Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 07
PADA saat
itu terdengar suara wanita tertawa yang terdengar halus merdu tapi mendirikan
bulu tengkuk sebab tak terlihat orangnya dan tahu-tahu berkelebat bayangan
menyambar para pengeroyok itu. Sebentar saja habislah para perampok berikut
ketiga orang piauwsu itu disapu oleh seorang wanita yang bergerak menari-nari
dengan cepat dan ganas.
Di mana saja
tangan atau kakinya menyambar, tentu seorang perampok akan terlempar dan
bergulingan sampai jauh! Akhirnya semua perampok lari tunggang langgang sambil
membawa kawan-kawan yang terluka.
Ong Hu Lin
berdiri memandang dengan kedua mata terbelalak. Ternyata yang menolong dirinya
dengan kepandaian luar biasa itu adalah seorang wanita cantik dengan sepasang
mata genit dan liar mengerling kepadanya. Mulut wanita itu tersenyum manis.
Rambutnya yang hitam panjang itu dibiarkan tergantung di punggungnya, bajunya
berwarna hijau dan celananya putih.
Ong Hu Lin
sadar dari keheranannya dan buru-buru dia menjura memberi hormat, “Lihiap yang
gagah perkasa, siauwte sungguh berhutang budi dan tidak tahu bagaimana harus
membalasnya.”
“Ong-piauwsu,
janganlah kau terlalu sungkan. Bukankah kita adalah orang-orang sekaum di
kalangan kang-ouw dan sudah seharusnya saling menolong?” Wanita itu menjawab
dengan suaranya yang merdu.
Ong Hu Lin
terkejut. “Bagaimana Nona bisa mengetahui namaku?”
“Bukankah
kau Ong Hu Lin piauwsu muda yang membuka perusahaan di Bok-chiu?” kata wanita
itu yang ternyata bukan lain ialah Giok-gan Kui-bo adanya. “Kebetulan sekali
aku bertemu dengan tiga orang Piauwsu dari Oei-houw Piauwkiok itu dan mendengar
mereka membicarakan engkau. Mana bisa aku berpeluk tangan membiarkan saja
mereka berlaku sewenang-wenang?”
“Terima
kasih banyak, Lihiap. Tetapi siapakah nama Lihiap yang lihai bagai bidadari
ini?”
Giok-gan
Kui-bo mengerling dengan gaya yang manis dan genit, lalu memandang wajah yang
tampan itu dengan tajam. “Namaku Kim Lian dan orang menyebut aku Giok-gan
Lihiap (Pendekar Wanita Bermata Intan).”
Melihat
gerak-gerik dan lagak wanita cantik ini, tahulah Ong Hu Lin bahwa ia berhadapan
dengan seorang wanita yang genit, maka dia kemudian berlancang mulut berkata
sambil tersenyum manis.
“Sungguh
nama dan julukan yang indah dan manis, sesuai benar dengan orangnya.”
Giok-gan
Kui-bo berpura-pura marah dan memandang dengan mata melotot, tapi bibirnya
tetap tersenyum!
“Lihiap,
harap kau jangan kepalang menolong orang,” kata Ong Hu Lin.
“Apa
maksudmu?”
“Sudah jelas
bahwa diriku yang tidak punya kawan ini dimusuhi oleh kawanan Oei-houw
Piauwkiok yang terdiri dari orang-orang pandai. Kalau tidak ada engkau yang
lihai, Lihiap, tentu aku telah binasa. Maka sudilah kau mengawani aku berjalan
bersama-sama sampai di tempat tujuan agar mereka itu tidak berani mengganggu
lagi.”
“Kalau aku
mau apakah upahnya?” Kim Lian bertanya sambil tertawa genit.
“Apa pun
yang kau minta, Lihiap, biar jiwaku sekali pun akan kuberikan padamu,” jawab
Ong Hu Lin yang ternyata pandai bermain kata-kata.
Demikianlah
semenjak saat itu mereka berdua menjadi kawan baik yang tak terpisahkan lagi.
Ketika Ong Hu Lin bersama Kim Lan kembali ke Bok-chiu, mereka sudah ditunggu
oleh kawanan piauwsu dari Oei-houw Piauwkiok dan dikeroyok, tetapi semua
piauwsu itu dengan mudah saja dapat dihajar oleh Giok-gan Kui-bo! Akhirnya
piauwsu-piauwsu itu menyatakan takluk dan semenjak itu, Ong Hu Lin yang menjadi
pemimpin piauwkiok itu.
Sebaliknya,
Giok-gan Kui-bo tetap menjadi kawan baik Ong Hu Lin. Akan tetapi, karena memang
sudah biasa merantau dan tidak kerasan tinggal di dalam sebuah rumah dan
mengurus rumah tangga, Kim Lan lalu meninggalkan Ong Hu Lin dan membuat tempat
tinggal sendiri di dalam sebuah goa di gunung yang dekat dengan kota Bok-chiu.
Goa ini dia jadikan tempat beristirahat dan kadang-kadang saja dia pergi
menemui Ong Hu Lin di rumahnya.
Giok-gan
Kui-bo sama sekali tak pernah menyangka bahwa Ong Hu Lin sebetulnya telah
memiliki seorang isteri! Dan isterinya ini bukanlah seorang sembarangan karena
isterinya ini adalah Pek-bin Moli Si Iblis Wanita Muka Putih, yakni puteri
tunggal dari Pek Moko!
Ong Hu Lin
bertemu dengan Pek Moko dan puterinya, kemudian Pek-bin Moli jatuh cinta
kepadanya hingga akhirnya dipaksa kawin dengan Pek-bin Moli. Sebetulnya bila
melihat orangnya, setiap pemuda pasti akan bersedia dengan senang hati untuk
menjadi suami Pek-bin Moli yang selain muda dan cantik, juga memiliki
kepandaian silat tinggi, karena dalam hal kepandaian silat, selain menerima
pendidikan dari ayahnya, Pek Moko, ia juga menerima pendidikan dari supek-nya,
yaitu Hek Moko yang lihai!
Akan tetapi
celakanya, Pek-bin Moli yang cantik jelita ini berotak miring! Gadis ini
menjadi gila karena suatu penyakit panas hingga betapa pun cantiknya, akhirnya
Ong Hu Lin tidak tahan melihat keadaan isterinya dan menjadi jijik dan takut!
Oleh karena
ini, maka pada suatu hari Ong Hu Lin berhasil melarikan diri dan minggat dari
isterinya yang gila ini hingga akhirnya tiba di Bok-chiu dan bertemu dengan
Giok-gan Kui-bo yang walau pun kecantikannya tidak melebihi Pek-bin Moli, akan
tetapi sikapnya menarik hati dan tidak gila!
Suami yang
meninggalkan isterinya ini sama sekali tidak pernah mimpi bahwa pada saat itu,
isterinya yang gila sudah menyusulnya dan berhasil mengetahui tempat
tinggalnya! Bahkan isteri yang gila akan tetapi mewarisi kecerdikan ayahnya ini
sudah mengetahui pula akan perhubungannya dengan Giok-gan Kui-bo! Kalau saja ia
tahu, tentu ia akan lari pergi karena sebenarnya dia takut setengah mati kepada
isterinya ini dan sudah maklum akan kepandaian isterinya yang lihai sekali.
Maka pada
suatu malam, ketika Ong Hu Lin dengan enaknya tidur di dalam kamarnya,
tahu-tahu jendela kamarnya terbuka dari luar dan terdengar suara yang sangat
dikenal dan ditakutinya memanggilnya. Ong Hu Lin membuka matanya dan ia
menggosok-gosok mata karena mengira bahwa ia sedang bermimpi.
Ternyata
bahwa sambil tersenyum-senyum manis tetapi dengan sepasang mata bersinar
menakutkan, di depan pembaringannya telah berdiri Pek-bin Moli, isterinya yang
berotak miring itu! Pek-bin Moli memakai baju kotak-kotak lucu sekali dan
celananya berwarna kuning gading.
“Kau...?!”
Ong Hu Lin berseru.
“Hi-hi-hi,
kau sudah rindu kepadaku, suamiku yang manis?” Pek-bin Moli tertawa sambil
menghampiri hingga diam-diam Ong Hu Lin menggigil ketakutan. “Hayo kau
beritahukan padaku di mana adanya sundal yang menjadi kekasihmu itu?”
“Sia...
siapa... yang kau... kau maksudkan...?” Ong Hu Lin bertanya gagap.
“Hi-hi-hi-hi,
siapa lagi kalau bukan Giok-gan Kui-bo? Hayo kau lekas turun dan antar aku
menemuinya. Atau haruskah aku menggunakan paksaan?”
Biar pun
suara isterinya terdengar merdu sekali, akan tetapi sinar matanya mengeluarkan
ancaman hebat sehingga mau tidak mau Ong Hu Lin terpaksa menyanggupi. Dia dapat
membujuk-bujuk isterinya yang gila itu untuk menunggu sampai besok pagi, karena
tidak mungkin malam-malam yang gelap itu mencari goa tempat Giok-gan Kui-bo.
Karena
Pek-bin Moli sangat mencinta suaminya, maka ia menurut dan malam itu Ong Hu Lin
terpaksa menuturkan cerita bohong, dan mengatakan bahwa ia pergi karena hendak
merantau dan meluaskan pengalaman.
Sesudah
malam tergantikan pagi, maka Ong Hu Lin terpaksa mengantarkan isterinya itu
mengunjungi goa di mana Giok-gan Kui-bo tinggal! Semua piauwsu di situ
terheran-heran karena tak ada yang tahu bila mana datangnya seorang wanita
cantik yang bersikap dan berpakaian aneh itu dan tahu-tahu wanita itu telah
keluar dari kamar bersama-sama Ong Hu Lin. Setelah Ong-piauwsu memberitahukan
bahwa wanita itu adalah isterinya, semua orang terkejut sekali tak seorang pun
berani banyak bertanya.
Kebetulan
sekali pada hari itu juga Ang I Niocu tiba di Bok-chiu dan mendengar tentang
perhubungan suci-nya dengan Ong Hu Lin. Dia pergi menyelidik dan mendengar
semua peristiwa mengenai diri Giok-gan Kui-bo yang sekarang kabarnya tinggal di
dalam sebuah goa di gunung yang berada tidak berapa jauh dari kota itu. Maka ia
pun lalu menyusul ke sana!
Giok-gan
Kui-bo sedang duduk seorang diri di dalam goa tempat tinggalnya, menunggu
mendidihnya air yang dimasak, ketika tiba-tiba saja tirai bambu yang dipasang di
depan goanya itu terbuka. Seorang wanita muda yang cantik dan berpakaian aneh
telah berada di depannya sambil tertawa ha-ha hi-hi.
Kim Lian
memperhatikan wanita cantik ini. Ternyata bahwa rambut wanita ini pun terurai
ke belakang dan di atasnya diikat dengan pita berwarna hijau. Bajunya
kotak-kotak hitam dan nampak lucu sekali.
“Siapa kau?”
tanya Kim Lian tak acuh karena menyangka yang datang hanyalah seorang gadis
dusun yang ingin menemuinya.
“Hi-hi-hi.
Inikah Giok-gan Kui-bo? Inikah sundal tak tahu malu yang merampas suamiku?
Ha-ha-ha!”
“Kau... kau
gila!” Kim Lian memaki marah sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Kau yang
gila! Kau, bukan aku!” tiba-tiba wanita itu menuding dengan jari telunjuknya
yang runcing. “Kau harus mampus!”
Sesudah
berkata demikian Pek-bin Moli menampar dengan tangannya ke arah pipi Kim Lian.
Giok-gan Kui-bo marah sekali dan ia menggerakkan tangannya hendak menangkap
tangan yang menampar itu. Akan tetapi alangkah herannya saat tangan yang
menampar itu dapat berkelit dan melanjutkan tamparannya dari lain jurusan dan…
“Plakk!”
pipinya kena tampar!
Bukan main
marahnya Giok-gan Kuibo. Selama dia merantau di dunia kang-ouw belum pernah ada
orang berani menghinanya, apa lagi menamparnya!
“Anjing
betina! Siapakah kau berani main gila di depanku?” bentaknya dengan dada turun
naik karena marahnya.
“Hi-hi-hi.
Sakit ya?” kata Pek-bin Moli sambil tertawa. “Kau belum kenal aku? Kau belum
pernah mendengar tentang Pek-bin Moli?”
Terkejutlah
Giok-gan Kui-bo mendengar nama ini. “Kau yang disebut Pek-bin Moli? Jadi kau
ini puteri Pek Moko? Lalu mengapa kau datang-datang memaki dan menamparku?”
tanyanya heran hingga untuk sesaat dia melupakan kemarahannya.
“Hi-hi-hi!
Kau sudah berani main gila dengan suamiku dan kau masih bertanya mengapa aku
menamparmu? Ha-ha-ha, suami orang tidak bisa dibagi-bagi!”
Giok-gan
Kui-bo melirik keluar goa dan dia melihat bayangan Ong Hu Lin berdiri dengan
wajah pucat dan tubuh menggigil.
“Hm, jadi
orang she Ong itu suamimu? Tetapi ia tidak pernah bilang bahwa ia suamimu.”
“Ha-ha-ha!
Ia terlalu cinta padaku, mana dia mau mengobral namaku untuk disebut-sebut
kepada sembarang orang? Hi-hi-hi!”
“Pek-bin
Moli! Kau sudah datang ke sini dan jangan kau kira aku Giok-gan Kui-bo takut
kepadamu. Sekarang kau mau apa?”
“Eh, ehh,
kau mau melawan? Baik, kau mampuslah!” Setelah berkata demikian, Pek-bin Moli
lalu menyerang dan keduanya lalu bertempur hebat di dalam goa yang sempit itu!
“Kalau kau
setuju, aku bersedia menjadi perantara, Im Giok. Biarlah aku mengakhiri masa
hidupku dengan menjadi seorang comblang yang menghubungkan dua orang manusia
sehingga menjadi suami isteri yang hidup rukun dan penuh kebahagiaan.”
Terpaksa Ang
I Niocu menjawab dengan suara hampir tak terdengar, “Susiok-couw, bagaimana
teecu dapat menjawab kalau teecu tidak tahu siapa... orang yang dimaksudkan
itu?”
“Ha-ha-ha,
Im Giok. Bukan orang yang tidak kau kenal, bahkan hubunganmu dengan dia akrab
sekali!”
Makin
berdebarlah hati Im Giok dan ia mendengar dengan penuh perhatian.
“Orang itu
bukan lain ialah Kang Ek Sian! Aku sudah tahu benar-benar akan hubunganmu
dengan dia dan telah kuketahui bahwa ia benar seorang baik dan patut dipuji.
Bagaimana pendapatmu tentang hal ini, Im Giok?”
Bukan main
kecewa rasa hati Ang I Niocu. “Maaf, Susiok-couw, teecu... tidak... belum ingin
mengikat diri dengan perjodohan!”
“Im Giok,
jawabanmu ini sama artinya dengan penolakan! Katakanlah! Apakah Kang Ek Sian
bukan seorang laki-laki yang baik?”
“Dia memang
seorang baik, Susiok-couw, akan tetapi... bagaimana teecu dapat menjadi isteri
seorang yang tidak... teecu cinta...?”
“Aha, anak
muda jaman sekarang!” Bu Pun Su berseru. “Cinta membutakan mata, anak.
Bukti-bukti telah menyatakan bahwa kerukunan dan saling mengerti dapat
mendatangkan rasa cinta yang jauh lebih sempurna dari pada cinta muda yang
hanya terdorong oleh nafsu semata! Aku maklum bahwa hatimu telah tertarik oleh
Cin Hai. Betulkah?”
Bukan main
terkejutnya hati Ang I Niocu mendengar ini. Bagaimana kakek guru ini dapat
mengetahui segalanya? Dapat mengetahui mengenai segala persoalannya dengan Kang
Ek Sian dan dapat tahu pula rahasia hatinya terhadap Cin Hai? Ia tak berani
mengangkat muka dan hanya tunduk dengan muka sebentar pucat sebentar merah.
“Im Giok,
kau sudah mendekati jurang yang curam dan berbahaya! Kau boleh menaruh hati
sayang terhadap Cin Hai, akan tetapi bukan kasih sayang seorang wanita terhadap
laki-laki. Seharusnya kasih sayangmu itu kau dasarkan atas rasa kasihan dan
kecocokan tabiat. Ingatlah, berapa usiamu sekarang, dan berapa usia Cin Hai?
Harus kuakui bahwa engkau memang masih nampak muda sekali berkat telur burung
rajawali putih dan berkat kecantikanmu, akan tetapi lewat sepuluh tahun lagi
saja, kau akan menjadi tua dan Cin Hai masih tetap muda. Apakah hal ini tidak
akan mendatangkan kepincangan sehingga akan merupakan gangguan hebat terhadap
kebahagiaanmu? Pikirlah masak-masak dan sekarang pergilah!”
Mendengar
kata-kata yang terus terang dan menusuk-nusuk hatinya ini, Ang I Niocu lalu
menangis tersedu-sedu sehingga tubuhnya berguncang-guncang. Ia tidak melihat
betapa Bu Pun Su memandangnya dengan sinar mata penuh iba hati.
“Im Giok,
kelak kau akan teringat bahwa aku memberi semua nasehat ini semata-mata untuk
kebaikanmu sendiri dan kau akan mendapat kenyataan bahwa semua kata-kataku
benar belaka. Sekarang gunakanlah imanmu dan kuasailah hatimu kembali. Kau
boleh pergi dan apa pun yang menjadi keputusanmu aku tidak akan melarang. Aku
tidak akan mencampuri urusan orang muda, tetapi sewaktu-waktu kalau kau setuju
dengan usulku tadi, kau boleh mencariku.”
Ang I Niocu
lalu menghaturkan terima kasih dan mengundurkan diri, lalu keluar dari goa itu
diikuti pandangan mata Bu Pun Su yang menggeleng-gelengkan kepala, karena kakek
ini diam-diam merasa kasihan sekali.
“Nafsu,
nafsu... kau memang kejam dan suka mempermainkan hati orang muda!” katanya
perlahan kepada asap putih yang mengepul di depannya.
Setelah
keluar dari goa itu diam-diam Ang I Niocu mengingat-ingat segala ucapan Bu Pun
Su dan setelah berada di tempat terbuka sehingga hawa sejuk mendinginkan
kepalanya, ia merasa betapa tepat dan betulnya nasehat kakek itu. Biar pun ia
tidak diberi tahu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa Cin Hai tentu telah
turun gunung. Tentu saja dia tidak berani bertanya kepada Bu Pun Su mengenai
anak muda itu, setelah Bu Pun Su secara tepat dapat membongkar rahasia hatinya
terhadap Cin Hai.
Ang I Niocu
sama sekali tak pernah menyangka bahwa Cin Hai baru beberapa hari yang lalu
meninggalkan Goa Tengkorak itu. Ia hanya mengira bahwa pemuda itu tentu kembali
ke rumah bibinya, yaitu di Tiang-an, karena pemuda itu pernah menceritakan
riwayatnya kepadanya. Oleh karena ini, secepatnya ia menuju ke Tiang-an untuk
menyusul Cin Hai. Betapa pun juga ia harus bertemu dengan pemuda itu, karena ia
tidak dapat menahan rindu hatinya lagi.
Sesudah
mencari Ang I Niocu di Liok-bin-si dengan sia-sia, Cin Hai kemudian kembali ke
Sam-hwa-bun untuk mengunjungi rumah keluarga Kwee In Liang. Dan terjadilah
sebuah hal yang tak terduga-duga!
Ketika ia
tiba di sebuah kaki gunung di jalan yang sunyi senyap, tiba-tiba ia melihat
titik merah mendatangi dengan amat cepat dari arah depan! Hatinya berdebar
girang karena hanya seorang manusia berpakaian merah di dunia ini yang dapat
bergerak seperti itu! Ia segera mengendurkan tindakan kakinya karena ia tidak
mau memperlihatkan kepada Ang I Niocu bahwa ia sekarang telah memiliki ilmu
ginkang yang hebat.
Benar saja
dugaannya, tak lama kemudian Ang I Niocu tiba di hadapannya. Ang I Niocu tiba-tiba
berhenti bagaikan ditahan oleh tenaga raksasa ketika dia melihat pemuda yang
berdiri memandangnya dengan wajah berseri-seri itu! Ia hampir pangling melihat
Cin Hai dan tak pernah disangkanya bahwa waktu yang tiga tahun lamanya itu
sudah mengubah Cin Hai dari seorang kanak-kanak menjadi seorang pemuda yang
cakap dan tegap!
“Kau...
kau... Hai-ji...?” bisiknya.
“Niocu!” Cin
Hai tertawa lebar, dan maju memegang tangan Ang I Niocu.
Kegirangan
besar membuat ia lupa akan kesopanan dan ia memegang tangan Dara Baju Merah itu
dengan erat bagaikan bertemu dengan seorang yang telah lama dirindukannya.
Sebenarnya perasaan Cin Hai ketika itu terhadap Ang I Niocu hanyalah perasaan
kasih sayang terhadap orang yang dianggapnya paling baik di dunia ini. Akan tetapi
sikapnya telah dipandang salah oleh gadis itu.
Ang I Niocu
mengira bahwa Cin Hai mempunyai perasaan yang sama terhadap dirinya, maka jika
tadinya ia merasa ragu-ragu dan kata-kata Bu Pun Su selalu bergema di dalam
telinganya sehingga dia tidak ingin memperlihatkan kesukaan hatinya karena
pertemuan ini, maka sekarang hatinya meluap-luap karena girangnya. Dia balas
memegang lengan tangan Cin Hai yang kuat itu dan berkali-kali berbisik,
“Hai-ji...
Hai-ji…”
Mereka lalu
pergi duduk di pinggir jalan sambil saling pandang dengan mesra.
“Hai-ji,
sudah selama tiga tahun kau belajar kepandaian dari Susiok-couw, tentu sekarang
telah memiliki kepandaian tinggi.”
“Ah, Niocu,
kepandaian apakah yang dapat kupelajari dengan baik? Suhu hanya memberi
pelajaran menari!” Sambil berkata demikian, Cin Hai lalu mencabut sebatang
suling dari pinggangnya kemudian mengangkat suling itu tinggi-tinggi sambil
tertawa. Ang I Niocu juga tertawa girang.
“Kalau
begitu, tentu kau sekarang telah dapat menarikan Tari Bidadari?” tanyanya
sambil memandang muka yang tampan dengan hiasan rambut yang hitam bagus.
”Barang kali
saja dapat. Aku pun telah lama ingin sekali melihat kau menari, Niocu. Bagai
mana kalau kita menari bersama-sama? Aku akan mencoba mengikuti gerakanmu.”
Dengan
girang sekali Ang I Niocu bangkit berdiri, diikuti oleh Cin Hai yang segera
meniup sulingnya. Memang selama belajar silat kepada Bu Pun Su, pemuda ini
tidak pernah lupa untuk meniup sulingnya yang menjadi kesukaannya. Bahkan
gurunya sendiri suka sekali mendengar tiupan sulingnya yang merdu.
Maka
terdengar tiupan suling yang indah dan merdu di kaki gunung itu. Ang I Niocu
lalu menari dengan gerakan yang indah dan gemulai, dan Cin Hai yang sudah
mempelajari pokok-pokok segala silat, sekali lihat saja dengan mudah mampu
mengimbangi tarian itu! Memang Tarian Bidadari bukanlah sembarang tarian akan
tetapi pada hakekatnya adalah sebuah ilmu silat yang lihai.
Sepasang
pemuda-pemudi itu menari dengan indahnya di tempat yang sunyi itu. Gerakan kaki
mereka cocok sekali bagaikan memang diatur sebelumnya, hanya kalau sepasang
lengan tangan Ang I Niocu bergerak dengan lincah indah, maka kedua tangan Cin
Hai tidak digerakkan karena dia menggunakan untuk memegang suling yang ditiupnya
untuk mengiringi tarian itu.
Bukan main
senangnya hati Ang I Niocu dan ia juga merasa amat kagum karena gerakan kaki
Cin Hai sungguh tepat dan tidak ada salahnya. Gadis ini merasa sangat bahagia
dan gembira hatinya hingga ia menari-nari sambil tertawa-tawa girang dan
memandang wajah Cin Hai dengan sinar mata penuh rasa cinta!
Cin Hai juga
gembira. Namun sebaliknya dia menari dengan tenang dan wajahnya yang tampan itu
tidak memperlihatkan perasaan apa-apa, hanya girang dan gembira. Sesudah
selesai menari, mereka kembali duduk di atas batu di pinggir jalan.
“Hai-ji, kau
hebat sekali! Dalam tiga tahun saja kau telah sanggup meniru Tarian Bidadari
sedemikian sempurnanya! Kau tentu sudah mempelajari ilmu silat yang tinggi
sekali dari Susiok-couw! Coba kau perlihatkan pelajaran ilmu silatmu itu untuk
kukagumi.”
“Sebenarnya,
Niocu. Aku tidak mempelajari apa-apa, hanya tarian-tarian itu saja. Bahkan
tarian itu pun baru dapat kulakukan jika kau menari bersamaku, kalau aku
disuruh menari seorang diri aku tak akan sanggup melakukannya.”
Ang I Niocu
memandang heran, akan tetapi ia percaya bahwa Cin Hai tidak berbohong. Ia hanya
menyangka bahwa pemuda ini memang agak bodoh hingga susiok-couwnya tidak
memberi pelajaran lain ilmu silat yang tinggi.
“Biarlah,
kau tidak perlu kecewa, Hai-ji. Mulai sekarang, aku akan memberi pelajaran
silat kepadamu!”
“Terima
kasih, Niocu, kau memang baik sekali.”
“Sekarang,
kau hendak ke mana, Hai-ji? Apakah kau sudah bertemu dengan Bibimu dan keluarga
Kwee?”
“Aku sudah
bertemu dengan Ie-thio, akan tetapi belum bertemu dengan Ie-ie. Sebetulnya aku
pun sedang menuju ke sana untuk menghadiri pesta perayaan ulang tahun Ie-thio.”
Cin Hai lalu menceritakan pengalamannya dan pertemuannya dengan Kwee In Liang.
Ang I Niocu
mengerutkan alisnya yang bagus. ”Kalau begitu, keadaan mereka berbahaya sekali.
Aku mendengar bahwa perwira-perwira Sayap Garuda adalah lihai sekali. Apakah
kau hendak membantu mereka? Kalau begitu biar aku ikut dengan kau untuk
membantu mereka!”
Cin Hai
merasa gembira sekali mendengar ini. Demikianlah, mereka lalu bercakap-cakap
dengan girang sekali dan Ang I Niocu telah lupa sama sekali akan pesan
susiok-couwnya setelah bertemu dengan Cin Hai! Mereka sudah mengambil keputusan
untuk datang ke Sam-hwa-bun pada saat pesta dilangsungkan.
Pada bulan
itu juga, tanggal lima belas, di rumah Kwee In Liang yang besar akan tetapi
sederhana itu diadakan perayaan untuk memperingati hari ulang tahun Kwee In
Liang yang ke enam puluh. Sebenarnya orang she Kwee ini tidak hanya khusus
merayakan hari lahirnya untuk bersenang-senang saja, akan tetapi ia mengandung
lain maksud.
Puterinya
Lin Lin, sejak kembali dari perguruan sudah memiliki kepandaian tinggi sekali
dan telah berusia tujuh belas tahun. Putera-puteranya yang berjumlah lima orang
itu telah dipertunangkan, kecuali Kwee An yang tetap tidak mau dicarikan jodoh.
Kini Kwe In Liang mengadakan perayaan dan mengundang banyak orang gagah yang
sudah dikenalnya, dengan maksud sekalian hendak mencari-cari seorang calon
mantu yang cocok untuk Lin Lin.
Kenapa
Kwee-ciangkun meletakkan jabatan dan menjadi orang biasa? Hal ini juga akibat
terpengaruh oleh kembalinya Lin Lin. Memang Kwee-ciangkun tadinya terkenal
sebagai seorang panglima yang sangat setia dan gagah. Dia mematuhi perintah dan
menunaikan kewajibannya tanpa ingat akan kepentingan dan perasaan sendiri. Oleh
sebab ini jasanya besar sekali dan ia mendapat penghargaan dari kaisar.
Akan tetapi,
ketika Lin Lin pulang dengan diantar oleh Biauw Suthai, wanita gagah ini dan
muridnya lantas mengadakan percakapan dengan Kwee In Liang dan membujuk supaya
Kwee-ciangkun tidak membantu lagi kaisar yang sesungguhnya lalim dan tidak adil
itu. Dengan alasan-alasan kuat Lin Lin membujuk ayahnya, disertai penuturan
Biauw Suthai tentang pengalaman-pengalamannya yang membongkar semua rahasia
kejahatan kaki tangan kaisar, terutama barisan Sayap Garuda yang mengganggu dan
memeras rakyat.
“Kalau Ayah
tidak segera mengundurkan diri, aku kuatir sekali kelak kita akan dimusuhi oleh
orang-orang gagah sedunia!” kata Lin Lin dengan bujukannya.
Akhirnya
Kwee In Liang menginsyafi kedudukannya yang berbahaya dan akan keadaan di dunia
luar. Ia adalah seorang yang berhati tabah dan pemberani, dan sama sekali ia
tidak takut akan ancaman orang kang-ouw karena kedudukan sebagai panglima. Yang
ia takuti ialah bahwa karena membantu dan berada di pihak yang tidak benar,
maka jangan-jangan namanya akan dikutuk orang dan akan meninggalkan nama busuk
sesudah meninggal kelak. Kedua kalinya, dia ini sudah tua serta sudah merasa
bosan dan capai untuk memegang pangkat.
Oleh karena
ini, dia segera mengajukan permohonan berhenti dari pekerjaannya dengan alasan
sudah terlalu tua dan lemah. Atasannya dapat menerima permohonannya dan ia pun
berhenti dengan hormat lalu pindah ke Sam-hwa-bun, membeli beberapa mou sawah
dan hidup bertani.
Pada hari
itu rumah keluarga Kwee telah dihias dengan kertas warna-warni dan kembang.
Tampak putera-putera keluarga Kwee, yakni Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Siang dan
Kwee Bun. Yang seorang lagi yakni Kwee An, tidak tampak di antara mereka. Telah
lebih dari empat tahun yang lalu, Kwee An pergi meninggalkan rumah ketika ia
bertengkar dan berkelahi dengan Kwee Tiong. Pemuda ini hanya meninggalkan surat
dan memberi tahu kepada ayahnya bahwa ia hendak pergi merantau.
Keempat
putera keluarga Kwee yang hadir di situ nampak amat gagah dan bersemangat.
Terutama Kwee Tiong yang nampak paling gagah dan cakap dalam pakaiannya yang
indah mentereng. Mereka ini oleh ayah mereka dilatih ilmu silat, bahkan
akhir-akhir ini mereka berguru kepada seorang hwesio yang bernama Tong Kak
Hosiang dari Kelenteng Ban-hok-tong di luar tembok kota Tiang-an.
Hwesio ini
adalah seorang perantau yang akhirnya bertempat tinggal di Ban-hok-tong. Oleh
karena ini, maka kepandaian keempat putera Kwee In Liang ini boleh dibilang
tinggi juga, terutama Kwee Tiong yang memiliki tenaga besar. Hanya Kwee An yang
telah pergi merantau tiada kabarnya itu saja yang agaknya tak mendapat kemajuan
dalam pelajaran silat, karena pemuda itu lebih mengutamakan ilmu kesusasteraan.
Para tamu
datang berbondong-bondong hingga tak lama kemudian penuhlah ruang yang
disediakan untuk tempat pesta. Kwee In Liang sendiri bersama empat orang
puteranya duduk di ruangan depan dan menyambut datangnya para tamu dengan sikap
ramah dan menghormat.
Lin Lin
sibuk membantu ibu tirinya di belakang dan setelah semuanya hadir, baru mereka
berdua keluar dan menyambuti tamu-tamu wanita yang banyak juga menghadiri pesta
itu. Di antara tamu-tamu wanita terdapat pula Biauw Suthai yang diminta datang
oleh Lin Lin untuk mengharapkan bantuannya karena mungkin sekali akan ada
bahaya mengancam dari pihak perwira Sayap Garuda yaitu Boan Sip.
Perwira she
Boan ini adalah pengganti Kwee-ciangkun dan dia menjadi kepala penjaga keamanan
kota Tiang-an. Dia adalah salah seorang perwira Sayap Garuda yang terkenal
memiliki kepandaian tinggi.
Ketika
melihat kecantikan Lin Lin, orang she Boan itu mengajukan lamaran, tetapi yang
ditolak keras oleh Kwee In Liang dan Lin Lin. Oleh karena inilah maka dia
menaruh hati dendam sehingga beberapa hari yang lalu dia sengaja mengganggu Lin
Lin dan ayahnya di dalam hutan.
Karena ini
maka kedatangan Biauw Suthai dalam pesta itu tidak hanya menggirangkan hati Lin
Lin, tetapi juga membuat Kwee In Liang bernapas lega.
Selain Biauw
Suthai, di situ nampak juga seorang wanita berusia kurang lebih tiga puluh
tahun dan berpakaian serba putih. Sikapnya pendiam dan tak banyak bicara, akan
tetapi sinar matanya berpengaruh.
Ini adalah
murid pertama dari Biauw Suthai yang bernama Bwee Leng dan yang memiliki
kepandaian tinggi sehingga terkenal dengan nama Pek I Toanio atau Nyonya Gagah
Baju Putih. Bwee Leng adalah seorang wanita yang telah menjadi janda. Juga
nyonya ini bisa dibujuk oleh Lin Lin yang menjadi sumoi-nya. Memang, baik Biauw
Suthai mau pun Bwee Leng sangat sayang kepada Lin Lin.
Perjamuan
berjalan dalam suasana gembira dan diselingi oleh datangnya para tamu yang
mengucapkan selamat pada tuan rumah. Arak wangi dan hidangan-hidangan
dikeluarkan oleh pelayan yang sibuk melayani para tamu.
Tiba-tiba
seorang di antara para tamu, seorang kakek yang berpakaian sebagai seorang
petani yang telah terkenal di antara para tamu sebagai seorang pendekar tua
dari selatan yang bernama Bhok Ki Sun, berdiri dari tempat duduknya. Sambil
menjura kepada tuan rumah yang duduk tak jauh dari situ, ia berkata,
“Kwee-enghiong,
aku orang tua selain menghaturkan selamat padamu dengan doa agar kau diberkahi
panjang umur, juga menyatakan kegirangan hatiku mendengar bahwa kau telah
bertemu kembali dengan puterimu yang baru kembali dari belajar silat. Memang
kau beruntung sekali, Kwee-enghiong, karena puterimu telah menjadi murid dari
Biauw Suthai yang terkenal lihai, dan yang kulihat hadir di sini. Kuharap
Kwee-enghiong suka berlaku murah dan memberi kepuasan kepada kedua mataku yang
tua ini untuk dapat menikmati keindahan ilmu silat Kwee-siocia. Bagaimana Cuwi
sekalian, apakah usulku ini tak cukup baik?” tanyanya kepada semua yang hadir.
Di tempat
itu juga hadir banyak pemuda yang sudah mendengar tentang puteri keluarga Kwee
yang tersohor cantik jelita dan kabarnya telah mempelajari ilmu silat tinggi,
maka tentu saja mereka merasa gembira sekali dan menyambut dengan tepuk sorak
gembira.
Sebetulnya
di luar tahunya semua orang, Kwee In Liang yang cerdik telah minta bantuan Bhok
Ki Sun yang menjadi kawan baiknya, untuk sengaja mengeluarkan usul ini supaya
terbuka jalan baginya untuk mencari seorang mantu yang cocok. Maka sekarang,
sambil tersenyum lebar dia berdiri dari tempat duduknya dan menjura kepada
semua tamunya sambil berkata,
“Cuwi
sekalian, Bhok-enghiong terlalu memuji, apakah kebisaan anakku yang muda ini?
Tapi karena di pesta ini tidak ada hiburan apa-apa, sudah menjadi kewajiban
kami untuk mengadakan sesuatu yang kiranya bisa menghibur dan menggembirakan
Cuwi sekalian. Lin Lin, kau penuhilah permintaan Bhok-enghiong setelah mendapat
ijin dari Gurumu!”
Lin Lin
adalah seorang gadis yang lincah dan tabah. Menghadapi sekian banyak pasang
mata yang memandang ke arahnya, sedikit pun ia tidak merasa gugup. Dengan tenang
ia minta perkenan dari gurunya dan setelah Biauw Suthai memberi persetujuannya,
dara ini dengan tabahnya menuju ke tempat bersilat yang memang sudah disediakan
di tempat itu, tepat di tengah-tengah ruang yang luas itu.
Sesudah
menjura sebagai pemberian hormat kepada semua yang hadir, Lin Lin lalu mulai
bersilat dengan gayanya yang indah dan cepat. Dia mainkan ilmu Silat Pat-kwa
Kun-hoat atau Ilmu Silat Pat-kwa yang mempunyai gerakan selain indah, juga
cepat sekali hingga sebentar saja mata orang yang tak begitu tinggi ilmu
silatnya menjadi kabur dan melihat seakan-akan tubuh gadis itu berubah menjadi
tiga empat orang.
Tepuk sorak
terdengar riuh rendah menyambut ilmu silat yang memang hebat ini. Baru saja Lin
Lin menghentikan ilmu silatnya tiba-tiba terdengar suara orang tertawa mengejek
dari luar. Suara tertawa ini terdengar nyaring sekali sehingga semua tamu
menengok ke luar. Juga Kwee In Liang memandang keluar dan seketika dia menjadi
pucat.
Yang datang
adalah Boan Sip serta empat orang lain yang juga memakai tanda Sayap Garuda
pada topi mereka dan kesemuanya memakai jubah merah, tanda bahwa mereka ini
adalah perwira-perwira kelas satu. Yang menarik hati ialah bahwa di antara
mereka ini terdapat seorang perwira yang usianya telah lebih dari lima puluh
tahun tetapi tampaknya masih gagah dan kuat.
“Sungguh
bagus, orang-orang bergembira dan berpesta pora sampai lupa mengundang
sahabat!” Perwira tua itu berkata keras dan dialah yang tadi mengeluarkan suara
ketawa itu.
Kwee In
Liang sudah kenal kepada perwira tua ini, karena dia ini adalah Ma Ing, seorang
yang terkenal sekali karena mempunyai kepandaian tinggi dan menjadi salah
seorang di antara para perwira terkemuka di istana. Diam-diam orang she Kwee
ini merasa terkejut sekali karena ia maklum bahwa pihak musuh menjadi sangat
kuat dengan adanya Ma Ing ini. Akan tetapi dia dapat menetapkan hatinya dan
cepat-cepat maju menyambut sambil menjura memberi hormat,
“Ngo-wi yang
mulia, silakan duduk di dalam.”
Boan Sip
sambil tertawa menyeringai mendahului masuk, diikuti oleh kawan-kawannya.
Mereka berlima masuk ke ruang itu sambil mengangkat dada dan dengan tindakan
kaki lebar, sama sekali tak memandang mata kepada sekalian yang hadir. Boan Sip
langsung menghampiri Lin Lin yang masih berdiri di tengah ruang tempat bermain
silat dan sambil menyeringai ia berkata,
“Kwee-siocia,
ilmu silatmu tadi sungguh-sungguh indah dipandang dan manis sekali!”
Lin Lin
memandang dengan mata melotot dan gadis ini marah bukan main sebab teringat betapa
beberapa hari yang lalu dia sudah tertangkap oleh orang she Boan ini dan hampir
saja diculik pergi! Hampir saja ia tak dapat menahan kesabaran hatinya dan
memaki atau menyerangnya, akan tetapi pada saat itu dari luar terdengar suara
yang nyaring,
“Ie-ie…!”
Lin Lin
cepat menengok. Ia melihat Cin Hai diikuti oleh seorang gadis cantik jelita
berbaju merah. Cin Hai langsung berlari menghampiri Loan Nio atau Nyonya Kwee
yang duduk di bagian tamu wanita.
Loan Nio
yang belum diberi tahu oleh suaminya tentang perjumpaannya dengan Cin Hai,
berdiri memandang dengan mata terbelalak pada pemuda tampan yang
menghampirinya. Cin Hai menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,
“Ie-ie, aku
Cin Hai menghadap. Apakah selama ini Ie-ie baik-baik saja?”
“Cin Hai,
kaukah ini?” Loan Nio menubruk dan mengangkat bangun anak itu, sementara tak
tertahan lagi air matanya mengucur keluar dari kedua matanya.
Cin Hai juga
mengeluarkan air mata dari sepasang matanya karena terharu dan girang. Kemudian
dia memperkenalkan Ang I Niocu kepada ie-ie-nya.
“Ie-ie, ini
adalah Nona Kiang Im Giok yang amat berbudi dan telah banyak menolongku.”
Loan Nio
memandang Ang I Niocu dengan kagum dan mempersilakan gadis itu duduk di bagian
tamu wanita. Ketika bertemu dengan Biauw Suthai lalu berkata,
“Ehhh, tidak
tahunya Ang I Niocu yang datang. Silakan…, silakan, aku masih ingat akan
pertolonganmu di goa dulu itu!” Dengan ramah Biauw Suthai lalu memperkenalkan
Ang I Niocu kepada Pek I Toanio dan mereka segera bercakap-cakap dengan
gembira.
Sementara
itu Lin Lin juga berlari menghampiri mereka dan diperkenalkan dengan Ang I
Niocu, sedangkan Cin Hai kemudian menghampiri ie-thio-nya untuk memberi hormat
dan menghaturkan selamat. Dengan ramah Kwee In Liang lalu menyuruh pemuda itu
duduk di tempat tamu.
Sementara
itu, melihat kesibukan tuan rumah karena kedatangan seorang pemuda dan seorang
gadis baju merah, Boan Sip beserta kawan-kawannya menjadi tidak puas dan merasa
betapa mereka dipandang ringan dan tidak dilayani seperti tamu agung.
“Eh, ehh
apakah tuan rumah lebih mementingkan kedatangan budak itu dari pada kami?” Boan
Sip dengan sikap sombong berkata sambil bertolak pinggang. Ketika Kwee In Liang
memandang ke arahnya, ia berkata,
“Kwee
Lo-enghiong, kau telah tahu akan maksud kedatanganku. Maka sekarang juga aku
minta keputusanmu dan marilah kau beri sedikit pengajaran kepadaku untuk
melanjutkan main-main yang kita lakukan di dalam hutan beberapa hari yang lalu.
Aku sudah berjanji akan datang, apakah kau tidak berani menyambutku?”
Bukan main
marahnya hati Kwee In Liang mendengar kata-kata orang yang tidak sopan dan
sikap yang kasar menantang ini. Ia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jika
dibandingkan dengan perwira muda ini, akan tetapi tentu saja ia tak mau
memperlihatkan kelemahannya.
“Orang she
Boan! Agaknya kau sudah melupakan aturan kesopanan dan sengaja datang membawa
kawan-kawanmu untuk mengacau pestaku!” orang tua ini lalu bertindak maju.
Akan tetapi,
tiba-tiba saja Lin Lin telah mendahului ayahnya dan dengan sekali lompatan ia
telah menghadapi Boan Sip.
“Orang she
Boan, engkau menjabat pangkat namun tidak mengenal aturan! Kami tidak
mengundang akan tetapi engkau sudah menebalkan muka untuk datang di pesta kami.
Apakah engkau tidak malu? Apa bila datang hendak mengajak pibu, apakah engkau
tidak dapat memilih lain hari?”
“Ha-ha-ha-ha!”
Boan Sip tertawa mengejek. “Jika hanya mengandalkan keberanian untuk mengadu
kepandaian, tidak perlu memilih waktu dan tempat. Sekarang kebetulan sekali
banyak orang menjadi saksi, apa bila pihak tuan rumah memiliki kegagahan,
silakan maju memperlihatkan kepandaian!”
“Bangsat,
apa kau kira kami takut padamu?” Lin Lin berseru dan meraba punggung untuk
mencabut senjatanya.
Akan tetapi
pada saat itu berkelebat bayangan putih yang datang dari pihak tamu wanita
dibarengi bentakan, “Manusia sombong jangan jual banyak tingkah di sini!”
Bayangan itu
ternyata adalah Pek I Toanio yang mewakili sumoi-nya dan lantas saja dia
menyerang dengan tamparan keras ke arah pipi Boan Sip. Akan tetapi siang-siang
Boan Sip telah dapat memaklumi akan kelihaian wanita ini karena tamparannya
mendatangkan angin pukulan dahsyat dan gerakannya ketika melompat tadi ringan
sekali.
Ia
mengangkat tangan menangkis dan sepasang lengan beradu keras. Boan Sip terkejut
sekali karena dia terdorong ke samping sampai terhuyung-huyung! Sementara itu
Lin Lin mengundurkan diri dan duduk di dekat gurunya yang memandang dengan
sikap tenang.
Ketika
melihat sikap Boan Sip yang sombong dan sengaja datang mengacau itu, Kwee Tiong
beserta ketiga orang adiknya menjadi marah sekali dan mereka berempat sambil
mencabut pedang lalu maju menghampiri dengan sikap mengancam.
Akan tetapi
Kwee In Liang yang maklum bahwa kepandaian mereka ini masih terlampau rendah
untuk bisa menghadapi Boan Sip, segera membentak, “Jangan kurang ajar, kalian
mundurlah dulu!”
Kwee Tiong
merasa penasaran sekali, akan tetapi dia tidak berani membantah ayahnya. Maka
bersama adiknya dia lalu berdiri dan bersiap sedia menghalau musuh yang kurang
ajar itu.
Boan Sip
yang melihat hal ini lalu tertawa bergelak-gelak. “Ha-ha-ha! Kwee Lo-enghiong
agaknya tahu akan kebodohan putra-putranya, karena itu tak mengijinkan
anak-anaknya maju, bahkan telah mengumpulkan orang-orang gagah untuk
mewakilinya! Cerdik sekali!” Kemudian ia berkata kepada Pek I Toanio, “Tidak
tahu siapakah Lihiap yang begitu baik hati mewakili tuan rumah menyambutku?”
“Orang she
Boan, bila sikapmu tak begini menjemukan dan kesombonganmu tidak begitu besar,
siapa yang sudi melayanimu? Akan tetapi engkau sudah lupa akan sopan santun dan
tak memandang mata kepada tuan rumah dan para tamunya. Apakah kau kira hanya
engkau seorang saja yang mempunyai kepandaian? Orang lain boleh engkau hina,
tetapi aku Pek I Toanio tak sudi menerima hinaan dari orang macam engkau!”
Memang biar
pun Pek I Toanio berwatak pendiam, akan tetapi kalau telah mengeluarkan
kata-kata selalu tajam dan berterus terang. Boan Sip sudah pernah mendengar
nama ini dan maklum akan kelihaiannya, akan tetapi dia tidak takut.
“Hmm, apakah
benar-benar engkau hendak mencoba kepandaianku?” tanyanya.
“Siapa yang
sedang main-main padamu?” jawab Pek I Toanio dengan senyum mengejek sehingga
kemarahan Boan Sip makin meluap.
“Kalau
begitu kau mencari penyakit sendiri!” bentaknya dan ia lalu maju menyerang.
Pek I Toanio
cepat berkelit dan membalas menyerang sehingga sebentar saja mereka berdua
sudah bertempur dengan seru.
Sementara
itu, sejak datang dan duduk di kursi terdepan, beberapa kali Cin Hai bertukar
pandang dengan Lin Lin dan gadis yang sedang marah itu apa bila terbentur
pandangan matanya dengan Cin Hai, lalu tersenyum seakan-akan minta maaf bahwa
dia tidak bisa menyambut sebagaimana mestinya karena terganggu oleh para
perwira kasar itu.
Kebetulan
sekali Kwee Tiong dan ketiga orang adiknya berdiri di dekat tempat dia duduk.
Kwee Tiong hanya mengerling kepadanya tanpa ambil peduli. Cin Hai tahu akan hal
ini, akan tetap ia tersenyum dan berdiri pula lalu menghampiri mereka.
“Tiong-ko,
bagaimana, apakah engkau sudah mendapat kemajuan besar?” tanya Cin Hai dengan
manis.
Kwee Tiong
memandang ke arahnya dengan acuh tak acuh, tetapi untuk kesopanan dia menjawab
juga, “Biasa saja, dan engkau sendiri telah belajar apakah?”
Juga Kwee
Sin, Kwee Siang serta Kwee Bun menghampiri Cin Hai untuk melihat dan bertanya
kepada anak muda ini. Sikap mereka tidak seangkuh Kwee Tiong, akan tetapi
rata-rata mereka memandang rendah kepada Cin Hai.
“Ahh, aku
tidak belajar apa-apa,” jawab Cin Hai sederhana.
Ketika Cin
Hai sedang bercakap-cakap dengan Kwee Bun, Kwee Tiong menegur mereka, “Sudahlah,
jangan banyak cakap. Sekarang bukan waktunya mengobrol. Lihat tamu kita
bertempur untuk kita, tidak pantas kita hanya mengobrol saja!”
Memang benar
ucapan Kwee Tiong ini, oleh karena pada waktu itu pertempuran sedang
berlangsung hebat. Boan Sip sungguh lihai dan gerakan-gerakannya selain cepat,
juga mantap dan keras sehingga Pek I Toanio harus mengeluarkan segenap
kepandaiannya untuk melayani lawan yang kosen ini.
Cin Hai
hanya memandang sebentar, akan tetapi ia tidak tertarik melihat pertempuran itu.
Sebaliknya ia celingukan ke sana ke mari mencari Kwee An dengan matanya. Kenapa
ia tidak melihat Kwee An? Ia kemudian menowel lengan Kwee Bun dan ketika pemuda
ini berpaling, ia bertanya sambil berbisik,
“Di manakah
adanya Saudara Kwee An?”
“Dia pergi merantau,
sudah empat tahun belum kembali.”
Pada saat
Cin Hai hendak bertanya lagi, Kwee Tiong menengok kepada mereka dengan
pandangan tidak senang sehingga Cin Hai dan Kwee Bun tidak melanjutkan
percakapan mereka. Sebetulnya pada saat itu perhatian Kwee Tiong tidak tertuju
sepenuhnya kepada pertempuran yang sedang berlangsung dengan hebatnya, namun
sebagian besar tertuju kepada Dara Baju Merah yang duduk di dekat ibu tirinya.
Di dalam
pandangan matanya, Ang I Niocu nampak sedemikian cantik dan ayu sehingga
sepasang matanya seakan-akan telah ditarik oleh besi sembrani. Ingin sekali
Kwee Tiong memperlihatkan kegagahannya dan melawan musuh supaya bisa menarik
perhatian dan kekaguman gadis jelita itu. Ia merasa heran sekali mengapa Cin
Hai, anak tolol itu dapat datang bersama-sama dengan seorang gadis demikian
cantiknya!
Pada saat
melihat jalannya pertempuran, Ang I Niocu juga merasa terkejut di dalam hati.
Baginya, kepandaian Pek I Toanio cukup tinggi dan hebat, akan tetapi ternyata
bahwa orang she Boan itu lebih lihai lagi dan gerakan-gerakannya masih
diperhebat dengan ilmu cengkeraman dari Mongol yang sukar diduga gerakannya,
sehingga beberapa kali kalau tidak berlaku cepat tentu lengan Pek I Toanio
sudah kena dicengkeram!
Diam-diam
Ang I Niocu menguatirkan keadaan paman dari Cin Hai, karena baru seorang lawan
saja sudah begini tinggi kepandaiannya, belum lagi yang empat lainnya! Ia
maklum bahwa di situ ada Biauw Suthai yang memiliki kepandaian tinggi, akan
tetapi sampai di manakah tingkat kepandaian kawan-kawan Boan Sip yang duduk
dengan muka tenang dan sombong itu?
Ia
mengerling ke arah Cin Hai yang duduk sambil memandang ke sana ke mari dan yang
tidak memperhatikan jalannya pertempuran. Pada saat Ang I Niocu memandang
kepada Cin Hai, pandangan matanya terbentur dengan pandangan mata Kwee Tiong.
Ia terkejut dan cepat mengalihkan pandangan matanya dan hatinya merasa tak
senang.
Ia tahu
bahwa pemuda tinggi tampan itu adalah putera dari Kwee In Liang karena tadi ia
melihat betapa Kwee Tiong dan adik-adiknya hendak turun tangan tetapi mereka
dicegah oleh Kwee In Liang. Mengapa pemuda itu memandangnya begitu macam?
Apakah hanya kebetulan saja?
Sekali lagi
Ang I Niocu mengerling ke arah Kwee Tiong dan tetap saja ia melihat betapa
pemuda itu menatapnya dengan pandangan mata penuh arti! Ang I Niocu merasa
sebal dan marah, akan tetapi diam saja dan sama sekali tidak mau memandang ke
arah anak muda itu lagi.
Pertempuran
itu benar-benar berjalan seru dan hebat. Pek I Toanio adalah murid pertama dari
Biauw Suthai dan memiliki kepandaian tinggi dan sudah hampir mewarisi
kepandaian gurunya, maka dapat dibayangkan betapa lihainya.
Akan tetapi
Boan Sip adalah seorang Perwira Sayap Garuda kelas satu hingga tentu saja
kepandaiannya sudah cukup tinggi, karena apa bila tidak memiliki kepandaian
tinggi, dia yang masih muda tidak akan dapat menduduki pangkat yang besar itu,
karena rata-rata Perwira Sayap Garuda kelas satu terdiri dari orang-orang yang
sudah berusia tinggi dan sedikitnya berusia hampir lima puluh tahun.
Setelah
bertempur beberapa puluh jurus dengan hebat, tiba-tiba saja Boan Sip merubah
gerakannya dan kini dia mulai menyerang dengan limu Golok Keledai Gila
Bergulingan. Tubuhnya berguling-guling ke arah lawan dan sambil bergulingan
tubuhnya tertutup dan terlindung oleh perisai, sedangkan goloknya
menyambar-nyambar ke arah kaki lawan!
Ilmu gerakan
ini benar-benar berbahaya dan cepat, dan ke mana saja Pek I Toanio loncat
menghindar, selalu Boan Sip dengan amat cepat lantas mengejar sambil
bergulingan dan melancarkan serangan berbahaya. Ia tak hanya bergulingan sambil
menyerang kaki akan tetapi secara tiba-tiba ia bangun dan menyerang dengan
golok itu kemudian bergulingan pula!
Diserang
secara begini, Pek I Toanio menjadi gugup sekali dan tak berdaya melancarkan
serangan balasan. Ia menjadi gemas dan penasaran lalu melakukan sebuah gerakan
dan serangan nekad.
Sambil
berseru nyaring Pek I Toanio lalu menjatuhkan diri bergulingan dalam gerak tipu
Daun Kering Tertiup Angin! Dia mengimbangi gerakan lawan dan sambil bergulingan
dia membabat dengan pedangnya dari samping. Karena serangannya ini hampir
menempel pada lantai, maka tak mungkin tertangkis dengan perisai.
Pada saat
itu terdengar teriakan kaget dan ternyata bahwa Cin Hai-lah yang berteriak itu.
Seperti lakunya seorang yang bingung dan gugup pemuda ini menyambar bangku yang
didudukinya dan melemparkan bangku itu dengan sambaran cepat ke arah mereka
yang sedang bertempur sambil bergulingan!
Kwee Tiong
dan adik-adiknya serta orang-orang lain yang duduk dekat Cin Hai merasa heran
sekali melihat perbuatan pemuda ini. Sementara itu, ketika Cin Hai melemparkan
bangkunya, Pek I Toanio setelah pedangnya kena ditangkis, kemudian bergulingan
pergi menjauhi Boan Sip yang telah siap untuk melempar goloknya.
Ketika
mendapat kesempatan baik dan pada saat tubuh Pek I Toanio yang bergulingan
pergi membelakanginya, ia lalu menyambitkan goloknya ke arah punggung lawan!
Akan tetapi, tepat pada saat itu, bangku yang dilempar oleh Cin Hai telah tiba
di antara mereka hingga sebelum golok itu terlepas dari tangan Boan Sip, ia
keburu menahan gerakannya kembali dan tidak jadi melontarkan goloknya.
Boan Sip
melompat berdiri dengan marah sekali, sedangkan Pek I Toanio juga sudah bangun
berdiri. Boan Sip sambil bertolak pinggang memandang sekeliling, lalu menegur
dengan suara nyaring,
“Tuan rumah
tidak kenal malu dan sengaja membantu secara diam-diam! Siapakah yang begitu
berani mati melempar bangku tadi?”
Sementara
itu, dengan marah Kwee Tiong menegur Cin Hai, “Cin Hai, engkau bodoh dan
lancang tangan! Apa maksudmu melemparkan bangku tadi?”
Cin Hai
pura-pura gugup dan bingung. “Aku... aku merasa ngeri melihat pertempuran itu
dan berusaha memisahkannya!”
Mendengar
ini, semua orang tertawa geli dan diam-diam Kwee Tiong mentertawakan Cin Hai.
Mengapa ia masih begini bodoh, pikirnya!
Di antara
semua orang merasa heran dan mentertawakan Cin Hai karena ketololannya, hanya
Biauw Suthai dan Pek I Toanio saja yang mempunyai pikiran lain. Pek I Toanio
insyaf akan kesalahan gerakannya tadi yang telah membuka punggungnya pada saat
dia bergulingan dan hal ini pun diketahui baik oleh gurunya, dan mengapa secara
kebetulan sekali pemuda itu melemparkan bangku pada saat yang demikian tepat
hingga jiwa Pek I Toanio terbebas dari ancaman?
Bahkan Ang I
Niocu sendiri tidak tahu akan hal ini karena ia tidak kenal gerakan-gerakan Pek
I Toanio sehingga Gadis Baju Merah ini pun merasa agak heran melihat perbuatan
Cin Hai.
Sekali lagi
Boan Sip berseru, “Tuan rumah berlaku curang! Hayo keluarkan dia yang telah
berani mengganggu,” katanya dengan lagak sombong.
Sementara
itu, atas isyarat gurunya, Pek I Toanio kembali ke tempat duduknya setelah
menjura kepada Kwee In Liang dan menyatakan penyesalannya karena tidak berhasil
mengalahkan lawannya.
Tiba tiba
Kwee Tiong yang diikuti oleh ketiga orang adiknya meloncat dengan pedang di
tangan sambil membentak, “Orang she Boan, jangan sombong! Yang melempar bangku
adalah adik keponakanku yang tolol dan bodoh, namun tidak perlu engkau memusuhi
dan menantangnya. Kalau engkau memang gagah, aku Kwee Tiong yang akan melawanmu!”
Boan Sip
memandang kepada Kwee Tiong dengan senyum sindir. Pemuda ini barusan
mengeluarkan ucapan gagah, akan tetapi ternyata sekali maju membawa ketiga
orang adiknya. Melihat gerakan mereka itu, Boan Sip memandang sebelah mata dan
berkata sambil tertawa,
“Ha-ha-ha-ha,
kalian ini putera-putera Kwee In Liang? Aneh, Harimau itu ternyata hanya
mempunyai putera-putera berupa kucing yang hanya pandai mengeong!”
Kwee In
Liang hendak memanggil putera-puteranya, akan tetapi Kwee Tiong sudah tidak
dapat menahan marahnya lagi. Dia lalu berseru keras dan menubruk dengan
pedangnya diikuti oleh ketiga orang adiknya yang menyerang dengan berbareng.
Boan Sip
mengeluarkan suara di hidung dan menggerakkan goloknya menangkis. Sekali
tangkis saja, dua dari empat batang pedang saudara-saudara Kwee itu terlempar.
Dan Boan Sip melanjutkan gerakannya dengan serangan pembalasan.
Baiknya
perwira muda ini masih ingat bahwa keempat anak muda ini adalah kakak-kakak
dari Lin Lin yang dia rindukan, maka dia tidak memiliki niat mencelakakan
mereka, hanya ingin menggoda serta memperlihatkan kegagahannya saja. Maka
serangan-serangannya hanya nampaknya saja hebat mengerikan karena goloknya
menyambar-nyambar hebat, akan tetapi tidak digerakkan cepat hingga keempat anak
muda itu masih dapat berkelit ke sana ke mari dengan wajah pucat.
Tiba-tiba
Cin Hai memegang sebuah bangku yang ditinggalkan oleh dua orang tamu yang
berdiri karena tegangnya menonton pertempuran itu dan dengan bangku di tangan,
Cin Hai berlari menuju ke tempat pertempuran. Lalu ia menyerang Boan Sip secara
membabi buta sambil berseru berkali-kali,
“Jangan
membunuh kakak-kakakku, jangan mencelakakan kakak-kakakku!” Mendapat serangan
kacau balau itu, Boan Sip terkejut dan cepat melihat penyerangnya. Karena ia
tujukan perhatiannya kepada penyerang baru ini, maka keempat saudara Kwee dapat
mundur, sedangkan Cin Hai masih terus mengobat-abitkan bangkunya. Boan Sip
ketika melihat bahwa pemuda inilah yang tadi menghalangi kemenangannya atas Pek
I Toanio menjadi marah sekali.
“Orang
tolol, engkau mencari mampus!” bentaknya.
Dia kemudian
menggunakan goloknya menyerang. Akan tetapi Cin Hai mengobat-abitkan bangkunya
yang cukup panjang hingga Boan Sip menjadi bingung. Gerakan pemuda ini tidak
teratur dan kacau balau, bahkan seperti gerakan orang gila mengamuk, akan
tetapi justru inilah yang membingungkan Boan Sip.
Gerakan
silat dapat diduga karena teratur, akan tetapi gerakan-gerakan yang menggila
ini benar-benar membingungkan dan sebelum dia dapat menyerang, sebuah kaki dari
pada bangku yang diobat-abitkan itu telah mengenai tubuh belakangnya.
“Bukk!”
terdengar suara karena bokongnya kena dihajar kaki bangku.
Semua orang
tertawa geli melihat tingkah laku Cin Hai yang mereka anggap sebagai seorang
pemuda tolol itu. Akan tetapi karena dalam ketololannya pemuda itu berani
membela keempat pemuda Kwee, walau pun mereka mentertawakannya, akan tetapi di
dalam hati mereka suka kepadanya. Maka bersoraklah para tamu melihat betapa
tanpa disengaja kaki bangku itu dapat memukul bokong Boan Sip yang sombong.
Sementara
itu, Cin Hai sambil mengobat-abitkan bangkunya berkata kepada Kwee Tiong
beserta adik-adiknya, “Engko Tiong, kau ajaklah adik-adikmu mundur, biar aku
tahan babi hutan yang mengamuk ini!”
Kembali
terdengar suara orang-orang tertawa karena pemuda yang dari gerak-geriknya
ternyata bahwa ia tidak mengerti ilmu silat itu dengan sikap gagah sekali
membuka mulut besar hendak membela keempat saudara Kwee dan menghadapi Boan Sip
yang sangat lihai. Sungguh satu pemandangan yang lucu mengherankan!
Akan tetapi,
keadaan ini merupakan tamparan hebat bagi keangkuhan dan kesombongan Boan Sip.
Kembali ia menyerang sambil memaki-maki. Pada saat bangku itu menyambar
kembali, dengan gemas Boan Sip membacok kaki bangku dengan goloknya. Mana bisa
kayu itu mampu menahan bacokan golok Boan Sip. Dengan mudah saja kaki bangku
itu terbabat putus.
Akan tetapi
sungguh malang bagi Boan Sip, yakni dalam pandangan semua orang yang menonton
pertempuran itu. Ketika kaki bangku itu terbabat putus, ternyata saking tajam
golok yang membabat, kaki bangku itu melayang dan kebetulan sekali dapat
menampar pipi Boan Sip!
“Plokk!”
Terdengar
suara dan pipi Boan Sip yang kena dilanggar potongan kaki bangku itu lantas
menjadi merah kulitnya dan terasa pedas sekali!
Kejadian ini
terlihat jelas oleh semua orang sehingga kembali terdengar sorak riuh rendah
karena ternyata walau pun bodoh dan tidak mengerti ilmu silat, agaknya pemuda
tolol itu sedang ‘hok-khi’ (beruntung) maka secara kebetulan sekali lawannya
kena tamparan kaki bangku yang dipotongnya sendiri!
Pada waktu
itu, di bagian tamu di mana tadi Cin Hai duduk, terjadilah peristiwa lain yang
menimbulkan tertawa geli. Kiranya dua orang tamu yang tadi berdiri melihat
pertempuran seru antara Kwee Tiong dibantu adiknya dengan Boan Sip hingga
bangku mereka diambil oleh Cin Hai di luar tahu mereka, ketika melihat betapa
dua kali Boan Sip kena terpukul kaki bangku, mereka jadi begitu gembira
sehingga sambil tertawa terkekeh-kekeh mereka menjatuhkan diri di atas bangku
di belakang mereka. Akan tetapi suara mereka segera terganti seruan kaget dan
kesakitan karena mereka berdua ternyata menjatuhkan diri ke belakang yang
kosong dan tak ada bangkunya lagi, maka tentu saja mereka terjengkang dan jatuh
tunggang langgang!
Orang-orang
di sekitarnya tertawa bergelak dan kedua orang itu berdiri sambil meringis
kesakitan, akan tetapi ketika mereka mengetahui bahwa bangku yang berhasil
menghajar Boan Sip adalah bangku yang tadi mereka duduki, maka berserilah wajah
mereka!
Boan Sip
marah sekali dan ia menyerang bagaikan kerbau gila. Bangku di tangan Cin Hai
sudah tak karuan lagi macamnya karena bekas bacokan golok.
“Eh, eh, tak
tahu malu! Menyerang orang yang tidak memegang senjata!” Cin Hai memaki dengan
suara mengejek.
Kata-kata
ini mengingatkan Boan Sip bahwa kalau dia nanti membunuh anak muda tolol yang
tidak bersenjata ini dengan goloknya, maka dia tentu akan dipandang rendah oleh
orang-orang gagah. Lagi pula untuk menyingkirkan bangku dari tangan pemuda
bodoh ini lebih mudah menggunakah tangan kosong. Karena itu dia segera
membanting golok dan perisainya di atas lantai sehingga mengeluarkan suara
berkerontangan, kemudian sambil mendelikkan mata ia memaki,
“Baik, aku
telah membuang senjataku, orang gila! Tunggulah aku akan mencekik batang
lehermu!”
“Mengapa
bermain cekik-cekikan? Kita bukan sedang bermain adu gulat!” jawab Cin Hai
dengan muka lucu hingga kembali semua orang tertawa.
Sementara
itu, Lin Lin merasa heran sekali dan juga kagum. Ia heran dan kecewa melihat
bagaimana Cin Hai setelah dewasa berubah menjadi seorang pemuda tolol, akan
tetapi ia juga merasa kagum melihat betapa dalam ketololannya, Cin Hai ternyata
mempunyai hati yang tabah, bersemangat, dan berani membela kakak-kakaknya!
Juga Kwee In
Liang menggeleng-gelengkan kepala karena ia ikut merasa malu memiliki seorang
keponakan setolol itu. Bahkan Biauw Suthai yang mempunyai pandangan tajam dan
pengalaman luas dapat pula dikelabui oleh aksi Cin Hai yang ketolol-tololan
sehingga diam-diam wanita tua ini bersiap sedia menolong jiwa anak muda yang
tolol akan tetapi pemberani itu, Loan Nio duduk dengan wajah pucat, hendak
mengeluarkan suara saking terperanjat dan kuatirnya.
Ketika Cin
Hai mengangkat bangku menyerang kembali, Boan Sip menyambut bangku itu dengan
kedua tangannya dan ia lantas membetot. Akan tetapi, betapa terkejutnya ketika
ternyata bahwa ia tidak mampu membetot bangku itu dari tangan Cin Hai! Ia
terkejut dan heran sekali. Apakah mungkin pemuda tolol ini memiliki tenaga
sebesar itu? Ia membetot kembali dan Cin Hai terus mempertahankan.
“Uhh… uhhh…”
mulut Cin Hai mengeluarkan suara seolah-olah dia sedang mengerahkan seluruh
tenaganya.
Demikianlah,
keduanya saling membetot dan mempertahankan, sedikit pun tak ada yang mau
mengalah! Bangku itu sebentar terbetot ke kanan, sebentar terbetot ke kiri
sehingga seakan-akan kedua orang itu sedang mengadu tenaga membetot-betot
bangku hingga air muka keduanya berubah merah!
Yang merasa
sangat gembira adalah para penonton. Mereka bersorak riuh rendah dan lupa bahwa
kedua orang itu sebenarnya sedang berkelahi dan lupa pula bahwa Boan Sip sedang
marah besar dan dari kedua matanya mengeluarkan nafsu membunuh karena benci dan
marahnya kepada pemuda tolol itu!
Pada saat
itu mereka merasa seolah-olah sedang menonton dua orang mengadu tenaga dengan
menarik-narik bangku sebagai gantinya tambang yang biasa dipergunakan untuk
mengadu tenaga bertarik-tarikan! Maka terdengarlah suara-suara yang memihak
kepada Cin Hai sambil berteriak-teriak,
“Hayo,
tarik... tarik...! Keluarkan tenagamu...”
Jika bangku
itu terbetot ke arah Cin Hai, maka semua orang berseru gembira, “Hayo... lebih
keras lagi... tarik...!”
Akan tetapi
apa bila bangku itu terbetot ke arah Boan Sip, terdengar teriakan-teriakan lain
yang mengandung kekuatiran, “Awas... pertahankan... jangan sampai kalah...!”
Untuk
beberapa lamanya kedua orang itu saling tarik, saling betot dan saling
keluarkan tenaga. Boan Sip makin marah dan penasaran saja. Tenaganya untuk
membetot bangku ini lebih dari pada tujuh ratus kati, akan tetapi sungguh aneh
sekali bahwa pemuda tolol ini dapat mempertahankannya sedemikian rupa. Ia lalu
mengerahkan seluruh tenaganya dan dengan tenaga yang tidak kurang dari seribu
kati kuatnya.
Tiba-tiba
saja Cin Hai mengendurkan pegangannya hingga dengan cepat sekali bangku itu terbetot
ke arah Boan Sip dan terbawa tubuhnya yang terhuyung-huyung ke belakang ini.
Akan tetapi Cin Hai tidak melepaskan pegangannya sehingga tubuhnya ikut
terbetot dengan bangku itu. Tarikan Boan Sip demikian kerasnya hingga karena
tenaga bertahan dilepas secara tiba-tiba, tidak mampu lagi perwira itu bertahan
dan terlempar ke belakang terhuyung-huyung ke belakang dan akhirnya jatuh
terjengkang dengan bangku dan tubuh Cin Hai menimpa di atasnya.
Orang-orang
tertawa geli dan bersorak-sorai. Akan tetapi pada saat itu pula Lin Lin sudah
melompat ke tempat itu karena gadis ini yakin bahwa ketika tubuh Cin Hai
menimpa di atas tubuh Boan Sip, maka perwira itu dapat memberi pukulan maut
kepada pemuda itu.
Dan alangkah
herannya Lin Lin ketika tanpa terlihat, tahu-tahu Ang I Niocu juga berada di
situ dan cepat sekali Dara Baju Merah ini telah memegang tangan Cin Hai dan
membetot tubuhnya! Ternyata bahwa Ang I Niocu juga kena ditipu oleh ketololan
Cin Hai sehingga dia menguatirkan keselamatan pemuda ini.
Akan tetapi,
ketika orang-orang melihat Boan Sip merangkak bangun, ternyata dari mulut
perwira muda itu mengalirkan darah dan ia pun berdiri dengan terhuyung-huyung.
Karena terlalu banyak menghabiskan tenaga dan tiba-tiba saja bangku dilepas,
maka tenaganya membalik dan telah melukainya sendiri hingga ia mendapat luka
dalam yang hebat juga!
Kawan-kawannya
segera menghampiri dan menuntunnya duduk di atas sebuah bangku. Ma Ing segera
mengetuk pundak dan mengurut-urut dadanya, dan memberinya sebuah pil untuk
ditelan. Boan Sip lalu duduk diam dan cepat mengatur napas untuk memulihkan
tenaganya kembali.
Lin Lin dan
Ang I Niocu kembali lagi ke tempat duduk masing-masing, ada pun Cin Hai dengan
mendapat sambutan tepuk tangan dan tertawa geli, dipanggil oleh ie-ie-nya,
yaitu di bagian para tamu wanita. Pada saat Biauw Suthai memandang pemuda itu,
teringatlah wanita gagah ini. Dia lalu berdiri dan menghadapi Cin Hai.
“Bukankah
kita pernah bertemu?” tanyanya mengingat-ingat.
“Sudah,
Suthai,” jawab Cin Hai, “Sudah empat kali kita bertemu.”
“Empat
kali?” Biauw Suthai mengingat-ingat.
“Ya, empat
kali. Pertama kali ketika engkau menculik Adik Lin Lin. Ke dua kalinya ketika
engkau menolongku dari serangan Biauw Leng Hosiang, lalu ketiga kalinya di
dalam Goa Tengkorak, dan ke empat kalinya... sekarang ini!”
Biauw Suthai
tertawa senang. “Ahh, benar... pantas saja kalau begitu. Memang semenjak dulu
engkau telah memiliki keberanian yang besar!”
Lin Lin
memandang kepada Cin Hai dengan kagum, lalu berkata, “Hai-ko, benar-benar kau
gagah berani!”
Dan aneh
sekali, mendengar pujian dan melihat sinar mata gadis ini Cin Hai merasa
demikian girang hingga ia tersenyum dan tiba-tiba mukanya menjadi merah. Ang I
Niocu dari tempat duduknya melayangkan pandang tajam ke arah kedua anak muda
ini.
Sementara
itu, Kwee Tiong dan adik-adiknya merasa iri hati dan jengkel melihat betapa Cin
Hai yang tolol itu mendapat pujian dari orang-orang.
“Sungguh
menjemukan, sungguh menyebalkan...!” Kwee Tiong bersungut-sungut.
Pada saat
itu seorang perwira lain yang bertubuh pendek dan bermuka hitam, meloncat masuk
ke dalam arena. Dengan tertawa dingin dia menggulung lengan bajunya ke atas
hingga nampak sepasang tangannya yang pendek dan berkulit halus putih, jauh
berbeda dengan warna kulit mukanya. Dia memandang ke sekeliling dan berkata
kepada Kwee In Liang, “Kwee-ciangkun...”
“Aku bukan
seorang pembesar lagi, jangan kau menyebutku ciangkun.” Kwee In Liang memotong.
Perwira kate itu tertawa,
“Kwee
Lo-enghiong,” katanya lagi.
“Pertempuran
antara Boan-sute dan Pek I Toanio boleh dianggap berakhir dengan seri karena
datangnya gangguan dari pemuda tolol tadi, dan pertempuran antara Boan-sute dan
pemuda itu tidak termasuk hitungan karena itu bukanlah pertempuran. Jadi
keadaan pihak kami masih belum ada yang kalah belum ada yang memang. Sekarang
kuharap kau suka maju, atau boleh juga kau mengajukan pemuda bodoh setengah
gila tadi untuk menghadapiku, dalam sebuah pertempurah sungguh-sungguh! Tetapi,
tentu anak bodoh itu tidak berani!”
“Siapa yang
tidak berani?” tiba-tiba Cin Hai berteriak. “Mentang-mentang mukanya hitam,
jangan membuka mulut besar!”
Terdengar
orang-orang tertawa keras karena merasa geli mendengar ini. Muka perwira yang
hitam itu menjadi lebih hitam lagi karena darah mengalir ke mukanya.
“Anjing
tolol, jangan kau suka berbuat kepada lain orang sesuatu yang kau sendiri tak
suka orang lain berbuat padamu! Kau datang-datang memaki orang, mengapa kau
tidak suka mendengar disebut muka hitam?” Sambil berkata demikian, Cin Hai
bangun berdiri hendak menyambut tantangan orang itu. Akan tetapi Loan Nio yang
duduk di dekatnya lalu memegang pundaknya dan mencegahnya membuat onar lebih
jauh.
Tiba-tiba
Ang I Niocu berdiri sambil tersenyum. Ia mengangguk kepada Biauw Suthai, lalu
menghampiri Kwee In Liang dan bertanya, “Kwee Lo-enghiong, bolehkah aku
mewakili Saudara Cin Hai?”
Kwee In
Liang yang merasa bahwa ia sendiri tak berdaya, hanya menganggukkan kepala
dengan bingung. Setelah mendapat perkenan Kwee In Liang, dengan sekali gerakan
kaki tubuhnya melayang cepat dan tahu-tahu telah berdiri di depan perwira muka
hitam tadi.
Semua orang
memuji keindahan gerakan ini dan perwira muka hitam itu terkejut sekali. Ia
maklum bahwa ia kini sedang menghadapi seorang lawan yang lihai dan tangguh,
maka ia tidak berani main-main dan segera menjura dengan hormat.
“Tuan rumah
sudah berhasil mengumpulkan pembela-pembela yang pandai. Bolehkah kiranya aku
mengetahui nama Lihiap dan apa hubungan Lihiap dengan Kwee-enghiong?”
Ang I Niocu
tersenyum dan orang-orang heran mendengar betapa tiba-tiba Ang I Niocu
mengucapkan sajak,
Berkawan
sebatang pedang
Menjelajah
ribuan li tanah dan air
Tanpa
maksud, tiada tujuan
Hanya
mengandalkan kaki dan hati.
Kau hendak
bertanya nama?
Lihat
pakaian dan pedang.
Dan cari
sendiri siapa namaku!
Perwira itu
lalu memikir-mikir sebentar sambil memandang pakaian Ang I Niocu dengan penuh
perhatian. Kemudian ia pun berkata dengan kaget, “Ahh, bukankah Lihiap ini Ang
I Niocu?”
Ang I Niocu
tersenyum manis, dan sekalian orang yang hadir, juga Kwee In Liang, Kwee Tiong
dan semua adiknya terkejut sekali. Telah lama nama ini sangat tersohor akan
tetapi tak seorang pun pernah menyangka bahwa orangnya sedemikian muda dan
cantiknya!
“Apakah
artinya nama bagi kita? Hal itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan pibu
yang kita hadapi. Dan tentang hubungan dengan keluarga Kwee yang kau tanyakan
tadi, terus terang saja aku pun hanya seorang tamu biasa bahkan tamu yang tidak
diundang seperti juga kalian! Akan tetapi, karena maksudku baik maka aku
diterima dengan baik pula, tidak seperti kalian hanya datang mengacau!”
“Maaf, maaf!
Tidak tahu bahwa Lihiap adalah Ang I Niocu maka berlaku kurang hormat.
Pertempuran ini tidak dapat dilanjutkan!” Si Muka Hitam berkata. “Bukan karena
aku tidak menghormat Lihiap, akan tetapi karena kami datang khusus untuk
mengadu kepandaian dengan keluarga Kwee, maka aku Tan Song tak akan mau
melayaninya!”
Mendengar
kata-kata ini, Ang I Niocu tidak berdaya dan ia tidak dapat memaksa, maka ia
lalu bertindak ke tempatnya semula sesudah berkata, “Kalau begitu, masih
kuharapkan agar lain kali kau suka memperlihatkan kepandaianmu yang membuat kau
sombong ini, Tan-ciangkun!”
Tan Siong
merasa malu dan marah mendengar sindiran ini, akan tetapi ia memang cerdik dan
pura-pura tak mendengar sindiran yang disengaja oleh Ang I Niocu itu.
“Hei, orang
she Kwee, bagaimanakah? Apakah kau serta kaum kerabatmu tidak berani menghadapi
aku? Mana pemuda gila yang menjadi keponakanmu tadi, suruh dia keluar, jangan
sembunyi di dalam pelukan ibunya saja!”
Bukan main
hebatnya hinaan ini sehingga Cin Hai sudah bermaksud hendak bertindak
memperlihatkan kepandaian. Akan tetapi pada saat itu pula dari luar berkelebat
bayangan orang dan tahu-tahu seorang pemuda berpakaian bagai seorang sasterawan
telah berdiri di situ. Pemuda ini langsung menuding muka Tan Siong dan berkata,
“Manusia
sombong yang suka mengacau! Jangan kau menghina Ayahku, aku putera ke lima siap
menghadapimu!”
“An-ji...!”
Kwee In Liang dan Loan Nio berseru hampir berbareng.
Akan tetapi
karena pada waktu itu Kwee An sedang menghadapi musuh, maka mereka hanya
memandang dengan girang dan juga kuatir. Apa lagi Kwee An hanya mempunyai
kepandaian silat yang masih rendah saja. Hanya saja cara melihat masuknya Kwee
An tadi timbul harapan baru dalam hatinya. Ia sendiri yang berkepandaian cukup,
hampir tak melihat gerakan Kwee An yang demikian cepat!
Cin Hai
dengan jelas bisa melihat bahwa ketika masuk tadi Kwee Ang telah menggunakan Ilmu
Loncat Naga Sakti Mengejar Mustika dan bahwa ilmu loncat ini hanya bisa
dilakukan oleh orang yang mempelajari keng-sin-sut atau ilmu berlari cepat dan
sudah mempunyai ginkang tinggi. Maka ia tahu bahwa Kwee An telah mempelajari
silat dari orang pandai. Juga Ang I Niocu, Biauw Suthai, Pek I Toanio, dan Lin
Lin mengetahui hal ini sehingga mereka menjadi girang.
Akan tetapi,
Cin Hai adalah seorang yang sangat teliti dan hati-hati. Meski pun maklum bahwa
Kwee An memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi ia masih merasa kuatir dan pada
saat yang tegang itu, tiba-tiba ia berlari-lari menghampiri Kwee An sambil
berteriak-teriak “Kwee An... Kwee An...”
Kwee An
cepat berpaling dan wajahnya yang cakap itu berseri gembira melihat Cin Hai.
“Cin Hai, engkau juga datang?” Mereka lalu berpelukan karena memang dengan Kwee
Ang, semenjak dahulu Cin Hai mempunyai perhubungan yang akrab.
Ketika
mereka berpelukan, dengan perlahan sekali Cin Hai berbisik, “Dia mempunyai
Pek-mo-jiu.”
Akan tetapi
dengan suara keras ia berkata, “Kwee An, engkau begini gagah perkasa! Ah, Si
Muka Hitam ini sebentar lagi akan bermuka biru!” Sesudah berkata demikian, Cin
Hai lalu bertindak kembali ke tempat duduknya.
Semua orang
tertawa mendengar olok-oloknya kepada Muka Hitam. Diam-diam Kwee An heran
melihat sikap Cin Hai yang ketolol-tololan, padahal bisikan tadi menyatakan
bahwa mata Cin Hai tajam sekali. Ia sendiri kalau tidak diberi tahu tentu tidak
akan menyangka, karena memang seorang yang memiliki Pek-mo-jiu, tidak nampak
dari luar, tidak seperti halnya Hek-see-jiu atau Ang-see-jiu, sebab orang yang
memiliki ilmu ini, tangannya hitam atau merah.
Pek-mo-jiu
atau Tangan Iblis Putih adalah semacam ilmu yang dipelajari dengan melatih
tangan dan lengan sedemikian rupa menggunakan bubuk perak putih yang
dicampurkan obat-obat kuat dan digosok-gosokkan pada seluruh lengan tangan,
juga melatih dengan memukul-mukul bubuk perak kasar hingga kebal dan keras dan
mempunyai tenaga luar biasa!
Pertempuran
antara Kwee An dan Tan Song segera dimulai. Dalam beberapa gebrakan saja Cin
Hai dapat tahu bahwa Kwee An sudah mempelajari ilmu silat dari Kim-san-pai,
sebuah cabang persilatan dari Go-bi-san yang mempunyai banyak cabang persilatan
itu.
Pernah dulu
Bu Pun Su memberi tahu kepadanya tentang cabang persilatan ini yang biar pun
kurang ternama, akan tetapi sesungguhnya mempunyai ilmu silat yang tinggi. Dan
sekarang Cin Hai membuktikan sendiri hingga dia merasa girang sekali karena
Kwee An yang baik hati dan sederhana itu ternyata memiliki kepandaian silat
yang tidak saja lebih tinggi dari Lin Lin, akan tetapi agaknya tak kalah dengan
kepandaian Si Muka Hitam ini!
Benar saja
seperti dugaan Cin Hai semula, Tan Song yang maklum bahwa lawannya yang masih
muda ini memiliki kepandaian tinggi dan merupakan lawan yang tangguh, lalu
berusaha mencapai kemenangan mengandalkan kedua tangannya yang memiliki tenaga
Pek-mo-jiu. Dia segera mengerahkan tenaga dan kepandaian melancarkan seragan
kilat yang dapat membawa maut.
Akan tetapi Kwee
An berlaku hati-hati sekali. Ginkang pemuda ini sudah mencapai tingkat tinggi
dan ia memiliki ilmu meringankan tubuh yang lebih tinggi dari pada lawannya,
maka ia menggunakan ginkang-nya untuk bergerak ke sana ke mari demikian
cepatnya laksana seekor burung kepinis!
Orang-orang
bersorak gembira melihat pertunjukkan ini, karena pertempuran mereka itu
seakan-akan seekor ular yang mengejar burung yang terlalu gesit dan cepat untuk
dapat dicaploknya. Kwee An mengeluarkan ilmu silat Kim-san-pai yang lihai dan
segera balas menyerang dengan totokan-totokan ke arah urat dan jalan darah
lawan.
Pernah
terjadi kelambatan pergerakan Kwee An yang hampir saja mencelakakan anak muda
ini sebab Tan Song menggunakan kesempatan itu untuk mengirim sebuah pukulan
maut yang keras ke arah dada Kwee An. Semua orang terkejut, bahkan Ang I Niocu
pun mengeluarkan seruan tertahan.
Kwee An
merasa betapa angin pukulan Pek-mo-ciang ini seakan mengiris kulit dadanya.
Namun berkat kegesitannya, dia segera melempar diri ke belakang sambil
menggerakan kedua kakinya menendang ke depan bergantian. Untung saja dia
mempergunakan Ilmu Gerakan Kera Jatuh Dari Cabang ini, karena kalau saja ia
tidak mempergunakan gerakan ini dan tidak menendangkan kedua kakinya, tentu
lawannya akan menubruk maju sambil mengirim serangan ke dua.
Cepat sekali
Kwee An menggunakan kedua tangan menekan lantai sehingga tubuhnya dapat
mencelat ke atas kembali dan kini ia menghadapi lawannya yang tangguh dengan
lebih hati-hati.
Sesudah
bertempur seratus jurus lebih, lambat laun Tan Song mulai terdesak. Kwee An
yang muda serta bertenaga kuat itu melancarkan serangan-serangan yang terlihai
dari Kim-san-pai dan karena cabang persilatan ini memang tidak banyak dikenal
orang, maka Tan Song menjadi bingung menghadapi gerakan-gerakan yang aneh ini.
Cin Hai
merasa gembira sekali dan ia bersorak-sorak gembira sambil berseru-seru “Hayo,
Kwee An, hantam terus... hantam terus...”
Semua
penonton melihat dan mendengar Cin Hai ikut merasa gembira karena mereka ini
hampir semua berpihak pada tuan rumah dan membenci perwira-perwira Sayap Garuda
yang terkenal jahat. Kwee In Liang merasa girang sekali melihat bahwa puteranya
yang tadinya disangka bodoh dan paling lemah di antara semua puteranya yang
lain, ternyata kini datang-datang membawa pulang kepandaian yang sangat tinggi,
bahkan mungkin lebih tinggi dari pada Lin Lin!
Ketika
mendapat kesempatan baik, yaitu pada saat lawannya terhuyung mundur karena
serangan yang datang bertubi-tubi, Kwee An lalu melangkah maju dan memukul
dengan tangan kiri ke arah mata lawan. Tan Song cepat mengelak tetapi segera
berteriak kaget karena tiba-tiba saja kaki kanan Kwee An melayang dan menendang
lawan yang tidak menyangka dan sedang berada dalam posisi yang lemah itu.
Tak ampun
lagi dada Tan Song berkenalan dengan ujung sepatu Kwee An dan perwira pendek
itu berteriak kesakitan lalu roboh sambil memegangi dadanya! Kawan-kawannya
lalu datang menolong dan mengangkatnya ke pinggir.
Kwee In
Liang lalu menghampiri Kwee An. Ayah dan anak ini berpelukan. Lalu Kwee An
digandeng oleh ayahnya menuju ke tempat duduk Loan Nio dimana Kwee An disambut
oleh Loan Nio dengan terharu dan girang. Juga saudara-saudaranya lalu segera
datang menyerbu menghujani pertanyaan dalam suasana gembira. Mereka ini merasa
bangga sekali akan kepandaian Kwee An.
“Nah, ini
baru disebut kepandaian asli,” kata Kwee Tiong sambil mengerling ke arah Cin
Hai, “diam-diam engkau mengeluarkan tenaga dan dengan jujur kau mengalahkan
orang she Tan yang tangguh itu. Engkau benar-benar hebat, An!” Kwee Tiong
menepuk-nepuk pundak adiknya dengan wajah bangga sekali.
Pada saat
itu perwira ke tiga masuk ke dalam arena adu silat. Perwira ini bertubuh tinggi
kurus dan gerak-geriknya lambat tetapi penuh mengandung tenaga sedangkan
sepasang matanya tajam berpengaruh. Melihat sepintas lalu saja Cin Hai dapat
mengetahui bahwa orang ini adalah seorang ahli lweekeh yang tangguh........
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment