Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Naga
Jilid 07
Betapa
hebatnya cinta asmara antara pria dan wanita, terutama sekali antara muda mudi,
mencengkeram dan mempermainkan manusia bagaikan badai mempermainkan daun-daun
kering yang tak berdaya. Kalau hati sudah dilanda asmara, maka hati itu berarti
sudah siap untuk timbul atau tenggelam, siap untuk menikmati kesenangan yang
sebesar-besarnya atau menderita kesusahan yang sedalam-dalamnya.
Tidak ada
kesenangan yang lebih besar dari bersatunya dua hati yang dilanda asmara, akan
tetapi juga tidak ada kedukaan yang lebih mendalam dari pada pecahnya dan
putusnya pertalian antara dua hati itu. Tidak ada keresahan dan kesepian yang
lebih mencekik dari pada ditinggal pergi kekasih hati dan tidak ada keputus
asaan yang demikian ringkih dari pada orang yang dikasihi tidak membalas
cintanya.
Haruskah
demikian? Haruskah seseorang yang gagal dalam cintanya menjadi putus asa dan
membiarkan diri dibenamkan duka nestapa? Cinta asmara antara pria dan wanita
hanya dapat terjadi dan berhasil kalau keduanya menyambutnya. Cinta asmara
tidak mungkin terjadi hanya dari satu pihak saja. Bodohlah orang yang
membiarkan batin menderita karena orang yang dicintanya tidak menyambut atau
membalas cintanya itu. Cinta tidak mungkin dapat dipaksakan pada seseorang.
Cinta adalah urusan hati yang amat pribadi.
Cinta kasih
yang sejati tidak akan mendatangkan duka. Cinta kasih kepada seseorang berarti
rasa belas kasih dan kasih sayang kepada orang itu, dan yang ada hanyalah
keinginan untuk membahagiakan orang itu, atau melihat orang itu berbahagia, baik
orang itu menjadi miliknya atau tidak, dekat atau jauh darinya. Cinta kasih tak
mengenal kepuasan diri sendiri. Yang mengejar kesenangan hati sendiri, yang
mengharapkan kepuasan diri sendiri, yang ingin memiliki dan ingin menguasai,
itu bukanlah cinta kasih, melainkan nafsu birahi.
Bukan
berarti bahwa cinta kasih tidak seharusnya mengandung birahi. Cinta kasih
mengandung semuanya, kecuali keinginan menyenangkan diri sendiri walau pun
cinta kasih bisa mendatangkan kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan. Cinta kasih
adalah keadaan suatu hati yang penuh dengan sinar Illahi, sedangkan birahi
adalah keadaan suatu tubuh yang normal dan wajar, menurutkan naluri badaniah.
Bagi hati
yang penuh dengan sinar cinta kasih, birahi merupakan sesuatu yang indah dan
suci, suatu kekuasaan Tuhan yang bekerja dalam badan dan batin, suatu gejolak
yang digerakkan oleh daya tarik-menarik antara Im dengan Yang, suatu sarana
untuk penciptaan yang maha agung, karena tanpa itu, tanpa adanya daya tarik Im
dan Yang sehingga keduanya saling mendorong, maka alam semesta ini akan
berhenti bergerak. Sebaliknya, kalau hati kosong dari cinta, birahi hanyalah
merupakan suatu permainan belaka, kadang-kadang amat kotor dan hanya menjadi
sarana untuk memuaskan nafsu di hati.
Hong Beng
bukanlah seorang pemuda yang menjadi hamba dari nafsu-nafsunya. Tidak, bahkan
selamanya ia belum pernah berhubungan dengan wanita. Akan tetapi ia belum sadar
akan cinta sejati dan sebagai seorang pemuda biasa, dia tunduk kepada keadaan
batinnya yang masih dapat menjadi permainan akunya sendiri, di mana nafsu
selalu berkuasa dan keadaan hati ditentukan oleh berhasil atau gagalnya nafsu.
Diombang-ambingkan antara puas kecewa, harapan dan keputusasaan, senang dan
susah.
Biar pun dia
memperoleh gemblengan yang keras dari gurunya, namun gemblengan itu hanya
memperkuat badannya, belum mampu mendatangkan kesadaran pada batinnya. Karena
itu, badannya mungkin tahan pukulan, namun batinnya masih lemah dan mudah
terguncang oleh kegagalan dan kekecewaan yang menimbulkan perasaan sesal dan
iba diri yang menyengsarakan.
***************
Bi Lan
melarikan diri dengan cepat. Gadis ini bagaikan seekor burung yang nyaris kena
sambaran anak panah. Terkejut, ngeri dan ketakutan. Ia seorang gadis yang masih
hijau dalam hal urusan antara pria dan wanita. Yang pernah dia alami mengenai
hal itu hanyalah yang buruk-buruk saja.
Pernah dia
hampir diperkosa oleh tiga orang gurunya setelah hampir menjadi korban
penganiayaan dan perkosaan sekelompok orang buas. Kemudian ia bertemu dengan
Bhok Gun dan ia melihat sikap yang sama dari Bhok Gun. Sikap laki-laki yang
haus dan yang menganggap wanita sebagai barang permainan saja.
Diam-diam
timbul kemuakan dalam hatinya, membuat ia tidak percaya akan kejujuran pria
dalam urusan kasih sayang. Yang pernah dialami dan dilihatnya hanya kebengisan
nafsu birahi yang diperlihatkan pria terhadap wanita. Oleh karena itu ia kagum
melihat kemesraan dan kesetiaan antara sepasang mempelai itu.
Akan tetapi
ketika urusan cinta itu menyerang dirinya sendiri, dilontarkan oleh mulut Hong
Beng, satu-satunya pria yang mendatangkan kagum dan kepercayaan dalam dirinya,
ia menjadi terkejut, ngeri dan ketakutan. Maka ia pun melarikan diri, bukan
takut terhadap Hong Beng, melainkan takut akan sikap pemuda itu, takut akan
dirinya sendiri yang merasa ngeri dan asing dengan urusan hati itu.
Setelah
berlari cepat sampai setengah hari lamanya, Bi Lan tiba di sebuah hutan di kaki
gunung. Hutan yang penuh dengan pohon cemara, tempat yang indah. Ia merasa
lelah dan duduklah ia di bawah sebatang pohon besar yang rindang daunnya. Angin
bersilir membuat ia mengantuk dan ia pun duduk melamun, memikirkan Hong Beng
dari sikap pemuda itu siang tadi. Matahari kini sudah condong ke barat, namun
sinarnya yang kemerahan masih menerobos antara celah-celah daun pohon.
Hong Beng
seorang pemuda yang amat baik, hal itu tidak diragukannya lagi. Seorang pemuda
bermuka bersih dan cerah, berkulit kuning dan tampan. Sikapnya sederhana dan
sopan, sinar matanya juga bersih dan jernih, tidak mengandung kekurang ajaran
seperti pada sinar mata Bhok Gun atau pria-pria lain yang pernah dijumpainya di
dalam perjalanan.
Ilmu
silatnya juga hebat, apa lagi kalau diingat bahwa pemuda itu adalah murid
keluarga Pulau Es! Selain ilmu silatnya tinggi, ia juga berwatak pendekar,
gagah berani dan baik budi. Tak salah lagi, Gu Hong Beng adalah seorang pemuda
yang sangat baik, seorang pemuda pilihan! Akan tetapi, apakah ia cinta kepada
pemuda itu? Ia tidak tahu!
"Aku
suka padanya...," demikian ia mengeluh.
Memang ia
mengakui bahwa ia suka kepada pemuda itu, suka melakukan perjalanan bersamanya.
Suka bercakap-cakap dengannya, dan suka bersahabat dengannya. Hong Beng
merupakan kawan seperjalanan yang tidak membosankan, tidak banyak cakap, suka
mengalah dan selalu berusaha menyenangkan hatinya, sopan dan ramah.
Ia suka
menjadi sahabat Hong Beng karena selain menyenangkan, juga Hong Beng merupakan
seorang sahabat yang boleh diandalkan. Ia merasa aman dan tenang dekat pemuda
itu dan seolah-olah pemuda itu memulihkan kembali kepercayaannya kepada pria
pada umumnya. Akan tetapi cinta? Ia tidak tahu. Ia tidak dapat membayangkan
bagaimana cinta itu. Apakah sama dengan suka?
Akan tetapi,
kalau cinta itu seperti sepasang mempelai yang dijumpainya di dusun itu, ia
menjadi ragu-ragu. Tidak ada keinginan di hatinya untuk bermesra-mesraan walau
pun ia merasa senang berdekatan dengan pemuda itu. Hanya rasa suka bersahabat,
suka berdekatan. Apakah itu cinta? Kiranya bukan! Cinta sudah tentu lebih
mendalam lagi, bantahnya. Akhirnya ia menjadi bingung sendiri dengan
perbantahan yang berkecamuk di dalam batinnya.
Ia sendiri
tidak yakin apakah benar Hong Beng mencintanya seperti yang diakui pemuda itu.
Mencintanya? Bagaimana sih rasanya dicinta seorang pria? Tiga orang gurunya,
Sam Kwi, jelas amat sayang kepadanya, pernah menyelamatkannya ketika ia masih
kecil, kemudian mendidiknya melalui suci-nya dengan penuh ketekunan. Kalau
tidak sayang kepadanya, tidak mungkin tiga orang aneh yang kadang-kadang kejam
seperti iblis itu mau mempedulikan dirinya yang yatim piatu.
Kemudian,
ketika ia dewasa dan hendak berpisah dari ketiga orang suhu-nya, mereka
berusaha memperkosanya! Itukah cinta? Jelas bukan. Ia masih merasa heran
mengapa tiga orang suhu-nya yang sudah bersusah-payah mendidiknya, setelah ia
dewasa begitu tega untuk memperkosanya setelah melolohnya dengan arak sampai ia
mabok. Ia sukar membayangkan apa yang akan dipikirkannya dan bagaimana
keadaannya sekarang andai kata dulu Sam Kwi berhasil memperkosanya, andai kata
tidak ada suci-nya yang menolongnya.
Ia dapat
menduga bahwa Sam Kwi melakukan hal itu, bukan semata-mata karena ingin memiliki
tubuhnya, tetapi lebih condong kepada ingin menguasainya dan memperoleh
keyakinan akan kesetiaannya. Ia hendak dijadikan sebagai Bi-kwi kedua oleh Sam
Kwi. Bukan, itu bukan cinta seperti yang dimaksudkan Hong Beng. Juga sikap Bhok
Gun itu pun amat meragukan untuk dinamakan cinta. Dan bagaimana dengan cinta
Hong Beng?
Benarkah
pemuda itu mencintanya? Akan tetapi dia tidak merasakan apa-apa, hanya merasa
kasihan kepada Hong Beng karena dia tidak dapat menerima cintanya, Juga marah
karena pemuda itu telah merusak hubungan baik antara mereka. Ia masih ingin
sekali melakukan perjalanan dengan pemuda itu, tetapi pengakuan cinta itu
membuat dia tidak mungkin lagi dapat mendekati Hong Beng.
Bi Lan
bangkit berdiri dan melanjutkan perjalanannya karena matahari sudah semakin
condong ke barat. Ia tidak ingin kemalaman di hutan itu. Perutnya terasa lapar
dan di dalam buntalan pakaiannya hanya tinggal beberapa potong roti kering dan
daging kering saja. Biasanya, Hong Beng yang membawa minuman dan kini setelah
ia terpisah dari pemuda itu, ia tidak berani makan roti dan daging yang serba
kering itu tanpa ada air di dekatnya.
Sialan! Baru
berpisah sebentar saja sudah terasa kebutuhannya akan bantuan pemuda itu! Ia
harus dapat tiba di sebuah dusun sebelum malam tiba karena selain kebutuhan
makan minum, ia pun ingin mengaso di dalam rumah, biar pun gubuk kecil sekali
pun, agar aman dan tidak terganggu hawa dingin, hujan atau nyamuk.
Ketika
keluar dari hutan kecil itu, Bi Lan naik ke atas bukit dan dari situ memandang
ke bawah. Hatinya girang melihat dari jauh nampak beberapa buah rumah dengan
genteng berwarna merah, tanda bahwa genteng itu masih belum begitu lama. Tentu
sebuah dusun kecil, pikirnya dan ia pun cepat berlari menuruni bukit itu menuju
ke arah rumah-rumah bergenteng merah.
Bi Lan sama
sekali tidak tahu bahwa semenjak tadi ada beberapa pasang mata selalu
mengamatinya dan beberapa bayangan orang berkelebatan turun dari bukit lebih
dahulu sebelum ia menuju ke dusun itu. Ia sama sekali tidak pernah menyangka
bahwa di tempat sunyi itu ada bahaya besar sedang menantinya. Dengan tenang dia
memasuki perkampungan kecil dengan rumah-rumah yang masih agak baru itu, dan
melihat betapa daun-daun pintu dan jendela rumah-rumah itu tertutup, ia lalu
mengetuk pintu sebuah rumah yang terbesar.
Seorang
kakek berambut putih dengan jenggot dan kumis panjang membuka pintu. Melihat
bahwa penghuni rumah itu adalah seorang kakek yang nampaknya di dalam
keremangan senja itu sudah amat tua, Bi Lan segera memberi hormat.
"Maafkan
aku, kek. Aku adalah seorang pejalan kaki yang kemalaman dan sekarang
membutuhkan tempat untuk mengaso dan melewatkan malam ini. Dapatkah engkau
menunjukkan apakah di kampung ini ada tempat penginapan, atau rumah kosong atau
orang yang sekiranya mau menolong dan menampungku untuk semalam ini saja?"
Kakek itu
tertawa. "He-heh-heh, di tempat sunyi ini siapa mau membuka penginapan,
nona? Kebetulan aku hanya tinggal seorang diri di rumah ini, kalau engkau suka,
silakan masuk. Ada kamar kosong untukmu di dalam rumahku."
Bukan main
lega dan girang rasa hati Bi Lan. Penghuni rumah ini hanya seorang saja, biar
pun laki-laki akan tetapi sudah amat tua sehingga ia tidak akan merasa
terganggu. Ia memasuki rumah itu dan hidungnya mencium bau masakan yang masih
panas dan sedap. Tentu saja ia merasa heran sekali.
Kakek ini
sendirian dalam rumah itu, akan tetapi ia mempunyai masakan yang demikian sedap
baunya. Agaknya dia seorang ahli masak, pikirnya. Kakek itu agaknya dapat
menangkap keheranan pada wajah Bi Lan yang tertimpa sinar lampu yang tergantung
di tembok.
"Heh-heh,
jangan heran kalau aku mempunyai banyak masakan yang masih panas, nona. Sore
tadi anakku dari kota datang memberi masakan-masakan itu yang dibelinya dari
restoran, dan baru saja aku memanaskan masakan-masakan untuk makan malam. Dan
engkau datang. Ha-ha-ha, bukankah ini berarti jodoh? Masakan itu terlalu banyak
untuk aku sendiri. Mari, nona, mari kita makan malam, baru nanti kuantar ke
kamarmu."
"Bukankah
engkau hanya sendirian katamu tadi, kek?"
"Ohh?
Kau maksudkan anakku? Dia sudah pulang sore tadi."
Bi Lan
mengikuti kakek itu tanpa curiga sedikit pun menuju ke ruangan dalam di mana
terdapat sebuah meja dan empat kursinya dan di atas meja itulah berderet
mangkok-mangkok besar berisi masakan yang masih mengepulkan uap yang harum
sedap, juga terdapat seguci arak berikut cawan-cawan kosong bertumpuk.
"Silakan
duduk, nona, silakan makan. He-he-heh, sungguh girang hatiku mendapatkan
seorang tamu dan teman makan untuk menghabiskan hidangan yang terlalu banyak
untukku ini."
Bi Lan
tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Kemudian ia melepaskan buntalan dari
punggungnya dan meletakkannya di atas sebuah kursi kosong, lalu ia pun duduk di
kursi sebelahnya. Kakek itu sudah duduk di depannya dan mendorong sebuah
mangkok kosong ke depan Bi Lan, juga sebuah cawan kosong. Melihat kakek itu
membuka tutup guci arak, Bi Lan segera berkata,
"Maaf,
kek, aku tidak suka minum arak. Kalau ada teh atau air putih sekali pun untuk
menghilangkan haus, aku akan berterima kasih sekali."
"Heh-heh,
mana bisa begitu, nona? Mana di dunia ini ada aturan seperti itu? Kalau aku
sebagai tuan rumah menyuguhkan teh atau air saja kepada tamuku sedangkan aku
sendiri minum arak, wah, aku akan dimaki sebagai orang paling tidak tahu aturan
oleh dunia! Ha-ha-ha, nona, engkau tentu tidak akan mau mengecewakan seorang
tua renta seperti aku, bukan? Nah, kini terimalah secawan arak dariku sebagai
ucapan selamat datang di gubukku yang buruk ini!"
Kakek itu
sudah menuangkan secawan arak penuh dan bau arak yang harum itu sudah membuat
Bi Lan merasa muak. Akan tetapi, bagaimana dia dapat menolak desakan kakek itu?
Kalau ia menolak, ialah yang akan dimaki dunia sebagai seorang muda yang
menjadi tamu dan yang tidak tahu aturan sama sekali. Ia merasa kasihan kepada kakek
itu dan ia pun menerima cawan itu. Sebelum meminumnya, ia berkata,
"Baiklah,
kuterima suguhan arakmu, kek. Akan tetapi, ingat, hanya satu cawan ini saja.
Kalau engkau memaksakan cawan ke dua, biarlah aku tidak minum ini dan aku pergi
saja dari rumah ini dan tidur di bawah pohon."
"Heh-heh-heh,
engkau lucu sekali, nona," kata kakek itu dan dia melihat betapa Bi Lan
tersedak ketika minum arak itu. Akan tetapi, gadis itu tetap menghabiskan
araknya dan kakek itu sudah siap lagi dengan gucinya untuk memenuhi cawan arak
Bi Lan.
"Tidak,
sudah kukatakan hanya secawan, kakek yang baik!" kata Bi Lan menolak.
Pada waktu
Bi Lan menggerakkan sumpitnya untuk mengambil masakan ke dalam mangkoknya,
kebetulan ia mengangkat muka dan terkejutlah ia ketika melihat betapa sepasang
mata kakek itu mencorong dan mengeluarkan sinar yang aneh. Akan tetapi hanya
sebentar karena kakek itu sudah menundukkan pandang matanya dan terkekeh
seperti tadi.
"Silakan,
silakan...," katanya.
Kakek ini
masih sehat dan segar sekali, pikir Bi Lan sambil memasukkan beberapa macam
sayur dan daging ke dalam mangkoknya. Sikap dan kata-katannya seperti orang
muda saja. Apakah barangkali kakek ini diam-diam mempunyai kepandaian yang
tinggi? Jantungnya berdebar ketika berpikir demikian dan ia pun waspada
kembali, berhati-hati. Bau arak itu masih membuat ia merasa muak dan dari leher
ke perut terasa panas. Ia lalu menjepit sepotong sayur dengan sumpitnya dan
membawa potongan sayur itu ke mulutnya.
"Ihhhh...!"
Bi Lan meloncat dan menyemburkan potongan sayur itu dari mulutnya.
Perlu
diketahui bahwa gadis ini pernah menjadi murid nenek Wan Ceng atau yang juga
bernama Candra Dewi, isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu!
Dari nenek Wan Ceng, yang pernah menjadi murid ahli racun Ban-tok Mo-li, selain
menerima pinjaman pedang Ban-tok-kiam, juga gadis ini diberi pelajaran tentang
racun.
Memang tidak
banyak yang dapat dipelajarinya dari nenek ahli racun itu dalam waktu setengah
tahun, akan tetapi terutama sekali ia telah mewarisi kepandaian mengenal segala
macam racun melalui mulut dan hidungnya. Dengan kepandaiannya itu, sukarlah
meracuni nona ini tanpa ia mengetahuinya. Tadi, ketika ia menyuapkan potongan
sayur ke mulutnya, cepat sekali mulut dan hidungnya bekerja dan ia telah tahu
dengan pasti bahwa sayur itu mengandung racun pembius yang kuat bukan main!
Karena terkejut mendapatkan kenyataan yang sama sekali tidak disangkanya ini,
Bi Lan menyemburkan sayur itu dan meloncat berdiri.
"Siapakah
engkau?" bentaknya sambil menyambar buntalan pakaiannya, diikatkannya
kembali buntalan itu di punggungnya tanpa mengalihkan pandang matanya kepada
kakek itu sekejap mata pun.
Kakek itu
tersenyum lebar. Kini nampaklah oleh Bi Lan bahwa kakek yang rambutnya sudah
putih semua, mukanya yang bagian bawahnya tertutup kumis dan jenggot, serta
mempunyai gigi yang berderet rapi dan putih, gigi orang yang masih muda. Kakek
itu bangkit berdiri dan tangan kanannya meraih ke mukanya sendiri. Ketika dia
menurunkan tangan, tanggallah rambut putih, kumis dan jenggot dari kepalanya.
Nampaklah wajah seorang laki-laki muda yang tampan dan yang tersenyum
menyeringai kepada Bi Lan.
"Kau...!
Keparat busuk!" Bi Lan sudah memaki, menyambar sebuah mangkok berisi sayur
dan melemparkannya ke arah muka laki-laki yang bukan lain adalah Bhok Gun itu!
Laki-laki ini cepat-cepat mengelak, akan tetapi kuah sayur itu masih ada yang
terpercik mengenai mukanya.
Bhok Gun
tidak marah dan menghapus kuah itu dengan sapu tangannya. "Tenanglah,
sumoi..."
"Cih!
Aku bukan sumoi-mu!" Bi Lan membentak, masih marah sekali karena orang
yang tadi berhasil memaksanya minum secawan arak lalu berusaha meracuninya
bukan lain adalah Bhok Gun yang amat dibencinya itu.
“Tenanglah,
nona, tenanglah Bi Lan. Kenapa engkau mesti marah-marah? Aku sengaja menaruh
racun dalam sayur itu bukan dengan niat buruk, melainkan hendak menguji
kepandaianmu karena menurut keterangan suci-mu, Bi-kwi, engkau ahli dan lihai
sekali mengenal segala macam racun. Racun yang kupergunakan ini hanya untuk
mencoba, sama sekali tidak berbahaya. Buktinya aku sendiri pun makan..."
"Cukup!
Aku tidak sudi lagi mendengar ocehanmu!"
"Bi
Lan, pertemuan sekali ini merupakan jodoh dan agaknya sudah diatur oleh Tuhan.
Pertemuan ini mengguncang hatiku, Bi Lan, karena terus terang saja, sejak
pertemuan kita itu, siang macam aku selalu teringat kepadamu, makan tak lezat
tidur tak nyenyak, kalau tidur selalu penuh dengan mimpi-mimpi tentang dirimu.
Aku cinta padamu, Bi Lan, sungguh mati, belum pernah aku jatuh cinta kepada
wanita seperti kepada dirimu..."
"Tutup
mulutmu!" bentak Bi Lan.
Ia pun
menendang kursi yang menghalang di depannya, kemudian melompat keluar dari
ruangan itu, mengambil keputusan untuk pergi saja meninggalkan manusia
berbahaya dan jahat ini.
Tetapi,
ketika dara ini tiba di luar pintu rumah itu, di luar telah menanti belasan
orang berpakaian seragam merah dengan senjata di tangan, yaitu anak buah
perkumpulan Ang-i Mo-pang! Sedangkan Bhok Gun juga mengejar ke luar sehingga
kini Bi Lan telah terkurung di pekarangan depan rumah itu.
Orang-orang
Ang-i Mo-pang itu menyalakan obor dan keadaan menjadi terang sekali. Dengan
matanya Bi Lan menaksir bahwa pengepungnya tidak kurang dari dua puluh orang,
semuanya bersenjata lengkap! Dengan marah ia membalikkan tubuhnya.
"Bhok
Gun, kau mau apa? Jangan ganggu aku kalau engkau tidak mau cari penyakit!"
Bhok Gun
tersenyum. "Nona manis, kalau marah menjadi semakin cantik! Terus terang
kuajak engkau untuk bekerja sama, menjadi isteriku tercinta dan sama-sama mencari
kemuliaan di kota raja, akan tetapi engkau menolak. Nah, sekarang lekas kau
serahkan pedang pusakamu itu kepadaku..."
“Bhok Gun
manusia laknat! Sekali ini kau akan mampus di tanganku!" bentak Bi Lan
yang sudah siap hendak menyerang.
Akan tetapi
para anak buah Ang-i Mo-pang sudah menerjang secara bersama sambil mengepungnya
sehingga terpaksa Bi Lan menghadapi penyerangan mereka. Dengan gerakan amat
lincah Bi Lan mengelak sambil berloncatan ke sana-sini dari sambaran senjata
golok, ruyung, tombak dan lain-lain yang datang bagaikan hujan.
Karena marah
sekali kepada Bhok Gun, Bi Lan bukan hanya mengelak saja melainkan terus
membalas dengan serangan kedua tangannya. Akibatnya hebat. Para pengeroyok itu
bagai dilanda badai dan empat orang sudah jatuh tersungkur.
Dalam
kemarahannya, Bi Lan tidak berlaku sungkan lagi, begitu membalas serangan ia
telah memainkan Ilmu Silat Ban-tok Ciang-hoat (Ilmu Silat Selaksa Racun) yang
amat ganas. Ilmu ini dipelajarinya dari nenek Wan Ceng. Tenaga sinkang yang
mendorong serangannya amat ganas dan mengandung hawa beracun sehingga para
anggota Ang-i Mo-pang yang terpelanting itu roboh dengan mata mendelik dan
bagian yang terkena pukulan menjadi hijau menghitam!
Melihat ini,
Bhok Gun segera berteriak, "Kalian semua mundur, kepung saja, jangan ikut
menyerang!"
Dia tahu
bahwa anak buahnya itu sama sekali bukan lawan Bi Lan dan kalau dibiarkan maju,
mungkin mereka semua akan tewas di tangan Bi Lan. Mendengar seruan ini, para
anggota Ang-i Mo-pang yang memang sudah amat gentar menghadapi gadis itu, cepat
menahan senjata mereka dan berlompatan mundur, mengepung pekarangan itu dengan
senjata di tangan, akan tetapi tidak ada yang berani mencoba untuk menyerang Bi
Lan.
Gadis ini
berdiri tegak di tengah kepungan. Sepasang matanya saja yang bergerak ke kanan
kiri sedangkan seluruh tubuhnya diam tak bergerak seperti patung, namun setiap
jalur urat syarafnya menegang dan dalam keadaan siap siaga.
Melihat
gadis ini berdiri dengan kedua tangan telanjang, sama sekali tidak memegang
senjata dan juga tidak nampak adanya pedang pusaka mengerikan yang
diinginkannya itu, Bhok Gun memandang heran. Ia merasa yakin benar bahwa Bi Lan
tidak membawa pedang itu, tidak berada di pinggang, punggung, juga tidak berada
di dalam buntalan pakaian itu.
"Bi Lan
sumoi, di mana pedangmu itu? Hayo keluarkan pedangmu dan lawanlah aku!"
katanya menantang, tentu saja dengan maksud agar nona itu mengeluarkan pedang
pusaka yang pernah membuatnya terkejut dan gentar itu.
"Manusia
jahanam! Tanpa senjata pun aku masih sanggup mengirimmu ke neraka!" Bi Lan
membentak sambil terus menyerang dengan dahsyatnya.
Gadis ini
tetap mempergunakan Ilmu Ban-tok Ciang-hoat yang amat dahsyat itu. Melihat
gerakan tangan yang mendatangkan hawa yang panas ini, Bhok Gun yang lihai cepat
melompat ke samping dan dia sudah mencabut sehelai sapu tangan berwarna merah,
lalu mengebutkan sapu tangan itu ke arah muka lawan. Debu berwarna merah halus
menyambar ke arah muka Bi Lan. Akan tetapi Bi Lan hanya meniup pergi debu itu
dan bahkan membiarkan sebagian kecil mengenai mukanya.
Dan kembali
Bhok Gun terperanjat. Jelas bahwa ada debu yang mengenai muka gadis itu dan
tentu telah tersedot, namun gadis itu sama sekali tidak terpengaruh! Padahal,
debu pembius yang berada di sapu tangannya itu amat keras dan ampuh, sedikit
saja tersedot, orang akan jatuh pingsan. Dia tidak tahu bahwa Bi Lan adalah
cucu murid Ban-tok Mo-li dan biar pun dara ini hanya setengah tahun mempelajari
ilmu dari nenek Wan Ceng, ia sudah memperoleh ilmu tentang racun dan cara untuk
menjaga diri dari serangan racun.
Karena
terkejut dan heran, hampir saja Bhok Gun menjadi korban tamparan tangan kiri Bi
Lan yang menyambar ganas. Tangan itu menyambar dengan amat cepatnya dan hanya
dengan melempar diri ke kiri saja Bhok Gun dapat menghindarkan diri. Akan
tetapi ketika tangan yang mengandung hawa pukulan panas itu lewat, dia terkejut
dan maklum bahwa tangan itu mengandung hawa pukulan beracun!
Guru pemuda
ini juga seorang ahli racun, maka tahulah dia akan bahayanya tangan beracun
dari Bi Lan itu dan diam-diam dia pun terheran-heran mengapa gadis ini dapat
memiliki ilmu aneh dan ganas itu, padahal dia tahu benar bahwa Bi-kwi tidak
memiliki ilmu semacam itu. Teringatlah dia akan cerita Bi-kwi bahwa Bi Lan
pernah digembleng selama beberapa bulan oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir
dan isterinya yang juga amat lihai. Dari mereka itukah gadis ini mempelajari
ilmu pukulan beracun?
Bi Lan juga
merasa lega karena ia tidak melihat munculnya Bi-kwi, suci-nya yang lihai itu.
Kalau suci-nya muncul dan dia dikeroyok dua, rasanya sukar baginya untuk dapat
menyelamatkan diri, apa lagi tanpa adanya Ban-tok-kiam di tangannya. Akan
tetapi, suci-nya tidak juga muncul, maka jalan terbaik adalah cepat-cepat
merobohkan dulu Bhok Gun.
Kalau tidak
dikeroyok, ia tidak gentar menghadapi Bhok Gun mau pun suci-nya. Maka ia pun
cepat menyerang dengan pukulan-pukulan gencar dan untuk mendesak lawan, ia
mengubah gerakannya dan kini ia mainkan Sam Kwi Cap-sha-kun yang lebih ganas
lagi itu! Ia tahu bahwa pada dasarnya, mereka berdua memiliki sumber ilmu silat
yang sama dan untuk mengeluarkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari suci-nya
atau Sam Kwi, tidak akan banyak gunanya menghadapi Bhok Gun.
Akan tetapi
Sam Kwi Cap-sha-kun adalah ilmu ciptaan baru dari Sam Kwi dan kiranya suci-nya
juga masih merahasiakan ilmu ini terhadap siapa pun. Dugaannya benar karena
Bhok Gun terkejut bukan main menghadapi desakannya sehingga pemuda itu
terserempet tamparan pada pundaknya, membuat dia terhuyung ke belakang. Tangan
kiri Bhok Gun bergerak dan sinar-sinar kecil menyambar ke depan.
Bi Lan
memiliki penglihatan tajam sekali dan ia pun dapat bergerak lincah. Begitu ada
sinar menyambar, ia sudah dengan cepatnya meloncat ke kiri, tangan kanannya
menyampok dan runtuhlah tiga batang paku hitam yang beracun! Kalau ia tidak
cepat mengelak dan menyampok, paku-paku itu dapat mendatangkan bahaya maut!
Biar pun
senjata rahasianya dapat dihindarkan lawan, akan tetapi setidaknya serangan
gelap itu dapat memberi kesempatan kepada Bhok Gun untuk memperbaiki posisinya
yang tadi terhuyung oleh serangan Bi Lan. Dia lalu berteriak ke arah rumah ke
dua, "Para ciangkun harap suka keluar dan membantu kami menghadapi
musuh!"
Terdengar
teriakan jawaban dari rumah kedua itu, daun pintunya terbuka dan lima sosok
bayangan orang berloncatan keluar dari rumah itu. Kiranya mereka adalah lima
orang laki-laki bertubuh gagah yang memakai pakaian perwira kerajaan dan begitu
mereka mengepung dan menggerakkan pedang mereka menyerang, Bi Lan terkejut
karena ia memperoleh kenyataan bahwa lima orang ini memiliki ilmu pedang yang
kuat dan cepat, sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan para anggota Ang-i
Mo-pang.
Maka ia pun
mempercepat gerakannya, menubruk ke samping dan dengan sebuah tendangan dan
sambaran tangan, dia pun berhasil merobohkan seorang anggota Ang-i Mo-pang dan
merampas pedangnya. Dengan pedang inilah ia kemudian menghadapi pengeroyokan
lima orang perwira dan Bhok Gun!
Gadis ini
memang hebat bukan main. Semangatnya besar, mempunyai keberanian dan ketenangan
sehingga biar pun dikeroyok enam orang yang lihai, tetap saja dia dapat
mengamuk bagaikan seekor naga betina. Pedangnya berubah menjadi sinar ketika ia
mainkan Ilmu Pedang Ban-tok Kiam-sut.
Terdengar
suara nyaring berdencingan ketika pedangnya itu menangkis serangan para
pengeroyoknya. Lewat tiga puluh jurus, pedangnya berhasil melukai dua orang
perwira, akan tetapi pada saat itu, pedang di tangan Bhok Gun yang datang
dengan sangat kuatnya telah berhasil mematahkan pedang rampasan di tangan Bi
Lan.
"Krakkk...!"
Pedang itu patah menjadi dua dan pada saat itu, dua orang perwira datang
menyerang dengan pedang mereka.
"Haiiiittt!"
Bi Lan
mengeluarkan suara melengking nyaring. Tubuhnya menyambar ke depan bagai
terbang, dengan tubuh direndahkan seperti menyeruduk ke depan. Itulah satu di
antara jurus Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti) yang
dipelajarinya dari Kao Kok Cu! Dan kembali dua orang perwira rebah dan pedang
mereka terlempar jauh, tidak tahan mereka menghadapi jurus dari Sin-liong
Ciang-hoat yang aneh dan hebat itu. Akan tetapi, dari samping Bhok Gun sudah
menggunakan kakinya pada saat Bi Lan melancarkan serangan tadi.
“Desss...!"
Pinggang Bi
Lan terkena tendangan hingga tubuhnya terpelanting dan terguling-guling!
Sementara itu, empat orang perwira yang roboh sudah bangkit kembali dan Bi Lan
terkepung kembali ketika ia akhirnya dapat pula meloncat bangun. Pinggangnya
terasa nyeri dan kepalanya agak pening. Kembali dara itu berdiri tegak dan
tidak bergerak seperti patung, hanya melirik ke kanan kiri, ke arah enam orang
yang kembali sudah mengepungnya dengan wajah beringas karena mereka kini
menjadi marah sekali.
Lima orang
perwira itu adalah utusan rahasia dari pembesar Hou Seng di kota raja, yang
diutus oleh pembesar itu yang sudah berhubungan dengan guru Bhok Gun untuk
mengundang Bhok Gun dan anggota Ang-i Mo-pang supaya memperkuat kedudukan guru
itu menjadi kaki tangan dan orang kepercayaan Hou Seng!
Kini bukan
hanya lima orang perwira dan Bhok Gun yang mengepung di sebelah dalam, akan
tetapi di bagian luar pun belasan orang anak buah Ang-i Mo-pang sudah mulai
bergerak lagi atas perintah Bhok Gun, bahkan di antara mereka ada yang sudah
mengambil senjata berupa jaring-jaring lebar yang dipegang oleh tiga orang.
Melihat ini,
Bi Lan maklum bahwa ia terancam bahaya, apa lagi tendangan Bhok Gun masih
terasa bekasnya, pinggangnya masih nyeri dan membuat sebelah kakinya tidak
dapat bergerak selincah kaki yang lain. Akan tetapi, ia mengambil keputusan
nekat untuk membela diri sampai titik darah terakhir dan tidak akan sudi
menyerah!
Pada saat
itu, ketika Bi Lan berada dalam keadaan terancam dan gawat, muncullah seorang
pemuda perkasa. Pemuda ini muncul sambil membentak, "Sekumpulan laki-laki
mengeroyok seorang wanita muda, sungguh amat memalukan. Hanya laki-laki
berwatak pengecut saja yang sudi melakukan hal seperti ini!"
Bhok Gun
terkejut dan cepat memandang. Juga Bi Lan mengerling ke arah orang yang baru
muncul itu dan jantungnya berdebar ketika ia mengenal pemuda tinggi besar itu.
Pemuda itu bukan lain adalah pemuda perkasa yang pernah mengagumkan hatinya
ketika pemuda itu menolong keluarga sepasang mempelai dari Phoa Wan-gwe dan
para tukang pukulnya. Kini pemuda perkasa itu tiba-tiba saja muncul untuk
menolongnya!
Beberapa
orang anak buah Ang-i Mo-pang sudah menerjang maju untuk merobohkan pemuda yang
dianggap lancang itu. Akan tetapi, segera terdengar teriakan-teriakan kaget
ketika pemuda itu dengan mudahnya menendangi dan menangkapi orang-orang itu dan
melempar-lemparkan mereka seperti orang melemparkan kayu bakar saja.
"Keparat,
berani kau mencampuri urusan kami?" Bhok Gun marah sekali dan menerjang ke
arah pemuda itu, menggunakan tangan kanan memukul ke arah kepala.
Serangannya
ini selain cepat, juga kuat sekali karena dalam kemarahannya Bhok Gun sudah
mengerahkan tenaga yang besar. Pemuda itu mengenal serangan ampuh, maka dia pun
memasang kuda-kuda dan mengangkat lengan kanan menangkis.
"Dukkk...!"
Dua tenaga
besar bertemu dan akibatnya amat mengejutkan hati Bhok Gun karena dia terdorong
dan terlempar ke belakang oleh tenaga yang amat dahsyat! Tentu saja dia tidak
tahu bahwa lawannya itu telah mewarisi tenaga raksasa dari ayah kandungnya,
yaitu Cu Kang Bu yang berjuluk Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati).
Pemuda itu
adalah Cu Kun Tek, jago muda dari Lembah Naga Siluman itu. Sebetulnya, kalau
diukur ilmu silat di antara mereka, tingkat Bhok Gun masih lebih tinggi dari
pada tingkat yang dikuasai Kun Tek. Tetapi, tadi Bhok Gun mengadu tenaga dan
akibatnya dia kalah kuat sehingga dia merasa gentar, mengira bahwa pemuda
tinggi besar ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada
tingkatnya.
Melihat
pemuda tinggi besar itu sudah bertanding melawan Bhok Gun, Bi Lan kemudian
mempergunakan kesempatan baik ini untuk bergerak menyerang para pengepungnya,
yaitu lima orang perwira tadi. Lima orang yang pernah merasakan kehebatan
tangan Bi Lan menjadi gentar dan menjauhkan diri.
"Nona,
mari kita lekas pergi!" Kun Tek berseru nyaring sambil merobohkan dua
orang pengepung dengan tendangan-tendangannya.
Kegagahan
Kun Tek tidak saja membuat gentar hati Bhok Gun, akan tetapi juga para
pengepung menjadi ketakutan. Baru menghadapi nona itu saja mereka tadi merasa
kewalahan untuk mengalahkannya, apa lagi sekarang muncul seorang pemuda tinggi
besar yang demikian gagah perkasa. Karena merasa gentar, mereka tidak banyak
bergerak untuk menghalangi ketika Bi Lan dan Kun Tek berlompatan keluar dari
pekarangan itu.
Bhok Gun
serdiri tidak melakukan pengejaran. Pertama adalah karena dia sendiri meragukan
apakah dia akan dapat menang menghadapi Bi Lan dan pemuda tinggi besar itu
walau pun dia dibantu oleh para perwira dah anggota Ang-i Mo-pang, dan ke dua
karena dia tidak melihat pedang pusaka di tangan Bi Lan, dia pun tidak terlalu
bernafsu untuk melakukan pengejaran.
Dia memang
jatuh hati kepada Bi Lan yang dianggapnya amat manis menggiurkan. Terutama
sekali karena gadis itu tidak mau menyerah dan tidak semudah wanita lain untuk
ditundukkan, maka justru sikap inilah yang menambah daya tarik pada diri Bi Lan
baginya. Andai kata Bi Lan mau, agaknya dia akan suka mempunyai seorang kawan
hidup tetap, seorang isteri, seperti gadis itu. Wanita-wanita seperti Bi-kwi
hanyalah menjadi teman bermain-main dan mencari kepuasan nafsu belaka, bukan
untuk menjadi isteri dan ibu anak-anaknya. Akan tetapi Bi Lan menolaknya,
bahkan nampak benci kepadanya.
Sementara
itu, Bi Lan terus melarikan diri bersama permuda tinggi besar itu. Tidak tahu
siapa di antara mereka yang memilih jalan, karena keduanya hanya menurutkan
jalan kecil yang menuju ke utara itu saja. Akan tetapi setelah mereka merasa yakin
bahwa pihak musuh tidak melakukan pengejaran, terpaksa mereka mengurangi
kecepatan lari mereka dan hanya melanjutkan dengan jalan kaki biasa karena
cuaca malam itu cukup gelap. Hanya bintang-bintang dan sepotong bulan di langit
saja yang menurunkan sinar penerangan remang-remang.
Keduanya
tidak banyak cakap, hanya melanjutkan perjalanan sampai akhirnya Bi Lan
berhenti. Pemuda itu pun ikut berhenti. Mereka kini berada di sebuah jalan
kecil yang membelah persawahan yang luas. Sunyi sekali di situ. Tidak nampak
dusun di sekitar tempat itu. Kalau ada, tentu nampak lampu-lampu penerangan
rumah-rumah mereka. Sunyi sepi dan tidak ada sedikit pun angin sehingga
batang-batang gandum di kanan kiri jalan itu tidak ada yang bergerak. Tak ada
apa pun yang bergerak kecuali berkelap-kelipnya laksaan bintang di langit dan
suara yang terdengar hanya jengkerik dan bunyi katak yang saling bersahutan.
"Engkau
siapakah?" Bi Lan bertanya, merasa agak tidak enak karena sejak tadi
pemuda itu diam saja membisu, padahal ia tahu benar bahwa pemuda itu tidak
gagu.
"Namaku
Cu Kun Tek," jawab Kun Tek sambil menatap wajah yang walau pun hanya
nampak remang-remang namun tetap saja mudah dilihat kecantikannya. Garis-garis
dan lengkung lekuk wajah itu jelas membayangkan kemanisan dan sepasang mata
yang jeli itu masih nampak memantulkan sinar bintang-bintang yang redup.
Jawaban yang
singkat ini pun membuat Bi Lan mengerutkan alis. Sikap pemuda yang pendiam ini
seakan-akan menunjukkan rasa tidak suka kepadanya. Sama sekali tidak ramah.
Kalau begitu, kalau memang tidak menyukainya, kenapa tadi menolongnya?
"Kenapa
kau membantuku?" Pertanyaan dalam hati itu keluar melalui mulutnya,
seperti orang menuntut.
"Engkau
seorang gadis muda, dikeroyok banyak pria, tentu saja aku membantumu."
Jawaban ini pun singkat saja.
Suasana menjadi
kaku. Bi Lan ingin meninggalkan pemuda itu, akan tetapi bagaimana pun juga,
pemuda itu mendatangkan rasa kagum di hatinya dan sudah menolongnya, rasanya
tidak pantas kalau ia pergi begitu saja tanpa memperkenalkan diri. Akan tetapi
pemuda itu tidak bertanya, agaknya tidak ingin mengenalnya!
"Apa
kau tidak tanya namaku?"
Barulah
pemuda itu kelihatan bergerak seperti orang gelisah atau orang yang merasa
canggung dan malu-malu. "Ehhh, siapakah namamu? Engkau masih begini muda
akan tetapi ilmu silatmu sudah begitu hebat dan sanggup menghadapi pengeroyokan
banyak orang lihai."
"Namaku
Can Bi Lan. Eh, kau ini sombong amat, menyebutku gadis yang masih muda sekali.
Apakah engkau ini sudah kakek-kakek? Kukira aku lebih tua darimu!" kata Bi
Lan yang merasa mendongkol juga mendengar kata-kata pemuda itu.
"Tidak
mungkin!" Kun Tek membantah. "Berapakah usiamu? Aku berani bertaruh
bahwa aku jauh lebih tua."
"Hemm,
kiranya engkau hanya seorang penjudi! Sampai-sampai urusan usia saja kau
pertaruhkan."
"Aku
tidak pernah berjudi selama hidupku!" Kun Tek membantah, mendongkol juga
melihat sikap gadis yang ditolongnya ini demikian galak.
"Memang
tak mungkin engkau bisa berjudi, engkau masih seperti kanak-kanak. Kutaksir
usiamu paling banyak lima belas tahun, jadi aku masih lebih tua dua
tahun." Tentu saja Bi Lan hanya sengaja menggoda karena hatinya merasa
dongkol, tidak benar-benar mengira usia pemuda itu lima belas tahun.
Cu Kun Tek
balas menggoda. "Aha, kiranya baru tujuh belas tahun! Masih amat muda,
hampir kanak kanak. Aku sendiri sudah berusia sembilan belas tahun."
Keduanya
berdiam kembali dan keadaan menjadi amat sunyi. Suara jengkerik kembali
terdengar nyaring diselingi suara katak. Bi Lan tak dapat menahan lagi perasaan
tidak enaknya. "Jadi engkau membantuku hanya karena melihat aku seorang
perempuan muda, setengah kanak-kanak, dikeroyok banyak pria?"
"Bukan
anak kecil, melainkan masih amat muda akan tetapi sudah amat lihai!" Kun
Tek berkata cepat.
"Baiklah,
seorang perempuan muda dan perempuan muda ini mengucapkan terima kasih atas
bantuanmu, walau pun sesungguhnya aku sama sekali tidak mengharapkan dan tidak
membutuhkan bantuanmu. Nah, selamat tinggal!"
Dengan marah
Bi Lan lalu meloncat dan lari dari tempat itu. Ia meloncat ke depan, dan
terdengarlah suara keras ketika ia terperosok ke dalam lubang yang besar di
tepi jalan itu. Lubang itu penuh dengan tanah lumpur, sehingga tentu saja
pakaian dan badannya penuh lumpur dan ia terkejut bukan main.
"Aduhhhh...!"
Dengan
sekali loncatan saja Kun Tek sudah berada di tepi lubang dan mengulurkan
tangan, memegang pergelangan tangan Bi Lan dan menariknya keluar. Melihat
betapa seluruh pakaian Bi Lan kotor dan gadis itu menahan rasa nyeri pada
tumitnya yang agaknya terkilir, Kun Tek menjadi khawatir sekali.
"Ah,
kenapa tidak hati-hati? Gelap begini mana bisa melihat jalan? Apanya yang
sakit? Kakimu? Mungkin terkilir, mana kubetulkan letak ototnya kembali."
Tanpa banyak
cakap lagi Kun Tek lalu memegang kaki kiri Bi Lan, mengurut bagian pergelangan
kaki dan memang jari-jari tangannya cekatan sekali dan penuh tenaga. Pemuda ini
telah mempelajari ilmu pengobatan dari ayahnya, terutama sekali mengenai
penyambungan tulang dan ilmu pijat otot. Biar pun pijatan-pijatan itu
menimbulkan rasa nyeri, Bi Lan hanya menggigit bibir dan merintih lirih sampai
akhirnya otot-ototnya pulih kembali dan rasa nyeri itu pun menghilang.
"Bagaimana?
Sudah enakan?"
Bi Lan hanya
mengangguk.
"Wah,
pakaianmu kotor semua. Mari kita mencari sumber air bersih di mana kau dapat
mencuci tubuhmu dan pakaianmu. Lain kali yang hati-hatilah, di tempat gelap
yang tidak dikenal lagi."
Bi Lan
bangkit berdiri dibantu oleh Kun Tek yang memegang lengannya. "Engkau
sih!" Bi Lan mengomel. "Sikapmu tadi kaku dan tidak bersahabat,
menimbulkan rasa dongkol dalam hatiku."
"Tidak
bersahabat? Aih, bukankah aku telah membantumu? Maafkanlah, sesungguhnya aku
bersikap kaku karena aku ingin bersikap sopan kepadamu..."
Meski
mendongkol karena pakaian dan tubuhnya kotor penuh lumpur, Bi Lan
terheran-heran mendengar pengakuan itu.
"Bersikap
sopan?" Ia mendesak, menuntut penjelasan.
Kun Tek
menundukkan mukanya, merasa canggung dan malu, lalu mengangkatnya kembali dan
memandang wajah gadis itu dalam keremangan malam. "Kita baru saja
berkenalan, kalau aku bersikap terlalu ramah, bukankah engkau akan menyangka
yang bukan-bukan, bahwa aku seorang laki-laki yang ceriwis dan kurang ajar. Aku
terus terang saja, aku belum pernah berkawan dengan seorang gadis, dan menurut
ibuku, sebagai seorang pemuda aku tidak boleh bersikap... ehh, menjilat
terhadap wanita..."
Bi Lan ingin
tertawa keras, akan tetapi ditahannya dan ia hanya tersenyum. Pemuda ini
sungguh seorang yang berwatak aneh dan jujur! "Siapa ingin kau menjilat
dan bermuka-muka? Aku malah akan benci sekali jika engkau bermuka-muka dan
bermanis di mulut saja."
Cu Kun Tek
merasa betapa jantungnya berdebar girang. Gadis ini sekarang tidak marah lagi!
"Adik
Bi Lan, mari kita mencari air bersih untuk engkau mencuci tubuh dan
pakaianmu." Dia mendahului mencari-cari dan akhirnya mereka menemukan
sebuah anak sungai yang cukup bersih.
Karena malam
itu hanya diterangi bintang-bintang yang remang-remang, Bi Lan tidak merasa
canggung atau malu untuk membersihkan tubuhnya, lalu menanggalkan semua
pakaiannya yang sudah berlumuran lumpur itu dan berganti dengan bakaian bersih.
Untung pakaiannya yang berada di dalam buntalan tidak terkena lumpur. Selama ia
membersihkan dirinya, Kun Tek menjauhkan diri sampai tidak dapat melihat gadis
itu dalam keremangan malam. Dia membuat api unggun agak jauh dari situ, di
bawah sebatang pohon.
Tak lama
kemudian, Bi Lan datang mendekat dan duduk dekat api unggun. Rambutnya masih
basah, tapi pakaiannya sudah berganti dengan pakaian bersih, sedangkan yang
kotor sudah dicucinya, kini dibentangkannya di atas cabang pohon. Mukanya
nampak segar kemerahan tertimpa cahaya api unggun dan diam-diam Kun Tek merasa
kagum bukan main. Gadis ini memang manis dan gagah perkasa, juga amat
sederhana, wajar dan lugu dalam gerak-geriknya.
"Dingin...?"
tanya Kun Tek karena melihat betapa kini gadis itu berusaha mengeringkan
rambutnya yang masih basah. Hawa udara malam itu memang agak dingin.
Bi Lan
mengangguk. "Tadi memang airnya dingin sekali. Akan tetapi sekarang tidak
lagi, hangat dan nyaman dekat api unggun ini."
Mereka
berdiam diri agak lama, kadang-kadang saling pandang saja sekilas. Sikap Kun
Tek yang canggung dan malu-malu, yang tidak berani menentang pandang mata gadis
itu terlalu lama, menularkan perasaan canggung pada hati gadis itu.
Biasanya Bi
Lan tidak pernah merasa canggung berhadapan dengan siapa pun. Ia polos dan
wajar. Akan tetapi melihat betapa pemuda tinggi besar yang gagah perkasa ini
agaknya malu-malu kepadanya, hal itu membuatnya sadar bahwa ada sesuatu yang
tidak wajar dan dia pun menjadi malu-malu pula.
Ia sendiri
merasa heran mengapa ada perasaan seperti ini terhadap pemuda yang baru
dikenalnya ini, seolah-olah pemuda ini merupakan suatu keistimewaan. Padahal,
apa bedanya pemuda ini dengan orang-orang lain? Mungkin karena sikap Kun Tek
itulah! Dan ia pun tidak mengerti mengapa seorang pemuda gagah perkasa seperti
ini bersikap demikian pemalu dan canggung terhadapnya.
Tiba-tiba
pendengaran Bi Lan yang sangat tajam terlatih itu mendengar sesuatu yang
membuatnya menahan senyum. Heran, mengapa dia pun menjadi suka merahasiakan hal
yang demikian lucunya? Ia telah mendengar bunyi keruyuk dari perut pemuda itu!
Biasanya, menghadapi peristiwa lucu seperti ini, dia tentu akan tertawa
sejadi-jadinya dan tidak merahasiakan kegelian hatinya.
Dan suara
keruyuk perut pemuda itu mengingatkannya bahwa ia pun sebenarnya sudah lapar
sekali, apa lagi karena tadi berkelahi sehingga ia kehabisan tenaga, juga bekas
tendangan Bhok Gun pada pinggangnya masih terasa nyeri. Ketika ia membersihkan
tubuhnya tadi, ia meraba pinggangnya dan ternyata kulit di bagian itu matang
biru dan memar.
"Aih,
perutku lapar sekali," katanya sambil menekan senyum di hatinya.
"Kau...?"
Pemuda itu
mengangguk. "Aku juga lapar."
"Dan
pinggangku terasa nyeri, tadi kena tendang si jahanam Bhok Gun."
"Bhok
Gun? Laki-laki yang lihai itu? Orang apakah dia dan mengapa kau tadi dikeroyok?
Siapa pula engkau ini, adik Bi Lan? Dari perguruan mana dan dari mana hendak ke
mana?"
Kini Bi Lan
memperoleh kesempatan untuk tertawa, melepas semua kegelian hati tanpa khawatir
menyinggung seperti kalau ia mentertawakan keruyuk perut pemuda itu.
"Hi-hi-hik,
kau menghujankan pertanyaan seperti itu. Kalau kujawab semua, tentu akan
membuat perutku semakin lapar saja."
"Ohh,
aku masih mempunyai dua buah bakpao yang kubeli siang tadi." Pemuda itu
melepaskan buntalan pakaiannya dan memang dia mempunyai dua buah bakpao yang
cukup besar, yang dibungkus dalam kertas putih, "Sayang bakpao ini sudah
dingin, akan tetapi masih baik." Dia menyerahkan bakpao itu kepada Bi Lan.
Tanpa
malu-malu lagi Bi Lan mengambil sebuah dan makan dengan lahap. Bakpao itu
memang enak, lunak, dan dagingnya gurih. Kun Tek memandang dengan girang
melihat betapa gadis itu makan demikian enaknya sehingga dia tidak tega untuk
makan bakpao yang ke dua. Setelah bakpao itu habis dimakan Bi Lan, Kun Tek
menyerahkan lagi yang ke dua.
"Nih,
makanlah ini, nona. Engkau lapar sekali."
Bi Lan
memandang bakpao itu dengan mata masih ingin, karena selain bakpao itu enak,
juga ia lapar sekali, belum cukup hanya oleh sebuah bakpao tadi. Akan tetapi ia
teringat akan berkeruyuknya perut Kun Tek, maka ia menggeleng kepala.
"Tidak,
engkau sendiri juga lapar. Makanlah yang itu."
"Aku
dapat bertahan sampai besok, adik Bi Lan..."
Bi Lan
tertawa dan pemuda itu memandang khawatir. Apa lagi yang kini ditertawakan,
pikirnya.
"Hi-hik,
Cu Kun Tek, engkau ini memang orang aneh. Perut lapar berpura-pura lagi, dan
bagaimana pula itu caramu memanggil aku. Sebentar adik, sebentar nona. Mengapa
susah-susah amat sih? Namaku Bi Lan, panggil saja namaku seperti aku memanggil
namamu Kun Tek. Kan lebih santai?"
Kun Tek
tersenyum dan baru sekali ini Bi Lan melihat senyumnya. Wajah yang gagah itu
tidak berapa menyeramkan kalau tersenyum. Memang tampan walau pun kulit muka
itu agak gelap kehitaman.
"Maaf,
aku memang canggung menghadapi wanita. Belum pernah punya teman wanita sih.
Baiklah, aku memanggilmu Bi Lan saja. Nih, kau makan saja ini, Bi Lan. Aku
sudah sering kali menahan lapar, kalau sampai besok saja masih kuat."
"Tidak,
sedikitnya engkau harus makan sebagian, baru aku mau. Aku malu kalau harus
menjadi orang yang pelahap dan tamak. Aku tadi mendengar perutmu berkeruyuk,
tak perlu berpura-pura lagi."
Terpaksa Kun
Tek mengalah dan membagi bakpao itu menjadi dua. Mereka lalu makan bakpao dan
agaknya bukit es yang menghalang di antara mereka kini sudah mencair sehingga
mereka dapat bercakap-cakap dengan santai tanpa merasa sungkan-sungkan lagi
seperti tadi.
"Bi
Lan, sekarang ceritakanlah tentang dirimu, tentang peristiwa pengeroyokan
tadi."
"Nanti
dulu," bantah Bi Lan, kini merasa nyaman setelah perutnya kemasukan bakpao
satu setengah potong dan kehangatan api unggun sungguh nikmat rasanya.
"Aku ingin mendengar lebih dulu tentang kau, terutama sekali tentang ibumu
yang menasehatkan bahwa engkau tidak boleh bermuka-muka kepada wanita. Siapakah
ayah ibumu dan siapa gurumu?"
Kun Tek
menarik napas panjang. Biasanya dia tidak suka memperkenalkan namanya karena
menurut ayahnya, nama besar di dunia kang-ouw hanya memancing datangnya banyak
musuh dan lawan saja. Karena itulah dalam peristiwa di dusun itu pun dia tidak
mau memperkenalkan nama.
Sebagai
putera tunggal majikan Lembah Naga Siluman, tentu saja ada sedikit perasaan
manja dalam hati Kun Tek, akibat kemanjaan yang diberikan ibunya, dan ada pula
sifat sedikit tinggi hati. Akan tetapi dia sendiri merasa heran kenapa kini
berhadapan dengan Bi Lan, dia menjadi lembut dan mau saja mengalah.
"Guruku
adalah ayah ibuku sendiri," dia mulai bercerita. "Ayahku bernama Cu
Kang Bu dan tinggal di Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya. Aku dalam
perjalanan merantau dan kebetulan sekali aku melihat peristiwa di dusun itu dan
lalu turun tangan membantumu melihat kau dikeroyok begitu banyak orang lihai.
Nah, sekarang giliranmu bercerita."
"Wah,
sedikit amat kau cerita tentang dirimu!"
"Habis,
tidak ada apa-apa lagi yang patut diceritakan, Bi Lan."
Orang ini
sungguh tidak ingin menonjolkan diri, pikir Bi Lan yang merasa semakin suka
kepada Kun Tek.
"Dan
perbuatanmu di dusun ketika menolong sepasang pengantin dusun itu kau anggap
tidak patut diceritakan?"
Kun Tek
membelalakkan matanya memandang gadis itu. "Ehhh? Kau juga tahu tentang
peristiwa itu?"
"Tentu
saja, dari awal sampai akhir. Sejak kau memasuki ruangan itu, menghajar Phoa
Wan-gwe dan para tukang pukulnya, sampai engkau meninggalkan ruangan tanpa
memperkenalkan diri." Bi Lan tersenyum. "Engkau sungguh gagah, Kun
Tek."
Kun Tek
menundukkan mukanya, agak tersipu. "Ahhh, perbuatan seperti itu kan sudah
seharusnya kita lakukan? Kalau tidak kita lakukan, lalu untuk apa kita bersusah
payah mempelajari ilmu dan memiliki kepandaian silat? Nah, aku siap
mendengarkan ceritamu, Bi Lan."
"Pertama-tama,
aku sudah tidak punya ayah ibu lagi."
"Aduh
kasihan! Apa yang terjadi dengan mereka?"
"Mereka
telah meninggal dunia, tewas terbunuh orang-orang jahat ketika aku masih
kecil."
"Ahhh!
Siapakah orang-orang jahat itu, Bi Lan? Aku akan membantumu menghukum mereka
itu!"
Bi Lan
tersenyum. "Ehh, bagaimana engkau begitu sembrono, Kun Tek? Bagaimana
kalau keluargaku yang jahat, lalu mereka yang membunuh ayah ibuku itu yang
benar dan baik?"
"Mana
mungkin. Bukankah engkau tadi yang mengatakan sendiri bahwa ayah ibumu dibunuh
orang jahat?"
"Itu
kan aku yang mengatakan, sebab mereka telah membunuh orang tuaku. Siapa tahu
mereka juga mengatakan bahwa justru kami orang jahatnya. Bagaimana engkau
berani mempercayai aku begitu saja?"
Cu Kun Tek
tersenyum. "Memang benar kata-katamu, Bi Lan. Semua orang, baik atau
buruk, tentu akan mengatakan jahat kepada musuhnya. Akan tetapi aku kan sudah
berhadapan denganmu dan aku yakin bahwa orang seperti engkau ini tidak mungkin
jahat."
"Kenapa
engkau begitu yakin?"
Kun Tek
menatap wajah gadis itu. "Karena sikapmu, karena wajahmu, karena matamu
dan mulutmu... ahhh, sudahlah, Bi Lan, kau lanjutkan ceritamu. Mengapa orang
tuamu dibunuh orang jahat?"
"Pada
waktu aku masih kecil, saat berusia sepuluh tahun, bersama ayah ibu aku pergi
meninggalkan kampung halaman kami di Yunan Selatan karena di sana dilanda
perang. Di tengah jalan, kami dihadang sepasukan orang Birma. Ayah ibu terbunuh
oleh mereka dan aku sendiri ditolong oleh tiga orang sakti yang kemudian
mengambil aku sebagai murid dan mereka bertiga telah membasmi semua orang yang
telah membunuh orang tuaku itu."
"Ahh,
syukurlah kalau musuh-musuhmu sudah terbasmi. Siapakah tiga orang sakti yang
menjadi gurumu itu?"
"Mereka
berjuluk Sam Kwi."
Kun Tek
tidak menyembunyikan perasaan kagetnya mendengar nama itu. Dia pernah mendengar
dari ayahnya tentang tokoh-tokoh kaum sesat di dunia persilatan, dan di
antaranya yang menonjol adalah nama Sam Kwi.
"Kau…
kau maksudkan... Sam Kwi... para datuk kaum sesat itu?" tanyanya ragu
sambil memandang wajah Bi Lan.
Bi Lan
tersenyum mengangguk. "Benar sekali. Nah, engkau tentu mulai meragukan
pendapatmu bahwa aku orang-orang baik sekarang."
Kun Tek
menggeleng kepala. "Aku tidak percaya! Sungguh tidak mungkin seorang gadis
seperti engkau ini menjadi murid tiga orang datuk sesat yang jahat." Dia
berhenti sebentar tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah gadis itu, lalu
melanjutkan, "Seorang gadis yang berwatak gagah dan memiliki sifat baik
seperti engkau tentu tidak akan mau menjadi murid datuk-datuk sesat yang
kabarnya amat jahat seperti iblis itu. Aku tidak percaya."
Bi Lan
tersenyum. "Kun Tek, coba bayangkan ini. Andai kata engkau sendiri menjadi
aku, dalam usia sepuluh tahun, melihat ayah ibu dibunuh orang-orang jahat,
kemudian engkau sendiri diselamatkan oleh tiga orang datuk itu, yang juga
membalaskan sakit hatimu dengan membasmi semua penjahat itu, dan lalu tiga
orang itu memeliharamu, mendidikmu dengan ilmu silat, apakah engkau akan
menolaknya?" Dia memandang tajam. "Boleh jadi Sam Kwi amat jahat
terhadap orang-orang lain, akan tetapi terhadap diriku mereka itu baik
sekali." Bi Lan masih merasa berhutang budi kepada tiga orang kakek itu,
maka kepada siapa pun juga ia tidak sudi menceritakan usaha mereka untuk
memperkosanya.
Kun Tek
mengangguk-angguk, dapat membayangkan keadaan gadis itu dan dia pun tak dapat
menyalahkannya, bahkan kini dapat mengerti mengapa seorang gadis seperti Bi Lan
ini menjadi murid Sam Kwi yang terkenal jahat. Makin heranlah hatinya. Kalau Bi
Lan menjadi murid tiga orang datuk sesat, kenapa gadis ini tidak mengikuti
jejak guru-gurunya dan bahkan menjadi seorang gadis yang berwatak gagah dan
begini baik budi?
"Aku
mengerti sekarang. Bi Lan dan maafkan kata-kataku tadi. Dan sekarang, ceritakan
kenapa engkau dikeroyok oleh orang-orang lihai itu? Siapakah mereka?"
"Lelaki
yang lihai sekali itu, yang telah menendang pinggangku, masih terhitung seorang
suheng-ku sendiri..."
"Ehhh...?"
Kembali Kun Tek terkejut, akan tetapi dia segera teringat siapa adanya
guru-guru gadis ini, maka dia pun tidak begitu heran lagi. "Siapa
dia?"
"Namanya
Bhok Gun, dia cucu murid mendiang Pek-bin Lo-Sian, paman guru dari Sam Kwi. Dia
memang memusuhiku dan tadi dia ingin menangkapku, dibantu oleh para anak
buahnya, yaitu para anggota Ang-i Mo-pang, dan dibantu lagi oleh para perwira
yang aku sendiri tidak tahu siapa dan dari mana datangnya."
"Sungguh
mengherankan keadaanmu, Bi Lan. Engkau, seorang gadis perkasa yang baik budi,
bukan saja menjadi murid orang-orang seperti Sam Kwi, akan tetapi juga dimusuhi
oleh seorang suheng sendiri! Kenapa dia memusuhimu?"
"Karena
dia cinta padaku."
"Wah?
Apa lagi ini? Dia cinta padamu maka dia memusuhimu? Aku tidak mengerti."
"Dia
cinta padaku, itu menurut pengakuannya dan dia hendak memaksa aku menjadi
isterinya, sekutunya untuk bekerja sama membantu seorang pembesar di kota raja.
Aku menolak dan dia lalu memusuhiku."
"Hemmm,
dan itu dia katakan mencinta? Mana ada cinta macam itu?" Kun Tek berseru
marah.
Melihat
kemarahan pemuda itu, Bi Lan tersenyum dan tertarik untuk membicarakan soal
cinta yang juga tidak dimengertinya itu dengan pemuda ini. "Kun Tek,
engkau lebih tua dariku dua tahun, tentu engkau lebih berpengalaman dan tahu
tentang cinta. Apa sih sebenarnya cinta itu? Dan bagaimana seharusnya cinta
itu?"
Kun Tek
sering kali bicara tentang kehidupan, tentang cinta dan sebagainya dengan
ibunya. Sekarang dia mengerutkan alisnya, sikapnya seperti seorang guru besar
sedang memikirkan persoalan yang amat rumit, kemudian berkata, "Cinta itu
sesuatu yang suci, mencinta berarti tidak akan memusuhi orang yang dicinta.
Mencinta orang berarti ingin melihat yang dicintanya itu hidup
berbahagia."
"Bagaimana
kalau orang yang dicinta tidak membalas?" Dara ini teringat akan Hong Beng
yang mengaku cinta kepadanya dan yang tidak dibalasnya. "Apakah dia tidak
akan merasa kecewa dan marah seperti halnya Bhok Gun itu?"
"Hemm,
tentu saja kecewa dan patah hati, akan tetapi tidak marah dan tidak membenci
orang yang menolak cintanya. Mungkin yang ada hanya duka dan kecewa. Kalau dia
marah-marah lalu memusuhi orang yang dicintanya seperti yang dilakukan Bhok Gun
itu, jelas dia itu tidak mencinta dan dia jahat sekali!"
Bi Lan
menahan ketawanya melihat betapa pemuda itu menarik muka seperti seorang guru
besar memberi kuliah. "Dan bagaimana kalau engkau sendiri yang jatuh
cinta? Bagaimana kalau engkau mencinta orang? Apa yang akan kau lakukan kalau
orang yang kau cinta itu tidak membalas cintamu, Kun Tek?"
"Aku
tidak akan jatuh cinta!" Jawab Kun Tek dengan singkat dan tegas, dan
mukanya berubah merah.
"Begitukah?
Akan tetapi seandainya engkau yang jatuh cinta, lalu bagaimana sikapmu terhadap
orang yang kau cinta itu kalau ia tidak membalas cintamu?"
"Aku
akan tetap mencintanya, melindunginya dengan taruhan nyawa, aku ingin melihat
ia berbahagia."
"Biar
pun ia tidak menjadi isterimu dan biar pun ia hidup di samping laki-laki
lain?"
"Ya..."
"Dan
engkau akan merana selama hidupmu, kecewa dan putus asa?"
"Tidak,
aku...aku… ahhh, aku tidak akan jatuh cinta! Jatuh cinta itu suatu
kebodohan!"
"Wah,
ini sesuatu yang baru bagiku!" Bi Lan berseru dan matanya bersinar-sinar
penuh kegembiraan. Ternyata Kun Tek ialah orang yang penuh kejutan dalam
membicarakan soal cinta. "Jatuh cinta itu suatu kebodohan? Mengapa?"
"Karena
jatuh cinta itu sama dengan mengundang datangnya kesengsaraan dan duka nestapa.
Sekali orang jatuh cinta, berarti ia telah terperosok dengan sebelah kakinya ke
dalam jurang yang akan membuat hidupnya merana."
Bi Lan
sengaja menarik mukanya seperti orang merasa ngeri. "Ihhh! Jadi, menurut
pendapatmu, tidak ada orang berbahagia karena mencinta dan dicinta?"
Kun Tek
teringat akan keadaan ayah ibunya. Ia tahu bahwa dalam banyak hal, ayahnya
selalu mengalah kepada ibunya, dan ayahnya telah banyak menyimpan kedongkolan
hatinya karena kekerasan hati dan kerewelan ibunya, dan semua itu dilakukan
ayahnya karena dia mencinta isterinya. Dia menggeleng kepala.
"Tidak
ada! Cinta mendatangkan ikatan yang membuat orang selalu menderita duka. Dan
kesetiaan seorang wanita terhadap kekasihnya sekali waktu akan teruji dan
runtuh, dan sang pria yang akan menderita patah hati karena cinta, tenggelam
dalam duka."
Bi Lan
merasa tersinggung dan menahan kemarahannya. Dia masih tersenyum ketika
bertanya, "Jadi, menurut pendapatmu, semua wanita itu tidak setia dan oleh
karenanya engkau tidak mau jatuh cinta?"
"Begitulah.
Aku hanya akan jatuh cinta kalau ada wanita yang setia sampai mati, yang
lemah-lembut dan baik budinya, cantik jelita lahir dan batin, yang mencinta
suaminya dengan seluruh tubuh dan jiwanya, yang selalu menyenangkan hati
suaminya, tidak ada cacat celanya..."
"Perempuan
begitu bukan manusia! Tetapi harus dipesan langsung ke surga, di antara
bidadari dan malaikat! Pendapat seperti itu hanyalah pendapat orang gila yang
tolol, sombong dan keras kepala."
Melihat Bi
Lan sudah bangkit berdiri, membanting kaki dan mukanya membayangkan kemarahan
itu, Kun Tek terkejut dan terheran-heran. "Kau... kau marah-marah, Bi Lan?
Kenapa?"
Bi Lan
segera teringat akan keadaan dirinya dan dia sadar kembali. Kenapa dia harus
marah-marah? Biarlah pemuda ini berpendapat apa yang disukainya, biar pun
pendapat itu tolol dan merendahkan kaum wanita. Hemm, ia ingin sekali membuat
pemuda itu kecelik, membuat pemuda itu tersandung pendapatnya sendiri dan
bertekuk lutut! Ia pun menarik napas panjang dan duduk kembali.
"Maaf,
aku lupa diri... ahhh, aku sudah mengantuk, aku ingin tidur."
"Tidurlah,
beristirahatlah, biar aku yang berjaga di sini."
Bi Lan
kemudian merebahkan dirinya miring di dekat api unggun, berbantal buntalan
pakaiannya. Melihat ini, Kun Tek cepat membuka buntalan pakaiannya. "Aku,
membawa selimut tipis, kau pakailah ini," katanya sambil menyerahkan
selimut itu.
"Tidak,
aku tidak perlu selimut. Api itu sudah cukup hangat," kata Bi Lan.
Suaranya masih ketus karena hatinya masih panas. Kalau dia memaksa diri untuk
tidur, hal itu hanyalah untuk mencegah agar dia jangan sampai lupa diri dan
marah-marah lagi.
"Terserah
kepadamu, Bi Lan," berkata Kun Tek yang duduk kembali termenung sambil
memandang api unggun, menambahkan kayu bakar yang tadi dikumpulkannya.
Ia melirik
ke arah tubuh Bi Lan. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Oleh karena rebah
miring, nampak jelas lekuk lengkung tubuh gadis itu yang bagaikan setangkai
bunga yang sudah mulai mekar. Rambutnya yang tadinya dibiarkan terurai menutupi
sebagian lehernya, dan di antara celah-celah gumpalan rambut nampak kulit leher
yang mulus dan kuning lembut, bagai mengeluarkan kehangatan, seperti
mengeluarkan kehangatan yang lebih nyaman dari pada kehangatan api unggun.
Rambut itu terus menyelimuti pundak dan punggung.
Tiba-tiba Bi
Lan membuka mata dan cepat-cepat Kun Tek memutar leher mengalihkan pandangannya
kembali kepada api unggun. Dia tidak mau gadis itu melihatnya sedang
memperhatikan.
"Kun
Tek, benarkah engkau takkan jatuh cinta kecuali kalau ada gadis... yang...
bagai mana tadi? Gadis yang setia sampai mati, yang lemah lembut dan baik budi,
yang cantik lahir batin, yang mencinta dengan tubuh dan nyawa. Bagaimana kalau
ada gadis seperti itu turun dari kahyangan dan menjumpaimu? Engkau akan jatuh
cinta kepadanya?”
"Mungkin
ya, mungkin juga tidak."
"Lho!
Kok mungkin juga tidak? Bagaimana pula ini?" Bi Lan kembali bangkit duduk
saking herannya mendengar jawaban itu. Kantuknya hilang seketika dan ia telah
duduk memandang pemuda itu dengan mata terbelalak.
"Tergantung
cocok atau tidaknya seleraku."
Hampir saja
Bi Lan memukul pemuda itu, akan tetapi ia masih menahan perasaannya dan
berseru, "Engkau memang orang gi..." ia masih sempat menahan
makiannya. Pemuda ini baru saja dikenalnya, belum ada satu hari, tidak baik
kalau ia mengeluarkan kemarahannya secara terbuka.
"Apa...?"
"Orang
aneh sekali, belum pernah aku jumpa orang seaneh kau. Hemm, sekarang aku mau
tidur!" Dan dengan keras Bi Lan membanting tubuhnya kembali di atas tanah
berumput, membalikkan tubuh, miring membelakangi pemuda itu dan selanjutnya
tidak mau menengok lagi. Begitu mengkal rasa hatinya, gemas dan dongkol tapi
ditekan dan ditahannya.
Sementara
itu, Kun Tek duduk termenung memandang api. Hati dan pikirannya penuh dengan
diri Bi Lan. Gadis yang aneh sekali, pikirnya, aneh dan menarik. Baru saja
mengenalnya sudah berani memaki-makinya. Gila, tolol, sombong dan keras kepala!
Kalau saja
dia dimaki seperti itu oleh orang lain, tanpa sebab tertentu, agaknya dia tidak
akan dapat menahan diri dan akan menghajar orang itu. Akan tetapi sungguh aneh.
Kenapa dia dimaki-maki oleh gadis ini dan sama sekali tidak ada rasa marah di
hatinya, melainkan bingung dan menyesal? Apakah karena mendengar akan nasib
gadis ini yang ayah bundanya telah mati terbunuh orang ketika masih kecil
membuat dia merasa kasihan dan mengalah?
Sementara
itu, Bi Lan yang tidur miring membelakangi pemuda itu, merasa mendongkol
sekali. Biar pun Kun Tek tidak menujukan pandangannya tentang perempuan itu
kepada dirinya, akan tetapi ia merasa mendongkol dan seperti mewakili semua
perempuan yang dipandang rendah oleh Kun Tek. Sombongnya!
Ia pun
merasa penasaran. Hampir semua pria yang dijumpainya, selalu memandang
kepadanya dengan sinar mata kagum dan suka, akan tetapi Kun Tek bersikap
seolah-olah dia hanya terbuat dari angin saja! Dianggap angin lalu! Tidak
memperlihatkan kemarahan, tidak pernah memuji, apa lagi kelihatan tertarik.
Bahkan jelas memandang rendah kepadanya ketika mengatakan bahwa dia takkan
jatuh cinta kecuali kepada perempuan khayalnya tadi. Tanpa cacat cela! Serba
sempurna! Phuahhh! Dengan hati penuh kemurungan dan kesebalan, akhirnya Bi Lan
tidak ingat apa-apa lagi karena sudah tidur pulas.
***************
Rasa dongkol
itu agaknya tidak juga terhapus oleh tidurnya. Begitu ia terbangun dari
tidurnya, Bi Lan sudah teringat lagi dan merasa tak senang dan dongkol. Akan
tetapi, pada saat ia bangkit duduk dan melihat kain yang menyelimuti tubuhnya,
rasa panas dongkol itu menjadi agak dingin. Semalam Kun Tek telah menyelimuti
tubuhnya!
Ia menoleh
ke kanan kiri. Pemuda itu tak nampak, akan tetapi buntalan pakaiannya masih
berada di situ. Sinar matahari pagi telah mengusir kegelapan malam dan api
unggun sudah padam, baru saja padam karena masih berasap, agaknya padam setelah
ditinggalkan pemuda itu.
Bi Lan
menggeliat, seperti seekor kucing betina baru bangun dari tidurnya. Dan ia pun
menyeringai karena ketika ia menggeliat, terasa pinggangnya masih nyeri.
Keparat Bhok Gun, dia memaki dalam hatinya. Dilipatnya kain selimut itu dan
diletakkannya di atas buntalan pakaian Kun Tek, lalu ia duduk melamun.
Pemuda macam
itu yang demikian sombong, perlu apa didekati, pikirnya. Menurut hatinya yang
panas, ia ingin pergi sekarang juga tanpa pamit. Akan tetapi, pikirannya
mengatakan lain. Terlalu enak bagi Kun Tek kalau dibiarkan mengembang kempiskan
hidungnya dengan sombong, melanjutkan pendapatnya yang memandang rendah kaum
wanita. Pemuda seperti itu harus diberi pelajaran, harus dibuktikan bahwa
pendapatnya itu hanya timbul sebagai suatu kepongahan, kesombongan, dan
gertakan atau bualan belaka. Ia harus dapat membuat dia bertekuk lutut untuk
membuktikan kepalsuan pendapatnya yang sombong itu.
"Bi
Lan, kau sudah bangun? Nih, lihat apa yang kudapatkan!" Tiba-tiba
terdengar suara Kun Tek dari jauh dan nampak pemuda itu berlari-lari datang sambil
memanggul seekor kijang muda yang sudah mati. Binatang itu dia turunkan di
depan kaki Bi Lan dan dia berkata, "Bi Lan, ketika aku mandi, nampak
binatang ini turun minum air di hulu sungai, maka aku berhasil merobohkannya
dengan lemparan batu. Apakah kau dapat memasak dagingnya?"
Tadinya Bi
Lan hendak menolak, akan tetapi dia teringat akan niat hatinya, maka dia
tersenyum manis dan menjawab, "Tentu saja bisa. Tapi
bumbu-bumbunya..."
"Jangan
khawatir. Buntalan pakaianku itu adalah sebuah almari yang cukup lengkap. Lihat
ini, ada garam, ada bawang, ada kecap, bahkan aku membawa sebuah panci,"
katanya gembira dan ketika dia mengangkat muka menatap wajah gadis itu, hampir
saja Kun Tek terpesona.
Wajah itu,
wajah yang baru bangun tidur dan belum mencuci muka, namun begitu manis luar
biasa. Rambutnya yang kemarin riap-riapan itu kini sudah kering dan
awut-awutan, akan tetapi menambah kemanisannya. Apa lagi gadis itu tersenyum
dan nampak lesung pipit di kanan kiri mulutnya, dengan bibir yang merah basah
dan kedua pipi yang agak kemerahan, sepasang mata yang begitu bening dan
bersinar tajam. Bukan main!
"Kau
kenapa, Kun Tek?"
"Tidak
apa-apa...," pemuda itu agak panik. "Hanya... sayang sekali aku tak
mempunyai beras atau gandum..."
"Kijang
muda ini cukup gemuk dan kurasa dagingnya cukup untuk mengenyangkan kita, malah
takkan termakan habis."
"Biar
sebagian kubikin dendeng agar dapat dibawa sebagai bekal."
"Aku
mau mandi dulu," kata Bi Lan.
"Pergilah,
aku akan mengulitinya. Mandinya di tempat kau membersihkan tubuh dan pakaianmu
semalam, Bi Lan. Airnya jernih dan sejuk."
"Baik,
akan tetapi kau jangan ke sana selagi aku mandi," kata Bi Lan sambil
mengerling dan menahan senyum, sikap yang manja dan menarik sekali.
Kembali lagi
Kun Tek melongo, kagum melihat segala keindahan wanita yang berada di depannya
itu.
"Mau
apa ke sana? Aku... aku tidak sekurang ajar itu, Bi Lan."
"Siapa
tahu? Laki-laki biasanya suka mengintai, biasanya memang kurang ajar,"
kata Bi Lan dan tanpa menanti jawaban Kun Tek, sambil terkekeh ia lalu lari
menuju ke anak sungai yang berada tak jauh dari tempat itu, namun tidak nampak
karena terhalang oleh sekelompok pohon.
Sambil
mandi, Bi Lan mengepal tinju. "Pasti akan kujatuhkan kau, manusia
sombong!" katanya.
Ia kemudian
teringat betapa suci-nya, Bi-kwi, pernah bercakap-cakap tentang laki-laki
dengannya, pada saat hati suci-nya itu sedang puas dan senang. Mula-mula ia
yang menegur suci-nya, kenapa suci-nya suka bermain-main dengan pria,
berganti-ganti pria.
"Aku
suka mempermainkan pria, siapa saja yang menarik hatiku."
"Ahh,
bagaimana kalau kelak ada yang menolakmu, suci? Bukankah engkau akan malu
sebagai wanita yang ditolak pria?"
"Hemm,
laki-laki mana yang mampu menolak? Kalau diusahakan, kita kaum wanita, asalkan
tidak cacat atau buruk sekali rupanya, akan mampu menundukkan laki-laki yang
mana pun juga. Betapa pun gagah dan kuatnya pria, akan mudah bertekuk lutut
kalau kita hadapi dengan senyum, dengan kerling mata memikat, dengan
gerak-gerik yang luwes dan menggairahkan."
Mengingat
akan ucapan suci-nya itulah sekarang Bi Lan mengambil keputusan untuk
menjatuhkan Kun Tek, hanya untuk membuktikan bahwa pendapat Kun Tek mengenai
wanita tidak benar, bahwa Kun Tek dapat jatuh cinta kepada seorang wanita,
bukan seorang perempuan khayal. Ia merasa penasaran dan ingin memberi pelajaran
kepada pemuda yang dianggapnya membual dan sombong itu.
Setelah
selesai mandi, Bi Lan membereskan pakaiannya, mematut-matut diri sambil
menyisiri rambutnya. Ia nampak semakin segar dan cantik jelita walau pun
pakaiannya sederhana ketika dengan langkah perlahan ia kembali ke tempat di
mana Kun Tek sibuk menguliti kijang tadi.
"Sudah
selesaikah engkau menguliti kijang itu?" tanya Bi Lan dengan suara halus
dan manis.
Kun Tek yang
sedang berjongkok dan sibuk itu menoleh dan mengangkat mukanya. Dengan gembira
sambil diam-diam mentertawakan pemuda itu, Bi Lan melihat betapa sepasang mata
pemuda itu kini kehilangan sinar yang dingin dan acuh itu. Sinar mata itu kini
penuh semangat memandang kepadanya, penuh kekaguman.
Dan memang
Kun Tek terpesona. Karena Bi Lan datang dari arah timur, maka sinar matahari
pagi nampak di belakang gadis itu, seperti cahaya keemasan mengantar dara manis
itu, membuat ia nampak gilang-gemilang seperti seorang dewi pagi turun dari
kahyangan menyeberang ke bumi melalui cahaya matahari!
"Kau...
kenapa, Kun Tek?" Bi Lan menegur, menahan tawanya dan hanya tersenyum
manis melihat betapa pemuda itu berjongkok seperti patung memandang kepadanya,
tangan kanan memegang pisau berlumur darah, tangan kiri memegang sepotong
tulang.
"Mau
diapakan tulang itu?"
"Apa...?
Tu... tulang...?" Kun Tek tergagap.
Dan baru dia
melihat bahwa dia masih memegang tulang dan baru ia sadar bahwa dia melongo
seperti orang bodoh, terlongong seperti orang bengong. "Eh, ini... aku
sudah selesai menguliti kijang dan sedang menyayati dagingnya. Kau... kau
nampak..."
"Ya...?"
Senyum itu semakin manis. "Nampak bagaimana...?"
"Anu...
nampak...segar sekali!"
Bi Lan
tertawa renyah dan menghampiri pemuda itu. Pesona itu membuyar dan Kun Tek
menyerahkan potongan-potongan daging kepada Bi Lan. "Cukupkah sebegini?
Kalau cukup, lainnya akan kubuat dendeng."
"Cukup,
kita berdua menghabiskan daging sebegini pun sudah akan kenyang sekali,"
jawab Bi Lan.
Kun Tek
sudah menyalakan lagi api unggun dan sudah menyiapkan semua keperluan masak
seperti panci, bumbu-bumbunya dan dia lalu membawa kulit, tulang-tulang dan
sebagian daging yang akan dibuatnya dendeng, lalu pergi agak menjauh.
Tak lama
kemudian, setelah keduanya bekerja tanpa bicara, mereka pun menghadapi masakan
daging kijang yang dibuat oleh Bi Lan. Semenjak kecil, Bi Lan yang melayani
gurunya memang sudah biasa memasak, bahkan biasa masak bahan-bahan yang sederhana
menjadi masakan yang cukup enak.
Dengan bumbu
seadanya, sekarang ia telah membuat dua macam masakan saja, yaitu daging
panggang dan masakan yang ada kuahnya. Dan karena mereka berdua merasa lapar
sekali, ditambah suasana yang amat menyenangkan hati, keduanya makan dengan
lahap. Apa lagi Kun Tek. Dia makan dengan lahap dan kelihatan nikmat sekali.
"Lunak
sekali masakanmu, Bi Lan. Daging kuah ini gurih dan sedap, dan panggang
dagingnya juga enak. Kau memang pandai memasak!" puji Kun Tek sambil
meggerogoti daging panggang.
Bi Lan
tersenyum. "Terima kasih atas pujianmu, Kun Tek. Bagaimana dengan wanita
khayalmu itu, Kun Tek?"
"Wanita
khayal...? Apa... apa maksudmu, Bi Lan?" Kun Tek benar terkejut mendengar
pertanyaan yang tak diduga-duganya itu.
"Wanita
khayalmu yang tanpa cacat itu. Apakah ia pun pandai masak?" Bi Lan menatap
tajam wajah Kun Tek yang kulitnya menjadi semakin gelap ketika dia teringat
akan makna pertanyaan itu.
"Tentu
saja... tentu saja seorang wanita harus pandai masak, kalau tidak, dia tidak
lengkap menjadi seorang wanita, bukankah begitu?" Kun Tek dibesarkan di
daerah barat di mana kaum wanita bertugas di dapur, tidak seperti suku bangsa
di selatan yang kedudukannya terbalik, yaitu kaum prianya yang biasa memasak di
dapur sedangkan para wanitanya biasa pula memikul air dan bekerja di sawah.
Mereka
selesai makan dan ketika Bi Lan hendak mencuci tangannya, dia mengeluh. Ketika
bangkit dari duduk di atas tanah itu, gerakan ini mendatangkan rasa nyeri yang
menusuk pada pinggangnya. "Aduhhh..."
Kun Tek
terkejut dan cepat menghampiri. "Kau kenapa, Bi Lan?" Dan melihat
gadis itu menekan-nekan pinggangnya yang kiri, dia pun bertanya, "Apakah
pinggang yang kena tendang lawan itu masih terasa nyeri?"
Bi Lan
mengangguk dan menyeringai kesakitan. "Nyeri sekali pada saat aku memutar
pinggang, seperti tertusuk rasanya."
"Wah,
jangan-jangan ada yang terkilir di situ. Kalau terkilir harus cepat-cepat
dibetulkan letak otot-ototnya, Bi Lan, kalau tidak bisa membengkak dan semakin
berbahaya."
Bi Lan menatap
wajah pemuda itu dengan sinar mata tajam. "Engkau mau mengobati
pinggangku? Malam tadi engkau sudah mengobati kakiku yang terkilir, engkau
tentu ahli membetulkan otot yang terkilir."
Kun Tek
tersenyum dan mengangguk. "Aku pernah mempelajarinya dari ayah. Kalau
engkau mau, tentu saja aku suka sekali mencoba untuk memeriksa dan membetulkan
letak otot yang terkilir."
"Tentu
saja aku mau, kenapa kau bertanya lagi. Siapa orangnya diobati sampai sembuh
tidak mau?"
"Tapi...
untuk memeriksa dan membetulkan bagian yang terkilir, aku harus melihatnya,
menyentuhnya dan membetulkannya dengan pijatan-pijatan dan urutan-urutan, aku…
aku harus... menangani bagian pinggangmu yang terkilir itu."
Diam-diam Bi
Lan tertawa dalam hatinya. "Kalau begitu mengapa? Nah, kau lakukanlah
cepat agar nyerinya segera hilang."
Tanpa
ragu-ragu lagi Bi Lan lalu sedikit menurunkan celananya di bagian kanan dan
menarik ke atas bajunya di bagian itu juga sehingga nampaklah kulit pinggangnya
yang putih mulus, ke bawah sampai di lekuk pinggul dan ke atas sampai pada
permulaan bukit dada.
Walau pun
jantungnya berdebar seperti diguncang-guncang keras, Kun Tek menekan
perasaannya dan dengan sikap biasa seolah-olah dia hanya akan mengobati lengan
atau kaki saja, dia mulai memeriksa bagian pinggang itu dengan jari-jari
tangannya yang terlatih. Setelah memijit sana mengelus sini, tak lama kemudian
dia dapat meraba dan menentukan bahwa memang ada otot yang terkilir, akan
tetapi tidak berapa parah dan mungkin rasa nyeri itu hanya karena memar saking
keras dan kuatnya tendangan. Akan tetapi, cukup lama baginya meraba-raba itu
sehingga mukanya penuh keringat, dan terasa jelas oleh Bi Lan betapa jari-jari
tangan itu gemetar dan panas dingin!
Bi Lan
menahan senyum, senyum kemenangan melihat betapa pemuda itu kini mulai
mengobati pinggangnya dengan tekanan dan pijatan jari-jari tangannya yang
gemetar. Ketika ia menoleh, ia melihat betapa pemuda itu telah memejamkan kedua
matanya!
"Aduhhh...
jangan kuat-kuat... di situ nyeri...!" Bi Lan sengaja merintih, lalu
bertanya dengan nada suara heran, "Kun Tek, kenapa engkau memejamkan kedua
matamu?"
Pertanyaan
yang tiba-tiba itu mengejutkan Kun Tek. Dia cepat membuka matanya, akan tetapi
ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata gadis itu, yang seolah-olah
sinarnya menusuk dan menjenguk ke dalam jantungnya, dia cepat memejamkan
kembali kedua matanya.
"Ah,
aku sudah terbiasa, ketika belajar dulu. Dengan memejamkan kedua mata,
jari-jari tanganku lebih peka..."
"Tapi
saat engkau mengobati kakiku yang terkilir, matamu tidak kau pejamkan!
Jangan-jangan engkau memejamkan matamu agar tidak melihat pinggangku!"
"Ahh,
kenapa?" bantah Kun Tek tanpa membuka matanya.
Bi Lan
tertawa dalam hatinya. "Siapa tahu, pinggangku buruk."
"Pinggangmu
bagus sekali!"
"Kulitnya
kasar dan hitam."
"Tidak,
halus dan putih mulus."
"Mungkin
bau keringatku tidak enak sehingga kau muak."
"Bau
keringatmu sedap, Bi Lan."
Hampir Bi
Lan tak mampu menahan ketawanya dan ia cepat menutup mulutnya dengan tangan. Ia
telah menjalankan siasat seperti yang pernah didengarnya dari suci-nya, si ahli
pemikat laki-laki itu. Ternyata baru sebegitu saja, ia sudah merasa dapat
menguasai Kun Tek!
Memang
pinggangnya masih terasa agak sakit, akan tetapi tidaklah begitu nyeri dan
sebetulnya tidak perlu disembuhkan dengan pijat. Tadi ia hanya berpura-pura
saja untuk memancing Kun Tek dan ternyata siasatnya itu berhasil baik. Dia
berhasil membuat pemuda ini berpeluh dan gemetar, bahkan lalu memuji-mujinya.
"Sudah
cukup, Kun Tek, sekarang tidak terasa nyeri lagi. Terima kasih."
Ada dua
macam perasaan menyelinap di hati pemuda itu pada waktu Bi Lan berkata
demikian. Ada rasa lega karena dia seperti terbebas dari ketegangan yang
membuat dia berpeluh dan gemetar, akan tetapi ada rasa kecewa pula bahwa
jari-jari tangannya harus meninggalkan buah pinggang yang ramping, gempal,
lunak, halus dan hangat itu.
"Tidak
perlu berterima kasih, Bi Lan. Bukankah kita sudah menjadi sahabat baik dan
sudah sepatutnya kalau kita saling menolong?"
Bi Lan mau
melanjutkan siasatnya untuk mencoba dan menjatuhkan Kun Tek agar ia dapat
memberi pelajaran kepada laki-laki yang sombong ini. Ia kemudian bangkit dan
mengemasi buntalan pakaiannya, menggendongnya di punggung kembali.
"Sekarang
telah tiba saatnya aku melanjutkan perjalananku. Selamat berpisah, Kun Tek.
Engkau baik sekali dan terima kasih." Berkata demikian, Bi Lan lalu
meloncat pergi.
"Ehhh,
Bi Lan, nanti dulu..." Kun Tek berseru dengan kaget. Keputusan Bi Lan yang
mendadak untuk meninggalkannya itu sungguh mengejutkan hatinya. "Engkau
hendak ke mana?"
"Aku
hendak melanjutkan perjalananku."
"Kita
dapat melakukan perjalanan bersama..."
"Tidak,
aku mempunyai urusan penting sekali!"
"Aku
akan membantumu, Bi Lan, sampai engkau berhasil dalam urusan itu!"
Bi Lan
tersenyum manis. "Engkau memang seorang yang baik budi, Kun Tek. Akan
tetapi, aku merasa tidak enak kalau harus mengganggumu selalu. Di antara kita
tidak ada hubungan apa-apa..."
"Kita
sahabat baik!"
Bi Lan
mempermanis senyumnya sehingga nampak lesung pipit di kanan kiri. Manis sekali.
"Memang, engkau seorang sahabatku yang baik sekali. Akan tetapi hal itu
bukan berarti bahwa engkau harus bersusah payah selalu untukku. Nah, selamat
tinggal!"
"Bi
Lan...!" Kun Tek berseru akan tetapi gadis itu tidak menoleh lagi dan
berlari cepat meninggalkan tempat itu.
"Bi
Lan...! " Kun Tek berteriak lagi.
Dan dia pun
cepat mengumpulkan barang-barangnya, berkemas sambil kadang-kadang menengok ke
depan, ke arah perginya Bi Lan yang sekarang sudah tidak nampak lagi
bayangannya itu. Hati Kun Tek terasa panik dan khawatir sekali kalau-kalau dia
akan kehilangan gadis itu dan tidak akan bertemu lagi dengannya.
Tetapi
sebelum dia berlari untuk melakukan pengejaran, tiba-tiba berkelebat bayangan
yang agaknya sejak tadi bersembunyi di balik semak-semak di seberang ladang itu
dan bayangan ini membentak, "Manusia tak tahu malu, berhenti dulu aku mau
bicara!"
Kun Tek
terkejut, tidak menyangka bahwa di tempat sunyi itu ada orang bersembunyi di
belakang semak-semak. Ketika dia membalikkan tubuhnya, ternyata orang itu
adalah seorang pemuda yang usianya sebaya dengan dia, seorang pemuda bermuka
bersih cerah, berkulit kuning. Seorang pemuda yang tampan walau pun pakaiannya
yang berwarna biru itu amat sederhana.
Dengan alis
berkerut, Kun Tek memandang tajam dan menegur, "Siapakah engkau dan ada
urusan apa dengan aku maka engkau datang-datang mengatakan aku tidak tahu
malu?"
Pemuda ini
bukan lain adalah Gu Hong Beng! Pemuda ini merana sejak ditinggal pergi Bi Lan.
Sakit sekali rasa hatinya oleh penolakan Bi Lan terhadap cintanya. Dia merasa
hidupnya seakan-akan menjadi kosong dan sunyi. Dia melanjutkan perjalanan untuk
memenuhi perintah gurunya, menuju ke kota raja, namun semangatnya sudah menipis
sekali.
Malam tadi
secara kebetulan sekali dia telah mengambil jalan yang sama dengan Bi Lan
sehingga ketika Bi Lan yang ditolong oleh Kun Tek berhenti di tempat mereka
kemudian melewatkan malam, dari jauh Hong Beng dapat melihat api unggun mereka.
Pemuda ini curiga melihat api unggun itu dan dengan hati-hati dia mendekati.
Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat Bi Lan sedang tidur
dan rebah miring di dekat api unggun, dan hati yang tadinya menjadi girang itu
tiba-tiba berubah panas penuh rasa cemburu ketika dia melihat seorang pemuda
tinggi besar menggunakan kain untuk menyelimuti tubuh Bi Lan yang tidur pulas!
Dan dia pun
segera mengenal pemuda tinggi besar itu sebagai pemuda yang dipuji-puji oleh Bi
Lan, pemuda yang turun tangan menghajar Phoa Wan-gwe dan tukang-tukang
pukulnya. Dengan hati panas penuh rasa cemburu, Hong Beng lalu bersembunyi dan
melakukan pengintaian. Dia merasa tidak enak kalau harus muncul menemui Bi Lan
pada saat itu, apa lagi melihat gadis itu sedang tidur nyenyak.
Dia ingin
sekali melihat apa yang akan dilakukan dua orang muda itu, ingin melihat sampai
sejauh mana hubungan di antara mereka yang nampaknya sudah akrab itu. Panas
sekali hatinya. Tak disangkanya Bi Lan yang baru saja meninggalkannya, kini
sudah bersahabat dengan seorang pria lain, dan mengingat betapa Bi Lan
memuji-muji pemuda tinggi besar itu, hatinya penuh rasa iri dan cemburu.
Dia melihat
segala yang terjadi dari tempat sembunyinya. Dia memang tidak melihat pemuda
itu melakukan sesuatu, kecuali menyelimuti tubuh Bi Lan dengan kain, tetapi itu
pun dilakukannya dengan sikap sopan. Kemudian melihat betapa mereka berdua itu
bercakap-cakap yang tak dapat didengar suaranya karena tempat sembunyinya cukup
jauh.
Dan hatinya
semakin panas melihat betapa mereka berdua itu makan bersama dengan sikap yang
demikian gembira. Namun, ketika dia melihat betapa pemuda itu mengobati
pinggang Bi Lan dengan jalan meraba dan memijat pinggang yang telanjang itu,
hampir dia tidak dapat menahan diri yang dibakar oleh api cemburu!
Dia dapat
menduga bahwa tentu pemuda itu melakukan semacam pengobatan, akan tetapi
caranya yang membuat dia tidak kuat menahan kemarahan hatinya. Pemuda itu
begitu saja, dengan tangan telanjang, meraba dan memijat pinggang yang tidak
tertutup itu. Kenapa Bi Lan membiarkan tubuhnya dipegang-pegang? Dan pemuda
itu, betapa kurang ajar dan tidak sopan sekali!
Pada waktu
dia melihat Bi Lan pergi meninggalkan pemuda itu dan melihat pemuda itu agaknya
hendak mengejar, memanggil-manggil nama Bi Lan begitu saja, dia pun cepat
meloncat keluar dari tempat persembunyiannya dan lari menghampiri Kun Tek.
Tibalah saatnya untuk turun tangan menghajar pemuda tidak sopan itu, karena
kalau Bi Lan masih berada di situ, tentu saja dia merasa malu untuk mencampuri
urusan pribadi mereka. Kini Bi Lan tidak ada dan dia boleh menumpahkan semua
perasaan hatinya yang panas dan penuh cemburu kepada pemuda itu.
Sejenak dua
orang itu berdiri saling berhadapan dan saling memperhatikan dengan sinar mata
tajam. Dua orang pemuda yang sebaya dan sama-sama tampan dan gagah. Hanya
bedanya, kalau wajah Hong Beng diliputi kemarahan dan kebencian, sebaliknya
wajah Kun Tek mengandung keheranan dan penasaran.
"Gadis
yang baru pergi tadi, apamukah ia? Isterimukah?" Hong Beng bertanya dengan
suaranya yang ketus.
Kerut merut
di antara alis yang tebal di wajah Kun Tek semakin mendalam dan sinar matanya
menyambar marah ke arah penanya itu. "Hemm, apa sangkut-pautnya hal itu
denganmu?"
"Sangkut-pautnya
dekat sekali!" kata Hong Beng semakin marah. "Gadis itu, Can Bi Lan,
adalah seorang sahabatku!"
Kun Tek
terbelalak dan memandang penuh selidik. Kalau pemuda ini sahabat baik Bi Lan,
kenapa mengambil sikap bermusuh dengannya? "Begitukah? Akupun sahabat Bi
Lan, sahabat baiknya."
"Tidak
perlu engkau mengelabui aku. Engkau baru saja bertemu dengannya, karena ketika
kami berdua melihat engkau turun tangan terhadap Phoa Wan-gwe, dia belum
mengenalmu."
"Ah,
kiranya engkau pun bersama Bi Lan ketika melihat aku melawan anak buah Phoa
Wan-gwe? Kalau begitu tentu benar seorang sahabat. Siapakah engkau,
sobat?"
"Aku Gu
Hong Beng."
"Namaku
Cu Kun Tek."
"Engkau
seorang pemuda yang tidak sopan dan kurang ajar! Engkau sangat tidak tahu
malu!"
Tentu saja
Kun Tek kembali terbelalak dan dia mulai marah. "Saudara Gu Hong Beng,
seingatku, baru sekarang kita saling berhadapan. Aku belum pernah mengganggumu,
tapi mengapa engkau datang-datang memaki-maki aku? Jelaskan, apa kesalahanku
maka engkau memaki aku?"
"Engkau
masih pura-pura tidak tahu? Apa yang kau lakukan terhadap nona Can Bi Lan tadi?
Kau kira aku tidak tahu? Sejak semalam aku sudah berada tak jauh dari sini dan
menyaksikan semua perbutanmu yang tidak senonoh."
"Eh-eh-eh,
apakah engkau ini orang gila? Aku tidak melakukan sesuatu yang tidak baik,
kenapa mulutmu kotor sekali memaki-maki orang?"
"Hemm,
dasar muka tebal! Engkau tadi meraba-raba dan memijati pinggang Bi Lan begitu
saja, tanpa kain penutup, apakah kau kira perbuatan macam itu pantas dan patut
dilakukan oleh seorang yang mengaku sopan? Engkau memang laki-laki ceriwis dan
keji, mempergunakan kelemahan seorang gadis yang masih hijau untuk merayu.
Orang macam engkau ini harus dihajar!" Berkata demikian, Hong Beng yang
menjadi semakin marah karena membayangkan apa yang terjadi tadi, sudah
menerjang dengan dahsyat.
"Ahh,
manusia tolol!"
Kun Tek
mengelak dengan lompatan ke samping. Diam-diam dia terkejut sekali karena
serangan Hong Beng tadi benar-benar sangat dahsyat dan berbahaya. Baru angin pukulan
saja menyambar sedemikian kuatnya. "Aku mengobatinya karena pinggangnya
terkilir, dan kau menuduh yang bukan-bukan!"
"Aku
bukanlah anak kecil," kata pula Hong Beng marah, "aku juga tahu bahwa
engkau melakukan pengobatan, akan tetapi itu hanya dalih agar engkau dapat
meraba-raba tubuhnya. Keparat, apakah engkau pura-pura tidak tahu bahwa yang
boleh melakukan seperti itu hanya antara suami isteri saja? Engkau memang
seorang berwatak cabul. Jai-hwa-cat!"
Dimaki
jai-hwa-cat atau penjahat pemetik bunga, sebutan bagi penjahat yang suka
memperkosa wanita, Kun Tek marah bukan main. "Jahanam bermulut kotor, kau
kira aku takut padamu?"
Dan dia pun
maju menyerang, membalas serangan Hong Beng tadi. Hong Beng sudah tahu akan
kelihaian lawan, maka dia pun cepat menangkis sambil mengerahkan tenaga
Hwi-yang Sinkang.
"Dukkkk...!"
Keduanya
terpental ke belakang dan Kun Tek terkejut bukan main ketika merasa betapa
lengannya dijalari hawa yang amat panas. Cepat dia mengerahkan tenaga sinkang
untuk melawan. Di lain pihak, Hong Beng juga terkejut karena lawannya memiliki
tenaga yang amat kuat sehingga dia pun terdorong mundur.
Segera kedua
orang pemuda ini terlibat dalam perkelahian seru. Mereka berdua sama sekali
tidak sadar bahwa perkelahian yang seru dan mati-matian itu hanya disebabkan
oleh hal yang sepele saja! Oleh karena cemburu! Mereka berkelahi seolah-olah
sedang saling memperebutkan Bi Lan.
Setelah Hong
Beng mengeluarkan ilmu-ilmu silat dari Pulau Es, Kun Tek terkejut dan terdesak.
Dia tidak mengenal ilmu silat itu, hanya merasa betapa ilmu silat lawannya itu
makin lama semakin kuat. Karena maklum betapa lihainya lawan, Cu Kun Tek yang
kini menjadi penasaran dan marah sekali, langsung mencabut senjatanya, yaitu
sebatang pedang yang mengeluarkan sinar berkilauan dan hawa yang menyeramkan.
Begitu dia
mengelebatkan pedang itu, segera terdengar suara mengaum keras yang amat
mengejutkan hati Hong Beng. Pemuda ini segera tahu bahwa lawannya memiliki
sebatang pedang pusaka yang amat ampuh. Dia tidak merasa jeri, akan tetapi
bersikap hati-hati sekali.
"Tahan
senjata...!" Terdengar bentakan halus dan tiba-tiba saja muncullah Bi Lan
di situ.
Melihat
gadis yang sesungguhnya menjadi penyebab perkelahian mereka, dua orang pemuda
itu menjadi terkejut. Muka mereka berubah merah dan keduanya tidak tahu harus
berkata apa.
Bi Lan
berdiri di antara mereka, memandang ke kanan kiri, bergantian, lalu menatap
wajah Kun Tek. Dipandang seperti itu, Kun Tek menjadi gugup dan untuk
menenangkan perasaannya yang bingung, dia kemudian menyarungkan kembali pedang
pusakanya dan disimpannya ke dalam buntalan pakaiannya.
"Kun
Tek, apa artinya semua ini? Baru sebentar saja kau kutinggalkan, tahu-tahu
sudah berkelahi mati-matian!" Bi Lan menegur.
"Bukan
aku yang mencari permusuhan, akan tetapi dia ini datang-datang seperti orang
gila menuduh aku yang bukan-bukan dan menyerangku. Tentu saja aku membela diri,
tidak sudi mati konyol dalam serangan tangan yang keji."
Bi Lan
menghadapi Hong Beng yang menunduk dengan muka sebentar pucat sebentar merah.
"Dan apa pula artinya perbuatanmu ini, Hong Beng? Datang-datang engkau
menyerang Kun Tek, padahal engkau sendiri sudah tahu bahwa dia bukan orang
jahat ketika dia membantu keluarga mempelai yang diganggu oleh Phoa Wan-gwe?
Apa maksudmu?"
"Bi
Lan, aku... aku melihat betapa dia tidak sopan ketika mengobatimu... dan aku...
aku tidak tahan. Dia terlalu kurang ajar, maka setelah engkau pergi, aku segera
keluar dan menyerangnya."
Bi Lan
mengerutkan alisnya. Hatinya merasa tak senang kepada Hong Beng. Pertama, bahwa
Hong Beng diam-diam telah mengintai mereka, dan kedua, ia menganggap Hong Beng
hendak mencampuri urusan pribadinya!
"Hong
Beng, engkau sungguh lancang tangan. Aku tidak minta perlindunganmu, dan Kun
Tek ini sama sekali tidak kurang ajar, melainkan mengobati pinggangku dan apa
yang dilakukannya itu atas persetujuanku. Apa sangkut-pautnya dengan
dirimu?"
Melihat
betapa gadis yang dicintanya itu marah-marah dan memarahinya di depan pemuda
lain itu, Hong Beng semakin menundukkan mukanya. Hatinya terasa seperti
disayat-sayat dan dia pun sadar bahwa tindakannya tadi sebenarnya terburu
nafsu, terdorong oleh cemburu yang berkobar-kobar.
"Bi
Lan, memang seharusnya aku tahu diri... saudara Kun Tek, kau maafkanlah aku.
Selamat tinggal!" Hong Beng lalu melompat dan berlari secepat mungkin
meninggalkan tempat itu supaya tidak tampak oleh mereka bahwa kedua matanya
menjadi panas dan basah.
Kun Tek
memandang kagum. "Hebat, dia seorang pemuda yang hebat, ilmu silatnya luar
biasa, jauh lebih tinggi dariku dan lihat betapa hebat ginkang-nya ketika dia
lari."
"Tentu
saja, dia adalah murid keluarga para pendekar Pulau Es."
"Ahhh...!"
Kun Tek terbelalak dan mengangguk-angguk, "Pantas saja tadi pukulannya
mengandung tenaga panas seperti api. Pernah aku mendengar dari ayah tentang dua
ilmu sinkang amat hebat dari Pulau Es yang disebut Hwi-yang Sinkang yang panas
sekali dan Swat-im Sinkang yang dingin sekali. Sayang aku tidak sempat
berkenalan lebih baik dengan dia. Akan tetapi, kenapa dia bersikap begitu aneh
dan menyerangku seperti orang gila saja?"
"Karena
cemburu."
"Cemburu?"
"Dia
mencintaku akan tetapi aku menolaknya. Agaknya dia cemburu ketika melihat cara
engkau mengobati pinggangku tadi."
"Ahhhh...!"
Muka pemuda itu menjadi merah. Hening sejenak, dalam suasana yang sunyi
menegangkan.
"Kun
Tek, aku kembali untuk bertanya kepadamu apakah engkau mengenal orang yang
sedang kucari."
"Siapakah
dia?" bertanya Kun Tek, merasa lega bahwa percakapan beralih sehingga
suasana menegangkan tadi pun terputus.
"Julukannya
Suling Naga, Pendekar Suling Naga!"
"Suling
Naga...?" Sepasang mata Kun Tek terbelalak. "Tentu saja aku
mengenalnya! Bukankah namanya Sim Houw?"
"Mungkin,
aku tidak tahu, hanya julukannya Pendekar Suling Naga. Tahukah engkau di mana
dia dan di mana aku dapat bertemu dengannya?"
"Bi
Lan, ada urusan apakah engkau mencari Pendekar Suling Naga Sim Houw?"
Kembali Bi
Lan mengerutkan alisnya. "Urusan pribadi. Kalau engkau tahu, katakan saja
di mana aku dapat bertemu dengan dia."
"Dia
seorang pendekar perantau, Bi Lan, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap.
Akan tetapi menurut ayah, pendekar itu suka berkelana dan bertapa di sekitar
puncak Tai-hang-san."
"Terima
kasih, Kun Tek dan selamat tinggal."
"Nanti
dulu, Bi Lan!"
"Ada
apa lagi?"
"Baru
saja engkau menyelamatkan diriku dari tangan Hong Beng dan aku sungguh merasa
menyesal sekali dengan peristiwa yang terjadi dengan dia. Dia seorang murid
keluarga Pulau Es dan sahabat baikmu..."
"Aku
tadi dongkol padanya. Dia terlalu cemburu, ada hak apa dia mencampuri urusan
pribadiku? Dia cemburu tanpa alasan! Engkau dan aku adalah dua sahabat baik,
dan engkau mengobati aku dengan hati jujur dan bersih. Tidak ada alasan baginya
untuk mencemburuimu."
Kun Tek
menarik napas panjang. "Dia tak bersalah, Bi Lan, dan memang ada alasannya
maka dia mencemburui aku."
"Heiii?
Apa maksudmu?"
"Maksudku,
dia beralasan untuk cemburu karena… memang sesungguhnya akupun... jatuh cinta
padamu, Bi Lan."
"Ehh...?"
Ingin Bi Lan
tertawa gembira. Inilah saat yang dinanti-nanti. Memang ia sudah berusaha untuk
menjatuhkan Kun Tek. Saat meninggalkan pemuda itu pun termasuk siasatnya, akan
tetapi tak pernah disangkanya ia akan berhasil secepat dan semudah itu.
"Mana
mungkin? Kita baru semalam berkenalan, Kun Tek!"
"Mengenalmu
satu malam bagiku seperti telah mengenalmu bertahun-tahun, Bi Lan."
"Tapi...
tapi bagaimana engkau bisa begini yakin?"
"Ketika
kita bercakap-cakap, ketika kita makan bersama, ketika aku mengobatimu, lalu
ketika engkau pergi meninggalkan aku. Perasaanku takkan menipuku, Bi Lan.
Ketika engkau pergi, aku merasa begitu hampa dan berduka, aku takut kehilangan
engkau, dan sekarang pun aku takut kehilangan engkau karena aku cinta padamu,
Bi Lan."
Bi Lan
memandang tajam. "Yakin benarkah engkau, Kun Tek? Ingat, aku hanya seorang
perempuan dari darah daging belaka, tidak lemah lembut dan tidak baik budi,
tidak pula cantik lahir batin, banyak cacat celanya!"
"Aku
yakin sepenuh hatiku, Bi Lan. Aku cinta padamu, terasa benar dalam
hatiku."
Kini Bi Lan
tersenyum, senyum sinis dan mengejek. "Hemm... hemmm... lalu ke mana
larinya perempuan khayalmu itu, Kun Tek?"
Pemuda itu
terbelalak. "Perempuan khayal...?"
"Ya,
lupakah engkau bahwa engkau tak akan pernah jatuh cinta kecuali kepada seorang
perempuan yang seperti dalam khayalanmu itu, yang tanpa cacat cela dan
segalanya itu? Bagaimana engkau sekarang, hanya dalam waktu sehari saja, sudah
melupakan perempuan khayalmu itu dan mengatakan jatuh cinta padaku?"
Kun Tek
teringat dan dia merasa terpukul sekali. "Aku telah bodoh selama ini, Bi
Lan. Perempuan seperti yang kukhayalkan itu tidak ada di dunia ini, bukan dari
darah daging, tidak mungkin ada wanita tanpa cacat cela dan..."
"Cukup!
Engkau memang tolol, bodoh, dan sombong. Aku tidak sudi... aku tidak dapat
menerima cintamu. Engkau cintailah saja wanita khayalanmu yang bukan dari darah
daging, dan tidak akan dapat menolakmu. Selamat tinggal!" Dan dengan cepat
Bi Lan pergi dan berlari cepat.
Kun Tek
menjadi bengong. Dia menjadi bingung, tidak mengerti kesalahan apa yang telah
dilakukannya kepada Bi Lan yang menyebabkan gadis itu nampaknya demikian marah
kepadanya. Dia tidak berani melakukan pengejaran karena hal itu tentu akan
membuat Bi Lan semakin marah. Dia hanya duduk terlongong termenung, tenggelam
dalam lamunan. Dia mengingat kembali segala percakapannya tadi dengan Bi Lan,
juga percakapan mereka kemarin. Setelah kini dia bisa menenangkan pikirannya,
nampaklah dengan jelas semua kesalahannya.
"Aku
memang tolol, bodoh dan sombong. Tepat sekali apa yang dikatakan oleh Bi Lan
tadi," bisiknya duka.
Kini
nampaklah olehnya betapa sikapnya dan kata-katanya merupakan kebodohan demi
kebodohan yang tidak ketulungan lagi. Mula-mula dia menggambarkan bahwa dia
tidak akan jatuh cinta kecuali kepada seorang wanita seperti yang
digambarkannya itu dan tentu saja ucapan seperti ini di depan seorang gadis
menyinggung perasaan dan harga diri gadis itu.
Kemudian
dalam pengakuan cintanya, dengan amat tolol dia mengatakan bahwa wanita tanpa
cacad itu tidak ada, dengan demikian kembali dia telah menyinggung perasaan
wanita yang dicintanya, karena dengan ucapan itu seolah-olah dia sudah
mengatakan bahwa Bi Lan tidaklah seperti wanita khayalnya itu, bahwa Bi Lan
penuh cacat cela. Sungguh amat tolol! Hatinya sekarang merasa berduka sekali.
merasa betapa keadaan sekelilingnya tanpa Bi Lan nampak sunyi mati, segala
sesuatu nampak kurang menarik lagi.
Beginilah
kalau cinta asmara sudah menyerang orang dan membuat orang itu menjadi korban
kegagalan. Yang datang kemudian hanyalah kekecewaan yang melenyapkan gairah
hidup sehingga hidup ini nampak amat buruk. Semua ini karena perasaan iba diri
yang menikam perasaan. Merasa diri paling celaka karena idam-idaman hatinya
terbang melayang meninggalkannya.
Sementara
itu, Bi Lan berlari dengan cepat sekali. Tanpa tujuan tertentu, asal dapat
meninggalkan Kun Tek secepatnya. Hatinya terasa panas bukan main. Tadinya ia
ingin mempermainkan Kun Tek untuk memberi ‘hajaran’ kepada pemuda yang dianggapnya
sombong itu, yang seolah-olah menganggap di dunia ini tidak ada wanita yang
pantas untuk dirinya, pantas menjadi jodohnya! Kemudian, ia berhasil
menggerakkan hati dan kejantanan Kun Tek yang membuat pemuda itu bertekuk lutut
dan menyatakan cinta kepadanya.
Tadinya ia
hendak mentertawakannya, merasa girang sebab berhasil memberi hajaran. Eh,
tidak tahunya kembali pemuda itu mengeluarkan kata-kata yang amat menyinggung
perasaannya. Katanya bahwa wanita tanpa cacad itu tidak ada! Padahal ia baru
saja menyatakan cinta kepadanya. Bukankah hal itu sama saja dengan
membandingkan ia dengan perempuan khayal itu? Perempuan khayal itu yang paling
hebat dan ternyata perempuan seperti itu tidak ada! Dan ia sendiri? Dengan
demikian ia bukan perempuan yang paling baik bagi Kun Tek. Sombong! Pemuda
tolol dan sombong!
Agaknya lari
cepat sampai mengeluarkan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya membuat
kemarahan Bi Lan mereda pula. Hati yang panas mulai dingin dan ia lalu
menghentikan larinya dan duduk di lereng sebuah bukit karena ketika lari tadi
tanpa disadarinya ia menanjak sebuah bukit. Pantas saja keringatnya bercucuran,
tak tahunya tempat ia berlari tadi menanjak terus.
Lereng bukit
itu sunyi sekali dan ia pun duduk di bawah sebatang pohon yang berdaun rindang.
Sejuk sekali tempat itu dan angin semilir mengusir kegerahan. Dengan sehelai
sapu tangan diusapnya keringat dari leher dan mukanya, kemudian ia duduk
termenung, membayangkan hal-hal yang baru saja terjadi.
Ada tiga
orang pria berturut-turut menyatakan cinta kepadanya! Pertama adalah Bhok Gun,
yang ke dua Gu Hong Beng dan ke tiga adalah Cu Kun Tek. Tanpa disadarinya, ia
membanding-bandingkan tiga orang pria itu, dan melamunkan kalau ia menjadi
jodoh seorang di antaranya.
Bhok Gun
yang tertua di antara mereka, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, seorang
pria yang sudah matang dan banyak pengalamannya. Bhok Gun berwajah tampan dan
nampak makin menarik karena dia pesolek dan pandai merias diri. Ilmu silatnya
juga lihai karena sebagai cucu murid Pek-bin Lo-sian, dia mewarisi ilmu yang
satu sumber dengan ilmu-ilmu yang dimiliki oleh Sam Kwi.
Akan tetapi
pria ini mata keranjang, bahkan cabul dan gila perempuan. Juga memiliki
sifat-sifat jahat dan curang. Menjadi isteri seorang pria macam Bhok Gun ini
memang bisa saja berenang dalam lautan kemewahan, akan tetapi hatinya tentu
akan selalu dirongrong karena pria ini takkan berhenti mengejar wanita-wanita
lain.
Rayuan-rayuan
mautnya itu semua hanyalah palsu belaka, hanya untuk menundukkan wanita yang
sebentar lagi akan dicampakkannya begitu saja kalau dia sudah merasa bosan!
Tidak, ia tidak akan sudi menjadi jodoh pria macam itu. Apa lagi perkenalannya
dengan Bhok Gun itu hanya melalui suci-nya yang menjadi kekasih Bhok Gun.
Masih muak
kalau dia mengingat kembali apa yang didengarnya dan dilihatnya antara Bi-kwi
dan Bhok Gun, kemuakan yang membuat wajahnya memerah dan jantungnya berdebar
aneh. Bagaimana pun juga, Bi Lan sudah mulai dewasa! Belum pernah Bhok Gun
melakukan sesuatu yang baik baginya. Tidak, ia tidak sudi menjadi jodoh Bhok
Gun.
Lain lagi
halnya dengan dua orang pemuda lainnya dan kini diam-diam ia
membanding-bandingkan antara Hong Beng dan Kun Tek. Kedua orang pemuda itu, Gu
Hong Beng dan Cu Kun Tek, keduanya sama muda, sama gagah perkasa, sama pendekar
dan keduanya pernah menyelamatkannya dari bahaya yang bahkan mungkin lebih
hebat dan mengerikan dari pada maut sendiri! Ia sukar membayangkan betapa akan
jadinya dengan dirinya kalau tidak ada Hong Beng dan Kun Tek. Tentu sudah dua
kali terjatuh ke tangan Bhok Gun jahanam itu.
Gu Hong Beng
sudah dikenalnya dengan baik. Ia seorang pemuda yatim piatu yang nasibnya
hampir sama dengan nasibnya sendiri. Wajahnya cukup menarik walau pun pemuda
ini amat sederhana dengan pakaiannya yang serba biru, seperti seorang petani
saja, atau seorang buruh biasa. Akan tetapi kepandaiannya hebat karena pemuda
ini adalah murid dari keluarga Pulau Es!
Sayang
wataknya terlalu pendiam dan bahkan agak pemalu walau pun budi bahasanya halus.
Akan tetapi dia sangat pencemburu, seperti yang sudah dibuktikan ketika dia
menyerang Kun Tek hanya karena melihat Kun Tek meraba kulit pinggangnya yang
tanpa ditutup kain, yang memang disengajanya untuk ‘menjatuhkan’ Kun Tek
sebagai penghajaran! Padahal, sentuhan itu hanya dilakukan oleh Kun Tek untuk
mengobatinya, dan hal itu sudah membuat Hong Beng cemburu dan menyerang Kun
Tek!
Ahh, ia
takkan merasa berbahagia hidup sebagai isteri orang pencemburu seperti itu,
yang tidak mempunyai rasa humor sedikit pun dalam hidup. Sama saja dengan
memiliki suami patung hidup, betapa pun lihainya dalam ilmu silat!
Bagaimana
dengan Kun Tek? Pemuda yang gagah perkasa, tinggi besar dan biar pun mukanya
berkulit agak kehitaman, namun dia ganteng dan gagah perkasa. Sayang, selain
juga tidak banyak bicara, kalau bicara amat tajam dan galak, juga agak terlalu
tinggi menghargai diri sendiri sehingga ada kecondongan kepada sifat sombong
dan besar kepala. Tidak, ia pun takkan berbahagia bersuamikan Kun Tek.
Sampai lama
gadis itu bengong saja, sampai akhirnya teringat akan nasibnya sendiri.
Sebetulnya, dia sendiri tidak mempunyai persoalan, tidak mempunyai musuh karena
semua pembunuh orang tuanya sudah dibasmi habis oleh Sam Kwi. Akan tetapi,
kalau tadinya ia berhutang budi kepada Sam Kwi, kini budi itu dioper oleh
Bi-kwi, suci-nya yang telah menyelamatkannya dan membebaskannya dari bencana
diperkosa oleh Sam Kwi.
Dan ia sudah
berjanji kepada suci-nya itu untuk merampas Suling Naga dan kelak kalau sempat
ia akan membantu pula suci-nya yang ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia
persilatan dengan Suling Naga di tangannya! Pusaka yang kini menjadi milik
Pendekar Suling Naga Sim Houw itu sudah dia ketahui di mana harus dicarinya.
Dari Kun Tek ia sudah mendengar bahwa Pendekar Suling Naga yang bernama Sim
Houw itu kadang-kadang berkeliaran di sekitar puncak Pegunungan Tai-hang-san.
Persoalan
merampas pusaka untuk membalas budi suci-nya seperti pernah ia janjikan, sekarang
telah mulai nampak jalan keluarnya. Akan tetapi sebelum pusaka itu dapat
direbutnya, muncul persoalan baru. Pedang Ban-tok-kiam, yang oleh subo-nya
hanya dipinjamkan kepadanya, sekarang dirampas orang! Dan perampasnya adalah
seorang pendeta Lama yang demikian lihai!
Dengan
dibantu Hong Beng saja dia tidak mampu merampas kembali, apa lagi kalau harus
menghadapinya sendiri. Akan tetapi, apa pun resikonya, ia harus bisa merampas
kembali Ban-tok-kiam. Ia akan ke Tai-hang-san lebih dulu, akan mencari pendekar
Sim Houw yang berjuluk Pendekar Suling Naga dan merampas kembali pedang pusaka
itu! Ia akan membujuk pendekar itu untuk mengalah dan menyerahkan kembali
pedang itu yang memang menjadi hak dari keturunan Sam Kwi, karena pendekar itu
merampasnya atau menerimanya dari Pek-bin Lo-sian, susiok (paman guru) dari Sam
Kwi.
Berangkatlah
dara yang tabah itu seorang diri dan karena memang pada dasarnya ia berwatak
gembira jenaka, maka begitu ia bangkit dan melangkah pergi, semua pikiran
mengenai masalah-masalah yang menyulitkan itu pun sudah ditinggalkannya! Ia
akan mencari Pendekar Suling Naga dan tentang bagaimana nanti selanjutnya,
terserah saja pada keadaan. Ia tidak mau berpusing-pusing tentang hal yang
belum terjadi!
Keadaan
batin seperti yang dimiliki Bi Lan ini membuat dia dapat menikmati hidup.
Kehidupan menjadi indah karena apa yang dilihatnya senantiasa baru. Kebanyakan
dari kita tidak mau hidup seperti itu. Kita tergantung kepada hal-hal yang
lalu, terikat kepada hal-hal yang akan datang seperti yang kita harap-harapkan.
Kita terluka
parah oleh masa lalu dan kita terbuai oleh masa depan yang kita namakan
cita-cita. Karena terluka oleh masa lalu, selalu mengingat-ingat masa lalu,
maka wajah kita menjadi selalu muram dan seolah-olah selalu diliputi awan gelap.
Dan karena kita selalu mengejar-ngejar cita-cita atau yang kita namakan pula
kemajuan, yang bukan lain hanyalah keinginan-keinginan yang diharapkan akan
terjadi di masa depan, keinginan akan suatu keadaan yang lebih menyenangkan,
maka kita terombang-ambing antara masa lalu dan masa depan sehingga kita lupa
bahwa hidup adalah sekarang, saat ini!
Hidup adalah
saat demi saat ini. Yang lalu sudah mati, tak perlu diingat lagi, walau pun
dari pengalaman-pengalaman masa yang lalu dapat membuat kita lebih waspada
dalam menghadapi segala peristiwa hidup. Masa depan adalah khayal. Lebih baik
bekerja keras dari pada melamunkan masa depan yang baik. Suatu keadaan yang
baik tidak hanya dapat terjadi karena direncanakan atau dilamunkan, melainkan
bekerja.
Dan bekerja
adalah sekarang ini. Hidup adalah sekarang ini. Bahagia adalah sekarang ini!
Kalau pikiran kita berhenti berceloteh, berhenti mengoceh mengenai kenangan
masa lalu dan harapan masa depan, maka batin kita menjadi tenang dan mata kita
menjadi waspada sekali terhadap saat ini, yaitu terhadap hidup ini. Kita dapat
menikmati hidup ini hanya setiap saat sekarang, bukan besok atau lusa. Mengapa
pusing-pusing tentang besok atau lusa kalau nanti mungkin saja kita mati?
Ada orang
tua yang menasehati anak-anaknya agar sekarang bersusah payah dahulu dan
bersenang-senang kemudian? Apa maksudnya ini? Apakah anak-anak kita harus
sengsara dulu sekarang ini dan dengan bersusah payah, bersengsara sekarang ini
lalu kelak akan senang dan bahagia? Betapa malangnya anak yang disuruh begitu.
Mungkin dia
menurut, lalu bersusah payah setengah mati sampai dewasa, kemudian oleh suatu
sebab dia mati. Dengan demikian berarti bahwa sejak kanak-kanak sampai matinya,
hidupnya hanya diisi oleh jerih payah dan susah payah, tidak pernah diberi
kesempatan untuk bersenang atau bersuka!
Orang tua
yang bijaksana dan benar-benar mencinta anak-anaknya pasti akan memberi
kebebasan pada mereka, membiarkan mereka tumbuh subur, hanya tinggal memupuk
dan mungkin meluruskan kalau tumbuhnya bengkok, akan tetapi memberi kesempatan
seluas-luasnya kepada mereka untuk berbahagia. Sekarang! Bukan besok atau kelak
kalau sudah tua.
Bukan
berarti lalu membiarkan mereka bebas semau gue, gila-gilaan, atau bukan berarti
lalu acuh terhadap mereka. Sama sekali tidak. Cinta kasih menimbulkan perhatian
yang serius, namun tidak mengikat, tidak membelenggu. Kebahagiaan tidak mungkin
didapat tanpa kebebasan!
Dalam
keadaan gembira dan merasa bahagia karena sama sekali tak ada kotoran yang
mengeruhkan batinnya, pikirannya kosong sehingga dapat menerima segala
keindahan yang terbentang di depan matanya, segala suara yang tertangkap oleh
telinganya dan segala keharuman tanah dan tumbuh-tumbuhan yang tercium oleh
hidungnya, Bi Lan melanjutkan perjalanannya menuju ke Tai-hang-san, perjalanan
yang amat jauh melalui pegunungan, hutan-hutan serta banyak kota dan dusun…..
***************
Dusun
Hong-cun merupakan sebuah dusun yang sangat makmur di luar kota Cin-an.
Kemakmurannya, berbeda dengan dusun-dusun lain yang tanahnya gersang, adalah
karena letaknya di lembah Huang-ho. Memang, setahun sekali hampir selalu daerah
ini mengalami banjir dari luapan air Sungai Huang-ho. Namun pada musim-musim
lainnya, tanah di situ amat suburnya dan menghasilkan panen yang cukup bagi
penduduknya.
Ada sebuah
rumah besar sederhana yang dikenal bukan hanya oleh seluruh penduduk dusun
Hong-cun, bahkan dikenal oleh semua orang di kota Cin-an. Rumah ini adalah
rumah keluarga Suma Ceng Liong! Para pembaca tentu belum lupa akan nama ini,
Suma Ceng Liong. Baru melihat nama marganya saja, orang akan dapat menduga
bahwa ini adalah keturunan keluarga para pendekar Pulau Es.
Suma Ceng
Liong adalah putera dari mendiang Suma Kian Bu. Dia cucu langsung dari Pendekar
Super Sakti Suma Han dan Puteri Nirahai, jadi masih ada darah bangsawan dari
neneknya. Namun, seperti semua keturunan para pendekar Pulau Es, tidak ada
seorang pun yang menonjolkan keturunan bangsawan ini dan Suma Ceng Liong juga
hidup sebagai petani biasa saja di dusun Hong-cun.
Sebagai cucu
Pendekar Super Sakti, Suma Ceng Liong mewarisi ilmu-ilmu kesaktian dari Pulau
Es, bahkan ia pernah digembleng selama bertahun-tahun oleh seorang Raja Iblis,
yaitu Hek-i Mo-ong. Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa lihainya pendekar
yang kini sudah berusia tiga puluh dua tahun itu.
Seperti kita
ketahui, kurang lebih tiga belas tahun yang lalu Suma Ceng Liong menikah dengan
seorang gadis pujaan hatinya yang bernama Kam Bi Eng. Isterinya ini pun, yang
usianya sama dengan dia, bukan orang sembarangan. Ia puteri pendekar sakti Kam
Hong yang terkenal pula dengan julukannya Suling Emas. Sebagai puteri pendekar
sakti, tentu saja Kam Bi Eng ini juga merupakan seorang pendekar wanita
gemblengan yang sukar dicari tandingannya.
Setelah
setahun menikah, suami isteri ini mempunyai seorang anak perempuan yang mereka
beri nama Lian, lengkapnya Suma Lian. Lian berarti bunga teratai dan nama ini
diberikan oleh karena ketika mengandung, ibunya bermimpi menerima setangkai
bunga teratai dari seorang bidadari yang dapat terbang dan bersayap!
Pada waktu
itu, Suma Lian telah berusia dua belas tahun, seorang gadis cilik yang mungil,
akan tetapi ia mewarisi watak ayah ibunya yang lincah, jenaka, nakal dan juga
galak! Akan tetapi di balik watak yang kadang-kadang suka mempermainkan dan
menggoda lain orang itu terdapat suatu sifat kegagahan yang diwarisi pula dari
ayah ibunya.
Biar pun
baru berusia dua belas tahun, Suma Lian akan dapat mencak-mencak saking
marahnya dan akan berubah menjadi harimau betina kalau ia melihat ketidak
adilan terjadi. Dan ia mudah menaruh hati iba kepada sesama hidup yang
menderita. Ibunya pernah marah-marah karena ketika masih kecil, baru berusia
delapan tahun, Suma Lian pernah mencuri gandum dan beras dari gudang kemudian
membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin.
Padahal yang
diambilnya itu adalah simpanan keluarga mereka sendiri. Untuk menolong orang-orang
miskin, ia bahkan berani mencuri gandum keluarga sendiri. Nakal memang, akan
tetapi dasarnya adalah karena ia merasa iba melihat mereka yang menderita dan
ia berani mengorbankan diri dimaki-maki ibunya demi kebahagiaan orang-orang
lain.
Di samping
ayah, ibu dan anak ini, di dalam rumah gedung sederhana itu tinggal pula
seorang nenek yang usianya sudah enam puluh enam tahun. Ia juga bukan nenek
sembarangan, karena nenek itu adalah Teng Siang In, ibunda dari Suma Ceng
Liong! Setelah suaminya (Suma Kian Bu) meninggal dunia dan menjadi janda, Teng
Siang In mencurahkan kasih sayangnya kepada Suma Lian, kadang-kadang malah
memanjakan cucu itu.
Dusun
Hong-cun terletak di sebelah utara Sungai Huang-ho dan tidak begitu jauh lagi
dari Peking atau kota raja yang terletak di sebelah utara kota Cin-an. Karena
tanah di lembah itu menghasilkan sayur-mayur yang baik, juga rempah-rempah, dan
ikan yang cukup banyak, maka tentu saja keadaannya menjadi makmur dan ramai.
Boleh dibilang hampir semua orang dari selatan yang hendak pergi ke kota raja
melalui Cin-an, akan lewat dulu di dusun Hong-cun ini.
Semenjak
neneknya tinggal di rumah itu, Suma Lian memperoleh guru ke tiga! Nenek ini
tidak mau kalah oleh putera dan mantunya dalam mendidik gadis cilik itu
berlatih ilmu silat! Bahkan nenek ini sudah mulai mengajarkan dasar-dasar ilmu
silatnya yang paling berbahaya bagi lawan, yaitu Soan-hong-twi (Tendangan Angin
Puyuh). Akan tetapi Suma Ceng Liong yang maklum betapa ibunya sangat sayang
kepada Suma Lian, berpesan kepada ibunya agar nenek itu jangan mengajarkan
ilmunya yang lain, yaitu ilmu sihir!
"Terlalu
berbahaya ilmu itu bagi perkembangan jiwanya, ibu. Kecuali kelak kalau dia
sudah dewasa," demikian pesannya kepada ibunya.
"Ayaaaa...
kau ini anak-anak tahu apa, Ibumu tentu sudah tahu dan akan mengatur
sebaik-baiknya," jawab nenek itu dan diam-diam Suma Ceng Liong mendongkol.
Ibunya ini
galak dan keras kepala, dan agaknya masih saja menganggap dia yang sudah
berusia tiga puluh dua tahun itu sebagai kanak-kanak saja. Akan tetapi Ceng
Liong seorang anak yang berbakti dan patuh, tidak membantah lagi.
Suatu hari,
pagi-pagi sekali sudah terdengar bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan suara
nenek dan cucunya itu ketika mereka berlatih di kebun belakang. Memang nenek Teng
Siang In ini lebih suka melatih cucunya di kebun belakang dari pada di ruangan
latihan silat yang tertutup. Di kebun lebih sehat dan baik, katanya, karena di
tempat udara terbuka.
Suma Lian
yang berusia dua belas tahun itu dilatih berloncatan dan berjungkir balik ke
depan, ke belakang, ke kanan atau ke kiri, akan tetapi bukan hanya berjungkir
balik sembarangan saja, melainkan jungkir balik sambil menendang. Itulah
gerakan-gerakan pertama untuk dapat menguasai ilmu tendangan Soan-hong-twi yang
amat sukar dilatih, akan tetapi sekali orang sudah menguasainya, maka tubuhnya
akan dapat mengirim tendangan dalam posisi bagaimana pun juga. Kaki lebih
panjang dari lengan, maka jika ilmu tendangan dikuasai dengan baik, akan
berbahayalah bagi lawan.
Bentakan-bentakan
itu dikeluarkan oleh si nenek untuk memberi petunjuk dan teriakan-teriakan yang
keluar dari mulut Suma Lian itu memang seharusnya demikian. Gerakan-gerakan itu
menggunakan banyak tenaga dari otot-otot bagian perut sehingga perlu
dikeluarkan teriakan-teriakan itu untuk mengatur khi (hawa dalam tubuh) yang
selain menciptakan tenaga dalam, juga melindungi isi perut.
"Gerakan
memantul ke belakang tadi keliru. Kepalamu jangan kau angkat, melainkan
didongakkan dan dilempar ke belakang hingga memudahkan tubuhmu berjungkir balik
ke belakang karena gerakan itu menambah daya luncur dan menambah lengkungan
tubuh!"
Nenek itu
lalu memberi contoh beberapa kali dan ternyata tubuh nenek yang usianya sudah
enam puluh enam tahun itu masih gesit dan lincah membuat gerakan sukar itu.
Pada saat
itu, di tepi dusun Hong-cun nampak seorang kakek tinggi besar. Wajahnya
menyeramkan karena penuh dengan rambut, membuat muka kakek itu nampak seperti
muka singa. Akan tetapi karena kepalanya gundul dan dia memakai jubah pendeta
Lama, keseraman wajahnya itu tertutup, bahkan menimbulkan rasa hormat dalam
hati orang-orang yang berjumpa dengannya. Ketika itu, kakek ini menyapa seorang
pejalan kaki, seorang setengah tua dengan suara yang halus akan tetapi agak
kaku, tanda bahwa dia datang dari daerah barat.
"Selamat
pagi, saudara. Semoga Sang Buddha selalu memberkahi anda. Maukah anda menolong
saya dan memberi tahukan di kuil atau rumah mana kiranya saya dapat
beristirahat untuk melemaskan tubuh dan mendapatkan sekedar semangkuk bubur dan
seteguk air?"
Orang yang
ditanya itu merasa senang sekali. Pagi-pagi sudah memperoleh doa restu seorang
pendeta, sungguh mujur dia! Maka dengan hormat dia memberi hormat dan menjawab,
"Lo-suhu, di dusun ini tidak ada kuil besar, yang ada hanya sebuah kuil
kecil untuk pendeta-pendeta wanita. Akan tetapi kalau lo-suhu mendatangi rumah
keluarga pendekar Suma, tentu lo-suhu akan disambut dengan baik. Keluarga Suma
terkenal suka menolong orang, apa lagi seorang suci seperti lo-suhu."
"Omitohud...!
Suma...? Mungkinkah dia Suma Han? Si Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?"
gumamnya dan matanya yang lebar terbelalak.
Orang itu
tersenyum. "Saya hanya tahu bahwa nama pendekar itu Suma Ceng Liong dan
memang kabarnya dia itu keluarga pendekar Pulau Es."
"Omitohud,
semoga Sang Buddha memberkahi anda untuk kedua kalinya! Terima kasih! Di mana
rumah keluarga Suma itu?"
"Tak
jauh dari sini. Harap lo-suhu jalan saja lurus kalau melihat sebuah rumah
gedung kuno di tepi jalan sebelah kanan, bercat kuning, itulah rumah mereka.
Tak salah lagi karena tidak ada lagi rumah sebesar itu di dusun ini."
Pendeta Lama
itu lalu menjura dan pergi. Siapakah dia yang mengenal Suma Han, Pendekar Super
Sakti Pulau Es? Sebetulnya mengenal sih tidak, akan tetapi sebagai seorang
bertingkat tinggi di dunia persilatan, tentu saja dia pernah mendengar nama
besar keluarga Pulau Es.
Pendeta Lama
ini bukan lain adalah Sai-cu Lama, pendeta pelarian dari Tibet yang kini menuju
ke kota raja karena diam-diam sudah melakukan hubungan dengan pembesar tinggi
Hou Seng di kota raja yang sedang merajalela di istana sebagai kekasih kaisar!
Hubungan ini melalui seorang kenalan lamanya yang bernama Kim Hwa Nio-nio yang
sekarang telah menjadi pembantu pembesar Hou Seng itu.
Mendengar
bahwa di dusun kecil itu terdapat keluarga Pulau Es, tentu saja hatinya
tertarik sekali. Dengan langkah lebar dia lalu mencari rumah gedung besar kuno
itu dan dapat menemukannya dengan mudah. Niatnya hanya hendak berkenalan dan
melihat sendiri keadaaan keluarga yang terkenal di dunia persilatan itu, bahkan
kalau mungkin menguji kepandaian Suma Ceng Liong itu, di samping ingin
membuktikan apakah benar mereka itu demikian budiman suka menolong orang.
Akan tetapi,
ketika dia sampai di pekarangan depan, lapat-lapat telinganya mendengar
bentakan-bentakan yang menunjukkan bahwa orang yang mengeluarkan bentakan itu
memiliki khikang yang tinggi. Dia mengerahkan perhatiannya dan tahulah dia
bahwa di kebun belakang rumah itu ada orang-orang yang sedang berlatih silat
karena dia mendengar juga teriakan-teriakaan seorang anak perempuan yang
nyaring sekali.
Niatnya
untuk mengetuk pintu dibatalkan dan dengan berindap-indap dia lalu berjalan
menuju ke kebun belakang lewat samping rumah. Kalau pun ada orang di atas jalan
depan rumah itu, takkan menaruh curiga sama sekali melihat seorang kakek
berpakaian pendeta berkepala gundul berjalan di samping rumah itu menuju ke
belakang.
Rumah itu
adalah rumah keluarga pendekar dan sudah sering menerima kunjungan orang-orang
aneh. Bahkan nenek yang tinggal di situ, bagi orang umum juga sudah merupakan
seorang yang berwatak aneh sekali.
Pada saat
Sai-cu Lama mengintai ke dalam kebun dan melihat Suma Lian, sepasang matanya
mengeluarkan sinar mencorong karena kagumnya. Anak perempuan itu hebat,
pikirnya! Tepat seperti yang selama ini dicarinya.
Sahabatnya
di kota raja, Kim Hwa Nio-nio, berpesan padanya bahwa majikan mereka, yaitu
calon perdana menteri Hou Seng yang menjadi ‘kekasih’ kaisar itu, suka sekali
akan anak-anak perempuan yang mungil, yang berusia antara sepuluh sampai lima belas
tahun. Dan anak perempuan ini sungguh memenuhi syarat.
Usianya
tentu baru dua belas atau tiga belas tahun, dan mempunyai wajah yang cantik
manis. Kalau dibawanya dan dipersembahkannya sebagai ‘oleh-oleh’ kedatangannya,
tentu akan menyenangkan hati pembesar Hou Seng. Andai kata pembesar itu tidak
mau, lebih kebetulan lagi. Anak perempuan itu tepat untuk dirinya sendiri.
Bukan, sama sekali bukan untuk menjadi mangsa nafsu birahinya seperti yang akan
dilakukan oleh pembesar Hou Seng itu, melainkan untuk dijadikan muridnya.
Sudah lama
dia mendambakan seorang calon murid yang baik dan anak perempuan ini memiliki
bakat yang luar biasa. Anak sekecil itu sudah pandai menirukan gaya si nenek
dalam ilmu tendangan yang demikian sulitnya. Apa lagi kalau diingat bahwa anak
ini keturunan adalah keluarga Pulau Es. Sungguh cocok menjadi muridnya dan
tidak akan memalukan.
Dia akan
bangga jika diketahui orang kelak bahwa muridnya adalah keturunan keluarga
Pulau Es. Bukankah dahulu nama besar Hek-i Mo-ong juga terangkat naik karena
dia mempunyai murid keturunan keluarga Pulau Es? Pernah dia melihat anak yang
menjadi murid Hek-i Mo-ong itu. Kalau tidak salah, namanya pakai Liong begitu.
Tiba-tiba
dia terbelalak. Suma Ceng Liong, demikianlah nama pemilik rumah ini. Apakah
bukan Suma Ceng Liong ini yang dulu pernah menjadi murid Hek-i Mo-ong? Dia
masih muda ketika itu dan ia mendengar betapa nama besar Hek-i Mo-ong semakin
menjulang tinggi.
Kalau benar
demikian, tentu anak ini ada hubungannya dengan Suma Ceng Liong. Mungkin
puterinya! Wah, betapa bangga hatinya kalau sampai puteri Suma Ceng Liong
menjadi muridnya! Dan kalau pembesar Hou Seng mau, pembesar itu pun tentu akan
merasa bangga dapat memperoleh anak perempuan dari keluarga besar itu!
Pada saat
itu, kembali nenek Teng Siang In memberi petunjuk. "Untuk dapat melakukan
tendangan jurus ke tiga yang datangnya dari atas, engkau harus menendangkan
kaki kiri lebih dulu ke arah muka lawan sambil mengayun tubuhmu. Kalau
tendangan itu bisa tertangkis, tenaga tangkisannya dapat kau sambut dan kau
pinjam untuk melayangkan tendangan susulan dengan kaki kanan. Delapan bagian
dari sepuluh tendangan ke dua itu pasti berhasil. Kalau dielakkan tendangan
pertama, tubuhmu langsung mencelat ke atas terbawa tenaga tendangan dan ketika
meluncur ke atas itulah engkau jungkir balik tiga kali agar cukup tinggi. Dari
atas lalu engkau meluncur turun dengan kedua kaki bergantian menotok ke
ubun-ubun dan ke tengkuk."
"Wah,
gerakan itu amat sukar, nek!" Suma Lian yang sudah mulai lelah itu
mengeluh.
Nenek itu
bertolak pinggang dan memandang cucunya dengan marah. Ia menyayang dan
memanjakan Suma Lian, akan tetapi dalam hal melatih ilmu silat, ia memang keras
sekali.
"Apa?
Baru sebegitu saja engkau mengeluh. Ingatlah, engkau ini Suma Lian, jangan
merendahkan dan membikin malu nama keluarga Suma dengan keluhan! Keluarga kita
tak pernah mengeluh menghadapi kesukaran yang bagaimana pun juga! Tahu?"
Memang sudah
menjadi watak Suma Lian, kalau dihadapi dengan kekerasan, ia pun memperlihatkan
sikap keras. Ia hanya memandang wajah neneknya dengan mata tajam menentang dan
mulut cemberut!
Melihat
sikap cucunya ini, hati nenek itu menjadi luluh. Ia sendiri dulu terkenal
sebagai seorang wanita yang keras hati dan keras kepala, juga kekerasan hatinya
itu menurun kepada Suma Ceng Liong. Agaknya sekarang diwarisi pula oleh cucunya
ini. Nenek itu teringat bahwa menghadapi Suma Lian dengan kekerasan sama saja
dengan mencari lawan! Ia lalu tersenyum dan merangkul cucunya.
"Cucuku
yang manis, ilmu silat keluarga kita tidaklah mudah untuk melatihnya, harus
tekun dan untuk itu kadang-kadang nenekmu ini harus menggunakan gemblengan
keras kepadamu. Mengertikah engkau?"
Melihat
senyum neneknya, kekerasan hati Suma Lian juga sudah luluh. "Aku mengerti,
nek. Akan tetapi aku tadi pun tidak mengeluh, hanya mengatakan yang sebenarnya
bahwa gerakan itu amat sukar. Cobalah beri contoh lagi kepadaku, nek."
"Baik,
kau lihat baik-baik, cucuku!"
Dengan
teriakan melengking nenek itu lalu menendangkan kaki kirinya ke depan, dan
tubuhnya terus melayang ke udara karena tendangan itu tidak ada yang menyambut,
seperti dielakkan lawan dan tubuh itu membuat jungkir balik ke atas sampai lima
kali, hal yang sungguh sukar untuk dilakukan. Kemudian, bagaikan seekor burung
garuda yang turun menyambar korbannya, tubuh itu meluncur ke bawah dan kedua
kakinya bergerak melakukan tendangan-tendangan beruntun ke arah ubun-ubun dan
tengkuk lawan yang tidak ada!
"Nah,
sudah jelaskah sekarang, Suma Lian? Heiii, di mana engkau...?" Nenek itu
tidak melihat cucunya di tempat tadi dan tiba-tiba ia melihat berkelebatnya
bayangan orang yang tinggi besar meloncat keluar dari pagar tembok.
Dengan hati
penuh kecurigaan karena setelah memandang ke sekeliling ia tidak melihat
cucunya, nenek itu lalu melakukan pengejaran dan mengerahkan seluruh kepandaian
ilmu ginkang-nya yang membuat tubuhnya meluncur cepat sekali seperti terbang
saja, keluar dari kebun itu meloncati pagar tombok.
Ternyata
bayangan itu sudah jauh dan menuju ke luar dusun! Maklumlah nenek Teng Siang In
bahwa si tinggi besar yang dari belakang mengenakan jubah lebar itu memiliki
ilmu berlari cepat yang hebat. Hatinya menjadi semakin curiga dan gelisah,
jangan-jangan orang itu tadi ketika ia melakukan gerakan silat untuk memberi
contoh kepada cucunya, telah turun tangan menangkap dan menculik cucunya.
Mungkin saja
hal itu terjadi karena ketika tubuhnya meluncur dan berjungkir balik lima kali
di udara, banyak kesempatan terbuka bagi orang yang berilmu tinggi untuk
menculik cucunya. Ia pun mempercepat larinya, akan tetapi sampai ia jauh
meninggalkan dusun, jarak antara ia dan orang itu masih sama saja. Ia belum
juga berhasil menyusul kakek itu. Kini ia dapat menduga bahwa orang yang lari
cepat di depan itu adalah seorang kakek gundul tinggi besar yang berjubah,
agaknya seorang hwesio.
Memang tepat
dugaan nenek Teng Siang In. Ketika ia meloncat tinggi tadi, Sai-cu Lama
mempergunakan kesempatan itu untuk melayang dan menyambar tubuh Suma Lian
sambil menotok anak itu pada tengkuknya, membuat anak itu lemas dan tidak mampu
mengeluarkan suara! Dan dia pun terus melompat dan melarikan diri karena dia
maklum bahwa nenek itu tentu seorang keluarga Pulau Es yang lihai sekali. Dia
mengerahkan seluruh tenaga untuk melarikan diri, akan tetapi tiap kali dia
menoleh, nenek itu tetap berada di belakangnya melakukan pengejaran, tak pernah
tertinggal jauh!
Hal ini
membuat hati Sai-cu Lama menjadi penasaran dan timbullah keinginannya untuk
menguji kepandaian nenek itu. Tidak mungkin dia kalah oleh seorang nenek, walau
pun nenek itu keluarga pendekar Pulau Es sekali pun! Dia lalu menggunakan tali
jubahnya untuk mengikat tubuh Suma Lian di atas punggungnya sambil menanti
datangnya nenek itu yang berlari cepat mengejarnya.
Akhirnya
mereka berhadapan dan saling pandang penuh perhatian. Hati nenek Teng Siang In
merasa lega melihat betapa cucunya yang terikat di punggung pendeta itu dalam
keadaan sehat walau pun tak mampu bergerak atau bersuara, agaknya tertotok
jalan darahnya.
Dapat
dibayangkan betapa marahnya nenek Teng Siang In yang berwatak galak dan keras
itu. Sepasang matanya mencorong memandang wajah kakek itu dengan teliti seperti
hendak mengenal siapa adanya manusia yang berani sekali menculik cucunya begitu
saja di bawah hidungnya! Hal itu dianggapnya sebagai suatu tantangan yang
kurang ajar sekali...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment