Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 08
PERWIRA ini
sesungguhnya adalah kakak dari Tan Song dan bernama Tan Bu, sedangkan
kepandaian ilmu silatnya masih jauh lebih tinggi dari pada Tan Boan Sip. Tetapi
adatnya pendiam dan tidak sombong.
Setelah
berdiri di tengah-tengah arena, Tan Bu lalu menjura ke arah Kwee In Liang dan
berkata dengan suaranya yang besar, “Kwee-enghiong, puteramu tadi sungguh
lihai, apa bila kiranya tidak terlalu lelah dan sudi memberi pelajaran kepdaku
yang bodoh, aku akan merasa gembira sekali!”
Kwee An
hendak maju lagi, tetapi ia ditahan oleh Kwee In Liang.
“Kau terlalu
lelah, baru saja datang sudah bertempur dengan musuh tangguh. Kalau kini kau
maju lagi, maka kau akan terlalu letih. Lebih baik beristirahat dulu.”
“Habis siapa
yang akan maju melayani perwira itu?” tanya Kwee An.
Tiba-tiba
Bhok Ki Sun yang menjadi kawan Kwee In Liang berdiri dan berkata, “Biarlah aku
yang tua ikut meramaikan pesta ini dan mencoba-coba tenaga.”
Muka Kwee In
Liang berseri. Dia maklum bahwa kepandaian Bhok Ki Sun jago tua dari selatan
ini cukup lihai dan lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri, maka dia
cepat menjura sambil berkata, “Kalau kau sudi membantu, aku merasa berhutang
budi besar sekali.”
Bhok Ki Sun
segera bertindak maju dan menghampiri Tan Bu. Jago tua yang berpakaian seperti
seorang petani sederhana ini lalu menjura dan berkata, “Belum tahu siapa nama
Ciangkun dan apakah pendirian Ciangkun sama pula dengan pendirian Tan-ciangkun
bahwa orang luar tidak boleh membantu tuan rumah? Aku Bhok Ki Sun karena
menjadi kawan baik dari Kwee In Liang, maka berkenan mengajukan diri untuk
melayanimu.”
Berbeda
dengan Tan Song, Tan Bu ini mempunyai pendirian yang lebih adil, maka dia
menjawab, “Aku bernama Tan Bu dan maafkan ucapan adikku yang berpikiran pendek
tadi. Jika Bhok Lo-enghiong hendak turun tangan, aku merasa gembira sekali dan
marilah kita bermain-main sebentar!”
Bhok Ki Sun
adalah seorang anak murid dari Kun-lun-pai, maka dia pun memiliki tenaga
lweekang yang cukup sempurna. Setelah keduanya menjura dan saling memberi
hormat, pertempuran segera dimulai.
Keduanya
bergerak lambat-lambatan dan lemas, seperti biasa ahli-ahli lweekeh bergerak.
Akan tetapi setelah beberapa kali beradu lengan dan mendapat kenyataan bahwa
pihak lawan sama kuatnya, mereka kemudian mempercepat gerakan mereka dan tidak
hanya mengandalkan tenaga lweekang semata. Mereka segera mengeluarkan kecepatan
dan kelihaian ilmu silat masing-masing, maka pertempuran lantas berubah cepat
dan hebat.
Dan beberapa
puluh jurus kemudian ternyatalah bahwa Bhok Ki Sun bukanlah lawan Tan Bu karena
orang tua itu segera terdesak hebat. Ilmu silat Tan Bu sangat mengagumkan
karena di samping sukar diduga, juga mempunyai pecahan dan perubahan gerakan
yang banyak sekali macamnya dan yang kesemuanya dilakukan dengan gerak cepat.
Beberapa
kali Bhok Ki Sun hampir celaka karena serangan lawan hingga akhirnya ia pikir
lebih baik mundur sebelum terluka dalam pertempuran yang sesungguhnya lebih
bersifat mengukur kepandaian ini. Dengan gerakan Ikan Hiu Menerjang Ombak Bhok
Ki Sun lalu meloncat ke belakang dan berjumpalitan hingga tubuhnya terpental
jauh. Ia turun sambil merangkapkan kedua tangannya dan berkata,
“Tan-ciangkun,
kepandaianmu sungguh luar biasa dan aku Bhok Ki Sun mengaku kalah!” Dia lalu
menjura kepada Kwee In Liang sebagai pernyataan maafnya karena tak berhasil
membela nama keluarga Kwee.
Pek I Toanio
tertarik sekali melihat kepandaian Tan Bu, karena itu sesudah mendapat perkenan
dari gurunya, ia lalu maju menggantikan Bhok Ki Sun.
“Ingin
sekali aku merasakan kelihaian Tan-ciangkun bermain senjata,” kata Pek Toanio
sambil mencabut pedang di tangan kanan dan mengeluarkan sebuah hudtim (kebutan)
di tangan kiri. Nyonya baju putih ini memang pernah mempelajari ilmu memainkan
hudtim dan pedang dari gurunya.
“Baik, baik.
Aku pun sudah melihat permainanmu yang sangat lihai tadi dan ingin sekali untuk
mencobanya,” jawab Tan Bu yang segera mengambil senjatanya, yakni sebatang toya
panjang yang ujungnya dipasangi kaitan.
Sesudah
saling memberi hormat, maka kedua orang ini segera menggerakkan senjata
masing-masing dalam pertempuran, yang jauh lebih hebat dan seru dari pada
ketika Tan Bu bertempur melawan Bhok Ki Sun dengan tangan kosong.
Sinar pedang
Pek I Toanio bergulung-gulung dibarengi menyambarnya hudtim-nya yang cukup
lihai sehingga permainannya mendatangkan pemandangan yang menarik sekali.
Akan tetapi
permainan toya dari Tan Bu juga mengagumkan, dan berbareng mengerikan. Toya itu
sangat berat dan digerakkan dalam putaran yang demikian cepatnya sehingga
mendatangkan angin berkesiur yang dirasakan oleh semua penonton yang duduk di
situ! Baru anginnya saja sudah memiliki tenaga hebat hingga bisa menggerakkan
pakaian dan rambut orang-orang di sekitarnya, apa lagi kalau terkena kemplang
toya yang berat dan digerakkan cepat ini!
Baru
bertempur dalam beberapa belas jurus saja, Pek I Toanio telah maklum bahwa jika
ia mengadu tenaga, maka ia tentu akan kalah. Maka ia lalu berkelebat ke sana ke
mari menghindarkan diri dari sabetan toya, sambil mempergunakan
kesempatan-kesempatan baik untuk membalas menusuk dengan pedang atau memukul
jalan darah dengan ujung kebutan.
Pada saat
Tan Bu menggunakan gerak tipu Hing-sau Chian-kun atau Serampang Bersih Ribuan
Tentara dan tiba-tiba memutarkan toyanya ke arah Pek I Toanio sambil berseru
keras, nyonya itu melompat ke atas melewati kepala lawannya. Akan tetapi cepat
laksana kitiran angin, toya Tan Bu sudah mengejar tubuh yang di atas itu dan
cepat menusuk ke arah Pek I Toanio! Serangan ini berbahaya sekali hingga semua
orang menahan napas.
Akan tetapi,
Pek I Toanio benar-benar memiliki ginkang yang sempurna. Melihat bahwa serangan
lawan ini berbahaya sekali dan baginya tiada waktu lagi untuk berkelit, ada pun
untuk menangkis dia akan kalah tenaga, maka dia segera memperlihatkan
kegesitannya. Pada saat ujung toya menyambar ke arahnya, ia mementangkan kaki
dan menggunakan ujung kaki kanannya ditotolkan pada ujung toya itu lalu ia
mengikuti gerakan toya yang menyerangnya sambil tidak lupa mengebutkan
hudtim-nya ke arah jalan darah kin-hu-hiat di pundak kanan Tan Bu!
Gerakan ini
luar biasa indah dan beraninya sehingga Tan Bu sama sekali tidak menduga,
tahu-tahu pundaknya kena terpukul dan tertotok oleh ujung hudtim yang tiba-tiba
berubah keras, sedangkan tubuh Pek I Toanio terbawa oleh dorongan toya dan
mencelat ke atas hingga kepalanya hampir tebentur kepada tiang yang melintang
di atas!
Pek I Toanio
tidak kalah kagetnya. Totokannya tadi sudah mengenai urat di tubuh lawan dengan
tepat sekali, akan tetapi Tan Bu kelihatan biasa saja seakan-akan tidak pernah
terpukul, apa lagi terluka!
Cepat nyonya
ini meluncur turun dan dia merasa bahwa melawan terus tidak akan ada gunanya,
karena harus dia akui bahwa kepandaian lawannya dalam memainkan senjata
sungguh-sungguh hebat dan lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. Maka
dia lalu menjura dan berkata, “Terima kasih atas petunjuk Ciangkun.”
Tepuk sorak
ramai terdengar dari pihak para perwira yang merasa senang sekali betapa dalam
dua pertempuran berturut-turut Tan Bu telah berhasil mengalahkan lawan! Dengan
dua kali kemenangan itu, sekaligus Tan Bu telah membersihkan muka mereka dan
dapat menebus kekalahan Tan Song tadi.
“He, Kwee In
Liang, jika kau sudah tidak mempunyai jago lain lagi, majukan saja pemuda tolol
itu!” Tiba-tiba Boan Sip berseru keras dengan suara menghina.
Semua
penonton memandang ke arah Kwee In Liang dengan cemas karena sesudah kedua jago
itu kalah, siapa lagi yang hendak maju?
Kwee In
Liang tidak berani minta tolong kepada Kwee An. “Sekarang kau, Lin Lin, atau
aku sendiri yang maju dan berternpur mati-matian, membela nama kita!”
“Kwee-enghiong,
sabar dulu. Biarkan pinni maju menghajar mereka,” kata Biauw Suthai.
Akan tetapi
tiba-tiba Ang I Niocu yang merasa marah sekali mendengar Cin Hai dimaki tolol,
segera berdiri.
“Biarkan aku
saja yang maju!” setelah berkata cepat-cepat tanpa menanti jawaban, lalu sekali
melompat tubuhnya telah berada di hadapan Tan Bu!
Orang tidak
melihat bagaimana dia mencabut pedangnya, akan tetapi tahu-tahu tangan kanan
nona itu telah memegang sebatang pedang yang tajam berkilau.
“Manusia
sombong yang membuka mulut besar, kau keluarlah dan marilah kau rasakan
tajamnya pedangku!” katanya sambil menggunakan telunjuk kiri menuding ke arah
Boan Sip!
Tan Bu maju
selangkah dan mengangkat kedua tangan sambil berkata, “Bukankah engkau ini Ang
I Niocu? Ah, sudah lama aku mendengar namamu yang besar, maka betapa
beruntungnya hari ini dapat menyaksikan kelihaianmu. Jangan kau hiraukan
Boan-sute yang memang berdarah panas, dan marilah kita mencoba-coba
kepandaian!”
Ang I Niocu
terpaksa menghadapi Tan Bu. “Orang she Tan! Sungguh harus disesalkan bahwa
orang yang mempunyai kepandaian seperti engkau ini telah berlaku sembrono dan
mengacau pesta orang lain.”
“Ang I
Niocu, kita sama-sama orang luar dan peduli apa dengan segala urusan remeh?
Yang paling penting bagi kita sekarang ialah mencoba kepandaian masing-masing
pada kesempatan yang baik ini, untuk meluaskan pengetahuan.”
“Baiklah,
kalau engkau menghendaki demikian. Nah, engkau majulah!” Ang I Niocu lantas
membuat gerakan yang indah dan lemah gemulai dengan pedangnya sehingga semua
penonton bertepuk tangan kagum.
Tan Bu
maklum akan kelihaian lawan, karena itu dia segera mendahului dan mengirim
serangan kilat dengan toyanya yang hebat. Akan tetapi, dengan menari indah Ang
I Niocu mudah saja menghindarkan diri dari serangan dan menghadapi lawan
tangguh ini dengan tenang serta dengan tarian indah sekali hingga keduanya
merupakan dua orang mahluk yang sangat berbeda.
Para
penonton merasa kagum sekali. Seumur hidup mereka belum pernah menyaksikan
seorang gadis cantik menghadapi ilmu silat toya yang luar biasa ganas itu
dengan hanya menari-nari, akan tetapi sedikit pun tidak kena terpukul!
Tidak hanya
para penonton yang kurang paham ilmu silat, bahkan Lin Lin, Pek I Toanio, Kwee
An, dan yang lain-lainnya memandang dengan melongo dan kagum. Juga Biauw Suthai
nampak mengangguk-anggukkan kepala sambil menggunakan sebelah matanya memandang
dengan penuh perhatian.
Akan tetapi
kegembiraan mereka bercampur dengan kekuatiran karena ilmu toya Tan Bu
benar-benar hebat dan dahsyat. Karena telah tahu bahwa kepandaian Ang I Niocu
sangat tinggi dan lihai, perwira yang kosen ini lalu mengeluarkan ilmu toyanya
yang paling hebat dan berbahaya, jauh lebih hebat dari pada ketika ia
menghadapi Pek I Toanio tadi.
Oleh karena
ini diam-diam Ang I Niocu merasa terkejut juga dan tak pernah disangkanya bahwa
sebenarnya Tan Bu memiliki kepandaian ilmu toya setinggi ini. Dia lalu
bertempur dengan hati-hati sekali dan selama itu belum pernah membalas dengan
desakan, hanya mempertahankan diri sambil memperhatikan dan mempelajari gerakan
lawan.
Melihat
keragu-raguan Ang I Niocu ini, Cin Hai merasa tidak puas sekali. Dia yang sudah
mempunyai pengertian pokok rahasia segala macam ilmu silat, telah memiliki
pandangan tajam dan tahu bahwa gerakan-gerakan toya Tan Bu itu sebenarnya
hanyalah ganas dan dahsyat karena toya itu selain berat, juga orang she Tan itu
mempunyai tenaga besar dan kalau saja Ang I Niocu mengeluarkan kegesitannya,
maka Nona Baju Merah itu tak akan sulit mengalahkan lawannya. Oleh karena itu
maka diam-diam Cin Hai lalu mengeluarkan sulingnya.
Lin Lin yang
duduk tidak jauh dari Cin Hai, dan semenjak tadi sering kali mengerling ke arah
pemuda yang sangat menarik hatinya itu, menjadi kaget dan heran, lalu tanpa
dapat ditahan lagi mengajukan pertanyaan, “Ehh, Engko Hai, mengapa kau
keluarkan sulingmu pada saat seperti ini?” Ia bertanya sambil tersenyum geli.
Cin Hai juga
tersenyum, namun jawabannya menghilangkan senyum gadis yang menjadi sangat
terheran itu ketika mendengar Cin Hai berkata, “Aku meniup suling untuk
mengiringi tarian Niocu.”
Sebelum Lin
Lin dapat bertanya lebih lanjut, Cin Hai sudah meniup suling maka tiba-tiba
terdengarlah tiupan suling yang merdu di ruangan itu. Semua orang menjadi heran
sekali, ada pun Kwee Tiong memandang kepada Cin Hai dengan marah. Dia anggap
pemuda ini benar-benar tolol dan tidak pantas menyuling! Dia melangkah maju dan
hendak melarang Cin Hai menyuling.
Akan tetapi
Lin Lin memandang pada Kwee Tiong dengan mata dilebarkan dan berkata, “Engko
Tiong, biarkan saja dan jangan ganggu dia!”
Kwee Tiong
merasa dongkol sekali, akan tetapi semenjak adik perempuannya ini kembali dengan
membawa kepandaian yang tinggi, ia tunduk dan tidak berani melawan. Ia hanya
memandang dengan mata marah kepada Cin Hai yang masih terus menyuling dengan
asyiknya.
Akan tetapi,
tiba-tiba ketika suara suling Cin Hai semakin keras, nyaring dan meninggi,
terdengar seruan-seruan orang menyatakan rasa terkejut dan kagum. Ketika Kwee
Tiong memandang kepada mereka yang bertempur, ia pun menjadi silau karena
ternyata tubuh Ang I Niocu sudah lenyap dan kini gadis itu berubah menjadi
bayang-bayang merah yang berkelebat ke sana ke mari dengan luar biasa sekali!
Lin Lin
memandang kagum dan diam-diam dia memuji ilmu pedang yang tiada taranya dalam
hal keindahan itu. Juga Biauw Suthai merasa kagum dan diam-diam nenek tua yang
lihai ini mengerling ke arah Cin Hai. Dia tahu bahwa suara suling itu sangat
tepat mengiringi semua gerakan Ang I Niocu sehingga seakan-akan suara suling
itulah yang menuntun dan membuat gerakan Dara Baju Merah itu menjadi demikian
luar biasa! Oleh karena ini, diam-diam nyonya tua ini memperhatikan Cin Hai dan
timbul dugaan di dalam hatinya bahwa pemuda ini hanya berpura-pura tolol,
tetapi sesungguhnya berkepandaian tinggi!
Memang
sebetulnya Ang I Niocu ketika tadi melayani lawannya dengan gerakan hati-hati
sekali, tiba-tiba ia mendengar suara suling yang ditiup Cin Hai. Tiba-tiba
hatinya berdebar girang dan timbul semangatnya.
Suara suling
itu baginya mempunyai pengaruh seakan-akan orang yang minum arak baik sehingga
rasa hangat menjalar di seluruh tubuhnya dan membuat semangatnya seakan bernyala-nyala.
Ia lalu tersenyum manis dan tiba-tiba gerakan pedangnya berubah.
Alangkah
terkejutnya Tan Bu ketika melihat perubahan ini karena gerakan yang tadinya
halus dan lemah gemulai serta hanya mengandalkan kelincahan tubuh dan kelemahan
gerakan untuk menghindari serangannya, kini berubah menjadi ganas dan cepat
laksana kilat menyambar! Kini Dara Baju Merah itu dengan sinar pedangnya
melakukan serangan yang hebat, dan dia merasa betapa sinar pedang lawan ini
mengurungnya dari segala jurusan hingga matanya menjadi kabur. Akan tetapi Tan
Bu bukanlah orang lemah, dan ia memutar toyanya sedemikian rupa sehingga toya
ini merupakan benteng baja yang kuat dan yang melindungi seluruh tubuhnya!
Suara suling
yang ditiup Cin Hai makin meninggi dan nyaring, maka makin cepat pulalah
gerakan pedang Ang I Niocu sehingga pada suatu saat terdengar suara kain
terobek dan tiba-tiba Tan Bu melompat tinggi dan jauh. Bajunya telah terobek
ujung pedang dari dada sampai ke lengan, akan tetapi hanya mendapat luka kulit
saja di bagian lengannya yang mengeluarkan darah dan terasa perih.
“Ang I
Niocu, sungguh kau benar-benar gagah dan nama besarmu bukan omong kosong
belaka!” Tan Bu memuji dan mengundurkan diri ke tempat kawan-kawannya di mana
dia lalu membalut lukanya setelah memberi obat.
Sesudah
menyimpan kembali pedangnya, dengan senyum lebar Ang I Niocu lalu kembali ke
tempat duduknya, di mana ia disambut oleh keluarga Kwee dengan pujian dan
ucapan terima kasih.
“Niocu
tarianmu hebat sekali!” kata Cin Hai tertawa-tawa.
“Hai-ji,
terima kasih atas doronganmu dengan suling tadi,” Ang I Niocu menjawab sambil
memandang wajah Cin Hai dengan senyum mesra.
Diam-diam
Lin Lin memperhatikan mereka berdua dia heran sekali mengapa dada kirinya
merasa tidak enak melihat betapa mesra pandangan mata Ang I Niocu kepada Cin
Hai dan betapa akrab hubungan mereka berdua. Akan tetapi dia pun heran sekali
mendengar sebutan-sebutan mereka. Ang I Niocu menyebut Cin Hai dengan sebutan Hai-ji
atau anak Hai! Sebenarnya, sampai di manakah hubungan kedua orang ini? Dia
belum mendapat kesempatan untuk bicara banyak dengan Cin Hai.
Pada saat
itu dari pihak perwira Sayap Garuda, segera maju perwira ke empat sambil
mengangkat dada dan berkata, “Kami harus mengakui bahwa saudara kami Tan Bu
sudah dikalahkan oleh kepandaian Ang I Niocu yang benar-benar lihai. Sekarang
aku yang bodoh hendak minta pengajaran dari keluarga Kwee yang gagah perkasa,
dan apa bila di antara keluarga Kwee tidak ada yang berani maju, barulah aku
terpaksa melayani orang-orang luar yang ingin membela Kwee-enghiong!”
Perwira ke
empat ini bernama Un Kong Sian dan kepandaiannya sangat tinggi karena
sebetulnya dia merupakan saudara termuda dari Shantung Ngo-hiap atau Lima Jago Dari
Shantung yang kesemuanya kini menjadi perwira-perwira kelas tertinggi di kota
raja! Un Kong Sian ini bertubuh tinggi besar dan selain mempunyai tenaga
ginkang dan lweekang yang mengagumkan, ia juga memiliki tenaga gwakang yang
mengagumkan.
Di kota raja
Un Kong Sian dan kakak-kakak seperguruan mendapat tugas melatih para perwira
lain, sehingga beleh dibilang bahwa dia menjadi seorang di antara guru-guru
para perwira di kota raja. Oleh karena ini, maka dapatlah dibayangkan bahwa
kepandaiannya tentu jauh lebih tinggi dari pada yang lain-lain.
Ada pun Ma
Ing, perwira ke lima yang menjadi suheng-nya, adalah orang ke empat dari
Shantung Ngo-hiap, maka tentu saja kepandaian Ma Ing ini masih lebih tinggi
dari pada kepandaian Un Kong Sian. Hanya ada sedikit perbedaan di antara kedua
perwira tinggi ini. Un Kong Sian lebih memiliki kehebatan tenaga dan kekebalan,
dan sebaliknya Ma Ing terkenal mempunyai ilmu silat tinggi, permainan sepasang
pedang yang amat hebat, dan kepandaian mempergunakan senjata rahasia mahir
sekali.
Mendengar
betapa Un Kong Sian menantang keluarga Kwee, Kwee An tak sanggup lagi menahan
sabarnya dan dia lalu melompat maju sebelum dapat didahului orang lain,
“Biarlah aku yang muda dan tak tahu diri melayanimu,” kata Kwee An dengan
tenang.
Un Kong Sian
telah melihat kepandaian Kwee An dan ia merasa sayang kepada pemuda yang sopan
santun dan halus budi bahasanya ini maka ia berkata sambil tertawa, “Anak muda,
walau pun harus diakui bahwa engkau adalah murid seorang pandai, akan tetapi
kepandaianmu belum matang dan jangan engkau sia-siakan jiwamu menghadapi aku.”
Un Kong Sian
adalah seorang yang mempunyai kebiasaan bicara terus terang dan kasar, karena
itu kata-katanya sering kali menyakiti hati orang. Kali ini pun ucapannya tentu
saja membuat Kwee An menjadi merah telinganya. Dia dipandang ringan sekali,
maka sambil tersenyum ia pun menjawab,
“Terima
kasih atas rasa sayangmu kepadaku, akan tetapi jiwaku yang tidak berharga ini
memang telah kusediakan untuk membela nama Ayahku. Sudahlah, jika engkau memang
memiliki kepandaian tinggi, keluarkan saja kepandaianmu itu, hendak kulihat
bagaimana hebatnya!”
“Ha-ha-ha!
Engkau pemberani, juga, anak muda. Akan tetapi kalau nanti engkau terluka,
jangan salahkan aku!”
Sehabis
berkata demikian, Un Kong Sian lantas melempar jubah luarnya dan tampaklah
kedua lengan tangan yang besar berurat dan yang berkekuatan luar biasa
besarnya.
“Nah,
majulah, anak muda!” kata Un Kong Sian. “Biarlah kini engkau berkenalan dengan
kepandaian Un Kong Sian!”
Mendengar
nama ini diam-diam Biauw Suthai terkejut dan memperhatikan, oleh karena ia
telah kenal nama ini sebagai saudara termuda dari Shantung Ngo-hiap, maka tentu
saja kepandaian orang ini sangat tinggi. Diam-diam dia menguatirkan keadaan
Kwee An dan tak terasa lagi dia berkata kepada Cin Hai yang duduknya tidak jauh
dari tempatnya, “Un Kong Sian itu adalah ahli gwakang yang tinggi ilmu
silatnya! Engkau carilah akal agar Kwee-kongcu suka mengundurkan diri sebelum
mendapat celaka!”
Ternyata
bahwa kalau lain-lain orang yang memiliki sepasang mata dapat ditipu oleh Cin
Hai dan menganggap bahwa pemuda itu benar-benar bodoh, adalah Biauw Suthai yang
hanya memiliki sebuah mata saja segera bisa mengetahui bahwa Cin Hai adalah
seorang pemuda yang banyak akalnya, maka sekarang dia minta kepada pemuda itu
untuk dapat mencegah Kwee An menghadapi Un Kong Sian.
Sesudah
mendengar ucapan Biauw Suthai, tiba-tiba Cin Hai berlari-lari sambil memegang
sulingnya ke arah arena pertempuran dan pada saat itu Un Kong Sian dan Kwee An
telah saling berhadapan dan hampir bergebrak.
“Mengetahui
kepandaian lawan lebih dahulu baru melayani bertempur bukanlah tindakan gagah
berani, tetapi hanya kelakuan seorang yang licin dan curang!” kata Cin Hai
sambil menuding Un Kong Sian dengan sulingnya. “Hanya Co Cho saja yang memiliki
kelicinan dan kecurangan seperti itu!”
Co Cho yang
dimaksudkan oleh Cin Hai itu adalah seorang tokoh cerita Sam Kok yang terkenal
curang dan licin sehingga banyak orang membenci dan menghinanya, walau pun Co
Cho adalah seorang yang terlalu cerdik.
Un Kong Sian
menunda niatnya hendak menyerang Kwee An. Memang dia merasa benci dan
mendongkol kepada Cin Hai karena gangguan tadi, maka ia lalu memandang dengan
mata dipelototkan.
“Pemuda
tolol! Gangguan apa lagi yang hendak engkau lakukan terhadapku?” bentaknya.
“Lekas engkau menyingkir sebelum kepalamu kuhancurkan!”
“Memang kau
licin, lebih licin dari pada Co Cho!” Cin Hai menyindir lagi, sedangkan Kwee An
memandang kepada Cin Hai dengan tidak mengerti dan heran.
“Bangsat
tolol, mengapa kau menyebut aku licin dan curang?” bentak Un Kong Sian.
“Engkau
sudah melihat sampai di mana tingkat kepandaian Kwee An, namun kami semua belum
melihat tingkat kepandaianmu. Ini berarti sebuah kemenangan bagimu, karena kau
dapat mengukur sampai di mana kepandaian lawanmu. Kalau kau memang gagah dan
adil kau harus memperlihatkan dulu kegagahan dan tenagamu. Apa bila kau bisa
meniru perbuatanku barulah kau ada harga untuk melayani Kwee An yang gagah
perkasa. Kalau tidak bisa, kau boleh pulang saja jangan mencoba mencari
penyakit!”
Semua orang
yang hadir kali ini dibikin tercengang dan heran karena sungguh-sungguh mereka
tidak mengerti maksud Cin Hai.
”Anak bodoh!
Kau mempunyai kebisaan apakah? Coba perlihatkan, tentu aku sanggup meniru
dengan baik lagi!”
Cin Hai lalu
meniup sulingnya sebentar, kemudian berkata, “Nah, kau bisa tidak meniru
kepandaianku tadi?”
Semua orang
tertawa geli melihat kebodohan yang tolol ini, ada pun Un Kong Sian marah
sekali sampai membanting-banting kaki.
“Tolol!
Kepandaian meniup suling saja apakah artinya? Aku tidak sudi menirunya. Kalau
kau memperlihatkan demonstrasi atau ilmu silat, baru aku mau menirunya.”
“Ha-ha-ha-ha,
agaknya kau bertenaga seperti kerbau jantan! Baik, baik, coba keluarkan
senjatamu!”
Meski pun
merasa heran, akan tetapi Un Kon Sian lalu pergi mengambil senjatanya, yaitu
sebuah toya yang beratnya lebih dari seratus kati. Inilah senjata perwira she
Un yang benar-benar hebat itu.
“Nah, ini
senjataku, kau mau apa?” bentaknya.
“Aku akan
memainkan senjata ini dan kau boleh mencoba untuk menirunya,” kata Cin Hai
dengan gagah.
Dengan sikap
dibuat-buat ia lalu menerima toya besar dan hebat itu, mengangkat dengan kedua
tangan dan mempergunakan sikap seakan-akan ia hampir tidak kuat mengangkat toya
itu. Semua orang tertawa geli dan Kwee An memandang dengan wajah pucat. Tak ia
sangka bahwa Cin Hai setolol ini.
“Celaka, budak
tolol itu kali ini benar-benar membikin malu kita!” kata Kwee Tiong dengan
mendongkol sekali.
Tetapi Cin
Hai lalu memutar toya itu beberapa kali dan aneh! Ketika ia memutar toya itu,
terdengarlah suara mengaung yang sangat hebat. Setelah Cin Hai menghentikan
putaran toya dan mengembalikannya kepada Un Kong Sian dengan napas
terengah-engah, maka berhentilah suara mengaung itu.
“Nah, kau
tirulah perbuatanku tadi. Hendak kulihat apakah tenagamu sebesar tenagaku!”
Kembali
semua orang tertawa, akan tetapi mereka masih merasa heran mengapa Cin Hai
dapat memutar toya sampai mengeluarkan suara mengaung, padahal baru mengangkat
saja sudah hampir tidak kuat. Sebenarnya, dengan diam-diam Cin Hai
menyembunyikan sulingnya di belakang toya dan ketika ia memutar toyanya, dengan
khikang yang tinggi ia meniup ke arah lubang suling itu hingga menerbitkan
suara mengaung.
Un Kong Sian
menerima toyanya dan memutarnya begitu cepat sehingga mendatangkan angin keras,
akan tetapi mana bisa toya itu mengaung seperti suling ditiup! Paling hebat
toya itu hanya mengeluarkan suara mengiuk saja.
“Aha,
ternyata engkau kurang kuat, sobat! Engkau tidak mampu memutar toyamu sampai
mengeluarkan angin mengaung!”
“Bangsat
tolol!” Un Kong Sian marah sekali, lalu ia pergunakan tenaganya menancapkan
toyanya yang berat itu pada lantai, dan toya itu menancap sampai setengahnya di
lantai yang keras itu! “Lihatlah tenagaku dan siapa yang dapat mencabut toya
ini, barulah dia berharga untuk melayani aku!”
Kwee An
terkejut sekali melihat kehebatan tenaga gwakang ini dan agaknya inilah yang
dimaksudkan oleh Cin Hai.
“Aha, engkau
sungguh hebat, Un-ciangkun. Engkau seperti Thio Hwie!” Thio Whie adalah seorang
tokoh yang gagah dan kuat sekali dalam cerita Sam Kok. “Di dalam ruangan ini
hanya satu orang saja yang dapat menandingi engkau dan orang itu bukanlah Kwee
An yang masih muda belia ini!”
“Cin Hai,
engkau mundurlah. Walau pun Un-ciangkun kuat dan gagah, aku yang bodoh masih
akan mencoba minta pengajarannya,” kata Kwee An dengan berani karena anak muda
ini tentu saja tidak sudi memperlihatkan rasa jeri terhadap lawannya.
“Nah, segera
mundurlah pemuda tolol! Kwee-kongcu ini jauh lebih berani dan gagah dari pada
engkau yang hanya pandai bicara dan mengacau!” kata Un Kong Sian.
“Eh, ehh
mana bisa! Engkau sudah berkata bahwa yang bisa mencabut toya inilah yang
hendak engkau layani.”
“Akan kucoba
untuk mencabutnya!” Kata Kwee An sambil melangkah maju.
Cin Hai
menjadi bingung dan sibuk. Celaka, tak disangkanya bahwa Kwee An sekeras itu
hatinya dan dia pun percaya Kwee An pasti akan dapat mencabut toya itu. Maklum
akan peringatan Biauw Suthai dan tahu pula betapa berbahayanya bagi Kwee An
menghadapi orang she Un ini, oleh karena orang she Un ini mempunyai muka yang
membayangkan kekejaman, tanda bahwa hatinya telengas sekali, maka kalau mereka
bertempur, banyak bahayanya Kwee An akan terluka atau terbunuh!
Dia lalu
melangkah maju dan berkata, “Nanti dulu! Aku tadi sudah berkali-kali dihinanya,
biarkan aku mencoba dahulu untuk mencabut toya ini! Apa sih susahnya mencabut
kayu gapuk ini?”
Dengan lagak
dibuat-buat Cin Hai menghampiri toya itu, sedangkan Un Kong Sian segera
melangkah mundur dan memandang dengan mata menghina dan kedua lengan tangan
bersilang. Cin Hai pura-pura mengerahkan tenaga mencabut. Akan tetapi, jangan
kata tercabut, toya itu bergoyang pun tidak. Semua orang yang menonton tertawa
geli dan kini mereka mentertawakan Cin Hai yang mukanya menjadi pucat.
Sebenarnya,
Cin Hai betul-betul telah mengerahkan tenaga, akan tetapi tenaga lweekang yang
disalurkan di kedua tangannya, hingga diam-diam tanpa diketahui siapa pun ia
telah dapat mematahkan ujung toya yang terpendam di lantai.
Dia lalu
bangun dan menjura kepada Un Kong Sian. “Tenagamu benar-benar hebat. Aku tidak
kuat mencabut!” katanya sambil terengah-engah.
Kwee An
merasa malu bukan main melihat sikap Cin Hai. Dengan penasaran ia hendak
mencuci malu di pihaknya yang ditimbulkan oleh Cin Hai. Ia lantas melangkah
maju dan membetot toya itu. Alangkah herannya ketika dia mampu membetot keluar
toya itu tanpa banyak mengeluarkan tenaga.
Tepuk sorak
riuh menyambut kejadian ini dan semua orang memuji tenaga Kwee An yang dianggap
luar biasa dan besar sekali, sedangkan Un Kong Sian juga memandang pucat. Tidak
mungkin pemuda itu mempunyai tenaga sedemikian hebatnya. Juga Cin Hai
bertepuk-tepuk gembira sambil tertawa dan sama sekali tidak menghiraukan
pandangan mata Kwee An yang menyelidik dan ditujukan kepadanya dengan penuh
kecurigaan.
Mendadak Un
Kong Sian mengangkat kedua tangannya ke atas dan merampas toyanya lalu
mengangkatnya tinggi-tinggi. “Cuwi sekalian lihatlah! Kwee-kongcu ini tidak
mencabut keluar toyaku, akan tetapi dia telah mematahkannya! Tentu saja hal ini
tidak aneh.”
Kwee An
tercengang lagi. Dia sama sekali tidak mematahkan toya itu, tetapi benar saja,
ketika dia memandang, ternyata bahwa ujung toya itu telah patah. Kini ia dapat
menduga bahwa sengaja Cin Hai mencegahnya bertempur melayani orang she Un ini.
Akan tetapi, benarkah Cin Hai demikian lihai, dan apa maksudnya bertempur
melawan Un Kong Sian?
“Betul,
betul!” kata Cin Hai dengan suara keras. “Ujung toya itu telah patah. Jelas
bahwa Kwee An tidak dapat mencabut toya itu, maka tidak pantas melayanimu. Ada
orang lain yang lebih tepat menghajarmu.”
Bukan main
marahnya Un Kong Sian karena toyanya telah patah. “Siapa dia? Suruh maju
lekas!” bentaknya.
“Sabarlah
orang she Un. Kalau kau mencari lawan, pinni bersedia untuk melayanimu!” Dan
tahu-tahu Biauw Suthai sudah berada di situ. Cin Hai cepat membetot tangan Kwee
An dan dibawa pergi dari situ.
“Aku hanya
melakukan perintah Biauw Suthai.” bisik Cin Hai menjawab pandangan mata Kwee An
yang penasaran dan curiga kepadanya.
Sementara
itu, ketika melihat seorang tokouw yang berwajah buruk dan mengerikan telah
berdiri di depannya, Un Kong Sian lalu merangkapkan kedua tangan dan bertanya,
“Siapakah Toa-suthai yang hendak memberi pelajaran kepadaku?”
“Orang-orang
memanggilku Biauw Suthai.”
Diam-diam
hati Un Kong Sian berdebar karena dia sudah pernah mendengar nama besar Biauw
Suthai, akan tetapi dia sama sekali tidak merasa jeri.
“Kebetulan
sekali. Sudah lama aku mendengar nama Biauw Suthai yang tersohor dan ingin
sekali merasakan kelihaiannya. Tidak tahu Suthai hendak bertempur dengan tangan
kosong atau dengan senjata?”
“Toyamu
telah patah, maka tidak adil kalau pinni mengajak kau bermain senjata.”
“Bagus,
kalau begitu marilah kita menguji kepandaian tangan!”
Tanpa banyak
cakap lagi Un Kong Sian lalu maju menyerang dan kedua tokoh persilatan yang
memiliki kepandaian tinggi itu segera bertempur dengan seru.
Dalam hal
ilmu silat Biauw Suthai memiliki kepandaian yang tinggi sekali dan pengalaman
pertempuran yang luas, akan tetapi terhadap Un Kong Sian yang memiliki tenaga
hebat itu, ia telah bertemu dengan tandingannya. Gerakan pukulan dua orang ini
mendatangkan angin dan membuat para penonton menahan napas. Juga Cin Hai tidak
berani berjenaka lagi oleh karena dia maklum betapa kepandaian kedua orang itu
benar-benar hebat dan masing-masing menghadapi lawan yang berat sekali.
Setelah
bertempur puluhan jurus, Biauw Suthai yang lihai itu sudah dapat memukul dua
kali pada pundak dan dada lawannya, akan tetapi kekuatan tubuh Un Kong Sian
demikian hebat hingga perwira itu hanya terhuyung saja dan terus nekad
menyerang lagi. Cin Hai merasa terkejut karena dia maklum bahwa meski pun di
luar tidak kelihatan terluka parah dikarenakan kekebalan orang itu, akan tetapi
pukulan Biauw Suthai yang disertai tenaga lweekang ini tentu telah mendatangkan
luka di sebelah dalam.
Juga Biauw
Suthai merasa sangat penasaran. Ia gemas sekali melihat kenekatan orang yang
sudah terang mendapat luka, maka dia lalu menyerang semakin hebat. Pada suatu
saat, ketika Biauw Suthai mendapat kesempatan baik, tokouw itu lalu menggunakan
jari tangannya menotok ke arah iga kiri Un Kong Sian.
Akan tetapi
alangkah terkejutnya ketika lawannya itu sama sekali tidak menangkis atau
berkelit, bahkan berbareng pada saat itu juga membalas menyerang dengan pukulan
Ular Putih Menyambar Burung! Pukulan tangan kanan Un Kong Sian mengarah leher
Biauw Suthai dengan hebatnya.
Gerakan
kedua orang ini cepat sekali hingga tak mungkin dihindarkan lagi. Biauw Suthai
memiringkan tubuh hingga totokannya tidak mengenai tepat, juga pukulan Un Kong
Sian meleset dan hanya mengenai pundaknya. Akan tetapi pukulan dua orang ini
cukup hebat untuk membuat keduanya terpental mundur.
Biauw Suthai
dapat berdiri tegak lagi dengan napas memburu dan wajah pucat. Ada pun Un Kong
Sian terhuyung-huyung ke belakang sambil tertawa seram, kemudian dia roboh
sambil memuntahkan darah.
Kawan-kawan
Un Kong Sian segera maju dan menggotong perwira ini, sedangkan Lin Lin
cepat-cepat meloncat menghampiri dan menuntun gurunya kembali ke tempat
duduknya. Tokouw ini lantas mengeluarkan sebungkus obat putih dari saku bajunya
dan minum obat itu dengan segelas air. Kemudian tokouw yang baik budi ini
mengeluarkan tiga butir pil merah dan menyuruh Cin Hai memberikan pil itu
kepada Un Kong Sian.
Akan tetapi
pemberian obat itu ternyata ditolak oleh Ma Ing yang sudah menyediakan obatnya
sendiri bagi sute-nya. Kemudian Ma Ing dengan muka merah karena marah maju ke
kalangan.
“Sekarang di
pihak kami hanya tersisa aku seorang. Hayo kau keluarkanlah jago-jagomu,
Kwee-enghiong, dan kita sudahi adu kepandaian ini!”
Kwee In
Liang menjadi bingung sekali. Dia maklum bahwa kepandaian Ma Ing ini sangat
tinggi dan kini setelah Biauw Suthai terluka, siapa lagi yang dapat diharapkan
bantuannya untuk menghadapi Ma Ing?
Ma Ing
agaknya tahu pula bahwa pihak keluarga Kwee sudah kehabisan jago, karena itu
dengan sombongnya dia berkata,
“Kalau di
pihak tuan rumah tak ada jago yang berani menghadapi aku seorang diri, boleh
kamu semua maju berbareng. Boleh kalian lihat aku Ma Ing seorang diri pun cukup
untuk melayani kamu sekeluarga!”
Biar pun
kepandaian Kwee Tiong dan adik-adiknya belum tinggi, akan tetapi mendengar
ucapan sombong ini, sambil berseru keras mereka cepat meloncat maju berbareng!
Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Bun, Kwee Siang sambil memegang pedang maju dan
serentak menyerang tanpa dapat dicegah lagi!
Ma Ing
mengeluarkan suara menghina dan sekali tubuhnya bergerak, sepasang tangan serta
kakinya menendang dan dalam beberapa gebrakan saja keempat batang pedang di
tangan Kwee Tiong dan adik-adiknya terpental ke atas lantai! Dengan kaget
sekali Kwee Tiong dan adik-adiknya melompat mundur sambil memegangi tangan
mereka yang kena pukulan dan tendangan!
“Ha-ha-ha-ha!
Segala tikus kecil berani mengganggu kumis macan?” Ma Ing menyindir.
Sikap dan
kata-katanya yang sombong ini memanaskan hati Ang I Niocu dan Kwee An. Kedua orang
ini tanpa berjanji terlebih dahulu, tahu-tahu meloncat berbareng dan dengan
pedang di tangan mereka berdua menyerang Ma Ing!
Ma Ing cepat
mencabut pedangnya dan ketiga orang ini segera bertempur. Menghadapi keroyokan
Kwee An dan Ang I Niocu yang mempunyai kiam-hoat bagus itu, Ma Ing tidak berani
main-main dan melayani dengan sengit, dan dalam waktu sebentar saja dia sudah
dapat mendesak kedua anak muda!
Kwee Tiong
dan adik-adiknya kembali ke tempat semula dan Kwee Tiong merasa marah dan sebal
melihat betapa Cin Hai memandangnya sambil tersenyum dan betapa pemuda itu
dengan enaknya duduk memegang-megang sulingnya! Orang lain lagi sibuk melayani
musuh, akan tetapi pemuda tolol itu hanya tersenyum mentertawakannya.
“Kenapa kau
tertawa?” tegurnya.
“Aku kagum
melihat kelihaian orang she Ma itu yang dengan sekali bergerak saja dapat
merampas pedang kalian berempat!” jawab Cin Hai.
Kwee Tiong
marah sekali dan apa bila ia tidak ingat bahwa di situ banyak orang, tentu ia
sudah mengirim kepalannya ke arah Cin Hai.
“Kau sendiri
orang tolol hanya duduk diam dan kalau bergerak hanya menimbulkan malu. Coba
kau lihat Kwee An, dia pantas sekali bertempur bersama Nona itu melayani musuh.
Tidak seperti engkau! Engkau tentulah menjadi pelayan dari Ang I Niocu, bukan?”
“Tiong-ko,
jangan kau menghina orang!” Lin Lin menegur kakaknya sambil mendekati Cin Hai.
“Engko Hai, Ang I Niocu dan Engko An terdesak, apa daya kita?”
Cin Hai
memandang kepada Lin Lin dengan senyum manis. “Adikku yang baik, apakah kau
juga ingin melayani orang she Ma itu?”
Lin Lin
mengerutkan alisnya yang bagus. Ia sungguh tak dapat segera mengerti maksud
kata-kata Cin Hai ini.
“Ahh,
sedangkan Ang I Niocu dan Engko An yang memiliki kepandaian amat tinggi masih
terdesak olehnya, apa lagi aku! Aku melihat kepandaian orang she Ma itu tidak
di sebelah bawah guruku!”
Cin Hai
bangun dari duduknya. “Lin-moi, kau siapkan pedangmu dan marilah kau kuantar
melawan orang she Ma itu. Kalau kau tidak mampu merobohkannya jangan kau
panggil aku Engko Hai lagi!” kata-katanya ini disertai senyum mesra kepada
gadis yang masih memandangnya dengan mata terbelalak. “Lin Lin benarkah kau
tidak percaya kepadaku?” tanya Cin Hai sungguh-sungguh.
“Aku percaya
kepadamu, Hai-ko. Mari kita maju!”
Lin Lin dan
Cin Hai lalu maju ke kalangan pertempuran.
“Niocu!
Saudara Kwee! Kalian mundurlah, biar aku dan Adik Lin Lin menggantikanmu!”
Mendengar
kata-kata ini, Ma Ing menunda serangannya karena heran sekali mendengar bahwa
pemuda tolol itu hendak maju. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ang I Niocu
dan Kwee An untuk melompat mundur ke belakang.
“Hai-ji, dia
lihai sekali, jangan kau main-main!” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai.
“Lin Lin,
dia bukan lawanmu!” kata Kwee An memperingatkan Lin Lin.
Akan tetapi,
baik Cin Hai mau pun Lin Lin tidak mempedulikan peringatan ini. Lin Lin lalu
mencabut pedangnya dan maju bersama-sama Cin Hai yang memegang sulingnya.
“Ehh orang
she Ma! Apa kau berani menghadapi aku dan Kwee-siocia ini?”
“Ha-ha-ha!
Orang tolol! Kau agaknya sudah bosan hidup! Ingat, sekali ini aku tidak mau
mengampuni kau pengacau ini. Majulah! Jangankan baru kalian berdua, biar kau
tambah seratus orang lagi, aku Ma Ing tak akan gentar.”
“Nah, kau
bersiaplah!” kata Cin Hai.
Dia segera
menggerakkan sulingnya dengan sembarangan menusuk ke arah dada Ma Ing! Ma Ing
segera melangkah mundur dan tertawa bergelak-gelak.
“Kau
bersenjata suling? Ha-ha-ha! Ah, kau benar-benar sudah gila, anak muda.
Tukarkan senjatamu dengan pedang atau lain senjata tajam.”
“Tidak usah,
orang sombong. Aku tak akan melukaimu karena yang akan menyerangmu hanya
Kwee-siocia ini, aku hanya menghalangi serbuanmu saja, untuk apa menggunakan
senjata tajam?”
Tidak hanya
Ma Ing, akan tetapi semua orang yang berada di situ menggeleng-gelengkan kepala
karena menyangka bahwa benar-benar Cin Hai sudah gila! Hanya Biauw Suthai
seorang yang berkata kepada Kwee Tiong yang membanting-banting kaki melihat
lagak Cin Hai.
“Kwee-kongcu,
kau tenanglah sebab sekarang Ma Ing betul-betul akan kehilangan muka!”
Kwee Tiong
heran sekali mendengar kata-kata ini. Akan tetapi terhadap guru Lin Lin ini dia
tidak berani banyak cakap.
“Cuwi
sekalian, semua orang hendaknya menjadi saksi bahwa pemuda gila ini mencari
matinya sendiri. Aku tak akan mengganggu Kwee-siocia, akan tetapi kalau hari
ini aku tak dapat membunuh anak gila ini, janganlah orang memanggil namaku Ma
Ing lagi!” Setelah berkata demikian, Ma Ing lalu menyerang dengan pedangnya.
Benar saja,
dia menujukan serangannya yang hebat itu kepada Cin Hai dengan sebuah tusukan
kilat ke arah dada kiri pemuda itu! Semua orang menjerit ngeri karena sudah
terbayang di depan mata betapa dada Cin Hai akan tertembus pedang.
Akan tetapi
Cin Hai juga menjerit, “Ayaaaa...!“
Sambil
menggunakan gerakan Monyet Jatuh Dari Cabang, tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang dengan gerakan canggung, akan tetapi tubuhnya terluput dari pada
tusukan pedang. Sambil terhuyung-huyung ini Cin Hai berkata, “Wah, galak...
galak...! Lin-moi, lekas kau serang dia!”
Lin Lin tak
perlu diperintah lagi karena melihat desakan Ma Ing kepada Ciri Hai, dia sudah
merasa khawatir sekali dan cepat mengirim serangan dengan pedangnya. Ma Ing
hendak menangkis, akan tetapi mendadak Cin Hai meniru gerakannya tadi dan
menusuk ke arah punggungnya dengan suling itu.
Terpaksa Ma
Ing mengelak dari serangan Lin Lin dan cepat memutar tubuh menghadapi Cin Hai
lagi dan hendak membacok suling itu dengan pedang. Akan tetapi tiba-tiba suling
yang ditusukkan itu dirobah lagi dan kini Cin Hai juga membacok ke arah lengan
tangan Ma Ing yang memegang pedang. Gerakan pemuda ini sama benar dengan
gerakannya dan tiba-tiba tangan Ma Ing terpukul oleh suling yang dibacokkan
itu.
Ma Ing
terkejut sekali karena meski pun suling itu hanya terbuat dari pada bambu, akan
tetapi tangannya merasa sakit sekali. Dia cepat memutar pedangnya dan menyerang
Cin Hai dengan serangan kilat. Akan tetapi, tiba-tiba ia memandang dengan mata
terbelalak, karena Cin Hai juga bersilat persis ilmu silatnya sendiri.
Semua orang
yang menonton menjadi terheran-heran. Mereka menganggap bahwa Cin Hai hanya
meniru-niru gerakan Ma Ing saja. Akan tetapi Ma Ing sendiri hampir tak dapat
mempercayai matanya karena semua gerakan Cin Hai bahkan lebih sempurna dari
pada gerakannya sendiri. Maka dia cepat meloncat mundur dan berseru.
“Tahan dulu!
Ehh, pemuda tolol, sebenarnya kau ini murid siapakah dan dari mana kau dapat
memainkan Pek-coa Kiam-hoat?” Pek-coa Kiam-hoat adalah ilmu pedang yang tadi
dimainkan oleh Ma Ing tadi.
Cin Hai
pura-pura memandang heran. “Orang she Ma, kenapa kau masih bertanya lagi? Aku
mempelajari ilmu pedang ini darimu sendiri!”
“Bangsat
penipu! Kapan aku memberi pelajaran kepadamu?” Ma Ing berseru marah,
“Bukankah
baru saja kau telah memperlihatkan ilmu pedangmu?”
Jawaban Cin
Hai ini memang sebenarnya saja, oleh karena ilmu silat apa pun juga kalau
digunakan untuk menyerangnya, maka otomatis ia akan dapat menirunya karena ia
telah kenal akan pokok-pokok dasar segala macam gerakan silat.
“Anak muda,
ternyata kau hanya berpura-pura tolol saja. Apa bila kau memang laki-laki,
jangan maju keroyokan. Aku kuatir kalau sampai salah tangan dan melukai
Kwee-siocia,” kata Ma Ing.
Cin Hai
memandang kepada Lin Lin. “Mundurlah kau, Adik Lin, monyet tua ini ternyata
takut kepada pedangmu, biarlah aku yang melayaninya sendiri!”
“Tapi,
Hai-ko...,” kata Lin Lin ragu-ragu karena ia merasa kuatir sekali.
Tiba-tiba
saja Cin Hai mengejapkan matanya kepada gadis itu dan mulutnya tersenyum.
“Tidak percaya kau kepadaku?”
Gadis itu
tidak menjawab, dia lalu mengangsurkan pedangnya. “Kau pakailah pedangku,
Hai-ko!”
“Tak usah,
Adikku, cukup dengan suling saja. Jika memang perlu, aku sendiri pun sudah
mempunyai sebatang pedang.”
Lin Lin
mengundurkan diri, tetapi ia berdiri di pinggir kalangan untuk menjaga
kalau-kalau Cin Hai berada dalam bahaya. Ma Ing lantas mengeluarkan seruan
keras dan tiba-tiba memutar pedangnya bagaikan kitiran cepatnya sehingga pedang
itu lalu berubah menjadi segulungan sinar keputih-putihan yang menyerbu ke arah
Cin Hai.
“Bagus!” Cin
Hai berseru.
Dia lalu
mengikuti gerakan lawan itu. Tubuhnya mencelat ke sana ke mari dan sulingnya
diputar cepat hingga pada saat ada angin memasuki lubang suling itu, terdengarlah
bunyi melengking yang aneh dan lucu.
Baru
sekarang semua penonton maklum bahwa pemuda ketololan ini sesungguhnya lihai
sekali. Mereka bersorak-sorak karena heran dan kagum dan keadaan menjadi ramai
dan riuh rendah sekali. Bahkan Kwee In Liang, Pek I Toanio, Biauw Suthai dan
yang lain-lain lalu berdiri dari tempat duduk mereka agar dapat menonton lebih
jelas!
Sebaliknya,
Kwee Tiong serta adik-adiknya lalu berdiri melongo penuh keheranan. Kwee An
mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata, “Ah, kepandaian Cin Hai sepuluh
kali lebih tinggi dari pada kebisaanku.”
Ma Ing
merasa pusing sekali karena dia tidak berhasil mendesak kepada Cin Hai. Jangan
kata mendesak, menyerang pun sulit baginya, sebab pemuda itu secara aneh sekali
telah mengetahui semua rahasia penyerangannya sebelum serangan itu sempat
dilakukan.
Tiap kali
apa bila pedangnya berkelebat hendak menyerang, selalu Cin Hai mendahului
serangannya dengan tusukan sulingnya ke arah pundak atau sambungan sikunya
hingga serangan-serangannya itu selalu gagal sebelum dilancarkan. Sungguh aneh
sekali. Dan yang lebih gila, tiap serangan dibalas oleh Cin Hai dengan serangan
yang sama pula.
Ma Ing
merasa penasaran sekali. Ia menganggap bahwa pemuda ini tentulah ahli dalam
ilmu Pedang Pek-coa Kiam-hoat, karena itu tiba-tiba ia merubah gerakan
pedangnya dan mainkan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat. Akan tetapi, lagi-lagi ia
kecele, karena pemuda itu pun telah mengenal baik ilmu pedang ini dan dapat
melakukan ilmu pedang ini dengan sama sempurna!
Ia
mengubah-ubah terus ilmu silatnya, dari ilmu silat yang terendah sampai yang
tertinggi karena Ma Ing memang memiliki banyak sekali ilmu silat yang lihai,
akan tetapi kini dia benar-benar tidak mengerti, karena baru saja ia mengganti
gerakannya, tiba-tiba pemuda itu pun mengganti ilmu silatnya yang sama dan
sedikit pun tidak berbeda. Masih seperti tadi, tiap-tiap serangannya tentu
dibalas dengan serangan semacam pula.
Ma Ing
merasa seolah-olah ia sedang bertempur melawan bayangannya sendiri di dalam
cermin. Dan yang lebih celaka lagi, Cin Hai agaknya mempermainkannya, karena
sudah beberapa kali suling itu berhasil memukulnya secara perlahan, baik di
kepala, punggung, pundak, dan lain-lain bagian tubuh lagi. Meski pun pukulan
ini perlahan sekali, akan tetapi cukup terasa pedas dan yang lebih terasa perih
adalah perasaan di dalam hatinya.
“Orang she
Ma, sudah beberapa kali engkau kukemplang dengan sulingku, masih belum mau
kalahkah engkau?” Cin Hai bertanya dengan ejekannya.
Adapun
sorak-sorai penonton semakin riuh sebab sungguh-sungguh mereka sama sekali
tidak pernah menyangka bahwa pemuda tolol itu benar-benar berkepandaian
sedemikian tingginya sehingga berhasil mempermainkan Ma Ing! Juga Biauw Suthai
kini benar-benar kagum sekali dan menyatakan kekagumannya itu dengan kata-kata
sehingga terdengar oleh Ang I Niocu dan gadis itu berkata kepadanya.
“Tidak heran
bahwa ia demikian lihainya, karena ia adalah murid tunggal dari Bu Pun Su
Susiok-couw!”
Mendengar
ini, terkejutlah Biauw Suthai dan tokouw ini mengangguk-angguk maklum.
Mendengar
ejekan Cin Hai, Ma Ing makin marah dan menyerang dengan nekad. Tiba-tiba Cin
Hai lalu berkata, “Ahhh, aku sudah bosan, Ma-ciangkun! Biarlah engkau lelah
sendiri, aku hendak mengaso!” Sesudah berkata demikian Cin Hai lalu duduk
bersila di tengah kalangan itu sambil meramkan mata seperti orang bersemedhi!
Semua orang
merasa heran sekali sehingga mereka memandang dengan mata terbelalak tanpa
pernah berkejap karena mereka tidak percaya bahwa Cin Hai hendak menghadapi
lawannya dengan duduk bersila sambil meramkan mata!
Juga Ma Ing
merasa ragu-ragu. Akan tetapi karena dia telah merasa lelah sekali apa lagi
hatinya terasa sakit dan mendongkol karena telah dipermainkan, dia menjadi mata
gelap. Dengan mengertak gigi, dia lalu membacok ke arah kepala Cin Hai yang
sedang duduk bersila sambil meramkan mata itu.
Kwee An
bergerak hendak melompat dan menolong Cin Hai, akan tetapi ia ditahan oleh
Biauw Suthai, dan Ang I Niocu yang sudah mengetahui kelihaian Cin Hai. Juga Lin
Lin sudah siap dengan pedangnya, akan tetapi tiba-tiba suling di tangan Cin Hai
digerakkan dan suling itu tidak menangkis pedang yang menyambar kepalanya,
bahkan mendahului gerakan Ma Ing!
Terpaksa Ma
Ing menahan gerakannya dan membacok dengan hebat ke arah pundak Cin Hai. Akan
tetapi, dengan mata masih meram, sekali gerakkan pundak saja pemuda itu telah
berhasil mengelit bacokan itu sambil berkata perlahan, “Ah, Ma-ciangkun, engkau
telah mendapat luka dalam, masih belum insyafkah engkau?”
Ma Ing kaget
sekali dan cepat menahan pedangnya. Ia memang merasa betapa di dalam dadanya
terasa panas dan yang membuatnya tak enak sekali, seperti orang yang merasa
mual dan hendak muntah.
“Rabalah iga
kirimu dan engkau akan tahu!” kata Cin Hai lagi.
Seperti
dalam mimpi Ma Ing lalu menggunakan tangan kiri meraba iganya dan terkejutlah
dia karena iganya terasa sakit sekali dan ketika dia merobek bajunya, ternyata
di iga itu terdapat sebintik tanda merah sebesar jempol kaki! Ia maklum bahwa
ia telah kena dilukai oleh Cin Hai, maka ia cepat menjura sambil berkata,
“Sungguh
mataku bagaikan buta sehingga tidak melihat besarnya Gunung Thai-san yang
menjulang di depan mata. Sicu lihai sekali, jadi aku merasa takluk. Tidak tahu
siapakah sebenarnya Sicu ini, dan murid siapakah?”
Cin Hai lalu
mempergunakan kepandaiannya sehingga dalam keadaan bersila, tahu-tahu tubuhnya
dapat mumbul ke atas. Inilah demonstrasi tenaga ginkang yang jarang dipunyai
oleh sembarang tokoh persilatan. Setelah berada di udara, Cin Hai melepaskan
kaki dan berdiri. Ia membalas pemberian hormat Ma Ing dan berkata sambil
tersenyum,
“Ma-ciangkun,
siauwte bukanlah orang yang bernama besar. Siauwte bernama Cin Hai, she Sie dan
orang memberi julukan kepada siauwte Pendekar Bodoh!”
Orang-orang
tertawa dan memuji, menyatakan heran dan kagum karena meski pun telah memiliki
kepandaian sehebat itu, namun ternyata Cin Hai tidak menjadi sombong bahkan
merendahkan diri serta bersikap ketolol-tololan.
“Kau sangat
pandai menyembunyikan kepandaian, Sicu. Siapakah nama Suhu-mu yang mulia?”
tanya Ma Ing lagi yang kini benar-benar telah mati kutu dan tidak berani
bersikap sombong.
“Suhu-ku
lebih bodoh lagi dari padaku, dia tak memiliki kepandaian apa-apa.”
Ma Ing
menjadi pucat mendengar ini, karena guru pemuda ini tentu kakek jembel Bu Pun
Su yang berarti tidak punya kepandaian! Dia lalu menjura lagi dan berkata
“Terima kasih atas pengajaranmu, biarlah lain kali apa bila ada jodoh kita
bertemu kembali.” Ma Ing lalu mengajak kawan-kawannya pergi dari situ.
Sesudah
kelima orang perwira itu pergi, semua orang lalu merubung dan memuji-muji Cin
Hai. Lebih-lebih Lin Lin, gadis ini tanpa malu-malu lagi lalu memegang tangan
Cin Hai dan menariknya ke arah ayahnya.
“Ayah, coba
lihat Engko Hai ini! Semenjak pertama bertemu aku telah menduga bahwa ia
memiliki kepandaian hebat!” kata gadis itu dengan wajah berseri dan mata
bersinar-sinar.
Kwee In
Liang hanya mengangguk-angguk dan dengan suara terharu ia berkata, “Terima
kasih, Hai-ji. Kau telah menyelamatkan kami sekeluarga.”
Loan Nio
memeluk keponakannya dengan girang dan terharu. Akan tetapi pada waktu itu dari
luar terdengar seruan-seruan kaget dan tiba-tiba saja terdengar suara orang
tertawa. Suara ini menyeramkan sekali.
Cin Hai juga
merasa kaget sekali karena ia kenal suara ini! Ia cepat melepaskan diri dari
pelukan bibinya dan melompat keluar. Ternyata di sana sudah berdiri Hek Moko
dan Pek Moko yang tertawa bagaikan dua orang gila!
“Ha-ha-ha!
Anak muda, kebetulan sekali kita dapat bertemu di sini. Engkau ternyata telah
mewarisi kepandaian Bu Pun Su Si Kakek Gila. Marilah, kita main-main sebentar!”
“Ji-wi
Locianpwe,” Cin Hai berkata dengan sabar dan suara sungguh-sungguh. “Kita tidak
pernah bermusuhan, untuk apa kita harus bermain-main yang hanya akan
menimbulkan buah tertawaan orang belaka?” Suara Cin Hai kini terdengar
berpengaruh, tidak seperti tadi ketika dia mempermainkan para perwira itu. Lin
Lin dan Ang I Niocu tahu-tahu sudah berdiri di kanan-kirinya.
“Anak muda,
tak perlu banyak cerewet!” Pek Moko membentak. “Gurumu telah berhutang kepada
kami dan sekarang engkaulah yang harus membayar!” Setelah berkata demikian,
mereka berdua mencabut keluar pedang mereka yang mengerikan itu dan juga mereka
mengeluarkan senjata tasbeh lalu menyerang dengan hebat ke arah Cin Hai!
Terpaksa Cin
Hai mencabut pedang pemberian suhu-nya dahulu, yaitu Liong-coan-kiam, dan dia
lalu menggerakkan pedangnya meniru gerakan-gerakan lawannya itu! Tiga orang ini
lalu bertempur dengan hebat dan sebentar saja mereka bertiga lenyap dari
pandangan mata dan hanya nampak debu mengepul dan tiga bayangan pedang
bercampur menjadi satu!
Melihat
pertempuran yang luar biasa hebatnya ini, baik Lin Lin mau pun Ang I Niocu
tidak berdaya untuk membantu karena kedua-duanya maklum bahwa jika mereka
membantu, tidak hanya sangat berbahaya bagi mereka, bahkan itu takkan menolong
Cin Hai, bahkan mungkin akan mengacaukan pertahanannya.
Ang I Niocu
mengerling ke arah Lin Lin. Ia melihat betapa gadis muda ini meremas-remas
kedua tangannya dan dengan wajah pucat serta sepasang mata basah dengan air
mata memandang ke arah bayangan-bayangan yang bergulung-gulung itu!
Ang I Niocu
merasa betapa hatinya tiba-tiba saja menjadi perih seperti tertusuk pedang. Ia
maklum bahwa gadis muda yang manis ini jatuh cinta kepada Cin Hai! Keperihan
hati ini membuat ia menjadi nekad. Dengan pedang di tangan ia menyerbu dan kini
gulungan sinar pedang itu bertambah dengan sinar merah.
“Niocu, kau
mundur!” Terdengar seruan Cin Hai yang berpengaruh sekali.
Tiba-tiba
bayangan merah itu terlempar pada waktu pedangnya beradu dengan tasbeh Pek
Moko, hampir saja dia mendapat celaka.
Sesudah
bertempur agak lama lagi, tiba-tiba saja terdengar teriakan ngeri dan tahu-tahu
gulungan sinar pedang Hek Moko dan Pek Moko sudah mengendur dan tiba-tiba kedua
iblis itu sambil berteriak-teriak kesakitan lari dari situ! Cin Hai berdiri
dengan wajah pucat dan pedang di tangan kanannya bergetar karena tangan yang
memegang itu menggigil!
Ang I Niocu
memburu, akan tetapi ia kalah dulu dengan Lin Lin. Gadis ini memeluk tubuh Cin
Hai yang berdiri bagaikan patung itu sambil berseru berkali-kali,
“Engko Hai...
Engko... Hai... kau kenapakah?”
Cin Hai
memandang Lin Lin dengan tersenyum, lalu mengerling ke arah Ang I Niocu yang
juga sudah mendekatinya, tapi tiba-tiba pemuda ini meringis kesakitan dan jatuh
pingsan! Untunglah Lin Lin cepat menyambarnya dan gadis ini tanpa malu-malu
lagi lalu segera memondong tubuh Cin Hai dibawa masuk ke dalam rumah.
Para tamu
dan tuan rumah menjadi panik dan bingung. Cin Hai sudah mendapat luka di dalam
tubuh karena pukulan tasbeh Hek Moko, namun di ujung pedang Liong-coan-kiam
juga terdapat tanda-tanda darah yang menyatakan bahwa pemuda ini pun telah
berhasil melukai kedua lawannya yang tangguh!
Kwee In
Liang lalu minta maaf kepada semua tamunya dan para tamu lalu bubaran dan tiada
habis-habisnya mereka membicarakan mengenai Pendekar Bodoh yang luar biasa dan
lihai itu! Di dalam perjamuan itu mereka benar-benar telah disuguhi pertunjukan
silat yang luar biasa hebatnya.
***************
Cin Hai
dibaringkan di dalam kamar Lin Lin, dan Loan Nio duduk menangis di dekatnya,
sedangkan Ang I Niocu juga berdiri di situ dengan wajah pucat. Biauw Suthai
yang pandai akan ilmu pengobatan melakukan pemeriksaan pada tubuh Cin Hai dan
ternyata bahwa Cin Hai sudah kena pukul tasbeh di pundak kanannya hingga
menderita luka dalam yang hebat juga.
“Tidak perlu
kuatir,” kata Biauw Suthai, “Kalau orang lain yang terkena luka ini, tentu akan
melayang jiwanya. Akan tetapi anak muda ini betul-betul telah mendapat latihan
sinkang yang tinggi sehingga luka ini takakan membahayakan jiwanya.”
Dia segera
mengeluarkan tiga belas butir pil putih dan memberikan pil itu kepada Lin Lin.
“Berikan pil ini sehari tiga butir dan bila mana semua pil telah ditelan habis
tentu ia akan sembuh kembali!”
Lin Lin
cepat menerima pil itu dan dengan cekatan sekali gadis ini lalu pergi ke dapur
mengambil air panas, lalu dengan kedua tangannya sendiri memasukkan pil itu ke
dalam mulut Cin Hai dan memberi pemuda itu minum air. Dengan sangat mesra gadis
ini lalu menggunakan sapu tangannya untuk menyusut peluh yang berkumpul pada
jidat Cin Hai.
Melihat
gerakan-gerakan yang mesra ini, Loan Nio tak dapat menahan keharuan hatinya
lagi. Dia lalu menangis tersedu-sedu sambil memeluk pundak Lin Lin. Gadis ini
merasa heran dan memandang muka bibinya dengan tidak mengerti, akan tetapi
ketika melihat betapa semua mata ditujukan padanya, ia lalu menjadi insyaf
bahwa telah berlaku terlalu mesra hingga tiba-tiba air mukanya berubah
kemerah-merahan karena jengah dan malu!
Tiba-tiba
Lin Lin teringat kepada Ang I Niocu karena dia hendak bertanya kepada Dara Baju
Merah ini tentang riwayat Cin Hai dan segala pengalamannya. Akan tetapi ketika
dia memandang, ternyata Dara Baju Merah ini tidak berada di dalam kamar lagi!
Dia cepat mengejar ke luar, akan tetapi tidak terlihat bayangan Ang I Niocu!
Lin Lin bertemu dengan Kwee Tiong di ruang depan dan ia bertanya kepada
kakaknya ini barang kali melihat Ang I Niocu.
“Dia telah
pergi dan minta supaya aku menyampaikan kepada Ayah dan kepada semua orang.
Agaknya ia sebal melihat engkau yang begitu tidak tahu malu. Atau barang kali
ia cemburu, karena tidak melihatkah engkau betapa mesra dan akrab hubungan
antara dia dengan Cin Hai?” Kwee Tiong yang mempunyai hati iri melihat
kegagahan Cin Hai, mulai menyebar racun di hati Lin Lin.
Akan tetapi
gadis ini dengan muka merah dan pandangan mata bersinar menjawab, “Engko Tiong,
kau tidak berhak ikut campur segala urusanku. Engko Hai adalah keluarga kita
sendiri dan dia dengan gagah berani telah berhasil membela nama baik kita.
Apakah tidak pantas kalau aku berlaku baik kepadanya?” Dengan muka cemberut
gadis ini pergi meninggalkan kakaknya dan kembali ke kamar Cin Hai.
Biauw Suthai
bersama Pek I Toanio serta lain-lain tamu lalu berpamit dan meninggalkan rumah
keluarga Kwee. Lin Lin dengan telaten sekali menjaga Cin Hai dan tidak menurut
perintah ayahnya yang menyuruh dia mengaso. Melihat kebandelan anaknya ini,
Kwee In Liang hanya menggeleng kepala dan menghela napas saja, lalu dia
meninggalkan kamar itu dengan muka muram.
Benar
seperti kata-kata Biauw Suthai, sesudah diberi makan obat pil itu, pada
keesokan harinya Cin Hai siuman dari pingsannya. Pemuda ini merasa terharu
melihat kebaikan Lin Lin yang sudah memelihara dan menjaganya selama itu.
Diam-diam ia merasa bersyukur sekali dan cinta kasih yang bersemi di dalam
hatinya terhadap Lin Lin semakin mendalam dan berakar.
Bibinya juga
sering kali datang menengok, sedangkan pamannya biar pun tiap hari paling
sedikit satu kali datang menjenguk, akan tetapi bersikap dingin. Sedangkan Kwee
Tiong, Kwee Sin, Kwee Bun dan Kwee Siang sama sekali tak pernah datang
menengok.
Hanya Kwee
An yang sering datang. Setiap kali mereka bercakap-cakap, Kwee An selalu
memuji-mujinya dan minta supaya kelak Cin Hai suka memberi petunjuk dalam ilmu
silat kepadanya.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment