Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Naga
Jilid 15
Orang itu
menjatuhkan diri di atas tanah, terengah-engah dan mukanya yang tadi pucat
sekali, sekarang berubah menjadi agak merah. Ia mengeluarkan suara seperti
setengah menangis dan setengah tertawa. Kemudian dia bangkit duduk memandang
Hong Li dan matanya terbelalak.
"Nona,
sungguh engkau hebat sekali!"
Hong Li
cemberut. Baru teringat ia bahwa ia sudah menolong musuh gurunya, merasa
bagaikan seorang pengkhianat. "Mengapa engkau melanggar wilayah kami?
Engkau memang bersalah dan sepatutnya dihukum. Akan tetapi aku kasihan padamu,
tidak tega melihat orang terjatuh ke kolam pasir maut. Nah, sekarang pergilah,
akan kutunjukkan jalan keluar untukmu.”
Tiba-tiba
orang itu menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu Hong Li sudah ditangkapnya. Gadis
cilik terkejut, meronta dan hendak melawan, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya
menjadi lemas karena laki-laki itu sudah menotoknya, menotok jalan darahnya
yang membuat ia tidak mampu berkutik lagi. Hong Li terkejut dan marah bukan
main.
"Apa
yang kau lakukan ini?!" bentaknya.
Laki-laki
itu menyeringai dan secara kurang ajar mengelus dagu Hong Li. "Engkau anak
yang cantik dan manis sekali! Sekarang engkau menjadi tawananku dan engkau
harus menunjukkan jalan keluar yang akan menyelamatkan diriku. Kalau tidak, aku
pasti akan mencekikmu sampai mampus!"
Hong Li
terbelalak. Kalau saja ia tadi bercuriga, kiranya tidak akan demikian mudahnya
ia tertawan dan tertotok. Ia sama sekali tidak mengira bahwa orang yang baru
saja diselamatkannya dari ancaman maut mengerikan berbalik malah bertindak
curang dan jahat kepadanya. Namun ia tidak mempunyai waktu lagi untuk berheran
dan penasaran karena kini laki-laki itu telah mengikat kedua tangannya ke
belakang tubuhnya, menotok jalan darah yang membuat ia tak mampu mengeluarkan
suara, akan tetapi kini tubuhnya dapat bergerak lagi.
"Hayo
cepat tunjukkan jalan itu kepadaku, kalau engkau menipuku, tentu engkau akan
kusiksa sampai mampus!" kata laki-laki itu sambil mencengkeram pundak Hong
Li.
Gadis cilik
ini merasa penasaran dan marah sekali sampai dua matanya mengeluarkan air mata.
Bukan air mata karena takut, melainkan karena marah dan penasaran sekali.
"Sudah,
jangan menangis dan cepat tunjukkan jalannya!" laki-laki itu mengira bahwa
anak perempuan itu menangis karena takut. Dia mendorong tubuh Hong Li dan anak
perempuan ini terpaksa melangkah maju.
Hong Li tahu
bahwa dalam keadaan kedua tangannya terbelenggu, melawan pun tidak akan ada
gunanya. Dan ia pun tidak dapat mengeluarkan suara. Sesungguhnya hal ini tidak
perlu dilakukan orang itu. Walau pun tidak ditotok, ia pun tidak mau
mengeluarkan suara. Untuk apa? Minta tolong kepada suhu-nya dan tiga orang
pelayan?
Ia telah
mengkhianati mereka, dan ia yakin bahwa gurunya yang berada di menara itu tentu
melihat semua peristiwa yang dialaminya ini. Perlu apa minta tolong? Memalukan
saja. Biarlah, ia telah bersalah, dan biarlah kini ia menerima hukumannya. Ia
melangkah terus, pundaknya masih dicengkeram laki-laki yang mengikutinya dari
belakang.
Hong Li
tidak membawa laki-laki itu melalui jalan yang akan menyelamatkannya. Sama
sekali tidak. Di dalam dadanya kini membawa api kemarahan yang membuat ia ingin
membalas perbuatan laki-laki ini yang dianggapnya terlalu jahat.
Mudah saja
baginya untuk menjerumuskan laki-laki ini ke dalam perangkap-perangkap maut,
akan tetapi ia pun tentu akan ikut terjebak dan mati bersama laki-laki ini. Dan
ia tidak takut mati, hanya ia tidak sudi kalau harus mati bersama laki-laki
ini. Tidak mau melakukan perjalanan ke alam baka berbareng dengan dia, bahkan
dari tempat yang sama. Tidak, dia harus dapat mencari perangkap yang lebih
baik.
Akhirnya
tibalah Hong Li di jalan buntu! Di depan nampak jurang yang amat curam, yang
tidak mungkin dilalui. Di situ terdapat dua jalan bercabang ke kiri dan ke
kanan. Kedua lorong ke kanan dan ke kiri ini tertutup daun-daun kering,
nampaknya aman dan mudah dilewati.
Akan tetapi,
Hong Li yang sudah hafal akan rahasia lorong-lorong itu, maklum bahwa melangkah
ke kiri berarti akan membawa mereka jatuh ke dalam sumur yang dasarnya tidak
kurang dari lima belas meter dalamnya, di mana terdapat batu-batu meruncing
yang akan menyambut tubuh mereka! Di balik daun-daun kering yang ke kiri itu
terdapat lubang sumur itu.
Kalau
melangkah ke kanan, mereka akan terjatuh ke dalam kolam lumpur yang juga
berbahaya sekali karena tubuh akan terus tenggelam semakin dalam dan akhirnya
akan tewas pula. Tetapi, tidaklah secepat kalau terjatuh ke dalam sumur itu
matinya. Hanya di sana ada ular-ular lumpur yang sebetulnya semacam belut yang
gemar makan daging manusia, yang membuat dirinya bergidik ngeri membayangkan
betapa tubuhnya bagian bawah akan digerogoti binatang-binatang itu sebelum ia
mati.
Ia tahu
bahwa jalan satu-satunya adalah melompati sumur sebelah kiri. Sumur itu tidak
lebar, paling lebar satu setengah meter saja. Sekali melompat juga akan
melampauinya dan selamat. Tidak, ia tidak boleh membawa laki-laki itu melompat,
karena begitu melompat, laki-laki itu tentu akan mudah turun dan keluar dari
daerah berbahaya.
Melihat anak
perempuan itu berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu, laki-laki itu segera
mengguncang pundaknya dan membentaknya dengan nyaring, "Hayo cepat
tunjukkan jalan!"
Dia pun
bingung melihat betapa jalan itu yang bagian depan buntu, menuju ke jurang yang
amat curam, sedangkan jalan kanan dan kiri sama saja tertutup daun-daun kering.
Dia tahu betapa berbahayanya lorong-lorong di situ dan dia tidak tahu mana
jalan yang benar, yang kanan ataukah yang kiri.
Tanpa ragu-ragu
Hong Li menudingkan telunjuknya ke kanan! Laki-laki itu nampak lega dan dia pun
memperkuat cengkeramannya di pundak Hong Li mendorong tubuh anak itu membelok
ke kanan dan menghardik, "Hayo jalan!"
Hong Li
sudah hafal benar akan rahasia tempat itu. Paling banyak lima langkah mereka
akan terjeblos. Ia memperhitungkan langkahnya dan setelah empat langkah,
tiba-tiba saja dia membalikkan tubuhnya, meloncat ke belakang dan menendang
dengan cepat sekali.
Laki-laki
itu terkejut, melangkah ke samping akan tetapi ketika cengkeraman tangannya
terlepas, dia masih sempat menangkap lagi pundak itu, maka begitu tubuhnya
terjeblos, dia membawa Hong Li ikut pula terpelanting dan terjeblos ke dalam
kolam lumpur!
"Auhhhhh,
toloonggg...!" Laki-laki yang merasa ngeri dan ketakutan itu, perasaan
takut yang sudah sejak tadi menghantuinya, tidak dapat menahan lagi mulutnya
dan berteriak minta tolong.
Dalam
kagetnya tadi, dia melepaskan cengkeramannya dan tubuh Hong Li terpelanting
sehingga terjeblos sejauh dua depa di sebelah depannya. Kalau laki-laki itu
yang tadi meronta tenggelam sampai dada, Hong Li tenggelam sampai ke pinggang
dan mereka sekarang saling berpandangan. Laki-laki yang terbelalak dengan muka
pucat dan berkaok-kaok minta tolong itu melihat betapa tubuh anak perempuan itu
nampak tenang-tenang saja, bahkan tersenyum mengejek memandangnya!
Meski Hong
Li tidak mampu mengeluarkan suara, namun pandang matanya mengejek sepenuhnya
dan rasa puas membayang di sepasang matanya. Gadis cilik ini kehilangan rasa
takutnya, lupa akan adanya ular-ular di dalam lumpur, karena girangnya dapat
membuat laki-laki yang jahat itu kini tidak berdaya.
Hong Li
teringat ketika tiba-tiba ia melihat benda mengkilap bermunculan di permukaan
lumpur yang tertutup daun-daun kering itu. Ular atau belut lumpur! Matanya
terbelalak dan hampir saja dia menjerit saking ngeri dan jijiknya, apa lagi
ketika ada seekor ular atau belut itu yang muncul tidak jauh dari hidungnya,
seolah-olah binatang itu ingin berkenalan dulu dengan wajah-wajah para calon
korbannya.
Akan tetapi
ia menahan perasaan ngeri ini dan menggigit bibir. Tidak demikian dengan
laki-laki itu. Dia mengeluarkan pekik yang mengerikan karena memang pada saat
itu, ada bagian bawah tubuhnya yang mulai dijilati atau digigit.
Berbareng
dengan dengan jeritan laki-laki itu, nampak bayangan hitam berkelebat dan
tahu-tahu tubuh Hong Li telah terlibat kain hitam dan tubuh itu kemudian
terbetot naik oleh kain yang melilitnya, kemudian tubuh Hong Li ditarik keluar
dari lumpur oleh tangan Sin-kiam Mo-li yang sudah berdiri di tepi kolam lumpur
itu, menggunakan sabuk hitam menolong muridnya.
Begitu tiba
di tepi kolam, Hong Li menubruk kaki gurunya. "Subo, maafkan aku...
tidak... hukumlah aku, subo...," katanya setengah menangis saking kesal
dan marah terhadap laki-laki jahat itu.
Sin-kiam
Mo-li tersenyum. "Engkau sudah cukup terhukum, Hong Li."
Pada saat
itu, kembali terdengar teriakan-teriakan mengerikan. Hong Li menengok dan
melihat betapa laki-laki itu dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali,
menjerit-jerit dan meronta-ronta, akan tetapi karena dia keras meronta, maka
tubuhnya cepat sekali tersedot semakin dalam dan lumpur sudah mencapai
lehernya!
Hong Li
tidak dapat melihat lebih lanjut dan dia pun menyembunyikan mukanya di balik
kedua tangannya. Akan tetapi telinganya masih mendengar jeritan-jeritan itu,
kemudian pekik itu pun terhenti tiba-tiba, seolah-olah orang itu tiba-tiba
dicekik.
Dia tahu apa
yang terjadi. Tentu mulut yang berteriak itu kini sudah terbenam ke dalam lumpur.
Dia tidak berani menengok. Baru setelah tidak ada lagi suara terdengar dari
belakangnya, ia berani menengok dan kolam lumpur itu telah tenang, tidak ada
suara apa-apa lagi, tidak ada gerakan apa-apa lagi dan lumpur telah tertutup
kembali oleh daun-daun kering.
Hong Li
bergidik dan ia tetap berlutut. Tubuhnya agak menggigil, bukan hanya karena
kedinginan. Sebuah tangan lembut menyentuh kepalanya dan terdengar suara
Sin-kiam Mo-li.
"Hong
Li, sejak tadi aku melihat keadaanmu, dan kalau aku menghendaki, sejak tadi aku
tentu dapat membebaskanmu dari cengkeraman jahanam itu. Akan tetapi aku sengaja
membiarkan saja, hanya membayangi supaya engkau memperoleh pengalaman. Ketika
engkau menipunya masuk lumpur, aku lantas tahu bahwa engkau tentu sudah merasa
menyesal dan mendapat kenyataan betapa jahatnya orang ini. Nah, pelajaran ini
agar selalu kau ingat, muridku. Jangan percaya kepada orang lain begitu saja,
dan selalu bersikaplah hati-hati terhadap orang lain, apa lagi yang belum kau
ketahui benar bagai mana wataknya."
"Akan
tetapi, subo. Aku sungguh tidak dapat membayangkan bagaimana ada orang sejahat
itu. Ditolong malah membalas dengan kekejaman dan kejahatan!"
Sin-kiam
Mo-li tertawa, kemudian berkata dengan suara tegas, "Semua orang di dunia
ini juga begitu, Hong Li. Setiap orang bertindak demi kebaikan dan keuntungan
bagi diri sendiri, karena itu, siapa kalah cerdik, siapa kalah kuat, dia
menjadi korban. Engkau harus kuat dan cerdik, dan kalau perlu mendahului lawan
sebelum engkau yang menjadi korban. Yang ada bukan baik dan jahat, melainkan
cerdik dan bodoh, muridku."
Diam-diam
Hong Li merasa tidak setuju dan heran sekali mendengar nasehat gurunya ini,
akan tetapi ia tidak mau membantah. Alangkah bedanya nasehat gurunya ini dari
nasehat ayah ibunya!
Ayah ibunya
selalu mengajarkan agar ia menggunakan kepandaiannya untuk menolong sesama
manusia yang menderita, untuk membela kebenaran dan keadilan, menentang
kejahatan. Akan tetapi, gurunya ini agaknya hanya mengajarkan agar ia selalu
bersikap cerdik dan tidak mempercaya semua orang, bahkan turun tangan lebih
dahulu sebelum menjadi korban kejahatan orang lain.
Gurunya
kemudian mengajaknya pulang untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
Ketika ia memperoleh kesempatan bicara dengan tiga orang pelayan itu, ia
memperoleh keterangan bahwa tiga orang penyerbu yang lain, yang telah tewas di
tangan mereka, mayatnya tidak mereka kubur melainkan mereka lemparkan begitu
saja ke dalam kolam lumpur!
Hong Li
hanya menyimpan rasa ngeri dan tidak setujunya, dan mulai saat itu ia lebih
banyak menutup mulut, walau pun diam-diam ia merasa heran akan keadaan guru dan
tiga orang pelayan itu. Namun ia memang pandai menggunakan kesempatan dan sejak
ia mengetahui bahwa tiga orang pelayan wanita itu lihai, ia mulai mengajak mereka
untuk menemaninya berlatih silat.
Dan ternyata
memang mereka itu lihai sekali dan merupakan teman berlatih yang baik, walau
pun dari mereka ia tidak dapat memperoleh ilmu baru. Setidaknya, setiap orang
dari mereka itu dapat melayaninya dalam latihan silat.
Mulai hari
itu, gurunya sering kali mengajak Hong Li naik ke menara dan menganjurkan
muridnya untuk berlatih siu-lian di dalam panggung tertutup di puncak menara.
Dan anak itu memang suka naik ke menara karena dari situ ia dapat melihat
pemandangan yang luas, dan juga dapat melihat apa yang terjadi di sekeliling
tempat tinggal gurunya. Kadang-kadang, meski baru beberapa hari tinggal di
situ, kalau sedang berdiri melamun di puncak menara dan memandang gunung-gunung
yang jauh, timbul perasaan rindu kepada ayah ibunya.
Pada suatu
hari, pagi-pagi sekali saat matahari sudah naik dan menebarkan cahayanya yang
keemasan dan masih lembut ke permukaan bumi, Hong Li sudah berlatih silat
seorang diri di bawah menara, kemudian naik ke atas menara. Ia masih belum
mampu dengan sekali meloncat naik ke atas, melainkan hanya meloncat sampai
setengah tiang, menyambar tiang dan memanjat naik.
Kini ia
berdiri di puncak, di depan pondok, memandang ke arah timur di mana matahari
membuat angkasa di timur cemerlang dan indah bukan main. Beberapa kelompok awan
membentuk raksasa-raksasa aneh, akan tetapi warnanya yang biru keabuan itu
mulai memudar tertimpa cahaya matahari.
Tiba-tiba
perhatian Hong Li tertarik oleh sesosok tubuh yang mendaki kaki gunung dan
menuju ke arah rumah gurunya. Orang itu berjalan perlahan dan kini sudah tiba
di luar daerah berbahaya yang mengelilingi rumah gurunya. Tadinya disangka oleh
Hong Li bahwa orang itu hanya kebetulan lewat saja dan tak akan memasuki daerah
berbahaya, akan tetapi ketika orang itu mulai memasuki lorong yang menuju ke
daerah yang penuh bahaya, ia pun terkejut dan merasa khawatir sekali.
Siapakah
orang itu, pikirnya. Lawan atau kawan? Dan ia merasa ngeri membayangkan betapa
akan jatuh korban lagi di tempat berbahaya itu. Bagaimana pun juga, hatinya tak
setuju dengan adanya daerah rahasia yang penuh dengan bahaya maut itu. Betapa
pun jahatnya lima orang yang menyerbu tempo hari, cara mereka menemui kematian
benar-benar amat mengerikan dan terlalu kejam.
Akan tetapi,
perasaan khawatirnya segera berubah menjadi perasaan heran dan kagum. Orang
yang baru datang itu, walau pun hanya dengan langkah-langkah yang perlahan,
namun ternyata orang itu selalu mengambil jalan yang benar! Dari tempat tinggi
itu Hong Li dapat melihat dengan mudah.
Dari situ ia
dapat melihat keadaan lorong-lorong rahasia itu seperti melihat peta dan ia pun
sudah hafal mana yang benar dan mana yang menyesatkan dan berbahaya. Dan orang
itu selalu membelok melalui lorong yang benar, seakan-akan sudah mengenal
dengan baik jalan-jalan yang penuh dengan rahasia itu.
Langkah-langkahnya
teratur dan kakinya bagaikan sudah mengenal tempat berbahaya, selalu berjalan
melalui tempat aman dan menghindarkan jebakan-jebakan rahasia yang banyak
terdapat di situ. Kalau begitu, tentu seorang sahabat baik gurunya yang sudah
sering datang ke sini, pikir Hong Li. Hatinya tertarik sekali dan cepat-cepat
ia turun dari menara untuk melihat dari dekat siapa adanya orang yang baru
datang itu.
Ia berlari
menuju ke rumah dan heranlah ia melihat bahwa orang yang tadi dilihatnya dari menara
itu ternyata sekarang sudah tiba di depan rumah. Dari atas nampaknya dia
berjalan perlahan, tetapi ternyata sudah tiba di depan rumah dengan selamat,
berarti bahwa orang itu benar-benar telah mampu melalui lorong-lorong rahasia
yang sangat berbahaya itu.
Dan kini
orang itu telah berhadapan dengan gurunya. Juga tiga orang pelayan wanita
berada di situ, akan tetapi mereka berdiri agak jauh sambil memandang dengan
sikap khawatir. Hong Li lari mendekati tiga orang pelayan itu dan kini ia dapat
melihat wajah pendatang itu dengan jelas.
Begitu
melihatnya, Hong Li terbelalak dan merasa terkejut bukan main saat ia mengenal
bahwa pendatang itu bukan lain adalah Ang I Lama, orang yang dahulu menculiknya
dari kebun rumah orang tuanya! Tidak salah lagi. Ia mengenal wajah itu,
mengenal tubuh tinggi kurus yang memakai jubah pendeta berwarna merah itu.
Melihat munculnya kakek ini, kemarahan muncul dalam hati Hong Li.
Agaknya
kakek itu tahu pula akan kehadiran Hong Li dan ia memandang dengan penuh
perhatian.
"Omitohud,
agaknya inilah anak itu. Ehhh, anak baik, ke sinilah dan mari engkau ikut
pinceng pulang ke rumah orang tuamu. Ke sinilah...!" Kakek itu melambaikan
tangan ke arah Hong Li.
Anak
perempuan ini terkejut bukan main karena biar pun hatinya tidak menghendaki,
namun kedua kakinya di luar kehendaknya sudah melangkah menghampiri kakek itu!
Melihat ini, gurunya membentak.
"Hong
Li, kembali ke tempatmu!" Dan dalam bentakan ini terkandung kekuatan yang
agaknya membuyarkan pengaruh panggilan kakek itu.
Hong Li
seperti baru dapat menguasai kedua kakinya sendiri dan ia berhenti melangkah,
terkejut melihat keadaan dirinya. Dia pun berlari kembali mendekati tiga orang
pelayan yang segera merangkulnya.
"Siocia,
engkau di sini saja dan jangan bergerak," bisik Ang Nio.
Hong Li
mengangguk dan melepaskan diri dari rangkulan mereka. Ingin ia melihat bagai
mana gurunya menghadapi kakek aneh itu. Ia tidak merasa khawatir karena
bukankah gurunya pernah menang dari kakek itu ketika merampas dirinya dari
tangan kakek itu yang dikalahkannya di dalam kuil tua dahulu?
Sementara
itu, Ang I Lama sudah menghadapi Sin-kiam Mo-li dan terdengar suaranya yang
lemah lembut, "Sekali lagi, Sin-kiam Mo-li, pinceng minta dengan hormat
dan sangat agar engkau suka menyerahkan anak itu kepada pinceng."
"Ang I
Lama, tidak malukah engkau mengeluarkan kata-kata seperti itu? Apakah engkau
lupa akan nasib Sai-cu Lama yang menjadi suheng-mu? Hemm, tak kusangka bahwa
engkau yang dianggap sebagai seorang pertapa yang memiliki kesaktian, ternyata
sama sekali tidak mengenal budi antara saudara, dan tidak setia, bahkan ingin
mengkhianati golongan sendiri. Pergilah dan jangan mencampuri urusan
pribadiku!" Sikap Sin-kiam Mo-li ketus dan tegas.
"Omitohud...
untuk kembali ke jalan benar masih belum terlambat. Kenapa engkau tidak mau
melihat kenyataan? Sadarlah dan serahkan anak itu kepada pinceng."
"Kakek
tua bangka! Kini ia telah menjadi murid dan anak angkatku! Dengar baik-baik, ia
telah menjadi anakku! Lihatlah baik-baik, aku adalah seekor harimau betina,
mana sudi melepaskan anaknya?"
Mendadak
Hong Li terkejut bukan main melihat bahwa gurunya telah berubah menjadi seekor
harimau yang besar. Harimau itu mengeluarkan auman yang menggetarkan tanah di
mana ia berdiri. Hong Li melirik ke arah tiga orang pelayan wanita itu. Mereka
juga berdiri dengan mata terbelalak memandang, akan tetapi mereka bersikap
tenang saja, agaknya tak merasa heran melihat betapa majikan mereka telah
berubah menjadi seekor harimau besar dan buas!
Kao Hong Li
bukanlah anak sembarangan. Ia keturunan dua orang keluarga besar yang amat
terkenal di dunia persilatan, yaitu ayahnya adalah keturunan dari keluarga
Istana Gurun Pasir sedangkan ibunya keturunan keluarga Pulau Es, gudangnya
orang-orang sakti. Tentu saja ia, biar pun usianya baru tiga belas tahun, tahu
benar bahwa gurunya berubah menjadi harimau hanya merupakan hasil ilmu sihir
belaka, bukanlah sungguh-sungguh menjadi harimau!
Betapa pun
juga, ia masih belum kuat untuk menembus pengaruh sihir ini, maka dalam
penglihatannya, gurunya berubah menjadi harimau, sesuai dengan ucapannya tadi!
Dan sekarang, ‘harimau betina’ yang hendak mempertahankan anaknya itu dengan
buasnya, sambil mengeluarkan suara mengaum dahsyat, menyerbu, menerjang dan
menubruk ke arah Ang I Lama!
"Omitohud,
engkau semakin jauh tersesat!" Ang I Lama menggerakkan tubuhnya, jubah
merahnya berkibar saat dia meloncat ke belakang dan menghindarkan diri dari
tubrukan harimau. Pada saat harimau itu membalik dan hendak menubruk lagi, Ang
I Lama yang telah menyambar segenggam tanah, menyambitkan tanah itu ke arah
harimau.
"Siancai,
kembalilah kepada keaslianmu, Sin-kiam Mo-li!"
Harimau itu
hendak mengelak tetapi terlambat. Ketika ada tanah menyentuh tubuhnya,
terdengar suara ledakan keras dan harimau itu mengaum, akan tetapi segera
lenyap dan berubah kembali menjadi Sin-kiam Mo-li yang nampak terhuyung. Wanita
ini marah sekali. Dia mengangkat kedua tangan ke atas dan dari tubuhnya
keluarlah asap hitam bergulung-gulung yang segera menutupi tubuhnya sehingga
membuat keadaan di situ menjadi gelap.
Diam-diam
Hong Li merasa ngeri menyaksikan ini. Sungguh hebat ilmu sihir gurunya, akan
tetapi kakek itu pun memiliki ilmu kepandaian tinggi yang ternyata juga sanggup
menaklukkan harimau jadi-jadian tadi. Akan tetapi kembali Ang I Lama tidak
nampak gugup.
"Omitohud...!"
serunya berkali-kali dan dia pun merangkap kedua tangan di depan dada, kemudian
mulutnya meniup dan buyarlah asap hitam itu, makin lama semakin menipis dan
akhirnya nampaklah kembali Sin-kiam Mo-li yang menjadi semakin penasaran.
Wanita cantik
ahli sihir ini maklum bahwa agaknya ia tidak akan mampu mengalahkan kakek itu
jika menggunakan sihir, maka ia segera menerjang maju, sekali ini menyerang
dengan pukulan tangan terbuka. Bukan main hebatnya pukulan yang dilontarkan
oleh dua tangan wanita itu. Angin menyambar dahsyat dan terdengar bunyi
bercuitan ketika kedua tangan itu menyambar.
Kembali
kakek itu mengelak ke samping kemudian kedua lengannya digerakkan untuk
menangkis dari samping.
"Dukkk!"
Kedua pasang
lengan itu bertemu di udara. Seperti ada halilintar saja yang menyambar terasa
oleh Hong Li akibat dari adu kekuatan dahsyat itu. Angin pukulan membuat dia
mundur dua langkah sambil terbelalak memandang. Ia melihat gurunya agak
terhuyung, sedangkan kakek itu tetap berdiri tegak sambil tersenyum. Senyum
lembut itu sejak tadi tak pernah meninggalkan wajah Ang I Lama.
Sin-kiam
Mo-li menjadi semakin marah dan kembali ia menyerang dengan pukulan yang
bertubi-tubi. Pendeta Lama itu dengan tenang menyambut, maka terjadilah
perkelahian yang hebat.
Gerakan
Sin-kiam Mo-Ii amat cepat, berloncatan menyambar-nyambar bagaikan seekor burung
yang menyerang seekor ular. Tetapi pendeta itu bagaikan seekor ular melingkar,
dengan gerakan tenang akan tetapi mantap menyambut setiap serangan dari mana
pun juga datangnya, menangkis sambil balas menyerang. Walau pun dia hanya
membalas dengan tamparan-tamparan atau cengkeraman, tapi semua serangannya
mengandung kekuatan yang membuat lawannya harus cepat menghindarkan diri.
Biar pun
gerakan gurunya itu amat cepatnya, namun Hong Li yang sudah menguasai dasar
ilmu silat tinggi dapat mengikuti gerakannya sehingga ia pun dapat melihat
betapa tangguhnya kakek yang bernama Ang I Lama itu. Kalau ia tak salah
menduga, gurunya kalah dalam hal tenaga oleh kakek itu. Hal ini terbukti betapa
gurunya selalu berusaha menghindarkan bentrokan lengan kalau serangannya akan
ditangkis lawan, dan tiap kali terpaksa kedua lengan mereka bertemu, tentu
tubuh gurunya terdorong ke belakang atau terhuyung.
Dugaan anak
perempuan itu memang tepat. Sin-kiam Mo-li merasa betapa dahsyatnya tenaga
lawan dan ia maklum bahwa kalau ia harus selalu menghindarkan bentrokan, maka
akhirnya ia akan terdesak. Cepat kedua tangannya bergerak ke balik bajunya dan
di lain saat, tangan kiri wanita itu telah memegang sebuah kebutan bergagang
emas dengan bulu merah, sedangkan tangan kanannya memegang sebatang pedang yang
berkilauan saking tajamnya.
Kiranya
Sin-kiam Mo-li memiliki sepasang senjata yang amat hebat, yaitu kebutan dan
pedang. Nama julukannya, Sin-kiam (Pedang Sakti) saja sudah menunjukkan bahwa
ia adalah seorang ahli pedang yang pandai, sedangkan kebutan di tangan kirinya
itu pun sama sekali tidak boleh dipandang ringan, karena ujung setiap lembar
bulu kebutan itu telah dicelup racun sehingga orang yang terkena sabetan ujung
kebutan itu tentu akan keracunan!
"Sing-sing...
wuuuuttt...!"
Nampak
gulungan sinar putih dan merah dari pedang serta kebutan ketika wanita itu
menyerang dengan cepatnya ke arah lawan.
"Siancai...!"
Ang I Lama berseru.
Cepat dia
membuat langkah-langkah yang aneh untuk menghindarkan diri. Beberapa kali dia
berhasil mengelak, kemudian tiba-tiba tangannya memegang seuntai tasbeh dan
dengan benda ini yang diputar-putar, dia berhasil menangkis kebutan dan pedang.
"Trik!
Trik! Tranggg...!"
Nampak api
berpijar pada saat pedang bertemu dengan biji-biji tasbeh itu. Dan kembali
pertemuan tenaga melalui senjata itu membuat Sin-kiam Mo-li terdorong ke
belakang.
Perkelahian
berlangsung semakin seru. Kadang tubuh dua orang itu lenyap terbungkus gulungan
sinar senjata mereka yang menjadi satu. Agaknya tingkat kepandaian mereka
memang seimbang, hanya kakek pendeta itu memiliki tenaga yang lebih kuat walau
pun mungkin dia kalah dalam hal kecepatan gerakan.
Juga di
antara mereka terdapat perbedaan besar dalam hal serangan. Kalau Sin-kiam Mo-li
menyerang dengan hebatnya, tiap serangannya merupakan serangan maut yang
mengarah nyawa, sebaliknya pendeta itu selalu berhati-hati dalam serangannya
dan jelas bahwa dia banyak mengalah dan tidak bermaksud memburuh lawan.
Betapa pun
juga, karena kalah tenaga, nampaknya Sin-kiam Mo-li makin terdesak dan
terhimpit, dan kadang-kadang terhuyung ke belakang. Kenyataan ini membuat Hong
Li memandang khawatir.
"Majulah,
bantulah subo," desaknya berulang-ulang kepada tiga orang pelayan itu.
Tiga orang
pelayan itu semua memegang sebatang pedang, akan tetapi mereka tidak berani
maju, merasa betapa ilmu kepandaian mereka masih terlampau rendah untuk
membantu majikan mereka mengeroyok pendeta Lama yang demikian saktinya. Melihat
ini, Hong Li menjadi tidak sabar lagi. Dirampasnya pedang dari tangan Ang Nio
dan ia pun berkata, "Kalau begitu, biarlah aku saja yang membantu
subo!" Ia pun meloncat ke depan.
Tiga orang
pelayan itu terkejut.
"Siocia...!”
mereka berseru, akan tetapi karena anak perempuan itu sudah menerjang maju dan
masuk ke dalam arena perkelahian mereka pun tak dapat mencegah lagi.
"Lama
jahat!" Hong Li membentak dan pedangnya menusuk ke arah lambung pendeta
itu.
Ang I Lama
terkejut melihat anak perempuan itu menyerangnya dengan pedang. Dia tidak
mengelak, membiarkan pedang itu mengenai lambungnya dan berkata,
"Omitohud, anak baik, pinceng datang untuk membebaskanmu!"
"Takkk!"
Pedang itu
membalik dan Hong Li merasa tangannya nyeri karena pedangnya seperti menusuk
baja saja. Sebelum ia mampu mengelak, tiba-tiba tangan kiri pendeta Lama itu
telah menangkap pundaknya.
"Mari
ikut bersama pinceng, anak baik!" kata pula Ang I Lama.
Akan tetapi
Hong Li menjadi marah dan meronta. "Lepaskan aku, pendeta jahat!" dan
kembali pedangnya menusuk, kini mengarah dada kakek itu.
"Trakkk!"
Pedangnya
patah menjadi dua potong! Dan sekali Ang I Lama menggerakkan tangan kirinya,
tubuh Hong Li telah terlempar ke atas dan berada dalam podongan kakek itu.
"Lepaskan
anakku!" Sin-kiam Mo-li membentak dan pedangnya lalu membacok ke arah
kepala Ang I Lama.
"Tranggg...!"
Tasbeh itu
menyambar dan menangkis pedang, membuat pedang terpental.
Tiba-tiba
Sin-kiam Mo-li membentak dan kebutannya kini menyambar ke arah... kepala Hong
Li yang dipondong pendeta itu. Tentu saja Ang I Lama terkejut bukan main, sama
sekali tidak menyangka bahwa wanita itu akan menyerang anak yang dipondongnya.
Dengan agak tergesa-gesa dia pun menggerakkan tasbehnya melindungi Hong Li dan
menangkis kebutan.
"Prattt!"
Bulu-bulu
kebutan itu sekarang melibat tasbeh dan terjadi tarik menarik. Pada saat itu,
Hong Li yang tidak tahu bahwa baru saja nyawanya terancam maut pada saat wanita
itu menyerangnya dengan kebutan, kini ingin membantu gurunya. Melihat betapa
mereka saling tarik senjata masing-masing, Hong Li menggunakan tangannya,
mencengkeram ke arah mata Ang I Lama!
"Siancai...!"
Ang I Lama terkejut bukan main.
Anggota
tubuhnya tidak akan takut menghadapi serangan seorang anak kecil seperti Hong
Li, akan tetapi kalau yang diserang itu matanya, tentu saja mata itu tidak
dapat dibuat kebal! Untuk mempergunakan sihir mempengaruhi anak itu, sudah
tidak keburu lagi. Terpaksa dia menarik kepalanya ke belakang untuk mengelak.
Pada saat
itu, pedang di tangan kanan Sin-kiam Mo-li sudah menyambar dan menusuk lambung
pendeta Lama itu. Demikian cepat gerakan ini, dilakukan pada saat yang tepat,
menggunakan kesempatan selagi pendeta itu repot mengelak dari cengkeraman
tangan Hong Li sehingga tak mungkin dapat dihindarkan lagi.
"Cappp...!"
Biar pun
pendeta itu mempergunakan sinkang, namun sudah tidak keburu dan pedang itu
menancap sampai dalam dan ketika dicabut, darah pun muncrat dan pada saat itu,
Sin-kiam Mo-li telah berhasil merampas kembali Hong Li dari pondongan Ang I
Lama.
"Omitohud...!"
Ang I Lama menggunakan tangan kiri mendekap luka di lambungnya, lalu
membalikkan diri dan lari meninggalkan tempat itu, pergi sambil membawa luka
yang dalam di lambungnya!
Sin-kiam
Mo-li tidak berani mengejar. Ia tahu bahwa pendeta itu lihai bukan main dan
kalau ia tidak memperoleh kesempatan baik tadi, belum tentu ia akan keluar
sebagai pemenang. Ia tadi sudah bertindak cerdik bukan main dengan menyerang
kepala Hong Li. Memang, ia membahayakan keselamatan nyawa anak itu tadi. Akan
tetapi akal itu bagus sekali.
Serangan
mematikan itu tentu saja membuat Ang I Lama yang ingin menyelamatkan Hong Li,
menjadi kaget dan cepat melindungi sehingga terbukalah kesempatan baginya untuk
menyerang. Apa lagi ia dibantu oleh Hong Li. Ia puas dengan dirinya sendiri dan
juga girang bahwa ternyata anak angkat dan muridnya itu setia kepadanya. Ia tak
berani mengejar karena ia tidak yakin apakah Lama itu menderita luka yang cukup
parah.
Dirangkulnya
Hong Li dan diciuminya pipi anak itu. "Hong Li, bagus sekali, engkau telah
membantuku mengalahkan Lama yang jahat itu!"
"Akan
tetapi, subo. Hampir saja aku celaka olehnya. Dia sungguh lihai dan jahat
sekali!" kata Hong Li.
"Memang
dia lihai dan jahat, maka engkau harus berlatih dengan baik agar kelak dapat
mengalahkan orang-orang seperti dia ini."
"Di
bawah bimbingan subo, tentu aku akan dapat menguasai ilmu-ilmu yang hebat, dan
kini di dalam perlindungan subo aku merasa aman. Subo, jangan lupa mengajarkan
ilmu sihir kepadaku."
Sin-kiam
Mo-Ii tertawa dan menggandeng anak itu, diajak masuk ke dalam rumah untuk
beristirahat. Hong Li merasa girang dan puas pula, sama sekali ia tidak tahu
bahwa baru saja ia kehilangan seorang penolong yang akan mampu membawanya
kembali kepada orang tuanya dan bahkan membebaskannya dari cengkeraman seorang
wanita iblis yang sesungguhnya merupakan musuh besar keluarganya!
Sin-kiam
Mo-li tidaklah sebaik hati seperti yang dibayangkan Hong Li. Anak perempuan ini
sama sekali tidak tahu bahwa semenjak ia diculik dari kebun rumah orang tuanya,
terdapat rahasia besar di balik semua peristiwa itu.
Yang
melakukan penculikan terhadap dirinya sama sekali bukanlah Ang I Lama yang pada
waktu itu masih tekun bertapa di dalam goa pertapaannya. Lalu siapakah yang
melakukan penculikan itu? Bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li sendiri! Wanita
cantik yang tinggi semampai inilah yang menyamar sebagai Ang I Lama dan
melakukan penculikan dengan mempergunakan nama Ang I Lama! Hal ini dapat dilakukannya
dengan mudah sekali karena selain pandai ilmu silat, ia pun pandai ilmu sihir
dan pandai melakukan penyamaran.
Akan tetapi,
mengapa Sin-kiam Mo-li melakukan hal itu dan siapakah dia sebenarnya? Sin-kiam
Mo-li adalah anak angkat dari Kim Hwa Nionio! Pada waktu Kim Hwa Nionio
bersekongkol dengan Sai-cu Lama, Sin-Kiam Mo-li sedang melakukan perantauan ke
daerah pantai selatan. Ia tidak tahu akan persekutuan itu, juga tidak
mencampurinya. Ketika ia pulang ke utara, baru ia mendengar bahwa ibu
angkatnya, juga gurunya itu, ternyata telah tewas bersama Sam Kwi dan Sai-cu
Lama dalam sebuah komplotan yang dihancurkan oleh para pendekar, terutama
keturunan keluarga Pulau Es dan keluarga Istana Gurun Pasir.
Tentu saja
ia terkejut dan berduka, juga sakit hati. Akan tetapi ia pun maklum siapa itu
keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Ia merasa tak mampu menandingi
mereka itu dengan berterang, maka ia lalu melakukan balas dendam dengan cara
lain.
Setelah
melakukan penyelidikan, dia pun menjatuhkan pilihannya kepada Kao Hong Li,
satu-satunya anak yang menjadi keturunan dari kedua pihak, keturunan keluarga
Pulau Es, juga keturunan keluarga Gurun Pasir. Dan terjadilah penculikan itu.
Ia sengaja
mempergunakan nama Ang I Lama yang mahir dalam ilmu sihir dan mudah dipalsu,
dengan maksud untuk mengadu domba. Ia harus membangkitkan Ang I Lama sebagai
sute dari Sai-cu Lama supaya suka menentang dua keluarga pendekar yang menjadi
musuh mereka berdua itu. Akan tetapi ia cukup mengenal watak Ang I Lama yang
saleh dan tidak mau menggunakan kekerasan, melainkan hanya bertapa dengan tekun
dan tidak pernah mencampuri urusan dunia ramai.
Maka dia
mempergunakan siasatnya, menyamar sebagai Ang I Lama untuk mengadu domba.
Tadinya, niatnya hanya selain mengadu domba, juga menimbulkan duka pada
keluarga itu yang kehilangan puterinya. Mungkin puteri mereka itu akan ia bunuh
untuk membalas dendam.
Akan tetapi
setelah ia melihat Hong Li yang demikian manis dan tabah, hatinya tertarik dan
timbul pikirannya untuk memanfaatkan rasa sukanya itu demi dua keuntungan.
Pertama, ia akan merasa puas memiliki murid dan anak angkat yang sangat baik
dan berbakat, memenuhi kerinduannya akan seorang keturunan. Kedua, ia akan
mendidik anak itu supaya kelak dapat mengikuti jejaknya yang berlawanan dengan
jalan hidup musuh-musuhnya, yaitu kedua keluarga pendekar itu!
Hong Li
tidak tahu akan semua itu. Ia hanya mengenal gurunya sebagai seorang wanita
berilmu tinggi dan pandai sihir yang telah menyelamatkannya dari tangan Ang I
Lama!
Walau pun
pada hari-hari terakhir ini ia mendapat kenyataan bahwa gurunya dapat pula
berwatak keras dan kejam terhadap musuh-musuhnya, seperti yang diperlihatkannya
ketika menghadapi lima orang penyerbu dari Cin-sa-pang itu, namun ia menganggap
gurunya seorang gagah yang baik hati, terutama terhadap dirinya.
Dan ia pun
dengan penuh ketekunan mempelajari ilmu-ilmu dari Sin-kiam Mo-li, seorang
wanita cantik yang dalam hal tingkat kepandaian, sama sekali tidak berada di
bawah tingkat mendiang gurunya, yaitu Kim Hwa Nionio…..
**************
Dua orang
pendeta Lama yang sedang bertapa itu terkejut sekali ketika melihat seorang
pendeta Lama lain roboh terpelanting di depan goa mereka, kemudian terdengar
suara orang itu mengerang kesakitan. Dua orang pendeta Lama itu segera keluar
dari goa tempat pertapaan mereka dan alangkah kaget hati mereka ketika mereka
mengenal bahwa yang roboh itu adalah Ang I Lama, seorang tokoh Lama yang amat
mereka kenal dan masih terhitung paman seperguruan mereka.
"Susiok...,"
keduanya berlutut dan segera memeriksa.
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan ngeri rasa hati mereka melihat bahwa paman guru
mereka itu terluka pada lambungnya, luka yang kini membengkak besar sekali,
tanda bahwa selain luka itu parah, juga bahwa luka itu tidak terawat selama
beberapa hari sehingga membengkak. Melihat keadaan luka itu dan wajah paman
guru mereka yang membiru, dua orang pendeta ini dengan sedih mengetahui bahwa
keadaan paman guru mereka sudah payah dan sukar untuk dapat diselamatkan
nyawanya.
"Susiok,
apa yang telah terjadi? Mengapa susiok bisa terluka seperti ini?" tanya
pendeta pertama.
"Susiok,
siapa yang melakukan ini?" tanya pendeta ke dua.
Akan tetapi
keadaan Ang I Lama telah demikian payah. Napasnya tinggal satu-satu dan sukar
sekali baginya untuk mengeluarkan suara walau pun mulutnya bergerak-gerak. Akan
tetapi, di dalam batin Ang I Lama, sedikit pun tidak ada rasa dendam terhadap
Sin-kiam Mo-li, maka tidak ada sedikit pun niat di hatinya untuk memberi tahu
kepada orang lain siapa yang telah melukainya.
Keinginan
hatinya adalah untuk memberi tahu kepada Kao Cin Liong dan Suma Hui di mana
adanya anak mereka yang diculik orang itu. Akan tetapi sukar sekali mulutnya
mengeluarkan kata-kata dan dengan pengerahan tenaga terakhir dia pun memaksa
diri untuk menyampaikan isi hatinya itu kepada dua orang pendeta Lama ini.
Akhirnya
dapat juga dia mengeluarkan suara lirih sehingga dua orang pendeta Lama itu
harus mendekatkan telinga mereka agar dapat menangkap lebih jelas. "...
Kao Cin Liong dan isterinya... mereka... cepat... ouhhh..." kakek itu
terkulai dan napasnya pun terhenti. Dia mengerahkan tenaga terlalu banyak namun
tidak kuat melanjutkan kata-katanya.
Dua orang
pendeta Lama itu saling pandang dengan mata terbelalak. Mereka pun tentu saja
mengenal siapa yang bernama Kao Cin Liong itu, seorang yang dikenal baik oleh
para pendeta Lama karena pernah memimpin pasukan pemerintah untuk menumpas
pemberontakan di barat. Panglima Kao amat terkenal dan tentu saja mereka kini
terkejut dan heran mendengar disebutnya nama panglima itu dan isterinya sebagai
pembunuh Ang I Lama!
Kedua orang
pendeta itu merasa betapa penting dan gawatnya urusan, maka setelah
menyempurnakan jenazah Ang I Lama dengan membakarnya, kemudian membawa abu
jenazah itu, pergi meninggalkan tempat pertapaan mereka dan cepat mereka menuju
ke Tibet. Di depan para pimpinan Lama, mereka lalu menceritakan pengalaman
mereka ketika menemukan Ang I Lama dalam keadaan sekarat sampai meninggal dunia
karena luka parah di lambungnya.
Ketika para
pimpinan Lama mendengar bahwa pesan terakhir dari Ang I Lama adalah nama Kao
Cin Liong dan isterinya, para pimpinan Lama itu saling pandang. Mereka teringat
bahwa belum lama ini, suami isteri itu memang datang kepada mereka dan
menanyakan di mana adanya Ang I Lama! Mereka melihat sikap isteri pendekar
bekas panglima itu jauh dari pada lembut, bahkan agaknya nyonya itu marah
sekali terhadap Ang I Lama.
Dan kini
muncul dua orang pendeta Lama yang menceritakan bahwa Ang I Lama tewas dengan
luka di lambungnya. Pada hal, Ang I Lama adalah seorang pendeta Lama yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Tidak sembarang orang akan dapat
melukainya, dan pula, pendeta itu adalah seorang yang halus budi dan tidak
pernah bermusuhan dengan siapa pun juga. Siapa lagi kalau bukan suami isteri
pendekar itu yang telah membunuhnya? Mungkin karena Ang I Lama masih sute dari
Sai-cu Lama seperti yang ditanyakan oleh isteri pendekar itu.
"Hemm,
kita tak boleh tinggal diam saja. Tanpa sebab mereka telah membunuh seorang
yang hidup bersih dan suci seperti Ang I Lama. Jika hal ini kita diamkan saja,
bukankah semua orang lalu memandang rendah kepada kita, para Lama? Kita dapat
membiarkan seorang Lama seperti Sai-cu Lama dibasmi dan dibunuh sekali pun
tanpa sedikit juga campur tangan. Akan tetapi kalau sampai seorang seperti
saudara Ang I Lama dibunuh tanpa dosa, benar-benar merupakan hal yang penuh
dengan penasaran. Kita harus bertindak terhadap mereka!"
"Akan
tetapi mereka adalah pendekar-pendekar yang terkenal sakti dan budiman! Apa
lagi kita semua mengenal siapa adanya Kao Cin Liong, bekas panglima yang gagah
perkasa!" kata Lama ke dua.
"Kita
tidak perlu takut demi membela kebenaran!" kata Lama ke tiga.
Ketua para
Lama menarik napas panjang mendengar pendapat para pembantunya. "Omitohud,
semoga Sang Buddha menerima saudara Ang I Lama sesuai dengan amal kebaikannya
sewaktu dia hidup. Kita memang tidak boleh tinggal diam, juga kita tidak perlu
merasa takut untuk menghadapi ketidak adilan, akan tetapi bagaimana pun juga,
kita harus bertindak dengan hati-hati dan tidak menurutkan nafsu amarah. Kita
harus ingat bahwa kita berhadapan dengan keturunan orang-orang besar.
Kao-taihiap adalah keturunan dari keluarga Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir,
sedangkan isterinya adalah keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es. Kita sama
sekali tidak menghendaki kalau kita sampai menanam permusuhan dengan kedua
keluarga itu. Karena itu, jalan satu-satunya hanyalah mencari seorang perantara
untuk menuntut keadilan kepada keluarga mereka, terutama sekali keluarga Gurun
Pasir mengingat bahwa Kao-taihiap adalah putera Pendekar Naga Sakti Gurun
Pasir."
Mendengar
ucapan ketua mereka ini, para pendeta Lama merasa setuju. Bagaimana pun juga,
mereka percaya bahwa keluarga para pendekar itu adalah orang-orang yang selalu
menjunjung kebenaran dan keadilan. Kalau peristiwa pembunuhan terhadap diri Ang
I Lama yang tak berdosa ini sampai dilaporkan kepada Pendekar Naga Sakti Gurun
Pasir, tentu orang sakti itu akan bertindak adil walau terhadap puteranya sendiri
sekali pun.
Mereka lalu
mengadakan perundingan dan mengingat bahwa mungkin sekali urusan yang timbul
antara Ang I Lama dan Kao Cin Liong berdua itu ada hubungannya dengan mendiang
Sai-cu Lama, maka semua pendeta Lama setuju untuk kedua kalinya minta bantuan
sahabat mereka, yaitu Tiong Khi Hwesio. Bukankah Tiong Khi Hwesio yang bersama
para pendekar membasmi komplotan Sai-cu Lama?
Karena
agaknya urusan kematian Ang I Lama ini merupakan lanjutan dari pembasmian
komplotan Sai-cu Lama, maka orang perantara yang mereka anggap paling tepat
ialah Tiong Khi Hwesio. Apa lagi ketua Lama mengetahui bahwa antara Tiong Khi
Hwesio dan keluarga Gurun Pasir masih terdapat ikatan yang amat erat.
"Kalau
tidak keliru, ikatan keluarga antara Tiong Khi Hwesio dan isteri Pendekar Naga
Sakti Gurun Pasir," demikian katanya.
Kenyataan
ini mempertebal kepercayaan para pendeta Lama bahwa Tiong Khi Hwesio memang
merupakan orang yang paling tepat sebagai perantara menuntut keadilan ke Gurun
Pasir.
Tiong Khi
Hwesio kemudian dihubungi. Pendeta ini semenjak kembali dari menunaikan
tugasnya yang berhasil baik, telah kembali ke tempat pertapaannya, di dalam
sebuah pondok sederhana di puncak sebuah bukit di Pegunungan Himalaya. Dia
merasa heran, tetapi juga tidak menolak ketika seorang pendeta Lama
menyadarkannya dari pertapaan dan menyampaikan undangan para pimpinan Lama
supaya dia suka datang ke Lhasa karena ada urusan yang amat penting.
Setelah
hwesio tua ini tiba di depan para pendeta Lama, dia disambut dengan amat ramah.
Melihat wajah yang penuh kedamaian dari pendeta ini, para pimpinan Lama merasa
tidak enak hati sendiri. Akan tetapi urusan yang mereka hadapi teramat penting
maka mereka mengesampingkan semua perasaan tidak enak dan pimpinan para Lama
segera menceritakan kepada Tiong Khi Hwesio tentang peristiwa yang terjadi.
Tentang
kematian Ang I Lama terbunuh orang, tentang suami isteri Kao Cin Liong yang
sebelumnya datang minta keterangan dari para Lama tentang Ang I Lama. Kemudian
para pimpinan Lama menyatakan pendapat mereka yang juga merupakan tuduhan
mereka bahwa suami isteri pendekar itulah yang membunuh Ang I Lama.
"Saudara
Tiong Khi Hwesio tentu sudah mengenal siapa adanya Ang I Lama, yang sudah sejak
puluhan tahun hidup bertapa dan tidak pernah mencampuri urusan dunia sehingga
tidak mungkin menanam permusuhan dengan siapa pun juga. Akan tetapi, beberapa
hari sebelum dia terbunuh, pendekar Kao Cin Liong dan isterinya datang ke sini
minta keterangan tentang Ang I Lama. Dan melihat sikap mereka, terutama sekali
isteri Kao-taihiap, jelas bahwa mereka sedang marah atau tidak suka kepada Ang
I Lama yang mereka ketahui adalah sute dari Sai-cu Lama. Tidak lama setelah
mereka berdua pergi mencari Ang I Lama, ternyata ia pun sudah dibunuh orang dan
sebelum menghembuskan napas terakhir, Ang I Lama hanya dapat menyebutkan nama
Kao Cin Liong dan isterinya. Semua ini kami anggap sudah cukup kuat untuk dapat
menjadi bukti kebenaran pendapat kami bahwa mereka berdua yang sudah membunuh
Ang I Lama. Terutama harus diingat bahwa Ang I Lama memiliki kepandaian yang
tinggi, dan hanya orang-orang seperti suami isteri itu sajalah yang kiranya
akan mampu membunuhnya."
Tiong Khi
Hwesio mengerutkan alisnya. Tak disangkanya bahwa dia akan menghadapi urusan
seperti itu. Memang semua alasan para pimpinan Lama ini masuk di akal, dan
bagaimana pun juga, Kao Cin Liong masih terhitung keponakannya sebab ibu
kandung pendekar itu, Wan Ceng, adalah adik tirinya seayah berlainan ibu.
Dengan sikap
tenang Tiong Khi Hwesio menanti sampai keterangan para Lama itu selesai,
barulah dia bicara, sikapnya masih tenang, suaranya halus. "Lalu apa
maksud para saudara Lama sekarang mengundang pinceng datang ke sini. Apa yang
dapat pinceng lakukan dalam urusan ini?"
"Kami
sedang merasa bingung. Urusan pembunuhan ini tidak mungkin didiamkan saja. Akan
tetapi kami pun tidak ingin menanam permusuhan dengan keluarga Pulau Es dan
keluarga Gurun Pasir, maka kami pun teringat kepada saudara Tiong Khi Hwesio
yang menjadi saudara kami yang amat baik. Terutama sekali bila mengingat akan
adanya tali kekeluargaan saudara dengan mereka, maka kami mengharapkan bantuan
saudara untuk menjadi perantara di antara kami dan mereka untuk menuntut
keadilan."
Tiong Khi
Hwesio mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. Dalam usia yang sudah tua
ini, yang ingin dihabiskannya dalam kedamaian dan ketenteraman, ternyata masih
ada saja urusan yang mengejarnya. Akan tetapi, semua itu dianggapnya sudah
sewajarnya, maka dia pun tak mengeluh dan tidak pula merasa penasaran atau
kecewa.
"Omitohud...,
kehendak Thian jadilah! Pinceng akan pergi menemui keluarga itu untuk
membicarakan urusan ini."
Para
pimpinan Lama merasa lega. Kalau tidak ada Tiong Khi Hwesio yang menjadi
perantara, mereka khawatir kalau-kalau akan terjadi permusuhan yang semakin
hebat. Para pimpinan maklum bahwa banyak di antara pendeta Lama yang masih
belum dapat menguasai dorongan perasaan sehingga kematian Ang I Lama itu dapat
menimbulkan kemarahan dan dendam yang besar.
Beberapa
hari kemudian, Tiong Khi Hwesio pergi meninggalkan Pegunungan Himalaya menuju
ke timur. Ia berjalan seorang diri seperti orang melamun. Ia melihat kenyataan
yang amat aneh dalam kehidupan ini.
Seorang
seperti Ang I Lama, bagaimana pula sampai tertimpa mala petaka seperti itu,
dibunuh orang? Pada hal, dia tahu benar bahwa Ang I Lama adalah seorang pendeta
yang sejak puluhan tahun sudah mundur dari semua urusan dan keramaian dunia,
tidak pernah bermusuhan dengan siapa pun juga, bahkan tidak pernah meninggalkan
tempat-tempat yang sunyi dan sepi.
Hidup dan
mati adalah urusan Tuhan. Manusia tidak menguasai kedua hal itu. Manusia hanya
wajib mengisi kehidupan dan tergantung dari dirinya sendirilah akan bagaimana
jadinya dengan hidupnya. Dia sendirilah yang akan mewarnai kehidupannya. Namun
bukan dia yang menentukan segalanya.
Betapa pun
pandainya seseorang, betapa pun kuatnya seseorang, dia tidak mungkin dapat mempertahankan
hidupnya jika Tuhan sudah menghendaki kematiannya. Namun, hal ini bukan berarti
bahwa kita lalu begitu saja ‘menyerahkan nasib’ kepada Tuhan. Ini sama saja
dengan mempersatukan Tuhan demi untuk kepentingan diri sendiri, bahkan condong
untuk memperbudak kekuasaan tertinggi di alam mayapada ini.
Tidak ada
kekuasaan apa pun di dunia ini yang akan mau menolong kita kalau kita sendiri
tidak mau menolong diri sendiri, karena sesungguhnya di dalam diri kita
terdapat pula kekuasaan itu, melalui panca indriya kita, melalui pikiran kita,
melalui seluruh urat syaraf di tubuh kita. Semua kekuasaan itu sudah ada pada
kita, maka kalau tidak kita pergunakan, tentu saja tidak ada lagi kekuasaan
yang akan menolong diri kita.
‘Percaya
kepada Tuhan’ atau yang lazimnya disebut iman bukan hanya permainan lidah
belaka, seperti yang kita lihat dalam kehidupan kita ini. Iman tanpa perbuatan
hanya merupakan kemunafikan terselubung saja. Sebaliknya, perbuatan tanpa iman,
dalam arti kata kesadaran sepenuhnya, keyakinan sedalamnya akan kekuasaan
tertinggi yang menentutan segala-galanya, maka perbuatan itu akan bisa
menyeleweng tanpa kemudi, hanya didorong oleh naluri dan kepentingan diri
sendiri, sama saja dengan perbuatan binatang-binatang yang tidak memiliki akal
budi dan pikiran.
Kalau kita
ingin berhasil, kita harus bertindak. Kalau ingin selamat, harus menjaga diri.
Dan apa bila semua itu sudah kita lakukan, namun ternyata akhirnya gagal, maka
kita harus mencari sebab kegagalan itu dalam diri sendiri! Karena semua hal
baik mau pun kegagalan bersumber dari diri sendiri, bukan karena kesalahan
orang lain, dan adalah licik untuk berkeluh kesah dan melontarkan semua ratapan
kepada Tuhan, seolah-olah Tuhan yang bertanggung jawab atas kegagalan kita!
Kalau ada
kegagalan, tentu ada kesalahan dalam tindakan kita, walau pun mungkin saja mata
kita tidak melihat adanya kesalahan itu. Kita selalu condong untuk membenarkan
diri sendiri. Kita merasa amat sulit untuk mengoreksi diri, untuk meneliti
tindakan sendiri, untuk menemukan kesalahan dalam diri sendiri.
Cara yang
ditempuh Tuhan kadang-kadang bahkan sering kali sukar untuk dimengerti oleh
akal manusia yang amat terbatas ini. Kita biasanya hanya menerima segala akibat
penempuhan cara yang penuh rahasia itu, kalau menyenangkan kita bersyukur,
kalau menyusahkan kita mengeluh, karena semua pendapat kita didasari
untung-rugi bagi diri sendiri. Padahal, belum tentu kalau sesuatu yang kita
anggap buruk menimpa diri kita itu memang benar buruk. Belum tentu!
Banyak sudah
buktinya bahwa peristiwa buruk yang menimpa kita itu justru merupakan
penghindaran yang luar biasa pada diri kita dari ancaman bahaya yang lebih
hebat lagi! Seperti sebuah operasi pada tubuh kita, nampaknya menyusahkan,
padahal operasi itu penting sekali untuk melenyapkan penyakit yang jauh lebih ganas
yang ada pada diri kita.
Oleh karena
itu, orang bijaksana selalu akan menerima segala macam peristiwa yang menimpa
dirinya tanpa menilainya sebagai baik mau pun buruk, selalu menerima apa adanya
tanpa membanding-bandingkan, dengan penuh kesadaran bahwa segala yang terjadi
sudah dikehendaki oleh Tuhan, maka sudah wajarlah!
Orang
bijaksana akan selalu mengerti dan yakin bahwa ‘semua kehendak Tuhan jadilah’
sementara dia selalu waspada akan segala perbuatannya, lahir batin, termasuk
jalan pikirannya, ucapannya, gerak-geriknya. Tidak menginginkan atau menyesali
yang sudah lalu, tidak mengharapkan atau menjauhi hal yang belum datang. Bahkan
sama sekali tidak memusingkan masa lalu dan masa depan, melainkan sepenuhnya
hidup saat ini, sekarang ini, detik demi detik.
Semua hal
inilah yang menjadi isi batin Tiong Khi Hwesio ketika dia berjalan seorang diri
dengan tenangnya. Kewaspadaannya membuat ia dapat melihat segala hal yang
terjadi di dalam dirinya, di luar dirinya dan apa yang terjadi dalam kehidupan
manusia pada umumnya di dunia ini.
Dia melihat
kepalsuan-kepalsuan menyelimuti hampir seluruh sendi kehidupan manusia,
kebaikan-kebaikan palsu karena kebaikan-kebaikan itu dilakukan orang sebagai
cara untuk memperoleh sesuatu sebagai imbalan, kehormatan dipuja-puja, agama
dipakai sebagai alat untuk mencapai kemenangan, dipakai untuk menutupi
kebencian yang membakar batin terhadap golongan lain, dipakai untuk menangkat
diri dan golongan sendiri ke tempat yang lebih tinggi dan bersih, dipakai untuk
mencemooh mereka yang dianggap kotor dan lebih rendah.
Kesucian
digunakan sebagai kebersihan pakaian yang membungkus diri, yang dianggap akan
dapat menyucikan dan membersihkan tubuh yang sebenarnya kotor. Peradaban
menjadi hal yang paling tidak beradab, namun menang karena disahkan oleh umum.
Kesopanan hanya sebatas kulit, kesopanan terletak pada pangkat, pakaian, senyum
dan ucapan belaka.
Tidak pernah
lagi ada kesatuan antara pikiran, ucapan dan perbuatan. Apa yang dipikir lain
dari apa yang di ucapkan, dan apa yang diucapkan tidak cocok dengan apa yang
diperbuat. Kemunafikan dan kepalsuan di mana-mana. Tidak ada lagi cinta kasih
yang tulus ikhlas, tanpa memihak, tanpa memilih, yang ada hanyalah cinta nafsu,
cinta yang didorong demi kepentingan, demi kesenangan diri pribadi.
Dia bahkan
melihat betapa orang-orang melarikan diri ke goa-goa, ke gunung-gunung atau
mengubur diri di dalam kelenteng atau kuil-kuil, menyiksa diri, tapi sebagian
besar di antara mereka itu melakukan semua itu hanya sebagai cara untuk
memperoleh sesuatu yang mereka harap-harapkan, tentu saja sesuatu yang akan
menyenangkan hati mereka, akan memberi kepuasan terhadap keinginan mereka.
Atau ada
pula yang melakukan hal itu karena ingin melarikan diri dari kehidupan yang
membuat mereka muak, berduka, kecewa dan sakit hati. Dan tentu saja pelarian
ini pun merupakan cara untuk mencari sesuatu yang lebih menyenangkan! Semua
perbuatan manusia sudah menjadi palsu karena selalu menyembunyikan pamrih demi
kepentingan dan kesenangan diri pribadi.
"Ya
Tuhan, apa akan jadinya dengan kita para manusia ini?" Akhirnya Tiong Khi
Hwesio berbisik dalam hatinya. "Mungkinkah kita mampu menanggalkan semua
kepalsuan dan kemunafikan itu, melenyapkan semua pamrih mencari kesenangan dan
kepuasan diri pribadi itu, dan menanggalkan semuanya sehingga kita dapat
menghadap Tuhan dalam keadaan telanjang, dalam keadaan kosong sama sekali?
Mungkinkah kita menjadi diam dan kosong hingga menjadi jernih, sehingga
sinar-Mu dapat menembus dan memasuki batin. Sehingga kita mengenal cinta kasih
yang suci murni?"
Angin
bersilir menimbulkan suara bisik-bisik pada daun-daun di pepohonan. Tiong Khi
Hwesio menghentikan langkah, menengadah dan memandang daun-daun pohon yang
bergoyang-goyang. Bagaikan menari-nari sambil saling bergeseran menimbulkan
suara bisik-bisik seperti berdendang dan dia pun tersenyum.
**************
Sim Houw dan
Bi Lan telah tiba di daerah Tembok Besar. Bi Lan telah bersikap biasa kembali,
merupakan seorang gadis yang bagi Sim Houw sukar untuk dijajaki isi hatinya.
Kadang Sim Houw seperti melihat dengan jelas bahwa gadis itu membalas perasaan
hatinya, membalas cintanya. Ada kemesraan yang hangat dalam senyum dan pandang
matanya, namun Sim Houw membantah sendiri kenyataan ini. Tak mungkin, katanya.
Bagaimana
mungkin seorang gadis remaja seperti Bi Lan, yang usianya tidak akan lebih dari
delapan belas atau sembilan belas tahun dapat jatuh cinta kepada dia yang sudah
menjelang tua? Usianya sudah hampir tiga puluh lima tahun! Bi Lan tentu
memandang dia sebagai seorang sahabat baik, bahkan mungkin sebagai seorang
kakak yang selalu melindunginya!
Kalau dia
mempunyai pikiran yang bukan-bukan, bagaimana nanti pendapat Bi Lan? Bukankah
dia seakan-akan menjadi pagar makan tanaman, seorang pelindung yang hendak
mengganggu gadis yang dilindunginya? Tidak, dia tidak akan melakukan hal itu,
sampai mati pun tidak! Kecuali kalau memang Bi Lan cinta padanya, akan tetapi,
tak mungkin hal itu terjadi.
Kedukaan
kadang-kadang melanda hati Sim Houw, akan tetapi hanya sebentar karena saat
melihat kelincahan dan kegembiraan Bi Lan yang jenaka, lenyaplah kedukaannya.
Bagaimana pun juga, melakukan perjalanan bersama gadis itu, pahit mau pun manis
dialami bersama Bi Lan, merupakan kebahagiaan yang menghapus segala duka dan keprihatinan
hatinya. Dia tidak akan memikirkan hal lain, takkan memikirkan hal yang belum
terjadi, apa akan jadinya kelak. Yang penting, sekarang Bi Lan selalu berada di
sampingnya dan itu sudah cukup baginya!
Musim salju
baru saja lewat dan kini mereka memasuki bulan musim semi. Walau pun
pemandangan amat indah dan bunga-bunga sudah mulai ada yang berkembang, tetapi
musim salju masih meninggalkan hawa dingin menyusup tulang. Sering kali, walau
pun sudah mengenakan pakaian tebal dan sudah mengerahkan sinkang untuk melawan
hawa dingin, tetap saja Bi Lan merengek kedinginan sehingga terpaksa Sim Houw
yang merasa kasihan menghentikan perjalanan untuk membuat api unggun, biar pun
pada tengah hari.
Karena itu
perjalanan menjadi amat lambat dan baru setelah mereka tiba di daerah Tembok
Besar, hawa tidak begitu dingin seperti ketika mereka melalui puncak-puncak
pegunungan yang tinggi. Berkali-kali Bi Lan berhenti untuk menikmati
pemandangan yang amat ajaib. Tembok Besar itu nampak seperti seekor naga,
memanjang dari barat ke timur seperti tiada habisnya. Nampak indah dan kokoh
kuat.
Setelah hari
menjadi malam baru mereka mencapai Tembok Besar dan hawa kembali menjadi amat
dinginnya di malam hari itu. Mereka berlindung di bawah tembok dan Sim Houw
segera membuat api unggun, memanggang bekal makanan yang terdiri dari roti
kering dan daging kering. Setelah makan dan minum secara sederhana, mereka lalu
duduk beristirahat di dekat api unggun.
"Begini
sunyi...," kata Bi Lan dan tubuhnya agak menggigil, bukan akibat kedinginan
lagi karena api unggun itu bernyala dengan indahnya, melainkan merasa ngeri
juga.
Ia berada di
dalam alam yang begitu luasnya hanya bersama Sim Houw, seolah-olah mereka
berdua sajalah manusia-manusia yang hidup di dunia ini. Sunyi dan kadang-kadang
terdengar suara-suara binatang yang aneh-aneh, yang belum pernah didengar
sebelumnya. Ketika terdengar bunyi lolong yang mengerikan dan panjang
berkali-kali, seperti saling sahut dari sebelah kanan dan kiri, Bi Lan
berbisik.
"Toako...
suara apakah itu?"
Sim Houw
menatap wajah yang cantik kemerahan di bawah sinar api unggun itu sambil
tersenyum. "Itulah suara serigala-serigala yang berkeliaran di daerah ini,
Lan-moi."
"Serigala?
Aku pernah mendengar namanya akan tetapi belum pernah melihatnya."
"Seperti
seekor anjing biasa, tidak berapa besar, namun dia adalah anjing liar yang
buas. Lebih kuat dan tangkas dari pada anjing biasa karena sejak lahir berada
di alam bebas yang mempunyai hukum rimba, sudah biasa dengan perkelahian
mati-matian, baik untuk membela diri mau pun untuk mencari makan."
Bi Lan
menarik napas lega. "Suaranya demikian mengerikan, ternyata hanya seperti
seekor anjing biasa, sama sekali tidak berbahaya."
Kembali Sim
Houw tersenyum dan suaranya terdengar lembut, bukan untuk menakut-nakuti ketika
dia memperingatkan, "Moi-moi, biar pun serigala hanya merupakan seekor
anjing biasa, namun dia jauh lebih berbahaya dari pada anjing. Selain kuat dan
tangkas, yang paling berbahaya adalah karena mereka licik dan cerdik, juga
biasanya hanya menyerbu dengan gerombolan yang cukup banyak. Karena itu,
binatang lain yang lebih besar dan kuat, takut menghadapi serigala. Bahkan
harimau pun akan lari menjauhkan diri, takut dikeroyok."
Bi Lan
terbelalak dan kembali ia menoleh ke kanan kiri dengan sikap ketakutan. Hal ini
menggelikan hati Sim Houw dan dia pun berkata, "Lan-moi, kalau
serigala-serigala itu mengenalmu, tentu mereka yang akan menggigil
ketakutan."
"Aku
ngeri membayangkan kelicikan mereka. Mereka itu seperti segerombolan orang
jahat yang curang dan licik, yang beraninya hanya melakukan pengeroyokan."
"Memang,
dan di dunia kang-ouw, orang-orang macam itu memang ada yang disebut sebagai
gerombolan serigala."
Mendadak
suara lolong serigala itu berubah menjadi suara gonggongan dan menyalak-nyalak
yang riuh, seolah ada banyak anjing yang marah-marah dan menggonggong secara
berbareng, tidak seperti tadi, melolong saling sahut. Mendengar ini, Sim Houw
mengerutkan alisnya. Sebagai keturunan ahli-ahli pemburu binatang buas dia pun
dapat menduga apa artinya suara riuh rendah itu.
"Celaka,
mereka telah menyerbu sesuatu. Mari kita lihat!" kata Sim Houw.
"Ihh,
untuk apa melihat? Paling-paling mereka itu sedang mengeroyok seekor binatang
buas yang lebih besar."
"Siapa
tahu? Aku khawatir kalau-kalau mereka itu mengeroyok manusia yang perlu kita
tolong. Lihat, bulan sudah muncul dan cuaca tidak begitu gelap. Kita dapat
mencari ke arah suara hiruk-pikuk itu."
"Mana
ada manusia di tempat seperti ini, toako?"
"Engkau
tidak tahu. Biar pun jarang, kadang-kadang ada saja rombongan saudagar yang
berlalu-lalang di sini, yaitu mereka yang membawa barang dagangan keluar dan
masuk Tembok Besar. Marilah."
Mereka lalu
menggendong buntalan pakaian mereka dan memadamkan api unggun. Dengan Sim Houw
berada di depan dan Bi Lan di belakangnya, mereka lalu berloncatan dengan
hati-hati, menuju ke arah suara hiruk-pikuk yang terdengar di sebelah timur.
Mereka menyusuri sepanjang Tembok Besar karena suara ribut-ribut itu terdengar
di sebelah dalam tembok, bukan di luar.
Akhirnya,
setelah mendengar betapa suara gonggongan serigala itu kini bercampur dengan
suara menguik dan ketakutan sehingga Sim Houw menduga tentu binatang-binatang
itu mengeroyok seekor binatang lain yang kuat, mereka tiba di tempat terbuka,
di kaki tembok.
Masih nampak
ada api unggun kecil menyala di dekat kaki tembok, dan tidak jauh dari situ, di
atas rumput yang kuning dan baru bersemi setelah layu selama berbulan-bulan
karena musim salju, nampaklah seorang laki-laki sedang dikepung dan dikeroyok
oleh gerombolan anjing serigala yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh
ekor! Melihat betapa di sekitar tempat itu terdapat banyak bangkai-bangkai
serigala berserakan, dapat diketahui bahwa pengeroyok itu tadinya jauh lebih
banyak lagi!
Bi Lan
hendak meloncat untuk membantu, akan tetapi Sim Houw memegang lengannya.
"Sssttt...
lihat betapa gagahnya dia. Dia tidak membutuhkan bantuan..."
Bi Lan
memandang dan ia pun menjadi kagum. Lelaki itu bertubuh tinggi tegap, berdiri
kokoh, kuat di atas tanah. Lengan kanannya ditekuk dengan tangan di bawah
pinggang, jari-jari tangan terbuka dan terlentang, lengan kirinya diangkat
dengan tangan di depan dada, juga terbuka, kedua kaki terpentang lebar ke kanan
kiri. Sedikit pun lelaki ini tidak bergerak walau pun serigala-serigala itu
mengepungnya sambil menyalak-nyalak dan meringis memperlihatkan taring-taring
yang runcing dan memandang dengan mata yang merah beringas dan buas.
Tiba-tiba
dua ekor serigala menubruk dari arah belakang lelaki itu sambil mengeluarkan
suara gerengan dahsyat.
"Licik...!"
Bi Lan memaki lirih.
"Bukk!
Desss!"
Laki-laki
itu memutar tubuhnya, seolah-olah di belakang kepalanya ada matanya yang
melihat gerakan dua ekor binatang itu, kakinya menendang dan tangannya
menyambar. Robohlah dua ekor binatang itu, berkelojotan dan berkuik-kuik
seperti anjing-anjing kena gebuk.
"Bagus...!"
Bi Lan memuji.
"Kau
melihat gerakan itu? Dia murid Siauw-lim-pai atau setidaknya menguasai ilmu
silat Siauw-lim-pai," kata Sim Houw, juga kagum.
Laki-laki
yang tidak dapat dilihat jelas mukanya karena cuaca tidak cukup terang itu
memang gagah sekali. Sedikit pun dia tidak nampak gugup, tenang-tenang saja dia
menanti serigala-serigala yang mengepungnya menyerang dari berbagai arah.
Namun, setiap kali ada serigala yang menerjangnya, tentu disambut pukulan
tangan miring atau tendangan dan sekali pukul atau satu kali tendang saja sudah
cukup untuk membuat seekor serigala roboh dan tidak mampu bangun kembali.
Serigala-serigala
itu agaknya tidak menjadi jera, mereka kini menerjang dari empat penjuru.
Laki-laki itu nampak menggerakkan tubuh ke sana-sini sambil menendang dan
menampar dan kini ada delapan ekor serigala yang terpelanting ke sana-sini.
Barulah sisa gerombolan itu menjadi jeri, mereka mengeluarkan suara seperti
menangis dan mundur-mundur, lalu melarikan diri sambil melolong-lolong, seolah-olah
merasa kecewa dan menangisi kesialan mereka malam itu.
Laki-laki
itu tidak mengejar, sejenak berdiri tegak memandang ke sekelilingnya. Tidak
kurang dari lima belas ekor anjing serigala yang berserakan menjadi bangkai di
sekitar tempat itu, ada pula yang masih berkelojotan lemah. Laki-laki itu lalu
melompat dan memanjat naik ke atas tembok sambil menatap bulan yang sudah naik
agak tinggi di timur.
Sim Houw dan
Bi Lan hanya memandang dengan kagum. Betapa gagahnya laki-laki itu, seperti
sebuah patung seorang pendekar yang gagah perkasa berdiri di tempat sunyi itu,
diterangi sinar bulan. Tiba-tiba lelaki itu bicara dengan suara nyaring,
kata-katanya jelas dan satu-satu, teratur seperti sajak.
Melihat
kejam dan buasnya serigala
mengganggu
dan membunuh orang tak berdosa
kenapa tidak
turun tangan dan membasminya?
Penjajah
lebih kejam dari pada serigala
mencekik dan
menindas rakyat jelata
mengapa
orang-orang gagah
tidak
bangkit dan mengusirnya?
Mendengar
ucapan itu, Sim Houw dan Bi Lan merasa disindir. Jangan-jangan laki-laki itu
memang sengaja menyindir mereka! Memang selama ini Sim Houw mendengar akan
adanya orang-orang gagah, terutama dari Siauw-lim-pai, yang mengadakan gerakan,
bangkit menentang pemerintah penjajah. Gerakan ini mereka namakan ‘berjuang
untuk kemerdekaan rakyat’.
Tentu saja
pihak pemerintah menganggapnya sebagai pemberontakan-pemberontakan kecil dan
semua gerakan itu ditindas oleh pasukan besar sehingga sampai demikian jauh,
belum ada gerakan yang berhasil.
Mereka
berdua, Sim Houw dan Bi Lan, tidak pernah mencampuri urusan itu. Dan kalau
baru-baru ini mereka membantu para pendekar untuk membasmi komplotan Sai-cu
Lama yang menjadi kaki tangan pembesar lalim Hou Seng, maka hal itu mereka
lakukan tanpa ada hubungannya sama sekali dengan pemerintahan, melainkan
semata-mata karena mereka memusuhi komplotan jahat itu.
Selagi Bi
Lan hendak keluar dari tempat persembunyiannya, tiba-tiba saja Sim Houw
memegang lengannya dan memberi tanda agar gadis itu tidak bergerak, kemudian
dia menuding ke depan. Bi Lan mengikuti arah yang ditunjuk dan kini ia pun
dapat melihat bergeraknya beberapa bayangan orang ke arah tembok. Kemudian,
nampak lima sosok tubuh yang bergerak dengan gesitnya, berloncatan ke atas
tembok besar itu dan di tangan mereka nampak pula senjata tajam berkilauan
tertimpa sinar bukan. Akan tetapi bukan itu saja, masih nampak bayangan banyak
orang di bawah tembok. Sim Houw dan Bi Lan mengintai dan memandang dengan hati
tertarik.
"Lie
Tek San, engkau sudah kami kepung! Menyerahlah sebelum kami mempergunakan
kekerasan!" Seorang di antara lima penyerbu itu membentak.
Di bawah
sinar bulan, nampak lima orang tua yang berpakaian sebagai perwira-perwira
kerajaan. Tahulah Sim Houw dan Bi Lan bahwa laki-laki itu telah dikepung oleh
pasukan pemerintah, entah berapa jumlah mereka. Sim Houw juga kaget mendengar
disebutnya nama Lie Tek San itu.
Dia pernah
mendengar bahwa Lie Tek San adalah seorang pendekar gagah perkasa yang
melakukan gerakan menentang pemerintah, menentang penjajah Bangsa Mancu. Ia
hanya mendengar bahwa Lie Tek San ialah seorang pendekar dari daerah Hok-kian,
seorang tokoh Siauw-lim-pai dan seorang di antara mereka yang berhasil lolos
ketika pemerintah menyerbu dan membakar kuil Siauw-lim-si. Biar pun Sim Houw
tak pernah mencampuri urusan perjuangan menentang pemerintah, tetapi diam-diam
hatinya telah merasa kagum terhadap pendekar itu, maka kini dia memandang
dengan hati tegang.
Laki-laki
tinggi tegap yang disebut Lie Tek San itu kini menghadapi kelima orang tadi,
sikapnya tenang dan tetap gagah. Sejenak dia memandang mereka, kemudian
tertawa. "Ha-ha-ha, kalian minta aku menyerah? Dengarlah, Lie Tek San
telah bersumpah untuk menentang kaum penjajah, melepaskan bangsaku dari
cengkeraman kuku penjajah Mancu dan kalian minta aku menyerah? Ha-ha-ha!"
Pemimpin
rombongan itu membentak, "Lie Tek San, berbulan-bulan kami mencarimu.
Engkau pemberontak hina, kami harus menangkapmu hidup atau mati dan menyeretmu
untuk dihadapkan pada pengadilan yang akan menghukum seorang pemberontak
hina!"
Sambil
bertolak pinggang, Lie Tek San menjawab, suaranya amat lantang dan ini saja
membuktikan bahwa dia memiliki tenaga khikang yang kuat. "Mendengar
suaramu, engkau tentu seorang Han. Akan tetapi engkau merendahkan diri
menghamba pada penjajah Mancu! Apakah sudah tidak ada lagi darah Han mengalir
di dalam tubuhmu? Apakah engkau tidak melihat betapa bangsa kita diinjak-injak
selama berpuluh-puluh tahun oleh orang-orang Mancu? Ingat baik-baik. Bangsa
kita adalah bangsa yang besar, dengan jumlah yang amat banyak. Menurut sejarah,
karena Bangsa Han dipimpin oleh orang-orang yang hanya mengejar kesenangan, dan
karena perpecahan antara bangsa sendiri, maka bangsa kita yang besar sampai
dapat ditundukkan dan dikuasai, dijajah oleh Bangsa Mancu, suku bangsa yang
jumlahnya kecil itu, suku bangsa yang biadab dan terbelakang. Ratusan juta
Bangsa Han yang mendiami tanah air yang amat luas dapat diperhamba oleh
sekelompok orang Mancu sampai seratus tahun lebih! Mengapa bisa demikian? Tak
lain karena adanya anjing-anjing penjilat macam engkau inilah yang sudah
membantu penjajah Mancu untuk menginjak-injak bangsa sendiri. Tidak malukah
engkau kepada nenek moyangmu dan anak cucumu kelak yang akan mengutuk dan
memaki-maki namamu?" Suara Lie Tek San penuh semangat dan kemarahan.
Sim Houw dan
Bi Lan yang sedang mencuri dengar, merasa betapa bulu tengkuknya meremang,
merasa seolah-olah ucapan itu ditujukan kepada mereka.
"Lie
Tek San pemberontak hina! Engkau melawan pemerintah yang sah!" Si kumis
tebal yang menjadi pemimpin pasukan itu, membentak marah.
"Pemerintah
penjajah Mancu kau bilang sah? Siapa yang mengesahkan? Anjing-anjing penjilat
macam kau? Tak tahu malu!"
"Tangkap
pemberontak ini!" Si kumis tebal berteriak.
Mereka
berlima telah mengurung orang tinggi besar yang gagah itu dengan golok besar di
tangan. Mereka mengurung dengan membentuk ngo-eng-tin (barisan lima unsur).
Dengan rapi dan dengan gerakan ringan mereka mengepung dan siap menyerang,
menutup semua jalan keluar.
Melihat
gerakan dan barisan ini, Lie Tek San berseru nyaring, suaranya penuh teguran
dan ejekan.
"Kiranya
kalian ini yang terkenal dengan julukan Huang-ho Ngo-liong (Lima Naga dari
Sungai Huang-ho), bukan? Kalian adalah tokoh-tokoh Bu-tong-pai, orang-orang Han
asli yang telah sudi merendahkan diri menjadi anjing-anjing penjilat para
penjajah Mancu. Menjijikkan sekali! Kalian hanya mengotorkan nama Bu-tong-pai
yang besar!"
Lima orang
itu memang benar Huang-ho Ngo-liong yang namanya terkenal sekali di sepanjang
lembah Huang-ho dan mereka adalah murid-murid Bu-tong-pai yang berilmu tinggi.
Mendengar makian itu, mereka menjadi semakin marah.
"Lie
Tek San manusia sombong, pemberontak hina! Bu-tong-pai tak ada hubungan apa pun
dengan kedudukan kami sebagai perwira, dan Bu-tong-pai juga bukan pemberontak
macam Siauw-lim-pai!" Si kumis tebal itu menggerakkan goloknya menyerang,
diikuti oleh empat orang pembantunya yang semua masih terhitung sute (adik
seperguruan) sendiri.
Laki-laki
tinggi besar yang baru saja dengan kedua tangan kosong membasmi
serigala-serigala yang menyerbunya, kini menghadapi lima orang itu dengan
tangan kosong pula. Dengan geseran-geseran kaki yang kokoh kuat dan cepat,
tokoh Siauw-lim-pai ini mengelak dan membalas serangan dengan pukulan dan
tendangan kaki. Akan tetapi, lima orang itu dapat bergerak saling bantu dengan
rapi sekali, merupakan barisan lima orang yang saling melindungi dan saling
memperkuat serangan.
Karena
maklum bahwa lima orang pengeroyoknya ini sama sekali tak boleh disamakan
dengan segerombolan serigala yang menyerang dengan buas tanpa perhitungan hanya
mengandalkan kecepatan dan kekuatan, melainkan merupakan pengeroyok-pengeroyok
yang lihai dan berbahaya, Lie Tek San kemudian mainkan Ilmu Silat
Kong-jiu-jip-pek-to (Dengan Tangan Kosong Memasuki Barisan Seratus Golok).
Tubuhnya bergerak amat gesitnya, menyelinap di antara sambar sinar golok dan
berusaha untuk masuk ke dalam barisan dan mematahkan lingkaran yang saling
melindungi itu.
Namun, lima
orang murid Bu-tong-pai itu ternyata lihai bukan main dan betapa pun kuatnya
Lie Tek San berusaha mengacaukan rangkaian lima batang golok itu, usahanya
selalu gagal dan barisan lima golok itu menjadi semakin kuat dan berbahaya
saja. Beberapa kali hampir saja tubuh pendekar Siauw-lim-pai itu tercium golok
kalau saja ia tidak cepat melempar diri dan beberapa kali dia harus bergulingan.
Akhirnya Lie Tek San meloncat sambil menggerakkan tangan dan nampak sinar
berkilauan ketika ia telah mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang panjang.
Terdengar
bunyi berdencingan nyaring saat pedang itu bergerak menangkis golok-golok yang
datang bagaikan hujan. Nampak bunga api berpijar menyilaukan mata dan kini
perkelahian menjadi semakin seru terjadi di atas tembok yang lebar itu.
Si kumis
tebal mengeluarkan aba-aba dan kini pasukan yang tadinya hanya mengepung dan
menonton, mulai memperketat kepungan, bahkan banyak yang sudah naik ke atas
tembok dan menggunakan bermacam senjata mereka, ada tombak, golok atau pedang,
untuk mengeroyok Lie Tek San.
Pendekar
Siauw-lim-pai itu mengamuk dengan pedangnya. Namun, jumlah pengeroyok terlalu
banyak. Pasukan itu terdiri lebih dari lima puluh orang, dan merupakan pasukan
istimewa yang bertugas mengadakan pembersihan di perbatasan.
Akan tetapi
yang membuat Lie Tek San terdesak adalah Ngo-heng-tin yang dilakukan oleh
Huang-ho Ngo-liong itu. Barisan lima orang ini ganas sekali, setelah kini
dibantu oleh pasukan, gerakan mereka menjadi semakin tangkas dan kuat sehingga
dua kali Lie Tek San tercium ujung golok pada pundak dan pahanya sehingga dua
bagian tubuh itu terobek kulit dagingnya dan berdarah. Akan tetapi, biar pun
dia telah terluka, Lie Tek San masih mengamuk terus dan sedikitnya sudah ada
sepuluh orang anggota pasukan yang roboh oleh pedangnya.
Sementara
itu, Sim Houw dan Bi Lan menonton perkelahian itu dengan hati tegang. Sejak
tadi, mereka berdua mengadakan perundingan sambil mata mereka tak pernah
meninggalkan perkelahian itu.
"Tidak
semestinya kita mencampuri urusan perjuangan atau pemberontakan," kata Sim
Houw yang maklum betapa hati Bi Lan condong untuk membantu Lie Tek San.
"Sangat tidak enak jika sampai dicap pemberontak kemudian menjadi orang
buruan pemerintah. Kehidupan kita tidak akan leluasa lagi."
"Tapi...
betapa mungkin kita memeluk tangan saja melihat orang sedemikian gagahnya
terbunuh? Lihat, dia mulai terdesak, terlalu banyak lawan dan juga terlalu
banyak darah keluar dari luka di pahanya itu," Bi Lan berkata.
Sim Houw tak
dapat menjawab. Bagaimana pun juga, semua ucapan Lie Tek San yang penuh
semangat tadi telah membakar hatinya dan menyentuh perasaan halusnya. Dia dapat
melihat kebenaran dalam ucapan itu.
Memang,
Bangsa Han sedang dijajah dan dipermainkan oleh orang-orang Mancu yang
sesungguhnya adalah bangsa biadab yang datang jauh dari utara, dari luar Tembok
Besar. Andai kata semua orang Han sikapnya seperti Lie Tek San ini dan bangkit,
akan bisa apakah orang-orang Mancu itu? Perbandingan rakyat mereka mungkin satu
lawan seratus. Sayang, banyak di antara orang Han yang mabok kesenangan dan
kemuliaan, tidak segan-segan membantu orang-orang Mancu, memperkuat pemerintah
penjajah.
"Sim-ko,
lihat... dia terluka lagi. Apakah kita harus membiarkan seorang gagah terbunuh
begitu saja oleh gerombolan anjing itu?"
Sim Houw
melihat betapa tubuh Lie Tek San terhuyung karena sebatang tombak di tangan
seorang prajurit telah mengenai punggungnya. Dia masih mampu melindungi
punggung itu dengan sinkang, namun mata tombak itu sudah terlanjur melukainya
dan masuk setengah jari dalamnya. Dia membalik tubuhnya dan dengan tendangan
kilat ia merobohkan prajurit itu, mencabut tombaknya dan melontarkan tombak itu
ke depan, menyerang si kumis tebal.
"Tranggg...!"
Si kumis
tebal menangkis dan tombak itu melesat ke samping, mengenai dada seorang
prajurit sehingga prajurit itu pun roboh berkelojotan!
"Mari
kita bantu dia!" Akhirnya Sim Houw mengambil keputusan.
Sedangkan Bi
Lan yang sejak tadi sudah merasa gatal tangan akan tetapi belum mau mencampuri
perkelahian sebelum Sim Houw menyetujuinya, begitu mendengar ucapan ini
langsung saja meloncat ke depan dan melayang naik ke atas Tembok Besar. Karena
dia maklum betapa lihainya Huang-ho Ngo-liong (Lima Naga Sungai Huang-ho) yang
mengeroyok Lie Tek San, sambil meloncat dia sudah mencabut pedang Ban-tok-kiam
dan ia pun mengamuk.
Begitu
pedangnya berkelebat, empat lima batang senjata para pengeroyok patah-patah dan
kakinya yang terayun ke kanan kiri merobohkan empat lima orang pengeroyok.
Kemudian Bi Lan menyerbu lima orang pemimpin pasukan yang mulai mendesak Lie
Tek San dengan hebatnya.
"Lan-moi,
jangan bunuh orang!" Sim Houw masih mengingatkan Bi Lan.
Gadis ini
pun ingat bahwa dia memegang Ban-tok-kiam dan tidak boleh sembarangan membunuh
orang. Dan dia pun naik ke situ bukan untuk membunuh orang. Dia tidak pernah
bermusuhan dengan anak buah pasukan itu atau pun lima orang perwira yang
mengeroyok Lie Tek San. Ia naik hanya untuk menyelamatkan pendekar
Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu.
"Larikan
dia, toako, biar aku yang menahan mereka!" teriaknya dan pedangnya diputar
menyerang lima orang itu.
Huang-ho
Ngo-liong terkejut sekali melihat munculnya seorang gadis yang memutar sebatang
pedang yang mengandung hawa yang mengerikan, apa lagi melihat betapa dengan
mudahnya gadis itu merobohkan beberapa orang prajurit. Juga kemunculan gadis
ini disusul munculnya seorang laki-laki yang dengan tangan kosong merampasi
senjata para prajurit, dan merobohkan banyak prajurit hanya dengan dorongan
tangan yang nampaknya tidak menyentuh lawan! Mereka kemudian bersatu menyambut
gadis berpedang yang menyerang mereka.
“Tranggggg…!”
Terdengar
bunyi nyaring dan lima orang itu terkejut bukan main. Dua batang golok di
antara mereka patah menjadi dua, sedangkan tiga yang lain merasa betapa telapak
tangan mereka panas seperti dibakar oleh gagang golok mereka sendiri! Ketika
mereka meloncat ke belakang, Sim Houw lalu meloncat ke depan, menyambar tangan
Lie Tek San yang masih terhuyung dan agaknya nanar karena luka-lukanya.
"Lie-enghiong,
mari kita pergi saja!" Sim Houw menariknya dan membantunya meloncat turun
dari tembok.
Lie Tek San
maklum bahwa dalam keadaan luka-luka itu, melanjutkan perkelahian sama halnya
bunuh diri. Kini muncul dua orang yang menolongnya, maka dia pun tak banyak
cakap, membiarkan dirinya ditarik dan diajak lari oleh laki-laki tampan yang
tangannya lembut namun mengandung tenaga besar itu.
Sementara
itu, Bi Lan terus memutar pedangnya melindungi dari belakang. Huang-ho
Ngo-liong berteriak memberi aba-aba. Mereka sendiri pun lalu melakukan
pengejaran, namun sinar pedang Ban-tok-kiam membuat mereka bergidik dan gentar.
Sementara itu, Lie Tek San yang melihat betapa gadis itu memutar pedang yang
mengandung sinar menyilaukan dan hawa yang mengerikan, terkejut dan kagum bukan
main.
Akhirnya
lima orang Huang-ho Ngo-liong tak melanjutkan pengejarannya karena selain
mereka sendiri jeri menghadapi pedang di tangan Bi Lan, juga anak buah mereka
sudah merasa gentar dan hanya melakukan pengejaran dari jauh dengan ragu-ragu
saja.
Sementara
itu, malam telah tiba dan cuaca menjadi gelap…..
"Sebaiknya
kita berhenti dulu untuk mengobati luka-lukamu, Lie-enghiong," berkata Sim
Houw ketika mereka melihat bahwa pasukan itu tidak mengejar lagi dan mereka
sudah tiba agak jauh dari tempat itu di kaki sebuah bukit.
Mereka
berhenti dan Sim Houw cepat mengeluarkan obat luka dan mengobati luka-luka di
punggung, pundak dan paha orang gagah itu. Biar pun luka-luka itu terasa nyeri
dan perih, namun Lie Tek San sama sekali tidak mengeluh ketika Sim Houw
merawatnya. Di bawah sinar api unggun yang dibuat Bi Lan, mereka bercakap-cakap
sambil mengobati luka-luka itu.
"Siapakah
ji-wi dan bagaimana dapat mengenalku?" tanya Lie Tek San. Ia memandang
gadis dan orang muda itu bergantian dengan sinar mata kagum.
"Maafkan
kami, terus terang saja sejak engkau dikeroyok gerombolan serigala itu kami
sudah mengintaimu, Lie-enghiong. Kami sedang melakukan perjalanan dan kemalaman
di sini, lalu kami mendengar suara serigala menyalak-nyalak. Kami datang dan
melihat engkau dikeroyok. Kami tidak membantu karena engkau pasti bisa membasmi
serigala-serigala itu. Kemudian, kami melihat munculnya lima orang itu yang
menyebut namamu. Namamu sebagai seorang pejuang tokoh Siauw-lim-pai telah
sering kami dengar."
"Akan
tetapi, ji-wi (kalian berdua) memiliki ilmu silat yang amat tinggi, jauh lebih
tinggi dari pada kepandaianku, dan pedang pusaka nona ini... hemm, sungguh luar
biasa. Siapakah ji-wi?"
"Nama
saya Sim Houw..."
"Ahhh...!
Apakah pendekar yang baru muncul dengan julukan Suling Naga? Aih benar, aku
sekarang dapat melihat suling di ikat pinggangmu. Sungguh mengagumkan sekali,
Sim-taihiap yang masih muda sudah membuat nama besar di dunia kang-ouw!"
Sim Houw
tersenyum. "Lie-enghiong terlalu memuji. Usiamu mungkin hanya beberapa
tahun saja lebih tua dari pada usiaku, dan engkau sudah membuat nama besar dalam
perjuangan."
"Dan
siapakah nona yang gagah perkasa ini?" tanya Lie Tek San, girang bahwa dia
dapat berkenalan dengan seorang pendekar yang mulai terkenal dengan julukan
Suling Naga.
"Lie-enghiong,
nama saya Can Bi Lan dan saya tidaklah begitu terkenal seperti Sim-toako,"
kata Bi Lan tersenyum.
"Akan
tetapi... ilmu kepandaian nona hebat, dan terutama pedang itu. Apakah nama
pedang pusakamu itu, nona Can?"
Karena yang
dihadapinya adalah seorang pendekar dan pejuang ternama, Bi Lan tidak ragu-ragu
untuk memberi keterangan yang sebenarnya.
"Pedang
ini adalah Ban-tok-kiam..."
"Wahhh...!
Pernah aku mendengar dari para suhu di kuil Siauw-lim-si bahwa pedang Ban-tok-kiam
ialah sebuah di antara pusaka dari Istana Gurun Pasir! Benarkah pusaka ini
milik locianpwe Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir seperti yang pernah kudengar
bagai dongeng dari para suhu di kuil?" tanya Lie Tek San girang.
Bi Lan
mengangguk. "Pusaka ini milik isteri pendekar itu yang kebetulan sekali
adalah subo-ku dan beliau meminjamkan pusaka ini kepadaku. Sekarang kami sedang
menuju ke sana untuk mengembalikan pusaka ini."
Mendengar
ini, kembali jagoan Siauw-lim-pai terkejut dan girang sekali. Dia memandang
wajah gadis itu penuh kagum, kemudian menatap wajah Sim Houw dan
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya Tuhan, sungguh tidak kusangka bahwa
malam ini aku dapat bertemu dengan orang-orang muda yang sakti! Sungguh aku
merasa amat gembira dan terhormat sekali!"
"Ah,
aku hanya menjadi murid suhu dan subo dari Istana Gurun Pasir selama satu tahun
saja," kata Bi Lan merendah.
"Dan
kami yang merasa amat kagum, girang dan terhormat sudah dapat berkenalan dengan
seorang pejuang perkasa. Nama Lie Tek San telah menggetarkan kolong langit dan
kami merasa kagum bukan main," kata Sim Houw dengan suara sungguh-sungguh.
Tiba-tiba
Lie Tek San memandang tajam dan bertanya, "Benarkah Sim-taihiap kagum
terhadap para pejuang?"
"Kenapa
tidak? Bagi kami para pejuang adalah pendekar-pendekar yang menggunakan ilmunya
untuk kebaikan."
Orang gagah
itu mengerutkan alis. "Hanya sebegitu sajakah pengertian pejuang bagi
Sim-taihiap?"
Tiba-tiba
Sim Houw menarik tangan Lie Tek San. Bersama Bi Lan dia sudah mengajak orang
gagah itu melompat menjauhi api unggun, bahkan Bi Lan menggunakan kakinya
menendang tumpukan kayu terbakar itu sehingga cerai-berai dan padam.
Pada saat
mereka berlompatan itu, terdengar suara berdesing dan banyak sekali anak panah
meluncur dan menyerang ke tempat di mana mereka tadi duduk. Dan serangan anak
panah ini disusul oleh teriakan-teriakan banyak orang dan ternyata tempat itu
telah dikepung oleh pasukan pemerintah.
"Tangkap
pemberontak-pemberontak hina!" terdengar bentakan nyaring dan suara ini
penuh wibawa.
Ketika tiga
orang itu memandang, ternyata ada belasan orang perwira, yang dipimpin oleh
seorang panglima brewokan tinggi besar yang tadi mengeluarkan suara bentakan
itu, sedangkan di luar kepungan mereka terdapat pula puluhan orang pasukan yang
bersenjata lengkap!
Obor-obor
segera bernyala dan dipegang oleh banyak prajurit sehingga tempat yang
terkepung itu sekarang menjadi terang dan nampak jelas wajah-wajah tiga orang
yang dikepung itu. Dan kini Sim Houw dan Bi Lan juga dapat melihat wajah para
perwira dan panglima itu, dan mereka mengenal pula bahwa yang memimpin pasukan
ini adalah Coa-ciangkun, perwira tinggi yang pernah mereka jumpai ketika mereka
bersama para pendekar lainnya membasmi komplotan Sai-cu Lama dan Bhok Gun!
Coa-ciangkun
inilah yang dahulu memimpin pasukan pemerintah yang akan membantu Bhok Gun dan
kawan-kawannya, tetapi oleh pendekar Kao Cin Liong, bekas seorang panglima
pemerintah, Coa-ciangkun dibuat tak berdaya sehingga ia tidak berani campur
tangan dalam bentrokan antara dua kelompok kang-ouw itu. Dan kini, Coa-ciangkun
yang memimpin pasukan mengejar-ngejar Lie Tek San dan telah mengurung mereka
bertiga!
Sementara
itu, agaknya Coa-ciangkun juga mengenal Sim Houw dan Bi Lan, karena dia berkata
dengan lantang, "Ahhh, kiranya pemberontak Lie Tek San bersekutu dengan
Pendekar Suling Naga dan gadis ini... hemmm, bukankah engkau gadis yang
dikatakan sumoi dari nona Ciong Siu Kwi, murid dari Sam Kwi, yang telah
berkhianat itu? Bagus! Kiranya sekarang para pendekar dan juga murid datuk
sesat telah menjadi kaki tangan pemberontak. Tangkap mereka, hidup atau
mati!" bentak Coa-ciangkun.
Dan
pengepungan itu diperketat. Sim Houw dan Bi Lan terkejut dan hendak membantah
bahwa mereka bukanlah pemberontak. Namun mereka tahu bahwa akan sia-sia saja
mereka membantah, dan pula, perlu apa membantah terhadap perwira ini?
Kini nampak
oleh mereka betapa para perwira dan prajurit Bangsa Han yang membantu kerajaan
Mancu memang merupakan lawan yang cukup tangguh. Juga prajurit yang mengepung
tempat itu amat banyak.
Hebat sekali
sepak terjang Lie Tek San. Biar pun dia sudah terluka di tiga tempat dan baru
saja diobati, sekarang dia mengamuk seperti harimau terluka. Berkali-kali
mulutnya mengeluarkan teriakan-teriakan dahsyat, disambung kata-kata makian.
"Basmi
semua anjing penjilat Mancu!"
Terseret
oleh sepak terjang Lie Tek San yang penuh semangat, Sim Houw dan Bi Lan juga
mengamuk. Namun dua orang ini masih selalu berjaga-jaga agar jangan sampai
mereka membunuh lawan. Biar pun lawan amat banyak, namun berkat ilmu kepandaian
mereka yang tinggi, terutama sekali Sim Houw, mereka dapat merobohkan lawan
tanpa membunuh mereka, hanya melukai saja.
Para
prajurit gentar sekali menghadapi sinar pedang Ban-tok-kiam dan sinar senjata
pedang berbentuk suling Liong-siauw-kiam. Kalau sinar pedang Ban-tok-kiam
sangat mengerikan karena mengandung hawa yang kadang-kadang panas dan
kadang-kadang dingin, maka sinar pedang Suling Naga itu pun membuat mereka
gentar karena setiap kali bertemu dengan senjata lawan, seperti halnya Ban-tok
kiam, tentu senjata lawan patah atau terlempar!
Melihat
kehebatan tiga orang itu yang membuat kepungan anak buahnya kocar-kacir, bahkan
para prajurit menjadi gentar dan tidak ada yang berani mendekat, Coa-ciangkun
terkejut bukan main. Jika saja dia tahu bahwa Lie Tek San sekarang dibantu dua
orang pendekar sakti itu, tentu tadi dia mengerahkan sedikitnya dua ratus orang
prajurit!
Kini, untuk
minta bala bantuan sudah tidak keburu lagi, maka dia pun tidak mendesak anak
buahnya ketika belasan orang pembantunya sudah roboh terluka dan tiga orang
yang dikepung itu kini melarikan diri ke dalam kegelapan malam. Dia hanya
mencatat dalam laporannya bahwa Sim Houw dan Can Bi Lan, dua nama yang sudah
dikenalnya ketika terjadi bentrokan antara para pendekar dengan para pembantu
Hou Seng dulu, kini telah menjadi pemberontak, bersekutu dengan Lie Tek San!
Sementara
itu, Lie Tek San yang mengenal jalan mengajak dua orang pendekar yang telah
menyelamatkannya itu untuk melarikan diri ke sebuah perkampungan besar yang
berada di balik bukit. Hari telah pagi ketika mereka tiba di perkampungan itu
dan dari cara penduduk perkampungan itu berpakaian, tahulah Sim Houw bahwa
tempat itu ialah perkampungan suku Bangsa Hui!
Sebagian
besar kaum pria suku Bangsa Hui ini mengenakan sorban putih di kepalanya dan
semua orang Hui, hanya sebagian kecil saja yang tidak beragama Islam. Mereka
adalah kelompok suku bangsa yang bahasanya hanya sedikit berbeda dengan Bangsa
Han, bahkan segalanya tidak berbeda dengan Bangsa Han, kecuali agama mereka.
Suku Bangsa
Hui tersebar di daerah utara yang amat luas, sampai ke sudut-sudut barat utara
Propinsi Sin-kiang dan sudut timur utara Propinsi Mongol dan Mancuria. Suku
Bangsa Hui terkenal sebagai peternak-peternak, pejagal-pejagal dan terkenal
pandai pula membuat masakan yang lezat.
Akan tetapi
di samping itu, juga mereka terkenal sebagai pejuang-pejuang yang gagah dan
gigih. Di mana-mana nampak mereka itu bangkit menentang penjajah Mancu dan
banyak pula yang secara terbuka membantu perjuangan Bangsa Han dalam usaha
mengusir penjajah Mancu.
Kedatangan
Lie Tek San yang menjadi sahabat para penduduk perkampungan Hui itu disambut
meriah. Setelah diperkenalkan, Sim Houw dan Bi Lan juga disambut dengan penuh
kehormatan. Mereka bertiga dianggap sebagai tamu-tamu agung dan menerima
hidangan yang serbaneka dan lezat dan terutama sekali daging domba.
Diam-diam
Sim Houw dan Bi Lan kagum sekali melihat mereka. Mereka adalah suku bangsa yang
ramah, yang taat beragama, akan tetapi berjiwa patriotik dan gagah, walau pun
dalam hanyak hal, terutama sekali kebudayaan dan pendidikan, mereka masih agak
terbelakang. Kehidupan mereka sebagian besar sebagai kelompok nomad yang suka
berpindah-pindah mencari daerah yang subur.
Mereka
bertiga lalu disambut oleh para pimpinan suku bangsa Hui dan Lie Tek San bercakap-cakap
dengan mereka, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Sim Houw dan Bi Lan.
Yang dibicarakan adalah mengenai perjuangan dan dalam percakapan ini sepasang
pendekar itu mendengar banyak sekali hal yang sebelumnya tidak pernah mereka
ketahui.
Tentang
kegagahan para pejuang, tentang perjuangan mereka yang mulia. Jika tadinya Sim
Houw dan Bi Lan menganggap para pejuang tiada bedanya dengan para pendekar,
kini setelah mendengar keterangan Lie Tek San, mereka dapat melihat betapa
terdapat perbedaan besar sekali.
"Perjuangan
para pendekar dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, juga dalam membela kaum
lemah tertindas dan menentang kejahatan, hanya memiliki daerah yang amat
sempit. Para pendekar hanya mengurus masalah perorangan yang tidak begitu besar
artinya bagi bangsa dan tidak mungkin para pendekar menyelesaikan masalah
perorangan yang teramat banyak. Permusuhan dan dendam pribadi terjadi di
mana-mana. Biar pun para pendekar turun tangan mempertahankan kebenaran dan
keadilan akan tetapi kejahatan tidak akan pernah berakhir. Keadaan kacau-balau
dan munculnya kejahatan itu terjadi karena keadaan, maka yang perlu dirubah
adalah keadaan itu sendiri. Perjuangan para pendekar hanya seperti usaha
mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri, tapi sebaliknya usaha kami para pejuang
adalah melenyapkan penyakitnya!" demikian antara lain Lie Tek San berkata
penuh semangat.
Para
pemimpin suku Bangsa Hui mengangguk-angguk mengerti. Mereka memandang kepada
Lie Tek San penuh kagum.
Tetapi Sim
Houw, dan terutama sekali Bi Lan, merasa bigung. "Lie-enghiong, apakah
bedanya antara keduanya itu?" tanya Bi Lan penasaran karena mendengar
betapa tindakan para pendekar tidak dihargai seperti tindakan para pejuang.
Lie Tek San
tersenyum. "Besar sekali bedanya. Keadaan masyarakat bagaikan orang sakit
yang tentu saja menderita nyeri karena penyakitnya. Kalau hanya rasa nyeri itu
saja yang dilenyapkan, tanpa mengobati penyakitnya, maka rasa nyeri itu hanya
akan lenyap untuk sementara saja dan akan muncul kembali. Sebaliknya, kalau penyakitnya
yang diobati, begitu penyakitnya sembuh, otomatis rasa nyeri itu pun akan
lenyap. Bukankah demikian?"
"Apa
hubungannya urusan penyakit dengan urusan sepak terjang para pendekar?" Bi
Lan mendesak karena masih belum mengerti.
"Can-lihiap
(pendekar wanita Can), biar pun engkau memiliki ilmu kepandaian tinggi, agaknya
belum begitu luas pengetahuanmu sehingga belum dapat menangkap apa yang
kumaksudkan. Para pendekar bertindak menolong sesama manusia, berarti hanya
mengurus masalah perorangan yang kecil saja dan selama hidupnya takkan pernah
dia mampu menyelamatkan seluruh manusia dari pada tekanan kejahatan. Akan
tetapi para pejuang bertindak menolong negara, menolong bangsa dan rakyat pada
umumnya. Rakyat kita terjajah, tertindas dan hidup dalam kemelaratan dan
kesengsaraan karena diperas dan ditindas oleh penjajah, dan dari keadaan inilah
timbul banyak perbuatan yang menyeleweng dari kebenaran. Kaum pejuang bergerak
untuk menyembuhkan penyakit ini, penyakit tertindas penjajah. Sekali penjajah
lenyap dan rakyat kita hidup merdeka, keadaan menjadi adil dan makmur, maka
kejahatan pun akan berkurang atau lenyap dengan sendirinya. Kalau para pendekar
hanya menolong perorangan, maka para pejuang menolong seluruh rakyat dan
bangsa, bahkan menolong pula anak cucu bangsa kita. Mengertikah engkau
sekarang, lihiap?"
Bi Lan
menjadi bengong. Baru sekarang inilah dia mendengar tentang persoalan yang
begitu besar, menyangkut seluruh rakyat, menyangkut bangsa. Ia hanya
mengangguk, pada hal masih banyak hal yang meragukan hatinya karena belum dapat
dimengertinya benar.
"Karena
itu, banyak sekali para pendekar yang dianggap sebagai pendekar besar dan
budiman, tapi sebenarnya mereka itu kosong, bahkan banyak pula yang menyeleweng
tanpa mereka sadari karena mereka sama sekali tak pernah memperhatikan tentang
kesengsaraan seluruh rakyat, hanya memperhatikan kesengsaraan perorangan bahkan
yang tidak ada artinya."
Sim Houw
mengerutkan alisnya, merasa tak setuju mendengar orang gagah ini mencela para
pendekar besar yang budiman. "Maaf, Lie-enghiong, setahuku, para locianpwe
yang gagah perkasa selalu hidup melalui jalan kebenaran. Siapa yang tidak
mendengar akan sepak terjang yang gagah dari keluarga Pulau Es misalnya, atau
keluarga Istana Gurun Pasir, juga keluarga besar Siauw-lim-pai dan
lain-lainnya?"
"Keluarga
Pulau Es?" Lie Tek San menarik napas panjang dan mengerutkan alisnya.
"Siapa yang tidak tahu bahwa mereka adalah keluarga para pendekar yang
gagah perkasa dan sakti? Tetapi semua orang pun tahu bahwa mereka itu condong
untuk memihak penjajah Mancu! Bahkan di dalam darah mereka terdapat darah
keluarga kerajaan Mancu! Mana bisa mereka dibandingkan dengan para pejuang yang
setiap saat siap mengorbankan nyawa untuk negara dan bangsa? Tidak, bagaimana
pun juga, aku tidak dapat mengagumi keluarga Pulau Es! Siapa tidak tahu betapa
isteri pertama dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es adalah seorang puteri
Mancu, bahkan seorang panglima terkenal yaitu Puteri Nirahai, dan puteri mereka
pun menjadi panglima terkenal yaitu Puteri Milana? Dan isterinya yang ke dua,
yaitu Nenek Lulu juga seorang berdarah Mancu! Keturunan mereka memiliki darah
Mancu dan betapa pun gagahnya mereka itu, tentu mereka setia kepada Mancu dan
membela penjajah yang menindas rakyat kita. Bangsa Han dari suku-suku bangsa
lainnya!" Lie Tek San bicara penuh semangat.
Sim Houw dan
Bi Lan mendengarkan dengan mata terbelalak. Baru sekarang mereka mendengar ada
orang gagah yang terang-terangan berani mencela keluarga Pulau Es!
"Bagaimana
dengan keluarga Istana Gurun Pasir?" tanya Bi Lan, suaranya menantang,
ingin melihat apakah pejuang itu berani mencela keluarga kedua gurunya.
"Hemmm,
tidak banyak bedanya. Bukankah putera tunggal mereka, pendekar Kao Cin Liong,
pernah menjadi seorang panglima kerajaan Mancu?"
"Akan
tetapi sekarang dia sudah mengundurkan diri!" Bi Lan membantah.
Lie Tek San
mengangguk-angguk dan tersenyum. "Maaf, lihiap, bukan maksudku untuk
secara membabi-buta mencela para pendekar. Mereka adalah orang-orang sakti yang
mengagumkan, tetapi sayang bahwa mereka itu hanya tertarik oleh urusan pribadi.
Jika saja orang-orang sakti seperti mereka itu memikirkan nasib rakyat dan
bersama-sama maju menentang penjajah, tentu pemerintah penjajah akan segera
dapat dihancurkan dan rakyat kita terbebas dari pada cengkeramannya! Memang benar
bahwa akhirnya pendekar Kao Cin Liong mengundurkan diri, tetapi kapankah
keluarga itu menentang penjajah? Tidak pernah! Bahkan mereka itu, para pendekar
yang gagah perkasa itu, baru-baru ini melakukan suatu kesalahan besar sekali
ketika mereka membasmi kaki tangan pembesar Hou Seng!"
"Ahhh...!?!"
Sim Houw dan Bi Lan terkejut dan berbareng mereka mengeluarkan seruan kaget
sambil menatap wajah pejuang itu. Ada pun para pimpinan suku Bangsa Hui sejak
tadi hanya mendengarkan saja dan kadang-kadang mengangguk-angguk membenarkan
ucapan Lie Tek San.
"Kebetulan
sekali kami berdua juga membantu para pendekar membasmi kaki tangan Hou Seng
yang amat jahat itu! Kenapa perbuatan itu dianggap suatu kesalahan besar?"
Kembali
pejuang itu menarik napas panjang. Mencela para pendekar bukan merupakan tugas
yang menyenangkan, tetapi harus dia lakukan untuk membangkitkan semangat mereka
yang dianggapnya melempem. "Dipandang secara umum, memang perbuatan
menentang dan membasmi kaki tangan Hou Seng itu benar dan gagah, akan tetapi
kalau dikaitkan dengan kepentingan perjuangan rakyat yang hendak membebaskan
diri dari cengkeraman penjajah, maka perbuatan para pendekar itu sungguh
merupakan suatu kesalahan besar yang amat merugikan perjuangan."
"Ehh,
bagaimana mungkin bisa demikian?" Bi Lan penasaran.
"Lihiap,
kami sudah menyelidiki keadaan Hou Seng. Dia seorang pembesar yang korup dan
berambisi, dia memelihara jagoan-jagoan yang terdiri dari datuk-datuk sesat
yang lihai. Dia menyuruh jagoan-jagoannya untuk menculik dan membunuh para
pembesar yang menentangnya. Semua perbuatannya sungguh amat menguntungkan
perjuangan rakyat. Bukankah dengan demikian kedudukan kerajaan Mancu menjadi
makin lemah? Hou Seng merupakan penyakit yang menggerogoti dari dalam,
melemahkan pemerintah penjajah. Walau pun aku pribadi amat membencinya, akan
tetapi perbuatannya itu justru menguntungkan kita, merusak pihak lawan.
Seyogianya dia itu dibiarkan saja, biar dia merusak kedudukan kerajaan
penjajah, biar terjadi saling hantam di kalangan mereka sendiri. Akan tetapi,
para pendekar muncul, membasmi kaki tangan Hou Seng, dan keadaan di istana
kerajaan menjadi aman dan bersih kembali, yang berarti memperkuat kerajaan dan
kami para pejuang yang rugi. Di dalam diri Hou Seng kami seolah-olah menemukan
pembantu yang amat berharga. Mengertikah sekarang ji-wi yang gagah?"
Sim Houw dan
Bi Lan saling pandang dan memang mereka mulai mengerti. Kiranya perjuangan
membutuhkan pemikiran yang mendalam. Perjuangan harus menyingkirkan perasaan
dan urusan pribadi dan semua harus ditujukan demi kepentingan perjuangan rakyat
itu sendiri. Betapa besar dan mulianya! Memang jauh lebih besar dari pada sikap
dan tindakan para pendekar yang hanya memikirkan nasib orang yang dihadapinya
dan ditolongnya. Betapa kecil bantuan kepada perorangan ini kalau dibandingkan
dengan perjuangan yang mengingat akan nasib rakyat jelata!
Akan tetapi,
Sim Houw adalah seorang pendekar yang luas pengetahuannya dan dalam
pemikirannya sudah banyak pula dia membaca dan merenungkan permasalahan dunia
dan kehidupan manusia pada umumya. Menghadapi perbandingan antara pejuang dan
pendekar, dia melihat perbedaan lainnya yang membuat para pendekar nampak lebih
unggul baginya. Dia pun melihat betapa Bi Lan amat tertarik dan dia tidak akan
merasa heran kalau gadis yang masih muda itu akan lebih mudah terseret dan
terjun dalam perjuangan dan untuk menyadarkan gadis itu, dia harus mengemukakan
pendapatnya sekarang juga.
"Akan
tetapi maafkan saya, Lie-enghiong. Saya juga melihat kesalahan besar sekali
dilakukan orang dalam perjuangan, yang membuat tindakan pejuang-pejuang menjadi
tidak murni lagi."
Lie Tek San
memandang tajam, tetapi mulutnya tersenyum tanda kelapangan hatinya.
"Tidak ada gading yang tidak retak, tidak ada manusia tanpa cacat,
Sim-taihiap. Akan tetapi apakah kesalahan itu?"
"Kalau
sebagian besar perbuatan para pendekar menentang kejahatan dan menolong
orang-orang lemah tertindas timbul dari dorongan hati pada saat dia melihat
ketidak adilan itu, pada saat itu pendekar bertindak memberantas kejahatan
tanpa pamrih. Sebaliknya tindakan para pejuang merupakan tindakan yang telah
direncanakan dan diatur untuk jangka waktu yang lama dan panjang. Dan biasanya,
di dalam tindakan berencana ini, terdapat pamrih untuk diri sendiri walau pun
nampaknya mereka berjuang untuk membela rakyat. Bukankah perjuangan itu
bermaksud mengalahkan pemerintah penjajah yang lama dan bukankah perjuangan itu
bercita-cita untuk menang dan kalau sudah menang, para pejuang tentu saja
memperoleh kekuasaan dan kedudukan? Nah biasanya, walau pun ketika pejuang-pejuang
itu masih melakukan perjuangan, cita-cita mereka murni dan ditujukan untuk
membebaskan rakyat jelata dari penindasan. Tetapi, kalau sudah memperoleh
kemenangan dan para pejuang itu memperoleh kedudukan dan kekuasaan, mereka
menjadi lupa diri. Mereka akan mabok kemenangan, mabok kekuasaan dan hanya
menjejali diri sendiri dengan kesenangan yang mereka anggap sebagai hasil dan
upah dari perjuangan mereka."
Para
pimpinan suku Bangsa Hui saling pandang, dan Lie Tek San mengangguk-angguk dan
menarik napas panjang, wajahnya nampak berduka dan khawatir. "Ah, engkau
telah membuka dan menelanjangi kekotoran manusia dalam perjuangan. Sim taihiap!
Akan tetapi tak dapat disangkal akan kebenaran ucapanmu itu. Memang terdapat
perbedaan antara kemenangan pendekar dan kemenangan pejuang. Kemenangan
pendekar dari musuhnya tidak mendatangkan suatu keuntungan, maka tidak akan
menyelewengkan hati pendekar itu, dan sebaliknya kemenangan pejuang memang
dapat mendatangkan pahala besar yang mudah menyelewengkan hati manusia yang
lemah. Akan tetapi, kiranya tak semua manusia seperti itu. Dan kita akan
menjadi manusia yang berbahagia kalau teringat akan kelemahan itu sehingga
penyakit itu tidak akan menghinggapi batin kita. Mudah-mudahan saja kita tidak
akan seperti mereka yang kelak dimabok oleh kemenangan dan kekuasaan."
Setelah
bercakap-cakap dan berjanji kepada Lie Tek San bahwa mereka akan berpikir
tentang perjuangan setelah menyelesaikan urusan pribadi mereka, dan setelah
mereka mendapat petunjuk tentang letak Istana Gurun Pasir yang mereka cari, Sim
Houw dan Bi Lan meninggalkan perkampungan suku Bangsa Hui.
**************
Istana Gurun
Pasir terletak di tengah-tengah gurun pasir, di suatu daerah yang aneh karena
di tengah-tengah gurun pasir yang luas itu terdapat sebidang tanah yang subur!
Istana tua itu terpencil jauh dari pedusunan. Meski mereka lihai, Sim Houw dan
Bi Lan tentu akan mengalami kesukaran menemukan tempat ini sungguh pun Bi Lan
pernah mendapatkan keterangan yang cukup jelas dari subo-nya. Untung saja
mereka sudah memperoleh petunjuk dari suku Bangsa Hui.
Suami isteri
sakti yang tinggal di istana tua dan kuno itu kini sudah menjadi seorang kakek
dan nenek yang usianya sudah lanjut. Kakek Kao Kok Cu yang namanya pernah
menggemparkan dunia persilatan sebagai Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, kini
telah menjadi seorang kakek yang usianya hampir delapan puluh tahun. Walau pun
dia masih nampak gagah dan sehat, namun dia sudah jarang sekali keluar dari
istana tua itu, kecuali untuk keluar ke kebun merawat tanaman sayuran sambil
menikmati hawa segar dan sinar matahari yang menyehatkan. Isterinya yang
dahulunya merupakan seorang pendekar wanita yang lihai, kini pun sudah menjadi
seorang nenek berusia kurang lebih tujuh puluh lima tahun.
Mereka
berdua hidup damai di tempat terpencil dan sunyi itu. Masa gemilang kehidupan
mereka telah lalu. Dulu mereka adalah sepasang suami isteri yang gagah perkasa
dan disegani kawan ditakuti lawan, akan tetapi sekarang mereka hanya sepasang
kakek dan nenek yang sudah menjauhkan diri dari keramaian dunia, makin hari
semakin lemah dan tua dimakan usia dari dalam.
Yang
menemani mereka hanyalah sepasang suami isteri berusia empat puluh tahun lebih
dari suku bangsa Mongol peranakan Han, yang menjadi pelayan dan membantu
pekerjaan di kebun dan di rumah. Tanah di daerah itu memang subur, bahkan
terdapat sumber air sehingga kehidupan empat orang ini cukup makan dari
tumbuh-tumbuhan yang mereka tanam sendiri. Untuk keperluan barang lain, mereka
dapat memperoleh dari pedagang-pedagang keliling di balik bukit, atau bertukar
barang dengan penghuni dusun di balik bukit.
Agaknya
suami isteri tua renta itu memang hanya menanti saat panggilan Tuhan saja dan
mereka memilih tempat sunyi ini dari pada kota yang ramai. Berkali-kali putera
tunggal mereka, Kao Cin Liong minta agar ayah dan ibu ini suka ikut tinggal
bersama keluarganya di kota, akan tetapi kakek dan nenek itu tidak mau, sudah
terlanjur betah tinggal di tempat yang sunyi itu. Meski keduanya sudah tua,
untuk menjaga kesehatan mereka tidak pernah lupa untuk tetap melatih otot-otot
tubuh mereka di samping duduk bersemedhi untuk mempersiapkan diri menghadapi
kehidupan lain di alam baka.
*********
Ketika Sim
Houw dan Bi Lan tiba di puncak bukit dan melihat istana tua itu di kejauhan, di
tengah-tengah gurun pasir, mereka memandang kagum bukan main. Seperti dalam
dongeng saja. Sebuah istana yang dari jauh nampak indah sekali, berdiri megah
di tengah-tengah padang pasir yang luas dan mati. Dan di sekitar istana itu
nampak nyata tumbuh-tumbuhan yang segar dan kehijauan. Benar-benar
mentakjubkan.
"Mari
kita cepat ke sana!" Bi Lan berteriak girang.
Gadis ini
membayangkan bahwa ia akan segera bertemu dengan kakek dan nenek yang telah
menjadi guru-gurunya, dan yang telah menyelamatkannya dari maut ketika dirinya
keracunan oleh ilmu-ilmu yang sengaja diajarkan secara keliru dan menyeleweng
oleh Bi-kwi, suci-nya.
Sim Houw
tersenyum, maklum akan ketegangan dan kegembiraan hati gadis itu. Dia sendiri
merasa tegang, akan tetapi bukan gembira melainkan khawatir. Istana kuno itu
demikian megah dan nama besar suami isteri sakti itu membuat dia merasa
seolah-olah kedatangannya akan merupakan gangguan terhadap kehidupan mereka
yang tenteram seperti kehidupan sepasang dewa.
Dia khawatir
kalau-kalau Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya akan merasa terganggu
oleh kunjungannya dan dia merasa terasing. Tapi dia menghibur diri sendiri.
Bagaimana pun juga, kunjungannya ini hanya untuk mengantar Bi Lan, dan bukankah
Bi Lan merupakan murid dari mereka?
Saking
gembiranya dan besar keinginannya untuk segera dapat bertemu dengan suhu dan
subo-nya, Bi Lan mengerahkan tenaganya dan berlari cepat menuju ke istana itu,
menuruni bukit. Kedua kakinya bergerak cepat ketika berlari di atas pasir dan
Sim Houw mengikutinya sambil tersenyum, terbawa oleh kegembiraan Bi Lan.
Sekejap saja Bi Lan sudah tiba di depan istana, di dalam pekarangan depan yang
penuh dengan tanaman bunga beraneka ragam dan warna.
Seorang
laki-laki bangsa Mongol dengan wajah dingin sedang mencangkul, membuang
rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar bunga-bunga itu. Laki-laki itu adalah
pelayan di istana itu dan dia sama sekali tidak menengok ketika Sim Houw dan Bi
Lan memasuki pekarangan. Wajahnya tetap dingin bagaikan arca, sehingga Bi Lan yang
tadinya ingin menegurnya dan bertanya, tak jadi membuka mulut, hanya memandang
dengan penuh harapan ke arah pintu depan istana itu yang nampak terbuka
sebagian.
Sinar
matanya berseri gembira ketika yang diharapkannya muncul. Seorang kakek dan
seorang nenek, keduanya sudah sangat tua akan tetapi wajah mereka masih nampak
segar dan tubuh mereka masih lurus, muncul dari dalam pintu, melangkah ke luar
dan berdiri di serambi.
"Suhu!
Subo...!" Bi Lan berseru dan cepat ia lari naik ke atas serambi dan
menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek dan nenek itu.
Sim Houw
melihat betapa kakek dan nenek itu berdiri tegak dengan sikap agung dan
berwibawa, maka dia pun cepat mengikuti Bi Lan dan menjatuhkan diri berlutut
pula di depan mereka.
"Suhu
dan subo, teecu datang berkunjung," berkata Bi Lan dengan suara mengandung
kegembiraan dan keharuan. "Suhu dan subo selama ini dalam sehat saja,
bukan?"
Kakek dan
nenek itu diam saja. Sampai beberapa lamanya mereka hanya mengamati Bi Lan dan
Sim Houw dengan penuh perhatian. Akhirnya terdengar juga nenek Wan Ceng
berkata, suaranya lembut akan tetapi dingin dan tidak terkandung kegembiraan
seperti yang diharapkan Bi Lan.
"Bi
Lan, keluarkan Ban-tok-kiam dan berikan kepadaku."
Diam-diam Bi
Lan terkejut bukan main. Dulu biasanya sikap subo-nya terhadap dirinya amat
ramah dan manis, bahkan terkandung rasa sayang di dalam kata-katanya kalau
bicara kepadanya. Ia masih ingat benar. Akan tetapi kenapa sekarang di dalam
suara subo-nya terkandung nada yang dingin dan seperti orang marah. Akan tetapi
ia tidak membantah.
"Baik,
subo."
Dikeluarkannya
Ban-tok-kiam dari dalam buntalan pakaiannya. Dengan kedua tangan, diserahkannya
pedang pusaka Ban-tok-kiam itu kepada subo-nya. Ketika melakukan ini, ia
menengadah dan memandang wajah subo-nya penuh perhatian. Kembali ia terkejut.
Wajah subo-nya itu kelihatan tidak senang! Juga wajah suhu-nya yang biasanya
penuh kesabaran dan kecerahan agak muram.
Tanpa
memandang lagi kepada muridnya, nenek Wan Ceng mencabut Ban-tok-kiam dari
sarungnya, kemudian mendekatkan pedang itu kepada hidungnya. Ia mengerutkan
alisnya dan berkata dengan galak.
"Hemm,
Ban-tok-kiam ternoda darah yang masih baru! Can Bi Lan, darah siapa yang
menodai Ban-tok-kiam dan kenapa engkau menggunakannya untuk membunuh
orang?"
Gadis itu
terkejut dan cepat memberi hormat. "Harap subo sudi mengampuni teecu.
Sesungguhnya, belum lama ini teecu mempergunakan Ban-tok-kiam dalam
perkelahian. Teecu terpaksa mempergunakannya karena lawan berjumlah banyak dan
cukup kuat."
"Hemm,
masih ingatkah engkau apa pesanku dahulu ketika meminjamkan Ban-tok-kiam ini
kepadamu?" kembali suara nenek itu terdengar melengking tinggi tanda
kemarahan hatinya.
"Teecu
masih ingat, subo," kata Bi Lan, jantungnya berdebar tegang dan merasa
tidak enak, tidak mengira bahwa kunjungannya diterima dengan kemarahan oleh
suhu dan subo-nya, tidak seperti yang dibayangkannya semula, yaitu melihat suhu
dan subo-nya menerimanya dengan gembira. "Subo dahulu memesan agar pedang
pusaka itu teecu pergunakan untuk menjaga diri dan hanya mempergunakan jika
keadaan terdesak dan teecu berada dalam bahaya."
"Hemm,
bagus kalau kau masih ingat. Apakah saat engkau menggunakan Ban-tok-kiam
baru-baru ini, engkau juga dalam ancaman bahaya?"
Ditanya
demikian, Bi Lan menjadi bingung. Sejenak ia melirik ke arah Sim Houw yang juga
menundukkan muka dengan hati merasa tidak enak.
"Maaf,
subo. Teecu tidak terancam bahaya, akan tetapi ada orang lain yang terancam
bahaya dan teecu harus menolongnya. Dia dikepung banyak anak buah pasukan yang
dipimpin oleh perwira-perwira yang lihai. Akan tetapi teecu berani bersumpah
bahwa Ban-tok-kiam tidak teecu pergunakan untuk membunuh, hanya melukai ringan
saja..."
"Cukup!"
Nenek Wan Ceng membentak. "Walau pun hanya luka sedikit, kalau terkena
Ban-tok-kiam, tanpa kau beri obat kau kira mereka itu akan dapat hidup?"
Dengan penuh
semangat karena mengharapkan supaya sekali ini dia dibenarkan kedua gurunya, Bi
Lan berkata, "Dia adalah seorang pendekar perkasa, seorang pejuang yang
gagah berani bernama Lie Tek San. Waktu itu teecu melihat dia sedang dikeroyok
di dekat Tembok Besar, maka teecu turun tangan membantunya."
"Lie
Tek San pemberontak dari Siauw-lim-pai itu?" tanya Kao Kok Cu.
"Benar,
suhu!" kata Bi Lan gembira karena gurunya ternyata juga mengenal nama
besar pejuang itu.
"Hemm,
kiranya bocah ini malah sudah membantu pemberontak!" Tiba-tiba nenek Wan
Ceng berseru marah, mengejutkan Bi Lan dan Sim Houw. "Dan orang muda ini
tentulah yang bernama Sim Houw dan berjuluk Pendekar Suling Naga.
Benarkah?"
Sim Houw
terkejut dan cepat memberi hormat, lalu memandang wajah nenek itu.
"Benar
sekali, locianpwe, saya bernama Sim Houw..."
"Dan
berjuluk Pendekar Suling Naga?" nenek itu menyambung.
"Hal
itu adalah karena saya suka mempergunakan senjata Pedang Suling Naga, maka
orang-orang menyebut saya demikian," Sim Houw mengaku.
"Bi
Lan, semenjak kita saling berpisah, kami banyak mendengar hal-hal buruk tentang
dirimu! Dan sekarang aku melihat kenyataannya sendiri bahwa bukan saja engkau
telah meninggalkan kesusilaan, namun juga engkau sudah menggunakan Ban-tok-kiam
untuk membunuh banyak orang, dan engkau bahkan telah menjadi seorang
pemberontak."
"Subo...!"
Bi Lan berseru kaget.
"Diam!"
bentak nenek Wan Ceng, kini tidak lagi menyembunyikan kemarahannya. "Kami
dahulu telah keliru sangka terhadap dirimu, sehingga bersusah payah
menyembuhkan dan mendidikmu. Kiranya engkau masih tetap menjadi murid yang baik
dari Sam Kwi, tindakanmu memang seperti golongan hitam. Engkau membantu suci-mu
yang jahat itu, bahkan membantunya berhadapan dengan keluarga Pulau Es yang
gagah perkasa! Sungguh kami merasa ikut malu bukan main. Nah, katakan, tidak
benarkah engkau dan Pendekar Suling Naga ini telah membantu suci-mu yang
berjuluk Bi-kwi itu melakukan kejahatan dan melawan keluarga Pulau Es?
Jawab!"
"Teecu
memang membantu suci Bi-kwi, subo, akan tetapi... teecu membantunya hanya
karena suci sekarang sudah sadar dan menjadi orang baik. Teecu bukan membantu
ia melakukan kejahatan, melainkan melindunginya dari ancaman. Teecu sama sekali
tidak menggunakan Ban-tok-kiam untuk kejadian itu..."
"Hemmm,
karena keteledoranmu menjaga Ban-tok-kiam, pedang pusaka ini terjatuh ke tangan
Sai-cu Lama sehingga Teng Siang In menjadi korban oleh Ban-tok-kiam! Bi Lan,
sungguh aku kecewa dan menyesal sekali telah mengambilmu sebagai murid. Maka,
sekarang engkau sudah datang dan membawa Ban-tok-kiam yang sudah ternoda, aku
akan mencabut kepandaian yang pernah kuberikan kepadamu. Bersiaplah
engkau!"
Nenek itu
lalu menggerakkan tangannya untuk menotok ke arah pundak Bi Lan. Totokan itu
mengarah jalan darah pusat di dekat leher dan kalau terkena tentu gadis itu
akan menjadi lumpuh dan kehilangan seluruh tenaga dalamnya, bahkan kemungkinan
besar membahayakan keselamatan nyawanya.
"Dukkk...!"
Totokan
nenek itu yang tidak berani dielakkan atau ditangkis oleh Bi Lan, kini
tertangkis oleh tangan Sim Houw. Dia tadi terkejut sekali dan melupakan
segalanya, menangkis totokan maut itu untuk melindungi Bi Lan.
Nenek Wan
Ceng melangkah mundur, matanya mencorong ditujukan kepada Sim Houw yang masih
berlutut. Tangkisan tadi menyadarkan nenek Wan Ceng betapa kuat tenaga sinkang
yang dipergunakan pemuda itu untuk menangkisnya tadi. Ia menjadi marah, merasa
ditantang.
"Sim
Houw, Pendekar Suling Naga, berani engkau mencampuri urusan antara aku dan
muridku sendiri. Apakah engkau menantangku?"
"Maaf,
locianpwe, saya masih belum begitu gila untuk berani menantang locianpwe. Akan
tetapi, kalau locianpwe bersikeras untuk menghukumnya, biarlah saya saja yang
mewakilinya. Hukumlah saya, locianpwe, karena selama ini dia hanya mengikuti
jejak saya. Sayalah yang bertanggung jawab sebab sayalah yang bersalah.
Locianpwe boleh menghukum atau membunuh saya, akan tetapi mohon bebaskan
Lan-moi."
Sikap dan
suara Sim Houw demikian tegas dan mantap sehingga nenek itu terbelalak tidak
percaya.
"Engkau
menyerahkan diri untuk menggantikan Bi Lan, dan engkau tak akan melawan?"
tanyanya heran.
"Saya
bersumpah tidak akan melawan. Hukumlah saya sebagai pengganti adik Bi
Lan."
"Hemm,
kalau begitu agaknya memang benar engkaulah yang menjadi biang keladinya
sehingga murid kami menjadi jahat dan menyeleweng. Nah, terimalah
hukumannya!"
Akan tetapi
sebelum nenek Wan Ceng melancarkan pukulan yang lebih hebat dari pada tadi,
tangannya telah disentuh suaminya. "Perlahan dulu, aku ingin bicara
dengannya," kata kakek Kao Kok Cu yang lengan kirinya buntung itu.
Wan Ceng
memandang heran. Biasanya, suaminya sudah tidak mau peduli lagi dengan semua
urusan. Jika sekarang dia mencampuri, itu berarti bahwa suaminya sebenarnya
merasa sayang kepada Bi Lan, murid mereka yang hanya setahun berguru kepada
mereka itu. Maka ia pun melangkah mundur, membiarkan suaminya yang agaknya akan
menghadapi sendiri dua orang muda itu.
Kao Kok Cu
melangkah perlahan ke depan. "Orang muda, bangkitlah, aku ingin bicara
denganmu," katanya lirih, namun suaranya penuh wibawa yang memaksa Sim
Houw untuk bangkit dan dengan sopan dia mengangkat muka memandang wajah kakek
itu.
Dia merasa
kagum dan tunduk sekali melihat seorang kakek yang meski lengan kirinya buntung
dan pakaiannya sederhana, namun penuh dengan wibawa yang amat kuat ini. Wajah
kakek itu nampak bersih dan terang, sepasang matanya seperti mata naga saja,
lembut namun mencorong penuh kekuatan.
"Pendekar
Suling Naga Sim Houw, apamukah Can Bi Lan ini?"
Ditanya
demikian, Sim Houw lalu menjawab dengan sopan, "Bukan apa-apa, locianpwe,
kami hanya teman seperjalanan. Saya mengantarnya untuk mencari Istana Gurun
Pasir karena ia hendak mengembalikan Ban-tok-kiam."
"Kalau
bukan apa-apa, mengapa engkau hendak berkorban diri, rela dihukum bahkan
dibunuh untuk menyelamatkannya?"
Wajah Sim
Houw menjadi merah. Beberapa kali dia melirik ke arah Bi Lan yang masih
menundukkan mukanya. Menghadapi seorang tokoh besar seperti Pendekar Naga Sakti
Gurun Pasir ini, tentu saja dia harus berterus terang. Berbohong pun tidak akan
ada gunanya, dan dia berpendapat bahwa sekaranglah saatnya dia berterus terang
kepada Bi Lan pula, sebelum terlambat, yaitu sebelum seorang di antara mereka
atau keduanya tewas di tangan suami isteri yang sakti ini.
"Locianpwe,
terus terang saja, saya rela berkorban nyawa untuk melindunginya karena saya
amat mencintanya."
Mendengar
ucapan itu, kakek dan nenek itu saling pandang. Saat mereka memandang kepada Bi
Lan, mereka melihat betapa gadis itu makin menunduk, akan tetapi tetap saja ada
dua butir air mata mengalir turun di sepanjang pipi Bi Lan.
Gadis itu
merasa terharu bukan main mendengarkan pengakuan Sim Houw. Memang ia sudah
dibisiki suci-nya, Bi-kwi, bahwa Sim Houw mencintanya, akan tetapi betapa pun
ia memancing pengakuan Sim Houw, selalu gagal dan orang muda itu tidak pernah
menyatakan cintanya melalui mulut. Baru sekarang Sim Houw membuat pengakuan, di
depan suhu dan subo-nya, dengan suara lantang. Hal ini mendatangkan
kegembiraan, kelegaan akan tetapi juga keharuan hatinya sehingga walau pun ia
sudah menundukkan mukanya, ia tidak dapat menahan beberapa butir air mata
mengalir turun.
Kakek itu
kemudian mundur selangkah dan dengan sepasang mata yang mencorong, ia
memperhatikan Sim Houw. Pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa orang
muda ini benar-benar ‘berisi’, mudah saja nampak oleh pandang matanya yang
tajam dalam sikap dan pandangan mata pemuda itu.
"Demi
cinta engkau berani melindungi Bi Lan. Aku sudah pernah mendengar akan nama
besarmu. Karena itu, ingin aku melihat apakah benar engkau mencintanya, dan
sampai di mana pembelaanmu terhadap Bi Lan. Engkau majulah dan lawan aku, baru
aku akan mempertimbangkan nanti apakah engkau cukup berharga untuk melindungi
Bi Lan. Nah, bersiaplah untuk melayani aku bertanding, orang muda!"
Sim Houw
mengerti. Sikap Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir ini tidaklah mengherankan
karena banyak tokoh persilatan yang sakti mempunyai kelemahan terhadap ilmu
silat. Agaknya kakek ini pun ingin menguji kepandaiannya, dan kalau memang
merasa bahwa dia memiliki kepandaian cukup, kakek itu tentu akan merasa sayang
untuk membunuh atau mencabut kepandaiannya dan mungkin sekali mereka akan dapat
mengampuni Bi Lan. Jadi nasib Bi Lan ditentukan oleh perlawanannya terhadap
kakek sakti itu.
"Baiklah,
locianpwe, saya mentaati perintah!" Setelah berkata demikian, Sim Houw
juga melangkah mundur sampai ke pekarangan yang luas di bawah serambi itu.
Sim Houw
sudah mencabut senjatanya, yaitu Liong-siauw-kiam atau Pedang Suling Naga,
dipegang dengan tangan kanannya dan dia berdiri dengan sikap hormat menanti
lawannya yang melangkah lambat menuruni anak tangga itu ke serambi.
Kini kedua
orang itu sudah saling berhadapan, keduanya tidak memasang kuda-kuda, seperti
halnya dua orang yang hendak bertanding ilmu silat. Hal ini saja menunjukkan
bahwa keduanya bukanlah ahli silat sembarangan dan tidak lagi memerlukan
kuda-kuda yang khusus. Setiap posisi merupakan kuda-kuda yang baik bagi mereka,
karena dari segala posisi mereka dapat saja melakukan gerakan silat, baik
membela diri mau pun menyerang.
Sejak tadi,
Bi Lan sudah mengangkat muka dan memandang dengan muka pucat dan mata
terbelalak. Dia tahu benar betapa lihainya kakek berlengan buntung sebelah itu.
Bagaimana pun juga, Sim Houw pasti bukan lawannya dan timbul perasaan ngeri dan
takut dalam hatinya. Maka, melihat betapa keduanya sudah berdiri dan siap untuk
saling serang, tiba-tiba ia mengeluarkan suara tertahan. Ia pun meloncat turun
dari keadaan berlutut tadi dan tahu-tahu ia sudah berdiri di antara Sim Houw
dan Kao Kok Cu, lalu ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhu-nya sambil
menangis!
"Suhu...ahhh,
suhu... jangan suhu menyerang Sim-toako. Lebih baik suhu bunuh saja teecu. Dia
tentu akan tewas di tangan suhu dan teecu... teecu tidak mungkin dapat hidup
tanpa dia suhu. Teecu... mencintanya... ahhh, teecu amat mencintanya..."
Bi Lan menangis tersedu-sedu di depan kaki kakek itu.
Sim Houw
berdiri dengan muka pucat dan kedua kakinya menggigil. Benarkah apa yang
didengarnya itu? Benarkah itu Bi Lan yang mengaku cinta padanya di depan kakek
itu? Tanpa malu-malu menyatakan cinta kepadanya, bahkan menangis karena
khawatir dia akan terbunuh dalam pertandingan ini? Mendadak dia ingin merangkul
Bi Lan, ingin dia menghiburnya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani
melakukan hal itu di depan kakek dan nenek yang nampaknya masih marah itu.
"Siapa
yang akan membunuh orang? Anak bodoh, minggirlah dan biarkan aku menguji
kepandaian Pendekar Suling Naga. Setelah itu, kalian berdua boleh pergi,"
kata Kao Kok Cu.
Mendengar
ini, bukan main girangnya hati Bi Lan dan ia pun cepat mundur dan berdiri di
pinggiran untuk menonton. Ia percaya bahwa suhu-nya akan memegang teguh
janjinya, tidak akan membunuh Sim Houw!
Tanpa
disengaja, ia berdiri di dekat Wan Ceng yang juga sudah turun dari serambi, dan
melihat subo-nya, Bi Lan berbisik, "Subo, teecu bersumpah bahwa kami
berdua tidak pernah menyeleweng, tidak pernah melakukan kejahatan."
Nenek Wan
Ceng melirik padanya dan menjawab lirih, suaranya masih dingin. "Hemm,
akan tetapi apa yang kami dengar tentang dirimu tidak seperti yang kau katakan
ini, Bi Lan."
"Subo,
untuk setiap persoalan, teecu pasti dapat menjawab dan memberi penjelasan.
Setidaknya teecu berhak untuk membela diri, Subo, dari segala berita yang
dijatuhkan kepada teecu."
"Sudahlah,
nanti saja kita bicara lagi," kata nenek itu yang memperhatikan dua orang
yang sudah mulai bergerak saling mendekati.
Bi Lan
memandang ke arah Sim Houw dan Kao Kok Cu yang sudah saling mendekati. Sim Houw
memegang sulingnya. Kakek itu seperti biasa, tidak memegang senjata apa pun
kecuali kedua ujung lengannya. Melihat betapa gagahnya Sim Houw, dan betapa
gurunya itu sudah nampak tua dan lemah, agak berkurang kekhawatiran di hati Bi
Lan.
Ia tidak
khawatir kalau Sim Houw akan melukai gurunya. Ia mengenal benar siapa Sim Houw,
tahu benar akan kebaikan hati Sim Houw dan kegagahannya. Sudah jelas bahwa
pendekar itu tidak akan mau melukai kakek yang tua renta itu.
"Engkau
mulailah, orang muda!" kata Kao Kok Cu.
Tadinya Sim
Houw merasa sungkan untuk mendahului, akan tetapi mendengar ucapan kakek itu
yang dianggapnya sebagai perintah, dia pun lalu menggerakkan sulingnya dan
berkata,
"Baik,
locianpwe, saya mulai menyerang!" Berkata demikian, suling itu berkelebat
dan menotok ke arah pundak kiri yang tak berlengan itu!
Kakek itu
tersenyum dan cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan pundaknya. Orang
muda ini amat cerdik, pikirnya, agaknya bisa menduga bahwa justru lengan baju
kiri tanpa isi itulah yang berbahaya, maka dalam serangan pertama itu dia
menyerang pundak kiri yang berarti melemahkan bagian yang berbahaya dan kuat!
Sambil
meloncat ke belakang, kaki kakek itu melayang dengan tendangan yang sangat
cepat dan tak terduga datangnya dari samping menyerong ke arah lambung Sim
Houw. Namun pemuda ini sudah dapat mengelak dengan baik, bahkan sulingnya telah
kembali berkelebat lagi menotok ke arah lutut dari kaki yang menendang. Kao Kak
Cu sudah menarik kembali kakinya dan kini tangan kanannya menampar dengan amat
dahsyatnya dari atas, mengarah ubun-ubun kepala Sim Houw dan hampir berbareng,
ujung lengan baju kiri menyambar dari bawah, menotok ke ulu hati pemuda itu
dengan kecepatan luar biasa.
Sim Houw
terkejut, akan tetapi dia tidak menjadi gugup. Sudah diduganya bahwa kakek itu
merupakan lawan yang amat lihai, maka semenjak tadi pun dia sudah tidak berani
memandang ringan, selalu waspada dan setiap urat syarafnya siap siaga menghadapi
serangan yang aneh dan hebat.
"Takkkk...!"
Sulingnya
menangkis tangan yang menampar dari atas sedangkan totokan ujung lengan baju
kiri itu pun disampoknya dengan tangan kirinya sambil memutar tubuh. Sekarang
sulingnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung, mengeluarkan bunyi menderu
lalu melengking seperti ditiup, mendatangkan angin keras dan hawa yang panas.
Kini Sim
Houw mulai mengeluarkan kepandaiannya, memainkan sulingnya dengan ilmu gabungan
dari Koai-liong-kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman dan
Ilmu Pedang Suling Emas). Kedua ilmu ini telah digabung dan menjadi ilmu yang
dinamakan Liong-siauw-kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) dan amat cocok
dimainkan dengan pedang suling naga itu sebagai pengganti sepasang senjata yang
sudah dia kembalikan kepada keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, yaitu sebatang
suling emas dan sebatang pedang pusaka Koai-liong-kiam.
"Bagus...!"
Nenek Wan Ceng sampai memuji dan memandang kagum sekali ketika ia melihat sinar
bergulung-gulung bagaikan seekor naga sedang mengamuk di sekeliling tubuh
suaminya. Belum pernah ia melihat ilmu pedang sehebat itu, apa lagi ditambah
dengan suara melengking seolah-olah ada orang yang sedang meniup suling dengan
amat pandai dan merdunya.
Juga kakek
Kao Kok Cu merasa kagum bukan main. Orang ini masih muda, akan tetapi telah
menguasai ilmu yang demikian tingginya! Demikian hebatnya ilmu pedang yang
dimainkan dengan suling itu.
Suaranya
merupakan serangan tenaga khikang melalui suara, menggetarkan jantung dan
membuyarkan pencurahan perhatian lawan. Anginnya juga mengandung hawa panas
yang dahsyat dan dapat membingungkan lawan, sedangkan suling aneh itu dapat
dipergunakan untuk menotok, akan tetapi juga membacok dan menusuk seperti
pedang. Di tangan pemuda itu, suling itu bergerak dengan gulungan sinar seperti
seekor naga bermain-main di angkasa.
Kakek itu
segera terdesak oleh sinar bergulung-gulung itu dan hanya karena dia telah
menguasai ilmu yang matang dan mendarah daging maka dia dapat mengenal atau
menangkis dengan tepat pada saat terancam bahaya. Beberapa kali usahanya untuk
melilit pedang atau suling itu dengan ujung lengan baju kiri tidak pernah
berhasil karena begitu terlilit begitu pula terlepas seolah-olah benda berupa
suling atau pedang itu licin seperti tubuh ular. Karena terdesak, kakek itu
lalu merubah gerakannya dan kini dia mainkan ilmu silatnya yang paling ampuh,
yaitu Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Tangan Naga Sakti).
Barulah
keadaan mereka seimbang. Sim Houw terkejut bukan main ketika melihat kakek buntung
itu memainkan ilmu silat yang luar biasa kuatnya. Dia merasa seperti sedang
menghadapi tembok benteng baja yang amat kuat, sama sekali sukar ditembus oleh
sinar senjatanya, bahkan setiap kali sulingnya bertemu dengan lengan atau
lengan baju kiri, tangannya terasa panas dan lengannya tergetar. Bergidik dia
membayangkan ada kekuatan sinkang sehebat itu.
Setelah
lewat lima puluh jurus, tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara melengking dan
tiba-tiba tubuhnya seperti rebah memanjang, bagai seekor naga saja. Begitu
bergerak, tangan kanannya mengeluarkan angin pukulan yang luar biasa
dahsyatnya.
Sim Houw
berusaha mempertahankan dengan tangkisan putaran sulingnya, tapi tenaga itu
mendorong terlampau dahsyat. Itulah ilmu sakti Sin-liong-hok-te yang hanya
dapat dilakukan dengan sempurna oleh seseorang yang berlengan sebelah! Sim Houw
yang mempertahankan diri, tetap saja terdorong ke belakang dan
terhuyung-huyung!
Kalau kakek
itu berniat jahat dan melanjutkan desakannya, agaknya sulit baginya untuk
menyelamatkan diri. Dengan demikian, jelaslah bahwa dengan ilmu terakhir itu,
kakek Kao Kok Cu masih menang satu dua tingkat dibandingkan Sim Houw yang kalah
tenaga dalam dan kalah pengalaman.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment