Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Naga
Jilid 13
Perhitungan
Thian Kek Sengjin memang tepat sekali. Dia dan Ok Cin Cu tidak mampu menandingi
Suma Ciang Bun dan hal ini membuat dia merasa penasaran bukan main. Dia tidak
tahu siapa lagi yang dapat dimintai bantuannya. Pada saat dia dan Ok Cin Cu
bentrok dengan Siu Kwi dan melihat kelihaian wanita itu, terutama sekali
kecepatan gerakannya, tahulah dia bahwa kalau wanita ini dapat membantunya,
maka dia tentu akan mampu mengalahkan pendekar Pulau Es itu.
Betapa pun
juga, ilmu-ilmu silat yang dimainkan Suma Ciang Bun memang hebat sekali
sehingga walau pun ketiga orang itu mampu mengepung ketat dan mendesak sampai
seratus jurus lamanya belum juga mereka bertiga itu mampu mengalahkan Suma
Ciang Bun yang masih melawan dengan gigih. Akan tetapi sekarang pendekar itu
lebih banyak bertahan dan melindungi diri dari pada menyerang.
Tiba tiba
tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu menusuk ke arah leher Ciang Bun dari
kiri, dibarengi pula dengan pukulan tongkat naga hitam ke arah pinggangnya dari
kanan. Ciang Bun tidak sempat mengelak lagi, terpaksa menggunakan sepasang
pedangnya menangkis ke kanan kiri dengan jurus Siang-mo Khai-bun (Sepasang
Iblis Membuka Pintu).
Jurus ini
tidak hanya menangkis, melainkan dilanjutkan dengan serangan balasan yang
hebat. Akan tetapi pada saat dia menangkis, nampak sinar pedang meluncur ganas
dari depan, yaitu pedang Siu Kwi yang menyerang ke arah dadanya. Serangan ini
demikian cepatnya sehingga Ciang Bun merasa terkejut. Dengan menggunakan
pantulan tenaga saat menangkis tongkat naga hitam, pedang kanannya mental dan
meluncur, memapaki sinar pedang Siu Kwi dari depan, sedangkan pedang kirinya
dengan tenaga sinkang masih menempel tongkat ular hitam.
"Cringgg...!"
Siu Kwi
mengeluarkan seruan kaget. Pedangnya hampir saja terlepas dari pegangannya
ketika bertemu dengan kerasnya dengan pedang lawan. Tetapi pada saat itu,
tongkat naga hitam menyambar dari belakang dan tak dapat dielakkan atau
ditangkis oleh Ciang Bun lagi.
"Bukkk...!"
Tubuh Ciang
Bun terlempar keras, terbanting dan terguling-guling. Dia menderita luka parah
oleh pukulan tongkat yang mengenai punggungnya itu, maka ketika dia
terguling-guling, dia sengaja bergulingan dengan cepat, kemudian meloncat dan melarikan
diri. Pendekar ini maklum bahwa dia telah terluka dan kalau tidak melarikan
diri, tentu tiga orang lawan itu akan membunuhnya.
"Kejar
dia...!" Thian Kek Sengjin berseru marah ketika melihat lawan yang sudah
terluka itu melarikan diri.
"Kenapa
mesti dikejar?" Siu Kwi membantah. "Dia sudah kalah dan lari."
"Kejar!
Kita harus membunuhnya!" Thian Kek Sengjin berteriak dan dia pun mengejar
diikuti Ok Cin Cu. Dengan demikian Siu Kwi terpaksa ikut mengejar.
"Jangan
mencari penyakit!" kembali dia berkata sambil berlari di samping kakek
itu. "Jangan mendesak terus. Bagaimana kalau muncul tokoh-tokoh Pulau Es
lainnya? Dia hanya tokoh kecil saja! Aku telah banyak bertemu dengan mereka
yang kepandaiannya jauh lebih tinggi dari dia!"
Thian Kek
Sengjin mencari-cari akan tetapi bayangan Suma Ciang Bun tak nampak lagi. Juga
dia mulai jeri mendengar kata-kata Siu Kwi. Baru mengalahkan Suma Ciang Bun
sekarang saja sudah demikian repotnya, apa lagi kalau muncul tokoh Pulau Es
lainnya yang lebih lihai. Pula, kalau wanita ini tidak mau membantunya, dia dan
Ok Cin Cu juga tidak berdaya menghadapi tokoh yang mereka kejar-kejar itu.
Maka, biar pun hatinya kurang puas karena ia tidak berhasil membunuh musuhnya,
terpaksa ia menghentikan pengejarannya.
Ketika Ok
Cin Cu pada malam itu menuntut syaratnya, diam-diam Siu Kwi bergidik memandang
kakek berusia hampir tujuh puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dengan perut
gendut dan rambut riap-riapan. Tubuhnya yang kurang terjaga kebersihannya itu
mengeluarkan bau busuk. Akan tetapi, dengan terpaksa Siu Kwi menyerahkan
dirinya kepada tosu gendut itu ketika sang tosu membawanya ke sebuah pondok
kecil di luar dusun.
Ia
menyerahkan diri sambil mematikan perasaannya. Dengan tingkat kepandaiannya,
hal ini tidak sukar ia lakukan. Yang masuk ke dalam ingatannya hanyalah bahwa
ia melakukan pengorbanan untuk pria yang dicintanya. Apa pun akan dia lakukan
demi keselamatan Yo Jin. Karena apa yang ia lakukan itu tanpa disertai perasaan
sedikit pun, maka bagi Ok Cin Cu wanita ini tiada bedanya dengan sesosok mayat
saja. Tentu saja hal ini membuat Ok Cin Cu merasa tidak puas dan kecewa,
seperti bercinta dengan mayat atau patung dan diam-diam dia pun marah sekali.
Pada
keesokan harinya, dua orang tosu itu berjanji bahwa malam berikutnya mereka
akan membebaskan Yo Jin.
"Engkau
datanglah ke tempat tinggal Lui-thungcu pada tengah malam dan Yo Jin akan kami
bebaskan dengan diam-diam agar bisa kau jemput. Hal ini harus dilakukan dengan
hati-hati supaya jangan sampai ketahuan oleh keluarga Lui. Biarlah mereka
mengira bahwa engkau dan orang-orang lain yang datang membebaskan Yo Jin. Kami
akan pura-pura melakukan pengejaran dan mencari," kata Thian Kek Sengjin
dan tentu saja Siu Kwi menyetujui dengan hati penuh harapan.
Malam itu
cuaca amat gelap. Bulan memang belum waktunya keluar dan sedikit bintang yang
nampak kadang-kadang tertutup awan hitam yang lewat di bawahnya. Sebelum tengah
malam, Siu Kwi telah berada di luar pagar tembok yang mengelilingi kompleks
bangunan tempat tinggal keluarga Lurah Lui. Dengan hati berdebar penuh
kegembiraan dan ketegangan ia menanti sambil merenungkan semua yang telah
terjadi semenjak ia berjumpa dengan Yo Jin.
Telah
terjadi perubahan besar dalam hidupnya, dimulai sejak ia dan sekutunya kalah
dan hancur oleh para pendekar. Akan tetapi perubahan besar baru benar terjadi
setelah ia berjumpa dengan Yo Jin. Ia telah berkorban untuk Yo Jin. Di luar
kehendaknya ia telah membantu dua orang tosu itu memusuhi pendekar Suma Ciang
Bun, keturunan keluarga Pulau Es. Bahkan di luar kehendaknya ia telah
menyerahkan tubuhnya kepada Ok Cin Cu. Kedua hal itu terpaksa ia lakukan karena
ia tidak melihat cara lain untuk menyelamatkan Yo Jin yang berada dalam
cengkeraman dua orang tosu yang tangguh itu.
Hatinya
gembira. Betapa pun juga, pengorbanan itu tidak seberapa berat. Apa artinya
menyerahkan badan tanpa perasaan dan hati? Dan ia hanya membantu mengalahkan
Suma Ciang Bun. Semua hal itu terlupa karena ia membayangkan betapa gembiranya
sebentar lagi ia dapat menyelamatkan dan mengajak pergi Yo Jin. Kemudian dia
akan hidup berbahagia bersama pria itu.
Satu-satunya
halangan, yaitu ayah Yo Jin, telah tewas pula. Sejak siang tadi ia sudah
membayangkan hal ini dan sudah mengatur rencana. Ia hendak mengajak Yo Jin
pergi dan hidup di sebuah tempat yang baru di mana tak seorang pun akan
mengenalnya. Ia akan hidup sebagai manusia baru di tempat yang baru, bukan
sebagai Bi-kwi murid Sam Kwi, melainkan sebagai isteri seorang pria sederhana
seperti Yo Jin.
Betapa akan
berbahagianya mereka, merawat dan mendidik anak-anak mereka. Anak-anak! Ahhh,
belum pernah sebelumnya ia membayangkan tentang rumah tangga, suami dan
anak-anak.
Suara
berdenting ketika tanda waktu dipukul para penjaga, menciutkan hatinya dan
membuatnya sadar dari lamunan. Tengah malam telah tiba! Ia pun mendekati pagar
tembok dan setelah merasa yakin bahwa keadaan di situ sunyi saja, ia lalu
meloncat ke atas pagar tembok, meneliti sebentar keadaan di sebelah dalam yang
ternyata juga sunyi seperti keadaan di luar. Maka ia lalu melompat turun dan
menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak menuju ke bagian belakang.
"Kwi-moi...
aku di sini...!" Mendengar suara Yo Jin itu, bukan main girang rasa hati
Siu Kwi.
"Jin-koko...!"
Serunya lirih dengan suara gemetar dan ia pun berlari ke arah suara tadi.
Agaknya pria
yang dikasihinya itu berada di belakang pondok yang menjadi kandang kuda,
menantinya. Betapa pun gembira dan tegang rasa hatinya, Siu Kwi tidak pernah
mengendurkan kewaspadaannya. Ia berurusan dengan dua orang tosu yang selain
tangguh, juga cerdik dan mungkin saja suka bertindak curang, maka dia selalu
bersiap siaga.
Kewaspadaan
inilah yang menyelamatkannya. Ketika ia sudah melihat bayangan Yo Jin yang
berdiri di belakang kandang kuda, dan ia berlari di antara pohon-pohon di kanan
kiri, mendadak saja kakinya terlibat tali sehingga ia terguling. Ia meloncat
dan kakinya masih terlibat banyak sekali tali yang agaknya ditarik orang.
Karena
memang sebelumnya sudah siap siaga, hanya sebentar saja Siu Kwi terkejut dan
secepat kilat ia telah mencabut pedangnya dan dengan beberapa kali bacokan
saja, tambang-tambang itu sudah putus semua. Untung ia melakukan hal ini karena
kalau tidak, tentu tubuhnya akan terlibat semua dan ia tentu tidak akan mampu
melawan lagi!
Tiba-tiba
keadaan menjadi terang. Obor-obor di nyalakan dan ternyata tempat itu telah
dikepung oleh puluhan orang penjaga yang dipimpin oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek
Sengjin sendiri! Dan di kejauhan, dia melihat betapa Yo Jin dengan kaki tangan
terikat, berdiri dan terikat pada sebatang pohon. Tahulah ia bahwa memang dua
orang tosu itu telah bersikap curang sekali. Ia sengaja dipancing untuk
ditangkap, bukan untuk disuruh menjemput Yo Jin seperti yang sudah dijanjikan.
Tentu saja ia menjadi marah sekali dan sepasang matanya mencorong seperti
mengeluarkan api.
"Tosu-tosu
jahanam yang berwatak hina dan rendah!" bentaknya dan ia pun menerjang
dengan pedangnya ke arah dua orang tosu itu.
Akan tetapi,
banyak sekali tombak panjang menyambutnya dan sebentar saja ia sudah dikepung
dan dikeroyok oleh puluhan orang penjaga yang memegang tombak panjang. Dan kini
dua orang tosu itu pun menerjang maju sehingga tentu saja Siu Kwi menjadi repot
sekali melayani mereka.
Namun, ia
mengamuk seperti seekor harimau betina terluka. Pedangnya berkelebatan dan
sudah ada beberapa orang penjaga yang roboh mandi darah. Pedang di tangan Siu
Kwi sudah berlepotan darah, akan tetapi dia sendiri pun menerima tusukan tombak
dan hantaman tongkat berkali-kali. Pundaknya dan paha kirinya terluka, kulitnya
robek dan mengucurkan darah. Pipinya bengkak dan punggungnya juga sudah dua
kali menerima hantaman tongkat panjang naga hitam di tangan Thian Kek Sengjin.
"Kwi-moi...,
larilah..., selamatkan dirimu...!"
Teriakan
melengking ini menyadarkan Siu Kwi. Itulah suara Yo Jin dan ia pun sadar bahwa
mengamuk terus berarti mencari mati. Dan kalau ia mati di situ, tentu tidak ada
harapan lagi bagi Yo Jin. Selain ia seorang, siapa lagi yang akan membela Yo
Jin?
Hatinya
berdarah jika membayangkan Yo Jin yang belum juga dapat diselamatkannya. Akan
tetapi, dia akan terus berusaha, dan untuk itu, dia harus mampu keluar dari
kepungan ini lebih dahulu. Maka, tiba-tiba ia menerjang ke belakang dan
membalikkan tubuhnya. Karena yang berada di belakangnya hanya para penjaga,
mereka itu menjadi panik ketika tiba-tiba dua orang di antara mereka roboh
mandi darah.
Terbukalah
pengepungan mereka dan Siu Kwi kemudian menerjang ke arah itu. Para pengepung
mundur dan keadaan menjadi kacau balau. Dua orang tosu tidak dapat lagi
mendesak Siu Kwi karena mereka terhalang oleh para penjaga yang lari ke kanan
kiri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siu Kwi untuk melompat ke luar pagar
tembok dan menghilang di dalam kegelapan malam.
***************
Siu Kwi
menangis sesenggukan. Kali ini tangisnya lebih sedih dari pada tangisnya yang
pertama kali sebelum ia berjumpa dengan Yo Jin. Selamanya ia tidak pernah
menangis dan pertama kali menangis adalah ketika ia merasa kesepian, setelah
persekutuannya hancur. Akan tetapi tangisnya sekarang ini sungguh keluar dari
dasar hatinya.
Ia menangis
sampai terisak-isak dan tersedu-sedan, kadang-kadang menyebut nama Yo Jin. Ia
merasa berduka, gelisah, dan menyesal sekali. Bagaimana pun juga, kalau diusut
dari semula, ialah yang menjadi gara-gara sampai Yo Jin terpaksa menjadi orang
tahanan, bahkan ayahnya tewas dibunuh orang. Jika Yo Jin tidak berjumpa
dengannya, tentu dia tidak akan mengalami semua mala petaka ini.
Dan ia
sendiri sekarang tidak berdaya sama sekali untuk menyelamatkan Yo Jin. Semua
impiannya kemarin kini buyar dan hancur pula, seperti hancurnya semua
cita-citanya. Karena kebingungan, tidak tahu apa yang harus dilakukannya,
sedangkan ia sendiri sudah menderita luka-luka yang cukup parah, Siu Kwi hanya
dapat menangis! Menangis seorang diri di dalam hutan yang sunyi itu.
Pundak dan
pahanya masih terluka menganga dan mengeluarkan darah, juga pipinya benjol,
bekas pukulan tongkat di punggungnya juga mendatangkan rasa ngilu dan nyeri
bukan main. Akan tetapi ia tidak mempedulikan semua itu, tidak peduli akan
keadaan dirinya. Yang terpikir olehnya hanyalah Yo Jin!
Dalam
keadaan menangis ini, muncullah Siu Kwi sebagai seorang wanita sepenuhnya.
Seorang wanita yang normal, mahluk yang lemah dan terbuai perasaan, dan mencari
pelarian dari segala derita ke dalam tangis.
Dahulu
sekali, tangis merupakan hal yang memalukan baginya, merupakan pantangan karena
perbuatan ini dianggapnya memamerkan kelemahan dan cengeng. Akan tetapi
sekarang, setelah merasa tidak berdaya dan bingung memikirkan keadaan pria yang
dicintanya, yang masih belum mampu ditolongnya, ia pun tak dapat berbuat lain
kecuali menangis!
Dan
tangisnya ini adalah pencurahan dari semua penderitaan batin yang sejak dahulu
selalu ditekan dan ditahannya. Penderitaan batin ketika ia masih kecil
kehilangan ayah ibu, ketika dia terpaksa melayani gairah nafsu ketiga orang
gurunya, Sam Kwi, yang diterimanya dengan pasrah namun sebenarnya di dasar
hatinya timbul pemberontakan yang ditekannya.
Semua
himpitan batin itu dulu ia imbangi dengan perbuatan-perbuatan sesat dan kejam
sebagai pelariannya. Akan tetapi sekarang, setelah ia melihat betapa
kesesatannya tak mendatangkan kebaikan bagi dirinya, setelah dia ingin merubah
jalan hidupnya, maka satu-satunya pelarian hanyalah tangis kesedihan.
"Suci...!"
tiba-tiba terdengar suara wanita menegurnya.
Siu Kwi
mengangkat mukanya yang tadi ditutupi dengan kedua tangannya. Sebuah muka yang
membengkak, ujung bibir yang masih berdarah, muka yang basah air mata yang
bercucuran dari sepasang mata yang kemerahan. Ketika ia melihat bahwa yang
datang menegurnya adalah Bi Lan, Siu Kwi merasa jantungnya seperti
ditusuk-tusuk dan ia pun menangis semakin menjadi-jadi sampai mengguguk.
Yang datang
itu memang Bi Lan bersama Sim Houw. Seperti telah diceritakan di bagian depan,
setelah berhasil menghancurkan komplotan kaki tangan pembesar Hou Seng, dibantu
oleh para pendekar keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir, para pendekar bubaran dan
Bi Lan pergi bersama Sim Houw.
Kedua orang
muda ini merasa saling tertarik dan terikat satu sama lain, merasa betapa
mereka tak mungkin dapat saling berpisah lagi. Memang, selama melakukan
perjalanan menuju ke utara, keduanya belum pernah saling mengaku cinta!
Sim Houw
yang sudah tahu bahwa dia kini mati-matian jatuh cinta kepada Bi Lan, merasa
sungkan untuk mengakui cintanya. Dia jauh lebih tua dari pada Bi Lan. Usianya
sudah mendekati tiga puluh lima tahun, sedangkan Bi Lan belum ada dua puluh
tahun! Gadis itu pantas menjadi keponakannya!
Meski dia
sungguh mencintanya, akan tetapi kalau dia mengaku akan hal itu, bukankah dia
akan ditertawakan, bahkan disangka bahwa semua kebaikannya terhadap gadis ini
berpamrih? Tidak, dia tidak berani mengaku cinta, walau pun hatinya sudah yakin
akan hal itu.
Di lain
pihak, Bi Lan sendiri yang masih hijau dalam soal asmara, hanya melihat Sim
Houw sebagai seorang pria yang amat baik kepadanya. Dan ia pun merasa amat suka
kepada Sim Houw, kagum dan juga bangga dapat mempunyai seorang sahabat seperti
pendekar ini. Yang lebih dari segalanya, dia merasa aman tenteram dan selalu
penuh kedamaian kalau berada di samping Sim Houw.
Dalam
perjalanan mereka ke utara, mereka pada pagi hari ini memasuki hutan dan mereka
merasa terheran-heran ketika mendengar isak tangis sampai ke telinga mereka,
terbawa angin bersilir. Karena merasa heran dan curiga, menduga bahwa mungkin
saja terjadi kejahatan. mereka kemudian mempergunakan ilmu meringankan tubuh,
berindap menghampiri tempat dari mana suara itu datang.
Dan dapat dibayangkan
betapa heran dan terkejut hati Bi Lan ketika melihat bahwa yang sedang menangis
terisak-isak itu adalah Bi-kwi! Karena itu, segera ia memanggil dan kini,
setelah suci-nya itu memandang kepadanya, ia melihat keadaan suci-nya yang
luka-luka dan mukanya membengkak, dan kini suci-nya menangis semakin
menjadi-jadi.
"Suci...
kau... kau menangis...?" Bi Lan menghampiri dan menjadi semakin
terheran-heran.
Belum pernah
ia melihat suci-nya ini menangis, apa lagi menangis sampai sedemikian sedihnya.
"Apakah yang telah terjadi, suci?"
Bagaimana
juga, di dalam hatinya, Bi Lan merasa kasihan kepada suci-nya, orang yang
melatih dan menemaninya sejak dia kecil, walau pun sikap Ciong Siu Kwi
terhadapnya juga tak dapat dibilang manis. Juga ia teringat bahwa tanpa
pertolongan suci-nya, tentu dirinya telah ternoda oleh Sam Kwi.
Mendengar
pertanyaan ini, Siu Kwi menjadi semakin berduka. Akan tetapi, ia segera
teringat, bahwa jika sumoi-nya ini mau membantu, tentu ia akan dapat
menyelamatkan Yo Jin! Timbul lagi harapannya, akan tetapi karena khawatir
kalau-kalau Bi Lan menolak permintaan tolongnya, ia pun menjadi semakin
berduka.
"Sumoi...
jangan dekati aku kalau engkau tidak mau ketularan segala kesialan yang menimpa
diriku... ahh, rasanya aku ingin mati saja, sumoi...," katanya sambil
mengusap air mata dari kedua pipinya.
Ia pun
memandang ke arah Sim Houw yang berdiri tidak jauh dari situ. Apa lagi kalau
orang she Sim itu mau membantunya, sudah dapat dipastikan bahwa Yo Jin tentu
dapat diselamatkan!
"Suci,
sungguh aku merasa heran sekali melihat engkau dapat berduka cita seperti ini.
Apa yang sesungguhnya telah terjadi? Aku melihat engkau menderita luka-luka.
Apakah engkau berkelahi?"
Siu Kwi
menarik napas panjang untuk menghentikan tangisnya. "Aku tidak tahu apakah
kemunculanmu ini akan merupakan pertolongan bagiku atau tidak, sumoi. Akan
tetapi, biarlah kuceritakan semua kepadamu..." Ia kembali menarik napas
panjang.
Bi Lan kini
duduk di atas rumput, di dekatnya sedangkan Sim Houw duduk di atas batu.
Agaknya pendekar itu pun tertarik untuk mendengarkan ceritanya yang membuat dia
sampai menangis sedemikian sedihnya.
"Sumoi,
setelah kau membiarkan aku pergi, baru aku merasa betapa sunyi dan merana
hidupku, baru aku sadar betapa semua kesesatan yang telah memenuhi hidupku yang
lalu tidak pernah mendatangkan kebahagiaan kepadaku. Engkau benar, sumoi,
engkau tidak mau mengikuti jejak tiga orang suhu kita yang sesat. Aku ingin
merubah hidupku, dan dalam kesadaranku itu, bertemulah aku dengan seorang
pemuda petani yang bodoh serta sederhana dan lemah…"
Ia lalu
menceritakan pertemuannya dengan Yo Jin, betapa kemudian muncul tiga orang
pemuda berandalan yang hendak mengganggunya, dan betapa Yo Jin, pemuda dusun
yang lemah dan bodoh itu membelanya mati-matian.
"Bayangkan
saja, sumoi! Dia yang lemah dan bodoh, rela dikeroyok dan dipukuli sampai
babak-belur, hanya untuk membela aku yang tak dikenalnya. Betapa gagahnya dia!
Dan aku... aku pun jatuh cinta kepadanya, sumoi..." Kembali Siu Kwi
menangis.
Bi Lan
memandang suci-nya dengan mata terbelalak. Aneh sekali mendengar cerita dan
pengakuan suci-nya ini. Biasanya, suci-nya mempermainkan pria sesuka hatinya.
Pria-pria itu dianggap boneka saja olehnya, atau binatang peliharaan yang
dianggap sebagai penghibur. Akan tetapi sekarang, terang-terangan suci-nya
mengaku jatuh cinta kepada seorang pemuda dusun yang sederhana, bodoh dan
lemah!
"Semua
pengorbanannya untuk diriku itu membawa akibat yang amat mencelakakan baginya.
Ayahnya sampai terbunuh orang, dan dia sendiri sekarang menjadi
tawanan..." Siu Kwi menceritakan semua hal yang telah terjadi dengan nada
suara sedih sekali.
"Aku
telah berusaha untuk menyelamatkannya, untuk membebaskannya. Akan tetapi, dua
orang tosu ketua cabang Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw itu masih terlalu
tangguh bagiku. Bahkan mereka sudah menipuku. Mereka berjanji membebaskan Yo
Jin kalau aku mau bekerja sama. Thian Kek Sengjin minta aku untuk membantunya
melawan dan mengalahkan pendekar Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es.
Hal ini telah kulakukan dan pendekar itu dapat dikalahkan sampai melarikan
diri. Kemudian aku pun memenuhi permintaan Ok Cin Cu untuk melayaninya dan
tidur bersamanya selama satu malam. Semua ini kulakukan dengan pemaksaan diri,
di luar kemampuanku demi untuk menolong Yo Jin. Akan tetapi, mereka berdua
menipuku, tidak memenuhi janji, bahkan aku dikeroyok banyak orang malam tadi
sampai nyaris tewas dan menderita luka-luka inilah. Aku hampir putus asa,
sumoi. Tidak mengapalah aku mati asal Yo Jin selamat..."
Bi Lan
saling pandang dengan Sim Houw. Hampir ia tidak dapat percaya akan cerita
suci-nya itu. Ia sudah terlalu mengenal suci-nya sehingga cerita itu seperti
tidak masuk akal!
"Suci,
sekarang yang terpenting adalah mengobati luka-lukamu dahulu. Luka di pundak
dan pahamu itu cukup lebar, dan aku melihat engkau seperti menderita luka dalam
pula. Biarlah kami membantu mengobatimu, suci."
"Tidak!
Tidak perlu aku diobati kecuali kalau... ahhh, mana mungkin pula kalian suka
membantuku?" Dan tiba-tiba Siu Kwi menjatuhkan dirinya berlutut di depan
sumoi-nya! "Sumoi, aku mohon padamu, kau bantulah aku menyelamatkan Yo
Jin..."
Tentu saja
Bi Lan menjadi terkejut setengah mati dan cepat-cepat ia memegang kedua pundak
suci-nya, membangunkannya kembali.
"Hal
itu nanti kita bicarakan, suci. Sekarang biarlah kami mengobatimu dulu..."
"Tidak,
sumoi. Jika engkau tidak mau berjanji untuk membantuku menghadapi dua tosu
jahanam itu dan menyelamatkan Yo Jin, aku pun tidak perlu diobati dan biarlah
aku mati saja."
Bi Lan
kembali menoleh dan memandang kepada Sim Houw. Ia masih saja meragukan
kebenaran ucapan suci-nya ini, akan tetapi Sim Houw mengangguk. Pendekar itu
dapat melihat bahwa tidak mungkin Siu Kwi berbohong. Apa lagi ketika mendengar
bahwa kedua lawan Siu Kwi adalah tosu-tosu dari Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw,
tentu saja hatinya condong untuk membantu bekas suci Bi Lan ini. Tentang benar
tidaknya cerita Ciong Siu Kwi, hal itu dapat diselidiki nanti.
"Baiklah,
suci. Aku berjanji untuk membantumu, akan tetapi dengan syarat bahwa apa yang
kau ceritakan semua tadi adalah benar."
Siu Kwi
menarik napas panjang dan mengangguk. "Aku mengerti dan tak menyalahkan
jika engkau masih meragukan kejujuranku, sumoi, Akan tetapi engkau pun tentu
belum yakin benar akan keputusanku untuk merubah cara hidupku. Aku telah
bertemu dengan pria yang kucinta sepenuh jiwaku, dan aku melakukan apa saja
demi untuk dia. Kalau ceritaku tidak benar, boleh engkau mengundurkan
diri."
"Sekarang,
yang terpenting mengobati luka-lukamu, suci."
Siu Kwi
menurut dan tiba-tiba dia merintih. Baru sekarang dia merasa betapa seluruh
tubuhnya nyeri, luka-luka itu perih dan panas, di dalam dadanya juga terasa
nyeri dan tenaganya hampir habis! Kini, setelah ia merasa mendapatkan bala
bantuan, baru ia merasakan semua kenyerian ini.
Bi Lan dan
Sim Houw lalu merawat Siu Kwi. Dengan obat luka Siu Kwi sendiri yang sangat
manjur, luka di paha dan pundaknya dicuci oleh Bi Lan dan diobati lalu dibalut,
sedangkan untuk menyembuhkan luka di dalam dada akibat guncangan pukulan
tongkat pada punggungnya, ia dibantu oleh Sim Houw yang menempelkan telapak
tangan di punggungnya untuk membantu wanita itu menghimpun tenaga dalam dan
memulihkan kesehatannya.
Menjelang
senja, sembuhlah Siu Kwi. Tubuhnya yang terlatih memang kuat, ditambah lagi
semangatnya yang kini besar dan menyala-nyala akibat timbulnya harapan dalam
hatinya untuk menyelamatkan Yo Jin. Dan pada malam hari itu juga Siu Kwi
mengajak Bi Lan dan Sim Houw untuk membantunya membebaskan Yo Jin.
Bi Lan
memang tadi sudah berunding mengenai hal ini, maka Bi Lan pun lalu berkata
kepada bekas suci-nya itu. "Suci, bukan hanya karena kurang penuh
kepercayaan kami kepadamu, akan tetapi bagaimana pun juga, kami tidak mau
bertindak secara sembrono dan melibatkan diri dalam permusuhan, pada hal kami
tak mempunyai urusan apa-apa. Oleh karena itu, kami mau saja kau ajak pergi ke
dusun itu, hanya saja tidak bertindak sebagai perampas tawanan, melainkan
secara damai."
"Maksudmu
bagaimana? Apa pun tindakan yang akan kalian ambil untuk membantuku, terserah.
Bagiku yang terpenting adalah keselamatan Yo Jin."
Diam-diam Bi
Lan merasa terharu. Bukan main hebatnya cinta kasih suci-nya terhadap pria yang
bernama Yo Jin itu. Dan ia mulai percaya bahwa semua cerita suci-nya itu tidak
bohong.
"Kami
akan ikut bersamamu menemui lurah Lui dan kedua orang tosu itu. Kita minta
dengan baik-baik saja supaya Yo Jin itu dibebaskan. Kemudian kita lihat
bagaimana perkembangannya. Kalau perlu, tentu saja kami akan membantumu
membebaskan dia dengan jalan kekerasan, tentu saja setelah kami pertimbangkan
urusannya."
Siu Kwi
mengangguk-angguk. "Aku tak menyalahkan kalian jika meragukan kebenaran
omonganku. Marilah kita berangkat dan kalian lihat sendiri."
Mereka lalu
berangkat menuju ke dusun timur itu, ke tempat lurah Lui di mana Yo Jin
ditahan, di bawah pengawasan dua orang tosu yang tangguh. Tidak seperti malam
kemarin, malam itu terdapat penjagaan yang ketat sehingga begitu mereka tiba di
dusun itu saja, para penjaga sudah melihat dan segera mengenal Siu Kwi. Karena
merasa jeri menghadapi wanita itu, para penjaga itu cepat-cepat berlari ke
rumah lurah Lui dan melaporkan munculnya ‘siluman’ itu.
Juga para
penduduk dusun itu, yang juga sudah mendengar akan adanya siluman yang mengamuk
di rumah lurah mereka, kini menjadi ketakutan dan cepat-cepat mereka
bersembunyi dan menutup semua jendela dan pintu rumah mereka ketika mendengar
teriakan para penjaga yang berlarian bahwa siluman itu muncul kembali.
Demikianlah,
ketika Siu Kwi, Bi Lan dan Sim Houw tiba di depan pekarangan rumah lurah Lui,
mereka sudah disambut oleh puluhan orang penjaga yang dipimpin oleh dua orang
tosu itu. Banyak obor dinyalakan sehingga keadaan menjadi terang sekali.
Pada saat
Thian Kek Sengjin dan Ok Cin Cu melihat bahwa Siu Kwi datang bersama seorang
gadis muda yang cantik sekali dan seorang laki-laki yang sikapnya sederhana,
mereka berdua memandang rendah. Siu Kwi sudah terluka, pikir mereka dan dua
orang temannya itu tidak mungkin memiliki kelihaian melebihi Siu Kwi. Pula, di
situ terdapat puluhan orang penjaga yang membantu.
"Heh-heh,
Bi-kwi, siluman jahat. Engkau berani muncul kembali, apakah engkau ingin
menyerahkan nyawamu?" Thian Kek Sengjin berkata sambil melintangkan
tongkat naga hitamnya.
"Ha-ha-ha,
barangkali engkau rindu pada pinto, nona manis?" kata si gendut Ok Cin Cu.
Siu Kwi
menahan gejolak kemarahan yang memenuhi hatinya. Lebih dulu ia harus bisa
meyakinkan sumoi-nya dan Sim Houw akan kebenaran ceritanya. "Thian Kek
Sengjin dan Ok Cin Cu, aku datang ke sini untuk bicara dengan kalian secara
baik-baik. Kenapa kalian berkeras hendak menahan Yo Jin? Dia tidak mempunyai
kesalahan apa pun. Dia membelaku ketika Lui-kongcu hendak kurang ajar..."
"Dia
ditangkap karena berani kurang ajar memukul Lui-kongcu!" kata Ok Cin Cu.
"Akan
tetapi Lui-kongcu yang kurang ajar dan lebih dahulu menyerangnya. Urusan itu
amat kecil, akan tetapi kalian sudah memukul ayahnya sampai tewas. Dan kalian
masih belum puas. Kalian membujuk aku untuk membantu Thian Kek Sengjin
mengalahkan Suma Ciang Bun pendekar keluarga Pulau Es, kemudian Ok Cin Cu
bahkan memaksa aku melayaninya selama satu malam, dan kalian berjanji akan
membebaskan Yo Jin. Aku telah memenuhi semua permintaan kalian, melakukan hal
itu semua. Akan tetapi kalian telah melanggar janji, tidak membebaskan Yo Jin,
bahkan menjebak dan hendak menangkap aku. Ji-wi totiang, sebagai pendeta, tosu
dan tokoh-tokoh kang-ouw, apa kalian tidak malu atas perbuatan kalian itu? Maka
malam ini aku datang untuk minta dengan baik-baik agar Yo Jin cepat dibebaskan,
dan aku pun tak akan memperpanjang urusan ini."
Kedua orang
tosu itu tertawa bergelak dan para penjaga juga turut pula tertawa. Riuh rendah
suara ketawa mereka dan barulah kebisingan itu berhenti sesudah Thian Kek
Sengjin bicara. "Bi-kwi siluman jahat! Engkau adalah pecundang kami, masih
berani datang untuk mengajukan tuntutan? Apakah karena kini engkau membawa dua
orang temanmu ini? Kami tidak takut dan kalian bertiga tentu tidak akan dapat
lolos dari pengepungan kami!"
Lega rasa
hati Siu Kwi. Dia sudah membeberkan semua persoalan dalam tuntutannya tadi dan
dia pun menoleh kepada Bi Lan dan Sim Houw, "Sumoi dan Sim-taihiap, kurasa
sudah cukup aku bicara."
Sim Houw
melangkah maju menghadapi dua orang tosu itu.
"Ji-wi
totiang," katanya halus. "Benarkah apa yang telah dikatakan oleh nona
Ciong tadi, bahwa orang she Yo itu kalian tahan tanpa bersalah, dan kalian
telah mengingkari janji terhadap nona Ciong?"
"Siapakah
engkau yang berani mencampuri urusan kami!" bentak Ok Cin Cu marah.
"Kalau
benar, engkau mau apa?!" Thian Kek Sengjin juga membentak.
"Sim-toako,
jelas bahwa suci yang benar. Dua orang tosu bau ini memang jahat sekali!"
Bi Lan berseru marah.
"Kepung,
tangkap atau bunuh mereka bertiga ini!" bentak Thian Kek Sengjin memberi
aba-aba kepada para penjaga yang memang sudah mengepung tempat itu.
"Kalau
benar ji-wi adalah Thian Kek Sengjin ketua cabang Pek-lian-kauw dan Ok Cin Cu
ketua cabang Pat-kwa-kauw, maka perbuatan ji-wi ini sungguh patut disesalkan
dan amat tercela!" kata pula Sim Houw yang nampak tenang saja walau pun
para penjaga sudah bergerak mengepung dengan sikap mengancam.
"Bocah
sombong! Kepung dan tangkap, biarkan nona manis yang baru datang ini pinto
sendiri yang menangkapnya!" bentak Ok Cin Cu.
"Nanti
dulu!" Thian Kek Sengjin memberi komando pada anak buahnya. "Pinto
merasa penasaran melihat kesombongan bocah ini. Orang muda, siapakah engkau?
Pinto tidak ingin membunuh orang yang tanpa nama."
Sebelum Sim
Houw menjawab, Siu Kwi sudah mendahului. "Dia adalah pendekar Sim Houw,
Pendekar Suling Naga! Dan ini adalah sumoi-ku Can Bi Lan!"
Mendengar
disebutnya nama Pendekar Suling Naga, dua orang tosu itu saling pandang. Mereka
pernah mendengar akan munculnya seorang pendekar baru yang lihai. Akan tetapi
mereka tidak merasa takut dan sambil berteriak nyaring, Thian Kek Sengjin sudah
menggerakkan tongkat naga hitamnya menyerang ke arah Sim Houw, sedangkan Ok Cin
Cu yang memandang rendah Bi Lan yang diperkenalkan sebagai sumoi dari Siu Kwi,
sudah menubruk dengan tongkat ular naga menotok jalan darah di pundak Bi Lan,
sedang tangan kirinya mencengkeram ke arah dada. Serangan ini amat kurang ajar
sifatnya sehingga dengan marah Bi Lan lalu mengelak sambil mencabut pedangnya.
Melihat
sinar mengerikan dari pedang yang berada di tangan Bi Lan, Ok Cin Cu terkejut
dan bergidik. Akan tetapi dia tidak menjadi takut dan cepat menggerakkan
tongkat ular hitamnya untuk menyerang. Bi Lan menangkis dan balas menyerang
sehingga terjadilah perkelahian yang seru di antara mereka.
Ok Cin Cu
tidak berani memandang rendah lagi. Gadis yang menjadi sumoi dari Ciong Siu Kwi
ini memiliki pedang pusaka amat menggiriskan, juga gerakan-gerakannya tidak
kalah cepat dibandingkan suci-nya.
Sementara
itu, serangan tongkat naga hitam dari Thian Kek Sengjin juga amat dahsyat,
membuat Sim Houw maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan tangguh. Terpaksa dia
pun mencabut pedangnya. Ketika pedang itu tercabut, terdengar suara melengking
nyaring yang mengejutkan pula hati Thian Kek Sengjin. Di antara kedua orang ini
pun segera terjadi perkelahian yang seru.
Melihat
betapa dua orang tosu itu sudah dilawan oleh sumoi-nya dan Sim Houw, Siu Kwi
lalu mengamuk, menerjang puluhan orang penjaga yang mengepung. Amukannya memang
menggiriskan dan sebentar saja sudah ada delapan orang pengeroyok yang roboh
oleh pedangnya. Yang lain menjadi gentar dan Siu Kwi terus menerjang maju dan
mendesak para pengeroyok untuk mundur.
Akhirnya dia
berhasil memasuki pekarangan, terus dia meloncat ke dalam dan lari ke bagian
belakang bangunan rumah keluarga Lui. Di bagian belakang, dia disambut oleh
enam orang penjaga. Tetapi, dengan mudah ia merobohkan lima orang dan menangkap
seorang yang hendak melarikan diri.
"Cepat
bawa aku ke kamar tahanan Yo Jin!" bentaknya sambil menempelkan ujung
pedang di dada orang itu.
Pedang itu
menembus baju dan menusuk kulit sehingga kulitnya terluka. Tentu saja penjaga
itu terkejut dan ketakutan, mengangguk-angguk dan dengan ditodong pedang dia
membawa Siu Kwi ke belakang.
Akhirnya Siu
Kwi menemukan Yo Jin yang duduk bersandar dinding di dalam sebuah kamar
tahanan. Siu Kwi menampar penjaga itu dengan tangan kirinya. Tanpa mengeluh
lagi penjaga itu roboh dan Siu Kwi mempergunakan pedangnya untuk menjebol daun
pintu kamar tahanan.
"Kwi-moi
akhirnya engkau datang...!" Yo Jin berseru girang.
"Jin-koko...!"
Ingin Siu
Kwi merangkul orang itu, namun perasaan ini ditahannya. Dia pun melepaskan
belenggu kaki dan tangan pemuda itu. Baru beberapa hari saja ditahan, tubuh
pemuda ini menjadi kurus sekali dan mukanya pucat.
"Jin-koko,
engkau lebih baik pulang dulu ke dusun, biar aku akan menyusul ke sana setelah
selesai urusan ini!" katanya cepat. Ia khawatir kalau-kalau pemuda itu
akan ditawan musuh lagi ketika ia sedang mengamuk bersama sumoi-nya dan Sim
Houw.
"Tapi
kau... kau..."
"Jangan
khawatir, aku mampu menjaga diri. Pulanglah, koko, aku akan menyusul
nanti."
Yo Jin
mendengar suara ribut-ribut orang berkelahi di luar, maka dia pun mengangguk
dan tidak membantah lagi ketika tangannya ditarik okh Siu Kwi, diajak menuju ke
kebun. Dua orang penjaga berusaha menghadang, namun dengan tendangan kakinya,
Siu Kwi merobohkan mereka.
"Cepat,
keluarlah dari pintu ini!" kata Siu Kwi dan sekali dorong, pintu kecil di
kebun itu pun jebol.
Melihat
kehebatan wanita ini, Yo Jin beberapa kali terbelalak. Dia maklum bahwa wanita
yang dicintanya ini adalah seorang wanita sakti, maka tanpa bicara apa-apa lagi
dia pun lari keluar dan cepat pulang ke rumahnya di dusun selatan.
Setelah
melihat kekasihnya itu menghilang dalam kegelapan malam, Siu Kwi melompat
kembali ke dalam kebun, lantas berlari ke dalam rumah. Para pelayan ketakutan,
dan dengan mudah Siu Kwi menemukan kepala dusun Lui lengkap beserta
isteri-isteri dan anak-anaknya di dalam ruangan belakang. Mereka terjaga oleh
belasan orang penjaga, namun setelah ia menyerbu dan merobohkan empat orang,
yang lain lalu melarikan diri meninggalkan keluarga itu yang berkelompok sambil
menggigil ketakutan.
Lurah Lui
dan keluarganya sudah mendengar bahwa Siu Kwi yang dituduh siluman itu sebenarnya
adalah seorang wanita yang berkepandaian tinggi, dan hanya kedua orang tosu tua
itu saja yang mampu menundukkannya. Namun malam ini wanita itu datang bersama
dua orang teman yang juga amat lihai dan kini ‘siluman’ itu telah datang dan
menemukan mereka!
Siu Kwi
masuk dengan pedang di tangan. Melihat betapa pedang itu berlepotan darah, dan
wajah yang cantik itu nampak beringas, sepasang matanya seperti mencorong,
lurah Lui dan keluarganya menjadi pucat.
Siu Kwi
menyapu mereka dengan pandang matanya, lalu menudingkan telunjuk kirinya ke
arah muka Lui-kongcu yang mencoba untuk menyembunyikan kepalanya di belakang
punggung ibunya.
"Lui-kongcu,
ke sini kau!" bentaknya.
"Tidak...
tidak...!" Pemuda itu menggigil ketakutan.
"Ke
sini atau akan kuseret dan kubunuh kau!"
Pemuda itu
hampir terkencing di celananya saking takutnya, akan tetapi mendengar bentakan
itu dia lalu merangkak maju dan berlutut di depan Siu Kwi.
"Engkau
juga ke sini, lurah Lui!" bentak Siu Kwi.
Lurah Lui
bangkit berdiri dan maju. Dengan congkak akan tetapi pucat dia tetap berdiri,
tidak berlutut seperti puteranya. Bagaimana pun juga, dia adalah kepala dusun
itu dan sudah biasa orang-orang berlutut di depannya, bukan dia yang harus
berlutut.
Siu Kwi
tidak peduli akan sikap itu. "Kalian berdua yang membikin gara-gara
sehingga Yo Jin ditahan dan ayahnya tewas. Kalian berdua yang membuat aku
menderita pula. Pertama-tama adalah gara-gara Lui-kongcu ini yang menjadi biang
keladinya. Sudah sepatutnya jika aku memenggal kepalamu sekarang juga!"
Siu Kwi lalu mengelebatkan pedangnya.
"Ampun...
ampun... tidak... jangan bunuh aku... aku tidak berani lagi!" Kali ini
Lui-kongcu benar-benar terkencing di celananya.
Melihat ini,
Siu Kwi memandang muak. Alangkah jauh bedanya pemuda ini dengan Yo Jin, pemuda
pilihannya. Pemuda ini seperti seekor anjing penakut yang takut digebuk,
sebaliknya Yo Jin seperti seekor harimau yang pantang menyerah.
"Engkau
telah membuat Yo Jin tersiksa, dan engkau laki-laki mata keranjang penggoda
wanita dengan mengandalkan kedudukan ayahmu!" Tiba-tiba nampak sinar
berkelebat.
Lui-kongcu
menjerit dan darah muncrat. Ketika pemuda itu melihat bahwa lengan kirinya
buntung sebatas siku dan darah muncrat-muncrat, dia menjerit-jerit dan lari
kepada ibunya, lalu menangis menggerung-gerung dan jatuh pingsan.
Melihat ini,
mendadak kedua kaki lurah Lui menjadi lemas dan dia pun roboh berlutut karena
kedua lututnya seperti kehilangan tenaga.
"Ampun,
lihiap... ampunkan kami...," ratapnya.
Keluarganya
semua berlutut minta-minta ampun. Melihat keluarga lurah itu, hati Siu Kwi
menjadi agak lemah, hal yang baru sekarang ia alami.
"Baik,
aku takkan membunuhmu. Akan tetapi engkau telah menggunakan kedudukanmu untuk
bertindak sewenang-wenang, memperalat pendeta-pendeta palsu dan jahat untuk
menghina orang, maka engkau harus diberi pelajaran!" kembali pedangnya
berkelebat dan lurah Lui menjerit kesakitan karena kaki kanannya terbabat
buntung sampai lutut! Kembali darah muncrat-muncrat dan ketika semua orang
menjerit ketakutan, wanita itu berkelebat dan lenyap dari situ.
Di luar,
perkelahian masih berlangsung dengan seru. Tetapi, Ok Cin Cu sudah bermandi
keringatnya sendiri. Gerakan lawan yang hanya seorang gadis muda itu memang
luar biasa sekali dan terutama sekali pedang di tangan wanita itu membuat dia
kadang-kadang menggigil.
Bi Lan
memang sudah memainkan ilmu pedang Ban-tok Kiam-sut dan karena ilmu itu
dimainkan dengan pedang Ban-tok-kiam, maka bukan main hebatnya. Dia menyerang
dengan sungguh-sungguh. Ia merasa sakit hati dan benci sekali mengingat betapa
tosu ini telah menipu suci-nya, membujuk suci-nya melayaninya dan menyerahkan
tubuhnya untuk menebus keselamatan Yo Jin.
Sakit
hatinya mengingat akan hal ini dan kebenciannya terhadap tosu tinggi besar
perut gendut ini pun memuncak. Maka dia menyerang untuk membunuh sehingga
gerakan-gerakannya membuat tosu itu kalang kabut.
Di lain
pihak, Sim Houw juga mendesak lawannya dengan hebat. Kalau pemuda ini
menghendaki, sudah sejak tadi dia mampu merobohkan dan membunuh lawan. Akan
tetapi, Sim Houw tidak ingin membunuh. Dia tahu bahwa ketua cabang
Pek-lian-kauw ini berwatak buruk dan jahat sekali, suka melakukan hal-hal
terkutuk di balik topeng perjuangan melawan pemerintah penjajah.
Akan tetapi,
dia tidak ingin membunuh, hanya ingin memberi peringatan saja. Ketika dia
melihat betapa serangan-serangan Bi Lan merupakan serangan-serangan maut yang
amat berbahaya bagi ketua cabang Pat-kwa-kauw, dia terkejut.
"Lan-moi,
jangan membunuh orang...!" teriaknya memperingatkan.
Pada saat
itu terdengar suara keras dan tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu patah
menjadi dua, sedangkan sinar pedang Ban-tok-kiam masih terus menyambar ke arah
leher kakek gendut itu!
Untung bahwa
Bi Lan masih mendengar teriakan Sim Houw dan dia memang patuh sekali terhadap
pemuda ini. Dia tahu bahwa sekali saja tergores Ban-tok-kiam, akan sukarlah
menyelamatkan nyawa kakek gendut itu, maka ia menyelewengkan pedangnya ke
samping, dan berbareng jari tangan kirinya menusuk ke depan.
"Crotttt...!"
Mata kanan
Ok Cin Cu tertembus jari tangan Bi Lan. Kakek itu mengeluarkan pekik mengerikan
dan tubuhnya terjengkang dan terbanting keras.
Saat itu,
pedang suling naga mengeluarkan lengking tinggi dan terdengar suara keras ketika
tongkat naga hitam juga patah menjadi tiga potong. Pedang itu masih terus
menyambar dan pergelangan tangan kiri Thian Kek Sengjin terbabat putus. Kakek
ini pun menjerit dan melompat jauh ke belakang.
Mereka
berdua cepat-cepat menotok dan mengurut jalan darah masing-masing untuk
menghentikan keluarnya darah dari luka, dan tanpa bicara apa-apa lagi keduanya
lalu meloncat dan melarikan diri dari tempat itu. Melihat betapa dua orang tosu
itu melarikan diri, para penjaga juga menjadi ketakutan dan menjauhkan diri.
Pada saat
itulah Siu Kwi muncul. "Di mana mereka?" tanyanya ketika ia tidak
melihat adanya dua orang tosu itu.
"Kami
sudah memberi hajaran dan mereka melarikan diri," kata Bi Lan, lega bahwa
Sim Houw memberi peringatan pada saat yang tepat sehingga ia tidak perlu
membunuh tosu yang menjadi lawannya tadi.
Lega rasa
hati Siu Kwi. Kedua orang tosu itu memang jahat, akan tetapi ia pun tidak
memiliki nafsu untuk membunuh mereka. "Sudahlah, terima kasih atas bantuan
kalian. Tanpa bantuan kalian, tak mungkin aku dapat membebaskan Yo Jin."
"Di
mana ia sekarang...?" tanya Bi Lan yang ingin sekali melihat bagaimana
macamnya pemuda yang dapat merobohkan hati suci-nya yang tadinya dianggap tidak
mempunyai hati itu.
"Aku
tadi telah membebaskannya dan menyuruhnya pulang ke dusunnya lebih dahulu, baru
aku akan menyusulnya."
"Aih,
suci, kenapa begitu saja membiarkan dia pergi sendiri? Bagaimana kalau sampai
dia tertangkap musuh lagi?" kata Bi Lan. "Mari kita cepat pergi
menyusulnya."
Bi Lan hanya
menggunakan dugaan ini sebagai alasan agar ia bisa ikut pergi menyusul karena
ia sungguh ingin sekali bertemu dengan pemuda itu. Penasaran.
"Baik,
mari kita pergi," kata Siu Kwi dan mereka bertiga lalu berlari cepat
menuju ke dusun selatan.
Sim Houw
diam-diam tersenyum. Ia dapat mengetahui bahwa Bi Lan ingin melihat orang yang
mampu menundukkan hati seorang wanita seperti Ciong Siu Kwi, yang tadinya
terkenal sebagai Bi-kwi yang kejam dan jahat bukan main. Dia pun tidak
mengeluarkan pendapatnya karena dia harus membuktikan bahwa semua peristiwa
yang diceritakan Siu Kwi itu benar dan hal ini baru terbukti kalau dia sudah
bertemu dengan orang yang bernama Yo Jin itu.
Jika semua
ini benar, tak percuma dia membantu Siu Kwi dan menanam permusuhan baru dengan
pihak Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw. Bagi seorang pendekar sejati, yang
terpenting adalah bahwa setiap tindakannya berdasarkan membela kebenaran dan
keadilan, menentang kejahatan dan kelaliman. Tidak peduli untuk perbuatannya
itu dia akan dibenci atau dimusuhi orang, karena yang jelas, mereka yang
memusuhinya tentu bukanlah orang baik-baik.
Dengan cepat
tiga orang itu telah tiba di dusun selatan dan langsung mereka pergi ke rumah
keluarga Yo. Namun rumah itu kosong dan Yo Jin tidak berada di situ. Dengan
hati khawatir Siu Kwi lalu bertanya kepada para tetangga dan mendengar bahwa
tadi pemuda itu telah pulang, tetapi begitu mendengar dari para tetangga bahwa
ayahnya telah meninggal dunia, pemuda itu berlari keluar lagi sambil menangis.
"Ahhh,
kasihan Jin-koko...," kata Siu Kwi dengan hati terharu. “Aku tahu, ia
pasti pergi mengunjungi kuburan ayahnya..."
Dan mereka
pun lalu keluar dari dusun itu, menuju ke sebuah tanah kuburan yang amat sunyi
karena letaknya di luar kota, di kaki sebuah bukit. Benar saja, mereka
menemukan Yo Jin sedang berlutut dan menangis di depan sebuah kuburan yang
masih baru.
"Jin-ko...!"
Siu Kwi berseru memanggil.
Pemuda itu
bangkit, membalikkan tubuh dan dua orang itu saling pandang dalam cuaca yang
remang-remang oleh karena malam itu hanya diterangi oleh bintang-bintang yang
bertaburan di langit hitam.
"Kwi-moi...!"
Suara pemuda itu terdengar parau karena lama dia tadi menangis.
"Jin-koko...!"
Siu Kwi
melangkah maju dan entah siapa yang bergerak lebih dahulu, keduanya saling
rangkul dan keduanya terisak menangis!
Bi Lan
berdiri bengong. Benarkah wanita yang menangis di dada laki-laki itu suci-nya?
Benarkah ia Bi-kwi yang biasanya demikian kejam dan keras hati? Terdengar Sim
Houw batuk-batuk untuk menyadarkan dua orang yang sedang dilanda keharuan itu
bahwa di situ hadir lain orang!
Suara batuk
itu menyadarkan mereka dan keduanya melepaskan rangkulan.
"Kwi-moi,
ayah... ayahku..."
"Tenanglah,
Jin-ko. Ayahmu telah meninggal dunia dengan tenang. Ia menghembuskan napas
terakhir dalam rangkulanku."
"Ahh,
Kwi-moi, apakah yang telah terjadi? Ceritakanlah..."
"Mari
kita duduk dengan tenang dan aku akan menceritakan semuanya, Jin-ko."
"Kita
duduk di dekat makam..."
"Apakah
tidak sebaiknya kita pulang saja, Jin-ko, dan bicara di rumah?"
"Tidak,
malam ini aku tidak akan meninggalkan makam ayah."
"Biar
aku membuat api unggun," tiba-tiba Bi Lan berkata dan dibantu oleh Sim
Houw, ia mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun di dekat makam.
Yo Jin
agaknya baru sadar bahwa wanita yang dicintanya itu datang bersama dua orang
lain. "Kwi-moi, siapakah mereka ini?"
"Mari
kita duduk dekat api unggun dan kuperkenalkan kau pada mereka, Jin-ko. Tanpa
adanya bantuan mereka, sampai sekarang pun kita belum dapat berkumpul
kembali."
Mereka
berempat lalu duduk di dekat makam, dan mereka mengelilingi api unggun yang
dibuat oleh Bi Lan dan Sim Houw. Yo Jin duduk di dekat Siu Kwi, berhadapan
dengan Bi Lan yang duduk di dekat Sim Houw. Mereka sejenak saling berpandangan.
Diam-diam Bi
Lan harus mengakui bahwa laki-laki pilihan suci-nya itu biar pun nampak
berpakaian sederhana, memiliki pandang mata yang jujur dan polos, wajah yang
bersih dan cukup ganteng biar pun kesederhanaan dan keluguan membayangkan
kebodohan. Dan biar pun pemuda ini seorang lemah, dalam arti tidak mengenal
ilmu silat, namun bentuk tubuhnya jantan dan kokoh kuat karena terbiasa bekerja
berat di ladang.
Betapa pun
juga, sampai saat itu Bi Lan masih belum dapat mengerti dan masih amat
terheran-heran memikirkan bagaimana suci-nya dapat jatuh cinta pada seorang
pemuda tani sederhana seperti ini. Pada hal kalau ia menghendakinya, suci-nya
dapat memiliki pemuda-pemuda terbaik dari kota, putera bangsawan atau hartawan
atau malah putera ahli-ahli silat kenamaan sekali pun. Suci-nya cantik jelita,
mempunyai ilmu kepandaian tinggi, cerdik dan pendeknya, memiliki segala-galanya
untuk dapat menarik hati laki-laki mana pun.
"Jin-ko,
mereka berdua ini yang telah membantuku untuk membebaskanmu. Gadis ini bernama
Can Bi Lan. Ia adalah sumoi-ku sendiri walau pun tingkat ilmu kepandaiannya
jauh melebihiku. Dan pendekar ini adalah Pendekar Pedang Suling Naga bernama
Sim Houw, seorang tokoh persilatan yang bernama besar dan terkenal
sekali."
Yo Jin
dengan secara sederhana, hanya memberi hormat sambil duduk ke arah mereka,
berkata lantang, "Saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan ji-wi
yang mulia, dan semoga Thian yang akan membalas segala budi kebaikan
ji-wi."
Diam-diam
Sim Houw kagum juga. Seorang pemuda dusun, petani yang bodoh dan mungkin buta
huruf, namun mengerti akan tata susila dan kesopanan, mengenal budi walau pun
pernyataan terima kasihnya itu sederhana saja.
"Saudara
Yo Jin, harap jangan sungkan. Tidak ada istilah melepas budi di antara
kita," kata Sim Houw. "Engkau sendiri, walau pun tidak mempunyai
keahlian silat telah berani membela nona Ciong, bahkan untuk semua itu selain
engkau menderita dan menjadi tawanan, juga ayahmu berkorban nyawa. Dibandingkan
dengan apa yang sudah kau lakukan itu, perbuatan kami tidak ada artinya."
Mendengar
ucapan Sim Houw, diam-diam hati Siu Kwi merasa kagum sekali. Baru kini ia
melihat dan mendengar sendiri akan sikap seorang pendekar yang rendah hati.
Dulu, tiga orang gurunya, Sam Kwi, selalu menekankan kepadanya bahwa para
pendekar adalah manusia-manusia sombong yang selalu memusuhi golongan mereka.
Juga dia
merasa senang bukan main mendengar betapa Yo Jin dipuji-puji. Tanpa dia sadari
duduknya semakin mendekat pemuda dusun itu dan pandang matanya penuh kebanggaan
dan cinta kasih ketika ia menatap wajah di sampingnya itu yang diterangi cahaya
api unggun.
"Jin-koko
adalah seorang laki-laki yang paling gagah perkasa dan paling hebat yang pernah
kukenal. Dia sudah mengorbankan dirinya, bahkan kehilangan ayahnya, untuk
membelaku. Berkali-kali dia membelaku mati-matian. Sungguh aku telah berhutang
budi padanya, berhutang nyawa. Mulai detik ini, aku tak akan mau berpisah
darinya, sampai mati... aku akan mendampinginya sebagai isterinya... karena
aku... aku cinta padanya."
Bagi Sim
Houw dan Bi Lan yang telah mengenal Siu Kwi, ucapan yang terang-terangan ini
tidak mengherankan, akan tetapi wajah Yo Jin menjadi merah padam dan ia merasa
malu bukan main. Akan tetapi kejujurannya melenyapkan perasaan malu itu, dan
dia pun hendak menumpahkan isi hatinya secara blak-blakan, selagi di situ ada
dua orang lain yang amat berharga untuk menjadi saksi.
"Kwi-moi,
ada sesuatu yang mengganjal di hatiku sejak pertemuan kita yang pertama kali
itu, aku takkan merasa lega sebelum hal itu kukemukakan di sini. Biarlah
Can-lihiap dan Sim-taihiap ini menjadi saksi."
Siu Kwi
memandang kepada wajah pemuda itu dengan sinar mata berseri. Sikap yang jujur
dan terus terang dari pemuda ini merupakan satu di antara watak-watak yang amat
dikaguminya. "Bicaralah, Jin-ko."
Yo Jin
menarik napas panjang. Agaknya berat baginya untuk mengeluarkan isi hatinya.
"Kwi-moi, terima kasih saya amat mendalam bahwa seorang seperti saya ini
mendapat kehormatan untuk menerima cinta kasih seorang wanita seperti engkau.
Hal ini kuterima dengan hati gembira dan ringan seandainya engkau adalah
seorang gadis biasa, karena sesungguhnya aku pun sudah jatuh cinta kepadamu.
Akan tetapi..."
Siu Kwi
mengerutkan alisnya dan menatap wajah yang menunduk itu dengan hati amat
khawatir. "Akan tetapi... apa Jin-ko?"
"Kwi-moi,
engkau sudah melihat keadaan saya. Seorang pemuda dusun, pemuda petani yang
tidak terpelajar, buta huruf, miskin, dan bahkan kini setelah ayah tiada, saya
hidup sebatang kara, tiada sanak kadang, tiada kemampuan. Akan tetapi
engkau..."
"Aku...
kenapa, Jin-koko?" Siu Kwi mendesak sambil tersenyum hingga nampak deretan
giginya yang rapi berkilau tertimpa sinar api unggun.
Yo Jin
memandang wajah Siu Kwi dan pandang mata mereka saling bertemu. Masing-masing
dapat merasakan kasih sayang terpancar dari pandang mata itu, akan tetapi Yo
Jin lalu mengalihkan pandang matanya, kini memandang Sim Houw dan kepada Bi Lan
seolah-olah minta pertimbangan dari kedua orang saksi itu.
"Kwi-moi...
ahhh, sesungguhnya menyebutmu moi-moi saja sudah tidak pantas bagiku.
Sepatutnya engkau kusebut lihiap. Engkau adalah seorang wanita kota,
terpelajar, kaya, pandai dan bahkan memiliki kepandaian silat yang luar biasa.
Engkau seorang wanita sakti, seorang pendekar wanita yang..."
"Cukup,
Jin-ko, cukuplah...!" Siu Kwi memotong sambil menyentuh lengan pemuda itu.
"Aku sudah mengenalmu lahir batin, tetapi engkau sungguh belum tahu banyak
tentang diriku! Engkaulah yang terlalu berharga untukku, Jin-ko. Engkau seorang
pemuda yang bersih, jujur, setia, kuat lahir batin, gagah perkasa, sedangkan
aku... aku hanya..."
"Wanita
perkasa, pendekar yang sakti..."
"Tidak,
tidak...! Engkau hanya tahu satu tapi tidak mengenal dua tiga dan selanjutnya.
Biarlah sekarang aku ceritakan dan mengaku kesemuanya, Jin-ko. Keadaanku yang
lalu juga akan selalu menjadi ganjalan di hatiku kalau belum kuceritakan
kepadamu..."
"Suci!
Perlukah itu...?" Bi Lan menegur, khawatir melihat suci-nya akan
menceritakan keadaan masa lalunya.
Siu Kwi
tersenyum dan mengangguk kepada sumoi-nya. "Mutlak perlu, sumoi. Aku tidak
tega membiarkan Jin-koko menggambarkan aku sebagai seorang dewi dari langit,
pada hal dalam kehidupanku yang lalu aku hanyalah seorang iblis. Di dalam cinta
harus ada kejujuran, kita harus dapat melihat orang yang kita cintai seperti
apa adanya, melihat segala cacat dan keburukannya, bukan sekedar melihat
kebagusannya saja."
Sim Houw
yang sejak tadi mendengarkan semua itu, menggeleng-geleng kepala dan memandang
kagum. "Kalian adalah orang-orang luar biasa, hebat... hebat..."
Yo Jin
memandang bingung. "Akan tetapi, Kwi-moi, aku tidak ingin mendengar
tentang keburukanmu..."
"Dengarlah
baik-baik, Jin-ko, agar engkau tak merasa rendah diri terhadap aku. Engkau
hanya mengenal namaku, yaitu Ciong Siu Kwi, akan tetapi kau tidak mendengar
hal-hal lain mengenai diriku. Seperti juga engkau, aku tidak mempunyai
keluarga. Sejak kecil aku ikut bersama tiga orang guruku yang terkenal dengan
julukan Sam Kwi (Tiga Iblis), tokoh-tokoh golongan sesat, penjahat-penjahat
yang kejam dan ganas. Dan janganlah mengira bahwa aku seorang pendekar wanita,
sama sekali tidak! Aku bahkan dimusuhi para pendekar karena aku memang jahat
dan kejam, aku seorang di antara tokoh-tokoh sesat yang dijuluki Bi-kwi (Iblis
Cantik)."
"Aku
tidak percaya...!" Yo Jin berseru, kaget bukan main mendengar pengakuan
yang dianggap mengerikan itu.
"Kenyataannya
begitu, Jin-ko. Aku kejam dan jahat, entah telah berapa banyak orang, baik yang
bersalah mau pun yang tidak, sudah tewas di tanganku. Aku telah membunuh banyak
orang, aku pendukung kejahatan dan penentang kebaikan. Bukan itu saja, aku juga
bukan seorang wanita baik-baik, bukan seorang wanita bersih. Sejak remaja aku
telah menjadi kekasih tiga orang guruku dan sejak dewasa, entah sudah berapa
banyak pria yang kujadikan kekasihku, baik dengan suka rela mau pun dengan
paksa! Aku mempermainkan pria-pria itu seperti barang mainan, kalau sudah bosan
kucampakkan, atau kubunuh."
"Tidak...
tidaaakk...!" Yo Jin berteriak dengan mata terbelalak karena merasa ngeri,
dan juga tidak percaya. "Engkau seorang wanita gagah perkasa, halus budi
dan sopan!"
"Itu
menurut penglihatanmu, dan memang sejak berjumpa denganmu, aku mengambil
keputusan untuk meninggalkan dunia sesat, untuk merubah kehidupan menjadi
seorang baik-baik. Akan tetapi, engkau harus mengenal masa laluku, Jin-ko, agar
kalau engkau masih mau memasuki hidup baru bersamaku, engkau masuk dengan mata
terbuka, tbukan dengan mata terpejam, dengan suka rela, bukan paksaan. Nah,
sekarang akan kulanjutkan, Jin-ko. Baru-baru ini, baru kemarin dulu malam, aku
terpaksa menyerahkan tubuhku ini kepada Ok Cin Cu, tosu ketua cabang Pat-kwa-kauw
yang menangkapmu, aku tidur dengan dia dan melayaninya selama satu
malam..."
"Ahh,
tidaaaakk... ahh, Kwi-moi, kenapa engkau menyiksa hatiku seperti ini...?"
Yo Jin menutupi mukanya dengan kedua tangan bagaikan hendak mengusir gambaran
yang diceritakan Siu Kwi kepadanya itu.
"Yo-toako,
suci hanya menceritakan hal-hal yang memang benar terjadi. Akan tetapi
ketahuilah bahwa suci terpaksa melakukan hal itu demi untuk membebaskanmu. Ia
tidak berdaya menghadapi dua orang tosu itu, maka ia dapat ditipu oleh mereka
yang sudah menjanjikan untuk membebaskanmu."
Yo Jin
menurunkan kedua tangannya. Wajahnya agak pucat dan kedua matanya merah ketika
dia menatap wajah wanita yang dicintanya. "Kwi-moi, apakah masih ada lagi
ceritamu tentang dirimu? Jika masih ada, tuangkanlah semua, jangan
disimpan-simpan agar kelak engkau takkan merasa penasaran dan menceritakannya
kembali kepadaku."
Siu Kwi
terbelalak. "Jin-ko, masih belum cukupkah itu? Masih belum cukupkah
kotoran yang menodaiku sehingga engkau dapat melihat bahwa akulah yang
sesungguhnya tak berharga bagimu?"
Yo Jin
tersenyum dan menggeleng kepala. "Kwi-moi, kejujuranmu ini justru menambah
cintaku kepadamu. Aku mencinta engkau sekarang ini, seperti keadaanmu sekarang
ini. Aku tidak peduli akan keadaanmu yang lampau, apa lagi engkau sudah
mengambil keputusan dan untuk merubah jalan hidupmu. Engkau telah melakukan
penyelewengan, biarlah aku akan membantumu sekuat tenaga untuk kembali ke jalan
benar, Kwi-moi."
"Jin-koko...!"
saking terharu hatinya Siu Kwi menubruk dan hendak mencium kaki Yo Jin sambil
menangis.
Akan tetapi
Yo Jin menangkapnya dan menariknya sehingga kini wanita itu menangis dengan
kepala di atas pangkuannya, menangis sesenggukan bagaikan anak kecil dan
rambutnya dibelai sayang oleh Yo Jin.
Melihat
peristiwa ini, Bi Lan tak dapat lagi menahan keharuan hatinya sehingga dia pun
memandang dengan dua mata lebar akan tetapi air matanya berlinang-linang,
kemudian perlahan-lahan menetes turun melalui sepasang pipinya. Hatinya
dipenuhi rasa haru, kasihan, akan tetapi juga ikut gembira bahwa suci-nya telah
menemukan seorang pria yang sungguh-sungguh mencintanya lahir batin. Ia tidak
tahu betapa dari samping, Sim Houw memandang kepadanya dengan sinar mata penuh
kasih sayang.
Setelah
tangisnya mereda, Siu Kwi mengangkat kepalanya dari pangkuan Yo Jin dan bangkit
duduk. Tangisnya terhenti dan dengan muka yang basah air mata, rambut yang
kusut, dia memandang kepada Yo Jin dengan malu-malu, kemudian tersenyum dan
berkata lirih, "Aihh, aku seperti anak kecil saja..."
"Aku
cinta dan kasihan kepadamu, Kwi-moi," kata Yo Jin yang kini memandang
kepada wanita itu dengan sinar mata lain, mengandung rasa iba. Alangkah
sengsara kehidupan wanita ini di masa yang lalu dan dia berjanji kepada dirinya
sendiri untuk mencoba membahagiakan Siu Kwi dalam kehidupan mendatang.
"Sudahlah,
kini kita hentikan percakapan tentang masa lalu dan kita bicara saja tentang
hal-hal yang berada di depan kita, meninggalkan segala yang sudah lewat di
belakang kita," kata Bi Lan dan Sim Houw mengangguk-angguk setuju.
"Kalian
memang bijaksana sekali," kata Siu Kwi, "dan aku merasa girang bahwa
kalian telah menjadi saksi pengakuanku kepada Jin-ko. Baiklah, sekarang kita
bicara tentang masa depan. Sumoi, engkau dan Sim-taihiap hendak pergi ke
manakah dan bagaimana bisa kebetulan bertemu dengan aku sehingga kalian bisa
menolong aku dan Jin-koko?"
Sikap Siu
Kwi sudah biasa lagi dan walau pun mukanya masih merah dan basah, rambutnya
masih kusut, namun ia sudah dapat menguasai hatinya, bahkan kini setelah ia
membuat pengakuan di depan Yo Jin yang diterima dengan baiknya oleh pria itu,
ada sinar kebahagiaan yang cerah pada wajahnya, terutama pada sinar matanya.
Tadinya, ada
perasaan gelisah kalau ia teringat akan masa lalunya dan membayangkan betapa Yo
Jin akan berbalik membencinya kalau mendengar akan masa lalunya. Kalau hal
seperti itu terjadi, kiranya akan sukar baginya untuk dapat merubah hidupnya!
Kebaikan
tidak dapat dinamakan baik lagi kalau dilakukan dengan kesadaran bahwa hal itu
baik. Keinginan hati untuk berbuat baik membuat perbuatan itu sendiri menjadi
tidak baik, palsu dan munafik. Kebaikan tidak dapat diperbuat dengan sengaja.
Kebaikan tak mungkin dapat dipelajari atau dilatih. Yang dapat dilatih hanyalah
kepura-puraan saja. Kebaikan adalah wajar bagai sinar matahari, seperti
harumnya bunga. Kebaikan adalah suatu sifat yang terpencar dari suatu
kepribadian yang bersih. Kebaikan adalah suatu tindakan yang timbul dari batin
yang penuh kasih.
Keinginan
untuk menjadi sesuatu, agar sesuatu itu kelihatan agung, misalnya menjadi orang
baik, otomatis mengotorkan kebaikan itu sendiri. Keinginan buat menjadi sesuatu
selalu mendatangkan kepalsuan, karena pamrih atau keinginan yang menyembunyikan
keuntungan bagi diri sendiri itu selalu mempunyai tujuan. Keinginan akan
memperoleh buah atau hasilnya ini menjadi terpenting, sedangkan perbuatan baik
itu sendiri hanya dijadikan alat untuk mencapai hasil yang menguntungkan atau
menyenangkan itu!
Hal ini akan
nampak jelas kalau kita mau mengamati diri sendiri setiap saat, pada saat
keinginan timbul, keinginan yang dianggap suci dan luhur sekali pun. Kita buka
mata batin, kita amati dan akan nampaklah bahwa ada setan bersembunyi di sudut
belakang keinginan luhur itu, yang menanti datangnya hasil baik untuk
diterkamnya.
Yang penting
bukan ingin menjadi orang baik, tetapi sadar akan keburukan-keburukan dalam
perbuatan kita. Kesadaran akan kekotoran ini timbul dalam pengamatan kita
secara serius terhadap diri sendiri lahir batin. Kesadaran akan
perbuatan-perbuatan buruk kita akan menghentikan perbuatan buruk itu, bukan
dengan maksud agar menjadi baik! Karena kalau menghentikan perbuatan buruk itu
menyembunyikan pamrih supaya menjadi baik, maka yang menjadi baik juga masih
keburukan itu sendiri yang berganti baju atau bersalin warna belaka.
Cinta kasih
dan kebaikan selalu ada, karena cinta kasih dan kebaikan adalah suatu kewajaran
yang tidak dibuat-buat, bukan hasil dari latihan, tanpa teori-teori muluk. Akan
tetapi, cinta kasih dan kebaikan tidak nampak sinarnya karena batin kita penuh
dengan debu kotoran yang diciptakan oleh pikiran yang membentuk si-aku yang
selalu dipenuhi keinginan-keinginan. Singkirkan semua debu kotoran itu, dan
cinta kasih dan kebaikan akan memancarkan sinarnya dengan terang dan wajar.
Sejak kecil
kita diajarkan untuk melakukan hal-hal baik sehingga dengan otomatis kita
selalu berusaha untuk berbuat baik karena ada pahala di ujung perbuatan baik.
Pahala itu dijanjikan kepada kita oleh kebudayaan kita, melalui tradisi dan
agama. Pahala itu dapat dinamakan kehidupan tenteram, kebahagiaan, sorga,
nirwana dan sebagainya lagi, juga nama baik atau keuntungan materi yang nampak
lebih jelas. Maka berlomba-lombalah kita untuk melakukan perbuatan baik, yang
pada hakekatnya hanya berlomba untuk mendapatkan pahala itulah!
Jadi, apa
artinya melakukan perbuatan baik, atau menjadi orang baik, kalau dibaliknya
tersembunyi pamrih mengejar pahala? Apa artinya kita menolong orang dan memberi
sesuatu, kalau dalam perbuatan itu kita mengharapkan balas jasa dari orang yang
kita tolong, atau kita mengharapkan pujian, nama baik dan sebagainya? Kalau
begini, jauh lebih benar kalau kita tidak melakukan perbuatan baik dari pada
melakukan perbuatan baik yang semu, palsu dan berpamrih!
Lebih baik
kalau kita mengamati diri sendiri dan melihat adanya kepalsuan-kepalsuan dalam
kebaikan kita ini. Karena hanya dengan pengamatan yang mendalam dan menyeluruh
maka terjadi perubahan, terjadi penghentian segala yang palsu itu. Dan kalau
sudah tiada keinginan untuk memperoleh pahala, kalau sudah tidak ada keinginan
menjadi orang baik, maka semua perbuatan kita adalah wajar! Bukan baik buruk
lagi, melainkan wajar.
Dan tentu
saja kewajaran ini merupakan pencerminan dari pada kepribadian kita. Kalau
pribadi sudah bersih dari pada segala macam debu kekotoran berbentuk
keinginan-keinginan demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri, maka yang
tinggal hanya kewajaran di mana sinar cinta kasih dan kebaikan akan menerangi
semua perbuatan itu.
Karena itu,
bukankah jauh lebih baik kalau pelajaran berupa keinginan menjadi orang baik
ini dirubah dalam kehidupan anak-anak kita, dirubah menjadi pengamatan terhadap
kepalsuan-kepalsuan diri sendiri tiap saat? Agar kebaikan dan cinta kasih
menyinarkan cahayanya secara wajar dengan pembersihan diri dari dalam?
Pada saat
Siu Kwi mengajukan pertanyaan itu kepada Bi Lan, gadis ini lalu menjawab dengan
wajah gembira. "Memang kami bertemu denganmu hanya karena kebetulan saja,
suci. Aku sedang melakukan perjalanan ke utara, ke gurun pasir untuk mencari
suhu dan subo."
"Perdekar
Naga Sakti Gurun Pasir ?" tanya Siu Kwi dan suaranya mengandung rasa
kekaguman. Pernah ia sebagai Bi-kwi, bertemu dengan mereka dan merasakan
sendiri kesaktian mereka yang menggiriskan.
"Benar,
suci. Aku hendak mengembalikan pedang Ban-tok-kiam milik subo ini. Sedang
Sim-toako ini berbaik hati untuk mengantarku ke sana. Di dalam perjalanan,
ketika kami tiba di hutan itu, kami mendengar tangismu dan sungguh kebetulan
sekali kita dapat saling bertemu di sana."
Siu Kwi
menarik napas panjang. "Memang di dunia ini terjadi banyak sekali
peristiwa secara kebetulan saja. Baru kini aku dapat menyadari betapa besar
kekuasaan Thian yang seolah-olah sudah mengatur segala yang nampak dan tidak
nampak dalam alam semesta ini. Pertemuan dengan Jin-ko juga hal yang kebetulan
saja."
Sim Houw
mengangguk-angguk. "Memang tepat sekali apa yang baru dikatakan oleh
Ciong-lihiap. Nampaknya saja kebetulan karena tadinya kita tak tahu sama
sekali, tapi sesungguhnya sudah ada garisnya sendiri-sendiri. Baik buruknya
garis itu sepenuhnya berada dalam tangan kita masing-masing, karena hal-hal
yang nampaknya tidak ada hubungan sama sekali itu sebenarnya masih berupa suatu
rangkaian yang tergantung dari keadaan kehidupan kita sendiri, yang ditentukan
oleh kita sendiri dengan segala ulah kita."
Siu Kwi
menghela napas panjang. "Ah, betapa menariknya mempelajari soal kehidupan.
Dulu, aku sama sekali tak peduli akan sebab akibat, tak peduli akan isi
kehidupanku..."
"Sudahlah,
suci, kita tadi berjanji akan meninggalkan masa lalu. Sekarang, apa yang akan
kalian lakukan dan ke mana kalian hendak pergi?"
Siu Kwi
memandang kepada Yo Jin yang juga sedang menatap wajahnya di bawah sinar api
unggun. Wajah Siu Kwi nampak cantik dan manis luar biasa dalam pandangan mata
Yo Jin. Dua pasang mata itu bertemu dan meski pun mulut mereka diam saja, namun
mereka seperti saling mengenal isi hati masing-masing dan sudah mengadakan
persetujuan dengan pandang mata mereka.
"Aahh,
kami... akan memulai suatu kehidupan baru, sumoi. Aku akan meninggalkan seluruh
kehidupan lama yang pernah kulalui dengan segala kekerasannya, melupakan
segala-galanya dan belajar menjadi seorang isteri yang baik dan setia, dan
kalau Thian menaruh kasihan kepada seorang seperti aku, aku ingin menjadi
seorang ibu yang bijaksana bagi anak-anak kami. Kami akan pergi dan tinggal di
sebuah dusun yang jauh dan baru, dan aku... ahh, maaf Jin-ko, aku lupa belum
minta persetujuanmu dalam hal ini..."
Yo Jin
tersenyum, memandang dengan sinar mata mengandung penuh kasih sayang dan
pengertian. "Aku setuju saja dengan rencanamu, Kwi-moi. Memang sebaiknya
kita pergi jauh dari sini untuk melupakan hal-hal lalu dan agar jangan terjadi
lagi hal-hal yang buruk."
Malam itu
dilewatkan oleh empat orang muda ini dengan bercakap-cakap dan baik Bi Lan mau
pun Sim Houw diam-diam merasa heran, kagum dan juga girang sekali melihat
betapa sikap Siu Kwi yang dulu terkenal dengan julukan Bi-kwi (Setan Cantik)
berubah sama sekali! Sinar matanya yang menjadi lembut penuh kasih sayang,
terutama kalau ditujukan pada Yo Jin, suaranya yang menjadi halus merdu dan
bebas dari kebencian, gerak-geriknya, pendeknya orang akan pangling dan tidak
mengenalnya lagi sebagai Siu Kwi beberapa bulan yang lalu!
Sudah lajim
di antara kita manusia, perbuatan sesat mendatangkan akibat yang buruk bagi
kita sendiri, dan kalau sudah demikian, timbul penyesalan dan janji bertobat di
mulut atau di hati. Akan tetapi, bertobat seperti ini sering kali tidak ada
hasilnya sama sekali dan tak lama kemudian kita akan terjerumus lagi ke dalam
kesesatan yang sama!
Kesesatan
dilakukan orang karena orang ingin meneguk kesenangan dari perbuatan itu dan
bertobat karena penyesalan setelah timbul akibat buruk bagi diri sendiri
bukanlah bertobat yang sesungguhnya lagi. Tobat macam ini tak akan bertahan
lama, dan setelah penyesalan sebagai akibat buruk itu menipis. rasa bertobat
pun ikut pula menipis dan tidak lama kemudian, daya tarik untuk meneguk
kesenangan kembali mendorong kita untuk melakukan perbuatan yang sama.
Seperti
orang minum arak. Kalau kemudian mabok dan sakit-sakit seluruh badan, mulut dan
hati menyatakan bertobat tidak akan minum arak lagi. Akan tetapi, setelah rasa
sakit-sakit itu hilang, kita akan lupa karena membayangkan enak dan nikmatnya
minum arak, dan kita pun minum lagi. Demikian seterusnya seperti lingkaran
setan yang tidak pernah putus.
Yang penting
bukanlah bertobat karena menyesal menerima akibat buruk, melainkan pengamatan
terhadap diri sendiri setiap saat. Pengamatan ini akan mendatangkan kesadaran
dan kebijaksanaan, dan pengamatan ini akan merubah diri seketika, saat demi
saat, sehingga tidak terjadi pengulangan-pengulangan.
Kebaikan
bukanlah suatu yang menjadi kebiasaan, melainkan harus dihayati detik demi
detik dengan pengamatan terhadap diri sendiri. Yang penting itu membersihkan
diri dari kotoran, bukan keinginan untuk bersih. Keinginan untuk bersih saja
tidak membuat kotoran menjadi lenyap. Kalau kotoran sudah lenyap, untuk apa ingin
menjadi bersih?
Sesal dan
tobat pun tidak ada kalau segala perbuatan kita didasari cinta kasih, bukan
lagi menjadi pelaksanaan dari keinginan untuk mengejar dan memperoleh
kesenangan, karena perbuatan didasari cinta kasih ini tanpa pamrih sehingga apa
pun yang menjadi akibat dari perbuatan ini tidak akan menimbulkan penyesalan
apa pun.
Pada esok
harinya, pagi-pagi sekali, Bi Lan dan Sim Houw berpamit untuk melanjutkan
perjalanan mereka. Siu Kwi menggandeng tangan Bi Lan dan diajaknya sumoi-nya
itu agak menjauh dari Sim Houw dan Yo Jin karena dia ingin bicara empat mata
dengan sumoi-nya itu. Setelah berada cukup jauh sehingga percakapan mereka
tidak akan terdengar orang lain, Siu Kwi lalu merangkul adik seperguruannya.
"Sumoi,
aku mengucapkan selamat kepadamu!"
"Ehh,
untuk apa, suci?"
"Engkau
telah memperoleh seorang pacar yang pilihan! Aku ikut merasa girang, adikku.
Sim-taihiap adalah seorang pria pilihan yang amat mengagumkan hatiku. Engkau
tentu beruntung sekali!"
Wajah Bi Lan
berubah merah. Heran ia mengapa suci-nya dapat menduga dengan tepat bahwa ia
memang diam-diam jatuh cinta sampai ke ujung rambutnya kepada Sim Houw! Akan
tetapi, mengingat sikap Sim Houw yang tidak pernah menyatakan cintanya, dia
menjadi sedih dan menarik napas panjang.
"Aihh,
aku tidak seberuntung engkau, suci."
"Ehh?
Salahkah rabaanku bahwa engkau mencinta Sim-taihiap?"
Bi Lan
langsung tertunduk dan wajahnya merona merah, sementara pada bibirnya yang
memang sudah berwarna merah merekah senyuman manis. Perubahan ini tidak lepas
dari pengawasan Siu Kwi, akan tetapi segera alisnya berkerut ketika melihat
senyum di bibir sumoi-nya pelan-pelan memudar.
“Ehh? Apakah
yang terjadi, sumoi-ku yang jelita?”
Seperti
tanpa semangat dan hanya bicara untuk dirinya sendiri, terdengar suara lirih
dari bibir Bi Lan, “Aku memang jatuh cinta padanya, tapi agaknya dia hanya
menganggapku sebagai adiknya saja…, atau bahkan… kawan biasa…”
“Apa? Dari
mana kau punya pikiran itu? Apakah dia pernah menyatakan demikian?” Siu Kwi
bertanya karena penasaran. Sebagai wanita yang sudah berpengalaman, dia dapat
melihat mata Sim Houw yang penuh dengan cinta kasih setiap kali menatap
sumoi-nya.
“Sim-toako
tidak pernah berkata begitu, tapi… tetapi dia juga tidak pernah menyatakan
cintanya kepadaku,” Bi Lan menjawab, masih terdengar lirih tanpa semangat.
Siu Kwi
tertawa dan merangkul sumoi-nya. "Anak bodoh! Tanpa pengakuan mulut pun,
apakah engkau tidak dapat mengerti dan melihatnya? Aku sudah melihat dengan
jelas sekali betapa Sim-taihiap amat mencintamu!"
"Ehhh...?"
Bi Lan terbelalak memandang wajah suci-nya penuh selidik.
"Percayalah,
sumoi. Dia amat mencintamu, dan mungkin dia terlalu rendah hati untuk membuat
pengakuan. Akan tetapi aku yakin bahwa dia cinta padamu, jelas nampak dalam
pandang matanya kepadamu, suaranya, dan sikapnya. Hanya wanita yang buta saja
yang tidak akan dapat melihat cintanya kepadamu, sumoi!"
Wajah Bi Lan
menjadi semakin merah akan tetapi kini wajah itu berseri dan mulutnya tersenyum
manis sekali. Ia percaya akan keterangan suci-nya, karena ia tahu benar bahwa
enci-nya adalah orang yang sudah memiliki pengalaman luas dalam menilai pria.
"Terima
kasih suci!" Bi Lan merangkul dan mencium pipi suci-nya. Kini wajahnya
yang manis nampak berseri penuh kebahagiaan. "Keteranganmu itu sungguh
amat berharga, mendatangkan cahaya yang menerangi seluruh hati dan perasaanku.
Terima kasih!"
Pada saat
mereka berangkulan ini, terasa oleh masing-masing betapa keduanya saling
mengasihi dan menyayang seperti kakak beradik sendiri saja. Dan Siu Kwi tidak
dapat menahan air mata yang membasahi sepasang matanya ketika melihat Bi Lan
pergi bersama Sim Houw. Akan tetapi, ketika ia merasa ada tangan menyentuh
pundaknya dengan lembut. Ia pun membalik dan merangkul Yo Jin, menyembunyikan
mukanya di dada pria yang dicintanya itu.
Cinta asmara
memang hebat, kuasanya terhadap perasaan manusia amat besarnya sehingga cinta
asmara mampu mendatangkan sorga atau pun neraka dalam kehidupan seseorang. Luar
biasa.
**************
Mereka
menemukan sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi di lereng bukit
itu. Sudah hampir dua pekan mereka berpisah dari Siu Kwi dan Yo Jin dan kini
mereka sudah tiba di deretan bukit-bukit yang tak terhitung banyaknya dan yang
nampaknya tak pernah habis itu, gunung-gunung besar kecil yang bertaburan di
sepanjang perbatasan sebelah utara.
Tembok Besar
nampak seperti seekor naga yang berlika-liku dan naik turun bukit-bukit dan
gunung-gunung, amat indah dan megahnya. Mereka belum lagi melewati Tembok Besar
yang sudah nampak jauh di utara dari tempat mereka berhenti untuk melewatkan
malam.
Setelah
makan malam dan membersihkan diri di sumber air di belakang kuil tua, makan
yang cukup lezat walau pun yang mereka makan hanyalah bekal roti dan daging
kering bersama air jernih, karena perut lapar dan tubuh lelah, Bi Lan dan Sim
Houw duduk di ruangan belakang kuil tua itu. Ruangan itu merupakan bagian yang
masih paling baik di antara bagian lain yang sudah rusak dan banyak yang sudah
runtuh. Mereka sore tadi sudah membersihkan tempat itu sehingga enak untuk
dipakai beristirahat. Sim Houw sudah mengumpulkan kayu bakar yang diambilnya
dari dalam hutan, ditumpuk di situ untuk dipakai malam nanti, pengusir nyamuk
dan hawa dingin.
Setelah
menumpuk beberapa potong kayu bakar, Bi Lan lalu membuat api dan sebentar saja
ruang yang tadinya sudah mulai gelap itu menjadi terang kemerahan dan hawanya
yang tadinya dingin menjadi hangat. Hal ini mendatangkan perasaan gembira di
hati Bi Lan.
Ia memandang
wajah Sim Houw yang juga duduk di dekat api unggun di depannya. Memandang
sampai lama jarang berkedip, mulutnya tersenyum seperti orang sedang mengejek.
Tadinya Sim
Houw tidak menyangka sesuatu pun karena selama melakukan perjalanan bersama
dara ini, hubungan mereka akrab dan setiap hari entah berapa puluh kali dia
melihat dara yang memang lincah jenaka ini tersenyum. Dan memang wajah itu
paling manis kalau tersenyum, muncul lesung pipit di kanan kiri mulutnya.
Namun ketika
melihat bahwa dara itu menatap sejak tadi hampir tak pernah berkedip, dia pun
merasa canggung dan kikuk sekali, menjadi salah tingkah. Ingin mengalihkan
pandang mata, merasa sayang karena pada saat itu wajah Bi Lan nampak cantik
jelita dan manis seperti wajah seorang bidadari dalam dongeng, akan tetapi
kalau dipandang terus dia merasa malu dan khawatir kalau dianggap kurang sopan.
Dicobanya
mengalihkan perhatian dengan menambah kayu bakar pada api unggun, akan tetapi
karena matanya tidak mau diajak pindah, dia tidak melihat bahwa tangannya
terjilat api.
"Uhhh...!"
Dia menarik tangannya. Untung dia bertindak cepat dan dua jari tangannya hanya
terjilat dan terasa panas saja, belum sampai melepuh.
"Ehh,
kau kenapa, Sim-koko? Tanganmu terbakar?' tanya Bi Lan kaget dan cepat ia
menangkap lengan kiri pemuda itu untuk diperiksa.
“Ahh, hanya
terjilat sedikit, tidak terluka..."
Bi Lan
merasa lega melihat bahwa tangan itu tidak melepuh, hanya hangus sedikit.
"Sakitkah,
koko?"
Melihat
kesungguhan sikap Bi Lan yang amat memperhatikan dan mengkhawatirkan tangannya
itu, diam-diam Sim Houw merasa gembira sekali. Tetapi dia menggelengkan
kepalanya dan dengan lembut menarik kembali tangannya karena dia merasa malu
diperlakukan seperti anak kecil oleh Bi Lan. "Tidak, Lan-moi, hanya panas
sedikit saja. Salahku sendiri kurang hati-hati."
Hening
sampai agak lama. Sim Houw kini menunduk dan dia masih merasa bahwa gadis itu
terus memandangnya, seolah-olah terasa olehnya sinar mata yang hangat itu
menatapnya.
"Sim-koko,
ada satu hal yang sudah lama menjadi pertanyaan bagiku dan ingin sekali aku
mendengar jawabannya secara terus terang darimu."
Sim Houw
mengangkat mukanya dan memandang dengan penuh keheranan, dan sinar matanya
menyelidiki wajah dara itu seperti hendak menjenguk isi hatinya.
"Pertanyaan apakah itu, Lan-moi?"
"Sim-ko,
perjalanan menuju ke Istana Gurun Pasir merupakan perjalanan yang amat jauh,
sukar dan berbahaya, bukankah begitu?"
Sim Houw
mengangguk-angguk. "Benar sekali, Lan-moi, dan juga amat jauhnya."
"Nah,
inilah yang membuat aku terheran-heran dan tiada habisnya kupikirkan. Kenapa
engkau bersusah payah mengantar aku ke sana, Sim-ko? Perjalanan ini mengandung
resiko, berbahaya dan sukar, kenapa engkau yang bukan apa-apa denganku, berani
mengambil resiko dan mengantarkan aku? Kenapa, Sim-ko?"
Mendengar
pertanyaan ini dan melihat betapa sinar mata dara itu memandang padanya dengan
amat tajam penuh selidik, wajah Sim Houw berubah merah. Untung sinar api unggun
itu juga berwarna merah sehingga menyembunyikan kemerahan mukanya, dan dia pun
menundukkan muka memandangi api unggun, seakan-akan hendak mencari jawabannya
dari nyala api itu.
"Bagaimana,
Sim-ko? Jawablah dengan terus terang," kata Bi Lan dan gadis ini yang
sudah tahu dari Siu Kwi bahwa pemuda ini sebenarnya cinta kepadanya, memandang
dengan hati tegang akan tetapi juga dengan senyum simpul melihat sikap Sim Houw
yang seperti orang kebingungan dan canggung.
Akhirnya Sim
Houw menarik napas panjang. "Kenapa hal itu saja perlu kau tanyakan,
Lan-moi? Bukankah sudah jelas bahwa kita adalah sahabat baik? Kita sudah banyak
mengalami hal-hal yang berbahaya bersama, bahkan sudah bersama-sama terancam
bahaya maut. Karena engkau seorang gadis, tentu saja aku tidak ingin membiarkan
engkau seorang diri mencari Istana Gurun Pasir yang sedemikian jauhnya,
melakukan perjalanan yang demikian berbahaya seorang diri saja. Karena itulah
aku mengantarmu, Lan-moi."
"Akan
tetapi,... perjalanan ini selain sukar juga mempertaruhkan nyawa! Engkau tentu
memiliki banyak sahabat, apakah terhadap semua sahabatmu engkau akan melakukan
hal yang sama? Aku pun mempunyai banyak sahabat, akan tetapi kiranya selain
engkau tidak akan ada yang mau melakukan perjalanan berbahaya ini untuk
mengantar aku. Alasan bersahabat itu kurang meyakinkan hatiku, Sim-ko!"
"Akan
tetapi kita bukan sahabat biasa, Lan-moi, melainkan sahabat yang sangat baik!
Melebihi saudara sendiri. Pendeknya, aku tidak ingin melihat engkau terancam
bahaya dan aku... aku siap mengorbankan nyawa untuk melindungimu..."
Bukan main
girang dan terharu rasa hati Bi Lan. Jelas sudah jawaban itu membuktikan
kebenaran keterangan Siu Kwi. Perdekar ini cinta padanya. Akan tetapi ia belum
puas. Kenapa tidak secara langsung saja Sim Houw menyatakan cinta padanya?
Bagaimana pun juga, tidak baik kalau dia terlalu mendesak, dan dia pun
tersenyum manis, dengan penuh keyakinan bahwa senyumnya menciptakan lesung pipit
yang tidak pernah gagal mendatangkan sinar kagum dalam sepasang mata pendekar
itu.
Ia tidak
sadar bahwa malam ini, ditimpa sinar api unggun, senyumnya amat istimewa,
membuat Sim Houw terpesona. Pendekar ini terpaksa menundukkan pandang matanya
untuk menenangkan hatinya yang terguncang oleh kekaguman.
"Kalau
begitu, terima kasih atas kebaikan hatimu, Sim-ko."
Hening lagi
sejenak. Sim Houw termenung memandang nyala api unggun. Bi Lan yang termenung,
kadang-kadang mengangkat muka dan memandang wajah orang muda itu. Bukan seorang
pemuda remaja lagi. Akan tetapi juga bukanlah seorang kakek tua, melainkan
wajah seorang laki-laki. Seorang jantan yang sudah matang, dengan wajah
memperlihatkan garis-garis pengalaman dan kepahitan hidup.
"Sim-ko..."
"Hemmm...?"
Sim Houw sadar dari lamunan dan menatap wajah Bi Lan.
Sesaat
pandang mata mereka bertemu, bertaut dan kini Bi Lan yang menundukkan pandang
matanya, merenung ke arah nyala api.
"Sim-ko,"
katanya lirih, tetap merenung ke arah api unggun seolah-olah ia bicara kepada
api. "Engkau pernah mencinta seorang wanita namun gagal karena dia
mencinta pria lain. Sakitkah hatimu, Sim-ko?"
Sim Houw
menatap wajah itu penuh selidik, namun tetap saja dia tidak tahu ke mana arah
angin pertanyaan dara itu. Dia mengerutkan alisnya dan menjawab dengan tegas.
"Sakit hati? Ah, tidak sama sekali, Lan-moi. Kenapa aku harus sakit hati?
Ia mencinta pria lain yang lebih baik dari pada aku dan ia hidup berbahagia.
Tidak ada alasan bagiku untuk sakit hati."
"Maksudku
bukan sakit hati dan menaruh dendam, Sim-ko. Akan tetapi, apakah engkau tidak
patah hati, tidak putus asa dan menderita sakit dalam dirimu?"
Sim Houw
tersenyum dan memandang gadis itu yang kini juga menatapnya. Heran dia
mendengar pertanyaan itu dan ia pun menggelengkan kepalanya dengan pasti.
"Tidak, Lan-moi. Patah hati dan putus asa hanya dilakukan oleh orang yang
lemah. Apa pun yang terjadi di dalam hidup, suka mau pun duka hanyalah
bagaimana kita menilainya saja. Duka hanyalah gambaran iba hati yang berlebihan.
Segala macam peristiwa hidup harus kita hadapi dengan tabah dan ikhlas, tanpa
keluhan."
"Tapi...
tapi... apakah kegagalan cinta itu tidak membuat engkau jera, Sim-ko?"
"Jera
bagaimana maksudmu?"
"Jera
dan tidak berani untuk jatuh cinta kembali."
"Cinta
tidak pernah gagal, Lan-moi. Perjodohan bisa saja putus dan gagal. Akan tetapi
cinta? Kurasa cinta itu abadi, Lan-moi."
Bi Lan
memandang bingung, tidak mengerti. "Akan tetapi... apakah semenjak engkau
gagal... ehhh, maksudku semenjak hubungan cintamu dengan Kam Bi Eng yang kini
menjadi isteri Suma Ceng Liong itu engkau pernah jatuh cinta lagi dengan
seorang gadis lain?"
Sim Houw
tersenyum, sampai lama tidak dapat menjawab. Memang harus diakuinya bahwa
semenjak berpisah dari Kam Bi Eng yang memilih Suma Ceng Liong sebagai
jodohnya, dia tidak pernah lagi jatuh cinta, sampai sekarang, karena dia tahu
benar bahwa dia jatuh cinta kepada Bi Lan! Akan tetapi untuk mengakui cintanya,
dia merasa sungkan dan segan, khawatir kalau-kalau hal itu akan menyinggung perasaan
Bi Lan dan juga dia merasa ngeri kalau-kalau hal itu akan memisahkan dia dengan
gadis ini.
"Aku
sudah tua sekarang, Lan-moi. Siapakah yang begitu bodoh mau menaruh hati
kepadaku?" jawabnya menyimpang.
Tiba-tiba Bi
Lan tertawa, menutupi mulutnya.
"Hi-hi-hik,"
Ia seperti mengajak bicara kepada nyala api unggun karena ia memandang kepada
api itu, "coba dengarkan keluhan kakek tua renta ini, menyesali
kehidupannya yang tua renta dan sepi. Kasihan sekali dia...!"
"Lan-moi,
sudahlah jangan goda aku. Kita bicara urusan lain saja..."
"Aku
justru ingin bicara tentang cintamu, Sim-ko."
Sim Houw
menarik napas panjang dan dia sungguh tak mengerti akan sikap dan watak gadis
ini yang kini begitu tiba-tiba bicara tentang hal yang bukan-bukan!
"Sesukamulah,
Lan-moi."
"Kau
marah...?"
Sim Houw
tersenyum dan memandang dengan wajah berseri. Bagaimana mungkin dia mampu marah
kepada dara ini, dara yang dicintanya? Pertanyaan yang aneh-aneh itu merupakan
satu di antara keistimewaan Bi Lan, yang demikian lincah dan penuh gairah
hidup.
"Tidak,
Lan-moi. Aku tidak pernah dan tidak akan pernah marah kepadamu."
"Kenapa?"
Tiba-tiba dara itu mendesak.
"Karena...
karena engkau tidak pernah bersalah, engkau wajar dan lincah gembira..."
Kembali Bi
Lan mengerutkan alisnya. Sukar benar pria ini mengakui cintanya, pikirnya
penasaran.
"Jadi
selama ini, sejak engkau berpisah dan gagal dalam hubunganmu yang pertama
dengan wanita yang kau cinta, engkau tidak pernah jatuh cinta lagi,
Sim-ko?"
Sim Houw
tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala, dan tiba-tiba dia memegang tangan
Bi Lan, menariknya dengan sentakan keras sehingga dara itu terlempar ke arahnya
melalui atas api unggun.
Tentu saja
Bi Lan terkejut bukan main, akan tetapi Sim Houw segera memberi isyarat dengan
tangannya. Kiranya seekor ular sebesar kelingking, tetapi panjangnya lebih dari
dua kaki, telah berada di atas lantai di mana Bi Lan duduk. Ular itu adalah
seekor ular berbisa yang amat berbahaya. Dengan sekali menggerakkan tangannya,
jari tangan Sim Houw mengetuk ke arah kepala ular yang diangkat tegak. Ular tu
terlempar ke dalam api unggun dan berkelojotan.
"Mari...!"
kata Sim Houw sambil menyambar tangan Bi Lan dan juga buntalan mereka dan
mengajak gadis itu meloncat ke luar kuil dengan gerakan cepat.
Kembali Bi
Lan terkejut, akan tetapi hilanglah rasa kagetnya ketika mereka tiba di luar
dan ia melihat bahwa di luar kuil telah berdiri belasan orang! Tahulah kini Bi
Lan bahwa munculnya ular berbisa tadi pun tidak wajar, melainkan dimunculkan
dengan sengaja oleh seorang di antara belasan orang ini untuk menyerangnya. Dan
melihat bahwa di antara mereka terdapat orang-orang berpakaian seperti pendeta,
ia pun dapat menduga bahwa tentu mereka ini orang-orang Pek-lian-kauw atau
Pat-kwa-kauw.
Dugaannya
memang tidak keliru. Di bawah penerangan empat buah obor besar yang dipegang
oleh empat orang di antara mereka, ia dapat melihat gambar teratai putih dan
segi delapan di dada baju para pendeta itu. Jelas bahwa kedatangan mereka ini
tentu ada hubungannya dengan dua orang pendeta, yaitu Ok Cin Cu dan Thian Kek
Sengjin yang telah ia kalahkan bersama Sim Houw.
"Kalian
semua tentulah siluman-siluman dari Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw!" Bi
Lan membentak marah. "Siapakah di antara kalian yang tadi melepas ular
berbisa?"
Seorang di
antara tiga belas orang itu adalah seorang kakek bongkok yang mukanya buruk
sekali, seperti monyet karena kecilnya muka itu, hidungnya pesek dan matanya
juga sangat kecil. Tubuhnya yang kecil pendek dan bongkok itu dibungkus jubah
dan melihat gambar bunga teratai di dadanya, jelas dapat diketahui bahwa dia
merupakan seorang pendeta Pek-lian-kauw.
Mendengar
pertanyaan Bi Lan, kakek bongkok ini terkekeh dan suara ketawanya juga lucu dan
tidak lumrah seperti tubuhnya karena yang kemudian terdengar hanya suara
"kek-kek-kek-kek!" seperti leher dicekik dan tubuhnya
terguncang-guncang semua.
"Heh-heh-heh!"
Suara tercekik-cekik itu disusul kekeh mengejek.
Dia pun
menggurat-gurat tanah di depan kakinya dengan ujung tongkatnya. Tongkat itu
berwarna hijau dan bentuknya seperti ular, dan memang tongkat itu sebetulnya
adalah seekor ular besar yang panjangnya tidak kurang dari lima kaki, warnanya
hijau dan anehnya, kadang-kadang ular itu dapat menjadi kaku seperti ketika
ekornya digurat-guratkan pada tanah tadi.
"Akulah
yang mengirim ular tadi untuk berkenalan denganmu, nona."
"Kakek
iblis jahanam!" bentak Bi Lan dan ia pun sudah menerjang ke depan,
mengirim pukulan dengan tamparan tangan kanannya ke arah kepala kakek bongkok
itu.
Ia menjadi
amat marah sebab dengan mengirim ular berbisa tadi, berarti kakek ini ingin
membunuhnya secara keji sekali. Maka, kini ia pun langsung saja menyerang
dengan tamparan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya dan karena
ia ingat bahwa kakek ini adalah seorang ahli ular berbisa, maka ia pun
menggunakan ilmu yang sama kejamnya, yaitu Ilmu Pukulan Ban-tok Ciang-hoat
(Ilmu Silat Selaksa Racun)!
Pukulan
dengan ilmu ini memang sangat dahsyat. Ilmu ini dipelajari oleh Bi Lan dari
nenek Wan Ceng, isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka selain amat
kuat, juga mengandung hawa beracun yang berbahaya sekali.
Kakek
bongkok itu berjuluk Coa-ong Sengjin, berusia enam puluh lima tahun dan dia
masih terhitung sute dari Thian Kek Sengjin. Biar pun dalam hal ilmu silat dan
ilmu sihir tingkatnya tidak melebihi tingkat Thian Kek Sengjin, akan tetapi
kakek ini memiliki suatu kelebihan. Sesuai dengan julukannya, yaitu Coa-ong
(Raja Ular), dia adalah seorang pawang ular yang pandai.
Maka, ketika
belasan orang ini, atas pemberi tahuan Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin yang
terluka parah oleh Sim Houw dan Bi Lan, mengejar dan mendapatkan dua orang itu,
Coa-ong Sengjin segera mengirim seekor ular berbisa yang nyaris menggigit Bi
Lan. Pada hal, andai kata Sim Houw tidak menariknya sehingga gadis itu
terhindar dari gigitan ular, bagi Bi Lan tidaklah terlalu berbahaya jika ia
sampai digigit ular berbisa. Ia telah mewarisi ilmu Ban-tok Ciang-hoat, dan ia
telah menerima pelajaran tentang racun-racun dari nenek Wan Ceng sehingga gigitan
beracun tentu tidak akan mencelakainya.
Melihat
betapa gadis itu dapat lolos dari ‘kiriman’ ular, Coa-ong Sengjin maklum bahwa
gadis itu dan temannya yang berjuluk Pendekar Suling Naga merupakan dua orang
lawan yang tangguh. Apa lagi melihat keadaan Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin
yang terluka parah. Maka, kini melihat gadis itu menyerangnya dengan tamparan
yang cepat dan kuat, Coa-ong Sengjin juga mengerahkan tenaganya, tangan kirinya
menyambut tamparan itu sedangkan tangan kanannya yang memegang tongkat ular
hidup itu menggerakkan ularnya yang menyambar ke depan, ke arah leher Bi Lan!
"Dukkk!"
Dua tangan
itu bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Coa-ong Sengjin tergetar hebat. Dia
terkejut sekali, akan tetapi melanjutkan serangannya dengan ular di tangan
kanan.
Melihat ular
yang menyambar ke arah lehernya, Bi Lan sama sekali tak merasa gentar. Ia
menggerakkan tangan kirinya untuk menangkap leher atau kepala ular supaya dapat
dicengkeram hancur. Untungnya kalau memiliki tongkat hidup, ular itu agaknya
memiliki indera yang sangat tajam dan dapat mengelak dengan menarik lehernya ke
belakang, melengkung dan mulutnya mendesis-desis mengeluarkan uap beracun.
Biar pun
tidak takut terhadap uap beracun itu, Bi Lan maklum bahwa setidaknya, kalau
kulit terkena semburan uap itu, tentu akan gatal-gatal, maka ia pun cepat
meloncat ke belakang. Coa-ong Sengjin tidak berani memandang rendah setelah
tadi pertemuan tangan dengan gadis muda itu membuat tubuhnya tergetar dan
terhuyung. Tahulah dia bahwa gadis itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat!
Sementara
itu, Sim Houw tidak menghendaki Bi Lan untuk tergesa-gesa menyerang musuh yang
banyak jumlahnya. Ia dapat melihat bahwa lima orang berpakaian pendeta yang
berdiri di depannya itu bukanlah orang-orang lemah. Dengan sikap tenang dia
lalu melangkah maju.
"Cu-wi
totiang (para bapak pendeta), ada keperluan apakah cuwi malam-malam datang
mengganggu kami yang sedang beristirahat melewatkan malam di kuil tua
ini?"
"Siancai!"
Seorang tosu yang kelihatannya sudah amat tua renta karena rambut, kumis dan
jenggotnya sudah putih semua, usianya tentu lebih dari tujuh puluh tahun,
sedang memegang sebatang tongkat yang panjang, sama dengan tinggi tubuhnya,
mengelus jenggotnya yang putih panjang ketika dia mengeluarkan seruan itu dan
dialah yang melangkah maju menghadapi Sim Houw.
Sejenak
mereka berdiri saling pandang dan Sim Houw juga mengamati kakek itu penuh
perhatian. Seorang kakek yang tua dan nampaknya lemah, namun melihat sikapnya
yang berwibawa, pandang matanya yang mencorong, dia pun dapat menduga bahwa
tentu kakek yang pada dadanya ada gambar Pat-kwa ini merupakan seorang tokoh
dari Pat-kwa-kauw yang bertingkat tinggi.
Dugaan Sim
Houw juga tepat karena kakek ini merupakan orang ke dua di perkumpulan
Pat-kwa-kauw, menjadi wakil ketua. Nama julukannya adalah Thian Kong Cinjin dan
sebagai orang ke dua Pat-kwa-kauw, tentu dia memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi.
"Orang
muda, apakah engkau yang berjuluk Pendekar Suling Naga, dan yang dengan
semena-mena telah melukai seorang tokoh kami dari Pat-kwa-kauw, dan juga
seorang tokoh sahabat kami dari Pek-lian-kauw?"
Agaknya kakek
ini memandang rendah kepada Bi Lan, maka dia sama sekali tidak mempedulikan
gadis itu, walau pun tadi dia melihat sendiri betapa gadis itu mampu menandingi
serangan balasan dari Coa-ong Sengjin.
"Sim-ko,
jelas bahwa mereka ini adalah siluman-siluman yang hendak membalaskan kekalahan
Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin, dua tosu siluman itu!" Bi Lan berseru.
"Benar,
totiang," jawab Sim Houw. "Saya bernama Sim Houw dan nona ini adalah
Can Bi Lan."
Kakek yang
sikapnya halus berwibawa itu mengangguk-angguk. "Benarkah kalian telah
melindungi seorang siluman betina dan melukai dua orang rekan kami?"
Sim Houw
mengerutkan alis. "Kami berdua membela yang lemah dan benar. Saudara Yo
Jin dengan sewenang-wenang ditangkap, bahkan ayahnya dibunuh, karena itu kami
membantu tunangannya untuk membebaskannya. Kedua orang totiang Ok Cin Cu dan
Thian Kek Sengjin bahkan hendak menangkap kami, maka terjadilah perkelahian dan
akibatnya mereka berdua terluka. Harap cu-wi totiang memaafkan karena
sebenarnya kami sama sekali tidak mencari permusuhan dengan pihak mana pun
juga."
"Hemm,
enak saja, heh-heh-heh!" kata Coa-ong Sengjin. "Sudah melukai orang
sampai menderita luka parah, lalu minta maaf. Kalian tentu orang-orang yang
belum lama ini membasmi para pembantu Hou-taijin. Hayo katakan, siapa di antara
kalian yang sudah membunuh Kim Hwa Nionio!"
Ditanya
demikian oleh si kakek bongkok, Sim Houw mengerutkan alisnya. Dia tidak merasa
heran kalau para tosu Pek-lian-kauw mengenal Kim Hwa Nionio, mungkin ada
hubungan baik karena mereka sealiran.
"Kim
Hwa Nionio dan kawan-kawannya membantu pembesar durna, maka aku pun membantu
para pendekar untuk membersihkan kota raja dari pengaruh mereka. Dalam
pertempuran itu, Kim Hwa Nionio memang terbunuh olehku," jawabnya tenang.
Mendengar
ini, lima orang tosu itu, dua dari Pat kwa-kauw dan tiga dari Pek-lian-kauw,
menjadi amat marah. Bahkan Thian Kong Cinjin yang memimpin rombongan itu nampak
marah dan kelembutannya tertutup oleh kemarahan yang membuat mukanya merah dan
matanya terbelalak. Patut diketahui bahwa Kim Hwa Nionio di waktu mudanya amat
populer di antara para tosu Pek-lian-kauw dan menjadi sahabat baik mereka.
"Hemm,
kiranya yang bernama Suling Naga adalah seorang muda yang sombong dan mudah
menjatuhkan tangan maut kepada golongan kami. Sim Houw, Pendekar Suling Naga,
sekarang kami datang untuk minta nyawamu guna menebus semua rekan kami yang
telah terbunuh atau terluka olehmu!"
"Tidak
kelirukah jalan pikiran totiang?" Sim Houw berkata dengan sikap masih
tenang sekali. "Semua yang aku lakukan itu bukan berdasarkan permusuhan
atau kebencian pribadi, melainkan karena aku membela yang benar dan secara
tidak kebetulan sekali yang totiang bela itu berdiri di pihak yang sesat. Jika
sekarang totiang hendak membela yang salah, bukankah berarti bahwa totiang juga
akan mengambil jalan sesat, tidak sesuai dengan kedudukan totiang sebagai
seorang pendeta?"
"Siancai...!
Engkau sungguh terlalu sombong, orang muda. Pinto memiliki pandangan dan
kebenaran pinto sendiri. Nah, rasakan pembalasan kami!" Berkata demikian,
kakek itu menggerakkan tongkatnya yang panjang dan angin besar menyambar ke
arah Sim Houw.
Pemuda itu
terkejut dan cepat melompat ke belakang. Tongkat tidak mengenai dirinya, akan
tetapi anginnya membuat pakaian dan rambutnya berkibar-kibar. Dia maklum akan
kelihaian lawannya ini, maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun cepat menghunus
pedang Liong-siauw-kiam yang diputarnya menjadi segulungan sinar yang
mengeluarkan bunyi mengaung-ngaung.
Melihat ini,
Bi Lan tidak tinggal diam. Dicabutnya pedang Ban-tok-kiam dan ia pun turut
menerjang maju, yang diterjangnya adalah kakek bongkok yang langsung merasa
ngeri sekali melihat pedang di tangan gadis itu.
"Pedang
iblis... pedang iblis...!" katanya berkali-kali sambil berloncatan ke
sana-sini dan memainkan ular hijau di tangannya untuk mencari peluang memulai
serangan.
Tiga orang
tosu lainnya sudah mempergunakan senjata mereka masing-masing, yaitu tongkat
dan tasbeh untuk mengepung Bi Lan dan Sim Houw. Salah seorang membantu Coa-ong
Sengjin dan dua orang membantu Thian Kong Cinjin.
Tingkat
kepandaian lima orang itu rata-rata seperti tingkat kepandaian Ok Cin Cu dan
Thian Kek Sengjin, hanya tingkat Thian Kong Cinjin yang paling tinggi. Kakek
tua renta ini memang lihai bukan main dan dia merupakan seorang ahli tenaga
sinkang yang kuat. Kekuatannya itu masih ditambah dengan kekuatan ilmu hitam
sehingga kadang-kadang tongkatnya seperti hidup dan dapat bergerak sendiri!
Menghadapi
kakek ini saja Sim Houw harus berhati-hati sekali, apa lagi kakek itu juga
dibantu oleh dua orang tosu lain yang lihai pula, maka Sim Houw harus
mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Untung di
tangannya ada suling Liong-siauw-kiam. Kehebatan permainan pedang suling yang
bisa mengeluarkan suara bagaikan orang memainkan lagu dengan suling, membuat
tiga orang lawannya gentar dan sukar menembus pertahanan Sim Houw.
Di lain
pihak, Bi Lan juga sudah mengamuk dengan pedangnya. Sebenarnya, tingkat
kepandaian dua orang pengeroyoknya itu masing-masing sudah lebih tinggi sedikit
dari pada tingkatnya, akan tetapi berkat keampuhan Ban-tok-kiam, dua orang
lawannya juga amat gentar dan berhati-hati sekali menghadapi sambaran sinar
pedang yang luar biasa ampuh dan menggiriskan itu.
Thian Kong
Cinjin diam-diam merasa kagum akan tetapi juga penasaran sekali. Di situ masih
terdapat beberapa orang murid kepala yang merupakan murid-murid terpandai, akan
tetapi makin banyak yang mengeroyok akan membuat gerakannya dan kawan-kawannya
menjadi kacau dan tidak teratur. Dia pun teringat akan rencana siasatnya
sebelum mereka menyerbu.
Melihat
kegagahan dua orang muda itu dia pun lalu mengeluarkan suara melengking, yaitu
aba-aba rahasia yang hanya dimengerti oleh kawan-kawannya, sesuai dengan siasat
yang telah mereka rencanakan. Mendengar aba-aba ini, lima orang tosu itu segera
berlompatan mundur dan pada saat itu, tiga buah obor besar tadi tiba-tiba saja
dipadamkan! Keadaan menjadi gelap gulita dan diam-diam lima orang tosu yang
sudah merencanakan siasat ini, telah membentuk kepungan segi lima! Mereka dapat
bergerak di dalam gelap karena memang sudah mereka rencanakan lebih dulu.
Sim Houw dan
Bi Lan terkejut bukan main ketika dari keadaan yang terang kini berubah menjadi
gelap dan dalam kegelapan itu, tiba-tiba saja ada sambaran-sambaran senjata
dari lima penjuru!
Mereka
terpaksa memutar pedang dan menangkis hanya mengandalkan pendengaran mereka
saja. Akan tetapi karena sambaran senjata-senjata itu datang dengan gencar,
dari arah-arah yang tidak terduga sama sekali, maka paha kiri Bi Lan terkena
pukulan tongkat, sedangkan punggung Sim Houw juga terkena pukulan tongkat yang
cukup keras. Mereka tidak terluka parah namun pukulan-pukulan itu cukup
mendatangkan rasa ryeri.
Sim Houw
maklum bahwa jika dilanjutkan, dia dan Bi Lan mungkin terluka berat karena ia
tahu bahwa lima orang pengeroyok itu telah mengatur siasat untuk bergerak di
dalam gelap, gerakan yang sudah diatur semacam barisan. Belum lagi kalau
delapan orang yang lain ikut maju mengeroyok!
Ia pun
mendapatkan akal. Dengan mengandalkan pendengarannya, ia cepat mendekati dan
mengadu punggung dengan Bi Lan, sambil keduanya memutar pedang di depan mereka.
Dengan rabaan dan sentuhan lengan kirinya, Sim Houw memberi isyarat dan
memegang tangan kiri dara itu sambil berteriak, "Lan-moi, kita bobol
kepungan di kiri!"
Sambil
berkata demikian, ia menarik gadis itu ke kanan dan bersama gadis itu memutar
pedang di arah kanan. Ketika dia berteriak, kelima orang itu tentu saja
memusatkan pertahanan di kiri untuk mencegah mereka melarikan diri. Siapa kira,
dua orang yang mereka kepung itu malah menyerbu ke kanan, di mana Coa-ong
Sengjin berada.
Kakek
bongkok ini berusaha memutar tongkat ular hijaunya, tetapi ular itu terpotong
menjadi lima potong disambar Ban-tok-kiam dan Liong-siauw-kiam dan ia sendiri
cepat melompat mundur kalau tidak ingin terbabat oleh sinar pedang yang
berkilauan itu. Sim Houw terus menarik tangan Bi Lan dan keduanya melarikan
diri secepatnya setelah berhasil terlepas dari kepungan.
"Kejar
mereka!" Thian Kong Cinjin membentak marah.
"Nyalakan
obor!"
"Mereka
lari ke arah hutan!"
Obor-obor
lalu dinyalakan dan tiga belas orang itu melakukan pengejaran. Akan tetapi
bayangan dua orang buruan itu telah lenyap. Thian Kong Cinjin tidak kehilangan
akal. Dia lalu memecah-mecah rombongannya menjadi tiga. Dia sendiri pergi
bersama dua orang, Coa-ong Sengjin bersama empat orang, dan lima orang sisanya
menjadi satu bagian. Tiga rombongan ini kemudian melakukan pengejaran dan
pencarian dengan cara berpencar, memasuki hutan sambil membawa obor.
Melakukan
pengejaran sambil membawa obor merupakan suatu kebodohan. Sim Houw dan Bi Lan
yang melarikan diri ke dalam hutan, tentu saja dapat melihat obor mereka dan
dua orang ini dapat mengarahkan pelarian mereka menjauhi obor. Bi Lan sedikit
terpincang dan Sim Houw juga merasa nyeri pada punggungnya.
Setelah
mereka keluar dari dalam hutan, mereka melalui sebuah bukit dan menjelang pagi,
keduanya barulah mengaso. Para pengejar tidak nampak lagi. Mereka berhenti di
bukit yang berbatu-batu, bersembunyi di antara batu-batu besar untuk
beristirahat dan mengumpulkan tenaga sambil mengobati bagian yang memar karena
pukulan tongkat.
"Sim-ko,
kita belum kalah, tapi mengapa engkau memaksa aku melarikan diri? Kalau dilanjutkan,
bukan tidak mungkin kita akan dapat merobohkan dan membunuh seorang dua orang
di antara lima ekor monyet itu," Bi Lan yang merasa penasaran mengeluh
karena merasa tidak puas. Pahanya terasa nyeri namun dia belum sempat membalas
kepada musuh-musuhnya!
"Justru
itulah yang tak kukehendaki, Lan-moi. Kalau keadaan terang, aku masih mampu
menahan dan memperingatkanmu supaya tidak sembarangan membunuh orang. Akan
tetapi setelah gelap, berbahaya sekali bagi kita, juga berbahaya bagi mereka
karena jika engkau mengamuk, aku tidak dapat menanggung keselamatan nyawa
mereka pula."
"Akan
tetapi, Sim-ko. Mereka itu berusaha mati-matian untuk membunuh kita! Kenapa
engkau masih tidak setuju kalau kita membunuh mereka? Bukankah mereka itu
orang-orang yang jahat?"
"Belum
tentu, Lan-moi. Mereka memusuhi Ciong-lihiap suci-mu itu, tentu saja karena
mereka masih mengira bahwa suci-mu itu seorang yang jahat dan sesat. Kiranya
hanya kita berdua sajalah yang yakin benar bahwa suci-mu kini telah berubah
sama sekali, tetapi orang lain belum tentu dapat percaya. Dari pada kesalahan
tangan membunuh orang yang tidak berdosa sehingga tertanam benih permusuhan
yang tiada kunjung habis, lebih baik kalau kita meloloskan diri."
"Akan
tetapi kita melarikan diri! Tentu mereka mentertawakan kita dan menganggap kita
pengecut!" Bi Lan membantah dengan penasaran.
"Mereka
tidak akan dapat mentertawakan kita, Lan-moi. Mereka sendiri yang telah
memperlihatkan sikap pengecut, dengan pengeroyokan dan pemadaman obor."
Bi Lan
kemudian teringat akan percakapan mereka tentang cinta sebelum orang-orang
Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu datang menyerbu. Hatinya masih dipenuhi rasa
penasaran!
Pria ini
boleh jadi mencintanya, seperti yang dikatakan oleh suci-nya. Dan memang,
melihat setiap gerak-gerik Sim Houw, caranya melindunginya, pandang matanya,
kata-katanya, ia pun percaya bahwa Sim Houw mencintanya. Akan tetapi mengapa
dia tidak pernah mengakuinya? Sudah dipancing-pancing dalam percakapan itu,
tetap saja Sim Houw pandai mengelak dan mengalihkannya. Tiba-tiba ia memperoleh
akal.
"Aduhhhh...!"
Ia berteriak dan menggigit bibir, merintih dan kedua tangannya memegang paha
kirinya, memijit-mijitnya perlahan, mukanya berkeriput menahan nyeri.
Sim Houw
terkejut bukan main dan cepat dia menghampiri. "Kenapa, Lan-moi? Ada
apakah dengan kakimu...?" tanyanya penuh was-was.
"Aduhh...
Sim-ko, pahaku ini...ahhh, tadi tidak begitu nyeri, akan tetapi
sekarang..."
"Sekarang
bagaimana, Lan-moi...?" Sim Houw bertanya dan tanpa disadarinya, saking
khawatir, dia meraba paha kiri yang dipijit-pijit Bi Lan itu.
"Nyeri
sekali... auuhhh, tak tertahankan nyerinya..."
"Lan-moi,
biar aku memeriksanya, jangan-jangan ada tulang yang patah atau urat yang
terkilir..."
"Ya...
cepatlah... aduhhh, pukulan monyet tua bongkok itu keras sekali..."
Sim Houw
terpaksa merobek celana di bagian paha kiri dan nampaklah kulit paha yang putih
mulus. Dia menggunakan kedua tangannya meraba dan memijit-mijit, memeriksa
apakah ada tulang yang patah. Akan tetapi, selain tanda agak biru bekas
gebukan, paha itu tidak ada apa-apa, tidak ada tulang yang patah atau urat yang
terkilir. Hatinya merasa lega sekali.
"Tidak
ada tulang patah dan tidak ada urat terkilir, Lan-moi," katanya.
"Akan
tetapi, nyerinya sampai menusuk ke jantung...!" Bi Lan mengaduh.
"Hanya
luka memar saja, Lan-moi, akan tetapi mungkin saking kerasnya pukulan, maka
menimbulkan rasa nyeri. Biar kuurut sebentar agar jalan darahnya pulih dan luka
di bawah kulitnya cepat sembuh."
Mulailah Sim
Houw memijit-mijit paha itu. Tadi hatinya gelisah karena mengkhawatirkan gadis
itu. Sekarang, setelah dia yakin bahwa paha itu tidak apa-apa, hanya luka memar
saja yang biar pun nyeri akan tetapi tidak terlalu berbahaya, barulah dia
melihat betapa indahnya paha yang nampak karena kain celananya dirobek itu.
Dia adalah
seorang pria yang normal dan sehat. Usianya pun sudah cukup dewasa, bahkan
sudah terlalu dewasa. Maka wajarlah kalau gairahnya bangkit ketika dia melihat
mulusnya paha Bi Lan, apa lagi kedua tangannya meraba dan memijit bagian tubuh
yang nampak indah itu, merasakan kelembutannya, kekenyalannya dan
kehangatannya. Mukanya berubah merah, napasnya agak terengah dan sepuluh jari
tangannya yang meraba dan memijit itu mulai gemetar.
Bi Lan yang
sejak tadi mencurahkan perhatiannya untuk memperhatikan keadaan pria itu, tentu
saja dapat mengetahui perubahan ini. Dan diam-diam hatinya merasa gembira
sekali dan senyumnya membayang di bibir. Tentu saja paha kirinya terasa nyeri,
akan tetapi tidaklah separah yang diperlihatkannya. Melihat keadaan Sim Houw,
jantungnya berdebar dan kini pijitan jari-jari tangan Sim Houw itu terasa lain,
membuatnya berdebar dan terangsang.
"Ahh,
enak sekali, Sim-ko, nyerinya hilang. Terima kasih..."
"Tak
perlu berterima kasih, Lan-moi. Dan syukurlah kalau pijitanku menolong,"
kata Sim Houw yang berusaha keras untuk menekan gejolak perasaannya.
"Sim-ko,
aku melanjutkan percakapan kita malam tadi. Apakah sampai sekarang engkau masih
belum jatuh cinta kepada seorang wanita? Apakah engkau masih belum berani
mengaku cinta kepada wanita lain setelah pengalamanmu yang pahit itu?"
Ditanya
begini, kedua tangan Sim Houw semakin gemetar sehingga dia menghentikan
pijitannya. Sudah berada di ujung bibirnya untuk mengaku cinta kepada Bi Lan,
namun ditahannya.
"Aku...
aku..."
Saking
bingungnya, tak tahu harus berkata apa, dia kembali menggunakan sepuluh jari
tangannya memijati paha yang nyeri itu.
Pada saat
itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Tak tahu malu...!"
Baik Sim
Houw mau pun Bi Lan terkejut bukan main. Sim Houw cepat menarik kedua
tangannya, sementara Bi Lan segera menutupkan bagian celana yang terbuka di
paha, dan keduanya meloncat bangun dan membalikkan tubuh.
Kiranya di
situ telah berdiri dua orang laki-laki dan melihat bahwa seorang di antara
mereka adalah Gu Hong Beng yang berdiri terbelalak dengan mata berapi dan
bertolak pinggang, Bi Lan teringat akan penglihatan tadi dan mukanya menjadi
merah sekali.
Terbayang
kembali peristiwa beberapa waktu yang lalu. Pernah ia terluka dan Cu Kun Tek
mengobati pinggangnya, hampir sama seperti yang dilakukan Sim Houw tadi, hanya
bedanya kalau Kun Tek meraba pinggangnya, Sim Houw meraba pahanya. Ketika itu,
Hong Beng muncul dan pemuda yang cemburu ini langsung saja menyerang Kun Tek
karena menyangka mereka berbuat cabul!
Dan kini,
tiba-tiba Hong Beng muncul dan mendengar seruannya tadi yang mengatakan mereka
tidak tahu malu dia pun tahu bahwa kembali Hong Beng cemburu dan salah sangka!
Maka, ia pun menjadi marah. Dengan muka merah dan mata berapi-api, ia pun
melangkah maju.
"Gu
Hong Beng, engkaulah laki-laki yang tak tahu malu!" ia membentak dengan
marah sekali. "Selalu mencampuri urusan orang dan menjatuhkan fitnah,
menuduh orang yang bukan-bukan karena cemburu. Sungguh tak tahu malu, cinta
tidak dibalas lalu berubah menjadi cemburu gila!"
Wajah Hong
Beng menjadi merah, bukan hanya karena marah akan tetapi juga karena malu.
Ucapan itu memang tepat bukan main, seperti ujung pedang yang menusuk dan
menembus jantungnya. Karena tepat itulah maka mendatangkan rasa nyeri yang
lebih hebat lagi.
Memang ia
cemburu, ia iri terhadap Sim Houw. Kenapa Bi Lan demikian akrab dengan Sim
Houw? Mungkinkah dara itu, yang menolak cintanya, kini jatuh cinta kepada Sim
Houw? Aneh, pikirnya. Dalam segala hal, kecuali barangkali dalam hal ilmu
silat, dia tidak kalah oleh Sim Houw. Dia lebih muda, sebaya dengan Bi Lan,
juga cukup tampan! Sim Houw terlalu tua untuk Bi Lan. Hal ini membuat dia menjadi
semakin penasaran.
Akan tetapi
sebelum dia sempat menjawab lagi. Sim Houw yang sudah mengenal Hong Beng
sebagai seorang di antara para pendekar muda yang gagah perkasa, bahkan dia
mendengar bahwa pemuda ini adalah murid dari keluarga Pulau Es, cepat melangkah
maju dan memberi hormat kepada Hong Beng dan pria yang usianya kurang dari
empat puluh tahun dan nampak pendiam dan serius itu.
"Saudara
Gu Hong Beng, harap jangan salah sangka terhadap nona Can Bi Lan. Kami semalam
berkelahi melawan musuh-musuh yang lihai dan nona Can terkena pukulan pada paha
kirinya. Kami beristirahat di sini dan aku hanya berusaha menghilangkan rasa
yeri yang dideritanya karena luka memar di pahanya."
"Aku
tidak mempersoalkan itu!" Gu Hong Beng juga membentak dengan suara tetap
ketus. "Akan tetapi kalian sungguh tidak tahu malu telah mengambil jalan
sesat dan membantu, juga melindungi iblis betina Bi-kwi murid Sam Kwi! Sekarang
kami datang untuk minta supaya kalian memberi tahu kepada kami di mana tempat
persembunyian Bi-kwi agar kami dapat membasminya!"
Bi Lan amat
marah mendengar ini. "Hong Beng, tutup mulutmu yang kotor! Kami berdua
memang membela dan melindungi suci Ciong Siu Kwi dari gangguan orang-orang
jahat. Dan suci sekarang telah menjadi seorang wanita yang baik-baik, jangan
kau memakinya sebagai iblis betina."
"Hemmm,
bohong besar Bi Lan, aku tidak menyangka bahwa engkau sekarang telah berbalik
pikir dan mencontoh kehidupan suci-mu yang bejat akhlaknya itu. Siapa sudi
percaya kebohonganmu bahwa orang macam Bi-kwi dapat berubah menjadi wanita
baik-baik? Dan buktinya pun tidak begitu. Baru-baru ini dia bahkan membantu
orang-orang jahat untuk memusuhi suhu-ku ini." Berkata demikian, Hong Beng
menunjuk pada laki-laki berusia tiga puluh delapan tahun itu yang sejak tadi memandang
tajam tanpa mengeluarkan sebuah kata pun.
"Ahhh...!"
Sim Houw dan Bi Lan berseru kaget.
Kiranya pria
yang datang bersama Gu Hong Beng ini adalah guru pemuda itu, berarti bahwa pria
ini adalah pendekar Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es! Sim Houw
memandang penuh perhatian dan merasa terkejut sekali. Para pembaca tentu akan
terheran pula bagaimana Suma Ciang Bun dapat muncul bersama Gu Hong Beng di
tempat itu.
Seperti
telah kita ketahui, Suma Ciang Bun yang sedang bersemedhi diganggu oleh Ok Cin
Cu dan Thian Kek Sengjin yang minta bantuan Ciong Siu Kwi. Wanita ini terpaksa
memenuhi permintaan mereka untuk menyelamatkan Yo Jin yang dijadikan tawanan
dan semacam sandera untuk memeras Siu Kwi. Dan dalam perkelahian dikeroyok tiga
ini, terpaksa Suma Ciang Bun melarikan diri dengan membawa luka.
Belum jauh
ia melarikan diri, ia terpaksa beristirahat dan berusaha mengobati lukanya.
Dalam keadaan demikianlah dia bertemu dengan Hong Beng, muridnya yang memang
sedang mencarinya. Melihat gurunya terluka, Hong Beng lalu membantu suhu-nya
untuk mengobati luka itu dan bertanya bagaimana suhu-nya sampai menderita luka.
Ditanya oleh
muridnya, Suma Ciang Bun menarik napas panjang. "Dua orang tosu dari
Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw menyerangku. Memang kedua perkumpulan itu selalu
memusuhi keluarga Pulau Es. Aku herhasil mengalahkan dan mengusir mereka
berdua. Akan tetapi, beberapa hari kemudian mereka datang lagi, kali ini
dibantu oleh seorang wanita cantik yang masih muda dan lihai sekali. Dan sekali
ini, pengeroyokan mereka bertiga membuat aku terluka dan terpaksa melarikan
diri."
Hong Beng
marah sekali. "Hemm, siapakah wanita itu, suhu? Seperti bagaimana rupa dan
macamnya?"
Pada waktu
Suma Ciang Bun menggambarkan keadaan Siu Kwi, Hong Beng menepuk pahanya.
"Ahh,
tidak salah lagi! Tentu iblis wanita itu yang membantu para tosu
Pek-lian-kauw!"
"Kau
kenal wanita itu?"
"Ia
tentu Bi-kwi, murid Sam Kwi. Ia memang jahat bukan main, suhu, keji dan sangat
pantas untuk dibasmi dari permukaan bumi!" Hong Beng kemudian menceritakan
semua pengalamannya sejak dia meninggalkan suhu-nya.
Girang hati
Suma Ciang Bun mendengar bahwa muridnya telah melakukan banyak hal gagah,
bahkan muridnya juga telah bertemu dan bekerja sama dengan para pendekar
keturunan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir.
Dengan
perawatan Hong Beng, Suma Ciang Bun cepat sembuh kembali dari semua
luka-lukanya. Pada suatu hari, Gu Hong Beng meninggalkan gurunya di dalam goa
di bukit yang berbatu-batu itu untuk mencari makanan bagi suhu-nya. Ketika dia
sedang berjalan seorang diri di tempat sunyi itu, menuju ke sebuah dusun, di
sebuah tikungan tiba-tiba dia melihat dua orang kakek yang berpakaian seperti
tosu sedang duduk mengaso di tepi jalan. Agaknya dua orang kakek itu kelelahan,
atau sedang sakit.
Hong Beng
yang menaruh curiga karena teringat akan cerita gurunya yang diganggu oleh tosu
tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, cepat menghampiri dua orang kakek itu.
Mereka memakai pakaian pendeta, akan tetapi bagian luarnya memakai jubah yang
tebal karena hawa memang dingin dan agaknya mereka menderita luka. Ketika
melihat mereka tidak seperti orang jahat, Hong Beng kemudian menjura dengan
penuh hormat. "Kenapakah ji-wi totiang berada di sini dan kelihatannya
seperti sedang menderita? Siapakah ji-wi totiang?"
Melihat
seorang pemuda yang gagah dan bersikap sopan, dua orang tosu itu sejenak
memandang penuh perhatian. Seorang di antara mereka yang tinggi besar dan
berperut gendut, segera berkata, "Siancai, siancai... terima kasih atas
perhatianmu, orang muda yang baik. Penglihatanmu tajam sekali, karena kami
memang sedang sakit, menderita luka-luka dalam yang cukup berat."
Hong Beng
terkejut. "Ahh? Apakah ji-wi totiang baru saja berkelahi dengan orang
lain?"
Kakek yang
kurus kering mengangguk-angguk. "Memang penglihatanmu tajam sekali, dan
tentu engkau seorang yang gagah perkasa, orang muda. Sebelum kita bicara lebih
jauh, bolehkah pinto mengetahui siapa namamu dan dari perguruan manakah?"
Melihat
sikap dua orang tosu itu seperti bukan orang jahat, dan memang kebanyakan
pendeta dan pertapa tentulah orang-orang yang baik, maka dia pun mengaku terus
terang. "Saya bernama Gu Hong Beng, guru saya adalah pendekar Suma Ciang
Bun..."
"Aihhh!"
Si kakek gendut berseru. "Pendekar Suma dari Pulau Es?"
Hong Beng
tersenyum, agak bangga. "Memang suhu adalah keturunan keluarga Pulau Es
dan siapakah ji-wi totiang?"
Sebelum
kakek gendut menjawab, kakek kurus sudah mendahului. "Kami adalah dua
orang pertapa yang sudah lama mengasingkan diri dan kadang-kadang saja
melakukan perjalanan ke gunung-gunung dan dusun-dusun. Pinto Pek-san Lojin dan
ini adalah sute Hek-san Lojin. Dalam perjalanan kami, di satu dusun di balik
bukit ini, kami mendengar bahwa ada seorang siluman betina yang membikin kacau
dusun dengan menculik dan membunuh pemuda-pemuda tampan. Sebagai orang yang
selalu menentang kejahatan, kami berdua lalu melakukan penelitian dan mendapat
kenyataan bahwa siluman betina itu adalah Bi-kwi, murid dari mendiang Sam
Kwi..."
"Ahh,
aku tahu siluman itu!" Hong Beng berseru. "Apakah ji-wi kalah olehnya
sehingga terluka?"
"Sayang
sekali, sebenarnya kami berdua dapat menundukkan siluman itu. Akan tetapi
muncul dua orang yang membantunya sehingga kami terluka. Pembantunya itu bukan
lain adalah seorang pemuda bernama Sim Houw, dan pacarnya bernama Can Bi Lan
sumoi dari siluman betina itu..."
"Ahhhh...!
Pacarnya...?" Hong Beng menegaskan dengan hati panas. Panas karena Bi Lan
dan Sim Houw membantu Bi-kwi, juga panas karena mendengar bahwa Bi Lan menjadi
pacar Sim Houw.
"Ya,
pacarnya. Mereka demikian akrab, dan mereka lihai sekali. Kami kalah dan
terluka. Ahhh, kalau taihiap adalah murid dari keluarga Pulau Es, kami harap
taihiap akan suka menghadapi mereka, untuk menyelamatkan para pemuda di
dusun-dusun wilayah ini."
"Jangan
khawatir, ji-wi totiang, saya dan suhu pasti akan dapat membasmi siluman itu
dan kaki tangannya!"
Setelah
kembali ke tempat di mana gurunya beristirahat, Hong Beng kemudian bercerita
tentang dua orang pertapa itu. Mendengar ini, Suma Ciang Bun menjadi marah
sekali. "Hemmm, mula-mula ia membantu para tokoh Pek-lian-kauw dan kini
bahkan menculik pemuda-pemuda dusun. Hong Beng, mari kita pergi mencari
mereka!"
"Akan
tetapi suhu baru saja sembuh..."
"Aku
sudah sembuh sama sekali. Mereka itu lihai, kalau engkau yang maju sendiri, aku
khawatir engkau akan celaka. Kalau kita maju berdua, tentu mereka akan dapat
kita basmi."
Demikianlah,
guru dan murid itu meninggalkan goa dan mulai dengan usaha mereka untuk mencari
Siu Kwi, Bi Lan dan Sim Houw. Dan pada pagi hari itu, kebetulan sekali mereka
melihat Bi Lan dan Sim Houw dan melihat betapa Sim Houw memijit-mijit paha kiri
Bi Lan, tentu saja cemburu, iri hati dan kemarahan membuat Hong Beng tak dapat
menahan diri dan segera maju menegur dengan sikap marah.
Mendengar
tuduhan Hong Beng terhadap Siu Kwi tadi, Bi Lan segera mengambil sikap membela
suci-nya.
"Ia
juga menceritakan hal itu kepadaku!" bantahnya. "Memang benar ia
telah membantu tosu Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw untuk memusuhi
Suma-locianpwe, akan tetapi ia melakukannya dengan sangat terpaksa karena
pemuda tunangannya ditawan oleh para tosu itu."
Mendengar
mereka berbantahan, Suma Ciang Bun segera melangkah maju. "Sudahlah, tidak
perlu berbantahan. Yang penting, harap kalian suka memberi tahu di mana adanya
siluman betina itu karena kami ingin membunuhnya."
Bi Lan marah
sekali, juga Sim Houw mengerutkan alisnya. Sikap pendekar keturunan keluarga
Pulau Es ini sungguh tidak menyenangkan, dan terlalu terburu nafsu hendak
membunuh orang. Tak dapat diajak berunding dengan baik-baik, dan sikap itu
agaknya didorong oleh ketinggian hati yang tidak memandang kepada orang lain.
"Suci
Ciong Siu Kwi tidak bersalah dan kami tidak tahu ia berada di mana. Andai kata
kami tahu sekali pun, tidak akan kami beri tahukan kepada orang-orang yang
berniat untuk mengganggunya!" kata Bi Lan dengan suara ketus.
Hong Beng
meloncat ke depan. "Bi Lan!" katanya, suaranya kereng. "Antara
kita sudah terjalin persahabatan semenjak lama sekali, dan kita sama mengenal
masing-masing sebagai pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan, menentang
kelaliman dan kejahatan. Apakah engkau lupa akan hal itu? Ketika kita semua
menyerbu para pembantu pembesar lalim Hou Seng, engkau sudah melepaskan Bi-kwi
dan kukira hal itu hanya karena engkau mengingat hubungan perguruan dan menaruh
hati kasihan kepadanya. Akan tetapi siapa tahu, kini agaknya engkau malah
tersesat dan hendak mengikuti jejaknya! Engkau melindungi seorang iblis betina,
walau pun iblis itu pernah menjadi suci-mu. Ingatlah Bi Lan, dan sadarlah
sebelum terlambat." Ia lalu memandang kepada Sim Houw. "Sim-taihiap
selama ini kuanggap sebagai Pendekar Suling Naga yang terkenal. Kenapa setelah
dekat dengan Bi Lan, tidak mau membimbing gadis ini ke arah jalan yang
benar?"
"Hong
Beng, tutup mulutmu! Engkau tidak berlak mengurus kehidupanku! Aku yakin akan
kebenaran suci-ku yang ingin menjadi orang baik, dan kalau engkau tidak setuju,
terserah. Tidak perlu memberi kuliah kosong kepadaku!" Bi Lan kini juga
sudah marah sekali.
"Bi
Lan, engkau tahu bahwa aku sayang kepadamu. Akan tetapi kalau engkau berpihak
kepada iblis betina Bi-kwi, terpaksa aku menganggapmu sebagai orang yang akan
menyeleweng dan patut dihajar."
"Keparat,
majulah! Siapa takut kepadamu?" Bi Lan juga membentak marah.
Hong Beng
maju dan mengirim tamparan yang dielakkan oleh Bi Lan dan gadis ini pun
membalas dengan tendangan kilat yang dapat pula dielakkan oleh Hong Beng.
Mereka segera terlibat dalam suatu perkelahian sengit, karena keduaya sudah
menjadi panas hati dan marah sekali.
Cemburu
memang merupakan suatu penyakit yang amat berbahaya. Anggapan bahwa cinta harus
dihiasi cemburu adalah anggapan yang menyesatkan. Cemburu timbul dari
pementingan diri pribadi, cemburu adalah iri hati karena keinginannya untuk
menguasai sesuatu atau seseorang secara mutlak, terganggu. Cemburu mendatangkan
kemarahan dan bahkan kebencian, menimbulkan permusuhan.
Cinta kasih
adalah sesuatu yang suci murni, dan hanya dengan peniadaan kepentingan diri
pribadi maka cinta kasih dapat bersinar. Cemburu adalah kembangnya nafsu, bukan
kembangnya cinta.
Hong Beng
tadi menganggap bahwa dia mencinta Bi Lan. Akan tetapi karena Bi Lan menolak
cintanya, datanglah cemburu dan dia merasa iri hati terhadap setiap orang pria
yang akrab dengan gadis yang pernah membuatnya tergila-gila itu. Dan dari
kenyataan ini saja mudah dinilai bahwa cintanya terhadap Bi Lan adalah cinta
nafsu, cinta karena tertarik oleh kecantikan dan pribadi gadis itu.
Cintanya
mudah berubah menjadi cemburu dan kebencian sehingga kini tanpa ragu-ragu lagi
dia mengerahkan tenaga dan kepandaian untuk berkelahi dengan gadis yang katanya
pernah dia cinta itu! Berkelahi mati-matian berarti berusaha untuk mencelakai,
melukai atau bahkan membunuh!
Mungkinkah
cinta kasih yang suci berubah menjadi nafsu ingin membunuh? Kalau cinta nafsu
memang mungkin, karena antara cinta birahi dan nafsu membunuh terdapat satu
pertalian yang kuat, yaitu keduanya timbul dari pementingan diri sendiri,
merupakan nafsu yang selalu menguasai batin manusia.
Melihat
betapa gadis itu dapat bergerak dengan lincah, Hong Beng lalu mengeluarkan
tenaga sakti yang dilatihnya dengan tekun, yaitu tenaga Hwi-yang Sinkang dari
keluarga Pulau Es.
"Dukkk!"
Bi Lan
menahan seruannya pada waktu tangannya bertemu dengan tangan Hong Beng karena
dari tangan pemuda itu keluar hawa panas yang luar biasa sekali, bagaikan
hendak membakar tangannya. Marahlah gadis ini. Dia maklum betapa lihainya murid
keluarga Pulau Es ini, maka ia pun cepat meraba gagang pedangnya.
"Singgg...!"
Nampak sinar
berkilauan ketika Ban-tok-kiam dicabut. Melihat ini, Suma Ciang Bun terkejut
bukan main. Dia jarang melihat pedang Ban-tok-kiam milik nenek Wan Ceng
sehingga dia tidak mengenal pedang itu. Akan tetapi dia tahu benar bahwa pedang
di tangan gadis itu tentulah sebatang pedang pusaka yang luar biasa ampuh, maka
dia mengeluarkan seruan kaget. Juga Hong Beng terkejut. Tentu saja dia mengenal
pedang ini dan maklum betapa ampuhnya Ban-tok-kiam, maka dia pun melompat ke
belakang.
"Bi
Lan, engkau mempergunakan pusaka itu apakah benar-benar hendak membunuh
aku?"
Bi Lan
tersenyum mengejek. "Hong Beng, kalau engkau menyerangku dengan
pukulan-pukulan ampuhmu itu, apakah bukan untuk membunuhku melainkan untuk
menari-nari bersamaku?"
Mendengar
ejekan ini, Hong Beng maju lagi. "Baik, kalau engkau hendak membunuhku,
aku pun tidak takut mati!" Dan dia pun menyerang lagi, akan tetapi
terpaksa meloncat ke samping ketika di sambut tusukan pedang yang mengeluarkan
sinar yang menggiriskan.
"Gadis
kejam menggunakan senjata yang keji!" Tiba-tiba Suma Ciang Bun meloncat ke
depan. "Biarkan aku menghadapinya, Hong Beng!"
Akan tetapi,
Sim Houw telah menghadang ke depan pendekar itu. "Locianpwe, maafkan saya.
Biarkan mereka menyelesaikan urusan mereka dan harap locianpwe tidak turun
tangan mencampuri."
Suma Ciang
Bun kini menatap wajah Sim Houw. "Sudah pernah aku mendengar berita
tentang munculnya pendekar muda yang berjuluk Pendekar Suling Naga. Kalau
engkau membela siluman betina, biarlah aku mencoba kelihaianmu." Berkata
demikian, Suma Ciang Bun sudah maju menampar.
Tamparannya
mendatangkan angin yang amat kuat. Sim Houw cepat mengelak dan dia pun maklum
bahwa pendekar itu memiliki tenaga sakti dari keluarga Pulau Es yang amat
berbahaya, maka dia pun kemudian mengeluarkan Liong-siauw-kiam, yaitu suling
pedangnya yang ampuh. Melihat senjata itu, Suma Ciang Bun memandang kagum.
"Itukah
Liong-siauw-kiam yang terkenal itu? Bagus, hendak kucoba keampuhannya!"
Dan dia pun mencabut keluar sepasang pedangnya.
Siang-kiam
(sepasang pedang) itu indah sekali, ketika dicabut mengeluarkan sinar putih dan
gagangnya dihias ronce-ronce biru dan ketika digerakkan, maka sepasang pedang
itu saling berpapasan dan mengeluarkan suara berdencing dan muncratlah bunga
api. Ia telah memainkan Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang
amat hebat dari Pulau Es.
Sim Houw
tentu saja maklum akan kelihaian lawan dan dia pun memutar senjatanya yang
istimewa. Akan tetapi, pendekar ini tidak berniat untuk mencelakai lawan. Dia
tahu benar bahwa Suma Ciang Bun adalah keturunan keluarga Pulau Es, seorang
pendekar tulen dan kalau sekarang berkelahi dengannya, tidak lain hanya karena
salah paham gara-gara Siu Kwi.
Tentu saja
pendekar ini bersama muridnya mengenal Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi karena sejak
dahulu memang Siu Kwi dimusuhi para pendekar dan bahkan sudah beberapa kali
bentrok dengan Hong Beng. Tentu saja Hong Beng dan guru nya sama sekali tidak
tahu, bahkan tidak akan mau percaya bahwa Ciong Siu Kwi kini sudah bukan Bi-kwi
lagi, bukan Setan Cantik, bukan manusia iblis yang jahat, melainkan seorang
wanita yang jatuh cinta dan yang sedang berusaha untuk merubah jalan hidupnya,
ingin menjadi seorang isteri yang baik dan setia, ingin menjadi seorang ibu
yang baik dan bijaksana!
Sim Houw
tidak mungkin dapat memusuhi seorang pendekar seperti Suma Ciang Bun dan Hong
Beng. Kalau kini dia terpaksa maju, hanyalah karena dia tidak ingin pendekar
itu melawan Bi Lan.
Suma Ciang
Bun adalah seorang pendekar yang berpengalaman dan berilmu tinggi. Tentu saja
gerakan-gerakan Sim Houw yang tidak sungguh-sungguh itu segera dapat
diketahuinya. Dia pun mulai meragu, apakah Pendekar Suling Naga ini pantas
menjadi musuhnya! Jangan-jangan pendekar ini dan gadis itu membela siluman
betina itu oleh karena memang ada dasarnya yang kuat! Dia pun meragu dan tidak
sungguh-sungguh pula mendesak dengan siang-kiamnya, karena tentu saja dia segan
untuk mendesak lawan yang tidak bersungguh-sungguh menyerangnya.
Berbeda
dengan perkelahian yang terjadi antara Bi Lan dan Hong Beng. Dua orang muda itu
agaknya sudah dikuasai oleh kemarahan dan keduanya berkelahi dengan
mati-matian! Akan tetapi, Hong Beng terdesak hebat karena pemuda ini jeri menghadapi
Ban-tok-kiam. Dia banyak mengelak dan hanya kadang-kadang saja membalas dengan
pukulan jarak jauh, mengandalkan sinkang yang hebat dari keluarga Pulau Es yang
sudah dikuasainya.
Dan agaknya
Bi Lan juga merasa betapa dia telah mendapatkan kemenangan karena pedangnya,
maka pedangnya itu hanya dipergunakan untuk mengancam saja, dengan kelebatan
sinarnya yang bergulung-gulung. Dara ini sendiri lebih condong menyerang dengan
tamparan tangan kiri atau tendangan kakinya. Agaknya ia ingin menang melalui serangan
kaki atau tangannya, bukan dengan pedangnya.
Tiba-tiba
terdengar suara mendesis-desis dari jauh, suara desis yang makin lama makin
keras dan terciumlah bau amis binatang buas! Semua orang yang sedang berkelahi
itu cepat meloncat untuk menghentikan perkelahian sementara.
Nampak oleh
mereka seorang laki-laki kecil kurus bongkok sedang mengeluarkan suara mendesis
tinggi sambil kedua tangannya diacung-acungkan ke atas dan di depannya merayap
ratusan ekor ular besar kecil bagai sekumpulan bebek yang sedang digembala oleh
orang kurus bongkok itu.
Ratusan ekor
ular itu mengeluarkan suara mendesis-desis dan binatang-binatang inilah yang
mengeluarkan bau amis...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment