Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Naga
Jilid 05
MELIHAT
sikap Bi-kwi yang mulai tertarik, Bhok Gun melanjutkan ceritanya.
"Sekarang pun guruku sudah berada di kota raja. Kami menjadi
pembantu-pembantu rahasia dari Hou-taijin. Selain melaksanakan
perintah-perintah rahasia, juga kami ditugaskan untuk mempengaruhi seluruh
tokoh dunia hitam agar dapat menjadi pendukungnya. Untuk itu, selain hadiah
berupa harta benda yang amat besar, juga mereka yang berjasa akan diberi hadiah
kedudukan."
"Hemm,
apa artinya harta benda?" kata pula Bi-kwi.
"Tentu
saja guruku dan aku tidak butuh harta benda. Apa sulitnya jika kita membutuhkan
harta benda? Tinggal ambil saja dari rumah-rumah para hartawan. Akan tetapi
bukan itu yang menjadi cita-cita kami, akan tetapi pangkat tinggi! Jika sampai
aku kelak menerima anugerah pangkat tinggi, misalnya panglima atau setidaknya
kepala salah suatu daerah, bukankah itu jauh lebih berarti dari pada sekedar
harta benda? Ingat, tanpa hubungan baik dengan salah seorang pembesar tinggi
yang berpengaruh, hanya mengandalkan kepandaian silat saja, tidak mungkin dapat
menjadi seorang pembesar yang menduduki pangkat tinggi. Seorang datuk di dunia
hitam, walau pun disembah-sembah, akan tetapi hanya oleh golongan hitam saja.
Sebaliknya, seorang pembesar tinggi akan dihormat dan disembah oleh semua golongan,
dengan kekuasaan yang tak terbatas."
"Hemm,
dan bagaimana engkau akan dapat mempengaruhi para tokoh dunia hitam untuk
mendukung pembesar she Hou itu?"
"Tentu
saja dengan meraih kedudukan pimpinan dunia hitam!"
"Akan
tetapi itulah cita-citaku, merampas pusaka Liong-siauw-kiam dan mengangkat diri
menjadi bengcu!" kata pula Bi-kwi dengan alis berkerut.
"Bagus!
Aku akan membantumu, sumoi. Aku membantumu merampas pusaka dan membantumu
menjadi bengcu, kemudian engkau dengan pengaruhmu membantu aku. Bukankah ini
menjadi suatu kerja sama yang amat baik dan saling menguntungkan?"
Bi-kwi
benar-benar merasa tertarik sekarang. Tentu saja ia memandang dari segi yang
menguntungkan dirinya. Kalau dibantu oleh seorang yang lihai seperti laki-laki
ini, tentu saja harapannya lebih besar untuk dapat merampas pusaka dari tangan
Pendekar Suling Naga yang sakti itu. Juga dalam mengangkat diri menjadi bengcu,
tentu ia akan menghadapi banyak saingan, maka tenaga bantuan seorang seperti
Bhok Gun, apa lagi kalau orang ini masih terhitung saudara seperguruannya,
tentu saja amat berharga.
"Hemm,
aku masih belum yakin apakah dapat bekerja sama denganmu ataukah tidak,"
katanya dan sepasang mata yang tajam itu menyambar-nyambar bagai kilat menjelajahi
seluruh muka dan tubuh Bhok Gun penuh selidik.
Bhok Gun
merasa seluruh tubuhnya seperti diraba-raba yang langsung membuatnya panas
dingin. Hebat wanita ini, sinar matanya saja mampu membuatnya terangsang.
"Memang
harus dibuktikan dulu apakah kita akan dapat bekerja sama," katanya sambil
bangkit berdiri dan memandang dengan sinar mata penuh gairah dan ajakan.
"Mau sama-sama kita buktikan sekarang juga?" Ajaknya dengan ulungan
tangan.
Bi-kwi
tersenyum. Ia suka kepada pria ini, seorang pria yang berpengalaman dan penuh
pengertian. Agaknya, melihat ketampanan wajah dan ketegapan tubuhnya,
menjanjikan sesuatu yang akan amat menyenangkan dirinya. Maka ia pun bangkit
dan menghampiri pria itu, menoleh kepada Bi Lan sambil berkata, "Sumoi,
kita tinggal di sini selama beberapa hari, baru melanjutkan pejalanan."
Bhok Gun
tersenyum. "Jangan khawatir, sumoi-mu akan memperoleh pelayanan yang
istimewa." Dia bertepuk tangan tiga kali dan muncullah dua orang pelayan
wanita yang muda dan cantik-cantik.
"Berikan
kamar tamu yang terbaik, di sebelah kiri kamarku itu, kepada nona ini dan
layani dia sebaik mungkin sebagai seorang tamu agung. Malam ini sediakan
hidangan termewah untuk menghormati dua orang tamu agung," kata Bhok Gun
dan dua orang wanita itu membungkuk dengan hormat sambil tersenyum manis.
"Marilah,
sumoi... eh, Ciong Siocia!" kata Bhok Gun sambil menggandeng tangan Bi-kwi
yang hanya tersenyum dan mereka pun pergi masuk ke dalam.
Bi Lan
mengerutkan alisnya. Dia sudah mengenal watak cabul dari suci-nya dan tahu
bahwa suci-nya telah menarik tuan rumah itu sebagai seorang kekasih baru. Ia
tidak peduli akan hal ini, hanya merasa tak enak dan canggung harus berada
seorang diri di tempat asing itu. Akan tetapi ia pun tidak membantah ketika dua
orang wanita pelayan itu dengan hormat mempersilakan dia ke kamarnya yang
ternyata merupakan sebuah kamar yang indah dan mewah pula.
Siapakah
sebetulnya pembesar bernama Hou Seng yang disebut-sebut oleh Bhok Gun itu?
Bukankah kita sudah tahu bahwa pemuda Gu Hong Beng juga membawa tugas dari
gurunya, pendekar sakti Suma Ciang Bun, untuk menyelidiki pembesar Hou Seng di
kota raja! Siapakah Hou Seng ini dan mengapa dia begitu penting?
Dalam
kehidupan kaisar Kian Liong, seperti juga kehidupan para kaisar-kaisar lainnya,
terdapat banyak rahasia yang tidak dicatat dalam sejarah. Pada waktu itu,
kekuasaan kaisar tak terbatas dan tentu saja yang dicatat dalam sejarah hanya
kebaikan-kebaikan seorang kaisar saja. Keburukan-keburukannya selalu
disembunyikan dan siapa berani membicarakan apa lagi mencatatnya, tentu akan
dihukum mati, mungkin sekeluarganya agar rahasia busuk itu tidak sampai bocor
keluar. Karena itu, di dalam sejarah, Kaisar Kian Liong hanya dikenal sebagai
seorang kaisar yang amat bijaksana dan baik, dan memang telah banyak jasanya
untuk kemajuan pemerintah Ceng-tiauw atau pemerintah Mancu.
Akan tetapi
di balik semua itu, sebagai seorang manusia biasa, tentu saja ia memiliki
kelemahan-kelemahan. Dan satu di antara kelemahannya adalah bahwa kaisar
seorang yang tidak membatasi dirinya dalam kesenangan memuaskan nafsu
birahinya. Banyak sudah dia terlibat dalam hubungan jinah dengan wanita-wanita
yang bukan isteri atau selirnya. Dan wanita-wanita itu biar pun isteri pembesar
dalam istana atau siapa saja, agaknya dengan senang hati akan melayani kaisar
yang merupakan orang yang paling berkuasa itu, di samping bahwa memang Kaisar
Kian Liong seorang pria yang menarik.
Akan tetapi,
setelah kini kaisar itu berusia kurang lebih setengah abad, terjadi suatu
keanehan pada dirinya. Keanehan ini memang pada waktu itu banyak hinggap pada
para pembesar-pembesar tinggi, yaitu kegemaran akan wanita-wanita muda yang
cantik jelita beralih kepada kegemaran mempunyai pelayan-pelayan pria muda yang
tampan. Kegemaran tidur dikawani seorang wanita muda berubah menjadi kegemaran
tidur ditemani seorang pemuda tampan!
Ketika pada
suatu hari Kaisar Kian Liong sedang naik joli untuk pergi ke bagian lain dari
istananya yang amat luas itu, untuk mengunjungi sebuah taman bunga mawar yang
sedang berkembang dengan indah, tanpa disengaja pandang matanya bertemu dengan
seorang pemuda yang tampan dan ketika pandang mata kaisar melihat wajah pemuda
ini dari samping, hampir saja kaisar ini berseru kaget. Wajah itu mirip sekali
dengan wanita yang pernah membuatnya tergila-gila!
Terkenanglah
Kaisar Kian Liong akan peristiwa itu, peristiwa yang terjadi ketika dirinya
masih menjadi pangeran, menjadi putera mahkota yang disanjung dan dimanja.
Ketika itu dia masih amat muda, baru delapan belas tahun usianya dan semuda itu
dia sudah memiliki banyak pengalaman dengan wanita. Dan seperti biasa, kalau
orang menuruti nafsu, maka nafsu akan memperhambanya. Makin dituruti nafsu,
makin hauslah dia!
Pada waktu
itu, ayahnya, kaisar tua, baru saja memperoleh seorang selir dari daerah barat,
seorang gadis yang amat cantik. Melihat selir ayahnya ini, hati Pangeran Kian
Liong tergila-gila dan dia pun menggunakan segala usaha untuk dapat memetik
bunga harum yang telah disimpan ayahnya itu.
Akan tetapi,
sungguh tak pernah disangkanya bahwa selir muda itu ternyata amat setia kepada
kaisar yang tua, dan biar pun pada waktu itu Pangeran Mahkota Kian Liong
terkenal sebagai seorang pemuda yang penuh gairah dan tampan, segala bujuk rayu
pangeran itu ditolaknya mentah-mentah! Hal ini lalu membuat hati Kian Liong
penasaran bukan main.
Pada suatu
malam, dia berhasil memasuki kamar selir ini selagi ayahnya menggilir selir
lain. Kembali dia membujuk, merayu dan bahkan hendak mempergunakan kekerasan
terhadap diri selir itu. Akan tetapi sang selir tetap menolak dan ketika hendak
diperkosa, ia menjerit-jerit! Tentu saja hal ini menimbulkan aib. Pada saat
itu, ibunda permaisuri lalu mengambil tindakan. Urusan dibalik, dan selir itu
yang dituduh hendak menggoda sang pangeran mahkota, maka akhirnya selir itu pun
dipaksa harus membunuh diri dengan menggantung diri!
Demikianlah
kekuasaan keluarga kaisar di waktu itu. Bagi keluarga kaisar, tidak ada
kesalahan! Kesalahan tidak terdapat dalam kamus keluarga kerajaan. Segala yang
dilakukan adalah benar, maka yang bersalah tentu saja si selir, yang hanya
merupakan keluarga sampingan atau pendatang dari luar!
Akan tetapi,
wajah selir itu tak pernah dapat dilupakan Kian Liong. Dia merasa menyesal
sekali tidak dapat memiliki wanita itu. Makin dibayangkan, semakin penasaran
hatinya. Belum pernah dia ditolak oleh seorang wanita sebelum itu, dan
satu-satunya wanita yang menolaknya itu tentu saja mendatangkan kesan yang amat
mendalam di hatinya.
Demikianlah,
ketika dia berusia hampir setengah abad, melihat wajah seorang pemikul joli itu
demikian mirip dengan wanita yang pernah digilainya, hatinya tergerak. Apa lagi
pada saat dia mendengar keterangan bahwa Hou Seng, demikian nama pemikul tandu
berusia hampir tiga puluh tahun itu, dilahirkan pada hari yang sama dengan
kematian wanita yang dipaksa menggantung diri, yakinlah hati Kaisar Kian Liong
bahwa Hou Seng adalah penjelmaan kembali dari selir ayahnya yang digilainya
itu!
Mungkin
terdorong oleh kepercayaan ini, atau memang dia sudah bosan dengan
wanita-wanita muda, maka mulai hari itu, Hou Seng menjadi pelayan dalam yang
tidak dikebiri! Menjadi pelayan pribadi kaisar dan menemani kaisar itu dalam
kamar tidurnya! Dan mulailah bintang Hou Seng naik dengan gemilang.
Apa lagi dia
memang orang yang cerdik sekali. Begitu dia memperoleh perhatian kaisar, tiap
ada waktu senggang dia pergunakan untuk memperdalam pengetahuannya tentang ilmu
baca tulis, tentang sastera, tentang ketatanegaraan sehingga dia terus menanjak
menjadi pejabat tinggi dalam istana. Bahkan akhir-akhir ini ramai
diperbincangkan orang di kalangan istana bahwa pembesar Hou Seng ini dicalonkan
untuk menjadi perdana menteri, menggantikan perdana menteri tua yang akan
mengundurkan diri.
Setiap hasil
baik yang dicapai seseorang biasanya memancing datangnya rasa iri hati dari
orang lain, terutama kalau orang lain itu berkecimpung di dalam bidang
pekerjaan yang sama. Apa lagi kalau hasil baik itu didapatkan dengan cara yang
dianggap tidak wajar.
Demikian
pula dengan Hou Seng. Banyak rekannya para pembesar, para pamong praja dan para
mentri, bahkan panglima, merasa iri hati dan banyak yang membencinya. Seperti
biasa pada jaman itu pria yang dijadikan selir rahasia atau teman tidur seorang
pria lain, dinamakan Kelinci, julukan untuk seorang seperti Hou Seng. Dia pun
diam-diam dimaki orang dengan julukan Kelinci Istana!
Hou Seng
bukan tidak maklum bahwa dirinya dibenci banyak orang. Bahkan ada pula yang
mengancam untuk membunuhnya kalau ada kesempatan. Oleh karena ini, Hou Seng
semakin merapatkan diri dengan kaisar untuk memperoleh perlindungan. Selain
itu, dia pun mulai menyusun kekuatannya sendiri agar selain dapat melindungi
dirinya, juga dapat membalas, bahkan kalau mungkin menghancurkan dan membasmi
musuh-musuhnya!
Sebagai
seorang pembesar sipil, tentu saja dia tidak bisa memperoleh perlindungan
pasukan bala tentara, kecuali sepasukan kecil pengawal saja. Oleh karena itulah
maka dia mulai mengadakan hubungan ke luar istana. Tentu saja yang dapat
dikaitnya adalah tukang-tukang pukul, penjahat-penjahat dan ahli-ahli silat
yang ingin memperoleh uang banyak dari keahliannya itu.
Akhirnya dia
berkenalan dengan Bhok Gun dan gurunya yang melihat kesempatan baik untuk
mengangkat diri mereka dengan harapan kelak akan memperoleh kedudukan tinggi
melalui kekuasaan Hou Seng. Dan karena guru dan murid ini memang memiliki
kepandaian tinggi, segera mereka memperoleh kepercayaan Hou Seng.
Apa lagi
ketika Bhok Gun dan gurunya telah membuat jasa besar dengan melakukan
pembunuhan secara rahasia terhadap beberapa orang pembesar tinggi yang menjadi
musuh-musuh utama dari Hou Seng. Tak kurang dari tujuh orang pembesar musuhnya
kedapatan mati dalam kamar masing-masing tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya.
Tentu saja
Hou Seng tahu karena dialah yang mengutus Bhok Gun dan gurunya untuk melakukan
pembunuhan-pembunuhan itu. Semenjak ini, guru dan murid ini diangkat menjadi
pembantu pribadi yang utama dan mereka diserahi tugas untuk mengumpulkan dan
mempengaruhi para tokoh di dunia hitam agar mereka suka mendukung Hou Seng dan
kalau sewaktu-waktu tenaga mereka dibutuhkan agar siap siaga!
Demikianlah
keadaan sebenarnya dari kehidupan Kaisar Kian Liong yang dirahasiakan dan tidak
terdapat dalam sejarah. Di dalam sejarah hanya disebutkan nama Hou Seng sebagai
seorang pembesar atau menteri korup yang kelak setelah Kaisar Kian Liong
meninggal dunia dan Kaisar Chai Ceng menjadi kaisar, atas tuntutan lebih dari
enam puluh orang pejabat tinggi, Hou Seng ditangkap dan diadili, lalu dijatuhi
hukuman mati dengan jalan diijinkan menggantung diri, tidak dipenggal kepalanya
mengingat betapa orang ini pernah melayani mendiang Kaisar Kian Liong.
Hebatnya, kemudian diketahui bahwa harta kekayaan yang disimpan oleh Hou Seng
bahkan melampaui jumlah harta kekayaan istana sendiri.
**************
Sore hari
itu, setelah mandi dan berganti pakaian, Bi Lan diberi tahu oleh pelayan bahwa
hidangan telah disediakan dan bahwa dia diharapkan oleh tuan rumah untuk makan
malam di ruangan makan.
Bi Lan
mengikuti pelayan wanita itu dan memasuki sebuah ruangan yang bersih dan indah,
di mana telah dipersiapkan hidangan di atas meja bundar yang cukup besar. Bau
masakan yang masih panas menyambut hidungnya dan tiba-tiba saja Bi Lan merasa
betapa perutnya amat lapar. Oleh pelayan wanita ia dipersilakan duduk. Tak lama
Bi Lan menanti karena segera terdengar langkah-langkah orang dan ketika ia menengok,
mukanya menjadi merah sekali melihat betapa suci-nya datang bersama tuan rumah
dalam suasana yang amat akrab dan mesra!
Suci-nya
tersenyum-senyum, bergandeng tangan dengan Bhok Gun dan menggerakkan kepala
menengadah, memandang pria itu dengan sinar mata penuh kasih. Suci-nya itu
bergantung kepada lengan Bhok Gun dengan sikap manja dan mesra, seperti
pengantin baru saja! Juga pakaian suci-nya itu baru dan berbau harum ketika
sudah tiba dekat. Tanpa diberi tahu pun Bi Lan maklum bahwa telah terdapat persetujuan
dan kecocokan antara suci-nya dan ketua baru Ang-i Mo-pang itu!
Mereka
berdua duduk bersanding, berhadapan dengan Bi Lan. Bi-kwi yang lebih dulu
membuka suara berkata kepada sumoi-nya, "Siauw-kwi, kami telah bersepakat
untuk saling bantu, dan memang antara kami masih ada ikatan keluarga
seperguruan. Sute Bhok Gun dan aku mau bekerja sama dan engkau menjadi pembantu
kami."
"Benar,
sumoi Can Bi Lan, mulai sekarang aku adalah suheng-mu. Kita berdua harus
mentaati semua perintah suci Ciong Siu Kwi," berkata pula Bhok Gun dengan
senyum manis kepada Bi Lan.
Diam-diam
hati Bi Lan menjadi geli mendengar namanya dan nama suci-nya disebut dengan
lengkap. Sambil tersenyum geli ia menoleh kepada suci-nya. Agaknya Bi-kwi
maklum akan isi hati sumoi-nya, maka ia pun berkata dengan nada suara
sungguh-sungguh, "Sumoi, kita tidak lagi tinggal bersama tiga orang suhu
kita dan sute tidak suka mendengar sebutan Bi-kwi dan Siauw-kwi. Bagaimana pun
juga, jika kelak kita menjadi orang-orang berkedudukan tinggi, segala sebutan
jelek itu harus ditinggalkan dan mulai sekarang kita harus belajar menjadi
orang sopan."
Hati Bi Lan
menjadi makin geli. "Suci, apakah ini berarti bahwa mulai sekarang engkau
juga tidak akan melakukan hal-hal yang jahat lagi?"
Bi-kwi dan
Bhok Gun saling bertukar pandang, lalu Bhok Gun yang menjawab, "Sumoi, apa
sih yang dimaksudkan dengan perbuatan jahat itu? Dia tidak pernah melakukan
perbuatan jahat, yang kita lakukan adalah perbuatan yang menguntungkan diri
sendiri. Bukankah ini sudah benar dan tepat? Kita berbuat untuk memperebutkan
sesuatu yang baik dan menguntungkan untuk diri kita, untuk kehidupan kita.
Kalau perlu kita harus menyingkirkan siapa saja yang manjadi penghalang
kita."
Bi Lan sudah
hafal akan pendapat seperti itu, pendapat yang selalu ditanamkan oleh Sam Kwi,
bahkan semua orang di dunia hitam atau golongan sesat.
"Maksudku
bukan itu, suci," katanya, tetap kepada Bi-kwi karena ia masih enggan
harus bicara kepada laki-laki yang mengaku suheng-nya dan yang matanya memiliki
sinar seperti hendak menelanjanginya itu. "Biasanya suci tidak peduli akan
segala sopan santun, akan tetapi sekarang mendadak hendak merubah cara hidup.
Sungguh lucu nampaknya," katanya sambil tersenyum.
"Sudahlah,
engkau masih terlalu muda untuk tahu akan urusan penting," kata Bi-kwi.
"Mari kita makan, perutku sudah lapar sekali!"
Mereka lalu
makan minum dan dua orang yang sedang berkasih-kasihan itu menyelingi makan
minum itu dengan tingkah dan ucapan-ucapan mesra, bahkan kadang-kadang saling
suap dengan sumpit mereka.
Tentu saja
hal ini membuat Bi Lan merasa canggung sekali dan ia menundukkan muka saja
sambil makan dengan amat hati-hati. Pengalamannya ketika ia diloloh arak oleh
tiga orang suhu-nya, kemudian ditawan oleh Sam Kwi, membuat ia berhati-hati dan
sedikit pun tidak mau menyentuh arak. Ia tidak khawatir akan racun yang
dicampurkan makanan atau minuman karena ia pernah mempelajari tentang racun
dari Iblis Mayat Hidup yang ahli racun sehingga ia dapat menolak kalau sampai
makanan atau minuman itu dicampuri racun.
Maka ia
hanya makan makanan yang telah dimakan oleh tuan rumah, dan dia sama sekali
tidak mau minum arak setetes pun. Karena selalu menundukkan muka, ia tidak
melihat betapa Bi-kwi dan Bhok Gun kadang-kadang mengamatinya dengan pandang
mata penuh selidik dan sikapnya yang hati-hati itu agaknya diketahui pula oleh
mereka.
Bi Lan sama
sekali tidak tahu bahwa tadi, di dalam kamar Bhok Gun, ketika beristirahat dari
kegiatan mereka untuk ‘saling mengenal’ atau melihat apakah mereka bisa
‘bekerja sama’, dua orang itu juga telah menyinggung namanya, bahkan
membicarakan tentang dirinya dengan serius.
"Agaknya
sumoi-mu itu tidak suka padamu, atau tidak begitu cocok, bahkan nampaknya
bercuriga terhadap kita," kata Bhok Gun.
"Memang
antara aku dan ia tidak ada kecocokan. Aku juga heran mengapa Sam Kwi mau
mengambil anak macam itu sebagai murid mereka yang ke dua. Hemm, anak itu kelak
hanya akan mendatangkan pusing saja bagiku."
"Hemm,
suci yang baik, kalau memang begitu, kenapa tidak dari dulu-dulu kau bunuh saja
sumoi yang tiada guna itu?"
Bi-kwi
menarik napas panjang dan mengerutkan alis. "Ahhh, kau kira aku begitu
bodoh? Memang ada keinginan itu di hatiku, tetapi aku tidak pernah memperoleh
kesempatan yang baik. Ketika dia masih kecil, akulah yang disuruh melatihnya.
Tapi aku tidak dapat membunuhnya karena Sam Kwi kelihatan sayang padanya. Aku
akan mendapat marah besar jika ketika itu kubunuh. Aku lalu melatihnya, akan
tetapi sengaja kuselewengkan sehingga dia tidak dapat mempelajari ilmu silat
yang benar, melainkan kacau balau, bahkan latihan sinkang yang kuselewengkan
membuat ia hampir gila."
"Bagus
sekali! Ha-ha-ha, engkau sungguh cerdik dan mengagumkan sekali!" Bhok Gun
demikian kagum dan girang sehingga dia lalu menghadiahkan beberapa ciuman mesra
kepada Bi-kwi yang membalasnya dengan tak kalah bersemangatnya.
Sejenak
mereka lupa akan percakapan tadi, akan tetapi ketika teringat kembali, Bhok Gun
bertanya, "Lalu mengapa ia kini tidak kelihatan seperti gila lagi?"
Kembali
Bi-kwi menarik napas panjang. Biasanya, wanita ini tak pernah memperlihatkan
perasaan hatinya. Akan tetapi kini ia berada dalam keadaan santai dan suasana
mesra, maka ia pun seperti wanita biasa yang diombang-ambingkan antara suka dan
duka, puas dan kecewa tanpa pengendalian diri sama sekali.
"Entah
dia yang terlalu beruntung ataukah aku yang terlalu sial. Ketika Sam Kwi sedang
bertapa untuk menciptakan ilmu baru, aku mendapat kesempatan sepenuhnya
terhadap diri Siauw-kwi. Ia sudah hampir gila karena latihan yang salah. Akan
tetapi tiba-tiba saja ia menjadi sembuh dan setelah kuselidiki, ternyata ia
bertemu dengan suami isteri yang telah mengobatinya!" Bi-kwi mengepal
tangan kanannya dengan gemas. "Dan aku tidak dapat berbuat apa-apa
terhadap mereka!"
"Ehh?"
Bhok Gun mengangkat alisnya, memandang heran. Kalau kekasihnya ini sampai tidak
mampu melakukan sesuatu, tentu suami isteri itu bukanlah orang sembarangan.
"Siapakah mereka?"
"Si
Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya."
"Ohhh...!"
Sepasang mata Bhok Gun terbelalak dan tentu saja dia pernah mendengar nama
pendekar yang sudah seperti nama dalam dongeng itu karena dunia kang-ouw hanya
mengenal namanya tanpa pernah melihat orangnya.
"Akan
tetapi, apakah setelah itu engkau tak dapat membunuhnya? Kulihat ia melakukan
perjalanan bersamamu, berarti engkau mempunyai banyak kesempatan."
Bi-kwi
menggeleng kepala. "Kami berdua mempelajari ilmu baru dari Sam Kwi.
Kulihat ia telah menguasai ilmu-ilmu kami dan dapat menjadi seorang pembantu
yang cukup lihai. Mengingat akan cita-citaku, aku merasa bahwa dari pada
membunuhnya, lebih baik menjadikan dia sebagai pembantuku untuk merampas
Liong-siauw-kiam dan kedudukan bengcu. Dan ia sudah berjanji untuk
membantuku."
"Akan
tetapi, bukankah sekarang ada aku?"
Bi-kwi
mengangguk dan meraba dagu laki-laki itu. "Memang, sekarang ada engkau.
Sebaliknya kita bunuh saja anak itu, karena kurasa kelak dia hanya akan menjadi
penghalang bagi kita. Wataknya berbeda sekali dengan kita, dan ia tidak pantas
menjadi murid Sam Kwi. Bahkan ada kecondongan hatinya untuk memihak musuh-musuh
kita, para pendekar. Ia berlagak menjadi pendekar agaknya. Hatinya lemah."
Bhok Gun
mengangguk-angguk, lalu berkata dengan hati-hati, "Bagaimana pun juga,
apakah tenaga yang demikian baiknya harus dimusnahkan begitu saja? Ingat,
sekarang ini, untuk mencapai cita-cita kita, kita membutuhkan banyak tenaga
yang kuat dan lihai. Dan kurasa sumoi-mu itu merupakan tenaga yang amat
berharga."
Bi-kwi
mengangguk-angguk. "Itulah sebabnya sampai kini aku belum membunuhnya. Ia
telah menguasai semua ilmu Sam Kwi, dan agaknya tingkatnya hanya sedikit
selisih dengan tingkatku. Akan tetapi kalau tidak dibunuh dan kemudian ia
berdiri di pihak yang menentang kita, bukankah hal itu akan merugikan?"
"Orang-orang
pandai jaman dahulu berkata bahwa api adalah musuh yang berbahaya sekali, akan
tetapi bisa menjadi pembantu yang amat menguntungkan. Kurasa demikian pula
dengan sumoi-mu Can Bi Lan itu. Kalau kita pandai mempergunakan dia, bukan
membunuhnya melainkan menundukkannya dan ia dapat membantu kita, bukankah hal
itu menguntungkan sekali?"
Sepasang
mata wanita itu memandang dengan tajam penuh selidik, kemudian bibirnya
berjebi. "Huhh, laki-laki di mana pun sama saja! Aku tahu apa yang
terbayang dalam pikiranmu yang kotor itu!"
Bhok Gun
tersenyum lebar dan merangkul Bi-kwi, menciumnya dengan mesra sehingga wanita
itu dapat tersenyum kembali. "Aihh, benarkah seorang seperti engkau ini
masih dapat cemburu?"
"Siapa
yang cemburu?!" Bi-kwi membentak.
Memang, ia
tidak pernah merasa cemburu. Baginya, mempunyai kekasih bukan berarti
mengikatkan diri. Ia boleh bebas memilih pria, sebaliknya ia pun tidak akan
melarang kekasihnya mendekati wanita lain. Kalau memang masih sama suka, tentu
tidak akan menoleh kepada orang lain.
"Sam
Kwi juga tadinya berusaha untuk menggagahi sumoi agar dapat menundukkan hatinya
yang keras. Akan tetapi aku mencegah dan melarikan sumoi, karena dengan
demikian dia akan berhutang budi dan untuk membalasnya, dia sudah berjanji untuk
membantuku."
"Akan
tetapi kini engkau ragu-ragu karena sikapnya yang seperti hendak menentang
kita. Habis, bagaimana baiknya? Dibunuh kau tidak setuju. Kutaklukkan ia kau
pun tidak setuju."
"Bukan
tidak setuju, hanya saja aku sangsi akan hasilnya. Andai kata engkau mampu
menundukkannya dan menggagahinya, aku tidak yakin ia akan mau tunduk. Bahkan
mungkin ia akan merasa sakit hati, mendendam dan memusuhi kita. Orang macam ia
amat mementingkan kehormatan seperti para pendekar. Kecuali kalau dia
menyerahkan diri dengan tulus dan suka rela kepadamu..."
"Hal
itu bisa diusahakan! Aku memiliki modal cukup untuk itu, bukan? Kalau ia
kurayu, kuperlakukan dengan baik, aku tidak percaya akhirnya ia tidak akan
bertekuk lutut dan menyerahkan diri." Dalam hal ini, Bhok Gun tidak
membual karena memang sudah tak terhitung banyaknya wanita yang jatuh oleh
rayuannya yang ditambah ketampanan dan kelihaiannya pula.
"Hmm,
jangan sombong kau! Sumoi-ku adalah seorang perawan yang selama hidupnya belum
pernah berdekatan dengan pria dan agaknya belum siap untuk menyerahkan diri
kepada seorang pria."
"Ha-ha-ha,
justru yang masih hijau itulah yang paling mudah. Kau lihatlah saja, dalam
waktu satu dua hari saja ia tentu akan jatuh ke dalam pelukanku dan selanjutnya
akan menjadi boneka yang selalu mentaati segala perintahku."
"Kita
sama lihat saja."
Demikianlah
rencana yang diatur oleh Bi-kwi dan Bhok Gun. Usia mereka sebenarnya sebaya,
dan mungkin Bi-kwi lebih tua satu dua tahun. Bukan karena usia maka Bi-kwi
minta disebut suci oleh ketua Ang-i Mo-pang itu, melainkan sebutan itu membuat
dia merasa bahwa ia lebih unggul dan lebih menang dalam tingkat dan kedudukan.
"Sumoi,
pertemuan di antara kita sungguh merupakan peristiwa yang menggembirakan
sekali, bukan? Siapa mengira bahwa aku akan bertemu dengan suci dan sumoi, dua
orang saudara seperguruan. Kalau tidak melihat gerakan-gerakan silat kalian,
tentu aku tidak akan pernah menduga. Bahkan dengan ketiga orang guru kalian pun
yang masih terhitung paman-paman guruku, belum pernah aku bertemu."
Bi Lan
mengangguk, lalu berkata sambil melirik ke arah suci-nya. "Bagi suci tentu
amat menggembirakan karena kalian dapat bekerja sama untuk merampas kembali
pedang pusaka Suling Naga, dan dapat bersama-sama merebut kedudukan bengcu.
Akan tetapi aku yang tidak mempunyai keinginan apa-apa, tidak ada
artinya."
"Ehhh,
mengapa begitu, sumoi?" Bhok Gun berseru sambil tersenyum, dia memasang
senyumnya yang paling menarik. "Bagiku, kegembiraan ini besar sekali,
bukan karena kalian yang menjadi saudara-saudara seperguruanku amat lihai, akan
tetapi juga kalian merupakan dua orang gadis yang amat cantik jelita seperti
bidadari!"
"Hi-hik,
sute Bhok Gun ini ganteng dan pandai merayu, bukan, sumoi? Senang sekali punya
saudara seperguruan seperti dia ini!"
Bi Lan hanya
tersenyum simpul saja mendengar ucapan suci-nya itu, tanpa menjawab, akan
tetapi diam-diam mukanya berubah sedikit merah karena percakapan itu, puji
memuji ketampanan dan kecantikan, terasa asing baginya.
"Suci
dan sumoi, perkenankanlah aku memberi ucapan selamat datang kepada kalian dan
terimalah hormatku dengan secawan arak!"
Bhok Gun
lalu menuangkan arak dari sebuah guci merah ke dalam dua buah cawan dan dia
menyerahkan dua cawan itu kepada Bi Lan dan Siu Kwi. Setan Cantik itu cepat
menyambar cawan arak suguhan Bhok Gun, akan tetapi Bi Lan menolak.
"Aku
tak biasa minum arak, biarlah aku minum teh ini saja," katanya sambil
mengangkat cangkir teh.
"Aih,
sumoi yang manis. Pemberian secawan arak ini merupakan penghormatan dariku,
biar pun engkau tidak biasa minum arak, apa salahnya sekarang minum satu dua
cawan untuk merayakan pertemuan yang menggembirakan ini? Terimalah,
sumoi."
Bi Lan tetap
menolak. "Tidak, suheng. Aku tidak biasa dan minum sedikit saja tentu akan
mabok. Aku sudah mendapatkan pengalaman yang pahit sekali dengan minum arak dan
mabok, dan aku tidak mau mengulangnya lagi."
Bhok Gun
melirik ke arah Siu Kwi dan tertawa, suara ketawanya lantang dan sepasang
matanya bersinar-sinar. "Ha-ha-ha, sumoi yang jelita. Maksudmu tentulah
pengalaman minum arak, mabok dan hendak diperkosa oleh tiga orang gurumu?
Ha-ha, akan tetapi aku bukan Sam Kwi, sumoi. Aku takkan melakukan hal yang keji
itu. Bagiku, cinta harus dilakukan dengan suka rela, bukan paksaan."
"Suka
rela atau paksaan, aku tidak sudi!" Bi Lan berkata ketus dan ia pun
bangkit berdiri dan melangkah hendak meninggalkan ruangan makan itu, kembali ke
kamarnya.
Akan tetapi
dengan beberapa loncatan saja Bhok Gun sudah menghadang di depannya dan
laki-laki ini lalu memberi hormat dengan menjura dalam-dalam, merangkap kedua
tangan di depan dada. "Maaf, ahh, apakah engkau tidak dapat memaafkan aku,
sumoi. Aku memang suka sekali berkelakar dan kalau tadi aku mengeluarkan
kata-kata yang menyinggung perasaan hatimu yang halus, maafkanlah aku. Maafkan
aku sebagai tuan rumah, juga sebagai suheng yang menyayangi sumoi-nya dan
menghormati tamunya. Aku tidak akan mengulang lagi tentang minum arak."
Melihat pria
itu bersikap dengan sopan dan demikian menghormat, Bi Lan merasa tidak enak
kalau melanjutkan kemarahannya. Apa lagi mendengar suci-nya tertawa terkekeh
dan berkata, "Aiihh, sumoi, apakah mendadak saja engkau menjadi seorang
yang suci dan tidak dapat menghadapi kelakar dan godaan? Hi-hik, kami berdua
agaknya malah kedahuluan olehmu. Kami belum biasa hidup sopan santun seperti
yang diminta sute, engkau malah agaknya sudah menjadi orang sopan yang tidak
sudi mendengar kelakar nakal, hi-hi-hik."
Bi Lan
terpaksa kembali ke tempat duduknya dan dengan sikap serius dia berkata,
ditujukan kepada suci-nya, tidak langsung kepada Bhok Gun walau pun kepada pria
itulah sebenarnya ucapannya ditujukan, "Aku tidak peduli akan kelakar atau
apa saja, akan tetapi asal tidak menyangkut diriku. Kalau menyangkut diriku,
aku tidak sudi orang bersikap kurang ajar kepadaku, siapa pun juga orang
itu."
"Maaf,
sumoi, aku sama sekali tidak berani kurang ajar kepadamu. Kalau ada seorang
laki-laki berani kurang ajar kepadamu, akulah yang akan menghajarnya. Engkau
adalah sumoi-ku yang cantik jelita, manis dan sopan, aku harus menjagamu
baik-baik."
"Hi-hi-hik,
masih perawan lagi, dan selamanya belum pernah bersentuhan dengan pria,
bukankah begitu, sumoi?" kata Bi-kwi mengejek.
"Ahhh,
kalau begitu sumoi Can Bi Lan adalah seorang dara yang bagaikan setangkai bunga
masih bersih dan suci, belum pernah terjamah tangan, belum pernah tersentuh
kumbang, harus makin dijaga baik-baik," kata Bhok Gun yang sengaja
bersikap baik untuk mencari muka.
Akan tetapi
dasar dia seorang gila perempuan, ucapan-ucapannya itu malah membuat Bi Lan
merasa tidak enak walau pun itu merupakan pujian. Ia tidak mau mencampuri
ucapan-ucapan mereka itu dan melanjutkan makan minum yang tadi belum selesai.
"Hemm,
aku sih tidak ingin menjadi kembang yang belum tersentuh kumbang, tak ingin
menjadi dara atau perawan murni yang belum pernah berdekatan dengan pria, aku
tidak mau tidur sendiri kedinginan. Aku ingin kehangatan setiap saat...,"
kata pula Bi-kwi dan ia pun bangkit dari tempat duduknya, merangkul Bhok Gun
dan mencium bibir pria itu dengan penuh napsu.
Bhok Gun
tersenyum dan segera maklum akan maksud kekasih barunya ini, yaitu untuk
membangkitkan rangsangan dan birahi di dalam hati Bi Lan. Maka dia pun membalas
ciuman itu. Keduanya lalu bercumbu, berangkulan dan berciuman begitu saja di
depan Bi Lan, tanpa malu-malu lagi bahkan mereka sengaja melakukan
cumbuan-cumbuan yang tidak sepantasnya diperlihatkan orang lain. Bhok Gun
menggunakan sumpitnya menggigit sepotong daging dan secara pamer sekali dia
menyuapkan daging itu dari mulutnya ke mulut Bi-kwi yang menerimanya sambil
terkekeh genit.
Dapat
dibayangkan betapa besar rasa malu menekan batin Bi Lan. Selamanya belum pernah
ia melihat adegan-adegan seperti itu, dalam mimpi pun belum. Biar pun ia tahu
bahwa suci-nya adalah kekasih tiga orang gurunya dan mereka melakukan hubungan
suami isteri, namun tiga orang gurunya tak pernah mencumbu suci-nya itu di
depannya. Dan ia pun tahu bahwa suci-nya sering kali menculik dan memaksa
pemuda-pemuda tampan untuk menggaulinya, namun hal ini pun terjadi di luar
tahunya.
Baru kini ia
melihat suci-nya bercumbu sebebas itu dengan seorang pria di depannya. Tadinya
ia hanya menundukkan muka sambil makan dan tidak sudi memandang, akan tetapi
suara-suara cumbuan itu masih saja menusuk telinganya dan akhirnya ia pun
bangkit berdiri. Tidak dapat ia bertahan lebih lama lagi. Bukan karena
suara-suara dan pandangan-pandangan itu dianggapnya tidak sopan dan cabul,
karena semenjak kecil ia digembleng oleh tiga orang guru yang berjuluk Tiga
Iblis, yang tidak mengenal sama sekali tentang sopan santun, dan hanya karena
memang nalurinya yang halus saja Bi Lan tidak terseret, akan tetapi yang
membuat ia tidak dapat bertahan adalah karena adegan itu mendatangkan suatu
perasaan yang membuatnya takut sendiri.
Perasaan
yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Yang membuatnya berdebar-debar dan
menimbulkan perang di dalam batinnya. Di satu pihak, ada suara hatinya
membisikkan bahwa perbuatan yang dilakukan dua orang di depannya itu sama
sekali tidak patut dilihat atau didengar, akan tetapi ada perasaan lain membuat
ia ingin sekali melihat dan mendengarkan dengan diam-diam. Hal inilah yang
menakutkan hatinya dan membuat ia tidak dapat bertahan lagi, lalu ia bangkit
berdiri.
"Aku...
aku mau beristirahat dulu di kamarku," tanpa menanti jawaban dua orang
yang masih saling rangkul dan saling berciuman itu ia pun meninggalkan mereka
dan masuk ke kamarnya, menutupkan daun pintu keras-keras. Ia tidak tahu betapa
dua orang itu pun menghentikan permainan mereka.
"Hemm,
kurasa usaha kita hampir berhasil," kata Bhok Gun lirih.
"Hi-hik,
ia mulai panas dingin. Kau memang hebat, sute. Akan tetapi awas, kalau sampai
engkau berhasil kemudian lebih mementingkan sumoi dan mengesampingkan aku, kau
akan kubunuh!"
Bhok Gun
tersenyum dan merangkulnya. "Heh-heh-heh, cemburu lagi?"
"Tidak
cemburu, akan tetapi ia masih dara, masih perawan murni. Laki-laki tentu lebih
suka dan setelah mendapatkan yang muda, lalu melupakan yang tua."
"Hemm,
aku bukan pria seperti itu. Aku lebih menyukai buah yang sudah matang dari pada
yang masih hijau dan mentah. Kalau aku menaklukkannya, bukan karena ingin
mendapatkan yang hijau dan mentah, melainkan demi kelancaran usaha kita,
bukan?"
"Nah,
mari teruskan menggodanya sampai ia jatuh," kata Bi-kwi dan sambil
bergandeng tangan mereka lalu menuju ke kamar mereka yang berada di samping
kamar yang ditinggali Bi Lan, hanya terpisah dinding kayu di mana terdapat
sebuah pintu tembusan yang tertutup.
Dengan
jantung masih berdebar dan kedua pipi kemerahan, mukanya terasa panas Bi Lan
memasuki kamarnya. Apa yang dilihatnya dan didengarnya di depannya tadi, di
ruang makan, benar-benar membuat hatinya tak karuan rasanya. Rasa kedewasaannya
tersentuh dan ada dorongan amat kuat dan aneh yang membuat ia ingin mengetahui
lebih banyak tentang hubungan antara pria dan wanita. Gairahnya timbul,
demikian pula keinginan untuk mengetahui dan mengalami.
Tetapi
kesadarannya bahwa Bhok Gun adalah seorang laki-laki yang tidak baik, yang
tidak mendatangkan rasa suka di hatinya, membuat ia menolak keras dan hatinya
sudah mengambil keputusan. Kalau kelak tiba saatnya dia harus melayani pria,
mencurahkan hasrat yang bernyala-nyala di dalam hatinya dan di seluruh syaraf
tubuhnya itu dengan seorang pria, maka pria itu bukan Bhok Gun dan tidak
seperti Bhok Gun! Rasa tidak suka kepada Bhok Gun ini menolong dan meredakan
gelora batinnya yang dibakar oleh gairah birahi yang wajar dari seorang dara
yang mulai bangkit dewasa.
Karena tadi
tubuhnya terasa tidak karuan, Bi Lan langsung melempar tubuhnya ke atas
pembaringan tanpa berganti pakaian dan tanpa membuka sepatu. Ia menelungkup dan
perlahan-lahan mulai menenteramkan hatinya yang bergelora.
Tiba-tiba
perhatiannya tertarik oleh suara orang di kamar sebelah. Langkah dua orang
disusul ketawa cekikikan dari suci-nya! Bi Lan mengangkat kepalanya dengan
hati-hati agar jangan sampai mengeluarkan bunyi. Suci-nya dan Bhok Gun memasuki
kamar itu, kamar sebelah yang hanya terpisah dinding kayu. Baru langkah kaki
mereka saja dapat terdengar oleh pendengarannya yang terlatih dan amat tajam.
Apa lagi suara-suara lain.
Tanpa
melihat saja Bi Lan bisa mendengar betapa mereka berkecupan, betapa mereka
berdua menjatuhkan diri di atas pembaringan, berbisik-bisik, terkekeh dan
terutama sekali suara erangan kemanjaan dari mulut suci-nya terdengar jelas.
Kembali jantung Bi Lan berdebar keras, lebih hebat dari pada tadi. Api yang
tadinya sudah hampir dapat dipadamkannya itu kini berkobar lagi, mendatangkan
gairah rangsangan yang membuat dirinya gelisah. Ia bangkit duduk, otaknya
dijejali gambaran-gambaran yang terbentuk oleh pendengarannya. Agaknya dua
orang di sebelah itu mengumbar napsu mereka tanpa dikendalikan lagi.
"Ssttt,
suci... jangan keras-keras, nanti terdengar sumoi di sebelah," terdengar
suara Bhok Gun berbisik, akan tetapi dapat didengar oleh Bi Lan dengan jelas
sekali.
"Kalau
dengar mengapa? Ia pun seorang wanita, ia berhak untuk menikmati. Kalau ia mau,
sebaiknya kalau engkau yang memberi pelajaran kepadanya tentang hubungan pria
dan wanita, sute. Dari pada ia belajar dari laki-laki lain yang tak dapat
dipercaya!”
"Ah,
mana ia mau?" terdengar laki-laki itu berkata lagi, sementara jantung di
dalam dada Bi Lan berdebar semakin keras.
"Bodoh
kalau ia tidak mau. Kenapa malu-malu? Aku membolehkan kalian bermain cinta,
pula bukankah kalian masih saudara seperguruanku sendiri? Suatu waktu ia tentu
akan menyerahkan tubuhnya kepada seorang pria, untuk yang pertama kali, untuk
menjadi gurunya yang pandai dan berpengalaman, mengapa tidak engkau,
sute?"
Api yang
berkobar di dalam dada Bi Lan semakin besar dan gadis ini cepat bersila dan
bersemedhi mengumpulkan kekuatan batin seperti yang telah ia pelajari dari
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya. Ia masih mendengar percakapan
dua orang itu yang semakin memberi bujukan tidak langsung kepadanya dan
mendengar mereka bercumbu, akan tetapi kini batinnya menjadi tenang karena cara
bersemedhi itu dan ia dapat menguasai napsunya sendiri yang membakar.
Ia menjadi
marah. Agaknya suci-nya dan Bhok Gun sengaja, pikirnya. Mereka berdua itu tentu
maklum bahwa dia yang berada di kamar sebelah akan mampu mendengar semua
percakapan dan perbuatan mereka. Akan tetapi mereka itu agaknya sengaja hendak
menjatuhkannya dengan rayuan dan pembangkitan gairah nafsunya.
Bi Lan lalu
menyambar buntalan pakaiannya, kemudian berkata dengan suara lantang,
"Suci dan suheng, aku akan pergi meninggalkan tempat ini sekarang
juga!"
Suara dua
orang di kamar sebelah itu tiba-tiba terhenti dan pintu tembusan itu pun
terbuka. Kiranya dua orang itu masih berpakaian lengkap dan semakin yakin hati
Bi Lan bahwa mereka tadi hanyalah bermain sandiwara dengan tujuan membangkitkan
nafsu birahinya agar mudah dilalap oleh Bhok Gun tanpa memperkosanya, tapi
memaksanya melalui pembakaran nafsu birahi supaya ia dapat menyerahkan diri
dengan suka rela kepada Bhok Gun. Semua nampak jelas olehnya dan Bi Lan menjadi
semakin marah.
"Sumoi,
apa yang kau katakan barusan? Kau mau pergi? Pergi ke mana?" teriak
Bi-kwi, mengerutkan alisnya karena mulai marah melihat betapa sumoi-nya itu
sama sekali tidak dapat dibujuk.
"Suci,
aku mau pergi sekarang juga."
"Kenapa?"
"Bukan
urusanmu."
"Bukan
urusanku? Eh, bocah sombong, apa engkau telah lupa akan janjimu kepadaku?
Apakah engkau sudah lupa bahwa tanpa bantuanku, sekarang engkau sudah bukan
perawan lagi, sudah dilalap oleh Sam Kwi dan mungkin sudah mampus?"
"Suci!
Aku sudah berjanji untuk membantu mencari pusaka Liong-siauw-kiam. Dan aku akan
menepati janji itu. Aku akan pergi mencari pusaka itu dan kalau sudah dapat,
akan kuserahkan kepadamu."
"Dan
perebutan bengcu?"
"Kelak
kalau sudah tiba saatnya engkau memperebutkan kedudukan bengcu, aku akan
membantumu seperti pernah kujanjikan. Aku tidak akan melanggar janji."
"Tapi
ke mana kau hendak mencari pusaka itu?"
"Ke
mana saja, akan tetapi tidak bersamamu!"
Bi-kwi marah
bukan main. Akan tetapi Bhok Gun sudah melangkah maju dan dengan senyum menarik
dia berkata, "Sumoi, kalau engkau merasa sungkan bicara di depan suci,
mari kita bicara empat mata di tempat terpisah. Maukah engkau? Mari,
sumoi..."
Laki-laki
ini sudah merasa yakin bahwa siasatnya menggairahkan dan membangkitkan birahi
dara itu tentu berhasil dan kini agaknya dara itu sudah tidak kuat lagi
bertahan, maka dengan dalih hendak pergi sebetulnya hendak menjauhkan diri dan
kalau mungkin bicara berdua saja dengannya karena tentu saja merasa malu
terhadap suci-nya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa justru dara itu telah tahu
akan siasatnya dan karenanya marah dan benci bukan main padanya.
"Aku
bukan sumoi-mu dan kau tidak perlu merayuku. Suci mungkin mudah kau bujuk akan
tetapi jangan harap aku akan suka melihat mukamu!" Berkata demikian, Bi
Lan sudah meloncat keluar dari kamar itu dan terus melarikan diri keluar dari
rumah.
"Siauw-kwi,
tunggu...!" Bi-kwi mengejar, disusul pula oleh Bhok Gun.
Ketika tiba
di pintu gerbang rumah perkumpulan itu, ada belasan orang anak buah Ang-i
Mo-pang sudah menghadang di situ dengan senjata di tangan. Mereka ini diam-diam
sudah menerima perintah Bhok Gun bahwa kalau dara itu hendak pergi dari situ
tanpa perkenan agar dihalangi.
Melihat
belasan orang berseragam marah itu menghadang di jalan, dan obor-obor telah
dipasang di kanan kiri pintu gerbang yang menunjukkan bahwa orang-orang ini
agaknya memang telah siap siaga, Bi Lan membentak, "Minggir kalian!"
Akan tetapi,
tiga belas orang itu tak mau minggir, bahkan melintangkan senjata mereka dengan
sikap mengancam. Mereka semua takut terhadap Bi-kwi, akan tetapi nona ini walau
pun katanya sumoi dari Bi-kwi, tidak mereka takuti, apa lagi mereka menerima
perintah dari Bhok Gun dan Bi-kwi sendiri untuk merintangi nona itu pergi dari
situ.
"Keparat,
minggir!" Bi Lan membentak marah, sekali ini sambil membentak ia menerjang
maju.
Empat orang
terdepan menggerakkan senjata untuk menyerang karena mereka sudah menerima
perintah bahwa jika nona itu nekat menyerbu, mereka boleh menyerangnya. Akan
tetapi, gerakan Bi Lan cepat bukan main, juga kaki tangannya bergerak dengan
tenaga dahsyat sehingga sebelum ada di antara empat senjata itu yang mengenai
tubuh Bi Lan, lebih dahulu empat orang itu sudah terpelanting ke kanan kiri
sambil mengaduh-aduh dan senjata mereka beterbangan terlepas dari tangan.
Hebat bukan
main hasil kerja kaki tangan Bi Lan karena keempat orang itu tidak mampu
bangkit kembali. Ada yang patah tulang kaki, tangan atau iganya, bahkan seorang
di antara mereka yang kena ditempiling kepalanya roboh untuk tidak dapat
bangkit kembali selamanya karena kepalanya retak-retak.
Para anggota
Ang-i Mo-pang terkejut dan marah. Mereka segera mengeroyok, akan tetapi tentu
saja mereka itu bukan apa-apa bagi Bi Lan. Dan begitu gadis itu bergerak dengan
cepat, segera tubuh-tubuh mereka terpelanting dan roboh. Biar pun kini banyak
anggota Ang-i Mo-pang yang datang berlarian dan mengeroyok, namun mereka
seperti sekumpulan nyamuk menyerbu api lilin saja. Sebentar saja belasan orang
sudah roboh berserakan dan Bi Lan meloncat dan menerobos keluar dari pintu
gerbang.
Akan tetapi,
ternyata Bhok Gun sudah berada di depannya di luar pintu gerbang itu. Wajahnya
yang tampan itu tersenyum menyeringai, tapi sepasang matanya mencorong penuh
ancaman, bengis dan kejam.
"Adikku
yang lihai dan manis, memang kepandaianmu hebat. Akan tetapi, bukankah dengan
kita bertiga, maka semua pekerjaan akan dapat dilakukan lebih mudah lagi?
Sumoi, sebelum terlambat, kembalilah dan mari kita bekerja sama."
"Aku
tidak sudi bekerja sama denganmu!" bentak Bi Lan.
"Siauw-kwi,
engkau tidak boleh pergi. Aku melarangmu!" Tiba-tiba Bi-kwi sudah muncul
dan berdiri di samping Bhok Gun.
"Kalau
aku nekat pergi?" Bi Lan menantang dengan suara dingin dan pandang mata
marah.
"Aku
akan membunuhmu!" bentak Bi-kwi.
Bi Lan
tersenyum, bukan senyum buatan, melainkan senyum pahit karena marah. Kini
setelah ia hidup di luar lingkungan pengaruh tiga orang gurunya, ia tahu bahwa
ia harus dapat berdiri di atas kaki sendiri, harus berani menempuh segala
bahaya seorang diri dan tidak mengandalkan siapa pun juga.
"Hemm,
ucapan itu sama sekali tidak mengejutkan aku, suci, karena kalau kau akan
membunuhku, bukan merupakan hal baru bagiku. Sejak dulu pun, sejak aku masih
kecil, kalau ada kesempatan, tentu engkau sudah membunuhku. Jangan
menakut-nakuti aku dengan ancaman itu. Kalau memang kau mampu, buktikan omongan
itu, karena aku tidak takut padamu!"
Ciong Siu
Kwi atau Bi-kwi memang tidak pernah suka kepada sumoi-nya itu. Sejak pertama
kali bertemu dan mendengar bahwa Bi Lan diambil murid oleh Sam Kwi, dia sudah
membenci dan hendak membunuh sumoi yang dianggap saingannya itu. Apa lagi
setelah Bi Lan makin besar dan nampak cantik manis, ia menjadi semakin benci
dan kalau saja ada kesempatan memang sudah sejak dahulu ia membunuh Bi Lan.
Dan
sekaranglah saat itu tiba. Sam Kwi tidak berada di situ dan di sampingnya ia
telah memperoleh seorang pembantu yang sangat baik, lebih baik dan lebih
menyenangkan dari pada Bi Lan, yaitu Bhok Gun. Tidak ada lagi gunanya
membiarkan Bi Lan hidup lebih lama lagi. Maka, mendengar ucapan Bi Lan yang
menantangnya, dia lalu menjadi marah bukan main.
"Hiaaaatttt...!"
Ia
mengeluarkan suara melengking nyaring. Tubuhnya sudah bergerak cepat ke depan,
tangan kirinya menyambar dengan pukulan Ilmu Kiam-ciang yang membuat tangannya
berubah kuat dan dapat membabat benda keras setajam pedang, juga lengannya
dapat mulur panjang. Kiam-ciang adalah ilmu andalan dari Sam Kwi, dan Iblis
Mayat Hidup merupakan ahli yang paling lihai di antara Sam Kwi dalam penggunaan
Kiam-ciang. Sedangkan lengan mulur itu adalah ilmu yang didapat dari Hek Kwi
Ong atau Raja Iblis Hitam. Hebatnya bukan main serangan tangan pedang dengan
lengan yang dapat mulur itu.
"Hemmm...!"
Tentu saja
Bi Lan mengenal baik serangan ini dan ia pun melangkah mundur dua tindak sambil
mengerahkan tenaga dan tangan kanannya bergerak menangkis dengan ilmu yang
sama, dan dengan pengerahan tenaga sinkang-nya yang kini lebih kuat karena ia
sudah digembleng oleh pendekar Naga Sakti Gurun Pasir.
Dua lengan
bertemu dan terdengar suara nyaring seperti bertemunya dua senjata dari baja
saja, dan akibatnya tubuh Bi-kwi terdorong mundur dua langkah. Akan tetapi
Bi-kwi yang sudah maklum akan kekuatan sumoi-nya itu, tidak menjadi kaget
melainkan sudah cepat menyerang lagi, kini mengeluarkan jurus dari Sam Kwi
Cap-sha-kun, yaitu tiga belas jurus ilmu silat baru ciptaan terakhir dari tiga
orang datuk Sam Kwi itu.
Angin
pukulan yang amat dahsyat menyambar-nyambar, sampai dapat terasa oleh para
anggota Ang-i Mo-pang yang berdiri agak jauh sehingga mereka ini amat terkejut
dan ketakutan, lalu mundur menjauh. Memang hebat bukan main ilmu ciptaan
terakhir Sam Kwi itu, ciptaan gabungan mereka bertiga yang sudah diolah matang
pada saat mereka mengasingkan diri. Bhok Gun sendiri memandang kagum karena dia
sendiri tentu akan kewalahan kalau menghadapi serangan ilmu yang dahsyat itu.
Akan tetapi
tentu saja Bi Lan tidak menjadi gentar menghadapi serangan ilmu ini karena ia
sendiri pun sudah melatih diri dengan ilmu ini selama setengah tahun
bersama-sama suci-nya itu. Dan dalam hal melatih ilmu ini, ia tidak kalah oleh
suci-nya, bahkan ia dapat menguasai ilmu itu lebih sempurna setelah menjadi
murid Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir selama setengah tahun.
Oleh karena
itu, menghadapi serangan Bi-kwi, ia pun hapal benar akan semua gerakan dan
perubahan Ilmu Sam Kwi Cap-sha-kun itu. Maka dari itu, ke mana pun Bi-kwi
menyerang, pukulan-pukulannya selalu dapat tertangkis membalik seperti
menyerang dinding baja saja. Bahkan ketika Bi Lan membalas dengan jurus
terampuh dari ilmu itu, Bi-kwi hampir saja tak dapat menahannya karena ternyata
dia kalah kuat dalam tenaga sinkang-nya.
Bi-kwi terhuyung,
dan kalau Bi Lan menghendaki, selagi ia terhuyung itu tentu saja Bi Lan akan
dapat mengirim serangan susulan. Akan tetapi Bi Lan tidak melakukan hal itu,
melainkan meloncat hendak segera meninggalkan suci-nya. Akan tetapi, pada saat
itu Bhok Gun sudah menerjangnya dengan pukulan yang mendatangkan bunyi
berdesing.
Bi Lan
terkejut sekali. Dia maklum bahwa pukulan ini adalah pukulan sakti semacam
Kiam-ciang yang sangat berbahaya. Maka dia pun segera menggunakan keringanan
tubuhnya untuk mengelak ke kiri dan sambil mengelak, kakinya melakukan
tendangan Pat-hong-twi. Ilmu Tendangan Pat-hong-twi (Delapan Penjuru Angin) ini
merupakan ilmu andalan Im-kan Kwi atau Iblis Akhirat dan kini berbalik Bhok Gun
yang terkejut karena kalau tadi dia menyerang, kini tendangan yang datangnya
bertubi-tubi itu membuat keadaan menjadi terbalik karena dialah yang kini
didesak!
Akan tetapi,
Bi-kwi sudah menerjang lagi membantu Bhok Gun sehingga kini Bi Lan dikeroyok
dua. Begitu dikeroyok dua, Bi Lan segera terdesak luar biasa. Bi-kwi selalu
mengimbanginya dengan ilmu silat yang sama sehingga semua serangan Bi Lan hanya
menemui jalan buntu, sedangkan Bhok Gun menyerangnya selagi kedudukannya tidak
menguntungkan, maka tentu saja ia mulai terdesak dan terus mundur mendekati pintu
gerbang lagi. Agaknya kedua orang itu hendak memaksanya kembali memasuki pintu
gerbang.
Bi Lan
maklum bahwa kalau ia mempergunakan ilmu-ilmu yang didapatkannya dari Sam Kwi,
ia tidak akan mampu menang. Semua ilmunya tentu akan dipunahkan oleh Bi-kwi,
sedangkan Bhok Gun menyerangnya dengan ilmu lain yang belum dikenalnya.
Dalam
keadaan terdesak itu, Bi Lan teringat akan ilmu silat yang dipelajarinya secara
rahasia dari suami isteri dari Istana Gurun Pasir. Tiba-tiba saja ia
mengeluarkan suara melengking nyaring dan ketika tubuhnya meluncur ke depan,
dua orang pengeroyoknya terkejut sekali. Mereka seolah-olah diserang oleh
seekor naga yang meluncur turun dari angkasa. Mereka adalah orang-orang yang
telah mewarisi ilmu-ilmu silat yang tinggi, maka mereka cepat mengelak sambil
mengibaskan tangan untuk menangkis.
Namun, tetap
saja hawa pukulan dari Sin-liong Ciang-hwat yang ampuh itu membuat mereka
terdorong keras dan terhuyung ke belakang! Bukan main hebatnya Sin-liong
Ciang-hwat yang diajarkan oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu
kepada gadis itu.
"Haiiittt...!"
Tiba-tiba
Bhok Gun juga berteriak dan nampak sinar merah ketika dia mengebutkan sehelai
sapu tangan merah. Sapu tangan ini mengandung debu pembius yang berwarna
kemerahan dan dapat membuat orang menjadi pingsan jika menyedotnya. Begitu sapu
tangan itu dikebutkan, ada debu merah menyambar ke arah muka Bi Lan.
Akan tetapi
gadis ini bukan seorang yang bodoh. Ia sudah banyak mengenal kelicikan dan
kecurangan yang biasa dipergunakan di dunia kaum sesat, maka begitu melihat
sinar merah sapu tangan itu, dia sudah menahan napas, bahkan lalu meniup dengan
pengerahan sinkang ke arah debu merah.
Debu merah
itu membuyar dan bahkan membalik menyambar ke arah Bhok Gun dan Bi-kwi. Tentu
saja dua orang itu cepat-cepat menghindarkan dengan loncatan-loncatan jauh ke
belakang. Keduanya marah sekali dan begitu tangan mereka bergerak, segera
jarum-jarum beracun menyambar dari tangan Bi-kwi, sedangkan dari tangan Bhok
Gun meluncur paku-paku beracun. Mereka tidak malu-malu untuk menyerang Bi Lan
dengan senjata-senjata rahasia beracun dari jarak cukup dekat.
Akan tetapi,
tiba-tiba dua orang itu kaget bukan main ketika mereka melihat sinar yang hijau
kehitaman berkelebat dan mereka merasa betapa tengkuk mereka meremang. Pedang
di tangan Bi Lan itu mengandung hawa yang demikian mengerikan. Dan itulah
Ban-tok-kiam!
Seperti kita
ketahui, supaya dara itu dapat melindungi dirinya dengan baik, nenek Wan Ceng,
isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang sangat menyayangi Bi Lan, telah
meminjamkan pedang mujijat itu kepadanya. Dan kini, melihat bahaya mengancam
dirinya, Bi Lan sudah mencabut pedang itu dan dengan memutar senjata itu, semua
jarum dan paku menempel pada pedang seperti jarum-jarum halus menempel pada besi
sembrani.
Memang
pedang Ban-tok-kiam, sesuai dengan namanya, yaitu Pedang Selaksa Racun, dapat
menarik senjata-senjata rahasia beracun bagai besi sembrani menarik besi biasa.
Setelah semua senjata rahasia itu melekat pada pedangnya, Bi Lan lalu
menggerakkan pedangnya sehingga pedang itu tergetar dan mengeluarkan bunyi
berdesir.
"Wirrrrrr...!"
dan semua, senjata rahasia itu meluncur kembali ke arah pemiliknya.
"Heiiii...!"
"Aihhh...!"
Dua orang
itu berseru kaget dan cepat mengelak, akan tetapi dua orang anggota Ang-i
Mo-yang yang berdiri di belakang mereka terkena senjata paku dan jarum beracun
itu. Mereka berteriak-teriak kesakitan dan roboh berkelojotan.
Melihat ini
Bhok Gun marah sekali. Dia mencabut pedangnya, dan Bi-kwi juga mencabut pedang.
"Kerahkan
pasukan, kepung dan serbu. Bunuh perempuan ini!"
Lebih kurang
tiga puluh orang anggota Ang-i Mo-pang langsung mengurung tempat itu dan
membantu Bhok Gun dan Bi-kwi yang sudah memutar pedang menyerang Bi Lan. Bi Lan
cepat memutar pedang Ban-tok-kiam dan mengamuk. Akan tetapi, dara ini biar pun
sudah mewarisi ilmu-ilmu silat yang tinggi dan sakti, dia masih kurang
pengalaman berkelahi.
Kini ia
dikeroyok oleh Bi-kwi dan Bhok Gun saja sebenarnya sudah kewalahan dan baru
bisa menandingi mereka karena ia pernah dilatih oleh suami isteri Istana Gurun
Pasir dan memiliki pedang Ban-tok-kiam. Apa lagi sekarang dikepung dan
dikeroyok demikian banyak lawan. Tentu saja ia menjadi repot sekali.
Biar pun ia
berhasil merobohkan sedikitnya enam orang lagi anggota Ang-i Mo-pang, akan
tetapi dalam hujan senjata itu, pedang di tangan Bhok Gun melukai pahanya dan
sebatang jarum beracun yang dilepas Bi-kwi menancap di pundak kirinya, membuat
lengan kirinya seketika terasa kaku. Untung baginya bahwa ia banyak mempelajari
ilmu mengenal racun dari Iblis Mayat Hidup dan tubuhnya sudah cukup kuat untuk
melawan racun, kalau tidak tentu ia sudah roboh oleh pengaruh racun dalam jarum
itu. Biar pun demikian, gerakannya menjadi lemah dan ia semakin terdesak.
Pada saat
yang sudah amat berbahaya bagi keselamatan Bi Lan itu, tiba-tiba sesosok
bayangan orang menerjang masuk ke dalam kepungan. Begitu dia menggerakkan kaki
tangannya, kepungan menjadi kacau balau. Bagaikan orang mencabuti rumput-rumput
kering saja dan mencampakkannya, dia menangkap setiap anggota Ang-i Mo-pang dan
melempar-lemparkan mereka ke kanan dan kiri. Juga setelah kedua kakinya
bergerak, setiap tendangan tentu merobohkan seorang lawan.
Ketika
Bi-kwi yang sedang mendesak sumoi-nya itu dan siap melakukan pukulan maut
dengan tangannya atau tusukan maut dengan pedangnya, tiba-tiba mendengar suara
anak buah Ang-i Mo-pang berteriak-teriak dan kepungan menjadi bobol. Ia
cepat-cepat menengok dan terkejutlah dia melihat masuknya seorang pemuda yang
merobohkan banyak orang. Apa lagi ketika ia mengenal wajah pemuda ini di bawah
sinar obor.
Pemuda itu
bukan lain adalah pemuda yang pagi tadi dijumpainya di dalam rumah makan!
Marahlah Bi-kwi. Walau pun pagi tadi ia merasa tertarik kepada pemuda ini yang
selain berwajah tampan juga memiliki kepandaian tinggi seperti diperlihatkannya
ketika menghadapi sepasang golok di tangan Tee Kok dengan sumpit dan dengan
amat mudahnya mengalahkan Tee Kok, kini Bi-kwi marah sekali. Pemuda usilan ini
sekarang datang untuk merugikan dirinya, karena jelas pemuda ini memihak Bi
Lan.
"Bocah
sial! Kau datang mengantar nyawa!" bentaknya. Ia pun membalik,
meninggalkan Bi Lan dan menyerang pemuda itu dengan pedangnya.
Gu Hong
Beng, pemuda itu tersenyum dan cepat mengelak dengan loncatan ke kiri sambil
menampar roboh seorang anggota Ang-i Mo-pang. "Bukan mengantar nyawa,
melainkan menolong nyawa seorang gadis yang secara curang dikeroyok oleh begini
banyak orang!"
Bi-kwi tidak
bicara lagi, akan tetapi menyerang kalang kabut, menggunakan pedangnya menusuk
lambung sedangkan tangan kirinya menampar ke arah kepala pemuda itu. Hong Beng
tidak mau bersikap sembrono. Dia cukup maklum betapa lihainya wanita ini, maka
sambil mengelak dari tusukan pedang, dia pun mengangkat tangan kanan untuk
memapaki tamparan yang dilakukan lawan, sambil mengerahkan tenaga sinkang-nya.
"Plakkk...!"
Dua telapak
tangan bertemu dan akibatnya, hampir Bi-kwi roboh karena hawa dingin yang luar
biasa menyusup ke dalam tubuhnya melalui telapak tangan, membuat ia menggigil!
Cepat ia
melompat mundur sambil menahan napas dan mengerahkan sinkang. Itulah tenaga
Swat-im Sinkang atau Tenaga Inti Salju yang merupakan satu di antara ilmu
tangguh dari keluarga Pulau Es! Ketika Bi-kwi melompat ke belakang, kesempatan
itu dipergunakan oleh Hong Beng untuk menubruk ke kanan dan merobohkan dua
orang pengeroyok Bi Lan.
Setelah
ditinggalkan suci-nya, Bi Lan yang sudah luka itu merasa agak ringan, tidak
begitu terhimpit lagi walau pun Bhok Gun yang dibantu oleh anak buahnya itu
masih mengepungnya dan merupakan lawan berat bagi dara yang sudah menderita
luka itu. Dengan Ban-tok-kiam di tangan Bi Lan mengamuk.
Ia juga
melihat munculnya pemuda yang membantunya dan ia merasa heran karena ia pun
mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang pagi tadi ia lihat di rumah makan.
Mengapa pemuda ini bisa berada di sini dan mengapa pula membantunya padahal
mereka sama sekali tidak saling mengenal? Akan tetapi diam-diam ia bersyukur
karena dengan munculnya bantuan ini, ia mempunyai harapan untuk meloloskan
diri.
"Nona,
mari kita pergi dari sini!" teriak Hong Beng setelah merobohkan dua orang
anggota Ang-i Mo-pang.
"Boleh
pergi asalkan kau meninggalkan nyawamu!" bentak Bi-kwi yang telah menyerang
lagi.
Hong Beng
sudah memperhitungkan ini karena biar pun dia bicara kepada Bi Lan yang
diajaknya melarikan diri, diam-diam ia tetap memperhatikan Bi-kwi dan sudah
membuat perhitungan untuk membuat gerakan yang mengejutkan. Pada saat Bi-kwi
menyerang dengan pedangnya, tiba-tiba saja Bi-kwi terkejut karena ada tubuh
seorang anggota Ang-i Mo-pang melayang dari depan menyambut bacokan pedangnya!
Itulah perbuatan Hong Beng yang tadi dengan cepat telah menangkap salah seorang
pengeroyok dan melemparkan tubuh orang itu ke arah Bi-kwi.
Akan tetapi,
dasar hati Bi-kwi amat kejam dan tidak mengenal kasihan kepada orang lain.
Walau pun yang melayang itu adalah tubuh seorang anak buah Ang-i Mo-pang, akan
tetapi karena orang itu merupakan penghalang, tanpa mempedulikan apa-apa lagi
ia melanjutkan bacokannya.
"Crakkk!"
Tubuh orang
itu putus menjadi dua dan Bi-kwi menyusulkan tendangan yang membuat tubuh itu
terlempar ke samping.
Pada saat
itu pula Bi-kwi menjerit kaget dan marah. Sebatang jarum telah menancap di
pergelangan tangan kanannya, membuat tangan itu lumpuh dan pedangnya terlepas.
Kiranya Hong Beng yang juga memiliki kepandaian mempergunakan jarum halus yang
berbau harum, tidak beracun tetapi dapat menyerang jalan darah, telah
menggunakan kesempatan tadi, tertutup oleh tubuh orang yang dilontarkan,
menyusulkan serangan dengan sebatang jarum halus ke arah pergelangan tangan
Bi-kwi.
Wanita ini
marah bukan main, biar pun tangan kanannya lumpuh, ia masih menubruk ke depan
menggunakan tangan kanannya, dihantamkan ke arah dada pemuda itu. Hong Beng
menyambutnya dengan telapak tangannya.
"Tarrrrr...!"
terdengar suara keras dan tubuh Bi-kwi terdorong ke belakang, mukanya pucat dan
tubuhnya tergetar.
Ia tadi
sudah bersiap-siap menghadapi serangan hawa dingin dari pemuda itu, dengan
pengerahan sinkang yang membuat telapak tangannya panas. Namun siapa sangka,
ketika telapak tangannya bertemu dengan tangan Hong Beng, ada hawa panas yang
luar biasa menyerangnya, seolah-olah membakar telapak tangannya dan menyusup
sampai ke jantung. Ia tidak tahu bahwa pemuda itu sekali ini menggunakan ilmu
sakti Hwi-yang Sinkang atau tenaga Inti Api yang hebat.
Akan tetapi
pada saat itu, Bi Lan sudah hampir tak dapat mempertahankan dirinya lagi. Ia
sudah terlampau lelah dan juga luka di pundak oleh jarum beracun dan luka
pedang di pahanya membuat gerakannya semakin lemah. Ketika tiga pasang golok
anak buah Ang-i Mo-pang menerjang dari tiga jurusan, ia memutar Ban-tok-kiam dan
mengerahkan tenaga terakhir.
Terdengar
pekik-pekik yang mengerikan dan tiga orang itu roboh bergelimpangan. Akan
tetapi pada saat itu, pedang di tangan Bhok Gun dengan kecepatan kilat menusuk
ke arah leher Bi Lan tanpa dapat dielakkan atau ditangkis lagi oleh Bi Lan
karena pada saat itu gadis ini sedang menghadapi tiga orang pengeroyok tadi.
"Trangggg...!"
Bagaikan
kilat sebatang golok melayang dan menghantam pedang di tangan Bhok Gun sehingga
tusukan ke arah leher Bi Lan itu menyeleweng dan tusukannya luput karena
pedangnya ditangkis oleh golok yang dilontarkan Hong Beng. Di lain saat, tubuh
Bi Lan yang terhuyung itu sudah dipondong oleh Hong Beng.
"Nona,
kita harus pergi dari sini," kata Hong Beng.
Bhok Gun
marah dan pedangnya menyambar ganas.
"Cringgg...!"
Pedang Bhok
Gun yang menghantam ke arah kepala Hong Beng itu dapat ditangkis oleh
Ban-tok-kiam di tangan Bi Lan. Biar pun Bi Lan sudah berada dalam pondongan
Hong Beng, namun melihat bahaya mengancamnya dan penolongnya, gadis perkasa ini
sudah mengangkat pedangnya menangkis.
Hong Beng
meloncat dan merobohkan dua orang penghalang dengan dorongan tangan kanannya,
sedangkan lengan kirinya merangkul tubuh Bi Lan yang dipondongnya. Dia juga
berhasil merampas sebatang tombak dan dengan senjata ini dia lalu memukul jatuh
obor-obor yang menerangi tempat itu sehingga cuaca menjadi hampir gelap karena
hanya obor-obor yang terpasang agak jauh dari situ yang masih bernyala.
Kesempatan ini dipergunakan Hong Beng untuk meloncat jauh dan melarikan diri di
dalam gelap. Dia berlari cepat sekali keluar dari kota Kun-ming, melalui pintu
gerbang sebelah timur.
Para penjaga
pintu gerbang terkejut melihat seorang pemuda lari keluar memondong seorang
gadis yang membawa pedang. Sejenak mereka tertegun, akan tetapi karena pada
waktu itu terdapat larangan membawa senjata tajam sedangkan gadis tadi jelas
membawa pedang dan juga sikap mereka amat mencurigakan, para penjaga itu lalu
melakukan pengejaran.
Tidak lama
kemudian, serombongan orang yang di antaranya banyak yang memakai pakaian serba
merah nampak berlari-lari keluar pintu gerbang pula. Para penjaga makin kaget
dan mereka semua ikut mengejar. Akan tetapi, yang dikejar sudah tak nampak lagi
bayangannya karena ditelan kegelapan malam.....
***************
Hong Beng
terus membawa lari Bi Lan sampai jauh naik ke lereng sebuah bukit. Bulan sudah
naik tinggi dan hal ini amat menolongnya sebab malam menjadi terang sehingga
memudahkan dia memilih jalan melarikan diri. Semenjak memasuki hutan ke dua
tadi, dia sudah berhasil meninggalkan para pengejar dan sekarang tak nampak
seorang pun pengejar di belakang.
Tiba-tiba
Hong Beng merasa ada benda dingin sekali menempel tengkuknya, dan ujung
sebatang pedang yang tajam runcing menempel tepat di jalan darahnya. Sedikit saja
pedang itu ditusukkan, akan tamatlah riwayatnya! Ketika dia teringat bahwa
pedang itu adalah pedang hijau kehitaman yang mengeluarkan hawa mengerikan,
yang dipegang oleh gadis yang sedang ditolongnya, seketika Hong Beng merasa
betapa semua bulu di tubuhnya bangkit satu-satu karena ia merasa seram.
"Berhenti
dan lepaskan aku! Jika tidak, pedangku akan menembus tengkukmu!" bentak Bi
Lan dengan suara ketus.
Meski ia
merasa bahwa orang ini telah menolongnya, mungkin juga menyelamatkannya dari
ancaman maut, akan tetapi hatinya panas dan ia marah sekali karena pemuda ini
telah berani menyentuh tubuhnya. Bukan hanya menyentuh, malah memondong dan ia
merasa betapa lengan itu melingkar di pinggul dan pinggangnya! Kurang ajar
sekali orang ini!
Mendengar
ucapan yang ketus itu dan merasa betapa todongan ujung pedang itu tidak
main-main, Hong Beng terpaksa melepaskan pondongannya.
"Bukkk...!"
Tubuh Bi Lan
terbanting, biar pun tidak keras akan tetapi pinggulnya terasa pegal juga
karena tubuhnya memang amat lemah. Karena ia sudah kehabisan tenaga, maka
ketika pondongan itu dilepaskan, ia terbanting.
"Hemm,
kau berani membanting aku, ya? Awas kau, kalau sudah sembuh, akan kuhajar
kau!" Bi Lan semakin marah dan dengan pedang masih di tangan kanan, dia
gunakan tangan kirinya mengusap-usap pinggul yang tadi menimpa tanah berbatu
yang keras.
"Ah,
maaf... bukankah kau yang minta agar aku melepaskanmu, nona?"
Karena
memang demikian keadaannya dan pihaknya memang keliru, Bi Lan hanya dapat
mengomel, "Kau memang laki-laki kurang ajar sekali!"
Hong Beng
memandang wajah yang cemberut itu dengan bingung. Bukan main cantik dan
manisnya wajah cemberut itu tertimpa sinar bulan yang redup terang kehijauan.
"Nona, saat aku datang dan melihat engkau dikeroyok, maka aku segera turun
tangan membantumu. Dan karena mereka tadi mengejar, engkau kularikan sampai di
sini dan sekarang kau sudah aman. Akan tetapi, kenapa engkau malah menodongku
dan malah marah-marah kepadaku?"
"Siapa
menyuruh engkau memondongku seperti itu?!" bentak Bi Lan, hatinya masih
panas karena malu mengenangkan betapa tadi ia dipondong bagaikan anak kecil dan
dilarikan.
"Tapi... tapi... bagaimana aku akan dapat
menyelamatkanmu kalau tidak dengan cara memondongmu?" Hong Beng membantah
sambil mengerutkan alisnya karena dia mulai merasa marah juga. Sungguh seorang
gadis yang tidak mengenal budi, sudah ditolong malah marah-marah dan
menyalahkannya !
"Sedikitnya
engkau bisa minta ijin dulu apakah aku suka atau tidak kau pondong. Enak saja
memondong orang semaunya. Huh, dasar laki-laki tak mengenal sopan santun!"
Bi Lan menggigit bibir menahan rasa nyeri di pundaknya, lalu mengomel lagi,
"Sudah begitu masih membanting aku lagi, sudah tahu bahwa aku terluka.
Laki-laki kejam dan tidak berperi kemanusiaan!" Bi Lan mendengar tentang
sopan santun dan tentang peri kemanusiaan dan sebagainya itu selama ia menjadi
murid Pendekar Naga Sakti.
Hong Beng
merasa betapa mukanya menjadi panas. Dia merasa terpukul, malu dan juga
penasaran. Dia malu karena bagaimana pun juga, dia teringat bahwa memang tak
pantas seorang laki-laki seperti dia memondong tubuh seorang gadis tanpa
perkenan si pemilik tubuh. Akan tetapi dia juga merasa penasaran karena selama
hidupnya baru satu kali ini dia bertemu dengan orang yang begini tidak mengenal
budi.
"Maafkan,
nona, maafkan semua kelancanganku," katanya dan tanpa pamit lagi dia lalu
membalikkan tubuhnya dan pergi meninggalkan Bi Lan, gadis yang dianggapnya
tidak mengenal budi itu, tidak peduli bahwa gadis itu sejak tadi masih saja
duduk di atas tanah, belum mampu bangkit berdiri, sungguh tidak sesuai dengan
kegalakannya.
Dan memang
Bi Lan tidak mampu bangkit berdiri lagi. Tubuhnya terlalu lemas, bahkan
kepalanya terasa pening, matanya berkunang, dan ketika Hong Beng pergi, ia yang
sejak tadi menahan diri agar tidak pingsan kini terkulai lemas.
Hong Beng
tidak pergi jauh. Di dalam hatinya, sebenarnya dia tidak tega meninggalkan Bi
Lan begitu saja. Dia tahu bahwa gadis itu terluka, hanya dia tidak tahu betapa
sejak tadi gadis itu mempergunakan kekuatan tubuh dan hatinya untuk bersikap
keras dan pura-pura tidak apa-apa.
Biar pun dia
perlu memberi ‘pelajaran’ kepada Bi Lan atas kekerasan sikapnya yang galak,
akan tetapi dia tidak tega pergi jauh-jauh dan diam-diam dia menyelinap di
antara pohon-pohon dan semak-semak untuk kembali ke tempat itu, kemudian
mengintai untuk melihat bagaimana keadaan gadis itu dan apa yang akan
dilakukannya.
Tentu saja
dia terkejut bukan main ketika melihat bahwa di tempat yang ditinggalkannya
tadi, Bi Lan sudah menggeletak dalam keadaan tak sadarkan diri. Gadis itu telah
jatuh pingsan di tempatnya, masih di tempat yang tadi, hanya kalau tadi dia
masih duduk, kini ia sudah rebah miring. Mukanya yang tertimpa sinar bulan itu
nampak pucat, akan tetapi pedang yang mengerikan itu masih dipegangnya
erat-erat!
"Hayaaa..."
Hong Beng berseru perlahan dan cepat menghampiri dengan amat hati-hati.
Dia
mempergunakan telunjuk kanannya untuk perlahan-lahan menyentuh tangan Bi Lan
yang memegang pedang, seperti orang hendak melihat apakah harimau itu sudah
mati ataukah belum, takut kalau tiba-tiba dicakarnya. Setelah yakin bahwa gadis
itu tidak bergerak lagi dan dalam keadaan pingsan, barulah dia berani mengambil
pedang itu dari genggamannya.
Dia harus
lebih dulu menyingkirkan pedang, karena dengan pedang itu di tangan, siapa tahu
tiba-tiba gadis itu akan menyerangnya dan hal itu amat berbahaya karena dia
dapat merasakan bahwa pedang itu adalah sebuah pusaka yang luar biasa ampuhnya.
Kini dia
yakin bahwa gadis itu memang pingsan, dan dia menarik napas panjang setelah
menaruh pedang di bawah sebatang pohon, lima meter jauhnya dari situ.
"Aih, seorang gadis yang berhati baja dan berkepala batu...," katanya
lirih sambil mulai memeriksa pergelangan tangan gadis itu.
Dia kini
tidak peduli lagi apakah gadis itu nanti akan marah atau akan mengamuknya, akan
tetapi dalam pemeriksaannya dia tahu bahwa gadis itu menderita luka karena hawa
beracun yang hanya dapat ditimbulkan oleh senjata rahasia. Dia harus mencari di
mana bagian tubuh yang terkena senjata itu. Memeriksa tubuh gadis galak itu, di
dalam cuaca remang-remang lagi! Betapa sukarnya dan betapa berbahayanya karena
kalau gadis itu keburu sadar dari pingsannya dan mendapatkan dirinya
diraba-raba olehnya, huh, betapa akan mengerikan akibatnya.
Akan tetapi,
karena menurut denyut nadi itu si gadis berada dalam keadaan cukup berbahaya
kalau hawa beracun itu tidak cepat-cepat dienyahkan, Hong Beng nekat. Biarlah
kalau sampai berakibat si gadis itu marah sekali dan menyerangnya nanti, yang
terpenting adalah kenyataan bahwa dia tidak berbuat hal-hal yang tidak patut
atau tidak sopan. Dia hanya ingin menolong dan menyelamatkan gadis itu sekali
lagi dari ancaman maut yang kini datangnya dari hawa beracun yang amat
berbahaya.
Mulailah
Hong Beng melakukan pemeriksaan. Mula-mula dia hanya meraba-raba kedua lengan
dan kaki, kemudian leher. Ketika meraba-raba kaki inilah dia menemukan
kenyataan bahwa paha kiri gadis itu terluka, cukup parah dan mengeluarkan
banyak darah. Inilah menjadi satu di antara sebab-sebab mengapa gadis itu
sampai pingsan, yaitu karena terlalu banyak mengeluarkan darah pula.
Ketika jari
tangannya meraba ke pundak, dia terkejut, merasakan betapa kulit pundak kiri
gadis itu panas sekali. Tanpa ragu-ragu lagi Hong Beng lalu merobek baju bagian
pundak kiri gadis itu dan jari-jari tangannya meraba-raba. Dia
mengangguk-angguk. Sebuah jarum beracun kiranya yang menancap sampai masuk ke
dalam daging pundak, dan terselip di bawah tulang pundak!
Ketika
menjadi murid pendekar sakti Suma Ciang Bun, Hong Beng juga mempelajari ilmu
pengobatan, terutama mengenai luka-luka yang diakibatkan oleh senjata beracun
atau luka-luka karena pukulan beracun. Maka setelah dia tahu bahwa gadis itu
terkena jarum beracun yang kini berada di dalam pundaknya, dia pun tahu apa
yang harus dilakukannya. Dia sendiri adalah seorang ahli mempergunakan senjata
rahasia jarum, walau pun jarum-jarumnya tidak diberi racun.
Pertama-tama
jarum itu harus dapat dikeluarkan, dan juga darah di sekitar jarum itu
dikeluarkan. Dia tidak memilikii waktu untuk mempergunakan alat-alat, apa lagi
cuaca remang-remang saja dan juga gadis itu harus cepat-cepat ditolong agar
racun itu tidak menjalar makin luas. Satu-satunya jalan hanyalah menggunakan
kekuatan sinkang-nya untuk menghisap keluar racun dan jarum itu.
Hong Beng
adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia tahu akan keanehan watak Bi Lan. Kalau
dia sedang melakukan pengobatan lalu gadis itu siuman dan menyerangnya, dia
tentu akan celaka. Pukulan seorang gadis selihai ini tidak boleh dibuat
main-main. Maka sebelum melakukan pengobatan, lebih dahulu dia menotok beberapa
jalan darah yang akan membuat gadis itu tidak mampu menggerakkan kaki tangannya
kalau siuman nanti.
Setelah itu,
dia merobek baju di bagian pundak itu lebih lebar lagi, lalu dia menempelkan
mulutnya pada luka di bawah depan tulang pundak. Kulit yang putih halus dan
hangat bahkan mendekati panas itu tidak mempengaruhinya karena pada saat itu
Hong Beng mencurahkan seluruh perhatiannya hanya pada satu hal, yaitu untuk
mengobati Bi Lan! Dengan pengerahan tenaga khikang, pemuda itu menyedot. Darah
yang sudah agak menghitam tersedot dan diludahkan. Sampai beberapa kali dia
menyedot.
Tetapi,
tiba-tiba bulan tertutup awan tebal dan keadaan menjadi gelap pekat. Terpaksa
Hong Beng menghentikan pengobatan itu dan mengumpulkan kayu kering lalu membuat
api unggun. Tak mungkin melakukan pengobatan dalam cuaca gelap gulita. Api
unggun itu perlu sekali untuk mendatangkan cahaya penerangan, untuk melihat
warna darah yang dihisapnya dan agar dia dapat melihat bagian tubuh yang
terluka itu. Setelah api unggun bernyala besar dan mengusir kegelapan di
sekitarnya, kembali Hong Deng menempelkan bibirnya pada pundak itu.
Apa yang
dikhawatirkannya tadi terjadilah. Tiba-tiba gadis itu bergerak, akan tetapi ia
tidak dapat menggerakkan kaki tangannya! Dan gadis itu lalu menjerit penuh
kengerian, lalu jatuh pingsan lagi!
Tentu saja
Hong Beng menjadi terkejut dan heran. Menurut perhitungannya, setelah kini
hampir semua racun tersedot keluar, sepatutnya gadis itu menjadi hampir sembuh.
Akan tetapi kenapa begitu siuman ia menjerit lalu pingsan lagi?
Ia cepat
memeriksa denyut nadi, dan ternyata denyutnya lebih kuat dan cepat dari pada
biasanya. Hal ini menunjukkan bahwa gadis itu mengalami guncangan dan
kekagetan. Dia merasa semakin heran. Apa yang telah begitu mengejutkan gadis
perkasa ini dan mengguncang batinnya sampai jatuh pingsan? Dengan gelisah dia menoleh
ke kanan kiri, mencari-cari. Tidak ada apa-apa.
Hong Beng
lalu melanjutkan usahanya mengobati Bi Lan. Sekali lagi dia menyedot dan
setelah yang keluar darah merah, dia menghentikan sedotannya, menaruh obat
bubuk putih yang dikeluarkan dari saku bajunya. Obat luka ini manjur sekali,
selain dapat menghentikan keluarnya darah, juga dapat menahan segala macam
kotoran masuk ke dalam luka, dan membuat luka cepat mengering. Setelah itu, dia
menempelkan telapak tangannya ke atas pundak yang terluka itu, mengerahkan
sinkang untuk menyalurkan tenaga dalamnya membantu gadis itu memulihkan jalan
darahnya dan mengusir sisa-sisa hawa beracun dari dalam tubuhnya.
Hong Beng
sama sekali terlupa bahwa gadis yang diobatinya itu seorang yang amat berbahaya
sehingga tadi dia terpaksa menotoknya lebih dulu. Dia lupa bahwa kini, karena
dia menyalurkan sinkang ke dalam tubuh gadis itu melalui pundaknya, maka tenaga
ini dengan sendirinya melancarkan jalan darah dan membebaskan totokannya
sendiri!
Maka, begitu
Bi Lan siuman dan gadis itu melihat betapa ia masih rebah terlentang dan pemuda
itu masih berlutut di dekatnya dan kini secara kurang ajar sekali menempelkan
tangannya ke pundaknya yang telanjang karena bajunya sudah dirobek, maka dengan
kemarahan meluap-luap Bi Lan lalu menggerakkan tangannya memukul dada pemuda
itu. Kini kaki tangannya dapat bergerak lagi dan saking marahnya, Bi Lan
kemudian memukul dengan pengerahan tenaga dari Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat
yang pernah dipelajarinya dari kakek Kao Kok Cu pendekar Istana Gurun Pasir.
"Wuuuuttt...
bukkk...!"
Pukulan itu
dahsyat sekali, datang dari jarak dekat dan sama sekali tidak disangka-sangka
oleh Hong Beng yang sedang mengerahkan tenaga untuk menyalurkan sinkang ke
dalam tubuh Bi Lan itu. Akan tetapi dia masih sempat menarik kembali tenaganya
karena kalau sampai dia terpukul dengan tangan masih menempel di pundak, maka
tenaga pukulan gadis itu akan terus menyusup melalui tangannya ke dalam dada
gadis itu sendiri dan mungkin gadis itu akan celaka.
Dia menarik
kembali tenaganya dan karena itu sama sekali tidak sempat berjaga diri. Untung
dia masih ingat dan sempat untuk mengumpulkan tenaga yang ditariknya itu ke
arah dadanya sehingga dada itu masih dapat terlindung terhadap pukulan yang
dahsyat itu. Begitu terkena pukulan itu, tubuh langsung Hong Beng terjengkang
dan bergulingan, lalu berhenti menelungkup dan tidak bergerak lagi!
Bi Lan
meloncat berdiri akan tetapi ia mengeluh dan hampir roboh kembali. Ia berdiri
dengan kaki gemetar dan ternyata pahanya yang terluka itu terasa nyeri, perih
dan panas. Ia menggerak-gerakkan dua tangannya, terutama lengan kirinya. Lengan
kirinya sudah tidak lumpuh lagi dan ia sudah mendapatkan kembali tenaganya.
Tenaganya
memang sudah pulih kembali, akan tetapi kakinya tidak mampu bergerak dengan
tangkas karena luka di pahanya! Dan pemuda yang dipukulnya itu belum tentu
sudah tewas. Kalau bangkit kembali tentu ia tidak akan mampu menandinginya
dengan kaki seperti itu.
Dengan
terpincang-pincang ia menghampiri tubuh Hong Beng yang masih menggeletak
menelengkup tak bergerak-gerak itu. Pemuda itu pingsan oleh guncangan pukulan
yang dahsyat tadi. Setelah tiba dekat, Bi Lan mengangkat tangan meraba pinggang
dan ia terkejut.
Pedangnya
hilang! Tidak ada di pinggangnya, tinggal sarungnya saja. Lalu teringatlah ia
bahwa tadi pedang itu masih dipegangnya. Ke mana perginya Ban-tok-kiam? Tentu
orang ini yang mengambilnya. Celaka, pedang itu dipinjamkan oleh nenek Wan Ceng
kepadanya, kalau sampai lenyap bagaimana dia akan mempertanggung jawabkannya?
Niat hatinya
untuk membunuh pemuda itu untuk sementara mereda. Tidak, ia tidak akan
membunuhnya sebelum pemuda itu mengembalikan Ban-tok-kiam yang tentu saja telah
disembunyikannya. Akan tetapi kalau tidak dibunuh orang ini amat berbahaya.
Bi Lan
mendapatkan akal. Orang ini harus dibuat tidak berdaya dulu. Nanti kalau sudah
sadar, barulah akan diancam dan dipaksanya mengembalikan Ban-tok-kiam, kemudian
baru akan dibunuhnya karena kekurang ajarannya yang luar biasa tadi.
Oleh karena
tenaga di kedua tangannya sudah pulih, mudah saja bagi Bi Lan untuk melakukan
totokan pada kedua pundak dan kedua pinggang pemuda itu dengan tujuan
melumpuhkan kaki tangannya. Akan tetapi, pemuda itu terlalu berbahaya dan
lihai, maka Bi Lan masih menambahkan dengan mengikat kedua kaki tangan Hong
Beng dengan robekan baju pemuda itu sendiri.
Dengan gemas
dia merobek baju pemuda itu, teringat akan baju di pundaknya yang juga robek,
dan mempergunakan kain yang kuat itu, setelah dipintalnya, untuk mengikat kedua
pergelangan kaki dan tangan. Setelah itu barulah ia membalikkan tubuh pemuda
itu terlentang.
Pemuda itu
masih pingsan. Agaknya hebat sekali pukulannya tadi. Wajah pemuda itu pucat dan
dari ujung bibirnya mengalir sedikit darah. Bi Lan meraba dadanya dan ternyata
pemuda itu masih bernapas, jantungnya masih berdenyut dan hatinya pun lega.
Pemuda ini tidak boleh mati sebelum pedang pusakanya dikembalikan!
Penerangan
api unggun makin menyuram oleh karena api unggun itu kehabisan bahan bakar.
Dengan terpincang-pincang Bi Lan mencari tambahan kayu kering dan tak lama
kemudian api unggun itu membesar lagi. Ia duduk dekat tubuh Hong Beng yang
masih terlentang tak bergerak, seperti tidur, seperti mati. Dan Bi Lan termenung.
Yang terus
teringat olehnya hanyalah bagaimana pemuda ini dengan kurang ajar sekali tadi
telah merobek bajunya, menciumi pundaknya, mungkin juga dekat payudaranya,
Teringat ini, mukanya menjadi panas sekali. Dan teringat pula ia betapa ketika
siuman dia melihat pemuda itu seperti hendak memperkosanya, menciumi pundaknya
yang telanjang. Ia tidak mampu menggerakkan kedua kaki tangan saking takutnya
ia menjerit dan tak ingat apa-apa lagi.
Ketika ia
siuman kembali, bagaimana pun juga ia merasa lega karena pakaiannya, terutama
pakaian dalamnya, masih melekat di badannya. Akan tetapi pemuda itu masih
membelai dan mengelus-elus pundaknya, maka pemuda itu lalu dihantamnya. Pemuda
biadab! Ia membayangkan hal yang bukan-bukan dan bulu tengkuknya meremang. Hampir
saja, pikirnya dan ia semakin marah.
Di bawah
penerangan api unggun, ia melihat seekor nyamuk besar terbang dan hinggap di
pipi Hong Beng. Dengan pandang matanya yang tajam ia melihat betapa nyamuk itu
menghisap darah dari pipi itu, perutnya yang tadinya kempis putih itu
perlahan-lahan berubah menghitam dan mengembung.
Perasaan
tidak tega membuat ia mengangkat tangan ke atas, siap untuk memukul mati nyamuk
itu. Tetapi perasaan lain mengatakan bahwa tidak sepantasnya ia mengasihani
pemuda ini, Perasaan ini memaksanya mengingat betapa pemuda itu telah menciumi
pundaknya dengan bibir dan pipi itu! Tangannya melayang turun.
"Plakkk!"
Nyamuk itu
mati gepeng dan perutnya pecah, darah merah bergelimang di sekitar bangkai
nyamuk itu.
Bi Lan
menarik napas panjang untuk menekan perasaannya yang terpecah menjadi dua pihak
yang bertentangan. Sepihak merasa puas bahwa ia telah membunuh nyamuk yang
sedang menghisap darah pemuda yang sedang pingsan tak berdaya itu, akan tetapi
lain pihak menyangkal dan mengatakan bahwa yang ia lakukan tadi adalah untuk
melampiaskan panas hatinya, untuk menghukum karena pemuda itu tadi berani
kurang ajar kepadanya. Walau pun sudah dibantahnya demikian, tetap saja ada dua
macam kepuasan terasa di dalam hatinya, kepuasan karena membebaskan pemuda itu
dari gangguan nyamuk dan kepuasan sudah menampar pemuda itu.
Kenyataan
ini mengganggu hatinya dan Bi Lan mengalihkan perhatian kepada pahanya yang
terluka. Celananya yang kanan melekat pada pahanya. Bagian paha itu terbuka dan
nampak luka merah menganga, sudah tidak mengeluarkan darah lagi akan tetapi
terasa amat nyeri, pedih dan panas. Untuk memeriksa luka ini, celana itu harus
dibuka.
Hal ini
tidak mungkin karena di situ ada orang lain, seorang lelaki pula! Merobek
celana itu di bagian paha juga tidak mungkin karena pahanya akan terbuka dan
telanjang dan hal ini amat memalukan. Bagaimana kalau pemuda kurang ajar itu
nanti siuman dan melihat pahanya yang tidak tertutup?
Dengan
hati-hati ia menguak celana yang terobek pedang itu untuk memeriksa lukanya.
Perlu dicuci, pikirnya, dan harus cepat diberi obat luka. Kalau tidak, bisa
berbahaya. Ia meraba-raba bajunya akan tetapi tidak dapat menemukan obat.
Teringatlah ia bahwa obat-obatnya berada di dalam buntalan dan buntalan itu
tentu saja sudah tercecer ketika ia berkelahi tadi. Semua pakaian bekalnya juga
hilang.
Api unggun
mulai mengecil dan akhirnya padam, hanya meninggalkan asap putih yang makin
mengecil juga. Akan tetapi Bi Lan tidak menyalakannya kembali karena malam
telah berganti pagi dan biar pun mataharinya sendiri belum nampak, namun
sinarnya telah membakar ufuk timur dan mengusir kegelapan malam. Pagi itu
dingin sekali, akan tetapi Bi Lan yang sibuk memeriksa luka di pahanya tidak
memperhatikannya. Mulutnya mendesis-desis menahan rasa nyeri yang seperti
menyusup ke dalam tulang-tulang, terutama di sekitar pahanya.
"Luka
itu harus dicuci bersih dan aku mempunyai obat luka yang manjur."
Bi Lan yang
sedang tenggelam dalam perhatian memeriksa luka di pahanya, terkejut dan cepat
menutupkan kembali kain celana robek itu pada pahanya. Mukanya merah dan
seperti seekor kelinci ketakutan, ia sudah meloncat ke dekat Hong Beng akan
tetapi ia mengeluh karena pahanya terasa semakin perih ketika ia meloncat dan
luka di paha itu tergeser dan tergores kain.
Dengan
jari-jari tangan mengancam kepala Hong Beng, Bi Lan menghardik, "Hayo
kembalikan pedangku, kalau tidak, akan kucengkeram ubun-ubunmu sampai
hancur!"
Ketika tadi
siuman kembali, Hong Beng merasa betapa kaki tangannya lumpuh, bahkan terikat
tali yang terbuat dari bajunya sendiri yang sudah robek-robek. Lalu dia
teringat, dan hatinya merasa mendongkol bukan main. Celaka, pikirnya. Ini bukan
hanya air susu dibalas tuba, bahkan lebih menjengkelkan lagi. Gadis itu bukan hanya
tidak mengenal budi, bahkan jahat dan kejamnya seperti iblis! Dia harus
berhati-hati karena nyawanya terancam di tangan gadis yang jahat seperti iblis
ini.
Maka, walau
pun sudah siuman, dia diam saja dan segera dia mengerahkan tenaga sinkang-nya.
Tenaga sinkang yang dimiliki keluarga para pendekar Pulau Es memang hebat bukan
main, berbeda dari pada sinkang dari aliran persilatan yang lain. Keluarga
Pulau Es itu sudah mampu menguasai latihan untuk menghimpun tenaga sinkang,
bahkan untuk mengendalikannya sedemikian rupa sehingga para pendekar Pulau Es
dapat membuat tenaga sinkang itu menjadi panas seperti api dan dingin seperti
es, juga dapat sekaligus menggunakan dua hawa tenaga yang berlawanan itu dengan
kedua tangan.
Dengan
penggunaan kedua hawa tenaga itu, akhirnya dalam waktu sebentar saja Hong Beng
mampu membebaskan pengaruh totokan Bi Lan. Akan tetapi dia diam saja karena
ikatan tali kain itu tidak ada artinya baginya. Dia hanya bersiap siaga, ingin
melihat apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh gadis yang jahat dan kejam
seperti iblis betina itu.
Akan tetapi
ketika dia melirik dan melihat betapa Bi Lan memeriksa luka di pahanya sambil
mendesis-desis dan mengeluh dengan suara seperti akan menangis, bagai sikap
seorang anak kecil yang cengeng, kemarahannya mencair dan dia pun merasa
kasihan. Maka dia lalu memberi nasehat tadi agar luka itu dicuci dan bahwa dia
mempunyai obat luka yang manjur.
Namun tidak
disangkanya sama sekali bahwa gadis itu memang benar-benar jahat. Kini gadis
itu mengancam ubun-ubun kepalanya, siap membunuhnya sambil menanyakan pedang
pusaka yang juga mengerikan itu. Kini tahulah dia mengapa gadis itu memiliki
sebatang pedang yang demikian menyeramkan. Kiranya ia sendiri pun mempunyai
watak yang mengerikan.
"Hemm,
kau kira aku mencuri pedangmu yang ganas itu? Aku hanya menyimpannya. Pedang
itu masih berada di bawah pohon di sana itu." Hong Beng menunjukkan tempat
pedang itu dengan pandang matanya.
Bi Lan
menengok dan terpincang-pincang ia menghampiri pohon itu. Dan benar saja,
Ban-tok-kiam menggeletak di situ. Cepat pedang itu diambilnya. Pedangnya sudah
dia temukan dan kini pemuda itu harus dibunuhnya, untuk menghukumnya atas
kekurang ajarannya. Ia pun terpincang-pincang kembali menghampiri Hong Beng
yang diam-diam sudah siap siaga membela diri. Akan tetapi dia masih tetap rebah
terlentang.
"Dan
sekarang bersiaplah engkau untuk mampus!" bentak Bi Lan sambil mengangkat
pedangnya.
Hong Beng
tersenyum mengejek. "Hemm, benar saja. Aku telah keliru menolong anak
setan yang amat jahat."
Bi Lan
menahan pedangnya. "Siapa yang jahat?"
"Huh,
siapa lagi kalau bukan engkau? Aku telah menyelamatkanmu, menolongmu, akan
tetapi engkau hendak membalasnya dengan membunuhku. Apa namanya itu kalau tidak
jahat seperti iblis?"
"Engkau
yang jahat seperti iblis! Memang kau telah menolongku, tetapi pertolonganmu itu
berpamrih keji. Semua kebaikanmu itu belum cukup untuk menghapus kekejian dan
kekurang ajaranmu terhadap aku. Dibunuh sepuluh kali pun tetap masih belum
dapat menghapus dosamu!"
Hong Beng
membelalakkan kedua matanya. "Ehh... ehhh... engkau tidak hanya jahat dan
kejam, akan tetapi bahkan licik dan pandai membalik-balikan kenyataan. Sungguh
tak kusangka. Kau bilang aku jahat dan keji dan kurang ajar? Coba, di bagian
mana aku jahat dan keji dan kurang ajar?"
Hong Beng
benar-benar merasa penasaran sekali. Ingin dia merenggut lepas tali-tali itu
dan menghajar gadis yang keterlaluan ini, akan tetapi dia masih ingin
mendengarkan terus karena diam-diam dia merasa terheran-heran bagaimana ada
gadis yang begini berani mati dan tanpa malu-malu memutar balikkan kenyataan.
Akan tetapi,
sikap Hong Beng itu bahkan membuat Bi Lan menjadi semakin marah. "Hehh,
kau laki-laki yang sombong dan engkaulah yang pura-pura suci. Apa yang kau
lakukan tadi sewaktu aku pingsan? Engkau telah menciumku..."
"Ehhh...?
Bohong seribu kali bohong! Aku tidak pernah menciummu!" bantahnya dan ada
suara berbisik menyambung di dalam hatinya, "...walau pun aku ingin sekali
kalau mungkin...!"
Heran sekali
dia, mengapa ada mulut dapat nampak begitu manis biar pun mulut itu sedang
cemberut dalam kemarahan! Dan lebih heran lagi dia, mengapa ada wajah yang
begitu jelita tetapi memiliki mata yang demikian jahat dan kejam!
Sepasang
mata itu mencorong seperti mengeluarkan sinar berapi. "Apa? Kaulah yang
bohong, pengecut yang tidak berani mengakui perbuatannya sendiri. Ketika aku
sadar dari pingsan, engkau menempelkan mulut dan hidungmu di pundakku. Apa lagi
itu namanya kalau bukan mencium? Apa kau mau bilang bahwa kau hendak menggigit
dan memakan daging pundakku? Dan ketika aku siuman untuk ke dua kalinya,
engkau... engkau membelai dan meraba-raba pundakku. Keparat!"
Tiba-tiba
Hong Beng tertawa sehingga Bi Lan yang sedang marah itu tertegun heran. Gilakah
orang ini? Diancam mau dibunuh malah ketawa-tawa.
"Ha-ha-ha,
jadi itukah sebabnya mengapa engkau jatuh pingsan lagi, dan kemudian kau
menyerangku secara semena-mena?"
Hatinya lega
bukan main. Kalau begitu, gadis ini sama sekali tidak jahat! Tadi gadis ini
bersikap kejam karena marah dan merasa dihina, mengira dia seorang pria kurang
ajar yang mempergunakan kesempatan selagi gadis itu pingsan, sudah berani
mencium pundaknya lalu meraba-raba pundak dan mungkin lain tempat lagi! Itulah
sebabnya gadis itu menjadi marah dan kejam! Bukan karena memang wataknya jahat.
"Ha-ha,
nona, engkau salah kira. Aku tidak mencium pundakmu, juga tidak ingin makan
daging pundakmu biar pun perutku memang lapar sekali."
"Jangan
coba menyangkal atau berkelakar. Aku tidak ketawa dan tidak merasa lucu! Kalau
tidak mencium, lalu mau apa kau...?"
"Nona,
aku memang menempelkan mulutku di pundakmu, akan tetapi bukan mencium,
melainkan menyedot darah yang sudah tercampur racun dari luka di
pundakmu."
Bi Lan
terkejut dan baru ia teringat bahwa ketika berkelahi, pundaknya terkena jarum
beracun suci-nya dan menjadi lumpuh lengan kiri itu.
"Luka...?"
Di pundak...?" ia tergagap.
"Terkena
jarum beracun. Aku terpaksa menyedot darah yang keracunan itu, sekalian
mengeluarkan jarumnya, lalu kugunakan sinkang untuk membantumu memulihkan jalan
darahmu, dan menempelkan tanganku di pundak yang terluka itu..."
"Ahhh...!"
Bi Lan kini
menggunakan tangan kirinya meraba-raba pundak dan memang masih ada lukanya di
situ, luka kecil karena jarum, tetapi menjadi agak besar karena disedot dan
kini sudah kering dan sudah tidak terasa nyeri sama sekali.
"Ahhh...!"
kembali ia berseru bingung. Pedang yang dipegang oleh tangan kanan itu kini
menurun.
"Ahhh...!"
Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Menyesal, malu, dan ditambah pula perasaan
nyeri di pahanya.
Melihat
betapa gadis itu hanya dapat ber-ah-ah-uh-uh dengan canggung, Hong Beng merasa
kasihan. "Luka di pahamu itu perlu dirawat, nona. Perlu dicuci bersih dan
aku membawa obat luka yang manjur, yang tadi pun sudah kutorehkan pada luka di
pundakmu. Aku belum berani merawat luka di pahamu karena khawatir kau..."
Bi Lan
menarik napas panjang. Pengalamannya dengan Sam Kwi, kemudian dengan Bhok Gun,
membuat ia bercuriga kepada setiap pria dan ia tadinya menduga bahwa pemuda ini
pun tiada bedanya dengan yang lain. Akan tetapi ternyata ia salah duga, salah
sekali.
"Aihh,
aku telah keliru... kukira engkau... kiranya tidak demikian..."
Hong Beng
tersenyum. "Hal itu tidak aneh, nona. Memang di dunia ini lebih banyak
orang jahat dari pada yang benar. Akan tetapi, tentu engkau sekarang sudah
percaya kepadaku, bukan?"
Melihat
betapa pemuda itu memandang ke arah pedang Ban-tok-kiam yang masih terus
dipegangnya dengan tangan kanan, Bi Lan cepat menyimpan pedangnya itu dengan
muka merah.
"Tentu
saja, aku telah salah sangka. Biar kulepaskan ikatan dan totokanmu..."
Akan tetapi
gadis itu terkejut bukan main ketika ia hendak membuka totokan dan ikatan kaki
tangan, tiba-tiba pemuda itu menggerakkan kaki tangannya dan semua ikatan itu
pun putus dan pemuda itu bangkit duduk sambil tersenyum.
"Ahh,
kau... kau..." Bi Lan tak melanjutkan kata-katanya dan memandang dengan
mata terbelalak dan mukanya menjadi semakin merah. "Tadi... kau kutotok
dan kuikat..."
"Baik
sekali itu, nona, demi keamanan karena kalau seorang yang dicurigai dibiarkan
terlepas, tentu berbahaya."
"Dan
tadi... kuhantam dadamu, keras sekali. Kau tidak apa-apa...?"
"Aku
roboh pingsan. Memang hebat sekali pukulanmu tadi."
"Maksudku,
kau tidak terluka parah...?" Ucapan Bi Lan kini terdengar penuh dengan
nada penyesalan.
Makin
gembiralah hati Hong Beng karena dia kini merasa yakin bahwa dia tidak salah
mengira ketika pertama kali bertemu dengan gadis ini di restoran. Gadis ini
lain dengan suci-nya itu. Gadis ini polos dan murni, hanya agak liar dan penuh
curiga.
Dia
menggeleng kepala, tidak tega menggoda dan menambah penyesalan dalam hati gadis
itu. "Pukulanmu tadi cepat sekali datangnya, dan untunglah aku masih
sempat melindungi dadaku. Kalau tidak, tentu sudah berantakan isi dadaku
tadi."
"Ahhh,
aku menyesal sekali. Sungguh aku jahat sekali, engkau sudah membantuku dan
menyelamatkan aku, akan tetapi aku sejak pertama mencurigaimu. Kuanggap engkau
kurang ajar ketika memondongku dan melarikan aku, kemudian engkau untuk kedua
kalinya menyelamatkan aku dengan mengobati lukaku, akan tetapi aku malah makin
curiga dan menyangka buruk. Ahhh, betapa jahatnya aku..."
"Sudahlah,
nona. Salah sangka merupakan kelemahan semua orang. Mungkin karena engkau
kurang pengalaman, dan kita belum saling mengenal, maka terjadilah kesalah
pahaman itu. Lebih baik kau rawat dulu luka di pahamu, ini ada obat luka yang
manjur. Pakailah. Ketika lari ke sini, di bawah itu terdapat sumber air. Mari
kuantar..."
Bi Lan
bangkit dan ketika Hong Beng mengulurkan tangan, tanpa ragu-ragu lagi ia lalu
memegang lengan pemuda itu dan sambil terpincang-pincang, dibantu oleh Hong
Beng, mereka menuruni lereng itu dan benar saja, tak jauh dari situ terdapat
mata air yang mengeluarkan air jernih dari celah-celah batu dan menjadi anak
sungai.
"Cucilah
lukamu, aku menanti di sana."
Hong Beng
pergi meninggalkan gadis itu lalu duduk di atas sebuah batu, di tempat yang
agak tinggi sehingga nampak oleh Bi Lan betapa pemuda itu duduk bersila di atas
batu datar, membelakanginya. Kembali wajahnya terasa panas karena malu. Pemuda
itu demikian sopan, akan tetapi tadi hampir dibunuhnya karena dianggapnya
kurang ajar! Lain kali ia harus berhati-hati menilai orang dan tidak bertindak
secara sembrono.
Dengan
hati-hati ia kemudian merobek celananya lebih lebar sehingga luka di pahanya
nampak nyata. Luka itu sebetulnya tidak seberapa lebar, hanya terluka oleh
tusukan pedang, akan tetapi agak membengkak dan merah sekali. Biar pun terasa
amat perih ketika disentuh air, tapi ia menggigit bibir dan tidak mau mengaduh,
khawatir terdengar oleh pemuda itu.
Dicucinya
luka itu sampai bersih, kemudian ia menaruh obat bubuk putih itu di atas luka
itu sampai penuh dan tertutup, kemudian dibalutnya pahanya dengan kain putih
dari ikat pinggangnya. Terasa dingin dan nyaman sekarang. Akan tetapi dengan
sedih ia melihat celananya yang kini robek dan tak dapat menutupi lagi seluruh
kakinya, juga bajunya di bagian pundak kiri sudah robek sehingga nampak kulit
leher dan sebagian pundaknya.
Ia melihat
bahwa pemuda itu masih duduk bersila di atas batu, menghadap matahari pagi yang
sudah mulai muncul dengan sinarnya yang kuning keemasan, cerah sekali. Sedapat
mungkin Bi Lan mencoba menutupi paha dan pundaknya yang nampak ketika ia
menghampiri pemuda itu.
"Sudah
kuobati luka di kakiku," katanya sambil mengembalikan bungkusan obat luka.
Hong Beng
memandang dan melihat betapa gadis itu dengan canggungnya mencoba untuk
menutupi robekan celana dan bajunya. Ia segera mengambil bungkusannya dan
mengeluarkan satu stel pakaiannya.
"Nona,
pakaianmu robek-robek, kau pakailah pakaian ini untuk sementara sebelum kau
mendapatkan pengganti yang pantas."
Bi Lan
menggeleng kepala. "Pakaianmu tentu terlalu besar untukku, juga, aku tidak
suka memakai pakaian pria." Ia melihat pakaiannya dan menarik napas
panjang. "Kalau saja aku dapat menambal dan menjahit bagian yang robek,
untuk sementara dapat dipakai sebelum mendapatkan yang baru..."
"Aku
punya jarum dan benang! Dan untuk menambal, kau pergunakan ini."
Tanpa
ragu-ragu lagi Hong Beng merobek kain ikat pinggang yang panjang, berwarna
putih, dan menyerahkan robekan kain itu bersama jarum dan benangnya kepada Bi
Lan. "Akan tetapi, untuk menjahit pakaianmu, sementara engkau harus
berganti dulu, nona. Kau pakailah dulu pakaian ini sebelum pakaianmu dijahit.
Maukah kau kubantu? Aku pandai menjahit, dan aku akan menjahit pakaianmu yang
robek..."
"Tidak!"
kata Bi Lan cepat-cepat. "Aku akan menjahitnya sendiri!"
Hong Beng
tersenyum. "Baiklah, kau berganti pakaian dan jahit pakaianmu yang robek.
Aku mau mencari bahan makanan untuk kita."
Setelah
berkata demikian, Hong Beng meloncat dan lari memasuki sebuah hutan lebat yang
berada di dekat puncak, tak jauh dari lereng itu.
Bi Lan cepat
membawa satu stel pakaian Hong Beng dan masuk ke belakang semak-semak belukar.
Ia menanggalkan pakaiannya sendiri dan memakai pakaian Hong Beng yang tentu
saja terlalu besar untuknya itu sehingga ia harus menggulung kelebihan kaki
celana dan lengan baju.
Ia nampak
lucu setelah keluar dari balik semak-semak, membawa pakaiannya sendiri kembali
ke batu besar tadi dan mulai menjahit serta menambal baju dan celananya sendiri
yang robek-robek. Ia sudah biasa menggunakan jarum benang, maka sebentar saja
baju dan celananya yang robek-robek itu telah dijahitnya dengan rapi dan rapat.
Setelah Hong Beng kembali ia sudah berganti dalam pakaiannya sendiri dan
pakaian Hong Beng yang tadi dipakainya telah dilipatnya lagi dengan rapi dan
dikembalikan ke dalam buntalan pemuda itu.
Hong Beng
dengan wajah berseri memperlihatkan dua ekor ayam hutan yang gemuk, yang
dirobohkannya dengan sambitan jarum-jarumnya. "Lihat, ini bahan makanan
untuk kita. Aku sudah lapar sekali."
"Mari
kubantu membersihkan bulu-bulu dan isi perutnya. Berikan padaku, akan kucuci di
sumber air itu."
"Dan
aku akan mempersiapkan api dan menanak nasi, juga mempersiapkan
bumbu-bumbunya."
"Nasi?
Bumbu?"
Hong Beng
tertawa kemudian ia mengeluarkan beras, panci, garam dan bumbu-bumbu sederhana
dari dalam buntalannya, seperti bermain sulap saja. Bi Lan tersenyum dan ia
sudah pulih kembali kesehatannya sehingga kegembiraannya juga timbul karena
pada hakekatnya gadis itu berwatak periang dan jenaka.
"Bagus,
akan makan enak kita hari ini! Perutku sudah lapar bukan main!"
Dan Bi Lan
pun lalu berlari-lari kecil menuju ke sumber air. Ketika rasa nyeri pahanya
membuatnya menjerit kecil, barulah dia teringat akan kakinya yang sakit dan dia
pun melanjutkan lari dengan terpincang-pincang.
Hong Beng
memandang sampai gadis itu lenyap di balik pohon-pohon. Menarik dan lucu,
menyenangkan sekali gadis itu, pikirnya. Seorang gadis yang sangat baik, yang
mungkin selama ini memperoleh pergaulan dengan orang-orang yang tidak patut.
Baru dia teringat bahwa dia belum tahu siapa gadis itu, dari perguruan mana dan
bagaimana riwayatnya. Mereka belum saling berkenalan, padahal sebentar lagi
mereka sudah akan makan bersama. Akan tetapi dia tidak berani bertanya-tanya
tentang diri gadis itu. Wataknya demikian aneh, jangan-jangan malah timbul lagi
kecurigaannya kalau ditanya namanya.
Matahari
telah naik tinggi saat keduanya duduk menghadapi nasi dan panggang daging ayam
yang gemuk sambil berteduh di bawah pohon besar. Dengan lahap mereka lalu makan
nasi dan daging ayam. Ketika Hong Beng mengeluarkan seguci arak, Bi Lan
mengerutkan alisnya dan ia menggelengkan kepala dengan keras pada saat pemuda
itu menawarkan arak padanya.
"Tidak,
tidak...! Sampai mati pun aku tidak akan minum lagi minuman setan itu!"
katanya dan ia lalu minum sedikit air jernih yang sejak tadi sudah ia siapkan
di dalam panci.
"Nona,
arak amat berguna seperti api. Jika dipergunakan menurut aturan, dia akan baik
sekali bagi kesehatan. Akan tetapi kalau dibiarkan menguasai kita dan kita
minum tanpa aturan, tentu akan mencelakakan dan merusak kesehatan. Arak ini
bukan arak yang keras, sudah dicampur dengan air, kalau diminum setelah perut
terisi makanan, akan menjadi penghangat tubuh."
Pemuda itu
lalu menuangkan sedikit arak ke dalam cangkir dan meminumnya sedikit demi
sedikit dan kelihatan memang enak sekali. Apa lagi bau arak itu sedap.
Tiba-tiba Bi Lan mengulurkan tangan.
"Coba
beri aku sedikit saja," katanya dan jantungnya berdebar khawatir.
Mengapa ia
begitu percaya kepada pemuda ini? Bagaimana kalau pemuda ini seperti Sam Kwi
atau seperti Bhok Gun dan melolohnya dengan arak sampai mabok? Akan tetapi,
ketika Hong Beng mengulurkan tangan dan memberikan cangkir yang sudah diisi
sedikit arak, dia menerima tanpa ragu, kemudian meminumnya sedikit demi
sedikit, dikecupnya sedikit saja. Dan memang enak! Selain rasanya mengandung
sedikit manis dan berbau sedap, juga kalau diminum sedikit tidak mencekik leher
dan juga ada hawa panas yang enak memasuki perutnya.
Enak bukan
main makan seperti itu. Hanya nasi dengan daging ayam yang dipanggang
sederhana, dengan bumbu sederhana sekali, garam dan bawang serta kecap, dimakan
panas-panas sambil duduk di atas rumput di tempat teduh, tanpa sumpit atau
sendok atau pisau, hanya dengan lima jari tangan saja. Enak! Perut sudah lapar,
tubuh lelah dan baru saja terlepas dari ancaman maut dan mengalami hal-hal yang
menegangkan, itulah yang membuat hidangan sederhana menjadi lezat bukan main.
Berbahagialah
orang yang sehat tubuh dan hatinya, sehat badan dan batinnya, di mana pun juga
dia berada. Bagi orang yang sehat badannya, segalanya terasa nikmat. Panca
indera yang sehat dapat menikmati segala yang dilihat, didengar, dicium,
dimakan dan dirasakan. Tinggal menikmatinya saja! Segala sudah berlimpahan di
sekelilingnya.
Akan tetapi,
badan sehat harus pula dilengkapi dengan batin sehat. Kalau tidak, maka badan
sehat itu pun tidak akan dapat menikmati segala yang ada, karena batinnya
mencari dan mengharapkan keadaan yang lain dari pada yang dihadapinya, keadaan
lain yang diharapkan dan dibayangkan lebih hebat, lebih baik, lebih
menyenangkan dari pada yang telah ada. Pencarian ini, harapan ini otomatis
melenyapkan keindahan dari keadaan yang sudah ada itu. Dan timbullah
kekecewaan, tidak puas, penyesalan dan kedukaan.
Keadaan Hong
Beng dan Bi Lan dapat dijadikan contoh suatu keadaan. Karena tubuh mereka
sehat, lelah dan lapar, maka sudah sepatutnya kalau mereka dapat menikmati
hidangan sederhana itu. Dan keadaan batin mereka pun pada saat itu sehat. Andai
kata tidak demikian dan mereka membandingkan dengan keadaan lain yang hanya
berupa harapan, makan dengan hidangan yang lebih lengkap, duduk di kursi dan
menggunakan sumpit, dilayani dan segala macam keenakan lain yang tidak ada pada
saat itu, dapat dipastikan bahwa mereka tidak akan dapat makan selahap dan
selezat itu!
Jelaslah
bahwa segala macam keindahan dan keenakan bukan terletak pada benda di luar
diri kita, melainkan tergantung sepenuhnya kepada batin dan badan kita sendiri.
Sarana untuk dapat menikmati hidup ini bukanlah kekayaan, kedudukan,
kepandaian, atau pun kekuasaan. Sarana yang mutlak hanyalah kesehatan badan dan
batin.
Tawa bukan
hanya milik orang kaya dan tangis bukan hanya bagian orang miskin. Tawa sebagai
cermin suka dan tangis sebagai cermin duka akan selalu datang silih berganti
mengombang-ambingkan manusia yang belum sehat badan dan batinnya. Orang yang
memiliki segala-galanya dalam arti kata yang sedalam-dalamnya, orang yang mampu
menikmati setiap tarikan napas, mampu menikmati setiap teguk air, mampu melihat
dan mendengar keindahan segala sesuatu yang nampak dan terdengar, adalah orang
yang bijaksana. Orang bijaksana tidak tersentuh dalam arti kata terseret suka
duka. Orang bijaksana adalah orang yang sehat badan dan batinnya.
"Tidak
mau tambah lagi? Ini nasinya masih, dagingnya juga masih banyak," Hong
Beng menawarkan.
Bi Lan
menggeleng kepala dan minum air jernih. "Cukup, aku sudah kenyang
sekali."
"Araknya
lagi? Sedikit lagi pun tidak apa-apa."
Kembali Bi
Lan menggeleng kepala. "Teruskan makanmu sampai kenyang. Aku sudah cukup,
lebih dari cukup." Ia lalu menggunakan air untuk mencuci kedua tangannya
yang masih berlepotan minyak gajih ayam yang gemuk tadi.
Hong Beng
kemudian melanjutkan makannya, nampak enak sekali. Bi Lan lalu menatap dan
mengamati wajah pemuda itu. Seorang pemuda yang mukanya bersih dan cerah,
berkulit kuning dan tampan. Akan tetapi, seorang pemuda yang sederhana.
Sederhana lahir batinnya. Bukan hanya pakaian yang berwarna biru dengan sabuk
putih itu yang sederhana, juga sepatunya yang sudah hampir butut, melainkan
juga muka yang bersih itu tidak pesolek.
Rambut yang
hitam gemuk itu tidak berbekas minyak seperti rambut Bhok Gun yang mengkilap
dan berbau wangi. Tidak, pemuda ini tidak pesolek meski dalam ketampanan tidak
kalah oleh Bhok Gun. Sikapnya membayangkan batin yang sederhana. Selalu nampak
rendah hati, padahal, dengan ilmu kepandaian seperti itu, biasanya orang akan
menjadi sombong dan besar kepala, tinggi hati. Seorang pemuda yang bahkan
terlalu sederhana, akan tetapi justru di situlah letak daya tariknya.
"Sekarang
aku sudah yakin benar bahwa engkau tidak mempunyai niat buruk terhadap
diriku..."
"Terima
kasih, legalah hatiku kalau tidak dicurigai lagi," kata Hong Beng
memotong.
"Tapi..."
Sepasang mata jeli itu menatap tajam, seolah-olah sinarnya ingin menembus dan
menjenguk isi hati pemuda itu. "... lalu kenapa engkau bersusah payah
menolongku ketika aku dikepung, dan mengobatiku ketika aku terluka jarum
beracun? Kalau tidak ada pamrihmu, untuk apa engkau menolongku? Kita bukan
sahabat, bahkan juga bukan kenalan, kenapa engkau membantu aku dan menentang
mereka?"
Hong Beng
menyuapkan segenggam nasi ke mulutnya dan mengunyahnya perlahan-lahan sambil
mengamati wajah yang manis itu. Seorang dara cantik sekali, cantik manis meski
kulit muka yang putih mulus itu tidak berbau bedak dan gincu. Manis, terutama
sekali mulut yang kecil mungil itu, dengan lesung pipit di kanan kirinya yang
nampak membayang kalau bicara, nampak mengintai kalau cemberut, dan nampak
cerah dan jelas kalau tersenyum. Sepasang mata itu bersinar-sinar penuh gairah
dan semangat hidup, penuh kegembiraan. Seorang gadis yang manis.
"Kenapa?
Kenapa kau lakukan semua itu? Jawablah agar aku tidak merasa penasaran."
Hong Beng
menelan makanan dalam mulutnya. Sebelum menjawab, dia menghabiskan sisa arak
dalam cangkirnya. "Nona, sejenak aku tak mampu menjawab. Pertanyaanmu itu
sangat aneh terdengar olehku. Mengapa seseorang menolong orang lain? Mengapa
seseorang melakukan gangguan kepada orang lain? Mengapa orang selalu melakukan
kebaikan atau keburukan terhadap orang lain? Nona, kalau menurut pendapatmu,
anehkah kalau orang menolong orang lain tanpa pamrih?"
"Tentu
saja aneh, bahkan tak masuk akal! Segala perbuatan kita tentu terdorong oleh
sesuatu pamrih, untuk mencapai sesuatu, atau memiliki tujuan tertentu. Kalau
tadi aku memukulmu, hendak membunuhmu, tentu ada sebabnya, bukan? Sebabnya,
karena engkau kuanggap jahat. Dan jika sekarang aku mau makan minum bersamamu,
duduk bercakap-cakap, tentu ada sebabnya pula, karena kini aku percaya padamu
sebagai seorang yang baik. Nah, tentu ketika kau menolongku tadi, ada
pamrihnya."
Hong Beng
bengong. Alasan-alasan itu sungguh mengandung kebenaran bagi manusia pada
umumnya. Akan tetapi sekaligus membuka mata betapa kotornya kalau setiap
perbuatan itu mengandung pamrih.
Katakanlah
pertolongannya terhadap Bi Lan berpamrih, maka pamrihnya itu tentu kotor. Apa
yang kiranya dapat diharapkannya dari gadis ini? Satu-satunya tentu karena
gadis ini manis, dan pamrihnya tentu dikuasai nafsu birahi. Tidak! Sama sekali
tidak demikian yang mendorongnya menolong gadis itu.
"Nona,
bagiku, apa yang telah kulakukan terhadap dirimu tadi bukanlah perbuatan yang
didorong oleh pamrih, melainkan didorong oleh perasaan iba terhadap yang
tertindas, dan perasaan menentang terhadap segala macam kejahatan. Perbuatan
tadi kuanggap sebagai suatu keharusan, sebagai suatu kewajiban. Andai kata
bukan engkau yang tadi terancam maut, andai kata seorang laki-laki pun, atau
seorang nenek tua buruk sekali pun, tetap saja aku akan turun tangan dan
berusaha menyelamatkannya."
Bi Lan
mengerutkan alisnya dan nampak kepalanya sedikit bergoyang. Agaknya sukar
baginya menerima alasan ini. Di dalam dunia Sam Kwi yang dikenalnya sejak ia
masih kecil, segala perbuatan tentu ada pamrihnya, pamrih untuk kepentingan
diri sendiri, untuk keuntungan dan kesenangan diri sendiri.
Akan tetapi
dia lalu teringat bahwa suhu dan subo-nya dari Istana Gurun Pasir pernah
mengatakan bahwa seorang yang berjiwa pendekar harus selalu siap mengulurkan
tangan untuk menolong orang-orang yang lemah tertindas, dan menggulung lengan
baju menentang orang-orang yang kuat dan jahat.
"Engkau
seorang pendekar?" tiba-tiba ia bertanya sambil menatap wajah itu. Hong
Beng sudah selesai makan dan sedang mencuci kedua tangannya seperti yang
dilakukan Bi Lan tadi.
Hong Beng
menggeleng kepala. "Pendekar bukanlah suatu kedudukan atau pangkat, nona.
Penilaiannya terserah kepada si penilai, tergantung dari sepak terjangnya dalam
kehidupannya. Aku seorang manusia biasa saja yang kebetulan bertemu denganmu di
rumah makan itu, dan merasa curiga terhadap orang-orang berpakaian merah itu
sebab aku sudah mendengar tentang adanya Ang-i Mo-pang yang kabarnya kini
merajalela di Kun-ming. Karena itulah aku diam-diam membayangimu. Ketua Ang-i
Mo-pang itu lihai sekali dan juga jahat. Melihat kau dikepung dan terancam bahaya,
dengan melupakan kebodohan sendiri aku pun kemudian terjun ke dalam perkelahian
dan untung dapat melarikanmu."
Bi Lan
mengangguk-angguk. "Kalau begitu engkau adalah seorang pendekar! Siapakah
namamu?"
Girang hati
Hong Beng. Sejak tadi dia ingin sekali berkenalan dengan nona ini, akan tetapi
tidak berani bertanya nama. Sekarang gadis itu menanyakan namanya, berarti
mereka menjadi kenalan dan dia tentu akan mendengar tentang keadaan nona yang
menarik hatinya ini.
"Namaku
Gu Hong Beng, nona. Dan siapa kau, nona?"
“Aku Can Bi
Lan, tapi guru-guruku dan suci-ku menyebut aku Siauw-kwi."
Hong Beng
tertawa. "Aihhh, guru-gurumu dan suci-mu tentu hanya berkelakar. Masa
orang seperti nona ini disebut Iblis Cilik?"
"Benar,
aku disebut Siauw-kwi. Kami semuanya memakai sebutan Iblis. Aku Iblis Cilik,
suci-ku disebut Iblis Cantik, dan tiga orang guru kami dikenal sebagai Tiga
Iblis..."
"Kau
maksudkan... Sam Kwi...?"
"Benar.
Aku dan suci adalah murid-murid Sam Kwi yang terdiri dari Raja Iblis Hitam,
Iblis Akhirat, dan Iblis Mayat Hidup..."
"Ahhh...!
Ohhh..." Hong Beng terbelalak.
"Kenapa
kau ber-ah-oh seperti sedang gagu?"
"Aku
pernah mendengar bahwa Sam Kwi adalah tiga datuk kaum sesat yang namanya pernah
menggegerkan dunia persilatan di barat dan selatan."
"Benar,
habis mengapa?"
"Nona..."
"Nanti
dulu! Jemu aku jika mendengar engkau menyebutku nona-nona segala macam. Namaku
Bi Lan dan engkau boleh menyebutku Bi Lan atau Siauw-kwi, terserah, akan tetapi
jangan nona-nonaan!"
Hong Beng
mengangguk-angguk. Kini sikap Bi Lan sudah tidak dianggapnya lucu lagi. Pantas
sikapnya demikian liar, kiranya gadis ini murid Sam Kwi.
"Bi
Lan, kalau suci-mu itu murid Sam Kwi, memang tepat. Akan tetapi siapa mau
percaya bahwa engkau murid Sam Kwi? Engkau begini... begini... polos, jujur dan
baik. Sukar dipercaya bahwa kau murid Tiga Iblis itu."
"Percaya
atau tidak terserah. Dan bagaimana pun juga, Sam Kwi adalah tiga orang tua yang
menyelamatkan aku, menjadi pengganti orang tuaku, guru-guruku, dan juga amat
sayang kepadaku."
Hong Beng
menggelengkan kepala perlahan. Sungguh luar biasa.
"Menurut
pendengaranku, Sam Kwi adalah tiga orang datuk kaum sesat yang sangat kejam dan
jahat. Dan engkau, yang menjadi muridnya, begini baik dan menganggap mereka
sebagai orang-orang yang demikian baiknya. Luar biasa. Apakah kau sejak kecil
menjadi murid mereka, Bi Lan?"
Gadis itu
mengangguk. Wataknya memang polos dan kasar, walau pun kekasaran yang tadinya
liar itu sudah menjadi jinak dan tahu aturan semenjak ia digembleng oleh suami
isteri sakti Kao Kok Cu dan Wan Ceng.
"Ketika
aku berusia sepuluh tahun, aku bersama ayah dan ibu melarikan diri dari selatan
karena di sana ada perang pemberontakan yang dibantu pasukan-pasukan Birma. Di
tengah perjalanan kami dihadang pasukan Birma yang jahat dan ayah ibu tewas
oleh mereka. Aku diselamatkan oleh Sam Kwi dan sejak itu aku diambil murid
mereka yang ke dua." Menceritakan ini, Bi Lan teringat akan kematian orang
tuanya dan wajahnya diselimuti awan kedukaan.
"Ahh,
nasibmu sungguh buruk, Bi Lan. Engkau kehilangan orang tuamu sejak kecil dan
terjatuh ke dalam tangan tiga orang datuk sesat yang jahat."
Betapa pun
jahatnya Sam Kwi, Bi Lan tidak menganggap mereka jahat, apa lagi karena ia tahu
betapa besar rasa sayang mereka kepadanya dan betapa ia telah diselamatkan oleh
mereka. Karena itu, mendengar celaan ini, ia merasa tidak senang dan seketika
kedukaannya hilang. Bagi murid Sam Kwi memang tidak boleh tenggelam ke dalam
kedukaan, demikian ajaran mereka.
"Ketiga
suhu-ku tidak jahat!" bantahnya. "Sudahlah, Hong Beng. Engkau minta
aku bicara tentang diriku saja, sedangkan engkau belum bercerita tentang
dirimu. Engkau tentu seorang pendekar, bukan?"
Hong Beng
menggeleng kepala dan alisnya berkerut. "Tidak banyak perbedaan antara
nasibmu dan nasibku, Bi Lan. Ketika aku berusia sebelas tahun, terjadi mala
petaka menimpa ayah ibuku. Mereka tewas di tangan pembesar di Siang-nam. Aku
sendiri hampir mereka bunuh, akan tetapi muncul seorang pendekar sakti yang
menyelamatkan aku dan kemudian aku diambil sebagai murid. Guruku itu bernama
Suma Ciang Bun, seorang pendekar keluarga Pulau Es."
"Ihhh...!"
Bi Lan meloncat bangkit ke belakang dan memandang tajam. Melihat sikap gadis
itu, Hong Beng terkejut dan dia pun bangkit berdiri.
"Kenapa,
Bi Lan?" Hong Beng bertanya heran dan khawatir.
"Pendekar
Super Sakti dari Pulau Es, dia adalah musuh besar ketiga orang guruku! Bahkan
dahulu suci pernah diutus oleh mereka untuk mencari pendekar itu dan untuk
membalaskan sakit hati mereka karena mereka pernah dikalahkan oleh pendekar
itu. Akan tetapi sayang, pendekar itu telah meninggal dunia. Jadi engkau
termasuk murid Pulau Es?"
"Suhu-ku
adalah cucu dari Pendekar Super Sakti yang bernama Suma Han, akan tetapi
menurut suhu, Pulau Es sudah lenyap bersama kakek itu. Aku belum pernah melihat
Pulau Es. Bi Lan, kuharap engkau sebagai murid Sam Kwi tidak akan memusuhi anak
murid Pulau Es yang tidak tahu menahu tentang permusuhan antara tiga orang
suhu-mu dengan mendiang Pendekar Super Sakti."
Bi Lan
menggeleng kepala. "Aku tidak pernah berjanji kepada mereka untuk memusuhi
keturunan Pulau Es. Akan tetapi suci yang pernah berkata bahwa ia akan membasmi
semua keturunan Pulau Es untuk membalaskan kekalahan Sam Kwi. Hemm, kiranya
engkau masih murid dari cucu pendekar itu, pantas engkau amat lihai dan engkau
pun berwatak pendekar. Hong Beng, aku tidak memusuhimu, hanya terkejut
mendengar engkau murid keluarga Pulau Es. Belum kau ceritakan, engkau dari mana
dan hendak pergi ke mana."
"Aku
diutus oleh suhu untuk suatu tugas penting di kota raja, akan tetapi aku lebih
dulu pergi ke selatan untuk mengunjungi makam ayah ibuku. Malam tadi aku
bermalam di makam itu dan pagi tadi kebetulan bertemu dengan engkau dengan
suci-mu. Dan engkau sendiri, hendak pergi ke manakah?"
"Aku
dan suci juga menerima tugas dari Sam Kwi untuk mencari dan merampas kembali
sebuah pusaka. Sebetulnya, suci yang melaksanakan tugas-tugas itu, dan aku
sudah berjanji untuk membantu suci."
"Satu
lagi pertanyaanku, Bi Lan. Pedangmu itu...! Sungguh mati aku merasa ngeri
melihat pedang itu. Sebuah pedang pusaka yang luar biasa, mengandung hawa yang
menyeramkan. Apakah pedang itu pemberian Sam Kwi kepadamu?"
Bi Lan
meraba gagang pedang di balik bajunya dan tersenyum. Manisnya kalau dia
tersenyum! "Bukan, Hong Beng. Ini pemberian atau lebih tepat lagi,
dipinjamkan oleh subo kepadaku."
"Subo-mu?
Ahh, maksudmu tentu isteri seorang di antara Sam Kwi."
"Bukan!
Belum kuceritakan tadi kepadamu bahwa selain Sam Kwi, aku masih memiliki
seorang suhu dan subo lain yang sama sekali tak boleh disamakan dengan Sam Kwi.
Mereka adalah penolong-penolongku dan juga guru-guruku yang sangat kuhormati.
Ketahuilah, ketika aku menjadi murid Sam Kwi, yang melatih aku dalam ilmu silat
bukan Sam Kwi sendiri melainkan suci-ku, Bi-kwi. Dan suci telah sengaja melatih
aku secara keliru, menyelewengkan latihan-latihan itu sehingga aku hampir
menjadi gila karena keliru latihan. Untung aku bertemu dengan suhu dan subo itu
yang mengobatiku, dan melatihku selama setengah tahun. Dan pada saat kami
saling berpisah, subo memberi pinjam pedangnya ini dan kelak aku akan mengembalikannya
kepada mereka di Istana Gurun Pasir."
Kini Hong
Beng melonjak kaget, matanya terbelalak memandang wajah gadis itu.
"Apa
kau bilang tadi? Istana Gurun Pasir? Gurumu itu...?"
"Pendekar
Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya."
"Ahhh...!
Aku telah bersikap kurang hormat...!" Hong Beng lalu menjura kepada Bi
Lan.
Gadis itu
tertawa. "Hi-hi-hik, apa-apaan kau ini Hong Beng? Apakah penghormatan itu
dilakukan karena sebuah nama?"
"Tentu
saja. Nama besar dan nama baik mendatangkan perasaan menghormat. Kiranya engkau
menjadi murid pula dari locianpwe Kao Kok Cu yang sakti! Luar biasa sekali!
Suhu-ku pernah bercerita kepadaku tentang pendekar sakti itu yang membuat
hatiku kagum bukan main. Bahkan suhu memesan kepadaku agar supaya aku pergi
mencari puteranya yang bernama Kao Cin Liong. Akan tetapi bagaimana pedang
milik isteri pendekar sakti itu begitu... begitu... mengerikan?"
"Subo
juga mengatakan bahwa pedang ini bukan pedang sembarangan dan memiliki hawa
yang mengerikan, namanya Ban-tok-kiam dan subo melarang aku menggunakan pedang
ini sembarangan saja, hanya boleh dipergunakan untuk membela diri. Memang hebat
dan kurasa umurnya sudah amat tua. Lihat, bukankah pedang ini hebat bukan
main?"
Dicabutnya
pedang Ban-tok-kiam itu dari sarungnya. Hong Beng langsung merasa bulu
tengkuknya meremang melihat sinar pedang yang hijau kehitaman dan mengandung
hawa menyeramkan itu. Dengan ngeri dia membayangkan entah sudah berapa banyak
darah manusia diminum pedang ini, dan entah berapa banyak nyawa diantar ke alam
baka.
"Omitohud...!
Pedang yang hebat!"
Tiba-tiba
terdengar suara orang dan tahu-tahu di depan Bi Lan sudah berdiri seorang kakek
bertubuh tinggi besar gendut, berkepala gundul dan mengenakan jubah yang biasa
dipakai oleh pendeta Lama dari Tibet, yaitu jubah yang berkotak-kotak kuning
dan merah.
Sukar
menaksir berapa usia kakek ini. Selain tubuhnya yang tinggi besar dengan perut
gendut itu amat menarik perhatian, juga wajahnya seperti seekor singa, penuh
cambang bauk dan brewok, amat berlawanan dengan kepalanya yang dicukur kelimis.
Muka itu benar-benar mirip muka singa, dan yang lebih mengerikan lagi, bulu
atau rambut di mukanya itu, yang sebenarnya adalah cambang, kumis dan jenggot,
berwarna agak kuning dan mengkilap seperti benang sutera emas. Sepasang matanya
mencorong dan mulutnya lebar tersenyum penuh ejekan.
Hong Beng
merasa terkejut bukan main. Kakek yang melihat pakaiannya tentu seorang pendeta
Lama dari Tibet ini dapat muncul begitu saja tanpa diketahuinya, bahkan Bi Lan
agaknya juga tidak tahu. Tiba-tiba saja kakek itu muncul di dekat mereka. Hal
ini saja sudah membuktikan bahwa kakek itu tentu seorang yang memiliki
kepandaian tinggi sekali.
"Omitohud...
pusaka yang bagus sekali...," kembali kakek itu berkata sambil kakinya
melangkah ke arah Bi Lan.
"Bi
Lan, hati-hati...!" Hong Beng berseru dan menerjang ke depan ketika dia
melihat pendeta itu membuat gerakan aneh.
Namun
terlambat. Nampak bayangan merah dan tahu-tahu jubah lebar kakek itu sudah
meluncur dan bagaikan sebuah jala, jubah itu menerkam ke arah Bi Lan. Gadis ini
gelagapan karena tidak dapat melihat apa-apa dan tiba-tiba saja ada sebuah
tangan yang amat kuat, dengan jari-jari besar panjang, telah mencengkeram
tangan kanannya yang memegang gagang pedang. Seperti akan patah-patah semua
jari tangannya ketika dicengkeram tangan itu.
Pada saat
itu, Hong Beng yang sudah menaruh curiga namun karena gerakan kakek itu amat
cepat sehingga dia kalah dulu, sudah menyerang dengan tamparan yang kuat ke
arah leher kakek itu. Kakek itu menggunakan tangan kiri mencengkeram tangan Bi
Lan, sedangkan lengan kanannya digerakkan untuk menangkis tamparan Hong Beng.
"Dukkk...!"
Tubuh Hong
Beng terpelanting dan dia hampir roboh. Pemuda itu terkejut bukan main dan
meloncat ke samping.
Sementara
itu, Bi Lan tak mampu mempertahankan pedangnya yang sudah berpindah tangan. Ketika
kakek itu menarik kembali jubahnya sedangkan pedang sudah berpindah ke tangan
kirinya, Bi Lan menyerang dengan marah, menggunakan pukulan Sin-liong
Ciang-hwat. Kakek itu, sambil mengamati pedang dengan mulut menyeringai, hanya
mengangkat lengan kanan menangkis.
"Dukkk...!"
Akibatnya,
tubuh Bi Lan terdorong ke belakang, akan tetapi juga kakek itu terhuyung.
"Omitohud...!
Kalian ini orang-orang muda yang hebat. Dan pedang ini hebat pula. Apa namanya
tadi? Ban-tok-kiam? Pedang yang bagus!" Dia mengamati pedang itu dengan
wajah gembira sekali.
Hong Beng
dan Bi Lan sudah memasang kuda-kuda, menghadang kakek itu dari kanan dan kiri.
"Orang
tua, kembalikan pedangku!" Bi Lan membentak dan memandang marah.
"Locianpwe,
harap suka mengembalikan pusaka itu kepada pemiliknya," Hong Beng juga
membujuk, bicara dengan sopan karena dia dapat menduga bahwa pendeta ini tentu
seorang sakti yang agaknya kagum dan tertarik melihat Ban-tok-kiam.
"Ha-ha-ha-ha....!"
Kakek itu tertawa dan dua orang muda itu segera terkejut dan cepat mengerahkan
sinkang-nya. Suara ketawa kakek itu mengandung getaran hebat seperti auman
seekor singa marah!
"Ban-tok-kiam
ini hanya pantas berada di tangan Sai-cu Lama, ha-ha-ha-ha...!" Suara
ketawanya yang terakhir semakin hebat dan kuat getarannya sehingga dua orang
muda itu sampai menahan napas memperkuat pengerahan sinkang mereka.
"Wuutt...
singg-singg...!"
Nampak sinar
hitam berkelebatan ketika kakek itu menggerakkan Ban-tok-kiam ke kiri kanan.
Hong Beng dan Bi Lan terpaksa meloncat mundur karena Ban-tok-kiam memang hebat
sekali, apa lagi digerakkan dengan tenaga yang demikian besarnya. Mereka siap
siaga untuk merampas kembali pedang itu, namun mereka berhati-hati karena
maklum bahwa kakek itu lihai bukan main.
Dan kakek
itu sambil tertawa-tawa agaknya memandang rendah mereka dan mengobat-abitkan
pedang itu ke kanan kiri seperti orang yang menakut-nakuti anak kecil.
Pada saat
itu, tiba-tiba terdengar suara melengking panjang, datangnya dari jauh sekali.
Tetapi suara lengkingan itu terdengar begitu jelas dan mendadak saja wajah
pendeta Lama yang mengaku bernama atau berjuluk Sai-cu Lama (Pendeta Lama
Singa) itu nampak terkejut dan pandang matanya liar diarahkan ke bawah lereng
bukit dari mana suara itu datang.
"Demi
iblis neraka! Dia sudah datang lagi!" katanya lirih dan tiba-tiba saja dia
melompat ke belakang.
"Hei,
kembalikan pedangku!" Bi Lan mengejar.
Akan tetapi
mendadak kakek itu menyambutnya dengan serangan Ban-tok-kiam yang ditusukkan ke
arah perut gadis itu. Bi Lan cepat mengelak, akan tetapi kakek itu sudah
melompat dan berlari cepat sekali, menghilang ke dalam hutan di sebelah barat
lereng itu. Bi Lan bersama Hong Beng melakukan pengejaran, akan tetapi biar pun
mereka sudah mencari-cari sampai lama, kakek yang merampas Ban-tok-kiam itu tak
nampak lagi bayangannya.
"Celaka...!"
Bi Lan hampir menangis. Dia marah sekali dan membanting-banting kaki kanannya
sampai tanah di depannya itu melesak ke bawah. "Pusaka pinjaman dari subo
itu telah dirampas iblis tua bangka tadi. Celaka...!"
"Tenanglah,
Bi Lan. Setidaknya kita sudah mengenal nama julukannya. Sai-cu Lama, nama yang
asing bagiku. Dia adalah seorang pendeta, agaknya dia tidak bermaksud buruk,
hanya meminjam pusaka itu karena tertarik, dan tidak akan merampasnya begitu
saja. Aku percaya bahwa sebagai seorang pendeta, dia akan mengembalikan pusaka
itu. Tadi dia pergi karena terkejut mendengar suara melengking itu, entah siapa
yang membuatnya begitu kaget dan ketakutan."
"Kalau
aku tidak percaya! Aku tidak percaya kepada segala macam pendeta. Biasanya,
jubah pendeta itu hanya untuk kedok supaya kejahatannya tidak nampak."
Gadis itu cemberut. "Buktinya, begitu jumpa dia sudah merampas pedangku.
Kalau dia tidak ingin merampas, mengapa tadi dia menyerang kita? Bahkan
tusukannya yang terakhir tadi amat berbahaya dan kalau aku tidak cepat
mengelak, tentu aku sudah mati. Tidak, dia bukan manusia baik-baik."
Hong Beng
tidak mau membantah karena dia tahu bahwa gadis itu sedang jengkel dan marah.
"Aku akan membantumu mencari pendeta itu dan minta kembali pusakamu. Biar
pun aku belum mengenal nama Sai-cu Lama, tetapi seorang dengan ilmu kepandaian
setinggi itu tentu dikenal di dunia kang-ouw dan aku akan menyelidiki di mana
aku dapat mencarinya."
"Aku
harus cepat melapor kepada subo kalau aku tidak mampu merampasnya kembali.
Ahhh, subo tentu akan kecewa dan marah kepadaku..." Dengan cemberut Bi Lan
dan Hong Beng lalu keluar dari dalam hutan itu.
"Sstttt!"
Tiba-tiba Hong Beng berbisik dan menuding ke depan.
Dari tempat
mereka berdiri, di luar hutan itu, mereka melihat seorang kakek berkepala
gundul sedang berjalan perlahan-lahan menuruni lereng.
"Keparat,
tentu dia orangnya...!" Bi Lan berteriak dan cepat gadis ini melompat ke
depan dan melakukan pengejaran.
"Bi
Lan, nanti dulu...!" Hong Beng berseru dan terpaksa mengejar pula dengan
cepat karena dia tidak ingin gadis itu salah tangan. Dari jauh dia sudah
melihat bahwa biar pun orang yang baru berjalan menuruni lereng itu juga
berkepala gundul, akan tetapi jubahnya yang lebar itu berwarna kuning, bukan
kotak-kotak merah kuning seperti yang dipakai oleh Sai-cu Lama tadi.
Kini Bi Lan
sudah tiba di dekat kakek gundul itu dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah
mengirim pukulan dari samping. Hebat sekali pukulan gadis ini, sebab saking
marahnya, ia sudah mengeluarkan satu di antara pukulan yang oleh subo-nya sudah
dipesan agar tidak sembarangan mempergunakannya, seperti juga pedangnya, yaitu
Ilmu Pukulan Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun).
Itulah
sebuah pukulan yang dilakukan dengan pengerahan sinkang tertentu, tidak terlalu
keras nampaknya, akan tetapi pukulan ini mengandung hawa beracun yang sudah merendam
tangan Bi Lan ketika dilatih oleh subo-nya...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment