Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dara Baju Merah
Jilid 14
Ang I Niocu
mengeluarkan bebetapa potong uang perak, memberikannya kepada wanita itu sambil
berkata, “Aku sengaja membuntungi telinganya supaya dia kapok. Pula kiraku
perempuan yang lain itu takkan sudi lagi ia kawini setelah ia menjadi cacat.
Kau rawat dia dan belikan obat untuk lukanya. Selamat tinggal dan mudah-mudahan
rumah tanggamu baik kembali.”
Tanpa
memberi kesempatan kepada perempuan itu menghaturkan terima kasihnya, Ang I
Niocu sudah berkelebat pergi, tidak tahu bahwa perempuan itu saking kaget dan
mengira dia betul-betul seorang dewi, berlutut dan mulutnya berkemak-kemik
mengucapkan doa seperti kalau ia bersembahyang di depan patung Kwan Im Pouwsat!
Sambil duduk
di punggung kudanya yang berjalan perlahan, Ang I Niocu membayangkan seluruh
peristiwa yang tadi dilihatnya. Berkali-kali dia menghela napas panjang dan
dari bibirnya yang merah itu keluar keluhan-keluhan pendek,
“Hemmm,
ngeri kalau melihat suami isteri seperti itu...! Alangkah banyaknya suami
isteri yang tidak bahagia hidupnya. Ayah sendiri karena terlalu mencinta ibu
sampai menjadi sengsara, Twako Gan Tiauw Ki terbunuh akibat mencintaiku.
Perempuan tadi pun karena cintanya kepada suaminya, mengalami perlakuan yang
keji.”
Memikirkan
ini semua, makin tawar hati Ang I Niocu dan seakan-akan rasa cinta di dalam
hatinya telah ikut terbawa mati pula oleh kematian ayahnya dan kematian Gan
Tiauw Ki. Diam-diam dia mengambil keputusan untuk tidak menikah selama
hidupnya, untuk selalu hidup sebatang kara di dunia ini, melakukan
perbuatan-perbuatan besar sebagai seorang lihiap (pendekar wanita).
Pandangannya
terhadap cinta kasih menjadi rendah dan remeh, dan di dalam pikirannya timbul
kesan bahwa cinta kasih hanya mendatangkan sengsara belaka, bahwa di dunia ini
lebih banyak cinta palsu dari pada cinta kasih murni. Cinta kasih murni saja
banyak mendatangkan kesengsaraan, apa lagi cinta yang palsu! Bergidik kalau dia
teringat akan peristiwa suami isteri yang baru saja dilihatnya tadi.
Perjalanan
menuju Kim-san, gunung yang menjadi pusat partai silat Kim-san-pai, melalui
daerah perbatasan antara Propinsi Secuan dengan Cing-hai. Daerah ini termasuk
wilayah Pegunungan Min-san dan pada waktu itu daerah ini terkenal sebagai
daerah yang amat liar dan berbahaya. Tidak saja berbahaya karena jalannya sukar
ditempuh dan banyak terdapat binatang buas, akan tetapi terutama sekali karena
sudah berpuluh tahun tempat ini dijadikan sarang gerombolan penjahat yang
terkenal kejam.
Gerombolan
rampok ini dipimpin oleh tiga orang bersaudara yang terkenal dengan nama poyokan
Min-san Sam-kui (Tiga Setan dari Bukit Min-san). Tiga orang kepala perampok
bersaudara ini terkenal lihai ilmu silatnya dan mereka mempunyai kepandaian
tinggi dan keistimewaan masing-masing.
Pernah ada
beberapa orang gagah di dunia kang-ouw yang mendatangi Min-san untuk menyerbu
Min-san Sam-kui ini. Akan tetapi para pendekar itu akhirnya terpukul mundur dan
terpaksa lari turun gunung menderita luka-luka. Selanjutnya tidak ada pendekar
yang berani naik lagi.
Orang-orang
yang kepandaiannya tanggung-tanggung saja, amat berbahaya kalau berani
mengganggu Min-san Sam-kui. Sebaliknya, para tokoh besar juga tak mau
mengganggu mereka oleh karena walau pun ketiga orang ini merupakan tokoh-tokoh
golongan liok-lim (berandal), tetapi mereka berwatak gagah perkasa dan tidak
pernah melanggar peraturan liok-lim atau kang-ouw. Mereka melakukan perampokan
tidak membuta tuli dan mereka hanya beroperasi di daerah Min-san saja, tidak
pernah mengganggu daerah atau wilayah orang lain.
Orang
pertama dari Min-san Sam-kui ini adalah Toa-to Ang Kim, seorang tinggi besar
bermuka brewok berusia kurang lebih lima puluh tahun. Sesuai dengan julukannya
Toa-to yang berarti Golok Besar, Ang Kim adalah seorang ahli golok yang lihai,
bertenaga besar dan mengandalkan tenaga gwakang (tenaga luar) yang amat hebat.
Dengan kedua
tangannya, Ang Kim ini sanggup menumbangkan sebatang pohon siong yang besarnya
sepelukan orang dan goloknya saja yang sangat tebal besar dan tajam, beratnya tidak
kurang dari seratus kati! Dapat dibayangkan betapa besarnya tenaga Ang Kim,
karena orang dengan tenaga biasa saja, jangankan harus memainkan golok yang
sedemikian beratnya, baru mengangkat saja kiranya sukar dilakukan.
Orang ke dua
bernama Kwan Liong berjuluk Pek-ciang (Tangan Putih). Dia ini seorang pemuda
berusia tiga puluh tahun yang berwajah putih serta tampan sekali. Juga kedua
telapak tangannya berkulit putih seperti kulit tangan wanita, maka dia dijuluki
Si Tangan Putih. Sikapnya juga lemah lembut seperti seorang wanita, akan tetapi
lebih baik tidak dekat-dekat dengan Kwan Liong kalau dia sedang marah.
Sifatnya
yang lemah lembut dapat berubah beringas dan kejam sekali. Berbeda dengan
suheng-nya, Ang Kim, pemuda ini adalah seorang ahli lweekang dan pedangnya
sangat tangguh dan lihai. Memang dulu guru mereka yang melihat bakat Ang Kim,
menurunkan kepandaian yang berdasarkan gwakang kepada Ang Kim, sebaliknya
melihat dasar dari Kwan Liong, menurunkan ilmu-ilmu silat berdasarkan lweekang
kepada pemuda tampan ini.
Ada pun
orang ke tiga adalah adik perempuan Kwan Liong yang bernama Kwan Bi Hoa,
seorang gadis berusia dua puluh lima tahun. Seperti juga Kwan Liong, Bi Hoa
mempunyai wajah yang cantik dan manis dengan bentuk tubuh ramping berisi yang
selalu ditutup oleh pakaian yang ketat dan sepan mencetak bentuk tubuhnya.
Bedanya, apa bila Kwan Liong kelihatan pendiam, adalah Bi Hoa amat genit dan
suka bicara, lagi pula galak dan telengas.
Hanya dalam
satu hal gadis dan kakaknya ini mempunyai watak yang sama, yakni mata
keranjang! Walau pun kakak beradik ini belum pernah menikah, namun kekasih
mereka banyak sekali. Seperti kakaknya pula, Kwan Bi Hoa adalah seorang ahli
pedang, akan tetapi jika Kwan Liong memainkan pedang tunggal, adalah Bi Hoa
memainkan sepasang pedang dan oleh karena itu dia diberi julukan Siang-kiam
Sian-li atau Bidadari Dengan Sepasang Pedang!
Agaknya
kehidupan tiga orang pimpinan gerombolan ini akan berlangsung aman dan tak
seorang pun berani mengganggu mereka, kalau saja Ang I Niocu tidak lewat di
situ, atau kalau saja Ang I Niocu tidak secantik itu atau Kwan Liong bukan
seorang mata keranjang!
Ketika Ang I
Niocu menjalankan kudanya perlahan-lahan mendaki jalan yang berliku-liku dan
menanjak di pegunungan Min-san, gadis ini merasa tertarik sekali dengan
keindahan pemandangan alam di sekitar tempat ini. Dia sengaja membelokkan
kudanya ke arah sebuah puncak yang nampak indah penuh dengan pohon Pek dan
bunga-bunga merah putih, kemudian ia melompat turun dan menikmati pemandangan
indah dan hawa gunung yang sejuk yang bermain-main dengan rambutnya.
“Indah nian
tempat ini...” pikirnya dan tak terasa pula Ang I Niocu lalu mengambil tempat
duduk di atas sebuah batu.
Jiwa seninya
lalu tergugah oleh keindahan tamasya alam yang terbentang luas di depan kakinya
dan perlahan-lahan Ang I Niocu bernyanyi. Tanpa terasa serangkaian sajak telah
dijalinnya dalam keadaan termenung dan terpesona dengan keindahan alam itu,
sambil melihat burung-burung beterbangan di atas jurang.
Berkawan
sebatang pedang
Menjelajah
ribuan li tanah dan air
Tanpa
maksud, tiada tujuan
Hanya
mengandalkan kaki dan hati!
Ang I Niocu
merasa betapa kata-kata ini cocok sekali, karena itu dengan girang ia lalu
mengulang-ulang kata-kata itu. Saking asyiknya menikmati
pemandangan-pemandangan indah dan hawa sejuk, ia sampai tidak tahu bahwa
semenjak tadi, beberapa pasang mata mengintainya dari balik gerombolan pohon,
agak jauh dari situ.
Makin lama
orang-orang yang mengintainya ini semakin mendekat, menyelinap di antara
pohon-pohon. Sesudah mereka datang agak mendekat, tentu saja mata Ang I Niocu
yang berpandangan tajam itu dapat melihat mereka.
Dengan
tenang gadis ini tersenyum seorang diri, lalu dia berkata dengan suaranya yang
merdu akan tetapi nyaring dan tinggi menusuk telinga,
“Siapakah
kalian yang mengintai dari balik batang pohon? Kalau kalian bukan binatang
buas, keluarlah dan katakan apa maksud kalian mengintai aku!”
Sampai lama
suara ini tidak ada yang menjawab. Kemudian, tiba-tiba terdengarlah suara
suitan dan dari balik batang-batang pohon itu berlompatan dua belas orang
laki-laki yang bertubuh tegap dan bersikap kasar.
“Kalian ini
siapakah dan apa maksud kalian mengintai aku yang sedang duduk seorang diri?”
Seorang di
antara mereka, agaknya pemimpinnya, yang bertubuh tinggi dan berhidung hitam,
kemudian tertawa bergelak, cengar-cengir bagaikan monyet memandang kepada
kawan-kawannya.
“Seorang
tamu menegur dan bertanya kepada tuan rumah. Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu. Nona,
dengan sesuka hatimu kau melanggar wilayah kami, maka terbaliklah apa bila kau
yang bertanya siapa kami. Sepatutnya kau yang harus mengaku siapa kau ini dan
apa maksudmu memasuki wilayah Min-san. Kau membawa-bawa pedang, tentu kau
seorang pandai. Siapakah gurumu dan dari golongan manakah kau?”
Mendengar
pertanyaan ini, Ang I Niocu tersenyum dan dua belas pasang mata makin kagum
memandangnya karena memang bukan main manisnya kalau gadis ini tersenyum.
Beberapa orang sampai menelan ludah dengan hati penuh gairah.
Tiba-tiba
saja gadis ini teringat akan kata-kata yang dinyanyikan seorang diri tadi.
Maka, kini ditanya nama dan asal usulnya, dia pun membuka bibir bersyair sambil
menengadah ke langit.
Berkawan
sebatang pedang
Menjelajah
ribuan li tanah dan air
Tanpa
maksud, tiada tujuan
Hanya
mengandalkan kaki dan hati
Kau masih
bertanya maksud keperluan?
Tanyalah
kepada burung di puncak pohon
Terbang ke
sini berkehendak apakah?
Dua belas
orang itu adalah anak buah gerombolan perampok di bawah pimpinan Min-san
Sam-kui. Tentu saja mereka ini adalah bangsa kasar yang tak peduli tentang
sajak. Akan tetapi mereka pun sudah banyak tahu mengenai keanehan orang-orang
kang-ouw, maka biar pun mereka merasa mendongkol mendengar jawaban ini, tetap
saja mereka masih menahan kesabaran. Pemimpinnya maju selangkah dan berkata
dengan suaranya yang parau,
“Nona, kau
begini muda, begini cantik seperti bukan manusia, kau seorang diri berada di
tempat ini benar-benar merupakan hal yang aneh dan sulit dipercaya. Kalau kami
melihat seekor singa betina, atau seekor ular betina atau binatang-binatang
buas yang lain lagi, kami takkan merasa heran. Akan tetapi melihat kau seorang
diri saja berada di tempat ini benar-benar merupakan hal yang hampir tidak
mungkin! Ketahuilah bahwa kami bukanlah orang-orang yang tidak bisa menghargai
persahabatan di dunia kang-ouw dan pemimpin-pemimpin kami adalah Min-san
Sam-kui yang terkenal gagah perkasa. Mungkin kau juga seorang kang-ouw, melihat
lagakmu dan pedangmu, maka kami sudah bertanya dengan baik. Harap kau suka
menjawab pertanyaan kami, Nona manis.”
Biar pun
kata-kata yang keluar dari mulut orang ini seperti kata-kata sopan dan tahu
aturan, akan tetapi pandang mata mereka itu semua menimbulkan muak dalam hati
Ang I Niocu, maka ia lalu bangkit berdiri dan berkata singkat,
“Aku tidak
peduli tentang Min-san Sam-kui dan aku tidak kenal mereka. Aku tidak ada urusan
dengan kalian!” Setelah berkata demikian Ang I Niocu segera berjalan pergi dari
puncak itu, kegembiraannya yang tadi lenyap oleh gangguan ini.
Akan tetapi
dua belas orang itu serentak mengejar kemudian menghadang di depannya. Pemimpin
yang berhidung hitam tadi berkata, “Nanti dulu, Nona. Mengapa terburu-buru?
Kalau kau kenal dengan Min-san Sam-kui, kau pergi begitu saja masih tidak
mengapa. Akan tetapi kau sendiri menyatakan tidak kenal. Hemm, kalau begitu kau
seorang asing dan karenanya kau harus membayar pajak jalan kepada kami!”
Ang I Niocu
mengerti bahwa ia kini berhadapan dengan perampok-perampok kasar, akan tetapi
ia tetap tenang. Ia juga mengerti akan peraturan di kalangan liok-lim ini,
yakni siapa yang dianggap bukan kawan atau kenalan, apa bila lewat di daerah
mereka diharuskan ‘membayar pajak jalan’ atau kasarnya dirampok barang-barang
bawaannya!
“Berapa aku
harus membayar pajaknya?” tanya Ang I Niocu.
Sebagai
seorang pengembara ia harus mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku di
dunia kang-ouw supaya jangan dianggap tidak mengerti aturan, maka nona ini
sudah bersedia mengeluarkan uang untuk sekadar menyokong mereka.
Akan tetapi,
orang-orang itu saling berpandangan dengan muka cengar-cengir, kemudian
terdengar seorang di antara mereka majukan usul kepada pemimpin Si Hidung
Hitam.
“Twako,
minta ia tinggalkan pakaian yang dipakainya!”
“Setuju...!
Biar hilang sombongnya!”
“Serahkan
kepadaku saja untuk membikin jinak kuda betina liar ini!”
Kata-kata
yang tak sopan mulai terdengar dan pemimpin hidung hitam itu menghadapi Ang I
Niocu sambil tertawa-tawa dan berkata,
“Kau
mendengar sendiri, Nona manis. Kawan-kawanku berlaku murah, karena kau cantik
jelita dan masih muda, kami tidak mengharapkan barang-barang bawaan atau
bekalmu. Akan tetapi kami hanya menghendaki pakaian yang menempel di badanmu
itu supaya kau tanggalkan dan kau berikan kepada kami.”
Kata-kata
ini disambut sorak-sorai para perampok itu.
Ang I Niocu
tetap tersenyum, akan tetapi bila diperhatikan betul-betul, orang akan melihat
belahan bibirnya yang bawah tergetar dan kedua matanya mengecil, mengeluarkan
sinar berapi-api. Inilah tandanya bahwa Ang I Niocu menahan amarah yang
berkobar-kobar di dalam dadanya.
Dengan
gerakan tenang sinar matanya mencari-cari ke bawah. Ia tidak mau menghadapi
orang-orang kasar ini dengan tangan, segan ia menggunakan tangan menyentuh
mereka. Untuk menggunakan pedang dia malu kepada diri sendiri. Masa menghadapi tikus-tikus
busuk macam ini saja ia harus mencabut pedangnya?
Akhirnya
matanya melihat sebatang ranting kering yang berada di bawah pohon, maka
tersenyumlah ia, senyum manis yang membuat hati dua belas orang laki-laki itu
semakin tergiur hatinya.
“Kalian ini
tikus-tikus hutan berani bermain gila di depan Ang I Niocu? Bagus, terimalah
pembayaran pajakku ini!”
Tiba-tiba
dua belas orang itu berseru kaget ketika gadis baju merah itu lenyap dari depan
mereka. Sebagai gantinya, nampak berkelebat bayangan merah yang menyambar
ranting di tanah, kemudian menjerit-jeritlah mereka, disusul tubuh mereka roboh
tumpang tindih.
Si Hidung
Hitam tahu-tahu sudah kehilangan sebelah hidungnya dan hidung itu sekarang
berubah merah karena darah. Ada pula yang daun telinganya pecah dan juga ada
yang lengannya tertusuk ranting, dan sebentar saja dua belas orang itu
melarikan diri sambil menjerit-jerit kesakitan dan penuh rasa takut!
Ang I Niocu
melemparkan rantingnya, mengebut pakaian yang terkena debu, lalu dengan senyum
manis serta langkah tenang dia turun dari tempat itu dan menghampiri kudanya.
Dengan perlahan dia menjalankan kudanya menuruni Bukit Min-San. Dia mengira
bahwa para perampok itu tentu sudah tobat dan tidak akan muncul lagi. Akan
tetapi ternyata dugaannya ini keliru.
Baru saja ia
turun dari puncak itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan tahu-tahu dari
segala jurusan muncul banyak orang. Mereka ini adalah anak buah perampok yang
tentu saja lebih hafal akan keadaan di situ dan dapat mengambil jalan pendek
menghadang perjalanan Ang I Niocu. Mereka terdiri dari puluhan orang, dipimpin
oleh Min-san Sam-kui yang menghadang di tengah jalan dengan sikap sombong.
Melihat tiga
orang yang pakaiannya serba mewah dan sikapnya jauh berbeda dengan para
perampok itu, Ang I Niocu segera bersiap-siap dan sengaja melompat turun dari
atas kudanya.
“Pek-hong-ma,
kau tunggu aku di bawah sana!” katanya sambil menepuk punggung kuda itu.
Kuda
Pek-hong-ma ini sudah bertahun-tahun dipelihara oleh Ang I Niocu, maka menjadi
amat penurut dan karena dilatih, maka ia mengerti akan kehendak nona
majikannya. Mendapat tepukan itu, ia lalu berlari-lari turun gunung! Dengan
tenang Ang I Niocu lalu menghadapi para perampok itu, terutama tiga orang yang
menjadi pemimpin mereka.
Toa-to Ang
Kim dan Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa memandang kepada Ang I Niocu dengan mata
mengandung kemarahan besar, meski pun kemarahan Ang Kim tercampur dengan
keheranan dan kekaguman melihat gadis muda cantik jelita itu. Adalah Pek-ciang
Kwan Liong yang berdiri dengan mata terbelalak dan mulut celangap, menahan
napas dan dadanya berdebar-debar.
“Demi
Iblis!” katanya perlahan dengan mata tidak pernah berkedip menatap wajah dan
bentuk tubuh gadis baju merah di depannya itu, penuh takjub. “Kalau dia itu
manusia dan bukan dewi kahyangan, tidak tahu lagi aku apa bedanya antara gadis
dan dewi!”
Mendengar
ini, Bi Hoa adiknya membantah perlahan, ”Apakah dewi kahyangan saja yang
memiliki kecantikan luar biasa? Juga siluman rase mempunyai kecantikan yang
melebihi kecantikan manusia biasa. Jangan nanti kau salah menduga, siluman rase
disangka dewi kahyangan.”
“Biar pun ia
siluman rase atau siluman tikus, apa bila bisa mendapatkan dia, aku akan merasa
bahagia sekali... alangkah manisnya, ehhh, Bi-moi pernahkah kau melihat bibir
semanis itu? Hemm...”
Percakapan
antara kakak dan adik yang dilakukan bisik-bisik dan dari jarak cukup jauh ini
kiranya tidak akan dapat terdengar oleh telinga Ang I Niocu kalau saja gadis
ini bukan seorang pendekar yang memiliki ilmu tinggi. Pendengarannya jauh lebih
tajam dari pada pendengaran manusia biasa, maka ia dapat menangkap semua
percakapan itu sehingga diam-diam ia tersenyum geli.
Sementara
itu, Toa-to Ang Kim sudah menegur dengan kata-kata keras dan ketus, “Nona yang
lewat di daerah kami! Kau mengaku berjuluk Ang I Niocu dan secara kejam sudah
melukai orang-orang kami. Sesungguhnya siapakah kau, dari golongan mana dan apa
maksudmu datang ke wilayah kami melakukan penghinaan? Apakah kau sengaja hendak
mencari permusuhan dengan Min-san Sam-kui?”
“Kepala
berandal, enak saja kau bicara! Anak buahmu tadi bersikap kurang ajar sekali
sehingga terpaksa aku turun tangan memberi hajaran. Kau yang tidak bisa
mendidik anak buahmu, tidak menegur mereka dan minta maaf padaku, sebaliknya
hendak menegurku? Aku tidak mencari permusuhan dengan siapa pun juga, andai
kata aku tidak suka kepada kalian ini orang-orang kasar, agaknya Susiok-couw-ku
Bu Pun Su takkan membolehkan aku mencari permusuhan dengan kalian. Akan tetapi
ini bukan berarti aku takut! Meski kalian sekali pun kalau bertindak kurang
ajar dan keterlaluan, tak urung akan mendapat bagian!”
“Bocah
sombong, rasakan pedangku!”
Bi Hoa sudah
menjerit marah dan sepasang pedangnya bergerak cepat menyerang Ang I Niocu.
Hanya nampak sinar pedang berkelebat, disusul pekik kaget dari Bi Hoa.
Ternyata Ang
I Niocu telah mencabut pedang dan menangkis serangannya, tangkisannya demikian
cepat dan kuat sehingga pedang di tangan kiri Bi Hoa terlepas dan menancap di
atas tanah, sedangkan pedang kedua tentu akan terlepas pula jika saja ia tidak
buru-buru melompat ke belakang dengan muka pucat!
“Sumoi,
tahan...!” Toa-to Ang Kim yang melihat gelagat berseru keras. Kemudian kepala
rampok yang tinggi besar ini maju menjura memberi hormat kepada Ang I Niocu
sambil berkata ramah,
“Ahhh, tidak
tahunya Lihiap adalah cucu murid Sin-taihiap (Pendekar Sakti) Bu Pun Su! Maaf,
maaf, kami mempunyai mata tetapi tidak melihat tingginya Bukit Thai-san. Harap
Lihiap sudi memaafkan perbuatan kurang ajar dari para anak buah kami dan
kelancangan Sumoi tadi.”
Di antara
tiga orang kepala rampok ini, tentu saja Toa-to Ang Kim yang tertua memiliki
pandangan yang lebih luas dan sikap yang lebih hati-hati. Tidak saja ia menjadi
terkejut bukan main mendengar nama Bu Pun Su disebut-sebut oleh Ang I Niocu,
juga melihat betapa sekali gerakan Ang I Niocu sudah dapat merampas sebatang
pedang dari tangan sumoi-nya, maklumlah ia bahwa gadis baju merah ini
benar-benar tidak boleh dipandang ringan, maka ia cepat-cepat mengeluarkan
diplomasinya.
Ang I Niocu
adalah puteri seorang pendekar besar, juga murid dari orang-orang ternama di
dunia kang-ouw, maka gadis ini dapat membawa diri. Melihat sikap orang tertua
dari Min-san Sam-kui, ia pun merobah sikapnya dan membalas penghormatan itu.
“Jika mau
bicara tentang maaf, siauwmoi juga hendak mohon maaf sebanyaknya bahwa
kedatangan siauwmoi di Bukit Min-san yang sebenarnya hanya kebetulan lewat
belaka, sudah mendatangkan banyak gangguan kepada Sam-wi. Karena kesalah
pahaman telah diatasi, perkenankan siauwmoi kini melanjutkan perjalanan turun
gunung mencari kudaku yang sudah lari lebih dulu tadi.”
Memang bagi
Ang I Niocu, tak perlu dia menanam bibit-bibit permusuhan dengan segala macam
penjahat rendah, apa lagi kalau tidak ada sebab-sebabnya yang kuat. Dia takut
akan mendapat marah dari Bu Pun Su karena dalam perjalanan berusaha mendamaikan
permusuhan antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai, amat tidak baik kalau usaha itu
ia mulai dengan permusuhannya dengan golongan lain! Maka dia hendak
menghabiskan perkara itu sampai di situ saja dan melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi
dasar harus terjadi keributan, tiba-tiba saja Pek-ciang Kwan Liong, orang ke
dua dari Min-san Sam-kui yang berwajah tampan, dengan sikap halus dan penuh
hormat menjura ke depan Ang I Niocu sambil mengeluarkan suaranya yang merdu
halus,
“Lihiap Ang
I Niocu, aku yang rendah Pek-ciang Kwan Liong, turut menghaturkan terima kasih
atas ketinggian budimu yang telah memaafkan anak buahku dan adikku tadi. Kita
baru saja berjumpa, akan tetapi kau sudah mendapat kedudukan tinggi dalam
pandangan kami. Kelihaian dan pribudimu yang luhur benar-benar membuat kami
sangat kagum dan tunduk. Oleh karena itu, atas nama semua kawan-kawan, aku
mohon dengan hormat dan sangat, sudilah kiranya Lihiap singgah di tempat kami
untuk mempererat perkenalan ini. Siapa tahu kalau kelak kita akan dapat saling
membantu dalam urusan besar.”
Ang I Niocu
merasa ragu-ragu. Menurutkan suara hatinya, ia harus menolak dan segera pergi
dari situ. Akan tetapi, orang sudah mengajukan permintaan demikian penuh hormat
dan merendah, tidak enak juga bila ditolak begitu saja. Selagi ia ragu-ragu, ia
mendengar ucapan Kwan Bi Hoa,
“Ahhh, Koko,
kau ini tidak dapat melihat gelagat. Sungguh pun Ang I Niocu Lihiap sudah
memaafkan kita, akan tetapi tadi sempat bermusuh dengan kita, mana ia percaya
kepada undanganmu? Tentu disangka kita hendak menjebaknya!”
Merah muka
Ang I Niocu mendengar ini. Dengan suara mengejek ia berkata, “Hemm,
sesungguhnya aku hendak menolak undangan ini. Akan tetapi karena khawatir
disangka takut akan jebakan, biarlah aku melihat-lihat sarang kalian.”
Berseri-seri
wajah Pek-ciang Kwan Liong. Ia segera memberi perintah kepada para anak buah
berandal untuk menyiapkan segala sesuatu di ‘pesanggrahan’ untuk menyambut
datangnya tamu agung, dan mempersiapkan meja perjamuan!
Sesudah itu,
dengan langkah tenang dan gagah Ang I Niocu diiringkan naik ke sebuah puncak
tak jauh dari situ, puncak yang penuh dengan pohon-pohon liar. Di tengah-tengah
hutan di puncak bukit ini terdapat sebuah rumah kayu yang besar. Inilah tempat
tinggal dari Min-san Sam-kui, ada pun para anak buah rampok itu tinggal di sekeliling
puncak, di dalam gubuk-gubuk kecil yang dibangun di sana-sini.
Ketika mulai
mendaki puncak bukit ini, di kanan kiri lorong berdiri para perampok dengan
senjata di tangan, berdiri tegak seperti barisan memberi hormat kepada seorang
jenderal yang lewat. Keadaan amat angker dan menakutkan sekali, akan tetapi Ang
I Niocu tetap tenang-tenang saja, berjalan tanpa menoleh ke kanan kiri.
Iring-iringan
ini masuk ke dalam bangunan besar dan diam-diam Ang I Niocu merasa kagum karena
keadaan di dalam bangunan kayu ini jauh bedanya dengan keadaan di luar. Belasan
pemuda dan pemudi yang nampak di ruangan tamu dan kelihatan sebagai
pelayan-pelayan tidak kasar-kasar seperti para perampok itu, bahkan boleh
dibilang para pemudanya rata-rata tampan-tampan dan para gadisnya
cantik-cantik.
Sama sekali
ia tidak mengira bahwa para pemuda ini adalah orang-orang culikan yang dipaksa
dan dibawa ke tempat itu sebagai kekasih Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa dan
juga gadis-gadis itu adalah orang-orang culikan yang dipaksa menjadi kekasih
Pek-ciang Kwan Liong! Mereka ini selain bertugas menghibur hati kakak beradik
mata keranjang ini, juga bekerja sebagai pelayan dan selalu berada di dalam
bangunan, tidak pernah keluar, apa lagi ikut merampok. Mereka ini pendiam tidak
banyak bicara, mukanya pucat-pucat, muka orang-orang yang putus harapan.
Di ruangan
tamu yang lebar itu telah disediakan meja panjang penuh dengan
hidangan-hidangan lezat. Kembali Ang I Niocu terheran-heran karena bagaimana di
tengah hutan dan di puncak gunung itu orang bisa mendapatkan hidangan-hidangan
seperti di rumah makan di kota saja?
Ia tidak
tahu bahwa memang di tempat ini disediakan bahan-bahan masakan yang serba
lengkap, juga di situ terdapat sebuah dapur yang besar dan lengkap, bahkan
terdapat pula seorang koki culikan. Kesenangan Toa-to Ang Kim yang terutama
adalah makanan enak, maka untuk memenuhi selera dan memuaskan hatinya setiap
hari diadakan pesta besar memotong ayam dan babi.
“Untuk
menghormati kedatangan Lihiap sebelum kembali melanjutkan perjalanan, kami
mengadakan sekedar acara makan minum. Setelah mengaso sebentar baru Lihiap
dapat melanjutkan perjalanan,” kata Ang Kim sambil tertawa ramah.
“Mana bisa
begitu sebentar? Kami malah berharap Lihiap suka bermalam di tempat kami yang
buruk ini barang semalam dua malam,” Kwan Liong menyambung cepat-cepat.
Ada pun Kwan
Bi Hoa hanya tersenyum-senyum saja dan kadang-kadang memandang kepada seorang
pelayan tampan dengah mata mendelik kalau pelayan ini mengerling ke arah Ang I
Niocu dengan pandangan mata kagum. Agaknya perempuan ini besar sekali
cemburunya!
“Undangan
makan dapat kuterima dengan senang hati dan kuucapkan terima kasih. Akan tetapi
untuk bermalam di sini betul-betul tidak mungkin. Aku harus segera melanjutkan
perjalanan,” jawab Ang I Niocu dan tanpa malu-malu ia segera mengambil tempat
duduk ketika pihak tuan rumah mempersilakannya.
Mereka lalu
mulai makan minum. Ang I Niocu berlaku seolah-olah ia makan dan minum semua
hidangan tanpa ragu-ragu dan tanpa sangsi-sangsi. Padahal sebenarnya dia amat
hati-hati dan waspada, hidungnya bekerja keras, terus mencium bau setiap
makanan dan minuman sebelum makanan atau minuman itu memasuki mulut dan
perutnya. Akan tetapi ia sengaja tidak pernah mengeringkan cawan araknya
sehingga setelah pihak tuan rumah menghabiskan tujuh delapan cawan, ia baru
menghabiskan tiga cawan saja.
Tiba-tiba
Pek-ciang Kwan Liong yang mukanya sudah mulai kemerahan akibat pengaruh arak
berdiri dan tertawa-tawa sambil memegang seguci arak yang baru didatangkan oleh
pelayan.
“Lihiap Ang
I Niocu mengapa sungkan-sungkan? Arak kami adalah arak simpanan, arak wangi
yang sudah puluhan tahun usianya, amat baik untuk menyehatkan tubuh dan dapat
menambah semangat. Harap Lihiap sudi menerima secawan arak ini untuk
menghormati pertemuan yang amat membahagiakan hati ini!”
Tentu saja
Ang I Niocu tak dapat menolak dan memberikan cawannya untuk diisi penuh. Arak
kali ini adalah arak berwarna merah yang baunya harum sekali, mengalahkan arak
yang tadi-tadi. Ang I Niocu mengikuti mereka mengangkat cawan arak dan
meminumnya.
Sebelum arak
itu memasuki mulutnya, hidungnya dapat mencium bau keras di antara bau harum,
akan tetapi tanpa memperlihatkan tanda sesuatu, Ang I Niocu segera menenggak
arak itu. Tiba-tiba dia mengerutkan alisnya, berdiri, kemudian memegang kepala
sambil menundukkan mukanya, lalu terhuyung-huyung seperti orang pusing.
Dia
mendengar Ang Kim bertanya, “Eh, ehh, Lihiap kenapakah...?”
Juga dia
mendengar suara ketawa Kwan Bi Hoa, kemudian dia mendengar suara yang
diharap-harapkan, yakni suara Kwan Liong yang berkata perlahan penuh
kegembiraan, “Aha, sudah kena... roboh... roboh...”
Ang I Niocu
terguling miring dan roboh tak bergerak lagi!
“Sute apa
yang kau lakukan?” terdengar Ang Kim membentak sute-nya.
Kwan Liong
tidak menjawab, akan tetapi Kwan Bi Hoa yang kemudian menjawab sambil
tertawa-tawa genit, “Twa-suheng seperti tidak tahu saja, mana Liong-ko mau
melepaskan orang begini cantik?”
“Bi-moi
benar, Twa-suheng,” kata Kwan Liong, “selama hidup belum pernah aku melihat
seorang gadis secantik ini. Kalau aku tidak bisa mendapatkan dia, tentu
selamanya aku akan terkenang dan tergila-gila.”
Ang Kim
menarik napas panjang. “Asal kau berhati-hati saja. Dia itu lihai sekali...”
“Jangan
khawatir, Suheng. Aku sudah biasa menundukkan singa-singa betina liar. Kalau
sekali dia sudah menjadi punyaku, tentu dia akan menjadi penurut dan dia akan
menjadi pembantu kita yang amat boleh diandalkan.”
Ang Kim
mengomel sambil menghirup araknya. “Sesukamulah, kesukaanmu main-main seperti
ini tidak akan menambah panjangnya usiamu. Aku lebih baik makan dan minum...”
lalu terdengar ia mengunyah daging dengan lahapnya dan mendorongnya ke dalam
perut dengan beberapa teguk arak.
Kwan Bi Hoa
yang sudah dalam keadaan setengah mabuk, membelai-belai rambut salah seorang
pemuda pelayan yang berlutut di dekatnya, ada pun Kwan Liong sambil tertawa
haha-hihi mendekati Ang I Niocu, kemudian berlutut.
Ang I Niocu
yang kelihatan seperti orang pingsan tak berdaya itu, tiba-tiba saja membuka
mulutnya dan arak tadi menyembur keluar dari mulutnya, mengenai muka Kwan
Liong.
“Ayaaa...!”
Kwan Liong menjerit sambil melompat mundur dan kedua tangannya menutupi muka
yang terasa pedas sekali terkena semburan arak tadi. Akan tetapi di lain saat,
sinar pedang berkelebat dan kepala Pek-ciang Kwan Liong sudah terpisah dari
lehernya yang terbabat putus oleh pedang di tangan Ang I Niocu!
Dara baju
merah ini berdiri dengan mata berapi-api dan pedang di tangan, dan sikapnya
mengancam sekali. Toa-to Ang Kim berdiri di atas kursinya laksana patung,
terlampau kaget sehingga untuk beberapa lama dia tak dapat bergerak. Siang-kiam
Sian-li Kwan Bi Hoa juga segera melompat berdiri dengan mata terbelalak, kaget
setengah mati melihat kakaknya sudah menggeletak dengan leher putus.
“Bagus,
kalian memang buta, akan tetapi tadinya kukira kalian sudah sembuh dan dapat
melihat. Tidak tahunya kalian ini tikus-tikus busuk yang tidak pandai menggunakan
mata. Orang-orang macam kalian ini apa bila tidak dibasmi, untuk apa lagi aku
semenjak kecil mempelajari ilmu?” kata Ang I Niocu.
Sekali
kakinya menendang, sebuah meja penuh piring dan mangkok melayang ke arah Kwan
Bi Hoa. Perempuan ini cukup gesit, melompat ke samping dan yang menjerit roboh
adalah pelayan yang tadi dibelainya, terpukul meja.
Para pelayan
menjerit dan lari ke sana ke mari mencari tempat sembunyi. Para anak buah
perampok yang menjaga di luar, cepat menyerbu masuk dengan senjata di tangan.
Toa-to Ang Kim dan Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa sudah sadar dari kagetnya dan
kini Ang Kim memegang goloknya yang besar, ada pun Bi Hoa memegang sepasang
pedang siap menggempur Ang I Niocu.
Ang I Niocu
mengeluarkan suara ketawa yang merdu, akan tetapi yang membangkitkan bulu
tengkuk para perampok ketika gadis ini berkata,
“Rakyat
Min-san, saksikanlah aku Ang I Niocu akan membebaskan kalian dari gangguan
perampok-perampok Bukit Min-san!”
Pada lain
saat tubuh Ang I Niocu berkelebat lenyap berubah menjadi sinar merah yang
menyambar ke sana ke mari, dikeroyok oleh Ang Kim, Kwan Bi Hoa, dan puluhan
orang perampok yang biasanya berlaku sewenang-wenang kepada rakyat di sekitar
daerah itu. Pedang di tangan Ang I Niocu luar biasa sekali ganasnya, setiap
kali pedang itu meluncur pasti merobohkan seorang perampok yang tewas di saat
itu juga.
Medan pesta
berubah menjadi medan pertempuran yang hebat. Meja kursi yang tadinya dipakai
pesta, kini melayang ke sana ke mari terkena terjangan dan tendangan. Mangkok
piring yang pecah tertumbuk dinding kayu atau jatuh ke lantai menerbitkan suara
hiruk pikuk. Ini semua masih ditambah oleh orang-orang berteriak kesakitan.
Darah membanjiri ruangan itu.
Akhirnya
hanya tersisa lima orang tangan kanan mereka saja yang masih melakukan
pengepungan. Yang lain-lain sudah tak ada lagi. Banyak yang menggeletak tanpa
nyawa, akan tetapi lebih banyak pula yang melarikan diri karena gentar
menghadapi pendekar wanita baju merah yang kosen itu.
Golok besar
yang dimainkan oleh Ang Kim cukup kuat dan tangguh. Golok ini lalu diputar
hingga mengeluarkan angin dan sinar pedang Ang I Niocu sulit menembus benteng
sinar goloknya yang bergulung-gulung. Juga Kwan Bi Hoa berdaya upaya membalas
kematian kakaknya, sepasang pedangnya diputar cepat, membalas serangan Ang I
Niocu dengan serangan maut. Lima orang perampok yang masih mengeroyok
benar-benar merupakan anak buah yang setia, karena sungguh pun mereka ini
kewalahan benar, namun mereka tidak mau melarikan diri meninggalkan dua orang
pemimpin mereka itu.
Ang I Niocu
tadinya mengharapkan mereka ini melepaskan senjata dan minta ampun. Kalau
terjadi hal demikian, kiranya dia pun tidak tega untuk membunuh mereka. Asal
saja mereka mau berjanji untuk mengubah cara hidup, dia bersedia untuk memberi
ampun. Akan tetapi melihat kekerasan kepala mereka, timbul amarah di dalam
hatinya.
“Bangsat-bangsat
kecil, kalian tak boleh dikasih hati!” bentaknya dan tiba-tiba permainan
pedangnya berubah.
Jika tadi
permainan pedangnya amat cepat menyilaukan mata, adalah sekarang menjadi lambat
dan gerakan tubuhnya menjadi amat indah seperti orang menari-nari. Akan tetapi
kini setiap kali pedangnya digerakkan, tidak hanya sebagai main-main belaka,
melainkan merupakan serangan yang tak dapat ditangkis lagi.
Sekali
pedangnya berkelebat ke arah dua orang perampok. Biar pun dua orang itu sudah
menangkis dengan golok, tetap saja pedang itu menyeleweng dan meneruskan
serangan tanpa dapat dielakkan lagi. Dua orang itu menjerit dan roboh mandi
darah! Ang I Niocu melanjutkan serangannya dan dalam beberapa jurus saja tiga
orang perampok yang lain roboh juga.
”Apakah
kalian masih belum mau bertobat?!” Ang I Niocu memberi kesempatan terakhir
kepada Toa-to Ang Kim dan Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa.
Jawaban yang
diterimanya justru berupa sabetan golok besar pada lehernya dan tusukan
sepasang pedang pada dada dan leher!
“Kalian
sudah bosan hidup!” bentak Ang I Niocu.
Tiba-tiba
tubuhnya lenyap menjadi bayangan merah yang melesat ke sebelah kiri tubuh Kwan
Bi Hoa. Sebelum perempuan cabul ini dapat menangkis, pedang Ang I Niocu sudah
memasuki lambungnya, membuat dia terguling roboh. Sebuah jeritan ngeri
merupakan perbuatan terakhir yang dapat dia lakukan.
Melihat
sumoi-nya roboh, Toa-to Ang Kim menjadi nekat. Goloknya diputar dalam suatu
penyerangan mati-matian. Akan tetapi, seorang lawan seorang, dia ini bukanlah
lawan tanding dari Ang I Niocu. Dalam tiga jurus kemudian, pedang Ang I Niocu
telah memasuki rongga dadanya sehingga matilah kepala rampok yang selama bertahun-tahun
ini sudah menumpuk dosa.
Ang I Niocu
memandang ke kanan kiri. Tidak kelihatan seorang pun anggota perampok. Ia lalu
berjalan memasuki ruangan dalam. Tiba-tiba belasan orang laki perempuan berlari
keluar dan berlutut di hadapannya sambil menangis. Mereka ini ternyata adalah
pelayan-pelayan tadi yang sudah bersembunyi di belakang dan kini mereka
berlutut di depan Ang Niocu dengan ketakutan.
“Mohon
ampunkan hamba sekalian, Lihiap. Hamba sekalian hanya orang-orang culikan yang
tidak berdosa...,” mereka meratap.
Ang I Niocu
menjadi amat terharu. Diam-diam ia mengutuk kejahatan para perampok dan merasa
girang bahwa yang dibasminya benar-benar gerombolan orang jahat pengganggu
rakyat.
“Jangan
takut, aku memang akan menolong kalian. Sekarang kumpulkan semua barang-barang
berharga, bagi-bagi di antara kalian, kemudian kalian boleh pulang ke kampung
masing-masing.”
Dengan
gembira sekali belasan orang laki-perempuan itu lalu berserabutan lari ke dalam
kamar-kamar di mana terdapat barang-barang berharga dan tak lama kemudian
mereka sudah berkumpul di luar, masing-masing membawa bungkusan besar. Ang I
Niocu lalu membakar bangunan besar itu yang sebentar saja menjadi lautan api
karena bangunan itu terbuat dari kayu.
“Kalian
pulanglah ke rumah masing-masing,” kata pula Ang I Niocu.
Rombongan
orang muda itu menjatuhkan diri berlutut untuk menghaturkan terima kasih,
kemudian mereka berlari-lari turun gunung dengan perasaan kegirangan yang hanya
bisa dirasakan oleh mereka, kegirangan seperti burung-burung yang dilepas dari
sangkarnya yang sempit.
Ang I Niocu
lalu turun gunung lagi melalui lereng yang tadi, untuk mencari kudanya. Akan
tetapi, alangkah heran dan cemasnya ketika ia tidak dapat menemukan
Pek-hong-ma. Ia sudah memanggil-manggil nama kuda itu dengan suara keras, akan
tetapi Pek-hong-ma tetap saja tidak mau muncul.
“Ehh,
kemanakah dia?” Ang I Niocu menjadi cemas. “Apakah di sini ada kuda lain yang
menariknya?”
Gadis itu
lalu mempergunakan kepandaiannya, berlari cepat ke sana ke mari, melompati
jurang-jurang kecil yang kiranya dapat dilompati kudanya. Tiba-tiba ia
mendengar suara ringkik Pek-hong-ma di balik gunung kecil. Cepat ia berlari ke
tempat itu dan ketika tiba di belokan gunung ini, dia melihat pemandangan yang
membuat bibir dan pelupuk matanya gemetar saking marahnya.
Kuda
Pek-hong-ma telah rebah miring, dalam keadaan berkelojotan hampir mati. Leher
dan dadanya mengucurkan darah. Ketika mata kuda itu melihat Ang I Niocu,
binatang ini mengeluarkan suara lagi, terdengar menggelogok. Kakinya lalu
berkelojotan keras seperti hendak meronta-ronta, kemudian menjadi lemas.
Binatang itu telah menjadi bangkai.
Dengan sinar
mata tajam berapi-api, Ang I Niocu memandang kepada orang-orang yang berada di
tempat itu, yang semuanya berdiri seperti patung dan memandang kepadanya dengan
sinar mata menantang. Di dekat kuda itu berdiri tiga orang wanita, yaitu
seorang nenek dan dua orang gadis. Sekali pandang saja Ang I Niocu mengenal
mereka.
Nenek itu
bukan lain adalah Koai-tung Toanio tokoh besar Kong-thong-pai dan dua orang
gadis itu adalah anak-anaknya yang terkenal dengan sebutan Kim-jiu Siang-eng
Kwan Ci-moi! Tiga orang wanita itu dahulu pernah bertempur dengannya ketika ia
melakukan perjalanan bersama Gan Tiauw Ki.
Apakah
kehendak tiga orang wanita yang sekarang datang bersama serombongan orang yang
berpakaian seperti pasukan pemerintah? Dulu tiga orang wanita ini sengaja
mencari gara-gara dan memusuhinya. Kini, begitu muncul mereka agaknya sengaja
membunuh kudanya Pek-hong-ma, apakah artinya semua ini?
Saking
marahnya melihat Pek-hong-ma sudah dibunuh orang, Ang I Niocu membentak sambil
menudingkan pedang yang sudah dicabutnya ke arah tiga orang wanita itu.
“Kalian ini
tiga siluman wanita ibu dan anak mengapa selalu memusuhiku? Dahulu kalian sudah
menjadi pecundang, kenapa ada orang-orang begitu tidak tahu malu, menimpakan
sakit hati kepada kudaku? Sungguh keji dan pengecut besar!”
Koai-tung
Toanio yang dahulu pendiam sekarang nampak marah sekali. Ia menudingkan
tongkatnya ke arah Ang I Niocu dan berkata marah,
“Manusia
keji Ang I Niocu! Baru saja kau telah membunuh anak-anakku Kwan Liong dan Kwan
Bi Hoa, masih saja kau berkata tidak punya kesalahan terhadap kami? Manusia
celaka, dulu kau melakukan penghinaan terhadap kami masih boleh kami lupakan,
akan tetapi sekarang, kau berani membunuh mati kedua orang anakku beserta
kawan-kawan mereka. Benar-benar aku tak bisa hidup bersamamu di muka bumi ini,
seorang di antara kita harus mampus sekarang dan di sini juga!”
Ang I Niocu
kaget dari baru sekarang ia melihat beberapa di antara pelayan yang tadi ia
bubarkan berada di situ, berlutut dan bajunya robek-robek, agaknya tadi
dicambuki dan disuruh mengaku. Tidak tahunya dua orang Min-san Sam-kui adalah
anak dari Koai-tung Toanio atau kakak-kakak dari dua orang gadis yang sekarang
menghadapinya bersama mereka.
Dia menjadi
marah. Meski pun tiga orang wanita itu datang bersama pasukan yang terdiri dari
tiga puluh orang lebih, semuanya nampak tegap-tegap dan merupakan tentara yang
terlatih, dia sama sekali tidak menjadi gentar.
“Pantas...
pantas...! Hari ini aku bertemu dengan keluarga besar penjahat dan pengecut!
Majulah kalian, biar aku tidak kepalang tanggung dan biar pedangku kenyang dan
puas membabat iblis-iblis bermuka manusia!”
Pada lain
saat Ang I Niocu sudah dikeroyok dan sebuah pertempuran yang seru segera
terjadi di lapangan itu. Saking marahnya melihat kuda kesayangannya dibunuh,
kini Ang I Niocu mengamuk hebat.
Dia
mengeluarkan ilmu pedangnya Sian-li Kiam-sut atau ilmu Pedang Tari Bidadari,
yang nampaknya indah akan tetapi sangat berbahaya bagi lawan. Sukar sekali mata
mengikuti gerakan-gerakannya, nampaknya hanya sebagai seorang dewi cantik
menari-nari, tetapi pada sekeliling tubuh dewi ini nampak sinar terang. Inilah
sinar pedang yang menyambar-nyambar tanpa dapat diketahui ke mana gerakan
berikutnya sehingga musuh yang begitu banyaknya itu menjadi bingung dan
pengeroyokan menjadi kacau-balau.
Akan tetapi,
para pengeroyok sekarang ini jauh bedanya kalau dibandingkan dengan para
pengeroyok di puncak gunung tadi. Tadi para pengeroyok Ang I Niocu hanya
terdiri dari kaum perampok yang kasar dan dalam pertempuran hanya mengandalkan
tenaga besar belaka.
Kali ini
para pengeroyok yang membantu Koai-tung Toanio dan kedua orang anaknya itu
adalah pasukan terlatih dari Gubernur Lie Kong, yaitu gubernur yang mempunyai
cita-cita untuk memberontak di Propinsi Shansi. Mereka ini terdiri dari
prajurit-prajurit pilihan yang sedikit banyak mengerti ilmu silat, maka
pengepungan dan penyerbuan mereka teratur sekali. Mereka dapat bekerja sama,
baik dalam penyerangan mau pun dalam pertahanan sehingga sebegitu lama Ang I
Niocu masih belum berhasil merobohkan seorang lawan pun, sedangkan pengepungan
makin lama semakin rapat.
Baru
beberapa jam yang lalu, Ang I Niocu telah melakukan pertempuran hebat,
dikeroyok oleh banyak orang dan di dalam pertempuran membasmi kawanan perampok
di Gunung Min-san itu telah membutuhkan banyak tenaga. Oleh karena itu, ia
sudah amat lelah.
Sekarang,
dia menghadapi keroyokan musuh yang lebih tangguh, tentu saja keadaannya
menjadi terancam. Akan tetapi Ang I Niocu adalah seorang gadis yang tak
mengenal apa artinya takut. Sedikit pun dia tidak menjadi gentar dan khawatir,
bahkan kini pedangnya diputar makin cepat sehingga dalam beberapa gebrakan saja
ia berhasil merobohkan tiga orang anggota pasukan yang mengepungnya.
Hasil ini
membuat para pengepungnya terkejut dan kacau-balau, ada pun semangat Ang I
Niocu justru bertambah besar. Biar pun kaki tangannya sudah terasa lemas, ia
memaksa diri, memutar-mutar pedangnya dengan gerakan-gerakan lincah sekali
sehingga kembali ia merobohkan dua orang.
“Serbu dan
bunuh saja!” Koai-tung Toanio kini berseru keras dengan hati penasaran dan
marah sekali.
Tadinya dia
memang berpesan kepada anak buah pasukan itu untuk menangkap Ang I Niocu
hidup-hidup, karena ia mempunyai maksud untuk menyerahkan gadis baju merah itu
kepada majikan mudanya, yakni Lie Kian Tek si putera gubernur. Akan tetapi
melihat sepak terjang Ang I Niocu yang demikian hebat, dia lalu merubah
niatnya. Orang dengan kepandaian seperti gadis baju merah ini kiranya tidak
mungkin ditawan hidup-hidup.
Benar saja,
sesudah dia mengeluarkan aba-aba ini, para anak buah pasukan yang juga khawatir
akan menjadi korban jika berlaku lemah terhadap gadis cantik jelita yang kosen
itu, kini mulai mendesak dengan serangan-serangan maut. Sekarang barulah Ang I
Niocu dapat didesak, karena dia betul-betul harus menjaga diri terhadap desakan
dan serangan puluhan batang senjata yang melancarkan serbuan-serbuan mengancam
keselamatan itu. Betapa pun juga, dia tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan
dan bila mana saja terdapat lowongan, pasti pedangnya merobohkan seorang dua
orang lawan.
Namun,
pasukan itu adalah pasukan terlatih dan di dalam ketentaraan Gubernur Shansi,
pasukan ini disebut Pasukan Maut. Mereka itu sudah dilatih, tidak saja latihan
jasmani, akan tetapi juga dilatih untuk bertempur sampai orang terakhir!
Menghadapi
pasukan yang semuanya tidak takut mati ini, Ang I Niocu menjadi kewalahan juga.
Akan tetapi ia pun tidak mengenal artinya takut atau mundur. Bagaikan seekor
naga betina dia mengamuk, pedangnya berkelebat-kelebat dan tubuhnya menyambar
ke sana ke mari, sepak-terjangnya benar-benar hebat.
Meski pun
Ang I Niocu mengerti bahwa kalau pertempuran ini dilanjutkan, tak mungkin ia
bisa menewaskan sekian banyaknya lawan dan akhirnya ia tentu akan kehabisan
tenaga dan roboh, namun ia masih belum mau menyerah dan tidak sudi melarikan
diri sebelum tenaganya habis betul-betul!
Tiba-tiba
saja terdengar bentakan keras, “Kaum pemberontak hina dina sungguh tak tahu
malu mengandalkan orang banyak mengeroyok seorang dara!”
Muncullah
seorang pemuda gagah perkasa yang diiringi oleh belasan orang berpakaian
seperti jago-jago silat. Sikap mereka gagah bukan main dan atas isyarat pemuda
gagah itu, mereka lantas menyerbu dengan pedang mereka. Permainan pedang mereka
serupa, menandakan bahwa mereka ini datang dari satu partai, ilmu pedang yang
menyambar-nyambar dari kanan ke kiri dan sebaliknya, dibarengi
bentakan-bentakan nyaring.
Ang I Niocu
seperti pernah melihat ilmu pedang seperti ini, kalau tidak salah ilmu pedang
partai Bu-tong-pai. Sebentar saja pasukan Gubernur Lie menjadi kalang-kabut dan
Ang I Niocu kini hanya menghadapi keroyokan Koai-tung Toanio dan dua orang
gadisnya saja. Walau pun kedatangan pemuda tampan gagah bersama kawan-kawannya
itu merupakan pertolongan baginya, namun diam-diam Ang I Niocu merasa mendongkol
sekali.
Gadis ini
memang mempunyai watak yang tinggi hati dan tidak mau kalah. Meski pun berada
dalam keadaan bahaya dia tidak mengharapkan pertolongan orang lain, apa lagi
pertolongan serombongan orang laki-laki yang tidak pernah dikenalnya.
Salah
seorang di antara dua gadis puteri Koai-tung Toanio yang melihat datangnya bala
bantuan ini, memaki marah dan kecewa, “Dasar perempuan jalang, di mana-mana ada
laki-laki yang membantu. Cih, tak tahu malu!”
Mendengar
makian ini, naiklah darah Ang I Niocu. Tanpa mempedulikan serangan lain,
pedangnya menyambar ke arah orang yang memakinya. Ketika tongkat Koai-tung
Toanio menyodok dadanya, ia tidak mengelak dan juga tidak mau menunda
serangannya, hanya menyampok dengan tangan kiri.
Tongkat itu
terpental, akan tetapi Ang I Niocu merasa lengannya sakit sekali. Ia menggigit
bibir, lantas melanjutkan serangannya sampai ujung pedangnya mengenai pundak
gadis yang memakinya tadi. Gadis itu memekik dan roboh dengan pundak kanan
hampir putus!
Koai-tung
Toanio dan puterinya yang seorang lagi cepat mendesak sehingga Ang I Niocu
tidak punya kesempatan untuk mengirim tusukan kedua, namun ia telah puas,
wajahnya berseri dan ia melayani para pengeroyoknya dengan tenang. Ketika ia
melihat pemuda gagah yang membantunya mengamuk hebat dan berada dekat dengan
tempat di mana ia bertempur, ia pun berseru kepada pemuda itu, “Aku tidak
membutuhkan bantuan kalian. Pergilah!”
Pemuda itu
tertegun dan menengok, mengeluarkan seruan kaget dan menjauhkan diri dari
pertempuran, berdiri seperti patung memandang kepada Ang I Niocu dengan penuh
kekaguman. Agaknya baru kini ia melihat wajah orang yang dibantunya dan
penglihatan ini membuat ia tercengang.
Melihat ini,
Ang I Niocu makin mendongkol. Gadis ini sudah terlalu sering menyaksikan
laki-laki berlaku seperti itu apa bila memandang kepadanya dan ia menjadi
mendongkol sekali, di samping keinginan hendak mempermainkan laki-laki yang
tergila-gila padanya. Senyumnya penuh ejekan dan ia sengaja memainkan ilmu
silatnya dengan gerakan dan gaya yang indah sekali seperti orang menari-nari.
Ada pun
Koai-tung Toanio yang melihat betapa pihaknya jadi terdesak dan jatuh banyak
korban, segera memberi aba-aba keras dan ia sendiri menyambar tubuh puterinya
yang terluka, lalu melarikan diri dari tempat itu.
Ang I Niocu
yang sudah lelah bukan main tentu saja tidak mau mengejar. Demikian pula
orang-orang yang datang membantunya tidak mau mengejar pula.
Semua orang
itu kini menoleh dan memandang kepada Ang I Niocu dengan sinar mata kagum,
bukan hanya kagum melihat ilmu silat gadis ini saja, akan tetapi terutama
sekali kagum akan kecantikannya yang memang jarang bandingnya itu. Melihat ini,
Ang I Niocu tersenyum mengejek lalu memutar tubuhnya dan lari dari tempat itu
tanpa mengeluarkan sepatah kata pun kepada mereka!
Melihat ini,
pemuda tampan dan gagah tadi segera melompat dan mengejarnya sambil berseru,
“Lihiap yang gagah perkasa, harap kau tunggu dulu, mari kita bicara!”
Akan tetapi
Ang I Niocu hanya menoleh sebentar dan berkata, “Aku tidak ada urusan dengan
kau!” Dan ia berlari terus, kini makin cepat.
Pemuda itu
penasaran mengerahkan ginkang-nya. Sekali melompat dia sudah maju dua puluh
kaki lebih! Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat gadis itu pun
melompat, bahkan lebih jauh dari pada lompatannya.
“Nona yang
baik, harap kau berhenti dulu, aku hanya ingin berkenalan!” serunya pula, akan
tetapi Ang I Niocu tidak mempedulikannya, bahkan mempercepat larinya.
Pemuda itu
masih hendak mengejar sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat,
akan tetapi sia-sia. Gadis itu dapat berlari lebih cepat dan sebentar saja
sudah lenyap di balik gunung!
Terpaksa
kini Ang I Niocu melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki. Setelah melihat
bahwa pemuda tampan itu tidak mengejarnya lagi, baru terasa olehnya betapa
lelahnya setelah dua kali berturut-turut ia melakukan pertempuran hebat tadi.
Ia berhenti
dan duduk beristirahat di bawah sebatang pohon besar. Dengan ujung lengan
bajunya, disusutnya peluh yang membasahi leher dan jidatnya. Matahari telah
tenggelam di barat dan keadaan sudah mulai gelap. Tak terasa pula senja telah
lewat dan malam sudah di ambang pintu.
Di samping
kelelahan yang sangat, baru sekarang Ang I Niocu merasa lapar sekali. Sejak
pagi ia belum makan dan sehari penuh hanya bertempur saja. Lengan kirinya
sekarang terasa sakit sekali, akibat benturan dengan tongkat Koai-tung Toanio
tadi. Kemudian ia teringat lagi akan kudanya yang sudah mati.
Celaka
sekali! Dengan kehilangan Pek-hong-ma berarti ia pun kehilangan segala-galanya
yang menjadi bekal. Pakaian, uang dan lain-lain semua ada di punggung
Pek-hong-ma dan sekarang semua itu hilang.
Ang I Niocu
mengerutkan keningnya, wajahnya muram. Semenjak ikut ayahnya, ia selalu dimanja
dan selalu terpenuhi apa yang menjadi kehendaknya, belum pernah kekurangan
makan dan pakaian. Sekarang, dia seorang diri dan lelah serta lapar. Setelah
kehilangan segalanya, ia merasa sengsara sekali.
Tak terasa
lagi air matanya jatuh bertitik ketika ia tiba-tiba teringat kepada ayahnya dan
kepada Gan Tiauw Ki. Ketika masih tinggal di gedung ayahnya, belum pernah ia
merasa selelah dan selapar ini. Pada saat ia melakukan perjalanan-perjalanan
dengan Tiauw Ki, betapa jauh bedanya dengan sekarang. Dengan Gan Tiauw Ki ia
mengalami perjalanan yang penuh madu, penuh kegembiraan dan kebahagiaan.
Tiba-tiba
dia bangkit berdiri, “Alangkah bodohku, susiok-couw akan marah kalau melihat
aku selemah ini...” pikirnya.
Ia berjalan
lagi, menuju ke sebuah dusun yang atap-atap rumahnya sudah kelihatan dari situ.
Sebelum cuaca menjadi gelap ia harus sudah berada di dusun itu kalau ia tidak
mau tidur di tengah hutan.
Alangkah
herannya ketika ia tiba di luar dusun, ia disambut oleh semua penduduk dusun,
di sana-sini terdengar seruan!
“Ang I
Niocu...! Dia sudah datang... Sambut Ang I Niocu, pendekar kita yang mulia...”
Setelah
memandang lebih teliti baru Ang I Niocu tahu bahwa di antara para penyambut itu
terdapat bekas-bekas pelayan di pesanggrahan perampok. Tentu mereka inilah yang
sudah mengabarkan tentang pembasmian terhadap para perampok itu. Kepala kampung
itu, seorang laki-laki setengah tua yang berkumis panjang, mengepalai penyambutan
dan menjura dengan penuh hormat kepadanya.
“Lihiap yang
mulia, telah bertahun-tahun kami hidup dalam ketakutan dan penindasan kaum
perampok di Min-san. Bahkan ada beberapa orang muda dusun kami diculik, selain
harta benda kami. Kini muncul Lihiap yang gagah perkasa, yang telah membasmi
mereka dan berarti membebaskan kami dari cengkeraman perampok jahat.
Benar-benar Thian telah mengirimkan Lihiap sebagai seorang dewi untuk menolong
kami yang sudah lama memohon kemurahan dan keadilan Thian.” Setelah berkata
demikian, kepala kampung itu berlutut di depan Ang I Niocu, diturut oleh semua
orang kampung.
Akan tetapi,
ketika mereka mengangkat kepala, ternyata dara baju merah itu telah lenyap!
Tentu saja mereka heran dan kagum sekali, dan sekali lagi mereka berlutut,
mengira bahwa gadis yang cantik luar biasa dan bisa ‘menghilang’ itu
benar-benar seorang dewi kahyangan utusan dari langit! Semenjak hari itu, orang
sekampung sering kali memasang hio, memuja kepada dewi penolong baju merah itu.
***************
Ada pun Ang
I Niocu dengan bersungut-sungut berlari cepat meninggalkan kampung itu. Dasar
awak lagi sial, gerutunya. Ia sama sekali tak mau melayani sambutan orang-orang
kampung yang menganggapnya bagaikan dewi itu, karena ia maklum bahwa apa bila
ia melayani mereka, akan berarti ia tidak tidur lagi semalam suntuk.
Tentu
orang-orang kampung akan mengerumuninya, akan memujanya, dan ia pun akan
menjadi pusat perhatian orang belaka. Padahal ia melakukan pekerjaan di puncak
bukit tadi, secara mati-matian membasmi perampok, sama sekali bukan untuk
mencari muka atau mencari nama. Disambut secara demikian oleh kepala kampung
dan penduduknya, bukan menjadi girang, sebaliknya Ang I Niocu menjadi
mendongkol kemudian pergi tanpa pamit.
Malam hari
itu Ang I Niocu terpaksa tidur di atas pohon di dalam hutan, dan perutnya yang
berteriak-teriak kelaparan itu ia diamkan dengan beberapa butir buah apel. Ia
tidak mengira bahwa perbuatannya membasmi Min-san Sam-kui dan anak buahnya di
Gunung Min-san itu telah menggemparkan dunia kang-ouw sehingga sekaligus nama
Ang I Niocu disebut-sebut orang! Ia dianggap sebagai tokoh hebat yang baru
muncul ke dalam dunia kang-ouw.
Dengan
melakukan perjalanan cepat, dua pekan kemudian Ang I Niocu sudah tiba di kaki
Pegunungan Kim-san. Dari keterangan seorang penduduk dusun di kaki pegunungan
ini, ia mendapat tahu bahwa kuil Kim-san-pai berada di puncak yang sebelah
kiri. Ang I Niocu langsung mendaki puncak ini.
Baru saja ia
tiba di lereng, ia mendengar suara orang-orang dari bawah dan dilihatnya lima
orang tosu berlari-lari mendaki puncak itu. Dua orang di antara mereka
memondong tubuh dua orang tosu tua yang wajahnya amat pucat dan matanya
dipejamkan, agaknya terluka atau sakit payah.
Melihat Ang
I Niocu berdiri di pinggir jalan memandang mereka, lima orang tosu itu balas
memandang dengan sinar mata bercuriga. Kemudian dua orang yang memondong kedua
tosu terluka tadi berlari terus, sedangkan yang tiga orang berhenti di depan
Ang I Niocu.
Ang I Niocu
yang melihat cara lima orang tosu tadi berlari cepat, maklum bahwa dia kini
sedang berhadapan dengan orang-orang berkepandaian tinggi, maka ia lalu menjura
dan berkata,
“Mohon,
tanya, apakah betul jalan ini menuju ke kuil dari Kim-san-pai? Apakah Sam-wi
Totiang juga hendak ke sana?”
Mendengar
pertanyaan Ang I Niocu yang ramah itu, kecurigaan tiga orang tosu tadi jadi
berkurang. Seorang di antara mereka, yang tertua dan berusia kurang lebih empat
puluh tahun, memberi hormat dan menjawab,
“Tak salah
dugaan Nona, ini memang jalan menuju ke kuil Kim-san-pai dan pinto bertiga
memang betul sedang menuju ke sana sebab pinto bertiga merupakan tosu-tosu
anggota Kim-san-pai. Tidak tahu siapakah Nona ini dan apakah maksud
penghormatan kunjungan Nona ini?”
“Aku
adalah... hemm, orang-orang memanggilku Ang I Niocu, dan aku datang ke sini
atas perintah susiok-couw-ku, Bu Pun Su.” Ang I Niocu tidak mau memperkenalkan
namanya sendiri karena ia memang lebih suka namanya tak diketahui orang dan
lebih suka dikenal sebagai Ang I Niocu.
Nama Ang I
Niocu baru saja terkenal, ada pun para tosu Kim-san-pai itu belum pernah
mendengarnya, maka nama ini tidak mendatangkan apa-apa. Akan tetapi pada saat
Ang I Niocu menyebutkan nama Bu Pun Su, berubah wajah mereka dan berseri
pandang mata mereka. Otomatis ketiganya lalu memberi hormat dengan membungkuk.
“Maafkanlah,
pinto bertiga tidak tahu bahwa Niocu adalah utusan Sin-taihiap Bu Pun Su.
Marilah kami antarkan Niocu bertemu dengan Suhu, karena kebetulan sekali pinto
bertiga juga mau menghadap Suhu.”
Sesudah
berkata demikian, tiga orang tosu itu segera berlari cepat mendaki puncak itu,
nampaknya terburu-buru sekali.
“Maaf, Nona,
pinto bertiga jalan di depan!” kata tosu tadi sambil menoleh.
Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika dia sudah tidak dapat melihat lagi nona yang tadi
ditinggalkannya. Hanya bayangan merah berkelebat melewati mereka dan sebentar
saja bayangan merah tadi sudah jauh di atas!
“Hebat... !”
tosu itu menarik napas panjang dan berkata kepada dua orang kawannya, “melihat
kepandaiannya, dia betul-betul utusan Sin-taihiap Bu Pun Su dan agaknya nama
baik Kim-san-pai akan dapat tercuci bersih!” Ia lalu mengajak dua orang
kawannya untuk cepat-cepat mengejar ke puncak.
Ketika tiga
orang tosu itu sudah di puncak dan memasuki kuil besar yang berada di situ,
mereka melihat semua tosu sudah berkumpul di ruangan besar, bahkan guru mereka
juga sudah berada di situ. Ada pun Nona Baju Merah tadi hanya duduk agak jauh
tidak berani mengganggu karena guru besar Kim-san-pai sedang sibuk memeriksa
dua orang tosu yang terluka.
Tiga orang
tosu yang baru datang mendapat jalan dan segera masuk ke tengah ruangan di mana
guru mereka bersila di lantai sedang memeriksa dua orang anak murid yang tadi
dipondong naik.
“Suhu...!”
tiga orang tosu ini berlutut.
Kakek yang
memeriksa tosu-tosu terluka tadi memandang. Ternyata dia adalah seorang tosu
tua. Usianya sudah tujuh puluh tahun lebih akan tetapi dia masih kelihatan
sehat dan kuat. Keningnya berkerut dan pandang matanya suram, tanda bahwa ia
sedang menahan ketidak senangan hatinya.
“Siauw Seng
Cu, coba kau ceritakan, apa yang sebenarnya terjadi atas diri kedua orang
susiok-mu ini,” kata kakek itu yang ternyata bukan lain adalah Thian Beng Cu,
ketua dari Kim-san-pai. Berbeda dengan partai lain, para tosu di Kim-san-pai
menggunakan nama dengan huruf belakang Cu semua, dari ketuanya sampai tosu
pelayan.
Siauw Seng
Cu, yakni tosu yang tadi bercakap-cakap dengan Ang I Niocu, lalu bercerita.
Untuk mengetahui lebih jelas tentang pertentangan antara Bu-tong-pai dan
Kim-san-pai, baiklah kita meninjau keadaan antara kedua partai itu dan apa
sebabnya kedua partai itu sampai bermusuhan.
Kim-san-pai
dan Bu-tong-pai berdekatan, hanya berbeda puncak saja akan tetapi masih satu
daerah pegunungan, yakni pegunungan Bu-tong-san. Bahkan kalau melihat riwayat
dahulu, Kim-san-pai masih ada hubungan dengan Bu-tong-pai, oleh karena pendiri
dari Kim-san-pai adalah sute dari pendiri Bu-tong-pai, jadi ilmu silat mereka
masih berasal dari satu sumber. Tentu saja ratusan tahun kemudian, ilmu silat
itu lalu berkembang biak dan mengalami banyak perubahan sehingga akhirnya
banyak perbedaannya, masing-masing mempunyai corak dan kelihaian sendiri.
Asal mulanya
kakak beradik seperguruan, yang satu pendiri Bu-tong-pai dan satu lainnya
pendiri Kim-san-pai, hanya terpisah puncak sebagai tempat bertapa. Tapi
kemudian para murid mereka setelah berkembang biak, mempunyai perbedaan dalam
kepercayaan atau agama. Kalau pihak si suheng itu anak muridnya menganut Agama
Buddha, adalah anak murid si sute menganut Agama To.
Inilah
kiranya yang menjadi jurang pemisah hingga akhirnya timbul dua partai
persilatan yang berbeda sekali, yakni Bu-tong-pai yang menganut Agama Buddha
dan Kim-san-pai penganut Agama To. Ratusan tahun kemudian, di puncak
Bu-tong-san berdiri kelenteng besar di mana dipuja patung Buddha dan penghuni
atau pendeta-pendetanya yakni anak murid Bu-tong-pai, terdiri dari
hwesio-hwesio gundul. Dan sebaliknya, di puncak Kim-san berdiri kuil besar dari
Agama To dan anak-anak murid Kim-san-pai adalah tosu-tosu yang mempunyai nama
akhir huruf Cu.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment