Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dara Baju Merah
Jilid 04
SETAHUN
kemudian, Bi Li melahirkan seorang anak perempuan yang mungil sekali. Suami
isteri itu merasa girang dan Kiang Liat memberi nama puterinya itu Kiang Im
Giok. Pada mulanya Bi Li memang khawatir kalau suaminya kecewa, sebab pada masa
itu para ayah ingin melihat anaknya lahir laki-laki.
Namun
ternyata Kiang Liat berbeda dengan orang lain. Dia sama sekali tidak kelihatan
kecewa dan untuk ini Bi Li merasa amat berterima kasih. Cinta kasih terhadap
suaminya semakin menebal. Hidup nyonya muda ini tentu akan penuh kebahagiaan
kalau saja ia tidak diganggu oleh Ceng Si dan Cia Sun.
Cia Sun
sudah mendapatkan banyak uang yang diperasnya dari Bi Li melalui Ceng Si, dan
berubah menjadi seorang pemuda pemogoran dan pemalasan. Uang itu cepat sekali
habisnya, dihambur-hamburkannya seperti orang membuang pasir belaka.
Setelah Bi
Li dan suaminya pindah ke Sian-koan, ia pun menyusul ke kota itu, menyewa kamar
di dalam sebuah hotel. Ia membeli seekor kuda yang bagus dan kerjanya setiap
hari hanya berpesiar! Hubungannya dengan Ceng Si dilanjutkan tanpa ada
halangan.
Pada suatu
hari, ketika Bi Li dan suaminya sedang menimang-nimang puteri mereka, Bi Li
berkata dengan nada penuh keheranan,
”Suamiku, Im
Giok mempunyai muka yang hampir sama dengan Enci Pek Hoa.”
Kiang Liat
terkejut bukan main. “Apa katamu? Pek Hoa siapa...?”
Bi Li juga
terkejut sekali, merasa bahwa ia telah kelepasan bicara. Maka dengan muka
kemerahan ia berkata,
“Enci Pek
Hoa adalah seorang dewi dari kahyangan. Suamiku, jangan kau tertawakan aku dan
mengira aku tahyul dan bicara yang bukan-bukan. Kejadian itu amat ajaib maka
selama ini aku tak pernah mengatakan kepadamu, takut kalau kau akan
mentertawakan aku.”
“Coba
ceritakan, isteriku. Aku tidak akan mentertawakanmu. Siapakah dewi itu dan
bagai mana kau bisa bertemu dengan dia?” tanya Kiang Liat dan hatinya berdebar
gelisah.
Bi Li lalu
menceritakan tentang pertemuannya dengan Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat yang
dipuji-pujinya sebagai seorang dewi yang sangat cantik jelita. Kiang Liat
mendengarkan penuturan isterinya itu dengan sepasang mata terbelalak dan
hatinya merasa tidak enak sekali. Tahulah dia sekarang bahwa dahulu Pek Hoa
dapat datang mencarinya ke kota Sian-koan tentu setelah mendengar dari Bi Li
bahwa dia adalah murid dari Han Le!
“Pek
Hoa-cici baik sekali, suamiku. Dia bilang bahwa kelak dia akan datang menjenguk
kalau aku sudah mempunyai anak...”
Makin
gelisah hati Kiang Liat. Akan tetapi dia diam saja, tidak berani ia menerangkan
kepada isterinya yang lemah itu bahwa sebenarnya orang yang dikira dewi oleh
isterinya itu bukan lain adalah seorang iblis wanita yang amat jahat!
Semenjak
mendengar penuturan isterinya itu, Kiang Liat selalu bersikap waspada. Tiap
malam secara diam-diam dia melakukan penjagaan, takut apa bila iblis wanita itu
datang mengganggunya. Oleh karena kewaspadaannya inilah maka dia mulai melihat
sesuatu yang amat mencurigakan di waktu malam.
Kadang-kadang
ia mendengar suara kaki kuda yang datang dari jauh kemudian berhenti di
belakang rumahnya, sedikit di luar pagar kebun bunga kecil yang berada di
belakang rumah. Kadang-kadang dia juga mendengar ada suara orang bercakap-cakap
di tengah malam menjelang pagi!
Hatinya
mulai curiga dan pada malam hari itu, ketika mendengar suara kuda berhenti di
belakang, secara diam-diam dia turun dari pembaringan lalu berjalan keluar
melalui pintu belakang. Waktu itu sudah menjelang fajar dan perlahan-lahan ia
membuka pintu, lantas mengintai keluar.
Ia melihat
sesosok bayangan keluar dari pintu samping, berlari-lari ke arah taman bunga.
Kemudian, bayangan ini bertemu dengan bayangan lainnya yang memasuki pintu
pagar yang agaknya sudah dibuka dari dalam.
Hati Kiang
Liat berdebar gelisah. Melihat gerak-gerik kedua orang itu, mereka hanyalah
orang-orang biasa dan sama sekali tidak seperti gerakan orang yang pandai ilmu
silat, apa lagi kalau yang datang Pek Hoa tentu tidak demikian caranya.
Pada waktu
dia menyelinap dan bersembunyi di balik batang pohon kembang, Kiang Liat merasa
mendongkol bukan main karena ia mengenal bahwa bayangan yang keluar dari pintu
samping itu adalah Ceng Si. Pelayan wanita yang muda, genit dan cantik ini
telah mengadakan pertemuan dengan seorang laki-laki muda yang datang menunggang
kuda!
“Hemm,
benar-benar sial!” pikirnya. “tidak tahunya pelayan kita ini adalah seorang
yang tidak tahu malu sekali. Mengadakan pertemuan dengan laki-laki di waktu
tengah malam, mencemarkan nama kehormatan keluargaku! Dia harus diusir pergi!”
Dua orang
itu bicara berbisik-bisik dengan mesra sekali sehingga Kiang Liat malu untuk
muncul. Ia menanti sampai Ceng Si yang kelihatan memberikan sesuatu kepada
laki-laki itu kembali ke dalam rumah, kemudian ia mendengar laki-laki itu
menunggang kudanya kembali yang dibalapkan cepat-cepat pergi dari situ.
Kiang Liat
menjadi bingung. Apakah dia harus beri tahukan hal ini kepada Bi Li? Isterinya
kelihatan begitu cinta dan sayang kepada Ceng Si dan kalau saat ini dia beri
tahukan, apakah tidak akan membikin isterinya berduka?
Kemudian ia
teringat akan sesuatu. Ada hal yang sangat mengherankan hatinya, yakni
persediaan uangnya cepat sekali berkurang bahkan isterinya yang dia tahu
mempunyai banyak uang, cepat sekali kehabisan uang. Apakah Ceng Si tidak
melakukan pencurian? Tadi ia melihat gadis pelayan itu memberi sesuatu kepada
kekasihnya, apakah itu bukan uang atau benda berharga?
Berpikir
sampai di sini, kembali Kiang Liat tertegun. Ia sudah lama tidak melihat
isterinya memakai perhiasan! Bahkan perhiasan berupa kupu-kupu dan bunga cilan
yang dulu ia berikan kepada Bi Li sebagai emas kawin, tak pernah lagi menghias
rambut isterinya itu!
Ia memang
seorang laki-laki yang tidak begitu peduli tentang segala macam perhiasan, maka
hal ini terlewat begitu saja dari perhatiannya. Memang pernah secara
iseng-iseng dia bertanya kepada isterinya mengapa tidak pernah memakai
perhiasan, akan tetapi isterinya menjawab,
“Untuk
apakah semua perhiasan itu? Aku sudah menikah dengan kau, bahkan sekarang sudah
menjadi ibu, kiranya tak perlu lagi bersolek.”
Jawaban ini
menyenangkan hatinya, sebab Kiang Liat sendiri suka akan kesederhanaan, maka ia
tak bertanya lebih lanjut. Sekarang melihat peristiwa yang terjadi di taman
bunga timbul berbagai dugaan di dalam hatinya.
Tak salah
lagi, mungkin sekali Ceng Si melakukan pencurian. Siapa tahu kalau isterinya
sebenarnya kehilangan semua perhiasan itu, akan tetapi tidak berani bilang
karena takut. Isterinya begitu lemah dan begitu sayang kepada Ceng Si.
Kiang Liat
tidak dapat tidur. Pada keesokan hatinya, ia terbangun dengan kepala pusing.
Pagi-pagi sekali Ceng Si sudah datang membawa segala macam keperluan isterinya,
bahkan dengan amat rajin dan telaten pelayan ini mengurus Im Giok dengan penuh
kasih sayang. Isterinya juga kelihatan begitu berterima kasih kepada Ceng Si
sehingga ia tidak tega untuk mengungkit urusan itu.
“Lebih baik
kutangkap jahanam itu!” pikir Kiang Liat dengan gemas.
Benar,
itulah jalan satu-satunya supaya tidak menyinggung perasaan isterinya. Ia harus
menangkap laki-laki yang sering kali datang menemui Ceng Si, kemudian
memaksanya mengaku.
***************
Beberapa
hari kemudian, pada suatu pagi, Cia Sun melarikan kudanya dengan cepat. Seperti
biasa, malam tadi dia mengadakan pertemuan dengan Ceng Si di taman bunga dan
sesudah meninggalkan tempat pertemuan rahasia itu, ia membawa sekantung uang
dan beberapa potong benda berharga.
Sambil
membalapkan kudanya, Cia Sun tersenyum-senyum gembira. Betapa ia tak akan
merasa girang? Ceng Si sudah menjadi kekasihnya, dan dengan bantuan kekasihnya
ini, dia dapat menggerogoti kekayaan keluarga Kiang. Song Bi Li atau Nyonya
Kiang yang sudah berada di dalam cengkeramannya itu tidak berdaya dan terpaksa
menuruti segala permintaannya.
“Ceng Si
memang manis dan cerdik,” Cia Sun berpikir sambil memperlambat larinya kuda
karena ia telah tiba di luar kota dan merasa aman.
“Surat Bi Li
kepadaku masih disimpan oleh Ceng Si dan dengan surat itu, dia dapat terus
menakut-nakuti Bi Li. Sekali saja surat itu diperlihatkan kepada suaminya,
tentu dia akan celaka.”
Biar pun
sudah banyak uang yang diperasnya dari Bi Li, akan tetapi tetap saja Cia Sun
merupakan seorang miskin. Semua uang itu dihabiskan di atas meja perjudian,
dipakai foya-foya dengan sahabat-sahabatnya dan pendeknya, Cia Sun hidup
sebagai pemuda kaya-raya yang royal dan mata keranjang.
Tentu saja
Ceng Si tidak tahu akan hal ini dan sama sekali tidak pernah menduganya.
Pelayan yang cantik ini mabuk oleh janji-janji Cia Sun yang menuturkan bahwa
semua uang dan barang itu disimpannya baik-baik untuk dipergunakan sebagai
modal dan bekal hidup kelak apa bila mereka telah hidup sebagai suami isteri!
Selagi Cia
Sun enak-enak mencongklang kudanya, tiba-tiba dari arah belakang terdengar
derap kaki kuda yang dilarikan cepat sekali. Cia Sun tidak menyangka buruk dan
mengira bahwa ada orang berkuda yang hendak lewat mendahuluinya, maka dia
minggirkan kuda tunggangannya.
Benar saja,
tampak seorang penunggang kuda tengah membalapkan kudanya menyusul. Akan
tetapi, setelah berada di depan Cia Sun, tiba-tiba saja orang itu menghentikan
kuda sambil menarik kendali sehingga kudanya berputar dan menghadapi kuda Cia
Sun.
Melihat orang
muda gagah yang menunggang kuda itu, seketika wajah Cia Sun menjadi pucat dan
dadanya berdebar keras. Walau pun belum berkenalan akan tetapi diam-diam dia
sering kali melihat dan memperhatikan suami Bi Li dan orang yang kini
mencegatnya bukan lain adalah Kiang Liat, suami Bi Li! Akan tetapi, sastrawan
muda ini dapat cepat menenangkan hati dan memaksa diri tersenyum.
“Tuan
siapakah dan ada keperluan apa dengan siauwte?” tanya Cia Sun dengan suara
ramah-tamah, sikap seorang terpelajar yang sopan-santun.
Akan tetapi
Kiang Liat tidak dapat tertipu oleh sikap ini. Sudah beberapa kali Kiang Liat
mengintai dalam taman dan tahulah dia bahwa pemuda itu diam-diam telah
mengadakan hubungan rahasia dengan Ceng Si dan gadis pelayan itu selalu memberi
barang-barang berharga kepadanya. Tentu saja Kiang Liat merasa sangat marah dan
curiga. Dari mana Ceng Si bisa mendapatkan barang-barang berharga dan uang?
“Bangsat
kecil, tidak perlu kau berpura-pura dan bermanis mulut. Aku sudah melihat dan
tahu akan semua perbuatanmu di dalam taman rumahku. Ayo sekarang kau mengaku,
siapa namamu dan mengapa kau begitu berani mampus memasuki taman mengadakan
pertemuan dengan pelayan kami?!”
Kiang Liat
melompat turun dari kudanya dan memandang kepada Cia Sun dengan sinar mata
mengandung ancaman, sedangkan pecut kudanya dipegang erat-erat pada tangan
kanannya.
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati Cia Sun mendengar ini. Tidak disangkanya sama
sekali bahwa suami Bi Li ini sudah melihatnya mengadakan pertemuan dengan Ceng
Si. Sampai di manakah pengetahuan orang she Kiang ini? Tanpa disadarinya,
saking kaget dan gelisahnya, Cia Sun mengerling ke arah kantung uang yang ada
di atas punggung kuda.
“Ya, itu pun
kau terima dari Ceng Si! Hendak kulihat, apakah isinya!” kata pula Kiang Liat
sambil melangkah maju.
Tentu saja
Cia Sun tidak menghendaki hal ini terjadi. Ia tahu bahwa barang-barang dan uang
yang kini dibawanya adalah kepunyaan hartawan muda ini yang diterima oleh Ceng
Si dari Bi Li. Maka ia lalu mengambil sikap seakan-akan ia marah besar.
“Manusia
kurang ajar…! Apakah kau hendak merampok?” bentaknya sambil mencambuk kudanya.
“Aku tidak kenal padamu dan aku tidak mempunyai urusan denganmu. Pergi!”
Akan tetapi
Kiang Liat mana mau melepaskannya? Sekali mengulur lengan, Kiang Liat sudah
menangkap pergelangan tangan Cia Sun dan sebelum sastrawan bermoral bejat ini
tahu apa yang terjadi, ia telah diseret turun dari atas kuda!
“Keparat
busuk, masih saja kau tidak mau lekas-lekas mengaku?” bentak Kiang Liat yang
sudah menjadi marah melihat sikap orang itu.
Cia Sun yang
terbanting dari atas kuda merasa pantatnya sakit sekali. Sambil meringis ia
merayap bangun. Ia maklum bahwa pengakuan berarti mencari celaka, oleh karena
itu ia memberanikan diri, mengangkat dada dan berkata,
“Kau ini
orang gila atau orang mabuk? Kalau kau hendak merampok, carilah
saudagar-saudagar yang kaya, jangan mengganggu seorang siucai yang miskin
seperti aku!”
Hati Kiang
Liat semakin mendongkol. Melihat sikap pemuda sastrawan ini, terang sekali
baginya bahwa ia sedang menghadapi seorang yang curang dan palsu.
“Jahanam,
jangan berpura-pura lagi. Sudah beberapa kali aku melihat kau mengadakan
pertemuan dengan pelayan kami di taman. Kau tidak mau cepat-cepat mengaku? Atau
menanti sampai aku turun tangan memukulmu?”
“Mengaku
apa? Aku tak pernah melakukan hal yang kau sebutkan tadi. Aku tak bersalah
apa-apa...”
Kiang Liat
marah sekali. Kaki kirinya bergerak menendang dan tersungkurlah Cia Sun.
Baiknya Kiang Liat masih belum tahu akan semua perbuatan Cia Sun yang
disangkanya hanya seorang pemuda yang main gila dengan gadis pelayannya saja.
Maka tendangan itu perlahan saja dan hanya cukup membikin Cia Sun roboh tanpa menderita
luka berat. Akan tetapi cukup membikin Cia Sun merintih-rintih karena pahanya
yang tertendang itu terasa sakit bukan main. Beberapa kali ia mencoba untuk
bangun, akan tetapi tak dapat sehingga akhirnya dia menjatuhkan diri duduk di
atas tanah sambil memandang kepada Kiang Liat dengan muka pucat.
“Hayo lekas
mengaku! Jangan menanti sampai aku naik darah dan memukul kepalamu sampai
hancur!”
Cia Sun
mulai ketakutan. Tempat itu sunyi dan waktu itu masih pagi sekali. Melihat
sepak terjang Kiang Liat, dia maklum bahwa dia tidak akan mungkin dapat
melawan. Apa lagi, memang dia telah mendengar bahwa hartawan muda she Kiang ini
adalah seorang ahli silat yang amat tinggi kepandaiannya.
“Ampunkah
hamba, Wangwe...,” katanya dan tiba-tiba sastrawan muda ini berlutut!
Kiang Liat
memandang dengan hati merasa sebal sekali. Benar-benar dia menghadapi seorang
pemuda yang mempunyai martabat rendah sekali.
“Jangan
banyak aksi, lekas mengaku!” bentaknya.
“Hamba akan
mengaku terus terang. Sebenarnya sudah lama hamba berkenalan dengan Nona Ceng
Si. Hubungan hamba dengan dia sudah berjalan beberapa tahun, sejak dia belum
pindah ke Siang-koan. Hamba tidak melakukan sesuatu yang jahat, dan hubungan
hamba dengan Ceng Si berdasarkan suka sama suka... harap Wangwe sudi memberi
maaf.”
“Kau selalu
menerima bungkusan dan kantung dari Ceng Si, apakah isinya?”
Cia Sun
cepat menyembunyikan rasa takutnya. “Hanya... hanya makanan dan masakan,
Wangwe. Ceng Si sering kali memberi makanan kepada hamba...”
“Dusta!”
bentak Kiang Liat.
Dua kali ia
menggerakkan tangan, kantung yang masih di atas sela kuda Cia Sun sudah
diambilnya. Ia membuka kantung itu dan berjatuhanlah isinya ke atas tanah. Uang
emas dan perak yang jumlahnya tidak sedikit.
“Makanan kau
bilang? Hayo bilang, dari mana kau mendapatkan ini semua?”
“Dari...
dari... Ceng Si, katanya itu uang simpanannya selama dia bekerja... dia berikan
kepada hamba untuk... untuk...”
“Untuk apa?”
Kiang Liat tidak sabar lagi.
“Wan-gwe,
Ceng Si dan hamba mengambil keputusan untuk menikah dan karena hamba seorang
miskin, Nona Ceng Si yang baik itu memberikan uang simpanannya ini kepada hamba
untuk mempersiapkan dan memilih hari pernikahan.”
Kiang Liat
percaya dengan keterangan ini. Memang dia pun sudah menyaksikan sendiri bahwa
pemuda ini tengah mengadakan hubungan asmara dengan Ceng Si, maka semua
keterangannya tadi masuk di akal.
Yang
mencurigakan hatinya adalah Ceng Si. Dari mana pelayan itu mendapatkan uang
begini banyak? Mungkinkan uang simpanannya?
“Siapa
namamu?” tanyanya tiba-tiba.
“Hamba
bernama Cia Sun…”
“Sekarang
dengarlah. Aku Kiang Liat bukanlah orang yang boleh kau permainkan begitu saja.
Kau telah berani lancang memasuki taman rumah kami tanpa ijin, pada malam hari
pula. Hal ini saja sudah menjadi alasan cukup kuat untuk membunuhmu sebagai
seorang maling atau penjahat. Akan tetapi aku memaafkan kau dengan satu syarat
bahwa besok pagi kau harus datang ke rumahku dan dengan resmi kau mengajukan
pinangan untuk diri Ceng Si. Kau boleh menyuruh seorang perantara wanita untuk
mengajukan pinangan itu kepada Hujin (Nyonya). Kalau besok kau tidak melakukan
hal ini, awas, aku akan mencarimu dan mengambil nyawamu!”
“Baik,
Wan-gwe... baik...” Cia Sun mengangguk-anggukkan kepala sambil berlutut terus.
Kiang Liat
lalu mencemplak kudanya dan membalapkan kuda itu menuju pulang. Hatinya lega.
Ia memang tak suka sama sekali melihat Ceng Si menjadi pelayan isterinya. Gadis
pelayan ini terlalu genit dan terlalu cantik, pula amat berani.
Dengan
terang-terangan gadis pelayan itu mencoba untuk menjatuhkan perhatiannya,
mencoba untuk menjatuhkan hatinya dengan pelbagai aksi dan gaya. Lebih celaka
lagi, entah mengapa, isterinya nampak suka sekali pada Ceng Si sehingga bahkan
rela kalau Ceng Si menjadi bini mudanya! Sekarang ia dapat menangkap Cia Sun
dan memaksa sastrawan muda itu mengawini Ceng Si. Inilah jalan terbaik.
Kiang Liat
sangat cinta kepada isterinya. Dia tidak mau menyinggung perasaan Bi Li dan
meski pun dia merasa curiga dan heran melihat sikap isterinya yang berlebihan
terhadap Ceng Si, akan tetapi ia tidak tega untuk bertanya atau mendesak. Ia
telah percaya penuh akan kesetiaan dan kecintaan isterinya kepadanya, maka dia
tidak mau memperlihatkan suatu sikap yang kurang percaya. Oleh karena ini,
setibanya di rumah, ia tidak bercerita sesuatu kepada isterinya tentang
pertemuannya dengan Cia Sun.
Pada
keesokan harinya, betul saja di rumah gedung keluarga Kiang Liat datang seorang
wanita setengah tua yang di Sian-koan terkenal sebagai seorang perantara
perjodohan. Wanita ini datang untuk mengajukan pinangan atas diri Ceng Si untuk
sasterawan Cia Sun!
Mendengar
ini, Bi Li nampak terheran-heran, akan tetapi juga girang dan dia tidak tahu
bahwa diam-diam suaminya memandangnya dengan kerling tajam.
“Panggil
Ceng Si ke sini...!” berkata Bi Li kepada seorang pelayan lain, suaranya
nyaring dan jelas sekali bahwa ia bergembira.
Ceng Si
tergopoh-gopoh. Gadis ini sudah mendengar dari pelayan yang memanggilnya karena
pelayan ini tadi telah mendengar mengenai peminangan itu. Ceng Si juga merasa
terheran-heran dan bingung ketika Bi Li berkata kepadanya,
“Ceng Si,
Bibi ini datang untuk meminangmu atas nama seorang sastrawan muda yang bernama
Cia Sun. Walau pun aku dan suamiku berhak mengambil keputusan karena kau tak
memiliki keluarga lagi, akan tetapi merasa lebih baik kami menanyakan
pendapatmu sendiri. Bagaimana?”
Ceng Si
kebingungan. Sebentar ia memandang kepada Bi Li dan di lain saat ia menatap
wajah pelamar itu. Semua ini diikuti oleh pandangan mata Kiang Liat yang duduk
di sudut dan agaknya tidak mau tahu tentang persoalan perjodohan ini.
“Akan
tetapi...,” kata Ceng Si bingung, “bagaimana ini, Hujin? Saya... saya masih
suka melayani Hujin dan belum ada pikiran untuk menikah...”
Dari tempat
duduknya, dengan perasaan heran sekali Kiang Liat melihat betapa pandang mata
pelayan itu amat tajam dan berpengaruh ketika memandang kepada Bi Li!
“Ceng Si,
bukankah hal ini sangat baik sekali? Lebih baik dari pada kau bekerja di sini?
Ingatlah, usiamu sudah dua puluh tahun dan pelamar ini bukannya orang
sembarangan. Kiranya sudah amat cocok apa bila kau menjadi isteri seorang
siu-cai…”
“Betul
sekali kata-kata Kiang-hujin,” perantara itu berkata cepat-cepat. “Cia-siucai
adalah seorang pemuda yang tidak saja tampan sekali, tetapi juga amat
terpelajar, sopan-santun dan berbudi mulia. Biar pun dia bukan dari keluarga
kaya, akan tetapi ia pun bukan tidak beruang. Ia menyediakan semua biaya untuk
upacara pernikahan!”
“Akan
tetapi... aku… aku belum suka berumah tangga sendiri!” kata Ceng Si dan dalam
kata-katanya ini terkandung suara demikian keras dan menentukan.
Kiang Liat
terkejut sekali karena ia melihat betapa isterinya menjadi berubah air rnukanya
dan agaknya isterinya itu tak berani menentang keputusan Ceng Si! Hal ini
menimbulkan kemarahan di dalam hatinya dan berkatalah Kiang Liat,
“Ceng Si, di
dalam urusan ini sekali-kali tidak betul kalau kau berkeras kepala! Agaknya
memang kau sudah berjodoh sekali dengan pelamar ini, karena malam tadi aku
bermimpi melihat kau bertemu dengan seorang sastrawan muda di dalam taman
bunga. Bukankah ini tanda bahwa kau memang berjodoh padanya? Maka kau tidak
boleh menampik!”
Perantara
itu tertawa dan nampaklah giginya yang ompong. Ia menepuk-nepuk tangan dan
berkata, “Bagus sekali! Itulah impian yang amat baik artinya. Nona Ceng Si,
setelah Kiang-wangwe sendiri bermimpi seperti itu, jelas bahwa perjodohan ini
adalah kehendak Thian! Kau tidak bisa menolak kehendak Thian.”
Hanya Kiang
Liat yang tahu betapa wajah pelayan itu menjadi pucat sekali dan nampak jelas
kegugupannya pada saat mendengar kata-kata Kiang Liat tadi. Hanya untuk sekilas
gadis pelayan itu mengerling kepadanya, akan tetapi di dalam kerlingan ini,
Kiang Liat menangkap pandang mata yang penuh keheranan, kekagetan, dan
kebencian. Ada pun Bi Li memandang kepada suminya dengan berterima kasih.
Ceng Si
menundukkan mukanya. “Baiklah. Kalau Wan-gwe dan Hujin mendesak, saya pun tidak
dapat membantah. Nasib hidupku memang berada di tangan kedua majikanku.”
Kata-kata yang perlahan ini diikuti oleh mengalirnya air mata.
Hari
pernikahan ditetapkan dan beberapa pekan kemudian, pernikahan antara Cia Sun dan
Ceng Si segera dilangsungkan.
Sesudah
pelayan itu dibawa pergi oleh suaminya, Bi Li merasa seakan-akan batu yang
selama ini menggencet hatinya sudah dilenyapkan. Dia merasa lega sekali dan
mukanya yang selama ini agak pucat, kini menjadi agak kemerahan dan bercahaya.
Juga sikapnya terhadap suaminya makin manis dan setiap hari dia nampak gembira
sekali.
Meski
terheran-heran dan ingin sekali tahu rahasia apakah gerangan yang tersembunyi
di dalam hubungan antara isterinya dan Ceng Si, akan tetapi Kiang Liat tidak
tega untuk mendesak isterinya membuka rahasia itu. Ia terlalu cinta dan terlalu
sayang kepada Bi Li, dan kepercayaannya sudah bulat.
Sesudah Ceng
Si meninggalkan rumah gedung itu, Bi Li benar-benar kelihatan seperti hidup
baru. Ia nampak berbahagia sekali, perhatiannya kepada puterinya bertambah, dan
kasih sayangnya terhadap suami pun makin mesra. Tentu saja Kiang Liat merasa
amat beruntung, dan sepasang suami isteri ini pun hidup dalam keadaan tenteram
serta penuh kebahagiaan.
Puteri
mereka, Kiang Im Giok, nampak semakin mungil dan manis. Memang luar biasa
sekali anak ini. Tubuhnya montok dan sehat, kulitnya halus dan putih kemerahan,
bentuk tubuhnya demikian sempurna sehingga sukarlah mencari cacatnya. Biar pun
masih kecil, sudah kelihatan betapa sepasang matanya bercahaya dan bening,
rambutnya hitam dan subur. Tidak mengherankan apa bila ayah bundanya amat
sayang kepadanya.
Beberapa
bulan lewat tanpa ada peristiwa yang luar biasa. Pada suatu hari, pada waktu
sepasang suami isteri ini sedang duduk makan angin di ruang depan sambil
menimang-nimang Im Giok, dari pekarangan luar masuk seorang laki-laki setengah
tua berpakaian pengemis. Kiang Liat yang berpendengaran tajam segera menoleh
dan begitu melihat pengemis itu, wajahnya berubah girang sekali.
“Suhu Han Le
datang...,” bisiknya kepada Bi Li yang juga memandang dengan heran.
Keduanya
cepat berdiri dan menyambut dengan penuh kehormatan. Han Le tersenyum-senyum
dan pendekar sakti ini menatap kepada Im Giok dengan pandang mata kagum.
“Aduh,
puterimu ini sungguh-sungguh mengagumkan sekali, Kiang Liat!” katanya sambil
mengelus-elus kepala Im Giok yang baru berusia dua tahun.
Setelah
dipersilakan duduk dan dikeluarkan hidangan, Han Le lalu makan minum tanpa
sungkan-sungkan lagi, kemudian ia menuturkan maksud kedatangannya.
“Muridku,
sekarang ada pekerjaan penting sekali untuk kita. Ketahuilah, dunia kang-ouw
sedang menghadapi ancaman dan bahaya hebat dan pada bulan Lak-gwe (bulan enam)
nanti merupakan saat penentuan apakah dunia kang-ouw akan bisa menyetamatkan
diri atau tidak.”
Han Le
lantas menuturkan tentang pergerakan dari kaum Mo-kauw yang dipimpin oleh
Thian-te Sam-kauwcu, tiga orang tokoh besar aneh yang menjadi guru dari Bi
Sian-li Pek Hoa Pouwsat dan Hek Pek Mo-ko. Selain mereka ini, masih banyak
sekali tokoh-tokoh Mokauw yang mempunyai ilmu tinggi. Kini pihak Mo-kauw mulai
dengan gerakan mereka untuk memusuhi dunia kang-ouw, dengan jalan mencuri kitab
ilmu silat dari Siauw-lim-pai dan pedang dari Kun-lun-pai.
“Supek-mu Bu
Pun Su telah turun tangan dan siap sedia menghadapi mereka. Kita boleh percaya
penuh akan kelihaian Bu Pun Su Suheng. Akan tetapi Thian-te Sam-kauwcu dan
teman-temannya juga bukan orang-orang biasa, melainkan iblis-iblis dan
siluman-siluman yang sakti. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita untuk
membantu supek-mu Bu Pun Su.”
“Akan
tetapi, Suhu. Mungkin Suhu merupakan bantuan yang amat berharga bagi Supek,
sedangkan teecu...? Baru menghadapi Pek Hoa Pouwsat saja teecu tidak berdaya.
Tentu saja teecu sama sekali tidak merasa takut dan untuk membela Supek, teecu
siap untuk mempertaruhkan jiwa raga teecu.”
“Betul
sekali kata-katamu itu, Kiang Liat. Aku pun tidak begitu bodoh untuk minta kau
menghadapi mereka. Aku hanya minta kau membantuku mencari beberapa orang yang
kiranya akan merupakan tandingan yang setimpal menghadapi pihak Mo-kauw.”
“Siapakah
mereka itu, Suhu? Teecu siap untuk mencari mereka.”
“Orang
pertama adalah Swi Kiat Siansu yang kini berada di barat. Orang ke dua Pok Pok
Sianjin yang kabarnya berada di utara. Mereka ini takkan mau turun gunung kalau
tidak aku sendiri yang datang dan membujuk mereka. Kiranya hanya kedua orang
inilah yang kepandaiannya sudah setingkat dengan pihak Mo-kauw. Selain mereka
berdua, alangkah baiknya kalau bisa mendatangkan Bun Sui Ceng dan The Kun
Beng.” Han Le menghela napas panjang ketika menyebut nama dua orang ini.
“Siapakah
mereka dan di mana tempat tinggal mereka, Suhu?” Kiang Liat tertarik sekali
mendengar nama orang-orang yang sangat dipuji oleh gurunya dan yang belum ia
kenal itu.
“Mereka
adalah orang-orang luar biasa. Keduanya mempunyai hubungan erat dengan supek-mu
Bu Pun Su. Bun Sui Ceng adalah reorang pendekar wanita gagah perkasa, murid
tunggal dari mendiang Kiu-bwe Coa-li tokoh wanita nomor satu di dunia kang-ouw.
Ada pun yang bernama The Kun Beng adalah murid ke dua dari mendiang Pak-lo-sian
Siangkoan Hai, yakni sebenarnya ia adalah sute (adik seperguruan) dari Swi Kiat
Siansu. Namun seperti juga Bun Sui Ceng, dia memiliki watak yang amat aneh dan
sukar diajak berunding. The Kun Beng dahulu menjadi tunangan Bun Sui Ceng, akan
tetapi mereka lalu berpisah dan entah bagaimana keadaan mereka sampai saat ini.
Aku tidak sanggup menghadapi mereka, maka kaulah yang kuminta menemui dua orang
aneh itu. Kalau kau berhasil membawa mereka pada bulan Lak-gwe menghadapi pihak
Mo-kauw, kau akan berjasa besar sekali, Kiang Liat.”
“Akan
tetapi, murid belum pernah mengenal mereka dan tidak tahu di mana mereka
berada, Suhu. Bagaimana teecu dapat mencari mereka?”
“Mereka
memang orang-orang aneh sehingga sukar sekali mencari tahu di mana mereka
berada. Baiknya belum lama ini aku mendengar bahwa Bun Sui Ceng sekarang bertapa
di sebuah pulau kosong yang terletak tidak jauh dari pantai timur, yaitu di
mana Sungai Huai-kiang memuntahkan airnya ke laut. Dan aku percaya bahwa di
mana ada Bun Sui Ceng, tentu tak jauh dari situ kau dapat menjumpai The Kun
Beng, karena dia ini selalu membayangi bekas tunangan yang amat dicintanya.”
“Baik, Suhu.
Teecu akan berusaha mencari mereka. Akan tetapi kalau sudah bertemu, apakah
yang harus teecu katakan?”
“Katakan
tentang munculnya tiga iblis yang sekarang menjadi pucuk pimpinan Mo-kauw, tentang
perbuatan mereka mencuri kitab Siauw-lim-pai dan pedang Kun-lun-pai. Kau beri
tahukan pula bahwa nanti pada hari-hari pertama dari bulan Lak-gwe, pihak
Mo-kauw itu menantang kepada kita untuk menentukan keunggulan di tikungan
Sungai Yalu Cangpo, di mana sungai itu membelok ke barat, yakni di sebelah
barat Gunung Heng-tuang-san.”
“Bagaimana
kalau mereka menolak, Suhu?”
“Itulah yang
sangat kukhawatirkan. Akan tetapi, coba kau membujuknya. Terutama sekali
katakan bahwa supek-mu Bu Pun Su yang diancam oleh pihak Mo-kauw, dan bahwa
pihak Mo-kauw lihai sekali sehingga Bu Pun Su Suheng tak akan kuat menghadapi
lawan kalau mereka berdua tidak mau membantu.”
Sesudah
menceritakan semua maksud kedatangannya, Han Le lalu pergi untuk mencari Swi
Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin. Para pembaca cerita Pendekar Sakti tentu masih
ingat akan nama-nama ini. Swi Kiat Siansu merupakan murid pertama dari
Pak-lo-sian Siangkoan Hai, sedangkan Pok Pok Sianjin adalah murid dari Hek I
Hui-mo.
Kiang Liat
sendiri kemudian meninggalkan pesan kepada isterinya agar supaya baik-baik
menjaga Im Giok. Bi Li menangis dan merasa berat sekali ditinggal pergi oleh
suaminya.
“Jangan
khawatir, isteriku yang baik. Aku pergi bukan untuk melakukan pekerjaan yang
berbahaya, melainkan untuk minta bantuan kepada orang pandai. Walau pun
demikian, tugasku ini penting sekali. Sekarang sudah bulan dua, tinggal empat
bulan lagi waktunya, maka aku harus cepat-cepat berangkat mencari dua orang
pandai itu sebagaimana yang diperintahkan oleh Suhu.”
Akhirnya Bi
Li melepas suaminya pergi dan Kiang Liat berangkat dengan menunggang seekor
kuda yang baik.
Sebulan
kemudian, Kiang Liat sudah menukar kudanya dengan sebuah perahu yang lalu
membawanya terapung-apung di laut sebelah timur. Dari para nelayan dia mendapatkan
keterangan bahwa di dekat pantai di mana air Sungai Huai-kiang mengalir ke laut
itu hanya terdapat tiga buah pulau kosong yang tak ada penghuninya. Hatinya
girang karena kalau hanya tiga saja pulau yang berada di sana, kiranya mudah
mencari wanita sakti yang bernama Bun Sui Ceng.
Perahu yang
dibeli oleh Kiang Liat itu adalah perahu yang baru dan kuat sekali, layarnya
juga masih baru, terbuat dari kain yang tebal. Dayungnya juga baik sekali, oleh
karena itu pelayarannya maju dengan laju.
Belum jauh
ia meninggalkan pantai, tiba-tiba ia mendengar suara orang bernyanyi. Kiang
Liat merasa heran sekali karena dari manakah datangnya suara nyanyian di atas
lautan yang sunyi itu? Ia menengok dan terlihatlah olehnya sebuah perahu butut
dengan layar bertambal-tambal sedang berlayar meninggalkan pantai.
Jarak antara
dia dan perahu butut itu masih sangat jauh sehingga orang yang duduk di dalam
perahu itu tidak kelihatan jelas, akan tetapi suara orang yang bernyanyi itu
dapat demikian jelas terdengar olehnya. Ia merasa terkejut sekali. Mungkinkah
ada orang yang memiliki lweekang demikian hebatnya? Atau barangkali kebetulan
saja suara itu terbawa oleh angin laut yang meniup kencang?
Karena
merasa tertarik, dia lalu memandang penuh perhatian. Setelah perahu butut yang
gerakannya ternyata cepat sekali itu datang mendekat, samar-samar dia melihat
bahwa penumpangnya adalah seorang lelaki setengah tua yang pakaiannya tak
karuan, seperti seorang pengemis.
Orang itu
mendayung perahunya dan Kiang Liat melihat hal yang amat aneh. Dia tahu bahwa
angin bertiup kencang dan perahunya sendiri pun sangat laju oleh tiupan angin
pada layar. Dalam keadaan seperti ini, dayung tidak perlu digunakan lagi,
karena betapa pun kuatnya orang mendayung perahu, tak akan dapat melawan
kekuatan tenaga angin meniup layar.
Akan tetapi
anehnya, perahu butut yang sudah digerakkan oleh layar yang melengkung
terhembus angin, juga masih terdorong cepat ke depan tiap kali orang itu
menggerakkan dayungnya. Ini menandakan bahwa tenaga dorongan dayung itu masih
lebih hebat dan lebih kuat dari pada tenaga tiupan angin pada layar
tambal-tambalan itu!
Kiang Liat
yang sedang memandang terheran-heran itu tiba-tiba mengeluarkan seruan kaget.
Betapa ia tidak akan kaget kalau melihat perahu butut itu tiba-tiba amblas
dengan kepala lebih dahulu ke dalam air dan sekejap mata kemudian, perahu
berikut layar dan orangnya lenyap dari permukaan air!
“Celaka...!”
serunya. “Perahu itu telah karam...!”
Akan tetapi
ia merasa heran sekali. Bagaimana perahu dapat karam seperti itu? Lebih tepat
lagi kalau dikatakan bahwa perahu itu sengaja menyelam dengan kepala di depan.
Akan tetapi mungkinkah ini? Mana mungkin ada orang dapat menyelam berikut
perahu dan layarnya?
“Dukkk!”
Kiang Liat
tersentak kaget. Tanpa ia ketahui karena sejak tadi ia menoleh ke belakang,
tahu-tahu kini perahunya menumbuk sebuah benda yang keras, besar serta berat.
Dia memandang dan melihat bahwa perahunya sudah bertumbukan dengan sebuah
perahu besar dan terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh di atas perahu besar
itu.
Baiknya
Kiang Liat cepat-cepat menggerakkan dayung untuk mengatur gerak perahunya
sehingga perahunya tak sampai tenggelam. Akan tetapi terdengar suara keras dan
tiang layarnya patah.
Bukan main
mendongkolnya hati Kiang Liat. Dia segera berdiri di dalam perahunya dan
berdongak memandang ke atas. Dari perahu besar itu ia mendengar suara tertawa
lagi, kemudian lapat-lapat ia mendengar suara khim (alat tetabuhan) yang
dimainkan orang, lalu disusul oleh suara nyanyian wanita.
“Kurang ajar!
Siapa berani main-main dan sengaja menabrak perahuku?” seru Kiang Liat marah.
Tidak ada
jawaban dari petahu besar yang kini tidak bergerak lagi dan masih menempel
dengan perahunya. Saking jengkelnya, Kiang Liat cepat mengayun dayungnya,
memukul badan perahu besar sekuat tenaga.
“Krakkk!”
Perahu besar
itu bergoyang keras, akan tetapi badan perahu tidak apa-apa, sebaliknya dayung
yang dipegangnya patah dan ujungnya telah hancur berkeping-keping. Ketika dia
meraba dengan tangannya, ternyata olehnya bahwa badan perahu besar itu
berlapiskan besi.
Suara khim
berhenti dan sebuah kepala yang besar nongol dari atas pinggiran perahu besar,
diikuti oleh suara makian,
“Demi setan
air! Siapakah yang berani mampus memukul perahu?” Suara itu parau dan ketika
Kiang Liat memandang ke atas, dia melihat muka yang kulitnya kasar dan bopeng,
dengan sepasang mata bundar dan hidung pesek.
“Jahanam!”
Kiang Liat balas memaki. “Perahumu yang menabrak perahuku. Apakah kau buta?”
Si Muka
Bopeng menyeringai dan Kiang Liat mendengar suara wanita dari atas perahu
besar, “Tiat-thouw-gu (Kerbau Kepala Besi), apakah yang berada di bawah itu
orang she Kiang?”
Kiang Liat
terkejut sekali. Bagaimana ada orang dapat mengenalnya? Siapakah wanita itu?
Si Muka
Bopeng yang disebut Tiat-thouw-gu menjawab, “Agaknya memang betul dia, Wi Wi
Toanio. Apakah aku boleh menabrak dan menggulingkan perahunya agar ia mampus di
perut ikan?”
“Jangan!
Undanglah dia ke atas, aku ingin menyaksikan sampai di mana kehebatan ilmu
silatnya,” jawab suara wanita itu.
Tiat-thouw-gu
memandang kepada Kiang Liat, menyeringai, “Ehh, bukankah kau orang she Kiang
dari Sian-koan?”
“Babi muka
hitam, memang betul aku Kiang Liat dari Sian-koan! Apakah alasannya maka
manusia-manusia rendah macam engkau berani menghinaku?”
“Ha-ha-ha,
suaramu besar sekali, bocah. Kau telah mendengar sendiri tadi, Wi Wi Toanio
minta kau naik. Beranikah kau?”
“Mengapa
tidak berani?” Sambil berkata demikian, Kiang Liat menggenjot tubuhnya dan
dengan gerakan ringan sekali ia telah melompat ke atas.
Untuk
menjaga diri agar jangan sampai ia dibokong musuh, ia mencabut pedangnya dan
memutar pedang sambil melompat ke atas perahu besar. Ketika ia sudah berdiri di
dalam perahu, ia menghadapi banyak orang yang nampaknya rata-rata mempunyai
kepandaian tinggi.
Di tengah
rombongan orang yang menumpang di perahu besar itu, dia melihat seorang wanita
setengah tua yang cantik sekali, berdiri dengan sepasang pedang di tangan. Ada
pun di sebelahnya berdiri seorang laki-laki setengah tua berpakaian mewah yang
juga tampan dan gagah.
Dan di
kepala perahu terdapat tiga patung sebesar manusia, patung tiga orang laki-laki
yang aneh. Yang seorang tinggi kurus seperti tengkorak, yang kedua kurus
bongkok dan bermata sipit dan yang ke tiga, di tengah-tengah, tinggi besar
seperti raksasa.
Kiang Liat
tidak tahu patung siapakah itu. Akan tetapi melihat wanita serta laki-laki yang
gerak-geriknya nampak halus itu, dia tidak berani sembarangan, bahkan menjura
dengan hormat.
“Tidak tahu
siapakah Cu-wi sekalian dan mengapa pula hendak mengganggu aku orang she
Kiang.”
Wanita itu
tersenyum dan nampak ia manis sekali. Kiang Liat dapat menduga bahwa dulu pada
waktu mudanya, wanita ini tentu cantik sekali.
“Kiang-enghiong,
bukankah kau adalah murid Han Le dan sekarang kau sedang disuruh oleh gurumu
untuk mencari bala bantuan guna membantu Bu Pun Su?”
Kembali
Kiang Liat tertegun. Bagaimana orang ini dapat mengetahui semua urusannya?
“Apa pun
yang sedang kukerjakan, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Cu-wi
sekalian. Sekarang, apa yang Cuwi kehendaki maka menghadang perjalananku?”
Kiang Liat berkata, sedikit pun dia tidak merasa gentar menghadapi orang yang
dua puluh lebih banyaknya itu.
Terdengar
suara orang-orang itu tertawa, dan wanita itu berkata,
“Kiang-enghiong,
aku adalah Wi Wi Toanio dan gurumu tentu akan mengerti kenapa aku menghadang
pelayaranmu di sini. Sudah lama aku mendengar akan kelihaian Han Le, maka kini
bertemu dengan kau yang menjadi muridnya, aku tidak akan menyia-nyiakan waktu.
Sesungguhnya, kewajibanku adalah untuk melenyapkan kau di tempat ini, akan
letapi aku tidak mau berlaku kejam terhadap seorang muda seperti kau ini.
Marilah kita main-main sebentar sebelum aku mengajak kawan-kawanku berunding
tentang apa yang akan kami lakukan atas dirimu.”
Kiang Liat menjadi
marah sekali. Terang bahwa ia dipandang ringan, dan ia maklum pula bahwa
orang-orang ini tentulah bukan kawan, dan apa bila bukan musuh besar gurunya,
tentu musuh besar Bu Pun Su atau setidaknya anak buah Mo-kauw yang dipimpin
oleh Thian-te Sam-kauwcu. Teringat akan ini tiba-tiba dia menoleh ke arah tiga
buah arca di kepala perahu dan ia berkata,
“Hemm,
salahkah dugaanku bahwa tiga buah patung itu adalah arca-arca dari Thian-te
Sam-kauwcu?”
“Matamu awas
sekali, Kiang-enghiong. Memang, mereka itu adalah arca-arca dari ketiga ketua
kami yang mulia,” kata Wi Wi Toanio.
“Kalau
begitu, kalian adalah anggota-anggota Mo-kauw!”
“Benar,
bersiaplah kau dengan pedangmu!”
Kiang Liat
maklum bahwa tidak ada lain jalan baginya kecuali bertempur mati-matian. Ia
sudah banyak mendengar dari suhu-nya akan kekejaman orang-grang Mo-kauw yang
tak akan mau memberi ampun kepada orang yang mereka musuhi.
Sambil
menggereng hebat, Kiang Liat menggerakkan pedang menangkis tusukan Wi Wi Toanio
yang sudah mulai menyerangnya. Segera terjadi pertempuran sengit antara dua
orang ini. Yang lain-lain berdiri mengelilingi dan menonton.
Sepasang
pedang di tangan Wi Wi Toanio benar-benar lihai sekali. Gerakannya cepat dan
aneh, tenaga lweekang-nya pun sangat hebat. Bahkan, dengan terus terang Kiang
Liat harus mengaku bahwa dalam hal kecepatan dan tenaga dalam, ia masih kalah
oleh lawannya ini. Baiknya ia memiliki ilmu pedang warisan Kiang yang sudah diperkuat
dan diperhebat oleh gurunya, maka ia dapat melakukan penjagaan diri yang kuat.
Wi Wi Toanio
penasaran dan terheran-heran. Sudah tiga puluh jurus mereka bertempur, tetapi
belum juga ia mampu mendesak orang muda itu.
Laki-laki
yang tadi berdiri di dekatnya mengeluarkan seruan heran dan berkata dengan
suaranya yang halus,
“Aneh
sekali, aku berani bertaruh bahwa ini bukan Hun-khai Kiam-hoat Ang-bin
Sin-kai!”
Mendengar
seruan ini, diam-diam Kiang Liat mengeluh. Tidak saja wanita yang menjadi
lawannya ini tangguh sekali, juga seruan laki-laki tadi menyatakan bahwa
laki-laki itu pun seorang ahli silat yang pandai. Tidak sembarangan ahli silat
mampu mengenal Hun-khai Kiam-hoat, namun laki-laki itu dapat menyatakan bahwa
ilmu pedangnya bukan Hun-khai Kiam-hoat.
Karena tahu
bahwa ia dikepung oleh orang-orang Mo-kauw yang tinggi kepandaiannya, Kiang
Liat menjadi nekat. Pedangnya digerakkan dengan cepat dan ia pun mengeluarkan
seluruh kepandalan yang ia dapat dari Han Le selama satu tahun.
Usahanya
berhasil baik. Wi Wi Toanio mengeluarkan seruan kaget dan dalam beberapa
gebrakan, Wi Wi Toanio dapat terdesak mundur oleh serangan Kiang Liat, orang
muda ini sudah mengeluarkan tiga jurus ilmu pedang yang disempurnakan oleh Han
Le, yakni pertama-tama ia menyerang dengan gerak tipu Pek-in Koan-goat (Awan
Putih Menutup Bulan), lalu disambung dengan Sin-eng Liap-in (Garuda Mengejar
Awan), dan akhirnya ia menyerang terus tanpa menghentikan pedangnya dengan
gerak tipu Sian-jin Hoan-eng (Dewa Menukar Bayangan).
Tiga serangan
berantai ini merupakan puncak dari ilmu pedangnya yang oleh Han Le disebut
Lian-cu Sam-kiam (Tiga Tikaman Pedang Berantai) dan amat lihai gerakannya. Tiga
jurus serangan ini dapat dilakukan terus-menerus dan ganti-berganti karena dari
jurus pertama ke jurus ke dua atau ke tiga mempunyai hubungan yang amat dekat
dan dapat disambung menurut sesuka hatinya.
Wi Wi Toanio
adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi. Pembaca dari cerita
Pendekar Sakti tentunya masih ingat bahwa Wi Wi Toanio adalah isteri dari An
Kai Seng, keturunan dari An Lu Shan. Juga Wi Wi Toanio inilah yang dengan
kecantikannya yang luar biasa telah menjatuhkan hati Bu Pun Su dan menyeret
Pendekar Sakti itu ke dalam lumpur kehinaan.
Semenjak
dikalahkan oleh Bu Pun Su, suami isteri ini mempelajari ilmu silat tinggi
hingga akhirnya mereka bersekutu dengan pihak Mo-kauw, dan menjadi anggota
pimpinan yang disegani. Pihak Mo-kauw memang mempunyai banyak orang pandai dan
juga memiliki pengaruh yang luas sekali. Maka tidak begitu mengherankan apa
bila mereka telah dapat mencium bau tentang tugas yang sedang dijalankan oleh
Kiang Liat untuk mengundang dua orang pandai untuk membantu Bu Pun Su. Maka Wi
Wi Toanio bersama suaminya dan beberapa orang Mo-kauw segera ditugaskan untuk
mencegat perjalanan Kiang Liat dan kalau perlu membunuh orang muda ini.
Akan tetapi,
kini menghadapi serangan Lian-cu Sam-kiam dari Kiang Liat, Wi Wi Toanio merasa
terkejut bukan main. Ia masih bergerak cepat untuk menangkis serta mengelak,
akan tetapi gerakan yang aneh dari pedang Kiang Liat masih berhasil membabat
ujung lengan bajunya dan hampir membabat putus jari tangan kirinya sehingga
sambil berseru kaget wanita ini melompat ke belakang dan melepaskan pedang
kirinya!
“Gempur
dia!” bentak An Kai Seng marah sambil menyerang dengan pedangnya.
Dan pada
lain saat, Kiang Liat sudah dikeroyok oleh dua puluh orang lebih yang rata-rata
mempunyai ilmu silat tinggi. Kiang Liat kewalahan, apa lagi perahu itu
bergoyang-goyang karena gerakan banyak orang. Dalam amukannya Kiang Liat
berhasil merobohkan dua orang, akan tetapi ia terdesak sampai ke pinggir
perahu.
Tidak ada
lain jalan bagi Kiang Liat. Di atas perahu yang berguncang itu dia tidak dapat
bersilat sebagaimana mestinya, maka untuk mencegah supaya ia jangan terjengkang
ke dalam air, ia lalu melirik ke bawah. Girang hatinya melihat perahunya masih
menempel di pinggir perahu besar. Karena itu, sambil memutar pedang sehingga
para pengeroyoknya mundur, ia lalu melompat ke arah perahu kecilnya itu.
Akan tetapi
alangkah kaget hatinya ketika dia melihat tiba-tiba perahu kecilnya bergerak,
meluncur maju cepat sekali sehingga tanpa dapat dicegah lagi, Kiang Liat jatuh
ke dalam air!
Air muncrat
tinggi dan Kiang Liat menelan air asin. Cepat ia menahan napas dan mumbul lagi
ke permukaan air, menggerak-gerakkan kaki dan tangan sehingga ia dapat bertahan
mengambang di atas air. Ia bukan seorang ahli renang, namun kalau hanya menahan
diri agar jangan tenggelam saja, ia masih bisa.
Dengan hati
dongkol dan juga terheran, Kiang Liat melihat bahwa yang membikin perahu
kecilnya terdorong maju adalah seorang laki-laki setengah tua. Laki-laki ini
tiba-tiba saja muncul di permukaan air bersama perahu kecilnya berikut layar
tambal-tambalan dan dia ini bukan lain adalah lelaki yang tadi bernyanyi-nyanyi
dan kemudian tenggelam bersama perahunya!
Dengan
enaknya laki-laki itu menggunakan perahu mendorong perahu Kiang Liat. Ketika
Kiang Liat melihat perahunya, dia bergidik. Perahunya sudah penuh dengan anak
panah yang menancap di seluruh badan perahu. Apa bila tadi dia berhasil
melompat ke dalam perahu, dia bersangsi apakah dia akan dapat menangkis hujan
anak panah itu.
Kini dia
melihat orang tua itu tertawa terkekeh-kekeh kepadanya. Orang setengah tua ini
rambutnya awut-awutan, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya penuh keriput. Akan
tetapi bentuk mukanya masih tampan serta gagah. Dia hanya satu kali terkekeh
kepada Kiang Liat, kemudian tubuhnya tiba-tiba saja melayang naik ke perahu
besar.
KIANG LIAT
ternganga keheranan. Ia telah sering kali melihat ahli-ahli silat tinggi
bergerak, akan tetapi baru sekali ini ia melihat orang melompat seperti kakek
itu. Perahu kecil yang ditinggalkannya sama sekali tak bergoyang dan tadi pada
waktu kakek itu melompat, dia seakan-akan memiliki sayap dan terbang ke atas
begitu saja!
Terdengar
suara gaduh di atas perahu, disambung oleh suara ketawa dan jerit kesakitan.
Tidak lama kemudian, sesosok bayangan melayang turun dan tahu-tahu kakek tadi
telah berada di atas perahu Kiang Liat yang penuh anak panah.
“Locianpwe,
harap tinggalkan nama!” terdengar suara Wi Wi Toanio dari atas perahu.
Orang tua
itu tertawa bergelak-gelak. “Wi Wi Toanio, aku datang dan pergi tidak pernah
memperkenalkan nama!”
“Kau sudah
menghina dan merusak patung Sam-kauwcu!” terdengar suara lainnya, yaitu suara
laki-laki.
Orang itu
kembali tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, beri tahukan pada Thian-te Sam-kauwcu
supaya mereka jangan terlalu sombong dengan patung-patungnya!”
Perahu besar
itu tadinya tidak bergerak, akan tetapi kini perahu itu mulai bergerak pergi
setelah orang-orangnya memasang layar. Agaknya mereka ketakutan sekali
menghadapi orang aneh tadi. Orang itu pun hanya tertawa saja melihat perahu itu
pergi dari situ.
Kiang Liat
memandang kagum dan heran. Akan tetapi tak lama kemudian ia mendongkol sekali
karena tanpa menoleh kepadanya, laki-laki itu mendayung perahu dan pergi dari
situ.
Kiang Liat
hendak memperingatkan orang itu bahwa perahu mereka tertukar, akan tetapi dia
menahan niatnya. Agaknya orang itu sengaja menukar perahu yang butut itu dengan
perahunya yang masih baik, akan tetapi mengingat orang itu telah menolongnya,
apakah pantas kalau dia ribut-ribut urusan perahu tertukar? Kekuatan orang itu
luar biasa sekali dan sebentar saja perahunya telah lenyap dari pandangan
matanya.
Biar pun
mendongkol, Kiang Liat merasa beruntung juga bahwa peristiwa itu lewat tanpa
mendatangkan bencana padanya. Perahu yang ia duduki itu butut, akan tetapi
layarnya yang tambal-tambalan masih ada. Ia benar-benar tidak dapat mengerti
bagaimana orang itu tadi dapat menyelam bersama perahunya termasuk
layar-layarnya!
Angin
bertiup kencang. Kiang Liat cepat-cepat memegang tali layar untuk mengemudikan
perahunya, menuju ke pulau kecil yang kelihatan samat-samar dari situ.
Tak lama
kemudian sampailah ia di sebuah pulau kecil yang penuh dengan pohon-pohon liar.
Ketika ia mendaratkan perahunya dan menurunkan layar, ia melihat sebuah perahu
penuh anak panah di tepi pantai. Hatinya berdebar. Tidak salah lagi, orang
setengah tua yang aneh tadi telah mendarat pula di pulau itu!
Baru saja
Kiang Liat melompat ke darat, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih dan
tahu-tahu dia telah berhadapan dengan seorang wanita baju putih yang kurus.
Wanita itu usianya kurang lebih empat puluh tahun, wajahnya agak pucat akan
tetapi masih terlihat cantik. Sepasang alisnya dikerutkan, ada pun bibirnya
ditekuk sedemikian rupa sehingga nampaknya galak dan gagah bukan main. Tangan
kanan wanita itu memegang sebatang cambuk yang ujungnya bercabang-cabang.
“Bocah
lancang kurang ajar, berani sekali kau mendarat di pulau ini tanpa ijin!”
wanita itu berseru marah dan cambuknya menyambar ke arah Kiang Liat.
Kiang Liat
kaget sekali. Sambaran cambuk itu mendatangkan angin dingin dan dia cepat
melompat ke belakang sambil mencabut pedangnya, karena ia tahu bahwa ia kini
sedang berhadapan dengan seorang yang lihai.
Akan tetapi
gerakan cambuk itu aneh sekali. Meski pun sabetan pertama tidak mengenai
sasaran, namun lengan wanita itu seakan-akan bisa terulur panjang dan kembali
cambuk itu menyerang lagi. Kini ujung cambuk yang begitu bercabang-cabang itu
bergerak-gerak seperti ular, menyerang ke jalan darah di tujuh bagian!
Kiang Liat
berseru keras dan memutar pedangnya untuk melindungi tubuh. Akan tetapi,
tiba-tiba dia merasa tubuhnya kaku. Pedangnya terlilit oleh sebatang ujung
cambuk dan pundaknya kena ditotok, membuat tubuhnya seketika terasa kaku dan
pada lain saat dia sudah rebah lemas dan pedangnya terampas!
Wanita itu
tertawa mengejek, memasukkan pedang rampasan ke dalam sarung pedang yang
tergantung pada pinggang Kiang Liat, kemudian menyeret tubuh Kiang Liat dengan
menarik lengannya, dibawa naik ke atas bukit. Di atas bukit itu, seorang lelaki
setengah tua sudah menantinya dan Kiang Liat melihat bahwa laki-laki itu adalah
orang aneh yang tadi telah menolongnya di atas laut ketika ia dikeroyok
orang-orang Mo-kauw.
“Sui Ceng,
apakah benar-benar kau begitu tega hati dan tetap berkeras membiarkan aku
bersengsara dan mati dalam keadaan hidup?” terdengar laki-laki itu berkata.
Kiang Liat
menjadi kaget bukan main. Tak tahunya bahwa wanita yang ganas dan lihai ini
adalah Bun Sui Ceng, orang yang sedang dicari-carinya dan yang oleh gurunya
disebut sebagai wanita yang amat lihai. Memang ia wanita lihai sekali, akan
tetapi jika wataknya demikian ganas, tipis sekali harapan untuk dapat minta
tolong kepada orang macam ini, pikir Kiang Liat.
“Kun Beng,
kau sudah tua, akan tetapi mengapa hatimu tetap muda? Cih, benar-benar tidak
tahu malu!” jawab wanita itu.
Kun Beng
menghela napas dan menggeleng-geleng kepalanya. “Sui Ceng, jangan kau salah
duga. Sudah lama aku dapat mengalahkan nafsu dan semua kata-kataku padamu sekali-kali
bukan didorong oleh nafsu, akan tetapi didorong oleh hasratku hidup seperti
manusia biasa. Apakah kau juga hendak mati dan meninggalkan dunia begitu saja
tanpa meninggalkan keturunan yang akan menyambung riwayat hidupmu?”
Sui Ceng,
atau lengkapnya Bun Sui Ceng murid Kiu-bwee Coa-li, membanting-banting kakinya
dan keningnya dikerutkan.
“Menyebalkan,
menyebalkan! Kun Beng, engkau seperti tidak tahu saja. Apa sih baiknya hidup
ini? Penuh penderitaan, penuh kepalsuan, penuh penyesalan dan penuh keributan-keributan!
Siapa ingin mempunyai keturunan untuk merasakan semua penderitaan ini? Tidak,
cukup diderita oleh kita sendiri, jangan menurunkan nyawa lain untuk mengalami
pahit getir seperti yang kita alami. Sudahlah mari kita habiskan hidup dengan
berlomba, siapa yang lebih cepat maju!”
Kun Beng
kelihatan sedih sekali. “Sui Ceng, tidak kusangka bahwa kau berhati batu yang
dingin dan keras. Akan tetapi, aku tetap tidak percaya. Kau sengaja mengeraskan
hati, padahal aku yakin bahwa kau masih mencinta padaku. Sui Ceng, apakah
hingga puluhan tahun kau masih saja belum dapat mengampuni
kesalahan-kesalahanku?”
Mendengar
percakapan ini, Kiang Liat menjadi terharu dan juga jengah. Tanpa disengaja dia
mendengarkan percakapan dari dua orang tua mengenai cinta kasih, dua orang yang
berbicara mengenai hal demikian gawat secara begitu saja di hadapannya, tanpa
tedeng aling-aling!
“Kun Beng,”
suara Sui Ceng terdengar lembut, agaknya kata-kata Kun Beng tadi sudah
mengharukan hatinya. “Bukan aku yang keras hati, melainkan engkaulah. Cinta
kasihmu sampai puluhan tahun belum padam, sungguh-sungguh menandakan bahwa kau
berhati sekeras baja. Akan tetapi, seperti juga dulu telah kukatakan kepadamu
berkali-kali, kalau tidak salah sudah empat belas kali kau datang menyusul dan membujukku,
aku hanya akan menuruti kehendakmu kalau kau sudah bisa mengalahkan cambukku!”
Kun Beng
menundukkan kepalanya, kemudian ia menggeleng-gelengkan kepala itu. “Sui Ceng,
ke mana saja kau pergi, aku selalu mencari dan menyusulmu. Sampai kau lari ke
Go-bi-san, ke perbatasan Mongol, ke rimba raya di lembah Huang-ho, aku
menyusulmu. Akan tetapi kau tahu bahwa aku tidak dapat menurunkan tangan untuk
bertanding silat denganmu, aku tidak dapat mengalahkanmu. Andai kata aku dapat,
aku pun tidak akan tega mengalahkanmu. Aku tidak ingin menjadi suamimu karena
kekerasan, atau karena kau terpaksa, aku menghendaki supaya kau suka menerimaku
sebagai suamimu dengan cinta kasih.”
“Jangan
ngaco-belo!” Sui Ceng membentak marah, akan tetapi Kiang Liat maklum bahwa
wanita sakti itu terharu sekali, buktinya dua butir air mata menitik turun ke
atas pipinya. “Kun Beng, sudah dua tahun kita tidak bertemu, mari kau melayani
cambukku barang seratus jurus!”
Kun Beng
menarik napas panjang. “Kau memang sangat doyan berkelahi. Biasanya aku
melayanimu supaya kau gembira. Akan tetapi, kini aku akan berusaha
mengalahkanmu. Siapa tahu kalau-kalau dengan kekalahanmu, akan kalah pula
kekerasan kepalamu, Sui Ceng.”
Setelah
berkata demikian, Kun Beng membuka baju luarnya dan mengeluarkan sebatang
tombak yang kelihatannya butut dan kotor. Akan tetapi di antara batang yang
kotor itu kelihatan kilauan dari logam aslinya.
Sui Ceng
mengeluarkan seruan girang dan dengan kaki kirinya ia lalu menendang tubuh
Kiang Liat yang tadi menggeletak di depannya karena orang muda ini masih tak
berdaya dan berada dalam keadaan tertotok.
Tubuh Kiang
Liat terguling sampai lima tombak lebih, namun dia dapat melompat bangun karena
tendangan itu ternyata adalah obat untuk membebaskannya dari totokan. Ia tidak
berani sembarangan bergerak, hanya duduk di atas tanah dan memandang dengan
hati tertarik dan penuh perhatian.
Hatinya
berdebar. Ia telah diutus oleh gurunya untuk mencari dan minta bantuan kepada
dua orang aneh itu, akan tetapi sekarang ia menjumpai mereka dalam keadaan
hendak bertarung untuk memperebutkan kebenaran pendapat masing-masing!
Benar-benar aneh sekali dua orang ini.
Sui Ceng
adalah murid tunggal terkasih dari Kiu-bwe Coa-li, tentu saja ilmu silatnya
tinggi sekali. Kepandaian tunggal yang istimewa dari Kiu-bwe Coa-li, yakni
permainan cambuk, telah diturunkan kepadanya, maka dalam hal permainan senjata
aneh ini, Sui Ceng amat pandai dan tidak kalah lihainya dari mendiang Kiu-bwe
Coa-li.
Cambuknya
itu ujungnya bercabang sembilan dan setiap ujung merupakan senjata maut yang
mengerikan. Jangankan sampai kena pukul, baru terkena totokan saja, setiap
ujung cabang dapat mencabut nyawa lawan!
Di lain
pihak, kepandaian The Kun Beng sudah disaksikan oleh Kiang Liat. Pendekar ini
adalah murid ke dua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, yang sudah mewarisi ilmu
tombak dari mendiang suhu-nya. Maka ilmu tombaknya juga jarang ada yang dapat
menandingi pada masa itu.
Pada saat digerakkan
ujung tombak itu bergetar sehingga ujung itu seakan-akan berubah menjadi
belasan banyaknya, mengeluarkan suara mendenging yang menyakitkan anak telinga.
Setiap tusukan, tangkisan, atau pukulan dari tombak dan gagangnya disertai oleh
tenaga lweekang yang luar biasa kuatnya.
Demikianlah,
dua orang itu bertempur dengan amat hebatnya. Kadang-kadang keduanya lenyap
dari pandangan mata, tertutup oleh selimut dari gulungan sinar senjata mereka.
Bahkan Kiang Liat sendiri yang terhitung seorang ahli silat kelas tinggi,
menjadi pening dan tidak dapat mengikuti gerakan-gerakan mereka dengan baik.
Akan tetapi,
setelah bertempur dengan cepat sampai puluhan jurus, tiba-tiba saja mereka
kelihatan lagi dan sekarang pertempuran dilangsungkan tanpa mengalihkan kedua
kaki. Mereka berdiri berhadapan dengan jarak dekat dan hanya kedua tangan
mereka saja yang bergerak dan senjata mereka yang menyambar-nyambar pergi
datang!
Kiang Liat
melongo. Selama hidupnya belum pernah ia melihat pertempuran sehebat ini.
Memang pernah ia menyaksikan kepandaian istimewa dari gurunya, Han Le, terutama
ia pernah pula mengagumi kehebatan supek-nya, Bu Pun Su. Pernah pula ia
menghadapi orang-orang lihai seperti Pek Hoa Pouwsat dan lain-lainnya, akan
tetapi belum pernah ia melihat dua orang sakti bertanding sehebat ini! Padahal
pertandingan mereka itu hanya ‘main-main’ belaka, bukan untuk saling membunuh,
hanya sekedar mengadu limu atau menguji tingkat saja.
Setelah
beberapa puluh jurus dilewatkan dengan pertempuran lambat, kembali mereka
bertempur cepat.
“Brettt!”
tiba-tiba terdengar suara dan melayanglah sehelai robekan kain.
“Sui Ceng,
aku mengaku kalah...,” kata Kun Beng yang melompat keluar dari kalangan
pertandingan. Yang melayang tadi adalah robekan ujung bajunya, rupa-rupanya
terkena sabetan cambuk Sui Ceng.
Sui Ceng
merengut, mukanya yang agak pucat itu menjadi merah.
“Kau memang
laki-laki tahu! Selalu menunjukkan sifat lemah dan mengalah. Siapa tidak tahu
bahwa kau tadi sengaja memiringkan gagang tombakmu sehingga ujung cambukku
dapat merobek ujung bajumu? Cih, kau selalu mengecewakan hatiku!”
“Aku memang
kalah, Sui Ceng,” kata Kun Beng, wajahnya nampak berduka sekali.
Sui Ceng
membanting-banting kedua kakinya. Tiba-tiba ia dan Kun Beng menengok ke arah
Kiang Liat ketika mendengar orang muda itu berkata,
“Ji-wi sudah
memperlihatkan kepandaian yang tiada duanya di kolong langit. Kepandaian Ji-wi
Locianpwe seperti kepandaian dewa saja. Boanpwe Kiang Liat yang bodoh merasa
beruntung sekali sempat menyaksikan kepandaian hebat itu.” Sambil berkata
demikian, Kiang Liat menjura dengan penuh penghormatan.
Sui Ceng
tiba-tiba tertawa senang, “Ahh, benar juga, Kun Beng. Kau selalu sungkan dan
mengalah kalau mengadu kepandaian denganku. Sekarang ada orang muda ahli pedang
ini, biarlah dia yang menentukan siapa yang lebih unggul di antara kita. Ehh,
orang she Kiang, cabutlah pedangmu!”
Kiang Liat
merasa ragu-ragu, akan tetapi melihat sinar mata wanita sakti itu, ia tak
berani membantah. Dicabutnya pedangnya dan ia memandang kepada Sui Ceng dengan
mata bertanya.
Kiang Liat
tertegun. Selama hidupnya baru satu kali ini dia menghadapi perintah seaneh
ini, yaitu ketika ia bertemu dengan Bu Pun Su, supek-nya. Namun sekarang,
lagi-lagi ia menghadapi perintah serupa dari Bun Sui Ceng!
“Boanseng
mana berani berlaku kurang ajar?” katanya perlahan.
“Bodoh! Aku
sedang menguji kepandaian dengan Kun Beng. Hendak kami lihat di antara kami,
siapa yang lebih dulu dapat merobohkanmu. Hayo serang!”
Panaslah
perut Kiang Liat. Ia merasa dihina sekali, hendak dijadikan permainan oleh dua
orang aneh itu. Oleh sebab itu, tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, ia lalu
menggerakkan pedangnya, menyerang dengan gerakan tipu yang paling lihai dari
ilmu pedangnya, yakni Lian-cu Sam-kiam. Serangannya ini hebat dan ilmu pedang
ini adalah petunjuk dari Han Le, maka tingkatnya sudah tinggi sekali.
Kalau tadi
Kiang Liat dengan mudah ditawan oleh Bun Sui Ceng dalam segebrakan saja, itu
adalah karena Kiang Liat diserang tiba-tiba dan ia tidak menyangka sama sekali
akan kelihaian Sui Ceng. Akan tetapi, sekarang ia telah maklum bahwa ia tengah
menghadapi seorang yang kepandaiannya jauh mengatasinya, maka begitu menyerang,
dia langsung mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang istimewa serta mengerahkan
semua tenaga lweekang-nya.
“Ayaaa...
bagus sekali ilmu pedang ini!” Bun Sui Ceng berseru gembira.
Sui Ceng
melompat, cambuknya terayun dan berkali-kali di tengah udara terdengar suara
bergeletar dari ujung-ujung cambuknya. Dia benar-benar kagum karena ia tidak
mengira bahwa orang muda itu mempunyai kiam-hoat yang demikian lihai.
Akan tetapi,
betapa pun hebat ilmu pedang keluarga Kiang yang sudah disempurnakan oleh
petunjuk-petunjuk Han Le, tingkat kepandaian Kiang Liat memang jauh lebih
rendah. Baik dalam ginkang, lweekang, mau pun kemahiran gerakan silat, dia
kalah banyak. Apa lagi memang senjata di tangan Sui Ceng itu benar-benar aneh
dan hebat.
Dengan
mati-matian Kiang Liat membela diri dan membalas dengan jurus-jurus pilihan,
namun pada jurus ke tiga belas ia tidak dapat mempertahankan diri lagi.
Sebatang ujung cambuk di tangan Sui Ceng bagaikan seekor ular telah membelit
kaki kanannya sehingga tanpa dapat dicegah lagi, Kiang Liat segera terpelanting
roboh ketika Sui Ceng menarik cambuknya!
Kiang Liat
bangkit berdiri dengan muka merah. Ia tidak merasa sakit sama sekali, hanya
pakaiannya yang menjadi kotor. Setelah mengebut-ngebut pakaiannya, dia menjura
pada Sui Ceng. “Terima kasih atas pelajaran dan petunjuk Locianpwe.”
Sebaliknya,
Sui Ceng memandang kepadanya dengan tersenyum girang.
“Baru
sekarang ini aku bertemu dengan seorang muda yang kepandaian ilmu pedangnya
demikian tinggi. Tak malu aku mengaku bahwa sampai sekarang pun aku masih belum
dapat mengenal ilmu pedangmu,” katanya.
Terdengar
The Kun Beng tertawa terkekeh, “Sui Ceng, biar pun ilmu pedang bocah she Kiang
ini sangat lihai, tetap saja dalam tiga belas jurus dia roboh olehmu. Aku mana
bisa melakukan hal itu? Sudahlah, aku pun mengaku kalah dalam pertandingan
ini.”
“Kau
curang!” Sui Ceng membentak, “Mana bisa pertandingan dianggap kalah jika belum
dilakukan? Ehh, orang she Kiang, sekarang kau pergunakan pedangmu, seranglah
dia si tua bangka itu!”
Diam-diam
Kiang Liat merasa kasihan dan terharu mendengar semua percakapan antara dua
orang setengah tua ini. Dia sendiri sudah merasakan kebahagiaan berumah tangga,
hidup penuh kasih sayang dan saling mencinta dengan Bi Li. Mengapa dua orang
aneh ini tidak dapat mengecap kebahagiaan itu? Kalau saja aku dapat menjadi
perantara atau jembatan agar supaya mereka saling mendapatkan, pikir Kiang
Liat.
“Baik,
Boanpwe akan menyerang. Awaslah, Locianpwe!” katanya dan pedangnya segera
bergerak cepat menyerang Kun Beng.
“Eh, ehh,
lihai sekali...” Kun Beng juga memuji dan suaranya gembira.
Ahli silat
manakah yang tidak gembira pada saat menghadapi pertandingan ilmu silat? Ia
cepat menggerakkan tombaknya dan terdengar suara berdencing ketika tombak
bertemu dengan pedang. Biar pun Kun Beng menangkis perlahan saja, namun Kiang
Liat merasa telapak tangannya pedas dan tergetar hebat. Ia terkejut sekali dan
bersilat lebih hati-hati. Ia tidak membiarkan pedangnya bertemu dengan tombak.
Akan tetapi
setelah bertanding beberapa jurus, tahulah Kiang Liat bahwa lagi-lagi kakek ini
mengalah terhadap Sui Ceng. Bila tadi dengan cambuknya, Sui Ceng menyerangnya
secara hebat dan penuh nafsu untuk cepat-cepat merobohkan, adalah Kun Beng ini
lebih banyak bertahan dari pada menyerang.
Kiang Liat
tidak mau membiarkan hal ini terjadi. Maka, pada jurus ke sepuluh, dia tidak
menarik kakinya yang kena diserampang oleh tombak sehingga tergulinglah dia!
Kun Beng
berdiri terpaku, Sui Ceng tertawa geli, dan Kiang Liat merayap bangun.
“Kun Beng,
kali ini kau menang!” kata Sui Ceng.
“Benar, dan
Ji-wi Locianpwe sekarang dapat melanjutkan perjodohan itu!” berkata Kiang Liat.
“Bocah
lancang, apa maksudmu?” Sui Ceng membentak dan ia telah melompat ke depan Kiang
Liat dengan sinar mata bernyala penuh ancaman.
Kiang Liat
kaget sekali, tak disangkanya bahwa wanita sakti ini akan marah. “Bukankah tadi
Ji-wi Locianpwe hendak mempergunakan Boanpwe sebagai ujian? Bukankah tadi
Locianpwe menyatakan bahwa kalau Locianpwe kena dikalahkan, maka perjodohan
baru dapat terjadi? Boanpwe hanya mengatakan apa yang tadi boanpwe dengar, maka
mohon banyak maaf apa bila boanpwe tanpa disengaja berkata lancang.”
“Sui Ceng,
orang muda pun merasa kasihan kepada kita, kenapa kau tidak mau kasihan kepada
diri sendiri?” Kun Beng berkata, suaranya gemetar.
Akan tetapi
Sui Ceng marah sekali. Cambuknya diayun ke atas kepala, mengeluarkan suara yang
nyaring, “Kau bocah lancang mulut, berani sekali bicara tentang urusan orang
lain. Kau harus diberi hajaran!”
Baiknya
sebelum cambuk itu meluncur ke tubuh Kiang Liat, Kun Beng sudah melompat dan
menahan Sui Ceng.
“Sabar Sui
Ceng. Bocah she Kiang ini datang ke sini karena diutus oleh Lu Kwan Cu!”
“Apa...?
Utusan Lu Kwan Cu...?” Sui Ceng menurunkan tangannya yang tiba-tiba terlihat
lemas, matanya terbelalak memandang kepada Kiang Liat.
Kiang Liat
tidak tahu bahwa Lu Kwan Cu adalah nama asli dari Bu Pun Su, maka ia tidak
mengerti. Hanya ia ingat akan pesan suhu-nya bahwa di depan dua orang ini, ia
harus banyak-banyak menyebut nama Bu Pun Su, oleh karena itu ia segera
menjawab,
“Ji-wi
Locianpwe… boanpwe Kiang Liat diutus Suhu Han Le dan Supek Bu Pun Su untuk mencari
Ji-wi.”
“Hem, Bu Pun
Su menyuruh kau mencariku, ada urusan apakah?” tanya Sui Ceng sambil
mengerutkan keningnya.
Dengan
singkat Kiang Liat lalu menuturkan apa yang ia dengar dari Han Le, yakni bahwa
di dunia persilatan muncul tiga tokoh asing yang lihai dan yang kini menguasai
dunia kang-ouw, mengancam semua orang gagah yang tidak mau menggabungkan diri
dengan Mo-kauw. Dan bahwa pada bulan enam yang akan datang, pihak Mo-kauw
menantang Bu Pun Su beserta orang-orang gagah lainnya untuk mengadakan penentuan
siapa yang berhak menguasai dunia kang-ouw, di sebelah barat bukit
Heng-tuan-san.
Mendengar
ini, Sui Ceng nampaknya tidak tertarik sedikit pun juga.
“Serombongan
tikus-tikus busuk macam itu saja, apa artinya bagi Bu Pun Su? Aku berani
mempertaruhkan kepalaku bahwa Bu Pun Su seorang diri pun akan sanggup membasmi
mereka sampai ke akar-akarnya. Mengapa pula orang seperti aku dan Kun Beng
harus ikut turun tangan membantu?”
”Akan tetapi
sekarang keadaannya lain lagi, Sui Ceng,” kata Kun Beng, menggirangkan hati
Kiang Liat yang tadinya sudah kecewa, “sekali ini musuh-musuh Bu Pun Su agaknya
betul-betul hendak berusaha merebut kekuasaan di dunia kang-ouw. Malah
kedatangan Kiang-enghiong ke sini tak terluput dari perhatian mereka sehingga
Kiang-enghiong telah dihadang di tengah samudera. Tahukah engkau siapa yang
menghadangnya dan hendak membunuhnya agar dia jangan minta bantuan kita?”
“Siapa? Anak
buah Mo-kauw?” tanya Sui Ceng acuh tak acuh.
“Benar, akan
tetapi bukan anak buah sembarangan, melainkan An Kai Seng sendiri dan
isterinya, siluman betina Wi Wi Toanio!”
Mendengar
kedua nama ini, mata Sui Ceng bercahaya. “Apa? Dan kau tidak membunuh mampus
mereka?”
Kun Beng
tersenyum dan menggeleng kepala. “Aku tidak mau membikin kau kecewa, Sui Ceng.
Membasmi mereka adalah tugasmu, bukan?”
“Di mana
mereka?” Sui Ceng menggerakkan cambuknya.
“Kau dapat
bertemu dengan mereka kelak pada awal bulan enam di Yalu Cangpo, pada tikungan
sebelah barat Gunung Heng-tuan-san,” jawab Kun Beng.
“Bulan enam
kurang tiga bulan lagi, Heng-tuan-san tidak dekat, mari kita berangkat!” kata
Sui Ceng tiba-tiba sambil berlari ke pantai.
Kun Beng
memegang lengan Kiang Liat. “Orang muda, mari kita berangkat!”
Kiang Liat
tak dapat menahan ketika tiba-tiba ia ditarik dengan cepatnya oleh Kun Beng.
Akan tetapi hatinya merasa girang sekali karena tak disangka-sangkanya,
tugasnya bisa dipenuhinya demikian mudah. Lebih gembira lagi hatinya ketika
dalam perjalanan menuju ke Heng-tuan-san itu, Sui Ceng dan Kun Beng yang suka
sekali melihat orang muda ini, berkenan menurunkan beberapa jurus ilmu silat
tinggi sehingga Kiang Liat mendapatkan kemajuan yang luar biasa.
Bahkan ia
juga telah menerima pelajaran ilmu lari cepat dari Sui Ceng sehingga ia dapat
melakukan perjalanan dengan leluasa bersama kedua orang tokoh ini, tidak perlu
lagi ia digandeng oleh Kun Beng. Ilmu berlari cepat dari Sui Ceng yang disebut
Yan-cu Hui-po (Tindakan Seperti Walet Terbang) memang luar biasa sekali, dan
berkat dari besarnya bakat dasar dalam diri Kiang Liat, pendekar muda ini dapat
mempelajarinya dengan amat cepat.
***************
Awal bulan
Lak-gwe di lembah Sungai Yalu Cangpo!
Lembah ini
biasanya sunyi sekali, tak pernah didatangi manusia karena memang daerah ini
masih liar dan sukar didatangi. Binatang-binatang buas yang aneh dan jarang
terlihat di hutan-hutan yang sudah dijajah manusia, masih berkeliaran di tempat
ini. Orang tanpa memiliki kepandaian tinggi jangan harap dapat keluar dari
hutan ini dengan selamat.
Akan tetapi,
pada pagi hari itu, di lembah sungai, tepat di mana sungai itu membelok dan
kembali mengalir ke arah barat, keadaannya ramai sekali. Di sebuah tempat terbuka
di pinggir sungai, kelihatan banyak orang yang duduk di atas rumput.
Di depan
mereka juga duduk beberapa orang di atas batu karang. Mereka seakan-akan
menanti datangnya orang lain. Bekas-bekas tempat pohon ditebang menunjukkan
bahwa tempat ini memang sengaja disediakan untuk pertemuan ini.
Jumlah orang
yang duduk di atas rumput ada tiga puluh orang lebih. Pakaian mereka
bermacam-macam, akan tetapi rata-rata mempunyai air muka penjahat. Banyak di
antara mereka yang tubuhnya tinggi besar dengan muka bengis, kasar
gerak-geriknya, duduk sambil minum arak atau mengobrol dengan kata-kata yang
kotor dan kasar. Akan tetapi ada pula yang gerak-geriknya halus dan bermuka
tampan, namun sinar matanya tetap membayangkan kekejaman dan kebuasan.
Di depan
sekali, di atas batu karang, duduk Thian-te Sam-kauwcu, tiga orang dari barat
yang kini menguasai Mo-kauw. Memang mereka ini adalah orang-orang terpenting
dari Mo-kauw, yang berkumpul di situ untuk menghadapi musuh. Tak jauh dari tiga
ketua ini, duduk pula Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko, sepasang manusia iblis yang
terkenal lihai dan keji sekali.
Selain
mereka ini, masih terdapat banyak tokoh-tokoh yang berilmu tinggi, bahkan di
antaranya terdapat pula Kiam Ki Sianjin, seorang yang tinggi sekali ilmu
kepandaiannya! Karena dulu pernah menderita kekalahan ketika menghadapi Bu Pun
Su, Kiam Ki Sianjin terpaksa bergabung dengan Thian-te Sam-kauwcu untuk
memperkuat kedudukannya.
Akan tetapi
yang paling mencolok di antara mereka semua adalah seorang wanita cantik jelita
seperti bidadari yang duduknya terpisah, di sebelah kiri dari tiga ketua itu.
Dia ini kelihatannya masih muda, seperti seorang gadis dua puluh tahun,
cantiknya benar-benar membuat semua orang laki-laki yang berada di sana menelan
ludah dengan hati kagum dan penuh gairah.
Akan tetapi
tidak seorang pun berani memperlihatkan kekagumannya secara berterang, karena
gadis ini bukanlah orang sembarangan. Dia ini adalah murid terkasih dari
Thian-te Sam-kauwcu dan dia bukan lain adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat.
Melihat setangkai
bunga putih di rambutnya, orang akan mengenal Dewi Jelita ini, akan memandang
dengan penuh kekaguman. Akan tetapi apa bila melihat gagang sepasang pedang
yang tersembul di pundak kirinya, orang itu akan merasa ngeri karena sepasang
pedang itu entah sudah makan berapa banyak nyawa orang-orang tak berdosa!
“Mengapa
sampai sekarang dia belum muncul?” terdengar Hek-te-ong, orang pertama dari
Thian-te Sam-kauwcu yang bertubuh tinggi besar, bertanya. Suaranya besar
seperti tambur dan kulitnya yang hitam itu mengkilap tertimpa sinar matahari
pagi.
“Ha-ha-ha,
agaknya Bu Pun Su sudah kehilangan nyalinya dan takut kepada kita...!” kata
Pek-in-ong, orang ke dua yang tinggi kurus seperti cecak kering dan mukanya
seperti tengkorak. Suaranya tinggi dan nyaring menusuk telinga.
Mendengar
ejekan ini, semua orang lalu tertawa dan bergemalah suara ketawa mereka sampai
di permukaan air sungai Yalu Cangpo.
Tiba-tiba
suara ketawa mereka itu terhenti. Mereka terkejut mendengar suara ketawa lain
yang parau dan keras, yang keluar dari permukaan air sungai!
Cheng-hai-ong,
orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu yang bertubuh kurus bongkok dan bermata
sipit menggerakkan tangan. Sebatang hui-to (golok terbang) meluncur ke arah
permukaan air.
Air itu
bergelombang dan hui-to itu tenggelam, tidak ada tanda sesuatu. Apa bila betul
di permukaan air tadi ada sesuatu, jelas bahwa hui-to itu tidak mengenai
sesuatu.
“Bedebah,
berani main gila dengan Cheng-hai-ong!” seru kakek kurus bongkok ini sambil berbangkit
dari tempat duduknya. Dia hendak melompat dan terjun ke dalam air karena orang
ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu ini memang merupakan seorang ahli dalam air,
maka julukannya juga Cheng-hai-ong yang berarti Raja Laut Hijau!
Akan tetapi,
ia membatalkan niatnya karena tiba-tiba dari dalam hutan muncul seorang kakek
berusia empat puluh tahun lebih bertubuh sedang dan berpakaian sederhana.
“Thian-te
Sam-kauwcu, aku sudah datang, tak perlu gelisah!”
Semua orang
memandangnya. Bu Pun Su berjalan lambat-lambat naik ke tempat terbuka itu,
tongkat kecil di tangan kiri, dipukul-pukulkan di atas tanah ketika ia
berjalan. Ia tidak terlihat membawa senjata, hanya di pinggangnya terselip
sebatang suling bulat. Setelah tiba di depan Thian-te Sam-kauwcu, kurang lebih
sepuluh tombak jaraknya, dia berhenti dan berdiri tegak.
Thian-te
Sam-kauwcu sudah lama mendengar nama Bu Pun Su yang menggemparkan dunia
kang-ouw dan yang diakui oleh para tokoh kang-ouw sebagai jagoan nomor satu,
akan tetapi baru kali ini mereka bertemu muka dengan pendekar sakti itu.
“Ha-ha-ha!”
Hek-te-ong tertawa bergelak sambil memegangi perutnya, menahan kegelian
hatinya. Ia tidak hanya geli, akan tetapi juga sengaja mentertawakan orang yang
baru datang untuk menguji perasaan Bu Pun Su.
“Inikah yang
bernama Bu Pun Su? Lucu sekali! Agaknya sudah tak ada lagi orang gagah di
Tiong-goan sehingga bocah macam ini menjadi jago nomor satu. Ha-ha-ha!”
“Siluman
hitam, sombong sekali mulutmu!” terdengar bentakan nyaring seorang wanita dan
nampak bayangan berkelebat cepat, tahu-tahu Bu Sui Ceng telah berdiri di dekat
Bu Pun Su, cambuknya bergoyang-goyang di tangan kanannya.
Thian-te
Sam-kauwcu tercengang. Gerakan wanita yang baru datang ini benar-benar hebat,
membuktikan bahwa ginkang dari wanita ini sudah sampai di tingkat tinggi
sekali. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Bu Pun Su memang sengaja tidak
memperlihatkan kepandaian, berbeda dengan Bu Sui Ceng yang wataknya keras.
Di belakang
Sui Ceng, juga menyusul datang The Kun Beng yang diikuti oleh Kiang Liat.
Melihat Sui Ceng, Bu Pun Su memandang dengan muka yang tidak berubah, akan
tetapi wajahnya berseri ketika ia melihat Kun Beng datang bersama Sui Ceng.
“Bagus,
kalian datang, ini tanda bahwa kiamat sudah tiba bagi Thian-te Sam-kauwcu,”
kata Bu Pun Su kepada Sui Ceng dan Kun Beng.
Belum habis
gema suara Bu Pun Su ini, berturut-turut muncul Swi Kiat Siansu dan Pok Pok
Sianjin, diikuti pula oleh Han Le!
Sui Ceng
tidak mau membuang banyak waktu. Ia melangkah maju menghampiri tempat duduk
Thian-te Sam-kauwcu. Di hadapan tiga orang Ketua Mo-kauw ini, di atas tanah,
terbentang sehelai kain dan di atas kain berwarna hitam itu tergeletak sebuah
kitab dan sebatang pedang. Sekali melihat saja, Sui Ceng sudah dapat menduga
dan ia berkata nyaring,
“Apakah ini
kitab Siauw-lim-pai dan pedang Kun-lun-pai yang dicuri oleh kaum siluman?”
Kembali ia melangkah maju.
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa yang lambat dan perlahan, akan tetapi menyeramkan. Yang
tertawa adalah Cheng-hai-ong. Tangannya lalu bergerak dan belasan benda warna
hijau menyambar ke arah kitab dan pedang.
Ketika Sui
Ceng melihat, ternyata bahwa sekeliling kain tempat kitab dan pedang itu telah
terkurung oleh anak-anak panah berwarna hijau yang menancap di atas tanah,
begitu rapi seperti ditancapkan dan diatur dengan tangan. Dengan adanya
anak-anak panah itu, maka kitab dan pedang itu terkurung rapat!
Demonstrasi
kepandaian ini tak aneh jika orang tahu bagaimana cara menggunakannya. Pada
umumnya, anak panah hanya diluncurkan dengan bantuan sebuah busur, namun
melepaskan belasan batang anak panah sekaligus hanya dengan lontaran tangan dan
dapat mengenai sasaran demikian tepatnya, jarang sekali ada orang dapat
menirunya. Selain membutuhkan latihan, juga membutuhkan lweekang yang amat
tinggi.
“Hah,
pertunjukan kanak-kanak macam itu siapa sih yang menghargai?” kata Sui Ceng.
Cambuknya
bergerak. Terdengarlah suara bergeletar beberapa kali dari sembilan ujung
cambuknya dan tanpa mengenai kitab dan pedang, anak-anak panah yang tertancap
di sekeliling kain hitam itu lenyap beterbangan ke kanan kiri!
“Heh-heh-heh,
terima kasih atas pertunjukan ini. Kau tentu murid Kiu-bwe Coa-li!” kata
Cheng-hai-ong dengan senyum mengejek, meski pun di dalam hatinya ia merasa
kagum sekali.
Pada saat
itu pula terdengar suara orang datang ke tempat itu, dan ketika semua orang
memandang, ternyata sudah datang pula dua rombongan orang di mana masing-masing
rombongan terdiri dari sepuluh orang.
Rombongan
pertama adalah rombongan hwesio dari Siauw-lim-pai yang dikepalai oleh dua
orang hwesio tua bertubuh gemuk. Rombongan ke dua adalah rombongan tosu dari
Kun-lun-pai yang dikepalai oleh seorang tosu tua yang kurus dan tinggi.
Pada saat
semua orang memandang pada rombongan ini, dari pihak Mo-kauw meloncat keluar
seorang wanita setengah tua yang cantik. Wanita ini adalah Wi Wi Toanio yang
memegang sebuah tusuk konde perak, dipegang di tangan kanannya kemudian
diangkat tinggi-tinggi.
Dia lalu
melompat ke depan dan memandang ke arah rombongan Bu Pun Su, matanya
mencari-cari dan ia berseru heran,
“Di mana
dia...?”
Tak seorang
tahu apa yang dimaksudkan oleh Wi Wi Toanio, akan tetapi pada saat itu, Bun Sui
Ceng dan yang lain-lain juga merasa heran karena tanpa mereka ketahui, Bu Pun
Su sudah menghilang dari situ. Tak seorang pun tahu ke mana perginya pendekar
sakti ini!
Para pembaca
cerita Pendekar Sakti tentu maklum mengapa Bu Pun Su melenyapkan diri. Pendekar
sakti ini tadi melihat Wi Wi Toanio berada di antara rombongan Mo-kauw, maka
melihat wanita itu muncul sambil mencabut tusuk konde, ia lekas-lekas melarikan
diri dengan cepatnya.
Sebagaimana
diketahui, dalam cerita Pendekar Sakti Bu Pun Su pernah terlibat dalam urusan
asmara dengan Wi Wi Toanio dan pernah bersumpah di depan wanita ular yang
berbahaya ini bahwa dia akan selalu menuruti kehendak Wi Wi Toanio. Ada pun
tusuk konde itu adalah hadiahnya kepada Wi Wi Toanio dan di depan tusuk konde
itulah dia bersumpah! Oleh karena itu, apa bila Wi Wi Toanio mengeluarkan benda
ini di depannya, apa pun juga yang terjadi, Bu Pun Su selalu akan tunduk dan
menyerah, sesuai dengan sumpahnya yang tak mungkin ia langgar sendiri.
Di antara
semua orang yang berada di situ, yang tahu penyebab perginya Bu Pun Su,
hanyalah Han Le seorang. Kepada sute ini saja Bu Pun Su sudah membuka
rahasianya dan menceritakan dengan terus terang akan kebodohannya sehingga di
waktu mudanya dahulu ia masuk ke dalam perangkap Wi Wi Toanio. Oleh karena itu,
kini Han Le tampil ke muka, mewakili Bu Pun Su dan berkata kepada Thian-te
Sam-kauwcu,
“Thian-te
Sam-kauwcu, kiranya kalian sudah tahu betul apa maksud kedatangan kami,
terutama sekali mengapa rombongan saudara dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai
datang ke sini. Tak perlu bicara panjang lebar, kitab dan pedang itu adalah
milik kedua partai itu yang sudah kalian curi secara tidak tahu malu. Kini
kalian menghendaki kami datang, sebenarnya apakah kehendak kalian?”
Hek-te-ong
berdiri dari batu karang yang didudukinya tadi. Wajahnya yang hitam itu
menyeringai lebar, sama sekali tidak memandang mata kepada Han Le.
“Ha-ha-ha,
entah ke mana perginya Bu Pun Su, akan tetapi kiranya dia takut kepada kami.
Kami tak perlu pula bicara panjang lebar, tak perlu menyembunyikan maksud kami.
Memang kitab Siauw-lim-pai dan po-kiam (pedang pusaka) Kun-lun-pai telah kami
bawa ke sini, karena tanpa mengambil dua benda ini, kiranya kalian tidak akan
mau menerima undangan kami. Ketahuilah, sudah lama kami mendengar betapa
golongan kalian sangat memandang rendah kepada kami kaum Mo-kauw, banyak
penghinaan telah kami alami. Akan tetapi sekarang tiba waktunya kami untuk
memperlihatkan, siapa sebetulnya yang lebih kuat. Kitab dan pedang dapat kami
ambil tanpa kalian mengetahui, ini saja sudah membuktikan bahwa kami kaum
Mo-kauw juga tidak boleh dipandang rendah. Sekarang, terus terang saja kami
menuntut agar kalian suka berjanji bahwa selanjutnya pihak kalian tidak boleh
mengganggu kami dan mau mengakui kami sebagai sebuah partai persilatan terbesar
di dunia kang-ouw. Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai adalah partai-partai terbesar,
maka kedua partai itulah yang kami tuntut supaya sekarang juga mengakui kami
sebagai pimpinan partai terbesar!”
Han Le
tersenyum mengejek, “Hek-te-ong, kau bicara sombong sekali. Belum pernah
orang-orang gagah di dunia kang-ouw mengganggu siapa pun juga, kecuali mereka
yang jahat dan sesat. Kalau Mo-kauw merasa terganggu, itu tandanya bahwa sepak
terjang anggota Mo-kauw memang tidak patut. Bagaimana kau menghendaki kami
berjanji tidak akan mengganggu? Lebih baik kalian yang berjanji selanjutnya
akan memperbaiki sepak terjang, tentu kami tak akan sudi mengganggu.”
“Betul,
betul sekali!” kata hwesio tua dari Siauw-lim-pai.
“Memang
tepat, Kun-lun-pai hanya membasmi orang-orang jahat tak peduli dari golongan
apa,” kata tosu tua dari Kun-lun-pai.
Pek-in-ong
yang tubuhnya tinggi kurus laksana tengkorak itu melompat maju dan ketawa
dengan suaranya yang amat tinggi menusuk telinga. “Aha, Siauw-lim-pai dan
Kun-lun-pai merasa diri sebagai orang-orang bersih di dunia ini dan memandang
orang lain sebagai orang-orang jahat. Apakah anak murid Siauw-lim-pai dan
Kun-lun-pai tiada yang berbuat jahat?”
“Kalau pun
ada, kami selalu menangkap dan menghukumnya,” kata hwesio Siauw-lim-pai dengan
suaranya yang keras.
“Bagus!
Bicaralah seperti kau sendiri yang menjagoi di dunia! Hendak kulihat apakah kau
sanggup mengambil kembali kitabmu!” kata Pek-in-ong menantang. Memang di antara
Thian-te Sam-kauwcu, orang ke dua ini paling berangasan.
Hwesio
Siauw-lim-pai yang gemuk bundar itu melangkah maju dan mengebutkan lengan
bajunya. “Omitohud, datang-datang langsung ditantang oleh tuan rumah. Siapakah
Sicu? Apa kedudukanmu dalam Mo-kauw? Pinceng Kok Beng Hosiang dari
Siauw-lim-pai ingin belajar kenal.”
“Aku adalah
Pek-in-ong, ketua nomor dua dari Mo-kauw. Tak perlu banyak aturan, kitab
Siauw-lim-pai telah tergeletak di depan kita. Kalau kau memang berkepandaian,
cobalah kau ambil kembali.”
Kok Beng
Hwesio adalah tokoh ke tiga dari Siauw-li-pai, atau murid ke dua dari Ketua
Siauw-lim-pai, yakni Hok Bin Taisu. Dengan tenang ia bertindak maju dan
membungkuk, tangan kanannya menyambar ke arah kitab yang terletak di atas kain
hitam itu. Biar pun tubuhnya membungkuk mengambil kitab, namun sesungguhnya ini
adalah gerakan dari Siauw-lim-pai yang disebut Tit-ci Thian-te (Jari Menuding
ke Tanah), suatu sikap bhesi yang amat kuat, siap-sedia menghadapi serangan
lawan.
Secepat
kilat Pek-in-ong melangkah maju. Sekali dia menggerakkan tangan, yang kanan
menepuk ke arah ubun-ubun kepala hwesio gundul itu, ada pun tangan kiri
menyambar ke arah pundak dengan totokan yang lihai.
“Bagus!”
seru Kok Beng Hosiang. Hwesio ini membatalkan niatnya mengambil kitab dan cepat
merubah kedudukan tubuh, dua tangan diayun menangkis.
“Plakk!”
Dua pasang
lengan yang penuh dialiri tenaga lweekang bertumbukan. Pek-in-ong tidak
bergeming, akan tetapi Kok Beng Hosiang mundur dua tindak! Dari sini saja sudah
dapat dibuktikan bahwa tenaga lweekang dari tokoh ke dua kaum Mo-kauw itu jauh
lebih tinggi.
Pihak
Siauw-lim-pai terkejut sekali. Kok Beng Hosiang juga merasa kaget dan cepat dia
meloloskan senjatanya yang tadi dililitkan di perutnya yang gendut, yakni
sebuah rantai baja.
“Omitohud,
kau kuat sekali. Kini terpaksa pinceng minta bantuan pian untuk merampas
kembali kitab pusaka!”
Rantai itu
dipukulkan ke tanah dekat kitab dan aneh! Kitab itu mencelat ke atas. Selagi
Kong Beng Hosiang hendak menyambar kitab dengan tangan kirinya, Pek-in-ong
sudah mendahuluinya, menyambar kitab dengan tangan kanan, lalu melemparkannya
kembali ke atas kain dan cepat kedua tangannya bergerak menyerang ke arah iga
dan lutut!
Kok Beng
Hosiang cepat melangkah mundur. Kini tanpa sungkan-sungkan lagi rantainya
menyambar dengan serangan hebat yang dinamakan Sin-coa Wi-jauw (Ular Sakti
Melilit Pinggang). Rantainya menyerang dengan kuat, membabat pinggang lawan.
Pek-in-ong
yang masih bertangan kosong itu tidak mengelak sama sekali, membiarkan rantai
itu mengenai pinggang dan sekejap kemudian pinggangnya sudah terpukul dan terlibat
rantai! Akan tetapi alangkah kagetnya Kok Beng Hosiang ketika merasa betapa
rantainya mengenai benda yang amat lunak sehingga tenaga sabetannya tertelan
habis, kemudian tiba-tiba ia melihat sepasang lengan yang menyerang cepat
sekali ke arah ulu hatinya, disusul oleh tendangan ke arah anggota rahasia!
“Ayaa...!”
Kok Beng Hosiang terpaksa melepaskan rantainya dan melompat jauh-jauh ke
belakang, karena hanya jalan inilah yang dapat membebaskan dia dari maut.
“Ha-ha-ha-ha,
hanya demikian saja kepandaian tokoh Siauw-lim-pai? Ha-ha-ha!” Sambil berkata
demikian, Pek-inong menggunakan jari-jari tangannya yang kurus panjang untuk
mematahkan rantai itu menjadi berkeping-keping, seperti orang mematahkan
sebatang hio saja!
Han Le dan
yang lain-lain kaget sekali. Bukan main hebatnya lweekang dari Pek-in-ong. Kun
Beng sendiri harus mengakui bahwa kepandaian Pek-in-ong tidak berada di sebelah
bawah kepandaiannya sendiri!
Bok Beng
Hosiang, suheng dari Kok Beng Hosiang melompat maju dengan toya terbuat dari
kuningan pada tangannya. Ia marah sekali dan membentak,
“Pek-in-ong,
kau terlalu menghina Siauw-lim-pai! Biar pinceng mencoba untuk merampas kembali
kitab pusaka!”
Pek-in-ong
tertawa, “Hwesio gundul, nanti dulu. Jangan bergerak sembarangan, harus
diadakan perjanjian dahulu. Kau siapakah? Apakah kau memiliki kepandaian yang
lebih tinggi dari pada Kok Beng Hosiang?”
Bukan main
gemasnya hati Bok Beng Hosiang. “Orang sombong, dengarlah, Pinceng adalah Bok
Beng Hosiang, barusan sute-ku sudah kau kalahkan, biar sekarang pinceng yang
mencoba kelihaianmu.”
“Nanti dulu,
harus dengan perjanjian. Apa bila aku kalah, kau boleh mengambil kitabmu yang
butut, akan tetapi kalau kau kalah, kau sebagai wakil Siauw-lim-pai harus
bertekuk lutut dan mengakui kami sebagai orang-orang yang lebih berkuasa, dan
juga mengakui Mo-kauw sebagai partai yang lebih tinggi dan kuat dari pada
Siauw-lim-pai. Bagaimana?”
Muka Bok
Beng Hwesio sebentar merah dan sebentar pucat. “Keparat, kami orang-orang
Siauw-lim-pai tidak takut mati demi membela kebenaran dan membasmi
siluman-siluman seperti kau! Meski pun harus mati, pinceng tidak akan sudi
bertekuk lutut dan selamanya Siauw-lim-pai tidak akan mengakui Mo-kauw yang
sesat sebagai partai besar. Terimalah senjataku!” Sambil berkata demikian, Bok
Beng Hosiang langsung menyerang dengan toyanya.
Harus
diketahui bahwa Bok Beng Hosiang adalah murid pertama dari Hok Bin Taisu,
kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada sute-nya, ada pun senjata yang ia
pergunakan adalah sebuah toya. Semua orang tahu bahwa ilmu toya dari
Siauw-lim-pai amat kuat dan lihai, maka pengharapan semua orang diletakkan
kepada tokoh ini.
Melihat
sambaran toya yang amat kuat dan dahsyat, Pek-in-ong tidak berani menangkis,
melainkan melompat mundur sambil memuji.
“Eh, ehh,
ada isinya juga si gundul ini!”
Di lain saat
ia telah mengeluarkan senjatanya yang aneh, yakni sepasang roda. Tak lama
kemudian terdengar suara keras ketika toya itu berkali-kali beradu dengan dua
roda yang dipegang di kedua tangan.
Tenaga
lweekang mereka tidak jauh selisihnya, akan tetapi sepasang roda itu
sungguh-sungguh amat lihai. Tidak saja dapat dipergunakan untuk menangkis dan
memukul, akan tetapi juga beberapa kali roda-roda itu dilepas, berputar-putar
dan meluncur ke arah tubuh lawan, lalu disambar kembali.
Karena itu,
sebentar saja Bok Beng Hosiang telah terkurung oleh sepasang roda itu yang
berputar-putar, kadang-kadang menyerang langsung dari tangan Pek-in-ong, atau
kadang kala terlepas dan menyambar-nyambar dengan dahsyat dari atas!
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment