Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dara Baju Merah
Jilid 10
DUA orang
muda itu melanjutkan perjalanannya menuju ke kota Tiang-hai. Tidak lama
kemudian mereka memasuki kota itu, sebuah kota yang besar dan ramai. Setelah
mereka memasuki kota, nampak makin banyak orang yang agaknya datang dari luar
kota, ada yang berkuda, berkereta, banyak pula yang berjalan kaki.
Mata Im Giok
yang tajam dapat melihat betapa banyak orang-orang yang kelihatannya
berkepandaian tinggi, seperti orang-orang kang-ouw. Akan tetapi karena ia
sendiri belum terkenal, maka ia tidak dikenal orang dan hal ini melegakan
hatinya.
“Gan-twako,
mengapa kau tidak bilang bahwa hari ini Suma-huciang sedang merayakan hari
lahirnya yang ke enam puluh tahun?” Im Giok menegur kawannya.
“Aku sendiri
pun baru tadi mendengar dari mulut Lie Kian Tek,” jawab Tiauw Ki. “Akan tetapi
hal ini lebih baik, aku dapat menghadap Suma-huciang dengan dalih menghaturkan
selamat serta menghaturkan barang persembahan tanpa dicurigai orang lain.
Agaknya Suma-huciang sengaja mengadakan pesta untuk mengumpulkan orang-orang,
dan untuk mengetahui siapa lawan siapa kawan.”
Im Giok
memuji kecerdikan Gan Tiauw Ki. “Kalau begitu, kurasa kau akan menghadapi
banyak bahaya, Gan-twako. Kulihat orang-orang yang datang ke kota ini hampir
semua adalah orang-orang kang-ouw, dan di antaranya tentu banyak yang jahat.
Ada baiknya kalau aku pun menghadiri pesta itu dan untuk memberi hormat dan
selamat pula kepada Suma-huciang. Ada pun untuk barang hantaran, biarlah aku
memberikan ini.”
Im Giok
mencabut tusuk kondenya yang terbuat dari emas dihias kemala indah. Melihat
barang ini, Tiauw Ki berubah air mukanya dan kulit mukanya menjadi merah
sekali. Im Giok tertegun.
“Ehh,
Gan-twako, kau kenapakah?” tanyanya.
Muka Tiauw
Ki makin merah. “Kiang-moi, alangkah tajamnya pandang matamu. Sedikit saja ada
apa-apa terasa dalam hatiku, kau sudah tahu!”
Im Giok
tertawa. “Kau pun tajam pandang matamu, Twako. Ketika aku marah dan hendak
mendamprat orang she Lie, kau menyentuh tanganku dan melarangku marah-marah.”
“Mudah saja,
kulihat ujung hidungmu bergerak-gerak, aku sering kali melihat kau berhal
seperti itu kalau merasakan sesuatu, maka aku dapat menyangka bahwa kau tentu
akan marah terhadap orang she Lie itu.”
“Begitukah?
Apakah ujung hidungku suka bergerak-gerak? Alangkah lucu dan anehnya. Tentu
seperti hidung kuda!”
“Ahh, tidak
Kiang-moi, bahkan lucu dan... dan manis sekali,” kata Tiauw Ki.
“Aah,
sudahlah. Kau memang pandai memuji. Kau sendiri pun mudah dilihat. Mukamu merah
seperti udang direbus, bagaimana aku tidak tahu bahwa kau memikirkan sesuatu?
Lebih baik sekarang kau mengaku, kau sedang berpikir apakah?”
“Tusuk
kondemu itu, Kiang-moi. Sayang sekali kalau diberikan kepada Suma-huciang.”
“Ahh, ini
benda tidak begitu berharga, Twako.”
“Mungkin
harganya tidak begitu tinggi, akan tetapi selama ini sudah menghias rambutmu,
jadi... jadi... begitulah, amat berharga dalam pandanganku. Karena itu jangan
diberikan sebagai hadiah, kalau hendak memberi hadiah, lebih baik kita beli
saja di toko emas di kota ini, aku membawa bekal banyak uang Kiang-moi.”
Tiba-tiba
muka Im Giok menjadi merah dan gadis ini merasa amat girang.
“Twako, aku
sendiri tidak membawa uang. Tetapi aku tidak mau kalau kau membelikan barang
hadiah itu untukku. Aku lebih suka memberikan tusuk konde ini dari pada aku
harus menyusahkanmu membeli di toko.”
“Begini
saja, Kiang-moi. Kalau kau begitu angkuh dan tidak mau menerima uangku untuk
membeli barang tanda mata, bagaimana kalau... kalau... aku tukar saja tusuk
kondemu itu? Sebagai gantinya aku membelikan barang hadiah yang jauh lebih
mahal harganya untuk diberikan kepada Suma-huciang?”
Kembali dua
pasang mata beradu dan keduanya bermerah muka.
“Sesukamulah,
bagiku benda ini jatuh di tangan siapa saja pun tidak ada bedanya. Tentu saja…
kalau berada di tanganmu lebih baik lagi.”
“Mengapa
lebih baik, Kiang-moi?” Tiauw Ki mendesak.
“Mengapa?
Ahh... kau mendesak dengan pertanyaan yang bukan-bukan.”
“Mengapa,
Kiang-moi? Mengapa lebih baik?” kembali pemuda itu mendesak.
“Sstt,
lihat, banyak orang memperhatikan kita. Mari kita pergi ke rumah penginapan dan
berganti pakaian, lalu mengunjungi rumah Suma-huciang.”
Keduanya
lalu mencari rumah penginapan, menyewa dua buah kamar, lalu berkemas. Tak lama
kemudian keduanya keluar lagi dengan pakaian sudah ditukar pakaian bersih.
Mereka pun mandi lebih dahulu sehingga sepasang orang muda itu nampak bersih
dan tampan, benar-benar merupakan pasangan yang amat sedap dipandang.
Dengan
diantar oleh Tiauw Ki, Im Giok mencari barang hadiah di toko emas dan akhirnya
setelah memilih-milih lalu membeli sebuah kotak kuno berukir yang indah sekali
dari toko perhiasan. Ia hendak memberikan tusuk kondenya kepada Tiauw Ki, akan
tetapi pemuda itu menolak dan mengatakan nanti saja.
Kemudian dua
orang muda itu pergi ke gedung pembesar Suma-huciang yang berada di tengah
kota. Gedung itu besar dan bentuknya kuno, sebab semenjak beberapa keturunan
Suma-huciang memang sudah menjabat pangkat dan berjasa kepada Kaisar. Jadi
bukan semata karena kedudukannya maka Suma-huciang disegani oleh para pembesar
lainnya, akan tetapi terutama sekali karena nama keluarganya yang semenjak dulu
menjadi tokoh besar yang disayang oleh Kaisar karena setia dan berani mati
membela negara.
Ketika
mereka tiba di situ, ternyata sudah banyak sekali tamu memenuhi ruangan depan.
Keadaan sungguh ramai dan meriah. Tambur, canang, suling dibunyikan orang,
didahului suara biduan pria yang parau dan nyaring.
Di ruangan
depan sebelah kiri ramai orang bermain judi, di sebelah kanan serombongan
orang-orang tua bertanding minum arak sehingga suasana di kanan kiri ruangan
itu amat ramai. Hanya di ruang tengah yang luas sekali itu berkumpul
orang-orang muda yang duduk mengobrol sambil menghadapi makanan dan minuman.
Tuan rumah,
Suma-huciang yang sudah berusia enam puluh tahun namun nampak masih gagah
bermuka merah bagai muka Kwan Kong (tokoh Sam Kok yang terkenal), bertubuh
tinggi besar, memakai pakaian kebesaran dengan pedang pemberian Kaisar
tergantung pada pinggangnya, duduk di ruangan sebelah dalam di mana berkumpul
tamu-tamu yang dipandang sebagai golongan tinggi dan terhormat.
Banyak
sekali pelayan hilir mudik mengatur kelancaran pesta itu. Setiap orang tamu
yang datang tentu disambut oleh pelayan yang berpakaian indah. Tamu baru ini
dibawa masuk dan diantar menghadap Suma-huciang yang duduk di ruangan dalam,
kemudian tamu ini menghaturkan selamat sekalian memberi hormat serta memberikan
barang hadiah yang dibawanya, kemudian oleh pelayan ia dipersilakan duduk di
ruangan yang tepat baginya. Pelayan penyambut ini adalah orang yang
berpengalaman luas dan mengenal hampir semua tamu sehingga ia maklum ke mana ia
harus membawa tamunya duduk.
Barang-barang
sumbangan diletakkan di atas sebuah meja besar panjang yang ditilami sutera
merah, diatur berjajar seakan-akan berlomba keindahannya dan kemahalannya.
Tamu-tamu wanita yang jumlahnya paling banyak dua puluh lima orang, amat
sedikit apa bila dibandingkan dengan jumlah tamu pria, duduk di dekat tempat
sumbangan.
Ada pula
beberapa orang tamu wanita yang duduk semeja dengan tamu-tamu pria. Tamu wanita
seperti ini pasti orang-orang kang-ouw dan para ahli silat, mudah dilihat dari
gerak gerik mereka, pakaian, dan pedang mereka. Bagi wanita yang sudah biasa
merantau di dunia kang-ouw, tidak ada lagi pantangan hubungan dalam pergaulan
dengan kaum pria, sungguh pun hubungan ini amat terbatas oleh tata susila yang
tetap dipegang teguh.
Tiauw Ki dan
Im Giok disambut oleh pelayan penyambut yang menjura dengan senyum
ramah-tamahnya.
“Selamat
datang, Tuan Muda beserta Nona. Harap Ji-wi (Tuan Berdua) sudi memberi tahukan
nama dan alamat agar dapat melaporkan kedatangan Ji-wi kepada Taijin.”
“Terima
kasih, Lopek. Tolong beri tahukan kepada Suma-taijin bahwa keponakannya she Gan
dari kota raja datang berkunjung bersama seorang sahabat, yaitu Nona Kiang.
Kami datang dari jauh sengaja hendak menghaturkan selamat,” jawab Tiauw Ki
dengan suara tenang sewajarnya.
Pada saat
pelayan itu mendahului mereka menuju ke ruangan dalam, Tiauw Ki berbisik kepada
Kiang Im Giok sebagai jawaban atas pandang mata keheranan dari nona ini.
“Agar
Suma-taijin mengerti bahwa yang datang tentu seorang yang istimewa dari kota
raja.”
Diam-diam Im
Giok memuji ketabahan dan kecerdikan pemuda ini mengatur siasat. Tiap meja yang
dikelilingi tamu terdiam apa bila mereka lewat dekat, baru kemudian terdengar
bisikan-bisikan disertai suara ketawa ketika mereka sudah lewat, tanda bahwa
mereka menjadi pusat perhatian.
Baik Tiauw
Ki mau pun Im Giok maklum bahwa lagi-lagi yang menjadi pusat perhatian para
tamu pria ini, tentu Im Giok yang cantik! Akan tetapi gadis itu tak ambil
peduli sama sekali, hanya ketika ia mulai masuk ke ruang dalam, sepasang
matanya bergerak penuh perhatian dan terlihatlah olehnya putera gubernur yang
bernama Lie Kian Tek bersama kawan-kawannya berada di dalam ruangan ini.
Ruangan ini
paling lebar dan luas, dan di tengah-tengah terdapat sebuah panggung yang
menempel pada dinding, dihias dengan kain sutera dan langkan-langkan indah.
Agaknya akan diadakan pertunjukan di atas panggung, pikir Im Giok yang kemudian
memindahkan perhatiannya kepada seorang tua yang berdiri mendengarkan laporan
pelayan, kemudian menyambut kedatangan Tiauw Ki dengan wajah berseri dan
melambaikan tangan.
“Aha,
kiranya Gan-hiantit yang baru datang! Bagaimana keadaan ayahmu di kota raja?
Baik-baik sajakah?”
Im Giok
sampai menahan berdebarnya jantung ketika mendengar ini. Apakah Tiauw Ki
betul-betul keponakan Suma-huciang, ataukah pembesar tua itu yang ikut-ikutan
bermain sandiwara secara cerdik sekali?
“Terima
kasih, Paman, terima kasih. Ayah baik-baik saja dan dari jauh menghaturkan
selamat atas ulang tahun Paman disertai doa semoga Paman panjang usia dan hidup
bahagia. Ada pun siauwtit sendiri pun menghaturkan selamat dan membawa sebuah
benda tak berharga untuk sekedar sumbangsih dari siauwtit, mohon diterima.”
Pemuda itu
mengeluarkan bungkusan dari saku bajunya, bungkusan sutera kuning yang besarnya
hanya dua tiga kepalan tangan orang. Suma-huciang tertawa sambil menerima
bungkusan itu.
“Aah, kau
terlalu sungkan, Gan-hiantit, akan tetapi terima kasih atas kebaikanmu.”
Suma-huciang
lalu memberikan bungkusan itu kepada seorang pelayan yang memang sudah berdiri
di situ dan bertugas menerima barang-barang hadiah, kemudian pelayan itu
menaruh bungkusan itu di tengah-tengah meja bersama dengan lain-lain hadiah.
Im Giok yang
berpendengaran tajam sekali tiba-tiba saja merasa aneh. Suara berisik dari
orang-orang bercakap-cakap di ruangan itu tiba-tiba menjadi sunyi sejenak, dan
ketika ia menyapu ruangan dengan kerling matanya, ia melihat betapa semua orang
mengarahkan pandang mata kepada bungkusan itu!
Akan tetapi
dia mendengar suara Tiauw Ki memperkenalkannya kepada Suma-huciang, maka cepat
dia menjura kepada pembesar itu dan berkata,
“Saya yang
bodoh kebetulan sekali bertemu dengan Saudara Gan di tengah perjalanan.
Mendengar bahwa Suma-taijin hendak merayakan hari ulang tahun ke enam puluh,
saya memberanikan diri ikut dengan Saudara Gan dan ikut pula menghaturkan
sedikit tanda mata yang tidak berharga.”
Dia
mengeluarkan bungkusannya, yakni kotak kayu yang indah yang dibelinya dari toko
perhiasan. Kembali kotak itu diterima oleh Suma-huciang dan segera dioperkan
kepada pelayannya lalu disimpan di atas meja.
“Terima
kasih, Kiang-siocia. Kau sungguh baik sekali. Silakan kalian orang-orang muda
memilih tempat duduk yang enak. Maafkan aku tidak dapat melayani lebih lama
karena harus menerima tamu-tamu baru yang datang.”
Tiauw Ki dan
Im Giok menjura, lalu mengundurkan diri. Pelayan hendak mempersilakan mereka
duduk di ruangan luar, akan tetapi Tiauw Ki berkata,
“Aku ingin
duduk di ruangan ini, di dekat pamanku.”
Pelayan itu
tak berani membantah karena betapa pun juga pemuda ini adalah keponakan
Suma-huciang dan kiranya seorang keponakan sudah patut disejajarkan dengan
‘orang-orang besar’ di situ. Juga Im Giok sudah memilih tempat di sudut yang
masih kosong dan kebetulan sekali, kursi yang dia duduki itu berada tepat di
depan panggung yang masih kosong. Tiauw Ki duduk di seberang meja.
“Kau lihat
kalau-kalau bungkusan tadi diambil orang,” bisiknya perlahan kepada Im Giok.
Nona ini
maklum dan mengangguk dengan pandang matanya. Baginya hal ini mudah saja karena
memang dia duduk dengan muka menghadap meja besar tempat menaruh barang-barang
sumbangan.
Tamu-tamu
baru masuk memberi selamat dan barang-barang sumbangan makin banyak sehingga
memenuhi meja. Akhirnya habis juga aliran tamu, ada pun semua tempat sudah
penuh oleh tamu. Hidangan-hidangan lezat dan arak-arak wangi dikeluarkan.
Kemudian
salah seorang pengawal dari Suma-huciang angkat bicara mewakili pembesar itu
menghaturkan selamat datang dan terima kasih atas kedatangan para tamu,
kemudian mengumumkan bahwa untuk menghibur para tamu, akan dimainkan
tari-tarian oleh para penari yang sengaja datang dari kota raja sebagai
sumbangan dari Kaisar!
Pengumuman
ini mendapat sambutan gempar dari semua hadirin, karena hal ini adalah sesuatu
yang istimewa. Tidak sembarang orang pernah menonton pertunjukan luar biasa
ini, yaitu para penari cantik jelita dari dalam istana!
Suma-huciang
menjadi gembira sekali melihat sambutan para tamu maka pembesar tua ini bangkit
berdiri, menjura dan berkata,
“Saudara-saudara
sekalian, memang hal ini amat menggembirakan. Aku telah menerima karunia besar
sekali dari Hongsiang, karunia yang sangat mengharukan hatiku dan yang selama
hidup tidak akan kulupa. Dalam keadaan seperti ini Hongsiang masih mengingat
hambanya yang sudah tua seperti aku, benar-benar hal yang amat menggembirakan
dan mengharukan. Alangkah mulia hati Hongsiang.”
Suma-huciang
menghentikan kata-katanya untuk menahan suaranya yang mulai bergetar saking
harunya. Kemudian disambungnya lagi, kini air mukanya berseri.
“Ada kabar
yang baik sekali, Saudara sekalian. Sebelum tari-tarian dari kota raja dimulai,
Lie-kongcu putera dari Paduka Gubernur di Shansi, berkenan memberi hiburan
dengan menyumbangkan tarian silat di hadapan suadara-saudara. Kiranya semua
orang sudah mengenal atau mendengar betapa pandainya Lie-kongcu bermain silat.
Nah, Lie-kongcu, silakan!”
Suma-huciang
membungkuk ke arah Lie Kian Tek yang sudah bangkit berdiri disambut tepuk-sorak
oleh para hadirin yang berada di situ. Kini semua tamu wanita memandang ke arah
pemuda tampan ini dengan mata bersinar dan bibir tersenyum-senyum.
“Sebetulnya
siauwte merasa amat malu menunjukkan kebodohan, akan tetapi demi untuk
meramaikan pesta Suma-taijin, apa boleh buat!” katanya tersenyum manis.
Mendadak,
sekali dia bergerak, tubuhnya melayang naik ke atas panggung! Jarak antara
tempat dia berdiri dengan panggung ada enam puluh tombak, dan dia dapat
melompat sedemikian rupa melewati kepala para tamu, betul-betul merupakan demonstrasi
ginkang yang tak boleh dipandang ringan!
Tukang
pemukul tambur, canang dan suling sudah siap dan kini terdengar suara musik
dipukul gencar. Akan tetapi Lie Kian Tek memberi isyarat dengan tangan ke
belakang sehingga tiba-tiba suara musik dipukul perlahan sekali.
“Cuwi
sekalian, perkenankan siauwte masuk dulu untuk berganti pakaian,” kata pemuda
ini dengan lagak dibuat-buat, kemudian dia berlari masuk melalui pintu sutera
di dekat rombongan pemain musik.
Para tamu
menjadi ribut, berebutan memilih tempat dekat panggung.
“Tamu wanita
di depan!” terdengar suara orang.
Terpaksa
tamu-tamu pria mengalah dan sebentar saja terciumlah bau harum serta suara
berkereseknya pakaian ketika tamu-tamu wanita berlari-lari kecil memilih tempat
duduk di depan panggung. Tentu saja otomatis Im Giok terkurung di
tengah-tengah.
Sebelum para
tamu wanita itu datang Tiauw Ki sudah berbisik, “Adik Im Giok, aku hendak
mendekati Suma-huciang.”
Dan pemuda
ini segera berdiri lalu pergi dari situ ketika para tamu wanita datang di depan
panggung. Tidak hanya Tiauw Ki yang meninggalkan tempat itu, juga banyak
tamu-tamu pria yang meninggalkan tempat duduknya lalu diberikan pada para tamu
wanita, kecuali beberapa orang laki-laki yang bermuka tebal dan tidak tahu
malu, tetap saja duduk di situ bahkan merasa kebetulan sekali! Oleh sebab itu,
maka kepergian atau kepindahan Tiauw Ki ini tidak menarik perhatian orang.
Setelah
semua orang mengambil tempat duduk, dengan kerling matanya Im Giok melihat
bahwa Tiauw Ki benar-benar sudah dapat duduk di dekat Suma-huciang, bahkan juga
di dekat panggung, sebelah kiri panggung di mana orang menyediakan tempat
khusus bagi tuan rumah.
Sementara
menanti munculnya Lie Kian Tek yang jelas sekali pada malam itu menarik hati
orang banyak, terutama sekali hati para wanita yang hadir di sana, para penabuh
musik membunyikan alat musik masing-masing sehingga keadaan menjadi ramai
sekali.
Secara
diam-diam Im Giok memperhatikan Tiauw Ki. Ia melihat pemuda itu menggerak-gerakkan
tangan sambil bercakap-cakap asyik sekali dengan Suma-huciang yang tampak
mengangguk-angguk.
Karena semua
orang, atau hampir semua, boleh dibilang sedang mempercakapkan Lie Kian Tek
yang menjadi populer itu, tentu orang mengira bahwa Tiauw Ki juga berbicara
tentang pemuda itu dengan Suma-huciang. Apa lagi dalam kebisingan suara tambur
dan canang, suara mereka sama sekali tidak dapat terdengar oleh orang lain.
Tidak lama
kemudian terdengar tepuk tangan ketika Lie Kian Tek muncul dari belakang pintu
sutera. Im Giok memandang dan diam-diam gadis ini harus mengakui bahwa Lie Kian
Tek kelihatan gagah dan tampan sekali.
Dandanan Lie
Kian Tek sebagai seorang pendekar besar pada jaman dulu benar-benar pantas
sekali untuk wajahnya yang gagah tampan dan potongan tubuhnya yang tegap
berisi. Pendeknya, pemuda she Lie itu potongan pendekar benar, pendekar seperti
yang sering kali dijadikan kembang mimpi oleh para gadis remaja.
Irama musik
berubah setelah pemuda ini muncul. Sekarang semua orang terdiam dan hanya
memandang penuh perhatian ketika Lie Kian Tek memulai pertunjukannya dengan
menjura ke arah Suma-huciang, kemudian kepada semua hadirin. Ketika pandangan
matanya tertuju ke arah para penonton wanita, ia memberi kedipan mata kepada Im
Giok.
Gadis ini
membuang muka, akan tetapi dia melihat semua wanita muda yang berada di sana
tertawa cekakak-cekikik sambil saling cubit, bersikap genit sekali. Im Giok
menjadi sebal. Dia tahu bahwa Lie Kian Tek secara kurang ajar berkedip
kepadanya dan para wanita itu masing-masing merasa diajak bermain mata oleh Lie
Kian Tek sehingga timbul suasana yang menggelikan dan menjemukan itu.
Musik
ditabuh dengan irama lambat dan Lie Kian Tek mulai bersilat. Pada mulanya dia
bergerak lambat, ada pun pedangnya masih tergantung di pinggang. Pemuda ini
memang pandai sekali dan berbakat sehingga setiap gerakannya merupakan tarian
indah. Kadang kala tangannya memegang atau menyambar ujung ikat pinggang
berkembang kemudian bergerak amat gagahnya.
Im Giok
secara terus terang harus mengakui bahwa dia sangat tertarik dan suka melihat
gerak-gerik pemuda itu, juga ilmu silat yang dimainkan itu bukanlah ilmu silat
biasa, akan tetapi ilmu silat yang mempunyai dasar tinggi. Namun digerakkan
secara lembut-gemulai sedap dipandang.
Dasar Im
Giok sendiri seorang ahli seni atau seorang seniwati yang suka akan
tari-tarian, kini menonton orang bermain silat seperti menari, karuan saja ia
tertarik sekali. Ketika Lie Kian Tek kebetulan menghadap ke arah tempat dia duduk,
pemuda itu kembali berkedip dan tersenyum kepadanya.
Im Giok
mendongkol sekali, mengerutkan kening dan tanpa terasa tangan kirinya naik ke
mulutnya untuk menahan bibirnya yang sudah hendak memaki marah. Akan tetapi dia
dapat menekan perasaan mendongkolnya, bahkan dapat memaksa bibirnya tersenyum
seakan-akan dia tertarik seperti orang-orang lain dan tidak melihat adanya
isyarat-isyarat kurang ajar dari pemuda itu.
Lie Kian Tek
bersilat semakin cepat dan tidak lama kemudian di atas panggung bagaikan ada
beberapa orang yang bersilat. Gerakannya cepat sekali, dan semua itu tambah
indah menarik karena diiringi suara musik yang gencar dan ramai. Tepuk tangan
menyambut permainannya yang memang indah.
Lie Kian Tek
makin bangga. Tiba-tiba dia berseru keras dan orang melihat berkelebatnya sinar
pedang yang menyilaukan mata. Ternyata pemuda itu sudah mencabut pedangnya dan
kini bersilat pedang dengan gerakan indah dan cepat. Pedang di tangannya
berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyelimuti seluruh tubuhnya.
Akan tetapi
Im Giok yang bermata tajam dapat mengikuti setiap gerakannya dan biar pun ia
harus memuji bahwa ilmu pedang pemuda itu cukup baik, akan tetapi tidak begitu
lihai kalau dilawan, atau pendeknya ia sanggup untuk menandingi pemuda itu
dalam ilmu silat.
Mendadak Lie
Kian Tek berseru keras dan mengakhiri ilmu pedangnya dengan gerakan menyambit.
Inilah gerakan Sin-liong Hian-bwe (Naga Sakti Mengulur Ekornya) semacam gerakan
yang sukar dilakukan dan biasanya di dalam pertempuran hanya dilakukan oleh
orang yang sudah sangat terdesak atau sudah terluka sehingga gerakan terakhir
adalah dengan menimpukkan pedangnya. Pedang di tangan Lie Kian Tek meluncur
cepat sekali dan tahu-tahu telah menancap di atas tiang yang berada di depan
Suma-huciang, kurang lebih satu kaki di atas kepala pembesar itu!
Tadinya
semua orang terkejut karena menyangka bahwa pedang itu ditimpukkan ke arah
Suma-huciang, akan tetapi segera meledak tepuk tangan memuji ketika
Suma-huciang tertawa-tawa sambil bertepuk tangan pula! Tiauw Ki yang duduk di
dekat pembesar itu menjadi pucat dan dia kagum bukan main melihat ketenangan
Suma-huciang yang masih dapat bertepuk tangan memuji, padahal baru saja dia
mengalami kekagetan yang cukup menegangkan hati. Ia sudah biasa dan memiliki
kepandaian silat tinggi pula, akan tetapi Tiauw Ki yang belum melihat
kepandaiannya bersangsi apakah pembesar yang sudah tua ini mampu menandingi
kepandaian Lie Kian Tek yang muda dan lihai.
“Kepandaian
hebat, Lie-kongcu.” Suma-huciang berkata sambil tertawa kepada Lie Kian Tek
yang masih membungkuk-bungkuk menerima pujian dan tepuk tangan. “Akan tetapi
sayang, timpukanmu kurang keras sehingga pedang hanya menancap setengahnya saja
pada tiang kayu. Apa bila dipergunakan dalam perang, kiranya tak akan dapat
menembus baju perang musuh yang terbuat dari besi!”
Sambil
berkata demikian, pembesar ini berdiri dari kursinya, menggunakan dua buah jari
tangan kanan, yakni jari tengah dan telunjuk menjepit pedang yang menancap di
tiang itu dan sekali betot pedang itu telah tercabut keluar! Lalu sambil
tertawa ia memuji,
“Pedang
bagus! Pedang bagus!”
Kemudian
sambil menjura ia mengembalikan pedang itu kepada Lie Kian Tek, lalu duduk
kembali di kursinya.
Tepuk tangan
riuh menyambut demonstrasi tenaga lweekang yang hebat ini. Tiauw Ki memandang
dengan melongo dan hampir saja pemuda ini menjulurkan lidahnya saking kagum dan
heran. Im Giok tertegun. Tenaga lweekang seperti itu tidak mudah dilakukan oleh
sembarang orang, pikirnya dan ia gembira bahwa pembesar yang menjadi ‘sahabat’
Tiauw Ki itu ternyata bukanlah orang lemah dan kiranya tidak kalah kalau
dibandingkan dengan Lie Kian Tek.
Lie Kian Tek
mengerutkan kening dan wajahnya yang tampan itu mulai berubah muram. Ia lalu
menerima pedangnya dari tangan Suma-huciang, kemudian sambil menyeringai ia
berkata, menjura kepada pembesar itu,
“Ahhh, nama
besar Suma-taijin bukanlah nama kosong belaka, membuat siauwte takluk sekali.
Hari ini adalah hari gembira sekaligus hari baik, maka untuk menambah meriah
suasana, aku sangat mengharapkan supaya Taijin sudi menunjuk seorang jagoan
untuk menunjukkan kepandaiannya di panggung ini. Selain untuk menambah
pengalaman kami orang-orang Shansi, juga untuk sekedar perbandingan kegagahan
antara kawan-kawan kita.”
Kata-kata
ini sebenarnya bukan semata untuk menyatakan ketidak senangan hati putera
Gubernur ini sebab tadi telah menerima celaan dari Suma-huciang, tapi pada
hakekatnya mengandung segi politis yang mendalam.
Suma-huciang
adalah seorang pembesar yang sangat setia kepada Kaisar, dan yang di daerah ini
merupakan satu-satunya orang yang disegani oleh para pembesar yang korup dan
yang hendak memberontak, karena mereka tahu bahwa Suma-huciang akan menjadi
penghalang besar dan akan membela negara dengan nyawa. Dan para pemberontak itu
pun tahu bahwa selain diri sendiri lihai. Suma-huciang mendapat dukungan banyak
orang pandai di dunia kang-ouw, karena itu sejauh ini para pemberontak belum
berani turun tangan mengganggu Suma-huciang.
Ada pun Lie
Kiang Tek adalah putera Gubernur Shansi, gubernur di samping gubernur Propinsi
Honan, merupakan orang terkemuka dan tokoh besar yang anti Kaisar! Tidak
mengherankan kalau di dalam hati mereka terkandung rasa permusuhan besar,
sungguh pun pada lahirnya kedua pihak belum berani berterang menyatakan rasa
kebencian dan permusuhan.
Kini
mendapatkan kesempatan baik, Lie Kian Tek sengaja mengeluarkan kata-kata untuk
memancing keluarnya jago pembela Suma-huciang sehingga di samping untuk
mengenal siapa pembela pembesar setia raja ini, juga untuk mengukur sampai di
mana kelihaian mereka! Dilihat dari sini, ternyata bahwa Lie Kian Tek bukan
hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga cerdik dan licin.
Suma-huciang
bukan seorang pembesar kawakan yang sudah banyak pengalaman kalau kalau ia
tidak mengerti akan maksud hati putera Gubernur ini. Sambil senyum ia berkata,
“Terima
kasih kepada Lie-kongcu yang sudah begitu memperhatikan untuk memeriahkan
pestaku ini.”
Suma-huciang
lalu memberi isyarat kepada seorang tamu yang cepat berdiri dan menjura
kepadanya. Orang ini adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih,
tubuhnya tinggi kurus, sikapnya tenang dan matanya bersinar tajam.
Dia ini
adalah seorang piauwsu (pengawal barang) di kota Tiang-hai yang sangat terkenal
dan juga amat setia terhadap Kaisar, karena itu selalu membela Suma-huciang.
Sesudah memberi hormat kepada Suma-huciang, dia segera berjalan menghampiri
panggung dan dengan gerakan ringan melompat naik, menjura kepada Lie Kian Tek
lalu berkata,
“Hamba Chi
Liok menerima tugas dari Suma-huciang untuk memenuhi usul Lie-kongcu. Harap
saja kebodohan hamba tak akan menjadi tertawaan para Enghiong dari Shansi.”
Lie Kian Tek
tersenyum mengejek, “Aha, kiranya Chi-piauwsu yang akan menjadi wakil
Tiang-hai. Bagus, sudah lama kami ingin menyaksikan kelihaian Chi-piauwsu.
Silakan.”
Sesudah
berkata begitu, Lie Kian Tek melepaskan penghias kepala dan melompat turun,
memilih tempat duduk tidak jauh dari tempat duduk Im Giok, menoleh atau melirik
sambil tersenyum kepada gadis itu, kemudian melepaskan jubah luarnya sehingga
sekarang dia kembali memakai pakaiannya yang tadi sebelum ia bermain di atas
panggung.
Para wanita
melirik-lirik, kerling memikat menyambar-nyambar ke arahnya dan senyum simpul
menghujani pemuda itu! Kian Tek melempar senyum dan membagi kerling kepada para
wanita yang mengaguminya itu, lalu duduk dengan sikap angkuh, memandang ke arah
panggung.
Sementara
itu, musik sudah dibunyikan pula dan Chi Liok mulai bersilat tangan kosong.
Gerakannya lambat saja dan jauh kalah menarik kalau dibandingkan dengan
pertunjukan Lie Kian Tek tadi, maka di sana-sini lantas terdengar suara ejekan.
Bahkan di antara para penonton wanita ada yang terkekeh menertawakan. Akan
tetapi Im Giok melihat bahwa piauwsu itu adalah seorang ahli lweekeh yang tak
boleh dipandang ringan.
Setiap gerak
tangan mengandung tenaga lweekang yang cukup kuat, sedangkan bhesi kakinya
bukan main. Sesudah menyelesaikan babak permainan ilmu silat tangan kosong,
Chi-piauwsu segera mengeluarkan senjatanya, yakni sebatang joan-pian (ruyung
lemas) yang berwarna hitam.
Dia lalu
bersilat dengan joan-pian ini. Kembali gerakannya lembut dan perlahan, namun
joan-pian itu kadang-kadang mengeluarkan suara mengiuk, tanda bahwa gerakan
senjata itu cepat dan mengandung tenaga besar.
Setelah
selesai bersilat, Chi-piauwsu menjura kepada penonton dan berkata, ”Aku orang
she Chi sudah memperlihatkan kebodohan, harap jangan ditertawakan mengingat
bahwa aku naik ke panggung ini atas perintah Suma-taijin.” Ia lalu melompat
turun dan kembali duduk di tempatnya semula.
Lie Kian Tek
memberi isyarat dengan tangannya kepada seorang bermuka kuning yang tadi ikut
mengantar ia datang, yakni salah seorang di antara lima orang kawannya. Orang
bermuka kuning ini mengangguk sambil menyeringai, kemudian berseru keras,
“Suma-taijin,
hamba mohon diberi kesempatan mewakili Shansi!”
Sebelum
Suma-huciang menjawab, tubuhnya sudah melayang ke atas panggung dengan gerakan
indah. Ternyata orang ini datang-datang mendemonstrasikan ginkang yang lihai.
Suma-huciang
tertawa. “Boleh, boleh! Tak usah bertanya lagi, karena memang tiba giliran
pihak Shan-si,” jawabnya.
Si Muka
Kuning tersenyum lalu menjura kepada penonton, kemudian berkata, suaranya
lantang tinggi.
“Siauwte
bernama Coa Keng, menerima titah Lie-kongcu mewakili Shansi. Akan tetapi,
siauwte bukanlah seorang yang suka pamer. Ada banyak orang yang suka memamerkan
sedikit kepandaian yang tak berarti, sebaliknya banyak pula orang yang tak
perlu banyak pamer. Kalau orang berkepandaian seperti Lie-kongcu, patutlah jika
diperlihatkan kepada orang banyak, karena memang indah dan mengagumkan, sedap
dipandang. Akan tetapi ketika melihat Saudara Chi Liok tadi bersilat,
betul-betul siauwte diam-diam menggeleng kepala. Siauwte tak mau berlaku
seperti Saudara Chi Liok, mempertontonkan keburukan dan kebodohan sendiri.”
“Eh,
Coa-kauwsu, kau naik ke panggung mau bersilat atau berpidato?” terdengar Chi
Liok menegur. Orang-orang tertawa dan kali ini yang ditertawakan adalah Coa
Keng sehingga muka yang kuning itu menjadi hijau.
“Chi-piauwsu,
bermain silat seorang diri kurang menggembirakan. Untuk membuktikan bahwa kau
tadi hanya menjual keburukan dan kebodohan sendiri, silakan kau naik ke sini
dan mengawani aku bermain-main sebentar. Tentu akan lebih menggembirakan
suasana, bukan? Ataukah, kau... takut?”
Inilah
tantangan hebat. Chi Liok mendongkol sekali, akan tetapi piauwsu ini tidak
berani sembarangan bergerak. Sikap Si Muka Kuning itu dia anggap kurang ajar
sekali, akan tetapi ia tidak berani bersikap seperti itu di depan Suma-huciang.
Maka ia memandang ke arah pembesar ini.
Bukan saja
Chi Liok tidak berani bersikap kurang ajar, juga ia tahu siapa adanya Lie Kian
Tek dan kawan-kawannya. Ribut dengan mereka hanya berarti memancing kekacauan
besar, dan memancing timbulnya pertentangan besar antara mereka yang anti Kaisar
dan pihaknya yang pro Kaisar yang memang sudah lama sekali diam-diam saling
membenci.
Semenjak
tadi sebelum keadaan meruncing, Suma-huciang telah bertukar pikiran dengan
Tiauw Ki, bahkan sudah menerima pesanan Kaisar dan para pembesar tinggi di
istana. Di antara beberapa nasehat yang dibawa oleh Tiauw Ki, juga pemuda ini
menyampaikan kehendak kaum berkuasa di istana bahwa Suma-huciang diberi tugas
untuk memancing sampai di mana tingkat pemberontakan Gubernur Shansi dan Honan
terhadap Kaisar dan sampai di mana pula kekuatan mereka.
Kini dia
menghadapi tantangan, tantangan untuk timbulnya keributan hebat, yang dia tahu
sengaja dicetuskan oleh Lie Kian Tek. Agaknya memang pemuda putera gubernur itu
datang hanya berdalih memberi selamat, akan tetapi sebetulnya sudah mendapat
tugas dari ayahnya.
Inilah
kesempatan baik, pikir Suma-huciang. Kesempatan untuk menguji serta melihat
‘isi hati’ musuh-musuhnya tanpa menimbulkan kesan bahwa keributan itu terjadi
dikarenakan perasaan pribadi. Maka ia lalu mengangguk kepada Chi Liok.
Setelah
melihat isyarat dari Suma-huciang bahwa dia boleh melayani Coa Keng, piauwsu
itu menjadi gembira sekali. Tidak seperti tadi ketika mendemonstrasikan
kepandaian di atas panggung ia bermain lambat-lambatan, kini sekali melompat
dia sudah melayang ke atas panggung menghadapi Coa Keng!
Ia menjura,
dibalas oleh Coa Keng. Dua jago berhadapan dan saling mengukur ‘isi’ lawan
dengan pandangan mata. Penonton memandang tegang.
“Saudara Coa
Keng, betulkah kau mengundang aku naik ke panggung untuk melayanimu bermain
silat?” tanya Chi Liok, suaranya masih tenang.
Coa Keng
tersenyum mengejek. “Kenapa tidak betul? Untuk meramaikan suasana pesta dan
sebagai penghormatan kepada Suma-taijin, sudah sepatutnya bila kita
bermain-main sebentar. Asal saja kau tidak takut, karena dalam permainan silat
bersama kita berdua pasti maklum bahwa kemungkinan terluka besar sekali, bahwa
ada kemungkinan terpukul tewas.”
“Ini sebuah
tantangan!” Chi Liok menegur gemas.
“Kau takut?”
Coa Keng menggerakkan alis, menghina.
“Orang sombong,
kau sajakah yang memiliki keberanian? Baik, kuterima tantanganmu. Di sini
banyak sekali yang melihat alangkah kurang ajarnya sikapmu, dan bahkan aku
hanya membela diri, membela kepentingan nama taijin, nama daerah dan namaku
sendiri. Kau mulailah!”
Coa Keng
mengeluarkan suara nyaring dan mendadak dengan suara licik, sambil masih
tertawa, ia langsung mengirim pukulan kilat ke arah lambung Chi Liok!
“Bukkk!”
Tubuh Chi
Liok terpental dan hampir saja piauwsu ini roboh apa bila ia tidak lekas-lekas
berpoksai dan berdiri lagi. Mukanya agak berubah, tapi pukulan tadi tidak
mendatangkan luka dalam yang hebat karena ia masih keburu mengerahkan lweekang
ke arah bagian yang akan terpukul.
“Kau
curang!” bentaknya.
“Bukankah
kau menyuruh aku mulai? Baru sekali pukul saja hampir roboh. Ha-ha-ha!”
“Rasakan
ini!” Chi Liok menyerang tiba-tiba sebelum lawannya berhenti tertawa.
Pukulannya
hampir saja mengenai leher di bagian yang berbahaya kalau saja Coa Keng tidak
lekas-lekas miringkan tubuh sehingga yang terpukul hanya pundaknya. Namun ini
cukup membuat Coa Keng terhuyung ke samping sebanyak tiga tindak sambil
meringis karena pundaknya terasa sakit sekali.
“Kurang ajar
kau!” bentaknya.
Dan di lain
saat dua orang ini sudah saling gebuk, saling tendang dan bertanding secara
kasar sekali.
Sebetulnya
ilmu silat mereka juga tidak terlalu rendah akan tetapi oleh karena watak Coa
Keng amat kasar, cara berkelahinya juga kasar sehingga mereka lebih sering
memukul tanpa membahayakan lawan dari pada mengirim serangan yang betul-betul
berbahaya bagi keselamatan lawan.
Pertempuran
itu berjalan seru. Bagi orang-orang yang tidak tahu ilmu silat atau yang ilmu
kepandaiannya masih rendah, memang pertandingan itu terlihat ramai dan
menegangkan sekali. Akan tetapi bagi orang-orang yang kepandaiannya tinggi,
makin lama pertempuran itu nampak makin menjemukan. Akhirnya terdengar suara
teriakan sakit dan tubuh Coa Keng terlempar terkena tendangan Chi Liok dan
menggelundung keluar dari panggung!
Orang-orang
wanita yang tadinya masih menonton dengan muka khawatir mengeluarkan jeritan
dan cepat-cepat mereka berbondong pergi meninggalkan panggung untuk duduk di
tempat semula, menjauhi panggung. Hanya ada empat orang wanita termasuk Im Giok
yang tidak beranjak pergi dan karena ini Im Giok dapat menduga bahwa tiga orang
wanita di dekatnya itu tentulah orang-orang yang mengerti ilmu silat.
Dia melirik
dan melihat bahwa tiga orang ini adalah seorang wanita tua yang memegang
tongkat dan rambutnya diikat kain putih, sedangkan dua orang lainnya adalah
gadis-gadis yang berpakaian sederhana akan tetapi cukup manis. Sikap mereka
memang tak seperti orang-orang sembarangan dan Im Giok ingin sekali tahu siapa
gerangan mereka bertiga ini.
Sementara
itu, di atas panggung terjadi hal lain yang menggemparkan. Begitu tubuh Coa
Keng terguling meninggalkan tempat itu, lantas berkelebat bayangan orang dan
tahu-tahu di hadapan Chi-piauwsu sudah berdiri seorang kakek. Kakek ini satu kali
menggerakkan tangan ke depan, Chi Liok langsung memekik dan terlempar keluar
panggung!
“Orang-orang
macam ini berani betul menjual lagak di atas panggung, benar-benar tidak
menghormat kepada Suma-taijin, harap disuruh keluar tokoh Tiang-hai yang betul-betul
memiliki kepandaian untuk bermain-main dengan aku. Barangkali Taijin sudah lupa
lagi, aku adalah Ceng-jiu Tok-ong dari barat dan kini mewakili Shansi.”
Im Glok
terkejut bukan main. Tadi ia tidak melihat kakek ini dan tiba-tiba kakek itu
naik ke panggung, tentu untuk mengacau. Teringat olehnya bahwa Giam-ong-to Kam
Kin, murid kakek ini pun sudah menjadi seorang komandan pasukan, tentu pasukan
dari Gubernur Shansi! Kalau demikian, tentu Ceng-jiu Tok-ong menjadi kaki
tangan Lie Kian Tek.
Mengingat
sampai di sini, Im Giok lalu menengok ke arah Kian Tek. Akan tetapi ia tidak
melihat pemuda itu dan kursinya kosong. Otomatis Im Giok teringat akan
bungkusan yang disumbangkan oleh Tiauw Ki kepada Suma-huciang, maka dia
menengok ke arah meja tempat menaruh barang-barang sumbangan.
Pada lain
saat, tubuh Im Giok sudah lenyap, yang tampak hanya bayangan merah yang amat
cepat. Gadis ini tadi melihat Lie Kian Tek berada di dekat meja dan tengah
menegur seorang laki-laki yang dengan gerakan cepat sekali mengulur kedua
tangan mengambil barang-barang berharga yang kecil-kecil dari atas meja!
Kedatangan
Im Giok tak terlihat oleh mereka dan tahu-tahu orang laki-laki yang bertubuh
kecil pendek itu berseru kaget ketika pundaknya ditotok orang. Akan tetapi dia
ternyata lihai bukan main karena dia masih sempat mengelak dan walau pun
totokan itu masih mengenai pundaknya, akan tetapi tidak berakibat apa-apa.
Im Giok yang
tadi menotok merasa kaget dan sama sekali tak mengira orang itu demikian lihai,
maka ia menyerang terus sambil membentak,
“Bangsat
kecil, kau hendak mencuri apa?”
Dua kali lm
Giok menyerang dan dua kali gagal karena Si Kate Kecil itu dengan amat
lincahnya dapat mengelak dan hendak melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba Lie
Kian Tek menendangnya sambil berseru,
“Kau hendak
lari ke mana?”
Kembali
secara mengagumkan sekali Si Kate itu mengelak dan mencoba untuk lari terus.
Dua kali lagi Im Giok berusaha menangkapnya, sedangkan Lie Kian Tek sudah tiga
kali mencoba untuk merobohkannya dengan serangan maut, namun semua dapat
dielakkan oleh Si Kate itu.
“Copet, kau
bikin gara-gara saja, tidak tahu kalau sedang kucari-cari!” tiba-tiba terdengar
teguran orang.
Mendengar
suara ini Si Kate lalu melesat dan tahu-tahu ia telah berada di belakang orang
ini dan mencari perlindungan di belakang tubuhnya! Pada saat Im Giok dan Lie
Kian Tek menengok, ternyata orang yang datang ini adalah Suma-huciang!
“Lie-kongcu,
apakah kesalahan dia maka kau serang dia?” tanya Suma-huciang kepada Lie Kian
Tek.
“Aku melihat
dia menggeratak di meja dan hendak mencuri barang-barang sumbangan,” kata
putera gubernur itu.
Suma-huciang
menengok kepada Im Giok, “Dan kau, Nona, mengapa pula kau hendak menangkapnya?”
“Aku melihat
dia mengambil barang-barang dari atas meja, Taijin,” jawab In Giok sambil
mengerling ke arah Tiauw Ki yang juga menengok dan memandang ke arah mereka
dari tempat duduknya di belakang panggung.
Suma-huciang
tertawa. “Harap kalian memaafkan dia ini. Dia dijuluki Sin-touw-ong (Raja Copet
Sakti) dan di Tiang-hai sudah terkenal. Dia nakal akan tetapi tak pernah
membawa pergi barang orang lain. Copet, kau mengambil apa saja? Hayo lekas
keluarkan!”
Sin-touw-ong
yang kate sekali tubuhnya itu tersenyum-senyum gembira seperti seorang pelawak,
kemudian dia mengeluarkan banyak sekali benda dari sakunya yang ternyata banyak
pula.
Benda-benda
itu lalu dikeluarkan satu demi satu seperti tukang sulap dan Im Giok sendiri
sampai terheran-heran karena sukar dipercaya bagaimana seorang kate seperti itu
dapat menyimpan benda sebanyak itu tanpa kelihatan dari luar. Juga, yang
membikin ia cemas, di antara benda-benda itu tidak terdapat bungkusan sumbangan
Tiauw Ki yang ternyata telah lenyap dari atas meja!
“Segera
kembalikan barang-barang itu, dan mari kau wakili Tiang-hai di atas panggung,
Touw-ong,” kata Suma-huciang yang tidak pedulikan semua itu dan tidak
memperhatikan barang apa yang mungkin hilang.
Sin-touw-ong
cepat mengembalikan barang-barang itu di atas meja, kemudian ia berjalan menuju
ke panggung bersama Suma-huciang. Im Giok memandang kepada Lie Kian Tek dengan
penuh curiga, akan tetapi mukanya menjadi merah ketika dia melihat pemuda itu
tengah memandangnya sambil tersenyum penuh arti!
“Nona, kau
betul-betul gagah. Kau benar-benar mengagumkan dan dibandingkan dengan engkau,
semua wanita yang berada di sini, juga yang berada di mana saja, semua tiada
artinya! Nona, pertemuan ini benar-benar dapat dinamakan jodoh. Kau dan aku
berjodoh, maukah kau ikut aku keluar dari tempat ini dan kita bercakap-cakap di
tempat yang lebih sunyi dan dingin? Hubungan kita perlu dipererat dan...”
“Jahanam,
tutup mulutmu!” Im Giok memaki marah.
Gadis ini
lalu pergi ke tempat duduknya. Mukanya terasa panas sekali dan kedua pipinya
merah sekali. Dia mendongkol bukan main. Kalau tidak ingat bahwa dia berada di
tempat orang lain dan kalau saja ia tidak ingat akan tugasnya mengawal Tiauw Ki
dan melakukan perintah Susiok-couw-nya, tentu dia tadi sudah memukul putera
gubernur yang bermulut lancang itu.
Sementara
itu, di atas panggung Ceng-jiu Tok-ong sekarang sudah berhadapan dengan
Sin-touw-ong. Ceng-jiu Tok-ong tertawa bergelak dan berkata lantang, “Ha-ha-ha,
Suma-taijin bagaimanakah ini? Benar-benarkah Taijin mengajukan dia ini ke atas
panggung?”
Ketika ia
melihat pembesar itu mengangguk sambil tersenyum, Ceng-jiu Tok-ong menjadi
marah. Dia merasa terhina sekali karena harus menghadapi seorang demikian tak
berarti. Ditatapnya wajah Sin-touw-ong seperti seekor harimau menatap tikus.
“Kau ini
manusia tiada guna, benar-benarkah kau sudah bosan hidup? Kau manusia tidak
ternama, tahukah kau dengan siapa kau berhadapan?”
Raja copet
yang kate itu cengar-cengir laksana seorang badut. Ia memiliki bentuk muka yang
lucu. Tubuhnya pendek kecil, matanya lebar dan hidungnya dapat bergerak-gerak.
Apa lagi berhadapan dengan Ceng-jiu Tok-ong, benar-benar bagaikan seorang
raksasa yang berhadapan dengan seorang katai.
“Aku memang
tidak terkenal, akan tetapi kau... kau ini siapakah?” tanyanya memicingkan
mata.
“Setan
pendek, dengar baik-baik. Aku adalah Ceng-jiu Tok-ong!”
Si Kate
menggerakkan kedua pundaknya. “Aku tidak ternama, kau pun tidak terkenal,” dia
berkata acuh tak acuh.
“Bangsat,
aku adalah tokoh besar dari barat. Di dalam dunia kang-ouw, siapakah yang tidak
mengenal namaku?” Ceng-jiu Tok-ong membentak.
“Setan
besar, kau tak mengenal namaku, aku pun tak mengenal namamu, siapa di antara
kita yang paling tidak terkenal? Kau berjulukan Ceng-jiu Tok-ong (Raja Racun
Bertangan Seribu), dan aku berjuluk Sin-touw-ong (Raja Copet Sakti), sungguh
kalau dibilang kita ini tidak terkenal, akan tetapi sebetulnya kau dan aku
adalah raja-raja besar!”
Meledak
suara ketawa para hadirin di situ mendengar kata-kata ini.
“Lo-enghiong,
mengapa tidak lekas-lekas ratakan setan pendek itu dengan tanah? Injak saja
kepalanya, habis perkara!” seorang kawan dari Lie Kian Tek berseru tak sabar
lagi melihat jagonya dipermainkan oleh raja copet itu.
“Ya, ya,
injaklah! Injaklah!” Sin-touw-ong mengejek.
Dia lantas
memasang kuda-kuda rendah sekali di depan Ceng-jiu Tok-ong, seakan-akan
mempersiapkan diri untuk diinjak. Kembali terdengar suara orang tertawa riuh,
sungguh pun mereka yang telah mengenal kelihaian Ceng-jiu Tok-ong, juga merasa
khawatir akan keselamatan Si Kate itu.
“Bangsat
tukang copet, bersiaplah kau untuk mampus!” Ceng-jiu Tok-ong yang tak dapat
menahan sabarnya lagi sudah maju menyerang.
Serangannya
keras dan cepat sekali sehingga Sin-touw-ong terkejut setengah mati. Raja copet
ini bukan orang biasa. Ia adalah seorang kang-ouw yang telah berpengalaman dan
sebagai seorang maling dan copet, dia memiliki kepandaian istimewa, yakni
kepandaian menjaga diri. Ia licin bagaikan belut dan gerakannya lincah,
ditambah pula dengan bentuk tubuhnya yang pendek kecil, sukarlah bagi lawan
untuk menyerangnya.
Tentu saja
ia sudah pernah mendengar nama besar Ceng-jiu Tok-ong, akan tetapi ia tak
mengira bahwa serangan lawannya akan sehebat itu. Cepat raja copet itu
mengelak.
Akan tetapi
Ceng-jiu Tok-ong adalah seorang tokoh besar dunia persilatan yang sudah lebih
berpengalaman, maklum pula apakah yang diandalkan oleh lawannya. Maka ia tidak
mau memberi kesempatan dan terus menyerang dengan cepat dan bertubi-tubi.
Setiap serangannya merupakan pukulan atau tendangan maut. Jangankan baru
seorang seperti Sin-touw-ong, biar pun lebih tinggi kepandaiannya tak akan kuat
menerima pukulan ini.
Im Giok
memandang semuanya ini dengan hati berdebar. Gadis ini pernah bertemu dan
bertempur dengan Ceng-jiu Tok-ong, maka dia tahu sampai di mana kelihaian kakek
ini. Dan menurut pandangannya, walau pun Si Raja Copet memiliki kegesitan luar
biasa dan ilmu silat yang berdasarkan pertahanan dan penjagaan diri, akan
tetapi bila dibandingkan dengan Ceng-jiu Tok-ong, dia masih jauh sekali.
Ia dapat
menduga bahwa Si Kate itu biar pun seorang pencopet, tentulah termasuk orang
atau pembela Suma-huciang, jadi masih segolongan dengan pemuda pelajar Tiauw
Ki. Lagi pula dia ingin sekali menyelidiki siapakah yang mengambil bungkusan
Tiauw Ki yang disumbangkan kepada Suma-huciang karena tadi sudah lenyap dari
atas meja. Si Kate itulah yang mengambilnya dan belum mengembalikannya? Ataukah
Lie Kian Tek?
Melihat
Sin-touw-ong sudah terdesak hebat, Im Giok lalu berlari mendekati panggung dan
melompat ke atas panggung. Sekali ia mengulur tangan, ia telah dapat memegang
leher baju Sin-touw-ong dan membawanya lompat ke dekat tempat Suma-huciang.
Gerakan ini cepat sekali.
Ceng-jiu
Tok-ong yang mengenal gadis itu seketika menjadi berubah air mukanya. Kakek ini
merasa sangsi. Kepada gadis itu biar pun ia tahu amat lihai, ia masih belum
jeri. Akan tetapi kalau ia teringat akan Bu Pun Su yang pernah menolong gadis
itu, bulu tengkuknya langsung berdiri!
Semua orang
menjadi gempar pada waktu melihat seorang gadis baju merah yang cantik, secara
aneh telah menahan Si Raja Copet dan membawanya ke dekat Suma-huciang. Akan
tetapi Im Giok tidak mempedulikan semua itu dan kepada Suma-huciang ia berkata,
“Taijin,
tadi kulihat barang sumbangan dari Gan-twako telah lenyap, mungkin sekali
dicuri oleh tukang copet itu!”
Tiauw Ki dan
Suma-huciang saling bertukar pandang, kemudian pembesar itu tersenyum kepada Im
Giok.
“Terima
kasih, Nona. Jika Nona tidak maju, kiranya nyawa pencopet ini sudah melayang.
Touw-ong, lekas kau haturkan terima kasih kepada penolongmu!”
Sin-touw-ong
cengar-cengir, kemudian ia menjura berkali-kali di hadapan Im Glok sambil
berkata,
“Nona yang
cantik dan gagah perkasa, mataku sungguh buta tidak dapat melihat Bukit
Thai-san! Akan tetapi aku tidak kalah terhadap setan beracun itu.”
“Kau tidak
kalah? Jangan main-main!” Suma-huciang berkata menegur orangnya.
Si Tukang
Copet mengeluarkan sebuah benda dari sakunya yang aneh dan segera Im Giok
terkejut. Ternyata bahwa pencopet ini sudah berhasil mencopet golok pusaka
milik lawannya, yakni, Cheng-tok-ong (Golok Racun Hijau).
“Inilah
buktinya bahwa tadi aku tidak kalah dan ini pula, Nona. Kiranya ini obat
penolak racun!” Kembali dirogohnya saku bajunya dan. keluarlah obat bubuk dalam
botol tanah.
Im Giok
merasa kagum bukan main. Biar pun ilmu silatnya belum begitu tinggi akan tetapi
dalam hal ilmu mencopet, kiranya orang kate ini memang patut disebut Raja Copet
Sakti!
Sementara
itu, di atas panggung terdengar Ceng-jiu Tok-ong berteriak-teriak, “Ha-ha-ha,
begitu sajakah jagoan dari Tianghai? Segala tukang copet dan tukang maling!
Ha-ha-ha. Hayo, mana lagi jago Tiang-hai? Suma-taijin, apakah pertunjukan silat
disudahi sampai di sini saja dengan pengakuan kalah dari pihakmu? Kalau begitu,
biarlah kini kita menikmati pertunjukan tari-tarian dari kota raja. Ha-ha-ha!”
“Hemm,
manusia itu menghina sekali,” kata Sin-touw-ong.
“Biarlah,
lebih baik kita sudahi keributan ini,” usul Tiauw Ki.
Suma-huciang
menghela napas. “Kalau saja aku bukannya tuan rumah dan tidak pantas sekali apa
bila aku sendiri yang naik ke panggung, aku ingin sekali belajar kenal dengan
kepandaian manusia sombong kaki tangan Gubernur Lie itu!”
Sambil
berkata demikian, pembesar itu memandang kepada Im Giok. Gadis ini dapat
menangkap arti pandang mata Suma-huciang. Kiranya pembesar ini bermata amat
tajam. Sekali saja melihat bagaimana gadis itu menangkap Sin-touw-ong, ia
maklum bahwa Im Giok memiliki kepandaian tinggi dan pasti dapat melawan
Ceng-jiu Tok-ong. Akan tetapi karena baru saja dia kenal dengan gadis ini, apa
lagi baru saja gadis ini telah bebaskan Sin-touw-ong dari ancaman bahaya maut
di tangan lawannya, maka ia tidak berani minta kepada Im Giok untuk mewakilinya
di atas panggung.
“Taijin,
kalau memang Taijin menghendaki supaya aku mencuci nama Taijin yang dikotori
oleh manusia itu, akan kulakukan sekarang juga.”
“Ahh, aku
akan membikin repot saja, juga tidak enak terhadap Gan-siucai, karena kau
dibawa olehnya,” kata pembesar itu.
“Tidak apa,
Taijin. Justru karena Gan-twako mempunyai hubungan baik dengan Taijin, maka
orang menghina Taijin seperti menghina Gan-twako dan berarti pula menghina aku
sendiri,” kata Im Giok.
Ia kemudian
cepat menghampiri panggung sambil membawa golok rampasan. Lebih dulu dengan
sangat cepat gadis ini mengoleskan sedikit bubuk rampasan itu di bawah hidung
sehingga ia lantas mencium aroma yang wangi sekali.
Dengan gerakan
ringan Im Giok melompat ke atas panggung, disambut tepuk sorak para penonton.
Dari atas panggung Im Giok dapat melihat muka Lie Kian Tek berubah pucat. Im
Giok tidak pedulikan itu semua dan langsung dia menghadapi Ceng-jiu Tok-ong
yang masih ragu-ragu karena mengira gadis ini datang dikawal oleh Bu Pun Su!
“Apa kau
datang hendak melanjutkan pertandingan dahulu itu? Asal saja kau berani maju
sendiri, jangan bawa-bawa orang tua!” katanya perlahan, hanya terdengar oleh Im
Giok.
Gadis itu
tersenyum, lalu berkata keras kepada orang banyak, “Si Sombong ini mengira
bahwa dia telah menang dalam pertempuran melawan Sin-touw-ong. Padahal, kalau
aku tidak datang dan membawa pergi Sin-touw-ong, kiranya Raja Copet itu kini
telah berhasil mencopet isi perutnya tanpa ia mengetahui!”
“Bohong!
Omongan apa ini? Dialah yang hampir saja mampus!” bantah Ceng-jiu Tok-ong
marah.
Kiang Im
Giok tersenyum manis. Dia lalu memperlihatkan golok yang dibawanya dengan
mengacungkan senjata itu ke atas agar kelihatan oleh semua orang yang hadir.
“Tok-ong,
kau lihat baik-baik, golok siapakah ini? Dan bungkusan obat penawar racun ini,
punya siapa pula?”
Ceng-jiu
Tok-ong kaget bukan main dan meraba pinggangnya, ternyata golok di pinggang dan
bungkusan obat di dalam saku telah lenyap!
“Bagaimana
bisa berada di tanganmu?” tanyanya heran dan mukanya berubah merah.
“Siapa lagi
kalau bukan Sin-touw-ong yang mengambilnya? Nah, kalau dia menghendaki, apakah
dia tidak sanggup mengambil nyawamu dari pada mengambil dua benda ini dari
tubuhmu? Benar-benar kau tak tahu diri. Apakah masih saja kau tidak mau terima
kalah?” Dalam kata-kata ini Im Giok mengancam, lalu ia melemparkan golok dan
bungkusan obat itu ke atas lantai panggung.
Ceng-jiu
Tok-ong ragu-ragu. Dia masih jeri menghadapi Im Giok yang ilmu pedangnya amat
lihai, juga ia takut setengah mati kalau memikirkan apakah Bu Pun Su tidak
sedang bersembunyi di tempat itu dan akan muncul kalau sampai dia mendesak Im
Giok. Kini, secara aneh sekali Si Kate itu telah berhasil mencopet golok
beserta bungkusan obatnya. Benarkah Si Copet itu yang melakukan hal aneh ini?
Dia tadi
sudah mendesak hebat, apa mungkin Si Kate itu sempat mencuri senjatanya? Siapa
tahu kalau-kalau ini pun perbuatan Bu Pun Su, kiranya tidak ada hal tak
mungkin! Mengingat sampai di sini, Ceng-jiu Tok-ong bergidik dan dia pikir
lebih baik cepat mundur sebelum celaka. Sekarang ada kesempatan baik baginya
untuk mundur tanpa mendapat malu.
Ia lalu
membungkuk, mengambil senjata dan obatnya, lalu berkata sambil menjura, bukan
kepada Im Giok melainkan kepada Sin-touw-ong.
“Kepandaian
Sin-touw-ong lihai sekali, sungguh membuat orang kagum!” Setelah berkata
begitu, Ceng-jiu Tok-ong lalu melompat turun dari panggung.
Im Giok
tersenyum puas. Memang dia tidak menghendaki kalau pesta ulang tahun dari
Suma-huciang itu berubah menjadi gelanggang pertempuran yang akan mengorbankan
nyawa. Baiknya ia dapat mengusir mundur Ceng-jiu Tok-ong hanya dengan kata-kata
dan gertakan belaka, tanpa menurunkan tangan keras, karena ia maklum bahwa bila
sampai terjadi pertempuran, walau pun ia tak akan kalah, akan tetapi juga bukan
hal yang mudah untuk mengalahkan Ceng-jiu Tok-ong!
Gadis ini
melompat turun dari panggung dan menghampiri Suma-huciang dan Gan Tiauw Ki.
Pembesar itu menyambutnya dengan muka berseri.
“Baiknya ada
Lihiap yang mencuci bersih nama kota Tiang-hai yang hendak dihina oleh orang
lain,” katanya, kemudian pembesar ini berkata dengan suara lantang,
“Terima
kasih kepada semua enghiong yang sudah menyumbangkan tenaga untuk turut
meramaikan pesta ini. Sekarang tibalah gilirannya para penari yang akan
memperlihatkan keindahan tarian mereka!”
Terdengar
musik dibunyikan orang dan tak lama kemudian, tujuh orang gadis penari yang
cantik jelita muncul di atas panggung, menari-nari dengan gerakan tubuh yang
indah dan gemulai, membuat darah orang-orang muda yang hadir di sana tersirap
ke muka serta denyut jantung menjadi cepat sekali. Perhatian semua tamu tercurah
kepada para penari dari kota raja ini. Hal ini membuat Im Giok leluasa bicara
dengan Tiauw Ki.
“Tidak apa,
Giok-moi,” kata pemuda itu setelah mendengar akan kekhawatiran gadis itu
tentang hilangnya bungkusan barang sumbangan.
“Bungkusan
itu kosong tidak berisi suatu apa pun yang berharga. Surat dari Kaisar yang
sesungguhnya tidak berada di situ, akan tetapi kuserahkan kepada Suma-huciang
ketika kami bercakap-cakap tadi.”
Im Giok
menjadi lega dan dia memandang dengan wajah berseri. Ia kagum sekali akan
kecerdikan pemuda ini. Dengan demikian, surat rahasia itu tidak terampas oleh
orang lain dan ini berarti tugas Im Giok mengawal pemuda serta suratnya
berhasil baik. Kini surat sudah berada di tangan Suma-huciang, orang yang
berhak, maka sudah tidak ada tugas apa-apa lagi di tempat itu.
“Kalau
begitu, tugas kita sudah selesai. Kapan kita meninggalkan tempat ini?”
tanyanya.
“Sebetulnya
aku sendiri pun tidak suka tinggal terlalu lama di sini,” jawab Tiauw Ki sambil
melempar kerling ke arah Lie Kian Tek seakan-akan hendak menyatakan bahwa
ketidak senangan itu disebabkan oleh kehadiran putera gubernur itu. “Akan
tetapi, Suma-taijin minta kepadaku untuk bermalam di sini malam ini dan besok
hari baru kita meninggalkan tempat ini. Kuharap kau tidak keberatan, Adik Im
Giok.”
“Keberatan
sih tidak, asal saja malam ini tidak akan terjadi sesuatu atas dirimu,” kata Im
Giok mengerutkan kening.
“Giok-moi
yang baik, dengan adanya kau di sini, aku takut apakah?” Kata-kata ini disertai
senyum dan pandang mata penuh arti, yang hanya dapat dimengerti oleh Im Giok.
Tiba-tiba
gadis ini merasa jengah, mukanya kemerahan dan untuk sesaat ia tidak berani
memandang langsung kepada Tiauw Ki.
“Aku hanya
memenuhi perintah Susiok-couw...,” katanya kemudian perlahan.
Karena takut
kalau-kalau keadaan mereka diperhatikan oleh orang lain, lalu mengalihkan
pandang mata ke atas panggung di mana para penari sedang menunjukkan kepandaian
mereka dengan indahnya.
Demikianlah,
pesta berjalan terus dengan sangat lancar dan kejadian sebelum tari-tarian
diadakan agaknya telah dilupakan orang. Bahkan dari pihak Lie Kian Tek sendiri
agaknya tidak ada aksi-aksi selanjutnya.
Sesudah
tari-tarian berhenti dan diganti dengan biduan-biduan istana yang menyanyikan
lagu-lagu merdu, berangsur-angsur para tamu mengundurkan diri, berpamit kepada
tuan rumah sambil menghaturkan terima kasih. Akhirnya Suma-huciang sendiri yang
sudah tua merasa lelah dan minta maaf kepada para tamu yang masih hadir,
mengundurkan diri untuk mengaso.
Setelah
minta maaf kepada tamu-tamu yang tersisa tak berapa banyak lagi dan menjura,
Suma-huciang lalu mengajak Gan Tiauw Ki masuk ke dalam. Kepada Im Giok ia
berkata, “Nona, kalau Nona hendak mengaso, sebuah kamar sudah tersedia.
Silakan.”
Im Giok
menjura kepada tiga orang wanita yang masih berada di situ, yakni nenek yang
duduk dengan dua orang wanita muda dan nampak bukan orang-orang sembarangan
itu. Semenjak tadi mereka diam saja, maka Im Giok juga tak mempedulikan mereka
dan tidak tahu siapakah gerangan mereka ini.
Ketika tiga
orang ini berjalan menuju ke ruangan dalam, mereka melewati tempat duduk Lie
Kian Tek dan kawan-kawannya. Pemuda putera gubernur Shansi ini nampak tengah
bercakap-cakap dengan Ceng-jiu Tok-ong. Suma-huciang berhenti dan menjura.
“Lie-kongcu,
maafkan aku tak dapat melayani lebih lama karena terlalu lelah dan hendak
mengaso. Kamar untuk Lie-kongcu beserta rombongan telah dipersiapkan di
penginapan terbesar di kota ini. Silakan Kongcu bersenang-senang menikmati
nyanyian di sini dan bila mana Kongcu ingin beristirahat, perintahkan saja
kepada pelayan untuk menyediakan kendaraan.”
Lie Kian Tek
tersenyum dan menjura, akan tetapi matanya melirik ke arah Im Giok.
“Terima
kasih, memang sebentar lagi kami pun hendak beristirahat pula. Selamat tidur,
Suma-taijin.”
Suma-huciang
yang diiringi oleh Tiauw Ki dan Im Giok melanjutkan langkahnya menuju ke ruang
dalam. Setelah tiba di ruangan yang sunyi ini, pembesar itu lalu berkata kepada
Tiauw Ki,
“Gan-siucai,
tentu kau masih ingat akan semua pesanku, bukan? Ada sedikit pesanku lagi harap
disampaikan kepada Hong-siang, yaitu bahwa bahaya yang datang dari Shansi tidak
begitu besar apa bila dibandingkan dengan bahaya yang mengancam dari Honan.
Karena itu, terhadap Honan (Propinsi Honan) hendaknya ditaruh perhatian
sepenuhnya dan jangan diabaikan.”
Tiauw Ki
mengerutkan keningnya dan matanya memandang heran. Namun sebelum dia
mengeluarkan pertanyaan, ia telah didahului oleh pembesar itu.
“Aku tahu
mengapa engkau merasa heran, Gan-siucai. Memang nampaknya keadaan di Honan
tenang-tenang saja, akan tetapi percaya sajalah, di dalamnya terdapat pengaruh
yang kelak akan membahayakan kedudukan Kaisar. Aku tak dapat bicara panjang
lebar lagi, harap kau mengaso dan besok segera menyampaikan pesanku. Hong-siang
akan mengerti apa yang kau maksudkan.”
Terpaksa
Tiauw Ki tidak membantah. Ia menjura dan berkata, “Baiklah, Taijin, akan saya
perhatikan dan sampaikan semua pesan Taijin. Besok pagi-pagi saya serta
Kiang-lihiap akan berangkat. Kalau tidak sampai berpamit, harap Taijin sudi
memaafkan.”
Suma-huciang
menoleh kepada Im Giok, tersenyum berkata, “Kau amat mengagumkan, Kiang-lihiap.
Aku harus berterima kasih kepadamu. Benar-benar kau patut menjadi cucu murid Bu
Pun Su, seorang sakti yang semenjak dulu aku kagumi. Tolong kau sampaikan
hormatku kepada pendekar sakti itu kalau kau bertemu dengan dia.”
Im Giok
menjadi jengah mendengar pujian ini dan dia cepat memberi hormat. Kemudian
pembesar itu memasuki kamarnya, sementara kedua orang muda itu pun pergi ke kamar
masing-masing yang sudah disediakan, sesudah mereka berjanji akan berangkat
besok pagi-pagi pada waktu ayam jantan berkokok.
Malam hari
itu Im Giok tak dapat tidur. Dia gelisah di dalam kamarnya. Ada kekhawatiran
kalau-kalau akan terjadi sesuatu pada malam hari itu, sesuatu yang akan menimpa
diri Suma-huciang atau Gan Tiauw Ki.
Ancaman
terhadap diri Suma-huciang masih belum menggelisahkan hatinya. Akan tetapi
kalau dia teringat bahwa tugas yang dibawa oleh Tiauw Ki bukanlah tugas ringan
dan keselamatan anak muda itu selalu terancam, Im Giok menjadi gelisah.
Bagaimana kalau ada bahaya mengancam diri pemuda itu?
Malam itu ia
selalu memikirkan Tiauw Ki. Tiap saat hanya pemuda inilah yang memenuhi
pikirannya. Tanpa disengaja bayangan Tiauw Ki selalu tampak di depan matanya,
gema suara pemuda itu selalu berdengung di telinganya!
“Aku harus
melindunginya, biar pun aku harus bertaruh nyawa!” pikir gadis yang sedang
tergoda asmara ini.
Keputusan
ini membuat Im Giok tidak berani merebahkan diri. Ia lalu duduk bersila di atas
pembaringan dan beristirahat dengan cara bersemedhi. Menjelang subuh dia
mendengar suara berkeresekan di atas genteng. Ia cepat membuka mata dan
mendengarkan dengan penuh perhatian. Akan tetapi karena selanjutnya tidak ada
suara apa-apa.
Dia pun
tidak mau lancang mengejar keluar, takut kalau-kalau hanya akan menimbulkan
keributan belaka. Sayang sekali gadis ini tidak keluar, kalau ia melakukan hal
ini, mungkin ia akan mencegah terjadinya hal yang mengerikan!
Tak lama
kemudian, terdengar ayam jantan berkokok, saling sahut ramai sekali. Im Giok
melompat turun dari pembaringan, menggantungkan pedang di pinggang, mengikatkan
buntalan pakaian di punggung dan siap untuk berangkat. Karena ia tidak tidur,
maka ia dapat bersiap-siap dengan cepat, bahkan tanpa menyisir rambutnya yang
digelung indah, cukup memperkuat tali dan tusuk rambutnya saja.
Dia mendengar
langkah kaki di luar pintunya. Cepat daun pintu kamarnya dia buka dan ternyata
Tiauw Ki sudah berdiri di situ, juga sudah siap untuk berangkat.
Dua orang
pelayan menghampiri mereka dan menjura sambil berkata, “Selamat pagi, Siauw-ya
dan Siocia! Apakah berangkat sekarang?”
“Benar,
Lopek. Tolong suruh tukang kuda mengeluarkan kuda kami dan menyediakan di
depan.”
“Baik,
Siauw-ya,” jawab pelayan-pelayan itu dengan girang sambil menerima dua potong
uang perak sebagai hadiah dari Tiauw Ki.
Dua orang
muda ini lalu berjalan menuju ke luar dari gedung yang besar dan panjang ini.
“Enak
tidurkah kau malam tadi, Giok-moi?” tanya Tiauw Ki kepada Im Giok.
“Enak juga.
Dan kau?”
“Aku gelisah
saja, entah mengapa. Agaknya karena hawa terlalu panas,” jawab Tiauw Ki.
Im Giok
teringat akan bunyi di atas genteng. Kamar pemuda ini letaknya tidak jauh dari
kamar Suma-huciang, maka dia lalu bertanya, “Twako, apakah kau tidak ada
mendengar suara apa-apa malam tadi? Kalau kau tidak dapat tidur, tentunya kalau
ada apa-apa kau mendengarnya.”
Tiauw Ki
menggeleng kepala. “Tadinya aku pun takut kalau-kalau terjadi sesuatu, akan
tetapi sukurlah, sampai aku tertidur, aku tidak mendengar apa-apa.”
Diam-diam Im
Giok merasa lega, akan tetapi ia tidak puas dan masih curiga. Pemuda ini tidak
mengerti ilmu silat, bagaimana ia dapat mendengar suara gerakan penjahat yang
tinggi ilmu silatnya? Ia malam tadi mendengar suara yang ia tahu adalah suara
kaki orang menginjak dan berjalan di atas genteng, orang yang ilmu ginkang-nya
sudah tinggi sekali. Ataukah barangkali pendengarannya salah? Karena
selanjutnya tidak ada suara apa-apa, ia tidak menyelidik lebih lanjut.
Sementara
itu, pelayan-pelayan tadi sudah membawa kuda mereka ke depan gedung. Maka
berangkatlah Tiauw Ki dan Im Giok pada pagi hari itu dalam keadaan cuaca masih
remang-remang dan segala apa nampak berwarna kelabu.
Sampai lama
mereka melarikan kuda berdampingan tanpa mengeluarkan sepatah kata. Keduanya
amat muram. Tanpa kata-kata mereka merasakan peristiwa duka yang mereka hadapi,
yakni perpisahan.
Im Giok
sudah selesai tugasnya mengawal pemuda itu menghadap Suma-huciang dan
menyampaikan pesanan Kaisar, karenanya dia harus memisahkan diri. Tidak selayaknya
seorang gadis seperti dia terus-terusan melakukan perjalanan bersama seorang
pemuda tanpa ada alasan yang kuat. Sekarang dia harus pulang ke Sian-koan,
sedangkan Tiauw Ki tentunya hendak ke kota raja. Terpaksa mereka harus
berpisah. Tak ada alasan untuk melakukan perjalanan bersama karena berbeda
tujuan.
Tanpa
berkata-kata keduanya maklum bahwa perjalanan mereka bersama hanya akan sampai
di sungai kecil yang berada kurang lebih lima belas li di depan, di mana
terdapat jalan simpangan dan di sana keduanya akan berpisah untuk melanjutkan
perjalanannya masing-masing. Semakin dekat dengan sungai itu, otomatis keduanya
memperlambat lari kudanya sehingga di lain saat kuda mereka hanya berjalan
saja!
“Adik Im
Giok, selanjutnya kau akan ke mana?” Tiauw Ki bertanya.
Sebuah
pertanyaan yang aneh dan lucu karena keduanya sudah sama-sama mengetahui ke
mana gadis itu akan pergi kalau tidak pulang ke rumah ayahnya di Sian-koan! Dan
dari pertanyaan ini saja telah membayangkan keadaan hati pemuda itu, dan Im
Giok maklum pula akan hal ini.
Memang cinta
kasih itu aneh sekali. Biar pun pemuda dan gadisnya sama-sama selama hidupnya
belum pernah mengalami buaian asmara dan baru kali itu mengalami perasaan yang
amat aneh ini, akan tetapi keduanya seakan-akan sudah berpengalaman, keduanya
sudah dapat menangkap maksud hati masing-masing hanya dengan rasa.
Kerling mata
mengandung seribu bahasa mesra, senyum tipis membayangkan perasaan hati
berdebar, gerak-gerik mengisyaratkan suara hati. Demikian tajamnya perasaan
orang yang menghadapi pujaan hatinya, seakan-akan antara keduanya sudah ada
kontak yang timbul oleh getaran-getaran perasaan.
Sungguh pun
Im Giok maklum mengapa pemuda itu masih juga bertanya ke mana dia hendak pergi,
ia menjawab juga perlahan sambil menundukkan muka,
“Aku hendak
pulang ke Sian-koan. Dan kau... ke manakah, Twako?”
“Tentu ke
kota raja... tugasku belum selesai. Sayang...”
Lama tidak
terdengar mereka berkata-kata dan sunyi di pagi hari yang indah itu. Matahari
belum kelihatan, akan tetapi cahayanya telah mulai mengusir kabut fajar dan
menggugah alam yang terlelap dalam mimpi. Yang terdengar hanya suara kicau
burung, diseling oleh derap kaki dua ekor kuda yang berjalan perlahan di atas
jalan berbatu.
“Mengapa
sayang, Twako?” Im Giok sudah membolak-balik pertanyaan ini beberapa kali di
dalam hati sebelum ia mengeluarkan melalui bibirnya. Hatinya berdebar-debar
menanti jawab, seperti seorang penjahat menanti pengucapan hukuman oleh hakim.
“Sayang
karena... karena terpaksa kita harus berpisah.” Suara pemuda itu menggetar.
Tiba-tiba Im
Giok menjadi merah mukanya, merah sampai ke telinganya. Mengingat akan keadaan
dirinya sendiri, tiba-tiba Im Giok mengerahkan tenaga batinnya untuk mengusir perasaan
malu dan jengah yang luar biasa ini, kemudian ketabahannya yang luar biasa
dapat membuat dia menguasai diri lagi. Ia tersenyum dan dengan wajah ayu
memandang Tiauw Ki.
“Twako, kau
ini aneh. Ada waktu bertemu pasti ada pula waktu berpisah. Bukankah ada
kata-kata para cerdik pandai di jaman dahulu bahwa bertemu itu artinya
berpisah? Atau jelasnya bahwa pertemuan adalah awal perpisahan?”
Tiauw Ki
yang tiba-tiba menjadi lemas melihat senyum yang demikian manisnya, wajah yang
berseri dan mata bersinar-sinar sehingga membuat baginya seakan-akan matahari
sudah muncul setinggi-tingginya, menjadi seperti orang linglung.
“Mengapa
demikian?”
Pertanyaan
ini tak karuan juntrungnya, padahal sebagai seorang sastrawan, sudah tentu
pemuda ini hafal akan semua filsafat kuno, tidak kalah oleh Im Giok. Akan
tetapi pada waktu itu, otaknya seakan-akan tertutup dan ia tidak sadar apa-apa,
yang ada hanyalah wajah yang luar biasa cantik jelitanya dari gadis yang berada
di sampingnya.
Melihat
betapa pemuda itu duduk di atas kudanya sambil memandang bengong padanya
seperti orang kena sihir, Im Giok tersenyum makin lebar.
“Mengapa?
Ehh, Gan-twako, tentu saja pertemuan adalah awal perpisahan, karena kalau tidak
bertemu lebih dulu, bagaimana bisa berpisah?”
Jawaban yang
merupakan kelakar ini membikin sadar Tiauw Ki dari lamunan. Ia menarik napas
panjang dan berkata,
“Tepat
sekali kata-katamu, Giok-moi. Dan inilah yang menyakitkan hatiku. Bagiku...
berat sekali perpisahan ini. Kalau boleh aku ingin membuang jauh-jauh ucapan kuno
itu, ingin kuganti...”
Im Giok
mengangkat alisnya dan memandang lucu. “Ehm, apa kau ingin menyaingi para
pujangga kuno dan merubah kata-kata mereka?”
“Ya, khusus
tentang pertemuan itulah. Dengar aku merubahnya, dan ini terutama sekali untuk
kita berdua, Adikku. Pertemuan bukanlah awal perpisahan, akan tetapi pertemuan
adalah awal persatuan abadi. Bagaimana kau pikir, bukankah ini lebih tepat dan
lebih baik?”
Im Giok
menutup mulutnya menahan ketawa, kemudian melarikan kudanya.
“Ada-ada
saja kau ini, Twako,” katanya seperti marah.
Akan tetapi
suara ketawanya berlawanan dengan kata-kata yang seperti marah ini, maka Tiauw
Ki juga membalapkan kudanya mengejar.
“Adik Im
Giok, tunggu...! Kita tidak akan berpisah selamanya!” Tiauw Ki berani berteriak
menyatakan perasaan hatinya ini saking gembiranya. Akan tetapi Im Giok yang
timbul kembali rasa malu dan jengah, tidak mau menghentikan kudanya.
Karena kuda
dibalapkan, sebentar saja tahu-tahu sudah sampai di sungai yang melintang di
depan. Im Giok tersentak kaget dan menghentikan kudanya dengan tiba-tiba.
Melihat sungai itu ia tersadar bahwa semua tadi bukan main-main, melainkan
sungguh-sungguh perpisahan telah berada di depan mata! Dan ia pun menjadi
berduka.
Alisnya
berkerut, kegembiraannya lenyap sama sekali. Dia telah merasakan kebahagiaan
luar biasa di dalam hatinya selama dekat dengan Tiauw Ki. Sekarang perpisahan
dengan pemuda itu mendukakan hatinya.
“Giok-moi...!”
Tiauw Ki juga sudah tiba di situ. Pemuda ini melompat turun dari kudanya.
“Giok-moi, harap jangan tergesa-gesa. Begitu girangkah hatimu untuk
meninggalkan aku maka kau tergesa-gesa?”
Im Giok
melompat turun dari kudanya pula dan berkata, “Twako, janganlah kau berkata
begitu...” Dalam suaranya kini terkandung sedu-sedan.
“Marilah
kita gunakan saat terakhir ini untuk bercakap-cakap dan memberi kesempatan
kepada kuda kita beristirahat,” kata Tiauw Ki yang membawa kudanya ke pinggir
sungai di mana terdapat rumput yang hijau dan gemuk.
Im Giok
meniru perbuatannya dan sesudah kedua ekor kuda itu makan rumput dengan
lahapnya, mereka lalu mencari tempat duduk. Kebetulan sekali tidak jauh dari
sana, di pinggir sungai kecil terdapat sebatang pohon yang teduh dan di bawah
pohon terdapat batu-batu sungai yang besar dan bersih licin. Ke situlah dua
orang ini berjalan perlahan.
Tiauw Ki
duduk di atas sebuah batu besar, merenung ke arah air sungai. Im Giok juga
duduk di atas batu tak jauh dari tempat pemuda itu duduk, bermain-main dengan
ujung daun pepohonan yang tumbuh di dekatnya.
“Adik Giok,
rasanya janggal dan aneh sekali jika kita harus berpisah di sini. Benar-benar
heran sekali, bagiku terasa seakan-akan kita telah berkumpul selamanya, telah
semenjak kecil, semenjak lahir... Giok-moi, benar-benar berat untukku harus
berpisah darimu, tak sampai hatiku...”
“Habis,
bagaimana, Twako. Kita harus mengambil jalan masing-masing. Kau ke kota raja
dan aku pulang ke Sian-koan.”
“Memang
semestinya demikian. Akan tetapi... ahh, rasanya sedikit pun juga aku tidak ada
keinginan sama sekali untuk pergi ke kota raja. Kalau saja kau dapat pergi
bersamaku ke kota raja atau aku pergi bersamamu ke Sian-koan...”
Im Giok
melirik, mukanya merah dan hatinya berdebar senang.
“Mana boleh
begitu, Gan-ko? Kau mempunyai tugas penting. Apa sih sukarnya? Kau ke kota raja
dahulu dan sesudah tugasmu selesai, bukankah kau dapat mengunjungi aku di
Sian-koan?”
Di dalam
kata-kata ini terkandung sindiran yang dalam, seolah-olah Im Giok menyatakan
bahwa ia akan menanti kedatangan pemuda itu di Sian-koan! Tiauw Ki yang cerdik
dapat mengerti arti yang terkandung dalam kata-kata ini, maka saking girang
perasaannya, dia menangkap kedua tangan gadis itu.
“Giok-moi…,”
suaranya gemetar.
Selama
hidupnya baru kali ini Im Giok merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya.
Menurut kata hatinya, ingin ia menarik kembali kedua tangannya yang dipegang
oleh jari jemari tangan yang gemetar dari pemuda itu, akan tetapi ia tak kuasa
menarik tangannya seakan-akan semua tenaganya telah hilang! Dia hanya
menundukkan muka dan bibirnya tersenyum malu.
“Giok-moi,
betulkah kau akan menerimaku bila aku sewaktu-waktu datang ke Sian-koan!” suara
Tiauw Ki perlahan dan halus penuh perasaan.
“Mengapa
tidak?” Im Giok hanya menjawab singkat karena dia sendiri takut untuk bicara
terlalu panjang, mendengar betapa suaranya sendiri gemetar!
“Tidak…
tidak ada halangannya kalau… kalau aku…” Tiauw Ki tak dapat lagi melanjutkan
kata-katanya.
“Ada apakah,
Gan-twako? Lanjutkanlah, mengapa begitu sukar?”
Tiauw Ki
makin gagap menerima teguran ini. Ia mengigit bibirnya menenangkan hatinya lalu
berkata nekad, “Bagaimana kalau kelak aku datang ke Sian-koan... dan...”
“Dan
apa...?”
“Aku... aku
hendak... meminangmu!” Lega hatinya setelah kata-kata yang mengganjal di
kerongkongannya ini akhirnya terlepas juga.
Im Giok
sejak tadi sudah menduga, akan tetapi setelah kata-kata itu diucapkan, mukanya
yang cantik itu menjadi merah sekali, membuat sepasang pipinya kemerahan bagai
buah tho masak, membikin dia nampak makin cantik jelita. Memang jarang ada
gadis secantik Im Giok, apa lagi kalau yang memandangnya seorang yang jatuh
hati kepadanya, dia laksana bidadari dari kahyangan saja!
“Bagaimana,
Giok-moi...?” tanya Tiauw Ki.
Dengan sudut
matanya Im Giok mengerling kepada pemuda itu, bibirnya yang manis itu tersenyum
malu, lalu ia menundukkan muka kembali sambil berkata lirih, “Entahlah...”
Tiauw Ki
menjadi makin berani melihat sikap gadis itu. Ia menggenggam kedua tangan yang
kecil halus itu dengan erat dan menarik Im Giok mendekat. Karena gadis itu
duduk di atas batu yang lebih rendah, maka setelah ditarik ia bersandar kepada
paha Tiauw Ki.
“Giok-moi,
bagaimana? Apakah kau keberatan kalau kelak kupinang?”
Bukan main
malunya Im Giok dan ia pun tidak dapat membuka mulut menjawab. Sambil
tersenyum-senyum malu dan wajah ditundukkan, dia hanya menjawab dengan gelengan
kepala perlahan.
Tiauw Ki
merasa diayun di sorga ke tujuh. Ingin dia melompat turun dari atas batu dan
menari-nari kegirangan atau ingin dia mengangkat tubuh Im Giok dalam
pondongannya dan diputar-putar.
Akan tetapi
sebagai seorang pemuda terpelajar yang sopan ia tidak berani melakukan hal ini.
Sebagai seorang pemuda yang tahu akan arti kesopanan dan kesusilaan, Tiauw Ki
hanya memandang kepada wajah kekasihnya dengan mata bersinar, wajah berseri dan
penuh kasih sayang.
“Terima
kasih, Moi-moi, terima kasih. Akan tetapi, bagaimana kalau saudara-saudaramu
tidak suka kepadaku dan tidak mau menerima?” Di dalam ucapan ini terkandung
suara yang penuh kecemasan.
Maka Im Giok
cepat mengangkat muka dan berkata tegas,
“Aku tidak
mempunyai saudara kandung. Aku anak tunggal. Yang ada hanya suci-ku Giok Gan
Niocu Song Kim Lian!”
Tiauw Ki
tersenyum lega, lalu tertawa kecil. “Ahh, suci-mu itu benar-benar seorang gadis
yang gagah perkasa dan berhati mulia, biar pun agak galak. Akan tetapi tentu
saja tidak melawan kau baik dalam hal kegagahan, kemuliaan mau pun kecantikan.”
Im Giok
hanya melempar senyum menghadiahi pujian kekasihnya ini.
“Akan
tetapi, bagaimana kalau... kalau ayah bundamu tidak suka kepadaku? Ayahmu
seorang gagah, tentu dia tidak suka mempunyai calon mantu seorang pemuda
sekolah yang lemah...!” Kembali dalam suara pemuda itu terkandung kekhawatiran
besar.
“Ibuku sudah
tidak ada, dan Ayah... dia sangat sayang kepadaku, tidak mungkin Ayah
membiarkan aku kecewa dan berduka.” Im Giok mengambil tusuk kondenya, kemudian
memberikan benda itu kepada Tiauw Ki dengan suara halus, “Koko, inilah tusuk
kondeku, harap kau simpan baik-baik.”
Tiauw Ki
menerima benda itu dan menekannya di dada, lalu menciumnya dengan penuh kasih
sayang. “Terima kasih, Moi-moi. Benda ini selamanya takkan berpisah dariku,
akan kuanggap sebagai penggantimu. Dengan adanya tusuk konde ini, Moi-moi,
hatiku akan terhibur. Hanya menyesal sekali, aku adalah seorang yang bodoh dan
miskin pula, tidak mempunyai sesuatu yang berharga untuk diberikan kepadamu
kecuali ini...”
Pemuda itu
mengeluarkan sebuah kipas yang tidak begitu baik dari dalam saku bajunya. Sudah
menjadi kebiasaan para siucai untuk selalu menyimpan kipas di sakunya.
“Kipas ini
tadinya masih kosong, Moi-moi, seperti kosongnya hatiku. Sekarang kipas ini
tidak seharusnya dibiarkan kosong seperti juga hatiku yang kini sudah penuh...”
Sambil
berkata begitu, pemuda itu ‘menyulap’ keluar sebatang pit dan arang tintanya
dari dalam saku bajunya. Diambilnya sedikit air dari sungai untuk membasahi
arang tinta dan di atas batu itu dia menulis huruf-huruf indah di atas kipasnya
yang putih bersih.
Im Giok
hanya memandang saja semua yang dilakukan oleh kekasihnya ini dengan bibir
tersenyum dan hati bungah. Dengan hati berdebar Im Giok membaca tulisan yang
indah gayanya itu:
Tusuk konde
dan kipas menjadi saksi bertemunya dua hati di bawah pohon, di tepi sungai...
Semoga cinta
kasih kita kekal abadi takkan berpisah, sehidup semati...
Tiauw Ki
memberikan kipas itu kepada Im Giok yang menerimanya dengan wajah berseri.
“Aduh indahnya
tulisanmu, Koko...” katanya.
Akan tetapi
Tiauw Ki hanya menatap wajahnya, nampaknya berduka.
“Kau
mengapa, Twako?”
“Sayang
pertemuan seindah ini harus diputuskan oleh perpisahan...” kata Tiauw Ki sambil
memegang pundak gadis itu, ditariknya sehingga kembali Im Giok bersandar
kepadanya.
“Hanya untuk
sementara waktu, Koko. Bukankah kau segera akan ke Sian-koan setelah tugasmu
selesai? Aku selalu menantimu di sana, Koko...”
Kata-kata
ini terdengar begitu manis dan merdu oleh Tiauw Ki sehingga saking terharu
hatinya, kedua mata pemuda itu sampai basah. Didekapnya kepala gadis itu ke
dadanya lebih erat lagi dan sampai lama mereka tak bergerak, tenggelam ke dalam
lautan madu asmara.
Biar pun
keduanya diam tak bergerak, biar pun suasana di sekitar mereka sunyi senyap,
namun suara daun pohon tertiup angin dan air sungai mengalir bagi mereka
seperti suara musik mengiringi nyanyian surga yang amat merdu. Pohon, daun,
batu, apa saja yang nampak di sekeliling mereka seakan-akan tertawa-tawa dan
ikut beriang gembira.
Tiauw Ki dan
Im Giok bagaikan mabuk oleh buaian ombak perasaan yang paling indah di antara
segala macam perasaan, tapi keduanya masih sadar sepenuhnya dan ingat akan
kesopanan dan kesetiaan.
Sungguh
mengagumkan mereka ini, teladan bagi muda-mudi beradab. Meski pun mereka juga
diombang-ambingkan oleh ombak asmara yang memabukkan, akan tetapi mereka
pantang melakukan pelanggaran dan mereka teguh bagaikan karang di pantai
samudra.
Apa pun juga
yang terjadi, mereka berpegang kepada semboyan nenek moyang mereka, yang
bagaimana pun juga, ATURAN (Lee) di atas segala apa! Kesopanan dan kesusilaan
termasuk dalam Lee ini dan karenanya mereka tetap sadar dan menjaga jangan
sampai mengecewakan hati kekasihnya dengan pelanggaran tata susila yang
dijunjung tinggi!
Dalam
keadaan bagaikan setengah pulas itu, ternyata kelihaian Im Giok tidak
berkurang. Pendengarannya memang amat tajam sehingga Tiauw Ki menjadi terheran
ketika secara tiba-tiba Im Giok merenggutkan kepalanya yang tadinya bersandar
pada dadanya sambil berkata,
“Koko, ada
penunggang kuda datang...”
Tiauw Ki
memperhatikan dan sampai lama setelah suara itu semakin mendekat baru dia
mendengar derap kaki kuda.
“Ada tiga
orang penunggang kuda,” kata pula Im Giok.
Dia sudah
dapat membedakan suara itu sebelum orang-orangnya kelihatan, siap karena
mengira bahwa yang datang ini tentu pihak musuh yang selalu mengancam
keselamatan Tiauw Ki. Akan tetapi setelah tiga orang penunggang kuda itu
muncul, ia bernapas lega.
Mereka itu
ternyata adalah tiga orang wanita yang membalapkan kuda dan membuktikan bahwa
ketiganya adalah ahli-ahli penunggang kuda yang mahir. Apa lagi ketika tiba di
dekat Tiauw Ki dan Im Giok, ketiga orang penunggang kuda itu dapat menghentikan
kuda mereka dengan serentak, hal ini lebih-lebih membuktikan bahwa mereka
bertiga memiliki lweekang yang cukup kuat.
Setelah
mereka mendekat, barulah Im Giok dan Tiauw Ki melihat dan mengenal mereka
sebagai tiga orang wanita yang malam tadi ikut hadir pula dalam pesta yang
diadakan di rumah Suma-huciang, yakni nenek yang pada kepalanya diikat kain
putih dan memegang tongkat, bersama dua orang gadis manis yang sikapnya galak.
Kini kedua orang gadis itu memandang kepada Tiauw Ki, lalu kepada Im Giok
dengan pandangan mata terbelalak dan mengandung sinar kebencian......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment