Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dara Baju Merah
Jilid 05
BOK BENG
HOSIANG hanya dapat bertahan dua puluh jurus. Setelah itu kepalanya menjadi
pening dan pada suatu saat, serangan berantai dari Pek-in-ong tak dapat
dihindarkannya sehingga pundaknya terpukul oleh roda.
“Krekkk!”
Bok Beng
Hosiang mengeluh dan terhuyung ke belakang, cepat-cepat ditarik oleh Kok Beng
Hosiang dan diselamatkan. Tulang pundak hwesio gemuk ini telah hancur!
“Ha-ha-ha,
Siauw-lim-pai tak patut menyimpan kitab pusaka!” Pek-in-ong mentertawakan
sambil menyimpan sepasang rodanya.
Han Le, Sui
Ceng, Kun Beng, Pok Pok Sianjin dan Swi Kiat Siansu marah sekali. Akan tetapi
sebelum mereka sempat bergerak, tosu tua pemimpin rombongan dari Kun-lun-pai
telah melompat maju.
“Siancai,
siancai! Thian-te Sam-kauwcu memang lihai. Akan tetapi sayang kepandaian mereka
digunakan untuk maksud buruk. Pinto Cin Giok Sianjin dari Kun-lun-pai datang
untuk mengambil kembali pedang kami!” Sambil berkata demikian, tosu tua ini
melangkah tenang mengambil pedang.
Baru saja
tangannya diulur, terdengar suara mendesing dan tiga batang anak panah hijau
menyambar ke arah tangannya! Cin Giok Sianjin berlaku tenang, cepat-cepat
tangannya mengibas dan tiga batang anak panah itu terpental kembali ke arah
penyerangnya, yakni Cheng-hai-ong orang ke tiga dari Thian-te Sam-kauwcu!
“Ha-ha-ha-ha,
ini baru namanya orang pandai!” Cheng-hai-ong tertawa sambil melompat maju
menghadapi Cin Giok Sianjin.
Cin Giok
Sianjin terpaksa membatalkan niatnya mengambil pedang pusaka Kun-lun-pai. Ia
melihat orang kurus bongkok bermata sipit berpakaian serba hijau berdiri di
depannya sambil memegang sebatang rantai yang ujungnya ada tengkoraknya!
Cin Giok
Sianjin adalah tokoh kedua dari Kun-lun-pai, murid dari mendiang Seng Thian
Siansu, Ketua Kun-lun-pai. Tosu ini sudah puluhan tahun menjelajah dunia
kang-ouw dan sudah puluhan kali bertemu dengan lawan tangguh, akan tetapi baru
sekali ini ia melihat senjata sehebat dan seperti itu.
Mana ada
orang bersenjata rantai yang ujungnya dipasangi tengkorak? Akan tetapi dia
kemudian dapat menenangkan hatinya dan mengeluarkan sebatang pedang.
Kun-lun-pai terkenal dengan ilmu pedangnya, karena itu dengan tenang ia berdiri
tegak, melintangkan pedangnya di depan dada dengan jurus pertahanan Locia
Pai-hud (Locia Menyembah Buddha).
“Tosu bau,
mari kita main-main sebentar!” kata Cheng-hai-ong.
Begitu
selesai bicara, secepat kilat ia menyambar, tengkorak di ujung rantainya
bergerak ke arah kepala Cin Giok Sianjin. Tosu ini cepat mengelak, lantas
pedangnya menusuk langsung dari dadanya ke dada lawan.
Cheng-hai-ong
miringkan tubuhnya dan kembali tengkoraknya menyambar, kini dari arah belakang
agak ke kanan, menghantam leher tosu Kun-lun-pai. Cin Giok Sianjin melihat
hebatnya serangan ini, maka ia pun tidak berani mengelak, dan cepat menangkis
dengan pedangnya.
“Plakkk!”
Tengkorak
itu terpukul miring, akan tetapi tidak pecah. Sebaliknya, tosu Kun-lun-pai itu
merasa tangannya tergetar.
“Lihai
sekali...,” katanya.
Tak lama
kemudian pedangnya telah berubah menjadi segulung sinar putih,
menyambar-nyambar laksana seekor naga mengurung lawan. Ia telah mengeluarkan
kepandaiannya dan memainkan Kun-lun Kiam-hoat yang lihai. Bukan main cepatnya
gerakan pedangnya, cepat dan berat disertai tenaga lweekang.
Namun,
Cheng-hai-ong masih tertawa-tawa dan mengimbangi permainan lawan dengan ilmu
silatnya yang aneh sekali. Tidak hanya tengkorak di ujung rantai yang
menyerang, juga kadang-kadang kedua kakinya menendang-nendang, tangan kirinya
mencengkeram, sikunya berkali-kali mencari sasaran, bahkan tekukan lututnya
sering pula diangkat untuk menghantam perut dan tempat berbahaya lainnya.
Swi Kiat
Siansu berkata lirih. “Hemm, ilmu silat barat yang dicampur dengan ilmu gulat
dari Mongol. Benar-benar lihai sekali.”
Juga yang
lain-lain merasa kagum dan terpaksa memuji kepandaian orang ke tiga dari
Thian-te Sam-kauwcu itu. Mereka mulai mengkhawatirkan keselamatan Cin Giok
Sianjin, karena setelah bertempur tiga puluh jurus, jelas kelihatan tosu itu
mulai terdesak.
Mendadak
Cheng-hai-ong berseru aneh dan Cin Giok Sianjin berseru kaget, terhuyung-huyung
dan melompat mundur cepat sekali. Mukanya pucat dan pada jidatnya nampak merah,
ternyata kulit jidatnya telah terluka!
Hanya
tokoh-tokoh besar saja yang dapat melihat betapa tadi dari mulut tengkorak itu
menyambar keluar tiga batang jarum hijau ke arah muka Cin Glok Sianjin. Biar
pun tosu ini sudah berkelit, namun tetap saja jidatnya tergores oleh sebatang
jarum hijau sehingga mengeluarkan darah!
Cheng-hai-ong
tertawa bergelak dan Cin Giok Sianjin cepat membuka bungkusan obat untuk
menggunakan obat penawar racun yang disengaja dibekalnya. Ia maklum dari rasa
gatal pada lukanya bahwa jarum hijau itu mengandung racun.
Baiknya
Kun-lun-pai juga terkenal dengan obat-obat anti racunnya, maka dia masih dapat
menyelamatkan nyawanya, sungguh pun tak mungkin dapat maju bertempur lagi. Ia
perlu bersemedhi untuk mengerahkan lweekang dan mengusir pengaruh racun dengan
hawa murni di dalam tubuhnya.
Han Le marah
sekali. Pemimpin-pemimpin rombongan dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai telah
dikalahkan dan diam-diam ia merasa menyesal sekali kenapa tokoh-tokoh pertama
dari Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai tidak mau keluar sendiri. Agaknya kedua
partai besar itu terlalu memandang rendah terhadap pihak Mo-kauw, maka Ketua
Siauw-lim-pai, Hok Bin Tosu dan Ketua Kun-lun-pai yang baru, Keng Thian Siansu
tidak mau datang sendiri. Kalau saja dua kakek itu datang, tentu akan lain
keadaannya, sungguh pun belum tentu mereka dapat mengalahkan Thian-te Sam-kauwcu
yang benar-benar lihai itu.
“Thian-te
Sam-kauwcu! Kalian benar-benar tidak memandang mata kepada Siauw-lim-pai dan
Kun-lun-pai yang terkenal sebagai partai besar. Tidak saja kalian mencuri kitab
dan pedang, bahkan sekarang kalian dengan sombong telah melakukan
hinaan-hinaan,” kata Han Le.
“Ha-ha-ha,
yang kalah merasa terhina, itu sudah jamak. Salahkah kami kalau kebetulan
kepandaian kami memang jauh lebih tinggi dibandingkan kepandaian kalian?”
Hek-te-ong berkata sambil ketawa bergelak diikuti oleh anak buahnya.
“Hek-te-ong,
alangkah sombongmu!” bentak Han Le marah sekali. “Dahulu yang menjadi lima
tokoh besar dunia persilatan adalah guruku Ang-bin Sin-kai beserta para
Locianpwe Kiu-bwe Coa-li, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, Pak-lo-sian Siangkoan
Hai dan juga Hek-i Hui-mo. Walau pun mereka ini merupakan tokoh-tokoh dari
delapan penjuru, akan tetapi mereka masih tidak sesombong kau dan
kawan-kawanmu, tidak pernah mau menghina partai lain, apa lagi melakukan
pencurian yang rendah! Bahkan setiap kali muncul orang jahat, para locianpwe
itu turun tangan membasminya!”
“Ha-ha-ha,
kau pengemis bau murid Ang-bin Sin-kai. Apa kau kira dapat menakut-nakuti kami
dengan nama-nama lima tokoh besar yang sudah mampus itu? Andai kata mereka
masih hidup, kami pun ingin sekali menjajal kepandaian mereka, apa lagi
sekarang lima orang itu sudah mampus. Apa yang perlu kami takutkan?”
“Bangsat
bermulut besar. Murid Kiu-bwe Coa-li berada di sini! Aku Bun Sui Ceng akan
mewakili mendiang guruku untuk membasmi Mo-kauw!” bentak Bun Sui Ceng sambil
bersiap-siap dengan cambuknya.
“Pinto Swi
Kiat Siansu mewakili mendiang Suhu Pak-lo-sian Siangkoan Hai menggempur orang
jahat!” Swi Kiat Siansu berkata dengan tenang dan sama sekali tidak memandang
mata kepada Thian-te Sam-kauwcu.
“Siancai,
siancai, walau pun mendiang Suhu Hek-i Hui-mo menjalani jalan hitam, namun
kiranya beliau juga akan turun tangan jika menghadapi siluman-siluman sombong
seperti kalian! Biarlah pinto Pok Pok Sianjin mewakilinya,” berkata pula Pok
Pok Sianjin sambil mengerling tajam.
“Sayang
bahwa Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu tidak ada wakilnya,” kata Kun Beng sambil
tersenyum mengejek. “Oleh karena Suhu Pak-lo-sian Siangkoan Hai sudah diwakili
oleh Suheng, biarlah aku The Kun Beng mewakili mendiang Jeng-kin-jiu yang gagah
perkasa!”
“Bagus
sekali! Jadi lima tokoh-tokoh besar itu kini telah diwakili oleh anak muridnya.
Kami memang ingin sekali mencoba kepandaian mereka. Hayo, siapa yang hendak
maju lebih dulu?” kata Hek-te-ong memandang rendah.
“Biarlah aku
yang pertama memperlihatkan kebodohanku,” kata Han Le yang cepat maju sambil
mencabut pedangnya.
Sebelum
Hek-te-ong menghadapinya, di pihak Mo-kauw muncullah seorang kakek kate dengan
telinga lebar, pakaiannya serba hitam. Dia ini adalah Hek Mo-ko yang berkata
kepada Hek-te-ong.
“Twa-suhu,
biarlah teecu menghadapi murid Ang-bin Sin-kai ini. Ingin teecu merasakan
kelihaian Hun-khai Kiam-hoat dari Ang-bin Sin-kai. Heh-heh-heh-heh!”
Sesudah
gurunya mengangguk, Hek Mo-ko lalu meloloskan sepasang senjatanya yang aneh,
yakni sebatang pedang bengkok dan seuntai tasbeh.
“Han Le
pengemis busuk, kita bertemu lagi sekarang dalam pertandingan satu lawan satu
yang menentukan. Hayo kau keluarkan segala kepandaianmu, akan kulihat.”
Han Le
mendongkol sekali. Ia sudah tahu akan kelihaian Iblis Hitam ini. Akan tetapi
dia tidak menjadi gentar sungguh pun dia tahu bahwa dia menghadapi lawan yang
tangguh dan harus berlaku hati-hati sekali.
“Majulah,
Hek Mo-ko,” katanya sambil melintangkan pedang.
Sambil
tertawa terkekeh-kekeh Hek Mo-ko mulai menyerang. Pedangnya yang berbentuk aneh
itu membuat gerakan melingkar, disusul dengan tasbehnya yang meluncur ke arah
lambung Han Le.
Maklum akan
bahayanya serangan orang kate ini, Han Le tidak berani berlaku lambat.
Pedangnya bergerak cepat dan dengan jurus-jurus terlihai dari Hun-khai
Kiam-hoat, tidak saja ia menangkis dan menggagalkan serangan lawan, bahkan
dengan kontan keras ia membalas serangan Hek Mo-ko dengan sabetan dan tusukan
maut.
Ilmu pedang
Hun-khai Kiam-hoat warisan Ang-bin Sin-kai sudah hebat, apa lagi ditambah
dengan pelajaran yang didapatkannya dari lukisan-lukisan ilmu silat dari
Im-yang Bu-tek Cin-keng di dalam goa di Pulau Pek-hio-to, maka bukan main
lihainya ilmu pedang yang dimainkan oleh Han Le. Diam-diam Hek Mo-ko memuji dan
tahulah ia mengapa dahulu ketika menghadapi pengemis ini, sute-nya hampir saja
celaka.
Akan tetapi,
bagi Han Le juga tidak mudah mengalahkan Hek Mo-ko, karena selain dalam ilmu
silat Iblis Hitam yang kecil ini masih lebih lihai dari pada Pek Mo-ko, juga
tenaga lweekang-nya amat tinggi, masih lebih kuat dari pada tenaga lweekang Han
Le.
Sesudah
pertempuran berjalan lima puluh jurus lebih, tiba-tiba saja Hek Mo-ko merubah
gerakannya. Kini dia bergerak lambat, akan tetapi dengan pengerahan tenaga lweekang
sepenuhnya sehingga tiap kali pedang di tangan Han Le terbentur oleh pedang
bengkok atau tasbeh, pedang murid Ang-bin Sin-kai ini terpental dan telapak
lengannya panas!
Di antara
para tokoh itu, hanya Swi Kiat Siansu seorang yang mengetahui bahwa dalam
perubahan ini terjadi kecurangan dari pihak Thian-te Sam-kauwcu. Pengalaman Swi
Kiat Siansu di dunia kang-ouw sudah banyak, terutama sekali di daerah barat di
mana banyak diyakinkan ilmu hoat-sut (sihir).
Tadi secara
kebetulan dia sempat melihat Hek-te-ong memandang tajam ke arah Hek Mo-ko
dengan mulut bergerak-gerak. Sungguh pun tidak terdengar sedikit pun suara dari
mulutnya, namun Swi Kiat Siansu maklum apa yang telah terjadi.
“Hek-te-ong,
kau curang!” serunya marah. “Diam-diam kau membantu Hek Mo-ko!”
“Siapa
membantu?” Hek-te-ong mengejek. “Aku tidak bergerak dari tempat dudukku!”
Semua orang
juga heran mendengar dakwaan Sui Kiat Siansu tadi. Akan tetapi memang sesungguhnya
Hek-te-ong telah membantu Hek Mo-ko dengan ilmu mengirim suara yang disalurkan
dengan tenaga lweekang melalui pengerahan khikang-nya. Suara ini biar pun
perlahan, akan tetapi langsung bergema di telinga Hek Mo-ko tanpa terdengar
oleh orang lain.
Hek-te-ong
yang berpandangan luas dan tajam tahu bahwa tanpa merubah siasat, sukar bagi
Hek Mo-ko untuk mencari kemenangan. Karena itu diam-diam ia membisikkan siasat
kepada Hek Mo-ko untuk menggunakan tenaga lweekang sepenuhnya pada pertempuran
itu.
Benar saja,
setelah Hek Mo-ko merubah cara bertempurnya, Han Le menjadi sibuk. Biar pun dia
berada pada pihak menyerang, akan tetapi setiap tangkisan lawan merupakan
serangan balasan yang langsung merugikannya.
Tiba-tiba ia
mendengar suara bisikan perlahan yang mengejutkan hatinya. Ia mengenal baik
suara itu, yakni suara suheng-nya, Bu Pun Su. Seakan-akan Bu Pun Su berdiri di
dekatnya dan berbisik di dekat telinganya.
“Sute,
jangan mau adu senjata. Pergunakan ginkang dan seranglah dia dengan Bu-eng
Kiam-sut!”
Han Le
girang sekali. Ia maklum akan kelihaian suheng-nya, dan ia tahu bahwa biar pun
tadi menghilang, ternyata Bu Pun Su tetap berada di dekat situ dan sekarang
berusaha menolongnya. Cepat ia berseru keras dan pedangnya berubah gerakannya.
Kini pedang Han
Le berkelebat menyambar ke sana sini. Tubuhnya lenyap terbungkus gulungan
cahaya pedang. Bukan main cepatnya gerakan Bu-eng Kiam-sut (Ilmu Pedang Tanpa
Bayangan) ini!
Ia berhasil,
Hek Mo-ko mengeluarkan seruan kaget dan sebentar saja terdesak mundur. Beberapa
kali Hek Mo-ko menggerakkan sepasang senjatanya, memukul membabi-buta, namun
tak pernah senjatanya yang digerakkan dengan tenaga lweekang sepenuhnya itu
dapat menyentuh senjata mau pun tubuh lawannya.
Tiba-tiba
saja dengan gerakan cepat Han Le berhasil menusuk paha Hek Mo-ko dengan
pedangnya. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa pedangnya
terpental dan hanya dapat merobek celana serta sedikit daging berikut kulit
paha lawan!
“Aduhh…!”
teriak Hek Mo-ko yang cepat menggunakan pedang bengkoknya menyabet ke arah
pedang Han Le.
“Cringgg...!”
Pedang
terlepas dari tangan Han Le dan kulit telapak tangannya pecah-pecah. Keduanya
berbarengan melompat mundur. Hek Mo-ko terluka di pahanya. Han Le terluka di
telapak tangannya. Setelah memungut pedangnya, Han Le berkata,
“Hek Mo-ko,
kau lihai sekali.”
Hek Mo-ko
menyeringai, ia mendongkol sekali karena dalam pertandingan tadi, biar pun ia
dapat membuat pedang lawan tertangkis, akan tetapi ia sendiri menderita luka di
paha, sehingga kalau dibandingkan, kerugiannya lebih besar.
“Kau patut
menjadi murid Ang-bin Sin-kai,” katanya perlahan.
Pek Mo-ko
melompat ke depan dan mengangkat dadanya yang bidang. Ia marah melihat kakaknya
terluka, maka dengan lantang ia berkata,
“Siapa lagi
yang hendak gagah-gagahan mewakili Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai untuk merampas
kembali kitab dan pedang? Majulah, aku Pek Mo-ko akan menjaga dua benda ini!”
Ia berdiri tegak di dekat kitab dan pedang, sikapnya menantang sekali.
Pok Pok
Sianjin marah sekali melihat lagak tengik dari Pek Mo-ko ini. Ia melompat ke
depan dan menghadapi Pek Mo-ko dengan tongkat hitam di tangan.
“Pek Mo-ko,
kata-katamu itu menandakan bahwa kau seorang rendah dan seperti katak dalam
sumur. Akulah orangnya, Pok Pok Sianjin murid Hek-i Hui-mo yang hendak maju
menghadapimu. Majulah menerima kematian!”
Pek Mo-ko
gentar melihat Pok Pok Sianjin. Sebetulnya, kalau dijelaskan, Hek-i Hui-mo
masih ada hubungan dengan gurunya, karena gurunya itu terhitung adik
seperguruan Hek-i Hui-mo. Akap tetapi, karena sekarang ia telah menjadi murid
Thian-te Sam-kauwcu, dan ketiga orang gurunya yang lihai masih berada di situ,
ia tidak mau memperlihatkan rasa takutnya, sebaliknya ia tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha,
Pok Pok Sianjin, alangkah bedanya kau dengan mendiang gurumu. Pantas kau
dahulunya kutu buku, mana bisa menjadi seorang yang berpikir luas? Kalau gurumu
masih hidup, tentu kau akan dicaci-maki!”
Pok Pok
Sianjin marah sekali mendengar ini. Memang sebetulnya dia memiliki pendirian
lain dengan mendiang gurunya. Hek-i Hui-mo terkenal sebagai orang liar yang
kejam dan mengandalkan kepandaian sendiri, yang tidak segan-segan melakukan
perbuatan jahat untuk kepentingan dan keuntungan sendiri. Andai kata gurunya
masih hidup dan berada di sana, belum tentu gurunya mau membantu pihak Bu Pun
Su. Sekarang mendengar makian Pek Mo-ko, ia cepat menubruk maju menggerakkan
tongkatnya.
Ilmu tongkat
dari Pok Pok Sianjin merupakan warisan dari tokoh besar Hek-i Hui-mo yang
kepandaiannya setingkat dengan Kui-bwe Coa-li atau Ang-bin Sinkai. Karena itu
dapatlah dibayangkan betapa hebatnya tongkat hitam yang dimainkannya itu.
Pek Mo-ko
cepat menangkis dengan tasbehnya, akan tetapi sekali benturan saja, untaian
tasbehnya terlepas dan putus! Dengan kaget Pek Mo-ko melompat ke samping
kemudian membalas dengan serangan kilat, menggunakan pedang bengkoknya. Sekali
menangkis, kembali pedang Pek Mo-ko terpental, hampir terlepas dari pegangan.
Kemudian
terjadilah pertempuran hebat. Namun mudah dilihat bahwa Pek Mo-ko masih kalah
lihai sehingga ia main mundur saja. Pada suatu saat yang tepat, tongkat di
tangan Pok Pok Sianjin berhasil menyodok dada Pek Mo-ko yang terjengkang dan
roboh sambil muntahkan darah.
Baiknya
tenaga lweekang-nya sudah matang sehingga ia dapat memelihara dan menjaga isi
dada. Ia muntahkan darah bukan karena terluka, tapi akibat telalu keras
mengerahkan hawa menjaga dada. Namun ia tidak mungkin dapat melawan terus
sehingga Hek Mo-ko menyeretnya ke pinggir.
Pok Pok
Sianjin menghampiri pedang dan kitab, hendak mengambilnya, akan tetapi dari
samping tiba-tiba ada angin keras menyambar. Pok Pok Sianjin terkejut sekali
dan cepat ia melompat mundur. Sebatang pedang hampir saja menebas putus lengannya,
demikian cepatnya gerakan pedang yang menyerangnya itu. Pada waktu ia menengok,
ia melihat seorang kakek tua sekali berdiri sambil mengurut-urut jenggot.
“Kiam Ki
Sianjin, kembali kau berada lagi di antara orang-orang jahat!” Pok Pok Sianjin
memaki. “Memang, ular belang selalu berkawan dengan segala binatang berbisa.”
“Ha-ha-ha-ha,
bocah kemarin sore berani main gila. Gurumu sendiri belum tentu berani berlagak
sombong di depanku, kau masih kanak-kanak dan bau ingus ketika aku sudah
menjagoi dunia kangouw. Tidak tahukah kau bahwa di dunia kang-ouw sekarang ini
tidak ada orang-orang yang sanggup menandingi Thian-te Sam-kauwcu? Mengapa kau
masih membutakan mata? Lebih baik kalian lekas-lekas mengakui bahwa Thian-te
Sam-kauwcu memang patut menjadi pimpinan besar dari semua partai.”
“Ngaco-belo!
Kau memang ular kepala dua, apa kau kira aku takut kepadamu?” Pok Pok Sianjin
tak mau membuang banyak waktu lagi, cepat ia menyerang dengan tongkatnya.
Kiam Ki
Sianjin menggerakkan pedang dan menangkis serangan Pok Pok Sianjin sambil
tertawa mengejek. Segera keduanya bertempur seru.
Para pembaca
cerita Pendekar Sakti tentu masih ingat bahwa Kiam Ki Sianjin adalah tokoh
besar yang lihai, bahkan ia pernah bekerja sama dengan Hek-i Hui-mo. Sekarang
melihat murid Hek-i Hui-mo berada di pihak Bu Pun Su, selain heran ia juga
marah sekali. Apa lagi ketika ia melihat betapa dengan mudah Pok Pok Sianjin
tadi mengalahkan Pek Mo-ko, ia tidak dapat menahan kemarahannya dan muncul ke
depan tanpa bertanya lagi kepada Thian-te Sam-kauwcu, karena memang tingkat
kepandaiannya sudah tinggi, tidak jauh selisihnya dengan tingkat kepandaian
tiga ketua itu.
Betapa pun
lihainya Pok Pok Sianjin, ia repot juga menghadapi pedang Kiam Ki Sianjin.
Murid Hek-i Hui-mo ini memang tadinya hanya seorang sastrawan muda dan dia
hanya terpaksa saja menjadi murid tokoh besar Hek-i Hui-mo.
Oleh karena
itu, setelah ia mewarisi ilmu silat tinggi, ia jarang sekali berlatih dan biar
pun kepandaiannya telah tinggi, akan tetapi ia jarang bertempur. Sekarang yang
dihadapinya adalah seorang ahli silat tingkat tinggi yang bisa dibilang
pekerjaannya sehari-hari hanya bersilat dan bertempur.
Maka, dalam
jurus ke empat puluh, pedang Kiam Ki Sianjin berhasil melukai pundaknya.
Terpaksa Pok Pok Sianjin melompat ke belakang, ditertawai oleh Kiam Ki Sianjin.
Kun Beng
marah sekali dan sambil memaki keras ia melompat maju menggantikan Pok Pok
Sianjin, tombaknya segera digerakkan menyerang Kiam Ki Sianjin. Kakek ini
tertawa terkekeh-kekeh dan menggerakkan pedangnya menangkis sehingga tak lama
kemudian mereka telah bertanding mati-matian.
Melihat
bahwa sute itu pun agaknya takkan dapat menangkan Kiam Ki Sianjin yang lihai,
Swi Kiat berseru keras dan murid pertama dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini
memasuki kalangan pertandingan dengan senjatanya yang ampuh di tangan, yakni
sepasang kipas, senjata istimewa dari mendiang gurunya!
“Perlahan
dulu, tukang dapur!” Hek Mo-ko membentak.
Bersama Pek
Mo-ko, dia menyambut Swi Kiat Siansu. Dua saudara iblis hitam putih ini telah
mengambil senjata cadangan dan biar pun mereka telah terluka, namun luka yang
ringan itu tidak menghambat gerakan mereka. Terpaksa Swi Kian Siansu menghadapi
keroyokan Hek Pek Mo-ko yang tentu saja amat berbahaya setelah maju bersama.
Pok Pok
Sianjin yang terluka pundaknya, tidak mau tinggal diam saat melihat dua orang
kawannya didesak. Ia pun melompat maju dan tongkatnya kembali
menyambar-nyambar, akan tetapi sebelum dia dapat membantu, terdengar suara
ketawa merdu dan tahu-tahu seorang gadis cantik jelita menyambut tongkat dengan
sepasang pedang.
Temyata
bahwa Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, murid terkasih dari Thian-te Sam-kauwcu telah
turun tangan pula! Pek Hoa Pouwsat memiliki kepandaian yang istimewa dan masih
lebih tinggi tingkatnya dari pada Hek Pek Mo-ko, maka tentu saja dalam beberapa
belas jurus Pok Pok Sianjin sudah terdesak hebat sekali, terkurung oleh
sepasang pedang dan keselamatannya terancam sekali!
Sui Ceng
menjadi bingung. Ia menoleh ke sana ke mari mencari-cari Bu Pun Su. Baru
pembantu dan murid-murid Thian-te Sam-kauwcu saja yang maju, pihaknya telah
sangat terdesak. Tak disangkanya bahwa pihak Mo-kauw demikian lihai. Kalau
sampai Thian-te Sam-kauwcu sendiri yang maju, dapat diramalkan bahwa dia dan
kawan-kawannya tidak akan dapat keluar dari tempat itu dengan selamat.
“Maju...!
Serbu dan rampas kitab beserta pedang itu!” hampir berbareng, para pimpinan
Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai memberi aba-aba dan dua puluh orang Siauw-lim-pai
dan Kun-lun-pai serentak maju sambil menggerakkan senjata masing-masing.
Hek-te-ong
tertawa bergelak. “Kawan-kawan, sambut mereka! Jangan biarkan seorang pun
hidup! Apa bila kita dapat menumpas mereka, dunia kang-ouw pasti akan mengakui
kekuasaan kita!”
Pihak
Mo-kauw bersorak-sorai dan terjadilah perang tanding yang hebat dan
mati-matian. Sui Ceng tidak mau pusingkan tentang Bu Pun Su lagi, sungguh pun
hatinya sudah amat mendongkol.
“Benar-benarkah
Kwan Cu telah berubah menjadi orang pengecut yang tak tahu malu?” pikirnya.
Namun ia
tidak mau tinggal diam dan sekali ia berseru nyaring, cambuknya berbunyi,
“Tar! Tar!
Tar!” dan seketika itu juga, empat orang anak buah Mo-kauw roboh menjerit dan
bergulingan untuk menghadapi maut!
Sui Ceng
hendak mengamuk terus. Tiba-tiba ia melompat mundur karena ia mendengar suara
Bu Pun Su berbisik dekat telinganya,
“Sui Ceng,
demi keselamatan semua kawan, kau robohkan lebih dulu Wi Wi Toanio. Kau lihat
wanita yang berbaju biru memegang pedang itu. Serang dia dan robohkan sampai
tidak berdaya. Awas, di sebelah kirinya, laki-laki yang memakai baju kuning itu
adalah An Kai Seng, musuh besar kita!”
Sui Ceng
memandang ke sana ke mari, akan tetapi tidak melihat Bu Pun Su. Ia sudah
menjadi marah sekali ketika mendengar bahwa yang berbaju kuning adalah An Kai
Seng. Karena itu, sekali ia melompat, ia telah berhadapan dengan An Kai Seng.
Tanpa banyak cakap, ia lalu menyerang.
“Jahanam An,
mampuslah kau!” Cambuknya menyambar hebat dan mengeluarkan bunyi yang keras
sekali.
An Kai Seng
yang diserang secara mendadak, menjadi kaget bukan main. Ia bukanlah seorang
lemah dan cepat pedangnya menangkis. Namun ia tidak berdaya karena kali ini,
Sui Ceng mempergunakan semua ujung cambuknya yang berjumlah sembilan.
Pedang An
Kai Seng masih dapat menangkis sebagian ujung cambuk, akan tetapi tetap saja
dua ujung cambuk menotok jalan darahnya, satu di leher dan satu lagi di
ubun-ubun! An Kai Seng menjerit ngeri dan roboh tak bernapas lagi.
“Perempuan
jahat, kau berani mencelakai suamiku!” Wi Wi Toanio menjerit dan mengirim
tikaman dengan pedang.
Namun tentu
saja Wi Wi Toanio bukan merupakan lawan tangguh bagi Bun Sui Ceng, murid
Kiu-bwe Coa-li yang lihai ini. Beberapa gebrakan saja, Wi Wi Toanio roboh
pingsan terkena sabetan cambuk pada pinggangnya.
Gemas
mengingat bahwa perempuan ini adalah isteri dari musuh besarnya, yakni An Kai
Seng keturunan An Lu San yang amat dibencinya, Bun Sui Ceng mengayunkan cambuk
hendak memberi pukulan maut. Akan tetapi tiba-tiba dia terjengkang ke belakang
dan di depannya berdirilah Hek-te-ong dengan senjatanya yang aneh di tangan,
yakni sebuah penggada kepala beruang! Angin sambaran senjata ini saja sudah
dapat membuat Sui Ceng terjengkang, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya
tenaga dari ketua Mo-kauw ini.
Akan tetapi
Sui Ceng memang tidak pernah mengenal takut. Cambuknya bergerak-gerak laksana
sembilan ekor ular dan dia menyerang Hek-te-ong dengan pengerahan tenaga
seluruhnya.
Diam-diam
Hek-te-ong harus mengakui keganasan dan kehebatan wanita ini. Akan tetapi
karena memang dia sudah memiliki kepandaian yang sangat tinggi, lebih tinggi
dari pada tingkat kepandaian Kiam Ki Sianjin, ia dapat pula menghadapi Bu Sui
Ceng dengan amat baiknya. Bahkan senjatanya penggada yang aneh itu dengan amat
kuat dan pasti mulai mendesak Sui Ceng.
Sementara
itu, Kiang Liat yang tadinya tidak berdaya karena ia maklum akan rendahnya
tingkat kepandaiannya menghadapi para tokoh besar itu, setelah melihat dua
belah pihak berperang tanding tanpa memilih jago, segera mencabut pedangnya dan
turut menyerbu.
Ia paling
benci melihat Pek Hoa Pouwsat yang pernah mengganggunya. Apa lagi kalau ia
teringat akan kata-kata isterinya bahwa wanita cantik seperti siluman ini
pernah berjanji untuk menengok anaknya, kekhawatirannya amat besar. Kini
melihat Pek Hoa Pouwsat mendesak Pok Pok Sianjin, tanpa ragu-ragu lagi ia lalu
terjun ke dalam pertempuran dan mempergunakan segala kepandaiannya untuk
membantu Pok Pok Sianjin.
“Ehh, bocah
she Kiang, kau masih belum mampus?” Pek Hoa Pouwsat yang mengenal Kiang Liat
mengejek dan pedangnya kini bermain-main di atas kepala Kiang Liat.
Kalau tidak
ada Pok Pok Sianjin, tentu dalam beberapa jurus saja Kiang Liat akan roboh.
Setelah Kiang Liat membantu, keadaan Pok Pok Sianjin tidak begitu terdesak
lagi, karena biar pun Kiang Liat masih kalah jauh tingkat kepandaiannya, namun
kiam-hoat dari orang muda ini juga tak boleh dibilang lemah.
Pek Hoa
Pouwsat merasa gemas sekali. Segera dia mencabut sehelai sapu tangan dari saku
bajunya. Melihat sapu tangan merah ini, Kiang Liat terkejut sekali.
“Locianpwe,
awas! Sapu tangan beracun itu...!” katanya.
Akan tetapi
terlambat. Sambil tertawa kecil Pek Hoa Pouwsat sudah mengebutkan sapu
tangannya.
Pada saat
yang amat berbahaya itu, terdengar suara orang, “Perempuan keji!”
Tiba-tiba
sapu tangan merah itu direnggut lepas dari tangan Pek Hoa Pouwsat dan di lain
saat, terdengarlah suara…
“Takkk!” dan
patahlah pedang di tangan kiri perempuan itu!
Pek Hoa
Pouwsat menjadi pucat dan ia pun melompat jauh ke belakang sambil mulutnya
memaki-maki.
“Bu Pun Su,
lain kali kubunuh kau...”
Memang Bu
Pun Su yang turun tangan pada saat berbahaya itu. Tadinya ketika melihat Wi Wi
Toanio, terbang semangatnya. Ia maklum bahwa kalau perempuan berbahaya itu
mempergunakan tusuk konde untuk mempengaruhinya, dia tidak akan berdaya. Maka
Bu Pun Su cepat-cepat pergi dan mengintai dengan hati gelisah.
Melihat
betapa pihaknya menderita kekalahan, dia lalu mengirim suara untuk membantu Han
Le, kemudian ia mengirim suara pula kepada Bun Sui Ceng untuk merobohkan Ang
Kai Seng dan Wi Wi Toanio.
Setelah
dilihatnya bahwa Wi Wi Toanio telah tak berdaya pula, dengan girang Bu Pun Su
lantas menerjang maju. Pertama-tama dia menolong Kiang Liat dan Pok Pok Sianjin
yang hampir saja menjadi korban sapu tangan merah beracun dari Pek Hoa Pouwsat.
Sesudah itu,
dia lalu cepat menolong yang lain. Pedang dan golok orang-orang Mo-kauw
beterbangan, orang-orangnya roboh menjerit kesakitan tanpa sempat melihat siapa
yang sudah merampas senjata dan merobohkan mereka. Demikian cepatnya gerakan Bu
Pun Su Pendekar Sakti.
“Tahan semua
senjata! Thian-te Sam-kauwcu, jika kalian memang laki-laki, jangan main
keroyokan. Aku Bu Pun Su lawanmu. Mari kita mengadu kesaktian secara
laki-laki!”
Mendengar
ini dan melihat pula betapa orang-orangnya banyak yang roboh, Het te-ong lalu
memberi aba-aba untuk menyuruh orang-orangnya mundur. Keadaan menjadi sunyi
kembali. Mereka yang terluka, baik anak buah pihak Mo-kauw mau pun anak-anak
murid Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, kini ditolong oleh teman-temannya dan
ditarik ke belakang untuk diobati.
“Bu Pun Su,
kenapa kau baru muncul?” Sui Ceng menegur marah kepada Bu Pu Su.
Pendekar itu
tersenyum, mengejapkan mata kepadanya.
“Sekarang
tiba saatnya aku menghadapi mereka. Terima kasih atas bantuanmu tadi, Sui
Ceng,” kata Bu Pun Su yang cepat melangkah maju menghadapi Thian-te Sam-kauwcu
yang sedang berdiri tegak dengan muka merah.
“Bu Pun Su,
kau telah berani merusak patung-patung kami dan sekarang kau pula yang harus
bertanggung jawab atas keributan ini. Kalau tidak ada kau di sini, kiranya
semua orang gagah akan insyaf dan mengakui kami sebagai sahabat serta pemimpin
mereka,” kata Hek-te-ong.
“Hek-te-ong,
tenang dulu! Kau bersama dua orang sute-mu dari Barat telah mengacau di
Tiong-goan. Kawan-kawan Mo-kauw yang bodoh dapat saja kalian tipu sehingga
mereka mudah pula kalian jadikan boneka, termasuk kakek seperti Kam Ki Sianjin.
Tidak itu saja, kalian juga telah mengganggu Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai,
mencuri kitab dan pedang. Kemudian kalian berusaha pula untuk merobohkan semua
tokoh persilatan. Sekarang aku sudah datang, dan akulah yang bertanggung
jawab.”
“Apa
kehendakmu?” tanya Hek-teong.
“Tidak
banyak, hanya ada dua macam. Pertama kau harus mengembalikan kitab kepada
Siauw-lim-pai dan pedang kepada Kun-lun-pai, disertai pernyataan maaf atas
kekurang ajaranmu. Kedua, kau bersama dua orang sute-mu harus segera pergi dari
Tiong-goan, kembali ke barat tempat asalmu. Kalau kau hendak menjagoi, di Tibet
tempatmu, bukan di sini.”
“Ha-ha-ha,
kau sombong sekali. Apa kau kira kami ini anak-anak kecil yang akan mudah kau
tipu dengan suara suling?”
Bu Pun Su
tersenyum dan mencabut suling yang terselip pada pinggangnya. “Suling ini
memang biasa untuk menghibur anak-anak kecil dan orang-orang yang berduka, akan
tetapi ada kalanya dapat dipergunakan untuk mengusir pengacau-pengacau.
Hek-te-ong, dari pada kita semua berkelahi seperti orang-orang biadab, marilah
kita bertaruh. Kalian boleh mengajukan siapa saja untuk menghadapiku mengadu
kepandaian. Jika aku kalah, aku Bu Pun Su takkan peduli lagi kalian akan
berbuat apa. Akan tetapi kala jago-jagomu kalah, kalian harus segera angkat
kaki dari sini dan selama hidup jangan menginjak lagi bumi di daerah ini!”
“Manusia
sombong, apa sih kepandaianmu maka kau begini sombong? Mari kuantar kau ke
neraka!” Yang berkata demikian adalah Pek-in-ong tokoh ke dua dari Mo-kauw yang
tinggi kurus seperti tengkorak.
Dengan
senjatanya sepasang roda yang lihai sekali, Pek-in-ong langsung menyerang Bu
Pun Su. Rodanya berputaran di tangan yang mengeluarkan suara angin mengiung.
“Bagus, aku
pernah mengenal patungmu, akan tetapi lebih menarik mengenal orangnya,” kata Bu
Pun Su yang dengan sangat sederhana dan mudahnya mengelak dari serangan orang.
Pek-in-ong
mendesak terus dan sepasang rodanya menyambar-nyambar sambil mencari lowongan,
siap untuk mencabut nyawa Bu Pun Su. Namun, Bu Pun Su adalah seorang pendekar
yang memiliki kesaktian luar biasa. Di atas dunia hanya dia seoranglah yang
beruntung mewarisi ilmu kepandaian dari kitab sakti Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Pendekar ini
telah memiliki kepandaian mengenal dasar dan intisari semua gerakan ilmu silat.
Oleh karena itu, dengan mudah saja dia dapat melihat setiap gerakan roda lawan,
tahu pula ke mana senjata lawan akan menyerangnya, maka mudah saja baginya
untuk menghindarkan diri.
Selain ini,
di dalam tubuhnya telah mengalir sinkang (hawa sakti) yang terjadi dari hawa
murni di dalam tubuh. Sinkang di dalam tubuhnya sudah kuat sekali, apa lagi
setelah selama ini ia bertapa, tekun bersemedhi mengatur pernapasan dan
mencurahkan seluruh jiwanya kepada kekuasaan Yang Maha Kuasa, maka dia
mempunyai kekuatan lahir batin yang menakjubkan.
Biar pun
senjatanya hanya sebatang suling bambu, akan tetapi sungguh aneh dan sukar
dipercaya. Setiap kali roda yang terbuat dari baja tulen itu bertemu dengan
suling, roda itu terpental kembali dan beberapa kali roda itu akan menghantam
kepada Pek-in-ong sendiri.
Para tokoh
yang berada di situ, yakni rombongan Bun Sui Ceng dan kawan-kawannya, sungguh
pun mereka sudah tahu akan kelihaian Bu Pun Su, akan tetapi kembali mereka
terheran-heran dan kagum sekali. Bagaimana Bu Pun Su dengan hanya sebatang suling
bambu dapat mempermainkan Pek-in-ong seperti seekor kucing mempermainkan tikus?
Padahal, semua orang tahu bahwa Pek-in-ong memiliki kepandaian yang amat
tinggi!
Pek-in-ong
sendiri terheran-heran bukan main. Beberapa kali Bu Pun Su mengembalikan
roda-rodanya dengan gerak tipu yang serupa benar dengan gerakan yang tadi ia
lakukan untuk menyerang lawan aneh ini. Ia merasa penasaran sekali dan
mengerahkan seluruh kepandaiannya, akan tetapi sia-sia belaka. Bahkan pada
waktu dia menyerang dengan hebatnya, melontarkan sepasang rodanya yang susul
menyusul menimpa kepala Bu Pun Su, pendekar ini mengangkat sulingnya.
Tepat sekali
suling itu masuk ke dalam roda, diputar-putarnya suling itu sehingga rodanya
ikut berputar, lantas roda itu dilontarkan kembali ke arah kepala Pek-in-ong!
Pek-in-ong terkejut, cepat mengulur tangan menyambut rodanya sendiri. Akan
tetapi dia terjengkang karena tidak kuat menahan lontaran yang penuh dengan
tenaga dahsyat itu. Roda kedua menghantam kepala Bu Pun Su, akan tetapi
Pendekar Sakti ini mengibaskan tangannya dan... roda itu cepat meluncur ke
bawah, menghantam kaki Pek-in-ong yang terjengkang.
“Plakk!”
Kaki kanan Pek-in-ong terkena pukulan rodanya sendiri.
“Aduhh...
aduhhh...!”
Semua orang
hampir tidak dapat menahan ketawa ketika melihat Pek-in-ong berloncat-loncatan
dengan kaki kiri sambil memegangi kaki kanan yang patah tulangnya dan bukan
main sakitnya. Sesudah berloncat-loncatan beberapa kali sambil meringis-ringis,
akhirnya Pek-in-ong roboh pingsan!
Hek-te-ong
mengeluarkan suara gerengan laksana seekor beruang yang marah. Matanya menjadi
merah seperti mengeluarkan api. Sekali tangannya bergerak, berhamburan debu
hijau dan hitam ke arah Bu Pun Su. Pendekar ini maklum bahwa lawannya
mengeluarkan bubuk beracun.
“Semua
mundur jauh-jauh!” teriaknya kepada kawan-kawannya.
Bun Sui Ceng
dan yang lain-lain cepat melompat ke belakang, menyambar tubuh-tubuh
kawan-kawan yang kurang gesit. Han Le menyeret Kiang Liat karena melihat orang
muda ini berlaku lambat. Akan tetapi tetap saja ada beberapa orang anak murid
Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai tidak keburu lari dan mereka tiba-tiba
terbatuk-batuk lalu roboh dengan muka menjadi hitam, napas mereka sudah putus!
“Keji sekali
kau, Hek-te-ong!” seru Bu Pun Su marah.
Dia kemudian
menggerakkan kedua lengannya, melakukan pukulan Pek-in Hoat-sut yang
mengeluarkan uap putih sehingga semua bubuk berwarna itu segera terusir kembali
dan menghantam ke arah rombongan Hek-te-ong sehingga orang-orang Mo-kauw itu
menjadi kocar-kacir!
“Bu Pun Su
mampuslah kau!” teriak Hek-te-ong dan senjatanya menyambar laksana kilat.
Menghadapi
senjata penggada kepala beruang ini, Bu Pu Su tidak berani berlaku lambat. Ia
menyelipkan sulingnya dan sebagai penggantinya, dicabutnya sebatang pedang yang
berkilauan cahayanya. Inilah pedang pusaka Liong-coan-kiam, pedang pusaka yang
dia terima dari kakeknya, yakni Menteri Lu Pin!
Sambaran
senjata di tangan Hek-te-ong mengenai angin ketika Bu Pun Su mengelak dan
sekejap kemudian dua orang sakti ini bertempur. Bukan main hebatnya pertempuran
ini.
Bu Pun Su
pernah mengamuk ketika dahulu pada waktu muda dia menghadapi Kiam Ki Sianjin
dan kawan-kawannya, akan tetapi selama hidupnya baru sekali ini ia menghadapi
tandingan yang benar-benar tangguh. Kepandaian Hek-te-ong masih di atas
kepandaian Ang-bin Sin-kai, bahkan masih lebih ganas dan berbahaya dari pada
kepandaian Kiu-bwe Coa-li dan yang lain-lain!
Akan tetapi,
Bu Pun Su yang sekarang jauh bedanya dengan Bu Pun Su ketika masih mempergunakan
nama Lu Kwan Cu. Sekarang kepandaian Bu Pun Su sudah sampai di puncak
kesempurnaan. Ilmu silat Im-yang Bu-tek Cin-keng sudah mendarah daging pada
dirinya.
Seluruh
gerakan-gerakannya sudah otomatis dan hawa sinkang di tubuhnya tanpa diatur lagi
sudah melindungi seluruh anggota tubuhnya. Bahkan dalam menghadapi Hek-te-ong,
pendekar sakti ini masih mempunyai waktu untuk mempelajari ilmu silat aneh dari
Ketua Mo-kauw ini.
Seratus
jurus lebih mereka bertempur. Tiba-tiba Hek-te-ong berseru keras dan sekali ia
menepuk dadanya, dari sebuah kancing besar di dadanya menyambar keluar tiga
batang jarum merah ke arah tubuh Bu Pun Su. Serangan gelap ini dia barengi
dengan pukulan penggadanya, lantas disusul dengan cengkeraman tangan kiri dan
yang terakhir sekali, dua kakinya melakukan tendangan berantai!
Manusia
biasa saja mana mungkin mampu membebaskan diri dari serangan ganas yang
bertubi-tubi dari yang semuanya dapat merampas nyawa ini? Namun Bu Pun Su bukan
manusia biasa, melainkan seorang manusia yang sudah amat kuat jiwa raganya,
sudah amat tinggi ilmunya dan memiliki kesaktian yang tiada keduanya.
la maklum
bahwa jarum-jarum merah itu berbahaya sekali, maka ia cepat meniup ke arah
jarum-jarum itu dengan tenaga khikang sepenuhnya sehingga jarum-jarum itu
runtuh, lalu tangan kirinya menangkis cengkeraman tangan kiri lawan, tubuhnya
direndahkan sedikit sehingga tendangan berantai itu mengenai dada dan perutnya.
Akan tetapi, pedangnya cepat sekali membabat senjata lawan.
Dalam satu
detik itu terjadi hal-hal yang luar biasa sekali. Dua buah kaki Hek-te-ong
tepat menendang perut dan dada Bu Pun Su, akan tetapi Bu Pun Su tidak
bergeming, malah sebaliknya tubuh Hek-te-ong terpental ke belakang.
Penggada itu
terkena babatan pedang dan putus pada bagian leher kepala beruang, lalu kepala
beruang itu sendiri meluncur ke bawah demikian cepatnya dan... terdengar suara
keras kepala beruang itu mengenai kepala Pek-in-ong yang masih menggeletak
pingsan. Kepala Pek-in-ong pecah bersama kepala beruang itu.
Melihat ini,
Hek-te-ong terkejut dan marah sekali. Dengan suara menggereng bagaikan binatang
buas, dia menubruk Bu Pun Su dengan kedua tangan direnggangkan, lakunya seperti
seekor beruang menerkam.
Bu Pun Su
tidak dapat mengelak lagi, juga tidak tega untuk menyerang lawan dengan
pedangnya. Cepat ia membanting pedang sehingga menancap di atas tanah, dan
dengan kedua tangannya, ia menyambut datangnya lawan.
Dua pasang
tangan yang sangat kuat bertemu, saling cengkeram dan saling membetot. Dua
orang sakti mengadu tenaga lweekang, oleh karena dari sepuluh jari tangan masing-masing
keluar hawa lweekang yang disalurkan.
“Krek...
krekk... krekkk...!”
Suara ini
amat mengerikan mereka yang menonton pertempuran, karena jelas bahwa itu adalah
suara tulang-tulang yang patah! Tak lama kemudian, Hek-te-ong menjerit panjang
dan tubuhnya terjengkang ke belakang, kemudian roboh dengan jari jemari tangan
masih merupakan cengkeraman kuku iblis. Akan tetapi ia sudah tak bernapas lagi
dan tubuhnya kaku seperti balok.
Ternyata
bahwa dalam adu tenaga lweekang tadi, ia terkena pukulan hawa lweekang-nya
sendiri yang membalik karena tidak dapat menahan sinkang yang mengalir keluar
dari jari-jari tangan Bu Pun Su.
Bu Pun Su
menarik napas panjang. “Siancai... siancai...,” katanya perlahan, “Hek-te-ong
dan Pek-in-ong binasa karena kehendak Tuhan…”
Cheng-hai-ong
berdiri pucat. Ia merasa marah dan sedih sekali melihat dua orang kakak
seperguruannya tewas dalam keadaan mengerikan. Ia maklum bahwa kalau dua orang
kakaknya kalah oleh Bu Pun Su, apa lagi dia yang kepandaiannya lebih rendah.
Akan tetapi, ia tidak dapat membiarkan begitu saja tanpa menuntut balas. Malu
kalau ia tidak turun tangan. Diam-diam otaknya bekerja, kemudian dia maju
menghampiri Bu Pun Su, sikapnya tenang.
“Bu Pun Su,
kau telah menewaskan kedua orang suheng-ku. Kau tentu maklum bahwa hal ini tak
dapat kubiarkan begitu saja. Terpaksa aku melupakan kebodohan sendiri dan
menantangmu mengadu nyawa.”
“Aku tahu
dan aku bersedia, Cheng-hai-ong,” jawab Bu Pun Su sambil menarik napas panjang.
Kalau tidak amat terpaksa dan demi keselamatan kaum pendekar di kang-ouw, ia
segan untuk membunuh orang.
“Kedua orang
suheng-ku memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dariku, toh mereka tewas
dalam tanganmu. Apa lagi aku. Oleh karena itu, kiranya sebagai orang yang lemah
aku berhak menentukan sifat pertandingan ini, ataukah kau merasa keberatan, Bu
Pun Su?”
Bu Pun Su
tersenyum dingin, “Sesukamulah, aku akan selalu mengiringi kehendakmu.
Pertandingan mengadu kepandaian macam apa pun akan kuterima.”
“Bagus!”
Tiba-tiba
sikap lemah-lembut dan mengalah dari Cheng-hai-ong lenyap, berganti dengan
sikap yang gembira dan sinar mata yang kejam.
“Bu Pun Su
adalah seorang tokoh besar, kiranya tidak akan menjilat ludah sendiri yang
sudah dikeluarkan. Bu Pun Su, aku disebut orang Cheng-hai-ong (Raja Laut
Hijau), maka sedikit kepandaian yang kumiliki tentu saja ada hubungannya dengan
air, atau lebih tepat lagi, aku lebih leluasa bergerak di dalam air dari pada
di atas bumi. Oleh karena itu, Bu Pun Su, aku menantangmu untuk mengadu nyawa
di dalam air sungai ini!” Dia berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah
air Sungai Yalu Cangpo yang airnya mengalir tenang dan lambat, menandakan bahwa
air itu amat dalam.
Walau pun di
dalam hatinya Bu Pun Su merasa kaget sekali karena tidak menyangka bahwa
lawannya demikian licik dan menjalankan siasat yang amat curang, namun pada
wajahnya tidak sedikit pun nampak rasa gelisah atau takut. Dia bahkan tersenyum
dan berkata,
“Cheng-hai-ong,
aku sama sekali tidak ingin mencelakai siapa pun juga. Sekarang kedua suheng-mu
telah tewas karena kesalahan mereka sendiri. Jika kau mengembalikan kitab dan
pedang secara suka rela, kemudian kau mau kembali ke tempat asalmu dan jangan
mengganggu kami, juga mau melepaskan Mo-kauw dari pimpinanmu, siapakah yang
sudi mencampuri urusan dunia yang menyulitkan? Akan tetapi kau bahkan
menantangku, tak tahu kau menantang untuk memperlihatkan kepandaian di air
ataukah untuk bertempur?”
Cheng-hai-ong
sebenamya memang gentar menghadapi Bu Pun Su yang lihai. Biar pun ia yakin
bahwa di dalam air ia akan lebih unggul, akan tetapi orang semacam Bu Pun Su
ini, sungguh pun di dalam air atau di lautan api sekali pun, tetap merupakan
lawan yang berbahaya dan tangguh. Maka ia ingin berlaku hati-hati dan menjawab,
“Bu Pun Su,
pertama-tama aku menantang kau mengadakan pertunjukan di permukaan air, kita
sama lihat siapa di antara kita yang lebih pandai.”
Setelah
berkata demikian, tanpa menanti jawaban supaya Bu Pun Su tidak mempunyai
kesempatan untuk membantah, orang ketiga dari Thian-te Sam-kauwcu ini melompat
dan tubuhnya sudah melayang turun ke dalam Sungai Yalu Cangpo.
SEMUA orang
berlari-lari mendekati tebing sungai untuk melihat. Mereka menjadi sangat kagum
dan di sana-sini terdengar seruan memuji. Memang kepandaian Cheng-hai-ong hebat
sekali.
Lain orang
kalau ingin terapung di air, tentu jalan satu-satunya hanya berenang. Ini pun
hanya membuat sebagian tubuh saja yang terapung. Akan tetapi, tidak demikian
dengan Cheng-hai-ong. Entah bagaimana, dengan kedua kaki digerakkan cepat-cepat
dan aneh, ia dapat membuat tubuhnya terapung dalam keadaan berdiri tegak dan
yang tenggelam ke dalam air hanya kaki sebatas lutut saja!
Lutut itu
bergerak-gerak terus dan dapat diduga bahwa kedua kaki itulah yang bergerak
secara istimewa sehingga tubuhnya dapat tegak pada permukaan air, dan tangan
kanan Cheng-hai-ong sudah memegang senjatanya yang luar biasa sekali, yakni
rantai dengan tengkorak manusia pada ujungnya! Orang ini tertawa mengejek
sambil memandang ke arah Bu Pun Su!
“Bu Pun Su,
beranikah kau turun ke sini?” tantangnya dengan nada suara mengejek.
“Kwan Cu,
jangan kena terjebak oleh tipu muslihatnya!” Bun Sui Ceng mencegah Bu Pun Su,
kemudian dengan suara nyaring sambil mengamang-amangkan cambuknya ke arah
Cheng-hai-ong, ia membentak keras,
“Cheng-hai-ong,
manusia busuk! Kau hendak mempergunakan kecurangan, memancing lawan ke dalam
air. Kami bukanlah sebangsa katak yang biasa main di darat dan di air, mana
kami sudi melayanimu di air, kau katak bukan tikus pun bukan? Hayo naik ke
darat dan kau bisa mencoba rasanya cambukku ini sebelum bangkaimu kulemparkan
ke dalam air.”
Bu Pun Su
tersenyum. “Air Sungai Yalu Cangpo boleh lebar dan dalam mengerikan, akan
tetapi selama masih ada nelayan, kita takut apakah?” Tiba-tiba saja tubuhnya
melayang ke bawah, ke air sungai yang demikian lebar dan dalam!
Semua orang
melongok ke bawah. Kawan-kawan Bu Pun Su sangat khawatir karena mereka belum
pernah mendengar bahwa pendekar sakti ini pandai pula bermain di air. Akan
tetapi apa yang mereka lihat di permukaan air Sungai Yalu Cangpo benar-benar
membuat mereka melongo, bahkan pihak Mo-kauw yang menyaksikan pemandangan ini
menjadi pucat dan tak berani bernapas. Apakah yang mereka lihat?
Bu Pun Su
telah melompat dan tiba di permukaan air seperti di atas tanah keras saja!
Pendekar sakti ini berdiri di permukaan air, tidak bergeming, tidak bergerak
sama sekali, tersenyum-senyum dan enak saja menghadapi Cheng-hai-ong yang
menjadi pucat.
Ini tak
mungkin, pikir Cheng-hai-ong. Ia adalah seorang ahli dalam permainan di air dan
ia tahu bahwa berdiri tanpa bergerak pada permukaan air laksana sehelai daun
kering, adalah hal yang tak mungkin dilakukan oleh manusia hidup. Kalau
sekiranya ia melihat Bu Pun Su berlari-lari cepat di permukaan air, dia masih
percaya karena seorang yang ginkang-nya sudah mencapai tingkat tinggi seperti
Bu Pun Su, kiranya dapat melakukan hal itu. Akan tetapi berdiri tegak di
permukaan air tanpa bergerak?
Kemudian,
tiba-tiba Cheng-hai-ong teringat akan peristiwa sebelum Bu Pun Su muncul di
tempat itu. Ketika ia dan suheng-suheng-nya menanti datangnya Bu Pun Su, ada
suara ketawa aneh di permukaan air, dan ia telah menyerang dengan jarum ke arah
permukaan air, akan tetapi tidak kelihatan siapa pun juga.
Apakah tidak
mungkin ada orang pandai yang bersembunyi di dalam air? Dan sekarang orang itu
telah membantu Bu Pun Su dan menyangga kedua kakinya?
“Jahanam,
jangan main sembunyi, keluarlah kalau kau laki-laki!” seru Cheng-hai-ong dan
tiba-tiba tangan kirinya bergerak sehingga beberapa batang jarum hijau
menyambar ke arah air tepat di bawah kaki Bu Pun Su!
Bu Pun Su
menggerakkan kakinya menendang ke arah sinar hijau itu dan jarum-jarum itu
menyeleweng ke kiri.
“Kong Hwat,
kau lawanlah dia ini, sama-sama setan air!” kata Bu Pun Su dan sekali ia
menggerakkan kakinya, tubuhnya melesat naik ke tebing sungai lagi.
Terdengar
suara ketawa bergelak dan di permukaan air, di mana tadi Bu Pun Su ‘berdiri’ di
atas air, muncul kepala seorang laki-laki yang begitu muncul begitu langsung
ketawa terkekeh-kekeh, nampaknya seperti orang kegirangan sekali. Akan tetapi
kedua matanya tidak ikut tertawa bahkan seperti orang menangis. Kalau saja
tidak ada air sungai yang menetes-netes dari rambutnya, tentu orang akan
melihat air matanya bercucuran!
“Dia Nelayan
Cengeng!” seru Sui Ceng.
Dia
memandang heran kepada Bu Pun Su karena kini tahulah ia bahwa Bu Pun Su tadi
sebelum melompat ke dalam sungai sudah mengetahui bahwa Nelayan Cengeng berada
di bawah permukaan air itu. Bagaimana Bu Pun Su bisa mengetahui hal ini?
Ada pun Cheng-hai-ong,
pada waktu melihat bahwa benar saja dugaannya di bawah air terdapat kawan Bu
Pun Su, menjadi marah sekali. Ia cepat menggerakkan rantainya dan tengkorak di
ujung rantai lantas menyambar ke arah kepala Kong Hwat atau Si Nelayan Cengeng.
Akan tetapi tengkorak itu hanya menyambar air, karena kepala yang diserang
telah lenyap lagi ke bawah permukaan air.
Tiba-tiba
nampak Cheng-hai-ong meronta-ronta dan memaki-maki. Senjatanya bergerak memukul
ke bawah, namun tetap saja tubuhnya diseret turun ke dalam air oleh Nelayan
Cengeng! Sebentar kemudian, dua orang ‘setan air’ itu telah tenggelam dan
orang-orang yang berada di tebing tidak melihat apa-apa lagi. Hanya air sungai
yang tadinya mengalir tenang itu kini nampak bergelombang, tanda bahwa di dasar
sungai terjadi pergumulan hebat.
Bu Pun Su
memang datang bersama Kong Hwat yang ia jumpai di tengah perjalanannya menuju
ke Yalu Cangpo. Dua orang kenalan lama itu lalu bercakap-cakap dan ketika
mendengar bahwa Bu Pun Su hendak menghadapi orang-orang Mo-kauw yang dipimpin
oleh Thian-te Sam-kauwcu, Kong Hwat menjadi gembira sekali dan dengan suka rela
ikut ke tempat itu.
Akan tetapi
Kong Hwat tidak langsung menuju ke tempat itu, melainkan mengambil jalan dari
sungai, mendayung perahu kecilnya, kemudian ia bahkan telah mendahului Bu Pun
Su dan telah mengeluarkan suara ketawa ketika para anggota Mo-kauw
mentertawakan Bu Pun Su yang belum datang.
Sementara
itu, orang-orang Mo-kauw yang melihat dua orang pemimpin mereka sudah tewas,
menjadi marah sekali. Terutama Hek Pek Mo-ko dan Pek Hoa Pouwsat. Mereka
bertiga ini berseru keras memberi aba-aba kepada kawan-kawannya dan menyerbulah
mereka sehingga kembali terjadi perang tanding yang hebat antara orang-orang
Mo-kauw melawan orang-orang Siauw-lim dan Kun-lun.
Ada pun Hek
Pek Mo-ko, Pek Hoa Pouwsat, Kiam Ki Sianjin, dan beberapa orang tokoh Mo-kauw
yang berkepandaian tinggi, tentu saja segera disambut oleh Bun Sui Ceng, Swi
Kiat Siansu, The Kun Beng, Han Le, Pok Pok Sianjin, dibantu oleh Kiang Liat
serta para tokoh Siauw-lim dan Kun-lun.
Pertandingan
berjalan tidak seimbang. Setelah Thian-te Sam-kauwcu tidak berada di situ,
kekuatan pihak Mo-kauw kalah jauh, apa lagi jika Bu Pun Su ikut turun tangan
membantu kawan-kawannya. Pendekar Sakti ini yang melihat bahwa pihaknya unggul,
hanya berdiri menonton, kadang-kadang menengok ke arah sungai.
Pergumulan
di dalam sungai antara Nelayan Cengeng dan Cheng-hai-ong benar-benar hebat.
Sayangnya mereka yang berada di darat tidak dapat menyaksikan pertandingan
istimewa ini, pertempuran antara dua orang manusia yang memiliki kepandaian
seperti ikan.
Sebetulnya,
kalau bertanding di darat, kepandaian Cheng-hai-ong masih lebih unggul dan
kiranya Kong Hwat takkan dapat bertahan sampai lima puluh jurus. Akan tetapi,
Nelayan Cengeng ini memang cerdik. Ia tahu bahwa ia menghadapi lawan-lawan
tangguh, oleh karena itu ia sengaja tidak mau ikut Bu Pun Su menghadapi mereka
di darat, melainkan menunggu di air, di mana ia boleh membanggakan
kepandaiannya dan tidak usah takut terhadap siapa pun juga.
Meski pun
sekarang ia menghadapi Cheng-hai-ong yang lihai, akan tetapi setelah mereka
bertanding di dalam air, ternyata Cheng-hai-ong harus mengakui keunggulan
lawannya yang istimewa itu.
Pertempuran
di dalam air berbeda dengan pertempuran di darat. Tenaga lweekang tidak begitu
ampuh lagi sesudah orang berada di dalam air, apa lagi segala macam senjata
rahasia seperti yang menjadi keunggulan Cheng-hai-ong, sama sekali
jarum-jarumnya tak dapat dipergunakan. Di dalam air, yang diandalkan adalah
kegesitan, ketajaman mata dan telinga, dan terutama sekali keuletan dan
kekuatan bertahan napas.
Dalam hal
ini pun ternyata Cheng-hai-ong kena diakali oleh Nelayan Cengeng. Apa bila
mereka berdua bertanding kekuatan menahan napas di dalam air agaknya Kong Hwat
hanya menang sedikit saja. Akan tetapi, sesudah mereka bergumul beberapa lama
dan keduanya telah hampir kehabisan napas, diam-diam Kong Hwat mengeluarkan
sebatang tangkai rumput alang-alang yang dalamnya berlubang.
Tangkai
alang-alang yang seperti pipa kecil ini, ujungnya dia masukkan mulut dan ketika
Kong Hwat meniup ujung yang dimasukkan mulutnya itu, pipa alang-alang yang
panjang ini timbul di permukaan air. Kemudian, dengan leluasa dia dapat
bernapas dan berganti hawa melalui pipa kecil itu!
Dengan akal
ini, tidak heran apa bila tidak lama kemudian dia sudah dapat menggempur dada
Cheng-hai-ong dengan senjatanya, yakni sebatang dayung besi yang berat!
Cheng-hai-ong yang napasnya memang sudah hampir putus itu, mana kuat menerima
pukulan ini? Tubuhnya menjadi lemas dan ia tersembul ke atas dengan tubuh tak
bernyawa lagi, lalu hanyut oleh air sungai yang mengalir tenang.
Kong Hwat
sendiri cepat-cepat naik dan menyembulkan kepala di atas permukaan air. Ia
melihat pertempuran berjalan ramai akan tetapi Bu Pun Su hanya berdiri saja
menonton, maka tahulah ia bahwa ia tidak perlu turun tangan membantu. Ia lalu
berenang dengan cepat sekali mengikuti aliran air, pergi dari tempat itu.
Para anggota
Mo-kauw melihat pula tubuh Cheng-hai-ong yang telah menjadi mayat dan hanyut di
permukaan air sungai, maka hati mereka makin gelisah sehingga perlawanan mereka
juga semakin kalut. Banyak sudah orang pihak mereka roboh dan binasa.
Tiba-tiba
saja terdengar pekik nyaring, “Lu Kwan Cu, aku perintahkan kau menghentikan
perlawanan pihakmu!”
Seorang
wanita melompat dan memegang sebatang tusuk konde perak ke atas sambil
menghampiri Bu Pun Su. Muka pendekar ini menjadi pucat dan kaget sekali. Ia
hendak melarikan diri, namun sudah tidak keburu. Terpaksa ia melompat ke tengah
pertempuran dan membentak,
“Semua kawan
tahan senjata!”
Bun Sui Ceng
dan yang lain-lain merasa heran sekali, namun tetap melompat mundur. Beberapa
orang Siauw-lim dan Kun-lun yang masih mendesak lawan, tentu saja tak mau
mundur karena selagi mereka menang dan mendesak lawan, mengapa disuruh
berhenti?
Tiba-tiba
saja mereka melihat bayangan orang berkelebat cepat di hadapan mereka dan
tahu-tahu senjata di tangan mereka telah lenyap dirampas orang! Kini terpaksa
mereka melompat mundur. Mereka semakin kaget dan heran ketika mendapat
kenyataan bahwa yang merampas senjata mereka tadi bukan lain adalah Bu Pun Su
sendiri!
“Wi Wi, kau
dan kawan-kawanmu pergilah!” Bu Pun Su berkata dengan suara kaku dan muka
pucat.
Semua orang
menjadi terheran-heran. Bun Sui Ceng tentu saja menjadi amat penasaran dan
marah. Ia melangkah maju dan cambuknya lantas berbunyi keras ketika cambuk ini
menyambar ke arah Wi Wi Toanio!
Akan tetapi,
sekali menggerakkan lengan, Bu Pun Su menerima cambuknya itu dengan lengannya.
Agar jangan menyinggung perasaan Bun Sui Ceng, pendekar sakti ini tidak
mengerahkan tenaga dan membiarkan cambuk itu melukai kulit lengannya. Segera
darah mengucur dari kulit yang pecah terkena cambuk!
“Ayaaa...!”
Sui Ceng melompat ke belakang dengan kaget sekali. “Kwan Cu, apakah kau sudah
gila?”
Sui Ceng
memandang ke arah Bu Pun Su, kemudian menoleh kepada Wi Wi Toanio dan matanya
mengancam. “Kau mau membela dia? Akan kubunuh wanita jahanam ini...”
“Wi Wi,
lekas kau pergilah. Kalau tidak, aku tidak tahu apakah aku masih dapat mentaati
permintaanmu,” kata pula Bu Pun Su kepada Wi Wi Toanio.
Wi Wi Toanio
tersenyum mengejek. Pada saat seperti itu, ia tidak dapat mendesak Bu Pun Su
karena orang-orang yang menjadi lawan adalah orang-orang yang amat lihai, apa
lagi suaminya sudah meninggal dan perlu diurus.
Dapat
menyelamatkan diri saja sudah lebih dari cukup dan boleh dibilang untung
sekali, karena ia maklum bahwa jika pertandingan dilanjutkan, pihak Mo-kauw
pasti akan tewas semua. Sambil tertawa dan menangis seperti orang gila, Wi Wi
Toanio menyambar tubuh An Kai Seng, kemudian berlari pergi dari situ, diikuti
oleh semua orang.
Hek Pek
Mo-ko sendiri, dan juga Pek Hoa Pouwsat, tidak berani menentang Bu Pun Su lebih
lama lagi dan mereka pun melarikan diri dan mempergunakan kesempatan aneh itu.
Mereka pergi dengan hati mengandung dendam besar, akan tetapi apakah daya
mereka menghadapi orang-orang seperti Bu Pun Su dan yang lain-lain itu?
Setelah
pihak lawan pergi semua membawa mayat dan mereka yang terluka, Bun Sui Ceng
tidak dapat menahan lagi kemarahannya. Sambil menatap wajah Bu Pun Su yang
pucat, ia menegur,
“Kwan Cu,
apakah kau tiba-tiba menjadi gila? Orang Mo-kauw itu perlu dibasmi, kenapa kau
bahkan memberi kesempatan kepada mereka untuk lari?”
“Thian-te
Sam-kauwcu sudah tewas, dan tidak ada alasan bagi kita untuk membasmi
orang-orang Mo-kauw. Sebelum muncul Thian-te Sam-kauwcu, antara kita dengan
pihak Mo-kauw memang tidak ada permusuhan sesuatu, kenapa kita harus terlalu
mendesak?” kata Bu Pun Su.
Kata-kata
ini dapat dimengerti oleh semua orang dan pihak Siauw-lim-si serta Kun-lun-pai
juga menganggap urusan sudah selesai. Kitab dan pedang telah dapat dirampas
kembali dan pencurinya, yakni Thian-te Sam-kauwcu, sudah tewas. Kenapa harus
memperbesar permusuhan dengan golongan Mo-kauw yang sebenarnya hanya diperalat
oleh Thian-te Sam-kauwcu?
Maka,
setelah mengambil benda pusaka masing-masing, orang-orang Siauw-lim-pai dan
Kun-lun-pai lalu meninggalkan tempat itu, membawa jenazah dan anggota-anggota
yang terluka.
Berturut-turut
Swie Kiat Siansu, Pok Pok Sianjin, Han Le, dan Kiang Liat mengundurkan diri.
Akhirnya hanya tinggal Bu Pun Su, Bun Sui Ceng dan Kun Beng saja yang masih
berada di tempat itu. Bun Sui Ceng berkeras minta penjelasan dari Bu Pun Su
mengapa pendekar ini begitu menurut dan takut-takut kepada Wi Wi Toanio.
Bu Pun Su
tersenyum dan memandang kepada The Kun Beng yang semenjak tadi diam saja,
kadang-kadang memandang kepada Sui Ceng, kadang-kadang melirik ke arah Bu Pun
Su dan kadang-kadang menundukkan mukanya.
Memang di
antara tiga orang pendekar yang kini sudah tua itu, dahulu terjalin kisah yang
amat mengharukan dan juga membingungkan, kisah asmara segitiga yang sulit.
Setelah berpisah puluhan tahun, kini mereka bertemu kembali dan tentu saja
kenang-kenangan masa lampau terbayang pula.
“Sui Ceng,
kau ternyata masih keras hati seperti dulu. Sebenarnya aku mengharapkan untuk
melihat kau dan Kun Beng menjadi suami isteri dan mempunyai keturunan yang
gagah agar aku dapat membantu mendidiknya. Tidak tahunya... kita masih sama
saja seperti dahulu!”
“Kwan Cu,”
kata Sui Ceng bersungguh-sungguh tanpa merasa sungkan lagi pada bekas
tunangannya, yakni The Kun Beng, “kau sudah tahu bahwa hatiku semenjak dulu
sudah beku terhadap laki-laki. Kuanggap laki-laki adalah makhluk yang tak dapat
dipercaya dan berhati palsu, kecuali engkau. Kalau saja isi dada Kun Beng
seperti isi dadamu, kiranya sekarang kami telah menjadi suami isteri.”
Tentu saja
Kun Beng merasa terpukul, akan tetapi ia sudah terlalu lama menderita patah
hati sehingga kini tidak terasa lagi olehnya.
“Memang
Saudara Kwan Cu seorang laki-laki sejati seorang pria tak tercela. Oleh karena
itu maka dosamu makin bertumpuk, Sui Ceng. Melukai hatiku boleh kau anggap
sebagai hukuman atas perbuatanku yang menyeleweng, akan tetapi bila melukai
hati Kwan Cu... benar-benar kau telah berdosa!”
Kata-kata
ini benar-benar mengenai tepat. Tak terasa lagi dua butir air mata menitik
turun dari sepasang mata yang masih indah dan bening itu. Terbayanglah di depan
mata Sui Ceng semua pengalamannya dahulu dan betapa Lu Kwan Cu amat kasih
kepadanya.
Mendengar
kata-kata dua orang itu, Bu Pun Su tersenyum pahit. “Ahh, kalian salah duga. Di
dunia ini, manakah ada seorang manusia yang bersih dan suci tak ternoda? Kalian
menganggap aku seorang baik hanya karena kalian tidak tahu akan perbuatanku
yang menyeleweng seperti yang pernah dilakukan oleh Kun Beng, bahkan lebih
hebat dan keji lagi...”
Sui Ceng dan
Kun Beng mengangkat muka memandang, agaknya tidak percaya.
“Sui Ceng
kau tadi bertanya tentang sikapku yang aneh terhadap Wi Wi Toanio, isteri dari
An Kai Seng. Nah, sekarang untuk membuka matamu bahwa bukan hanya tunanganmu
lelaki tunggal yang menyeleweng di dunia ini, baiklah kuceritakan tentang sebab
sikapku yang aneh tadi.”
Kemudian dia
pun menceritakan betapa dia pernah terpikat oleh kecantikan Wi Wi Toanio
sehingga melakukan hal yang sangat keji dan rendah memalukan, yakni mengadakan
perhubungan dengan isteri orang!
“Nah,
sekarang kalian tahu akan kenyataan bahwa Bu Pun Su adalah seorang manusia
busuk. Lu Kwan Cu sudah mampus dan yang ada hanya Bu Pun Su!”
Setelah
berkata demikian, dengan suara ketawa yang pahit dan terdengar menyeramkan, Bu
Pun Su berkelebat dan lenyap dari hadapan dua orang sahabatnya itu. Hanya suara
ketawanya saja yang masih bergema dari tempat jauh.
***************
SESUDAH
meninggalkan lembah Sungai Yalu Cangpo, Kiang Liat melakukan perjalanan cepat
untuk segera sampai kepada isterinya. Juga ia sudah amat rindu kepada Im Giok,
puterinya. Tiga bulan ia berpisah dengan mereka!
Kalau ia
mengenangkan semua pengalamannya selama tiga bulan ini, diam-diam Kiang Liat
bergidik dan merasa beruntung bahwa ia masih selamat dan dapat keluar dari
semua ancaman dan bahaya itu dengan tak kurang sesuatu apa pun. Juga ia telah
mendapat pengalaman pertempuran hebat, yang membuat kedua matanya terbuka bahwa
di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai.
Kiang Liat
ingin membuat girang hati isterinya dan ingin membuat kedatangannya tidak
tersangka-sangka. Sambil tersenyum-senyum geli dan gembira mengenangkan betapa
isterinya akan terkejut dan girang, dia merencanakan untuk memasuki rumahnya
tanpa diketahui oleh siapa pun. Tahu-tahu dia akan tidur di atas pembaringan
dalam kamarnya sampai isterinya masuk ke kamar dan mendapatkannya sudah tidur
di situ!
Manusia
manakah yang tahu akan ketentuan nasibnya? Siapakah yang mengerti akan rahasia
besar nasib manusia yang hanya dipegang serta ditentukan oleh Tangan Thian Yang
Maha Kuasa sendiri?
Bukti
kekuasaan Tuhan memang kadang kala amat aneh, ganjil, dan sukar dimengerti.
Kadang-kadang bahkan nampak tidak adil!
Misalnya,
seorang yang berwatak jahat hidup dalam keadaan senang dan makmur, tetapi
sebaliknya orang yang berwatak baik hidup sengsara. Ada pula seorang yang
hidupnya penuh dosa selalu sehat, sebaliknya orang yang hidup saleh bahkan
menderita penyakit berat. Terlontarlah kata-kata ‘tidak adil’ dari mulut mereka
yang masih belum kuat iman dan kepercayaannya terhadap Tuhan dan kekuasaannya.
Akan tetapi
tidak demikian sikap orang budiman, atau seorang yang memang menaruh
kepercayaan akan keadilan Tuhan secara mutlak. Dia ini bahkan akan menerima
segala apa yang oleh manusia dianggap ‘sengsara’ atau ‘menderita’ dengan hati
tenang dan penuh penyerahan sebulatnya kepada Yang Maha Kuasa, menerima lahir
batin dengan penuh kepercayaan dan keyakinan bahwa segala apa yang menimpa
dirinya itu adalah kehendak Tuhan yang tidak dapat diubah pula oleh siapa pun
juga, dan bahwa di balik semua hal yang menimpa dirinya itu terdapat sesuatu
yang adil dan baik.
Bahagialah
orang yang menerima kemalangan sebagai orang menghadapi ujian, tahan uji, kuat
dan akhirnya lulus! Sebaliknya, kasihan mereka yang lemah hati, yang tidak kuat
menghadapi kemalangan, sehingga kepercayaan mereka menjadi luntur, watak yang
baik menjadi buruk, dan kemalangan menyeretnya ke dalam penyelewengan yang
kemudian akan menghancurkan hidupnya sendiri!
Kiang Liat
tidak menyangka sama kali bahwa ia akan menghadapi hal yang amat berat baginya.
Ketika ia tiba di kotanya, siang telah terganti senja dan keadaan di jalan
sudah mulai sunyi. Dengan mudah Kiang Liat dapat mempergunakan kepandaiannya
sehingga tak seorang pun melihatnya ketika ia tiba luar tembok belakang
rumahnya.
Sekali
melompat ia telah berada di dalam kebun belakang rumah, kemudian ia
melompat-lompat dan di lain saat telah berada di luar kamarnya, di dekat
jendela. Dan pada saat itulah ia mendengar suara orang bercakap-cakap di dalam
kamarnya, suara isterinya dan seorang wanita lain, yang kemudian ia kenal
sebagai suara Ceng Si, bekas pelayan yang telah dikawinkan dengan Cia Sun
sastrawan miskin itu!
“Ceng Si,
kau dan Cia Sun betul-betul keterlaluan. Kurang bagaimanakah aku menolong
kalian? Kurang banyakkah uang dan perhiasan yang kuberikan kepada Cia Sun?
Kenapa kalian seakan-akan tidak mengenal puas dan hendak menghabiskan kekayaan
kami? Ah, kau juga tahu bahwa suamiku sedang pergi, mengapa kau tidak datang
mengawani dan menghibur hatiku yang gelisah memikirkan ia, sebaliknya kau
datang untuk mengganggu dan lagi-lagi minta uang dalam jumlah yang terlalu
besar. Dari mana aku bisa mendapat uang sebanyak itu?”
Mendengar
kata-kata isterinya ini, Kiang Liat menjadi pucat dan ia pun menahan napas,
mendengarkan percakapan dengan hati tidak enak sekali. Kemudian terdengarlah
suara Ceng Si, nadanya mengejek dan menghina benar-benar di luar persangkaan
Kiang Liat. Sejak kapankah pelayan ini begitu berani bicara kasar dan menghina
terhadap isterinya?
“Nyonya muda
mengapa begitu pelit? Apa bila tidak untuk menutupi rahasiamu terhadap suamimu,
siapakah sudi menikah dengan siucai miskin itu? Pada waktu dahulu, Nyonya yang
main-main dan bersurat-suratan, bercinta-cintaan dengan Cia Sun. Setelah Nyonya
menikah dan mendapat kedudukan baik, akhirnya akulah yang dijadikan korban
untuk melayani siucai bekas kekasih nyonya muda itu.”
Kiang Liat
tak sanggup mendengarkan terus. Hampir saja ia menendang jendela untuk mengamuk,
akan tetapi baiknya ia mampu menahan gelora hatinya dan sebaliknya ia lalu
melompat pergi! Hati dan pikirannya tidak karuan.
Ia masih
bersangsi apakah benar-benar isterinya dulu telah melakukan hal yang demikian
memalukan? Benarkah isterinya dahulu menjadi kekasih Cia Sun? Tak mungkin!
Isterinya begitu mencintanya.
Akan tetapi
kalau ia teringat betapa semua perhiasan isterinya tidak pernah dipakai, dan
kalau ia ingat akan kata-kata isterinya tadi kepada Ceng Si bahwa banyak sudah
uang dan perhiasan yang diberikan oleh isterinya kepada Cia Sun. Ahhh, apa
artinya ini? Dan kata-kata Ceng Si tadi?
Hampir pecah
kepala Kiang Liat dan hampir meledak dadanya, membuat dia berjalan di malam
buta, tak tentu arah tujuannya, bicara seorang diri, berbantah-bantahan dengan
diri sendiri, kadang-kadang tertawa mengejek, kadang-kadang membentak-bentak,
dan ada kalanya ia tertunduk di pinggir jalan menangis tersedu-sedu!
Semalam
suntuk Kiang Liat berkeliaran di sekitar kota seperti orang gila. Terjadi
perang tanding hebat di dalam dada dan akhirnya, pada keesokan harinya,
pagi-pagi hari kalau orang melihat Kiang Liat, tentu akan pangling. Ia nampak
lesu dan kusut, waktu semalam suntuk itu seakan-akan sepuluh tahun sehingga ia
nampak sepuluh tahun lebih tua dari kemarin sore!
Tukang kuda
di belakang gedungnya terkejut setengah mati ketika pagi-pagi sekali dia
melihat majikannya menyerbu kandang kuda, dan tanpa bicara sepatah pun kata
lalu mengeluarkan kuda lantas membalapkan kuda itu keluar dari kandang! Tukang
kuda itu melongo, menggosok-gosok matanya, kemudian secepatnya berlari-lari ke
gedung, minta menghadap nyonya muda!
“Hujin,
celaka. Telah terjadi sesuatu yang ganjil dan aneh pada diri Wan-gwe!”
Song Bi Li,
isteri Kiang Liat, pucat seketika. “Ehh, pagi-pagi kenapa kau sudah bicara yang
bukan-bukan? Majikanmu belum pulang, bagaimana kau bisa bicara seperti itu?
Hati-hatilah dengan mulutmu, jangan kau kurang ajar!” kata Bi Li marah.
“Hamba
bersumpah tidak berani main-main, Hujin. Benar-benar baru saja hamba melihat
Wan-gwe datang ke kandang dan keluar pula menunggang kuda kesayangannya. Dan
keadaan Wan-gwe... pakaiannya kusut, mukanya seperti tak mengenal hamba lagi
dan... dan... sinar matanya begitu mengerikan. Hamba takut, Hujin...”
Bi Li
mengerutkan keningnya. Tak mungkin suaminya berkelakuan seperti itu, datang
lalu pergi lagi sebelum menjumpainya. Apakah yang telah terjadi?
“Kiu
Pek-pek, coba ajaklah kawan-kawan untuk menyusul dan menyelidiki keadaan yang
aneh ini!” katanya.
Bi Li lalu
masuk ke dalam gedung dan sebentar kemudian kegelisahannya sudah banyak
berkurang ketika Im Giok bangun dari tidur dan dipangkunya.
***************
Sesudah
memikirkan keadaan isterinya selama semalam suntuk, Kiang Liat mulai dapat
mengambil kesimpulan. Boleh jadi sekali isterinya dulu berkasih-kasihan dengan
Cia Sun, kemudian setelah menjadi isterinya, Bi Li diperas oleh Cia Sun dengan
bantuan Ceng Si! Tak bisa salah lagi, tentu demikian duduknya perkara,
pikirnya.
Oleh karena
itu, orang pertama yang menjadi sasaran kemarahannya adalah Cia Sun. Ia
mengambil kudanya karena tubuhnya terasa lelah dan lemas sekali, kemudian dia
segera membalapkan kuda itu menuju ke tempat tinggal Cia Sun.
Memang
keadaan Cia Sun sekarang sudah makmur. Uang dan perhiasan yang diperas dari Bi
Li bukan sedikit. Ia kini dapat membeli tanah sebagai seorang kaya raya. Setiap
pagi ia berjalan-jalan menunggang kuda, memeriksa tanahnya berlagak seperti
seorang tuan tanah yang hartawan. Akan tetapi karena ia terlalu royal, selalu
ia kekurangan uang dan jalan satu-satunya hanyalah memeras Bi Li dengan
perantaraan Ceng Si yang sudah menjadi isterinya!
Pada pagi
hari itu, tanpa menyangka bahwa hari itu akan merupakan hari sial baginya, Cia
Sun menunggang kuda hendak menuju ke sebuah dusun yang berdekatan. Semalam
isterinya, Ceng Si, datang membawa perhiasan dan uang dan seperti biasanya,
begitu mendapatkan uang, tentu saja Cia Sun lalu mengambil sedikit untuk
berpesta di rumah pelacuran di dusun sebelah barat, atau untuk bermain judi dengan
kawan-kawannya!
Akan tetapi
baru saja ia hendak meninggalkan jalan simpang di luar dusunnya, tiba-tiba ia
mendengar derap kaki kuda. Dari jauh datanglah Kiang Liat yang membalapkan
kudanya.
Hati Cia Sun
terkejut bukan main. Mengapa Ceng Si malam tadi tidak bilang apa-apa? Mengapa
tidak bilang bahwa Kiang Liat sudah pulang? Ataukah... barangkali pagi ini baru
pulang? Walau pun hatinya berdebar, Cia Sun menahan kudanya dan bahkan memutar
binatang tunggangannya itu untuk menyambut kedatangan Kiang Liat.
Dari jauh ia
sudah menjura di atas kudanya dan berkata ramah,
“Selamat
pagi, Kiang-wangwe. Berkat kebaikan Wangwe, kini siauwte telah memperoleh
banyak kemajuan.”
Kata-kata
ini diucapkan untuk mengambil hati Kiang Liat, akan tetapi bagi pendekar ini
merupakan sindiran yang membuat hatinya makin terluka dan perih.
“Jahanam
keparat!” serunya.
Sekali ia
menggerakkan tubuh, ia telah melayang dari atas kudanya, menyambar tubuh Cia
Sun yang dibantingnya ke atas tanah. Dua ekor kuda itu ketakutan dan menjauhkan
diri, kemudian melihat mereka tidak diganggu, dua ekor kuda itu makan rumput di
bawah pohon, tenang-tenang saja, tak menghiraukan lagi dua orang yang kini
saling berhadapan dalam keadaan tegang itu.
“Ampun
Wan-gwe. Apa dosaku maka Wan-gwe datang-datang marah kepada siauwte?” Cia Sun
berlutut sambil mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi untuk minta ampun.
Kalau
menuruti hawa nafsu di dalam dadanya, ingin sekali Kiang Liat membunuh siucai
ini tanpa bertanya-tanya lagi. Akan tetapi dia hendak mendengar pengakuan Cia
Sun, karenanya ia menahan-nahan kemarahan hatinya dan membentak,
“Bajingan
besar, lekas kau mengaku. Kau ada hubungan apakah dahulu dengan Song Bi Li?”
Kalau ia
mendengar kilat menyambar di tengah hari, belum tentu Cia Sun akan sekaget
ketika ia mendengar pertanyaan ini.
“Apa...?
Hamba... hamba tidak... tidak ada hubungan dengan Hujin...”
Sebuah
tendangan membuat tubuh Cia Sun terjengkang dan terguling beberapa kali. Ia
cepat berlutut dan mulai menangis, memohon ampun.
“Hayo
mengaku terus terang!” Kiang Liat membentak lagi. “Aku menyebut nama Siong Bi
Li dan kau tahu bahwa dia isteriku, apakah kau hendak bilang tidak ada
perhubungan apa-apa? Hayo lekas bilang sebelum aku hilang sabar dan menghancurkan
kepalamu!”
Cia Sun
benar-benar bingung. Saking bingungnya, dalam usahanya membersihkan dan
menolong diri, siucai yang bersifat pengecut ini bahkan melontarkan fitnah
kepada Bi Li. “Ampun, Kiang-wangwe, sesungguhnya siauwte... siauwte tidak bersalah,
tidak berdosa apa-apa. Dahulu itu… yaa... sesungguhnya adalah Song-siocia yang
mendesak siauwte, yang menyatakan cinta, juga memberi surat dan lain-lain.
Siauwte sendiri mana berani? Siauwte... siauw...”
Kata-kata
ini terputus dan disusul jeritnya karena Kiang Liat telah mengayun tangannya.
Tubuh Cia Sun terguling dan hanya jerit itulah yang bisa ia keluarkan sebelum
napasnya terputus oleh pukulan yang mengenai jalan darah kematiannya.
Pada waktu
itu, beberapa orang dusun tiba di tempat itu, dan melihat Kiang Liat yang
banyak dikenal orang itu membunuh Cia Sun, mereka menjadi ketakutan dan
melarikan diri. Sebentar saja, semua orang tahu akan pembunuhan ini, akan
tetapi siapakah yang berani mengganggu Kiang Liat? Pendekar ini menunggang
kudanya dan kembali ke kota, langsung menuju ke gedungnya.
Song Bi Li
yang semenjak pagi tadi gelisah dan cemas, mendengar suara derap kaki kuda di
luar, segera memburu keluar sambil menggendong Im Giok. Alangkah girangnya
ketika ia melihat bahwa yang datang benar-benar adalah suaminya yang
dinanti-nanti. Akan tetapi, ia pun kaget bukan main melihat wajah suaminya yang
muram dan kelihatan tua. Lebih-lebih terkejutnya ketika ia melihat sikap
suaminya yang sama sekali tidak mau menengok ke arahnya, bahkan dengan langkah
lebar terus masuk ke dalam gedung dan menuju ke kamar.
Dengan muka
pucat, hati berdebar dan kedua kaki gemetar, Bi Li mengikuti suaminya setelah
memberikan Im Giok kepada inang pengasuh. Ia melihat suaminya duduk di atas
bangku di dalam kamar, tak bergerak bagaikan patung batu, nampaknya berduka
sekali. Bi Li segera menekan perasaannya, memperlihatkan wajah ramah dan manis,
lalu maju dan berlutut di dekat kaki suaminya, meraba sepatunya,
“Suamiku,
kau baru datang? Tentu kau lelah sekali.” Suaranya halus dan manis, ada pun
kedua tangannya mulai membuka sepatu suaminya.
Biasanya
memang Bi Li amat cinta kepada suaminya dan setiap kali suaminya datang dari
tempat jauh, ia lalu membuka sepatu, menyediakan air hangat pencuci kaki dan
air teh untuk minum. Ia tidak mengijinkan pelayan melakukan hal ini, tidak puas
kalau tidak melayaninya sendiri!
Biasanya
Kiang Liat merasa girang dan terharu kalau melihat pernyataan kasih sayang yang
begitu besar dari isterinya. Akan tetapi kali ini, ketika melihat isterinya membungkuk
dan meraba sepatunya, tiba-tiba kakinya bergerak dan tubuh Bi Li terlempar ke
sudut kamar! Setan cemburu sudah menguasai hatinya, membikin buta matanya dan
akhirnya mengalahkan cinta kasih terhadap Bi Li.
Bi Li tidak
mengeluarkan keluhan sakit, hanya menjadi pucat sekali dan memandang kepada
suaminya dengan mata terbelalak kaget. Sikap suaminya kepadanya jauh lebih
menyakitkan hati dari pada rasa sakit yang diderita oleh pundak dan kepalanya
ketika ia terbentur di dinding. Dia merayap bangun dan berjalan perlahan
menghampiri suaminya, lalu berlutut lagi di sampingnya.
“Suamiku,
apakah dosanya isterimu yang bodoh? Katakanlah, aku bersedia menebusnya dengan
nyawa jika memang berdosa...!” katanya halus dengan suara tergetar, sedangkan
dari sepasang matanya menetes dua titik air mata.
Melihat
keadaan isterinya itu, melihat rambut yang ia sayang dan biasa ia belai-belai
itu awut-awutan, muka yang biasa ia ciumi itu menjadi pucat seperti mayat,
sepasang mata yang biasanya ia anggap sebagai sepasang batu kemala terindah di
dunia ini sekarang memandang kepadanya dengan sayu, Kiang Liat hampir tak kuat
menahan lagi. Ingin ia memeluk isterinya, berlutut di depannya dan minta ampun
atas perbuatannya tadi, ingin dia menangis bagaikan anak kecil dan menceritakan
semua kesusahan hatinya di dada isterinya.
Akan tetapi,
bayangan Cia Sun tak pernah meninggalkan ruang matanya, membuat Kiang Liat
semakin benci melihat isterinya. Terpaksa dia meramkan matanya dan tidak berani
memandang muka Bi Li, lalu berkata perlahan akan tetapi tajam seperti ujung
pedang,
“Dosamu?
Tanyalah kepada jahanam keparat Cia Sun yang sudah kukirim ke neraka! Tanyalah
kepada kekasihmu, kau siluman betina!”
Bi Li
terkejut sekali, bukan hanya karena suaminya telah dapat mengetahui rahasianya,
terutama sekali karena mendengar bahwa suaminya telah membunuh Cia Sun.
“Kau... kau
membunuhnya...?”
Ucapan ini
sebetulnya keluar dari kegelisahan hati Bi Li mendengar suaminya membunuh
orang. Akan tetapi bagi Kiang Liat yang sedang dikuasai oleh cemburu dan nafsu
marah, dianggap sebagai pernyataan kaget dan duka dari Bi Li bahwa kekasihnya
telah dibunuh.
“Kau tangisi
kekasihmu yang sudah mampus? Perempuan rendah, kalau aku tahu... kau ternyata
hanya seorang perempuan hina-dina, perempuan tak tahu malu. Anak itu... anak
itu pun barangkali bukan anakku...!”
Bi Li
menjerit dan di lain saat ia telah roboh pingsan di depan kaki Kiang Liat! Ia
tidak kuat menerima pukulan batin yang hebat ini, tidak kuat menerima kata-kata
keji yang keluar dari mulut Kiang Liat, suaminya yang ia cinta sepenuh jiwa
raganya.
Ketika Bi Li
siuman kembali, ia melihat suaminya berjalan mondar-mandir di dalam kamar dan
mulutnya bergerak-gerak mengeluarkan kata-kata yang sukar dimengerti. Barangkali
penderitaan batin Kiang Liat di saat itu tidak kalah hebatnya kalau
dibandingkan dengan Bi Li. Melihat suaminya, teringatlah Bi Li akan semua
fitnah dan caci-maki tadi, maka tak tertahankan pula ia menangis terisak-isak.
Kiang Liat
menengok, pandang matanya penuh benci dan jemu.
“Apa lagi
yang kau tangiskan?”
“Suamiku...
kau... kau terlalu kejam...”
Kiang Liat
hampir saja menendang tubuh isterinya karena kembali dia salah sangka. Dia
mengira bahwa isterinya menuduhnya kejam karena membunuh Cia Sun. Akan tetapi
ia dapat menguasai kemarahannya dan hanya berdiri memandang dengan mata
melotot.
“Kau... kejam
sekali menuduh aku berbuat yang bukan-bukan... Tak perlu kusangkal lagi, memang
betul dahulu sebelum aku bertemu dengan engkau... aku... aku ada hubungan
surat-menyurat dengan orang she Cia itu. Tetapi... tidak ada apa-apa yang kotor
di dalam hubungan itu... percayalah, aku bersumpah demi nama Thian, demi Langit
dan Bumi, demi kesucian nama anak kita Im Giok... suamiku, hubungan itu hanya
surat-menyurat belaka...”
“Bohong! Kau
habiskan uang dan perhiasan untuk Si Bedebah Cia Sun itu, kau gunakan Ceng Si
sebagai jembatan, kau kira aku tidak tahu? Hayo, kau mau bilang apa lagi?”
“Ampunkan
aku, suamiku... memang, aku telah bersalah, tidak memberi tahukan semua itu
kepadamu... aku tadinya... aku... takut kalau kau marah dan... aku takut
kehilangan cinta kasihmu... akan tetapi sungguh mati aku tidak pernah melakukan
hal yang tak patut, hubungan itu tetap bersih... ampunkanlah...”
“Perempuan
rendah!” Kiang Liat berlari keluar kamar dan membanting daun pintu, pergi
meninggalkan Bi Li Yang menangis tersedu-sedu di dalam kamar itu, di atas
lantai.
Semenjak
hari itu, Kiang Liat tidak pulang lagi ke rumahnya. Ia meninggalkan isteri dan
anaknya, membawa kuda dan uang, pergi merantau di dunia kangouw dengan hati
patah dan pikiran selalu diliputi kedukaan dan kekecewaan. Cinta kasihnya
kepada isterinya tak dapat ia lupakan, bahkan semakin jauh ia pergi, makin
rindulah ia kepada isterinya dan puterinya.
Beberapa
kali ia mengambil keputusan untuk kembali, untuk memaafkan isterinya, untuk
kembali hidup berumah tangga dengan anak isterinya, berbahagia seperti dulu
lagi. Akan tetapi, perasaan cemburu yang sudah mencuci hati serta pikiran
seorang pria memang paling hebat dan berbahaya, dapat membuat pikiran menjadi
gelap dan pertimbangannya patah. Cinta kasih yang sebesar-besarnya dapat
berubah menjadi kebencian yang sangat dahsyat.
Rasa rindu
kepada anak isterinya, oleh Kiang Liat bukan dianggap sebagai besarnya rasa
cinta kasihnya dan tak dijadikan dasar untuk mengampuni isterinya, sebaliknya
ia malah benci kepada diri sendiri dan menganggap diri sendiri terlalu lemah.
Karena itu dia lalu merantau makin jauh lagi dari rumahnya, dan selalu
melakukan perbuatan seperti yang layak dilakukan oleh seorang pendekar. Karena
ini, namanya menjadi makin ternama di dunia kang-ouw dan julukan Jeng-jiu-sian
(Dewa Tangan Seribu) makin terkenal.
***************
Waktu
berjalan cepat tak terasa dan empat tahun sudah lewat semenjak Kiang Liat pergi
meninggalkan rumahnya. Pada suatu hari saat ia sedang duduk seorang diri
mengenang nasibnya yang amat buruk, di dalam sebuah kelenteng bobrok di
Propinsi Shansi sebelah selatan, hujan turun dengan derasnya.
Beberapa
kali Kiang Liat menarik napas panjang dan mukanya kelihatan sedih sekali.
Terbayang di depan matanya betapa dahulu di waktu hujan seperti sekarang ini,
ia duduk di kamar pinggir dengan isterinya, duduk menghadapi jendela terbuka
dan bersama-sama melihat air huian turun. Alangkah mesra dan bahagianya waktu
itu.
Mengingat
akan semua kenangan ini, ditambah pula dengan bayangan wajah Im Giok yang
tersenyum-senyum dan secara lucu menyebut-nyebut ‘pa-pa’ berkali-kali, air mata
mengucur turun dari sepasang mata pendekar itu. Cepat-cepat ia mengusapnya
dengan punggung tangan.
Tidak patut
bagi seorang pendekar gagah mengucurkan air mata, pikirnya dengan hati
dikeraskan. Akan tetapi percuma saja, hatinya sudah terlalu lama menderita
sehingga ia tak dapat menahan lagi air matanya yang mengucur terus, menyaingi
air hujan yang juga bercucuran dari atas.
Selagi Kiang
Liat menumpahkan kesedihan hatinya seorang diri di ruang kelenteng itu,
tiba-tiba saja ia mendengar suara perlahan. Ketika ia mengangkat mukanya yang
tadi ia sembunyikan di atas lutut, ia melihat seorang kakek pengemis sudah
berdiri di depannya dengan sikap tenang.
“Suhu...!”
Kiang Liat menjatuhkan diri berlutut dan buru-buru ia menghapus air matanya.
“Orang
bodoh, kau pulanglah, isterimu menderita sakit, anakmu lenyap diculik. Menyiksa
diri sendiri dan memaksa diri membenci keluarga, tidak mau pulang akan tetapi
dirantau selalu berduka, benar-benar perbuatan yang amat pandir. Pulanglah
kau!”
Sebelum
Kiang Liat sempat bertanya, tiba-tiba bayangan itu berkelebat dan lenyap dari
situ.
Kiang Liat
maklum bahwa watak suhu-nya amat aneh, dan percuma saja kalau ia akan mengejar
juga. Ia tak memikirkan lagi tentang suhu-nya, pikirannya penuh dengan berita
yang diterimanya.
Mendengar
isterinya sakit dan anaknya diculik orang, ia terkejut bukan main dan seketika
itu timbullah rasa marah yang jauh lebih besar dari pada kesedihannya. Tanpa
pedulikan hujan angin yang masih mengamuk di luar, di lain saat Kiang Liat
sudah melompat dan berlari cepat menerjang hujan.
Berita
mengejutkan yang disampaikan oleh Han Le kepada muridnya itu memang nyata.
Semenjak ditinggal pergi oleh suaminya, Bi Li hidup dalam kedaan sengsara,
menderita batinnya. Kalau saja tidak mengingat kepada puterinya, kiranya nyonya
muda ini tak akan dapat menahan lebih lama lagi hidup di dunia. Baginya, derita
lahir jauh dari suami masih dapat ditahannya, akan tetapi derita batinnya,
yakni sangkaan suaminya bahwa dia telah berlaku jinah sebelum menjadi isterinya
yang benar-benar terasa tak kuat ia menahan.
Setelah
bertahun-tahun suaminya tidak pulang dan ia menerima ejekan dan sindiran dari
orang-orang yang tidak suka kepada keluarga Kiang, Bi Li sering kali jatuh
sakit. Selama empat tahun ini, perhiasan dan barang-barang berharga di rumah
sudah banyak dijualnya untuk makan, membayar pelayan dan membeli obat dan
keperluan lainnya. Keadaannya makin lama makin buruk.
Akan tetapi
Bi Li tidak mempedulikan keadaan dirinya sendiri. Siang malam yang menjadi
ingatannya hanyalah suaminya, Kiang Liat yang dirindukannya setiap saat. Hampir
setiap malam Bi Li bersembahyang, memohon kepada Yang Maha Esa agar supaya
suaminya dapat memaafkan kesalahannya dan dapat pulang kembali.
Akan tetapi
sudah terlampau banyak bukti bahwa harapan manusia tidak selalu cocok, bahkan
sebaliknya dengan kenyataan yang datang. Bukan Kiang Liat yang datang, akan
tetapi seorang yang menambah beban deritanya, yakni Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat!
Wanita yang
berusia hampir empat puluh tahun akan tetapi masih memiliki kecantikan seorang
gadis remaja yang berusia dua puluhan ini datang tanpa diundang, malah tanpa
diketahui orang, tahu-tahu sudah berada di kamar Bi Li seperti kedatangan
seorang dewi atau seorang siluman!
Bi Li segera
mengenalnya, maka biar pun amat terkejut, nyonya muda ini menjadi girang
sekali. Ia segera maju berlutut, akan tetapi ia ditarik bangun oleh Pek Hoa
Pouwsat.
“Adikku yang
manis, kenapa kau kelihatan kurus dan pucat? Ah, kau bahkan tidak sehat
kiranya...,” Pek Hoa berkata dengan suaranya yang merdu dan ramah.
Mendengar
teguran ini Bi Li tidak dapat tahan lagi, lalu menangis tersedu-sedu. Dengan
suara terputus-putus nyonya muda yang mengira bahwa ia berhadapan dengan
seorang dewi kahyangan, menceritakan nasibnya yang amat sengsara, betapa dia
dahulu tertipu oleh Cia Sun dan Ceng Si dan sekarang suaminya mengetahui semua
rahasia sehingga marah-marah, membunuh Cia Sun dan pergi meninggalkannya.
Orang
seperti Pek Hoa ini mana tahu akan rasa kasihan? Sebaliknya, di dalam hati ia
merasa geli. Akan tetapi mulutnya berkata lain dan ia menghibur Bi Li.
“Mengapa
susah-susah? Lebih baik mencari hiburan sendiri sambil memelihara anakmu. Mana
anakmu?”
Sesudah
melihat Im Giok yang usianya sudah menjelang enam tahun, Pek Hoa Pouwsat
memandang dengan mata terbelalak kagum. Seorang anak perempuan yang berpakaian
merah, dengan rambut hitam panjang dikuncir menjadi dua yang diikat dengan pita
biru tergantung di depan pundak, sepasang mata yang bening dan berbentuk indah,
bergerak-gerak membayangkan kecerdikan luar biasa, hidung yang mungil dan
mancung nampak lucu sekali, mulutnya kecil dengan bibir merah segar, potongan
muka bulat telur dengan dagu meruncing, sepasang pipi kemerahan.
Pendek kata,
wajah seorang bocah perempuan yang sehat dan mungil sekali. Walau pun usianya
baru enam tahun, Im Giok sudah memperlihatkan kecantikan dan setiap orang
dengan mudah akan mengatakan bahwa bocah ini merupakan calon seorang gadis yang
cantik luar biasa.
“Pek
Hoa-cici, benar-benar anakku Im Giok ini seperti kau wajahnya...!” Bi Li
mengulangi kata-kata yang sering kali ia katakan sebelum Pek Hoa datang
berkunjung.
Pek Hoa
Pouwsat adalah seorang wanita yang usianya sudah hampir empat puluh satu tahun,
seorang wanita yang hidup menyeleweng melalui jalan kotor, tak pernah mengenal
kebahagiaan rumah tangga dan kebahagiaan seorang ibu. Sekarang, pada waktu
melihat Im Giok, tiba-tiba saja ia menjadi terharu.
Apa lagi
sesudah mendengar ucapan Bi Li tadi, dia terpaksa mengerahkan tenaga untuk
menahan jatuhnya air mata. Diam-diam dia berkata kepada diri sendiri bahwa anak
inilah yang paling tepat untuk dijadikan muridnya!
Kedatangan
Pek Hoa Pouwsat menghibur hati Bi Li. Dengan ramah nyonya muda ini lalu
berusaha sedapat mungkin untuk menjamu tamunya dan pada malam hari itu, Pek Hoa
Pouwsat dipersilakan tidur di dalam satu kamar dengan Bi Li dan Im Giok.
Ada pun Im
Giok sendiri, ia amat suka kepada Pek Hoa Pouwsat. Ia memandang kepada tamu ini
dengan matanya yang jeli, dan dengan berterang ia memuji, “Ibu, Bibi ini cantik
sekali, ya?”
Pek Hoa
menangkap dan mengangkatnya di atas pangkuan. “Anak yang baik, kelak kau bahkan
lebih cantik dari pada aku atau ibumu,” katanya sambil mengusap-usap kepala Im
Giok.
Beberapa
kali ia meraba lengan, pundak, punggung, dan pangkal paha untuk memeriksa
apakah bocah ini mempunyai bakat. Bukan main girang hatinya pada waktu ia
mendapat kenyataan bahwa bocah ini memang bertulang pendekar, yakni mempunyai
tubuh sehat, tulang-tulang kuat dan perjalanan darahnya baik sekali. Ditambah
lagi dengan kecerdikan yang membayang di kedua mata anak ini, dapat diduga
bahwa kelak tentu akan menjadi seorang pandai.
Untuk
mengetahui isi hati dan pikiran anak itu, Pek Hoa lalu bertanya, “Im Giok
sukakah kau menjadi muridku?”
Bocah itu
melirik ke arah ibunya, lalu ia berkata dengan senyum lucu. “Belajar membaca
dan menulis lagi, Bibi? Ahhh, ibu sudah mengajarku dan aku adalah orang yang
paling malas belajar membaca dan menulis, demikian kata ibu. Bibi tentu akan
kecewa kalau mengajarku, karena aku benar-benar malas dan tidak suka. Aku lebih
senang belajar menjahit dan menyulam! Apa lagi menggambar atau bernyanyi, lebih
senang lagi aku.”
Pek Hoa
tertawa. “Kau suka belajar menari?”
Im Giok
melompat turun dari pangkuan Pek Hoa, memandang kepada wajah tamu ini dengan
mata berseri. “Menari seperti anak-anak wayang yang pernah kulihat bermain di
kelenteng itu? Wah, aku senang sekali! Aku sudah minta ibu mengajarku, akan
tetapi ibu tidak dapat. Bibi, kalau kau mau mengajarku menari, menyanyi,
melukis, dan menyulam, aku suka sekali!”
“Apa kelak
kau ingin menjadi anak wayang tukang menari?” tanya ibunya, pura-pura tak
senang.
“Apa
salahnya, ibu? Mereka itu cantik-cantik dan pandai. Buktinya banyak orang gemar
menonton dan banyak orang memuji. Kalau tidak pandai masa disukai orang? Aku
lebih suka ditonton dari pada menonton. Bibi, mau kau mengajarku?” Dengan sifat
manja Im Giok menarik-narik tangan Pek Hoa dan ketiga orang itu tertawa-tawa.
Demikianlah,
hati Bi Li gembira sekali mendapat teman seperti Pek Hoa ini dan sampai jauh
malam mereka bercakap-cakap gembira. Akan tetapi, menjelang fajar, Bi Li
terkejut mendengar suara anaknya memanggil.
Ia terbangun
dan dilihatnya Pek Hoa sudah memondong Im Giok dan tamunya itu sekali bergerak
telah ‘terbang’ ke jendela yang sudah terbuka. Bukan main kagetnya Bi Li, apa
lagi Im Giok berkali-kali memanggil.
“Ibu...!
Ibu...! Bibi, aku tidak mau pergi kalau ibu tidak ikut!”
“Enci Pek
Hoa, kau hendak membawa anakku ke mana?” Bi Li mengejar dan bertanya kaget
karena ia takut kalau-kalau anaknya dibawa ke kahyangan tempat para bidadari!
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh nyaring dan lenyaplah sifat
ramah-tamah dari Pek Hoa, terganti sifat mengejek dan tarikan air mukanya
mengandung kekejaman luar biasa.
“Ha-ha-ha,
Bi Li! Tak usah kau ribut-ribut. Anakmu tak perlu kau pikirkan lagi. Dia sudah
menjadi anakku atau muridku dan akan kubawa pergi. Ha-ha-ha, mungkin dulu kau
selalu membanggakan kecantikanmu, ya? Sekarang barulah kau tahu bahwa
kecantikan tidak membawa bahagia. Bukan aku saja yang mengalami, akan tetapi
kau juga... ha, kau juga, Bi Li. Tunggulah saja di rumah mengenang suami dan
anak yang hilang!”
Sekali
berkelebat tubuh Pek Hoa lenyap bersama Im Giok, hanya gema suara ketawanya
masih terdengar dari jauh seperti suara ketawa seorang siluman wanita!
Sejak tadi,
Bi Li berdiri terpaku di lantai. Melihat Pek Hoa yang memondong puterinya
berdiri di jendela sambil mengeluarkan kata-kata keji dan air mukanya yang
menyeringai mengerikan itu, hati Bi Li seakan-akan berhenti berdetik.......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment