Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Naga
Jilid 03
Sim Houw
mengamati suling di tangannya dan alisnya berkerut. "Benar, akan tetapi
tidak kusanga bahwa Pek-bin Lo-sian telah meninggal dunia."
"Siapa
namamu?" Tiba-tiba Bi-kwi bertanya sambil menatap wajah yang tampan itu.
"Aku
she Sim bernama Houw, dan secara kebetulan saja Pek-bin Lo-sian memberikan
suling ini kepadaku dengan suka rela. Mengapa engkau mencari-cari aku?"
"Orang
she Sim, dengarlah baik-baik. Liong-siauw-kiam itu adalah milik nenek moyang
tiga orang guruku yang dikenal dengan julukan Sam Kwi. Pek-bin Lo-sian adalah
susiok-kongku sendiri. Orang tua yang tidak tahu diri itu secara lancang telah
memberikan pusaka keluarga perguruan guru-guruku kepada engkau, seorang asing.
Karena itu, dia layak mati di tanganku. Sekarang, serahkan pusaka itu kembali
kepadaku yang berhak memilikinya, dan barulah aku akan mempertimbangkan apakah
engkau harus dibunuh ataukah tidak."
Diam-diam
Sim Houw terkejut dan marah. Kiranya kakek itu telah dibunuh oleh wanita kejam
itu dan tentu saja dia sudah mendengar tentang Sam Kwi. Justeru karena tidak
ingin pusaka itu terjatuh ke tangan Sam Kwi, murid-murid keponakan Pek-bin
Lo-sian itu, maka kakek itu memberikan pusaka itu kepadanya dan berpesan agar
dia berhati-hati menghadapi Sam Kwi. Sekarang murid dari Tiga Iblis itu telah
muncul dan memang benar gadis ini mempunyai kepandaian yang tinggi, belum lagi
dua puluh empat orang pembantunya itu.
"Bi-kwi,
julukanmu itu tepat sekali. Memang engkau cantik, akan tetapi watakmu seperti
iblis yang kejam. Engkau Iblis Cantik bahkan telah membunuh susiok-couw
sendiri. Pusaka ini diberikan kepadaku oleh mendiang Pek-bin Lo-sian memang
dengan maksud agar jangan sampai terjatuh ke tangan Sam Kwi. Aku menerimanya
dari Pek-bin Lo-sian dan hanya kakek itu seorang yang berhak memintanya dari
tanganku. Baik engkau mau pun Sam Kwi, tidak berhak."
"Keparat,
berani engkau menentang Bi-kwi?" bentak Bi-kwi dan pedang di tangannya
tergetar sampai mengeluarkan suara berdengung.
"Ciong
Siocia, biar kurebutkan pusaka itu untukmu!" teriak Tee Kok.
Pria tinggi
kurus bermuka pucat ini telah menerjang maju, sepasang goloknya membuat gerakan
bersilang, yang satu membacok ke arah pergelangan tangan Sim Houw yang memegang
suling sedangkan yang ke dua menyambar ke arah pundak kiri pemuda itu. Sungguh
merupakan serangan maut yang berbahaya, sekaligus hendak merampas suling dengan
membacok tangan kanan lawan sambil berusaha membunuhnya!
Akan tetapi,
Sim Houw kelihatan tenang saja menghadapi serangan maut ini. Dengan sedikit
gerakan tubuh dan geseran kaki, dua serangan itu sudah meluncur lewat dan
mengenai tempat kosong, dan pada detik berikutnya, ujung suling itu telah
membalik di tangannya. Sekarang yang dipegangnya ialah bagian kepala suling
naga yang menjadi gagangnya dan kini ekor naga itu yang merupakan ujung mata
pedang telah menusuk ke arah paha Tee Kok dengan kecepatan kilat.
Tee Kok
terkejut dan cepat ia menarik kakinya. Akan tetapi pada saat itu, angin keras
menyambar dan ternyata angin itu keluar dari lengan baju kiri Sim Houw yang
sudah menyusulkan tamparan ke arah kepala lawan. Tee Kok mengelebatkan goloknya
yang kanan untuk membacok tangan kiri lawan, akan tetapi kembali tangan itu
mengelak dan melanjutkan serangan dengan totokan jari ke arah dada.
"Ehhh...!"
Tee Kok terkejut sekali.
Demikian
cepat gerakan lawan sehingga dalam satu gebrakan saja dia sudah dihujani
serangan. Sebagai bekas murid mendiang Hek-I Mo-ong yang lihai tentu saja dia
masih bisa menghindarkan diri dari totokan itu dengan cara meloncat ke
belakang. Kemarahan membuat dia lupa diri, lupa bahwa yang dihadapinya adalah
seorang lawan yang amat tangguh.
Dia
mengeluarkan suara menggereng. Kedua goloknya diputar-putar membentuk dua
lingkaran sinar bergulung-gulung yang menyerang ke arah Sim Houw. Karena
agaknya kini mulai sadar akan kelihaian lawan, Tee Kok lantas mengerahkan
seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus ilmu sepasang goloknya yang paling ampuh.
Untuk dapat merebut suling pusaka itu seperti yang dijanjikannya kepada Bi-kwi,
dia harus terlebih dahulu dapat membunuh pemuda ini.
"Hemm,"
Sim Houw mengeluarkan seruan dari hidungnya.
Tiba-tiba
sulingnya itu mengeluarkan suara melengking-lengking seperti ditiup ketika dia
memutarnya. Mendengar suara melengking tajam ini, entah bagaimana tahu-tahu dua
gulungan sinar golok itu terhenti sebentar seperti tertahan sesuatu dan saat
itu, ujung ekor suling naga telah meluncur dan menusuk ke arah Tee Kok, tepat di
antara kedua matanya.
Tee Kok
mengeluh kaget dan sepasang goloknya bergerak ke depan untuk menangkis dan
menggunting suling lawan. Akan tetapi suling itu telah bergerak ke belakang dan
pada saat yang sama, sebuah tendangan mengenai dada Tee Kok.
"Bukkk!"
Tee Kok
tidak melihat datangnya tendangan ini karena tadi matanya terancam tusukan
pedang suling sehingga seluruh perhatiannya telah tercurah untuk menyelamatkan
dua matanya. Sekarang tendangan itu mengenai dadanya yang sudah dilindungi
dengan kekebalan, akan tetapi tetap saja tubuhnya terjengkang dan terbanting
keras. Tee Kok merasa betapa tulang pinggulnya bagaikan remuk, akan tetapi dia
sudah dapat terus bergulingan seperti seekor trenggiling dan sudah meloncat
bangun lagi dengan muka semakin pucat dan mata berapi-api.
Tentu saja
Hui Lan dan dua orang gurunya terkejut bukan main, terkejut dan penuh rasa
kagum. Pemuda tukang suling yang tadinya mereka pandang rendah, mereka remehkan
sebagai seorang pemuda lemah, ternyata dalam dua tiga gebrakan saja sudah mampu
menendang jatuh Tee Kok yang tadi dirasakan sebagai lawan yang amat tangguh
oleh Hui Lan.
Gadis ini
teringat betapa tadi ia pernah mendorong Sim Houw sampai terguling-guling dan
teringat akan hal itu, mukanya berubah merah sekali. Tahulah dia kini bahwa
tadi Sim Houw hanya berpura-pura saja dan baru kini pemuda itu terpaksa
memperkenalkan diri hanya karena melihat ia dan dua orang gurunya tadi terancam
bahaya maut.
Sementara
itu, melihat mereka berkelahi dalam dua tiga gebrakan saja dan melihat
pembantunya tertendang roboh, Bi-kwi juga terkejut. Baru terbuka matanya bahwa
pemuda yang menerima benda pusaka itu, yang dijuluki orang Pendekar Suling
Naga, ternyata adalah seorang yang amat lihai. Ia mengenal tingkat kepandaian
Tee Kok yang pernah dikalahkannya itu. Cukup tangguh. Ia sendiri baru akan
mampu mengalahkan Tee Kok setelah bertanding sedikitnya lima puluh jurus. Akan
tetapi pemuda ini dalam tiga gebrakan saja sudah mampu membuat pembantunya itu
terjatuh.
"Kembalikan
Liong-siauw-kiam kepadaku!" bentak Bi-kwi.
Bwi-kwi juga
menerjang ke depan, ikut menyerang Sim Houw untuk membantu Tee Kok yang telah
siap pula dengan sepasang goloknya. Melihat betapa Bi-kwi yang diandalkan itu
maju, besarlah hati Tee Kok. Dia pun sudah maju lagi, memutar sepasang goloknya
mengeroyok Sim Houw.
Akan tetapi
tiba-tiba badan pemuda itu lenyap dan yang nampak hanya bayangannya saja yang
terbungkus gulungan sinar hitam dari sulingnya. Dan dari dalam gulungan sinar
itu muncul suara berdengung-dengung dan melengking-lengking yang membuat dua
orang pengeroyoknya terpaksa harus mengerahkan sinkang, kalau tidak mau roboh
oleh serangan suara mujijat itu. Terjadilah perkelahian yang amat menarik.
Hui Lan dan
dua orang gurunya terbelalak penuh kagum dan ketegangan. Tak mereka sangka
bahwa pemuda itu sedemikian lihainya sehingga akan mampu menghadapi
pengeroyokan dua orang tangguh itu. Padahal tadi, dikeroyok oleh Beng-san
Siang-eng saja, Bi-kwi dapat menandinginya tanpa merasa kewalahan. Dan kini,
wanita sakti itu bersama pembantunya yang lihai pula, dipaksa harus mengeroyok
Sim Houw!
Begitu
Bi-kwi memasuki gelanggang perkelahian, Sim Houw terpaksa mengeluarkan
kepandaiannya. Suara sulingnya semakin dahsyat, gerakannya semakin cepat dan
tiba-tiba terdengar suara nyaring ketika suling itu menghantam pedang Bi-kwi,
dilanjutkan dengan menangkis sepasang golok Tee Kok.
Suara
nyaring itu disusul teriakan kaget dua orang pengeroyok itu, dan semua orang
yang melihat perkelahian itu menjadi terheran-heran melihat betapa Bi-kwi
terhuyung ke belakang sampai lima langkah sedangkan Tee Kok untuk kedua kalinya
terjengkang dan terbanting keras! Padahal, perkelahian itu baru berlangsung
paling banyak lima belas jurus saja.
Hampir
berbarengan, Bi-kwi dan Tee Kok mengeluarkan seruan rahasia dan dua puluh tiga
orang anak buah Tee Kok itu serentak maju mengeroyok, dipimpin oleh Bi-kwi dan
Tee Kok yang sudah menyerang lagi.
Sepasang
saudara kembar Gak saling pandang dengan penuh keheranan. Baru kini mereka
menyaksikan kepandaian yang demikian hebatnya seperti yang dimiliki pemuda itu.
Akan tetapi melihat betapa kini semua anak buah pasukan baju merah itu maju
mengeroyok, mereka menjadi marah.
"Manusia-manusia
curang!" bentak Gak Jit Kong.
Bersama adik
kembarnya dia pun menerjang ke depan, diikuti pula oleh Souw Hui Lan. Mereka
bertiga mengamuk di antara dua puluh tiga orang anak buah Ang-i Mo-pang
sehingga mereka tidak memperoleh kesempatan mengeroyok Sim Houw yang sudah
dikeroyok lagi oleh Bi-kwi dan Tee Kok.
Belasan di
antara dua puluh tiga anggota Ang-i Mo-pang itu adalah bekas anak buah Hek-i
Mo-pang yang sudah biasa berkelahi, banyak pengalaman, lihai dan kejam. Akan
tetapi kini mereka diamuk oleh tiga orang ahli silat keturunan keluarga Pulau
Es, maka rusaklah pertahanan mereka dan mereka dibikin kocar-kacir oleh tiga
batang pedang yang bergerak cepat dan amat kuat itu. Dalam waktu tidak terlalu
lama, sudah ada beberapa orang di antara mereka roboh dan terluka, bahkan ada
pula yang tewas.
Sementara
itu, karena tidak memperoleh bantuan anak buahnya yang diamuk Hui Lan dan dua
orang gurunya, Bi-kwi dan Tee Kok kembali terdesak hebat oleh pedang suling di
tangan Sim Houw. Untung bagi mereka bahwa pemuda ini adalah seorang pendekar
yang berhati lembut sehingga tidak tega untuk membunuh dua orang yang
sebetulnya bukan musuhnya itu.
Sim Houw
hanya mempermainkan mereka dengan pukulan-pukulan suling yang tidak sampai
membuat mereka terluka parah atau sampai tewas. Kini Bi-kwi melihat jelas bahwa
kalau perkelahian itu dilanjutkan, dia akan menderita kekalahan, terluka parah
atau mungkin juga akan tewas. Dia tidak peduli apa yang akan terjadi dengan
para pembantunya. Orang seperti Bi-kwi ini tidak pernah memusingkan keadaan
orang lain. Yang terpenting adalah dirinya sendiri. Kalau ia selamat, masa
bodoh dengan orang lain. Maka, gadis yang cerdik ini segera mengambil keputusan
sebelum terlambat.
Pedang
suling di tangan Sim Houw sungguh hebat bukan main. Gerakannya aneh dan
dahsyat, mengandung tenaga mujijat dan terutama sekali suara
melengking-lengking dan mengaum-ngaum itu membingungkan hatinya.
"Aku
pergi dulu! Lain waktu masih banyak kesempatan untuk membunuh Pendekar Suling
Naga dan merampas kembali pusaka itu!" Setelah berkata demikian, wanita
itu meloncat jauh ke kiri dan melarikan diri lenyap di antara pohon-pohon.
Melihat ini,
Tee Kok terkejut bukan main. Kekagetannya membuat ia lengah dan sebuah
tendangan mengenai pahanya serta sinar hitam menyentuh pundaknya. Tubuhnya lalu
terpental dan dia roboh terbanting, kemudian bangkit lagi dan memberi aba-aba
kepada anak buahnya.
"Kita
pergi...!"
Dia sendiri
lalu terpincang-pincang melarikan diri. Golok kirinya lenyap, sedang lengan
kirinya sengkleh (lumpuh terkulai) karena tulang pundaknya retak-retak terkena
pukulan suling. Anak buahnya yang semenjak tadi memang sudah merasa gentar
menghadapi amukan gadis dan dua orang gurunya itu, begitu mendapat aba-aba,
cepat menyambar tubuh teman yang luka atau tewas, berbondong-bondong melarikan
diri dari tempat itu.
Sim Houw,
Hui Lan, dan Beng-san Siang-eng hanya memandang saja, tidak melakukan pengejaran.
Sedikitnya ada enam orang pengeroyok yang tewas dan banyak yang luka-luka.
Setelah
semua penyerbu itu lenyap dari pandangan dan tidak terdengar suara mereka lagi,
barulah dua orang saudara kembar itu menghadapi Sim Houw dan menjura dengan
sikap hormat. "Ah, kiranya engkau adalah seorang pendekar yang berilmu
tinggi. Terima kasih atas pertolongan Sim-taihiap kepada kami bertiga..."
Sim Houw
cepat-cepat memberi hormat. "Ahhh, ji-wi locianpwe harap jangan bersikap
sungkan. Mereka itu memang mengejar dan mencari saya. Ketika tadi aku
dikeroyok, bahkan sam-wi yang telah membantu saya. Maaf kalau saya bersikap
kurang hormat kepada ji-wi locianpwe yang ternyata adalah keluarga para
pendekar Pulau Es yang saya kagumi dan hormati."
"Sim-taihiap
terlalu merendahkan diri. Ilmu silatmu sungguh membuat kami merasa kagum
sekali. Gerakan pedang suling yang seperti amukan naga itu sungguh dahsyat dan
juga lengkingan suara suling itu benar-benar merupakan kekuatan khikang yang
sudah mencapai puncaknya. Kemahiranmu bermain suling mengingatkan kami akan
seorang pendekar sakti, yaitu Pendekar Suling Emas Kam Hong. Hanya dialah yang
kabarnya memiliki khikang seperti yang telah kau perlihatkan tadi."
"Dia
adalah guru saya."
"Ahhh,
pantas saja! Dan gerakan ilmu pedangmu yang bagaikan naga mengamuk itu
mengingatkan kami akan cerita orang tentang Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut
yang hanya dimiliki oleh pendekar Sim Hong Bu dari Lembah Gunung Naga
Siluman..."
"Dia
adalah mendiang ayah saya."
Dua orang
saudara kembar itu menjadi girang sekali. "Kiranya begitu? Ah, kalau
begitu di antara kita terdapat hubungan yang cukup erat. Bukankah engkau
mengenal baik anak paman-paman kami, Suma Ciang Bun dan Suma Ceng Liong?"
Sim Houw
tersenyum dan mengangguk. Tentu saja! Bahkan wanita yang kini menjadi isteri
pendekar Suma Ceng Liong, yaitu Kam Bi Eng, pernah ditunangkan dengan dia,
menjadi calon isterinya. Akan tetapi Bi Eng mencinta Ceng Liong dan melihat
kenyataan ini, dengan hati rela dia mengundurkan diri, sesuai dengan anjuran
mendiang ayahnya yang bijaksana.
"Locianpwe,
kalau boleh saya bertanya, urusan apakah yang membuat orang-orang dari
Bu-tong-pai tadi datang memusuhi sam-wi? Menurut pendengaran saya, orang-orang
Bu-tong-pai biasanya adalah orang-orang yang berjiwa pendekar, maka
mengherankan sekali kalau di antara sam-wi dan mereka terjadi bentrokan dan
permusuhan."
Dua orang
pria kembar itu saling pandang dengan Hui Lan. Wajah gadis ini berubah merah
sekali dan ia menundukkan mukanya. Gak Jit Kong lalu berkata dengan suara lirih
setelah menarik napas panjang. "Semua itu timbul karena pibu dalam
pinangan." Dan dia pun berhenti, agaknya ragu-ragu untuk melanjutkan.
Sim Houw
tadi sudah mendengarkan percakapan antara Bu-tong Ngo-lo dan tiga orang ini dan
dia sudah menduga-duga, akan tetapi belum yakin benar dan hatinya merasa amat
tertarik. "Pibu dalam pinangan? Apa artinya itu, locianpwe?"
Kembali Gak
Jit Kong menarik napas panjang sebelum menjawab. "Sudah kurang lebih tiga
tahun, semenjak datangnya lamaran-lamaran terhadap diri murid kami yang sudah
mulai dewasa, kami mengadakan semacam sayembara, yaitu, calon suami murid kami
haruslah seorang pendekar yang mampu mengalahkannya dan juga dari keluarga yang
mampu mengalahkan kami. Kami berpendapat bahwa hanya seorang pemuda yang
benar-benar lihai sajalah yang akan dapat menjadi jodoh yang cocok dan kelak
dapat membahagiakan murid kami. Dan dalam pibu itu, tentu saja tak dapat
dicegah jatuhnya korban di antara mereka, dan salah satu di antara korban itu
adalah seorang pemuda Bu-tong-pai dan susiok-nya."
Sim Houw
tadi sudah melihat sikap Hui Lan yang manja dan angkuh, juga bertangan kejam,
maka kini dia mengerutkan alisnya. Dua orang saudara kembar ini walau pun telah
berhasil menggembleng muridnya dengan ilmu silat tinggi, namun agaknya gagal
dalam mendidiknya. Dia pun menarik napas panjang, teringat kembali akan keadaan
dirinya sendiri, akan tali perjodohannya yang putus.
"Maaf,
ji-wi locianpwe. Akan tetapi, saya kira perjodohan hanya akan mendatangkan
kebahagiaan kalau didasari cinta kedua pihak saja. Tanpa cinta, perjodohan itu
tentu akan gagal. Kepandaian atau kedudukan tinggi, harta yang besar, tidak
bisa menjamin terciptanya kerukunan dalam perjodohan. Kenapa ji-wi hendak
memaksakan hal itu? Bukankah perjodohan itu baru dapat berlangsung dengan baik
jika dilandasi cinta kasih dan niat dari kedua pihak saja? Maafkan kelancangan
kata-kata saya, locianpwe, saya tidak bermaksud mencampuri urusan pribadi ji-wi
dan nona. Selamat tinggal, saya harus melanjutkan perjalanan saya."
Setelah berkata demikian, Sim Houw memberi hormat kepada mereka bertiga,
kemudian menggunakan ilmunya untuk meloncat jauh dan berlari cepat meninggalkan
tempat itu.
Gak Jit
Kong, Gak Goat Kong, dan Souw Hui Lan berdiri termangu-mangu sambil memandang
ke arah perginya pemuda perkasa itu. Ucapan pemuda itu seperti masih terngiang
dalam telinga mereka. Mereka lalu saling pandang dan menundukkan muka.
"Pemuda
itu berkata benar." Akhirnya Hui Lan berkata halus. "Perjodohan hanya
dapat mendatangkan kebahagiaan kalau berlandaskan cinta kedua pihak. Ji-wi suhu
dan aku telah menipu dan menyiksa diri sendiri. Untung belum muncul seorang
peminang yang memiliki kepandaian seperti Sim Houw itu. Kalau sampai kita dikalahkan
kemudian aku terpaksa menjadi jodoh orang lain, bukankah kita bertiga akan
menderita batin semua? Suhu, kita tidak perlu menipu diri lagi, tidak perlu
berpura-pura lagi..."
Gak Jit Kong
dan Gak Goat Kong saling pandang dan muka mereka berubah menjadi merah sekali,
sinar mata mereka pun membayangkan kegugupan.
"Hui
Lan, apa maksudmu...?" Gak Jit Kong bertanya lirih.
"Suhu
berdua secara mati-matian mempertahankan diriku, dengan dalih mencarikan jodoh
yang berilmu tinggi, sebenarnya menentang agar tidak ada orang yang lulus ujian
atau menang sayembara. Suhu berdua tidak ingin melihat aku menjadi jodoh orang
lain. Hal itu hanya berarti bahwa suhu berdua cinta kepadaku."
"Hui
Lan...!" Gak Goat Kong berseru.
"Hui
Lan, tentu saja kami cinta padamu, sayang kepadamu karena engkau adalah murid
tunggal kami yang kami sayang seperti anak kami sendiri," Gak Jit Kong
berseru pula.
"Tadinya
memang begitu, tetapi cinta itu lambat laun berubah, mengalami bentuknya yang
asli. Tidak perlu suhu berdua menyangkal lagi. Aku adalah seorang wanita dan
naluriku membisikkan cinta kasih suhu berdua itu. Mulanya aku memang tidak
berani menyangka demikian, hanya sering kali termenung dan menduga-duga. Akan
tetapi sekarang, setelah muncul Sim Houw tadi, aku tahu dan aku yakin."
"Hui
Lan, janganlah mengira orang yang tidak-tidak! Kami adalah guru-gurumu, mana
mungkin...," kata pula Gak Goat Kong, seperti juga kakak kembarnya,
mukanya tiba-tiba menjadi pucat dan matanya terbelalak.
"Mengapa
tak mungkin? Suhu berdua adalah pria sejati, dan aku hanya seorang wanita. Dan
sekarang aku makin yakin lagi bahwa aku... sebenarnya aku pun tak menghendaki
menjadi isteri siapa pun juga karena aku... aku pun semenjak dahulu cinta
kepada ji-wi suhu..."
"Hui
Lan...!" Kini dua orang kembar itu berteriak secara berbareng.
Namun Hui
Lan tidak peduli lagi. "Ya-ya-ya, aku cinta kepada ji-wi suhu. Sejak masih
kecil, aku cinta kepada ji-wi suhu. Mungkin tadinya seperti cinta seorang anak
terhadap orang tuanya, seperti adik terhadap kakak, seperti murid terhadap
guru. Akan tetapi setelah aku dewasa... aku yakin tidak ada manusia lain di
dunia ini yang akan dapat kucinta seperti aku mencinta ji-wi. Aku hanya
mempunyai ji-wi di dunia ini, sebagai guru, sebagai saudara, sebagai ayah ibu,
sebagai teman dan... sebagai orang yang akan kutemani selama hidupku. Aku tidak
akan dapat meninggalkan ji-wi, tidak mungkin menjadi isteri orang lain, dan
demikian juga perasaan ji-wi terhadap diriku. Ji-wi suhu, kenapa kita harus
berpura-pura lagi, menipu dan mempermainkan diri sendiri?" Dan gadis itu
kini menjatuhkan diri berlutut, menutupi mukanya dengan kedua tangan lalu
menangis!
Dua orang
kembar itu saling pandang dengan muka pucat, lalu mereka memandang ke arah Hui
Lan yang berlutut dan tunduk menangis, pundaknya terguncang, isak tangis keluar
dari muka yang ditutupi.
Dan dua
orang kembar itu pun mengusap beberapa butir air mata dari pelupuk mata mereka.
Hati mereka seperti dikupas dan ditelanjangi oleh murid mereka. Mereka saling
pandang dan tahu bahwa semua yang dikatakan Hui Lan itu benar adanya. Dan
mengertilah sekarang mereka mengapa selama ini mereka tidak mau melihat gadis
lain, tidak mau memikirkan tentang perjodohan mereka.
Cinta mereka
terhadap Hui Lan tumbuh bersama dengan tumbuhnya anak perempuan berusia empat
tahun itu sampai kini Hui Lan menjadi seorang gadis dewasa berusia dua puluh
tahun. Cinta mereka tumbuh dan menjadi pohon yang kokoh kuat, berakar
dalam-dalam di hati mereka. Karena itu mereka takut kehilangan Hui Lan. Untuk
menyatakan terus terang, mereka tentu saja merasa tidak enak hati, malu dan
tidak berani.
Akan tetapi
tanpa terlebih dahulu berunding mereka telah mengambil keputusan untuk
menentang siapa saja yang mau menjadi suami Hui Lan, dengan jalan mengadakan
syarat dan sayembara yang berat itu. Dan terhadap setiap orang pria yang
mencoba untuk memasuki sayembara, meminang Hui Lan, timbul rasa cemburu, benci
yang mendorong mereka bersikap keras mengalahkan orang-orang itu!
"Tapi...
tapi, Hui Lan...," Gak Jit Kong mencoba untuk membantah dengan muka pucat
dan suara gemetar. "Bagaimana mungkin ini? Kata-katamu membuka rahasia
yang terpendam paling dalam di lubuk hati kami... dan kami mengaku... memang
kami amat mencintamu... kami tidak menghendaki kehilangan engkau kalau engkau
menjadi isteri orang lain. Tapi di samping itu, kami juga melihat betapa tidak
mungkinnya... bukan hanya karena engkau adalah murid kami, akan tetapi... kami
adalah dua orang dan engkau..."
Gak Jit Kong
tidak berani melanjutkan dan agaknya untuk mencari kekuatan, tanpa dia sadari,
tangan kanannya mencari dan menggenggam tangan kanan adik kembarnya. Dan tangan
yang saling genggam itu seolah-olah saling mencari bantuan dan mereka pun
menggigil.
Sejenak Hui
Lan masih sesenggukan, kemudian ia mengeraskan hatinya dan mengusap air
matanya. Ketika ia melepaskan kedua tangan dan mengangkat muka memandang kepada
suhu-suhu-nya, wajahnya juga nampak pucat dan kedua matanya merah basah.
"Ji-wi
suhu, aku kini berpegang pada ucapan Sim Houw tadi. Bahwa perjodohan harus
berlandaskan cinta kasih antara kedua pihak. Kalau ada cinta kasih antara kedua
pihak, apa lagi yang tidak mungkin? Kita saling mencinta, hal ini kita sudah
sama merasa yakin akan kebenarannya. Dan tentang ji-wi berdua, bagiku hanya
merupakan dua tubuh akan tetapi dengan hati, pikiran dan perasaan yang satu.
Bagiku, ji-wi bukanlah berdua, melainkan satu. Tidak ada bedanya antara satu
dengan yang lain. Dan aku... aku hanya akan dapat hidup berbahagia kalau berada
di antara ji-wi, kalau selalu berdekatan dengan ji-wi."
Dua orang
kembar itu saling pandang dengan dua tangan kanan masih saling genggam.
"Akan
tetapi... kita... akan menjadi... bahan tertawaan dan pergunjingan
orang..."
Melihat
betapa dua orang suhu-nya itu kini hanya mencari alasan yang lemah saja, Hui
Lan tersenyum melalui air matanya. Ia lalu bangkit berdiri, dengan lembut
memegang dua tangan yang saling genggam itu, melepaskan genggaman mereka, dan
kemudian ia menggandeng tangan kedua orang suhu-nya, Gak Jit Kong di sebelah
kanannya dan Gak Goat Kong di sebelah kirinya, lalu ia mengajak dua orang itu
berjalan perlahan.
"Marilah
kita pulang, suhu. Omongan orang lain... ada sangkut-paut apakah dengan
kehidupan kita? Kita sendirilah yang tahu bagaimana seharusnya dan sebaiknya
bagi kehidupan kita sendiri, bukan? Marilah kita bicarakan hal penting ini di
rumah. Mulai sekarang kita tidak boleh menerima pinangan orang lain lagi. Aku
akan mengatakan bahwa sekarang aku telah memperoleh jodoh, dan bahwa aku adalah
calon isteri suhu berdua."
Dua orang
pria kembar itu masih termangu-mangu, akan tetapi senyum kebahagiaan mulai
mekar di mulut mereka. Kini mereka tahu bahwa inilah yang selama ini mereka
cari dan harapkan, yaitu hidup bersama Hui Lan, bertiga, tak pernah berpisah
lagi. Inilah yang membuat mereka kadang-kadang gelisah di tengah malam, membuat
mereka menjadi pemarah dan pembenci orang yang datang melamar, membuat mereka
bahkan kejam melukai dan membunuh orang. Kini seolah-olah ganjalan yang selama
bertahun-tahun menindih batin mereka telah dilepaskan dan mereka merasa dada
mereka begitu lapang, begitu ringan, begitu bahagia!
"Engkau
benar, Hui Lan. Dengan bertiga, kita sanggup menghadapi apa pun juga,"
kata Jit Kong.
"Kita
akan pergi menghadap ayah ibu, kita harus berterus terang," kata pula Goat
Kong.
Sejenak
kemudian, dengan hati-hati Jit Kong berkata lagi, "Hui Lan, benarkah
hatimu sudah yakin?
Hui Lan
menoleh ke kanan, pandang matanya memancarkan ketulusan hati. "Aku yakin
benar, apakah suhu masih belum yakin seperti aku?"
"Aku...
kami sudah yakin sekali tentang cinta kasih antara kita, dan ketulusan hatimu,
kebulatan tekadmu, membuat kami berani dan bersemangat. Hanya ada satu hal yang
masih meragukan kami..."
Hui Lan
membelalakkan matanya dan menoleh ke kiri, melihat betapa Gak Goat Kong juga
mengangguk-angguk membenarkan kata-kata kakak kembarnya. "Ji-wi masih ragu
lagi? Apa lagi yang diragukan?"
"Hui
Lan, kami berdua adalah laki-laki yang tidak muda lagi. Kami berusia empat
puluh tahun sedangkan engkau... engkau baru dua puluh tahun, pantas menjadi
anak kami..."
"Suhu!"
Hui Lan berseru penuh rasa penasaran. "Cinta kasih tidak memandang umur,
tidak memandang kepandaian, kedudukan atau harta. Cinta kasih adalah urusan
hati kedua pihak. Umur tidak masuk hitungan."
Jawaban ini
agaknya melegakan hati dua orang pria kembar itu. Mereka bergandeng tangan
dengan wajah berseri-seri, menuju ke pondok mereka untuk membicarakan urusan
mereka itu dengan lebih mendalam lagi.
Cinta kasih
adalah sesuatu yang ajaib, penuh rahasia. Tidak mungkin menggambarkan bahwa
cinta kasih itu begini, atau begitu. Tidak dapat dirumuskan. Tidak dapat
menilai cinta kasih seseorang. Hanya orang itu sendiri yang dapat merasakannya.
Cinta kasih yang hinggap di hati manusia adalah cinta kasih yang tak
terpisahkan dari nafsu birahi.
Tidak dapat
disangkal pula bahwa cinta kasih antara pria dan wanita mengandung kemesraan
sexuil, suatu hal yang wajar karena daya tarik alami antara keduanya ini amat
dibutuhkan sebagai sarana pembiakan. Karena tidak terpisahkan dari nafsu birahi
yang membutuhkan kemesraan, maka di dalam cinta kasih yang biasa disebut asmara
ini terdapat pula cemburu, terdapat pula perasaan ingin memberi, ingin diberi,
mencinta dan dicinta, ingin menguasai dan dikuasai, memonopoli dan dimonopoli,
serta ada pula perasaan iba, dan kesemuanya ini tentu saja menimbulkan tawa dan
tangis, puas dan kecewa, juga penderitaan batin.
Anehnya,
penderitaan cinta kasih kadang-kadang terasa seperti indah, kadang-kadang malah
yang paling buruk, dan agaknya hidup menjadi hampa tanpa adanya cinta, yang
sesungguhnya adalah cinta birahi, yang sesungguhnya hanya pelarian manusia
karena takut akan kekosongan hati, takut akan kesepian, takut akan kehilangan
pegangan, takut karena merasa hidup tidak ada artinya, maka ingin mengisinya
dengan cinta birahi. Juga karena dorongan naluri badaniah.
Perasaan dua
saudara kembar Gak itu tumbuh dari rasa iba terhadap seorang anak perempuan
cilik, berusia empat tahun yang hidup sebatang kara. Rasa iba ini menjadi rasa
sayang karena anak itu amat menyenangkan hati, berbakat baik dalam ilmu silat
dan menjadi penawar rasa kesepian mereka, mengikatkan mereka karena mereka
merasa mempunyai seseorang yang patut disayang. Rasa sayang terhadap seorang
anak kecil!
Akan tetapi
karena anak kecil itu adalah anak perempuan, pada saat anak itu tumbuh menjadi
semakin besar, rasa sayang itu pun bertumbuh dan berubah, terdorong oleh naluri
badani, oleh nafsu birahi yang ditekan-tekan. Ikatan di batin menjadi semakin
kuat dan dua orang itu tidak berani lagi menghadapi kenyataan bahwa mereka akan
saling berpisah kalau anak itu menjadi dewasa dan menjadi isteri orang lain.
Rasa sayang menjadi bertambah besar dan berubah menjadi cinta seorang pria
terhadap seorang wanita.
Cinta asmara
tak dapat disangkal lagi mengandung nafsu birahi, namun cinta bukanlah nafsu
birahi semata! Karena cinta asmara sarat dengan Im dan Yang, penuh dengan
hawa-hawa yang saling bertentangan, maka dapat melahirkan tawa, atau suka dan
duka, puas dan kecewa. Dapat menimbulkan cemburu, iri, dengki, dendam dan
benci. Dapat pula menimbulkan iba, mesra, sabar, toleransi dan kesetiaan!
Betapapun
juga, dapat kita lihat bahwa cinta asmara memegang peran terpenting, bahkan
menguasai kehidupan seluruh manusia di permukaan bumi ini! Bayangkan saja apa
akan jadinya kalau hidup ini tanpa cinta asmara! Dunia akan terasa lengang, dan
hubungan antara pria dan wanita, hubungan yang menjadi jaminan perkembang
biakan manusia, akan tidak ada artinya sama sekali, seperti hubungan antara
binatang. Karena itu, hubungan sexuil baru dapat dianggap sebagai suatu hal
yang suci kalau di situ disertai dua buah hati yang saling mencinta! Bukan
sekedar dua hati yang dibuai oleh nafsu birahi semata.
Cinta asmara
yang tumbuh dalam hati Hui Lan juga merupakan hal yang tidak terlalu aneh.
Semenjak berusia empat tahun, anak ini hidup bersama Beng-san Siang-eng. Dia
terhindar dari mala petaka, melihat bagaimana keluarganya terbasmi dan betapa
dirinya diselamatkan oleh dua orang pria itu. Ia hidup dan tumbuh bersama dua
orang pria yang amat menyayangnya.
Kedua orang
pria itu merupakan guru-gurunya, juga pengganti orang tuanya,
sahabat-sahabatnya, dan hal ini menggugah perasaan kewanitaannya yang halus,
yang selalu haus akan kasih sayang, yang ingin dimanja, yang ingin dikuasai.
Semua ini didapatinya dalam diri dua orang pria itu, maka tidaklah aneh kalau
lambat laun ia jatuh cinta kepada dua orang gurunya yang dianggap sebagai satu
orang dengan dua tubuh itu. Mungkin juga keadaan yang sangat istimewa, menjadi
isteri dari dua orang yang serupa badan dan batinnya, keanehan dan hal yang tak
akan dirasakan wanita lain, menggugah pula rasa ingin tahunya, menggugah
gairahnya dan yang seumur hidupnya akan dijadikan sumber kebanggaannya.
***************
Pagi itu
matahari bersinar cerah sekali, tanpa adanya pengganggu berupa awan di satu di
antara puncak-puncak Pegunungan Thai-san. Puncak yang ini amat sunyi, bahkan
dianggap sebagai tempat yang gawat dan amat berbahaya oleh para pemburu
binatang sehingga sudah bertahun-tahun lamanya tak ada pemburu yang berani
mendaki puncak ini. Puncak yang pada akhir-akhir ini dikenal sebagai puncak
maut karena banyak sudah para pemburu yang kedapatan tewas dan mayat-mayat
mereka dilempar ke bawah puncak.
Menurut
kepercayaan para pemburu dan juga para penghuni dusun-dusun di sekitar
Pegunungan Thai-san, puncak itu kini dihuni oleh iblis-iblis jahat dan
binatang-binatang buas yang amat kuat. Akan tetapi, orang-orang kang-ouw dapat
menduga bahwa di puncak itu tentu tinggal datuk-datuk sesat yang berilmu tinggi
dan yang menganggap puncak itu sebagai miliknya serta tidak mau diganggu orang
lain.
Dugaan para
ahli silat di dunia kang-ouw yang tidak mudah percaya akan cerita-cerita tahyul
ini memang tepat sekali. Puncak itu menjadi tempat pertapaan Sam Kwi dan dua
orang muridnya. Sejak murid pertama mereka, yaitu Ciong Siu Kwi yang berjuluk
Bi-kwi (Iblis Cantik), pulang dengan laporan yang amat mengecewakan bahwa murid
pertama yang amat diandalkan itu kalah oleh Pendekar Suling Naga, tiga orang
kakek itu merasa prihatin sekali.
Mereka telah
mewariskan semua ilmu mereka yang paling tinggi kepada Bi-kwi, dan gadis yang
boleh dikatakan memiliki bakat yang besar itu kini boleh dibilang tidak kalah
lihai dibandingkan dengan mereka. Akan tetapi, Bi-kwi kalah jauh, demikian
menurut pelaporan murid itu. Bi-kwi merengek kepada tiga orang kekasihnya itu
agar mereka suka mengajarkan ilmu baru yang lebih hebat supaya kelak ia dapat
mencari Pendekar Suling Naga untuk membalas kekalahannya dan merampas pusaka
Suling Naga.
Tiga orang
kakek itu menghela napas kehabisan akal dan Im-kan-kwi atau Iblis Akhirat itu
berkata, "Bi-kwi, ilmu apa lagi yang dapat kami ajarkan kepadamu? Raja
Iblis Hitam sudah menurunkan Hek-wan Sip-pat-ciang kepadamu, ilmunya yang
paling akhir. Aku sendiri sudah mengajarkan Toat-beng Hui-to, golok terbang
pencabut nyawa itu, dan Iblis Mayat Hidup sudah mengajarkan Hun-kin Tok-ciang
yang hebat itu. Kalau dengan ilmu-ilmu itu kau masih kalah, lalu ilmu apa lagi
yang dapat kau pelajari?"
"Tentu
saja aku tidak sempat mempergunakan semua ilmu itu satu demi satu. Akan tetapi
dia sungguh lihai, Suhu. Biar dibantu Tee Kok dan dua puluh orang lebih anak
buahnya, aku tidak mampu mengalahkannya, bahkan hampir saja celaka di
tangannya. Dia lihai sekali. Pusaka suling naga itu dapat menjadi pedang yang
mengeluarkan suara mengaum dan juga suara suling itu melengking-lengking
mengandung tenaga khikang yang amat kuat," keluh Bi-kwi.
Ketiga orang
kakek iblis itu merasa penasaran sekali. Tadinya mereka beranggapan bahwa murid
dan kekasih mereka itu merupakan orang yang paling lihai dan tidak akan
terkalahkan. Karena itulah maka mereka percaya kepada Bi-kwi untuk melaksanakan
tugas berat, yaitu mencari dan menandingi Pendekar Super Sakti dan mencari
susiok mereka Pek-bin Lo-sian untuk merampas pusaka Suling Naga. Namun siapa
sangka, murid yang dipercaya dan diandalkan ini lalu pulang sambil mengomel,
menceritakan kekalahannya terhadap orang yang kini menguasai Siauw-liong-kiam!
"Baiklah,
sekarang begini saja, Bi-kwi," kata pula Iblis Akhirat dengan suara gemas
dan dia mengepal tinju. "Kami bertiga akan bertapa bersama-sama. Kami akan
mencoba untuk menciptakan sebuah ilmu yang baru dengan pengerahan tenaga dan
pikiran kami bertiga digabung menjadi satu. Sementara itu, engkau latihlah
sumoi-mu agar dia kelak dapat membantumu. Setelah dia pandai dan kami menemukan
ilmu baru, kami akan mengajarkan ilmu itu kepadamu. Kemudian, kita berlima akan
pergi mencari Pendekar Suling Naga. Jika kita masih juga tak mampu merampas
pusaka itu dan membunuhnya, biarlah kami yang mati di tangannya!"
Girang
sekali hati Bi-kwi. Keputusan yang diambil tiga orang gurunya itu mendatangkan
banyak keuntungan dan kesenangan baginya. Pertama, tentu saja ia girang jika
sampai dapat menerima ilmu baru yang tentu hebat sekali kalau diciptakan oleh
penggabungan tiga orang sakti itu.
Ke dua,
hatinya lega karena tentu dia akan terbebas untuk waktu lama dari mereka
bertiga, tidak perlu melayani mereka yang sedang bertapa. Kini ia mulai merasa
bosan dan muak kalau harus melayani tiga orang gurunya yang sudah tua dan sama
sekali tidak menarik hati lagi itu. Ia dapat menghibur diri dengan mencari
pria-pria-muda yang tampan di dusun-dusun sekitar pegunungan itu!
Dan yang ke
tiga, di luar pengawasan tiga orang suhu-nya, dia dapat makin bebas untuk
menyelewengkan pelajaran ilmu-ilmu silat kepada sumoi-nya yang secara diam-diam
dibencinya karena dianggap sebagai saingan itu. Tetapi, hatinya yang penuh
kepalsuan itu membuat ia berpura-pura ketika ia menjatuhkan diri berlutut di
depan tiga orang gurunya.
"Budi
suhu bertiga sudah bertumpuk-tumpuk terhadap diriku dan sekarang suhu akan
bersusah payah pula menciptakan ilmu baru untukku. Sampai mati pun budi ini
tidak akan kulupakan dan aku berjanji akan menanti sampai suhu bertiga
berhasil, walau pun aku akan hidup kesepian. Dan aku berjanji kelak akan
mempelajari ilmu baru itu dengan sempurna."
"Hemm,
tak perlu kesepian karena ada sumoi-mu, Bi-kwi," kata Hek Kwi-ong.
"Aku
akan mengerahkan semua tenaga untuk melatih sumoi dengan baik, suhu,"
jawab Bi-kwi.
Demikianlah,
semenjak pulangnya Bi-kwi yang menderita kekalahan dari Sim Houw si Pendekar
Suling Naga, Sam Kwi lalu mengurung diri dalam sebuah ruangan tertutup di mana
mereka tekun bertapa, mengerahkan semua kepandaian untuk menggabungkan pikiran
mereka untuk menciptakan sebuah ilmu yang baru dan ampuh. Mereka tidak pernah
keluar, dan setiap hari Bi-kwi sendiri yang memasukkan makanan dan minuman
untuk mereka dari sebuah lubang di pintu. Ada kalanya ia menyuruh sumoi-nya,
Can Bi Lan untuk menyuguhkan makanan dan minuman itu.
Bi Lan
adalah seorang anak perempuan yang sama sekali belum memiliki pengalaman
tentang ilmu silat. Akan tetapi sejak ia mengalami peristiwa yang amat
mengguncang batinnya, melihat betapa ayah dan ibunya tewas disiksa gerombolan,
kemudian melihat pula dirinya terancam bahaya yang mengerikan, lalu betapa Sam
Kwi membunuhi semua anggota gerombolan dan menyiksanya dengan sadis, terjadi
perubahan pada batinnya.
Ia merasa
seperti seorang yang bangkit kembali dari kematian, dan hal ini membuat ia
memiliki keberanian yang luar biasa. Dan melihat betapa banyaknya orang jahat
di dunia, betapa hidup ini penuh dengan ancaman bahaya maut dan bahaya
penghinaan, ia pun bertekad untuk mempelajari ilmu silat dari tiga orang
gurunya.
Biarpun
diam-diam ia merasa tidak suka dan takut kepada suci-nya, akan tetapi karena
tiga orang gurunya menyerahkan ia untuk dilatih oleh suci-nya, Bi Lan juga
menerima keputusan ini tanpa banyak membantah. Bahkan ia menurut secara membuta
segala latihan yang diberikan Bi-kwi kepadanya.
Ia tidak
mempedulikan kedua telapak tangannya sampai rusak-rusak karena setiap pagi dan
petang suci-nya menyuruhnya berlatih mengeraskan tangan dengan menggunakan
kedua telapak tangan untuk memukuli pasir panas yang dicampur bubuk besi.
Mula-mula memang telapak tangannya luka-luka dan melepuh, akan tetapi anak ini
memiliki tekad yang besar sehingga akhirnya ia dapat mengatasi semua kesulitan.
Ilmu-ilmu
Sam Kwi yang diajarkan oleh Bi-kwi, oleh si Iblis Cantik ini memang sengaja
diselewengkan sehingga jurus-jurus yang diajarkan itu sudah tak sempurna lagi,
bahkan dikacau dengan gerakan-gerakan lain sehingga ilmu silat yang dipelajari
oleh Bi Lan tidak lagi murni!
Bukan hanya
ilmu silat. Bahkan saat anak itu mulai diberi pelajaran semedhi dan melatih
tenaga dalam, latihan ini pun diselewengkan oleh Bi-kwi. Akibatnya, tenaga
dalam yang dihimpun oleh Bi Lan adalah tenaga yang sesat dan lebih celaka lagi,
latihan-latihan ini membuat batinnya terguncang dan pikirannya menjadi kacau!
Bertahun-tahun,
sewaktu tiga orang kakek itu bertapa dan menggabungkan diri untuk bersama-sama
menciptakan ilmu baru, Bi Lan mempelajari ilmu-ilmu yang disesatkan oleh
Bi-kwi. Banyak sudah ilmu silat yang dipelajarinya, akan tetapi tidak satu pun
yang murni!
Akan tetapi,
anehnya, anak yang kini mulai tumbuh menjadi seorang gadis itu, melalui
latihan-latihan yang keliru, berhasil menghimpun tenaga yang aneh pula, yang
kadang-kadang timbul dengan hebatnya akan tetapi tiba-tiba pula lenyap membuat
dia sama sekali tidak bertenaga. Ilmu silatnya juga aneh, hanya menurutkan
naluri dan perasaan saja, karena semua ilmu silat yang dipelajarinya itu tidak
lengkap dan diselingi gerakan-gerakan ngawur yang membuat jurus-jurusnya
kadang-kadang malah membahayakan diri sendiri. Akibatnya, Bi Lan menjadi
seorang gadis yang ilmu silatnya aneh, tenaga dalamnya juga aneh.
Yang
mengesalkan hati Bi-kwi adalah ketekunan gadis itu, yang selalu menuruti segala
perintahnya sehingga tidak ada alasan baginya untuk memarahinya. Dan yang lebih
menjengkelkan dan mengkhawatirkan hatinya lagi adalah melihat betapa Bi Lan
kini tumbuh menjadi seorang gadis yang amat cantik manis!
Ia sengaja
memberi pakaian-pakaian tua kepada gadis itu, pakaian-pakaiannya sendiri yang
sudah tua, dan sengaja dipotong sedemikian rupa sehingga pakaian itu menjadi
aneh, lapuk dan bahkan ada yang tambal-tambalan. Akan tetapi celakanya bagi
Bi-kwi, pakaian buruk apa pun yang melekat pada tubuh Bi Lan menjadi pantas dan
indah!
Hal ini
adalah karena Bi Lan tumbuh menjadi seorang gadis dewasa, atau remaja, dan
tubuhnya mulai mekar indah sehingga tentu saja segala macam pakaian menjadi
pantas dan menarik. Apa lagi, gadis ini sejak kecil memang suka sekali akan
kebersihan, sering kali membersihkan tubuhnya dan mencuci rambutnya sehingga
walau pun pakaiannya buruk namun nampak bersih dan segar selalu.
Kedua
pipinya yang tidak pernah mengenal bedak, karena dilarang oleh Bi-kwi, nampak
segar kemerahan seperti kulit buah apel. Sepasang matanya lebar dan jeli,
rambutnya hitam panjang dan gemuk. Terutama sekali sepasang lesung pipit di
kanan kiri mulutnya membuat gadis itu bertambah manis kalau tersenyum. Sayang,
guncangan batin dan pikirannya akibat latihan-latihan yang sesat itu membuat Bi
Lan juga memiliki kebiasaan aneh. Kadang-kadang dia tersenyum-senyum seorang
diri, kadang-kadang menangis. Pendeknya, gadis ini menunjukkan gejala bahwa
otaknya agak miring!
Semua
kejengkelan hati Bi-kwi karena melihat betapa sumoi-nya menjadi semakin cantik
dan mengalahkan dirinya, terhibur juga oleh kenyataan bahwa sumoi-nya seperti
orang gila itu. Sesungguhnya gejala-gejala kegilaan inilah yang menyelamatkan
nyawa Bi Lan. Andai kata ia tidak demikian, tentu kebencian Bi-kwi akan
menjadi-jadi karena iri akan kecantikannya dan bukan tidak mungkin iblis betina
itu akan membunuhnya!
Sambil terus
menanti tiga orang gurunya yang masih juga belum keluar dari tempat
pertapaannya, Bi-kwi setiap hari berlatih silat memperdalam ilmu-ilmunya. Dia
tidak mempedulikan kepada Bi Lan yang dianggapnya seorang gadis yang miring
otaknya. Ia sama sekali tidak tahu bahwa di samping kelainan pada pikirannya
yang terguncang itu, juga terjadi perubahan yang aneh, yaitu otak Bi Lan mampu
menangkap dan mencatat segalanya dengan kuat sekali.
Ia tidak
tahu bahwa setiap kali ia berlatih silat, Bi Lan menonton dan gadis ini mampu
mengingat semua jurus itu dan kalau sedang seorang diri, Bi Lan melatih diri
dengan gerakan-gerakan yang dilihatnya dari suci-nya ketika berlatih. Dengan
demikian, hampir semua gerakan ilmu silat yang dimainkan Bi-kwi diam-diam
dikuasai oleh Bi Lan!
Pada suatu
hari, Bi-kwi baru pulang setelah lewat pagi hari, Wajahnya muram, alisnya
berkerut dan hatinya penuh diliputi kejengkelan dan kemarahan. Semalam ia
bertemu dengan seorang pria muda jauh di selatan. Hatinya tertarik dan dengan
berbagai usaha ia membujuk pria itu setelah pria itu diculiknya dan dibawa ke
tempat sunyi, agar pria itu mau menyambut hasrat hatinya.
Tetapi pria
itu bahkan memaki-makinya, menolaknya dan menyebutnya perempuan hina tak tahu
malu. Karena bujukan kasar dan halus ditolak oleh pria itu, setelah semalam
suntuk ia gagal membujuk, akhirnya ia membunuh pria itu dan pulang dengan hati
kesal karena kekecewaan.
Tidak ada
orang lain kecuali Bi Lan seorang yang dapat dijadikan tempat pelontaran
kemarahan hatinya.
"Siauw-kwi...!"
Ia memanggil.
Bi Lan
datang berlari-lari dengan muka dan kepala masih basah. Ia tengah berada di
sumber air dan mandi saat suci-nya memanggil. Tergesa-gesa ia mengenakan
pakaian dan dengan muka dan rambut masih basah iapun datang menghampiri
suci-nya. Melihat betapa wajah sumoi-nya itu berseri-seri, dengan senyum yang
manis dihias sepasang lesung pipit itu, melihat sepasang pipi kemerahan dan
segar sekali, hati Bi-kwi menjadi semakin panas!
"Siauw-kwi,
sudah lama kita tidak berlatih silat. Hayo, siapkan dirimu untuk berlatih silat
denganku!"
Sepasang
mata itu terbelalak, nampak ketakutan. "Aihh, suci yang baik. Jangan pukul
aku lagi. Apa pun perintahmu akan kutaati, akan tetapi jangan memukuli aku
dalam latihan. Aku sudah kapok!"
Bi Lan
memang merasa tersiksa sekali kalau diajak berlatih, karena namanya saja
berlatih, akan tetapi pada hakekatnya ia menjadi bulan-bulan pukulan dan
tendangan suci-nya sampai tubuhnya babak belur dan matang biru, sakit-sakit
semua kalau sudah selesai berlatih.
"Ihhh...?
Kau berani membantah? Hayo cepat bersiap!" bentak Bi-kwi.
Sebelum Bi
Lan menjawab, dia sudah menerjang maju dengan tamparan ke arah pipi sumoi itu.
Kemarahannya karena iri hati melihat pipi yang halus merah dan segar itu
membuat dia menampar pipi itu dengan kuat sekali.
Bi Lan
segera menggerakkan lengan kirinya dengan gerakan refleks untuk menangkis
tamparan itu.
"Plakkk!"
Pipi
kanannya yang kena tampar oleh tangan kiri Bi-kwi yang bergerak cepat sekali
dan tangkisan itu membuat tubuh Bi Lan terhuyung.
"Auhh...!"
Gadis itu mengeluh dan mengusap pipi kanannya yang menjadi merah sekali.
Melihat
betapa pipi itu menjadi makin merah dan bahkan semakin segar menarik, hati
Bi-kwi semakin marah.
"Lihat
serangan!" katanya dan ia pun maju menerjang dengan jurus-jurus yang
paling sulit.
Bi Lan
mencoba untuk mengelak, berloncatan ke sana-sini seperti diajarkan suci-nya,
dan menangkis pula. Akan tetapi, kaki Bi-kwi menendang dengan sebuah jurus dari
Ilmu Tendang Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin) yang lihai itu dan
paha Bi Lan terkena tendangan. Tubuhnya terlempar ke belakang.
"Brukkk!”
“Aduhhh…!”
Gadis itu terbanting keras dan mengeluh, lalu bangkit berdiri. Tangan kiri
mengusap pipi, tangan kanan mengusap paha. "Sudah, suci. Pipi dan pahaku
sakit!"
"Hayo
lawan! Kalau tidak latihan, mana engkau bisa maju? Lawan atau engkau akan
kujadikan sasaran pukulan dan tendanganku!" bentak Bi-kwi.
Hati gadis
ini mulai merasa senang karena dapat menumpahkan kemarahannya kepada sumoi-nya
itu. Kembali dia menerjang dan menotok pundak sumoi-nya dengan tangan kiri,
sedangkan tangan kanannya menampar ke arah kepala.
"Wuuutt...
dukkk!"
Kini Bi Lan
dapat mengelak dan menangkis dengan baiknya! Bi-kwi merasa penasaran. Yang
digunakannya untuk menyerang tadi adalah sebuah jurus pilihan dari ilmu
silatnya, tapi sumoi-nya ternyata mampu mengelak dan menangkis dengan baiknya,
seolah-olah sumoi-nya mengenal jurus itu dengan baik. Ia lalu menyerang lagi,
kini menggunakan sebuah jurus dari Hek-wan Sip-pat-ciang, itu ilmu silat tangan
kosong yang hebat dari Hek Kwi-ong. Lengan Bi-kwi dapat mulur dengan panjang
ketika ia melakukan gerakan jurus ini.
"Wuuuttt...
plak! plak!"
Kembali Bi
Lan dapat menangkis dua kali dengan baiknya sehingga jurus itu pun tidak
berhasil. Bi-kwi menahan seruannya. Sumoi-nya mampu menangkis jurus itu?
Sungguh aneh dan sulit dapat dipercaya. Jurus pilihan dari Hek-wan Sip-pat-ciang
itu merupakan jurus ampuh dan sukar dilawan, akan tetapi sumoi-nya yang
mempelajari silat dengan kacau-balau itu kini dapat menyambutnya seolah-olah
sudah mengenal jurus itu dengan baik.
Dia
mengeluarkan lagi beberapa jurus dari ilmu silat ini, akan tetapi ternyata Bi
Lan mampu mengelak dan menangkis dengan baik, bahkan gerakan-gerakannya juga
amat tepat seolah-olah gadis itu telah mempelajari Hek-wan Sip-pat-ciang dengan
sempurna! Bi-kwi menjadi terkejut dan heran. Ia lalu menyerang lagi, kini menggunakan
ilmu yang dipelajarinya dari Iblis Mayat Hidup, yaitu Ilmu Hun-kin Tok-ciang
(Tangan Beracun Putuskan Otot) yang amat dahsyat.
"Plak-plak...
wutttt...!"
Kembali Bi
Lan mampu menghindarkan diri dari jurus ini, dan gerakannya juga tepat sekali!
"Ehhh...!"
Bi-kwi begitu terheran-heran sampai-sampai menghentikan serangannya dan
memandang sumoi-nya dengan sinar mata berapi. "Dari mana kau mengenal
ilmu-ilmu itu?" bentaknya.
Bi Lan yang
merasa senang karena beberapa kali mampu menghindarkan diri dari gebukan dan
tendangan, tersenyum manis sekali. "Siapa lagi kalau bukan engkau yang
mengajarku, suci? Bagaimana, baikkah gerakan-gerakanku?"
Bi-kwi
terpaksa mengangguk-angguk. Dia tahu bahwa sumoi-nya ini tidak akan mampu
berbohong maka jawaban sumoi-nya itu sungguh membuat ia terheran-heran dan juga
khawatir sekali.
"Kalau
begitu, coba temani aku berlatih, jangan sembunyikan apa-apa, segala yang kau
ketahui harus kau keluarkan. Dan kau juga boleh membalas serangan kepadaku,
jangan hanya membela diri, mengerti? Awas, kalau tidak, engkau pasti akan
kuhukum dengan tamparan dan pukulan!"
Bi Lan
tersenyum dan senyum gadis ini memang manis sekali karena senyumnya keluar dari
hati yang polos dan wajar, walau pun terasa aneh sekali karena ia diancam malah
tersenyum. Hatinya merasa girang karena ia diperbolehkan membalas serangan dan
ia ingin memperlihatkan kemajuannya kepada suci-nya itu.
Melihat Bi
Lan hanya tersenyum-senyum dan tidak segera bergerak, Bi-kwi membentak,
"Siauw kwi, kenapa hanya senyum-senyum? Hayo serang!"
"Serang
bagaimana, suci? Kaulah yang bergerak dulu, baru aku akan tahu gerakan apa yang
harus kulakukan," jawab Bi Lan.
Mendengar
jawaban ini, Bi-kwi lalu menerjangnya dengan tendangan Pat-hong-twi yaitu
semacam ilmu silat tendangan yang dulu dipelajarinya dari Im-kan Kwi Si Iblis
Akhirat. Tendangan itu hebat sekali, merupakan bagian dari Ilmu Silat Delapan
Penjuru Angin, datangnya susul-menyusul dan amat cepatnya.
Akan tetapi,
Bi Lan mengenal ilmu ini dan ia pun cepat mengelak dan hal ini mudah dilakukan
karena ia telah lebih dulu mengetahui ke mana kaki lawan itu akan bergerak.
Bahkan ia lalu membalas dengan tendangan yang sama setelah semua jurus
tendangan suci-nya dapat dielakkan. Karena tendangan mereka sama, maka mereka
pun beradu tulang kaki beberapa kali.
"Dukkk!
Takkk!"
Bi Lan
meloncat ke belakang, meringis dan mengusap tulang kering kakinya.
"Aduhh... tulang kakimu keras sekali, suci. Kakiku sampai sakit semua
dibuatnya!"
Akan tetapi
Bi-kwi sudah tidak memperhatikan lagi sikap sumoi-nya, bahkan ucapan itu
baginya merupakan ejekan karena tadi semua tendangannya menurut Ilmu Tendangan
Pat-hong-twi tidak berhasil. Hal ini berarti bahwa sumoi-nya sudah hafal akan
ilmu itu.
"Jangan
cerewet, sambutlah ini!"
Ia pun kini
maju menyerang dengan ilmu-ilmu yang dikuasainya, menukar-nukar jurus dari
ketiga orang suhu-nya. Akan tetapi ia semakin terheran-heran karena semua jurus
itu, biar pun diselang-seling, telah dikenal oleh Bi Lan yang dapat
menghindarkan diri, bahkan membalas dengan serangan yang sama!
Saking
herannya, Bi-kwi mengeluarkan ilmunya yang paling ampuh, yaitu Kiam-ciang
(Tangan Pedang). Ilmu ini dapat membuat kedua tangannya seperti pedang
telanjang, dengan tangan mampu membacok dan menusuk lawan dengan kekuatan
dahsyat. Akan tetapi, kembali Bi Lan dapat mengelak ke sana-sini dan menangkis!
Akhirnya
Bi-kwi yang memang hanya ingin menguji, mengetahui dengan pasti bahwa sumoi-nya
memang telah mengenal semua ilmunya, menguasainya dengan cukup baik, maka dia
pun meloncat ke belakang sambil membentak, "Tahan dulu!"
Bi Lan
tersenyum senang. "Wah, kalau diteruskan aku akan celaka, suci. Engkau
hebat sekali, gerakanmu demikian cepat dan kuat," kata Bi Lan sejujurnya.
Akan tetapi
suci-nya tidak peduli akan pujian ini melainkan memandang dengan sinar mata
penuh selidik.
"Hayo
katakan, dari mana engkau mempelajari semua ilmu tadi?" bentaknya.
"Aihh,
suci, dari siapa lagi kalau bukan darimu sendiri?"
"Bohong!
Tentu tiga orang guru kita yang telah diam-diam mengajarmu. Hayo katakan,
betulkah begitu?"
"Suci,
bukankah ketiga suhu sedang bertapa, bagaimana bisa mengajarku? Hi-hik, suci,
engkau mau membohongi aku, ya? Tidak, aku hanya belajar kalau melihat engkau lagi
berlatih, lalu kutiru. Bagaimana, baik atau tidak?"
Diam-diam
Bi-kwi terkejut. Adik seperguruannya ini hanya menonton kalau ia berlatih, dan
sudah dapat menirukannya demikian baiknya? Sungguh luar biasa sekali! Dan kini
Siauw-kwi telah menguasai semua ilmu silatnya! Ini berbahaya sekali. Ia
mendapatkan sebuah pikiran, kemudian melangkah maju dan tiba-tiba tangan
kirinya menampar muka adiknya, tanpa gerak silat sama sekali.
Bi Lan
nampak bingung, akan tetapi karena tamparan itu biasa saja, dia dapat pula
mengelak dan pada saat dia mengelak itu, Bi-kwi menyambut dengan pukulan tangan
kanan yang menampar.
"Plakk!"
Kini pipi kiri Bi Lan kena ditamparnya dengan keras dan gadis itu mengaduh.
Hati Bi-kwi
menjadi girang. Ia maju lagi, memukul, menampar dan menendang tanpa gerakan
silat tertentu, ngawur saja, akan tetapi malah hasilnya baik sekali. Tubuh Bi
Lan bertubi-tubi menjadi sasaran tendangan, pukulan atau tamparan yang membuat
gadis itu jatuh bangun dan tubuhnya menjadi babak belur!
Bi Lan
mencoba untuk mempergunakan ilmu-ilmu silat yang selama ini dipelajarinya dari
Bi-kwi. Akan tetapi ilmu silat itu memang telah disesatkan oleh Bi-kwi, dan
karena Bi-kwi mengenal semuanya, pertahanan dirinya sama sekali tiada artinya
karena tidak sejalan dengan jalan serangan Bi-kwi yang ngawur.
Bi-kwi tidak
peduli biar pun Bi Lan sudah mengaduh-aduh dan minta berhenti. Ia terus
menghajar untuk melampiaskan kemarahan hatinya, kemarahan karena kecewa oleh
pemuda yang semalam diculiknya, kemudian kemarahan karena melihat betapa Bi Lan
tanpa disadari telah menguasai semua ilmu silatnya.
Bi-kwi
menghajar terus. Baiknya tubuh Bi Lan sejak kecil sudah digembleng oleh Sam
Kwi, biar pun ilmu silatnya diajarkan oleh Bi-kwi, sehingga tubuh itu memiliki
kekebalan dan tidak sampai menderita luka dalam oleh hajaran Bi-kwi yang keras
itu. Betapa pun juga, karena ditendang dan dipukuli semena-mena, akhirnya gadis
itu rebah terkulai dan pingsan!
Baru Bi-kwi
menghentikan pemukulannya karena dia khawatir kalau-kalau sumoi-nya tewas. Dan
kalau hal ini terjadi, tentu tiga orang suhu-nya menjadi marah sekali dan ia
tidak berani mempertanggung jawabkannya. Diambilnya seember air dan disiramkan
ke atas kepala Bi Lan.
Bi Lan
membuka kedua matanya. Melihat Bi-kwi memegangi ember, ia tersenyum dan
berkata, "Aih, suci main-main, ya? Masa aku disiram air begini? Lihat,
basah semua!"
"Hayo
bangkit, anak malas! Persediaan kayu sudah hampir habis dan musim hujan akan
tiba. Kalau engkau malas, akan kuhajar lagi!"
"Baik,
suci." Dan larilah Bi Lan ke dalam hutan. Ia mulai mencari kayu untuk
mengisi gudang yang besar itu sehingga mungkin selama satu bulan ini dia harus
setiap hari mencari kayu!
Pada hari ke
tiga, pagi-pagi sekali Bi Lan sudah pergi meninggalkan tempat tinggal ketiga
suhu-nya untuk memasuki hutan. Ia harus bekerja keras, akan tetapi ia memang
suka sekali pergi ke hutan seorang diri. Di tempat ini ia merasa aman, jauh
dari suci-nya yang galak, yang selalu main pukul saja terhadap dirinya.
Di tempat
ini ia dapat melihat binatang-binatang hutan yang lucu, bunga-bunga indah,
pohon-pohon besar, sehingga hatinya terhibur dan merasa gembira sekali. Sering
kali ia berkejaran dengan kelinci sambil tertawa-tawa, atau bernyanyi-nyanyi
menirukan suara burung dan kadang-kadang ia pun melatih ilmu silat seperti yang
baru ditontonnya dari suci-nya di atas hamparan rumput hijau yang segar dan
basah oleh embun.
Pada pagi
hari itu, karena masih terlalu pagi, Bi Lan berjalan-jalan dan tersenyum-senyum
melihat burung-burung berloncatan dari dahan ke dahan sambil berkicau ramai
menyambut datangnya pagi yang sangat cerah. Matahari baru saja muncul dengan
sinarnya yang merah kekuningan, seperti warna emas kemerahan. Sinar matahari
yang masih lembut itu menerobos melalui celah-celah daun dan ranting, menerobos
di antara kabut sehingga nampak indah sekali, berupa garis-garis terang di
antara kabut yang keputihan.
Bi Lan
menirukan suara burung berkicauan, mulutnya yang kecil mungil dengan bibir
kemerahan segar itu meruncing ketika ia menirukan suara burung. Kemudian,
melihat larinya tiga ekor kelinci, ia pun mengejarnya. Larinya cepat,
loncatannya ringan karena gadis ini sudah mempelajari ginkang yang hebat walau
pun dengan latihan pernapasan yang terbalik seperti yang diajarkan suci-nya.
Akan tetapi karena tiga ekor kelinci itu lari cerai-berai, Bi Lan menjadi
bingung, lari ke sana-sini sambil terkekeh-kekeh.
Memang bukan
maksudnya untuk menangkap kelinci-kelinci itu, hanya untuk mengajak mereka
bermain-main. Gadis yang sejak kecil ikut dengan Sam Kwi ini, yang kemudian
dilatih oleh suci-nya secara menyesatkan dan keras, tak pernah mendapat
kesempatan untuk berkawan, maka sekarang ia mencari sendiri kawan-kawannya di
antara binatang-binatang di hutan.
Setelah tiga
ekor kelinci itu menghilang ke dalam semak-semak, Bi Lan lalu bersilat di atas
lapangan rumput. Ia bersilat dengan penuh perhatian, dengan pengerahan tenaga
dan berturut-turut ia bersilat ilmu silat yang dilihatnya suka dilatih oleh
suci-nya!
Bi Lan sama
sekali tidak tahu bahwa sejak tadi, sejak ia menirukan suara burung lalu
mengejar-ngejar kelinci dan sekarang berlatih silat, ada dua sosok bayangan
orang yang membayangi dan mengintainya. Dua bayangan orang itu menjadi bengong
dan kadang-kadang saling pandang dengan sinar mata penuh kekaguman dan
keheranan. Melihat gerakan dua orang itu, mudah diduga bahwa mereka adalah dua
orang berilmu tinggi, karena mereka membayangi Bi Lan dengan kecepatan luar
biasa dan dengan keringanan tubuh sedemikian rupa sehingga jejak kaki mereka
pun tidak mengeluarkan suara.
Dua orang
itu adalah sepasang kakek dan nenek yang sudah tua sekali. Kakek itu berpakaian
serba kuning, berjenggot dan berambut putih, jenggotnya berjuntai sampai ke
dada, sepasang matanya mencorong aneh dan sikapnya lemah lembut. Akan tetapi
ada satu hal yang amat menarik, yaitu bahwa lengan kiri kakek itu buntung di
atas siku sehingga lengan baju kirinya tergantung lemas terkulai.
Usia kakek
ini tentu sudah mendekati delapan puluh tahun, atau sedikitnya tujuh puluh
delapan tahun usianya. Akan tetapi wajahnya masih nampak kemerahan, tanda bahwa
kesehatannya masih amat baik.
Nenek itu
pun mengenakan pakaian warna kuning, berkembang biru muda, dan seperti si
kakek, pakaiannya sederhana dan dia pun sudah tua sekali, sedikitnya tujuh
puluh tahun usianya. Rambutnya juga sudah putih semua, akan tetapi wajahnya
masih penuh kelembutan dan masih nampak garis-garis bekas wajah yang cantik
jelita. Di balik jubah wanita tua ini nampak tersembul sebuah pedang dengan
sarung pedang yang indah.
Kakek ini
bukanlah orang biasa, melainkan seorang tokoh dunia persilatan yang pernah
menggemparkan dunia persilatan. Di dunia persilatan, dia dijuluki Si Naga Sakti
Gurun Pasir! Nama julukan ini tidak kalah besarnya dibandingkan dengan nama
julukan para pendekar keluarga Pulau Es! Nama pendekar tua ini adalah Kao Kok
Cu.
Ada pun
nenek itu adalah isterinya yang dahulu bernama Wan Ceng atau juga Candra Dewi
karena wanita ini diangkat saudara oleh seorang puteri Bhutan dan wanita ini
pun bukan orang sembarangan karena ia masih terhitung cucu tiri Pendekar Super
Sakti dari Pulau Es! Apa lagi setelah menjadi isteri Pendekar Sakti Gurun
Pasir, ilmu kepandaian wanita ini meningkat dengan pesat dan kini ia juga
termasuk seorang tokoh yang sakti.
Di dalam
KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES telah diceritakan bahwa putera tunggal suami
isteri sakti ini yang bernama Kao Cin Liong dan sejak muda menjadi panglima
yang amat terkenal di kota raja, telah menikah dengan Suma Hui, cucu Pendekar
Super Sakti.
Atas desakan
isterinya, Kao Cin Liong telah mengundurkan diri dari kedudukannya dan tidak
lagi menjadi panglima. Kao Kok Cu dan isterinya yang merasa sudah terlalu tua,
menghendaki agar Kao Cin Liong dan isterinya tinggal di tempat mereka, yaitu
jauh di utara, di sebuah dataran yang indah dan subur di tengah-tengah padang
pasir di mana mereka mempunyai sebuah gedung istana kuno yang dinamakan Istana Gurun
Pasir.
Akan tetapi
kedua suami isteri muda itu tidak mau karena merasa tidak betah tinggal di
tempat sunyi itu. Mereka memilih tetap tinggal di dekat kota raja di mana
keduanya berdagang rempah-rempah dan keadaan mereka cukup makmur. Suami isteri
tua Kao Kok Cu tidak dapat memaksa dan mereka merasa kesepian. Oleh karena itu,
mereka berdua lalu banyak melakukan perjalanan merantau, menikmati
tempat-tempat indah di seluruh tanah air.
Demikianlah,
pada pagi hari itu, mereka berdua merantau sampai di sebuah di antara puncak
Pegunungan Thai-san di mana mereka lalu melihat Bi Lan. Malam tadi mereka
bermalam di lereng gunung dan pagi itu, pagi-pagi sekali, mereka sudah naik ke
puncak untuk menikmati keindahan matahari terbit. Akan tetapi, mereka melihat Bi
Lan dengan gerak-geriknya yang amat aneh, membuat suami isteri tua itu tertarik
dan diam-diam mereka membayangi gadis muda yang cantik namun gerak-geriknya
aneh itu.
Pada saat
melihat Bi Lan memoncongkan mulut menirukan suara burung-burung yang sedang berkicau,
nenek Wan Ceng menutupi mulutnya menahan ketawa, dan sepasang suami isteri itu
ikut merasa gembira, menganggap bahwa gadis itu manis dan lucu sekali, dapat
menikmati keindahan alam di tempat sunyi seperti itu, kenikmatan yang sudah
jarang terdapat dalam batin kebanyakan manusia. Kemudian, melihat betapa Bi Lan
mengejar-ngejar kelinci sambil tertawa-tawa, hanya mempermainkan kelinci bukan
sungguh-sungguh menangkap, melihat gerakannya yang demikian cepat, tanda bahwa
gadis itu memiliki ginkang yang lumayan, mereka tercengang.
Mereka terus
membayangi gadis itu dan ketika Bi Lan mulai berlatih silat, nenek itu
mencengkeram lengan suaminya. Keduanya bengong mengamati setiap gerakan gadis
itu, dengan mata terbelalak karena mereka mengenal ilmu silat yang tinggi dan
aneh, walau pun mereka berdua maklum bahwa ilmu-ilmu yang dimainkan gadis itu
termasuk ilmu yang sesat, penuh dengan gerak tipu dan mengandung hawa pukulan
yang aneh-aneh.
Tapi, yang
membuat mereka terheran-heran adalah saat mereka melihat betapa makin lama
wajah gadis itu menjadi semakin merah, kemudian tiba-tiba menjadi pucat dan
pernapasan gadis itu terengah-engah tidak karuan. Akhirnya gadis itu
menghentikan gerakan-gerakan silatnya dan segera berjungkir balik, berdiri
dengan kepala di atas tanah dan mengatur kembali pernapasannya.
Melihat hal
ini, tentu saja kedua orang suami isteri itu terkejut dan khawatir sekali.
Mengatur pernapasan selagi terengah-engah dan kelelahan dengan cara membalikkan
tubuh seperti itu amatlah berbahaya! Akan tetapi aneh, gadis itu agaknya sudah
terbiasa dan sebentar saja pernapasannya sudah normal kembali dan gadis itu
kini berjungkir balik, berdiri lagi, lalu duduk di atas rumput hijau sambil
tersenyum-senyum, akan tetapi mukanya masih pucat.
"Anak
baik, caramu mengatur pernapasan terbalik!" Wan Ceng tak dapat lagi
menahan kekhawatiran hatinya dan nenek ini sudah meloncat ke luar dan
menghampiri Bi Lan.
Gadis itu
mengangkat mukanya, terkejut sekali. Senyumnya tiba-tiba menghilang dan matanya
terbelalak. Alisnya berkerut dan tiba-tiba dia meloncat bangun lalu menyerang
dengan tangan kanan ke arah nenek itu, mencengkeram ke arah dada dengan gerakan
yang ganas dan dahsyat sekali.
"Hemmm...!"
nenek Wan Ceng dengan mudah mengelak.
Namun gadis
itu menyerang terus sebagai lanjutan serangannya tadi dan serangkaian serangan
yang terdiri dari pukulan dan cengkeraman yang ganas dilancarkan ke arah lawan.
Nenek Wan Ceng terkejut, tetapi dengan tenang dia menghindarkan diri dengan
loncatan ke sana sini dan kadang-kadang menangkis dengan kibasan tangannya.
Melihat
betapa gadis itu menyerang isterinya seperti orang mengamuk, kakek Kao Kok Cu
juga meloncat dekat dan berkata dengan suaranya yang tenang, halus dan penuh
wibawa, “Nona, tenanglah, kami datang bukan dengan niat buruk!"
Akan tetapi
tiba-tiba saja Bi Lan berbalik menyerang kakek itu kalang-kabut, dan kini ia
menggunakan tendangan-tendangan berantai yang ganas sekali. Tentu saja
serangan-serangan yang masih mentah itu tiada artinya bagi Pendekar Naga Sakti
Gurun Pasir, dan dengan sedikit menggerakkan tubuhnya, tendangan-tendangan itu
hanya mengenai angin belaka. Pada waktu kakek itu menggerakkan kakinya, kaki Bi
Lan yang tidak menendang kena disapu dan tubuhnya terpelanting jatuh ke atas
rumput lunak.
Akan tetapi,
gadis itu meloncat bangun lagi dan kini ia menyerang lagi dengan lebih dahsyat,
mengeluarkan semua ilmu yang dipelajarinya saat menonton suci-nya berlatih.
Ilmu-ilmu itu adalah ilmu-ilmu yang hebat, ilmu silat yang menjadi kebanggaan
Sam Kwi, kini dikeluarkan semua oleh Bi Lan untuk menyerang kakek dan nenek
itu!
Karena
tertarik akan keistimewaan ilmu-ilmu itu, kakek Kao Kok Cu dan Wan Ceng sengaja
membiarkan gadis itu menerjang kalang-kabut. Baru setelah melihat betapa
pernapasan gadis itu memburu dan terengah-engah, mereka merasa kasihan dan
sebuah totokan jari tangan kakek itu membuat Bi Lan roboh dengan tubuh lemas,
tidak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi.
Bi Lan
berusaha untuk bangkit, akan tetapi setelah maklum bahwa kaki tangannya tidak
dapat digerakkan, ia memandang kepada nenek Wan Ceng dan berkata, "Jangan
pukul aku lagi, ahhhh... aku sudah lelah sekali..."
Kakek dan
nenek itu merasa kasihan sekali dan mereka lalu berjongkok dekat tubuh Bi Lan.
Kakek Kao Kok Cu bertanya, suaranya halus dan penuh kesabaran, "Nona,
kenapa engkau menyerang kami?"
"Kenapa...?"
Bi Lan memandang bingung.
"Aku
tidak tahu kenapa tapi suci yang menyuruhku, ia bilang bahwa kalau ada
orang-orang datang ke tempat ini harus kubunuh mereka, karena kalau tidak,
merekalah yang akan membunuhku. Karena itu aku menyerang kalian."
Suami isteri
itu saling lirik. "Dan kau lihat bahwa kami sama sekali tidak mengganggumu
tadi, bukan? Kami tidak ingin membunuhmu, menyerangmu pun tidak. Adalah engkau
yang menyerang kami dan sekarang terpaksa kami merobohkanmu. Nah, lihat, kami
membebaskanmu," kata Wan Ceng sambil membebaskan totokan dari tubuh Bi
Lan.
Begitu
terbebas, Bi Lan berjungkir balik dan mengatur pernapasan seperti tadi. Melihat
ini Wan Ceng hendak mencegah, tetapi suaminya menyentuh lengannya dan memberi
isyarat agar isterinya jangan mengganggu gadis itu. Mereka berdua hanya
memandang penuh perhatian kepada Bi Lan dan tak lama kemudian secara aneh
sekali gadis itu telah mampu memulihkan pernapasannya walau pun mukanya masih
pucat sekali.
"Nah,
sekarang engkau percaya bahwa kami tidak berniat buruk kepadamu, bukan?"
Bi Lan
menatap wajah nenek itu dan agaknya wajah dua orang tua itu mendatangkan kesan
baik di dalam perasaannya karena ia merasa aman berada di dekat mereka. Ia
menggeleng bingung, "Aku tidak tahu, suci-ku yang menyuruhku."
"Siapakah
suci-mu itu?"
"Ia
disebut Bi-kwi..."
"Setan
Cantik?" Nenek Wan Ceng bertanya, alisnya berkerut mendengar julukan
seperti itu.
Kini Bi Lan
sudah merasa gembira kembali, ia tersenyum dan nampaklah oleh suami isteri itu
betapa manisnya wajah gadis ini kalau tersemyum, dan nampak pula bahwa pada
dasarnya gadis ini memiliki wajah yang membayangkan kelembutan walau pun
dipenuhi dengan bekas-bekas penderitaan batin.
"Hi-hik,
memang suci cantik sekali, akan tetapi ia pun jahat seperti setan."
"Nona,
siapakah yang mengajarkan ilmu silat kepadamu?" Kao Kok Cu bertanya.
"Siapa
lagi kalau bukan suci," jawabnya pasti.
Kakek dan
nenek itu saling berpandangan dengan amat heran. Kalau suci-nya yang
mengajarkan, berarti suci itu lebih gila lagi dari pada nona ini. Ataukah suci
itu sengaja menyelewengkan pelajaran-pelajaran itu untuk mencelakai gadis ini?
Mungkinkah ada seorang suci berbuat demikian? Namun mengingat akan nama
julukannya, yaitu Bi-kwi (Setan Cantik), jelas bahwa suci itu tentu seorang
tokoh golongan sesat, dan tidaklah aneh kalau seorang tokoh sesat melakukan
perbuatan sejahat itu.
"Ke
mana guru kalian? Kenapa suci-mu yang mengajarmu, bukan gurumu?" Kao Kok
Cu yang merasa tertarik sekali melanjutkan pertanyaannya.
Kini Bi Lan
sama sekali tidak merasa curiga lagi kepada kakek dan nenek yang bersikap manis
itu, dan ia pun menjawab sejujurnya.
"Tiga
orang guruku sedang bertapa, jadi yang mewakili mereka mengajarku adalah suci
Bi-kwi."
"Tiga
orang ? Siapakah guru-gurumu itu?" Kao Kok Cu bertanya lagi.
Dia semakin
heran mendengar bahwa gadis ini mempunyai tiga orang guru. Pantas ilmu silatnya
tadi bermacam-macam dan aneh-aneh, dan jelas membayangkan sifat ilmu silat kaum
sesat.
"Guru-guruku
adalah orang-orang hebat!" kata Bi Lan bangga.
Memang gadis
ini, biar pun dalam keadaan terganggu pikirannya karena salah latihan, tidak
pernah dapat melupakan budi kebaikan tiga orang gurunya ketika menolongnya,
ketika membalaskan dendam ayah bundanya dengan membunuh semua orang jahat yang
mengakibatkan tewasnya orang tuanya itu, dan membantunya mengubur jenazah
mereka, juga mengambilnya sebagai murid.
"Mereka
terkenal dengan julukan Sam Kwi."
"Hemm,
Tiga Iblis?" Nenek Wan Ceng bertanya, heran karena ia dan suaminya belum
pernah mendengar nama ini.
Memang
sesungguhnyalah, dua orang kakek dan nenek ini sejak muda sudah jarang
berkecimpung di dalam dunia persilatan, hidup terpencil di gurun pasir di
utara, maka mereka tidak banyak tahu tentang tokoh-tokoh kaum sesat. Apa lagi
karena Sam Kwi juga menyembunyikan diri dan bertapa selama sekian tahun setelah
mereka dikalahkan oleh Pendekar Super Sakti dan baru sekarang mereka muncul
lagi ketika mereka ingin menguasai Liong-siauw-kiam, Pedang Suling Naga yang
tadinya berada di tangan susiok mereka.
"Ya…,
ya, Tiga Iblis!" kata Bi Lan dengan nada suara gembira walau pun pandang
matanya agak kecewa melihat betapa nenek itu tidak mengenal nama guru-gurunya.
"Tiga orang guruku itu adalah Raja Iblis Hitam, Iblis Akhirat, dan Iblis
Mayat Hidup. Kepandaian mereka hebat sekali!"
Suami isteri
tua itu saling pandang dan Kao Kok Cu memancing dengan ucapan halus,
"Nona, kami melihat bahwa nona adalah seorang yang baik, akan tetapi
mengapa menjadi murid tiga orang yang menurut julukannya adalah tokoh-tokoh
golongan sesat?"
Bi Lan mengerutkan
alisnya. "Aku tidak mengerti pertanyaanmu. Aku tidak tahu apa itu yang kau
namakan golongan sesat, akan tetapi tiga orang guruku amat baik kepadaku,
menolongku dari tangan gerombolan orang jahat yang telah membunuh ayah ibuku,
bahkan membunuh semua gerombolan itu dan membantuku mengubur jenazah ayah
ibuku."
Pendekar
Naga Sakti Gurun Pasir itu dan isterinya kini dapat mengerti bahwa gadis ini
adalah seorang di antara sekian banyaknya korban perang pemberontakan di
selatan, dan dapat menduga bahwa gadis ini diselamatkan oleh tiga orang tokoh
sesat itu dan kemudian menjadi murid mereka. Akan tetapi gadis ini menerima
pelajaran ilmu yang sesat sehingga keracunan dan membuat pikirannya terguncang
dan tidak waras.
Mungkin hal
ini bukanlah kesalahan tiga orang yang berjuluk Sam Kwi itu, melainkan
kesalahan suci gadis ini yang berjuluk Bi-Kwi. Sukar dibayangkan apa yang
dilakukan oleh datuk-datuk atau tokoh-tokoh kaum sesat yang aneh-aneh, maka
mereka pun sukar menduga apa yang telah terjadi di antara keluarga perguruan
sesat yang semua memakai julukan setan atau iblis itu.
"Siapakah
namamu, anak yang baik?" tanya Wan Ceng dengan suara mengandung iba. Ia
melihat gadis ini seperti setangkai bunga indah bersih yang karena keadaan
terpaksa hidup di tengah-tengah lumpur kotor.
Bi Lan
tersenyum memandang wajah nenek itu. "Tiga orang Suhu-ku bersama suci
menyebutku Siauw-kwi. Hi-hik sebetulnya sekarang aku bukan seorang anak kecil
lagi, bukan? Namaku sendiri adalah Can Bi Lan."
"Bi
Lan, dengarlah baik-baik, apakah engkau percaya kepada kami? Engkau lihat, kami
sama sekali tidak berniat buruk dan juga tidak melakukan apa-apa yang buruk
terhadap dirimu."
Bi Lan
tersenyum dan memandangi dua orang tua itu, lalu mengangguk-angguk. "Aku
percaya kepada kalian. Aku belum pernah bicara panjang lebar seperti ini dengan
orang lain, dan kalian baik sekali."
Wan Ceng
menjadi gembira dan makin bersemangat mendengar ucapan gadis itu. Dia memandang
suaminya. Suami yang sudah bergaul selama lima puluh tahunan dengan isterinya
ini sudah maklum apa yang terkandung di dalam hati isterinya tanpa si isteri
mengatakannya. Dia mengangguk sebagai tanda setuju.
"Bi
Lan, kami melihat bahwa engkau menderita luka dalam, menderita keracunan yang
amat membahayakan kesehatanmu karena engkau telah keliru dalam latihan ilmu
silat, terutama sekali dalam latihan sinkang dan pernapasan. Kini kami
bermaksud hendak mengobatimu sampai sembuh. Maukah engkau?"
Bi Lan
memandang ragu dan bingung.
"Aku
tidak sakit apa-apa," katanya, "dan andai kata sakit tentu
suhu-suhu-ku dan suci akan mampu menyembuhkanku. Pula, bagaimana aku bisa
keliru berlatih kalau suci sendiri yang mengajarku?"
Nenek itu adalah
seorang wanita yang amat cerdik. Tadi ketika bicara dekat dengan gadis itu, ia
dapat melihat bekas-bekas pukulan yang masih meninggalkan tanda-tanda membiru
pada leher dan pipi gadis itu, mungkin pada bagian tubuh lain yang tertutup
pakaian. Karena ia dapat menduga bahwa tentu ini perbuatan sang suci yang
katanya jahat dan kejam itu, ia lalu tiba-tiba bertanya, "Bi Lan, siapa
yang memukulimu sampai engkau menderita babak-belur dan ada bekas-bekas di
leher dan mukamu?"
Ditanya
secara mendadak itu, Bi Lan yang memang pada dasarnya berwatak jujur dan polos,
yang masih belum ternoda oleh pengaruh lingkungan masyarakat, bahkan pada
hakekatnya belum ketularan watak jahat para gurunya dan suci-nya, menjawab
terang-terangan sambil tersenyum, "Ahhh, suci yang melakukan ini. Katanya
ini perlu dalam latihan, ia memukuli dan menendangku dalam latihan-latihan
silat."
Sekarang
ganti Kao Kok Cu yang berkata, "Nona telah tertipu oleh suci-mu itu. Ia
telah memukulimu, mungkin karena benci hanya tidak berani membunuhmu, maka ia
sudah melatihmu secara terbalik dan tersesat. Dengan latihan-latihan ini, kalau
kau teruskan, engkau mungkin akan mati dalam satu dua tahun ini."
"Mati
adalah suatu hal yang amat menyenangkan," Bi Lan menjawab sambil menahan
ketawanya, dan sikap ini jelas membayangkan sikap orang yang pikirannya tidak
waras.
"Ehhh,
mengapa begitu ?" tanya Wan Ceng mendengar ucapan yang biasanya hanya
diucapkan oleh para pendeta yang berlagak sudah tahu akan keadaan sesudah mati.
"Hi-hi-hik,
aku sendiri tidak tahu, nek, yang berkata demikian adalah suci."
"Suci-mu
lagi!" kata Wan Ceng, diam-diam merasa marah terhadap orang yang menjadi
suci gadis ini. "Coba, kau bernapas yang dalam, lalu tahan sebentar."
Bi Lan masih
tersenyum-senyum, akan tetapi ia menuruti permintaan nenek itu. Setelah menarik
napas panjang dan dalam, ia menahan hawa itu di dalam dadanya.
"Cukup,
apa yang sekarang kau rasakan? Bukankah ada kelainan dan rasa nyeri di
punggungmu?" Tanya Wan Ceng sambil mengerutkan alis putihnya.
Nenek itu
memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sudah banyak pengalamannya tentang
keracunan dan luka di sebelah dalam tubuh. Ia sendiri pernah menjadi murid
Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun), maka dapat dikata dia adalah
seorang ahli tentang keracunan.
Bi Lan
memandang dengan heran dan mengangguk. "Benar, ada rasa seperti ditusuk di
punggungku. Nenek apakah engkau bermain sihir sehingga tahu apa yang
kurasakan?"
"Tidak,
Bi Lan. Itu tandanya bahwa engkau benar-benar menderita luka dalam yang jika tidak
cepat disembuhkan akan membahayakan nyawamu. Dan kami yakin bahwa hal itu
timbul karena kesalahan dalam latihan dan agaknya suci-mu itu sengaja
mengusahakan supaya engkau tewas karena latihan-latihanmu. Maukah engkau kami
obati sampai sembuh?"
Gadis itu
mengamati wajah kedua orang tua itu dengan sikap ragu-ragu. Akhirnya dia
berkata, "Tiga orang suhu-ku adalah orang-orang paling sakti di dunia ini,
kemudian disusul oleh suci Bi-kwi. Apa yang kalian dapat lakukan, tentu dapat
dilakukan pula oleh mereka. Coba perlihatkan dulu kepandaian kalian, baru aku
akan percaya bahwa kalian adalah orang-orang yang lebih pandai dari mereka, dan
aku mau kalian obati."
Kao Kok Cu
dan isterinya mengerti bahwa pengaruh Sam Kwi dan Bi-kwi telah tertanam
demikian dalam terutama di dalam hati gadis ini sehingga gadis ini percaya
sepenuhnya kepada mereka. Maka hati gadis ini perlu diyakinkan dengan
demonstrasi kepandaian agar dapat percaya dan mau ditolong. Mereka saling
pandang dan kakek itu kemudian mengangguk.
"Bi
Lan, bukankah tadi kami sudah memperlihatkan bahwa kami jauh lebih pandai dari
padamu?"
"Kalau
hanya mengalahkan aku, suci pun dapat seribu kali mengalahkan aku."
"Baiklah.
Kau lihat pohon di depan itu? Apakah kau kira guru-gurumu atau suci-mu akan
dapat merobohkan pohon itu tanpa memukul keras, tanpa menggugurkan setangkai
pun daunnya?"
Bi Lan
memandang. Pohon itu besarnya seperti tubuh manusia. Ia tahu bahwa ketiga orang
gurunya, juga suci-nya, amat lihai dan tentu akan mampu merobohkan pohon itu.
Akan tetapi tanpa memukul keras? Tanpa menggugurkan daunnya? Mana mungkin? Ia
pun lalu menggeleng kepala.
"Nah,
kau lihatlah!" kata Wan Ceng.
Dan nenek
ini lalu menghampiri pohon yang dimaksudkan itu. Sebentar ia mengerahkan
tenaga, mengumpulkan tenaga sinkang di kedua tangannya, kemudian menempelkan
kedua telapak tangannya pada batang pohon itu. Tidak kelihatan ia memukul dan
pohon itu pun tidak terguncang sama sekali. Tetapi, diam-diam nenek ini sudah
mengerahkan hawa pukulan Selaksa Racun, pukulan kaum sesat yang amat hebat dan
yang selama ini tak pernah ia gunakan walau pun nenek ini selama puluhan tahun
telah menghimpun tenaga sinkang yang amat kuat. Hanya nampak tubuhnya sendiri
yang tergetar keras, kemudian nenek itu meloncat mundur dengan muka agak pucat
dan peluh membasahi dahi dan leher.
Melihat ini,
Bi Lan terkekeh. "Hi-hi-hik, apa yang telah kau lakukan tadi, nek ? Aku
sama sekali tidak melihat pohon itu roboh."
"Bi
Lan, coba kau dorong pohon itu," kata Wan Ceng sambil tersenyum.
Bi Lan maju
dan dengan tangan kirinya mendorong batang pohon itu. Tiba-tiba pohon itu pun
tumbang dan ternyata batang di mana nenek tadi menempelkan tangannya telah
remuk dan kehitaman seperti terbakar!
Bi Lan
terkejut sekali dan melompat ke belakang, matanya terbelalak. Akan tetapi ia
lalu mengerutkan alisnya. "Nek, mungkin kau bermain sihir, akan tetapi
kepandaianmu itu tidak kelihatan hebat."
Nenek itu
nampak tak senang dan penasaran, akan tetapi suaminya memberi isyarat dengan
pandang mata, lalu pendekar tua itu berkata, "Nona, tadi hanya main-main.
Kau ingin menyaksikan kehebatan kami berdua? Nah, lihat, dengan kaki dan tangan
kami, kami akan membersihkan sekitar tempat ini." Berkata demikian, kakek
itu dengan sebelah lengannya lalu menerjang sebatang pohon besar.
“Kraaakkk!”
terdengar suara dan pohon itu pun tumbang.
Wan Ceng
segera mengerti akan maksud suaminya. Seorang gadis yang masih belum
berpengalaman seperti Bi Lan ini tentu akan lebih tertarik melihat kekuatan
yang kasar dan kelihatan dahsyat. Maka dia pun menerjang sebongkah batu besar,
ditendangnya sehingga batu besar itu terlempar jauh.
Suami isteri
ini kemudian mengamuk, menumbangkan pohon-pohon di situ, melempar-lemparkan
batu besar, bahkan Wan Ceng mencabut pula sebatang pohon berikut akar-akarnya
dan melemparkan sampai jauh. Sebentar saja terbukalah tempat yang cukup luas,
setelah ditumbangkan tujuh batang pohon besar dan belasan bongkah batu.
Melihat ini,
Bi Lan terbelalak lalu bertepuk tangan, tidak habisnya memuji kedahsyatan
sepasang suami isteri yang tua itu. "Hebat, kalian hebat! Mungkin tidak
kalah oleh guru-guruku dan suci!" katanya.
"Nah,
engkau sudah percaya ? Sekarang kami akan berusaha mengobatimu. Duduklah
bersila di sini, Bi Lan," kata Wan Ceng. "Tempat terbuka ini akan
kami jadikan tempat tinggal kami untuk sementara agar supaya dalam waktu
beberapa lama ini kami dapat mengobatimu."
Bi Lan tidak
membantah lagi dan ia pun duduk bersila di atas rumput. Kakek dan nenek itu
juga duduk di depan dan belakangnya, bersila seperti ia sendiri.
"Kendurkan
semua urat syarafmu, dan sama sekali jangan melawan. Ingat saja bahwa kami
bermaksud baik, bahwa kami kasihan kepadamu dan ingin mengobatimu," kata
Wan Ceng yang duduk di depannya.
Tiba-tiba Bi
Lan merasa betapa tengkuknya ditepuk dari belakang oleh kakek itu dan ia pun
tidak ingat apa-apa lagi.
Kakek dan
nenek yang sakti itu lalu bekerja keras. Mereka menotok jalan-jalan darah di
kepala gadis itu, membuka jalan-jalan darah yang tersumbat karena akibat salah
latihan. Wan Ceng menempelkan telapak tangan pada dada gadis itu, sedangkan Kao
Kok Cu pada punggung gadis itu, menyalurkan tenaga sinkang untuk memulihkan
kesehatan di dalam dada Bi Lan.
Sementara
itu, dengan pengetahuannya tentang keracunan, Wan Ceng mengusir hawa beracun
yang berada di dalam tubuh gadis itu. Mereka berdua tidak berani tergesa-gesa,
tidak berani sekaligus mengobati gadis itu karena hal ini akan berbahaya sekali
bagi Bi Lan. Tubuh gadis itu sudah terbiasa dengan keadaan tercekam hawa
beracun yang dihimpunnya sendiri melalui latihan-latihannya yang tersesat, dan
kalau sekaligus dibersihkan, perubahan ini akan menimbulkan guncangan yang
membahayakan.
Karena itu
mereka mengambil keputusan untuk mengobati gadis itu secara bertahap. Mereka
kemudian menghentikan pengobatan itu, dan dengan urutan tangan, Kao Kok Cu
memulihkan jalan darah sehingga gadis itu pun siuman dari pingsannya.
Begitu
siuman, Bi Lan mengeluh, lalu memegangi kepala dengan kedua tangannya. Ia
membuka mata memadang kepada kakek dan nenek yang sekarang sudah duduk di
depannya, dan teringatlah ia bahwa mereka adalah dua orang yang kasihan
kepadanya, yang mengobatinya karena menganggap ia menderita luka dalam.
"Aduhh...
kepalaku berdenyut-denyut, nyeri rasanya!" Ia mengeluh.
Nenek Wan
Ceng menaruh tangannya di pundak gadis itu, suaranya menghibur, "Bi Lan,
jangan khawatir, hal itu bahkan membuktikan bahwa kini jalan darahmu ke arah
kepala mulai membaik. Tadinya, banyak jalan darah ke kepalamu tidak lancar
jalannya, terhambat oleh hawa beracun yang timbul karena kesalahan latihanmu.
Kini kami berani memastikan bahwa setelah pengobatan beberapa kali, jalan-jalan
darah itu akan lancar kembali."
Bi Lan
percaya dan ia pun tersenyum. "Kalau benar omonganmu, aku beruntung sekali
bertemu dengan kalian."
Dengan
girang dia pun meloncat ke atas. Akan tetapi dia segera mengeluarkan seruan
kaget. Dan dipandangnya kakek dan nenek itu dengan sinar mata penuh keraguan.
"Ahhh...!
Tubuhku terasa berat dan kedua kakiku kehilangan tenaga, juga tubuhku tidak
dapat bergerak ringan seperti biasanya!" Ia lalu mencoba untuk meloncat ke
atas, akan tetapi belum juga tinggi tubuhnya sudah meluncur turun kembali.
"Ahhh,
bagaimana ini? Aku tidak mampu meloncat tinggi lagi!"
Kini Kao Kok
Cu yang bangkit dan berkata dengan suara tenang, halus dan berwibawa,
mengundang kepercayaan bagi pendengarnya. "Nona, jangan khawatir. Memang,
untuk menghalau hawa beracun dari tubuhmu, otomatis tenaga khikang yang sudah
berada di tubuhmu ikut pula berkurang. Tenaga sinkang-mu sudah keracunan, dan
kalau kami membersihkan hawa beracun itu, berarti tenaga sinkang-mu juga akan
ikut terusir. Akan tetapi jangan kau khawatir, kami akan menggantikannya dengan
tenaga sinkang yang murni. Dengan dasar tenaga sinkang murni, engkau akan mampu
memainkan ilmu-ilmu silatmu tadi secara tepat dan baik, juga tangguh dan tidak
akan merusak kesehatanmu sendiri. Percayalah, kami berdua berniat baik dan
mungkin engkau akan terkejut dengan perubahan-perubahan pada dirimu dan engkau
tidak akan mengerti. Percaya sajalah dan engkau tidak akan menderita kerugian
bahkan selain mendapatkan kesembuhan, juga akan memperoleh ilmu yang
benar."
Lambat laun
keraguan lenyap dari dalam batin Bi Lan walau pun tadinya masih bingung. Apa
lagi ketika nenek itu merangkulnya dan berbisik, "Bi Lan, engkau pantas
menjadi anakku, bahkan cucuku. Bagaimana kami dapat timbul niat mencelakaimu?
Kami suka sekali kepadamu."
"Akan
tetapi, apakah aku harus terus-menerus berobat ke sini? Bagaimana kalau suci
sampai tahu? Tentu ia marah-marah dan aku akan dipukuli lagi!" Bi Lan
nampak jeri.
"Tentu
saja engkau harus setiap hari datang ke sini," kata nenek Wan Ceng.
"Dan lebih baik, sebelum kau sembuh benar, jangan bicara apa-apa tentang
kami kepada suci-mu itu. Kalau sudah tiba saatnya, kami yang akan
menghadapinya. Akan tetapi, dapatkah kau setiap hari datang ke sini?"
"Kami
akan tinggal di sini untuk sementara waktu, membangun sebuah pondok di sini
untuk mengobatimu setiap hari," kata Kao Kok Cu.
"Tetapi,
aku mendapat tugas dari suci untuk mencari kayu setiap hari, untuk memenuhi
gudang kayu kami. Tentu saja aku dapat datang ke sini setiap hari, akan tetapi
bagai mana dengan kayu yang harus kukumpulkan?"
Wan Ceng
tersenyum sambil menuding ke arah pohon-pohon yang tadi tumbang dan roboh.
"Di sini terdapat banyak kayu, tak perlu kau pusingkan. Tiap hari engkau
datang ke sini, berobat dan pulangnya membawa kayu. Syukur kalau di waktu malam
kau dapat pula datang ke sini, lebih sering lebih cepat pula engkau sembuh dan
pulih. Percayalah, Bi Lan, engkau akan tertolong lahir dan batin yang akan
merubah seluruh jalan hidupmu kalau engkau menurut semua kata-kata kami."
Bi Lan
nampaknya masih bimbang, tetapi dia mengangguk. Bagaimanapun juga, harus
diakuinya bahwa selama ini dia memang sering mendapat gangguan dalam tubuhnya,
bahkan pernah sehabis latihan dia muntah darah. Dan sikap suci-nya terhadap
dirinya juga amat galak. Maka, melihat sikap baik dua orang kakek nenek ini, ia
segera percaya sepenuhnya walau pun dia sendiri belum menyadari betapa
pentingnya pengobatan itu bagi dirinya.
Demikianlah,
mulai hari itu, setiap hari Bi Lan pergi meninggalkan puncak memasuki hutan dan
membiarkan dirinya diobati oleh kakek dan nenek itu. Wan Ceng memesan kepada Bi
Lan agar sikapnya terhadap suci-nya biasa saja.
"Ingatlah,
Bi Lan. Keracunan di tubuhmu dan tidak lancarnya jalan darah ke kepalamu sudah
membuat sikapmu menjadi aneh seperti orang yang miring otaknya. Engkau suka
tertawa-tawa sendiri, bicara seorang diri. Kebiasaan ini, andai kata engkau
sadar pun, di depan suci-mu harus terus kau lanjutkan. Jangan sampai suci-mu
melihat perubahan pada dirimu sebelum engkau sembuh benar.”
Kemudian Kao
Kok Cu memesan agar gadis itu menghentikan semua latihan sinkang dan pernapasan
seperti yang diajarkan Bi-kwi, dan dia memberikan suatu cara berlatih semedhi
untuk menghimpun hawa murni di dalam tubuh gadis itu. "Latihan ini selain
akan membantu cepatnya seluruh hawa beracun meninggalkan tubuhmu, juga akan
menghimpun tenaga baru untuk menghentikan tenaga sesat yang sudah terhimpun
selama bertahun-tahun dalam dirimu."
Setelah
mengalami pengobatan, Bi Lan lalu membawa kayu yang sudah dikumpulkan oleh
kakek dan nenek itu. Kakek Kao Kok Cu dan isterinya sudah membangun sebuah
gubuk darurat dari kayu-kayu pohon yang mereka robohkan dan dengan tekun mereka
berdua mengobati Bi Lan. Di samping mengobati, kakek dan nenek itu juga
membantu gadis itu menghimpun tenaga sinkang yang baru dan murni.
Sungguh
beruntung sekali nasib Bi Lan sehingga tanpa disengaja ia berjumpa dengan
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, dan telah menarik perhatian
suami isteri pendekar sakti ini sehingga ia bukan saja tertolong dari
cengkeraman maut yang ditanamkan oleh Bi-kwi di tubuhnya, juga gadis itu telah
mendapat latihan menghimpun sinking. Bahkan suami isteri itu mulai pula memberi
petunjuk-petunjuk dalam ilmu silat tinggi kepadanya!
Penyembuhan
perlahan-lahan tentu saja tidak dapat terasa oleh Bi Lan. Ia tidak merasa
betapa kini otaknya menjadi bersih dari hawa beracun, jalan darahnya lancar dan
dia bertambah cerdik! Dia pun kini memperoleh kegembiraan hidup, wajahnya
selalu berseri kemerahan, mulutnya yang kecil itu selalu tersenyum manis dan ia
kini menjadi seorang dara yang berwatak gembira dan jenaka sekali.
Setelah
mengalami pengobatan selama tiga bulan lebih setiap hari tanpa berhenti dan
terus-menerus, akhirnya ia sembuh sama sekali dan mulai hari itu, kakek dan
nenek yang makin lama makin merasa sayang kepada gadis itu, memberi pelajaran
ilmu silat tinggi kepada Bi Lan! Melihat bakat besar yang ada pada diri gadis
itu, Kao Kok Cu ingin mengajarkan ilmu yang tangguh, juga isterinya. Maka
mereka lalu berunding, kemudian mereka memberi tahukan kepada Bi Lan yang sudah
menghadap mereka.
"Bi
Lan, setelah melihat engkau sembuh sama sekali, maka mulai hari ini kami ingin
mengajarkan ilmu silat kepadamu. Akan tetapi kami tidak mungkin dapat
mengajarkan ilmu kepada orang yang bukan murid kami," kata Wan Ceng.
Pada
dasarnya Bi Lan adalah seorang gadis yang cerdik. Apa lagi setelah sembuh dari gangguan
hawa beracun, dan setelah jalan darahnya ke kepala sudah lancar kembali.
Kesadaran membuat ia segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek dan
nenek itu.
"Aku
telah menerima budi kecintaan dari kakek dan nenek berdua, telah memperoleh
pengobatan dan petunjuk yang penuh kasih sayang selama berbulan-bulan. Ucapan
terima kasih saja masih belum ada artinya dibandingkan dengan budi ji-wi. Oleh
karena itu, apabila ji-wi sudi menerimanya, biarlah aku menyatakan diri menjadi
murid ji-wi." Ia memberi hormat sambil berlutut dan menyembah-nyembah.
Wan Ceng
segera memeluk dan menariknya bangkit berdiri. "Bagus, engkau memang anak
yang baik, Bi Lan. Sejak pertama kali berjumpa kami sudah dapat menduganya dan
kalau tidak demikian, untuk apa kami bersusah payah selama ini?"
Ia lalu
menoleh kepada suaminya karena bagaimana pun juga, nenek ini tidak berani
mendahului suaminya untuk menerima gadis itu sebagai murid mereka walau pun
tadi mereka telah berunding.
"Bi
Lan, kami menerimamu sebagai murid. Akan tetapi kami tidak akan lama lagi
tinggal di sini. Setelah engkau sembuh, kami hanya ingin mengajarkan
masing-masing satu macam ilmu kepadamu, dan setelah itu, kami akan kembali ke
utara. Kami sudah tua dan kami akan menghabiskan sisa usia kami dengan hidup tenang
di sana."
Kembali Bi
Lan berlutut. "Suhu, subo... teecu akan ikut ke utara. Biarlah teecu yang
akan merawat kesehatan suhu dan subo berdua sebagai balas budi teecu..."
Kao Kok Cu
tersenyum, kemudian berkata halus, "Muridku, jangan sekali-kali engkau
mengikatkan dirimu dengan budi, karena kalau engkau mengikatkan dirimu dengan
budi berarti engkau mengikatkan pula dirimu dengan dendam. Budi dan dendam
tidak dapat terpisahkan, sebagai perwujudan dari diri yang merasa diuntungkan
dan disusahkan. Anggaplah saja bahwa segala yang dilakukan orang lain kepadamu,
dan segala yang kau lakukan kepada orang lain, adalah suatu kewajaran yang
tidak perlu ada ekornya yang mengikat diri. Mengertikah engkau?"
Tentu saja
Bi Lan tidak mengerti! "Teecu selanjutnya mohon petunjuk suhu, karena apa
yang suhu katakan tadi berada di luar jangkauan pengertian teecu."
"Bi
Lan, engkau tidak boleh begitu mudah melupakan yang lama setelah menemukan yang
baru!" tiba-tiba Wan Ceng berkata sambil tersenyum pula. "Begitu
engkau sudah menemukan kami sebagai guru baru, engkau lalu akan begitu saja
meninggalkan tiga orang gurumu yang lama, yang menurut ceritamu juga telah
bersikap baik kepadamu. Bagaimana pun juga, semenjak kecil engkau adalah murid
Sam Kwi, dan kami berdua menjadi gurumu hanya untuk memulihkan sinkang-mu, dan
memberi pelajaran ilmu silat untuk melengkapi kepandaianmu, atau katakan saja
sebagai pengganti tenaga-tenaga sinkang yang telah lenyap bersama hawa beracun
dari tubuhmu ketika kami melakukan pengobatan. Karena itu, sungguh tidak
bijaksana kalau engkau kemudian meninggalkan mereka begitu saja tanpa mereka setujui."
"Subo,
walau pun Sam Kwi merupakan guru-guruku, akan tetapi kenyataannya mereka tidak
pernah secara langsung mendidik teecu sehingga teecu diserahkan kepada suci
yang bahkan telah mengajar teecu secara menyesatkan."
"Sudahlah,
Bi Lan. Bukankah ketiga orang gurumu sedang bertapa? Bagaimana pun juga, engkau
tidak mungkin ikut bersama kami sebelum mendapatkan ijin dari ketiga orang
gurumu. Bukan berarti kami tidak suka kalau engkau ikut dengan kami ke utara.
Dan sekarang perhatikan baik-baik, kami akan mengajarkan ilmu kepadamu, semacam
dari suhu-mu dan dariku sendiri semacam," kata nenek Wan Ceng.
Pendekar
sakti itu bersama isterinya lalu mulai mengajarkan ilmu silat tinggi kepada Bi
Lan. Gadis ini memang memiliki bakat yang amat baik, dan juga bagaimana pun
juga, ia telah memperoleh dasar yang kuat juga dari Sam Kwi dan Bi-kwi, maka
dengan tekun ia mengikuti petunjuk kedua orang suami isteri itu dan berlatih
dengan penuh semangat. Bahkan kini ia makin sering datang ke tempat itu di
waktu malam, dan baru pulang kalau sudah memperoleh petunjuk-petunjuk
selanjutnya dari kedua orang kakek dan nenek itu.
Tanpa
terasa, enam bulan telah lewat semenjak Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan
isterinya tinggal di dalam hutan sebuah puncak Pegunungan Thai-san itu. Kao Kok
Cu telah memberi pelajaran Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga
Sakti), sedang nenek Wan Ceng mengajarkan Ilmu Ban-tok Ciang-hoat (Ilmu Silat
Selaksa Racun).
Karena
ketekunannya, ditambah daya ingatannya yang amat kuat, Bi Lan akhirnya bisa
menguasai kedua ilmu silat ini. Dari kakek dan nenek itu ia pun mendengar
tentang diri mereka, nama mereka, bahkan dia diperkenalkan pula dengan nama
putera mereka, bekas panglima Kao Cin Liong dan isterinya Suma Hui, juga
diperkenalkan dengan nama para tokoh pendekar sakti di dunia persilatan.
Terhadap
Bi-kwi, Bi Lan bersikap biasa saja, bahkan ia masih pura-pura seperti orang
gendeng. Juga pada saat suci-nya menurunkan pelajaran dan latihan, ia masih
berlatih seperti yang diajarkan suci-nya. Akan tetapi tentu saja kini dia sudah
memiliki dasar sinkang yang murni dan sama sekali tidak menghimpun tenaga
melalui pernapasan dan cara semedhi yang diajarkan secara kacau dan terbalik
oleh suci-nya.
Di dalam
kamarnya sendiri atau di luar, dia tekun melatih diri dengan pernapasan dan
semedhi seperti yang diajarkan oleh kakek dan nenek dari Istana Gurun Pasir.
Bahkan dia masih pura-pura gendeng dan linglung kalau Bi-kwi melampiaskan
kebenciannya dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan melalui latihan
ilmu silat.
Ia akan
mempertahankan semua ini, bukan sebab takut kepada suci-nya, bukan karena
berbakti kepada suci-nya yang tidak pernah berlaku baik terhadap dirinya,
melainkan karena ingin menanti sampai ketiga orang suhu-nya keluar dari
pertapaan mereka. Saat itu baru ia akan melaporkan semua perbuatan suci-nya itu
kepada Sam Kwi dan minta pertimbangan dan keadilan. Kalau tiga orang suhu-nya
itu tidak membelanya, dia akan meninggalkan mereka semua.
Biar pun Bi
Lan sudah berlaku cerdik, namun kepura-puraan ini akhirnya menimbulkan
kecurigaan hati Bi-kwi yang juga termasuk wanita yang cerdik sekali. Ia
teringat bahwa beberapa bulan yang lalu, sumoi-nya itu sudah menunjukkan
gejala-gejala keracunan dengan muka yang pucat, tubuh yang kadang-kadang menggigil,
pandang mata yang jelas menunjukkan ketidak warasan otaknya.
Akan tetapi
akhir-akhir ini ia melihat betapa wajah sumoi-nya makin segar saja. Kedua
pipinya kemerahan seperti buah apel masak, matanya jernih dan jeli, penuh
kegairahan hidup, senyumnya semakin manis dan membuat ia semakin iri hati saja,
dan tidak ada lagi nampak gejala-gejala seperti dahulu. Walau pun dalam ilmu
silat sumoi-nya masih bersilat dengan kacau dan kalau ia pukuli dan tendangi
masih tidak mampu membalas, akan tetapi hatinya mulai curiga.
Karena
melihat betapa sumoi-nya amat rajin pergi mencari kayu atau memikul air dari
sumber yang agak jauh, maka pada suatu hari, masih pagi-pagi sekali ketika ia
melihat sumoi-nya pergi untuk mencari kayu, diam-diam ia membayangi dari jauh.
Baru
teringat olehnya betapa banyaknya sumoi-nya membutuhkan kayu untuk masak.
Bahkan di waktu malam, kini sering sekali sumoi-nya membuat api unggun besar
yang menggunakan banyak sekali kayu bakar. Kalau ditanya, sumoi-nya mengatakan
bahwa hawanya amat dingin dan banyak nyamuk maka ia membuat api unggun besar.
Ia tidak
curiga karena memang menurut perhitungannya, hasil himpunan tenaga sinkang
sumoi-nya yang dilakukan dengan terbalik dan kacau-balau itu bukan hanya
membuat sumoi-nya tidak akan dapat menahan hawa dingin, bahkan hawa beracun di
tubuhnya kadang-kadang bisa mendatangkan rasa dingin sekali. Akan tetapi
sekarang, setelah rasa kecurigaannya semakin besar, ia memperhatikan hal ini
dan akhirnya ia mengambil keputusan untuk membayangi kalau sumoi-nya pergi
mencari kayu.
Ia
membayangi dari jauh sekali sehingga Bi Lan sama sekali tidak tahu bahwa ia
sejak tadi dibayangi oleh suci-nya. Ketika melihat Bi Lan berhenti di dalam
hutan, ia mengintai dari balik semak-semak yang cukup jauh di depan sebuah
gubuk kayu yang sederhana. Sepasang mata Bi-kwi berkilat penuh kemarahan pada
saat melihat munculnya seorang kakek dan seorang nenek dari dalam gubuk itu dan
melihat pula betapa Bi Lan berlutut di depan mereka.
Kemarahan
membuat Bi-kwi tak dapat menahan diri lagi. Ia meloncat dan dengan cepat sekali
telah tiba di dekat sumoi-nya.
"Pengkhianat,
kiranya engkau hanya seorang bocah pengkhianat yang tidak mengenal budi! Suhu
bertiga pernah menyelamatkanmu, memeliharamu dan kami bersusah payah mendidikmu
hanya untuk kau balas dengan pengkhianatan ini?"
Bi Lan
meloncat bangun dan memandang suci-nya dengan muka agak pucat karena terkejut
melihat suci-nya mendadak berada di situ, hal yang sama sekali tidak pernah
disangkanya. Namun, dua kali tarikan napas panjang saja sudah membuat dia tenang
kembali.
"Suci,
aku tidak mengkhianati siapa-siapa."
"Mulut
busuk, jangan sembarangan ngoceh! Bukankah aku telah berpesan bahwa siapa saja
yang kau temukan di daerah ini harus kau bunuh? Tetapi apa yang kau lakukan
sekarang? Engkau malah berhubungan dengan mereka ini. Pengkhianat harus mampus
dulu kau sebelum kubunuh mereka!"
Bi-kwi sudah
menyerang dengan ganasnya, sekali ini bukan sekedar hendak menghajar sumoi-nya
seperti yang sudah-sudah, namun serangannya ditujukan untuk membunuh!
Dia cerdik
dan maklum bahwa kalau dia menggunakan jurus ilmu silatnya, kebanyakan
sumoi-nya telah menguasainya dan akan mampu menghindarkan diri. Maka sekali ini
ia menyerang tanpa menggunakan jurus-jurus ilmu silat, namun pukulannya
mengandung hawa pukulan maut karena tangan yang menyerang diisinya dengan
tenaga Kiam-ciang (Tangan Pedang) dan tangan itu menyambar ke arah dada Bi Lan
dengan kecepatan kilat!
Terdengar
suara bercuit nyaring ketika tangan itu menyambar dada dan Bi-kwi sudah
membayangkan betapa dada sumoi yang dibencinya ini akan tertusuk tangannya, dan
ia akan mencengkeram di dalam dada, menarik keluar jantungnya kalau berhasil.
Ia tidak takut lagi dimarahi tiga orang suhu-nya karena sekarang dia memiliki
alasan kuat untuk membunuh Bi Lan.
"Wuuuttt...
plakkk...!"
Dan Bi-kwi
terkejut setengah mati. Bukan hanya sumoi-nya mampu mengelak, bahkan tangkisan
tangan sumoi-nya tadi ketika mengenai lengannya, membuat tangannya yang
menyerang terpental kembali dan ada hawa tenaga yang lunak akan tetapi kuat
sekali keluar dari tangan sumoi-nya! Rasa kaget, heran dan juga penasaran
membuat ia jadi marah sekali.
"Bagus!
Keparat jahanam, kau berani melawanku, he?" Dan ia pun menerjang lagi.
Akan tetapi
Bi Lan sudah cepat-cepat meloncat ke belakang nenek itu yang mengangkat kedua
tangan ke atas.
"Sabarlah,
nona...!" kata nenek Wan Ceng kepada Bi-kwi.
Dari tadi ia
sudah tahu bahwa tentu inilah wanita cantik yang disebut Bi-kwi itu. Kalau saja
hal ini terjadi dua tiga puluh tahun yang lalu, melihat seorang wanita yang demikian
kejam dan jahat, tentu tanpa banyak cakap lagi nenek Wan Ceng sudah turun
tangan menentang dan membasminya. Akan tetapi sekarang ia adalah seorang nenek
tua isteri yang bijaksana dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka sikapnya
tenang saja pada saat ia mengangkat kedua tangan melindungi Bi Lan dan
menyabarkan Bi-kwi.
Akan tetapi
sebaliknya, Bi-kwi sudah menjadi marah bukan main. Melihat ada orang berani
tinggal di tempat yang dianggap masih wilayah kekuasaannya itu saja sudah
membuatnya marah, apa lagi mengingat bahwa kakek dan nenek ini agaknya menjadi
sahabat sumoi-nya.
"Tua
bangka yang bosan hidup!" bentaknya.
Bi-kwi sudah
meloncat ke depan menyerang nenek Wan Ceng dengan pukulan maut dari Ilmu Silat
Kiam-ciang!
"Dukkkk...!"
Sebuah
lengan dengan gerakan Ilmu Silat Kiam-ciang juga telah menangkisnya dan
keduanya tergetar. Akan tetapi Bi Lan yang menangkis itu agak terhuyung,
sedangkan Bi-kwi hanya melangkah mundur dua tindak. Dengan sikap tegak dan
pandang mata menyinarkan perlawanan, Bi Lan berkata dengan suara tegas dan
berani.
"Suci,
jangan kau menyerangnya! Mereka ini tinggal di sini karena mereka hendak
menolongku, menyelamatkan aku dari bahaya maut yang menjadi akibat perbuatanmu
yang keji! Engkau telah sengaja memberi latihan yang terbalik dan tersesat
sehingga latihan-latihan itu menghimpun hawa beracun di dalam tubuhku. Mereka
menaruh iba kepadaku dan menyelamatkanku, karena itu engkau tidak boleh
menyerang mereka!"
Bi-kwi
tertegun sejenak, hatinya terlampau kaget. Pertama, sumoi-nya berani membela
nenek itu dan bahkan dapat menangkis serangannya yang dahsyat tadi dengan jurus
yang sama dan ia merasa pula betapa sumoi-nya kini memiliki tenaga sinkang yang
amat kuat, hampir dapat menyamai tenaganya. Pula, ia melihat sikap Bi Lan
demikian tegas dan sama sekali tidak terbayang lagi sikap gendengnya, padahal kemarin
masih bersikap seperti orang gendeng.
Sebagai
seorang gadis yang cerdik, ia pun segera dapat menduga bahwa sumoi-nya itu
agaknya pada hari-hari yang lalu telah berpura-pura gendeng untuk
mengelabuinya. Pikiran ini membuatnya menjadi semakin marah.
"Mereka
tidak berhak mencampuri urusan kita dan mereka harus mampus!" bentaknya.
Ia siap
untuk menerjang lagi, siapa saja di antara mereka bertiga yang berada paling
dekat akan diserangnya. Ia sudah mengambil keputusan untuk membunuh ketiga
orang ini.
Sebelum Bi
Lan menjawab, nenek Wan Ceng berkata halus, "Bi Lan, minggirlah dan
biarkan kami menghadapi iblis betina ini."
"Baik,
subo," kata Bi Lan.
Ia pun
meloncat ke pinggir, membiarkan nenek itu menghadapi suci-nya. Ia tahu akan
kelihaian suci-nya dengan pukulan-pukulan yang keji dan ampuh, maka dia pun
ingin sekali melihat bagaimana kedua orang gurunya yang baru itu menghadapi
suci-nya. Hanya jika ia teringat betapa nenek itu sekali cengkeram saja dapat
membuat sebatang pohon menjadi hancur di sebelah dalamnya dan tumbang,
diam-diam ia bergidik dan tak terasa lagi ia menyambung, "Subo, harap suka
maafkan suci dan jangan menghajarnya terlalu keras!"
Nenek itu
melirik kepadanya dan tersenyum maklum bahwa murid barunya itu merasa ngeri dan
khawatir kalau-kalau dia akan membunuh suci-nya itu. Dia pun mengangguk. Lalu
ia menghadapi Bi-kwi dan dengan suara masih halus berkata, "Nona, tentu
engkau ini yang berjuluk Bi-kwi, suci dari Bi Lan. Ingat, nona, engkau telah
bertindak keji dan hendak membunuh sumoi-mu sendiri perlahan-lahan, dan
sekarang engkau mendengar sendiri betapa Bi Lan masih memintakan ampun untukmu.
Maka, sadarlah, nona, ingat bahwa kekerasan hanya akan menyeretmu sendiri ke
lembah kesengsaraan."
"Sudah
mau mampus masih cerewet! Terimalah ini!" Dan Bi-kwi sudah memotong
kata-kata nenek itu dan menyerang dengan amat hebatnya, ia masih terus
mempergunakan Kiam-ciang karena menganggap bahwa ilmu ini yang paling ampuh
untuk melakukan penyerangan mendadak.
Bi-kwi sudah
merasa girang sekali ketika melihat betapa nenek itu hanya menangkis dengan
gerakan lambat saja, tidak mengelak. Ia sudah membayangkan bahwa ia akan
berhasil membikin patah atau bahkan buntung lengan nenek itu dengan tangannya
yang dapat menjadi seampuh pedang.
Bi Lan yang
mengenal keampuhan Kiam-ciang, mengerutkan alisnya dan memandang dengan
khawatir juga, biar pun ia sudah yakin akan kesaktian subo-nya. Tak terelakkan
lagi, tangan Bi-kwi bertemu dengan lengan kanan nenek Wan Ceng.
"Dukkk!"
Terdengar
pula bunyi kain robek. Ternyata lengan baju nenek itu robek seperti dibacok
pedang, akan tetapi tangan itu sendiri berhenti ketika bertemu dengan kulit
lengan, dan Bi-kwi terhuyung ke belakang seperti terdorong oleh tenaga yang
amat kuat.
Bi-kwi
terkejut bukan main. Ilmunya memang telah berhasil merobek lengan baju nenek
itu, akan tetapi ketika tangan yang dimiringkan tadi bertemu dengan lengan, ia
merasa betapa kulit lengan itu lembut dan lunak, serta tenaga Kiam-ciang itu
membalik dan membuatnya terhuyung. Di lain pihak, diam-diam nenek Wan Ceng juga
terkejut karena tak menyangka bahwa tangan gadis cantik itu sedemikian ampuhnya
sehingga dapat menjadi tajam seperti sebatang pedang saja.
Bi-kwi telah
menerjang lagi. Tiba-tiba nenek itu mendapat pikiran untuk memberi contoh
kepada Bi Lan bagaimana caranya mempergunakan ilmu silat Ban-tok Ciang-hoat
yang telah diajarkannya kepada Bi Lan untuk menghadapi serangan-serangan
Bi-kwi. Melihat namanya, yaitu Ilmu Silat Selaksa Racun, tentu merupakan ilmu
silat kaum sesat yang mengandung racun.
Memang asal
mulanya demikian. Dahulu, di waktu dia masih gadis, nenek Wan Ceng pernah
menjadi murid seorang nenek iblis yang berjuluk Ban-tok Mo-li dan dari wanita
sesat ini Wan Ceng menerima ilmu-ilmu silat yang mengandung racun amat
jahatnya. Akan tetapi, setelah ia menjadi isteri Pendekar Naga Sakti Gurun
Pasir, ia telah menjadi seorang pendekar wanita dan tidak mau lagi menggunakan
ilmu silat yang pukulannya mengandung hawa beracun.
Dengan
bantuan suaminya, ia kemudian merubah Ban-tok Ciang-hoat dari ilmu pukulan
beracun menjadi ilmu pukulan yang mengandung sinkang lembut akan tetapi di
balik kelembutan itu terkandung tenaga yang amat hebat seperti yang pernah
diperlihatkan kepada Bi Lan ketika tangannya mencengkeram batang pohon. Kini,
Ban-tok Ciang-hoat hanya tinggal namanya saja yang mengerikan, akan tetapi
sudah menjadi semacam ilmu silat yang lihai dan bersih, tidak lagi menggunakan
racun. Ilmu inilah yang oleh nenek itu diajarkan kepada Bi Lan. Kini, menghadapi
serangan-serangan Bi-kwi, nenek itu lalu sengaja memainkan ilmu silat ini untuk
memberi contoh kepada Bi Lan.
Melihat ini,
Kao Kok Cu maklum akan niat isterinya dan dia pun berbisik kepada Bi Lan,
"Lihat baik-baik gerakan subo-mu ketika menggunakan ilmu silat itu."
Bi Lan
mengangguk. Gadis yang cerdik ini pun segera maklum akan maksud subo-nya. Dia
berterima kasih sekali karena kini dia dapat lebih jelas melihat bagaimana cara
mempergunakan ilmu silat itu untuk menghadapi serangan suci-nya dengan
ilmu-ilmu silat yang sudah dikenalnya pula.
Hal ini amat
penting baginya karena semenjak sekarang dia harus dapat membela diri terhadap
serangan-serangan suci-nya. Mengandalkan ilmu-ilmu silat yang diperolehnya dari
suci-nya untuk membela diri, tentu kurang meyakinkan dan kurang kuat, karena
tentu saja dia kalah latihan, juga kalah kuat tenaga dalamnya yang dahulu
dilatihnya secara keliru.
Perkelahian
antara Bi-kwi dan nenek Wan Ceng itu memang seru bukan main. Bi-kwi amat lihai
dan ia sudah berlatih secara matang. Ilmu-ilmu silat dari tiga orang gurunya
sudah diresapinya benar, juga sudah dilatihnya secara matang. Betapa pun juga,
kini ia melawan nenek Wan Ceng yang telah menjadi isteri Pendekar Naga Sakti
Gurun Pasir, maka ia menemukan seorang lawan berat dan andai kata nenek itu
masih belum setua itu, dua puluh tahun yang lalu saja, tentu Bi-kwi akan sulit
memperoleh kemenangan.
Akan tetapi,
kini nenek itu sudah tua. Selain tenaganya berkurang juga daya tahannya
menurun, apa lagi semangatnya untuk berkelahi dan mencari kemenangan telah
lemah. Maka setelah lewat seratus jurus lebih, nenek itu mulai kelelahan.
Nenek Wan
Ceng merasa sudah cukup memberi contoh kepada muridnya, dan dia pun maklum
bahwa jika ia melanjutkan menghadapi gadis yang amat lihai itu dengan tangan
kosong saja, keadaannya akan menjadi berbahaya.
"Singgggg...!"
Tiba-tiba
nampak sinar menyilaukan mata dan sebatang pedang yang mengeluarkan hawa
mengerikan telah berada di tangan kanan nenek itu. Bi-kwi sendiri terbelalak
dan bergidik, maklum bahwa nenek itu telah memegang sebatang pedang yang ampuh
dan mengandung hawa aneh.
Itulah
Ban-tok-kiam! Dulu pernah pedang ini oleh nenek Wan Ceng diberikan kepada
puteranya, putera tunggal yang bernama Kao Cin Liong. Akan tetapi setelah Kao
Cin Liong menjadi seorang panglima, ia mengembalikan pedang itu kepada ibunya
karena ia harus membawa pedang kekuasaan yang menjadi lambang kedudukannya.
Pedang
Ban-tok-kiam ini adalah sebatang pedang yang dulu diterima oleh nenek Wan Ceng
dari gurunya, nenek iblis Ban-tok Mo-li dan pedang ini adalah sebatang pedang
yang terbuat dari pada baja pilihan. Yang mengerikan adalah bahwa senjata ini
sudah direndam sampai puluhan tahun dalam ramuan racun-racun yang sangat kuat,
maka diberi nama Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun). Sedikit saja tergores
pedang ini sudah cukup membuat korbannya tewas!
Melihat
isterinya mencabut Ban-tok-kiam, Kao Kok Cu cepat meloncat ke depan dan menarik
lengan isterinya. "Kau istirahatlah," katanya halus.
Wan Ceng
sadar bahwa tidak semestinya ia menggunakan pedang itu. Maka dengan muka merah
dia pun melangkah mundur di dekat Bi Lan sambil menyimpan kembali pedangnya.
Sementara
itu Kao Kok Cu sudah menghadapi Bi-kwi sambil berkata, "Nona, hentikan
kemarahanmu dan tidak perlu kau melanjutkan serangan-seranganmu. Kami datang ke
tempat ini bukan bermaksud buruk, melainkan hendak mengobati Can Bi
Lan..."
"Mampuslah!"
Bi-kwi yang
masih marah dan penasaran karena tidak mampu mengalahkan nenek itu, kini sudah
menerjang maju, menghantam dengan Kiam-ciang ke arah kepala kakek itu.
"Bi
Lan, lihat baik-baik!" kata kakek itu.
Dia pun
sengaja mengelak lalu bersilat dengan Ilmu Silat Sin-Liong Ciang-hoat untuk
memberi contoh kepada murid barunya bagaimana menggunakan ilmu silat itu untuk
menghadapi Bi-kwi. Kalau dia mau, tentu saja dengan sekali gebrakan dia akan
mampu merobohkan Bi-kwi. Tingkat kepandaiannya terlampau jauh lebih tinggi dari
pada tingkat Bi-kwi. Akan tetapi Pendekar Naga Sakti ini tidak mau berbuat
demikian karena dia ingin memberi petunjuk kepada Bi Lan.
Gadis ini
pun mengerti dan diamatinya dengan baik gerakan-gerakan suhu-nya ketika
menghadapi Bi-kwi.
Bi-kwi
agaknya maklum bahwa ilmu kepandaian kakek ini jauh lebih tinggi dari pada si
nenek, maka ia pun mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu
silatnya untuk menyerang kakek itu. Berturut-turut ia menggunakan ilmu-ilmu
dari ketiga orang suhu-nya. Ilmu Tendangan Pat-hong-twi dari Iblis Akhirat dan
Hun-kin Tok-ciang dari Iblis Mayat Hidup, lantas diakhiri Ilmu dari Raja Iblis
Hitam yang disebut Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapan belas Jurus Ilmu Silat Lutung
Hitam).
Akan tetapi,
semua ilmu itu seperti permainan kanak-kanak saja ketika dihadapi oleh kakek
lengan satu itu dengan Sin-liong Ciang-hoat. Semua pukulan dan tendangan dapat
dihalau dengan mudah dan setiap kali kakek itu balas menyerang dengan jurus
dari ilmu silatnya, Bi-kwi terkejut dan langsung terdesak hebat. Bahkan kalau
kakek itu melanjutkan serangannya, tentu Bi-kwi akan terkena pukulan atau
cengkeraman. Tetapi Kao Kok Cu sengaja tidak melanjutkan serangan balasannya,
karena dia hanya ingin memperlihatkan saja kepada muridnya bagaimana caranya
mengalahkan Bi-kwi dengan ilmu silat itu.
Diam-diam Bi
Lan girang bukan main. Jelas nampak olehnya semua itu dan mulailah ia melihat
kelemahan-kelemahan pada ilmu-ilmu silat yang dimainkan suci-nya, dan ia pun
kagum bukan main karena kalau tadi subo-nya hanya membuktikan bahwa subo-nya
dapat menandingi suci-nya tanpa terdesak, sekarang suhu-nya benar-benar
menguasai keadaan dan kalau suhu-nya menghendaki sudah sejak tadi Bi-kwi roboh!
Hal ini
dirasakan pula oleh Bi-kwi. Di samping rasa kagetnya, ia juga merasa penasaran
sekali. Tadi melawan si nenek, sukar sekali baginya untuk dapat menang dan
nenek itu ternyata mampu mengimbanginya. Nenek itu saja dia tidak mampu
mengalahkan, dan kini, kakek itu ternyata memiliki kelihaian yang sama sekali
tidak pernah disangkanya.
Hanya dengan
sebuah lengan, kakek itu telah menutup seluruh lubang sehingga sama sekali ia
tak mampu menyerang dengan berhasil. Bahkan tiap kali kakek itu membalas, ia
bingung dan hampir terkena kalau saja kakek itu tidak menghentikan serangannya
di tengah jalan. Jelaslah bahwa kakek itu sengaja mempermainkannya.
Ia, Bi-kwi,
kini dipermainkan seorang kakek tua renta! Padahal ialah orang yang telah
mewarisi ilmu-ilmu kesaktian Sam Kwi! Untuk kedua kalinya dalam hidup, dia
merasa terpukul lahir batin. Pertama pada waktu ia melawan Pendekar Suling
Naga, dan kedua kalinya sekarang inilah! Hampir Bi-kwi menangis saking jengkel
dan marahnya.
Makin
penasaran rasa hatinya dan semakin besar harapannya agar tiga orang gurunya
berhasil menciptakan sebuah ilmu yang akan dapat dipakai menghadapi lawan-lawan
tangguh seperti kakek ini dan Pendekar Suling Naga. Tetapi pada saat itu,
kemarahan membuat ia lupa diri dan tiba-tiba ia mencabut pedangnya.
"Srattttt...!"
Wanita ini
jarang mempergunakan pedang karena kedua tangannya saja sudah cukup untuk merobohkan
dan membunuh lawan. Tadi kalau si nenek yang tangguh itu terus menyerangnya
dengan pedang yang mengerikan itu, tentu ia pun akan mengeluarkan pedangnya.
Sekarang, merasa tidak sanggup menandingi kakek yang luar biasa itu, ia
mencabut pedangnya. Padahal ini hanya untuk gertakan belaka.
Dengan
pedang di tangan, ia tidak akan menjadi lebih lihai. Bahkan tanpa pedang ia
dapat memainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari gurunya. Satu di antara ilmu
Iblis Akhirat, yaitu Toat-beng Hui-to, merupakan senjata rahasia pisau terbang
yang tidak dapat dilakukannya dengan pedang dan ia masih belum mempersiapkan
pisau-pisau yang cocok untuk dipakai dalam ilmu melempar pisau yang dapat
terbang membalik itu.
Melihat
gadis itu mengeluarkan pedang, Kao Kok Cu mengerutkan alisnya dan berseru
nyaring, "Tak baik main-main dengan senjata! Lepaskan pedang!"
Pada saat
itu, Bi-kwi sudah membacokkan pedangnya. Kakek itu menangkis dengan tangan
kanan, menyambut begitu saja pedang telanjang itu dengan jari-jari tangannya.
Nampak pundak kiri kakek itu bergerak dan tahu-tahu lengan baju kiri yang
kosong itu meluncur ke depan dan menotok pinggang Bi-kwi. Bi-kwi mengeluarkan
seruan kaget, tubuhnya lemas dan pedangnya terpental, terlepas dari tangannya
dan dia tidak kuat berdiri lagi, lalu jatuh bertekuk lutut!
Bi Lan
memandang dengan bengong penuh kagum. Setelah dikehendakinya, ternyata kakek
itu mampu merobohkan Bi-kwi dan sekaligus membuat pedang terlempar. Bukan main!
Akan tetapi
Bi-kwi yang tidak tahu diri menjadi semakin berang sampai mata gelap dan ia
lalu meloncat berdiri lagi dan menggunakan tangan untuk menghantam dada kakek
itu.
"Desss...!"
Bukan kakek
itu yang roboh, melainkan tubuh Bi-kwi yang terjengkang dan terbanting keras
sebelum pukulannya mengenai dada, karena kakek itu telah menggerakkan tangan
kanannya yang melakukan gerakan mendorong ke depan sehingga tubuh wanita itu
diterjang angin pukulan yang amat kuat.
Tetapi
bantingan ini tidak membuat Bi-kwi menjadi jera. Ia sudah melompat bangun lagi.
Mukanya menjadi pucat saking marahnya dan sambil mengeluarkan suara melengking,
tubuhnya sudah meluncur deras ke atas dan ke depan, ke arah kakek itu dalam
sebuah serangan maut yang amat hebat. Dalam serangan ini dua buah tangannya
menyerang dua bagian tubuh, juga kedua kakinya melakukan tendangan!
"Hemm...!"
Pendekar Naga Sakti mengeluarkan seruan dari hidung dan menggerakkan tangan
kanan, disusul lengan baju kirinya yang kosong menyambar ke depan.
"Desss...!
Brukkk...!"
Tubuh Bi-kwi
terbanting lebih keras lagi dan kini agaknya ia merasa pening karena ia
merangkak dan tidak dapat segera bangkit.
Bi Lan
menjatuhkan diri berlutut di depan Kao Kok Cu. "Harap suhu suka mengampuni
suci Bi-kwi." Gadis ini menoleh ke arah suci-nya, lalu membentak.
"Suci, engkau tidak tahu siapa yang kau lawan! Beliau adalah Pendekar Naga
Sakti Gurun Pasir! Apakah kau masih berani kurang ajar lagi?"
"Ahhh...!"
Bi-kwi terkejut bukan main, merasa seperti disambar halilintar kepalanya. Ia
mengangkat muka memandang kakek itu, melihat ke arah lengan baju kiri yang
kosong dan ia pun teringat.
Tentu saja
ia pernah mendengar nama besar Pendekar Naga Sakti dari Istana Gurun Pasir,
ayah kandung bekas Panglima Kao Cin Liong, nama yang dalam kebesarannya tidak
kalah oleh nama Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Dan ia tadi sudah
mati-matian menyerangnya!
"Aihhh...!"
katanya lagi. Dia pun melompat bangun lalu melarikan diri, kembali ke tempat
guru-gurunya. Hatinya merasa gentar, juga malu, juga marah dan penasaran.
Setelah
Bi-kwi pergi jauh, Kao Kok Cu menarik napas panjang. "Siancai... suci-mu
itu memang lihai dan ilmu kepandaiannya sudah tinggi, agaknya sukar dicari
bandingannya untuk waktu ini. Akan tetapi sayang, batinnya tidak semaju
lahirnya sehingga ilmu kepandaian itu disalah gunakan untuk mengumbar
kejahatan."
"Akan
tetapi sekarang engkau tak perlu takut lagi menghadapinya, Bi Lan. Engkau tadi
sudah melihat betapa Ban-tok Ciang-hoat mampu membendung semua serangannya, dan
dengan Sin-liong Ciang-hoat engkau tentu akan mampu membela diri dan bahkan
mengalahkannya," kata Wan Ceng.
Suami nenek
itu mengangguk. "Benar, dalam hal ilmu silat, engkau tidak perlu khawatir
karena kemampuanmu sekarang masih dapat diandalkan untuk membela diri dari
serangan-serangan suci-mu, andai kata ia berniat buruk. Akan tetapi, engkau
tidak boleh ikut dengan kami sebelum memperoleh ijin dari guru-gurumu. Sekarang
kami akan pergi. Engkau kembalilah ke tempatmu, usahakan agar dapat berdamai
dengan suci-mu. Kalau engkau sudah tidak melihat jalan lain, tentu saja setiap
waktu engkau boleh mencari kami ke Gurun Pasir. Akan tetapi, engkau baru dapat
menemukan tempat kami itu kalau engkau lebih dahulu mencari putera kami yang
bernama Kao Cin Liong dan yang kini tinggal di kota Pao-teng di sebelah selatan
kota raja. Dia berdagang rempah-rempah di sana dan mudah dicari rumah orang
yang bernama Kao Cin Liong. Nah, selamat berpisah, Bi Lan. Mudah-mudahan
kedamaian dan kebahagiaan akan selalu menyertaimu dalam hidupmu."
Nenek Wan
Ceng merangkul muridnya. Nenek ini sudah merasa sayang sekali kepada murid ini
sehingga agak berat rasanya harus berpisah darinya. "Bi Lan, bawa dirimu
baik-baik dan aku masih merasa khawatir atas keselamatanmu. Karena itu, ini
kuberi pinjam Ban-tok-kiam kepadamu. Jangan pergunakan ini kalau tidak terpaksa
sekali, dan kelak kau dapat kembalikan kepadaku kalau kau mengunjungi kami di
utara." Nenek itu menyerahkan pedang yang mengerikan tadi, yang kini
tersembunyi di dalam sarungnya yang indah.
Sebetulnya,
di dalam hatinya Kao Kok Cu tidak setuju isterinya menyerahkan pedang itu
kepada Bi Lan. Pedang itu amat berbahaya, dan dapat menimbulkan bencana kalau
dipergunakan secara sembarangan. Akan tetapi karena isterinya telah
memberikannya, dia pun tidak mau mencela.
"Bi
Lan, lebih baik kau sembunyikan pedang itu agar jangan sampai diketahui
suci-mu. Kalau terpaksa membawanya, sembunyikan di balik baju, karena banyak
orang yang akan berusaha merampasnya kalau mereka tahu akan Ban-tok-kiam
itu." Akhirnya dia memberi nasehat.
"Bi
Lan, berhati-hatilah!" Nasehat terakhir Wan Ceng terdengar penuh keharuan.
Bi Lan
menjatuhkan dirinya berlutut untuk menghaturkan terima kasih dan hatinya juga
merasa berduka sekali harus berpisah dari dua orang gurunya ini. Selama
setengah tahun ini berdekatan dengan mereka, dia melihat betapa bedanya watak
antara ketiga orang gurunya dan suci-nya, dibandingkan dengan kakek dan nenek
yang halus budi dan berwatak mulia ini. Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar
angin menyambar dan ketika ia mengangkat muka memandang, ia hanya melihat
bayangan dua orang itu berkelebat dan lenyap dari situ.
Ia terkejut
dan penuh kagum, termangu-mangu, kemudian memberi hormat lagi sambil berlutut,
"Teecu Can Bi Lan takkan melupakan budi kebaikan suhu dan subo."
Setelah
beberapa lama termenung, baru sekarang Bi Lan sadar bahwa sesungguhnya
pertemuannya dengan kakek dan nenek itu merupakan suatu peristiwa luar biasa
yang telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman bahaya maut. Bahkan bukan itu
saja, melainkan ia kini telah memperoleh bekal, menguasai ilmu-ilmu yang dapat
melindungi dirinya dari pada ancaman Bi-kwi.
Gadis ini
kemudian kembali ke puncak tempat kediaman guru-gurunya. Dan sebelum
menampakkan diri di puncak, ia lebih dahulu menyembunyikan Ban-tok-kiam di
dalam jepitan dua buah batu besar yang hanya dikenalnya sendiri, tak jauh dari
bawah puncak. Sebelum menyembunyikan pusaka ini, ia lebih dahulu berlari cepat
mengelilingi tempat itu dan menyelidiki bahwa tidak ada seorang pun tahu akan
perbuatannya itu.
Setelah
merasa yakin bahwa senjata itu sudah disembunyikan di sebuah tempat yang
rahasia, ia lalu menenteramkan hatinya agar tenang dan berlari mendaki puncak.
Ia sudah siap andai kata suci-nya akan menghadang dan menyerangnya. Ia sudah
tahu bagaimana harus melawan suci-nya dan Ilmu Sin-liong Ciang-hoat tadi ia
lihat mampu menundukkan suci-nya.
Akan tetapi
apa yang dilihatnya di tempat tinggal Sam Kwi amat mengejutkan hatinya, walau
pun juga amat menggirangkan. Ia melihat bahwa tiga orang gurunya itu kini telah
keluar dari tempat pertapaan mereka dan sekarang tiga orang kakek itu sudah
duduk berdampingan di atas bangku-bangku baru mereka, sedangkan Bi-kwi nampak
duduk di atas bangku yang berhadapan dengan mereka.
Melihat dari
jauh betapa tiga orang gurunya itu kini sudah nampak tua-tua sekali, hati Bi
Lan diliputi keharuan. Biar pun tiga orang kakek itu berjuluk Tiga Iblis, biar
pun ia tahu bahwa mereka itu amat kejam dan suka melakukan hal-hal yang jahat,
namun bagai mana pun juga, mereka bertiga itu bersikap baik sekali kepadanya,
melimpahkan budi yang amat besar kepadanya, maka mana mungkin ia membenci
mereka?
Tidak sama
sekali, ia tidak membenci mereka. Bahkan ada rasa sayang dalam hatinya terhadap
mereka dan kini melihat betapa mereka sudah nampak tua dan lemah, sudah tujuh
puluh tahun lebih usia mereka, hatinya diliputi keharuan.
Tidak dapat
kita sangkal lagi, apa bila kita mau mempelajari segala macam watak manusia
melalui pengamatan terhadap diri sendiri, karena watak masyarakat, watak
manusia, watak dunia adalah watak kita juga, akan nampaklah kaitan-kaitannya
yang tidak terpisahkan dari penilaian dan rasa suka dan tidak suka dengan
ke-aku-an yang selalu mendambakan kesenangan, sang aku yang selalu
mengejar-ngejar kesenangan. Penilaian akan sesuatu atau pun akan seseorang,
baik buruknya, juga tak terlepas dari pengaruh sang aku.
Betapa baik
pun seseorang menurut pendapat orang sedunia sekali pun, kalau si orang baik
itu merugikan kita, maka otomatis kita akan berpendapat bahwa orang itu tidak
baik dan kita tidak suka kepada orang itu, bahkan membencinya. Sebaliknya, biar
pun orang seluruh dunia berpendapat bahwa seseorang amatlah jahatnya, tetapi
kalau si orang itu menguntungkan kita, baik keuntungan lahir mau pun batin,
maka sukar bagi kita untuk berpendapat bahwa dia jahat, sebaliknya kita akan
menganggapnya orang yang baik dan kita menyukainya.
Dengan
demikian jelas bahwa penilaian itu tergantung sepenuhnya dari pertimbangan
pikiran, dan pertimbangan pikiran selalu didalangi oleh si-aku yang senantiasa
diboboti oleh untung dan rugi. Dengan demikian, maka semua penilaian adalah
palsu dan bukan merupakan kenyataan sejati.
Karena itu,
tidaklah aneh kalau Bi Lan menganggap bahwa tiga orang kakek yang oleh umum
dinamakan Tiga Iblis itu sebagai orang-orang yang baik dan disayangnya.
Siapakah yang mengatakan bahwa harimau itu buas dan jahat? Tentulah mereka yang
merasa terancam keselamatannya oleh binatang itu. Kelompoknya dan anak-anaknya
tidak akan menganggap demikian!
Dengan cepat
Bi Lan berlari menghampiri mereka dan setelah tiba di depan tiga orang gurunya,
ia pun menjatuhkan diri berlutut di depan mereka. Sebelum berjumpa dengan
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, belum pernah Bi Lan
memperlihatkan rasa sayang dan hormatnya kepada tiga orang kakek ini, karena
memang pendidikan mereka terhadap Bi Lan tidak demikian. Mereka itu adalah
datuk-datuk kaum sesat yang sama sekali tidak pernah peduli tentang segala
macam peraturan dan sopan santun sehingga bagi mereka merupakan hal yang biasa
saja kalau murid mereka Ciong Siu Kwi atau Bi-kwi selain menjadi murid pertama
juga menjadi kekasih mereka!
"Aihh,
suhu bertiga sudah selesai bertapa? Harap sam-wi suhu berada dalam keadaan
baik-baik dan sehat," berkata Bi Lan dengan kegembiraan yang wajar karena
memang hatinya gembira melihat tiga orang kakek itu nampak sehat walau pun muka
mereka agak memucat karena kurang mendapatkan sinar matahari selama
berbulan-bulan.
Melihat ulah
Bi Lan ini, Sam Kwi memandang heran, termangu dan saling pandang oleh karena
belum pernah mereka melihat murid itu demikian sopan.
Akan tetapi
Bi-kwi segera menuding ke arah sumoi-nya dan berkata, "Inilah pengkhianat
itu, suhu! Ia telah berhubungan dengan orang luar, bahkan telah berkhianat
mengangkat Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya menjadi guru-gurunya
pula! Bukankah ini merupakan tamparan bagi muka suhu bertiga? Murid pengkhianat
ini harus dibunuh sekarang juga untuk membersihkan muka suhu bertiga dari
penghinaan!"
Ketiga orang
kakek itu saling pandang. Tadi mereka keluar dari pertapaan dan yang menyambut
mereka adalah Bi-kwi yang segera menceritakan tentang diri Bi Lan atau
Siauw-kwi yang katanya berkhianat itu. Kini mereka dengan pandang mata ragu
lalu bertanya, diucapkan oleh Im-kan Kwi atau Iblis Akhirat.
"Siauw-kwi,
benarkah keterangan Bi-kwi itu? Engkau telah menjadi murid orang-orang lain
tanpa seijin kami? Apakah engkau tidak puas menjadi murid kami?"
Mendengar
pertanyaan yang nadanya penuh ancaman dari Im-kan Kwi yang biasanya amat sayang
kepadanya dan bersikap sebagai kakek sendiri, Bi Lan menarik napas panjang
menenangkan hatinya yang terguncang, lalu dia berkata dengan suara tegas karena
sudah mengambil keputusan untuk melawan tuduhan-tuduhan suci-nya dengan membuka
rahasia suci-nya.
"Sam-wi
suhu tentu sudah tahu akan isi hati teecu…."
Kembali
ketiga orang datuk sesat itu saling pandang karena sikap dan ucapan Bi Lan
benar-benar telah berubah. Gadis itu nampak halus dan lembut biar pun sinar
matanya memancarkan kegembiraan dan kelincahan yang tadinya tak pernah mereka
lihat. Tiga orang kakek itu benar-benar menyaksikan perubahan yang luar biasa
pada diri murid mereka itu.
"Teecu
merasa berhutang budi kepada sam-wi, teecu merasa amat sayang dan kasihan
kepada sam-wi dan menganggap sam-wi selain guru juga seperti kakek teecu
sendiri. Karena itu, mana mungkin teecu akan menghina dan mengkhianati sam-wi
suhu?"
Biar pun
hati tiga orang kakek itu sudah mengeras dan membatu, namun karena ada rasa
sayang kepada murid ini, hati mereka tersentuh pula oleh pernyataan Bi Lan
tadi. Mereka maklum bahwa Bi Lan tak pernah bohong, sama sekali tidak boleh
disamakan dengan Bi-kwi yang tidak akan ragu-ragu untuk membohongi nenek
moyangnya sekali pun! Mereka ketahui benar kepalsuan, juga kejahatan dan
kekejaman Bi-kwi, bahkan hal itu membuat mereka merasa bangga mempunyai murid seperti
itu!
"Akan
tetapi, Siauw-kwi, menurut keterangan suci-mu engkau telah berpaling kepada
orang lain, dan mengangkat guru kepada seorang pendekar dan isterinya,"
kata Iblis Mayat Hidup penuh teguran.
"Maaf,
suhu bertiga. Tidak dapat teecu sangkal akan hal itu, akan tetapi ada sebabnya
mengapa teecu berhubungan dengan mereka. Ketahuilah bahwa pada suatu pagi, enam
bulan yang lalu, ketika teecu habis dipukuli dan disiksa oleh suci seperti
biasa, teecu diharuskan memenuhi gudang kayu. Teecu pergi mencari kayu seperti
biasa dan di dalam hutan itu teecu berjumpa dengan Pendekar Naga Sakti Gurun
Pasir bersama isterinya. Mereka berdualah yang melihat bahwa teecu keracunan,
bahwa kalau tidak diobati, teecu akan menderita dan tewas. Dan semua ini adalah
perbuatan suci Bi-kwi! Suhu bertiga telah mewakilkan pendidikan atas diri teecu
kepada suci, dan ternyata suci memberi pelajaran yang menyesatkan, sengaja
dibalik dan disesatkan sehingga latihan-latihan itu menghimpun hawa beracun
dalam tubuh teecu, bahkan mempengaruhi otak sehingga pikiran teecu menjadi
bingung dan nyaris gila. Untunglah ada mereka berdua yang mengetahui keadaan
teecu. Mereka lalu untuk sementara tinggal di hutan itu, khusus untuk mengobati
teecu. Oleh karena mereka telah menyelamatkan nyawa teecu, maka tanpa ragu-ragu
lagi teecu mengangkat mereka menjadi guru supaya teecu bisa menerima
latihan-latihan yang dapat mengusir hawa beracun itu. Nah, demikianlah
kenyataannya dan terserah kepada keputusan sam-wi suhu."
Kini tiga
orang kakek itu menoleh dan memandang kepada Bi-kwi yang mendengarkan sambil
tersenyum-senyum mengejek.
"Huh,
anak ini memang tidak mengenal budi!" katanya. "Kalau memang aku tak
pernah memberi pelajaran dengan baik kepadanya, mana mungkin dia menguasai
semua ilmu silat kita, bisa paham dan juga pandai memainkan Hek-wan
Sip-pat-ciang, Pat-hong-twi, Hun-kin Tok-ciang, bahkan Kiam-ciang?"
Kembali tiga
orang kakek itu menoleh kepada Bi Lan yang menjawab lantang. "Teecu sama
sekali tidak pernah diajari ilmu-ilmu itu, suhu, melainkan diajar ilmu-ilmu
pukulan yang menyesatkan, penggunaan pernapasan yang terbalik, cara
penghimpunan tenaga sinkang yang sengaja disesatkan sehingga teecu keracunan
sendiri. Tidak akan teecu sangkal bahwa teecu mengenal dan paham akan semua
ilmu-ilmu suhu itu, akan tetapi hal itu teecu dapatkan dari menonton kalau suci
latihan seorang diri. Dari nonton inilah teecu lalu belajar sendiri, dan
terpaksa teecu keluarkan ketika suci menyerang teecu dengan ilmu-ilmu itu untuk
membunuh teecu."
Kembali tiga
orang kakek itu saling pandang. Iblis Akhirat lalu bertanya, "Siauw-kwi,
kau maksudkan bahwa hanya dengan menonton suci-mu berlatih, dan engkau sudah
dapat menguasai ilmu-ilmu itu?"
"Benar,
suhu."
"Benarkah
demikian, Bi-kwi?" tanya pula Iblis Akhirat.
"Bohong!
Mana mungkin hanya nonton orang bersilat lalu dapat menguasai ilmu silat itu?
Ia bohong, suhu!" bantah Bi-kwi.
Kini Raja
Iblis Hitam bangkit dan dia berkata "Perlu dibuktikan kebenaran omongan
kalian. Nah Bi-kwi dan Siauw-kwi, aku memiliki sebuah ilmu silat yang belum
pernah kuajarkan kepada siapa pun juga. Kalian lihat baik-baik, aku akan
memainkan ilmu silat itu, akan berlatih dan menghabiskan tiga belas jurus ilmu
itu. Ingin kulihat siapa di antara kalian yang dapat menguasainya hanya dengan menonton."
Setelah
berkata demikian, kakek yang tinggi besar bagaikan raksasa ini lalu bersilat.
Gerakannya aneh dan mengandung tenaga sampai menimbulkan angin menderu-deru.
Bi-kwi dan Bi Lan segera memperhatikan gerakan-gerakan itu. Memang, semenjak
dia keracunan, terjadi perubahan pada otak Bi Lan dan dia kini memiliki ingatan
yang luar biasa tajamnya...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment