengan sangat cepatnya, meninggalkan si tinggi
kurus yang kini tidak tinggi lagi, hanya merupakan kepala dan badan yang
bergelimang di rumput yang berlepotan darah. Dia mengeluarkan suara dari
tenggorokannya, entah tawa atau pun tangis. Peristiwa yang amat hebat menimpa
dirinya, membuat si tinggi kurus ini menjadi gila saking takutnya.
"
Braaakkk .... "
Pintu pondok
kecil di tengah hutan yang tertutup rapat itu jebol, mengejutkan seorang
laki-laki tinggi besar yang mukanya bercambang bauk, juga bertotol-totol hitam
buruk yang sedang rebah dengan dada telanjang, hanya mengenakan celana dalam
yang tipis. Siang itu hawanya panas dan laki-laki ini pun berkeringat. Bau arak
yang keras tercium ketika pintu itu jebol, dan melihat wajah laki-laki buruk
rupa itu yang kemerahan, juga matanya liar, bau arak yang keluar dari mulutnya,
jelas menunjukkan bahwa dia terlalu banyak minum arak.
"Ibu...!"
Bi Lan menjerit ketika melihat ibunya tergantung di dalam kamar itu.
Wanita yang
malang ini tergantung dalam keadaan telanjang bulat, dengan kepala di bawah dan
kaki terikat pada tali yang digantungkan di tiang melintang di atas. Melihat
tubuh telanjang itu sama sekali tidak bergerak, dan melihat mata yang terbuka
akan tetapi tanpa sinar itu, mudah saja bagi tiga orang kakek Sam Kwi untuk
menduga bahwa wanita itu sudah tewas, seperti juga mayat laki-laki yang menjadi
ayah Bi Lan yang menggeletak di luar dengan tubuh hancur oleh senjata tajam.
Tiga orang
Sam Kwi bernapas lega. Ayah ibu anak ini sudah mati. Bagus! Mereka tadi
mempergunakan ilmu kepandaian mereka untuk mengejar gerombolan itu dan melihat
mereka semua berada di dalam hutan itu. Anak buah pasukan Birma yang berubah
menjadi gerombolan penjahat itu nampak tidur-tiduran di bawah pohon. Guci-guci
arak berserakan dan agaknya mereka baru saja makan minum dan kini tertidur
setelah puas kekenyangan.
Apa lagi
dalam keadaan mabok dan tidur, andai kata mereka dalam keadaan sadar dan tidak
tidur sekali pun, sangat mudah bagi tiga orang kakek itu untuk mendatangi
pondok itu tanpa dapat mereka ketahui. Melihat bahwa ayah anak itu sudah tewas
di tempat perampokan, mereka bertiga lalu melakukan pengejaran dan jelas nampak
jejak kaki mereka sampai di tengah hutan itu.
Karena ibu
anak itu tidak ada, mereka dapat menduga bahwa tentu wanita itu dibawa ke dalam
pondok kecil itu. Maka mereka langsung saja mendobrak daun pintu itu sampai
jebol. Dan benar saja, wanita itu berada di dalam kamar, akan tetapi agaknya
sudah tidak bernyawa lagi setelah mungkin diperkosa beramai-ramai lalu
digantung karena mungkin wanita itu melawan.
Si tinggi
besar brewokan yang menjadi kepala pasukan itu, seorang Birma yang biasa hidup
dalam kekerasan, terkejut bukan main. Baru saja ia memuaskan diri memperkosa
dan menyiksa wanita itu sampai mati, kemudian dia makan dan minum-minum sampai
mabok dan merebahkan diri untuk tidur. Kini, kaget karena melihat jebolnya daun
pintu dan melihat tiga orang kakek yang aneh, seorang di antaranya menggendong
anak perempuan yang tadi dilarikan oleh pembantunya, dia mencium bahaya.
Cepat dia
bergerak kepada anak buahnya dan menyambar golok besarnya, menerjang ke depan,
membabat ke arah Iblis Mayat Hidup yang paling menyeramkan dan berdiri paling
dekat. Akan tetapi, rangka terbungkus kulit itu dapat bergerak cepat bukan
main. Golok itu menyambar seperti mengenai sasarannya membabat pinggang, akan
tetapi tiba-tiba saja tubuh kurus kering itu lenyap dan ternyata sudah mengelak
ke samping dan pada saat itu si tengkorak hidup menggerakkan tangannya yang
kurus.
"Tukkk!"
Hanya
perlahan saja jari tangan Iblis Mayat Hidup menyentuh lengan yang memegang
golok. Akan tetapi seketika golok itu terlepas dan lengan itu pun lumpuh dan
berubah menghitam karena di sebelah dalamnya, beberapa otot besar putus dan
darah mengalir liar membuat lengan itu nampak hitam! Bukan kepalang rasa nyeri
pada lengan kanan itu, membuat si brewok berteriak-teriak. Namun kembali tangan
kurus itu menyambar, sekali ini leher si brewok yang disentuh dan seketika si
brewok roboh. Suara mengorok keluar dari lehernya, mukanya berubah hitam dan
dia berkelojatan dalam sekarat.
Dia tewas
tak bergerak lagi ketika anak buahnya yang belasan orang banyaknya itu sudah
datang menyerbu dengan golok di tangan. Melihat betapa pemimpin mereka itu
sudah roboh dengan muka berwarna hitam, tak bergerak lagi, belasan orang kasar
itu menjadi marah sekali. Langsung mereka menerjang tiga orang kakek itu dengan
golok mereka. Tiga orang kakek itu melangkah keluar dari pondok. Perkelahian
yang aneh, lucu dan tidak seimbang pun terjadilah.
Sepasang
lengan Raja Iblis Hitam itu mulur dan tanpa mempedulikan golok-golok itu, dua
tangannya menangkapi lawan, membanting, melontarkan tinggi-tinggi ke atas dan
mambiarkan tubuh lawan itu terbanting keras, menangkapi dua kepala dan mengadu
kedua kepala itu.
Si gendut
Iblis Akhirat sambil menyeringai aneh dan menyeramkan juga membiarkan
golok-golok itu mengenai kepala botaknya atau lengannya, dan hanya kedua
kakinya saja yang pendek-pendek dan besar-besar itu bergerak cepat ke kanan
kiri dan setiap orang yang terkena tendangannya tentu terlempar, terbanting
roboh dan tidak dapat bangkit kembali.
Iblis Mayat
Hidup lebih mengerikan lagi. Dengan tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi
berkerotokan, dia membagi-bagi pukulan dan setiap kali tangannya menyentuh
tubuh lawan, karena sentuhan perlahan itu tidak pantas dinamakan pukulan, lawan
lalu roboh dengan bagian badan yang disentuh berubah kehitaman!
Dalam waktu
singkat saja, belasan orang itu roboh semua dan tidak seorang pun dapat bangkit
atau bergerak lagi karena mereka telah tewas. Kepala-kepala pecah berantakan
sampai otak dan darah berceceran, tulang-tulang berkerotokan pada saat
patah-patah, bahkan ada kulit yang robek-robek dan mayat yang ternoda
hitam-hitam mengerikan.
"Ha-ha-ha-ha!
Bi Lan, murid yang baik, apakah kini engkau telah puas? Lihat, semua musuhmu
telah kami bunuh," kata Iblis Akhirat kepada Bi Lan.
Gadis cilik
itu melorot turun dari gendongan Raja iblis Hitam. Dia pun memasuki pondok,
sejenak berdiri memandang mayat ibunya yang tergantung dengan tubuh terbalik.
Pada bagian tubuh tertentu dari ibunya nampak lula-luka guratan senjata tajam.
Betapa ingin dia menjerit, akan tetapi batinnya mengalami guncangan hebat
sehingga dia tidak lagi dapat menangis.
"Ibumu
sudah mati," tiba-tiba terdengar suara orang dan ketika gadis cilik itu
menengok, yang bicara adalah Iblis Mayat Hidup.
Dua kakek
lainnya juga sudah berdiri di belakangnya. Gadis cilik ini tidak tahu betapa
tiga orang kakek itu memandang ke arah mayat ibunya dengan hati girang, bukan
hanya karena gadis cilik itu sekarang sudah terlepas dari semua ikatan
keluarga, juga karena mereka bertiga itu kagum akan cara gerombolan itu
menyiksa wanita ibu Bi Lan!
"Ha-ha-ha!
Bi Lan, kami sudah memenuhi semua permintaanmu, sekarang berlututlah dan angkat
kami sebagai gurumu dan menyebut suhu," kata Iblis Akhirat.
"Nanti
dulu," gadis cilik itu berkata. "Sebelum itu kuminta supaya kalian
suka mengubur jenazah ibuku, juga jenazah ayahku, dikubur bersama dalam satu
lubang di tempat ini."
Tiga orang
kakek itu saling pandang. "Wah, apa-apaan ini?" Raja Iblis Hitam mengeluh.
"Ada-ada
saja!" Iblis Mayat Hidup menyambung. Jelas bahwa keduanya merasa tidak
senang dengan pekerjaan itu.
"Apa
gunanya?" Si gendut Iblis Akhirat berseru. "Biarkan saja begitu,
akhirnya juga akan habis sendiri."
"Tidak!"
Bi Lan berseru. "Kalau kalian tidak mau, biar aku sendiri yang akan
melakukan penguburan itu. Mereka harus dikubur supaya jenazah mereka tidak
dimakan binatang buas!"
"Hemm,
apa kau kira di dalam tanah tidak ada binatang buasnya? Kulit dagingnya akan
digerogoti tikus dan cacing-cacing sampai habis!"
Mendengar
ucapan si gendut itu, Bi Lan bergidik. "Biarlah, mereka hancur dikubur dan
kalau kalian tidak mau, akan kulakukan sendiri dan aku tidak akan sudi menjadi
murid kalian."
Tiga orang
kakek itu saling pandang dan menggaruk-garuk kepala. Akan tetapi tiba-tiba
nampak bayangan berkelebat disertai suara berkerotokan dan Iblis Mayat Hidup
sudah lenyap dari tempat itu. Tidak lama kemudian dia datang kembali membawa
mayat Can Kiong, ayah Bi Lan yang sudah penuh luka itu. Dan tanpa banyak cakap
lagi, tiga orang kakek itu lalu menggali sebuah lubang besar. Cepat sekali
pekerjaan ini dilakukan oleh tiga orang sakti itu, mempergunakan golok-golok
para korban amukan mereka tadi.
Setelah
mengubur dua orang suami isteri itu dan menutupi lubang dengan tanah, atas
permintaan Bi Lan mereka lalu menaruh sebuah batu bundar sebesar gajah di
tempat kuburan. Mereka lalu berdiri berjajar dan menuntut agar Bi Lan suka
menjadi murid mereka dan memberi hormat seperti layaknya seorang yang
mengangkat guru.
Sekarang Bi
Lan tidak ragu-ragu lagi. Kalau bukan tiga orang kakek aneh ini, siapa lagi
manusia di dunia ini yang mempedulikannya? Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di
depan kaki tiga orang itu, memberi hormat dengan sungguh-sungguh.
"Suhu...
suhu... suhu...!" katanya setiap kali ia menyembah di depan kaki salah
seorang kakek. Tiga orang itu girang bukan main.
"Muridku
yang baik!" kata Raja Iblis Hitam.
Tiba-tiba Bi
Lan merasa tubuhnya melayang jauh tinggi di udara. Anak itu tentu saja terkejut
bukan main, sama sekali tidak menyangka bahwa raksasa hitam yang menjadi
seorang di antara gurunya itu akan melakukan hal seperti itu, melemparkan tubuhnya
tinggi ke udara! Dia teringat betapa tadi suhu-nya yang ini melempar-lemparkan
tubuh lawan ke atas dan tubuh itu terbanting jatuh dengan kepala pecah
berantakan.
Tentu saja
ingatan ini mendatangkan rasa takut yang hebat dalam batinnya yang sehari itu
sudah mengalami guncangan-guncangan luar biasa. Akan tetapi justeru
guncangan-guncangan hebat itu membuat Bi Lan kehilangan rasa takut, atau andai
kata ada rasa takut, ia berani menghadapinya dan justru mendatangkan suatu
kenekatan besar. Maka, betapa pun ngerinya, ia mengatupkan bibirnya yang kecil
dan tidak mau mengeluarkan suara yang membayangkan ketakutan!
Ketika
tubuhnya melayang turun berputaran, tangan Iblis Akhirat sudah menyambutnya dan
kembali ia dilemparkan ke atas oleh kakek itu yang terkekeh senang. Ketika
merasa betapa tubuhnya tidak terbanting melainkan disambut hendak di lemparkan
lagi ke atas, mengertilah Bi Lan bahwa tiga orang gurunya itu bermain-main atau
mungkin hendak menguji ketabahannya.
Hal ini
membesarkan hatinya. Ia akan memperlihatkan kepada tiga orang kakek aneh itu
bahwa ia tidak takut! Maka, ketika untuk kedua kalinya tubuhnya terlempar ke
atas, ia mengeluarkan suara ketawa cekikikan sebagai tanda bahwa dia pun senang
dilempar-lemparkan seperti itu.
Akan tetapi
terdengar suara Iblis Mayat Hidup mencela. "Apa ketawa-ketawa! Dalam
setiap keadaan, engkau harus belajar karena setiap peristiwa mengandung bahan
yang baik untuk dipelajari!”
Dan ketika
tubuhnya meluncur turun, ia disambut pula oleh kakek kurus kering itu dan
dilontarkan pula ke atas. Bi Lan menghentikan ketawanya, takut kalau ketiga
orang gurunya marah. Gila, pikirnya, dilempar-lempar ke udara seperti itu dapat
mempelajari apakah?
Lalu
teringatlah dia betapa kalau meluncur lagi ke bawah, tubuhnya berputaran tidak
karuan. Kenapa ia tidak mau belajar agar luncurannya itu nyaman dengan kaki di
bawah dan kepala di atas? Bukankah jika dia terpaksa terbanting ke atas tanah,
akibatnya tak begitu parah kalau kakinya lebih dulu dari pada kepalanya?
Mulailah dia menggerak-gerakkan kaki tangannya, mengatur keseimbangan supaya
tubuhnya tidak jungkir balik atau berputaran.
Agaknya tiga
orang gurunya girang melihat ini. Begitu ia meluncur turun, ia disambut lagi
bergantian untuk dilontarkan pula ke atas. Akhirnya setelah puluhan kali
dilontarkan ke atas, Bi Lan berhasil mengatur luncuran tubuhnya sehingga
kakinya selalu meluncur di bawah, kedua tangan dikembangkan sedangkan kedua
kaki dipentang seperti orang menunggang kuda. Melihat ini, tiga orang gurunya
bergantian memberi petunjuk, bagai mana harus mengatur tangan atau kaki,
kemudian bagaimana harus mengatur napas dan gerakan-gerakan lain.
Bi Lan yang
tahu bahwa tiga orang gurunya ini adalah orang-orang aneh dan begitu ia
mengangkat mereka sebagai guru, mereka itu langsung menguji dan memberi
pelajaran yang begitu aneh! Maka ia pun memperhatikan dengan tekun dan tanpa
mengenal lelah ia terus berusaha, walau pun tubuhnya yang memang sudah amat
lelah, apa lagi baru saja mengalami hal-hal yang amat hebat itu, terasa
sakit-sakit. Bahkan ia menahan rasa lapar dan kantuknya sampai akhirnya dia
tertidur selagi tubuhnya dilemparkan lagi ke atas oleh Iblis Mayat Hidup.
Melihat
betapa murid mereka itu meluncur turun dengan tubuh lunglai, tiga orang kakek
itu terkejut setengah mati, khawatir kalau-kalau murid mereka yang masih lemah
dan amat lelah itu tidak kuat dan mati di udara! Mereka menyambutnya dan
legalah hati mereka melihat bahwa murid mereka itu hanya tertidur pulas!
Meledaklah
suara tawa mereka dan hati mereka puas dan bangga. Dilempar-lemparkan seperti
itu, murid mereka ini malah bisa tidur nyenyak, dan itu dianggap oleh mereka
sebagai tanda nyali yang sangat besar, ketabahan yang jarang dimiliki seorang
anak kecil, apa lagi anak perempuan.
Tiga orang
Sam Kwi itu lalu meninggalkan hutan itu menuju ke timur. Mereka melakukan
perjalanan cepat sekali, mengambil jalan melalui bukit-bukit dan rawa-rawa,
melalui sungai dan hutan yang liar yang jarang didatangi manusia.
Mereka
mengambil jalan memotong, dan menerjang jalan yang betapa sukar sekali pun,
dengan kepandaian mereka yang tidak lumrah manusia. Jika mereka melalui
perjalanan yang amat sukar, yang tidak dapat dilalui manusia biasa, mereka
memondong Bi Lan bergantian, akan tetapi kalau melalui jalan biasa sambil
menikmati pemandangan alam, mereka membiarkan Bi Lan berjalan kaki di belakang
mereka.
Dasar
orang-orang aneh, kadang-kadang mereka pun meninggalkan Bi Lan begitu saja,
membuat gadis cilik itu berlari-larian setengah mati mengejar mereka, dan kalau
Bi Lan sudah hampir putus asa karena tak mampu mengejar dan guru-gurunya
lenyap, barulah mereka muncul! Di sepanjang perjalanan, mereka melatih Bi Lan
dengan dasar-dasar ilmu silat, dan menggembleng gadis cilik itu dengan
latihan-latihan untuk menghimpun tenaga sinkang.
Ada kalanya
tiga orang itu berebut untuk melatih Bi Lan yang ternyata memiliki bakat yang
sangat hebat, tepat seperti dugaan mereka. Setiap pelajaran yang diberikan
guru-gurunya dapat ditangkap dengan mudah oleh Bi Lan dan hanya dalam latihan
sajalah gadis cilik itu perlu memperoleh tekanan.
Dan gadis
cilik itu pun cerdik bukan main. Segera ia dapat merasakan betapa tiga orang
gurunya yang aneh itu amat menyayanginya, bahkan berlomba dalam menyayangnya.
Hal ini dipergunakannya sebagai senjata untuk menguasai tiga orang kakek itu!
Pada suatu
hari, tiga orang kakek itu terlibat dalam ketegangan dan perbantahan ketika
mereka akan mulai menurunkan ilmu silat tinggi kepada murid mereka. Mereka
saling memperebutkan, ilmu silat siapakah yarig harus diutamakan sebagai dasar.
"Siapa
yang mampu menandingi ilmuku Hek-wan Si-pat-ciang (Ilmu Silat Delapan belas
Jurus Lutung Hitam)?" bentak Raja Iblis Hitam. "Aku akan mengajarkan
ilmu lebih dulu kepada Bi Lan!"
"Ha-ha-ha,
sombongnya. Apa artinya pukulan-pukulanmu bagi orang yang mempunyai kekebalan
seperti ilmuku Kulit Baja? Sebaiknya Bi Lan kulatih lebih dahulu dalam ilmu
tendanganku yang tak ada bandingan, yaitu Pat-hong-twi (Tendangan Delapan
Penjuru Angin). Dan untuk kematangannya, ia perlu memiliki dasar tenaga sinkang
yang amat kuat seperti aku," bantah Iblis Akhirat.
"Ahhh,
tidak! Seorang wanita seperti Bi Lan harus memiki ginkang (ilmu meringankan
tubuh) seperti aku sebagai dasar, sambil mempelajari ilmu silatku Hun-kin
Tok-ciang (Tangan Beracun Memutuskan Otot)!" bentak Iblis Mayat Hidup.
Tiga orang
kakek itu tidak mau saling mengalah. Di atas padang rumput yang sunyi di sebuah
lereng bukit itu, mereka ngotot tidak mau saling mengalah dan akhirnya mereka
menentukan bahwa harus diuji lebih dulu ilmu siapa yang paling kuat dan dialah
yang berhak memberi bimbingan pertama kali kepada Bi Lan. Dan terjadilah
perkelahian di antara mereka!
Bukan
sembarang perkelahian, bukan sekedar adu otot dan adu ilmu, tetapi perkelahian
sungguh-sungguh dengan serangan-serangan mematikan. Hebat bukan main
serang-menyerang yang terjadi di antara mereka bertiga dan karena memang
tingkat mereka seimbang, tentu saja sukarlah bagi salah seorang di antara
mereka untuk memperoleh keunggulan.
Kalau ada
seorang di antara mereka yang nampaknya memperoleh angin dari orang ke dua,
orang ke tiga kemudian turun tangan mendesak sehingga yang tadinya nampak
memperoleh angin sebaliknya menjadi terdesak kembali. Dan perkelahian itu bukan
hanya mempergunakan ilmu pukulan biasa, melainkan mempergunakan sinkang yang
membuat tempat di sekitarnya dilanda angin pukulan yang bersiutan dan
berdesingan. Mereka juga saling mengerahkan khikang, mengeluarkan suara berupa
bentakan yang melengking nyaring.
Bi Lan yang
berdiri menjauh dan merasa dilupakan oleh tiga orang gurunya, merupakan
satu-satunya penonton dan satu-satunya orang yang paling menderita di antara
mereka. Angin pukulan yang dahsyat dan menyambar-nyambar itu tadi telah membuat
dia jatuh bangun dan terguling-guling seperti sehelai daun kering dilanda
badai. Ia yang cerdik cepat menggerakkan tubuhnya bergulingan di atas padang
rumput sampai agak jauh.
Akan tetapi,
setelah angin pukulan tidak mampu meraihnya karena jauh, suara-suara yang
mengandung tenaga khikang itu menyiksanya. Anak itu merasa betapa suara itu
menusuk-nusuk anak telinganya dan biar pun dia sudah menutupi kedua telinga
dengan kedua tangan, tetap saja suara itu membuat isi perutnya jungkir balik
dan menyiksanya dengan hebat.
"Sudahlah,
biar kalian bunuh saja aku!" Akhirnya dia berteriak sambil berlari ke
tengah medan perkelahian, berloncatan dan dengan nekat terjun di antara mereka
bertiga.
Tiga orang
kakek yang lihai itu tentu saja dapat melihat munculnya murid mereka yang
meloncat ke tengah medan perkelahian. Kalau orang lain yang berbuat demikian,
tentu mereka bertiga akan menjatuhkan pukulan maut sehingga tubuh orang yang
berani mengganggu mereka itu akan hancur lebur. Akan tetapi melihat bahwa yang
datang adalah Bi Lan, ketiganya tiba-tiba saja menghentikan gerakan mereka,
masing-masing menarik diri dan mundur, berdiri dengan tubuh berkeringat dan
tidak bergerak bagaikan patung, tidak tahu harus berbuat apa.
"Kenapa
suhu semua berhenti? Hayo teruskan perkelahian itu!" berkata Bi Lan dengan
suara marah.
"Ahhh,
berbahaya untukmu. Menyingkirlah, Bi Lan, agar kami dapat melanjutkan untuk
menentukan siapa yang berhak lebih dulu mengajarmu," Iblis Akhirat
berkata.
"Tidak
perlu teecu menyingkir. Sejak tadi teecu sudah tersiksa. Biarlah kalau teecu
mati juga, menemani seorang atau dua orang di antara suhu yang akhirnya tentu
akan kalah dan mati pula!"
Baru mereka
tahu bahwa Bi Lan marah karena perkelahian mereka tadi. "Kami... kami
berkelahi memperebutkan hak mengajarmu lebih dulu." Kembali Iblis Akhirat
berkata memberi keterangan.
"Teecu
(murid) sudah mengangkat suhu bertiga menjadi guru semua, mengapa mesti
berebutan lagi? Kenapa suhu bertiga tidak memberi pelajaran bersama-sama
saja?" Ia berhenti sebentar untuk melihat tarikan muka mereka, lalu
melanjutkan lagi, "Kalau suhu bertiga berebutan dan berkelahi lagi, teecu
tidak akan mau belajar dari yang paling menang!"
Mendengar
ancaman dari murid yang mereka tahu amat keras hatinya ini, tiga orang kakek
itu saling pandang.
"Bergabung...?"
Raja Iblis Hitam berkata bingung.
"Ilmu
ketiga orang disatukan?" Iblis Mayat Hidup menyambung ragu.
"Wah,
mengapa tidak? Kita ajarkan bersama ilmu-ilmu kita dan karena ilmu-ilmu itu
amat tinggi, tentu sukar baginya untuk menerima semua."
"Justeru
karena menerima setengah-setengah inilah maka dia akan dapat menggabung
ilmu-ilmu itu menjadi hanya satu ilmu yang tentu hebat karena mengandung dasar
dan kelihaian ilmu kita masing-masing!"
"Bagus!"
kata Raja Iblis Hitam girang.
"Tepat
sekali!" kata pula Iblis Mayat Hidup.
"Sama
sekali tidak bagus dan tidak tepat!” Tiba-tiba terdengar suara merdu seorang
wanita.
Bi Lan
terkejut dan merasa heran ada orang berani mencampuri percakapan tiga orang
gurunya. Ketika ia menengok, ia melihat seorang wanita yang usianya sekitar dua
puluh lima tahun, berpakaian rapi dan mewah, berwajah cantik sekali dengan
sinar mata yang tajam. Kecantikannya aneh mengandung hawa dingin, tapi ada
kecabulan membayang dalam senyum dan kerlingnya.
Hati Bi Lan
merasa khawatir sekali. Wanita ini sudah bosan hidup, pikirnya. Ia sudah mulai
mengenal watak tiga orang gurunya yang aneh dan kadang-kadang amat kejam, apa
lagi setelah ia mendengar julukan guru-gurunya yang memperkenalkan diri sebagai
Sam Kwi dengan julukan yang seram-seram itu. Ia malah bisa menduga bahwa
gurunya adalah orang-orang yang amat kejam dan jahat, akan tetapi yang amat
baik kepadanya karena sayang kepadanya.
Karena takut
kalau-kalau tiga orang gurunya itu menurunkan tangan secara tiba-tiba membunuh
gadis itu, Bi Lan mendahului, meloncat dan menghadap tiga orang gurunya.
"Suhu sekalian harus dapat memaafkan cici ini!" teriaknya.
Akan tetapi
kini terjadi hal yang sangat mengherankan hati Bi Lan. Iblis Akhirat yang
gendut pendek itu berteriak kegirangan, "Aha, Bwi-kwi (Iblis Cantik), kau
baru muncul? Waah, aku sudah kangen sekali padamu!" Dan si gendut langsung
memeluk pinggang wanita cantik itu dan menariknya.
Anehnya,
gadis itu tersenyum lalu merendahkan kepalanya dan kakek gendut itu lantas
mencium mulutnya dengan bernapsu sekali sampai mengeluarkan bunyi,
"ceplok!"
Tentu saja
Bi Lan menjadi bengong melihat ini, apa lagi melihat dua orang suhu-nya yang
lain juga menghampiri gadis itu. Raja Iblis Hitam mengelus rambut gadis itu,
dan si Iblis Mayat Hidup mencolek dadanya! Dan gadis cantk itu hanya tersenyum
manis saja, sama sekali tidak marah.
"Suhu,
siapakah bocah itu?" gadis itu bertanya dan kini tahulah Bi Lan bahwa
gadis itu adalah murid tiga orang suhu-nya.
"Ha-ha-ha,
ia adalah murid kami yang baru. Bakatnya bagus sekali, melebihimu, Bi-kwi.
Namanya Can Bi Lan, heh-heh-heh, dua orang murid kami semua cantik-cantik. Kami
menyebutmu Bi-kwi, biarlah mulai sekarang Bi Lan kami sebut Siauw-kwi (Iblis
Kecil). Ha-ha-ha!"
Tiba-tiba
sepasang mata yang indah dan bersinar tajam itu berkilat memandang ke arah Bi
Lan. "Murid suhu? Hemm, sejak dahulu murid suhu bertiga hanya aku, dan
setiap ada orang berani merubah keadaan ini harus dibunuh. Anak ini pun harus
kubunuh!"
Berkata
demikian, tiba-tiba saja wanita itu menggerakkan tangan kanannya dan lengan
kanan yang montok itu tiba-tiba mulur panjang dengan dua jari yang mungil
menotok ke arah dada Bi Lan! Tetapi, biar baru beberapa bulan lamanya, Bi Lan
sudah menerima latihan-latihan dasar dari tiga orang sakti, maka begitu ada
tangan menyerangnya, gadis cilik itu mampu melempar tubuh ke belakang dan
berjungkir balik dengan sigapnya.
"Ehh...!
Ia malah sudah belajar dari suhu!" bentak Bi-kwi.
Dia pun
menyerang lagi, sekarang kakinya melangkah ke depan. Akan tetapi tiba-tiba
pinggangnya dipeluk dari belakang oleh Raja Iblis Hitam, dan dua tangannya
dipegang masing-masing oleh Iblis Akhirat dan Iblis Mayat Hidup.
"Hemm,
suhu bertiga menghalangi? Berarti suhu bertiga tidak lagi cinta kepadaku!"
"Ehhh?
Tenang... sabar, sabar...! Kami sudah menjelajah dunia ramai lagi dan melihat
perubahan-perubahan hebat terjadi di dunia persilatan. Engkau seorang diri
tidak akan kuat menghadapi mereka, oleh karena itu kami sengaja memilih Bi Lan
untuk menjadi murid kedua. Apa salahnya itu?"
"Hanya
murid?" Gadis cantik itu menegaskan.
"Heh-heh,
cemburu? Hanya murid karena bagi kami sebagai laki-laki, engkau seorang sudah
lebih dari cukup dan memuaskan. Nah, maukah engkau berbaik dengan Bi Lan?"
tanya Iblis Akhirat.
Bi-kwi
mengangguk. "Baiklah, tadi pun dia sudah berusaha menolongku. Tidak
apa-apa mengampuni nyawa anjingnya. Akan tetapi kalau kelak ada tanda-tanda
bahwa suhu bertiga... hemm, aku pasti akan membunuhnya."
Bi Lan
mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu apa sebenarnya maksud percakapan aneh itu.
Dia pun masih tertegun menyaksikan adegan aneh ketika gadis cantik itu menerima
ciuman Iblis Akhirat dan belaian-belaian dua orang suhu-nya yang lain. Akan
tetapi ia tahu bahwa gadis itu berbahaya bukan main, agaknya tak kalah jahatnya
dibandingkan dengan tiga orang kakek itu. Ia harus berhati-hati menghadapi
gadis ini, pikirnya.
"Ha-ha-ha,
bagus… bagus sekali. Bi Lan, lekas berterima kasih kepada suci-mu (kakak seperguruanmu)
yang baru saja mengembalikan nyawamu," kata Iblis Akhirat.
Sam Kwi
kelihatan gembira sekali dengan pertemuan itu dan Bi Lan, walau pun hatinya
tidak senang, namun anak ini mempergunakan kecerdikannya. Ia tahu bahwa gadis
ini mempunyai kekuasaan atas tiga orang gurunya agaknya tiga orang gurunya pun
tidak akan dapat menyelamatkannya atau menjamin keselamatannya jika sampai ia
dimusuhi gadis ini. Sebaiknya ia bersiasat dan menyenangkan hati gadis ini
sebelum mengenal benar keadaannya.
Maka dia pun
lalu bangkit dan menjura pada gadis itu, berkata dengan suara manis dan
tersenyum. Oleh tiga orang gurunya, dia diingatkan betapa manisnya kala
tersenyum, betapa timbul sepasang lesung pipit kanan kiri mulutnya.
"Suci
yang cantik dan gagah perkasa, aku menghaturkan terima kasih kepadamu."
Gadis cantik
itu menjebikan bibirnya. "Huh, baiknya engkau tadi berusaha melindungiku
dari kemarahan suhu, kalau tidak… Baiklah, kalau selanjutnya engkau tunduk dan
taat kepadaku, mulai saat ini engkau adalah sumoi-ku."
"Terima
kasih, suci."
"Bi-kwi,
kenapa tadi engkau mengatakan bahwa pendapat kami untuk menggabungkan ilmu dan
diajarkan kepada Siauw-kwi tidak betul dan tidak tepat?" Iblis Akhirat
bertanya sambil menggandeng tangan wanita cantik itu dengan sikap yang kangen
sekali.
"Tentu
saja tidak tepat, karena di sini ada aku yang dapat mewakili suhu bertiga untuk
mengajarkan ilmu-ilmu kita kepada sumoi. Kalau seorang anak kecil seperti sumoi
itu sekaligus menerima pelajaran dari suhu bertiga, mana kuat menerimanya?
Serahkan saja kepadaku dan suhu bertiga tidak perlu susah-susah."
Tiga orang
kakek itu mengangguk-angguk dan tersenyum gembira. "Ha-ha, lihat, betapa
beruntungnya kita bertiga mempunyai seorang murid seperti Bi-kwi," kata
Iblis Akhirat.
"Bi-kwi,
bagaimana dengan tugasmu?" tiba-tiba Raja Iblis Hitam bertanya.
Bi Lan
merasa heran mendengar suara kakek raksasa hitam ini. Biasanya dia pendiam dan
kalau bersuara terdengar keras, parau dan bengis, akan tetapi sekarang suaranya
terdengar lembut dan mengandung kemesraan.
Gadis yang
disebut Bi-kwi (Iblis Cantik) itu sebenarnya bernama Ciong Siu Kwi yang sejak
berusia lima tahun sudah menjadi murid Sam Kwi. Seperti juga Bi Lan, Siu Kwi
atau yang kini disebut Bi-kwi ini yatim piatu. Ayah ibunya dibunuh oleh Sam Kwi
sendiri yang ingin menguasai anak ini dengan bebas.
Memang pada
mulanya, Sam Kwi mengambil murid ini hanya untuk menurunkan ilmu karena melihat
bakat baik pada diri Siu Kwi, juga agar anak ini dapat menemani mereka dalam
persembunyian dan pertapaan mereka di puncak pegunungan Thai-san. Akan tetapi,
makin dewasa, Bi-kwi atau Siu Kwi ini makin nampak watak aslinya, watak yang
genit dan cabul, di samping wajahnya yang cantik.
Gadis ini
mempelajari ilmu-ilmu tinggi, tetapi juga melayani Sam Kwi, mencuci pakaian,
memasak dan segala macam kebutuhan tiga orang kakek itu. Setelah ia berusia
hampir delapan belas tahun, tiga orang kakek itu tidak tahan melihat
kegenitannya. Mulailah mereka bertiga itu tertarik sebagai pria terhadap wanita
kepada murid sendiri dan mulailah terjadi hubungan perjinahan antara ketiga Sam
Kwi dengan murid tunggal mereka itu!
Luar
biasanya, gadis yang semenjak kecil hidup di tempat pengasingan di Thai-san
itu, menyambut tiga orang kakek buruk rupa yang menjadi suhu-nya itu dengan
tangan dan hati terbuka! Dan sejak berusia delapan belas tahun itulah, Siu Kwi
menjadi murid dan merangkap kekasih Sam Kwi dan mulai pula dia menguasai tiga
orang kakek itu yang namanya saja guru-gurunya, akan tetapi dalam banyak hal
mereka bertiga itu tunduk dan taat kepada Siu Kwi!
Mendengar
pertanyaan Hek-kwi-ong tentang tugasnya tadi, Siu Kwi melepaskan tangan Iblis
Akhirat, dan mengerutkan alisnya, kemudian dia duduk di atas sebuah batu yang
bersih. Tiga orang kakek itu pun duduk di depannya dan Bi Lan yang ingin pula
turut mendengarkan juga duduk di dekat Siu Kwi.
Gadis ini
menarik napas panjang beberapa kali, lalu berkata dengan suara jengkel.
"Dua
urusan yang suhu serahkan kepadaku itu semua gagal! Yang pertama mengenai
Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, ternyata telah tewas belasan tahun yang
lalu!"
"Wah,
sialan!" Raja Iblis Hitam berseru kecewa sambil mengepal tangannya yang
besar.
"Pengecut!
Mampus lebih dulu!" Iblis Mayat Hidup juga berseru kecewa.
"Ha-ha-ha,
biarlah dia mampus, kelak di akhirat toh kita masih dapat mencarinya untuk
membuat perhitungan!" berkata Iblis Akhirat yang kemudian memandang Siu
Kwi. "Dan bagaimana dengan urusan yang lain?"
"Urusan
Liong-siauw-kiam (Pedang Suling Naga) lebih menjengkelkan lagi. Dengan susah
payah selama berbulan-bulan aku mencari kakek Pek-bin Lo-sian (Dewa Tua Muka
Putih) di sekitar Pegunungan Himalaya dan belum kutemukan jejaknya. Akan
tetapi, akhirnya dari para pertapa aku mendengar bahwa kakek tua bangka itu pun
sudah meninggal dunia."
"Dan
pusakanya?" Raja Iblis Hitam memotong.
"Itulah
yang menjengkelkan hatiku. Menurut keterangan para pertapa yang mengenal
Pek-bin Lo-sian, sebelum kakek itu meninggal dunia, mereka sering kali melihat
kakek itu berbincang-bincang dengan seorang pendekar sakti dan menurut mereka,
sangat boleh jadi kakek itu mewariskan Liong-siauw-kiam kepada pendekar
itu."
"Wah-wah,
siapa pendekar jahanam itu?" bentak Iblis Akhirat dengan marah.
"Mereka
tidak tahu, akan tetapi, dalam penyelidikanku selanjutnya, ada sebuah berita
yang amat menarik, yaitu munculnya seorang pendekar yang dijuluki Pendekar
Suling Naga yang kabarnya membawa senjata sebatang suling naga..."
"Itulah
orangnya!" bentak Iblis Mayat Hidup. "Di mana dia?"
Gadis itu
menggerakkan pundaknya. "Menurut penyelidikanku, pendekar yang berjuluk
Pendekar Suling Naga itu merantau ke selatan. Karena aku ingin mendengar
keputusan suhu dalam hal ini, maka aku lalu mencari suhu untuk melapor."
Tiga orang
kakek itu saling pandang, kemudian Iblis Akhirat yang biasa menjadi juru bahasa
mereka berkata, "Tugasmu menjadi semakin berat, Bi-kwi. Pendekar Super
Sakti sudah mati, akan tetapi keturunan Suma tentu masih banyak berkeliaran.
Karena itu kita harus berusaha membasmi semua keturunan Suma Han si Pendekar Super
Sakti yang pernah membuat kami bertiga harus menyembunyikan diri selama puluhan
tahun. Akan tetapi, di samping itu juga kita harus mencari orang yang menguasai
Pedang Suling Naga untuk merampasnya. Tidak mungkin tugas-tugas berat itu kau
pikul sendiri. Maka, sebaiknya kita melatih Siauw-kwi ini sampai pandai agar
supaya kelak dapat membantumu menunaikan tugas-tugas itu. Kami sendiri sudah
terlalu tua untuk berkeliaran mencari orang."
Bi-kwi
menoleh ke arah Bi Lan dan mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang cerdik.
Mewakili suhu-suhu-nya bermusuhan dengan keturunan Pendekar Super Sakti adalah
tugas yang amat berat dan tidak menarik hatinya. Ia sudah mendengar bahwa
Pendekar Super Sakti adalah seorang tokoh besar yang amat tinggi ilmu
kesaktiannya dan sukar dilawan. Bahkan tiga orang gurunya yang pernah
mengeroyok pendekar itu pun tidak mampu menang.
Tentu
keturunannya juga sangat lihai, dan bagaimana kalau keturunannya itu banyak
jumlahnya? Dan urusan balas dendam guru-gurunya karena pernah dikalahkan ini
tiada apa-apanya yang menarik hatinya karena tidak ada yang menguntungkan.
Sebaliknya, mencari pusaka Suling Naga itu lebih menarik baginya. Karena itu,
menghadapi dua tugas ini memang sebaiknya jika ia ditemani orang yang dapat
dipercaya, dan agaknya Bi Lan inilah orangnya.
"Hemm,
aku meragukan apakah anak ini akan sanggup. Siauw-kwi, sanggupkah engkau
membantuku kelak dalam dua urusan itu?"
Bi Lan sejak
tadi mendengarkan dan kini ia menghadap ketiga orang suhu-nya. "Urusan
suhu dengan keluarga Pendekar Super Sakti itu mudah teecu mengerti. karena
tentu urusan dendam pribadi yang melibatkan keluarga Pendekar Super Sakti yang
sudah mati. Akan tetapi urusan ke dua, teecu kurang jelas. Apakah pusaka Suling
Naga itu dan mengapa dijadikan rebutan?"
"Ha-ha-ha,
engkau memang anak cerdik yang ingin memasuki suatu urusan tapi tidak secara
membuta. Baiklah, akan kuceritakan padamu mengenai pusaka itu."
Im-kan Kwi
atau Iblis Akhirat yang bertubuh pendek bundar itu lalu dengan ringkas
bercerita tentang pusaka yang dinamakan Pedang Suling Naga itu. Benda pusaka
itu telah ribuan tahun usianya, terbuat dari semacam kayu yang tumbuh di
Pegunungan Himalaya, dan kayu itu diukir dan dibuat menjadi sebuah suling yang
amat indah oleh seorang abi di Pegunungan Himalaya kurang lebih seribu tahun
yang lalu. Benda itu lalu direndam dalam obat-obatan rahasia yang membuat kayu
itu menjadi keras membaja, bahkan kabarnya lebih keras dari pada baja.
Pusaka yang
indah itu dapat ditiup sebagai sebatang suling yang suaranya merdu, juga bisa dipegang
sebagai sebatang pedang. Kepala naga menjadi gagang dan badan serta ekornya
menjadi pedangnya. Ukiran naga itu sedemikian hidupnya, sepasang mata di bagian
kepalanya dibuat dari batu permata sehingga nampak bernyala dan hidup sekali.
Selama ratusan tahun, benda itu menjadi pusaka dan menjadi lambang kekuasaan
raja-raja Khitan.
Sampai
akhirnya, di jaman Kaisar Jenghis Khan, raja Mongol ini dalam penyerbuannya ke
barat berhasil merampas benda itu dan karena amat kagum dan suka, benda itu
menjadi pusaka kesayangan Kaisar Jenghis Khan. Akan tetapi pada suatu hari,
pusaka itu lenyap dari dalam gudang pusaka. Kaisar Jenghis Khan marah sekali
akan tetapi urusan itu dirahasiakan karena kaisar akan merasa malu kalau
terdengar rakyat bahwa pusaka yang paling disayang itu dapat lenyap begitu saja
dari dalam gudang pusaka.
Saking
marahnya Kaisar Jenghis Khan menghukum mati tiga puluh orang pengawal dan
pelayan yang dicurigai! Semenjak saat itu, pusaka Suling Naga dianggap lenyap
dan tak pernah dapat ditemukan kembali walau pun Kaisar Jenghis Khan telah
mengeluarkan banyak sekali biaya dan mengerahkan banyak orangnya untuk
mencarinya.
"Sebenarnya
yang mencuri benda pusaka itu ialah seorang sakti yang menyembunyikan dirinya
di pegunungan sebelah utara. Benda itu menjadi kebanggaannya karena tentu saja
orang yang mampu mencuri benda dari gudang pusaka Kaisar Jenghis Khan adalah
seorang yang sangat sakti. Benda itu turun temurun menjadi milik murid-murid
keturunannya dan akhirnya jatuh ke tangan suhu dan susiok kami yang dulu
bertapa di Pegunungan Himalaya. Ketika suhu meninggal dunia, pusaka itu oleh
suhu diserahkan kepada susiok Pek-bin Lo-sian yang bertapa di Pegunungan
Himalaya. Kami pernah memintanya, akan tetapi susiok mengatakan bahwa pusaka
itu tidak pantas menjadi milik kami. Tentu saja kami berusaha merampasnya, akan
tetapi susiok Pek-bin Lo-sian terlalu tangguh bagi kami. Tak ada lain jalan
kecuali menanti sampai kakek yang sudah tua renta ini mampus. Akan tetapi,
sungguh tak terduga sekali halnya kami dikalahkan oleh Pendekar Super Sakti
sehingga kami terpaksa mengundurkan diri bertapa sampai dua puluh tahun dan
ketika kami mengutus Bi-kwi, ternyata kakek tak tahu malu itu telah mampus dan
mewariskan pusaka itu kepada orang lain!"
Iblis
Akhirat menghentikan ceritanya dan tiga orang kakek itu nampak beringas serta
marah sekali.
"Bagaimana,
Siauw-kwi, maukah engkau membantu suci-mu dalam mencari pusaka itu dan
membalaskan dendam kami terhadap keturunan Suma?" tiba-tiba Iblis Mayat
Hidup bertanya.
Cerita itu
amat menarik hati Bi Lan. Bagaimana pun juga, tiga orang suhu-nya memang berhak
mendapatkan kembali pusaka itu dan pendekar yang menerimanya dari Pek-bin
Lo-sian tidak berhak. "Baik, suhu. Teecu akan belajar giat agar kelak
mampu membantu suci."
Mereka
berlima lalu meninggalkan tempat itu, kembali ke puncak Pegunungan Thai-san. Di
sepanjang perjalanan, dengan hati kaget, heran, dan muak, Bi Lan melihat betapa
tiga orang gurunya itu mengadakan hubungan amat mesra dengan suci-nya. Ia belum
begitu mengerti tentang hubungan perjinahan seperti itu, akan tetapi nalurinya
membuat ia selalu membuang muka dan menyingkir kalau melihat pertunjukan tak
tahu malu di sepanjang perjalanan itu. Karena perbuatan ini saja, diam-diam Bi
Lan merasa sangat tidak suka kepada suci-nya dan kepada tiga orang suhu-nya,
walau pun dengan cerdik ia dapat menyembunyikan perasaan ini di lubuk hatinya.
Demikianlah,
sesudah tiba di puncak Pegunungan Thai-san, di tempat terpencil sunyi, Bi-kwi
atau Su Kwi mulai melatih sumoi-nya dengan ilmu silat. Akan tetapi, dasar orang
yang licik, curang dan juga hatinya diliputi penuh kebencian, Bi-kwi yang tidak
rela kalau ada orang kelak lebih pandai atau setidaknya mengimbangi
kepandaiannya, ia melatih dengan cara yang kadang-kadang dibalikkan, dengan
harapan supaya sumoi-nya tentu mewarisi ilmu yang keliru cara melatihnya sehingga
menjadi ilmu sesat yang akan membahayakan sumoi itu sendiri. Ilmu bersemedhi
dan menghimpun tenaga sinkang misalnya, kalau dilatih dengan cara yang keliru,
amat membahayakan, dapat membuat orang menjadi menderita luka dalam, atau dapat
membikin orang menjadi gila, atau bahkan mati keracunan.
Kita
tinggalkan dulu Bi Lan, anak berusia hampir sebelas tahun yang kini sedang
digembleng secara keliru oleh Bi-kwi atau Siu Kwi itu, di tempat terasing, satu
di antara puncak Thai-san dan mari kita menengok peristiwa yang terjadi di lain
tempat, jauh dari Thai-san.
Peristiwa
pemberontakan yang berkembang di dalam perang saudara antara pasukan pemerintah
dan para pemberontak, yang dicampuri pula oleh pasukan asing Birma yang
bersekutu dengan para pemberontak, telah membuat seluruh negeri menjadi tidak
aman. Oleh karena pemerintah pusat mencurahkan perhatian terhadap
pemberontakan- pemberontakan itu, maka pengurusan keamanan di daerah-daerah
tidak terlalu diawasi. Hal ini membuat para pembesar setempat seakan-akan menjadi
raja yang berdaulat, tidak ada yang menentang, tidak ada yang mengawasi. Akan
tetapi, juga tidak ada yang melindungi sehingga pembesar-pembesar itu hanya
mengandalkan pasukan keamanan setempat. Oleh karena inilah, maka para penjahat
pun muncul dan merajalela di wilayah masing-masing, mengganggu rakyat jelata.
Mungkin
karena mempunyai kepentingan yang sama dan keduanya mengganggu dan menentang
rakyat jelata, banyak terjadi persekongkolan di antara para gerombolan penjahat
yang kuat dan para pembesar setempat. Tidaklah mengherankan apabila ada
sebagian rakyat yang bangkit melawan penjahat-penjahat itu, mereka akan
berhadapan dengan pasukan keamanan yang akan menentang mereka dan malah
membantu para penjahat!
Ada kalanya,
agar perbuatan mereka tidak menyolok, petugas keamanan menangkapi para penjahat
dan juga rakyat yang menentang penjahat! Beberapa hari kemudian, para penjahat
yang di tangkapi itu telah berkeliaran kembali melakukan kejahatan mereka,
sedangkan orang-orang yang ditangkap ketika melawan penjahat itu tetap di
tahan, bahkan dihukum dengan tuduhan pemberontak!
Dalam
keadaan negara kacau seperti ini terjadilah apa yang dinamakan ‘pagar makan
tanaman’. Para petugas keamanan yang seharusnya menjaga keamanan hidup rakyat,
sebaliknya malah membuat kehidupan rakyat menjadi tidak aman! Dan kalau petugas
keamanan sudah bersekongkol dengan penjahat, dapatlah dipastikan bahwa keadaan
pemerintahannya lemah, dan yang celaka adalah rakyat jelata pula.
Keadaan
semacam itu pun melanda kota kecil Siang-nam yang terletak tidak jauh dari kota
besar Siang-tan, di Propinsi Hunan. Kepala daerah kota Siang-nam seperti boneka
saja. Hanya pakaian dan kursinya saja yang menandakan dia seorang kepala
daerah, akan tetapi sikap dan perbuatannya sama sekali tak mencerminkan seorang
pemimpin.
Kekuasaan
sepenuhnya berada di tangan Bong-ciangkun, yaitu komandan pasukan keamanan kota
Siang-nam. Dan di atas Bong-ciangkun ini, sebagai penguasa yang tak terlihat,
adalah kepala penjahat yang menguasai seluruh Siang-nam dan daerah di
sekitarnya. Selalu terjadi persekutuan antara kepala penjahat dan Bong-ciangkun
dalam menghadapi perkara apa pun, dan Bong-ciangkun lalu tunduk karena kepala
penjahat itu memberi sogokan yang berlebihan, yang membuat komandan itu menjadi
kaya raya.
Lebih celaka
lagi, Bong-ciangkun sudah terkenal sebagai seorang pria congkak yang
menyombongkan kedudukannya, bengis dan hal yang paling buruk, mata keranjang
dan selalu ingin mendapatkan wanita mana saja yang menarik hatinya! Dia dikenal
sebagai serigala kota Siang-nam dan semua penduduk merasa takut kepadanya.
Pada suatu
pagi, di antara orang-orang yang sibuk pergi ke pasar, ada yang hendak
berjualan dan ada pula yang hendak berbelanja, nampaklah seorang wanita bersama
seorang anak laki-laki berjalan menuju ke arah pasar. Ibu dan anak ini
masing-masing membawa keranjang berisi telur. Mereka memelihara banyak ayam di
rumah dan kini mereka hendak menjual hasilnya ke pasar. Biasanya, yang menjual
telur adalah suami wanita itu, akan tetapi pada pagi hari itu, si suami rebah
di pembaringan karena masuk angin dan walau pun enggan keluar rumah dalam
suasana kacau seperti itu, terpaksa si isteri mengajak putera tunggalnya untuk
menemaninya membawa telur dan menjualnya ke pasar.
Wanita itu
berwajah lumayan, dengan kulit kuning bersih sehingga usianya yang sudah tiga
puluh tahun itu belum menghilangkan daya tariknya yang memikat. Dan puteranya,
seorang anak laki-laki berusia sebelas tahun, juga wajahnya mirip ibunya
sehingga dia nampak tampan dan bersih, wajahnya cerah. Anak ini bernama Gu Hong
Beng, dan ayahnya yang sedang sakit itu bernama Gu Hok, seorang tukang kayu
yang pandai.
Selain
memiliki penghasilan sebagai tukang kayu, juga isterinya dibantu oleh putera
mereka memelihara atau beternak ayam yang hasilnya cukup lumayan pula. Kehidupan
mereka yang tidak kaya tetapi juga tidak miskin itu cukup bahagia, dengan
seorang putera yang baik dan penurut, rajin bekerja membantu ibunya merawat
ayam, bahkan sudah dapat melakukan beberapa pekerjaan tukang kayu yang
ringan-ringan.
Karena semua
pedagang di pasar tahu bahwa telur dari ternak ayam milik tukang kayu itu
selalu baru dan segar, maka dengan mudah mereka dapat menjual semua telur
mereka di pasar. Dengan wajah berseri keduanya membawa uang hasil penjualan itu
untuk berbelanja keperluan bumbu-bumbu masakan dan bahan-bahan makanan.
Akan tetapi,
mendadak terdengar bentakan-bentakan agar semua orang minggir untuk memberi
jalan kepada seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan berperut gendut
sekali. Mukanya buruk hitam dan kulitnya tebal dengan mata lebar bundar yang
selalu memandang penuh keangkuhan. Dia berjalan dengan dada dibusungkan, akan
tetapi karena perutnya yang luar biasa gendutnya, yang makin membusung adalah
perutnya itu.
Pakaiannya
indah dan gagah, pakaian seorang perwira dengan pedang besar panjang tergantung
di pinggang kiri. Kepalanya terhias topi perwira Mancu yang memakai hiasan
bulu. Dengan langkah dibuat-buat perwira yang bukan lain adalah Bong-ciangkun
ini menoleh ke kanan kiri, sikapnya sombong sekali ketika dia memandangi
orang-orang di dalam pasar.
Sudah
diketahui umum bahwa kaum wanita amat lemah terhadap harta, kedudukan dan nama
kehormatan. Oleh karena itu, biar melihat bentuk perut dan mukanya laki-laki
yang bernama Bong-ciangkun ini sama sekali tak dapat dibilang ganteng atau
menarik, tapi kedudukannya, pangkatnya, pakaiannya yang gagah, kehormatannya
dan hartanya tentu sekali membuat banyak wanita di pasar itu berlomba untuk
bergaya dan menarik hati sang perwira dengan berbagai gaya. Ada yang suaranya
tiba-tiba saja meninggi dan nyaring, ada yang tiba-tiba menjadi genit sekali,
terkekeh, ada yang matanya lalu menjadi lincah mengerling tajam, ada yang
tersenyum-senyum manis, ada pula yang memperbaiki letak rambut dan merapikan
pakaian. Akan tetapi, Bong-ciangkun hanya mengangkat hidung memandang rendah.
Empat orang
prajurit pengawal yang berada di depan perwira itu untuk membuka jalan bersikap
kasar sekali. Ada beberapa orang laki-laki yang memikul keranjang, karena
kurang cekatan menyingkir, ditendang keranjangnya sehingga isinya berantakan.
"Minggir!
Minggir! Komandan kami akan lewat!" Demikian mereka membentak-bentak.
Ketika
mereka tiba dekat dengan Gu Hong Beng dan ibunya yang sedang berbelanja, empat
orang pengawal itu membentak-bentak dan mendorong-dorong. Seorang kakek tua
kena dorong dan terhuyung menabrak ibu Hong Beng. Wanita ini menahan jerit,
terjatuh dan kacang yang baru dibelinya dan dipondongnya tadi terlepas,
bungkusannya pecah dan kacang itu pun berserakan di atas tanah.
"Ahhh
kacangku...!" Ibu muda ini cepat berjongkok dan mengumpulkan kacang yang
tumpah-tumpah itu.
Tiba-tiba
ada orang memegang lengannya dan ia ditarik dengan lembut ke atas. Nyonya itu
terpaksa bangkit dan menoleh. Terkejutlah ia ketika melihat bahwa yang
menariknya itu adalah seorang laki-laki tinggi besar berpakaian perwira yang
kelihatannya galak dan bengis. Tetapi pada saat itu, laki-laki tinggi besar
yang bukan lain adalah Bong-ciangkun itu menyeringai, maksudnya untuk tersenyum
manis akan tetapi hasilnya sama sekali tidak manis, bahkan menyeringai
menakutkan.
"Nyonya
yang manis, harap jangan kaget dan takut. Maafkan pengawalku tadi bersikap
kasar sehingga kacangmu tumpah. Marilah engkau ikut denganku, nyonya, dan aku
akan mengganti kerugianmu sepuluh kali lipat."
Tentu saja
wajah wanita itu menjadi merah sekali. Ia pernah mendengar tentang perwira yang
bernama Bong-ciangkun ini dan jantungnya berdebar tegang dan takut. Dia lalu
menggandeng tangan Hong Beng dan berkata kepada anaknya itu, "Hong Beng,
mari kita pulang." Tanpa menoleh ia menggandeng dan menarik tangan anaknya
untuk diajak pergi.
Akan tetapi
kembali lengannya dipegang orang dan kini pegangannya itu agak keras membuat ia
merasa nyeri.
"Nyonya,
aku adalah Bong-ciangkun. Jangan takut, aku suka sekali padamu. Engkau manis,
mari ikut denganku sebentar. Engkau akan senang, marilah...."
Bong-ciangkun menarik lengan itu dan senyumnya melebar, matanya yang besar
bundar itu berkedip-kedip penuh kegenitan dan kekurang ajaran.
Nyonya Gu
Hok menarik dan merenggutkan lengannya sampai terlepas dari pegangan perwira
itu. "Tidak, biarkan kami pulang...!" katanya lirih.
"Ahh,
itu anakmukah, nyonya? Ajaklah dia, aku akan menjamu kalian dengan hidangan
yang lezat. Marilah, dan nanti pulangnya akan kuantar dengan kereta."
Bong-ciangkun kembali membujuk dengan sikap ramah.
"Tidak...,
terima kasih, ciangkun, akan tetapi kami mau pulang, sudah siang..."
"Marilah,
nyonya. Apakah engkau akan menolak uluran tangan dan undanganku?"
Kembali
perwira itu memegang lengan wanita yang tak mampu melepaskan tangannya lagi.
"Lepaskan
ibuku...!" Tiba-tiba Hong Beng berseru dan dia membantu ibunya menarik
tangannya dari pegangan perwira itu.
Jika sang
perwira menghendaki, tentu mereka berdua tidak mampu melepaskan tangan itu.
Akan tetapi melihat betapa banyaknya orang di pasar menyaksikan peristiwa itu,
dia terpaksa melepaskan pegangannya. Mukanya menjadi semakin hitam. Dia merasa
malu sekali! Ada wanita berani menolaknya! Bahkan terang-terangan di depan
begitu banyak orang. Dia tentu akan menjadi bahan tertawaan orang sepasar! Dan
kalau dia bertindak di situ juga, dia merasa malu karena banyak orang
menyaksikan dan bagaimana pun ia adalah seorang pembesar, komandan pasukan
keamanan. Maka, dengan uring-uringan dia lalu mengajak para pengawalnya keluar
dari pasar dan terus pulang.
Setibanya di
rumah, Bong-ciangkun menjadi makin penasaran ketika mendengar bahwa nyonya
manis tadi adalah isteri tukang kayu Gu Hok. Hanya isteri tukang kayu! Dan
sudah berani menolaknya! Padahal, isteri orang-orang yang lebih tinggi
kedudukannya dan lebih kaya sekali pun akan masuk ke dalam pelukannya dengan
suka rela!
Dia kemudian
menghubungi Coa Pit Hu, kepala penjahat yang menguasai dunia hitam di daerah
Siang-nam. Setelah mengadakan pertemuan dan juga menceritakan perasaan hatinya
yang tergila-gila kepada isteri Gu Hok, serta merasa penasaran karena ditolak
mentah-mentah oleh wanita itu di tengah pasar sehingga diketahui banyak orang,
Coa Pit Hu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha!"
Pria berusia empat puluhan yang bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan
matanya sipit, hidungnya lebar dan pesek itu tertawa. "Untuk urusan kecil
seperti itu, kenapa ciangkun menjadi marah-marah? Kalau pada waktu kemarin itu
ciangkun menyuruh pengawal menangkap dan menyeretnya ke sini, siapa yang akan
melarang dan siapa berani menghalangi tindakan ciangkun?"
"Ahh,
enak saja! Di depan begitu banyak orang, bagaimana aku bisa melakukan hal itu?
Tentu tidak enak dan tidak baik. Sekarang, bantulah aku bagaimana baiknya agar
aku dapat menebus rasa malu itu. Wanita itu menarik sekali, kau pun tentu akan
setuju jika sudah melihatnya!"
"Ha-ha-ha,
bunga simpanan di dalam taman yang dipelihara tentu saja cantik menarik. Jangan
khawatir, sekarang pun aku dapat menculiknya. Kalau suaminya ribut-ribut akan
kubunuh saja!"
"Jangan…!"
Bong-ciangkun mencegah. "Peristiwa di pasar itu sudah diketahui banyak
orang. Jika sekarang isterinya diculik, tentu semua orang akan menuduhku.
Sebaiknya diambil jalan halus agar wanita itu mau datang ke sini dengan suka
rela, dan akan lebih menyenangkan lagi kalau ia mau melayani aku dengan suka
rela. Aku sudah bosan dengan cara paksaan dan perkosaan."
"Beres!"
Kepala penjahat itu membual. "Ciangkun tadi mengatakan bahwa wanita itu
memiliki seorang anak laki-laki? Nah, anak buahku akan menculik anak itu,
kemudian kami akan minta kepada ibu anak itu datang sendiri menjemput anaknya
ke sini. Nah, bukankah dengan ditangkapnya anak itu, si ibu akan dengan suka
rela melayani segala hasrat ciangkun? Ha-ha-ha!"
Komandan itu
tertawa bergelak dengan hati girang sampai perutnya bergoyang-goyang naik turun
dan ke kanan kiri. "Bagus, bagus! Laksanakanlah dan hadiah-hadiahnya telah
menanti untuk para anak buahmu."
"Aih,
kenapa ciangkun berkata demikian? Biarlah wanita itu merupakan hadiah dari kami
buat ciangkun! Malam ini juga ia tentu akan datang menyembah-nyembah kaki ciangkun
dan minta diajak tidur. Sebagai tebusan nyawa anaknya, ha-ha-ha-ha!"
Mereka berdua tertawa-tawa. Coa Pit Hu, kepala penjahat itu, segera berpamit
untuk mempersiapkan rencananya.
Siang hari
itu, Gu Hok dan isterinya menjadi gelisah sekali pada saat mendengar dari
beberapa orang anak tetangga bahwa Hong Beng yang sedang bermain-main dengan
mereka, mendadak ditangkap oleh empat orang laki-laki yang tidak dikenal.
Mulutnya disumbat dan dibawa lari oleh mereka!
"Hong
Beng diculik penjahat!" demikian Gu Hok berpendapat dengan muka pucat. Dia
merasa heran sekali. "Mengapa? Kita adalah keluarga miskin, perlu apa
orang menculik anak kita?"
Isterinya
juga merasa khawatir sekali dan sedikit pun tidak menghubungkan diculiknya
anaknya itu dengan peristiwa pagi tadi di dalam pasar. Ia tidak menceritakan
peristiwa itu kepada suaminya karena merasa tidak enak, takut suaminya akan
marah dan ia tahu bahwa mereka tidak mampu berbuat sesuatu terhadap kekurang
ajaran seorang perwira seperti Bong-ciangkun.
“Apa yang
harus kita lakukan? Ke mana kita harus mencari anak kita?" Dengan wajah
pucat ibu yang kehilangan anaknya itu mengeluh.
Selagi ayah
dan ibu ini kebingungan, seorang petani yang menjadi tetangga mereka tergopoh
datang memberi tahu bahwa selagi bekerja di ladang, dia dihampiri seorang
laki-laki tinggi kurus bermata sipit yang mengatakan bahwa kalau keluarga Gu
Hok menghendaki anaknya kembali dengan selamat, mereka harus menyediakan uang
tebusan seratus tail perak dan yang mengantar uang itu untuk menebus anaknya haruslah
ibu anak itu sendiri. Tidak boleh dikawali orang dan tidak boleh diantarkan
orang lain atau ditemani orang lain. Kalau melanggar, anak itu akan dibunuh!
Uang itu harus diantar malam nanti di tanah kuburan yang berada di tepi kota,
tempat yang amat sunyi!
Tentu saja
suami isteri itu menjadi kebingungan.
"Celaka!"
kata Gu Hok. "Orang miskin seperti kita mana mampu menyediakan uang
seratus tail perak?"
Akan tetapi
sambil menangis isterinya membujuk-bujuknya agar mengumpulkan uang dari mana
pun juga. "Biar pun tidak cukup seratus tail, cari dan kumpulkanlah uang
itu, aku akan memohon kepada mereka agar suka meringankan beban itu, dan kalau
anak kita sudah dikembalikan, biarlah kita cari kekurangan itu sedapat
kita."
Karena
khawatir akan keselamatan anaknya. Gu Hok lalu mencari pinjaman ke sana sini
dan akhirnya ia dapat mengumpulkan uang sebanyak dua puluh tail perak.
Isterinya lalu membungkus uang itu dengan kain dan segera pergi meninggalkan
rumah. Suaminya khawatir dan hendak menemaninya, akan tetapi isterinya melarang
dengan keras.
"Suamiku,
anak kita terancam nyawanya, kau jangan main-main," katanya.
"Bukankah mereka itu hanya menginginkan aku sendiri yang mengantarkan
uang? Tentu mereka curiga, takut jika engkau membawa kawan-kawan dan menggerebek.
Biarlah aku yang mengantarkan dan aku akan mohon kasihan kepada mereka."
"Tapi,
apakah tidak berbahaya kalau engkau pergi sendiri? Malam-malam begini ke
kuburan yang begitu sunyi?" Suaminya meragu.
"Jangankan
ke kuburan, biar pun ke neraka aku bersedia kalau untuk menyelamatkan
anakku!"
Terpaksa Gu
Hok membiarkan isterinya pergi sendiri dan dia menanti di rumah dengan hati
tidak karuan rasanya. Melarang isterinya pergi, berarti dia menaruh nyawa anak
tunggalnya dalam bahaya, sedangkan membiarkan isterinya pergi, membuat hatinya
merasa khawatir dan tidak enak sekali.
Juga dia tak
berani secara diam-diam membayangi isterinya karena dia mengerti bahwa
penjahat-penjahat itu amat berbahaya dan tentu akan tahu kalau dia mengintai.
Hal ini bukan hanya dapat membahayakan keselamatan anaknya yang sedang berada
dalam cengkeraman penjahat, melainkan juga dapat membahayakan isterinya karena
mereka merasa dikhianati.
Dengan
perasaan seram ketika memasuki kuburan yang gelap itu, nyonya Gu Hok
memberanikan hatinya demi anaknya. Dia menoleh ke kanan kiri di tempat yang
amat sunyi itu. Tiba-tiba dia terkejut dan hampir menjerit ketika mendadak
muncul sesosok bayangan orang tinggi kurus dari belakang sebuah batu kuburan.
Jika saja ia tidak tahu sebelumnya bahwa tentu ada orangnya gerombolan penjahat
yang menyambutnya, tentu ia sudah menjerit ketakutan dan menyangkanya setan.
"Apakah
engkau nyonya Gu Hok?" tanya laki-laki tinggi kurus itu.
"Be...
benar... aku ibu dari anakku Hong Beng... aku... aku mohon kepadamu, di mana
anakku?"
"Engkau
datang sendirian saja?" tanya suara itu dengan galak.
"Benar..."
"Membawa
uang itu?"
"Ampunkan
aku, kami tidak mampu mengumpulkan uang seratus tail dan hanya berhasil
terkumpul dua puluh tail saja..."
"Hemm,
mana bisa...?"
Tiba-tiba
wanita itu menjatuhkan dirinya berlutut. "Ampunkan kami…, ampunkan anak
kami. Aku mohon kepadamu, bebaskanlah anakku. Aku berjanji bahwa kekurangannya
kuanggap hutang dan kelak akan kubayar dengan cicilan..."
"Wah,
mana bisa?"
"Aku
mohon kepadamu, kasihanilah kami..."
"Begini,
nyonya. Kalau pembayarannya kurang, aku tidak dapat memutuskan. Engkau harus
minta sendiri kepada pimpinan kami."
"Mana
dia? Aku akan mohon kepadanya, dan mana anakku?"
"Anakmu
dalam keadaan sehat, bersama pimpinan kami. Mari kita ke sana dan kau boleh
bicara sendiri dengan dia dan mengambil anakmu.”
Tentu saja
nyonya itu girang sekali. Dengan penuh harapan disertai kecemasan, ia pun
mengikuti laki-laki tinggi kurus itu pergi ke sebuah rumah yang agak terpencil,
sebuah rumah pondok kecil. Ia terus mengikuti ketika laki-laki tinggi kurus itu
memasuki rumah dari pintu belakang dan hatinya gentar bukan main melihat
belasan orang laki-laki yang bersenjata tajam berada di sekitar rumah pondok
itu. Setahunya, pondok ini adalah rumah milik pembesar yang jarang dipakai, dan
ia tidak mengerti mengapa ia dibawa ke pondok milik pembesar.
Dan ketika
ia bersama orang tinggi kurus itu memasuki sebuah kamar yang besar, dan
penerangan yang besar menerangi seluruh kamar itu, membuat ia dengan jelas
dapat melihat laki-laki tinggi besar yang duduk di situ sambil menyeringai,
jantungnya seperti ditusuk rasanya. Laki-laki itu bukan lain adalah
Bong-ciangkun, laki-laki muka hitam berperut gendut yang matanya besar itu,
yang pagi tadi mengganggunya di tengah pasar!
"Ibuuu..."
"Hong
Beng, anakku...!" Ibu itu berteriak girang melihat anaknya berada pula di
sudut kamar.
Akan tetapi,
ketika ia hendak lari menghampiri, pergelangan tangannya dicengkeram oleh si
tinggi kurus.
"Jangan
bergerak...!"
"Ibu...!"
Hong Beng meloncat dan berlari menghampiri ibunya, merangkul ibunya dan si
tinggi kurus tidak mampu mencegah ibu dan anak itu saling rangkul.
Wanita itu
berlutut dan berangkulan dengan anaknya. Si ibu menangis akan tetapi Hong Beng
tidak menangis, melainkan memandang ke arah perwira brewokan dan si tinggi
kurus itu dengan sirar mata berapi-api.
"Kalian
telah meculikku, sekarang membawa ibuku ke sini. Sebetulnya kalian ini
orang-orang jahat mau apakah?"
Tadi ketika
ibunya belum dibawa ke situ, Hong Beng memperlihatkan sikap takut-takut, akan
tetapi kini melihat ibunya juga diculik, kemarahannya meluap dan dia melupakan
rasa takutnya.
"Plakkk...!"
Sebuah
tamparan dari si tinggi kurus membuat Hong Beng terpelanting dan ibunya
menjerit.
"Anak
lancang, apakah kau bosan hidup?" Si tinggi kurus membentak anak yang kini
merangkak bangun dengan pipi kiri merah membiru dan agak membengkak itu.
Akan tetapi
sebelum anak itu dapat bergerak, si tinggi kurus sudah meloncat dan sekali
pegang sudah mencengkeram tengkuk anak itu sehingga tidak mampu bergerak lagi.
"Jangan...
jangan pukul anakku... ahhh, jangan bunuh anakku... Ini, tai-ciangkun, aku
sudah membawa uangnya, tetapi masih kurang... kami hanya mampu mengumpulkan dua
puluh tail saja... ampunkanlah kami dan anakku, kekurangannya akan
kucicil..."
Wanita itu
bicara dengan air mata bercucuran dan mengeluarkan buntalan berisi uang dua
puluh tail perak. Ia berlutut di depan kaki perwira Bong yang tersenyum
menyeringai karena setelah berdekatan, ternyatalah olehnya bahwa wanita ini
memang mulus dan manis sekali.
"Nyonya,
kalau saja sikapmu di pasar tadi tidak kasar dan lunak seperti sekarang ini,
tentu aku tidak perlu membawa anakmu ke sini. Sekarang, bagaimana? Engkau pilih
anakmu mati di depanmu ataukah melayani aku dan menyenangkan hatiku?"
Perwira
brewok itu mengajukan pertanyaan ini tanpa malu-malu, di depan Hong Beng yang
belum mengerti apa yang dimaksudkan laki-laki buruk rupa itu dan di depan si
tinggi kurus Coa Pit Hu yang hanya menyeringai. Kedua lengan Hong Beng masih
ditelikungnya ke belakang sehingga anak ini tidak mampu meronta.
Dapat
dibayangkan betapa kaget, takut dan bingungnya hati ibu Hong Beng mendengar
ucapan itu. Tidak disangkanya sama sekali bahwa ke situlah tujuan perwira ini
menculik anaknya, yaitu untuk memaksanya melayani perjinahan dengan perwira
itu. Tentu saja ia tidak sudi! Akan tetapi melihat puteranya dalam cengkeraman
si tinggi kurus, ia tidak berani menolak secara kasar dan hendak mencari jalan
lain.
"Tai-ciangkun,
ampunkanlah aku, ampunkan anakku..." Dia berlutut sambil menangis.
"Kami akan berusaha sedapat mungkin untuk memenuhi tuntutan seratus tail
itu... asal anakku dibebaskan... Aku mau bekerja keras, dan aku mau melakukan
apa saja demi keselamatan anakku... akan tetapi... jangan itu..."
"Setan!"
Si perwira brewok membentak. Hatinya tersinggung sekali, harga dirinya runtuh
mendengar ada wanita berani menolaknya mentah-mentah. "Coa-sicu, bunuh
anak itu sekarang juga di depan matanya!"
Si perwira
brewok mengedipkan matanya dan Coa Pit Hu terkekeh, lalu meloloskan sebatang
golok besar yang tajam mengkilat. Golok itu ditempelkannya ke leher Hong Beng.
Melihat ini, tentu saja ibu anak itu menjadi pucat, matanya terbelalak lebar
dan saking takutnya dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan memegang
lehernya sendiri seolah-olah dia dapat merasakan bagaimana leher anaknya itu
dipenggal.
"Tidak...
tidak... jangan...!"
"Mau kau
melayaniku?" Kembali perwira itu membentak dengan senyum mengejek.
Ibu muda itu
mengangguk-angguk, namun matanya masih terus memandang anaknya sambil
bercucuran air mata. Ia tak mampu mengeluarkan suara, tetapi dalam keadaan
seperti itu, ia tak dapat memilih lain. Yang terpenting baginya adalah
keselamatan anak tunggalnya. Biar harus mengorbankan nyawa sekali pun ia rela
asal anaknya selamat.
"Ha-ha-ha!"
Perwira itu tertawa penuh kemenangan. "Coa-sicu, jangan bunuh anak itu dan
ajaklah keluar kamar."
Coa Pit Hu
menyeringai dan memandang wanita itu. "Tapi... ciangkun berjanji akan
memberi bagian kepadaku..."
"Ha-ha-ha,
kita lihat saja nanti. Kalau aku suka, aku tidak akan membaginya kepada siapa
pun juga dan engkau akan kuberi hadiah barang lain, akan tetapi kalau aku tidak
suka, boleh saja kuberikan padamu!”
Coa Pit Hu
tertawa dan menyeret Hong Beng keluar dari dalam kamar itu. Hong Beng berusaha
meronta, tetapi karena kedua tangannya ditelikung ke belakang, tubuhnya tak
dapat diputarnya dan dia hanya dapat memutar lehernya untuk memandang ibunya.
Sebelum daun pintu ditutup oleh orang yang menyeretnya, dia melihat betapa
perwira brewok itu menubruk dan merangkul ibunya, lalu ibunya yang lemas dan
pucat serta bercucuran air mata itu dipondongnya ke arah pembaringan. Dia masih
belum tahu apa yang terjadi, bahkan hatinya agak lega karena ibunya tidak
dipukuli atau disiksa.
Dari dalam
kamar itu tidak terdengar suara tangis sama sekali. Ibu Hong Beng tidak berani
mengeluarkan rintihan atau tangisan karena maklum bahwa sekali saja perwira
laknat ini memberi perintah, anaknya tentu akan dibunuh di luar kamar! Akan
tetapi batinnya merintih dan tangis batinnya membubung tinggi ke angkasa,
seperti jerit tangis wanita-wanita lain yang pernah menjadi korban perwira ini
di dalam kamar itu.
Biar pun
tidak terdengar suara apa pun di dalam kamar itu, Hong Beng yang berada di luar
dan duduk di atas lantai, merasa tidak enak sekali hatinya. Ia tidak tahu apa
yang terjadi dan akan terjadi. Melihat betapa Coa Pit Hu, laki-laki tinggi
kurus itu tersenyum-senyum sendiri, dia tidak dapat lagi menahan hatinya.
"Di
mana ibuku? Apa yang terjadi dengan ibuku?"
Coa Pit Hu
tertawa mengejek. "Ha-ha-ha-ha, ibumu sedang bersenang-senang dengan
Bong-ciangkun. Kau diam sajalah di sini dan jangan pergi kemana pun."
Mengenangkan apa yang dilakukan pembesar itu terhadap si wanita mulus, Coa Pit
Hu menjilat bibirnya. Dia hampir tidak sabar lagi menanti gilirannya. Waktu
terasa seperti merayap perlahan sekali oleh pria ini.
Akhirnya,
karena lelah menanti, Coa Pit Hu mengantuk di atas kursinya. Hong Beng sendiri
tidak dapat tidur, hanya duduk bersandar dinding dengan hati diliputi
kecemasan. Tengah malam telah lewat dan tiba-tiba terdengar bentakan
Bong-ciangkun.
"Coa-sicu,
masuklah!"
Coa Pit Hu
yang sedang terkantuk-kantuk itu terkejut. akan tetapi tersenyum gembira dan
dia pun membuka daun pintu.
"Nih,
untukmu! Perempuan sialan, melayani seperti sepotong mayat saja!"
Hong Beng
juga menjenguk dan karena daun pintu terbuka, dia dapat melihat ibunya didorong
terhuyung dan disambut oleh Coa Pit Hu dengan rangkulan. Ibunya berwajah pucat
dan menangis, pakaiannya tidak karuan. Akan tetapi daun pintu sudah ditutup
lagi. Dia hanya mendengar suara tangis ibunya diseling suara ketawa Coa Pit Hu
dan Bong-ciangkun.
Melihat
kesempatan baik ini, Hong Beng lalu melarikan diri keluar dari tempat itu. Di
pintu gerbang depan terdapat prajurit-prajurit yang berjaga, akan tetapi karena
dari dalam tidak terdengar perintah apa-apa, mereka mengira bahwa anak itu
memang dilepaskan oleh Bong-ciangkun dan mereka pun hanya memandang sambil
tertawa melihat anak itu berlari keluar sambil menangis.
Hong Beng
terus berlari menuju pulang. Ayahnya terkejut bukan main ketika melihat
puteranya memasuki rumah sambil menangis. Ada rasa girang melihat puteranya
dalam keadaan selamat, akan tetapi melihat anak itu menangis dan pulang tanpa
ibunya, dia terkejut.
"Hong
Beng...!"
"Ayah...
ayah...!" Anak itu menubruk ayahnya dan menangis.
"Kenapa,
Hong Beng? Kenapa? Mana ibumu...?" Hati Gu Hok merasa tidak enak sekali.
"Ibu...
tolonglah ibu, ayah Ibu... ibu ditahan oleh Bong-ciangkun!"
"Ehh?
Bong-ciangkun? Kenapa...?"
Tentu saja
Gu Hok menjadi bingung karena sama sekali tidak pernah mengira bahwa hilangnya
puteranya itu adalah akibat perbuatan seorang pembesar yang berpengaruh itu.
Siapa yang tidak mengenal Bong-ciangkun, komandan dari pasukan keamanan kota
Siang-nam, yang seolah-olah menjadi raja kecil itu?
"Aku...
aku ditangkap orang-orang Bong-ciangkun dan ditahan di sana. Malam ini ibu
datang bersama penjahat tinggi kurus, lalu ibu ditahan di dalam kamar
Bong-ciangkun... dan kulihat... ibu setengah telanjang, ibu menangis dan aku
lalu lari..."
"Keparat...
!" Gu Hok tentu saja sudah dapat menduga apa yang telah terjadi. Agaknya
Bong-ciangkun yang mengatur semua itu untuk memaksa dan menggagahi isterinya!
Tukang kayu
itu marah sekali dan lupa siapa adanya Bong-ciangkun. Dia mengambil sebuah
kapak besar yang biasa untuk menebang pohon, lalu berlari keluar.
"Ayah...!"
Hong Beng berteriak dan mengejar ayahnya.
Ayah dan
anak berlarian menuju ke gedung keluarga Bong-ciangkun. Karena hari sudah lewat
tengah malam, keadaan sunyi sekali dan agaknya tidak ada seorang pun melihat
ayah dan anak ini berlari-larian. Akan tetapi, mereka berdua itu tidak tahu
bahwa ada sesosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali membayangi mereka.
Setelah tiba
di depan pintu gerbang gedung Bong-ciangkun, Gu Hok yang masih diikuti
puteranya itu berlari masuk. Tentu saja para pengawal segera menghadangnya.
"Heii,
berhenti! Mau apa kau?!" seorang pengawal membentak sambil melintangkan
tombaknya.
"Minggir!
Aku mau bertemu Bong-ciangkun!"
Gu Hok
membentak dan mengobat-abitkan kapaknya yang besar dan tajam! Pengawal itu
terkejut dan melompat-mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gu Hok untuk
menerobos masuk diikuti Hong Beng.
"Heii!
Berhenti kau...!"
Para
pengawal itu mengejar ayah dan anak ini. Akan tetapi Gu Hok yang sudah nekat
itu sudah tiba di depan pintu kamar Bong-ciangkun atas petunjuk anaknya dan
segera dia mengayun kapaknya menjebol daun pintu. Dengan suara keras daun pintu
itu jebol dihantam kapak dan terbuka. Orang-orang yang berada di dalam kamar
itu terkejut dan apa yang dilihat oleh Gu Hok membuat tukang kayu ini menjadi
pucat wajahnya dan matanya terbelalak.
Isterinya
menjerit, meronta dan terlepas dari rangkulan orang tinggi kurus itu, lalu lari
ke arah suaminya dalam keadaan telanjang bulat! Ia menangis sesenggukan
menjatuhkan dirinya berlutut di depan suami dan puteranya.
Melihat
keadaan isterinya, Gu Hok marah bukan main dan tanpa banyak cakap lagi dia
sudah menerjang maju kearah Bong-ciangkun. Akan tetapi, dari samping si tinggi
kurus itu menyambutnya dengan sebuah tendangan keras yang membuat tubuh Gu Hok
terdorong mundur keluar dari dalam kamar itu. Sekali lagi Coa Pit Hu menendang
dan kini tubuh Hong Beng terlempar keluar.
"Ha-ha-ha,
bunuh para pengacau itu!" kata Bong-ciangkun kepada para pengawalnya.
Isteri Gu
Hok menjerit melihat suami dan anaknya ditendang keluar, dan ia pun bangkit,
lupa bahwa dia berada dalam keadaan telanjang. Bagaikan seekor harimau betina
yang marah, dia menerjang keluar pula untuk melindungi suami dan anaknya. Akan
tetapi, seorang pengawal menggerakkan tombaknya.
"Ceppp...!"
Tombak itu
menusuk perut menembus punggung wanita yang mengeluarkan suara jerit
mengerikan. Tombak dicabut dan wanita itu pun roboh terkulai. Melihat hal ini,
Gu Hok meloncat bangun.
"Isteriku...!"
teriaknya dan dia pun mengamuk dengan kapaknya.
Akan tetapi
karena dia hanya seorang tukang kayu biasa saja yang tidak pandai ilmu silat,
hanya memiliki tenaga besar saja, mana mungkin dapat melawan pengeroyokan para
pengawal yang rata-rata memiliki ilmu silat dan mereka itu memegang senjata
tombak yang panjang? Dalam beberapa gebrakan saja, tubuhnya tertembus tombak
pula dan dia roboh tewas di dekat mayat isterinya.
"Ayahhh...!
Ibuuuu... !" Hong Beng menjerit dan menangis.
Anak ini
lalu nekat menyerang para pengawal itu dengan kedua tangan dan kakinya, memukul
menendang asal kena saja. Para pengawal itu tertawa, tidak mempergunakan
senjata lagi melainkan menghadapi amukan anak kecil itu dengan
tamparan-tamparan yang membuat tubuh Hong Beng terpelanting dan terlempar ke
sana-sini. Namun anak itu bangkit lagi, menyerang lagi untuk kemudian disambut
tamparan yang membuatnya terpelanting lagi. Ia dipermainkan oleh para pengawal
seperti seekor tikus dipermainkan beberapa ekor kucing saja.
Bong-ciangkun
dan Coa Pit Hu kini sudah keluar dari dalam kamar. Melihat betapa belasan orang
pengawal itu mempermainkan anak laki-laki yang mengamuk seperti gila dan nekat
itu, Bong-ciangkun berseru, "Bunuh saja dia dan lempar tiga mayat mereka!"
Seorang
pengawal yang berkumis tebal dan berwatak kejam lalu mengangkat goloknya dan
membacok ke arah leher Hong Beng yang kembali telah terpelanting ke atas
lantai.
"Singgg...
tranggg... aughhhh...!"
Bukan leher
Hong Beng yang terpental putus, tapi golok itu terpental dan pemegangnya roboh
dengan kepala retak dan tewas seketika. Semua orang terkejut bukan main dan
ketika mereka memandang, ternyata di situ telah berdiri seorang laki-laki yang
amat gagah perkasa. Laki-laki inilah bayangan yang tadi membayangi Gu Hok dan
puteranya.
Dia seorang
pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bentuk mukanya bulat dengan
sepasang matanya yang mencorong tajam. Wajah yang tampan itu berkulit agak
gelap. Pakaiannya serba indah dan rapi, rambutnya tersisir rapi pula, seorang
laki-laki pesolek.
Ketika
laki-laki ini memandang ke arah dua buah mayat suami isteri Gu Hok, dan melihat
keadaan mayat wanita itu yang telanjang bulat, alisnya berkerut dan sepasang
matanya mengeluarkan cahaya berkilat. Pandang mata mencorong itu kini ditujukan
kepada Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu yang berdiri di depan pintu kamar, kemudian
beralih kepada Hong Beng yang sudah bangkit lagi dengan muka matang biru dan
hidung berdarah.
"Anak
baik, apakah mereka itu ayah ibumu?"
"Benar,
dan mereka... mereka dibunuh... dua orang jahanam itu dan anak buahnya."
Laki-laki
gagah itu mengangguk-angguk. "Tidak aneh kalau terjadi pemberontakan di
mana-mana. Pejahat-pejahat pemerintah bertindak sewenang-wenang dan berkomplot
dengan para penjahat. Manusia-manusia macam ini memang harus dibasmi!"
Coa Pit Hu
sudah dapat menenangkan hatinya yang terkejut melihat munculnya orang yang
membunuh seorang pengawal itu. Dia menudingkan telunjuknya ke arah muka laki-laki
itu dan membentak, "Kurang ajar! Siapakah engkau berani mengantar nyawa di
sini? Hayo mengaku sebelum kupenggal kepalamu!"
Laki-laki
itu tersenyum, senyumnya dingin sekali. "Tidak ada gunanya engkau mengenal
namaku karena kalian semua akan mati malam ini!"
"Kurang
ajar!" Coa Pit Hu marah sekali dan dia sudah mencabut sebatang golok lalu
menyerang dengan amat ganasnya. Agaknya dia hendak memenuhi ancamannya tadi,
yaitu hendak memenggal kepala orang yang berani menentang dia dan
Bong-ciangkun.
"Singgg...!"
Goloknya
menyambar ke leher laki-laki gagah itu. Laki-laki itu hanya menggerakkan
tangan, dan telapak tangannya sudah menampar dada Coa Pit Hu sebelah kanan.
"Plakkk!"
Coa Pit Hu
mengeluarkan teriakan panjang. Tubuhnya terpelanting, roboh dan matanya
mendelik. Dari mulut dan hidungnya mengalir darah dan dia sudah tidak berkutik
lagi karena telah tewas seketika. Jantungnya pecah karena getaran pukulan
telapak tangan yang amat dahsyat itu!
Melihat ini,
Bong-ciangkun memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Akan tetapi dia
masih ingat untuk memberi aba-aba, "Serbu dan bunuh penjahat ini!"
Lalu dia sendiri membalikkan tubuhnya hendak lari bersembunyi ke dalam
rumahnya.
"Hemm,
pembesar lalim! Jangan harap dapat lolos dari tanganku!" Laki-laki gagah
itu menyambar golok yang tadi lepas dari tangan Coa Pit Hu, dan sekali
menyambit, golok itu terbang meluncur.
"Cappp...!"
Pembesar
Bong-ciangkun menjerit pada saat golok itu menembus punggungnya sampai dada.
Dia pun roboh tersungkur, menelungkup di atas lantai. Darah membanjir keluar
dari punggung dan dadanya, dan tubuhnya hanya sebentar saja berkelojotan, lalu
tak bergerak lagi.
Belasan,
orang pengawal menjadi terkejut dan mereka pun lalu mengeroyok kalang kabut.
Akan tetapi, tubuh pria yang gagah itu berkelebatan ke sana-sini dan setiap
kali tangannya bergerak tentu seorang pengeroyok roboh dan tewas. Sebentar saja
sepuluh orang telah roboh. Sisanya hendak lari, tetapi laki-laki itu tidak mau
memberi ampun dan dengan lemparan-lemparan tombak atau golok yang berserakan,
dia lalu merobohkan mereka yang melarikan diri sehingga tak seorang pun
ketinggalan! Tempat itu berubah menjadi tempat mengerikan di mana mayat
berserakan dan lantai banjir darah!
Hong Beng
sendiri yang merasa sakit hati dan mendendam terhadap Bong-ciangkun, sekarang
terbelalak dengan muka pucat menyaksikan pembunuhan yang lebih tepat dinamakan
pembantaian yang dilakukan laki-laki gagah perkasa itu.
Laki-laki
itu kemudian berkata kepada Hong Beng yang berdiri di sudut dengan tubuh
menggigil dan muka pucat. "Anak baik, mari kita pergi dari sini."
"Tapi...
tapi... aku ingin mengubur jenazah ayah ibuku..."
Laki-laki
itu menarik napas panjang. "Hemm, baiklah!"
Dia kemudian
mengambil sebatang golok dan dengan golok itu dia memenggal leher Bong-ciangkun
dan Coa Pit Hu. Rambut dari dua buah kepala itu dia ikat menjadi satu, lalu dia
menyerahkan dua kepala itu kepada Hong Beng. "Kau bawalah dua kepala ini
dan aku akan membawa jenazah ayah ibumu."
Tentu saja
Hong Beng terbelalak ngeri. Melihat orang mati saja belum pernah, sekarang
setelah menyaksikan belasan orang berserakan menjadi mayat dalam keadaan mandi
darah, dia harus membawa dua buah kepala orang! Akan tetapi, karena mendengar
bahwa laki-laki perkasa itu akan membawakan dua jenazah ayah ibunya, terpaksa
dengan gemetaran dia menerima dua kepala itu, dipegang pada rambut yang diikat
menjadi satu dan dibawanya kepala yang lehernya masih meneteskan darah itu.
Laki-laki
itu merenggut beberapa helai tirai sutera dari tempat itu, menyelimuti tubuh
isteri Gu Hok yang telanjang, kemudian dia mengambil dua mayat itu dengan
ringan dan mudah.
"Mari
kita pergi," katanya lagi dan dia membawa dua mayat itu berjalan keluar,
diikuti oleh Hong Beng yang membawa dua buah kepala orang!
Setelah
kedua orang ini pergi, barulah para pelayan rumah pondok yang biasanya
digunakan Bong-ciangkun untuk menjagal wanita-wanita yang menjadi korbannya itu
berani keluar. Melihat betapa mayat-mayat berserakan, di antaranya adalah mayat
Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu yang sudah tidak berkepala lagi, tentu saja para
pelayan itu menjerit-jerit ketakutan, bahkan ada yang roboh pingsan. Tempat itu
segera ramai di datangi orang dan gegerlah kota Siang-nam.
Pasukan keamanan
datang dan para pembesar di kota ribut-ribut mencari siapa yang telah membunuh
Bong-ciangkun dan belasan orang itu. Akan tetapi semua orang yang menjadi saksi
telah tewas, maka sukarlah bagi mereka untuk mencari keterangan siapa
pembunuhnya.
Kegemparan
itu makin menghebat ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, rakyat yang
berdatangan ke pasar menjadi terkejut melihat adanya dua buah kepala digantung
di atas pintu gerbang pasar. Itulah kepala Bong-cioangkun dan Coa Pit Hu! Dan
di atas tembok pintu gerbang itu terdapat tulisannya, tulisan yang bergaya kuat
dan berbentuk indah, ditulis dengan darah yang telah menghitam.
‘BONG
CIANGKUN BERSEKONGKOL DENGAN PENJAHAT-PENJAHAT MENINDAS RAKYAT. INILAH
HUKUMANNYA AGAR MENJADI CONTOH BAGI PARA PEJABAT LAIN’.
Tentu saja
kota Siang-nam menjadi gempar dan semua orang menduga-duga siapa gerangan orang
yang begitu berani membunuh seorang komandan pasukan keamanan, bahkan membunuh
Coa Pit Hu yang terkenal sebagai pimpinan penjahat di sekitar tempat itu,
bahkan menggantungkan kepala mereka di atas pintu gerbang pasar tanpa diketahui
seorang pun. Dengan hati kecut dan ketakutan, kepala daerah memerintahkan
pasukan keamanan untuk menjaga rumahnya dan sebagian ditugaskan untuk mencari
pembunuh itu.
Sementara
itu, si pembunuh pada keesokan harinya telah berjalan seenaknya di luar kota
Yang-nam sambil menggandeng tangan Hong Beng. Dia telah membantu anak itu
mengubur jenazah ayah ibu anak itu di luar kota Siang-nam, di sebuah lereng
bukit yang sunyi, kemudian mengajak anak itu pergi dari situ.
Siapakah
laki-laki gagah perkasa itu? Kalau saja ada yang mengenalnya, kegemparan di
Siang-nam tentu akan bertambah dengan rasa takut dan kagum. Laki-laki itu
adalah seorang pendekar sakti yang beberapa tahun yang lalu namanya telah
menggemparkan dunia kang-ouw. Dia bernama Suma Ciang Bun.
Para pembaca
kisah-kisah yang menyangkut keluarga Pulau Es tentu sudah mengenal nama ini.
Suma Ciang Bun adalah cucu mendiang Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman,
majikan Pulau Es. Ayahnya, bernama Suma Kian Lee, putera majikan Pulau Es itu,
seorang yang telah mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es, dan ibunya bernama Kim Hwee Li,
juga seorang wanita yang sakti. Ayah ibunya kini sudah tua, sudah sekitar enam
puluhan tahun usianya. Mereka bertempat tinggal di Thian-cin, sebuah kota di
sebelah selatan kota raja.
Suma Ciang
Bun yang kini berusia tiga puluh tahun ini belum menikah. Semenjak muda remaja,
ia memiliki suatu kelainan yang pernah menyiksa batinnya dengan hebat sekali.
Kelainan ini amat aneh, akan tetapi banyak dialami pria di dunia ini, yaitu
bahwa gairah kelaminnya tidak seperti pria umumnya, tidak ditujukan terhadap
wanita tetapi terhadap sejenis kelaminnya sendiri. Gairahnya timbul bukan
terhadap wanita, tapi terhadap pria! Tentu saja kelainan itu menimbulkan
peristiwa-peristiwa yang aneh dan menyeretnya ke lembah kesengsaraan batin yang
hebat.
Tubuhnya
saja pria, akan tetapi seleranya seperti wanita. Maka, pernah beberapa kali dia
patah hati, mencinta seorang pria, bahkan pernah dia tergila-gila seorang pria,
yang ternyata adalah seorang wanita yang menyamar sebagai pria. Hal ini
menghancurkan hatinya, apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia
benar-benar mencinta orang itu, tak peduli orang itu pria mau pun wanita. Namun
segalanya sudah terlambat. Orang itu telah pergi meninggalkannya karena merasa
dihina dan disakitkan hatinya. Hal ini dapat dibaca dalam ‘KISAH PARA PENDEKAR
PULAU ES’.
Akan tetapi,
pengalaman pahit yang telah bertubi-tubi dirasakannya, kemudian nasehat-nasehat
terutama dari adik misannya sendiri yang bernama Suma Ceng Liong, dan dari
kakak perempuannya yang bernama Suma Hui, dia akhirnya dapat mengetahui dirinya
sendiri dan dapat melihat bahwa tak mungkin dia menuruti seleranya yang tidak
lumrah itu.
Suma Ciang
Bun sekarang telah sembuh! Tidak lagi timbul gairah birahinya melihat pria
tampan, meski sampai kini dia belum juga dapat menimbulkan gairah birahinya
terhadap wanita. Biar pun sudah sembuh, namun Ciang Bun masih belum dapat
melenyapkan sifat-sifatnya yang seperti wanita, yaitu pesolek, rapi dan suka
akan kelembutan!
Sudah
bertahun-tahun lamanya Suma Ciang Bun meninggalkan rumah orang tuanya di
Thian-cin, hidup sebagai seorang pendekar perantau yang tak tentu tempat
tinggalnya. Di mana pun dia berada, pendekar ini selalu mengulurkan tangannya
untuk menentang yang jahat dan membela kebenaran dengan gigih. Berkat ilmu
kepandaiannya yang hebat, yang membuat dia dapat disebut orang sakti, maka
jarang dia menemui lawan yang mampu menandinginya, dan karenanya, namanya amat
disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan.
Banyak orang
pernah melihat sepak terjangnya yang amat hebat. Akan tetapi karena dia tidak
pernah meninggalkan nama, maka orang-orang yang belum pernah melihatnya dan
hanya mendengar saja penuturan orang, tidak dapat menduga siapa sebenarnya
pendekar sakti itu. Sepasang pedang dengan ronce-ronce biru selalu tersembunyi
di balik jubahnya, dan siang-kiam (sepasang pedang) ini jarang sekali
dipergunakannya, karena dengan kaki tangannya saja dia sudah sukar dikalahkan
lawan.
Setelah
matahari naik tinggi, Suma Ciang Bun mengajak Hong Beng berhenti mengaso di
bawah sebatang pohon besar di tepi jalan yang sunyi. Anak itu sejak pagi tadi,
sejak meninggalkan makam ayah ibunya, tidak pernah bicara, hanya menurut saja
ketika tangannya digandeng oleh Ciang Bun dan diajak pergi. Tak pernah bertanya
hendak ke mana, tak pernah mengeluh meski keringatnya sudah membasahi seluruh
pakaiannya dan nampaknya lelah sekali.
Maklumlah,
semalam suntuk anak itu tidak pernah tidur, apa lagi mengalami hal-hal yang
amat menegangkan dan menekan batinnya. Melihat betapa dirinya dikurung, lalu
munculnya ibunya, kemudian melihat betapa ayah ibunya tewas di depan matanya,
dan dia sendiri dihajar babak belur dan bengkak-bengkak oleh para pengawal yang
terdiri dari anak buah penjahat itu, kemudian melihat pula betapa semua orang
itu dibantai oleh penolongnya ini. Ditambah lagi sejak kemarin dia tidak mau
makan. Perutnya lapar, badannya sakit-sakit, hatinya berduka, akan tetapi anak
ini sama sekali tidak pernah mengeluh...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment