Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Naga
Jilid 14
Suara
mendesis semakin keras karena ular-ular itu kini merayap dengan cepat ke arah
mereka yang tadi berkelahi, agaknya diberi semangat oleh kakek bongkok yang
menjadi gembalanya. Di belakang kakek bongkok itu masih nampak lima orang
lainnya lagi yang kesemuanya bersenjata tongkat.
Melihat
kakek bongkok itu, tahulah Sim Houw dan Bi Lan bahwa dia adalah Coa-ong
Sengjin, tokoh Pek-lian-kauw yang semalam telah mengeroyok mereka. Terkejutlah
Sim Houw.
"Lan-moi,
mari kita pergi!" katanya dan dia pun menangkap tangan Bi Lan dan meloncat
jauh lalu mengajak gadis itu berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu.
"Hendak
lari ke mana kau?" bentak Hong Beng yang hendak mengejar, tetapi suhu-nya
cepat berseru. "Hong Beng, jangan kejar!"
Hong Beng
tidak melanjutkan pengejarannya dan menghampiri suhu-nya yang masih memandang
ke arah kakek bongkok yang menggiring ratusan ular itu. Kini ular-ular itu
seperti binatang-binatang sirkus terlatih saja, mengepung tempat itu bagaikan
barisan mengepung musuh.
Melihat
betapa penggembala ular itu memakai tanda anggota Pek-lian-kauw di dadanya,
diam-diam Suma Ciang Bun menjadi marah. Jelaslah bahwa dua orang muda-mudi tadi
sunguh-sungguh sudah bersekongkol dengan siluman betina yang menjadi sahabat
dari orang-orang Pek-lian-kauw, pikirnya. Dia pernah dikeroyok tosu-tosu
Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw bersama siluman betina bernama Bi-kwi itu, dan
dua orang muda tadi membela Bi-kwi. Kini terbukti bahwa kakek Pek-lian-kauw dan
ular-ularnya ini datang untuk membantu Sim Houw dan Bi Lan, dan mengepung dia
dan muridnya.
Tiba-tiba
Suma Ciang Bun mengeluarkan bunyi melengking tinggi sekali, suara yang keluar
dari mulutnya seperti bukan suara orang, seperti suara suling melengking. Hong
Beng yang dahulu pernah mendengar dari suhu-nya bahwa suhu-nya juga mempunyai
ilmu pawang ular, yaitu ilmu untuk menguasai ular-ular yang pernah dipelajari
dari ibu suhu-nya, memandang dengan hati tegang dan penuh perhatian. Dia
sendiri tak pernah mempelajari ilmu itu, tapi dia tidak gentar menghadapi pengepungan
ular-ular itu walau pun merasa jijik.
Dia melihat
betapa sekarang semua ular yang berada di situ mengangkat kepala seperti sedang
mendengarkan suara melengking itu dan menghadap ke arah Suma Ciang Bun.
Pendekar itu menggerak-gerakkan dua tangannya yang diangkat ke atas dan
lengannya membentuk ular yang mematuk-matuk, hampir sama dengan gerakan Coa-ong
Sengjin yang menggembala ular-ular itu. Dan sekarang ular-ular itu berhenti
mendesis-desis dan nampak gelisah, bahkan sudah ada yang merayap pergi
ketakutan!
Coa-ong
Sengjin terkejut bukan main melihat betapa ular-ularnya dapat dikuasai orang
lain. Ia pun cepat mengeluarkan suara mendesis tinggi dan menggerak-gerakkan
kedua lengannya yang juga membentuk tubuh ular yang mengangkat kepala, dengan
tangan menjadi kepala ular. Ia mengerahkan seluruh ilmu pawangnya untuk
menguasai kembali ular-ularnya.
Namun, Suma
Ciang Bun juga terus mengeluarkan suara melengking dan menggerak-gerakkan kedua
lengannya. Ular-ular itu menjadi panik dan bingung sekali, tidak tahu harus
mentaati perintah yang mana di antara keduanya itu karena keduanya memiliki
daya tekan yang sama kuatnya. Karena panik, ular-ular itu berlari simpang-siur,
saling bertabrakan dan kemudian menjadi ganas dan saling gigit!
"Hoo-hoo,
anak-anak bodoh... dengarkan aku, majulah... maju dan serang musuhku...!"
Coa-ong Sengjin berteriak-teriak marah.
Tetapi
karena ia berteriak-teriak, dengan sendirinya desisnya terhenti dan pengaruhnya
atas ular-ular itu pun buyar sehingga pengaruh lengkingan Suma Ciang Bun
menjadi kuat sekali, membuat ular-ular itu mentaati dan segera mereka merayap
dan lari cerai berai meninggalkan tempat itu seperti sekelompok anjing yang
disiram air atau diancam gebukan!
Coa-ong
Sengjin menjadi marah bukan main. Dengan sepasang mata berubah merah, dia lalu
meloncat ke depan, menangkap seekor ular yang besar dan panjang, dan ular itu
segera menjadi jinak di tangannya. Dengan senjata baru berupa ular yang
ternyata adalah seekor ular senduk yang sangat berbisa itu, dia melangkah maju
menghampiri Suma Ciang Bun.
"Setan,
siapakah engkau?" bentaknya.
Coa-ong
Sengjin tentu saja tak tahu akan tipu muslihat dan akal busuk yang digunakan
oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin untuk mengadu domba antara Sim Houw dan Bi
Lan dengan pendekar keluarga Pulau Es ini bersama muridnya. Dia bersama teman-temannya
tengah mencari-cari kedua orang muda itu setelah rombongannya yang terdiri dari
tiga belas orang dipecah menjadi tiga rombongan kecil oleh Thian Kong Cinjin.
Ketika tadi
dia melihat dua orang muda itu sedang berkelahi melawan dua orang lain dia
cepat memanggil ular-ular itu untuk mengepung supaya dia dapat segera turun
tangan merobohkan Sim Houw dan Bi Lan. Akan tetapi, ternyata dua orang muda itu
sudah lebih dahulu melarikan diri dan sekarang ular-ularnya malah dibikin kacau
oleh laki-laki tampan yang pakaiannya indah ini!
Suma Ciang
Bun memang sudah mengenal Coa-ong Sengjin sebagai seorang tokoh Pek-lian-kauw
dari lukisan teratai putih di jubah kakek itu, maka dia pun terus terang
menjawab dengan tenang. "Tosu Pek-lian-kauw, aku bernama Suma Ciang Bun
dan ini muridku Gu Hong Beng."
"She
Suma...? Keluarga Pulau Es...?" Coa-ong Sengjin membentak dan empat orang
temannya juga terkejut mendengar nama keluarga itu.
Suma Ciang
Bun mengangguk sambil menahan senyumnya.
"Celaka,
kiranya keparat dari keluarga Pulau Es! Bunuh dia dan muridnya!"
Dan dia pun
sudah menggerakkan tangannya dan ular cobra itu sudah dilemparkannya ke arah
Suma Ciang Bun. Pendekar ini dengan tenang mengulur tangan menangkap ular itu
yang segera menjadi jinak pula, kemudian dia melemparkan ular itu kembali ke
arah lawan!
Coa-ong
Sengjin menerima ularnya kembali, tetapi ular itu segera dibantingnya karena
dianggap tiada gunanya dipakai menyerang seorang yang memiliki ilmu pawang ular
seperti lawannya. Dengan menggereng keras dia lalu mengeluarkan sebatang rantai
dari pinggangnya, dan meluncurlah rantai itu menghantam ke arah Suma Ciang Bun.
Kiranya kakek bongkok ini memang ahli mempergunakan senjata rantai dan tidak
aneh kalau dia suka mempergunakan ular sebagai senjata, pengganti rantainya.
Suma Ciang
Bun menyambut dengan sepasang pedangnya yang sudah disimpannya tadi. Dua
gulungan sinar putih berkelebat dan bergulung-gulung ketika dia menghadapi
serangan rantai lawannya. Empat orang teman Coa-ong Sengjin yang terdiri dari
tiga orang anggota Pek-lian-kauw dan seorang anggota Pat-kwa-kauw maju
mengeroyok pula. Hong Beng tidak tinggal diam, cepat ia maju menghadapi dan
membantu gurunya.
Kembali di
tempat itu terjadi perkelahian yang lebih sengit dari pada tadi. Akan tetapi
sekali ini, guru dan murid itulah yang menjadi pemenang dengan mendesak lima
orang lawannya. Empat orang pembantu Coa-ong Sengjin itu adalah murid-murid
kepala, maka rata-rata mereka sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Tetapi, menghadapi Hong Beng dan gurunya, mereka repot sekali. Belum sampai
tiga puluh jurus, dua orang murid kepala roboh, seorang terkena tamparan Hong
Beng dan yang kedua terserempet pedang di tangan Suma Ciang Bun. Melihat
kejadian ini, tiga orang tosu lainnya cepat menyambar tubuh kawan yang roboh
dan melarikan diri.
Kembali Suma
Ciang Bun melarang muridnya untuk melakukan pengejaran. "Tak perlu
mengejar musuh yang melarikan diri," katanya. "Kecali kalau musuh
lari membawa pergi sesuatu."
Hong Beng
menarik napas panjang. Kemarahannya yang timbul karena cemburu tadi masih belum
lenyap dan dia merasa hatinya mengkal dan tidak enak sekali. "Sayang
sekali tosu-tosu bedebah itu datang mengganggu, suhu, sehingga Sim Houw dan Bi
Lan dapat melarikan diri."
Suma Ciang
Bun tersenyum dan memandang wajah muridnya dengan tajam, kemudian tiba-tiba dia
bertanya, "Hong Beng, apakah engkau mencinta gadis itu?"
"Gadis...
gadis mana... apa maksud suhu?" Hong Beng terkejut mendengar pertanyaan
yang tiba-tiba itu dan biar pun dia maklum siapa yang dimaksudkan suhu-nya,
saking kagetnya dia menjadi gugup.
"Engkau
mencinta atau pernah mencinta Can Bi Lan, bukan?"
Hong Beng
menundukkan mukanya yang berubah merah dan dia mencoba tersenyum, senyum pahit,
kemudian dia mengangguk. "Teecu tidak dapat berbohong kepada suhu. Memang
sesungguhnyalah, teecu mencinta... atau lebih tepat lagi pernah mencinta Bi
Lan."
"Dan
menurut ucapan gadis itu tadi, hubungan kalian putus karena gadis itu menolak
cintamu karena ia sudah mencinta Sim Houw?"
"Ia
memang menolak cinta teecu, suhu, akan tetapi ketika itu ia belum mencinta
siapa pun juga. Baru sekarang teecu melihat ia akrab dengan Sim Houw, keakraban
yang tidak sopan dan tidak tahu malu!"
Hatinya
menjadi semakin panas ketika ia teringat dan membayangkan adegan mesra antara
Bi Lan dan Sim Houw tadi.
"Engkau
tidak sungguh-sungguh mencintanya, Hong Beng, karena itu lupakan saja gadis
itu. Bodoh sekali jika menyiksa diri dan membenamkan diri dalam kebencian dan
kedukaan karena cintanya ditolak."
Wajah Hong
Beng menjadi merah. "Teecu juga sudah melupakannya, suhu. Hanya teecu
merasa tidak senang dan panas sekali melihat betapa Bi Lan yang dahulunya
seorang pendekar wanita yang lihai dan menentang kejahatan, kini setelah
bergaul dengan Sim Houw lalu berbalik menjadi sesat dan membela wanita iblis
seperti Bi-kwi yang bersekutu dengan orang-orang Pek-lian-kauw."
Suma Ciang
Bun mengerutkan alisnya. "Aku masih merasa heran dengan sikap mereka, Hong
Beng. Pendekar Suling Naga itu lihai sekali, akan tetapi tadi ketika melawanku
dia tidak berkelahi sungguh-sungguh."
"Ahh,
akan tetapi Bi Lan menyerang teecu dengan mati-matian, sehingga nyaris teecu
tewas oleh Ban-tok-kiam di tangannya!" kata Hong Beng penasaran.
"Ban-tok-kiam...?"
tanya Suma Ciang Bun karena dia merasa pernah mendengar nama pedang itu.
"Benar,
suhu. Pedang yang mengerikan itu adalah Ban-tok-kiam, pedang milik isteri dari
locianpwe Kao Kok Cu, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir."
"Apa...?!"
Suma Ciang Bun terkejut sekali, memandang kepada muridnya dengan mata
terbelalak. "Kau maksudkan pedang milik... bibi Wan Ceng...? Apa
hubungannya gadis itu dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?"
"Mereka
adalah guru-guru Bi Lan, suhu."
"Eh?
Bukankah kau bilang bahwa Can Bi Lan itu sumoi dari Bi-kwi, dengan demikian
murid dari Sam Kwi?"
"Benar,
suhu, akan tetapi Bi Lan pernah bertemu dengan Kao-locianpwe dan isterinya, dan
menerima gemblengan mereka, bahkan diberi pinjam pedang Ban-tok-kiam. Bi Lan
sendiri menceritakan semua ini kepada teecu."
Ciang Bun
menggeleng-gelengkan kepala dan menarik napas panjang. "Sungguh aneh
sekali. Bagaimana mungkin paman Kao Kok Cu dan bibi Wan Ceng mau mengambil
murid seorang gadis yang telah menjadi murid Sam Kwi?"
"Dan
sekarang agaknya watak Sam Kwi dan Bi-wi pun telah menular kepada Bi Lan
sehingga ia menjadi seorang wanita sesat."
"Jangan
menuduh sembarangan lebih dahulu, Hong Beng. Bagaimana pun juga, aku masih
merasa sangsi. Kalau mereka memang bersekutu dengan pihak Pek-lian-kauw, tentu
mereka tadi tidak melarikan diri dan bersama dengan tosu-tosu Pek-lian-kauw itu
mengeroyok kita. Kalau demikian halnya, mungkin kita berdua takkan kuat
bertahan."
Suma Ciang
Bun lalu mengajak muridnya meninggalkan tempat itu. Dia bermaksud mengunjungi
enci-nya, yaitu Suma Hui yang telah menjadi isteri Kao Cin Liong. Selain untuk
menjenguk kakaknya itu, juga untuk bicara dengan kakak iparnya, Kao Cin Liong,
tentang keanehan orang tua pendekar itu yang mengambil gadis yang telah menjadi
murid Sam Kwi sebagai murid pula, bahkan meminjamkan pedang pusaka sehingga Bi
Lan mempergunakan pedang pusaka itu untuk bertindak sesat…..
***************
"Sim
koko, kenapa sih engkau selalu mengajak aku melarikan diri? Lama kelamaan aku
bisa merasa sebagai seorang pengecut besar. Di tengah pertandingan engkau sudah
beberapa kali memaksaku untuk melarikan diri. Untuk yang sudah-sudah engkau
selalu mempunyai alasan, dan kini apa lagi alasanmu, Sim-ko? Aku tidak kalah
menghadapi Hong Beng yang sombong itu, dan aku amat yakin engkau pun belum
tentu kalah oleh gurunya. Kemunculan para tosu Pek-lian-kauw itu pun tidak membuat
aku menjadi jeri. Mengapa kita harus melarikan diri seperti dikejar
setan?" tanya Bi Lan dengan suara mengandung penasaran dan matanya yang
jeli itu menatap wajah Sim Houw dengan tajam penuh selidik.
"Lan-moi,
sebetulnya sejak semula aku ingin mencegah engkau berkelahi dengan Hong Beng
dan gurunya, tetapi engkau dan Hong Beng demikian bernapsu untuk berkelahi.
Ketika para tosu Pek-lian-kauw muncul, kesempatan baik muncul dan aku mengajak
engkau pergi. Aku pikir bahwa tidak semestinya kita melayani Hong Beng dan
gurunya hanya karena salah paham dengan kita."
"Salah
paham apa? Hong Beng menghinaku!" bentak Bi Lan marah.
Sim Houw
tersenyum. "Dia tadi marah-marah karena salah paham, Lan-moi. Pertama,
bantuan kita terhadap Ciong-lihiap menimbulkan salah paham sehingga dia
menyangka kita membela pihak yang jahat. Kemudian yang ke dua, dia melihat
keadaan kita dan kembali dia salah kira, menyangka yang bukan-bukan. Dia bukan
sengaja menghina, melainkan bertindak sembrono karena salah sangka dan karena
cemburu..."
"Kenapa
mesti cemburu? Aku bukan pacarnya, bukan kekasihnya, bukan apa-apanya! Sudah
dua kali dia mengulangi perbuatannya yang didorong oleh cemburu buta itu.
Pertama kali ketika aku terluka dan Cu Kun Tek mengobati punggungku, Hong Beng
juga menjadi cemburu dan menyerang Kun Tek kalang-kabut seperti orang gila.
Lalu tadi... hemmm, dia kira aku ini siapa? Aku bukan apa-apanya, dia tidak
berhak untuk cemburu!"
Sim Houw
menarik napas panjang. Diam-diam dia merasa kasihan kepada Hong Beng. Tahulah
dia bahwa Hong Beng pernah tergila-gila kepada Bi Lan dan agaknya karena
cintanya ditolak, Hong Beng menjadi sakit hati dan cemburu. Memang hal itu
buruk sekali, akan tetapi dia tidak terlalu menyalahkan Hong Beng yang masih
muda itu.
"Karena
engkau menolak cintanya maka dia sakit hati dan cemburu, Lan-moi."
"Apa
dia akan memaksa bahwa aku harus membalas cintanya? Phuhh, memang watak dia
buruk sekali. Orang lain yang kutolak cintanya tidak marah-marah dan cemburu
macam dia!"
Sim Houw
tertarik sekali. "Siapakah dia itu, Lan-moi?"
Bi Lan
sedang panas hatinya terhadap Hong Beng dan dia sedang merasa penasaran karena
diajak pergi melarikan diri oleh Sim Houw, maka tanpa berpikir panjang lagi ia
menjawab, "Kun Tek juga menyatakan cintanya kepadaku dan kutolak!"
Tiba-tiba
dara itu berhenti bicara karena dia teringat bahwa Kun Tek masih terhitung
paman Sim Houw, walau pun usia Sim Houw belasan tahun lebih tua dari pada
pemuda Lembah Naga Siluman itu.
Akan tetapi
Sim Houw tersenyum, tidak nampak kaget karena memang dia pun sudah pernah
menduganya. "Lan-moi, dua orang pemuda gagah perkasa dan pilihan telah
menyatakan cinta kepada dirimu. Akan tetapi kenapa engkau menolak
keduanya?"
Bi Lan
mengerutkan alisnya. "Habis, kalau aku tidak memiliki perasaan cinta
terhadap mereka, apakah aku harus menerima seorang di antara mereka?"
Sim Houw
menggeleng kepalanya. "Tentu saja tidak, Lan-moi. Tetapi... apakah selama
ini engkau tidak pernah jatuh cinta kepada seseorang?"
Bi Lan
melupakan kemarahannya dan ia tersenyum. "Agaknya nasibku sama dengan
engkau, Sim-ko. Seperti juga engkau yang selama ini tidak pernah jatuh cinta
lagi kepada seorang gadis, aku pun tidak pernah jatuh cinta kepada seorang
pria. Agaknya ada persamaan antara kita. Kalau engkau sekali waktu jatuh cinta
kepada seorang wanita, mungkin sekali aku pun akan jatuh cinta kepada seorang
pria, siapa tahu?" Dan gadis itu pun lari mendaki bukit di depan dengan
cepat.
Sim Houw
tertegun sejenak, lalu menggeleng kepala dan mengejar. Dia sungguh tidak
mengerti akan sikap Bi Lan. Gadis itu amat menarik hatinya, amat dicintanya
semenjak pertama kalinya bertemu. Bi Lan dianggapnya memiliki watak yang amat
aneh, dan mungkin keanehan watak gadis inilah yang merupakan satu di antara
daya tarik gadis itu baginya.
Kadang-kadang
demikian mudah membaca isi hati Bi Lan, seperti membaca sebuah kitab terbuka
saja. Akan tetapi ada kalanya, sikap Bi Lan merupakan teka-teki yang sangat
sulit baginya, sukar dimengerti. Kadang-kadang timbul harapannya karena dia
melihat tanda-tanda bahwa Bi Lan sayang dan cinta kepadanya, akan tetapi dia
masih meragukan hal ini. Mungkinkah seorang gadis remaja seperti Bi Lan dapat
jatuh cinta kepadanya?
Bi Lan telah
menolak cinta kasih pemuda-pemuda hebat yang sebaya dengan gadis itu. Kalau
pendekar-pendekar muda seperti Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek saja ditolak
cintanya, apa lagi seorang laki-laki yang sudah tua seperti dia! Usianya telah
tiga puluh empat atau tiga puluh lima tahun, sedangkan usia Bi Lan baru delapan
belas tahun. Dia dua kali lebih tua dari gadis itu, pantas menjadi pamannya!
Mungkinkah gadis muda seperti Bi Lan yang menolak dua orang pendekar perkasa
dan muda seperti Hong Beng dan Cu Kun Tek, dapat mencinta seorang tua seperti
dia?
Sukar untuk
dapat dipercaya dan hal inilah yang membuat hati Sim Houw senantiasa meragu dan
dia takut untuk menyatakan cinta kasihnya. Takut kalau-kalau pernyataan
cintanya hanya akan memisahkan dia dari Bi Lan. Biarlah dia tidak menyatakan
cinta, akan disimpannya sebagai rahasianya sendiri saja, asalkan dia dapat
berdekatan terus dengan Bi Lan. Dia telah tergila-gila kepada Bi Lan, mencinta
Bi Lan dengan seluruh batin dan badannya, sampai ke rambut-rambutnya, dan baru
sekaranglah dia mencinta wanita lain setelah dulu cintanya ditolak oleh Kam Bi
Eng.
Dilihatnya
bayangan Bi Lan sudah sampai di puncak bukit itu, maka dia pun segera
mengerahkan tenaganya untuk mempercepat larinya mengejar gadis itu. Mereka
sudah tiba di perbatasan utara dan Sim Houw sudah mendengar bahwa daerah tembok
besar ini selain sunyi dan liar, juga amat berbahaya karena siapa yang dihadang
oleh orang-orang jahat di daerah ini, jangan harap akan bisa mendapatkan
pertolongan dari orang lain karena tempat itu sunyi sekali…..
***************
Bekas
Panglima Kao Cin Liong yang kini menjadi seorang saudagar rempah-rempah di kota
Pao-teng, dikenal oleh hampir semua orang di kota itu. Dia bukan hanya dikenal
sebagai seorang pedagang yang berhasil, melainkan juga sebagai seorang dermawan
yang selalu membuka kedua tangan untuk menolong orang lain yang kesusahan, juga
terkenal sebagai seorang bekas panglima dan seorang pendekar yang berilmu
tinggi.
Apa lagi di
kalangan dunia persilatan. Semua orang kang-ouw tahu belaka siapa adanya Kao
Cin Liong, karena dia adalah putera dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Juga
isterinya amat terkenal, karena Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti dari
Pulau Es.
Seperti
telah kita ketahui, Kao Cin Liong yang kini berusia lima puluh tahun dan Suma
Hui yang berusia empat puluh tahun itu, hanya mempunyai seorang anak saja,
yaitu anak perempuan berusia tiga belas tahun yang diberi nama Kao Hong Li.
Mudah saja diduga bahwa Hong Li tentu saja memiliki kepandaian silat yang luar
biasa.
Ayah dan
ibunya adalah pendekar-pendekar kenamaan yang sakti, maka tentu saja sejak anak
ini masih kecil, ia telah digembleng oleh kedua orang tuanya sehingga ketika
usianya tiga belas tahun, ia telah menjadi seorang anak perempuan yang lincah dan
lihai bukan main. Sukar mencari seorang dewasa, biar pria sekali pun, yang akan
dapat mengalahkan gadis cilik ini. Bahkan mereka yang ilmu silatnya
tanggung-tanggung saja, jangan harap akan mampu menandingi Hong Li.
Di dalam
usianya yang baru tiga belas tahun, Hong Li sudah nampak cantik. Mudah dilihat
bahwa ia akan menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan menarik dalam waktu
beberapa tahun lagi. Tubuhnya tinggi langsing dan padat, penuh dengan tenaga
terlatih.
Matanya yang
membuka wajahnya nampak cerah. Mata itu paling indah. Lebar dan jeli, bagaikan
telaga yang bening. Sikapnya lincah, jenaka, akan tetapi galak. Hal terakhir
ini mungkin timbul karena sebagai anak tunggal, tentu saja ada sedikit
kemanjaan dalam hatinya. Apa lagi kesadaran bahwa ayah ibunya adalah
pendekar-pendekar sakti yang dikagumi dan dihormati orang sedikit banyak
mendatangkan ketinggian hati.
Ayah ibunya
tidak menghendaki hal ini dan tentu saja mereka tidak suka kalau anak tunggal
mereka tinggi hati atau manja. Akan tetapi karena mereka menganggap Hong Li
masih terlalu kecil dan kurang pengalaman, maka sedikit ketinggian hati dan
kemanjaan itu mereka anggap sebagai hal lumrah yang kelak tentu akan hilang
sendiri kalau jiwa pendekar sudah menjadi dasar batin Hong Li.
Peradaban dan
kebudayaan sudah membentuk diri kita seperti keadaannya sekarang, yaitu gila
hormat dan haus akan pujian! Semenjak kecil kita dijejali kebiasaan untuk
mengagungkan nilai-nilai, mengejar nilai-nilai. Anak-anak kecil dipuji kalau
melakukan hal-hal yang dianggap baik dan menyenangkan, dicela kalau sebaliknya.
Di sekolah
pun para murid diajar untuk memperebutkan nilai-nilai. Kemajuan mereka diukur
dengan nilai-nilai. Karena itu, kita berangkat besar dengan pengertian bahwa
kita amat memerlukan nilai-nilai baik dalam kehidupan ini, dan betapa senangnya
menerima pujian-pujian, betapa tidak menyenangkan menerima celaan-celaan.
Kita lalu
menjadi orang-orang munafik dan palsu, yang mengejar pujian-pujian dengan
segala cara. Kita selalu ingin memamerkan segi-segi yang dipandang baik oleh
orang lain dalam diri kita, hanya untuk mengejar pujian. Kita lalu berangkat
dewasa menjadi manusia yang gila pujian dan gila hormat.
Tidak
mengherankan kalau Hong Li tidak terkecuali. Ia berangkat besar seperti
anak-anak lain yang selalu haus akan pujian dan selalu ingin memamerkan
kepandaiannya, ingin menonjolkan keistimewaan yang ada pada dirinya dan yang
tidak terdapat pada diri orang lain.
Seperti
orang-orang tua yang hidup di alam kita ini, Kao Cin Liong dan Suma Hui juga
tidak terkecuali, selalu mengajarkan kepada anak tunggal mereka tentang
kebaikan agar anak mereka selalu berbuat kebaikan dan menjadi ‘orang baik’,
selalu menjauhkan perbuatan-perbuatan yang dianggap jahat dan tidak baik.
Seperti juga orang-orang tua lain dalam kehidupan kita ini, mereka ingin
membentuk anak mereka, bagai membentuk sebuah boneka dari tanah liat, agar
supaya menjadi sebaik-baiknya, tentu saja menurut pandangan mereka yang juga
menjadi pandangan masyarakat, menjadi pandangan umum sesuai dengan kebudayaan
dan peradaban kita.
Tetapi,
dapatkah kebaikan diajarkan, dipelajari dan dilatih? Segala yang dapat
dipelajari dan dilatih adalah sesuatu yang mati, dan sesuatu yang diusahakan
untuk dimiliki tentu mempunyai dasar sebagai pamrih. Kalau kita berbuat
kebaikan dengan pamrih, setelah mempelajari dan melatihnya, apakah itu dapat
dinamakan kebaikan lagi, ataukah bukan sekedar cara dan usaha untuk mendapatkan
pamrih itu, yang dapat saja berupa pujian, kepuasan hati, pahala batiniah dan
sebagainya?
Kebaikan
yang sengaja dilakukan dengan kesadaran bahwa kita melakukan perbuatan baik,
jelas bukan kebaikan lagi namanya, melainkan suatu usaha. Dan tidak berbeda seperti
usaha-usaha lainnya, kalau sampai usaha itu gagal mendatangkan hasil, tentu
akan mengecewakan.
Misalnya,
orang yang menolong orang lain kemudian orang yang ditolongnya itu tidak
membalas kebaikannya bahkan merugikan, tentu akan merasa sakit hati dan kecewa.
Orang yang melakukan kebaikan, kemudian tidak menerima pujian bahkan dicela,
tentu akan marah dan kecewa! Jelaslah bahwa kebaikan-kebaikan seperti itu, yang
dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa yang dilakukan itu adalah kebaikan,
bukan kebaikan lagi namanya, melainkan hanya sekedar cara untuk menyenangkan
hati sendiri memetik buahnya kelak!
Alangkah
jauh beda hal ini dengan perbuatan yang dilakukan berdasarkan cinta kasih.
Perbuatan ini digerakkan oleh perasaan sayang, perasaan iba, tanpa pamrih apa
pun juga untuk diri sendiri, merupakan perbuaran spontan yang wajar. Bukan lagi
dinamakan kebaikan karena si pelaku tidak mengingat lagi apakah perbuatannya
itu baik ataukah tidak baik. Yang ada hanyalah kewajaran, tanpa pamrih, dan
dalam perbuatan seperti ini maka sinar cinta kasih akan meneranginya.
Betapa
lucunya namun sangat menyedihkan melihat betapa kita berlomba-lomba untuk
menjadi orang baik dengan menyebar segala perbuatan palsu, seakan-akan kebaikan
bisa dicapai melalui kepalsuan dan kemunafikan. Lihat betapa bangsa-bangsa
berlomba di dunia ini untuk membicarakan dan mencapai perdamaian dengan senjata
di tangan!
Kalau ada
sinar cinta kasih menerangi batin, maka tanpa perlu diusahakan sekali pun,
kedamaian tentu sudah ada, karena tidak akan mungkin terjadi perang! Kalau ada
cinta kasih di dalam batin, maka kita tidak perlu melakukan perbuatan yang kita
anggap baik lagi, karena setiap perbuatan kita yang berdasarkan cinta kasih
adalah suci!
Pada suatu
sore, terdengar sorak dan tepuk tangan sekumpulan anak-anak di kebun rumah
besar keluarga Kao Cin Liong. Mereka adalah belasan orang anak-anak laki-laki
dan perempuan yang berkumpul di kebun itu, mengagumi Hong Li yang sedang
bermain silat pedang. Memang indah sekali permainan itu.
Hong Li baru
saja menerima oleh-oleh sebatang pedang yang indah dari ayah ibunya yang baru
saja kembali dari kota raja. Sebatang pedang yang mewah, bukan pedang pusaka,
namun terbuat dari baja yang baik, bentuknya kecil dan cocok untuk dimainkan
seorang anak perempuan. Gagangnya terukir indah dan pedang itu sendiri putih
bersih berkilau seperti perak. Sarung pedangnya juga penuh dengan ukiran bunga
dan kupu-kupu beraneka warna, amat halus dan indah ukirannya.
Dan kini,
Hong Li bermain pedang itu di dalam kebun, disaksikan dan dikagumi oleh belasan
orang anak-anak. Mereka itu adalah teman-teman bermain Hong Li, anak-anak
tetangga. Memang, di dalam hal ini Kao Cin Liong dan isterinya bersikap bebas,
tidak seperti orang-orang tua lain yang terkadang memperhitungkan derajat dan
kedudukan dalam memilih teman-teman untuk anak-anak mereka.
Biar pun Cin
Liong dan Suma Hui adalah suami isteri pendekar yang lihai sekali, bahkan Kao
Cin Liong seorang bekas panglima yang terpandang, dan sekarang mereka hidup
berkecukupan, namun mereka membiarkan anak perempuan mereka bergaul bebas
dengan anak-anak tetangga. Dalam hal membiarkan anaknya bergaul bebas, Kao Cin
Liong dan Suma Hui memang menyimpang dari kebiasaan umum.
Biasanya,
orang-orang tua akan melarang anak perempuan mereka bergaul bebas, apa lagi
setelah berusia tiga belas tahun, usia remaja menjelang dewasa. Agaknya, watak
mereka sebagai pendekar-pendekar yang biasa hidup berkelana dan bebas yang
sudah membuat mereka tidak berkeberatan melihat anak perempuan mereka bergaul
dengan anak siapa saja, laki-laki mau pun perempuan.
Bagaimana
pun juga, anak-anak itu bersikap sopan terhadap Hong Li dan menyebutnya siocia
(nona). Tentu saja hal ini mereka lakukan karena melihat betapa semua orang
menghormati Hong Li sebagai keluarga jagoan dan keluarga kaya pula.
"Bagus...!
Bagus sekali...!"
"Kao-siocia
seperti bidadari sedang menari!”
"Lihat,
pedang itu seperti naga putih melayang-layang...!"
Pujian-pujian
ini keluar dari mulut anak-anak yang saat itu sedang menonton Kao Hong Li
memamerkan pedang barunya dan juga ilmu silatnya yang memang hebat. Sekecil
itu, dia sudah pandai sekali bersilat pedang, bukan hanya indah dipandang,
namun di dalamnya mengandung kekuatan-kekuatan yang akan mengejutkan seorang
ahli sekali pun.
Tidaklah
mengherankan jika diingat bahwa Hong Li telah berlatih Ilmu Pedang Siang-mo
Kiam-sut yang dipelajarinya dari ibunya, ilmu pedang yang merupakan satu di
antara ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es. Apa lagi ia sudah menguasai
dasar-dasar gerakan ilmu pilihan dari Istana Gunung Pasir, yaitu ilmu silat
Sin-liong Ciang-hoat (Naga Sakti). Biar gerakan pedangnya belum matang benar,
dan tenaga sinkang yang mendorongnya belum dapat dibilang terlalu kuat, namun
gerakan-gerakan itu selain indah, juga baik sekali, karena dilatih sejak ia
masih kecil.
Setelah Hong
Li berhenti bermain silat pedang dan sinar yang bergulung-gulung dari pedangnya
lenyap, anak-anak itu betepuk tangan memuji.
"Ilmu
pedang yang jelek sekali!"
Suara ini
melengking tinggi mengatasi kegaduhan anak-anak itu sehingga terdengar oleh
mereka semua. Tentu saja semua anak itu terkejut dan menengok, sedangkan Hong
Li juga menengok ke kanan dengan alis berkerut, hatinya mendongkol mendengar
ada orang mengatakan ilmu pedangnya jelek, pada hal semua anak di situ bersorak
memuji.
Ketika
anak-anak itu menoleh dan memandang kepada seorang kakek yang tiba-tiba saja
berada di situ tanpa mereka ketahui kedatangannya, mereka merasa heran dan
tidak tahu siapa adanya kakek berkepala gundul yang memakai jubah lebar
berwarna merah darah ini. Akan tetapi Hong Li sudah banyak mendengar dari kedua
orang tuanya tentang tokoh-tokoh aneh di dunia kang-ouw, tentang
pendeta-pendeta dan pertapa-pertapa yang memiliki ilmu kepandaian yang hebat,
dan betapa di antara para kakek atau nenek yang berpakaian seperti pendeta itu
terdapat pula tokoh-tokohnya yang sesat.
Maka, ketika
melihat munculnya kakek gundul berjubah merah ini, Hong Li memandang dengan
hati agak khawatir, tidak tahu apakah kakek ini seorang baik ataukah jahat,
kawan ataukah lawan dari ayah ibunya. Akan tetapi, mendengar betapa begitu
muncul kakek itu sudah mencela ilmu pedangnya, agaknya tidak mungkin kalau
kakek ini merupakan kawan ayah ibunya.
"Kakek
tua, siapakah engkau yang berani mencela ilmu pedangku?" tanyanya dengan
alis berkerut dan pedang barunya masih berada di tangan kanan. Ia mengelebatkan
pedangnya dan terdengar suara berdesing diikuti sinar pedang berkilat.
Kakek itu
tertawa, suara ketawanya juga melengking tinggi dan halus. "Ha-ha-ha,
bukan hanya ilmu pedangmu, juga pedangmu itu jelek sekali, Ha-ha-ha!"
Tentu saja
Hong Li menjadi makin marah. Pedangnya itu adalah pedang baru oleh-oleh dari
ayah bundanya dan pedang itu semenjak kemarin telah menjadi pusat kekaguman
teman-temannya, tetapi sekarang dikatakan jelek sekali oleh kakek ini! Ia
memandang dengan sinar mata mencorong penuh penasaran dan kemarahan, dan
diam-diam ia memperhatikan kakek itu.
Seorang
kakek yang usianya enam puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka halus
dan gerak-gerik lembut. Sepasang matanya bening seperti mata wanita dengan bulu
mata yang panjang melengkung. Tidak dapat disangkal, wajah kakek berkepala
gundul ini meninggalkan bekas wajah seorang laki-laki yang tampan sekali.
"Kakek
pendeta, engkau ini hwesio dari manakah? Kalau ada keperluan dengan orang
tuaku, datang saja lagi besok pagi karena mereka sedang pergi.."
"Omitohud...
aku memang tahu bahwa mereka sedang pergi membeli rempah-rempah di seberang
sungai. Aku datang bukan untuk mereka, melainkan untuk nonton permainan
pedangmu yang jelek."
Hong Li
menjadi marah sekali. Alisnya yang hitam panjang berkerut, sepasang matanya
yang lebar itu mengeluarkan sinar berkilat dan mukanya menjadi kemerahan.
"Engkau ini kakek pendeta yang sombong dan jahat. Apa salahku maka engkau
datang-datang hendak menghina aku?"
"Ha-ha-ha,
aku tidak menghina, melainkan hendak nonton ilmu pedang yang jelek."
"Kalau
begitu, apakah engkau berani menghadapi pedangku dan ilmu pedangku yang jelek
ini?"
"Omitohud,
tentu saja aku berani. Ilmu pedangmu dan pedangmu itu tidak ada artinya, hanya
patut untuk pamer dan berlagak saja."
Bukan main
marahnya Hong Li mendengar ucapan pendeta berjubah merah itu. Sejak kecil ia
hanya melihat orang-orang bersikap hormat dan kagum terhadap keluarganya, apa
lagi terhadap ilmu silat keluarganya. Dan sekarang, kakek kurus ini menghina
ilmu silatnya dan berani menantangnya.
"Kakek
sombong, kalau begitu hadapilah pedangku ini!" bentaknya dan sekali
melompat ia telah menghampiri kakek pendeta itu dengan pedang ditodongkan.
"Ha-ha-ha,
bocah lucu, engkau menodongku dengan setangkai bunga mawar?" tiba-tiba
kakek itu berkata sambil tertawa. Tangannya membuat gerakan ke arah pedang
dan... Hong Li, dan belasan orang anak itu, terbelalak ketika melihat betapa
yang berada di tangan Hong Li memang benar-benar setangkai bunga mawar, bukan
pedang yang tadi dimainkan dengan indahnya!
Akan tetapi,
Hong Li adalah keturunan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Ibunya
adalah cucu Pendekar Super Sakti, maka tentu saja ia segera dapat mengerti
bahwa kakek pendeta jubah merah ini telah main-main dan mempergunakan ilmu
sihir. Hanya sebentar saja dia terkejut dan terbelalak, lalu dia mengerahkan
sinkang-nya, memaksa diri untuk bertahan dan tidak hanyut oleh kekuatan sihir.
"Yang
kutodongkan adalah pedang baruku! Siapa bilang bunga mawar?" bentaknya dan
ia pun menggerak-gerakkan pedangnya.
Karena tentu
saja tenaga batinnya belum kuat benar, matanya melihat betapa yang berada di
tangan kanannya itu berubah-ubah, kadang-kadang nampak sebagai pedang, kemudian
berubah menjadi setangkai bunga lagi. Namun, ia menjadi nekat, bunga atau
pedang, tetap saja ia pergunakan untuk menyerang kakek kurus itu!
Dalam
penglihatan belasan orang anak itu, nampak lucu sekali ketika melihat Hong Li
menyerang kakek itu kalang kabut dengan menggunakan setangkai bunga mawar! Akan
tetapi, kakek itu sendiri kagum bukan main. Anak ini tidak mengecewakan menjadi
cucu buyut Pendekar Super Sakti dan ilmu pedangnya memang hebat bukan main.
Hatinya semakin tertarik dan suka kepada Hong Li.
Menghadapi
serangan-serangan gadis cilik itu, ia menggunakan kecepatan gerakannya.
Tubuhnya melayang-layang dengan ringan dan lembut, seperti berubah menjadi
sehelai bulu yang bergerak ke sana-sini, selalu luput dari terkaman ujung
pedang yang sedang dimainkan Hong Li.
"Anak
baik, engkau berjodoh dengan Ang I Lama, marilah ikut dengan pinceng!"
tiba tiba belasan orang anak itu mendengar suara ini yang diikuti oleh bunyi
ledakan keras.
Semua anak
ketakutan karena tempat itu berubah menjadi lautan asap. Mereka tak dapat
melihat, bahkan mereka terpaksa mundur karena asap itu tebal dan menakutkan
sekali. Ketika asap itu perlahan-lahan melayang pergi, anak-anak itu menjadi
bingung karena mereka tidak melihat Hong Li dan kakek pendeta jubah merah tadi.
Mereka berdua telah lenyap tanpa meninggalkan bekas, seolah-olah ikut terbang
pergi bersama asap tebal.
Tentu saja
anak-anak ini menjadi ketakutan dan bingung. Mereka berlari-larian pulang
sambil menangis melapor kepada orang tua masing-masing tentang peristiwa
lenyapnya Kao Hong Li bersama kakek pendeta gundul berjubah merah. Para pelayan
keluarga Kao yang mendengar laporan ini pun menjadi bingung dan ketakutan.
Keadaan menjadi gempar dan semua orang mencari-cari ke mana perginya Hong Li,
namun tidak dapat menemukan jejak anak itu yang lenyap seperti berubah menjadi
asap.
Keadaan
menjadi semakin geger pada saat Kao Cin Liong dan Suma Hui pulang dari
perjalanan mereka ke seberang sungai untuk membeli rempah-rempah. Dua pekan
sekali suami isteri itu memang pergi sendiri membeli barang dagangan. Ketika
mereka mendengar akan peristiwa aneh yang mengakibatkan lenyapnya anak tunggal
mereka, tentu saja sepasang pendekar ini menjadi terkejut dan marah.
Mereka
menggunakan kepandaian mereka untuk melakukan pengejaran dan pencarian. Tetapi,
sampai semalam suntuk mereka mencari tanpa hasil dan akhirnya, menjelang pagi pada
besok harinya, dengan lemas mereka pulang ke rumah. Suma Hui menahan tangisnya,
akan tetapi kedua matanya merah dan wajahnya membayangkan kedukaan dan
kegelisahan yang mendalam. Akan tetapi Kao Cin Liong nampak tenang saja, biar
pun tentu saja dia juga merasa bingung dan gelisah.
"Tenangkan
hatimu," katanya kepada isterinya karena dia tidak tega melihat wajah
isterinya demikian penuh duka dan kegelisahan. "Setidaknya kita boleh
merasa yakin bahwa anak kita masih dalam keadaan selamat. Kalau penjahat atau
siapa saja yang menculiknya itu berniat buruk, tentu hal itu sudah
dilakukannya, tidak perlu bersusah-susah melarikannya."
Suma Hui
dapat mengerti pendapat ini. Memang, kalau penjahat itu hendak membunuh Hong
Li, tidak perlu dibawa pergi. Akan tetapi, siapakah yang menculik Hong Li? Dan
kenapa? Mereka berdua lalu mendatangi anak-anak yang menyaksikan peristiwa itu
dan kagetlah hati mereka ketika mendengar bahwa sebelum Hong Li dan kakek jubah
merah itu lenyap berubah menjadi asap, terdengar kakek itu berkata, "Anak
baik, engkau telah berjodoh dengan Ang I Lama, marilah ikut dengan
pinceng!"
Keterangan
ini tentu saja amat penting bagi mereka. Jelaslah bahwa pendeta berkepala
gundul yang berjubah merah itu adalah Ang I Lama dan dialah yang telah
melarikan Hong Li. Kata ‘berjodoh’ yang dipergunakan pendeta itu dapat berarti
berjodoh untuk menjadi muridnya, akan tetapi juga untuk maksud yang cabul dan
jahat. Mereka berdua tahu betapa banyaknya orang-orang jahat dan keji yang
menyembunyikan kejahatannya di balik kedudukan atau pakaian. Betapa banyaknya
pencuri-pencuri dan perampok-perampok besar bersembunyi di balik pakaian
seorang pembesar, penjahat-penjahat keji bersembunyi di balik pakaian
pendeta-pendeta.
"Ang I
Lama...? Suma Hui mengulang nama itu sambil mengepal tinju. "Siapakah dia
dan mengapa dia melakukan hal ini kepada keluarga kita?" Ia memandang
suaminya dengan harapan suaminya akan mengenal nama itu.
Akan tetapi
semenjak tadi Kao Cin Liong juga terus mengerutkan alisnya dan memeras
ingatannya, akan tetapi dia merasa tidak pernah mengenal nama itu. Maka,
menjawab pertanyaan isterinya, dia pun menggeleng kepalanya.
"Aku
tidak pernah mengenal nama itu, akan tetapi untunglah bahwa dia meninggalkan
sebuah nama. Karena dia seorang pendeta Lama, maka di mana lagi dia berada
kalau bukan di Tibet?"
‘Brakkk…!”
Tiba-tiba Suma Hui menepuk meja di depannya. "Ahh, tentu saja!"
"Apa...
maksudmu?" suaminya bertanya sambil memandang penuh perhatian.
Isteri itu
memandang suaminya. "Tentu masih ada hubungannya dengan Sai-cu Lama! Kita
ikut membasmi komplotan Kim Hwa Nionio dan Sai-cu Lama dan sekarang muncul
seorang pendeta Lama lainnya yang menculik anak kita. Apakah kau pikir tidak
ada hubungannya antara kedua orang pendeta Lama itu?"
Suaminya
mengangguk-angguk. "Sangat boleh jadi, akan tetapi kita tidak mengenal.
Ang I Lama itu dan tidak tahu di mana dia berada. Kurasa satu-satunya jalan
untuk mencarinya adalah ke Tibet. Di sana tentu kita akan memperoleh keterangan
jelas di mana adanya Ang I Lama."
"Memang
agaknya hanya itu jalannya dan marilah kita pergi sekarang saja. Aku tidak
tahan berdiam di rumah lebih lama lagi memikirkan nasib anak kita..." Dan
kini Suma Hui tak dapat menahan membanjirnya air mata.
Melihat ini,
suaminya lalu mendekatinya dan merangkulnya. Memecah bendungan air mata itu dan
Suma Hui menangis tersedu-sedu di dada suaminya yang membiarkannya menangis
untuk melampiaskan segala perasaan marah, khawatir dan duka yang sejak malam
tadi ditahan-tahannya.
Setelah
kedukaan Suma Hui mereda, suami isteri ini lalu cepat-cepat berkemas untuk
menyediakan bekal perjalanan mencari anak mereka ke Tibet! Perjalanan yang amat
jauh dan makan banyak waktu.
Selagi
mereka sibuk, datanglah tamu yang tidak mereka duga-duga. Dua orang tamu datang
dan mereka ini bukan lain adalah Suma Ciang Bun dan Gu Hong Beng! Melihat
adiknya, datang lagi perasaan duka di hati Suma Hui dan dia pun menubruk
adiknya sambil menangis.
Tentu saja
Suma Ciang Bun terkejut sekali melihat ulah enci-nya. Enci-nya, setahunya,
adalah seorang wanita yang keras hati dan tabah bukan main, lebih tabah dari
pada dia sendiri. Kalau sekarang enci-nya sampai bersedih dan menangis seperti
itu, apa lagi melihat betapa sepasang mata enci-nya sudah bengkak-bengkak bekas
banyak tangis, dia khawatir tentu telah terjadi hal yang luar biasa dan hebat
sekali.
"Enci
Hui, engkau kenapakah? Apa yang telah terjadi sehingga engkau menjadi begini
berduka?" Karena enci-nya menangis makin sedih, Suma Ciang Bun mengangkat
muka memandang cihu-nya (kakak iparnya) dengan alis berkerut.
Kao Cin
Liong merangkul isterinya dan dengan lembut menarik tubuh isterinya dari Suma
Ciang Bun, lalu mengajaknya duduk. "Tenanglah dan kebetulan sekali Ciang
Bun datang. Mungkin dia dapat membantu kita." Mendengar ini, Suma Hui
menghentikan tangisnya dan memandang kepada adiknya.
"Hong
Li telah diculik orang...!"
Tentu saja
Ciang Bun terkejut sekali. "Ah! Siapa penculiknya dan kapan terjadinya?
Bagaimana dia berani melakukan hal itu?"
Kao Cin
Liong yang lebih tenang segera memberi keterangan kepada adik iparnya.
"Kemarin sore, ketika kami berdua pergi membeli rempah-rempah di seberang
sungai dan Hong Li berada seorang diri di rumah, datang penculik itu. Dia
seorang pendeta Lama yang berjuluk Ang I Lama, dan dia menculik Hong Li dengan
mempergunakan ilmu sihir seperti yang kami dengar dari anak-anak yang menemani
Hong Li pada waktu itu." Lalu dengan singkat namun jelas, Kao Cin Liong
menceritakan tentang peristiwa penculikan itu seperti yang didengarrya jari
anak-anak.
"Ang I
Lama...?" Suma Ciang Bun mengulang nama itu sambil mengerutkan alis.
"Bun-te,
apakah engkau mengenal nama jahanam itu?" tanya Suma Hui penuh harapan.
Suma Ciang
Bun yang sudah banyak melakukan perantauan itu termenung. "Seperti pernah
kudengar nama itu, akan tetapi entah di mana dan kapan. Nama itu jarang muncul
di dunia kang-ouw..."
Pada waktu
itu, Kao Cin Liong melihat betapa Gu Hong Beng, murid adik iparnya itu,
memandang dengan sinar mata bercahaya. "Hong Beng, apakah kau
mengenalnya?" Dia bertanya. Suami isteri ini pernah mengenal Hong Beng,
bahkan bersama pemuda ini dan para pendekar lainnya, pernah membantu untuk
menghancurkan persekutuan yang mendukung Thai-kam Hou Seng.
"Ang I
Lama... apakah tidak ada hubungannya dengan Sai-cu Lama...?" Hong Beng
berkata.
"Aku
pun berpendapat demikian," Suma Hui berkata, "akan tetapi, di manakah
adanya Ang I Lama dan mengapa dia melakukan hal ini kepada kami?"
"Ahhh...!
Sekarang aku ingat, enci Hui!" kata Suma Ciang Bun. "Aku pernah
mendengar nama Ang I Lama dan tentu saja ada hubungan antara dia dan Sai-cu
Lama, karena Ang I Lama adalah salah seorang di antara para pimpinan pendeta
Lama di Tibet. Akan tetapi... menurut yang pernah kudengar, Ang I Lama termasuk
pendeta Lama yang bersih dan tidak sudi melakukan kejahatan, apa lagi menculik
keponakanku Hong Li."
"Siapa
tahu hati orang? Mungkin saja dia mendendam atas kematian Sai-cu Lama, karena
bukankah mereka sama-sama dari Tibet dan sama-sama pendeta Lama? Mungkin atas
dasar dendam itulah, dan mengingat bahwa kami berdua juga membantu usaha
menghancurkan persekutuan Sai-cu Lama, maka kini Ang I Lama datang untuk
membalas dendam dengan cara yang curang, yaitu menculik dan melarikan anak
kami," kata Suma Hui.
"Benar,
akan tetapi kita harus bertindak hati-hati, enci. Hal ini harus diselidiki
lebih dulu secara cermat agar jangan sampai enci menuduh orang yang tidak
berdosa."
"Tentu
saja. Sekarang pun kami sedang berkemas untuk segera berangkat ke Tibet,
melakukan penyelidikan tentang Ang I Lama itu!"
"Perjalanan
yang amat jauh dan sukar," kata Suma Ciang Bun.
"Jangankan
baru ke Tibet, biar Ang I Lama melarikan diri ke neraka sekali pun, pasti akan
kami kejar sampai dapat!" kata Suma Hui dengan gemas.
"Kalau
begitu, biarlah kita membagi tugas," kata Suma Ciang Bun. "Enci dan
cihu mencari ke Tibet, dan aku akan mencari di sekitar sini. Siapa tahu yang
namanya Ang I Lama itu masih bersembunyi di dekat dan di sekitar daerah ini.
Sedangkan Hong Beng biarlah ke Istana Gurun Pasir untuk melapor."
"Ehh?
Ada urusan apa ke sana?" Kao Cin Liong bertanya sambil memandang heran
mendengar bahwa adik iparnya itu hendak menyuruh muridnya mengunjungi tempat
kediaman orang tuanya yang jarang dikunjungi orang. Dia sendiri merasa tidak
suka kalau ketenangan dan ketenteraman kehidupan ayah ibunya terganggu.
Suma Cang
Bun menarik napas panjang. "Sebenarnya kedatanganku ini untuk melapor
kepada cihu tentang perbuatan sumoi-mu."
"Sumoi-ku?
Sumoi yang mana?" Cin Liong bertanya heran.
"Bukankah
cihu mempunyai seorang sumoi? Murid Sam Kwi yang diambil murid oleh ayah
ibumu."
"Ah,
maksudmu gadis yang bernama Can Bi Lan itu? Mengapa ia? Bukankah ia pantas
sekali menjadi murid ayah ibuku karena sepak terjangnya saat menghadapi
persekutuan Sai-cu Lama membuat kagum?"
"Ia
telah melakukan penyelewengan sekarang! Bayangkan saja, ia sudah membela dan
membantu Bi-kwi yang melakukan kecabulan dan membunuh banyak pemuda. Padahal,
Bi-kwi bekerja sama dengan tosu-tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw
mengeroyokku sehingga nyaris aku tewas di tangan mereka. Bi Lan itu telah
mempergunakan pedang pusaka ibumu, Ban-tok-kiam untuk bersekongkol dengan
tosu-tosu jahat itu, melakukan kejahatan, dan membela Bi-kwi. Dan dalam hal
ini, ia dibantu pula oleh Pendekar Suling Naga yang lihai."
Mendengar
ini, Kao Cin Liong mengerutkan alisnya. "Hemm, berbahaya sekali kalau
begitu. Ia membawa po-kiam (pedang pusaka) dari ibuku, kalau dipergunakan
secara keliru, akan merusak nama baik keluarga kami." Suma Hui diam saja
tidak berani memberi komentar karena menyangkut nama baik keluarga suaminya.
"Sayang
kita harus pergi ke Tibet untuk mencari anak kita, kalau tidak tentu kita dapat
mencarinya dan meminta kembali pedang pusaka itu," kata Suma Hui dengan
hati-hati karena ia khawatir kalau suaminya akan membatalkan niatnya mencari
Hong Li untuk mencari Bi Lan berhubung dengan terancamnya nama baik
keluarganya.
"Biarlah
saya yang akan pergi menghadap Kao locianpwe di Istana Gurun Pasir untuk
melaporkan tentang penyelewengan Can Bi Lan dan sekalian mengabarkan tentang
diculiknya adik Kao Hong Li oleh Ang I Lama," kata Hong Beng dengan cepat.
"Ah,
kalau begitu baik sekali!" Suma Hui berseru girang, memandang kepada
suaminya.
Cin Liong
juga mengangguk dan memandang kepada Hong Beng dengan sinar mata berterima
kasih. Tidak disangkanya bahwa kehidupannya yang selama ini tenang dan
tenteram, dalam satu hari saja berubah menjadi keruh, penuh dengan persoalan
yang mendatangkan duka dan kekhawatiran.
Walau pun
baru pagi hari itu bertemu, mereka terpaksa harus berpisah lagi pada siang
harinya karena mereka harus mulai dengan tugas masing-masing. Kao Cin Liong dan
Suma Hui berangkat menuju ke Tibet untuk mencari Ang I Lama dan puteri mereka,
sedangkan Suma Ciang Bun pergi mencari jejak pendeta Lama yang melarikan
keponakannya. Hong Beng sendiri juga berangkat menuju ke utara, untuk
berkunjung ke Istana Gurun Pasir untuk menghadap Pendekar Naga Sakti Gurun
Pasir dan isterinya. Kedukaan dan kekhawatiran terbayang di wajah mereka,
terutama sekali di wajah Kao Cin Liong dan Suma Hui.
Di dalam
hati yang selalu mengejar kesenangan, pasti akan sering kali dikunjungi oleh
kesusahan. Tidak mungkin merangkul suka tanpa menyentuh duka, karena suka dan
duka adalah sama. Sama-sama menjadi ciptaan pikiran sendiri.
Yang
mengandung suka atau duka bukanlah si peristiwa, melainkan pikiran kita sendiri
dalam menanggapi peristiwa yang terjadi. Kalau kita dalam menghadapi segala
macam peristiwa seperti apa adanya tanpa menghendaki hal-hal yang lain, tanpa
menjangkau kesenangan atau mengelak kesusahan, maka yang ada hanyalah kewajaran
yang tidak mendatangkan duka apa pun.
Seperti
orang menghadapi panas terik matahari, tanpa mengeluh kita lalu menggunakan
akal budi untuk berteduh, dan seperti orang menghadapi malam gelap dan dingin,
kita pun tidak mengeluh melainkan menggunakan kebijaksana untuk membuat
penerangan di dalam gelap dan mempergunakan sarana untuk berlindung dari
kedinginan. Tanpa susah atau senang dan kalau sudah begitu, di dalam kegelapan
mau pun kepanasan malam dan siang kita dapat melihat keindahan di luar
penilaian…..
***************
Kao Hong Li
membuka sepasang matanya dan ia merasa bagaikan dalam mimpi. Ia terbangun dan
tidak menggerakkan badan terlebih dahulu. Setelah membuka kedua matanya, anak
yang cerdik ini memutar otaknya, mengingat-ingat. Ia lalu teringat akan peristiwa
aneh yang dialaminya.
Mula-mula
yang teringat olehnya adalah ketika ia bermain silat pedang di antara
kawan-kawannya, di dalam kebun, disambut pujian para kawannya. Kemudian
kemunculan kakek gundul berjubah merah yang lalu melawannya. Tiba-tiba terdengar
ledakan itu, dan nampak asap tebal, dan tubuhnya melayang-layang di antara asap
yang membuat ia merasa seperti terbang di angkasa, di antara awan-awan. Lalu ia
pun lemas tak ingat apa-apa lagi. Ia diculik!
Ingatan ini
mengejutkannya. Ia telah dilarikan oleh kakek aneh itu! Kini Hong Li masih
belum menggerakkan tubuhnya, mulai memperhatikan keadaan sekelilingnya. Ia
rebah terlentang di atas sebuah dipan kayu yang keras dan kasar dan dipan itu
terletak di sudut ruangan ini.
Sebuah kamar
dari empat dinding yang berlumut dan kotor, dengan daun pintu rusak dan terbuka
di sebelah kanan. Tidak kecil juga tidak berdaun di sebelah kanan. Tidak nampak
ada orang di situ, hanya ia sendirian saja di atas dipan. Ia telah dilarikan
oleh kakek itu ke sini, pikirnya. Entah di mana ini. Kakek yang aneh dan sakti
itu tidak ada. Inilah kesempatan baik baginya untuk melarikan diri.
Hong Li
mulai menggerakkan kaki tangannya. Lega rasa hatinya karena kaki tangannya bisa
digerakkan dengan mudah dan ketika ia bangkit duduk, kepalanya pun tidak terasa
pening. Ia dalam keadaan sehat. Dicarinya pedangnya. Tapi tidak nampak di situ.
Ia lalu dengan hati-hati turun dari pembaringan itu, perlahan-lahan agar jangan
mengeluarkan suara, lalu berindap-indap melangkah menuju ke pintu yang daunnya
terbuka lebar karena memang sudah bobrok itu.
Agaknya di
luar, senja telah mendatang, namun matahari masih meninggalkan sisa cahayanya
sebelum dia menghilang sama sekali. Dengan hati-hati Hong Li mengintai ke luar.
Tidak ada orang. Dan di luar sana nampak pohon-pohon lebat. Sebuah hutan! Ia
berada di dalam sebuah rumah tua, agaknya bekas kuil, di dalam sebuah hutan
lebat. Ia harus cepat melarikan diri!
Tetapi,
tiba-tiba terdengar suara orang, suara yang halus dan sudah pernah didengar,
suara Ang I Lama yang menculiknya! "Aha, anak baik, engkau sudah
bangun?"
Hong Li
cepat membalikkan tubuhnya dan ternyata kakek itu berada di dalam kamar itu!
Pada hal tadi tidak nampak seorang pun di situ. Ah, tentu kakek ini telah
menggunakan ilmu sihirnya pula, pikirnya. Hong Li menjadi marah dan ia
meraba-raba pinggangnya, lupa bahwa tadi sia-sia saja ia mencari pedangnya,
pedang barunya yang indah.
"Aha,
mencari pedangmu? Inilah pedangmu, terimalah!" Dia mengeluarkan sebatang
pedang dari balik jubah merahnya dan menyerahkannya kepada Hong Li. Gadis cilik
itu cepat menyambar pedangnya, pedang barunya, lalu mengambil sikap untuk
menyerang.
"Anak
baik, untuk apa engkau mencari pedangmu?"
"Untuk
membunuhmu, kakek jahat!" bentak Hong Li. Ia pun menggerakkan pedangnya,
menyerang dengan marah dan dengan pengerahan seluruh tenaganya.
"Ha-ha,
pedang itu tidak ada gunanya, sudah kukatakan ini kepadamu. Lihat, kau boleh
tusuk perutku ini, aku takkan menangkis atau mengelak."
Hong Li
menerjang maju, menggerakkan pedangnya untuk menusuk ke arah perut. Ia melihat
kakek itu berdiri tegak saja, membiarkan perutnya ditusuk! Dan pada saat ujung
pedangnya hampir menyentuh jubah merah, Hong Li menahan tenaganya dan bahkan
menghentikan tusukannya. Tidak bisa ia menusuk begitu saja perut orang yang
tidak melawan! Tidak mungkin ia melakukan pembunuhan dengan hati dingin seperti
itu.
"Oho,
kenapa tidak kau lanjutkan tusukanmu?" kakek itu tertawa.
"Lawanlah,
jangan diam saja!" bentak Hong Li.
Kakek itu
terbelalak, memandang heran, lalu tertawa. "Ha-ha, keturunan keluarga
Pulau Es dan Gurun Pasir memang aneh luar biasa. Nah, aku melawan sekarang,
hendak kutangkap kepalamu dan akan kubuktikan betapa pedangmu itu tidak ada
gunanya!"
Kakek itu
kini menggerakkan kedua tangannya, hendak mencengkeram kepala Hong Li dari
kanan kiri. Melihat ini, gadis cilik itu menyuruk ke depan, mendului dengan
tusukan pedangnya ke arah perut. Kini ia tidak ragu-ragu lagi menusuk karena
bukankah musuh menyerangnya dengan hebat pula. Kalau ia tidak mendahului, tentu
kepalanya akan remuk oleh kedua tangan yang kuat itu.
"Wuuutt...
krekkk...!"
Kao Hong Li
terkejut bukan main. Pedangnya telah menusuk perut, akan tetapi rasanya seperti
menusuk segumpal baja saja dan pedangnya sekarang patah-patah menjadi tiga
potong! Ia membuang gagangnya dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak.
Dan melihat betapa kakek itu tersenyum-senyum dan memandang sambil mengejek, ia
marah sekali. Dengan nekat kini ia menyerang dengan kedua tangannya yang
terkepal.
"Heh-heh-heh,
engkau setan cilik yang nakal!"
Kini Hong Li
mengalami hal yang membuatnya semakin terkejut dan heran. Tubuhnya terhalang
sesuatu yang tidak nampak, seolah-olah ada tenaga yang menahannya dari depan
sehingga gerakannya terhalang dan ia tidak dapat mendekati kakek itu! Betapa
kuatnya ia menerjang, selalu ia bertemu dengan tenaga itu dan tubuhnya bahkan
terdorong ke belakang.
Setelah
beberapa kali mencoba dan tidak berhasil, akhirnya Hong Li berdiri terdiam dan
hanya menatap kakek itu dengan sinar mata tajam penuh kemarahan. Ia tahu bahwa kakek
itu sakti sekali dan ia tidak berdaya, namun Hong Li tidak merasa takut sedikit
pun juga.
"Kakek
jahat, engkau pengecut besar!" tiba-tiba ia membentak.
Kakek itu
yang sedang tersenyum, tiba-tiba menghentikan senyumnya dan memandang kepadanya
dengan alis berkerut dan ada kemarahan membayang pada mata yang tajam mencorong
itu. "Hemm. setan cilik, kenapa engkau berani memaki aku pengecut
besar?"
"Kalau
engkau bukan pengecut, tentu engkau tidak akan memusuhi aku, seorang anak
kecil! Kalau engkau memang gagah dan mempunyai kepandaian, tentu engkau akan
menantang ayahku atau ibuku, bukan menculik dan melarikan diriku. Beranimu
hanya mengganggu anak kecil, akan tetapi terhadap ayah dan ibuku, engkau
melarikan diri sampai terkencing-kencing. Huh, pengecut besar tak tahu
malu!"
Akan tetapi
kini kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, dan engkau setan cilik sangat
gagah berani, benar-benar mengagumkan sekali. Engkau memang berjodoh dengan
pinceng, anak baik. Namamu Kao Hong Li, bukan? Heh-heh, dan aku bernama Ang I
Lama. Engkau lihat sendiri, kepandaianku setinggi langit dan engkau beruntung
sekali dapat ikut bersamaku!"
"Huh,
kepandaianmu tidak ada artinya kalau engkau berani melawan ayah dan
ibuku!" Hong Li berseru mengejek, pada hal di dalam hatinya dia meragu
apakah ayah dan ibunya akan mampu menandingi kakek yang selain lihai ilmu
silatnya, juga lihai ilmu sihirnya ini.
Menurut
penuturan ibunya, kakek buyutnya yang bernama Suma Han berjuluk Pendekar Super
Sakti atau Pendekar Siluman, selain sakti juga memiliki ilmu sihir yang amat
hebat. Juga nenek Teng Siang In, isteri dari paman kakeknya yang bernama Suma
Kian Bu dijuluki Pendekar Siluman Kecil, memiliki juga kekuatan sihir. Sayang
ibunya sendiri tidak pernah mempelajari ilmu sihir dan hanya ahli dalam hal
ilmu pawang ular yang pernah ia pelajari sedikit itu.
Karena kakek
itu hanya tertawa saja dan tak menjawab, Hong Li lalu bertanya, suaranya masih
terdengar ketus akan tetapi sedikit pun ia tidak memperlihatkan perasaan takut,
"Kakek jahat, engkau bernama Ang I Lama, seorang pendeta yang mestinya
melakukan kebaikan di dunia ini. Akan tetapi kenapa engkau menculik aku tanpa
sebab?"
"Ha-ha-ha,
sebabnya karena aku suka kepadamu, Kao Hong Li. Engkau akan menjadi muridku dan
menemani hidupku yang sunyi."
"Hemm,
kakek jahat, ke mana engkau hendak membawaku?" Hong Li mulai merasa ngeri,
membayangkan bahwa ia selanjutnya harus hidup bersama kakek mengerikan ini.
"Ke
mana lagi kalau tidak ke Tibet?"
"Tidak,
aku tidak mau!" kata Hong Li. "Biar engkau akan membunuhku sekali
pun, aku tidak sudi menjadi muridmu, juga tidak sudi ikut bersamamu!"
Setelah berkata demikian, Hong Li lalu meloncat keluar dari ruangan itu melalui
pintu yang terbuka. Ia bermaksud melarikan diri dengan nekat.
Akan tetapi,
tiba-tiba terdengar suara kakek itu berkata di depannya, "Hong Li, aku di
sini!" Dan tahu-tahu kakek itu telah menghadang di depannya.
Hong Li
menengok dan dengan mata terbelalak melihat bahwa kakek tadi masih berada di
dalam ruangan itu. Bagaimana mungkin kakek itu berubah menjadi dua orang? Ia
lalu memutar tubuh ke kiri untuk melarikan diri melalui lorong di depan kamar,
akan tetapi kembali terdengar suara kakek itu.
"Hong
Li, aku berada di sini!" Dan di depannya kembali sudah menghadang kakek
itu.
Pada waktu
dia menengok, ternyata kakek yang berada di dalam kamar mau pun yang pertama
kali menghadangnya masih tetap berada di tempat masing-masing. Dengan demikian,
kini ada dua orang kakek yang sama! Ia memutar tubuh lagi dan kembali melihat
munculnya seorang kakek lain yang sama sehingga sebentar saja ia sudah dikepung
oleh banyak orang kakek yang sama!
Hong Li
dapat menduga bahwa ini tentu permainan sihir, maka dengan nekat pula ia
menerjang ke depan.
"Ha-ha-ha,
anak keras kepala berhati baja. Engkau memang nakal!"
Dan
tiba-tiba Hong Li merasa banyak tangan menangkapnya sehingga ia tidak mampu
bergerak lagi. Kemudian, kakek itu mengikat kaki tangannya dengan ikat
pinggang, lalu memondong tubuhnya dan melemparkannya pula ke atas dipan yang
tadi dan sama sekali tidak mampu bergerak karena ikatan kaki tangannya itu kuat
sekali. Dan kini ia melihat bahwa kakek yang tadinya banyak itu kembali menjadi
seorang saja.
Kakek itu
berdiri di dekat dipan sambil menyeringai. "Heh-heh, bagaimana, anak
nakal. Apakah engkau sekarang sudah menyerah dan mau ikut bersamaku dengan suka
rela?"
"Tidak
sudi!" Hong Li membentak, masih galak walau pun kaki tangannya tidak mampu
bergerak lagi.
"Engkau
memilih mati?"
"Ya!
Aku tidak takut mati!" kata Hong Li dengan gagah.
Kakek itu
memandang kepada Hong Li dengan sinar mata-penuh kagum. "Bagaimana kalau
sebelum mati kusiksa dulu? Engkau berani menghadapi siksaan?"
"Tidak
perlu cerewet lagi! Mau bunuh, mau siksa, terserah, akan tetapi aku tidak sudi
menyerah!"
"Huh,
bocah tak tahu disayang! Biar kuberi engkau waktu semalam lagi untuk berpikir
panjang. Besok aku datang lagi dan kalau engkau tetap menolak, aku akan
menyiksamu sampai engkau merasa menyesal telah pernah dilahirkan di dunia
ini!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat kakek itu pun lenyap
dari situ.
Hong Li
rebah seorang diri dan setelah kakek itu pergi, barulah ia merasa ngeri kalau
membayangkan betapa ia akan disiksa sampai mati pada besok hari kalau ia tidak
mau menyerah. Tidak, ia harus dapat melarikan diri, pikirnya. Ia tidak sudi
menyerah, juga tidak ingin mati konyol.
Mulailah ia
berusaha menggerakkan kaki tangannya untuk melepaskan ikatan, namun sia-sia
saja. Ikatan itu terlalu kuat sehingga kedua kaki tangannya sama sekali tidak
mampu berkutik. Ia teringat kepada ayah ibunya dan tak terasa lagi, dua titik
air mata membasahi pelupuk matanya. Sekarang, setelah ditinggalkan kakek itu,
ia mulai merasa ketakutan.
Keringat
dingin membasahi seluruh tubuhnya kalau ia membayangkan siksaan yang tak dapat
ia perkirakan. Kakek itu terlalu kejam, terlalu jahat. Entah siksaan apa yang
akan diterimanya. Kalau ia dibunuh seketika, hal itu tidak ditakutinya, akan
tetapi kalau ia disiksa perlahan-lahan, sungguh hal ini amat menakutkan.
Akan tetapi
menyerah menjadi murid kakek itu? Tidak, dia tidak sudi! Kakek itu terlalu
jahat. Dan kalau ia menolak, ia akan di siksa sampai mati. Tidak, ia belum
ingin mati, tidak mau mengalami derita siksaan.
Sampai lewat
tengah malam, Hong Li diombang-ambingkan oleh perasaan kebencian dan takut
kepada kakek itu. Menyerah salah, menolak juga salah. Ia bingung sekali dan
kalau saja sejak kecil ia tidak digembleng sehingga memiliki semangat dan kegagahan,
tentu anak yang baru berusia tiga belas tahun ini sudah menangis atau
menjerit-jerit. Tetapi tidak, Hong Li hanya diam saja, hanya ada beberapa butir
air mata membasahi pipinya dan ia menggigit bibirnya untuk mencegah tangis dan
jeritannya.
Tiba-tiba
ada gerakan di pintu. Jantung di dalam dada Hong Li berdebar-debar penuh
ketegangan. Apakah kakek jahat itu sudah akan memulai dengan siksaannya pada
hal malam belum lagi lewat? Hong Li merasa betapa seluruh bulu di tubuhnya
meremang saking ngerinya, Akan tetapi, yang muncul bukanlah kakek Ang I Lama
yang dibencinya, melainkan seorang wanita cantik!
Usia wanita
itu sebaya dengan ibunya akan tetapi pakaiannya mewah sekali. Tubuhnya tinggi
ramping dan rambutnya digelung ke atas dengan dihias permata dan emas yang
indah. Pakaiannya dari sutera tipis berwarna merah muda dan biru. Walau pun
usianya tentu ada empat puluh tahun, namun wanita itu masih nampak muda, dengan
sepasang mata yang lebar dan tajam.
Begitu masuk
kamar dan melihat Hong Li memandangnya, wanita itu menaruh telunjuk di depan
mulutnya sebagai tanda agar Hong Li tidak mengeluarkan suara berisik. Hong Li
diam saja, memandang dengan heran, namun juga dengan penuh harapan. Mudah
diduga dari sikapnya bahwa kedatangan wanita asing ini tentu bermaksud baik
terhadap dirinya.
Ketika
wanita itu menghampiri pembaringan. Hong Li mencium bau yang harum seperti
bunga mawar dan begitu wanita itu tersenyum kepadanya, ia merasa suka sekali
pada wanita ini. Seorang wanita cantik yang ramah, dan tentu datang untuk
menolongnya, pikirnya.
"Bibi,
engkau siapakah?"
"Sstttt...!"
Wanita itu mendesis lirih. "Aku datang untuk menolongmu, akan tetapi aku
harus dapat mengalahkan dulu Ang I Lama..."
Hong Li
memandang terbelalak, kagum. "Dapatkah engkau mengalahkan dia, bibi?"
tanyanya, penuh keraguan mengingat akan kesaktian pendeta Lama yang menculiknya
itu. "Tidakkah lebih baik bibi membebaskan aku, lalu kita melarikan diri
selagi dia tidak berada di sini?"
Wanita itu
menggeleng kepalanya. "Engkau tidak tahu siapa Ang I Lama. Dia akan
mengejar dan akhirnya aku harus berhadapan dengan dia pula. Tidak, aku harus
lebih dahulu mengalahkan dia, baru aku akan dapat membebaskanmu. Engkau bernama
Kao Hong Li, ayahmu Kao Cin Liong putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan ibumu
cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, bukan?"
Hong Li
mengangguk, tidak merasa heran kalau wanita ini mengenal ayah ibunya, karena ia
tahu bahwa nama ayah dan ibunya terkenal sekali di dunia kang-ouw.
"Aku
suka dan kagum kepadamu. Engkau tabah dan berani, engkau keturunan para
pendekar dan keluarga yang sangat terkenal. Dan aku akan menghadapi Ang I Lama
dengan taruhan nyawa untuk menolongmu. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kalau
aku minta engkau ingat akan pertolonganku dan membalas budi, bukan?"
Kembali Hong
Li mengangguk. Kalau wanita ini berani menandingi Ang I Lama dengan
mempertaruhkan nyawa untuk menolongnya, tentu saja ia berhutang budi dan nyawa
kepadanya. "Aku akan berterima kasih sekali, bibi."
Wanita itu
tersenyum. Manis sekali dia kalau lagi tersenyum. "Apa gunanya terima
kasih untukku? Dengar, Hong Li. Aku akan menandingi Ang I Lama dan kalau aku
berhasil mengalahkannya, aku akan membebaskanmu. Akan tetapi, untuk itu aku
minta engkau berjanji bahwa engkau akan mengangkat aku sebagai ibu dan
guru."
"Ehh,
mengapa sebagai ibu?" Hong Li terheran.
"Aku...
aku merindukan seorang anak dan engkau pantas menjadi anak angkatku, Hong Li.
Nah, maukah engkau?"
"Menjadi
anak angkat dan murid?"
"Bukan
itu saja. Engkau harus berjanji mengangkat aku sebagai ibu dan guru, kemudian
juga bahwa selama lima tahun engkau akan hidup bersamaku, mempelajari ilmu dan
menemani aku sebagai ibu angkatmu."
Hong Li
merasa bimbang. Permintaan yang aneh-aneh. Akan tetapi wanita ini hendak
mempertaruhkan nyawa menolongnya dan kalau benar dapat mengalahkan Ang I Lama,
memang wanita ini patut menjadi gurunya. Juga apa salahnya mengangkat seorang
wanita baik yang menyelamatkannya sebagai ibu?
"Hanya
itu?" ia bertanya lagi.
"Hanya
itu, juga engkau harus berjanji bahwa selamanya, melindungi aku dari gangguan
dan serangan siapa pun juga."
Tentu saja
permintaan terakhir ini tidak berat, bahkan tanpa diminta sekali pun, siapa
yang takkan melindungi dan membela ibu angkatnya dari serangan orang lain?
Kembali ia mengangguk.
"Baiklah,
aku berjanji..."
"Hong
Li, urusan ini bukan main-main, melainkan persoalan hidup atau mati bagiku,
juga menyangkut kebahagiaan hidupku selanjutnya, karena itu, tidak cukup engkau
berjanji. Bersumpahlah!"
Kembali Hong
Li terkejut. Selamanya belum pernah dia bersumpah, dan permintaan wanita ini
agar ia bersumpah mengejutkannya dan membuatnya bimbang. Tetapi hanya untuk
sebentar saja. Janji dan sumpahnya untuk sesuatu yang baik, apa salahnya kalau
ia akan diselamatkan dan ditolong oleh wanita ini.
"Baiklah,
subo (ibu guru). Saya bersumpah, kalau subo dapat membebaskan aku dari tangan
Ang I Lama, aku akan mengangkatmu sebagai ibu dan juga sebagai guru, dan aku
akan membela dan melindungimu dari gangguan siapa pun juga!"
Wanita itu
nampak girang bukan main, membungkuk dan mencium pipi Hong Li dengan bibirnya.
"Anakku sayang, muridku yang hebat! Kau tunggu saja di sini supaya jangan
mendatangkan curiga, sementara engkau rebah dalam keadaan terikat dulu. Aku
akan menghadang Ang I Lama di luar dan aku akan mengerahkan seluruh kepandaian
dan tenagaku untuk mengalahkannya." Setelah berkata demikian, wanita itu
meloncat dan lenyap dari dalam kamar itu.
Hong Li
termenung. Hatinya diliputi kebimbangan. Memang, dari gerakannya pada saat
meloncat atau menghilang tadi, ia bisa mengetahui bahwa wanita yang belum
diketahui namanya itu memiliki kepandaian tinggi. Tetapi, mampukah wanita itu
mengalahkan Ang I Lama yang demikian saktinya? Apa lagi kalau diingat bahwa Ang
I Lama memiliki ilmu sihir, ia bergidik.
Andai kata
saja wanita cantik itu mempunyai ilmu silat tinggi seperti ibunya dan mampu
menandingi Ang I Lama dalam perkelahian, akan tetapi bagaimana kalau kakek
Tibet itu mempergunakan ilmu sihir? Kalau wanita itu sampai kalah dan tertawan,
terluka atau bahkan terbunuh, ia akan merasa semakin menyesal karena berarti
bahwa kematian wanita itu adalah karena membelanya!
Waktu terasa
merayap lambat sekali bagi Hong Li yang tenggelam dalam ketegangan semenjak
munculnya wanita cantik itu. Ia bahkan terkejut ketika muncul Ang I Lama dari
pintu. Kakek itu menjenguknya, lalu tertawa melihat betapa dia masih rebah
terlentang dengan kaki tangan terikat.
"Ha-ha-ha,
sudah cukupkah engkau merenungkan nasibmu? Nanti jika matahari mulai memasukkan
sinarnya melalui jendela itu, aku akan datang dan minta keputusanmu, apakah
engkau mau menyerah ataukah memilih mati tersiksa. Ha-ha-ha!" Ang I Lama
lalu keluar lagi sambil tertawa.
Tiba-tiba
saja perhatian Hong Li tertarik oleh suara yang terdengar dari luar kamar itu.
Terdengar suara gedebugan dan gerakan orang berloncatan, disusul bentakan Ang I
Lama, "Sin-kiam Mo-li, berani engkau menyerangku?"
Kemudian
terdengar jawaban yang mendebarkan hati Hong Li sebab ia mengenal suara wanita
cantik tadi. "Ang I Lama, tinggalkan tempat ini dan biarkan aku yang
mengurus Kao Hong Li karena ia berjodoh untuk menjadi anak angkatku!"
"Ha-ha-ha,
Sin-kiam Mo-li, apakah engkau hendak mengantar kematianmu maka berani
mencampuri urusanku? Nah, terimalah kematianmu!"
Kembali
terdengar suara gedebugan. Hong Li dengan mata terbelalak dan hati berdebar
penuh ketegangan dan kekhawatiran mendengar gerakan orang yang sangat ringan
dan cepat. Juga lalu terdengar suara berdesing-desing. Ia menduga bahwa yang
bersenjata pedang itu tentulah Sin-kiam Mo-li karena bukankah julukannya itu
sudah menunjukkan bahwa wanita itu merupakan seorang ahli pedang.
Sin-kiam
Mo-li (Iblis Betina Berpedang Sakti), julukan yang mengerikan. Kenapa wanita
secantik dan sebaik itu dijuluki Iblis Betina, pikir Hong Li dengan penasaran.
Diam-diam ia berdoa agar wanita itu memperoleh kemenangan dalam perkelahian
yang terjadi di luar kamar itu.
Tak lama
kemudian, di antara suara gerakan orang bersilat itu, terdengar seruan Ang I
Lama, "Kiam-sut-mu hebat juga. Akan tetapi lihat, apakah ini?"
Dan
terdengarlah suara ledakan-ledakan yang mengejutkan hati Hong Li karena anak
itu maklum bahwa tentu pendeta Lama itu sudah mempergunakan ilmu sihirnya. Dia
memandang khawatir sekali ke arah pintu dan melihat asap putih mengepul di luar
pintu itu. Celaka, pikirnya, mampuskah Sin-kiam Mo-li menghadapi ilmu sihir
yang aneh itu?
Akan tetapi,
terdengar suara ketawa lembut wanita itu. "Hemm, Ang I Lama, permainan
sihirmu ini hanya merupakan permainan kanak-kanak bagiku." Kembali
terdengar suara gedebugan, disusul suara Ang I Lama berteriak seperti orang
kesakitan.
"Ahhhh.
engkau benar lihai...!" Dan suara perkelahian itu pun terhenti, tanda
bahwa di luar kamar tidak ada lagi orang berkelahi.
Hong Li
sampai merasa pedas pada matanya karena sejak tadi ia memandang ke arah pintu
dengan mata terbelalak, tidak pernah berkedip, dengan hati tegang. Ia tidak
tahu bagaimana kesudahan perkelahian itu, akan tetapi mendengar suara-suara
mereka tadi, ia merasa yakin bahwa penolongnya tidak kalah meski pendeta Tibet
itu menggunakan ilmu sihir. Dugaannya terbukti kebenarannya ketika ia mendengar
langkah kaki halus dan muncullah Sin-kiam Mo-li di ambang pintu. Sinar lampu
yang tidak begitu cerah menimpa wajah yang nampak cantik itu dan wanita itu
tersenyum.
"Subo,
kau menang...! Hong Li berseru.
Wanita itu
semakin girang. Sejak bersumpah, anak ini telah menyebutnya subo! Ia lalu
melangkah menghampiri dipan.
"Subo,
bagaimana engkau bisa melawan ilmu sihirnya?”
Wanita itu
memperlebar senyumnya. "Sihir merupakan permainan kanak-kanak bagiku, Hong
Li. Lihat ini!" Ia menggerakkan kedua tangannya ke arah tangan dan kaki
Hong Li dan... ikatan pada pergelangan tangan dan kaki anak itu pun putus-putus
dan Hong Li bebas seketika!
Dengan
girang dan kagum sekali Hong Li bangkit dari pembaringan, kemudian, sebagai
seorang anak angkat dan murid yang tahu diri, ia menjatuhkan diri berlutut di
depan kaki wanita itu. "Subo, terima kasih atas pertolonganmu!"
Sin-kiam
Mo-li merangkul Hong Li dan mengangkatnya bangun. Hong Li memandang wanita itu
dengan wajah berseri.
"Ahh,
subo tentu lihai sekali mempergunakan pedang-pedang itu." Ia menuding ke
arah sepasang pedang yang berada di punggung Sin-kiam Mo-li. Sebatang pedang
pendek dan sebatang pedang panjang. "Mengingat akan julukan subo, Sin-kiam
Mo-li, tentu subo merupakan ahli pedang yang hebat!"
Wanita itu
mengangguk-angguk. "Hong Li, engkau takkan kecewa menjadi anak angkat dan
muridku."
Tiba-tiba
teringatlah Hong Li bahwa dia sudah bersumpah mengangkat guru dan ibu kepada
wanita ini, dan selama lima tahun ia akan ikut dengan wanita ini, bahkan
berjanji akan membela dan melindunginya kelak selama hidupnya. Teringatlah dia
akan orang tuanya sendiri dan tiba-tiba saja ia menjadi bingung.
Sin-kiam
Mo-li memiliki pandang mata yang tajam. Ia melihat kebimbangan menyelimuti
wajah anak itu, maka ia pun bertanya sambil mengerutkan alisnya, "Ada
apakah, Hong Li?"
Hong Li
adalah seorang anak yang berwatak jujur. Ia memandang wajah gurunya dan
berkata, "Subo, tiba-tiba saja aku teringat kepada ayah ibuku. Memang
benar bahwa aku telah berjanji dan bersumpah kepadamu, dan aku juga akan
memenuhi janjiku, selain mengangkatmu sebagai ibu dan guru, juga ikut bersamamu
selama lima tahun dan kelak aku akan membela dan melindungimu. Akan tetapi,
subo harus tahu bahwa orang tuaku tentu kehilangan aku dan sekarang
mencari-cariku. Bagaimana kalau subo membawa aku lebih dulu pulang untuk
berpamit kepada orang tuaku? Aku pasti akan memenuhi janjiku, aku hanya tidak
ingin membuat mereka berkhawatir dan berduka."
Akan tetapi
Sin-kiam Mo-li menggeleng kepalanya. "Hong Li, permintaanmu ini tentu saja
tidak mungkin dapat kupenuhi. Bayangkan saja. Kalau kita bertemu dengan ayah
ibumu, apakah engkau kira mereka akan mengijinkan aku pergi membawamu? Dan aku
tidak ingin bentrok dengan mereka karena memperebutkan engkau, Hong Li.”
Hong Li
dapat mengerti akan alasan subo-nya. "Akan tetapi, bagaimana jika pada
suatu hari ayah ibuku dapat menemukan kita, subo?"
"Mungkin
saja, karena mereka orang-orang yang lihai. Dan kalau terjadi hal itu, tentu
mereka akan memaksa untuk membawamu pergi, dan aku akan mempertahankan. Dan
kalau sudah begitu, aku hanya mengharapkan kebijaksanaanmu dan kejujuranmu juga
kesetiaanmu akan janji dan sumpahmu."
"Jangan
khawatir, subo" kata anak perempuan itu dengan sikap gagah. "Aku tadi
sudah berjanji dan bagiku, janji adalah kehormatan. Seorang gagah akan lebih
mengutamakan kehormatan dari pada nyawa. Dan aku yakin bahwa ayah dan ibu juga tak
ingin melihat anak mereka menjadi seorang pengkhianat yang melanggar sumpahnya
sendiri!"
"Bagus,
anakku yang baik dan muridku yang hebat, kelak engkau akan sangat berguna
bagiku. Aku girang sekali telah menolongmu, Hong Li. Mari ikutlah aku, kita
pulang."
"Pulang?"
"Ya,
pulang." Sin-kiam Mo-li tersenyum. "Kau kira aku tidak mempunyai
tempat tinggal? Marilah, dan engkau pasti akan merasa senang sekali tinggal di
rumahku, eh, sekarang menjadi rumah kita."
Akan tetapi,
ternyata bahwa mereka harus melakukan perjalanan sampai puluhan hari untuk
dapat tiba di tempat tinggal Sin-kiam Mo-li, oleh karena tempat itu berada di
tepi Sungai Cin-sa di kaki Pegunungan Heng-tuan, di tapal batas sebelah barat
dari Propinsi Secuan…..
**************
Dengan
melakukan perjalanan yang cepat dan amat jarang berhenti, Kao Cin Liong dan
Suma Hui akhirnya tiba juga di Lhasa, di kota terbesar daerah Tibet itu, tempat
yang menjadi pusat dari pemerintahan para Dalai Lama, juga menjadi pusat para
pendeta Lama. Tempat ini dianggap keramat oleh para pendeta Lama dan oleh
seluruh rakyat di Tibet.
Kao Cin
Liong adalah seorang yang sudah banyak pengalaman. Pada saat dia masih menjadi
seorang panglima kerajaan, dia pernah memimpin pasukan sampai di Tibet, dan
sebagai seorang panglima, dia amat dikenal di jaman itu. Maka, kini dia
memasuki daerah Tibet tanpa merasa asing.
Isterinya,
Suma Hui yang belum pernah melihat kota Lhasa, memandang penuh kagum dan
diam-diam merasa khawatir. Tembok kota Lhasa demikian kokoh kuat, dan istana
yang menjadi pusat para pendeta Lama itu demikian megah, besar dan indah. Kalau
puterinya berada di dalam istana itu, bagaimana dia akan mampu mengeluarkannya?
Namun ketenangan suaminya menimbulkan kembali kepercayaan diri dan keyakinannya
bahwa mereka berdua pasti akan dapat menemukan dan membawa pulang puteri mereka
tercinta, anak tunggal mereka.
Para pendeta
Lama yang menjadi pimpinan di situ, banyak di antaranya yang mengenal bekas
Panglima Kao Cin Liong dan mereka pun menyambut kunjungan suami isteri itu
dengan hormat dan ramah. Suami isteri pendekar itu tak mau menceritakan
kehilangan anak mereka. Mereka hanya mengatakan bahwa mereka memiliki urusan
pribadi yang penting dengan seorang pendeta Lama berjuluk Ang I Lama.
"Mohon
petunjuk para suhu apakah di sini terdapat seorang suhu yang berjuluk Ang I
Lama, karena kami berdua sengaja datang dari jauh untuk mencarinya, untuk suatu
urusan pribadi yang penting antara suhu Ang I Lama dan kami," demikian
antara lain Kao Cin Liong menyatakan keperluan kunjungan mereka di tempat suci
itu.
"Omitohud...
aneh sekali kalau ada tamu mencari Ang I Lama untuk urusan pribadi, karena
setahu kami, sudah hampir dua tahun Ang I Lama mengasingkan diri dan tidak
pernah berurusan dengan dunia luar. Akan tetapi kalau taihiap ingin mengetahui
tempat tinggalnya, Ang I Lama kini berada di dalam goa di puncak Bukit Beruang
Putih, tidak jauh dari sini."
Suma Hui
tidak dapat menahan keinginan tahunya. Setelah suaminya mengucapkan terima
kasih atas keterangan itu, ia pun bertanya, "Cu-wi losuhu, kalau tidak
salah, suhu Sai-cu Lama juga berasal dari sini, bukan?"
Mendengar
pertanyaan ini, para pendeta Lama saling pandang dan muka mereka lalu berubah
menjadi kemerahan.
"Omitohud...!"
Seorang di antara mereka menjura ke arah Suma Hui. "Semoga Sang Buddha
mengampuni kami. Memang benar, lihiap, Sai-cu Lama berasal dari sini. Akan
tetapi dia sudah murtad dan untung ada Tiong Khi Hwesio yang menolong kami dan
menundukkannya. Sahabat kami Tiong Khi Hwesio sudah mengunjungi kami beberapa
hari yang lalu dan sudah menceritakan bahwa dia berhasil melenyapkan Sai-cu
Lama berkat bantuan para pendekar dan di antara mereka yang membantu untuk
membasmi komplotannya termasuk ji-wi. Karena itu, dalam kesempatan ini, pinceng
mewakili para saudara kami sekalian menghaturkan terima kasih kepada
ji-wi."
Kao Cin
Liong dan isterinya cepat membalas penghormatan itu, dan bekas panglima itu
merasa tidak enak melihat sikap para pendeta Lama yang menjadi kikuk ketika
disebut nama Sai-cu Lama yang dianggap mengotorkan nama para pendeta Lama di
Tibet.
"Harap
cuwi losuhu memaafkan kami. Isteriku menyebut nama Sai-cu Lama sebab kami
menduga bahwa ada hubungan antara Sai-cu Lama dan Ang I Lama." Dengan
ucapan ini, Cin Liong sengaja memancing keterangan tentang kedua orang pendeta
Lama itu.
"Omitohud...
dugaan ji-wi memang tepat sekali, Ang I Lama adalah sute dari mendiang Sai-cu
Lama, akan tetapi biar pun mereka itu saudara seperguruan, sungguh perbedaan
antara mereka seperti bumi dengan langit. Sai-cu Lama menyeleweng dari
kebenaran dan tersesat mengingkari ajaran-ajaran agama, sebaliknya Ang I Lama
adalah seorang yang benar-benar taat kepada agama, bahkan selalu prihatin dan
bertapa untuk mencari penerangan dan kedamaian."
Akan tetapi,
keterangan bahwa ada hubungan saudara seperguruan antara dua pendeta Lama itu,
menambah keyakinan hati suami isteri itu bahwa mereka telah menemukan jejak
yang benar. Tentu Ang I Lama menculik puteri mereka karena hendak membalas
dendam atas kematian suheng-nya, Sai-cu Lama pikir mereka. Mereka tahu bahwa dendam
dapat saja membutakan mata batin manusia, dan bukan tidak mungkin kalau Ang I
Lama yang katanya tekun bertapa itu tidak dapat menahan dendam sakit hatinya.
Setelah
memperoleh keterangan dan petunjuk tentang tempat tinggal atau tempat Ang I
Lama bertapa, suami isteri pendekar itu kemudian menghaturkan terima kasih dan
pergi meninggalkan istana para pendeta Lama di kota Lhasa itu, dan dengan cepat
mereka mendaki bukit yang bernama Bukit Beruang Putih karena dari jauh memang
bentuknya bagai seekor beruang. Di musim dingin, puncak itu diliputi salju
sehingga nampak bagai seekor beruang putih, dan di musim panas, masih nampak
putih karena puncaknya adalah batu kapur yang gundul.
Hari telah
siang ketika suami isteri itu akhirnya tiba di depan goa besar, sebuah goa di
puncak bukit kapur dan goa itu sudah memakai pintu kayu buatan manusia. Sunyi
sekali di situ dan pemandangan alam dari depan goa memang amat indahnya. Nampak
dari situ kota Lhasa, bahkan istana para pendeta Lama juga nampak dari situ,
kelihatan seperti mainan saja, namun amat indahnya.
Suma Hui
berkeringat karena hatinya merasakan tegang. Ia membayangkan akan dapat
menemukan puterinya di dalam goa itu, maka hatinya terasa tegang bukan main.
Masih selamatkah puterinya? Dan akan mampukah ia dan suaminya merampas kembali
puteri mereka kembali?
Menurutkan
dorongan hatinya, ingin Suma Hui menerjang dan menghancurkan pintu goa itu.
Namun suaminya yang maklum akan keadaan hati isterinya, menggelengkan kepalanya
memberi isyarat, lalu dia sendiri mendekati pintu kayu yang tertutup dan
berkata dengan suara menghormat, tidak keras akan tetapi karena dia mengerahkan
khikang-nya, maka suara itu dapat menembus daun pintu ke dalam goa.
"Locianpwe
Ang I Lama, maafkan kalau kami datang mengganggu. Kami suami isteri Kao Cin
Liong dan Suma Hui dari jauh di timur datang berkunjung untuk bertemu dan
bicara dengan locianpwe!"
Keheningan
menjawab suara Kao Cin Liong. Suami isteri itu menanti sampai beberapa lama,
akan tetapi tidak ada jawaban. Mereka saling pandang dan kemarahan nampak di
wajah Suma Hui. Wanita ini lalu melangkah mendekati pintu dan tanpa dapat
dicegah suaminya lagi, ia menggedor pintu itu.
"Dor-dor-dorrr...!"
Daun pintu itu terguncang, lalu ia berteriak, suaranya nyaring sekali.
"Ang I Lama, engkau telah menculik puteri kami! Keluarlah dan kembalikan
puteri kami kepada kami atau aku akan menghancurkan daun pintu goa ini!"
Kini segera
terdengar suara dari balik pintu itu, "Omitohud... apakah dosa pinceng
maka hari ini kejatuhan fitnah yang keji ini...?"
Daun pintu
terbuka dari dalam dan muncullah seorang kakek yang berpakaian serba kuning
dengan jubah lebar berwarna merah. Usia kakek ini sekitar enam puluh tahun,
bertubuh tinggi kurus, dengan sepasang mata yang tajam namun lembut sinarnya,
dan wajahnya yang nampak sabar dan tenang.
Dengan
langkah lambat dia keluar pintu goa dan menghadapi suami isteri itu dengan
sinar mata mengandung keheranan. Sejenak matanya memandang kepada suami isteri
itu penuh selidik, kemudian dia berkata lagi.
"Omitohud,
tadi pinceng mendengar bahwa ji-wi adalah Panglima Kao Cin Liong dan isterinya
Suma Hui. Benarkah itu?"
"Saya
bukan panglima lagi, locianpwe. Benar saya adalah Kao Cin Liong dan ini
isteriku Suma Hui. Kami datang dari Pao-teng, sengaja untuk mencari dan menemui
locianpwe."
"Omitohud...
sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagi pinceng. Sayang sekali pinceng
tidak dapat menyambut dengan kehormatan, akan tetapi, ada urusan penting apakah
maka ji-wi jauh-jauh datang mencari pinceng?"
Suma Hui
sudah tidak sabar lagi. Tadi ketika kakek itu muncul, ia mengharapkan kakek itu
akan disertai Hong Li. Akan tetapi anak itu tidak nampak, maka ia merasa
khawatir sekali.
"Bukankah
engkau yang berjuluk Ang I Lama?" tiba-tiba ia bertanya dengan sikap
ketus.
Sikapnya ini
membuat kakek itu memandang heran, akan tetapi dengan lembut dia mengangguk.
"Benar sekali."
"Kalau
begitu, jangan berpura-pura lagi dan cepat bawa keluar anak kami Kao Hong Li
dan serahkan kembali kepada kami!"
Kini kakek
itu memandang kepada mereka berdua dengan sinar mata penuh keheranan, dan
melihat betapa mereka berdua juga memandang kepadanya penuh selidik.
"Omitohud,
jadi yang pinceng dengar tadi bukan hanya dalam mimpi? Semula pinceng mendengar
bahwa ji-wi datang untuk bicara dan karena sudah bertahun-tahun pinceng
bertapa, pinceng terpaksa tidak melayani. Lalu terdengar fitnah keji itu yang
memaksa pinceng keluar. Apakah artinya ini? Pinceng sama sekali tak pernah
menculik puteri ji-wi atau puteri siapa pun juga. Bahkan selama dua tahun ini
baru sekarang inilah pinceng keluar dari dalam goa ini."
Suami isteri
itu saling pandang dengan alis berkerut. Sungguh tidak mereka sangka mereka
akan mendengar jawaban seperti ini. Sama sekali tidak menyenangkan! Kalau benar
bukan pendeta Lama ini yang menculik Hong Li, berarti mereka telah melakukan
perjalanan jauh dengan sia-sia. Bukan itu saja, harapan mereka untuk bisa
menemukan kembali anak mereka di situ juga menjadi buyar. Di samping itu mereka
akan meraba-raba di dalam kegelapan karena tidak tahu siapa penculik itu dan di
mana adanya puteri mereka.
"Ang I
Lama, tak perlu engkau membohongi kami! Mana mungkin ada orang tinggal di dalam
goa selama bertahun-tahun, tanpa makan dan minum. Jika engkau tidak pernah
keluar, berarti engkau tidak pernah makan minum dan hal itu saja sudah
membuktikan kebohonganmu!" teriak Suma Hui tak sabar, ngeri membayangkan
bahwa benar-benar pendeta ini bukan penculik Hong Li.
"Omitohud,
selama hidup pinceng tidak pernah berbohong. Lihat, lihiap, setiap dua tiga
hari sekali ada murid Lama yang datang mengantar makanan dan minuman,
ditaruhnya di luar daun pintu. Itu kiriman pagi tadi belum sempat kuambil.
Biasanya, pinceng hanya mengeluarkan tangan untuk mengambil makanan atau
minuman sekedar untuk dapat tetap menghidupkan badan ini."
Pendeta Lama
itu menuding ke dekat pintu, dan benar saja. Di situ nampak sebuah baki terisi
beberapa potong roti, madu dan air dalam botol.
Kao Cin
Liong menjura. "Maaf, locianpwe, harap diketahui bahwa kami berdua berada
dalam keadaan penuh kekhawatiran dan kedukaan. Anak tunggal kami diculik orang
yang menurut anak-anak yang menyaksikannya, penculik itu adalah seorang pendeta
berjubah merah yang mengaku bernama Ang I Lama, dan menurut keterangan mereka,
bentuk muka dan tubuhnya amat cocok dengan keadaan locianpwe. Penculik itu
berilmu tinggi dan mempergunakan ilmu sihir ketika melarikan anak kami.
Mendengar nama itu kami jauh-jauh dari Pao-teng, melakukan perjalanan
berbulan-bulan, menyusul ke sini. Setelah bertemu dengan locianpwe dengan penuh
harapan akan bertemu dengan anak kami, tentu saja jawaban locianpwe itu
mengecewakan sekali dan kami tidak dapat percaya begitu saja."
Kakek
pendeta itu mengangguk-angguk. "Pinceng dapat mengerti dan dapat merasakan
kecemasan ji-wi. Dari rumah yang sangat jauh ji-wi membawa harapan untuk dapat
menemukan kembali puteri ji-wi di sini, tentu saja ji-wi tidak mau menerima
begitu saja kenyataan yang akan meghancurkan harapan ji-wi. Nah, pinceng
persilakan ji-wi untuk menggeledah ke dalam goa ini dan mencari puteri atau
jejak puteri ji-wi."
"Biar
aku yang memeriksa ke dalam dan kau menjaga di sini!" kata Suma Hui
mendului suaminya. Cin Liong tahu bahwa isterinya masih belum percaya kepada
Ang I Lama dan takut kalau-kalau pendeta itu melarikan diri, maka dia pun
mengangguk.
Dengan hati
penuh ketegangan, juga harapan, Suma Hui kemudian memasuki goa itu. Sebuah goa
yang cukup lebar dan di dalamnya bersih sekali, mendapatkan cukup hawa, bukan
hanya dari pintu yang kini terbuka, juga dari lubang-lubang di bagian atas yang
memasukkan hawa dan cahaya matahari. Lantainya dari batu yang bersih dan halus,
dan di dalamnya hanya terdapat sebuah dipan kayu bertilam kasur tipis,
kitab-kitab agama, tasbeh dan alat-alat sembahyang.
Suma Hui
meneliti goa itu penuh perhatian, bahkan memeriksa keadaan lantai dengan teliti
sekali, mencari jejak puterinya, juga mencari kalau-kalau di situ terdapat
alat-alat rahasia dan tempat tersembunyi. Akan tetapi, dia tidak dapat
menemukan sesuatu yang mencurigakan, juga tidak menemukan jejak atau
tanda-tanda bahwa puterinya pernah berada di tempat itu.
Saking
kecewa dan bingungnya, kedua mata Suma Hui basah air mata ketika ia keluar dari
dalam goa itu. Bagaikan seekor harimau betina kehilangan anaknya, ia menghadapi
Ang I Lama dengan sikap marah dan ia membentak. "Ang I Lama, aku tak
menemukan anakku di dalam goa ini. Tentu engkau telah menyembunyikan di tempat
lain. Hayo kau mengaku dan kembalikan anakku, kalau tidak aku akan memaksamu
agar mengaku!"
"Omitohud...
pinceng tidak pernah menculik puteri ji-wi dan pinceng tidak berbohong. Lihiap
telah menggeledah goa pinceng. Lalu apa lagi yang harus pinceng lakukan untuk
meyakinkan hati ji-wi bahwa pinceng tidak pernah menculik puteri ji-wi?"
"Tapi
semua saksi mengatakan bahwa engkaulah penculiknya!" Suma Hui membentak
marah.
Ia
mengharapkan sekali bahwa kakek inilah penculiknya, karena kalau bukan kakek
ini, lalu siapa dan ke mana ia harus mencari anaknya? Perjalanan dari rumahnya
ke Tibet adalah perjalanan yang amat jauh dan sukar, dan ia tidak mau melihat
perjalanannya ini sia-sia belaka.
"Omitohud...,
sungguh luar biasa sekali. Semua saksi mengatakan bahwa pinceng yang melakukan
penculikan itu. Akan tetapi pinceng tidak melakukannya. Mengapa pinceng harus
melakukan perbuatan jahat itu? Pinceng tidak pernah bermusuhan dengan siapa
pun, apa lagi dengan ji-wi," kata kakek itu sambil menarik napas panjang.
"Maafkan
kami, locianpwe," kata Cin Liong dengan sikap yang masih amat menghormat.
"Bukankah locianpwe masih saudara seperguruan dari mendiang Sai-cu
Lama?"
"Mendiang...?"
Wajah pendeta itu nampak terheran.
"Dia
telah tewas ketika berkomplot dengan pengkhianat dan mengacau di kota raja, dan
kami yang membantu para pendekar yang menghancurkan komplotannya. Nah, hal ini
agaknya merupakan alasan yang cukup kuat andai kata locianpwe melakukan balas
dendam dengan menculik anak kami."
"Omitohud...!
Tentang kematian suheng Sai-cu Lama ini pun baru kini pinceng dengar, bagaimana
pinceng dapat mendendam? Sungguh menyedihkan bahwa dia meninggal dunia dalam
keadaan penuh dosa. Biar pun pinceng benar sute-nya, namun di antara kami tidak
pernah ada hubungan, lahir atau pun batin. Andai kata pinceng sudah tahu akan
kematiannya sekali pun, pinceng tidak akan mendendam kepada siapa pun juga.
Hanya Thian yang menentukan kematian seseorang. Ji-wi atau siapa pun juga tidak
mungkin dapat membunuh seseorang tanpa kehendak Thian. Hanya Thian yang dapat
membunuh atau menghidupkan seseorang."
"Tak
perlu banyak alasan kosong! Siapa tidak tahu bahwa di antara para Lama jubah
merah terdapat banyak yang menyeleweng? Jubah pendetamu, kepala gundulmu, dan
pertapaanmu hanya untuk kedok saja, menutupi semua keburukan yang dapat kau
lakukan. Ang I Lama, para saksi itu adalah sekumpulan anak yang masih bersih
dan jujur. Mereka tidak mungkin membohong. Mereka melihat sendiri betapa
penculik itu adalah seorang pendeta yang berjubah merah, dan pendeta itu
mengaku bernama Ang I Lama! Jika engkau terus hendak menyangkal, terpaksa aku
menggunakan kekerasan!" Berkata demikian, Suma Hui yang sudah menjadi
marah sekali karena cemas tidak berhasil menemukan jejak puterinya, segera
menggerakkan tubuhnya, dan menyerang dengan hebatnya.
Serangan
wanita ini amat hebat dan dahsyat karena ia sedang marah dan ia merasa yakin
bahwa kakek yang diserangnya inilah penculik puterinya, maka begitu menyerang
ia telah menggunakan sebuah jurus dari Cui beng Pat-ciang (Delapan Pukulan
Pengejar Roh).
Melihat
datangnya serangan dahsyat ini, terdengar Ang I Lama mengeluh dan kakek ini pun
cepat meloncat ke belakang. Tubuh kakek ini demikian ringannya seolah-olah dia
dapat terbang saja dan ketika pukulan itu datang dengan hawa pukulan yang amat
kuat, tubuhnya terdorong ke belakang seperti sehelai kapas yang dipukul saja!
Melihat
pukulan pertamanya tidak mengenai sasaran, Suma Hui sudah menerjang lagi,
melanjutkannya dengan serangan-serangan yang dahsyat, kini mempergunakan tenaga
Hwi-yang Sinkang yang mengeluarkan hawa panas. Kakek itu terhuyung-huyung ke
belakang sambil mengatur langkah-langkah ajaib untuk menghindarkan semua
pukulan dan pada saat serangkaian pukulan itu lewat tanpa mengenai tubuhnya,
dia pun berseru dengan nada sedih.
"Omitohud...
apakah ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es hanya untuk membunuh orang yang tidak
bersalah?"
Mendengar
keluhan ini, Suma Hui merasa disindir, akan tetapi dia menjadi semakin marah
dan penasaran.
"Singgg...!”
Nampak sinar
berkelebat, sinar yang menyilaukan mata dari sepasang pedang yang sudah dicabut
oleh wanita perkasa itu.
"Ang I
Lama, untuk menemukan kembali puteriku, aku berani menghadapi siapa saja dan
membunuh siapa saja!" bentaknya dan ia pun kini menyerang dengan sepasang
pedangnya!
Ang I Lama
meloncat ke belakang dengan gerakan seperti seekor kera dan dia pun lalu
mengeluh, "Omitohud... lihiap terlalu mendesak! Agaknya kegelisahan dan
kedukaan telah membuat lihiap menjadi mata gelap."
Suma Hui tak
peduli dan mendesak terus dengan pedang-pedangnya. Kakek itu bersilat dengan
gerakan-gerakan lucu, seperti seekor kera, akan tetapi dia berhasil berloncatan
menyelinap di antara gulungan kedua sinar pedang.
Memang Ang I
Lama adalah seorang ahli silat Sin-kauw-kun (Silat Kera Sakti) yang amat lihai.
Dia pun memiliki sepasang pedang dan menjadi ahli bermain siang-kiam, akan
tetapi menghadapi amukan Suma Hui, jelas bahwa dia selalu mengalah, dan tidak
mau mempergunakan sepasang pedangnya walau pun serangan-serangan wanita sakti
itu amat berbahaya bagi keselamatan dirinya.
Menghadapi
desakan sepasang pedang yang demikian lihai seperti sepasang pedang di tangan
Suma Hui yang kini memainkan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang
Sepasang Iblis), satu di antara ilmu-ilmu keluarga Pulau Es yang sangat hebat,
mana mungkin hanya mengelak saja? Untuk menyelamatkan dirinya, terpaksa Ang I
Lama harus membalas serangan lawan untuk membendung gelombang serangan Suma
Hui. Akan tetapi dia membalas bukan dengan maksud mencelakai lawan, melainkan
sekedar menahan desakan lawan, dengan cengkeraman-cengkeraman keras untuk
merampas pedang dan totokan-totokan untuk melumpuhkan tubuh lawan.
Ketika
sepasang pedang Suma Hui mendesak hebat, tiba-tiba dengan gerakan aneh, tubuh
kakek pendeta itu menyelinap dan berada di belakang tubuh wanita itu, tangan
kanannya menyambar ke arah tengkuk untuk melakukan totokan. Akan tetapi, Suma
Hui membalik dan pedangnya menyambar, membabat ke arah lengan yang diulur ke
arah tengkuknya tadi. Sinar pedang berkelebat dan Ang I Lama sudah tak sempat
lagi untuk mengelak dan walau pun dia sudah menarik kembali lengannya, tetap
saja pedang itu menyambar ke arah lengannya dan...
"Crokkk...!"
setengah dari lengan itu terbabat buntung!
"Hui-moi,
jangan...!" Kao Cin Liong berseru kaget dan meloncat ke depan, memegang
lengan isterinya dan menariknya lembut agar isterinya menahan dirinya.
"Omitohud,
sungguh berbahaya...!" kata kakek itu.
Dia pun
memandang lengan kanannya yang ternyata masih utuh, akan tetapi lengan bajunya
yang buntung setengahnya. Kiranya kakek ini, pada saat terakhir ketika pedang
membabat, masih sempat menarik lengannya di dalam lengan baju sehingga yang
terbabat buntung hanya lengan bajunya saja!
Melihat
kenyataan itu, diam-diam Cin Liong terkejut dan girang. Girang karena ternyata
isterinya tidak jadi membikin cacat pendeta yang belum tentu berdosa ini, dan
terkejut karena maklum bahwa kakek ini sungguh sakti, sudah dapat membuat
lengannya mulur dan mengkeret. Ilmu seperti itu dapat membuat lengan mulur
sampai dua kali panjang lengan itu, dan dapat membuat lengan itu memendek
sampai setengahnya, seperti yang dilakukan kakek tadi untuk menyelamatkan
lengannya dari babatan pedang.
"Sudahlah,
Hui-moi. Agaknya memang locianpwe ini tidak bersalah karena sejak tadi dia
mengalah terus menghadapi serangan-seranganmu. Kalau bukan dia yang melakukan,
berarti ada orang lain yang mempergunakan namanya. Aku yakin bahwa locianpwe
Ang I Lama tidak akan tinggal diam saja namanya dipergunakan orang lain untuk
melakukan kejahatan terhadap kita sehingga mendatangkan fitnah padanya."
Suma Hui
juga telah mengerti bahwa agaknya memang bukan kakek ini yang menculik
puterinya. Kalau memang kakek ini memiliki dendam terhadap ia dan suaminya,
tentu kakek ini akan melakukan perlawanan, mengingat bahwa tingkat kepandaian
kakek ini mungkin lebih tinggi dari tingkatnya. Akan tetapi kakek ini selalu
mengalah, tidak balas menyerang dan selalu bersikap lembut. Hal ini membuat hatinya
menjadi makin gelisah dan berduka. Tak terasa lagi, dua matanya menjadi basah
dan air mata jatuh menuruni kedua pipinya yang agak pucat. Wanita ini sudah
menderita kesengsaraan batin sejak puterinya, yang merupakan anak tunggal itu,
lenyap diculik orang.
"Habis,
ke mana lagi kita harus mencari anak kita...?" Suaranya terdengar demikian
memelas, menggetar dan lirih, sepasang matanya yang merah dan basah itu
ditujukan kepada suaminya dengan pandang mata yang penuh duka sehingga suaminya
merasa terharu dan kasihan sekali. Cin Liong sendiri tidak tahu harus mencari
ke mana, maka pertanyaan penuh kegelisahan itu pun tidak dapat dijawabnya.
"Omitohud...
mengapa ada orang yang tega memisahkan ibu dari anaknya? Sungguh merupakan
perbuatan yang amat kejam. Pinceng dapat mengerti akan kedukaan dan kebingungan
hati ji-wi. Karena pinceng juga ingin sekali membantu, maka dapakah ji-wi
memberi tahukan, siapa kiranya musuh-musuh ji-wi yang paling besar?"
Kao Cin
Liong menggelengkan kepala. "Kami merasa tidak mempunyai musuh-musuh,
locianpwe, tetapi tentu saja ada orang-orang yang membenci kami di luar
pengetahuan kami. Semenjak saya mengundurkan diri dari jabatan saya sebagai
panglima, kami hidup sebagai pedagang dan tidak mencampuri urusan kang-ouw.
Kecuali ketika kami membantu para pendekar menghancurkan komplotan Sai-cu Lama
yang mengacau di kota raja."
"Nah,
itulah, komplotan itulah. Siapakah saja di antara mereka selain mendiang suheng
Sai-cu Lama? Siapa yang menjadi kelompok pimpinan mereka?" Pendeta itu
bertanya dan memandang dengan alis berkerut, penuh perhatian.
"Ada
banyak di antara mereka, akan tetapi yang menjadi pimpinan terpenting hanya
beberapa orang," jawab Kao Cin Liong sambil mengingat-ingat. "Mereka
adalah Raja Iblis Hitam, Iblis Akhirat, Iblis Mayat Hidup..."
"Sam
Kwi (Tiga Iblis)?" tanya Ang I Lama.
"Benar,
locianpwe. Sam Kwi bersama murid mereka yang berjuluk Bi-kwi. Kemudian ada lagi
Kim Hwa Nionio dan muridnya yang bernama Bhok Gun. Itulah mereka yang menjadi
komplotan dan pembantu Sai-cu Lama."
Ang I Lama
mengangguk-angguk, sepasang alisnya berkerut sedangkan tangan kirinya
meraba-raba dagunya. "Apakah mereka semua tewas dalam pertempuran
itu?"
"Semua
tewas, kecuali Bi kwi, murid Sam Kwi."
"Hemmm,
apakah tidak mungkin ia yang melakukan penculikan itu?"
Cin Liong
menggeleng kepala. "Kiranya tidak mungkin. Kalau ia mendendam, tentu tidak
ditujukan pada kami, sebab kami hanya membantu para pendekar yang menghancurkan
komplotan itu saja. Pula, tidak mungkin ia dapat menyamar sebagai locianpwe, karena
pada waktu melakukan penculikan, menurut saksi, yaitu anak-anak yang
menyaksikan, penculik itu menggunakan ilmu sihir dan lenyap di antara gumpalan
asap tebal."
"Sihir?
Hemmm..." Kakek itu lalu duduk bersila dan seperti orang bersemedhi, namun
kulit di antara kedua alisnya berkerut, tanda bahwa dia tenggelam di dalam
pemikiran yang mendalam.
Karena
merasa tidak perlu lebih lama berada di tempat itu, Cin Liong lalu menggandeng
tangan isterinya yang nampak amat sedih itu, meninggalkan tempat itu, menuruni
bukit perlahan-lahan. Dia harus pulang dulu, barulah nanti dari rumah mencari
jejak puteri mereka. Juga, dia mengharapkan hasil penyelidikan Suma Ciang Bun,
selain itu juga ingin mendengar bagaimana dengan pendapat orang tuanya di
Istana Gurun Pasir yang dilapori oleh Gu Hong Beng, murid Suma Ciang Bun…..
***************
Rumah itu
tidak besar, merupakan rumah dengan dua buah kamar besar dan tiga kamar
dibagian belakang yang menjadi tempat tinggal para pelayan, dua buah ruangan
dan sebuah gudang. Kecil akan tetapi nampak indah sekali karena bangunannya
dibuat secara artistic. Gentengnya merah dan tembok rumah itu sendiri di cat
hijau, hampir tersembunyi di antara daun-daun pohon yang besar. Pohon-pohon
yang tumbuh di sekeliling rumah itu pun bukan pohon liar, melainkan diatur
tumbuhnya, dan terdiri dari pohon-pohon yang asing dan jarang terdapat di daerah
pegunungan Heng-tuan-san itu.
Rumah itu
berdiri di lereng paling bawah, yang masih merupakan kaki pegunungan
Heng-tuan-san. Tanah disekeliling rumah itu subur sekali karena sungai Cin-sa
mengalir di bagian belakang rumah itu, hanya beberapa ratus meter saja jauhnya.
Karena daerah itu merupakan daerah tapal batas dari Propinsi Secuan, dan jauh
dari jalan raya, maka keadaannya amat sunyi. Sunyi dan indah. Dusun terdekat
berada sejauh belasan li dari situ.
Itulah
tempat tinggal wanita cantik yang berjuluk Sin-kiam Mo-li. Seperti telah
diceritakan di bagian depan, Sin-kiam Mo-li, wanita cantik yang bersikap halus
menarik itu, kini telah menjadi guru Kao Hong Li. Seperti kita ketahui,
Sin-kiam Mo-li telah berhasil merampas Kao Hong Li dari tangan penculiknya yang
mengaku bernama Ang I Lama, kemudian Hong Li berjanji untuk berguru dan mengaku
ibu kepada Sin-kiam Mo-li, ikut bersama wanita itu selama lima tahun. Bahkan
Hong Li telah disuruh bersumpah!
Ketika ia
pertama kali tiba di tempat tinggal gurunya yang juga menjadi ibu angkatnya,
Hong Li merasa gembira sekali, melihat betapa tempat itu amatlah indahnya.
Rumah itu kecil mungil dan dari jauh, ketika mereka tiba di bawah kaki gunung,
rumah itu nampak jelas, seperti rumah boneka yang berwarna-warni, dikelilingi
pohon-pohon besar yang indah pula, juga di antara pohon-pohon itu terdapat
banyak sekali tanaman bunga yang beraneka ragam dan warna.
Akan tetapi,
ketika mereka mulai mendaki bukit, rumah indah itu lenyap tertutup pohon-pohon
yang amat banyak dan mereka mendaki melalui lorong-lorong yang amat sulit
dikenal kembali karena bentuknya yang aneh-aneh dan banyak pula yang sama.
Lorong-lorong
di antara pohon-pohon besar itu juga sering kali membelok, bahkan tikungannya
ada pula yang bagaikan berbalik ke arah yang berlawanan. Di sana-sini lorong
itu putus dan di depannya hanya nampak jurang lebar menganga, ada pula yang
tiba-tiba saja di depan jalan terdapat kolam pasir yang bentuknya aneh, sama
sekali tidak ditumbuhi tanaman. Ada pula lapangan rumput yang hijau dan nampak
segar, akan tetapi gurunya memperingatkan agar ia jangan menginjak lapangan
rumput itu.
Tadinya Hong
Li mengira bahwa gurunya melarangnya agar jangan merusak rumput hijau segar
itu, akan tetapi kemudian gurunya memberi tahu bahwa menginjak tempat itu sama
saja dengan bunuh diri! Banyak tempat yang tidak boleh diinjak, bahkan ada pula
tanaman-tanaman yang memiliki bunga-bunga indah akan tetapi gurunya melarang ia
menyentuh bunga dan daun tanaman itu. Tangannya akan melepuh keracunan, kata gurunya.
Sungguh
tempat yang indah akan tetapi aneh dan menyeramkan. Akan tetapi setelah mereka
tiba di rumah mungil itu, hati Hong Li tertarik dan ia senang sekali menerima
sambutan tiga orang pelayan yang usianya rata-rata tiga puluh tahun,
pelayan-pelayan wanita yang rata-rata berwajah cantik dan berpakaian bersih
rapi.
"Ini
adalah anak angkat, juga muridku," kata Sin-kiam Mo-li memperkenalkan Hong
Li kepada mereka.
"Aih,
siocia, engkau manis sekali!" kata yang berbaju merah.
"Siocia,
yang baik, kami akan melayanimu dengan penuh kasih sayang!" kata yang
berbaju hitam.
"Siocia,
siapakah namamu?" tanya yang berbaju putih.
Hong Li
memandang mereka seorang demi seorang dengan penuh perhatian. Mereka itu
berwajah cantik, tidak seperti pelayan dari dusun, dan pakaian mereka yang rapi
itu seperti pakaian seragam. Celana mereka baru, akan tetapi baju mereka, yang
memiliki potongan yang sama, berbeda warnanya. Rata-rata mereka bersikap ramah,
akan tetapi yang mengherankan, sikap mereka lincah dan sepasang mata mereka
tajam, gerak-gerik mereka menunjukkan bahwa mereka bukanlah wanita-wanita bodoh
yang lemah.
Sebelum ia
menjawab, gurunya sudah bicara lagi.
"Hong
Li, mereka inilah pelayan-pelayan yang juga menjadi teman kita dan penghuni
tempat ini. Nama mereka mudah dilihat dari pakaian mereka. Ini Ang Nio (Nona
Merah), dan ini Pek Nio (Nona Putih) dan Hek Nio (Nona Hitam). Kalian ketahuilah
bahwa siocia (nona) ini adalah Kao Hong Li. Ia belum tahu akan keadaan tempat
tinggal kita, maka hari ini kalian ajaklah dia berjalan-jalan dan kalau aku
belum memerintahkan, jangan membuka rahasia tentang tempat ini. Belum waktunya
dan bisa berbahaya. Nah. aku mau beristirahat. Layanilah Hong Li
sebaiknya." Setelah berkata demikian, Sim-kiam Mo-li meninggalkan muridnya
yang segera diajak oleh ketiga orang pelayan itu untuk melihat-lihat keadaan di
dalam rumah itu.
Ketika Hong
Li diajak masuk ke dalam, dia menjadi kagum dan juga bingung. Kagum karena
rumah itu mewah dan memiliki perabot rumah yang serba indah dan mahal, penuh
dengan lukisan-lukisan mahal, pot-pot bunga kuno yang antik, juga lantainya
ditutup permadani tebal. Akan tetapi yang membuat ia merasa bingung adalah
ketika ia harus berputar-putar untuk memeriksa kamar itu yang walau pun tidak
berapa besar namun berlika-liku dan memiliki lorong-lorong di antara pot-pot
bunga dan perabot rumah.
Gurunya
mendiami kamar yang pertama dan ia memperoleh kamar ke dua yang selama ini
dibiarkan kosong saja, sedangkan tiga orang pelayan itu tinggal di kamar
belakang. Anehnya, dia harus dituntun oleh Ang Nio ketika melihat-lihat di
dalam rumah itu.
"Jangan
pandang ringan keadaan dalam rumah ini, nona. Tanpa petunjuk kami, nona tidak
akan dapat memasuki kamar sendiri," kata Ang Nio yang melihat betapa Hong
Li mengerutkan alisnya karena harus dituntun.
"Ahhh,
masa? Kenapa tidak bisa?"
"Keadaan
di dalam rumah ini telah diatur oleh toanio (nyonya besar) menurutkan
garis-garis pat-kwa (segi delapan), penuh dengan alat-alat rahasia sehingga
kalau ada orang luar berani masuk, selain dia terancam oleh jebakan-jebakan,
juga sukar baginya untuk mencari jalan keluar."
Hong Li
tidak percaya. Tiga orang pelayan itu lalu membiarkan ia mencari jalan sendiri
dan benar saja! Jalan yang diambilnya itu buntu, kalau tidak terhalang meja
kursi, pot bunga, tentu menjadi tertutup oleh sebuah pintu yang ketika
dibukanya membawanya ke bagian lain yang sama sekali tidak disangkanya. Ia
mencoba untuk mencapai pintu kamar yang diberikan kepadanya, namun selalu
gagal!
Ketika ia
melihat sebuah kursi besar menghalang antara ia dan pintu itu, ia menggeser
kursi itu dengan hati girang. Kalau kursi itu disingkirkan, tentu ia dapat langsung
saja menghampiri pintu itu dan berarti menang! Akan tetapi, begitu kursi
digeser, terdengar suara dan tahu-tahu dirinya telah berada di dalam sebuah
kurungan besi! Tiga orang pelayan itu menghampiri sambil tertawa-tawa.
"Sudahlah,
nona," kata Pek Nio sambil menggerakkan alat rahasia dan kurungan itu pun
terlipat dan lenyap, sedangkan kursi kembali ke tempatnya semula. "Masih
untung nona hanya terjebak dalam kurungan, karena di sini terdapat jebakan yang
lebih berbahaya lagi. Mari, kita tunjukkan semua rahasia dalam rumah ini agar
engkau dapat bergerak dengan bebas."
Mau tidak
mau Hong Li kini percaya bahwa rumah yang nampak mungil tidak berapa besar ini
penuh dengan alat rahasia dan diatur sedemikian rupa sehingga orang luar jangan
harap akan dapat masuk, atau kalau sudah masuk jangan harap akan dapat keluar
kembali. Tiga orang pelayan itu menerangkan sejelasnya dan Hong Li memang
memiliki otak yang cerdas sekali. Dalam waktu sehari saja ia sudah mengenal
semua rahasia di dalam rumah itu dan ia merasa kagum sekali, semakin kagum
terhadap gurunya atau ibu angkatnya. Dari pengaturan rumah ini saja sudah dapat
diketahui bahwa Sin-kiam Mo-li memang amat lihai.
Akan tetapi,
ternyata bahwa jalan menuju ke rumah gurunya itu pun tak dapat didatangi orang
secara mudah! Jalan itu mengandung rahasia yang lebih rumit dari pada rahasia
di dalam rumah dan meski pun dari kaki gunung sudah dapat dilihat rumah mungil
di lereng itu, jangan harap bagi orang luar untuk dapat menemukannya! Dia akan
tersesat dan hanya berputar-putar di antara pohon-pohon, atau kalau dia salah
langkah, dia akan tewas dalam keadaan mengerikan.
Dan
diam-diam Hong Li amat cemas. Untuk dapat mengenal jalan naik turun dari rumah
itu ke kaki gunung, ia harus mempelajarinya sampai lebih dari sepekan barulah
ia dapat turun dan naik sendiri tanpa ditemani pelayan. Ternyata bahwa jalan
dari kaki gunung menuju ke rumah itu melalui lorong di antara pohon-pohon yang
diatur secara amat rumit menurut garis-garis pat-kwa.
Sejak tiba
di tempat itu bersama gurunya, Hong Li mulai dilatih ilmu silat oleh Sin-kiam
Mo-li. Tak begitu sukar bagi Sin-kiam Mo-li untuk mengajarkan ilmu-ilmunya yang
tinggi karena gadis cilik itu memang sudah mempunyai dasar yang baik sekali.
Sebagai cucu keluarga pendekar besar, sejak kecil ia memang sudah mempelajari
dasar-dasar ilmu silat tinggi, bahkan ilmu silatnya sudah demikian lihainya
sehingga orang dewasa yang ilmu silatnya tanggung-tanggung saja jangan harap
akan mampu menandinginya.
Hong Li
merasa suka tinggal di tempat yang indah itu, apa lagi sikap gurunya dan tiga
orang pelayan itu pun amat ramah kepadanya. Hannya ada satu hal yang membuat ia
merasa tidak suka, yaitu tempat itu jauh dari tetangga. Dusun terdekat letaknya
belasan li dari situ. Kadang-kadang dia merasa kesepian dan merindukan
kehadiran anak-anak lain yang dapat dijadikan teman. Pada suatu pagi, Sin-kiam
Mo-li memanggilnya. Hong Li cepat datang menghadap.
"Hong
Li, mari kau ikut aku melihat tontonan yang mengasyikkan."
"Tontonan
apakah, subo?" Hong Li bertanya dengan girang mendengar bahwa ia diajak
nonton sesuatu yang mengasyikkan.
Disangkanya
bahwa gurunya tentu akan mengajaknya ke sebuah dusun atau kota untuk nonton
pertunjukan dan hal ini merupakan suatu perubahan yang segar dan penghibur
kesepiannya. Akan tetapi gurunya mengajaknya menuju ke kebun belakang di mana
terdapat sebuah menara dari bambu di mana subo-nya suka berdiam diri untuk
berlatih siu-lian. Menara itu tidak mempunyai anak tangga, dan biasanya Sin-kiam
Mo-li hanya mempergunakan ilmunya, meloncat seperti burung terbang melayang
menuju ke atas menara di mana terdapat sebuah panggung tertutup dari papan.
"Subo,
bagaimana aku dapat naik ke sana?" Hong Li bertanya ragu ketika subo-nya
menunjuk ke menara itu dan mengatakan bahwa mereka akan ‘nonton’ dari sana.
Biar pun Hong Li sudah berlatih ginkang sejak kecil dan tubuhnya memiliki
keringanan dan kegesitan yang mengagumkan, namun kalau disuruh meloncat
setinggi itu, dia masih belum mampu.
"Kelak
engkau harus bisa melompat sendiri ke atas. Sekarang marilah kubantu
engkau!"
Wanita
cantik itu lalu menyambar lengan kiri Hong Li dan mereka lalu meloncat ke atas.
Baru mencapai setengahnya lebih, tubuh Hong Li tentu akan meluncur turun
kembali kalau saja gurunya tidak menariknya ke atas dan Hong Li merasa seperti
terbang dan tahu-tahu mereka sudah tiba di depan pondok atau panggung tertutup
di atas menara itu.
Dari tempat
setinggi itu, Hong Li dapat melihat ke kaki gunung dan nampaklah lorong kecil
berlika-liku yang menuju ke sebuah dusun di kaki gunung. Pernah ia datang ke
dusun itu ketika ia berlatih melewati lorong yang penuh rahasia itu.
"Hong
Li, lihatlah ke sana itu. Kita akan melihat tontonan yang menggembirakan!"
kata wanita cantik itu dengan suara gembira dan wajahnya yang berseri, sepasang
matanya berkilauan tajam.
Hong Li yang
sudah ingin bertanya tontonan apakah yang dimaksudkan subo-nya, kini memandang
ke arah yang ditunjuk subo-nya dan ia pun dapat melihat mereka itu. Ada lima
orang nampak kecil-kecil dari atas itu, dan mereka sedang merayap
perlahan-lahan menuju ke rumah mereka. Kini lima orang itu telah tiba di luar
daerah mereka, mulai berhadapan dengan pepohonan yang telah diatur menjadi
deretan pertama dari benteng pohon-pohon yang penuh rahasia.
Nampak dari
atas betapa lima orang itu seperti sedang berunding, kemudian berpencar
mengambil jalan sendiri-sendiri. Agaknya mereka tahu bahwa jalan menuju ke
rumah itu tidak mudah, maka mereka berpencar mencari jalan sendiri-sendiri.
Melihat gerakan mereka yang lincah dan ringan, mudah diduga bahwa lima orang
itu bukan orang-orang sembarangan.
"Subo,
siapakah mereka?" tanya Hong Li tanpa mengalihkan pandangannya dari lima
orang itu. Dari tempat ia berdiri, mudah dilihat gerakan lima orang itu. Biar pun
mereka berpencar, karena dari tempat tinggi itu mereka nampak kecil, maka
pandang matanya dapat mengikuti gerakan mereka dengan jelas.
"Mereka
adalah lima ekor tikus yang agaknya sudah bosan hidup dan mencari mati di
sini," jawab subo-nya dengan suara mengandung kegembiraan.
Hong Li
terkejut dan kini ia menoleh dan memandang kepada subo-nya. Wanita cantik itu
nampaknya gembira sekali, sepasang matanya berseri mengikuti gerakan lima orang
di bawah sana.
"Apa
yang subo maksudkan?" tanyanya dengan heran.
"Mereka
itu mencari mati karena melakukan pelanggaran terhadap daerah kita," jawab
pula gurunya dengan sikap masih gembira dan acuh terhadap pertanyaan-pertanyaan
muridnya.
"Tetapi...
tetapi mengapa, subo? Mengapa Subo membiarkan saja mereka melanggar wilayah
kita dan memasuki daerah berbahaya itu?"
Kini
Sin-kiam Mo-li menoleh kepada muridnya. "Hemm... aku tidak menyuruh mereka
melakukan pelanggaran, bukan? Kalau sampai mereka mampus, itu adalah kesalahan
mereka sendiri!"
Sejenak Hong
Li tidak mampu membantah. Memang tak dapat disalahkan jika gurunya membiarkan
saja lima orang itu memasuki daerah berbahaya dan menghadapi kematian mereka,
tetapi, mengapa gurunya demikian kejam membiarkan lima orang menghadapi
kematian tanpa mencegahnya?
"Subo,
kalau begitu biarlah aku yang akan memberi tahu mereka agar mereka mundur dan
tidak melanjutkan perjalanan mereka memasuki daerah ini. Mungkin mereka tidak
tahu bahwa daerah ini berbahaya," katanya pula.
Tiba-tiba gurunya
tertawa. "Hemm, Hong Li engkau tidak tahu. Apa kau kira mereka itu tidak
tahu? Mereka sengaja memasuki daerah kita karena mereka hendak mencari
aku."
"Ehh?
Jadi subo mengenal mereka? Mau apa mereka mencari subo?"
"Mereka
hendak membunuhku."
Sepasang
mata Hong Li terbelalak kiranya ada permusuhan di antara lima orang itu dan
subo-nya. Pantas subo-nya membiarkan saja mereka menghadapi bahaya. Akan tetapi
ia masih merasa penasaran sekali.
"Subo,
kenapa mereka hendak membunuh subo? Dan siapakah sesungguhnya mereka itu?"
"Beberapa
pekan yang lalu ada seorang teman mereka memasuki daerah ini, mungkin dengan
niat yang jahat, dan tewas di pasir maut. Kematiannya itu adalah kesalahannya
sendiri, akan tetapi teman-temannya agaknya kini datang hendak menuntut balas
atas kematian kawan mereka. Mereka adalah orang-orang dari perkumpulan
Cin-sa-pang (Perkumpulan Sungai Cin Sa), orang-orang sombong yang tak tahu diri
sehingga berani menantangku." Di dalam suara wanita cantik ini terkandung
kemarahan. "Biar mereka tahu rasa sekarang agar tidak memandang rendah
kepadaku."
Hong Li
memandang lagi dan melihat betapa dengan cekatan lima orang itu sekarang
berloncatan dan masuk semakin dalam di antara pohon-pohon.
"Gerakan
mereka lincah dan cekatan. Bagaimana jika mereka sampai di rumah subo?"
"Tidak
begitu mudah. Tiga orang pelayanku sudah siap menyambut mereka. Lihat!"
Hong Li
memandang dan benar saja, dia melihat tiga bayangan orang berlari turun setelah
keluar dari dalam rumah mungil. Jaraknya terlalu jauh untuk dapat melihat wajah
mereka, akan tetapi melihat baju mereka itu, yang seorang merah, seorang putih
dan seorang hitam, ia pun tahu bahwa mereka itu adalah Ang Nio, Pek Nio dan Hek
Nio. Baru sekarang ia melihat betapa tiga orang pelayan itu berloncatan dengan
amat cepat. Memang dia telah menduga bahwa mereka sebagai pelayan-pelayan
subo-nya agaknya pandai pula ilmu silat, akan tetapi tak disangkanya mereka
akan dapat bergerak secepat itu.
Dan kini
terjadilah tontonan yang memang menegangkan dan mendebarkan hati Hong Li. Dari
tempat yang tinggi itu, ia dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di sana.
Mula-mula
Ang Nio yang lebih dahulu bertemu dengan seorang di antara lima orang penyerbu
itu. Tepat di tengah-tengah setelah orang itu mampu naik sampai ke bagian
tengah daerah yang penuh pohon-pohon itu, agaknya bingung dan berputar-putar di
sekitar tempat itu.
Hong Li
tidak tahu apa yang mereka bicarakan, akan tetapi keiihatan betapa laki-laki
itu yang lebih dulu menyerang Ang Nio dengan gerakan yang cepat. Dan ia melihat
betapa Ang Nio mengelak dan balas menyerang, tak kalah cepatnya gerakan pelayan
itu. Ia melihat betapa dua orang itu berkelahi dengan gerakan-gerakan cepat dan
kini laki-laki itu mengeluarkan senjata sebatang golok besar.
Ang Nio lalu
juga mengeluarkan sebatang pedang tipis dan perkelahian menjadi makin seru dan
menegangkan hati Hong Li. Biar pun ia tidak tahu secara jelas urusannya, akan
tetapi mendengar penuturan subo-nya tadi, tentu saja ia berpihak kepada Ang
Nio. Dianggapnya bahwa pria yang menyerbu itu memang tak tahu diri, berani
melanggar daerah orang lain, bahkan ia pun tadi melihat betapa pria itu yang
lebih dulu menyerang Ang Nio.
Perkelahian
itu tidak berlangsung lama ketika dari tempat Hong Li menonton, terdengar
laki-laki itu berteriak dan tubuhnya lalu roboh. Perkelahian itu berlangsung
paling lama hanya tiga puluh jurus dan pedang di tangan Ang Nio telah menembus
dada lawannya yang roboh dan tewas. Sementara itu, di bagian lain juga terjadi
perkelahian antara Pek Nio melawan salah seorang penyerbu. Juga di sebelah
kiri, nampak Hek Nio melayani seorang penyerbu lain.
Hong Li
memandang dengan hati berdebar. Agaknya, baik Pek Nio mau pun Hek Nio dapat
mengatasi perkelahian itu dan dengan pedang di tangan, mereka mendesak lawan
masing-masing yang bersenjata golok. Seperti juga tadi, kurang lebih tiga puluh
jurus kemudian, lawan mereka itu roboh oleh pedang mereka.
Dari tempat
yang cukup jauh itu Hong Li tidak melihat darah mengalir, akan tetapi dia
melihat betapa tiga orang telah roboh dan tewas. Kini tinggal dua orang lagi
yang secara kebetulan dapat saling bertemu di bawah sebatang pohon besar.
Mereka bicara dan menuding ke sana-sini, ke kanan kiri, agaknya saling
menceritakan bahwa mereka berdua menjadi bingung dan tidak tahu jalan mana yang
akan dapat membawa mereka ke rumah kecil mungil yang tadi nampak dari kaki
gunung.
Tiba-tiba
mereka terkejut dan membalikkan tubuh. Tiga orang wanita pelayan itu muncul
dari balik pohon dan berada di depan mereka, masing-masing menyeret tubuh
seorang lawan yang sudah mati! Tentu saja dua orang laki-laki itu menjadi
terkejut setengah mati melihat betapa tiga orang kawan mereka tahu-tahu telah
menjadi mayat diseret oleh tiga orang wanita cantik itu.
Agaknya
mereka pun tahu bahwa mereka berada dalam keadaan berbahaya sekali. Tiga orang
kawan mereka sudah tewas oleh tiga orang wanita ini, dan tentu mereka seperti
menyerahkan nyawa saja kalau melawan. Tanpa dikomando lagi, dua orang itu
membalikkan tubuh melarikan diri turun gunung.
"Hik-hik!"
Hong Li mendengar suara subo-nya terkekeh. "Mereka kira akan dapat lolos
begitu saja? Bodoh!"
Hong Li
memandang kepada dua orang itu yang melarikan diri cerai berai karena lorong
itu sempit dan banyak sekali cabang-cabangnya. Ia yang sudah mempelajari
rahasia lorong itu segera tahu bahwa mereka berdua mengambil jalan yang keliru!
Mereka bukan
menuju turun gunung, melainkan akan terputar-putar saja melalui tempat-tempat
yang amat berbahaya. Tentu mereka berdua itu akhirnya akan terperangkap di
tempat berbahaya, tidak mungkin lolos seperti kata-kata subo-nya tadi,
pikirnya.
Dugaannya
memang tepat karena tak lama kemudian terdengar seorang di antara mereka
mengeluarkan teriakan mengerikan, walau pun hanya terdengar lapat-lapat dari
tempat Hong Li berdiri itu. Ia cepat memandang dan Hong Li mengerutkan alisnya,
jantungnya berdebar tegang penuh kengerian. Kiranya seorang di antara dua
laki-laki yang melarikan diri tadi, sekarang salah langkah menginjak padang
rumput dan segera tubuhnya tersedot karena di bawah rumput yang hijau subur dan
indah itu terdapat lumpur yang dapat menyedot mahluk yang bergerak, dan yang terjatuh
ke tempat itu.
Dan walau
pun dari tempat dia menonton tidak nampak, Hong Li tahu bahwa tentu nampak di
permukaan padang rumput itu ekor-ekor ular yang seperti belut, yang tentu kini
sudah mengeroyok orang yang terjatuh ke situ. Teriakan-teriakan itu masih
susul-menyusul, kemudian sunyi dan padang rumput itu sudah nampak hijau dan
indah kembali. Orang itu sudah tenggelam dan kalau digali, agaknya hanya akan
ditemukan tulang rangkanya saja!
Hong Li
bergidik. Ia sudah melihat kedahsyatan tempat itu ketika ia mempelajari tempat
itu dan rahasianya, diberi petunjuk oleh tiga orang pelayan, dan Ang Nio
melempar seekor kelinci ke tempat itu. Ia melihat betapa kelinci itu yang
bergerak mencoba untuk lari, disedot semakin dalam dan dia pun melihat pula
ekor-ekor ular tersembul ketika mereka memperebutkan kelinci yang disedot ke
bawah dan lenyap!
Kini Hong Li
yang wajahnya menjadi agak pucat karena merasa ngeri, mengikuti larinya orang
ke dua dengan pandang matanya. Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Ia merasa
kasihan kepada orang itu dan diam diam ia mengharapkan agar orang terakhir itu
akan berhasil menyelamatkan diri turun gunung. Kalau saja saat itu ia berada di
bawah dan dekat dengan orang itu, tentu, tanpa ragu-ragu lagi ia akan
meneriakkan petunjuk agar orang itu dapat menemukan jalan yang benar dan dapat
meninggalkan tempat itu dengan selamat.
Dengan
jantung berdebar penuh kekhawatiran dan ketegangan, Hong Li memandang ke arah
orang terakhir yang tersaruk-saruk mencari jalan keluar itu. Terdengar pula
suara gurunya menahan ketawa. Mau tak mau Hong Li merasa tidak senang dan
melirik.
Dilihatnya
betapa wajah cantik gurunya itu tampak berseri, matanya penuh kegembiraan
mengikuti gerakan orang terakhir itu dan tiba-tiba Hong Li merasa ngeri. Sikap
gurunya ini tiada bedanya sikap seekor kucing yang menanti dan melihat seekor
tikus yang sudah tersudut! Ia pun kembali menujukan pandang matanya ke bawah.
Orang yang
berlari-larian itu kini tubuhnya sudah penuh keringat karena beberapa kali dia
menghapus keringat dari muka dan lehernya, memandang ke kanan kiri mencari
jalan keluar, lalu lari lagi setelah memilih satu di antara lorong yang
bercabang-cabang itu.
"Jangan
ke sana...!" Tiba-tiba Hong Li berseru, akan tetapi seruannya tentu saja
tidak terdengar orang itu.
Orang itu
pun sudah sampai di tempat yang amat berbahaya itu. Tidak lama kemudian, orang
itu sudah mengeluarkan suara jeritan yang menyayat hati dan tubuhnya sudah
tenggelam sampai ke pinggang di pasir maut! Pasir maut itu adalah sebuah kolam
pasir, akan tetapi pasir itu dapat berputar dan menyedot seperti lumpur tadi.
Pasirnya licin dan mudah bergerak, sedangkan kolam itu dalam sekali. Sedikit
saja orang yang terjatuh ke situ bergerak, maka tubuhnya akan tenggelam semakin
dalam!
Hong Li
merayap turun melalui tiang-tiang yang menyangga menara itu, tiang-tiang dari
bambu yang besar.
"Hong
Li, hendak ke mana engkau?" Gurunya menegur heran.
"Subo,
aku harus menolong orang itu!" kata Hong Li dan ia merasa amat heran bahwa
gurunya diam saja, tidak menghalangi dan juga tidak menegurnya lagi. Ia terus
merayap turun dan setelah tiba setengah lebih tinggi menara itu, ia pun berani
meloncat turun, kemudian ia lari menuju ke tempat oarang itu tenggelam di pasir
maut.
"Diam,
jangan bergerak sedikit pun!" Hong Li berseru setelah tiba di tepi kolam.
"Aku akan menolongmu, jangan bergerak sedikit pun. Makin engkau bergerak,
tubuhmu akan semakin tenggelam!"
Laki-laki
itu berusia empat puluh tahun lebih. Setelah dekat, kini Hong Li melihat betapa
wajah itu kasar dan buruk, sepasang matanya liar tapi pada saat itu, dia berada
dalam keadaan putus asa dan ketakutan. Melihat munculnya seorang gadis cilik
yang usianya baru belasan tahun di tepi kolam dan mendengar bahwa gadis itu
akan menolongnya, laki-laki itu memandang dengan penuh harapan.
"Tolonglah
aku... ahhh, selamatkanlah aku..." Suaranya lirih dan gemetar penuh rasa
takut.
Ngeri ia
membayangkan kematian di depan matanya, kematian yang amat mengerikan. Ketika
tadi dia menginjak pasir, kakinya terjeblos sebatas lutut. Dia lalu berusaha
untuk mengangkat kakinya, namun semakin ia berusaha, semakin dalam tubuhnya
tenggelam sampai kini dia tenggelam sebatas dada, hanya kedua lengannya saja
yang mampu bergerak.
Begitu
mendengar peringatan Hong Li, dia pun tidak berani bergerak dan benar saja.
Setelah dia tidak bergerak sama sekali, tubuhnya berhenti tenggelam semakin
dalam. Akan tetapi, napasnya sesak dan tubuhnya dari dada ke bawah yang
tertanam di pasir itu terasa panas bukan main.
"Tenanglah
dan jangan bergerak," kata pula Hong Li.
Ia lalu
melepaskan ikat pinggangnya yang panjang dan hanya meninggalkan sedikit saja
secukupnya untuk mengikatkan celananya dan mempergunakan ikat pinggang itu
untuk menyelamatkan orang itu. Ujung ikat pinggang itu kemudian diganduli
sebuah batu dan dilemparnya ke arah orang yang tenggelam.
"Tangkap
ujung ikat pinggang ini dan jangan bergerak, biar aku yang akan menarikmu
keluar! Ingat, jangan bergerak agar tubuhmu tidak tenggelam semakin
dalam!"
Orang itu
menangkap ujung ikat pinggang, akan tetapi karena dia terlalu bergairah untuk
segera dapat keluar, dia menarik ikat pinggang itu dan tubuhnya bergerak maka
tubuh itu segera tersedot semakin dalam sampai ke leher!
"Tolol,
jangan bergerak kataku!" Hong Li membentak marah.
Mulailah ia
mengerahkan tenaganya untuk menarik orang itu keluar dari pasir. Laki-laki itu
kini sudah terlampau takut sehingga tidak berani berkutik, bahkan bersuara pun
dia tidak berani lagi. Pasir sudah sampai ke dagunya dan turun beberapa
sentimeter lagi, tentu mulut dan hidungnya tertutup dan berarti kematian
baginya.
Akan tetapi
diam-diam hatinya girang dan juga kagum bukan main melihat betapa anak
perempuan yang baru belasan tahun usianya itu memiliki kekuatan yang demikian
hebat sehingga dia merasa betapa tubuhnya sedikit demi sedikit mulai tertarik
keluar!
Dia tadi
melibat-libatkan ujung tali itu pada pinggang dan lengannya sehingga biar pun
kini kedua lengannya sebagian sudah tenggelam pula, ketika tali itu ditarik,
tubuhnya terbetot keluar. Sedikit demi sedikit sampai akhirnya tubuhnya keluar
sebatas pinggang!
"Tariklah
lagi, nona yang baik, tarik terus...!" Lelaki itu terengah-engah, penuh
harapan dan ketegangan. Dan Hong Li menarik terus, keringat membasahi dahi dan
lehernya.
"Prattttt...!"
Tiba-tiba
ikat pinggang itu putus tengahnya dan tubuh orang yang sudah naik sampai ke
pinggul itu tenggelam kembali sampai ke pinggang di mana dia lalu mengeluh
panjang pendek dan tidak berani bergerak sama sekali!
"Jangan
bergerak, aku akan mencari alat lain untuk menarikmu keluar," kata Hong
Li.
Gadis ini
lalu menggunakan tenaganya untuk merobohkan sebatang pohon kecil yang
panjangnya ada tiga meter. Ia mengguncang-guncang pohon kecil itu sampai
akarnya jebol dan akhirnya berhasil menumbangkannya. Setelah membuangi cabang,
ranting dan daunnya, ia menggunakan batang pohon yang besarnya hanya sebetis
kakinya itu untuk menolong orang itu.
Batang pohon
itu cukup panjang dan ujungnya dapat dipegang oleh orang itu dengan kedua
tangan. Lalu Hong Li mulai menarik lagi, perlahan-lahan dan akhirnya ia
berhasil menarik tubuh orang itu sampai keluar dari kolam pasir...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment