Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Naga
Jilid 02
Hal ini
memang sejak semalam telah diketahui oleh Suma Ciang Bun. Dia datang agak
terlambat, yaitu setelah Gu Hok dan isterinya tewas. Dia melihat betapa anak
kecil itu mengamuk, nekat dan tak pernah mengeluh biar pun dijadikan bola oleh
para pengawal ini. Dan kini, setelah mengubur jenazah ayah ibu Hong Beng, dan
mengajak anak itu berjalan terus sampai siang, melihat betapa anak itu
sebenarnya menderita lahir batin namun sama sekali tidak mengeluh, Cian Bun
merasa semakin kagum. Inilah seorang bocah yang amat hebat, dan pantas menjadi
muridnya.
"Kita
beristirahat dulu di sini. Duduklah," katanya dan dia sendiri duduk di
atas akar pohon yang menonjol di atas tanah. Hong Beng juga dengan tubuh lemas
menjatuhkan diri duduk di atas rumput.
"Kau
lelah sekali?" tanya Ciang Bun sambil memandang wajah anak itu. Seorang
anak laki-laki yang berkulit kuning berwajah jernih dan tampan. Anak itu
mengangguk tanpa menjawab.
"Muka
dan tubuhmu sakit-sakit?" tanya lagi Ciang Bun, menatap muka yang
bengkak-bengkak dan matang biru itu. Kembali Hong Beng mengangguk tanpa
menjawab.
"Perutmu
lapar?" Kembali anak itu mengangguk.
"Hemm,
aku pun lapar sekali. Tapi di tempat sunyi seperti ini, dari mana kita bisa
mendapatkan makanan?"
"Di
rumahku ada telur, ada banyak ayam, dan masih ada beras."
"Rumahmu?
Di Siang-nam itu?" Hong Beng mengangguk.
"Katakan
di mana rumahmu."
"Di
jalan kecil belakang pasar, di sebelah kiri toko yang berdagang mangkok piring,
rumahku bercat kuning."
"Baik,
kau tunggu saja di sini. Aku yang akan mengambil bahan makanan. Kalau kau ikut
ke sana, tentu akan timbul keributan karena semua orang telah mengenalmu."
Dan sebelum Hong Beng menjawab, sekali berkelebat tubuh Suma Ciang Bun telah
berada jauh sekali dari situ, seperti terbang saja dan tak lama kemudian pun
lenyap.
Tentu saja
Hong Beng memandang dengan melongo. Tadi pun ketika melihat lelaki itu mengamuk
dan membantai semua orang, dia sudah terheran-heran dan amat kagum. Akan tetapi
karena kedukaan oleh kematian ayah ibunya, dia kurang memperhatikan hal itu.
Kini, melihat betapa orang itu seperti terbang saja pergi dari situ, baru dia
mengkirik. Ibliskah orang itu?
Dia pernah
mendengar mengenai orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak
pernah bertemu dengan orang yang pandai terbang! Yang pernah dilihatnya hanya
orang-orang penjual obat di pasar yang suka bermain silat dan memamerkan
kekuatannya, mengangkat besi berat atau bahkan ada yang memukuli dadanya dengan
benda keras memamerkan kekebalannya. Tidak pernah dia dapat membayangkan ada
orang yang demikian lihainya seperti penolongnya itu. Mulailah dia
memperhatikan dan diam-diam dia khawatir sekali. Jangan-jangan orang itu pergi
meninggalkannya dan tak akan kembali lagi.
Setelah ditinggal
seorang diri, baru Hong Beng teringat bahwa dia sekarang sebatang kara. Dan
bahwa keselamatannya terancam di Siang-nam. Dia harus pergi dari tempat
tinggalnya. Akan tetapi ke mana? Dan apa yang harus dilakukannya? Satu-satunya
harapan baginya adalah ikut bersama orang yang menolongnya tadi. Ah, kenapa
tidak? Jika penolongnya itu mau, dia suka menjadi muridnya, atau jadi
pelayannya sekali pun.
Dengan cepat
sekali, terlalu cepat bagi Hong Beng sehingga sukar dipercaya, tiba-tiba saja
orang itu telah berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di dekatnya, membawa
buntalan yang cukup besar. Ketika Suma Ciang Bun menurunkan buntalan itu ke
atas tanah, isi buntalan bergerak dan terdengar suara ayam!
"Nah,
ini kubawakan semua keperluan dari rumahmu," berkata Suma Ciang Bun yang
sudah duduk kembali.
Hong Beng
membuka buntalan itu dan ternyata di dalamnya, selain terdapat belasan butir
telur dan dua ekor ayam paling gemuk, juga terdapat beras yang cukup dan juga
beberapa potong pakaiannya yang paling baik. Melihat pakaiannya itu, Hong Beng
memandang kepada Suma Ciang Bun dengan sinar mata bertanya.
"Kau
tentu membutuhkan pakaian pengganti," kata Ciang Bun. "Apakah kau
dapat memasak?"
Hong Beng
mengangguk. "Akan tetapi tidak ada tungku dan tidak ada api..."
Ciang Bun
tersenyum. Dia sudah berpengalaman hidup merantau di gunung-gunung dan sebentar
saja dia sudah dapat membuat api dan membuat tungku dari batu-batu. Hong Beng
segera menanak nasi dari panci yang berada dalam buntalan, dan dua ekor ayam
itu pun dipotong dan dipanggang. Tak lama kemudian, dua orang ini makan nasi
dan panggang ayam dengan lahapnya, walau pun bumbunya hanya hanya garam dan
bawang yang dibawa oleh Ciang Bun dari rumah kecil keluarga Gu.
"Nah,
sekarang kita bicara," kata Ciang Bun setelah mereka makan kenyang.
"Siapakah namamu dan apa yang telah terjadi maka ayah ibumu tewas di
sana?"
Hong Beng
memandang Ciang Bun dengan tajam untuk beberapa saat lamanya, lalu menceritakan
segala peristiwa yang telah menimpa keluarga orang tuanya, dimulai dari
peristiwa di pasar ketika ibunya diganggu oleh Bong-ciangkun sampai dia diculik
dan ibu berdua ayahnya kemudian tewas.
Setelah anak
itu selesai bercerita, Ciang Bun mengangguk-angguk. "Hemm, sudah kuduga
tentu demikian. Aku sudah banyak mendengar akan kejahatan orang she Bong itu
dan aku girang bahwa aku telah berhasil membasmi dia bersama komplotannya. Hong
Beng, sekarang ayah ibumu telah tiada, lalu apa rencanamu selanjutnya? Apakah
engkau memiliki sanak keluarga?"
Hong Beng
menggeleng kepala.
"Jadi
engkau sebatang kara saja?" Anak itu mengangguk.
"Hemmm,
engkau sebatang kara dan engkau tak mungkin kembali ke Siang-nam. Di sana sudah
geger dan orang-orang mulai mencari keluargamu yang lenyap. Lalu apa yang akan
kau lakukan sekarang?”
"Kalau
paman suka, aku akan ikut dengan paman..."
"Ikut
aku?"
"Ya,
menjadi... murid atau pelayan..."
Ciang Bun
tertawa. Dia semakin kagum kepada anak ini. Tidak banyak cakap, dan cukup
sopan.
"Aku
suka kepadamu, Hong Beng. Kalau engkau mau, aku pun suka sekali mengambil
engkau sebagai muridku."
Mendengar
ucapan ini, segera Hong Beng menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suma Ciang
Bun. "Suhu, mulai saat ini, teecu akan mentaati segala perintah suhu dan
teecu berjanji akan menjadi seorang murid yang baik."
Ciang Bun
menyentuh kedua pundak anak itu dan menyuruhnya bangkit duduk. Ditatapnya wajah
anak itu dan dia merasa senang sekali. "Berapa usiamu Hong Beng?"
"Sebelas
tahun, suhu."
"Ah,
engkau pantas menjadi anakku, keponakanku, atau muridku. Akan tetapi ketahuilah
bahwa aku tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Aku seorang perantau yang
tak tentu tempat tinggalnya, kadang-kadang bermalam di dalam hutan, di puncak
gunung atau di tepi sungai. Hidupmu akan serba kekurangan dan bahkan
kadang-kadang harus berani menahan kehausan dan kelaparan jika ikut aku.
Beranikah engkau menghadapi semua kesukaran itu?"
Hong Beng
mengangguk. "Teecu berani dan apa pun yang akan suhu perintahkan, akan
teecu taati tanpa membantah."
Ciang Bun
lalu bangkit dan menarik tangan Hong Beng agar berdiri dan merangkul anak itu
sambil tertawa. "Ha-ha-ha, jangan khawatir, muridku. Aku belum begitu gila
untuk membuat engkau sengsara. Mari kita pergi naik ke puncak bukit di depan
itu. Besok, di puncak itu, akan mulai kuajarkan dasar-dasar ilmu silat
kepadamu. Engkau tidak akan menyesal menjadi muridku. Ketahuilah bahwa saat
ini, engkau merupakan anak murid keluarga Pulau Es. Kalau engkau tekun belajar,
kelak akan sukar orang menandingimu."
Demikianlah,
Suma Cian Bun yang selama bertahun-tahun hidup dalam kesunyian dan kesepian,
kini memperoleh seorang murid yang seolah-olah membuat hidupnya berarti dan dia
berguna bagi seseorang.
Kesepian
atau kesendirian merupakan suatu hal yang amat ditakuti oleh kebanyakan orang.
Sendirian sama artinya dengan kematian atau lenyapnya bayangan tentang diri
sendiri yang kita bentuk sendiri. Timbulnya sang aku adalah karena adanya
hubungan dengan manusia lain, dengan benda mau pun dengan gagasan-gagasan.
Kalau sudah berada sendirian maka sang aku pun tak dapat bergerak lagi, atau
kalau pun bergerak, tentu hanya karena dorongan ingin mempertahankan hidup.
Itulah
sebabnya kita selalu haus akan perhatian orang lain, selalu haus akan kasih
sayang orang lain. Orang yang merasa bahwa dia tidak diperhatikan orang, tidak
disukai orang, akan merasa sengsara dan hidupnya seolah-olah kosong, dapat
mendatangkan penyakit hampa atau frustrasi, karena sang aku yang sudah
digambarkan dan dipupuk semenjak kecil menjadi tidak berarti lagi, menjadi
diremehkan.
Takut akan
kesepian atau sendirian ini pula yang mendorong kita untuk mengingatkan diri
dengan apa saja yang menyenangkan lahir dan batin. Kalau sudah terikat, kita
merasa aman, merasa terjamin. Padahal, ikatan-ikatan inilah yang membuat kita
hidup seperti robot. Pengulangan-pengulangan, kebiasaan-kebiasaan, menurut
‘umum’, dan menonjolkan sang aku sama saja dengan hidup di atas awan
angan-angan dan oleh karenanya sering kali menemui kekecewaan dan kedukaan
karena kenyataan berbeda sama sekali dengan angan-angan dan harapan-harapan.
Siapa yang
berani meninggalkan hidup dalam dunia angan-angan dan harapan ini, dan berani
membuka mata menghadapi segala macam kenyataan hidup, menerima sebagai mana adanya,
barulah dia itu benar-benar hidup dan tidak akan terkecoh oleh harapan-harapan
yang pada dasarnya hanyalah sang aku yang ingin senang.
***************
Pemuda itu
berjalan seorang diri menyusuri tepi Sungai Wu-kiang, sebuah sungai yang
mengalir ke arah utara untuk kemudian terjun ke sungai besar Yang-ce-kiang.
Sungai Wu-kiang ini mengalir di antara bukit-bukit pegunungan yang amat luas,
sunyi senyap dan penuh dengan hutan liar.
Dia tidaklah
sangat muda lagi. Usianya sekitar dua puluh enam tahun, bertubuh sedang namun
tegap. Wajahnya sederhana seperti pakaiannya, hanya sapasang matanya yang
mengandung sinar penuh ketajaman itu yang menarik perhatian. Dilihat sepintas
lalu, dia mirip seorang petani atau mungkin seorang pemburu karena berjalan
seenaknya di tempat yang amat sunyi dan liar itu. Padahal, tempat itu amat
berbahaya dan kalau tidak bersama-sama rombongan yang bersenjata lengkap,
jarang ada orang berani memasuki daerah ini. Akan tetapi, orang muda itu
berlenggang seenaknya dan memandang ke kiri kanan, kadang-kadang tersenyum
sendiri kalau melihat kupu-kupu, atau burung, atau kelinci berkejaran.
Di tempat
yang amat sunyi itu, di mana tidak terdapat manusia lain kecuali diri sendiri,
membuat mata menjadi waspada sekali. Pikiran menjadi hening, tidak terisi
berbagai masalah seperti jika berada di tempat ramai yang penuh orang. Pikiran
tidak mengada-ada, tidak dipenuhi keinginan-keinginan, karena kosong dan hening
inilah maka panca indera bekerja dengan amat baiknya, setiap anggota tubuh
menjadi amat pekanya. Dan dalam keadaan hening dan waspada ini, maka segala
keindahan pun nampak!
Biasanya,
panca indera kita seperti menjadi tumpul karena dipenuhi oleh keinginan batin
yang berupa nafsu sehingga perhatian hanyalah ditujukan kepada hal-hal yang
belum ada dan sedang dikejar atau diinginkan. Akan tetapi, berada di tempat
sunyi itu, barulah terasa betapa indahnya segala hal yang ada, betapa
bersilirnya angin membawa suara indah melebihi alunan musik yang mana pun juga,
bahkan gugurnya setangkai daun kering yang menari-nari ke bawah nampak
sedemikian indahnya bagaikan tarian yang menakjubkan. Diri menjadi lenyap,
seperti lebur menjadi suatu kenyataan yang ada, bukan lagi boneka yang
dipermainkan oleh nafsu dan keinginan.
Pemuda itu
sangat sederhana, hanya menggendong sebuah buntalan pakaian dan di pinggangnya
terselip sebuah benda kecil yang terbungkus oleh sarung dari kain kuning,
panjangnya kira-kira tiga kaki. Bagi orang yang tidak mengenalnya tentu mengira
bahwa dia itu hanya seorang petani biasa, atau seorang pemburu dan paling hebat
tentu seorang perantau yang biasa melakukan perjalanan seorang diri dengan
bekal sedikit kepandaian silat untuk melindungi dirinya. Akan tetapi
sesungguhnya tidaklah demikian. Pemuda ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang
pendekar yang amat lihai, bahkan yang baru-baru ini memperoleh julukan Pendekar
Suling Naga!
Bagi para
pembaca KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES, pemuda ini pasti dapat diduga siapa
orangnya, sebab dia merupakan salah seorang di antara para tokoh dalam kisah
itu. Pemuda ini adalah Sim Houw, seorang pemuda gemblengan yang sudah mewarisi
ilmu-ilmu hebat dari dua aliran yang tadinya saling bertentangan, yaitu Ilmu
Pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) dan Ilmu Pedang Kim-siauw
Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas).
Ilmu yang
pertama dia peroleh dari mendiang ayahnya sendiri, yaitu Sim Hong Bu yang
mewarisinya dari keluarga isterinya, keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman,
di daerah Pegunungan Himalaya. Ada pun ilmu yang kedua itu diperolehnya dari
pendekar sakti Kam Hong yang pernah menjadi calon mertuanya, tetapi
perjodohannya dengan puteri gurunya ini gagal karena gadis itu mencintai orang
lain.
Ayahnya,
pendekar sakti Sim Hong Bu sudah gugur dalam pertempuran antara para pendekar
yang melawan pasukan tentara pemerintah. Ibunya pun telah tewas sehingga dia
hidup sebatang kara. Memang masih ada keluarga dari pihak ibunya, yaitu
keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman, akan tetapi karena ayahnya telah
bercerai dari ibunya dan terjadi pertentangan antara mendiang ayahnya dan
keluarga Cu, dia tidak mau lagi kembali ke lembah itu.
Demikianlah
sedikit riwayat pendekar yang dijuluki orang Pendekar Suling Naga itu. Baru
kurang lebih tiga tahun dia diberi julukan itu setelah beberapa kali dia
menghadapi datuk-datuk sesat yang lihai dan terpaksa dia menggunakan senjatanya
yang ampuh, yaitu sebatang suling yang dapat dipergunakan sebagai pedang pula.
Suling ini terbuat dari kayu yang diukir berbentuk seekor naga, kayu yang telah
ribuan tahun usianya dan sudah direndam ramuan obat sehingga menjadi keras
bagaikan baja, dan selain dapat ditiup sebagai suling yang suaranya merdu, juga
dapat dipergunakan sebagai pedang.
Kurang lebih
tiga tahun yang lalu, timbul di dalam pikiran Sim Houw untuk menjenguk keluarga
Cu di Lembah Gunung Naga Siluman. Dia teringat bahwa yang bertentangan dengan
ayahnya adalah ayah dari ibunya bersama seorang paman, juga ibunya sendiri.
Keluarga Cu
terdiri dari tiga orang kakak beradik. Yang pertama ialah Cu Han Bu, yaitu ayah
dari ibunya, ke dua adalah Cu Seng Bu dan ke tiga adalah Cu Kang Bu. Yang dulu
menentang ayahnya hanyalah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, keduanya sekarang telah
meninggal dunia, sedangkan Cu Kang Bu tidak menentang ayahnya. Dan sekarang,
yang tinggal di lembah itu hanya tinggal Cu Kang Bu dan isterinya.
Teringat
akan paman kakeknya ini, seorang pendekar berjuluk Ban-kin-sian yang gagah
perkasa, juga isteri pendekar ini, seorang wanita bernama Yu Hwi yang mempunyai
kepandaian tinggi pula, Sim Houw menjadi rindu. Tidak ada lagi keluarganya di
dunia ini kecuali paman kakek Cu Kang Bu itu, maka dia pun lalu berangkatlah ke
Pegunungan Himalaya.
Akan tetapi,
ketika pada suatu pagi dia tiba di lembah itu, dan menyeberangi jembatan
tambang yang direntang dari dalam lembah oleh seorang murid keluarga Cu, Sim
Houw menjadi terkejut bukan main melihat betapa paman kakek berdua isterinya
itu berada dalam keadaan luka parah! Cu Kun Tek, putera mereka yang baru
berusia dua belas tahun menjaga mereka dengan sikap murung dan berduka.
Lembah
Gunung Naga Siluman itu merupakan tempat yang selain sangat indah juga
tersembunyi dan tidak mungkin dapat dikunjungi orang kecuali kalau penghuni
lembah itu menghendaki. Lembah itu dikurung oleh jurang yang amat curam, dan
jalan masuk satu-satunya hanyalah melalui jembatan tambang yang direntang dari
dalam lembah dan selalu dijaga oleh murid-murid penghuni lembah itu.
Pada waktu
itu, Cu Kang Bu yang hanya mempunyai seorang putera memiliki belasan orang
murid. Selain untuk menjadi teman puteranya, para murid ini juga untuk melayani
segala keperluan keluarganya dan menjaga kebersihan tempat tinggal mereka.
Murid-murid ini yang melakukan penjagaan jembatan tambang itu.
Ketika Sim
Houw muncul dan memperkenalkan namanya, di antara murid-murid itu ada yang
sudah pernah mengenalnya, maka tambang yang tadinya tergantung ke dalam jurang
lalu ditarik dan direntang. Sim Houw menggunakan ilmunya untuk menyeberang
melalui atas tambang yang besar itu. Kalau tidak memiliki kepandaian dan tidak
memiliki keberanian besar, siapa berani menyeberang melalui jembatan yang
terbuat dari sehelai tambang itu? Sekali jatuh, nyawa akan melayang dan tubuh
akan hancur lebur.
Melihat
keadaan paman kakeknya suami isteri yang rebah dengan muka pucat, Sim Houw
terkejut dan cepat menjatuhkan diri berlutut. Suami yang nampak lemah tubuhnya
itu memandang penuh perhatian, lalu terdengar Cu Kang Bu bertanya, "Orang
muda, siapakah engkau dan ada keperluan apakah engkau mendatangi tempat kami
ini?"
Mendengar
pertanyaan kakek itu, Sim Houw merasa terharu sekali. "Cek-kong (paman
kakek), saya adalah Sim Houw..."
"Sim
Houw...?" Isteri kakek itu bangkit duduk dan memandang dengan penuh
perhatian. Juga kakek itu bangkit duduk.
"Engkau
Sim Houw putera mendiang Pek In?" tanya kakek yang kini usianya sudah lima
puluh tiga tahun itu.
Disebutnya
nama mendiang ibunya, Sim Houw menjadi semakin terharu. "Benar dan saya
menghaturkan hormat kepada cek-kong berdua."
Suami isteri
yang sedang menderita luka itu nampak gembira sekali. "Kun Tek, lihatlah,
pemuda perkasa ini adalah keponakanmu sendiri, putera tunggal mendiang enci-mu
Cu Pek In! Sim Houw, ini adalah anak tunggal kami, bernama Cu Kun Tek."
Sim Houw
memandang kepada anak laki-laki itu. Dia hanya pernah mendengar bahwa suami
isteri itu memiliki seorang anak laki-laki dan baru sekarang dia bertemu dengan
anak laki-laki itu, seorang anak laki-laki yang berusia kurang lebih dua belas
tahun dan menjadi pamannya! Dia merasa canggung, akan tetapi Sim Houw segera
bangkit berdiri dan menjura kepada anak itu.
"Paman
kecil, harap engkau baik-baik saja dan banyak memperoleh kemajuan."
Dari ayah
bundanya Cu Kun Tek juga sudah banyak mendengar mengenai Sim Houw, maka dia pun
membalas penghormatan itu. "Harap engkau tidak terlalu sungkan, karena
biar pun aku terhitung pamanmu, tetapi aku jauh lebih muda dan banyak
mengharapkan petunjuk darimu."
Diam-diam
Sim Houw kagum dan dapat melihat bahwa paman cilik ini adalah seorang anak
laki-laki yang cerdas dan ada pembawaan yang gagah perkasa seperti paman
kakeknya.
"Selama
ini engkau ke mana sajakah, anak Houw?" tanya Yu Hwi, isteri Cu Kang Bu
itu.
"Saya
merantau memperluas pengalaman dan tiba-tiba saya merasa amat rindu kepada
keluarga di sini, juga tempat ini di mana saya dibesarkan, maka hari ini saya
datang menghadap. Harap cek-kong berdua sudi memaafkan bahwa baru hari ini saya
sempat singgah. Akan tetapi betapa kaget hati saya melihat bahwa cek-kong
berdua agaknya dalam keadaan sakit... dan kalau tidak salah… menderita luka
dalam. Apakah cek-kong berdua berkelahi dengan seorang lawan yang amat lihai?"
Mendengar
pertanyaan ini, suami isteri itu saling pandang dan seperti diingatkan akan
sesuatu yang membuat mereka penasaran. Cu Kang Bu menarik napas panjang dan
menjawab, "Kalau diceritakan, sungguh membuat orang menjadi jengkel dan
penasaran sekali. Seperti yang sudah kau ketahui, Sim Houw, keluarga Cu selalu
menjauhkan diri dari keributan, bahkan menempati lembah yang terpencil dan
terasing ini, karena tidak ingin terlibat dalam permusuhan. Akan tetapi, kalau
memang perkelahian akan terjadi, ke mana pun kita bersembunyi, ada saja yang
datang mencari perkara. Dan kali ini yang datang mencari keributan adalah
seorang kakek tua renta yang gila..."
Sim Houw
terkejut dan merasa heran sekali. Seorang kakek tua renta yang gila? Dan
seorang kakek gila ini demikian lihainya sehingga cek-kongnya yang lihai ini,
bersama isterinya yang juga amat lihai, kalah dan menderita luka dalam.
"Cek-kong,
apakah yang telah terjadi?"
Kembali Cu
Kang Bu menarik napas panjang. "Dua pekan yang lalu, pada suatu siang
muncul seorang kakek di seberang jurang dan dia berteriak dengan mempergunakan
khikang, minta bertemu denganku. Karena maklum bahwa dia seorang yang memiliki
kepandaian tinggi maka aku menyuruh para murid merentangkan jembatan tambang.
Kakek itu menyeberang dan ternyata dia sudah sangat tua, dan dia datang
mengajukan usul yang aneh."
"Bagaimana
usulnya itu?" Sim Houw bertanya dengan hati tertarik sekali melihat Cu
Kang Bu menghentikan ceritanya.
"Ahh,
sungguh aneh dan memalukan. Ia mengatakan bahwa ia memiliki sebuah benda pusaka
yang akan diwariskan kepada seorang pendekar yang dapat mengalahkannya. Karena
dia bertapa di Pegunungan Himalaya dan dia mendengar bahwa di lembah ini
tinggal pendekar-pendekar sakti, dia lalu datang untuk minta dikalahkan agar
dia dapat mewariskan pusaka itu kepada kami. Tentu saja aku yang tidak butuh
pusakanya, lalu menolak. Akan tetapi dia malah marah-marah dan mengatakan bahwa
kalau aku tidak mau melayaninya, dia akan membunuh aku dan seluruh penghuni
lembah ini..."
"Gila..."
Sim Houw berseru heran dan penasaran.
Mana di
dunia ini ada peraturan seperti itu? Hendak mewariskan pusaka saja dengan
syarat harus mengalahkannya, dan kalau orang tidak mau menyambut usulnya yang
aneh itu, akan dibasmi seluruh keluarganya!
"Memang,
agaknya dia telah gila, akan tetapi dia lihai bukan main." Cu Kang Bu
menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya. "Karena ancamannya yang
sangat gila itu, tentu saja aku menjadi marah dan akhirnya kami bertanding,
bukan untuk memenuhi permintaannya, melainkan untuk menentang niatnya yang
hendak membasmi kami itu. Akan tetapi, biar pun isteriku telah membantuku,
tetap saja setelah lewat seratus jurus kami berdua terkena pukulannya yang
ampuh dan terluka. Tetapi dia tidak membunuh kami, hanya mengatakan bahwa
setelah kami sembuh, dia akan datang lagi, karena dia menganggap bahwa aku
cukup pantas menerima warisan itu dan dia minta agar aku berlatih serta
memperkuat diri agar lain kali aku dapat mengalahkannya. Kemudian dia
pergi."
"Orang
itu agaknya memang gila dan bisa berbahaya sekali,” kata Yu Hwi. “Bayangkan
saja, cek-kongmu ini sudah mempergunakan cambuknya, dan aku pun sudah melawan
mati-matian. Kami berdua hanya dapat mengimbangi saja tanpa mampu mengatasinya
sehingga akhirnya kami terluka."
"Siapakah
nama kakek itu dan di mana tempat tinggalnya?" Sim Houw yang merasa amat
tertarik dan penasaran bertanya.
"Dia
belum sempat memperkenalkan diri dan kamipun tidak tahu di mana dia
tinggal," jawab Cu Kang Bu. "Kami memang tidak tertarik sama sekali
untuk berkenalan dengan orang gila itu, apa lagi mewarisi pusakanya."
Tiba-tiba
semua orang dikejutkan oleh suara melengking tinggi yang terdengar dekat
sekali, seolah-olah suara itu keluar dari mulut seorang yang berada di dalam
gedung atau ruangan di mana mereka duduk bercakap-cakap. Lengkingan suara itu
lalu disusul kata-kata yang lembut, "Orang she Cu, rentangkan jembatan
tambang, aku datang lagi berkunjung!"
"Nah,
itu dia orang gila itu datang lagi!" Cu Kang Bu berkata dan dia bersama
isterinya nampak pucat. Cu Kun Tek yang masih kecil itu bangkit berdiri dan
mengepal tinjunya. Anak ini kelihatan marah sekali.
"Ayah
dan ibu, kalau dia datang lagi, biarlah kita lawan mati-matian. Bukankah di
sini ada Sim Houw yang pernah ayah ceritakan sebagai seorang yang amat lihai?
Tentu dia akan membantu kita, bukankah demikian, Sim Houw?"
Sim Houw
memandang kagum dan tersenyum, lalu mengangguk. "Tentu saja, paman
kecil."
Sementara
itu, tiga orang murid datang menghadap dengan muka pucat. Jelas nampak betapa
mereka ini cemas sekali. "Suhu, kakek gila itu datang lagi...," kata
mereka.
"Ada
tamu datang, rentangkan jembatan, biarkan dia ke sini," kata Cu Kang Bu
dengan sikap gagah.
Dia maklum
bahwa selagi dalam keadaan sehat dan segar saja, dia dan isterinya yang maju
mengeroyok kakek itu tidak menang dan bahkan terluka parah, apa lagi sekarang
dalam keadaan masih belum sembuh benar. Maju melawan kakek itu sama saja
berarti mengundang kematian. Tetapi kalau perlu dia tidak takut mati. Lebih
baik mati melawan dari pada memperlihatkan rasa takut dan tidak berani
merentangkan jembatan.
"Suhu,
biar teecu rentangkan jembatan dan kalau Si kakek gila itu sudah menyeberang
sampai di tengah-tengah, teecu akan lepaskan tambang agar dia mampus terbanting
ke dalam jurang," kata seorang murid yang tinggi besar.
"Brakkkk!"
Cu Kang Bu
menggebrak dipannya dengan mata melotot. "Pengecut! Hayo kau masuk ke
dalam Ruangan Bertobat, tiga hari tiga malam tidak boleh keluar untuk
mempelajari sikapmu yang pengecut itu sampai dapat kau hapus sama sekali dari
batinmu!"
Murid tinggi
besar itu berlutut dengan muka pucat, mengangguk-angguk. "Baik, teecu
menerima perintah dan hukuman."
Kemudian
dengan tubuh lemas dia mengundurkan diri untuk memasuki sebuah ruangan di bawah
tanah yang dipergunakan untuk menghukum murid-murid yang bersalah. Di tempat
ini dia terpaksa harus bertapa selama tiga hari dan tiga malam untuk menebus
kesalahannya karena tadi dia telah mengeluarkan kata-kata yang sifatnya
pengecut dan curang.
"Rentangkan
jembatan dan biarkan dia menyeberang!" katanya kepada dua orang murid lain
yang cepat mengangguk dan pergi. Pendekar itu lalu berkata kepada isterinya dan
puteranya. "Kalian jangan turut campur. Biarlah aku sendiri yang akan
menghadapinya dan kalau perlu mengadu nyawa dengannya."
"Akan
tetapi engkau pun masih belum sembuh!" seru isterinya dengan khawatir.
Sim Houw
cepat maju dan berkata, "Cek-kong berdua harap tenangkan hati. Saya kira,
dengan bujukan yang halus dan dapat diterima, kiranya dia dapat disadarkan dan
dapat disuruh pergi tanpa kekerasan. Saya tidak sakit, maka biarlah saya
mewakili cek-kong berdua karena bagaimana pun juga, saya adalah anggota
keluarga di lembah ini."
Cu Kang Bu
mengangguk. "Akan tetapi engkau harus berhati-hati benar, Sim Houw. Dia
memiliki ilmu yang luar biasa anehnya."
“Saya
mengerti, cek-kong. Orang yang mampu mengalahkan cek-kong berdua tentulah
seorang sakti." Setelah berkata demikian, Sim Houw melangkah keluar,
diikuti oleh Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan juga Cu Kun Tek.
Ketika
mereka tiba di luar gedung, tidak lama kemudian nampak bayangan berkelebat
cepat datang dari depan. Diam-diam Sim Houw terkejut bukan main karena bayangan
itu sungguh memiliki ginkang yang luar biasa sehingga tubuh itu seolah-olah
terbang saja ketika berlari ke arah mereka. Segera nampak seorang kakek renta
berdiri di depan mereka.
Kakek itu
memang nampak sudah tua sekali. Sukar menaksir berapa usianya, akan tetapi
tentu mendekati seratus tahun. Rambut di kepalanya tinggal sedikit, tipis
panjang dan tak terpelihara membuat kepala itu nampak kecil. Tubuhnya kurus sekali
dan saking kurusnya, nampak seperti tulang terbungkus kulit belaka. Matanya
sipit hampir terpejam, mulutnya kempot dengan kedua pipinya cekung ke dalam.
Akan tetapi yang luar biasa adalah kulit mukanya. Kulit muka itu putih, bukan
pucat melainkan putih seperti dibedaki tebal saja. Jubahnya hitam lebar dan
panjang, celananya berwarna kuning.
Begitu
berhadapan dengan mereka, mata yang sipit itu menujukan pandangannya ke arah Cu
Kang Bu dan isterinya, lalu terdengar kakek itu berkata dengan nada suara penuh
sesal, "Aihh, kalian belum sembuh! Itulah akibatnya kalau tinggi hati,
kuberi obat tidak mau. Sekarang, jangankan bisa mengalahkan aku, baru
menandingi seratus jurus seperti tempo hari saja kalian akan mati, lantas siapa
lagi yang dapat aku harapkan mengalahkan aku dan mewarisi pusakaku? Aihhh...
aku tidak mau pusakaku terjatuh ke tangan mereka, aku tidak mau biar mereka itu
murid-murid keponakanku sendiri, aku tidak mau..." Dan suara kakek itu
berubah seperti suara orang menangis!
Sim Houw
melangkah maju menghadapi kakek itu sambil menjura dengan sikap hormat dan
suaranya terdengar halus namun tegas, "Locianpwe, kami para penghuni
Lembah Naga Siluman tak pernah bermusuhan dengan siapa pun juga, tak pernah
mencampuri urusan orang lain, harap locianpwe suka mundur dan meninggalkan
tempat kami tanpa mengganggu kami lagi. Jika locianpwe memaksa, terpaksa saya
yang akan menghadapi dan melawan locianpwe!"
Kakek itu
mengeluarkan suara mendengus dan kini mata yang sipit sekali itu ditujukan
kepada Sim Houw, memandang dari atas ke bawah.
"Heh-heh,
kau gagah juga...! Apakah kau murid mereka?" Jari telunjuknya yang kurus
panjang itu menunjuk ke arah Cu Kang Bu dan isterinya.
"Bukan,
locianpwe. Saya adalah cucu keponakan mereka yang kebetulan tengah datang
berkunjung."
"Uuh-huh-huh,
murid juga bukan, malah hanya cucu keponakan! Dan kau bilang bahwa kau akan
melawan aku? Heh-heh-heh, bocah, engkau sombong benar!"
"Locianpwe
yang sombong, seakan-akan locianpwe pandai mengukur tingginya langit dalamnya
lautan. Akan tetapi, tidak ada pertandingan dilakukan tanpa sebab, apa lagi
tanpa saling mengenal. Nama saya adalah Sim Houw, dan sudah jelas bahwa saya
akan mewakili cek-kong saya berdua isterinya, mewakili keluarga dan penghuni
Lembah Naga Siluman untuk menandingi locianpwe, Sebaliknya, siapa pula
locianpwe ini dan mengapa locianpwe datang mengacau di lembah kami?"
Kakek kurus
kering itu terkekeh. "He-he-heh-heh, kau bocah kemarin sore akan tetapi
omonganmu berisi! Agaknya dirimu berisi ilmu kepandaian pula. Dengarlah, aku
disebut orang Pek-bin Lo-sian (Dewa Tua Muka Putih), seorang pertapa di puncak
bukit sebelah utara yang nampak dari sini itu." Dia menuding ke arah sebuah
puncak bukit yang nampak samar-samar dari lembah itu, terhalang kabut mengawan.
"Aku sudah tua, sudah mau mati, akan tetapi aku tak akan dapat mati dengan
mata terpejam sebelum pusaka yang berada padaku kuserahkan kepada orang yang
pantas memilikinya. Dan yang pantas memilikinya hanyalah seorang pendekar yang
mampu menandingiku. Kalau aku tidak menemukan orang itu, pusaka itu tentu akan
terjatuh ke tangan tiga orang murid keponakanku yang seperti setan, dan aku
tidak rela, sungguh tidak rela! Karena itulah aku datang ke sini karena aku
mendengar bahwa keluarga Cu adalah keluarga pendekar yang sakti. Akan tetapi
ternyata kepandaian mereka hanya begitu saja, sungguh mengecewakan
hatiku."
"Locianpwe,
mengapa bersusah payah menetapkan syarat begitu aneh dan berat? Jika memang
locianpwe tak rela memberikan pusaka kepada orang lain, perlu apa mencari-cari?
Kepandaian locianpwe begitu tinggi, siapa yang akan sanggup mengalahkannya? Dan
kalau memang locianpwe berhasrat mewariskan pusaka itu kepada orang lain,
berikan saja kepada siapa yang locianpwe sukai, tidak perlu dengan syarat yang
aneh-aneh. Lagi pula, kami keluarga Lembah Naga Siluman juga tidak kepingin
memperoleh pusaka apa pun juga."
Kakek itu
menghela napas panjang. "Orang muda, enak saja kau bicara. Kalau aku
memberikan kepada sembarang orang, berarti menyuruh dia mampus dan pusaka itu
akhirnya akan terampas pula oleh tiga orang murid keponakanku. Mengertikah
engkau? Aku sudah menjatuhkan pilihanku kepada penghuni lembah ini, kalau tidak
ada yang mampu mengalahkan aku, berarti mengecewakan hatiku dan karenanya akan
kubunuh semua!"
Sim Houw
menjadi marah. "Hemm, watak locianpwe begini aneh dan jahat, pantas saja
murid keponakan locianpwe juga jahat seperti setan. Nah, biarlah kini saya
mewakili keluarga Cu untuk menghadapi locianpwe!"
Sambil
berkata demikian, karena maklum bahwa lawannya yang sudah mengalahkan
cek-kongnya bersama isterinya tentu amat sakti, dia sudah mencabut keluar
sebatang suling dari balik jubahnya. Begitu suling dicabut, nampak sinar emas berkelebat
yang dibarengi suara melengking dari suling itu seolah-olah ditiup. Melihat dan
mendengar ini, kakek itu terbelalak.
"Ihhh...?
Itu... itu senjatamu? Sebatang suling emas?" tanyanya kaget dan memandang
ke arah sebatang suling terbuat dari pada emas yang berada di tangan pemuda
itu.
Memang
suling ini sebuah suling emas, pemberian pendekar sakti Kam Hong. Sebatang
suling yang merupakan duplikat dari suling emas di tangan pendekar itu, yang
dahulu digunakan oleh Sim Houw untuk berlatih ketika digembleng oleh bekas
calon mertuanya itu.
"Aneh...!"
Kakek itu berkata, matanya yang sipit itu agak terbelalak lebar dan mulutnya
tersenyum. Wajahnya yang tadinya keruh sekarang nampak berseri penuh harapan.
"Lihat seranganku!"
Tiba-tiba
kakek itu telah menggerakkan kedua tangannya dan Sim Houw merasa betapa ada
angin yang sangat kuat menyambar ke arahnya dari kanan kiri. Kakek itu telah
menyerang dengan pukulan-pukulan yang ampuh, aneh datangnya, melengkung dari
kanan kiri. Dari angin serangan itu saja dapat diketahui bahwa kakek itu
menggunakan tenaga yang amat kuat!
Namun, yang
diserang oleh Pek-bin Lo-sian adalah seorang pemuda gemblengan yang sudah
matang kepandaiannya. Pemuda ini merupakan satu-satunya orang yang sudah
mewarisi dua ilmu kesaktian yang tadinya saling bertentangan, yaitu Ilmu
Koai-liong Kiam-sut dari keluarga Cu dan juga Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dari
pendekar Kam Hong!
Kini dua
ilmu itu telah mendarah daging pada dirinya. Hanya ada satu orang lagi yang
pandai menggabung kedua ilmu itu, ia adalah Kam Bi Eng, bekas tunangannya,
puteri tunggal pendekar sakti Kam Hong yang kini menjadi isteri dari Suma Ceng
Liong, cucu dari majikan Pulau Es.
Memang
terdapat perbedaan antara kepandaian yang dikuasai Sim Houw dan yang dikuasai
Kam Bi Eng. Sim Houw, menggabungkan kedua ilmu itu dengan dasar Ilmu Koai-liong
Kiam-sut yang dipelajarinya pertama kali dari ayahnya, sebaliknya Bi Eng
mendasari penggabungan itu dengan Kim-siauw Kiam-sut yang diwarisi dari
ayahnya.
Pada saat
mereka dipertunangkan, Sim Houw digembleng oleh Kam Hong, bekas calon
mertuanya, sebaliknya Kam Bi Eng digembleng oleh Sim Hong Bu, ayah Sim Houw.
Kini keduanya telah menguasai penggabungan kedua ilmu itu, akan tetapi sayang,
karena tidak adanya cinta kasih kedua pihak, maka pertunangan itu putus dan
mereka tidak menjadi suami isteri.
Menghadapi
serangan aneh dari Pek-bin Lo-sian, dengan tenang akan tetapi dengan kecepatan
yang sudah diperhitungkan, Sim Houw memutar sulingnya ke kanan kiri dan ujung
sulingnya itu mengancam dua lengan lawan dengan totokan-totokan maut ke arah
pergelangan tangan. Kalau serangan kakek itu dilanjutkan, sebelum kedua
tangannya menyentuh tubuh lawan, maka lebih dulu kedua pergelangan tangannya
akan tertotok suling emas!
"Ohhhh...!"
Dia terkejut, akan tetapi juga girang.
Tadi dia
sengaja mengeluarkan jurus serangannya yang sangat ampuh untuk menguji
kepandaian pemuda aneh yang bersenjata suling emas itu. Kini ternyata pemuda
itu tidak hanya mampu membuyarkan serangannya, bahkan berbalik mengancam kedua
lengannya! Dia cepat-cepat menarik kembali kedua tangan itu dan mulailah kakek
itu berloncatan dan bergerak cepat, melakukan serangan bertubi-tubi kepada Sim Houw.
Sim Houw
juga tak mau berlaku sungkan lagi. Suling emasnya bergerak semakin cepat
menghadang setiap serangan sehingga kini kakek itu yang berbalik terserang
olehnya. Beberapa kali kakek itu mengeluarkan seruan kaget. Suling itu berubah
menjadi sinar keemasan bergulung-gulung disertai suara melengking-lengking
seolah-olah suling itu ditiup dan dimainkan orang.
Hal ini
membuat Pek-bin Lo-sian kagum bukan main. Pernah dia mendengar akan nama
Pendekar Suling Emas, dan kini dia merasa seolah-olah berhadapan dengan
pendekar yang pernah terkenal di seluruh dunia persilatan itu! Dia tidak tahu
bahwa memang yang dihadapinya adalah murid dari Pendekar Suling Emas Kam Hong.
Belum sampai lima puluh jurus, kakek itu sudah terdesak oleh gulungan sinar
yang melengking-lengking itu.
Cu Kang Bu
dan isterinya yang menonton pertandingan itu menjadi kagum bukan main. Tidak
mereka sangka bahwa putera mendiang Sim Hong Bu dan Cu Pek In kini telah
menjadi seorang pendekar yang demikian hebat ilmu silatnya.
Tiba-tiba
kakek itu mengeluarkan teriakan mengguntur. Nampak sinar hitam berkelebat, dan
tahu-tahu ia telah memegang sebuah pedang yang aneh sekali. Senjata itu disebut
pedang, karena dipegang dan dimainkan seperti orang memainkan pedang, akan
tetapi bentuknya adalah seekor naga yang merupakan ukiran indah sekali dan
warnanya hitam pekat. Akan tetapi pada tubuh pedang berbentuk naga itu terdapat
lubang-lubang seperti pada sebuah suling!
Dan ketika
kakek itu menggerakkan senjata aneh ini, nampak sinar hitam berkelebat. Terdengar
pula suara melengking kacau, sama sekali berbeda dengan lengking suara yang
keluar dari suling emas di tangan Sim Houw yang terdengar merdu seperti melagu.
"Cringgg...!"
Nampak bunga
api berpijar ketika senjata aneh itu bertemu suling emas dan Sim Houw merasa
betapa tangannya yang memegang suling tergetar hebat. Akan tetapi pemuda ini
tidak menjadi gentar. Cepat dia memindahkan suling emas di tangan kiri dan
begitu tangan kanannya bergerak ke bawah jubahnya, nampak sinar berkilat
menyeramkan, sinar biru yang menyilaukan mata dan terdengar suara mengaum
seperti seekor singa.
Itulah
Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) peninggalan ayahnya! Dan kini
dia menggerakkan pedang di tangan kanan dan suling di tangan kiri. Bukan main
hebatnya karena pedangnya itu memainkan jurus-jurus ampuh dari Koai-liong
Kiam-sut sedangkan suling emasnya memainkan jurus-jurus pilihan dari Kim-siauw
Kiam-sut!
Menghadapi
gabungan dua ilmu yang sakti dan ampuh ini, kembali si kakek kurus renta
mengeluarkan suara terkejut bukan main dan dalam beberapa jurus saja dia sudah
terdesak hebat.
Sekarang
kakek itu benar-benar kagum bukan main, berkali-kali mengeluarkan seruan
memuji, akan tetapi dia pun lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya
untuk mengalahkan pemuda yang amat menarik perhatiannya itu. Dan memang ilmu
silat kakek ini aneh sekali. Beberapa kali hampir saja Sim Houw tertipu dan
terpancing, akan tetapi berkat keampuhan dua ilmu silat yang digabung itu,
serangan-serangan kakek itu selalu gagal.
Sim Houw
diam-diam merasa bingung juga. Dia tidak ingin menanam bibit permusuhan dengan
kakek ini, maka tadinya dia hanya ingin menandingi dan jika memang mungkin,
mengalahkan tanpa melukai kakek itu. Akan tetapi, kini ternyata bahwa ilmu
kepandaian kakek ini benar-benar hebat sehingga tidak mungkin kiranya tanpa
melukai. Bahkan kalau dia terlalu mengalah, jangan-jangan dia sendiri yang akan
roboh akhirnya!
Maka,
terpaksa ia pun lalu mengeluarkan jurus-jurus terampuh yang digabung sehingga
keadaan kakek itu benar-benar terkurung oleh sinar keemasan dan sinar biru yang
amat dahsyat. Tiba-tiba sinar biru menyambar dahsyat menyambut pedang naga
hitam itu, didukung tenaga sinkang yang amat kuat.
"Krekkk...!"
Kini
patahlah senjata ampuh kakek itu, terbabat Koai-liong Po-kiam yang ampuh dan
pada saat itu juga, suling di tangan kiri pemuda itu sudah menotok ke arah
tenggorokan dengan kecepatan seperti kilat menyambar.
"Ahhhhh...!"
Kakek itu terkejut melihat senjatanya patah sehingga kurang waspada dan
tahu-tahu ujung suling sudah meluncur ke arah tenggorokannya.
Melihat ini,
Sim Houw yang tak ingin membunuh cepat-cepat mengurangi tenaga pada totokannya.
Hanya itulah yang mampu dilakukan, karena melihat kedudukannya, tidak mungkin
menarik kembali, karena tangan kiri kakek itu dapat saja melakukan pukulan
kalau dia menarik kembali totokan sulingnya. Kakek itu pun biar terlambat masih
dapat membuang tubuh ke samping.
"Tukkk...!"
Tetap saja ujung suling masih menotok pundak kirinya.
Kakek itu
mengeluh, lalu terpelanting! Bukan main girang dan kagumnya rasa hati Cu Kang
Bu dan isterinya melihat betapa akhirnya cucu keponakan mereka itu berhasil
mengalahkan kakek gila yang amat lihai itu.
"Aihh,
locianpwe, maafkan saya...!" Sim Houw terkejut dan menyesal, cepat menyimpan
sepasang senjatanya dan menjura.
"Sudahlah,
aku kalah...," kakek itu mengeluh dan bangkit berdiri, napasnya
terengah-engah dan dia menekan pundak kirinya. Jelas bahwa totokan itu telah
mendatangkan luka di dalam dadanya. Sampai beberapa lamanya kakek itu menatap
wajah Sim Houw, kemudian dia mengangguk-angguk.
"Ahhh,
tidak kusangka bahwa akhirnya Suling Naga bertemu dengan majikannya. Orang
muda, engkaulah orangnya yang patut sekali memiliki Liong-siauw-kiam. Engkau
telah memiliki dua ilmu dengan pedang dan suling, dan kalau kini engkau
mempergunakan Liong-siauw-kiam, berarti engkau dapat memainkannya dengan dua
ilmu itu. Engkau telah mengalahkan aku, pusaka itu akan kuserahkan
kepadamu."
"Hemmm,
kakek jahat. Pusakamu itu telah patah dua, untuk apa diberikan kepada cucu
keponakan kami?" Yu Hwi mencela sambil menuding ke arah senjata hitam yang
patah terbabat pedang Koai-liong-po-kiam tadi.
Kakek itu
tertawa, akan tetapi tiba-tiba menahan ketawanya dan menyeringai kesakitan.
"Locianpwe,
engkau telah terluka. Marilah kubantu meringankan penderitaanmu," kata Sim
Houw sambil melangkah maju. Akan tetapi kakek itu mundur ke belakang.
"Jangan!
Aku sudah terluka dan itu adalah resiko pertandingan. Jika engkau yang kalah,
engkau bukan hanya terluka melainkan mampus, orang muda! Dan siapa bilang bahwa
pusaka itu benda yang patah itu? Heh-heh, kau kira aku begitu bodoh membawanya
ke mana saja? Memang sama bentuknya, akan tetapi yang ini adalah buatanku
sendiri, yang palsu. Yang asli mana mungkin dapat dipatahkan oleh senjata
pusaka yang bagai mana ampuh pun juga? Mari, orang muda, engkau berhak memiliki
Liong-siauw-kiam. Mari kau ikut denganku mengambilnya di tempat
persembunyianku."
Sim Houw
percaya sepenuhnya kepada kakek aneh yang amat lihai itu, maka dia pun
mengangguk dan menjawab, "Baiklah, locianpwe."
"Sim
Houw, jangan mudah percaya omongannya!" Tiba-tiba Yu Hwi berseru.
"Orang macam dia ini mana bisa dipercaya? Jangan-jangan engkau dipancing
untuk memasuki perangkap!"
Kakek itu
memandang kepada Yu Hwi serta mengangguk-angguk sambil tersenyum aneh.
"Nyonya ini memiliki kecerdikan yang boleh juga, heh-heh. Terserah
kepadamu, orang muda, apakah engkau berani atau tidak ikut bersamaku. Kalau
tidak, sungguh aku akan mati dengan mata terbuka karena kecewa dan
penasaran."
"Biarlah,
cek-kong berdua harap jangan khawatir. Saya dapat menjaga diri," kata Sim
Houw.
Dia pun
kemudian mengikuti kakek itu yang sudah membalikkan tubuh dan pergi sambil
tertawa mengejek. Cu Kang Bu dan isterinya mengikuti dengan pandang mata
khawatir, akan tetapi Cu Kun Tek berkata dengan kagum.
"Hebat
sekali Sim Houw itu. Kalau aku menjadi dia, aku pun pasti akan pergi mengambil
pusaka yang dijanjikan kakek itu."
Dua orang
itu lalu menyeberangi tambang. Dengan cepat sekali kakek yang mengaku bernama
Pek-bin Lo-sian itu lalu berlari seperti terbang. Agaknya ia masih ingin
menguji kepandaian Sim Houw. Akan tetapi, setelah berlari secepatnya dan
napasnya mulai memburu, dia menoleh ke belakang. Dia melihat betapa pemuda itu
berada tepat di belakangnya, sedikit pun tidak tertinggal, bahkan tak nampak
letih seperti orang berjalan seenaknya saja. Kakek itu kagum sekali dan menahan
larinya, menjadi langkah biasa untuk mengatur pernapasannya. Wajahnya menjadi
semakin pucat.
"Locianpwe,
mengapa harus tergesa-gesa? Tidak baik untuk kesehatan locianpwe yang sedang
menderita luka." Sim Houw berkata dengan sungguh-sungguh karena dia tahu
bahwa pengerahan tenaga ginkang tadi memang amat berbahaya bagi kakek yang
sudah menderita luka di dalam tubuhnya.
"Marilah,
kita sudah dekat...!" kata kakek itu dengan napas terengah-engah dan dia
mendaki bukit itu. Dan karena luka yang diderita oleh Pek-bin Lo-sian semakin
parah, kini kakek itu hampir tidak kuat mendaki bukit itu.
Melihat ini,
Sim Houw berkata, "Locianpwe terluka, marilah saya membantu locianpwe
untuk meringankan penderitaan itu." Pemuda ini bermaksud untuk mengobati
kakek itu dengan pengerahan sinkangnya. Akan tetapi kakek itu menggelengkan
kepala.
"Tidak
ada gunanya, hanya menghilangkan nyeri sebentar akan tetapi tak akan mampu
menyembuhkan."
Sim Houw
juga maklum akan hal ini dan dia merasa menyesal sekali. "Maafkan saya, locianpwe.
Bukan maksud saya untuk... akan tetapi saya terdesak dan terpaksa..."
"Sudahlah,
begini lebih baik. Roboh di tangan seorang pemuda seperti engkau tidak membikin
hatiku penasaran. Kalau kau mau... kau gendong saja aku sampai ke puncak, aku
khawatir akan putus nyawaku sebelum berhasil menyerahkan pusaka itu."
Sim Houw
tanpa ragu-ragu lagi lalu menggendong kakek itu di belakang punggungnya. Baru
beberapa langkah saja dia berjalan, tiba-tiba kakek yang tadinya nampak loyo
itu menggerakkan tangan mencengkeram ke arah tengkuk Sim Houw.
"Tolol
kau! Mencari mampus sendiri!" Tetapi tiba-tiba kakek itu mengeluarkan
teriakan kaget karena tengkuk yang dicengkeramnya itu lemas seperti tak berotot
atau bertulang sehingga cengkeramannya meleset dan tenaga yang dipergunakannya
bagai tenggelam ke dalam air saja.
Tahulah dia
bahwa pemuda itu tidak setolol seperti yang disangkanya karena diam-diam pemuda
itu telah bersiap melindungi dirinya dengan ilmu I-kiong-hoan-hiat, yaitu Ilmu
Memindahkan Jalan Darah yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah
memiliki tenaga sinkang yang amat kuat! Dan sebelum dia sempat melakukan hal
lain lagi, tahu-tahu tubuhnya sudah tidak dapat digerakkan karena pemuda itu
telah menotoknya dan membuat kaki tangannya lumpuh! Diam-diam dia kagum dan
girang sekali.
"Bagus!
Kini barulah yakin hatiku bahwa engkau memang paling pantas menjadi pemilik
Liong-siauw-kiam, karena selain lihai engkau pun cerdik sekali." Dia lalu
menunjukkan jalan bagi Sim Houw yang tidak menjawab melainkan berlari dengan
cepat mendaki bukit itu sambil menggendong tubuh kakek yang sudah tidak mampu
bergerak lagi itu.
Setelah
kakek itu menyuruhnya berhenti di depan sebuah goa besar, baru Sim Houw
menurunkan tubuh kakek itu dari gendongan dan membebaskan totokannya sehingga
kakek itu mampu bergerak lagi. "Maafkan saya yang terpaksa menotokmu,
locianpwe," katanya dengan sikap tetap menghormat.
Pek-bin
Lo-sian terkekeh dan mengangguk-angguk. "Jika engkau tidak cerdik dan
tidak melindungi tubuhmu, tentu cengkeramanku akan mematikanmu. Dan memang
lebih baik engkau mati kalau tidak mampu melindungi diri dari kecurangan
seperti itu. Musuh-musuhmu yang akan kau hadapi puluhan kali lebih curang dari
pada yang kulakukan tadi. Tadi aku memang hanya mengujimu. Kalau kau gagal, kau
mampus, dan karena kau lulus, maka sekarang aku merasa lebih yakin kau akan
mampu mempertahankan Liong-siauw-kiam."
Tiba-tiba
kakek itu batuk-batuk dan darah segar keluar dari mulutnya.
"Locianpwe,
harap kau beristirahat...!" kata Sim Houw dengan kaget karena muntah darah
itu menunjukkan bahwa luka yang diderita kakek itu sudah amat berat.
"Heh-heh-heh...!"
Pek-bin Lo-sian mengusap darah dari bibirnya sehingga ujung lengan bajunya
menjadi merah semua. "Kau... kau tunggu... akan kuambil pusaka
itu..." Dan dengan terhuyung-huyung dia memasuki goa yang lebar dan dalam
itu.
Sim Houw
menanti di luar dengan hati tegang. Hatinya tidak merasa gembira sedikit pun.
Tanpa sebab, tanpa permusuhan apa pun dia telah menyebabkan seorang kakek yang
memiliki kesaktian luar biasa menderita luka parah, luka yang dia tahu akan
membawa maut bagi kakek itu. Dan sesungguhnya dia sama sekali tidak
menginginkan pusaka orang, walau pun sikap dan kata-kata kakek itu tentang
pusaka yang disebut Liong-siauw-kiam menarik perhatiannya.
Tiba-tiba
dia melihat kakek itu keluar lagi, dan cara jalannya semakin terhuyung-huyung,
bahkan saat tiba di depan goa, kakek itu terguling roboh dan kembali muntahkan
darah segar.
"Locianpwe...!"
Sim Houw meloncat dan berlutut dekat kakek itu.
Akan tetapi
kakek itu sudah bangkit duduk bersila, mengusap darah dari bibirnya dan dia
mengangkat tinggi-tinggi sebuah benda hitam yang ternyata sama benar bentuknya
dengan senjata kakek itu yang pernah patah oleh pedang Koai-liong Po-kiam.
"Inilah
Liong-siauw-kiam, pusaka ampuh itu yang akan kuserahkan kepadamu, Sim
Houw."
Pemuda itu
memandang dengan sinar mata ragu-ragu. Benda itu serupa benar dengan senjata
kakek tadi, dan tentu saja dia meragukan keampuhannya. Hanya sebuah benda
sepanjang kurang lebih tiga kaki, terbuat dari kayu hitam yang diukir membentuk
seekor naga, dengan ekor meruncing dan tepinya tajam seperti pedang, di
tengahnya yang tebal terdapat lubang-lubang seperti suling. Sebatang Pedang
Suling Naga? Jika hanya terbuat dari kayu, mana dapat menjadi senjata yang
ampuh? Mana mungkin dapat dibandingkan dengan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam?
Agaknya
Pek-bin Lo-sian dapat menduga apa yang diragukan pemuda itu. "Sim Houw,
coba kau keluarkan pedangmu dan kau babatlah pusaka ini untuk membuktikan bahwa
pusaka ini tidak kalah dibandingkan dengan pedangmu itu."
Wajah Sim
Houw berubah agak merah karena isi pikirannya ternyata dapat ditebak dengan
tepat oleh kakek itu. Dia lalu mengeluarkan Koai-liong Po-kiam dan nampaklah
sinar biru berkelebat menyeramkan. Pek-bin Lo-sian sendiri memandang kagum dan
mengangguk-angguk.
"Pedang
itu memang hebat, akan tetapi cobalah kita adu dengan pusaka ini." Dia
lalu mengacungkan Liong-Siauw-kiam itu dan memegang dengan dua tangannya.
"Babatlah dan pergunakan tenagamu. Aku sendiri ingin menguji keampuhan
pusaka ini!"
Sim Houw
lalu bangkit berdiri, mengerahkan tenaga serta mengayun pedangnya. Sinar biru
berkelebat bagai kilat dan pedang itu membacok Suling Naga itu dengan kuatnya
karena didasari tenaga sinkang.
"Cringggg...!"
Bunga api
berpijar keras. Sim Houw merasa betapa pedangnya bertemu dengan benda seperti
baja kerasnya sehingga pedangnya membalik. Akan tetapi karena tenaganya sangat
besar dan kakek itu sudah lemah, hampir saja pusaka itu terlepas dari kedua
tangannya. Sim Houw memandang dan ternyata benda itu sama sekali tidak rusak,
lecet pun tidak! Tentu saja dia menjadi kagum bukan main. Jangankan hanya kayu,
biar baja sekali pun, jika bukan baja terbaik, tentu akan patah terbabat
Koai-liong Po-kiam. Akan tetapi suling atau pedang kayu hitam itu sama sekali
tidak rusak.
"Heh-heh-heh...!"
Pek-bin Lo-sian terkekeh dan mengulurkan tangannya. "Nih, terimalah
Liong-siauw-kiam, mulai saat ini menjadi milikmu, Sim Houw."
Sim Houw
menerima benda itu. "Terima kasih, locianpwe..."
Ketika
menerima pedang dia menyentuh jari-jari tangan kakek itu. Dia menjadi terkejut bukan
main karena jari-jari tangan itu terasa amat panas seperti api! "Ah,
kau... kenapa locianpwe?"
Kakek itu
tidak menjawab dan kembali muntah-muntah darah. Wajahnya pucat bukan main dan
ketika Sim Houw hendak menolongnya, dia menolak dengan tangannya. "Tak
perlu ditolong lagi. Kau pergilah, bawalah pusaka yang menjadi milikmu itu,
pertahankan dengan nyawamu, dan berhati-hatilah. Ada tiga orang murid
keponakanku yang amat lihai mengincar pusaka itu... kau... kau harus dapat
melawan mereka..."
"Siapakah
mereka, locianpwe?"
"Sam-kwi...
mereka... ahh, sudahlah, cepat pergilah dan tinggalkan aku sendiri."
Pek-bin Lo-sian menggerakkan tangannya mengusir Sim Houw.
Terpaksa
pemuda itu menjura dan mengucapkan terima kasih sekali lagi, baru dia pergi
dengan berlari cepat sekali turun dari bukit itu sambil membawa
Liong-siauw-kiam. Dia adalah seorang pemuda yang berhati-hati sekali karena
telah lama merantau di dunia kang-ouw, di mana terdapat banyak sekali kaum
sesat yang licik dan curang. Dia dapat menduga bahwa melihat sikap dan
perbuatannya, Pek-bin Lo-sian tentulah seorang datuk sesat pula yang
mengasingkan diri, maka tadi pun dia tidak sampai kena diserang secara
menggelap karena dia sudah siap siaga.
Kini pun dia
belum mau menelan begitu saja semua keterangan kakek itu dan dia masih memegang
pusaka itu dengan hati-hati. Dia sudah mempergunakan kepandaiannya untuk
meneliti apakah benda itu dilumuri racun dan setelah mendapat kenyataan bahwa
benda itu bersih dari racun, dia tetap masih memegangnya dengan hati-hati,
khawatir kalau-kalau di situ tersembunyi senjata rahasia yang akan membahayakan
dirinya.
Setelah
menuruni bukit itu, barulah Sim Houw memeriksa pusaka yang barusan saja
diterimanya dari Pek-bin Lo-sian. Dia memeriksa dengan teliti dan merasa kagum sekali.
Benda itu benar-benar terbuat dari pada kayu, akan tatapi kayu hitam itu luar
biasa keras dan kuatnya, tidak kalah dengan baja asli! Dan ukirannya demikian
indah dan halus.
Pada waktu
dia memegang bagian kepala yang menjadi gagang dan mencoba untuk memainkannya,
dia terkejut sendiri dan juga girang. Benda itu enak benar dimainkan sebagai
pedang, dengan bobot yang tepat. Dan saat dia mencoba satu dua jurus, benda itu
mengeluarkan suara merdu, tidak kalah dengan suling emasnya! Lalu dia mencoba
untuk meniupnya, ternyata benda itu merupakan sebuah suling yang suaranya amat
merdu!
Dengan hati
girang luar biasa Sim Houw lalu kembali ke Lembah Naga Siluman. Setelah dia
menyeberang dan bertemu dengan Cu Kang Bu dan isterinya, dia menceritakan
pengalamannya dan memperlihatkan pusaka itu. Suami isteri itu kagum bukan main
dan juga merasa amat gembira.
"Ahhh,
engkau sungguh beruntung, Sim Houw," kata Cu Kang Bu dengan kagum sambil
mengembalikan pusaka itu. "Ternyata kakek aneh itu tidak membohongimu dan
engkau telah mendapatkan sebuah pusaka yang amat hebat."
"Dengan
demikian engkau memiliki tiga buah pusaka ampuh, Sim Houw," kata Yu Hwi
dengan suara yang jelas mengandung iri. "Sebuah suling emas, sebuah pedang
pusaka Koai-liong Po-kiam dan sekarang pusaka Liong-siauw-kiam!"
Cu Kang Bu
dapat mendengar suara mengandung iri dari isterinya, maka dia cepat berkata
dengan suara lantang. "Tentu saja dan memang dia berhak memiliki semua
itu. Suling emasnya adalah tanda bahwa dia murid Pendekar Suling Emas Kam Hong,
pedang Koai-liong Po-kiam adalah warisan ayahnya, sedangkan Pedang Suling Naga
ini adalah pemberian Pek-bin Lo-sian setelah Sim Houw berhasil menundukkannya.
Jadi memang semua itu adalah haknya!"
Tetapi,
sebelum menghadap suami isteri itu, dalam perjalanannya meninggalkan kakek itu,
dan setelah mencoba Liong-siauw-kiam dan tahu benar bahwa pusaka itu memang
ampuh, Sim Houw sudah mengambil satu keputusan.
"Cek-kong
berdua, Liong-siauw-kiam ini bisa digunakan sebagai suling dan juga sebagai
pedang. Dengan sendirinya, pusaka ini seperti pengganti suling emas dan
Koai-liong Po-kiam menjadi satu. Bahkan penggabungan kedua ilmu akan dapat
lebih mantap jika dimainkan dengan pusaka ini, hanya tinggal melatih saja.
Karena itu Koai-liong Po-kiam beserta suling emas akan saya tinggalkan di sini,
dan saya serahkan kepada cek-kong sekeluarga."
"Ah,
apa maksudmu dengan keputusan ini?" Cu Kang Bu yang berwatak keras dan
jujur itu bertanya dengan suara lantang dan sinar matanya menatap wajah Sim
Houw penuh selidik.
"Cek-kong
Cu Kang Bu, harap jangan salah mengerti. Saya sudah mendengar bahwa lembah ini
dahulunya bernama Lembah Suling Emas, dan bahwa pusaka suling emas yang
terkenal itu berasal dari tempat ini. Juga sekarang lembah ini diganti dengan
nama Lembah Naga Siluman, dan pedang pusaka Naga Siluman juga berasal dari
tempat ini. Meski suling emas di tangan saya bukan suling emas yang asli,
melainkan hanya tiruan saja, akan tetapi biarlah saya serahkan kepada keluarga
Cu berikut pedang pusaka Naga Siluman. Dengan demikian terhapuslah sudah semua
rasa penasaran dan kedua pusaka itu kembali ke tempat asalnya."
"Akan
tetapi...," Cu Kang Bu hendak membantah.
"Aihhh,
mengapa engkau malah hendak menolak niat baik dari Sim Houw? Niatnya itu
membuktikan bahwa dia adalah seorang gagah sejati, yang tahu akan jalannya
sejarah dan mengenal pula sumbernya."
"Keluarga
Cu adalah keluarga yang tadinya berhak atas kedua pusaka itu. Dan keluarga Cu
masih belum habis, masih ada engkau dan sekarang ada pula Cu Kun Tek, putera
kita. Apakah tidak pantas kalau puteramu kelak mewarisi pusaka-pusaka lembah
yang turun-temurun dihuni oleh keluarga Cu ini?" kata Yu Hwi dengan penuh
semangat.
Cu Kang Bu
masih mengerutkan alisnya yang tebal. "Sim Houw, apakah tidak ada
maksud-maksud tersembunyi di balik niatmu ini? Apakah engkau tidak akan
menyesal kelak? Ingat, yang menguasai ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong
Kiam-sut adalah engkau seorang, jadi kedua pusaka itu memang sudah menjadi
hakmu."
Sim Houw
mencabut keluar suling emas dari pinggangnya, kemudian meloloskan sabuk pedang
Koai-liong Po-kiam dari punggungnya, lalu menyerahkan dua pusaka itu kepada Cu
Kang Bu dengan sikap hormat dan wajah penuh keramahan.
"Saya
menyerahkannya dengan hati ikhlas dan rela, cek kong. Biarlah kedua pusaka ini,
walau pun suling emasnya hanyalah tiruan, menjadi pusaka-pusaka keturunan
keluarga Cu."
"Wah,
aku senang sekali kalau punya dua senjata itu!" Tiba-tiba si kecil Kun Tek
berseru girang. "Kelak aku ingin bisa menjadi seperti Sim Houw!"
"Hemm,
enak saja kau bicara!" ayahnya menegur, "Tanpa mempunyai ilmu-ilmu
sakti Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut, mana bisa seperti Sim Houw?”
"Jangan
khawatir, Kun Tek." Ibunya menghibur. "Ayahmu dapat mengajar ilmu
dengan suling emas, dan aku akan mengajarkan ilmu pedang padamu."
Nyonya ini
bukan hanya membual. Ia adalah seorang ahli pedang, bahkan ia memiliki
Ilmu-ilmu Kiam-to Sin-ciang, yaitu ilmu yang membuat lengannya dapat digerakkan
dengan ampuh seperti berubah menjadi pedang dan golok. Di samping ini, juga ia
ahli ilmu Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru) dan ilmu ini dapat pula
dimainkan dengan pedang menjadi Ilmu Pedang Delapan Penjuru Angin.
Karena
melihat kesungguhan hati dan kerelaan Sim Houw, dan juga mengingat bahwa memang
bukan keliru alasan Sim Houw yang mengatakan bahwa kedua pusaka itu berasal
dari lembah mereka, akhirnya Cu Kang Bu menerima juga penyerahan dua pusaka itu
dengan hati girang.
"Aku
akan menyimpan benda-benda ini sebagai pusaka-pusaka Lembah Naga Siluman dan
mudah-mudahan kami akan mampu menjaganya," katanya dengan hati lega.
"Dan banyak terima kasih kepadamu, Sim Houw. Engkaulah yang telah
menyatukan kembali keretakan yang pernah terjadi pada mendiang ayah dan
ibumu."
Setelah
tinggal di lembah itu selama tiga hari, Sim Houw lalu berpamit dan diantar oleh
keluarga Cu ayah ibu dan anak itu sampai ke tepi jembatan tambang. Sim Houw
lalu meninggalkan lembah itu dan mulai dengan perantauannya.
Selama tiga
tahun ini, banyak sudah yang dia lakukan demi menegakkan kebenaran dan keadilan
sebagai seorang pendekar. Karena dia tidak pernah meninggalkan nama, atau
jarang sekali memperkenalkan diri, akhirnya yang lebih dikenal di dunia
kang-ouw hanyalah senjata barunya itu dan mulailah dia dijuluki orang Pendekar
SULING NAGA.
Demikianlah
peristiwa tiga tahun yang lalu itu, semua terbayang dalam benaknya ketika Sim
Houw beristirahat ditepi Sungai Wu-kiang, duduk di atas rumput hijau tebal yang
bersih itu. Alam di sekelilingnya amat indahnya, dan setelah Sim Houw
menghentikan lamunannya, dia mulai masuk ke dalam keheningan yang penuh dan
maha luas itu.
Pagi yang
indah cerah, sinar matahari kuning emas yang menerobos celah-celah daun dan
dahan nampak seperti garis-garis lurus yang amat indah. Sebagian sinar matahari
sempat menimpa permukaan air sungai yang membentuk jalan lurus panjang berwarna
kuning kemerahan.
Dia merasa
betapa kulit pinggul dan belakang pahanya dingin, oleh karena embun yang
tadinya menghias ujung rumput yang didudukinya meresap melalui celana, kemudian
membasahi kulit pahanya. Semilir angin pagi yang membuat rambut kepalanya
berkibar lembut mendatangkan rasa nyaman seperti membelai-belai leher dan
dagunya.
Dengan
kesadaran penuh akan keadaan sekeliling dirinya, Sim Houw melihat keindahan
yang tiada taranya. Sukar untuk dapat diceritakan karena kata-kata amatlah
terbatas.
Kata-kata
hanya dapat menceritakan hal-hal yang telah lalu saja, tidak mungkin dapat
menggambarkan keadaan saat ini. Keindahan dalam keheningan itu hanya dapat
dirasakan oleh yang mengalaminya pada saat itu juga. Cerita yang dituturkan
kemudian sama sekali berbeda dengan kenyataan pada saat itu.
Kenyataan
yang demikian indahnya, yang menimbulkan rasa bahagia dan keharuan yang
mendalam sehingga tanpa terasa lagi ada air mata membasahi kedua mata Sim Houw.
Bukan air mata kesenangan atau air mata kesedihan, melainkan air mata yang
muncul ketika batinnya yang paling dalam tersentuh oleh sesuatu yang halus,
yang mendekatkan batinnya pada hidup yang sejati, bukan kehidupan di dunia fana
yang penuh dengan permainan emosi ciptaan sang aku.
Sang aku
tidak ada pada saat seperti itu, dirinya telah lebur menjadi satu dengan segala
sesuatu, dengan alam, dengan keheningan. Berkericiknya air sungai, berkicaunya
burung-burung di dalam pohon, semua itu termasuk di dalam keheningan yang maha
luas itu. Hening, tapi bukan kesepian. Keheningan yang nyaman karena tidak
adanya pikiran, tidak adanya sang aku, namun bukan pula tidur lelap, bukan pula
termenung atau tenggelam ke dalam sesuatu. Sadar sesadar-sadarnya, segalanya
terbuka, wajar, tanpa pamrih.
Seperti
otomatis, Sim Houw mengeluarkan suling naga dari balik jubahnya. Benda ini
selalu berada pada dirinya, tersembunyi aman tak nampak dari luar diselipkan di
ikat pinggang, tertutup baju. Keharuan selalu timbul dalam keadaan seperti itu,
dan selalu mendorongnya untuk meniup suling! Getaran batin dapat disatukan
melalui suara suling yang ditiup.
Segera
melayang suara merdu dari suling itu ketika Sim Houw mulai meniup sulingnya.
Pemuda ini memang telah menguasai ilmu-ilmu dari Kam Hong yang pernah menjadi
gurunya dan juga bekas calon ayah mertuanya. Bukan hanya pelajaran ilmu
kesaktian Kim-siauw Kiam-sut saja yang dipelajarinya, melainkan juga ilmu
meniup suling, baik meniup dengan mulut biasa untuk menciptakan lagu mau pun
tiupan dengan bantuan pengerahan khikang untuk menyerang lawan yang tangguh.
Suara suling
itu mengalun dan kadang-kadang melengking tinggi sekali sampai tidak tertangkap
telinga manusia biasa, kemudian merendah dan menggereng sampai lenyap dari
pendengaran pula. Merdu dan sesuai sekali dengan suara-suara yang ada, dengan
gemersik daun-daun yang terhembus angin pagi, dengan gemerciknya air di tepi
sungai, dengan kicau burung, dengan detak jantungnya sendiri. Getaran hatinya
hanyut dalam aliran suara suling yang merdu.
Demikian
asyiknya Sim Houw meniup suling sehingga seluruh keadaan dirinya lahir dan
batin bagaikan masuk ke dalam suara itu. Dia seperti melayang-layang bersama
suara sulingnya.
"Heiiii...!
Bising sekali suara sulingmu!" Mendadak terdengar suara orang menegurnya,
suaranya berteriak melengking tak kalah nyaringnya menyaingi suara suling.
Sim Houw
melihat meluncurnya sebuah perahu di atas air sungai dan di atas perahu itu
terdapat seorang wanita muda yang memegang tangkai pancing. Gadis itulah yang
berteriak menegurnya. Akan tetapi Sim Houw bersikap tenang, melanjutkan tiupan
sulingnya sampai lagunya habis barulah dia menghentikan tiupan sulingnya.
Kini perahu
kecil itu sudah berada di tepi sungai di depannya dan seorang gadis yang duduk
di dalam perahu sambil memegang tangkai pancing itu memandang kepadanya dengan
mata melotot. Kemudian gadis itu menuding ke arah Sim Houw dengan tangkai
pancingnya sambil berseru marah, "Kebisingan sulingmu itu menggangguku!
Kalau mau menyuling jangan di sini, mengganggu aku yang sedang berlatih!"
Sim Houw
memandang gadis itu penuh perhatian. Seorang gadis yang menarik sekali,
wajahnya manis sekali, kecantikan yang asli karena gadis itu tidak merias
mukanya. Sikapnya gagah dan rambutnya diikat ke atas dengan pita dan ujungnya
digelung secara sederhana. Pakaiannya yang ringkas membayangkan bentuk tubuhnya
yang penuh dan padat, di punggungnya tergantung sebatang pedang dengan ronce
merah muda.
Melihat
keadaan gadis ini, Sim Houw sudah dapat menduga bahwa nona di atas perahu itu
adalah seorang gadis ahli silat. Apa lagi ketika gadis itu menuding dengan
tangkai pancing dan ketika mengangat tangkai itu, ujungnya hanya terdapat
sehelai tali tanpa pancing, dia pun dapat menduga bahwa tadi gadis itu
sebenarnya bukan memancing, melainkan melakukan semacam latihan dengan bantuan
tangkai pancing itu. Dan dia pun kagum ketika dia menduga bahwa tentu gadis itu
sedang berlatih semedhi dengan bantuan tangkai pancing.
Banyak macam
orang bersemedhi dengan maksud mengumpulkan konsentrasi pada suatu hal saja.
Ada orang mengggunakan bantuan api lilin yang dipandangnya terus, atau sebuah
gambar lingkaran dengan titik di tengah, atau gambar pat-kwa, ada pula yang
menggunakan patung dan sebagainya. Semua itu hanya dipergunakan sebagai alat
untuk menujukan seluruh perhatian.
Gadis ini
agaknya menggunakan tangkai pancing dengan tali yang tak ada pancingnya, tetapi
ujungnya diikatkan pada sepotong batu. Dan gadis itu tentu berlatih konsentrasi
sambil mencurahkan seluruh perhatiannya pada tangkai pancing yang dipegangnya dan
air di mana nampak tali pancing ini tenggelam. Sebuah cara melatih perhatian
yang amat aneh akan tetapi juga istimewa.
Teringatlah
Sim Houw akan sebuah dongeng tentang Sang Bijaksana Kiang Cu Ge di dalam
dongeng Hong-sin-pong, ketika Kiang Cu Ge memancing seperti yang dilakukan oleh
gadis itu, dengan sebatang tangkai, sehelai benang dan di ujung benang terdapat
pancing yang lurus tanpa umpan! Tentu saja cara ini tak akan mendapatkan ikan!
Cara memancing Kiang Cu Ge itu hanya kiasan saja, karena yang dipancing
bukanlah ikan melainkan penguasa-penguasa atau pemimpin-pemimpin rakyat yang
bijaksana. Dan tentu saja juga dipergunakan untuk melatih konsentrasi karena
pencurahan perhatian amat penting dalam ilmu silat.
"Eihh,
nona, kenapa di ujung tali itu tidak ada mata pancingnya?" Dia pura-pura
tidak mengerti dan bertanya heran.
Gadis itu
juga tadi memandang ke arah Sim Houw dengan penuh perhatian. Tadinya ia
menyangka bahwa pria yang dapat meniup suling dengan suara menggetar-getar itu
tentu bukan orang sembarangan. Akan tetapi hatinya kecewa melihat betapa pria
itu nampak sederhana saja, tidak memperlihatkan sifat-sifat gagah seorang
pendekar dan agaknya hanya seorang dusun yang pandai meniup suling saja.
Juga dari
atas perahunya ia tidak melihat sesuatu yang aneh pada suling yang kelihatan
hitam itu, hanya sebatang suling yang bentuknya agak aneh, batangnya
berlekak-lekuk seperti tubuh ular. Dan pertanyaan pemuda itu pun menunjukkan
bahwa pemuda itu adalah seorang biasa saja yang tidak tahu apa-apa tentang
pancingnya.
"Hemm,
kuberitahu juga engkau tidak akan mengerti. Sudahlah, engkau jangan meniup
suling itu lagi."
"Kenapa,
nona?"
"Suaranya
tidak sedap didengar dan menggangguku! Mengerti? Tidak usah bertanya lagi,
sebaiknya kau pergi saja dari sini dan jangan meniup sulingmu karena kalau kau
lakukan lagi, aku akan mematahkan sulingmu itu dan membuangnya ke tengah
sungai!"
Setelah
berkata demikian, gadis manis itu menggunakan sebuah dayung dengan tangan
kanannya, sedangkan tangan kiri tetap memegang tangkai pancing, dan
menggerakkan dayung itu. Hanya dengan sebelah tangan saja ia mendayung, akan
tetapi hebatnya, perahu itu meluncur menentang arus dan laju bukan main.
Sim Houw
tersenyum seorang diri. Seorang gadis yang cantik manis, gagah perkasa dan
agaknya memiliki kepandaian yang lumayan. Seorang gadis yang agaknya suka pula
akan keheningan dan berada di tempat sunyi dan liar itu seorang diri saja!
Sinar mata gadis itu demikian tajamnya dan suaranya demikian merdu! Sim Houw
tersenyum dalam renungannya sendiri.
Akan tetapi
dia terkejut ketika melihat berkelebatnya lima orang kakek di tepi sungai dan
lima orang itu agaknya mengejar ke arah perginya perahu gadis itu tadi. Entah
apa sebabnya dia menduga bahwa lima orang itu membayangi gadis di dalam perahu.
Akan tetapi hatinya merasa tidak enak dan ia pun cepat bangkit dan berdiri
membayangi lima orang kakek itu.
Perahu gadis
itu meluncur dengan amat cepatnya, dan lima orang kakek itu pun berlari dengan
menggunakan ilmu berlari cepat sehingga Sim Houw menjadi semakin curiga. Akan
tetapi, karena tidak mengenal lima orang itu, juga tidak mengenal siapa adanya
gadis itu, dia pun hanya membayangi dari jauh saja.
Kecurigaan
dan kekhawatiran hati yang mendorong Sim Houw untuk membayangi lima orang kakek
itu memang tak sia-sia. Dia melihat betapa gadis itu mendayung perahunya menepi
di seberang sini. Secara lincah sekali ia meloncat ke darat, menyeret perahunya
dan mengikatkan tali perahu pada sabatang pohon. Tepian itu merupakan kaki
sebuah bukit kecil dan nun di atas puncak bukit itu nampak sebuah pondok yang
terpencil, dikelilingi ladang sayuran dan di sebelah kanan pondok itu tumbuh
pohon-pohon buah dengan suburnya.
Dan begitu
gadis itu selesai mengikatkan perahunya, tiba-tiba saja lima orang kakek itu
berloncatan keluar dari balik semak-semak dan mengepung si gadis yang memandang
dengan tajam akan tetapi sikapnya tenang, bahkan senyumnya mengejek. Sim Houw
segera mendekam di balik semak belukar untuk nenonton pertemuan antara lima
orang kakek dan gadis itu dengan hati tegang. Nampak jelas olehnya betapa sikap
lima orang kakek itu membayangkan niat yang tidak baik terhadap si gadis.
Melihat
sikap lima orang kakek itu, si gadis segera mengerutkan alisnya. Lima orang itu
membentuk setengah lingkaran menghadapinya, seolah-olah mengurung. Sikap mereka
tidak bersahabat, bahkan alis mereka berkerut dan sinar mata mereka mengandung
kemarahan dan ancaman.
"Kalian
lima orang tua ini siapakah dan mengapa menghadang perjalananku?"
Seorang di
antara lima kakek itu, yang berjenggot panjang berwarna putih dan agaknya
menjadi orang paling tua di antara mereka, memandang tajam. Tangan kiri
mengelus jenggot, tangan kanan kini menunjuk ke arah nona itu dan bertanya,
suaranya halus namun tegas dan mengandung kemarahan.
"Apakah
nona yang bernama Souw Hui Lan?"
"Benar
sekali, dan siapa kalian?" Gadis yang bernama Souw Hui Lan itu menjawab,
sikapnya masih angkuh dan seperti orang memandang rendah, membuat kelima orang
kakek itu saling pandang dan mereka menjadi semakin marah.
"Engkau
murid dari Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda Beng-san)?" bertanya pula
kakek berjenggot.
Kini Hui Lan
mengangkat muka dan membusungkan dadanya yang sudah busung itu. "Kalau
sudah tahu kenapa kalian berani menghadang perjalananku? Kalian siapa?"
"Kami
adalah Bu-tong Ngo-lo (Lima Kakek Bu-tong-pai)."
Mendengar
sebutan Beng-san Siang-eng tadi Sim Houw tidak pernah mendengarnya, tetapi
mendengar sebutan Bu-tong Ngo-lo, dia terkejut. Lima orang kakek Bu-tong-pai
itu pernah terkenal sekali. Mereka adalah tokoh-tokoh Bu-tong-pai yang selain
memiliki ilmu silat yang tinggi juga terkenal sebagai pemberantas
penjahat-penjahat, bahkan mereka berlima pernah mengobrak-abrik perkumpulan
Hui-to-pang (Perkumpulan Golok Terbang) yang berkedok sebagai perkumpulan para
patriot akan tetapi sesungguhnya adalah perkumpulan orang-orang jahat yang amat
kejam.
Karena
perbuatannya membongkar keburukan Hui-to-pang dan membasminya, maka nama
Bu-tong Ngo-lo ini dipuji dan dikagumi orang-orang di dunia persilatan,
terutama di kalangan para pendekar. Sim Houw sudah banyak mendengar nama lima
kakek itu, akan tetapi baru sekarang melihat orang-orangnya dan dia pun menjadi
semakin ragu-ragu melihat betapa lima orang kakek ini agaknya memusuhi gadis
yang bernama begitu indah dan yang katanya murid Sepasang Garuda dari Beng-San.
Sementara
itu, mendengar disebutnya nama lima orang kakek itu, si gadis tidak menjadi
kaget, bahkan tersenyum mengejek.
"Hemmm,
tidak peduli lima kakek dari Bu-tong atau dari Neraka, tanpa ijin kami, tidak
boleh sembarangan melanggar wilayah kami. Bu-tong-san amat jauh dari sini dan
kami tidak pernah ada urusan dengan Bu-tong-pai, kenapa kalian ini lima kakek
Bu-tong-pai hari ini menghadang perjalanan orang dan melanggar daerah kami
tanpa ijin?"
Sim Houw
tercengang. Gadis ini masih muda, paling banyak dua puluh tahun usianya dan
melihat sikapnya tentulah seorang yang memiliki ilmu kepandaian, tetapi mengapa
sikapnya demikian tekebur dan angkuh? Bahkan nama Bu-tong Ngo-lo yang dihormati
dan dikagumi para pendekar juga tidak dipandangnya sama sekali.
Mendengar
teguran itu, kelima orang itu nampak jengah, akan tetapi kakek berjenggot putih
panjang segera menudingkan telunjuknya kepada Hui Lan. "Memang kami sudah
melanggar daerah orang tanpa ijin dan hal ini merupakan suatu kesalahan, akan
tetapi semua ini gara-gara engkau, nona jahat. Engkau mengatakan tidak pernah
berurusan dengan Bu-tong-pai, akan tetapi tiga bulan yang lalu engkau telah
membunuh seorang murid Bu-tong-pai bernama Ji Kang, dan gurumu membunuh seorang
tokoh perguruan kami bernama Kui Siok Cu."
Gadis itu
mengerutkan alisnya, mengingat-ingat, kemudian mengangguk-angguk. "Kami
memang pernah bertanding dengan dua orang itu, akan tetapi sama sekali tidak
ada urusannya dengan Bu-tong-pai. Mereka datang sebagai pelamar yang gagal,
sama sekali tidak mewakili Bu-tongpai dan tidak ada urusan dengan perkumpulan
itu. Juga kami tidak membunuh siapa-siapa. Jika mereka kalah, menderita
luka-luka dan mungkin kemudian tewas, apakah hal itu lalu menjadi alasan kalian
untuk menyalahkan kami? Bagaimana kalau dalam pertandingan waktu itu kami yang
kalah, luka-luka lalu mati? Apakah kalian juga akan menyalahkan mereka? Hayo
jawab!"
Sim Houw
tidak tahu apa urusan yang telah timbul di antara mereka, tetapi jawaban gadis
itu membuatnya menduga-duga bahwa tentu pernah terjadi masalah pribadi di
antara murid dan tokoh Bu-tong-pai yang mengakibatkan perkelahian di antara
mereka dengan akibat terluka dan tewasnya orang-orang Bu-tong-pai. Dan agaknya
kini Bu-tong Ngo-lo datang untuk membalas dendam.
Lima orang kakek
itu kembali saling lirik. Jawaban gadis itu agaknya membuat mereka sejenak
bingung dan tidak mampu menjawab walau pun tidak mengurangi kemarahan mereka.
Akan tetapi akhirnya si jenggot panjang berkata, suaranya tegas sekali.
"Oho, kiranya selain pandai membunuh, engkau pandai pula berdebat! Kami
selamanya tidak akan membela yang salah, melainkan selalu menentang yang jahat
dan sewenang-wenang. Kami datang bukan hanya untuk menegur, akan tetapi kalau
perlu membasmi gadis pembunuh yang berhati kejam, yang telah menewaskan banyak
pemuda gagah perkasa dengan kecantikanmu dan dengan pedangmu!"
Gadis itu
menjadi marah sekali. "Ngaco! Enak saja kalian bicara! Kalian kira aku
takut kepada nama Bu-tong Ngo-lo? Kalian datang mau membasmi aku? Hemm,
majulah, hendak kulihat sampai di mana kehebatan kalian, apa sepadan dengan
kesombongan kalian!" Hui Lan berkata dengan marah sekali, mukanya merah,
alisnya terangkat dan matanya mengeluarkan sinar berapi. Memang, siapakah
orangnya yang dapat melihat keangkuhan diri sendiri seperti mudahnya melihat
kesombongan orang lain?
Dalam
perselisihan ini, Sim Houw yang nonton tanpa berpihak itu memperoleh pelajaran
yang sangat mengesankan hatinya. Kakek yang lima orang itu, yang namanya sudah
terkenal sebagai tokoh-tokoh tua penentang kejahatan, telah menuduh gadis itu
sebagai pembunuh kejam dan mereka datang untuk membunuh gadis itu! Sebaliknya,
si gadis menuduh mereka sombong dengan sikap angkuh pula.
Agaknya
sukar mencari orang di dunia ini yang mau membuka mata untuk mengenal diri
sendiri, sikap dan isi hati dan pikiran sendiri karena mata itu selalu sibuk
untuk meneliti orang lain! Meneliti orang lain hanya akan menimbulkan suka atau
benci, sedangkan meneliti diri sendiri akan menimbulkan kesadaran.
"Siancai...!
Gadis ini adalah setan yang patut dibasmi!" bentak seorang di antara lima
orang kakek itu dan orang ini bertubuh tinggi besar dengan muka hitam. Setelah
berkata demikian, dia langsung menerjang dan mengirim pukulan dengan tangan
kanan yang dimiringkan ke arah kepala Hui Lan.
"Wuuuutt...!"
Angin
pukulan yang amat kuat menyambar. Pukulan itu bukan main-main, melainkan
pukulan membacok dengan tangan miring yang dilakukan dengan tenaga sinkang amat
kuatnya.
Diam-diam
Sim Houw terkejut juga dan merasa khawatir terhadap gadis yang masih muda itu.
Dia mengira bahwa gadis itu tentu akan mengelak, karena dari gerak-geriknya dia
dapat menduga bahwa gadis itu tentu memiliki gerakan yang gesit sekali. Akan
tetapi, heranlah dia ketika melihat betapa gadis itu menggerakkan kedua
tangannya, yang kiri menangkis dan yang kanan membalas dengan totokan ke arah
pangkal leher.
"Dukkk...!"
Pukulan
tangan kakek itu kena ditangkis dan agaknya gadis itu pun sama sekali tidak
terguncang. Tangkisannya mantap dan kuat sehingga dua lengan yang bertemu itu
saling terpental, akan tetapi jari tangan kanan gadis itu meluncur ke arah
leher dengan kecepatan kilat.
"Ihhhh...!"
Kini kakek
bermuka hitam itu yang terkejut dan cepat dia melempar tubuh ke belakang lalu
berjungkir balik. Hanya dengan cara beginilah dia dapat menghindarkan totokan
pada pangkal lehernya tadi yang amat berbahaya dan merupakan serangan maut. Dia
terhindar dari mala petaka, akan tetapi segebrakan ini saja sudah menunjukkan
betapa dia terdesak.
"Wuuuttt...!"
Angin
pukulan menerjang Hui Lan dari kanan dan kakek ke dua sudah menyerang Hui Lan
dengan cengkeraman ke arah lambung dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanan
kakek itu juga sudah mencengkeram ke arah kepala. Serangan berganda yang
dilakukan dengan kedua tangan membentuk cakar harimau, amat berbahaya karena
jari-jari tangan itu sudah terlatih, kini penuh dengan tenaga sinkang dan dapat
mencakar hancur batu karang sekali pun!
Namun, Hui
Lan tidak menjadi gentar atau gugup menghadapi serangan berbahaya itu. Sekali
ini ia tidak menangkis, akan tetapi tubuhnya meliuk dengan lemas dan cepatnya,
tubuh bawah ke kiri dan tubuh atas ke kanan, tubuhnya melipat dengan amat
lemasnya sehingga dua serangan itu pun luput. Akan tetapi seperti juga tadi,
Hui Lan membarengi gerakan mendadak itu dengan gerakan menyerang pula, yaitu
dengan kedua tangannya yang kanan menusuk ke arah mata, yang kiri menotok ke
arah jalan darah di ulu hati!
Kakek kedua
itu terkejut dan terpaksa harus meloncat beberapa langkah ke belakang karena
sama sekali dia tidak menduga bahwa orang yang menyerangnya itu berbalik
menyerang pada saat yang sama atau hanya satu dua detik berikutnya!
Dan kini Sim
Houw memandang kagum. Gadis ini benar-benar hebat, pikirnya, memiliki tingkat
kepandaian yang sama sekali tak pernah diduganya. Yang amat mengagumkan adalah
cara gadis itu berkelahi. Menangkis atau mengelak sambil sekaligus menyerang,
bahkan membalas kontan serangan lawan. Hal ini merupakan cara berkelahi yang
membutuhkan pencurahan perhatian, membutuhkan ginkang yang amat cepat dan juga
membutuhkan kesempurnaan gerakan.
Serangan
yang dilakukan sambil menangkis atau mengelak itu memang berbahaya sekali.
Orang yang menyerang tentu daya tahannya menjadi agak lemah, oleh karena
pencurahan perhatiannya ditujukan pada serangannya sehingga kalau tiba-tiba
lawan yang diserang membarengi dengan serangan, tentu saja dia terkejut dan
kedudukannya menjadi lemah.
Akan tetapi
kini kakek ketiga sudah menerjang lagi sebagai lanjutan serangan kakek kedua.
Ketika Hui Lan juga berhasil mengelak dan balas menyerang yang membuat kakek
ini terdesak, kakek ke empat lalu menyerang, disusul kakek kelima. Kiranya lima
orang kakek itu biar pun tidak mengeroyok secara berbareng telah maju semua
secara beruntun!
Dan melihat
betapa gadis itu terlampau kuat kalau dilawan satu demi satu, akhirnya mereka
mengurung dan mengeroyok Hui Lan dengan serangan-serangan mereka yang penuh!
Agaknya lima orang kakek itu sudah tidak lagi melihat kenyataan bahwa mereka
adalah tokoh-tokoh tua Bu-tong-pai dan yang mereka hadapi hanyalah seorang
gadis berusia dua puluh tahun.
Dalam
keadaan biasa, andai kata mereka melakukan pibu (pertandingan silat) tentu
mereka tak akan mau melakukan pengeroyokan, karena hal itu akan memalukan
sekali. Akan tetapi kini mereka datang dengan niat membasmi gadis yang mereka
anggap jahat dan berbahaya, maka mereka tidak lagi memakai banyak pertimbangan
atau aturan lagi. Mereka datang untuk membunuh dan mengenyahkan kejahatan dari
muka bumi, bukan untuk mengadu ilmu dan gadis itu ternyata memang lihai bukan
main sehingga perlu dikeroyok oleh mereka berlima.
"Hemm,
tidak mudah mengambil nyawaku, tua bangka tua bangka tak tahu malu!" Hui
Lan membentak. Nampaklah sinar terang berkilauan ketika ia telah mencabut
pedang dari punggungnya.
"Singgg…!
Singgg...!"
Sinar
pedangnya menyambar-nyambar, membuyarkan pengepungan lima orang kakek itu.
"Siancai...!
Inilah pedang yang sudah membunuh banyak orang itu. Terpaksa kami akan
menggunakan senjata pula!" Kata kakek yang berjenggot panjang.
Lima orang
kakek itu serentak meraba ke bawah jubah mereka dan nampaklah senjata
berkilauan di tangan. Tiga orang di antara mereka memegang pedang dan yang dua
orang lagi masing-masing memegang sebuah rantai baja yang panjangnya ada enam
kaki. Rantai itu tadinya menjadi ikat pinggang, sedangkan pedang para tosu
Bu-tong-pai itu tadi tersembunyi di balik jubah mereka.
Lima orang
kakek itu adalah pendeta-pendeta tosu dari Bu-tong-pai. Walau pun mereka bukan
para pimpinan Bu-tong-pai, namun mereka adalah murid-murid Bu-tong-pai dan di
perkumpulan persilatan yang besar itu mereka termasuk tokoh-tokoh besar.
Hui Lan
tidak mau banyak cakap lagi. Melihat betapa lima orang kakek itu benar-benar
lihai dan kini mereka semua memegang senjata, dia pun lalu mengeluarkan
teriakan nyaring melengking dan tahu-tahu tubuhnya sudah berkelebat ke depan,
didahului sinar pedangnya yang bergulung-gulung.
Kembali Sim
Houw tertegun kagum. Gadis itu benar-benar lihai. Kini setelah memegang pedang,
ternyata gadis itu lebih hebat pula. Ilmu pedangnya aneh dan sangat cepat
gerakannya, lebih lihai dibandingkan ilmu silat tangan kosongnya tadi.
Sim Houw
berusaha untuk mengenali ilmu pedang ini seperti tadi pun dia berusaha mengenal
ilmu silat gadis itu, akan tetapi kembali dia gagal. Dia merasa seperti pernah
melihat corak ilmu silat dengan gaya seperti yang dimainkan gadis itu, namun
dia lupa lagi di mana dia pernah bertemu ilmu silat seperti itu, dan dia sama
sekali tidak mengenalnya.
Sebaliknya,
ilmu silat tangan kosong dan ilmu pedang lima orang kakek itu tidak asing
baginya. Dia sudah mengenal ilmu silat dari Bu-tong-pai, dan karena dia tahu
betapa indah dan lihainya ilmu pedang dari perkumpulan itu, yaitu Bu-tong
Kiam-hoat (Ilmu Pedang Bu-tong-pai), walau pun hatinya merasa semakin tegang,
dia memperhatikan dengan penuh perhatian.
Ilmu pedang
Bu-tong-pai memang hebat, apa lagi dimainkan oleh lima orang ahli yang
tingkatnya sudah tinggi. Perlahan-lahan gadis itu mulai terdesak dan kini ia
hanya dapat memutar pedangnya menjadi gulungan sinar yang melindungi seluruh
tubuhnya saja. Andai kata gadis itu disiram air, atau hujan turun, tentu ia
tidak akan basah karena tubuh itu terlindung oleh benteng sinar pedang!
Hebatnya,
ketika seorang di antara lawannya lengah, yaitu kakek muka hitam, tangan kiri
gadis itu mencuat keluar dari gulungan sinar pedangnya dan tangan yang kecil
dan nampak lunak itu menampar ke arah kepala kakek ini. Si kakek muka hitam
terkejut bukan main karena tidak menyangka gadis yang sudah didesak hebat itu
akan mampu melakukan serangan yang demikian tiba-tiba. Tamparan ke arah
kepalanya itu sangat berbahaya, maka dia cepat mengelak.
"Plakkk!"
Tetap saja
telapak tangan kiri Hui Lan menyentuh pundak si kakek muka hitam dan dia
menggigil seperti orang kedinginan, lalu cepat-cepat berhenti, berdiri dan
menghimpun tenaga dalam untuk melawan hawa dingin menusuk yang timbul ketika
pundaknya kena ditampar tadi.
Melihat ini,
tiba-tiba saja Sim Houw teringat dan hampir dia meloncat ke luar dari balik
semak-semak. Benar! Hanya ada satu cabang persilatan saja di dunia ini yang dapat
memainkan ilmu silat yang sekaligus dapat mengerahkan sinkang keras dan lunak,
panas dan dingin, Yang-kang dan Im-kang dan satu-satunya itu adalah persilatan
dari keluarga Pulau Es!
Dia pernah
melihat pendekar-pendekar keluarga Pulau Es dan kini dia ingat benar bahwa
corak ilmu silat dan ilmu pedang yang dimainkan gadis bernama Souw Hui Lan ini
mengandung sifat-sifat dari ilmu silat keluarga Pulau Es. Dia hampir yakin akan
hal ini walau pun dia sendiri tentu saja tidak mengenal ilmu silat keluarga itu
secara mendalam. Akan tetapi, setiap cabang ilmu silat mempunyai ciri-ciri khas
tertentu dan di antara ciri khas ilmu keluarga para pendekar Pulau Es adalah
penggunaan sinkang yang saling berlawanan itu.
Betapa pun
lihainya Hui Lan dengan pedangnya, karena dikeroyok lima orang tokoh besar
Bu-tong-pai, akhirnya ia kewalahan juga. Si muka hitam tadi sudah pulih kembali
dan kini, sudah maju mengeroyok dengan sikap lebih hati-hati. Gadis itu sama
sekali tidak memperoleh kesempatan untuk membalas lagi dan mulai repot
menghadapi hujan serangan dari lima orang lawannya.
Tentu saja
dengan memutar terus senjata untuk melindungi tubuhnya akan memeras tenaganya
sehingga makin lama ia menjadi makin lelah dan putaran pedangnya makin
berkurang kecepatannya. Akhirnya sebuah sabetan rantai baja menyerempet paha
Hui Lan.
Kain celana
paha kiri itu terobek, nampak kulit paha yang putih itu terhias jalur merah
ketika terkena sabetan rantai baja. Walau pun gadis itu telah dapat melindungi
pahanya dengan sinkang sehingga tidak terluka, namun ia terhuyung dan pada saat
itu, sebatang pedang menyambar dari belakang, membabat ke arah lehernya, dan
sebatang pedang lain menusuk dari kiri ke arah dadanya.
Sim Houw
terkejut sekali. Sejak tadi dia bingung tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak
tahu benar apa yang menyebabkan permusuhan di antara gadis dan lima orang kakek
Bu-tong-pai itu sehingga merasa tidak enak untuk mencampuri perkelahian mereka.
Akan tetapi kini melihat nyawa gadis itu terancam maut, tubuhnya sudah menjadi
tegang dan hampir dia bergerak meloncat untuk mencegah pembunuhan. Akan tetapi
tiba-tiba nampak dua bayangan orang berkelebat. Bagaikan dua ekor burung
raksasa saja dua bayangan itu meluncur dari atas, menyambar ke arah perkelahian
itu.
"Tringg!
Tranggg...!"
Kedua orang
kakek yang sudah menyerang Hui Lan dengan pedangnya terpental ke belakang dan
mereka terkejut sekali. Ketika lima orang kakek itu memandang, ternyata di situ
telah berdiri dua orang laki-laki yang nampak gagah perkasa dan sejenak mereka
tertegun karena melihat bahwa dua orang pria itu mempunyai wajah yang serupa.
Usia mereka antara empat puluh tahun, dengan pakaian ringkas dan sikap gagah.
Mudah diduga
bahwa kedua orang pria ini adalah sepasang orang kembar. Tidak hanya wajah dan
bentuk badan mereka yang serupa, juga pakaian yang mereka pakai, dari
potongannya sampai warna dan corak pakaiannya, semuanya serba sama! Keduanya
menyarungkan kembali pedang yang tadi baru mereka pakai untuk menolong Hui Lan
menangkis dua batang pedang yang mengancam nyawa gadis itu.
Hui Lan agak
terpincang ketika menghampiri dua orang pria itu. Dengan nada suara manja dia
lalu berkata, "Suhu, mereka ini adalah Bu-tong Ngo-lo yang tidak tahu malu
mengeroyokku..."
"Kami
mengerti, mundurlah kau," kata seorang di antara dua pria kembar itu.
Hui Lan
melangkah mundur sambil menyimpan pedangnya dan ia mengusap keringat yang sudah
membasahi dahi dan leher, bahkan pakaiannya juga kusut dan basah oleh keringat.
Perkelahian tadi amat melelahkan tubuhnya dan hantaman pada paha kirinya tadi
juga menyakitkan. Robek pada celananya tidak dipedulikan dan kini dengan penuh
perhatian Hui Lan menonton kedua orang suhu-nya yang berhadapan dengan Bu-tong
Ngo-lo. Kalian akan mampus, demikian agaknya dia berpikir di balik senyumnya
yang mengejek.
Dua orang
pria kembar itu kini melangkah maju dan memandang kepada lima orang kakek itu
dengan sinar mata tajam penuh selidik. Kemudian seorang di antara mereka
bertanya, suaranya tegas dan mantap, namun halus, "Bu-tong Ngo-lo adalah
lima orang tokoh Bu-tong-pai, patutkah mengeroyok seorang wanita muda seperti
murid kami? Apa maksud pengeroyokan yang tidak pantas ini?"
Lima orang
kakek itu saling pandang dan muka mereka menjadi merah. Bagaimana pun juga,
mereka merasa malu karena telah maju mengeroyok seorang gadis semuda itu yang
pantasnya menjadi cucu murid mereka. Dan yang lebih memalukan lagi, meski
mengeroyok, mereka ternyata tidak berhasil merobohkannya!
Kakek
berjenggot panjang lalu menjawab dengan sikap galak, "Apakah kalian ini
yang berjuluk Beng-san Siang-eng, Sepasang Garuda dari Beng-san?"
Dua orang
pria kembar itu mengangguk.
"Bagus!"
kata kakek berjenggot panjang. "Kami datang untuk membunuh kalian guru dan
murid agar tidak jatuh lagi korban orang-orang tidak berdosa. Kalian adalah
orang-orang kejam yang telah melakukan banyak dosa dan harus dienyahkan dari
permukaan bumi ini!"
Seorang di
antara dua pria kembar itu tersenyum. "Hemm, katakan saja bahwa kalian
datang untuk membalas dendam, ataukah kalian datang dengan maksud yang sama
seperti orang-orang Bu-tong-pai itu?"
"Tidak!
Kami datang sengaja untuk mencari kalian guru dan murid yang berdosa, untuk
menghukum dan membunuh kalian!" Bentak kakek berjenggot panjang. Tanpa
banyak cakap lagi dia sudah menerjang maju bersama empat orang saudaranya,
menyerang dengan senjata mereka dengan dahsyat.
Akan tetapi
sekali ini lima orang kakek Bu-tong-pai itu berhadapan dengan dua orang lawan
yang jauh lebih lihai dibandingkan dengan Hui Lan tadi. Dua orang pria kembar
itu menghadapi lima orang pengeroyoknya dengan tangan kosong saja, walau pun
tadi ketika menyelamatkan Hui Lan, mereka menggunakan pedang.
Akan tetapi,
walau pun tanpa senjata, keduanya dapat bergerak dengan bebas dan lincah
sekali. Gerakan mereka memang cepat dan pantas mereka dijuluki Sepasang Garuda.
Tubuh mereka berloncatan ke atas dan menyelinap di antara sinar senjata lawan.
Mereka juga sempat membalas dengan serangan-serangan mereka yang meski pun
hanya dilakukan dengan tangan dan kaki, akan tetapi tidak kalah dahsyatnya dari
senjata lawan.
Terjadi
perkelahian yang amat seru. Sim Houw yang nonton perkelahian itu kini merasa
yakin benar bahwa sepasang pria kembar itu memang ahli dalam ilmu silat
keluarga para pendekar Pulau Es. Begitu melihat gerakan dua orang laki-laki
kembar itu, Sim Houw maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih lebih tinggi
dari pada tingkat Bu-tong Ngo-lo dan walau pun dua orang kembar itu tidak
memegang senjata, namun mereka tidak akan kalah.
Keduanya
menguasai ginkang dan sinkang yang amat tinggi, bahkan kadang-kadang mereka
berani menangkis pedang dan rantai baja dengan tangan kosong saja! Makin besar
keyakinan hatinya bahwa dua orang kembar itu tentu murid para pendekar Pulau Es
dan telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Pulau Es.
Dugaan Sim
Houw ini memang tidak meleset. Dua orang kembar itu masih cucu luar dari
Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Mendiang Pendekar Super Sakti Suma Han
mempunyai seorang puteri dari isterinya yang bernama Puteri Nirahai. Puteri ini
diberi nama Puteri Milana yang kemudian menjadi isteri seorang pendekar sakti
bernama Gak Bun Beng. Mereka berdua sekarang telah tua sekali dan tinggal di
puncak Pegunungan Beng-san, hidup sebagai petani-petani sederhana. Mereka
mempunyai sepasang anak kembar yang mereka beri nama Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong,
yaitu dua orang pria inilah.
Gak Bun Beng
adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi, gagah perkasa dan juga memiliki
jiwa patriot. Akan tetapi dia saling jatuh cinta dengan Milana yang mempunyai
ibu puteri Mancu. Milana sendiri, sebagai puteri Pendekar Super Sakti, tahu
bahwa ia mempunyai ibu puteri Mancu. Bahkan karena tertarik oleh ibunya, ia
pernah berapa kali membantu pemerintah Mancu memimpin barisan dan menjadi
panglima pasukan untuk membasmi pemberontakan.
Setelah
semakin tua ia dapat melihat bahwa suaminya mulai diasingkan dan dipandang
sebagai musuh oleh banyak orang gagah di dunia persilatan, sebagai seorang
pendekar yang berpihak kepada pemerintah penjajah Mancu! Padahal, Milana tahu
benar bahwa suaminya sama sekali tak berpihak kepada pemerintah Mancu. Ia dapat
melihat betapa terjepitnya kedudukan suaminya yang oleh para pendekar dan
patriot dianggap sebagai seorang pengkhianat atau antek penjajah.
Karena
itulah, maka ia pun menyetujui keputusan suaminya untuk menyembunyikan diri
menjadi setengah pertapa di puncak Beng-san. Dia tidak mencampuri lagi urusan
dunia. Karena itulah maka kehidupan suami isteri ini menjadi terasing, bahkan
nama mereka seperti terhapus di duna kang-ouw dan tidak ada orang mengetahui
bagaimana dengan keadaan mereka.
Suami isteri
Gak Bun Beng dan Puteri Milana ini, tentu saja mendidik anak kembar mereka
dengan tekun. Akan tetapi, keduanya yang memiliki tingkat kepandaian tinggi itu
dapat melihat bahwa bakat anak kembar mereka dalam ilmu silat tidaklah
menonjol. Betapa pun juga, karena ketekunan mereka menggembleng putera-putera
mereka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong dapat juga menguasai sebagian dari
ilmu-ilmu ayah bunda mereka dan menjadi orang-orang yang dapat dibilang
memiliki ilmu silat yang tinggi dan sukar dicari tandingan mereka.
Akan tetapi,
setelah sepasang bocah kembar itu menjadi dewasa, Gak Bun Beng dan Milana
mengalami kekecewaan yang amat besar. Dua orang pemuda Gak Jit Kong dan Gak
Goat Kong itu tidak mau menikah! Mereka bahkan marah-marah kalau orang tua
mereka mengajak mereka bicara tentang pernikahan!
Di antara
kedua pria kembar ini terdapat hubungan batin yang aneh bukan main, yang
menimbulkan perasaan iri hati dan cemburu satu kepada yang lain dalam segala
hal. Pakaian pun harus diberi yang serupa, dan mereka tidak boleh
dibeda-bedakan karena hal ini akan menimbulkan perasaan iri yang membuat mereka
marah.
Juga dalam
perjodohan. Yang seorang akan menjadi iri hati dan cemburu kalau yang lain
dijodohkan dengan seorang gadis. Karena inilah, maka kedua orang pria kembar
ini tidak pernah menikah. Pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya akhirnya
putus asa. Setelah capai membujuk tanpa hasil, akhirnya mereka pun diam saja
dan lebih banyak menyepi di dalam pondok mereka di puncak Beng-san.
Betapa pun
juga, akhirnya orang mengenal kelihaian kedua saudara kembar itu ketika
beberapa kali terjadi peristiwa di mana keduanya terpaksa memperlihatkan
kelihaian mereka. Bahkan orang tua mereka pun membujuk mereka untuk sering melakukan
perantauan untuk memperluas pengalaman. Akhirnya, orang mengenal mereka sebagai
Sepasang Garuda dari Beng-san!
Saat mereka
berusia dua puluh empat tahun, mereka melakukan perjalanan ke selatan di mana
terjadi pemberontakan. Mereka, sesuai dengan pesan ayah ibunda mereka, tidak
diperbolehkan mencampuri urusan pemberontakan, artinya tidak boleh membantu
pemberontakan juga tidak boleh membantu pemerintah. Mereka melihat
pemberontakan dengan sikap pasif saja, hanya mereka turun tangan menolong
mereka yang lemah dan pantas diselamatkan.
Ketika
melihat sebuah keluarga dirampok dan dibunuh oleh gerombolan pemberontak,
mereka turun tangan membela. Namun dua orang saudara kembar ini agak terlambat
dan hanya berhasil menyelamatkan seorang anak perempuan dari keluarga Souw itu,
sedangkan keluarga itu selebihnya terbasmi dan terbunuh oleh gerombolan
perampok.
Anak
perempuan she Souw itu berusia empat tahun dan semenjak itu, Souw Hui Lan, anak
yang sudah yatim piatu dan tidak mempunyai sanak keluarga lainnya, dibawa oleh
Beng-san Siang-eng dan menjadi murid mereka berdua! Bahkan dalam mengajarkan
ilmu kepada Hui Lan mereka pun bersaing dan mereka berdua amat menyayang anak
ini sehingga memperlakukannya tidak hanya sebagai murid, bahkan sebagai adik
atau puteri mereka sendiri. Tentu saja hal ini membuat Hui Lan menjadi lihai
sekali, akan tetapi juga amat manja!
Baru lima
tahun mereka meninggalkan Beng-san dan akhirnya menetap di bukit di tepi Sungai
Wu-kiang itu, tempat yang sunyi terpencil dan amat indah pemandangannya.
Beberapa tahun kemudian, setelah Hui Lan berusia tujuh belas tahun, mulailah
datang godaan-godaan.
Gadis itu
menjadi seorang dara yang cantik manis dan gagah perkasa sehingga tentu saja,
bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum serta mengandung madu yang
amat manis, mengundang datangnya kumbang-kumbang berupa pemuda-pemuda yang
gagah perkasa dan yang menginginkan jodoh seorang dara perkasa pula. Mulailah
berdatangan lamaran-lamaran yang diajukan oleh tokoh-tokoh dunia persilatan
terhadap dara itu, baik untuk murid atau anak mereka sendiri.
Dan begitu
muncul pinangan-pinangan ini, dua orang guru dan seorang muridnya itu lalu
menentukan syarat yang amat berat, yaitu calon jodoh Hui Lan harus seorang
pemuda yang mampu mengalahkan Hui Lan. Selain syarat berat ini, ditambah syarat
yang lebih berat lagi yakni bahwa pemuda calon jodoh Hui Lan itu harus
mengajukan guru atau orang tuanya yang mampu mengalahkan Beng-san Siang-eng!
Orang yang
tergila-gila kepada seorang wanita biasanya suka melakukan apa pun juga, siap
untuk berkorban. Demikianlah, banyak pemuda gagah perkasa berdatangan, hanya
untuk dikalahkan oleh Hui Lan, dan guru atau orang tua jagoan mereka tak ada
seorang pun mampu mengalahkan dua orang pria kembar itu. Dan yang mengejutkan,
guru dan murid ini agaknya berdarah panas sehingga dalam setiap pertandingan
untuk memenuhi syarat itu, mereka menjatuhkan para peminang dengan
pukulan-pukulan maut sehingga banyak di antara para peminang yang kalah dengan
membawa luka-luka parah, bahkan ada pula yang sampai tewas!
Seorang
pemuda Bu-tong-pai yang pandai, maju pula bersama seorang susiok-nya, dan dia
dikalahkan oleh Hui Lan. Juga tosu yang menjadi susiok-nya dan merupakan tokoh
Bu-tong-pai, terluka hebat pula oleh Beng-san Siang-eng. Mereka berdua
meninggalkan tempat itu sebagai penderita kekalahan, membawa luka dalam yang
berat dan akhirnya keduanya tewas setelah menderita sakit beberapa pekan
lamanya! Selama tiga tahun kurang lebih, sudah puluhan kali murid itu
mengalahkan pelamar dan sudah belasan orang tewas di tangan mereka!
Demikian
sedikit catatan tentang Beng-san Siang-eng yang bernama Gak Jit Kong dan Gak
Goat Kong itu. Karena itu pula pada hari itu muncul Bu-tong Ngo-lo yang berniat
membunuh guru dan murid yang mereka anggap kejam dan jahat itu. Lima orang
tokoh dari Bu-tong ini memang bukan hanya datang untuk membalas kematian dua
anggota Bu-tong-pai itu, akan tetapi juga untuk mengenyahkan guru dan murid
yang dianggap jahat itu agar tidak jatuh korban lagi.
Sim Houw
mengikuti jalannya perkelahian itu penuh perhatian. Hatinya merasa semakin
tegang lagi. Perkelahian itu adalah perkelahian mati-matian di mana Bu-tong
Ngo-lo makin lama semakin terdesak hebat oleh dua orang pria kembar itu. Mereka
berkelahi untuk saling bunuh, bukan sekedar mengalahkan lawan. Jurus-jurus maut
dikerahkan dan diam-diam dia merasa khawatir sekali.
Mereka
adalah orang-orang gagah, orang-orang berilmu yang agaknya tentu saja bukan
termasuk kaum sesat. Dua orang pria kembar itu memainkan ilmu silat Pulau Es,
tentu bukan penjahat dan lima orang kakek Bu-tong-pai itu tentu juga bukan
orang-orang sesat. Kini mereka berkelahi mati-matian untuk saling bunuh.
Dia sendiri
tidak dapat berpihak, karena dia memang tidak tahu siapa antara mereka yang
bersalah. Akan tetapi, membiarkan saja mereka berkelahi, hatinya merasa tidak
tega karena dia tahu bahwa satu pihak tentu akan roboh, terluka parah dan
mungkin saja tewas.
Tiba-tiba
dua orang kembar itu mengeluarkan teriakan nyaring melengking panjang, disusul
bentakan seorang di antara mereka, "Bu-tong Ngo-lo, rebahlah kalian!"
Hebat bukan
main serangan dua orang itu. Biar pun lima orang lawan mereka sudah bersiap
siaga, tetap saja terjangan mereka yang dahsyat itu membuat mereka berlima
terdorong dan terjengkang. Senjata mereka terlempar dan mereka terbanting keras
ke atas tanah dalam keadaan terlentang! Dua orang kembar itu melangkah maju,
agaknya siap untuk menurunkan pukulan terakhir, pukulan maut.
Tiba-tiba
terdengar suara melengking yang aneh, suara suling yang ditiup secara aneh dan
suaranya begitu mengandung wibawa yang amat kuat sehingga dua orang pria kembar
itu sendiri tertegun dan menghentikan langkah mereka, lalu menengok seperti
orang yang terpesona. Mereka berdiri ternganga memandang ke arah seorang pemuda
yang tiba tiba saja muncul di situ sambil meniup sebatang suling.
Sim Houw
yang tadi melihat betapa nyawa lima orang kakek Bu-tong-pai itu terancam maut,
cepat meniup sulingnya dan keluar dari tempat persembunyiannya sambil terus
meniup sulingnya. Tiupan pertama tadi dilakukan dengan pengerahan khikang dari
Ilmu Kim-siauw Kiam-sut hingga suling itu mengeluarkan suara yang mengandung
pengaruh dan wibawa amat kuatnya! Dua orang cucu dari Pendekar Super Sakti itu
sendiri sampai terpesona dan tertahan dari niat mereka membunuh lima orang
Bu-tong-pai yang sudah tidak mampu melindungi diri sendiri itu.
Kini Sim
Houw sudah berjalan menghadapi dua orang saudara Gak itu, menghalang di antara
mereka dan lima orang kakek Bu-tong-pai yang sedang merangkak bangun dengan
muka pucat. Lalu Sim Houw menghentikan tiupan sulingnya dan menjura ke arah dua
orang pria kembar. Begitu suara suling berhenti, semua orang merasa seolah-olah
terlepas dari himpitan yang membuat mereka seperti tidak mampu bergerak tadi.
"Ji-wi
locianpwe harap jangan menyiksa lima orang kakek ini lebih lanjut. Kasihanilah
mereka dan kalau mereka telah melakukan kesalahan, biarlah saya yang mintakan
ampun untuk mereka."
Setelah
berkata demikian, tanpa menanti jawaban dua orang pria kembar itu, Sim Houw
cepat membalikkan tubuh menghadapi Bu-tong Ngo-lo, "Kalian berlima sudah
diampuni oleh dua orang locianpwe ini, tidak lekas pergi apakah yang ditunggu
lagi?"
Sambil
berkata demikian Sim Houw mengedipkan matanya. Lima orang kakek itu yang sudah
maklum bahwa mereka tak akan mampu menang, apa lagi kini sudah menderita luka
dalam yang dirasakan di dalam dada, rasa yang dingin sekali, tanpa banyak cakap
lagi mereka lalu memungut senjata masing-masing dan pergi meninggalkan tempat
itu tanpa pamit!
"Kalian
hendak lari ke mana?" Tiba-tiba Hui Lan membentak marah dan siap mengejar.
Namun Sim
Houw sudah berdiri di depannya sambil mengembangkan kedua lengannya.
"Nona, ji-wi locianpwe ini sudah memberi ampun, jangan kejar mereka!"
Hui Lan
menjadi marah melihat betapa pemuda itu mengembangkan lengan bagaikan hendak
memeluknya. Apa lagi ketika dara ini mengenal Sim Houw sebagai penyuling yang
tadi dianggap mengganggu ketenangannya, dia pun menjadi semakin marah.
"Enyahlah
kau!" bentaknya sambil menampar kepala pemuda itu.
"Wuuuttt...!"
Tamparan tangan halus ini dapat meremukkan batu karang, apa lagi kepala
manusia.
"Ehhh,
ehhh... jangan pukul...!" Sim Houw berseru gugup dan mengangkat sebelah
lengannya seperti melindungi kepalanya dengan gerakan amat kaku, sama sekali
bukan gerakan silat.
"Plakkk!"
Akibat
tamparan tangan yang mengenai pangkal lengannya itu membuat Sim Houw terlempar
dan jatuh bergulingan. Akan tetapi dia bergulingan memotong jalan sehingga
gadis itu tak dapat melakukan pengejaran terhadap lima orang kakek Bu-tong-pai
yang sudah melarikan diri.
"Keparat,
engkau ini selalu menggangguku!" Hui Lan meloncat dan hendak menendang
tubuh Sim Houw yang masih bergulingan.
"Hui
Lan, jangan pukul dia!" tiba-tiba terdengar suara Gak Jit Kong dan gadis
itu pun menahan gerakan kakinya sehingga Sim Houw terhindar dari tendangan
maut.
Sim Houw
melirik ke arah lima orang kakek Bu-tong-pai dan merasa lega melihat bahwa lima
orang kakek itu sudah melarikan diri dengan cepat dan lenyap dari situ. Dia
lalu bangkit berdiri, mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor terkena debu.
Biar pun Hui
Lan memiliki kepandaian tinggi, namun ia belum berpengalaman dan gadis yang
berwatak manja ini memang tak pernah menghargai orang lain, maka dia pun tidak
sadar betapa tamparannya yang amat kuat tadi dapat ditangkis oleh pemuda
penyuling ini! Padahal jika teringat, tentu ia akan terkejut melihat kenyataan
betapa tamparannya itu tidak meremukkan tulang pangkal lengan pemuda itu.
Beng-san
Siang-eng mengira bahwa murid mereka tidak menyerang dengan sungguh-sungguh
kepada pemuda yang dilihat dari gerak-geriknya, kelihatannya tidak memiliki
kepandaian silat ini.
Gak Jit Kong
lalu bertanya, "Orang muda, kenapa engkau mencampuri urusan kami dan
menghalangi kami membunuh lima orang musuh tadi?"
Sim Houw
menjura lagi dengan sikap hormat. Sejak tadi sulingnya telah diamankannya di
balik bajunya, terselip di pinggang.
"Ji-wi
locianpwe, saya pernah mendengar kata orang, bahwa seorang gagah tidak akan
menyerang orang yang tidak melawan dan tidak membunuh orang yang sudah tidak
berdaya. Dan saya melihat bahwa mereka itu tadi sudah tak berdaya..."
"Omong
kosong!" bentak Hui Lan. Kalau kami kalah, mereka tentu akan membunuh
kami. Suhu, tidak perlu kiranya berdebat dengan pengacau ini!"
Akan tetapi
Gak Jit Kong agaknya tertarik. "Orang muda, tahukah engkau bahwa
seandainya kami kalah, lima orang Bu-tong Ngo-lo itu akan membunuh kami tanpa
ragu lagi?"
"Ji-wi
locianpwe, Apakah orang harus membalas pembunuhan dengan pembunuhan, membalas
kejahatan dengan kejahatan pula? Kalau begitu, apa bedanya antara kita dengan
si penjahat?"
"Jadi
sudah sejak tadi engkau melihat perkelahian antara kami dan mereka?" tanya
pula Gak Jit Kong, memandang penuh selidik.
"Semenjak
tadi saya kebetulan berada disini. Karena ketakutan melihat perkelahian lalu
saya bersembunyi di dalam semak belukar, nonton perkelahian. Melihat mereka
sudah tidak berdaya dan khawatir ji-wi membunuh mereka, maka saya
keluar..."
"Kenapa
membunyikan suling?" kini Gak Goat Kong mendesak.
"Saya
tidak tahu harus berbuat bagaimana untuk mencegah dilanjutkannya perkelahian
itu. Karena saya hanya bisa meniup suling, maka dalam kegugupan saya lalu
meniup suling saya untuk menarik perhatian. Syukur saya berhasil..."
"Siapakah
namamu dan engkau dari perguruan silat mana?" Gak Jit Kong bertanya lagi.
"Nama
saya Sim Houw dan bukan dari perguruan silat, saya hanya bisa meniup suling,
tidak bisa apa-apa selain itu, locianpwe."
"Bohong!
Engkau selalu mengacau dengan suara sulingmu, tentu engkau pun mengerti sedikit
ilmu silat. Biar kuselidiki ia datang dari perguruan silat mana, suhu!"
kata Hui Lan. Dan gadis itu sudah meloncat ke depan. Tangan kirinya menyambar,
jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri itu menotok ke arah pundak kanan Sim
Houw.
Sim Houw
tahu bahwa jalan darah Kian-keng-hiat-to di pundaknya akan ditotok dan
akibatnya sangat hebat karena jalan darah itu merupakan satu di antara jalan
darah besar. Namun dia diam saja, sedikit pun tidak berkutik, tidak mengelak
atau menangkis, seolah-olah dia tidak tahu bahwa nyawanya terancam oleh
serangan itu.
"Hui
Lan, jangan...!" Gak Goat Kong berseru kaget melihat betapa muridnya
hendak membunuh pemuda yang agaknya memang tidak menyadari akan bahaya itu.
Tentu saja
Sim Houw sadar sepenuhnya, bahkan dia tahu bahwa tidak ada bahaya yang
mengancam dirinya. Gadis itu hanya menggertaknya saja dan sama sekali tidak
berniat melakukan totokan secara sungguh-sungguh, dan andai kata demikian, dia
pun dapat menyelamatkan dirinya dengan ilmu memindahkan jalan darah!
Dan benar
saja dugaannya. Tanpa dicegah oleh gurunya sekali pun, Hui Lan memang tak mau
membunuhnya. Gadis itu hanya ingin memaksanya mengeluarkan ilmu silatnya untuk
membela diri agar ia dapat mengenal ilmu silatnya. Melihat betapa pemuda itu
sama sekali tidak tahu bahwa dia diserang dengan totokan maut, gadis itu merasa
sebal dan totokannya berubah menjadi dorongan atau tamparan pada pundak pemuda
itu.
"Plakkk...!"
Dan tubuh
Sim Houw terpelanting! Akan tetapi Hui Lan juga terkejut dan heran sekali,
menahan rasa nyeri pada telapak tangannya. Ia tadi merasa seperti menampar
benda yang lunak sekali akan tetapi dari dalam kelunakan itu muncul tenaga yang
membuat tenaga tamparannya membalik sehingga ia terpukul tenaga tamparannya
sendiri yang menimbulkan rasa nyeri. Akan tetapi buktinya, pemuda itu telah
terpelanting keras oleh tamparannya!
Sebelum Hui
Lan sempat menyatakan keheranannya, mendadak kedua orang gurunya berseru.
"Hui Lan, hati-hati! Banyak musuh datang!"
Gadis itu
cepat menggerakkan tubuh menoleh, dan benar saja. Sedikitnya dua puluh orang
yang dipimpin oleh seorang wanita cantik tengah berloncatan dengan cepat sekali
menuju ke tempat itu.
Sim Houw
juga sudah bangkit berdiri, mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor dan
berdiri di belakang tiga orang itu. Diam-diam dia merasa mendongkol juga karena
gadis itu sungguh sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadanya. Seorang
gadis yang selain cantik manis dan gagah perkasa, juga manja, angkuh dan ringan
tangan!
Dua puluh
empat orang itu semua berpakaian serba merah sehingga amat menyolok sekali.
Mereka terdiri dari laki-laki yang usianya antara tiga puluh sampai lima puluh
tahun, dipimpin seorang kakek berusia lima puluh tahun yang bertubuh tinggi
kurus dan bermuka pucat.
Laki-laki
ini berada di depan bersama seorang wanita yang lebih menarik perhatian lagi.
Wanita ini cantik dan berpakaian merah, bukan serba merah seperti yang lain,
memiliki sepasang mata yang amat tajam dan gerak-geriknya lincah. Di
punggungnya tergantung sebatang pedang.
Sim Houw
tidak mengenal semua orang itu. Juga agaknya Beng-san Siang-eng dan murid
mereka tidak mengenal wanita cantik yang usianya kurang lebih dua puluh lima
tahun itu, apa lagi dua puluh empat orang yang berpakaian serba merah.
Wanita itu
pun agaknya belum mengenal pihak tuan rumah, karena begitu berhadapan, dia
sudah bertanya dengan suara lantang, "Siapakah di antara kalian yang
mempunyai julukan Pendekar Suling Naga?"
Sepasang
Garuda Beng-san itu saling pandang dengan murid mereka. Akan tetapi Hui Lan
menggerakkan pundak dan gadis ini sudah marah sekali melihat sikap wanita yang
datang bersama segerombolan orang berpakaian serba merah itu. Dia menudingkan
telunjuk kanannya sambil membentak, "Dari mana datangnya perempuan liar
yang membawa gerombolan bajak atau rampok ini?"
Akan tetapi,
wanita cantik itu hanya mengeluarkan senyum mengejek, agaknya tidak
memperhatikan kemarahan Hui Lan. Sekali lagi ia bertanya, "Siapakah
Pendekar Suling Naga?"
Dan kini
pandang matanya ditujukan kepada Sim Houw dan ditatapnya wajah pemuda itu penuh
selidik. Juga dua puluh empat orang berpakaian serba merah itu memandang kepada
empat orang itu bergantian dengan sinar mata mengancam. Wanita cantik itu bukan
sembarang orang. Ia bukan lain adalah Ciong Siu Kwi yang berjuluk Bi-kwi (Iblis
Cantik), murid pertama Sam Kwi (Tiga Iblis).
Seperti
telah diceritakan di bagian depan Siu Kwi atau Bi-kwi telah mewarisi semua ilmu
kesaktian dari ketiga gurunya. Ketika ia pulang menjumpai guru-gurunya, ia
melaporkan akan kegagalan dua macam tugas yang dipikulnya. Pertama, dia telah
gagal mencari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es oleh karena pendekar sakti
itu sudah tewas. Kemudian tugas ke dua, yaitu mencari Pek-bin Lo-sian untuk
meminta senjata pusaka Liong-siauw-kiam juga gagal.
Ketika
wanita itu menghadap Pek-bin Lo-sian yang menjadi paman guru dari ketiga
Sam-kwi, ia mendapatkan kakek tua renta itu dalam keadaan sakit berat dan
napasnya tinggal satu-satu! Siu Kwi atau Bi Kwi dengan cara kasar minta pusaka
itu dari Pek-bin Lo-sian yang dijawab oleh Pek-bin Lo-sian bahwa pusaka itu
telah dia berikan kepada orang lain karena dia tidak suka kalau pusaka itu
terjatuh ke tangan Sam Kwi, tiga orang keponakan seperguruannya sendiri yang
jahat!
Mendengar
jawaban ini. Bi-kwi memaksa kakek tua renta itu untuk menunjukkan siapa orang
yang diserahi pusaka itu. Namun kakek yang sudah menderita penyakit berat itu
hanya tersenyum mengejek, tak mau mengaku. Bi-kwi marah sekali, lalu
menggunakan kekerasan terhadap kakek yang sebenarnya masih susiok-kong-nya
sendiri. Disiksanya kakek itu, akan tetapi Pek-bin Lo-sian tetap tidak mau
mengaku. Tubuhnya yang sudah tua dan menderita penyakit berat itu tidak dapat
menahan siksaan yang dilakukan Bi-kwi dan kakek itu pun tewas tanpa menyebut
nama Sim Houw yang telah diserahi pusaka Suling Naga atau Siauw-liong-kiam.
Seperti
diketahui, Bi-kwi pulang dengan hati mengkal dan uring-uringan sebab ia pulang
dengan tangan kosong. Akan tetapi ia mendengar berita akan munculnya seorang
pendekar yang berjuluk Pendekar Suling Naga. Sebelum pulang menyampaikan
laporan kepada tiga orang gurunya, terlebih dahulu dia menemui perkumpulan
Ang-i-mo (Setan Berbaju Merah), yaitu perkumpulan sesat yang telah
ditaklukkannya.
Perkumpulan
itu dipimpin oleh seorang datuk sesat bernama Tee Kok yang berusia lima puluh
tahun sebagai ketuanya. Ketika mereka bentrok dengan Bi-kwi, mereka kalah dan
Tee Kok merajuk, menyatakan kalah dan menyerah. Melihat kehebatan mereka,
Bi-kwi dengan cerdik mengampuni mereka dan menyuruh mereka berjanji untuk
membantunya dalam segala macam hal kalau dimintanya, dan Tee Kok menyanggupi.
Bi kwi lalu
memerintahkan Ang-i-mo untuk melakukan penyelidikan, mencari adanya pendekar
yang berjuluk Pendekar Suling Naga dan kalau ada beritanya supaya cepat memberi
kabar kepadanya di puncak Thai-san, di mana ia tinggal bersama Sam Kwi. Setelah
itu barulah ia pulang ke Thai-san, di mana ia terpaksa menerima Bi Lan sebagai
sumoi atau murid guru-gurunya yang baru, bahkan ia lalu dengan cerdik
menyediakan dirinya untuk melatih sumoi-nya itu menggantikan guru-gurunya.
Baru
beberapa bulan kemudian, datang Tee Kok bersama anak buahnya yang pilihan,
berjumlah dua puluh empat orang bersama dia, berkunjung ke Thai-san dan melaporkan
bahwa mereka mendengar akan munculnya Pendekar Suling Naga di daerah selatan.
Mendengar ini, cepat Bi-kwi meninggalkan Thai-san, bersama dua puluh empat
orang itu cepat-cepat melakukan pengejaran dan pencarian ke selatan. Akhirnya,
mereka bisa mengikuti jejak orang yang dicari di sepanjang pantai Sungai
Wu-kiang dan tiba di kaki bukit yang menjadi tempat tinggal Beng-san Siang-eng
bersama murid mereka.
Tee Kok
dalam pelaporannya kepada Bi-kwi hanya mengatakan bahwa anak buahnya belum
pernah ada yang berjumpa dengan pendekar yang dicari, hanya mendapat keterangan
bahwa pendekar itu masih muda dan lihai sekali. Maka, ketika mereka tiba di
tempat itu, perhatian Bi-kwi dan kawan-kawannya tertarik kepada Sim Houw.
Akan tetapi,
mereka merasa ragu-ragu karena pemuda itu tadi mereka lihat didorong oleh gadis
cantik itu saja terpelanting, mana mungkin orang lemah itu yang dinamakan
Pendekar Suling Naga? Karena itu Bi-kwi lalu mengajukan pertanyaan kepada
mereka, dengan sikapnya yang angkuh, siapa di antara mereka yang berjuluk
Pendekar Suling Naga.
Walau pun
Hui Lan telah membentaknya dengan ucapan menghina, Bi-kwi tetap tidak peduli
dan mengulangi pertanyaannya.
"Siapakah
Pendekar Suling Naga? Hayo mengaku, kalau tidak kalian berempat tentu akan
menjadi setan-setan tanpa nyawa!" Sekali lagi dia menghardik, sekali ini
sinar matanya berkilat mengeluarkan ancaman yang mengerikan.
Kalau
sepasang saudara kembar Gak itu masih bersikap sabar, murid merekalah yang
sudah kehabisan kesabaran lagi. "Perempuan hina! Berani engkau mengancam
kami di rumah kami sendiri? Apa kau kira aku takut kepadamu dan gerombolanmu,
badut-badut berpakaian merah ini? Bukalah matamu dan lihat dengan siapa kau
berhadapan!"
Bi-kwi
memang seorang yang aneh. Iblis betina ini tidak mudah marah, atau tidak mau
menurutkan emosi dan kemarahannya, dan kalau pun ada, disimpan di dalam hati
saja. Hanya sinar matanya yang menyambar saat ia menjawab, "Tidak peduli
siapa orangnya, kalau tidak mau memberi tahu kepadaku di mana adanya Pendekar
Suling Naga, tentu akan kami bunuh!"
"Keparat!
Kami tidak mengenal Suling Naga atau Suling Ular atau Suling Cacing! Akan
tetapi kedua orang suhu-ku ini adalah Beng-san Siang-eng!"
Maksud Hui
Lan memperkenalkan julukan kedua orang gurunya itu adalah untuk balas menggertak
supaya wanita itu menjadi terkejut dan gentar. Siapa yang tidak mengenal nama
Beng-san Siang-eng?
Bi-kwi
memang terkejut, akan tetapi bukan terkejut lalu gentar, bahkan terkejut lalu
wajahnya berseri dan senyumnya makin mengejek. "Ahh! Ini namanya mencari
bandeng tetapi mendapatkan kakap! Jadi kalian inikah Beng-san Siang-eng,
keluarga Pulau Es?" katanya sambil memandang kepada dua orang pria kembar
itu penuh perhatian.
Dua orang
pria kembar itu membalas pandang mata tajam itu dengan alis berkerut. Gadis
cantik ini masih muda tetapi sikapnya demikian angkuh dan memandang rendah,
tentu bukan orang sembarangan.
"Kami
dua saudara Gak memang masih cucu luar dari kakek kami Suma Han dari Pulau Es.
Akan tetapi kami tak merasa pernah berurusan denganmu. Siapakah engkau, nona,
dan ada urusan apakah engkau bersama rombonganmu datang ke tempat kami?"
Ciong Siu
Kwi meraba gagang goloknya dengan sikap angkuh, tanpa mencabut senjata itu, dan
memandang kepada dua orang pria kembar itu dengan mata tajam. "Beng-san
Siang-eng, aku disebut orang Bi-kwi. Aku datang mewakili guru-guruku, Sam Kwi,
untuk mencari Pendekar Suling Naga. Akan tetapi dia tidak ada dan yang ada
adalah kalian, cucu dari Majikan Pulau Es. Hemm, sungguh kebetulan sekali
karena aku pun memiliki tugas mewakili guru-guruku untuk membunuh semua
keluarga Pulau Es setelah Majikan Pulau Es sendiri meninggal dunia!"
Dua orang
pria kembar itu mengerutkan alis lagi. "Nanti dulu, Bi-kwi. Memusuhi orang
dengan niat membunuh bukan merupakan hal yang tidak ada sebabnya. Mengapa
guru-guru kalian memusuhi kami orang-orang Pulau Es?"
"Kakekmu
pernah mengalahkan guru-guruku, dan guru-guruku sudah bersumpah untuk membalas
kekalahan itu. Akan tetapi kakekmu sudah mati, maka yang harus menebus dosanya
adalah keluarga dan keturunannya. Nah, kini bersiaplah kalian untuk mati, juga
bocah perempuan sombong ini. Dan pemuda itu… siapakah dia?" Telunjuk kiri
Bi-kwi menuding ke arah muka Sim Houw dan diam-diam hatinya berbisik betapa
tampannya pemuda sederhana itu.
"Jangan
ganggu dia. Kami tidak mengenalnya. Dia seorang yang baru saja datang, dan tak
ada sangkut pautnya dengan kami. Jangan kira akan mudah saja membunuh kami,
bahkan kalau boleh kunasehatkan supaya kamu yang masih muda ini pulang saja dan
biarkan ketiga orang suhu-mu itu yang datang membuat perhitungan dengan
keluarga para pendekar Pulau Es," kata Gak Jit Kong.
Gak Jit Kong
merasa tidak enak juga jika ia bersama adik kembarnya harus berhadapan dan
mengadu ilmu dengan seorang gadis yang masih muda itu. Memang semua tokoh
persilatan yang sudah ada nama tentu akan merasa ragu untuk mengadu ilmu
melawan seorang gadis muda. Jika kalah amat memalukan, kalau menang pun akan
ditertawakan orang!
"Beng-san
Siang-eng, kematian sudah di depan mata, tidak perlu banyak cakap lagi!
Bersiaplah untuk mampus!" bentak Bi-kwi dan nampak sinar berkilat
menyilaukan mata ketika wanita ini mencabut pedangnya.
"Suhu,
biar aku yang menghadapi iblis wanita ini!" Hui Lan juga mencabut
pedangnya dan ia meloncat ke depan gurunya, menghadapi Bi-kwi.
Dua orang
pria kembar itu tidak melarang murid mereka. Memang sepatutnyalah kalau Hui Lan
yang menghadapi wanita itu, dan mereka sendiri akan berjaga-jaga karena jika
dua puluh empat orang berpakaian seragam merah itu maju mengeroyok, mereka akan
menghadapi pasukan merah itu.
Tetapi,
Bi-kwi yang sudah menghunus pedang itu memandang kepada Hui Lan dengan alis
berkerut. "Bocah sombong, engkau bukanlah lawanku. Guru-gurumu itulah
lawanku dan engkau nonton saja, jangan tergesa minta mampus, tunggu giliranmu
tiba!"
Ucapan itu
sungguh menghina sekali. Hui Lan mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia
sudah maju menerjang dengan pedangnya. Akan tetapi Bi-kwi tersenyum saja dan
hanya nonton ketika dari samping, Tee Kok ketua Ang-i-mo telah menggerakkan
sepasang goloknya ke depan menangkis.
"Tranggg...!"
Nampak api
berpijar ketika pedang Hui Lan bertemu dengan golok di tangan laki-laki tinggi
kurus bermuka pucat itu.
"Ciong
Siocia (Nona Ciong), biarkan aku menghadapi gadis ini!" kata Tee Kok.
“Matamu
sudah menjadi hijau melihat perawan mulus ini, ya? Baik, kalau kau mampu,
tangkaplah bocah itu dan boleh menjadi milikmu sebelum kau bunuh!"
Biar pun
ucapan ini ditujukan kepada Tee Kok. akan tetapi tentu saja Hui Lan menjadi
marah bukan main, demikian pula dua orang gurunya karena omongan wanita itu
amat kasar dan kotor.
"Kalian
adalah manusia-manusia busuk!" kata Gak Jit Kong yang segera menghunus
pedangnya, diikuti oleh adik kembarnya.
"Bagus!
Mari kita ramai-ramai membasmi keturunan Pulau Es!" Bi-kwi berseru dan ia
pun menerjang maju, disambut oleh sepasang pria kembar yang sudah pula memegang
pedang masing-masing.
Dan dalam
gebrakan pertama, kedua orang she Gak itu terkejut bukan main. Mereka memang
sudah menduga bahwa wanita ini tentu jahat dan juga amat lihai, akan tetapi
tidak mereka sangka bahwa ketika pedang mereka bertemu dengan pedang Bi-kwi,
mereka merasa betapa lengan mereka yang memegang pedang itu tergetar hebat dan
ada hawa panas yang menyambar ke arah mereka melalui pedang di tangan gadis
itu!
Tahulah
mereka bahwa gadis itu benar-benar amat lihai. Mereka pun cepat mengurung
dengan pengerahan tenaga dan kepandaian mereka. Maka segera terjadi perkelahian
yang amat seru di antara Beng-san Siang-eng dan Ciong Siu Kwi atau Iblis Cantik
itu.
Hui Lan juga
segera merasakan ketangguhan lawannya. Sepasang golok lawannya bergerak
menyambar-nyambar dari dua jurusan yang berlawanan, seakan-akan hendak
mengguntingnya, Ternyata si tinggi kurus bermuka pucat ini pun mempunyai tenaga
sinkang yang amat kuat!
Boleh jadi
Bi-kwi yang telah digembleng sejak kecil oleh tiga orang gurunya sekaligus kini
telah menjadi seorang wanita yang lihai bukan main. Hampir seluruh ilmu dari
Sam Kwi telah diresapinya dan ia memang memiliki bakat yang amat baik. Akan
tetapi, kini ia melawan dua orang pria kembar yang masih cucu luar Majikan Pulau
Es. Maka segera ia mendapatkan kenyataan bahwa tidak akan mudah baginya untuk
dapat mengalahkan dua orang pria kembar itu, paling-paling hanya akan dapat
mengimbangi ketangguhan mereka. Maka wanita itu lalu memberi aba-aba kepada
pasukan Ang-i-mo itu untuk ikut maju dan membantu!
Hui Lan
merasa terkejut sekali. Baru melawan si tinggi kurus seorang diri saja sudah
terasa berat, apa lagi kalau lawannya dibantu oleh anak buahnya yang amat
banyak. Tidak disangkanya bahwa si kurus baju merah itu dapat memainkan
sepasang goloknya sedemikian lihainya.
Ia tidak
tahu bahwa Tee Kok adalah bekas anak buah Hek-i-mo (Iblis Pakaian Hitam), yaitu
perkumpulan yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong, datuk besar kaum sesat yang dua
puluh tahun lebih yang lalu pernah menggemparkan dunia persilatan. Hek-i-mo
telah dihancurkan oleh para pendekar, terutama oleh para pendekar Pulau Es.
Perkumpulan
Hek-i-mo atau Hek-i Mo-pang sudah tidak ada, tetapi masih ada belasan orang
anggota yang berhasil meloloskan diri, dipimpin oleh Tee Kok. Dia ini pernah
menerima pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi langsung dari mendiang Hek-i Mo-ong,
maka tentu saja ilmu silatnya cukup tinggi.
Tee Kok ini
lalu mendirikan sebuah perkumpulan lain yang diberi nama Ang-i Mo-pang dan
semua anggotanya mengenakan pakaian seragam merah dan dia mengangkat diri
menjadi ketuanya. Belasan tahun lamanya dia dan anak buahnya merajalela sampai
pada suatu hari mereka berjumpa dengan Bi-kwi dan dikalahkan oleh wanita cantik
ini! Oleh karena mereka itu segolongan maka ada kecocokan di antara mereka.
Bi-kwi tidak membunuh mereka, bahkan meraih mereka menjadi teman dan anak buah.
Kini dua
puluh orang lebih anak buah Ang-i Mo-pang serentak bergerak mengepung, membantu
Bi-kwi dan Tee Kok. Tentu saja Beng-san Siang-eng dan Hui Lan menjadi terkepung
dan terdesak hebat. Mereka berada dalam keadaan gawat dan terancam sekali. Akan
tetapi dengan semangat meluap-luap, guru dan murid ini melawan mati-matian dan
mengambil keputusan untuk melawan sampai napas terakhir.
Pada saat
yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Hui Lan dan kedua orang gurunya itu,
tiba-tiba terdengar suara suling melengking nyaring. Semua orang yang sedang
berkelahi terkejut bukan main karena suara suling itu seperti menusuk telinga
mereka dan langsung menyerang jantung sehingga jantung mereka terguncang.
Bahkan beberapa orang anak buah Ang-i Mo-pang telah terpelanting jatuh dan
mengeluh sambil menutupi kedua telinga mereka dengan tangan.
Beng-san
Siang-eng dan Souw Hui Lan juga cepat meloncat ke belakang, kemudian
mengerahkan tenaga sinkang untuk melindungi jantung mereka. Tidak terkecuali
Bi-kwi dan Tee Kok yang juga terkena serangan suara melengking itu sehingga
mereka pun terpaksa meloncat ke belakang dan menengok ke arah asal suara suling
seperti yang dilakukan semua orang yang berada di situ.
Kiranya yang
mengeluarkan bunyi melengking yang menyakitkan jantung dan menusuk-nusuk anak
telinga itu adalah Sim Houw. Pemuda itu sekarang sudah duduk bersila dan
menyuling sambil memejamkan kedua matanya, mengerahkan khikang kuat sekali ke
dalam tiupan sulingnya untuk membubarkan perkelahian yang tidak adil itu.
Melihat
suling berbentuk naga yang ditiup pemuda itu, Bi-kwi terkejut dan tak tertahan
lagi ia berteriak, "Suling Naga!"
Semua orang
terkejut mendengar teriakan ini, termasuk pula Hui Lan dan dua orang gurunya.
Mereka pun cepat memandang ke arah Sim Houw dengan perasaan tegang dan penuh
keheranan. Mendengar teriakan ini, Sim Houw segera menghentikan tiupan
sulingnya dan membuka matanya, lalu bangkit berdiri. Suling itu masih
dipegangnya, dipegang pada bagian ekor naga seperti kalau menyuling.
Bi-kwi sudah
dapat menekan guncangan hatinya. Ia melangkah maju menghampiri Sim Houw,
pandang matanya tajam penuh selidik, wajahnya berseri karena ada rasa girang
dalam hatinya bahwa akhirnya ia dapat berhadapan dengan orang yang telah
menerima Liong-siauw-kiam dari mendiang Pek-bin Lo-sian.
Suara suling
yang menusuk telinga dan mengguncangkan jantungnya tadi dianggapnya sebagai
keampuhan suling itu, bukan karena peniupnya yang mempunyai kepandaian tinggi.
Bi-kwi termasuk orang yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan selalu
meremehkan orang lain. Ia sudah mendapat gambaran yang jelas dari Sam Kwi
tentang macamnya Pedang Suling Naga, maka melihat suling di tangan pemuda itu
ia tidak merasa ragu lagi.
"Hemm,
jadi engkau inikah yang berjuluk Pendekar Suling Naga? Engkaukah orangnya yang
menerima suling pusaka itu dari tangan mendiang Pek-bin Lo-sian di
Himalaya?" tanya Bi-kwi dengan suara lantang.
Pertanyaan
ini menarik perhatian semua orang yang berada di situ sehingga mereka semua
seakan-akan telah lupa akan perkelahian tadi dan semua orang lalu memandang
kepada Sim Houw.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment