Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dara Baju Merah
Jilid 11
PADA saat
itu, Im Giok sedang berada dalam keadaan gembira dan bahagia, maka tentu saja
muka cemberut dari dua orang gadis itu tidak terlihat olehnya. Sebaliknya,
dengan senyum manis ia lalu menjura kepada mereka sambil berkata, “Selamat
bertemu di tempat ini! Apakah Sam-wi baru pulang dari rumah Suma-taijin?”
Nenek itu
menjawab cepat-cepat, “Kau bermalam di rumah Suma-taijin. Kami bermalam di
rumah penginapan.”
Im Giok
menggerakkan alis agak heran melihat sikap ini, akan tetapi tetap tersenyum dan
melanjutkan katanya dengan ramah, “Ah, maaf. Maksudku, tentu Sam-wi baru
meninggalkan Tiang-hai dan hendak ke mana?”
Tiba-tiba
seorang di antara dua gadis itu, yang ada tahi lalatnya di dagu, membentak,
“Siapa sudi bicara dengan segala perempuan gila lelaki!”
Tiauw Ki
menjadi pucat saking marahnya, dan Im Giok menjadi merah mukanya. Kedua matanya
yang indah itu kini menyambar bagaikan cahaya kilat ke arah gadis itu. Meski
suaranya tetap halus dan ramah, akan tetapi di dalam suara ini terkandung
sesuatu yang dingin dan tajam menembus jantung.
“Cici yang
baik, kau bilang apa?”
“Aku bilang
kau perempuan cabul, gila lelaki!” Gadis bertahi lalat dagunya itu membentak
lagi sambil mengangkat hidungnya, mengejek.
Im Giok
masih tersenyum lebar.
“Alasannya?”
“Dari semula
kau datang, kau sudah berdua dengan pemuda ini, sungguh memalukan. Kemudian kau
bermanis-manis terhadap Suma-huciang, bahkan kau mencoba pula untuk memikat
hati Lie-kongcu. Menyebalkan sekali!”
Im Giok
memang cerdik luar biasa. Dari ucapan ini saja dia sudah dapat menerka apa yang
menyebabkan gadis ini marah-marah seperti kemasukan setan. Senyumnya makin
lebar dan sinar matanya berseri.
“Ahh, Cici
yang baik, kau memutar balikkan kenyataan. Jelas sekali kulihat bahwa kaulah
yang tergila-gila kepada Lie-kongcu, akan tetapi ia tidak memperhatikan tahi
lalatmu yang menjijikkan itu, kau jadi marah-marah kepadaku!”
Mendengar
ini, wajah gadis itu menjadi pucat, tetapi sebentar kemudian berubah merah.
Mulutnya terbuka, matanya terbelalak, dan saking marahnya ia sampai-sampai tak
kuasa mengeluarkan kata-kata. Sesudah menenangkan hatinya, akhirnya dapat juga
suaranya keluar. Diangkatnya cambuknya ke atas, dipukulkan kepala Im Giok
didahului makiannya,
“Perempuan
rendah, kau berani sekali memaki aku! Tidak tahu kau sedang berhadapan dengan
siapa?”
“Hei, jangan
pukul dulu!” Im Giok membentak, suaranya demikian berpengaruh sehingga wanita
bertahi lalat itu menjadi kaget dan otomatis cambuk yang sudah diangkat itu
tidak dipukulkan! “Teruskan dulu keteranganmu, sebenarnya siapakah kalian ini
yang bersikap demikian tengik?”
Wanita itu
menahan marahnya dan sengaja memperkenalkan nama dengan maksud agar Im Giok
menjadi ketakutan. “Buka telingamu lebar-lebar, kami berdua adalah Kim-jiauw
Siang-eng Kwan Ci-moi (Kakak Beradik Kwan yang Berjuluk Sepasang Garuda Berkuku
Emas)! Dan dia itu adalah ibu kami Koai-tung Toanio. Siapa yang tidak mengenal
kami dari Kong-thong-pai?”
Im Giok
merasa geli sekali melihat gadis yang dogol dan otak-otakan ini, akan tetapi
dia mengangkat kedua mata seakan-akan orang terkejut dan ketakutan.
“Aduh... tak
tahunya aku berhadapan dengan tiga orang sakti dari Kong-thong-pai...,” kata Im
Giok.
“Ji Kim,
jangan menyombong!” tegur nenek itu yang mengerti bahwa Im Giok tadi hanya
pura-pura saja ketakutan, sebetulnya sikap gadis baju merah itu adalah ejekan
belaka.
“Hayo lekas
berlutut dan minta ampun kepadaku!” gadis bertahi lalat yang bernama Kwan Ji
Kim itu membentak, masih belum mengerti bahwa Im Giok hanya pura-pura takut
saja.
“Kau
datang-datang lantas memaki orang dan bersikap sombong, bagaimana aku harus
berlutut? Jangankan kau baru Garuda berkuku emas, biar pun tahi lalatmu berubah
emas aku tetap tak sudi berlutut!” jawab Im Giok, kini tidak berpurap-pura
lagi.
Ji Kim marah
sekali dan kini cambuk kudanya diayun cepat menghantam kepala Im Giok. Akan
tetapi, Ang I Niocu Kiang Im Giok hanya miringkan tubuh dan secepat kilat tangan
kirinya menyambar, dan pada lain saat cambuk itu telah berpindah ke tangannya.
Sambil tersenyum Im Giok mempergunakan cambuk itu menghajar kedua kaki depan
kuda yang ditunggangi oleh Kwan Ji Kim sehingga kuda itu roboh bertekuk lutut
dan terpaksa Kwan Ji Kim melompat untuk menjaga diri agar tidak jatuh
terjungkal!
“Kudamu
lebih tahu adat!” Im Giok mengejek. “Tahu akan kesalahan nonanya sehingga
mintakan maaf kepadaku.”
Kwan Ji Kim
marah bukan main. Dicabutnya pedang yang tergantung pada pinggangnya, lalu
diserangnya Im Giok dengan sengit. Namun, melihat gerakan nona ini, Im Giok
hanya tersenyum dingin. Dengan gerakan indah sekali tubuhnya melenggok ke kiri,
kemudian tangannya menyambar ke arah pipi lawan.
“Plakk...!”
Pipi gadis
bertahi lalat itu telah kena ditampar sehingga ia terhuyung-huyung ke belakang
setelah mengeluarkan jerit kesakitan. Sesudah ia dapat menguasai keseimbangan
badan dan kembali berdiri tegak, ternyata pipi kanan Kwan Ji Kim telah bengkak
menggembung sehingga muka yang manis itu kini menjadi lucu dan jelek!
“Setan
betina, kau berani menyakiti adikku?!” Gadis ke dua melompat turun dari kuda
dengan pedang terhunus pula.
Gerakan
pedang ini jauh lebih cepat dari pada Kwan Ji Kim dan tusukan pedangnya lebih
kuat lagi. Namun ia bukan lawan Im Giok, karena dengan amat mudahnya Im Giok
dapat menghindarkan diri dari tusukan pedang itu. Tiba-tiba saja Im Giok merasa
ada sambaran angin dingin dari kanan. Cepat ia melompat ke belakang dan
tahu-tahu sebatang tongkat menyambar dengan dahsyatnya.
Im Giok
maklum bahwa nenek yang memegang tongkat itu mempunyai kepandaian tinggi dan
merupakan lawan berat, maka cepat ia pun mencabut pedangnya sambil berkata,
“Koai-tung
Toanio! Kalau kau betul-betul seorang tokoh kang-ouw yang mengerti aturan dan
seorang ibu yang baik, mengapa kau tidak menegur anak-anakmu yang kurang ajar
sebaliknya bahkan ikut-ikut menyerangku? Ada permusuhan apakah di antara kita
maka kalian begini mendesak padaku?”
Nenek itu
menyeringai, kemudian berkata, suaranya tinggi serak, “Kemarin kau begitu
sombong memamerkan kepandaian dan aku tidak sempat membuktikan. Sekarang ingin
aku melihat sampai di mana kelihaianmu, jangan kau hanya berani menghina dua
anakku yang bodoh. Majulah!”
Im Giok
mengerti bahwa nenek ini bukan hanya hendak menjajal kepandaiannya, akan tetapi
jika tidak membela anaknya yang sudah ia tampar tadi, tentu tersembunyi maksud
lainnya. Ia pun tidak sudi memperlihatkan kelemahannya. Setelah orang
menantangnya, ia harus melayani dan memperlihatkan kepandaiannya. Apa lagi di
situ ada Tiauw Ki yang menyaksikan. Dicabutnya pedangnya dan dengan tenang dia
berdiri memandang kepada tiga orang lawannya.
“Kalian
hendak mencari perkara? Boleh saja, Ang I Niocu Kiang Im Giok bukan seorang pengecut
dan tak pernah menolak tantangan.”
Im Giok
menanti serangan, tidak mau ia mendahului bergerak karena memang ia tidak
mempunyai permusuhan dengan tiga orang ini.
Koai-tung
Toanio mengeluarkan seruan keras, lantas tongkatnya diputar bagaikan kitiran
cepatnya dan diterjangnya gadis baju merah yang berdiri tenang di hadapannya.
Anaknya yang sulung, Kwan Twa Kim, juga maju menyerang dengan pedangnya.
Sekilas
pandang saja tahulah Im Giok bahwa kepandaian nenek itu memang lihai, jauh
lebih lihai dari pada puterinya, maka menghadapi pengeroyokan dua orang ini,
lebih dulu ia harus mengalahkan yang lemah agar seluruh perhatiannya dapat
dicurahkan kemudian kepada yang kuat.
Oleh karena
itu pedangnya segera bergerak, merupakan tarian indah dan dengan halus gerakannya
itu terbagi dua, yakni bersifat lembek apa bila menghadapi serangan tongkat
Koai-tung Toanio, akan tetapi keras dan kuat menghadapi Kwan Twa Kim. Siasatnya
ini berhasil baik sekali karena sebentar saja Kwan Twa Kim telah terdesak
hebat, sedangkan tongkat Koai-tung Toanio belum juga dapat mendesaknya, bahkan
beberapa kali tongkat di tangan nenek itu terbetot dan ‘diselewengkan’ sehingga
membentur pedang anaknya sendiri apa bila bertemu dengan pedang Im Giok!
Beberapa
jurus kemudian, terdengar suara keras dan pedang di tangan Kwan Twa Kim
terlempar, disusul pekik kesakitan dari gadis ini. Ternyata bahwa lengan
kanannya sudah keserempet pedang dan mengeluarkan darah.
“Twa Kim,
mundur kau...!” ibunya berkata marah dan memperhebat gerakan tongkatnya, menyerang
Im Giok dengan mati-matian.
“Toanio,
kita tidak bermusuhan, mengapa kau begini nekat?” Im Giok menegur, hatinya tak
senang melihat sikap nenek yang terlalu mendesak ini.
“Tutup mulut
dan lihat tongkatku!” bentak Koai-tung Toanio yang dari penasaran menjadi marah
sekali mengapa begitu lama belum juga ia dapat mengalahkan gadis muda ini.
Timbul
kemarahan di hati Im Giok. Tadinya ia tidak suka merobohkan nenek ini yang tak mempunyai
permusuhan sesuatu dengannya. Seorang tokoh kang-ouw sangat menjaga nama
besarnya dan tahu bahwa kalau nenek itu sampai kalah olehnya, hal ini merupakan
penghinaan besar bagi nenek yang keras hati ini. Tadinya dia mengharapkan nenek
ini akan melihat gelagat dan mundur sendiri setelah menyaksikan kelihaiannya,
tak tahunya nenek ini bahkan berlaku nekad dan menyerang mati-matian.
“Kau tidak
boleh diberi hati!” Im Giok mencela.
Kini
tiba-tiba saja gerakan pedangnya berubah. Pedangnya menyambar-nyambar dalam
gerakan yang amat indah dan halus. Namun di dalam kehalusan ini tersembunyi
gerakan-gerakan menyerang yang dahsyat bukan main. Inilah Sian-li Kiam-hoat
atau ilmu pedang bidadari yahg indah dilihat namun berbahaya sekali dilawan.
Koai-tung
Toanio tidak mau menyerah kalah begitu saja. Sungguh pun dia terkesiap juga
menyaksikan ilmu pedang yang aneh ini, namun dia memutar tongkat semakin cepat
dan mengerahkan segala kepandaian untuk rnengalahkan lawan. Tetapi, betapa pun
juga ia berusaha, tetap saja sinar pedang yang perubahannya sukar diduga-duga
itu, makin lama makin mendesak sinar tongkatnya dan makin lama ia merasa makin
terkurung oleh sinar pedang yang bergulung-gulung dan yang membuat pandangan
matanya berkunang.
“Pergilah!”
terdengar seruan Im Giok.
Dengan
gerakan cepat tangan kirinya sudah berhasil mencengkeram tongkat lawannya dan
jika saja ia mau, pedangnya dapat ditusukkan. Akan tetapi Im Giok tidak
bermaksud membunuh lawannya, maka sebagai gantinya pedang, ia hanya menendang.
Tubuh Koai-tung
Toanio terlempar dan tongkatnya terampas. Namun kepandaian nenek ini memang
tinggi. Biar pun ia sudah terluka oleh tendangan itu dan tubuhnya terlempar, ia
masih mampu menjaga diri sehingga jatuhnya berdiri! Ia memandang kepada Im Giok
dengan mata melotot marah. Kemudian ia melompat ke atas kudanya, diikuti oleh
kedua orang puterinya.
“Toanio, ini
tongkatmu ketinggalan!” Im Giok tertawa sambil melontarkan tongkat itu ke arah
Koai-tung Toanio.
Tanpa
menoleh nenek itu menghantam tongkatnya sendiri dengan tangan kanan. Segera
terdengar bunyi keras dan tongkat itu patah menjadi dua, meluncur ke bawah
kemudian menancap di atas tanah!
Im Giok
menarik napas panjang. “Kepandaiannya tinggi dan mengagumkan, tapi sayang
wataknya tidak patut sekali.”
Tiauw Ki menghampiri
Im Giok dan memegang lengannya.
“Moi-moi,
bukan main hebatnya engkau ini. Benar-benar aku kagum sekali melihatmu dan
makin terasalah olehku betapa tiada gunanya aku ini. Aku seorang laki-laki yang
lemah, sedangkan kau... ahh, kau benar-benar seorang bidadari yang sakti...”
“Husshhh,
Twako. Ada pasukan berkuda datang!” Suara Im Giok terdengar agar khawatir pada
waktu mengucapkan kata-kata ini dan merenggut lengannya terlepas dari pegangan
Tiauw Ki.
Pemuda itu
menoleh dan benar saja, segera terlihat debu mengepul tinggi mengiringkan
pasukan berkuda yang datang dengan cepat. Setelah dekat, Im Giok dan Tiauw Ki
saling pandang dengan muka berubah melihat bahwa pasukan berkuda terdiri dari
empat puluh orang lebih itu dipimpin oleh Lie Kian Tek, Ceng-jiu Tok-ong, dan
juga terdapat banyak perwira-perwira pembantu Suma-huciang, di antaranya
terlihat juga Sin-touw-ong Si Raja Copet. Mereka semua kelihatan marah dan
sekarang mereka telah berhadapan dengan Im Giok dan Tiauw Ki.
“Pembunuh
keji, menyerahlah supaya kami tak usah menggunakan kekerasan!” kata Lie Kian
Tek sambil mencabut pedangnya.
“Eh, tikus,
kau memaki siapakah?” Im Giok membentak dengan marah. Ia masih merasa benci
kepada kongcu yang ceriwis ini.
Lie Kian Tek
tertawa bergelak dan menengok kepada kawan-kawannya.
“Lihat,
pandai benar perempuan ini bermain sandiwara, seakan-akan dia suci bersih dan
tidak tahu apa-apa. Ha-ha-ha!” kemudian dia memandang kepada Tiauw Ki dan
berkata, “Pengkhianat pengecut! Kau mengaku sebagai keponakan Suma-huciang,
tidak tahunya kau adalah penjahat besar yang datang dengan niat buruk. Kau
tidak segera menyerah dan mengakui dosamu?”
Tiauw Ki
mengerutkan kening dan bertanya,
“Kedosaan
apakah yang telah kuperbuat?” dan terhadap Sin-touw-ong Siauw Hap, Raja Copet
yang kate itu ia pun bertanya, “Siauw-sicu, sebetulnya ada apakah maka kau juga
datang menyusulku? Apakah ada pesanan sesuatu dari Suma taijin?”
Si Kate yang
sudah dikenal sebagai pembantu setia dari Suma-huciang itu terlihat amat
bingung menghadapi Tiauw Ki dan Im Giok. Kemudian dia berkata dengan suara
duka, “Suma-taijin telah meninggal dunia, tadi kami mendapatkan beliau sudah
rebah di lantai kamarnya dengan leher putus!”
“Apa
katamu...?!” Tiauw Ki meniadi pucat mukanya dan juga Im Giok terkejut bukan
main.
Terdengar
suara ketawa dingin dari Lie Kian Tek. “Gan Tiauw Ki penjahat besar, jangan kau
berpura-pura kaget. Kami bukan anak-anak kecil dan kami juga sudah tahu bahwa
pembunuhan atas diri Suma-taijin adalah perbuatanmu dengan pengawalmu yang
cantik. Malam tadi semua tamu pulang atau kembali ke rumah penginapan, hanya
kau bersama pengawalmu saja yang bermalam di rumah Suma-taijin. Ada pula yang
bermalam akan tetapi pada bagian lain, tidak seperti kalian yang bermalam di
dekat kamar Suma-taijin di bawah satu wuwungan! Dan pula, kalau tamu-tamu lain
masih ada pagi hari ini, kau dan pengawalmu tanpa pamit telah minggat pergi.
Bukti-bukti sudah jelas apakah kau masih hendak menyangkal?”
“Bohong!
Fitnah belaka!” Tiauw Ki memaki marah. “Siapa percaya akan tuduhan dusta ini?
Aku dan nona ini sama sekali tidak tahu-menahu tentang pembunuhan itu dan malam
tadi kami pun sudah berpamit kepada Suma-taijin!”
Lie Kian Tek
tertawa bergelak. “Tidak ada pembunuh mengaku sudah membunuh orang, seperti
juga tidak ada maling mengaku telah mencuri barang. Hayo tangkap orang ini,
kita harus menyeretnya ke pengadilan!”
Didahului
oleh Ceng-jiu Tok-ong, pasukan itu lalu bergerak menyerang. Gerakan Ceng-jiu
Tok-ong cepat sekali dan sekali kakek ini melompat turun dari kudanya menubruk,
di lain saat Tiauw Ki sudah diringkusnya dan sebuah totokan membuat pemuda itu
lemas tidak berdaya lagi.
“Lepaskan
dia!” Im Giok berseru.
Gadis ini
marah sekali melihat perlakuan orang terhadap kekasihnya. Ia menerjang dan
menyerang Ceng-jiu Tok-ong.
Kakek ini
cepat-cepat menggerakkan tangan menangkis sambil mencabut goloknya yang
bersinar hijau. Juga orang-orang lain sudah mencabut senjata, sedangkan Lie
Kian Tek berteriak,
“Perempuan
pemberontak, kaulah yang membunuh Suma-taijin!” Kata-kata ini membuat Im Giok
marah sekali dan pada lain saat ia telah dikurung oleh banyak orang.
“Nona, lebih
baik kau menyerah!” kata Sin-touw-ong Siauw Hap.
Dia merasa
sayang sekali kalau sampai gadis ini terluka. Sebetulnya Raja Copet ini pun
meragukan bahwa Im Giok telah membunuh Suma-huciang, akan tetapi bukti-buktinya
memang memberatkan Tiauw Ki dan Im Giok sehingga sebagai alat negara ia pun
harus ikut membantu menangkap pembunuh Suma-huciang.
Im Giok
mengamuk. Gadis ini maklum bahwa keselamatan Tiauw Ki terancam bahaya besar
sesudah terjatuh ke dalam tangan orang seperti Lie Kian Tek, karena itu ia
hendak menolong pemuda kekasihnya itu dengan kekerasan.
Sebentar
saja ia dikurung hebat sekali oleh Ceng-jiu Tok-ong, Sin-touw-ong dan
perwira-perwira lain yang cukup tinggi kepandaiannya. Akan tetapi Im Giok tidak
gentar. Untuk menolong Tiauw Ki, dia rela mengorbankan nyawa. Lebih baik mati
bersama dari pada dia membiarkan kekasihnya dibikin celaka orang.
Akan tetapi
keadaan lawan terlampau berat. Menghadapi seorang Ceng-jiu Tok-ong saja masih
sulit ia mengalahkan, apa lagi dikeroyok pula oleh belasan orang. Memang,
selain Ceng-jiu Tok-ong dan Sin-touw-ong, yang lain-lain hanya menyerang dari
jarak jauh dan tidak berani terlalu mendekat, akan tetapi cara ini bahkan
melelahkan Im Giok.
Gadis ini
tak dapat merobohkan mereka yang mengeroyoknya dari jarak jauh, sedangkan untuk
mengerahkan kepandaian melayani Ceng-jiu Tok-ong dan Sin-touw-ong, dia selalu
diganggu oleh para pengeroyok yang menyerangnya dari jauh, baik dari kanan,
kiri mau pun belakang.
“Giok-moi,
menyerah saja, Giok-moi. Kita tidak berdosa, biar mereka membawa kita ke
pengadilan!” Tiauw Ki berseru kepada Im Giok karena pemuda ini merasa gelisah
sekali melihat kekasihnya dikeroyok oleh banyak orang dan terdesak hebat.
Mendengar
ini, Im Giok pikir betul juga. Belum tiba saatnya buat melakukan pertempuran
mati-matian. Mereka hanya diduga menjadi pembunuh dan di depan pengadilan mereka
dapat menyangkal. Kalau nanti mereka tetap saja difitnah dan tidak ada jalan
keluar lagi, barulah dia akan mempergunakan pedangnya. Maka cepat dia melompat
keluar kalangan pertempuran dan membentak,
“Aku akan
menyerah dengan syarat bahwa Gan-twako dan aku diberi kebebasan ikut ke tempat
pengadilan. Aku tidak sudi dijadikan tawanan dan diikat!”
“Enak saja
kau bicara!” Ceng-jiu Tok-ong membentak dan hendak menyerang lagi.
Akan tetapi
Lie Kian Tek berkata, “Locianpwe, biar kita menerima syaratnya!”
Mendengar
ini, Ceng-jiu Tok-ong membatalkan niatnya dan memandang dengan muka merah. Lie
Kian Tek lalu menghadapi Im Giok dan berkata,
“Kami
menerima syaratmu. Mari kau ikut dengan kami. Aku berjanji bahwa kalian berdua
akan diperiksa dengan adil.”
Sambil
berkata demikian, Lie Kian Tek tersenyum ramah kepada Im Giok. Dia berusaha
mengambil hati gadis ini dengan wajahnya yang tampan dan sikapnya yang manis.
Akan tetapi Im Giok sama sekali tidak tertarik.
“Bebaskan
Gan-twako terlebih dahulu!” katanya sambil menunjuk ke arah Tiauw Ki yang lemas
terduduk di atas tanah. Pemuda ini sudah tertotok dan biar pun dapat bicara,
akan tetapi tak mampu menggerakkan kaki tangannya!
“Locianpwe,
harap bebaskan dia!” kata Lie Kian Tek kepada Ceng-jiu Tok-ong.
Kakek ini
nampak ragu-ragu. Maka, Im Giok lalu melompat maju menghampiri Tiauw Ki dan
sekali menepuk punggung pemuda itu, Tiauw Ki terbebas dari pengaruh totokan dan
dengan bantuan Im Giok dapat berdiri lagi.
Wajah Tiauw
Ki merah sekali karena diam-diam pemuda ini menyesal mengapa ia begitu lemah.
Ia memandang kepada Im Giok dan meski pun mulutnya tidak berkata sesuatu, tapi
sinar matanya menyatakan bahwa ia akan menyelamatkan mereka berdua apa bila
mereka dihadapkan ke depan pengadilan. Im Giok maklum pula akan hal ini sebab
ia pun tahu bahwa pemuda ini adalah kepercayaan Kaisar dan tentu saja mempunyai
pengaruh terhadap para hakim.
Lie Kian Tek
berkata kepada Sin-touw-ong dan beberapa orang perwira yang datang dari
Tiang-hai untuk pulang saja dan memberi laporan kepada para pembesar di
Tiang-hai bahwa dua orang pembunuh sudah menyerah.
“Aku hendak
membawa mereka ke kota raja,” berkata Lie Kian Tek. “Urusan membunuh
Suma-huciang adalah urusan besar dan karenanya mereka harus diadili di kota
raja!”
Karena kalah
pengaruh dan kalah kedudukan, Sin-touw-ong serta para perwira menurut saja.
Mereka lalu kembali ke Tiang-hai seperti yang diperintahkan oleh Lie Kian Tek.
Lie Kian Tek
bersama Ceng-jiu Tok-ong dan anak buahnya lalu membawa Im Giok dan Tiauw Ki
melanjutkan perjalanan. Tiauw Ki beserta Im Giok menunggang kuda di
tengah-tengah rombongan sehingga mereka seakan-akan dikurung terus.
Wajah Tiauw
Ki nampak berseri dan beberapa kali ia memandang kepada Im Giok sambil
tersenyum geli. Im Giok membalas senyumnya. Gadis ini juga merasa geli akan
ketololan Lie Kian Tek. Tiauw Ki datang dari kota raja dan menjadi kepercayaan
Kaisar. Sekarang pemuda ini ditangkap dan hendak dihadapkan di depan pengadilan
di kota raja! Ini sama halnya dengan menangkap seekor ikan dari kolam untuk
dilepaskan di sungai besar!
Oleh karena
inilah maka Im Giok juga tidak peduli ketika dia dikurung rapat-rapat dan
memang sukar kalau sekaligus para pengurung itu menyerangnya. Juga dia tidak
peduli ketika kurang lebih lima li kemudian, di sebuah persimpangan jalan
muncul serombongan pasukan terdiri darl lima puluh orang lebih yang temyata
adalah anak buah dari Lie Kian Tek pula dan yang kini menggabungkan diri
menjadi barisan besar.
Akan tetapi,
ketika mereka tiba di persimpangan jalan lagi dan Lie Kian Tek memimpin
pasukannya membelok ke kiri, Tiauw Ki berseru keras,
“Hee!
Mengapa ke kiri? Jalan ke kota raja adalah terus ke utara!”
Tiba-tiba
pasukan itu bergerak dan lebih dari lima puluh batang tombak panjang sudah
ditodongkan ke arah Im Giok! Terdengar Lie Kian Tek tertawa bergelak.
“Gan Tiauw
Ki, kalau kau ingin selamat, keluarkan surat dari Suma-huciang untuk Kaisar dan
berikan kepadaku!” kata putera gubemur itu.
Im Giok
terkejut. Ia kini dapat menduga semuanya. Tak salah lagi bahwa Suma-huciang
tentu dibunuh oleh kaki tangan orang she Lie ini dan kini teringatlah dia akan
tiga orang wanita yang sudah bertempur dengannya tadi. Besar sekali
kemungkinannya bahwa tiga orang wanita itulah yang membunuh Suma-huciang dan
mereka itu tentulah kaki tangan orang she Lie ini pula.
Kemudian Lie
Kian Tek sengaja menuduh Gan Tiauw Ki dan dia sehingga para perwira di
Tiang-hai dapat ditipunya dan diajaknya menangkap Tiauw Ki. Kemudian putera
gubernur yang amat licin itu sengaja menyuruh Sin-touw-ong dan lain perwira
dari Tiang-hai untuk kembali ke Tiang-hai dan memberi tahu bahwa dia hendak
mengantar Tiauw Ki ke kota raja untuk diadili! Hemm, kalau dilihat begini,
ternyata bukan Lie Kian Tek yang bodoh, melainkan Tiauw Ki dan dia yang mudah
ditipu dan sebaliknya orang she Lie itu ternyata cerdik dan penuh siasat!
Im Giok
mencabut pedangnya, akan tetapi segera belasan ujung tombak yang runcing telah
menempel pada tubuhnya dari kanan kiri dan depan belakang, demikian pula tubuh
Tiauw Ki telah ditodong oleh belasan mata tombak!
Kembali
terdengar Lie Kian Tek tertawa terbahak-bahak.
“Ha-ha-ha,
Nona manis! Sebelum kau bergerak, kau dan sahabatmu ini lebih dahulu akan
menjadi mayat. Gan Tiauw Ki, lekaslah kau menjawab, pesanan apa yang kau dapat
dari Suma-huciang untuk Kaisar?!”
Sudah
gatal-gatal mulut Tiauw Ki untuk mengumpat cacian kepada putera gubernur itu.
Ia tidak takut mati dalam menunaikan tugasnya. Akan tetapi pemuda ini menengok
ke arah Im Giok dan gemetarlah seluruh tubuhnya.
“Lie Kian
Tek, kau bebaskan dahulu Nona itu. Biarkan dia pergi dari sini. Dia tidak ada
sangkut-pautnya dengan urusan kita dan dia bersamaku hanya kebetulan saja.
Bebaskan dia dan aku akan mengaku semuanya kepadamu.”
“Bebaskan
dia? Ha-ha-ha, kau kira aku begitu bodoh? Jika dia dibebaskan tentu dia akan
menimbulkan keributan lagi.”
“Tidak! Aku
yang tanggung kalau dia tidak akan menimbulkan keributan,” kata Tiauw Ki
cepat-cepat dan pemuda ini menoleh kepada Im Giok sambil berkata, “Giok-moi,
kuminta dengan sangat agar kau jangan mencampuri urusanku dan lebih baik kau
segera pulang ke tempatmu sendiri.”
Im Giok
menjadi pucat mukanya. Ia merasa menyesal dan kecewa sekali melihat betapa
pemuda pujaan hatinya kini tiba-tiba menjadi begitu lemah, mudah saja hendak
mengaku seolah-olah sudah takut akan kematian. Pemuda macam ini tak patut
menjadi kekasihnya dan dia merasa kecewa bukan main. Dua titik air mata
membasahi matanya dan sudah akan menetes turun kalau saja dia tidak lekas-lekas
mengerahkan tenaga batinnya untuk menekan perasaan.
“Jadi kau
hendak mengaku semuanya? Hemm, baiklah, dan antara kita sudah tidak ada apa-apa
lagi...,” katanya dengan suara sayu sambil memasukkan kembali pedangnya ke
dalam sarung pedang.
Hatinya
sakit sekali. Ia siap sedia mengorbankan nyawa untuk melindungi kekasihnya ini
yang sedang menunaikan tugas penting dan mulia. Tidak tahunya sekarang
kekasihnya menggigil menghadapi ancaman tombak!
“Lie Kian
Tek, lekas kau bebaskan dia!” kata Tiauw Ki kepada putera gubemur itu tanpa
mempedulikan sikap Im Giok.
Lie Kian Tek
ragu-ragu. Ia tergila-gila kepada Im Giok dan mengaku di dalam hatinya bahwa ia
jatuh cinta kepada gadis baju merah itu yang memiliki kecantikan begitu luar
biasa sehingga baginya baru pertama kali ini selama hidupnya ia bertemu dengan
gadis sejelita ini. Akan tetapi, dia pun perlu sekali memancing keterangan dari
mulut Tiauw Ki tentang pesanan Suma-huciang.
“Lie Kian
Tek, kalau kau tak mau membebaskannya, jangan harap kau dapat mendengar
pengakuanku!” kata pula Gan Tiauw Ki kepada Lie Kian Tek.
Tiba-tiba Im
Giok menjadi marah dan ia memandang kepada Tiauw Ki dengan mata yang
berapi-api.
“Orang she
Gan! Apakah kau kira aku takut mati? Tak perlu keselamatanku ditebus oleh
pengakuanmu! Kalau aku mau pergi, siapa berani menghalangiku?”
Sambil berkata
demikian, Im Giok menggerakkan kepala kudanya, lantas menerjang para
pengepungnya sehingga para anggota pasukan itu cepat-cepat menyingkir.
Mereka semua
merasa lega bahwa Lie Kian Tek tidak memberi aba-aba sesuatu, karena semua
pengepung, kecuali Ceng-jiu Tok-ong, merasa kagum dan sayang sekali apa bila
mereka harus turun tangan melukai gadis yang demikian cantik jelita. Ketika
tadi mereka diharuskan menodongkan mata tombak kepada gadis itu, mereka merasa
seolah-olah bersiap untuk disuruh merusak setangkai bunga yang amat cantik dan
indah dipandang, bunga yang harum dan menimbulkan kasih sayang.
Sebaliknya,
Im Giok merasa makin mendongkol karena Lie Kian Tek ternyata diam saja. Ia
sengaja berlaku begini untuk memancing supaya Lie Kian Tek mengeluarkan aba-aba
menangkapnya dan dia akan mengamuk mati-matian.
Memang Im
Giok maklum bahwa seorang diri saja tidak mungkin ia dapat menang dalam
menghadapi Ceng-jiu Tok-ong yang dibantu oleh lima puluh orang prajuritnya.
Akan tetapi untuk melindungi dan membela Tiauw Ki, ia siap mengorbankan
nyawanya.
Kedongkolannya
terutama sekali dikarenakan sikap Tiauw Ki yang seakan-akan hendak menolongnya
dengan jalan menjadi pengkhianat! Memang sikap ini dapat dilakukan oleh seorang
pemuda yang amat mencintanya, tetapi oleh Im Giok dianggap bukan perbuatan
seorang gagah.
Membela
kekasih boleh saja dengan taruhan nyawa, akan tetapi sama sekali tidak boleh
mempertaruhkan kesetian terhadap negara dan mempertaruhkan nama kehormatan!
Bila Tiauw Ki hendak menolongnya dengan jalan berkhianat, baginya itu bukan
pertolongan, akan tetapi penghinaan besar!
Sebagai
seorang kepercayaan Kaisar, seorang pemuda yang berjiwa patriot, seharusnya
Tiauw Ki mengerti baik akan hal ini. Maka dengan hati marah dan mendongkol Im
Giok lalu membalapkan kuda meninggalkan tempat itu!
Untuk
sejenak Tiauw Ki memandang ke arah bayangan merah di atas kuda itu dengan muka
pucat dan wajah muram. Akan tetapi setelah bayangan Im Giok tidak kelihatan
lagi, wajahnya menjadi tenang dan pemuda ini kelihatan lega dan puas. Tadinya
dia memang merasa sakit hati sekali melihat betapa Im Giok marah kepadanya,
akan tetapi sesudah gadis itu pergi, hatinya sedikit terhibur.
Biarlah,
pikirnya, apa pun juga yang menimpaku, asal dia itu selamat. Ia lalu memandang
kepada Lie Kian Tek dengan mata bersinar dan mulut tersenyum mengejek.
“Gan Tiauw
Ki, dia sudah kami bebaskan. Hayo kau lekas membuat pengakuanmu!” kata putera
gubemur itu. Ia ingin Tiauw Ki menjawab cepat-cepat karena masih ada harapan di
dalam hatinya untuk nanti mengejar dan menawan bunga cantik itu!
Sebaliknya
dari menjawab cepat-cepat, Tiauw Ki tertawa bergelak.
“Lie Kian
Tek, kau telah menyuruh orang membunuh Suma-huciang, lalu kau menangkap aku dan
hendak memaksa aku mengaku tentang pesan Suma-huciang. Perbuatanmu ini
benar-benar sudah melewati batas. Tidak tahukah kau, apakah hukuman untuk
seorang pemberontak?”
“Bangsat
besar!” Lie Kian Tek memaki dan tangannya menampar hingga Tiauw Ki yang pipinya
kena ditampar hampir saja jatuh terguling dari kudanya. “Jangan banyak cakap,
kau ingin hidup atau mampus? Kalau ingin hidup, lekas kau mengaku!”
Kembali
Tiauw Ki tertawa. Bekas tamparan yang membuat pipinya menjadi matang biru itu
tak dirasakannya. ”Pemberontak she Lie, kau kira aku tidak mengetahui akal
bulusmu? Biar pun aku mengaku, kau tetap akan membunuhku juga.”
“Jahanam,
apakah benar-benar kau tidak mau mengaku? Tadi kau sudah berjanji hendak
mengaku bila aku membebaskan perempuan itu. Aku sudah membebaskannya, dan kau
tidak bisa melanggar janji.”
“Siapa yang
melanggar janji? Lie-siauwjin (manusia rendah she Lie), aku seorang laki-laki
sejati, tidak biasa melanggar janji. Dengarlah, Suma-huciang berpesan kepadaku
supaya terhadap manusia macam engkau aku menutup mulut dan jangan mengatakan
apa-apa. Nah, begitulah pesannya kepadaku!”
“Keparat,
kau menipuku!”
“Kau berani
bicara tentang menipu? Kiranya aku hanya mencontoh perbuatanmu, orang she Lie.
Kau membunuh Suma-huciang kemudian menghasut para perwira Tiang-hai dan
menuduhku, kemudian kau menyuruh mereka kembali ke Tiang-hai dan pura-pura akan
membawaku ke kota raja, semua itu bukankah akal busuk dan tipuan jahat? Aku
hanya minta kau membebaskan Kiang-siocia agar supaya ia selamat dari tanganmu
yang kotor dan jahat! Sekarang kau mau apa? Mau membunuhku? Bunuhlah, memangnya
aku takut mampus? Mau siksa? Hayo, kau boleh lakukan apa saja. Pendeknya yang
nyata, Kiang-siocia selamat dan rahasia Suma-huciang dengan Kaisar juga
selamat!”
Bukan main
marahnya Lie Kian Tek. Tangannya yang memegang cambuk kuda diayun. Terdengar
ledakan keras dan Tiauw Ki terguling dari kudanya. Ketika ia merayap bangun,
jidat dan lehernya terdapat bekas cambukan, merah biru dan mengalirkan darah.
Akan tetapi
bibir pemuda ini masih tetap tersenyum, matanya bersinar-sinar dan ia berdiri
tegak menanti datangnya siksaan selanjutnya yang akan mengantar nyawanya ke
tempat asal. Sedikit pun ia tidak mengeluh dan sedikit pun tidak takut.
“Jahanam she
Gan, kau masih tidak mau mengaku!”
Lie Kian Tek
melompat turun dari kuda, diikuti oleh para pembantunya. Kini pasukan itu
mengundurkan kuda-kuda yang berada di situ dan duduk menonton mengelilingi
Tiauw Ki merupakan lingkaran yang lebar.
Tiauw Ki
hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Lie Kian Tek menggulung lengan baju
sebelah kanan dan menggenggam erat-erat gagang cambuknya.
“Kau mau
mengaku atau tidak?” sekali lagi putera gubemur ini membentak.
Tiauw Ki
yang berdiri di depannya hanya menggeleng kepala sambil tersenyum tabah. Lie
Kian Tek mengangkat dan mengayun cambuknya.
“Tar! Tar!
Tar!”
Tiga kali
bertubi-tubi cambuk itu mengenai muka Tiauw Ki dan darah muncrat dari bibir
serta hidung pemuda she Gan itu, namun dia masih berdiri tegak dan sedikit pun
tidak mengeluh.
“Jahanam,
kau masih keras kepala?” Sekali lagi Lie Kian Tek mengayun cambuknya, kini ke
arah mata Tiauw Ki.
Tiauw Ki
terhuyung. Sepasang matanya tak dapat dibuka lagi, pelupuk matanya menjadi
bengkak! Lie Kian Tek terus memukul, bahkan kini tangan kirinya ikut pula
meninju, maka robohlah Tiauw Ki.
Walau pun
menggeliat-geliat saking sakitnya, tidak sedikit pun pemuda ini mengeluh dan
masih mencoba untuk berdiri. Akan tetapi dia terjatuh lagi dan menunjang tubuh
dengan kedua lengannya yang ditahan pada tanah.
Pukulan
cambuk masih menghujani tubuhnya dan pakaiannya bagian atas sudah robek dan
hancur. Nampak kulit punggung dan dadanya yang putih dan kini darah memenuhi
kulit itu, membasahi pakaiannya yang compang-camping.
Akhirnya Lie
Kian Tek menghentikan siksaannya. Diam-diam ia merasa ngeri juga melihat
kekerasan hati Gan Tiauw Ki. Ia merasa lelah dan melempar cambuknya.
“Bedebah,
benar-benar menggemaskan!” gerutunya. “Ceng-jiu Tok-ong Locianpwe, harap kau
gantikan aku memaksa jahanam ini mengaku. Periksa dulu semua isi sakunya!”
Ceng-jiu
Tok-ong melangkah maju dan cepat mengeluarkan semua isi saku baju Tiauw Ki.
Akan tetapi dia tidak mendapatkan sesuatu yang penting. Isi saku pemuda ini
hanya dua buah kitab sajak serta beberapa helai kertas dan alat tulis. Dan
akhirnya dari saku baju bagian dalam dikeluarkannya sebuah tusuk konde perak.
“Kembalikan
itu kepadaku!” Tiauw Ki berseru marah sambil mengulurkan tangan hendak merampas
tusuk konde itu, benda keramat pemberian Im Giok.
Akan tetapi
mana dapat dia merampas benda yang berada di tangan Ceng-jiu Tok-ong? Sekali
saja kakek itu menggerakkan tangan, Tiauw Ki telah didorong roboh dan benda itu
diberikan kepada Lie Kian Tek yang menerimanya sambil tersenyum mengejek,
“Hemm,
agaknya kau punya kekasih, ya? Bagus, apakah kau tidak ingin hidup untuk bisa
bertemu lagi dengan kekasihmu itu?” Sambil berkata demikian, Kian Tek
menekuk-nekuk tusuk konde dan agaknya hendak ia patahkan.
Terdengar
gerengan marah dan tahu-tahu Tiauw Ki telah menubruknya dan secara nekat
merampas kembali tusuk konde itu! Saking nekatnya, dia menjadi lupa akan segala
dan kekuatannya bertambah. Hal ini tidak disangka oleh Lie Klan Tek dan
kawan-kawannya sehingga Tiauw Ki yang lemah itu berhasil merampas kembali tusuk
konde pemberian Im Giok.
“Kau boleh
saja merampas segala yang ada padaku, akan tetapi benda ini hanya akan berpisah
denganku bersama nyawaku!” kata Tiauw Ki sambil memegang tusuk konde itu dengan
kedua tangannya dan menekannya di dekat dada kiri. Melihat kelakukan pemuda
ini, Lie Kian Tek tertawa terbahak-bahak.
“Locianpwe,
kaulah yang memaksa dia bicara. Kau tentu ada akal yang baik!” katanya.
Ceng-jiu
Tok-ong menyeringai sambil menghampiri Tiauw Ki. Kakek ini lalu mengeluarkan
sesuatu dari saku bajunya dan ternyata bahwa yang dikeluarkannya itu ialah
seekor ular berwarna hitam! Ular itu menggeliat-geliat di antara jari-jari
tangannya dan lidah berwarna kemerahan terjulur keluar masuk.
“Orang she
Gan, sekali aku melepas ular ini dan menggigitmu, kau akan mengalami rasa nyeri
yang tak pernah dialami orang lain. Tubuhmu akan sakit-sakit semua selama
sehari penuh dan kau akan menderita sepenuhnya karena kau tidak akan pingsan
atau pun mati sebelum sehari penuh. Maka lebih baik kau mengaku, rahasia apakah
yang harus kau sampaikan kepada Kaisar. Kau hanya mengaku saja, tak seorang pun
akan melihat atau mendengar pengakuanmu ini. Apa sih sukarnya?”
“Siluman
tua, aku tidak takut mati! Sejak semula aku tidak takut akan ancaman kalian dan
tadi aku bersikap lemah hanya untuk memberi kesempatan kepada Giok-moi
menjauhkan diri. Setelah dia selamat, keberanianku lebih besar lagi. Kau mau
siksa, mau bunuh, mau apa pun, sesukamulah, aku tetap pada pendirianku. Aku
seorang laki-laki dan kematian hanya berarti kebebasan dari pada berdekatan
dengan siluman-siluman semacam kalian ini!”
Wajah
Ceng-jiu Tok-ong menjadi merah dan ia marah sekali.
“Kau memang
tidak boleh dikasihani. Rasakanlah hukumanku!”
Akan tetapi,
pada saat itu pula terdengar beberapa orang menjerit dan dua orang prajurit
roboh ketika ada bayangan merah berkelebat menerjang lingkaran itu. Bayangan
merah ini dengan gerakan luar biasa cepatnya sudah tiba di dalam lingkaran dan
sinar pedang yang berkilauan menyerang Ceng-jiu Tok-ong. Kakek ini terkejut dan
dalam gugupnya ia menangkis dengan ular hitam tadi.
“Crakk!”
Tubuh ular itu terbabat putus dan Ceng-jiu Tok-ong berseru marah.
“Ang I
Niocu, kau berani datang lagi?”
Memang, yang
datang itu adalah Im Giok. Dengan cepat gadis ini lalu melompat ke dekat Tiauw
Ki dan berlutut. Air matanya mengucur deras ketika ia melihat keadaan pemuda
itu yang memandangnya dengan bibir tersenyum.
“Koko...,”
katanya perlahan.
“Giok-moi,
mengapa kau kembali...?”
“Koko, aku
akan mencarikan kebebasan untuk kita berdua, kalau tidak... kita akan mati
bersama.”
Im Giok
cepat merangkul leher pemuda yang sudah berlepotan darah itu dan Tiauw Ki
mengeluarkan suara sedu sedan yang tadi ditahan-tahannya. Ia terharu bukan main
dan berbisik,
“Terima
kasih, Moi-moi, hati-hatilah…”
Im Giok
melepaskan pelukannya, lalu mendukung tubuh kekasihnya yang sudah lemas itu,
disandarkannya di batang pohon yang tumbuh di situ. Semua orang melihat gerakan
gadis ini dengan senjata siap-siap di tangan. Ada pula yang terharu menyaksikan
adegan ini.
Kemudian Im
Giok berdiri, pedang melintang di dada, mata berapi-api dan ia berkata, “Sudah
kulihat dan kudengar semua semenjak tadi. Lie Kian Tek, kau ternyata seorang
pengkhianat dan pemberontak yang berhati buas laksana srigala. Lekas kau
bebaskan Gan-twako, atau aku akan membuka jalan darah! Andai kata usahaku
gagal, maka aku dan Gan-twako akan mati bersama di tempat ini, tetapi kiraku
tidak sedikit orang-orangmu yang akan menghadap Giam-kun (Malaikat Maut)
terlebih dulu sebelum aku roboh!”
Memang, tadi
setelah dengan hati gemas dan mendongkol Im Giok meninggalkan Tiauw Ki bersama
pasukan Lie Kian Tek, di tengah jalan Im Giok merasa tidak enak hati dan
menyesal. Dia sudah menyerahkan hatinya kepada Tiauw Ki dan dia sudah percaya
betul akan sifat jantan dalam diri kekasihnya itu. Mengapa tiba-tiba Kiauw Ti
berubah menjadi seorang pengecut? Mengapa Tiauw Ki tidak percaya kepadanya dan
apakah artinya mati kalau tidak mati berdua? Mengapa Tiauw Ki menyuruhnya dan
membiarkannya pergi dan mengalah hendak membuka rahasia, hendak menjadi seorang
pengkhianat?
“Tidak
mungkin! Tidak mungkin dia mau berbuat itu,” pikir Im Giok dan ia menghentikan
larinya kuda.
Setelah
berpikir sejenak ia lalu melompat turun dari kudanya, menambatkan kendali kuda
itu pada sebatang pohon dan berlarilah Im Giok ke tempat tadi. Ia mempergunakan
ilmu lari cepat, dengan kepandaiannya yang luar biasa ia dapat mendekati
pasukan itu sambil bersembunyi dan menyelinap di antara pohon-pohon yang tumbuh
di sekitar tempat itu.
Ia sempat
menyaksikan Tiauw Ki disiksa dan sempat mendengarkan kata-kata Tiauw Ki,
melihat pula betapa kekasihnya secara nekat merampas kembali tusuk konde
pemberian darinya. Melihat semua ini, Im Giok tak dapat menahan mengalirnya air
matanya.
Tepat
seperti yang diduganya semula, Tiauw Ki tadi hanya menipu Lie Kian Tek untuk
memberikan kesempatan kepadanya menyelamatkan diri. Pemuda itu sama sekali
bukan seorang pengecut dan sama sekali bukan pengkhianat pula, bahkan telah
membuktikan bahwa dia seorang yang berani mati, seorang gagah dan yang
mencintanya sampai di saat terakhir!
Demikianlah,
Im Giok lalu menghunus pedang dan menerjang masuk, dan kini dia sudah
menghadapi Lie Kian Tek dan pasukannya dengan sikap tenang dan gagah. Ia tidak
takut apa-apa karena maklum bahwa andai kata ia gagal, ia akan mati bersama
kekasihnya!
“Kepung dan
tangkap dia! Boleh lukai jangan bunuh!” Lie Kian Tek berseru.
Serentak Im
Giok dikepung, didahului oleh Ceng-jiu Tok-ong yang menyerang dengan golok
hijaunya.
Sekali lagi
Im Giok mengamuk. Tubuhnya berkelebat merupakan sosok bayangan merah, pedangnya
menyambar-nyambar lebih dahsyat dari pada amukannya yang sudah-sudah karena
sekarang di samping hati gadis ini amat sakit melihat kekasihnya tersiksa, juga
ia nekad untuk mati bersama kekasihnya.
Para
pengeroyoknya menjadi kewalahan. Terlena sedikit saja atau terlalu dekat
sedikit saja, pasti pedang di tangan Im Giok mendapatkan mangsa dan seorang
pengeroyok langsung roboh. Mereka mengepung dari jauh dan Lie Kian Tek memberi
aba-aba.
Maka tombak-tombak
panjang dan jaring lebar segera dikeluarkan. Dengan dua macam senjata yang
biasanya dipergunakan untuk menangkap harimau atau lain binatang buas ini, Im
Giok kini dikepung! Timbul kegembiraan para prajurit itu dan seperti kalau
mereka menangkap harimau, kini mereka bersorak-sorak dan mendesak Im Giok
dengan tombak-tombak panjang dan jaring yang amat kuat itu.
Lie Kian Tek
memang suka sekali memburu binatang, bukan untuk dibunuh akan tetapi ditangkap
hidup-hidup. Maka setiap kali pergi dengan pasukannya, selalu anak buahnya
tidak lupa membawa alat-alat menangkap binatang buas ini, yakni jaring serta
tombak-tombak panjang.
Menghadapi
serangan istimewa ini, Im Giok menjadi marah sekali, juga amat bingung. Ia
mengamuk bagaikan singa betina, pedangnya menyambar-nyambar dan banyak tombak
telah dapat ia patahkan dengan pedangnya. Akan tetapi pihak pengeroyok terlalu
banyak.
Im Giok
merasa gugup juga menghadapi pengeroyok yang bersorak-sorak itu. Karena itu,
setelah melawan mati-matian, akhirnya ia tidak dapat mengelak lagi ketika
jaring yang lebar dan kuat dilempar dan menimpanya dari atas. Bagaimana ia
dapat mengelak kalau di depan belakang dan kanan kirl belasan tombak
menghadangnya?
Ia membabat
dengan pedangnya, akan tetapi jala atau jaring kedua kembali menimpa sehingga
gadis itu kini benar-benar seperti seekor singa betina tertangkap! Saat Im Giok
meronta terdengar suara kain robek dan terkejutlah gadis ini ketika mendapat
kenyataan bahwa di sebelah dalam jaring ini dipasangi kaitan-kaitan kecil dari
baja sehingga kalau ia berani meronta, tentu pakaiannya akan robek semua dan
juga kulitnya akan terkait dan luka-luka. Oleh karena itu, terpaksa dia tidak
berani bergerak dan memasang kuda-kuda setengah duduk, di atas tanah, di dalam
jaring-jaring itu.
Para
prajurit bersorak-sorak gembira sekali. Terdengar pula suara Lie Kian Tek
tertawa terbahak-bahak.
“Keluarkan
dia dan ikat kaki tangannya!” perintahnya dan suaranya terdengar gembira
sekali.
Akan tetapi
perintah ini hanya mudah diucapkan, sebaliknya sangat sukar dilaksanakan. Para
prajurit yang ingin sekali memegang dan membelenggu gadis jelita itu tadinya
pada berebut maju. Celaka bagi mereka, lima orang menjerit roboh dan tak dapat
bangun lagi. Seorang roboh ditendang, seorang terpukul oleh tangan kiri dan
tiga orang lagi tertusuk pedang! Biar pun berada di dalam jaring, namun Im Giok
masih tetap lihai dan sangat sukar didekati.
Melihat ini,
Ceng-jiu Tok-ong menjadi marah sekali. Dia melompat maju dan secepat kilat
tangannya bergerak mengirim totokan ke arah jalan darah di punggung Ang I Niocu
Kiang Im Giok. Dia mengira bahwa kalau diserang dari belakang, gadis yang berada
di dalam jaring itu tentulah sukar mengelak lagi. Akan tetapi, akibatnya dia
sendiri yang memekik kesakitan dan telapak tangannya terluka mengeluarkan
darah.
Dalam
keadaan terjepit seperti itu, hanya dengan mendengarkan suara angin pukulan,
Ang I Niocu dapat menyusupkan pedangnya melalui bawah lengan kiri dan menyambut
totokan lawan itu dengan ujung pedang!
Karuan saja
telapak tangan Ceng-jiu Tok-ong menjadi terluka dan kakek ini
berjingkrak-jingkrak saking marahnya. Ia lupa akan pesan Lie Kian Tek agar
supaya gadis itu jangan dibunuh. Dalam kemarahannya, Ceng-jiu Tok-ong mencabut
golok hijaunya yang beracun dan mengayun golok itu ke arah tubuh Ang I Niocu!
“Traaang...!”
Golok di
tangan Ceng-jiu Tok-ong terpental membalik, bahkan hampir saja terlepas dari
tangannya, membuat kakek ini melompat mundur dengan terkejut sekali. Pada saat
itu, seorang nenek tua yang entah dari mana datangnya dan yang tadi telah
menangkis golok Ceng-jiu Tok-ong dengan sepasang pedang yang berkilauan
tajamnya, kini membabat jaring yang menutupi tubuh Im Giok.
Gadis ini
sendiri pun dengan bersemangat lalu mengerjakan pedangnya, membabat dari dalam
sehingga sebentar saja jaring itu rusak dan ia dapat melompat keluar. Di
beberapa bagian tubuhnya terluka oleh kaitan, akan tetapi Im Giok tidak
mempedulikannya.
Baik Im Giok
mau pun Ceng-jiu Tok-ong dan semua orang yang berada di situ tak ada yang
mengenal siapa gerangan nenek yang memegang sepasang pedang ini. Wajahnya
keriputan, rambutnya sudah putih semua, namun gerakan-gerakannya masih sangat
gesit dan lincah.
“Serbu...!
Bunuh siluman ini!” Lie Kian Tek berseru keras.
Akan tetapi
dia cepat mengangkat pedangnya ketika tiba-tiba nenek itu menyambar dan
menyerangnya dengan pedang kiri, sedangkan pedang kanannya merobohkan dua orang
prajurit yang menghalang di jalan! Lie Kian Tek cepat menangkis, tapi tangannya
tergetar dan pedangnya terlempar! Sinar putih meluncur ke arah lehernya dan
putera gubernur ini sudah meramkan mata.
Baiknya
Ceng-jiu Tok-ong cepat datang menolong. Ditusuknya lambung nenek itu dengan
golok hijaunya sehingga nenek itu terpaksa menarik kembali serangannya pada Lie
Kian Tek, kemudian menghadapi Ceng-jiu Tok-ong. Mereka segera bertempur dengan
hebat.
Ada pun Im
Giok kini sudah dikepung lagi. Para prajurit sekarang maklum bahwa kalau tidak
dibunuh, nona baju merah yang cantik jelita ini amat berbahaya, apa lagi
sekarang tiba bantuan seorang nenek yang seperti setan. Mereka lalu beramai
mengeroyok, yang pandai maju di depan, yang kurang pandai hanya membantu di
belakang dengan tombak atau toya panjang.
Im Giok
memutar pedangnya, kini dia menyerang dengan ganas dan sebentar saja lima orang
pengeroyok roboh bergelimpangan. Oleh karena Ceng-jiu Tok-ong tidak dapat ikut
mengeroyok, tentu saja bagi Im Giok para pengeroyok itu merupakan makanan
lunak! Apa lagi gadis ini merasa sakit hati dan marah sekali telah menerima
hinaan, sekarang pembalasan yang ia lakukan benar-benar hebat sehingga membuat
para pengeroyoknya kalang kabut.
Pertempuran
antara nenek itu melawan Ceng-jiu Tok-ong yang dibantu oleh enam orang perwira
juga dahsyat sekali. Kepandaian nenek itu tinggi bukan main, kedua pedangnya
menyambar-nyambar amat ganasnya. Telah banyak orang yang roboh olehnya dan para
perwira yang membantu Ceng-jiu Tok-ong sudah beberapa kali berganti orang.
Diam-diam
Ceng-jiu Tok-ong amat kaget ketika memperhatikan permainan pedang nenek ini. Ia
mengenal gerakan-gerakan ilmu pedang itu, akan tetapi jika ia melihat wajah
yang keriputan ini, ia menjadi ragu-ragu.
“Tahan!
Toanio, siapakah kau dan mengapa engkau memusuhi kami?” Ceng-jiu Tok-ong
berseru.
Terdengar
nenek itu tertawa dan semua orang menjadi terheran-heran mendengar suara
ketawanya, begitu merdu seperti suara ketawa seorang gadis belasan tahun!
“Ceng-jiu
Tok-ong, kini kau sudah menjadi kaki tangan pemberontak dan berani sekali
menghina muridku. Benar-benar keterlaluan!” Seperti juga suara tawanya,
kata-katanya ini diucapkan dengan suara yang merdu sekali!
Mendengar suara
ini, Ceng-jiu Tok-ong dan Ang I Niocu hampir berbareng berseru,
“Bi Sian-li
Pek Hoa Pouwsat...”
Nenek yang
berambut putih dan berwajah keriputan itu sekali lagi tertawa merdu, namun
nadanya mengejek.
“Pek Hoa...
mengapa kau menyerangku? Dia itu muridmu, akan tetapi mengapa berani sekali
melawanku? Biar pun demikian, kalau kau menghendaki, aku bisa mengampunkan dia.
Mari kita bicara baik-baik, Pek Hoa...”
Akan tetapi
Pek Hoa Pouwsat atau nenek buruk itu hanya tertawa terkekeh-kekeh dan tiba-tiba
saja sepasang pedangnya bergerak secara aneh sekali! Gerakan ini disusul oleh
seruan kaget dari para pengeroyoknya dan dalam beberapa gebrakan saja empat
orang pengeroyoknya telah roboh dan tewas!
Ceng-jiu
Tok-ong kaget setengah mati, apa lagi ketika ia menyaksikan sepasang pedang
dari bekas muridnya ini yang benar-benar luar biasa sekali, gerakannya demikian
indah dan halus, dan nenek yang tubuhnya masih nampak langsing itu
bergerak-gerak seperti orang menari secara amat menggairahkan!
Meski hal
ini nampak lucu karena nenek itu tua, namun tetap saja masih mendatangkan
pengaruh yang luar biasa terhadap para pengeroyoknya. Inilah ilmu pedang
ciptaan Pek Hoa Pouwsat yang dinamakan ilmu pedang Bi-jin Khai-i, ilmu pedang
yang mengandung kekuatan sihir dan bahkan sudah berhasil merobohkan pendekar
sakti seperti Han Le!
Juga Im Giok
terheran-heran. Tidak salah lagi pendengarannyag suara itu adalah suara bekas
gurunya, Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat. Akan tetapi dahulu Pek Hoa Pouwsat adalah
seorang wanita yang amat cantik jelita bagai bidadari, kenapa sekarang menjadi
seorang nenek-nenek tua sekali yang buruk?
Betapa pun
juga, melihat kelihaiannya, kedatangan nenek yang membantunya ini sudah membuat
hati Im Giok menjadi besar dan pedangnya menjadi cahaya bergulung-gulung bagai
naga mengamuk. Untuk mengimbangi keindahan permainan sepasang pedang Pek Hoa
Pouwsat, Ang I Niocu lalu mainkan limu pedangnya yang seperti tarian indah,
akan tetapi kehebatannya luar biasa sekali sehingga tiap kali berkelebat tentu
ada lawan yang roboh!
Betapa pun
juga sepak terjang Im Giok masih belum ada artinya apa bila dibandingkan dengan
Pek Hoa Pouwsat. Nenek ini benar-benar mengerikan sekali sepak terjangnya. Tiap
kali pedang kanan atau kiri di tangannya berkelebat, bukan satu orang yang
roboh, sedikitnya ada tiga orang yang roboh tak bernyawa lagi. Sebentar saja
tempat itu berubah menjadi tempat yang mengerikan, di mana nampak mayat
bertumpuk-tumpuk dan darah membanjir.
Ceng-jiu
Tok-ong semakin terdesak hebat oleh sepasang pedang bekas muridnya sendiri itu.
Ngeri dia memikirkan betapa dia terancam bahaya maut di tangan bekas muridnya
sendiri. Terbayanglah semua peristiwa yang terjadi dahulu pada waktu Bi Sian-li
Pek Hoa Pouwsat masih menjadi muridnya.
Pek Hoa
adalah seorang anak perempuan yatim-piatu, oleh karena ayah bundanya yang
menjadi kepala penyamun sudah tewas di dalam tangan Ceng-jiu Tok-ong. Melihat
bocah perempuan yang berkulit halus putih dan berbibir merah itu, Ceng-jiu
Tok-ong tertarik lalu membawanya pulang dan bocah berusia tujuh tahun ini
diambil menjadi muridnya.
Pek Hoa lalu
menjadi dewasa dalam asuhan orang yang berwatak bejat, bahkan Ceng-jiu Tok-ong
tidak malu untuk mempermainkan muridnya sendiri sehingga semenjak kecil Pek Hoa
telah diajarkan segala macam perbuatan buruk dan tak tahu malu. Akhirnya Pek
Hoa pergi meninggalkannya dan kemudian ia mendengar bahwa bekas murid, dan juga
bekas kekasihnya itu sudah menjadi murid Thian-te Sam-kauwcu dan memiliki
kepandaian yang luar biasa tingginya.
Sekarang
teringat akan ini semua, Ceng-jiu Tok-ong lantas mengeluarkan keringat dingin.
Sangat boleh jadi bahwa Pek Hoa yang kini sudah kenyang dengan pengalaman di
dunia kang-ouw, dapat menduga bahwa dialah yang dulu telah membunuh ayah bunda
dari Pek Hoa. Boleh jadi sekali bekas muridnya ini sekarang datang untuk
membalas dendam!
Teringat
akan semua ini, Ceng-jiu Tok-ong lalu berlaku nekad dan secara diam-diam dia
mengeluarkan jarum-jarumnya yang beracun, juga mengeluarkan Cheng-tok-see
(Pasir Hijau Beracun). Ia maklum bahwa ia tidak akan mendapat ampun dan pula
tidak mungkin baginya untuk melepaskan diri lagi.
Maka, ketika
Pek Hoa Pouwsat kembali merobohkan empat orang kawannya sehingga yang lain-lain
menjadi gentar dan menjauhkan diri, Ceng-jiu Tok-ong cepat menggunakan
kesempatan selagi Pek Hoa mencabut pedangnya dari tubuh lawan yang dirobohkan,
segera menyerang bertubi-tubi. Jarum dan pasir beracun disambitkannya dan semua
ini dibarengi dengar serangan golok Cheng-tok-to secara nekad dan mati-matian.
Pek Hoa
Pouwsat terkejut juga menghadapi serangan ini. Dia berhasil menangkis golok dan
mengelak ke kiri, terus menusukkan pedangnya yang tepat mengenai ulu hati bekas
gurunya. Akan tetapi tiga batang jarum juga tepat mengenai leher, pundak, dan
dadanya!
Tiga batang
jarum ini adalah Cheng-tok-ciam dan Pek Hoa tahu bahwa nyawanya takkan tertolong
lagi. Ia membiarkan jarum-jarum ini menelusup memasuki dagingnya dan sambil
tertawa terkekeh-kekeh melihat gurunya berkelojotan lalu tewas, ia mengamuk
terus!
Di lain
pihak, dalam amukannya Im Giok melihat Lie Kian Tek berlari mendekati Tiauw Ki
dengan pedang terangkat tinggi. Gadis ini maklum akan maksud putera gubemur
ini, pasti hendak membunuh kekasihnya yang masih duduk tak berdaya karena
luka-lukanya.
Cepat ia
melompat laksana terbang dan tepat sekali datangnya ini. Terlambat sedikit saja
tentu kekasihnya tidak dapat ditolong pula. Dengan perasaan gemas ia menangkis
sambil mengerahkan tenaga.
Terdengar
suara keras dan pedang di tangan Lie Kian Tek terbabat putus. Pada lain saat
tubuh putera gubernur itu terlempar jauh terkena tendangan kaki Im Giok! Im
Giok masih marah dan hendak mengejar tubuh Lie Kian Tek yang sudah pingsan itu
supaya dapat dibunuhnya, akan tetapi ia dihadang oleh belasan orang perwira
sehingga ia mengamuk lagi.
Para
prajurit dan perwira-perwiranya melihat betapa Lie Kian Tek telah terluka hebat
dan Ceng-jiu Tok-ong sudah tewas, menjadi lenyap semangat mereka. Apa lagi
sudah terlalu banyak teman mereka yang tewas. Karena itu, sambil membawa tubuh
Lie Kian Tek yang pingsan, mereka segera melarikan diri ke atas kuda dan
membalapkan kuda tunggangan mereka!
Im Giok
sudah merasa terlalu lelah untuk mengejar mereka. Sebaliknya, dia melihat Pek
Hoa Pouwsat mengeluh, melepaskan sepasang pedangnya dan terhuyung-huyung mau roboh.
Cepat Im Giok melompat dan memeluk wanita itu.
Melihat
betapa Pek Hoa kini telah menjadi seorang wanita yang mukanya tua dan buruk
seperti iblis, dan melihat pula betapa bekas gurunya ini sekarang menderita
luka berat dalam usahanya menolong nyawanya, hati Im Giok menjadi terharu
sekali. Kini semua kebencian yang timbul di hatinya terhadap bekas guru ini
lenyap, berganti dengan kasih sayang yang hangat seperti yang dulu terkandung
di hatinya terhadap bekas guru ini.
“Enci Pek
Hoa...” bisiknya sambil memondong tubuh bekas gurunya itu, dibawa ke tempat
yang bersih dari tumpukan mayat. Tiauw Ki menguatkan tubuh dan setengah
merangkak ia pun menghampiri tempat itu.
Pek Hoa
Pouwsat membuka matanya. Terlihatlah oleh Im Giok bahwa nenek ini memang
benar-benar Pek Hoa Pouwsat gurunya. Sepasang mata yang bersinar-sinar dan
bening bagus itu memang mata Pek Hoa. Tidak ada wanita kedua yang memiliki mata
sebagus mata Pek Hoa, demikian pikir Im Giok. Ketika pandang matanya melihat
luka pada leher, pundak, dan dada yang mengeluarkan darah hijau, Im Giok
menahan isak.
“Enci Pek
Hoa...!” bisiknya lagi.
Pek Hoa
tersenyum dan terbukalah mulutnya yang ompong. Im Giok bergidik. Dahulu gigi
Pek Hoa bukan main indahnya, berderet rapi dan putih bersih laksana mutiara.
“Im Giok,
anak baik, kau makin cantik saja...”
Kemudian ia
muntahkan darah yang wamanya hijau pula.
“Im Giok...,
aku... aku takkan lama lagi dapat bertahan... kau cantik, sayang sekali kalau
lenyap kecantikanmu... kau pergilah ke Pek-tiauw-san (Gunung Rajawali Putih),
carilah telur Pek-tiauw... campur dengan obat ini... kau minum setengah tahun
sekali... selama hidup kau akan tinggal muda dan cantik...”
Pek Hoa
menghentikan kata-katanya dan tangannya mengeluarkan sebuah bungkusan, kemudian
ia tertawa ha-ha-hi-hi, tampaknya geli dan seperti ada sesuatu yang amat lucu,
tertawa terus akan tetapi suara ketawanya makin lama makin lemah sehingga
akhirnya terhenti sama sekali!
“Enci Pek
Hoa, kau mati karena aku... terima kasih...” bisik Im Giok di dekat telinga
bekas gurunya dan tak tertahan pula dua titik air mata menetes di kedua
pipinya.
Sayang
sekali Im Giok tidak sempat mendengar tentang pengalaman Pek Hoa, tidak tahu
mengenai riwayatnya sehingga dia menyimpan obat pemberian bekas gurunya itu
tanpa ragu-ragu lagi. Kalau saja ia tahu... kiranya ia akan membuang obat itu
jauh-jauh dengan ngeri hati.
Sebagaimana
sudah dituturkan di bagian depan, setelah dikalahkan oleh Bu Pun Su dan terusir
dari Pulau Pek-le-to, Pek Hoa Pouwsat pergi dengan hati perih sekali. Dia tidak
berdaya menghadapi Bu Pun Su kakek sakti itu dan betapa pun sakit hatinya, ia
tak dapat berbuat apa apa.
Yang lebih
menyakitkan hatinya adalah karena ia sudah mengandung. Ia mendekati dan
menggoda Han Le bukan sekali-kali karena ia mencinta pada pengemis sakti itu.
Tadinya ia bermaksud menundukkan Han Le agar cita-citanya membalas dendam
tercapai, agar ia mendapat pembantu yang lihai.
Memang ia
berhasil, karena bukankah ia sudah berhasil menewaskan Bok Beng Hosiang dan Kok
Beng Hosiang dua orang tokoh Siauw-lim-pai, dan juga menewaskan Cin Giok
Sianjin tokoh Kun-lun-pai atas bantuan Han Le! Sayang sekali bahwa biar pun
mendapat bantuan dari Han Le, tetap saja ia tidak mampu mengalahkan Bu Pun Su
yang amat lihai itu. Dan semua itu dibelinya dengan penghinaan hebat.
Tadinya ia
hendak mengganggu Han Le, tidak tahunya ada juga rasa kasih sayang di dalam
lubuk hatinya terhadap Han Le, apa lagi ia telah mengandung! Dan kini ia
terusir dari pulau itu, terpisah dari Han Le dan sama sekali tidak dapat
membalas dendamnya.
Bukan main
marah dan kecewanya hati Pek Hoa. Ia bersembunyi di dalam hutan lebat, menanti
saat kelahiran anak yang dikandungnya. Wanita ini memang berhati keras dan
merupakan seorang yang luar biasa sekali. Tanpa bantuan siapa-siapa, dan hanya
berkat lweekang-nya yang tinggi serta kepandaiannya yang sudah sampai di
tingkat puncak, dia dapat melahirkan anak yang dikandungnya dengan selamat.
Akan tetapi
apa yang terjadi? Setelah anaknya terlahir, terjadilah perubahan hebat pada
dirinya! Kulitnya mengeriput, rambutnya yang hitam panjang berubah menjadi
putih, dan sebaliknya kulitnya yang putih menjadi hitam dan tubuhnya menjadi
kurus kering!
Sejak kecil
Pek Hoa Pouwsat mengutamakan kecantikan. Untuk menjaga kecantikannya dia bahkan
setengah tahun sekali makan telur Pek-tiauw yang dicarinya dengan susah payah.
Dengan obat ini dia memang tidak pemah menjadi tua dan selalu tetap cantik dan
muda.
Sekarang dia
berubah menjadi sedemikian tua dan buruk, tentu saja hal ini merupakan pukulan
yang hebat sekali baginya. Dia tidak mengira sama sekali bahwa khasiat obat itu
akan musnah, bahkan sebaliknya merusak semua kecantikannya apa bila dia
mempunyai anak!
Kini baru
dia tahu dan saking marah dan sedihnya, Pek Hoa Pouwsat seperti orang gila lalu
membanting mati anaknya sendiri! Kemudian ia lalu berlari-larian seperti orang
gila, merantau ke sana ke mari sampai akhimya ia bertemu dengan Im Giok yang
dikeroyok oleh Ceng-jiu Tok-ong dan orang-orangnya.
Melihat
Ceng-jiu Tok-ong, timbullah kenang-kenangan lama yang membuat hatinya sakit,
maka ia mengambil keputusan untuk membunuh bekas gurunya ini. Juga melihat Im
Giok yang cantik jelita, Pek Hoa tersenyum seorang diri dan berkata,
“Dia harus
menggantikan aku..., ha-ha, anak Kiang Liat harus merasai seperti aku pula...”
Demikianlah,
Pek Hoa Pouwsat lalu menyerbu dan berhasil membunuh Ceng-jiu Tok-ong juga
berhasil memberikan obatnya kepada Im Giok, sungguh pun untuk tercapainya dua
maksud ini dia harus mengorbankan nyawanya.
Setelah Pek
Hoa Pouwsat meninggal, Im Giok lalu menghampiri kekasihnya. Keduanya berpelukan
dan keduanya mengeluarkan air mata.
“Aduh,
Giok-moi, sama sekali aku tak mengira bahwa kita dapat bertemu dalam keadaan
hidup,” kata Tiauw Ki.
Im Giok
meraba muka Tiauw Ki yang penuh dengan luka-luka kecil akibat cambukan Lie Kian
Tek, menjamah luka-luka itu dengan jari-jarinya yang halus, penuh kasih sayang.
“Kasihan
sekali kau, Koko... kau maafkan aku yang telah meninggalkanmu seorang diri...”
“Tidak ada
yang harus dimaafkan, adikku sayang. Aku memang sengaja membikin kau marah dan
pergi, agar kau selamat...”
“Aku tahu,
Koko, aku mengerti... alangkah besarnya kasih sayangmu kepadaku.”
“Aku
mencintamu lebih dari mencinta jiwaku sendiri, Giok-moi...“
Sesudah
keharuan mereka mereda, Tiauw Ki bertanya, “Nenek yang menolong kita itu,
siapakah dia?”
“Dahulu, di waktu
kecil, dia pemah menjadi guruku. Tadinya dia yang berjalan sesat, akan tetapi
selalu aku tahu bahwa di dalam hatinya, ia sangat sayang kepadaku. Dan ternyata
benar...” Suara Im Giok menjadi lambat penuh keharuan. “Dia mengorbankan
nyawanya untukku... Aku harus merawat jenazahnya baik-baik, Twako. Ia harus
dikubur baik-baik...”
Tiauw Ki
menyetujui dan sibuklah mereka menggali lubang untuk mengubur mayat Pek Hoa
Pouwsat.
“Bagaimana
dengan mereka itu? Sudah sepatutnya mereka itu dikubur pula, bukankah mereka
juga manusia?” Tiauw Ki menuding ke arah tumpukan mayat yang berserakan di
sana-sini dan suaranya gemetar. Ngeri dia melihat mayat manusia yang jumlahnya
dua puluh orang lebih itu. Benar-benar hebat amukan Ang I Niocu dan Pek Hoa
Pouwsat.
Im Giok memandang
dan menarik napas panjang. “Tak mungkin, Koko. Bagaimana kita berdua sanggup
mengubur mayat sebanyak itu? Apa lagi tanpa ada alat untuk menggali lubang.”
“Akan tetapi
hatiku tidak menginginkan kalau mereka itu ditinggalkan begitu saja menjadi makanan
binatang buas...,” Tiauw Ki membantah.
“Jangan
khawatir, Koko. Penduduk di sekitar tempat ini tentu akan mengurusnya. Pula,
mereka itu adalah anggota pasukan dari Lie Kian Tek, tentu kawan-kawan mereka
akan datang kembali untuk mengurus mayat mereka. Terlebih lagi, kita harus
cepat-cepat pergi meninggalkan tempat ini. Apa bila mereka datang lagi membawa
bala bantuan, celakalah kita. Aku sudah kehabisan tenaga dan tak mungkin dapat
melawan lagi...”
Kebetulan
sekali mereka masih dapat menemukan dua ekor kuda yang tadinya telah lari
kacau-balau. Maka, cepat mereka menunggang kuda ini dan melarikan kuda menuju
ke utara, ke kota raja.
Di tengah
perjalanan, Tiauw Ki berkata,
“Giok-moi,
aku ingin sekali lekas-lekas menyelesaikan tugasku dan bersamamu pergi ke
Sian-koan menemui ayahmu. Kalau... kau sudah menjadi isteriku, kau harus
membuang jauh-jauh pedangmu dan selanjutnya kita hidup dalam damai dan
tenteram. Aku tak bisa membiarkan isteriku merenggut nyawa manusia sedemikian
banyaknya...!”
Im Giok tersenyum.
Hatinya membantah, sebab dalam hal pertempuran, membunuh atau terbunuh adalah
hal biasa. Akan tetapi ia tidak mau membantah dengan mulut karena maklum bahwa
kekasihnya yang lemah itu baru saja terlepas dari bahaya maut dan baru
mengalami sesuatu yang betul-betul menakutkan.
Perjalanan
kemudian dilakukan secara cepat. Pada saat mereka lewat di sebuah kota, Im Giok
membeli obat di toko obat untuk mengobati luka-luka kecil pada tubuh Tiauw Ki.
***************
Kiang Liat
yang melakukan perjalanan ke Go-bi-san untuk menyampaikan surat dari Bu Pun Su
kepada Ketua Go-bi-pai tidak mengalami rintangan dan sampai di puncak gunung
itu dengan selamat. Ia menghadap ciangbunjin dari Go-bi-pai, yakni Twi Mo
Siansu, yaitu seorang kakek berusia tujuh puluh tahun lebih dan sikapnya halus,
tubuhnya tinggi kurus dan alisnya putih semua. Setelah membaca surat dari Bu
Pun Su, kakek ini mengangguk dan tersenyum.
“Bu Pun Su
benar-benar mengagumkan sekali. Sudah tua masih berhati muda, bergelora dan
bersemangat. Jatuh-bangunnya sebuah kerajaan berada di tangan Thian Yang Maha
Kuasa, orang-orang seperti kita ini mau bisa apakah?”
Mendengar
kata-kata ini, di dalam hatinya Kiang Liat tidak setuju sama sekali. Alangkah
lemah dan pikunnya ketua Go-bi-pai ini, pikirnya. Akan tetapi tentu saja dia
tidak berani bilang apa-apa, hanya terus mendengarkan lebih lanjut. Juga para
murid Go-bi-pai yang berada di situ, yang jumlahnya belasan orang, tidak ada
yang mengeluarkan suara.
Tiba-tiba
terdengar suara yang nyaring dan mengandung tenaga.
“Maafkan
teecu, Susiok. Teecu sudah berani berlancang mulut dan ikut-ikutan berbicara
dalam urusan yang sama sekali teecu tak berhak mencampuri. Akan tetapi, sungguh
pun teecu tunduk dan setuju akan kata-kata Susiok tadi bahwa apa pun yang
diusahakan oleh manusia, akhirnya keputusan berada di tangan Thian. Akan
tetapi, sebagai manusia yang berakal budi, apa lagi yang menjunjung tinggi
keadilan dan kegagahan seperti kita, teecu rasa sudah sepatutnya kalau kita
berusaha demi keadilan dan kebajikan. Ada pun akibat dan keputusannya, memang
terserah kepada Thian Yang Maha Kuasa. Maafkan kalau pendapat teecu keliru dan
selanjutnya mohon petunjuk, Susiok.”
Semua orang
memandang kepada pembicara ini, juga Kiang Liat. Ia melihat bahwa yang
berbicara itu adalah seorang pemuda yang bertubuh tegap dan berwajah tampan
gagah, patut sekali menjadi seorang pendekar. Pakaiannya amat indah, pedangnya
tergantung di pinggang, alisnya hitam dan matanya berapi-api. Usianya paling
banyak dua puluh lima tahun.
Jika Kiang
Liat memandang dengan kagum dan tertarik kepada pemuda ini, adalah murid
lain-lain Go-bi-pai yang berada di sana memandang dengan muka merah dan ada yang
khawatir. Mereka menduga bahwa Twi Mo Siansu pasti akan marah sekali, karena
sudah merupakan peraturan perguruan di situ bahwa para anak murid tidak
sekali-kali boleh ikut mencampuri percakapan antara guru besar ini dengan tamu
yang datang. Apa lagi untuk urusan yang besar dan yang belum dimengerti oleh
para anak murid.
Akan tetapi
pemuda ini sudah berlancang mulut. Dia tidak saja mencampuri percakapan, bahkan
terang-terangan berani mencela pendirian Twi Mo Siansu!
Suasana
menjadi sunyi…..
Tadinya Twi
Mo Siansu menjadi merah mukanya, sepasang mata yang masih amat tajam
berpengaruh itu memandang pada pemuda gagah itu dengan marah. Akan tetapi,
ketika bertemu dengan wajah yang tampan terbuka, mata yang berani menentangnya
penuh pengertian itu, wajah kakek ini melembut kembali dan ia tersenyum.
“Bagus
sekali, Liem Sun Hauw. Meski pun pendirianmu itu pikiran orang muda dan tidak
sejalan dengan pikiranku, akan tetapi aku setuju sekali! Kau murid Go-bi-pai
dari luar kuil, tentu tidak tahu akan peraturan di dalam kuil, karena itu
kelancanganmu itu masih dapat kumaafkan. Sayang Suheng sudah meninggal, kalau
tidak tentu dia akan bangga sekali mendengar ucapan muridnya di depanku.” Kakek
ini lalu tertawa dengan girang.
“Harap
maafkan, Susiok. Sebenarnya teecu tadi sudah lancang bicara tanpa dipikir dulu,
harap banyak maaf.”
“Tidak apa,
tidak apa. Bahkan kebetulan sekali. Aku sedang berpikir-pikir siapa gerangan
orangnya yang dapat mewakili aku. Sudah kukatakan tadi bahwa biar pun tidak
sejalan dengan pikiranku, tapi aku setuju sekali dengan pendirianmu. Karena itu
aku pun setuju dengan pendapat Bu Pun Su. Pendekar Sakti itu minta bantuanku
agar supaya kita dari Go-bi-pai ikut mengamati-amati kalau-kalau ada pihak
penyerang mendatangi dari utara, karena menurut pendapat Bu Pun Su, negara
berada dalam bahaya dari ancaman musuh berbagai pihak. Hal ini bisa dilakukan
oleh semua anak murid yang berada di sini dengan melakukan penjagaan di
sepanjang tapal batas sebagai pengawas. Akan tetapi tentang permintaan yang
kedua dari Bu Pun Su agar supaya aku turun gunung dan menghubungi kawan-kawan
untuk memperkokoh persatuan dan melenyapkan pertikaian antara kawan sendiri,
sungguh tidak dapat kulakukan. Kaulah, Sun Hauw, kau yang harus mewakili aku
turun gunung!”
“Teecu siap
sedia menjalankan perintah Susiok. Mohon nasehat dan petunjuk selanjutnya agar
teecu dapat melakukan tugas dengan baik,” jawab pemuda itu dengan suara tegas
dan bersemangat.
“Kau hubungi
semua tokoh besar dunia kang-ouw dan katakan bahwa aku sendiri sudah menyatakan
setuju sekali dengan pendapat Bu Pun Su bahwa pada saat seperti ini kita semua
harus bersatu. Jangan sampai ada perpecahan di antara kita dan kalau misalnya
ada, urusan itu harus diselesaikan dengan cara damai. Persatuan harus ditujukan
untuk melindungi negara dan rakyat dari bahaya. Apa bila benar-benar terjadi
perang, tentu akan muncul manusia-manusia jahat dan perlu sekali kita
melindungi rakyat jelata dari penindasan mereka ini. Sampaikanlah salamku
kepada mereka dan pertama-tama lebih tepat kalau kau pergi ke Bu-tong-san
mengingat bahwa partai Bu-tong-pai pada waktu ini sedang ada urusan percekcokan
dengan Kim-san-pai. Katakan kepada Lo Beng Hosiang ciangbunjin dari Bu-tong-pai
bahwa jika dia mau mengadakan pertemuan damai dengan pihak Kim-san-pai, boleh
mempergunakan kuil kita di Go-bi-san sini.”
“Teecu sudah
ingat akan semua pesan dari Susiok dan akan mentaati,” kata Sun Hauw, pemuda
gagah itu.
Seorang di
antara para anak murid Go-bi-pai yang duduk di sana, tiba-tiba berdiri dan
berkata dengan suara lantang,
“Maaf, Suhu.
Teecu merasa kurang puas dengan diangkatnya Liem-sute sebagai wakil Suhu. Hal
ini menyangkut nama baik partai kita, maka teecu merasa ragu-ragu apakah kelak
nama baik partai kita tidak akan terancam bahaya. Liem-sute baru saja datang di
Go-bi-pai, baru tiga hari, dan Suhu tahu bahwa dia adalah murid Thian Mo Siansu
Supek hanya menurut pengakuannya sendiri. Bagaimana kalau dia itu sebenamya
bukan murid Supek? Sungguh pun andai kata dia itu benar-benar murid Supek,
masih belum boleh dia dianggap sebagai anak murid Go-bi-pai, mengingat bahwa
antara Suhu dan Supek...”
“Cukup!” Twi
Mo Siansu membentak.
Murid yang
bicara tadi, yaitu seorang tosu pula yang berusia kurang lebih empat puluh lima
tahun, tak berani melanjutkan kata-katanya dan duduk kembali.
“Tek Sin,
aku mengerti akan maksud kata-katamu. Tapi kita telah menerima tugas untuk
menjadi tukang menggalang persatuan, bagaimana kita masih teringat akan
perpecahan sendiri? Tidak, bagaimana pun juga, murid Suheng adalah murid
Go-bi-pai pula. Ada pun keraguanmu tentang kemampuan Sun Hauw, memang tepat.
Baiklah kau kuserahi tugas mengujinya apakah benar dia itu anak murid
Go-bi-pai, dan apakah kiranya dia sudah cukup kuat untuk melakukan tugas
mewakili aku.”
Tek Sin
Tojin terkejut. Tak disangkanya bahwa ucapannya tadi membuat suhu-nya marah dan
dia kini diharuskan menguji Liem Sun Hauw! Tek Sin Tojin adalah murid pertama
dari Twi Mo Siansu dan tadi mendengar tugas mewakili suhu-nya diberikan kepada
pemuda itu, tentu saja ia merasa tidak senang. Sekarang, ada jalan baginya
untuk menunjukkan bahwa pandangannya tepat dan bahwa gurunya telah berlaku
keliru menyerahkan tugas sepenting itu kepada seorang pemuda seperti Liem Sun
Hauw yang baru saja datang dan mengaku sebagai murid Thian Mo Siansu.
“Teecu tidak
berani menolak perintah Suhu,” katanya sambil berdiri, lalu katanya kepada Liem
Sun Hauw. “Liem-sute, tentunya kau telah mendengar sendiri perintah Suhu bahwa
pinto harus mengujimu. Oleh karena itu, marilah kita pergi ke lian-bu-thia
(tempat berlatih silat).”
Liem Sun
Hauw tersenyum dan menjura kepada tosu yang tubuhnya tinggi besar ini.
“Twa-suheng,
siauwte mana berani menolak? Hanya mengharap belas kasihan Suheng supaya jangan
berlaku terlalu keras terhadap siauwte yang masih hijau.” Sambil berkata
demikian, Liem Sun Hauw lalu bersiap mengikuti Tek Sin Tojin pergi ke
lian-bu-thia.
“Tidak usah
ke lian-bu-thia, ruangan ini pun sudah cukup lebar jika hanya untuk menguji
kepandaian saja, Tek Sin, kau coba kepandaian Sun Hauw ini di sini saja,” kata
Twi Mo Siansu.
Semua anak
murid Go-bi-pai lalu mengundurkan diri dan berdiri di pinggir untuk memberi
tempat yang lega bagi dua orang yang hendak mengadu kepandaian itu. Juga Kiang
Liat yang sebagai tamu tidak berani turut bicara lalu minggir.
Ia melihat
Tek Sin Tojin sebagai seorang tosu tinggi besar yang jelas sekali mempunyai
tenaga kuat dan dari pandang mata tosu ini dia dapat mengetahui bahwa Tek Sin
Tojin mempunyai lweekang dan kepandaian yang tinggi. Maka diam-diam ia
mengkhawatirkan keadaan pemuda tampan itu. Kiang Liat yang sudah berpengalaman
itu maklum bahwa Tek Sin Tojin merasa iri hati kepada Sun Hauw dan dalam ujian
silat ini tentu saja tosu itu akan berusaha untuk membikin malu dan merobohkan
Sun Hauw.
Liem Sun
Hauw menanggalkan jubah luarnya dan kini ia berpakaian ringkas, menambah
kegagahannya karena nampaklah bentuk tubuhnya yang bidang dan tegap. Dia
berdiri di tengah ruangan menghadapi Tek Sin Tojin dengan tubuh sedikit
direndahkan dan kepala ditundukkan, tanda menghormat kepada saudara tua.
“Liem-sute,
pinto melihat ada pokiam (pedang pusaka) tergantung di pinggangmu. Dalam ujian
ini, apakah kau hendak mempergunakan pedang?”
Liem Sun
Hauw cepat menjura. “Siauwte menyerahkan pada kebijaksanaan Suheng saja,
bagaimana cara Suheng hendak menguji, siauwte siap mentaati perintah.”
“Hemm, kalau
begitu cabut pedangmu. Biar aku menghadapi pedangmu dengan tangan kosong saja.”
Liem Sun
Hauw patuh. Dia menghunus pedangnya dan nampak sinar putih berkilauan, tanda
bahwa pedang itu adalah pedang yang baik. Dia lalu memutar pedangnya dengan
gerakan indah dan cepat, tahu-tahu pedang itu kini sudah dipegang di bagian
pucuknya dan gagangnya disodorkan ke arah Tek Sin Tojin, tangan kiri dibuka
terpentang di depan dada.
Melihat ini,
Kiang Liat tahu bahwa meski pun kelihatannya aneh sekali memegang ujung pedang
secara terbalik, akan tetapi gerakan ini bukanlah gerakan sembarangan dan tentu
saja mempunyai arti tertentu.
“Ketika Suhu
memberikan gin-kiam (pedang perak) ini kepada siauwte, Suhu berpesan supaya
siauwte jangan sekali-kali mempergunakan pedang ini untuk menghina orang dan
melawan orang bertangan kosong dalam pibu,” kata pemuda itu dengan sikap
hormat.
Twi Mo
Siansu mengangguk-angguk girang. “Ah kiranya Suheng masih ingat akan pesan
Sucouw, masih ingat untuk mengajarkan peraturan ini kepada muridnya.”
Memang
Go-bi-pai terkenal keras dengan peraturan-peraturannya. Di antaranya, seorang
murid sama sekali tak boleh memamerkan ilmu pedangnya, juga tidak boleh
menghadapi lawan dalam pibu (pertandingan persahabatan) yang bertangan kosong
dengan pedang. Kalau terjadi lawan itu bertangan kosong menantang, ia harus
menyerahkan pedang itu dengan sikap dan gerakan tertentu sebagaimana yang
dilakukan oleh Sun Hauw ini. Tadi memang Tek Sin Tojin menguji apakah pemuda
ini mengerti akan peraturan ini dan ternyata Sun Hauw mengerti baik!
“Kau hendak
memberikan pedangmu padaku? Baik, kuterima dan awas terhadap caraku
mengembalikannya!” kata Tek Sin Tojin.
Tangan
kanannya menyambar dan pada lain saat pedang itu sudah berpindah ke dalam
tangannya. Tosu tinggi besar itu lalu membuat gerakan melompat ke belakang,
berjungkir balik tiga kali, kemudian pada jungkiran terakhir, ia menggerakkan
tangannya dan pedang itu meluncur seperti anak panah menyambar ke arah dada
Liem Sun Hauw!
Pemuda itu
cepat meloloskan sarung pedangnya dan dengan gerakan yang indah namun cepat
sekali ia menyambut pedang yang meluncur ke dadanya itu dengan sarung pedang
dan... tepat sekali pedang itu masuk ke dalam sarungnya sehingga mengeluarkan
suara keras! Indah sekali gerakan dua orang itu.
Tek Sin
Tojin melakukan gerakan menyambit yang merupakan jurus terakhir dari ilmu
pedang Go-bi-pai, yakni gerakan yang disebut Sin-liong Kian-hwe (Naga Sakti
Mengulur Ekor) yang dimaksudkan untuk dipergunakan pada saat terakhir atau pada
saat sudah amat terdesak oleh lawan yang lebih tangguh. Timpukan pedang yang
tidak terduga-duga ini akan dapat menolong diri, kalau tidak berhasil
merobohkan lawan, sedikitnya memberi kesempatan untuk melarikan atau menjauhkan
diri!
Ada pun Sun
Hauw yang sudah menduga lebih dulu, telah meloloskan sarung pedangnya dan cepat
memperlihatkan kelihaiannya sebagai anak murid Go-bi-pai, melakukan jurus ilmu
silat yang disebut Sin-liong Siu-cu (Naga Sakti Menyambut Mustika). Memang,
dari gerakan ini saja sudah dapat dilihat bahwa Sun Hauw benar-benar seorang
anak murid Go-bi-pai yang jempol.
Ada pun
Kiang Liat yang juga seorang ahli pedang terkemuka, melihat petunjukan ilmu
pedang ini, diam-diam dia merasa kagum sekali. Ia sudah tahu bahwa Go-bi-pai
memang sebuah perguruan yang memiliki ilmu pedang indah dan aneh-aneh, maka
menyaksikan demonstrasi tadi, ia merasa gembira dan memuji,
“Bagus
sekali!”
Ia tidak
tahu bahwa memang di dalam ilmu pedang cabang Go-bi-pai terdapat pelajaran
terakhir, yaitu bersilat dengan sarung pedang. Hal ini dipelajari untuk berjaga
kalau-kalau pedang terampas lawan, maka biar pun dengan sarung pedang, masih
dapat anak murid Go-bi-pai melakukan perlawanan hebat.
Sementara
itu, sekarang Tek Sin Tojin dan Liem Sun Hauw sudah mulai bertempur dengan
tangan kosong. Gerakan mereka cepat dan indah, setiap pukulan ditangkis atau
dielakkan dengan tepat dan cepat. Dilihat sepintas lalu, mereka seakan-akan dua
orang anak murid Gobi-pai yang sedang berlatih silat, akan tetapi sebenarnya
bukan demikian, karena Tek Sin Tojin mendesak dan menyerang dengan
sungguh-sungguh.
Sekali saja
Liem Sun Hauw meleset dalam menangkis atau mengelak, dia akan terpukul dan
mendapat luka di dalam tubuh yang tidak ringan! Akan tetapi ternyata Liem Sun
Hauw hafal akan semua jurus serangannya sehingga pemuda ini dapat menangkis
atau mengelak dengan tepat, kemudian melakukan serangan balasan sebagaimana
mestinya dalam jurus dan gerak yang dilakukannya menghadapi suheng-nya ini.
Kalau tadi
Kiang Liat merasa kagum melihat demonstrasi ilmu pedang, sekarang melihat ilmu
silat tangan kosong yang diperlihatkan, ia tidak merasa heran atau kagum. Ilmu
silat itu memang cepat dan indah, lagi kuat gerakannya, akan tetapi tidak
terlalu hebat dan Kiang Liat merasa bahwa ilmu silatnya sendiri, ilmu silat
keturunan keluarga Kiang atau ilmu silat yang ia dapat dari Han Le dan Bu Pun
Su, tidak usah kalah menghadapi ilmu silat yang dimainkan oleh kedua orang itu......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment