Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Naga
Jilid 04
Setelah
selesai memainkan tiga belas jurus ilmu silat aneh yang selamanya belum pernah
dilihat oleh dua orang murid itu, Raja Iblis Hitam lalu bertanya, “Siauw-kwi,
coba kau mainkan jurus-jurus ilmu silatku tadi."
Bi Lan lalu
bangkit berdiri, kedua matanya setengah terpejam karena ia memusatkan
ingatannya untuk melihat gambaran-gambaran dari jurus-jurus tadi yang dicatat
dalam ingatannya, dan kaki tangannya bergerak-gerak.
Ketiga orang
kakek itu menonton dan mereka terbelalak kagum melihat betapa Bi Lan benar-benar
dapat menirukan semua gerakan Raja Iblis Hitam. Bahkan si pemilik ilmu ini
sendiri menjadi bengong. Memang benar bahwa gerakan itu belum sempurna benar,
akan tetapi jelas bahwa Bi Lan mampu memainkan tiga belas jurus ilmu silat itu,
dan kalau gadis itu diberi kesempatan nonton dia berlatih silat sampai tiga
empat kali saja, bukan hal mustahil kalau Bi Lan sudah akan dapat memainkannya
dengan baik!
"Sekarang
giliranmu, Bi-kwi," kata pula Raja Iblis Hitam setelah Bi Lan menghentikan
permainannya.
Bi-kwi
mengerutkan alisnya, mengingat-ingat, akan tetapi baru bergerak sebanyak tiga
jurus saja, ia sudah lupa lagi akan gerakan jurus-jurus selanjutnya. Dia hanya
mampu mengingat tiga jurus, itu saja mengandung kesalahan-kesalahan yang amat
besar!
"Aihh,
suhu berat sebelah! Tentu dahulu pernah melatih sumoi dengan ilmu silat
itu!" ia merajuk.
Hek-kwi-ong
tertawa bergelak dan memandang dua orang rekannya, "Siauw-kwi tidak
berbohong. Mungkin saja ia mempelajari ilmu-ilmu kita dengan cara menonton
suci-nya berlatih."
Ucapan ini
saja sudah cukup bagi dua orang kakek yang lain. "Bi-kwi," kata
Im-kan Kwi Si Iblis Akhirat, "kenapa engkau menyesatkan pelajaran silat
kepada sumoi-mu? Engkau yang membohong bukan Siauw-kwi!"
Tiba-tiba
Bi-kwi tertawa terkekeh dan memandang kepada tiga orang kakek itu dengan sikap
genit. "Perlukah suhu bertanya lagi? Tentu saja anak ini tidak becus
membohong! Mana dia mampu meniru kebiasaan kita? Memang aku telah membohong.
Aku iri hati kepadanya, karena dia cantik dan semakin manis saja. Aku sengaja
menyelewengkan ajaran-ajaran silat itu agar ia berlatih secara keliru dan
menghimpun hawa beracun di tubuhnya, agar dia mati perlahan-lahan tanpa suhu
ketahui. Hi-hik, usahaku itu sudah berjalan dengan amat baiknya. Sialan, muncul
pendekar brengsek dari Gurun Pasir itu yang menggagalkan segala-galanya. Akan
tetapi, bagaimana pun juga, aku selalu setia kepada suhu bertiga, sedangkan
sumoi ini diam-diam telah berguru kepada orang lain. Bukankah ini merupakan
penghinaan bagi suhu bertiga?"
Tiga orang
kakek itu sekarang tertawa. "Ha-ha-ha, engkau memang murid yang baik dan
membuat kami bangga! Kamu cerdik dan licik, sayang kurang beruntung sehingga
gagal, Bi-kwi! Akan tetapi engkau pun murid yang sukar didapat, Siauw-kwi.
Engkau berbakat sekali!"
Mendengar
tiga orang gurunya memuji-muji suci-nya sebagai cerdik itu, Bi Lan tidak merasa
heran. Memang tiga orang suhu-nya ini orang-orang yang aneh, dan mungkin saja
di dunia mereka, kecurangan dan kelicikan merupakan hal yang patut dibanggakan!
Sebaliknya, Bi-kwi merasa tidak senang karena mereka pun memuji-muji Bi Lan.
"Sekarang
suhu bertiga memilih saja, berat aku ataukah berat sumoi!" Ia menantang.
"Wah,
berat semua, berat keduanya! " Tiga orang kakek itu berkata hampir
berbareng.
"Bi-kwi,
jangan engkau berpendapat demikian!" Tiba-tiba Iblis Akhirat berkata.
"Ingat, tugasmu masih banyak serta berat dan engkau membutuhkan bantuan
sumoi-mu ini. Seorang diri saja, mana kau mampu? Dan kami sudah tua. Apa artinya
kami bersusah payah mendidik kalian jika akhirnya kalian tidak mampu membuat
jasa sedikit pun untuk kami? Selama setahun ini kami bertapa dan dengan susah
payah mempersatukan diri menciptakan serangkaian ilmu silat dan kini kami akan
mengajarkan kepada kalian agar kalian dapat bekerja sama melaksanakan
tugas."
Bi-kwi
girang sekali mendengar ini dan lupalah ia akan rasa iri hati dan kebenciannya
terhadap Bi Lan. "Ahh, lekaslah ajarkan ilmu itu kepadaku, suhu!"
Bi Lan hanya
memandang saja. Sedikit pun ia tak ingin mempelajari ilmu baru itu karena ilmu
itu diajarkan hanya untuk ditukar dengan pelaksanaan tugas. Padahal, sebagai
murid yang baik, tanpa diberi pelajaran ilmu baru sekali pun, ia siap untuk
membalas budi guru-gurunya melaksanakan tugas yang betapa sukarnya sekali pun.
"Nah,
kalian harus berdamai. Bi-kwi, engkau tidak boleh memusuhi sumoi-mu lagi. Mulai
saat ini kalian harus bekerja sama, dan sumoi-mu akan menjadi pembantu yang
boleh diandalkan," kata pula Iblis Akhirat.
Bi-kwi
adalah seorang yang luar biasa cerdik dan curangnya. Ia tak melihat keuntungan
jika memusuhi sumoi-nya. Dan memang benar, setelah sumoi-nya kini ternyata
memiliki kepandaian yang cukup tinggi, dapat merupakan seorang pembantu yang
amat baik.
"Baiklah,
suhu. Sumoi, kita lupakan semua yang pernah terjadi dan mulai saat ini, kau
jadilah seorang sumoi yang baik."
Bi Lan
tersenyum, akan tetapi ia tidak membantah, hanya berkata, "Baik, suci.
Asalkan engkau pun menjadi suci yang baik dan tidak menggangguku lagi."
Bi-kwi
mengangkat alisnya seperti orang terkejut. "Ehhh, sejak kapan aku menjadi
suci yang tidak baik? Coba kau ingat, kalau tidak ada ulahku, apakah engkau
kini mampu menjadi orang pandai dan akan menerima pelajaran ilmu baru dari
suhu-suhu kita?"
Kembali Bi
Lan tersenyum. Memang keluarga suhu-suhu-nya itu orang-orang yang aneh sekali
dan dia sendiri pun tidak tahu apa yang baik dan tidak baik bagi mereka. Kalau
dipikirkan, memang ada benarnya juga ucapan Bi-kwi. Kalau suci-nya itu tidak
berbuat sejahat itu, tentu ia tidak akan bertemu dengan Pendekar Naga Sakti dan
ia hanya akan menjadi sumoi dari Bi-kwi dengan kepandaian yang tentu saja jauh
di bawah suci-nya itu.
Melihat
keduanya sudah akur, tiga orang kakek itu merasa gembira. "Nah, kini
kalian harus berlutut dan mengucapkan janji dan sumpah bahwa setelah
mempelajari ilmu baru dari kami, kalian akan melaksanakan tugas dengan baik.
Tugas pertama adalah merampas kembali Liong-siauw-kiam (Pedang Suling Naga)
yang terjatuh ke tangan orang yang tidak berhak. Tugas ke dua, kalian harus
mewakili kami dan mengangkat diri menjadi bengcu di antara kaum kita, dan untuk
itu kalian boleh saja mengumpulkan bala bantuan, terutama dari Ang-i Mo-pang
seperti yang sudah pernah dilakukan oleh Bi-kwi. Setelah dapat merampas pusaka
Pedang Suling Naga dan merebut kedudukan bengcu, barulah tugas-tugas lain
menyusul. Bagaimana, sanggupkah kalian dan berani berjanji dengan sumpah?"
Bi-kwi dan
Bi Lan sudah berlutut, dan Bi-kwi tanpa ragu-ragu lagi berkata, "Aku
berjanji dan bersumpah untuk melaksanakan semua perintah suhu bertiga!"
"Aku
berjanji akan membantu suci, terutama untuk merampas kembali pusaka
Liong-siauw-kiam untuk kupersembahkan kepada ketiga suhu Sam Kwi," kata Bi
Lan.
Bi Lan tidak
tertarik dengan urusan perebutan kedudukan bengcu, akan tetapi ia sudah
mendengar dari suhu-suhu-nya ini, juga dari suci-nya, tentang pedang pusaka
yang tadinya milik susiok dari Sam Kwi dan yang kini terjatuh ke tangan orang
lain.
Agaknya Sam
Kwi sudah merasa puas dengan janji-janji itu dan mereka lalu mengajak kedua
orang murid itu ke tengah lapangan rumput.
"Kalian
ingat baik-baik," sebagai juru bicara Sam Kwi, Iblis Akhirat kemudian
berkata menerangkan, "ilmu silat yang akan kami ajarkan ini adalah ciptaan
kami bertiga selama bertapa setahun lebih dan telah kami kerjakan dengan susah
payah. Ilmu ini merupakan inti dari pada ilmu-ilmu kami bertiga, digabungkan
menjadi satu. Ada bagian-bagian dari ilmu kami termasuk di dalamnya, dirangkai
menjadi tiga belas jurus ilmu silat yang ampuh sekali dan kami kira tidak ada
bandingnya di dunia persilatan ini. Karena kami bertiga yang menciptakan, maka
ilmu silat ini kami namakan Sam Kwi Cap-sha-kun. Namanya sederhana, bukan? Akan
tetapi keampuhannya hebat!"
Biar pun
namanya sederhana dan ilmu itu hanya terdiri dari tiga belas jurus, akan tetapi
kenyataannya tak mudah untuk dipelajari. Seorang demi seorang lalu tiga orang
kakek iblis itu mengajarkan ilmu silat tiga belas jurus. Masing-masing ilmu
silat itu memiliki dasar gerakan kaki yang sama, tetapi memiliki
kembangan-kembangan yang berbeda.
Kedua orang
murid itu harus menghafalkan ketiga macam ilmu silat itu sampai dapat
memainkannya secara otomatis, kemudian mereka harus menggabungkan tiga belas
jurus itu dalam gerakan mereka kalau berkelahi. Karena masing-masing orang
memiliki daya khayal sendiri-sendiri, dan selera sendiri-sendiri, juga
kecerdikan yang berbeda-beda, maka tentu saja kembangan dari penggabungan tiga
macam ilmu silat dari tiga belas jurus yang memiliki dasar gerakan kaki yang
sama ini pun jadinya tentu berbeda-beda pula.
Biar pun
Bi-kwi dan Bi Lan merupakan dua orang wanita yang amat cerdik dan besar sekali
bakat mereka dalam ilmu silat, namun setelah berlatih selama setengah tahun
baru keduanya dianggap telah menguasai Sam Kwi Cap-sha-kun itu.
Setelah
dinyatakan lulus, tiga orang kakek itu menguji mereka satu demi satu. Ternyata
ilmu gabungan yang dikembangkan menurut daya khayal murid-murid itu sendiri
amat hebat. Masing-masing kakek dikalahkan oleh Bi-kwi dalam waktu kurang dari
lima puluh jurus saja.
Ketika tiga
orang kakek itu seorang demi seorang menguji Bi Lan, gadis yang sangat cerdik
ini menyembunyikan kepandaian aslinya. Dia dapat mengembangkan Sam Kwi
Cap-sha-kun itu dengan baik, bahkan lebih baik dari pada suci-nya, apa lagi
karena di dalam ilmu baru itu secara otomatis dimasuki pula dengan unsur
ilmu-ilmu silat sakti yang dipelajarinya baru-baru ini dari Perdekar Naga Sakti
dan isterinya. Namun ia tidak ingin menonjolkan diri. Ketika diuji, dia menjaga
sedemikian rupa sehingga akhirnya dia pun dapat menang dari ke tiga orang Sam
Kwi dalam waktu yang lebih lama dari pada suci-nya, yaitu lebih dari lima puluh
jurus!
Ketiga orang
kakek itu gembira bukan main. Dengan tiga belas jurus ciptaan masing-masing,
mereka kini sudah tak mampu lagi menandingi murid-murid mereka yang telah
menggabungkan tiga macam ilmu silat itu.
Juga Sam Kwi
bukan kakek-kakek yang bodoh, melainkan jagoan-jagoan tua yang telah banyak
pengalaman. Ketika menguji tadi, mereka tahu bahwa dalam hal penggabungan tiga
ilmu silat itu, Bi Lan sama sekali tidak kalah oleh Bi-kwi. Kalau Bi Lan hanya
mampu menang dari mereka lebih lama dari suci-nya, hal itu terjadi karena gadis
ini terlalu berhati-hati dan agaknya masih merasa sungkan untuk mengalahkan guru-guru
sendiri. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa Bi Lan benar-benar sengaja
mengalah agar dalam hal ujian itu tidak sampai melampaui atau mengalahkan
suci-nya.
Dan akalnya
ini berhasil karena Bi-kwi tersenyum-senyum puas. Bagaimana pun juga, kini dia
mempunyai senjata ilmu Sam Kwi Cap-sha-kun yang kalau dipergunakannya, lebih
hebat dari pada sumoi-nya dan setiap waktu ia tentu akan dapat menundukkan
sumoi-nya dengan ilmu itu! Rasa unggul dan menang ini menenangkan hatinya dan
untuk sementara membuat kebenciannya berkurang!
Penonjolan
diri merupakan gejala yang nampak dalam kehidupan kita pada umumnya. Penonjolan
diri ini bersemi karena keadaan, karena cara hidup masyarakat kita. Semenjak
kecil kita dijejali nilai-nilai, sejak duduk di bangku Sekolah Dasar kelas
satu, bahkan sejak kelas nol, di sekolah ada sistim nilai dalam bentuk angka,
di rumah ada pujian-pujian dan celaan-celaan bagi yang dianggap baik dan buruk,
di dalam pergaulan pun nilai-nilai ini menentukan kedudukan seseorang, dalam
olah raga timbul juara-juara.
Kita hidup
menjadi budak-budak setia dari nilai-nilai. Kita hidup mengejar nilai-nilai
sehingga dalam olah raga sekali pun, yang dipentingkan adalah pengejaran nilai,
bukan manfaat olah raganya itu sendiri bagi kesehatan tubuh. Bahkan, untuk
mengejar nilai, kita lupa diri dan olah raga bukan bermanfaat lagi bagi tubuh,
bahkan ada kalanya merusak, karena tubuh diperas terlalu keras untuk mengejar
nilai!
Karena sejak
kecil hidup di dalam masyarakat dan dunia yang tergila-gila kepada nilai, maka
agaknya sudah kita anggap wajar kalau kita selalu berusaha untuk menonjolkan
diri. Kalau tidak menonjol, kita merasa rendah diri, merasa hampa dan hina,
merasa bodoh dan tidak diperhatikan. Karena sejak kecil sekali kita
diperkenalkan dengan pujian dan celaan, maka sejak kecil sekali pula kita
berusaha untuk menonjolkan diri, untuk menarik perhatian orang-orang lain,
hanya karena kita sudah haus akan nilai, haus akan pujian.
Kalau diri
sendiri sudah tidak memungkinkan adanya penonjolan dan penghargaan orang lain
atau pujian atau kekaguman, maka kita lalu membonceng kepada kepintaran anak
kita, atau teman segolongan kita, atau juga suku atau bangsa kita. Bahkan
banyak kita lihat penonjolan diri seseorang membonceng kepada burung
perkututnya, atau mobilnya, atau bahkan membonceng kepada senjata pusaka, atau
batu cincin istimewa yang tidak dimiliki orang lain. Semua itu nampak jelas
kalau kita mau membuka mata mengamati keadaan diri sendiri lahir batin dan
mengamati keadaan sekeliling kita.
Demikian
pula halnya dengan Bi-kwi. Wanita ini tadinya merasa iri kepada Bi Lan dan
membencinya. Hal itu karena penonjolan ke-aku-annya tersinggung, karena ia
merasa kalah oleh Bi Lan. Akan tetapi sekarang, karena kekhawatiran akan
terkalahkan oleh sumoi-nya itu dalam ilmu silat terbukti bahwa dialah yang
lebih unggul, ia yang dapat menguasai sumoi-nya, perasaan iri itu pun menipis
dan terganti perasaan bangga dan puas!
Setelah
merasa bahwa dua orang muridnya itu sekarang cukup boleh diandalkan untuk
melaksanakan tugas mereka, Sam Kwi memanggil mereka menghadap.
"Bi-kwi
dan Siauw-kwi, kami merasa puas dengan kemajuan kalian. Besok kalian kami
perkenankan untuk turun gunung dan mulai dengan tugas kalian. Dan untuk
kepergian kalian besok pagi, malam ini kami ingin makan bersama kalian sebagai
ucapan selamat jalan dan selamat bekerja. Lekas kalian persiapkan untuk pesta
kita," kata Iblis Akhirat.
Dua orang
wanita itu tersenyum girang, kemudian membuat persiapan untuk membuat masakan.
Untuk keperluan ini, di tempat tinggal mereka itu terdapat segala macam bumbu
masak. Sayur-mayur tinggal ambil di ladang belakang, sedang keperluan daging
dapat dicari seketika di dalam hutan.
Tidak lama
kemudian, tiga orang kakek itu bersama dua orang muridnya sudah duduk
menghadapi bangku-bangku kasar dan makan bersama. Sam Kwi nampak gembira
sekali. Iblis Akhirat yang pendek bundar itu banyak tertawa gembira,
memuji-muji dua orang muridnya. Bahkan Raja Iblis Hitam dan Iblis Mayat Hidup
yang biasanya pendiam, malam itu pun nampak tertawa-tawa. Hari telah mulai gelap
ketika mereka mengakhiri makan bersama itu.
Tiba-tiba
Iblis Akhirat mengeluarkan sebuah guci arak yang disimpannya sendiri. Guci itu
berwarna merah dan dia berkata. "Bi-kwi dan Siauw-kwi, sebelum kita
menyelesaikan pesta dan pergi beristirahat, kami bertiga ingin memberi ucapan
selamat jalan kepada kalian dengan masing-masing dari kita menghidangkan satu
cawan arak!"
Bi Lan
mengangkat muka memandang kakek itu, alisnya berkerut akan tetapi mulutnya
tersenyum. "Akan tetapi, suhu tahu bahwa teecu tidak pernah minum arak!
Kalau suci memang biasa minum, akan tetapi teecu..."
Tiba-tiba
Bi-kwi tertawa dan dengan ramah dan gembira berkata, "Sumoi, apa salahnya
sekali-kali mencobanya? Apa lagi kalau suhu-suhu kita yang menghadiahkan, harus
kita terima."
Tiga orang
kakek itu semenjak tadi memang sudah minum arak. Wajah mereka sudah menjadi
merah dan sinar mata mereka yang tertimpa sinar lampu berkilauan.
"Benar
kata Bi-kwi, Siauw-kwi. Engkau pun harus menerima ucapan selamat jalan kami
melalui arak!" Iblis Akhirat menuangkan arak dari gucinya itu ke dalam dua
buah cawan arak, lalu memberikan dua cawan itu kepada Bi-kwi dan Bi Lan.
"Lagi pula arak ini bukan arak yang keras, melainkan halus dan lezat,
harum dan manis. Minumlah!"
Sambil
tersenyum Bi-kwi sudah minum dari cawannya, sekali tenggak habislah arak itu
memasuki perut melalui tenggorokannya. Bi Lan merasa tidak enak jika menolak,
maka dia pun minum arak itu sampai habis. Memang benar kata Iblis Akhirat, arak
itu tidak terlalu keras, harum dan agak manis.
Kini Raja
Iblis Hitam dan Iblis Mayat Hidup masing-masing menyuguhkan secawan arak. Tanpa
ragu lagi Bi-kwi meminumnya, diikuti oleh Bi Lan. Tetapi setelah menghabiskan
tiga cawan arak itu, Bi Lan langsung memejamkan mata, merasa kepalanya berat
dan agak pening.
Tiba-tiba
saja Iblis Akhirat menubruknya dari belakang dan sebelum gadis yang sama sekali
tidak curiga ini maklum apa yang terjadi, gurunya itu telah menotok jalan darah
di kedua pundaknya. Dia pun menjadi lemas, kaki tangannya tidak dapat
digerakkannya lagi.
"Suhu,
apa yang suhu lakukan ini?" tanyanya heran ketika kini Raja Iblis Hitam
yang tinggi besar itu sudah memondong tubuhnya.
Tiga orang
kakek itu tertawa dan Bi Lan melihat betapa Bi-kwi tidak pusing seperti dia.
Namun suci-nya itu bangkit berdiri dan memandang kepada guru-guru mereka dengan
alis berkerut. Dan anehnya, suci-nya juga memandang kepadanya dengan sinar mata
penuh kebencian, mengingatkan ia akan sikap suci-nya pada waktu yang
sudah-sudah.
"Ha-ha-ha,
Siauw-kwi. Engkau belum menjadi Iblis Cilik yang sesungguhnya sebelum menjadi
milik kami. Malam ini engkau harus melayani kami bertiga, baru engkau
benar-benar lulus ujian dan menjadi murid kami yang baik seperti Bi-kwi."
Bi Lan
terbelalak. Biar pun ia kurang pengalaman dan kurang pergaulan, tapi nalurinya
membisikkan apa arti ucapan gurunya itu. Ia sudah tahu akan keadaan suci-nya,
yang selain menjadi murid terkasih, juga suci-nya kadang-kadang tidur dengan
guru-gurunya! Karena sudah terbiasa oleh watak Sam Kwi dan Bi-kwi yang
aneh-aneh, maka ia pun tidak peduli. Tetapi sekarang, agaknya tiga orang
gurunya yang seperti iblis itu hendak mengorbankan dirinya pula!
"Tidak...!
Tidak...!" Ia berseru dengan perasaan ngeri. "Aku tidak mau! Sampai
mati pun aku tidak mau!"
Tiga orang
kakek itu saling pandang, kemudian Iblis Akhirat tertawa dan baru sekali ini Bi
Lan mendengar suara ketawa itu sebagai suara yang amat menyeramkan dan baru
sekarang ia melihat betapa wajah tiga orang kakek itu mengerikan dengan sinar
mata mereka yang menakutkan pula. Baru sekarang ia melihat betapa buruk dan
jahatnya tiga orang gurunya ini.
"Heh-heh-heh,
Siauw-kwi. Sikapmu begini sungguh tidak pantas, seolah-olah engkau bukan murid
kami saja! Sekali waktu, sebagai seorang wanita, engkau tentu juga akan
mengalami hal itu, dan tidak ada kehormatan yang lebih besar dari pada melayani
guru-gurumu seperti Bi-kwi!"
"Tidak!
Aku lebih baik mati! Suhu bertiga boleh bunuh aku, akan tetapi aku tidak
sudi...!" Bi Lan berteriak-teriak dan berusaha untuk meronta, akan tetapi
tangannya tak dapat ia gerakkan.
Dalam
kengerian dan rasa takutnya, juga dia merasa heran dan tidak dapat dimengerti
mengapa tiga orang suhu-nya yang tadinya menyayangnya seperti cucu sendiri,
kini tahu-tahu berubah seperti tiga ekor serigala yang hendak menerkamnya.
Hampir ia tidak percaya dan meragukan apakah ia tidak berada dalam sebuah mimpi
buruk.
"Engkau
tidak akan mati, akan tetapi melayani kami malam ini, mau atau tidak mau!"
tiba-tiba Raja Iblis Hitam membentak dan hal ini juga mengejutkan hati Bi Lan.
Di dalam suara ini lenyaplah semua getaran kasih sayang seperti yang biasa dia
rasakan dari guru-gurunya ini, yang ada hanya getaran nafsu yang menjijikkan.
"Tinggal
pilih, melayani kami dengan suka rela atau harus kami perkosa!" bentak
pula Iblis Mayat Hidup dan sepasang mata kakek kurus kering ini yang biasanya
sudah mencorong itu kini bertambah seperti ada api menyala di dalamnya.
Bi Lan
terkejut bukan main. Mukanya pucat dan tanpa disadarinya kedua matanya menjadi
basah oleh air mata. Ia tidak melihat jalan keluar dan ia sudah tidak berdaya.
Kini terbukalah matanya dan baru ia tahu bahwa tiga orang gurunya itu
benar-benar bukan manusia lagi, melainkan tubuh-tubuh yang sudah dirasuki
roh-roh jahat yang tak segan melakukan kejahatan dalam bentuk apa pun juga.
"Ha-ha-ha,
tak perlu menangis, Siauw-kwi. Kami hanya akan memberi satu kehormatan
kepadamu, membuatmu dewasa. Sepatutnya kau berterima kasih, bukannya menangis.
Dan yang dikatakan mereka tadi benar. Mau tidak mau engkau harus melayani kami
malam ini. Tentu saja kami menghendaki engkau melayani kami dengan suka rela.
Kami beri waktu selagi kami memuaskan diri minum arak untuk mempertimbangkan.
Kalau engkau tetap menolak, terpaksa kami akan melakukan kekerasan dan hal itu
sungguh amat tidak menyenangkan," kata Iblis Akhirat sambil tersenyum,
akan tetapi bagi Bi Lan, senyumnya tidak ramah lagi melainkan seperti iblis
menyeringai.
"Bi-kwi,
bawa ia ke dalam kamar dan jaga baik-baik sampai kami bertiga selesai minum.
Dan heh-heh, jangan khawatir, engkau pun akan mendapat bagian dari kami!"
Bi-kwi
mengangguk dan mencengkeram punggung baju Bi Lan, lalu dijinjingnya tubuh Bi
Lan seperti orang menjinjing seekor keledai yang akan disembelih. Bi-kwi nampak
diam saja. Ia tadi termenung dan berpikir keras menghadapi peristiwa yang akan
menimpa diri sumoi-nya.
Tentu saja
ia tidak peduli kalau sumoi-nya diperkosa oleh ketiga orang guru mereka, tidak
peduli apa yang akan menimpa diri sumoi-nya yang tidak disukanya. Akan tetapi,
dalam menghadapi setiap peristiwa, Bi-kwi selalu memperhitungkan dan mencari
kalau-kalau ada hal yang akan dapat menarik keuntungan bagi dirinya sendiri.
Ia
membayangkan bahwa kalau sumoi-nya sampai diperkosa oleh tiga orang gurunya,
maka mulai saat itu sumoi-nya telah menduduki tempat yang lebih tinggi lagi,
menjadi kekasih tiga orang gurunya. Sebagai wanita yang sudah banyak
pengalamannya dalam mengenal watak pria dalam hal ini, ia membayangkan betapa
setelah memperoleh yang baru dan yang muda, tiga orang gurunya tentu akan
mengesampingkan dirinya. Dengan demikian, dalam mengambil hati guru-gurunya, ia
akan kalah pula oleh sumoi-nya!
Jadi, kalau
sumoi-nya sampai menjadi korban Sam Kwi, walau pun pada mulanya dia merasa puas
bahwa sumoi itu menderita mala petaka itu, akan tetapi pada akhirnya sumoi-nya
yang akan mendapat keuntungan dan ia malah menderita rugi! Maka ia lalu
membayangkan hal sebaliknya dan mencari kemungkinan agar supaya dia memperoleh
keuntungan sebanyaknya dari hal sebaliknya itu.
Sumoi-nya
sekarang adalah seorang yang cukup lihai, mungkin hanya kalah sedikit olehnya,
kalah dalam hal ilmu baru Sam Kwi Cap-sha-kun itu saja. Dengan demikian berarti
bahwa sumoi-nya dapat menjadi pembantunya yang sangat berharga, menjadi
pembantunya yang tenaganya boleh diandalkan. Dan ia merasa betapa perlunya
tenaga seperti itu.
Sudah banyak
ia mencari pembantu, bahkan Tee Kok ketua Ang-i Mo-pang dapat ditarik menjadi
pembantunya, namun kepandaian orang itu bersama kekuatan anak buahnya belum
dapat diandalkan benar. Jika ia dapat menguasai sumoi-nya, jika sumoi-nya mau
membantunya dengan sungguh-sungguh dalam usahanya merampas Liong-siauw-kiam
kembali, tentu hasilnya lebih dapat diharapkan.
Dengan kasar
ia lalu melemparkan tubuh sumoi-nya yang tak mampu bergerak itu ke atas
pembaringan, lalu ia pun duduk di dekatnya.
"Hemmm,
dapatkah kau membayangkan apa yang akan dilakukan oleh tiga orang tua bangka
itu terhadap tubuhmu? Tubuhmu yang muda dan mulus itu akan digeluti, akan
dinodai dan dipermainkan sampai mereka bertiga puas! Setelah mereka selesai
engkau sudah akan rusak sama sekali dan tak mungkin dapat dipulihkan kembali!
Engkau akan merasa terhina, muak dan jijik, akan tetapi setiap kali mereka
menghendaki, engkaulah yang harus merangkak kepada mereka seperti anjing
kelaparan! Senangkah hatimu membayangkan itu semua?"
Air mata
sudah jatuh berderai dari kedua mata Bi Lan pada waktu ia mendengar ucapan
suci-nya itu. Ia tidak mampu mengeluarkan suara, hanya menggeleng kepala
berkali-kali dengan perasaan ngeri terbayang pada wajahnya. Akan tetapi, ia
tahu bahwa suci-nya tidak akan mau menolongnya, maka percuma sajalah andai kata
ia akan minta tolong juga. Agaknya pikirannya ini dapat diduga oleh Bi-kwi.
"Hayo
katakan! Hayo bilang bahwa kau minta tolong padaku!"
Bi Lan
berbisik, "Tidak ada gunanya. Engkau tentu bahkan akan mengejekku. Engkau
tentu girang melihat keadaanku, engkau tentu puas karena melihat aku yang kau
benci ini mengalami penderitaan hebat..."
"Hemmm,
belum tentu," kata Bi-kwi. "Lihat sumoi macam apa engkau ini, baru
aku akan mengambil keputusan. Tak perlu kusangkal, memang aku tidak suka
kepadamu, sumoi, karena kehadiranmu hanya merugikan aku. Akan tetapi, jika saja
engkau dapat berguna bagiku, tentu saja aku tidak ingin melihat engkau celaka.
Ada budi ada balas, tentu engkau mengerti, bukan?"
"Apa...
apa maksudmu?"
"Maksudku,
kalau engkau mau melakukan sesuatu untukku, tentu aku pun akan mau melakukan
sesuatu untukmu. Ada budi ada balas!"
"Apa
yang harus kulakukan dan apa yang akan kau lakukan?"
"Misalnya,
engkau berjanji untuk membantuku mati-matian dan sekuat tenaga untuk merampas
Liong siauw-kiam kembali, lalu membantuku sampai aku berhasil menjadi
bengcu..."
"Bukankah
itu tugas kita?"
"Tadinya
memang begitu, akan tetapi kalau engkau mau berjanji melakukan itu untuk aku,
bukan untuk suhu, nah, misalnya engkau mau berjanji melakukan itu, mungkin aku
mau membebaskan totokanmu dan mengajakmu lari sekarang juga."
Berdebar
rasa jantung di dalam dada Bi Lan. Inilah dia satu-satunya kesempatan. Dan menjanjikan
seperti yang diminta suci-nya itu bukan berarti berjanji untuk melakukan
hal-hal yang tidak disukainya.
"Baiklah,
suci, aku berjanji."
"Sumpah?"
"Sumpah!"
"Baik,
tanpa janji dan sumpah sekali pun, kalau engkau mengingkari, setiap waktu aku akan
dapat membunuhmu," kata Bi-kwi. Dia pun cepat membebaskan totokan dari
tubuh Bi Lan, kemudian mengajak sumoi itu untuk diam-diam melarikan diri
melalui jendela.
Tiga orang
kakek yang menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada Bi-kwi, tak menduga sama sekali
dan mereka masih enak-enak minum arak sambil main tebak jari untuk menentukan
siapa pemenang pertama, ke dua dan ke tiga yang berhak menggauli Bi Lan lebih
dahulu.
Setelah
minum arak cukup banyak, arak yang tadi disuguhkan oleh Bi Lan, yang tidak mengandung
racun atau pembius melainkan arak yang tua dan amat keras sehingga tadi Bi Lan
yang tidak biasa minum arak itu menjadi pening dan setengah mabok, tiga orang
kakek itu lalu sambil tertawa-tawa masuk ke dalam dan menghampiri kamar Bi Lan,
dengan harapan bahwa murid mereka itu akan menyambut mereka dengan suka rela
sehingga mereka tidak perlu mempergunakan paksaan, seperti yang terjadi pada
Bi-kwi dahulu.
Dapat
dibayangkan betapa heran dan juga marah hati mereka ketika melihat betapa kamar
itu sudah kosong. Bi-kwi mau pun Siauw-kwi tidak nampak bayangannya lagi! Tanpa
mencari pun tahulah mereka bahwa kedua orang murid itu telah pergi tanpa pamit.
Mereka lalu duduk berunding.
"Tidak
mungkin Siauw-kwi bisa membebaskan sendiri totokannya. Aku yang melakukan
totokan dan dalam waktu sedikitnya tiga jam ia tidak akan dapat bebas, kecuali
kalau ada yang membebaskannya," kata Raja Iblis Hitam penasaran.
"Dan
yang dapat membebaskannya hanyalah Bi-kwi, satu-satunya orang yang berada di
sini."
"Akan
tetapi Bi-kwi tidak akan mengkhianati kita."
"Mungkin
Bi-kwi hanya iri dan tidak ingin melihat kita mendekati sumoi-nya, maka ia
membebaskannya dan mengajak sumoi-nya pergi tanpa pamit melaksanakan tugas
mereka."
"Itu
lebih tepat. Mereka tentu akan melaksanakan tugas mereka dan mereka hanya ingin
menghindarkan apa yang kita kehendaki malam ini."
"Akan
tetapi bagaimana jika mereka benar-benar mengkhianati kita? Habislah harapan
kita dan hancurlah semua jerih payah kita."
"Ahh,
kita tidak perlu bingung," akhirnya Iblis Akhirat berkata. "Hanya ada
dua hal yang akan terjadi. Pertama, mereka tidak berkhianat dan hanya
menghindarkan maksud kita terhadap Siauw-kwi. Kalau memang benar demikian dan
mereka kelak pulang, masih belum terlambat untuk mendapatkan Siauw-kwi yang
manis. Dan ke dua, kalau benar mereka itu berkhianat, kita cari mereka dan kita
bunuh mereka."
"Bagus,
dan kita sudah terlalu lama menganggur di sini, mari kita pergi mencari mereka
dan menyelidiki apa yang mereka lakukan."
Demikianlah,
pada keesokan harinya, tanpa tergesa-gesa, tiga orang kakek iblis itu pun turun
dari Thai-san untuk mencari dua orang murid mereka.
***************
Dengan
cerdik Bi Lan dapat mengambil Ban-tok-kiam ketika ia diajak pergi oleh suci-nya
malam itu, dengan alasan bahwa ia hendak kembali sebentar mengambil pakaiannya.
Bi-kwi menanti di bawah puncak tanpa curiga dan dengan menyembunyikan pedang
itu di balik bajunya, Bi Lan mengikuti suci-nya yang membawanya lari menuju ke
selatan.
Perjalanan
ini mendatangkan kegembiraan besar di dalam hati Bi Lan. Semenjak kecil, dalam
usia sepuluh tahun, ia telah ikut bersama Sam Kwi yang membawanya tinggal di
gunung-gunung dan di tempat-tempat sunyi. Jarang Bi Lan memperoleh kesempatan
bergaul dengan orang lain dan ia hanya mengenal keadaan dunia melalui cerita
tiga orang gurunya dan suci-nya saja. Paling banyak, ketika ia masih ikut
suhu-suhu-nya, ia hanya melihat dusun-dusun dan bertemu dengan penduduk dusun
dan pegunungan yang hidup sederhana.
Oleh karena
itu, setelah kini melakukan perjalanan bersama Bi-kwi, memasuki kota-kota
besar, Bi Lan merasa gembira sekali, gembira dan penuh keliaran memandangi
rumah-rumah besar di dalam kota, toko-tokonya dan keramaian kota. Mulai
teringat pulalah kehidupan di dunia ramai yang ditinggalkan semenjak ia berusia
sepuluh tahun itu.
Kenyataan
yang mengejutkan hati Bi Lan adalah ketika ia melihat kerusakan-kerusakan dan
bekas kehancuran sebagai akibat pemberontakan-pemberontakan di selatan. Juga ia
harus menahan perasaannya ketika ia dan suci-nya memasuki kota-kota besar, ia
melihat betapa pandang mata kaum pria yang ditujukan kepada ia dan suci-nya,
hampir semua mengandung kekurang ajaran dan nafsu birahi yang menjijikkan. Ia
melihat seolah-olah kaum pria itu, sebagian besar, memiliki mata serigala yang
melihat kelinci-kelinci montok lewat di depan hidung mereka!
Bi Lan
adalah seorang gadis berusia tujuh belas tahun lebih. Biar pun pengalamannya
dengan kaum pria dapat dikata nol, akan tetapi naluri kewanitaannya dapat
menangkap semua pandang mata kaum pria itu yang membuat gadis ini selain heran
juga terkejut dan tidak enak, merasa canggung dan ngeri, seolah-olah dikepung
bahaya. Akan tetapi, jauh di dalam batinnya terdapat pula suatu perasaan aneh,
perasaan bangga dan senang yang dengan keras ditutupnya. Ia tidak tahu bahwa
semua perasaan wanita, semenjak ia dewasa, sama dengan perasaannya itu.
Sudah
menjadi watak pria yang sesuai dengan naluri dan kejantanan mereka untuk
tertarik apa bila melihat wanita muda yang cantik. Pandang mata mereka selalu
akan menempel pada penglihatan itu seperti bubuk-bubuk besi menempel pada
semberani sehingga pandang mata mereka mengandung kekaguman dan kemesraan. Dan
justeru naluri alamiah wanita adalah butuh akan kekaguman dari kaum pria ini.
Tidak ada
wanita yang tidak merasa bangga dan senang dikagumi pandang mata pria, walau
pun hukum-hukum kesopanan dan kesusilaan memaksa wanita itu pura-pura tak
senang, atau bahkan marah, atau setidaknya akan menyimpan rasa bangga dan
senang ini jauh di dalam hatinya sendiri sebagai suatu rahasia pribadinya.
Inilah sebabnya mengapa wanita paling mudah jatuh menghadapi rayuan-rayuan
mulut manis. Dan kelemahan wanita inilah yang digunakan oleh para pria
petualang asmara untuk menjatuhkannya dengan rayuan-rayuan dan pujian-pujian.
Bi-kwi
mengajak Bi Lan memasuki Propinsi Yunan. Pada waktu itu, pemberontakan telah
berhasil dipadamkan dan Propinsi Yunan sudah menjadi tenang dan tenteram lagi.
Rakyat di daerah itu yang paling parah menderita akibat perang pemberontakan,
kini telah kembali ke daerah masing-masing. Yang kehilangan rumah kini mulai
membangun kembali dari bawah dan biar pun masih nampak bekas reruntuhan akibat
perang, tetapi agaknya para penghuninya sudah merupakan peristiwa menyedihkan
itu dan tidak lagi terbayang ketakutan pada wajah mereka.
Pada suatu
pagi, tibalah dua orang wanita itu di kota Kun-ming yang merupakan kota
terbesar di Propinsi Yunan. Karena dalam perjalanan itu Bi-kwi memilih jalan
terdekat, maka jarang mereka melewati kota besar, hanya dusun-dusun dan
kota-kota kecil. Maka begitu memasuki kota besar Kun-ming di selatan ini, Bi
Lan memandang penuh kekaguman.
Ia masih
ingat bahwa keluarga orang tuanya juga datang dari Yunan selatan. Ketika
perjalanannya membawanya sampai di Propinsi Yunan, mendengar suara percakapan
orang-orang di dusun-dusun yang dilewatinya saja sudah mendatangkan keharuan di
hatinya, mendatangkan keyakinan bahwa memang ia berasal dari Yunan. Ia mengenal
betul logat bahasa daerah Yunan. Walau pun ia sendiri kini sudah berlogat lain,
namun logat bahasa selatan itu tidak asing baginya, bahasa orang tuanya,
bahasanya ketika ia masih kecil.
Hari itu
masih pagi, akan tetapi jalan-jalan raya di kota Kun-ming sudah ramai oleh
mereka yang pergi ke pasar-pasar. Banyak toko yang masih tutup, akan tetapi
toko-toko yang sudah buka merupakan penglihatan yang mendatangkan kagum dan
heran di hati Bi Lan.
Berkali-kali
ia bertanya kepada Bi-kwi arti dari tulisan-tulisan yang terpampang di depan
toko-toko atau rumah-rumah besar sehingga Bi-kwi menghardiknya untuk diam.
Bi-kwi merasa jengkel karena sejak tadi harus menerangkan arti tulisan-tulisan
yang hanya merupakan nama-nama dari toko yang mereka lewati atau kata-kata
reklame toko untuk menarik langganan.
Memang Bi
Lan seorang gadis buta huruf. Ia hanya puteri seorang petani yang tidak sempat
menyekolahkannya. Sejak berusia sepuluh tahun ia ikut dengan Sam Kwi, tiga
orang datuk sesat yang sama sekali tak peduli akan pendidikannya, malah
menganggap bahwa melek huruf merupakan hal yang tidak ada gunanya bagi wanita!
Tetapi Bi-kwi sempat mempelajari baca tulis walau pun hanya secara sederhana.
Ketika mereka
melewati sebuah rumah makan besar yang sudah buka, hidung mereka dilanggar bau
masakan yang sedap dan perut mereka segera memberi isyarat bahwa semenjak
kemarin siang mereka belum makan apa-apa. Bi-kwi memberi isyarat kepada
sumoi-nya dan mereka pun melangkah ke arah restoran itu.
Bi Lan
tersenyum girang. "Wah, kalau yang ini tidak perlu kau ceritakan, suci.
Aku tahu bahwa di sini tentu dijual makanan enak."
Mau tidak
mau Bi-kwi tersenyum juga. "Engkau memang gadis tolol. Tak perlu banyak
bertanya, lihat saja dan kau tentu akan mengerti sendiri."
Seorang
pelayan menyambut dua orang tamu ini dan wajahnya tersenyum gembira ketika dia
melihat bahwa tamu-tamunya adalah dua orang wanita yang cantik-cantik dan
manis-manis. Dia memandang dengan sinar mata penuh selidik.
Seorang
adalah wanita berusia tiga puluh tahunan, berpakaian mewah dan indah, sinar
matanya genit, wajahnya manis dan bertambah cantik oleh riasan muka, seorang
wanita yang matang dan menarik. Orang ke dua adalah jelas merupakan seorang
gadis yang baru mekar, berpakaian sederhana sekali, bahkan mukanya tanpa bedak,
akan tetapi kulit muka itu jauh lebih halus dan mulus dibandingkan dengan
wanita pertama, dan bentuk tubuh gadis belasan tahun itu demikian ramping
seolah-olah pinggangnya dapat dilingkari empat jari tangan si pelayan.
"Selamat
pagi, nona-nona. Apakah ji-wi hendak sarapan?"
Bi-kwi
mengangguk.
"Silahkan
masuk, ji-wi siocia, silahkan duduk."
Pelayan itu
membawa mereka ke sebuah meja di sudut, di mana para pelayan dan pengurus rumah
makan dapat melihat mereka dengan jelas. Sebaliknya tempat ini pun menyenangkan
hati Bi-kwi karena di sini dia dapat duduk sambil melihat ke semua penjuru,
juga ke arah jalan raya di depan restoran.
Tidak banyak
tamu di restoran itu sepagi ini. Hanya ada lima meja yang terisi, di antara
tiga puluh lebih meja di ruangan yang cukup luas itu. Bi-kwi lalu memesan
makanan dan minuman. Bi Lan tidak pernah membuka mulut, membiarkan suci-nya
yang memesan makanan apa saja karena ia tidak tahu harus memilih apa. Akan
tetapi ia teringat akan minuman dan berbisik.
"Suci,
aku minum teh saja, teh panas."
Mendengar
ini, pelayan itu tersenyum lebar dan memandang kepada Bi Lan sambil mengangguk.
"Kami terkenal dengan teh kami yang harum, nona."
Bi-kwi
mengangkat mukanya memandang wajah pelayan itu. Sinar matanya menyambar seperti
dua batang anak panah, dan muka yang tadinya menyeringai dalam senyum ramah itu
segera berubah dan si pelayan menunduk dan membungkukkan tubuhnya. Dia terkejut
melihat sepasang mata yang jeli itu seperti berapi, dan tahu bahwa wanita itu
marah, maka dia tidak berani lagi bersikap main-main.
"Apakah
arakmu juga sebaik tehmu?" tanya Bi-kwi ketus.
Pelayan itu
membungkuk-bungkuk. "Tentu, tentu... nyonya, arak kami..."
"Brakkk!"
Bi-kwi
menggebrak meja sehingga pelayan itu terkejut. Bi Lan menahan ketawanya karena
geli melihat sikap suci-nya dan pelayan itu.
"Suci
bukan nyonya, masih nona," katanya karena ia dapat menduga mengapa
suci-nya marah-marah disebut nyonya.
"Ohhh...
ehhh... nyo... nona, maafkan saya."
Melihat si
pelayan menjadi gagap gugup, Bi Lan tertawa. Suara ketawanya bebas lepas, tanpa
menutupi mulutnya karena ia memang tak pernah diajar sopan santun seperti
orang-orang kota, seperti wanita-wanita yang dianggap sopan kalau menutupi
mulut ketika tertawa. Hal ini tentu saja menarik perhatian para tamu lain yang
duduk di situ dan mereka pun menengok, lalu ikut tersenyum melihat betapa
seorang gadis, agaknya gadis dusun, tertawa begitu gembira.
"Sumoi,
diam kau!" Bi-kwi mendesis dan Bi Lan menahan ketawanya. "Dan kau
jangan cerewet dan ceriwis!" bentak Bi-kwi kepada si pelayan. "Cepat
sediakan teh panas, arak baik dan nasi, daging panggang dan dua mangkok sayur
yang paling enak!"
Kini pelayan
itu tidak berani banyak lagak lagi. Dia membungkuk-bungkuk. "Baik, nona.
Baik, nona..."
Akan tetapi
saking gugupnya, ketika dia meninggalkan meja itu dan menghampiri meja pengurus
untuk melaporkan pesanan, ia lupa berapa banyak sayuran yang tadi dipesan
Bi-kwi, maka dengan muka kecut terpaksa dia menghampiri lagi meja dua orang
wanita itu. Hal ini tak lepas dari perhatian Bi Lan yang merasa betapa orang
ini lucu sekali.
"Maaf,
nona. Tadi... pesanan sayurnya berapa banyak?"
Bi-kwi sudah
hampir menghardiknya, akan tetapi didahului oleh Bi Lan yang membentak dengan
wajah tersenyum geli.
"Dua mangkok!"
Bentaknya nyaring, amat mengejutkan si pelayan dan kembali menarik perhatian
para tamu.
Setelah si
pelayan pergi, baru Bi-kwi mengomel kepada sumoi-nya. "Tidak perlu engkau
tertawa dan berteriak-teriak seperti itu. Apakah engkau ingin menarik perhatian
semua orang?"
"Maaf,
nyo... eh, nona..." Bi Lan menirukan suara dan gaya si pelayan sehingga
Bi-kwi terpaksa menyeringai gemas.
Bi Lan
adalah seorang gadis yang pada hal dasarnya memiliki dasar watak gembira dan
lincah jenaka. Kalau tadinya ia bersikap aneh, hal itu adalah karena ulah
suci-nya yang memberi pelajaran yang menyesatkan sehingga pikirannya bingung
dan agak berubah. Akan tetapi setelah ia menerima pengobatan dari Pendekar Naga
Sakti dan isterinya, dan sembuh sama sekali dari pengaruh hawa beracun, dasar
wataknya itu pun muncul kembali.
Maka,
setelah dia berada di dalam kota dan merasa gembira dapat melihat daerah
asalnya, kegembiraannya timbul dan melihat ulah pelayan yang demikian lucu, dia
pun segera menggodanya.
Tak lama kemudian, pelayan itu sudah datang
membawa makanan dan minuman yang dipesan, dan Bi Lan segera menikmati hidangan
itu. Memang nikmat, karena selama ini di puncak Thai-san ia makan masakannya
sendiri dan masakan suci-nya yang sangat sederhana, asal sudah diberi garam,
cukuplah.
Dengan
lirikan ujung matanya, Bi Lan melihat betapa seorang pemuda yang duduk di sudut
ruangan itu, sejak tadi kadang-kadang melirik ke arah mejanya. Pemuda ini belum
tua benar, paling banyak dua puluh tahun. Seorang pemuda yang berwajah cerah
dan tampan, namun amat sederhana, baik perawakan, muka dan rambutnya yang
dikuncir tebal itu mau pun pakaiannya yang hanya terbuat dari kain kasar
berwarna biru dan sepatunya dari kulit.
Pemuda itu
makan bakmi dengan sumpitnya, dan cara makannya juga sopan, tanda bahwa pemuda
itu bukan orang yang suka ugal-ugalan walau pun pakaiannya tidak menunjukkan
bahwa dia seorang terpelajar. Di atas mejanya terdapat sebuah buntalan yang
agak panjang, mungkin terisi pakaian dan ini saja menandakan bahwa pemuda itu tentu
seorang pendatang dari luar kota pula, bukan penduduk di situ dan agaknya dia
baru saja masuk kota, terbukti dari bekal pakaian yang masih dibawanya, seperti
juga Bi Lan dan Bi-kwi sendiri yang menaruh buntalan pakaian mereka di atas
meja.
Juga Bi Lan
melihat betapa suci-nya beberapa kali mengerling ke arah pemuda itu dan karena
inilah sebetulnya maka ia menjadi tertarik dan ikut-ikut melirik. Ia dapat
menduga dari sikap suci-nya, bahwa suci-nya sudah kambuh pula penyakitnya,
yaitu penyakit mata keranjang. Tentu suci-nya naksir pemuda tampan itu,
pikirnya dan kembali ada perasaan tidak enak menekan hatinya. Sejak dahulu,
melihat watak suci-nya, ia merasa muak dan tidak senang. Akan tetapi karena hal
itu adalah urusan pribadi suci-nya, dia pun pura-pura tidak tahu dan tidak
ingin mencampurinya pula.
Tiba-tiba
seorang pelayan berseru, "Celaka, dia datang lagi... !"
Mendengar
seruan ini, pengurus restoran menjadi pucat wajahnya, dan semua pelayan juga
nampak gugup ketakutan. Pengurus restoran yang kurus itu lalu mengambil uang
dari laci mejanya dan menyembunyikannya di bawah tumpukan bungkusan bumbu-bumbu
masakan. Beberapa orang tamu yang melihat hal itu menjadi heran, dan ada juga
yang menjadi khawatir karena tentu akan terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan.
Tak lama
kemudian, di depan pintu restoran itu sudah muncul seorang laki-laki. Dengan
sudut matanya, Bi Lan dan Bi-kwi melirik. Laki-laki itu usianya kurang lebih
empat puluh tahun, tubuhnya nampak tegap dan kokoh kuat. Tetapi yang menyolok
adalah pakaian laki-laki ini yang terbuat dari kain yang berwarna serba merah!
Lebih
menyolok lagi adalah sepasang golok yang dijadikan satu dan masuk dalam satu
sarung, tergantung di pinggang kirinya. Di jaman itu, membawa senjara tajam
secara demikian menyolok merupakan hal yang aneh, karena pemerintah sudah lama
melarang membawa senjata tajam di tempat umum. Hal ini saja menunjukkan bahwa
tentu orang berpakaian serba merah ini adalah seorang jagoan.
Laki-laki
baju merah itu mempunyai sepasang mata yang lebar dan sikap yang galak. Begitu
tiba di depan pintu, matanya lalu menyapu ruangan restoran, melihat ke arah
para tamu yang hanya enam meja itu, dan agak lama pandang matanya berhenti pada
meja Bi Lan.
"Hemmm,
rakyat lagi hidup sengsara dan kekurangan, kurang makan kurang pakaian, dan
kalian enak-enak makan lezat di sini. Sungguh tidak tahu peri kemanusiaan! Hayo
setiap orang menyumbang seharga makanan yang dipesannya!"
Tentu saja
ucapan dan sikap laki-laki ini mendatangkan bermacam reaksi di kalangan para
tamu. Ada yang memandang marah, ada yang ketakutan, dan suasana menjadi tegang.
Pengurus restoran yang kurus itu tergopoh-gopoh lari menghampiri laki-laki baju
merah yang sudah melangkah memasuki restoran, tangannya membawa segenggam uang
dan dia membungkuk-bungkuk di depan laki-laki itu.
"Harap
si-cu (orang gagah) jangan mengganggu para tamu di sini. Kedatangan si-cu
kemarin dulu menimbulkan kepanikan dan kalau terus-menerus begini, tamu-tamu
dan langganan kami akan takut untuk makan di restoran kami. Harap si-cu maafkan
kami dan suka meninggalkan tempat kami, ataukah si-cu juga ingin makan minum?
Mari silahkan..."
"Diam!"
hardik orang baju merah itu. "Dan jangan mencampuri urusanku!"
"Tapi,
si-cu, ini adalah tempat kami mencari nafkah... harap si-cu suka menerima
sedikit sumbangan ini. Biarlah kami atas nama para tamu menyerahkan sumbangan
ini." Sang Pengurus itu dengan tangan gemetar lalu memberikan segenggam
uang itu kepada si baju merah.
Si baju
merah melihat segenggam uang itu dan karena uang itu hanya terdiri dari uang
kecil, marahlah dia.
"Aku
bukan pengemis!" bentaknya.
Dan sekali
tangan kirinya bergerak, dia sudah mencengkeram baju si pengurus restoran
bagian dadanya, mengangkat tubuh orang itu dan sekali lempar, tubuh si kurus
itu terjengkang dan terbanting, uang kecil segenggam itu jatuh berhamburan di
atas lantai. Tentu saja peristiwa ini amat mengejutkan semua tamu.
Tiga orang
tamu pria yang duduk paling depan merasa takut, dan cepat-cepat mereka membayar
harga makanan ke meja pengurus yang kini sudah melangkah ketakutan dan kembali
ke belakang mejanya tanpa memunguti uang yang berhamburan tadi, kemudian tiga
orang itu hendak melangkah keluar dari restoran. Tetapi tiba-tiba orang baju
merah itu sudah menghadang mereka dan memalangkan lengan kanannya di depan
pintu.
"Bayar
dulu kepadaku seharga makanan kalian itu, baru kalian boleh keluar dari
sini," katanya.
"Akan
tetapi kami sudah bayar makanan kami. Kalau engkau hendak minta sumbangan,
seharusnya kepada pemilik restoran, bukan kepada kami!" kata seorang di
antara tiga orang itu, sikapnya agak berani karena mereka bertiga dan pengacau
itu hanya seorang saja.
"Aku
mau minta kepada pemilik restoran atau tidak adalah urusanku, kalian tidak
perlu mencampuri. Aku datang untuk minta pajak kepada kalian, kalau tidak mau
memberi, terpaksa aku akan mengeluarkan lagi makanan dan minuman yang tadi
kalian makan!"
Ucapan ini
biar pun berupa ancaman akan tetapi dianggap tak masuk akal, maka tiga orang
itu berkeras menolak. "Engkau sungguh mau enaknya sendiri saja!"
seorang di antara mereka mencela.
Tiba-tiba si
baju merah itu bergerak. Cepat sekali gerakannya dan tahu-tahu tiga orang itu
telah dipukul dan ditendangnya, masing-masing satu kali dan tepat mengenai
perut mereka bagian atas, tepat di bawah ulu hati. Keras sekali pukulan dan
tendangan itu, mengguncangkan pencernaan mereka dan tanpa dapat dicegah lagi,
tiga orang itu lalu muntah-muntah dan benar saja, semua makanan yang tadi telah
mereka makan keluar semua!
"Masih
belum mau bayar?" bentak si baju merah.
Tiga orang
itu dengan menahan rasa nyeri dan ketakutan, terpaksa merogoh saku dan membayar
kepada si baju merah tepat sebanyak yang mereka bayar kepada pengurus restoran
tadi. Tamu-tamu lain dari tiga meja berikutnya cepat-cepat membayar harga
makanan, dan tanpa banyak membantah mereka pun membayar kepada si baju merah
ketika mereka keluar dan terhadang oleh si baju merah. Kini tinggal pemuda yang
duduk sendirian dan dua orang wanita yang masih melanjutkan makan minum.
Bi Lan sejak
tadi merasa betapa perutnya panas. Ingin sekali ia bangkit dan memberi hajaran
kepada si baju merah itu. Akan tetapi ia selalu dididik oleh Sam Kwi dan Bi-kwi
agar tidak mencampuri urusan orang lain kalau tidak menyangkut diri sendiri.
Biar ada orang membunuh atau menyiksa orang lain, kalau hal itu tidak merugikan
diri sendiri, tidak perlu dicampuri, demikian pelajaran yang diterimanya.
Biar pun
kini ia merasa marah sekali terhadap si baju merah, pelajaran itu yang sudah
meresap di hatinya membuat Bi Lan menahan kemarahannya. Apa lagi karena ia pun
melihat betapa suci-nya tetap makan minum seolah-olah tidak pernah terjadi
sesuatu di tempat itu. Dan anehnya, ketika melirik ke arah pemuda itu, ia
melihat pemuda itu juga masih makan bakminya, perlahan-lahan seolah-olah pemuda
itu sengaja memperlambat makan bakminya dan memberi kesempatan kepada dua orang
gadis itu untuk selesai lebih dulu dan membayar lebih dulu! Akan tetapi Bi Lan
melihat betapa suci-nya juga melakukan hal yang sama, seolah-olah suci-nya
ingin melihat pemuda itu selesai lebih dulu dan suci-nya ingin menjadi tamu
yang paling akhir meninggalkan tempat itu.
Karena dua
meja yang dinanti-nantinya itu agaknya sengaja memperlambat makan mereka,
akhirnya si baju merah menjadi kehabisan sabar. Sejak tadi dia menanti sambil
mengumpulkan uang hasil pemerasannya itu ke dalam sebuah kantong kecil. Dia
duduk di atas meja paling depan dan memandanq kepada pemuda dan dua orang gadis
yang masih terus enak-enak makan minum seolah-olah dunia ini amat tenteram dan
penuh kedamaian!
Si baju
merah menjadi tidak sabar. Dengan langkah lebar dia masuk ke dalam ruangan itu
dan karena meja Bi kwi dan Bi Lan berada lebih dekat dari pada meja pemuda itu,
maka si baju merah berhenti dekat meja mereka. Kedua matanya yang lebar itu
melotot memandang kepada Bi-kwi dan Bi Lan secara bergantian. Akan tetapi dia
tidak jadi marah ketika melihat bahwa dua orang wanita itu ternyata lebih
cantik dari pada ketika dilihatnya dari depan tadi.
Tiba-tiba Bi
Lan yang sejak tadi merasa marah dan mendongkol kepada si baju merah berkata
dengan suara lantang, "Suci, masakan di restoran ini cukup lezat, akan
tetapi sayang, ada lalat merah yang mengotorkan tempat ini. Sungguh
menjijikkan!"
Tiba-tiba
terdengar suara tepuk tangan dan pemuda yang duduk sendirian itu mengomel
seorang diri, "Tepat sekali, lalat merah memuakkan!"
Tentu saja
si baju merah menjadi marah karena dia tahu bahwa yang dinamakan lalat merah
itu tentu dirinya. Tetapi dia malah tersenyum menyeringai dalam kemarahannya
dan berkata, "Dua nona manis, kalian tidak perlu membayar pajak kepadaku,
cukup kalau kalian masing-masing memberi ciuman di bibirku, masing-masing tiga
kali saja. Bagaimana?" Dia terkekeh secara kurang ajar sekali.
Bi Lan
melihat api bernyala di kedua mata suci-nya dan kalau tadi ia marah kepada si
baju merah, kini ia merasa khawatir. Tidak perlu diragukan lagi, kalau suci-nya
bangkit dan turun tangan, tentu si baju merah ini akan mati dalam keadaan
mengerikan. Ia telah mengenal kekejaman hati suci-nya kalau sedang marah dan
pada waktu itu, suci-nya marah sekali. Maka ia mendahului suci-nya, bangkit
berdiri dan menghadapi si baju merah tadi.
Melihat Bi
Lan bangkit, si baju merah tertawa girang. "Heh-heh, nona manis. Engkau
yang akan memberi ciuman lebih dulu? Bagus, aku senang sekali!" katanya
dan dia pun meruncingkan bibirnya yang hitam kasar dan tebal.
"Plakkk!
Inilah ciumanku!"
"Aduhhhh...!"
Laki-laki itu terpelanting ketika pipinya terkena tamparan tangan Bi Lan. Dia
merasa seolah-olah kepalanya pecah, demikian kuatnya tamparan itu tadi. Tahulah
dia bahwa gadis itu mempunyai kepandaian maka berani menamparnya. Kemarahan
membuat dia lupa akan rasa nyeri di pipinya yang sudah membengkak merah, hampir
sama dengan warna pakaiannya.
"Keparat!
Berani engkau memukul aku? Tidak tahukah bahwa aku seorang tokoh Ang-i
Mo-pang?" bentak laki-laki itu dan dia sudah mencabut keluar sepasang goloknya.
Tentu saja
Bi Lan sudah mendengar nama perkumpulan Ang-i Mo-pang (Perkumpulan Iblis Baju
Merah), karena suci-nya pernah bercerita bahwa perkumpulan itu sudah
ditaklukkan oleh suci-nya dan bahkan menjadi pembantunya. Tapi mengapa ada
orang kini mengaku tokoh Ang-i Mo-pang dan berani bersikap kurang ajar terhadap
suci-nya? Namun pada saat itu, orang baju merah itu sudah menggerakkan sepasang
goloknya, diputar-putarnya sepasang golok itu di atas kepala, dengan muka
beringas dan sikap mengancam dia hendak menyerang Bi Lan.
Pada saat
itu nampak cairan putih menyambar ke arah muka si baju merah yang tidak sempat
mengelak dan tahu-tahu mukanya sudah kena siram kuah bakso yang panas. Dia
gelagapan dan melangkah mundur, mengusap mukanya dan terutama matanya yang
terasa pedih itu dengan lengan baju, lalu memandang ke kanan. Kiranya yang
menyiram mukanya dengan kuah bakso dari mangkok itu adalah seorang pemuda yang
tadi duduk sendirian makan bakmi di meja sebelah dalam.
Sepasang
mata orang berpakaian merah itu mendelik. Kemarahannya memuncak. Baru kemarahan
terhadap gadis di depannya yang sudah menampar mukanya saja belum
terlampiaskan, dan kini muncul lagi seorang pemuda yang begitu berani mati
menyiram mukanya dengan kuah bakso. Apa lagi ketika dilihatnya bahwa pemuda ini
biasa saja.
Seorang
pemuda yang usianya belum ada dua puluh tahun, berpakaian sederhana berwarna
biru, tubuhnya sedang-sedang saja dan wajahnya bersih dengan kulit putih
sehingga nampak cukup tampan. Tidak ada apa-apanya yang istimewa, juga tidak
membayangkan seorang yang terlalu kuat atau yang memiliki ilmu silat tinggi.
Agaknya,
pemuda itu tadi ketika melihat si baju merah mengeluarkan golok dan hendak
menyerang Bi Lan, sudah cepat bangkit dari tempat duduknya. Tangan kanannya
masih memegang sepasang sumpit dan tangan kiri menyambar mangkok bakso yang
sudah dimakannya dan tinggal tersisa kuahnya, lantas bangkit menghampiri
laki-laki itu dan menyiramkan kuah bakso.
"Kau...
kau... keparat bosan hidup!" bentak si tokoh Ang-i Mo-pang dan kini
goloknya yang kanan sudah menyambar ke arah kepala pemuda itu.
Bi Lan yang
sejak tadi memandang dengan heran atas keberanian pemuda itu, kini terkejut.
Akan tetapi dia tidak mau mencampuri karena dia melihat betapa pemuda itu
bersikap tenang sekali. Pada saat golok itu menyambar ke arah kepalanya, pemuda
itu sama sekali tidak nampak takut atau hendak mengelak, sebaliknya malah
mengangkat tangan kanannya yang memegang sumpit dan dengan sepasang sumpit itu
dia lalu menyambut sambaran golok.
"Wuuuuttt...
!" Golok menyambar.
"Trakkk...
!"
Sepasang
sumpit itu menyambut dan tahu-tahu sudah menjepit golok secara tepat dan luar
biasa sekali. Tahu-tahu golok itu telah dijepit oleh sepasang sumpit dan tidak
dapat bergerak lagi!
Si baju
merah terkejut bukan main karena tiba-tiba goloknya terhenti gerakannya. Dia
cepat mengerahkan tenaga membetot, namun sia-sia belaka. Goloknya seperti telah
dijepit jepitan baja yang amat kuat dan dia sama sekali tidak mampu
menggerakkan golok itu, apa lagi melepaskannya dari jepitan. Kini barulah dia
dapat menduga bahwa seperti juga gadis cantik itu, si pemuda ini pun ternyata
bukan orang sembarangan.
Akan tetapi
dasar wataknya memang sombong, dia tidak mau mengerti akan kenyataan ini, dan
bahkan merasa penasaran. Golok di tangan kirinya juga menyambar, dengan
cepatnya dia telah menggerakkan golok kiri itu untuk menusuk perut si pemuda
baju biru. Pemuda itu kembali tidak mengelak, akan tetapi tiba-tiba mangkok di
tangan kirinya digerakkannya ke depan dan tepat memukul pergelangan tangan kiri
lawan. Demikian cepat gerakannya sehingga sebelum golok itu menyambar,
pergelangan tangan tokoh Ang-i Mo-pang sudah dihantam mangkok itu.
"Dukkk!"
Si baju
merah mengeluarkan seruan kesakitan dan golok itu terlepas dari tangan kirinya.
"Mundurlah
kau, kami tidak minta bantuanmu!" Mendadak Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi
berseru dengan suara dingin.
Pemuda itu
agaknya terkejut mendengar suara dingin ini dan dia menarik kembali sepasang
sumpitnya, lalu melangkah mundur dan menjura ke arah dua orang gadis itu.
"Maafkan saya," katanya, lalu dia kembali ke mejanya, melanjutkan
makan bakminya yang belum habis! Pemuda itu bersikap seolah-olah tidak terjadi
sesuatu.
"Hemmm,
kau masih bengong di situ, tidak lekas berlutut? Kau harus mencium lantai sampai
tiga kali dan minta ampun, baru aku akan membiarkan engkau pergi dari
sini!" kata Bi Lan dengan sikap galak dibuat-buat.
Akan tetapi,
orang yang mengaku sebagai tokoh Ang-i Mo-pang itu agaknya tidak biasa
dikalahkan orang sehingga beratlah baginya untuk mengakui kekalahannya. Apa
lagi harus berlutut menciumi tanah dan minta ampun kepada seorang gadis muda!
Dia tadi memang sudah merasakan kehebatan pemuda itu dan kalau pertempuran
dilanjutkan, mungkin dia akan kalah.
Akan tetapi
gadis ini belum mengalahkannya, baru tadi menamparnya dan hal ini tidak
menunjukkan bahwa gadis ini lihai. Untung bahwa pemuda lihai itu sudah kembali
ke tempat duduknya dan agaknya tidak lagi mencampuri urusan itu. Dia kini
memperoleh kesempatan melampiaskan kedongkolan hatinya kepada gadis ini,
sekalian membalas tamparan yang membuat pipinya biru membengkak.
Dia memang
merendahkan tubuhnya, akan tetapi bukan untuk berlutut, melainkan untuk
menyambar golok kirinya yang tadi terlepas dan jatuh di lantai. Kini dengan
kedua batang golok di kedua tangan, orang itu lalu menyerang Bi Lan
kalang-kabut seperti seekor babi buta. Tentu saja dengan mudah Bi Lan mengelak
ke kanan kiri karena baginya, gerakan orang itu masih terlalu lambat.
Bi Lan
maklum bahwa kalau berhadapan dengan suci-nya, tentu orang ini tidak akan
selamat, tentu akan tewas atau setidaknya akan tersiksa dan terluka parah, atau
menderita cacad selama hidup. Dia memang tidak suka kepada orang yang jahat,
kejam dan bertindak sewenang-wenang mengandalkan kepandaiannya ini dan memang
sudah selayaknya kalau orang ini dihajar. Akan tetapi, juga jangan sampai
terjatuh ke tangan suci-nya yang amat kejam. Dia merasa ngeri juga membayangkan
apa yang akan terjadi dengan orang ini kalau terjatuh ke tangan suci-nya.
Karena itu, ia mendahului suci-nya menghajar orang ini agar cepat pergi dan
terhindar dari kekejaman tangan suci-nya.
Sepasang
golok itu menyambar-nyambar dengan ganasnya. Akan tetapi, hanya dengan gerakan
kedua kakinya, Bi Lan dapat menghindarkan semua sambaran golok dan tiba-tiba
kedua kakinya bergerak bergantian dan terdengarlah seruan kaget si baju merah
yang disusul suara sepasang golok berkerontangan terlempar ke atas lantai.
Kemudian, sekali tangan Bi Lan meluncur ke depan, ke arah pundak orang itu.
“Krekkk!”
terdengar suara yang disusul jeritan orang itu yang kemudian terjengkang ke
atas lantai dengan tulang pundak patah!
"Nah,
manusia sombong, pergilah cepat dan jangan ulangi lagi kejahatanmu memeras
orang yang sedang makan di restoran!" kata Bi Lan.
Orang itu memandang
kepada Bi Lan dengan mata terbelalak. Baru sekarang agaknya dia sadar bahwa
seperti juga pemuda itu, gadis ini lihai bukan main, sama sekali bukan
tandingannya. Maka dia pun merayap bangun, memegangi pundak kanan yang patah
tulangnya dengan tangan kiri, sekali lagi memandang melotot kemudian
membalikkan tubuh menuju ke pintu sambil berseru, "Tunggu pembalasan Ang-i
Mo-pang!"
"Heii,
berhenti kamu!" Tiba-tiba terdengar suara Setan Cantik, suaranya
melengking dan mengandung rasa dingin menyusup tulang sehingga kembali pemuda
sederhana yang kini sudah menyelesaikan bakminya itu memutar bangku dan
menghadapinya, melihat apa yang akan terjadi.
Si baju
merah juga kaget dan menghentikan langkahnya di ambang pintu, lalu memutar
tubuhnya menghadapi dua orang gadis itu. Dia sudah kalah, mau apa lagi dua
orang gadis itu?
Setan Cantik
masih duduk di atas bangkunya dan dua batang golok milik si baju merah yang
tadi terlepas dari tangannya kini berada di depan kaki itu. Dengan kaki kirinya
yang bersepatu merah, Bi kwi mencokel sebatang golok dan begitu wanita itu
menggerakkan kakinya, golok itu terlempar dan jatuh berkerontangan tepat di
depan kaki si tokoh Ang-i Mo-pang.
"Kamu
sudah berdosa terhadapku, hayo cepat kau tinggalkan tangan kananmu!"
bentak Setan Cantik dengan suara dingin.
Laki-laki
baju merah itu memandang dengan mata terbelalak, masih belum mengerti apa
maksud wanita cantik itu.
"Apa...
apa maksudmu...?" tanyanya, masih penasaran, marah akan tetapi juga jeri.
"Ambil
golok itu dengan tangan kirimu dan buntungi tangan kananmu, baru kau boleh
pergi membawa nyawa tikusmu dari sini," kata pula Si Setan Cantik. Orang
itu terbelalak dan mukanya menjadi pucat.
"Suci,
kurasa tidak perlu begitu!" Bi Lan juga berkata dengan hati ngeri
mendengar tuntutan suci-nya.
"Diam!
Kau anak kecil tahu apa!" bentak suci-nya kepada Bi Lan.
Bi Lan tidak
dapat berkata apa-apa lagi karena tentu saja dia tidak mau ribut dengan
suci-nya hanya untuk membela orang yang jahat dan kurang ajar itu. Sementara
itu, pemuda yang nonton tidak memperlihatkan apa-apa pada wajahnya yang tetap
tenang itu.
Si baju
merah itu memandang dengan muka berubah merah sekali, tetapi kemudian menjadi
pucat lagi. Dia merasa terhina dan marah bukan main, akan tetapi juga maklum
bahwa kalau dia menyerang lagi, sama halnya dengan membunuh diri. Maka dia lalu
mendengus tanpa menjawab, dan segera membalikkan tubuhnya lagi.
Akan tetapi
dengan gerakan yang cepat bukan main, Ciong Siu Kwi atau Si Setan Cantik itu
sudah menyambar golok ke dua dari atas lantai, kemudian sekali tangannya
bergerak, golok itu meluncur ke depan, ke arah tokoh Ang-i Mo-pang yang hendak
pergi itu.
"Crakkk...
cappp...!"
Golok itu
meluncur bagaikan kilat, menyambar dan mengenai lengan kiri si baju merah, dan
setelah membabat putus lengan itu sebatas siku, golok masih meluncur terus dan
menancap pada daun pintu!
"Aduhhhh...!"
Si baju merah menjerit dan terhuyung-huyung.
Ia lalu
membalikkan tubuh dan memandang ke arah buntungan lengannya di atas lantai,
kemudian memandang kepada lengan kirinya yang tinggal sepotong dan sambil
menjerit panjang dia lalu melarikan diri dari tempat itu, meninggalkan darah
yang berceceran di sepanjang jalan.
Tentu saja
peristiwa ini mengejutkan pengurus restoran dan para pelayan, juga nampak
banyak orang menonton di luar restoran itu walau pun mereka hanya berani nonton
dari jauh ketika tadi mendengar ada orang berpakaian merah memeras para
pengunjung restoran. Akan tetapi Setan Cantik tidak mempedulikan semua itu,
malah meneriaki pelayan untuk menambah arak dan menambah satu kilo daging bebek
panggang!
Wanita ini
nampak tenang saja, hanya satu kali melempar pandang ke arah pemuda yang juga
masih duduk di tempatnya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun atau sikap yang
merasa heran. Diam-diam Bi-kwi mendongkol melihat pemuda itu yang bersikap tak
acuh, seolah-olah perbuatannya tadi tidak hebat dan tidak ada apa-apanya untuk
dikagumi.
Melihat para
pelayan menjadi sibuk dan terlihat bingung ketakutan memandang ke arah potongan
lengan di dekat ambang pintu, Bi Lan lantas berkata kepada mereka, "Harap
kalian tidak menjadi bingung. Kami sedang menanti kembalinya orang tadi bersama
kawan-kawannya!"
Akan tetapi,
pengurus restoran itu lalu menghampiri mereka dan dia menjatuhkan diri berlutut
di depan kaki Bi-kwi dengan tubuh gemetar dan muka pucat. "Harap ji-wi
lihiap suka mengampuni kami..."
Bi-kwi
mengerutkan alisnya dan sinar matanya menyambar ke arah muka pengurus restoran
itu. "Sekali lagi kau menyebut lihiap, kau akan kubunuh!"
Tentu saja
pemilik restoran itu terkejut bukan main dan menjadi semakin ketakutan.
"Sebut
nona kepada suci-ku," kata Bi Lan yang maklum bahwa ancaman suci-nya tadi
bukan ancaman kosong belaka.
Suci-nya
menganggap semua pendekar di dunia persilatan sebagai manusia-manusia sombong
dan sebagai musuh-musuhnya, maka sebutan lihiap (pendekar wanita) yang selalu
dimusuhinya merupakan penghinaan bagi dirinya.
"Siocia...
harap sudi memaafkan saya... kami... kami tidak berani tinggal di sini lebih
lama lagi... ijinkanlah kami pergi dari tempat ini..."
Kembali
Bi-kwi yang menjawab dengan suara kaku, "Siapa yang berani meninggalkan
tempat ini akan kubuntungi lengannya juga seperti orang tadi!"
Bi Lan cepat
mendekati pengurus restoran itu, yaitu seorang laki-laki berusia hampir lima
puluh tahun. "Lopek (paman tua), dengarlah baik-baik. Suci hendak tinggal
di sini sebentar untuk menunggu kembalinya orang tadi yang tentu akan membawa
teman-temannya. Kalian semua tenang-tenang sajalah dan layani permintaan suci.
Jangan ada yang keluar dari sini kalau tidak mau celaka."
"Tapi...
tapi... dia tadi adalah orang dari perkumpulan Ang-i Mo-pang, aduh akan celaka
kita semua..."
"Diamlah
dan kembali ke tempatmu!" Bi Lan kini menghardiknya karena gadis ini pun
merasa jengkel melihat kecengengan orang itu.
Dihardik
demikian, kuncup pula rasa hati si pengurus restoran dan dia pun bangkit, lalu
melangkah kembali ke tempat duduknya dengan muka tunduk, sedangkan para pelayan
berkumpul di belakangnya dengan muka pucat. Akan tetapi, mereka melayani
pesanan Bi-kwi dengan cepat.
"Aku
juga minta bebek panggang seperti itu!" tiba tiba terdengar pemuda tadi
berseru, suaranya lembut akan tetapi nadanya sama sekali tidak menunjukkan
bahwa dia gentar atau heran.
Pengurus
restoran dan para pelayan tentu saja khawatir sekali dan diam-diam memaki
pemuda yang tidak tahu diri itu. Bagaimana kalau nona-nona galak itu marah dan
membuntungi lengannya atau membunuhnya?
Akan tetapi
anehnya, dua orang gadis itu sama sekali tak mempedulikan sikap pemuda itu.
Hanya Bi Lan yang mengerling dan melihat betapa pemuda itu juga mengerling
kepadanya. Ia pun cepat-cepat mengalihkan pandang matanya. Diam-diam Bi Lan
juga menduga-duga siapa adanya pemuda yang lihai itu, dan mengapa pemuda itu
agaknya memang sengaja hendak menunggu kelanjutan dari peristiwa ini. Akan
tetapi, Bi Lan juga tidak ambil peduli dan ia pun makan bebek panggang bersama
suci-nya.
Mereka
bertiga masih makan dengan santai ketika terdengar suara ribut-ribut di luar
pintu restoran.
"Inilah
restorannya."
"Dan
itu potongan lengan A Pai!"
Muncullah
tiga orang pria berpakaian serba merah. Berdiri paling depan adalah seorang
laki-laki berusia hampir enam puluh tahun, bertubuh tinggi kurus bermuka pucat
dan di punggungnya tergantung sepasang golok melintang. Dua orang lainnya
bertubuh tinggi besar dan mereka memegang sebatang pedang terhunus dengan sikap
galak. Namun, begitu mereka memasuki restoran, melangkahi lengan buntung yang
menggeletak di atas lantai lalu memandang ke arah Bi-kwi, tiga orang itu
terbelalak.
"Ciong-siocia...!"
Kakek tinggi kurus muka pucat itu berseru.
Bi-kwi masih
duduk saja dan kini ia memandang kepada tiga orang itu dengan sinar mata penuh
selidik, lalu terdengarlah suaranya yang dingin menyeramkan, "Hemmm,
kalian datang untuk membela lengan buntung itu dan ingin menebusnya dengan
kepala kalian?"
Mendengar
suara ini, tiba-tiba kakek itu bersama dua orang temannya menjatuhkan diri
berlutut di depan kaki Bi-kwi. "Siocia... ampunkan kami... ahh, siapa tahu
bahwa Siocia malah yang berada di sini? Sungguh pertemuan ini merupakan berkah
dari langit, karena siapa lagi yang akan menolong kami selain Siocia?"
Si Setan
Cantik memandang dengan alis berkerut. "Tee Kok! Seorang anak buahmu
berani kurang ajar kepadaku dan kini kau datang malah hendak minta tolong?
Omongan apa ini? Hayo katakan dahulu siapa pemilik lengan itu dan bagaimana
anak buahmu sampai tidak mengenal aku?"
"Itulah
dia, Siocia. Dia bukan anak buah kami, melainkan anak buah orang yang baru
datang sebulan yang lalu. Dia datang dan menalukkan saya, kemudian memaksa
untuk mengambil alih kedudukan ketua Ang-i Mo-pang. Sekarang dia bersama
belasan orang anak buahnya yang menguasai keadaan. Orang tadi adalah seorang di
antara mereka."
Bi-kwi
mengangguk-angguk. "Hemmm... begitukah? Siapa dia?"
"Dia
tidak pernah memperkenalkan namanya, bahkan teman-temannya juga tidak tahu
siapa namanya, akan tetapi dia memakai julukan Thian-te Siauw-ong dan minta
disebut Siauw-ong! Akan tetapi ilmu kepandaiannya amat hebat, Siocia."
"Apakah
dia masih muda?" tanya Bi-kwi sambil menengok ke arah pemuda yang masih
duduk di tempatnya semula. "Semuda dia itu?" Ia menuding ke arah
pemuda itu.
Kakek tinggi
kurus muka pucat itu adalah Tee Kok, ketua Ang-i Mo-pang yang lihai! Seperti
kita ketahui, kakek ini telah menjadi pembantu Bi-kwi dan dia bersama seluruh
anggota Ang-i Mo-pang telah menjadi pembantu Bi-kwi, maka tadi Bi Lan merasa
heran melihat ada orang mengaku tokoh Ang-i Mo-pang berani kurang ajar terhadap
suci-nya. Setelah mendengar penuturan kakek itu, barulah Bi Lan tahu mengapa
terjadi hal yang aneh itu. Kiranya orang yang lengannya dibuntungi suci-nya
tadi bukan anggota asli dari Ang-i Mo-pang, melainkan pendatang-pendatang baru
yang mengambil alih kedudukan pimpinan di perkumpulan iblis itu.
Tee Kok
mengangkat muka memandang pemuda itu. "Masih muda, akan tetapi tidak
semuda itu. Usianya kurang lebih tiga puluh tahun."
"Hemm,
pria-pria muda sekarang ini memang besar kepala, sombong dan berlagak. Pangcu,
aku akan segera menemui laki-laki sombong Thian-te Siauw-ong itu, akan tetapi
lebih dulu, aku minta engkau suka memberi hajaran kepada laki-laki muda yang
jumawa ini!" Kembali ia menuding ke arah pemuda itu.
"Suci,
perlu apa mencari perkara? Dia toh tidak bersalah apa-apa," Bi Lan menegur
suci-nya karena ia khawatir kalau pemuda yang sama sekali tidak berdosa itu
celaka di tangan suci-nya.
"Siauw-kwi,
diamlah kau! Orang ini telah kurang ajar sekali, sombong memamerkan sedikit
kepandaiannya kepada kita, perlu dihajar. Hendak kulihat apakah kepandaiannya
juga sebesar kesombongannya! Jika dia mampu mengalahkan Ang-i Mo-pangcu,
biarlah kuampuni karena kesombongannya itu beralasan. Akan tetapi kalau dia
kalah, biarlah dia membawa mati kesombongannya itu. Pangcu hajar dia sampai
mati!"
Tee Kok
adalah ketua Ang-i Mo-pang, perkumpulan yang tentu saja termasuk golongan
sesat. Nama perkumpulannya saja Perkumpulan Iblis Baju Merah! Dan Tee Kok sendiri
adalah bekas anggota perkumpulan Hek-i Mo-pang yang terkenal ganas dan jahat.
Maka, kini
mendengar perintah Bi-kwi yang ditakutinya itu, dia tersenyum menyeringai, lalu
bangkit berdiri dan dengan pandang mata memandang rendah dia menghampiri pemuda
yang masih duduk dengan tenang itu. Bagi orang yang sudah biasa melakukan
kejahatan seperti Tee Kok, perintah untuk menghajar orang tentu saja dianggap
amat menyenangkan.
Pertama, dia
sendiri memang berwatak sadis dan memperoleh nikmat dari menyiksa orang lain.
Ke dua, dia memperoleh kesempatan untuk memenuhi perintah orang yang
ditakutinya dan menyenangkan orang itu. Ke tiga, dia mengharapkan bantuan
Bi-kwi untuk menentang musuh yang merampas kedudukannya, maka kini dia harus
lebih dulu membuat jasa.
"Orang
muda, bangkit dan majulah untuk menerima hajaran dariku, heh-heh!" Tee Kok
berkata sambil terkekeh dan dia pun sudah melolos sepasang goloknya. Dia
bermaksud untuk menyiksa orang ini, tidak segera membunuhnya karena hal ini
tentu akan makin menyenangkan hati Si Setan Cantik.
Bi-kwi
memang memandang dengan wajah berseri-seri. Sama sekali bukan disebabkan
kegirangan hatinya akan melihat betapa pembantunya itu menyiksa dan membantai
pemuda itu. Tidak, ia bukan orang yang demikian tolol. Dari gerakan pemuda
tadi, ia cukup dapat menduga bahwa pemuda itu bukan orang yang begitu mudah
untuk dikalahkan. Dan inilah yang menggembirakan hatinya. Ia akan melihat
tontonan yang amat menarik, perkelahian yang seru dan mati-matian.
Sebaliknya,
Bi Lan nonton dengan hati gelisah dan alis berkerut. Gadis ini sama sekali
tidak menyetujui akan sikap dan tindakan suci-nya. Pemuda itu sama sekali tidak
berdosa, bahkan kalau tadi pemuda itu maju menentang si baju merah, bukankah
hal itu menunjukkan bahwa pemuda itu membela ia dan suci-nya? Kenapa hal itu
dianggap suatu kesombongan dan kekurang ajaran oleh suci-nya yang kini demikian
kejam untuk menyuruh orangnya membunuh pemuda itu?
Tidak, dia
tidak setuju dan diam-diam gadis ini pun sudah bersiap untuk mencegah dan
melindungi pemuda itu apa bila perlu. Ia kini tidak perlu lagi berpura-pura
takut kepada suci-nya. Memang, ia telah berjanji untuk membantu suci-nya, akan
tetapi bantuan yang terbatas pada perampasan pusaka Liong-siauw-kiam dan usaha
suci-nya untuk menjadi bengcu. Itu saja. Ia tidak akan membantu suci-nya dalam
hal lain, dan jelas tidak akan membantu suci-nya melakukan kejahatan-kejahatan
seperti yang hendak dilakukannya terhadap pemuda ini.
Pemuda itu
bangkit berdiri. Tangan kanannya masih tetap memegang sepasang sumpit. Melihat
Tee Kok dan dua orang temannya yang juga berpakaian merah-merah, dia pun
melirik ke arah Bi Lan dan berkata, "Eh, seekor lalat merah diusir pergi,
malah datang tiga ekor!"
Karena
merasa bahwa pemuda itu bicara dengan menyangkut dirinya yang menjadi orang
pertama yang menggunakan istilah lalat merah, Bi Lan menahan senyumnya, akan
tetapi ia segera berkata kepada suci-nya, "Suci pernah bilang bahwa ketua
Ang-i Mo-pang yang menjadi pembantunya memiliki ilmu kepandaian yang amat
tinggi. Kalau kini mampu mengalahkan pemuda yang tidak terkenal ini dengan
sepasang goloknya, sungguh itu namanya nama besar yang tidak sesuai dengan
kenyataannya."
Bi-kwi
mengerutkan alisnya dan menoleh kepada sumoi-nya dengan sikap marah. Dia merasa
tidak pernah memuji-muji kepandaian Tee Kok di depan sumoi-nya dan tahulah dia
bahwa sumoi-nya itu sengaja menggunakan taktik mengangkat lalu membanting,
yaitu berpura-pura memuji Tee Kok untuk menjatuhkannya. Dan memang taktiknya
itu berhasil.
Ketika
melihat Bi Lan, Tee Kok tidak mengenal siapa wanita muda cantik yang duduk
dengan Bi-kwi yang ditakutinya itu. Akan tetapi barusan gadis itu menyebut suci
kepada Bi-kwi. Maka, setelah mendengar pujian tentang kelihaiannya, dia tertawa
bergelak dan cepat menyimpan kembali kedua goloknya dan menghadapi pemuda itu
dengan tangan kosong saja sambil tersenyum lebar kepada Bi Lan! Melihat ini, Bi
kwi mengerutkan alis makin dalam dan sama sekali tidak setuju, akan tetapi ia
pun diam saja.
Bagaimana
pun juga, Tee Kok marah sekali kepada pemuda itu yang jelas memakinya sebagai
lalat merah. Baiknya, kemarahannya itu tadi disiram oleh kesenangan hati dipuji
oleh seorang gadis cantik yang menjadi sumoi Bi-kwi, maka kini dia dapat
menghadapi pemuda itu dengan senyum lebar.
"Orang
muda, majulah dan mari kau berkenalan dengan kaki tanganku yang sudah
gatal-gatal karena beberapa hari lamanya tidak pernah menghajar orang,
heh-heh-heh!" katanya dengan sikap jumawa sekali.
Pemuda itu
tersenyum. "Seekor lalat merah yang sudah kehilangan sengatnya, tinggal
suaranya saja mengiang membisingkan."
Tentu saja
Tee Kok menjadi semakin marah. "Bocah keparat! Kalau begitu aku tidak
hanya akan menghajarmu, akan tetapi juga akan membunuhmu!"
Baru saja
dia berhenti bicara, tubuhnya sudah menubruk ke depan dengan gerakan cepat dan
kuat. Kedua lengannya dikembangkan dan menyerang dari kanan kiri, persis
seperti seekor harimau yang menubruk domba. Tee Kok memang ingin menerkam dan
menangkap pemuda itu pada kedua pundaknya, karena dia yakin bahwa begitu dia
berhasil mencengkeram pundak dan mencengkeram jalan darah di kedua pundak,
pemuda itu tentu takkan mampu berkutik lagi.
Akan tetapi
pemuda itu sama sekali tidak tergesa-gesa menghadapi serangannya. Pertama-tama,
sepasang sumpit yang tadi dipegang di tangan kanan, kini dia selipkan dulu di
ikat pinggang. Setelah itu, barulah dia menghadapi serangan lawan, sementara
kedua lengan lawan sudah dekat sekali dan dua tangan Tee Kok dengan jari-jari
tangan terbuka sudah hampir menyentuh kedua pundaknya.
Tiba-tiba
kedua tangan pemuda itu dari bawah bergerak naik dan kedua lengannya sudah
menangkis dua lengan lawan dari bawah, dan begitu menangkis keluar, kedua
tangan itu dilanjutkan ke depan menghantam dada.
"Dukkk...!"
Dada kanan
kiri ketua Ang-i Mo-pang terdorong oleh kedua tangan pemuda itu sehingga
tubuhnya terjengkang ke belakang. Dia terbanting roboh dan terbatuk-batuk keras
oleh karena isi dadanya seperti rontok terkena dorongan kedua tangan tadi. Dia
merasa marah dan malu bukan main.
Pemuda itu
hanya mempergunakan gerakan yang biasa saja. Menangkis dari dalam kemudian
mendorong dari dalam seperti itu hanya merupakan gerakan-gerakan dasar yang
dipelajari oleh semua orang yang berlatih silat. Tetapi hebatnya, justru
gerakan sederhana ini sudah berhasil merobohkannya dan membuat dia
terbatuk-batuk seperti orang terserang penyakit mengguk, sampai
terpingkal-pingkal.
Bi Lan yang
masih duduk di atas kursinya mengejek. "Eh, pangcu. Engkau ini datang mau
menghajar orang ataukah mau demonstrasi caranya orang batuk-batuk?"
Pengurus
restoran dan para pelayan yang menonton sejak tadi dengan hati penuh rasa
takut, hampir tak dapat menahan ketawa mereka. Akan tetapi dengan sekuat tenaga
mereka menahan ketawa dan bersembunyi di balik meja dan kursi.
Tee Kok
bangkit dengan muka merah dan mata melotot. Dalam segebrakan saja dia telah
dirobohkan dan dibikin malu. Akan tetapi, orang yang berwatak sombong selalu
mengagulkan diri sendiri dan memandang rendah orang lain. Dia menganggap bahwa
kekalahannya tadi hanya terjadi karena dia memandang rendah saja.
Pemuda itu
tadi merobohkannya bukan dengan ilmu silat yang hebat, hanya dengan gerakan
sederhana. Dan andai kata dia tidak memandang rendah dan tidak bertindak
sembrono dalam penyerangannya, tidak mungkin pemuda itu mampu merobohkannya.
Demikianlah pendapat orang yang selalu mengagulkan diri sendiri dan sikap ini
jelas merugikan diri sendiri, membuat dia bertindak ceroboh.
"Bocah
keparat, bersiaplah untuk mampus!" teriaknya dan dia sudah mencabut lagi
sepasang goloknya.
Kini dia
tidak dapat tersenyum-senyum lagi sambil melirik ke arah Bi Lan seperti tadi.
Sepasang matanya ditujukan kepada pemuda itu dan di dalam pandang matanya
memancar nafsu membunuh. Akan tetapi pemuda baju biru itu hanya memandangnya
dengan sikap tenang dan tahu-tahu sepasang sumpit tadi sudah berada di
tangannya, kini di kedua tangan, masing-masing sebatang sumpit bambu kecil itu.
Golok kanan
Tee Kok menyambar disusul golok kiri, yang kanan menabas ke arah leher
sedangkan yang kiri menusuk perut. Semua orang yang menonton perkelahian itu,
kecuali Bi-kwi, dan juga Bi Lan yang masih terus siap melindungi pemuda itu
kalau perlu, merasa ngeri dan membayangkan bahwa tidak lama lagi pemuda itu
tentu akan roboh menjadi mayat dengan tubuh tidak utuh lagi.
Akan tetapi,
terjadilah keanehan. Sepasang golok di tangan Tee Kok itu, sekian kali
menyambar ke arah tubuh pemuda itu, selalu terhenti di tengah jalan dan ditarik
kembali seolah-olah ketua Ang-i Mo-pang itu tidak tega melukai tubuh si pemuda
baju biru! Dan sebagai lanjutan dari sikap tidak tega ini, kakek kurus pucat
itu menyerang semakin hebat saja dan semakin marah walau pun semua serangannya
itu kemudian terhenti pula.
Hanya Bi-kwi
dan Bi Lan yang tahu apa yang telah terjadi dan mereka berdua terkejut, juga
Bi-kwi merasa terheran-heran dan Bi Lan merasa kagum sekali. Sama sekali bukan
karena Tee Kok merasa tidak tega melukai pemuda itu, tetapi dia terpaksa
menahan serangannya sebab jika dilanjutkan, bukan lawannya yang terbacok atau
tertusuk golok, melainkan dia sendirilah yang akan celaka.
Kiranya,
setiap kali dia menyerang, baik dengan golok kanan mau pun kiri, dan sebelum
senjatanya mengenai tubuh lawannya, tiba-tiba saja sebatang sumpit telah
menghadang dan mengancam dekat sekali dengan jalan darah di pergelangan tangan,
siku mau pun bawah pangkal lengan, sehingga jika ia meneruskan serangannya itu,
sebelum senjata menyentuh tubuh lawan yang menjadi sasaran, terlebih dahulu
ujung sumpit itu akan menotok jalan darahnya! Ke mana pun juga dia menyerang,
selalu saja sumpit-sumpit itu membayanginya dan mendahului setiap serangannya.
Tentu saja
hal ini membuat Tee Kok amat terkejut, keheranan dan juga penasaran lalu
menjadi marah bukan main sehingga setiap kali dia terpaksa menarik goloknya
lalu dia menyerang lagi dengan lebih ganas! Namun sama saja, agaknya pemuda itu
memiliki gerakan yang jauh lebih cepat lagi sehingga sumpit-sumpitnya selalu
menodong ke arah jalan darah yang akan melumpuhkan lengan Tee Kok kalau
serangannya dilanjutkan.
Bi-kwi sejak
tadi juga nonton perkelahian itu dan diam-diam wanita ini pun merasa heran dan
penasaran sekali. Ia mengenal tingkat kepandaian Tee Kok. Biar pun tidak
terlalu tinggi dan dia sendiri akan mampu merobohkannya dalam waktu kurang dari
sepuluh jurus saja, akan tetapi melihat perkelahian itu, ia tahu bahwa kalau
pemuda baju biru itu mau, dalam segebrakan saja sumpitnya tentu akan mampu
melakukan totokan dan merobohkan Tee Kok.
Ia
memperhatikan dan ingin mengenal ilmu silat yang dimainkan pemuda itu agar
dapat mengetahui dari perguruan mana pemuda itu berasal. Namun, pemuda itu
bergerak sembarangan saja dan agaknya malah tidak bersilat, hanya kedua
lengannya yang selalu bergerak cepat melakukan penodongan dengan
sumpit-sumpitnya itu melenggak-lenggok macam dua ekor ular saja.
Tentu
semacam Ilmu Silat Ular, pikirnya, akan tetapi dari cabang manakah? Sebagai
seorang tokoh sesat yang berpengalaman, dan juga sudah banyak bertanding
melawan orang-orang dari berbagai partai persilatan, Bi-kwi banyak mengenal
ilmu-ilmu silat dari dunia persilatan. Akan tetapi sekarang ia mendongkol
sekali karena ia sungguh harus mengaku bahwa ilmu silat yang dimainkan pemuda
baju biru itu tidak dikenalnya sama sekali.
Sebetulnya,
hal itu tidak mengherankan karena ilmu silat yang dimainkan pemuda itu bukanlah
ilmu silat biasa, melainkan ilmu silat yang sumber atau asalnya dari keluarga
para pendekar Pulau Es! Pemuda itu bukan lain adalah Gu Hong Beng, putera
tunggal mendiang Gu Hok, tukang kayu di Siang-nam yang dahulu tewas oleh
Bong-ciangkun komandan Siang-nam itu.
Seperti telah
kita ketahui, Gu Hok dan isterinya tewas, akan tetapi putera tunggal mereka
yang bernama Gu Hong Beng dan pada waktu itu baru berusia sebelas tahun,
diselamatkan oleh pendekar Suma Ciang Bun, seorang pendekar dari keluarga Pulau
Es. Anak itu kemudian menjadi murid Suma Ciang Bun.
Selama
hampir delapan tahun lamanya Hong Beng digembleng dengan keras dan tekun oleh
Suma Ciang Bun. Karena dia memang berbakat baik sekali, maka kini dia telah
menjadi seorang murid yang telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es dengan
baiknya.
Menghadapi
Tee Kok yang gencar menyerangnya dengan sepasang golok, Hong Beng mainkan ilmu
yang sebenarnya bersumber pada Ilmu Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang
Iblis) yang menjadi satu di antara ilmu-ilmu keluarga para pendekar Pulau Es,
akan tetapi dimainkan dengan sepasang sumpit. Tentu saja Bi-kwi tidak mengenal
ilmu itu.
Kini,
setelah lewat belasan jurus dan semua serangan Tee Kok dapat dihentikannya
dengan todongan sumpit yang siap menotok jalan darah, mendahului kalau serangan
golok dilanjutkan, mendadak Hong Beng menggerakkan tubuhnya dengan cepat sekali
dan mereka yang nonton perkelahian itu melihat betapa permainan sepasang golok
itu menjadi kacau balau, tak sempat menyerang lagi tetapi diputar-putar untuk
melindungi tubuhnya.
Hal ini
dapat terjadi karena tiba-tiba sepasang mata Tee Kok seperti berkunang-kunang
rasanya, melihat betapa sepasang sumpit bambu itu berubah menjadi ratusan
batang banyaknya. Tiba-tiba saja ada sebatang sumpit berada di depan mata, siap
menusuk matanya, lalu tiba-tiba saja menempel pada telinga, hidung, leher, dada
dan bagian-bagian anggota tubuh lain yang sangat berbahaya. Sekali saja sumpit
itu ditusukkan, biar pun hanya terbuat dari pada bambu kecil, tentu dapat
menewaskannya.
Tiba-tiba
terdengar Hong Beng mengeluarkan suara ketawa tertahan dan tahu-tahu tubuh Tee
Kok tidak bergerak lagi, berdiri dalam sikap hendak menyerang. Tubuh itu kaku,
matanya melotot, golok kanan diangkat tinggi-tinggi dan golok kiri siap menyapu
kaki lawan. Kiranya tubuhnya telah tertotok dua kali berturut-turut dan
akibatnya, tubuh itu menjadi kaku seperti sebuah arca yang lucu.
Hong Beng
tidak berkata apa-apa lagi, lalu berjalan kembali ke kursinya dan duduk sambil
minum araknya, seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu.
Melihat
sikap ini, wajah Bi-kwi berubah merah sekali. Pemuda itu memang terlalu besar
kepala, pikirnya. Memang lihai, dan berhasil mengalahkan Tee Kok secara mutlak,
akan tetapi di depannya bersikap begitu acuh, sungguh menggemaskan.
Bi-kwi
menggerakkan tangannya, dua kali menepuk pundak dan punggung Tee Kok. Tubuh
yang tadinya kaku itu roboh terpelanting, akan tetapi dapat bergerak lagi dan
kini Tee Kok yang sudah yakin akan kehebatan pemuda itu, tak berani banyak
lagak lagi hanya mengharapkan agar Bi-kwi dapat membalaskan kekalahannya.
Setelah
membebaskan totokan tubuh Tee Kok, Bi-kwi lalu menoleh kepada Hong Beng,
sejenak memandang pemuda yang sedang minum itu dan mendadak tangan kirinya
bergerak. Sinar putih halus menyambar ke arah telinga kiri pemuda itu.
Tentu saja
sebagai murid seorang pendekar Pulau Es, Hong Beng tahu akan serangan gelap ini,
serangan benda kecil yang agaknya ditujukan untuk melukai daun telinganya. Dia
pun tahu bahwa penyerangnya adalah wanita cantik yang suaranya kadang-kadang
dapat dingin seperti es itu, sinar matanya kadang-kadang tajam menusuk dan
panas membara, kadang-kadang lembut dan dingin sejuk, yang oleh ketua Ang-i
Mo-pang disebut Ciong Siocia.
Hong Beng
tidak mengelak, melainkan menggerakkan sebelah tangannya seperti orang hendak
menggaruk-garuk kepala dan pada saat tangannya menuju ke kepala itulah dia
menangkap benda kecil itu dengan ibu jari dan telunjuknya. Betapa kagumnya Hong
Beng melihat bahwa benda yang dijadikan senjata rahasia itu hanyalah sebatang
biting pencokel gigi! Jika tidak memiliki tenaga sinkang yang kuat dan juga
kepandaian tinggi, tak mungkin mempergunakan benda sekecil dan seringan itu
sebagai senjata rahasia yang ampuh!
"Terima
kasih," katanya seperti kepada diri sendiri. "Akan tetapi gigiku
belum ada yang berlubang, tidak membutuhkan tusuk gigi!"
Yang dapat
melihat semua ini hanyalah Bi-kwi dan Bi Lan dan kedua orang wanita ini tentu
saja menjadi semakin kagum. Akan tetapi Bi-kwi semakin marah dan ia sudah
melangkah hendak menantang pemuda itu.
Bi Lan
agaknya maklum akan niat suci-nya, maka lebih cepat lagi dia melangkah dan
menghadang di depan suci-nya, berkedip dan berkata, "Suci, janjimu tadi
tidak boleh kau langgar sendiri, hal itu akan mencemarkan nama besarmu. Selain
itu, bukankah di sana menanti tugas yang lebih penting, untuk membantu Ang-i
Mo-pang?"
Sejenak,
dengan kemarahan meluap, Bi-kwi menentang pandang mata adiknya. Lalu ia pun
teringat bahwa tadi ia berjanji bahwa kalau pemuda itu mampu mengalahkan Tee
Kok ia akan mengampuni pemuda itu. Kini Tee Kok benar-benar telah dikalahkan,
kalau kini ia turun tangan membunuh pemuda itu, berarti ia telah melanggar
janjinya sendiri.
Memang
menurut wataknya, ia tidak peduli akan segala macam janji. Tidak dikenal
kehormatan di dunia kaum sesat! Akan tetapi, melihat adiknya seperguruan
menentang, dan mengingat bahwa pemuda itu merupakan lawan yang tidak boleh
dipandang ringan, sedangkan kini Ang-i Mo-pang menanti ia turun tangan terhadap
orang yang mengambil alih kedudukan dengan kekerasan, maka memang sebaiknya
kalau dia melepaskan pemuda ini. Ia menarik napas panjang dan mendengus.
"Biarlah
kuampunkan dia untuk kali ini. Lain kali kalau dia berani kurang ajar lagi dan
bersikap sombong di depanku, tentu kepalanya yang kini kutitipkan kepadanya
akan kuambil!" Ia lalu mengibaskan lengan bajunya dan keluar dari rumah
makan diikuti oleh Bi Lan.
Pengurus
restoran dan para pelayan tidak ada yang berani menghalangi walau pun dua orang
wanita itu agaknya lupa untuk membayar harga makanan dan minuman. Bagai mana
pun juga, dua orang wanita itulah yang telah mengusir orang berpakaian merah
tadi, dan juga yang menaklukkan orang-orang Ang-i Mo-pang yang datang kemudian.
Tee Kok yang sudah tidak berani berlagak lagi, cepat menjadi penunjuk jalan,
mengajak Bi-kwi dan Bi Lan untuk menemui orang yang sudah mengambil alih
kedudukannya sebagai ketua Ang-i Mo-pang.
Hong Beng
hanya tersenyum tipis mendengar ucapan Bi-kwi tadi. Dia lalu bangkit, dan
memanggil pengurus rumah makan itu. "Hitung sekalian dengan makanan dan
minuman kedua orang nona tadi. Agaknya karena sibuk mereka lupa membayar,
biarlah aku yang membayarnya sekalian."
"Si-cu
tidak usah membayar, kami bahkan merasa bersyukur bahwa si-cu kebetulan berada
di sini tadi...," kata pengurus rumah makan.
Akan tetapi
Hong Beng tetap berkeras membayar harga makanan dan minuman. "Kalian sudah
menderita banyak kaget dan rugi, juga harus menyingkirkan benda itu, bagai mana
aku tega untuk tidak membayar harga makanan?"
Setelah
membayar harga makanan, Hong Beng cepat meninggalkan restoran itu karena dia
telah mengambil keputusan untuk membayangi dua orang gadis tadi yang agaknya
hendak membantu Ang-i Mo-pang yang diambil alih oleh golongan lain. Tentu akan
terjadi hal yang amat seru, pikirnya.
Hong Beng
selama beberapa tahun terakhir ini bersama gurunya tinggal di salah satu di
antara puncak-puncak Pegunungan Koa-li-kung, di tepi Sungai Me-kong yang sunyi.
Lembah Sungai Me-kong ini amat subur dan di tempat sunyi itu mereka berdua
hidup dengan tenteram, mencurahkan perhatian pada latihan silat. Kadang-kadang
Hong Beng ditinggal seorang diri oleh gurunya dan ketika untuk terakhir
kalinya, beberapa bulan yang lalu gurunya pulang dari perantauan, Suma Ciang
Bun menyatakan bahwa muridnya itu sudah belajar lebih dari cukup.
"Segala
macam ilmu hanya dapat matang dan sempurna kalau dipergunakan dalam
kehidupan," demikian antara lain Suma Ciang Bun berkata kepada muridnya.
"Selain mematangkan ilmu dengan praktek menempuh kehidupan yang keras ini,
juga apa gunanya engkau bersusah payah mempelajari ilmu-ilmu silat dariku kalau
tidak digunakan? Penggunaan ilmu inilah yang terpenting, dan baik buruknya
penggunaannya tergantung sepenuhnya kepadamu. Aku memberi sebuah tugas
kepadamu, Hong Beng. Sanggupkah engkau melaksanakan tugas yang berat ini?"
Hong Beng
yang berlutut di depan suhu-nya itu menjawab dengan tegas. "Teecu sanggup
melaksanakan segala perintah suhu yang bagaimana beratpun."
"Baik,
aku percaya padamu. Selama engkau ikut aku merantau, tentu engkau sudah
mengenal keadaan dunia pada umumnya dan engkau tentu dapat berhati-hati dan
menjaga diri. Ilmu baca tulis, sedikit banyak engkau telah menguasainya dan
hampir semua ilmu silatku telah kuajarkan padamu. Ingat, engkau adalah murid
keluarga para pendekar Pulau Es. Sebagai murid Pulau Es, engkau harus dapat
menjaga keharuman nama keluarga Pulau Es, dan di mana pun berada, engkau harus
menjadi pendekar sejati. Tugas yang kuserahkan padamu ini berat sekali karena
engkau harus pergi ke kota raja dan menyelidiki kehidupan seorang perdana
menteri."
Biar pun dia
memiliki watak tenang dan pemberani, juga pendiam, mendengar ucapan suhu-nya
itu, Hong Beng jadi tertegun juga. Menyelidiki seorang perdana menteri di kota
raja? Ini hebat!
Melihat
betapa muridnya terkejut akan tetapi tetap diam saja, Suma Ciang Bun merasa
girang dan kagum.
"Hong
Beng, selama bertahun-tahun ini pemberontakan terjadi di mana-mana. Memang,
kami keluarga Pulau Es tidak mau melibatkan diri dengan urusan pemerintahan.
Akan tetapi bagaimana pun juga, pemberontakan-pemberontakan itu membuat
kehidupan rakyat menjadi sengsara. Setiap kali terjadi pemberontakan dan perang
saudara, yang mengalami pukulan paling hebat adalah rakyat jelata. Dan aku
sendiri merasa heran. Dahulu, bahkan sebelum menjadi kaisar, Kian Liong
merupakan seorang pemimpin yang amat bijaksana dan baik. Sekarang pun nampak
betapa kaisar ini mendatangkan banyak kemajuan. Akan tetapi, menurut kabar yang
kutangkap, akhir-akhir ini Kaisar Kian Liong dipermainkan oleh seseorang yang
kabarnya dapat mempengaruhi kaisar sehingga dari seorang kuli biasa, orang itu
terus diberi kenaikan pangkat dan akhirnya dicalonkan menjadi seorang perdana
menteri. Hal ini bagiku mencurigakan dan tidak wajar. Nah, inilah tugas yang
hendak kuserahkan padamu. Pergilah ke kota raja, selidiki keadaan seorang
pembesar yang dicalonkan sebagai perdana menteri. Dia bernama Hou Seng.
Selidiki kenapa kaisar dapat jatuh ke dalam kekuasaan orang yang bernama Hou
Seng ini dan kalau perlu bertindaklah untuk membasmi segala macam sebab yang
menimbulkan adanya kelemahan dalam kendali pemerintahan Kaisar Kian
Liong."
Pemuda itu
mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu mengangguk dan menjawab, suaranya
tenang dan tegas, "Teecu akan melakukan semua perintah dan petunjuk dari
suhu."
Kembali
pendekar itu merasa kagum terhadap muridnya. Dia tahu bahwa tugas ini berat dan
asing bagi muridnya yang pengalamannya hanyalah ketika diajaknya merantau itu
saja. Bahkan muridnya itu belum pernah melihat bagaimana macamnya kota raja.
Akan tetapi, sikap muridnya demikian tenang menghadapi tugas seberat itu.
Diam-diam
selain kagum, dia pun merasa kasihan dan khawatir. Memang, tugas ini amat
penting bagi kepentingan rakyat jelata dan perlu pula bagi muridnya sendiri
untuk menggembleng diri dan memperdalam pengalaman hidup sebagai seorang
pendekar. Akan tetapi, kota raja menjadi pusat di mana terdapat orang-orang
pandai dari segala macam golongan.
"Hong
Beng, untuk tugas ini, sebaiknya engkau mencari susiok-mu (paman gurumu) yaitu
adikku yang bernama Suma Ceng Liong yang kini bersama keluarganya tinggal di
kota Thian-cin. Atau lebih baik lagi engkau mencari ci-huku (kakak ipar)
bernama Kao Cin Liong yang bersama keluarganya tinggal di kota Pao-teng. Dari
mereka itu engkau mungkin sekali akan memperoleh keterangan yang jelas tentang
orang bernama Hou Seng itu. Apa lagi ci-hu Kao Cin Liong adalah bekas seorang
panglima kerajaan. Justru setelah dia mengundurkan diri timbul kekacauan dan
muncullah seorang bernama Hou Seng itu."
Setelah
menerima hanyak nasehat dari suhu-nya, juga menerima bekal sekantong uang
dengan pesan bahwa jika dia kehabisan bekal dan tidak terpaksa sekali, jangan
sampai merugikan orang lain dengan perbuatan yang jahat, melainkan terus terang
saja minta bantuan kepada kuil-kuil atau kepada hartawan-hartawan yang
dermawan, akhirnya pergilah pemuda itu meninggalkan puncak di Pegunungan
Koa-li-kung di daerah selatan Hu-nan. Dalam perjalanan ini, ketika melewati
daerah Siang-nam, tidak lupa dia singgah di kuburan ayah ibunya, yaitu di luar
kota Siang-nam di mana dia dahulu dibantu oleh gurunya mengubur jenazah mereka.
Semalam
suntuk ia duduk bersila di depan kuburan besar terisi jenazah ayah bundanya
itu, tidak menangis atau berduka. Semenjak menjadi murid pendekar Suma Ciang
Bun, pemuda ini telah dijejali banyak pengertian tentang kehidupan dan telah
biasa membuka mata melihat kenyataan-kenyataan sehingga tidak mudah dipengaruhi
oleh bayangan-bayangan dan emosi-emosi yang membuat orang mudah berduka. Semua
peristiwa yang lalu telah pula berlalu, demikian batinnya berbisik.
Dia
mengunjungi makam dan berdiam semalam suntuk di situ hanya untuk menghormati
peninggalan ayah dan ibunya. Apa lagi, pembunuh-pembunuh ayah ibunya telah
dibalas oleh gurunya, sehingga dia tidak mempunyai dendam atau sakit hati lagi.
Harus
diakuinya bahwa perantauan seorang diri, terpisah dari gurunya, merupakan hal
yang berat dan kadang-kadang menggelisahkan. Akan tetapi ada saat-saat di mana
dia merasa bahagia dan gembira, merasa bebas tanpa terikat oleh apa pun juga, hidup
sendirian seperti seekor burung yang terbang bebas lepas di udara!
Demikianlah
sedikit tentang diri Hong Beng…..
Pada pagi
hari itu, dia tiba di Kun-ming dan tanpa disengaja dia memasuki restoran dan
melihat Bi-kwi dan Bi Lan kemudian terlibat dalam peristiwa dengan orang-orang
Ang-i Mo-pang. Dia belum pernah mendengar tentang perkumpulan itu, akan tetapi
dari nama perkumpulan itu ia dapat menduga bahwa Ang-i Mo-pang tentulah sebuah
perkumpulan penjahat. Rasa heran dan ingin tahu apakah hubungan antara dua
orang gadis cantik dan lihai seperti yang dijumpainya di restoran itu dengan
perkumpulan sesat membuat dia ingin sekali membayangi mereka.
Dia bersikap
hati-hati sekali karena dia maklum bahwa dua orang wanita itu memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Dia pun tidak ingin mencampuri urusan mereka, hanya ingin
melihat apa yang akan terjadi selanjutnya dengan dua orang gadis itu. Ada
sesuatu pada diri dua orang gadis itu, terutama pada diri gadis yang disebut
Ciong Siocia, yang amat menarik hati Hong Beng.
Selama ini
belum pernah dia merasa tertarik pada seorang wanita. Sejak kecil dia hidup
dengan gurunya dan belum pernah melihat gurunya berdekatan dengan wanita,
bahkan sikap gurunya terhadap wanita amat dingin. Hal ini sedikit banyak
mempengaruhi dirinya dan dia pun belum pernah merasa tertarik kepada wanita.
Ketika dia
menjelang dewasa, kalau sekali waktu ada perasaan tertarik ini ketika dia
bertemu dengan seorang gadis dalam perjalanan bersama suhu-nya, maka perasaan
ini segera ditekannya karena dia malu terhadap gurunya. Tentu saja andai kata
gurunya itu memiliki sikap pria wajar terhadap wanita, agaknya dia pun tak akan
menekan perasaan itu.
Kini, begitu
dia melakukan perjalanan seorang diri, dia bertemu dengan seorang wanita yang
amat menarik hatinya, yaitu Bi-kwi! Dalam pandangannya Bi-kwi adalah seorang
wanita yang matang, yang amat menarik semua gerak-geriknya, berwibawa, dan ada
sesuatu yang membuat dia merasa kasihan. Sesuatu itu mungkin garis-garis di
antara kedua mata wanita itu, yang membayangkan suatu kepahitan hidup yang
mengharukan hati Hong Beng. Gadis ke dua yang jauh lebih muda itu pun manis
sekali, akan tetapi dalam pandangan Hong Beng gadis itu masih kekanak-kanakan,
masih mentah.
***************
Sebetulnya
apakah yang telah terjadi dengan perkumpulan Ang-i Mo-pang? Seperti kita
ketahui, perkumpulan itu adalah sebuah perkumpulan penjahat yang dipimpin oleh
Tee Kok sebagai ketuanya. Tee Kok adalah seorang bekas anggota Hek-i Mo-pang
yang dulu terkenal sebagai perkumpulan sesat yang ditakuti orang.
Tee Kok
mengumpulkan beberapa orang kawannya bekas anggota Hek-i Mo-pang, lalu ditambah
lagi dengan anak buah baru yang terdiri dari orang-orang dari dunia hitam, dia
mendirikan Ang-i Mo-pang. Tidak kurang dari lima puluh anak buahnya dan semua
anak buah Ang-i Mo-pang memakai pakaian serba merah.
Kemudian
muncul Bi-kwi yang menaklukkan dan mengalahkan Tee Kok. Akan tetapi wanita ini
tidak mau menjadi ketua perkumpulan itu, melainkan menarik perkumpulan itu
sebagai pembantu-pembantunya. Semenjak ditalukkan Bi-kwi, perkumpulan itu malah
menjadi semakin kuat, dan anak buahnya selalu bertambah. Dalam hal menerima
anak buah baru, Tee Kok selalu bersikap hati-hati sehingga ia dapat memilih
anak buah yang benar-benar seorang yang selain memiliki kepandaian, juga memiliki
setia kawan dalam dunia hitam.
Tapi sebulan
yang lalu, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki muda, berusia tiga puluh
tahunan, berpakaian seperti pemuda hartawan dan sasterawan, dan membawa
pengikut sebanyak lima orang. Begitu muncul, pemuda yang mengaku bernama Bhok
Gun ini segera menyatakan kehendaknya untuk menggantikan Tee Kok menjadi ketua
Ang-i Mo-pang! Tentu saja mula-mula orang ini dianggap gila. Akan tetapi begitu
pernyataan ini berakhir dengan perkelahian, Tee Kok dan semua pembantunya dikalahkan
dengan mudah oleh Bhok Gun!
"Kalau
aku mau, apa sukarnya membasmi kalian semua? Akan tetapi aku tidak ingin
membunuh kalian karena aku melihat bahwa Ang-i Mo-pang kelak akan menjadi
sebuah perkumpulan besar, bahkan yang terbesar, di bawah pimpinanku. Mulai
sekarang aku menjadi Pangcu, dan Tee Kok menjadi pembantuku. Siapa yang tidak
setuju boleh maju melawan aku!"
Demikianlah,
mulai hari itu, sebulan yang lalu, pemuda yang bernama Bhok Gun itu menjadi
ketua Ang-i Mo-pang! Tee Kok menjadi pembantunya, bersama kelima orang yang
datang bersama Bhok Gun. Pada pagi hari itu, seorang di antara lima pembantu
Bhok Gun melakukan pemerasan di restoran itu dan orang yang bernasib sial ini
lalu bertemu dengan Bi-kwi yang menyebabkan buntungnya sebelah lengannya.
Melakukan
pemerasan merupakan hal biasa saja bagi Ang-i Mo-pang, maka mendengar betapa
orang yang telah menjadi rekannya itu dibuntungi orang lengannya di restoran
ketika dia sedang ‘bekerja’, Tee Kok cepat mengajak lima orang anak buahnya
untuk menyerbu ke restoran. Tak disangkanya bahwa yang dikerjakan oleh rekan
barunya itu adalah Ciong Siocia yang amat ditakutinya.
Dapatlah
dibayangkan betapa gemparnya para anggota Ang-i Mo-pang ketika mereka melihat
Tee Kok pulang bersama dua orang wanita dan seorang di antara mereka adalah
Ciong Siocia! Kini di sarang mereka terdapat dua orang pandai yang tentu akan
saling memperebutkan kedudukan dan tentu akan terjadi pertentangan yang seru!
Karena mereka semua tahu akan kelihaian Ciong Siocia, juga akan kelihaian ketua
baru Bhok Gun, mereka tidak akan berpihak, dan hanya menanti siapa di antara
keduanya itu yang akan keluar sebagai pemenang.
Memasuki
sarang di mana berkumpul berpuluh orang berpakaian seragam merah, Bi Lan merasa
agak khawatir juga, karena ia merasa seolah-olah memasuki sebuah hutan penuh
dengan serigala buas yang berkeliaran. Tidak demikian dengan Bi-kwi. Wanita ini
sudah pernah menaklukkan Ang-i Mo-pang dan ia merasa yakin bahwa Tee Kok dan
seluruh anggota perkumpulan itu tidak akan berani mengeroyoknya dan ia hanya
akan menghadapi pendatang baru itu saja. Maka ia melangkah memasuki
perkampungan Ang-i Mo-pang yang berada di luar kota Kun-ming dengan tenang,
bahkan mendahului Tee Kok ketika mereka memasuki gedung utama yang tentu
didiami oleh ketua baru itu.
Seorang di
antara anak buahnya sendiri sudah cepat memberi kabar kepada Bhok Gun tentang
datangnya Tee Kok bersama-sama dua orang wanita, bahkan anak buah yang buntung
lengannya dan yang berada di situ pula setelah mengalami pengobatan, juga cepat
mengintai dan cepat pula lari kembali ke dalam ruangan besar di mana ketuanya
sedang duduk menanti.
"Pangcu,
benar siluman perempuan itu yang datang!" katanya dengan tubuh gemetar.
Pria muda
itu tersenyum dan tetap duduk di atas kursi yang diberi warna merah pula. Ia
sendiri mengenakan pakaian mewah, bukan pakaian merah seperti para anggotanya.
Pakaian seorang sasterawan muda yang kaya raya. Dan semenjak Bhok Gun menjadi
ketua, ruang yang luas ini pun penuh dengan tulisan-tulisan dan lukisan-lukisan
indah, bergantungan di dinding. Ruangan itu pun kini bersih dan rapi, sama
sekali tidak dapat disamakan dengan dahulu sebelum dia datang, ruangan itu
kotor dan hanya penuh dengan senjata-senjata dan alat-alat penyiksa.
Begitu
memasuki ruangan itu, Bi-kwi melihat perubahan besar ini, perubahan yang
mencengangkan hatinya. Dia sendiri suka akan kebersihan dan keindahan, karena
itu ia pun selalu pesolek dan pakaiannya selalu bersih dan indah.
Pada saat
itu dia mendengar suara halus seorang laki-laki, "Kalian semua mundurlah,
aku akan menyambut kedatangan nona Ciong yang terhormat!"
Tentu saja
tadi ketua baru ini sudah mendengar bahwa yang muncul itu adalah Ciong Siocia
yang sebelumnya sudah didengarnya sebagai seorang wanita sakti yang telah
menaklukkan Ang-i Mo-pang sebelum dia muncul di situ. Dan mendengar pula bahwa
ternyata yang diganggu anak buahnya justru Nona Ciong itulah!
Ketika
Bi-kwi dan Bi Lan memasuki ruangan itu, Tee Kok mengikuti dari belakang dengan
jantung berdebar tegang. Dia pun maklum bahwa di antara dua kekuasaan ini tentu
akan terjadi persaingan dan kalau disuruh memilih, tentu saja dia memilih
Bi-kwi.
Nona ini
benar menganggap dia anak buahnya sebagai pembantu dan taklukan, akan tetapi
tidak menuntut kedudukan ketua, bahkan jarang pula datang ke Kun-ming, hanya
kalau ada kepentingan saja baru minta bantuan Ang-I Mo-pang. Sebaliknya, orang
she Bhok itu ingin mutlak menguasai Ang-i Mo-pang dan menjadi ketua, bahkan
tinggal di situ walau pun dia tidak mengenakan pakaian merah.
Sementara
itu, mendengar suara laki-laki itu, Bi-kwi lalu mengangkat muka memandang
dengan penuh selidik. Seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun,
seorang pemuda yang sudah masak, dengan sinar mata tajam dan penuh pengertian,
namun sinar mata itu pun liar mengandung kecerdikan, bergerak-gerak terus ke
sana-sini.
Wajahnya
pesolek dan tampan, dengan mulut yang selalu tersenyum manis. Kulit muka itu
tentu dibedaki tipis, rambutnya yang panjang hitam itu mengkilat karena minyak,
dan pakaiannya baru dan indah, pakaian sasterawan dari sutera putih yang dihias
warna biru dan merah di sana-sini. Sepatunya yang tinggi pun baru mengkilap.
Seorang pria yang sungguh tampan dan pesolek, yang akan mudah menjatuhkan hati
wanita.
Di lain
pihak, Bhok Gun juga mengamati dua orang wanita yang memasuki ruangan dengan
sikap tenang itu. Dia pun terpesona melihat kecantikan Bi-kwi. Seorang wanita yang
sudah matang, usianya tentu sekitar tiga puluh tahun, wajahnya cantik manis,
pakaiannya mewah. Tentu ini yang disebut Ciong Siocia oleh Tee Kok dan para
anggota Ang-i Mo-pang.
Akan tetapi,
matanya yang sudah berpengalaman itu melirik pula ke arah Bi Lan dan diam-diam
dia pun terpesona oleh dara yang walau pun pakaiannya sederhana, namun dia tahu
merupakan dara yang menggairahkan, bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar
dan belum disentuh lebah atau kupu-kupu yang nakal.
Setelah dua
orang wanita itu tiba di depannya, Bhok Gun lalu bangkit berdiri dan menyambut
mereka dengan sikap hormat. Dia menjura kepada mereka dan berkata dengan suara
halus dan senyum ramah gembira, "Selamat datang di perkumpulan kami Ang-i
Mo-pang, ji-wi siocia (dua orang nona)!"
Bi Lan
adalah seorang gadis yang pada hakekatnya berwatak gembira dan ramah, maka
menghadapi sikap tuan rumah yang tersenyum-senyum ramah dan hormat, dia tidak
bisa menahan dirinya untuk tak membalas penghormatan itu dengan mengangkat
kedua tangan di depan dada.
Akan tetapi,
Bi-kwi hanya mengerutkan alisnya. Biar pun hatinya tertarik oleh gaya laki-laki
yang ganteng ini, akan tetapi karena ia sedang marah mencari orang yang berani
mengambil alih kedudukan di perkumpulan itu, dia diam saja dan hanya memandang
tajam penuh selidik.
Tee Kok yang
merasa tidak enak segera berkata sambil berdiri berlindung di belakang Bi-kwi,
"Bhok Pangcu, ini adalah Ciong Siocia... ehh, pelindung kami... dan Siocia
ingin menemui pangcu dan ingin bicara..."
Bhok Gun
memperlebar senyumnya dan kembali menjura kepada Bi-kwi. "Telah kuduga
dari tadi bahwa nona tentulah Ciong Siocia. Silahkan duduk dan mari kita bicara
dengan baik." Pemuda tampan itu mempersilahkan dengan tangannya.
Akan tetapi
Bi-kwi tetap berdiri tegak, bahkan kini berkata dengan suara lantang dan ketus,
walau pun suara itu dibikin bernada merdu.
"Selamanya
aku hanya mengenal Tee Kok sebagai Pangcu (Ketua) Ang-i Mo-pang! Siapakah
engkau yang datang menyambut aku dan sumoi?"
Diam-diam
Bhok Gun tertegun. Kiranya gadis muda yang sederhana itu adalah sumoi dari
Ciong Siocia. Kalau begitu berarti dia akan menghadapi dua orang wanita yang
lihai dan dia harus berhati-hati. Akan tetapi wajahnya tetap tersenyum ramah
dan dia lalu mengangguk dengan tubuh membungkuk ketika menjawab.
"Aku
bernama Bhok Gun dan melihat Ang-i Mo-pang kurang kuat, aku bermaksud untuk
memperkembangkannya menjadi sebuah perkumpulan yang paling kuat di dunia. Untuk
dapat menjadi perkumpulan yang hebat, tentu saja Ang-i Mo-pang harus dipimpin
orang yang mampu, yang pandai, tidak sekedar memiliki beberapa ilmu pukulan
seperti Tee Kok. Maka aku datang dan mengambil alih kepemimpinan."
"Hemm,
engkau sungguh lancang! Apakah tidak tahu bahwa Ang-i Mo-pang mempunyai seorang
pelindung? Tanpa persetujuanku, bagaimana engkau dapat menjadi pangcu
baru?"
Bhok Gun
tersenyum dan kembali menjura. "Maaf, Siocia. Kalau begitu setelah kini
kita saling berhadapan, biarlah aku minta persetujuanmu!"
Bi-kwi
tersenyum mengejek. Bagaimana pun juga, sikap ketua baru yang ramah dan selalu
hormat itu menyenangkan hatinya. Kalau benar orang ini memiliki kepandaian yang
tinggi dan dapat menjadi pembantunya, hemm, tentu jauh lebih menyenangkan dari
pada mempunyai pembantu seperti Tee Kok yang sudah tua dan buruk rupa itu, apa
lagi memang ilmu silat Tee Kok tidak dapat terlalu diandalkan.
"Tidak
begitu mudah! Menjadi ketua Ang-i Mo-pang berarti menjadi pembantuku, dan aku
harus membuktikan dulu apakah kau pantas menjadi pembantuku."
Semua orang
memandang dengan hati tegang. Tibalah saatnya yang menegangkan kini. Gadis
sakti itu, yang ditakuti semua anggota Ang-i Mo-pang, telah mengeluarkan
tantangannya. Akan tetapi, Bhok Gun sama sekali tidak kelihatan jeri dan masih
terus tersenyum-senyum ketika melangkah maju ke tengah ruangan yang luas itu,
lalu berdiri tegak dan menjawab, suaranya halus namun ramah dan tegas.
"Silahkan,
Siocia. Engkau akan mendapat kenyataan bahwa bagaimana pun juga, aku tidak
dapat disamakan dengan Tee Kok. Harap saja engkau suka menaruh kasihan kepadaku
dan tidak menurunkan tangan kejam."
"Kita
lihat saja nanti!" kata Bi-kwi sambil melangkah menghampiri pemuda itu.
"Suci,
hati-hati...," bisik Bi Lan.
Gadis ini
melihat betapa sikap pemuda itu amat tenang. Sikap ini saja membayangkan bahwa
pemuda itu tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga demikian
yakin akan kekuatannya sendiri.
Bi-kwi hanya
tersenyum mendengar peringatan sumoi-nya. Ia pun bukan orang bodoh dan melihat
sikap pemuda tampan mewah ini ia pun melihat betapa pemuda ini memiliki sikap
yang amat tenang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, seperti yang juga
dimiliki pemuda di restoran tadi dan ia dapat menduga bahwa orang ini pun tentu
amat lihai. Maka begitu berhadapan, dia mengeluarkan seruan melengking dan
menyerang dengan dahsyatnya, memainkan jurus dari Ilmu Hek-wan Sip-pat-ciang
dari Raja Iblis Hitam.
"Haiiittt...!"
Lengan
Bi-kwi meluncur ke depan dengan cengkeraman ke arah dada lawan. Bhok Gun dengan
sikap tenang melangkah mundur untuk menghindarkan diri, akan tetapi tiba-tiba
dia mengeluarkan seruan kaget ketika lengan gadis itu mulur memanjang dan masih
melanjutkan cengkeramannya dengan hebat. Lengan Bi-kwi terus mulur dan
bertambah panjang tidak kurang dari setengah meter!
Terpaksa
Bhok Gun menangkis dengan cepat oleh karena hampir saja dadanya kena
dicengkeram.
"Dukkk...!"
Keduanya
merasa betapa lengan mereka tergetar. Bi-kwi sudah melanjutkan
serangan-serangannya dengan mempergunakan Ilmu Silat Hek-wan Sip-pat-ciang yang
lihai itu. Namun, ketua Ang-i Mo-pang yang baru itu selalu dapat menghindarkan
diri sambil berkali-kali mengeluarkan seruan kaget dan heran. Agaknya dia
mengenal jurus-jurus ini karena dia dapat menghindarkan diri dengan gerakan
yang amat tepat.
Bi-kwi
merasa penasaran dan dia pun cepat menyelingi serangan dengan jurus-jurus
Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapan belas Jurus Lutung Hitam), diikuti dengan
tendangan-tendangan istimewa Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin)
dari Iblis Akhirat.
Kembali Bhok
Gun mengeluarkan seruan heran, tetapi yang merasa semakin penasaran adalah
Bi-kwi karena pemuda itu kembali dapat menghindarkan diri dengan baik sekali
dari serangan-serangannya, baik yang dilakukan dengan jurus Hek-wan
Sip-pat-ciang mau pun tendangan-tendangan Pat-hong-twi. Pemuda itu seperti
telah mengenal semua gerakannya sehingga dapat menghindarkan diri dengan tepat
sekali.
Dengan gemas
dia kemudian mengeluarkan Ilmu Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun Putuskan Otot)
dari Iblis Mayat Hidup. Kedua tangannya mengeluarkan suara berdesing karena ia
pun sudah mengerahkan tenaga Kiam-ciang yang amat dahsyat itu.
"Ehhhh...!"
Bhok Gun berseru kaget sekali dan dia meloncat mundur. Sudah belasan jurus dia
diserang dan dia hanya mengelak dan menangkis terus.
"Nona,
kau sambutlah ini!" bentaknya dan kini dia balas menyerang.
Kini giliran
Bi-kwi yang merasa heran dan kaget karena serangan-serangan pemuda itu
mengandung dasar ilmu silat yang dimilikinya, bahkan terkandung unsur-unsur
semua ilmu silat yang dipelajarinya dari tiga orang gurunya. Ia mengelak sambil
berloncatan dan balas menyerang. Sampai kurang lebih lima puluh jurus mereka
saling serang dan akhirnya Bhok Gun meloncat ke belakang.
"Nona,
tahan! Aku mengenal ilmu silatmu. Apakah engkau murid Sam Kwi?"
Bi-kwi
berhenti bergerak. Kini ia menghunus pedangnya. Dengan marah ia memandang
pemuda itu, lalu telunjuk kirinya menuding ke arah muka lawan. "Orang she
Bhok, sebelum mampus di ujung pedangku, katakanlah, siapa sebenarnya engkau dan
dari mana engkau mengenal ilmu-ilmuku tadi?"
Akan tetapi,
pemuda itu memandang dengan senyum lebar dan tiba-tiba dia berkata dengan ramah
sekali. "Sumoi, harap kau suka simpan kembali pedangmu."
Tentu saja
Bi-kwi dan Siauw-kwi terkejut bukan main mendengar ucapan ini. Mereka memandang
kepada pemuda itu dengan mata terbelalak.
"Kau
bohong!" Bi-kwi membentak. "Ketiga orang suhu kami tidak pernah
memiliki murid laki-laki, bahkan tidak mempunyai murid lain kecuali kami
berdua!"
"Engkau
benar, karena memang aku bukanlah murid ketiga susiok Sam Kwi. Akan tetapi,
marilah kita bicara di dalam dan kalian akan mendengar siapa sebenarnya aku dan
mengapa aku menyebut kalian sumoi. Marilah."
Bhok Gun
lalu memberi isyarat kepada Tee Kok dan para anggota Ang-i Mo-pang untuk
bubaran. Semua anggota itu tentu saja merasa kecewa. Mereka tadinya
mengharapkan untuk nonton perkelahian yang seru dan mati-matian. Akan tetapi
ternyata perkelahian tadi tak berakhir dengan kalah menangnya seorang di antara
mereka, bahkan agaknya mereka itu masih ada hubungan keluarga seperguruan! Akan
tetapi, tentu saja mereka tidak berani membantah dan Tee Kok lalu menyuruh
mereka semua mengundurkan diri.
Bhok Gun
mengajak dua orang gadis itu duduk di ruangan dalam, di bagian belakang.
Ruangan ini pun keadaannya amat mewah dan menyenangkan. Jendela-jendela dibuka
sehingga hawanya sejuk dan dipasangi tirai sutera sehingga keadaan di dalam
kamar tidak nampak dari luar.
Setelah dua
orang tamunya duduk, Bhok Gun lalu bercerita dan dua orang gadis itu
mendengarkan dengan penuh perhatian, juga dengan hati mengandung perasaan
heran. Dengan suara yang halus dan sikap yang menarik, pria yang ternyata
memiliki banyak sekali pengalaman itu bercerita.
Kiranya dia
adalah cucu murid dari mendiang Pek-bin Lo-sian, kakek yang menjadi keturunan
terakhir dari perguruan mereka yang menguasai pusaka Pedang Suling Naga. Selama
hidupnya, Pek-bin Lo-sian tak pernah menikah dan dia memiliki seorang murid
tunggal yang setelah tamat belajar, diusirnya karena watak murid ini amat
curang dan keji terhadap gurunya sendiri. Hampir saja murid ini membunuh
Pek-bin Lo-sian ketika dia hendak merampas pusaka Liong-siauw-kiam. Untung
bahwa Pek-bin Lo-sian masih memiliki kelebihan dari pada muridnya sehingga
murid itu dapat dikalahkan dan murid itu melarikan diri dengan menderita
luka-luka.
"Nah,
murid dari su-kong Pek-bin Lo-sian itu lalu pergi merantau, memperdalam ilmunya
dan akulah murid tunggalnya. Setelah merasa kuat, guruku pergi mencari su-kong
untuk merampas Liong-siauw-kiam, akan tetapi ternyata su-kong telah tewas dan
pusaka itu telah diserahkan kepada orang lain."
"Seorang
pendekar...," kata Bi-kwi pahit.
"Benar,
seorang pendekar! Dan inilah yang menjengkelkan hati guruku. Su-kong sendiri
adalah seorang datuk golongan hitam, semenjak dahulu, kita semua, perguruan
kita, memusuhi golongan pendekar yang sombong. Ehhh, pusaka itu oleh su-kong
malah diwariskan kepada seorang pendekar yang tidak ada hubungannya sama sekali
dengan perguruan kita. Guruku kemudian menyuruh aku untuk turun gunung dan
pergi mencari pendekar yang kini menguasai pusaka Liong-siauw-kiam itu,
membunuh dan merampas pusaka itu."
Ini
merupakan cerita baru yang amat mengejutkan hati Bi-kwi. Kiranya kakek Pek-bin
Lo-sian ini masih mempunyai cucu murid yang begini lihai! Dengan begini,
sekarang dia mendapatkan seorang saingan tangguh di dalam perebutan pusaka
Liong-siauw-kiam! Akan tetapi, ia masih ragu-ragu dan belum percaya sepenuhnya
akan keterangan Bhok Gun, maka ia pun mengambil keputusan untuk menyelidiki
terus dan baru mengambil tindakan kalau sudah jelas siapa sesungguhnya orang
ini.
"Kalau
kau ditugaskan untuk mencari Liong-siauw-kiam, kenapa engkau mengambil alih
kekuasaan Ang-i Mo-pang?"
"Aih,
masa begitu saja engkau tidak dapat menduganya, sumoi?"
"Jangan
sebut sumoi! Aku masih ragu-ragu apakah engkau sungguh-sungguh saudara
seperguruanku!" kata Bi-kwi ketus.
Bhok Gun
tersenyum. "Baiklah, nona. Kita bicara sampai engkau yakin benar. Aku
turun gunung dan tidak tahu siapa adanya pendekar yang diwarisi Suling Naga.
Ketika aku mendengar tentang Ang-i Mo-pang di kota ini, aku lantas mempunyai
akal untuk dapat mengumpulkan pengaruh dan pembantu, yang memang sudah
kulakukan pula dengan menaklukkan lima orang perampok yang kujumpai di tengah
jalan. Dengan mengepalai sebuah perkumpulan besar seperti Ang-i Mo-pang, tentu
aku akan dapat dengan mudah melakukan penyelidikan dan siapa tahu, aku pun
membutuhkan bantuan mereka dalam menghadapi musuh-musuhku. Dan ternyata
dugaanku tepat, karena Tee Kok tahu siapa pendekar yang mewarisi pusaka itu.
Katanya seorang pendekar yang lihai bukan main."
"Si
mulut panjang Tee Kok!" Bi-kwi mengomel.
"Ha-ha-ha,
bajingan kecil macam dia mana bisa menyimpan rahasia? Tentang dirimu, dia hanya
mengatakan bahwa Ciong Siocia adalah seorang lihai yang melindungi Ang-i
Mo-pang, sama sekali tidak pernah mengatakan bahwa engkau adalah murid Sam Kwi
susiok."
"Dia
mana tahu?"
"Akan
tetapi dia juga menceritakan bahwa engkau berusaha merampas pedang pusaka
suling naga itu, bahkan dia juga membantumu akan tetapi kalian gagal dan
dikalahkan pendekar pemegang suling naga. Sama sekali tidak pernah kusangka
bahwa di antara kita masih ada hubungan saudara seperguruan. Semua baru
kuketahui ketika engkau menyerangku dengan jurus-jurus yang tidak asing bagiku
tadi."
Walau pun
kini ia hampir yakin bahwa memang pemuda ini benar cucu murid Pek-bin Lo-sian,
akan tetapi ia masih merasa tidak senang kalau dalam usahanya mendapatkan
saingan.
Untuk
memancing sikap pemuda itu, tiba-tiba ia berkata, "Su-kongmu itu akulah
yang membunuhnya!"
Setelah
berkata, Bhok Gun memang kaget bukan main sampai meloncat bangun dari tempat
duduknya, akan tetapi bukan karena marah. Ia malah tersenyum kagum. "Aih,
untung tadi tidak dilanjutkan pertandingan itu, kalau dilanjutkan tentu aku
akan kalah. Kalau engkau sudah mampu membunuh su-kong, jelas bahwa ilmu
kepandaianmu amat tinggi, lebih tinggi dari tingkatku!"
Tentu saja
kata-kata ini hanya pujian saja, karena sebelum mati, Pek-bin Lo-sian sudah
menderita luka parah ketika bertanding melawan Sim Houw, juga usianya sudah
amat tua sehingga tenaganya sudah lemah. Selain itu, guru Bhok Gun tidak dapat
dinilai sebagai murid Pek-bin Lo-sian yang tingkat kepandaiannya kalah oleh
kakek itu sendiri. Guru Bhok Gun sudah memperdalam ilmunya selama puluhan
tahun.
Akan tetapi
Bi-kwi tetap tersenyum mengejek. "Kalau ilmu simpananku tadi kukeluarkan,
mungkin kita tidak lagi dapat bercakap-cakap seperti ini." Yang
dimaksudkannya adalah ilmunya yang baru-baru ini ia pelajari dari ketiga orang
suhu-nya, yaitu Ilmu Silat Sam Kwi Cap-sha-kun!
"Sudah
lama aku mendengar dari guruku tentang ke tiga susiok Sam Kwi. Dan ingin aku
mencari dan memperkenalkan diri, namun guruku melarang dan mengatakan bahwa
sudah sejak muda susiok Sam Kwi tidak mempunyai hubungan dengan kami. Kini aku
bertemu dengan kalian yang menjadi murid-murid susiok Sam Kwi, bukankah hal ini
menggirangkan hati sekali? Kita masih saudara seperguruan, dan engkau juga
mencari pusaka itu."
"Dan
engkau juga mencarinya. Berarti kita adalah saingan!" kata Bi-kwi.
Bhok Gun
tertawa. "Ahh, mana aku begitu bodoh untuk memperebutkan benda begitu saja
dengan kalian yang menjadi sumoi-sumoi-ku sendiri? Tidak, kami, yaitu aku dan
guruku, mempunyai urusan yang lebih penting lagi dan kita dapat bekerja sama
dalam hal ini. Dengan saling membantu, kuyakin cita-cita kita akan dapat
terpenuhi semua dan tentang pusaka Liong-siauw-kiam, kalau memang engkau
menghendaki, biarlah kelak untukmu. Aku akan membantumu sampai pusaka itu dapat
kita rampas, akan tetapi engkau pun mau membantu kami dalam urusan kami.”
"Urusan
apakah itu?" Bi-kwi mulai tertarik karena kalau pemuda ini mempunyai
urusan yang dianggap lebih penting dari pada pusaka Liong-siauw-kiam, tentu
urusan itu amat besar. "Terus terang saja, cita-citaku adalah menguasai
Liong-siauw-kiam dan menjadi bengcu dari dunia hitam." Ia mendahului agar
pemuda itu mengetahui di mana ia berdiri.
Bhok Gun
mengangguk-angguk. "Cita-cita yang baik dan mengagumkan, dan aku yakin,
dengan kepandaian kalian, maka kalian akan berhasil."
"Aku
hanya membantu suci!" tiba-tiba Bi Lan berkata.
Bhok Gun
memandang kaget. Karena sejak tadi diam dan hanya menjadi pendengar saja,
kehadiran gadis ini seperti bayangan saja, oleh karena itu begitu mengeluarkan
suara, mengejutkan hati Bhok Gun. Pemuda ini memandang wajah yang manis itu dan
tersenyum lebar.
"Tentu
saja, cita-cita suci-mu adalah cita-citamu juga."
"Aku
tidak bercita-cita, aku hanya membantu suci mencapai kedua cita-citanya itu
untuk memenuhi janjiku kepadanya," kata Bi Lan.
Bi Lan pun
menentang pandang mata suci-nya dan pemuda itu dengan berani, agaknya untuk
menekankan bahwa ia tidak mau terlibat dalam urusan mereka berdua.
Diam-diam
Bhok Gun merasa heran sekali. Sumoi muda ini agaknya sama sekali tidak takut
terhadap suci-nya, bahkan ada sikap menentang! Kenapa sang suci diam saja?
Bukankah dengan kepandaiannya yang tinggi, suci ini dapat menekan sumoi-nya?
"Orang
she Bhok, kau lanjutkan ceritamu tentang urusanmu itu," tiba-tiba Bi-kwi
berkata seolah-olah tak suka mendengar sumoi-nya bicara.
"Sumoi,
terus terang saja, urusan ini adalah rahasia besar yang tidak boleh kubicarakan
dengan siapa pun juga. Tentu saja persoalannya lain lagi kalau kalian mau
mengakui aku sebagai suheng. Sebagai adik-adik seperguruan, tentu saja kalian
boleh mendengar urusan itu."
Watak Bi-kwi
memang keras. Tadi, melihat sikap lunak dan ramah dari Bhok Gun, dia mau
bicara, akan tetapi begitu Bhok Gun memperlihatkan sikap menantang, dia pun
bangkit berdiri.
"Orang
she Bhok, jangan kira engkau akan dapat memaksaku! Jika engkau tidak mau
menceritakan urusanmu, itu pun tak mengapa. Aku pun tidak membutuhkan
bantuanmu. Akan tetapi yang jelas, engkau harus meninggalkan Ang-i Mo-pang
sekarang juga atau kita akan berkelahi sampai mati!"
Bi-kwi
berdiri tegak. Sikapnya menantang, kedua matanya memancarkan sinar berapi.
Hidungnya yang kecil mancung itu kembang-kempis seolah-olah mengeluarkan napas
yang panas. Sejenak Bhok Gun memandang terpesona. Bukan main wanita ini,
pikirnya. Betapa panasnya! Kalau menjadi seorang kekasih, tentu hebat!
"Tenanglah,
nona." Bhok Gun berkata sambil tersenyum lagi, dia menjadi maklum akan
kekeliruannya telah bersikap keras tadi dan dia mulai mengenal watak wanita
cantik ini. "Coba bayangkan baik-baik. Bila dibantu oleh seorang seperti
Tee Kok, apa artinya? Sebaliknya kalau aku membantumu, agaknya tidak akan ada
urusan yang tidak beres. Kita berdua, apa lagi bertiga, tentu akan mudah
membunuh pendekar yang menguasai Liong-siauw-kiam itu. Maka dari itu, marilah
kita bicara lagi dengan baik. Duduklah dan dengarkan ceritaku."
Melihat
pemuda itu bersikap lembut, dan nampak tampan sekali dengan senyumnya yang
memikat, hati Bi-kwi menjadi sabar dan tenang kembali. Tetapi ia masih cemberut
ketika ia duduk kembali.
"Dengarkanlah
baik-baik dan jangan sekali-kali membiarkan urusan ini sampai terdengar orang
lain. Kami, yaitu guruku dan aku, telah menjadi pembantu-pembantu utama di luar
pengetahuan orang lain, sebagai pembantu-pembantu rahasia, dari Hou-taijin di
kota raja."
Bi-kwi
menjebikan bibirhya. Urusan begitu saja dirahasiakan, pikirnya. Apa sih
hebatnya menjadi antek pembesar? Bahkan dianggapnya sebagai pekerjaan hina dan
rendah! Masa orang yang sudah memiliki kepandaian tinggi, yang mempunyai
kedudukan tinggi pula di dunia hitam, sudi menjadi antek segala macam pembesar?
"Siapa
sih Hou-taijin itu?" tanyanya dengan suara jelas mengandung ejekan.
Kini Bhok
Gun yang memandang dengan sinar mata penuh keheranan. "Sumoi, ehh, nona!
Benarkah engkau belum pernah mendengar tentang Hou-taijin di kota raja?"
Bi-kwi
menggeleng. "Aku tak ada urusan dengan segala pembesar brengsek!"
"Ahhh,
kalau begitu nona telah ketinggalan jaman! Semua orang membicarakan tentang
Hou-taijin! Bayangkan saja, kalau ada orang yang tadinya bekerja sebagai kuli,
sebagai pemanggul joli sekarang dapat mencapai pangkat sehingga dicalonkan
sebagai perdana menteri kerajaan, apakah orang itu tidak hebat sekali?"
Bi-kwi
tercengang juga. Tidak dapat disangkal lagi. Orang itu tentu hebat. Ia mengerti
bahwa pangkat perdana menteri hanya satu tingkat di bawah kaisar! Bahkan pernah
ia mendengar bahwa urusan kerajaan bahkan dikendalikan oleh tangan perdana
menteri, sedangkan kaisar hanya mengangguk setuju atau menggeleng tidak setuju
saja. Kalau menjadi pembantu-pembantu seorang calon perdana menteri, ini lain
lagi urusannya dan ia pun mulai tertarik...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment