Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Naga
Jilid 16
"Orang
muda, engkau hebat dan tidak mengecewakan berjuluk Pendekar Suling Naga!"
kata kakek Kao Kok Cu sambil melangkah mundur tiga langkah, berarti dia
mengakhiri pertandingan itu.
Bukan main
girang dan lega rasa hati Sim Houw. Dia pun cepat menyimpan suling, menjatuhkan
diri berlutut kemudian berkata, "Terima kasih banyak saya haturkan atas
kemurahan hati locianpwe yang telah memberi petunjuk kepada saya."
Kakek itu
menarik napas panjang dan menoleh kepada isterinya yang juga memandang
kepadanya dan mengangguk. Tanpa kata, suami isteri yang telah saling mengenal
lahir batin ini bermufakat bahwa seorang pemuda yang berilmu demikian tinggi,
dengan sikap demikian rendah hati seperti Sim Houw, agaknya sulit dipercaya
jika sampai melakukan penyelewengan dan kejahatan!
Bi Lan juga
sudah mendekati Sim Houw dan berlutut di sebelah pemuda itu, hatinya lega dan
girang bukan main. "Suhu, terima kasih bahwa suhu tidak melukai
Sim-toako."
Kakek itu
kini tersenyum dan kembali menarik napas. "Siancai....! Semoga Tuhan akan
memberkahi kalian dalam cinta kasih kalian. Mari kita masuk ke dalam dan bicara
di dalam. Agaknya banyak hal-hal yang perlu dibicarakan dan dibikin
terang."
"Benar,"
kata Wan Ceng. "Aku pun mulai ragu-ragu apakah Bi Lan benar-benar telah
melakukan penyelewengan yang mengecewakan hatiku."
Sim Houw
merasa girang sekali, segera menghaturkan terima kasih dan bangkit berdiri
bersama-sama Bi Lan. Ketika bangkit, tanpa disengaja, tangan kiri Bi Lan
menyentuh tangan kanan Sim Houw dan otomatis kedua tangan itu saling genggam
dan mereka berdua mengikuti kakek dan nenek itu masuk ke dalam istana dengan
saling berpegang dan bergandengan tangan. Beberapa kali keduanya menoleh dan
saling pandang, yang memancing senyum penuh bahagia di kedua mulut mereka.
Mereka
dibawa masuk oleh kedua orang tua itu ke dalam ruangan yang luas dan indah
walau pun perabot di dalam ruangan itu sederhana. Di sudut terdapat rak senjata
dan sebuah almari penuh dengan buku-buku dan di tengah-tengah ruangan terdapat
meja kursi terukir dari kayu hitam yang kuno.
Mereka
berempat duduk di sekeliling meja itulah dan Bi Lan merasa betapa tubuhnya
ditelan oleh kursi yang besar dan cekung itu. Ia merasa dirinya kecil lahir batin
di tempat yang megah namun kuno ini, apa lagi di depan suhu dan subo-nya yang
baru saja tadi marah kepadanya, bahkan sekarang agaknya hendak minta keterangan
secara serius darinya.
Tidak lama
setelah mereka duduk, muncul seorang wanita Mongol yang memasuki ruangan itu
menghidangkan minuman teh. Setelah wanita yang mukanya dingin seperti arca,
persis sikap pria Mongol yang tadi bekerja di pekarangan, nenek Wan Ceng yang
merasa penasaran itu mulai dengan pertanyaannya.
"Bi
Lan, terus terang saja, kami berdua yang selalu tinggal di tempat sunyi ini
baru saja menerima kunjungan dari selatan dan kami mendengar banyak hal yang
membuat kami ikut merasa prihatin, terutama ketika kami mendengar tentang sepak
terjangmu yang membuat kepalaku pening dan hatiku kecewa, juga menyesal
sekali."
Bi Lan
tersenyum memandang wajah subo-nya. Betapa ia merindukan wajah ini, akan tetapi
sekarang ia harus bersikap sungguh-sungguh.
"Subo,
kenapa subo belum apa-apa sudah mau mempercayai berita tentang diri teecu?
Seperti teecu katakan tadi, setiap persoalan tentu teecu dapat menjawab dan
memberi penjelasan sampai subo dan suhu mengerti benar-benar bahwa semua akibat
itu ada sebabnya dan sebabnya bukanlah karena penyelewengan atau kejahatan
teecu. Teecu amat menghormat dan menyayang suhu dan subo, mana mungkin berani
melakukan perbuatan jahat? Dan andai kata teecu menyeleweng dan berbuat jahat,
mana teecu berani datang menghadap ke sini?"
Kakek Kao
Kok Cu tersenyum dan mengangguk-angguk. "Memang benar juga pendapat Bi Lan
ini..."
"Sekarang,
jawablah pertanyaanku dengan keterangan yang jujur dan sejelasnya, baru aku
akan menilai apakah engkau bersalah atau tidak," kata nenek Wan Ceng.
"Aku mendengar bahwa Ban-tok-kiam dipergunakan orang untuk membunuh Teng
Siang In, isteri mendiang paman Suma Kian Bu. Bagaimana bisa demikian kalau
Ban-tok-kiam kuserahkan kepadamu?"
Bi Lan
mengangguk. "Teecu tidak berdaya ketika Sai-cu Lama merampas Ban-tok-kiam
dari tangan teecu, subo. Sai-cu Lama amat lihai dan kepandaiannya terlampau
tinggi bagi teecu sehingga pedang pusaka itu dapat dirampasnya dan kemudian
dipergunakan untuk membunuh locianpwe itu. Tetapi ketika para pendekar
menghadapi komplotan Sai-cu Lama, teecu dan Sim-toako membantu dan kami
berhasil merampas kembali Ban-tok-kiam. Teecu mengaku salah bahwa Ban-tok-kiam
sampai dirampas orang, tapi hal itu terjadi bukan karena kelengahan, melainkan
karena kebodohan dan kelemahan teecu yang tidak mampu menandingi Sai-cu
Lama."
Diam-diam Bi
Lan merasa heran mendengar subo-nya menyebut paman kepada tokoh keluarga Pulau
Es itu. Ia tidak tahu bahwa nenek Wan Ceng adalah cucu tiri Pendekar Super
Sakti dari Pulau Es, sehingga biar pun usianya lebih tua dari pada mendiang
Suma Kian Bu, ia harus menyebut pendekar itu paman.
"Sekarang
jelaskan pula bagaimana engkau membela dan melindungi suci-mu yang bernama
Bi-kwi yang amat jahat itu. Bukankah ia dahulu bahkan telah menyelewengkan
pelajaran silat padamu sehingga engkau hampir menjadi gila dan terancam maut?
Aku mendengar bahwa Bi-kwi itu amat jahat, lebih jahat dari pada Sam Kwi, akan
tetapi mengapa engkau malah membelanya, bahkan engkau telah membantunya ketika
iblis betina itu berkelahi melawan Suma Ciang Bun dan muridnya, berarti engkau
membantu seorang jahat melawan keluarga para pendekar Pulau Es. Nah, apa
alasanmu?"
"Subo,
biar pun teecu pernah menjadi murid Sam Kwi dari sejak kecil dididik oleh
datuk-datuk sesat, namun semenjak menjadi murid suhu dan subo, teecu sudah
mulai dapat membedakan antara baik dan buruk. Apa lagi setelah teecu bertemu
dengan Sim-toako yang selalu membimbing teecu, teecu tidak pernah membantu
kejahatan. Biar pun suci sendiri, karena ia jahat, pernah menjadi lawan dan
musuh teecu. Kalau teecu membela dan melindungi, adalah karena suci Bi-kwi
telah insyaf dan mengubah kehidupannya menjadi orang baik-baik. Ia diserang
oleh Hong Beng dan gurunya karena salah paham saja. Mungkin mereka mengira
bahwa suci masih tetap jahat, akan tetapi teecu sendiri menyaksikan bahwa suci
sudah bertobat. Kalau orang sudah menyesali kesalahannya dan ingin bertobat,
apakah kita harus merdesaknya sampai ia tidak dapat memperbaiki kesalahannya
lagi, subo?"
Bi Lan lalu
menceritakan tentang keadaan Bi-kwi, betapa Bi-kwi telah bertemu dengan seorang
pemuda tani yang dicintanya dan cinta itulah yang telah mengubah watak dan
sifat kehidupan Bi-kwi. Demi menyelamatkan kekasihnya itulah dia diperas dan
dipaksa oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin, tokoh-tokoh dari Pat-kwa-pai dan
Pek-lian-pai sehingga Bi-kwi terpaksa membantu mereka menghadapi Suma Ciang
Bun. Semua ini ia ceritakan dengan sejelasnya, seperti yang pernah ia dengar
dari Bi-kwi sendiri.
"Demikianlah,
subo. Ketika teecu melindunginya, ia berada dalam keadaan yang sama sekali
tidak bersalah dan tidak melakukan kejahatan. Teecu hanya membela kebenaran,
dari mana pun datangnya tanpa pilih bulu. Kalau hal itu subo anggap bersalah
dan hendak menghukum teecu, maka teecu hanya dapat menyerahkan diri." Bi
Lan menutup keterangannya.
Nenek Wan
Ceng saling pandang dengan suaminya. Diam-diam mereka terharu juga mendengar
penuturan Bi Lan tentang Bi-kwi. Suami isteri ini tahu apa artinya cinta dan
mereka percaya bahwa cinta kasih akan mampu merubah watak seorang manusia, dari
keadaan yang jahat menjadi baik. Cinta kasih mampu menghidupkan kembali
kepekaan hati yang tadinya beku dan mati.
Mereka
mendengar semua tentang Bi Lan dan Ban-tok-kiam dari kunjungan dua orang secara
berturut-turut. Pertama kali datang Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng,
mengunjungi mereka. Dari suami isteri inilah mereka mendengar tentang kematian
Teng Siang In yang menjadi korban pedang pusaka Ban-tok-kiam, dan betapa puteri
tunggal suami isteri keluarga Pulau Es diculik pula oleh orang yang menggunakan
Ban-tok-kiam membunuh Teng Siang In.
Kemudian,
datang pula Gu Hong Beng mengunjungi mereka dan pemuda murid Suma Ciang Bun ini
mengabarkan tentang diculiknya cucu mereka, Kao Hong Li, oleh seorang yang
bernama Ang I Lama. Dari Hong Beng ini pulalah mereka mendengar mengenai
penyelewengan murid mereka, yaitu Can Bi Lan.
Hong Beng
yang penuh cemburu dan iri hati itu menceritakan kepada suami isteri tua itu
betapa Bi Lan melakukan penyelewengan bukan saja main gila dengan Pendekar
Suling Naga, bahkan Bi Lan dan Sim Houw telah membantu iblis betina Bi-kwi, dan
menentang keluarga Pulau Es!
Kini,
setelah mendengar penuturan Bi Lan, suami isteri ini dapat menarik kesimpulan
bahwa memang terjadi salah paham antara Bi Lan berdua Sim Houw dengan Suma
Ciang Bun dan muridnya, Gu Hong Beng.
Setelah
saling pandang dan memberi persetujuan dengan isyarat mata, Wan Ceng lalu
mewakili suaminya berkata pada Bi Lan. "Setelah mendengar keteranganmu
sekarang kami mengerti, Bi Lan. Akan tetapi, kalian sudah terlanjur
mendatangkan kesan buruk kepada keluarga Pulau Es. Karena itu engkau harus
menebusnya dengan perbuatan yang akan dapat membersihkan namamu, Bi Lan.
Ketahuilah bahwa cucu kami, puteri tunggal anak kami Kao Cin Liong, yang
bernama Kao Hong Li, telah diculik orang yang mengaku bernama Ang I Lama. Kau
wakililah kami, karena kami sudah terlalu tua untuk melakukan perjalanan jauh.
Wakili kami dan cari Hong Li sampai dapat! Kalau engkau berhasil mengembalikan
Hong Li kepada orang tuanya, maka baru aku mau mengaku engkau sebagai muridku
lagi."
Bi Lan
terkejut. Tugas yang amat berat karena ia tidak tahu ke mana anak itu dibawa
pergi penculiknya, dan ia pun tidak mengenal siapa Ang I Lama. Akan tetapi, Sim
Houw yang berada di dekatnya menyentuh lengannya dan berbisik, "Terimalah
saja tugas itu, Lan-moi, kita cari bersama."
Mendengar
bisikan ini, Bi Lan merasa besar hatinya dan dengan penuh semangat ia pun
berkata, "Baiklah, subo dan suhu, teecu akan mencari sampai dapat
menemukan kembali adik Kao Hong Li. Teecu baru akan datang menghadap suhu dan
subo kalau teecu sudah berhasil dengan tugas itu dan teecu mahon doa restu dari
suhu berdua subo."
"Baiklah,
Bi Lan. Kami membekali kalian doa restu dan mudah-mudahan engkau akan berhasil.
Sekarang berangkatlah kalian," kata nenek Wan Ceng.
Akan tetapi
Bi Lan tidak bangkit, bahkan memberi hormat sambil berlutut, diikuti pula oleh
Sim Houw yang menjatuhkan diri berlutut di depan kakek dan nenek itu. Dua orang
kakek dan nenek itu bangkit berdiri, mengira bahwa dua orang muda itu berlutut
untuk memberi hormat dan berpamit, tetapi ternyata tidak demikian karena Bi Lan
berkata dengan suara penuh permohonan.
"Ada
satu permohonan dari teecu kepada suhu dan subo, harap saja suhu dan subo dapat
mengabulkan permohonan teecu ini."
Wan Ceng
tersenyum. "Katakanlah."
"Seperti
suhu dan subo mengetahui, teecu hidup sebatang kara, tidak ada orang tua, tanpa
keluarga. Ketiga suhu Sam Kwi telah tewas dan bagi teecu, suhu dan subo
merupakan pengganti orang tua. Demikian pula dengan Sim-toako yang sudah yatim
piatu dan tidak ada keluarga. Oleh karena itu, kami berdua mohon agar suhu dan
subo yang sudi menjadi wali kami dan mengesahkan dan merestui perjodohan antara
kami."
Diam-diam
Sim Houw merasa girang dan bangga sekali. Gadis ini selain mencintanya juga
bersungguh-sungguh dan demikian tabah membicarakan persoalan jodoh itu tanpa
lebih dulu bertanya kepadanya. Akan tetapi, apa yang diucapkan gadis itu memang
amat disetujuinya, bahkan dia akan merasa berbahagia, kalau kelak kakek dan
nenek sakti itu mau mengesyahkan perjodohan antara mereka!
Kakek Kao
Kok Cu dan Wan Ceng saling pandang dan kakek itu mengangguk sambil tersenyum.
Dia dapat melihat cinta kasih berpancar dari wajah dan sinar mata kedua orang
muda itu, maka tidak ada lagi halangan bagi mereka untuk berjodoh, apa lagi
karena tidak ada keluarga mereka yang dapat dimintai persetujuan. Akan tetapi
Wan Ceng yang cerdik segera menjawab.
"Tentu
saja kami berdua suka sekali menjadi wali dan mengesahkan perjodohan kalian
yang saling mencinta. Akan tetapi, ingat, kalian mempunyai tugas penting, oleh
karena itu, laksanakan dulu tugas itu, baru kalian datang ke sini dan kami akan
mengabulkan permintaan kalian."
Bukan main
girangnya hati Bi Lan. Berkali-kali ia memberi hormat dan menghaturkan terima
kasih. Juga Sim Houw menghaturkan terima kasih kepada kedua orang tua itu. Akan
tetapi ketika mereka hendak berpamit, mendadak terdengar suara nyaring di luar
istana itu.
"Kao
Kok Cu dan Wan Ceng...! Apakah kalian masih hidup?"
Tentu saja
empat orang itu merasa terkejut sekali mendengar suara yang mengandung tenaga
khikang yang amat kuat itu, sehingga suara itu memasuki istana dan sampai ke
ruangan itu membawa gema yang sangat kuat. Wan Ceng mengerutkan alisnya. Sukar
menduga siapa adanya orang yang berani menyebut namanya dan nama suaminya
begitu saja itu! Hatinya merasa tak senang, maka ia mendahului suaminya dan
berkata kepada Bi Lan dan Sim Houw, "Kalian keluarlah dan lihat siapa
orang kasar yang baru datang itu!"
Nenek ini
dulu ketika muda memang berwatak keras. Mendengar ada orang berteriak-teriak di
luar memanggil namanya dan nama suaminya, ia merasa tidak senang dan merasa
tidak perlu keluar sendiri menyambut, maka ia wakilkan kepada Bi Lan dan Sim
Houw. Ia tahu bahwa muridnya itu, dan terutama sekali Sim Houw, telah mempunyai
kepandaian yang amat lihai sehingga patut mewakilinya menghadapi orang yang
bagai mana pun juga.
Bi Lan dan
Sim Houw cepat berlari keluar. Ketika mereka tiba di luar istana, keduanya
tersenyum lebar dengan hati lega ketika melihat bahwa yang datang adalah
seorang hwesio tua renta yang telah mereka kenal baik. Orang itu bukan lain
adalah Tiong Khi Hwesio! Seperti kita ketahui, Tiong Khi Hwesio dahulu memimpin
para pendekar muda menghadapi komplotan Sai-cu Lama, maka tentu saja Bi Lan dan
Sim Houw mengenal baik pendeta ini.
Sebaliknya,
Tiong Khi Hwesio juga mengenal dua orang muda itu. Dia tersenyum ramah dan
menudingkan telunjuknya ke arah mereka, "Ehh-ehhh, kiranya kalian berdua
juga berada di sini?"
Sim Houw
cepat menghampiri hwesio itu dan memberi hormat, sementara itu Bi Lan sambil
tertawa cepat masuk kembali ke dalam istana menemui suhu dan subo-nya. Dari
luar ruangan ia sudah berteriak, "Suhu...! Subo...! Yang datang adalah
locianpwe Tiong Khi Hwesio!"
Akan tetapi
kakek dan nenek itu tidak mengenal nama Tiong Khi Hwesio dan mereka saling
pandang dengan heran. Hanya saja, oleh karena mendengar bahwa yang datang
adalah seorang hwesio, mereka lalu melangkah keluar bersama Bi Lan untuk
melihat siapa hwesio yang menyebut nama mereka begitu saja.
Ketika Kao
Kok Cu dan Wan Ceng tiba di luar istana, mereka berdua memandang kepada hwesio
tua yang berkepala gundul dan berjubah kuning itu. Mereka termangu, tidak
mengenal hwesio tua itu. Hwesio yang bermulut sinis, senyum yang mengarah
ejekan, sepasang mata yang tajam, mencorong dan tubuh yang masih nampak tegap
dan membayangkan kekuatan.
Di lain
pihak, Tiong Khi Hwesio memandang kepada kakek dan nenek itu, kemudian
melangkah lebar menghampiri. Wajahnya berseri dan terutama sekali matanya
ditujukan kepada nenek Wan Ceng, kemudian dia merangkap kedua tangan ke depan
dada seperti orang berdoa.
"Omitohud...!
Terima kasih kepada Sang Buddha bahwa hari ini pinceng masih memiliki
kesempatan untuk bertemu dengan Wan Ceng! Ahhh, Wan Ceng, engkau kini sudah
menjadi seorang nenek yang tua, tapi masih nampak kelincahanmu dan
kegagahanmu!"
Suara itu
menggetar penuh perasaan. Betapa takkan terharu rasa hati kakek hwesio ini
bertemu dengan wanita yang di waktu mudanya dulu pernah menggetarkan kalbunya,
seorang wanita yang sebenarnya adalah saudaranya sendiri, seayah berlainan ibu!
Wan Ceng
terkejut sekali dan melangkah maju mendekat, memandang tajam penuh perhatian
dan penuh selidik. "Siapakah engkau ini...? Aku... aku tidak mengenal
hwesio seperti engkau ini...," tanyanya ragu.
"Hemmm,
Si Jari Maut telah menjadi seorang hwesio, sungguh mengagumkan sekali!"
Tiba-tiba terdengar suara Kao Kok Cu berkata dan Wan Ceng memandang kepada
hwesio itu dengan mata terbelalak.
"Kau...
kau... Wan Tek Hoat...?" Akhirnya ia berseru, suaranya gemetar dan
tiba-tiba saja kedua matanya menjadi basah.
Hwesio tua
itu mengejap-ngejapkan matanya yang juga menjadi basah. Ia mengangguk-angguk.
"Bertahun-tahun aku sudah menjadi hwesio dan nama pinceng adalah Tiong Khi
Hwesio."
"Aihh...
Tek Hoat... Tek Hoat... siapa dapat mengira bahwa engkau kini telah menjadi
seorang pendeta? Mengapa pula demikian? Dan di mana adanya adik Syanti
Dewi?"
Mendadak
sepasang mata hwesio itu yang tadinya berseri, kini menjadi muram dan sejenak
dia menundukkan kepalanya dan mengerahkan tenaga untuk menahan rasa nyeri yang
tiba-tiba menusuk jantungnya. Hanya sebentar saja dia terpukul, kemudian dia
sudah dapat mengangkat mukanya lagi memandang kepada nenek Wan Ceng.
"Sudah
beberapa tahun lamanya ia meninggalkan aku, meninggalkan dunia, dan sejak itu
pula pinceng menjadi hwesio..."
Kalimat ini
cukup bagi Wan Ceng. Ia dapat membayangkan apa yang terjadi dan hal ini
memancing datangnya air mata yang lebih banyak lagi. Ia dapat mengerti bahwa
tentu Wan Tek Hoat yang amat mencinta isterinya, yaitu Syanti Dewi, semangatnya
menjadi patah dan masuk menjadi hwesio untuk menghibur dirinya.
"Tek
Hoat, kasihan kau...! Syanti Dewi, mengapa engkau begitu kejam meninggalkan
dia?"
Suasana menjadi
hening dan mengharukan, akan tetapi hanya sebentar karena suara ketawa kakek
Kao Kok Cu memecahkan keheningan dan membuyarkan keharuan.
"Ha-ha-ha,
kalian seperti dua orang anak kecil saja yang cengeng! Tiong Khi Hwesio,
marilah masuk, kita bicara di dalam. Kunjunganmu sekali ini pastilah membawa
berita yang amat penting. Sim Houw dan Bi Lan, kalian pun masuk kembali, kita
semua bicara di dalam."
Ucapan dan
sikap Kao Kok Cu ini menolong Tiong Khi Hwesio dan Wan Ceng yang tadi dilanda
keharuan. Hwesio itu tertawa dan Wan Ceng juga cepat-cepat menghapus air
matanya. Sikap mereka telah menjadi biasa kembali ketika mereka melangkah ke
dalam istana tua itu.
Setelah
mereka semua duduk mengelilingi meja besar di ruangan di mana tadi Sim Houw dan
Bi Lan bercakap-cakap dengan suami-isteri tua itu, Kao Kok Cu segera bertanya,
"Tiong Khi Hwesio, banyak yang dapat kita bicarakan dalam pertemuan ini
karena sudah puluhan tahun kita saling berpisah. Akan tetapi kami kira yang
terpenting untuk didahulukan adalah urusan yang jauh-jauh kau bawa ke sini. Ada
kepentingan apakah yang mendorongmu datang dari tempat yang demikian jauhnya?
Engkau datang dari Bhutan, bukan?"
Tiong Khi
Hwesio menggelengkan kepala. "Tidak di Bhutan lagi. Sudah bertahun-tahun
pinceng bertapa di Pegunungan Himalaya, dekat Tibet. Dan memang ada hal yang
amat penting yang pinceng bawa dari Tibet. Pinceng mengunjungi kalian sebagai
utusan dari para pendeta Lama di Tibet."
Hwesio itu
berhenti sejenak dan memandang pada kakek dan nenek itu dengan penuh perhatian.
Ada bermacam perasaan terkandung di dalam pandang mata itu, keraguan, juga
kekhawatiran dan perasaan iba.
"Para
pendeta Lama di Tibet?" Kao Kok Cu bertanya heran. "Kurasa tidak
pernah ada hubungan antara kami dengan mereka!"
"Heran…!"
kata pula nenek Wan Ceng. "Aku bahkan sama sekali tidak pernah bertemu
dengan pendeta-pendeta Lama dari Tibet. Kepentingan apakah yang membuat mereka
menyuruh seorang seperti engkau untuk datang ke tempat sejauh ini, Tek
Hoat?" Nenek Wan Ceng merasa kikuk dan enggan untuk menyebut saudaranya
ini dengan namanya yang baru, yaitu Tiong Khi Hwesio!
Tiong Khi
Hwesio menarik napas panjang. "Sebuah tugas yang sungguh tidak enak bagi
pinceng, akan tetapi karena pinceng juga ingin sekali berjumpa dengan kalian,
maka tugas ini pinceng lakukan. Masalahnya bukan lain adalah mengenai putera
kalian, yaitu Kao Cin Liong..."
"Ada
apa dengan dia?" Nenek Wan Ceng bertanya dengan suara penuh kegelisahan.
"Dia
bersama isterinya telah membunuh seorang pendeta Lama yang sama sekali tidak
berdosa, hanya karena mereka menyangka bahwa Lama itu tentu seorang jahat
karena menjadi sute dari mendiang Sai-cu Lama."
"Ahh!
Apakah pendeta itu bernama Ang I Lama?" Wan Ceng bertanya cepat.
"Ehh,
kiranya engkau sudah tahu?" Kini Tiong Khi Hwesio yang memandang heran.
"Tentu
saja aku tahu!" Wan Ceng berkata dan suaranya terdengar marah. "Dan
jangan katakan bahwa orang yang bernama Ang I Lama itu demikian suci dan tidak
berdosa seperti yang kau kira, Tek Hoat. Aku tahu kenapa anakku dan mantuku
membunuhnya. Ia telah menculik Kao Hong Li, cucuku! Tentu anak dan mantuku
melakukan pengejaran ke sana dan dalam perkelahian memperebutkan Hong Li,
mereka telah membunuhnya!"
"Omitohud...!"
Tiong Khi Hwesio berseru dengan kaget sekali. "Akan tetapi, pinceng sudah
lama mengenal Ang I Lama, juga para pendeta Lama menanggung bahwa dia adalah
seorang pertapa yang sudah bertahun-tahun tidak keluar dari goanya, dan tidak
mungkin sama sekali kalau dia melakukan penculikan terhadap cucu kalian!"
"Jangan
katakan tidak mungkin, Tiong Khi Hwesio," kata Kao Kok Cu dengan sikap dan
suara tenang. "Ingat bahwa Ang I Lama adalah sute dari Sai-cu Lama yang
baru saja dibasmi komplotannya, bahkan engkaulah yang menjadi pemimpin para
pendekar muda membasminya. Bukan tidak mungkin dia mendendam dan melakukan
penculikan itu, karena anakku juga merupakan seorang di antara mereka yang ikut
menentang Sai-cu Lama."
"Wan
Tek Hoat!" kata nenek Wan Ceng. "Engkau sudah lama mengenal Ang I
Lama, akan tetapi aku telah mengenal Kao Cin Liong sejak dia kulahirkan! Dia
dan isterinya tak mungkin membunuh seorang pendeta Lama yang sama sekali tidak
berdosa! Apakah engkau lebih percaya kepada pendeta Lama itu dari pada kepada
keluarga kami?"
Tiong Khi
Hwesio menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. "Omitohud... betapa
sukarnya urusan ini. Pinceng sendiri tidak tahu harus berpendapat bagaimana.
Memang serba salah..."
"Wan
Tek Hoat, apakah setelah engkau menjadi hwesio dan menjadi tua bangka, lalu
engkau kehilangan semua kecerdikanmu yang dulu kau banggakan?" Nenek Wan
Ceng kini berkata sambil tersenyum mengejek. "Urusan begitu mudah kenapa
engkau buat menjadi sukar? Apakah ada yang menyaksikan perkelahian antara anak
dan mantuku dengan Ang I Lama yang membuat pendeta Lama itu tewas?"
"Tidak
ada. Dua orang pendeta Lama menemukan Ang I Lama dalam keadaan hampir mati dan
Ang I Lama hanya meninggalkan pesan dengan menyebut dua nama, yaitu Kao Cin
Liong dan isterinya."
"Hemm,
dan hal ini kau jadikan pegangan bahwa anak dan mantuku yang membunuh Ang I
Lama tanpa dosa?"
"Sebelum
terjadi pembunuhan itu, beberapa waktu sebelumnya, anak dan mantumu itu telah
mendatangi para pendeta Lama untuk menanyakan di mana adanya Ang I Lama. Anak
dan mantumu mencari Ang I Lama dan tak lama kemudian, Ang I Lama tewas dengan
meninggalkan pesan nama anak dan mantumu. Bukankah hal itu sudah jelas?"
"Kurang
meyakinkan. Aku percaya bahwa anak mantuku membunuh Ang I Lama, akan tetapi
jelas bukan membunuh orang yang tak berdosa, melainkan membunuh penculik
cucuku. Apakah hal itu salah? Tentu saja anak dan mantuku membela anak mereka!
Dan ada satu hal lagi menunjukkan kebodohanmu, Wan Tek Hoat. Orang yang menjadi
tertuduh adalah anakku dan mantuku, akan tetapi kenapa engkau keluyuran ke
sini? Bukankah lebih mudah kalau engkau datangi saja Cin Liong dan menanyakan
hal itu? Bukankah engkau mengenalnya dan sudah tahu pula di mana tempat
tinggalnya?"
Menghadapi
serangan kata-kata yang marah itu, Tiong Khi Hwesio tersenyum dan dia memandang
kepada nenek itu dengan penuh kagum. Sudah tua renta, namun nenek ini
mengingatkan dia akan seorang gadis yang lincah, jenaka dan galak, yaitu ketika
Wan Ceng masih seorang gadis. Agaknya selama puluhan tahun ini, Wan Ceng masih
terus mempertahankan wataknya yang keras!
"Jangan
salah mengerti, Wan Ceng. Para pendeta Lama mengenal baik Kao Cin Liong ketika
dia masih menjadi panglima, dan mereka pun tahu bahwa dia adalah putera tunggal
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Karena itu, mereka merasa sungkan kepada
kalian, dan aku pun berpikir bahwa lebih baik kalau urusan ini kusampaikan saja
kepada kalian dari pada aku harus menegur sendiri Kao Cin Liong. Lihat, aku
jauh-jauh ke sini karena merasa sungkan, juga kangen kepada kalian."
"Memang
urusan ini agak ruwet," kata Kao Kok Cu. "Kami dapat menghargai
sikapmu dan sikap para pendeta Lama yang masih menghargai kami orang-orang tua.
Akan tetapi, kami merasa yakin bahwa andai kata Cin Liong benar membunuh Ang I
Lama, tentu hal itu dilakukan karena ada hal yang amat memaksa, dan tentu
dengan alasan kuat sekali. Anakku bukanlah pembunuh kejam yang membunuh pendeta
tanpa dosa. Hal ini hendaknya engkau yakin, Tiong Khi Hwesio. Dan sekarang,
biarlah kubebankan tugas menerangkan perkara ini kepada Bi Lan dan Sim Houw
pula. Kalian dengarlah baik-baik." Kakek itu memandang kepada dua orang
muda itu yang mendengarkan dengan penuh perhatian dan sikap menghormat.
"Kami
siap melakukan perintah suhu," kata Bi Lan.
"Kalian
berdua sudah mendengar sendiri berita yang dibawa oleh Tiong Khi Hwesio.
Tadinya kami mendengar bahwa cucu kami diculik Ang I Lama, dan kini dari Tiong
Khi Hwesio kami mendengar bahwa Ang I Lama dibunuh oleh Kao Cin Liong dan
isterinya tanpa dosa. Maka, kalau kalian meninggalkan tempat ini untuk mencari
dan menemukan kembali Kao Hong Li, kalian kunjungilah rumah Kao Cin Liong di
Pao-teng, dan selidiki persoalan ini baik-baik. Temui mereka dan tanyakan apa
yang telah terjadi. Syukurlah kalau Hong Li sudah dapat ditemukan oleh orang
tuanya, sehingga kalian tidak banyak repot. Kalau pun belum, carilah Hong Li
sampai dapat dan juga kami ingin mendengar laporanmu kelak tentang sebab Ang I
Lama dibunuh mereka, kalau benar hal itu terjadi. Nah, sekarang berangkatlah
kalian!"
Bi Lan dan
Sim Houw lalu minta diri kepada tiga orang tua sakti itu, dan meninggalkan
Istana Gurun Pasir dengan cepat. Mereka melakukan perjalanan tanpa bicara apa
pun. Keduanya nampak berlari cepat sambil termenung sehingga menjelang malam,
ketika senja hari, mereka telah berhasil melewati gurun pasir yang pertama dan
tiba di lereng sebuah bukit yang sudah banyak ditumbuhi pohon di samping banyak
pula batu-batu besar dan goa-goa lebar. Mereka berhenti di sebuah goa yang
besar dan melepaskan buntalan masing-masing, lalu duduk melepaskan lelah.
Sunyi sekali
di situ. Lebih sunyi lagi terasa oleh Bi Lan karena semenjak meninggalkan
Istana Gurun Pasir, temannya seperjalanan itu tak pernah bicara, hanya nampak
berlari cepat di sampingnya seperti orang yang melamun. Ia melirik ke arah Sim
Houw, melihat betapa laki-laki itu pun duduk termenung, menundukkan muka dan
sukar melihat bagai mana bentuk wajahnya karena cuaca sudah mulai
remang-remang.
Beberapa
kali, seperti juga tadi ketika mereka berdua berlari, Bi Lan menggerakkan bibir
untuk bicara, namun lehernya seperti tercekik rasanya dan tak sepatah pun kata
keluar dari mulutnya. Ia menelan ludah beberapa kali dan memperkuat hatinya,
lalu memaksa diri berkata.
"Sim-toako...!"
Betapa sukarnya kata itu keluar dari mulutnya sehingga terdengar seperti
bisikan saja. Akan tetapi jelas nampak olehnya betapa Sim Houw terkejut
mendengar suaranya, seolah-olah ia tadi telah menjerit keras, bukan hanya berbisik.
"Lan-moi,
ada apakah...?" Dia bertanya, menoleh, bahkan kemudian mendekat dengan
menggeser duduknya.
Tiba-tiba
saja Bi Lan yang semenjak tadi merasa tegang dan penuh harapan, merasa
seakan-akan meledak dan ledakan itu pun menjadi tangisan! Segala macam perasaan
girang, terharu, bercampur dengan khawatir, harapan dan kekecewaan sejak pemuda
itu mengaku cinta kepadanya sampai tadi saat pemuda itu melakukan perjalanan
tanpa bicara sepatah pun kata, tercurah keluar bersama air matanya dan ia pun
menangis terisak-isak, menyembunyikan mukanya di dalam kedua lengan yang
memeluk lutut kaki yang diangkatnya. Tubuhnya terguncang-guncang karena
isaknya.
Tentu saja
Sim Houw menjadi terkejut bukan main dan tangannya kini sudah menyentuh pundak
Bi Lan, dan suaranya terdengar penuh perasaan khawatir ketika dia berkata,
"Moi-moi, engkau kenapakah? Kenapa engkau menangis, Lan-moi? Apakah yang
telah terjadi? Sakitkah enggkau?"
Bi Lan tidak
dapat menjawab karena tangisnya membuat ia tersedu-sedu dan sukar untuk dapat mengeluarkan
kata-kata. Sim Houw agaknya tahu akan hal ini maka dia tak mendesak, membiarkan
gadis itu menangis sampai segala yang mengganjal hatinya mencair. Akhirnya
tangis gadis itu pun mereda dan Bi Lan mulai mengangkat mukanya, menyusuti air
matanya dan kadang-kadang ia memandang kepada pemuda itu dengan sepasang mata
basah dan merah.
"Bi Lan
moi-moi, engkau kenapakah? Sakitkah engkau?" kembali Sim Houw bertanya
setelah gadis itu tidak tenggelam ke dalam isak tangisnya lagi.
Bi Lan
mengangguk. "Toako, aku memang sakit...," jawabnya dan kini legalah
hatinya bahwa setelah menangis, kata-katanya menjadi lancar.
Sim Houw
mengerutkan alisnya, kemudian mencoba untuk memandang dengan penuh perhatian di
dalam cuaca remang-remang itu. "Sakit? Sakit apakah, Lan-moi?"
"Sakit...
hati! Hatiku yang sakit."
"Eh?"
Sim Houw terbelalak heran. "Sakit hati? Bagaimana rasanya?" Dengan
sungguh-sungguh dia memperhatikan, mengira bahwa gadis itu menderita semacam
penyakit yang tidak dikenalnya.
"Rasanya?"
Bi Lan menelan kembali senyumnya karena merasa geli. "Rasanya... aku ingin
marah-marah, ingin mengamuk dan menangis saja."
"Ahhh...?"
Sim Houw masih belum mengerti dan menjadi bingung. "Dan engkau sudah
menangis tadi..."
"Ya,
akan tetapi belum marah-marah, masih belum mengamuk."
Sekarang Sim
Houw baru agak mengerti. Kiranya ada sesuatu yang membuat gadis ini merasa
mendongkol dan marah, pikirnya. Dan mengertilah dia apa artinya sakit hati
tadi, bukan penyakit badan, melainkan penyakit perasaan.
"Akan
tetapi, ada... apakah, moi-moi?"
"Siapa
yang tidak sakit hatinya, toako? Sejak meninggalkan istana, engkau diam saja
bagaikan patung, atau seakan-akan menganggap aku bukan manusia lagi melainkan
patung hidup yang tak dapat bicara. Kenapa engkau bersikap demikian, mendiamkan
aku sampai hampir sehari lamanya? Engkau sungguh kejam!"
Baru Sim
Houw mengerti dengan jelas sekarang. Diam-diam hatinya lega, akan tetapi
mukanya juga menjadi merah karena dia merasa semakin salah tingkah. Lalu dengan
suara lirih dan gemetar dia berkata, "Lan-moi, kau maafkanlah aku,
Lan-moi. Sama sekali aku bukan menganggap engkau patung, akan tetapi aku...
ahh, terus terang saja, aku... tidak berani bicara, Lan-moi. Semua yang terjadi
di istana itu... semua bagiku bagaikan sebuah mimpi yang amat indah dan aku
takut, kalau-kalau mimpi itu akan buyar dan aku akan sadar kembali dan mimpi
itu akan lenyap kalau aku bicara. Aku... sungguh aku tadi ingin sekali bicara,
akan tetapi setiap kali menggerakkan bibir, aku merasa takut dan seperti
tercekik leherku. Kau maafkanlah aku, moi-moi."
Bi Lan
memandang kepada Sim Houw dan pemuda itu pun memandangnya. Mereka saling
pandang di antara keremangan senja sehingga hanya dapat melihat bentuk muka
masing-masing. Bi Lan merasa heran sekali. Mengapa keadaan pemuda itu sama
benar dengan keadaan dirinya ketika mereka melakukan perjalanan tadi? Ia pun
ingin sekali bicara, namun amat sukar mengeluarkan kata-kata!
"Bagaimana
sekarang, toako? Apakah masih takut untuk bicara?" tanyanya, setengah
menggoda.
"Tidak,
moi-moi. Kalau kuingat, memang aku bodoh sekali. Kenyataan yang demikian
indahnya membuat aku mabok dan seolah-olah aku tidak percaya akan kenyataan
itu. Setelah kini kita bicara, aku tidak takut lagi. Maafkan aku."
Kembali
hening. Keduanya seolah tidak tahu harus berbuat apa dan harus bicara apa.
Terutama sekali Sim Houw. Jantungnya berdebar penuh ketegangan yang luar biasa,
yang tidak dikenal sebelumnya, tetapi dia tidak mengerti mengapa demikian.
Agaknya Bi Lan yang lebih tabah dalam menghadapi keadaan yang menegangkan dan
membuat mereka merasa canggung itu.
"Toako..."
"Ya,
Lan-moi?"
"Toako,
aku ingin sekali mengetahui apakah semua pernyataanmu di depan suhu dan subo
itu benar-benar keluar dari lubuk hatimu? Apakah engkau bicara sejujurnya
ketika itu?"
"Pernyataan
yang bagaimana, moi-moi?" Sim Houw bertanya, hanya untuk mencari
ancang-ancang atau batu loncatan menghadapi pertanyaan itu, karena sesungguhnya
dia dapat mengerti apa yang dimaksudkan gadis itu.
Bi Lan
mengerutkan alisnya. Kenapa sekarang orang yang selama ini dianggap sebagai
sepandai-pandainya orang, lihai, bijaksana dan cerdik pandai, mendadak saja
berubah menjadi orang yang tolol?
"Pernyataanmu
bahwa engkau cinta padaku. Benarkah itu, toako, ataukah hanya kau jadikan alasan
saja untuk menjawab desakan suhu dan subo?"
"Lan-moi,
tentu saja benar! Sama benarnya dengan pengakuanmu bahwa engkau cinta padaku.
Bagaimana mungkin engkau masih meragukan cintaku kepadamu, moi-moi?"
"Tentu
saja aku ragu-ragu. Kenapa selama ini, selama kita berkenalan, bahkan waktu
melakukan perjalanan bersama, mengalami banyak hal yang menegangkan bersama,
engkau tidak pernah menyatakan cintamu, baik dalam perbuatan atau dengan
ucapan? Kenapa, toako? Apakah cintamu itu baru saja timbul ketika kita berada
di Istana Gurun Pasir?"
"Tidak,
moi-moi! Aku cinta padamu sejak kita pertama kali bertemu!"
"Kalau
begitu, kenapa selama ini engkau diam saja, toako? Kenapa engkau agaknya hanya
menyimpan saja perasaan cintamu di dalam hati, bahkan engkau seperti hendak
merahasiakannya terhadap diriku? Kenapa?"
Sim Houw
sekarang telah siap dengan jawabannya. Ia mengangkat muka, memandang bentuk
wajah yang nampak dalam keremangan cuaca itu.
"Karena
selama ini aku menjadi pengecut terhadap cintaku sendiri, moi-moi. Aku tidak
berani mengakui, bahkan aku selalu menyangkal akan adanya kemungkinan bahwa
engkau mencintaku. Aku takut! Karena takut gagal maka aku lebih suka
merahasiakan perasaan cintaku..."
"Kau
takut kalau-kalau cintamu tidak kubalas?"
"Tidak,
moi-moi. Bahkan aku selalu merasa bahwa tak mungkin engkau cinta padaku. Aku
takut kalau-kalau aku akan kehilangan engkau, takut kalau aku mengaku cinta,
engkau lalu menjauhkan diri dariku."
"Sim-toako,
engkau kuanggap secerdik-cerdiknya orang, namun dalam hal ini engkau sungguh
bodoh. Apakah engkau tidak dapat melihat perasaan hatiku terhadap dirimu dalam
setiap pandang mataku, kata-kataku dan perbuatanku?"
"Memang
ada sekali waktu nampak olehku bahwa engkau seperti mencintaku, namun semua itu
kusangkal, kuanggap hanya khayalku belaka, karena tidak patut bagi seorang
gadis sepertimu ini mencinta seorang laki-laki seperti aku."
"Ihhh...!
Kenapa, toako? Kenapa tidak patut?"
"Moi-moi,
engkau adalah seorang gadis yang masih muda belia, usiamu baru sembilan belas
tahun, sedangkan aku… aku sudah hampir setengah baya..."
"Aduh
kasihan, ratap seorang kakek-kakek...!" Bi Lan menggoda. "Sim-toako,
mengapa engkau begitu merendahkan diri? Berapa sih usiamu maka engkau mengatakan
bahwa engkau sudah separuh baya?"
"Usiaku
sudah tiga puluh empat tahun!"
"Hemm,
bagiku engkau belum tua, tentu saja lebih tua dariku. Dan apakah ada batas usia
di dalam cinta?"
"Selain
usiaku jauh lebih tua darimu, hampir dua kali lipat, juga aku seorang laki-laki
sebatang kara, tidak memiliki apa-apa. Kuanggap diriku sama sekali tidak
berharga untuk menjadi jodohmu, moi-moi. Karena perasaan itulah maka aku selalu
diam dan merahasiakan cintaku. Tapi di Istana Gurun Pasir, dihadapan dua orang
locianpwe yang sakti dan bijaksana itu, bukan hanya sekedar untuk menolongmu,
aku merasa harus berterus terang sebagai seorang laki-laki yang berani mengaku
dan bertanggung jawab atas segala perbuatan dan ucapannya."
"Aih,
kasihan sekali engkau, toako. Aku... dapat kubayangkan betapa engkau menderita
dan aku sendiri… aku sudah tahu sejak lama bahwa engkau cinta padaku,
koko..."
"Ahhh?
Engkau sudah tahu?"
Bi Lan
mengangguk. "Aku diberi tahu oleh suci Ciong Siu Kwi. Ia mengatakan bahwa
engkau cinta padaku, hal itu baginya mudah terlihat. Aku menjadi girang sekali,
aku menjadi bahagia sekali, koko, apa lagi kalau melihat tingkahmu yang salah
langkah... aku tahu bahwa sejak lama engkau cinta padaku."
"Anak
nakal...!"
Sim Houw
yang merasa gembira bukan main lalu tiba-tiba merangkul leher Bi Lan dan
seperti sudah selayaknya, tahu-tahu Bi Lan sudah rebah di pangkuannya dan
mereka saling peluk. Sejenak mereka diam, Bi Lan menyandarkan kepalanya di dada
pria yang dicintanya itu. Ia merasa aman tenteram, merasa berbahagia dan puas,
dan keduanya seperti terbuai dan terpesona oleh kenyataan yang indah itu, bahwa
keduanya saling mencinta, bahwa tubuh mereka saling merindukan seperti juga
hati mereka.
Sambil
membelai rambut kepala gadis itu yang terlepas dari sanggulnya dan kini terurai
di atas dadanya, Sim Houw pun berkata, "Moi-moi, engkau sudah tahu bahwa
aku cinta padamu, akan tetapi aku... ahhh, aku selalu ragu-ragu, hampir tidak
percaya bahwa seorang gadis seperti engkau bisa jatuh cinta padaku. Sampai
sekarang pun aku masih merasa terheran-heran bagaimana engkau dapat cinta
padaku, moi-moi."
Bi Lan
membuka matanya memandang. Sinar matanya berseri dan mulutnya yang berbibir
merah basah itu tersenyum. "Sejak dahulu aku cinta padamu, koko. Aku sudah
tidak mempunyai sanak keluarga lagi, bahkan guru-guruku jauh dariku. Sam Kwi
jauh dari hatiku karena mereka jahat, sedangkan suhu dan subo di Istana Gurun
Pasir juga jauh. Aku sudah tidak mempunyai orang tua, tidak mempunyai kakak
atau adik, tidak berkeluarga. Karena itu, dalam dirimu aku menemukan semuanya
itu. Bagiku engkau adalah pengganti orang tua, pengganti guru, juga pengganti
kakak, keluarga, dan juga kekasih hatiku."
"Tapi...
tapi kenapa justru aku yang kau pilih?"
Senyum di
bibir Bi Lan melebar. Perasaan halus seorang wanita membuat ia merasa bahwa
tentu kekasihnya ini meragukan karena tahu ada beberapa orang pemuda pilihan
yang juga jatuh cinta kepadanya. Mengapa ia memilih Sim Houw dan bukan seorang
di antara mereka?
"Karena
engkau tidak hanya memkirkan diri sendiri, koko. Engkau selalu memikirkan
kepentinganku dan meniadakan kebutuhanmu sendiri. Engkau tidak pencemburu
seperti Hong Beng, dan engkau tidak mengkhayal dan memikirkan wanita lain seperti
Kun Tek, walau pun engkau pernah kecewa dan patah hati karena wanita. Cintamu
kepadaku murni dan engkau hanya ingin melihat aku bahagia. Karena semua itulah,
juga karena aku tertarik kepada pribadimu, kepada wajahmu, kepada perangaimu,
kepada... segala-galamu, maka aku cinta padamu."
Dihujani
pujian-pujian itu, Sim Houw jadi terharu sekali dan tanpa disadarinya lagi dia
menunduk, mendekatkan mukanya dan entah siapa yang mulai lebih dahulu, akan
tetapi tahu-tahu mereka sudah saling dekap dengan eratnya dan bibir mereka
saling kecup dengan mesra sampai lama, sampai mereka akhirnya menyudahi ciuman
itu dengan napas terengah-engah. Bukan terengah karena kehabisan napas,
melainkan terengah karena keduanya merasa tubuh mereka panas dingin dan darah
dalam tubuh mereka berdesir dan bergolak.
Suara
seperti rintihan keluar dari leher Sim Houw dan dia menyembunyikan mukanya pada
leher yang berkulit putih mulus dan hangat itu, di antara rambut yang membelai
mukanya seperti benang-benang sutera hitam. Sementara itu, dengan tubuh
menggigil, Bi Lan memejamkan matanya, menggelinjang dan jantungnya berdebar,
tubuhnya tiba-tiba saja terasa lemas dan dari kerongkongannya juga keluar suara
seperti merintih halus.
Sampai agak
lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, sampai tiba-tiba telinga keduanya
menangkap suara yang keluar dari dalam perut Bi Lan. Suara berkeruyuknya perut
yang menuntut isi! Mendengar ini, keduanya lalu sadar dari keadaan yang asyik
masyuk itu.
Akan tetapi
biar pun hatinya merasa agak geli, Sim Houw cukup bijaksana untuk diam saja dan
pura-pura tidak mendengar. Bahkan dia kemudian mempergunakan kekuatan
sinkang-nya menekan pada perutnya sendiri sehingga terdengarlah suara
berkeruyuk yang sama dengan tadi, hanya yang ini lebih nyaring!
Bi Lan yang
tadi merasa canggung dan malu, ketika mendengar keruyuk ke dua dari perut Sim
Houw, lalu tertawa. "Hi-hik, ada lomba nyanyi dalam perut kita,
koko...!"
Sim Houw
juga tertawa dan buyarlah suasana asyik masyuk tadi dan mereka berdua tersadar.
Meski mereka kini merenggangkan diri dan suasana masih mesra, sentuhan tangan
mereka masih mengandung getaran asmara, namun mereka tidak lagi dikuasai birahi
seperti tadi.
Mereka
bangkit berdiri. Sim Houw memegang kedua lengan gadis itu. Mereka berdiri saling
berhadapan, dekat sekali. Sim Houw mencium dahi Bi Lan, lalu berkata, suaranya
halus dan menggetarkan kasih sayang amat besar. "Lan-moi, mulai sekarang
kita harus berhati-hati. Kita harus dapat berjaga diri, jangan sampai terjadi
kebakaran..."
"Ehhh?
Maksudmu?"
"Tadi
ketika kita saling berciuman, aku hampir kebakaran..."
Bi Lan
tersenyum dan menahan suara ketawanya. Wajahnya menjadi merah sekali. Untung
cuaca sudah mulai gelap sehingga dia tak perlu menyembunyikan kemerahan
wajahnya.
“Terus
terang… tadi aku juga merasa aneh… ehh… kebakaran…,” Bi Lan berkata lirih
sambil pelan-pelan menundukkan wajahnya.
"Aku
tahu, karena itu, sebelum kita menikah dengan sah, sebaiknya kalau kita berdua
berhati-hati, jangan terlalu dekat agar tidak terjadi kebakaran dan
pelanggaran."
"Baiklah,
koko..." Bi Lan mengangguk dan semakin kagum terhadap kekasihnya itu.
Demikian kuatnya! Kuat lahir batin.
"Bukankah
semuanya itu kita lakukan demi kebahagiaan kita sendiri di kemudian hari,
Lan-moi?"
"Engkau
benar."
Mereka lalu
membuat api unggun, dan Sim Houw berhasil menangkap dua ekor ayam hutan. Daging
dua ekor ayam hutan inilah yang mengisi perut mereka sebelum mereka akhirnya
beristirahat di dalam goa itu, dengan tubuh mereka yang dihangatkan oleh api
unggun.
Dunia nampak
begitu indah bagi mereka, bahkan keadaan dalam goa yang demikian sederhana, di
bawah sinar api unggun, hanya tidur di atas tanah berbatu yang kasar, bau tanah
mentah, semua itu nampak amat indahnya. Indah luar biasa.
Keindahan
terletak di dalam batin. Batin yang berbahagia membuat segala sesuatu nampak
indah menyenangkan, segala penglihatan nampak indah, segala pendengaran menjadi
merdu, segala makanan menjadi lezat. Batin yang berbahagia mendatangkan surga,
sebaliknya batin yang keruh mendatangkan neraka. Segala apa pun nampak tak
menyenangkan bagi batin yang keruh.
Batin
menjadi keruh karena pikiran selalu sibuk berceloteh. Sayang bahwa kita selalu
menjejali pikiran kita dengan segala macam persoalan sehingga pikiran tiada
hentinya bekerja keras dan sibuk, oleh karena itu, batin tak pernah menjadi
bening.
Sim Houw dan
Bi Lan yang baru saja mendapat sinar cinta, untuk sejenak pikiran mereka tidak
sibuk dan batin mereka tidak menjadi keruh. Akan tetapi hanya sebentar saja
karena setelah mereka selesai makan dan sekarang duduk bersila menghadapi api
unggun, pikiran mereka mulai bekerja lagi mengingat-ingat akan hal yang telah
lalu.
"Sungguh
kita beruntung sekali bahwa keadaan berakhir dengan baik di Istana Gurun
Pasir," kata Sim Houw. "Kalau aku teringat betapa tadinya subo-mu
sudah marah sekali kepadamu, dan betapa suhu dan subo-mu agaknya sudah tidak
percaya lagi kepadamu, sungguh aku masih merasa ngeri. Kalau mereka
menghendaki, tidak akan sukar bagi mereka untuk menghukum kita, bahkan membunuh
kita sekali pun."
"Tetapi
aku tetap percaya akan kebijaksanaan mereka, koko. Yang menggemaskan adalah
orang yang memburukkan namaku di depan suhu dan subo, dan agaknya aku tahu
siapa orangnya!"
Sim Houw
memandang wajah kekasihnya. Dia pun dapat menduga siapa orangnya, akan tetapi
dia tidak mau mendahului Bi Lan. "Siapakah dia, Lan-moi?"
"Siapa
lagi kalau bukan Gu Hong Beng?"
Sim Houw
pura-pura kaget. "Kenapa engkau menyangka dia?"
"Di
antara tuduhan-tuduhan yang dilontarkan subo kepadaku, terdapat tuduhan bahwa
kita telah melakukan perbuatan yang melanggar susila. Siapa lagi orangnya yang
akan menyangka kita telah berbuat demikian kecuali Gu Hong Beng yang dipenuhi
perasaan cemburu dan iri itu? Dia bersama gurunya yang mendesak dan menyerang
kita, dan dialah yang juga menuduh kita secara membuta membela suci Ciong Siu
Kwi. Maka aku yakin tentulah dia yang telah memburukkan namaku di depan suhu
dan subo."
Sim Houw
menarik napas panjang, maklum mengapa kini pemuda yang gagah perkasa itu, murid
dari seorang tokoh keluarga Pulau Es, yang tadinya merupakan seorang sahabat
yang setia dan baik dari Bi Lan, kini berubah memburukkan nama Bi Lan. Dia tahu
bahwa pemuda itu jatuh cinta kepada Bi Lan, namun ditolak oleh kekasihnya ini,
dan agaknya Hong Beng merasa iri hati dan cemburu. Diam-diam dia merasa kasihan
karena dia maklum bahwa orang pertama yang tersiksa oleh cemburu bukan lain
adalah diri orang yang cemburu itu sendiri.
"Sudahlah,
biarkan saja jika memang benar dia yang memburukkan namamu. Mungkin memang dia
menyangka kita membela suci-mu secara membuta, mungkin dia mengira bahwa kita
telah menyeleweng dari kebenaran. Yang penting, kita yakin benar bahwa kita
tidak menyeleweng, bahwa kita telah berbuat benar. Kini kita harus mencurahkan
segala perhatian kita untuk mencari adik Kao Hong Li. Dan sesuai dengan pesan
suhu dan subo-mu, sebaiknya kita langsung menuju ke kota Pao-teng untuk
mengunjungi keluarga locianpwe Kao Cin Liong."
Bi Lan
menyatakan persetujuannya dan mereka pun tidak lagi membicarakan tentang Hong
Beng.
**************
Dengan hati
berat oleh kegelisahan dan kedukaan, suami isteri pendekar Kao Cin Liong dan
Suma Hui terpaksa meninggalkan Tibet dan daerah Himalaya. Mereka telah gagal
menemukan puteri mereka walau pun mereka telah berhasil menjumpai pertapa yang
berjuluk Ang I Lama.
Mereka masih
menggunakan waktu berbulan-bulan untuk terus melakukan pencarian di daerah itu,
tetapi tak pernah dapat menemukan jejak puteri mereka. Jejak satu-satunya
hanyalah bahwa puteri mereka diculik oleh seorang berjuluk Ang I Lama dan
ternyata kakek pertapa itu tidak menyembunyikan puteri mereka! Ke mana lagi
mereka harus mencari?
Akhirnya Kao
Cin Liong berhasil membujuk isterinya yang kini menjadi kurus dan pucat karena
selalu merasa gelisah dan berduka memikirkan puteri mereka yang hilang, untuk
pulang saja ke Pao-teng.
"Jelas
bahwa tidak ada jejaknya di barat ini," katanya kepada isterinya.
"Sebaiknya kita pulang saja karena siapa tahu kalau adik Suma Ciang Bun
dapat menemukan jejak di sana."
Mereka pun
melakukan perjalanan pulang ke Pao-teng dengan hati yang berat. Mereka merasa
lelah lahir batin ketika tiba kembali di rumah mereka. Dan kedukaan mereka
ditambah lagi oleh kekecewaan dikarenakan Suma Ciang Bun yang telah lama
menanti mereka di situ mengabarkan bahwa dia pun gagal dalam penyelidikannya.
"Aku
telah melakukan penyelidikan ke delapan penjuru berpusat dari Pao-teng, akan
tetapi tidak seorang pun pernah melihat kakek berjubah merah membawa seorang
anak perempuan tiga belas tahun."
"Agaknya,
penculik itu dapat membawa Hong Li keluar dari Pao-teng dan pergi jauh tanpa
ada yang melihatnya. Orang itu tentu lihai sekali." Suma Ciang Bun
menerangkan ketika begitu tiba di rumah dan bertemu dengannya, enci-nya, Suma
Hui, mengajukan pertanyaan padanya. "Dan bagaimana dengan hasil
penyelidikan kalian?"
Suma Hui
lemas tidak mampu bercerita, dan Kao Cin Liong yang menceritakan kepada adik
isterinya itu tentang kegagalan mereka menemukan Hong Li jauh di daerah Tibet
dan Himalaya sana. Suma Ciang Bun ikut merasa kecewa dan berduka, dia mengepal
tinju.
"Keparat
manakah yang telah berani melakukan penculikan ini? Aku hanya menanti
kembalinya Hong Beng dari Gurun Pasir, dan aku akan mengajaknya untuk mencari
lagi, entah ke mana."
"Muridmu
itu belum kembali?" Suma Hui kini ikut bicara. "Kenapa demikian
lamanya? Jangan-jangan dia tidak berhasil menemukan Istana Gurun Pasir."
"Tidak
mungkin. Sebelum berangkat sudah kuberi gambaran yang jelas tentang letak
tempat itu dan jalan mana saja yang harus diambil untuk dapat mencapainya
dengan mudah," kata Kao Cin Liong.
"Kalau
begitu, aku khawatir kalau terjadi sesuatu dengannya," kata Suma Ciang
Bun. "Telah terlalu lama aku menanti kalian kembali di sini, dan sekarang
aku akan menyusul Hong Beng dan bersama dia mencari keponakanku itu sampai
dapat."
Suami isteri
itu tidak mencegah, bahkan mereka tidak mampu mengeluarkan pendapat. Dalam
keadaan gelisah dan duka, mereka seperti kehabisan akal, tidak tahu apa yang
harus mereka perbuat. Tidak tahu harus ke mana mencari puteri mereka, kepada
siapa harus bertanya atau minta bantuan.
Dalam keadaan
duka dan putus asa, orang berada dalam keadaan kosong atau hening. Sayang bahwa
keheningan itu merupakan keheningan di luar kesadaran, keheningan sebagai
akibat terseret oleh duka, keheningan yang lumpuh. Pada hal, justru kita amat
membutuhkan keheningan, karena dari sumber atau dasar keheningan dan kekosongan
inilah kita dapat memandang dengan penuh kewaspadaan!
Batin kita
tidak pernah mengendap, tidak pernah kosong atau hening, selalu penuh dengan
prasangka, pendapat dari keinginan. Karena itu, panca indera kita tidak pernah
bekerja dengan sempurna dan hidup, melainkan hanya bergerak karena dorongan
batin yang sarat oleh beban itulah. Kalau batin sudah berprasangka, mana
mungkin pandang mata kita dapat memandang dengan waspada dan awas?
Semua panca
indera kehilangan kepekaannya sebab selalu diselubungi oleh prasangka,
pendapat, atau keinginan. Kita tidak lagi melihat kenyataan apa yang ada,
melainkan selalu ingin melihat sesuatu seperti yang kita kehendaki, yang kita
inginkan sehingga segala kenyataan, jika tidak cocok dengan keinginan kita,
nampak buruk, bahkan amat mengganggu mata.
Demikian
pula dengan pendengaran, penciuman, perasaan dan semua alat tubuh yang sudah
menjadi budak dari pada nafsu kita. Hilanglah semua ketajaman dan kepekaan yang
pernah kita miliki ketika kita masih kanak-kanak, ketika pikiran kita belum
sarat oleh beban, ketika ‘aku’ kita belum membesar dan merajalela menguasai
seluruh diri lahir batin.
Lihatlah
mata orang yang baru saja bangun tidur, ketika pikirannya masih mengendap, akan
nampak sinar mata yang bening dan cemerlang. Tapi, begitu batinnya disibukkan
kembali oleh isi pikiran yang bermacam-macam, lenyap pula keheningan mata,
kembali menjadi muram dan hampa, hanya dipermainkan rasa suka duka, puas
kecewa. Hanya melihat benda-benda yang disuka atau tak disuka, mendengarkan
dengan dasar senang dan benci. Mata seolah-olah menjadi buta dan tidak pernah
melihat segala sesuatu seperti keadaan yang sebenarnya, seperti apa adanya!
Ada pula
orang yang ingin mempertajam kembali panca indera, melahirkan kembali
kepekaannya dengan jalan membius diri dengan candu dan obat-obat pembius
lainnya. Memang, untuk sesaat badan akan menjadi kosong dan bebas, dan panca
indera akan bebas pula sehingga kita akan dapat menikmati keadaan apa adanya.
Akan nampak betapa indahnya setangkai bunga, sehelai daun, sekelompok awan,
atau wajah seorang manusia, indah tanpa batasan antara bagus dan jelek, indah
yang bukan berarti bagus. Telinga akan menangkap suara-suara yang luar biasa
indahnya, bukan bagus tetapi wajar seperti apa adanya dengan segala nada dan
iramanya, dengan segala gaungnya, gemanya, antara kosong dan isi dari
serangkaian suara itu.
Tapi, semua
itu hanya ditimbulkan oleh keadaan kosong atau hening yang dipaksakan, yang
timbul karena pembiusan! Seperti orang minum anggur, baru menjilat percikannya
saja. Dan akibatnya, orang akan menjadi kecanduan, orang akan selalu lari
kembali kepada obat bius untuk bisa memasuki alam yang indah itu lagi! Dan jika
sudah begitu, maka hal itu menjadi kesenangan. Seperti biasanya, untuk mengejar
kesenangan orang rela berkorban apa pun juga, dan dalam hal ini, mengorbankan
tubuhnya yang menjadi rusak oleh pengaruh obat bius.
Dapatkah
kita memasuki keindahan itu tanpa bantuan obat bius? Pertanyaan ini berarti,
dapatkah kita membersihkan semua debu yang mengotorkan batin kita? Dapatkah
kita membuang semua beban pikiran kita? Dapatkah kita membiarkan pikiran hening
dan kosong tanpa mengisinya dengan segala kesibukan yang bukan lain adalah si
aku yang ingin segala itu?
Dapat atau
tidaknya, mari kita mengamati saja. Mengamati diri sendiri, pikiran sendiri,
batin sendiri. Kita amati tiap saat tanpa menentangnya, tanpa berusaha
menenangkan atau mengosongkannya, sebab jika ada usaha mengosongkannya, berarti
tidak kosong. Kalau kita berusaha membuatnya hening, itu berarti bahwa batin
kita tidak hening lagi karena terisi kesibukan ingin hening.
Dapatkah
kita mengamati saja, tanpa pro dan kontra, seperti nonton sandiwara yang
terjadi di dalam pikiran kita, tanpa komentar? Yang ada hanyalah pengamatan,
bukan ‘aku’ yang mengamati, karena kalau aku yang mengamati, tentu karena aku
ingin batin ini hening, aku ingin begini dan begitu. Jadi, yang ada hanya
pengamatan, yang ada hanya kewaspadaan.
Kao Cin
Liong dan isterinya adalah orang-orang gagah perkasa, pendekar-pendekar
budiman, namun mereka juga manusia-manusia biasa dengan segala kelemahannya.
Mereka tidak mampu menghindarkan diri dari pada ikatan, dan ikatan dengan
puteri merekalah yang membuat mereka kehilangan akal, membuat mereka berduka
sekali ketika puteri mereka itu dipisahkan dari mereka.
Mereka
kehilangan akal, tak sedap makan tak nyenyak tidur, selalu gelisah dan akhirnya
keduanya bersepakat untuk meninggalkan rumah lagi, pergi mengunjungi Suma Ceng
Liong di dusun Hong-cun, di luar kota Cin-an. Kepergian mereka mengunjungi Suma
Ceng Liong itu selain untuk menghibur diri, juga untuk mengabarkan tentang
kehilangan puteri mereka agar Suma Ceng Liong yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi itu dapat membantu mereka mencari Hong Li, atau setidaknya minta
pendapatnya.
*************
Gu Hong Beng
melakukan perjalanan seorang diri dengan cepat. Ia telah meninggalkan gurun
pasir dan kini tiba di luar sebuah dusun yang letaknya di sebelah utara Tembok
Besar. Tidak jauh dari tembok itu karena tadi, ketika dia menuruni sebuah
bukit, dia telah melihat tembok itu melingkar-lingkar seperti seekor naga di
antara pegunungan di selatan.
Melihat
sebuah dusun yang berada di tempat terpencil ini, hati Hong Beng menjadi amat
tertarik. Siapa tahu dia bisa mendapat arak atau makanan di dalam dusun itu,
pikirnya. Amat menjemukan setiap hari makan bekal makanannya, yaitu roti kering
dan daging kering. Juga dia ingin sekali minum arak setelah berpekan-pekan
hanya minum air saja.
Selagi dia
hendak memasuki dusun itu melalui pintu gerbangnya yang rusak tiba-tiba dia
mendengar teriakan suara wanita. Hong Beng melihat seorang laki-laki bangsa
Mongol sedang memondong tubuh seorang gadis Mongol dan agaknya gadis inilah
yang tadi mengeluarkan teriakan.
Hanya
teriakan pendek karena kini gadis itu tidak dapat berteriak lagi. Sebuah tangan
pemondongnya menutup mulutnya dan biar pun gadis itu meronta-ronta, namun sama
sekali ia tidak mampu melepaskan diri dari pelukan laki-laki yang bertubuh
besar itu, bagaikan seekor kijang dicengkeram seekor harimau yang buas. Orang
Mongol itu lari keluar dari dusun, langkahnya lebar dan agaknya dia telah
menculik gadis itu tanpa ada yang mengetahuinya.
Biar pun
Hong Beng tidak tahu apa yang telah terjadi, namun melihat seorang gadis
dilarikan seorang pria secara paksa, jiwa pendekarnya bergejolak dan dia pun
cepat meloncat dan menghadang.
"Berhenti!"
bentaknya dalam Bahasa Mongol yang sudah dipelajarinya dengan baik.
Orang Mongol
itu memandang dengan mata merah dan beringas. Apa lagi ketika dia melihat bahwa
yang menghadangnya ialah seorang pemuda Bangsa Han, bangsa yang dianggapnya
sebagai musuh besar semenjak bangsanya kehilangan kekuasaannya di selatan,
setelah penjajahan Mongol berakhir.
"Keparat
orang Han, minggir kau dan jangan mencampuri urusanku!" bentaknya dalam
Bahasa Han yang cukup baik! Memang, Bangsa Mongol banyak yang pandai berbahasa
Han, hal ini tidak mengherankan jika diingat bahwa mereka menjajah Tiongkok
selama dua ratus tahun!
"Lepaskan
gadis itu! Tak pantas seorang laki-laki memaksa seorang gadis yang lemah!"
kata pula Hong Beng sambil mengamati orang Mongol itu.
Seorang
pemuda yang usianya sekitar tiga puluh tahun, memiliki tubuh raksasa yang membayangkan
kekuatan raksasa pula. Otot-otot menonjol keluar dan mengembang di bawah
kulitnya yang kemerahan karena terbakar matahari. Dadanya bidang dan kedua
lengannya yang berotot itu nampak mengandung tenaga luar biasa.
Hal ini
mudah dilihat karena pemuda Mongol itu telah menanggalkan baju atasnya yang
kini diikatkan di pinggangnya. Tubuhnya yang kokoh kuat itu penuh dengan
keringat yang membuat kulit tubuhnya mengkilat. Wajahnya membayangkan kekerasan
hati dan keberanian, namun matanya yang agak kemerahan itu memandang beringas
dan liar, dan ada sesuatu yang tidak wajar pada pandang matanya itu.
Karena marah
menghadapi Hong Beng, pemuda Mongol itu lupa akan gadis yang ada dalam
pondongannya dan menjadi lengah. Tangannya yang menutup mulut gadis itu mengendur
dan kesempatan ini dipergunakan oleh gadis itu untuk menggigit tangan itu.
"Ughhhh...!"
Orang Mongol itu terkejut dan kesakitan.
Ia lalu
melemparkan tubuh gadis itu ke atas tanah. Demikian kuat lemparannya hingga
gadis itu terbanting dan bergulingan. Hong Beng cepat menangkap dan
mengangkatnya bangun. Gadis itu sejenak merasa nanar, tetapi ketika melihat
bahwa ia telah ditolong oleh seorang pemuda Han yang tampan, ia merasa lega dan
berbisik.
"Dia...
dia itu gila..." Setelah berkata demikian, gadis ini lalu melarikan diri
secepatnya kembali ke dalam dusun.
Hong Beng
melihat betapa gadis Mongol itu cantik dan manis sekali, akan tetapi dia pun
terkejut mendengar bisikan itu. Kiranya orang Mongol seperti raksasa ini adalah
seorang yang gila, dan hal ini memperbesar bahaya. Melawan seorang gila amat
berbahaya, karena tentu saja seorang gila berada di luar kesadarannya, dapat
menjadi kuat bukan main, dan juga nekat dan tidak mengenal takut.
Melihat
gadis itu melarikan diri, orang Mongol itu berseru keras dan mengejar, akan
tetapi Hong Beng sudah melompat di depannya dan menghadang.
"Engkau
tidak boleh kejar gadis itu!" kata Hong Beng.
Orang itu
berhenti, menatap wajah Hong Beng dengan matanya yang merah kemudian
mengeluarkan suara gerengan dari kerongkongannya bagaikan suara binatang buas,
lalu dia pun menubruk dengan kedua lengan dipentang lebar, jari-jari tangan
terbuka.
Serangan itu
datang dengan mendadak dan cepat sekali, akan tetapi Hong Beng sudah siap sejak
tadi. Dengan mudah dia mengelak dan menyelinap dari bawah lengan kanan
lawannya. Akan tetapi orang itu membalik dan dengan kecepatan luar biasa, kini
tangan kirinya menyambar untuk mencengkeram ke arah kepala Hong Beng!
"Hemm...!"
Pemuda ini terkejut juga, tidak mengira bahwa lawannya ini demikian cepat
gerakannya dan agaknya memiliki ilmu berkelahi yang cukup kuat dan mahir.
Kembali Hong Beng mengelak dan menyampok lengan yang menyambar itu dari
samping.
"Plakk!"
Hong Beng mendapat kenyataan betapa kuatnya tenaga yang bersembunyi di dalam
lengan yang ditangkisnya itu.
Melihat
betapa orang yang diserangnya itu dapat menghindarkan diri dari
serangan-serangannya, orang Mongol itu menjadi semakin marah. Matanya melotot
dan merah sekali, dan kini sambil mengeluarkan gerengan-gerengan menyeramkan,
dia bergerak cepat menyerang Hong Beng membabi buta! Cepat dan kuat sekali
serangannya, dan bertubi-tubi karena setiap kali dielakkan atau ditangkis, dia
sudah kembali menerjang dengan lebih dahsyat.
Hong Beng
tidak berniat memusuhi orang ini. Dia belum tahu apa yang telah terjadi dan
siapa orang ini, siapa pula gadis tadi dan mengapa pula orang ini melarikan
wanita itu. Siapa tahu kalau-kalau wanita itu masih keluarganya sendiri? Lagi
pula, dia tidak ingin bermusuhan dengan orang-orang Mongol sebab ia pun tahu
bahwa orang-orang Mongol merasa sakit hati kepada orang Han dan kini menganggap
Bangsa Han sebagai musuh mereka. Dia tidak ingin mencari gara-gara di tempat
ini dan kalau dia tadi turun tangan, semata-mata karena dia ingin membebaskan
seorang wanita dari tangan seorang pria yang hendak memaksanya.
Akan tetapi
karena orang itu menjadi semakin ganas, serangan-serangannya menjadi makin
dahsyat, Hong Beng merasa khawatir juga. Bukan tidak berbahaya kalau sampai
terkena cengkeraman karena agaknya orang ini adalah ahli gulat, ilmu berkelahi
Bangsa Mongol yang terkenal itu. Dia harus dapat merobohkan orang ini tanpa
membuat dia menderita luka berat, pikirnya. Ketika orang itu kembali menubruk,
dia menyelinap ke samping dan kakinya menendang ke arah paha dengan maksud agar
orang itu roboh dan dia akan melarikan diri.
"Bukkk!"
Hong Beng
terkejut sekali karena merasa betapa sepatu kakinya bertemu dengan gumpalan
daging paha yang kerasnya seperti besi saja! Kiranya orang ini selain kuat dan
cepat, juga tubuhnya kebal! Dia mencoba lagi dengan memukul dan menampar ke
arah pundak, dada dan bahu, namun hasilnya sama. Orang itu tidak roboh,
jangankan roboh, tergoyang pun tidak oleh tamparan dan pukulannya yang
dilakukan cukup keras tadi.
Pada saat
itu, banyak orang berlari-lari keluar dari pintu dusun dan ternyata mereka
adalah sekelompok orang Mongol. Di depan sendiri berjalan seorang laki-laki
setengah tua bersama gadis yang ditolong oleh Hong Beng tadi dan sekarang
mereka nonton perkelahian itu dengan wajah tegang.
Karena tidak
nampak sikap marah dari mereka, hati Hong Beng menjadi lega. Jelas bahwa mereka
itu tidak berpihak kepada si gila dan tidak akan mengeroyoknya karena kalau hal
itu terjadi, tentu dia sudah melarikan diri. Akan tetapi, dia menjadi semakin
bingung. Bagaimana dia harus mengalahkan orang gila ini tanpa melukainya? Orang
itu demikian cepat dan kuat, dan tubuhnya kebal bukan main. Sudah dicobanya
pula untuk menampar bahkan menotok, akan tetapi hasilnya sia-sia, agaknya jalan
darah orang ini terlindung oleh otot-otot kuat dan daging-daging yang keras.
Karena
bingungnya, Hong Beng menjadi sedikit lengah dan tiba-tiba saja orang Mongol
itu sudah menubruk dan mencengkeram lehernya! Hong Beng terkejut, membuang diri
ke samping akan tetapi biar pun leher dan pundaknya luput, lengan kanannya
tetap saja kena disambar dan dipegang oleh tangan kiri orang Mongol itu yang
menyusul pula dengan tangan kanannya. Dipegang oleh dua tangan yang demikian
kuatnya, dengan jari-jari yang panjang dan besar, Hong Beng terkejut. Dia
berusaha menarik tangannya, namun lengannya seperti dijepit oleh jepitan baja
yang besar dan kuat.
Agaknya,
biar pun dia menarik lengannya sampai copot dari pundaknya, cekalan orang
Mongol itu takkan terlepas! Dan kini, orang itu mengerahkan tenaga. Hong Beng
merasa betapa lengannya itu diremas dengan kekuatan raksasa. Kiut-miut rasanya,
nyeri bukan main. Daging pada lengan itu bisa hancur lebur, tulangnya bisa
remuk berkeping kalau dibiarkan!
Dia cepat
mengerahkan sinkang-nya melindungi lengan itu, kemudian dia mencari akal untuk
dapat merobohkan orang itu dan membebaskan diri dari cengkeraman. Biar pun
lengannya sudah dilindungi sinkang, kalau dilanjutkan, lengan itu bisa rusak.
Akhirnya dia mendapatkan akal.
"Haiiiittt!"
Hong Beng
mengeluarkan seruan nyaring dan tangan kirinya dengan cepat bergerak menyambar.
"Dukkk!"
Dengan
tangan miring, Hong Beng memukul ke arah belakang telinga kanan orang Mongol
itu. Begitu kena pukulan, tiba-tiba tubuh orang Mongol itu terkulai lemas dan
pegangannya pada lengan Hong Beng terlepas. Pemuda ini meloncat ke belakang dan
tubuh lawannya roboh terkulai dalam keadaan pingsan.
Perhitungan
Hong Beng memang tepat. Biar pun pukulannya tidak dapat melukai lawan, akan
tetapi pukulan sinkang itu cukup kuat untuk mengguncangkan otak dan membuat
lawannya roboh pingsan!
Terdengar
seruan-seruan heran dan kagum di antara para penonton yang terdiri dari
orang-orang Mongol itu. Agaknya mereka merasa heran bukan main melihat ada
orang yang mampu merobohkan raksasa Mongol yang gila itu tanpa melukainya sama
sekali, apa lagi membunuhnya.
Orang Mongol
setengah tua yang tadi berjalan di depan bersama gadis itu sekarang melangkah
maju. Bahasanya cukup baik ketika dia menegur Hong Beng dalam Bahasa Han,
"Orang muda, terima kasih atas pertolanganmu kepada Mayani, anak perempuan
kami yang tadi akan dilarikan oleh si gila ini. Dia itu adalah keponakanku
sendiri, tetapi telah beberapa bulan menderita penyakit gila. Orang muda yang
gagah, perkenalkan aku adalah Agakai, ketua dari kelompok suku yang kini berada
di dusun itu. Siapakah namamu, orang muda yang gagah?"
Hong Beng
memandang kepada kakek setengah tua itu penuh perhatian. Seorang pria yang
bersikap anggun dan gagah, kedua matanya bersinar penuh kewibawaan. Bukan
laki-laki sembarangan, pikirnya. Dan gadis bernama Mayani yang ternyata adalah
anak perempuan kepala suku ini, memang manis sekali. Gadis itu sekarang
memandang kepadanya dengan sinar mata tajam dan mulut tersenyum ramah dan
manis.
"Nama
saya Gu Hong Beng, dan saya adalah seorang perantau yang sedang dalam
perjalanan. Kebetulan melihat nona ini dilarikan orang, maka dengan lancang
saya turun tangan membantunya, harap dimaafkan."
Agakai
tertawa. "Ha-ha, engkau sungguh pandai merendahkan diri, orang muda. Mari,
kami persilakan engkau untuk singgah sebentar untuk mempererat perkenalan
antara kita."
Hong Beng
mengerutkan alisnya. Dia tadi memang ingin sekali mencari makanan atau arak,
tetapi setelah terjadi keributan itu, dia merasa lebih senang jika dapat
melanjutkan perjalanannya.
Agaknya
kepala suku itu sudah melihat keraguannya, maka dia pun segera berkata,
"Gu-taihiap, kami mengundangmu bukan hanya sekedar mempererat
persahabatan, tapi kami juga ingin mengundang taihiap menghadiri pesta
pertemuan antara kami dengan beberapa orang tokoh pejuang."
"Tokoh
pejuang?" Hong Beng tertarik dan merasa heran. "Siapakah mereka
itu?"
"Mereka
adalah pendeta-pendeta dan pertapa-pertapa yang sakti. Mereka merupakan
pejuang-pejuang rakyat yang melihat betapa rakyat menderita di bawah pemerintah
Mancu, mereka bergerak dan berusaha menentang pemerintah Mancu. Mereka akan
mengadakan pertemuan dengan kelompok kami karena mereka menawarkan kerja sama
dengan kami. Kami harap engkau suka hadir, taihiap, karena kami percaya bahwa
seorang pendekar sakti sepertimu tentu dapat membantu kami dalam menentukan
sikap terhadap ajakan mereka."
Hati Hong
Beng jadi semakin tertarik. Ingin dia melihat siapakah mereka yang disebut
pejuang-pejuang itu. Mereka itu adalah pendeta-pendeta dan pertapa-pertapa!
Memang amat menarik hati. Dia juga sudah mendengar tentang para pejuang yang
menentang pemerintah Mancu dan diam-diam dia menaruh hati kagum terhadap
mereka, meski dia sendiri tidak berminat untuk mencampuri perjuangan yang belum
dimengertinya benar.
Hong Beng
menerima undangan kepala suku yang bernama Agakai itu, setelah Mayani, gadis
Mongol itu membujuk dengan mengatakan bahwa ia ingin mendapat kesempatan
membalas pertolongan Hong Beng dengan suguhan arak dan daging. Kelompok orang
Mongol itu kembali ke dusun dan si Mongol gila tadi kini dibelenggu kaki
tangannya dan dibawa masuk pula ke dalam dusun.
"Kami
baru sepekan berada di sini," kata Agakai kepada Hong Beng pada saat
mereka memasuki dusun. "Kami memilih tempat ini, meminjam dari orang-orang
Hui, untuk bisa mengadakan pertemuan dengan para pejuang seperti telah kami
rencanakan."
Dusun itu
sederhana saja. Agakai berada di tempat itu bersama puterinya yang berusia
sembilan belas tahun itu. Dia sendiri seorang duda berusia empat puluh lima
tahun, dan dia membanggakan diri sebagai keturunan Jenghis Khan, itu raja besar
dari Kerajaan Mongol ketika menjajah di selatan.
Ayahnya,
mendiang Tailu-cin, dulu selalu menyatakan sebagai keturunan Jenghis Khan.
Betul tidaknya, Agakai sendiri tak tahu pasti. Memang banyak dahulu raja besar
Jenghis Khan mempunyai anak, banyak di antaranya di luar nikah dan tidak
diakuinya, bahkan mungkin tak diketahuinya, anak-anak yang lahir dari
wanita-wanita yang pernah menjadi tawanan perang dan dijadikan isteri untuk
beberapa malam saja!
Hong Beng
diterima sebagai tamu kehormatan, disuguhi minum susu dan arak, dan disuguhi
pula makanan dari daging, yang biar pun aneh bagi lidahnya karena bumbunya
berbeda dengan masakan yang biasa dimakannya, namun cukup lezat. Mayani sendiri
lalu berdandan, bersama beberapa orang gadis lain lalu mengadakan pertunjukan
tari dan nyanyi untuk menghormati pemuda Han yang tampan dan gagah perkasa,
yang tadi telah menyelamatkannya dari tangan orang gila itu.
Ngeri ia
membayangkan bagaimana akan menjadi nasibnya kalau saja ia tidak ditolong oleh
Hong Beng tadi sebab si gila itu, sebulan yang lalu pernah pula melarikan
seorang gadis dan tiga hari kemudian, dia ditangkap di dalam sebuah goa
sedangkan gadis itu yang diperkosanya secara buas, telah menjadi mayat! Hanya
karena raksasa gila itu masih keponakan kepala suku, maka dia tidak dibunuh
melainkan dirantai dan disekap di belakang. Akan tetapi, pagi tadi dia dapat
melepaskan diri dan hampir saja membuat korban baru atas diri Mayani, saudara
misannya sendiri!
Malam hari
itu datanglah tamu-tamu lain, yaitu para pejuang yang hendak mengadakan
pertemuan rapat dengan Agakai dan anak buahnya. Hong Beng sebagai seorang tamu,
tidak keluar menyambut, melainkan tinggal di dalam kamar yang disediakan
untuknya. Setelah pertemuan dan pesta itu diadakan pada malam hari itu, barulah
Hong Beng dipersilakan keluar dan menghadirinya.
Ternyata
yang datang yaitu dua puluh lebih orang-orang yang berpakaian sebagai tosu,
dipimpin oleh lima orang tosu tua. Mereka disambut oleh Agakai dan para
pembantu ketua suku ini, dan pada malam hari itu, diadakanlah pesta pertemuan
itu di pekarangan rumah besar di dalam dusun. Di tempat itu telah disediakan
meja kursi dan penerangan lampu yang cukup banyak. Dusun itu sederhana, tidak
ada rumah yang cukup besar di situ untuk menjadi tempat pertemuan, maka pesta
pertemuan itu lalu diadakan di tempat terbuka.
Lima orang
tosu itu duduk di meja besar, disambut oleh Agakai yang duduk pula di situ
bersama lima orang pembantunya, yaitu mereka yang dianggap tokoh dalam kelompok
mereka. Mayani duduk di barisan belakang ayahnya, tidak ikut dalam rapat, akan
tetapi juga tidak menjadi pelayan, melainkan sebagai pendengar saja.
Ketika Hong
Beng dipersilakan duduk, pemuda itu memandang kepada lima orang tosu tadi
dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dia terkejut karena dia mengenal bahwa dua di
antara lima orang tosu itu pernah dilihatnya. Akan tetapi dia lupa lagi di mana
dan kapan dia pernah berjumpa dengan dua orang tosu itu dan kedua orang tosu
itu pun agaknya tidak memperlihatkan tanda bahwa mereka mengenalnya. Agakai
lalu memperkenalkan Hong Beng kepada para tamunya.
"Tamu
kehormatan kami yang kebetulan berada di sini adalah taihiap Gu Hong Beng ini
yang tadi telah menyelamatkan puteri kami dari ancaman mala petaka. Gu-taihiap,
para pendeta inilah pejuang-pejuang yang pernah kami ceritakan kepadamu."
Hong Beng
memberi hormat kepada para pendeta itu yang dibalas oleh mereka, akan tetapi
mereka bersikap acuh saja kepadanya. Ketika para pendeta itu bangkit membalas
penghormatannya, barulah Hong Beng bisa melihat bahwa di jubah para pendeta
itu, di bagian dada, terdapat lukisan-lukisannya. Tiga orang pendeta memiliki
lukisan bunga teratai di dada jubah mereka, sedangkan yang dua lagi terdapat
lukisan segi delapan.
Diam-diam ia
terkejut. Kiranya para tosu ini adalah pendeta-pendeta Pek-lian-kauw dan
Pat-kwa-pai! Memang dia tahu bahwa kedua perkumpulan ini merupakan
pemberontak-pemberontak atau menurut istilah mereka adalah pejuang-pejuang,
akan tetapi pejuang macam apa!
Mereka tidak
segan-segan untuk mengelabui rakyat agar mendukung gerakan mereka, akan tetapi
biar pun mereka memusuhi pemerintah Mancu, namun mereka pun terkenal sebagai
golongan yang tidak segan melakukan segala macam kecabulan dan kejahatan demi
mencapai tujuan mereka!
Orang-orang
gagah dari dunia persilatan tidak suka kepada mereka dan selalu menjauhi
mereka. Bahkan para pendekar yang berjiwa patriot dan turut berjuang pula
menentang penjajah, merasa segan untuk bekerja sama dengan orang-orang dari
Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai. Hatinya merasa tidak enak dan penuh curiga, akan
tetapi Hong Beng hanya duduk diam saja memperhatikan percakapan antara mereka
yang sekarang baru mulai berlangsung.
"Selamat
datang dan selamat malam, para totiang yang terhormat," kata Agakai
sebagai awal sambutan. "Seperti telah kita sepakati bersama, kami telah
berhasil membujuk dan mengusir penghuni dusun ini, orang-orang Hui, untuk
meminjamkan dusun ini kepada kami selama beberapa hari agar kita dapat
mengadakan pertemuan di sini. Kami masih belum yakin benar akan cerita tentang
perjuangan golongan kalian, maka kami minta agar kalian suka menjelaskan lagi
supaya kami dapat mempertimbangkan apakah dapat menerima uluran tangan kalian
untuk bekerja sama."
Tosu yang
berjenggot panjang dan memegang tongkat berbentuk naga hitam itu, segera
mengelus jenggotnya. Agaknya dialah yang menjadi juru bicara kawan-kawannya.
"Siancai…,
kami hargai kejujuranmu ini, saudara Agakai. Pertama-tama pinto (aku) ingin
menceritakan mengapa kami sengaja memilih saudara untuk bekerja sama. Kami tahu
bahwa saudara Agakai adalah keturunan langsung dari Sang Maharaja Jenghis Khan
yang maha besar di jaman lampau, karena itu kami merasa yakin bahwa tentu
saudara memiliki semangat untuk mendirikan kembali Kerajaan Goan di mana bangsa
saudara merajai seluruh Tiongkok. Nah, kami membutuhkan orang bersemangat
seperti saudara Agakai untuk menggerakkan seluruh Bangsa Mongol yang jaya untuk
menumbangkan kekuasaan Mancu."
Tentu saja
Agakai menjadi bangga dan gembira sekali mendengar ini. Telah tersentuh
kelemahannya! Dia memang selalu ingin menonjolkan bahwa dia adalah keturunan
dari Jenghis Khan, maka kini ucapan tosu itu seperti mengelus perasaannya dan
dia menjadi senang sekali kepada para tosu itu.
"Memang
tidak kelirulah kalau totiang beranggapan demikian," katanya bangga.
"Akulah satu-satunya orang di seluruh Mongol yang masih berdarah Jenghis Khan,
dan akulah yang akan mampu menggerakkan seluruh bangsaku untuk bangkit
lagi."
"Itulah
harapan kami, saudara Agakai. Kami menganggap bahwa gerakan yang datang dari
utara lebih banyak harapan untuk berhasil, karena selain dekat dengan kota
raja, juga terdapat banyak gunung dari mana kita dapat bergerak secara
sembunyi. Tembok Besar tidak merupakan penghalang yang terlalu berat, bahkan
para prajurit pamerintah yang melakukan tugas berjaga di Tembok Besar,
kebanyakan kurang semangat dan kurang kuat, jauh dari hiburan dan sudah merasa
bosan tinggal di tempat yang tandus. Kami membutuhkan bantuan saudara untuk
menghimpun tenaga yang kuat, yang setiap waktu dapat kami pergunakan untuk
menyerbu ke selatan. Kami sendiri akan bergerak dari dalam Tembok Besar."
"Nanti
dulu, totiang. Selain pemerintah Mancu memiliki pasukan yang amat besar dan
kuat, juga Kaisar Kian Liong selalu dibantu oleh para pendekar yang setia dan
mereka memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Mungkin saja menandingi pasukan
dengan siasat perang, akan tetapi bagaimana akan dapat menandingi para pendekar
yang mempunyai ilmu silat tinggi?"
"Ha-ha-ha,
tidak perlu khawatir, saudara Agakai. Kami orang-orang Pek-lian-kauw dan
Pat-kwa-pai memiliki banyak sekali tokoh yang berilmu tinggi, dan para pendekar
itu tak ada artinya bagi kami."
"Tapi,
di sana terdapat para pendekar yang lihai, seperti keluarga Pulau Es..."
"Siancai…!"
Tosu berjenggot panjang itu berseru. "Keluarga Pulau Es hanyalah
penjilat-penjilat kaisar, takut apa? Kalau ada yang muncul di sini, tentu
kepalanya akan pinto hancurkan dengan tongkat ini, seperti kepala arca di sana
itu!"
Mendadak
kakek itu melemparkan tongkatnya dan sungguh aneh… tongkat berbentuk seekor
naga hitam itu tiba-tiba saja seperti ‘hidup’, terbang melayang menyambar ke
arah sebuah arca batu yang berdiri sejauh dua puluh meter lebih dari tempat
kakek itu duduk. Terdengar suara keras pada saat tongkat menghantam kepala
arca, dan pecah berantakanlah kepala arca itu, sedangkan tongkatnya kembali
terbang ke arah tangan tosu tua itu!
Hong Beng
terkejut dan maklum bahwa tosu Pek-lian-kauw ini menggunakan ilmu sihir
bercampur ilmu silat yang amat tinggi!
Sementara
itu, Agakai dan para pembantunya memandang dengan mata terbelalak dan mulut
bengong. Kemudian terdengar sorak-sorai para anak buah Agakai yang berada di
sekeliling tempat pesta itu. Mereka pun melihatnya dan memberi pujian.
Sementara
itu perut Hong Beng tentu saja merasa panas mendengar betapa keluarga Pulau Es
dimaki sebagai penjilat dan dipandang rendah. Dan pada saat itu, dia pun tiba
tiba ingat siapa adanya dua orang tosu yang duduk di situ, yang tadi diingatnya
sebagai orang-orang yang pernah dikenalnya.
Kini dia
teringat bahwa dua orang itu bukan lain adalah dua orang pendeta yang pernah
dijumpainya ketika ia mencarikan obat untuk suhu-nya yang terluka. Dua orang
pendeta yang ditemukannya dalam keadaan luka dan menceritakan kepadanya bahwa
mereka adalah dua orang yang menentang Bi-kwi, karena Bi-kwi menculiki
pemuda-pemuda di dusun, namun mereka berdua kalah karena Bi-kwi dibantu oleh Bi
Lan dan Sim Houw! Karena keterangan mereka itulah maka dia bersama suhu-nya
lalu pergi mencari Bi Lan dan Sim Houw, bahkan lalu menyerang mereka. Kini
timbul keraguan dalam hatinya!
Benarkah
keterangan mereka tempo hari? Mungkinkah seorang tosu Pek-lian-kauw dan seorang
tosu Pat-kwa-pai muncul sebagai pendekar, sedangkan Bi Lan dan Sim Houw
sebaliknya menjadi pembela yang jahat? Pikiran ini membuat dia menjadi makin
marah. Jangan-jangan kedua orang pendeta ini dahulu hanya melakukan fitnah saja
sehingga berhasil mengadu domba antara dia dan gurunya melawan Bi Lan dan Sim
Houw! Kalau benar, celakalah!
Pada saat
itu, terdengar tosu tinggi besar perut gendut, seorang di antara dua pendeta
yang pernah dijumpai Hong Beng, yaitu yang bernama Ok Cin Cu, tokoh
Pat-kwa-pai, berkata kepada Agakai, "Saudara Agakai, sudah menjadi tugas
kami masing-masing tosu dari perkumpulan kami untuk menyampaikan berkah dan
pelajaran kepada seorang murid wanita baru. Pinto minta agar gadis yang duduk
di belakangmu itu malam nanti menjadi murid pinto yang baru dan tinggal bersama
pinto dalam kamar pinto."
Agaknya
Agakai telah tahu akan kebiasaan para tosu cabul itu, maka mukanya menjadi
merah karena yang dimintanya adalah puterinya! Dia tak peduli akan kebiasaan
mereka. Dia bahkan menganggapnya wajar kalau tokoh-tokoh besar itu membutuhkan
hiburan karena tugas mereka yang berat dalam perjuangan. Akan tetapi kalau
puterinya yang diminta, tentu saja dia tidak dapat memaksa puterinya.
Agakai
tertawa. "Totiang, agaknya engkau belum tahu bahwa dia ini adalah Mayani,
puteriku sendiri. Aku tak pernah memaksa puteriku, tetapi kalau dia suka
melayanimu dan menjadi muridmu malam ini secara suka rela, aku pun takkan dapat
melarangnya."
Dengan
ucapan ini, Agakai merasa yakin bahwa puterinya tentu akan menolak. Gadis mana
yang suka melayani seorang kakek yang buruk rupa dan berperut gendut seperti
tosu itu? Apa lagi puterinya, gadis yang amat pemilih dan selama ini belum
pernah mau menerima pinangan pemuda-pemuda yang cukup tampan.
Tosu
berjenggot panjang yang memimpin para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai itu
mendadak berkata, "Aha! Tentu saja nona Mayani suka melayani dan menjadi
murid saudara Ok Cin Cu!"
Begitu
ucapan ini dikeluarkan, tiba-tiba Mayani lalu bangkit berdiri, lalu menghampiri
Ok Cin Cu dan berkata, "Aku suka sekali melayanimu dan menjadi muridmu,
totiang!"
Tentu saja
Agakai terkejut setengah mati melihat puterinya demikian patuh dan dengan suka
rela menghampiri tosu itu dan menyatakan pula suka melayani dan menjadi murid!
Janjinya telah diucapkan, dan disaksikan orang banyak ternyata Mayani dengan
suka sendiri mau melayani tosu gendut itu.
"Mayani...!"
Dia berseru kaget dan heran.
Tiba-tiba
Hong Beng yang sudah tidak mampu menahan kesabarannya lagi karena dia maklum
apa artinya sikap Mayani yang aneh itu, ialah bahwa gadis itu tentu terkena
pengaruh sihir kakek berjenggot panjang, lalu bangkit berdiri, menggebrak meja
dan dari mulutnya keluar suara melengking tinggi yang membuyarkan pengaruh
sihir atas diri Mayani karena teriakan melengking itu mengandung tenaga khikang
yang amat kuat.
Mayani
tersentak kaget, lalu menjadi bingung mengapa ia berdiri di depan tosu gendut.
"Eh, apa yang telah terjadi... ayah...?" tanyanya dan ia pun cepat
kembali ke belakang ayahnya.
"Para
tosu jahat dan cabul!" bentak Hong Beng dengan marahnya sehingga sepasang
matanya berkilat. "Kalian telah menyebar racun fitnah, bujukan dengan ilmu
hitam yang amat keji! Saudara Agakai, jangan engkau terkena bujukan iblis
mereka ini. Mereka adalah tosu-tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai yang amat
jahat, berkedok perjuangan. Hampir saja puterimu terjebak dalam sihir dan
menjadi korban mereka yang amat jahat!"
Para tosu
itu bangkit berdiri dengan marah dan sekarang Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin,
dua orang tosu yang berada di situ, juga mengenal Hong Beng.
"Siancai...!
Dia ini adalah murid keluarga Pulau Es! Dia mata-mata musuh, dia mata mata
pemerintah Mancu!" teriak Ok Cin Cu dengan marah, memutar tongkat hitamnya
yang berbentuk ular itu ke atas kepala.
Jika tadinya
Agakai terkejut mendengar kata-kata Hong Beng dan memandang kepada para tosu
penuh kecurigaan dan kemarahan, kini dia terkejut dan menghadapi Hong Beng,
"Gu-taihiap, benarkah engkau murid keluarga Pulau Es?"
Dengan sikap
gagah Hong Beng menjawab, "Benar, aku adalah murid keluarga Pulau Es, dan
seperti semua orang gagah di seluruh dunia, aku pun menentang Pek-lian-kauw dan
Pat-kwa-kauw yang melakukan kejahatan dengan kedok agama dan perjuangan! Harap
saudara Agakai jangan sampai terkena bujukan mereka!"
Akan tetapi,
mendengar bahwa pemuda ini murid keluarga Pulau Es, Agakai yang juga sudah
terkena pengaruh sihir dari para tosu, segera merasa tidak senang dan curiga.
Bagaimana pun juga, ia tahu bahwa keluarga Pulau Es condong membantu pemerintah
Mancu karena mereka itu berdarah Mancu pula.
"Tangkap
mata-mata ini!" teriaknya kepada orang-orangnya.
Hong Beng
terkejut dan tak sempat untuk membela diri dengan kata-kata, maka sekali
meloncat dia telah berada di luar tempat pesta itu. Akan tetapi, lima orang tosu
itu sudah berloncatan dan mengepungnya.
"Ha-ha-ha,
orang muda mata-mata musuh, hendak lari ke mana engkau?" teriak Thian Kek
Sengjin yang sudah menggerakkan tongkatnya yang berbentuk naga hitam pula,
seperti tongkat tosu berjenggot panjang yang menjadi pemimpin rombongan itu.
"Wuuuttt...!"
Hong Beng
mengelak, akan tetapi dia segera dikeroyok dan karena tingkat kepandaian para
tosu itu sangat tinggi, yang paling rendah seimbang dengan tingkatnya, tentu
saja dia menjadi repot sekali menghadapi pengeroyokan mereka. Apa lagi, di luar
kepungan ini masih terdapat para anggota Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, juga
orang-orang Mongol.
Pada saat
tongkat hitam berbentuk ular di tangan Ok Cin Cu menyambar lehernya dan
sebatang pedang menusuk lambungnya, dia cepat mengelak dan pada saat itu, tosu
berjenggot panjang telah mengebutkan sapu tangan hitam di depan muka Hong Beng.
Karena dalam keadaan mengelak dan terkepung, Hong Beng tidak mampu mengelak
lagi dan begitu sapu tangan itu dikebutkan dan mengeluarkan debu, dia pun
mencium bau keras dan roboh pingsan! Kelenger.
Kiranya para
tosu itu tidak mau langsung membunuh Hong Beng karena mereka ingin memanfaatkan
pemuda ini. Sebagai seorang pemuda murid keluarga Pulau Es, tentu saja dia
merupakan orang penting. Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin sudah pernah
mempermainkannya dan mereka tahu bahwa Hong Beng merupakan seorang pemuda yang
berwatak keras dan mudah ditipu. Tidak ada gunanya membunuh pemuda ini, akan
tetapi mungkin dalam keadaan hidup mereka akan dapat memanfaatkan pemuda ini,
setidaknya sebagai sandera karena siapa tahu kalau-kalau di belakang pemuda ini
masih terdapat keluarga Pulau Es yang hendak menyerbu mereka.
Setelah Gu
Hong Beng dibikin tak berdaya dengan dibelenggu kaki tangannya, dan para tosu
itu menyerahkannya kepada anak buah Agakai untuk dimasukkan sebuah kamar dan
dijaga ketat, dibantu penjagaannya oleh para tosu anggota Pek-lian-kauw, para
tosu lalu mengajak Agakai melanjutkan percakapan mereka.
Mayani tidak
nampak di situ karena tadi begitu sadar bahwa ia telah bertindak aneh dan
bahkan menyerahkan diri untuk melayani tosu gendut, gadis ini menjadi ngeri dan
cepat meninggalkan tempat itu. Dia menangis di dalam kamarnya, teringat akan
Hong Beng yang pingsan dan ditawan. Dia tidak mengerti mengapa ayahnya berbalik
memusuhi penolongnya itu dan dia merasa penasaran sekali!
Sementara
itu, kakek jenggot panjang yang merupakan seorang tokoh Pek-lian-kauw berkata
kepada Agakai, "Saudara Agakai, mengingat bahwa engkau agaknya kurang
setuju kalau puterimu menjadi murid seorang di antara kami, biarlah pinto
membatalkan saja dan puterimu tidak akan menjadi murid kami. Tentu saja engkau
tahu bahwa sebagai pengganti puterimu, engkau sepatutnya menyediakan
gadis-gadis lain untuk menjadi murid-murid kami berlima malam ini."
Wajah kepala
suku itu menjadi berseri. "Tentu saja! Jangan khawatir, kalau gadis-gadis
suku kami tidak berbakat menjadi murid kalian, masih ada gadis-gadis Hui yang
dapat kami minta untuk menjadi murid kalian."
"Sekarang
dengarkan rencana kami selanjutnya, saudara Agakai. Seperti kami katakan tadi,
untuk daerah utara ini kami mempercayakan kepada saudara untuk menghimpun
kakuatan dan mempersiapkan diri. Kalau pasukanmu dibutuhkan, sewaktu-waktu kami
akan memberi kabar. Di bagian timur, kami sudah menghubungi para bajak laut
Bangsa Korea dan Jepang, dan di barat kami sedang mencoba untuk menghubungi
Sin-kiam Mo-li."
"Sin-kiam
Mo-li? Siapakah ia?" tanya Agakai yang tentu saja belum mengenal
tokoh-tokoh di dunia kang-ouw.
"Dia
seorang wanita yang sakti, jauh lebih pandai dari pada kami semua!" kata
tosu berjenggot panjang. "Ia adalah anak angkat dari mendiang Kim Hwa
Nionio yang tewas di tangan para pendekar, terutama keluarga Pulau Es. Karena
itu, ia tentu mendendam kepada keluarga Pulau Es dan kami yakin ia akan suka
menggabungkan diri dengan kita. Untuk daerah barat, kami akan menyerahkan
kepada Sin-kiam Mo-li, tentu saja bila ia suka bergabung seperti yang kami
rencanakan. Ia tinggal di tepi Sungai Cin-sa, di kaki Pegunungan Heng-tuan-san.
Ia lihai dan cantik jelita biar pun usianya sudah empat puluh tahun, seperti
seorang gadis remaja saja!" Para tosu lalu memuji-muji Sin-kiam Mo-li
sebagai ahli slat dan juga ahli sihir yang amat pandai.
Tentu saja
Agakai menjadi kagum bukan main. Dia telah melihat kelihaian Hong Beng yang
dengan mudah merobohkan keponakannya yang gila dan yang memiliki tenaga luar
biasa kuatnya itu. Kemudian dia melihat betapa Hong Beng yang lihai itu pun
roboh dengan mudah oleh para tosu ini.
Maka, mendengar
betapa wanita yang berjuluk Sin-kiam Mo-li itu memiliki ilmu silat dan ilmu
sihir yang amat tinggi, lebih lihai dari pada para tosu itu, tentu saja sukar
bagi dia untuk membayangkan kesaktian seperti itu. Diam-diam dia merasa girang
dapat bekerja sama dengan orang-orang yang demikian pandainya. Agaknya dia akan
dapat berhasil membangun kembali Kerajaan Goan-tiauw yang telah jatuh dari
bangsanya yang jaya!
Para tosu
itu dan para tokoh Mongol yang menjadi tuan rumah, sama sekali tidak tahu bahwa
sejak tadi percakapan mereka didengarkan oleh dua orang yang mengintai tak jauh
dari tempat itu. Dua orang yang memiliki gerakan amat ringan dan cepat sehingga
mereka mampu mendekati tempat pesta pertemuan itu tanpa diketahui orang, bahkan
turut mendengarkan percakapan antara para tosu dan Agakai dengan menggunakan
pendengaran mereka yang amat peka.
Dua orang
ini bukan lain adalah Sim Houw dan Can Bi Lan. Seperti kita ketahui, dua orang
ini kembali dari gurun pasir dan melakukan perjalanan cepat sehingga mereka
dapat menyusul Hong Beng yang melakukan perjalanan terlebih dahulu. Akan tetapi
karena Hong Beng pernah salah jalan sehingga membuang waktu beberapa hari maka
akhirnya dia tersusul.
Sim Houw dan
Bi Lan sama sekali tidak menyangka di situ akan bertemu dengan Hong Beng.
Mereka kebetulan lewat di dusun itu dan tadi mereka mendengar ribut-ribut di
dalam dusun. Ketika mereka melihat Hong Beng dirobohkan dan tertawan, mereka
tidak segera turun tangan, melainkan melakukan pengintaian untuk melihat apa
yang terjadi dan mengapa pula Hong Beng dikeroyok para tosu Pek-lian-kauw dan
Pat-kwa-kauw di tempat itu.
Mereka
berdua mengintai dan mendengarkan percakapan antara para tosu dan Agakai,
kepala suku Mongol itu. Ketika mendengar disebutnya nama Sin-kiam Mo-li anak angkat
Kim Hwa Nionio yang mendendam kepada keluarga Pulau Es, diam-diam mereka lalu
mencatat dalam hati nama wanita itu dan alamatnya. Kemudian, melihat bahwa yang
dibicarakan oleh para tosu dan kepala suku itu adalah urusan pemberontakan,
yang mereka namakan perjuangan, maka Sim Houw memberi isyarat kepada Bi Lan
untuk meninggalkan tempat persembunyian mereka di atas pohon besar itu.
Baik buruk
atau benar salahnya suatu perbuatan tidak terletak di dalam perbuatan itu
sendiri, tetapi terletak di dalam pandangan seseorang terhadap perbuatan itu.
Kalau si pemandang merasa bahwa perbuatan itu menguntungkan atau menyenangkan
hatinya, tentu saja dia akan mengatakan bahwa perbuatan itu baik dan benar.
Sebaliknya kalau si pemandang menganggap perbuatan itu merugikan dan tidak
menyerangkan hatinya, dia akan tanpa ragu mengatakan bahwa perbuatan itu buruk
dan salah.
Inilah
sebabnya mengapa orang-orang yang menentang pemerintah Mancu, dinamakan
pemberontak jahat oleh pemerintah Mancu dan orang-orang yang tak setuju terhadap
perbuatan itu, dan sebaliknya disebut pejuang perkasa oleh mereka yang
menganggap bahwa kepentingannya diwakili.
Karena itu,
apa yang dinamakan baik oleh seseorang, belum tentu baik bagi orang lain, juga
yang dinamakan buruk atau jahat belum tentu demikian bagi pihak lain. Untuk
bisa membebaskan diri dari ikatan ini, seyogianya jika kita menghadapi segala
sesuatu tanpa penilaian, melainkan membuka mata memandang dengan pengamatan
yang penuh kewaspadaan dan penuh perhatian. Pengamatan yang waspada ini
membebaskan kita dari penilaian dan pendapat, tidak terpengaruhi perhitungan
untung rugi dalam segala hal yang kita hadapi dan dari pengamatan penuh
kewaspadaan ini lahirlah perbuatan-perbuatan yang sehat dan bijak.
"Kita
harus bebaskan Hong Beng," kata Sim Houw setelah mereka keluar dari tempat
itu dan berada di belakang sebuah rumah kosong yang sunyi dan gelap.
"Untuk
apa bebaskan orang seperti dia?" Bi Lan membantah.
"Ah,
jangan berpikir demikian, moi-moi. Ia terjatuh ke tangan para tosu Pek-lian-kauw.
Jangankan Hong Beng yang sudah kita kenal sebagai seorang pendekar gagah dan
murid keluarga Pulau Es, biar orang lain sekali pun kalau terjatuh ke tangan
para tosu yang jahat itu, sudah sepatutnya kalau kita tolong dia."
Tanpa
memberi kesempatan kepada kekasihnya untuk kembali membantah, Sim Houw telah
menggandeng tangan Bi Lan kemudian mengajaknya menyelinap di antara rumah-rumah
dan menuju ke rumah di mana tadi mereka melihat Hong Beng dibawa masuk dalam
keadaan kaki tangan terbelenggu.
Dengan kepandaian
mereka yang tinggi, Sim Houw dan Bi Lan berhasil meloncat naik ke atas wuwungan
rumah itu, membuka genteng dan mengintai ke dalam. Mereka bisa melihat betapa
Hong Beng diikat pada sebuah tiang di dalam rumah itu, dan di situ terdapat
belasan orang Mongol dan anak buah Pek-lian-kauw, juga berjaga dengan rapatnya.
Dua orang anggota Pat-kwa-pai juga nampak berjalan hilir-mudik mengelilingi
rumah tahanan itu.
Sebelum Sim
Houw dan Bi Lan mengambil keputusan untuk berbuat sesuatu, tiba-tiba Sim Houw
menyentuh lengan Bi Lan. Keduanya memandang dengan penuh perhatian ke bawah.
Seorang gadis bangsa Mongol memasuki pintu rumah itu dan para penjaga memberi
jalan kepadanya, bahkan orang-orang Mongol itu bersikap hormat.
Gadis itu
cantik manis dalam pakaiannya yang berwarna merah dan hitam, dan kini ia
memasuki kamar di mana Hong Beng diikat pada tiang besar. Lima orang Mongol
yang berjaga di situ nampak terkejut melihat masuknya gadis ini, akan tetapi
ketika gadis itu menyuruh mereka keluar, lima orang itu tak berani membantah.
Setelah saling pandang mereka lalu keluar dari dalam kamar itu.
Gadis itu
bukan lain adalah Mayani, puteri Agakai. Setelah sekian lamanya gelisah di
dalam kamarnya, akhirnya gadis itu tidak tahan lagi dan nekat mengunjungi Hong
Beng dalam kamar tahanannya. Para penjaga tidak ada yang berani melarangnya,
juga para anggota Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw tidak mencegah setelah mereka
mendengar bahwa gadis itu adalah puteri kepala suku.
Setelah
Mayani berada seorang diri dengan Hong Beng, gadis itu mendekati dan air
matanya menetes ketika ia melihat betapa pemuda itu terbelenggu kaki tangannya,
dan pipi dan lehernya lecet-lecet, juga pakaiannya robek-robek.
Hong Beng
sudah siuman, akan tetapi ia masih belum mampu mengerahkan tenaganya karena
selain obat bius itu masih memusingkan kepalanya, juga tadi tosu Pek-lian-kauw
menotok jalan darahnya sehingga dia tidak mampu mengerahkan sinkang-nya. Andai
kata dia sudah mampu sekali pun, belum tentu dia akan dapat membikin putus tali
belenggu kaki tangannya yang terbuat dari pada kulit binatang yang amat kuat
itu. Kini dia memandang kepada Mayani.
"Nona,
kenapa engkau datang ke sini?" tanyanya lirih.
"Aihhh,
Gu-taihiap, betapa hancur rasa hatiku melihat engkau dikeroyok dan ditangkap
tadi. Akan tetapi, jangan khawatir, taihiap, aku datang untuk menolongmu, lihat
aku sudah membawa pisau yang tajam untuk membikin putus tali belenggumu."
Gadis itu mengeluarkan sebuah pisau yang mengkilat saking tajamnya.
Hong Beng
tidak kelihatan girang. Walau pun belenggu kaki tangannya putus, dia tetap saja
tidak berdaya karena belum mampu mengerahkan sinkang-nya. Dengan tenaga utuh
saja dia tidak mampu menandingi para tosu itu, apa lagi setelah jalan darahnya
tertotok. Apa artinya belenggunya terlepas kalau dia tidak mampu melarikan
diri?
"Aku
akan membebaskan dan melindungimu, taihiap. Jika aku mengancam akan bunuh diri,
tentu ayah akan membiarkan kita pergi berdua tanpa diganggu. Akan tetapi, lebih
dulu aku minta engkau berjanji."
Hong Beng
melihat kemungkinan baru untuk keselamatannya. Mungkin saja gadis ini dapat
memaksa ayahnya, dan sebagai kepala suku, ayahnya tentu memiliki kekuasaan
untuk membebaskan dia dan Mayani!
"Janji
apa, nona?"
"Janji
bahwa setelah kubebaskan, engkau akan suka menerima aku menjadi isterimu dan
mengajak aku ke mana pun engkau pergi!"
Ucapan ini
keluar demikian terbuka dan jujur tanpa malu-malu lagi dari mulut Mayani.
Sebaliknya, Hong Beng yang mendengar ucapan ini menjadi tersipu-sipu dan
mukanya berubah merah.
"Kenapa
harus begitu, nona?" tanyanya, agak heran dengan permintaan tiba-tiba yang
dianggapnya aneh ini.
"Sebab
aku cinta padamu, taihiap. Nah, kau berjanjilah dan aku akan membebaskanmu,
mengajakmu menghadap ayah agar kita berdua diperbolehkan pergi dari sini dengan
aman."
Tentu mudah
bagi Hong Beng untuk berjanji dan kemudian meninggalkan gadis ini. Namun dia
adalah seorang gagah. Dia tidak mau menipu Mayani, tidak ingin melanggar
janjinya sendiri. Maka dia menggelengkan kepalanya.
"Aku...
aku tidak bisa berjanji, Mayani," katanya, diam-diam merasa kasihan kepada
gadis ini.
Jatuh cinta
dan tidak terbalas! Dia juga sudah merasakan betapa sakitnya hal ini kalau
menimpa seseorang! Mayani jatuh cinta padanya, namun dia tidak dapat
membalasnya.
"Kenapa
tidak bisa, taihiap?"
"Karena
aku tidak ingin kelak melanggar janjiku, tidak ingin berbohong kepadamu hanya supaya
aku dapat kau tolong. Karena aku... terus terang saja, aku tidak... cinta
padamu, Mayani. Aku suka padamu, aku kasihan padamu, akan tetapi aku tidak
cinta padamu."
"Ahhh!"
Mayani nampak kaget. "Akan tetapi, bukankah engkau telah menyelamatkan aku
dari bencana, dari cengkeraman orang gila itu?”
"Aku
menolongmu bukan karena cinta padamu. Gadis mana pun akan kuselamatkan dari
cengkeraman orang gila itu, Mayani."
"Ahhh...!"
Kini Mayani
mengusap air mata dengan tangannya. Sungguh tak disangkanya jawaban seperti ini
yang akan didengarnya. "Kalau begitu... bagaimana aku dapat menolongmu?
Apa yang harus kupakai sebagai alasan menolongmu?"
Hong Beng
menarik napas panjang. "Sudahlah, tak perlu engkau menolongku, Mayani.
Kembalilah sebelum ada orang mengetahui niatmu dan engkau akan mendapat susah
karena ini. Pergilah."
Sejenak
gadis itu bengong, seperti tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Orang ini
berada dalam bahaya besar, akan tetapi menolak uluran tangannya untuk menolong
dan menyelamatkannya. Kemudian, dengan dua mata masih basah dan merah terpaksa
Mayani keluar pula dari kamar itu.
Begitu ia
keluar, lima orang Mongol itu cepat menyerbu ke dalam dan mereka nampak lega
melihat bahwa tawanan itu masih terbelenggu pada tiang. Mereka tadi sudah merasa
khawatir kalau-kalau Mayani melakukan kebodohan dan hendak membebaskan tawanan.
Sementara
itu, Sim Houw dan Bi Lan melihat semua peristiwa yang terjadi di dalam kamar
itu. Sim Houw lalu memberi isarat kepada Bi Lan. Keduanya lalu melayang ke
dalam kamar. Sim Houw lebih dulu, diikuti oleh Bi Lan.
Melihat ada
dua orang melayang turun bagaikan dua ekor burung garuda, lima orang Mongol itu
terkejut bukan main. Mereka hendak menerjang, tetapi beberapa tamparan dan
tendangan dari dua orang itu langsung merobohkan mereka.
Sim Houw
cepat membikin putus belenggu pada kaki tangan Hong Beng. Melihat tubuh Hong
Beng lemas, Sim Houw maklum. Yang penting melarikan pemuda ini, pikirnya.
Totokan orang Pek-lian-kauw mungkin berbeda dan harus dicari dulu bagaimana
untuk membebaskannya. Maka setelah dua kali mencoba dan gagal membebaskan
totokan, dia lalu menyambar tubuh Hong Beng, memanggulnya dan meloncat keluar
dari kamar itu, didahului oleh Bi Lan.
Sesuai
dengan rencana mereka tadi, yang sudah diatur oleh Sim Houw ketika mereka mendekam
di atas wuwungan, Bi Lan membuka jalan keluar. Beberapa orang penjaga yang
terkejut melihat keluarnya gadis yang tak dikenal ini, segera roboh oleh
tamparan Bi Lan.
Keadaan
menjadi gempar. Para penjaga berteriak-teriak saat dua orang yang melarikan tawanan
itu mengamuk dan merobohkan banyak penjaga. Mendengar teriakan-teriakan ini,
para pimpinan tosu cepat mendatangi tempat itu bersama Agakai, akan tetapi dua
orang penculik tawanan itu telah menghilang di dalam gelap, meninggalkan
belasan orang penjaga yang tadi mereka robohkan.
Tentu saja
para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw menjadi amat marah. Ada orang berani
membebaskan tawanan di depan hidung mereka! Hal ini sungguh membuat mereka
merasa malu dan penasaran, maka mereka lalu melakukan pencarian dan pengejaran.
Karena Sim
Houw juga menyadari betapa lihainya para tosu yang mampu menawan seorang pemuda
seperti Hong Beng, maka dia mengajak Bi Lan berlari terus sampai jauh
meninggalkan dusun itu dan akhirnya, pada pagi hari, mereka berhenti di bawah
Tembok Besar. Begitu berhenti, Sim Houw lalu mencoba beberapa totokan untuk
membebaskan Hong Beng dan akhirnya dia berhasil.
Hong Beng
terbebas dari totokan dan setelah melemaskan otot-ototnya yang menjadi kaku,
dia berdiri berhadapan dengan Sim Houw dan Bi Lan. Dia merasa canggung sekali,
tidak tahu harus berkata apa. Dia pernah memusuhi kedua orang ini, bahkan
sampai sekarang pun masih ada perasaan tidak suka.
Bagaimana
pun juga, dia dan gurunya pernah berkelahi melawan mereka ini yang pada waktu
itu membela Bi-kwi. Kenyataan bahwa dia telah dikelabui oleh dua orang tosu
Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu belum melenyapkan sama sekali keraguannya
dan dia masih tetap menganggap bahwa dua orang ini setidaknya pernah
menyeleweng dan membela Bi-kwi yang jahat, hanya karena Bi-kwi adalah suci dari
Bi Lan.
"Sim
Houw," katanya kaku, "aku tak pernah minta pertolongan kalian, akan
tetapi biarlah aku mengucapkan terima kasih atas pertolongan kalian ini, walau
pun jangan mengira bahwa terima kasih ini sudah melenyapkan ketidak cocokan di
antara kita."
Sejak tadi
Bi Lan memang sudah tidak senang diajak oleh Sim Houw menyelamatkan Hong Beng.
Kini mendengar ucapan yang dirasakannya sangat menyakitkan hati itu, bangkitlah
kemarahannya.
Sambil
bertolak pinggang dengan tangan kanan, telunjuk kirinya lalu menuding ke arah
hidung Hong Beng dan suaranya terdengar lantang dan galak, "Gu Hong Beng
manusia sombong! Siapa yang sudi menerima terima kasihmu? Ketahuilah, kalau aku
akhirnya menyetujui Sim-koko untuk menolongmu, adalah karena aku tidak ingin
melihat engkau mampus di sana. Aku ingin menghajarmu dengan kedua kaki tanganku
sendiri. Engkau lancang dan banyak mulut, suka mengadu dan melancarkan fitnah,
memburuk-burukkan nama kami di depan suhu dan subo di Istana Gurun Pasir!"
Hong Beng
mengerutkan alisnya. Tak dapat disangkal lagi, dia mencinta gadis ini. Akan
tetapi Bi Lan tidak membalas cintanya, bahkan agaknya gadis itu bermain cinta
dengan Sim Houw dan mengejeknya, menghinanya. Di samping rasa cintanya, timbul
perasaan penasaran dan juga kemarahan.
Mungkinkah
orang mencinta dan sekaligus membenci orang yang sama? Hal ini tidak mungkin
sama sekali. Benci timbul dari perasaan tidak suka, dari perasaan dirugikan dan
tidak tercapai apa yang diinginkan. Cinta tidak mungkin menimbulkan benci. Yang
menimbulkan benci bukan cinta, melainkan nafsu.
Nafsu ini
ingin memiliki, ingin disenangkan, dan kalau semua keinginan itu gagal, maka
muncullah kecewa dan benci. Baik nafsu mau pun benci adalah penonjolan diri
pribadi, adalah pakaian badan, adalah pementingan kesenangan dan kepuasan
badan. Cinta kasih tidaklah sedangkal segala macam keinginan badan, cinta kasih
bukanlah sekedar kesenangan dan kepuasan jasmani.
"Aku
tidak memburukkan atau menyebar fitnah, melainkan menceritakan keadaan yang
sebenarnya tanpa dibuat-buat. Bagaimana pun juga, Bi Lan, engkau telah
melakukan penyelewengan, membela dan melindungi perempuan jahat Bi-kwi, bahkan
engkau juga memusuhi kami orang-orang Pulau Es!"
"Sombong!
Orang macam engkau ini mengaku orang Pulau Es? Dan engkau menuduh yang
bukan-bukan tanpa menyelidiki kenyataannya. Huh, suci Ciong Siu Kwi jauh lebih
baik dari pada engkau. Orang macam engkau ini perlu dihajar!" Berkata
demikian, Bi Lan sudah menerjang dan menyerang Hong Beng.
Pemuda yang
juga sudah marah ini cepat mengelak dan balas menyerang. Sim Houw memandang
bingung. Tadi dia sudah membujuk Bi Lan untuk bersabar, tapi gadis yang sedang
marah itu tidak mempedulikannya. Dan melihat sikap Hong Beng, diam-diam Sim
Houw juga merasa penasaran. Kenapa pemuda itu juga bersikap demikian kasar? Dia
mengerti bahwa di antara mereka itu hanya terdapat kesalah pahaman belaka, dan
tetutama karena sama-sama tidak mau mengalah!
Selagi Sim
Houw merasa bingung apa yang harus dilakukan menghadapi dua orang yang kini
sudah berkelahi dengan seru itu, tiba-tiba terdengar suara orang membentak,
"Kalian ini sungguh tidak tahu diri!"
Lenyapnya
suara itu dibarengi munculnya seorang laki-laki setengah tua yang gagah dan
begitu tiba, laki-laki itu telah menerjang dan menyerang Sim Houw!
Tentu saja
Sim Houw terkejut dan cepat melompat ke samping, apa lagi ketika dia mengenal
orang ini sebagai Suma Ciang Bun, seorang tokoh keluarga Pulau Es yang pernah
pula menyerangnya bersama Hong Beng! Kiranya guru dan murid ini sekarang
kembali menyerang dia dan Bi Lan, seolah-olah melanjutkan perkelahian antara
mereka yang pernah terjadi tempo hari!
Bagaimana
Suma Ciang Bun dapat muncul secara tiba-tiba di tempat itu? Seperti kita ketahui,
Suma Ciang Bun meninggalkan rumah enci-nya, Suma Hui atau nyonya Kao Cin Liong,
untuk menyusul muridnya yang pergi ke utara, mengunjungi gurun pasir unuk
menghadap orang tua Kao Cih Liong, melaporkan tentang hilangnya Kao Hong Li.
Ketika tiba
di Tembok Besar itu, kebetulan saja dia melihat muridnya berkelahi melawan Bi
Lan dan tentu saja kemarahannya timbul seketika ketika dia mengenal Bi Lan dan
Sim Houw. Biar pun dulu dia pernah meragukan apakah kedua orang itu bersalah,
kini melihat betapa muridnya kembali sudah berkelahi melawan gadis itu, tentu
saja hatinya condong untuk membela muridnya dan karena khawatir kalau-kalau
muridnya celaka di tangan Pendekar Suling Naga yang lihai itu, dia mendahului
dan menyerang Sim Houw.
“Locianpwe,
perlahan dulu...!" Sim Houw kembali mengelak ketika pukulan yang amat
dingin menyambar. Dia bergidik. Pukulan ini tentu yang mengandung Swat-im
Sinkang, pikirnya, yang dapat membuat darah lawan menjadi beku kalau terkena
pukulan dingin ini.
"Mari
kita bicara!" ajaknya, dan kembali dia mengelak karena sebuah tendangan
kilat menyambar ke arah lututnya.
"Suhu,
mereka ini hendak menghajar teecu karena teecu melaporkan tentang mereka ke
Istana Gurun Pasir!" teriak Hong Beng yang sudah marah dan yang kini
menjadi besar hatinya melihat kemunculan gurunya.
"Hemmm,
dua orang muda yang besar kepala!" Suma Ciang Bun mendengus dan dia sudah
kembali menyerang.
Seperti juga
dalam perkelahian yang pertama melawan guru Hong Beng ini, Sim Houw hanya
mengelak dan menangkis, belum pernah membalas karena memang dia tidak ingin
bermusuhan dengan pendekar ini tanpa sebab yang jelas.
Hong Beng
sudah terdesak oleh Bi Lan, sedangkan Suma Ciang Bun sebagai seorang pendekar
maklum pula bahwa kalau Pendekar Suling Naga itu membalas, belum tentu dia akan
mampu mengalahkan orang muda yang perkasa ini. Maka, setelah lewat lima puluh
jurus, guru dan murid ini mulai merasa sibuk. Hong Beng sibuk oleh
desakan-desakan Bi Lan yang marah, sedangkan gurunya sibuk karena sebegitu
jauh, belum sebuah pun dari serangannya dapat menyentuh tubuh Sim Houw!
Tiba-tiba
terdengar suara ramai dan bermunculan tosu-tosu di tempat itu. Mereka adalah
para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw. Tanpa banyak cakap lagi, para tosu
itu kini menyerbu dan menyerang Hong Beng dan Suma Ciang Bun yang mereka kenal
sebagai seorang pendekar keluarga Pulau Es! Tentu saja Hong Beng dan Suma Ciang
Bun terkejut, dan Hong Beng berseru kepada suhu-nya,
"Suhu,
mereka ini pernah menawan teecu!"
Sementara
itu, melihat betapa para tosu yang lihai itu, yaitu lima orang pimpinan
disertai belasan anak buah, telah mengepung dan menyerang Suma Ciang Bun dan
Hong Beng, Sim Houw lantas memberi isyarat kekasihnya, dan mereka berdua pun
segera terjun ke dalam pertempuran, menyerang para tosu!
Sikap mereka
ini tentu saja membuat Suma Ciang Bun terkejut akan tetapi juga girang. Dia
tadi telah beradu lengan dengan tosu jenggot panjang dan dengan kaget mendapat
kenyataan betapa kuatnya lawan. Tosu-tosu itu lihai bukan main dan agaknya dia
dan muridnya belum tentu akan mampu mengalahkan mereka. Akan tetapi kini
Pendekar Suling Naga dan gadis yang galak itu telah membantu mereka menghadapi
para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw!
Bi Lan yang
berkelahi melawan Hong Beng mengamuk dengan sangat hebat. Ia masih membatasi
serangannya karena ia hanya ingin menghajar pemuda itu, bukan berniat
membunuhnya atau melukainya secara berat. Ia pun tahu bahwa sikap pemuda itu
yang berbalik tidak suka kepadanya karena cintanya ditolak dan karena cemburu,
demikian pendapatnya.
Akan tetapi
kini, melihat betapa mereka dikepung oleh tosu-tosu yang lihai, Bi Lan lalu
mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Biar pun ia tidak memegang Ban-tok-kiam
lagi, namun ketika ia mainkan Ban-tok Ciang-hoat yang dipelajarinya dari
subo-nya, diseling dengan Sin-liong Ciang-hoat yang didapat dari suhu-nya
Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka hebatnya bukan kepalang.
Seorang tosu
Pat-kwa-pai yang menjadi lawannya ialah Ok Cin Cu. Tosu ini memegang sebatang
tongkat hitam berbentuk ular. Tosu yang mata keranjang dan cabul ini tadi sudah
menyerang Bi Lan karena dia tidak dapat melewatkan gadis secantik ini dari
pandang matanya. Maksudnya tentu saja agar dia puas dapat mempermainkan gadis
ini.
Akan tetapi,
kalau pada mulanya dia maju dengan tangan kanan saja sambil tertawa-tawa dan
tersenyum-senyum, sekarang dia terkejut dan memainkan tongkatnya untuk
melindungi tubuhnya. Tak disangkanya bahwa gadis muda itu lihai bukan main,
memiliki serangan pukulan-pukulan yang sangat aneh!
Tosu ini
harus berloncatan ke sana-sini. Rambutnya yang putih riap-riapan itu
berkibar-kibar. Tongkat hitamnya menyambar-nyambar, akan tetapi tetap saja dia
kewalahan dan terdesak oleh gerakan Bi Lan yang tidak dikenalnya.
Suma Ciang Bun
diserang oleh tosu berjenggot panjang yang bersenjata tongkat naga hitam dan
merupakan pemimpin para tosu. Pendekar ini mengeluarkan senjatanya yang ampuh,
yaitu siang-kiam (sepasang pedang) dan memainkan Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang
Sepasang Iblis) dan dengan ilmu pedang yang hebat ini barulah dia dapat
mengimbangi serangan lawan. Tetapi harus diakui bahwa untuk mendesak dia pun
tidak mampu karena kakek berjenggot panjang itu memang lihai bukan main. Di
samping itu, Suma Ciang Bun juga harus melindungi muridnya.
Hong Beng
juga memainkan pedangnya melawan Thian Kek Sengjin, tokoh sakti dari
Pek-lian-kauw yang juga bersenjata tongkat naga hitam. Kakek ini bersama Ok Cin
Cu pernah menipunya dan mengadunya dengan Bi Lan ketika kedua kakek itu terluka
dan menyembunyikan keadaan mereka yang sebenarnya. Dalam perkelahian ini Hong
Beng terdesak oleh tongkat naga hitam. Akan tetapi, karena kadang-kadang
suhu-nya datang membantu, dia dapat pula bertahan dan perkelahian ini menjadi
perkelahian keroyokan antara guru dan murid itu melawan dua orang tosu.
Sim Houw
sendiri melayani dua orang tosu Pek-lian-kauw yang tingkat kepandaiannya sama
dengan yang lain. Sim Houw sudah mencabut sulingnya. Melihat senjata ini, para
tosu itu terkejut.
"Pendekar
Suling Naga...!" seru salah seorang di antara dua tosu yang mengeroyoknya
sambil memutar pedangnya dengan cepat.
Temannya
yang juga berpedang, menghujankan serangannya kepada Sim Houw. Tapi dengan
tenangnya Sim Houw memutar sulingnya. Terdengar suara suling melengking-lengking
dibarengi sinar berkelebatan dan dua orang itu segera terdesak hebat! Bukan
main kuatnya gerakan pedang suling itu.
Kedua orang
tosu itu sampai terhuyung ke belakang dan mereka mengeluarkan seruan kaget.
Belum pernah mereka bertemu lawan sehebat ini dan jika mereka tadinya hanya
mendengar saja nama besar Pendekar Suling Naga yang dianggap berlebihan, maka
baru sekarang mereka menyaksikan bahkan mengalami sendiri kehebatan senjata
aneh itu!
Bi Lan juga
mengamuk hebat dan lawannya sudah dua kali terkena pukulannya. Karena pukulan
itu mempergunakan jurus dari Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat, maka tenaganya
membuat lawan itu terpelanting, sedangkan pukulan ke dua yang memakai Ilmu
Silat Ban-tok Ciang-hoat membuat pundak lawannya yang terpukul terasa bagaikan
terbakar, terasa gatal-gatal dan nyeri bukan main. Itulah pukulan beracun yang
amat ampuh.
Ok Cin Cu
menjadi gentar. Dia pun cepat melompat jauh ke belakang, hampir berbareng
dengan dua orang tosu yang mengeroyok Sim Houw yang juga sudah berlompatan ke
belakang. Keduanya terluka sedikit pada bahu mereka terkena sambaran angin
pedang suling itu!
Melihat ini,
gentarlah hati lima orang tosu itu dan mereka berteriak mengerahkan anak buah
mereka, sedangkan dari jauh datang pula rombongan orang Mongol yang akan
membantu.
"Moi-moi,
mari kita pergi saja!" Sim Houw berseru dengan nyaring dan kepada Suma
Ciang Bun dia menjura sambil berkata, "Locianpwe, maafkan kami. Semua ini
hanya merupakan salah paham belaka!" Dan dia pun bersama Bi Lan cepat
meloncat jauh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu, melewati Tembok Besar
menuju ke selatan.
Melihat ini,
Suma Ciang Bun juga mengajak muridnya untuk segera pergi saja, melewati Tembok
Besar pula dan menuju ke selatan, tak ingin menghadapi pengeroyokan banyak
orang itu.
Biar pun
mereka berempat telah bekerja sama menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw,
namun di dalam hatinya, Hong Beng masih belum merasa puas. Dia belum yakin akan
kebersihan Bi Lan dan Sim Houw, sedangkan Suma Ciang Bun diam diam kagum bukan
main akan kelihaian Pendekar Suling Naga.
**************
"Aihh,
tenangkanlah hatimu, enci Hui. Kami sudah pernah merasakan betapa bingung dan
susahnya kehilangan seorang anak. Akan tetapi berduka saja tidak ada gunanya,
bahkan kedukaan itu akan mengeruhkan pikiran, melemahkan semangat sehingga kita
tak dapat bertindak bijaksana dan tepat. Tenangkan hatimu, dan kita bicarakan
urusan ini dengan teliti," demikian Suma Ceng Liong, pendekar sakti
keturunan keluarga Pulau Es itu menghibur Suma Hui yang datang bersama
suaminya, Kao Cin Liong, dan sambil menangis bercerita akan mala petaka yang menimpa
keluarganya dengan lenyapnya Kao Hong Li diculik orang.
"Benar
sekali apa yang dikatakan suamiku, enci Hui. Kami dahulu juga merasa amat
berduka dan gelisah, apa lagi karena hilangnya anak kami Suma Lian dibarengi
dengan tewasnya ibu mertuaku dibunuh orang. Akan tetapi, orang yang benar
selalu dilindungi Thian, enci. Aku yakin bahwa keponakanku Hong Li pasti akan
dapat ditemukan kembali dalam keadaan selamat dan sehat," berkata pula Kam
Bi Eng, isteri Suma Ceng Liong sambil merangkul kakak iparnya.
Suma Hui
menghapus air matanya dan ia memaksa diri tersenyum. "Maafkan aku atas
kelemahanku. Akan tetapi, kami berdua sudah mencari sampai jauh ke Tibet, akan
tetapi tidak berhasil, bahkan tidak dapat menemukan jejak anak kami. Bagaimana
hatiku tidak akan gelisah?”
"Ceng
Liong," kata Cin Liong yang memang akrab dengan ipar-iparnya. "Kami
sengaja datang ke sini mengunjungimu, bukan hanya sekedar menghibur diri, akan
tetapi juga kami membutuhkan pendapatmu dan bantuanmu agar anak kami itu dapat
segera kami temukan kembali."
Ceng Liong
mengangguk-angguk. Dia dan isterinya adalah suami isteri yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Dia sendiri adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es
sedangkan isterinya adalah murid pewaris Ilmu Suling Emas. Kini Suma Lian, puteri
mereka, dibawa oleh Bu Beng Lokai, yang masih terhitung pamannya sendiri karena
Bu Beng Lokai yang dulu bernama Gak Bun Beng adalah mantu dari kakeknya, Suma
Han. Suma Lian dibawa Bu Beng Lokai untuk digembleng.
Kini mereka
berdua hidup di rumah mereka yang nampak sunyi, maka kunjungan Suma Hui dan
suaminya itu menggembirakan, dan Ceng Liong menganggap sudah menjadi tugasnya
untuk bantu memikirkan kehilangan keponakannya, Kao Hong Li itu.
Mereka lalu
bercakap-cakap. Suami isteri yang kehilangan puterinya itu menceritakan dengan
sejelasnya asal mula terjadinya penculikan terhadap puteri mereka.
"Gambaran
tentang penculik itu telah kami dapatkan dengan jelas, bahkan teman-teman Hong
Li menceritakan dengan jelas si penculik mengaku bernama Ang I Lama, bertubuh
tinggi kurus, pandai silat dan pandai sihir. Akan tetapi ketika kami berhadapan
dengan Ang I Lama, ternyata bukan dia penculiknya. Jelas bahwa penculik itu
mempergunakan nama Ang I Lama. Akan tetapi siapa dia? Dan ke mana kami harus
mencarinya?" Kao Cin Liong menutup penuturannya sambil menarik napas
panjang.
Ceng Liong
juga menghela napas. "Hemmm, penculik itu selain lihai, pandai ilmu silat
dan sihir, juga cerdik sekali. Dia menyamar sebagai Ang I Lama untuk
mengelabuimu dan melenyapkan jejaknya. Untuk itu, kita harus menggunakan akal,
Kao-cihu (kakak ipar Kao)."
"Akal
bagaimana, adikku?" tanya Suma Hui dengan penuh harapan dan gairah. Timbul
kembali semangatnya mendengar percakapan itu.
"Cihu
harus dapat mengumpulkan orang-orang kang-ouw terkemuka dengan alasan tertentu
yang masuk akal. Cihu mengirim undangan agar mereka itu dapat datang dan lebih
baik lagi jika mengirim undangan secara terbuka. Siapa saja yang merasa dirinya
orang kang-ouw, orang-orang di dunia persilatan, dipersilakan datang. Nah,
kalau sudah banyak orang kang-ouw berkumpul, cihu dapat mengumumkan tentang
lenyapnya Hong Li diculik orang. Dengan demikian, tentu peristiwa itu akan
tersebar luas dan kalau di antara mereka ada yang mengetahui tentang siapa
penculik Hong Li dan di mana anak kita itu sekarang, tentu dia akan memberi
tahu kepada cihu. Kalau pun tidak, tentu mereka akan membuka mata lebih lebar.
Dengan demikian, harapan untuk menemukan kembali Hong Li lebih besar."
"Ahh,
bagus sekali usul itu!" Cin Liong berseru dan wajahnya berseri, matanya
berkilat membayangkan kegirangan. "Tidak sampai dua bulan lagi adalah hari
kelahiranku yang ke lima puluh! Hal ini tentu merupakan alasan yang baik sekali
dan tak dicari-cari untuk mengumpulkan orang-orang kang-ouw."
"Tepat
sekali, cihu! Kita membuat undangan dan juga undangan terbuka yang ditujukan
kepada seluruh orang kang-ouw. Aku akan membantu penyebaran surat undangan itu
ke seluruh dunia kang-ouw, cihu!"
Gembira hati
Cin Liong dan isterinya. Mereka segera kembali ke Pao-teng dan membuat
persiapan. Pesta ulang tahun itu tentu makan banyak biaya, apa lagi kalau yang
datang berkunjung nanti banyak sekali orang. Tetapi mereka berdua siap untuk
menghabiskan semua harta simpanan mereka untuk keperluan itu, karena apa
artinya semua harta itu kalau anak mereka tidak dapat ditemukan kembali?
Setelah kehilangan Hong Li, barulah suami isteri ini merasa betapa pentingnya
anak itu bagi mereka, dan betapa hal-hal lainnya tidak ada artinya lagi!
Hidup
merupakan gabungan dari segala macam hal yang multi kompleks. Kebutuhan hidup
bermacam-macam yang bergabung menjadi satu. Ada kebutuhan harta, sandang,
pangan, kesehatan, kerukunan keluarga, dan seterusnya. Tidak mungkin
mementingkan yang satu saja dan meremehkan yang lain. Karena kekurangan satu
saja di antaranya, hidup akan menjadi pincang.
Apa artinya
mempunyai segala itu kalau anaknya hilang seperti halnya suami isteri itu? Sama
saja susahnya kalau yang ditiadakan itu satu di antara kebutuhan-kebutuhan itu.
Apa artinya semua ada, keluarga lengkap, kalau badan selalu menderita penyakit?
Apa pula artinya kalau sehat, berharta, cukup segala kebutuhan, tetapi tidak
rukun dengan keluarganya? Masih banyak contoh-contoh lain lagi, namun kesemuanya
itu merupakan akibat kepincangan yang serupa.
Karena suami
isteri di Pao-teng itu kehilangan anak mereka, tentu saja hanya hal itu saja
yang terasa. Mereka mau mengorbankan milik mereka yang lain asal anak mereka
dapat ditemukan kembali.
Dengan cepat,
undangan pun disebar dan dalam hal ini, Suma Ceng Liong membantu dengan sekuat
tenaga. Tentu saja tak mungkin mengundang semua orang, tetapi yang penting,
demikian keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir itu berpendapat, dari delapan
penjuru harus ada tokoh-tokoh yang mewakili daerah masing-masing.
Juga disebar
undangan terbuka, tidak untuk nama tertentu, melainkan ditujukan kepada semua
orang kang-ouw yang suka datang, dipersilakan untuk datang pula meramaikan
pesta hari ulang tahun bekas panglima yang sangat terkenal itu, bukan saja
terkenal sebagai bekas panglima besar, juga terkenal sebagai seorang pendekar
sakti bersama isterinya yang juga pendekar keturunan keluarga Pulau Es.
Beberapa
hari sebelum pesta ulang tahun itu tiba, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng telah
berada di rumah Cin Liong di Pao-teng. Ayah bunda Kam Bi Eng yang merupakan
suami isteri terkenal sekali dan pernah menggemparkan dunia persilatan dengan
ilmu ilmu dari Suling Emas dan merupakan tokoh ke tiga sesudah keluarga Pulau
Es dan keluarga Gurun Pasir yang terkenal, hadir pula atas undangan puteri
mereka, Kam Bi Eng. Mereka itu bukan lain adalah pendekar sakti Kam Hong yang
kini sudah berusia enam puluh tiga tahun, sedangkan isterinya, Bu Ci Sian kini
telah berusia empat puluh delapan tahun.
Mereka
berdua ini tinggal tak begitu jauh dari kota Pao-teng, di puncak Bukit Nelayan,
yaitu salah sebuah puncak di antara puncak-puncak Pegunungan Tai-hang-san.
Mereka berdua ikut merasa prihatin ketika mendengar cerita tentang hilangnya
Kao Hong Li yang diculik orang yang masih belum diketahui jelas siapa adanya.
Selain
keluarga Suma Ceng Liong dan keluarga Kam Hong ini, juga telah hadir di rumah
itu Suma Ciang Bun dan muridnya, Gu Hong Beng. Pemuda ini sudah mendengar
banyak tentang suami isteri pendekar dari istana Khong-sim Kai-pang, yaitu Kam
Hong, akan tetapi baru sekarang sempat bertemu. Hatinya merasa kagum dan dengan
girang dia memperkenalkan diri.
Karena para
keluarga berkumpul, suasana sudah meriah sekali dan banyak hal mereka
percakapkan, dan tentu saja terutama sekali tentang hilangnya Kao Hong Li yang
diculik orang. Oleh karena Hong Beng merupakan murid dari Suma Ciang Bun, maka
dia pun diterima oleh keluarga Kao sebagai anggota keluarga sendiri.
Selagi
tokoh-tokoh keturunan keluarga Pulau Es, keluarga Gurun Pasir beserta keluarga
Suling Emas ini saling berbincang sebagai sekelompok keluarga, tiba-tiba
pembantu memberi tahukan bahwa di luar datang dua orang tamu laki-laki dan
perempuan yang masih muda. Kao Cin Liong dan isterinya tidak menanyakan siapa
dua orang tamu itu, tetapi karena mereka berada dalam suasana berpesta,
sehingga mereka mengharapkan munculnya banyak tamu, segera mereka menyuruh
pembantu itu untuk mempersilakan dua orang tamu itu masuk saja ke ruangan besar
di mana mereka tadi bercakap-cakap.
Ketika dua
orang itu masuk, semua orang memandang, ingin tahu siapakah tamu yang datang
agak terlalu pagi itu. Biasanya, yang datang lebih pagi dari hari pesta yang
ditentukan, hanyalah anggota keluarga sendiri yang datang dengan maksud
membantu tuan rumah mempersiapkan pesta ulang tahun itu.
Ketika
melihat munculnya Sim Houw dan Bi Lan, sebagian besar dari mereka yang hadir di
situ mengerutkan alisnya, terutama sekali Hong Beng dan gurunya, Suma Ciang
Bun. Mereka berdua sudah bangkit berdiri dan mengepal tinju, akan tetapi ketika
teringat bahwa di situ terdapat orang-orang tingkatan lebih tua seperti Kam
Hong dan isterinya, guru dan murid ini menahan diri dan duduk kembali.
Juga Kao Cin
Liong dan Suma Hui memandang marah. Mereka sudah mendengar dari Hong Beng dan
gurunya betapa Bi Lan yang diambil murid oleh suami isteri dari Istana Gurun
Pasir, telah menyeleweng, membela iblis betina Bi-kwi dan bahkan menentang Suma
Ciang Bun dan muridnya.
Perasaan
tidak senang membayang di wajah tuan rumah dan nyonya rumah. Baru satu kali Kao
Cin Liong dan isterinya bertemu dengan Sim Houw dan Bi Lan, yaitu ketika mereka
semua di bawah pimpinan Tiong Khi Hwesio menentang dan membasmi Sai-cu Lama dan
kawan-kawannya. Demikian pula Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng yang
juga membantu dalam pertempuran hebat itu.
Sim Houw
juga merasa girang sekali dapat bertemu dengan sekalian orang gagah itu. Kini
dia dapat memandang Kam Bi Eng yang telah menjadi nyonya Suma Ceng Liong dengan
wajah cerah dan ternyata setelah ada pertalian cinta antara dia dan Bi Lan,
kini tidak terjadi sesuatu di dalam hatinya ketika dia bertemu dengan Kam Bi
Eng, wanita yang pernah dikasihinya itu.
Akan tetapi,
yang membuat Sim Houw menjadi semakin girang dan terharu adalah ketika dia
melihat Kam Hong dan Bu Ci Sian di tempat itu. Sebelum memberi hormat kepada
yang lain, Sim Houw mengajak Bi Lan untuk menjatuhkan diri berlutut di depan
suami isteri ini.
"Suhu
dan subo... telah bertahun-tahun teecu tidak pernah menghadap ji-wi, harap
ji-wi sudi memaafkan teecu. Teecu harap selama ini suhu dan subo selalu dalam
keadaan sehat dan dilimpahi berkah oleh Thian."
Melihat
muridnya, diam-diam Kam Hong dan Bu Ci Sian merasa kasihan akan tetapi juga
girang. Mereka masih merasa kasihan mengingat betapa murid yang baik ini, yang
tadinya mereka jodohkan dengan puteri mereka, Kam Bi Eng, kemudian ternyata
ditolak oleh Bi Eng yang jatuh cinta kepada Suma Ceng Liong. Akan tetapi dengan
jiwa besar murid mereka itu dengan suka rela mengundurkan diri dan memberi
kebebasan kepada Kam Bi Eng untuk berjodoh dengan pria yang dipilihnya,
sedangkan dia sendiri lalu merantau dan baru sekarang guru itu bertemu dengan
murid yang pernah menjadi calon mantu itu.
Yang membuat
suami isteri pendekar ini prihatin adalah karena mereka mendengar bahwa sampai
sekarang murid mereka itu belum juga menikah. Hal ini bagi mereka menjadi tanda
bahwa hati murid mereka itu telah terluka karena kegagalan cinta dan
pernikahannya dengan Kam Bi Eng, dan mereka berdua turut merasa berdosa atas
penderitaan pemuda itu.
"Sim
Houw, selama ini engkau ke mana sajakah maka tidak pernah datang menjenguk
kami? Dan kami mendengar bahwa engkau mendapat julukan Pendekar Suling Naga!
Sungguh kami ikut merasa bangga dan... ehhh, siapakah nona ini?" Kam Hong
baru memandang kepada Bi Lan yang berlutut di dekat Sim Houw.
"Locianpwe,
nama saya Can Bi Lan...," jawab Bi Lan dengan sikap hormat.
Ia sudah
sering kali mendengar penuturan Sim Houw tentang suami isteri yang sakti ini,
yang agaknya hanya boleh disejajarkan dengan suhu dan subo-nya di Istana Gurun
Pasir, atau dengan para pendekar Pulau Es.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment