Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dara Baju Merah
Jilid 06
SETELAH Pek
Hoa lenyap bersama Im Giok, barulah Bi Li sadar. Ia menjerit dan memburu ke
jendela, akan tetapi mana bisa dia mendapatkan Pek Hoa yang sudah melompat ke
atas genteng dan berlari cepat sekali?
“Im Giok...
anakku... Im Giok... kembalikanlah anakku... Im Giok...!”
Setelah
memanggil-manggil hingga suaranya hampir habis, akhirnya Bi Li menjadi lemas.
Dipaksanya berlari ke luar dan mengejar ke sana ke mari sambil terhuyung-huyung
dan akhirnya ia roboh pingsan di luar rumah, dekat jalan, di atas tanah yang
basah.
Sesudah
matahari naik tinggi, baru ada para tetangga yang melihat keadaan Bi Li dan
beramai-ramai mereka menolong nyonya muda yang bernasib malang ini. Akan
tetapi, tubuh nyonya muda yang selama ini memang lemah dan sering sakit, tak
dapat menahan serangan batin yang hebat ini.
Bi Li jatuh
sakit berat. Karena tetangga yang mau menolong dan merawatnya juga amat miskin,
terpaksa seluruh isi rumah dari Bi Li dijual untuk membeli obat dan keperluan
lain. Keadaan Bi Li amat payah. Siapa yang dapat menolongnya?
Kakeknya
sendiri, Song Lo-kai sudah meninggal dunia tak lama setelah Kiang Liat pergi.
Nyonya muda yang hidup sebatang kara ini terserang sakit panas dan batuk-batuk,
setiap saat dia hanya memanggil dan menyebut-nyebut nama suaminya dan anaknya.
Sebulan
kemudian, Bi Li menghembuskan nafas terakhir. Tidak seorang pun menangisi
kematiannya. Para tetangga yang cukup baik hati menjaga jenazahnya, hanya
menarik napas panjang dan merasa kasihan.
Kegotong-royongan
para tetangga yang miskin pulalah yang mencegah jenazah nyonya muda ini
terlantar. Mereka bekerja sama dan dengan amat sederhana serta bersahaja,
jenazah Bi Li dimasukkan dalam peti mati tipis dan disembahyangi sekedarnya.
Baru saja
peti itu hendak diangkat orang untuk dibawa ke kuburan, tiba-tiba ada seorang
wanita jembel datang berlari-lari kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan
peti sambil menangis terlolong-lolong. Pakaiannya sangat kotor banyak
tambal-tambalan, rambutnya awut-awutan, mukanya penuh debu dan lumpur sehingga
ia menjijikkan sekali. Tidak ada seorang pun di antara para tetangga itu
mengenalnya.
“Hujin...
mengapa kau tega meninggalkan hamba...? Kini siapa yang akan merawat dan
melayanimu Hujin? Bawalah hamba serta... Hujin, hamba... hamba mohon ampun atas
segala dosa...” Wanita ini menangis sedih sekali.
Tiba-tiba ia
berhenti menangis dan... tertawa bergelak!
“Ha-ha-ha-ha,
Kiang Liat! Kau kehilangan anak dan isteri, bagus! Cia Sun, kau mampus dengan
mata mendelik, salahmu sendiri. Ha-ha-ha!”
Sekarang
baru para tetangga itu mengenalnya. Perempuan jembel yang otaknya sudah tidak
beres ini bukan lain adalah Ceng Si.
Memang
semenjak suaminya, Cia Sun, tewas oleh Kiang Liat, Ceng Si menjadi ketakutan
selalu, takut kalau-kalau Kiang Liat juga akan mencari kemudian membunuhnya. Ia
insyaf bahwa ia pun berdosa dalam urusan pemerasan terhadap Bi Li. Di samping
rasa takut terhadap Kiang Liat, ia pun benci padanya. Ketika mendengar bahwa
suaminya dibunuh oleh Kiang Liat, Ceng Si cepat-cepat melarikan diri ke luar
kota.
Ia terjatuh
ke tangan orang jahat. Karena Ceng Si memang masih muda dan mempunyai wajah
cantik serta tubuh menarik, ia menjadi permainan orang-orang jahat. Selama tiga
tahun lebih ia terjatuh dari satu ke lain tangan dan terperosok semakin dalam
ke jurang kehinaan. Akhirnya, Ceng Si mulai berubah pikirannya.
Bajingan-bajingan
yang mempermainkannya, melihat otaknya telah miring, tentu saja lalu
menendangnya dan demikianlah, Ceng Si lalu hidup berkeliaran sebagai seorang
wanita jembel yang gila! Kebetulan sekali ketika Bi Li menghembuskan napas
terakhir, Ceng Si sudah tiba kembali di kota itu dan mendengar mengenai berita
kematian Bi Li, wanita setengah gila ini lalu berlari-lari mendatangi rumah bekas
majikannya.
Rumah gedung
bekas tempat tinggal keluarga Kiang masih berdiri tegak, akan tetapi kini
keadaannya amat menyeramkan. Rumah besar itu terlihat gelap dan kotor, penuh
sarang laba-laba dan debu. Tak sebuah pun perabot rumah terlihat menghias rumah
gedung itu, karena semua prabot rumah dijual oleh para tetangga untuk membiayai
perawatan Bi Li ketika sakit dan meninggal.
Sungguh pun
rumah itu sudah kosong tidak ada penghuninya, namun tidak seorang pun berani
mengganggu apa lagi menjualnya, karena siapakah yang berani menjual rumah
gedung milik keluarga Kiang?
Mereka semua
tahu bahwa meski pun Kiang Liat pada waktu itu tidak ada di situ, akan tetapi
kalau pendekar itu kembali dan melihat rumahnya dijual orang, tentu orang yang
menjualnya itu tak akan diberi ampun. Semua orang di kota Sian-koan tentu saja
sudah mengenal nama Kiang Liat sebagai seorang yang memiliki kepandaian silat
tinggi.
Semenjak
meninggalnya Bi Li rumah itu dikosongkan saja. Akan tetapi tetap setiap hari
sekali, kadang-kadang sore dan ada kalanya pagi-pagi, halaman depan rumah
gedung kosong itu tentu disapu dan dibersihkan oleh seorang perempuan jembel
gila, yakni Ceng Si!
Pada suatu
pagi, kurang lebih satu pekan setelah Bi Li meninggal, Kiang Liat tiba di kota
Sian-koan! Betapa pun gelisah hatinya mendengar dari gurunya bahwa puterinya
sudah diculik orang dan isterinya sakit keras, akan tetapi Kiang Liat masih
ingat untuk bertukar pakaian yang pantas sehingga pada waktu ia masuk kota
Sian-koan, ia telah merupakan seorang laki-laki muda berpakaian seperti seorang
pendekar yang gagah.
Tentu saja
penduduk Sian-koan mengenalnya dan semua orang memandangnya dengan sinar mata
berkasihan. Siapa yang tak merasa kasihan melihat orang laki-laki yang telah
ditinggal mati isterinya dan anaknya diculik orang pula? Akan tetapi, semua
orang merasa takut dan segan untuk menegur Kiang Liat, karena mereka tahu akan
pembunuhan yang dilakukan oleh Kiang Liat kepada Cia Sun tanpa mereka ketahui
latar belakangnya.
Namun, Kiang
Liat juga tidak mempedulikan pandang mata semua orang itu. Ia bergegas menuju
ke rumahnya. Akan tetapi, sesudah tiba di jalan depan rumah, ia berdiri terpaku
dan mukanya menjadi pucat.
Rumahnya
nampak seram sekali dan kosong. Dengan langkah lambat ia memasuki pintu
pekarangan dan berjalan perlahan menuju ke ruang depan.
Tiba-tiba ia
mendengar suara ketawa terkekeh-kekeh, suara tawa seorang wanita. Cepat Kiang
Liat memutar tubuh dan memandang ke sebelah kanan. Di bawah pohon ia melihat
seorang wanita jembel memegang sebatang sapu, tertawa-tawa memandang kepadanya,
bahkan kadang-kadang telunjuknya menuding ke arahnya, tampaknya perempuan itu
geli sekali.
“Kau
siapakah dan apa yang kau lakukan di sini?” tanya Kiang Liat.
“Hi-hi-hi...
Kiang Liat, kau sudah lupa lagikah padaku? Aku siapa? Ha-ha-ha, lucu sekali.
Bukankah aku ini bekas kekasihmu yang bernama Ceng Si? Apakah engkau telah
begitu pelupa?”
Kiang Liat
terkejut dan tak terasa melangkah mundur dua tindak dengan hati kasihan dan
ngeri.
“Ceng Si...!
Kau... kau gila...? Mau apa kau di sini dan mana... mana Bi Li?”
Tiba-tiba
Ceng Si menangis tersedu-sedu.
“Song-hujin
sudah mati... kau yang membunuhnya... kau yang mencabut nyawanya... !”
Muka Kiang
Liat makin pucat dan otomatis ia menoleh ke arah rumah gedungnya yang kosong
dan kotor, lagi sunyi sekali, sama dengan perasaan hatinya yang terasa kosong
dan sunyi.
“Ceng Si,
kau mengacau, bagaimana aku bisa membunuhnya? Aku baru saja datang...”
Ceng Si
memekik keras. Matanya memancarkan sinar kemarahan ketika dia melangkah maju
dan seperti hendak memukul kepala Kiang Liat dengan sapunya.
“Kau lelaki
jahanam! Kau manusia kejam! Kau telah membunuh suamiku dan sekarang...
ha-ha-ha! Isterimu mati, anakmu lenyap, semua karena kejahatanmu sendiri! Kiang
Liat, aku puas melihatmu sekarang, semua setan dan iblis sudah membalas
kejahatanmu. Kau marah-marah meninggalkan isterimu, isteri yang berhati putih
bersih dan suci! Kau kira dia bermain gila dengan Cia Sun? Ha-ha-ha, goblok
sekali engkau! Bi Li dahulu seorang gadis suci bersih, mana bisa dia bermain
gila dengan seorang laki-laki? Cia Sun sengaja memancingnya, untuk mendapatkan
hartanya, dan aku menjadi pembantunya yang setia! Ha-ha-ha, Bi Li yang bodoh
itu mudah saja kami tipu, mudah saja kami takut-takuti kalau tidak mau memberi
harta benda akan kami adukan kepada suaminya yang tolol. Ha-ha, dan suaminya
menjadi cemburu, membunuh Cia Sun lalu meninggalkannya.”
Ceng Si
tadinya marah-marah, kemudian tertawa-tawa mengejek, dan akhirnya tiba-tiba ia
menangis tersedu-sedu.
“Kasihan Bi
Li... kasihan Song-siocia nonaku yang manis budi... kasihan sekali karena
ditinggal suami dan disakiti hatinya, dituduh yang bukan-bukan... kasihan
sekali, hatinya hancur, hidupnya sengsara... semua karena Kiang Liat, jahanam
yang telah membunuh suamiku...”
Makin banyak
mendengar kata-kata Ceng Si, makin pucatlah muka Kiang Liat. Akhirnya ia tidak
tahan dan sekali kedua tangannya digerakkan ia telah memegang kedua pundak Ceng
Si, menekannya keras-keras sehingga perempuan itu menjerit kesakitan.
“Jangan
bunuh aku...!” jeritnya sekali-kali dengan muka takut sekali. Rasa takut yang
dulu membuatnya melarikan diri sekarang memenuhi hatinya lagi, maka ia
menjerit-jerit minta ampun.
“Ceritakan
semua tentang hubungan Bi Li dan Cia Sun!” bentak Kiang Liat. “Kalau kau
bohong, kepalamu akan kuhancurkan di sini juga!”
“Ampun
Kiang-wangwe... ampunkan hamba... sesungguhnya saya tidak salah apa-apa, yang
salah adalah bangsat Cia Sun itulah. Dia yang dulu sengaja memancing Siocia dan
membujukku. Dia bilang kalau Siocia bisa menikah dengannya, aku kelak akan ia
ambil sebagai ji-hujin. Karena itu, aku lalu membujuk-bujuk Siocia yang masih
muda dan hijau, kuserahkan surat-surat dan sajak-sajak indah dari Cia Sun dan
memaksa Siocia untuk membalas surat-suratnya. Setelah itu, surat-surat dari
Siocia itu disimpan dan digunakan sebagai alat pemeras. Siocia menjadi
ketakutan sekali kalau-kalau surat-suratnya terlihat oleh Kiang-wangwe, maka
segala permintaan kami berdua diturutinya saja. Telah banyak uang dan perhiasan
yang dapat kami peras dari Siocia dan...”
Kata-kata
Ceng Si berhenti sampai di sana saja, kemudian disambung dengan keluhnya
mengaduh-aduh ketika tubuhnya terlempar dan menubruk batang pohon. Saking gemas
dan tidak sanggup menahan kemarahan hatinya lagi, Kiang Liat telah melemparkan
tubuh perempuan itu. Tadinya malah ia ingin membunuhnya, akan tetapi ia masih
ingat bahwa wanita ini telah menjadi orang gila, hukuman yang sudah cukup hebat
bagi hidupnya.
Dengan kedua
kaki lemas, Kiang Liat berlari memasuki gedungnya. Berlari-lari memasuki kamar
isterinya dan di depan ambang pintu ia terpaku dengan sepasang mata terbelalak.
Seakan-akan ia melihat isterinya berdiri di tengah kamar.
“Bi Li,
isteriku sayang... kau ampunkan dosaku, Bi Li...,” ia berbisik dan melangkah
maju lalu menjatuhkan diri berlutut, kedua lengannya menubruk dan hendak
memeluk dua kaki isterinya.
Akan tetapi,
ia memeluk tempat kosong dan ketika ia mengangkat muka, ternyata di situ tidak
ada siapa-siapa dan dia berlutut di tengah kamar yang kosong, kotor, dan penuh
sarang laba-laba!
“Bi Li...”
hatinya merasa tertusuk-tusuk dan di lain saat Kiang Liat terjungkal pingsan di
tengah kamar itu.
Sudah
terlalu lama Kiang Liat menahan tekanan batin yang maha dahsyat. Akhir-akhir
ini ditambah lagi dengan penyiksaan diri secara sengaja, yakni sering kali ia
mengosongkan perut. Bahkan sebelum pulang ke Siang-koan, sudah sepekan Kiang
Liat tidak makan.
Sekarang,
pukulan terakhir yang hebat, yang dilakukan oleh Ceng Si, merupakan tusukan
yang jitu dan melukai jantungnya. Dia sangat mencinta Bi Li isterinya, kemudian
karena cemburu dan kecewa, dia meninggalkan isterinya yang disangka dulu pernah
melakukan penyelewengan kesusilaan itu dengan hati sakit sekali.
Kini, tidak
saja ia mendengar anaknya telah hilang diculik orang, bahkan mendengar pula
isterinya itu telah meninggal dunia. Ini semua belum begitu hebat apa bila
dibandingkan dengan pengakuan Ceng Si bahwa sebenarnya Bi Li sama sekali tidak
berdosa, sama sekali tidak pernah melakukan hal-hal yang tidak baik, bahkan dia
sudah menjadi korban penipuan dan pemerasan Cia Sun dan Ceng Si!
Dan
isterinya meninggal dunia karena sedih dan sengsara, akibat ditinggalkan
suaminya! Jadi tepat sekali kata-kata Ceng Si si gila itu bahwa dialah yang
membunuh isterinya sendiri.
Kiang Liat
menggeletak pingsan di tengah kamar isterinya itu sampai lewat tengah hari.
Ketika dia siuman dan dapat bergerak kembali, kamar itu sudah gelap.
Kiang Liat
nanar seketika, tubuhnya panas, kepalanya pusing dan kedua kakinya gemetar
lemas. Ia merangkak bangun, terhuyung-huyung dan ketika teringat olehnya akan
segala sesuatu yang sudah dialaminya pagi tadi, bibirnya mengeluarkan keluhan,
hatinya terasa disayat-sayat.
“Bi Li... Bi
Li...”
Kedua
matanya menjadi basah. Tak lama kemudian, ia merupakan seorang laki-laki yang
layu, terhuyung-huyung keluar dari rumah gedung itu dengan langkah lemas.
Tetangganya,
Empek Lai yang bekerja sebagai penjual sayur, memandangnya dengan sepasang mata
berkasihan ketika Kiang Liat berdiri di depan pintu rumahnya.
“Lai-lopek,
tolonglah kau tuturkan kepadaku apa yang kau tahu tentang hilangnya anakku Im
Giok...,” kata Kiang Liat dengan suara hampir berbisik.
“Aah...
Kiang-wangwe, marilah masuk. Silakan duduk... ah, sayang datangmu terlambat,
Wan-gwe... kasihan anak dan isterimu...,” kata empek itu dengan suara bernada
kasihan.
Kiang Liat
menggeleng kepalanya, kata-kata empek itu makin menyedihkan hatinya.
“Lopek, tak
usahlah, terima kasih. Katakan saja siapa yang telah menculik anakku…”
“Tak seorang
pun di antara kami yang mengetahui dengan pasti, Wan-gwe. Kami temui Hujin
telah menggeletak pingsan di atas tanah di luar rumahnya, kami menolongnya dan
sesudah ia siuman dari pingsannya, ia jatuh sakit hebat. Dalam igauannya, kami
hanya mendengar ia berkali-kali menyebut-nyebut namamu dan nama Nona Im Giok,
kemudian ada juga ia menyebut nama Enci Pek Hoa dan minta kembali anaknya dari
orang yang ia sebut Enci Pek Hoa...”
Keterangan
ini menambah perih hati Kiang Liat. Apa lagi di bagian isterinya pingsan di
luar rumah, kemudian bagian yang menceritakan betapa di dalam sakit menghadapi
maut isterinya masih terus menyebut-nyebut namanya, ini sungguh-sungguh membuat
hatinya berdarah dan sakit bukan main.
Kiang Liat
tak dapat menahan lagi, terus saja ia membalikkan tubuh tanpa minta permisi
lagi, lalu pergi dari situ dengan kaki limbung dan tangan kirinya menekan dada
kiri yang terasa sakit sekali. Tidak lama kemudian ia terbatuk-batuk dan...
darah segar keluar dari mulutnya!
“Bi Sian-li
Pek Hoa Pouwsat…” demikian ia berbisik. “Anakku jatuh di tangannya... aku...
aku harus hidup dan menolong anakku. Awas kau, siluman... aku akan mengadu
nyawa denganmu...”
Dalam
keadaan yang amat sengsara, dan kadang-kadang batuk-batuk sambil muntahkan
darah, Kiang Liat meninggalkan kota Sian-koan, dalam perjalanan mencari Bi
Sian-li Pek Hoa Pouwsat, orang yang telah menculik Kiang Im Giok, puterinya.
***************
Bibi, aku
mau kembali ke rumah ibu...!”
Suara ini
terdengar nyaring dan keras. Kalau ada orang yang kebetulan berada di hutan
lebat itu, pasti dia akan merasa terheran-heran mendengar suara ini, suara
seorang anak perempuan.
Bagaimana
seorang anak perempuan dapat berada di dalam hutan yang begitu liar dan luas?
Apa lagi kalau orang itu melihat bahwa anak perempuan itu hanya berdua saja
dengan seorang gadis yang cantik luar biasa. Dua orang perempuan, seorang gadis
dan seorang bocah, berdua saja di dalam hutan yang terkenal banyak binatang
buas dan perampok-perampok, ini benar-benar aneh!
Anak
perempuan itu adalah Kiang Im Giok, puteri tunggal dari Kiang Liat dan Bi Li
yang sudah diculik oleh Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat. Malam tadi ketika sedang
tidur nyenyak, diam-diam Im Giok telah didekati oleh Pek Hoa, ditekan jalan
darahnya sehingga anak ini terus tidur seperti pingsan, tidak merasa sesuatu
lagi.
Pada
keesokan harinya, setelah pergi jauh dari kota Sian-koan, Pek Hoa menyadarkan
gadis kecil itu. Im Giok merasa terheran-heran ketika mendapatkan dirinya
berada dalam pondongan tamu yang cantik itu.
”Bibi,
bagaimana kita bisa berada di sini? Kau hendak membawaku ke manakah?”
“Im Giok,
anak baik, bukankah kau sudah mau menjadi muridku? Sebagai murid yang baik, kau
harus ikut ke mana pun juga gurumu pergi.”
Akan tetapi
Im Giok sudah teringat akan ibunya. Ia memberontak minta turun dan setelah ia
diturunkan dari pondongan Pek Hoa, ia berkata keras,
“Bibi, aku
mau kembali ke rumah ibu!”
Kata-kata
ini dia ulangi terus dan sepasang matanya yang tajam itu menatap wajah Pek Hoa,
seolah-olah hendak menjenguk isi hati wanita itu, untuk menetapkan apakah
wanita itu baik atau jahat.
“Im Giok,
bukankah kau sudah menyatakan suka untuk menjadi muridku? Ayahmu adalah seorang
gagah, dan sebagai anaknya kau juga harus berwatak gagah, tak boleh menarik
kembali janjimu.”
“Aku memang
suka sekali menjadi muridmu, akan tetapi di rumah ibu. Aku tidak tega
meninggalkan ibu seorang diri. Ibu sering kali sakit...”
Pek Hoa
tersenyum. Diam-diam dia kagum sekali melihat anak itu. Cantik serta gagah,
berdiri tegak menentangnya bagaikan seekor harimau kecil! Benar-benar seorang
murid yang banyak harapan, pikirnya.
“Im Giok,
jangan khawatir. Ibumu sudah kusembuhkan.”
“Bagaimana
kau bisa menyembuhkannya, Bibi?” Im Giok memandang tidak percaya.
Pek Hoa
tertawa memperlihatkan barisan gigi yang putih bagai mutiara di balik sepasang
bibirnya yang merah sehat.
“Kau anak
bodoh! Masih tidak percaya kepada kepandaian gurumu sendiri? Orang-orang
menyebutku Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, tidak tahukah kau artinya?”
Biar pun
baru berusia enam tahun, Im Giok sudah pandai membaca kitab dan ia mengerti
akan arti huruf-huruf dan sebutan-sebutan.
“Artinya
bahwa kau seorang Bidadari Cantik. Memang, kau cantik sekali, Bibi, lebih
cantik dari ibu. Akan tetapi, apakah buktinya kau seorang bidadari yang pandai
mengobati ibu? Kata orang, bidadari pandai terbang, apa kau bisa terbang?”
Kembali Pek
Hoa tertawa dan memuji sifat teliti dari anak itu.
“Bagus, kau
masih belum percaya apa bila belum melihat bukti. Sifat ini sangat baik dan
harus kau pelihara selama hidupmu. Apa lagi ketika menghadapi kaum pria, kau
jangan gampang percaya. Kau masih sangsi apakah aku bisa terbang? Tentu saja
bisa. Kalau kau sudah melihat buktinya, apakah kau tidak akan rewel lagi dan
mau ikut dengan aku tanpa banyak tanya?”
Im Giok
memang masih kecil, baru enam tahun usianya. Akan tetapi dia seorang anak yang
cerdik sekali. Ia semenjak kecil telah ditinggalkan oleh ayahnya yang
berkepandaian tinggi, maka dalam hal ilmu silat tinggi, boleh dibilang ia masih
buta. Maka tentu saja ia menganggap mustahil bagi seorang manusia untuk dapat
terbang seperti bidadari atau burung.
Oleh karena
ini, tanpa banyak sangsi lagi ia mengangguk. Ia rela meninggalkan ibunya untuk
menjadi murid seorang bidadari yang pandai terbang, bukankah itu enak sekali?
Ia bisa mengajak ibunya bertamasya ke... bulan!
“Kau
lihatlah, bukankah di puncak pohon itu terdapat seekor burung kecil yang bulunya
indah sekali?” tanya Pek Hoa sambil menunjuk ke atas.
Im Giok
memandang dan sebentar saja sepasang matanya yang berpandangan tajam itu dapat
melihat seekor burung dada kuning sedang berloncat-loncatan dari satu ranting
ke ranting lain di puncak pohon yang tinggi.
“Aku
melihat, burung dada kuning, bukan?”
“Bagaimana
orang dapat menangkapnya?”
“Mana bisa
ditangkap? Burung itu pandai terbang. Kalau kita memanjat pohonnya, tentu ia
sudah lari terbang ketakutan,” jawab Im Giok.
“Nah, kau
lihat baik-baik. Aku akan terbang ke atas pohon dan menangkapnya!”
Sebelum Im
Giok mengeluarkan ucapan tidak percaya, Pek Hoa menggerakkan kedua lengannya
dan tubuhnya melayang naik dengan gerakan cepat sekali sehingga Im Giok
memandang ke atas dengan melongo.
Gadis cilik
ini melihat betapa Pek Hoa betul-betul bagai seekor burung besar menyambar ke
atas. Baju dan celananya yang terbuat dari sutera itu berkibar-kibar tertiup
angin dan membuat ia kelihatan seperti seorang bidadari cantik jelita tengah
terbang bermain-main dengan bunga dan burung.
Tentu saja
sepasang mata Im Giok yang belum terlatih itu tidak dapat melihat bahwa Pek Hoa
tentu saja sama sekali bukan ‘terbang’, melainkan melompat ke atas, menyambar
dahan untuk menarik tubuh makin ke atas. Demikianlah, dari cabang ke cabang,
Pek Hoa dapat membuat tubuhnya kelihatan bagaikan terbang. Ginkang-nya memang
sudah tinggi sekali sehingga jangan kata Im Giok seorang bocah, biar pun orang
dewasa kalau belum tajam pandangan matanya, tentu akan mengira dia benar-benar
pandai terbang seperti bidadari.
Tidak lama
kemudian, Pek Hoa melayang turun dan pada tangannya sudah tergenggam seekor
burung kecil dada kuning yang tadi kelihatan oleh Im Giok. Im Giok tidak tahu
bahwa Pek Hoa tadi telah menggunakan tenaga lweekang untuk menghantam burung
itu.
Saat ia
melompat ke atas, burung itu hendak terbang. Akan tetapi dengan menggerakkan
tangan kanannya ke arah burung, Pek Hoa sudah berhasil membuat burung itu jatuh
ke bawah yang segera ia sambar dengan tangan kiri.
Dalam anggapan
Im Giok, Pek Hoa tadi tentu telah terbang, maka kini ia percaya bahwa Pek Hoa
tentu seorang bidadari yang pandai. Maka ia cepat menjatuhkan diri dan berlutut
sambil berkata,
“Pouwsat,
teecu sekarang suka menjadi murid dan akan ikut pergi ke mana pun juga, asal
teecu diajar terbang!”
Pek Hoa
tertawa girang. “Bodoh, aku bukan bidadari, jangan memanggil pouwsat. Mulai
sekarang kau menjadi muridku, kau harus mentaati semua perintahku, akan tetapi
kau tidak boleh menyebut pouwsat, harus menyebut Enci Pek Hoa saja. Mengerti?”
Im Giok
merasa heran. Akan tetapi dia juga lebih suka menyebut enci dari pada harus
menyebut pouwsat.
“Baikiah,
Enci Pek Hoa. Lekas kau beri pelajaran terbang padaku, Enci...”
Pada saat
itu, terdengar suara orang-orang tertawa dan tak lama kemudian muncul tiga
orang laki-laki dari semak-semak belukar. Mereka ini adalah tiga orang perampok
yang berwatak kasar dan kejam. Usia mereka sedikitnya ada empat puluh tahun,
dan ketiga-tiganya menakutkan sekali dengan cambang-cambang bauk dan tubuh
kekar berotot.
“Siapakah
mereka, Enci...?” Im Giok bertanya, agak kaget akan tetapi tidak takut.
“Diam dan
lihatlah saja bagaimana aku menghadapi orang-orang macam ini,” kata Pek Hoa.
Sementara
itu, ketiga orang perampok itu memang datang karena tertarik oleh suara Im Giok
dan Pek Hoa. Tadinya mereka mengira bahwa tentu ada rombongan yang lewat dan di
dalam rombongan terdapat wanita-wanitanya yang kini agaknya tengah beristirahat
di situ dan bercakap-cakap. Oleh karena itu dengan hati-hati mereka lalu
menghampiri dan mengintai, sebab biasanya rombongan yang lewat di hutan ini
tentu dikawal oleh piauwsu (pengawal) yang pandai ilmu silat.
Setelah
mereka mengintai, hampir mereka tidak dapat percaya akan penglihatan sendiri.
Bagaimana seorang wanita serta seorang bocah dapat berada di tengah hutan itu
tanpa pengawal? Mereka segera melompat keluar dari semak-semak dan menghampiri
Pek Hoa dan Im Giok.
Jika tadi
tiga orang perampok itu sudah terheran-heran, kini setelah berhadapan dengan
Pek Hoa dan Im Giok, mereka menjadi bengong. Tiga pasang mata yang kemerahan
itu dibuka lebar-lebar, mengagumi wajah Pek Hoa yang luar biasa cantiknya itu.
Kemudian, tiga buah kepala digerakkan saling pandang, lalu meledaklah suara
ketawa mereka yang menyeramkan.
“Ha-ha-ha,
Ji-te dan Sam-te, alangkah lucunya! Kita tiga orang laki-laki yang tidak takut
menghadapi harimau betina, kini harus bersembunyi untuk mengintai, tak tahunya
yang diintai hanyalah seorang bidadari cantik dan seorang anak mungil.
Ha-ha-ha!”
Dua orang
adik angkatnya tertawa-tawa geli pula, ada pun pandangan mata tak pernah
dilepaskan dari wajah Pek Hoa, bahkan kini sikap mereka kurang ajar sekali.
“Twako,
walau pun tadi kita menyusup-nyusup sambil bersembunyi-sembunyi, akan tetapi
sama sekali tidak rugi. Meski aku disuruh menyusup-nyusup lagi sampai
tertusuk-tusuk duri, aku bersedia asal bisa mendapatkan seorang bidadari
seperti dia ini. Ha-ha-ha!”
“Huah,
siauwte. Bunga indah seperti ini, mana mungkin Twako mau memberikan kepada
kita? Bagiku, lebih baik aku mengambil bocah ini dan sesudah dipelihara
beberapa tahun lagi saja, kiranya tidak akan kalah cantik oleh dara itu.”
Orang
pertama, yang agak pendek tubuhnya dan yang paling tua, tertawa bergelak.
“Ji-te memang benar sekali. Bunga ini indah dan cantik, selama hidupku sudah
banyak aku memetik bunga, akan tetapi belum pernah aku melihat yang seindah
ini. Ji-te dan Sam-te terpaksa kuminta supaya kali ini mengalah.” Kemudian ia
melangkah maju menghampiri Pek Hoa yang masih berdiri memandang sambil
tersenyum manis sekali.
“Aduh,
Nona... senyummu itu... ahhh, kau bisa bikin orang menjadi gila dengan senyum
seperti itu! Mari ikutlah dengan aku, Nona. Jangan kau takut-takut. Ketahuilah,
jelek-jelek aku ini juga raja hutan ini, orang menyebutku Hek-lim-ong (Raja
Hutan Hitam). Dua orang ini adalah adik-adikku, atau calon adik-adikmu, juga
bukanlah sembarang orang karena kiranya tak ada keduanya orang-orang yang
disebut Siang-san-houw (Sepasang Harimau Gunung) seperti mereka ini. Mari, Nona
manis, mari kupondong agar kedua kakimu tidak lelah. Kau siapakah? Dari mana
hendak ke mana?”
Dengan lagak
dibuat-buat dan menjemukan sekali, Hek-lim-ong menghampiri Pek Hoa. Lagaknya
demikian menjemukan dan menakutkan sehingga Im Giok menjadi ketakutan juga.
“Enci Pek
Hoa, lekas kau usir mereka...,” katanya.
Mendengar
ini, orang ke dua dari tiga sekawan ini, yaitu Twa-san-houw (Harimau Gunung
Tertua), menyengir dan ikut melangkah maju.
“Aha,
kiranya enci adik! Pantas saja yang kecil demikian cantik dan mungil, hampir
sama dengan yang besar. Twako, kau tangkap yang besar, biar aku menangkap yang
kecil.”
Sementara
itu, biar pun bibirnya yang merah dan berbentuk indah tersenyum manis dan
matanya bersinar-sinar, namun di dalam hatinya Pek Hoa sudah marah sekali
sehingga dia merasa seakan-akan dadanya hendak meledak. Ia maklum bahwa kalau
saja kini dia memperkenalkan nama dan julukannya, tiga orang ini kalau tidak lari
tunggang-langgang tentu menjatuhkan diri berlutut minta ampun.
Akan tetapi
ia tidak menghendaki terjadinya hal ini. Keinginan hatinya pada saat itu tak
lain hanya membunuh tiga orang yang sudah menghinanya ini.
“Bagus!
Bagus sekali kalian telah menyebutkan nama, karena kalau tidak, aku tentu akan
selalu merasa kecewa. Sungguh tidak enak sekali mencabut nyawa orang-orang yang
tak diketahui siapa namanya.”
Mendengar
kata-kata ini, Ji-san-houw (Harimau Gunung ke Dua) tertawa terkekeh-kekeh.
“Ha-ha-ha-ha,
alangkah lucunya! Mencabut nyawa? Heh-heh-heh, memang nyawa terasa tercabut
kalau melihat senyumnya, melihat lirikan matanya, nyawaku rela tercabut kalau
aku bisa...”
Kata-kata
ini disusul oleh jeritan menyayat hati ketika tangan kiri nona ini bergerak dan
sinar putih menyambar ke arah dada Ji-san-houw. Ketika Hek-lim-ong dan
Twa-san-houw kaget memandang adik mereka, ternyata Ji-san-houw sudah rebah
tidak bernyawa lagi, matanya mendelik dan dari mulut serta hidungnya mengalir
darah menghitam. Ternyata dia sudah terkena serangan Pek-hoa-ciam (Jarum Bunga
Putih) dari Pek Hoa, semacam am-gi (senjata rahasia) jarum putih berkepala
bunga yang mengandung racun berbahaya sekali!
Suasana
berubah seketika. Kalau tadi Hek-lim-ong dan Twa-san-houw tertawa-tawa geli,
sekarang wajah mereka menjadi pucat sekali dan Twa-san-houw dengan amat
marahnya mencabut senjata golok besar dari pinggang.
“Ehh, tidak
tahunya setangkai bunga hutan liar, bukan sembarang bunga. Hayo lekaslah
berlutut minta ampun kalau kau tidak ingin lehermu kupenggal sekarang juga!”
Benar-benar
Twa-san-houw tidak dapat melihat keadaan. Hal ini bukan karena ia bodoh atau
nekat, melainkan karena kepandaiannya masih tidak begitu tinggi sehingga ia
tidak dapat menduga apakah yang telah menjadi sebab kematian Ji-san-houw.
“Cacing
busuk, apakah kau tidak ingin menyusul kawanmu? Dengan cara bagaimana kau
hendak menyusul dia? Hayo katakan, kau boleh pilih sendiri, ingin cepat atau
lambat?” kata Pek Hoa dengan suara mengejek.
Twa-san-houw
mengeluarkan gerengan keras dan dia segera menyerbu, membacokkan goloknya ke
arah leher Pek Hoa.
“Ji-te,
jangan merusak mukanya yang cantik...!” Hek-lim-ong berseru mencegah.
Memang
Hek-lim-ong ini mata keranjang sekali. Seorang wanita muda biasa sudah dapat membuatnya
tergila-gila, apa lagi sekarang ia menghadapi seorang dara seperti Pek Hoa yang
memang memiliki kecantikan seperti bidadari.
Maka, walau
pun seorang kawannya sudah terbunuh oleh Pek Hoa, masih saja dia tidak menaruh
hati benci kepada dara ini dan masih saja ia ingin memiliki nona yang jelita
itu. Karena itu ia cepat mencegah ketika melihat Twa-san-houw menyerang nona
itu dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi,
dalam sekejap saja kekhawatiran Hek-lim-ong akan keselamatan nona cantik itu
lenyap dan berganti menjadi perasaan gelisah akan keselamatannya sendiri.
Dengan sepasang matanya ia menyaksikan kejadian yang benar-benar hebat.
Ketika tadi
golok di tangan Twa-san-houw menyambar ke arah lehernya, Pek Hoa sama sekali
tidak mengelak atau menangkis. Hanya kedua kakinya bergerak cepat luar biasa
dan mengirim tendangan kilat ke arah bawah pusar lawannya. Hanya terdengar
pekik dari mulut Twa-san-houw dan di lain saat, tubuh rampok itu terjengkang,
goloknya berpindah tangan sedangkan nyawanya sudah melayang dan menyusul
adiknya sebelum tubuhnya menyentuh tanah!
Kepandaian
Hek-lim-ong tentu saja masih lebih tinggi dari pada kepandaian kedua orang
kawannya yang sudah tewas. Gerakan yang dilakukan oleh Pek Hoa ketika merampas
golok dan mengirim tendangan maut, membuka mata Hek-lim-ong. Tahulah ia bahwa
ia berhadapan dengan seorang dara perkasa yang memiliki kepandaian silat
tinggi.
Dalam
sekejap mata nafsu hatinya untuk memiliki diri nona itu lenyap terganti nafsu
hati untuk membunuh Pek Hoa dan melindungi keselamatan diri sendiri. Tanpa
mengeluarkan suara lagi ia mencabut goloknya dan menyerbu, membacok dengan
gerak tipu Tiong-sin Hian-in (Menteri Setia Persembahkan Cap Kebesaran).
Bacokannya ini cukup cepat dan dilakukan dengan tenaga yang besar sekali.
Namun,
Hek-lim-ong adalah seorang kasar dan bodoh. Ilmu silatnya hanyalah ilmu silat
kampungan belaka, ilmu silat yang biasa dipelajari oleh penjahat-penjahat
kecil. Dalam tiap perkelahian, Hek-lim-ong lebih mengandalkan tenaga dan
keberanian serta gertakan belaka.
Sekarang dia
menghadapi Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, murid terpandai dan terkasih dari
Thian-te Sam-kauwcu. Sama saja halnya dengan sebuah semangka besar menghadapi
sebilah pisau kecil!
Pek Hoa
menggerakkan golok di tangan, yang tadi telah dia rampas dari Twa-san-houw,
menangkis serangan lawan dengan pengerahan tenaga lweekang. Goloknya digerakkan
dan begitu sepasang golok itu bertemu, Hek-lim-ong tak kuat memegang senjatanya
lagi. Seakan-akan lengannya yang memegang golok terkena aliran yang membuat
lengannya lumpuh dan kesemutan. Goloknya lantas terlepas dari tangan dan tanpa
kenal malu lagi Hek-lim-ong membalikkan tubuh kemudian melarikan diri seperti
dikejar setan.
Pek Hoa
tertawa nyaring dan merdu. Tangan kanannya bergerak, golok meluncur dan
Hek-lim-ong mengeluarkan jerit kematian yang panjang mengerikan, tubuhnya
tersungkur ke tanah, akan tetapi dadanya tidak dapat menyentuh tanah karena
tertahan oleh ujung golok. Ternyata golok yang dilontarkan oleh Pek Hoa tadi
telah menembus punggungnya dan ujung golok sampai keluar dari dadanya!
Semua
peristiwa ini disaksikan oleh Im Giok yang berdiri laksana patung, kedua matanya
terbelalak lebar, kedua kakinya gemetar dan dadanya berdebar keras. Selama
hidupnya belum pernah ia menyaksikan orang mati, apa lagi orang terbunuh dengan
cara demikian mengerikan. Sekarang ia memandang dengan mata penuh kengerian
kepada Pek Hoa.
“Im Giok,
kenapakah? Takutkah kau melihat semua ini?”
“Tidak
takut, akan tetapi ngeri sekali Enci Pek Hoa. Kenapa kau membunuh mereka?”
“Mereka
orang-orang jahat, harus dibunuh. Kelak kalau kau sudah besar dan mempunyai
kepandaian seperti aku, kau pun harus membunuh orang-orang seperti ini.”
“Aku tidak
akan berani melakukan, Enci Pek Hoa. Terlalu mengerikan.”
“Mengerikan?
Apanya yang mengerikan? Coba kau tengok dan pandang muka mereka itu, bukankah
lebih buas dari pada binatang hutan? Macam mereka, kalau tidak dibunuh, bagi
kita, lebih-lebih bagi wanita muda, amat berbahaya, jauh lebih berbahaya dari
pada binatang hutan.”
“Aku tidak
berani melihat muka mereka!”
Tiba-tiba
Pek Hoa menyambar lengan tangan Im Giok dan ditariknya anak itu ke dekat mayat
Ji-san-houw. Mayat ini paling mengerikan karena mukanya menyeringai dan dari
mulut hidung keluar darah hitam, tanda terkena senjata rahasia Pek-hoa-ciam.
“Buka
matamu, lihat muka penjahat ini baik-baik. Hayo pandang!” kata Pek Hoa kepada
Im Giok yang menutup matanya. “Im Giok, apakah pada hari pertama kau sudah lupa
akan janjimu? Kau harus taat kepada semua perintahku, mengerti? Hayo buka
matamu dan pandang baik-baik muka tiga orang laki-laki jahat ini!”
Im Giok
terpaksa membuka matanya. Pek Hoa membawanya dekat sekali dengan mayat
Ji-san-houw sehingga tercium olehnya bau yang amat tidak enak.
“Lihat!
Pandang terus sampai muka ini kelihatan jahat dan buasnya olehmu. Kau tidak
boleh merasa ngeri melihatnya, bahkan harus merubah rasa ngeri menjadi benci!
Kau harus membenci laki-laki seperti ini. Harus! Pandang terus sampai kau tidak
merasa ngeri lagi.”
Memang, obat
paling manjur untuk mengatasi perasaan adalah kenekatan. Orang yang penakut
akan menjadi berani kalau nekat.
Demikian
pula dengan Im Giok. Gadis cilik ini tadinya merasa ngeri dan takut-takut untuk
mendekati mayat-mayat itu, apa lagi disuruh memandang mereka dari dekat. Akan
tetapi, sesudah ia dipaksa oleh Pek Hoa dan ia menjadi nekat, benar saja, tidak
lama kemudian lenyap rasa ngeri dan takut-takut. Yang ada hanya sebal, muak dan
benci.
“Ingatlah,
laki-laki macam ini kalau tidak dibunuh, akhirnya justru akan mencelakakan kita
sendiri. Kau tentu masih ingat akan ucapan-ucapan mereka tadi. Mereka ini
kurang ajar, tidak menghormati wanita, tidak menghargai wanita. Mereka ini
bisanya hanya menghina dan mengganggu wanita belaka, menganggap wanita seperti
manusia peliharaan, seperti benda perhiasan, seperti baju atau topi, bahkan
seperti sepatu mereka! Kelak kau harus menghukum dan membasmi laki-laki kurang
ajar seperti ini. Mengerti?”
Im Giok
masih kanak-kanak. Usianya baru enam tahun, akan tetapi dia memang cerdik
sekali sehingga dia dapat menangkap maksud dari semua kata-kata Pek Hoa. Jiwa
yang masih bersih, hati yang masih kosong itu kini terisi oleh ajaran-ajaran
watak yang sangat berbahaya dan aneh dari Pek Hoa Pouwsat, siluman wanita murid
Thian-te Sam-kauwcu.
Sedikit demi
sedikit Pek Hoa hendak menjadikan anak yang disayangnya ini agar menjadi
seperti dirinya! Cantik jelita, berilmu tinggi, ganas dan bebas melakukan apa
saja tanpa peduli akan tata hukum atau tata susila. Apa saja dapat dilakukan
oleh Pek Hoa asalkan ia menganggapnya benar dan hal ini menyenangkan hatinya!
Makin
giranglah hati Pek Hoa setelah beberapa bulan kemudian ia mendapat kenyataan
bahwa tepat sebagaimana yang ia duga, Im Giok memiliki bakat yang luar biasa
dalam ilmu silat. Semua teori dan dasar persilatan yang diajarkan kepadanya
dapat dia terima dengan mudah, bahkan ketika ia mulai dilatih bersilat,
gerakannya amat indah dan lemah gemulai seperti orang menari! Pek Hoa pun
semakin sayang kepada muridnya ini, dan dengan giat ia mulai menurunkan ilmu
kepandaiannya yang tinggi kepada Im Giok.
Hati Pek Hoa
masih belum puas. Musuh besarnya terlalu banyak dan ia bercita-cita untuk
membalas mereka semua. Ia harus membalas atas kematian tiga orang suhu-nya.
Musuh besarnya yang harus dibalas adalah Kiang Liat, Han Le, Bu Pun Su, Bun Sui
Ceng, Swi Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, The Kun Beng, dan orang-orang
Siauw-lim-pai dan Kun-lun! Terlalu banyak. Akan tetapi, dapat kubalas seorang
demi seorang, pikir Pek Hoa. Yang paling ditakutinya adalah Bu Pun Su seorang.
Yang lain-lain sih tidak begitu berat.
Sekarang ia
telah dapat membalas kepada orang yang pernah menolak cinta kasihnya, orang
yang paling lemah di antara musuh-musuh besarnya, yakni Kiang Liat. Ia memang
tidak punya niat untuk membunuh Kiang Liat, hanya ingin melihat Kiang Liat
menderita. Oleh karena itu, dia sudah merasa cukup kalau sekarang dapat
merampas Im Giok dan menjadikannya murid sehingga kelak Kiang Liat akan
mendapat malu.
Karena
maklum bahwa semua musuh besarnya, kecuali Kiang Liat, adalah tokoh-tokoh
terkemuka yang sangat pandai dan lihai, untuk sementara waktu Pek Hoa tidak
berani memperlihatkan diri dan tidak banyak beraksi di dunia kang-ouw. Ia
maklum bahwa kalau hendak membalas sakit hati, ia harus memperdalam
kepandaiannya lebih dahulu.
Di antara
banyak macam kepandaian yang pernah ia pelajari dari Thian-te Sam-kauwcu, ada
semacam kepandaian ilmu silat yang tadinya ia anggap rendah sehingga tidak
begitu ia pelajari secara mendalam. Ilmu kepandaian ini adalah semacam ilmu
silat yang khusus diciptakan oleh Pek-in-ong tokoh ke dua dari barat ini,
khusus diciptakan untuk Pek Hoa, murid yang terkasih itu.
Seperti
telah diketahui, tiga orang tokoh barat itu selain ahli ilmu silat tinggi, juga
ahli ilmu sihir. Melihat muridnya yang cantik jelita, yang selain menjadi murid
juga menjadi kekasih, Pek-in-ong lalu menciptakan ilmu silat yang sebenarnya
bukan merupakan ilmu pukulan, tetapi merupakan ilmu silat yang diubah
sedemikian rupa sehingga dalam setiap gerakan mengelak, menangkis, mau pun
memukul menjadi gerakan tari yang dapat menjatuhkan iman seorang laki-laki.
Gerakan yang demikian memikat dan lebih tepat apa bila disebut tarian yang
melanggar kesopanan, tarian cabul yang dapat membangkitkan nafsu jahat dan
dapat menyelewengkan hati pria yang tadinya bersih!
Dulu Pek Hoa
tak begitu memperhatikan ilmu silat baru yang namanya juga mengerikan, yakni
ilmu silat Bi-jin Khai-i (Wanita Cantik Membuka Pakaian)! Dianggapnya bahwa
ilmu silat ini sengaja diciptakan oleh Pek-in-ong hanya untuk memuaskan nafsu
hati guru ke dua ini saja, atau untuk melihat dia menari-nari menghibur
hatinya.
Akan tetapi
sekarang, setelah menghadapi musuh-musuh lihai dan memutar daya upaya untuk
membalas dendam, ia teringat akan ucapan Hek-te-ong, tokoh pertama dari barat
atau suhu-nya yang pertama ketika gurunya ini menyaksikan ia bermain Bi-jin
Khai-i.
“Pek Hoa,
sayang ilmu silat ciptaan Pek-in-sute ini tidak ada isinya. Ataukah kau yang
tidak pernah berlatih sungguh-sungguh. Jika kau sudah dapat menangkap isinya
dan kau mainkan dengan pengerahan tenaga rahasia, kiranya kelak akan dapat kau
pergunakan merobohkan lawan yang ilmu silatnya jauh melebihi tingkatmu.”
Teringat
akan ini, Pek Hoa lalu melatih diri dengan ilmu silat Bi-jin Khai-i. Kini
terbukalah ingatan dan matanya akan kelihaian serta keajaiban ilmu silat ini,
maka diam-diam ia pun merasa bersukur sekali.
Selama empat
tahun dia membawa Im Giok bersembunyi di sebuah puncak yang sunyi dari
Pegunungan Cin-lin-san. Setiap hari, tiada bosannya Pek Hoa melatih diri
sekaligus melatih muridnya pula.
Im Giok
makin lama makin nampak kecantikannya. Akan tetapi setelah bertahun-tahun ia
hidup bersama Pek Hoa, banyak sifat-sifat Pek Hoa yang menurun pula kepadanya.
Yang terutama sekali adalah kesukaannya untuk berhias. Artinya, Im Giok kini
menjadi seorang pesolek pula!
Anak ini
semenjak kecil sudah dilatih cara menghias diri dan menjaga wajah serta tubuh
agar selalu kelihatan bersih menarik. Bahkan pada suatu hari Im Giok melihat
Pek Hoa mengeluarkan sebutir telur yang kemudian dipecahkan dan dicampur dengan
semacam obat, lalu diminumnya!
“Ehh, Enci
Pek Hoa. Biasanya kita makan telur setelah dimasak terlebih dahulu, mengapa kau
minum telur mentah?”
“Kau tahu
apa, Im Giok? Telur yang tadi kuminum dapat membuat aku selama hidup tidak akan
menjadi tua!”
Im Giok yang
baru berusia sepuluh tahun itu menggerak-gerakkan alisnya seperti cara Pek Hoa
menggerakkan alisnya, gerakan yang amat genit meski pun harus diakui amat
menarik hati pula. Memang, ada banyak gerak-gerik genit dari Pek Hoa, seperti
caranya menggerakkan bibir pada waktu bicara dan cara senyumnya yang semuanya
amat manis dan menarik, telah menurun kepada Im Giok!
“Enci Pek
Hoa, aku selalu percaya kepadamu, akan tetapi sekali ini agaknya aku sukar
untuk percaya. Bagaimana telur dapat membikin orang menjadi muda selamanya?”
Pek Hoa
tersenyum dan kembali Im Giok melihat betapa manisnya senyum ini. Kembali
diam-diam dia harus mengakui bahwa gurunya ini adalah seorang wanita yang
cantik dan muda.
“Im Giok,
yang biasa kita makan itu bukan telur seperti ini. Telur ini bukan sembarang
telur, dan amat sukar didapatkan. Ini adalah telur burung rajawali putih yang
hanya dapat ditemukan di daerah yang sangat sukar di utara. Yang kuminum tadi
telur terakhir, maka kau akan kuajak ke sana untuk mencari telur ini.”
“Akan tetapi
apa buktinya bahwa telur itu betul-betul dapat membuat orang selamanya menjadi
tetap muda?”
“Kau lihat
aku? Coba katakan, Im Giok, apakah aku tidak cantik?”
“Kau cantik
sekali, Enci Pek Hoa.”
Pek Hoa
tersenyum puas. “Kelak kau lebih cantik dari pada aku, Im Giok. Kau bilang aku
cantik dan berapa kau kira usiaku?”
“Kalau
kubandingkan dengan wanita-wanita lain yang pernah kita jumpai, paling banyak
kau tentu berusia dua puluh tahun.”
Kembali
senyum manis membayang bibir Pek Hoa yang merah tanpa gincu itu.
“Dua puluh
tahun? Anak baik, usiaku sudah dua kali itu, lebih lagi...”
“Empat puluh
tahun?” Im Giok berseru tidak percaya.
Pek Hoa
mengangguk. “Inilah bukti khasiat telur pek-tiauw (burung rajawali putih).”
Im Giok
menjadi girang sekali. “Marilah kita mencari telur seperti itu, Enci. Aku pun
ingin muda selalu dan cantik seperti engkau.”
Demikianlah,
sifat-sifat Pek Hoa banyak yang menurun kepada anak itu, dan memang benar
seperti yang dikatakan oleh Pek Hoa, anak itu makin lama semakin cantik dan
agaknya ia tidak akan kalah oleh Pek Hoa dalam kecantikan.
Im Giok juga
amat suka mempercantik diri dengan pakaian indah. Pek Hoa yang sayang kepadanya
sering kali datang membawa pakaian-pakaian indah dan mahal, terbuat dari sutera
halus. Dan yang selalu dipilih oleh Im Giok adalah pakaian berwarna merah.
“Bagus, kau
mempunyai kesukaan yang sama dengan aku pada waktu masih remaja, Im Giok. Aku
pun suka akan warna merah. Warna merah membuat hati gembira dan dapat
membesarkan nyali. Juga kau amat pantas memakai pakaian merah, cocok betul
dengan kulitmu yang putih halus itu.”
Selain
mewarisi beberapa sifat dan watak Pek Hoa, juga selama empat tahun ini, Im Giok
sudah menerima pelajaran dasar-dasar ilmu silat tinggi. Bakatnya memang sangat
luar biasa, apa lagi memang Pek Hoa mengajarnya dengan sungguh hati. Dalam
waktu empat tahun saja, Im Giok sudah menjadi seorang anak yang lihai permainan
pedangnya, malah kalau ia melihat Pek Hoa berlatih ilmu silat Bi-jin Khai-i, ia
menonton dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh.
“Enci Pek
Hoa, ilmu silat yang kau mainkan itu seperti tarian yang indah sekali. Aku
ingin mempelajari ilmu silat itu Enci.”
Pek Hoa
tiba-tiba menghentikan permainan silatnya, kemudian memandang dengan mata
bersinar-sinar dan wajah berseri.
“Hushh, kau
anak kecil bagaimana bisa mempelajari ilmu silat ini? Ilmu silat ini hanya
boleh dimainkan oleh seorang dara yang sudah dewasa.”
Im Giok
merasa aneh dan kecewa. Setiap kali gurunya bersilat, ia memperhatikan secara
diam-diam sehingga tanpa setahu Pek Hoa ia dapat memetik beberapa jurus dari
ilmu silat ini, di bagian yang indah gerakannya. Im Giok tentu saja memandang
ilmu silat ini dari segi keindahan dan dia ingin memetiknya untuk memperindah
gaya dan gerakan ilmu silat yang dilatihnya. Memang nona cilik ini sangat suka
akan tari-tarian dan akan segala yang indah-indah.
PADA suatu
hari, Pek Hoa mengajak muridnya turun dari puncak tempat persembunyian itu.
Kali ini, tidak seperti biasanya kalau mengajak muridnya turun gunung
bertamasya ke dusun-dusun, Pek Hoa membawa buntalan pakaian dan menyuruh
muridnya membawa semua pakaiannya pula.
“Enci Pek
Hoa, kita akan pergi ke mana?” tanya Im Giok yang seperti semua anak-anak, amat
girang diajak bepergian.
“Kita turun
gunung dan pergi jauh, tidak kembali ke sini lagi.”
Hampir saja
Im Giok bersorak kegirangan. Sudah empat tahun lebih ia tahan-tahan saja,
menindas hatinya yang rindu kepada ibu dan rumahnya. Akan tetapi, sesudah
mendapat latihan dari Pek Hoa, bocah ini pandai sekali menyembunyikan
perasaannya. Karena itu, betapa pun girang hatinya, pada wajahnya yang manis
sekali itu sama sekali tak terlihat perubahan.
“Apakah Enci
akan membawaku ke Sian-koan? Ataukah kita hendak mencari Ayah?”
Dua macam
pertanyaan ini sudah meliputi seluruh isi hati Im Giok. Dengan pertanyaan
pertama ia menyatakan keinginan hatinya untuk bertemu dengan ibunya, karena
ibunya tinggal di Sian-koan. Ada pun tentang ayahnya, ia sudah mendengar dari
Pek Hoa bahwa ayahnya telah pergi meninggalkan ibunya.
Ayahnya yang
bernama Kiang Liat dan berjuluk Jeng-jiu-sian adalah seorang gagah di dunia
kang-ouw yang suka merantau. Dia mendengar pula penuturan Pek Hoa bahwa ayahnya
sengaja pergi meninggalkan ibunya setelah ayahnya membunuh bekas kekasih
ibunya!
“Sebelum
menikah dengan ayahmu, ibumu dahulu sudah mempunyai seorang kekasih. Kekasihnya
itu seorang sastrawan lemah, tentu saja ayahmu lebih tampan, lebih gagah dan
lebih menyenangkan. Setelah bertemu dengan ayahmu, ibumu melepaskan kekasih
lama. Akan tetapi setelah kau terlahir, kembali ibumu teringat akan kekasihnya
dan hal ini membuat ayahmu marah dan cemburu. Maka dibunuhnya sastrawan kekasih
ibumu itu dan ayahmu lalu pergi meninggalkan ibumu.” Demikian Pek Hoa
mengarang.
Hati Im Giok
tergores luka. Ia merasa kasihan kepada ayahnya dan sebaliknya mencela sikap
ibunya, sungguh pun tak mungkin ia dapat membenci ibunya.
“Akan tetapi
sekarang kabarnya ayahmu telah menjadi gila.”
Kata-kata
ini membuat hati Im Giok merasa amat terharu sehingga pernah ia mengajukan
permohonan kepada gurunya untuk pergi mencari ayahnya. Akan tetapi Pek Hoa
selalu menjawab bahwa belum tiba waktunya bagi mereka untuk meninggalkan puncak
gunung. Sekarang, begitu gurunya mengajak turun gunung, otomatis Im Giok
mengajak gurunya mencari ibu atau ayahnya.
“Tidak, Im
Giok. Kita tidak pergi ke Sian-koan, juga tidak mencari ayahmu. Aku sedang
mempunyai urusan yang lebih penting lagi. Aku harus pergi ke Kun-lun-san,
kemudian ke kuil Siauw-lim-si untuk membalas sakit hati. Kau harus ikut!”
Tentu saja
Im Giok tidak berani membantah.
“Ingatlah,
Im Giok. Aku telah dihina dan dibikin sakit hati oleh beberapa orang kang-ouw
yang selain sudah membunuh ketiga orang guruku, juga telah mendatangkan malu
besar kepadaku. Kau ingatlah baik-baik nama musuh-musuh besarku itu. Akan
tetapi, karena mereka itu lihai sekali, biarlah yang lain-lain aku yang akan
mencari dan membalasnya. Hanya terhadap satu orang, aku mengharapkan kau
sebagai muridku kelak akan dapat membalaskan sakit hatiku. Orang itu adalah Bu
Pun Su.”
“Bu Pun
Su...?” baru kali ini Im Giok mendengar nama pendekar sakti yang namanya
sederhana sekali itu.
“Im Giok,
jangan kau pandang rendah orang ini. Memang betul namanya hanya Bu Pun Su
(Tiada Kepandaian), akan tetapi justru dialah orang yang paling lihai di antara
semua musuhku. Aku sendiri tidak berdaya terhadap dia, dan kau orangnya yang
kuharapkan kelak akan dapat membalasnya.”
Demikianlah,
sambil menuturkan pengalamannya dahulu, Pek Hoa melakukan perjalanan bersama
muridnya yang kini sudah cukup pandai sehingga dapat mempergunakan ilmu berlari
cepat, menuruni puncak bukit di mana mereka bersembunyi sambil berlatih silat
selama empat tahun lebih.
Sesudah
merasa yakin akan kelihaian ilmu silat baru yang dilatihnya, Pek Hoa berbesar
hati dan berani muncul lagi. Yang ia takuti hanya dua orang, yakni pertama Bun
Sui Ceng dan kedua Bu Pun Su. Dia gentar menghadapi Bun Sui Ceng karena musuh
besar ini adalah seorang wanita sedangkan ilmu silat Bi-jin Khai-i yang baru
dia latih sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap lawan wanita.
Ada pun rasa
gentarnya terhadap Bu Pun Su adalah karena ia maklum bahwa tingkat kepandaian
pendekar sakti ini sudah amat tinggi, jauh lebih tinggi dari tingkat kepandaian
mendiang ketiga orang suhu-nya sendiri! Karena itu, ia masih merasa ragu-ragu
apakah ilmu silatnya yang baru itu akan dapat mengalahkan Bu Pun Su.
***************
Tidak ada
orang yang berjumpa dengan mereka, terutama sekali kaum pria, yang tidak
memandang dengan penuh kekaguman pada pemandangan yang tak setiap saat mudah
dilihat.
Seorang dara
berbaju biru putih, cantik jelita dan nampaknya takkan lebih dari dua puluh
tahun usianya. Rambutnya hitam panjang, digelung bagai model gelung dewi
kahyangan, di sebelah kiri dihias setangkai bunga putih yang harum, yakni bunga
Cilan, pada sebelah kanan terhias burung hong dari emas dan permata.
Sepasang
anting-anting panjang bermata merah tergantung di bawah telinga, bergoyang dan
bergerak membelai pipi menambah kemanisan. Pakaian dan sepatunya baru serta
terbuat dari bahan mahal. Gagang sepasang pedang yang menempel pada punggung,
dengan ronce-ronce pedang warna merah berkibar di atas pundak, membuat Si
Cantik itu nampak gagah sekali. Sepasang pedang ini pula yang membuat tiap
orang laki-laki hanya dapat memandang kagum, tidak berani bersikap kurang ajar.
Yang ke dua
masih belum dewasa, baru berusia sepuluh atau sebelas tahun, akan tetapi sudah
kelihatan luar biasa cantiknya. Dilihat sepintas lalu, wajahnya hampir sama
dengan wajah dara yang dewasa itu, patut kiranya menjadi adiknya.
Akan tetapi
kalau diperhatikan betul-betul nampak benar perbedaan yang jauh, terutama
sekali pada sinar mata dan tekukan bibir. Juga gadis cilik ini sangat menarik
hati setiap orang. Tidak saja manis dan jelita, juga amat gagah.
Pakaiannya
serba merah, terbuat dari sutera indah pula. Rambutnya dikuncir dan dihias
dengan pita merah pula. Juga pada punggung bocah perempuan ini kelihatan gagang
sebatang pedang pendek dan langkah kakinya yang tegap serta lincah itu mendatangkan
kesan bahwa dia memiliki ilmu silat tinggi seperti kawannya.
Pek Hoa dan
Im Giok, dua orang wanita itu, di sepanjang jalan bergembira mengagumi
pemandangan di kota-kota, terutama sekali Im Giok. Mereka tidak pedulikan
pandangan mata kagum dari para laki-laki yang mereka jumpai di tengah
perjalanan. Bagi Im Giok, semua pandang mata itu tidak ada artinya.
Akan tetapi
tidak demikian dengan Pek Hoa. Sudah empat tahun lebih dia tidak pernah
menghadapi pandang mata kagum dari para pria maka sekarang ia merasa gembira
dan bangga bukan main. Nyata bahwa empat lima tahun tak mengurangi
kecantikannya, tidak merubah usianya!
Ini semua
berkat telur pek-tiauw yang benar-benar memiliki khasiat untuk membuat orang
menjadi awet muda. Yang menyebalkan hati Pek Hoa adalah kenyataan bahwa tidak
ada laki-laki yang cukup tampan dan gagah di antara mereka yang ia jumpai. Maka
ia pun bersikap seperti Im Giok, tidak peduli sama sekali akan pandang mata
orang-orang itu, melainkan tersenyum makin manis dan bangga.
Akan tetapi,
setelah kembali terjun ke dunia ramai, timbul pula penyakit lama dalam diri Pek
Hoa. Hati dan tangannya gatal-gatal kalau tidak melakukan perbuatan seperti
yang dulu sering dilakukannya.
Mulailah Im
Giok terkejut sekali ketika menyaksikan perbuatan gurunya. Sering kali pada
waktu malam Im Giok diajak mendatangi rumah orang kaya di mana Pek Hoa
mengambil barang berharga dan emas sekehendak hati sendiri. Bahkan di depan
mata Im Giok, saat tuan rumah bangun dari tidur dan melihat pencurian yang
dilakukan, Pek Hoa membunuh tuan rumah itu bagaikan orang membunuh semut saja!
“Enci Pek
Hoa, mengapa setelah mengambil barangnya, kau masih membunuh orangnya yang
tidak mempunyai dosa apa-apa?” Im Giok memprotes.
“Im Giok,
kenapa kau ribut-ribut urusan mati hidupnya seorang manusia macam dia? Dia
telah memergoki kita, ini artinya dia harus mampus. Orang macam dia, mati atau
hidup apa sih artinya? Kita boleh berbuat sesuka kita, itulah hukum kang-ouw,
siapa kuat dia yang menang!”
Jawaban ini
meragukan hati Im Giok. Biar pun semenjak berusia enam tahun ia telah ikut Pek
Hoa dan selalu melihat contoh-contoh buruk, namun Im Giok adalah keturunan
orang baik-baik. Ibunya seorang wanita bijaksana, ayahnya pun seorang laki-laki
gagah perkasa maka sedikitnya ia pun mempunyai watak yang baik dan gagah.
Menghadapi
perbuatan yang keterlaluan dari Pek Hoa, hatinya memberontak. Apa lagi ketika
dia melihat beberapa kali Pek Hoa tidak bermalam di kamar hotel dan diam-diam
pergi meninggalkannya sampai semalaman suntuk dan keesokan harinya pagi-pagi
baru datang dengan senyum-senyum aneh, ia menjadi makin curiga.
Namun ia
tidak dapat menentang wanita yang menjadi pendidiknya ini. Betapa pun juga, ia
harus mengakui bahwa Pek Hoa telah bersikap amat baik terhadapnya, amat baik
dan penuh kasih sayang.
Beberapa
pekan kemudian, Pek Hoa mengajak Im Giok masuk ke dalam pekarangan sebuah
gedung besar di tengah kota Cin-an. Im Giok merasa heran karena biasanya apa
bila Pek Hoa memasuki gedung besar, waktunya tengah malam dan jalan masuknya
pun melalui genteng!
“Enci Pek
Hoa, rumah siapakah ini?”
“Rumah seorang
gagah bernama Kam Kin berjuluk Giam-ong-to (Si Golok Maut). Nanti kau harus
sebut Susiok (Paman Guru) kepadanya.”
Kedatangan
mereka segera disambut oleh tuan rumah, yaitu seorang laki-laki berusia tiga
puluh lebih, tubuhnya tinggi besar, wajahnya tampan dan sikapnya cukup gagah.
Hanya sayangnya, pandang matanya kejam dan senyum bibirnya membayangkan watak
mata keranjang dan curang.
“Aduuh,
pantas saja aku bermimpi kejatuhan bulan!” laki-laki itu berseru sambil tertawa
lebar dan kedua lengannya dibentangkan ketika ia menyambut Pek Hoa, seolah-olah
siap hendak memeluknya. “Tidak tahunya benar saja dewiku yang jelita datang
berkunjung...”
Kata-katanya
berhenti ketika Pek Hoa mengerutkan alisnya dan memberi isyarat dengan matanya
ke arah Im Giok, mencegah laki-laki itu bicara secara demikian bebas di depan
Im Giok. Kam Kin, laki-laki itu, tertawa menyeringai dan ketika ia menengok ke
arah Im Giok, sinar kagum terbayang dalam pandang matanya.
“Aha Pek
Hoa-suci, muridmu ini benar-benar hebat dan manis sekali! Kalau kau seperti
bunga cilan putih yang sudah mekar semerbak harum, muridmu ini adalah tunas
cilan yang merah. Ha-ha-ha!”
Sekali pandang
saja, Im Giok merasa benci kepada laki-laki yang menyambut mereka ini. Sungguh
pun dia dapat menekan perasaannya, namun tetap saja wajahnya kehilangan
serinya.
“Im Giok,
beri hormat kepada Kam-susiok,” kata Pek Hoa.
Terpaksa Im
Giok menjura untuk memberi hormat tanpa memandang wajah orang.
“Teecu Kiang
Im Giok memberi hormat kepada Kam-susiok,” dia berkata sederhana lalu berdiri
lagi di samping gurunya.
“Ha-ha-ha,
bagus sekali. Orangnya manis, namanya indah dan suaranya merdu seperti gurunya.”
Kam Kin
bertepuk tangan tiga kali dan dari dalam muncullah tiga orang wanita muda yang
cantik-cantik. Mereka ini adalah pelayan-pelayan dari hartawan ini, akan tetapi
pakaian mereka sesungguhnya sangat tidak patut bagi para pelayan, lebih pantas
kalau mereka ini disebut selir-selir dari Kam Kin.
“Siapkan
kamar yang bersih kemudian layani Nona Kiang Im Giok ini baik-baik,” katanya
kepada mereka.
Sambil
tertawa-tawa tiga orang perempuan muda itu lalu menggandeng tangan Im Giok dan
ditariknya nona cilik ini ke dalam gedung. Tadinya Im Giok hendak menolak, akan
tetapi Pek Hoa berkata, “Kau pergilah beristirahat, Im Giok. Tak usah
sungkan-sungkan, kita berada di rumah sendiri. Besok pagi-pagi kita bertemu
kembali di ruangan depan ini. Aku ada perundingan penting dengan susiok-mu.”
Terpaksa Im
Giok ikut dengan tiga orang pelayan itu dan di belakangnya ia mendengar suara
ketawa-ketawa dari Pek Hoa dan Kam Kin, kemudian lapat-lapat ia mendengar lagi
sebutan-sebutan mesra dari mulut Kam Kin kepada gurunya.
Di dalam
kamarnya Im Giok hampir menangis. Ia kecewa sekali. Kini makin terbukalah
matanya dan walau pun dia belum berani menuduh gurunya sebagai seorang penjahat
wanita cabul, akan tetapi kepercayaannya mulai berkurang dan hatinya mulai
ragu-ragu. Ia tidak ragu lagi bahwa tuan rumah yang bernama Giam-ong-to Kam Kin
ini bukanlah orang baik-baik.
Bagaimanakah
gurunya bisa bergaul dengannya? Ia tidak dapat tidur sama sekali. Bocah yang
baru berusia sepuluh tahun lebih ini mulai merasa sengsara dan gelisah. Ia amat
merindukan ibunya, bahkan ia mencoba untuk mengingat-ingat bagaimana bentuk
wajah ayahnya. Ketika ayahnya pergi meninggalkan ibunya, ia baru berusia dua
tahun dan tak dapat mengingat lagi bagaimana bentuk wajah ayahnya.
Ia mulai
rindu kepada ibunya, kepada ayahnya, kepada kebebasan! Meski pun Pek Hoa sangat
baik terhadapnya, namun ia tidak merasa bebas. Ia harus tunduk dan taat, harus
menelan apa saja yang disuguhkan padanya. Semua perbuatan gurunya yang
sebetulnya ia anggap sangat tidak patut dan tidak menyenangkan hatinya, mau
tidak mau harus ia terima dan ia anggap baik, atau setidaknya, ia tidak boleh
menyatakan pendapatnya.
Seperti
biasa, di mana saja Pek Hoa membawanya, ia tidak pernah kekurangan makan. Di
rumah gedung dari orang she Kam ini pun dia dilayani dengan baik-baik, bahkan
dia disuguhi makanan-makanan lezat dan mewah. Akan tetapi, Im Giok tidak dapat
merasai kenikmatan makanan itu, bahkan ia menelan semua makanan dengan paksa
hanya untuk berlaku pantas karena ia sungkan menolak sambutan orang yang
demikian baik.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Im Giok telah siap untuk melanjutkan
perjalanan dengan gurunya. Alangkah girangnya ketika pagi itu Pek Hoa sudah
datang ke kamarnya dan berkata dengan wajah berseri,
“Im Giok,
marilah kita berangkat! Kau akan melihat betapa aku memberi hajaran kepada
seorang di antara musuh-musuh besarku.”
“Yang mana,
Enci?” Im Giok bertanya, ikut merasa gembira karena hendak menyaksikan
pertempuran.
“Hwesio-hwesio
dari Siauw-lim-si, Kok Beng Hosiang dan dua orang hwesio muridnya. Kebetulan
sekali dia dan muridnya berada di sebuah kelenteng tak jauh dari kota ini.”
Akan tetapi,
kegembiraan Im Giok segera lenyap ketika ia melihat Giam-ong-to Kam Kin sudah
menunggu di pekarangan rumah dengan tiga ekor kuda. Jelas bahwa laki-laki ini
hendak ikut pergi pula!
Pek Hoa
bermata tajam dan ia dapat melihat kerutan alis muridnya, karena itu ia cepat
berkata,
“Susiok-mu
akan ikut membantuku, Im Giok, kau naiki kuda yang putih itu, kelihatannya ia
yang paling baik.” Kata-kata terakhir ini diucapkan oleh Pek Hoa untuk
menyenangkan hati muridnya.
“Jangan yang
itu. Kuda itu masih setengah liar. Lebih baik Im Giok naik yang ini!” Kam Kin
cepat berkata sambil menuntun seekor kuda bulu hitam dan didekatkan kepada Im
Giok.
Im Giok
tidak biasa menunggang kuda. Akan tetapi sebagai murid seorang pandai yang
sudah memiliki kepandaian lumayan, ia tidak merasa takut dan dengan gerakan
ringan ia melompat ke atas punggung kuda hitam itu.
Mereka
segera berangkat. Kam Ki dan Pek Hoa menjalankan kuda berdampingan, ada pun Im
Giok menjalankan kuda di belakang mereka. Dengan perasaan sebal dan muak dia
melihat betapa sikap gurunya dan susiok-nya amat mesra. Di sepanjang jalan
kedua orang itu bersendau-gurau dengan sikap amat mesra. Makin besarlah
perasaan tak suka mendesak dalam hati Im Giok, rasa tidak suka terhadap orang
yang selama ini ia anggap sebagai gurunya.
Memang benar
apa yang dikatakan oleh Pek Hoa kepada Im Giok. Kok Beng Hosiang, tokoh ke tiga
dari Siauw-lim-pai, murid ke dua dari Hok Bin Taisu yang dahulu ikut pula
menyerbu Thian-te Sam-kauwcu bersama suheng-nya untuk mengambil kembali kitab
yang tercuri, pada waktu itu sedang keluar dari Siauw-lim-si dan saat ini
berada di sebuah kelenteng yang tidak jauh letaknya, menyebarkan Agama Budha di
belakang kelenteng lain. Dalam perjalanan ini dia dikawani oleh dua orang
muridnya. Hal ini diketahui oleh Kam Kin yang segera memberi tahu kepada Pek
Hoa dan siap pula membantunya.
Kam Kin yang
berjuluk Giam-ong-to adalah seorang bekas perampok tunggal yang kini sudah
mengundurkan diri setelah berhasil mengumpulkan banyak harta kekayaan. Ia kini
hidup sebagai seorang hartawan muda yang tidak beristeri, akan tetapi bukan
rahasia lagi bahwa ia mempunyai banyak selir dan dia pun terkenal sebagai
seorang hartawan mata keranjang yang tidak segan-segan mempergunakan harta mau
pun kepandaiannya untuk merampas anak bini orang lain. Kalau pun orang tidak
merasa takut terhadap pengaruh hartanya, tentu ia akan merasa gentar menghadapi
goloknya, karena Kam Kin memang termasuk seorang ahli silat kelas tinggi.
Biar pun Kam
Kin bukan murid Thian-te Sam-kauwcu, namun ia memang termasuk adik seperguruan
dari Pek Hoa, karena Pek Hoa pernah pula menjadi murid Ceng-jiu Tok-ong (Raja
Beracun Berlengan Seribu), seorang tokoh besar rimba persilatan di daerah
barat. Sedangkan raja beracun ini adalah guru dari Kam Kin pula. Hanya bedanya,
bila Kam Kin hanya menerima kepandaian silat dari Ceng-jiu Tok-ong, adalah Pek
Hoa melanjutkan pelajaran dan berguru kepada banyak tokoh lainnya sehingga
kepandaian Pek Hoa tentu saja lebih lihai dari pada kepandaian Kam Kin.
Semenjak
berusia belasan tahun, Pek Hoa memang sudah bejat moralnya. Ketika masih
berguru kepada Ceng-jiu Tok-ong, ia sudah jatuh hati kepada Kam Kin yang lebih
muda dan memang tampan. Kedua orang ini bagaikan sampah dengan keranjang, cocok
sekali dan sudah lama mempunyai perhubungan yang tidak bersih.
Lewat tengah
hari mereka sampai di depan kelenteng yang dimaksudkan. Dengan tenang Pek Hoa
melompat turun dari kudanya, diikuti oleh Kam Kin dan Im Giok, kemudian tiga
ekor kuda itu diikat pada pohon yang tumbuh di halaman kelenteng.
Sunyi saja
di kelenteng itu. Akan tetapi pada meja depan dipasangi lilin, tanda bahwa ada
penghuninya di dalam kelenteng.
“Kok Beng
Hosiang, keluarlah untuk menerima binasa!” Pek Hoa berseru keras.
Terdengar
suara orang dari dalam kelenteng, lantas muncullah dua orang hwesio muda.
Mereka merangkap kedua tangan di depan dan sebagai tanda penghormatan, lalu
salah seorang di antara mereka bertanya,
“Sam-wi dari
mana dan ada keperluan apa mencari Suhu yang sedang bersembahyang?”
“Kalian ini
dua orang keledai gundul murid Kok Beng Hosiang? Bagus, berangkatlah dulu ke
neraka untuk menyiapkan tempat bagi gurumu!” kata Kam Kin yang sudah mencabut
goloknya sambil bergerak maju menyerang secara hebat sekali.
Im Giok
terkejut bukan main, juga merasa penasaran dan ngeri, maka ia cepat melompat
mundur dan berdiri di tempat jauh sambil menonton. Hatinya berdebar tidak
karuan, dan kembali rasa tidak suka menyerang batinnya, kini bahkan demikian
hebat sehingga mulai timbul benci di dalam hatinya kepada Pek Hoa dan Kam Kin.
“Ehh, ehhh,
kau ini perampok atau orang gila?” hwesio muda itu berteriak marah sambil
mengejek.
Kemudian
secepat kilat kedua orang hwesio itu menyerang, yang pertama menendang ke arah
sambungan lutut, yang kedua menghantam ke arah lambung. Mereka adalah anak
murid Siauw-lim-pai yang sudah diperkenankan ikut guru mereka merantau, ini
menjadi bukti bahwa kepandaian mereka bukan rendah, karena itu tentu saja
mereka tidak mudah dirobohkan oleh serangan golok Kam Kin bahkan dapat pula
membalas dengan serangan yang cukup berbahaya.
Sekali
pandang saja Pek Hoa cukup maklum bahwa dia tidak perlu membantu sute-nya.
Tingkat kepandaian sute-nya masih lebih tinggi dari kedua orang hwesio muda
ini. Maka sekali menggerakkan tubuh, ia telah melompat di dekat Im Giok dan
menonton jalannya pertempuran.
Im Giok
mendongkol bukan main. Dia anggap Pek Hoa dan Kam Kin keterlaluan sekali,
datang-datang menyerang dua orang pendeta yang tidak terang apa kesalahannya.
Akan tetapi tentu saja untuk membantu dua orang hwesio itu atau mencela Kam Kin
ia tidak berani kepada gurunya. Untuk melampiaskan rasa kedongkolannya, dia
sengaja berkata kepada gurunya,
“Enci Pek
Hoa, tak tahunya julukan Susiok Giam-ong-to kosong belaka. Menghadapi dua orang
hwesio bertangan kosong saja ia tidak mampu menjatuhkan!”
Mendengar
ini, Pek Hoa menjadi merah mukanya. Kata-kata itu biar pun ditujukan untuk
mengejek Kam Kin akan tetapi seperti juga menampar mukanya sendiri karena Kam
Kin adalah sute-nya.
Dia
memandang lagi ke arah pertempuran dan harus dia akui bahwa kiranya sute-nya
itu masih agak lama untuk dapat mengalahkan dua orang lawannya. Maka dengan
gemas sekali dia melompat mendekati tempat pertempuran, lalu mengayun tangan
kiri sambil berseru,
“Sute, lekas
robohkan mereka. Untuk apa main-main dengan dua ekor keledai macam ini?”
Gerakan
tangan kiri Pek Hoa tadi bukanlah gerakan sembarangan, melainkan gerakan
melepaskan Pek-hoa-ciam yang lihai. Segera kedua orang hwesio muda itu
terhuyung-huyung dan dua kali golok besar di tangan Kam Kin berkelebat,
muncratlah darah dan robohlah dua orang hwesio itu dengan leher terbacok dan
nyawa melayang.
“Omitohud...!
Siluman wanita Pek Hoa, kau benar-benar keji sekali dan tidak kenal tobat.
Datang-datang kau telah membunuh murid-murid pinceng, benar-benar siluman
jahat.”
Kata-kata
ini disusul dengan keluarnya seorang hwesio gemuk yang memegang senjata rantai
panjang. Dulu dalam pertempuran di lembah Sungai Yalu Cangpo, hwesio ini telah
merasakan kelihaian Pek-in-ong, seorang di antara guru-guru Pek Hoa. Maka kali
ini ia berlaku hati-hati menghadapi Pek Hoa, maklum bahwa wanita siluman ini
lihai sekali, apa lagi senjata rahasianya.
Melihat
musuhnya sudah berdiri di depannya, tanpa banyak cakap lagi Pek Hoa segera
mencabut siang-kiamnya lantas melakukan serangan secepat kilat. Kok Beng
Hosiang, hwesio gemuk itu, cepat pula menggerakkan senjata rantainya menangkis.
Terdengarlah suara nyaring dan bunga api berpijar ketika pedang bertemu dengan
rantai. Kemudian terjadilah pertandingan ilmu silat tinggi yang seru.
Im Giok
tidak senang sekali melihat Kam Kin tadi membunuh dua orang hwesio muda, kini
dia lebih gelisah melihat hwesio tua gemuk bertempur melawan gurunya. Kalau
saja para pendeta itu bertempur dengan lain orang, bukan dengan gurunya,
kiranya Im Giok akan turun tangan membantu pendeta-pendeta itu.
Biar pun
baru empat lima tahun ia berlatih silat, namun berkat latihan sungguh-sungguh
dan ilmu silat tinggi yang diturunkan oleh Pek Hoa, kepandaian Im Giok sudah
lumayan dan nyalinya besar sekali. Kini melihat Kok Beng Hosiang bertempur
melawan gurunya. Im Giok dapat menduga bahwa hwesio itu tidak akan menang.
Pertandingan
itu cukup hebat. Sebagai tokoh ke tiga dari Siauw-lim-pai, kepandaian Kok Beng
Hosiang tinggi sekali. Tenaga lweekang-nya sebenarnya masih mengatasi tenaga
Pek Hoa, dan ilmu silatnya amat kokoh kuat serta tangguh dalam pertahanan.
Namun ia
harus mengaku kalah gesit dan kalah cepat oleh nona itu. Gerakan Pek Hoa cepat
sekali, menyambar-nyambar bagaikan seekor burung garuda sehingga Kong Beng
Hosiang nampak terdesak.
Betapa pun
juga, jago Siauw-lim-si ini sanggup mempertahankan diri sampai lima puluh jurus
lebih sebelum pundaknya terserempet ujung pedang kanan Pek Hoa. Gerakan yang
tadi dilakukan oleh Pek Hoa dalam penyerangan yang berhasil itu memang hebat
sekali, mengandalkan ginkang yang sudah tinggi.
Sebuah
serangan Kok Beng Hosiang dengan rantainya yang menyambar pinggang, bisa dia
elakkan dengan lompatan indah dan cepat bagaikan burung tebang, kemudian selagi
tubuhnya masih berada di udara, nona ini membalikkan tubuh dan sepasang
pedangnya menyerang bertubi-tubi dari atas.
Kok Beng
Hosiang sudah berusaha menangkis, namun dia kalah cepat sehingga pedang kanan
Pek Hoa yang menyambar leher masih saja bisa menyerempet pundaknya. Darah
membasahi jubah pendetanya.
Kok Beng
Hosiang terhuyung ke belakang.
Sambil
tertawa nyaring dan mengejek, Pek Hoa mendesak terus, siap memberi
tusukan-tusukan terakhir. Tiba-tiba berkelebat bayangan dan…
“Traang!”
pedang Pek Hoa yang sudah menyambar ke arah ulu hati Kok Beng Hosiang bertemu
dengan sebatang pedang lain.
“Im
Giok...!” Pek Hoa berseru marah sekali pada waktu melihat bahwa yang menangkis
pedangnya adalah muridnya sendiri.
Melihat
gurunya mendesak dan hendak membunuh hwesio tua gemuk, bocah ini tak bisa
menahan perasaannya lagi, mencabut pedang pendek dan menangkis pedang Pek Hoa!
“Enci, untuk
apa membunuh seorang pendeta yang suci? Dia sudah kalah terluka, tidak perlu
didesak terus, Enci.”
“Bocah, kau
lancang sekali!” Kam Kin melompat dan sekali bergerak dia telah merampas pedang
Im Giok dan menyambar tubuh bocah itu, dipeluk pinggangnya terus dikempit.
Im Giok yang
tidak menduga sebelumnya tidak berdaya dan terpaksa ia hanya membikin tubuhnya
kaku dalam kempitan susiok-nya yang tertawa-tawa menyebalkan.
Sementara
itu, Pek Hoa terus mendesak Kok Beng Hosiang dengan kedua pedangnya. Kok Beng
Hosiang melawan terus, namun dalam beberapa gebrakan saja, kembali ujung pedang
Pek Hoa telah melukai lengannya.
“Hwesio
keparat, mampuslah kau!” Pek Hoa menggerakkan sepasang pedangnya secara
istimewa, menyerang dari kanan kiri dengan gerak tipu Kim-peng Tian-ci (Garuda
Emas Mementang Sayap).
Kok Beng
Hosiang yang sudah terluka mana dapat menjaga serangan yang datang dari kanan
kiri dengan hebat ini? Ia tahu bahwa kali ini ia takkan dapat menghindarkan
maut lagi, maka ia hanya menarik napas panjang.
“Pek Hoa
Pouwsat, kau benar-benar keterlaluan sekali!” terdengar suara bentakan halus.
Pek Hoa
mengeluarkan jerit kecil ketika pedangnya tiba-tiba saja terbentur oleh sesuatu
sehingga terpental. Ia cepat melompat ke belakang dan ketika ia memandang,
ternyata yang menangkis pedangnya tadi adalah sebatang ranting yang dipegang
oleh seorang pengemis yang amat dikenalnya, yakni Han Le! Orang sakti itu
tersenyum.
Han Le
adalah seorang yang berwajah tampan dan menarik. Walau pun kini rambut dan
jenggotnya tidak terpelihara, apa lagi pakaiannya seperti seorang jembel, namun
setelah berhadapan muda dan memandang penuh perhatian, ternyatalah oleh Pek Hoa
Pouwsat bahwa kulit muka itu bersih dan terawat baik-baik, merupakan wajah
seorang jantan yang menggerakkan hati wanitanya!
Han Le dan
Bu Pun Su merupakan dua orang yang paling berbahaya di antara semua musuhnya. Kini
melihat Han Le sedang berdiri di hadapannya dengan ranting di tangan, bibir
tersenyum dan wajah tenang, dua macam pikiran terlintas masuk kepala Pek Hoa
Pouwsat.
Pertama
bahwa Han Le seorang laki-laki yang sudah masak dan menarik hatinya. Kedua bahwa
akan menguntungkan sekali baginya kalau ia dapat memikat hati musuh besar ini,
selain ia dapat memuaskan hatinya, juga ia mendapat jalan untuk membalas
dendam!
Dengan
senyum yang manis sekali, Pek Hoa Pouwsat menghadapi Han Le, memainkan matanya
yang sinarnya dapat membetot hati setiap pria, baru ia berkata,
“Ehh,
kiranya Han Le Taihiap yang muncul. Kebetulan sekali, siauwmoi sudah lama
sekali ingin mengunjungimu dan melihat-lihat keadaan Pulau Pek-le-to!”
Kulit muka
di balik cambang itu memerah dan Han Le menekan perasaan hatinya yang berdebar
aneh ketika ia melihat sikap Pek Hoa Pouwsat dan mendengar wanita cantik itu
menyebut diri sendiri ‘siauwmoi’ (adinda)! Semenjak pertama kali bertemu dengan
Pek Hoa Pouwsat, memang diam-diam di dalam hatinya Han Le kagum sekali dan
merasa menyesal serta sayang mengapa seorang wanita demikian manis jelita telah
tersesat dan menyeleweng jalan hidupnya.
Han Le
adalah seorang yang tidak mudah tertarik oleh kecantikan wanita, bahkan sejak
muda ia terkenal sebagai seorang pria pembenci wanita. Akan tetapi, kali ini
menghadapi Pek Hoa Pouwsat yang segalanya serba cocok dengan seleranya, dan
sangat menarik hatinya, Han Le harus mengerahkan segenap tenaga batinnya untuk
menekan perasaan yang tergoncang.
Akan tetapi
dengan pandang mata kereng Han Le menegurnya,
“Pek Hoa
Pouwsat, mengapa kau melukai dan hendak membunuh hwesio Siauw-lim-si ini?”
Pek Hoa
mengerling ke arah Kok Beng Hosiang yang masih sibuk mengobati lukanya, lalu
tersenyum dan dengan tubuh digerak-gerakkan secara genit dan kepala
dimiringkan, ia berkata kepada Han Le,
“Dia adalah
musuh besarku, mengapa tidak harus kubunuh? Akan tetapi karena Han Le Taihiap
datang dan melihat muka Taihiap, biarlah kali ini siauwmoi mengampuni kepala
gundul ini. Kok Beng Hosiang, kau tidak lekas pergi dari sini? Apa menanti
sampai aku bergerak lagi? Hayo pergi lekas!”
Kok Beng
Hosiang sudah merasa bahwa ia takkan bisa menang menghadapi Pek Hoa Pouwsat.
Biar pun kini ia melihat kedatangan Han Le, akan tetapi ia sudah dibikin malu
dan tidak ada muka untuk berdiam terus di tempat itu.
“Kau telah
menghina Siauw-lim-si, nantikan pembalasan kami!” katanya geram.
Hwesio ini
segera pergi dengan langkah lebar. Akan tetapi dia tidak pergi jauh karena dia
mengambil jalan memutar dan dengan sembunyi dia mengintai, ingin menyaksikan
bagai mana Han Le memberi hajaran kepada Pek Hoa Pouwsat dan kawan-kawannya.
Kok Beng
Hosiang diam-diam merasa sakit hati dan mendongkol sekali, maka ingin dia melihat
wanita yang membikin malu padanya itu mendapatkan hajaran keras. Namun apa yang
dilihat oleh hwesio Siauw-lim-si ini membuat sepasang matanya terbelalak lebar
dan mukanya merah seperti kepiting direbus. Kepalanya yang gundul licin
berdenyut-denyut.
Setelah Kok
Beng Hosiang pergi, Pek Hoa segera mendekati Han Le dengan lenggang
dibuat-buat, amat menarik hati karena memang wanita ini mempunyai bentuk tubuh
yang indah menarik.
“Taihiap,
seperti kukatakan tadi, sudah lama aku mendengar bahwa Pulau Pek-le-to yang
menjadi tempat tinggalmu itu mengandung banyak rahasia, dan juga sangat indah
seperti sorga. Bolehkah aku mengunjungimu? Bawalah aku ke sana, Taihiap.”
Han Le
mengerutkan keningnya. “Pek Hoa Pouwsat, permainan apakah yang sedang kau
keluarkan ini? Kau adalah murid Thian-te Sam-kauwcu, sedangkan kau tahu bahwa
aku dan suheng-ku, juga kawan-kawan lain telah...”
Pek Hoa
mengangkat kedua lengannya, digoyang-goyang seperti orang mencegah. Dari dalam
lengan bajunya keluar keharuman bunga cilan!
“Han-taihiap,
harap kau jangan menyebut-nyebut lagi soal itu. Yang sudah lewat, biarlah
sudah. Terhadap seorang gagah seperti Taihiap, bagaimana siauwmoi berani
menaruh dendam hati? Yang ada dalam hati siauwmoi bukanlah dendam dan marah,
melainkan... kekaguman dan ingin sekali mempererat persahabatan...” Suaranya
terdengar demikian merdu dan penuh gaya sehingga wajah Han Le sebentar merah
sebentar pucat.
“Jembel
busuk, lekas pergi dari sini!” Tiba-tiba Giam-ong-to Kam Kin yang semenjak tadi
mendengarkan percakapan itu, serta melihat sikap genit suci-nya dengan hati
sebal dan cemburu, lalu menggerakkan sepasang goloknya menyerang Han Le!
“Sute...
jangan...!” Pek Hoa membentak Kam Kin, akan tetapi terlambat karena sepasang
golok itu dengan ganasnya telah menyambar tubuh Han Le.
Bentakan ini
sebenarnya bukan dikeluarkan karena Pek Hoa khawatir akan keselamatan Han Le,
bahkan sebaliknya dia sangat khawatir akan keselamatan sute-nya. Ia maklum
bahwa ilmu kepandaian Han Le jauh lebih tinggi dari pada ilmu kepandaian Kam
Kin.
Memang betul
apa yang dikhawatirkan oleh Pek Hoa Pouwsat itu, karena tidak saja Han Le mampu
menghindarkan diri dari serangan sepasang golok Kam Kin, bahkan secara cepat
dan tak terduga, rantingnya telah menotok pundak lawannya tanpa dapat dielakkan
oleh Kam Kin. Giam-ong-to Kam Kin menjerit dan roboh berkelojotan.
Pek Hoa
menghampiri dan sekali menepuk punggung dan leher sute-nya, Si Golok Maut itu
terbebas dari rasa sakit yang luar biasa! Ia bangkit berdiri dan menyeringai,
mukanya merah sekali. Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, dia mengambil sepasang
golok yang tadi terlempar di atas tanah ketika ia roboh, memasukkan sepasang
golok itu ke dalam sarung golok, lalu ia melompat ke pinggir, ke dekat Im Giok
yang memandang semua itu dengan kagum.
“Kam-susiok,
kenapa baru sejurus kau mundur lagi?” tanya Im Giok kepada Giam-ong-to dengan
nada suara mengejek.
Anak ini
memang tidak suka kepada Kam Kin, maka kini ia mendapat kesempatan untuk
mengejek. Kam Kin memandang kepada bocah itu dengan mata mendelik lebar. Im
Giok menahan geli hatinya lalu menengok dan menonton apa yang akan terjadi
antara gurunya dan pengemis sakti itu.
“Han-taihiap,
kau makin gagah saja, benar-benar siauwmoi kagum dan tunduk. Siauwmoi ulangi
lagi keinginan hati siauwmoi untuk pergi berkunjung ke pulaumu, di mana kita
bisa saling menukar ilmu dan bercakap-cakap gembira tanpa gangguan orang lain.”
“Pek Hoa
Pouwsat, kau bicara apa? Kau dan sute-mu sudah berlaku kejam, membunuh dua
orang hwesio Siauw-lim-si dan menghina seorang tokoh Siauw-lim. Untuk perbuatan
jahat ini mana bisa aku mendiamkannya saja?”
Sambil
berkata demikian, Han Le sudah menggerakkan ranting di tangannya, mengirim
serangan langsung ke arah leher Pek Hoa Pouwsat. Biar pun ia harus mengaku
bahwa hatinya amat tertarik dan kejantanannya bangkit oleh kecantikan serta
kelembutan yang demikian memikat hati, namun kesadaran Han Le masih penuh
sehingga ia mengeraskan hati dengan anggapan bahwa wanita cantik menarik yang
dihadapinya adalah seorang jahat dan keji dan sebagai seorang pendekar ia harus
membasminya.
Pek Hoa
Pouwsat mencelat ke belakang, tersenyum manis dan berkata menyindir, “Ayaa,
Han-taihiap, galak sekali. Baiklah, mari kita main-main sebentar!”
Sambil
berkata demikian, Pek Hoa Pouwsat cepat mencabut siang-kiamnya kemudian
menghadapi Han Le dengan sikap gagah menarik.
“Awas
serangan!” Han Le memusatkan semangatnya dan mulai melakukan penyerangan
sungguh-sungguh.
Ia maklum
bahwa lawannya bukan seorang lemah, karena dahulu ia pernah menghadapi Pek Hoa
Pouwsat dan tahu akan kelihaiannya. Akan tetapi, beberapa hari saja berkumpul
dengan suheng-nya Bu Pun Su, Han Le telah memperoleh kemajuan yang amat banyak.
Sehari saja
berkumpul dengan Bu Pun Su dan mendengar nasehat serta penjelasannya mengenai
hal ilmu silat, sama halnya dengan berlatih satu tahun di bawah pimpinan guru
pandai. Oleh karena itu, pertemuan akhir-akhir ini dengah Bu Pun Su membuat Han
Le memperoleh kemajuan banyak dalam ilmu silat, dan Bu Pun Su telah membuka
matanya untuk melihat kelemahan-kelemahan dan kekeliruan-kekeliruan sendiri.
Berdasarkan
nasehat dari Bu Pun Su dia maklum bahwa orang seperti Pek Hoa Pouwsat
mengandalkan kelihaiannya dengan kecepatan, kelincahan, serta siang-kiam-hoat
yang tak terduga gerakannya, mengandalkan ginkang yang amat tinggi. Untuk
melawan orang seperti ini dia harus berlaku tenang, tidak boleh mencoba untuk
mengimbangi kecepatan lawan, sebaliknya berlaku tenang dan mengandalkan
lweekang membentuk pertahanan yang kuat dan melindungi tubuh dengan hawa
pukulan dari rantingnya.
Maka, pada
saat Han Le mendapat kesempatan bercakap-cakap dengan suheng-nya, ia minta
petunjuk untuk menyempurnakan ilmu pedangnya di bagian gerakan Jit-in To-goat
(Tujuh Awan Membungkus Bulan), salah satu gerakan ilmu pedangnya yang merupakan
benteng pertahanan kuat sekali.
Han Le
melakukan gerakan ini dengan tenang dan nampaknya ia tidak banyak bergerak.
Kedua kakinya hanya dipentang sedikit, hampir sama dengan kuda-kuda yang
disebut Kung-si dengan tubuh agak dibungkukkan seperti dalam kuda-kuda
Ci-kung-si.
Biar pun
kedudukan tubuhnya sederhana saja, akan tetapi kedudukan ini memungkinkan dia
untuk menggerakkan rantingnya ke mana saja sepasang pedang Pek Hoa meluncur.
Tanpa banyak mengeluarkan tenaga, Han Le dapat menangkis semua serangan pedang
Pek Hoa yang susul-menyusul ramai seperti sepasang ular berlomba.
“Han-taihiap,
kau betul-betul mengagumkan sekali. Sekarang lihatlah ilmu pedangku yang baru,
kau lihat bagus atau tidak!”
Perubahan
hebat terjadi pada gerakan pedang Pek Hoa Pouwsat. Walau pun sepasang pedang
itu masih saja melakukan serangan-serangan berbahaya sesuai dengan ilmu silat
tinggi, akan tetapi gerakan-gerakannya demikian indah dan menarik, tak ubahnya
seperti sedang menari saja.
“Indah
sekali...!” berkali-kali Im Giok mengeluarkan seruan memuji.
Gadis cilik
ini tadinya bersikap dingin dan kaku karena Kam Kin berada di dekatnya. Akan
tetapi sekarang melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh gurunya, ia lupa sama
sekali akan adanya Kam Kin di situ. Sepasang matanya bercahaya, wajahnya
berseri dan tanpa berkedip ia menonton ilmu pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa
Pouwsat. Im Giok memang mempunyai darah seni, suka sekali akan keindahan, maka
tarian pedang itu benar-benar mempesonakannya.
“Aaiih,
memalukan sekali...,” kata Kam Kin dan cemburunya makin menghebat.
Biar pun ia
tidak terkena pengaruh langsung dari ilmu pedang yang dimainkan oleh Pek Hoa
Pouwsat, namun keindahan gerakan pedang, kelemasan gerakan tubuh Pek Hoa, tetap
saja terasa olehnya sebagai gerakan-gerakan yang memikat hati, gerakan yang tak
sopan. Pinggang Pek Hoa seakan-akan tidak bertulang, menggeliat-geliat bagaikan
ular, menggerak-gerakkan tubuh bagian bawah, bibir tersenyum manis dan merah
membasah, sepasang mata setengah redup dan berkaca-kaca, semua ini ditujukan
kepada Han Le.
Pengemis
sakti itu masih menggerakkan rantingnya melindungi tubuh dari serangan dua
batang pedang yang lihai itu. Namun ketika Pek Hoa Pouwsat merubah ilmu
pedangnya dan mulai dengan ilmu pedang yang laksana tarian indah itu, hati Han
Le terguncang hebat.
Ia sama
sekali tidak tahu bahwa lawannya sedang memainkan ilmu pedang Bi-jin Khai-i,
ilmu silat yang sebenarnya merupakan setengah ilmu sihir sebab di dalamnya
terkandung pengaruh mukjijat dari kecantikan wanita untuk merobohkan hati
laki-laki. Inilah ilmu silat aneh yang selama ini dilatih secara mendalam oleh
Pek Hoa Pouwsat, disediakan untuk merobohkan musuh-musuh besarnya yang tangguh
dan sekarang untuk pertama kalinya, dia pergunakan dalam menghadapi Han Le!
Ilmu silat
Bi-jin Khai-i ini memang hebat. Andai kata dimainkan oleh seorang perempuan
yang berwajah buruk dan tubuhnya tidak menarik sekali pun, tetap akan
mengeluarkan pengaruh yang bisa merobohkan hati laki-laki. Apa lagi sekarang
dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat yang cantik jelita dan memiliki bentuk tubuh
sepenuhnya wanita, tentu saja daya rangsangnya berlipat ganda.
Dalam
belasan jurus saja, Han Le mulai terkena pengaruhnya. Dalam penglihatan Han Le,
sepasang pedang itu tidak lagi mengancamnya, hanya merupakan tari pedang yang
luar biasa indah. Tubuh yang berlenggak-lenggok dan menggeliat-geliat itu
seakan-akan melambai dan mengajaknya bergembira dan menari.
Lebih hebat
lagi, semakin lama gerakan Pek Hoa dalam mata Han Le semakin luar biasa
sehingga nampak olehnya bahwa lawannya yang cantik itu benar-benar bagaikan
sedang menanggalkan pakaian sedikit demi sedikit! Walau pun tidak sehelai pun
pakaian tanggal dari tubuhnya, namun gerakannya menanggalkan pakaian demikian
sewajarnya sehingga sebentar saja Han Le jatuh dalam pengaruh Pek Hoa.
Pendekar
sakti yang selama hidup belum pernah berdekatan dengan wanita ini sekarang
seluruh tubuhnya menjadi lemas, semangatnya seakan-akan telah terbang
meninggalkan tubuhnya dan pertahanannya menjadi gempur karena caranya bersilat
telah kacau sekali! Demikianlah lihainya ilmu silat Bi-jin Khai-i yang
dimainkan oleh Pek Hoa Pouwsat.
Kalau
sekiranya Pek Hoa menghendaki, sekarang dengan lemahnya pertahanan Han Le,
dengan mudah dia akan dapat merobohkan dan menewaskan pengemis sakti itu. Akan
tetapi Pek Hoa berpikir lain!
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment