Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dara Baju Merah
Jilid 09
Bu Pun Su
adalah keturunan keluarga Lu yang sejak dulu terkenal sebagai patriot-patriot
sejati dan pembesar-pembesar yang setia kepada negara. Biar pun Bu Pun Su
hanyalah cucu angkat dari Menteri Lu Pin, akan tetapi kiranya semangat serta
jiwa kepahlawanan ikut mengalir pula di dalam tubuhnya sehingga kakek sakti ini
tidak tega melihat keadaan negara yang demikian kalut.
“Demikianlah,
Kiang Liat,” katanya sambil menghela napas. “Negara sangat kalut, perang
saudara mengancam, perpecahan di antara orang-orang gagah berada di ambang
pintu. Kalau sampai semua ini meletus, yang menderita tak lain hanyalah rakyat
jelata. Negara kalut, keamanan tak terjamin, maka orang-orang jahat muncul
merajalela dan mengacau kehidupan rakyat kecil. Apa bila timbul perang, rakyat
pula yang menderita, terpukul dari kanan kiri. Apa lagi bila dibayangkan
perpecahan yang akan terjadi di antara orang-orang gagah, benar-benar
menyedihkan sekali. Oleh karena itu, aku mengambil prakarsa untuk mengadakan
pertemuan orang-orang kang-ouw di puncak Bukit Kauw-san. Aku hendak mengajak
mereka membela negara dan mencegah timbulnya perang saudara yang pasti takkan
pernah ada habisnya, melihat betapa banyak orang yang hendak memperebutkan
kedudukan dan kekuasaan. Hanya kau beserta gurumu Han Le yang kiranya akan
dapat membantuku.”
“Bagaimana
teecu dapat membantu Supek?” tanya Kiang Liat.
“Ancaman
yang paling hebat bagi negara kita adalah bahaya yang datang dari utara dan
barat. Karena itu, untuk membendung pengaruh ini, kita harus menghubungi tokoh-tokoh
Kun-lun-pai dan Thian-san di barat, juga tokoh-tokoh Gobi-san di utara. Kau
wakililah aku pergi ke Go-bi-pai di utara dan berikan suratku kepada Twi Mo
Siansu Ketua Go-bi-pai. Aku sendiri hendak mencari Han Le dan menyuruhnya pergi
kepada Thian It Cinjin di Thian-san, sedangkan aku akan pergi ke Kun-lun-pai
menemui Keng Thian Siansu.”
Kiang Liat
menerima baik perintah ini. Memang ia pun sudah amat rindu akan dunia luar
kampungnya. Setelah membuatkan surat untuk Ketua Go-bi-pai Bu Pun Su minta kepada
Kiang Liat supaya segera berangkat.
“Kau tak
usah menanti datangnya Im Giok karena ia sedang mengantar utusan Kaisar ke
Tiang-hai. Kalau dia datang, Kim Lian dapat memberi tahu kepadanya ke mana kau
pergi. Pertemuan yang kurencanakan itu akan terjadi tiga bulan lagi, maka kita
harus bekerja cepat.”
Maka
berangkatlah Kiang Liat menuju ke utara, ke Go-bi-san yang jauh. Ada pun Bu Pun
Su, sesudah meninggalkan pesan kepada Kim Lian supaya berhati-hati menjaga
rumah, lalu pergi menuju ke Pulau Pek-le-to mencari Han Le.
***************
Dengan
menggunakan kepandaiannya yang tinggi, beberapa pekan kemudian Bu Pun Su telah
tiba di pesisir Pulau Pek-le-to. Alangkah kagetnya ketika ia mendaratkan
perahu, ia melihat jenazah tiga orang menggeletak di pinggir laut. Dan lebih-lebih
terkejut hatinya ketika ia mengenal jenazah-jenazah itu, yakni Bok Beng Hosiang
dan Kok Beng Hosiang tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan ketiga Cin Giok Sianjin
tokoh Kun-lun-pai! Agaknya belum lama mereka ini tewas, paling lama dua hari.
“Omitohud...!”
Bu Pun Su berseru kaget dan cepat ia memeriksa.
“Celaka...!”
serunya sambil melompat mundur pada waktu ia mendapat kenyataan bahwa ketiga
orang ini semua mempunyai bekas pukulan ilmu Pek-in Hoat-sut!
Ia tahu
bahwa di dunia ini yang memiliki ilmu pukulan Pek-in Hoat-sut hanya dia
sendiri, sedangkan Han Le juga dapat, akan tetapi hanya beberapa bagian setelah
mempelajari gambar-gambar di dalam goa.
Ia terkejut
sekali karena tahu bahwa tiga orang ini telah bertempur dan terluka oleh Han
Le. Terang bahwa mereka ini dirobohkan oleh Han Le, sungguh pun mereka tewas
bukan karena pukulan itu, akan tetapi karena tikaman pedang yang tepat menembus
pada ulu hati mereka.
“Tokoh-tokoh
Kun-lun dan Siauw-lim dimusuhi oleh Han Le? Apa artinya ini?” Bu Pun Su menjadi
cemas memikirkan sute-nya, maka cepat ia berlari ke tengah pulau mencari Han
Le.
Han Le tidak
berada di dalam goa. Bu Pun Su mencari terus dan akhirnya dia melihat
pemandangan yang membuat wajahnya menjadi pucat, hampir saja ia tidak percaya
akan penglihatannya sendiri sehingga Bu Pun Su sejenak berdiri terpaku,
memandang ke arah dua orang yang duduk di bawah pohon. Apa yang dilihatnya?
Han Le
sedang rebah telentang di atas rumput, dan kepalanya terletak di atas pangkuan
seorang wanita yang cantik jelita yang dikenalnya sebagai Bi Sian-li Pek Hoa
Pouwsat! Sambil menundukkan muka dan membisikkan kata-kata rayuan, Pek Hoa
membelai-belai rambut kepala Han Le yang setengah tertidur.
Melihat ini,
timbullah amarah di dalam hati Bu Pun Su. Juga berbareng terbayanglah di depan
matanya peristiwa dahulu ketika ia terjerumus ke dalam perangkap Wi Wi Toanio.
Juga dia pernah tergila-gila dan roboh oleh kecantikan wanita, pernah
menurutkan nafsu hati dan lupa diri, melakukan hal yang amat rendah memalukan.
Akan tetapi,
dengan Wi Wi Toanio ia hanya melakukan kebodohan, bukan kejahatan. Ia tidak
membunuh siapa-siapa, sedangkan Han Le, tak salah lagi, tentu Pek Hoa siluman
wanita yang cantik itu sudah membujuk Han Le untuk merobohkan tokoh-tokoh
Siauw-lim-pai dan Kun-lun!
“Han-sute...!”
Bentakan yang menggeledek ini mengejutkan Han Le dan Pek Hoa.
Mereka
cepat-cepat melompat berdiri dan memandang kepada Bu Pun Su dengan mata
terbelalak. Pek Hoa agak pucat, akan tetapi bibirnya yang manis tersenyum.
Sedangkan Han Le merah sekali mukanya, merah sampai ke telinganya.
“Sute,
kesesatan apa yang kau lakukan ini?”
Han Le
mengangkat muka, akan tetapi dia tidak kuat menatap pandang mata Bu Pun Su
sehingga menundukkan kepalanya lagi. Tiba-tiba terdengar suara ketawa perlahan,
suara ketawa yang merdu dan sedap didengar, kemudian Pek Hoa yang tertawa itu
melangkah maju menghadapi Bu Pun Su.
“Bu Pun Su,
kebetulan sekali kau datang. Kenapa kau tidak mau membawa Wi Wi Toanio ke sini
agar kita dua pasang manusia berbahagia mencari kesenangan hidup di pulau ini?”
“Apa
katamu?!” Bu Pun Su membentak dan mukanya berubah pucat.
Pek Hoa
Pouwsat tersenyum manis sekali sehingga Bu Pun Su diam-diam merasa heran
sekali. Kalau diingat, perempuan ini usianya sudah tidak muda lagi, sedikitnya
lima puluh tahun. Akan tetapi mengapa cantik jelita seperti gadis berusia dua
puluh lebih?
“Bu Pun Su,
kau seorang laki-laki, demikian pula Han-ko seorang jantan. Kau bisa jatuh
cinta, mengapa Han-ko tidak boleh? Kau pernah tergila-gila kepada Wi Wi Toanio
isteri orang lain, kenapa Han-ko tidak boleh jatuh hati kepada aku, seorang
yang masih bebas belum bersuami? Kau benar-benar aneh dan di manakah
keadilanmu, Bu Pun Su?”
Pendekar
sakti itu merasa seolah-olah kepalanya disambar petir. Tak disangkanya bahwa
siluman wanita ini juga sudah mengetahui rahasianya, dan tahulah ia bahwa tentu
Wi Wi Toanio yang membuka rahasia ini di depan Pek Hoa.
Teguran
wanita ini memang tepat sekali sehingga ia tidak dapat menjawab! Akhirnya Bu
Pun Su berpaling kepada Han Le dan berkata dengan suara dingin,
“Han Le,
mengapa kau membunuh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai?”
Suara Bu Pun
Su mengandung ancaman dan amarah besar, membuat Han Le menjadi pucat dan nampak
ia takut sekali,
“Suheng,
siauwte... siauwte tidak membunuh mereka...”
“Jangan
memutar lidah sesuka hatimu, Han Le. Setidaknya kau yang telah merobohkan
mereka!” Bu Pun Su mendesak dan Han Le tak dapat menjawab.
Melihat
kekasihnya terus didesak, Pek Hoa lalu menjawab, “Memang benar, Han-ko yang
merobohkan mereka. Akan tetapi akulah yang sudah membunuh mereka. Mereka adalah
musuh-musuh besarku dan mereka datang untuk membunuhku, maka Han-ko melindungi
dan mengalahkan mereka. Apa salahnya dalam hal ini? Tidak tepatkah orang
melindungi kekasihnya yang terancam oleh orang lain? Bu Pun Su, kau mau apakah?
Han-ko dan aku hidup bahagia di sini, sebagai suami isteri yang saling
mencinta. Apakah kau merasa iri hati? Apakah kau merasa iri melihat Han-ko
hidup berbahagia sedangkan kau tidak? Kalau kau merasa iri, carilah sendiri
seorang kekasih dan bawa ke sini, bukankah itu baik sekali dari pada kau datang
dan marah-marah seperti ini?”
“Siluman
keparat, tutup mulutmu!” Bu Pun Su membentak dan amarahnya meluap.
Belum pernah
Bu Pun Su semarah itu. Selama ini ia telah bisa menguasai seluruh dirinya lahir
batin, akan tetapi sekarang menghadapi kebodohan Han Le yang dipermainkan oleh
siluman wanita ini, ia benar-benar lupa diri.
Bu Pun Su
maklum siapa adanya Pek Hoa Pouwsat dan orang macam apa wanita ini. Jauh lebih
cabul dan lebih jahat dari pada Wi Wi Toanio, jauh lebih berbahaya. Dan dia
tahu pula bahwa Han Le adalah seorang laki-laki beriman teguh, seorang
laki-laki yang hampir ‘jadi’ karena semenjak muda tidak mau mendekati wanita.
Celakanya,
sekarang Han Le tergoda dan tergelincir, tidak kuat menghadapi bujukan dan
cumbu rayu dari Pek Hoa, siluman wanita yang cantik sekali dan genit. Dan ia
tahu pula bahwa hal ini harus dicegahnya, kalau tidak akan mendatangkan bahaya
besar. Han Le berkepandaian tinggi, kalau sudah tercengkeram oleh orang
perempuan seperti Pek Hoa, kelak dapat dibujuk untuk membunuh siapa saja yang
dibenci oleh Pek Hoa!
“Bu Pun Su,
kau mau apakah?” Pek Hoa menantang sambil membusungkan dadanya yang montok.
“Kau harus
pergi meninggalkan pulauku ini, lekas!”
“Kau hendak
mengusir kami?” tanya Pek Hoa sambil menggandeng tangan Han Le dan menyandarkan
kepalanya ke pundak laki-laki itu.
“Aku
mengusir kau, perempuan jahat! Lekas pergi dari sini kalau kau tidak ingin
melihat aku melemparkanmu ke dalam laut! Han Le tidak boleh ikut!”
Pek Hoa
menyandarkan kepala makin dekat dan berbisik di dekat telinga Han Le, “Kau
dengar itu kekasihku? Sudah semenjak dulu aku bilang bahwa suheng-mu ini jahat
sekali, akan tetapi kau tidak percaya. Aku bilang bahwa sebenarnya dia
tergila-gila dan suka padaku dan ia menjadi benci padaku karena cintanya
kutolak, dan kau tidak percaya lagi. Sekarang kau melihat sendiri, bukan? Dia
iri hati padamu, iri hati dan cemburu, kau tahu? Dia ingin melihat aku mati
dari pada jatuh ke dalam tangan orang lain, ingin melihat aku mati dan kau
menderita. Kekasihku, ayah anakku, apakah kau akan tinggal diam saja melihat
isterimu yang mencintamu dengan seluruh tubuh dan nyawa?” Suaranya makin merayu
dan dua titik air mata meloncat keluar dari mata Han Le.
“Pek Hoa,
dia... dia suheng-ku... tak dapat aku melawan Suheng...,“ bisiknya.
Pek Hoa menarik
dirinya dengan sentakan, sepasang matanya bersinar-sinar, nampak sangat marah.
“Aha, jadi
kau lebih berat kehilangan suheng dari pada kehilangan isteri?”
“Bukan
begitu, Pek Hoa... aku... aku tidak berani...”
“Hemm, jadi
kau takut? Baiklah, Han-ko. Kalau kau takut membantuku, biar aku sendiri
mengadu nyawa dengan Bu Pun Su!”
Pek Hoa
sudah mencabut siang-kiam-nya (sepasang pedangnya), kemudian melompat maju.
“Bu Pun Su,
kau benar-benar menghinaku. Kau hendak melemparkan aku ke dalam laut? Boleh kau
coba, laki-laki gagah perkasa tukang menghina wanita!”
Menghadapi
Pek Hoa yang berdiri dengan sepasang pedang di tangannya dan bersikap amat
gagah itu, yang menantangnya dengan kulit muka kemerahan sehingga menambah
kecantikannya, Bu Pun Su menjadi serba salah. Ia tahu sedalam-dalamnya betapa
jahat perempuan ini, betapa palsu hatinya dan betapa berbahayanya. Apa bila
dibandingkan dengan mendiang Thian-te Sam-kauwcu guru dari Pek Hoa, kiranya
perempuan ini lebih berbahaya. Akan tetapi melemparkan dia begitu saja ke laut?
Kiranya tak akan mampu ia lakukan.
“Pek Hoa,
aku harap kau suka pergi dari sini dengan baik-baik dan tidak melawan. Aku
sungguh malu harus melawan wanita.”
Pek Hoa
sudah mendengar dari Han Le bahwa Bu Pun Su tak pernah menyerang orang sebelum
diserang. Oleh karena inilah maka tadi ia menahan sabar dan menanti supaya Bu
Pun Su menyerang dulu. Sekarang ia sengaja hendak memanaskan hati Bu Pun Su.
“Pengecut!
Laki-laki pengecut, kau sebenarnya suka kepadaku, bukan? Maka tidak mau
menyerangku. Kau hanya iri hati dan cemburu. Ehhh, Bu Pun Su, apa bila sekarang
aku menyatakan bahwa aku suka ikut denganmu dan meninggalkan Han-ko, tentu kau
tidak marah lagi, bukan? Akan tetapi aku tidak sudi! Dengar, aku tidak sudi,
aku tidak suka padamu, aku benci padamu. Muak perutku melihat mukamu, tahu
kau?”
Bu Pun Su
tersenyum. Ia tidak mendapat julukan Pendekar Sakti kalau ia tidak tahu akan
siasat ini. Dan ia bukanlah seorang yang gemblengan kalau dia tidak tahan
menghadapi serangan batin ini.
Tadi untuk
sebentar ia menurutkan nafsu amarah karena kecewa melihat kegagalan Han Le
menghadapi rayuan wanita. Sekarang ia sudah dapat menguasai diri lagi, karena
itu ia tenang-tenang dan tersenyum saja dalam menghadapi siasat lain dari Pek
Hoa.
“Pek Hoa,
bagaimana kau bisa bilang bahwa aku tergila-gila kepadamu? Hanya laki-laki yang
berhati lemah saja yang dapat jatuh cinta kepada seorang perempuan cabul
seperti engkau. Kau menggoda aku tidak berhasil, menggoda Kiang Liat dapat pula
kugagalkan, menggoda tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw kau sudah tidak laku
sebab mereka semua sudah tahu bahwa kau ini seorang siluman yang lebih jahat
dari pada Tat Ki (siluman wanita dalam dongeng Hong Sin Pong). Karena itu
sekarang kau sengaja menggoda Han-sute. Akan tetapi ini pun hanya untuk
sementara, karena tidak lama lagi Sute tentu akan insyaf dan tahu bahwa wanita
yang dipuja-pujanya itu bukan lain adalah seekor siluman betina...”
“Jahanam,
lihat pedang!”
Dua cahaya
kemilau dari sepasang pedang Pek Hoa menyambar dalam serangan yang dahsyat.
Ternyata, ia kalah dalam adu urat-syaraf, karena Bu Pun Su tadi membuatnya
marah sekali.
Bu Pun Su
tersenyum, akan tetapi dia tidak berlaku lambat atau sembrono karena ia tahu
betul akan kelihaian ilmu pedang wanita ini. Cepat ia mengelak dan di lain saat
keduanya sudah bertempur hebat.
Mula-mula
Pek Hoa mengeluarkan ilmu pedangnya berdasarkan kecepatan dan semua
serangan-serangannya ditujukan untuk menewaskan lawan. Akan tetapi menghadapi
Bu Pun Su, ia ketemu gurunya.
Dengan
tenang saja Bu Pun Su menghindarkan diri dari setiap serangan lawan dengan
totokan-totokan ke arah jalan darah yang kalau mengenai sasaran tentu akan
mengakhiri pertempuran itu. Sebentar saja Pek Hoa terdesak hebat oleh kakek
sakti itu dan tiba-tiba ia tertawa merdu kemudian ilmu silatnya mendadak
berubah.
“Ayaaa...!”
Bu Pun Su berseru kaget sekali ketika ia menyaksikan ilmu pedang ini.
Pek Hoa
telah mainkan ilmu pedangnya yang hebat, ilmu pedang Bi-jin Khai-i. Ilmu silat
yang mengandung daya sihir ini dapat melumpuhkan setiap orang lawan berjenis
laki-laki, membuat lawan itu seperti terkena hikmat. Gerakan ilmu silat ini
mengandung sifat cabul dan genit, menarik hati laki-laki dan meruntuhkan
semangat perlawanannya.
Tak heran
apa bila Bu Pun Su menjadi kaget sekali karena pendekar ini pun merasa dan
menjadi terpengaruh oleh hawa mukjijat yang terkandung dalam gerakan ilmu silat
yang dimainkan oleh Pek Hoa.
Pek Hoa
gembira sekali melihat hasil ilmunya dan dia segera memperindah gerakannya
untuk merobohkan atau mengalahkan Bu Pun Su. Akan tetapi, kali ini ia kecele.
Ia bukan menghadapi manusia sembarangan melainkan seorang manusia gemblengan
lahir batin.
Bu Pun Su
sadar bahwa ia menghadapi ilmu mukjijat, maka ia lalu meramkan mata dan
menandingi serangan-serangan lawannya hanya mengandalkan ketajaman pendengaran
saja. Dengan cara meramkan mata, ia tidak usah melihat gerakan tubuh lawan dan
tidak terpikat. Di samping itu, kini ia mainkan ilmu silatnya yang ampuh,
Pek-in Hoat-sut.
Begitu Bu
Pun Su mengerahkan sinkang dan menggerakkan tubuh, dari kedua lengannya
mengebul uap putih yang makin lama semakin tebal sampai akhirnya seluruh
tubuhnya, terutama di bagian ubun-ubun, mengepul uap putih yang menolak semua
hawa pukulan dan hawa mukjijat dari ilmu pedang lawannya. Sesudah merasa diri
kuat terlindung oleh Pek-in Hoat-sut, baru Bu Pun Su membuka matanya dan mulai
mendesak lawan.
Pek Hoa
mengeluh. Harapan untuk berhasil kini sudah buyar pula, bahkan sebaliknya ia
terancam hebat oleh hawa pukulan yang beruap putih itu. Ia hanya dapat
memutar-mutar pedang sambil main mundur. Akhirnya ia mengeluh,
“Han-ko,
apakah kau tega melihat aku mati tanpa membantu?”
Sebetulnya
semenjak tadi Han Le telah menonton petempuran itu dengan hati kebat-kebit
tidak karuan. Ia merasa cemas sekali akan keselamatan kekasihnya, dan ingin
sekali ia membantu. Akan tetapi ia merasa sungkan terhadap suheng-nya ini. Oleh
karena itu ia hanya berdiri dengan kedua tangan dikepalkan erat-erat, keningnya
berkerut dan bibirnya digigit, akan tetapi kedua kakinya seperti terpaku pada
tempat ia berdiri. Kini melihat Pek Hoa terdesak hebat, hampir-hampir ia tak dapat
bertahan lagi.
“Han-ko...!”
Pek Hoa menjerit sayu ketika tangan kirinya terserempet tamparan tangan Bu Pun
Su. Pedang kirinya terlempar dan tangan menjadi lumpuh.
Akan tetapi
Pek Hoa masih melawan dengan pedang kanannya, melawan nekat sambil berseru,
“Bu Pun Su,
kau tamatkanlah nyawaku. Han-ko tidak mau membantu, apa artinya hidup bagiku?”
“Suheng,
sudahlah...!” Han Le tiba-tiba melompat dan pedangnya menyambar di
tengah-tengah untuk menghalangi Bu Pun Su menyerang Pek Hoa.
“Han Le,
pergi kau jangan ikut-ikut!” bentak Bu Pun Su marah.
“Suheng,
jangan melukai dia... aku cinta padanya...,” jawab Han Le sambil menghadang di
tengah.
“Han-ko, dia
bukan suheng-mu lagi. Dia manusia kejam. Mari kita bunuh bersama. Lihat, tangan
kiriku sudah lumpuh. Balaskan sakit hatiku ini, Han-ko!” Pek Hoa berkata dan ia
mulai menyerang Bu Pun Su lagi dengan pedang kanannya.
Kini Han Le
tak bicara lagi, akan tetapi memutar pedang di tangannya secara cepat untuk
melindungi Pek Hoa dari serangan Bu Pun Su.
Kakek sakti
itu menarik napas panjang. “Han Le, kau sudah tersesat jauh. Apa boleh buat,
aku lebih rela melihat sute-ku binasa dalam tanganku dari pada melihat dia
tersesat dan menjadi seorang jahat!”
Begitu
kata-kata ini habis diucapkan, Bu Pun Su segera mempercepat dan memperkuat
gerakannya. Memang bukan hal yang mudah menghadapi keroyokan orang-orang
selihai Pek Hoa dan Han Le, yang keduanya selain memiliki ilmu silat tinggi
sekali, juga memiliki keistimewaan masing-masing.
Kalau saja
tokoh yang dikeroyok bukannya Bu Pun Su yang sakti, agaknya sukar sekali
mengalahkan keroyokan dua orang ini. Dan andai kata Pek Hoa tidak lebih dulu
sudah terluka tangan kirinya, agaknya Bu Pun Su juga tidak akan mudah
mengalahkan mereka. Apa lagi Bu Pu Su merasa gelisah dan kecewa sekali melihat
sute-nya yang sekarang bertempur secara mati-matian mengeluarkan seluruh
kepandaian untuk membela wanita jahat itu!
“Han Le,
mundur kau!” berkali-kali Bu Pun Su berseru.
Akan tetapi
Han Le seperti sudah tuli, tidak mendengar seruan ini bahkan memperhebat
gerakan pedangnya.
“Bagus,
Han-ko, kekasihku. Tikam dia, bunuh jahanam ini!” sebaliknya berkali-kali pula
Pek Hoa membujuknya.
Setelah tiga
kali Bu Pun Su memberi peringatan kepada sute-nya tanpa ada perhatian, pendekar
ini menjadi marah dan membentak,
“Han Le,
kalau begitu robohlah kau!”
Ia lalu
mengirim serangan hebat ke arah sute-nya sendiri. Han Le terkejut menghadapi
pukulan Pek-in Hoat-sut ini. Ia mencoba untuk menangkis dan miringkan tubuh
sambil membalas dengan tusukan pedang. Akan tetapi akibatnya, pedangnya
terpental dan ia terguling roboh, sambungan tulang pundaknya terlepas karena
pukulan Pek-in Hoat-sut yang lihai.
Han Le
meringis kesakitan dan tak dapat bangun lagi karena sambungan tulangnya telah
terlepas. Juga ia menderita luka di sebelah dalam yang membuat ia tak mungkin
bangun lagi.
“Keparat,
rasakan pembalasanku!” Pek Hoa menjerit dan pedangnya menyambar ke arah bawah
pusar Bu Pun Su.
“Siluman
betina, kau harus mampus!” bentak Bu Pun Su yang merasa muak menghadapi
serangan yang keji ini.
Tangan
kirinya bergerak ke bawah menyampok pedang sehingga pedang itu terlepas dari
pegangan, kemudian secepat kilat, sebelum Pek Hoa menarik kembali tangan
kanannya, Bu Pun Su mendahului dengan ketokan telunjuknya ke arah sambungan
tulang siku.
Pek Hoa
menjerit dan tangan kanannya lumpuh pula seperti tangan kirinya! Akan tetapi
wanita ini memang sudah nekat. Bagai seekor singa betina, ia menerjang maju,
sekarang mempergunakan kedua kakinya, melakukan tendangan bertubi-tubi. Tetapi
dengan sekali sampok dengan ujung lengan bajunya, Bu Pun Su berhasil membuat
dia roboh terguling dan merintih-rintih kesakitan.
“Kalau orang
macam kau tidak mati, hanya akan mengacaukan dunia saja!” kata Bu Pun Su sambil
melangkah maju, agaknya hendak menewaskan Pek Hoa.
“Suheng,
tahan...!”
Sambil
merangkak dan setengah menggulingkan tubuh, Han Le menghampiri Bu Pun Su, lalu
berlutut di depan Bu Pun Su sambil menangis, “Suheng, ampunkan dia, biar dia
pergi meninggalkan pulau ini, akan tetapi jangan bunuh dia, Suheng. Kalau
Suheng bernafsu hendak membunuh orang, biar siauwte saja Suheng bunuh sebagai
penebus nyawanya.”
Bu Pun Su
serentak kaget. Baru ia sadar bahwa hampir saja ia melakukan pembunuhan dengan
mata terbuka. Musuh sudah kalah, tak perlu didesak lagi, pikirnya.
“Dan kau
tetap hendak pergi bersama dia?”
Han Le
menggeleng-geleng kepalanya. “Siauwte sudah mengaku salah. Siauwte terlalu
menurutkan nafsu hati dan akhirnya siauwte jatuh cinta. Kini siauwte bersedia
menebus dosa, biar siauwte merana di sini, biar siauwte berpisah darinya,
siauwte rela. Siauwte takkan meninggalkan pulau ini selamanya.”
Kemudian Han
Le berpaling kepada Pek Hoa, berkata dengan suara perlahan, “Pek Hoa, selamat
berpisah. Pergilah kau meninggalkan pulau ini, meninggalkan aku. Jangan kau
kembali lagi selamanya. Kita tak usah bertemu lagi selamanya.”
Sebetulnya,
ketika Pek Hoa memikat hati Han Le, niat terutama di dalam hatinya adalah
mencari kawan untuk membalaskan dendam kepada musuh-musuhnya. Hal ini pun telah
terlaksana dengan terbunuhnya tiga orang tokoh Kun-lun dan Siauw-lim. Bahkan ia
sudah berhasil lebih jauh lagi, yakni ia telah dapat mewarisi sebagian dari
ilmu silat Han Le.
Yang hebat,
hampir saja ia berhasil mengadu dombakan Han Le melawan Bu Pun Su. Akan tetapi
setelah rencananya tidak berhasil dan akibatnya bahkan Han Le dan dia sendiri
terluka, dan ternyata Bu Pun Su terlampau kuat baginya, hati Pek Hoa menjadi
dingin dan putus harapan.
Ia
menguatkan diri untuk bangun dan berdiri, mukanya pucat kedua lengannya lumpuh.
Ia memandang kepada Bu Pun Su dengan mata penuh kebencian. “Bu Pun Su, banyak
aku membenci orang, akan tetapi tidak seperti aku membencimu. Kelak akan tiba
saatnya aku membalas penghinaan ini, kalau tidak oleh tanganku sendiri, tentu
oleh tangan anakku atau tangan Wi Wi Toanio!” Setelah berkata demikian, dia
berpaling kepada Han Le dan berkata,
“Kau jembel
busuk, jembel tua, kau kira aku benar-benar mencintamu? Hah, tak tahu diri! Aku
menyerahkan diri kepadamu dengan harapan agar supaya kau mau membalas budi
kecintaanku, dapat membalaskan sakit hatiku terhadap musuh-musuh besarku. Namun
ternyata, menghadapi orang ini saja kau menunjukkan ketidak gunaanmu. Hah,
sungguh kau memualkan perutku!”
Setelah
berkata demikian, dengan terhuyung Pek Hoa meninggalkan tempat itu menuju ke
pantai, makin lama makin jauh merupakan sosok bayangan orang yang putus asa.
“Wanita yang
berbahaya sekali. Hmm, lihai dan berbahaya melebihi setan. Pada akhirnya masih
tega menghancurkan hati Han-sute,” kata Bu Pun Su perlahan.
Tiba-tiba
keningnya berkerut ketika dia menoleh dan melihat Han Le pucat sekali dan air
mata bercucuran keluar dari sepasang matanya.
“Ehh,
Han-sute, kau sudah dihina olehnya. Apakah kepergiannya masih bisa membuat
hancur hatimu? Di mana sifat jantanmu, Sute?”
Han Le
menggeleng-geleng kepalanya. “Suheng, siauwte memang harus dipukul, bahkan
sudah sejak dulu siauwte mengerti bahwa dia hanya... mempermainkan siauwte
belaka. Namun, siauwte sudah dicengkeram oleh nafsu. Akhir-akhir ini...
bagaimana siauwte bisa membencinya? Dia... dia telah mejadi calon ibu
anakku...”
Bu Pun Su
terkejut sekali, sampai berubah air mukanya.
“Apa
katamu?! Betul-betulkah begitu?”
Han Le
mengangguk. “Siauwte tidak sayang kepadanya, melainkan kepada anak yang
dikandungnya. Suheng, siauwte sudah bersumpah tak akan meninggalkan pulau ini,
akan menanti di sini hingga maut datang mencabut nyawa, untuk menebus dosa-dosa
siauwte. Akan tetapi anak itu... ah, Suheng, kalau sudah terlahir dan berada di
bawah asuhan Pek Hoa, akan menjadi apakah? Oleh karena itu, siauwte mohon
bantuan Suheng, kalau anak itu terlahir, harap Suheng suka merampasnya dan
memberikan kepada orang lain supaya dididik menjadi manusia baik-baik. Jangan
sampai keturunan siauwte menambah dosa siauwte sehingga membuat siauwte tak
dapat mati dengan mata meram.”
Bu Pun Su
mengangguk-angguk. Hatinya terasa pilu. Ia sendiri belum pernah merasakan
bagaimana perasaan seorang calon ayah. Akan tetapi ia dapat membayangkan betapa
hancur hati Han Le pada saat itu.
“Baikiah,
Han-sute. Tadinya aku datang untuk meminta bantuanmu, akan tetapi melihat
keadaanmu sekarang, tak usahlah. Bahkan, sesudah terjadi peristiwa antara kau
dengan tokoh-tokoh Kun-lun dan Siauw-lim, amat tidak baik kalau kau sendiri
yang muncul. Biar aku yang akan membereskan hal itu dan menjernihkan keadaan.
Kau rawat baik-baik tiga jenazah itu, jangan dibiarkan begitu saja. Meski pun
kau tak akan meninggalkan pulau ini selamanya, percayalah, sewaktu-waktu aku
akan datang menemanimu di sini.”
Han Le
menghaturkan terima kasih dan tidak lama kemudian Bu Pun Su meninggalkan Pulau
Pek-le-to dengan hati penuh iba kepada adik seperguruannya itu. Tidak pernah
dia menyangka bahwa Han Le akan bernasib sedemikian buruk, jauh lebih buruk
dari pada nasibnya sendiri.
***************
Debu
mengebul tinggi ketika dua ekor kuda berlari congklang menuju ke gerbang pintu
kota Tiang-hai yang letaknya hanya tinggal berjarak beberapa li lagi. Waktu itu
musim panas sedang teriknya, jalan-jalan mengering dan debu mengebul tinggi
setiap kali jalan itu dilalui kuda atau kendaraan yang ditarik kuda.
Pohon-pohon nampak mengering dan sawah ladang kuning kosong.
Namun alam
di sekitar tempat itu yang sama sekali tidak menimbulkan pemandangan indah, tak
mengurangi seri muka gembira dari dua orang muda yang menunggang kuda. Mereka
ini adalah Gan Tiauw Ki dan Kiang Im Giok.
Sebagaimana
diketahui, Gan Tiauw Ki menuju ke kota Tiang-hai untuk menyampaikan surat dari
Kaisar untuk seorang berpangkat huciang bernama keturunan Suma di kota itu, dan
untuk melakukan penyelidikan. Ada pun Im Giok mendapat tugas dari Bu Pun Su
untuk mengawal pemuda ini.
Di sepanjang
perjalanan, Tiauw Ki memperlihatkan bahwa dia adalah seorang pemuda yang
terpelajar tinggi, hafal akan bunyi sajak-sajak gubahan para pujangga jaman dahulu
yang berjiwa patriot, hafal akan sejarah, pandai pula membuat sajak-sajak
bersemangat dan indah-indah. Selain ini, ia pandai bernyanyi dan meniup suling
sehingga beberapa kali di waktu mereka beristitahat, pemuda ini mengeluarkan
suling peraknya dan mainkan beberapa lagu.
Im Giok
tertarik sekali. Hatinya tambah suka terhadap Tiauw Ki melihat sikap pemuda ini
amat sopan, biar pun ramah tamah, dan kadang-kadang gembira, namun sikapnya
selalu sopan dan menyenangkan, tidak pernah memperlihatkan pandang mata kurang
ajar atau kata-kata yang tidak sopan. Dalam diri pemuda ini Im Giok melihat
orang yang sangat bersemangat, berjiwa patriot dan gagah, jujur, setia dan
sopan-santun.
Sebaliknya,
selama hidupnya baru sekali ini Tiauw Ki berjumpa dan berkenalan dengan seorang
gadis seperti Im Giok. Memang pemuda itu sudah banyak pengalaman kota-kota
besar, sudah banyak melihat puteri-puteri istana, puteri-puteri bangsawan yang
tersohor cantik jelita dan pandai, akan tetapi ia harus akui bahwa baru kali
ini hatinya jatuh oleh kecantikan seorang gadis. Tidak saja ia kagum sekali
melihat wajah jelita dari Im Giok, juga ia kagum sekali akan kegagahan gadis
ini.
Oleh karena
kedua pihak merasa saling tertarik dan suka, maka tentu saja perjalanan itu
merupakan pengalaman yang amat menyenangkan, tak pernah memperlihatkan pandang
mata sayang, tidak memperlihatkan apa yang terkandung dalam hati, akan tetapi
jauh di lubuk hati, mereka tahu bahwa hidup akan kurang sempurna apa bila
mereka berpisah.
Makin dekat
dengan kota Tiang-hai, semakin sering mereka bertemu orang dan makin banyak
mereka melihat orang-orang mendatangi Tiang-hai.
“Heran,
mereka itu datang ke Tiang-hai ada apakah?” kata Tiauw Ki perlahan pada saat
melihat serombongan orang berkuda mendahului mereka.
Rombongan
ini terdiri dari tujuh orang. Melihat pakaian dan sikap mereka, dapat diduga
bahwa tujuh orang ini adalah orang-orang berkepandaian tinggi.
“Mereka
siapakah?” tanya Im Giok.
Gadis ini
merasa lebih heran lagi sebab ia tahu bahwa tujuh orang itu adalah orang-orang
kang-ouw. Bagaimana seorang sastrawan seperti Gan Tiauw Ki bisa mengenal
mereka?
“Mereka itu
adalah panglima-panglima ternama dari Gubernur Shansi. Mereka menyamar seperti
orang-orang biasa dan datang di Tiang-hai, apakah kehendak mereka?” Tiauw Ki
berkata perlahan.
Ketika tidak
mendapat jawaban, Tiauw Ki menengok.
“Ada apakah,
Nona?” tanyanya ketika Im Giok memandang kepadanya dengan penuh keheranan dan
kecurigaan.
“Bagaimana
kau dapat mengenal orang-orang seperti itu?” tanya Im Giok.
Tiauw Ki
tersenyum merendah.
“Apa
sukarnya? Badan penyelidik dari istana sudah memperlihatkan gambar tokoh-tokoh
terpenting dari mereka yang dianggap sebagai orang-orang yang hendak
memberontak. Gubernur Shansi dan Honan melopori pemberontakan-pemberontakan
atau sikap yang anti Kaisar, maka panglima-panglima ternama dari kedua gubernur
itu tentu saja sudah kukenal gambarnya. Inilah sebabnya maka aku dapat
mengenali mereka tanpa mereka tahu siapa aku.”
Im Giok
mengangguk-angguk kagum. “Gan-kongcu, otakmu benar-benar sangat tajam, dapat
mengingat semua orang dalam gambar.”
“Bukan aku
yang berotak tajam, melainkan tukang lukisnya yang benar-benar pandai. Hanya
dengan beberapa coretan saja ia dapat melukis muka orang demikian tepatnya.
Benar-benar aku makin kagum saja kepada pelukis Ong dari istana itu.”
Im Giok lalu
bertanya tentang pelukis itu dan mereka bercakap-cakap dengan asyik. Dan
kembali Ang I Niocu Kiang Im Giok mendapat kenyataan bahwa pemuda ini mempunyai
kepandaian lain yang menarik, yakni melukis. Pemuda ini sendiri seorang pelukis
pandai akan tetapi dia memuji-muji pelukis Ong Pouw di istana, menandakan bahwa
wataknya memang sopan dan suka merendahkan diri sendiri.
Tiba-tiba
terdengar seruan dari belakang, “Minggir! Minggir!”
Im Giok
terkejut. Suara ini terdengar nyaring, disusul oleh suara derap kaki kuda yang
berlari cepat. Orang yang dapat mengirim suara mendahului suara derap kaki kuda
tentu seorang yang memiliki kepandaian tinggi.
Tiauw Ki
tentu saja tidak tahu akan hal ini dan ia hanya berkata, “Datang orang kasar,
baik kita minggir. Jangan sampai terjadi ribut-ribut.”
Im Giok
maklum bahwa tugas yang amat penting dari Tiauw Ki memang harus dilindungi dan
sebaiknya apa bila mereka tidak memancing permusuhan sebelum tugas itu selesai.
Maka ia pun lalu menggebrak kudanya dan minggirkan kuda untuk memberi jalan
kepada serombongan orang berkuda yang mendatangi dengan cepat.
Rombongan
kali ini adalah orang-orang dengan pakaian indah serta gagah, akan tetapi yang
paling menarik adalah orang pertama yang berada di depan. Orang ini masih muda,
wajahnya tampan sekali, sikapnya gagah, pakaiannya indah dan mewah. Jelas
nampak bahwa dia adalah seorang pesolek besar, dan kudanya pun bukan kuda biasa
melainkan kuda pilihan berbulu putih. Ia membalapkan kudanya, sedikitnya
seperempat li di depan rombongannya sambil tertawa-tawa.
Kuda yang
ditunggangi oleh Im Giok juga kuda pilihan, demikian pula kuda Kim Lian yang
ditunggangi oleh Tiauw Ki. Tidak hanya manusia yang suka memilih golongan, kuda
pun agaknya mengenal kawan dan mengenal bulu.
Tiba-tiba
saja kuda yang ditunggangi oleh Im Giok dan Tiauw Ki mengeluarkan ringkikan
keras. Mereka menjadi gembira, kedua kaki depan diangkat tinggi dan mereka
melompat ke tengah jalan menghadang datangnya kuda putih yang ditunggangi
pemuda tampan itu!
Terdengar
Tiauw Ki memekik kaget. Ternyata tubuh pemuda ini sudah dilemparkan oleh
kudanya ketika kuda itu berdiri di atas dua kaki belakang. Gerakannya demikian
kuat dan cepat sehingga Tiauw Ki tidak dapat menguasai diri dan terjengkang ke
belakang.
Tentu
tubuhnya akan terbanting di atas batu di jalan kalau saja Im Giok tidak
cepat-cepat melompat dan menyambar. Dengan gerakan cekatan dan lincah bagaikan
seekor burung terbang, gadis ini hanya kelihatan sebagai bayangan merah dan
tahu-tahu Tiauw Ki telah disambar lengannya. Di lain saat, pemuda ini sudah
berdiri di tengah jalan dan lengannya dipegang oleh Im Giok.
“Bagus
sekali!” terdengar suara orang memuji.
Ketika itu,
pemuda tampan gagah yang berada di atas kuda putih sudah datang dekat, agaknya
hendak menubruk Tiauw Ki dan Im Giok. Im Giok sudah bersiap sedia, sedikit pun
tidak khawatir karena ia maklum bahwa jika perlu, dengan mudah ia akan
mendorong tubuh kuda putih itu ke samping.
Akan tetapi
Im Giok tidak perlu turun tangan karena tiba-tiba saja kuda itu berhenti sambil
meringkik keras, kedua kaki depan diangkat, ada pun kaki belakangnya merendah
hampir berlutut.
Im Giok
kagum sekali. Penunggang itu sudah memperlihatkan kepandaiannya, tidak saja
kepandaian menunggang kuda, tapi juga kepandaian ilmu lweekang yang tinggi
sehingga pada saat itu ia dengan cepat dapat membikin berat tubuhnya kemudian
mempergunakan kekuatannya untuk menahan larinya kuda sendiri.
Tiauw Ki
yang sudah lenyap kagetnya, berkata sambil merengut,
“Mengapa
melarikan kuda cepat-cepat amat? Membikin kuda orang lain kaget setengah mati?”
Pemuda itu
memandang sejenak ke arah Tiauw Ki, senyumnya berubah mengejek dan menghina,
sinar matanya memandapg rendah seperti seekor harimau memandang anjing buduk.
Kalau
tadinya Im Giok merasa tertarik dan kagum melihat pemuda tampan dan gagah ini,
sekaligus rasa kagum dan sukanya lenyap bagaikan awan tertiup angin badai.
Melihat senyum mengejek serta pandang mata yang membayangkan kesombongan besar
penuh penghinaan kepada Tiauw Ki, sekaligus hati Im Giok mendongkol dan timbul
rasa tidak sukanya kepada pemuda tampan ini.
Memang harus
diakui bahwa dalam segala hal, pemuda asing ini jauh melebihi Tiauw Ki. Dia
lebih tampan, jauh lebih gagah, dan juga pakaiannya lebih indah. Akan tetapi ia
tidak mempunyai apa yang dimiliki Tiauw Ki, yakni kepribadian yang menarik,
gaya sewajarnya yang penuh kecerdikan, kejujuran, dan kesetiaan.
Pemuda itu
tidak lama memandang ke arah Tiauw Ki, sebaliknya cepat ia mengalihkan pandang
matanya kepada Im Giok. Senyumnya berubah, tidak menyeringai penuh ejekan
seperti tadi, akan tetapi senyum penuh madu memikat, senyum yang membuat
parasnya makin tampan, dan sepasang matanya berseri penuh kagum dan terpikat.
“Pek-in-ma
(Kuda Awan Putih) yang kutunggangi ternyata bisa mengenal keindahan dan
kegagahan! Di dunia ini jarang terdapat paduan yang tepat, indah dan gagah.
Nona, kau tidak saja memenuhi syarat paduan ini, bahkan melebihi…, jauh
melebihi sehingga tidak berlebih-lebihan kalau kukatakan bahwa aku Lie Kian Tek
selama hidupku baru sekali ini melihat paduan yang demikian sempurna!”
Im Giok
maklum akan pujian ini, akan tetapi ia berpura-pura tidak mengerti dan berkata,
“Apakah
maksud kata-katamu ini?”
Pemuda
tampan ini tertawa sambil menoleh kepada kawan-kawannya yang sudah tiba di sana
pula. “Cuwi (Tuan-tuan sekalian), berhenti sebentar dan lihatlah, pernahkah
kalian melihat seorang yang begini cantik dan gagah?”
Lima orang
yang mengawal pemuda ini, yang semuanya orang-orang setengah tua yang
berpakaian indah dan bersikap gagah, memandang dan tersenyum.
“Memang
cantik sekali akan tetapi kegagahan, hmm... banyak sekali orang yang berlagak
gagah akan tetapi tiada guna, seperti gentong kosong dipukul bersuara namun tak
berisi,” demikian kata seorang di antara mereka.
Pemuda itu
tertawa, nampak giginya yang berbaris rapi dan putih bersih. “Ha-ha-ha, kau
betul sekali, Ciang-lopek. Akan tetapi kau tidak tahu betapa nona ini tadi
dengan gerakan indah dan luar biasa sudah menyelamatkan nyawa seorang yang
benar-benar tidak ada gunanya! Eh, Nona, maksud kata-kataku tadi kalau disalin
dengan lain kalimat berarti aku kagum sekali melihatmu sebab kau betul-betul
cantik jelita dan gagah perkasa. Bolehkah aku mengetahui namamu, Nona? Dan kau
hendak ke manakah?”
Ujung hidung
yang kecil mancung itu bergerak, perlahan sekali dan hanya dapat terlihat oleh
orang yang memperhatikan. Dan yang memperhatikan ujung hidung Ang I Niocu ini
hanya Tiauw Ki seorang.
Pemuda ini
cepat mengulur tangan dan menyentuh lengan Im Giok, lalu katanya kepada pemuda
tampan itu, “Tuan, harap jangan mengganggu kami lagi dan hendaknya menjaga tata
susila antara kaum pria dan wanita, pula memberi kebebasan kepada kami sebagai
orang-orang yang bertemu di tengah perjalanan. Nona ini tidak bersalah, kenapa
hendak diganggu?”
Pemuda itu
menengok dan memandang kepada Tiauw Ki dari atas kudanya.
“Hah! Siapa
yang mengajak bicara orang macam engkau?”
Im Giok
sementara itu sudah bisa menekan perasaannya, maka ia lalu membalas isyarat
Tiauw Ki dengan sentuhan perlahan pada tangannya, kemudian ia menjawab,
“Cuwi
sekalian hendak mengetahui namaku? Aku she Kiang, seorang yang tak ternama. Aku
hendak pergi ke Tiang-hai...”
“Ke
Tiang-hai?” pemuda yang mengaku bernama Lie Kian Tek itu memotong,
“Kiang-siocia, kebetulan sekali! Aku, Lie Kian Tek bersama kawan-kawanku ini
pun hendak pergi ke Tiang-hai. Kau hendak memberi selamat kepada Suma-huciang
untuk ulang tahunnya yang ke enam puluh ini, bukan?”
“Ulang tahunnya
yang ke enam puluh?” tanya Im Giok merdu. “Ya, benar, begitulah! Akan tetapi
aku pergi bersama dia ini, tidak bersama engkau.”
“Ha-ha-ha,
alangkah lucu dan janggalnya! Kiang-siocia, kudamu dan kudaku patut jalan
berdampingan, kau dan aku pun kiranya patut menjadi sahabat seperjalanan.
Tetapi dia ini? Hmm, biar pun kudanya bagus, akan tetapi ia tidak patut
menunggang kudanya itu, buktinya tadi belum apa-apa sudah jatuh dari kudanya.
Ha-ha-ha!”
“Tuan Lie,
kau akan menjadi tamu dari pamanku, kenapa kau menghina keponakannya?”
“Kau
keponakan Suma-huciang?” tanya Lie Kian Tek sambil memandang dengan tajam.
“Aku yang
bodoh memang keponakan luar dari Suma-huciang,” Gan Tiauw Ki menjawab dingin.
Pemuda yang
mewah itu nampak tercengang dan mukanya segera berubah. Ia bertukar pandang
dengan kawan-kawannya, kemudian dia menjura kepada Tiauw Ki dan berkata, “Maaf,
maaf, kami tidak tahu bahwa Tuan adalah keponakan dari Suma-huciang. Sampai
bertemu di dalam pesta.”
Sesudah
berkata demikian, Lie Kian Tek membalapkan kudanya, diikuti oleh lima orang
kawannya. Debu mengebul di belakang mereka sehingga Tiauw Ki dan Im Giok harus
menutupi mulut dan hidung dengan ujung lengan baju.
“Manusia
sombong...!” kata Ang I Niocu Kiang Im Giok.
“Sombong
juga sudah sepatutnya karena dia adalah putera dari Gubernur Lie di Shansi,”
jawab Tiauw Ki sambil menghapus debu dari mukanya sehingga kulit mukanya
menjadi merah.
“Gan-kongcu...”
“Nona, harap
kau jangan menyebut kongcu kepadaku, aku hanyalah seorang pemuda miskin biasa
saja. Aku malu menerima sebutan ini.”
Im Giok
tersenyum manis.
“Habis, aku
harus menyebut bagaimana?” tanyanya.
“Walau pun
kita baru tiga hari berkenalan, akan tetapi aku merasa seperti sudah seabad
mengenalmu,” kata Tiauw Ki.
“Aduh, sudah
berapa abadkah usiamu?” Im Giok menggoda.
Tiauw Ki
tersenyum. “Sesungguhnya, Nona. Aku merasa seakan-akan sudah lama sekali
mengenalmu.”
“Aku pun
demikian, Gan-kongcu,” jawab Im Giok jujur. “Agaknya memang watak kita yang
cocok.”
“Kita
seperti saudara saja,” kata pula Tiauw Ki.
“Memang kau
baik sekali.”
“Kalau
begitu, mengapa kau tidak menyebut aku twako (kakak besar) saja? Dan aku akan
menyebutmu adik, bukankah ini lebih tepat dan lebih enak didengarnya?”
Im Giok
memandang. Tiauw Ki memandang. Dua pasang mata bertemu pandang, bibir tertutup,
hati terbuka mengalirkan rasa yang hanya dapat ditangkap melalui sinar mata.
“Baiklah,
Gan… Twako. Ehh, ya, aku lupa. Kau tadi mengaku di depan orang she Lie tadi
sebagai keponakan Suma-huciang, bukankah kau telah membohong?”
“Memang aku
tadi berbohong. Nama Suma-huciang amat disegani orang, biarpun dia itu putera
seorang gubernur, tetap saja saja dia tidak berani bersikap kurang ajar
terhadap Suma-huciang. Karena itu, ketika melihat dia hendak kurang ajar
padamu, aku terpaksa membohong untuk menutup mulutnya dan mengusir dia pergi.”
Im Giok
tersenyum “Bagaimana nanti kalau dia bercakap-cakap dengan Suma-huciang dan
menyebut-nyebutmu?”
“Tidak apa,
selain aku tidak takut, juga tadi aku tak sudi menyebut nama, bagaimana dia
bisa bicara tentang orang yang tak bernama?”
“Gan-twako,
lain kali kau tak perlu mencoba melindungiku dengan jalan membahayakan dirimu
sendiri. Aku tidak takut akan gangguan she Lie itu. Apa bila tadi aku mau,
hemm... aku dapat membuat dia jungkir balik dari atas kudanya!” kata Im Giok
gagah.
“Nona...”
“Lho, kau
sendiri yang merubah sebutan, Twako...”
“O, ya!
Maaf, begini, Siauw-moi...”
“Kenapa kau
menyebutku Siauw-moi (Adik Cilik)? Aku tidak kecil lagi, Twako...”
“Ehh ya...
Kiang-moi, sebenarnya aku pun percaya dan mengerti bahwa kau tidak takut
kepadanya. Akan tetapi, orang she Lie itu amat terkenal lihai ilmu silatnya,
sedangkan kalau terjadi keributan, hal itu amat tidak baik bagi tugasku.”
Im Giok
mengangguk-angguk. “Aku mengerti, Twako, kalau tidak demikian, dan kalau aku
tidak ingat akan tugasmu yang amat penting, apakah kau kira aku masih dapat
menahan sabar menghadapi ocehan manusia sombong macam Lie Kian Tek itu?”....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment