Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Naga
Jilid 06
"Wuuuttttt...!"
Nampaknya kakek gundul itu hanya bergerak sedikit saja, akan tetapi, nyatanya
pukulan Bi Lan itu hanya mengenai tempat kosong.
"Bi
Lan, tahan dulu...!" Hong Beng yang sudah tiba di situ cepat memegang
lengan gadis itu. "Lihat, dia bukanlah pendeta tadi!"
Bi Lan juga
sudah tahu bahwa orang itu bukanlah Sai-cu Lama. Dia seorang kakek berkepala
gundul, bertubuh sedang dan masih tegap meski usianya tentu sekitar tujuh puluh
tahun. Jubahnya warna kuning, melibat-libat tubuh yang memakai pakaian serba
putih dari kain kasar. Seorang pendeta yang sederhana, matanya tajam dan
mulutnya seperti tersenyum mengejek. Dia berdiri dan memandang dua orang muda
di depannya itu dengan sinar mata penuh selidik.
"Dia
juga seorang yang berjubah pendeta, tentu lihai seperti tadi. Mungkin
sekutunya! Para pendeta itu memang bersekutu dan saling bantu dalam melakukan
kejahatan. Orang tua jahat, kembalikan pedangku!"
Bi Lan
kembali menyerang dan melihat sepasang mata pendeta itu demikian tajam dan
mulutnya tersenyum mengejek, timbul juga kesan buruk dalam hati Hong Beng dan
dia pun membantu Bi Lan menyerang. Kalau Bi Lan kini menggunakan pukulan dari
Ilmu Sin-liong Ciang-hoat, Hong Beng yang dapat menduga akan kelihaian pendeta
ini, juga sudah menggunakan tenaganya dan menyerang dengan ilmu ampuh dari
Pulau Es, yaitu Hong-in Bun-hoat!
Ilmu ini
adalah ilmu silat yang sangat halus dan indah gerakannya, sesuai dengan
namanya, Silat Sastera Awan dan Angin! Tubuhnya bergerak perlahan, dua
tangannya membuat coretan-coretan di udara seperti menulis huruf, akan tetapi
jari-jari tangan itu merupakan alat menyerang yang amat ampuh. Kakek pendeta
itu nampak kaget juga menghadapi serangan gadis dan pemuda itu.
"Dari
mana bocah-bocah tolol ini menguasai ilmu-ilmu ini!" bentaknya.
Dia pun
cepat bergerak ke belakang untuk mengelak, lalu mendadak dia mengeluarkan suara
melengking panjang. Jari-jari tangannya bergerak bagaikan ujung-ujung pedang
membalas serangan dua orang muda itu sehingga Bi Lan dan Hong Beng terkejut dan
cepat berloncatan ke belakang karena serangan balasan pendeta itu benar-benar
hebat. Akan tetapi yang lebih mengejutkan hati mereka adalah suara melengking
tadi karena mereka teringat bahwa Sai-cu Lama tadi pun seperti orang yang lari
terbirit-birit karena terkejut dan takut mendengar suara melengking ini.
Melihat dua
orang muda itu tertegun, kakek itu lalu mengangkat tangan kanan ke atas.
"Omitohud, kalian ini bocah-bocah sungguh lancang, mempergunakan ilmu-ilmu
yang demikian tinggi dan pilihan hanya untuk menyerang seorang tua tanpa sebab.
Sungguh keji!"
Wajah Hong
Beng sudah menjadi merah sekali karena malu dan menyesal. Memang sungguh tak
patut menyerang seorang kakek tua renta, berpakaian pendeta pula, tanpa sebab
yang jelas. Akan tetapi Bi Lan memandang kakek itu dengan mata melotot, dia
marah sekali.
"Engkau
ini kakek berpakaian pendeta, tentu jahat seperti yang lain! Kepala gundul dan
jubahmu itu hanya sebagai kedok untuk menutupi kejahatanmu!" Bi Lan
berkata dengan suara lantang.
"Omitohud...!"
Kakek pendeta itu berkata lirih sambil tersenyum geli. "Betapa cocok
pendapatmu itu dengan pendapatku ketika aku masih muda dahulu. Akan tetapi
engkau keliru, nona, seperti kelirunya kebanyakan orang. Ada yang beranggapan
bahwa semua pendeta adalah manusia-manusia baik karena mereka itu beribadat dan
mentaati agama, sebagian pula menyatakan bahwa mereka hanyalah munafik-munafik.
Ada yang beranggapan bahwa golongan ini baik dan golongan itu tidak baik. Semua
anggapan itu tidak benar sama sekali. Baik tidaknya seorang manusia tergantung
dari diri manusia itu sendiri, tidak dari agamanya, golongannya, bangsanya,
kedudukannya dan sebagainya. Jika ada seorang beragama yang menyeleweng, bukan
agamanya tetapi manusianya itulah yang menyeleweng. Agama, kepandaian, kedudukan,
golongan, bangsa, semua itu hanya merupakan pelengkap saja, pelengkap kebutuhan
hidup bermasyarakat. Baik buruknya segalanya itu adalah si manusia itu sendiri
yang menentukan. Jadi, mungkin saja ada seorang pendeta yang menyeleweng, akan
tetapi juga tidak kurang yang benar-benar hidup saleh. Jangan menyama ratakan
saja karena setiap orang manusia itu memiliki tingkat kesadarannya
masing-masing meski kedudukannya mungkin sama."
Hong Beng
sudah dapat menduga bahwa pendeta ini tidak sama dengan yang tadi, bahkan
melihat sikap Sai-cu Lama tadi, yang kelihatan ketakutan mendengar suara
melengking yang jelas dikeluarkan oleh hwesio ini, mungkin di antara mereka
terdapat suatu pertentangan. Maka dia pun cepat menyentuh lengan Bi Lan dan dia
memberi hormat kepada kakek itu.
"Harap
locianpwe sudi memaafkan kami orang-orang muda yang kurang pengalaman dan
bertindak lancang terhadap locianpwe. Hendaknya locianpwe ketahui bahwa sikap
kami itu timbul oleh karena baru saja kami bertemu dengan seorang pendeta
seperti locianpwe yang telah merampas pedang pusaka milik sahabat saya ini.
Karena itu tadi kami mengira bahwa locianpwe adalah sahabat pendeta itu."
Kakek itu
mengangguk-angguk sambil tersenyum mengejek. Ternyata senyum khas ini adalah
kebiasaannya, bukan karena dia memang hendak mengejek. "Seorang pendeta
Lama yang mukanya seperti singa?"
"Benar
dia!" Bi Lan berseru. "Dia mengaku bernama Sai-cu Lama!"
"Omitohud...!
Sungguh masih beruntung bagi kalian yang telah bertemu dengan dia akan tetapi
hanya kehilangan pedang saja. Biasanya dia tidak mau bekerja kepalang tanggung,
dan jarang ada orang dapat lolos dari tangan mautnya."
"Tadi
pun kami didesaknya dengan pukulan-pukulan maut dan entah apa yang akan terjadi
dengan kami kalau dia tidak tiba-tiba melarikan diri setelah mendengar suara
melengking yang agaknya dikeluarkan oleh locianpwe," kata Hong Beng dengan
jujur.
"Locianpwe,
di mana kami dapat mencari si muka singa itu? Aku harus bisa menemukan dia dan
merampas kembali pedangku yang diambilnya tadi," kata Bi Lan, kini tidak
lagi memaki-maki kakek itu karena dia pun sadar bahwa kakek ini bukan sahabat
Sai-cu Lama tadi.
"Omitohud...
! Tidak mudah mengejarnya. Pinceng sendiri sudah mengejarnya sejak dari Tibet
sampai di sini dan belum juga berhasil menangkapnya. Kalau kalian memang ingin
menemukannya, kalian harus pergi ke kota raja karena ke sanalah dia
pergi."
"Kota
raja? Wah, perjalanan yang jauh sekali dan kebetulan aku pun hendak ke sana, Bi
Lan. Mari kita kejar dia dan kita bersama pergi ke kota raja."
"Biar
pun dia lari ke neraka sekali pun akan kukejar. Aku harus dapat merebut kembali
pedang pusaka itu, Hong Beng. Kalau tidak, bagaimana aku akan dapat menghadap
subo?"
"Omitohud,
muda-mudi yang malang, bertemu dengan manusia iblis Sai-cu Lama. Kalau kalian
tidak membawa senjata pusaka yang menarik hatinya, biasanya dia pun tidak mau
gatal tangan mengganggu orang tanpa sebab. Pinceng melihat pukulan-pukulan yang
luar biasa ketika kalian menyerang pinceng tadi. Orang muda, apakah engkau
masih ada hubungan dengan keluarga Pulau Es?"
Hong Beng
terkejut dan makin yakinlah hatinya bahwa dia berhadapan dengan seorang yang
berilmu tinggi, yang demikian tajam pandang matanya sehingga baru satu jurus
dia tadi memainkan Hong-in Bun-hoat, kakek ini sudah dapat ‘mencium’ ilmu dari
keluarga Pulau Es! Maka dia pun cepat memberi hormat lagi.
"Sesungguhnya,
guru saya adalah seorang anggota keluarga Pulau Es, locianpwe."
"Aha!
Siapakah gurumu itu, orang muda?"
"Suhu
bernama Suma Ciang Bun."
"She
Suma? Ha-ha, benar sekali. Dia tentu putera Suma Kian Lee atau Suma Kian
Bu."
Girang
sekali hati Hong Beng. Kiranya kakek ini malah mengenal keluarga Pulau Es!
"Suhu
adalah putera sukong Suma Kian Lee."
"Omitohud...!
Benar kiranya bahwa dunia ini tidak begitu besar kalau orang mempunyai banyak
kenalan. Berpisah dari Suma Kian Lee sejak muda, sekarang tahu-tahu bertemu
dengan murid dari puteranya. Dan kau sendiri, nona muda? Dua kali pukulanmu
tadi mengingatkan pinceng akan ilmu mujijat dari Gurun Pasir..."
"Mereka
adalah suhu dan subo!" Bi Lan berseru. "Suhu adalah Pendekar Naga
Sakti Gurun Pasir!"
"Omitohud...!
Engkau yang begini muda menjadi murid Kao Kok Cu dan Wan Ceng? Luar biasa
sekali! Ha-ha-ha-ha, makin sempit saja dunia ini. Akan tetapi, nona muda. Kalau
engkau benar murid mereka, bagaimana sampai pedang dari tanganmu dapat terampas
oleh Sai-cu Lama? Walau pun dia memang lihai sekali, akan tetapi agaknya tidak
akan mudah mengalahkan murid suami isteri dari Istana Gurun Pasir!"
Wajah Bi Lan
berubah merah karena ucapan itu merupakan celaan kepadanya. Dan harus diakuinya
bahwa ia menjadi murid suami isteri sakti itu hanya selama setengah tahun saja.
Ia seorang yang jujur dan ia tidak mau menurunkan harga diri dari suami isteri
yang amat baik kepadanya itu, maka ia pun cepat berkata,
"Andai
kata aku belajar ilmu dari suhu dan subo sejak kecil, tentu sekali tonjok saja
si muka singa itu akan mampus di tanganku!" Timbul kembali sifat kasar dan
liarnya berkat ajaran Sam Kwi sehingga kakek itu memandang dengan mata lebar.
"Akan tetapi sayang, hanya setengah tahun saja aku dilatih oleh Pendekar
Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, dan sebelum itu aku menjadi murid Sam Kwi
selama tujuh tahun."
Kembali kakek
itu terbelalak. "Kau maksudkan Raja Iblis Hitam, Iblis Akhirat dan Iblis
Mayat Hidup itu?"
"Eh,
locianpwe, agaknya locianpwe mengenal semua orang!" Bi Lan kini bertanya
kaget dan heran. "Memang benar mereka itu guru-guruku."
Kakek itu
menggaruk-garuk kepalanya yang gundul bersih. "Omitohud...!" Dia
cepat merangkapkan kedua tangan untuk menghentikan kebiasaannya di waktu muda
yang sampai tua masih sukar dilenyapkan itu. "Bagaimana mungkin orang
menjadi murid Sam Kwi dan murid pendekar lengan tunggal Kao Kok Cu? Dan kau
tadi bicara tentang pedang pusaka? Jangan-jangan pedang Ban-tok-kiam milik Wan
Ceng pula yang kau bicarakan itu."
Kini Bi Lan
terbelalak. "Wah, Locianpwe ini orang apa sih? Bagaimana bisa tahu segala
hal? Memang benar pedang yang dirampas muka singa itu adalah Ban-tok-kiam milik
subo yang dipinjamkan kepadaku!"
"Siancai,
siancai, siancai...! Bagaimana Wan Ceng begitu bodoh untuk meminjamkan pedang
itu kepada muridnya yang masih begini hijau?”
"Locianpwe,
jangan menghina orang!"
"Siapa
menghina orang? Pinceng tadi bicara benar. Kau tahu, mala petaka hebat telah
terjadi. Kalau tidak memiliki pusaka ampuh, Sai-cu Lama masih tidak begitu
berbahaya. Akan tetapi kini Ban-tok-kiam berada di tangannya! Sama saja dengan
seekor singa buas tumbuh sayap. Celaka. celaka!"
"Locianpwe,
kami mohon petunjuk," Hong Beng cepat berkata untuk menengahi karena
agaknya dia juga tak menghendaki Bi Lan bersikap kasar terhadap kakek yang
ternyata selain sakti, juga mengenal banyak tokoh di dunia kang-ouw itu.
"Karena
pedang Ban-tok-kiam milik Wan Ceng yang sudah dirampasnya, pinceng pun
berkewajiban untuk merebutnya kembali. Nona muda, kalau bertemu subo-mu,
katakan bahwa pinceng kelak akan mengantarkan Ban-tok-kiam ke Istana Gurun
Pasir kalau telah berhasil merampasnya dari tangan Sai-cu!" Setelah
berkata demikian, kakek itu berkelebat dan lenyap dari situ dengan kecepatan
yang mentakjubkan!
"Locianpwe,
siapa engkau? Bagaimana aku harus melapor kepada subo?" teriak Bi Lan
penasaran sambil melihat ke bawah lereng di mana nampak bayangan kakek itu
kecil sekali, tanda dia sudah pergi jauh.
"Katakan
Tiong Khi Hwesio yang bicara. Ha-ha-ha!" Terdengar suara lapat-lapat
disusul suara melengking tinggi nyaring seperti tadi.
Sejenak dua
orang itu diam saja, masih terpesona oleh kehadiran kakek pendeta aneh itu.
Akhirnya Hong Beng menarik napas panjang. "Sungguh hebat! Dalam sekejap
mata saja kita bertemu dengan dua orang kakek yang demikian lihainya. Aku yakin
bahwa kalau Sai-cu Lama seorang tokoh jahat sekali, sebaliknya Tiong Khi Hwesio
itu tentu seorang tokoh tua di dunia persilatan yang agaknya tidak asing dengan
keluarga Pulau Es dan dengan penghuni Istana Gurun Pasir. Bahkan agaknya dia
juga mengenal baik subo-mu dan juga sukongku. Sungguh aneh."
"Kalau
saja dia menepati janjinya dan dapat berhasil merebut Ban-tok-kiam. Kalau
tidak, bagaimana aku berani menghadap subo?"
"Jangan
khawatir, Bi Lan. Bukankah locianpwe tadi mengatakan bahwa untuk dapat
menjumpai Sai-cu Lama, kita harus pergi ke kota raja? Mari kita pergi ke sana,
sekalian aku harus menunaikan tugas yang diberikan suhu kepadaku di sana."
"Tugas
apakah itu? Kenapa harus ke kota raja?" Bi Lan bertanya.
Karena dia
tidak begitu percaya lagi akan kelihaian pendengarannya, yang terbukti dengan
munculnya Sai-cu Lama yang tidak diketahuinya, maka Hong Beng menoleh ke kanan
kiri sebelum menjawab. Setelah merasa yakin bahwa di situ tidak ada lain orang,
dia berkata lirih, "Ini merupakan rahasia, Bi Lan, akan tetapi aku percaya
kepadamu. Aku ditugaskan ke kota raja untuk melakukan penyelidikan atas diri
seorang pembesar tinggi yang dikabarkan kini mempunyai pengaruh yang amat luas
di istana dan bahkan mempengaruhi kekuasaan kaisar, mempengaruhi jalannya
pemerintahan. Kabarnya pembesar itu mempunyai niat buruk. Aku harus
berhati-hati karena pembesar itu dibantu orang-orang pandai. Bahkan suhu
memesan kepadaku agar aku lebih dahulu minta keterangan dari bekas Panglima Kao
Cin Liong, yaitu putera tunggal gurumu Kao Kok Cu, dan juga minta bantuan dari
susiok Suma Ceng Liong, adik dari suhu. Nah, karena aku pergi ke kota raja dan
engkau pun agaknya harus ke sana untuk mendapatkan kembali pedang subo-mu, maka
sebaiknya kita pergi bersama. Dengan berdua, kita akan lebih kuat dalam
menghadapi kesukaran di perjalanan, bukan?"
Bi Lan
mengerutkan alisnya. "Aku sendiri tidak tahu akan pergi kemana setelah aku
lari dari suci. Aku hanya mempunyai satu tugas, yaitu mencari pusaka yang telah
kujanjikan kepada suci."
"Pusaka
lagi? Pusaka apakah itu?"
"Pusaka
itu pun sebuah pedang, akan tetapi pedang pusaka yang menurut Sam Kwi amat
penting artinya. Namanya Liong-siauw-kiam, yang usianya sudah ribuan tahun,
terbuat dari pada kayu yang diukir menjadi suling berbentuk naga yang indah,
keras seperti baja karena direndam obat-obatan rahasia jaman dahulu. Pusaka itu
bisa ditiup seperti suling, akan tetapi juga dapat dipergunakan sebagai pedang.
Sepasang mata naga itu terbuat dari batu permata yang tak ternilai harganya.
Pusaka itu dahulu pernah menjadi lambang raja-raja Bangsa Khitan, dan kemudian
jatuh ke tangan Kaisar Jengis Khan dan menjadi pusaka kerajaan. Akan tetapi
kemudian jatuh ke tangan susiok dari Sam Kwi yang bernama Pek-bin Lo-sian.
Pusaka itu turun-temurun berada di tangan perguruan Sam Kwi, akan tetapi
celakanya, Pek-bin Lo-sian tidak mau menyerahkan pusaka itu kepada Sam Kwi
malah memberikannya kepada seorang pendekar!"
"Ehh,
aneh sekali!" kata Hong Beng.
"Karena
itu, Sam Kwi mengutus suci dan aku untuk mencari pusaka itu dan merampas
kembali Liong-siauw-kiam dari tangan pendekar itu."
"Dan
siapakah pendekar itu?"
"Menurut
suci, julukannya adalah Suling Naga, mungkin karena dia kini memiliki senjata
Liong-siauw-kiam itu, dan katanya dia lihai bukan main. Aku harus mencari
Pendekar Suling Naga itu dan merampas pusaka itu seperti sudah kujanjikan
kepada suci!"
"Walau
pun suci-mu telah mengkhianatimu dan bahkan hampir membunuhmu dengan jarum
beracun?"
"Janji
tetap janji. Ia pernah menolongku dan aku sudah berjanji kepadanya, tetap harus
kupenuhi!"
Diam-diam
Hong Beng kagum bukan main. Jarang ada orang yang berhati teguh seperti gadis
ini. "Baiklah, aku pun akan membantumu mendapatkan kembali
Liong-siauw-kiam. Wah, dengan begini kita harus merampas dua batang pedang
pusaka, Ban-tok-kiam dan Liong-siauw-kiam!"
"Kalau
kau keberatan, jangan membantu. Aku pun tidak minta bantuanmu, Hong Beng!"
kata gadis itu dengan ketus.
"Eh,
ehh, mengapa marah? Tentu saja aku suka sekali membantumu, Bi Lan. Nasib kita
sama. Kita sama-sama yatim piatu, tidak punya sanak saudara. Dan nasib pula
yang mempertemukan kita di sini, sejak di warung nasi itu. Marilah kita bekerja
sama dan saling bantu, karena perjalanan ke kota raja bukanlah perjalanan yang
dekat."
Mereka
berdua lalu menuruni lereng itu. Hati Bi Lan yang tadinya kecewa dan murung
karena kehilangan Ban-tok-kiam, mulai terhibur sehingga dalam waktu beberapa
hari saja, sudah pulih kembali sikapnya yang gembira dan jenaka.
***************
Kalau saja
dua orang muda itu mengenal siapa adanya Tiong Khi Hwesio, tentu mereka akan
terkejut dan tidak merasa aneh lagi mengapa hwesio itu mengenal tokoh-tokoh
keluarga Pulau Es, bahkan mengenal baik kakek Kao Kok Cu dan nenek Wan Ceng.
Tiong Khi
Hwesio bukanlah orang sembarangan. Di waktu mudanya, dia pernah menjadi seorang
pendekar yang bersama-sama keturunan keluarga Pulau Es pernah membuat geger
dunia persilatan. Ketika ia muda dahulu, nama Wan Tek Hoat dengan julukannya Si
Jari Maut amat terkenal, bahkan mengguncangkan dunia persilatan dengan wataknya
yang keras dan kadang-kadang aneh.
Dia pun
bukan keturunan sembarangan. Ayahnya yang bernama Wan Keng In adalah putera
nenek Lulu yang kemudian menjadi isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti dari
Pulau Es. Jadi, pendekar sakti itu adalah ayah tirinya. Ilmu kepandaian Wan Tek
Hoat ini hebat sekali, sejajar dengan kepandaian para keluarga Pulau Es.
Ia pernah
digembleng oleh Sai-cu Lo-mo, seorang kakek sakti, lalu ilmu kepandaiannya
meningkat dengan amat hebatnya pada waktu dia mewarisi kitab-kitab dari
Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauwjin dari Pulau Neraka! Para pembaca seri
cerita JODOH RAJAWALI dan selanjutnya dapat mengikuti riwayat Wan Tek Hoat yang
amat hebat itu.
Kemudian,
setelah mengalami kepahitan-kepahitan cinta asmara yang gagal, akhirnya dia
berhasil juga menjadi suami wanita yang sejak semula telah dicintanya, yaitu
Puteri Syanti Dewi, puteri negeri Bhutan. Bahkan sebagai mantu raja, Wan Tek
Hoat terkenal sekali di Bhutan, membantu kerajaan itu dengan ilmu
kepandaiannya, melatih para perwira, bahkan dia pernah berjasa sebagai panglima
kerajaan menumpas kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di negara itu.
Dia hidup
penuh kasih sayang dengan isterinya, dan suami isteri ini mempunyai seorang
anak perempuan bernama Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee. Tentu saja suami isteri
ini amat sayang kepada puteri mereka karena mereka itu dikurniai seorang anak
setelah usia mereka mendekati lima puluh tahun. Dan mengenai Wan Hong Bwee atau
Gangga Dewi ini, dapat diikuti riwayatnya di dalam kisah Para Pendekar Pulau
Es.
Di dalam
perantauannya, Gangga Dewi bertemu dengan Suma Ciang Bun yang jatuh cinta
kepadanya, akan tetapi Gangga Dewi tidak membalas cintanya, bahkan melarikan
diri kembali ke Bhutan. Kemudian, Wan Hong Bwee menikah dengan seorang pemuda
perkasa di Bhutan yang menjadi murid ayahnya sendiri dan mereka hidup
berbahagia karena pemuda itu pun menjadi seorang panglima Bhutan yang terkenal.
Ketika Wan
Tek Hoat berusia hampir tujuh puluh tahun, dan isterinya hanya dua tahun lebih
muda darinya, Syanti Dewi, isteri tercinta itu, meninggal dunia. Hal ini
merupakan pukulan batin yang amat hebat bagi Wan Tek Hoat. Biar pun mereka
mempunyai seorang puteri yang sudah mempunyai dua orang anak pula, namun
kedukaan Wan Tek Hoat tak tertahankan oleh pendekar ini membuatnya seperti
orang gila. Dia tidak mau lagi kembali ke istana, dan hidup seperti orang gila
di dekat makam isterinya!
Sampai satu
tahun lamanya dia bertapa di dekat makam isterinya, mengharapkan kematian akan
segera menjemputnya supaya dia dapat bersatu kembali dengan isteri tercinta.
Namun, agaknya kematian belum juga mau menyentuhnya dan dia tetap segar bugar
setelah setahun hidup di dekat makam.
Semua
bujukan dan hiburan Gangga Dewi bersama suaminya tidak dapat mencairkan
kedukaannya. Bahkan dia marah-marah dan tidak ada orang lain kecuali anaknya
dan mantunya itu yang berani mendekati makam itu, apa lagi membujuk Wan Tek
Hoat yang telah menjadi seorang kakek berusia hampir tujuh puluh tahun itu.
Salah-salah orang yang berani lancang membujuknya akan diserangnya dan
celakalah kalau ada orang diserang oleh kakek yang sakti ini.
Akan tetapi
pada suatu pagi yang cerah, selagi Wan Tek Hoat seperti biasa duduk termenung
di depan makam isterinya, membayangkan segala pengalamannya bersama Syanti Dewi
di waktu mereka masih muda, tiba-tiba saja terdengar suara nyanyian seorang
laki-laki, suara nyanyian lembut sekali.
Mendengar
ada suara orang di dekat situ, muka Wan Tek Hoat sudah menjadi merah dan
matanya melotot. Kemarahan sudah menguasai hatinya yang setiap hari tenggelam
ke dalam duka itu. Akan tetapi, pendengarannya tak dapat melepaskan kata-kata
yang terkandung di dalam nyanyian itu.
Menurut
dorongan hatinya yang sudah rusak direndam racun duka selama satu tahun, ingin
dia menghampiri orang yang berani bernyanyi-nyanyi di dekat makam itu dan
seketika membunuhnya. Akan tetapi, kata-kata dalam nyanyian itu membuat dia
tetap duduk terpukau dan mendengarkan.
Mana lebih
baik siang atau malam?
Mana lebih
baik hidup atau mati?
Siapa tahu?
Siapa bilang
siang lebih indah dari pada malam?
Siapa bilang
hidup lebih enak dari pada mati?
Tanpa malam
takkan ada siang,
tanpa mati
takkan ada hidup.
Hidup dan mati
tak terpisahkan.
Mati adalah
lanjutan hidup,
dan hidup
kelanjutan mati.
Mungkinkah
meniadakan kematian?
Seperti
meniadakan matahari tenggelam!
Bebas dari
segala ikatan lahir batin
berarti
hidup dalam mati dan mati dalam hidup
selalu
senyum bahagia tidak peduli
dalam hidup
mau pun dalam mati
demikianlah
seorang bijaksana sejati!
Setelah
mendengar semua kata-kata dalam nyanyian itu, Wan Tek Hoat mengerutkan alisnya
dan dia pun meloncat. Sekali tubuhnya melayang, dia sudah tiba di luar tanah
kuburan itu dan berhadapan dengan seorang kakek berkepala gundul, memakai jubah
hwesio, tangan kiri memegang tongkat, lengan kirinya digantungi sebuah
keranjang dan tangan kanannya asyik memetik daun-daun obat yang kemudian
dikumpulkannya di dalam keranjang.
Sekali
mengulur tangan, Wan Tek Hoat sudah mencengkeram jubah pendeta itu pada dadanya
dan dengan mudah dia mengangkat tubuh pendeta itu ke atas, siap untuk memukul
atau membantingnya. Akan tetapi, wajah pendeta yang usianya lebih tua darinya
itu nampak tersenyum demikian lembutnya, pandang matanya sama sekali tidak
menunjukkan rasa kaget atau takut sehingga timbul keheranan dan kekaguman di
hati Wan Tek Hoat.
"Kau
bilang hidup dan mati tiada bedanya? Bagaimana jika sekarang kubanting hancur
tubuhmu dan nyawamu melayang ke akhirat?" bentaknya dengan suara mengejek.
"Siancai...!
Orang lemah batin dan hanya kuat lahir, apakah kau kira kau akan mampu
melenyapkan kehidupan? Omitohud, semoga penerangan mengusir kegelapan dalam
batinmu. Tubuh ini dapat kau hancurkan, tanpa kau hancurkan pun pada saatnya
akan rusak sendiri. Mati hidup bukan urusan kita, akan tetapi mengisi kehidupan
dengan kesadaran itulah kewajiban kita. Wahai saudara yang lemah batin, kalau
kau anggap bahwa dengan jalan menghancurkan tubuhku ini engkau akan dapat
terbebas dari pada duka, silakan. Aku tidak pernah terikat oleh apa pun, tidak
terikat pula oleh tubuh yang sudah tua dan rapuh ini. Silakan!"
Mendengar
ucapan itu, dan melihat betapa benar-benar kakek yang tua renta ini sama sekali
tidak gentar menghadapi ancamannya, seketika kedua lengan Wan Tek Hoat gemetar
dan dia pun menurunkan kakek itu kembali, lalu dia menutupi muka dengan kedua
tangannya.
"Saudara
yang kuat lahir namun lemah batin, apa manfaatnya bagimu sendiri atau bagi
orang lain atau bagi alam ini kalau engkau menenggelamkan dirimu di dalam
lembah duka seperti ini? Mengapa kau biarkan racun kedukaan yang melahirkan
kebencian itu menguasai batinmu?"
Air mata
lalu menetes-netes turun melalui celah-celah jari tangan Wan Tek Hoat. Dia
menangis sesenggukan!
Peristiwa
ini merupakan hal yang amat luar biasa. Wan Tek Hoat adalah seorang pendekar
yang berhati baja. Biasanya, tangis merupakan pantangan besar baginya. Hatinya
tak pernah menyerah dan tidak pernah memperlihatkan kelemahan. Di depan orang
lain, sampai mati pun dia tentu merasa malu untuk menangis.
Akan tetapi
kini, setelah mendengar ucapan kakek itu, dia menangis sesenggukan, tak
tertahankannya lagi karena air matanya itu seperti air bah yang tadinya
terbendung oleh bendungan yang amat kuat. Akan tetapi kini bendungan itu jebol
dan air bah menerjang keluar tak dapat ditahannya lagi. Wan Tek Hoat, pendekar
yang pernah dijuluki Si Jari Maut itu kini menangis seperti seorang anak kecil,
menutupi muka dengan kedua tangan, terisak-isak, kedua pundaknya
terguncang-guncang dan air mata menitik turun melalui celah-celah jari
tangannya.
Pendeta
berkepala gundul itu membiarkan Wan Tek Hoat menangis seperti anak kecil,
memandang sambil tersenyum dan mengangguk-angguk. Kakek yang arif bijaksana ini
seolah-olah melihat getaran kekuatan duka ikut terseret keluar melalui banjir
air mata itu dan maklumlah dia bahwa tangis yang mendalam ini sedikit banyak
akan membebaskan dada si penderita ini dari pada tekanan duka. Tangis akan
membebaskan orang dari tekanan duka yang dapat mendatangkan penyakit berat pada
tubuh.
Setelah diserang
oleh dorongan tangis yang hebat itu, Wan Tek Hoat akhirnya sadar akan keadaan
dirinya. Hal ini membuat dia merasa terkejut dan malu, dan cepat dia mengangkat
mukanya memandang, karena kemarahan sudah timbul kembali ke dalam hatinya yang
keras.
Ketika
mengangkat muka, pandang matanya yang agak kabur oleh air mata, bertemu dengan
wajah yang demikian lembut dan mengandung kasih demikian mendalam, pancaran
sinar mata yang demikian halus dan penuh pengertian, dan seketika luluh rasa
hati Wan Tek Hoat. Semua kemarahannya lenyap bagaikan api disiram air. Dan
pendekar tua yang selamanya tidak pernah mau tunduk kepada orang lain itu pun
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki yang bersandal rumput itu.
"Suhu
yang budiman, saya mohon petunjuk dan berkah..."
Melihat ini,
kakek yang usianya tentu sudah delapan puluh tahun lebih itu tersenyum, senyum
yang tidak bersuara akan tetapi seolah-olah keadaan sekeliling tempat itu ikut
terseret dalam senyum bahagia itu.
"Omitohud...,
saudaraku yang baik, marilah kita duduk dan bicara dengan baik-baik."
Dia pun lalu
duduk di atas rumput, di depan Wan Tek Hoat yang juga sudah duduk bersila.
Dengan tenang dan sabar kakek itu meletakkan tongkat dan keranjangnya di kanan
kiri tubuhnya, membereskan jubahnya dan duduk bersila dengan tubuh tegak lurus,
kelihatan nyaman sekali, tanda bahwa duduk bersila dengan baik merupakan
pekerjaan yang sudah dikuasainya dengan sempurna.
Sejenak
mereka duduk berhadapan dan saling berpandangan. Bagi orang-orang yang sudah
waspada atau setengah waspada, terdapat suatu hubungan antar manusia tanpa
kata-kata. Pandang mata yang didasari sari perasaan yang tercurah sudah cukup
untuk mengadakan komunikasi yang mendalam, dan memang kata-kata tidak diperlukan
lagi di sini. Akan tetapi, kakek itu melihat betapa batin Wan Tek Hoat masih
penuh dengan uap beracun yang dinamakan duka, maka dia menarik napas panjang
lagi.
"Omitohud,
saudaraku yang baik. Jangan minta petunjuk dari pinceng. Petunjuk sudah ada selengkapnya
dan sebijaksana mungkin di sekitar dirimu, di luar dirimu, di dalam dirimu.
Engkau hanya tinggal membuka mata, baik mata badan mau pun mata batin, membuka
dan memandang, mengamati, maka engkau sudah mendapat segala macam petunjuk yang
kau butuhkan dalam kehidupan ini. Engkau tak perlu lagi meminta berkah karena
kalau engkau mau membuka mata batinmu, akan nampaklah bahwa berkah itu sudah
mengalir berlimpahan semenjak kita lahir sampai kita mati, tiada putus-putusnya
berkah mengalir kepada kita. Kita tinggal mengulur tangan dan meraih saja.
Sayang, betapa banyaknya mata manusia seolah-olah buta, tidak melihat akan
limpahan berkah, merengek dan meminta-minta selalu tanpa melihat yang sudah
ada. Lihat! Napasku adalah berkah, denyut darahku adalah berkah, kehidupanku
adalah berkah, dan alam semesta adalah berkah. Lalu apa lagi yang harus kita
minta? Kita tidak mau melihat itu semua, tetapi merendam diri ke dalam duka,
kehilangan, kekecewaan, kesengsaraan. Betapa pun bodohnya kita ini!"
Wan Tek Hoat
bukanlah seorang anak bodoh, melainkan seorang kakek yang sudah banyak belajar,
dan banyak pula mempelajari filsafat dan kitab-kitab suci kuno. Akan tetapi,
baru sekarang dia mendengar ucapan yang begitu sederhana namun menembus
batinnya, dan hatinya pun tunduk. Dia maklum bahwa dia berhadapan dengan
seorang yang arif bijaksana, seorang yang patut dijadikan tempat bertanya,
seorang yang tidak lagi diperhambakan oleh nafsu-nafsunya dan perasaan-perasaan
hatinya.
"Akan
tetapi, suhu yang mulia. Saya sedang menderita duka karena kematian isteri saya
tercinta. Bukankah hal itu pun wajar saja? Saya seorang manusia yang
berperasaan, tidak lepas dari pada suka duka, dan saya amat mencinta isteri
saya, yang lebih saya cintai dari pada apa pun juga di dunia ini. Dan sekarang
dia... dia... telah meninggal dunia..."
Duka
menyesak dadanya sehingga kalimat terakhir itu tersendat-sendat. Kakek itu
tetap masih tersenyum dan mengangguk-angguk, kemudian mengangkat muka memandang
ke arah awan berarak dan kembali dia bernyanyi.
Anak isteri
ini milik saya,
harta benda
itu milik saya,
dengan
pikiran ini si dungu selalu tersiksa,
dirinya
sendiri pun bukan miliknya,
apa lagi
anak isteri dan harta benda?
Wan Tek Hoat
membantah, "Suhu yang mulia, duka ini datang tanpa saya sengaja, bagaimana
akan dapat menghilangkan duka selagi hidup di dunia?"
"Omitohud,
perlukah hal ini saudara tanyakan lagi?" kata kakek itu dengan ramah.
"Mempunyai akan tetapi tidak memiliki, itulah orang bijaksana yang tidak
akan tersentuh duka."
"Mempunyai
tetapi tidak memiliki, bagaimana pula ini, suhu? Bukankah mempunyai sama dengan
memiliki?"
"Mempunyai
lahiriah, hal itu terikat oleh hukum-hukum lahiriah yang dibuat manusia.
Mempunyai badaniah tidak perlu menjadi memiliki batiniah. Keluargaku dengan
segala hak dan kewajibannya, hal itu adalah urusan lahiriah yang diperlukan
untuk kehidupan bermasyarakat. Akan tetapi, batin tidak perlu memiliki karena
sekali batin memiliki, maka akan terjadi ikatan batin dan inilah sumber segala
kesengsaraan, sumber segala duka! Harta bendaku hanya kepunyaan badan karena
harta benda hanya diperlukan oleh badan. Namun, sekali batin memiliki pula
harta benda itu, akan terjadilah kehilangan yang akan mengakibatkan duka dan
kesengsaraan. Ingat, hanya dia yang memiliki sajalah yang akan kehilangan.
Batin yang tidak memiliki apa-apa, batin yang bebas dan tidak terikat oleh apa
pun juga, tidak terikat oleh isteri, oleh anak, keluarga, harta benda dan
sebagainya, batin seperti itu bebas dan murni dan takkan tersentuh duka. Lihat,
saudaraku yang baik. Badan ini memang punya saya, dan adalah kewajiban saya
untuk menjaganya, memeliharanya, membersihkannya, melindunginya. Akan tetapi
badan ini punya saya lahiriah saja. Batin tidak harus memiliki dan terikat
karena kewaspadaan bahwa segalanya itu akan berakhir dan ikatan itu hanya
menimbulkan duka karena kehilangan dan iba diri. Ikatan batin selalu
menumbuhkan akar, dan jika tiba saatnya perpisahan, maka akar itu akan tercabut
dengan kekerasan sehingga menimbulkan luka berdarah."
"Akan
tetapi, suhu yang mulia, bukankah kalau batin tidak memiliki lalu kita bersikap
acuh dan tidak peduli akan segalanya itu? Bagaimana mungkin saya mengacuhkan
isteri saya yang amat saya cinta?"
Diserang
demikian, kakek itu tersenyum lebar penuh kesabaran bagaikan seorang guru yang
baik hati sedang menghadapi seorang murid yang masih bodoh. Dan memang
sesungguhnyalah, saat menghadapi alam yang menjadi guru, kita manusia ini
hanyalah murid-murid yang bodoh, anak-anak kecil yang tubuhnya besar.
"Saudaraku
yang baik, justru karena tidak adanya ikatan batin, maka batin menjadi bebas
dan hanya batin yang bebas sajalah yang penuh dengan cinta kasih. Sinar cinta
kasih itu akan hidup terus dan dengan adanya sinar cinta kasih, bagaimana
mungkin orang menjadi acuh? Sebaliknya, cinta kasih membuat orang penuh
perhatian dan waspada terhadap segala-galanya, baik yang terjadi di dalam mau
pun di luar dirinya."
"Saya
dapat melihat kebenaran dalam semua ucapan suhu. Akan tetapi, saya memang
terikat lahir batin dengan isteri saya, dan karena itulah saya menderita dan
kehilangan karena kematiannya. Kalau saya tidak mencinta isteri saya, mana
mungkin tidak terikat lahir batin saya, suhu?"
"Siancai...
di sinilah letak persimpangan yang membingungkan semua orang. Tentang cinta dan
ikatan! Saudaraku, cinta kasih itu hanya ada kalau di situ terdapat kebebasan.
Cinta kasih itu kebebasan. Ikatan bahkan meniadakan cinta kasih. Ikatan itu
hanya akan menciptakan duka, dan ikatan terjadi karena nafsu, saudaraku! Cinta
tidak menimbulkan ikatan, akan tetapi nafsulah yang menimbulkan ikatan. Nafsu
timbul karena adanya aku. Cinta kasih yang mengandung ikatan bukanlah cinta
kasih, melainkan nafsu yang memakai nama cinta. Dan nafsu itu berarti mencinta
diri sendiri. Saudaraku yang baik, apakah saudara mencinta mendiang isteri
saudara?"
Mendengar
pertanyaan ini, terkejutlah hati Wan Tek Hoat, matanya terbelalak lebar dan
sejenak hatinya terasa panas. Ahh, betapa tangannya ingin sekali bergerak
menyerang, mungkin membunuh orang yang berani meragukan cintanya terhadap
isterinya! Tetapi pertanyaan dari mulut kakek itu dikeluarkan demikian halus
dan wajar, sama sekali tidak mengandung ejekan, keraguan atau celaan, bahkan
dia merasa seolah-olah batinnya sendiri yang tadi mengajukan pertanyaan.
"Apa...
apa maksud pertanyaan suhu ini?" dia tergagap.
"Maksudku
agar engkau dapat melihat sendiri, mengamati sendiri, menjenguk isi hatimu
apakah engkau mencinta isterimu, ataukah hanya mencinta diri sendiri,"
"Suhu,
tentu saja saya mencinta isteri saya! Ahh, suhu tidak tahu betapa besar cinta
kasih saya kepada mendiang isteri saya!" Wan Tek Hoat lalu mengemukakan
semua pengalamannya bersama isterinya yang dicintanya.
Kakek itu
mengangguk-angguk. "Begitulah anggapan semua orang tentang cinta. Akan
tetapi, saudaraku yang baik, marilah kita bersama menyelidiki tentang cinta
ini. Kalau benar bahwa engkau mencinta mendiang isterimu, lalu mengapa sekarang
engkau menangisi kematiannya, berduka karena kematiannya? Mengapa...?"
Pertanyaan
ini mengejutkan hati Wan Tek Hoat dan membuatnya tercengang. Sejenak dia tak
mampu menjawab. "Mengapa? Tentu saja saya menangisi kematiannya karena
saya cinta kepadanya, karena saya kehilangan..."
"Nah,
berhenti!" Kakek itu mengangkat tangannya menghentikan ucapan Wan Tek Hoat
yang belum selasai. "Itulah, lihat baik-baik dan engkau akan menemukannya.
Karena kehilangan! Karena kehilangan isterimu maka engkau berduka, menangis,
merasa iba kepada diri sendiri."
"Tapi...
tapi saya merasa kasihan kepadanya..."
"Saudaraku
yang baik. Apakah itu benar? Benarkah engkau merasa kasihan kepada isterimu dan
karena kasihan itu engkau menangisi kematiannya? Kalau benar demikian, mengapa
engkau merasa iba kepadanya? Karena dia mati? Bagaimana mungkin kau dapat
mengasihani seseorang yang mati kalau engkau sendiri tidak tahu bagaimana
keadaan orang setelah mati? Yang jelas, ia telah kehilangan badannya yang menua
dan rapuh, tidak merasakan lagi gangguan usia tua, bebas dari penanggungan
badannya. Tidak, kalau kita mau jujur, akan nampaklah oleh kita bahwa yang kita
tangisi dalam kematian seseorang bukanlah si mati, melainkan diri sendiri. Kita
menangis karena kita ditinggal, karena kita kehilangan sesuatu yang
menyenangkan yang kita peroleh dari orang yang kita cinta itu. Cinta tidak
mengandung ikatan, dan karena tidak ada ikatan inilah, maka tidak akan ada duka
pada saat perpisahan. Dalam kedukaan saudara ini, yang ada bukanlah cinta,
melainkan nafsu dan terputusnya ikatan yang mengakar di dalam batin. Duka
saudara bukan karena cinta kepada yang mati, melainkan karena iba diri sendiri
yang ditinggalkan."
Sekonyong-konyong
Wan Tek Hoat merasa seakan-akan kepalanya disiram air dingin yang membuatnya
gelagapan, akan tetapi juga membuat dia sadar. Hatinya tersentuh keharuan dan
dia pun menjatuhkan diri berlutut.
"Suhu...
saya dapat melihatnya sekarang. Saya harap suhu sudi memberi bimbingan kepada
saya untuk selanjutnya. Saya akan belajar mencari kebebasan..."
"Omitohud,
omonganmu itu keliru, saudara. Jangan katakan mencari kebebasan, karena
kebebasan tidak mungkin dapat dicari. Yang penting, patahkan semua belenggu
dari batin. Kalau sudah tidak ada ikatan, dengan sendirinya sudah bebas, bukan?
Dalam keadaan terbelenggu, mana mungkin mencari kebebasan? Berada di dalam
kurungan nafsu keakuan, tak mungkin mencari kebebasan. Kebebasan yang ditemukan
di dalam kurungan itu bukanlah kebebasan yang sejati. Hanya kalau kita telah
mampu menjebol kurungan itu dan berada di luar, barulah kita boleh bicara
tentang kebebasan."
"Saya
ingin mempelajari tentang kehidupan dari suhu, harap suhu suka menerima saya
sebagai murid."
Kakek itu
tersenyum dan mengajak pergi Wan Tek Hoat. Semenjak hari itu, tidak ada seorang
pun di Bhutan yang pernah melihat lagi bekas panglima itu. Oleh kakek yang arif
bijaksana itu, Wan Tek Hoat diajak merantau ke Tibet, diperkenalkan dengan para
pendeta Lama dan para pertapa, juga memperdalam kewaspadaan dan kebijaksanaan,
mempelajari tentang kehidupan, tentang alam. Wan Tek Hoat lalu mencukur rambut
kepalanya, mengenakan jubah pendeta yang sederhana dan memakai nama Tiong Khi
Hwesio.
Akan tetapi
di Tibet terdapat banyak aliran keagamaan. Banyak orang-orang pandai di
kalangan pendeta yang saling memperebutkan kekuasaan sehingga terjadi
perpecahan dan ada pula pemberontakan ditujukan kepada Kerajaan Ceng. Hal ini
menyedihkan hati Tiong Khi Hwesio.
Tak
disangkanya bahwa biar pun manusia ada yang sudah berjubah pendeta, namun tetap
saja jarang yang benar-benar sudah bebas, dan nafsu masih mencengkeram dalam
berbagai bentuk, dengan umpan-umpan yang berbeda pula dengan yang dikejar orang
di dunia ramai. Kalau di dunia ramai orang berebutan mengejar kemuliaan dan
harta atau kesenangan-kesenangan lainnya, di tempat sunyi itu, para pendeta itu
saling memperebutkan kedudukan, yaitu nama dan kehormatan!
Akhirnya,
pemberontakan-pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh bala tentara yang dikirim
Kaisar Kian Liong. Keadaan di Tibet menjadi aman kembali. Akan tetapi, ada satu
golongan yang selalu memberontak dan mengeruhkan keamanan di Tibet.
Golongan ini
menamakan dirinya golongan Lama Jubah Merah dan dipimpin oleh Sai-cu Lama yang
sakti. Karena para pendeta Lama di Tibet merasa kehabisan akal untuk dapat
menundukkan Sai-cu Lama dan anak buahnya, akhirnya Tiong Khi Hwesio yang
dikenal oleh para pendeta sebagai seorang yang memiliki ilmu silat tinggi,
dimintai tolong oleh para pendeta itu.
Mula-mula
Tiong Khi Hwesio menolak permintaan bantuan ini. Ia sudah berjanji kepada diri
sendiri untuk tidak melibatkan diri dalam urusan dunia, apa lagi dia
mendapatkan banyak pelajaran dari gurunya, hwesio perantau yang tak pernah
dikenal namanya itu yang kini sudah meninggal dunia.
"Aku
sudah berjanji kepada diri sendiri untuk tidak lagi menggunakan kekerasan untuk
menghadapi orang lain," demikian dia menyatakan penolakannya kepada para
pendeta Lama di Tibet. "Kekerasan selalu hanya mendatangkan kebencian dan
permusuhan, menimbulkan dendam. Tidak, aku tidak akan mau mempergunakan kekerasan
lagi, para suhu yang baik," katanya.
Lama tertua
di antara para pendeta itu melangkah maju dan merangkap kedua tangan ke depan
dada. "Omitohud, semoga Sang Buddha memberkahi keyakinan hati saudara yang
budiman. Memang, kita semua maklum bahwa menggunakan kekerasan bukanlah
perbuatan yang baik. Akan tetapi, saudaraku yang budiman, menjadi kewajiban
mutlak bagi kita untuk melindungi diri dari pada ancaman dari luar, terutama
sekali melindungi orang lain dari pada ancaman dari luar. Golongan Jubah Merah
telah menyebar maut, bertindak sewenang-wenang hanya untuk melampiaskan
nafsu-nafsu hewani mereka. Kalau kita menentang mereka, bukan berarti kita suka
akan kekerasan, melainkan kita menggunakan tenaga untuk menghentikan perbuatan
yang justru bersifat kekerasan itu. Apakah saudara hendak membarkan saja
golongan itu merajalela, menyiksa dan membunuh, merampok dan memperkosa, tanpa
ada sedikit pun semangat dalam batin saudara untuk menolong mereka yang
tertindas itu? Benarkah dan patutkah seorang pencinta kehidupan seperti saudara
ini membiarkan orang-orang merusak kehidupan? Apa lagi kalau diingat bahwa
saudara memiliki sarana untuk menghentikan perbuatan laknat itu."
Tiong Khi
Hwesio menarik napas panjang dan membuka mata memandang kepada semua pendeta itu.
"Aihhh, tidak bolehkah aku menghabiskan sisa hidupku yang tidak seberapa
ini dengan penuh ketenteraman dan kedamaian?"
"Bagaimana
hati kita dapat tenteram dan damai kalau di sekitar kita terdapat
serigala-serigala yang haus darah? Apakah kita harus mendiamkan saja
serigala-serigala itu menyerang, menerkam dan membunuh banyak orang?"
"Sudahlah,
sudahlah... pinceng akan menemui dan membujuk mereka...," akhirnya dia
berkata. Para pendeta Lama itu segera menyatakan terima kasih dan rasa
bersyukur mereka.
Dengan penuh
perasaan gelisah karena dia lagi-lagi harus menghadapi kekerasan, Tiong Khi
Hwesio yang dahulunya bernama Wan Tek Hoat dan berjuluk Si Jari Maut itu,
segera mendatangi perkampungan para Lama Jubah Merah. Dan apa yang didapatinya
di sini membangkitkan jiwa pendekarnya yang sejak lama tidur. Bagaimana dia
dapat berdiam diri saja menyaksikan betapa para pendeta Lama ini menjadi
budak-budak nafsu mereka yang nampak jelas di dalam perkampungan mereka?
Mereka
berpesta pora atas hasil perampokan-perampokan dan penculikan-penculikan
mereka, mengumpulkan harta rampasan, minum-minum sampai mabok dan bahkan ada
yang sedang menghina wanita-wanita culikan dengan semena-mena. Tentu saja Tiong
Khi Hwesio menjadi marah, akan tetapi dia masih berusaha untuk menemui kepala
atau pimpinan kelompok Jubah Merah itu.
Melihat
seorang hwesio muncul di pintu gerbang mereka, beberapa orang Lama Jubah Merah
menyambutnya dengan mulut menyeringai. "Sobat, apakah engkau datang ingin
ikut bersenang-senang dengan kami?"
"Pinceng
datang untuk bertemu dan bicara dengan pemimpin kalian, Sai-cu Lama."
"Ha-ha-ha,
pemimpin kami sedang bersenang-senang dengan wanita pilihannya yang baru saja
kami dapatkan. Beliau tidak suka diganggu pada saat ini. Jika ada keperluan,
bicara dengan kami pun sama saja, kawan. Ada keperluan apakah?"
Tiong Khi
Hwesio mengerutkan alisnya yang masih tebal walau pun warnanya sudah putih.
Hatinya sedih luar biasa menyaksikan tingkah polah para pendeta Lama ini, yang
sungguh berbeda dan bahkan bertolak belakang dengan jubah mereka dan kepala
gundul mereka.
"Maafkan,
pinceng tak dapat bicara dengan siapa pun juga kecuali dengan Sai-cu Lama dan
dia harus keluar menyambut pinceng sekarang juga. Kalau tak ada di antara
kalian yang mau memanggilkannya, biarlah pinceng sendiri yang akan
mencarinya." Berkata demikian, Tiong Khi Hwesio melanjutkan langkah
kakinya memasuki perkampungan itu.
"Heii,
tunggu dulu!"
Dua orang
pendeta Lama cepat-cepat menghadang dan muka mereka menunjukkan kemarahan.
Lenyaplah senyum mereka tadi yang ramah, terganti pandang mata penuh curiga.
Terpaksa Tiong Khi Hwesio berhenti dan menghadapi kedua orang itu dengan sikap
tenang.
"Siapakah
kamu yang berani hendak mengganggu pimpinan kami? Kamu tidak boleh mengganggu
dan pergilah dari sini sebelum kami mempergunakan kekerasan!"
"Omitohud!"
Tiong Khi Hwesio menyembah dengan dua tangan di depan dada. "Pinceng
datang bukan untuk mencari pertentangan, melainkan hendak bicara dengan
pimpinan kalian. Panggil dia ke luar."
"Tidak!
Apakah kamu belum mengenal para Lama Jubah Merah dan datang mencari
penyakit?" Seorang Lama yang bertubuh tinggi besar dengan wajahnya yang
nampak bengis membentak, sikapnya amat mengancam. "Pergilah sekarang juga.
Kami masih memandang kedudukanmu sebagai seorang hwesio. Pergilah atau terpaksa
aku akan melemparmu keluar!"
Tiong Khi
Hwesio menarik napas panjang. "Siancai... sekali lagi pinceng katakan
bahwa pinceng tidak mencari permusuhan." Kemudian dia mengerahkan khikang
dan berteriak, suaranya amat lantang menembus udara dan terdengar sampai jauh
di seluruh penjuru perkampungan itu dan mengejutkan semua orang, "Sai-cu
Lama, keluarlah, pinceng hendak bicara denganmu!"
Melihat ini,
dua orang pendeta Lama itu menjadi marah dan mereka sudah menubruk dan hendak
menangkap hwesio tua yang datang membuat kacau itu. Akan tetapi, mereka berdua
menangkap angin karena yang ditubruk tahu-tahu sudah lenyap dari depan mereka!
Tentu saja mereka kaget bukan main dan para pendeta Lama yang lain kini sudah
datang mengepung Tiong Khi Hwesio yang tadi dapat mengelak dengan mudah dari
tubrukan dua orang lawan itu.
"Tangkap
pengacau! Pukul roboh dia!" terdengar teriakan-teriakan.
Kini para
pendeta yang semua memakai jubah merah itu mengepung dan menyerang Tiong Khi
Hwesio dari segala jurusan. Mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat yang amat
tinggi. Menghadapi serangan dari semua jurusan ini, Tiong Khi Hwesio sama
sekali tidak menjadi gentar. Kalau serangan itu dilakukan terhadap dirinya
sepuluh tahun yang lalu saja, tentu dia akan mengamuk dan merobohkan mereka
semua tanpa ampun lagi.
Akan tetapi,
Tiong Khi Hwesio sekarang ini sama sekali berbeda dengan Wan Tek Hoat atau Si
Jari Maut. Selama beberapa tahun ini dia hidup di dekat kakek hwesio yang
menyadarkannya, dia telah mampu mengalahkan kekerasan hatinya. Kini hatinya
tidak mudah tersinggung kemarahan atau emosi yang lain. Ia selalu tenang dan
memandang segala hal yang terjadi dengan sinar mata penuh pengertian sehingga
keadaan batinnya seperti air telaga yang dalam dan selalu tenang, sikapnya
halus dan wajahnya selalu tersenyum.
Terjangan
yang dilakukan dengan kemarahan oleh para pendeta Lama berjubah merah itu,
hanya disambutnya dengan elakan dan tangkisan. Gerakannya demikian cepatnya
sehingga beberapa kali ia seperti menghilang dari kepungan, membuat para
pengepung terheran-heran dan keadaan menjadi semakin kacau balau.
"Sai-cu
Lama, apakah engkau termasuk orang yang berani berbuat akan tetapi tidak berani
bertanggung jawab?" kembali Tiong Khi Hwesio berteriak dengan pengerahan
khikang-nya ketika dia kembali berhasil meloncat keluar dari kepungan dan
membiarkan para pengeroyoknya kebingungan mencari-carinya.
Mendengar
suaranya, kembali para pendeta yang kini jumlahnya tidak kurang dari dua puluh
orang itu sudah menerjang dan menubruknya, bahkan sebagian di antara mereka ada
pula yang menggunakan senjata. Tiong Khi Hwesio sedang berdiri tegak ketika dua
puluh orang pendeta itu menerjangnya dari depan, belakang dan kanan kiri.
Karena tidak
mungkin mengelak atau menangkis semua serangan itu satu demi satu, Tiong Khi
Hwesio tidak bergerak mengelak. Tiba-tiba saja dari mulutnya terdengar suara
melengking, dua kakinya dipentang dan dua lengannya juga dikembangkan, lalu
diputar di sekeliling tubuhnya. Akibatnya, para pengeroyok itu berpelantingan
seperti diterjang angin puyuh yang amat kuat!
Terkejutlah
kini para pengeroyok itu. Tak mereka sangka bahwa hwesio yang datang ini memiliki
kesaktian yang demikian hebat, dan sebagai orang-orang yang memiliki ilmu silat
tinggi, mereka maklum bahwa kalau lawan itu menghendaki, tentu mereka semua
sudah roboh dan terluka berat, tidak hanya berpelantingan seperti itu. Segera
timbul kekhawatiran hati mereka. Jangan-jangan orang ini sahabat dari pemimpin
mereka yang mempuyai keperluan ingin bertemu dengan Sai-cu Lama.
Akan tetapi
mereka tak perlu ragu-ragu lagi karena pada saat itu terdengar suara keras dan
mengandung getaran parau bagai suara seekor singa mengaum. Mendengar suara ini,
para pendeta Lama cepat-cepat menahan napas, bahkan ada yang menutupi kedua
telinga karena tidak tahan mendengar suara yang mengandung khikang amat kuat
dan yang menggetarkan jantung mereka itu.
"Hwesio
tolol dari manakah berani main gila di depan Sai-cu Lama!" demikian
bentakan suara itu dan tahu-tahu di situ telah muncul seorang kakek bertubuh
tinggi besar dan berperut gendut sekali, kepalanya gundul dan jubahnya bukan
hanya merah seperti yang dipakai para pendeta di situ, melainkan kotak-kotak
berwarna merah kuning. Biar pun kepalanya gundul plontos licin, namun mukanya
penuh cambang bauk seperti muka singa karena dari cambang, sampai semua pipi,
kumis dan dagunya penuh rambut yang keriting berwarna agak kekuning-kuningan!
Melihat
pendeta ini, Tiong Khi Hwesio dengan mudah dapat menduga bahwa tentu inilah
orangnya yang berjuluk Sai-cu Lama (Pendeta Lama Muka Singa) itu. Diam-diam dia
kagum melihat kakek yang masih membayangkan kegagahan itu, walau pun usianya
tentu sudah enam puluh tahun lebih. Dengan muka seperti itu memang pantas
sekali kalau memakai julukan Muka Singa.
Sejenak hati
kakek ini tertegun. Melihat muka pendeta Lama itu, teringatlah dia akan gurunya
yang pertama kali pada waktu dia masih muda. Gurunya yang pertama adalah
seorang kakek yang berjuluk Sai-cu Lo-mo (Iblis Tua Muka Singa) yang memiliki
muka seperti Sai-cu Lama ini, penuh cambang bauk yang bagus dan gagah seperti
singa. Hanya bedanya, gurunya yang memakai julukan Lo-mo (Iblis Tua) itu adalah
seorang gagah perkasa sebaliknya kakek yang memakai julukan Lama (Pendeta
Buddha Tibet) ini malah seorang hamba nafsu yang jahat! Jelaslah bahwa manusia
tidak dapat diukur dari namanya, julukannya, apa lagi dari pakaiannya.
Setelah
merasa yakin bahwa dia berhadapan dengan orang yang dicarinya, Tiong Khi Hwesio
segera melangkah menghampiri dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan
di depan dada, menjura ke arah kakek bermuka singa itu.
"Omitohud,
kalau tidak keliru pinceng berhadapan dengan yang terhormat Sai-cu Lama,
benarkah itu?"
Sejenak
sepasang mata yang lebar dan penuh kewibawaan itu memandang Tiong Khi Hwesio
penuh selidik. Memang kakek bermuka singa inilah Sai-cu Lama yang terkenal
sekali di Tibet itu.
Mula-mula
kakek ini heran mendengar di luar ada orang memanggil-manggil namanya. Namun
karena dia sedang sibuk dengan seorang gadis yang dipilihnya di antara para
wanita yang diculik, dia tidak mempedulikan panggilan itu dan menyerahkan
kepada anak buahnya untuk menghadapi orang yang berani mengganggu
kesenangannya.
Akan tetapi,
ia kemudian mendengar teriakan-teriakan anak buahnya. Dengan ogah dan marah dia
keluar meninggalkan korbannya dan terkejutlah dia melihat betapa seorang kakek
hwesio yang tua sedang bergerak dengan amat cepatnya menghindarkan semua
serangan para Pendeta Lama. Bahkan dia dibuat tertegun bukan main melihat
betapa sekali menggerakkan tubuhnya, pendeta tua itu berhasil membuat dua puluh
orang anak buahnya berpelantingan.
Maklum bahwa
dia sedang berhadapan dengan orang yang berkepandaian, yang bukan merupakan
lawan para anak buahnya, Sai-cu Lama lalu menghampiri tempat itu. Kini dia
memandang Tiong Khi Hwesio dengan teliti, mencoba untuk mengingat-ingat. Akan
tetapi dia merasa heran dan penasaran karena dia belum pernah mengenal hwesio
tua renta ini.
"Benar,
aku adalah Sai-cu Lama. Setelah mengenalku, engkau masih berani membikin kacau
di perkampungan kami. Apakah kau sudah bosan hidup?"
Tiong Khi
Hwesio tersenyum halus dan ramah. "Sai-cu Lama, pinceng datang sebagai
seorang sahabat, bukan hanya karena kita berdua sama-sama murid Sang Buddha,
akan tetapi juga terutama sekali karena kita berdua sama-sama manusia yang
wajib saling memberi ingat kalau ada yang salah tindak."
"Dan
kau datang untuk memberi peringatan itu?" Sai-cu Lama berkata, alisnya
yang tebal keriting itu berkerut dan mulutnya menyeringai seperti seekor singa
mencium bau kelinci.
Tiong Khi
Hwesio mengangguk. "Omitohud, betapa sukarnya bagi kita untuk mengenal
diri sendiri dan melihat kesalahan-kesalahan sendiri. Selalu harus ada orang
lain yang membantu memberi ingat. Sai-cu Lama, tanpa kuberi tahu sekali pun,
kiranya engkau sudah tahu bahwa saat ini engkau sedang melakukan
penyelewengan-penyelewengan dari jalan kebenaran seperti yang sudah sama-sama
kita pelajari. Engkau menghimpun kawan-kawanmu ini, yang kemudian terkenal di
Tibet sebagai gerombolan yang selalu mengganggu ketenteraman kehidupan rakyat.
Merampok, membunuh, mengumpulkan kekayaan, mengganggu wanita. Bukankah semua
itu merupakan perbuatan yang malah harus dipantang oleh orang-orang yang sudah
menggunduli kepala dan mengenakan jubah pendeta seperti kita? Sai-cu Lama,
pinceng datang untuk memberi ingat kepada kalian semua agar kalian sadar dan
mengubah kesesatan itu mulai saat ini juga, dan kembali ke jalan
kebenaran."
"Keparat!"
Sai-cu Lama membentak, lalu dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, siapakah
engkau ini yang berani sekali datang untuk memperingatkan dan bahkan mengancam
aku? Ha-ha-ha, orang yang bosan hidup, apakah nyawamu rangkap?"
Mendengar
ucapan dan tawa pemimpin mereka, para pendeta Lama yang mengurung tempat itu
pun tertawa. Mereka merasa yakin bahwa sebentar lagi mereka akan melihat hwesio
tua itu pasti akan dihajar oleh pemimpin mereka sampai mampus.
"Pinceng
tidak mengancam, melainkan ingin menyadarkan kalian dari pada kesesatan."
"Hemmm,
tua bangka yang tak tahu diri. Siapakah engkau? Dari perguruan mana? Dari
pertapaan mana?" Sai-cu Lama bertanya, teringat bahwa kakek hwesio itu
tadi telah memperlihatkan kesaktiannya.
"Omitohud..."
Tiong Khi Hwesio menarik napas panjang, merasa bahwa agaknya tidak mungkin
baginya mengingatkan orang seperti Sai-cu Lama ini. "Pinceng hanya seorang
perantau biasa, tanpa perguruan bahkan tidak mempunyai pertapaan, nama pinceng
Tiong Khi Hwesio. Pinceng mendengar tentang gerakan dari kelompok Lama Jubah
Merah dan mendengar ratapan rakyat, maka terpaksa pinceng datang ke sini untuk
berusaha menyadarkan kalian."
Muka yang
seperti singa itu nampak beringas dan bengis. "Tiong Khi Hwesio, engkau
ini sudah tua bangka, umurmu sudah tidak berapa lama lagi akan tetapi
tindakanmu masih jahil dan mulutmu masih usil! Tindakan-tindakan kami sama
sekali tidak ada sangkut pautnya denganmu, akan tetapi engkau berani tidak memandang
mata kepadaku dan berani memperingatkan aku. Dengarlah. Aku mau mendengarkan
nasehatmu itu dan mau membubarkan kelompok kami ini kalau engkau mampu
mengalahkan aku!"
Terdengar
suara di sana-sini mentertawakan Tiong Khi Hwesio. Hwesio ini menarik napas panjang.
"Siancai...,
pinceng datang bukan untuk mempergunakan kekerasan."
"Mau
mempergunakan kekerasan atau tidak, masukmu ke perkampungan kami sudah
merupakan tindak kekerasan yang melanggar dan untuk itu engkau sebagai orang
luar sudah dapat dijatuhi hukuman mati. Nah, majulah, kalau engkau tidak mau
mati konyol. Aku sendiri tidak suka membunuh orang yang tidak mau
melawan."
Tiong Khi
Hwesio kini memandang dan sepasang matanya mencorong penuh teguran.
"Sai-cu Lama, belum tentu pinceng dapat mengalahkanmu dalam ilmu silat,
akan tetapi ketahuilah bahwa di atas puncak Gunung Thai-san yang tertinggi
sekali pun masih ada awan. Bersikap tinggi hati mengandalkan kepandaian sendiri
hanya akan mempercepat kejatuhannya..."
"Sudah,
tak perlu banyak kuliah lagi, sambutlah ini!" Sai-cu Lama sudah menerjang
ke depan, jubahnya berkembang karena gerakan ini mendatangkan angin dan tangan
kirinya yang besar itu menyambar ketika dia menggerakkan lengan. Tangan itu
dengan jari-jari tangan terbuka mencengkeram ke arah kepala Tiong Khi Hwesio,
sedangkan tangan kanannya menyusul dengan dorongan telapak tangan terbuka ke
arah dada lawan.
"Wuuuuuttt...!"
Bukan main
dahsyatnya serangan yang dilakukan Sai-cu Lama itu. Cepat seperti kilat
menyambar dan mengandung kekuatan yang mengerikan. Entah mana yang lebih
berbahaya, cengkeraman ke arah ubun-ubun kepala itu ataukah hantaman ke arah
dada. Kepala dapat hancur berantakan dan dada dapat pecah kalau terkena
serangan itu!
Tiong Khi
Hwesio dapat mengenali pukulan-pukulan ampuh, maka sambil mengeluarkan seruan
dia pun menggerakkan tubuhnya ke belakang. Cepat dan ringan tubuhnya itu
bergerak ke belakang, seakan-akan terdorong oleh angin pukulan lawannya.
Sai-cu Lama
juga menahan seruan kagetnya. Dia merasa seperti menyerang sehelai bulu saja
yang melayang pergi sebelum serangannya mengenai sasaran! Maklumlah dia bahwa
lawannya ini, biar pun sudah tua sekali, namun memiliki ginkang yang istimewa
dan sukarlah menyerang orang dengan ginkang seperti ini kalau tidak
mempergunakan pukulan jarak jauh dan kecepatan kilat.
"Haiiiiittt...!"
Dia pun membentak nyaring dan kedua tangannya didorongkan ke depan.
Dan kini
Sai-cu Lama menyerang dengan pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sinkang
sepenuhnya. Pukulannya ini, yang dilakukan dengan dua tangan terbuka, tidak
membutuhkan kontak langsung dengan tubuh lawan. Angin pukulannya saja sanggup
untuk merobohkan lawan dengan guncangan yang akan dapat merusak jantung!
"Omitohud...,
keji sekali pukulan ini!" Tiong Khi Hwesio berseru.
Dia pun
cepat memasang kuda-kuda, bukannya mundur, bahkan dia melangkah maju dan kedua
tangannya juga didorongkan ke depan, menyambut langsung kedua telapak tangan
lawan.
"Dessss...!"
Dua pasang
telapak tangan saling bertemu. Nampaknya saja empat buah tangan itu memiliki
telapak tangan yang lunak, akan tetapi ternyata mengandung tenaga sinkang yang
hebat. Pertemuan tenaga sinkang melalui dua pasang tangan itu hebat bukan main,
sampai terasa oleh semua pendeta Lama yang berada di situ karena udara di
sekitar tempat itu seolah-olah tergetar, seperti bertemunya dua tenaga Im dan
Yang di musim hujan yang menciptakan kilat dan guntur.
Akibat dari
pada pertemuan tenaga dahsyat itu, dua orang pendeta itu terdorong ke belakang,
masing-masing lima langkah. Keduanya tidak sampai jatuh, akan tetapi berdiri
dengan muka berubah agak pucat. Sejenak keduanya memejamkan mata, kemudian
mengumpulkan hawa murni untuk melindungi isi dada dari pengaruh guncangan hebat
itu. Hal ini saja membuktikan bahwa keduanya memiliki tenaga sinkang yang
seimbang.
Terkejutlah
keduanya. Tiong Khi Hwesio sendiri pun terkejut bukan main. Belum pernah dia,
kecuali di waktu muda dahulu, bertemu dengan lawan yang sekuat ini, maka dia
pun bersikap hati-hati, maklum bahwa dia harus berjaga dengan sepenuh tenaga
dan kepandaian.
Juga Sai-cu
Lama terkejut sekali. Dia memang sudah menduga bahwa lawannya ini lihai, akan
tetapi tak pernah disangkanya akan selihai itu, kuat menahan pukulannya tadi
yang dilakukannya sepenuh tenaga, bahkan tangkisan itu membuat dia terdorong ke
belakang sampai lima langkah dengan dada terasa sesak dan panas. Akan tetapi di
samping rasa kagetnya, timbul pula perasaan marah yang berapi-api.
Inilah
kesalahan Sai-cu Lama. Sebetulnya, dalam hal ilmu silat dan tenaga, dia tidak
kalah oleh lawan, hanya dalam satu hal dia kalah, yaitu dalam kekuatan batin.
Kalau Tiong Khi Hwesio menghadapi kenyataan akan kekuatan lawan itu dengan
sikap yang berhati-hati, sebaliknya Sai-cu Lama justru menjadi marah menghadapi
kenyataan itu. Sedangkan kemarahan merupakan kelemahan yang mengurangi
kewaspadaan, bahkan kemarahan menghamburkan tenaga dalam.
Dengan suara
menggeram seperti seekor singa. Sai-cu Lama kini sudah meryerang lagi, disambut
tangkisan oleh Tiong Khi Hwesio yang segera membalas pula. Tiong Khi Hwesio
sudah tidak mempunyai nafsu untuk meraih kemenangan, apa lagi mencelakai lawan.
Akan tetapi menghadapi seorang lawan seperti Sai-cu Lama yang menyerang dengan
pukulan-pukulan maut, kalau hanya melindungi diri sendiri saja akhirnya dia
tentu akan terkena pukulan dan roboh. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan
diri hanyalah mengalahkan Sai-cu Lama, dan untuk dapat mengalahkannya mau tidak
mau dia harus membalas serangan lawan yang tangguh itu.
Terjadilah
perkelahian yang sengit dan hebat. Saling menyerang dengan jurus-jurus pilihan
yang aneh dan dahsyat. Demikian cepatnya mereka bergerak sehingga pandang mata
para anggota Lama Jubah Merah menjadi kabur. Mereka tidak dapat mengikuti
gerakan kedua orang kakek itu, hanya mampu melihat bayangan kuning dan bayangan
kemerahan dari jubah mereka berdua itu berkelebatan dan berloncatan ke
sana-sini.
Andai kata
para pendeta Lama itu disuruh membantu pemimpin mereka pada saat itu, mereka
tentu bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, karena sukarlah menyerang lawan
yang tidak nampak, dan bahkan bayangannya sering kali menjadi satu dengan
bayangan merah. Juga, saking dahsyatnya gerakan kedua orang kakek itu,
pukulan-pukulan mereka mendatangkan hawa pukulan yang menyambar-nyambar ke
segala penjuru, membuat para pendeta yang nonton perkelahian itu terpaksa
mundur sampai pada jarak yang cukup jauh dan aman.
Diam-diam
Tiong Khi Hwesio merasa kagum bukan main setelah seratus jurus lewat mereka
berkelahi belum juga dia mampu menundukkan lawan itu. Jarang dia bertemu dengan
lawan yang demikian tangguhnya, yang membalasnya pukulan dengan pukulan,
tendangan dengan tendangan, yang menandingi kecepatan gerak dengan ginkangnya,
mengimbangi kekuatan dahsyat tenaga sinkang-nya.
Sejak muda
memang hwesio tua ini suka sekali akan ilmu silat dan selalu menghargai orang
gagah yang memiliki kepandaian tinggi. Hanya keluarga Pulau Es dan keluarga
Gurun Pasir sajalah yang benar-benar memiliki kesaktian yang mengagumkan
hatinya. Namun sekali ini dia bertemu tanding yang benar-benar hebat! Diam-diam
dia merasa kagum, juga penasaran dan lalu timbul kegembiraannya, timbul kembali
kegemarannya mengadu dan menguji ilmu silat tinggi.
Segala
kepandaiannya telah dia kerahkan. Dari ilmu-ilmu silat tinggi Pat-mo Sin-kun
(Silat Sakti Delapan Iblis), Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa) dan
gabungan kedua ilmu itu, ilmu-ilmu dari Pulau Neraka peninggalan Cui-beng
Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin yang diwarisinya, sampai ilmu-ilmu yang amat
lihai dengan tenaga Inti Bumi, semua dikeluarkannya, namun semua ilmu itu hanya
dapat mengimbangi kehebatan ilmu-ilmu Sai-cu Lama yang juga merasa penasaran
sekali.
Sai-cu Lama
sama sekali tidak mempunyai rasa kagum terhadap lawannya. Yang ada hanyalah
rasa penasaran dan kemarahan yang makin menjadi-jadi. Berkelahi sampai ratusan
jurus melawan seorang kakek tua renta dan dia masih belum juga mampu memperoleh
kemenangan, bahkan sering kali terdesak hebat oleh ilmu-ilmu yang aneh dari
hwesio itu, apa lagi di depan para anak buahnya, merupakan penghinaan baginya.
Dia merasa direndahkan karena selama ini dia tidak pernah kalah sehingga para
murid dan anak buahnya menganggap bahwa dia adalah orang yang paling pandai di
dunia ini.
Makin lama,
dia semakin merasa penasaran dan karena akhirnya dia maklum bahwa dia tidak
akan mampu mengalahkan hwesio itu melalui ilmu silat, maka timbullah akal
liciknya. Bagaimana pun juga, lawannya itu tentu sudah tua sekali, mungkin
belasan tahun lebih tua darinya dan hal ini akan menjadi sebab kemenangannya.
Kalau saja dia mampu bertahan, tentu akhirnya lawan itu akan kehabisan napas
dan tenaga. Dia yang lebih muda tentu akan lebih tahan dibandinglan dengan
lawan yang jauh lebih tua itu.
Akan tetapi,
ternyata kelicikan Sai-cu Lama yang ingin mengadu daya tahan dan napas ini
tidak memperoleh hasil, bahkan ia menjadi makin penasaran. Mereka telah
berkelahi sampai ratusan jurus, entah berapa jam lamanya. Tadi ketika mereka
mulai saling serang di pekarangan lebar perkampungan itu, hari telah menjelang
senja dan kini telah jauh malam.
Para murid
yang menonton dari jarak yang cukup jauh dan aman, telah pula menerangi
pekarangan itu dengan obor-obor dan lampu-lampu yang cukup terang. Dan
perkelahian itu terus berlangsung tanpa pernah beristirahat sejenak pun!
Kini kedua
orang kakek itu sudah nampak lelah, keringat sudah membasahi semua pakaian dan
muka, juga pernapasan mereka mulai memburu. Dari kepala mereka keluar uap putih
yang aneh.
Diam-diam,
Sai-cu Lama yang tadinya merasa penasaran, ada pula rasa kagum dan gentar.
Kiranya kakek ini memang hebat luar biasa! Agaknya memiliki napas melebihi
napas kuda dan tenaganya juga tak pernah mengendur, bahkan bagi dia yang mulai
lelah, tenaga kakek itu makin lama makin kuat saja agaknya. Dia merasa kagum
dan gentar. Seorang kakek yang hebat!
Walau pun
kini hwesio tua itu mulai nampak kelelahan, akan tetapi dia sendiri pun tiada
bedanya, mulai lelah dan kehabisan tenaga. Kalau tadi Sai-cu Lama memiliki
pikiran untuk menyuruh anak buahnya maju mengeroyok, sekarang dia menahan
pikiran itu. Pertama, menyuruh mereka maju sama saja dengan menyuruh mereka
membunuh diri. Mereka bukanlah lawan hwesio tua itu. Dan kedua, melihat
kehebatan hwesio itu, dia merasa malu kepada diri sendiri kalau harus
mengandalkan pengeroyokan yang hanya tipis harapannya untuk menang itu.
Mendadak
Sai-cu Lama mengambil ancang-ancang, dan sambil mengeluarkan suara melengking
nyaring, dia menerjang ke depan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya! Dia hendak
mengadu tenaga terakhir, kalau perlu nyawanya!
Melihat
lawannya menerjang dengan kedua tangan mendorong dan kedua lengan itu
bergerak-gerak sehingga menimbulkan gelombang hawa pukulan dahsyat, Tiong Khi
Hwesio terkejut.
"Omitohud...!"
Dia mengeluh, maklum bahwa lawannya yang sudah amat penasaran itu agaknya
hendak mengadu nyawa!
Apa boleh
buat, dia pun terpaksa harus melindungi dirinya. Cepat dia pun memasang
kuda-kuda, menyambut dengan dua tangan terbuka, didorongkan ke depan menyambut
kedua telapak tangan lawan. Untuk kedua kalinya, dua orang kakek ini mengadu
tenaga sinkang mereka.
Tetapi
berbeda dengan bentrokan tenaga sinkang melalui telapak tangan yang pertama,
bentrokan sekali ini dilakukan dengan mati-matian dan dalam keadaan tenaga
mereka sudah mulai mengendur, sehingga tentu saja daya tahan mereka pun
berkurang. Dalam keadaan seperti itu, bahaya untuk menderita luka dalam atau
bahkan kematian lebih besar lagi.
"Dessss...!"
Bentrokan
tenaga itu hebat bukan main dan akibatnya, dua orang kakek itu terlempar ke
belakang dan terbanting ke atas tanah!
Melihat
betapa pemimpin mereka roboh terbanting, akan tetapi juga lawannya terlempar
dan terbanting jatuh, empat orang pendeta Lama segera menubruk ke arah Tiong
Khi Hwesio dengan maksud untuk menghabiskan nyawa lawan yang tangguh selagi
lawan itu terbanting dan nampaknya kehabisan tenaga dan tidak berdaya.
"Tahan...!"
Sai-cu Lama
yang masih merasa lemah dan pening itu mencoba untuk mencegah, akan tetapi
suaranya yang lemah itu agaknya tak mempengaruhi empat orang anak buahnya yang
sudah menyerang Tiong Khi Hwesio dengan ganas. Mereka menyerang dengan serentak
dan terdengarlah teriakan-teriakan mereka disusul terlemparnya tubuh mereka
sampai jauh, terpental seperti dilempar oleh tenaga raksasa dan mereka itu
terbanting tak sadarkan diri!
Kiranya,
biar pun sudah terbanting roboh, Tiong Khi Hwesio berada di pihak lebih kuat
sehingga tenaga sinkang yang masih besar sekali terhimpun di tubuhnya. Ketika
empat orang itu menerjangnya, Tiong Khi Hwesio tak melihat jalan lain kecuali
menggerakkan kedua tangannya mendorong, dan akibatnya, empat orang itu
terlempar seperti daun daun kering tersapu angin.
"Anjing-anjing
busuk, jangan serang dia!" bentak Sai-cu Lama, bentakan yang bukan
dilakukan karena mengkhawatirkan anak buahnya, melainkan karena dia merasa malu
kalau dalam keadaan seperti itu dia harus menggunakan tenaga anak buahnya. Para
pendeta Lama itu pun tidak ada yang berani maju lagi. Empat orang teman mereka
masih pingsan, dan tentu saja mereka tidak berani maju untuk bunuh diri!
Dua orang
kakek itu sekarang sudah bangkit duduk bersila, masing-masing mengatur
pernapasan untuk memulihkan tenaga.
"Omitohud...!
Engkau sungguh merupakan lawan yang amat tangguh dan hebat, Sai-cu Lama.
Pinceng merasa kagum sekali... ah, sungguh sayang bahwa kita berdua berada di
dua tempat yang bertentangan. Kalau saja engkau suka sadar dan kembali ke jalan
benar, betapa akan senang hati pinceng untuk menjadi temanmu bicara tentang
ilmu silat."
Pujian yang
diucapkan dengan hati yang tulus itu diterima sebagai ejekan oleh Sai-cu Lama.
Bagaimana pun juga, dia merasa bahwa dalam bentrokan tenaga sinkang yang
terakhir tadi, dia telah terbukti kalah kuat. Kalau saja latihannya belum
matang benar, bentrokan tadi saja cukup untuk membuat nyawanya putus!
Dan untuk
dapat memulihkan tenaga, dia membutuhkan waktu lama, sedikitnya sampai besok
pagi barulah dia akan dapat memulihkan tenaganya dan mampu untuk bertanding
lagi. Sedangkan lawannya baru saja membuktikan kehebatannya dengan merobohkan
empat orang anak buahnya yang melakukan penyerangan serentak.
"Tiong
Khi Hwesio, tak perlu berusaha bicara manis kepadaku. Bagaimana pun, aku masih
hidup dan ini berarti bahwa aku belum kalah. Aku hanya kelelahan dan kehabisan
tenaga, akan tetapi engkau pun jelas kehabisan tenaga. Biarlah kita
beristirahat malam ini, dan besok pagi-pagi kita lanjutkan pertandingan ini
sampai seorang di antara kita benar-benar kalah."
"Omitohud...
Sai-cu Lama, apakah engkau belum juga mau menyadari bahwa semua kekerasan ini
tidak ada gunanya?"
"Sudah,
tak perlu banyak cakap lagi. Sampai besok pagi!" kata Sai-cu Lama dan dia
pun memberi perintah kepada anak buahnya untuk tetap mengurung kakek hwesio itu
dan jangan mengganggunya. Kemudian dia memejamkan mata sambil duduk bersila dan
mengatur pernapasan, tanpa mempedulikan lagi kepada lawannya.
Tiong Khi
Hwesio menarik napas panjang. Dia maklum bahwa percuma saja bicara dengan
Sai-cu Lama. Orang seperti itu hanya dapat diajak berunding melalui kepalan,
dan hanya akan mau bicara jika benar-benar sudah dikalahkannya. Tidak ada lain
jalan baginya kecuali memejamkan mata dan mengatur pernapasan pula karena dia
tak ingin besok pagi menjadi bulan-bulan kekerasan Sai-cu Lama.
Diam-diam
dia pun merasa bingung. Tadi dia telah mengeluarkan semua ilmunya, tetapi semua
itu hanya mampu mengimbangi kepandaian lawan. Hanya ada satu ilmu tidak
dikeluarkan, yaitu Ilmu Silat Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa). Ilmu ini
dianggapnya amat ganas dan dahulu pernah mengangkat namanya sehingga dia
dijuluki Toat-beng-ci atau Si Jari Maut. Apakah dia terpaksa harus
mempergunakan ilmu itu besok untuk mengalahkan Sai-cu Lama?
Malam itu
lewat dalam keadaan yang amat menegangkan. Para pendeta Lama itu tiada yang
berani mengeluarkan suara karena mereka takut kalau-kalau akan mengganggu
pemimpin mereka yang sedang istirahat. Empat orang yang tadi roboh pingsan,
mereka bawa pergi untuk dirawat dan mereka itu hanya berani bicara di tempat
yang agak jauh dari situ. Semua orang merasa tegang karena mereka belum tahu
bagaimana keadaan pemimpin mereka dalam perkelahian tadi, yaitu menang ataukah
kalah.
Setidaknya,
pemimpin mereka itu agaknya terdesak, buktinya Sai-cu Lama minta waktu untuk
beristirahat. Mulailah mereka bertanya-tanya, siapakah gerangan hwesio tua yang
demikian sakti itu.
Pada
keesokan harinya, ketika dari jauh terdengar kokok ayam hutan jantan dan sinar
matahari pagi mulai bercahaya di ufuk timur, Sai-cu Lama sudah membuka kedua
matanya memandang kepada lawannya. Tiong Khi Hwesio sejak tadi sudah bangun
dari semedhinya dan kini keduanya saling pandang. Ada kekaguman pada pandang
mata masing-masing.
"Hei,
Tiong Khi Hwesio. Bagaimana kalau kita menyudahi saja perkelahian yang tidak
ada gunanya ini?" tiba-tiba terdengar Sai-cu Lama berkata.
Wajah tua
itu berseri gembira. "Siancai...! Agaknya Sang Buddha telah mendatangkan
penerangan yang menyadarkan batinmu, saudaraku yang baik! Tentu saja pinceng
berterima kasih sekali dan sangat girang kalau perkelahian yang tidak ada
gunanya ini dihentikan."
"Bagus,
kita hentikan saja perkelahian ini dan menjadi sahabat. Bahkan bukan hanya
sahabat, tetapi aku akan mengangkatmu menjadi wakilku, wakil pemimpin kelompok
Lama Jubah Merah. Bagaimana, sahabatku?"
Tentu saja
Tiong Khi Hwesio terkejut dan mengerutkan alisnya. Hal ini sama sekali tak
pernah disangkanya. Kiranya lawan itu mengajak berhenti berkelahi karena justru
ingin menarik dirinya sebagai sekutu dan pembantu! Dia menarik napas panjang,
merasa menyesal sekali sebagai pengganti kegirangannya karena tadi mengira
bahwa orang itu telah sadar.
"Omitohud,
Sai-cu Lama, kiranya engkau belum juga sadar dan bahkan ingin menyeret pinceng
ke dalam kelompokmu. Betapa sesatnya keinginanmu itu. Pinceng sengaja datang
untuk menyadarkan kalian dari jalan yang sesat, bukan untuk membantu kalian
merajalela dengan kejahatan kalian."
Sai-cu Lama
tersenyum menyeringai. "He-he-heh, Tiong Khi Hwesio, jadi engkau masih
menghendaki diteruskannya perkelahian ini? Hemm, kau kira percuma saja semalam
aku beristirahat? Engkau takkan menang kali ini!"
"Terserah
kepadamu, Sai-cu Lama. Dalam pertandingan ilmu silat memang hanya ada dua
kemungkinan, menang atau kalah, jadi tak perlu diributkan benar."
Diam-diam Tiong Khi Hwesio merasa kecewa dan marah, akan tetapi sikapnya masih
biasa, halus dan ramah, dan tenang sekali.
Tiba-tiba
Sai-cu Lama meloncat berdiri. Ternyata gerakannya sigap bukan main, tanda bahwa
dia telah memulihkan kembali tenaganya dan tiba-tiba nampak sinar berkelebat
dan dia telah memegang sebatang pedang tipis yang berkilauan. Pedang ini
diam-diam diterimanya dari seorang muridnya setelah dia memberi isyarat malam
tadi. Kiranya, Sai-cu Lama yang merasa betapa lihainya orang yang menjadi
lawannya, diam-diam telah mempersiapkan diri dan kini dia hendak mencapai
kemenangan dengan bantuan sebatang pedang tipis!
Tiong Khi
Hwesio juga sudah bangkit berdiri dan dia tetap tenang saja melihat lawannya
kini memegang sebatang pedang. Bagi seorang ahli silat tinggi yang memiliki
kesaktian seperti dia, menghadapi seorang lawan seperti Sai-cu Lama, tiada
bedanya apakah lawan itu bersenjata ataukah tidak. Kedua tangan dan kaki lawan
itu pun tidak kalah ampuhnya dengan pedang yang kini dipegangnya.
"Hwesio
tua bangka, makanlah pedang ini!" bentak Sai-cu Lama yang sudah menerjang
dengan dahsyatnya.
Tempat itu
masih seperti semalam, penuh dengan para pendeta Lama yang menjadi penonton
dari jarak yang cukup jauh. Kini mereka mengharapkan bahwa ketua mereka akan
dapat membunuh hwesio tua yang tangguh itu.
Pedang itu
lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar terang yang meluncur dan ketika Tiong
Khi Hwesio dapat mengelak dengan lompatan ke kiri, sinar pedang berkelebatan
dan bergulung-gulung menyambar ke arah tubuh Tiong Khi Hwesio dari delapan
penjuru angin!
Tahulah
Tiong Khi Hwesio bahwa ilmu pedang yang dimainkan lawan adalah semacam Ilmu
Pedang Delapan Penjuru Angin atau Pat-hong Kiam-sut yang telah diubah dan
diberi banyak perkembangan. Dia sama sekali tidak menjadi gentar. Dengan
keringanan tubuhnya dia berkelebatan menghindarkan diri, lalu secara mendadak
terdengar bunyi melengking yang menggetarkan semua orang dan Sai-cu Lama
sendiri mengeluarkan seruan kaget.
Kiranya
sekarang Tiong Khi Hwesio telah memainkan ilmu silatnya yang semalam tidak
dikeluarkannya, yaitu Ilmu Silat Toat-beng-ci. Jari-jari kedua tangannya bagaikan
hidup, melakukan totokan-totokan dan cengkeraman-cengkeraman, dan setiap jari
membawa ancaman maut! Itulah sebabnya maka dinamakan Jari Pencabut Nyawa! Dan
hebatnya, jari-jari tangan itu diperkuat oleh tenaga yang membuat jari-jari
tangan itu sedemikian kerasnya sehingga dengan tangan kosong Tiong Khi Hwesio
berani menangkis pedang lawan!
Dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hati Sai-cu Lama menghadapi ilmu silat yang luar
biasa itu dan permainan pedangnya menjadi kacau. Tak disangkanya bahwa lawannya
masih mempunyai simpanan ilmu yang demikian hebatnya, padahal tadinya dia sudah
merasa yakin bahwa dia akan dapat menangkan perkelahian itu jika dia
menggunakan pedangnya. Karena permainan pedangnya kacau, maka dia menjadi
kurang waspada.
"Tring-tring-crangg...
aughhh...!"
Tubuh Sai-cu
Lama terpelanting. Darah mengucur keluar dari luka di pundak kanannya,
sedangkan pedangnya terlempar dan patah menjadi dua potong! Jika saja Sai-cu
Lama tidak memiliki tubuh yang telah dilindungi kekebalan, mungkin lukanya akan
lebih parah lagi.
Dua jari
tangan Tiong Khi Hwesio mengenai pundaknya dan biar pun pundak itu telah
dilindungi ilmu kekebalan, tetap saja terobek sampai dagingnya. Masih untung
tulang pundaknya tidak patah dan urat besarnya tidak putus. Akan tetapi, dengan
luka di pundaknya itu, untuk sementara lengan kanan Sai-cu Lama tidak dapat
digerakkan dan kalau pada saat itu Tiong Khi Hwesio mendesaknya, tentu akan
mudah sekali bagi hwesio itu untuk menghabisi nyawanya.
Namun, Tiong
Khi Hwesio merasa tidak tega! Perasaan tidak tega ini timbul sejak malam tadi,
setelah dia merasa kagum terhadap ilmu kepandaian Sai-cu Lama yang sanggup
menandinginya sampai selama itu. Kalau saja Sai-cu Lama tadi tidak kacau
permainan pedangnya, mungkin perkelahian ini pun akan makan waktu yang lebih
lama lagi. Dia merasa sayang untuk membunuh Sai-cu Lama dan mengharapkan bahwa
kekalahannya itu akan membuat Sai-cu Lama sadar dan kembali ke jalan yang
benar.
Sai-cu Lama
juga bukan seorang bodoh. Sama sekali bukan, bahkan dia cerdik sekali. Dia tahu
bahwa kali ini dia harus mengakui keunggulan lawan, bahwa dia telah bertemu
dengan orang yang lebih lihai darinya. Percuma saja melanjutkan perkelahian
itu. Biar pun dia dapat mengerahkan anak buahnya, namun melanjutkan perkelahian
sama saja dengan membunuh diri sendiri dan membunuh para anak buahnya. Ia sudah
tak mampu melanjutkan perkelahian. Untuk sementara, jalan terbaik adalah
menakluk, tanpa malu-malu lagi, demi keselamatan dirinya.
Sai-cu Lama
bangkit berdiri terhuyung-huyung, mempergunakan tangan kirinya untuk menekan
luka di pundak kanan, mukanya pucat dan keringatnya membasahi mukanya. Dia pun
menghadapi Tiong Khi Hwesio yang masih berdiri tegak memandangnya.
"Tiong
Khi Hwesio, aku mengaku kalah padamu."
"Omitohud,
engkau sungguh lihai bukan main, Sai-cu Lama. Tidak, pinceng tak merasa menang,
hanya kebetulan saja yang membuat engkau terpaksa mengalah. Biarlah kita
lupakan saja pertandingan tadi dan sekali lagi pinceng minta kepadamu untuk
kembali ke jalan benar dan meninggalkan jalan sesat penuh perbuatan
maksiat."
Sai-cu Lama
menarik napas panjang. "Baiklah, aku sudah bertemu dengan orang yang lebih
pandai dan akan kucoba untuk mengubah jalan hidupku. Katakan, apa yang harus
kulakukan?"
Tiong Khi
Hwesio tersenyum, girang bukan main bahwa ia telah berhasil melaksanakan
tugasnya dengan baik. Dia tidak girang atas kemenangannya, melainkan girang
sekali melihat Sai-cu Lama mau mengubah jalan hidupnya.
"Saudaraku
yang baik, kita adalah orang-orang tua yang sudah menggunduli kepala dan
mengenakan jubah pendeta. Tentu engkau telah tahu apa yang sepatutnya kita
lakukan sebagai pendeta. Pertama-tama tentu saja harus menghentikan dan
menjauhkan semua perbuatan yang ditunggangi nafsu. Sebaiknya jika engkau
membubarkan saja kelompok Lama Jubah Merah, dan menghentikan semua perbuatan
yang sesat seperti merampok, mengganggu wanita, mengejar kesenangan duniawi
dengan merugikan orang lain."
"Baiklah,
Tiong Khi Hwesio. Sekarang juga akan kububarkan kelompok ini."
Sai-cu Lama
lalu menhadapi semua pendeta yang telah berkumpul di situ.
"Kalian
telah melihat sendiri, juga mendengar sendiri percakapan antara aku dan Tiong
Khi Hwesio. Mulai saat ini, perkumpulan kita kububarkan! Kalian boleh
membagi-bagi harta yang ada dengan adil, kemudian pergilah dari sini.
Kuperingatkan agar kalian tidak lagi melakukan perbuatan seperti yang
sudah-sudah. Jika aku mendengar ada seorang Lama Jubah Merah melanggar, aku
sendiri yang akan mencari dan menghukumnya. Nah, lakukan perintahku dan
bubarlah!"
Dengan hati
girang dan terharu Tiong Khi Hwesio melihat sendiri betapa para pendeta itu
mentaati perintah ini. Para wanita dibebaskan dan turut diberi pembagian harta,
dan setelah membagi-bagi harta yang berada di perkampungan itu, atas perintah
Sai-cu Lama, perkampungan itu dibakar dan para pendeta jubah merah lalu
berpamit dan pergi dari situ.
"Sai-cu
Lama, percayalah bahwa perbuatanmu hari ini merupakan permulaan yang baik
sekali bagi dirimu. Sayang ilmu kepandaianmu yang tinggi kalau kau pergunakan
untuk mengeruhkan dunia. Alangkah akan baiknya jika kepandaian itu kau
pergunakan untuk menjernihkan dunia, menenteramkan kehidupan umat manusia. Dan
maafkanlah kalau pinceng telah datang dan pernah menggunakan kekerasan
kepadamu!" Demikian kata kata perpisahan Tiong Khi Hwesio yang dibalas
oleh Sai-cu Lama dengan ramah pula.
Akan tetapi,
dapat dibayangkan betapa besar rasa penyesalan di hati Tiong Khi Hwesio ketika
beberapa bulan kemudian dia mendengar bahwa biar pun Sai-cu Lama telah
membubarkan kelompok Lama Jubah Merah, namun dia sama sekali belum sadar atau
kembali ke jalan benar. Bahkan dia telah membuat kekacauan di antara para
pimpinan Lama, dan Sai-cu Lama bahkan melakukan hubungan persekutuan dengan
pembesar-pembesar yang mempunyai niat khianat terhadap pemerintah Ceng!
Ketika para
pemimpin pendeta Lama mencoba untuk memperingatkannya, Sai-cu Lama bahkan turun
tangan membunuh dua orang pemimpin pendeta lama, dan dia kemudian melarikan
diri!
Mendengar
berita ini, Tiong Khi Hwesio merasa menyesal sekali. Dia merasa turut
bertanggung jawab terhadap peristiwa itu. Jika saja dia tidak mengampuni Sai-cu
Lama, melainkan membasmi dan membunuhnya, atau setidaknya mencabut ilmu
silatnya dengan jalan membuat kaki tangannya cidera berat, tentu Sai-cu Lama
tidak mampu melakukan kejahatan lagi. Membunuh dua orang pimpinan pendeta Lama!
Dan lebih hebat lagi, melakukan hubungan persekutuan dengan para pengkhianat di
kota raja.
Dia dapat
menduga bahwa tentu Sai-cu Lama kini melarikan diri ke kota raja, bukan hanya
untuk menyembunyikan dirinya, melainkan juga untuk mengejar kedudukan dan
kemuliaan di sana, bersekutu dengan para pembesar khianat dan pemberontak. Dan
hal itu amatlah berbahaya, bukan hanya membahayakan kedudukan kaisar dan
pemerintah, melainkan juga membahayakan keamanan hidup rakyat.
Demikianlah,
dia lalu cepat melakukan pengejaran sampai dia bertemu dengan Hong Beng dan Bi
Lan. Tentu saja dia merasa khawatir sekali mendengar bahwa Sai-cu Lama telah
merampas pedang Ban-tok-kiam dari tangan Bi Lan. Dengan pedang yang sangat
dahsyat itu di tangan, Sai-cu Lama benar-benar merupakan seorang yang luar
biasa berbahaya dan sukar dikalahkan.
Setelah
meninggalkan Hong Beng dan Bi Lan, Tiong Khi Hwesio kemudian melakukan
perjalanan cepat melakukan pengejaran terhadap Sai-cu Lama menuju ke kota raja.
***************
Dusun kecil
itu tidak seperti biasanya, nampak meriah dan gembira. Dusun itu biasanya amat
sunyi di waktu sepagi itu. Orang-orang sudah pergi ke sawah ladang dan yang
tinggal di rumah hanyalah orang-orang jompo, anak-anak dan wanita-wanita yang
sibuk bekerja di dalam rumah.
Jalan-jalan
biasanya sunyi. Akan tetapi pagi itu, suasana meriah dan gembira sekali, karena
ada perayaan di rumah sebuah keluarga dusun itu. Ada pesta pengantin! Dan
seperti lajimnya di dusun-dusun, penduduknya memiliki keakraban dan penduduk
dusun selalu hidup bergotong royong.
Tidak
seperti kehidupan rakyat di kota-kota besar, di mana keakraban sudah menipis
dan kegotong royongan hampir tak terasa lagi. Makin besar kota itu, makin ramai
dan makin maju, makin banyak kesenangan dikejar orang dan orang-orang semakin
hidup menyendiri, acuh terhadap orang lain, mengurung diri dalam sangkar
ke-aku-an yang selalu mementingkan diri sendiri, keluarga sendiri atau kelompok
sendiri.
Orang-orang
yang berasal dari dusun, kalau sudah pindah ke kota, juga sudah maju dan
berhasil mengumpulkan harta benda, segera terseret pula dan tak mempedulikan
orang lain. Memang demikianlah keadaan masyarakat kita di bagian mana pun di
dunia ini.
Manusia,
kalau sedang menderita, kalau sedang kekurangan, akan dapat bersatu dan
bergotong-royong. Akan tetapi kalau sudah hidup senang dan mulia, serba
kecukupan, lenyaplah rasa persatuan dan sifat kegotong-royongan, terganti oleh
rasa saling mengiri dan saling bersaing. Hal ini nampak jelas dalam kehidupan
masyarakat di dusun-dusun yang biasanya akrab dan bergotong royong, dan dalam
kehidupan masyarakat di kota-kota yang acuh dan selalu mementingkan diri
sendiri.
Di dalam
dusun kecil di mana sedang diadakan pesta pernikahan itu, penduduknya juga tak
berbeda dengan dusun-dusun lain, saling bergotong royong. Tanpa diminta, mereka
pagi-pagi sudah mendatangi keluarga yang hendak merayakan pesta pernikahan anak
mereka, untuk mengulurkan tangan membantu.
Ada yang
membantu menghias ruangan, membuat bangunan darurat untuk menerima tamu, ada
pula yang sibuk membantu di dapur yang sedang mempersiapkan hidangan yang akan
disuguhkan siang nanti. Sejak pagi, ada pula yang bermain musik untuk
memeriahkan suasana. Semua ini dikerjakan dengan ikhlas, tanpa mengharapkan
balas jasa dan upah.
Suasana
menjadi semakin meriah ketika matahari mulai naik tinggi. Para tetangga yang
tadi pagi membantu, kini sudah berganti pakaian dan mereka kini datang sebagai
tamu. Tetapi masih banyak di antara mereka yang sibuk di dapur, dan orang-orang
mudanya sibuk pula menjadi pelayan-pelayan tanpa bayaran. Para tamu mulai
berdatangan dan suasana menjadi meriah sekali walau pun pesta itu amat sederhana
dengan hidangan-hidangan sederhana pula, dengan musik yang dimainkan oleh
seniman-seniman dusun itu sendiri. Bangku-bangku mulai dipenuhi para tamu.
Kemeriahan
memuncak saat mempelai pria datang untuk menjemput mempelai wanita. Semua orang
menjulurkan leher, ada yang berkerumun, untuk menyaksikan pertemuan sepasang
pengantin itu.
Pengantin
perempuannya manis sekali, berusia enam belas tahun paling banyak dan pengantin
prianya juga masih muda, belum dua puluh tahun, bertubuh tegap karena biasa
bekerja di sawah ladang. Melihat pandang mata kedua mempelai ini yang nampak
bersinar-sinar dan wajah mereka berseri, mulut mereka tersenyum dikulum, mudah
diduga bahwa keduanya tidak asing satu sama lain dan bahwa pernikahan ini bukan
pernikahan paksaan yang sering kali terjadi di dusun pada jaman itu.
Tidak,
sepasang mempelai ini adalah muda mudi yang sudah saling mengenal, bahkan
saling mencinta walau pun tak pernah ada kata cinta keluar dari mulut
masing-masing. Bagi penduduk dusun cinta kasih mereka cukup diwakili oleh
kerling mata dan senyum bibir saja.
Akan tetapi,
sebelum orang-orang tua yang berwenang memimpin upacara pertemuan pengantin,
tiba-tiba terjadi keributan di luar. Seorang laki-laki berusia tiga puluhan
tahun, bertubuh gemuk dengan perut gendut, pakaiannya mewah, mukanya dicukur
licin dan pakaiannya menghamburkan bau minyak yang amat wangi, masuk diiringkan
belasan orang yang bertubuh tegap dan berpakaian ringkas dengan sikap congkak
dan jagoan.
Semua orang
mengenal laki-laki itu karena dia adalah Phoa Wan-gwe (Hartawan Phoa) yang
tinggal di sebuah dusun yang lebih besar, tak jauh dari dusun itu. Phoa Wan-gwe
adalah orang yang paling kaya dan paling berkuasa di sedikitnya lima buah dusun
di sekeliling tempat itu. Dialah raja kecil di dusun-dusun itu karena hampir
semua tanah di tempat-tempat itu telah menjadi miliknya!
Dialah tuan
tanahnya dan sebagai tuan tanah yang berhak atas tanah miliknya, dia bisa
menentukan peraturan-peraturan tersendiri di atas tanah yang menjadi hak
miliknya. Dan untuk memperkuat peraturan-peraturan yang dibuatnya sendiri itu,
dia memelihara puluhan orang tukang pukul yang bertugas untuk menjamin
dilaksanakannya peraturan-peraturan itu dan menghukum siapa saja yang berani
menentangnya.
Para petani
miskin yang tidak memiliki tanah bekerja sebagai buruh tani kepada Phoa
Wan-gwe. Karena seluruh kehidupan keluarga para petani itu tergantung dari
pemberian si hartawan, maka mereka pun semua merasa takut dan tunduk, memandang
Phoa Wan-gwe seperti raja mereka.
Dan
memanglah, hartawan ini, seperti para hartawan yang menjadi tuan-tuan tanah di
dusun-dusun, merupakan raja yang sesungguhnya bagi para petani miskin. Kaisar
yang dianggap sebagai raja dari negara itu berada sedemikian jauhnya dan tidak
mungkin dihubungi, dan yang jelas terasa kekuasaannya adalah raja kecil di
dusun yang menjadi tuan tanah seperti Phoa Wan-gwe itulah!
Sebagai
seorang tuan tanah, Phoa Wan-gwe amat pintar mengemudikan pemerintahan
kecilnya. Dia maklum bahwa tanpa tenaga petani miskin, biar pun memiliki tanah
yang amat luas, tidak akan ada artinya. Dia sendiri tak mungkin mengerjakan semua
tanah itu.
Hasil yang
didapatkannya secara berlimpah dari tanahnya yang luas, lebih dari cukup dan
dia pun tidak dapat dikata pelit dalam hal memberi upah kepada para buruh tani.
Tidak, dia bahkan kadang-kadang merasa gembira sekali untuk dapat memperlihatkan
kedermawanannya kepada para penduduk dusun, dan merasa senang sekali
dipuji-puji dan disanjung-sanjung sebagai majikan yang baik hati dan murah
hati. Tentu saja, semua yang dibagikannya kepada para petani itu hanya beberapa
bagian kecil saja dari hasil yang diperolehnya dari tanahnya berkat cucuran
keringat para petani.
Betapa pun
juga, karena dia amat memperhatikan kebutuhan para petani sehingga para
penduduk di lima dusun itu semua dapat makan kenyang setiap hari dan tidak
sampai kehabisan pengganti pakaian, maka Phoa Wan-gwe dianggap orang baik dan
tidak dibenci oleh para buruhnya. Namun, ada satu hal yang membuat orang-orang
takut kepada Phoa Wan-gwe, dan juga kadang-kadang menimbulkan rasa iri dan
benci pada banyak orang.
Pertama,
karena ia dapat bersikap kejam, menghukum berat para pelanggar peraturan. Hal
ini memang ada baiknya, merupakan cambuk bagi para buruh tani sehingga mereka
itu rajin bekerja, dengan pengetahuan bahwa kalau bermalas-malasan, mereka
berarti melanggar peraturan dan akan dihukum cambuk, akan tetapi jika rajin
mereka pun akan berkecukupan, bukan sekedar makan kenyang dan dapat bertukar
baju setiap hari, tapi juga mungkin bisa mengumpulkan uang simpanan.
Hal kedua
yang merupakan cacat dan kelemahan Phoa Wan-gwe adalah sifatnya yang mata
keranjang, gila perempuan dan dia tidak pernah mau melepaskan wanita cantik
yang sudah diincarnya. Dia berkeluarga, mempunyai isteri dan beberapa orang
anak, bahkan telah memiliki tidak kurang dari lima orang isteri muda. Akan
tetapi, matanya yang tajam seperti burung elang itu masih selalu mengincar
anak-anak ayam.
Kalau dia
sedang berjalan-jalan di dusun-dusun yang menjadi wilayah kekuasaannya, banyak
orang tua cepat-cepat menyembunyikan anak-anak perempuan mereka. Akan tetapi,
tidak percuma Phoa Wan-gwe memiliki banyak kaki tangan yang setiap saat datang
memberi laporan tentang adanya gadis-gadis cantik, baik di dalam mau pun di
luar dusun.
Kalau dia
sudah melihat sendiri gadis yang dipuji-puji kaki tangannya dan dia
tergila-gila, dengan cara apa pun juga akan diusahakannya agar gadis itu
menjadi miliknya. Biar pun bukan menjadi selir, setidaknya untuk beberapa hari,
pekan atau bulan gadis itu harus menjadi miliknya! Dan dia terkenal royal dan
tidak sayang mengeluarkan uang untuk mendapatkan wanita yang membuatnya
mengiler.
Ketika Phoa
Wan-gwe muncul di dalam pesta itu, semua orang yang mengira bahwa hartawan itu
hendak datang bertamu, menjadi gembira dan juga memuji keluarga yang berpesta.
Jarang ada keluarga petani yang dipenuhi undangannya oleh Phoa Wan-gwe yang
biasanya hanya mengirim wakil dan mengirim pula sekedar sumbangan. Akan tetapi
kini hartawan itu datang sendiri!
Akan tetapi,
ketika melihat belasan orang tukang pukul, melihat pula betapa wajah hartawan
itu amat keruh dan sikap para tukang pukul itu bengis, semua orang terkejut
ketakutan. Mereka bangkit dari duduk mereka, memberi hormat kepada yang lewat
dan saling pandang dengan sinar mata bertanya-tanya.
Ketegangan
muncul dalam hati para tamu. Melihat kekeruhan wajah Phoa Wan-gwe, jelas bahwa
hartawan itu sedang marah, apa lagi dikawal oleh belasan orang tukang pukul.
Tentu ada urusan penting.
Biasanya,
semua urusan, terutama yang mengenai pelanggaran, hartawan itu cukup mengirim
jagoan-jagoannya untuk memberi hukuman, menagih hutang dan sebagainya. Mereka
yang sudah mengenal cara hidup hartawan ini maklum bahwa hanya satu hal yang
mendorong hartawan itu keluar dan menangani sendiri suatu urusan, yaitu urusan
yang menyangkut wanita!
Setelah
menerobos di antara para tamu, kini Phoa Wan-gwe dan para jagoannya telah tiba
di ruang tengah di mana sedang sibuk dipersiapkan upacara pernikahan. Seorang
jagoan berteriak lantang,
"Hentikan
semua kebisingan musik itu! Lo Cin! Phoa Wan-gwe datang untuk bicara denganmu.
Majulah!"
Semua orang
menjadi panik dan memandang dengan hati penuh ketegangan. Suara musik berhenti
dan nampak Lo Cin, tuan rumah, muncul dari belakang dan setengah berlari menuju
ke ruangan itu. Mukanya agak pucat, akan tetapi sambil tersenyum ramah dia
segera membungkuk dan memberi hormat di depan Phoa Wan-gwe yang memandang
dengan sikap congkak karena dia sedang marah sekali, tidak seperti biasanya dia
bersikap ramah kepada para penduduk.
"Ahhh,
kiranya Phoa Wan-gwe yang datang! Maafkan bahwa karena tidak diberi tahu
sebelumnya, saya tidak keluar menyambut," kata Lo Cin dengan senyum lebar
yang dipaksakan karena dia pun dapat melihat bahwa hartawan ini sedang marah
dan dia sendiri yang tahu mengapa hartawan itu marah-marah. Hal inilah yang
mengecutkan hatinya.
Hartawan itu
tetap memandang dengan muka keruh, bahkan kini kemarahan terpancar keluar dari
sinar matanya. "Lo Cin, kami datang bukan untuk makan hidangan pestamu,
melainkan untuk bertanya mengapa engkau berani melanggar peraturan yang telah
disetujui olehmu sendiri? Puluhan kali engkau datang merengek minta bantuan,
dan selalu aku mengulurkan tangan membantumu, dengan harapan engkau akan
menepati janji, akan membayar pada waktu yang telah disepakati bersama. Akan
tetapi apa kenyataannya? Engkau tidak membayar, hanya mengulur waktu terus
menerus, dan sekarang, sedangkan hutang pun tidak dibayar, engkau malah
menghamburkan uang untuk pesta pora. Uangku yang kau hamburkan itu! Dan engkau
berani mengundang aku untuk bersama-sama makan uangku sendiri!"
Wajah tuan
rumah itu menjadi pucat dan tubuhnya gemetar. Dia bukan saja merasa takut
sekali, tetapi juga merasa malu karena semua tamu berkumpul mendengarkan ucapan
itu. Dan dia pun tahu bahwa kemarahan hartawan itu sama sekali bukan hanya
karena dia belum membayar hutang-hutangnya. Sama sekali bukan hal itu. Kalau
hanya itu persoalannya, Phoa Wan-gwe tidak akan semarah itu dan juga tentu
hanya akan menyuruh orang-orangnya datang menagih.
Dia teringat
akan ucapan seorang di antara jagoan-jagoan hartawan itu yang pernah
disampaikan kepadanya bahwa Phoa Wan-gwe menginginkan anak perempuannya, Cun
Si! Hal inilah yang mendorongnya untuk segera merayakan pernikahan puterinya
itu, yang sudah ditunangkan dengan seorang pemuda tani dari dusun lain. Dia
harus segera menikahkan puterinya sebelum Phoa Wan-gwe sempat mengajukan
pinangan atau minta sendiri kepadanya! Dan itulah agaknya yang menyebabkan Phoa
Wan-gwe marah-marah sekarang ini.
"Harap
tuan suka memaafkan saya," katanya dengan suara gemetar. "Seperti
yang tuan ketahui, hasil panen kemarin payah, bahkan untuk dimakan keluarga
kami sendiri pun kurang. Panen itu rusak oleh hama, juga oleh air yang terlalu
banyak dan juga hasilnya dicuri orang di waktu malam. Ada pun pernikahan ini,
kami dapatkan dari hasil pinjaman sana-sini dan bantuan saudara-saudara kami di
dusun-dusun lain..."
"Alasan
yang dicari-cari!" bentak hartawan itu.
Ketika dia
menengok dan memandang pengantin perempuan yang nampak ketakutan itu kini
dipeluk oleh pengantin pria yang bersikap seperti hendak melindungi, hatinya
semakin panas. Gadis itu nampak semakin manis dan menggairahkan dalam pakaian
pengantin.
"Karena
engkau bisa memperoleh pinjaman dari orang lain, lalu memandang rendah
kepadaku, ya? Pendeknya, kau harus dapat membayar hutang-hutangmu sekarang
juga. Kalau tidak, rumah ini dan segala isinya akan kami sita dan kau
sekeluargamu harus keluar dari sini!"
"Tuan
Phoa... kasihanilah kami... setidaknya tunggulah sampai upacara pernikahan anak
kami selesai dan setelah itu..."
"Tidak!
Harus sekarang diselesaikan! Kesabaranku sudah habis!" kata pula hartawan
itu.
"Tuan
Phoa, kasihanilah kami...!" Isteri Lo Cin meratap dan menjatuhkan diri
berlutut di depan hartawan itu. Lo Cin juga menjatuhkan diri berlutut.
"Persetan
dengan bujuk rayumu!" Hartawan itu membentak, kemudian dengan kakinya
mendorong tubuh Lo Cin sampai terjengkang. "Bayarlah atau kami akan
melakukan kekerasan!"
Sementara
itu, para tamu menjadi pucat dan mereka tidak mau ikut terlibat. Maka mereka
pun lalu menjauhkan diri, keluar dari ruangan itu, berkelompok di luar rumah,
bahkan ada sebagian yang cepat-cepat pulang karena mereka ini pun merasa masih
mempunyai hutang kepada Phoa Wan-gwe dan takut kalau-kalau mereka kebagian
kemarahan hartawan itu.
Melihat
betapa ayah ibunya berlutut di depan hartawan itu dan ayahnya yang kena tendang
itu sudah berlutut kembali, pengantin perempuan itu pun turut menangis dan
menjatuhkan diri berlutut di belakang ayahnya. Calon suaminya juga sudah
berlutut di sampingnya, memandang bingung karena pemuda ini pun sudah mengenal
kekuasaan Phoa Wan-gwe. Dusunnya termasuk wilayah hartawan ini pula. Akan
tetapi dia sama sekali tidak tahu dan tidak pernah mengira bahwa hartawan itu
menginginkan calon isterinya yang sudah beberapa tahun lamanya menjadi
tunangannya.
Sementara
itu, kepala pengawal Phoa Wan-gwe yang sudah tahu akan suasana yang
menguntungkan bagi majikannya, melihat kesempatan terbuka baginya untuk turun
tangan dan membuat jasa baik. Dia lalu mendekati Lo Cin, ikut berlutut dan berkata
dengan lirih kepada petani itu.
"Lo
Cin, kita semua tahu bahwa tuan Phoa adalah seorang yang bijaksana dan murah
hati. Beliau marah karena engkau banyak berhutang kepadanya, sebelum melunasi
hutang-hutangmu malah merayakan pernikahan puterimu. Hal ini berarti bahwa
engkau kini menghadapi kesulitan karena anak perempuanmu. Sebab itu, sudah
sepatutnya jika engkau menyuruh anak perempuanmu membujuk tuan Phoa supaya
mengampunimu. Biarkan anakmu ikut bersama kami dan akan kuatur agar dia dapat
menemui dan membujuk tuan Phoa dan aku yakin pasti akan berhasil. Tentang
pernikahan, dapat diundurkan untuk beberapa pekan atau beberapa bulan."
Berkata demikian, kepala pengawal ini memandang dan mengedipkan matanya kepada
tuan rumah dengan arti yang tidak mungkin disalah tafsirkan lagi.
"Ahh...
ahhh...!" Lo Cin mengeluh dengan bingung, sebentar menoleh ke arah
puterinya yang berlutut di belakangnya, memandang isterinya dan memandang Phoa
Wan-gwe yang kelihatannya tidak tahu menahu tentang bisikan kepala pengawalnya
itu.
Namun Cun
Si, pengantin wanita yang tadi menangis sambil menundukkan mukanya, ikut
memperhatikan ucapan kepala pengawal itu dan ia pun mengerti. Ia sudah banyak
mendengar tentang hartawan itu yang suka mengganggu anak bini orang, maka ia
pun tahu apa maksudnya kepala pengawal itu, menyuruh ayahnya mengirim ia untuk
pergi membujuk hartawan itu agar suka mengampuni ayahnya. Pernikahan diundur
sampai beberapa pekan atau bulan! Ini saja sudah cukup baginya untuk dapat
membayangkan atau menduga apa yang harus ia lakukan.
"Tidak...!"
Tiba-tiba ia berkata lirih akan tetapi dengan muka pucat, mata terbelalak dan
ia memegang lengan calon suaminya. "Tidak, aku tidak mau ke sana...! Ayah,
aku tidak mau. Aku lebih baik mati sekarang juga..." Dan ia pun menangis.
Calon
suaminya segera merangkulnya tanpa malu-malu lagi. Pemuda ini pun maklum
mengapa calon isterinya begitu ketakutan dan berduka.
"Tenanglah,
tidak ada seorang pun yang akan dapat mengganggumu seujung rambut saja selama
aku masih hidup!" Sungguh gagah sekali ucapan itu, tentu terdorong oleh
tanggung jawab untuk melindungi dan membela isterinya.
Akan tetapi
ucapan itu membuat merah muka si kepala pengawal. Dia meloncat berdiri dan
dengan alis berkerut dia menghampiri mempelai pria.
"Apa
yang kau bilang? Engkau menjadi pembela gagah berani, ya? Kalau begitu, hayo
keluarkan uang, dan bayar semua hutang mertuamu. Itu baru gagah namanya!"
Dan kakinya menendang ke depan.
Pemuda itu
hanyalah seorang pemuda tani biasa. Walau pun tubuhnya kuat karena pekerjaannya
yang kasar, akan tetapi dia tidak pandai ilmu silat. Pada saat ditendang,
tangannya menangkis begitu saja, akan tetapi tetap saja tendangan itu mengenai
punggungnya.
"Bukkk...!"
Tubuh mempelai pria itu terguling-guling.
"Jangan...!"
Mempelai wanita menjerit dan menubruk tubuh calon suaminya yang kini berusaha
untuk bangkit itu. Ada darah keluar dari mulut pemuda itu.
"Bocah
lancang ini perlu dihajar!" kata kepala pengawal yang agaknya mendapatkan
pikiran baru. "Atau akan kubunuh sekali di sini! Bagaimana nona? Kubunuh
saja dia atau engkau bersedia untuk menolong keluarga ayahmu?"
Agaknya dia
memperoleh sasaran lain untuk membantu majikannya, bukan lagi sekedar janji
pembebasan hutang atau ampunan, tetapi kini dia mengancam akan membunuh
pengantin pria kalau gadis itu tidak mau memenuhi kehendak majikannya.
"Tidak, aku tidak mau lebih baik kau bunuh saja kami berdua!"
Mempelai perempuan meratap lirih sambil memeluk calon suaminya.
"Ya,
bunuh saja kami. Kami rela mati bersama dari pada mengalami penghinaan,"
sambung pemuda itu.
"Jangan
bunuh mereka...!" Ayah pengantin perempuan meratap dan memohon sambil
berlutut dan menyembah-nyembah.
"Hemm,
tidak mau memenuhi permintaan akan tetapi minta diampuni. Mana bisa?!"
bentak pula kepala pengawal.
Sejak tadi,
di antara para tamu yang kini bergerombol di luar sebagai penonton, terdapat
seorang gadis bersama seorang pemuda. Mereka itu bukan tamu, melainkan dua
orang yang kebetulan lewat di dusun itu, melihat ramai-ramai, tertarik dan
mendekat. Mereka berdua itu adalah Gu Hong Beng dan Can Bi Lan yang seperti
kita ketahui, melakukan perjalanan bersama menuju ke kota raja.
Mereka sejak
tadi diam saja dan merasa kagum kepada sepasang pengantin itu yang demikian
berani menentang maut walau pun mereka itu hanya sepasang muda mudi dusun yang
lemah. Jelas nampak betapa mereka itu saling mencinta dan rela mati bersama.
Baik Hong Beng mau pun Bi Lan belum pernah melihat atau mendengar pernyataan
cinta yang sedemikian mendalam, dan diam-diam mereka merasa terharu sekali.
Melihat
betapa kini kepala jagoan itu hendak menyiksa bahkan mengancam hendak membunuh,
Bi Lan mengerutkan alisnya. Dia tadi sudah mendengar semuanya dan seperti juga
Hong Beng, ia dapat menduga bahwa hartawan itu tentu menginginkan pengantin
wanita dan kini mempergunakan kekuasaannya untuk merampas pengantin wanita.
Akan tetapi sebelum ia atau Hong Beng meloncat ke dalam untuk membela keluarga
pengantin, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Anjing-anjing
serigala bermuka manusia yang sungguh menjemukan sekali!" Dan dari
kerumunan orang-orang itu meloncat masuk seorang pemuda yang gagah perkasa.
Bi Lan dan
Hong Beng memandang dan keduanya merasa kagum.
Pemuda itu
memang mengagumkan sekali. Tubuhnya tinggi besar dan gagah perkasa. Mukanya
yang berkulit agak gelap nampak jantan dan gagah. Usianya sebaya dengan Hong
Beng, mungkin hanya lebih tua satu dua tahun, akan tetapi karena tubuhnya
tinggi besar dia nampak lebih tua.
Di
punggungnya terdapat buntalan pakaian seperti halnya Bi Lan dan Hong Beng, dan
hal ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang sedang melakukan perjalanan
jauh sehingga membawa bekal pakaian. Akan tetapi ada benda sepanjang kurang
lebih tiga kaki di dalam buntalan itu, kelihatan menonjol kecil dan Bi Lan
dapat menduga bahwa tentu benda itu sebatang pedang dalam gagangnya.
Pemuda gagah
perkasa itu memang bukan pemuda sembarangan. Dia adalah Cu Kun Tek, putera
tunggal pendekar sakti Cu Kang Bu dan isterinya Yu Hwi, pendekar dari Lembah
Gunung Naga Siluman di Himalaya!
Seperti
telah diceritakan di bagian depan cerita ini, pada waktu pendekar Sim Houw
mengunjungi paman kakeknya, Cu Kang Bu, di lembah itu, pendekar ini telah
menerima pedang pusaka Suling Naga dari kakek Pek-bin Lo-sian dan karena
senjata itu sudah cukup ampuh baginya, maka pendekar Sim Houw lalu menyerahkan
kembali pedang pusaka Koai-liong Po-kiam yang berasal dari lembah itu kepada
paman kakeknya. Bahkan dia juga menyerahkan sebatang suling emas kepada
keluarga Cu.
Saat itu,
tujuh tahun yang lalu, Cu Kun Tek baru berusia dua belas tahun. Kini dia telah
menjadi seorang muda perkasa berusia sembilan belas tahun, telah mewarisi
ilmu-ilmu yang tinggi dari ayah bundanya! Dia mendapat anjuran dari ayah
bundanya untuk turun gunung menuju ke dunia ramai di timur, untuk meluaskan
pengetahuan dan menambah pengalaman.
Sebelum
berangkat, ayah ibunya memperkenalkan nama-nama deretan pendekar yang mereka
kenal, terutama sekali keluarga para pendekar Pulau Es dan lain-lain. Juga ayah
bundanya memperingatkan dia akan nama-nama beberapa orang tokoh dunia hitam
yang mereka kenal.
"Ingatlah
selalu, Kun Tek, bahwa kepandaian silat yang kau pelajari selama ini hanya
merupakan sekelumit saja dari ilmu-ilmu yang tinggi yang dimiliki tokoh-tokoh
dunia persilatan. Oleh karena itu jangan sekali-kali pernah menonjolkan ilmu
silatmu, apa lagi menyombongkannya. Engkau masih harus banyak belajar dan
engkau hanya akan dapat belajar dan menambah pengetahuanmu kalau engkau
bersikap kosong dan tidak memiliki kepandaian apa-apa. Hanya periuk yang selalu
kosong dapat menampung tambahan air dari luar, sebaliknya periuk yang selalu
penuh takkan mampu menampung apa pun dari luar. Jadilah seperti periuk yang
selalu kosong. Akan tetapi, kalau engkau melihat peristiwa yang tidak adil,
melihat kesewenang-wenangan yang dilakukan orang terhadap yang lemah, engkau
harus turun tangan membela yang lemah tertindas, menentang yang kuat dan jahat.
Engkau harus berwatak sebagai seorang pendekar budiman yang gagah perkasa dan
pantang mundur untuk membela kebenaran dan keadilan!" kata ibunya.
Mendengar
nasehat isterinya kepada putera mereka, Cu Kang Bu tersenyum. Memang isterinya
berwatak keras dan gagah perkasa. "Benar kata ibumu, Kun Tek, akan tetapi
engkau harus waspada dan kalau tidak perlu sekali, janganlah melibatkan diri
dalam perkelahian. Ingat, engkau turun gunung untuk mencari pengalaman, bukan
mencari permusuhan dengan siapa pun juga."
Ketika Kun
Tek berangkat pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, baru saja dia tiba di
lereng pertama, ibunya menyusulnya. Ibunya menyerahkan pedang Koai-liong
Po-kiam kepadanya. "Bawalah pedang pusaka ini, anakku. Di dunia ramai
banyak sekali orang jahat yang lihai. Pedang ini boleh kau pergunakan kalau
engkau berada dalam ancaman bahaya. Hanya untuk melindungi dirimu, kalau tidak
perlu jangan kau keluarkan, simpan saja dalam buntalan pakaian."
Cu Kun Tek
merasa girang sekali. Memang dia amat sayang kepada pedang pusaka pemberian Sim
Houw itu, pedang pusaka yang memang berasal dari keluarga mereka. Ketika dia
mempelajari ilmu pedang dari ayahnya, pedang pusaka itulah yang dia pakai untuk
berlatih sehingga dia dapat memainkan pedang itu dengan baiknya. Kini ibunya
memberikannya untuk bekal, tentu saja dia merasa girang sekali. Hatinya menjadi
lebih besar dan tabah kalau membawa pedang pusaka itu.
Setelah dia
berangkat meninggalkan ibunya yang berdiri mengikuti bayangan putera tercinta
itu dengan mata basah, tiba-tiba terdengar suara lembut di belakang wanita itu.
"Hemm, kau menyerahkan pedang pusaka itu kepadanya? Sungguh resikonya
besar sekali."
Yu Hwi
membalikkan tubuhnya dan memandang suaminya. "Dia memerlukan pusaka itu
untuk membela diri. Banyak sekali penjahat-penjahat lihai di sana."
"Tapi
pedang itu adalah pusaka keluarga kita sejak dahulu, sudah seharusnya disimpan
dan dipuja oleh Lembah Naga Siluman. Bagaimana kalau sampai pedang pusaka itu
hilang dirampas orang?"
"Aih,
apakah engkau kurang percaya kepada putera sendiri? Kun Tek cukup kuat untuk
menjaga pedang itu. Pedang itu pun amat berguna untuk melindunginya dari
ancaman bahaya, kalau kaki tangannya sudah tidak mampu lagi melindungi dirinya.
Pula, pedang itu adalah pedang pusaka keluarga Cu, dan bukankah Kun Tek
merupakan keturunan terakhir dari keluarga Cu? Dia berhak memilikinya."
Cu Kang Bu
menarik napas panjang. Dia maklum bahwa percuma saja berbantah dengan isterinya
yang keras hati. Pula, perbuatan isterinya itu terdorong rasa cinta dan
khawatir terhadap keselamatan Kun Tek. Dengan pedang itu di tangan, memang
keadaan putera mereka lebih kuat.
Demikianlah,
pada hari itu, seperti juga Bi Lan dan Hong Beng, Kun Tek kebetulan lewat di
dusun itu dan melihat peristiwa yang membuat mukanya yang agak kehitaman itu
menjadi lebih gelap karena marah. Dia marah sekali dan tidak dapat menahan
gejolak hatinya untuk membela keluarga pengantin yang sedang ditekan oleh
hartawan dan anak buahnya itu.
Mendengar
bahwa dirinya dimaki anjing serigala, kepala pengawal itu marah sekali. Dia
menoleh dan melihat kegagahan pemuda tinggi besar itu, kepala pengawal ini bersikap
hati-hati. Pemuda ini nampak tegap dan kuat, dan kalau sudah berani memaki dia,
tentu pemuda ini memiliki kepandaian yang diandalkan.
"Hemmm,
orang muda yang lancang, siapakah engkau dan dari perguruan mana?"
bentaknya, setengah menghardik dan setengah menyelidik.
"Namaku
tidak ada sangkut pautnya dengan kalian serombongan serigala yang jahat!"
bentak Kun Tek marah. Dia menoleh kepada Phoa Wan-gwe dan menudingkan telunjuk
kirinya ke arah hidung hartawan itu. "Dan kau, orang kaya yang hendak
memeras dan menindas orang miskin, minggatlah dan bawa anjing-anjingmu pergi,
kalau tidak, akan kuhajar kau dan anjing-anjingmu sampai berkuik-kuik minta
ampun!"
Sikap pemuda
itu benar-benar amat gagah dan semua ucapannya itu bukanlah karena
kesombongannya, melainkan karena kemarahannya yang memuncak. Memang pemuda ini
mewarisi kekerasan hati seperti ibunya. Dari ayahnya dia hanya mewarisi tubuh
yang tinggi besar dan tenaga raksasa.
Kepala
pengawal itu marah bukan main. Dia seorang yang sudah biasa menggunakan kekerasan
memaksakan kehendaknya atau kehendak majikannya dan tidak malu-malu untuk
mengandalkan jumlah banyak. Melihat sikap Kun Tek, dia merasa agak gentar untuk
maju sendiri, maka dia lalu berteriak memberi aba-aba kepada anak buahnya yang
berjumlah empat belas orang bersama dia itu.
"Mari
kita hajar bocah ingusan sombong ini!"
Memang
pekerjaan para jagoan, pengawal atau tukang pukul itu adalah untuk memukul dan
menganiaya orang. Hanya dengan cara itulah mereka dapat menyenangkan hati
majikan mereka, dan untuk keperluan itu pula mereka dibayar. Kini, mendengar
perintah dari pemimpin mereka, belasan orang itu bergerak mengepung dan
menyerang, dengan didahului oleh dua orang tukang pukul yang berada paling
dekat dengan pemuda itu.
Kun Tek
tidak bergerak dari tempat dia berdiri, hanya kedua tangannya bergerak cepat
dan dua orang penyerang itu terpelanting dan mengaduh-aduh, tidak mampu bangkit
lagi karena tulang pundak mereka telah patah ketika bertemu dengan jari-jari
tangan Kun Tek!
Para
pengawal lainnya menjadi marah dan terjadilah pergeroyokan yang kacau dan
bising. Para pengawal itu berteriak-teriak, dan memang mereka itu sekumpulan
orang yang kejam dan ganas.
Bi Lan yang
nonton perkelahian itu melihat ketepatan makian pemuda itu tadi yang menamakan
mereka itu segerombolan serigala. Memang mereka itu mengeroyok bagai
serigala-serigala kelaparan, sambil menggonggong membisingkan.
Akan tetapi,
pemuda tinggi besar itu sungguh mengagumkan sekali. Sikapnya tenang dan kokoh
kuat, gerakannya mantap dan tabah penuh wibawa, seperti seekor naga yang
dikeroyok. Dan hebatnya, kalau ada pukulan yang mengenai tubuhnya, pukulan itu
bagai tak dirasakannya dan pemukulnya malah mengaduh menggoyang-goyang tangan
yang dipakai memukul. Sedangkan setiap kali pemuda itu menampar atau menendang,
tentu ada tubuh pengeroyok yang terpental atau terpelanting keras.
Perkelahian
itu tidak berlangsung lama. Ketika orang terakhir, yaitu kepala pengawal, roboh
oleh tendangan kaki Kun Tek, hartawan Phoa sudah cepat melarikan diri. Akan tetapi,
Kun Tek yang sejak tadi memperhatikan orang itu, cepat meloncat ke depan dan
seperti seekor harimau menerkam kelinci, dia sudah menubruk dan mencengkeram
punggung baju orang itu. Ketika dia mengangkat tangan kirinya yang
mencengkeram, hartawan itu terangkat ke atas. Dengan muka pucat dan mata
terbelalak hartawan Phoa memandang kepada pemuda itu.
"Ampun...
ampunkan aku..." ratapnya, dan dia sama sekali tidak ingat betapa
seringnya ratapan minta ampun itu keluar dari mulut orang-orang yang pernah ditindasnya.
Kun Tek
tersenyum mengejek. "Pernahkah engkau mengampuni orang lain?"
Dan sekali
dia membanting, tubuh hartawan itu jatuh ke atas tanah dan dia tetap rebah
tanpa berani bangkit lagi, mukanya menjadi semakin pucat. Para pengawal yang
sudah mampu bangkit kembali hanya memandang, tidak berani berkutik. Di antara
mereka ada yang menderita patah tulang, benjol-benjol dan babak belur.
Pada saat
itu, Lo Cin, si petani menghampiri Kun Tek dan dia menjatuhkan diri berlutut di
depan pemuda itu. "Taihiap, harap taihiap sudi melepaskan Phoa Wan-gwe.
Dia tidak bersalah. Sesungguhnya, sayalah yang bersalah, harap taihiap tidak
menjadi salah mengerti dan suka membebaskan dia."
Tentu saja
Kun Tek tertegun dan memandang heran. Orang ini bersama keluarganya tadi
ditindas dan diancam. Dia turun tangan menghajar para penindas, tetapi mengapa
orang ini malah memintakan ampun terhadap penindasnya?
"Paman,
tidak kelirukah engkau? Bukankah hartawan ini tadi menindasmu dan hendak
mengganggu puterimu? Memeras dan mengancam, bahkan tukang pukulnya tadi telah
memukul mantumu?"
"Semua
itu memang benar, akan tetapi sebabnya adalah karena kesalahan kami, taihiap.
Phoa Wan-gwe telah banyak menolong keluarga kami, seperti juga keluarga semua
petani di sini. Kalau kami kekurangan makan dan pakaian, selalu dialah yang
mengulurkan tangan menolong kami. Akan tetapi, saya telah berkali-kali
melanggar janji, tidak dapat mengembalikan hutang-hutangku yang banyak seperti
yang telah saya janjikan. Karena itulah dia marah-marah melihat kami mengadakan
pesta sedangkan hutang-hutang kami belum terbayar. Dan saya berjanji, asal Phoa
Wan-gwe suka memberi kelonggaran hati, dalam beberapa bulan ini, dibantu
mantuku, kami pasti akan membayar hutang-hutang itu."
Semua orang
yang masih menonton di luar mengangguk-angguk. Tidak dapat mereka sangkal bahwa
memang Phoa Wan-gwe seorang dermawan bagi mereka. Kalau terjadi keributan tadi,
hanya karena kelemahannya, yaitu mudah tergila-gila perempuan cantik! Kini
mereka pun mengerti akan sikap Lo Cin yang melindungi hartawan itu dari hajaran
dan hukuman dari pendekar muda itu.
Orang yang
merasa paling terpukul batinnya adalah Phoa Wan-gwe sendiri. Dia tidak
menyangka sama sekali bahwa orang yang menyelamatkan atau paling tidak berusaha
menyelamatkannya adalah justru Lo Cin! Dia merasa terharu sekali dan sadarlah
dia akan kelemahannya dan kesalahannya.
"Paman
Lo Cin, aku minta maaf kepadamu, kepada keluargamu... biarlah hutang-hutang itu
dihabiskan saja sampai di sini dan semua urusan dianggap sudah tidak ada lagi.
Aku memang bersalah," katanya.
Mendengar
ucapan ini, Kun Tek semakin terheran-heran. Benarkah hartawan ini orang
baik-baik, ataukah dia penindas rakyat miskin? Melihat betapa di luar banyak
terdapat orang dusun yang kini menonton keributan itu, dengan suara lantang dia
berteriak.
"Saudara-saudara
penduduk dusun ini, dengarlah! Karena melihat tindakan sewenang-wenang, aku
turun tangan menghajar jagoan-jagoan ini dan menangkap hartawan ini. Akan
tetapi, keluarga pengantin malah mintakan ampun. Bagaimana, apakah aku harus
melepaskan hartawan ini, ataukah dia harus dihajar sampai tulangnya patah-patah
agar dia lain kali tidak akan mengulangi perbuatannya?"
Dan Kun Tek
melihat hal yang dianggapnya sangat aneh. Sebagian dari orang-orang itu
menjatuhkan diri berlutut pula dan berseru kepadanya dari jauh, "Taihiap,
harap suka melepaskan Phoa Wan-gwe. Dia dermawan penolong kami."
Kun Tek
mengerutkan alisnya dan memandang kepada hartawan itu. "Sungguh aku tidak
mengerti. Engkau tadi jelas sudah mengerahkan anjing-anjing ini untuk melakukan
penganiayaan dan ancaman, akan tetapi mengapa orang-orang dusun ini membelamu?
Hayo katakan, sebenarnya apa yang telah kau lakukan untuk menguasai
mereka?"
Hartawan
Phoa bangkit duduk dan memberi hormat. "Terus terang saja, taihiap.
Selamanya saya bersahabat dengan penduduk dusun, membantu mereka dan kami
bekerja sama dengan baik selama puluhan tahun, semenjak saya masih kecil dan
ayah yang berkuasa di sini. Akan tetapi terus terang saja, saya telah bersalah,
sebab terlalu menurutkan nafsu dan mudah tergiur oleh kecantikan wanita.
Pengalaman hari ini akan menjadi peringatan bagi saya dan mudah-mudahan Tuhan
akan membantu saya dan memberi kekuatan untuk melawan godaan setan."
Hartawan itu lalu berkata kepada Lo Cin, "Paman Lo Cin, mari kita
lanjutkan pesta ini. Biarlah aku yang membiayai, tambah lagi masakan dan
saudara-saudara yang berada di luar, mari kita rayakan pernikahan puteri dari
paman Lo Cin!"
Tentu saja
sikap dan ucapan hartawan Phoa itu disambut sorakan gembira dari para penduduk
dusun karena mereka kini mengenal lagi hartawan itu seperti biasanya kalau
sedang memberi pertolongan dan derma kepada para penduduk dusun yang miskin.
Para tukang pukul itu disuruh pulang oleh Phoa Wan-gwe untuk berobat dan
merawat luka-luka mereka.
Ketika Lo
Cin sekeluarga yang merasa gembira sekali itu hendak mengundang pemuda perkasa
tadi untuk menjadi tamu kehormatan, ternyata pemuda itu telah lenyap dari situ
dan agaknya telah pergi tanpa pamit, menyelinap di antara orang banyak.
Hal ini
diketahui oleh Bi Lan dan Hong Beng dan mereka kagum bukan main, kemudian
mereka pun diam-diam pergi dari tempat itu. Kedua orang muda-mudi itu
melanjutkan perjalanan, meninggalkan dusun itu dan di sepanjang perjalanan,
mereka berdua lalu bercakap-cakap, membicarakan peristiwa yang baru mereka
lihat di dusun tadi.
"Pemuda
itu tadi luar biasa, bagaimana pendapatmu tentang dia, Hong Beng?" Bi Lan
bertanya.
Sambil
melangkah dengan tegap di samping gadis itu, Hong Beng memandang ke atas,
melihat awan bergerak di hari yang cerah itu. "Dia? Wah, dia memang hebat.
Kalau saja ada kesempatan, aku ingin sekali mencoba mengadu kepandaian dengan
dia."
"Ehhh...?"
Bi Lan terkejut dan menahan langkahnya sehingga Hong Beng terpaksa berhenti
juga. Dengan alis berkerut gadis itu menatap wajah temannya dan bertanya,
"Kenapa engkau punya pikiran seaneh itu, seolah-olah engkau ingin
memusuhinya?"
Ditegur
demikian, barulah Hong Beng merasa kaget dan mukanya berubah kemerahan. Tanpa
sadar dia tadi telah mengeluarkan ucapan yang nadanya keras dan bermusuh
terhadap pemuda perkasa yang tidak dikenalnya itu! "Tidak apa-apa,
maksudku... aku kagum sekali dan ingin berkenalan dengan dia dan di kalangan
kita yang suka akan ilmu silat, perkenalan akan lebih akrab kalau diawali
dengan adu kepandaian silat."
"Hemm,
dia merupakan lawan yang tidak ringan untuk dilawan, Hong Beng. Aku tidak yakin
apakah engkau akan dapat mengalahkan dia," kata Bi Lan sambil melanjutkan
perjalanan itu dengan langkah seenaknya.
Hong Beng
melirik ke kiri. Akan tetapi wajah gadis itu tidak membayangkan sesuatu dan
pemuda itu menekan perasaannya yang tidak enak. Alisnya berkerut. Gadis ini
agaknya sudah tertarik sekali kepada pemuda tinggi besar itu, pikirnya tak
senang.
"Akan
tetapi aku yakin akan dapat mengatasinya. Biar pun tidak kusangkal bahwa dia
lihai, akan tetapi ilmunya masih belum matang. Buktinya tadi dia membiarkan
beberapa pukulan mengenai tubuhnya ketika dia menghadapi pengeroyokan
itu."
"Akan
tetapi pukulan-pukulan itu sama sekali tidak membuatnya tergoyah, sama sekali
tidak dirasakannya!"
"Memang
agaknya begitu. Akan tetapi engkau sendiri tentu tahu bahwa membiarkan tubuh
terpukul lawan dengan melindungi tubuh menggunakan kekebalan bukanlah cara yang
baik untuk membela diri. Kenapa ia tidak menggunakan kelincahan dan kecepatan
gerakan untuk menghindarkan pukulan-pukulan itu? Hal itu hanya membuktikan
bahwa dalam hal kecepatan gerak tubuh, dia belum berapa hebat. Karena itulah
aku merasa yakin akan dapat mengalahkannya."
"Hong
Beng, dia jelas seorang pendekar budiman yang gagah perkasa, bagaimana engkau
berani memandang rendah kepadanya, bahkan ingin mencoba kepandaiannya? Apakah
engkau ingin bermusuhan dengan seorang pendekar?"
"Akan
tetapi dia agak sombong..."
"Kau
keliru! Dia sama sekali tidak sombong, bahkan memperkenalkan nama pun tidak.
Dia tegas dan gagah perkasa."
Hong Beng
merasa betapa perutnya menjadi semakin panas ketika mendengar gadis itu terus
memuji-muji pemuda tinggi besar itu setinggi langit. Akan tetapi dia menekan
perasaannya dan berkata, "Sudahlah, kita tidak perlu membicarakan dia
lagi. Kau tahu bahwa aku tidak ingin memusuhi orang. Yang lebih mengagumkan aku
adalah sikap sepasang mempelai itu. Mereka berani menentang maut, berani
menghadapi ancaman hartawan dan anak buahnya itu dengan gagah berani, padahal
mereka berdua adalah orang-orang biasa yang lemah dan tidak berdaya
melawan."
"Jangan
bilang mereka itu lemah Hong Beng. Mereka berdua itu kuat sekali, lebih kuat
dari pada maut..."
"Ehhh,
maksudmu?" Hong Beng terkejut dan heran sampai menghentikan langkahnya,
memandang gadis itu dengan mata terbelalak.
Bi Lan
tersenyum. "Jangan pandang aku seperti orang melihat setan!" katanya.
"Aku katakan bahwa mereka itu tidak lemah, karena mereka saling memiliki,
mereka saling mencinta. Cinta itulah yang membuat mereka kuat dan berani
menghadapi ancaman maut."
Pandang mata
Hong Beng menjadi lunak dan sayu ketika dia mendengar ucapan ini, jantungnya
berdebar. "Bi Lan... bagaimana kau tahu tentang semua itu?"
"Tentu
saja. Siapa pun dapat melihat bahwa sepasang pengantin itu saling mencinta, dan
dengan bersenjatakan cinta kasih, keduanya berani menentang maut. Lihat betapa
pengantin pria yang lemah itu berani melindungi calon isterinya, dan lihat juga
betapa pengantin wanita itu menyandarkan keselamatannya kepadanya, nampak jelas
dalam pandang mata mereka, sikap mereka."
"Bukan
itu, maksudku, bagaimana engkau tahu tentang cinta kasih? Kau mengatakan bahwa
cinta kasih membuat mereka kuat dan berani. Apakah... ehhh, pernahkah... kau
mengalaminya sendiri?"
Wajah gadis
yang biasanya polos dan tidak pemalu itu kini berubah agak merah dan matanya
memandang marah. "Iihh, prasangkamu buruk! Kau kira aku ini wanita macam
apa? Aku tidak pernah jatuh cinta dan tak akan pernah!" Kemudian
sambungnya lirih, "Laginya, siapa sih yang bisa jatuh cinta kepada orang
macam aku ini?"
Hong Beng
merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Dengan muka agak pucat kini dia
memandang gadis yang berdiri di depannya itu. Sinar matanya seperti hendak
menembus dan menjenguk isi hati Bi Lan. Dia merasa betapa kedua kakinya
gemetar. Hatinya gentar untuk bicara, akan tetapi ada dorongan kuat sekali yang
memaksanya membuka mulut dan suaranya terdengar aneh dan ringan, seperti suara
lain datang dari jauh ketika akhirnya dia berkata, "Bi Lan... dengarlah
aku..."
Bi Lan
membelalakkan matanya. Ia melihat wajah pemuda itu menjadi aneh, begitu pucat
dan sinar matanya begitu sayu akan tetapi juga ada sinarnya yang tajam penuh
selidik, dan yang paling mengherankan hatinya adalah kata-kata itu, dan
suaranya yang demikian lembut dan penuh getaran.
"Hong
Beng, ada apakah? Sejak tadi pun aku mendengarkanmu," katanya mengomel
karena dia sendiri merasakan sesuatu yang amat aneh dan membingungkan dari
sikap pemuda itu.
"Bi
Lan... tahukah engkau... bahwa ada seorang yang jatuh cinta kepadamu semenjak
pertama kali melihatmu?"
Sepasang
mata yang jernih itu terbelalak. Bi Lan benar-benar tidak dapat menangkap apa
yang dimaksudkan pemuda itu. "Hong Beng, engkau ini bicara apakah? Jangan
main gila kau, siapa yang kau maksudkan itu?"
"Aku...!"
Hong Beng mengaku dan hatinya lega setelah dengan nekat akhirnya dia mampu juga
membuat pengakuan yang menggelisahkan dan menegangkan hatinya itu. "Aku
telah jatuh cinta padamu sejak pertama kali melihatmu, maka janganlah mengira
bahwa tidak ada orang yang bisa jatuh cinta padamu."
Bi Lan
merasa betapa jantungnya berdebar dengan kacau. Ia tidak tahu apakah ia harus
marah atau bagaimana. Ia merasa canggung, tidak malu, hanya canggung dan tidak
enak. Ia merasa dibawa ke suatu daerah yang sama sekali asing baginya, diseret
ke dalam keadaan yang menggelisahkan karena sama sekali tidak dikenal dan
diketahui olehnya.
Ia tidak
tahu sama sekali tentang cinta kasih, meski tadi dengan mudah saja ia dapat
bicara tentang cinta yang nampak antara sepasang mempelai di dusun itu. Setelah
kini ada orang yang mengaku cinta kepadanya, ia menjadi bingung! Apa lagi yang
membuat pengakuan ini adalah Gu Hong Beng, satu-satunya pria yang selama ini
dekat dengan dirinya, yang dianggapnya sebagai seorang sahabat baru yang amat
baik.
Akhirnya,
keadaan yang menegangkan dan membingungkan hatinya itu menimbulkan kemarahan!
Keterlaluan sekali pemuda ini, merusak suasana yang sudah begitu baik!
Mendatangkan kecanggungan dan perasaan tidak enak saja. Kini setelah mendengar
pengakuan pemuda itu, mana mungkin selanjutnya ia dapat berada di dekat pemuda
ini?
"Bi
Lan, maafkan kalau keterus teranganku tadi menyinggung perasaan hatimu,"
kata Hong Beng dengan halus ketika dia melihat betapa wajah gadis itu menjadi
sebentar pucat dan sebentar merah, dan terbayang kemarahan pada sinar matanya.
"Maaf?
Enak saja engkau bicara!" Bi Lan mengomel. Sengaja dia bersikap biasa
untuk mengusir perasaan tidak enak dalam hatinya dan membuyarkan suasana tegang
yang mencekam di antara mereka. "Kau sudah merusak suasana dan aku tidak
mungkin lagi melakukan perjalanan bersamamu."
"Bi
Lan...!"
"Biarlah
kita kelak berjumpa lagi kalau ada kesempatan, akan tetapi aku tidak mau lagi
melakukan perjalanan bersamamu." Gadis itu lalu meloncat.
"Bi
Lan, tunggu...!"
"Mau
apa lagi?"
Dengan satu
kali loncatan, Hong Beng sudah berada di depan gadis itu, wajahnya pucat dan
membayangkan kegelisahan dan kekecewaan. "Bi Lan, apakah pernyataan
cintaku tadi menyakiti hatimu, menyinggung perasaanmu?"
"Tidak
menyakiti, akan tetapi tentu saja menyinggung! Aku tidak suka bicara tentang
itu!"
"Akan
tetapi apakah kau... menolak cintaku? Bi Lan, berterus teranglah saja agar aku
tidak tenggelam ke dalam keraguan dan kegelisahan. Apakah tidak ada cinta di
hatimu terhadap diriku? Apakah engkau membenciku?"
Bi Lan
membanting kakinya dengan gemas. "Aku tidak suka bicara tentang itu,
engkau malah menghujani aku dengan urusan cinta! Huh, aku tidak mencinta
siapa-siapa, dan juga tidak membenci siapa-siapa. Sudahlah, selamat
tinggal!" Dan ia pun melarikan diri dengan cepatnya meninggalkan pemuda
itu.
Hong Beng
berdiri bengong dengan muka pucat. Ingin dia mengejar dan dia yakin akan dapat
menyusul gadis itu kalau mengejarnya, akan tetapi dia tidak mau membikin marah
gadis itu dengan desakannya. Dia hanya berdiri sambil mengepal tinju, dan
diam-diam merasa menyesal kepada diri sendiri yang telah begitu tergesa-gesa
menyatakan cinta kasihnya.
Tadinya
memang dia tak berniat untuk menyatakan cintanya, biar pun sejak pertemuan
pertama dia sudah jatuh hati. Bukan hanya perasaan kagum yang terasa olehnya
terhadap gadis itu, melainkan perasaan cinta. Hal ini dia rasakan benar walau
pun dia juga belum berpengalaman dalam hal itu. Tadinya ia hanya akan
merahasiakannya saja sambil menanti kesempatan baik untuk kelak mengakui
cintanya.
Akan tetapi,
perjumpaan mereka dengan sepasang mempelai yang saling mencinta itu, kemudian
membicarakan cinta kasih sepasang mempelai itu, ditambah lagi ucapan Bi Lan
yang merasa bahwa tidak ada orang yang bisa jatuh cinta kepadanya, semua itu
mendorongnya dan pernyataan cinta itu pun meluncur keluar dari mulutnya sebelum
dia sempat menahannya lagi.
Dan kini
semua itu telah terjadi. Dia sudah terlanjur menyatakan cinta dan gadis itu
menolaknya, bahkan kini meninggalkannya! Meninggalkannya begitu saja! Hong Beng
merasa betapa keadaan sekelilingnya tiba-tiba saja menjadi amat sunyi. Dia
merasa ditinggalkan seorang diri, merasa disia-siakan, merasa tidak ada gunanya
lagi. Pemuda itu lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan menutupkan kedua
tangan di depan mukanya sambil memejamkan kedua matanya.
Dia merasa
terpukul dan terhimpit batinnya untuk ke dua kalinya selama hidupnya yang
delapan belas tahun ini. Pertama kali ketika dia kehilangan ayah bundanya. Dan
kedua kalinya sekarang ketika dia ditinggalkan Bi Lan. Perasaannya menjadi
terapung seperti melayang di udara, hatinya kosong, kedukaan menyelimutinya,
seperti gelombang besar menerkamnya, menenggelamkannya...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment