Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dara Baju Merah
Jilid 13
Bu Pun Su
sendiri mengenang segala peristiwa yang dia hadapi selama enam bulan ini dan
berkali-kali dia menghela napas. Seperti sudah dituturkan pada bagian depan,
dalam usahanya untuk menolong negara dan mencegah pemecah belahan antara
orang-orang gagah supaya tenaga dapat disatukan untuk memperkuat keadaan negara
dan menjaga negara dari ancaman musuh, Bu Pun Su menyuruh Kiang Liat pergi ke
Go-bi-pai untuk menemui Twi Mo Siansu.
Ia sendiri
lalu pergi ke Pulau Pek-le-to untuk mencari Han Le yang hendak ia suruh pergi
ke Thian-san dengan maksud yang sama, karena setelah itu ia pun hendak pergi
menuju Kun-lun-pai. Dan seperti telah dituturkan di bagian depan, dia menemui
kekecewaan luar biasa di Pulau Pek-le-to, di mana ia mendapatkan Han Le berada
di bawah pengaruh Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, dijadikan kekasihnya dan bahkan
dengan bantuan Han Le, Pek Hoa Pouwsat telah berhasil membunuh dua orang tokoh
Siauw-lim-pai dan seorang tokoh Kun-lun-pai di Pulau Pek-le-to!
Kemudian,
dalam marahnya Bu Pun Su menghajar Han Le dan akhirnya mengusir Pek Hoa
Pouwsat, kemudian menghukum Han Le tidak boleh keluar dari pulau itu selamanya.
Setelah ini dengan hati sangat mengkal Bu Pun Su pergi melakukan perjalanannya
ke Kun-lun-san. Akan tetapi, baru saja dia tiba di kaki pegunungan Kun-lun-san,
dia bertemu dengan serombongan tosu Kun-lun-pai yang begitu melihat dia segera
saja mengepung dan menyerangnya!
Tosu-tosu
Kun-lun-pai ini adalah tosu-tosu tingkat tinggi yang berkepandaian lihai,
jumlah mereka ada tiga puluh orang. Bu Pun Su terkejut sekali.
“Tahan...!
Aku Bu Pun Su mempunyai kesalahan apakah?” serunya.
Akan tetapi
dia harus mengelak ke sana ke mari karena pedang dan golok beterbangan
menyambarnya dari segala jurusan dalam gerakan yang luar biasa cepatnya.
Para tosu
Kun-lun-pai ini sudah mendengar tentang kelihaian Bu Pun Su, maka mereka tak
mau memberi hati, tak mau memberi kesempatan dan mendahului dengan serangan
serentak. Akan tetapi mereka kecele jika mengira bahwa dengan mengandalkan
banyak orang akan dapat merobohohkan Bu Pun Su begitu saja.
Melihat
betapa para tosu itu tidak ada yang mau menjawabnya dan bahkan melanjutkan
serangan-serangan mereka yang dahsyat, timbul penasaran dalam hati kakek ini.
Ia lalu mulai menggerakkan ilmu silatnya yang aneh dan luar biasa.
Tangan
kanannya digerakkan dengan jari tangan terbuka merupakan cakar burung, yang
aneh sekali gerakannya dan setiap kali menyambar dan menyambut pedang atau
golok, senjata itu dengan mudah kena dirampasnya dan dicengkeram sampai
patah-patah! Ada pun tangan kirinya digerakkan dengan gerakan berlainan lagi,
lambat-lambat dan seperti orang menulis huruf-huruf besar, akan tetapi dari
tangan ini keluar uap putih mengepul dan tiap kali senjata lawan terlanggar oleh
hawa pukulan tangan kiri ini, menjadi terpental dan orangnya menjerit kesakitan
lalu melompat mundur!
Inilah dua
macam ilmu silat yang tiada keduanya di dunia persilatan waktu itu. Tangan
kanan Bu Pun Su telah bergerak dan mainkan ilmu silat ciptaannya sendiri yang
bernama Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak Sakti) sedangkan tangan
kirinya memainkan bagian ilmu silat Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih).
Dua tangan dapat sekaligus memainkan dua macam ilmu silat yang amat berlainan
sifat dan gerakannya, benar-benar hanya Bu Pun Su seorang yang kiranya dapat
melakukannya!
Akan tetapi,
sesuai dengan sifatnya, Bu Pun Su sama sekali tidak ingin melukai para
pengeroyoknya, kalau pun ada yang terluka, itu hanya luka di kulit yang tidak
berarti saja. Tetapi tetap saja para pengeroyok menjadi kacau-balau sebab
pedang dan golok mereka dengan cara yang aneh sekali dapat terampas, dipatahkan
atau dibikin terpental entah ke mana.
Sedangnya
ribut-ribut dengan para tosu mulai gencar, tiba-tiba dari puncak bukit berlari
seorang kakek tua. Kakek ini adalah seorang tosu yang rambut dan jenggotnya
sudah putih semua, pakaiannya sederhana dan terlihat seperti seorang tua renta
yang sangat lemah.
Akan tetapi
kalau melihat cara ia menuruni bukit itu, orang akan terheran-heran karena biar
pun ahli silat yang bertubuh tinggi tegap tidak akan mungkin dapat melakukan
hal ini. Bagaikan terbang cepatnya kakek itu berlari cepat, seakan-akan kedua
kakinya tidak lagi menginjak bumi dan jubahnya berkibar-kibar di belakangnya saking
cepatnya ia lari.
“Bu Pun Su,
apakah kau hendak memamerkan kepandaianmu di Kun-lun-san?” Kakek itu menegur
setelah tiba di tempat pertempuran dan para murid Kun-lun-pai itu cepat-cepat
berdiri di pinggiran sambil memberi hormat.
Bu Pun Su
tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Keng Thian Siansu. Baru bertemu pertama kali kau
sudah mengenalku, benar-benar lihai sekali matamu.”
“Kau pun
datang-datang sudah dapat mengenalku, Bu Pun Su. Sekali lagi aku bertanya,
apakah kau datang-datang hendak memamerkan kepandaianmu di Kun-lun-san?”
“Ha-ha-ha-ha,
Keng Thian Siansu, alangkah jauh bedanya antara engkau dan mendiang Seng Thian
Siansu sahabat baikku yang sudah mendahului kita kembali ke alam bebas itu.
Agaknya kau harus banyak belajar dari mendiang suheng-mu Seng Thian Siansu itu,
meneliti diri sendiri sebelum menyalahkan lain.”
“Apa
maksudmu?”
“Sudah
puluhan tahun semenjak Seng Thian Siansu masih hidup, aku tidak pernah lagi
menginjakkan kaki di sini. Akan tetapi sekarang, dengan maksud baik aku datang.
Ehhh, tidak tahunya kau sudah menyambut kedatanganku secara berlebihan, dengan
tiga puluh orang lebih anak murid Kun-lun-pai, bahkan masing-masing menghadiahi
sebatang golok atau pedang! Bukankah kau sudah membadut secara berlebihan
sekali?”
Ucapan Bu
Pun Su ini memang merupakan sindiran karena ia merasa mendongkol juga, tiada
hujan tiada angin tahu-tahu ia telah diserang begitu hebat oleh begini banyak
tosu Kun-lun-pai, tanpa diberikan kesempatan untuk membela diri. Kalau saja dia
tidak pandai menghindarkan diri dari serangan-serangan itu, bukankah tubuhnya
sudah hancur dan nyawanya menghadap Giam-kun tanpa mengetahui apa kesalahannya?
Keng Thian
Siansu tersenyum sindir sambil memukul-mukulkan tongkat di depan kakinya. Para
tosu yang lain juga memandang penuh nafsu amarah terbayang di pandangan mata
mereka. Melihat ini, diam-diam Bu Pun Su terkejut dan tidak mau main-main lagi,
akan tetapi mendengarkan dengan penuh perhatiannya apa yang akan diucapkan oleh
Ketua Kun-lun-pai.
“Bu Pun Su,
sudah lama pinto mendengar bahwa engkau adalah seorang pendekar sakti yang
bijaksana dan pembela keadilan. Akan tetapi sekarang pinto merasa kecewa. Tadi
kau menyatakan bahwa orang harus meneliti diri sendiri sebelum menyalahkan
orang lain, bukankan begitu?”
“Benar,
Kheng Thian Siansu.”
“Kalau
begitu mengapa kau menyalahkan anak murid Kun-lun-pai dan tidak lekas-lekas
mengakui dosa-dosamu?”
Bu Pun Su
tercengang, akan tetapi ia masih tersenyum ramah.
“Ehh, ehhh,
jangan kau main-main, tosu tua! Memang aku banyak dosa, manusia hidup siapakah
yang tidak menumpuk dosa? Akan tetapi kalau dosa-dosaku tidak ada sangkut
pautnya dengan kau, apakah aku harus mengakui semua dosaku dan rahasia hidupku
yang dulu-dulu dihadapanmu? Memangnya siapakah kau ini? Wakil dari
Giam-lo-ong?”
“Bu Pun Su,
tidak perlu kau membadut untuk menutupi kedosaanmu terhadap kami! Kau sudah
membunuh murid keponakan pinto Cin Giok Sianjin, dan kau masih berani bilang
tidak mempunyai dosa terhadap Kun-lun-pai?”
Bu Pun Su
memiliki kecerdikan yang luar biasa dan jalan pikirannya amat tangkas dan
cepat, maka seketika tahulah ia bahwa ini tentu ada hubungan dengan kematian
Cin Giok Sianjin di pantai Pulau Pek-le-to! Akan tetapi bagaimanakah
Kun-lun-pai demikian cepat mendengar tentang hal ini dan mengapa pula menuduh
dia? Padahal yang membunuh tokoh Kun-lun-pai itu adalah Bi Sian-li Pek Hoa
Pouwsat, dibantu oleh Han Le. Karena ia merasa bahwa betapa pun juga, Han Le
ikut bersalah dalam hal ini dan Han Le adalah adik seperguruannya, terpaksa ia
mengalah dan berlaku sabar.
“Keng Thian
Siansu, nanti dulu. Aku bisa memberi penjelasan tentang kematian Cin Giok
Sianjin. Akan tetapi yang aneh sekali, bagaimana kalian bisa tahu begitu
cepatnya? Dan mengapa pula menuduh aku yang melakukan perbuatan itu?”
“Dari mana
pinto mengetahui, bukanlah persoalan. Pendeknya kami tahu bahwa Cin Giok
Sianjin telah tewas olehmu di dalam pulau di mana dahulu kau bertapa.”
Bu Pun Su
menarik napas panjang. Dia dapat menduga setelah otaknya yang luar biasa
bekerja cepat.
“Hemm,
siluman betina itu tentunya baru saja meninggalkan puncak Kun-lun-san! Keng
Thian Siansu, apakah kau begitu mudah mau percaya omongan seorang seperti Pek
Hoa Mo-li (Iblis Wanita Pek Hoa) itu?” Bu Pun Su sengaja merubah sebutan Pek
Hoa Pouwsat menjadi Pek Hoa Mo-li. Pouwsat berarti Dewi sedangkan Mo-li berarti
Iblis Betina.
“Apakah
ketika dia bercerita bahwa aku yang membunuh Cin Giok Sianjin, dia berbicara
sambil menggoyang-goyangkan tubuh seperti pohon yang-liu tertiup angin musim
chun, matanya mengerling-ngerling bagaikan bintang-bintang di langit dan
bibirnya tersenyum-senyum manis sehingga semua orang yang mendengarnya menjadi
percaya penuh?”
Wajah Keng
Thian Siansu menjadi merah sekali. Memang, biar pun agak berlebih-lebihan semua
dugaan Bu Pun Su ini cocok dengan keadaannya. Pagi hari itu memang Bi Sian-li
Pek Hoa Pouwsat mengunjungi Kun-lun-san dan bercerita dengan sikapnya yang
genit sekali bahwa Cin Giok Sianjin dibunuh oleh Bu Pun Su, dan bahwa Pek Hoa
Pouwsat sendiri yang hendak mencegah perbuatan itu sampai terluka pula oleh Bu
Pun Su!
“Bu Pun Su,
pinto sendiri memang masih meragukan keterangan dari Pek Hoa Pouwsat. Akan
tetapi selain kau, siapakah yang sanggup membunuh Cin Giok Sianjin bersama dua
orang tokoh Siauw-lim-si yang berkepandaian tinggi? Dan pula, apa perlunya Pek
Hoa Pouwsat datang-datang ke Kun-lun-san dan membohong? Ditambah lagi
kedatanganmu di sini, benar-benar semuanya menimbulkan kecurigaan kami. Kalau
kau beri penjelasan, katakanlah apa yang terjadi di Pek-le-to. Apakah
betul-betul Cin Giok Sianjin terbunuh?”
“Betul,
sayang sekali karena kedatanganku ke Pek-le-to terlambat,” jawab Bu Pun Su.
Keterangan ini disambut oleh suara menyatakan marah dari para tosu Kun-lun-pai.
“Siapa yang
membunuhnya?” tanya Keng Thian Siansu.
“Ketika aku
mendarat di Pek-le-to, aku melihat tiga mayat orang yang setelah kuperiksa
ternyata adalah jenazah-jenazah dari Cin Giok Sianjin beserta dua orang tokoh
Siauw-lim-pai. Dan orang yang saat itu tinggal di Pulau Pek-le-to itu kulihat
adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat sendiri!”
Keng Thian
Siansu mengeluarkan suara ketawa aneh. “Bu Pun Su, jangan kau main-main. Pinto
bukan anak kecil yang mudah dibohongi. Orang macam Pek Hoa Pouwsat itu
bagaimana bisa membunuh Cin Giok Sianjin bersama dua orang tokoh
Siauw-lim-pai?”
“Memang ada
yang membantu...,” kata Bu Pun Su, suaranya mengandung kepahitan dan
kekecewaan.
“Siapa...?”
Keng Thian Siansu mendesak.
Bu Pun Su
menarik napas panjang lalu memandang kepada wajah Ketua Kun-lun-pai itu.
“Keng Thian
Siansu, aku datang dengan maksud yang amat penting, apakah kau hanya menyambut
aku seperti ini saja? Haruskah kita bercakap-cakap sambil berdiri di tempat
panas ini? Ahh, benar-benar tak kusangka bahwa Kun-lun-pai sekarang merupakan
tuan rumah yang tidak manis budi...”
Keng Thian
Siansu tersadar dan wajahnya berubah merah. Ia menjura dan berkata, “Maaf,
maaf, pinto terlalu pusing memikirkan soal Cin Giok Sianjin sehingga lupa akan
tata susila. Mari, Bu Pun Su, silakan kau naik, menjadi tamu kami di Kun-lun-san!”
Bu Pun Su
balas menjura. “Terima kasih!”
Dan cepat
tubuhnya berkelebat dalam perjalanannya naik ke puncak. Melihat ini, semua tosu
Kun-lun-pai meleletkan lidah saking kagum menyaksikan ilmu meringankan tubuh
dan ilmu lari cepat yang sedemikian hebatnya.
Keng Thian
Siansu berseru, “Kau memang hebat Bu Pun Su.”
Akan tetapi
tubuhnya sendiri juga berkelebat menyusul dan sekejap mata dua orang itu telah
lenyap dari pandangan mata para tosu yang saling berpandangan dan kemudian
beramai-ramai naik ke puncak.
Setelah
berada di kuil Kun-lun-pai di puncak gunung itu, Bu Pun Su diterima oleh Keng
Thian Siansu di ruangan tengah yang amat luas. Selain Keng Thian Siansu
terdapat pula tiga orang tokoh Kun-lun-pai yang ikut mendengarkan penuturan Bu
Pun Su. Mereka ini yang dua orang merupakan murid Keng Thian Siansu, sedangkan
yang seorang lagi adik seperguruan dari Cin Giok Sianjin. Dengan terus terang
Bu Pun Su menuturkan tentang peristiwa di Pulau Pek-le-to.
Dia tidak
menyembunyikan kenyataan bahwa Han Le telah terpikat dan terbuai oleh Pek Hoa
Pouwsat sehingga mau membantu siluman betina itu merobohkan dua orang tokoh
Siauw-lim-pai dan seorang tokoh Kun-lun-pai yang mendarat di Pulau Pek-le-to.
“Hemm, kalau
begitu sute-mu itu yang menjadi pembunuh!” kata Keng Thian Siansu.
“Bukan,
sahabatku, bukan Han Le. Memang benar bahwa Han Le yang mengalahkan dan membuat
tak berdaya Cin Giok Sianjin dan dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu, akan tetapi
pembunuhnya adalah Pek Hoa Pouwsat yang sudah datang ke sini dan menipu kalian
di sini. Bukan aku hendak membela sute-ku yang juga berdosa, tetapi harus
diingat bahwa sute-ku telah roboh bukan hanya oleh kecantikan Pek Hoa dan oleh
karena pandainya ia bergaya, melainkan terutama sekali oleh semacam ilmu sihir
yang luar biasa. Pernah siluman betina itu mencoba ilmunya kepadaku, dan memang
benar-benar hebat. Apa bila orang tidak memiliki ketabahan dan kebersihan hati
ditambah tenaga batin yang sangat kuat, kiraku pasti akan roboh, seperti halnya
Han Le. Mengingat bahwa Han Le sudah membantu Pek Ho Mo-li dan membuat roboh
ketiga orang itu di Pulau Pek-le-to dalam keadaan tidak sadar seperti di bawah
pengaruh sihir dari Pek Hoa Mo-li, maka aku telah menghukum sute-ku melarang
dia keluar selamanya dari Pulau Pek-le-to. Apakah kau tidak menganggap hukuman
itu sudah cukup berat baginya?”
Kiang Thian
Siansu serta anak-anak muridnya mengangguk-anggukkan kepala. Mereka terpaksa
mengaku bahwa hukuman itu memang berat, cukup berat. Hukuman itu sama dengan
hukuman buang selama hidup, karena selama hidupnya, Han Le tak akan dapat
melihat dunia ramai lagi, takkan dapat bertemu dengan orang lain lagi. Hukuman
ini pada hakekatnya bahkan lebih berat dari pada hukuman mati.
“Bu Pun Su,
kami memang telah mendengar penuturanmu dan kami percaya sepenuhnya kepadamu.
Akan tetapi masih ada satu hal dan engkaulah satu-satunya orang yang harus
membereskannya. Yakni tentang Pek Hoa Pouwsat. Apa bila memang betul dia itu
yang membunuh Cin Giok Sianjin dan benar-benar sudah datang ke sini untuk
memburukkan namamu, maka untuk membuktikan kebenaran semua penuturanmu, kau harus
mencari dan membunuh Pek Hoa Mo-li!”
Bu Pun Su
nampak terkejut. “Keng Thian Siansu! Aku sudah lama melakukan pantangan
membunuh!”
“Kalau
begitu cari dan tangkap dia, seret ke sini agar pinto dapat mendengar pengakuan
dosanya. Kalau kau melakukan itu, barulah selamanya Kun-lun-pai percaya
kepadamu, Bu Pun Su.”
Bu Pun Su
tertawa bergelak, “Ha-ha-ha, kau memang orang cerdik, Keng Thian Siansu. Akan
tetapi tidak apalah, aku akan menangkap siluman betina itu untukmu dan sekarang
kuharap tamu agung Kun-lun-pai yang sejak tadi berdiri di luar sudi masuk. Keng
Thian Siansu, mengapa kau tidak menyambut datangnya tamu?”
Keng Thian
Siansu juga tersenyum dan berkata, “Saudara dari Siauw-lim-si berlaku amat
sungkan-sungkan di luar, bagaimana pinto berani menyambut sembarangan?”
Tiga orang
tosu lain yang hadir situ kaget sekali dan memuji kelihaian penglihatan Bu Pun
Su dan Keng Thian Siansu, karena mereka bertiga tidak melihat sesuatu pun, juga
tidak mendengar sesuatu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara orang tertawa
dan berkelebat sesosok bayangan orang tinggi besar memasuki ruangan itu dengan
gerakan yang cepat, akan tetapi walau pun kedua kakinya tidak menimbulkan suara
apa-apa ketika menginjak lantai ruangan itu, ternyata bahwa semua orang merasa
lantai tergetar hebat seolah-olah dijatuhi benda yang ribuan kati beratnya!
Semua orang
memandang. Orang yang baru muncul ini adalah seorang hwesio gundul yang
badannya tinggi tegap, kepalanya gundul licin, demikian pula mukanya licin
kelimis seperti kedok. Kulit mukanya berwarna putih seperti dikapur dan yang
membuat rupanya menjadi amat buruk adalah telinga kirinya yang sudah buntung
tidak ada sisanya sama sekali. Mulutnya selalu cemberut dan sepasang matanya
nampak seperti orang murung dan duka. Sebenarnya usianya sudah enam puluh tahun
lebih, akan tetapi oleh karena muka dan kepalanya guncul licin, ia nampak lebih
muda.
Melihat
hwesio ini, diam-diam Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu merasa heran. Melihat
gerakannya tadi, tak dapat disangkal lagi bahwa hwesio ini tentulah seorang
ahli silat dari Siauw-lim-pai, akan tetapi siapakah orang ini? Bu Pun Su dan
Keng Thian Siansu sudah banyak mengenal tokoh Siauw-lim-pai, bahkan ada
pertalian persahabatan dengan ketua Siauw-lim-pai, Hok Bin Taisu. Akan tetapi
hwesio ini belum pernah mereka kenal.
Kalau yang
datang ini adalah seorang anak murid Siauw-lim-pai yang rendah tingkatnya, tidak
mengherankan apa bila dua orang sakti ini tidak mengenalnya. Akan tetapi
melihat lweekang serta ginkang yang baru saja diperlihatkan oleh tamu ini,
mudah sekali dilihat bahwa dia adalah seorang yang mempunyai kepandaian tinggi
sekali, jadi bukan seorang murid rendahan saja dari Siauw-lim-pai.
“Bu Pun Su,”
hwesio itu berkata dengan muka yang tidak berubah akan tetapi suaranya
menggeledek dan menggetarkan anak telinga. “Biar pun kaum Kun-lun-pai telah
berlaku lemah, akan tetapi pinceng dari Siauw-lim-pai tak nanti melepaskan kau
begitu saja! Kau menyerahlah untuk pinceng bawa ke Siauw-lim-pai, kemudian
menerima hukuman atas dosa-dosamu!”
Kata-kata
ini diterima oleh Bu Pun Su dengan adem saja, akan tetapi membuat panas hati
Keng Thian Siansu bersama tiga orang muridnya. Sikap hwesio ini mereka anggap
keterlaluan sekali.
Mereka tidak
ambil pusing dengan apa yang hendak dilakukan oleh hwesio itu terhadap Bu Pun
Su, akan tetapi sikap hwesio itu yang sama sekali tidak mempedulikan pihak tuan
rumah, betul-betul telah melanggar peraturan kang-ouw dan peraturan kesopanan
antara partai-partai besar.
Hwesio itu
telah masuk ke Kun-lun-pai tanpa memberi tahu terlebih dulu dan tentu telah
menggunakan kepandaiannya, sehingga dapat melampaui para penjaga dan bisa sampai
di ruangan lian-bu-thia tanpa terlihat. Hal ini saja merupakan pelanggaran
pertama.
Ke dua,
hwesio ini sama sekali tak mengacuhkan Keng Thian Siansu yang menjadi ketua
Kun-lun-pai dan hal ini benar-benar merupakan kekurang ajaran yang menyinggung
rasa kehormatan ciangbunjin dari Kun-lun-pai. Bukan ini saja, bahkan,
datang-datang hwesio ini hendak menangkap Bu Pun Su yang saat itu menjadi tamu
Kun-lun-pai, hal ini berarti bahwa hwesio itu sama sekali tak memandang mata
kepada Kun-lun-pai dan merupakan pelanggaran ke tiga.
Sun Giok
Sianjin, murid keponakan dari Ketua Kun-lun-pai yang ikut hadir di situ,
menjadi marah dan cepat dia melompat berdiri menghadapi hwesio itu. Tanpa
banyak peradatan lagi dia menudingkan jari telunjuknya ke arah dada hwesio itu sambil
berkata,
“Kami
mengenal Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lim-pai sebagai seorang yang menjunjung
tinggi kegagahan, keadilan, dan peraturan. Juga kami tahu bahwa Siauw-lim-pai
adalah partai persilatan di kolong langit yang paling menjaga peraturan
sehingga memasuki Kuil Siauw-lim-si kabarnya sama sukarnya dengan memasuki
pintu langit! Akan tetapi kenapa kau ini hwesio yang mengaku dari Siauw-lim-si
begini tidak tahu aturan dan menganggap Kun-lun-pai sebagai tempat apakah?”
Hwesio itu
memandang kepada Sun Giok Sianjin dengan mata mencorong, dan tak lama kemudian
terdengar suaranya yang keras dan parau, “Apakah kau ini yang bernama Keng
Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai?”
Sun Giok
Sianjin tersenyum mengejek. “Hwesio, kelirunya dugaanmu ini saja telah
membuktikan bahwa kau bukan seorang yang banyak mengenal dan dikenal di dunia
kang-ouw! Pinto sudah banyak mengenal hwesio di Siauw-lim, akan tetapi
selamanya belum pernah bertemu dengan kau. Ketahuilah, pinto adalah Sun Giok
Sianjin, dan kau ini siapakah?”
“Pinceng
Kong Mo Taisu. Orang seperti kau ini mana mengenal pinceng?”
Sesudah
berkata demikian hwesio itu tertawa bergelak dan terkejutlah Sun Giok Sianjin
karena kedua telinganya terasa sakit sekali. Makin lama hwesio itu ketawa,
makin sakit telinganya sampai hampir tidak tertahankan lagi. Baiknya dia
cepat-cepat mengerahkan lweekang-nya untuk menjaga keselamatan bagian halus di
dalam telinganya supaya tidak mengalami kerusakan akibat suara yang mengandung
getaran tenaga lweekang ini.
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa halus yang sekaligus membuyarkan tenaga serangan merusak
dari suara ketawa Kong Mo Taisu. Yang ketawa ini adalah Bu Pun Su. Dalam suara
ketawanya yang halus, Bu Pun Su sudah mengerahkan tenaganya sehingga dapat
menolak tenaga serangan Kong Mo Taisu yang disalurkan melalui suara ketawanya.
“Pernah
dahulu Suhu-ku Ang-bin Sin-kai bercerita kepadaku tentang seorang bocah yang
menjadi kacung di Siauw-lim-si dan kemudian pada suatu hari bocah itu mencuri
sebuah kitab simpanan peninggalan Tat Mo Couwsu. Sampai belasan tahun bocah
tersebut bisa mempelajari isi kitab itu tanpa persetujuan para ketua
Siauw-lim-si. Akhirnya ia diketahui juga dan dijatuhi hukuman, yakni selama
hidupnya tidak boleh mempergunakan ilmunya untuk memperkenalkan diri di dunia
kang-ouw dan di samping itu dibuang ke luar kuil dan bertapa seorang diri dalam
goa di hutan. Sekarang tahu-tahu muncul seorang hwesio tak ternama yang
memiliki tenaga I-kin-keng begini tingginya. Eh, hwesio, apa hubunganmu dengan
bocah bengal itu?” tanya Bu Pun Su di akhir penjelasannya.
Juga Keng
Thian Siansu mengeluarkan seruan kaget. “Pinto juga teringat akan sebuah
dongeng yang pinto dengar dari mendiang Suheng Seng Thian Siansu. Puluhan tahun
yang lalu, bersama beberapa orang sahabatnya, Suheng bertemu dengan seorang
hwesio yang melakukan perbuatan tidak patut di sebuah dusun tidak jauh dari
Siauw-lim-si. Hwesio itu mengganggu seorang gadis kampung dan tentu saja Suheng
dan sahabatnya tidak membiarkan hal itu terjadi. Hwesio keparat itu ditegur dan
terjadilah pertempuran hebat. Dari pertempuran ini tahulah Suheng bahwa hwesio
itu mempunyai sari kepandaian dari Siauw-lim-si. Akhirnya hwesio itu dapat
dikalahkan oleh Suheng beserta sahabat-sahabatnya, dan biar pun tidak dapat
dibinasakan, tetapi hwesio itu sudah diberi peringatan dengan terbabatnya
sebuah daun telinga sebelah kiri. Entah apa hubungannya hwesio cabul itu dengan
saudara yang sekarang hadir dan mengaku bernama Kong Mo Taisu!”
Hwesio itu
mukanya tidak berubah, akan tetapi sinar matanya makin berapi-api.
Tiba-tiba
Sun Giok Sianjin tertawa bergelak, “Aha, kiranya kaulah yang telinganya sudah
dibuntungi oleh Suhu!”
“Sun Giok
Sianjin, awas!” teriak Bu Pun Su.
Tosu ini
cepat-cepat melompat ke belakang ketika merasa ada angin mendesir. Ternyata
bahwa hwesio gundul itu sudah menyerang dengan sebuah pukulan tangan kanan yang
mendatangkan angin pukulan luar biasa sekali.
Sun Giok
Sianjin adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi, setingkat
dengan kepandaian Cin Giok Sianjin tetapi lebih tinggi tingkatnya dari pada kepandaian
para murid Keng Thian Siansu. Akan tetapi menghadapi pukulan dari Kong Mo Taisu
tadi, ia terkejut bukan main.
Biar pun ia
dapat menghindarkan diri, namun ia maklum bahwa lweekang dari Si Gundul ini
masih jauh melampaui tingkatnya. Segera tangan kirinya bergerak dan tahu-tahu
dia telah mencabut pedang yang tadinya menggemblok pada punggungnya. Sun Giok
Sianjin terkenal sangat lihai dengan senjata pedang yang dimainkan dengan
tangan kirinya.
Memang tosu
ini adalah seorang kidal yaitu seorang yang semenjak kecilnya lebih trampil
mempergunakan tangan kiri dari pada tangan kanannya. Oleh karena itu, dalam hal
ilmu pedang, ia juga selalu menggunakan tangan kiri. Namun hal ini menambah
kelihaiannya karena bagi lawan memang merupakan suatu kesukaran jika menghadapi
seorang yang memainkan senjata dengan tangan kiri.
Terdengar
Kong Mo Taisu tertawa bergelak lagi. Benar-benar mengerikan muka hwesio telinga
buntung ini. Biar pun suara ketawanya bergelak, akan tetapi hanya mulutnya saja
yang terbuka sedangkan lain-lain bagian mukanya sama sekali tak memperlihatkan
gerak ketawa, seperti sebuah mayat tertawa saja!
“Tosu
bulukan kau mengandalkan pedangmu? Lebih baik kau mundur dan biarkan Keng Thian
Siansu saja menghadapi pinceng. Kau lebih baik pulang dan belajar sepuluh tahun
lagi, barulah menghadapi pinceng!” Bukan main marahnya Sun Giok Sianjin
mendengar ejekan ini.
“Hwesio
siluman lihat pedang!”
Secepat
kilat pedangnya di tangan kiri menyambar dengan gerak tipu Hek-in Koan-goat
(Awan Hitam Menutup Bulan), yang lalu disusul oleh gerakan berantai Ngo-cu
Sam-kiam (Lima Kali Tikaman Berantai).
Akan tetapi,
sambil mengeluarkan suara ketawa aneh, Kong Mo Taisu menggerakkan kedua
tangannya dengan lembut ke arah pedang dan ke mana saja pedang di tangan tosu
itu menyerang, begitu bertemu dengan hawa pukulan dari kedua tangan hwesio itu,
lalu mandeg serangannya, tertolak oleh hawa pukulan yang dahsyat sekali.
Sun Giok
Sianjin terkejut sekali dan sesudah semua serangannya dapat dielakkan dan
disampok oleh hawa pukulan ahli lweekang I-kin-keng ini, ia kemudian berseru
keras dan tiba-tiba dari samping pedangnya meluncur cepat menyabet ke arah
pundak dan leher! Sambil melakukan bacokan ini, Sun Giok Sianjin mengerahkan
seluruh tenaga lweekang sehingga apa bila hwesio itu berani menangkis, sungguh
pun tidak dapat dia menangkan tenaga lweekang hwesio itu, akan tetapi kecepatan
gerakan dan ketajaman pedangnya paling tidak tentu akan melukai tubuh lawannya!
Akan tetapi
hwesio itu benar-benar amat lihai. Sambil merendahkan tubuhnya yang tinggi
besar itu, ia mengelak cepat dan begitu pedang telah menyambar lewat, tangan
kirinya menyusul pedang dengan dorongan ke bawah. Inilah gerakan tangan kosong
semacam Siok-lui Kak-teng (Petir Menyambar di Atas Kepala) yang dahsyat, akan
tetapi bukan digerakkan untuk menyerang lawan, melainkan untuk menindih pedang.
Benar-benar luar biasa sekali.
Biar pun
hanya didorong oleh hawa pukulan, betapa pun Sun Giok Sianjin berusaha, pedang
itu tidak dapat ditariknya kembali, terus terdorong ke atas lantai dan di lain
saat kaki kiri hwesio itu telah menginjak pedang, tenaga lweekang dikerahkan
dan…
“Krakk!”
pedang itu telah patah-patah empat potong di atas lantai!
Di lain saat
kaki kanan hwesio itu menendang dan tubuh Sun Giok Sianjin terlempar dan
terbanting pada dinding ruangan itu yang jauhnya ada empat tombak lebih!
Kong Mo
Taisu tertawa bergelak, sedangkan Sun Giok Sianjin yang tidak menderita luka
berat merangkak bangun dengan muka pucat. Dalam waktu kurang dari sepuluh jurus
dia telah dikalahkan oleh hwesio itu. Ini adalah hal yang benar-benar sangat
mengherankan, memalukan dan juga membuktikan bahwa hwesio itu benar-benar luar
biasa lihainya.
Hal ini
diketahui pula oleh Keng Thian Siansu. Dia sendiri biar pun tingkat
kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada murid keponakannya itu, namun apa
bila disuruh mengalahkan Sun Giok Sianjin dalam waktu kurang dari sepuluh
jurus, ia masih tidak sanggup. Maka ia tahu bahwa hwesio itu merupakan lawan
yang amat berat.
Akan tetapi
sebagai seorang ciangbunjin dia harus menjaga nama dan kehormatan partai
Kun-lun-pai. Apa lagi yang datang mengacau ini bukanlah wakil Siauw-lim-pai,
melainkan seorang hwesio Siauw-lim yang murtad. Sambil tersenyum pahit dia
bangkit dari kursinya dan menggerak-gerakkan tongkatnya yang panjang.
“Hwesio,
harap kau bicara terus-terang. Kedatanganmu ini untuk keperluan apakah?”
Kong Mo
Taisu memandang tajam. “Engkau yang bernama Keng Thian Siansu ketua dari Kun-lun-pai?”
“Betul
dugaanmu. Kau ini hwesio murtad dari Siauw-lim-pai, sekarang datang memancing
keonaran, sebenarnya apakah kehendakmu? Pinto tidak bisa turun tangan tanpa
dasar yang kuat dan alasan yang tepat,” Keng Thian Siansu menyeringai.
“Bagus, Keng
Thian Siansu, kau masih tanya-tanya lagi? Kau tak tahu malu, yang sudah
kehilangan anak murid terbunuh oleh Bu Pun Su, akan tetapi sekarang, setelah Bu
Pun Su datang, karena takut padanya kau bahkan bersobat dengan dia, kau masih
ingin tahu apa maksud kedatangan pinceng? Pertama-tama memang pinceng hendak
mengetahui sampai di mana tingginya puncak Kun-lun-san dan sekedar memuaskan
hatiku menebus hinaan pada waktu dahulu. Kedua, sengaja pinceng hendak
menangkap Bu Pun Su atas kedosaannya membunuh dua orang cucu muridku!”
Orang yang
tidak tahu, tentu akan heran dan mengira hwesio itu bicara sombong ketika
mengaku bahwa dua orang tokoh Siauw-lim-pai, yakni Bok Beng Hosiang yang
dianggap sebagai tokoh ke dua dan ke tiga, murid-murid Hok Bin Taisu Ketua
Siauw-lim-pai itu, sebagai cucu muridnya. Akan tetapi sebetulnya dalam hal ini
hwesio ini berkata benar.
Memang Kong
Mo Taisu memiliki kedudukan ilmu silat yang lebih tinggi tingkatnya dari pada
Hok Bin Taisu sendiri. Kalau menurut keadaan pelajaran ilmu silat mereka, Ketua
Siauw-lim-pai itu bahkan masih menyebut susiok kepadanya.
Hal ini
adalah karena Kong Mo Taisu yang telah berhasil mencuri kitab-kitab peninggalan
Tat Mo Couwsu dan mempelajari isinya yang tidak sembarang murid Siauw-lim-pai
dapat melihatnya, tingkat kepandaiannya menjadi seimbang atau boleh disebut
sebagai murid seperguruan yang setingkat dengan guru dari Hok Bin Taisu, yang
membuat Kong Mo Taisu pernah paman guru Ketua Siauw-lim-pai. Sudah barang tentu
Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang murid-murid Hok Bin Taisu ini boleh
disebut cucu-cucu muridnya.
Keng Thian
Siansu menjadi mendongkol sekali mendengar betapa hwesio ini terus terang
menyatakan ingin mengetahui sampai di mana tingginya puncak Kun-lun-san.
Kata-kata ini mengandung sindiran dan yang dimaksudkan tinggi itu bukan puncak
bukitnya, akan tetapi puncak kepandaiannya, yaitu tentu saja kepandaian Keng
Thian Siansu yang boleh dibilang puncak kepandaian Kun-lun-pai pada saat itu.
Kata-kata ini sama halnya dengan menantangnya.
Apa lagi
setelah ditambah bahwa hwesio itu ingin memuaskan hatinya menebus hinaan di
waktu dulu. Tentu yang dimaksudkan adalah hinaan potong telinga yang sudah
dilakukan oleh mendiang suheng-nya, Seng Thian Siansu.
“Hwesio, kau
sombong sekali. Pantas saja mendiang suheng-ku membuntungi telinga kirimu. Kini
kau mau membalas dendam masa lalu? Baiklah, di sini pinto bersiap mewakili
mendiang Suheng untuk menyelesaikan pekerjaannya dulu yang belum sempurna,
yaitu membuntungi telinga keledaimu yang sebelah lagi!”
Keng Thian
Siansu biasanya tidak suka berkelakar, tidak pula menjadi wataknya untuk
bersombong dan menghina orang. Tapi kali ini ia sengaja mengeluarkan kata-kata
pedas, bukan saja untuk membalas kesombongan Kong Mo Taisu, akan tetapi juga
sengaja ingin memanaskan hati dan membuat hwesio itu menjadi marah, karena
hanya bila hwesio itu marah-marah kiranya ia akan dapat menghadapinya dengan
harapan menang.
Bagi para
ahli silat tinggi yang mendasarkan kekuatan perlawanan terhadap musuh berat
pada tenaga lweekang, nafsu amarah adalah pantangan besar karena nafsu amarah
ini dapat mengurangi banyak tenaga. Dalam keadaan marah, sulit sekali untuk
menghimpun hawa di dalam tubuh dan karenanya hawa sinkang di dalam tubuh pun
buyar tidak dapat terkumpul sehingga akibatnya tenaga pun banyak berkurang.
Ejekan
tentang telinga itu kiranya betul-betul tepat melukai hati Kong Mo Taisu,
membuat hwesio ini marah bukan main. Kedua matanya sampai melotot lebar dan
sambil berseru keras dia mencabut senjatanya yang tadinya tidak kelihatan dari
luar, yakni sebatang ring rantai yang dijadikan ikat pinggang. Rantai ini
terbuat dari baja lembek, panjangnya tiga kaki, besarnya sekepalan tangan
warnanya hitam.
“Tosu
keparat, mampuslah kau menyusul suheng-mu!” Hwesio itu membentak sambil dia
mengirim serangan.
Bukan main
hebatnya serangan ini. Ketika Keng Thian Siansu mengelak dan melompat ke
belakang, ujung rantai menghantam lantai hingga debu berhamburan ke atas karena
lantai yang terpukul menjadi hancur lebur! Hwesio ini terus mendesak dengan
serangan lain yang ditujukan kepada kepala Ketua Kun-lun-pai.
“Traangg...!”
Bunga api
berpijar menyilaukan mata ketika rantai itu ditangkis oleh tongkat pada tangan
Keng Thian Siansu. Keng Thian Siansu adalah seorang yang tinggi ilmu kepandaiannya.
Kalau ia tidak memiliki kepandaian tinggi, tidak nanti ia dapat menjadi Ketua
Kun-lun-pai yang besar.
Kiranya
tidak sembarang orang kang-ouw mampu menyamai kepandaiannya, baik dalam hal
ilmu silat, tenaga lweekang, mau pun ginkang yang semua sudah mendekati puncak
kesempurnaan. Namun kali ini begitu tongkatnya beradu dengan rantai Kong Mo
Tosu, tosu tua ini maklum bahwa benar-benar lawannya memiliki tenaga warisan
I-kin-keng dari Tat Mo Couwsu yang luar biasa hebatnya.
Telapak
tangannya menjadi panas sekali dan kalau saja dia tidak memiliki sinkang yang
sangat kuat tentu kulit serta daging tangannya sudah robek dan pecah-pecah.
Rantai itu mengandung getaran tinggi yang hampir tidak terasa, akan tetapi yang
mendatangkan hawa panas bagaikan api membara.
Rantai itu
sudah menyambar lagi, kini menyabet ke arah kaki Keng Thian Siansu. Ketika
Ketua Kun-lun-pai itu melompat ke atas sehingga rantai itu lewat di bawah
kakinya, rantai itu tahu-tahu sudah menghadang pula dan kini meluncur ke arah
kepalanya! Benar-benar Ketua Kun-lun-pai dibikin kagum oleh gerakan ini.
Kecepatan perubahan gerakan rantai yang dari serangan ke arah kaki tiba-tiba
dapat dirubah menjadi serangan ke arah kepala ini benar-benar luar biasa dan
berbahaya sekali.
Keng Thian
Siansu tidak berani berlaku lambat dan ia segera mengeluarkan ilmu tongkat yang
berdasarkan ilmu silat Kun-lun Kun-hoat. Ujung tongkatnya tergetar mengeluarkan
bunyi berdering dan ujung itu kanan kiri tergetar menjadi tujuh bagian.
Pertempuran
menjadi makin sengit dan seru karena Kong Mo Taisu juga tidak mau kalah. Dia
mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Karena
maklum bahwa tenaganya kalah jauh, Keng Thian Siansu segera mengandalkan
kegesitan tubuhnya. Tujuh getaran tongkatnya itu yang lima bagian dipergunakan
untuk pertahanan diri, sedangkan ia membalas serangan lawan yang hanya dengan
dua bagian saja. Hal ini adalah karena hanya dengan pengerahan tenaga sekuatnya
saja baru dia sanggup menangkis serangan lawannya yang tentu saja menggunakan
sistem setengah bertahan setengah menyerang. Karena kepincangan ini, maka
segera kelihatan betapa Ketua Kun-lun-pai itu hanya berada pada pihak penahan
belaka, dan hanya sedikit sekali melakukan serangan, itu pun kalau benar-benar
ada lowongan.
Seratus
jurus telah lewat dengan cepatnya. Kini tempat itu sudah terkurung oleh puluhan
orang-orang Kun-lun-pai yang datang menonton dan telah siap sedia menghadapi
semua perintah ketua mereka. Kini mereka semua merasa gelisah karena sebagai
ahli-ahli silat tinggi mereka maklum bahwa ketua mereka menghadapi bencana.
Akan tetapi
di antara mereka sudah ada kesepakatan, bahwa apa bila Ketua Kun-lun-pai sampai
roboh binasa, tentu hwesio gundul itu tak akan dapat keluar dari tempat itu
dalam keadaan selamat. Walau pun hwesio itu lebih kosen lagi dan ditumbuhi
sepasang sayap, takkan mungkin dia sanggup menghadapi pengeroyokan puluhan orang
tosu Kun-lun-pai yang rata-rata berkepandaian tinggi itu.
Mereka pun
takkan ragu-ragu atau malu-malu untuk mengeroyok dan membunuh hwesio itu kalau
sampai ketua mereka tewas, oleh karena kedatangan hwesio itu bukan sebagai
seorang tamu terhormat, tetapi sebagai seorang pencuri yang datang secara
sembunyi-sembunyi. Kalau hwesio itu adalah tamu terhormat dan pertandingan itu
adalah pibu yang sewajarnya, tentu kalah menang, mati hidup tak akan
dipersoalkan lagi oleh semua kaum Kun-lun-pai. Akan tetapi sekarang lain lagi
soalnya, maka mereka bersiap-siap dengan senjata di tangan.
Ada pun Kong
Mo Taisu yang sampai seratus jurus belum dapat mengalahkan lawannya, menjadi
penasaran bukan main. Dahulu memang ia kalah oleh Seng Thian Siansu, akan
tetapi ia kalah karena dikeroyok oleh lima orang, yakni Seng Thian Siansu
beserta empat orang lain yang kepandaiannya juga tinggi. Kalau hanya Seng Thian
Siansu seorang diri yang maju, dahulu Seng Thian Siansu juga pasti kalah
olehnya.
Padahal
setelah menderita hinaan itu, ia telah berlatih lagi sampai belasan tahun,
melatih I-kin-keng sampai hampir sempurna. Kini ia mendapat kenyataan bahwa ia
sudah salah duga. Ternyata, hanya dengan tenaga dalam I-kin-keng yang luar
biasa saja dia tak akan dapat memenangkan musuh kalau ilmu silatnya tidak bisa
mengatasi kepandaian lawan. Ia harus akui bahwa dengan tenaganya dia dapat
menangkan Keng Thian Siansu, hanya saja dalam ilmu silat, ternyata ketua dari
Kun-lun-pai ini masih mengatasinya!
Aku harus
menangkan dengan adu tenaga, pikirnya dan tiba-tiba ketika ia melihat tongkat
menyambar dengan sodokan ke arah dada, dia tidak mengelak, bahkan dia melibat
ujung tongkat itu dengan ujung rantainya sambil mengerahkan lweekang.
“Bukkk!”
Ujung
tongkat menotok dada, akan tetapi seakan-akan menotok bola baja saja, licin dan
keras sehingga meleset tanpa mendatangkan akibat apa pun. Namun sebaliknya,
ujung tongkat itu telah kena dilibat oleh rantai. Betapa pun Keng Thian Siansu
mencoba untuk membetotnya, sia-sia belaka.
Tiba-tiba
saja terdengar suara ketawa keras dari mulut Kong Mo Taisu, dibarengi dengan
kepalan tangan kirinya yang datang menyerang dengan jari-jari terbuka,
mencengkeram ke arah batok kepala tosu Kun-lun-pai!
Keng Thian
Siansu tadinya sudah membetot-betot tongkatnya. Tongkat itu adalah senjata
merangkap lambang kekuasaan sebagai ketua partai, maka tentu saja kehilangan
tongkat yang terampas oleh lawan sama artinya dengan kehilangan nyawa.
Akan tetapi
sekarang melihat datangnya cengkeraman ke arah batok kepala, terpaksa ia mengangkat
tangan kanannya, mempergunakan gerak Hauw-jiauw-kang (Cengkeraman Harimau)
menyambut tangan kiri hwesio itu sehingga di lain saat jari-jari kedua tangan
itu telah saling cengkeram!
Kini
pertandingan dilanjutkan mengandalkan lweekang. Sebelah tangan berebut tongkat
yang terlibat rantai, tarik-menarik, dan sebelah lagi saling cengkeram.
Muka hwesio
itu tetap tidak berubah, hanya matanya mengeluarkan sinar bengis. Tangan
kirinya yang mencengkeram makin lama makin kuat sehingga kuku-kukunya telah mulur
menancap pada kulit tangan Keng Thian Siansu, sedangkan rantainya makin lama
makin hebat tarikannya sehingga tangan kiri Ketua Kun lun-pai sudah gemetar.
Muka tosu itu sudah berpeluh dan pucat, dan dari kepalanya sudah mengepul uap,
tanda pengerahan lweekang sekuatnya dan keadaannya berbahaya sekali.
Tenaga
lweekang dari hwesio itu yang diperoleh dari latihan I-kin-keng secara mendalam
sekali, memang masih menang setingkat lebih. Maka, setelah kini pertandingan
dilakukan dengan cara mengandalkan tenaga lweekang, sudah bisa dipastikan bahwa
nyawa Ketua Kun-lun-pai itu tidak akan tertolong lagi! Pertandingan lweekang
biar pun dilakukan tanpa mengeluarkan suara dan tanpa bergerak, namun bahayanya
melebihi pertandingan silat.
Dalam
pertandingan silat, setiap serangan dapat ditangkis, dielakkan, bahkan kalau
tetap mengenai tubuh juga, asal tidak telak belum tentu akan menewaskan.
Sebaliknya dalam pertandingan lweekang, orang bertanding dengan mengandalkan
tenaga di dalam tubuh, hawa kekuatan yang ‘tidak kelihatan’ namun yang amat
berbahaya karena serangannya dapat dilawan dengan kekuatan di dalam tubuh pula
dan siapa yang kalah pasti ia akan menderita luka parah di sebelah dalam tubuh
yang tentu saja akan mendatangkan maut.
Bu Pun Su
pasti maklum akan hal ini. Kalau saja Ketua Kun-lun-pai itu mau melepaskan
tongkatnya, kemudian tangan kirinya membantu tangan kanan, mendorong atau
memukul hwesio itu, kiranya cengkeraman itu akan dapat dilepaskan dan sungguh
pun tongkatnya lenyap, tetapi ia akan selamat nyawanya.
Akan tetapi
ketua itu tidak mau dan hal ini pun Bu Pun Su mengerti, maka diam-diam ia
merasa kagum terhadap Keng Thian Siansu yang lebih menghargai kehormatan
sebagai ketua partai besar dari pada nyawanya!
Sambil
batuk-batuk Bu Pun Su bangkit dari duduknya. Batuknya makin keras dan kakek
sakti ini tiba-tiba meludah. Ludahnya menyambar ke depan dan mengenai tubuh
hwesio yang sedang mengerahkan tenaga lweekang hendak membunuh Ketua
Kun-lun-pai itu.
Kong Mo
Taisu terkejut setengah mati. Air ludah yang mengenai kedua pundaknya itu
seakan-akan mengandung tenaga listrik yang membuat kedua lengannya kesemutan
dan otomatis tenaganya yang dikerahkan ke arah kedua lengan menjadi buyar tidak
karuan!
“Ayaaaa...!”
Ia berteriak sambil melepaskan cengkeraman, menarik kembali rantainya dan
melompat ke belakang.
Dengan
demikian maka Keng Thian Siansu selamat dari bahaya maut. Tubuh tosu tua ini
terhuyung-huyung dan ia cepat menuju ke sudut ruangan di mana ia lalu duduk
bersila, meramkan mata dan mengatur napas. Tadi ia telah menggunakan lweekang
melampaui batas kemampuannya sehingga di antara urat yang kurang kuat ada yang
pecah dan ia menderita luka dalam yang berat namun tidak membahayakan nyawanya.
Sekarang
Kong Mo Taisu menghadapi Bu Pun Su, matanya melotot dan mulutnya agak terbuka,
nampaknya seperti iblis yang marah sekali.
“Bu Pun Su,
kau memang seorang pengecut dan tak tahu malu!” Ia memaki dan bibirnya
bergerak-gerak akan tetapi tak ada kata-kata lanjutan, saking marahnya ia sampai
sukar mengeluarkan kata-kata!
Bu Pun Su
tersenyum mengejek, “Kong Mo Taisu, kalau roh suci dari Tat Mo Couwsu melihat
betapa ilmu ciptaannya terjatuh ke dalam tangan seekor siluman bulus kemudian
digunakan untuk perbuatan sewenang-wenang, tentu beliau akan menangis.
I-kin-keng adalah sebuah ilmu yang tinggi dan bersifat suci, ilmu yang termasuk
ilmu putih dan yang diajarkan demi kemajuan dan kesehatan manusia. Akan tetapi
setelah terjatuh ke dalam tanganmu, berubah menjadi ilmu hitam yang keji!”
“Bu Pun Su
manusia rendah! Ternyata watakmu tiada bedanya dengan watak seorang maling
hina. Kau sendiri seorang keji yang telah membunuh dua orang cucu muridku dan
kini kau masih berusaha untuk membersihkan diri dan juga mencoba-coba
menghinaku? Kau tadi juga memperlihatkan sifatmu yang licik dan tak tahu malu.
Pinceng bertanding dengan Keng Thian Siansu, mengapa kau membantu dengan cara
menggelap? Apakah itu perbuatan seorang laki-laki?”
Bu Pun Su
tidak marah mendengar ejekan ini. “Terhadap lain orang gagah di dunia kang-ouw
sama artinya dengan menghadapi orang segolongan sendiri, karenanya memang harus
dilakukan aturan kesopanan dan harus menjaga kehormatan diri dengan taruhan
nyawa! Akan tetapi menghadapi seekor anjing gila, siapa pun juga boleh
menendang, memukul, atau meludahi sesuka hati tanpa aturan kesopanan pula.”
“Jahanam,
kau memaki aku anjing?”
”Siapa
memaki? Aku hanya menyatakan cengli (aturan) dari dunia kang-ouw. Kong Mo
Taisu, benar-benarkah kau datang ini untuk menangkap aku karena kau bilang aku
sudah membunuh dua orang cucu muridmu?”
“Bukan hanya
menangkap, sekarang pinceng sudah merubah keputusan. Pinceng hanya akan membawa
kepalamu saja ke Siauw-lim-si agar dijadikan sam-seng, untuk upacara
menyembahyangi roh kedua orang cucu muridku Bok Beng dan Kok Beng.”
Bu Pun Su
tertawa geli. “Aduh, alangkah senangnya kalau aku bisa melihat dengan mata
kepala sendiri betapa kepalaku dijadikan sam-seng di atas meja sembahyang!
Apakah akan direbus lebih dahulu? Akan tetapi sayang, mukaku kurus tidak ada
dagingnya, mana ada setan yang suka?”
Kong Mo
Taisu menggerakkan rantainya. “Bu Pun Su, bersiaplah kau untuk mampus!”
Bu Pun Su
mengangkat tangannya menyetop. “Nanti dulu, Kong Mo Taisu. Sedangkan aku yang
hendak kau bunuh tidak tergesa-gesa, mengapa engkau yang mau membunuh begitu
tidak sabaran? Kau bilang aku telah membunuh Bok Beng Hosiang dan Kok Beng
Hosiang, mengapa sekarang kau yang datang membalas dendam dan bukan Hok Bin
Taisu sendiri dan tokoh-tokoh Siauw-lim-si yang lain? Sejak kapan kau menjadi
hakim di Siauw-lim-pai? Dan pula, dari siapa kau mengerti bahwa aku telah
membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu?”
“Tak usah
banyak cerewet. Pendeknya, pinceng tahu bahwa kaulah yang membunuh Bok Beng dan
Kok Beng, juga membunuh Cin Giok Sianjin dari Kun-lun-pai! Pinceng adalah
seorang Siauw-lim-pai, sudah semestinya pinceng yang membalas dendam.”
Tiba-tiba Bu
Pun Su tertawa bergelak. Suara ketawanya bergema sampai jauh dan suara ini
lapat-lapat mengejutkan binatang-binatang hutan di sekitar puncak, yang dijawab
oleh auman binatang-binatang buas!
“Kong Mo
Taisu, kau kira aku tidak dapat menduga? Ternyata siluman betina Pek Hoa telah
mengunjungi Siauw-lim-si pula! Dan aku percaya, para pendeta di Siauw-lim-si
pasti tak mau percaya hawa busuk yang keluar dari bibir merah siluman itu.
Kemudian siluman itu lari memasuki goamu dan membujuk rayu dengan matanya yang
bening dan bibirnya yang merah. Dan kau... ahhh, mana bisa lain? Kau dengan
segala senang hati berkenan melaksanakan permintaannya untuk membunuhku.
Bukankah itu cocok sekali?”
Untuk sesaat
hwesio itu berdiri tercengang. Kalau mendengar omongan Bu Pun Su itu,
seakan-akan kakek sakti ini telah melihat dan menyaksikan semua! Memang dugaan
Bu Pun Su ini tepat sekali.
Setelah
berhasil memanaskan hati orang-orang Kun-lun-pai, Pek Hoa kemudian langsung
menuju ke Siauw-lim-si dan di kuil Siauw-lim-si yang besar dia hanya diterima
di ruangan depan sekali, tak diperbolehkan masuk. Di situ wanita ini mengarang
cerita, menyatakan bahwa ia telah menyaksikan dibunuhnya Bok Beng Hosiang dan
Kok Beng Hosiang oleh Bu Pun Su di Pulau Pek-le-to.
Akan tetapi,
ketika para hwesio penyambut menyampaikan hal ini kepada Hok Bin Taisu, hwesio
Ketua Siauw-lim-pai yang tidak mau menjumpai Pek Hoa ini menyatakan ketidak
percayaannya.
“Apa pun
juga yang terjadi, pinceng lebih percaya kepada Bu Pun Su dari pada kepada Pek
Hoa Pouwsat. Suruh perempuan itu cepat-cepat pergi meninggalkan Siauw-lim-si!”
kata Hek Bin Taisu.
Demikianlah,
tepat seperti dugaan Bu Pun Su, Pek Hoa lalu meninggalkan Siauw-lim-si dan
mengunjungi tempat pembuangan atau pertapaan Kong Mo Taisu.
Kong Mo
Taisu yang mendengar omongan dan ejekan Bu Pun Su, selain terheran-heran, juga
ia merasa malu sekali. Terbayang olehnya betapa Pek Hoa Pouwsat memang telah
datang ke goanya di mana ia bertapa untuk menebus dosanya terhadap
Siauw-lim-si.
Tentu saja
tadinya ia menolak keras untuk keluar dari goa dan untuk menolong wanita itu
membalas sakit hatinya terhadap Bu Pun Su. Akan tetapi Pek Hoa adalah seorang
wanita cantik jelita seperti bidadari, dan pula dalam menggoda, membujuk dan
merayu hati pria, dia sudah terlatih dan karenanya pandai sekali. Meski pun
Kong Mo Taisu telah menjadi seorang hwesio dan telah bertapa bertahun-tahun,
akan tetapi pada dasarnya ia memiliki kelemahan batin.
Digoda hebat
oleh Pek Hoa yang cantik, runtuhlah pertahanan imannya dan akhirnya ia kalah
juga. Apa lagi ketika dalam bujuk rayunya ini Pek Hoa menyinggung-nyinggung
bahwa Bu Pun Su telah membunuh dua orang anak murid Siauw-lim-pai, Kong Mo
Taisu serta-merta lalu menyetujui untuk menolong wanita cantik itu!
Demikianlah,
dan sekarang Bu Pun Su bicara demikian tepat seakan-akan orang aneh ini melihat
dengan mata sendiri. Tentu saja Kong Mo Taisu menjadi heran dan malu yang
akhirnya menimbulkan marahnya.
“Bu Pun Su,
jangan mencoba berputar lidah. Betapa pun juga, kau telah membunuh dua orang
anak murid Siauw-lim-si dan karenanya harus membayar dengan nyawa!” Setelah
berkata demikian, rantai di tangannya menyambar ke arah kepala Bu Pun Su.
Bu Pun Su
maklum bahwa hwesio ini selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga memiliki
tenaga lweekang dan ilmu I-kin-keng, karena itu serangan-serangannya tentu
berbahaya sekali. Akan tetapi di samping ini, dia pun maklum bahwa ilmu silat
dari Kong Mo Taisu adalah ilmu silat curian, karenanya tentu cara melatih diri
tidak sempurna, tidak menurut cara bagaimana mestinya atau boleh juga dibilang
secara ngawur.
Dengan
gerakan yang seenaknya Bu Pun Su dapat menghindarkan serangan rantai itu,
kemudian berkatalah Bu Pun Su,
“Kong Mo
Taisu, satu kali kau sudah melakukan pelanggaran dan penyelewengan hingga kau
dihukum oleh Siauw-lim-si. Kemudian untuk ke dua kalinya kau berbuat jahat
hingga telingamu dibuntungi oleh mendiang Seng Thian Siansu. Sekarang kau belum
bertobat bahkan sudah mau diperalat oleh Pek Hoa Pouwsat. Hwesio, kedosaanmu
sudah sangat memuncak dan kau perlu diseret ke Siauw-lim-si!”
Kata-kata
yang panjang ini diucapkan oleh Bu Pun Su sambil menghadapi serangan
bertubi-tubi yang dilakukan oleh Kong Mo Taisu. Serangan-serangan itu hebat dan
setiap sambaran rantai atau pukulan tangan dapat mengundang maut, akan tetapi
oleh Bu Pun Su hanya dilawan dengan kegesitan dan kelemasan tubuhnya saja.
Sekali saja
kakek ini menggeser kaki, memiringkan tubuh atau menundukkan kepalanya, menekuk
lutut atau menggoyang pinggang, maka semua serangan itu mengenai tempat kosong
belaka, dan hanya sejari terpisah dari anggota tubuh! Dalam penglihatan para
tokoh Kun-lun-pai, seakan-akan Bu Pun Su tidak mengelak, melainkan tubuhnya menjadi
ringan seperti kapas dan selalu terdorong oleh angin serangan sehingga semua
pukulan tidak mengenai sasaran.
“Kong Mo
Taisu, tahukah kau apa maksudnya hwesio digunduli kepalanya?” Bu Pun Su bicara
terus.
Dia cepat
menggunakan tenaga Pek-in Hoat-sut untuk mengebut pergi ujung rantai yang kali
ini menyambar cepat sekali ke arah lehernya sehingga tak mungkin dapat
dielakkan pula. Ujung rantai itu bagai terdorong oleh tenaga aneh sehingga
arahnya menyeleweng dan leher Bu Pun Su terluput dari sabetan.
“Rambut
merupakan bagian penting dalam kebagusan rupa manusia, dan sifat pesolek
terutama kelihatan dalam cara mengatur rambut. Oleh karena seorang hwesio itu
wajib membersihkan hati, maka melenyapkan sifat mempesolek diri menjauhkan
nafsu birahi didahului dengan penggundulan rambut kepala.”
Kembali Bu
Pun Su mengibaskan ujung lengan bajunya untuk menolak serangan rantai yang
hendak membabat pinggangnya, kemudian melanjutkan kata-katanya,
“Akan tetapi
kau walau pun kepalamu gundul kelimis, masih saja kau terpengaruh oleh wajah
cantik Pek Hoa Pouwsat, benar-benar amat memalukan!”
Dengan
kemarahan makin meluap, rantai di tangan Kong Mo Taisu menyambar dengan pukulan
dahsyat ke arah kepala Bu Pun Su. Hwesio ini merasa penasaran dan juga kaget
bukan main. Ia sudah mempunyai kepandaian yang tinggi dan boleh dibilang di
kalangan Siauw-lim-si, kepandaiannya telah mencapai tingkatan yang tertinggi.
Mengapa sekarang menghadapi Bu Pun Su yang bertangan kosong saja,
serangan-serangannya sampai dua puluh jurus lebih tak pernah berhasil? Apa lagi
Bu Pun Su masih ada kesempatan untuk bercakap-cakap dalam menghadapi
serangan-serangannya itu!
Sekali ini
pukulan rantai ke arah kepala amat kuatnya, dilakukan dengan mengerahkan tenaga
I-kin-keng sepenuhnya. Biar pun rantai itu masih jauh, akan tetapi Bu Pun Su
sudah merasakan sambaran angin pukulan yang benar-benar dahsyat.
“Siancai...
sayang sekali ilmu hebat terjatuh ke dalam tangan jahat...,” kata kakek sakti
ini.
Cepat dia
mengulur tangan kanannya menangkap ujung rantai yang menyambar ke arah
kepalanya. Perbuatan seperti ini kiranya hanya Bu Pun Su seorang saja yang
berani melakukannya, karena jangankan kalah besar tenaganya oleh Kong Mo Taisu,
andai kata setingkat saja, cara menangkap ujung rantai yang sedang menyambar
itu merupakan bahaya maut yang nyata!
Akan tetapi
Bu Pun Su bukan manusia dengan kepandaian biasa saja. Untuk masa itu, kiranya
tidak ada keduanya. Kakek ini adalah ahli waris tunggal dari kitab pusaka
Im-yang Bu-tek Cin-keng, kitab yang sudah diperebutkan oleh seluruh tokoh-tokoh
besar di dunia kang-ouw, ketika Bu Pun Su masih menjadi seorang anak kecil.
Dalam
menerima dan menangkap rantai lawannya ini, biar pun kelihatannya gerakannya
biasa saja, akan tetapi lengan yang digerakkan itu mengeluarkan uap putih dan
jari-jari tangannya berbentuk cakar. Ujung rantai yang berat serta menyambar
cepat itu dapat ditangkapnya dengan mudah, dan tanpa mengeluarkan suara sedikit
pun ujung baja itu sudah digenggamnya.
Di lain
saat, rantai itu berbunyi kerotokan dan menegang, gagangnya dipegang oleh Kong
Mo Taisu dan ujungnya oleh Bu Pun Su. Benar-benar sangat aneh. Meski pun rantai
itu terbuat dari baja, akan tetapi karena bersambung-sambung, tentu saja dapat
berbengkok-bengkok.
Anehnya,
ketika dua orang sakti itu memegang ujungnya, mereka saling mendorong dan
rantai itu menegang seperti sebuah tongkat baja saja! Inilah saluran tenaga
lweekang tinggi yang membuat rantai itu menegang. Jangankan rantai, biar pun yang
dipegang itu sehelai sabuk sutera, dapat juga menjadi kaku dan keras melebihi
baja.
Pertempuran
ini benar-benar menegangkan. Semua pendeta Kun-lun-pai yang berada di situ
mengerti belaka apa artinya pertandingan ini. Pertempuran yang dilakukan oleh
kaki tangan, bahkan dengan senjata sekali pun, masih belum begitu menegangkan
laksana pertempuran adu tenaga dalam seperti yang dilakukan oleh Kong Mo Taisu
dan Bu Pun Su pada saat itu. Semua ahli silat tinggi maklum belaka bahwa dalam
adu tenaga dalam, kalah menang hanya diputuskan oleh kematian seorang di
antaranya!
Akan tetapi
bagi Bu Pun Su tidak demikian. Kakek sakti ini telah memiliki tingkat yang tak
dapat diukur lagi tingginya, maka mengandalkan kepandaiannya ia bisa
menundukkan Kong Mo Taisu tanpa membahayakan nyawa lawannya itu.
“Kong Mo
Taisu, insyaflah kau akan kesesatanmu dan kalau kau mau berjanji kelak tidak
akan melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagai seorang pendeta, aku akan
lupakan hinaan-hinaan tadi. Kau boleh ambil kembali rantaimu!” Sambil berkata
demikian, Bu Pun Su sengaja mengendurkan pegangannya pada ujung rantai, seolah
memberi kesempatan kepada Kong Mo Taisu untuk menarik kembali rantainya.
Kalau saja
Kong Mo Taisu bukan seorang sombong dan mempunyai dasar yang buruk, tentu ia tahu
bahwa kepandaiannya masih kalah jauh oleh Bu Pun Su. Dalam pergulatan mengadu
tenaga dalam ini saja, dia sendiri telah mengerahkan seluruh tenaga I-kin-keng
yang ada padanya. Akan tetapi sebaliknya Bu Pun Su masih dapat berkata-kata
dengan suara seenaknya saja, tanda bahwa di pihak Bu Pun Su, tenaga yang
dikerahkan paling banyak hanya setengahnya.
Akan tetapi
Kong Mo Taisu ternyata tidak mau menerima usul Bu Pun Su ini. Ia maklum bahwa
dengan menarik kembali rantainya, sama halnya dengan mengaku kalah dan hal ini
akan menjatuhkan namanya.
Maka,
melihat Bu Pun Su mengurangi tenaganya, ia hendak mengambil keuntungan dari
kesempatan baik ini dan tiba-tiba sambil berseru keras dia mendorong dengan
segenap tenaga yang ada dalam dirinya.
Semua tosu
Kun-lun-pai melihat ini dan mengerti bahaya besar mengancam diri Bu Pun Su.
“Curang...!”
Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai berseru marah melihat kelicikan Kong Mo
Taisu ini. Akan tetapi karena dia maklum bahwa tenaganya jauh kurang kuat untuk
dapat menolong Bu Pun Su, kakek Kun-lun-pai ini hanya mencekal tongkatnya
erat-erat, siap untuk menyerbu Kong Mo Taisu.
Akan tetapi
kekhawatirannya ini sebetulnya tidak perlu. Bu Pun Su adalah seorang yang
cerdik dan waspada. Dia tadi mengurangi tenaganya bukan sekali-kali karena
bodoh dan lengah, melainkan hendak memberi kesempatan kepada lawannya
kalau-kalau lawan itu sadar dan mau merubah wataknya.
Diam-diam
dia telah menyediakan tenaga pada pundaknya. Kini melihat betapa Kong Mo Taisu
secara nekat mendorong dengan seluruh tenaga, Bu Pun Su segera menyalurkan
tenaganya, dari kedua pundak tangan menyambut datangnya tenaga dorongan lawan.
Akibat pertemuan
dua tenaga raksasa ini hebat sekali.
“Krek…
krek…krek…!” terdengar suara dan satu demi satu mata rantai itu hancur!
Akhirnya
Kong Mo Taisu mengeluarkan pekik mengerikan pada saat mata rantai terakhir di
dekat telapak tangannya hancur dan tubuhnya seperti didorong ke belakang. Dia
jatuh terduduk, wajahnya pucat sekali, kedua lengannya tergantung lemas di
dekat tubuhnya, kedua matanya meram.
“Siancai...
siancai... Kong Mo Taisu, kau melenyapkan ilmumu sendiri.” kata Bu Pun Su
menarik napas panjang.
Keng Thian
Siansu yang melihat ini pun menyebut nama Thian dan menggeleng-geleng
kepalanya. Walau pun sepak terjang Kong Mo Taisu sangat jahat dan tidak tahu
diri, akan tetapi sekarang melihat hwesio itu telah kehilangan seluruh tenaga
lweekang-nya, bahkan menderita luka-luka pada pundak dan lengan yang berarti
bahwa selamanya dia tak akan dapat menjadi seorang ahli silat lagi, Ketua
Kun-lun-pai ini menaruh hati kasihan.
Bu Pun Su
lalu melanjutkan perundingannya dengan Keng Thian Siansu. Kedua orang kakek ini
akhirnya mencapai persetujuan. Kun-lun-pai menyanggupi permintaan Bu Pun Su
untuk melakukan pengawasan serta penjagaan di tapal batas barat untuk mencegah
musuh-musuh negara menyerbu dari barat dan memasuki wilayah Tiongkok.
Sebaliknya Bu Pun Su juga menyanggupi untuk menangkap dan membawa Pek Hoa
Pouwsat ke kuil Kun-lun-pai untuk menerima hukuman.
Setelah
perundingan beres, Bu Pun Su berpamit dan turun gunung sambil membawa Kong Mo
Taisu. Ia pergi ke Siauw-lim-si, menyerahkan Kong Mo Taisu kepada Hok Bin Taisu
Ketua Siauw-lin-pai dan menjelaskan semua persoalan, sampai-sampai mengenai
kematian dua orang anak murid Siauw-lim-pai oleh Pek Hoa Pouwsat.
Hok Bin
Taisu sudah maklum siapa adanya Bu Pun Su, maka hwesio tua ini percaya penuh.
Dengan ramah-tamah pihak Siauw-lim-pai menyanggupi permintaan dari Bu Pun Su
untuk membantu menggalang persatuan di antara orang-orang gagah demi menolong
rakyat jelata yang terancam bahaya perang. Kemudian Kong Mo Taisu mereka
masukkan ke kamar hukuman di dalam kuil. Bu Pun Su tidak lama tinggal di kuil
Siauw-lim-si dan segera berpamit pergi, diantar sampai di luar pintu oleh Ketua
Siauw-lim-pai sendiri, hal yang jarang terjadi.
Demikianlah
pengalaman-pengalaman Bu Pun Su dituturkan dengan singkat. Kakek sakti ini lalu
melakukan perjalanan untuk memenuhi janjinya kepada Keng Thian Siansu Ketua
Kun-lun-pai, yakni mencari dan kemudian menyeret Pek Hoa Pouwsat ke puncak
Kun-lun untuk diadili oleh pihak Kun-lun-pai.
Akan tetapi,
di dalam perjalanannya ini, akhirnya Bu Pun Su mendengar berita bahwa Pek Hoa
Pouwsat sudah tewas ketika menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok dari tengah kaum
pemberontak. Bu Pun Su menarik napas panjang dan ia terheran-heran.
Bagaimana
siluman wanita itu mau menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok yang ia tahu sedang
mengantar utusan Kaisar yang bernama Gan Tiauw Ki? Benar-benar aneh sekali.
Karena ingin mendengar sendiri dari Im Giok, ia segera menuju ke Sian-koan, di
samping hendak menanyakan mengenai Pek Hoa Pouwsat kepada Ang I Niocu, dia juga
hendak bertanya kepada Kiang Liat tentang tugas yang diserahkan kepada pendekar
itu.
Akan tetapi,
alangkah terkejut dan tertusuk perasaan Bu Pun Su ketika tiba di Sian-koan dia
mendengar tentang peristiwa hebat yang terjadi dalam keluarga Kiang. Kemudian
dia mencari makam Kiang Liat dan di tanah kuburan itu ia melihat Ang I Niocu
Kiang Im Giok yang duduk melamun seperti patung.
Sebagaimana
telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu yang kaget mendengar suara
teguran Bu Pun Su, lalu segera menjatuhkan diri berlutut sambil menangis
tersedu-sedu dan mencurahkan seluruh kesedihan hatinya.
“Susiok-couw...
teecu seorang yang put-hauw (tak berbakti), teecu seorang jahat yang
mengakibatkan matinya Twako Gan Tiauw Ki, teecu pula yang... membunuh Ayah...“
Dia terisak-isak sampai suaranya tak dapat terdesak lagi.
Bu Pun Su
mengejap-ngejapkan matanya karena terharu dan ikut berduka. Sebelum dia
menjumpai Im Giok, lebih dahulu kakek ini telah mencari keterangan mengenai
terjadinya peristiwa itu, maka tahulah ia apa yang sesungguhnya telah menimpa
keluarga gadis ini.
“Susiok-couw...
harap Susiok-couw turun tangan menghukum teecu... sirnakan saja teecu dari muka
bumi ini… teecu sudah tidak kuat menanggung dosa...,” gadis ini melanjutkan
kata-katanya yang dicampur dengan tangis.
“Kiang Im
Giok, omongan apakah yang kau keluarkan itu? Bukan demikian sikap seorang yang
menjunjung tinggi kegagahan! Bangunkan semangatmu dan usir semua kelemahan yang
menyelubungi kegagahanmu seperti mendung menutupi matahari. Angkatlah muka dan
dada, arahkan pandangan ke depan. Apa semua kedukaan dan keharuan ini? Bukan engkau
saja yang hidup sebatang kara di muka bumi ini. Mengerti?”
Kata-kata Bu
Pun Su benar-benar mengandung sesuatu yang gaib, yang membantu Ang I Niocu
menemukan kembali dirinya, mengangkatnya dari jurang kedukaan dan lamunan,
membuat dirinya sadar kembali. Diangkatnya mukanya yang pucat sekali dan
rambutnya yang awut-awutan itu sebagian menutupi mukanya, akan tetapi yang
masih luar biasa cantiknya itu, dan ia memandang kepada guru besar di
hadapannya dengan mata penuh harap dan tanya.
Melihat
gadis ini diam-diam Bu Pun Su merasa sangat kasihan. Dia harus akui bahwa
selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang gadis yang secantik ini, akan
tetapi yang mempunyai nasib seburuk ini.
“Im Giok,
seperti kukatakan tadi, di dunia ini bukan hanya engkau yang sebatang kara
hidupnya. Aku sendiri semenjak kanak-kanak sudah menjadi seorang yatim piatu
dan apa bila dibandingkan dengan aku, nasibmu ini tidaklah terlalu buruk. Aku
tahu bahwa kau kehilangan ayahmu dan juga bahwa kau berduka karena kematian Gan
Tiauw Ki. Akan tetapi, kita manusia ini dapat berdaya apakah terhadap ketentuan
mati dan hidup? Setiap pertemuan pasti akan diakhiri dengan perpisahan,
demikian pula setiap perpisahan pasti akan mendatangkan pertemuan lain.”
Im Giok yang
mendengarkan ucapan Bu Pun Su dengan perhatian sepenuhnya karena ia sudah sadar
kembali, lalu menjawab,
“Teecu
mengerti, Susiok-couw. Hanya yang menghancurkan perasaan teecu adalah cara
meninggalnya dua orang yang telah merebut kasih sayang teecu di semua orang di
dunia ini. Twako Gan Tiauw Ki jauh-jauh datang hendak mengajukan pinangan untuk
diri teecu kepada Ayah, akan tetapi siapa sangka, dia tewas dibunuh oleh Ayah.
Kemudian Ayah... Ayah meninggal dunia dalam keadaan... sebagai... sebagai musuh
teecu...” Mata yang sudah dikuras air matanya itu kembali menjadi basah.
“Semua itu
hanya dijadikan lantaran saja, Im Giok. Tentu saja kematian menjadi tidak
sewajarnya kalau terjadi tanpa sebab. Dan sebab-sebab ini sudah ada yang
mengaturnya lebih dulu, kau tidak perlu penasaran. Ada pun semua sebab-sebab
yang mengakibatkan akibat-akibat yang terjadi di dunia ini, merupakan cermin,
merupakan contoh bagi yang masih hidup. Kita harus dapat melihat, menangkap
intisari semua sebab dan akibat, lalu mempelajari pertalian-pertaliannya sehingga
mata kita akan terbuka dan dapat mengatur langkah dalam hidup agar tidak sampai
menyeleweng. Semenjak kecil kau dilatih tentang kegagahan, maka kau juga harus
memiliki kegagahan lahir batin, berlaku tenang dalam menghadapi semua kejadian,
tetap teguh dan kokoh kuat batinnya, inilah sikap seorang gagah. Terseret ke
dalam lembah duka dan berlarut-larut menyiksa diri sendiri lahir batin, ini
bukanlah sikap seorang gagah, melainkan kelemahan seorang bodoh! Tugas hidupmu
masih cukup banyak di dunia ini, kenapa mesti terbenam dalam lamunan dan duka
untuk hal-hal yang sudah lenyap, sebaliknya membiarkan saja tugas-tugas suci
yang berada di depan mata? Beginikah sikap seorang pendekar?”
Kata-kata
ini membangkitkan semangat Ang I Niocu. Dia memberi hormat sambil berlutut lalu
berkata,
“Susiok-couw,
maafkan kelemahan teecu. Apakah yang teecu selanjutnya harus lakukan? Teecu
mohon petunjuk karena hanya Susiok-couw yang menjadi harapan teecu untuk
memberi petunjuk.”
“Banyak
sekali yang bisa kau lakukan, Im Giok. Kepandaianmu sudah cukup dan kiranya
pedangmu itu akan melakukan banyak perbuatan baik, menolong sesama manusia yang
tertindas, mengulurkan tangan untuk menarik sesama hidup keluar dari jurang
kehinaan dan penindasan, membasmi orang-orang jahat yang banyak berkeliaran di
dunia ini.”
“Teecu mohon
diberi tugas tertentu agar teecu dapat mencurahkan perhatian seluruhnya
terhadap tugas itu, Susiok-couw.”
Bu Pun Su
mengerti akan kehendak gadis itu. Memang, melakukan sebuah tugas yang penting,
tugas yang sukar, merupakan hiburan yang menarik dan dapat melupakan orang dari
kedukaannya, mendatangkan perasaan bahwa dirinya masih penting dan dibutuhkan
oleh orang banyak.
“Baiklah, Im
Giok. Aku pun tengah membutuhkan bantuanmu, karena itu kebetulan sekali kalau
kau menyediakan tenagamu. Tugas ini bukan ringan dan di samping membutuhkan
kepandaian lahir, juga perlu sekali dengan sikap yang tepat dan bijaksana.
Ketahuilah bahwa pada waktu sekarang, pada saat kita semua harus menggalang
persatuan, terjadi suatu hal yang amat mengecewakan. Aku mendengar bahwa antara
Bu-tong-pai dengan Kim-san-pai terjadi bentrokan dan pertentangan. Bu-tong-pai
adalah sebuah partai besar dan berpengaruh dan Lo Beng Hosiang ketua
Bu-tong-pai merupakan seorang berwatak gagah dan menjunjung tinggi keadilan.
Sebaliknya, Kim-san-pai kabarnya juga dipimpin oleh orang-orang pandai dan
terkenal pula sebagai orang-orang gagah yang mempunyai welas asih karena mereka
itu adalah pemuja Kwan Im Pouwsat, Dewi Welas Asih. Aku sendiri masih sangat
sibuk mempersiapkan pertemuan besar antara para pemimpin dan tokoh-tokoh
kang-ouw, maka kau wakili aku dan pergilah ke Kim-san. Coba kau selidiki
mengenai pertentangan antara Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai itu dan sedapat
mungkin usahakanlah supaya kedua partai itu dapat menyelesaikan urusan mereka
dengan jalan damai.”
Im Giok
merasa terhibur mendengar perintah ini dan menyatakan kesanggupannya.
“Teecu akan
segera berangkat memenuhi perintah Susiok-couw,“ katanya.
Kemudian
dengan hati lega ia bersembahyang untuk berpamit di depan makam ayahnya, juga
di depan kuburan Gan Tiauw Ki. Ia merasa heran dan juga girang bahwa kini tidak
ada lagi kedukaan hebat yang membikin gelap hati serta pikirannya, setelah dia
bertemu dan bercakap-cakap dengan Susiok-couw-nya.
“Di mana
adanya suci-mu?” tiba-tiba saja Bu Pun Su bertanya sesudah Im Giok selesai
bersembahyang.
“Kalau tidak
pergi, tentu dia ada di rumah,” jawab Im Giok yang selama ini seakan-akan sudah
lupa akan suci-nya itu.
“Hemm, aku
ingin bertemu dengan dia.”
Maka
pergilah kakek dan gadis itu menuju ke rumah Im Giok di kota Sian-koan, rumah
besar yang kini hanya ditinggali oleh dua orang gadis, Im Giok dan Kim Lian,
dibantu oleh beberapa orang pelayan.
Setelah tiba
di rumah, ternyata Kim Lian tidak berada di situ. Menurut para pelayan, gadis
itu sudah pergi sejak dua hari yang lalu, entah pergi ke mana karena tidak
memberi tahu kepada siapa pun juga. Ketika Im Giok memasuki kamar, ia mendapat
kenyataan bahwa suci-nya itu sudah membawa semua pakaian dan perhiasan, tanda
bahwa suci-nya itu pergi jauh dan mungkin sekali tidak akan kembali. Ia menarik
napas panjang dan segera keluar lagi dan menceritakan hal ini kepada Bu Pun Su.
“Im Giok, di
samping tugasmu ke Kim-san-pai, selanjutnya kau bertugas mengamat-amati
suci-mu. Jangan sampai kelak dia melakukan kejahatan-kejahatan dan
penyelewengan-penyelewengan yang akan mencemarkan nama baik kita. Betapa pun
juga, dia adalah murid mendiang ayahmu dan karena dia mempelajari ilmu silat
yang bersumber dari aku dan sute Han Le, berarti bahwa dia itu pun adalah anak
muridku. Ini berarti bahwa aku bertanggung jawab pula atas seluruh sepak
terjangnya dan karenanya aku sendiri yang akan menghukumnya kalau ia
mempergunakan ilmu kita untuk perbuatan jahat.”
Setelah
banyak memberi nasehat yang merupakan hiburan dan pembangkitan semangat bagi
gadis itu, Bu Pun Su lalu meninggalkan Sian-koan. Sesudah kakek ini pergi, Ang
I Niocu kemudian menjual rumah dan seluruh perabot rumah, membagikan sebagian
uang pendapatannya kepada para pelayan, kemudian pergilah ia melakukan
perjalanannya ke Kim-san.
Im Giok
memang tidak ingin kembali pula ke Sian-koan, tempat yang dianggapnya hanya
mendatangkan kedukaan belaka, maka dia menjual rumah dan semua isinya. Sekarang
yang menjadi cita-citanya hanya merantau, merantau sejauh mungkin, menjelajahi
dunia yang masih asing baginya, di samping hendak memperluas pengetahuannya,
juga untuk melakukan tugas sebagai seorang pendekar pembela rakyat tertindas.
Kalau
semenjak ayahnya meninggal sampai bertemu dengan Bu Pun Su, Kiang Im Giok
selalu mengenakan pakaian putih yang sederhana sekali, sekarang dalam
perjalanannya, dia kembali mengenakan pakaiannya yang dahulu, yakni serba
merah! Kecantikan dan kesegarannya yang dahulu sudah pulih kembali dan setiap
orang yang melihat gadis baju merah ini lewat, pasti akan menengok dan
memandang penuh kekaguman.
Ang I Niocu
memang seorang gadis jelita yang jarang ada keduanya. Mukanya bulat telur
dengan dagu meruncing manis dan pipi yang selalu kemerah-merahan tanpa cat,
merah sewajarnya yang membayang di balik kulit yang halus. Rambutnya digelung
model puteri istana dengan jambul tinggi di tengah atas dan sisa rambut yang
panjang itu dibiarkan menggantung di belakang leher.
Untuk
mengikat gelung rambutnya, dipasang hiasan-hiasan rambut yang indah, yang dulu
selalu dibelikan ayahnya yang sangat memanjakannya. Hiasan ini membuat
rambutnya yang hitam mulus itu nampak indah karena batu-batu kemala penghias
rambut nampak lebih cemerlang dengan dasar rambut hitam itu.
Sepasang
telinganya yang bagian atas tertutup rambut, digantungi anting-anting panjang
yang terbuat dari emas bermata kemala. Anting-anting ini selalu bergerak-gerak,
seperti bermain-main di antara leher dan dagu yang halus, amat manisnya
dipandang mata.
Wajahnya
merupakan sesuatu yang selalu menarik pandang mata orang, penuh dengan
kemanisan dan keindahan yang tak membosankan. Alis matanya hitam kecil
memanjang, bentuknya membayangkan kegagahan, demikian pula sepasang mata yang
cemerlang itu.
Sekarang
mata ini sedikit berbeda dengan dahulu. Apa bila dahulu selalu membayangkan
kejenakaan, kegembiraan, dan juga kegagahan, sekarang di situ terbayang sesuatu
yang menjadi cermin kematangan jiwa, sifat yang hanya dimiliki oleh orang yang
sudah pernah mengalami kesengsaraan batin yang hebat.
Mungkin dulu
orang masih berani memandang rendah kepadanya melihat sinar matanya bagai sinar
mata kanak-kanak nakal. Akan tetapi sekarang, lebih dulu orang akan berpikir
masak-masak sebelum berbuat sesuatu terhadap dirinya kalau sudah bertemu
pandang dengan Ang I Niocu.
Di dalam
sorot mata ini tersembunyi sesuatu yang sangat dahsyat, sesuatu yang berupa
ancaman dan yang akan membuat orang menundukkan muka dengan hati ngeri karena
bagi yang tajam pandang matanya, tentu akan bisa menangkap kekerasan hati yang
luar biasa dari sinar mata Ang I Niocu.
Akan tetapi
kekerasan ini tersembunyi di balik kejelitaan yang ditimbulkan oleh hidungnya
yang kecil mancung, oleh sepasang bibirnya yang kecil penuh dan selalu merah,
di mana kadang kala waktu sedikit terbuka nampak berkilauan gigi putih yang
selalu bersembunyi. Demikian manisnya bentuk mulut Ang I Niocu sehingga
sukarlah ditentukan mana yang lebih indah, matanya ataukah mulutnya.
Baju dalamnya
berwarna biru, yang hanya nampak pada bagian leher serta lengan baju. Kemudian
bajunya terbuat dari sutera halus berwarna merah muda, amat lemas sehingga
membayangkan bentuk tubuhnya yang amat molek. Kemudian pakaian luarnya berwarna
merah darah seluruhnya dan pada pinggangnya yang ramping sekali itu diikatkan
sabuk berwarna biru terhias benang emas.
Ikat
pinggang inilah yang membuat pakaiannya melengket pada tubuhnya dan membuat
bentuk tubuhnya nampak nyata, mempesonakan tiap orang yang melihatnya. Akan
tetapi, betapa pun menariknya gadis jelita ini, tidak ada orang yang berani
sembarangan berlaku kurang ajar oleh karena selain bersikap agung, Ang I Niocu
juga selalu membawa pedang yang gagangnya kelihatan, tersembul dari balik
pundaknya.
Ang Niocu menjual
semua barang-barangnya, kecuali Pek-hong-ma, yaitu kuda bulu putih
kesayangannya. Dalam menempuh perjalanan menuju ke Kim-san, ia pun menunggang
Pek-hong-ma. Setelah kini meninggalkan Sian-koan, timbul kegembiraan hati Ang I
Niocu dan dibalapkannya kudanya.
Kuda
Pek-hong-ma memang seekor kuda pilihan yang dahulu dibeli ayahnya dari selatan
dengan harga mahal sekali. Kuda ini selain mempunyai kaki yang ringan dan
cepat, juga tubuhnya penuh otot-otot yang kuat dan napasnya panjang.
Ketika
dahulu Ang I Niocu masih suka bepergian dengan Kim Lian, pernah suci-nya ini
yang agaknya mengenal semua orang di Sian-koan, mengumpulkan semua pemilik kuda
yang baik-baik di kota itu dan mengajak mereka berpacu kuda! Ternyata tidak ada
seekor pun kuda yang dapat menandingi Pek-hong-ma. Hal ini membuat Ang I Niocu
semakin sayang kepada Pek-hong-ma.
Pada suatu
hari, ketika dia sampai di sebuah dusun, dia mendengar suara orang wanita
menangis dan suara laki-laki memaki-maki. Ang I Niocu cepat melompat turun dari
kuda kemudian berlari menuju ke arah suara itu. Kuda Pek-hong-ma adalah kuda
yang sudah jinak dan mengerti, karena itu dia berani meninggalkannya begitu
saja tanpa mengikatkan kendalinya pada pohon.
Ternyata
bahwa yang ribut-ribut itu adalah sepasang suami isteri yang masih muda. Si
isteri menangis tersedu-sedu di depan pintu, dan si suami berdiri tegak di
ambang pintu, menghadang dan agaknya mencegah isterinya masuk.
“Perempuan
tak tahu malu! Aku sudah mengusirmu pergi dan kau masih ada muka untuk
merengek-rengek? Benar-benar anjing yang tak mengenal malu!” laki-laki itu
memaki dan kakinya menendang sehingga perempuan itu roboh terguling.
Akan tetapi
perempuan itu merangkak kembali. Di antara tangisnya terdengar ia berkata,
“Suamiku,
kenapa kau begini kejam? Setelah kau terpikat oleh perempuan lain, mengapa kau
mengusirku? Suamiku, tidak ingatkah kau betapa dahulu kau membujuk rayu ketika
hendak meminang aku? Kau menikah lagi, aku pun tidak keberatan, dan aku mau
hidup sebagai bujang di rumahmu, asal kau jangan mengusirku. Aku sudah menjadi
isterimu, kalau kau mengusirku... di mana aku harus menempatkan mukaku?”
“Cukup!
Tutup mulutmu dan pergilah, aku bukan suamimu lagi! Pergi dan ikut saja orang
lain, aku tidak sudi melihat macammu lagi!”
Perempuan
itu terisak-isak dan sambil berlutut ia berkata, “Suamiku, mengapa kau begitu
keji...?”
“Siapa keji?
Kaulah yang mendatangkan sial? Kau perempuan yang tidak menyambung keturunanku,
kau mendatangkan cemar pada keluargaku. Pergilah!” Kembali laki-laki itu
menendang, dan kali ini agak keras sehingga perempuan itu terguling-guling
kemudian mengaduh-aduh.
Timbul
penasaran dan marahnya. Kini dengan muka meringis menahan sakit perempuan itu
merangkak dan berdiri, matanya berapi-api.
“Laki-laki
berhati iblis, kau berlaku sewenang-wenang kepadaku. Memang aku seorang lemah,
akan tetapi Thian Maha Adil dan Maha Kuasa, manusia iblis macam engkau pasti
akan dikutuk oleh Thian...!”
”Jangan
banyak cerewet...”
Kata-kata si
suami ini terhenti dan dia berdiri melongo ketika tiba-tiba dia melihat seorang
gadis baju merah yang cantik luar biasa bagaikan bidadari, tahu-tahu sudah
berdiri di depannya dengan alis terangkat dan mata berapi. Selama hidupnya,
laki-laki itu belum pernah melihat seorang wanita secantik ini, dan melihat
munculnya yang tiba-tiba itu, dia akan percaya kalau ada yang bilang bahwa Si
Baju Merah ini adalah seorang bidadari yang baru turun dari kahyangan!
Gadis itu
adalah Ang I Niocu yang kini menoleh kepada perempuan yang tersiksa tadi.
“Toaci yang
baik, bajingan ini telah berbuat apakah?”
Perempuan
itu pun kaget melihat munculnya Ang I Niocu secara tiba-tiba itu, dan sebagai
seorang dusun dia pun percaya akan tahyul dan menyangka bahwa Ang I Niocu
tentulah sebangsa dewi! Maka ia segera berkata dengan suara ketakutan,
“Ampunkan
hamba... dia itu adalah suami hamba. Sekarang dia hendak menikah dengan gadis
lain dan gadis itu mengajukan permintaan supaya hamba lebih dulu dicerai. Suami
hamba mempergunakan alasan bahwa karena hamba belum juga mempunyai keturunan
setelah menikah lima tahun, sekarang hendak mengusir hamba...”
Semenjak
tadi pun Ang I Niocu sudah dapat menduga apa yang menyebabkan perlakuan suami
yang kejam itu terhadap isterinya. Ia sudah marah sekali dan ingin ia turun
tangan membunuh suami yang berlaku sewenang-wenang terhadap isterinya. Akan
tetapi Ang I Niocu bukanlah seorang gadis yang berpikiran pendek.
Ia tahu
bahwa kalau ia melakukan hal ini, bukan berarti ia memberi pengobatan kepada
penyakit itu, karena kalau suaminya meninggal, bagaimana kelak nasib isterinya?
Jalan terbaik adalah mengakurkan kembali suami isteri ini dan mencegah si suami
menikah kembali dan menyia-nyiakan isteri pertama. Akan tetapi bagaimana
jalannya?
“Toaci,
apakah kau masih suka menjadi isterinya?”
“Hamba
memang isterinya yang sah, bagaimana tidak suka?” perempuan itu bertanya heran.
“Walau pun
andai kata dia menjadi buruk rupa atau... sepasang telinganya hilang sekali
pun?”
“Apa pun
juga yang terjadi dengan dia, dia tetap suamiku dan hamba tetap akan menjadi
isterinya...,” jawab isteri yang setia ini.
Ang I Niocu
menoleh kepada laki-laki itu dengan mata marah
“Jahanam berhati
binatang! Isterimu begini setia, begini mulia hatinya dan kau hendak
mengusirnya? Jahanam busuk, kau mengandalkan apamukah? Orang macam engkau ini
harus diberi hajaran. Rasakan ini!”
Tiba-tiba
laki-laki yang sejak tadi masih bengong itu melihat sinat berkelebat
menyilaukan mata. Terpaksa ia menutup matanya dan tiba-tiba ia berteriak keras
ketika merasa sakit sekali pada bagian kanan kiri kepalanya. Ketika kedua
tangannya diangkat dan meraba pada bagian yang sakit, ternyata bahwa dua buah
daun telinganya telah lenyap! Darah mengucur deras dan laki-laki ini sekarang
memandang ke bawah, melihat dua buah daun telinganya telah menggeletak di atas
tanah.
“Lihat
baik-baik daun telingamu!” kata Ang I Niocu sambil menyimpan pedangnya. “Lain
kali kalau kau masih hendak menyia-nyiakan isterimu, aku datang mengambil
kepalamu!”
Sementara
itu, isteri yang melihat suaminya kehilangan dua daun telinganya, menjerit dan
menubruk maju. Cepat ia memeluk suaminya yang hendak roboh pingsan dan di lain
saat perempuan itu telah menangisi suaminya yang pingsan dengan kepala
tergeletak di atas pangkuannya......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment