Monday, July 2, 2018

Cerita Silat Serial Dara Baju Merah Jilid 04



























                Cerita Silat Kho Ping Hoo
         Serial Dara Baju Merah
                   Jilid 04


SETAHUN kemudian, Bi Li melahirkan seorang anak perempuan yang mungil sekali. Suami isteri itu merasa girang dan Kiang Liat memberi nama puterinya itu Kiang Im Giok. Pada mulanya Bi Li memang khawatir kalau suaminya kecewa, sebab pada masa itu para ayah ingin melihat anaknya lahir laki-laki.

Namun ternyata Kiang Liat berbeda dengan orang lain. Dia sama sekali tidak kelihatan kecewa dan untuk ini Bi Li merasa amat berterima kasih. Cinta kasih terhadap suaminya semakin menebal. Hidup nyonya muda ini tentu akan penuh kebahagiaan kalau saja ia tidak diganggu oleh Ceng Si dan Cia Sun.

Cia Sun sudah mendapatkan banyak uang yang diperasnya dari Bi Li melalui Ceng Si, dan berubah menjadi seorang pemuda pemogoran dan pemalasan. Uang itu cepat sekali habisnya, dihambur-hamburkannya seperti orang membuang pasir belaka.

Setelah Bi Li dan suaminya pindah ke Sian-koan, ia pun menyusul ke kota itu, menyewa kamar di dalam sebuah hotel. Ia membeli seekor kuda yang bagus dan kerjanya setiap hari hanya berpesiar! Hubungannya dengan Ceng Si dilanjutkan tanpa ada halangan.

Pada suatu hari, ketika Bi Li dan suaminya sedang menimang-nimang puteri mereka, Bi Li berkata dengan nada penuh keheranan,

”Suamiku, Im Giok mempunyai muka yang hampir sama dengan Enci Pek Hoa.”

Kiang Liat terkejut bukan main. “Apa katamu? Pek Hoa siapa...?”

Bi Li juga terkejut sekali, merasa bahwa ia telah kelepasan bicara. Maka dengan muka kemerahan ia berkata,

“Enci Pek Hoa adalah seorang dewi dari kahyangan. Suamiku, jangan kau tertawakan aku dan mengira aku tahyul dan bicara yang bukan-bukan. Kejadian itu amat ajaib maka selama ini aku tak pernah mengatakan kepadamu, takut kalau kau akan mentertawakan aku.”

“Coba ceritakan, isteriku. Aku tidak akan mentertawakanmu. Siapakah dewi itu dan bagai mana kau bisa bertemu dengan dia?” tanya Kiang Liat dan hatinya berdebar gelisah.

Bi Li lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat yang dipuji-pujinya sebagai seorang dewi yang sangat cantik jelita. Kiang Liat mendengarkan penuturan isterinya itu dengan sepasang mata terbelalak dan hatinya merasa tidak enak sekali. Tahulah dia sekarang bahwa dahulu Pek Hoa dapat datang mencarinya ke kota Sian-koan tentu setelah mendengar dari Bi Li bahwa dia adalah murid dari Han Le!

“Pek Hoa-cici baik sekali, suamiku. Dia bilang bahwa kelak dia akan datang menjenguk kalau aku sudah mempunyai anak...”

Makin gelisah hati Kiang Liat. Akan tetapi dia diam saja, tidak berani ia menerangkan kepada isterinya yang lemah itu bahwa sebenarnya orang yang dikira dewi oleh isterinya itu bukan lain adalah seorang iblis wanita yang amat jahat!

Semenjak mendengar penuturan isterinya itu, Kiang Liat selalu bersikap waspada. Tiap malam secara diam-diam dia melakukan penjagaan, takut apa bila iblis wanita itu datang mengganggunya. Oleh karena kewaspadaannya inilah maka dia mulai melihat sesuatu yang amat mencurigakan di waktu malam.

Kadang-kadang ia mendengar suara kaki kuda yang datang dari jauh kemudian berhenti di belakang rumahnya, sedikit di luar pagar kebun bunga kecil yang berada di belakang rumah. Kadang-kadang dia juga mendengar ada suara orang bercakap-cakap di tengah malam menjelang pagi!

Hatinya mulai curiga dan pada malam hari itu, ketika mendengar suara kuda berhenti di belakang, secara diam-diam dia turun dari pembaringan lalu berjalan keluar melalui pintu belakang. Waktu itu sudah menjelang fajar dan perlahan-lahan ia membuka pintu, lantas mengintai keluar.

Ia melihat sesosok bayangan keluar dari pintu samping, berlari-lari ke arah taman bunga. Kemudian, bayangan ini bertemu dengan bayangan lainnya yang memasuki pintu pagar yang agaknya sudah dibuka dari dalam.

Hati Kiang Liat berdebar gelisah. Melihat gerak-gerik kedua orang itu, mereka hanyalah orang-orang biasa dan sama sekali tidak seperti gerakan orang yang pandai ilmu silat, apa lagi kalau yang datang Pek Hoa tentu tidak demikian caranya.

Pada waktu dia menyelinap dan bersembunyi di balik batang pohon kembang, Kiang Liat merasa mendongkol bukan main karena ia mengenal bahwa bayangan yang keluar dari pintu samping itu adalah Ceng Si. Pelayan wanita yang muda, genit dan cantik ini telah mengadakan pertemuan dengan seorang laki-laki muda yang datang menunggang kuda!

“Hemm, benar-benar sial!” pikirnya. “tidak tahunya pelayan kita ini adalah seorang yang tidak tahu malu sekali. Mengadakan pertemuan dengan laki-laki di waktu tengah malam, mencemarkan nama kehormatan keluargaku! Dia harus diusir pergi!”

Dua orang itu bicara berbisik-bisik dengan mesra sekali sehingga Kiang Liat malu untuk muncul. Ia menanti sampai Ceng Si yang kelihatan memberikan sesuatu kepada laki-laki itu kembali ke dalam rumah, kemudian ia mendengar laki-laki itu menunggang kudanya kembali yang dibalapkan cepat-cepat pergi dari situ.

Kiang Liat menjadi bingung. Apakah dia harus beri tahukan hal ini kepada Bi Li? Isterinya kelihatan begitu cinta dan sayang kepada Ceng Si dan kalau saat ini dia beri tahukan, apakah tidak akan membikin isterinya berduka?

Kemudian ia teringat akan sesuatu. Ada hal yang sangat mengherankan hatinya, yakni persediaan uangnya cepat sekali berkurang bahkan isterinya yang dia tahu mempunyai banyak uang, cepat sekali kehabisan uang. Apakah Ceng Si tidak melakukan pencurian? Tadi ia melihat gadis pelayan itu memberi sesuatu kepada kekasihnya, apakah itu bukan uang atau benda berharga?

Berpikir sampai di sini, kembali Kiang Liat tertegun. Ia sudah lama tidak melihat isterinya memakai perhiasan! Bahkan perhiasan berupa kupu-kupu dan bunga cilan yang dulu ia berikan kepada Bi Li sebagai emas kawin, tak pernah lagi menghias rambut isterinya itu!

Ia memang seorang laki-laki yang tidak begitu peduli tentang segala macam perhiasan, maka hal ini terlewat begitu saja dari perhatiannya. Memang pernah secara iseng-iseng dia bertanya kepada isterinya mengapa tidak pernah memakai perhiasan, akan tetapi isterinya menjawab,

“Untuk apakah semua perhiasan itu? Aku sudah menikah dengan kau, bahkan sekarang sudah menjadi ibu, kiranya tak perlu lagi bersolek.”

Jawaban ini menyenangkan hatinya, sebab Kiang Liat sendiri suka akan kesederhanaan, maka ia tak bertanya lebih lanjut. Sekarang melihat peristiwa yang terjadi di taman bunga timbul berbagai dugaan di dalam hatinya.

Tak salah lagi, mungkin sekali Ceng Si melakukan pencurian. Siapa tahu kalau isterinya sebenarnya kehilangan semua perhiasan itu, akan tetapi tidak berani bilang karena takut. Isterinya begitu lemah dan begitu sayang kepada Ceng Si.

Kiang Liat tidak dapat tidur. Pada keesokan hatinya, ia terbangun dengan kepala pusing. Pagi-pagi sekali Ceng Si sudah datang membawa segala macam keperluan isterinya, bahkan dengan amat rajin dan telaten pelayan ini mengurus Im Giok dengan penuh kasih sayang. Isterinya juga kelihatan begitu berterima kasih kepada Ceng Si sehingga ia tidak tega untuk mengungkit urusan itu.

“Lebih baik kutangkap jahanam itu!” pikir Kiang Liat dengan gemas.

Benar, itulah jalan satu-satunya supaya tidak menyinggung perasaan isterinya. Ia harus menangkap laki-laki yang sering kali datang menemui Ceng Si, kemudian memaksanya mengaku.


                 ***************


Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi, Cia Sun melarikan kudanya dengan cepat. Seperti biasa, malam tadi dia mengadakan pertemuan dengan Ceng Si di taman bunga dan sesudah meninggalkan tempat pertemuan rahasia itu, ia membawa sekantung uang dan beberapa potong benda berharga.

Sambil membalapkan kudanya, Cia Sun tersenyum-senyum gembira. Betapa ia tak akan merasa girang? Ceng Si sudah menjadi kekasihnya, dan dengan bantuan kekasihnya ini, dia dapat menggerogoti kekayaan keluarga Kiang. Song Bi Li atau Nyonya Kiang yang sudah berada di dalam cengkeramannya itu tidak berdaya dan terpaksa menuruti segala permintaannya.

“Ceng Si memang manis dan cerdik,” Cia Sun berpikir sambil memperlambat larinya kuda karena ia telah tiba di luar kota dan merasa aman.

“Surat Bi Li kepadaku masih disimpan oleh Ceng Si dan dengan surat itu, dia dapat terus menakut-nakuti Bi Li. Sekali saja surat itu diperlihatkan kepada suaminya, tentu dia akan celaka.”

Biar pun sudah banyak uang yang diperasnya dari Bi Li, akan tetapi tetap saja Cia Sun merupakan seorang miskin. Semua uang itu dihabiskan di atas meja perjudian, dipakai foya-foya dengan sahabat-sahabatnya dan pendeknya, Cia Sun hidup sebagai pemuda kaya-raya yang royal dan mata keranjang.

Tentu saja Ceng Si tidak tahu akan hal ini dan sama sekali tidak pernah menduganya. Pelayan yang cantik ini mabuk oleh janji-janji Cia Sun yang menuturkan bahwa semua uang dan barang itu disimpannya baik-baik untuk dipergunakan sebagai modal dan bekal hidup kelak apa bila mereka telah hidup sebagai suami isteri!

Selagi Cia Sun enak-enak mencongklang kudanya, tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kaki kuda yang dilarikan cepat sekali. Cia Sun tidak menyangka buruk dan mengira bahwa ada orang berkuda yang hendak lewat mendahuluinya, maka dia minggirkan kuda tunggangannya.

Benar saja, tampak seorang penunggang kuda tengah membalapkan kudanya menyusul. Akan tetapi, setelah berada di depan Cia Sun, tiba-tiba saja orang itu menghentikan kuda sambil menarik kendali sehingga kudanya berputar dan menghadapi kuda Cia Sun.

Melihat orang muda gagah yang menunggang kuda itu, seketika wajah Cia Sun menjadi pucat dan dadanya berdebar keras. Walau pun belum berkenalan akan tetapi diam-diam dia sering kali melihat dan memperhatikan suami Bi Li dan orang yang kini mencegatnya bukan lain adalah Kiang Liat, suami Bi Li! Akan tetapi, sastrawan muda ini dapat cepat menenangkan hati dan memaksa diri tersenyum.

“Tuan siapakah dan ada keperluan apa dengan siauwte?” tanya Cia Sun dengan suara ramah-tamah, sikap seorang terpelajar yang sopan-santun.

Akan tetapi Kiang Liat tidak dapat tertipu oleh sikap ini. Sudah beberapa kali Kiang Liat mengintai dalam taman dan tahulah dia bahwa pemuda itu diam-diam telah mengadakan hubungan rahasia dengan Ceng Si dan gadis pelayan itu selalu memberi barang-barang berharga kepadanya. Tentu saja Kiang Liat merasa sangat marah dan curiga. Dari mana Ceng Si bisa mendapatkan barang-barang berharga dan uang?

“Bangsat kecil, tidak perlu kau berpura-pura dan bermanis mulut. Aku sudah melihat dan tahu akan semua perbuatanmu di dalam taman rumahku. Ayo sekarang kau mengaku, siapa namamu dan mengapa kau begitu berani mampus memasuki taman mengadakan pertemuan dengan pelayan kami?!”

Kiang Liat melompat turun dari kudanya dan memandang kepada Cia Sun dengan sinar mata mengandung ancaman, sedangkan pecut kudanya dipegang erat-erat pada tangan kanannya.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Cia Sun mendengar ini. Tidak disangkanya sama sekali bahwa suami Bi Li ini sudah melihatnya mengadakan pertemuan dengan Ceng Si. Sampai di manakah pengetahuan orang she Kiang ini? Tanpa disadarinya, saking kaget dan gelisahnya, Cia Sun mengerling ke arah kantung uang yang ada di atas punggung kuda.

“Ya, itu pun kau terima dari Ceng Si! Hendak kulihat, apakah isinya!” kata pula Kiang Liat sambil melangkah maju.

Tentu saja Cia Sun tidak menghendaki hal ini terjadi. Ia tahu bahwa barang-barang dan uang yang kini dibawanya adalah kepunyaan hartawan muda ini yang diterima oleh Ceng Si dari Bi Li. Maka ia lalu mengambil sikap seakan-akan ia marah besar.

“Manusia kurang ajar…! Apakah kau hendak merampok?” bentaknya sambil mencambuk kudanya. “Aku tidak kenal padamu dan aku tidak mempunyai urusan denganmu. Pergi!”

Akan tetapi Kiang Liat mana mau melepaskannya? Sekali mengulur lengan, Kiang Liat sudah menangkap pergelangan tangan Cia Sun dan sebelum sastrawan bermoral bejat ini tahu apa yang terjadi, ia telah diseret turun dari atas kuda!

“Keparat busuk, masih saja kau tidak mau lekas-lekas mengaku?” bentak Kiang Liat yang sudah menjadi marah melihat sikap orang itu.

Cia Sun yang terbanting dari atas kuda merasa pantatnya sakit sekali. Sambil meringis ia merayap bangun. Ia maklum bahwa pengakuan berarti mencari celaka, oleh karena itu ia memberanikan diri, mengangkat dada dan berkata,

“Kau ini orang gila atau orang mabuk? Kalau kau hendak merampok, carilah saudagar-saudagar yang kaya, jangan mengganggu seorang siucai yang miskin seperti aku!”

Hati Kiang Liat semakin mendongkol. Melihat sikap pemuda sastrawan ini, terang sekali baginya bahwa ia sedang menghadapi seorang yang curang dan palsu.

“Jahanam, jangan berpura-pura lagi. Sudah beberapa kali aku melihat kau mengadakan pertemuan dengan pelayan kami di taman. Kau tidak mau cepat-cepat mengaku? Atau menanti sampai aku turun tangan memukulmu?”

“Mengaku apa? Aku tak pernah melakukan hal yang kau sebutkan tadi. Aku tak bersalah apa-apa...”

Kiang Liat marah sekali. Kaki kirinya bergerak menendang dan tersungkurlah Cia Sun. Baiknya Kiang Liat masih belum tahu akan semua perbuatan Cia Sun yang disangkanya hanya seorang pemuda yang main gila dengan gadis pelayannya saja. Maka tendangan itu perlahan saja dan hanya cukup membikin Cia Sun roboh tanpa menderita luka berat. Akan tetapi cukup membikin Cia Sun merintih-rintih karena pahanya yang tertendang itu terasa sakit bukan main. Beberapa kali ia mencoba untuk bangun, akan tetapi tak dapat sehingga akhirnya dia menjatuhkan diri duduk di atas tanah sambil memandang kepada Kiang Liat dengan muka pucat.

“Hayo lekas mengaku! Jangan menanti sampai aku naik darah dan memukul kepalamu sampai hancur!”

Cia Sun mulai ketakutan. Tempat itu sunyi dan waktu itu masih pagi sekali. Melihat sepak terjang Kiang Liat, dia maklum bahwa dia tidak akan mungkin dapat melawan. Apa lagi, memang dia telah mendengar bahwa hartawan muda she Kiang ini adalah seorang ahli silat yang amat tinggi kepandaiannya.

“Ampunkah hamba, Wangwe...,” katanya dan tiba-tiba sastrawan muda ini berlutut!

Kiang Liat memandang dengan hati merasa sebal sekali. Benar-benar dia menghadapi seorang pemuda yang mempunyai martabat rendah sekali.

“Jangan banyak aksi, lekas mengaku!” bentaknya.

“Hamba akan mengaku terus terang. Sebenarnya sudah lama hamba berkenalan dengan Nona Ceng Si. Hubungan hamba dengan dia sudah berjalan beberapa tahun, sejak dia belum pindah ke Siang-koan. Hamba tidak melakukan sesuatu yang jahat, dan hubungan hamba dengan Ceng Si berdasarkan suka sama suka... harap Wangwe sudi memberi maaf.”

“Kau selalu menerima bungkusan dan kantung dari Ceng Si, apakah isinya?”

Cia Sun cepat menyembunyikan rasa takutnya. “Hanya... hanya makanan dan masakan, Wangwe. Ceng Si sering kali memberi makanan kepada hamba...”

“Dusta!” bentak Kiang Liat.

Dua kali ia menggerakkan tangan, kantung yang masih di atas sela kuda Cia Sun sudah diambilnya. Ia membuka kantung itu dan berjatuhanlah isinya ke atas tanah. Uang emas dan perak yang jumlahnya tidak sedikit.

“Makanan kau bilang? Hayo bilang, dari mana kau mendapatkan ini semua?”

“Dari... dari... Ceng Si, katanya itu uang simpanannya selama dia bekerja... dia berikan kepada hamba untuk... untuk...”

“Untuk apa?” Kiang Liat tidak sabar lagi.

“Wan-gwe, Ceng Si dan hamba mengambil keputusan untuk menikah dan karena hamba seorang miskin, Nona Ceng Si yang baik itu memberikan uang simpanannya ini kepada hamba untuk mempersiapkan dan memilih hari pernikahan.”

Kiang Liat percaya dengan keterangan ini. Memang dia pun sudah menyaksikan sendiri bahwa pemuda ini tengah mengadakan hubungan asmara dengan Ceng Si, maka semua keterangannya tadi masuk di akal.

Yang mencurigakan hatinya adalah Ceng Si. Dari mana pelayan itu mendapatkan uang begini banyak? Mungkinkan uang simpanannya?

“Siapa namamu?” tanyanya tiba-tiba.

“Hamba bernama Cia Sun…”

“Sekarang dengarlah. Aku Kiang Liat bukanlah orang yang boleh kau permainkan begitu saja. Kau telah berani lancang memasuki taman rumah kami tanpa ijin, pada malam hari pula. Hal ini saja sudah menjadi alasan cukup kuat untuk membunuhmu sebagai seorang maling atau penjahat. Akan tetapi aku memaafkan kau dengan satu syarat bahwa besok pagi kau harus datang ke rumahku dan dengan resmi kau mengajukan pinangan untuk diri Ceng Si. Kau boleh menyuruh seorang perantara wanita untuk mengajukan pinangan itu kepada Hujin (Nyonya). Kalau besok kau tidak melakukan hal ini, awas, aku akan mencarimu dan mengambil nyawamu!”

“Baik, Wan-gwe... baik...” Cia Sun mengangguk-anggukkan kepala sambil berlutut terus.

Kiang Liat lalu mencemplak kudanya dan membalapkan kuda itu menuju pulang. Hatinya lega. Ia memang tak suka sama sekali melihat Ceng Si menjadi pelayan isterinya. Gadis pelayan ini terlalu genit dan terlalu cantik, pula amat berani.

Dengan terang-terangan gadis pelayan itu mencoba untuk menjatuhkan perhatiannya, mencoba untuk menjatuhkan hatinya dengan pelbagai aksi dan gaya. Lebih celaka lagi, entah mengapa, isterinya nampak suka sekali pada Ceng Si sehingga bahkan rela kalau Ceng Si menjadi bini mudanya! Sekarang ia dapat menangkap Cia Sun dan memaksa sastrawan muda itu mengawini Ceng Si. Inilah jalan terbaik.

Kiang Liat sangat cinta kepada isterinya. Dia tidak mau menyinggung perasaan Bi Li dan meski pun dia merasa curiga dan heran melihat sikap isterinya yang berlebihan terhadap Ceng Si, akan tetapi ia tidak tega untuk bertanya atau mendesak. Ia telah percaya penuh akan kesetiaan dan kecintaan isterinya kepadanya, maka dia tidak mau memperlihatkan suatu sikap yang kurang percaya. Oleh karena ini, setibanya di rumah, ia tidak bercerita sesuatu kepada isterinya tentang pertemuannya dengan Cia Sun.

Pada keesokan harinya, betul saja di rumah gedung keluarga Kiang Liat datang seorang wanita setengah tua yang di Sian-koan terkenal sebagai seorang perantara perjodohan. Wanita ini datang untuk mengajukan pinangan atas diri Ceng Si untuk sasterawan Cia Sun!

Mendengar ini, Bi Li nampak terheran-heran, akan tetapi juga girang dan dia tidak tahu bahwa diam-diam suaminya memandangnya dengan kerling tajam.

“Panggil Ceng Si ke sini...!” berkata Bi Li kepada seorang pelayan lain, suaranya nyaring dan jelas sekali bahwa ia bergembira.

Ceng Si tergopoh-gopoh. Gadis ini sudah mendengar dari pelayan yang memanggilnya karena pelayan ini tadi telah mendengar mengenai peminangan itu. Ceng Si juga merasa terheran-heran dan bingung ketika Bi Li berkata kepadanya,

“Ceng Si, Bibi ini datang untuk meminangmu atas nama seorang sastrawan muda yang bernama Cia Sun. Walau pun aku dan suamiku berhak mengambil keputusan karena kau tak memiliki keluarga lagi, akan tetapi merasa lebih baik kami menanyakan pendapatmu sendiri. Bagaimana?”

Ceng Si kebingungan. Sebentar ia memandang kepada Bi Li dan di lain saat ia menatap wajah pelamar itu. Semua ini diikuti oleh pandangan mata Kiang Liat yang duduk di sudut dan agaknya tidak mau tahu tentang persoalan perjodohan ini.

“Akan tetapi...,” kata Ceng Si bingung, “bagaimana ini, Hujin? Saya... saya masih suka melayani Hujin dan belum ada pikiran untuk menikah...”

Dari tempat duduknya, dengan perasaan heran sekali Kiang Liat melihat betapa pandang mata pelayan itu amat tajam dan berpengaruh ketika memandang kepada Bi Li!

“Ceng Si, bukankah hal ini sangat baik sekali? Lebih baik dari pada kau bekerja di sini? Ingatlah, usiamu sudah dua puluh tahun dan pelamar ini bukannya orang sembarangan. Kiranya sudah amat cocok apa bila kau menjadi isteri seorang siu-cai…”

“Betul sekali kata-kata Kiang-hujin,” perantara itu berkata cepat-cepat. “Cia-siucai adalah seorang pemuda yang tidak saja tampan sekali, tetapi juga amat terpelajar, sopan-santun dan berbudi mulia. Biar pun dia bukan dari keluarga kaya, akan tetapi ia pun bukan tidak beruang. Ia menyediakan semua biaya untuk upacara pernikahan!”

“Akan tetapi... aku… aku belum suka berumah tangga sendiri!” kata Ceng Si dan dalam kata-katanya ini terkandung suara demikian keras dan menentukan.

Kiang Liat terkejut sekali karena ia melihat betapa isterinya menjadi berubah air rnukanya dan agaknya isterinya itu tak berani menentang keputusan Ceng Si! Hal ini menimbulkan kemarahan di dalam hatinya dan berkatalah Kiang Liat,

“Ceng Si, di dalam urusan ini sekali-kali tidak betul kalau kau berkeras kepala! Agaknya memang kau sudah berjodoh sekali dengan pelamar ini, karena malam tadi aku bermimpi melihat kau bertemu dengan seorang sastrawan muda di dalam taman bunga. Bukankah ini tanda bahwa kau memang berjodoh padanya? Maka kau tidak boleh menampik!”

Perantara itu tertawa dan nampaklah giginya yang ompong. Ia menepuk-nepuk tangan dan berkata, “Bagus sekali! Itulah impian yang amat baik artinya. Nona Ceng Si, setelah Kiang-wangwe sendiri bermimpi seperti itu, jelas bahwa perjodohan ini adalah kehendak Thian! Kau tidak bisa menolak kehendak Thian.”

Hanya Kiang Liat yang tahu betapa wajah pelayan itu menjadi pucat sekali dan nampak jelas kegugupannya pada saat mendengar kata-kata Kiang Liat tadi. Hanya untuk sekilas gadis pelayan itu mengerling kepadanya, akan tetapi di dalam kerlingan ini, Kiang Liat menangkap pandang mata yang penuh keheranan, kekagetan, dan kebencian. Ada pun Bi Li memandang kepada suminya dengan berterima kasih.

Ceng Si menundukkan mukanya. “Baiklah. Kalau Wan-gwe dan Hujin mendesak, saya pun tidak dapat membantah. Nasib hidupku memang berada di tangan kedua majikanku.” Kata-kata yang perlahan ini diikuti oleh mengalirnya air mata.

Hari pernikahan ditetapkan dan beberapa pekan kemudian, pernikahan antara Cia Sun dan Ceng Si segera dilangsungkan.

Sesudah pelayan itu dibawa pergi oleh suaminya, Bi Li merasa seakan-akan batu yang selama ini menggencet hatinya sudah dilenyapkan. Dia merasa lega sekali dan mukanya yang selama ini agak pucat, kini menjadi agak kemerahan dan bercahaya. Juga sikapnya terhadap suaminya makin manis dan setiap hari dia nampak gembira sekali.

Meski terheran-heran dan ingin sekali tahu rahasia apakah gerangan yang tersembunyi di dalam hubungan antara isterinya dan Ceng Si, akan tetapi Kiang Liat tidak tega untuk mendesak isterinya membuka rahasia itu. Ia terlalu cinta dan terlalu sayang kepada Bi Li, dan kepercayaannya sudah bulat.

Sesudah Ceng Si meninggalkan rumah gedung itu, Bi Li benar-benar kelihatan seperti hidup baru. Ia nampak berbahagia sekali, perhatiannya kepada puterinya bertambah, dan kasih sayangnya terhadap suami pun makin mesra. Tentu saja Kiang Liat merasa amat beruntung, dan sepasang suami isteri ini pun hidup dalam keadaan tenteram serta penuh kebahagiaan.

Puteri mereka, Kiang Im Giok, nampak semakin mungil dan manis. Memang luar biasa sekali anak ini. Tubuhnya montok dan sehat, kulitnya halus dan putih kemerahan, bentuk tubuhnya demikian sempurna sehingga sukarlah mencari cacatnya. Biar pun masih kecil, sudah kelihatan betapa sepasang matanya bercahaya dan bening, rambutnya hitam dan subur. Tidak mengherankan apa bila ayah bundanya amat sayang kepadanya.

Beberapa bulan lewat tanpa ada peristiwa yang luar biasa. Pada suatu hari, pada waktu sepasang suami isteri ini sedang duduk makan angin di ruang depan sambil menimang-nimang Im Giok, dari pekarangan luar masuk seorang laki-laki setengah tua berpakaian pengemis. Kiang Liat yang berpendengaran tajam segera menoleh dan begitu melihat pengemis itu, wajahnya berubah girang sekali.

“Suhu Han Le datang...,” bisiknya kepada Bi Li yang juga memandang dengan heran.

Keduanya cepat berdiri dan menyambut dengan penuh kehormatan. Han Le tersenyum-senyum dan pendekar sakti ini menatap kepada Im Giok dengan pandang mata kagum.

“Aduh, puterimu ini sungguh-sungguh mengagumkan sekali, Kiang Liat!” katanya sambil mengelus-elus kepala Im Giok yang baru berusia dua tahun.

Setelah dipersilakan duduk dan dikeluarkan hidangan, Han Le lalu makan minum tanpa sungkan-sungkan lagi, kemudian ia menuturkan maksud kedatangannya.

“Muridku, sekarang ada pekerjaan penting sekali untuk kita. Ketahuilah, dunia kang-ouw sedang menghadapi ancaman dan bahaya hebat dan pada bulan Lak-gwe (bulan enam) nanti merupakan saat penentuan apakah dunia kang-ouw akan bisa menyetamatkan diri atau tidak.”

Han Le lantas menuturkan tentang pergerakan dari kaum Mo-kauw yang dipimpin oleh Thian-te Sam-kauwcu, tiga orang tokoh besar aneh yang menjadi guru dari Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat dan Hek Pek Mo-ko. Selain mereka ini, masih banyak sekali tokoh-tokoh Mokauw yang mempunyai ilmu tinggi. Kini pihak Mo-kauw mulai dengan gerakan mereka untuk memusuhi dunia kang-ouw, dengan jalan mencuri kitab ilmu silat dari Siauw-lim-pai dan pedang dari Kun-lun-pai.

“Supek-mu Bu Pun Su telah turun tangan dan siap sedia menghadapi mereka. Kita boleh percaya penuh akan kelihaian Bu Pun Su Suheng. Akan tetapi Thian-te Sam-kauwcu dan teman-temannya juga bukan orang-orang biasa, melainkan iblis-iblis dan siluman-siluman yang sakti. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu supek-mu Bu Pun Su.”

“Akan tetapi, Suhu. Mungkin Suhu merupakan bantuan yang amat berharga bagi Supek, sedangkan teecu...? Baru menghadapi Pek Hoa Pouwsat saja teecu tidak berdaya. Tentu saja teecu sama sekali tidak merasa takut dan untuk membela Supek, teecu siap untuk mempertaruhkan jiwa raga teecu.”

“Betul sekali kata-katamu itu, Kiang Liat. Aku pun tidak begitu bodoh untuk minta kau menghadapi mereka. Aku hanya minta kau membantuku mencari beberapa orang yang kiranya akan merupakan tandingan yang setimpal menghadapi pihak Mo-kauw.”

“Siapakah mereka itu, Suhu? Teecu siap untuk mencari mereka.”

“Orang pertama adalah Swi Kiat Siansu yang kini berada di barat. Orang ke dua Pok Pok Sianjin yang kabarnya berada di utara. Mereka ini takkan mau turun gunung kalau tidak aku sendiri yang datang dan membujuk mereka. Kiranya hanya kedua orang inilah yang kepandaiannya sudah setingkat dengan pihak Mo-kauw. Selain mereka berdua, alangkah baiknya kalau bisa mendatangkan Bun Sui Ceng dan The Kun Beng.” Han Le menghela napas panjang ketika menyebut nama dua orang ini.

“Siapakah mereka dan di mana tempat tinggal mereka, Suhu?” Kiang Liat tertarik sekali mendengar nama orang-orang yang sangat dipuji oleh gurunya dan yang belum ia kenal itu.

“Mereka adalah orang-orang luar biasa. Keduanya mempunyai hubungan erat dengan supek-mu Bu Pun Su. Bun Sui Ceng adalah reorang pendekar wanita gagah perkasa, murid tunggal dari mendiang Kiu-bwe Coa-li tokoh wanita nomor satu di dunia kang-ouw. Ada pun yang bernama The Kun Beng adalah murid ke dua dari mendiang Pak-lo-sian Siangkoan Hai, yakni sebenarnya ia adalah sute (adik seperguruan) dari Swi Kiat Siansu. Namun seperti juga Bun Sui Ceng, dia memiliki watak yang amat aneh dan sukar diajak berunding. The Kun Beng dahulu menjadi tunangan Bun Sui Ceng, akan tetapi mereka lalu berpisah dan entah bagaimana keadaan mereka sampai saat ini. Aku tidak sanggup menghadapi mereka, maka kaulah yang kuminta menemui dua orang aneh itu. Kalau kau berhasil membawa mereka pada bulan Lak-gwe menghadapi pihak Mo-kauw, kau akan berjasa besar sekali, Kiang Liat.”

“Akan tetapi, murid belum pernah mengenal mereka dan tidak tahu di mana mereka berada, Suhu. Bagaimana teecu dapat mencari mereka?”

“Mereka memang orang-orang aneh sehingga sukar sekali mencari tahu di mana mereka berada. Baiknya belum lama ini aku mendengar bahwa Bun Sui Ceng sekarang bertapa di sebuah pulau kosong yang terletak tidak jauh dari pantai timur, yaitu di mana Sungai Huai-kiang memuntahkan airnya ke laut. Dan aku percaya bahwa di mana ada Bun Sui Ceng, tentu tak jauh dari situ kau dapat menjumpai The Kun Beng, karena dia ini selalu membayangi bekas tunangan yang amat dicintanya.”

“Baik, Suhu. Teecu akan berusaha mencari mereka. Akan tetapi kalau sudah bertemu, apakah yang harus teecu katakan?”

“Katakan tentang munculnya tiga iblis yang sekarang menjadi pucuk pimpinan Mo-kauw, tentang perbuatan mereka mencuri kitab Siauw-lim-pai dan pedang Kun-lun-pai. Kau beri tahukan pula bahwa nanti pada hari-hari pertama dari bulan Lak-gwe, pihak Mo-kauw itu menantang kepada kita untuk menentukan keunggulan di tikungan Sungai Yalu Cangpo, di mana sungai itu membelok ke barat, yakni di sebelah barat Gunung Heng-tuang-san.”

“Bagaimana kalau mereka menolak, Suhu?”

“Itulah yang sangat kukhawatirkan. Akan tetapi, coba kau membujuknya. Terutama sekali katakan bahwa supek-mu Bu Pun Su yang diancam oleh pihak Mo-kauw, dan bahwa pihak Mo-kauw lihai sekali sehingga Bu Pun Su Suheng tak akan kuat menghadapi lawan kalau mereka berdua tidak mau membantu.”

Sesudah menceritakan semua maksud kedatangannya, Han Le lalu pergi untuk mencari Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin. Para pembaca cerita Pendekar Sakti tentu masih ingat akan nama-nama ini. Swi Kiat Siansu merupakan murid pertama dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, sedangkan Pok Pok Sianjin adalah murid dari Hek I Hui-mo.

Kiang Liat sendiri kemudian meninggalkan pesan kepada isterinya agar supaya baik-baik menjaga Im Giok. Bi Li menangis dan merasa berat sekali ditinggal pergi oleh suaminya.

“Jangan khawatir, isteriku yang baik. Aku pergi bukan untuk melakukan pekerjaan yang berbahaya, melainkan untuk minta bantuan kepada orang pandai. Walau pun demikian, tugasku ini penting sekali. Sekarang sudah bulan dua, tinggal empat bulan lagi waktunya, maka aku harus cepat-cepat berangkat mencari dua orang pandai itu sebagaimana yang diperintahkan oleh Suhu.”

Akhirnya Bi Li melepas suaminya pergi dan Kiang Liat berangkat dengan menunggang seekor kuda yang baik.

Sebulan kemudian, Kiang Liat sudah menukar kudanya dengan sebuah perahu yang lalu membawanya terapung-apung di laut sebelah timur. Dari para nelayan dia mendapatkan keterangan bahwa di dekat pantai di mana air Sungai Huai-kiang mengalir ke laut itu hanya terdapat tiga buah pulau kosong yang tak ada penghuninya. Hatinya girang karena kalau hanya tiga saja pulau yang berada di sana, kiranya mudah mencari wanita sakti yang bernama Bun Sui Ceng.

Perahu yang dibeli oleh Kiang Liat itu adalah perahu yang baru dan kuat sekali, layarnya juga masih baru, terbuat dari kain yang tebal. Dayungnya juga baik sekali, oleh karena itu pelayarannya maju dengan laju.

Belum jauh ia meninggalkan pantai, tiba-tiba ia mendengar suara orang bernyanyi. Kiang Liat merasa heran sekali karena dari manakah datangnya suara nyanyian di atas lautan yang sunyi itu? Ia menengok dan terlihatlah olehnya sebuah perahu butut dengan layar bertambal-tambal sedang berlayar meninggalkan pantai.

Jarak antara dia dan perahu butut itu masih sangat jauh sehingga orang yang duduk di dalam perahu itu tidak kelihatan jelas, akan tetapi suara orang yang bernyanyi itu dapat demikian jelas terdengar olehnya. Ia merasa terkejut sekali. Mungkinkah ada orang yang memiliki lweekang demikian hebatnya? Atau barangkali kebetulan saja suara itu terbawa oleh angin laut yang meniup kencang?

Karena merasa tertarik, dia lalu memandang penuh perhatian. Setelah perahu butut yang gerakannya ternyata cepat sekali itu datang mendekat, samar-samar dia melihat bahwa penumpangnya adalah seorang lelaki setengah tua yang pakaiannya tak karuan, seperti seorang pengemis.

Orang itu mendayung perahunya dan Kiang Liat melihat hal yang amat aneh. Dia tahu bahwa angin bertiup kencang dan perahunya sendiri pun sangat laju oleh tiupan angin pada layar. Dalam keadaan seperti ini, dayung tidak perlu digunakan lagi, karena betapa pun kuatnya orang mendayung perahu, tak akan dapat melawan kekuatan tenaga angin meniup layar.

Akan tetapi anehnya, perahu butut yang sudah digerakkan oleh layar yang melengkung terhembus angin, juga masih terdorong cepat ke depan tiap kali orang itu menggerakkan dayungnya. Ini menandakan bahwa tenaga dorongan dayung itu masih lebih hebat dan lebih kuat dari pada tenaga tiupan angin pada layar tambal-tambalan itu!

Kiang Liat yang sedang memandang terheran-heran itu tiba-tiba mengeluarkan seruan kaget. Betapa ia tidak akan kaget kalau melihat perahu butut itu tiba-tiba amblas dengan kepala lebih dahulu ke dalam air dan sekejap mata kemudian, perahu berikut layar dan orangnya lenyap dari permukaan air!

“Celaka...!” serunya. “Perahu itu telah karam...!”

Akan tetapi ia merasa heran sekali. Bagaimana perahu dapat karam seperti itu? Lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa perahu itu sengaja menyelam dengan kepala di depan. Akan tetapi mungkinkah ini? Mana mungkin ada orang dapat menyelam berikut perahu dan layarnya?

“Dukkk!”

Kiang Liat tersentak kaget. Tanpa ia ketahui karena sejak tadi ia menoleh ke belakang, tahu-tahu kini perahunya menumbuk sebuah benda yang keras, besar serta berat. Dia memandang dan melihat bahwa perahunya sudah bertumbukan dengan sebuah perahu besar dan terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh di atas perahu besar itu.

Baiknya Kiang Liat cepat-cepat menggerakkan dayung untuk mengatur gerak perahunya sehingga perahunya tak sampai tenggelam. Akan tetapi terdengar suara keras dan tiang layarnya patah.

Bukan main mendongkolnya hati Kiang Liat. Dia segera berdiri di dalam perahunya dan berdongak memandang ke atas. Dari perahu besar itu ia mendengar suara tertawa lagi, kemudian lapat-lapat ia mendengar suara khim (alat tetabuhan) yang dimainkan orang, lalu disusul oleh suara nyanyian wanita.

“Kurang ajar! Siapa berani main-main dan sengaja menabrak perahuku?” seru Kiang Liat marah.

Tidak ada jawaban dari petahu besar yang kini tidak bergerak lagi dan masih menempel dengan perahunya. Saking jengkelnya, Kiang Liat cepat mengayun dayungnya, memukul badan perahu besar sekuat tenaga.

“Krakkk!”

Perahu besar itu bergoyang keras, akan tetapi badan perahu tidak apa-apa, sebaliknya dayung yang dipegangnya patah dan ujungnya telah hancur berkeping-keping. Ketika dia meraba dengan tangannya, ternyata olehnya bahwa badan perahu besar itu berlapiskan besi.

Suara khim berhenti dan sebuah kepala yang besar nongol dari atas pinggiran perahu besar, diikuti oleh suara makian,

“Demi setan air! Siapakah yang berani mampus memukul perahu?” Suara itu parau dan ketika Kiang Liat memandang ke atas, dia melihat muka yang kulitnya kasar dan bopeng, dengan sepasang mata bundar dan hidung pesek.

“Jahanam!” Kiang Liat balas memaki. “Perahumu yang menabrak perahuku. Apakah kau buta?”

Si Muka Bopeng menyeringai dan Kiang Liat mendengar suara wanita dari atas perahu besar, “Tiat-thouw-gu (Kerbau Kepala Besi), apakah yang berada di bawah itu orang she Kiang?”

Kiang Liat terkejut sekali. Bagaimana ada orang dapat mengenalnya? Siapakah wanita itu?

Si Muka Bopeng yang disebut Tiat-thouw-gu menjawab, “Agaknya memang betul dia, Wi Wi Toanio. Apakah aku boleh menabrak dan menggulingkan perahunya agar ia mampus di perut ikan?”

“Jangan! Undanglah dia ke atas, aku ingin menyaksikan sampai di mana kehebatan ilmu silatnya,” jawab suara wanita itu.

Tiat-thouw-gu memandang kepada Kiang Liat, menyeringai, “Ehh, bukankah kau orang she Kiang dari Sian-koan?”

“Babi muka hitam, memang betul aku Kiang Liat dari Sian-koan! Apakah alasannya maka manusia-manusia rendah macam engkau berani menghinaku?”

“Ha-ha-ha, suaramu besar sekali, bocah. Kau telah mendengar sendiri tadi, Wi Wi Toanio minta kau naik. Beranikah kau?”

“Mengapa tidak berani?” Sambil berkata demikian, Kiang Liat menggenjot tubuhnya dan dengan gerakan ringan sekali ia telah melompat ke atas.

Untuk menjaga diri agar jangan sampai ia dibokong musuh, ia mencabut pedangnya dan memutar pedang sambil melompat ke atas perahu besar. Ketika ia sudah berdiri di dalam perahu, ia menghadapi banyak orang yang nampaknya rata-rata mempunyai kepandaian tinggi.

Di tengah rombongan orang yang menumpang di perahu besar itu, dia melihat seorang wanita setengah tua yang cantik sekali, berdiri dengan sepasang pedang di tangan. Ada pun di sebelahnya berdiri seorang laki-laki setengah tua berpakaian mewah yang juga tampan dan gagah.

Dan di kepala perahu terdapat tiga patung sebesar manusia, patung tiga orang laki-laki yang aneh. Yang seorang tinggi kurus seperti tengkorak, yang kedua kurus bongkok dan bermata sipit dan yang ke tiga, di tengah-tengah, tinggi besar seperti raksasa.

Kiang Liat tidak tahu patung siapakah itu. Akan tetapi melihat wanita serta laki-laki yang gerak-geriknya nampak halus itu, dia tidak berani sembarangan, bahkan menjura dengan hormat.

“Tidak tahu siapakah Cu-wi sekalian dan mengapa pula hendak mengganggu aku orang she Kiang.”

Wanita itu tersenyum dan nampak ia manis sekali. Kiang Liat dapat menduga bahwa dulu pada waktu mudanya, wanita ini tentu cantik sekali.

“Kiang-enghiong, bukankah kau adalah murid Han Le dan sekarang kau sedang disuruh oleh gurumu untuk mencari bala bantuan guna membantu Bu Pun Su?”

Kembali Kiang Liat tertegun. Bagaimana orang ini dapat mengetahui semua urusannya?

“Apa pun yang sedang kukerjakan, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Cu-wi sekalian. Sekarang, apa yang Cuwi kehendaki maka menghadang perjalananku?” Kiang Liat berkata, sedikit pun dia tidak merasa gentar menghadapi orang yang dua puluh lebih banyaknya itu.

Terdengar suara orang-orang itu tertawa, dan wanita itu berkata,

“Kiang-enghiong, aku adalah Wi Wi Toanio dan gurumu tentu akan mengerti kenapa aku menghadang pelayaranmu di sini. Sudah lama aku mendengar akan kelihaian Han Le, maka kini bertemu dengan kau yang menjadi muridnya, aku tidak akan menyia-nyiakan waktu. Sesungguhnya, kewajibanku adalah untuk melenyapkan kau di tempat ini, akan letapi aku tidak mau berlaku kejam terhadap seorang muda seperti kau ini. Marilah kita main-main sebentar sebelum aku mengajak kawan-kawanku berunding tentang apa yang akan kami lakukan atas dirimu.”

Kiang Liat menjadi marah sekali. Terang bahwa ia dipandang ringan, dan ia maklum pula bahwa orang-orang ini tentulah bukan kawan, dan apa bila bukan musuh besar gurunya, tentu musuh besar Bu Pun Su atau setidaknya anak buah Mo-kauw yang dipimpin oleh Thian-te Sam-kauwcu. Teringat akan ini tiba-tiba dia menoleh ke arah tiga buah arca di kepala perahu dan ia berkata,

“Hemm, salahkah dugaanku bahwa tiga buah patung itu adalah arca-arca dari Thian-te Sam-kauwcu?”

“Matamu awas sekali, Kiang-enghiong. Memang, mereka itu adalah arca-arca dari ketiga ketua kami yang mulia,” kata Wi Wi Toanio.

“Kalau begitu, kalian adalah anggota-anggota Mo-kauw!”

“Benar, bersiaplah kau dengan pedangmu!”

Kiang Liat maklum bahwa tidak ada lain jalan baginya kecuali bertempur mati-matian. Ia sudah banyak mendengar dari suhu-nya akan kekejaman orang-grang Mo-kauw yang tak akan mau memberi ampun kepada orang yang mereka musuhi.

Sambil menggereng hebat, Kiang Liat menggerakkan pedang menangkis tusukan Wi Wi Toanio yang sudah mulai menyerangnya. Segera terjadi pertempuran sengit antara dua orang ini. Yang lain-lain berdiri mengelilingi dan menonton.

Sepasang pedang di tangan Wi Wi Toanio benar-benar lihai sekali. Gerakannya cepat dan aneh, tenaga lweekang-nya pun sangat hebat. Bahkan, dengan terus terang Kiang Liat harus mengaku bahwa dalam hal kecepatan dan tenaga dalam, ia masih kalah oleh lawannya ini. Baiknya ia memiliki ilmu pedang warisan Kiang yang sudah diperkuat dan diperhebat oleh gurunya, maka ia dapat melakukan penjagaan diri yang kuat.

Wi Wi Toanio penasaran dan terheran-heran. Sudah tiga puluh jurus mereka bertempur, tetapi belum juga ia mampu mendesak orang muda itu.

Laki-laki yang tadi berdiri di dekatnya mengeluarkan seruan heran dan berkata dengan suaranya yang halus,

“Aneh sekali, aku berani bertaruh bahwa ini bukan Hun-khai Kiam-hoat Ang-bin Sin-kai!”

Mendengar seruan ini, diam-diam Kiang Liat mengeluh. Tidak saja wanita yang menjadi lawannya ini tangguh sekali, juga seruan laki-laki tadi menyatakan bahwa laki-laki itu pun seorang ahli silat yang pandai. Tidak sembarangan ahli silat mampu mengenal Hun-khai Kiam-hoat, namun laki-laki itu dapat menyatakan bahwa ilmu pedangnya bukan Hun-khai Kiam-hoat.

Karena tahu bahwa ia dikepung oleh orang-orang Mo-kauw yang tinggi kepandaiannya, Kiang Liat menjadi nekat. Pedangnya digerakkan dengan cepat dan ia pun mengeluarkan seluruh kepandalan yang ia dapat dari Han Le selama satu tahun.

Usahanya berhasil baik. Wi Wi Toanio mengeluarkan seruan kaget dan dalam beberapa gebrakan, Wi Wi Toanio dapat terdesak mundur oleh serangan Kiang Liat, orang muda ini sudah mengeluarkan tiga jurus ilmu pedang yang disempurnakan oleh Han Le, yakni pertama-tama ia menyerang dengan gerak tipu Pek-in Koan-goat (Awan Putih Menutup Bulan), lalu disambung dengan Sin-eng Liap-in (Garuda Mengejar Awan), dan akhirnya ia menyerang terus tanpa menghentikan pedangnya dengan gerak tipu Sian-jin Hoan-eng (Dewa Menukar Bayangan).

Tiga serangan berantai ini merupakan puncak dari ilmu pedangnya yang oleh Han Le disebut Lian-cu Sam-kiam (Tiga Tikaman Pedang Berantai) dan amat lihai gerakannya. Tiga jurus serangan ini dapat dilakukan terus-menerus dan ganti-berganti karena dari jurus pertama ke jurus ke dua atau ke tiga mempunyai hubungan yang amat dekat dan dapat disambung menurut sesuka hatinya.

Wi Wi Toanio adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi. Pembaca dari cerita Pendekar Sakti tentunya masih ingat bahwa Wi Wi Toanio adalah isteri dari An Kai Seng, keturunan dari An Lu Shan. Juga Wi Wi Toanio inilah yang dengan kecantikannya yang luar biasa telah menjatuhkan hati Bu Pun Su dan menyeret Pendekar Sakti itu ke dalam lumpur kehinaan.

Semenjak dikalahkan oleh Bu Pun Su, suami isteri ini mempelajari ilmu silat tinggi hingga akhirnya mereka bersekutu dengan pihak Mo-kauw, dan menjadi anggota pimpinan yang disegani. Pihak Mo-kauw memang mempunyai banyak orang pandai dan juga memiliki pengaruh yang luas sekali. Maka tidak begitu mengherankan apa bila mereka telah dapat mencium bau tentang tugas yang sedang dijalankan oleh Kiang Liat untuk mengundang dua orang pandai untuk membantu Bu Pun Su. Maka Wi Wi Toanio bersama suaminya dan beberapa orang Mo-kauw segera ditugaskan untuk mencegat perjalanan Kiang Liat dan kalau perlu membunuh orang muda ini.

Akan tetapi, kini menghadapi serangan Lian-cu Sam-kiam dari Kiang Liat, Wi Wi Toanio merasa terkejut bukan main. Ia masih bergerak cepat untuk menangkis serta mengelak, akan tetapi gerakan yang aneh dari pedang Kiang Liat masih berhasil membabat ujung lengan bajunya dan hampir membabat putus jari tangan kirinya sehingga sambil berseru kaget wanita ini melompat ke belakang dan melepaskan pedang kirinya!

“Gempur dia!” bentak An Kai Seng marah sambil menyerang dengan pedangnya.

Dan pada lain saat, Kiang Liat sudah dikeroyok oleh dua puluh orang lebih yang rata-rata mempunyai ilmu silat tinggi. Kiang Liat kewalahan, apa lagi perahu itu bergoyang-goyang karena gerakan banyak orang. Dalam amukannya Kiang Liat berhasil merobohkan dua orang, akan tetapi ia terdesak sampai ke pinggir perahu.

Tidak ada lain jalan bagi Kiang Liat. Di atas perahu yang berguncang itu dia tidak dapat bersilat sebagaimana mestinya, maka untuk mencegah supaya ia jangan terjengkang ke dalam air, ia lalu melirik ke bawah. Girang hatinya melihat perahunya masih menempel di pinggir perahu besar. Karena itu, sambil memutar pedang sehingga para pengeroyoknya mundur, ia lalu melompat ke arah perahu kecilnya itu.

Akan tetapi alangkah kaget hatinya ketika dia melihat tiba-tiba perahu kecilnya bergerak, meluncur maju cepat sekali sehingga tanpa dapat dicegah lagi, Kiang Liat jatuh ke dalam air!

Air muncrat tinggi dan Kiang Liat menelan air asin. Cepat ia menahan napas dan mumbul lagi ke permukaan air, menggerak-gerakkan kaki dan tangan sehingga ia dapat bertahan mengambang di atas air. Ia bukan seorang ahli renang, namun kalau hanya menahan diri agar jangan tenggelam saja, ia masih bisa.

Dengan hati dongkol dan juga terheran, Kiang Liat melihat bahwa yang membikin perahu kecilnya terdorong maju adalah seorang laki-laki setengah tua. Laki-laki ini tiba-tiba saja muncul di permukaan air bersama perahu kecilnya berikut layar tambal-tambalan dan dia ini bukan lain adalah lelaki yang tadi bernyanyi-nyanyi dan kemudian tenggelam bersama perahunya!

Dengan enaknya laki-laki itu menggunakan perahu mendorong perahu Kiang Liat. Ketika Kiang Liat melihat perahunya, dia bergidik. Perahunya sudah penuh dengan anak panah yang menancap di seluruh badan perahu. Apa bila tadi dia berhasil melompat ke dalam perahu, dia bersangsi apakah dia akan dapat menangkis hujan anak panah itu.

Kini dia melihat orang tua itu tertawa terkekeh-kekeh kepadanya. Orang setengah tua ini rambutnya awut-awutan, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya penuh keriput. Akan tetapi bentuk mukanya masih tampan serta gagah. Dia hanya satu kali terkekeh kepada Kiang Liat, kemudian tubuhnya tiba-tiba saja melayang naik ke perahu besar.


Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su


KIANG LIAT ternganga keheranan. Ia telah sering kali melihat ahli-ahli silat tinggi bergerak, akan tetapi baru sekali ini ia melihat orang melompat seperti kakek itu. Perahu kecil yang ditinggalkannya sama sekali tak bergoyang dan tadi pada waktu kakek itu melompat, dia seakan-akan memiliki sayap dan terbang ke atas begitu saja!


Terdengar suara gaduh di atas perahu, disambung oleh suara ketawa dan jerit kesakitan. Tidak lama kemudian, sesosok bayangan melayang turun dan tahu-tahu kakek tadi telah berada di atas perahu Kiang Liat yang penuh anak panah.

“Locianpwe, harap tinggalkan nama!” terdengar suara Wi Wi Toanio dari atas perahu.

Orang tua itu tertawa bergelak-gelak. “Wi Wi Toanio, aku datang dan pergi tidak pernah memperkenalkan nama!”

“Kau sudah menghina dan merusak patung Sam-kauwcu!” terdengar suara lainnya, yaitu suara laki-laki.

Orang itu kembali tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, beri tahukan pada Thian-te Sam-kauwcu supaya mereka jangan terlalu sombong dengan patung-patungnya!”

Perahu besar itu tadinya tidak bergerak, akan tetapi kini perahu itu mulai bergerak pergi setelah orang-orangnya memasang layar. Agaknya mereka ketakutan sekali menghadapi orang aneh tadi. Orang itu pun hanya tertawa saja melihat perahu itu pergi dari situ.

Kiang Liat memandang kagum dan heran. Akan tetapi tak lama kemudian ia mendongkol sekali karena tanpa menoleh kepadanya, laki-laki itu mendayung perahu dan pergi dari situ.

Kiang Liat hendak memperingatkan orang itu bahwa perahu mereka tertukar, akan tetapi dia menahan niatnya. Agaknya orang itu sengaja menukar perahu yang butut itu dengan perahunya yang masih baik, akan tetapi mengingat orang itu telah menolongnya, apakah pantas kalau dia ribut-ribut urusan perahu tertukar? Kekuatan orang itu luar biasa sekali dan sebentar saja perahunya telah lenyap dari pandangan matanya.

Biar pun mendongkol, Kiang Liat merasa beruntung juga bahwa peristiwa itu lewat tanpa mendatangkan bencana padanya. Perahu yang ia duduki itu butut, akan tetapi layarnya yang tambal-tambalan masih ada. Ia benar-benar tidak dapat mengerti bagaimana orang itu tadi dapat menyelam bersama perahunya termasuk layar-layarnya!

Angin bertiup kencang. Kiang Liat cepat-cepat memegang tali layar untuk mengemudikan perahunya, menuju ke pulau kecil yang kelihatan samat-samar dari situ.

Tak lama kemudian sampailah ia di sebuah pulau kecil yang penuh dengan pohon-pohon liar. Ketika ia mendaratkan perahunya dan menurunkan layar, ia melihat sebuah perahu penuh anak panah di tepi pantai. Hatinya berdebar. Tidak salah lagi, orang setengah tua yang aneh tadi telah mendarat pula di pulau itu!

Baru saja Kiang Liat melompat ke darat, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih dan tahu-tahu dia telah berhadapan dengan seorang wanita baju putih yang kurus. Wanita itu usianya kurang lebih empat puluh tahun, wajahnya agak pucat akan tetapi masih terlihat cantik. Sepasang alisnya dikerutkan, ada pun bibirnya ditekuk sedemikian rupa sehingga nampaknya galak dan gagah bukan main. Tangan kanan wanita itu memegang sebatang cambuk yang ujungnya bercabang-cabang.

“Bocah lancang kurang ajar, berani sekali kau mendarat di pulau ini tanpa ijin!” wanita itu berseru marah dan cambuknya menyambar ke arah Kiang Liat.

Kiang Liat kaget sekali. Sambaran cambuk itu mendatangkan angin dingin dan dia cepat melompat ke belakang sambil mencabut pedangnya, karena ia tahu bahwa ia kini sedang berhadapan dengan seorang yang lihai.

Akan tetapi gerakan cambuk itu aneh sekali. Meski pun sabetan pertama tidak mengenai sasaran, namun lengan wanita itu seakan-akan bisa terulur panjang dan kembali cambuk itu menyerang lagi. Kini ujung cambuk yang begitu bercabang-cabang itu bergerak-gerak seperti ular, menyerang ke jalan darah di tujuh bagian!

Kiang Liat berseru keras dan memutar pedangnya untuk melindungi tubuh. Akan tetapi, tiba-tiba dia merasa tubuhnya kaku. Pedangnya terlilit oleh sebatang ujung cambuk dan pundaknya kena ditotok, membuat tubuhnya seketika terasa kaku dan pada lain saat dia sudah rebah lemas dan pedangnya terampas!

Wanita itu tertawa mengejek, memasukkan pedang rampasan ke dalam sarung pedang yang tergantung pada pinggang Kiang Liat, kemudian menyeret tubuh Kiang Liat dengan menarik lengannya, dibawa naik ke atas bukit. Di atas bukit itu, seorang lelaki setengah tua sudah menantinya dan Kiang Liat melihat bahwa laki-laki itu adalah orang aneh yang tadi telah menolongnya di atas laut ketika ia dikeroyok orang-orang Mo-kauw.

“Sui Ceng, apakah benar-benar kau begitu tega hati dan tetap berkeras membiarkan aku bersengsara dan mati dalam keadaan hidup?” terdengar laki-laki itu berkata.

Kiang Liat menjadi kaget bukan main. Tak tahunya bahwa wanita yang ganas dan lihai ini adalah Bun Sui Ceng, orang yang sedang dicari-carinya dan yang oleh gurunya disebut sebagai wanita yang amat lihai. Memang ia wanita lihai sekali, akan tetapi jika wataknya demikian ganas, tipis sekali harapan untuk dapat minta tolong kepada orang macam ini, pikir Kiang Liat.

“Kun Beng, kau sudah tua, akan tetapi mengapa hatimu tetap muda? Cih, benar-benar tidak tahu malu!” jawab wanita itu.

Kun Beng menghela napas dan menggeleng-geleng kepalanya. “Sui Ceng, jangan kau salah duga. Sudah lama aku dapat mengalahkan nafsu dan semua kata-kataku padamu sekali-kali bukan didorong oleh nafsu, akan tetapi didorong oleh hasratku hidup seperti manusia biasa. Apakah kau juga hendak mati dan meninggalkan dunia begitu saja tanpa meninggalkan keturunan yang akan menyambung riwayat hidupmu?”

Sui Ceng, atau lengkapnya Bun Sui Ceng murid Kiu-bwee Coa-li, membanting-banting kakinya dan keningnya dikerutkan.

“Menyebalkan, menyebalkan! Kun Beng, engkau seperti tidak tahu saja. Apa sih baiknya hidup ini? Penuh penderitaan, penuh kepalsuan, penuh penyesalan dan penuh keributan-keributan! Siapa ingin mempunyai keturunan untuk merasakan semua penderitaan ini? Tidak, cukup diderita oleh kita sendiri, jangan menurunkan nyawa lain untuk mengalami pahit getir seperti yang kita alami. Sudahlah mari kita habiskan hidup dengan berlomba, siapa yang lebih cepat maju!”

Kun Beng kelihatan sedih sekali. “Sui Ceng, tidak kusangka bahwa kau berhati batu yang dingin dan keras. Akan tetapi, aku tetap tidak percaya. Kau sengaja mengeraskan hati, padahal aku yakin bahwa kau masih mencinta padaku. Sui Ceng, apakah hingga puluhan tahun kau masih saja belum dapat mengampuni kesalahan-kesalahanku?”

Mendengar percakapan ini, Kiang Liat menjadi terharu dan juga jengah. Tanpa disengaja dia mendengarkan percakapan dari dua orang tua mengenai cinta kasih, dua orang yang berbicara mengenai hal demikian gawat secara begitu saja di hadapannya, tanpa tedeng aling-aling!

“Kun Beng,” suara Sui Ceng terdengar lembut, agaknya kata-kata Kun Beng tadi sudah mengharukan hatinya. “Bukan aku yang keras hati, melainkan engkaulah. Cinta kasihmu sampai puluhan tahun belum padam, sungguh-sungguh menandakan bahwa kau berhati sekeras baja. Akan tetapi, seperti juga dulu telah kukatakan kepadamu berkali-kali, kalau tidak salah sudah empat belas kali kau datang menyusul dan membujukku, aku hanya akan menuruti kehendakmu kalau kau sudah bisa mengalahkan cambukku!”

Kun Beng menundukkan kepalanya, kemudian ia menggeleng-gelengkan kepala itu. “Sui Ceng, ke mana saja kau pergi, aku selalu mencari dan menyusulmu. Sampai kau lari ke Go-bi-san, ke perbatasan Mongol, ke rimba raya di lembah Huang-ho, aku menyusulmu. Akan tetapi kau tahu bahwa aku tidak dapat menurunkan tangan untuk bertanding silat denganmu, aku tidak dapat mengalahkanmu. Andai kata aku dapat, aku pun tidak akan tega mengalahkanmu. Aku tidak ingin menjadi suamimu karena kekerasan, atau karena kau terpaksa, aku menghendaki supaya kau suka menerimaku sebagai suamimu dengan cinta kasih.”

“Jangan ngaco-belo!” Sui Ceng membentak marah, akan tetapi Kiang Liat maklum bahwa wanita sakti itu terharu sekali, buktinya dua butir air mata menitik turun ke atas pipinya. “Kun Beng, sudah dua tahun kita tidak bertemu, mari kau melayani cambukku barang seratus jurus!”

Kun Beng menarik napas panjang. “Kau memang sangat doyan berkelahi. Biasanya aku melayanimu supaya kau gembira. Akan tetapi, kini aku akan berusaha mengalahkanmu. Siapa tahu kalau-kalau dengan kekalahanmu, akan kalah pula kekerasan kepalamu, Sui Ceng.”

Setelah berkata demikian, Kun Beng membuka baju luarnya dan mengeluarkan sebatang tombak yang kelihatannya butut dan kotor. Akan tetapi di antara batang yang kotor itu kelihatan kilauan dari logam aslinya.

Sui Ceng mengeluarkan seruan girang dan dengan kaki kirinya ia lalu menendang tubuh Kiang Liat yang tadi menggeletak di depannya karena orang muda ini masih tak berdaya dan berada dalam keadaan tertotok.

Tubuh Kiang Liat terguling sampai lima tombak lebih, namun dia dapat melompat bangun karena tendangan itu ternyata adalah obat untuk membebaskannya dari totokan. Ia tidak berani sembarangan bergerak, hanya duduk di atas tanah dan memandang dengan hati tertarik dan penuh perhatian.

Hatinya berdebar. Ia telah diutus oleh gurunya untuk mencari dan minta bantuan kepada dua orang aneh itu, akan tetapi sekarang ia menjumpai mereka dalam keadaan hendak bertarung untuk memperebutkan kebenaran pendapat masing-masing! Benar-benar aneh sekali dua orang ini.

Sui Ceng adalah murid tunggal terkasih dari Kiu-bwe Coa-li, tentu saja ilmu silatnya tinggi sekali. Kepandaian tunggal yang istimewa dari Kiu-bwe Coa-li, yakni permainan cambuk, telah diturunkan kepadanya, maka dalam hal permainan senjata aneh ini, Sui Ceng amat pandai dan tidak kalah lihainya dari mendiang Kiu-bwe Coa-li.

Cambuknya itu ujungnya bercabang sembilan dan setiap ujung merupakan senjata maut yang mengerikan. Jangankan sampai kena pukul, baru terkena totokan saja, setiap ujung cabang dapat mencabut nyawa lawan!

Di lain pihak, kepandaian The Kun Beng sudah disaksikan oleh Kiang Liat. Pendekar ini adalah murid ke dua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai, yang sudah mewarisi ilmu tombak dari mendiang suhu-nya. Maka ilmu tombaknya juga jarang ada yang dapat menandingi pada masa itu.

Pada saat digerakkan ujung tombak itu bergetar sehingga ujung itu seakan-akan berubah menjadi belasan banyaknya, mengeluarkan suara mendenging yang menyakitkan anak telinga. Setiap tusukan, tangkisan, atau pukulan dari tombak dan gagangnya disertai oleh tenaga lweekang yang luar biasa kuatnya.

Demikianlah, dua orang itu bertempur dengan amat hebatnya. Kadang-kadang keduanya lenyap dari pandangan mata, tertutup oleh selimut dari gulungan sinar senjata mereka. Bahkan Kiang Liat sendiri yang terhitung seorang ahli silat kelas tinggi, menjadi pening dan tidak dapat mengikuti gerakan-gerakan mereka dengan baik.

Akan tetapi, setelah bertempur dengan cepat sampai puluhan jurus, tiba-tiba saja mereka kelihatan lagi dan sekarang pertempuran dilangsungkan tanpa mengalihkan kedua kaki. Mereka berdiri berhadapan dengan jarak dekat dan hanya kedua tangan mereka saja yang bergerak dan senjata mereka yang menyambar-nyambar pergi datang!

Kiang Liat melongo. Selama hidupnya belum pernah ia melihat pertempuran sehebat ini. Memang pernah ia menyaksikan kepandaian istimewa dari gurunya, Han Le, terutama ia pernah pula mengagumi kehebatan supek-nya, Bu Pun Su. Pernah pula ia menghadapi orang-orang lihai seperti Pek Hoa Pouwsat dan lain-lainnya, akan tetapi belum pernah ia melihat dua orang sakti bertanding sehebat ini! Padahal pertandingan mereka itu hanya ‘main-main’ belaka, bukan untuk saling membunuh, hanya sekedar mengadu limu atau menguji tingkat saja.

Setelah beberapa puluh jurus dilewatkan dengan pertempuran lambat, kembali mereka bertempur cepat.

“Brettt!” tiba-tiba terdengar suara dan melayanglah sehelai robekan kain.

“Sui Ceng, aku mengaku kalah...,” kata Kun Beng yang melompat keluar dari kalangan pertandingan. Yang melayang tadi adalah robekan ujung bajunya, rupa-rupanya terkena sabetan cambuk Sui Ceng.

Sui Ceng merengut, mukanya yang agak pucat itu menjadi merah.

“Kau memang laki-laki tahu! Selalu menunjukkan sifat lemah dan mengalah. Siapa tidak tahu bahwa kau tadi sengaja memiringkan gagang tombakmu sehingga ujung cambukku dapat merobek ujung bajumu? Cih, kau selalu mengecewakan hatiku!”

“Aku memang kalah, Sui Ceng,” kata Kun Beng, wajahnya nampak berduka sekali.

Sui Ceng membanting-banting kedua kakinya. Tiba-tiba ia dan Kun Beng menengok ke arah Kiang Liat ketika mendengar orang muda itu berkata,

“Ji-wi sudah memperlihatkan kepandaian yang tiada duanya di kolong langit. Kepandaian Ji-wi Locianpwe seperti kepandaian dewa saja. Boanpwe Kiang Liat yang bodoh merasa beruntung sekali sempat menyaksikan kepandaian hebat itu.” Sambil berkata demikian, Kiang Liat menjura dengan penuh penghormatan.

Sui Ceng tiba-tiba tertawa senang, “Ahh, benar juga, Kun Beng. Kau selalu sungkan dan mengalah kalau mengadu kepandaian denganku. Sekarang ada orang muda ahli pedang ini, biarlah dia yang menentukan siapa yang lebih unggul di antara kita. Ehh, orang she Kiang, cabutlah pedangmu!”

Kiang Liat merasa ragu-ragu, akan tetapi melihat sinar mata wanita sakti itu, ia tak berani membantah. Dicabutnya pedangnya dan ia memandang kepada Sui Ceng dengan mata bertanya.

Kiang Liat tertegun. Selama hidupnya baru satu kali ini dia menghadapi perintah seaneh ini, yaitu ketika ia bertemu dengan Bu Pun Su, supek-nya. Namun sekarang, lagi-lagi ia menghadapi perintah serupa dari Bun Sui Ceng!

“Boanseng mana berani berlaku kurang ajar?” katanya perlahan.

“Bodoh! Aku sedang menguji kepandaian dengan Kun Beng. Hendak kami lihat di antara kami, siapa yang lebih dulu dapat merobohkanmu. Hayo serang!”

Panaslah perut Kiang Liat. Ia merasa dihina sekali, hendak dijadikan permainan oleh dua orang aneh itu. Oleh sebab itu, tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, ia lalu menggerakkan pedangnya, menyerang dengan gerakan tipu yang paling lihai dari ilmu pedangnya, yakni Lian-cu Sam-kiam. Serangannya ini hebat dan ilmu pedang ini adalah petunjuk dari Han Le, maka tingkatnya sudah tinggi sekali.

Kalau tadi Kiang Liat dengan mudah ditawan oleh Bun Sui Ceng dalam segebrakan saja, itu adalah karena Kiang Liat diserang tiba-tiba dan ia tidak menyangka sama sekali akan kelihaian Sui Ceng. Akan tetapi, sekarang ia telah maklum bahwa ia tengah menghadapi seorang yang kepandaiannya jauh mengatasinya, maka begitu menyerang, dia langsung mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang istimewa serta mengerahkan semua tenaga lweekang-nya.

“Ayaaa... bagus sekali ilmu pedang ini!” Bun Sui Ceng berseru gembira.

Sui Ceng melompat, cambuknya terayun dan berkali-kali di tengah udara terdengar suara bergeletar dari ujung-ujung cambuknya. Dia benar-benar kagum karena ia tidak mengira bahwa orang muda itu mempunyai kiam-hoat yang demikian lihai.

Akan tetapi, betapa pun hebat ilmu pedang keluarga Kiang yang sudah disempurnakan oleh petunjuk-petunjuk Han Le, tingkat kepandaian Kiang Liat memang jauh lebih rendah. Baik dalam ginkang, lweekang, mau pun kemahiran gerakan silat, dia kalah banyak. Apa lagi memang senjata di tangan Sui Ceng itu benar-benar aneh dan hebat.

Dengan mati-matian Kiang Liat membela diri dan membalas dengan jurus-jurus pilihan, namun pada jurus ke tiga belas ia tidak dapat mempertahankan diri lagi. Sebatang ujung cambuk di tangan Sui Ceng bagaikan seekor ular telah membelit kaki kanannya sehingga tanpa dapat dicegah lagi, Kiang Liat segera terpelanting roboh ketika Sui Ceng menarik cambuknya!

Kiang Liat bangkit berdiri dengan muka merah. Ia tidak merasa sakit sama sekali, hanya pakaiannya yang menjadi kotor. Setelah mengebut-ngebut pakaiannya, dia menjura pada Sui Ceng. “Terima kasih atas pelajaran dan petunjuk Locianpwe.”

Sebaliknya, Sui Ceng memandang kepadanya dengan tersenyum girang.

“Baru sekarang ini aku bertemu dengan seorang muda yang kepandaian ilmu pedangnya demikian tinggi. Tak malu aku mengaku bahwa sampai sekarang pun aku masih belum dapat mengenal ilmu pedangmu,” katanya.

Terdengar The Kun Beng tertawa terkekeh, “Sui Ceng, biar pun ilmu pedang bocah she Kiang ini sangat lihai, tetap saja dalam tiga belas jurus dia roboh olehmu. Aku mana bisa melakukan hal itu? Sudahlah, aku pun mengaku kalah dalam pertandingan ini.”

“Kau curang!” Sui Ceng membentak, “Mana bisa pertandingan dianggap kalah jika belum dilakukan? Ehh, orang she Kiang, sekarang kau pergunakan pedangmu, seranglah dia si tua bangka itu!”

Diam-diam Kiang Liat merasa kasihan dan terharu mendengar semua percakapan antara dua orang setengah tua ini. Dia sendiri sudah merasakan kebahagiaan berumah tangga, hidup penuh kasih sayang dan saling mencinta dengan Bi Li. Mengapa dua orang aneh ini tidak dapat mengecap kebahagiaan itu? Kalau saja aku dapat menjadi perantara atau jembatan agar supaya mereka saling mendapatkan, pikir Kiang Liat.

“Baik, Boanpwe akan menyerang. Awaslah, Locianpwe!” katanya dan pedangnya segera bergerak cepat menyerang Kun Beng.

“Eh, ehh, lihai sekali...” Kun Beng juga memuji dan suaranya gembira.

Ahli silat manakah yang tidak gembira pada saat menghadapi pertandingan ilmu silat? Ia cepat menggerakkan tombaknya dan terdengar suara berdencing ketika tombak bertemu dengan pedang. Biar pun Kun Beng menangkis perlahan saja, namun Kiang Liat merasa telapak tangannya pedas dan tergetar hebat. Ia terkejut sekali dan bersilat lebih hati-hati. Ia tidak membiarkan pedangnya bertemu dengan tombak.

Akan tetapi setelah bertanding beberapa jurus, tahulah Kiang Liat bahwa lagi-lagi kakek ini mengalah terhadap Sui Ceng. Bila tadi dengan cambuknya, Sui Ceng menyerangnya secara hebat dan penuh nafsu untuk cepat-cepat merobohkan, adalah Kun Beng ini lebih banyak bertahan dari pada menyerang.

Kiang Liat tidak mau membiarkan hal ini terjadi. Maka, pada jurus ke sepuluh, dia tidak menarik kakinya yang kena diserampang oleh tombak sehingga tergulinglah dia!

Kun Beng berdiri terpaku, Sui Ceng tertawa geli, dan Kiang Liat merayap bangun.

“Kun Beng, kali ini kau menang!” kata Sui Ceng.

“Benar, dan Ji-wi Locianpwe sekarang dapat melanjutkan perjodohan itu!” berkata Kiang Liat.

“Bocah lancang, apa maksudmu?” Sui Ceng membentak dan ia telah melompat ke depan Kiang Liat dengan sinar mata bernyala penuh ancaman.

Kiang Liat kaget sekali, tak disangkanya bahwa wanita sakti ini akan marah. “Bukankah tadi Ji-wi Locianpwe hendak mempergunakan Boanpwe sebagai ujian? Bukankah tadi Locianpwe menyatakan bahwa kalau Locianpwe kena dikalahkan, maka perjodohan baru dapat terjadi? Boanpwe hanya mengatakan apa yang tadi boanpwe dengar, maka mohon banyak maaf apa bila boanpwe tanpa disengaja berkata lancang.”

“Sui Ceng, orang muda pun merasa kasihan kepada kita, kenapa kau tidak mau kasihan kepada diri sendiri?” Kun Beng berkata, suaranya gemetar.

Akan tetapi Sui Ceng marah sekali. Cambuknya diayun ke atas kepala, mengeluarkan suara yang nyaring, “Kau bocah lancang mulut, berani sekali bicara tentang urusan orang lain. Kau harus diberi hajaran!”

Baiknya sebelum cambuk itu meluncur ke tubuh Kiang Liat, Kun Beng sudah melompat dan menahan Sui Ceng.

“Sabar Sui Ceng. Bocah she Kiang ini datang ke sini karena diutus oleh Lu Kwan Cu!”

“Apa...? Utusan Lu Kwan Cu...?” Sui Ceng menurunkan tangannya yang tiba-tiba terlihat lemas, matanya terbelalak memandang kepada Kiang Liat.

Kiang Liat tidak tahu bahwa Lu Kwan Cu adalah nama asli dari Bu Pun Su, maka ia tidak mengerti. Hanya ia ingat akan pesan suhu-nya bahwa di depan dua orang ini, ia harus banyak-banyak menyebut nama Bu Pun Su, oleh karena itu ia segera menjawab,

“Ji-wi Locianpwe… boanpwe Kiang Liat diutus Suhu Han Le dan Supek Bu Pun Su untuk mencari Ji-wi.”

“Hem, Bu Pun Su menyuruh kau mencariku, ada urusan apakah?” tanya Sui Ceng sambil mengerutkan keningnya.

Dengan singkat Kiang Liat lalu menuturkan apa yang ia dengar dari Han Le, yakni bahwa di dunia persilatan muncul tiga tokoh asing yang lihai dan yang kini menguasai dunia kang-ouw, mengancam semua orang gagah yang tidak mau menggabungkan diri dengan Mo-kauw. Dan bahwa pada bulan enam yang akan datang, pihak Mo-kauw menantang Bu Pun Su beserta orang-orang gagah lainnya untuk mengadakan penentuan siapa yang berhak menguasai dunia kang-ouw, di sebelah barat bukit Heng-tuan-san.

Mendengar ini, Sui Ceng nampaknya tidak tertarik sedikit pun juga.

“Serombongan tikus-tikus busuk macam itu saja, apa artinya bagi Bu Pun Su? Aku berani mempertaruhkan kepalaku bahwa Bu Pun Su seorang diri pun akan sanggup membasmi mereka sampai ke akar-akarnya. Mengapa pula orang seperti aku dan Kun Beng harus ikut turun tangan membantu?”

”Akan tetapi sekarang keadaannya lain lagi, Sui Ceng,” kata Kun Beng, menggirangkan hati Kiang Liat yang tadinya sudah kecewa, “sekali ini musuh-musuh Bu Pun Su agaknya betul-betul hendak berusaha merebut kekuasaan di dunia kang-ouw. Malah kedatangan Kiang-enghiong ke sini tak terluput dari perhatian mereka sehingga Kiang-enghiong telah dihadang di tengah samudera. Tahukah engkau siapa yang menghadangnya dan hendak membunuhnya agar dia jangan minta bantuan kita?”

“Siapa? Anak buah Mo-kauw?” tanya Sui Ceng acuh tak acuh.

“Benar, akan tetapi bukan anak buah sembarangan, melainkan An Kai Seng sendiri dan isterinya, siluman betina Wi Wi Toanio!”

Mendengar kedua nama ini, mata Sui Ceng bercahaya. “Apa? Dan kau tidak membunuh mampus mereka?”

Kun Beng tersenyum dan menggeleng kepala. “Aku tidak mau membikin kau kecewa, Sui Ceng. Membasmi mereka adalah tugasmu, bukan?”

“Di mana mereka?” Sui Ceng menggerakkan cambuknya.

“Kau dapat bertemu dengan mereka kelak pada awal bulan enam di Yalu Cangpo, pada tikungan sebelah barat Gunung Heng-tuan-san,” jawab Kun Beng.

“Bulan enam kurang tiga bulan lagi, Heng-tuan-san tidak dekat, mari kita berangkat!” kata Sui Ceng tiba-tiba sambil berlari ke pantai.

Kun Beng memegang lengan Kiang Liat. “Orang muda, mari kita berangkat!”

Kiang Liat tak dapat menahan ketika tiba-tiba ia ditarik dengan cepatnya oleh Kun Beng. Akan tetapi hatinya merasa girang sekali karena tak disangka-sangkanya, tugasnya bisa dipenuhinya demikian mudah. Lebih gembira lagi hatinya ketika dalam perjalanan menuju ke Heng-tuan-san itu, Sui Ceng dan Kun Beng yang suka sekali melihat orang muda ini, berkenan menurunkan beberapa jurus ilmu silat tinggi sehingga Kiang Liat mendapatkan kemajuan yang luar biasa.

Bahkan ia juga telah menerima pelajaran ilmu lari cepat dari Sui Ceng sehingga ia dapat melakukan perjalanan dengan leluasa bersama kedua orang tokoh ini, tidak perlu lagi ia digandeng oleh Kun Beng. Ilmu berlari cepat dari Sui Ceng yang disebut Yan-cu Hui-po (Tindakan Seperti Walet Terbang) memang luar biasa sekali, dan berkat dari besarnya bakat dasar dalam diri Kiang Liat, pendekar muda ini dapat mempelajarinya dengan amat cepat.


                    ***************


Awal bulan Lak-gwe di lembah Sungai Yalu Cangpo!

Lembah ini biasanya sunyi sekali, tak pernah didatangi manusia karena memang daerah ini masih liar dan sukar didatangi. Binatang-binatang buas yang aneh dan jarang terlihat di hutan-hutan yang sudah dijajah manusia, masih berkeliaran di tempat ini. Orang tanpa memiliki kepandaian tinggi jangan harap dapat keluar dari hutan ini dengan selamat.

Akan tetapi, pada pagi hari itu, di lembah sungai, tepat di mana sungai itu membelok dan kembali mengalir ke arah barat, keadaannya ramai sekali. Di sebuah tempat terbuka di pinggir sungai, kelihatan banyak orang yang duduk di atas rumput.

Di depan mereka juga duduk beberapa orang di atas batu karang. Mereka seakan-akan menanti datangnya orang lain. Bekas-bekas tempat pohon ditebang menunjukkan bahwa tempat ini memang sengaja disediakan untuk pertemuan ini.

Jumlah orang yang duduk di atas rumput ada tiga puluh orang lebih. Pakaian mereka bermacam-macam, akan tetapi rata-rata mempunyai air muka penjahat. Banyak di antara mereka yang tubuhnya tinggi besar dengan muka bengis, kasar gerak-geriknya, duduk sambil minum arak atau mengobrol dengan kata-kata yang kotor dan kasar. Akan tetapi ada pula yang gerak-geriknya halus dan bermuka tampan, namun sinar matanya tetap membayangkan kekejaman dan kebuasan.

Di depan sekali, di atas batu karang, duduk Thian-te Sam-kauwcu, tiga orang dari barat yang kini menguasai Mo-kauw. Memang mereka ini adalah orang-orang terpenting dari Mo-kauw, yang berkumpul di situ untuk menghadapi musuh. Tak jauh dari tiga ketua ini, duduk pula Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko, sepasang manusia iblis yang terkenal lihai dan keji sekali.

Selain mereka ini, masih terdapat banyak tokoh-tokoh yang berilmu tinggi, bahkan di antaranya terdapat pula Kiam Ki Sianjin, seorang yang tinggi sekali ilmu kepandaiannya! Karena dulu pernah menderita kekalahan ketika menghadapi Bu Pun Su, Kiam Ki Sianjin terpaksa bergabung dengan Thian-te Sam-kauwcu untuk memperkuat kedudukannya.

Akan tetapi yang paling mencolok di antara mereka semua adalah seorang wanita cantik jelita seperti bidadari yang duduknya terpisah, di sebelah kiri dari tiga ketua itu. Dia ini kelihatannya masih muda, seperti seorang gadis dua puluh tahun, cantiknya benar-benar membuat semua orang laki-laki yang berada di sana menelan ludah dengan hati kagum dan penuh gairah.

Akan tetapi tidak seorang pun berani memperlihatkan kekagumannya secara berterang, karena gadis ini bukanlah orang sembarangan. Dia ini adalah murid terkasih dari Thian-te Sam-kauwcu dan dia bukan lain adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat.

Melihat setangkai bunga putih di rambutnya, orang akan mengenal Dewi Jelita ini, akan memandang dengan penuh kekaguman. Akan tetapi apa bila melihat gagang sepasang pedang yang tersembul di pundak kirinya, orang itu akan merasa ngeri karena sepasang pedang itu entah sudah makan berapa banyak nyawa orang-orang tak berdosa!

“Mengapa sampai sekarang dia belum muncul?” terdengar Hek-te-ong, orang pertama dari Thian-te Sam-kauwcu yang bertubuh tinggi besar, bertanya. Suaranya besar seperti tambur dan kulitnya yang hitam itu mengkilap tertimpa sinar matahari pagi.

“Ha-ha-ha, agaknya Bu Pun Su sudah kehilangan nyalinya dan takut kepada kita...!” kata Pek-in-ong, orang ke dua yang tinggi kurus seperti cecak kering dan mukanya seperti tengkorak. Suaranya tinggi dan nyaring menusuk telinga.

Mendengar ejekan ini, semua orang lalu tertawa dan bergemalah suara ketawa mereka sampai di permukaan air sungai Yalu Cangpo.

Tiba-tiba suara ketawa mereka itu terhenti. Mereka terkejut mendengar suara ketawa lain yang parau dan keras, yang keluar dari permukaan air sungai!

Cheng-hai-ong, orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu yang bertubuh kurus bongkok dan bermata sipit menggerakkan tangan. Sebatang hui-to (golok terbang) meluncur ke arah permukaan air.

Air itu bergelombang dan hui-to itu tenggelam, tidak ada tanda sesuatu. Apa bila betul di permukaan air tadi ada sesuatu, jelas bahwa hui-to itu tidak mengenai sesuatu.

“Bedebah, berani main gila dengan Cheng-hai-ong!” seru kakek kurus bongkok ini sambil berbangkit dari tempat duduknya. Dia hendak melompat dan terjun ke dalam air karena orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu ini memang merupakan seorang ahli dalam air, maka julukannya juga Cheng-hai-ong yang berarti Raja Laut Hijau!

Akan tetapi, ia membatalkan niatnya karena tiba-tiba dari dalam hutan muncul seorang kakek berusia empat puluh tahun lebih bertubuh sedang dan berpakaian sederhana.

“Thian-te Sam-kauwcu, aku sudah datang, tak perlu gelisah!”

Semua orang memandangnya. Bu Pun Su berjalan lambat-lambat naik ke tempat terbuka itu, tongkat kecil di tangan kiri, dipukul-pukulkan di atas tanah ketika ia berjalan. Ia tidak terlihat membawa senjata, hanya di pinggangnya terselip sebatang suling bulat. Setelah tiba di depan Thian-te Sam-kauwcu, kurang lebih sepuluh tombak jaraknya, dia berhenti dan berdiri tegak.

Thian-te Sam-kauwcu sudah lama mendengar nama Bu Pun Su yang menggemparkan dunia kang-ouw dan yang diakui oleh para tokoh kang-ouw sebagai jagoan nomor satu, akan tetapi baru kali ini mereka bertemu muka dengan pendekar sakti itu.

“Ha-ha-ha!” Hek-te-ong tertawa bergelak sambil memegangi perutnya, menahan kegelian hatinya. Ia tidak hanya geli, akan tetapi juga sengaja mentertawakan orang yang baru datang untuk menguji perasaan Bu Pun Su.

“Inikah yang bernama Bu Pun Su? Lucu sekali! Agaknya sudah tak ada lagi orang gagah di Tiong-goan sehingga bocah macam ini menjadi jago nomor satu. Ha-ha-ha!”

“Siluman hitam, sombong sekali mulutmu!” terdengar bentakan nyaring seorang wanita dan nampak bayangan berkelebat cepat, tahu-tahu Bu Sui Ceng telah berdiri di dekat Bu Pun Su, cambuknya bergoyang-goyang di tangan kanannya.

Thian-te Sam-kauwcu tercengang. Gerakan wanita yang baru datang ini benar-benar hebat, membuktikan bahwa ginkang dari wanita ini sudah sampai di tingkat tinggi sekali. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Bu Pun Su memang sengaja tidak memperlihatkan kepandaian, berbeda dengan Bu Sui Ceng yang wataknya keras.

Di belakang Sui Ceng, juga menyusul datang The Kun Beng yang diikuti oleh Kiang Liat. Melihat Sui Ceng, Bu Pun Su memandang dengan muka yang tidak berubah, akan tetapi wajahnya berseri ketika ia melihat Kun Beng datang bersama Sui Ceng.

“Bagus, kalian datang, ini tanda bahwa kiamat sudah tiba bagi Thian-te Sam-kauwcu,” kata Bu Pun Su kepada Sui Ceng dan Kun Beng.

Belum habis gema suara Bu Pun Su ini, berturut-turut muncul Swi Kiat Siansu dan Pok Pok Sianjin, diikuti pula oleh Han Le!

Sui Ceng tidak mau membuang banyak waktu. Ia melangkah maju menghampiri tempat duduk Thian-te Sam-kauwcu. Di hadapan tiga orang Ketua Mo-kauw ini, di atas tanah, terbentang sehelai kain dan di atas kain berwarna hitam itu tergeletak sebuah kitab dan sebatang pedang. Sekali melihat saja, Sui Ceng sudah dapat menduga dan ia berkata nyaring,

“Apakah ini kitab Siauw-lim-pai dan pedang Kun-lun-pai yang dicuri oleh kaum siluman?” Kembali ia melangkah maju.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang lambat dan perlahan, akan tetapi menyeramkan. Yang tertawa adalah Cheng-hai-ong. Tangannya lalu bergerak dan belasan benda warna hijau menyambar ke arah kitab dan pedang.

Ketika Sui Ceng melihat, ternyata bahwa sekeliling kain tempat kitab dan pedang itu telah terkurung oleh anak-anak panah berwarna hijau yang menancap di atas tanah, begitu rapi seperti ditancapkan dan diatur dengan tangan. Dengan adanya anak-anak panah itu, maka kitab dan pedang itu terkurung rapat!

Demonstrasi kepandaian ini tak aneh jika orang tahu bagaimana cara menggunakannya. Pada umumnya, anak panah hanya diluncurkan dengan bantuan sebuah busur, namun melepaskan belasan batang anak panah sekaligus hanya dengan lontaran tangan dan dapat mengenai sasaran demikian tepatnya, jarang sekali ada orang dapat menirunya. Selain membutuhkan latihan, juga membutuhkan lweekang yang amat tinggi.

“Hah, pertunjukan kanak-kanak macam itu siapa sih yang menghargai?” kata Sui Ceng.

Cambuknya bergerak. Terdengarlah suara bergeletar beberapa kali dari sembilan ujung cambuknya dan tanpa mengenai kitab dan pedang, anak-anak panah yang tertancap di sekeliling kain hitam itu lenyap beterbangan ke kanan kiri!

“Heh-heh-heh, terima kasih atas pertunjukan ini. Kau tentu murid Kiu-bwe Coa-li!” kata Cheng-hai-ong dengan senyum mengejek, meski pun di dalam hatinya ia merasa kagum sekali.

Pada saat itu pula terdengar suara orang datang ke tempat itu, dan ketika semua orang memandang, ternyata sudah datang pula dua rombongan orang di mana masing-masing rombongan terdiri dari sepuluh orang.

Rombongan pertama adalah rombongan hwesio dari Siauw-lim-pai yang dikepalai oleh dua orang hwesio tua bertubuh gemuk. Rombongan ke dua adalah rombongan tosu dari Kun-lun-pai yang dikepalai oleh seorang tosu tua yang kurus dan tinggi.

Pada saat semua orang memandang pada rombongan ini, dari pihak Mo-kauw meloncat keluar seorang wanita setengah tua yang cantik. Wanita ini adalah Wi Wi Toanio yang memegang sebuah tusuk konde perak, dipegang di tangan kanannya kemudian diangkat tinggi-tinggi.

Dia lalu melompat ke depan dan memandang ke arah rombongan Bu Pun Su, matanya mencari-cari dan ia berseru heran,

“Di mana dia...?”

Tak seorang tahu apa yang dimaksudkan oleh Wi Wi Toanio, akan tetapi pada saat itu, Bun Sui Ceng dan yang lain-lain juga merasa heran karena tanpa mereka ketahui, Bu Pun Su sudah menghilang dari situ. Tak seorang pun tahu ke mana perginya pendekar sakti ini!

Para pembaca cerita Pendekar Sakti tentu maklum mengapa Bu Pun Su melenyapkan diri. Pendekar sakti ini tadi melihat Wi Wi Toanio berada di antara rombongan Mo-kauw, maka melihat wanita itu muncul sambil mencabut tusuk konde, ia lekas-lekas melarikan diri dengan cepatnya.

Sebagaimana diketahui, dalam cerita Pendekar Sakti Bu Pun Su pernah terlibat dalam urusan asmara dengan Wi Wi Toanio dan pernah bersumpah di depan wanita ular yang berbahaya ini bahwa dia akan selalu menuruti kehendak Wi Wi Toanio. Ada pun tusuk konde itu adalah hadiahnya kepada Wi Wi Toanio dan di depan tusuk konde itulah dia bersumpah! Oleh karena itu, apa bila Wi Wi Toanio mengeluarkan benda ini di depannya, apa pun juga yang terjadi, Bu Pun Su selalu akan tunduk dan menyerah, sesuai dengan sumpahnya yang tak mungkin ia langgar sendiri.

Di antara semua orang yang berada di situ, yang tahu penyebab perginya Bu Pun Su, hanyalah Han Le seorang. Kepada sute ini saja Bu Pun Su sudah membuka rahasianya dan menceritakan dengan terus terang akan kebodohannya sehingga di waktu mudanya dahulu ia masuk ke dalam perangkap Wi Wi Toanio. Oleh karena itu, kini Han Le tampil ke muka, mewakili Bu Pun Su dan berkata kepada Thian-te Sam-kauwcu,

“Thian-te Sam-kauwcu, kiranya kalian sudah tahu betul apa maksud kedatangan kami, terutama sekali mengapa rombongan saudara dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai datang ke sini. Tak perlu bicara panjang lebar, kitab dan pedang itu adalah milik kedua partai itu yang sudah kalian curi secara tidak tahu malu. Kini kalian menghendaki kami datang, sebenarnya apakah kehendak kalian?”

Hek-te-ong berdiri dari batu karang yang didudukinya tadi. Wajahnya yang hitam itu menyeringai lebar, sama sekali tidak memandang mata kepada Han Le.

“Ha-ha-ha, entah ke mana perginya Bu Pun Su, akan tetapi kiranya dia takut kepada kami. Kami tak perlu pula bicara panjang lebar, tak perlu menyembunyikan maksud kami. Memang kitab Siauw-lim-pai dan po-kiam (pedang pusaka) Kun-lun-pai telah kami bawa ke sini, karena tanpa mengambil dua benda ini, kiranya kalian tidak akan mau menerima undangan kami. Ketahuilah, sudah lama kami mendengar betapa golongan kalian sangat memandang rendah kepada kami kaum Mo-kauw, banyak penghinaan telah kami alami. Akan tetapi sekarang tiba waktunya kami untuk memperlihatkan, siapa sebetulnya yang lebih kuat. Kitab dan pedang dapat kami ambil tanpa kalian mengetahui, ini saja sudah membuktikan bahwa kami kaum Mo-kauw juga tidak boleh dipandang rendah. Sekarang, terus terang saja kami menuntut agar kalian suka berjanji bahwa selanjutnya pihak kalian tidak boleh mengganggu kami dan mau mengakui kami sebagai sebuah partai persilatan terbesar di dunia kang-ouw. Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai adalah partai-partai terbesar, maka kedua partai itulah yang kami tuntut supaya sekarang juga mengakui kami sebagai pimpinan partai terbesar!”

Han Le tersenyum mengejek, “Hek-te-ong, kau bicara sombong sekali. Belum pernah orang-orang gagah di dunia kang-ouw mengganggu siapa pun juga, kecuali mereka yang jahat dan sesat. Kalau Mo-kauw merasa terganggu, itu tandanya bahwa sepak terjang anggota Mo-kauw memang tidak patut. Bagaimana kau menghendaki kami berjanji tidak akan mengganggu? Lebih baik kalian yang berjanji selanjutnya akan memperbaiki sepak terjang, tentu kami tak akan sudi mengganggu.”

“Betul, betul sekali!” kata hwesio tua dari Siauw-lim-pai.

“Memang tepat, Kun-lun-pai hanya membasmi orang-orang jahat tak peduli dari golongan apa,” kata tosu tua dari Kun-lun-pai.

Pek-in-ong yang tubuhnya tinggi kurus laksana tengkorak itu melompat maju dan ketawa dengan suaranya yang amat tinggi menusuk telinga. “Aha, Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai merasa diri sebagai orang-orang bersih di dunia ini dan memandang orang lain sebagai orang-orang jahat. Apakah anak murid Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai tiada yang berbuat jahat?”

“Kalau pun ada, kami selalu menangkap dan menghukumnya,” kata hwesio Siauw-lim-pai dengan suaranya yang keras.

“Bagus! Bicaralah seperti kau sendiri yang menjagoi di dunia! Hendak kulihat apakah kau sanggup mengambil kembali kitabmu!” kata Pek-in-ong menantang. Memang di antara Thian-te Sam-kauwcu, orang ke dua ini paling berangasan.

Hwesio Siauw-lim-pai yang gemuk bundar itu melangkah maju dan mengebutkan lengan bajunya. “Omitohud, datang-datang langsung ditantang oleh tuan rumah. Siapakah Sicu? Apa kedudukanmu dalam Mo-kauw? Pinceng Kok Beng Hosiang dari Siauw-lim-pai ingin belajar kenal.”

“Aku adalah Pek-in-ong, ketua nomor dua dari Mo-kauw. Tak perlu banyak aturan, kitab Siauw-lim-pai telah tergeletak di depan kita. Kalau kau memang berkepandaian, cobalah kau ambil kembali.”

Kok Beng Hwesio adalah tokoh ke tiga dari Siauw-li-pai, atau murid ke dua dari Ketua Siauw-lim-pai, yakni Hok Bin Taisu. Dengan tenang ia bertindak maju dan membungkuk, tangan kanannya menyambar ke arah kitab yang terletak di atas kain hitam itu. Biar pun tubuhnya membungkuk mengambil kitab, namun sesungguhnya ini adalah gerakan dari Siauw-lim-pai yang disebut Tit-ci Thian-te (Jari Menuding ke Tanah), suatu sikap bhesi yang amat kuat, siap-sedia menghadapi serangan lawan.

Secepat kilat Pek-in-ong melangkah maju. Sekali dia menggerakkan tangan, yang kanan menepuk ke arah ubun-ubun kepala hwesio gundul itu, ada pun tangan kiri menyambar ke arah pundak dengan totokan yang lihai.

“Bagus!” seru Kok Beng Hosiang. Hwesio ini membatalkan niatnya mengambil kitab dan cepat merubah kedudukan tubuh, dua tangan diayun menangkis.

“Plakk!”

Dua pasang lengan yang penuh dialiri tenaga lweekang bertumbukan. Pek-in-ong tidak bergeming, akan tetapi Kok Beng Hosiang mundur dua tindak! Dari sini saja sudah dapat dibuktikan bahwa tenaga lweekang dari tokoh ke dua kaum Mo-kauw itu jauh lebih tinggi.

Pihak Siauw-lim-pai terkejut sekali. Kok Beng Hosiang juga merasa kaget dan cepat dia meloloskan senjatanya yang tadi dililitkan di perutnya yang gendut, yakni sebuah rantai baja.

“Omitohud, kau kuat sekali. Kini terpaksa pinceng minta bantuan pian untuk merampas kembali kitab pusaka!”

Rantai itu dipukulkan ke tanah dekat kitab dan aneh! Kitab itu mencelat ke atas. Selagi Kong Beng Hosiang hendak menyambar kitab dengan tangan kirinya, Pek-in-ong sudah mendahuluinya, menyambar kitab dengan tangan kanan, lalu melemparkannya kembali ke atas kain dan cepat kedua tangannya bergerak menyerang ke arah iga dan lutut!

Kok Beng Hosiang cepat melangkah mundur. Kini tanpa sungkan-sungkan lagi rantainya menyambar dengan serangan hebat yang dinamakan Sin-coa Wi-jauw (Ular Sakti Melilit Pinggang). Rantainya menyerang dengan kuat, membabat pinggang lawan.

Pek-in-ong yang masih bertangan kosong itu tidak mengelak sama sekali, membiarkan rantai itu mengenai pinggang dan sekejap kemudian pinggangnya sudah terpukul dan terlibat rantai! Akan tetapi alangkah kagetnya Kok Beng Hosiang ketika merasa betapa rantainya mengenai benda yang amat lunak sehingga tenaga sabetannya tertelan habis, kemudian tiba-tiba ia melihat sepasang lengan yang menyerang cepat sekali ke arah ulu hatinya, disusul oleh tendangan ke arah anggota rahasia!

“Ayaa...!” Kok Beng Hosiang terpaksa melepaskan rantainya dan melompat jauh-jauh ke belakang, karena hanya jalan inilah yang dapat membebaskan dia dari maut.

“Ha-ha-ha-ha, hanya demikian saja kepandaian tokoh Siauw-lim-pai? Ha-ha-ha!” Sambil berkata demikian, Pek-inong menggunakan jari-jari tangannya yang kurus panjang untuk mematahkan rantai itu menjadi berkeping-keping, seperti orang mematahkan sebatang hio saja!

Han Le dan yang lain-lain kaget sekali. Bukan main hebatnya lweekang dari Pek-in-ong. Kun Beng sendiri harus mengakui bahwa kepandaian Pek-in-ong tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri!

Bok Beng Hosiang, suheng dari Kok Beng Hosiang melompat maju dengan toya terbuat dari kuningan pada tangannya. Ia marah sekali dan membentak,

“Pek-in-ong, kau terlalu menghina Siauw-lim-pai! Biar pinceng mencoba untuk merampas kembali kitab pusaka!”

Pek-in-ong tertawa, “Hwesio gundul, nanti dulu. Jangan bergerak sembarangan, harus diadakan perjanjian dahulu. Kau siapakah? Apakah kau memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada Kok Beng Hosiang?”

Bukan main gemasnya hati Bok Beng Hosiang. “Orang sombong, dengarlah, Pinceng adalah Bok Beng Hosiang, barusan sute-ku sudah kau kalahkan, biar sekarang pinceng yang mencoba kelihaianmu.”

“Nanti dulu, harus dengan perjanjian. Apa bila aku kalah, kau boleh mengambil kitabmu yang butut, akan tetapi kalau kau kalah, kau sebagai wakil Siauw-lim-pai harus bertekuk lutut dan mengakui kami sebagai orang-orang yang lebih berkuasa, dan juga mengakui Mo-kauw sebagai partai yang lebih tinggi dan kuat dari pada Siauw-lim-pai. Bagaimana?”

Muka Bok Beng Hwesio sebentar merah dan sebentar pucat. “Keparat, kami orang-orang Siauw-lim-pai tidak takut mati demi membela kebenaran dan membasmi siluman-siluman seperti kau! Meski pun harus mati, pinceng tidak akan sudi bertekuk lutut dan selamanya Siauw-lim-pai tidak akan mengakui Mo-kauw yang sesat sebagai partai besar. Terimalah senjataku!” Sambil berkata demikian, Bok Beng Hosiang langsung menyerang dengan toyanya.

Harus diketahui bahwa Bok Beng Hosiang adalah murid pertama dari Hok Bin Taisu, kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada sute-nya, ada pun senjata yang ia pergunakan adalah sebuah toya. Semua orang tahu bahwa ilmu toya dari Siauw-lim-pai amat kuat dan lihai, maka pengharapan semua orang diletakkan kepada tokoh ini.

Melihat sambaran toya yang amat kuat dan dahsyat, Pek-in-ong tidak berani menangkis, melainkan melompat mundur sambil memuji.

“Eh, ehh, ada isinya juga si gundul ini!”

Di lain saat ia telah mengeluarkan senjatanya yang aneh, yakni sepasang roda. Tak lama kemudian terdengar suara keras ketika toya itu berkali-kali beradu dengan dua roda yang dipegang di kedua tangan.

Tenaga lweekang mereka tidak jauh selisihnya, akan tetapi sepasang roda itu sungguh-sungguh amat lihai. Tidak saja dapat dipergunakan untuk menangkis dan memukul, akan tetapi juga beberapa kali roda-roda itu dilepas, berputar-putar dan meluncur ke arah tubuh lawan, lalu disambar kembali.

Karena itu, sebentar saja Bok Beng Hosiang telah terkurung oleh sepasang roda itu yang berputar-putar, kadang-kadang menyerang langsung dari tangan Pek-in-ong, atau kadang kala terlepas dan menyambar-nyambar dengan dahsyat dari atas!























Terima kasih telah membaca Serial ini

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12