Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dara Baju Merah
Jilid 12
LIMA PULUH
jurus telah lewat dan belum juga Tek Sin Tojin dapat mendesak sute-nya, apa
lagi mengalahkannya! Tiba-tiba saja tosu itu merubah gerakannya dan kagetlah
Liem Sun Hauw. Biar pun ia sudah menerima latihan ilmu-ilmu silat Go-bi-pai,
tapi baru kali ini ia melihat ilmu silat yang sekarang dimainkan oleh Tek Sin
Tojin. Ilmu silat ini hebat sekali. Gerakannya seperti seorang kakek tua
memberi pelajaran menulis dengan telunjuknya. Sebentar saja Liem Sun Hauw
terdesak.
Akan tetapi
pemuda ini mengeluarkan seruan keras dan ia pun merubah gerakannya. Kini Twi Mo
Siansu sendiri sampai mengeluarkan seruan kaget ketika melihat ilmu silat yang
cepat sekali gerakannya akan tetapi sama sekali bukan ilmu silat dari
Go-bi-pai! Tadinya ia sudah hendak menegur murid kepala karena mengeluarkan
ilmu silat ‘simpanan’. Ilmu silat yang sekarang dimainkan oleh Tek Sin Tojin
adalah ilmu silat Go-bi-pai yang khusus diajarkan kepada murid kepala yang
kelak dicalonkan menjadi ketua apa bila ketua yang sekarang meninggal dunia, maka
tidak boleh sembarangan dikeluarkan.
Bahkan Thian
Mo Siansu sendiri pun tidak pernah diberi pelajaran ilmu silat ini, maka tentu
saja Liem Sun Hauw tidak mengenalnya. Akan tetapi Twi Mo Siansu yang merasa
senang melihat kegagahan Sun Hauw, tadinya ingin sekali tahu sampai berapa lama
Sun Hauw dapat mempertahankan diri. Alangkah kagetnya pada waktu ia melihat
pemuda itu mengeluarkan ilmu silat yang luar biasa dan yang agaknya dapat
menandingi ilmu silat simpanan Go-bi-pai itu!
“Tahan! Tek
Sin dan Sun Hauw, cukuplah ujian ini!” seru Twi Mo Siansu. Dia khawatir
kalau-kalau sampai terjadi korban dan dia merasa malu kalau sampai akhirnya Tek
Sin Tojin kalah, apa lagi di sana terdapat seorang tamu.
“Tek Sin,
bagaimana pendapatmu? Sudah puaskah kau?”
Tek Sin
Tojin adalah seorang jujur. Dia cepat berlutut di depan suhu-nya dan berkata,
“Dalam hal ilmu silat Go-bi-pai, Liem-sute sudah memperlihatkan bahwa dia
benar-benar anak murid Go-bi-pai dan tidak kalah oleh teecu sendiri. Bahkan
agaknya Liem-sute telah mempelajari ilmu silat-ilmu silat lain yang lebih
hebat!” Kata-kata ini mengandung sindiran bahwa sebagai murid Go-bi-pai, tidak
selayaknya Sun Hauw menjadi murid partai lain tanpa seijin Ketua Go-bi-pai.
“Liem Sun
Hauw, apakah kau juga menjadi murid dari partai lain?” tanya Twi Mo Siansu
dengan suara kereng.
Sun Hauw
berlutut, “Teecu hanya menjadi murid Suhu Twi Mo Siansu saja, tidak menjadi
murid partai lain.”
“Sute,
jangan kau berbohong! Kalau menjadi murid partai lain, lebih baik mengaku saja,
mungkin Suhu masih dapat mempertimbangkan!” tegur Tek Sin Tojin.
“Mana
siauwte berani membohong di depan Susiok, Suheng?”
“Ilmu
silatmu dalam jurus-jurus terakhir bukanlah ilmu silat Go-bi-pai! Apakah kau
hendak menyangkal?”
“Memang
bukan ilmu silat Go-bi-pai, akan tetapi siauwte menerima pelajaran ilmu silat
itu dari Suhu pula, dan Suhu katanya menerima ilmu silat itu dari seorang tokoh
yang sakti bernama Hok Peng Taisu di Hong-lun-san.”
Twi Mo
Siansu terkejut mendengar nama ini. Nama itu adalah nama seorang di antara
tokoh-tokoh terkemuka yang dianggap sebagai tokoh-tokoh sakti di samping Bu Pun
Su dan Han Le.
“Sun Hauw,
mengapa kau tadi mengeluarkan ilmu silat itu? Apakah kau sengaja hendak
memamerkannya dan menganggap bahwa ilmu silat itu lebih unggul dari pada ilmu
silat Go-bi-pai?”
“Tidak
sekali-kali teecu berani beranggapan demikian, Susiok. Tadi tiba-tiba saja
teecu menghadapi serangan jurus-jurus ilmu silat yang sama sekali belum teecu
kenal, yang amat hebat dan membingungkan teecu. Karena merasa bahwa tidak ada
jurus ilmu silat Go-bi-pai yang teecu kenal bisa menghadapi serangan Suheng
itu, maka terpaksa teecu mengeluarkan ilmu silat lain itu... harap Susiok sudi
memaafkan.”
Twi Mo
Siansu menarik napas panjang. “Sudahlah. Di dunia ini memang banyak sekali ilmu
silat tinggi, mana bisa Go-bi-pai berani mengangkat dada mengagulkan kepandaian
sendiri? Hanya pesanku, Sun Hauw, apa bila kau mengeluarkan ilmu silat yang
tadi, kau sekali-kali tak boleh mengaku sebagai anak murid Gobi-pai! Pantangan
besar bagi murid Go-bi-pai untuk mengandalkan penjagaan diri bukan dengan ilmu
silat Go-bi-pai.”
”Teecu
mentaati perintah Susiok,” kata Sun Hauw.
Twi Mo
Siansu berpaling kepada Kiang Liat. “Sicu, sampaikan kepada sahabat baik Bu Pun
Su bahwa permintaannya sudah kuterima dan kusetujui. Mengenai penjagaan di
bagian utara, aku berianji akan mengerahkan anak murid Go-bi-pai. Dan tentang
usaha mempersatukan sahabat-sahabat segolongan, kau lihat murid Liem Sun Hauw
mewakili aku dan dia akan berusaha untuk mendamaikan urusan antara Kim-san-pai
dan partai Bu-tong-pai.”
“Terima
kasih, Locianpwe. Sesudah melihat sikap saudara muda Liem ini, saya merasa
kagum dan tertarik. Karena perjalanan menuju ke Bu-tong-san sejalan dengan
perjalanan saya, maka ingin sekali saya menemani Saudara Liem di perjalanan,”
kata Kiang Liat.
Setelah
membuat persiapan dan minta diri dari Twi Mo Siansu, maka berangkatlah Kiang
Liat dan Liem Sun Hauw turun gunung.
***************
MEREKA
merupakan dua orang jantan yang sama-sama gagah perkasa, hampir seimbang kokoh
kekar bentuk badannya, sama-sama tampan dan gagah, hanya bedanya, Kiang Liat
sudah setengah tua, rambutnya sebagian sudah putih dan mukanya telah berjenggot
dan berkumis, sedangkan Liem Sun Hauw masih muda, mukanya masih halus.
Kiang Liat
sengaja mengerahkan ilmu lari cepat dan Liem Sun Hauw yang muda tahu bahwa
dirinya di’jajal’ oleh utusan Bu Pun Su ini. Sudah lama Liem Sun Hauw mendengar
nama besar Bu Pun Su yang sering dipuja oleh mendiang suhu-nya, Thian Mo
Siansu. Karena itu sekarang dia girang sekali dapat berkenalan dengan seorang
yang masih ada hubungan dengan Bu Pun Su.
Mengetahui
dirinya tengah diuji, ia pun mengerahkan ginkang dan berlari secepat terbang
mengimbangi kecepatan lari Kiang Liat. Mereka menuruni Gunung Go-bi-san,
melompati jurang dan melalui jalan yang sukar dengan enak saja bagaikan orang
berlari-lari di atas tanah rata.
Kiang Liat
pernah menerima latihan ilmu lari cepat Yan-cu Hui-po dari pendekar wanita
sakti Bun Sui Ceng, maka dalam ilmu lari cepat, dia sudah mencapai tingkat
tinggi. Oleh karena ini, biar pun Liem Sun Hauw juga lihai, pemuda ini masih kalah
setingkat. Namun Kiang Liat juga tidak bermaksud membikin malu pemuda itu, maka
sengaja mengurangi kecepatannya agar mereka dapat jalan berendeng.
Sesudah
bercakap-cakap, keduanya semakin merasa cocok, Liem Sun Hauw yang tahu bahwa
ilmu lari cepat orang tua ini masih melampauinya, merasa amat kagum. Ia makin
merasa suka karena Kiang Liat ternyata tidak meninggalkannya dan tidak
memamerkan kemenangannya.
Tiba-tiba,
pada sebuah tikungan jalan mereka melihat seorang tosu gemuk pendek berdiri
menghadang di tengah jalan. Mereka menghentikan perjalanan dan sesudah dekat,
Liem Sun Hauw mengenali tosu ini sebagai murid ke dua dari Twi Mo Siansu.
Melihat sikap tosu yang bermuka kuning dan bertubuh gemuk pendek ini, diam-diam
Sun Hauw merasa tak enak hati.
“Agaknya
Suheng ada keperluan penting maka menanti siauwte di sini,” kata Sun Hauw
sambil memberi hormat.
“Memang ada
keperluan penting sekali,” kata tosu itu, suaranya tinggi dan menggetar.
Mendengar
suara ini dan melihat muka yang kekuningan dan pucat itu, diam-diam Kiang Liat
terkejut karena maklum bahwa tosu yang kelihatannya tidak seberapa ini ternyata
adalah seorang seorang ahli lweekeh yang memiliki tenaga lweekang tinggi.
“Barang kali
kau belum tahu, pinto adalah Tek Le Tojin, murid ke dua dari Ciangbunjin
(ketua) Gobi-pai.”
Melihat
sikap tosu ini, Sun Hauw merasa mendongkol bukan main. Sikap ini menunjukkan
seakan-akan dirinya tak dianggap sebagai murid Go-bi-pai, melainkan dianggap
sebagai tamu.
“Siauwte
sudah mengerti, sekarang apakah kehendak Ji-suheng?”
“Kau
dipercaya oleh Suhu untuk memikul tugas yang berat. Tadi pinto telah
menyaksikan kepandaianmu, akan tetapi sayang, Suhu buru-buru menahan. Karena
tugasmu penting sekali, pinto masih merasa penasaran dan hendak meyakinkan
apakah kau benar-benar akan sanggup melakukan tugas itu karena apa bila kiranya
kau tidak patut menjadi wakil Suhu, masih belum terlambat kau mengembalikan
tugas itu kepada Suhu.”
“Apa maksud
Suheng?” tanya Sun Hauw tak senang.
“Menguji
apakah betul-betul kau patut menjadi wakil Suhu!” jawab Tek Le Tojin tegas.
Mendengar
ucapan tosu muka kuning yang bertubuh pendek gemuk itu, Liem Sun Hauw
mengerutkan kening, hatinya tidak senang sekali.
“Suheng Tek
Le Tojin, mengapa Suheng melakukan ini? Bukankah Suheng sendiri sudah
menyaksikan bahwa Susiok telah memberi kekuasaan kepada siauwte untuk melakukan
tugas ini?”
Tek Le Tojin
tersenyum menyeringai. “Suhu selalu bersikap lemah dan pemurah. Akan tetapi
sekali ini pinto sungguh-sungguh meragukan apakah kepercayaan Suhu kepadamu
bijaksana. Kau bocah kemarin sore yang belum tahu tentang seluk beluk dunia
kang-ouw, bagaimanakah kau dapat menyelesaikan tugas dengan baik? Apa lagi bila
diingat bahwa tugas ini amat pentingnya, yakni menjadi pendamai antara dua
partai besar, Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Pinto sendiri yang sudah banyak
makan garam dunia masih ragu-ragu, apakah pinto akan berhasil menunaikan tugas
itu, apa lagi seorang bocah macam kau. Hemmm, apakah yang kau andalkan? Maka
majulah, pinto hendak mencobamu agar hati pinto tenteram kalau kau pergi.
Bagimu mungkin nama besar Go-bi-pai tidak ada artinya, namun bagi pinto dan
para anak murid Go-bi-pai amat besar artinya dan harus dijaga baik-baik, kalau
perlu bahkan dibela dengan taruhan nyawa!”
Sun Hauw
merasa mendongkol. Dia dapat memaklumi dan dapat pula mengagumi sifat tosu yang
jujur ini, yang meragukan keputusan Ketua Go-bi-pai sekali-kali bukan dengan
maksud untuk menghinanya atau untuk membandel terhadap keputusan Twi Mo Siansu,
akan tetapi untuk menjaga nama baik Go-bi-pai yang kini mengutus seorang anak
murid yang bukan langsung belajar di Go-bi-san. Pendeknya, tosu ini masih tidak
percaya akan kepandaiannya.
Kali ini aku
harus memperlihatkan kepandaianku. Pikir pemuda ini dengan hati gemas.
“Baiklah,
Suheng. Kau adalah saudara tuaku, maka sebagai saudara muda, mana berani aku
membantah kehendakmu? Biarlah Kiang-lo-enghiong ini menjadi saksi bahwa ujian
kepandaian ini merupakan kehendakmu dan sama sekali bukan aku yang menghendaki.
Maka kalau sampai Susiok marah, aku tidak mau memikul tanggung jawabnya.”
“Baik, baik,
biarlah Sicu ini menjadi saksi. Nah, Liem-sute kau bersiaplah!”
Sambil
berkata demikian, Tek Le Tojin segera memasang kuda-kuda menghadapi Liem Sun
Hauw. Kuda-kudanya biasa saja, kuda-kuda ilmu silat Go-bi-pai, akan tetapi
nampak kokoh kuat seakan-akan kedua kakinya telah berakar ke dalam tanah.
Melihat
pasangan kuda-kuda ini, di dalam hatinya Sun Hauw tertawa geli. Bagaimana sih
tosu ini? Sudah disaksikan oleh Twi Mo Siansu sendiri ketika ia dicoba oleh
murid kepala Go-bi-pai, ia dapat melayani Tek Sin Tojin dengan baik. Sekarang
murid kedua ini hendak mengujinya lagi dengan ilmu silat serupa. Mungkinkah ada
murid kedua lebih pandai dari pada murid pertama?
“Baiklah,
Suheng. Siauwte menunggu pelajaran dari Suheng!” Sun Hauw berkata sambil
memasang kuda-kuda pula menghadapi tosu itu.
Tek Lojin
mulai menyerang sambil berseru, “Awas serangan!”
Tangannya
memukul ke arah dada Sun Hauw.
Pemuda ini
dengan tenang kemudian memindahkan kaki sambil menangkis. Akan tetapi dia kaget
sekali pada waktu lengannya beradu dengan lengan tosu itu, karena dia merasa
lengannya menjadi linu dan sakit, bahkan tenaga serangan tosu ini sedemikian
kerasnya sampai-sampai tubuhnya mendoyong!
Ahh,
sekarang tahulah dia. Ji-suheng-nya ini adalah seorang yang mempunyai lweekang
tinggi sekali, mungkin lebih kuat dari pada Tek Sin Tojin. Sun Hauw berlaku
awas dan kini tak berani lagi ia menerima pukulan suheng-nya dengan tangkisan
langsung, sebaliknya dia mengandalkan kelincahan untuk mengelak dan balas
menyerang. Dia memang lebih lincah, selain tubuhnya memang lebih baik bentuknya,
juga pemuda ini menerima latihan ginkang istimewa dari mendiang gurunya.
Akan tetapi
lagi-lagi ia terkejut sekali karena kini setiap pukulan tangan Tek Le Tojin,
biar pun tidak mengenai tubuhnya, tapi sudah mendatangkan angin pukulan yang
panas dan dahsyat! Dia tidak tahu bahwa tingkat ilmu lweekang dari Tek Le Tojin
sudah amat tinggi dan bahwa tosu ini telah memahami ilmu pukulan berdasarkan
lweekang tingkat tinggi yang disebut Pek-lek-ciang (Si Tangan Kilat).
Biar pun
ilmu silat yang dimainkan adalah ilmu silat Go-bi-pai, namun dalam tiap pukulan
Tek Le Tojin mempergunakan tenaga Pek-lek-ciang dalam usahanya untuk
mengalahkan Sun Hauw.
Sun Hauw
benar-benar terdesak hebat. Dalam hal menguji dirinya, ternyata Tek Le Tojin
ini bahkan lebih kejam dari pada Tek Sin Tojin, karena Tek Le Tojin terus
mendesaknya dengan pukulan-pukulan yang mengandung hawa panas dan kalau
mengenai tepat pada sasarannya kiranya akan mendatangkan akibat hebat!
Oleh karena
tidak tahan menghadapi serangan dengan pukulan Pek-lek-ciang, Sun Hauw berseru
keras dan kembali ia mengeluarkan ilmu pukulan yang ia pelajari dari mendiang
suhu-nya, yakni ilmu pukulan dari Hok Peng Taisu! Benar saja, baru tiga jurus
ia melawan dengan ilmu silat ini, ia dapat membuyarkan desakan Tek Le Tojin.
“Bocah
lancang! Kau sudah lupa akan pesan Suhu dan kembali berani mempergunakan ilmu
silat iblis ini?!” bentak Tek Le Tojin!
“Suheng yang
mulai lebih dulu!” bantah Sun Hauw. “Mengapa Suheng mempergunakan hawa pukulan
yang panas itu? Di dalam ilmu silat Go-bi-pai tidak ada pukulan macam itu!”
“Begitu?
Baik, kau tahanlah pukulanku dengan ilmu iblismu itu!”
Setelah
membentak begini, Tek Le Tojin kemudian memukul dengan penggunaan tenaga
sepenuhnya sehingga Sun Hauw cepat-cepat harus menggunakan kelincahannya untuk
mengelak. Kemudian, dengan luar biasa cepatnya dan tidak kalah hebat, dia
membalas dengan serangan-serangan yang gerakannya tak dikenal oleh Tek Le Tojin
sehingga tosu ini menjadi kelabakan.
Dalam
marahnya, pada saat kedua tangan Sun Hauw memukul dengan sepasang lengan
dilonjorkan lurus ke muka, Tek Le Tojin langsung menyambut pukulan itu dengan
telapak tangannya.
“Plakkk!”
Dua pasang
telapak tangan bertemu. Sun Hauw tidak kuasa menarik kembali sepasang
tangannya! Ia terkejut sekali dan mencoba untuk membetot kedua tangannya, akan
tetapi sia-sia belaka. Sepasang telapak tangan Tek Le Tojin seakan-akan
menyedot tangannya, membuat dua tangan Sun Hauw menjadi menempel.
Perlahan-lahan Sun Hauw merasa betapa hawa panas mengalir dari kedua tangan
suheng-nya itu menyerang ke dadanya melalui sepasang lengannya!
Ia makin
terkejut dan gelisah karena sebagai seorang ahli silat tinggi maklumlah pemuda
ini bahwa suheng-nya sedang menyerang dirinya dengan tenaga lweekang tingkat
tinggi, menyerang secara keji karena serangan ini apa bila sampai melukai
jantungnya berarti mengantar ia menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut)! Untuk
melepaskan diri tak mungkin, maka Sun Hauw lalu mengerahkan seluruh
lweekang-nya untuk melawan serangan ini.
Baiknya ia
pun sudah mendapat latihan lweekang dari mendiang suhu-nya dan biar pun dalam
hal tenaga lweekang tingkatnya masih kalah banyak oleh suheng-nya ini, namun setidaknya
tenaganya bisa menolak kembali serangan itu dan ia dapat mempertahankan diri
untuk sementara waktu. Ia hanya mengharapkan saja bahwa tosu ini takkan berlaku
kejam dan akan menyudahi serangannya yang keji.
Akan tetapi
harapannya ternyata kosong belaka. Tek Le Tojin sedikit pun tak mengurangi
serangannya, bahkan mengerahkan tenaga Pek-lek-ciang untuk rnencelakai pemuda
itu. Bahkan untuk memamerkan keunggulannya dalam adu tenaga lweekang itu, dia
masih membuka mulut menyindir,
“Hemm,
begini sajakah orang yang hendak mewakili Go-bi-pai? Sungguh mengecewakan dan
memalukan sekali!”
Dia
memperhebat tenaganya sehingga kini muka Sun Hauw sudah penuh keringat dan
kedua lengan tangannya sudah mulai gemetar!
“Sungguh
mengherankan sikap tokoh Go-bi-pai!” Tiba-tiba terdengar suara menggeledek.
Sun Hauw
merasa pundaknya ditepuk orang dari belakang. Seketika itu juga, ada tenaga
yang dahsyat mengalir melalui kedua lengannya dan menyerang Tek Le Tojin
sehingga tosu itu merasa kedua lengannya kesemutan dan otomatis tenaga
tempelannya lenyap. Sun Hauw mempergunakan tangan mendorong sambil melompat ke
belakang. Tubuhnya terhuyung-huyung dan tentu akan roboh saking lemasnya kalau
saja tidak ada Kiang Liat yang cepat menahan punggungnya.
Tek Lek
Tojin memandang Kiang Liat dengan sepasang mata terbelalak lebar dan mulut
tersenyum masam.
“Sudah
menerima pelajaran dari Kiang-sicu, sungguh mengagumkan...!”
Memang, yang
membantu Sun Hauw tadi bukan lain adalah Kiang Liat karena pendekar ini tidak
tega melihat pemuda itu diancam bahaya maut oleh tangan suheng-nya sendiri. Ia
merasa penasaran, dan biar pun urusan itu bukan urusannya melainkan urusan
antara dua orang murid Go-bi-pai, akan tetapi dia tidak bisa membiarkan pemuda
itu terbunuh begitu saja.
Sesudah
berkata demikian sambil menjura kepada Kiang Liat, tosu gemuk pendek itu lalu
berlari naik ke puncak lagi dengan cepat.
“Sungguh
berbahaya...” Sun Hauw berkata sambil menarik napas panjang, “Baiknya ada
Kiang-lo-enghiong yang menolongku tadi, kalau tidak, entah bagaimana jadinya
dengan nasibku. Terima kasih banyak, Kiang-lo-enghiong.”
“Sudahlah,
aku tidak bisa membiarkan dia berbuat kejam begitu saja. Dia seorang jujur dan
pandai, sayang sekali terlalu keras. Pantas saja Twi Mo Siansu memilih Tek Sin
Tojin sebagai calon pengganti ketua, padahal Tek Le Tojin masih lebih berbakat
untuk menjadi seorang ahli silat tinggi.”
Karena
tekanan Tek Le Tojin tadi sudah menyerang hebat dan baru saja Sun Hauw harus
mengerahkan seluruh tenaga lweekang-nya, maka ia perlu beristirahat untuk
memulihkan kekuatannya. Kiang Liat mengajaknya beristirahat di bawah pohon dan
sambil beristirahat mereka bercakap-cakap. Kiang Liat makin suka kepada pemuda
ini, sebaliknya Liem Sun Hauw makin menghormat karena kini baru dia tahu betul
bahwa utusan Bu Pun Su ini adalah seorang berkepandaian tinggi.
“Agaknya
Suheng Tek Le Tojin, seperti juga Suheng Tek Sin To tidak senang kepadaku sebab
aku adalah murid Thian Mo Siansu. Dalam hal ini terdapat hal tertentu,” Sun
Hauw bercerita, “Dahulu Suhu-ku, Thian Mo Siansu, menjadi ketua dari Go-bi-pai
dibantu oleh Susiok Twi Mo Siansu. Peraturan dari partai Go-bi-pai amat keras
dan ketinggalan jaman, maka anak murid Go-bi-pai menjadi kaku-kaku dan cara
hidupnya bahkan jauh melebihi pendeta-pendeta yang selama hidupnya dikeram di
dalam kuil. Suhu-ku tidak menyetujui peraturan-peraturan ini dan setelah ia
menjadi ciangbunjin, sedikit demi sedikit ia hendak merubahnya. Pendeknya Suhu
hendak menjadi pencipta aliran baru untuk menyesuaikan keadaan partai kami
dengan kemajuan jaman. Akan tetapi, Susiok Twi Mo Siansu adalah seorang yang
amat kukuh dan penganut aliran lama dalam peraturan Go-bi-pai sehingga mulailah
terjadi bentrokan paham antara Suhu dengan Susiok. Perubahan yang hendak
dilakukan oleh Suhu antara lain bahwa Suhu ingin mengembangkan ilmu silat
Go-bi-pai ke dunia ramai agar ilmu dari Go-bi-pai tidak hanya dimiliki oleh
para pendeta saja, akan tetapi dapat digunakan oleh orang-orang untuk membasmi
kejahatan di dunia kang-ouw. Hal ini ditentang keras oleh Susiok yang khawatir
kalau-kalau ilmu silat partai Go-bi-pai akan terjatuh ke dalam tangan orang
jahat dan akhirnya orang itu akan merusak nama baik Go-bi-pai. Pendirian Susiok
ini disokong oleh hampir semua tosu di dalam kuil.”
Kiang Liat
mengangguk-angguk. “Dua macam pendirian, akan tetapi keduanya memiliki
kebenaran masing-masing. Suhu-mu benar sebab apalah artinya dahulu para guru
besar Go-bi-pai susah payah menciptakan ilmu-ilmu yang tinggi kalau hanya
disimpan di dalam kuil dan tidak dipergunakan untuk kebaikan umat manusia?
Sebaliknya, susiok-mu juga benar karena memang bahaya yang dikhawatirkan itu
mungkin sekali terjadi. Akan tetapi, sebetulnya perbedaan faham dapat
dipecahkan dengan jalan tengah, misalnya, biar pun boleh menerima murid dari
luar, akan tetapi dilakukan pemilihan yang keras dan setiap murid diharuskan
belajar di puncak Go-bi-san.”
“Sayang
dahulu tidak ada Lo-enghiong yang memberi nasehat kepada Suhu dan Susiok. Akan
tetapi, pertikaian itu pun tidak berlarut-larut karena Suhu yang amat sayang
kepada Susiok, lalu meninggalkan Go-bi-san dan menyerahkan kedudukannya kepada
Susiok. Suhu sendiri lalu turun gunung merantau dan menerima beberapa orang
murid di dalam perantauannya, di antaranya aku sendiri menjadi muridnya yang
terakhir sampai Suhu meninggal di kampungku.”
“Di manakah
kampungmu?”
“Kampungku
Pek-kan-mui terletak di Propinsi Shansi, di lembah Sungai Huang-ho. Suhu
tinggal di sana sampai selama tujuh tahun. Aku murid tunggal dan terakhir.
Bahkan Suhu tinggalnya juga di rumahku, di mana aku tinggal berdua dengan Ayah
yang telah menjadi duda. Ibuku sudah meninggal dunia semenjak aku berusia lima
tahun. Kemudian karena sakit dan sudah amat tua, Suhu meninggal dunia dan
berpesan agar supaya aku naik ke Go-bi-san dan memperkenalkan diri kepada
Susiok serta memberi tahu tentang kematian Suhu.”
Kiang Liat
tertarik sekali mendengar penuturan Sun Hauw. Apa lagi ketika mendengar keadaan
pemuda ini yang tidak memiliki ibu lagi. Diam-diam ia membandingkan keadaan
pemuda ini dengan keadaan puterinya.
Timbul rasa
sayang dan suka di dalam hatinya kepada pemuda ini dan timbul keinginan hatinya
untuk mengambil Sun Hauw sebagai menantunya, dijodohkan dengan Kiang Im Giok.
Sebaliknya, Sun Hauw yang merasa sangat kagum kepada Kiang Liat, juga ingin
mengetahui keadaan rumah tangga Kiang Liat lebih jelas.
“Kalau aku
boleh bertanya, Lo-enghiong tinggal di manakah dan sebenamya Lo-enghiong yang
lihai ini murid siapakah?”
Kiang Liat
tersenyum. “Aku ahli waris ilmu silat keluarga Kiang dan selain itu, juga aku
pernah menjadi murid Suhu Han Le, dan pernah pula menerima pelajaran dari
pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng. Supek Bu Pun Su juga pernah memberi
pelajaran kepadaku.”
“Aduh,
pantas saja Lo-enghiong demikian lihai...” Sun Hauw berseru kagum dan menjura
memberi hormat. “Harap maafkan kalau siauwte tadi berlaku kurang hormat.”
“Hushhh,
mengapa banyak sungkan-sungkan? Apa sih artinya kepandaian? Betapa pun tinggi
Gunung Thai-san, masih ada langit yang berada di atasnya! Betapa pun pandainya
seseorang, pasti ada yang lebih pandai dari padanya. Kita sudah menjadi sahabat
apa perlunya berlaku sheji (sungkan)?”
“Terima
kasih atas kepercayaan Lo-enghiong padaku yang muda dan bodoh. Di manakah
Lo-enghiong tinggal? Siapa tahu kelak kalau ada waktu, aku akan datang berkunjung.”
“Rumahku di
Sian-koan dan di sana aku hanya tinggal berdua dengan puteri tunggalku. Ibunya
sudah meninggal dunia semenjak anakku masih kecil sekali...” Kiang Liat menarik
napas panjang dan meramkan mata karena teringat akan isterinya yang tercinta.
“Ahhh aku
ikut menyesal sekali akan nasibmu yang malang, Lo-enghiong...,” cepat-cepat Sun
Hauw menghibur melihat keadaan Kiang Liat.
Pendekar ini
membuka kedua matanya, bibirnya memaksa tersenyum akan tetapi kedua matanya
basah. “'Terima kasih, kau baik sekali, Liem-sicu.”
“Namaku Sun
Hauw, harap Lo-enghiong jangan sungkan-sungkan menyebut namaku dan menganggap
aku sebagai sahabat baik atau keluarga sendiri. Sungguh tidak enak kalau
mendengar Lo-enghiong bersungkan dan menyebutku Liem-sicu!”
“Baiklah Sun
Hauw, engkau memang seorang pemuda yang baik. Mudah-mudahan saja hidupmu
bahagia, jangan seperti aku...”
Melihat
betapa Kiang Liat kembali akan terbenam dalam kesedihannya, Sun Hauw yang amat
pandai membawa diri itu berkata, dengan maksud menghibur Kiang Liat, membawa
orang tua itu kepada kenangan yang menggembirakan.
“Lo-enghiong,
kau begini gagah perkasa, sudah tentu puterimu juga memiliki kepandaian tinggi,
bukan?”
Maksud Sun
Hauw berhasil. Kini sesudah diingatkan akan puterinya, berserilah lagi wajah
Kiang Liat, matanya bersinar-sinar gembira. Bukan sekedar dapat membikin Kiang
Liat untuk sementara waktu melupakan isterinya yang telah meninggal, bahkan
pertanyaan ini menimbulkan kembali niatnya semula, yakni memungut mantu pemuda
yang tampan dan gagah lagi menyenangkan hati ini.
“Kau
maksudkan puteriku Im Giok? Ha-ha-ha, orang sudah memberi julukan Ang I Niocu
kepadanya! Salahnya sendiri, semenjak kecil dia suka memakai pakaian serba
merah sih. Kepandaiannya? Ah, dia memang beruntung, bahkan Supek Bu Pun Su
sendiri berkenan memberi beberapa ilmu silat yang luar biasa kepadanya. Tentang
kepandaiannya pada waktu ini kalau mau diukur, tingkatnya malah lebih tinggi
dari pada tingkat kepandaianku!”
Diam-diam
Sun Hauw terkejut. Bukan main! Kepandaian Kiang Liat sudah begini hebat, namun
sekarang Kiang Liat sendiri mengaku bahwa kepandaian puterinya yang bernama Ang
I Niocu Kiang Im Giok itu lebih tinggi lagi!
“Lo-enghiong
benar-benar berbahagia dan keluarga Lo-enghiong adalah keluarga gagah perkasa.
Benar-benar membuat siauwte tunduk dan kagum,” kata Sun Hauw.
“Sun Hauw,
kau sendiri apakah sudah menikah?”
Ditanya
tentang ini secara tiba-tiba, pemuda itu membuka lebar-lebar matanya, kemudian
mukanya berubah merah dan ia menggeleng kepala.
“Belum
Lo-enghiong.”
“Hemm,
usiamu kurasa sudah lebih dua puluh dan sudah sepatutnya jika telah memiliki
jodoh.”
“Siauwte
berusia dua puluh dua tahun, akan tetapi siauwte yang miskin ini mana berani
menyeret anak orang lain dalam jurang kesengsaraan dan kemiskinan?”
Jawaban ini
menyenangkan hati Kiang Liat.
“Kata-katamu
itu mencerminkan watakmu yang baik, Sun Hauw. Sebagai seorang gagah harus
berani bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Namun ucapanmu tadi tidak
betul. Bukan kemiskinan yang akhirnya mendatangkan kesengsaraan dalam
perjodohan, akan tetapi ketidak rukunan atau ketidak cocokan keadaan dan watak.
Sudah lama sekali aku mencari-cari calon jodoh puteriku, akan tetapi karena aku
takut kalau-kalau wataknya tidak cocok, karena itu sampai sekarang aku masih
belum menemukan orangnya. Anakku mempunyai kepandaian ilmu silat yang cukup
tinggi, tentu dia mengutamakan kegagahan seperti semua keluarga kami. Selain
ini, tentang muka, hmmm… bagiku, di muka bumi ini, kecuali mendiang ibunya,
tidak ada wanita yang secantik dia! Sun Hauw, aku Kiang Liat paling suka bicara
terus terang. Sampai sekarang belum pernah aku bertemu dengan seorang pemuda
yang patut menjadi jodoh Im Giok. Dan sekarang aku bertemu dengan engkau. Aku
suka sifat-sifatmu, aku melihat kau seorang pemuda yang cukup tinggi ilmu
silatmu, bakatmu baik, dan kau mengutamakan kegagahan pula. Kau tampan dan
gagah, kiranya pantas sekali menjadi calon jodoh puteriku.”
Mendengar
ucapan ini bukan main bingung dan jengahnya pemuda itu. Mukanya menjadi merah
seperti udang direbus dan ia hanya tersenyum malu-malu dan tak berani langsung
menatap wajah Kiang Liat.
“Bagaimana,
anak muda? Apakah kau bersedia menjadi calon suami puteriku?”
Didesak
begini, Sun Hauw tidak dapat menjawab, hanya memandang ragu dan bingung.
Akhimya dapat juga ia menjawab,
“Maaf,
Lo-enghiong. Urusan ini datangnya begini tiba-tiba sehingga aku tidak tahu
bagai mana harus menjawab. Kiranya hal ini perlu dipikirkan lebih masak dan
sekembaliku dari Bu-tong-san aku akan singgah ke Sian-koan dan memberi jawaban
keputusan.”
Kiang Liat
mengangguk-angguk gembira.
“Baiklah,
tentu saja demikian! Asal ada kesanggupan darimu, hatiku sudah sangat puas.
Memang, syarat dalam perjodohan bukan hanya tergantung dari persamaan watak,
akan tetapi juga kecocokan hati! Aku tahu keadaan hati orang-orang muda jaman
sekarang. Dan tentu saja kau belum puas mendengar kata-kataku kalau kau belum
melihat sendiri orangnya. Ha-ha-ha! Baiklah, Sun Hauw, aku menunggu
kedatanganmu secepat mungkin dan aku berani bertaruh potong kepala bahwa sekali
kau melihat Im Giok, kau tidak akan dapat tidur nyenyak lagi. Ha-ha-ha!”
“Aku yang
bodoh ini menghaturkan banyak-banyak terima kasih atas budi kecintaan dari
Lo-enghiong yang dilimpahkan kepadaku. Semoga Thian menjaga sehingga aku kelak
tidak akan mengecewakan hati Lo-enghiong yang berbudi mulia, dan selama nyawa
di kandung badan, aku tak akan melupakan Lo-enghiong. Aku bersumpah untuk
datang ke Sian-koan setelah selesai tugas yang diserahkan kepadaku.”
Demikianlah,
dengan hati girang dan penuh harapan, Kiang Liat berpisah dari Sun Hauw. Dia
pulang menuju ke Sian-koan, sedangkan Sun Hauw melanjutkan perjalanannya ke
Bu-tong-san.
***************
Semenjak
kecilnya, Giok Gan Niocu Song Kim Lian memang sudah memiliki sifat-sifat kurang
baik dari seorang gadis, yakni centil genit dan kadang-kadang bersifat cabul.
Di dalam hatinya ia boleh dibilang gila lelaki dan pikirannya penuh oleh
bayangan pemuda-pemuda tampan.
Selama ia
tinggal bersama gurunya dan sumoi-nya, ia masih tak dapat berbuat sesuka
hatinya karena takut kepada gurunya, juga takut dan segan kepada Kiang Im Glok.
Akan tetapi, setelah gurunya dan sumoi-nya pergi dalam waktu berbareng, yakni
Im Giok pergi mengantar Gan Tiauw Ki ke Tiang-hai sedangkan Kiang Liat oleh Bu
Pun Su disuruh ke Go-bi-san, keadaan Song Kim Lian laksana kuda betina liar
tidak dipasangi kendali lagi!
Dia
bersuka-suka dan bermain-main dengan para pemuda kota Siang-koan yang boleh
dibilang semua memujanya karena dia memang cantik jelita lagi genit. Setiap
hari Kim Lian pergi pesiar sambil bergurau gembira bersama serombongan pemuda
tampan yang kerjanya hanya hilir mudik menjual tampang, pemuda-pemuda anak
orang kaya yang tak memiliki pekerjaan lain kecuali mengatur pakaian dan
merawat muka seperti perempuan.
Penduduk-penduduk
tua di Sian-koan menggeleng kepala menyaksikan kejanggalan ini, akan tetapi
siapakah berani menegur Giok Gan Niocu Song Kim Lian yang selain memiliki
kepandaian tinggi juga merupakan murid Jeng-jiu-sian Kiang Liat, pendekar besar
di kota Sian-koan?
Perjalanan
Im Giok dan Kiang Liat memakan waktu lama. Hal ini diketahui baik oleh Kim Lian
dan karenanya membuat dia menjadi semakin berani dan binal. Gadis yang merasa
tidak ada orang yang akan berani menegurnya ini bahkan menjadi demikian binal
sampai-sampai pada suatu hari ia mengundang belasan orang pemuda pemogoran
untuk datang di taman bunga gedung gurunya untuk berpesta dan bergembira!
Para pelayan
di rumah gedung keluarga Kiang tentu saja tidak ada yang berani menegur, bahkan
mereka juga ikut bergembira. Para pemuda itu menikmati hidangan dan arak, dan
puncak kegembiraan itu adalah pada saat dengan pakaian yang ringkas mencetak
bentuk tubuhnya yang indah menggairahkan, Kim Lian keluar kemudian bermain
silat pedang di tengah-tengah taman.
Dengan
gerakan-gerakan indah dan tubuhnya yang lincah, Kim Lian sengaja berpamer,
tidak saja memamerkan ilmu pedangnya, akan tetapi terutama sekali untuk
memamerkan kecantikan dan keindahan bentuk tubuhnya kepada belasan pasang mata
laki-laki yang memandang dengan kagum sehingga beberapa di antaranya hampir
copot dan melompat keluar dari kepala!
Terdengar
tepuk tangan riuh-rendah disertai sorak-sorai gembira setiap kali menyambut
jurus atau gerakan yang dianggap indah. Kim Lian sengaja tak mau bersilat
dengan gerak cepat, melainkan bersilat perlahan-lahan dan lambat-lambatan
supaya setiap gerakannya dapat ‘dinikmati’ oleh pandang mata kawan-kawannya.
Selagi para
pemuda itu ketawa-tawa dan bertepuk tangan memuji Kim Lian yang sedang bersilat
dengan bibir merah tersenyum-senyum manis serta mata jeli melirik-lirik genit,
tiba-tiba berkelebat bayangan merah yang tidak terlihat oleh para pemuda itu,
akan tetapi terlihat oleh mata Kim Lian yang terlatih. Seketika wajah Kim Lian
memucat dan gerakan silatnya berhenti.
“Suci...!”
Setelah
terdengar suara ini, barulah semua pemuda yang berada di situ menengok dan
memandang ke belakang dan di situ telah berdiri seorang gadis berpakaian merah,
gadis cantik jelita yang sudah lama menjadi idaman para pemuda itu, yang sudah
lama pula menjadikan mereka merindu, akan tetapi tidak berani menyatakan karena
Ang I Niocu Kiang Im Giok bukan gadis sebangsa Kim Lian. Dengan adanya Im Giok,
kecantikan Kim Lian yang tadi dikagumi menjadi layu.
“Pergi
kalian orang-orang tak beradab!” bentak Im Giok sambil menghunus pedang untuk
menggertak rombongan pemuda itu.
Maka
pergilah mereka seorang demi seorang dengan kepala tunduk dan kaki menggigil,
bagaikan anjing-anjing diusir dan diancam dengan pecut. Kalau saja mereka itu
berekor tentu masing-masing menyembunyikan ekor di bawah kaki belakang. Para
pelayan juga bubar ketakutan, mengerjakan pekerjaan masing-masing.
“Sumoi...
kau sudah datang? Ahh, mereka itu... ehh, aku... aku kesepian setelah kau dan
Suhu pergi, maka hendak mengadakan sedikit pesta...”
“Mengapa
mendatangkan orang-orang lelaki melulu? Suci, kau benar-benar keterlaluan.
Kalau tidak merubah sifat macam ini, aku khawatir sekali kelak kau akan
terjerumus...”
“Mereka...
mereka mengagumiku, mengagumi ilmu pedangku, mengagumi kepribadianku dan aku...
aku senang sekali mereka kagumi. Apa salahnya itu, Sumoi?” Kim Lian masih
mencoba membantah.
Im Giok
menghela napas, dia kehabisan akal. Memang dia sudah tahu akan sifat kakak
seperguruannya ini yang agak ‘mata keranjang’.
“Sudahlah,
masih baik aku yang mendapatkan kau mengundang mereka itu ke sini. Kalau Ayah
yang datang tidak saja kau akan mendapat marah besar, mungkin mereka itu akan
ditampar seorang demi seorang.”
“Hi-hi-hi,
aku ingin melihat muka mereka kalau ditampar oleh Suhu. Tentu sekali tampar
menjadi bengkak seperti semangka,” kata Kim Lian genit. “Sebetulnya aku pun
tidak suka dengan pemuda-pemuda lemah seperti mereka. Akan tetapi di manakah
mencari pemuda gagah seperti Suhu pada waktu muda? Karena tak ada yang
demikian, mereka itu untuk kawan pun... bolehlah...”
“Cukup!
Suci, kenapa bicaramu seperti itu? Sudah, aku tidak sudi mendengar lagi. Lekas
kau berganti pakaian yang pantas dan membantu aku melayani tamu yang kini sudah
duduk di ruang tamu.”
“Siapa?”
tanya Kim Lian terheran.
Wajah Im
Giok berubah merah. Baiknya waktu itu hari sudah mulai gelap sehingga warna
kemerahan yang menjalar kedua pipinya itu tidak kelihatan oleh Kim Lian.
“Dia adalah
Gan-siucai.”
“Oh, diakah?
Yang kau antarkan ke Tiang-hai? Yang dulu pernah kita tolong dari tangan
perampok?”
Im Giok
mengangguk. “Benar, dia datang mengunjungi kita untuk bertemu dengan Ayah dan
menghaturkan terima kasih atas pertolongan Susiok-couw Bu Pun Su. Lekaslah kau
berganti pakaian.”
“Apa Suhu
belum pulang juga?” tanya Kim Lian.
“Kalau dia
tidak berada di sini tentu berarti belum pulang. Aku baru saja datang, mana aku
bisa tahu?” jawab Im Giok yang masih mendongkol melihat kelakuan suci-nya yang
ditinggal seorang diri di rumah. Perlahan-lahan dia akan membicarakan tentang
sikap dan watak suci-nya ini dengan ayahnya, karena kalau dibiarkan saja, bisa
berbahaya nasib hidup suci-nya ini.
Sesudah Kim
Lian muncul lagi, Im Giok semakin mendongkol saja. Suci-nya benar-benar
terlalu. Sekarang menghadapi Tiauw Ki, suci-nya telah berganti pakaian indah
dan baru, mukanya diberi bedak tebal dan bibir serta pipinya dimerah-merah!
Dengan gerakan genit menarik Kim Lian memberi hormat kepada Tiauw Ki yang juga
sudah berdiri dan memberi hormat, lalu Kim Lian berkata dengan suara halus
merdu,
“Ah, kiranya
Gan-siucai yang menjadi tamu agung! Gan-siucai, apakah kau masih ingat
kepadaku?”
Tiauw Ki
tersenyum “Tentu saja Lihiap. Bagaimana aku bisa lupa kepada Lihiap yang pernah
menolong nyawaku!”
Kim Lian
mengeluarkan suara ketawa, “Ahh, bisa saja kau, Gan-siucai. Bukan kau yang
harus berkata demikian, sebaliknya akulah yang harus berterima kasih kepadamu.
Kau telah memperlihatkan pembelaan besar sekali kepadaku di hadapan Susiok-cow
Bu Pun Su. Budimu yang demikian besarnya itu, sampai mati pun aku Song Kim Lian
tidak akan dapat melupakannya!”
Sambil
berkata demikian, ia tersenyum dan pandang matanya menyambar dalam kerling yang
penuh arti. Memang sepasang mata gadis ini amat indah dan tajam, maka aksinya
ini tentu amat menarik hati, karena keindahan matanya maka ia diberi julukan
Giok Gan Niocu (Nona bermata Kemala).
Melihat
sikap Kim Lian ini, diam-diam Tiauw Ki merasa kurang senang dan tidak enak
hati, akan tetapi pemuda ini lalu merendahkan diri dengan sikap sopan. Kemudian
ia pun berkata kepada Im Giok,
“Karena
Kiang-lo-enghiong belum pulang, biarlah aku pergi dahulu dan aku akan menanti
kedatangannya di rumah penginapan. Mudah-mudahan saja dia akan datang tidak
lama lagi.”
Im Giok juga
mendongkol melihat sikap suci-nya, karena itu memang lebih baik apa bila
kekasihnya itu lekas-lekas pergi dari depan Kim Lian. Maka katanya,
“Baiklah
Gan-ko. Rumah penginapan Liok-nam di ujung barat kota ini merupakan rumah
penginapan terbesar dan terbaik, harap kau bermalam di sana. Nanti kalau Ayah
sudah pulang, tentu akan kuberi kabar kepadamu.”
Tiauw Ki
memberi hormat lalu meninggalkan gedung keluarga Kiang. Setelah pemuda itu
pergi, Kim Lian lalu memegang tangan Im Giok.
“Ehh, Sumoi
yang manis. Agaknya ada apa-apanya antara dia dan kau!”
Wajah Im
Giok menjadi merah sekali.
“Jangan
main-main, Suci. Betapa pun juga, aku dan dia tetap menjaga kesopanan.”
“Aha, jadi
benar ada apa-apanya? Nah, aku dapat membayangkan... aduh, aku tahu, aku dapat
menduga... hi-hi-hi-hi...!”
“Suci,
jangan sembarangan bicara! Apa yang kau ketahui? Apa yang kau bayangkan dan kau
duga?”
“Ahh, begitu
mesra, adduuuhhh...” Kim Lian menggoda sambil menaruh kedua tangan di kanan
kiri pipinya.
“Suci,
jangan membuat aku marah. Jangan kau menduga yang bukan-bukan! Aku bukan
perempuan macam itu. Apa yang kau duga?”
“Sumoi, apa
salahnya kalau kau suka dia yang tampan dan dia suka kau yang cantik?”
“Kau
menyangka keliru!”
“Yang betul
bagaimanakah?” Kim Lian memancing.
“Tak akan
kuceritakan padamu!” Im Giok berpura-pura marah.
“Ah, begitu?
Adikku yang baik, kalau begitu aku tetap menduga yang bukan-bukan. Kalau kau
tak bercerita terus terang kepadaku, bagaimana aku dapat menghentikan dugaanku
sendiri? Hmmm, dapat kubayangkan betapa mesranya...” kembali Kim Lian menggoda.
“Suci Kim
Lian, jangan kau main-main. Dia datang mau bertemu dengan Ayah untuk...
meminangku. Ini sungguh-sungguh, bukan main-main!”
“Aaaahh...
begitukah?” Kim Lian memeluk sumoi-nya. “Adikku yang manis, kini kau harus
menceritakan semua pengalamanmu kepadaku bagaimana kau sampai mengikatkan diri
dan begitu mudah menjatuhkan pilihan?”
Keduanya
memasuki kamar dan di dalam kamar itu dua orang gadis ini kemudian bicara
kasak-kusuk. Im Giok menceritakan pengalaman-pengalamannya dengan Tiauw Ki yang
penuh bahaya.
“Dia adalah
seorang berbudi mulia, Suci. Sudah terbukti berkati-kali cinta kasihnya yang
besar pada diriku, dan sudah beberapa kali ia rela mengorbankan keselamatannya
demi untuk menolongku. Kurasa di dunia ini tidak ada orang ke dua sebaik dia.”
Terdengar
isak tangis dan Kim Lian memeluk adiknya sambil menangis.
“Ehh, Suci,
mengapa kau menangis?” tanya Im Giok terheran sambil memegang pundak suci-nya.
“Adikku...
aku gembira sekali... akan tetapi, apakah kau tidak terlalu tergesa-gesa? Kalau
kau... menikah dan pergi, lalu bagaimana dengan diriku? Sumoi-nya sudah menikah
dan suci-nya belum, apa akan kata orang...?”
Tahulah kini
Im Giok mengapa Kim Lian menangis.
“Suci, apa
salahnya hal itu? Kita bukan saudara kandung, dan hubungan kita hanyalah sumoi
dan suci dari keluarga lain. Siapa yang lebih dahulu keluar pintu tidak
merupakan halangan apa-apa.” Im Giok menghibur.
Diam-diam di
dalam hatinya berdebar karena ia sendiri masih belum dapat menentukan apakah
ayahnya akan menerima pinangan Tiauw Ki.
Anehnya,
semenjak Im Giok datang, Kim Lian selalu kelihatan tidak gembira, bahkan tiap
hari dia keluar tanpa mengajak Im Giok, menunggang kuda seorang diri. Tadinya
Im Giok menaruh curiga dan diam-diam dia mengikuti suci-nya, akan tetapi
ternyata sesudah Im Giok pulang, Kim Lian tak berani main gila lagi.
Kepergiannya
hanya untuk menunggang kuda keluar kota lalu kembali lagi, hanya untuk
memuaskan keinginan dan kesenangannya menunggang kuda. Akan tetapi diam-diam Im
Giok mengerti bahwa suci-nya itu tidak senang hati, mungkin sekali iri hati
karena melihat hubungannya dengan Tiauw Ki. Akan tetapi apakah yang dapat ia
lakukan.
Setiap hari
Im Giok menyuruh salah seorang pelayan untuk pergi ke rumah penginapan
Liok-nam, mengantar makanan atau apa saja kepada Tiauw Ki. Padahal, ini hanya
untuk alasan saja, sebenarnya ia ingin mendengar dari pelayannya bahwa keadaan
pemuda itu baik-baik saja, dan yang terutama sekali bahwa kekasihnya itu masih
berada di rumah penginapan Liok-nam!
Pada hari ke
lima, menjelang senja, ia mendengar suara ayahnya di luar rumah. Cepat Im Giok
berlari keluar dan benar saja, ia melihat ayahnya sudah pulang dan agaknya tadi
bertemu di tengah jalan dengan Kim Lian, karena pulangnya bersama suci-nya itu.
Wajah Kiang Liat muram sekali dan begitu mereka memasuki ruangan dalam dan di
mana tidak ada pelayan hadir, Kiang Liat memandang kepada puterinya dan
bertanya,
“Im Giok,
apa sih artinya hubunganmu yang gila-gilaan dengan manusia kutu buku she Gan
itu?” Suaranya menyatakan bahwa orang tua itu menahan-nahan kemarahannya.
Im Giok
kaget sekali dan menoleh kepada Kim Lian, pandangan matanya tajam menusuk. Kim
Lian tersenyum dan berkata kepadanya,
“Benar,
Sumoi. Sudah tak tahan lagi hatiku maka aku menceritakan kabar gembira itu
kepada Suhu tadi...”
“Kabar
gembira...? Gila betul! Kim Lian, keluarlah kau, biar aku bicara sendiri dengan
Im Giok!” kata Kiang Liat makin marah mendengar kata-kata ini.
Kim Lian
membungkuk dan berkata, “Baiklah, Suhu.”
Kemudian dia
keluar dari kamar itu dan dari samping Im Giok dapat melihat bayangan senyum di
sudut bibir suci-nya.
Setelah Kim
Lian pergi, Kiang Liat menjatuhkan diri di atas kursi dan berkatalah dia,
suaranya kini agak sabar,
“Coba kau
beri penjelasan, Im Giok. Kuharap saja cerita Kim Lian tadi tidak betul adanya.
Benarkah kau mempunyai hubungan dengan seorang siucai she Gan dan yang sekarang
datang untuk melamarmu?”
Muka Im Giok
sebentar pucat sebentar merah. Macam-macam perasaan teraduk-aduk dalam hati dan
pikirannya. Akan tetapi ia segera dapat menetapkan hatinya, dan ia pun berkata
dengan suara tenang,
“Ayah, harap
kau suka tenangkan hati dan bersabar. Hal ini ada ceritanya panjang lebar.”
“Tidak
peduli aku akan cerita panjang lebar, pendeknya apakah benar kau ada hubungan
dengan kutu buku terkutuk yang bisanya cuma membaca menulis dan menjual tampang
itu?”
Mata Im Giok
menjadi merah. Ia tahu bahwa kadang-kadang ayahnya suka marah-marah seperti itu
pula, akan tetapi belum pernah ayahnya marah-marah tanpa alasan terhadap dia.
Sebaliknya, semenjak kecil dia dibawa oleh Pek Hoa Pouwsat dan sesudah kembali
bersama ayahnya, ia dimanja secara luar biasa oleh ayahnya, maka ia pun agak
berani membantah ayahnya.
“Ayah,
bagaimana kau bisa memaki-maki orang yang sama sekali tidak pernah kau lihat
dan kenal?” kini gadis itu membantah marah.
Biasanya,
apa bila sudah melihat puterinya berdiri menentangnya dengan alis terangkat,
mata berapi-api dan dada dibusungkan ini, hati Kiang Liat menjadi lemah.
Alangkah besar persamaan wajah Kiang Im Giok dengan Song Bi Li, isterinya! Dan
biasanya apa bila Im Giok sudah menentang dan marah, Kiang Liat selalu mengalah
dan menuruti kehendak gadis itu. Akan tetapi sekarang tidak demikian, Kiang
Liat bahkan berkata keras,
“Tidak usah
dilihat, tidak usah dikenal! Laki-laki kutu buku dan cacing tinta tidak ada
yang baik, semua berhati palsu bermulut manis tak dapat dipercaya! Jangan kau
dekat-dekat dengan dia!”
“Akan
tetapi, Ayah. Gan-siucai bukan orang macam itu. Dan aku bahkan diberi tugas
oleh Susiok-couw untuk mengantarnya ke Tiang-hai!”
Kiang Liat
tertegun. Dia sudah mendengar dari Bu Pun Su ketika kakek sakti itu datang
mengunjunginya bahwa Im Giok memang diberi tugas untuk mengawal utusan Kaisar
ke Tiang-hai? Jadi utusan Kaisar itu pemuda inikah?
“Hemmm, mana
ada utusan Kaisar kutu buku yang lemah?” dia berkata kepada Im Giok, agak tak
percaya.
“Ayah
terlalu mengandalkan kepandaian menggerakkan pedang! Sesungguhnya di antara
para penggerak pensil juga tak kurang terdapat orang-orang bersemangat api dan
berjiwa kesatria! Gan-siucai betul-betul utusan Kaisar walau pun dia memang
tidak mengerti ilmu silat sama sekali. Akan tetapi jiwanya besar, Ayah.”
Melihat
ayahnya diam saja, Im Giok lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya ketika dia
mengantar Gan Tiauw Ki ke Tiang-hai lalu ke kota raja. Semua pengalamannya itu
dituturkan dengan singkat dan terutama sekali dia menonjolkan sikap kekasihnya
yang gagah berani dalam membelanya.
Kiang Liat
tidak kelihatan tertarik. Ia hanya beberapa kali menggelengkan kepala, bahkan
memberi komentar tidak puas setelah penuturan puterinya selesai.
“Kalau dia
bukan kutu buku, kalau dia seorang yang berkepandaian tinggi, tidak mungkin kau
sampai dihina orang, dan tak mungkin kau menghadapi ancaman bahaya besar. Dan
sekarang dia datang hendak melamarmu?”
Im Giok
menundukkan mukanya, lalu menjawab lirih. “Demikianlah kehendaknya.”
“Tidak bisa!
Kau suruh saja pelayan memberi tahunya bahwa ia boleh lekas-lekas pulang dan
jangan sekali-kali berani datang lagi ke sini!”
Mendengar
kata-kata ini, wajah Im Giok menjadi pucat.
“Ayaaaahhh...!”
serunya, setengah marah setengah terkejut.
Ayahnya
menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak bisa, kau sudah mempunyai calon suami. Kau
sudah kujodohkan dengan seorang pemuda yang gagah perkasa, murid terpandai dari
Go-bi-pai yang bernama Liem Sun Hauw. Dia gagah perkasa, berkepandaian tinggi,
berwajah tampan, pendeknya tidak kalah oleh ayahmu di waktu muda. Dia patut
menjadi suamimu, sama rupawan, sama perkasa. Apa itu kutu buku yang lemah,
terkena angin sedikit saja jatuh sakit? Tidak...!”
Makin lama
sepasang mata Im Giok makin berapi-api ketika ia mendengarkan kata-kata
ayahnya.
“Tidak...!”
katanya keras sekali sambil membanting kakinya ke atas lantai, dan saking
kerasnya gadis ini mengerahkan tenaga, lantai itu sampai hancur dan kakinya
melesak ke dalam. “Sekali lagi tidak! Aku tidak sudi menikah dengan dia!”
“Im Giok…!”
“Aku yang
hendak menikah, bukan Ayah! Kalau Ayah memaksa, aku akan lari, minggat bersama
Gan-siucai!”
Setelah
berkata demikian, sambil terisak menangis Im Giok lari memasuki kamarnya di
mana dia membanting tubuhnya di atas pembaringan, menyembunyikan muka di bawah
bantal dan menangis tersedu-sedu.
Kiang Liat
berdiri tak bergerak seperti patung, mukanya pucat dan matanya memandang ke
arah pintu kamar anaknya tanpa berkedip. Kata-kata ‘lari minggat
meninggalkannya’ amat menusuk hatinya dan mendatangkan rasa sakit bukan main.
Lalu menimbulkan rasa takut dan khawatir kalau-kalau anaknya benar akan pergi
meninggalkannya.
Dengan
langkah terhuyung-huyung ia pergi ke kamar anaknya, memasuki kamar itu dan
hampir saja ia terguling apa bila tidak cepat-cepat ia menjatuhkan diri
berlutut di tengah kamar, dekat pembaringan anaknya.
Pikirannya
tak karuan rasanya. Matanya dipejamkan dan di dalam otak ia merasa segala
sesuatu berputar-putar. Jantungnya berdenyut-denyut keras sangat nyeri, dan
telinganya penuh oleh suara seperti angin badai mengamuk. Bibimya
bergerak-gerak dan terdengar kata-katanya seperti mabuk,
“Jangan
tinggalkan aku... jangan tinggalkan aku seorang diri...!”
Im Giok
sudah duduk di atas pembaringan dengan muka pucat. Tangisnya dalam sekejap
berhenti dan kini ia memandang kepada ayahnya. Tadinya ia tidak tahu apa
artinya sikap ayahnya seperti ini, akan tetapi akhirnya ia mengerti.
Selama ini
ayahnya memang bersikap aneh, bahkan kadang kala mendekati sikap gila, menangis
dan tertawa seorang diri di dalam kamar. Kadang-kadang memanggil-manggil nama
ibunya. Dan sekarang, ayahnya bersikap seperti ini sebab ia hendak meninggalkan
ayahnya!
“Ayaah...!”
Im Giok menubruk dan menangis di dada ayahnya “Ayaah, tidak… aku tidak akan
meninggalkanmu, Ayah…”
Dua titik
air mata turun membasahi pipi Kiang Liat ketika ia kembali membuka matanya.
Didekapnya kepala anaknya itu pada dadanya erat-erat, seperti orang yang merasa
takut kalau-kalau mustikanya dirampas orang.
“Im Giok,
anakku sayang. Benar-benar kau tidak akan meninggalkan aku...?” tanyanya dengan
suara berbisik.
Im Giok
terisak menahan tangisnya. “Tidak Ayah, asal saja Ayah jangan memaksa aku
menikah dengan Liem Sun Hauw murid Go-bi-pai itu...”
Kiang Liat
menarik napas panjang, lalu menarik anaknya bangkit berdiri. Dipandangnya wajah
anaknya dan bentuk tubuhnya, lalu ia menghela napas lagi.
“Im Giok,
kau serupa benar dengan ibumu... Aku tidak rela memberikan engkau kepada orang
yang tidak pantas menjadi suamimu...”
“Tapi aku
tidak mau menikah dengan anak Go-bi itu, Ayah,” kata Im Giok manja.
Kiang Liat
tersenyum pahit. “Dan kau masih suka kepada cacing buku itu?”
Im Giok
tidak berani menjawab, hanya menundukkan muka. Kembali Kiang Liat menarik napas
panjang, lalu menjauhkan diri dari anaknya dan berkata perlahan,
“Sebagai
ayah aku harus menjaga agar kelak kau hidup bahagia, anakku. Baiklah, akan
kulihat bagaimana macamnya kutu buku itu...” Ia lalu keluar dari kamar
meninggalkan Im Giok yang duduk melamun di atas pembaringannya.
Diam-diam
gadis ini berdoa mudah-mudahan ayahnya akan suka melihat Tiauw Ki dan ia
percaya bahwa kekasihnya itu akan cukup pandai membawa diri di hadapan ayahnya
sehingga menimbulkan rasa suka dalam hati ayahnya.
Sekarang
ayahnya masih belum tenang, karena itu Im Giok tidak berani memberi kabar
kepada Tiauw Ki, sebab dia pikir belum tepat waktunya bagi pemuda itu untuk
menemui ayahnya. Malam itu Kiang Liat terdengar mendengkur di dalam kamarnya
sehingga hati Im Giok menjadi lega.
Pada
keesokan harinya, Kiang Liat memanggil Im Giok dan berkata-kata, “Im Giok, aku
hendak pergi ke rumah penginapan Liok-nam.”
“Apakah
tidak sebaiknya dia kuundang ke mari, Ayah?” tanya Im Giok.
“Tak usah.
Jika dia datang berarti dia akan meminang dan aku tidak ingin mengecewakan
hatimu. Lebih baik kulihat lebih dulu sebelum mengambil keputusan.”
Bila
menurutkan kehendak hatinya, ingin sekali Im Giok juga ikut pergi dengan
ayahnya. Akan tetapi kesopanan melarangnya, karena sungguh tidak patut kalau
dia ikut ayahnya mengunjungi Tiauw Ki di rumah penginapan. Terpaksa dia menanti
di rumah dengan hati berdebar dan dia merasa kecewa tidak melihat Kim Lian,
karena kalau ada suci-nya itu tentu ada kawannya bercakap-cakap untuk menekan
berdebarnya hatinya.
Dengan
langkah lebar Kiang Liat menuju ke rumah penginapan Liok-nam yang berada di
ujung kota sebelah barat. Semalam suntuk Kiang Liat tak bisa tidur nyenyak.
Dengkurnya itu bukan tanda bahwa tidurnya enak, bahkan sebaliknya.
Dengkurnya
bukan dengkur sewajarnya dan dulu ketika baru-baru ia kehilangan isterinya lalu
pergi merantau mencari Im Giok yang diculik orang, setiap malam dia mendengkur
seperti itu. Boleh dibilang bahwa dengkur itu adalah tanda bahwa penyakitnya
yang lama kambuh pula.
Ia seperti
orang mabuk dan sinar matanya juga sudah berbeda dengan biasanya. Hal ini
adalah karena ia merasa kecewa dan bingung sekali menghadapi persoalan
puterinya, soal perjodohan yang sama sekali tidak mencocoki hatinya.
“Dia harus
kuusir jauh-jauh, kuancam agar jangan berani menemui anakku lagi!” Pikiran
inilah yang semalaman tadi memenuhi otaknya dan kini Kiang Liat berjalan cepat
tanpa menghiraukan orang-orang yang sudah kenal dengannya dan yang memberi
salam di sepanjang jalan.
Sesudah tiba
di penginapan Liok-nam, Kiang Liat disambut oleh seorang pelayan. Kiang Liat
sudah terlalu terkenal maka sekali pandang saja pelayan itu mengenalnya. Dengan
sangat ramah tamah dan penuh hormat, pelayan itu menyambut dan menjura,
“Selamat
pagi, Kiang-taihiap. Sepagi ini Taihiap sudah datang mengunjungi penginapan
kami, sungguh sebuah penghormatan besar sekali. Apakah yang bisa kami lakukan
untuk Taihiap?”
“Apakah di
sini ada seorang tamu bernama Gan Tiauw Ki?”
Pelayan itu
mengerutkan kening, menempelkan telunjuk pada ujung hidungnya bagaikan orang
yang sedang mengumpulkan ingatan. Kemudian dia menurunkan telunjuknya dan
tersenyum lebar, memperlihatkan gigi yang tidak rata, kuning-kuning kehitaman.
“Ah, ada...
ada... Taihiap. Tentu yang kau maksudkan Gan-siucai yang muda dan tampan
wajahnya.”
“Ya, lekas
kau panggil dia keluar menemuiku.”
“Baik,
silakan Taihiap menanti di ruangan tamu,” kata pelayan itu sambil mempersilakan
pendekar itu duduk di ruangan depan.
Kiang Liat
mengambil tempat duduk karena ia merasa kedua kakinya gemetar dan dada kirinya
sakit menghadapi ketegangan ini. Macam apakah pemuda sastrawan yang telah
memikat hati puterinya?
Sementara
itu, pelayan mengetuk pintu kamar Tiauw Ki. Begitu pintu itu dibuka, pelayan
itu cepat memberi hormat dan berkata dengan muka menjilat,
“Ah Gan-kongcu
mengapa tidak sejak dulu memberi tahu bahwa Kongcu adalah sahabat baik atau
sanak dari Kiang-taihiap? Kalau kami tahu tentulah kami akan memberi kamar yang
lebih baik. Harap Kongcu maafkan apa bila selama ini kami melakukan kesalahan
atau berlaku kurang hormat karena sungguh mati kami tidak mengira bahwa Kongcu
adalah kerabat Kiang-taihiap.”
“Eh, Lopek.
Apakah sepagi ini kau mengetuk pintu kamarku hanya untuk menyatakan hal ini
saja?” Tiauw Ki berkata agak kurang senang karena dari kata-katanya saja
pelayan ini telah jelas menunjukkan bahwa dia bukan orang yang berwatak baik,
melainkan seorang penjilat yang menjemukan.
“Mana hamba
berani begitu kurang ajar memanggil Kongcu apa bila tidak ada peristiwa amat
penting?” Pelayan itu tertawa dan kulit-kulit di pinggir kedua matanya ikut
tertawa. “Kongcu didatangi oleh seorang tamu agung.”
“Siapa dia?”
Tiauw Ki bertanya penuh gairah. Memang sudah lama dia mengharapkan kedatangan
pelayan dari Im Giok yang membawa berita bahwa ayah gadis itu sudah pulang.
“Masa Kongcu
tidak dapat menduga siapa?” tanya pelayan itu dengan sikap mengajak berkelakar
untuk menyenangkan hati tamunya.
“Dari
keluarga Kiang?” tanya Tiauw Ki tak sabar lagi.
Pelayan itu
tertawa sambil mengeluarkan jempolnya. “Kongcu menebak jitu, benar-benar cerdas
sekali!”
“Suruh dia
lekas ke sini!” seru Tiauw Ki.
Pelayan itu
melenggong. “Suruh ke sini? Dia...”
Mendengar
suara dan melihat sikap pelayan ini, Tiauw Ki terkejut dan cepat bertanya,
“Bukankah dia itu seorang pelayan dari rumah keluarga Kiang?”
“Ahh,
bukan... bukan...! Dia adalah Kiang-taihiap sendiri, yang minta agar Kongcu
keluar. Dia menanti di ruangan tamu di depan!”
Kalau ada
petir menyambarnya, belum tentu Tiauw Ki akan sekaget itu. Kiang Liat ayah Im
Giok sendiri datang mengunjunginya? Benar-benar ia hampir tak dapat mempercayai
kata-kata pelayan ini.
“Harap
Kongcu cepat menyambutnya, aku takut kalau-kalau Kiang-taihiap marah padaku apa
bila Kongcu terlambat,” kata pelayan itu yang cepat pergi lagi ke depan.
Tiauw Ki
yang ditinggal sendiri merasa tubuhnya panas dingin. Sudah semenjak tadi dia
bangun, akan tetapi belum sempat bertukar pakaian karena memang tidak mempunyai
maksud pergi ke mana-mana. Untuk menghadap ayah kekasihnya dalam pakaian kumal
seperti itu, ia merasa malu.
Karena itu
dia cepat-cepat berganti pakaian yang paling baru dan menyisir rambutnya.
Kemudian tergesa-gesa ia keluar dari kamarnya menuju ke ruang tamu. Hatinya
berdebar saat ia melihat seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi tegap
dan berwajah kereng duduk di atas bangku dalam kamar tamu itu.
Ia
cepat-cepat maju menjura dengan amat hormat dan berkata,
“Mohon
dimaafkan sebanyak-banyaknya sebab boanpwe telah membuat Taihiap menanti sampai
lama.”
Kiang Liat
perlahan-lahan berdiri dan dia memandang dengan mata terbelalak dan kening
berkerut. Mulutnya pun terbuka perlahan. Ia mengangkat tangan ke atas dan
menggosok gosok kedua matanya seakan-akan tidak percaya kepada penglihatannya
sendiri.
Akan tetapi
sesudah dia memandang lagi, penglihatannya tidak berubah. Tak salah lagi,
pemuda sastrawan yang halus dan lemah-lembut yang kini memberi hormat
kepadanya, bukan lain adalah Cia Sun! Cia Sun sastrawan yang dulu mempermainkan
isterinya dan yang sudah dibunuhnya! Baik wajah mau pun bentuk badan dan
gerak-geriknya pemuda sastrawan di hadapannya sekarang ini tidak ada bedanya
dengan mendiang Cia Sun.
“Kau... Cia
Sun...” tanpa terasa lagi Kiang Liat berkata perlahan, dadanya berdebar dan
jantungnya terasa sakit.
Tiauw Ki
memandang heran. “Boan-pwe adalah Gan Tiauw Ki...”
“Jadi kau
yang diantar oleh anakku Im Giok ke Tiang-hai?”
“Betul,
Taihiap.”
“Dan kau...
kau yang hendak meminang anakku sebagai calon jodohmu...?” Suara Kiang Liat
setengah berbisik, sementara itu sepasang matanya memandang dengan cara yang
menakutkan sekali.
Tiauw Ki
memandang dengan hati berdebar gelisah. Kemudian dia mampu menetapkan hatinya
dan berkata dengan suara tegas,
“Apa bila
Taihiap tidak menolak, memang boanpwe hendak mohon persetujuan Taihiap untuk
meminang tangan Adik Kiang Im Giok...”
“Kau...?!
Kau Cia Sun jahanam keparat sekarang telah menjelma pula di dunia ini untuk
mengganggu kepadaku? Kau masih belum puas dengan kematian isteriku dan
hancurnya hidupku? Kau bahkan masih hendak merusak hidup anakku?” Sambil
berkata demikian Kiang Liat berjalan maju, perlahan-lahan menghampiri Tiauw Ki,
sikapnya mengancam dan amat menyeramkan.
Tiauw Ki
melangkah mundur, “Kiang-taihiap, apa artinya ucapanmu itu? Boanpwe adalah Gan
Tiauw Ki dan boanpwe tidak kenal siapa itu Cia Sun...”
“Jahanam!
Biar pun kau memakai nama siapa pun juga, aku selamanya akan mengenal macam
mukamu. Kau boleh pianhoa (berganti muka) seribu kali, namun aku Kiang Liat
akan tetap mengenalmu dan membunuhmu!”
Setelah
berkata demikian, sambil mengeluarkan suara keras Kiang Liat menubruk maju,
kedua tangannya bergerak cepat bertubi-tubi memukul dada dan kepala Tiauw Ki.
Kasihan
sekali nasib pemuda ini. Dia seorang sastrawan yang bertubuh lemah. Seorang
jagoan sekali pun belum tentu akan mampu menghindarkan diri dari serangan Kiang
Liat itu, apa lagi seorang pemuda lemah seperti Tiauw Ki.
Dia tak
berdaya sama sekali. Sekali terkena pukulan pada dada dan kepalanya, ia hanya
dapat mengeluarkan keluhan lemah, lalu tubuhnya terlempar ke belakang dan
menumbuk dinding kemudian roboh tak berkutik lagi. Nyawanya sudah melayang
berbareng dengan keluhannya tadi!
“Ha-ha-ha,
anjing Cia Sun! Anjing macam kau ini hendak melamar puteriku? Ha-ha-ha!” Sambil
tertawa-tawa lebar di sepanjang jalan, Kiang Liat berjalan pulang.
Para pelayan
menjadi kaget dan gemparlah keadaan di rumah penginapan itu. Sebentar saja
ruangan tamu itu sudah dikerumuni banyak orang untuk melihat pemuda sastrawan
yang rebah tak bernyawa di atas lantai.
Di antara
para penonton ini terdapat gadis menerobos masuk. Orang-orang memberi jalan
ketika melihat bahwa gadis ini bukan lain adalah Giok Gan Niocu Song Kim Lian.
Kim Lian
hanya memandang sebentar dan mukanya berubah. Kemudian dia cepat-cepat berlari
pulang, napasnya terengah-engah. Langsung dia berlari memasuki kamar Im Giok di
mana gadis itu tengah bersisir menghadapi cermin.
“Sumoi,
celaka besar...!” Kim Lian segera memeluk adik seperguruannya dan menangis
terisak-isak.
Im Giok
biasanya memiliki watak yang tenang dan tabah, namun akhir-akhir ini sesudah
bertengkar dengan ayahnya mengenai kekasihnya, ia menjadi gampang gugup.
Mukanya berubah pucat melihat keadaan suci-nya itu, maka tanyanya tak sabar
lagi,
“Suci,
apakah yang terjadi?”
Akan tetapi
Kim Lian hanya menangis terisak-isak sehingga hilang kesabaran Im Giok.
Digoyang-goyangnya dua pundak Kim Lian.
“Apa yang
terjadi?”
“Celaka...
Sumoi... Gan-siucai... oleh Suhu...”
“Apa?
Gan-siucai mengapa? Bagaimana Ayah...?” Im Giok mendesak, wajahnya pucat,
jantungnya berdebar keras.
“Suhu telah
membunuh Gan-siucai di rumah penginapan...”
Im Giok
mengeluarkan suara menjerit, akan tetapi cepat dia mendekap mulutnya sendiri.
Kemudian, bagaikan kilat dia melompat keluar dan berlari seperti gila menuju ke
rumah penginapan Liok-nam. Ruang depan atau ruangan tamu dari rumah penginapan
itu masih dikerumuni orang ketika Im Giok tiba di situ.
“Minggir...!”
serunya dan kedua tangannya membuka jalan sehingga empat orang laki-laki
terpelanting ke kanan kiri.
Im Giok
terus menerjang masuk dan ia berdiri terpaku di atas lantai pada saat ia
melihat tubuh kekasihnya menggeletak miring di dekat dinding ruangan itu.
Dengan isak tertahan ia menghampiri, berlutut dan sekali raba saja tahulah ia
bahwa kekasihnya sudah tewas, kepalanya retak dan tulang dadanya patah-patah.
“Gan-ko...,”
bisiknya.
Dipejamkannya
kedua matanya dan ditahannya napasnya karena pukulan hebat sekali
mengguncangkan jantungnya. Apa bila tidak kuat-kuat dia menahan tentu Im Giok
sudah roboh pingsan!
Sampai lama
dia berlutut sambil memejamkan mata, kemudian sesudah kepalanya yang pening
menjadi sembuh kembali, ia baru membuka matanya. Bagaikan hujan gerimis, air
matanya bertitik turun, menetes melalui pipi dan dagu dan ada yang jatuh
bertitik di atas muka Tiauw Ki. Dilihat sekelebatan, dengan air mata di atas
pipi, mayat pemuda itu bagai ikut menangis.
“Koko...,”
kembali Im Giok berbisik.
Air matanya
turun semakin deras ketika dia teringat betapa besar cinta kasih pemuda ini
kepadanya. Dan kini, dalam menghadapi keputusan perjodohan mereka, pemuda ini
telah terbunuh oleh ayahnya.
“Ayah...!”
Im Giok menahan isaknya ketika ia teringat kepada ayahnya.
Tubuhnya
berkelebat dan kembali tiga orang pemuda terguling roboh pada waktu gadis itu
mendesak keluar dengan cepat lalu berlari-lari menuju ke rumah gedungnya. Tanpa
mempedulikan kepada Kim Lian dan para pelayan yang memandangnya dengan mata
terbelalak, Im Giok berlari terus menuju kamar ayahnya.
Pintu kamar
ayahnya terpentang lebar-lebar dan Im Giok melompat ke ambang pintu, berdiri di
sana dengan kedua kaki terpentang lebar dan mata berapi-api memandang ke dalam.
Dia melihat ayahnya sedang duduk di atas kursinya sambil memegang pedang
terhunus yang dipukul-pukulkan ke atas meja!
“Ayah...!”
Suara Im Giok terdengar nyaring, penuh sesal dan nafsu amarah.
Ayahnya
memandang. Dua pasang mata berpandangan, dua pasang mata yang sama tajam, sama
berapi-api pandangannya. Sunyi di situ. Hanya terdengar ketukan-ketukan pedang
pada meja, makin lama makin melambat.
“Kau mau
apa?” akhirnya terdengar juga suara Kiang Liat, lambat-lambat dan setengah
digumam, seakan-akan lidah dan bibirnya sukar digerakkan.
“Ayah, mengapa
kau membunuh Gan-siucai?” Suara Im Giok nyaring tinggi dan tergetar.
Kiang Liat
diam saja untuk beberapa saat, kemudian secara tiba-tiba dia bangkit berdiri,
membacokkan pedangnya ke arah meja yang menjadi terbelah dengan mudah dan roboh
menimbulkan suara berisik.
“Ha-ha-ha,
memang kubunuh mampus anjing itu! Ha-ha-ha, alangkah mudahnya, dengan hanya
sekali pukul saja jahanam keparat pemakan tinta itu mampus!”
“Ayaahhh...!”
Im Giok
tidak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Tangan kanannya digerakkan dan
tahu-tahu pedangnya telah dia cabut. Tangan yang memegang pedang itu menggigil.
“Kau... kau
pengecut besar! Kau... kau membunuh dia yang tidak berdosa. Kau manusia tidak
tahu malu, membunuh orang yang kau tahu tak dapat melawan, seorang yang tidak mempunyai
kepandaian ilmu silat. Kau pengecut!” Bagaikan gila Im Giok memaki-maki ayahnya
sendiri.
Untuk
sejenak ayahnya memandang kepadanya dengan mata terbelalak, kemudian mulut
pendekar itu meringis, seakan-akan ia merasa sakit yang hebat sekali. Mukanya
menjadi pucat sekali. Kemudian ia membuka matanya dan mata itu sekarang
berputaran sangat mengerikan. Dari bibirnya keluar busa dan ia tertawa kembali
terbahak-bahak.
“Ha-ha-ha,
cacing buku yang busuk itu hendak menikah dengan puteriku? Ha-ha-ha-ha, menjadi
tukang membersihkan lantai kamarnya saja masih terlalu rendah. Hah! Memang dia
patut mampus, anjing Cia Sun itu harus mampus meski pun beberapa ratus kali dia
menjelma. Puteriku harus menjadi isteri Liem Sun Hauw pemuda gagah perkasa...”
“Tidak sudi!
Kau manusia keji, kau dan Liem Sun Hauw itu harus masuk neraka!”
Mendengar
makian ini, Kiang Liat menjadi marah sekali. Di dalam pandangan matanya, yang
berdiri di hadapannya itu sudah bukan anaknya lagi, melainkan seorang yang
berani menentangnya.
“Kau hendak
membunuh aku dan Sun Hauw? Ha-ha-ha-ha, bocah lancang, kaulah yang akan mampus
terlebih dahulu!” Sambil berkata demikian, Kiang Liat menyerang puterinya
sendiri.
Pada saat
itu Im Giok juga sudah seperti orang kemasukan iblis dan sudah tidak ingat
apa-apa lagi. Dia tahunya hanya marah dan duka, teraduk menjadi satu di dalam
hatinya. Melihat ayahnya menyerangnya, dia pun segera menangkis sambil
mengerahkan seluruh tenaganya.
Maka
terjadilah pertempuran yang amat hebat di dalam kamar itu antara ayah dan anak
gadisnya sendiri! Kepandaian mereka berimbang, bahkan Im Giok kini telah
memperoleh kemajuan pesat sehingga dia bahkan telah melampaui ayahnya.
Hal ini
adalah karena ilmu-ilmu silat yang diturunkan oleh Bu Pun Su kepada Im Giok
melalui Kiang Liat, oleh Kiang Liat hanya dipelajari teorinya saja, akan tetapi
tidak berani dia melatih diri dengan ilmu itu. Karena itu tentu saja Im Giok
yang dapat memetik sari pelajaran ilmu silat tinggi dari Bu Pun Su itu,
sedangkan Kiang Liat hanya tahu ‘kulitnya’ belaka. Maka makin lama pedang Im
Giok mendesak semakin hebat, dan gulungan sinar pedangnya makin menekan
gulungan sinar pedang ayahnya.
Tiba-tiba
berkelebat bayangan orang dan terdengar pekik, “Im Giok!”
Akan tetapi
dua orang yang sedang bertempur ini seakan-akan tidak mendengar pekik ini dan
melanjutkan pertempuran mereka dengan hebat dan mati-matian.
“Im
Giok...!”
Orang itu
yang bukan lain Kim Lian adanya, mengeluarkan suara jeritan lagi, dan kali ini
ia malah menerjang masuk ke dalam gelanggang pertempuran dengan nekat.
Pedangnya menangkis gulungan pedang Im Giok dan terkejutlah ia karena ia
terpental ke belakang.
“Im Giok...
Sumoi... apakah kau sudah gila hendak melawan ayahmu sendiri...?” Kim Lian
menegur dengan suara nyaring.
Tangkisan
dan jeritan ini membuyarkan permainan pedang Im Giok dan ayahnya yang tadinya
sudah saling menempel. Apa lagi seruan ini membuat Im Giok segera sadar dari
keadaannya yang bagaikan kemasukan iblis tadi, akan tetapi masih belum
melenyapkan kemarahan dan nafsu membunuhnya.
Ia melompat
mundur dan masih memasang kuda-kuda dengan jari-jari tangan kiri terbuka
menengadah ke atas dan tangan kanan memegang pedang di depan dada, dalam sikap
hendak menusuk.
Ada pun
Kiang Liat juga berdiri sambil memasang kuda-kuda laksana patung, tangan kiri
menempel pada dada kiri dan tangan kanannya memegang pedang melintang di dada.
Wajahnya meringis seperti orang kesakitan dan hidungnya kembang kempis.
“Sumoi, kau
gila! Bagaimana engkau menyerang ayahmu sendiri? Lepaskan pedangmu!” teriak Kim
Lian.
Akan tetapi
Im Giok bagaikan sedang di alam mimpi, tidak mau melepaskan pedang dan tetap
memandang ke depan dengan mata terbelalak marah.
“Sumoi,
lekas lepaskan pedang! Kalau tidak terpaksa aku akan menyerangmu, aku harus
membantu Suhu!” teriak pula Kim Lian dengan suara keras.
Kim Lian
melangkah maju dengan pedang di tangan. Dia maklum bahwa kepandaiannya masih
kalah apa bila dibandingkan dengan sumoi-nya, akan tetapi dalam keadaan seperti
ini ia harus berani membantu suhu-nya.
Ketika Im
Giok tetap tidak bergerak, Kim Lian bergerak menyerang sambil berkata, “Kau
membandel? Baik, lihat serangan pedangku!”
“Traangg...!”
Pedang di
tangan Kim Lian terlepas dari pegangan dan gadis itu berseru kaget.
“Kim Lian,
pergi kau! Jangan ikut-ikut!” Kiang Liat membentak setelah menangkis pedang
muridnya sehingga terlepas.
Dengan wajah
kecewa dan juga gelisah Kim Lian terpaksa mengundurkan diri keluar dari kamar
itu.
Sementara,
tadi ketika menangkis pedang muridnya, Kiang Liat sudah sadar kembali dari
keadaan gilanya sehingga mukanya menjadi biasa kembali, bahkan dia nampak
berduka bukan main. Sepasang matanya memandang sayu dan mulai membasah akibat air
mata, bibirnya bergerak gemetar seperti menahan isak tangis.
Melihat ini,
Im Giok tiba-tiba sadar dan teringat betapa kurang ajarnya kelakuan melawan
ayahnya ini. Ia bahkan terkejut sekali kenapa ia sampai bisa menyerang ayahnya
seperti itu. Melihat ayahnya seperti orang hendak menangis, runtuhlah hatinya
dan ia tak berani memandang lebih lama lagi. Ia berdiri seperti patung dan
memejamkan matanya, lalu air matanya bercucuran bagaikan hujan.
“Ayah... aku
telah berdosa... kau bunuhlah aku... Ayah, jangan kepalang tanggung, tusuk
dadaku... biar aku ikut kekasihku.”
Im Giok
melepaskan pedangnya yang jatuh berkerontangan di atas lantai, kemudian dia
melangkah maju sambil meramkan mata, memasang dada untuk ditusuk pedang.
“Gan-koko...
kau tunggulah aku...,” bisiknya sayu.
Akan tetapi
tusukan yang dinanti-nantinya tidak kunjung tiba. Bahkan terdengar keluhan
panjang, disusul oleh suara muntah-muntah dan robohnya tubuh yang berat di atas
lantai. Im Giok segera membuka matanya dan… ayahnya telah menggeletak, dan dari
mulutnya mengalir darah yang dimuntahkannya tadi.
“Ayaaaahhh...!”
jerit Im Giok menubruk dan memeluk tubuh ayahnya.
Diangkatnya
kepala ayahnya yang sudah lemas itu dan dipangkunya, tidak peduli betapa darah
yang dimuntahkan oleh ayahnya tadi menodai sekujur pakaiannya. Diraba-rabanya
jidat ayahnya kemudian dadanya.
“Ayaaaahhh…!”
Dunia serasa
gelap, kamar itu seperti terputar-putar dan Im Giok roboh pingsan di dekat
ayahnya yang kiranya telah putus nyawanya. Akibat tekanan batin yang luar
biasa, Kiang Liat yang semenjak ditinggal mati isterinya sudah menderita sakit
jantung, tidak kuat lagi menahan, jantungnya pecah dan ia meninggal dunia pada
saat itu juga.
Kim Lian
cepat datang berlari-lari dan menubruk Im Giok sambil menangis. Diperiksanya
keadaan Kiang Liat dan ia pun memanggil-manggil dengan suara mengharukan.
“Suhuuu...!”
Kali ini Kim
Lian benar-benar berduka. Di dalam hatinya dia memang memuja suhu-nya dan
menganggap suhu-nya sebagai pengganti orang tuanya. Bahkan lebih dari itu, dulu
pernah dia mengagumi suhu-nya dan ‘ada hati’ terhadapnya. Sekarang melihat
keadaan suhu-nya yang meninggal dunia secara demikian menyedihkan, bagaimana
hatinya tidak merasa hancur?
Setelah puas
menangisi Kiang Liat dan semua pelayan sudah datang bertangisan pula, Kim Lian
lalu menubruk dan memeluki sumoi-nya. Dia amat sayang kepada Im Giok yang sejak
kecil menjadi saudara seperguruannya, kawan bermain-main dan dianggap sebagai
adik kandungnya sendiri. Kini dia hanya hidup berdua dengan Im Giok, tak
berayah tak beribu, tidak berhandai taulan pula. Dengan hati hancur Kim Lian
memondong tubuh adik seperguruannya, dibawa ke kamarnya dengan langkah
sempoyongan.
Setelah
siuman dari pingsannya dan mendapatkan dirinya berada di dalam pelukan Kim Lian
di atas pembaringan, Im Giok teringat akan semua yang terjadi dan cepat ia
bangkit duduk dan bertanya,
“Ayah…?
Bagaimana…?”
Kim lian
tidak dapat menjawab, bahkan tangisnya makin menjadi sambil memeluk pundak Im
Giok. Im Giok seketika menjadi ingat akan semuanya dan ia melompat turun dari
atas pembaringan.
“Ayaaaahhh…!”
Akan tetapi
Kim Lian cepat memeluk Im Giok dan sambil menciumnya berkata, “Adikku… adikku
sayang… tenangkanlah hatimu, ayahmu sudah… meninggalkan kita dan sekarang
sedang dirawat. Tenanglah Sumoi, tenanglah, pergunakan kekuatan batinmu…”
Im Giok
memejamkan matanya. Ia teringat bahwa bukan laku seorang gagah untuk kalap
terhadap desakan hati, maka dia lalu mengatur napasnya dan kedua orang gadis
dengan berdiri saling berpelukan untuk beberapa lamanya diam tak bergerak.
Akhirnya Im Giok berkata lemah,
“Suci, aku
harus dekat dengan jenazahnya…”
Kim Lian
mengangguk dan dengan masih saling peluk dua orang gadis ini lalu berjalan ke
ruangan tengah di mana jenazah Kiang Liat sedang dirawat. Mereka duduk berlutut
dan memandang dengan wajah pucat, mata sayu dan kadang-kadang air mata
menggelinding keluar.
Sampai
jenazah dimasukkan peti mati, Im Giok dan Kim Lian tidak meninggalkan tempat
itu, bahkan malamnya mereka tidak mau pergi dari situ, biar pun dibujuk-bujuk
oleh para pelayan dan tetangga yang datang melayat. Lewat tengah malam, setelah
para penjaga mengundurkan diri dan sebagian yang bertugas menjaga duduk di
ruangan luar, di dalam ruangan jenazah itu hanya tinggal Im Giok dan Kim Lian
berdua!
Mereka duduk
di dekat peti mati, menjaga agar hio tidak padam, demikian pun api lilin.
Kemudian terdengar mereka berbisik-bisik,
“Suci,
sekarang aku tahu...”
Kim Lian
memandang kepadanya, matanya bertanya-tanya.
”Aku tahu
mengapa Ayah membunuhnya.” Air matanya mengucur deras dan cepat-cepat ia
mempergunakan sapu tangan untuk menyusut air matanya.
“Mengapa, Sumoi?”
“Aku ingat
akan riwayat ibuku dahulu. Kematian Ibu yang membuat Ayah seperti menjadi gila
itu adalah karena perbuatan seorang siucai bernama Cia Sun. Oleh karena itu
Ayah membenci para siucai dan kiranya... kiranya wajah Gan-siucai itu hampir
serupa dengan wajah Cia Sun.” Im Giok menutupi mukanya dengan kedua tangannya.
Kim Lian
tidak berkata apa-apa, karena dia tidak tahu bagaimana harus menghibur adik
seperguruannya. Dia tahu betapa hebat derita batin yang menimpa perasaan
sumoi-nya.
“Aku berdosa
besar terhadap Ayah... dahulu sering kali Ayah batuk-batuk dan sering kali
dadanya terasa sakit... tentu Ayah telah menderita penyakit jantung semenjak
kehilangan ibu. Dan tadi... ahhh...” Im Giok kembali menutupi mukanya seperti
orang merasa ngeri membayangkan kejadian tadi pagi, “walau pun ayah meninggal
karena penyakit itu, akan tetapi sesungguhnya aku yang membunuhnya... Ayah,
ampunkan anakmu yang berdosa, Ayah...” Im Giok lalu berlutut dan memeluk peti
mati ayahnya, menangis tersedu-sedu.
Kim Lian memeluknya
dan menariknya. “Sudahlah, Sumoi, segala kejadian di dunia telah ditentukan
oleh Thian.”
Im Giok
mengangguk-angguk dan mengerahkan tenaga batinnya untuk menenteramkan hatinya
yang berguncang keras.
“Aku berdosa
kepada Ayah... akan tetapi Ayah... Ayah juga berdosa terhadap Gan-koko...
kasihan sekali Gan-koko yang tidak punya kesalahan apa-apa. Dibunuh dalam
keadaan penasaran. Ahh, Suci, tolong kau menyuruh seorang pelayan untuk
mengirim hio dan lilin secukupnya, kirimkan ke rumah penginapan Liok-nam. Biar
arwah Gan-ko tahu betapa aku menderita karena kematiannya...”
Kim Lian
mengangguk dan perlahan meninggalkan sumoi-nya untuk segera melakukan
permintaan sumoi-nya itu. Ada pun Im Giok, sepeninggal Kim Lian lalu berlutut
di depan peti mati ayahnya dan diam tak bergerak seperti patung. Hanya
bayangannya saja yang bergerak-gerak akibat api lilin pun bergerak perlahan
tertiup angin yang dapat menerobos masuk ke dalam ruangan itu.
***************
Enam bulan
sudah berlalu semenjak peristiwa itu terjadi. Akan tetapi hingga kini Im Giok
masih saja berkabung. Dia berpakaian serba putih sederhana sekali dan setiap
hari orang tentu mendapatkannya di tanah pekuburan, di mana ia bersembahyang di
depan kuburan ayahnya atau di depan kuburan Gan Tiauw Ki secara bergiliran.
Kadang-kadang
nampak dia menangis tersedu-sedu di depan dua kuburan itu atau hanya duduk
bengong seperti orang kehilangan semangat. Hiburan-hiburan yang diberikan oleh
Kim Lian sama sekali tak ada artinya karena tidak pernah diacuhkan. Selama enam
bulan ini Im Giok tidak mempedulikan pula makan dan tidur sehingga hidupnya
tidak teratur, mukanya kurus pucat dan rambutnya awut-awutan.
Sebaliknya,
Kim Lian dengan cepat dapat melupakan kesedihannya. Sesudah lewat tiga bulan,
dia sudah melepaskan pakaian berkabung dan kembali memakai pakaiannya yang
indah-indah. Bahkan kini ia kembali menjadi binal karena tidak ada yang
mengawasinya. Suhu-nya sudah meninggal dan Im Giok, orang satu-satunya yang
disegani, keadaannya seperti gila dan tidak peduli. Maka kembali Kim Lian
menyeleweng dan melakukan hal-hal yang tidak patut dilakukan oleh seorang gadis
baik-baik.
Pada suatu
hari, pagi-pagi sekali Im Giok sudah kelihatan duduk di atas batu di hadapan
bong-pai (batu nisan) kuburan ayahnya, duduk bengong sama sekali tak pernah
bergerak sehingga dari jauh kelihatan seperti sebuah arca penghias bong-pai. Ia
tenggelam dalam lamunannya sendiri sampai-sampai tidak tahu apa yang terjadi di
sekelilingnya.
Gadis ini
tak dapat melupakan wajah kekasihnya mau pun wajah ayahnya. Dua orang ini
adalah orang-orang yang dicintanya, dan sekarang keduanya telah meninggalkan
dirinya, dan keduanya tewas dalam keadaan yang amat menyedihkan.
Tiba-tiba
terdengar suara halus di belakangnya, “Im Giok, kau masih hidup, tapi mengapa
semangatmu berkeliaran di alam baka? Kembalilah ke dunia!”
Kalimat
terakhir ini diucapkan sebagai perintah dan suaranya mengandung tenaga serta
pengaruh yang luar biasa sekali sehingga Im Giok bagaikan disambar petir dan
seketika itu juga lantas tersadar. Gadis ini terkejut dan menengok.
“Susiok-couw...!”
Im Giok menjatuhkan diri berlutut di depan seorang kakek yang ternyata bukan
lain adalah Bu Pun Su.
Kakek ini
mengelus-elus jenggotnya sambil menundukkan muka memandang pada gadis yang
bercucuran air mata di depannya itu. Terdengar helaan napasnya sampai tiga
kali.
“Hemmm,
memang banyak hal-hal yang aneh di dunia ini, keanehan yang merupakan kekuasaan
indah dari kekuasaan Thian! Manusia boleh berdaya upaya sekuat tenaga, akan
tetapi tak dapat keluar dari ikatan karena yang menimbulkan nasib tersendiri.”
Im Giok
masih menangis terisak-isak dan Bu Pun Su tidak mengganggunya karena kakek
sakti ini maklum bahwa obat yang paling baik di saat itu bagi Im Giok adalah
menangis sepuasnya, tangis yang sungguh-sungguh sebagai peluapan perasaan yang
mendesak memenuhi dada, sebagai pelepas hawa berbahaya yang mengancam isi dada.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment