Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dara Baju Merah
Jilid 08
PADA suatu
pagi yang indah di musim Chun (Semi). Matahari muncul di angkasa yang bersih
sambil tersenyum gembira, disambut dengan segala kehormatan oleh kicau burung
dan mekarnya bunga di dalam hutan. Binatang-binatang hutan pun nampak
bergembira di saat seperti itu.
Ayam-ayam
hutan berkejar-kejaran di atas tanah dan di atas pohon. Kelinci dan tikus
melompat ke sana ke mari di antara gerombolan pohon kembang. Kupu-kupu bersayap
indah beterbangan dan menari-nari mengelilingi bunga cantik. Seperti kelinci yang
tidak takut akan ancaman harimau, kupu-kupu ini pun tak takut akan ancaman
burung-burung.
Agaknya pada
saat seindah itu, binatang-binatang yang paling buas pun merasa enggan untuk
mengotori suasana damai dan tenteram ini dengan pembunuhan terhadap sesama
makhluk, walau pun pembunuhan itu berarti mengisi perut yang kosong dan lapar!
Atau, apakah kebetulan saja harimau-harimau dan burung-burung itu sudah
terlampau kenyang maka mereka tidak mengganggu kelinci dan kupu-kupu?
Mungkin
sekali, karena hanya manusia-manusia saja yang masih merasa temaha dan murka
dalam kekenyangannya. Lain makhluk tidak ada yang sekejam manusia.
Mendadak
terdengar suara tertawa manusia yang nyaring dan merdu, mula-mula sayup sampai
kemudian makin jelas datang dari jauh memasuki hutan itu. Terdengarnya suara
ketawa semerdu itu memang cocok sekali dengan keadaan hutan yang sangat indah
dan gembira menyambut munculnya matahari itu. Kemudian tersusul bunyi derap
kaki kuda dan suara ketawa-ketawa gadis remaja.
Kalau orang
memperhatikan seruan-seruan itu, ia tentu akan merasa heran sekali kenapa
mula-mula terdengar suara tawa nyaring baru kemudian terdengar bunyi derap kaki
kuda. Bagaimana suara tawa sedemikian merdu tanda suara ketawa wanita, dapat
mengatasi suara derap kaki kuda yang biasanya dapat terdengar sampai jauh? Akan
tetapi kalau pendengar tadi adalah seorang ahli silat tinggi, dia akan tahu
bahwa suara ketawa tadi dikeluarkan dengan pengerahan tenaga lweekang dan
menggunakan ilmu yang disebut Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara dari Jarak Jauh).
Kemudian
terdengarlah suara yang bening, merdu dan genit dari seorang gadis remaja,
“Sumoi (Adik Perempuan Seperguruan), jangan terlalu cepat! Kau lihat bunga ini,
betapa indahnya...!”
Yang bicara
ini adalah seorang gadis yang bertubuh agak tinggi langsing dan berwajah
cantik. Sepasang matanya luar biasa sekali dan menjadi bagian yang paling indah
dari kecantikannya, mata yang bercahaya, bening dan bagus bentuknya. Dia
memakai baju warna kuning, celana sutera biru, ikat pinggangnya merah, tangan
kiri memegang kendali kudanya yang berbulu coklat, sedangkan tangan kanannya
memegang sebatang cambuk pendek.
Benar-benar
seorang gadis yang selain cantik juga amat gagah sikapnya. Usianya sudah dua
puluh tahun lebih, sudah cukup dewasa, laksana buah yang sudah masak dan sedap
dipandang.
Gadis
berbaju kuning ini menghentikan kudanya di depan serumpun pohon kembang di mana
terdapat kembang-kembang warna putih, kuning, dan merah. Ia tersenyum-senyum
memandang bunga-bunga itu dengan kagum, kemudian sekali cambuk pada tangannya
digerakkan, cambuk itu lantas meluncur ke arah setangkai bunga putih dan di
lain saat setangkai bunga putih telah berada di tangan kirinya.
Lihai sekali
dia mainkan cambuk sehingga cambuk itu dapat memetik kembang demikian tepat dan
membawa kembang itu padanya tanpa merusak kembang putih, bahkan rontok sedikit
pun tidak! Tanda bahwa lweekang-nya sudah mencapai tingkat tinggi. Gadis itu
tertawa-tawa dan kembali berkata,
“Sumoi,
lihat alangkah indahnya bunga-bunga ini!”
Kembali
cambuk pendeknya bergerak dan pada lain saat setangkai bunga kuning sudah
berada di tangan kirinya. Dia memandang dan mencium kedua tangkai bunga putih
dan kuning itu, kemudian ia memandang ke arah bunga berwarna merah. Tangan
kanan yang memegang cambuk bergerak lagi. Cambuk meluncur ke bawah.
“Tarrr...!”
Tiba-tiba
selarik sinar merah melayang dengan cepat sekali ke arah cambuk pendek yang
lalu terpental melayang ke atas. Gadis itu tertawa pahit sambil menengok ke
arah kanan.
“Suci, bunga
merah tak boleh sembarang dipetik!” kata dara yang baru datang dan yang
menunggang seekor kuda bulu putih.
Kalau orang
merasa kagum dan tertarik melihat gadis baju kuning yang cantik manis itu, kini
dia akan terpesona dan boleh jadi lupa bernapas kalau dia melihat gadis yang
baru datang ini. Ia jauh melebihi gadis baju kuning dalam segala hal, bahkan
kiranya akan jauh melampaui mimpi dan lamunan tiap orang pemuda.
Cantik
jelita sulit menemukan cacat-celanya. Rambutnya hitam sekali, halus panjang,
biar pun digelung secara istimewa di atas kepala dengan hiasan-hiasan dari emas
permata, masih saja rambut itu kelebihan, memanjang dan bermain-main di atas
punggung dan kedua pundaknya. Sepasang alis yang juga hitam kecil memanjang
menghias dua buah mata yang indah, dilindungi oleh butu-bulu mata yang
melengkung dan panjang.
Mata itu
memang tidak begitu bercahaya dan indah seperti mata gadis baju kuning, akan
tetapi demikian bening dan jelas terisi api kehidupan yang bagaikan tidak
pernah padam, membayangkan semangat yang kuat, ketabahan luar biasa, dan
kegembiraan hidup yang sehat. Yang paling mengesankan adalah bibirnya yang
berbentuk manis luar biasa, akan tetapi kadang-kadang kulit di bawah bibir,
pada lekukan dagu nampak mengeras, tanda bahwa dara ini memiliki hati yang
kadang-kadang dapat keras membaja, walau pun dari bibirnya dapat diketahui
bahwa hati ini pun dapat melembut mesra, hati seorang wanita sejati.
Gadis ini
usianya baru tujuh belas tahun paling banyak, akan tetapi sinar matanya sudah
menunjukkan kematangan jiwa, juga bentuk tubuhnya sangat bagus, berisi dan
sedang. Tubuh ini tertutup oleh pakaian serba merah, berpotongan indah dan
terbuat dari sutera mahal.
Pada
pinggangnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya terukir indah. Tangan
kanannya memegang sebatang cambuk yang berwarna merah pula. Inilah sinar yang
tadi menangkis cambuk gadis baju kuning mencegah cambuk gadis kuning itu
memetik bunga merah.
“Sumoi,
kenapa kau mencegah aku memetik bunga?” tanya gadis baju kuning, keningnya
berkerut tanda tak senang hati, akan tetapi sikapnya tetap menghormat
seakan-akan ia takut terhadap gadis baju merah yang menjadi adik seperguruannya
itu.
“Suci,
apakah kau tidak melihat warna bunga itu?”
Nona baju
kuning memandang ke arah rumpun bunga, lalu tertawa gembira dan berkata, “Aha,
Ang I Niocu (Nona Baju Merah), akhirnya bunga merahmu pun pasti akan dipetik
orang!” Ia tertawa lagi dengan sikap genit.
Dara berbaju
merah itu pun tertawa dan menjawab, “Giok Gan Niocu, (Nona Bermata Kemala),
tidak boleh sembarangan saja orang memetik bunga merah!”
Keduanya
tertawa gembira. Nona baju juning itu lalu melemparkan bunga putih ke arah
sumoi-nya yang tidak mengelak atau menyambut, dan bukan main... bunga itu
dengan tepat sekali menancap di atas kepala sebelah kiri, menjadi penghias
rambut seolah-olah ditancapkannya dengan tangan. Dari sini saja dapat
dibuktikan betapa hebat dan tinggi kepandaian menyambit dari Nona Baju Kuning
itu.
“Terima,
kasih, Suci. Terima kasih untuk bunga putih ini. Putih artinya suci.”
“Aku lebih
suka yang kuning ini,” dan Nona Baju Kuning itu menancapkan bunga kuning di
atas rambutnya, menambah kecantikannya.
Siapakah dua
orang gadis yang seperti bidadari ini? Dara-dara jelita yang selain cantik
remaja menarik hati, juga memiliki kepandaian istimewa? Dara baju merah itu
bukan lain adalah Kiang Im Giok yang semenjak ikut dengan Pek Hoa Pouwsat
memang suka sekali mengenakan pakaian merah dan oleh orang-orang di kota
Sian-koan mendapat sebutan Ang I Niocu.
Ada pun dara
baju kuning itu bukan lain adalah Song Kim Lian, anak yatim piatu yang menjadi
murid Kiang Liat. Karena gadis ini mempunyai sepasang mata yang luar biasa
seperti kemala, maka para pemuda kota Sian-koan menghadiahi julukan Giok Gan
Niocu.
Bagi para
penduduk Sian-koan, sepasang dara ini sudah amat terkenal, terutama sekali bagi
para pemudanya. Biar pun Im Giok lebih cantik dan hal ini diakui oleh semua
orang, tetapi para pemuda di kota Sian-koan lebih suka mendekati Kim Lian,
karena tak seorang pun berani main-main terhadap Im Giok yang terkenal amat
angkuh dan galak terhadap pria.
Kalau dua
orang gadis ini tidak menghendaki, siapakah berani memaksa dan main-main
terhadap mereka? Semua orang tahu bahwa kepandaian sepasang dara ini amat
tinggi, bahkan ada yang berani menyatakan bahwa kepandaian mereka sudah lebih
tinggi dari pada kepandaian Jing-jiu-sian Kiang Liat sendiri!
Akan tetapi
Kim Lian tidak seperti Im Giok, dan inilah yang membikin senang dan gembira
hati para pemuda-pemuda yang tampan, juga kadang-kadang gadis baju kuning
bermata intan ini suka melayani mereka bicara sebentar apa bila bertemu di
jalan. Oleh karena ini, semua pemuda kota Sian-koan seakan-akan berlomba untuk
merebut hati Giok Gan Niocu, sedangkan terhadap Ang I Niocu mereka tidak berani
berlagak.
Im Giok
memang berwatak keras, terutama menghadapi para pemuda ia sama sekali tidak
pernah sudi memberi hati. Ia pernah mengalami perlakuan kasar dan menghina dari
Kam Kin, dan hal ini cukup membuat gadis ini memandang rendah kaum pria. Apa
lagi karena di dalam pandangannya, di kota Sian-koan, tidak ada seorang pun
pemuda yang patut mendapatkan perhatiannya!
Sebaliknya,
Kim Lian sering kali mempercakapkan tentang pemuda-pemuda tampan dan pandai di
kota Sian-koan yang didengar oleh Im Giok dengan senyum mengejek. Di pihak para
pemuda, banyak berlancang mulut menyatakan bahwa Kim Lian adalah kekasihnya.
Telah
dituturkan pada bagian depan betapa Kiang Liat lebih banyak merendam diri dalam
lamunan dan kenangan akan isterinya, dan hubungannya dengan puteri serta
muridnya hanya apa bila ia melatih ilmu silat mereka. Selebihnya, Im Giok dan
Kim Lian bertindak sekehendak hati sendiri.
Pelayan
banyak, uang ada, segalanya lengkap. Akan tetapi, untungnya Im Giok adalah
seorang gadis yang pandai mengatur rumah tangga pengganti ayahnya. Bahkan Kim
Lian yang wataknya binal dan tidak mau tunduk terhadap siapa pun kecuali
terhadap gurunya, patuh juga menghadapi Im Giok.
Tidak jarang
kedua gadis ini keluar rumah berjalan-jalan atau menunggang kuda kalau keluar
kota, untuk pesiar. Bahkan beberapa kali mereka mengunjungi jago-jago silat di
kota lain untuk minta petunjuk atau kasarnya untuk menguji kepandaian! Dan
setiap kali mereka mengunjungi seorang guru silat, pasti guru silat atau jago
silat itu roboh baik oleh Im Giok mau pun oleh Kim Lian! Oleh karena inilah
maka sebentar saja nama Ang I Niocu terkenal sampai jauh di luar kota.
Pada pagi
hari itu, untuk menyambut datangnya musim Chun, dua orang dara ini pergi
meninggalkan kota Sian-koan, menunggang kuda berpesiar ke dalam hutan yang
indah itu. Hutan ini belum pernah mereka datangi karena letaknya memang jauh,
kurang lebih lima puluh li dari Sian-koan, terletak di lereng pegunungan yang
kaya akan hutan-hutan indah.
Seperti
biasa, mereka bergembira-ria, terbawa oleh suasana yang indah dan damai di
dalam hutan itu.
“Ayah telah
berkata benar,” kata Ang I Niocu sambil duduk di atas kuda dan memandang ke
kanan kiri, “indah sekali keadaan hutan ini waktu pagi. Pantas saja Ayah
menyuruh kita berangkat sebelum fajar agar dapat pagi-pagi sampai di sini.”
“Suhu memang
sudah banyak pengalaman, sudah menjelajah ke seluruh pelosok. Aku ingin sekali
berkelana seperti yang pernah dilakukan oleh Suhu,” kata Giok Gan Niocu Song
Kim Lian.
“Mengapa
tidak? Aku pun ingin sekali merantau jauh di propinsi-propinsi lain, Suci.
Kalau teringat akan guruku Pek Hoa Pouwsat, aku ingin sekali mencari dia.”
“Kau ingin
mencoba kepandaian bekas gurumu sendiri?” tanya Kim Lian.
“Tidak hanya
mencoba, bahkan aku harus merobohkannya. Dialah yang menyebabkan ibuku
meninggal dunia dan ayahku selalu berduka. Dia adalah musuh besarku yang mesti
kubunuh!” kata Im Giok dengan suara gemas, akan tetapi hatinya perih kalau ia
teringat betapa ia amat kagum dan cinta kepada gurunya itu.
“Mengapa
tidak sekarang saja kau pergi mencarinya? Aku suka membantumu, Sumoi, biar pun
kepandaianku tidak ada artinya.”
Im Giok
menarik napas panjang. “Tak mungkin. Aku tidak mau pergi meninggalkan Ayah. Aku
tidak tega, dia kelihatan selalu bersedih...”
Wajahnya
yang cantik menjadi muram dengan mendadak. Juga Kim Lian mengerutkan sepasang
alisnya yang hitam seperti dicat.
Tadi ketika mereka
bergembira dan bercakap-cakap, mereka kurang memperhatikan hal lain. Sekarang
setelah keduanya berdiam diri, telinga mereka segera menangkap suara yang
mencurigakan. Sayup sampai terdengar bentakan-bentakan dan derap kaki kuda. Ang
I Niocu Kiang Im Giok mendengar terlebih dahulu, karena memang telinganya lebih
terlatih.
“Suci ada
terjadi sesuatu di sebelah timur hutan ini,” katanya.
Kim Lian
memiringkan kepalanya, penuh perhatian. “Benar, Sumoi. Ada orang berteriak
minta tolong. Mari kita ke sana.”
Akan tetapi
Im Giok sudah membedal kudanya dan di lain saat kedua orang dara itu telah
membalapkan kuda masing-masing menuju ke timur. Mereka seakan berlomba, akan
tetapi apa bila biasanya mereka berlomba sambil tertawa, kini mereka berlomba
dengan kening berkerut dan sikap garang.
Selain
berkepandaian silat tinggi, mereka juga ahli menunggang kuda, maka sebentar
saja mereka telah tiba di tempat terjadinya peristiwa yang sampai di telinga
mereka tadi. Dan apa yang mereka lihat di situ membuat dua orang dara itu
menjadi merah mukanya saking marahnya.
Ternyata
bahwa serombongan orang yang jumlahnya dua puluh lebih, berpakaian seperti
tentara, sedang menghajar dan membunuhi serombongan orang-orang yang membawa
buntalan seperti orang-orang sedang mengungsi. Rombongan orang-orang ini terdiri
dari lima orang kakek dan tujuh orang muda yang pakaiannya seperti
pelajar-pelajar lemah.
Keadaan di
tempat itu mengerikan sekali. Semua anggota rombongan pengungsi itu telah
menggeletak mandi darah, ada yang masih berkelojotan menghadapi maut.
Akan tetapi
yang mengagumkan sekali, di sana terdapat seorang pemuda pelajar yang sedang
melawan mati-matian. Mulutnya tak pernah mengeluarkan keluhan, sungguh pun
tubuhnya sudah penuh luka. Ia menggunakan sebatang tongkat untuk membela diri
dan sungguh pun gerakannya menandakan bahwa dia tidak mengerti ilmu silat, akan
tetapi agaknya dia memiliki keberanian besar sehingga dengan nekat dia masih
dapat melawan dan melindungi diri.
Akan tetapi
tentu saja dia bukan lawan serdadu-sedadu yang terlatih itu, karena itu dia
dibuat permainan, sengaja tak dibunuh dulu, hanya dipukul sana-sini sambil
ditertawakan. Ada pula sebagian tentara yang sedang mengumpulkan bungkusan yang
tadinya dibawa oleh para pengungsi itu, mencari-cari barang berharga.
“Anjing-anjing
hina dina!” Terdengar Giok Gan Niocu Song Kim Lian berseru keras dan tubuhnya
sudah melayang turun dari kuda.
Bagai seekor
harimau betina dia menerjang dan robohkan dua orang yang tadinya berdiri
bengong melihat kedatangan dua orang bidadari ini. Kim Lian segera merebut
sebatang pedang yang tadi dipegang oleh dua orang ini dan sekali babat putuslah
leher dua orang itu.
Keadaan
menjadi geger. Semua serdadu ini memandang dan mereka yang tadi sedang
mengumpul-ngumpulkan barang, kini menerjang Kim Lian.
“Keparat
jahanam, kalian harus dibasmi!” Terdengar bentakan halus lain dan nampaklah
sinar merah menyambar ke sana ke mari, lalu sinar merah ini menerjang mereka
yang sedang mempermainkan pemuda itu. Lima orang roboh tak bangun lagi karena
mereka menjadi korban pedang di tangan Ang I Niocu Kiang Im Giok!
Pemuda itu
entah saking lelahnya, entah saking girangnya mendapat bantuan, atau entah
saking kagum dan herannya melihat melihat seorang dara baju merah sedemikian
gagah dan cantik jelitanya, tiba-tiba lenyap semua daya dan semangatnya untuk
melawan dan lemaslah ia, lalu terduduk dengan mata bengong.
Im Giok
beserta Kim Lian mengamuk garang. Dalam beberapa jurus saja belasan orang
serdadu menggeletak dalam keadaan luka berat. Yang mengagumkan adalah Im Giok.
Pedangnya berkelebatan dan setiap jurus pasti pedang itu merobohkan seorang
lawan. Akan tetapi tak pernah Im Giok menewaskan lawannya, dia hanya
merobohkannya saja. Berbeda dengan Im Giok, orang yang roboh oleh pukulan Kim
Lian pasti tak akan dapat bangun lagi untuk selamanya!
Menghadapi
amukan dua orang dara yang datang secara tiba-tiba ini, rombongan tentara itu
tidak kuat bertahan lagi. Mulailah mereka yang belum roboh lari pontang-panting
dan sebagian pula berteriak-teriak keras,
“Kam-ciangkun...!
Tolonglah kami...”
“Suci,
sudahlah jangan mengejar mereka lagi,” Im Giok mencegah Kim Lian yang hendak
mengejar terus.
Kim Lian
tidak puas, akan tetapi dia tidak membantah dan menghentikan pengejarannya.
Pada waktu dua orang dara ini memandang, ternyata bahwa amukan mereka tadi
telah menghasilkan robohnya enam belas orang lawan, yang enam orang tewas dan
sepuluh lannya terluka.
Akan tetapi
ketika mereka memperhatikan, ternyata bahwa rombongan pengungsi tadi sebanyak
dua belas orang, sebelas orang sudah tewas. Hanya pemuda sastrawan yang tabah
tadi saja masih hidup. Tubuhnya penuh darah, akan tetapi luka-lukanya ringan
dan ia masih duduk bengong telongong memandang ke arah Im Giok dan Kim Lian.
Melihat
betapa semua serdadu dapat dikalahkan oleh dua orang dara yang luar biasa itu,
si Sastrawan muda lalu memaksa diri berdiri, berjalan terhuyung-huyung
menghampiri Im Giok dan Kim Lian, kemudian menjura dengan tubuh gemetar saking
lemah dan merasa sakit-sakit.
“Ji-wi-lihiap
sungguh gagah... sayang kedatangan Ji-wi terlambat sehingga mereka ini...” dia
menengok ke arah kawan-kawannya yang menggeletak tak bernyawa lagi, “mereka
ini... tak tertolong lagi...” Pemuda itu menjadi pucat dan nampak berduka
sekali.
“Akan tetapi
kami masih dapat menolongmu,” kata Kim Lian sambil memandang dengan mata
bersinar-sinar.
Juga Im Giok
baru sekarang melihat betapa tampan dan cakapnya wajah pemuda yang berdiri di
depannya itu. Tadi dalam keributan ia tidak memperhatikan, akan tetapi baru
sekarang ia melihat dan ia harus mengakui bahwa selamanya belum pernah ia
bertemu dengan seorang pemuda yang mempunyai wajah demikian tampan dan menarik
hati.
Juga tadi ia
sudah membuktikan bahwa semangatnya besar, tabah dan kini dibuktikannya lagi
bahwa pemuda ini berjiwa besar. Dalam keadaan sengsara itu, ia tidak memikirkan
keadaan dirinya sendiri, bahkan menyayangkan bahwa kawan-kawannya tidak
tertolong. Juga bicaranya demikian sopan-santun, lemah-lembut dan ketika
bicara, matanya tidak memandang kurang ajar seperti semua laki-laki yang pernah
dijumpainya! Hati Im Giok berdebar aneh.
Mendengar
kata-kata Kim Lian, pemuda itu menggeleng-geleng kepalanya dengan sedih.
“Sungguh pun
aku sangat berterima kasih kepada Ji-wi-lihiap atas pertolongan yang telah
menyelamatkan nyawaku yang tak berharga, akan tetapi apakah artinya seorang
seperti aku tertolong kalau mereka ini tewas? Aku seorang yatim piatu tiada
guna, lemah dan tak dapat melindungi mereka ini... sebaliknya mereka ini... ah,
keluarga mereka menanti, dan alangkah akan hancur hati keluarga mereka kalau
tahu akan mala petaka ini...”
Bicara
sampai di situ, pemuda itu semakin pucat. Ia telah kehilangan banyak darah dan
semenjak tadi tubuhnya yang tidak terlatih itu sudah terlalu banyak menahan
rasa nyeri dari luka-lukanya. Ia mencoba untuk mempertahankan diri, akan tetapi
kepalanya pening, kedua kakinya lemas dan pandang matanya gelap. Akhirnya ia
terguling dan tentu akan roboh kalau Kim Lian tidak cepat-cepat melangkah maju
dan memeluknya!
“Suci...!”
Im Giok menegur dengan muka berubah merah ketika dia melihat bagaimana suci-nya
memeluk tubuh seorang pemuda demikian erat dan mesranya. Ia merasa jengah dan
juga... panas!
“Sumoi, dia
patut dikasihani, dia bersemangat gagah namun lemah...” Kim Lian membela diri
sambil tersenyum, lalu secara perlahan ia merebahkan pemuda itu di atas tanah.
Im Giok
mengambil botol arak dari atas punggung kudanya dan dengan cekatan ia cepat
meminumkan sedikit arak kepada pemuda yang masih pingsan itu. Kemudian, sesudah
memeriksa beberapa luka yang agak banyak mengeluarkan darah, tanpa rasa
sungkan-sungkan lagi ia lalu menotok jalan darah untuk menghentikan keluarnya
darah.
Kim Lian
memandang semua ini dengan senyum berarti. Belum pernah selamanya dia melihat
sumoi-nya berlaku demikian sopan dan teliti terhadap seorang pemuda!
“Sumoi,
lihat siapa yang datang itu!” tiba-tiba Kim Lian berkata sambil berdiri.
Im Giok juga
mendengar suara derap kaki yang berlari mendatangi, maka ia pun cepat melompat
berdiri, tidak sempat lagi memperhatikan pemuda itu yang sudah siuman dan
perlahan bangun duduk dengan tubuh masih lemas.
Yang datang
adalah sisa dari serdadu yang mereka amuk tadi, kini datang sambil berlari
mengiringkan dua orang yang menarik perhatian. Yang seorang adalah laki-laki
setengah tua yang berpakaian sebagai seorang komandan tentara, lengkap dengan
baju bersisik besi dan golok besar tergantung di pinggang.
Orang kedua
adalah seorang kakek jangkung dan bungkuk. Kepalanya besar sekali akan tetapi
tubuhnya kurus kecil, sehingga nampak amat lucu. Akan tetapi ketika melihat
cara kakek aneh ini berlari, tahulah Im Giok dan Kim Lian bahwa kakek aneh
itulah yang tak boleh dipandang ringan karena terang sekali memiliki kepandaian
tinggi.
Kim Lian
sama sekali tidak mengenal dua orang ini, jangankan melihat, mendengar pun
belum pernah. Akan tetapi, ketika Im Giok melihat laki-laki berpakaian komandan
tadi, ia merasa kenal akan tetapi lupa lagi di mana pernah bertemu dengannya.
Ketika melihat golok besar yang tergantung di pinggang orang, tiba-tiba
teringatlah ia bahwa komandan itu adalah Giam-ong-to Kam Kin, sute dari Pek Hoa
Pouwsat!
“Suci,
komandan itu adalah Giam-ong-to Kam Kin, kau sambutlah kalau mereka berniat
buruk. Kakek aneh itu bagianku, ia lebih lihai,” kata Im Giok berbisik.
Kim Lian
tersenyum mengejek. Biar pun ia belum pernah bertemu dengan Kam Kin, akan tetapi
dia pernah mendengar cerita Im Giok tentang Golok Maut ini dan dia memandang
rendah.
Memang betul
apa yang dikatakan oleh Im Giok tadi, komandan itu adalah Kam Kin yang
berjulukan Giam-ong-to Si Golok Maut. Sedangkan kakek yang aneh itu adalah
Ceng-jiu Tok-ong (Raja Racun Tangan Seribu), yakni guru dari Kam Kin, juga
pernah menjadi guru Pek Hoa Pouwsat sebelum wanita ini menjadi muridnya
Thian-te Sam-kauwcu. Ia adalah seorang tokoh barat.
Dahulu
ketika dia masih muda memang Ceng-jiu Tok-ong melakukan banyak perbuatan jahat,
akan tetapi karena di Tiongkok terdapat Lima Tokoh Besar, yakni Ang-bin
Sin-kai, Jeng-kin-jiu Kak Thong Thaisu, Kiu-bwe Coa-li, Hek-i Hui-mo, dan
Pak-lo-sian Siangkoan Hai (tokoh-tokoh dalam Pendekar Sakti), maka Ceng-jiu
Tok-ong tidak berani muncul di pedalaman Tiongkok. Operasi kejahatannya
hanyalah di sekitar perbatasan Tiongkok dan Tibet, atau di perbatasan Bhutan
dan India saja. Sesudah puluhan tahun dia bersembunyi dan bertapa, sekarang
tua-tua dia turun gunung lagi adalah atas hasutan muridnya, yaitu Giam-ong-to
Kam Kin.
Semenjak
masih muda, Kam Kin terkenal seorang mata keranjang. Sekarang mendapat laporan
dari orang-orangnya bahwa anak buahnya banyak yang tewas dalam tangan dua orang
gadis gagah, ia menjadi marah sekali.
Akan tetapi
begitu sampai di tempat itu dan memandang kepada dua orang gadis yang cantik
jelita jarang tandingannya, matanya pun bersinar dan mulutnya menyeringai. Apa
lagi ketika melihat Im Giok, ia benar-benar merasa kagum bukan main.
Selama hidup
belum pernah dia bertemu dengan seorang dara muda secantik ini. Bahkan Pek Hoa
juga tak secantik ini, pikir Kam Kin. Akan tetapi karena sedang berada bersama
gurunya dan juga di depan anak buahnya, ia berkata,
“Ahh, inikah
dua gadis yang sudah berani mati membunuh tentara?”
Im Giok
melangkah maju kemudian berkata dengan lesung pipit berkembang di kanan kiri
mulutnya. “Bagus sekali! Semenjak kapankah Giam-ong-to Kam Kin menjadi komandan
tentara? Apakah kedatanganmu ini hendak minta maaf atas kekejaman anak buahmu?”
Kam Kin
melengak dan memandang Im Giok penuh perhatian. Dia telah berpisah dari Im Giok
semenjak anak ini berusia sepuluh tahun. Tujuh tahun sudah lewat dan kini Im
Giok telah menjadi seorang gadis dewasa. Akan tetapi dahulu pun pada waktu
berusia sepuluh tahun, Im Giok telah memiliki dasar kecantikan yang
mengagumkan. Biar pun kini ibarat bunga ia telah mulai mekar, akan tetapi
garis-garis pada mukanya, bentuk mata hidung dan mulutnya tidak berubah dan
akhirnya teringatlah Kam Kin.
“Kiang Im
Giok! Kaukah ini?”
“Baru
terbuka matamu,” kata Im Giok tenang dengan senyum mengejek.
“Kurang
ajar! Kau berani bersikap begini terhadap susiok-mu sendiri?” bentak Kam Kin.
Ia marah
sekali karena dihina oleh murid keponakan di depan gurunya dan anak buahnya
sehingga untuk sekejap lupalah ia akan kecantikan luar biasa dari murid
keponakannya itu.
“Kam Kin,
siapakah Nona ini?” Ceng-jiu Tok-ong bertanya dengan suaranya yang seperti
burung kakatua.
“Suhu, dia
ini sebetulnya bukan orang lain, karena dia adalah murid Suci Pek Hoa. Akan
tetapi memang wataknya buruk sekali. Biar teecu menghajarnya.” Kemudian ia
berpaling lagi kepada Im Giok dan membentak, “Im Giok, andai kata kau tidak
menaruh sungkan kepada susiok-mu, apakah kau juga tidak menaruh hormat terhadap
sucouw-mu (kakek gurumu)? Hayo lekas berlutut memberi hormat kepada sucouw-mu
ini, guru dari Suci Pek Hoa.”
Akan tetapi
Im Giok memandang dingin dan menjawab, “Aku tidak mempunyai sucouw seperti ini.
Jangan kau mengaco, lekas katakan apa maksud kedatanganmu ini.”
Kam Kin
menjadi amat marah. Ia membanting-banting kaki dan menudingkan telunjuknya ke
muka Im Giok.
“Bocah tidak
tahu aturan! Tidak saja kau sudah membunuh banyak anggota tentara, akan tetapi
kau juga bersikap kurang ajar kepadaku dan kepada Suhu! Kau benar-benar telah
bosan hidup!”
“Monyet
bercelana, kau berani menghina sumoi-ku?” tiba-tiba saja Kim Lian membentak
marah dan dia melangkah maju di depan Im Giok, menghadapi Kam Kin sambil
bertolak pinggang. “Mentang-mentang kau berjuluk ‘Si Golok Maut’, lalu hendak
menjual lagak di sini? Tidak laku, monyet!”
“Gadis liar
kurang ajar!” Kam Kin marah sekali.
“Kau yang
kurang ajar!” bentak Kim Lian. “Karena itu mulutmu harus ditampar. Lihatlah,
akan kutampar mulutmu!”
Baru saja
kata-kata ini diucapkan, tangan kanan kiri gadis ini bergerak. Kam Kin bingung
melihat gerakan ini dan berlaku agak lambat.
“Plakk!”
tangan kiri Kim Li menampar mulutnya sampai pecah bibirnya dan berdarah.
“Anjing
betina, kubunuh kau!” bentak Kam Kin sambil mencabut goloknya.
“Kutempiling
kepalamu, awas!” Kim Lian kembali berseru lagi, disusul oleh gerakan kedua
tangannya.
“Plakk!”
Lagi-lagi
terdengar suara keras. Topi di kepala Kam Kin sampai miring terkena tamparan
telapak tangan gadis jenaka itu.
Kam Kin
merasa kepalanya puyeng dan cepat dia melompat ke belakang, menggeleng-geleng
kepala untuk mengusir rasa puyeng. Kemudian, sambil mengeluarkan suara keras
seperti seekor harimau, ia menyerang Kim Lian dengan golok besarnya.
Tadi Kim
Lian berhasil dengan tamparan dan tempilingannya, karena memang gadis ini telah
mewarisi ilmu silat dari keluarga Kiang yang sangat lihai. Ilmu silat yang
selain indah seperti tarian, juga mengandung gerakan yang membingungkan dan
tidak terduga-duga. Apa lagi sesudah ilmu silat itu diperbaiki oleh
nasehat-nasehat dan petunjuk Bu Pun Su, kelihaiannya mengagumkan orang.
Akan tetapi
setelah Kam Kin mencabut golok, Kim Lian tak berani lagi berlaku main-main.
Gerakan golok Kam Kin benar-benar amat berbahaya dan kuat, tidak seharusnya
dilawan dengan main-main.
Berbeda
dengan Im Giok yang sudah bermain pedang, Kim Lian mendapat pelajaran ilmu
silat tangan kosong secara lebih mendalam. Gadis ini memang memiliki bakat yang
besar sekali untuk menggerak-gerakkan tangan kakinya, karena itu Kiang Liat Si
Dewa Tangan Seribu memberi pelajaran ilmu silat tangan kosong secara tekun
kepada muridnya ini.
Menghadapi
rangsekan golok Kam Kin, gadis ini segera mengeluarkan ilmu silatnya dan
mainkan gerak tipu ilmu silat tangan kosong yang disebut Kong-jiu Sin-i (Tangan
Kosong Menyambut Hujan). Kedua lengannya dipentang, demikian pula sepuluh jari
tangannya dipentang dan bergerak-gerak seakan-akan orang menari, akan tetapi
gerakan sepasang lengan itu demikian lemas dan tak terduga seperti dua ekor
ular, ada pun jari-jari tangan itu masing-masing merupakan alat penotok jalan
darah yang amat berbahaya.
Dalam
beberapa kali gebrakan pertama saja, jalan darah di pergelangan lengan, siku
dan pundak kanan Kam Kin hampir saja menjadi korban! Kam Kin terkejut sekali
dan ia cepat berlaku hati-hati, maklum bahwa dia sedang menghadapi seorang
gadis cantik jelita yang benar-benar lihai.
Pada jurus
ke tiga puluh, terdengar Kim Lian menjerit nyaring, “Monyet tua, pergilah!”
Jari-jari
tangan kiri Kim Lian menyambar cepat sekali, menangkis serangan golok dengan
mendahului kecepatan lawan dan menyampok pergelangan tangan kanan Kam Kin yang
memegang golok. Pada saat itu juga, jari-jari tangan kanan bergerak menusuk
muka dan kaki kiri menyusul cepat menendang lutut!
Kam Kin
terkejut sekali karena tidak mengira bahwa lawannya akan bergerak secepat itu
dan berani menyampok pergelangan tangannya, kemudian mendadak jari tangan kanan
gadis itu sudah menusuk dan hampir saja matanya menjadi korban. Cepat ia
membuang tubuh bagian atas ke belakang untuk dapat menyelamatkan mukanya, akan
tetapi segera serangan kaki Kim Lian sudah mengenai sasaran.
Kam Kin
berseru kesakitan. Tubuhnya terlempar ke belakang, jatuh bergebruk kemudian
merintih-rintih karena sambungan tulang lututnya sudah terlepas! Anak buahnya
cepat menolong dan menggotong tubuh komandan mereka ke pinggir.
Kim Lian
tertawa-tawa mengejek, “Monyet tua, mana golok mautmu?”
“Bocah
sombong, pergilah!”
Yang berseru
ini adalah kakek tua aneh tadi, sambil melangkah maju mendekati Kim Lian yang
masih bertolak pinggang dan tertawa-tawa.
Kim Lian
maklum akan kelihaian kakek ini, maka cepat ia mengangkat tangan menangkis
ketika melihat kakek itu menggerakkan ujung lengan bajunya yang panjang ke
arahnya. Akan tetapi betapa kagetnya ketika ujung lengan baju itu bagaikan
hidup, tahu-tahu telah membelit lengannya yang menangkis tadi. Sebelum dia
sempat mengatur keseimbangan tubuhnya, ia merasa dirinya dibetot!
Kim Lian
mengerahkan lweekang untuk menahan tubuh sambil menarik lengannya akan tetapi
tiba-tiba ia berseru, “Celaka...!”
Tubuhnya
terhuyung ke belakang dan pasti akan roboh terjengkang kalau saja Im Giok tidak
cepat-cepat menggunakan kaki mencokel kaki Kim Lian sehingga gadis ini tidak
jadi roboh, sebaliknya bahkan tercokel dan terangkat ke atas!
Ternyata
bahwa Ceng-jiu Tok-ong tadi telah mengakali Kim Lian. Ketika melihat gadis itu
mengerahkan tenaga menarik lengan, kakek ini cepat merubah tenaganya, kalau
tadinya membetot sekarang dia mendorong. Tidak heran apa bila Kim Lian lantas
terjengkang ke belakang, terbawa oleh tenaga betotannya sendiri ditambah tenaga
dorongan Tok-ong. Gadis ini marah sekali, mukanya merah dan ia siap hendak
menyerang.
“Kakek
bangkotan, kau curang!” bentaknya.
“Suci,
mundurlah.” Im Giok mencegah dan Kim Lian terpaksa menahan marahnya.
Kemudian Im
Giok menghadapi Ceng-jiu Tok-ong dan berkata tenang,
“Kalau tidak
salah, Locianpwe ini adalah Ceng-jiu Tok-ong, tokoh yang kenamaan. Akan tetapi
aku yang muda sungguh merasa amat heran kenapa Locianpwe mendiamkan saja,
bahkan membela Giam-ong-to Kam Kin yang sesudah menjadi komandan membiarkan
anak-anak buahnya berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat. Aku dan suci-ku
sedang bermain-main di hutan ini dan tadi kami melihat banyak tentara melakukan
pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang tidak berdosa. Oleh karena itu,
tanpa mengetahui bahwa tentara ini adalah anak buah Giam-ong-to Kam Kin, kami
membela rakyat dan melakukan pembasmian. Sekarang kedatangan Locianpwe ke sini
membawa sisa tentara mempunyai niat apakah?”
“Bocah, kau
benar-benar menggemaskan. Kalau kau bukan murid Pek Hoa, agaknya aku akan
mengagumi kata-katamu, sebagai seorang bocah kau ternyata memiliki pandangan
yang luas dan kata-kata yang teratur baik. Akan tetapi kau adalah murid Pek
Hoa, berarti kau adalah cucu muridku sendiri. Bagaimana sekarang kau berani
sekali bersikap begini kurang ajar kepadaku? Andai kata sekarang juga kau
menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun, belum tentu aku mau memberi ampun.
Sikapmu sudah jauh melampaui batas. Mengapa?”
“Locianpwe,
jangan salah sangka. Aku yang muda cukup mendapat didikan ayahku, tak nanti
berani bersikap kurang ajar tanpa alasan. Pek Hoa Pouwsat bukan guruku yang
sesungguhnya karena aku telah diculiknya dari orang tuaku, oleh karena itu aku
pun tidak mungkin mengakui kau sebagai sucouw.”
“Suhu, bocah
kurang ajar macam ini lebih baik lekas-lekas ditangkap saja, dia dan gadis liar
satunya itu sudah membunuh banyak anggota tentara, mereka adalah
pemberontak-pemberontak yang berbahaya!” tiba-tiba Kam Kin berteriak dari
tempatnya.
Ia telah
dirawat oleh anak buahnya, akan tetapi masih belum dapat berdiri, hanya duduk
di atas rumput di kelilingi oleh anak buahnya.
“Benar, kau
telah melakukan pelanggaran besar-besaran. Lebih baik kau dan suci-mu itu
menyerah saja untuk kami jadikan tangkapan,” kata Ceng-jiu Tok-ong kepada Im
Giok.
Agaknya dia
merasa sungkan untuk turun tangan terhadap seorang gadis yang demikian muda.
Betapa pun juga, dia adalah seorang tokoh kang-ouw yang besar, seorang dengan
kedudukan atau tingkat tinggi, karena itu dia agak segan dan malu untuk
bertanding ilmu melawan seorang yang masih setengah bocah, apa lagi wanita
pula.
Im Giok
mulai panas hatinya. “Ceng-jiu Tok-ong, apa bila kau menurut saja akan hasutan
Giam-ong-to Kam Kin, terserah saja. Kami telah melakukan perbuatan yang kami
anggap sudah sewajarnya dilakukan oleh pendekar-pendekar pembela rakyat. Kalau
kau hendak ikut-ikutan dan mau menangkap kami, silakan, terpaksa aku yang muda
berlaku kurang ajar dan melawanmu!” sambil berkata demikian, Im Giok mencabut
pedangnya dengan gerakan cepat dan gaya yang indah.
Terdengar
Ceng-jiu Tok-ong tertawa geli.
“Bocah, kau
sungguh-sungguh lucu sekali. Bagaimana kau hendak melawan sucouw-mu sendiri,
orang yang menciptakan ilmu silat yang hendak kau mainkan untuk melawanku?”
“Ceng-jiu
Tok-ong, awas serangan pedangku!” bentak Im Giok tanpa mau mempedulikan
kata-kata kakek itu yang dianggapnya tidak keruan.
Ceng-jiu
Tok-ong ialah seorang kakek yang memiliki julukan Raja Racun Tangan Seribu.
Julukan ini saja sudah menunjukkan bahwa ia tentu mempunyai ilmu silat yang
tinggi dan cepat sehingga seakan akan ia bertangan seribu. Oleh karena itu,
dalam menghadapi Im Giok, ia sengaja bertangan kosong. Apa lagi kalau Im Giok
murid Pek Hoa, bukankah yang akan diperlihatkan juga ilmu silat yang dahulu ia
ajarkan kepada Pek Hoa?
Akan tetapi,
baru pada gerakan pertama saja, Ceng-jiu Tok-ong sudah terkejut sekali dan
cepat-cepat dia menggunakan dua ujung lengan baju untuk menangkis serangan
pedang Im Giok yang gerakannya amat tak terduga-duga itu. Kakek ini benar-benar
heran sekali.
Melihat
gerakan yang indah itu, memang bocah ini hampir sama dengan Pek Hoa kalau
bermain pedang. Akan tetapi, ternyata isi dari pada pedang itu jauh berbeda.
Bukan main cepat dan kuatnya, bahkan sampokan ujung lengan bajunya tidak dapat
membikin gadis itu melepaskan pedangnya.
Jurus-jurus
berikutnya membuat Ceng-jiu Tok-ong tidak hanya terkejut, akan tetapi juga
bingung dan ia terpaksa melompat ke sana ke mari kalau tidak ingin terluka oleh
pedang Im Giok yang luar biasa lihainya.
“Ayaaa, kau
lihai juga...!” kata kakek itu.
Pada jurus
ke sepuluh Ceng-jiu Tok-ong sudah tidak kuat menghadapi Im Giok dengan tangan
kosong. Dia melompat cepat ke kanan dengan ginkang yang luar biasa, kemudian
ketika Im Giok maju mendesaknya, ternyata kakek ini sudah memegang sebatang
golok berwarna hitam kehijauan!
“Bocah,
lebih baik lekas kau menyerah. Sayang kalau Ceng-tok-to (Golok Racun Hijau)
mengambil nyawamu yang masih muda,” berkata kakek ini, benar-benar merasa
sayang kalau sampai terpaksa ia membunuh gadis yang demikian muda dan cantik
jelitanya.
“Tak usah
banyak cakap, monyet bangkotan. Kalau ada kepandaian majulah, kau pasti mampus
oleh sumoi-ku!” teriak Kim Lian yang masih gemas kepada kakek itu.
Timbul
amarah di dalam hati Ceng-jiu Tok-ong dan bangkit kembali sifat jahatnya yang
dahulu.
“Sumoi-mu
ini akan kubunuh lebih dulu, akan tetapi kau... kau akan kuhadiahkan kepada
serdadu-serdadu kasar, siluman cilik!” makinya kepada Kim Lian, kemudian dengan
cepat ia menyerang Im Giok dengan goloknya.
Bagi Im
Giok, gerakan golok dari kakek itu tidak begitu hebat dan dengan amat mudah ia
menangkis dengan pedangnya. Akan tetapi, yang membuat Im Giok terkejut adalah
bau busuk yang memuakkan perutnya ketika golok hitam kehijauan itu menyambar.
“Celaka,” pikirnya,
“golok ini tentu mengandung bisa yang amat jahat.”
Ia mencoba
menetapkan hatinya dan cepat membalas dengan serangan hebat. Memang segera
terbukti bahwa setiap serangan pedangnya membuat Ceng-jiu Tok-ong sibuk dan
bingung untuk melindungi tubuh, akan tetapi serangannya makin menjadi lemah.
Sebaliknya
lawannya semakin ganas dan gerakan goloknya makin kuat. Kakek ini jelas sekali
berusaha mendekatkan golok dengan muka Im Giok, buktinya ia selalu menyerang
kepala dan leher. Hal ini diketahui pula oleh Im Giok dan gadis ini pun
mengerti bahwa lawannya sengaja mendekatkan golok dengan hidungnya supaya dia
mencium bau busuk yang mengandung racun itu!
Meski pun
keadaannya semakin berbahaya, Im Giok yang berdarah muda dan panas itu merasa
penasaran. Memang tak mengherankan jika gadis ini merasa penasaran, karena
sebetulnya, dalam setiap pertemuan senjata, ternyata bahwa tenaga lweekang-nya
dapat mengimbangi tenaga kakek itu.
Dalam hal
ginkang dan kecepatan gerakan tubuh, dia menang jauh dan ilmu pedangnya juga
selalu menindih ilmu golok lawan. Akan tetapi, dia kalah pengalaman, kalah
gertak dan hatinya sudah bingung sekali ketika bau busuk dari golok itu semakin
memusingkan kepalanya.
Tiba-tiba
terdengar teriakan keras, “Lo-enghiong, harap jangan bunuh dia...! Bunuh saja
aku yang tidak berharga, jangan kau ganggu kedua Li-hiap yang budiman itu...!”
Pemuda
sastrawan yang tadinya duduk bengong sambil menonton semua itu, tiba-tiba kini
menjadi nekat ketika melihat Im Giok menghadapi kakek yang kelihatannya demikian
menyeramkan.
Bagaimana
seorang dara sehalus itu akan dapat menang terhadap seorang kakek yang terlihat
seperti iblis? Melihat pemuda itu dengan nekat mendatangi seakan-akan hendak
menyerbu dan menyerang Ceng-jiu Tok-ong, Kim Lian cepat melompat maju dan
sekali jari tangannya digerakkan, pemuda itu telah roboh terguling dalam
keadaan tertotok jalan darahnya.
“Kakek
siluman, jangan banyak lagak...!” bentaknya kemudian sambil menyerang dengan
golok yang dipungutnya di atas tanah, yakni salah sebuah di antara
senjata-senjata para serdadu yang bergeletak di situ.
“Suci,
hati-hati...!” Im Giok memperingatkan dengan suara yang amat lemah sehingga ia
terkejut sendiri. Kenapa suaranya hampir habis? Ia tidak tahu bahwa dirinya
telah banyak terpengaruh oleh racun yang keluar dari golok lawannya.
Mendengar
suara yang aneh dan amat perlahan dari Im Giok, Kim Lian merasa kaget dan
mengerling ke arah sumoi-nya. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Ceng-jiu
Tok-ong. Cepat tangan kirinya memukul ke arah dada Kim Lian. Biar pun pukulan
itu dilakukan dari samping, namun amat berbahaya.
Kim Lian
yang mendengar suara hawa pukulan dahsyat ini cepat miringkan tubuh sambil
menangkis. Sepasang lengan bertemu, dan Kim Lian menjerit karena lengannya
terasa panas sekali sehingga dia kurang dapat mempertahankan diri dan pukulan
lawan masih mampir di pundaknya.
Gadis ini
merasa pundaknya panas dan rasa nyeri menusuk jantung. Cepat sekali dia
menggulingkan tubuhnya dan terus bergulingan menjauhkan diri dari kakek yang
lihai itu. Ketika meraba pundaknya, ia kaget melihat baju di bagian pundak
sudah robek dan kulit pundaknya ada tanda merah. Juga di pergelangan lengan
yang bertemu dengan lengan kakek tadi, kini telah merah menghitam.
“Celaka, aku
terkena racun, Sumoi, kau berhati-hatilah...”
Setelah
berkata demikian, Kim Lian bersila dan mengatur napas, mengempos hawa di dalam
tubuh untuk mengusir racun yang mengeram di pundak dan lengannya. Memang inilah
satu-satunya cara yang sudah dia pelajari dari suhu-nya untuk menolak hawa
racun itu menjalar makin hebat ke dalam tubuh.
Melihat dan
mendengar keadaan suci-nya, Im Giok semakin bingung dan gugup. Baiknya ilmu
pedang gadis ini memang lihai bukan main sehingga biar pun kini hampir tak
berani bernapas dan pandang matanya telah berkunang-kunang, akan tetapi
pedangnya secara otomatis masih sanggup melindungi tubuh dan menangkis setiap
serangan golok lawan, bahkan kadang kala masih dapat membalas dengan serangan
yang bukan tak berbahaya bagi Ceng-jiu Tok-ong.
“Lihai
sekali... mengagumkan...!”
Beberapa
kali Raja Racun itu memuji akan ketangguhan Im Giok. Namun, tanpa sedikit pun
mengenal kasihan ia mendesak terus. Ia tidak mau mempergunakan senjata rahasia
beracun lainnya karena melihat dengan golok saja ia sudah dapat mendesak
lawannya. Tokoh ini masih malu untuk menggunakan seluruh kepandaian hanya untuk
menjatuhkan seorang bocah.
Setelah Im
Giok terdesak betul-betul, tiba-tiba saja terdengar bentakan halus, “Ceng-jiu
Tok-ong, sungguh tak tahu malu engkau! Berani menghina cucu muridku?”
Mendadak
tubuh Im Giok terlempar ke samping dalam keadaan bersila! Gadis ini sendiri
terheran karena dia tadi hanya merasa tubuhnya ditarik orang lalu dilemparkan
jauh dari lawannya, akan tetapi ia terjatuh dalam keadaan bersila dengan pedang
masih di tangan.
Pada saat
membuka mata dan melihat siapa orangnya yang telah menolongnya, Im Giok menjadi
girang bukan main, lalu meletakkan pedang di atas tanah dan bersila meramkan
mata mengatur napas untuk mengusir hawa beracun yang tadi sudah memasuki lubang
hidungnya ketika ia bertempur melawan Ceng-jiu Tok-ong!
Sementara
itu, Ceng-jiu Tok-ong heran sekali melihat lawannya tiba-tiba terlempar jauh,
kemudian dia melihat seorang laki-laki setengah tua telah berdiri di depannya.
Laki-laki
ini berpakaian sederhana, sikapnya tenang, rambutnya sudah berwarna dua dan
pada pinggangnya terselip sebatang suling. Melihat sikapnya, Ceng-jiu Tok-ong
menduga bahwa dia ini tentulah seorang tokoh kang-ouw. Oleh karena ia sendiri
telah sangat lama meninggalkan kang-ouw, maka dia tidak berani berlaku sembrono
dan berkata membela diri,
“Engkau
siapakah, sobat? Gadis liar itu adalah cucu muridku sendiri yang hendak kuberi
hajaran, mengapa engkau mencampuri urusan kami dan mengapa kau berani mengakui
dia sebagai cucu muridmu?”
Orang itu tersenyum
tenang. “Raja Racun, dalam pengakuanmu tadi ada dua kesalahan. Kau mengakui
gadis ini sebagai cucu muridmu karena kau anggap dia murid Pek Hoa Pouwsat? Kau
mimpi, Ceng-jiu Tok-ong. Pertama karena gadis ini bukan murid Pek Hoa Pouwsat,
melainkan pernah diculiknya dan dipaksa menjadi muridnya. Ke dua, andai kata
benar dia pernah menjadi murid Pek Hoa, kau sekarang kiranya sudah tak patut
mengaku guru Pek Hoa Pouwsat. Kepandaian Pek Hoa Pouwsat agaknya sudah jauh
melampaui kepandaianmu sendiri, orang tua. Kau sudah baik-baik menyembunyikan
diri, menjauhi kepusingan dunia, akan tetapi siapa kira, makin mendekati hari
terakhir, kau malah makin lemah. Mudah dihasut orang, keluar dari tempat
pertapaan yang tenang dan damai, lalu membela orang-orang sesat dan begitu
keluar kau bahkan sudah hampir saja membunuh dua orang gadis. Alangkah
sesat...!”
Ceng-jiu
Tok-ong marah sekali. Betapa pun juga, dia bukan seorang yang takut digertak.
Dahulu di waktu mudanya, hanya terhadap Lima Tokoh Besar saja ia gentar, kalau
para tokoh lainnya dia tidak takut!
Akan tetapi,
sebelum ia mengutarakan marahnya, tiba-tiba Kam Kin yang mengenal siapa adanya
orang yang baru datang dan menjadi pucat telah berseru keras,
“Suhu, dia
itu adalah Bu Pun Su! Dia bukan manusia biasa! Suhu... lari...!”
Setelah
berkata demikian, Kam Kin mengajak berlari anak buahnya yang pada ketakutan
seakan-akan seorang penakut melihat setan di tempat sunyi!
Akan tetapi
Ceng-jiu Tok-ong belum lama turun dari gunung, belum pernah ia mendengar nama
Bu Pun Su. Oleh karena itu ia tidak takut. Ia menduga bahwa orang ini tentu
lihai, maka paling baik mendahuluinya. Sambil membentak keras ia mengayun
tangan kiri dan tiba-tiba sinar hijau menyambar ke arah Bu Pun Su.
“Kau lebih
patut menjadi ular, selalu bermain-main dengan bisa!” kata Bu Pun Su sambil
menyampok dengan tangannya.
Sinar hijau
itu ternyata adalah jarum-jarum beracun yang secara istimewa dilepaskan oleh
Ceng-jiu Tok-ong. Akan tetapi Raja Racun tidak berhenti sampai di situ saja.
Begitu menyebar jarumnya, dia telah menubruk maju dan menyerang dengan
goloknya, sengaja menyerang ke arah hidung Bu Pun Su!
Bu Pun Su
memindahkan kaki miringkan tubuh, lalu berkata,
“Manusia
ular, lebih baik kau pergi menyusul muridmu!” Kata-kata ini diucapkan sambil
tangannya bergerak.
Tangan
kirinya menyampok golok, hal yang amat luar biasa. Kecuali pendekar sakti ini,
kiranya tidak ada orang ke dua yang berani menyampok golok dengan tangan kosong
begitu saja, apa lagi kalau golok itu mengandung racun berbahaya sekali seperti
golok yang dipegang oleh Tok-ong! Sementara itu, secepat kilat sehingga tak
terlihat oleh mata, tangan kanannya sudah mencabut suling dan melakukan gerakan
menotok ke arah iga lawannya.
Ceng-jiu
Tok-ong hanya merasa betapa separuh tubuhnya pegal dan linu-linu. Sebagai
seorang tokoh persilatan yang sudah mempunyai ilmu silat tinggi, tahulah ia
bahwa jalan darahnya telah terkena totokan lawan dan ia telah mendapat luka di
dalam, biar pun luka itu tidak berat akan tetapi ini menandakan bahwa kini ia
menemui guru dalam ilmu silat!
Tanpa banyak
cing-cong lagi Ceng-jiu Tok-ong menarik kembali goloknya, segera berlari
terpincang-pincang menyusul Kam Kin. Kakinya yang kiri terasa kaku sehingga ia
harus berlari terpincang-pincang.
Terdengar
suara ketawa cekikikan. Bu Pun Su mengerutkan kening dan menengok ke arah gadis
yang masih bersila akan tetapi menutupi mulutnya yang mungil sambil tertawa
cekikikan, telunjuk menunjuk ke arah Ceng-jiu Tok-ong yang lari
terpincang-pincang.
“Monyet
bangkotan itu lucu sekali larinya...!” kata Kim Lian.
Gadis itu
tadi membuka matanya dan menyaksikan pertandingan hebat antara Ceng-jiu Tok-ong
dengan Bu Pun Su. Kim Lian sudah pernah mendengar nama besar Bu Pun Su yang
terhitung masih susiok-couw-nya sendiri.
Tadinya
melihat sikap Im Giok dan Kiang Liat yang selalu takut dan menghormat nama Bu
Pun Su ia pun merasa takut dan mengira bahwa susiok-couw yang bernama Bu Pun Su
itu orangnya tentu sangat dahsyat dan menyeramkan sekali. Akan tetapi siapa
nyana, sekarang setelah Bu Pun Su muncul, kiranya orangnya hanya sedemikian
saja, begitu sederhana, seperti seorang petani biasa saja. Maka lenyaplah rasa
takutnya dan gadis ini saking girangnya melihat Ceng-jiu Tok-ong kalah, lalu
tertawa-tawa.
“He, kau!
Tahan lidahmu yang jahat!” Bu Pun Su menegur marah.
“Suciok-couw,
kau tadi telah mengalahkan musuh secara hebat sekali, apakah teecu tak boleh
bergirang?” Kim Lian membantah. Dia melihat wajah Bu Pun Su begitu ramah dan
tenang, membayangkan watak yang sabar sekali, maka ia tidak takut.
“Suci,
jangan kurang ajar terhadap Susiok-couw!” Tiba-tiba Im Giok menegur suci-nya.
Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su sambil berkata,
“Susiok-couw,
mohon dimaafkan kelancangan Suci Song Kim Lian.”
Bu Pun Su
mengangguk-angguk. Diam-diam ia mengeluh ketika melihat Kim Lian berlutut pula
sambil matanya mengerling dan bibirnya tersenyum manis.
“Hm,
bagaimana Kiang Liat bisa mempunyai seorang murid seperti ini?” katanya di
dalam hati. Kemudian katanya dengan suara rendah,
“Hm, ini suci-mu?
Jadi ayahmu mempunyai murid? Tidak apa dia lancang asal dia tahu diri. Luka
pada pundak dan lengannya adalah akibat pukulan Ang-tok-jiu (Tangan Racun
Merah) dari Tok-ong, siapa terkena pukulan itu dalam tiga hari kalau tidak mati
tentu akan cacad seluruh kulitnya, keluar bintik-bintik merah akhirnya menjadi
bopeng-bopeng. Dia terancam bahaya hebat tapi masih menertawakan orang lain,
sungguh tak tahu diri...”
Alangkah
kagetnya Kim Lian mendengar ucapan ini.
“Susiok-couw,
tolonglah teecu...,” ratapnya kemudian sambil membentur-benturkan jidat di atas
tanah.
“Aku hanya
akan menolong nyawamu, akan tetapi tentang bopeng itu...”
Kim Lian
menjerit dan menangis sedih. “Susiok-couw, lebih baik teecu mati saja. Biarlah
tak usah diobati, biar teecu mati saja dari pada harus menderita, bopeng
seluruh tubuh... alangkah ngerinya...”
“Hanya kalau
mukamu jelek kiranya watakmu yang genit ini akan berubah,” kata Bu Pun Su yang
dengan suara dingin. “Sikapmu terlalu genit dan berani, kau sungguh-sungguh
memalukan aku yang menjadi susiok-couw!”
Kini baru
tahulah Kim Lian mengapa Im Giok dan Kiang Liat takut terhadap Bu Pun Su. Tak
tahunya pendekar ini mempunyai hati yang keras dan suka sekali menghukum anak
muridnya. Ketika ia mengangkat muka, hatinya berdebar ketakutan melihat sinar
mata Bu Pun Su yang demikian tajamnya menembus dada memeriksa isi hati.
Benar-benar
manusia aneh. Kim Lian bergidik. Belum pernah ia melihat sinar mata yang begitu
berpengaruh!
Im Giok
segera berkata kepada Bu Pun Su dengan suara memohon, “Susiok-couw, Suci memang
bersalah. Mohon Susiok-couw sudi memberikan ampun. Susiok-couw, seorang gadis
yang diandalkan hanyalah kebersihan muka dan hati, walau pun hati bersih kalau
muka kotor dan bopeng, bukankah itu berarti hancurnya hidup seorang gadis?
Karena itu, mohon Susiok-couw menaruh belas kasihan dan sudi mengobatinya.”
“Lebih baik
muka bopeng asal hati bersih, dari pada muka cantik hatinya kotor!” kata pula
Bu Pun Su, suaranya kini menggeledek, membuat Kim Lian gemetar sambil mendekam
di atas tanah.
Im Giok tak
berani banyak cakap lagi, hanya melirik ke arah suci-nya dengan hati merasa
kasihan. Bu Pun Su melihat semua ini, akan tetapi sebelum sempat ia berkata,
pemuda sastrawan yang semenjak tadi sudah sadar dari totokan ringan dan kini
menjatuhkan diri berlutut pula, berkata,
“Boanseng
Gan Tiauw Ki memohon kepada Lo-enghiong, sudilah menaruh kasihan dan mengobati
Li-hiap yang terkena racun. Li-hiap sudah melakukan perbuatan gagah berani,
kasihanilah kalau sampai menderita hidupnya. Kalau bisa, biarlah boanseng
mengoper racun itu dan biar boanseng menjadi cacat untuk membalas budinya.”
Mendengar
permintaan pemuda sastrawan yang bersedia menggantikan hukuman yang menimpa
diri Song Kim Lian, Bu Pun Su mengerutkan alisnya dan memandang tajam kepada
pemuda itu. Akan tetapi, Gan Tiauw Ki menentang pandang mata ini dengan tabah
dan tidak takut-takut, karena memang pemuda ini rela untuk membalas budi Kim
Lian.
“Hmm, kau
tidak mengecewakan menjadi seorang terpelajar,” kata Bu Pun Su, pandang matanya
melunak. “Baiklah, setelah dua orang memintakan ampun, biar aku sembuhkan dia.
Kau maju ke sini!” katanya kepada Kim Lian yang maju dengan sikap takut-takut.
Bu Pun Su
menggerakkan kedua tangan ke arah pundak dan lengan Kim Lian yang tadi terkena
pukulan Ceng-jiu Tok-ong. Terlihat uap putih mengepul dan bergerak menyambar ke
arah dua bagian tubuhnya, terutama sekali pada bagian yang terluka oleh racun.
Rasa panas hampir tak dapat ditahannya sampai mukanya menjadi merah sekali dan
berpeluh.
Bu Pun Su
menarik kembali dua tangannya. “Sudah sembuh, sudah sembuh...,” katanya
perlahan.
Kim Lian
berlutut menghaturkan terima kasih. Akan tetapi Bu Pun Su justru mengeluarkan
kata-kata ancaman, “Sebagai murid Kiang Liat, kau telah mewarisi kepandaian
yang pada dasarnya datang dari aku. Oleh karena itu, berhati-hatilah kau
menjaga gerak-gerik dan perbuatanmu. Aku sendiri yang akan menghukum anak murid
yang menyeleweng!”
Kemudian Bu
Pun Su menoleh kepada Gan Tiauw Ki dan bertanya secara tiba-tiba.
“Bukankah
surat kaisar untuk Suma-huciang berada di tanganmu?”
Tiauw Ki
sebetulnya kaget bukan main, akan tetapi pemuda ini tidak kelihatan berubah air
mukanya, bahkan dengan tabah ia menatap wajah Bu Pun Su.
“Kepada
Lo-enghiong yang menjadi susiok-couw dari kedua orang Li-hiap ini, boanseng
tentu saja tak berani berbohong. Akan tetapi, mengenai pertanyaan tadi, harap
maafkan, boanseng tidak dapat menjawab.”
Kim Lian
mengangkat mukanya, memandang dengan kening berkerut. Alangkah kurang ajarnya
pemuda itu, pikirnya marah. Kalau saja ia tidak takut kepada Bu Pun Su, tentu
ia telah beri hajaran kepada pemuda itu.
Juga Im Giok
mengerling ke arah Tiauw Ki dengan pandang mata heran. Akan tetapi, anehnya, Bu
Pun Su sendiri tidak menjadi marah, bahkan sebaliknya pendekar sakti ini mengangguk-angguk
dengan muka puas.
“Bagus,
bagus! Tidak percuma kau menjadi orang kepercayaan Kaisar, Gan-sicu! Tidak usah
kau takut-takut dan merasa curiga, kau boleh ketahui bahwa mendiang Menteri Lu
Pin adalah kakekku.”
Mendengar
ini, Gan Tiauw Ki lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su.
“Mohon
Lo-enghiong sudi memaafkan boanseng yang kurang ajar. Memang sebenarnya
boanseng yang telah menerima tugas itu dan boanseng betul-betul kagum sekali
melihat Lo-enghiong yang begitu waspada. Untuk selanjutnya boanseng yang bodoh
hanya dapat mengharapkan petunjuk dari Lo-enghiong.”
“Sesungguhnya,
mana aku tahu mengenai urusan ini? Hanya secara kebetulan saja aku mendengar
bahwa Kaisar sudah mengirimkan utusan untuk menghubungi Suma-huciang di
Tiang-hai. Di antara mereka yang terbunuh oleh tentara Gubernur Lie Kong, hanya
kau yang kelihatan paling cerdik dan mempunyai pribadi. Kebetulan pula kau
seorang yang selamat, maka aku menduga tentu kau yang menjadi utusan itu.”
“Jadi mereka
yang menyerang tadi adalah pasukan dari Gubernur Lie Kong?” pemuda itu bertanya
dengan muka kaget.
“Apa kau
kira Lie Kong demikian bodoh sehingga tidak tahu akan gerak-gerik Kaisar?” Bu
Pun Su tertawa, “Bocah she Gan, hanya satu yang belum kau punyai, yakni
pengalaman. Kau tentu tak pernah menyangka bahwa di antara orang-orang yang
terlihat setia kepada Kaisar, yang tiap hari dekat dengan Kaisar di istana,
terdapat kaki tangan pemberontak!”
Sekarang Gan
Tiauw Ki benar-benar terkejut dan mukanya berubah. “Kalau begitu, tugas
boanseng masih belum terlepas dari bahaya. Boanseng sendiri tidak takut akan
bahaya yang dapat menimpa diri boanseng, akan tetapi surat ini... boanseng
mohon petunjuk dari Lo-enghiong...”
“Kau harus
dikawal sampai Tiang-hai. Im Giok, sekarang tiba saatnya kau menggunakan
kepandaian yang selama ini kau pelajari guna kebaikan. Tugas yang dipegang
Gan-siucai ini bukan urusan kecil dan kaulah yang kutugaskan mengawalnya sampai
ke Tiang-hai. Aku sendiri yang akan memberi tahukan hal ini kepada ayahmu. Nah,
berangkatlah kalian berdua!”
Kiang Im
Giok memang takut dan tunduk kepada susiok-couw ini dan pula... tidak dapat
disangkal lagi bahwa hatinya berdebar girang tercampur jengah menerima tugas
ini. Dia sejak tadi sudah amat tertarik pada pemuda yang tampan ini, dan
sekarang ia ditugaskan untuk mengawalnya ke Tiang-hai, berarti dia akan
melakukan perjalanan sedikitnya tiga hari bersama pemuda itu!
“Teecu
mentaati perintah Susiok-couw,” katanya sambil menundukkan mukanya.
“Berangkatlah
dan ingat, bila sampai pemuda ini terbunuh orang, itu masih belum hebat, akan
tetapi jagalah baik-baik supaya surat yang berada di saku baju dalamnya jangan
sampai dicuri orang!”
“Baik,
susiok-couw, teecu akan ingat dan menjaga surat itu baik-baik.”
Im Giok lalu
menghampiri kudanya. “Suci, biar kudamu dipakai oleh Gan-siucai.”
Kim Lian
tersenyum akan tetapi tak berani mengeluarkan kata-kata sembrono di hadapan Bu
Pun Su, maka ia hanya berkata, “Baiklah, Sumoi, memang Gan-siucai habis terluka
dan lemah, harus melanjutkan perjalanan naik kuda.”
Gan Tiauw Ki
buru-buru berkata, “Tidak usah, Li-hiap. Mana berani aku mengganggu dan memakai
kuda Li-hiap? Habis Li-hiap sendiri mau naik apa? Tidak usahlah, biarkan aku
berjalan kaki saja...”
Tentu saja
Tiauw Ki merasa amat sungkan untuk memakai kuda Kim Lian, karena meski pun
gadis itu seorang pendekar gagah, tetapi tetap saja Kim Lian adalah seorang
wanita. Mana patut seorang laki-laki mengambil kuda seorang gadis dan
membiarkan gadis itu berjalan kaki?
Bu Pun Su
yang melihat semua ini lalu berkata, “Gan-siucai, tidak usah sungkan-sungkan
dalam saat seperti ini. Kau pakailah kuda itu dan cepat berangkat!”
Mendengar
ini, Gan Tiauw Ki tak berani membantah lagi. Ia menjura kepada Bu Pun Su, lalu
kepada Kim Lan. Setelah itu ia lalu menunggangi kuda Kim Lan. Biar pun
gerakannya lemah, namun dapat dilihat bahwa dia sudah biasa menunggang kuda.
Hal ini
melegakan hati Im Giok. Karena kalau pemuda itu tidak biasa menunggang kuda,
nanti bisa repot juga di jalan! Sesudah Im Giok memberi hormat kepada Bu Pun Su
dan berpamit kepada Kim Lian, ia lalu berangkat bersama Tiauw Ki.
Di dalam
perjalanan ini, Tiauw Ki secara terus terang menuturkan segala sesuatu yang
berhubungan dengan tugasnya kepada pengawalnya yang cantik jelita itu. Dan
penuturan Tiauw Ki singkatnya sebagai berikut…..
Semenjak
pemberontakan dari perusuh An Lu Shan, Sie Su Beng dan yang lain-lain bisa
dihancurkan kemudian ibu kota Tiang-an jatuh kembali kepada Kerajaan Tang,
keadaan di seluruh negeri sudah tidak seperti biasa lagi. Kembalinya
pasukan-pasukan Tang yang merebut kota raja bukanlah atas kekuatan sendiri,
akan tetapi dengan bantuan dari suku bangsa-suku bangsa dari utara dan barat,
terutama sekali mendapat bantuan dari suku bangsa Uigur yang terkenal kuat dan
gagah berani.
Setelah
pasukan pemberontak dihancurkan, para pembantu ini merasa keenakan tinggal di
Tiongkok dan tidak mau keluar lagi, bahkan mereka ini memperebutkan harta benda
dan kekuasaan. Negara menjadi kacau balau, keamanan tidak terjamin lagi dan di
sana sini para pembesar hidup laksana raja kecil. Banyak gubernur dari
propinsi-propinsi yang berjauhan dari kota raja, mulai tidak taat lagi kepada
Kaisar.
Bahkan
lambat-laun Kaisar hampir hilang pengaruhnya dan sering kali harus menurut apa
yang diusulkan oleh para gubernur, yang sesungguhnya bukan merupakan usul lagi
akan tetapi lebih mendekati perintah! Kaisar seakan-akan menjadi boneka belaka,
sedangkan yang berkuasa adalah para pembesar tinggi yang memiliki
pasukan-pasukan kuat.
Betapa pun
juga, sampai begitu jauh belum ada pembesar yang secara terang-terangan berani
menentang Kaisar, karena masih banyak juga pembesar-pembesar yang setia kepada
Kaisar. Sebetulnya kesetiaan ini bukan karena memandang kepada Kaisar, akan
tetapi kepada Kerajaan Tang sendiri.
Para
pembesar dan juga rakyat memang setia terhadap pemerintah Tang dan apa pun juga
yang menjadi alasan, mereka ini tak akan membiarkan orang memberontak terhadap
pemerintah Tang. Oleh karena itu, Kaisar juga tidak menyia-nyiakan kesempatan
ini dan Kaisar menghubungi pembesar-pembesar yang setia untuk dapat
berjaga-jaga terhadap pemberontakan yang mungkin timbul.
Gan Tiauw Ki
adalah seorang siucai yang baru saja lulus dalam ujian di kota raja. Dia
merupakan putera seorang janda petani di dusun Lee-siang-chung di Propinsi
Hok-kian. Semenjak kecilnya dia memang amat rajin belajar. Waktunya sejak kecil
sampai dewasa dihabiskan untuk mempelajari semua buku-buku kuno hingga akhirnya
dengan mendapat dukungan ibunya yang bangga melihat puteranya, Gan Tiauw Ki
berangkat ke kota raja untuk mengikuti ujian yang diadakan setiap tahun.
Selain
pandai ilmu kesusastraan, di dalam dada pemuda ini menyala api cinta bangsa dan
cinta negara yang amat besar. Oleh karena itu, dalam menempuh ujian, ia
mendapat angka tertinggi sehingga pembesar tua yang menjadi ko-khoa (kepala
examinator) kagum sekali.
Kemudian,
sesudah pemuda ini ditanya asal-usulnya, jawaban-jawabannya bersemangat
sehingga pembesar itu membawanya ke depan Kaisar. Memang Kaisar telah memesan
kepada ko-khoa ini supaya mencarikan seorang kepercayaan yang setia,
bersemangat, dan pandai.
Demikianlah,
setelah diuji dengan banyak pertanyaan oleh Kaisar yang ingin mengetahui isi
hatinya, Gan Tiauw Ki lalu diangkat menjadi utusan Kaisar untuk menghubungi
para pembesar dan gubernur-gubernur di daerah lain yang masih setia kepada
Kaisar. Bahkan pemuda ini kadang-kadang mendapat tugas untuk menghubungi
gubernur-gubernur yang tidak tunduk kepada Kaisar untuk mencoba membujuknya.
Sekali ini
Gan Tiauw Ki mendapat tugas dari Kaisar untuk menyampaikan surat kepada Suma
Huciang, seorang berpangkat huciang di kota Tiang-hai. Dan dalam perjalanan
ini, sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, Gan Tiauw Ki yang menyamar
sebagai pengungsi dan melakukan perjalanan bersama para pengungsi lain, sudah
dihadang dan hampir saja menjadi korban keganasan para tentara pemberontak,
yakni tentara di bawah perintah gubernur Liok yang tidak tunduk kepada Kaisar,
dan pasukan ini dipimpin oleh Giam-ong-to Kam Kin yang dibantu oleh suhu-nya,
yakni Ceng-jiu Tok-ong.
Begitulah
penuturan Gan Tiauw Ki pada Im Giok dalam perjalanan mereka ke Tiang-hai. Makin
lama mereka bercakap-cakap, makin tertariklah Im Giok kepada pemuda ini. Di
lain pihak, Tiauw Ki juga kagum dan tertarik sekali kepada Ang I Niocu sehingga
biar pun bibir mereka tak mengeluarkan sepatah kata pun mengenai perasaan hati
mereka dan bahkan sinar mata mereka selalu hendak menyembunyikan pancaran rasa
hati karena keduanya adalah orang-orang muda yang sopan.
Akan tetapi
mereka sama-sama tahu apa yang terkandung dalam hati masing-masing.
*****
Kita tunda
dulu perjalanan sepasang teruna remaja yang baru pertama kali dibuai asmara
ini, dan mari kita menengok keadaan Giok Gan Niocu Song Kim Lian yang
ditinggalkan oleh Kiang Im Giok dan berada bersama Bu Pun Su. Kakek ini setelah
melihat Im Giok pergi dengan Tiauw Ki, lalu berkata kepadanya dengan suara
kereng,
“Nah,
sekarang kau boleh pulang. Cepat-cepatlah kau pulang ke rumah gurumu, jangan
menyeleweng ke mana-mana!”
Hati Kim
Lian tak senang sekali mendengar ucapan kasar ini, karena biar pun dia hanya
murid Kiang Liat, namun biasanya dia diperlakukan dengan manis. Akan tetapi dia
dapat berbuat apakah? Bahkan untuk menjawab saja ia tak sempat sebab tahu-tahu
berkelebat bayangan yang membuat ia terkesiap dan terasa angin menyambar.
Ketika ia membuka mata, kakek sakti itu telah lenyap dari situ!
Kim Lian
menghela napas dan berkata seorang diri,
“Hebat
sekali kepandaian Susiok-couw Bu Pun Su, seperti bukan manusia saja.”
Ia bergidik
kalau mengingat sinar mata yang mengandung ancaman pada saat kakek itu
memandangnya. Sinar mata itu begitu berpengaruh dan agaknya segala kehendak
kakek itu tidak mungkin ditentang. Maka ia segera cepat melangkah, kemudian di
lain saat dia sudah berlari cepat yang jauh melampaui kepandaian ahli-ahli
silat biasa.
Bahkan ilmu
lari cepatnya sudah mengimbangi kepandaian gurunya sendiri sungguh pun harus ia
akui bahwa ia masih kalah kalau dibandingkan dengan kepandaian Im Giok. Ini pun
tidak begitu mengherankan karena Im Giok berlatih sejak kecil, sedangkan dia
baru belajar ilmu silat setelah dewasa. Kalau tidak demikian halnya, seandainya
ia pun berlatih sejak kecil dan sama lamanya dengan Im Giok, belum tentu
sumoi-nya itu akan dapat mengalahkannya. Dalam hal bakat, kecerdikan, dan
ketekunan, kiranya Kim Lian tidak kalah oleh Im Giok.
Kali ini Kim
Lian benar-benar heran dan kagum sekali melihat kelihaian susiok-couw-nya.
Meski pun ia sudah pergunakan ilmu lari cepat yang tak sembarang orang dapat
imbangi, ketika ia tiba di rumah gurunya di Sian-koan, ternyata Bu Pun Su sudah
berada di situ, bercakap-cakap dengan Kiang Liat! Dan begitu datang dengan
kulit muka agak merah dan peluh tipis membasahi jidat dan lehernya, Bu Pun Su
sudah menegurnya,
“Kau harus
banyak berlatih lari, jangan menunggang kuda saja! Ilmu lari cepat Yan-cu
Hui-po yang kau lakukan tadi masih jauh dari sempurna!”
Kim Lian
kaget sekali. Kakek ini berlari lebih dulu, bagaimana bisa tahu tentang ilmu
lari cepatnya? Memang benar tadi ia menggunakan ilmu lari Yan-cu Hui-po ajaran
suhu-nya. Melihat suhu-nya juga bersikap sangat hormat kepada Bu Pun Su, Kim
Lian cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Teecu yang
bodoh mohon petunjuk Susiok-couw.”
Sikap ini
menyenangkan hati Bu Pun Su, maka setelah menarik napas panjang kakek sakti ini
berkata,
“Ketahuilah,
dulu gurumu ini menerima Yan-cu Hui-po dari pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng.
Ilmu lari cepat Yan-cu Hui-po (Lari Terbang Burung Walet) ini adalah ciptaan
dari tokoh besar wanita Kiu-bwe Coa-li dan merupakan ilmu lari cepat yang
tingkatnya tinggi sekali di dunia persilatan. Kau secara kebetulan telah
menjadi cucu muridku, oleh karena secara kebetulan pula gurumu ini menjadi
murid atau murid keponakanku. Jadi, selain mewarisi ilmu-ilmu yang berasal dari
aku, kau telah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi warisan keluarga Kiang, ditambah
pula warisan dari aku dan sute-ku Han Le. Oleh karena itu, selain kau harus
tekun dan rajin agar ilmu-ilmu silat yang bersih dan tinggi itu dapat kau
kuasai sebaiknya, juga kau harus selalu menjaga agar kepandaian itu tidak
dipergunakan untuk jalan sesat.”
“Teecu akan
memperhatikan segala petunjuk dari Susiok-couw,” jawab Kim Lian dengan suara
perlahan.
“Nah,
sekarang mundurlah, aku hendak bicara dengan gurumu.”
Kim Lian
lalu mengundurkan diri. Hatinya ingin sekali mengetahui apakah gerangan yang
hendak dibicarakan oleh guru besar ini dengan gurunya. Tetapi tentu saja dia
tidak berani mengintai. Dengan kepandaian setinggi itu, susiok-couw-nya tentu
akan mengetahui jika diintai orang.
Maka Kim
Lian tak berani muncul dan mengaso di dalam kamarnya, lalu membayangkan
peristiwa yang baru terjadi. Di dalam hatinya ia merasa iri sekali terhadap Im
Giok.
“Dia
untung,” pikirnya, “melakukan perjalanan dengan sastrawan muda yang tampan itu.
Tentu menyenangkan sekali...“
Gadis ini
lalu merebahkan diri, melamun jauh, membayangkan pemuda-pemuda tampan yang
pernah dilihatnya, kadang-kadang tersenyum manis seorang diri dan akhirnya dia
pun tertidur.
***************
“Kiang Liat,
kulihat anak perempuanmu Im Giok itu mempunyai bakat baik dan semangat besar.
Dia boleh diharapkan,” kata Bu Pun Su setelah Kim Lian mengundurkan diri. “Juga
muridmu ini bakatnya amat bagus, aku tidak menyalahkan engkau menurunkan
pelajaran kepada seorang yang demikian baik bakatnya. Hanya aku merasa khawatir
sekali kalau melihat sifat-sifatnya. Aku tidak hendak mendahului Thian, akan
tetapi kelak mungkin sekali muridmu ini akan menimbulkan hal-hal yang
mencemarkan nama baik kita. Oleh karena itu, kau harus berhati-hati mengawasi
tingkah lakunya dan gerak-geriknya.”
Sebetulnya,
Kiang Liat sama sekali tidak ada nafsu untuk memikirkan hal-hal lain kecuali
mengenangkan isterinya yang sampai sekarang sering kali terbayang dan seperti
hidup di depan matanya. Sudah semenjak lama sekali Kiang Liat seakan-akan
menjadi pertapa, menjauhkan urusan dunia dan tak peduli akan segala sesuatu
yang terjadi di sekitarnya. Akan tetapi sekarang ia berhadapan dengan Bu Pun
Su, orang yang paling disegani di dunia ini, terpaksa ia menjawab,
“Baiklah,
Supek. Akan teecu perhatikan.”
Bu Pun Su
menarik napas panjang. Kakek ini mempunyai penglihatan dan pendengaran yang
luar biasa tajamnya. Sekali saja mendengar suara Kiang Liat, dapatlah ia
menduga apa yang menjadi isi hati Kiang Liat.
“Kiang Liat,
tak kusangka batinmu demikian lemah sehingga sampai sekarang kau masih terus
menghukum diri, menyesali perbuatan sendiri secara berlebihan dan menyedihkan
sesuatu yang sudah lewat. Perbuatan salah tak cukup disesalkan dengan jalan menyiksa
diri sendiri, akan tetapi bahkan sedapat mungkin harus ditebus dengan perbuatan
baik sebanyak mungkin dan membatasi diri sedapatnya agar jangan lagi
menyeleweng seperti yang sudah-sudah. Obat hati luka tidak dapat kau temukan di
dalam kamar. Dengan jalan bersunyi, justru sakit di hati makin parah. Kau
kurang pandai menghibur diri sendiri.”
Kiang Liat
menundukkan mukanya dan mengeraskan hatinya agar matanya yang mulai panas itu
jangan sampai mengeluarkan air.
“Teecu sudah
melakukan dosa besar terhadap seorang wanita mulia, bagaimana teecu tidak akan
merasa sedih selalu? Rasanya teecu rela dihukum mati untuk menebus dosa.”
Tiba-tiba
saja Bu Pun Su tertawa, suara ketawanya nyaring sehingga biar pun Kiang Liat sudah
tahu bahwa supek-nya ini mempunyai watak yang aneh sekali, namun tetap saja ia
terheran. Keadaannya amat menyedihkan, patutkah ditertawakan?
“Ha-ha-ha,
bocah tolol! Manusia di dunia ini siapakah yang takkan mampus? Akan tetapi
banyak sekali jalan ke arah kematian dan di antara sekian banyaknya cara untuk
mati, kiraku cara mati bersedih di dalam kamar bukanlah cara yang baik, apa
lagi bagi seorang yang menjunjung tinggi kegagahan. Banyak sekali cara untuk
melewati hidup dan untuk menanti datangnya maut yang pasti akan tiba, kenapa
memilih cara rendah? Mati ngenes adalah kematian yang hina. Kau sudah
mempelajari ilmu dan mengutamakan kegagahan, mengapa tidak mencari kematian
yang gagah? Mengapa tidak menumpas musuh besar dalam hati sendiri dengan terjun
ke dunia ramai dan menumpas kejahatan?”
“Teecu tidak
punya semangat, tidak punya nafsu, dan pula, teecu harus berada di rumah untuk
mendidik Im Giok dan Kim Lian.”
“Mereka
sudah cukup pandai. Kiang Liat, kebetulan sekali aku datang ini untuk memberi
tugas kepadamu. Tugas yang penting demi kepentingan negara. Kau tentu senang
kalau mati dalam melakukan tugas ini, berarti mati dalam perjuangan selaku
seorang patriot, bukan?”
Karena
dibakar dengan kata-kata bersemangat, timbul kegembiraan di dalam hati Kiang
Liat yang sudah hampir kering.
“Tugas
apakah, Supek? Tentu teecu siap sedia menerima perintah Supek.”
“Bagus!
Sekarang dengarlah baik-baik.”
Bu Pun Su
lalu menceritakan mengenai keadaan negara. Betapa banyak gubernur yang kini
membelakangi pemerintah dan betapa pendatang-pendatang asing, yakni suku-suku
bangsa yang dulu membantu pemerintah mengusir pemberontak An Lu Shan, sekarang
merajalela, dan betapa sukar dan lemahnya kedudukan Kaisar.
Di mana-mana
timbul gejala pemberontakan, dan di propinsi yang jauh dari kota raja, para
pembesar saling bermusuhan sebab ada yang pro dan ada yang kontra pemerintah.
Demikian pula kedudukan orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang menjadi
goncang. Mereka terpecah belah karena terpengaruh oleh gubernur-gubernur atau para
pemimpin pemberontak di daerah masing-masing......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment