Monday, July 2, 2018

Cerita Silat Serial Dara Baju Merah Jilid 05




























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
         Serial Dara Baju Merah
                   Jilid 05



BOK BENG HOSIANG hanya dapat bertahan dua puluh jurus. Setelah itu kepalanya menjadi pening dan pada suatu saat, serangan berantai dari Pek-in-ong tak dapat dihindarkannya sehingga pundaknya terpukul oleh roda.

“Krekkk!”

Bok Beng Hosiang mengeluh dan terhuyung ke belakang, cepat-cepat ditarik oleh Kok Beng Hosiang dan diselamatkan. Tulang pundak hwesio gemuk ini telah hancur!

“Ha-ha-ha, Siauw-lim-pai tak patut menyimpan kitab pusaka!” Pek-in-ong mentertawakan sambil menyimpan sepasang rodanya.

Han Le, Sui Ceng, Kun Beng, Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu marah sekali. Akan tetapi sebelum mereka sempat bergerak, tosu tua pemimpin rombongan dari Kun-lun-pai telah melompat maju.

“Siancai, siancai! Thian-te Sam-kauwcu memang lihai. Akan tetapi sayang kepandaian mereka digunakan untuk maksud buruk. Pinto Cin Giok Sianjin dari Kun-lun-pai datang untuk mengambil kembali pedang kami!” Sambil berkata demikian, tosu tua ini melangkah tenang mengambil pedang.

Baru saja tangannya diulur, terdengar suara mendesing dan tiga batang anak panah hijau menyambar ke arah tangannya! Cin Giok Sianjin berlaku tenang, cepat-cepat tangannya mengibas dan tiga batang anak panah itu terpental kembali ke arah penyerangnya, yakni Cheng-hai-ong orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu!

“Ha-ha-ha-ha, ini baru namanya orang pandai!” Cheng-hai-ong tertawa sambil melompat maju menghadapi Cin Giok Sianjin.

Cin Giok Sianjin terpaksa membatalkan niatnya mengambil pedang pusaka Kun-lun-pai. Ia melihat orang kurus bongkok bermata sipit berpakaian serba hijau berdiri di depannya sambil memegang sebatang rantai yang ujungnya ada tengkoraknya!

Cin Giok Sianjin adalah tokoh kedua dari Kun-lun-pai, murid dari mendiang Seng Thian Siansu, Ketua Kun-lun-pai. Tosu ini sudah puluhan tahun menjelajah dunia kang-ouw dan sudah puluhan kali bertemu dengan lawan tangguh, akan tetapi baru sekali ini ia melihat senjata sehebat dan seperti itu.

Mana ada orang bersenjata rantai yang ujungnya dipasangi tengkorak? Akan tetapi dia kemudian dapat menenangkan hatinya dan mengeluarkan sebatang pedang. Kun-lun-pai terkenal dengan ilmu pedangnya, karena itu dengan tenang ia berdiri tegak, melintangkan pedangnya di depan dada dengan jurus pertahanan Locia Pai-hud (Locia Menyembah Buddha).

“Tosu bau, mari kita main-main sebentar!” kata Cheng-hai-ong.

Begitu selesai bicara, secepat kilat ia menyambar, tengkorak di ujung rantainya bergerak ke arah kepala Cin Giok Sianjin. Tosu ini cepat mengelak, lantas pedangnya menusuk langsung dari dadanya ke dada lawan.

Cheng-hai-ong miringkan tubuhnya dan kembali tengkoraknya menyambar, kini dari arah belakang agak ke kanan, menghantam leher tosu Kun-lun-pai. Cin Giok Sianjin melihat hebatnya serangan ini, maka ia pun tidak berani mengelak, dan cepat menangkis dengan pedangnya.

“Plakkk!”

Tengkorak itu terpukul miring, akan tetapi tidak pecah. Sebaliknya, tosu Kun-lun-pai itu merasa tangannya tergetar.

“Lihai sekali...,” katanya.

Tak lama kemudian pedangnya telah berubah menjadi segulung sinar putih, menyambar-nyambar laksana seekor naga mengurung lawan. Ia telah mengeluarkan kepandaiannya dan memainkan Kun-lun Kiam-hoat yang lihai. Bukan main cepatnya gerakan pedangnya, cepat dan berat disertai tenaga lweekang.

Namun, Cheng-hai-ong masih tertawa-tawa dan mengimbangi permainan lawan dengan ilmu silatnya yang aneh sekali. Tidak hanya tengkorak di ujung rantai yang menyerang, juga kadang-kadang kedua kakinya menendang-nendang, tangan kirinya mencengkeram, sikunya berkali-kali mencari sasaran, bahkan tekukan lututnya sering pula diangkat untuk menghantam perut dan tempat berbahaya lainnya.

Swi Kiat Siansu berkata lirih. “Hemm, ilmu silat barat yang dicampur dengan ilmu gulat dari Mongol. Benar-benar lihai sekali.”

Juga yang lain-lain merasa kagum dan terpaksa memuji kepandaian orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu itu. Mereka mulai mengkhawatirkan keselamatan Cin Giok Sianjin, karena setelah bertempur tiga puluh jurus, jelas kelihatan tosu itu mulai terdesak.

Mendadak Cheng-hai-ong berseru aneh dan Cin Giok Sianjin berseru kaget, terhuyung-huyung dan melompat mundur cepat sekali. Mukanya pucat dan pada jidatnya nampak merah, ternyata kulit jidatnya telah terluka!

Hanya tokoh-tokoh besar saja yang dapat melihat betapa tadi dari mulut tengkorak itu menyambar keluar tiga batang jarum hijau ke arah muka Cin Glok Sianjin. Biar pun tosu ini sudah berkelit, namun tetap saja jidatnya tergores oleh sebatang jarum hijau sehingga mengeluarkan darah!

Cheng-hai-ong tertawa bergelak dan Cin Giok Sianjin cepat membuka bungkusan obat untuk menggunakan obat penawar racun yang disengaja dibekalnya. Ia maklum dari rasa gatal pada lukanya bahwa jarum hijau itu mengandung racun.

Baiknya Kun-lun-pai juga terkenal dengan obat-obat anti racunnya, maka dia masih dapat menyelamatkan nyawanya, sungguh pun tak mungkin dapat maju bertempur lagi. Ia perlu bersemedhi untuk mengerahkan lweekang dan mengusir pengaruh racun dengan hawa murni di dalam tubuhnya.

Han Le marah sekali. Pemimpin-pemimpin rombongan dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai telah dikalahkan dan diam-diam ia merasa menyesal sekali kenapa tokoh-tokoh pertama dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai tidak mau keluar sendiri. Agaknya kedua partai besar itu terlalu memandang rendah terhadap pihak Mo-kauw, maka Ketua Siauw-lim-pai, Hok Bin Tosu dan Ketua Kun-lun-pai yang baru, Keng Thian Siansu tidak mau datang sendiri. Kalau saja dua kakek itu datang, tentu akan lain keadaannya, sungguh pun belum tentu mereka dapat mengalahkan Thian-te Sam-kauwcu yang benar-benar lihai itu.

“Thian-te Sam-kauwcu! Kalian benar-benar tidak memandang mata kepada Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang terkenal sebagai partai besar. Tidak saja kalian mencuri kitab dan pedang, bahkan sekarang kalian dengan sombong telah melakukan hinaan-hinaan,” kata Han Le.

“Ha-ha-ha, yang kalah merasa terhina, itu sudah jamak. Salahkah kami kalau kebetulan kepandaian kami memang jauh lebih tinggi dibandingkan kepandaian kalian?” Hek-te-ong berkata sambil ketawa bergelak diikuti oleh anak buahnya.

“Hek-te-ong, alangkah sombongmu!” bentak Han Le marah sekali. “Dahulu yang menjadi lima tokoh besar dunia persilatan adalah guruku Ang-bin Sin-kai beserta para Locianpwe Kiu-bwe Coa-li, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan juga Hek-i Hui-mo. Walau pun mereka ini merupakan tokoh-tokoh dari delapan penjuru, akan tetapi mereka masih tidak sesombong kau dan kawan-kawanmu, tidak pernah mau menghina partai lain, apa lagi melakukan pencurian yang rendah! Bahkan setiap kali muncul orang jahat, para locianpwe itu turun tangan membasminya!”

“Ha-ha-ha, kau pengemis bau murid Ang-bin Sin-kai. Apa kau kira dapat menakut-nakuti kami dengan nama-nama lima tokoh besar yang sudah mampus itu? Andai kata mereka masih hidup, kami pun ingin sekali menjajal kepandaian mereka, apa lagi sekarang lima orang itu sudah mampus. Apa yang perlu kami takutkan?”

“Bangsat bermulut besar. Murid Kiu-bwe Coa-li berada di sini! Aku Bun Sui Ceng akan mewakili mendiang guruku untuk membasmi Mo-kauw!” bentak Bun Sui Ceng sambil bersiap-siap dengan cambuknya.

“Pinto Swi Kiat Siansu mewakili mendiang Suhu Pak-lo-sian Siangkoan Hai menggempur orang jahat!” Swi Kiat Siansu berkata dengan tenang dan sama sekali tidak memandang mata kepada Thian-te Sam-kauwcu.

“Siancai, siancai, walau pun mendiang Suhu Hek-i Hui-mo menjalani jalan hitam, namun kiranya beliau juga akan turun tangan jika menghadapi siluman-siluman sombong seperti kalian! Biarlah pinto Pok Pok Sianjin mewakilinya,” berkata pula Pok Pok Sianjin sambil mengerling tajam.

“Sayang bahwa Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tidak ada wakilnya,” kata Kun Beng sambil tersenyum mengejek. “Oleh karena Suhu Pak-lo-sian Siangkoan Hai sudah diwakili oleh Suheng, biarlah aku The Kun Beng mewakili mendiang Jeng-kin-jiu yang gagah perkasa!”

“Bagus sekali! Jadi lima tokoh-tokoh besar itu kini telah diwakili oleh anak muridnya. Kami memang ingin sekali mencoba kepandaian mereka. Hayo, siapa yang hendak maju lebih dulu?” kata Hek-te-ong memandang rendah.

“Biarlah aku yang pertama memperlihatkan kebodohanku,” kata Han Le yang cepat maju sambil mencabut pedangnya.

Sebelum Hek-te-ong menghadapinya, di pihak Mo-kauw muncullah seorang kakek kate dengan telinga lebar, pakaiannya serba hitam. Dia ini adalah Hek Mo-ko yang berkata kepada Hek-te-ong.

“Twa-suhu, biarlah teecu menghadapi murid Ang-bin Sin-kai ini. Ingin teecu merasakan kelihaian Hun-khai Kiam-hoat dari Ang-bin Sin-kai. Heh-heh-heh-heh!”

Sesudah gurunya mengangguk, Hek Mo-ko lalu meloloskan sepasang senjatanya yang aneh, yakni sebatang pedang bengkok dan seuntai tasbeh.

“Han Le pengemis busuk, kita bertemu lagi sekarang dalam pertandingan satu lawan satu yang menentukan. Hayo kau keluarkan segala kepandaianmu, akan kulihat.”

Han Le mendongkol sekali. Ia sudah tahu akan kelihaian Iblis Hitam ini. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar sungguh pun dia tahu bahwa dia menghadapi lawan yang tangguh dan harus berlaku hati-hati sekali.

“Majulah, Hek Mo-ko,” katanya sambil melintangkan pedang.

Sambil tertawa terkekeh-kekeh Hek Mo-ko mulai menyerang. Pedangnya yang berbentuk aneh itu membuat gerakan melingkar, disusul dengan tasbehnya yang meluncur ke arah lambung Han Le.

Maklum akan bahayanya serangan orang kate ini, Han Le tidak berani berlaku lambat. Pedangnya bergerak cepat dan dengan jurus-jurus terlihai dari Hun-khai Kiam-hoat, tidak saja ia menangkis dan menggagalkan serangan lawan, bahkan dengan kontan keras ia membalas serangan Hek Mo-ko dengan sabetan dan tusukan maut.

Ilmu pedang Hun-khai Kiam-hoat warisan Ang-bin Sin-kai sudah hebat, apa lagi ditambah dengan pelajaran yang didapatkannya dari lukisan-lukisan ilmu silat dari Im-yang Bu-tek Cin-keng di dalam goa di Pulau Pek-hio-to, maka bukan main lihainya ilmu pedang yang dimainkan oleh Han Le. Diam-diam Hek Mo-ko memuji dan tahulah ia mengapa dahulu ketika menghadapi pengemis ini, sute-nya hampir saja celaka.

Akan tetapi, bagi Han Le juga tidak mudah mengalahkan Hek Mo-ko, karena selain dalam ilmu silat Iblis Hitam yang kecil ini masih lebih lihai dari pada Pek Mo-ko, juga tenaga lweekang-nya amat tinggi, masih lebih kuat dari pada tenaga lweekang Han Le.

Sesudah pertempuran berjalan lima puluh jurus lebih, tiba-tiba saja Hek Mo-ko merubah gerakannya. Kini dia bergerak lambat, akan tetapi dengan pengerahan tenaga lweekang sepenuhnya sehingga tiap kali pedang di tangan Han Le terbentur oleh pedang bengkok atau tasbeh, pedang murid Ang-bin Sin-kai ini terpental dan telapak lengannya panas!

Di antara para tokoh itu, hanya Swi Kiat Siansu seorang yang mengetahui bahwa dalam perubahan ini terjadi kecurangan dari pihak Thian-te Sam-kauwcu. Pengalaman Swi Kiat Siansu di dunia kang-ouw sudah banyak, terutama sekali di daerah barat di mana banyak diyakinkan ilmu hoat-sut (sihir).

Tadi secara kebetulan dia sempat melihat Hek-te-ong memandang tajam ke arah Hek Mo-ko dengan mulut bergerak-gerak. Sungguh pun tidak terdengar sedikit pun suara dari mulutnya, namun Swi Kiat Siansu maklum apa yang telah terjadi.

“Hek-te-ong, kau curang!” serunya marah. “Diam-diam kau membantu Hek Mo-ko!”

“Siapa membantu?” Hek-te-ong mengejek. “Aku tidak bergerak dari tempat dudukku!”

Semua orang juga heran mendengar dakwaan Sui Kiat Siansu tadi. Akan tetapi memang sesungguhnya Hek-te-ong telah membantu Hek Mo-ko dengan ilmu mengirim suara yang disalurkan dengan tenaga lweekang melalui pengerahan khikang-nya. Suara ini biar pun perlahan, akan tetapi langsung bergema di telinga Hek Mo-ko tanpa terdengar oleh orang lain.

Hek-te-ong yang berpandangan luas dan tajam tahu bahwa tanpa merubah siasat, sukar bagi Hek Mo-ko untuk mencari kemenangan. Karena itu diam-diam ia membisikkan siasat kepada Hek Mo-ko untuk menggunakan tenaga lweekang sepenuhnya pada pertempuran itu.

Benar saja, setelah Hek Mo-ko merubah cara bertempurnya, Han Le menjadi sibuk. Biar pun dia berada pada pihak menyerang, akan tetapi setiap tangkisan lawan merupakan serangan balasan yang langsung merugikannya.

Tiba-tiba ia mendengar suara bisikan perlahan yang mengejutkan hatinya. Ia mengenal baik suara itu, yakni suara suheng-nya, Bu Pun Su. Seakan-akan Bu Pun Su berdiri di dekatnya dan berbisik di dekat telinganya.

“Sute, jangan mau adu senjata. Pergunakan ginkang dan seranglah dia dengan Bu-eng Kiam-sut!”

Han Le girang sekali. Ia maklum akan kelihaian suheng-nya, dan ia tahu bahwa biar pun tadi menghilang, ternyata Bu Pun Su tetap berada di dekat situ dan sekarang berusaha menolongnya. Cepat ia berseru keras dan pedangnya berubah gerakannya.

Kini pedang Han Le berkelebat menyambar ke sana sini. Tubuhnya lenyap terbungkus gulungan cahaya pedang. Bukan main cepatnya gerakan Bu-eng Kiam-sut (Ilmu Pedang Tanpa Bayangan) ini!

Ia berhasil, Hek Mo-ko mengeluarkan seruan kaget dan sebentar saja terdesak mundur. Beberapa kali Hek Mo-ko menggerakkan sepasang senjatanya, memukul membabi-buta, namun tak pernah senjatanya yang digerakkan dengan tenaga lweekang sepenuhnya itu dapat menyentuh senjata mau pun tubuh lawannya.

Tiba-tiba saja dengan gerakan cepat Han Le berhasil menusuk paha Hek Mo-ko dengan pedangnya. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa pedangnya terpental dan hanya dapat merobek celana serta sedikit daging berikut kulit paha lawan!

“Aduhh…!” teriak Hek Mo-ko yang cepat menggunakan pedang bengkoknya menyabet ke arah pedang Han Le.

“Cringgg...!”

Pedang terlepas dari tangan Han Le dan kulit telapak tangannya pecah-pecah. Keduanya berbarengan melompat mundur. Hek Mo-ko terluka di pahanya. Han Le terluka di telapak tangannya. Setelah memungut pedangnya, Han Le berkata,

“Hek Mo-ko, kau lihai sekali.”

Hek Mo-ko menyeringai, ia mendongkol sekali karena dalam pertandingan tadi, biar pun ia dapat membuat pedang lawan tertangkis, akan tetapi ia sendiri menderita luka di paha, sehingga kalau dibandingkan, kerugiannya lebih besar.

“Kau patut menjadi murid Ang-bin Sin-kai,” katanya perlahan.

Pek Mo-ko melompat ke depan dan mengangkat dadanya yang bidang. Ia marah melihat kakaknya terluka, maka dengan lantang ia berkata,

“Siapa lagi yang hendak gagah-gagahan mewakili Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai untuk merampas kembali kitab dan pedang? Majulah, aku Pek Mo-ko akan menjaga dua benda ini!” Ia berdiri tegak di dekat kitab dan pedang, sikapnya menantang sekali.

Pok Pok Sianjin marah sekali melihat lagak tengik dari Pek Mo-ko ini. Ia melompat ke depan dan menghadapi Pek Mo-ko dengan tongkat hitam di tangan.

“Pek Mo-ko, kata-katamu itu menandakan bahwa kau seorang rendah dan seperti katak dalam sumur. Akulah orangnya, Pok Pok Sianjin murid Hek-i Hui-mo yang hendak maju menghadapimu. Majulah menerima kematian!”

Pek Mo-ko gentar melihat Pok Pok Sianjin. Sebetulnya, kalau dijelaskan, Hek-i Hui-mo masih ada hubungan dengan gurunya, karena gurunya itu terhitung adik seperguruan Hek-i Hui-mo. Akap tetapi, karena sekarang ia telah menjadi murid Thian-te Sam-kauwcu, dan ketiga orang gurunya yang lihai masih berada di situ, ia tidak mau memperlihatkan rasa takutnya, sebaliknya ia tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha-ha, Pok Pok Sianjin, alangkah bedanya kau dengan mendiang gurumu. Pantas kau dahulunya kutu buku, mana bisa menjadi seorang yang berpikir luas? Kalau gurumu masih hidup, tentu kau akan dicaci-maki!”

Pok Pok Sianjin marah sekali mendengar ini. Memang sebetulnya dia memiliki pendirian lain dengan mendiang gurunya. Hek-i Hui-mo terkenal sebagai orang liar yang kejam dan mengandalkan kepandaian sendiri, yang tidak segan-segan melakukan perbuatan jahat untuk kepentingan dan keuntungan sendiri. Andai kata gurunya masih hidup dan berada di sana, belum tentu gurunya mau membantu pihak Bu Pun Su. Sekarang mendengar makian Pek Mo-ko, ia cepat menubruk maju menggerakkan tongkatnya.

Ilmu tongkat dari Pok Pok Sianjin merupakan warisan dari tokoh besar Hek-i Hui-mo yang kepandaiannya setingkat dengan Kui-bwe Coa-li atau Ang-bin Sinkai. Karena itu dapatlah dibayangkan betapa hebatnya tongkat hitam yang dimainkannya itu.

Pek Mo-ko cepat menangkis dengan tasbehnya, akan tetapi sekali benturan saja, untaian tasbehnya terlepas dan putus! Dengan kaget Pek Mo-ko melompat ke samping kemudian membalas dengan serangan kilat, menggunakan pedang bengkoknya. Sekali menangkis, kembali pedang Pek Mo-ko terpental, hampir terlepas dari pegangan.

Kemudian terjadilah pertempuran hebat. Namun mudah dilihat bahwa Pek Mo-ko masih kalah lihai sehingga ia main mundur saja. Pada suatu saat yang tepat, tongkat di tangan Pok Pok Sianjin berhasil menyodok dada Pek Mo-ko yang terjengkang dan roboh sambil muntahkan darah.

Baiknya tenaga lweekang-nya sudah matang sehingga ia dapat memelihara dan menjaga isi dada. Ia muntahkan darah bukan karena terluka, tapi akibat telalu keras mengerahkan hawa menjaga dada. Namun ia tidak mungkin dapat melawan terus sehingga Hek Mo-ko menyeretnya ke pinggir.

Pok Pok Sianjin menghampiri pedang dan kitab, hendak mengambilnya, akan tetapi dari samping tiba-tiba ada angin keras menyambar. Pok Pok Sianjin terkejut sekali dan cepat ia melompat mundur. Sebatang pedang hampir saja menebas putus lengannya, demikian cepatnya gerakan pedang yang menyerangnya itu. Pada waktu ia menengok, ia melihat seorang kakek tua sekali berdiri sambil mengurut-urut jenggot.

“Kiam Ki Sianjin, kembali kau berada lagi di antara orang-orang jahat!” Pok Pok Sianjin memaki. “Memang, ular belang selalu berkawan dengan segala binatang berbisa.”

“Ha-ha-ha-ha, bocah kemarin sore berani main gila. Gurumu sendiri belum tentu berani berlagak sombong di depanku, kau masih kanak-kanak dan bau ingus ketika aku sudah menjagoi dunia kangouw. Tidak tahukah kau bahwa di dunia kang-ouw sekarang ini tidak ada orang-orang yang sanggup menandingi Thian-te Sam-kauwcu? Mengapa kau masih membutakan mata? Lebih baik kalian lekas-lekas mengakui bahwa Thian-te Sam-kauwcu memang patut menjadi pimpinan besar dari semua partai.”

“Ngaco-belo! Kau memang ular kepala dua, apa kau kira aku takut kepadamu?” Pok Pok Sianjin tak mau membuang banyak waktu lagi, cepat ia menyerang dengan tongkatnya.

Kiam Ki Sianjin menggerakkan pedang dan menangkis serangan Pok Pok Sianjin sambil tertawa mengejek. Segera keduanya bertempur seru.

Para pembaca cerita Pendekar Sakti tentu masih ingat bahwa Kiam Ki Sianjin adalah tokoh besar yang lihai, bahkan ia pernah bekerja sama dengan Hek-i Hui-mo. Sekarang melihat murid Hek-i Hui-mo berada di pihak Bu Pun Su, selain heran ia juga marah sekali. Apa lagi ketika ia melihat betapa dengan mudah Pok Pok Sianjin tadi mengalahkan Pek Mo-ko, ia tidak dapat menahan kemarahannya dan muncul ke depan tanpa bertanya lagi kepada Thian-te Sam-kauwcu, karena memang tingkat kepandaiannya sudah tinggi, tidak jauh selisihnya dengan tingkat kepandaian tiga ketua itu.

Betapa pun lihainya Pok Pok Sianjin, ia repot juga menghadapi pedang Kiam Ki Sianjin. Murid Hek-i Hui-mo ini memang tadinya hanya seorang sastrawan muda dan dia hanya terpaksa saja menjadi murid tokoh besar Hek-i Hui-mo.

Oleh karena itu, setelah ia mewarisi ilmu silat tinggi, ia jarang sekali berlatih dan biar pun kepandaiannya telah tinggi, akan tetapi ia jarang bertempur. Sekarang yang dihadapinya adalah seorang ahli silat tingkat tinggi yang bisa dibilang pekerjaannya sehari-hari hanya bersilat dan bertempur.

Maka, dalam jurus ke empat puluh, pedang Kiam Ki Sianjin berhasil melukai pundaknya. Terpaksa Pok Pok Sianjin melompat ke belakang, ditertawai oleh Kiam Ki Sianjin.

Kun Beng marah sekali dan sambil memaki keras ia melompat maju menggantikan Pok Pok Sianjin, tombaknya segera digerakkan menyerang Kiam Ki Sianjin. Kakek ini tertawa terkekeh-kekeh dan menggerakkan pedangnya menangkis sehingga tak lama kemudian mereka telah bertanding mati-matian.

Melihat bahwa sute itu pun agaknya takkan dapat menangkan Kiam Ki Sianjin yang lihai, Swi Kiat berseru keras dan murid pertama dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini memasuki kalangan pertandingan dengan senjatanya yang ampuh di tangan, yakni sepasang kipas, senjata istimewa dari mendiang gurunya!

“Perlahan dulu, tukang dapur!” Hek Mo-ko membentak.

Bersama Pek Mo-ko, dia menyambut Swi Kiat Siansu. Dua saudara iblis hitam putih ini telah mengambil senjata cadangan dan biar pun mereka telah terluka, namun luka yang ringan itu tidak menghambat gerakan mereka. Terpaksa Swi Kian Siansu menghadapi keroyokan Hek Pek Mo-ko yang tentu saja amat berbahaya setelah maju bersama.

Pok Pok Sianjin yang terluka pundaknya, tidak mau tinggal diam saat melihat dua orang kawannya didesak. Ia pun melompat maju dan tongkatnya kembali menyambar-nyambar, akan tetapi sebelum dia dapat membantu, terdengar suara ketawa merdu dan tahu-tahu seorang gadis cantik jelita menyambut tongkat dengan sepasang pedang.

Temyata bahwa Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, murid terkasih dari Thian-te Sam-kauwcu telah turun tangan pula! Pek Hoa Pouwsat memiliki kepandaian yang istimewa dan masih lebih tinggi tingkatnya dari pada Hek Pek Mo-ko, maka tentu saja dalam beberapa belas jurus Pok Pok Sianjin sudah terdesak hebat sekali, terkurung oleh sepasang pedang dan keselamatannya terancam sekali!

Sui Ceng menjadi bingung. Ia menoleh ke sana ke mari mencari-cari Bu Pun Su. Baru pembantu dan murid-murid Thian-te Sam-kauwcu saja yang maju, pihaknya telah sangat terdesak. Tak disangkanya bahwa pihak Mo-kauw demikian lihai. Kalau sampai Thian-te Sam-kauwcu sendiri yang maju, dapat diramalkan bahwa dia dan kawan-kawannya tidak akan dapat keluar dari tempat itu dengan selamat.

“Maju...! Serbu dan rampas kitab beserta pedang itu!” hampir berbareng, para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai memberi aba-aba dan dua puluh orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai serentak maju sambil menggerakkan senjata masing-masing.

Hek-te-ong tertawa bergelak. “Kawan-kawan, sambut mereka! Jangan biarkan seorang pun hidup! Apa bila kita dapat menumpas mereka, dunia kang-ouw pasti akan mengakui kekuasaan kita!”

Pihak Mo-kauw bersorak-sorai dan terjadilah perang tanding yang hebat dan mati-matian. Sui Ceng tidak mau pusingkan tentang Bu Pun Su lagi, sungguh pun hatinya sudah amat mendongkol.

“Benar-benarkah Kwan Cu telah berubah menjadi orang pengecut yang tak tahu malu?” pikirnya.

Namun ia tidak mau tinggal diam dan sekali ia berseru nyaring, cambuknya berbunyi,

“Tar! Tar! Tar!” dan seketika itu juga, empat orang anak buah Mo-kauw roboh menjerit dan bergulingan untuk menghadapi maut!

Sui Ceng hendak mengamuk terus. Tiba-tiba ia melompat mundur karena ia mendengar suara Bu Pun Su berbisik dekat telinganya,

“Sui Ceng, demi keselamatan semua kawan, kau robohkan lebih dulu Wi Wi Toanio. Kau lihat wanita yang berbaju biru memegang pedang itu. Serang dia dan robohkan sampai tidak berdaya. Awas, di sebelah kirinya, laki-laki yang memakai baju kuning itu adalah An Kai Seng, musuh besar kita!”

Sui Ceng memandang ke sana ke mari, akan tetapi tidak melihat Bu Pun Su. Ia sudah menjadi marah sekali ketika mendengar bahwa yang berbaju kuning adalah An Kai Seng. Karena itu, sekali ia melompat, ia telah berhadapan dengan An Kai Seng. Tanpa banyak cakap, ia lalu menyerang.

“Jahanam An, mampuslah kau!” Cambuknya menyambar hebat dan mengeluarkan bunyi yang keras sekali.

An Kai Seng yang diserang secara mendadak, menjadi kaget bukan main. Ia bukanlah seorang lemah dan cepat pedangnya menangkis. Namun ia tidak berdaya karena kali ini, Sui Ceng mempergunakan semua ujung cambuknya yang berjumlah sembilan.

Pedang An Kai Seng masih dapat menangkis sebagian ujung cambuk, akan tetapi tetap saja dua ujung cambuk menotok jalan darahnya, satu di leher dan satu lagi di ubun-ubun! An Kai Seng menjerit ngeri dan roboh tak bernapas lagi.

“Perempuan jahat, kau berani mencelakai suamiku!” Wi Wi Toanio menjerit dan mengirim tikaman dengan pedang.

Namun tentu saja Wi Wi Toanio bukan merupakan lawan tangguh bagi Bun Sui Ceng, murid Kiu-bwe Coa-li yang lihai ini. Beberapa gebrakan saja, Wi Wi Toanio roboh pingsan terkena sabetan cambuk pada pinggangnya.

Gemas mengingat bahwa perempuan ini adalah isteri dari musuh besarnya, yakni An Kai Seng keturunan An Lu San yang amat dibencinya, Bun Sui Ceng mengayunkan cambuk hendak memberi pukulan maut. Akan tetapi tiba-tiba dia terjengkang ke belakang dan di depannya berdirilah Hek-te-ong dengan senjatanya yang aneh di tangan, yakni sebuah penggada kepala beruang! Angin sambaran senjata ini saja sudah dapat membuat Sui Ceng terjengkang, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya tenaga dari ketua Mo-kauw ini.

Akan tetapi Sui Ceng memang tidak pernah mengenal takut. Cambuknya bergerak-gerak laksana sembilan ekor ular dan dia menyerang Hek-te-ong dengan pengerahan tenaga seluruhnya.

Diam-diam Hek-te-ong harus mengakui keganasan dan kehebatan wanita ini. Akan tetapi karena memang dia sudah memiliki kepandaian yang sangat tinggi, lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Kiam Ki Sianjin, ia dapat pula menghadapi Bu Sui Ceng dengan amat baiknya. Bahkan senjatanya penggada yang aneh itu dengan amat kuat dan pasti mulai mendesak Sui Ceng.


Sementara itu, Kiang Liat yang tadinya tidak berdaya karena ia maklum akan rendahnya tingkat kepandaiannya menghadapi para tokoh besar itu, setelah melihat dua belah pihak berperang tanding tanpa memilih jago, segera mencabut pedangnya dan turut menyerbu.

Ia paling benci melihat Pek Hoa Pouwsat yang pernah mengganggunya. Apa lagi kalau ia teringat akan kata-kata isterinya bahwa wanita cantik seperti siluman ini pernah berjanji untuk menengok anaknya, kekhawatirannya amat besar. Kini melihat Pek Hoa Pouwsat mendesak Pok Pok Sianjin, tanpa ragu-ragu lagi ia lalu terjun ke dalam pertempuran dan mempergunakan segala kepandaiannya untuk membantu Pok Pok Sianjin.

“Ehh, bocah she Kiang, kau masih belum mampus?” Pek Hoa Pouwsat yang mengenal Kiang Liat mengejek dan pedangnya kini bermain-main di atas kepala Kiang Liat.

Kalau tidak ada Pok Pok Sianjin, tentu dalam beberapa jurus saja Kiang Liat akan roboh. Setelah Kiang Liat membantu, keadaan Pok Pok Sianjin tidak begitu terdesak lagi, karena biar pun Kiang Liat masih kalah jauh tingkat kepandaiannya, namun kiam-hoat dari orang muda ini juga tak boleh dibilang lemah.

Pek Hoa Pouwsat merasa gemas sekali. Segera dia mencabut sehelai sapu tangan dari saku bajunya. Melihat sapu tangan merah ini, Kiang Liat terkejut sekali.

“Locianpwe, awas! Sapu tangan beracun itu...!” katanya.

Akan tetapi terlambat. Sambil tertawa kecil Pek Hoa Pouwsat sudah mengebutkan sapu tangannya.

Pada saat yang amat berbahaya itu, terdengar suara orang, “Perempuan keji!”

Tiba-tiba sapu tangan merah itu direnggut lepas dari tangan Pek Hoa Pouwsat dan di lain saat, terdengarlah suara…

“Takkk!” dan patahlah pedang di tangan kiri perempuan itu!

Pek Hoa Pouwsat menjadi pucat dan ia pun melompat jauh ke belakang sambil mulutnya memaki-maki.

“Bu Pun Su, lain kali kubunuh kau...”

Memang Bu Pun Su yang turun tangan pada saat berbahaya itu. Tadinya ketika melihat Wi Wi Toanio, terbang semangatnya. Ia maklum bahwa kalau perempuan berbahaya itu mempergunakan tusuk konde untuk mempengaruhinya, dia tidak akan berdaya. Maka Bu Pun Su cepat-cepat pergi dan mengintai dengan hati gelisah.

Melihat betapa pihaknya menderita kekalahan, dia lalu mengirim suara untuk membantu Han Le, kemudian ia mengirim suara pula kepada Bun Sui Ceng untuk merobohkan Ang Kai Seng dan Wi Wi Toanio.

Setelah dilihatnya bahwa Wi Wi Toanio telah tak berdaya pula, dengan girang Bu Pun Su lantas menerjang maju. Pertama-tama dia menolong Kiang Liat dan Pok Pok Sianjin yang hampir saja menjadi korban sapu tangan merah beracun dari Pek Hoa Pouwsat.

Sesudah itu, dia lalu cepat menolong yang lain. Pedang dan golok orang-orang Mo-kauw beterbangan, orang-orangnya roboh menjerit kesakitan tanpa sempat melihat siapa yang sudah merampas senjata dan merobohkan mereka. Demikian cepatnya gerakan Bu Pun Su Pendekar Sakti.

“Tahan semua senjata! Thian-te Sam-kauwcu, jika kalian memang laki-laki, jangan main keroyokan. Aku Bu Pun Su lawanmu. Mari kita mengadu kesaktian secara laki-laki!”

Mendengar ini dan melihat pula betapa orang-orangnya banyak yang roboh, Het te-ong lalu memberi aba-aba untuk menyuruh orang-orangnya mundur. Keadaan menjadi sunyi kembali. Mereka yang terluka, baik anak buah pihak Mo-kauw mau pun anak-anak murid Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, kini ditolong oleh teman-temannya dan ditarik ke belakang untuk diobati.

“Bu Pun Su, kenapa kau baru muncul?” Sui Ceng menegur marah kepada Bu Pu Su.

Pendekar itu tersenyum, mengejapkan mata kepadanya.

“Sekarang tiba saatnya aku menghadapi mereka. Terima kasih atas bantuanmu tadi, Sui Ceng,” kata Bu Pun Su yang cepat melangkah maju menghadapi Thian-te Sam-kauwcu yang sedang berdiri tegak dengan muka merah.

“Bu Pun Su, kau telah berani merusak patung-patung kami dan sekarang kau pula yang harus bertanggung jawab atas keributan ini. Kalau tidak ada kau di sini, kiranya semua orang gagah akan insyaf dan mengakui kami sebagai sahabat serta pemimpin mereka,” kata Hek-te-ong.

“Hek-te-ong, tenang dulu! Kau bersama dua orang sute-mu dari Barat telah mengacau di Tiong-goan. Kawan-kawan Mo-kauw yang bodoh dapat saja kalian tipu sehingga mereka mudah pula kalian jadikan boneka, termasuk kakek seperti Kam Ki Sianjin. Tidak itu saja, kalian juga telah mengganggu Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, mencuri kitab dan pedang. Kemudian kalian berusaha pula untuk merobohkan semua tokoh persilatan. Sekarang aku sudah datang, dan akulah yang bertanggung jawab.”

“Apa kehendakmu?” tanya Hek-teong.

“Tidak banyak, hanya ada dua macam. Pertama kau harus mengembalikan kitab kepada Siauw-lim-pai dan pedang kepada Kun-lun-pai, disertai pernyataan maaf atas kekurang ajaranmu. Kedua, kau bersama dua orang sute-mu harus segera pergi dari Tiong-goan, kembali ke barat tempat asalmu. Kalau kau hendak menjagoi, di Tibet tempatmu, bukan di sini.”

“Ha-ha-ha, kau sombong sekali. Apa kau kira kami ini anak-anak kecil yang akan mudah kau tipu dengan suara suling?”

Bu Pun Su tersenyum dan mencabut suling yang terselip pada pinggangnya. “Suling ini memang biasa untuk menghibur anak-anak kecil dan orang-orang yang berduka, akan tetapi ada kalanya dapat dipergunakan untuk mengusir pengacau-pengacau. Hek-te-ong, dari pada kita semua berkelahi seperti orang-orang biadab, marilah kita bertaruh. Kalian boleh mengajukan siapa saja untuk menghadapiku mengadu kepandaian. Jika aku kalah, aku Bu Pun Su takkan peduli lagi kalian akan berbuat apa. Akan tetapi kala jago-jagomu kalah, kalian harus segera angkat kaki dari sini dan selama hidup jangan menginjak lagi bumi di daerah ini!”

“Manusia sombong, apa sih kepandaianmu maka kau begini sombong? Mari kuantar kau ke neraka!” Yang berkata demikian adalah Pek-in-ong tokoh ke dua dari Mo-kauw yang tinggi kurus seperti tengkorak.

Dengan senjatanya sepasang roda yang lihai sekali, Pek-in-ong langsung menyerang Bu Pun Su. Rodanya berputaran di tangan yang mengeluarkan suara angin mengiung.

“Bagus, aku pernah mengenal patungmu, akan tetapi lebih menarik mengenal orangnya,” kata Bu Pun Su yang dengan sangat sederhana dan mudahnya mengelak dari serangan orang.

Pek-in-ong mendesak terus dan sepasang rodanya menyambar-nyambar sambil mencari lowongan, siap untuk mencabut nyawa Bu Pun Su. Namun, Bu Pun Su adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian luar biasa. Di atas dunia hanya dia seoranglah yang beruntung mewarisi ilmu kepandaian dari kitab sakti Im-yang Bu-tek Cin-keng.

Pendekar ini telah memiliki kepandaian mengenal dasar dan intisari semua gerakan ilmu silat. Oleh karena itu, dengan mudah saja dia dapat melihat setiap gerakan roda lawan, tahu pula ke mana senjata lawan akan menyerangnya, maka mudah saja baginya untuk menghindarkan diri.

Selain ini, di dalam tubuhnya telah mengalir sinkang (hawa sakti) yang terjadi dari hawa murni di dalam tubuh. Sinkang di dalam tubuhnya sudah kuat sekali, apa lagi setelah selama ini ia bertapa, tekun bersemedhi mengatur pernapasan dan mencurahkan seluruh jiwanya kepada kekuasaan Yang Maha Kuasa, maka dia mempunyai kekuatan lahir batin yang menakjubkan.

Biar pun senjatanya hanya sebatang suling bambu, akan tetapi sungguh aneh dan sukar dipercaya. Setiap kali roda yang terbuat dari baja tulen itu bertemu dengan suling, roda itu terpental kembali dan beberapa kali roda itu akan menghantam kepada Pek-in-ong sendiri.

Para tokoh yang berada di situ, yakni rombongan Bun Sui Ceng dan kawan-kawannya, sungguh pun mereka sudah tahu akan kelihaian Bu Pun Su, akan tetapi kembali mereka terheran-heran dan kagum sekali. Bagaimana Bu Pun Su dengan hanya sebatang suling bambu dapat mempermainkan Pek-in-ong seperti seekor kucing mempermainkan tikus? Padahal, semua orang tahu bahwa Pek-in-ong memiliki kepandaian yang amat tinggi!

Pek-in-ong sendiri terheran-heran bukan main. Beberapa kali Bu Pun Su mengembalikan roda-rodanya dengan gerak tipu yang serupa benar dengan gerakan yang tadi ia lakukan untuk menyerang lawan aneh ini. Ia merasa penasaran sekali dan mengerahkan seluruh kepandaiannya, akan tetapi sia-sia belaka. Bahkan pada waktu dia menyerang dengan hebatnya, melontarkan sepasang rodanya yang susul menyusul menimpa kepala Bu Pun Su, pendekar ini mengangkat sulingnya.

Tepat sekali suling itu masuk ke dalam roda, diputar-putarnya suling itu sehingga rodanya ikut berputar, lantas roda itu dilontarkan kembali ke arah kepala Pek-in-ong! Pek-in-ong terkejut, cepat mengulur tangan menyambut rodanya sendiri. Akan tetapi dia terjengkang karena tidak kuat menahan lontaran yang penuh dengan tenaga dahsyat itu. Roda kedua menghantam kepala Bu Pun Su, akan tetapi Pendekar Sakti ini mengibaskan tangannya dan... roda itu cepat meluncur ke bawah, menghantam kaki Pek-in-ong yang terjengkang.

“Plakk!” Kaki kanan Pek-in-ong terkena pukulan rodanya sendiri.

“Aduhh... aduhhh...!”

Semua orang hampir tidak dapat menahan ketawa ketika melihat Pek-in-ong berloncat-loncatan dengan kaki kiri sambil memegangi kaki kanan yang patah tulangnya dan bukan main sakitnya. Sesudah berloncat-loncatan beberapa kali sambil meringis-ringis, akhirnya Pek-in-ong roboh pingsan!

Hek-te-ong mengeluarkan suara gerengan laksana seekor beruang yang marah. Matanya menjadi merah seperti mengeluarkan api. Sekali tangannya bergerak, berhamburan debu hijau dan hitam ke arah Bu Pun Su. Pendekar ini maklum bahwa lawannya mengeluarkan bubuk beracun.

“Semua mundur jauh-jauh!” teriaknya kepada kawan-kawannya.

Bun Sui Ceng dan yang lain-lain cepat melompat ke belakang, menyambar tubuh-tubuh kawan-kawan yang kurang gesit. Han Le menyeret Kiang Liat karena melihat orang muda ini berlaku lambat. Akan tetapi tetap saja ada beberapa orang anak murid Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai tidak keburu lari dan mereka tiba-tiba terbatuk-batuk lalu roboh dengan muka menjadi hitam, napas mereka sudah putus!

“Keji sekali kau, Hek-te-ong!” seru Bu Pun Su marah.

Dia kemudian menggerakkan kedua lengannya, melakukan pukulan Pek-in Hoat-sut yang mengeluarkan uap putih sehingga semua bubuk berwarna itu segera terusir kembali dan menghantam ke arah rombongan Hek-te-ong sehingga orang-orang Mo-kauw itu menjadi kocar-kacir!

“Bu Pun Su mampuslah kau!” teriak Hek-te-ong dan senjatanya menyambar laksana kilat.

Menghadapi senjata penggada kepala beruang ini, Bu Pu Su tidak berani berlaku lambat. Ia menyelipkan sulingnya dan sebagai penggantinya, dicabutnya sebatang pedang yang berkilauan cahayanya. Inilah pedang pusaka Liong-coan-kiam, pedang pusaka yang dia terima dari kakeknya, yakni Menteri Lu Pin!

Sambaran senjata di tangan Hek-te-ong mengenai angin ketika Bu Pun Su mengelak dan sekejap kemudian dua orang sakti ini bertempur. Bukan main hebatnya pertempuran ini.

Bu Pun Su pernah mengamuk ketika dahulu pada waktu muda dia menghadapi Kiam Ki Sianjin dan kawan-kawannya, akan tetapi selama hidupnya baru sekali ini ia menghadapi tandingan yang benar-benar tangguh. Kepandaian Hek-te-ong masih di atas kepandaian Ang-bin Sin-kai, bahkan masih lebih ganas dan berbahaya dari pada kepandaian Kiu-bwe Coa-li dan yang lain-lain!

Akan tetapi, Bu Pun Su yang sekarang jauh bedanya dengan Bu Pun Su ketika masih mempergunakan nama Lu Kwan Cu. Sekarang kepandaian Bu Pun Su sudah sampai di puncak kesempurnaan. Ilmu silat Im-yang Bu-tek Cin-keng sudah mendarah daging pada dirinya.

Seluruh gerakan-gerakannya sudah otomatis dan hawa sinkang di tubuhnya tanpa diatur lagi sudah melindungi seluruh anggota tubuhnya. Bahkan dalam menghadapi Hek-te-ong, pendekar sakti ini masih mempunyai waktu untuk mempelajari ilmu silat aneh dari Ketua Mo-kauw ini.

Seratus jurus lebih mereka bertempur. Tiba-tiba Hek-te-ong berseru keras dan sekali ia menepuk dadanya, dari sebuah kancing besar di dadanya menyambar keluar tiga batang jarum merah ke arah tubuh Bu Pun Su. Serangan gelap ini dia barengi dengan pukulan penggadanya, lantas disusul dengan cengkeraman tangan kiri dan yang terakhir sekali, dua kakinya melakukan tendangan berantai!

Manusia biasa saja mana mungkin mampu membebaskan diri dari serangan ganas yang bertubi-tubi dari yang semuanya dapat merampas nyawa ini? Namun Bu Pun Su bukan manusia biasa, melainkan seorang manusia yang sudah amat kuat jiwa raganya, sudah amat tinggi ilmunya dan memiliki kesaktian yang tiada keduanya.

la maklum bahwa jarum-jarum merah itu berbahaya sekali, maka ia cepat meniup ke arah jarum-jarum itu dengan tenaga khikang sepenuhnya sehingga jarum-jarum itu runtuh, lalu tangan kirinya menangkis cengkeraman tangan kiri lawan, tubuhnya direndahkan sedikit sehingga tendangan berantai itu mengenai dada dan perutnya. Akan tetapi, pedangnya cepat sekali membabat senjata lawan.

Dalam satu detik itu terjadi hal-hal yang luar biasa sekali. Dua buah kaki Hek-te-ong tepat menendang perut dan dada Bu Pun Su, akan tetapi Bu Pun Su tidak bergeming, malah sebaliknya tubuh Hek-te-ong terpental ke belakang.

Penggada itu terkena babatan pedang dan putus pada bagian leher kepala beruang, lalu kepala beruang itu sendiri meluncur ke bawah demikian cepatnya dan... terdengar suara keras kepala beruang itu mengenai kepala Pek-in-ong yang masih menggeletak pingsan. Kepala Pek-in-ong pecah bersama kepala beruang itu.

Melihat ini, Hek-te-ong terkejut dan marah sekali. Dengan suara menggereng bagaikan binatang buas, dia menubruk Bu Pun Su dengan kedua tangan direnggangkan, lakunya seperti seekor beruang menerkam.

Bu Pun Su tidak dapat mengelak lagi, juga tidak tega untuk menyerang lawan dengan pedangnya. Cepat ia membanting pedang sehingga menancap di atas tanah, dan dengan kedua tangannya, ia menyambut datangnya lawan.

Dua pasang tangan yang sangat kuat bertemu, saling cengkeram dan saling membetot. Dua orang sakti mengadu tenaga lweekang, oleh karena dari sepuluh jari tangan masing-masing keluar hawa lweekang yang disalurkan.

“Krek... krekk... krekkk...!”

Suara ini amat mengerikan mereka yang menonton pertempuran, karena jelas bahwa itu adalah suara tulang-tulang yang patah! Tak lama kemudian, Hek-te-ong menjerit panjang dan tubuhnya terjengkang ke belakang, kemudian roboh dengan jari jemari tangan masih merupakan cengkeraman kuku iblis. Akan tetapi ia sudah tak bernapas lagi dan tubuhnya kaku seperti balok.

Ternyata bahwa dalam adu tenaga lweekang tadi, ia terkena pukulan hawa lweekang-nya sendiri yang membalik karena tidak dapat menahan sinkang yang mengalir keluar dari jari-jari tangan Bu Pun Su.

Bu Pun Su menarik napas panjang. “Siancai... siancai...,” katanya perlahan, “Hek-te-ong dan Pek-in-ong binasa karena kehendak Tuhan…”

Cheng-hai-ong berdiri pucat. Ia merasa marah dan sedih sekali melihat dua orang kakak seperguruannya tewas dalam keadaan mengerikan. Ia maklum bahwa kalau dua orang kakaknya kalah oleh Bu Pun Su, apa lagi dia yang kepandaiannya lebih rendah. Akan tetapi, ia tidak dapat membiarkan begitu saja tanpa menuntut balas. Malu kalau ia tidak turun tangan. Diam-diam otaknya bekerja, kemudian dia maju menghampiri Bu Pun Su, sikapnya tenang.

“Bu Pun Su, kau telah menewaskan kedua orang suheng-ku. Kau tentu maklum bahwa hal ini tak dapat kubiarkan begitu saja. Terpaksa aku melupakan kebodohan sendiri dan menantangmu mengadu nyawa.”

“Aku tahu dan aku bersedia, Cheng-hai-ong,” jawab Bu Pun Su sambil menarik napas panjang. Kalau tidak amat terpaksa dan demi keselamatan kaum pendekar di kang-ouw, ia segan untuk membunuh orang.

“Kedua orang suheng-ku memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dariku, toh mereka tewas dalam tanganmu. Apa lagi aku. Oleh karena itu, kiranya sebagai orang yang lemah aku berhak menentukan sifat pertandingan ini, ataukah kau merasa keberatan, Bu Pun Su?”

Bu Pun Su tersenyum dingin, “Sesukamulah, aku akan selalu mengiringi kehendakmu. Pertandingan mengadu kepandaian macam apa pun akan kuterima.”

“Bagus!”

Tiba-tiba sikap lemah-lembut dan mengalah dari Cheng-hai-ong lenyap, berganti dengan sikap yang gembira dan sinar mata yang kejam.

“Bu Pun Su adalah seorang tokoh besar, kiranya tidak akan menjilat ludah sendiri yang sudah dikeluarkan. Bu Pun Su, aku disebut orang Cheng-hai-ong (Raja Laut Hijau), maka sedikit kepandaian yang kumiliki tentu saja ada hubungannya dengan air, atau lebih tepat lagi, aku lebih leluasa bergerak di dalam air dari pada di atas bumi. Oleh karena itu, Bu Pun Su, aku menantangmu untuk mengadu nyawa di dalam air sungai ini!” Dia berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah air Sungai Yalu Cangpo yang airnya mengalir tenang dan lambat, menandakan bahwa air itu amat dalam.

Walau pun di dalam hatinya Bu Pun Su merasa kaget sekali karena tidak menyangka bahwa lawannya demikian licik dan menjalankan siasat yang amat curang, namun pada wajahnya tidak sedikit pun nampak rasa gelisah atau takut. Dia bahkan tersenyum dan berkata,

“Cheng-hai-ong, aku sama sekali tidak ingin mencelakai siapa pun juga. Sekarang kedua suheng-mu telah tewas karena kesalahan mereka sendiri. Jika kau mengembalikan kitab dan pedang secara suka rela, kemudian kau mau kembali ke tempat asalmu dan jangan mengganggu kami, juga mau melepaskan Mo-kauw dari pimpinanmu, siapakah yang sudi mencampuri urusan dunia yang menyulitkan? Akan tetapi kau bahkan menantangku, tak tahu kau menantang untuk memperlihatkan kepandaian di air ataukah untuk bertempur?”

Cheng-hai-ong sebenamya memang gentar menghadapi Bu Pun Su yang lihai. Biar pun ia yakin bahwa di dalam air ia akan lebih unggul, akan tetapi orang semacam Bu Pun Su ini, sungguh pun di dalam air atau di lautan api sekali pun, tetap merupakan lawan yang berbahaya dan tangguh. Maka ia ingin berlaku hati-hati dan menjawab,

“Bu Pun Su, pertama-tama aku menantang kau mengadakan pertunjukan di permukaan air, kita sama lihat siapa di antara kita yang lebih pandai.”

Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban supaya Bu Pun Su tidak mempunyai kesempatan untuk membantah, orang ketiga dari Thian-te Sam-kauwcu ini melompat dan tubuhnya sudah melayang turun ke dalam Sungai Yalu Cangpo.

SEMUA orang berlari-lari mendekati tebing sungai untuk melihat. Mereka menjadi sangat kagum dan di sana-sini terdengar seruan memuji. Memang kepandaian Cheng-hai-ong hebat sekali.

Lain orang kalau ingin terapung di air, tentu jalan satu-satunya hanya berenang. Ini pun hanya membuat sebagian tubuh saja yang terapung. Akan tetapi, tidak demikian dengan Cheng-hai-ong. Entah bagaimana, dengan kedua kaki digerakkan cepat-cepat dan aneh, ia dapat membuat tubuhnya terapung dalam keadaan berdiri tegak dan yang tenggelam ke dalam air hanya kaki sebatas lutut saja!

Lutut itu bergerak-gerak terus dan dapat diduga bahwa kedua kaki itulah yang bergerak secara istimewa sehingga tubuhnya dapat tegak pada permukaan air, dan tangan kanan Cheng-hai-ong sudah memegang senjatanya yang luar biasa sekali, yakni rantai dengan tengkorak manusia pada ujungnya! Orang ini tertawa mengejek sambil memandang ke arah Bu Pun Su!

“Bu Pun Su, beranikah kau turun ke sini?” tantangnya dengan nada suara mengejek.

“Kwan Cu, jangan kena terjebak oleh tipu muslihatnya!” Bun Sui Ceng mencegah Bu Pun Su, kemudian dengan suara nyaring sambil mengamang-amangkan cambuknya ke arah Cheng-hai-ong, ia membentak keras,

“Cheng-hai-ong, manusia busuk! Kau hendak mempergunakan kecurangan, memancing lawan ke dalam air. Kami bukanlah sebangsa katak yang biasa main di darat dan di air, mana kami sudi melayanimu di air, kau katak bukan tikus pun bukan? Hayo naik ke darat dan kau bisa mencoba rasanya cambukku ini sebelum bangkaimu kulemparkan ke dalam air.”

Bu Pun Su tersenyum. “Air Sungai Yalu Cangpo boleh lebar dan dalam mengerikan, akan tetapi selama masih ada nelayan, kita takut apakah?” Tiba-tiba saja tubuhnya melayang ke bawah, ke air sungai yang demikian lebar dan dalam!

Semua orang melongok ke bawah. Kawan-kawan Bu Pun Su sangat khawatir karena mereka belum pernah mendengar bahwa pendekar sakti ini pandai pula bermain di air. Akan tetapi apa yang mereka lihat di permukaan air Sungai Yalu Cangpo benar-benar membuat mereka melongo, bahkan pihak Mo-kauw yang menyaksikan pemandangan ini menjadi pucat dan tak berani bernapas. Apakah yang mereka lihat?

Bu Pun Su telah melompat dan tiba di permukaan air seperti di atas tanah keras saja! Pendekar sakti ini berdiri di permukaan air, tidak bergeming, tidak bergerak sama sekali, tersenyum-senyum dan enak saja menghadapi Cheng-hai-ong yang menjadi pucat.

Ini tak mungkin, pikir Cheng-hai-ong. Ia adalah seorang ahli dalam permainan di air dan ia tahu bahwa berdiri tanpa bergerak pada permukaan air laksana sehelai daun kering, adalah hal yang tak mungkin dilakukan oleh manusia hidup. Kalau sekiranya ia melihat Bu Pun Su berlari-lari cepat di permukaan air, dia masih percaya karena seorang yang ginkang-nya sudah mencapai tingkat tinggi seperti Bu Pun Su, kiranya dapat melakukan hal itu. Akan tetapi berdiri tegak di permukaan air tanpa bergerak?



Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su


Kemudian, tiba-tiba Cheng-hai-ong teringat akan peristiwa sebelum Bu Pun Su muncul di tempat itu. Ketika ia dan suheng-suheng-nya menanti datangnya Bu Pun Su, ada suara ketawa aneh di permukaan air, dan ia telah menyerang dengan jarum ke arah permukaan air, akan tetapi tidak kelihatan siapa pun juga.

Apakah tidak mungkin ada orang pandai yang bersembunyi di dalam air? Dan sekarang orang itu telah membantu Bu Pun Su dan menyangga kedua kakinya?

“Jahanam, jangan main sembunyi, keluarlah kalau kau laki-laki!” seru Cheng-hai-ong dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak sehingga beberapa batang jarum hijau menyambar ke arah air tepat di bawah kaki Bu Pun Su!

Bu Pun Su menggerakkan kakinya menendang ke arah sinar hijau itu dan jarum-jarum itu menyeleweng ke kiri.

“Kong Hwat, kau lawanlah dia ini, sama-sama setan air!” kata Bu Pun Su dan sekali ia menggerakkan kakinya, tubuhnya melesat naik ke tebing sungai lagi.

Terdengar suara ketawa bergelak dan di permukaan air, di mana tadi Bu Pun Su ‘berdiri’ di atas air, muncul kepala seorang laki-laki yang begitu muncul begitu langsung ketawa terkekeh-kekeh, nampaknya seperti orang kegirangan sekali. Akan tetapi kedua matanya tidak ikut tertawa bahkan seperti orang menangis. Kalau saja tidak ada air sungai yang menetes-netes dari rambutnya, tentu orang akan melihat air matanya bercucuran!

“Dia Nelayan Cengeng!” seru Sui Ceng.

Dia memandang heran kepada Bu Pun Su karena kini tahulah ia bahwa Bu Pun Su tadi sebelum melompat ke dalam sungai sudah mengetahui bahwa Nelayan Cengeng berada di bawah permukaan air itu. Bagaimana Bu Pun Su bisa mengetahui hal ini?

Ada pun Cheng-hai-ong, pada waktu melihat bahwa benar saja dugaannya di bawah air terdapat kawan Bu Pun Su, menjadi marah sekali. Ia cepat menggerakkan rantainya dan tengkorak di ujung rantai lantas menyambar ke arah kepala Kong Hwat atau Si Nelayan Cengeng. Akan tetapi tengkorak itu hanya menyambar air, karena kepala yang diserang telah lenyap lagi ke bawah permukaan air.

Tiba-tiba nampak Cheng-hai-ong meronta-ronta dan memaki-maki. Senjatanya bergerak memukul ke bawah, namun tetap saja tubuhnya diseret turun ke dalam air oleh Nelayan Cengeng! Sebentar kemudian, dua orang ‘setan air’ itu telah tenggelam dan orang-orang yang berada di tebing tidak melihat apa-apa lagi. Hanya air sungai yang tadinya mengalir tenang itu kini nampak bergelombang, tanda bahwa di dasar sungai terjadi pergumulan hebat.

Bu Pun Su memang datang bersama Kong Hwat yang ia jumpai di tengah perjalanannya menuju ke Yalu Cangpo. Dua orang kenalan lama itu lalu bercakap-cakap dan ketika mendengar bahwa Bu Pun Su hendak menghadapi orang-orang Mo-kauw yang dipimpin oleh Thian-te Sam-kauwcu, Kong Hwat menjadi gembira sekali dan dengan suka rela ikut ke tempat itu.

Akan tetapi Kong Hwat tidak langsung menuju ke tempat itu, melainkan mengambil jalan dari sungai, mendayung perahu kecilnya, kemudian ia bahkan telah mendahului Bu Pun Su dan telah mengeluarkan suara ketawa ketika para anggota Mo-kauw mentertawakan Bu Pun Su yang belum datang.

Sementara itu, orang-orang Mo-kauw yang melihat dua orang pemimpin mereka sudah tewas, menjadi marah sekali. Terutama Hek Pek Mo-ko dan Pek Hoa Pouwsat. Mereka bertiga ini berseru keras memberi aba-aba kepada kawan-kawannya dan menyerbulah mereka sehingga kembali terjadi perang tanding yang hebat antara orang-orang Mo-kauw melawan orang-orang Siauw-lim dan Kun-lun.

Ada pun Hek Pek Mo-ko, Pek Hoa Pouwsat, Kiam Ki Sianjin, dan beberapa orang tokoh Mo-kauw yang berkepandaian tinggi, tentu saja segera disambut oleh Bun Sui Ceng, Swi Kiat Siansu, The Kun Beng, Han Le, Pok Pok Sianjin, dibantu oleh Kiang Liat serta para tokoh Siauw-lim dan Kun-lun.

Pertandingan berjalan tidak seimbang. Setelah Thian-te Sam-kauwcu tidak berada di situ, kekuatan pihak Mo-kauw kalah jauh, apa lagi jika Bu Pun Su ikut turun tangan membantu kawan-kawannya. Pendekar Sakti ini yang melihat bahwa pihaknya unggul, hanya berdiri menonton, kadang-kadang menengok ke arah sungai.

Pergumulan di dalam sungai antara Nelayan Cengeng dan Cheng-hai-ong benar-benar hebat. Sayangnya mereka yang berada di darat tidak dapat menyaksikan pertandingan istimewa ini, pertempuran antara dua orang manusia yang memiliki kepandaian seperti ikan.

Sebetulnya, kalau bertanding di darat, kepandaian Cheng-hai-ong masih lebih unggul dan kiranya Kong Hwat takkan dapat bertahan sampai lima puluh jurus. Akan tetapi, Nelayan Cengeng ini memang cerdik. Ia tahu bahwa ia menghadapi lawan-lawan tangguh, oleh karena itu ia sengaja tidak mau ikut Bu Pun Su menghadapi mereka di darat, melainkan menunggu di air, di mana ia boleh membanggakan kepandaiannya dan tidak usah takut terhadap siapa pun juga.

Meski pun sekarang ia menghadapi Cheng-hai-ong yang lihai, akan tetapi setelah mereka bertanding di dalam air, ternyata Cheng-hai-ong harus mengakui keunggulan lawannya yang istimewa itu.

Pertempuran di dalam air berbeda dengan pertempuran di darat. Tenaga lweekang tidak begitu ampuh lagi sesudah orang berada di dalam air, apa lagi segala macam senjata rahasia seperti yang menjadi keunggulan Cheng-hai-ong, sama sekali jarum-jarumnya tak dapat dipergunakan. Di dalam air, yang diandalkan adalah kegesitan, ketajaman mata dan telinga, dan terutama sekali keuletan dan kekuatan bertahan napas.

Dalam hal ini pun ternyata Cheng-hai-ong kena diakali oleh Nelayan Cengeng. Apa bila mereka berdua bertanding kekuatan menahan napas di dalam air agaknya Kong Hwat hanya menang sedikit saja. Akan tetapi, sesudah mereka bergumul beberapa lama dan keduanya telah hampir kehabisan napas, diam-diam Kong Hwat mengeluarkan sebatang tangkai rumput alang-alang yang dalamnya berlubang.

Tangkai alang-alang yang seperti pipa kecil ini, ujungnya dia masukkan mulut dan ketika Kong Hwat meniup ujung yang dimasukkan mulutnya itu, pipa alang-alang yang panjang ini timbul di permukaan air. Kemudian, dengan leluasa dia dapat bernapas dan berganti hawa melalui pipa kecil itu!

Dengan akal ini, tidak heran apa bila tidak lama kemudian dia sudah dapat menggempur dada Cheng-hai-ong dengan senjatanya, yakni sebatang dayung besi yang berat! Cheng-hai-ong yang napasnya memang sudah hampir putus itu, mana kuat menerima pukulan ini? Tubuhnya menjadi lemas dan ia tersembul ke atas dengan tubuh tak bernyawa lagi, lalu hanyut oleh air sungai yang mengalir tenang.

Kong Hwat sendiri cepat-cepat naik dan menyembulkan kepala di atas permukaan air. Ia melihat pertempuran berjalan ramai akan tetapi Bu Pun Su hanya berdiri saja menonton, maka tahulah ia bahwa ia tidak perlu turun tangan membantu. Ia lalu berenang dengan cepat sekali mengikuti aliran air, pergi dari tempat itu.

Para anggota Mo-kauw melihat pula tubuh Cheng-hai-ong yang telah menjadi mayat dan hanyut di permukaan air sungai, maka hati mereka makin gelisah sehingga perlawanan mereka juga semakin kalut. Banyak sudah orang pihak mereka roboh dan binasa.

Tiba-tiba saja terdengar pekik nyaring, “Lu Kwan Cu, aku perintahkan kau menghentikan perlawanan pihakmu!”

Seorang wanita melompat dan memegang sebatang tusuk konde perak ke atas sambil menghampiri Bu Pun Su. Muka pendekar ini menjadi pucat dan kaget sekali. Ia hendak melarikan diri, namun sudah tidak keburu. Terpaksa ia melompat ke tengah pertempuran dan membentak,

“Semua kawan tahan senjata!”

Bun Sui Ceng dan yang lain-lain merasa heran sekali, namun tetap melompat mundur. Beberapa orang Siauw-lim dan Kun-lun yang masih mendesak lawan, tentu saja tak mau mundur karena selagi mereka menang dan mendesak lawan, mengapa disuruh berhenti?

Tiba-tiba saja mereka melihat bayangan orang berkelebat cepat di hadapan mereka dan tahu-tahu senjata di tangan mereka telah lenyap dirampas orang! Kini terpaksa mereka melompat mundur. Mereka semakin kaget dan heran ketika mendapat kenyataan bahwa yang merampas senjata mereka tadi bukan lain adalah Bu Pun Su sendiri!

“Wi Wi, kau dan kawan-kawanmu pergilah!” Bu Pun Su berkata dengan suara kaku dan muka pucat.

Semua orang menjadi terheran-heran. Bun Sui Ceng tentu saja menjadi amat penasaran dan marah. Ia melangkah maju dan cambuknya lantas berbunyi keras ketika cambuk ini menyambar ke arah Wi Wi Toanio!

Akan tetapi, sekali menggerakkan lengan, Bu Pun Su menerima cambuknya itu dengan lengannya. Agar jangan menyinggung perasaan Bun Sui Ceng, pendekar sakti ini tidak mengerahkan tenaga dan membiarkan cambuk itu melukai kulit lengannya. Segera darah mengucur dari kulit yang pecah terkena cambuk!

“Ayaaa...!” Sui Ceng melompat ke belakang dengan kaget sekali. “Kwan Cu, apakah kau sudah gila?”

Sui Ceng memandang ke arah Bu Pun Su, kemudian menoleh kepada Wi Wi Toanio dan matanya mengancam. “Kau mau membela dia? Akan kubunuh wanita jahanam ini...”

“Wi Wi, lekas kau pergilah. Kalau tidak, aku tidak tahu apakah aku masih dapat mentaati permintaanmu,” kata pula Bu Pun Su kepada Wi Wi Toanio.

Wi Wi Toanio tersenyum mengejek. Pada saat seperti itu, ia tidak dapat mendesak Bu Pun Su karena orang-orang yang menjadi lawan adalah orang-orang yang amat lihai, apa lagi suaminya sudah meninggal dan perlu diurus.

Dapat menyelamatkan diri saja sudah lebih dari cukup dan boleh dibilang untung sekali, karena ia maklum bahwa jika pertandingan dilanjutkan, pihak Mo-kauw pasti akan tewas semua. Sambil tertawa dan menangis seperti orang gila, Wi Wi Toanio menyambar tubuh An Kai Seng, kemudian berlari pergi dari situ, diikuti oleh semua orang.

Hek Pek Mo-ko sendiri, dan juga Pek Hoa Pouwsat, tidak berani menentang Bu Pun Su lebih lama lagi dan mereka pun melarikan diri dan mempergunakan kesempatan aneh itu. Mereka pergi dengan hati mengandung dendam besar, akan tetapi apakah daya mereka menghadapi orang-orang seperti Bu Pun Su dan yang lain-lain itu?

Setelah pihak lawan pergi semua membawa mayat dan mereka yang terluka, Bun Sui Ceng tidak dapat menahan lagi kemarahannya. Sambil menatap wajah Bu Pun Su yang pucat, ia menegur,

“Kwan Cu, apakah kau tiba-tiba menjadi gila? Orang Mo-kauw itu perlu dibasmi, kenapa kau bahkan memberi kesempatan kepada mereka untuk lari?”

“Thian-te Sam-kauwcu sudah tewas, dan tidak ada alasan bagi kita untuk membasmi orang-orang Mo-kauw. Sebelum muncul Thian-te Sam-kauwcu, antara kita dengan pihak Mo-kauw memang tidak ada permusuhan sesuatu, kenapa kita harus terlalu mendesak?” kata Bu Pun Su.

Kata-kata ini dapat dimengerti oleh semua orang dan pihak Siauw-lim-si serta Kun-lun-pai juga menganggap urusan sudah selesai. Kitab dan pedang telah dapat dirampas kembali dan pencurinya, yakni Thian-te Sam-kauwcu, sudah tewas. Kenapa harus memperbesar permusuhan dengan golongan Mo-kauw yang sebenarnya hanya diperalat oleh Thian-te Sam-kauwcu?

Maka, setelah mengambil benda pusaka masing-masing, orang-orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai lalu meninggalkan tempat itu, membawa jenazah dan anggota-anggota yang terluka.

Berturut-turut Swie Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, Han Le, dan Kiang Liat mengundurkan diri. Akhirnya hanya tinggal Bu Pun Su, Bun Sui Ceng dan Kun Beng saja yang masih berada di tempat itu. Bun Sui Ceng berkeras minta penjelasan dari Bu Pun Su mengapa pendekar ini begitu menurut dan takut-takut kepada Wi Wi Toanio.

Bu Pun Su tersenyum dan memandang kepada The Kun Beng yang semenjak tadi diam saja, kadang-kadang memandang kepada Sui Ceng, kadang-kadang melirik ke arah Bu Pun Su dan kadang-kadang menundukkan mukanya.

Memang di antara tiga orang pendekar yang kini sudah tua itu, dahulu terjalin kisah yang amat mengharukan dan juga membingungkan, kisah asmara segitiga yang sulit. Setelah berpisah puluhan tahun, kini mereka bertemu kembali dan tentu saja kenang-kenangan masa lampau terbayang pula.

“Sui Ceng, kau ternyata masih keras hati seperti dulu. Sebenarnya aku mengharapkan untuk melihat kau dan Kun Beng menjadi suami isteri dan mempunyai keturunan yang gagah agar aku dapat membantu mendidiknya. Tidak tahunya... kita masih sama saja seperti dahulu!”

“Kwan Cu,” kata Sui Ceng bersungguh-sungguh tanpa merasa sungkan lagi pada bekas tunangannya, yakni The Kun Beng, “kau sudah tahu bahwa hatiku semenjak dulu sudah beku terhadap laki-laki. Kuanggap laki-laki adalah makhluk yang tak dapat dipercaya dan berhati palsu, kecuali engkau. Kalau saja isi dada Kun Beng seperti isi dadamu, kiranya sekarang kami telah menjadi suami isteri.”

Tentu saja Kun Beng merasa terpukul, akan tetapi ia sudah terlalu lama menderita patah hati sehingga kini tidak terasa lagi olehnya.

“Memang Saudara Kwan Cu seorang laki-laki sejati seorang pria tak tercela. Oleh karena itu maka dosamu makin bertumpuk, Sui Ceng. Melukai hatiku boleh kau anggap sebagai hukuman atas perbuatanku yang menyeleweng, akan tetapi bila melukai hati Kwan Cu... benar-benar kau telah berdosa!”

Kata-kata ini benar-benar mengenai tepat. Tak terasa lagi dua butir air mata menitik turun dari sepasang mata yang masih indah dan bening itu. Terbayanglah di depan mata Sui Ceng semua pengalamannya dahulu dan betapa Lu Kwan Cu amat kasih kepadanya.

Mendengar kata-kata dua orang itu, Bu Pun Su tersenyum pahit. “Ahh, kalian salah duga. Di dunia ini, manakah ada seorang manusia yang bersih dan suci tak ternoda? Kalian menganggap aku seorang baik hanya karena kalian tidak tahu akan perbuatanku yang menyeleweng seperti yang pernah dilakukan oleh Kun Beng, bahkan lebih hebat dan keji lagi...”

Sui Ceng dan Kun Beng mengangkat muka memandang, agaknya tidak percaya.

“Sui Ceng kau tadi bertanya tentang sikapku yang aneh terhadap Wi Wi Toanio, isteri dari An Kai Seng. Nah, sekarang untuk membuka matamu bahwa bukan hanya tunanganmu lelaki tunggal yang menyeleweng di dunia ini, baiklah kuceritakan tentang sebab sikapku yang aneh tadi.”

Kemudian dia pun menceritakan betapa dia pernah terpikat oleh kecantikan Wi Wi Toanio sehingga melakukan hal yang sangat keji dan rendah memalukan, yakni mengadakan perhubungan dengan isteri orang!

“Nah, sekarang kalian tahu akan kenyataan bahwa Bu Pun Su adalah seorang manusia busuk. Lu Kwan Cu sudah mampus dan yang ada hanya Bu Pun Su!”

Setelah berkata demikian, dengan suara ketawa yang pahit dan terdengar menyeramkan, Bu Pun Su berkelebat dan lenyap dari hadapan dua orang sahabatnya itu. Hanya suara ketawanya saja yang masih bergema dari tempat jauh.


                   ***************


SESUDAH meninggalkan lembah Sungai Yalu Cangpo, Kiang Liat melakukan perjalanan cepat untuk segera sampai kepada isterinya. Juga ia sudah amat rindu kepada Im Giok, puterinya. Tiga bulan ia berpisah dengan mereka!

Kalau ia mengenangkan semua pengalamannya selama tiga bulan ini, diam-diam Kiang Liat bergidik dan merasa beruntung bahwa ia masih selamat dan dapat keluar dari semua ancaman dan bahaya itu dengan tak kurang sesuatu apa pun. Juga ia telah mendapat pengalaman pertempuran hebat, yang membuat kedua matanya terbuka bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai.

Kiang Liat ingin membuat girang hati isterinya dan ingin membuat kedatangannya tidak tersangka-sangka. Sambil tersenyum-senyum geli dan gembira mengenangkan betapa isterinya akan terkejut dan girang, dia merencanakan untuk memasuki rumahnya tanpa diketahui oleh siapa pun. Tahu-tahu dia akan tidur di atas pembaringan dalam kamarnya sampai isterinya masuk ke kamar dan mendapatkannya sudah tidur di situ!

Manusia manakah yang tahu akan ketentuan nasibnya? Siapakah yang mengerti akan rahasia besar nasib manusia yang hanya dipegang serta ditentukan oleh Tangan Thian Yang Maha Kuasa sendiri?

Bukti kekuasaan Tuhan memang kadang kala amat aneh, ganjil, dan sukar dimengerti. Kadang-kadang bahkan nampak tidak adil!

Misalnya, seorang yang berwatak jahat hidup dalam keadaan senang dan makmur, tetapi sebaliknya orang yang berwatak baik hidup sengsara. Ada pula seorang yang hidupnya penuh dosa selalu sehat, sebaliknya orang yang hidup saleh bahkan menderita penyakit berat. Terlontarlah kata-kata ‘tidak adil’ dari mulut mereka yang masih belum kuat iman dan kepercayaannya terhadap Tuhan dan kekuasaannya.

Akan tetapi tidak demikian sikap orang budiman, atau seorang yang memang menaruh kepercayaan akan keadilan Tuhan secara mutlak. Dia ini bahkan akan menerima segala apa yang oleh manusia dianggap ‘sengsara’ atau ‘menderita’ dengan hati tenang dan penuh penyerahan sebulatnya kepada Yang Maha Kuasa, menerima lahir batin dengan penuh kepercayaan dan keyakinan bahwa segala apa yang menimpa dirinya itu adalah kehendak Tuhan yang tidak dapat diubah pula oleh siapa pun juga, dan bahwa di balik semua hal yang menimpa dirinya itu terdapat sesuatu yang adil dan baik.

Bahagialah orang yang menerima kemalangan sebagai orang menghadapi ujian, tahan uji, kuat dan akhirnya lulus! Sebaliknya, kasihan mereka yang lemah hati, yang tidak kuat menghadapi kemalangan, sehingga kepercayaan mereka menjadi luntur, watak yang baik menjadi buruk, dan kemalangan menyeretnya ke dalam penyelewengan yang kemudian akan menghancurkan hidupnya sendiri!

Kiang Liat tidak menyangka sama kali bahwa ia akan menghadapi hal yang amat berat baginya. Ketika ia tiba di kotanya, siang telah terganti senja dan keadaan di jalan sudah mulai sunyi. Dengan mudah Kiang Liat dapat mempergunakan kepandaiannya sehingga tak seorang pun melihatnya ketika ia tiba luar tembok belakang rumahnya.

Sekali melompat ia telah berada di dalam kebun belakang rumah, kemudian ia melompat-lompat dan di lain saat telah berada di luar kamarnya, di dekat jendela. Dan pada saat itulah ia mendengar suara orang bercakap-cakap di dalam kamarnya, suara isterinya dan seorang wanita lain, yang kemudian ia kenal sebagai suara Ceng Si, bekas pelayan yang telah dikawinkan dengan Cia Sun sastrawan miskin itu!

“Ceng Si, kau dan Cia Sun betul-betul keterlaluan. Kurang bagaimanakah aku menolong kalian? Kurang banyakkah uang dan perhiasan yang kuberikan kepada Cia Sun? Kenapa kalian seakan-akan tidak mengenal puas dan hendak menghabiskan kekayaan kami? Ah, kau juga tahu bahwa suamiku sedang pergi, mengapa kau tidak datang mengawani dan menghibur hatiku yang gelisah memikirkan ia, sebaliknya kau datang untuk mengganggu dan lagi-lagi minta uang dalam jumlah yang terlalu besar. Dari mana aku bisa mendapat uang sebanyak itu?”

Mendengar kata-kata isterinya ini, Kiang Liat menjadi pucat dan ia pun menahan napas, mendengarkan percakapan dengan hati tidak enak sekali. Kemudian terdengarlah suara Ceng Si, nadanya mengejek dan menghina benar-benar di luar persangkaan Kiang Liat. Sejak kapankah pelayan ini begitu berani bicara kasar dan menghina terhadap isterinya?

“Nyonya muda mengapa begitu pelit? Apa bila tidak untuk menutupi rahasiamu terhadap suamimu, siapakah sudi menikah dengan siucai miskin itu? Pada waktu dahulu, Nyonya yang main-main dan bersurat-suratan, bercinta-cintaan dengan Cia Sun. Setelah Nyonya menikah dan mendapat kedudukan baik, akhirnya akulah yang dijadikan korban untuk melayani siucai bekas kekasih nyonya muda itu.”

Kiang Liat tak sanggup mendengarkan terus. Hampir saja ia menendang jendela untuk mengamuk, akan tetapi baiknya ia mampu menahan gelora hatinya dan sebaliknya ia lalu melompat pergi! Hati dan pikirannya tidak karuan.

Ia masih bersangsi apakah benar-benar isterinya dulu telah melakukan hal yang demikian memalukan? Benarkah isterinya dahulu menjadi kekasih Cia Sun? Tak mungkin! Isterinya begitu mencintanya.

Akan tetapi kalau ia teringat betapa semua perhiasan isterinya tidak pernah dipakai, dan kalau ia ingat akan kata-kata isterinya tadi kepada Ceng Si bahwa banyak sudah uang dan perhiasan yang diberikan oleh isterinya kepada Cia Sun. Ahhh, apa artinya ini? Dan kata-kata Ceng Si tadi?

Hampir pecah kepala Kiang Liat dan hampir meledak dadanya, membuat dia berjalan di malam buta, tak tentu arah tujuannya, bicara seorang diri, berbantah-bantahan dengan diri sendiri, kadang-kadang tertawa mengejek, kadang-kadang membentak-bentak, dan ada kalanya ia tertunduk di pinggir jalan menangis tersedu-sedu!

Semalam suntuk Kiang Liat berkeliaran di sekitar kota seperti orang gila. Terjadi perang tanding hebat di dalam dada dan akhirnya, pada keesokan harinya, pagi-pagi hari kalau orang melihat Kiang Liat, tentu akan pangling. Ia nampak lesu dan kusut, waktu semalam suntuk itu seakan-akan sepuluh tahun sehingga ia nampak sepuluh tahun lebih tua dari kemarin sore!

Tukang kuda di belakang gedungnya terkejut setengah mati ketika pagi-pagi sekali dia melihat majikannya menyerbu kandang kuda, dan tanpa bicara sepatah pun kata lalu mengeluarkan kuda lantas membalapkan kuda itu keluar dari kandang! Tukang kuda itu melongo, menggosok-gosok matanya, kemudian secepatnya berlari-lari ke gedung, minta menghadap nyonya muda!

“Hujin, celaka. Telah terjadi sesuatu yang ganjil dan aneh pada diri Wan-gwe!”

Song Bi Li, isteri Kiang Liat, pucat seketika. “Ehh, pagi-pagi kenapa kau sudah bicara yang bukan-bukan? Majikanmu belum pulang, bagaimana kau bisa bicara seperti itu? Hati-hatilah dengan mulutmu, jangan kau kurang ajar!” kata Bi Li marah.

“Hamba bersumpah tidak berani main-main, Hujin. Benar-benar baru saja hamba melihat Wan-gwe datang ke kandang dan keluar pula menunggang kuda kesayangannya. Dan keadaan Wan-gwe... pakaiannya kusut, mukanya seperti tak mengenal hamba lagi dan... dan... sinar matanya begitu mengerikan. Hamba takut, Hujin...”

Bi Li mengerutkan keningnya. Tak mungkin suaminya berkelakuan seperti itu, datang lalu pergi lagi sebelum menjumpainya. Apakah yang telah terjadi?

“Kiu Pek-pek, coba ajaklah kawan-kawan untuk menyusul dan menyelidiki keadaan yang aneh ini!” katanya.

Bi Li lalu masuk ke dalam gedung dan sebentar kemudian kegelisahannya sudah banyak berkurang ketika Im Giok bangun dari tidur dan dipangkunya.


                    ***************


Sesudah memikirkan keadaan isterinya selama semalam suntuk, Kiang Liat mulai dapat mengambil kesimpulan. Boleh jadi sekali isterinya dulu berkasih-kasihan dengan Cia Sun, kemudian setelah menjadi isterinya, Bi Li diperas oleh Cia Sun dengan bantuan Ceng Si! Tak bisa salah lagi, tentu demikian duduknya perkara, pikirnya.

Oleh karena itu, orang pertama yang menjadi sasaran kemarahannya adalah Cia Sun. Ia mengambil kudanya karena tubuhnya terasa lelah dan lemas sekali, kemudian dia segera membalapkan kuda itu menuju ke tempat tinggal Cia Sun.

Memang keadaan Cia Sun sekarang sudah makmur. Uang dan perhiasan yang diperas dari Bi Li bukan sedikit. Ia kini dapat membeli tanah sebagai seorang kaya raya. Setiap pagi ia berjalan-jalan menunggang kuda, memeriksa tanahnya berlagak seperti seorang tuan tanah yang hartawan. Akan tetapi karena ia terlalu royal, selalu ia kekurangan uang dan jalan satu-satunya hanyalah memeras Bi Li dengan perantaraan Ceng Si yang sudah menjadi isterinya!

Pada pagi hari itu, tanpa menyangka bahwa hari itu akan merupakan hari sial baginya, Cia Sun menunggang kuda hendak menuju ke sebuah dusun yang berdekatan. Semalam isterinya, Ceng Si, datang membawa perhiasan dan uang dan seperti biasanya, begitu mendapatkan uang, tentu saja Cia Sun lalu mengambil sedikit untuk berpesta di rumah pelacuran di dusun sebelah barat, atau untuk bermain judi dengan kawan-kawannya!

Akan tetapi baru saja ia hendak meninggalkan jalan simpang di luar dusunnya, tiba-tiba ia mendengar derap kaki kuda. Dari jauh datanglah Kiang Liat yang membalapkan kudanya.

Hati Cia Sun terkejut bukan main. Mengapa Ceng Si malam tadi tidak bilang apa-apa? Mengapa tidak bilang bahwa Kiang Liat sudah pulang? Ataukah... barangkali pagi ini baru pulang? Walau pun hatinya berdebar, Cia Sun menahan kudanya dan bahkan memutar binatang tunggangannya itu untuk menyambut kedatangan Kiang Liat.

Dari jauh ia sudah menjura di atas kudanya dan berkata ramah,

“Selamat pagi, Kiang-wangwe. Berkat kebaikan Wangwe, kini siauwte telah memperoleh banyak kemajuan.”

Kata-kata ini diucapkan untuk mengambil hati Kiang Liat, akan tetapi bagi pendekar ini merupakan sindiran yang membuat hatinya makin terluka dan perih.

“Jahanam keparat!” serunya.

Sekali ia menggerakkan tubuh, ia telah melayang dari atas kudanya, menyambar tubuh Cia Sun yang dibantingnya ke atas tanah. Dua ekor kuda itu ketakutan dan menjauhkan diri, kemudian melihat mereka tidak diganggu, dua ekor kuda itu makan rumput di bawah pohon, tenang-tenang saja, tak menghiraukan lagi dua orang yang kini saling berhadapan dalam keadaan tegang itu.

“Ampun Wan-gwe. Apa dosaku maka Wan-gwe datang-datang marah kepada siauwte?” Cia Sun berlutut sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi untuk minta ampun.

Kalau menuruti hawa nafsu di dalam dadanya, ingin sekali Kiang Liat membunuh siucai ini tanpa bertanya-tanya lagi. Akan tetapi dia hendak mendengar pengakuan Cia Sun, karenanya ia menahan-nahan kemarahan hatinya dan membentak,

“Bajingan besar, lekas kau mengaku. Kau ada hubungan apakah dahulu dengan Song Bi Li?”

Kalau ia mendengar kilat menyambar di tengah hari, belum tentu Cia Sun akan sekaget ketika ia mendengar pertanyaan ini.

“Apa...? Hamba... hamba tidak... tidak ada hubungan dengan Hujin...”

Sebuah tendangan membuat tubuh Cia Sun terjengkang dan terguling beberapa kali. Ia cepat berlutut dan mulai menangis, memohon ampun.

“Hayo mengaku terus terang!” Kiang Liat membentak lagi. “Aku menyebut nama Siong Bi Li dan kau tahu bahwa dia isteriku, apakah kau hendak bilang tidak ada perhubungan apa-apa? Hayo lekas bilang sebelum aku hilang sabar dan menghancurkan kepalamu!”

Cia Sun benar-benar bingung. Saking bingungnya, dalam usahanya membersihkan dan menolong diri, siucai yang bersifat pengecut ini bahkan melontarkan fitnah kepada Bi Li. “Ampun, Kiang-wangwe, sesungguhnya siauwte... siauwte tidak bersalah, tidak berdosa apa-apa. Dahulu itu… yaa... sesungguhnya adalah Song-siocia yang mendesak siauwte, yang menyatakan cinta, juga memberi surat dan lain-lain. Siauwte sendiri mana berani? Siauwte... siauw...”

Kata-kata ini terputus dan disusul jeritnya karena Kiang Liat telah mengayun tangannya. Tubuh Cia Sun terguling dan hanya jerit itulah yang bisa ia keluarkan sebelum napasnya terputus oleh pukulan yang mengenai jalan darah kematiannya.

Pada waktu itu, beberapa orang dusun tiba di tempat itu, dan melihat Kiang Liat yang banyak dikenal orang itu membunuh Cia Sun, mereka menjadi ketakutan dan melarikan diri. Sebentar saja, semua orang tahu akan pembunuhan ini, akan tetapi siapakah yang berani mengganggu Kiang Liat? Pendekar ini menunggang kudanya dan kembali ke kota, langsung menuju ke gedungnya.

Song Bi Li yang semenjak pagi tadi gelisah dan cemas, mendengar suara derap kaki kuda di luar, segera memburu keluar sambil menggendong Im Giok. Alangkah girangnya ketika ia melihat bahwa yang datang benar-benar adalah suaminya yang dinanti-nanti. Akan tetapi, ia pun kaget bukan main melihat wajah suaminya yang muram dan kelihatan tua. Lebih-lebih terkejutnya ketika ia melihat sikap suaminya yang sama sekali tidak mau menengok ke arahnya, bahkan dengan langkah lebar terus masuk ke dalam gedung dan menuju ke kamar.

Dengan muka pucat, hati berdebar dan kedua kaki gemetar, Bi Li mengikuti suaminya setelah memberikan Im Giok kepada inang pengasuh. Ia melihat suaminya duduk di atas bangku di dalam kamar, tak bergerak bagaikan patung batu, nampaknya berduka sekali. Bi Li segera menekan perasaannya, memperlihatkan wajah ramah dan manis, lalu maju dan berlutut di dekat kaki suaminya, meraba sepatunya,

“Suamiku, kau baru datang? Tentu kau lelah sekali.” Suaranya halus dan manis, ada pun kedua tangannya mulai membuka sepatu suaminya.

Biasanya memang Bi Li amat cinta kepada suaminya dan setiap kali suaminya datang dari tempat jauh, ia lalu membuka sepatu, menyediakan air hangat pencuci kaki dan air teh untuk minum. Ia tidak mengijinkan pelayan melakukan hal ini, tidak puas kalau tidak melayaninya sendiri!

Biasanya Kiang Liat merasa girang dan terharu kalau melihat pernyataan kasih sayang yang begitu besar dari isterinya. Akan tetapi kali ini, ketika melihat isterinya membungkuk dan meraba sepatunya, tiba-tiba kakinya bergerak dan tubuh Bi Li terlempar ke sudut kamar! Setan cemburu sudah menguasai hatinya, membikin buta matanya dan akhirnya mengalahkan cinta kasih terhadap Bi Li.

Bi Li tidak mengeluarkan keluhan sakit, hanya menjadi pucat sekali dan memandang kepada suaminya dengan mata terbelalak kaget. Sikap suaminya kepadanya jauh lebih menyakitkan hati dari pada rasa sakit yang diderita oleh pundak dan kepalanya ketika ia terbentur di dinding. Dia merayap bangun dan berjalan perlahan menghampiri suaminya, lalu berlutut lagi di sampingnya.

“Suamiku, apakah dosanya isterimu yang bodoh? Katakanlah, aku bersedia menebusnya dengan nyawa jika memang berdosa...!” katanya halus dengan suara tergetar, sedangkan dari sepasang matanya menetes dua titik air mata.

Melihat keadaan isterinya itu, melihat rambut yang ia sayang dan biasa ia belai-belai itu awut-awutan, muka yang biasa ia ciumi itu menjadi pucat seperti mayat, sepasang mata yang biasanya ia anggap sebagai sepasang batu kemala terindah di dunia ini sekarang memandang kepadanya dengan sayu, Kiang Liat hampir tak kuat menahan lagi. Ingin ia memeluk isterinya, berlutut di depannya dan minta ampun atas perbuatannya tadi, ingin dia menangis bagaikan anak kecil dan menceritakan semua kesusahan hatinya di dada isterinya.

Akan tetapi, bayangan Cia Sun tak pernah meninggalkan ruang matanya, membuat Kiang Liat semakin benci melihat isterinya. Terpaksa dia meramkan matanya dan tidak berani memandang muka Bi Li, lalu berkata perlahan akan tetapi tajam seperti ujung pedang,

“Dosamu? Tanyalah kepada jahanam keparat Cia Sun yang sudah kukirim ke neraka! Tanyalah kepada kekasihmu, kau siluman betina!”

Bi Li terkejut sekali, bukan hanya karena suaminya telah dapat mengetahui rahasianya, terutama sekali karena mendengar bahwa suaminya telah membunuh Cia Sun.

“Kau... kau membunuhnya...?”

Ucapan ini sebetulnya keluar dari kegelisahan hati Bi Li mendengar suaminya membunuh orang. Akan tetapi bagi Kiang Liat yang sedang dikuasai oleh cemburu dan nafsu marah, dianggap sebagai pernyataan kaget dan duka dari Bi Li bahwa kekasihnya telah dibunuh.

“Kau tangisi kekasihmu yang sudah mampus? Perempuan rendah, kalau aku tahu... kau ternyata hanya seorang perempuan hina-dina, perempuan tak tahu malu. Anak itu... anak itu pun barangkali bukan anakku...!”

Bi Li menjerit dan di lain saat ia telah roboh pingsan di depan kaki Kiang Liat! Ia tidak kuat menerima pukulan batin yang hebat ini, tidak kuat menerima kata-kata keji yang keluar dari mulut Kiang Liat, suaminya yang ia cinta sepenuh jiwa raganya.

Ketika Bi Li siuman kembali, ia melihat suaminya berjalan mondar-mandir di dalam kamar dan mulutnya bergerak-gerak mengeluarkan kata-kata yang sukar dimengerti. Barangkali penderitaan batin Kiang Liat di saat itu tidak kalah hebatnya kalau dibandingkan dengan Bi Li. Melihat suaminya, teringatlah Bi Li akan semua fitnah dan caci-maki tadi, maka tak tertahankan pula ia menangis terisak-isak.

Kiang Liat menengok, pandang matanya penuh benci dan jemu.

“Apa lagi yang kau tangiskan?”

“Suamiku... kau... kau terlalu kejam...”

Kiang Liat hampir saja menendang tubuh isterinya karena kembali dia salah sangka. Dia mengira bahwa isterinya menuduhnya kejam karena membunuh Cia Sun. Akan tetapi ia dapat menguasai kemarahannya dan hanya berdiri memandang dengan mata melotot.

“Kau... kejam sekali menuduh aku berbuat yang bukan-bukan... Tak perlu kusangkal lagi, memang betul dahulu sebelum aku bertemu dengan engkau... aku... aku ada hubungan surat-menyurat dengan orang she Cia itu. Tetapi... tidak ada apa-apa yang kotor di dalam hubungan itu... percayalah, aku bersumpah demi nama Thian, demi Langit dan Bumi, demi kesucian nama anak kita Im Giok... suamiku, hubungan itu hanya surat-menyurat belaka...”

“Bohong! Kau habiskan uang dan perhiasan untuk Si Bedebah Cia Sun itu, kau gunakan Ceng Si sebagai jembatan, kau kira aku tidak tahu? Hayo, kau mau bilang apa lagi?”

“Ampunkan aku, suamiku... memang, aku telah bersalah, tidak memberi tahukan semua itu kepadamu... aku tadinya... aku... takut kalau kau marah dan... aku takut kehilangan cinta kasihmu... akan tetapi sungguh mati aku tidak pernah melakukan hal yang tak patut, hubungan itu tetap bersih... ampunkanlah...”

“Perempuan rendah!” Kiang Liat berlari keluar kamar dan membanting daun pintu, pergi meninggalkan Bi Li Yang menangis tersedu-sedu di dalam kamar itu, di atas lantai.

Semenjak hari itu, Kiang Liat tidak pulang lagi ke rumahnya. Ia meninggalkan isteri dan anaknya, membawa kuda dan uang, pergi merantau di dunia kangouw dengan hati patah dan pikiran selalu diliputi kedukaan dan kekecewaan. Cinta kasihnya kepada isterinya tak dapat ia lupakan, bahkan semakin jauh ia pergi, makin rindulah ia kepada isterinya dan puterinya.

Beberapa kali ia mengambil keputusan untuk kembali, untuk memaafkan isterinya, untuk kembali hidup berumah tangga dengan anak isterinya, berbahagia seperti dulu lagi. Akan tetapi, perasaan cemburu yang sudah mencuci hati serta pikiran seorang pria memang paling hebat dan berbahaya, dapat membuat pikiran menjadi gelap dan pertimbangannya patah. Cinta kasih yang sebesar-besarnya dapat berubah menjadi kebencian yang sangat dahsyat.

Rasa rindu kepada anak isterinya, oleh Kiang Liat bukan dianggap sebagai besarnya rasa cinta kasihnya dan tak dijadikan dasar untuk mengampuni isterinya, sebaliknya ia malah benci kepada diri sendiri dan menganggap diri sendiri terlalu lemah. Karena itu dia lalu merantau makin jauh lagi dari rumahnya, dan selalu melakukan perbuatan seperti yang layak dilakukan oleh seorang pendekar. Karena ini, namanya menjadi makin ternama di dunia kang-ouw dan julukan Jeng-jiu-sian (Dewa Tangan Seribu) makin terkenal.


                     ***************


Waktu berjalan cepat tak terasa dan empat tahun sudah lewat semenjak Kiang Liat pergi meninggalkan rumahnya. Pada suatu hari saat ia sedang duduk seorang diri mengenang nasibnya yang amat buruk, di dalam sebuah kelenteng bobrok di Propinsi Shansi sebelah selatan, hujan turun dengan derasnya.

Beberapa kali Kiang Liat menarik napas panjang dan mukanya kelihatan sedih sekali. Terbayang di depan matanya betapa dahulu di waktu hujan seperti sekarang ini, ia duduk di kamar pinggir dengan isterinya, duduk menghadapi jendela terbuka dan bersama-sama melihat air huian turun. Alangkah mesra dan bahagianya waktu itu.

Mengingat akan semua kenangan ini, ditambah pula dengan bayangan wajah Im Giok yang tersenyum-senyum dan secara lucu menyebut-nyebut ‘pa-pa’ berkali-kali, air mata mengucur turun dari sepasang mata pendekar itu. Cepat-cepat ia mengusapnya dengan punggung tangan.

Tidak patut bagi seorang pendekar gagah mengucurkan air mata, pikirnya dengan hati dikeraskan. Akan tetapi percuma saja, hatinya sudah terlalu lama menderita sehingga ia tak dapat menahan lagi air matanya yang mengucur terus, menyaingi air hujan yang juga bercucuran dari atas.

Selagi Kiang Liat menumpahkan kesedihan hatinya seorang diri di ruang kelenteng itu, tiba-tiba saja ia mendengar suara perlahan. Ketika ia mengangkat mukanya yang tadi ia sembunyikan di atas lutut, ia melihat seorang kakek pengemis sudah berdiri di depannya dengan sikap tenang.

“Suhu...!” Kiang Liat menjatuhkan diri berlutut dan buru-buru ia menghapus air matanya.

“Orang bodoh, kau pulanglah, isterimu menderita sakit, anakmu lenyap diculik. Menyiksa diri sendiri dan memaksa diri membenci keluarga, tidak mau pulang akan tetapi dirantau selalu berduka, benar-benar perbuatan yang amat pandir. Pulanglah kau!”

Sebelum Kiang Liat sempat bertanya, tiba-tiba bayangan itu berkelebat dan lenyap dari situ.

Kiang Liat maklum bahwa watak suhu-nya amat aneh, dan percuma saja kalau ia akan mengejar juga. Ia tak memikirkan lagi tentang suhu-nya, pikirannya penuh dengan berita yang diterimanya.

Mendengar isterinya sakit dan anaknya diculik orang, ia terkejut bukan main dan seketika itu timbullah rasa marah yang jauh lebih besar dari pada kesedihannya. Tanpa pedulikan hujan angin yang masih mengamuk di luar, di lain saat Kiang Liat sudah melompat dan berlari cepat menerjang hujan.

Berita mengejutkan yang disampaikan oleh Han Le kepada muridnya itu memang nyata. Semenjak ditinggal pergi oleh suaminya, Bi Li hidup dalam kedaan sengsara, menderita batinnya. Kalau saja tidak mengingat kepada puterinya, kiranya nyonya muda ini tak akan dapat menahan lebih lama lagi hidup di dunia. Baginya, derita lahir jauh dari suami masih dapat ditahannya, akan tetapi derita batinnya, yakni sangkaan suaminya bahwa dia telah berlaku jinah sebelum menjadi isterinya yang benar-benar terasa tak kuat ia menahan.

Setelah bertahun-tahun suaminya tidak pulang dan ia menerima ejekan dan sindiran dari orang-orang yang tidak suka kepada keluarga Kiang, Bi Li sering kali jatuh sakit. Selama empat tahun ini, perhiasan dan barang-barang berharga di rumah sudah banyak dijualnya untuk makan, membayar pelayan dan membeli obat dan keperluan lainnya. Keadaannya makin lama makin buruk.

Akan tetapi Bi Li tidak mempedulikan keadaan dirinya sendiri. Siang malam yang menjadi ingatannya hanyalah suaminya, Kiang Liat yang dirindukannya setiap saat. Hampir setiap malam Bi Li bersembahyang, memohon kepada Yang Maha Esa agar supaya suaminya dapat memaafkan kesalahannya dan dapat pulang kembali.

Akan tetapi sudah terlampau banyak bukti bahwa harapan manusia tidak selalu cocok, bahkan sebaliknya dengan kenyataan yang datang. Bukan Kiang Liat yang datang, akan tetapi seorang yang menambah beban deritanya, yakni Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat!

Wanita yang berusia hampir empat puluh tahun akan tetapi masih memiliki kecantikan seorang gadis remaja yang berusia dua puluhan ini datang tanpa diundang, malah tanpa diketahui orang, tahu-tahu sudah berada di kamar Bi Li seperti kedatangan seorang dewi atau seorang siluman!

Bi Li segera mengenalnya, maka biar pun amat terkejut, nyonya muda ini menjadi girang sekali. Ia segera maju berlutut, akan tetapi ia ditarik bangun oleh Pek Hoa Pouwsat.

“Adikku yang manis, kenapa kau kelihatan kurus dan pucat? Ah, kau bahkan tidak sehat kiranya...,” Pek Hoa berkata dengan suaranya yang merdu dan ramah.

Mendengar teguran ini Bi Li tidak dapat tahan lagi, lalu menangis tersedu-sedu. Dengan suara terputus-putus nyonya muda yang mengira bahwa ia berhadapan dengan seorang dewi kahyangan, menceritakan nasibnya yang amat sengsara, betapa dia dahulu tertipu oleh Cia Sun dan Ceng Si dan sekarang suaminya mengetahui semua rahasia sehingga marah-marah, membunuh Cia Sun dan pergi meninggalkannya.

Orang seperti Pek Hoa ini mana tahu akan rasa kasihan? Sebaliknya, di dalam hati ia merasa geli. Akan tetapi mulutnya berkata lain dan ia menghibur Bi Li.

“Mengapa susah-susah? Lebih baik mencari hiburan sendiri sambil memelihara anakmu. Mana anakmu?”

Sesudah melihat Im Giok yang usianya sudah menjelang enam tahun, Pek Hoa Pouwsat memandang dengan mata terbelalak kagum. Seorang anak perempuan yang berpakaian merah, dengan rambut hitam panjang dikuncir menjadi dua yang diikat dengan pita biru tergantung di depan pundak, sepasang mata yang bening dan berbentuk indah, bergerak-gerak membayangkan kecerdikan luar biasa, hidung yang mungil dan mancung nampak lucu sekali, mulutnya kecil dengan bibir merah segar, potongan muka bulat telur dengan dagu meruncing, sepasang pipi kemerahan.

Pendek kata, wajah seorang bocah perempuan yang sehat dan mungil sekali. Walau pun usianya baru enam tahun, Im Giok sudah memperlihatkan kecantikan dan setiap orang dengan mudah akan mengatakan bahwa bocah ini merupakan calon seorang gadis yang cantik luar biasa.

“Pek Hoa-cici, benar-benar anakku Im Giok ini seperti kau wajahnya...!” Bi Li mengulangi kata-kata yang sering kali ia katakan sebelum Pek Hoa datang berkunjung.

Pek Hoa Pouwsat adalah seorang wanita yang usianya sudah hampir empat puluh satu tahun, seorang wanita yang hidup menyeleweng melalui jalan kotor, tak pernah mengenal kebahagiaan rumah tangga dan kebahagiaan seorang ibu. Sekarang, pada waktu melihat Im Giok, tiba-tiba saja ia menjadi terharu.

Apa lagi sesudah mendengar ucapan Bi Li tadi, dia terpaksa mengerahkan tenaga untuk menahan jatuhnya air mata. Diam-diam dia berkata kepada diri sendiri bahwa anak inilah yang paling tepat untuk dijadikan muridnya!

Kedatangan Pek Hoa Pouwsat menghibur hati Bi Li. Dengan ramah nyonya muda ini lalu berusaha sedapat mungkin untuk menjamu tamunya dan pada malam hari itu, Pek Hoa Pouwsat dipersilakan tidur di dalam satu kamar dengan Bi Li dan Im Giok.

Ada pun Im Giok sendiri, ia amat suka kepada Pek Hoa Pouwsat. Ia memandang kepada tamu ini dengan matanya yang jeli, dan dengan berterang ia memuji, “Ibu, Bibi ini cantik sekali, ya?”

Pek Hoa menangkap dan mengangkatnya di atas pangkuan. “Anak yang baik, kelak kau bahkan lebih cantik dari pada aku atau ibumu,” katanya sambil mengusap-usap kepala Im Giok.

Beberapa kali ia meraba lengan, pundak, punggung, dan pangkal paha untuk memeriksa apakah bocah ini mempunyai bakat. Bukan main girang hatinya pada waktu ia mendapat kenyataan bahwa bocah ini memang bertulang pendekar, yakni mempunyai tubuh sehat, tulang-tulang kuat dan perjalanan darahnya baik sekali. Ditambah lagi dengan kecerdikan yang membayang di kedua mata anak ini, dapat diduga bahwa kelak tentu akan menjadi seorang pandai.

Untuk mengetahui isi hati dan pikiran anak itu, Pek Hoa lalu bertanya, “Im Giok sukakah kau menjadi muridku?”

Bocah itu melirik ke arah ibunya, lalu ia berkata dengan senyum lucu. “Belajar membaca dan menulis lagi, Bibi? Ahhh, ibu sudah mengajarku dan aku adalah orang yang paling malas belajar membaca dan menulis, demikian kata ibu. Bibi tentu akan kecewa kalau mengajarku, karena aku benar-benar malas dan tidak suka. Aku lebih senang belajar menjahit dan menyulam! Apa lagi menggambar atau bernyanyi, lebih senang lagi aku.”

Pek Hoa tertawa. “Kau suka belajar menari?”

Im Giok melompat turun dari pangkuan Pek Hoa, memandang kepada wajah tamu ini dengan mata berseri. “Menari seperti anak-anak wayang yang pernah kulihat bermain di kelenteng itu? Wah, aku senang sekali! Aku sudah minta ibu mengajarku, akan tetapi ibu tidak dapat. Bibi, kalau kau mau mengajarku menari, menyanyi, melukis, dan menyulam, aku suka sekali!”

“Apa kelak kau ingin menjadi anak wayang tukang menari?” tanya ibunya, pura-pura tak senang.

“Apa salahnya, ibu? Mereka itu cantik-cantik dan pandai. Buktinya banyak orang gemar menonton dan banyak orang memuji. Kalau tidak pandai masa disukai orang? Aku lebih suka ditonton dari pada menonton. Bibi, mau kau mengajarku?” Dengan sifat manja Im Giok menarik-narik tangan Pek Hoa dan ketiga orang itu tertawa-tawa.

Demikianlah, hati Bi Li gembira sekali mendapat teman seperti Pek Hoa ini dan sampai jauh malam mereka bercakap-cakap gembira. Akan tetapi, menjelang fajar, Bi Li terkejut mendengar suara anaknya memanggil.

Ia terbangun dan dilihatnya Pek Hoa sudah memondong Im Giok dan tamunya itu sekali bergerak telah ‘terbang’ ke jendela yang sudah terbuka. Bukan main kagetnya Bi Li, apa lagi Im Giok berkali-kali memanggil.

“Ibu...! Ibu...! Bibi, aku tidak mau pergi kalau ibu tidak ikut!”

“Enci Pek Hoa, kau hendak membawa anakku ke mana?” Bi Li mengejar dan bertanya kaget karena ia takut kalau-kalau anaknya dibawa ke kahyangan tempat para bidadari!

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh nyaring dan lenyaplah sifat ramah-tamah dari Pek Hoa, terganti sifat mengejek dan tarikan air mukanya mengandung kekejaman luar biasa.

“Ha-ha-ha, Bi Li! Tak usah kau ribut-ribut. Anakmu tak perlu kau pikirkan lagi. Dia sudah menjadi anakku atau muridku dan akan kubawa pergi. Ha-ha-ha, mungkin dulu kau selalu membanggakan kecantikanmu, ya? Sekarang barulah kau tahu bahwa kecantikan tidak membawa bahagia. Bukan aku saja yang mengalami, akan tetapi kau juga... ha, kau juga, Bi Li. Tunggulah saja di rumah mengenang suami dan anak yang hilang!”

Sekali berkelebat tubuh Pek Hoa lenyap bersama Im Giok, hanya gema suara ketawanya masih terdengar dari jauh seperti suara ketawa seorang siluman wanita!

Sejak tadi, Bi Li berdiri terpaku di lantai. Melihat Pek Hoa yang memondong puterinya berdiri di jendela sambil mengeluarkan kata-kata keji dan air mukanya yang menyeringai mengerikan itu, hati Bi Li seakan-akan berhenti berdetik.......
























Terima kasih telah membaca Serial ini




No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12