Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Naga
Jilid 17
"Suhu
dan subo, adik Can Bi Lan adalah tunangan teecu dan ia adalah murid dari
Kao-locianpwe di Istana Gurun Pasir dan isterinya"
"Juga
murid dari mendiang Sam Kwi!" Tiba-tiba terdengar suara Hong Beng memotong
kata-kata yang diucapkan oleh Sim Houw itu.
Semua orang
terkejut dan diam-diam Suma Ciang Bun menyesalkan ucapan muridnya yang lancang
itu, namun dia maklum bahwa perasaan dongkol di dalam hati muridnya yang
membuat muridnya bersikap lancang seperti itu. Sejenak keadaan menjadi kaku dan
tegang, akan tetapi Kam Hong yang menoleh kepada Hong Beng, kini tersenyum.
"Aihh,
seorang yang sakti dan bijaksana seperti Kao-locianpwe, Pendekar Naga Sakti
Gurun Pasir dan isterinya, tidak mungkin salah memilih murid. Dan ia sekarang
menjadi tunanganmu, Sim Houw. Selamat! Sungguh kami ikut merasa gembira
sekali."
"Tunanganmu
ini cantik dan gagah, Sim Houw. Selamat!" kata pula Bu Ci Sian, lega
hatinya karena dengan adanya pertunangan ini, berarti ia pun terlepas dari
beban batin yang merasa bersalah terhadap Sim Houw yang patah hati.
"Terima
kasih, suhu dan subo," kata Sim Houw. Barulah dia dan Bi Lan menghadap
takoh-tokoh lain dan memberi hormat.
Saat memberi
hormat kepada Kao Cin Liong, tanpa ragu-ragu lagi Bi Lan menyebutnya ‘suheng’
(kakak seperguruan). Mendengar sebutan ini, wajah Cin Liong menjadi merah dan
hatinya tidak senang sekali.
"Can Bi
Lan," katanya halus namun mengandung kemarahan, "engkau telah
menyebut suheng kepadaku, maka aku berhak untuk menegurmu. Aku banyak mendengar
hal-hal yang tidak baik tentang dirimu, dan kalau memang benar, maka berarti
aku sebagai suhengmu akan terkena lumpur dan noda pula. Benarkah engkau pernah
bersekongkol dengan wanita jahat Bi-kwi dan para pemberontak Pek-lian-kauw dan
Pat-kwa-kauw, bahkan engkau dibantu oleh Pendekar Suling Naga sudah memusuhi
keluarga Pulau Es?"
Bi Lan
mengerling ke arah Hong Beng. Ingin rasanya ia pada saat itu juga menyerang
pemuda itu. Ia dapat menduga bahwa tentu pemuda itulah yang menyebar fitnah,
yang memburukkan namanya di depan semua orang. Tapi sentuhan tangan Sim Houw
pada lengannya membuat ia menyadari bahwa di hadapan para locianpwe, tidak
sepantasnya kalau ia memperlihatkan sikap kasar. Maka ia pun memberi hormat
kepada Kao Cin Liong.
"Kao-suheng,
tidak akan kusangkal bahwa aku dan Sim-koko pernah membantu dan membela suci
Ciong Siu Kwi, akan tetapi untuk urusan itu terdapat alasan-alasannya yang
kuat. Sama sekali kami tidak pernah membantu kejahatannya. Ia telah mengubah
hidupnya, bertobat dan ia hanya diperalat oleh para tosu jahat yang telah
menyandera calon suaminya. Akan tetapi semua hal itu akan kuceritakan lain kali
saja, sekarang yang penting, aku hendak menyampaikan kepada suheng sekeluarga
bahwa aku dan Sim-koko datang ke sini sebagai utusan suhu dan subo di Istana
Gurun Pasir."
Mendengar
ini, Kao Cin Liong tertegun. Kalau gadis ini sudah diterima orang tuanya,
bahkan dijadikan utusan, itu tentu hanya berarti bahwa gadis ini tidak jahat.
Sambil mengerutkan alisnya, dia bertanya, "Apakah kalian berdua
mengunjungi orang tuaku?"
"Benar,
suheng. Kami baru saja datang dari sana dan kami mendapat tugas dari suhu dan
subo untuk memberi tahu kepada suheng berdua bahwa kalian telah kejatuhan
fitnah yang amat keji, dituduh menjadi pembunuh-pembunuh dari Ang I Lama."
Bukan main
kagetnya hati Kao Cin Liong mendengar ini. "Apa?! Apa maksudmu? Coba
ceritakan yang jelas!"
"Suheng,
ketika kami berada di istana, muncul seorang hwesio yang telah kita kenal baik
karena dia adalah Tiong Khi Hwesio. Locianpwe inilah yang mengabarkan kepada
suhu dan subo bahwa Ang I Lama tewas dibunuh orang, dan para pembunuhnya adalah
suheng berdua"
"Gila!
Kami tidak melakukan hal itu!" Kao Cin Liong berseru keras.
"Itu
fitnah keji!" Suma Hui juga berseru marah.
"Locianpwe
Tiong Khi Hwesio sudah menjadi utusan para pendeta Lama di Tibet untuk
menyampaikan protes kepada suhu dan subo karena mereka semua merasa yakin bahwa
suheng berdua pembunuhnya. Menurut cerita locianpwe itu, sebelum tewas, dalam
keadaan terluka parah dan di depan para pendeta Lama, Ang I Lama sempat
menyebut nama suheng berdua."
"Ahhh...!"
Wajah Kao Cin Liong berubah. Urusan ini bukanlah urusan kecil dan dia
mengerutkan alisnya. "Anak kami hilang belum juga ditemukan jejaknya, dan
sekarang muncul lagi fitnah keji yang menuduh kami membunuh Ang I Lama!"
"Ahh…
aku mengerti sekarang!" Tiba-tiba Suma Ceng Liong yang terkenal cerdik itu
berseru. "Pasti ada hubungan antara kedua peristiwa itu, cihu (kakak
ipar)! Si penculik Hong Li mengaku bernama Ang I Lama dan kemudian setelah
kalian datang ke barat, ternyata bukan Ang I Lama yang menculiknya. Kemudian,
Ang I Lama dibunuh orang dan pendeta itu meninggalkan pesan yang menuduh kalian
menjadi pembunuhnya. Bukankah jelas bahwa ada pihak ketiga yang sengaja hendak
mengadu domba antara kalian dengan para pendeta Lama? Mula-mula Ang I Lama difitnah
menculik Hong Li, kemudian karena tidak melihat kalian bermusuhan dengan Ang I
Lama, maka fitnahnya dibalik. Pendeta itu dibunuh dan nama kalian yang kini
difitnah."
"Benar!
Tentu ada orang yang mengatur semua ini. Akan tetapi siapa?" Kao Cin Liong
berseru, penuh rasa penasaran.
"Hemm,
setelah mendengar semua laporan tentang hilangnya Kao Hong Li, aku rasa ada
kemungkinan lain," tiba-tiba kakek Kam Hong berkata dengan suaranya yang
halus tetapi penuh wibawa sehingga semua orang menengok dan memandang kepada
orang tua ini. "Mungkin Ang I Lama yang merasa tidak berdosa, setelah
dituduh menculik Kao Hong Li, lalu turun tangan sendiri mencari penculiknya,
bertemu akan tetapi dia kalah dan tewas."
"Akan
tetapi mengapa dia meninggalkan pesan, yaitu menyebut nama cihu Kao Cin Liong
berdua, ayah." Kam Bi Eng membantah pendapat ayahnya.
"Hal
itu memang aneh, akan tetapi bisa juga dia bermaksud meninggalkan pesan untuk
Kao Cin Liong berdua, tentang anak mereka itu, akan tetapi tidak sempat karena
keburu tewas," sambung Kam Hong.
Kao Cin
Liong mengangguk-angguk. "Kemungkinan itu besar sekali, Kam-locianpwe.
Akan tetapi tetap saja tidak dapat menemukan jejak pembunuh Ang I Lama dan
penculik anak kami."
"Suheng,
aku dan Sim-koko sudah ditunjuk oleh suhu dan subo untuk menemukan kembali Hong
Li, dan juga membikin terang perkara fitnah atas diri suheng mengenai kematian
Ang I Lama."
Mendengar
ini, Kao Cin Liong dan Suma Hui menatap wajah gadis itu dan wajah Sim Houw
bergantian.
"Kalian...?"
Cin Liong berkata, seperti pada diri sendiri, penuh kesangsian apakah dua orang
muda ini akan berhasil, sedangkan dia bersama isterinya telah gagal, bahkan
Suma Ciang Bun dan muridnya juga gagal, dan tokoh-tokoh lainnya tidak tahu ke
mana harus mencari Hong Li. Pesta ulang tahun itu pun bahkan menjadi cara untuk
mencari keterangan, sesuai dengan yang diusulkan Suma Ceng Liong.
"Suheng,
kami berdua telah berjanji akan mencari Hong Li sampai dapat, kami tidak akan
kembali sebelum berhasil, bahkan juga kami tak akan menikah sebelum
berhasil," kata pula Bi Lan dan suaranya terdengar begitu tegas dan penuh
keyakinan bahwa mereka berdua akan berhasil.
Mendengar
tekad ini, diam-diam Kam Hong dan isterinya, Bu Ci Sian, menjadi terharu. Juga
Kao Cin Liong dan Suma Hui merasa bersyukur dan berterima kasih mendengar dua
orang itu rela mengorbankan diri sampai sedemikian besarnya untuk mencari
puteri mereka yang hilang.
Kini pandang
mereka terhadap Sim Houw dan Bi Lan berubah, menjadi ramah dan lenyap sudah
prasangka buruk dari hati mereka. Mereka yakin bahwa kalau orang tua mereka di
Istana Gurun Pasir mempercayai dua orang muda ini, tidak ada alasan lagi bagi
mereka untuk meragukan Sim Houw dan Bi Lan. Sebagai tuan rumah, Kao Cin Liong
dan isterinya lalu membujuk agar Sim Houw dan Bi Lan suka tinggal di rumah itu
sebelum pesta dimulai tiga hari lagi.
Meski merasa
agak sungkan dan tidak enak karena mereka berdua bukan keluarga, dan walau pun
Sim Houw melihat suhu dan subo-nya juga tinggal di situ, akan tetapi untuk
menolak mereka merasa tidak berani. Maka mereka pun menerima dan mendapatkan
dua buah kamar di sebelah belakang.
Hong Beng
merasa tidak puas sama sekali dengan kemunculan Sim Houw dan Bi Lan di ruangan
tadi. Dia menjadi gelisah di dalam kamarnya, tidak dapat mengaso pada malam
hari itu. Hatinya masih panas dan penuh kemarahan kepada Sim Houw dan Bi Lan.
Jelaslah bahwa
Bi Lan telah melakukan penyelewengan, berpihak kepada wanita jalang dan jahat
seperti Bi-kwi, dengan alasan apa pun juga, dan sudah dua kali malah Bi Lan dan
Sim Houw berkelahi melawan dia dan gurunya. Mereka berdua itu jelas bukan
golongan sahabat, melainkan musuh. Akan tetapi mereka sekarang disambut sebagai
tamu-tamu terhormat, bahkan diberi kamar.
Dan yang
lebih menyakitkan hatinya adalah pengakuan Bi Lan bahwa gadis itu sudah
bertunangan dengan Sim Houw! Nah, jelaslah bahwa apa yang dilihatnya tempo hari
bukan hanya khayal belaka, pikirnya. Di antara mereka tentu terjalin tali
perjinahan yang memalukan sekali! Dan mereka itu mengaku bertunangan begitu
saja. Kapan resminya dan siapa pula yang menjodohkan antara mereka?
Hong Beng
sudah tidak lagi mengharapkan balasan cinta dari Bi Lan, akan tetapi, melihat
kenyataan betapa gadis yang menolak cintanya itu telah mendapatkan seorang
kekasih, sedangkan dia masih menderita kesepian dan belum ada pengganti Bi Lan,
membuat dia tanpa disadarinya merasa iri hati! Terlalu enak rasanya bagi gadis
yang telah mengecewakan hatinya itu, yang selain menolak cintanya juga telah
melakukan penyelewengan, jelas memihak Bi-kwi dan mewarisi watak jahat dari Sam
Kwi, kini diterima pula secara terhormat seperti itu!
Selagi dia
gelisah, masuklah Suma Ciang Bun ke dalam kamarnya. Hong Beng cepat bangkit
duduk dan memberi hormat kepada suhu-nya.
"Engkau
belum tidur?" tanya Suma Ciang Bun sambil duduk di atas kursi, sedangkan
muridnya sudah turun dari atas pembaringan dan duduk pula di depan gurunya.
"Belum,
suhu. Hati teecu gelisah."
"Engkau
gelisah memikirkan diri Can Bi Lan itu, bukan?"
Hong Beng
terkejut, namun suhu-nya yang sudah seperti ayahnya sendiri ini boleh saja
mengetahui semua isi hatinya. "Benar, suhu. Teecu merasa penasaran sekali.
Gadis yang melakukan penyelewengan itu, bersama Sim Houw yang sombong dan
memusuhi kita, mengapa sekarang diterima dengan segala kehormatan di tempat
terhormat ini? Apakah hal ini tidak akan membuat para tokoh sesat mentertawakan
kita?"
Suma Ciang
Bun tersenyum. "Memang, keadaan mereka cukup aneh dan meragukan, apa lagi
mengingat bahwa gadis itu murid Sam Kwi dan memihak Bi-kwi. Akan tetapi engkau
sudah mendengarkan semua cerita mereka. Mereka mendapatkan kepercayaan dan
tugas dari locianpwe Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, bahkan menjadi utusan
locianpwe itu. Tentu saja Kao-cihu menerima mereka dengan baik. Hong Beng,
engkau agaknya terlalu dibakar hati yang panas. Maklumlah, karena engkau pernah
mencinta gadis itu dan ditolak, lalu kini gadis itu muncul dan mengumumkan
pertunangannya dengan Sim Houw! Aku tidak terlalu menyalahkan kalau engkau
berpanas hati. Akan tetapi engkau harus bersikap gagah dan bijaksana. Lihat
contohnya sikap Pendekar Suling Naga itu dan sikap nyonya Suma-Ceng Liong."
Hong Beng
memandang wajah gurunya dengan heran. "Apa maksud suhu? Ada apa dengan Sim
Houw dan isteri susiok (paman guru) Suma Ceng Liong?"
"Persis
seperti keadaanmu dengan nona Can Bi Lan itulah! Dahulu, isteri adikku Suma
Ceng Liong bernama Kam Bi Eng dan ia oleh orang tuanya telah dijodohkan dengan
Sim Houw! Mereka telah ditunangkan secara resmi atas pilihan dan kehendak orang
tua. Akan tetapi, Kam Bi Eng kemudian menolak Sim Houw dan memilih Suma Ceng
Liong! Dan lihat sikap mereka kini. Tidak ada apa-apa, bukan? Seharusnya
demikian pula sikapmu terhadap Sim Houw dan Can Bi Lan. Jodoh hanya dapat
berlangsung melalui jembatan cinta kasih, dan cinta kasih haruslah datang dari
kedua pihak. Tak mungkin bertepuk tangan sebelah, muridku, dan engkau sepatutnya
bergembira bahwa orang yang kau cinta itu kini berjodoh dengan seorang yang
berkepandaian tinggi."
Hong Beng
termangu mendengarkan keterangan suhu-nya ini. Tak disangkanya bahwa Sim Houw
pun pernah menderita kasih tak sampai seperti dia! Bahkan lebih hebat lagi
karena Sim Houw telah ditunangkan dengan bibi gurunya itu, pertunangan yang
diikat oleh guru Sim Houw sendiri, tapi kemudian dibatalkan karena bibi gurunya
itu mencinta paman gurunya, Suma Ceng Liong!
"Tetapi,
biar pun pandai, apa gunanya berilmu tinggi kalau melakukan penyelewengan,
suhu?"
"Jangan
tergesa menduga demikian, Hong Beng. Lihat saja, kalau memang Sim Houw
menyeleweng ke jalan sesat, apakah gurunya, pendekar sakti Kam Hong locianpwe
akan tinggal diam saja? Pula, kalau benar Bi Lan dan Sim Houw berkelakuan
buruk, kukira seorang sakti seperti Kao-locianpwe di Istana Gurun Pasir tidak
akan menaruh kepercayaan kepada mereka."
"Akan
tetapi jelas bahwa mereka memihak dan membela siluman betina Bi-kwi sehingga
menentang kita, suhu!" bantah Hong Beng penasaran.
"Menurut
mereka, siluman betina itu kini telah bertobat dan mereka membelanya karena ia
sekarang telah kembali ke jalan benar."
"Ah,
siapa dapat percaya keterangan itu suhu? Harap suhu bayangkan, seorang wanita
yang sudah demikian bejat akhlaknya, sudah demikian jahatnya seperti Bi-kwi,
yang sepak terjangnya mengerikan dan jauh lebih jahat dari pada Sam Kwi
sendiri, mana mungkin iblis betina macam ia itu dapat kembali ke jalan benar?
Alasan yang dicari-cari saja! Keterangan itu harus dibuktikan dulu sebelum kita
menerimanya dan menelannya mentah-mentah begitu saja. Teecu tetap masih belum
mau percaya!"
"Engkau
percaya atau tidak itu hakmu, akan tetapi aku memperingatkan agar engkau tidak
membuat gara-gara dengan panasnya hatimu itu di sini, Hong Beng! Tadi, ketika
engkau memotong keterangan Bi Lan dan mengumumkan bahwa Bi Lan murid Sam Kwi,
aku sudah merasa sangat malu. Engkau tidak boleh mencari keributan dengan
mereka lagi, baik di sini atau pun di lain tempat!"
"Suhu...!"
Hong Beng terkejut dan menjatuhkan diri berlutut, menundukkan mukanya. Tidak
disangkanya bahwa kini gurunya marah kepadanya dan agaknya gurunya bahkan memihak
Bi Lan!
Melihat
keadaan muridnya, Suma Ciang Bun menarik napas panjang. Dia merasa iba kepada
muridnya ini. Semenjak kecil, muridnya ini telah bernasib malang. Ayah ibunya
dibunuh orang dan hidup sebatang kara. Dia amat sayang kepada muridnya, seorang
murid yang baik, patuh, rajin dan berbakat, bahkan muridnya telah membuktikan
dirinya sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa. Kini, dia tahu bahwa
muridnya ini rusak batinnya karena cintanya yang gagal! Muridnya menjadi
pendendam, iri hati, dan iba dirinya membengkak.
"Hong
Beng, apakah engkau tidak dapat melupakan kegagalanmu dalam cinta? Masih banyak
wanita di dunia ini yang bahkan lebih baik dari pada Bi Lan, yang kelak dapat
menjadi jodohmu..."
"Suhu...!"
Dan pendekar
itu kaget sekali melihat betapa muridnya menitikkan air mata! Hong Beng,
muridnya yang gagah perkasa itu, yang tidak gentar menghadapi ancaman maut,
kini menangis!
"Hong
Beng, ada apakah? Engkau... menangis?"
Pertanyaan
ini memperbanyak keluarnya air mata dari kedua mata Hong Beng. Pemuda ini cepat
menekan perasaannya, menghapus semua air mata dari mata dan pipinya,
menggunakan punggung tangan. Setelah semua air mata terhapus, dia pun memberi
hormat sambil berlutut.
"Ampunkan
kelemahan hati teecu, suhu. Akan tetapi perkataan suhu tadi mengingatkan teecu
bahwa teecu selamanya tak akan mungkin dapat menikah... agaknya... teecu...
akan terpaksa mengikuti jejak suhu, tidak akan menikah selamanya."
Wajah Suma
Ciang Bun berubah dan alisnya berkerut, pandang matanya penuh selidik ditujukan
kepada wajah muridnya. Selama menjadi muridnya, Hong Beng tidak pernah mendapat
kesempatan untuk mengerti akan keadaan dirinya yang tidak normal.
Dia telah
berjaga diri, dan muridnya itu tidak pernah tahu bahwa dia tidak menikah bukan
karena tidak ada wanita yang mau menjadi isterinya, melainkan dia sendiri yang
tidak mau menikah karena dia tak suka berdekatan dengan wanita! Ucapan Hong
Beng itu tentu saja mengejutkan hatinya. Apakah Hong Beng kini tahu akan
ketidak wajaran dirinya?
"Apa
maksudmu, Hong Beng? Kenapa engkau terpaksa tak akan menikah selamanya?"
pancingnya dengan hati tegang.
"Karena
cinta pertama teecu (murid) telah gagal, dan untuk menikah dengan wanita lain,
tidak mungkin! Teecu telah terikat janji dengan seseorang bahwa teecu harus
menikah dengan seorang gadis. Padahal, perjodohan ini tidak akan mungkin
terjadi, dan untuk melanggar janji kepada orang yang teecu hormati dan yang
sudah tidak ada di dunia ini, teecu juga tidak berani."
Lega rasa
hati Suma Ciang Bun, perasaan lega yang timbul karena dengan jawaban itu
terbukti bahwa Hong Beng tidak tahu akan keadaan dirinya yang tidak wajar.
Namun dia juga merasa heran sekali.
"Sungguh
aneh! Kepada siapakah engkau berjanji, dan siapa pula gadis yang harus kau
jadikan calon isteri itu dan kenapa pula hal itu tak mungkin terjadi?"
Hong Beng
menundukkan mukanya, merasa bingung sebab ia tidak berani melanjutkan
bicaranya. Gurunya menjadi makin heran melihat muridnya yang hanya menundukkan
muka dan tidak menjawab itu.
"Hong
Beng, jawablah pertanyaanku tadi!" dia mendesak, penasaran.
"Teecu...
teecu tidak berani, suhu."
"Hong
Beng, bukankah aku telah menjadi gurumu dan pengganti orang tuamu? Siapa lagi
yang akan mengurus dan membela dirimu kalau bukan aku? Akulah yang akan melamarkan
gadis yang kau pilih, dan akulah yang akan menikahkan engkau. Katakan, kepada
siapa engkau berjanji dan siapa pula gadis itu!"
Hong Beng
tadi tidak sengaja hendak membongkar rahasia hatinya itu. Dia tadi bicara
karena dilanda duka, dan kini sudah terlanjur. Dia harus membuka rahasia itu
kepada suhu-nya. Pula, kalau diingat benar, siapa lagi kalau bukan suhu-nya
yang akan dapat membereskan persoalan itu?
"Harap
suhu maafkan teecu. Sesungguhnya, teecu telah berjanji kepada... mendiang
locianpwe Teng Siang In."
"Bibi
Teng Siang In? Ibu kandung Ceng Liong?" Suma Ciang Bun berseru kaget.
"Dan siapa gadis yang akan kau jadikan jodohmu itu?"
"Teecu
sudah berjanji kepada mendiang locianpwe itu untuk kelak... menjadi suami nona
Suma Lian..."
"Ehhh...?"
Suma Ciang pun menjadi semakin heran dan memandang wajah muridnya dengan mata
terbelalak.
Dia takkan
ragu akan kebenaran pengakuan muridnya sebab selama menjadi muridnya, dia sudah
mengenal benar watak Hong Beng yang tidak akan suka berbohong. Karena kepercayaan
dan keyakinan inilah maka dia membela Hong Beng ketika bentrok dengan Bi Lan
dan Sim Houw. Dia tidak dapat membayangkan muridnya itu berbohong dan membuat
keterangan palsu.
"Bagaimana
pula ini? Coba ceritakan, bagaimana asal mulanya maka engkau berjanji kepada
mendiang bibi Teng Siang In untuk kelak berjodoh dengan Suma Lian."
Dengan
panjang lebar dan jelas Hong Beng lalu bercerita kepada suhu-nya tentang
pengalamannya pada waktu dia berkunjung ke dusun Hong-cun untuk pertama
kalinya, di mana dia melihat Suma Lian diculik oleh Sai-cu Lama yang berkelahi
melawan nenek Teng Siang In. Betapa dia membantunya sampai Sai-cu Lama
melarikan diri.
Akan tetapi
Suma Lian dibawa oleh Lama yang jahat itu, sedangkan nenek Teng Siang In
menderita luka yang amat parah. Betapa kemudian Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng
melakukan pengejaran terhadap penculik anak perempuan itu dan dia merawat nenek
Teng Siang In yang terluka parah di pahanya oleh pedang Ban-tok-kiam, pedang
yang dirampas dari tangan Bi Lan oleh Sai-cu Lama.
"Ketika
itulah, suhu, locianpwe Teng Siang In yang siuman dan menghadapi kematian,
minta kepada teecu untuk mencari nona Suma Lian dan minta teecu berjanji agar
kelak teecu suka berjodoh dengan nona Suma Lian. Melihat keadaan locianpwe itu,
yang dalam sekarat menghadapi maut, bagaimana teecu tega untuk menolak
permintaannya yang terakhir itu? Sayang bahwa ketika itu, susiok Suma Ceng
Liong dan isterinya tidak ada. Kalau mereka ada, tentu dengan mudah teecu
menyerahkan persoalannya kepada mereka. Melihat betapa locianpwe itu menghadapi
saat terakhir, terpaksa teecu penuhi permintaannya dan teecu mengucap janji
itu. Baru kemudian teecu menyesal. Orang seperti teecu ini, mana mungkin
menjadi jodoh nona Suma Lian? Teecu tidak berani..., memikirkan pun tidak
berani, dan teecu juga tidak berani melanggar janji teecu sendiri, apa lagi janji
terhadap seorang locianpwe yang sudah meninggal dunia..."
Suma Ciang
Bun termenung, lalu mengangguk-angguk. "Muridku, aku sendiri tidak tahu
bagaimana sikap adikku Ceng Liong dan isterinya mengenai persoalan ini. Akan
tetapi, menghadapi setiap masalah, kita harus bersikap jujur dan berani, dalam
arti kata, berani menghadapi segala akibatnya. Diterima atau ditolaknya oleh
mereka jika urusan ini kita ajukan, hanya merupakan akibat saja dan andai kata
ditolak, berarti bukan engkau yang melanggar janjimu terhadap bibi Teng Siang
In, melainkan pesan itu tidak terlaksana karena pihak orang tua Suma Lian tidak
setuju. Nah, tenangkan hatimu. Setelah pesta ulang tahun cihu selesai, aku akan
bicara dengan Ceng Liong dan isterinya tentang pesan terakhir bibi Teng Siang
In itu."
"Akan
tetapi, suhu, teecu takut..."
"Takut
apa? Hong Beng, jangan engkau terlalu merendahkan diri. Engkau muridku, tahu?
Engkau cukup gagah dan tampan, cukup berharga untuk menjadi jodoh gadis mana
pun juga, termasuk Suma Lian! Nah, sekarang mengasolah dan sedapat mungkin
hapuskan rasa tidak sukamu kepada Bi Lan dan Sim Houw. Aku pun ingin
beristirahat. Ceritamu sungguh membuat hatiku menjadi tegang dan kaget
tadi."
Setelah
percakapan dengan gurunya ini, hati Hong Beng menjadi tenang kembali dan dia
dapat tidur nyenyak. Juga perasaan tidak suka dalam hatinya terhadap Bi Lan dan
Sim Houw seolah olah menjadi padam atau setidaknya berkurang banyak…..
**************
Semenjak
membuka rahasia itu kepada gurunya, Hong Beng merasa lebih tenang dan selama
beberapa hari ini, dia bahkan selalu menghindarkan pertemuan dengan Sim Houw
dan Bi Lan, walau pun mereka tinggal serumah. Mereka hanya saling bertemu pada
waktu tuan rumah dan para tamunya makan siang atau malam saja, dan dalam
kesempatan itu pun Hong Beng tidak pernah bicara dengan Sim Houw atau Bi Lan.
Seperti
telah diduga semula, banyak tamu datang membanjiri tempat pesta ketika hari
yang ditentukan tiba. Nama besar Kao Cin Liong cukup terkenal, baik sebagai
bekas panglima mau pun sebagai pendekar, dan semua orang tahu bahwa selain
pendekar ini putera tunggal Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, juga isterinya
adalah keluarga Pulau Es.
Maka,
banyaklah tokoh-tokoh kang-ouw datang membanjiri tempat pesta itu. Orang tua
Kao Cin Liong sendiri tidak nampak. Memang Cin Liong tidak mengabari, ia tidak
ingin membuat orang tuanya yang sudah tua sekali itu melakukan perjalanan yang
demikian jauhnya. Pula, ulang tahunnya itu sendiri tidak penting, yang penting
adalah maksud yang tersembunyi di balik pesta ulang tahun itu. Maka, Kao Cin
Liong sama sekali tidak mengharapkan kunjungan ayah ibunya.
Di antara
para tamu, terdapat pula tokoh-tokoh yang membawa bingkisan sebagai hadiah
ulang tahun. Bungkusan-bungkusan besar kecil diterima oleh pihak tuan rumah dan
diatur rapi di atas meja di tengah ruangan yang luas itu, di mana para tamu
telah berkumpul.
Setelah
matahari naik tinggi, tidak kurang dari lima ratus orang tamu hadir di tempat
itu. Mereka datang dari tempat-tempat yang jauh, mewakili daerah-daerah
terpencil. Biar pun tokoh-tokoh sesat, asal tidak mempunyai permusuhan dengan
keluarga Kao Cin Liong, memerlukan datang untuk menghormati tuan rumah, juga
untuk mempergunakan kesempatan yang sangat baik ini untuk bertemu dengan
tokoh-tokoh dunia persilatan yang lain.
Bahkan
banyak pula pembesar-pembesar yang memiliki kedudukan penting, baik dari daerah
mana pun dari kota raja, memerlukan hadir dalam pesta ini. Tentu saja mereka
bukan hanya mengingat bahwa Kao Cin Liong adalah bekas panglima yang sudah
banyak jasanya terhadap kerajaan, melainkan juga diam-diam mengintai apa yang
akan dilakukan bekas panglima ini dengan mengadakan pesta besar mengundang
banyak tokoh kang-ouw.
Yang menarik
perhatian banyak tamu, juga menggembirakan hati keluarga Pulau Es adalah
hadirnya sepasang pendekar yang terkenal dengan julukan Beng-san Siang-eng
(Sepasang Garuda dari Beng-san), yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, sepasang
saudara kembar putera-putera dari pendekar sakti Gak Bun Beng yang kini
berjulukan Bu-beng Lokai.
Seperti kita
ketahui, Gak Bun Beng adalah mantu pertama dari Pendekar Super Sakti, suami
dari mendiang Puteri Milana. Seperti telah diceritakan di bagian depan,
sepasang pendekar kembar yang usianya sudah hampir lima puluh tahun ini
sekaligus menjadi suami dari murid mereka sendiri yang bernama Souw Hui Lan,
yang kini hadir pula.
Souw Hui Lan
merupakan seorang wanita muda berusia hampir tiga puluh tahun, yang cantik
manis dan gagah, juga mencinta dua orang suaminya yang baginya merupakan satu
tokoh saja, biar pun memiliki dua tubuh. Setelah menjadi isteri dari saudara
kembar ini selama tiga tahun, kini Souw Hui Lan telah mempunyai seorang anak
laki-laki berusia dua tahun. Anak ini mereka ajak pula dan pertemuan antara
keluarga Pulau Es itu mendatangkan kegembiraan besar.
Sayang bahwa
kakek Gak Bun Beng atau Bu-beng Lo-kai tidak hadir, padahal Suma Ceng Liong dan
isterinya sudah merasa rindu kepada puteri mereka, Suma Lian, yang dibawa pergi
oleh paman mereka itu untuk digembleng dengan ilmu-ilmu yang tinggi. Sudah
setahun mereka ditinggalkan puteri mereka yang ikut bersama kakeknya itu ke
puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san.
Pihak tuan
rumah sibuk menyambut tamu-tamu yang berdatangan dan setelah tidak ada lagi
yang datang, tempat itu sudah hampir penuh. Para pembantu sibuk mengeluarkan
hidangan dan suasana di situ amat meriah. Keluarga tuan rumah berkelompok di
bagian tengah ruangan itu, menghadap ke luar, sedangkan para tamu memilih teman
sendiri-sendiri, berkelompok dengan kelompok masing-masing.
Seperti
biasa, para tamu yang baru datang tentu mencari-cari teman yang cocok lalu
dihampirinya. Ada pula tamu yang datang lebih dahulu memanggil tamu yang baru
tiba untuk bergabung satu meja dengan mereka. Kawan-kawan lama yang sudah lama
tak pernah saling berjumpa, kini bertemu dalam pesta itu, maka suasana menjadi
semakin riuh dan gembira.
Ketika para
tamu sudah disuguhi arak beberapa cawan, Kao Cin Liong lalu bangkit berdiri di
atas panggung yang telah disediakan, sehingga semua tamu dapat melihatnya dari
tempat duduk masing-masing.
"Cu-wi
sekalian, kami sekeluarga menghaturkan terima kasih atas kedatangan cu-wi, juga
atas semua hadiah yang diberikan kepada saya. Semoga Thian membalas semua
kebaikan cu-wi itu. Setelah cu-wi hadir di sini, kami ingin mohon bantuan
cu-wi, untuk membantu kami yang sedang prihatin menghadapi peristiwa yang sudah
membuat kami bingung. Hendaknya cuwi ketahui bahwa puteri kami yang bernama Kao
Hong Li, anak tunggal kami, telah beberapa bulan yang lalu lenyap diculik
orang..."
Suasana
menjadi gaduh ketika para tamu mendengar pengumuman ini. Kao Cin Liong
membiarkan keadaan gaduh itu berlangsung sebentar, kemudian ia mengangkat kedua
tangan memberi hormat dan minta agar suasana menjadi tenang kembali. Setelah
para tamu diam, dia melanjutkan.
"Anak
kami baru berusia dua belas tahun lebih, dan kami tidak tahu siapa penculiknya.
Selagi kami kebingungan dan belum berhasil menemukan anak kami, kembali terjadi
hal yang semakin membingungkan. Locianpwe Ang I Lama di Tibet sudah dibunuh
orang, dan kami suami isteri yang tidak berdosa dituduh sebagai
pembunuhnya."
Kembali
suasana menjadi riuh. Setelah semua orang diam, Kao Cin Liong melanjutkan
kata-katanya, "Karena kami kebingungan, tak menemukan jejak puteri kami,
maka kami mohon dengan hormat kepada cuwi, apabila ada yang mengetahui atau
mendengar di mana adanya puteri kami itu, sukalah memberi kabar kepada kami.
Atas kebaikan itu, sebelumnya kami menghaturkan banyak terima kasih kepada
cuwi."
Setelah Cin
Liong menyelesaikan pengumumannya, para tamu menjadi semakin gaduh,
bercakap-cakap di antara kelompok sendiri. Ada pula yang cuma diam
termangu-mangu dan menduga-duga siapa adanya orang yang demikian nekat dan
berani mengganggu keluarga Kao ini dengan menculik puterinya.
Kao Cin
Liong adalah seorang bekas panglima yang terkenal dan gagah perkasa, juga dia
adalah putera tunggal Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Isterinya juga bukan
orang sembarangan, melainkan cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Dan
kini ada orang berani menculik puteri mereka, bahkan menjatuhkan fitnah kepada
keluarga ini yang dituduh membunuh Ang I Lama. Apakah peristiwa ini menjadi
tanda bahwa nama besar Pulau Es dan Gurun Pasir akan berakhir atau menjadi
suram?
Pesta
dilanjutkan dengan cukup meriah dan kini percakapan para tamu adalah tentang
pengumuman tuan rumah. Mereka saling bertanya, akan tetapi agaknya tiada
seorang pun di antara mereka yang tahu di mana adanya anak perempuan yang
diculik itu.
Selagi pihak
tuan rumah dan keluarganya melayani para tamu makan minum, tiba-tiba penjaga
pintu memberi tahu kepada Kao Cin Liong bahwa telah datang lagi tamu baru,
sepasang suami isteri she Yo. Karena tidak mengenal siapa suami isteri she Yo
ini, Kao Cin Liong dan isterinya bangkit menyambut, sedangkan keluarganya ikut
memandang dengan penuh perhatian untuk melihat siapa adanya tamu yang datang
agak terlambat itu.
Pada saat Bi
Lan yang juga ikut menengok melihat bahwa yang muncul sebagai tamu terlambat
itu adalah Bi-kwi dan Yo Jin, jantungnya berdebar tegang penuh kegirangan, akan
tetapi juga penuh kekhawatiran. Tidak disangkanya bahwa suci-nya itu berani
datang pula ke pesta ulang tahun ini! Akan tetapi hal ini bahkan membuktikan
bahwa suci-nya memang benar telah mengubah cara hidupnya dan tentu suci-nya
datang karena menaruh perasaan hormat terhadap keluarga Kao yang gagah perkasa.
Keluarga
para pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir yang berada di situ, banyak yang
mengenal Bi-kwi dan mereka semua memandang dengan alis berkerut. Terutama
sekali Gu Hong Beng dan Suma Ciang Bun yang pernah bertempur melawan wanita
yang mereka anggap sebagai wanita iblis yang amat jahat itu.
Juga Kao Cin
Liong sendiri dan isterinya, Suma Hui, ketika terjadi pertempuran antara para
pendekar melawan Sai-cu Lama dan gerombolannya, telah pula mengenal Bi-kwi
sebagai murid Sam Kwi. Demikian pula Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Mereka
tidak mengira bahwa wanita ini berani muncul sebagai tamu, dan mereka teringat
akan pembelaan Bi Lan terhadap suci-nya yang pernah menjadi seorang wanita
iblis itu.
Bagaimana
pun juga, mereka berdua itu datang sebagai tamu, apa lagi melihat sikap Yo Jin
yang demikian sopan dan jujur, juga sikap Bi-kwi yang melihatkan sikap hormat
terhadap pihak tuan rumah, Kao Cin Liong dan isterinya terpaksa menyambut.
Mereka datang sebagai tamu, dan memang undangan itu ditujukan kepada semua
tokoh dunia persilatan tanpa memilih bulu, baik dari golongan putih mau pun
dari golongan hitam.
Setelah
memberi hormat dan menghaturkan selamat kepada pihak tuan rumah, yang disambut
oleh Kao Cin Liong dan isterinya dengan hormat pula, Bi-kwi dan Yo Jin yang
menjadi suaminya, menyerahkan sebuah bingkisan yang berupa bungkusan kecil dari
sutera merah. Bungkusan itu diterima oleh Suma Hui dan diletakkan di atas
tumpukan barang-barang hadiah lain dalam bungkusan-bungkusan besar kecil.
Mereka
berdua lalu dipersilakan duduk, tapi karena tempat duduk di bagian depan telah
penuh tamu, Bi-kwi dan Yo Jin mencari tempat duduk kosong agak di sudut
belakang. Ketika Bi-kwi melihat Bi Lan bersama Sim Houw, ia hanya mengangguk
dan tersenyum, sedangkan Bi Lan dan Sim Houw juga tersenyum kepada mereka.
Semua ini
dilihat oleh Hong Beng dengan hati yang tidak puas. Jelaslah bahwa ada hubungan
baik antara kedua orang itu, pikirnya dan walau pun kini Bi-kwi datang untuk
menghormati Kao Cin Liong dan datang sebagai tamu, akan tetapi ketika memandang
wanita itu, sinar mata Hong Beng penuh rasa tidak senang. Juga Suma Ciang Bun
yang pernah berkelahi melawan Bi-kwi, memandang dengan alis berkerut. Bi-kwi
tahu akan sikap mereka itu, akan tetapi pura-pura tidak tahu saja.
Sebelum
berangkat mengunjungi pesta perayaan itu, Bi-kwi memang sudah menduga bahwa di
tempat pesta itu tentu akan menghadapi banyak orang yang mengambil sikap
memusuhinya. Namun ia tak peduli akan hal itu. Suaminya, Yo Jin yang telah
membuka kehidupan baru di suatu dusun terpencil, tadinya merasa tidak setuju
ketika Bi-kwi yang mendengar tentang undangan yang disebar Kao Cin Liong itu
menyatakan hendak ikut datang bertamu.
"Isteriku
yang baik, apakah perlunya mengunjungi tempat ramai itu? Aku khawatir hanya
akan mengundang datangnya urusan dan keributan belaka," demikian antara
lain suami yang jujur ini berkata.
"Tidak,
suamiku, aku tahu benar bahwa urusan dan keributan hanya timbul karena diri
sendiri. Dan aku telah berjanji kepada diri sendiri tidak akan mencari
keributan, seperti telah kuputuskan untuk merubah cara hidupku. Bukankah selama
berbulan-bulan ini kita hidup aman dan tenteram di sini tanpa pernah terjadi
sesuatu seolah-olah aku hanyalah isterimu yang sederhana, seorang wanita tani
yang tidak mengerti ilmu silat?"
"Kuharap
engkau akan begini seterusnya, isteriku sayang. Akan tetapi kenapa engkau
mengajak aku untuk pergi ke Pao-teng untuk menghadiri pesta ulang tahun seorang
pendekar? Biar pun engkau tidak mencari keributan, bagaimana kalau orang lain
yang mencari keributan terhadap dirimu? Engkau tahu bahwa aku tidak memiliki
kepandaian untuk melindungi dirimu."
Bi-kwi
tersenyum, merangkul suaminya dan merebahkan kepalanya di dada suaminya yang
bidang. Biar pun Yo Jin tidak pandai ilmu silat, namun suaminya mempunyai jiwa
pendekar yang gagah perkasa dan ia selalu merasa aman tenteram hidup di samping
suaminya.
"Jangan
khawatir, suamiku. Bentrokan hanya mungkin terjadi kalau kedua belah pihak
menghendakinya. Api tidak akan membakar sesuatu yang basah kuyup. Walau pun ada
orang mencari gara-gara, jika tidak kita layani, bagaikan api dia akan
kehabisan bahan bakar dan pasti akan padam sendiri. Aku ingin bertamu ke sana
bukan untuk mencari perkara, melainkan untuk menghormati pendekar Kao Cin Liong
yang merayakan hari ulang tahun. Dia mengundang para ahli silat pada umumnya
tanpa pandang bulu, tanpa melihat golongan, dan aku ingin datang mengingat
bahwa dia adalah putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, masih terhitung suheng
dari adik Bi Lan. Bi Lan pasti datang dan hadir pula. Karena aku pun sudah
rindu padanya, dan ingin melihat perkembangan dunia sekarang. Sekali lagi
jangan khawatir, bentrokan hanya dapat terjadi kalau kedua pihak maju, seperti
sepasang tangan yang bertepuk. Tak mungkin sebelah tangan saja bertepuk
menimbulkan panas dan bunyi kalau tidak menemukan lawan."
Demikianlah,
akhirnya Yo Jin mengalah dan menemani isterinya melakukan perjalanan ke
Pao-teng. Mereka datang agak terlambat, setelah pesta dimulai sehingga
kehadiran mereka menarik perhatian banyak orang. Akan tetapi ketika suami
isteri ini memilih tempat duduk di sudut belakang dan tenggelam di antara para
tamu yang memenuhi tempat itu, suasana menjadi meriah kembali.
Banyak di
antara para tamu mendekati dan merubung meja, agaknya ingin tahu sekali
macamnya barang-barang sumbangan yang bertumpuk itu. Melihat ini, Suma Hui yang
menjadi gembira karena belum pernah semenjak menikah dia mengadakan pesta, dan
ternyata pesta ulang tahun suaminya yang hanya diadakan untuk mengumpulkan
orang dunia persilatan dan mengumumkan tentang hilangnya anaknya itu dikunjungi
demikian banyak orang dan menerima banyak sumbangan, segera mengusulkan pada
suaminya untuk membukai bungkusan-bangkusan itu di depan para tamu.
Suaminya
setuju dan ketika mereka berdua, dibantu oleh para anggota keluarga, mulai
membukai bungkusan dan mengumumkan nama penyumbangnya sambil mengangkat tinggi
setiap buah benda sumbangan, para tamu menjadi gembira sekali. Tiada hentinya
para tamu menyatakan kekaguman mereka setiap kali melihat barang sumbangan yang
amat berharga dan beraneka warna itu.
Memang
bermacam-macam benda sumbangan para tamu, dan rata-rata merupakan benda
berharga. Ada perhiasan-perhiasan, senjata yang baik, guci-guci berukir, cawan
perak, dan banyak lagi macamnya. Ketika tiba giliran bungkusan sutera merah
kecil pemberian Bi-kwi dan Yo Jin hendak dibuka, pembukanya kebetulan adalah
Suma Hui sendiri.
Dan di
antara para anggota keluarga, yang paling memperhatikan ketika bungkusan ini
dibuka adalah Gu Hong Beng dan gurunya, Suma Ciang Bun. Mereka berdua yang
masih merasa penasaran kepada Bi-kwi, ingin sekali melihat barang macam apa
yang dibawa oleh tamu yang mereka anggap sebagai siluman betina yang amat jahat
itu. Bungkusan itu kecil saja, entah apa isinya. Ketika jari-jari tangan Suma
Hui membuka bungkusan itu, guru dan murid ini mendekat dan melihat dengan hati
tegang.
Suma Hui
sendiri tadi tidak memperhatikan dari siapa pemberian sumbangan dalam bungkusan
merah yang kecil ini, maka ketika ia membukanya, ia tersenyum dan tidak
merasakan ketegangan seperti yang dirasakan adiknya dan murid adiknya itu.
Ketika bungkusan itu dibuka dan Suma Hui mengamatinya, tiba-tiba wajahnya
berubah pucat dan wanita perkasa ini menahan jeritnya, tetapi tetap saja masih
terdengar seruannya.
"Aihhh...!"
Kao Cin
Liong terkejut, cepat mendekati isterinya dan dengan kedua tangan gemetar Suma
Hui memperlihatkan benda yang terbungkus sutera merah itu. Sebuah perhiasan
rambut dari emas yang diikat dengan segumpal rambut hitam.
Benda itu
sendiri adalah merupakan perhiasan rambut yang biasa saja bagi orang lain, akan
tetapi suami isteri itu terbelalak memandang karena mereka mengenal perhiasan
rambut yang biasanya menghias rambut Kao Hong Li, puteri mereka yang lenyap
diculik orang. Dan rambut itu... rambut siapa lagi kalau bukan rambut Hong Li?
"Enci
Hui, ada apakah?" Suma Ciang Bun yang melihat perubahan muka enci-nya dan
kakak iparnya segera bertanya.
"Ini...
ini... perhiasan rambut milik Hong Li..." Suma Hui berkata dengan masih
gemetar dan gugup.
"Hemmm,
siapakah tadi pengirim sumbangan ini?" Kao Cin Liong juga berkata dengan
suara geram dan memandang ke sekeliling.
Mendengar
keterangan nyonya rumah bahwa isi bungkusan itu ialah perhiasan rambut yang
biasa dipakai anak perempuan yang hilang diculik orang, tentu saja para tamu
yang merubung meja sumbangan itu menjadi gempar. Mereka yang duduk di belakang
segera mendengar dari mereka yang duduk di depan dan sebentar saja seluruh tamu
mengetahui bahwa telah terjadi hal yang aneh, yaitu bahwa seorang di antara
para tamu menyumbang perhiasan milik anak tuan rumah yang tadi dikabarkan telah
hilang diculik orang. Tentu saja suasana menjadi gempar seketika.
"Iblis
betina itulah yang tadi menyumbangkan bungkusan merah!" Tiba-tiba Gu Hong
Beng berseru dan dia pun sudah melompat dan lari menghampiri Bi-kwi dan Yo Jin
yang masih ikut bingung dan bertanya-tanya mendengar peristiwa yang meributkan
itu.
Begitu
berhadapan dengan Bi-kwi, Gu Hong Beng menudingkan telunjuknya ke arah muka
Bi-kwi dan berkata dengan suara lantang, "Iblis betina, sungguh engkau
jahat dan keterlaluan sekali, berani menghina kami! Engkaulah yang menculik
adik Kao Hong Li, kemudian engkau berani mati datang untuk membawa perhiasan
dan rambut adik Hong Li sebagai barang sumbangan!"
"Apa...
apa maksudmu? Harap jangan sembarang menuduh. Bukan kami yang memberi barang
seperti itu. Kami menyumbangkan sebuah benda lain!" kata Bi-kwi dengan
sikap masih sabar walau pun pemuda itu memandang dengan mata melotot dan sikap
bengis, siap hendak menerjangnya.
"Iblis
betina, siapa tidak mengenalmu? Bi-kwi terkenal sebagai seorang wanita iblis
yang jahat dan keji. Kiranya engkaulah yang menculik adik Hong Li dan kini
datang sengaja hendak membikin kacau!"
Berkata
demikian, pemuda ini menyerang. Serangannya sangat hebat sehingga Bi-kwi yang
tidak ingin membalas, dan tidak ingin melayani, ketika mengelak ke kiri masih
saja tersentuh pundaknya oleh serangan itu dan wanita ini pun terhuyung
menabrak meja sehingga semua mangkok dan panci di atas meja itu terlempar dan
jatuh berantakan.
Tentu saja
para tamu cepat berloncatan menjauhi perkelahian itu. Dan melihat isterinya
diserang, Yo Jin segera melangkah maju. Dengan sikap sabar dia menghadapi Hong
Beng.
"Saudara
yang gagah, harap bersabar dulu. Sesungguhnya, apa yang dikatakan isteriku tadi
benar belaka. Kami datang dengan iktikad baik, demi penghormatan kami terhadap
tuan rumah yang masih terhitung suheng dari adik Can Bi Lan, dan kami berdua
tadi memang memberi bingkisan sutera merah, isinya sebuah bros dari emas permata.
Aku sendiri yang memilihkan di antara perhiasan milik isteriku, maka harap
saudara suka bersabar dan jangan salah sangka..."
Mendengar
bahwa laki-laki ini suami Bi-kwi, tentu saja Hong Beng tidak mau menerima
keterangannya. Seorang suami tentu saja membela isterinya, pikirnya dan dia pun
lalu mendorong tubuh laki-laki itu ke samping sambil berkata, "Minggirlah
kau!"
Dorongan
Hong Beng adalah dorongan seorang ahli silat yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi dan tenaga sinkang yang hebat, maka tentu saja Yo Jin yang tidak pandai
ilmu silat itu, sekali tersentuh dorongan itu, tubuhnya lantas terlempar
menabrak beberapa buah kursi kosong dan jatuh terbanting dengan kerasnya.
"Hong
Beng, engkau sungguh keterlaluan! Apakah kau kira di dunia ini hanya engkau
seorang saja yang gagah dan benar, sedangkan orang lain semua jahat dan
bersalah?" Tiba-tiba Bi Lan sudah berada di situ dan membentak dengan
marahnya ketika melihat Hong Beng tadi memukul Bi-kwi yang sama sekali tidak
melawan, bahkan pemuda itu mendorong roboh Yo Jin dengan keras.
Tadinya Hong
Beng terkejut sendiri melihat betapa dorongannya membuat laki-laki yang mengaku
suami Bi-kwi itu terlempar dan terjatuh, bahkan khawatir kalau-kalau orang itu
terluka parah. Dia tidak tahu bahwa laki-laki yang menjadi suami seorang iblis
betina seperti Bi-kwi ternyata tidak pandai ilmu silat sama sekali sehingga
roboh oleh dorongan begitu saja. Akan tetapi ketika melihat munculnya Bi Lan
yang kembali membela Bi-kwi, kemarahannya berkobar lagi.
"Can Bi
Lan, engkau kembali berani hendak melindungi orang yang demikian jahatnya?
Benar-benar engkau telah tersesat! Ia adalah iblis betina yang telah menculik
adik Hong Li, dan kini ia datang untuk membikin kacau, dan engkau masih
membelanya? Kalau begitu, engkau benar-benar telah berubah jahat!"
"Manusia
sombong, engkau sudah buta oleh kesombonganmu. Engkaulah yang jahat!" Bi
Lan membentak dan mereka berdua, seperti dikomando saja, tidak tahu siapa yang
mulai, telah saling menyerang dengan marahnya.
Karena
mereka berdua adalah orang yang berkepandaian tinggi, maka perkelahian itu
sangat hebat dan para tamu menjauhkan diri. Diam-diam mereka merasa girang
karena mereka memperoleh kesempatan untuk menonton perkelahian yang bermutu.
Para tetamu
itu adalah orang-orang dari dunia persilatan, baik dari golongan hitam mau pun
putih, maka tidaklah mengherankan kalau mereka suka sekali nonton adu ilmu
silat, terutama kalau adu ilmu itu dilakukan oleh dua orang muda yang demikian
lihai. Suara angin pukulan mengaung-ngaung dan menyambar-nyambar amat ganas,
membuat para penonton menjadi kagum bukan main.
Melihat
kekasihnya sudah berkelahi dengan Hong Beng, Sim Houw cepat meloncat ke depan
dengan maksud untuk melerai perkelahian itu. Akan tetapi, Suma Ciang Bun yang
sejak tadi sudah mendekati tempat perkelahian, siap untuk membantu muridnya
kalau muridnya terdesak, merasa curiga dan mengira bahwa majunya Sim Houw tentu
untuk membantu Bi Lan.
Maka, tanpa
banyak cakap lagi dia pun lantas menyambut datangnya Sim Houw dengan serangan
pukulannya yang ganas dan dahsyat karena dia langsung menyerang dengan
pengerahan tenaga Hwi-yang Sinkang yang sangat panas. Demikian panasnya hawa
serangan itu sehingga terasa oleh para tamu yang sudah menjauhkan diri.
Para tamu
menjadi semakin gembira melihat dua orang itu sudah saling terjang dengan
dahsyatnya. Sim Houw seperti biasa, mengalah dan hanya menangkis atau mengelak,
sedangkan hatinya merasa bingung dan gelisah sekali. Tak disangkanya bahwa
kembali dia dan kekasihnya terlibat perkelahian dengan guru dan murid yang
galak dan selalu memusuhi Bi Lan itu.
Melihat
betapa gara-gara ia dituduh menculik anak tuan rumah, kini sumoi-nya yang jelas
membelanya telah berkelahi, juga Sim Houw berkelahi dengan Suma Ciang Bun,
Bi-kwi menjadi bingung dan juga khawatir sekali. Ia cepat meloncat maju untuk
melerai perkelahian antara Bi Lan dan Hong Beng.
Melihat ini,
Kao Cin Liong dan Suma Hui cepat lari menghampiri tempat perkelahian. Mereka
tentu saja ingin menangkap Bi-kwi yang dituduh sebagai pembawa bingkisan yang
berisi perhiasan dan rambut kepala anak mereka. Akan tetapi mereka kecelik jika
tadi mengira bahwa Bi-kwi hendak membantu Bi Lan. Ternyata Bi-kwi meloncat maju
bukan untuk membela Bi Lan melainkan untuk melerai. Ia memegang lengan Bi Lan
dan menariknya ke belakang sambil berkata, "Sumoi, tahan dulu, sebaiknya
kita bicara baik-baik!"
Perbuatan
Bi-kwi ini dapat mencelakakan sumoi-nya karena ia menangkap lengan kiri Bi Lan
dan menariknya ke belakang dan pada saat itu, Hong Beng yang juga mengira akan
dikeroyok dua, sudah menerjang maju dan menyerang Bi Lan yang posisinya buruk
karena sebelah lengannya diganduli Bi-kwi. Untung pada saat itu Kao Cin Liong
sudah menangkap pundak Hong Beng.
"Hong
Beng, tahan dulu!" teriak Kao Cin Liong.
Dan tentu
saja Hong Beng tidak berani meronta setelah dia tahu siapa orangnya yang
menahannya. Dengan muka yang masih merah karena marah dan mata bersinar-sinar
memandang ke arah Bi Lan dan Bi-kwi, dia pun menghentikan gerakannya dan bahkan
melangkah mundur.
Sementara
itu, Suma Hui juga sudah melerai perkelahian antara Suma Ciang Bun dan Sim
Houw. Jauh lebih mudah melerai perkelahian ini karena memang Sim Houw tidak
melawan. Suma Hui hanya menghadang di depan Suma Ciang Bun dan minta kepada
adiknya itu untuk menghentikan serangan. Suma Ciang Bun menahan gerakannya dan
memandang marah kepada Sim Houw.
"Sudah
jelas iblis betina Bi-kwi itulah penculik anakmu, enci Hui. Kalau mereka hendak
membela, mari kita turun tangan membasmi mereka yang jahat itu!"
"Nanti
dulu, Bun-te, kita bicara dulu dengan mereka, minta penjelasan," kata Suma
Hui.
Kini Kao Cin
Liong dan Suma Hui menghadapi Bi-kwi yang sudah menolong suaminya. Untung bahwa
Yo Jin tidak terluka parah, hanya kulitnya yang lecet-lecet saja. Mereka kini
berdiri berdampingan, di depan Kao Cin Liong dan Suma Hui yang melihat betapa
sikap suami isteri itu sama sekali tidak kelihatan takut atau khawatir seperti
orang yang berdosa. Mereka nampak tenang-tenang saja dan wajah mereka
membayangkan rasa penasaran.
Melihat ini,
Kao Cin Liong tidak mau sembarangan menuduh. Dia mendahului isterinya, berkata
kepada Bi-kwi, "Nona Ciong," katanya, tidak mau menyebut nama julukan
Bi-kwi karena dia sudah mendengar penuturan Bi Lan tentang wanita ini,
"kami mengharap sukalah engkau memberi keterangan apa artinya engkau dan
suamimu sebagai tamu kami memberi bingkisan seperti ini! Ini adalah hiasan
rambut anak kami yang hilang diculik orang!" Berkata demikian, Kao Cin
Liong dan isterinya memandang tajam kepada wajah wanita itu penuh selidik.
Bi-kwi
menghela napas panjang, lalu menjura dengan hormat. "Kao-taihiap berdua
yang terhormat, kiranya akan sia-sia kalau orang seperti saya yang memberi
keterangan karena tentu tidak akan dipercaya dan saya pun tidak menyalahkan
mereka yang tidak percaya karena saya pernah menjadi seorang tokoh sesat yang
hidup menyeleweng. Akan tetapi suami saya ini, Yo Jin, adalah seorang petani
yang jujur dan selamanya hidup bersih. Biarlah dia saja yang memberikan
penjelasan." Berkata demikian Bi-kwi memandang kepada suaminya dengan
sinar mata penuh permohonan, dan Yo Jin pun maju dan memberi hormat kepada Kao
Cin Liong dan isterinya.
"Semua
yang diceritakan isteri saya tadi benar belaka. Ketika mendengar undangan umum
untuk menghadiri hari ulang tahun Kao-taihiap, isteri saya menyatakan keinginan
hatinya untuk pergi menghadiri pesta perayaan itu. Saya sudah ragu-ragu dan
telah pula menyatakan keberatan karena saya takut kalau-kalau timbul urusan
lagi dengan isteri saya yang banyak dimusuhi orang. Akan tetapi isteri saya
memaksa dengan alasan menghormat Kao-taihiap yang dianggap suheng dari adik Bi
Lan yang kami sayang dan hormati. Terpaksa saya setuju dan saya sendiri
kemudian memilih di antara kumpulan perhiasan isteri saya untuk dibawa sebagai
barang bingkisan. Saya memilih sebuah hiasan bros emas permata berbentuk burung
Hong. Inilah keterangan yang sebenarnya dan saya berani bersumpah akan
kebenarannya. Tapi jika sekarang bungkusan sutera merah itu berisi benda lain,
bagaimana kami mengetahuinya?"
Kao Cin
Liong saling pandang dengan isterinya, keduanya mengerutkan alisnya.
Hong Beng
yang semenjak tadi mendengarkan, tiba-tiba berkata kepada Kao Cin Liong dengan
suara lantang, "Harap Kao-locianpwe dan bibi guru tak mudah ditipu oleh Bi-kwi.
Ia terlalu jahat dan saya mengenal kejahatan dan kepalsuannya semenjak Sam Kwi
masih hidup. Saya merasa yakin bahwa kalau bukan ia yang telah menculik adik
Hong Li, setidaknya ia tentu tahu tentang penculikan itu!"
Mendengar
ucapan Hong Beng itu, Bi-kwi lalu maju dan memberi hormat kepada tuan rumah.
"Kao-taihiap, tidak saya sangkal bahwa saya memang pernah mengambil jalan
hidup yang sesat penuh dosa. Akan tetapi walau pun demikian, belum pernah saya
menjadi seorang pengecut. Andai kata benar saya yang menculik puteri taihiap,
dan saya telah berani datang ke sini mengembalikan hiasan rambutnya, lalu apa
perlunya saya menyangkal mati-matian? Kalau saya sudah berani melakukan hal
itu, dan berani pula datang ke sini menyumbangkan hiasan rambut, tentu saya
juga berani menghadapi segala resiko dan akibatnya! Dan tentu saja saya tidak
akan begitu bodoh dan gila untuk mengajak suami saya yang sedikit pun tak tahu
ilmu silat. Harap taihiap pertimbangkan, karena saya tahu bahwa menyangkal dan
membela diri dengan kata-kata, tentu tidak akan dipercaya."
Kao Cin
Liong kembali saling pandang dengan isterinya, bingung karena mereka sendiri
pun bimbang. Mereka percaya kepada tuduhan Hong Beng tadi, akan tetapi mereka
juga dapat menerima alasan Bi-kwi.
"Kao-suheng,
saya berani menanggung kebenaran ucapan suci Ciong Siu Kwi!" tiba-tiba Bi
Lan berkata dengan sikap gagah dan matanya melirik ke arah Hong Beng.
"Saya yang mengenal betul keadaan hidup enci Ciong Siu Kwi sebelum ia
sadar dan sekarang saya tahu betul bahwa ia telah merubah cara hidupnya. Saya
yakin ia tidak bersalah sedikit pun juga dalam urusan kehilangan puteri suheng.
Kalau saya menduga bahwa ia penculiknya, saya sendiri yang akan menentangnya,
kalau perlu membunuhnya karena bukankah saya sudah berjanji kepada suhu dan
subo, bahwa saya takkan menikah dan tidak akan kembali sebelum dapat menemukan
puteri suheng? Tidak, suci Siu Kwi tidak bersalah, hal ini saya yakin
benar!"
Melihat
sikap dan pembelaan Bi Lan yang demikian penuh semangat, Bi-kwi merasa terharu
sekali. "Sumoi, jangan engkau terlalu membelaku. Sudah kulihat betapa
karena engkau menolong diriku yang kotor dengan air lumpur, maka engkau sendiri
terpercik lumpur dan direndahkan orang lain."
"Tidak,
suci. Aku bukan membela engkau atau pun seorang suci, melainkan membela
kebenaran. Siapa pun dia kalau berada di pihak benar, sudah sepatutnya
kubela."
Mendengar
percakapan antara suci dan sumoi itu, Kao Cin Liong dan Suma Hui menjadi
semakin ragu-ragu akan kesalahan Bi-kwi.
"Nona
Ciong, bagaimana pun juga, bingkisan ini tadi adalah pemberianmu. Oleh karena
itu, kami yang telah kehilangan anak perempuan kami, jika tidak menuduhmu yang
tadi memberi bingkisan ini, lalu sekarang harus menuduh siapa lagi?" kata
Suma Hui sambil memandang tajam kepada Bi-kwi.
Wanita ini
lalu melangkah maju. "Saya merasa bertanggung jawab, oleh karena itu, saya
mohon sukalah Kao-taihiap menyerahkan barang itu kepada saya untuk saya
selidiki sebentar."
Tanpa
ragu-ragu Kao Cin Liong menyerahkan bungkusan berisi perhiasan rambut dan
segumpal rambut itu kepada Bi-kwi, berikut bungkusannya, yaitu sutera merah.
Bi-kwi menerimanya, lalu memeriksanya dengan teliti. Mula-mula dia memeriksa
kain sutera pembungkusnya, kemudian isinya. Sinar matanya mencorong dan ia pun
memandang ke kanan kiri.
"Kao-taihiap,
penculik anak taihiap itu berada di sini, di antara kita semua! Dia seorang di
antara para tamu!"
Mendengar
ucapan ini, Kao Cin Liong dan isterinya, juga para anggota keluarga dan para
tamu, terkejut dan suasana pun menjadi bising. Bi-kwi lalu berkata kepada tuan
rumah, "Kalau Kao-taihiap percaya kepada saya dan suka meluluskan
permintaan saya, marilah kita berunding di dalam saja."
Kao Cin
Liong dan isterinya mengangguk, lalu minta kepada Hong Beng dan gurunya untuk
mewakili pihak tuan rumah melayani para tamu, sedangkan dia bersama isterinya,
juga diikuti oleh para keluarga, yaitu Kam Hong dan Bu Ci Sian, Suma Ceng Liong
dan Kam Bi Eng, lalu Sim Houw dan Bi Lan juga diajak masuk bersama Bi-kwi dan Yo
Jin.
Setelah tiba
di dalam, Bi-kwi lalu cepat memberi keterangan. "Kao-locianpwe, jelaslah
bahwa bingkisan kami tadi ada yang mengambil dan menukarnya dengan bingkisan
ini. Hal itu tentu terjadi ketika orang-orang datang merubung meja tempat
hadiah dan orang itu tentu pandai sekali sehingga tidak ada yang melihat
perbuatannya. Karena kami tadi datang terlambat dan bingkisan kami berada di
atas, maka hal itu mudah dia lakukan."
"Bagaimana
engkau dapat mengatakan bahwa bingkisanmu itu telah ditukar orang? Apa
tandanya?" tanya Suma Hui.
"Sutera
merah ini berbeda dengan sutera merah yang kami pakai untuk membungkus
perhiasan bros itu. Dan pula, sebelum dibungkus sutera merah, kami
membungkusnya dengan kertas kuning lebih dulu. Akan tetapi bungkusan ini tidak
ada kertas kuningnya. Jelaslah, ada seorang yang sengaja memalsukannya."
"Akan
tetapi, apa maksudnya?" tanya Kao Cin Liong.
"Hemm,
jika memang benar demikian, maksud orang itu sudah jelas!" kata Suma Ceng
Liong. "Pertama, untuk mengacaukan pesta, ke dua untuk mengadu domba. Kita
cari dan tangkap dia selagi masih berada di sini!" Pendekar ini bangkit.
"Nanti
dulu!" tiba-tiba Sim Houw berkata. "Saya harap cuwi tidak
tergesa-gesa dalam hal ini. Sudah jelas bahwa di antara para tamu terdapat
seorang atau lebih musuh yang bergerak secara rahasia. Dan di antara sekian
banyaknya tamu, bagaimana kita dapat mengetahui yang mana orangnya? Tidak ada
bukti apa pun padanya dan dia yang menukar bingkisan tadi tentu tidak begitu
bodoh untuk membiarkan bingkisan itu masih ada padanya kalau dilakukan penggeledahan.
Kita akan gagal, bahkan mungkin sekali menyinggung perasaan para tokoh yang
tidak berdosa. Juga berarti kita mengejutkan ular yang berada di dalam rumput
dan semak-semak kalau kita menggebrak rumput dan semak-semak itu. Kalau hendak
menangkap ular yang bersembunyi di dalam rumput, harus dengan hati-hati jangan
sampai dia kaget dan siap siaga."
Suma Ceng
Liong mengangguk-angguk. "Pendapat ini memang tepat, akan tetapi aku tidak
melihat lain jalan untuk dapat menangkap penculik Hong Li."
"Menangkap
penculik itu adalah tugas kami berdua dan kami sudah menemukan jejak. Memang
sebaiknya kalau orang yang membikin kacau pesta ini dibiarkan saja agar dia
tidak membuat laporan kepada atasannya. Saya yakin bahwa yang datang menukar
bingkisan itu hanyalah kaki tangan penculik itu, bukan si penculik sendiri
karena kalau ia yang muncul, mungkin kami berdua dapat mengenalnya," kata
Bi Lan.
Mendengar
ini, Kao Cin Liong dan isterinya jadi terkejut, juga girang. "Sumoi,
siapakah penculik jahanam itu?" tanya Kao Cin Liong.
"Suheng,
kami memperoleh petunjuk pada saat melakukan perjalanan dari Gurun Pasir,
tentang seorang wanita berjuluk Sin-kiam Mo-li. Ia adalah anak angkat dari
mendiang Kim Hwa Nionio, dan menurut pendengaran kami, ia selain amat lihai
dalam ilmu silat, juga pandai ilmu sihir. Kami hendak menyelidik ke sana dan
mudah-mudahan kami bisa berhasil. Sebaiknya, urusan penukaran bingkisan ini
tidak dibikin ribut agar penculik itu tidak menjadi terkejut dan bersiap siaga
sehingga justru menyusahkan kita sendiri untuk mencarinya."
"Hemmm,
kalau begitu, aku akan ikut membantumu, sumoi!" kata Bi-kwi. "Urusan
ini sekarang menjadi urusanku pula karena aku telah dilibatkan orang sehingga
namaku dicemarkan dan aku yang dituduh menculik. Untuk membersihkan ini, tiada
jalan lain kecuali aku bertindak menangkap si penculik." Lalu ia berkata
kepada Yo Jin, "Suamiku, kuharap engkau suka pulang sendiri terlebih dulu,
karena aku harus membantu sumoi dan Sim-taihiap untuk menangkap penculik."
Yo Jin
mengerutkan alisnya, menarik napas panjang dan menggelengkan kepala, lalu
berkata, "Sebenarnya hatiku amat berat melepas engkau pergi, isteriku,
akan tetapi aku melihat bahwa memang fitnah itu membuat engkau terpaksa
bertindak. Inilah jadinya kalau mendekati keramaian kota, ada saja urusan
menyusahkan diri!"
Suma Ceng
Liong yang sejak tadi ikut mendengarkan, mengangguk-angguk. "Mudah-mudahan
saja semua dugaan itu benar. Memang jelaslah bahwa penculik itu sengaja hendak
menyusahkan keluarga kita. Pertama dengan menculik Hong Li, lalu berusaha
mengadu domba dan mengacau pesta. Oleh karena Hong Li merupakan keturunan dari
Pulau Es dan Gurun Pasir, maka si penculik itu tentulah seorang yang memusuhi
kedua keluarga itu, atau setidaknya satu di antaranya. Kalau yang disebut Sin-kiam
Mo-li itu adalah benar anak angkat mendiang Kim Hwa Nionio, memang kuat
alasannya jika dia memusuhi kita. Karena itu, sebaiknya jika kita semua turun
tangan menyerbu ke tempat tinggalnya."
"Saudara
Suma Ceng Liong, saya kira hal itu tidak perlu karena kami baru menduga saja,
dan belum ada bukti-bukti nyata bahwa Sin-kiam Mo-li penculiknya. Biarlah kami
menyelidiki lebih dulu. Kalau kami cukup kuat, kami akan merampas kembali nona
Kao Hong Li, kalau kami melihat bahwa pihak musuh terlalu kuat, baru kami akan
mohon bantuan cu-wi."
Kao Cin
Liong mengangguk-angguk. Sebagai ayah, tentu saja dia menyetujui tiap usaha
untuk menemukan kembali puterinya.
"Aku
percaya kepada kalian berdua," katanya kepada Sim Houw dan Bi Lan,
"dan kalau nona Ciong suka membantu, itu akan lebih baik lagi agar hati
kami tidak ragu-ragu lagi terhadap namanya."
"Supaya
tidak menimbulkan kecurigaan, sebaiknya kalau saya dan suami saya pergi
meninggalkan tempat ini dari belakang saja, agar para tamu mengira bahwa memang
sayalah yang bersalah dan pihak tuan rumah telah mengambil tindakan. Hal ini
penting agar orang yang melakukan penukaran bingkisan tadi merasa telah
berhasil dan akan melapor ke atasannya," kata Bi-kwi. "Dan aku
menunggumu di luar kota sebelah barat, sumoi," tambahnya kepada Bi Lan.
Kao Cin
Liong dan isterinya setuju. Kam Hong yang sejak tadi cuma menjadi pendengar
saja, diam-diam merasa kagum dan bangga akan sepak terjang orang-orang muda
itu. Terutama sekali sikap Sim Houw yang demikian tenang, serta pendiriannya
demikian teguh sehingga tidak ragu-ragu bersama Bi Lan yang menjadi calon
isterinya berjanji tidak akan menikah sebelum menemukan kembali Hong Li. Dan
pembelaan mereka terhadap Bi-kwi walau pun wanita ini pernah menjadi tokoh
sesat karena mereka yakin bahwa Bi-kwi kini telah merubah cara hidupnya dan
kembali ke jalan benar.
"Pendapat
dan keputusan kalian memang tepat," kata Kam Hong. "Akan tetapi
kalian harus berhati-hati karena ingat, kalau ada musuh yang sengaja menyerang
keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir dengan perbuatan rahasia dan fitnah, juga adu
domba, berarti bahwa mereka itu telah siap siaga menyusun kekuatan. Karena itu,
Sim Houw, dalam melakukan penyelidikan, berhati-hatilah dan jika sekiranya
keadaan pihak musuh terlalu kuat, jangan segan-segan untuk minta bantuan kedua
keluarga itu."
Sim Houw
memberi hormat kepada kakek perkasa itu. "Baiklah, suhu, teecu pasti akan
mentaati semua pesan suhu."
Akhirnya
Bi-kwi dan suaminya lebih dahulu pergi melalui pintu belakang, tanpa diketahui
oleh para tamu. Baru kemudian tuan rumah dan keluarganya keluar ke tempat
ruangan pesta. Akan tetapi baru saja mereka keluar, terjadi keributan lain.
Terdengar teriakan-teriakan para pelayan dan ketika keluarga itu lari ke dalam,
mereka melihat seorang di antara para pelayan telah mati dengan tubuh kaku dan
muka hitam. Keracunan!
"Tahan
semua hidangan! Jangan dikeluarkan lagi sebelum kami periksa!" Lalu Kao
Cin Liong yang mengeluarkan perintah ini dibantu oleh para keluarga yang gagah
perkasa untuk melakukan penyelidikan.
Semua
makanan ternyata bersih, akan tetapi ternyata guci-guci arak yang masih belum
dihidangkan telah keracunan! Ada sepuluh guci arak yang keracunan. Agaknya
pelayan itu tadi minum secawan arak dari guci yang keracunan. Jelaslah bahwa
ada orang yang sengaja menaruh racun ke dalam guci-guci arak itu.
"Apakah
tadi ada di antara tamu yang masuk ke sini?" tanya Kao Cin Liong.
Para pelayan
itu saling bertanya dan akhirnya seorang di antara mereka teringat bahwa memang
tadi ada seorang tamu yang bercambang bauk lebat masuk ke situ, setengah mabok
sambil membawa cawan dan sambil tertawa-tawa memuji lezatnya masakan dan
harumnya arak. Dia minta arak karena guci di depan sudah kosong.
"Dia
datang sendiri ke tempat di mana ditaruh guci-guci itu, kemudian dia keluar
sambil membawa seguci arak sambil tertawa-tawa dan terhuyung-huyung setengah
mabok," demikian antara lain pelayan itu menerangkan.
Kini ada
beberapa orang pelayan lainnya yang juga teringat akan tamu berjenggot dan
berkumis brewok itu yang memasuki dapur dalam keadaan setengah mabok.
"Cepat
ikut aku dan tunjukkan yang mana tamu itu!" kata Kao Cin Liong mengajak
empat orang pelayan itu keluar. Akan tetapi, mereka tidak menemukan orang
brewokan itu di antara para tamu.
"Tentu
dia sudah pergi," kata Kam Hong yang tadi ikut pula mengadakan pemeriksaan
dengan teliti terhadap semua makanan. "Agaknya setelah dia melihat bahwa
usahanya yang pertama untuk mengadu domba itu tidak memperlihatkan hasil
seperti yang telah diharapkan, dia lalu menaruh racun ke dalam guci-guci arak itu.
Aih, masih untung racun itu hanya mengorbankan nyawa seorang pelayan. Jika
sampai dihidangkan dan banyak tamu kang-ouw tewas oleh arak beracun tadi, tentu
namamu akan menjadi rusak dan keadaan benar-benar akan menjadi kacau
balau."
Kao Cin
Liong bergidik dan Suma Hui mengepal tinju.
"Keparat
jahanam!" kata Suma Hui. "Siapakah orangnya yang demikian membenci
kami sehingga melakukan perbuatan kejam dan terkutuk secara bertubi-tubi
terhadap kami? Kalau saja aku tahu siapa orangnya!"
Kematian
pelayan karena keracunan itu dirahasiakan dan tidak diketahui oleh para tamu
sehingga pesta itu berakhir dengan tenang. Para tamu mulai berpamit
meninggalkan tempat itu dan selain menghaturkan ucapan terima kasih, tidak lupa
Kao Cin Liong juga mengharapkan supaya para tamu ikut bantu mendengarkan
kalau-kalau ada di antara mereka yang dapat mengetahui di mana adanya Kao Hong
Li yang lenyap itu. Dengan adanya pesta ini, nama Kao Hong Li segera terkenal
di seluruh dunia kang-ouw karena menjadi pokok percakapan dan perbincangan.
Sim Houw dan
Bi Lan segera berpamit dari keluarga itu dan memperoleh doa restu, kecuali,
tentu saja, dari Hong Beng dan Suma Ciang Bun yang bagaimana pun juga masih
merasa tidak puas. Hong Beng masih merasa tidak puas dan masih tetap saja ada
keraguan akan kebersihan Bi-kwi, sedangkan Suma Ciang Bun yang biar pun mulai
meragukan kesalahan Bi-kwi, Bi Lan dan Sim Houw karena dia tahu betapa muridnya
diracuni iri hati dan cemburu, tetap saja terseret oleh sikap muridnya yang
memusuhi Bi-kwi tadi.
Memang tadi
dia pun mempunyai dugaan bahwa Bi-kwi bersalah, apa lagi karena dia pernah
diserang oleh Bi-kwi yang bersekongkol dengan tosu-tosu Pek-lian-kauw dan
Pat-kwa-kauw sehingga hampir saja dia tewas. Kini, kembali ternyata bahwa agaknya
dugaan muridnya itu keliru dan Bi-kwi bahkan telah diterima oleh kedua keluarga
para pendekar itu untuk bantu mencari Hong Li sampai dapat. Namun, hati
pendekar ini tidak merasa puas.
Setelah Bi
Lan dan Sim Houw pergi, Suma Ciang Bun lalu mengajak muridnya untuk bicara
dengan Ceng Liong dan isterinya. Tentu saja Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng
merasa heran ketika Ciang Bun minta kepada mereka untuk bicara di antara mereka
berempat sendiri. Mereka memilih sebuah kamar kosong dan begitu mereka duduk di
dalam kamar tertutup itu, Suma Ceng Liong tersenyum memandang kepada kakak
misannya.
"Bun-ko,
engkau sungguh aneh dan membikin kami merasa heran dan ingin tahu sekali! Ada
urusan apakah maka engkau bersikap begini penuh rahasia dan mengajak kami
bicara tertutup seperti ini?"
Suma Ciang
Bun juga tersenyum, maka legalah hati Suma Ceng Liong dan isterinya. Sikap
Ciang Bun yang santai itu tidak membayangkan adanya urusan yang amat gawat,
walau pun kakak itu mengajak mereka bicara di dalam kamar tertutup.
"Ahhh,
hanya urusan kekeluargaan, Liong-te, akan tetapi kurang enak kalau didengar
anggota keluarga lain karena hal ini hanya menyangkut keluargamu dan keluargaku
saja," jawab Ciang Bun.
Kini Kam Bi
Eng tak dapat menahan ketawanya. Sungguh aneh kakak misan ipar ini. Jelas bahwa
Suma Ciang Bun tidak pernah menikah, maka tentu saja tidak mempunyai keluarga
selain keluarga suaminya juga.
"Aihhh,
Bun-ko, bukankah keluargamu juga berarti keluarga kami? Mana ada keluarga kami
dan keluarga Bun-ko!"
Ciang Bun
juga tersenyum. "Yang aku maksudkan dengan keluargaku adalah aku dan
muridku ini, karena dia sudah aku anggap sebagai anakku sendiri, Nah, kini aku
ingin membicarakan tentang muridku ini dan anak kalian."
Suami isteri
itu saling pandang. Keduanya hampir berbareng bertanya, "Suma
Lian...?"
Gu Hong Beng
hanya menundukkan mukanya saja. Kalau tidak dipaksa oleh gurunya, sampai
bagaimana pun juga dia tentu tidak akan berani membuka mulut! Kini dengan
jantung berdebar keras dia menanti suhu-nya yang mulai membuka rahasia itu.
"Aku
ingin membicarakan tentang perjodohan antara Suma Lian dan muridku Gu Hong Beng
ini..."
"Bun-ko...!"
Ceng Liong berseru kaget. Dia merasa heran, pandang matanya tajam dan
terbelalak.
"Apa
maksudmu? Kapankah Bun-ko mengajukan pinangan dan..."
"Anakku
Lian-ji masih begitu muda, baru juga dua belas tahun lebih usianya!" Kam
Bi Eng juga berseru heran.
Suma Ciang
Bun mengangguk-angguk. Memang agak sukar dia mengatur kata-kata, maklum karena
selama hidupnya baru sekali ini dia bicara tentang perjodohan, apa lagi dia
kini bertindak sebagai orang tua yang ingin menjodohkan muridnya yang dianggap
sebagai anaknya sendiri.
"Aku
tahu... aku tahu... akan tetapi ikatan perjodohan antara anak kalian dan
muridku telah terjadi semenjak kematian ibumu, yaitu bibi Teng Siang In,
Liong-te..."
"Bun-ko,
apa pula maksudmu? Sungguh aku tidak mengerti," Ceng Liong bertanya lagi,
memandangi guru dan murid itu dengan heran.
"Muridku
tidak berani memberitahukan kepada kalian, dia yang merasa rendah hati itu
hanya berani menceritakan kepadaku. Begini, Liong-te, kalian tentu masih ingat
ketika terjadi penculikan atas diri puterimu, Suma Lian, oleh Sai-cu Lama yang
merobohkan bibi Teng Siang In dengan pedang Ban-tok-kiam yang dirampasnya dari
gadis she Can itu."
Ceng Liong
dan Bi Eng mengangguk tanpa menjawab, tapi mendengarkan dengan hati penuh rasa
tegang.
"Nah,
pada waktu muridku membawa ibumu pulang dalam keadaan terluka, kalian lalu
melakukan pengejaran terhadap Sai-cu Lama yang melarikan puterimu, meninggalkan
bibi Teng Siang In berdua dengan Hong Beng. Dalam saat terakhirnya itulah bibi
Teng Siang In meninggalkan pesan kepada Hong Beng."
"Ibuku
meninggalkan pesan terakhir kepadamu? Mengapa engkau tidak menyampaikan pesan
itu kepadaku, Hong Beng?" Suma Ceng Liong bertanya dan menegur pemuda itu
yang tidak mampu menjawab.
"Maafkan
muridku, Liong-te. Dia tidak berani melapor dan hanya berani menyampaikan
kepadaku, itu pun baru-baru ini saja dia katakan. Ibumu berpesan supaya kelak
Hong Beng suka menjadi suami anakmu, dan ia bahkan menyuruh Hong Beng
mengucapkan janjinya untuk mematuhi pesan terakhir itu! Dan Hong Beng telah mengucapkan
janji itu!"
"Aihhh...!"
Suami isteri itu berseru kaget dan Suma Ceng Liong mengerutkan alisnya.
"Kenapa ibu meninggalkan pesan seperti itu? Dan kenapa pula engkau mau
berjanji seperti itu, Hong Beng?"
"Saya...
saya tidak berani menolak permintaan locianpwe yang sudah hampir meninggal
dunia itu...," kata Hong Beng sambil menundukkan mukanya.
Mendengar
jawaban ini, Ceng Liong dan Bi Eng saling pandang dan mereka pun tidak dapat
terlalu menyalahkan Hong Beng. Pesan dan permintaan seseorang yang hampir putus
nyawanya memang sukar ditolak.
"Dan
dia tidak berani melaporkan kepada kalian karena dia merasa rendah diri. Dia
merasa tidak pantas menjadi calon suami puterimu, takut kalau-kalau kalian
menjadi marah kalau dia menyampaikan pesan itu. Akan tetapi di samping itu, dia
pun gelisah sekali karena dia sudah berjanji kepada bibi Teng Siang In, dan dia
akan selalu merasa berdosa kalau kelak tidak memenuhi janjinya itu. Karena itu,
dia menjadi gelisah dan menyampaikan pesan itu kepadaku. Nah, adik Suma Ceng
Liong, kurasa engkau akan cukup mengerti jika sekarang aku minta kalian untuk
membicarakan urusan perjodohan antara puterimu dan muridku."
Suma Ceng
Liong mengangguk-angguk dan Kam Bi Eng mengerutkan alisnya. "Bun-ko,
memang tindakanmu ini wajar dan tepat. Dan kami pun bukan bermaksud mengabaikan
pesan ibu kandungku sendiri. Akan tetapi, engkau sendiri pun tentu telah
mengetahui riwayat dari pada perjodohan kami berdua. Pilihan orang tua akhirnya
tidak cocok dan tidak jadi, dan kami memilih jodoh atas dasar pilihan hati
sendiri, bukan pilihan orang tua atau siapa pun juga. Oleh karena itu, sudah
sejak mempunyai anak, kami suami isteri telah bersepakat untuk memberi
kebebasan pula kepada anak kami Suma Lian. Dialah yang kelak akan menentukan
dengan siapa ia akan menikah. Tidak seorang pun boleh memaksanya, bahkan andai
kata ibuku masih ada pun, beliau tidak akan kubenarkan kalau memaksa anak kami
berjodoh dengan orang yang dipilih ibuku."
Suma Ciang
Bun mengangguk-angguk, mengerti. "Jadi kalau begitu, kalian tidak setuju
kalau anak kalian Suma Lian berjodoh dengan muridku Gu Hong Beng?"
"Tidak
setuju kalau perjodohan itu tidak dikehendaki oleh Suma Lian, tentu saja,"
kata Kam Bi Eng yang membenarkan keputusan suaminya itu.
"Bagaimana
kalau kelak Suma Lian setuju berjodoh dengan Gu Hong Beng?" desak Suma
Ciang Bun.
"Kalau
memang kehendak anak kami demikian, tentu saja kami pun tidak akan merasa
keberatan, Bun-ko," kata Suma Ceng Liong dengan suara mantap.
"Bagus,
kita telah bicara dengan hati terbuka. Nah, Hong Beng. Sekarang tidak ada yang
perlu kau susahkan. Pesan terakhir mendiang bibi Teng Siang In kini telah kita
sampaikan kepada orang tua Suma Lian dan mereka pun setuju kalau anak itu kelak
suka menjadi jodohmu. Kini bebaslah penanggungan hatimu. Kalau kelak Suma Lian
suka menjadi isterimu, berarti engkau telah memenuhi pesan terakhir bibi Teng
Siang In dan ayah ibu anak itu tidak akan menghalangi dan akan menyetujuinya
sehingga semua akan berjalan dengan lancar. Akan tetapi, andai kata Suma Lian
tidak setuju dan menolak untuk menjadi isterimu, maka tentu saja tali
perjodahan itu gagal, akan tetapi kegagalan itu bukan karena kesalahanmu
sehingga engkau tidak perlu merasa berdosa kepada bibi Teng Siang In."
Hong Beng
cepat menghaturkan terima kasih kepada suhu-nya, juga kepada Suma Ceng Liong
dan isterinya. Hatinya memang terasa lega bukan main. Ketika dia berjanji di
depan nenek itu dalam saat terakhir, dia terpaksa sekali dan setelah berjanji,
dia merasa terikat. Kini, ikatan itu melonggar dan dadanya terasa lega.
Tinggal
mudah saja baginya. Dia akan menanti sampai Suma Lian menjadi seorang gadis
dewasa, sekitar lima enam tahun kemudian, lalu dia akan menemui gadis itu,
menceritakan tentang pesan terakhir nenek Teng Siang In dan melihat bagaimana
sikap dan tanggapan Suma Lian.
Kalau gadis
itu setuju, berarti dia akan menjadi suami gadis itu, mantu dari pendekar Suma
Ceng Liong, suatu hal yang merupakan penghormatan besar sekali baginya. Kalau
sebaliknya gadis itu menolak, maka dia akan bebas dari janjinya terhadap pesan
nenek itu dan dia akan bebas berjodoh dengan wanita mana pun juga tanpa merasa
berdosa dan melanggar janji.
Akhirnya
keluarga keturunan Pulau Es dan Gurun Pasir itu saling berpisah dan kembali Kao
Cin Liong dan isterinya ditinggal berdua saja, melamun dan terbenam kedukaan
kehilangan anak mereka walau pun kini mereka mempunyai harapan karena Pendekar
Suling Naga sendiri bersama Bi Lan dan dibantu oleh Bi-kwi pula, yang akan
mencari anak mereka sampai dapat. Mereka percaya penuh akan kemampuan Pendekar
Suling Naga Sim Houw, apa lagi dibantu oleh dua orang wanita yang memiliki ilmu
kepandaian yang cukup tinggi itu. Mereka hanya dapat menanti dan berdoa….
"Lihat
baik-baik, Hong Li, hari ini akan ada pertunjukan yang amat menarik hati,"
kata Sin-kiam Mo-li setelah mengajak muridnya meloncat naik ke atas menara.
Kini,
setelah memperoleh gemblengan setiap hari dari Sin-kiam Mo-li, gadis cilik itu
telah mampu melompat naik ke atas menara itu, bahkan di atas menara itu ia
diajar untuk berlatih semedhi oleh gurunya.
"Apakah
akan terjadi penyerbuan lagi seperti yang dilakukan lima orang tempo hari,
subo?" tanya Hong Li sambil memandang ke sekeliling.
Dari menara
itu, nampaklah seluruh daerah kekuasaan gurunya. Rumah tempat tinggal mereka
yang dikelilingi semak-semak belukar dan hutan-hutan kecil buatan yang aneh
aneh, yang penuh dengan jebakan rahasia dan perangkap-perangkap maut, pasir dan
lumpur maut yang mengerikan. Dari atas menara itu Hong Li dapat melihat sampai
jauh ke bawah, ke kaki bukit dan sampai ke luar hutan-hutan buatan yang penuh
jebakan itu. Akan tetapi ia tidak melihat sesuatu yang luar biasa. Daerah
sekitar tempat itu nampak seperti biasa, sunyi saja dan hanya ada burung-burung
yang beterbangan dari pohon ke pohon.
"Aku
tidak melihat apa-apa, subo," katanya.
"Bukan
ke situ, lihatlah ke sungai sana."
Hong Li
menengok ke kiri dan terkejutlah ia melihat lima buah perahu menyusuri Sungai
Cin-sa. Ia tadi hanya memperhatikan daerah daratan saja, tidak memperhatikan
sungai itu sama sekali.
Di dalam
lima buah perahu itu terdapat orang-orang yang jumlahnya semua tiga puluh dua
orang! Tidak dapat ia melihat dengan jelas keadaan orang-orang itu walau pun ia
dapat menghitung mereka dengan mudah. Sekarang tepat di bagian yang paling
dekat dengan tempat tinggal subo-nya, lima buah perahu itu minggir dan semua
orang lalu berloncatan ke darat, menyeret perahu-perahu itu naik ke atas
daratan.
"Hemm,
mereka tentu orang-orang Cin-sa-pang yang tolol!" Hong Li mendengar suara
subo-nya berkata lirih. "Dan sekarang agaknya mereka dibantu dua orang
kakek pandai, entah pimpinan mereka sendiri ataukah orang lain."
Hong Li
memandang penuh perhatian dan kini ia pun melihat bahwa semua orang telah
berkumpul, membuat lingkaran mengelilingi tiga orang yang sedang bercakap-cakap
dengan dua orang kakek. Melihat betapa tiga orang itu berdiri berhadapan dengan
dua orang kakek, Hong Li dapat mengerti apa yang dimaksudkan subo-nya.
Agaknya tiga
orang itu tentu para pimpinan Cin-sa-pang dan dua orang kakek itulah yang oleh
gurunya disebut dua orang kakek pandai. Dilihat dari atas menara, mudah diduga
bahwa para pimpinan itu sedang mengadakan perundingan, mereka itu mungkin
sedang mengatur siasat untuk menyerbu ke atas.
Hong Li
merasa betapa jantungnya berdebar saking tegangnya. Teringat dia akan lima
orang penyerbu dan diam-diam ia bergidik. Jangan-jangan kembali subo-nya juga
akan membunuh tiga puluh dua orang pendatang itu!
Seolah-olah
dapat membaca jalan pikirannya, terdengar Sin-kiam Mo-li berkata,
"Orang-orang Cin-sa-pang sungguh tolol dan jahat, berani sekali memusuhi
aku yang hidup tenteram di tempat ini."
"Subo,
sebenarnya mengapa mereka itu memusuhi subo?" Hong Li bertanya, teringat
betapa lima orang Cin-sa-pang telah dibunuh subo-nya. "Maksudku, kelima
orang dari Cin-sa-pang yang dahulu itu, karena yang sekarang ini tentulah ingin
membalas atas kematian atau hilangnya lima orang pertama."
Gurunya
mengangguk-angguk. "Engkau benar, tentu saja mereka itu datang menyerbu
karena kehilangan lima orang teman mereka itu dan mereka dapat menduga bahwa
lima orang itu tentu tewas di sini. Ada pun lima orang dahulu itu, ahhh, apa
lagi yang mereka kehendaki kecuali niat buruk terhadap kita? Mereka adalah
penjahat-penjahat dan agaknya mereka mendengar bahwa yang tinggal di sini
hanyalah wanita-wanita cantik tanpa pria dan tentu mereka membayangkan bahwa
kita mempunyai banyak harta. Mereka menyerbu untuk merampok dan memperkosa, apa
lagi? Engkau tentu masih ingat betapa jahatnya mereka. Seorang di antara mereka
kau selamatkan dari ancaman bahaya, dan apa yang telah dia lakukan sebagai
balasan? Dia menawanmu!"
Hong Li
bergidik. Alangkah jahatnya orang-orang itu, pikirnya. Sama sekali ia tidak
tahu bahwa subo-nya menyembunyikan kenyataan yang berlainan sama sekali dari
apa yang dikatakannya tadi.
Cin-sa-pang
adalah perkumpulan orang-orang kasar. Mereka adalah nelayan-nelayan, juga
bajak-bajak sungai, dan ‘pemungut pajak paksaan’ dari para nelayan dan petani
di sepanjang Sungai Cin-sa. Perkumpulan ini diketuai seorang lelaki berusia
empat puluh tahun bernama Louw Pa, seorang bekas bajak laut tunggal yang dapat
mengumpulkan para bajak laut, menundukkan mereka dan mendirikan perkumpulan
Cin-sa-pang itu.
Louw Pa
adalah seorang ahli silat yang cukup tangguh, terkenal dengan julukan Cin-sa
Pa-cu (Macan Tutul Sungai Cin Sa), mungkin karena wajahnya yang bopeng dan
totol-totol. Tubuhnya tinggi kurus dan dia lihai sekali memainkan sepasang
golok besar. Louw Pa memiliki seorang anak laki-laki berusia dua puluh tahun
lebih yang berwajah tampan dan bertubuh gagah, bernama Louw Heng Siok.
Pada suatu
hari, ketika Louw Heng Siok sedang naik perahu memancing ikan seorang diri dan
perahunya tiba di dekat tempat tinggal Sin-kiam Mo-li. Wanita ini melihatnya
dan tergeraklah hatinya.
Walau pun ia
bukan seorang yang gila laki-laki, namun kehidupan yang kesepian dari wanita
ini membuat ia sekali waktu suka mencari hiburan. Setiap kali bertemu dengan
pria yang menarik hatinya, tentu ia akan menggunakan kecantikan dan
kepandaiannya untuk memikat hati pria itu dan memaksanya menjadi kekasihnya
untuk beberapa hari, beberapa minggu atau beberapa bulan saja. Setelah merasa
bosan, ia akan membunuh pria itu agar jangan mengabarkan hal-hal yang memalukan
tentang dirinya.
Demikianlah,
ketika melihat Louw Heng Siok, Sin-kiam Mo-li merasa tertarik dan tanpa
kesukaran ia berhasil memikat hati pemuda itu karena Louw Heng Siok juga
bukanlah seorang pemuda alim.
Bagaikan
seekor laba-laba berhasil menangkap seekor lalat, Sin-kiam Mo-li membawa pemuda
itu ke sarangnya. Seperti biasa, setelah ia kekenyangan mengisap darahnya dan
menjadi bosan, pemuda itu dibunuhnya dan dilemparkannya ke dalam lumpur maut
sehingga lenyap tanpa bekas. Hal itu terjadi beberapa bulan sebelum ia menculik
Hong Li.
Meski pun
pembunuhan itu tidak meninggalkan jejak, namun akhirnya Louw Pa yang kehilangan
puteranya, merasa curiga. Lima orang anak buahnya kemudian melakukan
penyelidikan dan mereka pun lenyap di tempat yang penuh rahasia itu.
Louw Pa
sudah melakukan penyelidikan dan mendengar bahwa di bukit yang berada di kaki
Pegunungan Heng-tuan-san itu tinggal seorang wanita cantik dan berjuluk
Sin-kiam Mo-li. Dia merasa yakin bahwa wanita inilah yang telah melenyapkan
puteranya.
Apa lagi
ketika lima orang anak buahnya yang melakukan penyelidikan juga lenyap, hatinya
penuh dengan kemarahan dan dia pun mengumpulkan semua anak buahnya yang
berjumlah tiga puluh orang termasuk dia dan dua orang pembantunya. Bahkan dia
kemudian minta bantuan dua orang temannya yang menjadi bajak di Sungai Lan-cang
(Mekong), yaitu dua kakek yang kini sudah datang bersama dia dan anak buahnya.
"Kalau
kau ingin nonton pertunjukan, kau tinggallah saja di sini menjadi
penonton," kata Sin-kiam Mo-li kepada muridnya. "Aku akan mengajak
tiga pelayanku untuk menyambut para penyerbu itu!" Habis berkata demikian,
Sin-kiam Mo-li lalu meloncat turun dari atas menara.
Gerakannya
demikian ringan seperti seekor burung yang terbang saja, diikuti pandang mata
muridnya penuh kagum. Hong Li merasa amat kagum pada wanita yang menjadi ibu
angkatnya dan juga gurunya itu, menganggapnya seorang wanita cantik jelita,
lemah lembut, dan berhati baik di samping ilmu kepandaiannya yang sangat
tinggi. Kadang-kadang ia suka membandingkan gurunya dengan orang tuanya. Ia
tidak tahu siapa yang lebih lihai antara gurunya dengan mereka.
Kini ia
melihat betapa gurunya diikuti oleh Ang Nio, Pek Nio dan Hek Nio keluar dari
dalam rumah menuju ke pantai di mana para penyerbu itu tadi berkumpul. Dari
menara itu ia dapat melihat jelas apa yang terjadi di bawah sana. Orang-orang
Cin-sa-pang itu ternyata kini dibagi menjadi dua kelompok dan masing-masing
kelompok dipimpin oleh seorang di antara dua kakek itu. Kelompok pertama yang
disertai pula oleh pimpinan Cin-sa-pang menyerbu dari arah sungai itu, yaitu
dari timur sedangkan kelompok ke dua mengambil jalan memutar, dan memasuki
daerah berbahaya itu dari arah selatan.
Dengan
jantung berdebar Hong Li melihat dari atas menara betapa gurunya dan tiga orang
pelayannya itu menyelinap dan menuju ke bagian timur, menyelinap antara pohon
dan semak-semak belukar. Nampak gurunya sedang memberi petunjuk, jari tangannya
menuding ke sana-sini dan ketiga orang pembantu itu lalu berpencaran,
menyelinap di antara pohon-pohon. Pedang telanjang mengkilat di tangan tiga
orang wanita pembantu yang cantik-cantik akan tetapi juga lihai itu. Diam-diam
Hong Li merasa ngeri.
Ia tahu
bahwa akan terjadi pembunuhan-pembunuhan lagi. Melihat demikian banyaknya
jumlah lawan yang datang menyerbu, ia dapat membayangkan betapa tempat itu akan
menjadi tempat pembantaian. Tentu banyak sekali darah yang akan mengalir dan
mayat bertumpuk-tumpuk walau pun semua mayat dapat dilempar ke dalam kubangan
lumpur atau pasir dan akan lenyap tanpa meninggalkan bekas. Ia bergidik...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment