Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dara Baju Merah
Jilid 07
WANITA ini
memang sudah mendengar tentang keadaan Han Le sebagai seorang laki-laki yang
selamanya tidak pernah mau berdekatan dengan wanita, terkenal sebagai seorang
laki-laki pembenci wanita, hidup seorang diri di Pulau Pek-le-to dan menjadi
sute dari Bu Pun Su. Ini saja sudah menarik hatinya.
Apa lagi
ketika dia mendapat kenyataan bahwa Han Le pada dasarnya mempunyai wajah yang
tampan dan gagah. Maka timbullah hati suka dan ia ingin menjadikan pria
pembenci wanita ini sebagai kekasihnya. Tidak saja demikian, bahkan juga ia
mempunyai niat untuk mempelajari ilmu silat yang lihai dari Han Le. Disamping
semua ini, ia pun ingin menarik Han Le ke pihaknya untuk membantunya
menghancurkan musuh-musuhnya, kemudian setelah semua usahanya berhasil dan ia
sudah merasa bosan, mudah saja baginya untuk melenyapkan Han Le dari muka bumi
ini.
Pek Hoa
memperhebat gerakan-gerakannya yang penuh gairah dan pengaruh ajaib. Han Le
menjadi makin mabuk sehingga akhirnya dengan napas memburu pengemis sakti ini
mengeluh,
“Pek Hoa
Pouwsat... hentikanlah... aku tidak kuat lagi...”
Pek Hoa
tersenyum lebar, gembira dan puas bukan main. Kalau ia mau, dengan sekali tusuk
saja akan tembus dada Han Le. Dengan ilmu silatnya yang baru ini, ia akan dapat
menjagoi dunia kang-ouw!
Tentu saja
ilmu baru ini tidak begitu besar pengaruhnya terhadap lawan wanita, namun untuk
menghadapi lawan wanita, ia cukup memiliki ilmu silat tinggi. Biar Bu Pun Su
sekali pun ia tidak takut menghadapinya!
“Han-taihiap,
tidak indahkah tarianku ini...?” tanya Pek Hoa dengan suara berlagu.
“Indah,
indah sekali, Pek Hoa Pouwsat. Bukan main indahnya,” Han Le menjawab sambil
berusaha menggerakkan. ranting sebab sepasang pedang itu masih saja menyambar
dan mengancam, biar pun digerakkan dengan cara yang amat manis dan sedap
dipandang.
“Sukakah kau
melihat aku memainkannya?”
“Suka, Pek
Hoa Pouwsat, aku suka sekali...”
“Han-taihiap,”
suara Pek Hoa Pouwsat semakin merdu merayu sambil dia memperhebat
gerakan-gerakan tubuhnya secara tidak tahu malu. “Sukakah kau kepadaku...?”
Agak lama
Han Le tak dapat menjawab, akan tetapi kedua matanya tak pernah berkedip
menelan semua gerakan tubuh lawannya dan dia laksana terkena hikmat, terpesona
oleh keindahan dan kecantikan yang telah mencengkeram seluruh semangat dan
perasaan jiwanya. Kini dia sudah tidak menggerakkan rantingnya lagi, berdiri
bagaikan patung dan tidak ingat lagi bahwa ia tengah menghadapi lawan, tengah
bertempur.
“Aku suka
sekali kepadamu, Pek Hoa...,” akhirnya dia menjawab dengan suara perlahan, seperti
bukan suaranya sendiri.
Terdengar
suara ketawa Pek Hoa Pouwsat, suara ketawa yang terdengar nyaring serta merdu,
penuh kegenitan, akan tetapi bagi orang yang pikirannya sadar, suara ketawa ini
mengandung sesuatu yang mengerikan. Namun bagi Han Le terdengar merdu menarik.
Pada lain
saat Pek Hoa Pouwsat telah menyimpan sepasang pedangnya, melompat maju dan
menggandeng lengan kanan Han Le dengan gaya yang manja dan genit,
tersenyum-senyum dan melirik-lirik ke arah wajah pengemis sakti itu,
membetotnya dan berkata,
“Kalau
begitu, Han-taihiap, marilah kita pergi ke pulaumu!”
Han Le yang
sudah berada di dalam cengkeraman pengaruh jahat, sudah seperti orang mabuk
atau orang bermimpi, hanya menurut saja pada saat dia ditarik-tarik oleh Pek
Hoa Pouwsat. Pek Hoa berpaling kepada Kam Kin yang memandang semua itu dengan
mata melotot marah.
Ia penuh
dengan hati cemburu, akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan? Ia tak berdaya
di depan suci-nya atau kekasihnya yang memang lebih lihai dari padanya.
“Sute, kau
pulanglah dulu, aku titip murid keponakanmu Im Giok, biar menanti kembaliku di
rumahmu.”
Kemudian
dengan suara ketawa seperti siluman, Pek Hoa Pouwsat yang menggandeng lengan
Han Le menarik bekas lawannya itu. Han Le tidak membantah dan keduanya lalu
berlari cepat sambil bergandengan.
***************
“Tidak! Aku
tidak mau ikut, jangan sentuh aku!” Dengan gerakan lincah Im Giok melompat dan
mengelak menjauhi Giam-ong-to Kam Kin yang hendak menggandeng tangannya.
Kam Kin
menyeringai dan memandang kepada Im Giok bagai seekor kucing memandang tikus.
Tadinya dia marah dan jengkel sekali melihat sikap Pek Hoa yang pergi bersama
Han Le. Laki-laki mana yang tak akan menjadi gemas menyaksikan kekasihnya main
gila dengan lelaki lain?
Akan tetapi
setelah ia memandang Im Giok, kegemasannya lenyap, bahkan terganti oleh
kegembiraan. Meski pun Im Giok baru berusia sepuluh tahun lebih, namun gadis
cilik ini sudah mempunyai kecantikan luar biasa. Dia hampir menyerupai Pek Hoa
dan pantaslah kalau ia disebut Pek Hoa kecil atau seorang adik dari Pek Hoa
Pouwsat.
Dalam
pandang mata Kam Kin, Im Giok merupakan seorang calon bidadari, atau seperti
sebuah kuncup kembang yang tak kalah menariknya oleh kecantikan Pek Hoa
Pouwsat. Dan bocah mungil ini dititipkan kepadanya! Dengan girang ia lalu
mendekati Im Giok dan hendak menggandeng. Akan tetapi siapa kira, bocah itu
menolak dan menjauhinya.
“Im Giok,
kau jangan banyak tingkah. Gurumu telah menyerahkan kau dalam rawatanku. Hayo
ke sini dan ikut aku pulang!” berkata Kam Kin sambil melangkah lebar
menghampiri gadis cilik itu.
“Aku tidak
mau! Kau pergilah sendiri, aku tidak mau ikut denganmu.” Im Giok membandel.
“Ehh, ehhh,
bocah bandel. Kalau kau tidak makin manis ketika membandel, tentu sudah
kutempeleng kepalamu. Hayo ke sini, berani kau membantah susiok-mu?” Kini Kam
Kin melompat dan tangannya diulur untuk menangkap pergelangan tangan Im Giok.
“Tidak, aku
tidak mempunyai susiok seperti kau. Aku tidak mau ikut!” Im Giok mengelak,
kemudian melihat Kam Kin berusaha menangkapnya, ia segera melarikan diri.
“Kurang
ajar! Sekecil ini sudah berani kurang ajar dan keras kepala. Benar-benar calon
kuda betina liar! Kuncup mawar berduri! Ke sini kau, Im Giok!” Kam Kin
mengejar.
Akan tetapi
Im Giok mempercepat larinya. Dasar bocah ini memang lincah dan tubuhnya ringan,
apa lagi ditambah oleh latihan ginkang yang ia terima dari Pek Hoa Pouwsat.
Kini perasaan wanitanya memperingatkan bahwa dia sedang menghadapi bahaya besar
yang mengancam sehingga membuat ia ketakutan, maka larinya cepat seperti rusa
muda.
“Im Giok,
berhenti kau...!” Kam Kin mulai marah dan mengejar secepatnya.
Betapa pun
juga, dia seorang laki-laki dewasa dan ilmu silatnya sudah tinggi, maka tentu
saja ia dapat mengejar dan menyusul Im Giok. Hanya kelincahan anak itu yang
membuat ia mengkal sekali. Setiap kali dia telah mendekat dan hendak menangkap,
tiba-tiba anak itu miringkan tubuh dan mengganti arah sehingga Kam Kin terpaksa
harus membalikkan tubuh dan kembali telah tertinggal agak jauh.
Namun Im
Giok maklum pula bahwa ia takkan dapat menghindarkan diri lebih lama. Kam Kin
telah memiliki ilmu lari cepat yang tak dapat dilawannya. Ia berlari terus dan
akhirnya Im Giok memasuki sebuah hutan.
Di sini ia
justru lebih leluasa mempermainkan Kam Kin sebab hutan ini banyak pohonnya.
Dengan cara melompat ke sana ke mari dari balik pohon yang ini ke pohon itu dia
dapat terus menghindarkan diri.
“Manusia tak
tahu malu!” makinya berkali-kali. “Mengapa kau tidak mau membiarkan aku pergi?
Kau mau apakah? Cih, tak tahu malu. Namanya saja besar, Giam-ong-to, hemm, tak
tahunya seorang laki-laki tiada guna, pengecut dan pengganggu anak kecil!”
Kam Kin
makin marah. “Siluman cilik, kau tunggu saja dan rasakan nanti kalau kau sudah
tertangkap olehku!”
Dengan
sangat bernafsu ia menubruk lagi, akan tetapi kemball ia memeluk batang pohon
karena Im Giok sudah melompat ke tempat persembunyian lain dengan cekatan
seperti seekor kera.
“Awas kau,
setan cilik, kulumat dagingmu, kugerogoti tulang-tulangmu...!” Kam Kin
memaki-maki gemas.
Akan tetapi
ia menjadi girang sekali pada saat melihat bahwa Im Giok makin mendekati
lapangan terbuka yang tak ada pohonnya. Ada pun Im Giok saking sibuk dan
gugupnya, tidak tahu bahwa di belakangnya adalah lapangan terbuka, tempat yang
tidak ada pohon dan berarti ia tak akan dapat menyembunyikan diri seperti kalau
berada di hutan yang lebat.
Kam Kin
memaki-maki, mengancam-ancam dan mengejar terus. Dan akhirnya, Im Giok memekik
kaget ketika dia melompat dari pohon terakhir. Dia tiba di padang rumput yang
tiada berpohon.
“Ha-ha-ha,
kupu-kupu cantik, kau hendak lari ke manakah? Lebih baik kau berlaku manis dan
menurut saja pergi dengan susiok-mu. Jika kau menurut dan tak banyak membantah,
aku takkan bersikap kasar kepadamu, Im Giok yang jelita,” kata Kam Kin sambil
tertawa lebar.
Im Giok
melompat dan melarikan diri lagi. Saking gugupnya kakinya terjerat rumput dan
ia pun roboh terguling. Di belakangnya ia mendengar suara Kam Kin tertawa
bergelak.
Dalam
terguling itu, kedua tangan Im Giok menyambar batu dan kayu kering. Kemudian
dia melompat berdiri, tangan kirinya digerakkan dan batu tadi melayang ke arah
kepala Kam Kin yang hendak menubruknya.
“Eh, kau
berani melawanku!” bentak Kam Kin yang mudah saja mengelak dari sambaran batu.
Kemudian ia melangkah maju, tangan kanan digerakkan untuk menangkap.
“Jangan
sentuh aku!” Im Giok berteriak keras dan ranting kering yang tadi diambilnya
dari atas tanah ketika ia jatuh, cepat ditusukkan ke arah pusar susiok-nya.
Kam Kin
terkejut, cepat mengelak. Meski pun yang menyerangnya hanya seorang gadis cilik
yang berumur sepuluh tahun, akan tetapi serangan itu dilakukan menurut ilmu
silat tinggi, dan sungguh pun masih kecil, tenaga Im Giok bukanlah tenaga
biasa, akan tetapi tenaga yang sudah terlatih. Apa lagi kalau dilihat bagian
yang diserang pun bukan bagian tubuh yang kuat.
Setelah
mengelak Kam Kin lalu menubruk lagi, akan tetapi sia-sia. Im Giok yang sudah
berlatih selama empat tahun tidak membuang waktu sia-sia. Ia telah memiliki
dasar ilmu silat tinggi dan telah memiliki gerakan yang otomatis dan lincah
sekali.
Tubrukan Kam
Kin dapat ia hindarkan dengan lompatan ke kiri dan sebagai pembalasan,
rantingnya kini meluncur cepat menusuk ke arah mata paman gurunya. Tusukan ke
arah mata ini hanya pancingan belaka karena sebelum lawan mengelak, ujung
ranting itu telah meluncur ke arah jalan darah di leher! Inilah serangan hebat
dan luar biasa bagi seorang anak kecil itu.
“Kurang
ajar!” Kam Kin membentak marah dan juga kaget karena kalau tangannya tidak
cepat-cepat menyampok, hampir saja jalan darah pada lehernya terkena totokan
ujung ranting, dan hal ini bukan merupakan hal yang tidak berbahaya baginya.
Saking
marahnya, Kam Kin segera mengeluarkan kepandaiannya. Sepasang tangannya ditekuk
merupakan kuku harimau, kemudian ia mengeluarkan ilmu silat Hauw-jiauw-kang.
Beberapa kali saja ia bergerak, ranting di tangan Im Giok telah kena disambar
dan dibetot terlepas dari pegangan Im Giok. Kemudian ia menubruk lagi.
Im Giok
mencoba untuk mengelak.
“Breettt!”
Pakaian Im
Giok bagian pundak kiri robek hingga nampak kulit pundak yang putih bersih dan
halus. Melihat ini, Kam Kin semakin menggila dan sambil tertawa-tawa dia
menubruk lagi.
Im Giok
menjadi bingung. Hanya dengan menjatuhkan diri kemudian bergulingan ia dapat
menghindarkan tubrukan Kam Kin. Kemudian dia melompat lagi dan berlari
secepatnya.
Diam-diam
dia mengeluh karena sekarang habislah dayanya untuk menyelamatkan diri. Akan
tetapi ia pun mengambil keputusan nekat untuk melawan mati-matian, kalau perlu
ia akan melawan dengan dua pasang kaki tangan dan juga giginya.
Sesudah
mendengar derap kaki pengejarnya sudah berada dekat sekali di belakangnya
sampai-sampai dia mendengar dengus napas Kam Kin, Im Giok memasang kuda-kuda
dan membalikkan tubuh, langsung menyerang dengan menonjokkan kedua tangannya ke
depan.
“Ha-ha-ha,
kau kuda betina liar...!” Kam Kin tertawa sambil menggerakkan tangan kiri.
Di lain
saat, tangan kirinya itu telah memegang erat-erat sepasang pergelangan tangan
Im Giok, membuat gadis cilik itu tak dapat berkutik. Namun Im Giok sudah nekat.
“Lepaskan
tanganku!” bentaknya dan kakinya menendang ke arah bawah pusar.
Biar pun
kakinya kecil, namun sekiranya tendangan ini mengenai sasaran, biar pun Kam Kin
berkepandaian tinggi, kiranya Kam Kin akan roboh binasa atau setidaknya
pingsan!
Kam Kin
cepat menangkap kaki kecil ini dengan tangan kanannya dan di lain saat tubuh Im
Giok sudah diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil tertawa
terbahak-bahak.
“Ha-ha-ha,
burung cilik, coba kulihat kau mau berbuat apa lagi sekarang, ha-ha-ha!”
Tiba-tiba
Kam Kin merasa tubuh Im Giok meronta keras atau seperti juga direnggut orang
dari tangannya. Dia tidak tahu betul apa yang telah terjadi, akan tetapi
tahu-tahu kedua tangannya sudah kosong dan Im Giok sudah lenyap. Ketika dia
membalikkan tubuh, dia melihat bocah itu telah berdiri di atas tanah dan di
sebelahnya berdiri seorang kakek yang bermata bintang!
Sepasang
mata kakek ini demikian tajam berpengaruh sehingga Kam Kin merasa gentar juga,
maklum bahwa ia menghadapi seorang berkepandaian tinggi. Akan tetapi, karena ia
tidak mengenal siapa adanya kakek ini, Kam Kin memberanikan hatinya dan
membentak keras,
“Anjing tua,
siapakah kau berani bermain gila di depan Giam-ong-to Kam Kin?”
“Kakek,
jangan takut. Nama Giam-ong-to hanya untuk menakut-nakuti belaka, sebetulnya
dia seorang pengecut besar!” Im Giok berkata dan nona cilik ini kembali dengan
nekat maju menyerang Kam Kin dengan pukulan ke arah lambung.
Dengan mudah
Kam Kin menangkis, kini karena dia merasa gemas, tangkisannya keras hingga
membuat tubuh Im Giok terhuyung lalu roboh tertelungkup di atas rumput. Namun
gadis cilik itu tidak menjadi kapok atau takut, bahkan dengan marah dia bangkit
kembali dan menyerang susiok-nya lagi.
“Bocah edan,
apakah kau ingin aku marah dan memukul mampus padamu?” bentak Kam Kin dan kali
ini ia kembali dapat menangkap tangan Im Giok.
“Boleh pukul
mampus, siapa takut?” bentak Im Giok yang meronta-ronta.
“Lepaskan
dia!” tiba-tiba kakek itu membentak keras.
Dan aneh
sekali. Walau pun Kam Kin tidak melihat kakek itu bergerak, namun ia merasa
tangannya yang memegang lengan Im Giok menjadi lemas sehingga gadis cilik itu
dapat merenggut diri dan terlepas.
Kam Kin
memandang kepada kakek itu dengan mata merah.
“Bangsat
tua, kau berani mencampuri urusanku?”
Sepasang
tangannya bergerak dan tahu-tahu golok besarnya telah berada di tangan dan di
lain saat ia telah mengirim serangan hebat ke arah kakek itu. Golok itu
dibacokkan ke arah kepala untuk kemudian disusul dengan babatan ke leher.
Memang permainan golok dari Kam Kin sangat ganas dan kuat, dan tidak terlalu
dilebihkan apa bila dia mempunyai julukan Golok Maut.
Akan tetapi,
alangkah terkejut hatinya ketika tiba-tiba kakek itu dengan tenang dan cepat
menggerakkan tangan kiri, lalu menyentil golok itu dengan jari tangannya.
“Cringg…!”
Terdengar
suara yang nyaring dan golok itu menjadi somplak! Sentilan kedua menyusul dan
kini golok itu terlempar jauh. Kam Kin tak kuasa menahan karena seakan-akan
golok itu direnggut oleh tangan yang bertenaga raksasa.
“Ini untuk
kekurang ajaranmu padaku, dan yang ini untuk kekejamanmu terhadap seorang gadis
cilik!” kakek itu berkata sambil menggerakkan jari tangannya menyentil.
Kam Kin
menjerit kesakitan sambil memegangi kedua telinganya yang daunnya sebelah bawah
hancur terkena sentilan jari tangan kakek yang lihai itu. Walau pun luka itu
tidak berbahaya sama sekali, akan tetapi sakitnya cukup membuat Kam Kin
mengaduh-aduh. Darah mengalir di sepanjang lehernya kanan kiri.
“Setan tua,
harap suka memperkenalkan nama. Kelak Giam-ong-to Kam Kin pasti akan membalas
penghinaan ini!” Kata Kam Kin sambil menggigit bibir menahan rasa nyeri.
Kakek itu
tersenyum duka, mengeleng-geleng kepalanya lalu berkata perlahan, “Untuk dapat
mencapai tingkat kosong, kau harus belajar puluhan tahun lagi, dan bila kau
sudah mencapai tingkat itu, aku pun sudah mati. Akan tetapi kalau kau
menghendaki, biarlah kau tahu bahwa aku kakek tua bangka ini tidak punya nama
juga tidak punya kepandaian. Nah, kau pergilah!”
Mendadak
wajah Kam Kin menjadi pucat bukan main. Dia melangkah mundur tiga tindak
seakan-akan kata-kata itu merupakan pukulan yang menyambar mukanya.
“Bu Pun
Su...!” katanya setengah berbisik, kemudian dia segera lari lintang pukang
tanpa menghiraukan goloknya yang masih menggeletak di atas tanah.
Tiba-tiba Bu
Pun Su mengeluarkan suara terkejut dan terheran ketika anak perempuan yang baru
saja ditolongnya itu menyerangnya kalang-kabut. Im Giok menyerang dengan nekat,
sama nekatnya ketika ia tadi menyerang Kam Kin.
“Ehh, ehhh,
bukan laku seorang gagah kalau menyerang orang tanpa memberi tahukan
sebab-sebabnya. Bocah galak, kenapa kau menyerang aku?” Bu Pun Su bertanya
tanpa mempedulikan tangan Im Giok yang memukul tubuhnya.
“Karena kau
bernama Bu Pun Su dan menurut guruku, Bu Pun Su adalah seorang paling jahat di
dunia ini dan harus dibasmi,” Im Giok menjawab sambil melompat mundur karena
pukulannya yang mengenai tubuh kakek itu seolah-olah mengenai tumpukan kain
belaka, membuat hatinya terheran dan gentar.
Bu Pun Su
mengerutkan kening, lalu tertawa. “Gurumu memang betul, siapa sih nama gurumu
yang mulia.”
“Guruku
adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat,” jawab Im Giok bangga.
Dia memang
selalu merasa bangga mengaku Pek Hoa sebagai gurunya, bukan hanya bangga karena
ilmu kepandaian Pek Hoa yang tinggi, terutama sekali bangga karena Pek Hoa
dianggapnya wanita paling cantik di dunia ini dan amat mengagumkan hatinya.
Akan tetapi,
kalau biasanya setiap laki-laki mendengar nama Pek Hoa Pouwsat nampak kagum dan
gembira, tidaklah demikian dengan kakek ini. Sepasang matanya yang seperti
bintang itu lantas bercahaya dan menatap kepada Im Giok dengan tajam berapi
seakan hendak membakarnya.
“Dan kau she
Kiang?”
“Betul, aku
she Kiang bernama Im Giok,” kata gadis cilik itu kini tiba gilirannya terheran.
“Sungguh tak
baik! Kalau kau dipelihara dan diambil murid seekor serigala kiranya takkan
begitu buruk. Dan kau bahkan girang dan bangga menjadi muridnya. Benar-benar
tanda tak baik bagi keluarga Kiang. Ehh, bocah tolol, tidak tahukah kau bahwa
kau telah diculik oleh siluman betina yang ganas dan jahat?”
“Enci Pek
Hoa bukan siluman betina dan aku suka menjadi muridnya,” bantah Im Giok.
Wataknya
yang keras masih berkata demikian, biar pun di dalam hatinya dia sudah mulai
tidak suka kepada gurunya itu semenjak mereka turun gunung dan ia melihat
perbuatan-perbuatan yang ganjil dan memalukan dari gurunya.
“Bodoh,
tolol! Tak tahukah kau bahwa penculikan terhadapmu ini mengakibatkan matinya
ibumu dan gilanya ayahmu?” Bu Pun Su membentak.
Wajah Im
Giok seketika menjadi pucat. Sepasang mata yang lebar dan indah bentuknya itu
terpentang menatap wajah Bu Pun Su tanpa berkedip, kemudian perlahan-lahan mata
itu menjadi basah dan air mata mulai menitik turun.
“Ibu...
meninggal?”
Anak ini
telah lupa lagi bagaimana bentuk wajah ayahnya yang telah pergi meninggalkan
ibunya semenjak ia masih kecil sekali. Selama ia pergi ikut Pek Hoa, yang
terbayang di depan matanya hanya wajah ibunya dan ia memang merasa amat rindu
kepada ibunya.
Kini
mendengar bahwa ibunya telah meninggal, tentu saja hatinya terasa seperti
diiris-iris dan hanya kemauan dan perasaan yang keras saja yang dapat
menahannya sehingga ia tidak menjerit-jerit. Sebaliknya, ia hanya menggigit
bibirnya dan berusaha menahan pekik tangis sampai-sampai bibirnya terluka dan
berdarah!
Pandangan
mata Bu Pun Su menjadi berubah. Kini dia merasa kagum melihat bocah itu.
Tadinya ia mengira bahwa Im Giok tentu akan menangis menjerit-jerit mendengar
tentang ibunya meninggal dan ayahnya menjadi gila. Sebagian besar perempuan
cantik biasanya mengandalkan tangisnya.
Akan tetapi,
sungguh di luar dugaannya bahwa gadis cilik ini tidak menangis, bahkan dia
menunjukkan kekerasan hatinya dengan menggigit bibir sampai berdarah. Baru
berusia sepuluh tahun sudah memiliki kekerasan hati seperti itu, benar-benar
seorang anak yang berbakat untuk menjadi orang gagah, pikir Bu Pun Su senang.
Kakek ini
mendengar tentang nasib Kiang Liat, merasa kasihan sekali. Maka, kini melihat
puteri Kiang Liat ‘ada isinya’, ia ikut gembira.
“Kau tidak
ingin bertemu dengan ayahmu?”
Kesedihan
membuat Im Giok tak dapat berkata-kata sampai beberapa lama. Kemudian ia
mengeraskan hati menindas perasaannya, dan bertanya.
“Di mana
ayah? Mengapa ia menjadi gila dan mengapa ia dahulu meninggalkan ibu?”
Bu Pun Su
mengerti bahwa anak ini sudah terkena pengaruh Pek Hoa. Ini dapat dilihat
tanda-tandanya dari cara anak ini berpakaian, bersolek dan bergaya ketika
bicara, maka ia sengaja hendak menjauhkan hati anak ini dari Pek Hoa.
“Ibumu
meninggal adalah karena Pek Hoa telah menculikmu. Di depan ibumu, Pek Hoa
mengaku sebagai dewi dan dipercaya penuh oleh ibumu. Tidak tahunya, di balik
semua itu, Pek Hoa hendak membalas dendam pada ayahmu yang membencinya. Sengaja
Pek Hoa membawamu untuk membikin duka ibumu. Betul saja, ibumu menjadi sedih,
bingung dan akhirnya jatuh sakit lalu meninggal. Ayahmu lantas menjadi gila akibat
melihat ibumu meninggal.”
Im Giok
adalah seorang yang masih kecil, usianya baru sepuluh tahun lebih. Tentu saja
ia mudah dibakar hatinya. Mendengar kata-kata Bu Pun Su, mukanya yang tadi
pucat kini menjadi merah sekali.
“Kalau
begitu, Suci Pek Hoa yang membunuh ibuku dan merusak hidup ayahku!”
Diam-diam Bu
Pun Su menyesal karena ia telah melakukan suatu perbuatan yang buruk, yakni
menanam kebencian dalam hati seorang anak-anak. Akan tetapi semua ini adalah
demi kebaikannya sendiri, pikirnya. Apa bila anak ini tidak membenci Pek Hoa,
banyak bahayanya kelak ia akan meniru sepak terjang Pek Hoa yang dikaguminya.
“Kau boleh
anggap begitu. Akan tetapi ibumu sudah meninggal, tak perlu diributkan lagi.
Yang penting adalah ayahmu, sebab kalau tidak cepat-cepat kau hibur hatinya,
kiraku tak lama lagi ayahmu akan menyusul ibumu.”
Bercucuran
air mata dari sepasang mata gadis cilik itu ketika mendengar kata-kata ini.
Akan tetapi tetap saja ia tidak memperdengarkan isak tangis.
“Kakek yang
baik, harap kau suka membawaku kepada Ayah...”
Kata-katanya
terhenti dan pada lain saat Im Giok telah ‘terbang’. Pergelangan tangannya
dipegang oleh Bu Pun Su dan ketika kakek ini berlari, Im Giok merasa
seakan-akan dia telah terbang.
Kedua
kakinya tidak menginjak tanah, akan tetapi tubuhnya melayang demikian cepatnya
sehingga dia terpaksa harus menutup kedua matanya. Hanya telinganya saja yang
dapat mendengar suara angin menderu dan mukanya terasa dingin tertiup angin.
Diam-diam
bocah ini merasa kagum dan juga terkejut bukan main. Dia tadi memang telah
menyaksikan betapa lihainya kakek ini yang dengan mudah mengalahkan Kam Kin.
Akan tetapi karena memang ia memandang rendah kepada Kam Kin, kemenangan Bu Pun
Su tadi tidak dianggap istimewa. Gurunya sendiri pasti dengan mudah mengalahkan
Kam Kin.
Akan tetapi
berlari cepat seperti ini, benar-benar luar biasa sekali. Gurunya sendiri tidak
mungkin dapat menirunya.
***************
DI LUAR kota
tembok Liong-san-mui terdapat sebuah kelenteng tua yang sudah lama tidak pernah
mengebulkan asap hio, tanda bahwa kelenteng itu tidak dipakai orang lagi. Sudah
bertahun-tahun kelenteng itu tinggal kosong dan makin lama menjadi semakin
rusak tidak terpelihara. Penghuninya hanyalah laba-laba yang membuat sarang
pada setiap sudut, membuat kelenteng itu nampak menyeramkan sekali.
Tidak ada
orang yang berani masuk ke dalam. Bahkan para jembel yang tak mempunyai tempat
tinggal dan mempergunakan ruang depan kelenteng itu untuk tempat tidur atau
berteduh, tidak berani sembarangan masuk ke dalam kelenteng itu.
Akan tetapi
akhir-akhir ini, kurang lebih sudah seminggu, terjadi perubahan besar. Tidak
ada lagi jembel yang berani tinggal di situ dan keadaan kelenteng itu tidak
kosong lagi. Seorang laki-laki bertubuh gagah dan tampan, berpakaian bagai
seorang pendekar, telah menjadikan kelenteng itu sebagai tempat tinggalnya.
Orang ini
gerak-geriknya aneh sekali. Wajahnya selalu tampak muram dan berduka, akan
tetapi tidak jarang orang mendengar gema suara ketawanya memecah kesunyian
tengah malam. Sejak ia mengusir semua jembel dari ruang depan kelenteng,
kemudian memukul kocar-kacir belasan orang pengemis yang datang hendak merampas
kembali tempat itu, tidak ada lagi orang berani datang mengganggunya.
“Dia
pendekar yang aneh,” kata seorang yang mengerti ilmu silat, “gerakan-gerakannya
menunjukkan bahwa dia seorang ahli silat tinggi. Lihat saja cara ia ketika
menyarungkan pedangnya, tentu pedang pusaka.”
“Dia berotak
miring,” berbisik orang ke dua, “Pernah di tengah malam aku mendengar dia
tertawa bergelak seperti iblis, dan pernah aku mendengar dia menangis
tersedu-sedu dan akhirnya memaki-maki.”
“Dia orang
yang aneh, benar-benar pendekar aneh,” demikian akhirnya orang mengambil
kesimpulan.
Tadinya
penduduk Liong-san-mui mengatakan sebutan ‘pendekar aneh’ ini dengan nada
mengejek dan menertawakan. Akan tetapi tiga hari kemudian semenjak orang itu
berada di situ, sebutan ini berubah menjadi sebutan yang disertai rasa kagum,
segan, dan sangat menghormat. Tidak seorang pun berani lagi menganggapnya
‘berotak miring’ betapa pun aneh kelakuan orang ini.
Hal ini
terjadi setelah pendekar aneh yang dianggap gila ini pada suatu malam, seorang
diri dan bertangan kosong, telah merobohkan serombongan perampok yang
mengganggu kota Liong-san-mui, dan menyerahkan rombongan perampok terdiri dari
tujuh belas orang ini kepada yang berwajib!
Tikoan,
pembesar yang menerima tawanan perampok itu, menghaturkan ucapan terima kasih dan
menanyakan nama orang gagah itu. Akan tetapi, benar-benar orang aneh. Dia tidak
mengaku, bahkan nampak marah-marah ketika berkata,
“Kewajiban
Taijin hanya menerima dan menghukum orang-orang jahat itu, habis perkara. Perlu
apa tanya-tanya namaku? Aku tidak minta hadiah!”
Maka
pergilah dia meninggalkan Tikoan yang menjadi bengong, akan tetapi tidak berani
berbuat apa-apa terhadap orang-orang yang bersikap aneh dan kurang ajar itu.
Karena sikap yang kurang ajar inilah, maka selanjutnya para pembesar setempat
tidak mau dan sungkan menghubunginya. Akan tetapi betapa pun juga, penduduk
amat berterima kasih dan menganggapnya sebagai tuan penolong atau pendekar
budiman.
Siapakah
pendekar aneh itu? Untuk mengenalnya, mari kita melihat ke dalam kelenteng dan
mengikuti gerak-geriknya.
Di ruangan
yang paling dalam di kelenteng itu, ruangan yang gelap akan tetapi bersih dari
sarang laba-laba karena ruangan ini dijadikan kamar tidur dan telah
dibersihkan, nampak seorang laki-laki duduk bersila di atas lantai yang telah
disapu bersih.
Seperti
orang bersemedhi, laki-laki ini duduk bersila menghadapi meja sembahyang yang
sudah tua dan sudah amat lama tak pernah dipakai orang. Kalau orang melihatnya
dari belakang, tentu mengira bahwa ia sedang bersemedhi, tak bergerak seperti
patung.
Akan tetapi
kalau orang melihat dari depan dan berada dekat dengannya, akan kelihatan jelas
bahwa orang biar pun tubuhnya tidak bergerak, akan tetapi bibirnya
bergerak-gerak dan terdengar dia bercakap-cakap dengan suara perlahan. Dari
sepasang matanya yang dipejamkan itu bercucuran air mata. Kalau orang mendengar
dia seperti bercakap-cakap tanya jawab dengan seorang yang tidak kelihatan,
orang tentu akan menganggap ia gila.
“Bi Li, aku
memang berdosa besar kepadamu, isteriku... Kini aku mengaku, sebenarnya akulah
yang membunuhmu, akulah yang memaksamu meninggal dunia karena menyiksa hatimu.
Aku orang berdosa besar, Bi Li. Kau ampunkan suamimu yang hina dan bodoh ini,
isteriku…”
Mendengar
ucapan yang berupa bisikan ini, tahulah kita bahwa orang itu tidak lain adalah
Jeng-jiu-san Kiang Liat. Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, setelah
menerima pukulan yang hebat dari penuturan Ceng Si bekas pelayan isterinya
bahwa sebenarnya isterinya itu tak berdosa apa-apa, dan bahwa isterinya
meninggal dunia karena menyesal dan berduka ditinggal suaminya, Kiang Liat
seperti orang gila.
Hatinya
penuh penyesalan dan ia merantau ke sana ke mari. Hidupnya hanya bertujuan
satu, yakni mencari puterinya yang diculik oleh Pek Hoa Pouwsat. Apa bila
kiranya Bi Li tidak meninggalkan anak, tentu Kiang Liat sudah membunuh diri
untuk menyusul isterinya yang tercinta.
Dia tidak
peduli lagi keadaan tubuhnya yang menderita pukulan batin dan membuat dia
kadang-kadang muntah darah. Akan tetapi ia mulai mengumpulkan uang. Sesuai
dengan wataknya, ia selalu memberantas kejahatan. Setiap kali ia membasmi
penjahat, selalu ia merampas milik penjahat itu sehingga sebentar saja ia sudah
dapat mengumpulkan harta kekayaan yang besar juga, yang disembunyikan dalam
sebuah goa. Selama empat tahun lebih ia merantau, mencari-cari Pek Hoa. Akan
tetapi sia-sia belaka, tak seorang pun di dunia kang-ouw tahu ke mana siluman
itu menghilang.
Kiang Liat
mengumpulkan uang bukan sekali-kali dikarenakan dia ingin hidup
bersenang-senang, akan tetapi dia sengaja mengumpulkan harta untuk kelak
dipakai menyenangkan hidup Im Giok anaknya. Bahkan ia mulai pula mengganti
pakaiannya yang kotor dengan pakaian bersih dan indah, karena dia ingin
kelihatan gagah apa bila dia berhasil bertemu dengan puterinya.
Setiap malam
dia teringat kepada isterinya itu. Keadaan pendekar ini benar-benar sangat
memilukan hati. Benar-benar amat berat hukuman yang dideritanya akibat
kecerobohan dirinya terhadap isterinya,.
Sesudah
mengeluarkan kata-kata itu sambil memandang ke atas meja, Kiang Liat diam
beberapa lama, sikapnya seperti sedang mendengarkan orang yang bicara
kepadanya. Kemudian ia mengangguk-angguk dan berkata,
“Tentu saja,
Bi Li. Aku pasti akan mencari Im Giok sampai ketemu. Aku akan mengadu nyawa
dengan siluman Pek Hoa dan merampas kembali anak kita. Sudah empat tahun aku
mencari jejaknya dengan sia-sia, akan tetapi aku tidak pernah putus asa.
Sebelum putus nyawaku, aku tidak akan berhenti berusaha mencari Im Giok.”
Kiang Liat
menarik napas panjang, menghapus air matanya dengan ujung lengan bajunya dan
berkata lagi, “Kau tidak percaya kepadaku, Bi Li? Sudah sepantasnya kalau kau
tidak mempercayai seorang suami goblok seperti aku, seorang suami buta yang
menuduh isterinya yang setia berlaku tidak patut. Memang kau berhak tidak
percaya kepadaku, Bi Li isteriku. Akan tetapi, biarlah aku Kiang Liat
bersumpah, aku akan mencari Im Giok sampai saat penghabisan. Biarlah rambutku
menjadi saksi!”
Setelah
berkata demikian, Kiang Liat mencabut pedangnya dan berlutut. Dengan tangan
kiri dijambaknya rambutnya yang hitam panjang, dan tangan kanannya yang
memegang pedang bergerak membabat rambutnya sendiri! Putuslah rambut di
kepalanya dan kepala itu kini hanya tinggal ditumbuhi rambut pendek saja.
“Ayaaah...!”
Tiba-tiba
saja bayangan merah melayang turun dan ternyata yang melompat turun adalah
seorang gadis cilik berpakaian merah, sedangkan di belakangnya turun seorang
kakek.
Kiang Liat
memandang dengan mata bengong, tidak mengenal siapa adanya anak yang menyebut
ayah kepadanya itu. Kemudian saat ia melirik ke arah kakek yang telah berdiri
di belakang gadis cilik itu, ia terkejut sekali, melempar pedangnya dan
menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
Kiang Liat
boleh jadi agak gendeng dan miring otaknya bila ia sedang tenggelam dalam
lamunan sendiri dan mengingat akan isterinya. Akan tetapi pada lain waktu ia
merupakan seorang manusia biasa yang sadar.
“Teecu tidak
tahu akan kedatangan Suhu Bu Pun Su, mohon ampun kalau teecu tidak
menyambutnya,” katanya penuh hormat dan segan.
Memang kalau
ada orang di dunia ini yang disegani dan ditakuti oleh Kiang Liat, orang itu
tak lain hanya Bu Pun Su dan mungkin juga Han Le.
Bu Pun Su
memandang kepada Kiang Liat, sinar matanya penuh belas kasihan.
“Kiang Liat,
jangan terlalu jauh dilarutkan oleh lamunan dan kedukaan. Inilah Kiang Im Giok
puterimu, sengaja kubawa ke sini agar kau dapat hidup kembali bersama puterimu.
Pergunakanlah sisa hidupmu sebaiknya untuk mendidik anakmu ini, Kiang Liat.”
Mendengar
ini, dengan muka pucat Kiang Liat segera menengok ke arah Im Giok. Ayah dan
anak berpandangan, dua pasang mata perlahan-lahan mengeluarkan air mata, dua
pasang bibir bergerak-gerak dan bergemetar tanpa dapat mengeluarkan sepatah
kata.
Kiang Liat
mengulurkan dua lengan yang tangannya menggigil, ada pun Im Giok perlahan
melangkah maju.
“Im Giok...
kau... anakku...?”
“Ayaah...!”
Di lain saat
ayah dan anak itu sudah berpelukan dan bertangisan.
Bu Pun Su
terbatuk-batuk untuk menenangkan hatinya sendiri yang ikut merasa terharu dan
pilu. Setelah membiarkan mereka melepaskan perasaan hati untuk sementara, lalu
dia berkata,
“Sudahlah,
tidak baik menurutkan perasaan, mendatangkan kelemahan saja. Kiang Liat, anakmu
ini berbakat baik dalam ilmu silat, biar aku tinggalkan dua macam ilmu silat
untuk kelak kau turunkan kepadanya. Akan tetapi kau hati-hatilah, wataknya
keras dan aneh, perlu dikendalikan dengan kuat!”
Kiang Liat
girang sekali mendengar ini.
“Im Giok,
anakku, lekas kau menghaturkan terima kasih kepada Susiok-couw-mu (Paman Kakek
Guru).” Kiang Liat menarik tangan Im Giok dan keduanya berlutut di depan kakek
sakti itu.
Dengan
sangat tekun, Kiang Liat mempelajari dua ilmu silat yang diturunkan oleh Bu Pun
Su untuk Im Giok. Pertama-tama Bu Pun Su minta supaya Im Giok bersilat menurut
apa yang dia pelajari dari Pek Hoa Pouwsat. Bu Pun Su adalah seorang sakti yang
memiliki kepandaian aneh dan luar biasa. Sekali saja melihat, ilmu silat apa
pun juga dapat ia tiru dengan gerakan yang jauh lebih sempurna dari pada
aslinya! Demikian pula dengan ilmu silat yang dimainkan oleh Im Giok, sekali
melihat kakek ini dapat menurunkan ilmu silat yang sama, akan tetapi yang sama
sekali bebas dari kelemahan dan kekurangan.
Pendeknya,
Bu Pun Su memperbaiki dan menyempurnakan ilmu silat yang seperti tarian, yang
dipelajari oleh Im Giok dari Pek Hok Pouwsat. Ada pun ilmu silat ke dua yang dia
turunkan kepada Kiang Liat untuk Im Giok yaitu ilmu silat pedang yang
disesuaikan pula dengan gerakan dan bakat yang sudah menjadi dasar dari Im
Giok.
Selain dua
macam ilmu silat yang khusus untuk Im Giok ini, juga kepada Kiang Liat kakek
ini menurunkan ilmu berlatih lweekang dan ginkang sehingga Kiang Liat merasa
bersukur sekali. Sampai dua pekan Bu Pun Su tinggal di kelenteng kuno itu
bersama Kiang Liat dan Im Giok dan siang malam mereka tekun menerima pelajaran
baru dari kakek sakti itu.
Sesudah selesai
dan hendak meninggalkan mereka, Bu Pun Su berkata dengan suara sungguh-sungguh.
“Kiang Liat
dan kau juga Im Giok, dengarlah baik-baik. Setelah kalian menerima pelajaran
dariku, maka selanjutnya kalian harus menjaga diri baik-baik. Sekali saja aku
mendengar kalian menggunakan kepandaian yang kalian pelajari dariku untuk
melakukan perbuatan menyeleweng dan sewenang-wenang, aku sendiri akan datang
memberi hukuman berat.”
Setelah Bu
Pun Su pergi, Kiang Liat memeluk puterinya dan berkata dengan hati girang
sekali.
“Anakku,
marilah kita pulang ke Sian-koan dan mulai hidup baru. Akan kusediakan rumah
gedung dan pakaian-pakaian indah untukmu. Dan jangan kau khawatir, anakku, aku
akan berusaha supaya kelak engkau menjadi seorang dara perkasa yang jarang
tandingannya, seorang yang hidup penuh kebahagiaan tidak kekurangan sesuatu!”
Im Giok
sudah mendengar sumpah ayahnya dari atas genteng, karena itu dia tidak perlu
mendengar janji-janji yang lain. Ia sudah merasa amat kasihan dan terharu
melihat nasib ayahnya, dan dia merasa amat bangga karena ternyata ayahnya
adalah seorang laki-laki gagah yang patut dibanggakan.
Demikianlah,
ayah dan anak itu lalu pulang ke Sian-koan. Dengan uang yang ia simpan, Kiang
Liat membangun sebuah gedung baru dengan taman bunga yang luas dan indah,
perabot-perabot rumah serba baru, pendeknya dia berusaha untuk membikin senang
hati puteri tunggalnya.
Im Giok baru
berusia hampir sebelas tahun. Maka, menerima budi kecintaan ayahnya yang
berlimpah-limpah ini, mau tidak mau timbul sifat manja dalam hatinya.
Memang
beginilah, tidak hanya Kiang Liat, banyak orang tua-tua di dunia ini yang
keliru menyatakan kasih sayang kepada anak sehingga bukan anak menjadi baik
sebagaimana yang diharapkan, sebaliknya anak menjadi manja.
Untungnya,
Im Giok memang sudah memiliki dasar watak gagah dan baik sehingga sikap ayahnya
itu hanya mendatangkan sebuah cacat lagi, yaitu manja dan ingin dituruti segala
kehendaknya. Di samping ini, sifat lain yang dia warisi dari Pek Hoa Pouwsat
adalah sifat pesolek, suka berhias dan berpakaian serba indah dan serba merah,
tidak lupa untuk menambah merah pada bibirnya, menambah hitam pada alisnya
sehingga setiap saat gadis ini kelihatan seperti seorang bidadari baru turun
dari kahyangan!
Akan tetapi
harus diakui bahwa bakat Im Giok dalam ilmu silat benar-benar baik sekali.
Ditambah lagi oleh semangat Kiang Liat yang demikian besar. Pendekar ini
benar-benar mempunyai cita-cita untuk membuat puterinya menjadi seorang gagah,
maka dia sangat tekun dan hati-hati memimpin puterinya dalam ilmu silat, maka
dapat dibayangkan betapa pesat kemajuan yang diperoleh Im Giok.
Akan tetapi,
kadang-kadang Im Giok merasa kesepian. Hidup di dekat Kiang Liat berbeda jauh
dengan pada saat ia masih bersama dengan Pek Hoa. Betapa pun besar sayangnya
Kiang Liat kepadanya, akan tetapi ayahnya itu seorang pria, dan Im Giok
membutuhkan pergaulan dengan sesama kelamin.
Selain ini,
Im Giok yang melihat ayahnya masih belum tua dan begitu gagah, diam-diam juga
prihatin dan berduka kalau teringat akan ibunya. Banyak buku yang ia baca
karena ayahnya menyediakan untuknya dan mengajarnya pula, memberi pelajaran
pada Im Giok bahwa seorang seperti ayahnya itu sudah sepatutnya kalau menikah
lagi dengan seorang gadis cantik pengganti ibunya yang telah meninggal.
Sifat Im
Giok yang tidak pemalu dan periang itu membuat dia sebentar saja mempunyai
banyak kawan di kota Sian-koan. Tidak jarang gadis ini keluar rumah dan
mengunjungi tetangga dan walau pun hal ini termasuk kebiasaan yang janggal,
namun ayahnya tidak melarangnya. Kiang Liat cukup maklum bahwa puterinya telah
memiliki kepandaian yang cukup untuk dipakai menjaga diri, dan di samping ini,
siapakah yang berani mengganggu puteri Jeng-jiu-sian Kiang Liat?
Satu tahun
kemudian, pada suatu sore, Im Giok pulang dari tetangga bersama seorang gadis
yang cantik. Gadis ini pipinya kemerahan, sepasang matanya yang jeli dan kocak
kelihatan agak berduka. Namun harus diakui bahwa gadis memiliki sepasang mata
yang indah dan bening, seperti sepasang kemala. Usianya kurang lebih enam belas
tahun dan tubuhnya sehat dan nampaknya biasa bekerja berat.
Kiang Liat
bangkit dari kursinya dan memandang dengan mata terbelalak heran. Dengan
malu-malu gadis remaja itu menjura sebagai penghormatan kepada Kiang Liat.
“Im Giok,
siapakah nona ini dan mengapa kau membawa dia ke sini?” tanya Kiang Liat dengan
nada menegur dalam suaranya.
“Ayah,
jangan marah dulu,” berkata Im Giok dengan sikap manja, “dia ini adalah sahabat
baikku, namanya Kim Lian, Song Kim Lian, rumahnya di sebelah barat itu. Enci
Kim Lian, kau duduk dulu di sini, ya! Aku mau bicara dengan Ayah,”
Im Giok lalu
menghampiri ayahnya, memegang tangan ayahnya itu dan menariknya ke ruangan
sebelah dalam. Dengan kening berkerut Kiang Liat mengikuti puterinya, hatinya
merasa tidak enak.
“Kau mau
apakah, Im Giok?” tanyanya setelah mereka berada di ruang dalam.
“Ayah,
bagaimana ayah lihat Enci Kim Lian itu? Cantik dan matanya seperti mata burung
Hong, bukan?”
Kerut di
kening Kiang Liat makin mendalam. “Kalau dia cantik dan bermata bagus, habis
mengapa?”
“Ayah, aku
selalu merasa kesunyian.”
“Kan ada
Ayah, ada banyak pelayan.”
“Ayah
laki-laki dan para pelayan... ahhh, mereka selalu bermuka-muka, aku tidak suka.
Ayah juga... Ayah juga kesepian, bukan?”
Kiang Liat
memegang pundak Im Giok, memandang tajam dan berkata, “Im Giok, pikiran ganjil
apakah yang terkandung di dalam kepalamu? Hayo katakan terus terang, jangan
berputar-putar.”
Im Giok
menarik napas panjang, sukar agaknya untuk bicara. Akhirnya ia memberanikan
hatinya, memegang tangan ayahnya dengan sikap manja dan berkata,
“Jangan
marah, ya Ayah? Aku bermaksud baik. Sahabatku Kim Lian ini adalah seorang
sahabat yang baik, lagi pula dia sudah yatim piatu, kalau saja... kalau saja…
dia dapat tinggal di sini sehingga aku mempunyai kawan, alangkah baiknya.”
“Menjadi
pelayan?” Kiang Liat menjelaskan.
Im Giok
cemberut. “Dia sahabatku, bagaimana harus menjadi pelayan? Biarkan saja dia
tinggal di sini, serumah dengan kita, Ayah.”
Kembali
kening Kiang Liat berkerut. “Ah, Im Giok. Ada-ada saja kau ini. Tak tahukah kau
bahwa seorang gadis dewasa seperti dia itu tidak patut sekali apa bila tinggal
di rumah orang lain, apa lagi di rumah seorang duda!”
“Karena itu,
alangkah baiknya kalau Ayah... kawinin saja dia!” kata Im Giok cepat.
Tangan
ayahnya yang tadinya memegang pundak tiba-tiba saja terlepas dan Kiang Liat
terduduk di atas kursi, wajahnya pucat dan matanya melotot memandang pada Im
Giok. Gadis cilik ini kaget sekali dan agak ketakutan, mundur dua langkah.
“Im
Giok...,“ akhirnya terdengar suara Kiang Liat, lambat dan perlahan, dengan
gigi-gigi dirapatkan menahan nafsu marah. “Kalau bukan kau yang mengajukan usul
macam ini, tentu kupukul mampus sekarang juga! Apa kau sudah gila? Kalau tidak
untuk kau, aku sudah menyusul ibumu. Untuk apa hidupku di dunia ini melainkan
untuk kau? Bagaimana kau bisa menyuruh aku menikah dengan perempuan lain dan
mengkhianati ibumu?”
Im Giok
menangis dan segera menubruk ayahnya. Ia berlutut dan menaruh kepala di atas
pangkuan ayahnya.
“Ampunkan
aku, Ayah. Aku tidak sengaja menyakiti hati Ayah. Aku hanya ingin punya kawan,
aku... aku kehilangan Enci Pek Hoa. Ayah...”
Melihat
keadaan anaknya, luluh hati Kiang Liat, lenyap marahnya. Ia berpikir sejenak,
lalu berkata,
“Sudah,
diamlah, anakku. Aku bisa memenuhi keinginanmu, akan tetapi bukan menikah.
Mengingat bahwa Kim Lian sudah yatim piatu, dan selain engkau aku pun tidak
punya murid, dan melihat gerak kakinya tadi cukup tegap dan kuat, biarlah dia
menjadi muridku belajar di sini dan mengawanimu. Bagaimana?”
Im Giok
hampir bersorak. Ia bangkit berdiri, memeluk ayahnya dan berlari ke ruangan depan.
Tidak lama kemudian ia sudah datang lagi berlarian sambil menggandeng tangan
Kim Lian. Agaknya dia sudah menuturkan pada sahabatnya itu, sebab begitu
berhadapan dengan Kiang Liat, Kim Lian lau menjatuhkan diri berlutut dan
mengangguk-anggukkan kepala sambil menyebut,
“Suhu...!”
suaranya merdu dan halus.
“Bangunlah!
Kau menjadi muridku atas desakan Im Giok. Akan tetapi entah kau suka atau tidak
belajar ilmu silat yang kasar,” kata Kiang Liat.
“Ayah...
jangan Ayah memandang rendah kepada Enci Kim... ehh, kepada Suci (Kakak
Seperguruan) Kim Lian. Dalam bermain-main dan selama setahun menjadi kawanku,
dia telah banyak dapat meniru gerakan silatku. Suci, coba kau tunjukkan
kebisaanmu kepada Ayah.”
“Ahh, Sumoi,
kau membikin aku malu saja...,” Kim Lian mengerling dengan muka merah dan
senyum dikulum.
Kiang Liat
kembali mengerutkan kening melihat lagak yang genit dan dapat menarik hati
laki-laki ini. Hemm, dalam banyak hal gerak-gerik Kim Lian ini hampir sama
dengan Im Giok anaknya, pikirnya.
“Tidak usah
malu-malu, kau perlihatkanlah apa yang sudah kau pelajari. Dengan melihat
gerakanmu, aku bisa mengira-ngira sampai di mana tingkatmu.”
Mendengar
perintah suhu-nya, Kim Lian lalu bersilat seperti apa yang ia lihat dan
pelajari dari Im Giok. Dan Kiang Liat tercengang. Benar sekali kata-kata Im
Giok. Gadis cantik ini mempunyai bakat yang luar biasa, sungguh pun tidak
sebesar bakat Im Giok, akan tetapi kelemasan gerak kaki tangannya menunjukkan
bahwa Kim Lian mempunyai bakat ilmu silat yang jauh lebih tinggi dari pada
gadis-gadis biasa. Memang sukar mencari seorang murid wanita dengan bakat
seperti ini.
Timbullah
kegembiraan di dalam hati Kiang Liat dan mulai hari itu Kim Lian menjadi murid
Jeng-jiu-sian Kiang Liat, belajar ilmu silat bersama Im Giok yang tentu saja
sudah sangat jauh meninggalkannya. Bahkan dalam latihan sehari-hari, boleh
dibilang Kim Lian dilatih oleh Im Giok yang mewakili ayahnya.
Kiang Liat
masih saja berlaku sungkan dan likat-likat. Maka ia hanya memberi contoh dan
petunjuk-petunjuk teori saja, sedangkan prakteknya dia serahkan kepada Im Giok
untuk mengajar suci-nya.
Benar saja,
setelah Kim Lian juga tinggal di rumah gedung itu, Im Giok menjadi gembira
sekali. Tidak saja ia menjadi semakin giat berlatih ilmu silat, juga ia tekun
memperdalam ilmu surat dan bahkan suka belajar menyulam bersama suci-nya.
Ada pun
dalam hal mempersolek diri, agaknya Kim Lian merupakan imbangan yang baik bagi
Im Giok. Tentu saja Kim Lian tidak secantik Im Giok, karena sesungguhnya sukar
mencari seorang gadis yang secantik Im Giok, akan tetapi pada umumnya Kim Lian
juga seorang gadis yang manis dan cantik, lagi pandai beraksi.
Walau pun
Kim Lian mulai belajar ilmu silat setelah ia berusia belasan tahun dan telah
dewasa, akan tetapi berkat bakatnya yang baik dan terutama sekali oleh karena
ia belajar di bawah pimpinan seorang ahli silat kelas tinggi, maka ia pun
mewarisi ilmu silat tinggi dan menjadi seorang ahli silat yang pandai. Seperti
juga Im Giok, ia mempunyai ginkang yang luar biasa, hanya kalah sedikit saja
oleh sumoi-nya itu, biar pun dalam hal lweekang ia kalah jauh.
Akan tetapi,
diam-diam Kiang Liat merasa amat khawatir kalau ia melihat watak muridnya ini.
Kim Lian sering memperlihatkan sikap genit dan memikat di depannya,
mengingatkan pendekar ini akan sikap Ceng Si dahulu. Kadang-kadang dia
membentak dan menegur muridnya ini, yang diterima oleh Kim Lian dengan senyum
manis memikat.
Beberapa
kali Kiang Liat bahkan menyuruh puterinya menegur, dan kalau Im Giok sudah
menegur, barulah Kim Lian menghentikan aksinya. Memang Kim Lian tidak takut
kepada suhu-nya karena dia merasa lebih leluasa dan dapat menghadapi seorang
laki-laki, akan tetapi terhadap Im Giok, ia merasa takut dan segan.
Pertama
karena ia merasa berhutang budi kepada sumoi-nya ini. Jika tak ada sumoi-nya
yang menariknya tinggal ke dalam rumah gedung mewah itu, hidupnya tentu
kekurangan dan mungkin sekali terlantar. Ke dua, ia memang tahu bahwa
kepandaian sumoi-nya jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri.
“Im Giok,
sekarang suci-mu telah berusia dua puluh tahun lebih, dan kiranya sudah cukup
lama ia berada di sini sehingga sudah patut baginya untuk berumah tangga.
Bagaimana pikiranmu apa bila aku mencarikan seorang suaminya untuknya?” Pada
suatu hari Kiang Liat berkata demikian kepada Im Giok yang sudah berusia empat
belas tahun lebih.
Gadis ini
sudah cukup dewasa untuk mengerti akan maksud ayahnya. Sering kali Kim Lian
memperlihatkan sikap yang memikat di depan ayahnya, maka tentu ayahnya merasa
tidak enak sekali. Memang, bagi ayahnya, akan lebih baik kalau Kim Lian keluar
dari situ dan menikah dengan seorang pemuda yang baik.
“Baiklah,
akan kusampaikan kepadanya, Ayah,” kata Im Giok yang akhir-akhir ini merasa
kasihan dan juga gelisah melihat keadaan ayahnya.
Setelah
beberapa kali menghadapi godaan Kim Lian, Kiang Liat jadi teringat lagi kepada
isterinya dan juga kepada Ceng Si yang dulu menggodanya, maka terkenanglah ia
akan kebodohannya, akan kekejamannya terhadap isterinya. Kenangan ini membikin
kambuh sakit jantungnya, membuatnya pucat dan kadang-kadang batuk-batuk, bahkan
sering di tengah malam ia tertawa-tawa dan menangis lagi!
Akan tetapi
ketika Im Giok menyampaikan usul ayahnya kepada Kim Lian, suci-nya itu
memperlihatkan muka berduka, bahkan lalu menghadap Kiang Liat sambil berlutut
dan menangis.
“Suhu, teecu
mohon supaya Suhu jangan menyuruh teecu pergi dari sini. Teecu rasanya tidak
sanggup untuk berpisah dengan Suhu dan Sumoi. Suhu, tentang menikah, teecu sama
sekali tidak ada niat, karena selamanya teecu ingin melayani Suhu dan mengawani
Sumoi...”
Kata-kata
ini biar pun diucapkan dengan suara sedih dan terputus-putus, akan tetapi bagi
pendengaran Kiang Liat hanya bermaksud satu, yakni Kim Lian akan menerima
dengan hati terbuka bila gurunya mau mengambilnya sebagai isteri sehingga gadis
ini selamanya akan melayaninya, juga tidak akan berpisah dari Im Giok!
Merah muka
Kiang Liat dan dia merasa dadanya sakit. Dia selalu ingat akan kesetiaan
mendiang isterinya dan akan kekejiannya memfitnah isterinya, maka ia telah
bersumpah untuk membalas isterinya itu dengan kesetiaan selama hidupnya. Oleh
karena ini, setiap godaan seorang wanita membangkitkan penyesalannya kepada
diri sendiri dan membuat dadanya terasa sakit.
“Kim Lian,
jangan kau mengeluarkan kata-kata seperti itu. Setiap pertemuan pasti akan
berakhir dengan perpisahan. Kami tentu saja tidak mengusirmu, dan terus terang
saja, kehadiranmu di rumah ini banyak mendatangkan kegembiraan Im Giok dan untuk
ini aku berterima kasih kepadamu. Akan tetapi tentang menikah, kau sudah
berusia dua puluh tahun lebih, waktunya sudah lebih dari cukup untuk berumah
tangga sendiri, Kim Lian. Jangan kau khawatir, aku dapat memilihkan seorang
calon suami yang baik, percayalah kepadaku karena sebagai guru aku takkan
menyesatkan murid sendiri...”
Mendengar
ini, tangis Kim Lian semakin sedih. Ia merangkul Im Giok lalu berkata, “Suhu,
apa saja kehendak Suhu pasti teecu taati asal saja teecu jangan disuruh
berpisah dengan Suhu dan Sumoi. Tentang menikah... teecu akan menanti Sumoi.
Apa bila Sumoi sudah menikah, teecu baru suka menikah pula. Ini sudah menjadi
sumpah di dalam hati teecu.”
Kiang Liat
menjadi mendongkol. Ia dapat menduga bahwa kata-kata itu hanya akal saja, alasan
untuk menggagalkan usulnya.
“Hmm,
perempuan memang aneh. Lain di mulut lain di hati,” pikirnya. “Pada hatinya
jelas nampak ia ingin melayani laki-laki, akan tetapi mulutnya bilang tidak mau
menikah!”
Kemudian
dengan suara marah ia berkata,
“Kim Lian,
kau yang bersumpah, bukan aku yang memaksa. Kau harus memegang teguh sumpahmu
itu, kalau tidak, aku akan marah kepadamu. Aku tidak sudi melihat muridku
bermain lidah dan tidak dapat dipegang kata-katanya. Ingat, kau sudah bersumpah
tidak akan menikah sebelum Im Giok menikah. Baik, akan begitulah jadinya!”
Setelah berkata demikian, Kiang Liat meninggalkan dua orang gadis itu dan masuk
ke dalam kamarnya.
Semenjak
saat itu, sikap Kiang Liat makin pendiam. Jarang sekali ia bicara dengan Im
Giok. Kepada Kim Lian, dia sama sekali tidak pernah bicara lagi. Akan tetapi
anehnya, mulai saat itu ia makin giat melatih dua orang gadis itu.
Pagi-pagi
sekali dia sudah memaksa mereka bangun, berlatih ilmu silat sampai kedua orang
gadis itu hampir tidak kuat lagi. Demikian pun pada siang hari, bahkan sering
kali pada malam hari. Pendeknya, Kiang Liat sama sekali tidak memberi mereka
kesempatan untuk bermalas-malasan.
“Seorang
wanita harus kuat, baru aman hidupnya,” katanya di depan dua orang gadis itu.
“Kalian harus dapat menerima semua kepandaianku sebelum aku lupa lagi.”
Demikianlah,
hampir tiga tahun lamanya Kiang Liat tekun menggembleng puterinya dan muridnya.
Susah-payah Im Giok dan Kim Lian mengikuti latihan ini, akan tetapi hasilnya
juga luar biasa sekali.
Im Giok
secara terpisah sudah menerima latihan ilmu-ilmu silat yang ditinggalkan oleh
Bu Pun Su untuknya, dan ternyata dia memang cocok sekali dengan ilmu silat
gubahan Bu Pun Su ini. Gerakannya memang lemas dan indah, sehingga sering kali
diam-diam Kiang Liat mengerutkan keningnya karena kalau ia melihat puterinya
itu bersilat seperti orang menari dengan mata bersinar-sinar, pipi
kemerah-merahan dan bibir tersenyum-senyum, teringatlah ia akan Pek Hoa
Pouwsat! Alangkah miripnya anaknya itu dengan Pek Hoa. Benar seperti pernah
dikatakan oleh Bi Li isterinya dahulu.
Ada pun Kim
Lian, selama tiga tahun ini pun memperoleh kemajuan hebat. Tujuh tahun ia
menjadi murid Kiang Liat, akan tetapi yang tiga tahun terakhir ini hasilnya
jauh melampaui empat tahun pertama.
Kepandaian
Kim Lian kini sudah dapat direndengkan dengan tingkat orang-orang pandai,
bahkan sudah hampir menyusul kepandaian Kiang Liat sendiri. Tentu saja ia masih
kalah oleh Im Giok yang ternyata bahkan telah melampaui ayahnya sendiri!
Hal ini
adalah karena dia mempelajari ilmu silat gubahan Bu Pun Su secara mendalam,
sedangkan Kiang Liat hanya menghafal saja agar tidak lupa. Apa lagi Kiang Liat
memang hanya bersilat untuk mengajar, sama sekali dia tidak pernah berlatih
untuk kemajuan diri sendiri. Bahkan kalau terlalu lama ia bersilat, dada
kirinya terasa sakit sekali.
Dia maklum
bahwa dirinya sudah mendapat luka di dalam, mendapat penyakit di dalam jantungnya,
akan tetapi ia sengaja tidak mau mengobati, tidak mau mencari obat. Tidak
jarang dia batuk-batuk darah, akan tetapi semua ini ia sembunyikan dari Im
Giok, takut kalau-kalau puterinya akan menjadi gelisah dan berduka karenanya.....
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment