Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 06
Bu Pun Su
tidak saja lihai, tetapi juga ingin memegang teguh ucapannya. Tadi dia telah
mengatakan bahwa orang harus menghormat hiolouw itu, maka biar pun berada dalam
keadaan yang sangat berbahaya, sekali-kali dia tidak mau membiarkan hiolouw itu
jatuh terbanting ke tanah sehingga isinya tumpah atau rusak.
Jika ia
tidak menyayangi hiolouw itu, mudah saja baginya untuk menangkis dan balas
menyerang kepada kedua lawannya. Dengan sekali lompatan saja dia akan berhasil
mengelak dari serangan Hek Moko dan Pek Moko. Akan tetapi, kalau dia melakukan
ini, tentu hiolouw itu akan terbanting di atas lantai dan rusak.
Akan tetapi
tidak percuma kakek jembel ini pernah dijuluki orang sebagai ahli silat nomor
satu di kolong langit. Memang ada jalan ke dua baginya untuk menyelamatkan diri
dari pada serangan dua lawannya, yaitu dengan membarengi mengirim pukulan maut
sebagai serangan balasan, akan tetapi dia tidak sudi menjatuhkan tangan besi
dan mengotorkan tangannya dengan pembunuhan.
Tiba-tiba
saja dia mengeluarkan seruan keras sekali hingga seluruh ruangan itu menjadi tergetar,
sedangkan tengkorak-tengkorak raksasa yang berdiri itu bergoyang-goyang dan
mengeluarkan suara berkelotekan karena tulang-tulang saling beradu. Kedua iblis
itu pun menjadi terkejut dan hawa yang keluar dari tenaga khikang ini membuat
mereka tertegun dan memperlambat datangnya pukulan mereka.
Kesempatan
yang hanya beberapa detik ini digunakan oleh Bu Pun Su dengan sebaiknya karena
tiba-tiba saja, tanpa dapat terlihat oleh mata bagaimana caranya ia
menggerakkan tubuhnya, tahu-tahu tubuhnya itu telah rebah terlentang di atas
lantai, melintang di antara kedua lawannya dan sekaligus ia terlepas dari pada
kedua serangan maut itu.
Perhitungan
Bu Pun Su memang tepat sekali. Hiolouw itu menyambar turun makin cepat dan oleh
karenanya hampir saja menimpa tangan Hek Moko dan Pek Moko yang terulur ke
depan ketika menjalankan pukulan mereka tadi.
Dengan hati
terkejut kedua iblis itu menarik kembali pukulannya sambil meloncat mundur,
takut kalau-kalau tertimpa hiolouw yang berat itu. Akan tetapi mereka bergirang
hati, kini Si Jembel tua sudah rebah terlentang ada pun hiolouw itu dengan
kecepatan luar biasa melayang ke arah dadanya! Tentu akan remuk tubuh si Jembel
tua yang mereka takuti itu.
Akan tetapi
kini mereka semua disuguhi pertunjukan yang benar-benar hebat. Karena tak ada
kesempatan untuk melompat bangun dan menyelamatkan hiolouw itu, sambil rebah
terlentang Bu Pun Su lantas mengangkat kedua kakinya berdiri lurus ke atas,
kemudian setelah menyentuh hiolouw yang menyambar turun dengan cepat sekali,
kaki itu bergerak ke bawah melebihi kecepatan luncuran hiolouw, lantas membuat
gerakan melengkung sedemikian rupa hingga hiolouw itu terayun, dan kekuatan
hebat yang ditimbulkan oleh gaya beratnya dan karena tekanan luncurannya
kemudian dibelokkan oleh ayunan ini.
Arah tekanan
yang mula-mula meluncur ke bawah ini dengan indahnya telah dibelokkan ke
samping oleh kedua kaki Bu Pun Su, kemudian kaki itu menendang sedikit sehingga
sekarang luncuran dibelokkan ke atas kembali! Hiolouw itu bagaikan kena
ditendang dan meluncur ke atas lagi dengan tenaga yang sudah patah hingga tidak
sangat laju jalannya. Sementara itu Bu Pun Su telah meloncat berdiri pula dan
dengan kepalanya dia kembali menerima hiolouw itu! Hebat.
“Aduh,
hebat! Aduh... hebat!” Cin Hai bersorak memuji, sedangkan Ang I Niocu menarik
napas panjang karena kecemasan yang tadi memenuhi dadanya telah lenyap.
Hek Moko dan
Pek Moko hanya saling pandang saja dan tidak berani lagi sembarangan bergerak
ketika Bu Pun Su dengan tenang bagaikan tak pernah terjadi sesuatu, berjalan
terus dan sesudah tiba di tempat hiolouw, dia memegang kaki hiolouw itu dengan
kedua tangan dan dengan sikap hormat dan berhati-hati sekali dia lalu
meletakkan hiolouw itu kembali ke tempatnya. Hiolouw itu berdiri dengan angker
dan angkuh di tempatnya dan asap putih masih mengepul keluar dari renggangan
tutupnya. Setelah itu barulah Bu Pun Su membalikkan tubuh menghadapi Hek Moko.
“Sungguh
kalian dua iblis tua sangat sembrono, hampir saja kalian merusak hiolouw itu.”
Bu Pun Su menegur dengan suaranya yang halus.
Cin Hai
merasa terheran-heran. Kakek tua itu baru saja terlepas dari pada bahaya maut
dan dia tidak menegur kedua iblis itu untuk penyerangan mereka namun hanya
menegur karena mereka hampir merusak hiolouw. Tampaknya kakek aneh ini lebih
mementingkan hiolouw dari pada tubuh dan nyawanya sendiri!
Hek Moko dan
Pek Moko yang sudah datang dari tempat yang ribuan li jauhnya, tentu saja
merasa penasaran dan tak mau tunduk secara demikian mudah. Berbareng mereka
lalu mencabut senjata mereka yang luar biasa, yaitu sebatang pedang yang
bercabang di ujungnya di tangan kanan dan seikat tasbeh di tangan kiri. Pedang
di tangan mereka itu lihai sekali karena ujungnya yang bercabang itu dapat
digunakan untuk menjepit senjata lawan kemudian diputar hingga senjata lawan
akan terampas.
Akan tetapi
tasbeh pada tangan kiri itu tidak kalah berbahayanya. Tasbeh ini terbuat dari
batu-batu hitam yang keras dan tidak dapat diputuskan dengan senjata tajam,
sedangkan ikatannya dapat dilepas hingga memanjang merupakan pian dari batu
yang lihai. Masih ada lagi keistimewaannya, yaitu apa bila batu-batu hitam itu
dilepas dari untaiannya, dia dapat pula digunakan sebagai senjata rahasia yang
ampuh dan ganas!
“Ehh, ehhh,
kalian masih mau main-main seperti anak-anak nakal? Boleh, boleh. Kalian
menghendaki pertempuran dan ingin merusak tubuhku, silakan. Asal saja jangan
kalian mencoba merusak hiolouw!”
Mendengar
kata-kata yang diucapkan dengan halus dan sabar ini, kedua iblis itu lantas
berbesar hati. Masih bagus bagi mereka kalau kakek jembel ini tidak marah. Akan
tetapi kata-katanya membuat Pek Moko merasa penasaran dan heran sehingga dia
tidak dapat bertahan untuk tidak bertanya,
”Ehh, tua
bangka. Agaknya kau lebih menyayangi hiolouw besar itu dari pada tubuhmu
sendiri!”
Kini jawaban
Bu Pun Su terdengar sungguh-sungguh, “Tentu saja, tentu saja! Tubuhku yang
sudah tua dan lapuk ini apalah gunanya? Kalau tubuhku ini rusak binasa, tidak
akan ada yang dirugikan, dan kalau masih ada pun tidak akan ada gunanya bagi
manusia. Tapi sebaliknya, umur hiolouw ini telah ribuan tahun dan telah banyak
jasanya bagi manusia, dan ratusan atau ribuan tahun kemudian sesudah tubuhku
ini lenyap menjadi kerangka seperti yang berdiri berderet-deret di tempat ini,
hiolouw itu akan tetap berdiri dan masih berguna bagi manusia yang masih hidup,
karena dia menjadi perantara dan saksi akan kehendak manusia yang hendak
berhubungan dengan Tuhan.”
Cin Hai
tertegun mendengar filsafat yang terdengar sederhana namun mengandung arti yang
dalam ini, dan diam-diam dia memutar-mutar otaknya mencari ujar-ujar kuno yang
sesuai dengan filsafat ini, akan tetapi tetap tidak dapat dia temukan.
Sementara
itu, Bu Pun Su lalu melangkah ke tengah-tengah ruangan dan di situ kakek jembel
ini lalu duduk bersila dan berkata kepada Cin Hai, “He, gundul tolol, muridku.
Lemparkan ke sini senjata keramat di tanganmu itu!”
Cin Hai
terkejut. Apakah yang dimaksudkan oleh Bu Pun Su? Yang dipegangnya hanya
sepotong tulang besar, mungkin tulang bagian lengan atau kaki raksasa, maka dia
segera melemparkan tulang itu ke arah Bu Pun Su yang menyambut dengan muka
berseri-seri. Kemudian dengan memegang tulang itu di tangan kanan, Bu Pun Su
lalu meramkan mata dan tak mengacuhkan lagi keadaan di sekelilingnya!
Cin Hai
merasa makin heran tetapi diam-diam ia girang juga karena ternyata kakek yang
lihai itu tidak marah kepadanya. Hanya ia mendongkol kenapa sampai sekarang ia
terus disebut tolol! Ia lalu berpaling kepada Ang I Niocu yang sedang memandang
kepadanya dan alangkah herannya pemuda itu kenapa kedua mata Ang I Niocu basah
dengan air mata!
Cepat ia
melangkah maju dan hendak memegang tangan dara itu akan tetapi Ang I Niocu
menggerakkan tangan mengelak. Baru teringat oleh Cin Hai bahwa mereka tidak
berada berdua saja di tempat itu dan bahwa di muka umum tidak pantas baginya
memegang tangan Ang I Niocu meski pun dara itu adalah seorang yang sangat
dikasihinya, bahkan satu-satunya orang di dunia ini yang disayangnya.
“Niocu, ada
apakah?” bisiknya. Tetapi Ang I Niocu dengan perlahan menggeleng-geleng
kepalanya yang cantik, lalu menundukkan mukanya.
Pada saat
itu terdengar suara Hek Moko yang keras dan parau, “Bu Pun Su, kau terlalu
menghina kami! Ketahuilah, kami hendak mengadu ilmu dengan kau, tak peduli kau
mau melayani kami atau tidak!”
Akan tetapi
Bu Pun Su tidak menjawab dan tetap duduk tak bergerak bagaikan patung batu,
diam saja menyaingi diamnya tengkorak-tengkorak yang berdiri di situ merupakan
saksi mati dari pada segala peristiwa yang terjadi di ruangan itu.
Cin Hai dan
Ang I Niocu lalu berpaling memandang dengan kuatir sekali. Mereka melihat
betapa kedua iblis itu dengan senjata-senjata mereka yang mengerikan sudah
berdiri di depan dan belakang Bu Pun Su!
“Niocu, mari
kita turun tangan membantu Suhu…,” bisik Cin Hai.
Tetapi Dara
Baju Merah itu tersenyum sedih dan menggeleng-gelengkan kepala.
“Hai-ji, kau
belum mengenal Susiok-couw. Diamlah dan mari kita menonton saja.”
“Bu Pun Su,
awas kau, akan kuhancurkan kepalamu!” Pek Moko berteriak dari belakang kakek
itu, lalu ia mengayun tasbehnya memukul ke arah belakang kepala Bu Pun Su!
Dalam detik-detik
ketika senjata hebat itu menyambar, jantung Cin Hai berhenti berdetak karena
kuatirnya dan tanpa terasa lagi tangannya memegang tangan Ang I Niocu dan
jari-jari tangan mereka saling genggam dengan erat.
Akan tetapi,
seperti ada mata di belakang kepalanya, ketika tasbeh itu telah menyambar
dekat, tiba-tiba Bu Pun Su menundukkan kepala sehingga tasbeh itu memukul
angin! Legalah dada Ang I Niocu serta Cin Hai dan teringatlah mereka bahwa
mereka saling berpegang tangan, maka buru-buru mereka melepaskan tangan mereka.
Ternyata Bu
Pun Su bukan sedang bersemedhi sebagaimana yang mereka semua kira. Kakek jembel
ini sebetulnya hanya duduk memusatkan pikiran dan kini segala pikiran dan
perasaan dipusatkan menjadi satu sehingga tanpa memandang atau bergerak, dia
telah dapat tahu akan datangnya sebuah serangan dari mana pun datangnya!
Pek Moko dan
Hek Moko menjadi marah sekali. Mereka merasa dipandang rendah sekali oleh kakek
tua ini. Dulu, lima belas tahun yang lalu, biar pun mereka dirobohkan oleh Bu
Pun Su, akan tetapi mereka dikalahkan dalam sebuah pertempuran yang hebat
sekali. Sedangkan semenjak kekalahan mereka dulu itu, mereka berdua melatih
diri dan bahkan mereka sudah menambah senjata pedang mereka dengan sebuah
senjata tasbeh yang lihai.
Dan apakah yang
dilakukan oleh Bu Pun Su sekarang untuk menghadapi mereka? Hanya dengan duduk
diam sambil meramkan mata dan memegang sebuah… tulang! Ini adalah penghinaan
yang tiada taranya bagi mereka, maka di dalam kemarahannya, kedua iblis itu
sudah mengambil keputusan untuk berkelahi sampai mati! Hek Moko segera mengirim
serangan dengan pedangnya, ada pun Pek Moko dari belakang juga mengirim
serangan-serangan kilat yang mematikan.
Betapa pun
juga, Cin Hai dan Ang I Niocu masih merasa kuatir akan keselamatan Bu Pun Su,
karena mereka, terutama Ang I Niocu, maklum bahwa kepandaian kedua iblis ini
cukup hebat dan lihai, masih lebih hebat dari pada kepandaian orang-orang gagah
yang tadi datang ke goa itu. Lebih tinggi tingkat kepandaiannya dari pada Hai
Kong Hosiang, atau Kanglam Sam-lojin, bahkan masih lebih lihai dari pada Biauw
Suthai sendiri! Dan Bu Pun Su hanya menghadapi mereka sambil duduk bersila dan
meramkan mata dengan sepotong tulang di tangan.
Akan tetapi,
setelah melihat agak lama, perasaan kuatir mereka tidak saja lenyap, bahkan
mereka menjadi tertarik sekali berbareng kagum dan terheran! Ternyata bahwa
dengan tangkisan tulang dan gerakan kepala mengelak serangan, Bu Pun Su dapat
membela diri dengan sangat baiknya!
Kakek jembel
ini tidak melakukan banyak gerakan, hanya duduk diam tanpa bergerak. Setelah
datang sebuah serangan, barulah ia bergerak sedikit, yaitu untuk mengelak atau
menangkis! Serangan yang ditujukan ke arah kepalanya dapat ia kelit dengan
mudah dan serangan yang mengarah tubuhnya tentu saja tidak dapat dia elakkan,
maka kemudian ditangkisnya dengan tulang. Biar pun ada empat buah senjata
menyerang berbareng dari empat jurusan, masih dapat ditangkisnya dengan putaran
tulang yang berubah menjadi senjata yang lihai itu!
Kedua iblis
itu semakin marah dan penasaran. Sudah puluhan jurus mereka membacok, menusuk,
memukul dan melakukan berbagai macam serangan lain, akan tetapi hasilnya selalu
sia-sia. Benarkah mereka tak akan berhasil mengalahkan seorang tua yang hanya
melawan mereka dengan duduk sambil meramkan mata dan tanpa membalas sedikit
pun? Ahh, sungguh memalukan! Mereka mengertak gigi dan menyerang lebih gencar
dan hebat.
Sementara
itu, Ang I Niocu dan Cin Hai merasa penasaran sekali melihat betapa Bu Pun Su
hanya mempertahankan dan membela diri saja tanpa mau membalas sedikit pun. Tapi
apakah daya mereka? Untuk membantu, Cin Hai merasa bahwa kepandaiannya masih
jauh dari pada kuat untuk melawan kedua iblis yang lihai itu, sedangkan Ang I
Niocu yang merasa sangat tunduk dan takut kepada susiok-couw-nya, tak berani
turun tangan tanpa diperintah.
Cin Hai
berpikir, kalau suhu-nya itu bertahan terus saja, apakah dia tidak akan lelah
dan akhirnya terkena serangan juga? Dia lalu memutar-mutar otaknya, dan
tiba-tiba dengan suaranya yang nyaring dia mengucapkan ujar-ujar yang dulu
dipelajarinya,
“Seorang
budiman hanya mencabut pedangnya untuk mempertahankan kehormatan dan namanya.
Mengadu senjata untuk memperebutkan benda dan kesenangan diri, bukanlah
perbuatan seorang gagah, hanya dilakukan oleh kanak-kanak dan orang tolol!”
Kemudian dengan suara yang lebih nyaring lagi Cin Hai menambahkan kata-katanya
sendiri, “Aku masih bingung memilih golongan untuk Hek Pek Moko, apakah mereka
berdua termasuk anak-anak ataukah orang tolol?”
Karena
suasana di sana sunyi dan hanya terdengar suara senjata kedua iblis itu yang
kadang kala beradu dengan tulang di tangan Bu Pun Su, maka suara Cin Hai
terdengar jelas dan nyaring, bahkan bergema di dalam ruang yang luas itu.
Tentu saja
kedua iblis itu dapat mendengar sindiran ini dan wajah mereka memerah. Biar pun
hanya menduga-duga saja, tetapi ternyata kata-kata Cin Hai bahwa mereka sedang
‘memperebutkan benda’ adalah tepat sekali.
Cin Hai
memang belum tahu mengapa para tokoh kangouw itu berturut-turut menyerbu ke Goa
Tengkorak. Tetapi dia dapat menduga bahwa mereka tentu sedang menghendaki dan
memperebutkan sesuatu yang amat penting dan berharga.
Akan tetapi,
mana kedua iblis itu mau mendengarkan nasehat-nasehat yang keluar dari mulut
seorang pemuda? Mereka bahkan memperhebat serangan mereka karena merasa malu
dan gemas.
Cin Hai
menjadi bingung. Ia melihat bahwa biar pun Bu Pun Su masih dapat membela diri
dengan baik, namun kulit muka gurunya itu mulai memerah, tanda bahwa kakek itu
telah menggunakan tenaga untuk melayani serangan-serangan berbahaya dari dua
lawannya yang tangguh. Maka pemuda ini lalu berteriak kembali, kini lebih keras
dari pada tadi,
“Nabi yang
agung pernah berkata bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan
tetapi kejahatan mesti dilawan dengan keadilan. Orang menyerang secara jahat
dan tidak kenal kasihan, kalau didiamkan saja tanpa memberi hajaran kepada
penyerang itu, apakah adil namanya?”
Biar pun Cin
Hai sudah berteriak dengan keras, namun Bu Pun Su tidak terpengaruh oleh
kata-katanya. Cin Hai tidak berputus asa, dia mengulangi lagi kata-katanya
dengan suara makin keras sehingga lehernya menjadi kering dan sesak.
Akan tetapi
pada waktu itu Bu Pun Su harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk
menghadapi serangan kedua lawannya. Apa bila dia membagi perhatiannya sedikit
saja kepada hal lain, maka kedudukannya akan sangat berbahaya dan pertahanannya
akan menjadi lemah. Oleh karena itu teriakan-teriakan Cin Hai hanya merupakan
kegaduhan yang hanya terdengar sayup-sayup olehnya dan tidak menarik
perhatiannya.
Cin Hai
menjadi makin panik dan bingung. Juga Ang I Niocu mulai mendapat kenyataan
bahwa keadaan suciok-couw-nya berbahaya sekali. Gerakan-gerakan orang tua itu
makin lemah, sebaliknya kedua iblis itu makin ganas dan mendesak semakin hebat!
Dara Baju
Merah ini telah melolos pedangnya dan bersiap sedia membantu Bu Pun Su. Bila
mana nanti kakek itu benar-benar berada dalam bahaya, maka ia akan berlaku
nekat dan membelanya, biar pun untuk itu ia akan mendapat marah sekali pun!
Cin Hai
kemudian berjalan ke arah tumpukan tulang-tulang yang berserakan di sudut. Dia
memilih-milih dan akhirnya mendapatkan sepotong tulang yang tipis berlubang,
agaknya tulang paha yang sudah lapuk. Setelah memeriksa baik-baik, dia lalu
lari ke arah Ang I Niocu dan berbisik,
“Niocu,
lekas buatkan suling dari tulang ini untukku!”
Walau pun
merasa heran, akan tetapi Ang I Niocu tidak banyak bertanya, karena percaya
penuh bahwa dalam saat yang tegang itu tentu Cin Hai mempunyai alasan kuat
untuk mendapat sebatang suling. Dengan ujung pedang dia menggunakan
lweekang-nya untuk melubangi tulang itu dan sebentar saja jadilah sebatang
suling terbuat dari pada tulang itu. Sungguh merupakan sebuah suling yang
istimewa dan bentuknya sangat sederhana.
Cin Hai
merasa girang sekali dan melihat betapa keadaan Bu Pun Su pada saat itu telah
sangat terdesak, dia segera meniup sulingnya. Alangkah heran dan bingungnya
ketika suling istimewa itu mengeluarkan suara yang amat ganjil dan sukar sekali
diikuti nadanya! Akan tetapi Cin Hai cepat-cepat mengerahkan kepandaiannya dan
mencurahkan seluruh perhatiannya hingga bunyi ganjil itu dapat juga berlagu!
Maksudnya ialah hendak menarik perhatian Bu Pun Su agar orang tua itu dapat
mendengar kata-katanya.
Maksudnya
ternyata berhasil baik! Mendengar suara yang aneh sekali ini, Bu Pun Su tak
dapat bertahan lagi untuk memusatkan perhatiannya dan mau tidak mau dia pun
terpaksa menggunakan sedikit perhatian untuk mendengar dan memperhatikan suara
suling yang nyaring ini!
Dan sangat
untung baginya karena tidak hanya dia, bahkan juga kedua orang lawannya
tertarik oleh bunyi suling dan bahkan perhatian Hek Pek Moko setengah bagian
sudah terpengaruh oleh bunyi suling. Kalau tidak demikian halnya, maka akan
celakalah Bu Pun Su yang sudah berkurang daya tahannya oleh karena perhatiannya
terbagi. Akan tetapi, karena kedua iblis itu pun terpecah perhatiannya, maka
biar pun pertahanan Bu Pun Su mengendur semua ternyata daya serang kedua itu
pun banyak mengendur pula!
Melihat
betapa ketiga orang itu kadang-kadang melirik ke arahnya tahulah Cin Hai bahwa
usahanya berhasil baik, maka cepat ia menunda sulingnya dan mengulangi
kata-katanya tadi dengan suara nyaring dan keras sekali,
“Nabi yang
agung pernah berkata bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan pula, akan
tetapi kejahatan mesti dilawan dengan keadilan! Orang menyerang secara jahat
dan tidak kenal kasihan, kalau didiamkan saja tanpa memberi hajaran kepada
penyerang itu, apakah ini dapat dinamakan adil?”
Suara suling
tadi memang nyaring dan ganjil sehingga ketika tiupannya ditunda, seketika
keadaan menjadi hening dan sunyi, maka suara ucapan Cin Hai terdengar sangat
terang dan keras sekali hingga Bu Pun Su dapat mendengarnya dengan baik.
Mendadak kakek jembel ini tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Hek Pek
Moko,” katanya dengan suaranya yang halus sabar, “apa bila bicara mengenai
kebijaksanaan, kau masih belum ada sepersepuluhnya juga dari pada muridku yang
tolol ini! Sekarang apakah kalian tidak mau lekas pergi dan menunggu aku
seorang tua turun tangan?”
Akan tetapi
Hek Pek Moko yang tadi telah melihat betapa usaha mereka hampir berhasil, maka
mana mereka mau mengundurkan diri. Mereka bahkan menyerang lebih hebat lagi!
”Siancai…
siancai…!” Bu Pun menyebut.
Orang tua
itu kini menggerakkan tangan kirinya yang semenjak tadi hanya terletak di atas
pangkuannya saja. Sekali tangan kirinya bergerak, maka dia berhasil menangkap
tasbeh Pek Moko yang menyambar ke arah lehernya. Ia menggunakan tenaganya
membetot dan putuslah tasbeh itu hingga biji-biji batu hitam itu terlepas dari
untaiannya kemudian jatuh berserakan! Bu Pun Su lalu memunguti batu-batu kecil
itu dan tangan kirinya bergerak pula menyambit.
Terdengar
jeritan-jeritan karena dengan tepat sekali batu-batu itu mengenai pergelangan
tangan Hek Pek Moko yang memegang senjata sehingga pedang di tangan kanan Pek
Moko, serta kedua senjata di tangan kanan kiri Hek Moko terlepas dari pegangan
mereka dan jatuh berdering-dering ke atas lantai!
Bukan main
terkejutnya Hek Pek Moko menyaksikan kelihaian Bu Pun Su yang masih duduk
bersila sambil tersenyum. Kedua iblis ini lalu menjura dan berkatalah Hek Moko
dengan suara parau dan hampir menangis karena kecewa dan gemasnya,
“Orang tua,
kepandaianmu memang hebat dan kami sekali lagi mengaku kalah!”
Bu Pun Su
hanya tersenyum dan membiarkan kedua iblis itu mengambil senjata mereka kembali
dan kemudian tanpa banyak cakap lagi kedua iblis itu melompat keluar dari Goa
Tengkorak dan melarikan diri.
Ang I Niocu
kagum dan girang sekali melihat akal Cin Hai yang telah berhasil menolong orang
tua itu, maka dia segera maju dan bersama Cin Hai lalu berlutut sambil
menyebut,
“Suhu...”
“Susiok-couw,
ampunkan teecu yang telah lancang keluar dari tempat persembunyian.”
“Sudahlah,
sudahlah...” Bu Pun Su menghela napas. “Kalian orang-orang muda memang paling
doyan berkelahi!”
Kemudian
kakek ini memandang kepada Ang I Niocu dan berkata dengan suara yang halus akan
tetapi terdengar jelas penyesalannya. “Kiang Im Giok, sekarang kau pergilah ke
timur dan mencari Suci-mu di daerah itu. Kalau sudah bertemu sampaikan
teguranku karena kesembronoan dan keganasannya itu hanya membikin malu saja.
Beri peringatan kepadanya atau kalau dia masih belum insyaf, bawa dia ke mari.
Dan kau sendiri, anak baik, berhati-hatilah terhadap kelemahanmu sendiri!”
Ang I Niocu
mengangguk-anggukkan kepala dan berkata perlahan, “Baik, Susiok-couw!” Kemudian
Dara Baju Merah itu mengerling ke arah Cin Hai dan berkata lagi, “Apakah teecu
harus berangkat sekarang juga?”
“Ya,
pergilah sekarang juga. Mau tunggu apa lagi?”
Ang I Niocu
memberi hormat lagi lalu berdiri dan hendak bertidak pergi, akan tetapi Cin Hai
tiba-tiba berkata,
“Niocu, kau
pergi, dan bilakah kita akan bertemu kembali?” suaranya terdengar pilu dan
terharu sehingga Ang I Niocu menahan kakinya dan berpaling. Ternyata wajah Dara
Baju Merah itu pucat sekali!
“Niocu!” Cin
Hai berdiri dan memburu kepadanya tanpa mempedulikan suhu-nya!
“Anak tolol,
kau ternyata masih belum dewasa!” Bu Pun Su menegur Cin Hai.
Kemudian
kakek ini berdiri dan berkata kepada Ang I Niocu yang hendak melanjutkan
tindakan kakinya. “Im Giok, tunggu sebentar. Aku masih ragu-ragu, apakah jika
Suci-mu membangkang, kau cukup kuat untuk menundukkannya. Coba kau lebih dulu
perlihatkan kepandaianmu, hendak kulihat sampai di mana kekuatan Sian-li
Kiam-hoat!”
Ang I Niocu
tidak berani membantah, segera dia melolos pedangnya. Kemudian dia mulai
menjalankan ilmu silat pedangnya yang lihai. Cin Hai merasa kecewa sekali bahwa
pada saat itu dia tidak mempunyai suling bambu yang baik untuk mengiring tarian
pedang Ang I Niocu! Sementara itu, sesudah gerakan Ang I Niocu menjadi cepat
sehingga tubuhnya lenyap tertutup sinar pedang, Bu Pun Su tiba-tiba berkata,
“Tahan! Coba
ulangi gerakan-gerakanmu yang ke tiga puluh sampai ke lima puluh, tetapi lambat
saja. Kau mempunyai kelemahan-kelemahan di bagian itu!”
Ang I Niocu
merasa heran sekali dan ia mengulangi gerakannya, akan tetapi kini dengan
lambat hingga ia seperti benar-benar sedang menari. Dan heranlah Cin Hai ketika
melihat betapa Bu Pun Su juga menari bersama-sama Ang I Niocu sambil berkata,
“Coba kau
serang aku dengan betul-betul, akan kuperlihatkan kelemahanmu!”
Sungguh
pemandangan yang amat indah ketika kakek itu pun mulai menari di dekat Ang I
Niocu, karena tarian kakek itu ternyata sesuai dan cocok sekali dengan tarian
Ang I Niocu hingga mereka bagai sepasang penari ulung yang mendemonstrasikan
kepandaiannya! Sayang sekali bahwa penari prianya sudah kakek-kakek. Coba kalau
yang menari seperti Bu Pun Su itu seorang pria muda, tentu akan indah dan cocok
sekali!
Cin Hai
tidak melihat kelemahan-kelemahan yang disebutkan oleh Bu Pun Su tadi, akan
tetapi, sesudah Bu Pun Su bersama-sama menari, terkejutlah Ang I Niocu. Benar
saja, pada tiap gerakan ternyata kakek yang lihai itu sudah dapat mencari dan
dengan gerakan tangannya yang bagaikan menari-nari itu dia dapat menyerang
melalui lubang-lubang dan kelemahan-kelemahan yang terbuka pada saat ia
bersilat! Ia maklum bahwa dalam suatu pertandingan sungguh-sungguh maka tangan
kakek itu tentu sudah berhasil merobohkan dirinya dengan mudah!
Tiba-tiba
saja kakek itu berhenti menari. “Nah, kau sudah tahu kelemahan dari
gerakan-gerakanmu tadi? Ingat, kau terlalu menitik beratkan kepada keindahan
gerakanmu hingga kau lupa bahwa dalam setiap keindahan itu tentu terdapat
kelemahan akibat perhatianmu terganggu oleh rasa bangga dan keinginan
memperlihatkan kepandaian atau keindahan tarianmu! Kalau lawanmu terpesona oleh
keindahan gerak tarianmu tentu ia takkan dapat melihat kelemahan-kelemahan itu,
akan tetapi kalau dia waspada, maka kau tentu akan celaka. Nah, kau
perhatikanlah dan pada waktu kau bersilat dengan jurus ke tiga puluh sampai ke
lima puluh, kau harus mengurangi gerakan menyerang dengan pedang dan siku
tangan yang memegang pedang jangan terlampau lebar terbuka, sedangkan tangan
kirimu harus membuat gerakan Bunga Sembunyi di Bawah Daun atau Ikan Berenang di
Bawah Permukaan Air untuk menjaga supaya jangan sampai kau dapat terserang pada
tempat-tempat yang terbuka karena gerakan serangan pedangmu. Mengertikah kau?”
Ang I Niocu
mengangguk-angguk dan menghaturkan terima kasihnya. Kemudian kakek itu
menyuruhnya berangkat dengan segera.
“Kalau tidak
salah, Suci-mu itu kini berada di kota Lok-bin-si. Pergilah kau ke sana. Cin
Hai mulai saat ini akan tinggal di sini dengan aku!”
Mendengar
disebutnya nama pemuda itu, mendadak wajah Ang I Niocu berubah merah. Agaknya
kakek yang luar biasa ini sudah dapat menduga akan isi hati dan perasaannya
terhadap pemuda itu! Maka tanpa berani memandang kepada Cin Hai lagi, Dara Baju
Merah itu kemudian berlari cepat meninggalkan tempat itu, ditatap oleh Cin Hai
dengan pandangan mata sedih.
“Nah, anak
bodoh! Mulai saat ini juga kau harus berlatih serta belajar silat dengan rajin.
Ketahuilah, aku orang tua selamanya belum pernah mempunyai murid, tetapi sekali
aku mengambil murid maka dia harus belajar dengan baik-baik supaya tidak akan
memalukan yang mengajarnya. Dan kau dulu sudah berjanji hendak menurut pada
segala perintahku, bukan?”
Cin Hai
segera berlutut di depan suhu-nya untuk memberi hormat. “Teecu akan menurut
segala perintah Suhu.”
“Bagus,
sekarang pertama-tama kau harus menceritakan semua pengalamanmu sejak kau
meninggalkan rumah keluarga Kwee. Jangan ada yang kau sembunyikan!”
Cin Hai
dengan jelas lalu menuturkan semua pengalamannya tanpa mengurangi sedikit pun,
akan tetapi setelah dia selesai bercerita, Bu Pun Su berkata, “Hanya satu hal
yang kusayangkan, yaitu pertemuan dan perkenalanmu dengan Kiang Im Giok!”
Cin Hai
tertegun lalu memandang kepada suhu-nya dengan penasaran dan heran. “Suhu,
apakah sebabnya maka hal itu harus disayangkan? Bukankah Ang I Niocu seorang
yang berhati mulia dan berwatak gagah berani?”
Bu Pun Su
menghela napas. “Itulah sebabnya mengapa aku merasa sayang. Hubungan itu dapat
meracuni hati kalian berdua!”
Cin Hai
memang memiliki watak pemberani dan pantang mundur menghadapi siapa pun juga
apa bila dia merasa bahwa pihaknya benar, maka dia lalu berkata lagi,
“Suhu,
apakah yang Suhu maksudkan dengan racun itu? Menurut teecu, hubungan teecu
dengan Ang I Niocu itu hanya mendatangkan perasaan kasih sayang suci. Kenapa
tidak boleh? Teecu hanya sebatang kara dan hampir semua orang telah
memperlakukan teecu dengan buruk dan jahat, dan hanya Ang I Niocu seorang yang
sudah berlaku baik sekali terhadap teecu! Salahkah bila teecu mempunyai rasa
kasih sayang yang besar padanya yang timbul karena perasaan terima kasih?
Ujar-ujar pernah menyatakan bahwa kasih sayang yang timbul karena hutang budi
adalah suci murni!”
Melihat
betapa pemuda itu bicara dengan bernafsu, kakek itu menggeleng-geleng kepala
dan tersenyum, lalu berkata tenang, “Cin Hai, engkau terlalu banyak menghafal
ujar-ujar kuno hingga kepalamu yang besar itu penuh dijejali segala macam
ujar-ujar. Ketahuilah bahwa kenyataan hidup ini jauh sekali bedanya dengan keindahan
kata-kata yang disebut ujar-ujar itu, dan bahkan segala macam ujar-ujar yang
terdengar indah itu ternyata tidak dapat memperbaiki sifat manusia, bahkan
menjadikan lebih rusak! Pernahkah kau melihat orang-orang yang mempergunakan
segala keindahan ujar-ujar untuk menutupi kesalahan dan kejahatannya?”
Cin Hai
tertegun dan teringatlah ia kepada gurunya yang dulu mengajarnya kesusastraan.
Memang, sifat gurunya itu ganjil sekali, dan apa yang keluar dari mulutnya sama
sekali tidak cocok dengan perbuatannya
”Cin Hai,
kau masih terlalu muda untuk mengerti semua ini. Memang bagimu aku tidak merasa
kuatir, akan tetapi aku lebih kuatir akan Kiang Im Giok. Kasihan sekali kalau
anak itu menjadi korban dari pada kelemahan hatinya sendiri...”
Cin Hai
mengerutkan keningnya. Akan tetapi karena memang tubuhnya saja yang sudah
nampak dewasa dan tinggi tegap, akan tetapi sebenarnya batinnya masih lebih
bersifat kanak-kanak, maka ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh
suhu-nya. Pada waktu itu usianya sudah lima belas tahun lebih akan tetapi dalam
hal pengertian pergaulan pria wanita dia masih bodoh dan hijau.
“Sekarang
kau harus memperhatikan pelajaran silat dan jangan pikirkan urusan lain lagi.
Ketahuilah, bahwa pikiran yang bercabang tak akan dapat menghasilkan ilmu yang
baik. Dan kulihat kau telah mempelajari Liong-san Kun-hoat dan Sian-li
Kun-hoat. Dari Im Giok kau juga sudah mempelajari Ngo-lian-hwa Kiam-hoat.
Ketahuilah bahwa segala macam ilmu silat yang ada di dunia ini, pada dasarnya
sama dan berpokok satu, yaitu menyerang dan membela diri. Betapa pun tinggi
ilmu silat seseorang, tapi apa bila pokok dasarnya tidak kuat, ilmu silatnya
itu akan sia-sia belaka. Segala macam ilmu silat yang dipelajari oleh orang
hanya ada tiga ratus enam puluh gerakan yang dasarnya sama, hanya gaya dan
kembangnya saja yang berbeda, sedangkan kaki hanya ada seratus delapan puluh.
Apa bila engkau dapat mempelajari dasar dan pokok semua gerakan tangan dan kaki
ini, maka menghadapi ilmu silat dari cabang mana pun juga, kau akan dapat
melawannya dengan mudah.”
Demikianlah,
semenjak hari itu, Cin Hai digembleng oleh Bu Pun Su dan mempelajari sari dan
pokok gerakan silat. Dengan menerima pelajaran yang hebat dan merupakan rahasia
khusus dari pada semua ilmu silat, maka boleh dikata sama halnya bagi Cin Hai
dengan mempelajari semua ilmu silat yang ada di dunia ini!
Kini ia
mengerti dan terbukalah matanya bahwa Bu Pun Su boleh disebut tokoh persilatan
tertinggi yang memiliki kepandaian maha hebat! Dengan kepandaiannya yang telah
dapat memecahkan semua rahasia pergerakan tangan dan kaki, maka menghadapi
seorang lawan yang bersilat bagaimana pun juga, Bu Pun Su dapat menirukan semua
gerakan itu dengan sama baiknya, biar pun ia belum pernah mempelajari ilmu
silat ini, oleh karena ia telah tahu akan pokok-pokok gerakannya!
Tentu saja,
sesudah dapat mengetahui sifat dan pokok gerakan lawan, mudah saja untuk
menghadapinya. Akan tetapi, pengertian saja masih belum merupakan syarat untuk
dapat mengalahkan lawan itu, masih ada dua hal yang terpenting yang harus
dimilikinya, yaitu kecepatan dan tenaga!
Oleh karena
ini, di samping mempelajari pokok-pokok rahasia gerakan silat, Cin Hai juga
mendapat latihan ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang membuat dirinya bisa
bergerak gesit bagaikan seekor burung walet dan latihan lweekang dan khikang
yang membuatnya mempunyai tenaga dalam yang hebat dan dapat menghadapi kekuatan
lawan yang kasar mau pun halus.
Juga untuk
latihan ginkang, lweekang ataupun khikang, Bu Pun Su mempunyai cara yang khusus
dan istimewa, karena dia memberi pelajaran dasar dan pokoknya. Menurut kakek
jembel yang luar biasa dan aneh ini, tenaga-tenaga ginkang, lweekang mau pun
khikang berpusat pada pusar di mana menjadi tempat tiantan yang mengatur semua
tenaga gaib yang tersembunyi dalam diri manusia.
Oleh karena
ini, maka latihan-latihan yang diberikan kepada muridnya itu hanya ditujukan
untuk memperkuat daya tiantan ini dengan jalan bersemedhi dan mempertebal iman.
Jika iman manusia kuat dan tebal, dan batin yang disebutnya ‘bunga api dari
Tuhan’ menjadi bersih, seimbang dan tidak mudah goyah, maka tenaga dalam akan
menjadi kuat dan tidak mudah terpengaruh oleh segala macam nafsu yang hanya
akan melemahkan tubuh dan batin.
Cin Hai
mempunyai dasar-dasar serta bakat yang baik, maka tanpa banyak mengalami
kesukaran ia dapat menangkap pelajaran yang diberikan oleh suhu-nya sehingga Bu
Pun Su merasa girang sekali.
Waktu
berjalan cepat sekali dan tanpa terasa lagi Cin Hai sudah menerima gemblengan
dan latihan selama tiga tahun! Usianya telah delapan belas tahun dan dia
sekarang telah menjadi seorang pemuda dewasa yang bertubuh tinggi dan tegap
dengan wajah tampan dan gagah. Akan tetapi sinar matanya yang jujur itu masih
saja nampak bodoh, ada pun mukanya yang lebar tidak mengurangi ‘tampang
bodohnya’!
“Cin Hai,”
kata gurunya pada suatu hari, “kini kau sudah dapat menangkap inti sari dari
pada ilmu silat dan agaknya kau tentu akan dapat menghadapi ilmu silat yang
bagaimana pun juga. Akan tetapi, kau juga maklum bahwa ilmu ini hanya dapat
digunakan pada saat menghadapi seorang lawan dan sama sekali tidak dapat
digunakan untuk memamerkan kepandaian. Kau hanya bisa menjatuhkan seorang lawan
apa bila diserang. Karena kau tidak belajar cara melakukan serangan. Ini baik
sekali, muridku, dan ketahuilah bahwa aku sendiri pun selama hidup belum pernah
menyerang orang. Aku hanya bergerak apa bila diserang. Tahukah kau? Kau
mengerti dan hafal akan ujar-ujar yang baik, maka kau pakailah ujar-ujar itu
sebagai pedoman dan jangan kau menyombongkan kepandaianmu! Karena itu, julukan
‘Pendekar Bodoh’ harap kau pakai untuk selamanya. Bukankah ada ujar-ujar yang
berkata bahwa orang yang sesungguhnya pintar adalah dia yang insyaf akan
kebodohan sendiri?”
Cin Hai
mengerti dengan baik akan maksud suhu-nya ini sebab semenjak berlatih ilmu di
dalam Goa Tengkorak itu makin terbukalah matanya akan rahasia-rahasia hidup.
Kini dia tahu akan maksud suhu-nya yang dahulu memperingatkan bahaya yang akan
ada dalam hubungannya dengan Ang I Niocu. Ia maklum bahwa bahaya itu adalah
‘cinta’ yaitu cinta dari pihak Ang I Niocu yang usianya jauh lebih tua dari
padanya. Kalau dara itu sampai tergoda cinta padanya sedangkan perjodohan di
antara mereka tak dapat dilangsungkan, bukankah hal ini akan merupakan siksa
dan derita bagi Ang I Niocu?
Ia sendiri
masih merasa suka dan rindu kepada Ang I Niocu, akan tetapi perasaannya ini
hanyalah perasaan kasih seorang adik terhadap kakaknya, atau kalau mau disebut
lebih lagi, seperti kasih seorang anak kepada ibunya. Akan tetapi, siapa tahu
isi hati Dara Baju Merah itu? Ia diam-diam bergidik dan menaruh hati iba
terhadap Ang I Niocu.
Pernah ia
bertanya pada suhu-nya akan segala peristiwa yang terjadi di Goa Tengkorak itu
dan mengapa banyak tokoh persilatan menyerbu ke situ. Bu Pun Su tersenyum dan
menceritakan seperti berikut,
“Goa ini
dahulu dibuat oleh seorang menteri Kerajaan Tang yang bernama Lu Pin. Ketika
Raja Hian Tiong mengangkat seorang Tartar bernama An Lu Shan menjadi panglima,
hal ini tidak disetujui oleh Menteri Lu Pin karena menteri yang waspada ini
maklum akan bahayanya mengangkat seorang asing menjadi panglima yang menguasai
tentara. Akan tetapi nasehatnya itu tidak dipedulikan oleh kaisar. Akhirnya,
sesudah Panglima Tartar ini menjadi panglima di tiga kota timur laut dan
berkedudukan di Hopei, lalu memberontak dengan tentara sejumlah lima belas
laksa orang dan memukul ke selatan!
Kaisar yang
tidak becus mengurus pemerintahan ini tak berdaya karena semua pejabat dan
panglimanya hanya mengutamakan kesenangan dan pelesir saja sehingga dengan
mudah barisan kerajaan dapat dimusnahkan oleh An Lu Shan.
Kaisar
sendiri kemudian mengungsi ke Secuan, ada pun ibu kota lalu diduduki oleh An Lu
Shan. Semenjak itu, di mana-mana seluruh rakyat bangkit melakukan perlawanan
secara bergerilya.
Lu Pin
sendiri yang merasa sangat menyesal dan kecewa lalu melarikan diri karena dia
dicari-cari oleh An Lu Shan untuk dibunuh. Seluruh keluarganya terbunuh dan
hanya dia sendiri yang dapat melarikan diri ke daerah ini.
Lu Pin
adalah seorang terpelajar yang memiliki kepandaian seni ukir yang tinggi.
Setelah menemukan goa ini dan memperbaikinya sehingga menjadi sebuah tempat
tinggal yang besar dan aman, dia kemudian mengumpulkan tulang-tulang binatang
besar yang banyak terdapat di goa ini, yakni peninggalan dari jaman purba, lalu
dengan kepandaiannya dia membuat tulang-tulang binatang yang besar itu menjadi
tengkorak-tengkorak seperti yang berdiri berderet-deret itu!
Jangan
dikira bahwa itu benar-benar tengkorak-tengkorak manusia, semua itu hanyalah
tulang-tulang binatang yang diukir kemudian dibentuk sebagai kerangka manusia!
Dari sini dapat dibayangkan betapa hebatnya keahlian seni ukir menteri she Lu
itu!
Di dalam
pelariannya itu Lu Pin berhasil membawa banyak barang-barang berharga dari
dalam istana, karena dia khawatir kalau-kalau barang-barang itu terjatuh ke
dalam tangan musuh. Dan karena ini pulalah maka An Lu Shan mencari-cari menteri
yang setia itu.
Akan tetapi
ternyata, berkat pertolongan tengkorak-tengkorak ini yang dipasang di depan dan
di dalam goa, tidak ada tentara pemberontak yang berani memasuki goa dan Lu Pin
selamat serta tinggal di sini sampai datang hari ajalnya dan oleh kawan-kawan
senasib ia dikubur di bawah hiolouw itu.
Kemudian hal
ini akhirnya dapat diketahui oleh tokoh kang-ouw dan mereka menyerbu ke sini.
Akan tetapi mereka tidak menyangka bahwa di dalam goa ini terlebih dahulu sudah
tinggal seorang yang tidak mereka sangka-sangka, yaitu keturunan dari Lu Pin
sehingga usaha mereka gagal!
Cin Hai
mendengarkan cerita ini dengan rasa heran. “Suhu, siapakah keturunan dari Lu
Pin yang bernasib malang itu?”
Bu Pun Su
tersenyum. “Masih belum dapat mendugakah kau, anak bodoh? Siapa lagi kalau
bukan Suhu-mu sendiri?”
Dengan
terharu Cin Hai lalu berlutut di hadapan suhu-nya. Tidak tahunya bahwa kakek
jembel ini adalah keturunan seorang menteri di jaman ahala Tang yang bershe Lu?
“Tetapi
sebenarnya usaha para tokoh kang-ouw itu sia-sia belaka. Harta benda itu telah
lama tidak berada di sini pula dan sudah digunakan oleh Lu Pin untuk membiayai
usaha perjuangan para patriot yang melakukan perlawanan gigih terhadap
pemberontakan An Lu Shan. Yang tertinggal hanyalah sebatang pedang kuno dan
inilah barang itu!”
Bu Pun Su
lalu memberikan pedang kuno itu kepada Cin Hai. Pedang itu biar pun buruk
rupanya dan sudah tua sekali, akan tetapi masih berkilauan dan sangat tajam. Di
dekat gagangnya terukir dua huruf, yaitu LIONG COAN. Inilah Liong-coan-kiam
yang termasyur dan yang dulu pernah menjadi pedang pusaka Kerajaan Tang itu.
“Pedang ini
kuberikan kepadamu, muridku.”
“Akan
tetapi, Suhu. Untuk apakah teecu diberi pedang ini? Bukankah pedang ini hanya
akan menjadi alat pembunuh dan melukai sesama manusia belaka? Bukankah dulu
Suhu pernah berkata bahwa pedang tak pantas berada di tangan seorang pendekar
gagah dan hanya pantas dibawa-bawa oleh seorang algojo atau pembunuh?”
Bu Pun Su
tersenyum. “Bagus, Cin Hai, kau ternyata masih ingat akan semua nasehatku. Akan
tetapi, sebenarnya bukan pedang yang harus disalahkan dalam soal pembunuhan,
akan tetapi orang yang memegangnya. Segala benda di dunia ini mempunyai sifat
sama, dan semuanya sempurna. Buruk atau pun baik hanyalah terjadi karena akibat
dari pada perbuatan orang dan hanya merupakan pandangan seseorang terhadap
benda itu. Kalau pedang ini dipergunakan untuk maksud baik, maka dia menjadi
pusaka keramat, akan tetapi kalau dipergunakan untuk maksud buruk, ia berubah
menjadi senjata laknat!”
Setelah Cin
Hai menerima pedang Liong-coan-kiam itu, Bu Pun Su lalu berkata kembali,
“Sekarang sudah waktunya kau pergi meninggalkan goa ini, Cin Hai. Ingatlah
baik-baik semua pelajaranmu di sini dan pesanku terakhir ini: Jangan
sembarangan menjatuhkan tangan kejam kepada sesama manusia. Bila terpaksa kau
harus membinasakan seorang lawan, maka lawanmu itu haruslah seorang yang telah
melanggar tiga pantangan besar, pertama membunuh orang tidak berdosa, ke dua
melanggar kesusilaan dan mengganggu anak bini orang, dan ke tiga
pengkhianat-pengkhianat yang sudah mengkhianati bangsa sendiri. Apa bila
sekiranya masih ada jalan lain, terhadap mereka ini pun janganlah kau
sembarangan membunuh karena mengambil nyawa bukanlah pekerjaan orang!”
Cin Hai lalu
berlutut dan menghaturkan terima kasih lalu pergi meninggalkan goa di mana
telah tiga tahun ia tinggal dan mempelajari ilmu dari Bu Pun Su, kakek jembel
yang lihai itu.
Ketika
meninggalkan Goa Tengkorak, suhu-nya telah memberinya sekantung emas murni
sehingga Cin Hai tidak kuatir mengenai biaya perjalanannya. Tujuan
perjalanannya hanya dua macam, pertama mencari Ang I Niocu, dan ke dua hendak
kembali ke Tiang-an buat menemui ie-ienya.
Walau pun
dia sama sekali tidak mempunyai niat hendak bertemu muka kembali dengan
ie-thio-nya, yaitu Kwee-ciangkun, akan tetapi dia tak dapat melupakan ie-ie-nya
dan ingin sekali ia menengok bibinya itu. Di dalam dunia ini, selain suhu-nya
hanya ada Ang I Niocu dan bibinya yang menempati hatinya dan merupakan
orang-orang yang dikasihinya.
***************
Beberapa
pekan kemudian tibalah dia di daerah utara Sungai Huang-ho dan pada suatu hari
ketika dia sedang berjalan di dalam sebuah hutan pohon pek yang indah,
tiba-tiba dia mendengar suara orang bertempur. Cin Hai mempercepat tindakan
kakinya dan di suatu tempat terbuka dia melihat empat orang sedang bertempur
hebat sekali.
Cin Hai
segera bersembunyi di balik sebatang pohon besar sambil mengintai dan ketika
dia memandang dengan penuh perhatian, terkejutlah ia karena ia dapat mengenal
muka seorang di antara mereka. Orang ini tak salah lagi tentu pamannya,
Kwee-ciangkun atau Kwee In Liang!
Biar pun
muka pamannya telah berubah kurus dan rambutnya sudah banyak uban, tetapi Cin
Hai tidak pangling melihat wajahnya. Ia heran sekali kenapa pamannya mengenakan
pakaian petani biasa!
Kwee In
Liang sedang bertempur melawan seorang perwira Sayap Garuda yang berbaju putih,
tanda pada pinggir pakaiannya menyatakan bahwa dia adalah seorang tingkat tiga,
sehingga lagi-lagi Cin Hai merasa sangat heran. Mengapa pamannya yang juga
seorang panglima, bertempur melawan perwira istana kaisar? Aneh sekali!
Kemudian ia
memperhatikan orang yang menjadi kawan pamannya, yang juga bertempur dengan
hebatnya. Orang ini adalah seorang gadis muda yang memiliki kepandaian silat,
gesit dan hebat, bahkan dengan sekali pandang saja tahulah Cin Hai bahwa
kepandaian gadis muda ini jauh melebihi kepandaian Kwee-ciangkun sendiri.
Gadis ini
mengenakan pakaian yang atasnya berwarna hijau muda sedang bagian bawah
bergaris-garis merah dan putih. Tubuhnya kecil dan ramping, dan wajahnya manis
sekali. Rambutnya dikuncir dua dan rambut itu panjang dan hitam, diikat dengan
sepasang pita merah. Kedua lengan tangannya yang telanjang karena lengan
bajunya hanya sampai di siku, memakai gelang emas yang berkilauan.
Dara manis
ini bertempur melawan seorang perwira Sayap Garuda tingkat satu yang
berkepandaian hebat sekali! Cin Hai menduga-duga, siapa adanya dara jelita yang
walau pun berusia muda tetapi berkepandaian setinggi itu? Dia lalu
memperhatikan lawan gadis itu yang mengenakan baju merah kehitam-hitaman.
Ia menjadi
terkejut karena kepandaian perwira Sayap Garuda tingkat satu ini benar-benar
lihai dan barang kali tidak berada di bawah kepandaian Kanglam Sam-lojin! Ilmu
silatnya model Mongol, yaitu ilmu pukulan yang dicampur dengan ilmu gulat. Dua
lengan tangan perwira baju merah ini merupakan cengkeraman harimau yang
menyerang dengan buas. Gadis manis itu nampak terdesak hebat!
Sebaliknya,
Kwee-ciangkun dengan ilmu silatnya dari cabang Kun-lun, mampu mendesak lawannya
yang hanya menduduki tingkat tiga di kalangan barisan Sayap Garuda. Lambat
tetapi tentu ia mendesak lawannya sehingga pada suatu saat yang baik, ketika
lawannya menggunakan gerakan nekad menubruk hingga berhasil menangkap lengan
tangannya, Kwee-ciangkun cepat memutar lengan dan tubuhnya berada di belakang
tubuh perwira itu.
Sekali saja
ia mengentakkan lengannya yang tertangkap, maka terlepaslah cengkeraman
lawannya sehingga perwira itu pun terhuyung-huyung ke depan. Kwee-ciangkun tak
ingin menyia-nyiakan kesempatan ini dan ia lalu menangkap baju perwira itu di
punggung dan siap melemparkannya!
Pada saat
Kwee-ciangkun berhasil menangkap lawannya, ternyata perwira baju merah itu pun
telah berhasil pula mengalahkan dara itu! Ia menggunakan gerakan Ular Menyambar
dari Bawah Rumput dan berhasil menotok jalan darah dara muda itu dengan
tiam-hoat (ilmu totok) model Mongol akan tetapi cukup lihai hingga berhasil
membuat lawannya tak berdaya! Melihat betapa kawannya telah tertangkap oleh
Kwee-ciangkun, maka Perwira Sayap Garuda kelas satu itu lalu memegang pundak
gadis tadi dan hendak dilarikannya!
“Keparat she
Boan, jangan kau ganggu anakku!” Kwee-ciangkun membentak dan segera melemparkan
perwira yang telah dikalahkannya tadi. Ia pun lantas memburu.
Pada waktu
mendengar betapa Kwee-ciangkun menyebut dara itu sebagai anaknya, Cin Hai yang
mengintai di balik sebatang pohon menjadi tercengang dan memandang lebih
memperhatikan. Maka setelah melihat wajah manis itu teringatlah bahwa gadis itu
bukan lain ia Kwee Lin atau Lin Lin anak perempuan yang dulu diculik oleh Biauw
Suthai!
Hampir saja
Cin Hai berseru memanggil nama Lin Lin karena girangnya. Entah mengapa ketika
melihat wajah Kwee-ciangkun tadi, ia tidak mempunyai niat untuk membantu atau
menjumpainya, akan tetapi kini sesudah tahu bahwa dara muda itu adalah Lin Lin,
anak perempuan yang dahulu sangat jenaka dan nakal itu, timbullah kegembiraan
luar biasa di dalam hatinya.
Untung tadi
ia dapat menahan lidahnya dan kini ia memandang dengan penuh perhatian. Ketika
melihat Kwee-ciangkun bergerak menyerang untuk menolong Lin Lin, perwira baju
merah itu segera mendahului dengan serangan kakinya sehingga Kwee-ciangkun kena
tersapu oleh kaki itu dan tubuhnya terlempar! Ternyata bahwa Kwee-ciangkun
bukanlah lawan perwira yang kosen ini.
“Ha-ha-ha!
Orang she Kwee, aku hendak membawa puterimu, kau mau apa? Kau tolak pinanganku
yang kuajukan dengan halus, baik! Sekarang aku menggunakan cara kasar, lihat,
kau bisa berbuat apa?” Sehabis berkata demikian, ia lalu memondong tubuh Lin
Lin hendak dibawa kabur!
Akan tetapi
tiba-tiba dari balik pohon menyambar tiga buah benda kecil ke arah perwira itu!
Orang she Boan ini memang lihai, maka dia cepat mengelak sambaran pertama yang
mengarah lehernya itu dengan miringkan tubuh ke kiri, akan tetapi benda ke dua
sudah cepat menyambar tepat ke arah pundak kirinya. Hampir saja benda itu
mengenai sasaran akan tetapi perwira ini masih dapat menyelamatkan diri dengan
merendahkan tubuhnya. Sungguh tak pernah diduganya bahwa baru saja tubuhnya
merendah, tanpa dapat dikelit pula benda ke tiga telah menyambar pundak
kanannya!
Dia tidak
merasa sakit karena benda yang menyambarnya itu lunak, akan tetapi karena yang
disambar adalah urat penting di bagian pundaknya, maka lengannya menjadi lemas
kesemutan sehingga dia terpaksa melepaskan tubuh Lin Lin.
Dan pada
saat yang sama, kembali melayang dua benda lunak itu ke arah pundak dan lambung
Lin Lin dan sekaligus Lin Lin terlepas dari totokan perwira itu oleh dua
sambaran benda lunak tadi. Lin Lin yang merasa sudah terbebas cepat melompat ke
samping dan menolong ayahnya yang ternyata mendapat luka ringan di kakinya
karena babatan kaki perwira she Boan itu tadi.
Perwira itu
merasa kaget sekali saat melihat bahwa benda yang menyambarnya hanyalah sebutir
buah kecil bulat yang banyak bergantungan di pohon besar yang ada di depannya
itu, dan dia maklum bahwa tentu ada seorang pandai yang mempermainkannya. Ia
tahu bahwa penyerang itu tentu berada di balik pohon besar, maka sekali ini ia
menggerakkan tubuh, ia telah meloncat ke belakang, pohon itu mencari.
Tetapi aneh,
di sana tidak terdapat seorang pun! Ia celingukan dan mencari-cari dengan
matanya, akan tetapi sia-sia saja. Keadaan di hutan itu sunyi dan tak terdapat
orang lain kecuali mereka berempat!
“Orang she
Kwee!” kata perwira itu marah. “Kali ini aku ampunkan kau, tetapi tunggulah
kedatanganku pada pesta ulang tahunmu untuk memberi selamat!”
Kwee-ciangkun
tidak tahu bahwa gadisnya telah tertolong oleh orang lain dan menyangka bahwa
benar-benar orang she Boan itu berlaku murah, maka ia lalu berkata,
“Boan-enghiong,
kenapa kau masih saja merasa penasaran? Ketahuilah, bahwa anakku ini bukan
jodohmu dan semenjak kecil telah kupertunangkan dengan orang lain!”
“Tidak perlu
merundingkan hal ini sekarang,” jawab perwira itu, ”Nanti saja di pesta ulang
tahunmu. Kita berunding kembali dengan baik-baik.”
Sesudah
berkata demikian, perwira itu mengajak kawannya pergi dari situ dengan cepat.
Kwee In Liang menghela napas dan berkata kepada Lin Lin,
“Baiknya dia
berlaku murah hati dan tidak mau mengganggu kita.”
Lin Lin
memandang kepada ayahnya dan menjawab, “Ayah, kau tidak tahu. Apa bila tidak
ada orang pandai yang membantu, entah bagaimana jadinya dengan kita.”
Ia lalu
menceritakan betapa ia telah dibebaskan dari totokan dengan sambitan dua butir
buah angcho, sedangkan perwira she Boan itu pun sudah kena diserang sambaran
buah angcho yang lihai!
“Sayang,
orang pandai itu menolong dengan sembunyi-sembunyi, agaknya dia tidak mau
berkenalan dengan kita,” kata Lin Lin dengan kecewa, karena sebenarnya dia
ingin sekali melihat siapa orangnya yang demikian lihai.
Mendengar
ucapan puterinya, Kwee In Liang terkejut sekali dan cepat ia berseru dengan
suara keras, “Enghiong yang telah membantu kami, silakan keluar agar kami dapat
menyatakan terima kasih kami!”
Akan tetapi
biar pun telah berkali-kali ia berseru, tak seorang pun muncul atau menjawab.
“Sudahlah,
Ayah. Agaknya dia benar-benar tidak mau bertemu muka dengan kita. Ayah, bangsat
itu agaknya masih merasa penasaran dan dia telah menyatakan hendak datang nanti
pada hari ulang tahunmu. Kurasa dia tidak mempunyai maksud baik, karena itu
kita harus berhati-hati dan berjaga-jaga.”
Kwee In
Liang menghela napas. “Kau benar, memang Boan Sip itu kurang ajar sekali. Tapi
aku masih ragu-ragu apakah ia akan bersikap begitu kurang ajar untuk
menimbulkan gara-gara dan mengacau dalam pestaku.”
”Orang macam
itu mungkin melakukan segala perbuatan busuk, Ayah. Baiknya aku pergi untuk
minta pertolongan Guruku. Akan tetapi, Ayah... apa yang kau maksudkan dengan
kata-katamu tadi bahwa... bahwa aku sudah... dipertunangkan...?” Tiba-tiba
wajah gadis manis itu menjadi merah karena malu.
Ayahnya
tersenyum. Ia memang tahu bahwa anaknya ini selain manja juga suka berkata
terus terang sehingga tidak malu-malu bertanya tentang hal pertunangan.
“Tidak, Lin
Lin, itu hanya alasan kosong untuk mencegah dia mendesak lebih jauh.”
“Ayah,
mengapa kau menggunakan alasan itu? Tidak perlu kiranya kita terlalu takut!”
kata Lin Lin dengan gemas. “Kalau Guruku atau suci-ku dapat kuajak datang
membantu, aku akan mengajar adat kepada bangsat rendah itu!”
Sambil
bercakap-cakap mereka melanjutkan perjalanan keluar dari hutan itu. Pada saat
mereka sampai di luar hutan, tiba-tiba dari jauh mereka melihat seorang pemuda
berjalan mendatangi.
Pemuda itu
berjalan perlahan sambil membawa sebuah bungkusan pakaian yang terbuat dari pada
kain berwarna kuning. Pakaiannya sederhana bagaikan pakaian seorang petani
dengan baju luar yang lebar dan besar. Tubuhnya tinggi tegap dan rambutnya yang
hitam tebal itu diikat dengan kain pita kuning. Jubahnya berwarna biru dan
celananya putih.
Kwee In
Liang memandang pemuda yang datang itu dengan penuh perhatian karena dia
seakan-akan merasa sudah kenal pada pemuda ini, sedangkan Lin Lin hanya
mengerling sekali tanpa perhatian. Akan tetapi, ketika pemuda itu telah berada
di hadapan mereka, tiba-tiba pemuda itu tampak terkejut dan berdiri diam, lalu
ia menjura di hadapan Kwee In Liang sambil berkata,
“Maaf maaf!
Bukankah aku sedang berhadapan dengan Kwee-ciangkun?”
Kwee In
Liang memandang tajam. Juga Lin Lin kini memandang penuh perhatian kepada pemuda
ini.
“Betul, aku
adalah Kwee In Liang, dan siapakah Tuan yang telah mengenal padaku?”
Tiba-tiba
pemuda itu melepaskan buntalan pakaiannya kemudian memberi hormat sambil
menjura, “Ie-thio, terimalah hormatku. Aku yang rendah adalah Cin Hai!”
“Cin Hai...
?” Kwee In Liang berseru terkejut, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar
dingin.
“Engko
Hai...!” Lin Lin berteriak girang sekali. “Ehh, kau sekarang tidak gundul
lagi!”
Mendengar
kata-kata yang lucu ini, Cin Hai memandang dan ia tidak dapat menahan geli
hatinya sehingga dia tertawa gembira. Juga Lin Lin tertawa senang sambil
memandang dengan sepasang matanya yang bening dan indah seperti mata burung
Hong itu.
“Engko Hai,
bertahun-tahun ini kau pergi ke mana saja?” tanya Lin Lin.
“Aku... aku
hanya merantau tak tentu arah tujuan. Bagaimana Ie-thio, apakah selama ini
Ie-thio dan seluruh keluarga baik-baik saja? Harap Ie-thio sudi memaafkan aku
yang telah lama tidak dapat menghadap.”
“Tidak apa,
tidak apa-apa. Cin Hai, kau sekarang sudah besar dan dewasa. Agaknya kau telah
mendapatkan banyak kemajuan, syukurlah.” kata-kata ini amat sederhana sehingga
Cin Hai maklum bahwa pamannya ini masih saja tidak suka kepadanya, maka dia pun
tidak banyak bicara, hanya berkata singkat,
“Sebenarnya,
aku pun hendak pergi ke Tiang-an dan mengunjungi Ie-ie. Apakah ia dalam keadaan
baik-baik saja?”
“Dia sehat
dan selalu merindukanmu, Engko Hai. Tetapi, kami sekarang tidak lagi tinggal di
Tiang-an, telah hampir tiga tahun Ayah pindah ke Sam-hwa-bun. Tahukah kau,
Engko Hai? Ayah sekarang tidak menjabat pangkat lagi dan kini kami telah
menjadi orang-orang biasa yang hidup sebagai petani!”
Berita ini
betul-betul tak terduga oleh Cin Hai. Ia memandang kepada Ie-thio-nya dengan
mata terbelalak dan mengandung penuh pertanyaan. Akan tetapi, Kwee In Liang
malah menegur puterinya.
“Lin Lin,
hal itu tak perlu kita bicarakan di sini. Cin Hai, sekarang kau hendak ke
mana?”
Ucapan ini
bukanlah merupakan sebuah undangan, karena itu Cin Hai juga tidak hendak
merendahkan diri sehingga dia menjawab, “Aku hendak pergi ke Tiang-an, akan
tetapi karena Ie-thio tidak tinggal di sana lagi, aku... aku akan melanjutkan
perantauanku...”
“Ehh,
Hai-ko, kau harus mengunjungi kami. Alangkah akan girangnya hati lbu!” Memang
anak-anak Kwee In Liang semua menyebut ibu kepada Loan Nio bibi Cin Hai.
Karena tiada
ucapan dari orang tua itu yang mengundangnya, Cin Hai hanya menjawab sederhana,
“Baiklah, Adik Lin. Kalau kebetulan aku lewat di Sam-hwa-bun tentu aku akan
mampir.”
“Kebetulan?
Ah, Engko Hai, apakah kau betul-betul telah melupakan Bibimu, melupakan kami?
Oh, ya! Nanti pada hari ke lima belas bulan ini, jadi sepuluh hari lagi, kami
akan mengadakan sedikit perayaan untuk memperingati hari ulang tahun ayah yang
ke enam puluh. Kau harus datang menghadiri pesta itu, Engko Hai!”
“Apakah ini
merupakan sebuah undangan?” tanya Cin Hai sambil memandang kepada Kwee In Liang
sehingga terpaksa orang tua ini berkata,
“Benar, Cin
Hai, kau datanglah. Bibimu telah lama mengenangmu. Lin Lin, sudahlah kita
jangan mengganggu Cin Hai lebih lama lagi! Ia tentu mempunyai keperluan
penting. Hayo kita pergi!”
Maka
berpisahlah mereka, tetapi sekali lagi Lin Lin berpaling sambil berkata
keras-keras, “Engko Hai, jangan lupa hari ke lima belas, dan... kau masih
pandai bersuling, bukan? Jangan lupa bawa serta sulingmu!”
Setelah
mereka pergi jauh, Cin Hai duduk di bawah pohon sambil mengenangkan kedua orang
tadi. Jelas bahwa Kwee In Liang masih mempunyai perasaan tidak suka padanya.
Sikap orang tua itu sungguh dingin hingga ia segan sekali untuk mengunjungi
rumahnya.
Akan tetapi
Lin Lin mendatangkan perasaan gembira dan hangat di dalam dadanya. Dara itu
sekarang sungguh cantik jelita dan manis sekali! Dan sikapnya masih sama
seperti dulu. Lincah, jenaka dan gembira. Alangkah indahnya mata gadis itu.
Dan
kepandaiannya juga tidak rendah. Pantas Lin Lin menjadi murid Biauw Suthai yang
lihai. Diam-diam ia bersyukur dan girang sekali melihat bahwa gadis itu telah
mewarisi kepandaian yang tinggi.
Haruskah ia
datang pada hari ke lima belas nanti? Sikap Kwee In Liang demikian dingin, apa
lagi nanti sikap Kwee Tiong dan yang lain-lain. Bagaimana kalau ia tidak
dilayani dan dianggap sepi?
Akan tetapi,
ia harus melihat ie-ie-nya yang sudah lama ia rindukan. Biarlah, biar mereka
menghina atau menganggap rendah kepadanya, karena dia tidak butuh dengan
mereka. Di sana masih ada bibinya, juga ada Lin Lin yang tentu akan menyambut
kedatangannya dengah tamah. Dan yang lebih penting pula, pada hari ke lima
belas itu, Lin Lin terancam bahaya!
Perwira she
Boan itu akan datang mengacau dan melihat kepandaian perwira itu tadi, agaknya
sukar bagi Lin Lin untuk menyelamatkan diri. Dia harus datang, dan hanya akan
melihat-lihat saja dulu. Kalau Lin Lin berhasil memperoleh bantuan gurunya dan
lain-lain orang pandai, dia hanya akan menjadi penonton saja. Akan tetapi apa
bila sampai gadis manis itu terancam bahaya, mau tidak mau dia terpaksa harus
turun tangan!
Cin Hai lalu
berdiri dan melanjutkan perjalanannya. Ia merasa heran sekali kenapa wajah Lin
Lin yang manis itu selalu membuat ia tersenyum gembira. Akan tetapi, pada saat
dia teringat akan kata-kata Kwee In Liang bahwa Lin Lin sudah ditunangkan
dengan pemuda lain, tiba-tiba ia merasa kecewa dan tidak senang, heran sekali!
Diam-diam
Cin Hai menegur perasaannya sendiri yang tidak layak ini. Seharusnya ia ikut
gembira mendengar akan pertunangan Lin Lin, mengapa ia harus merasa tidak
senang? Ada hak apakah dia? Pikiran ini membuat hatinya menjadi dingin kemudian
dia berusaha sekuatnya untuk mengusir bayangan wajah Lin Lin dari pikirannya,
akan tetapi dia tidak berhasil!
Dia lalu
melayangkan pikirannya kepada Ang I Niocu. Telah tiga tahun dia tidak bertemu
dengan Dara Baju Merah yang telah berlaku baik sekali kepadanya itu. Ia rindu
kepada Ang I Niocu dan ingin sekali bertemu kembali. Bu Pun Su dulu menyuruh
Ang I Niocu mencari suci-nya, yaitu Kim Lian atau yang dijuluki Giok-gan Kuibo
Si Biang Iblis Bermata Intan.
Hari ke lima
belas masih sepuluh hari lagi dan selama sepuluh hari itu dia akan mencoba
mencari Ang I Niocu. Dia masih ingat bahwa Ang I Niocu disuruh pergi ke
Lok-bin-si, sebuah kota yang letaknya tidak jauh dari situ. Untuk pergi ke sana
pulang pergi, paling lama hanya membutuhkan waktu lima hari, masih ada waktu
baginya.
Maka, dengan
hati tetap Cin Hai lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke Lok-bin-si, yaitu
sebuah kota di lereng pegunungan yang banyak hutannya.
***************
Setelah
menerima perintah dari Susiok-couw-nya, Ang I Niocu pergi mencari suci-nya ke
Lok-bin-si. Akan tetapi, ketika ia tiba di situ, ia mendengar bahwa Giok-gan Kui-bo
telah lama pergi meninggalkan daerah itu dan kabarnya merantau ke arah barat.
Sebenarnya
Ang I Niocu ingin lekas-lekas kembali ke Goa Tengkorak karena semenjak
meninggalkan tempat itu, hatinya tertinggal di sana bersama Cin Hai, pemuda
yang telah merebut seluruh isi hatinya itu. Akan tetapi ia tidak berani kembali
dan bertemu dengan susiok-couw-nya sebelum bertemu dengan suci-nya. Ia maklum
bahwa susiok-couw-nya itu sangat bengis, keras dalam hal memberi tugas. Sebelum
tugas itu diselesaikan, maka ia tidak boleh kembali membuat laporan. Oleh
karena ini, dia segera menyusul ke barat, mencari suci-nya.
Daerah barat
sangat luas sehingga tak mudah mencari seorang yang tidak diketahui jelas di
mana tinggalnya, biar pun orang itu begitu terkenal seperti Giok-gan Kui-bo
sekali pun! Oleh karena ini maka Ang I Niocu merantau sampai dua tahun lebih
belum juga dapat bertemu dengan Giok-gan Kui-bo. Hatinya bingung dan sedih
sekali.
Ia merasa
amat rindu kepada Cin Hai, akan tetapi apa dayanya? Pemuda itu sekarang berada
dengan susiok-couw-nya dan dia sekali-kali tidak berani menghadap Bu Pun Su
sebelum tugasnya selesai.
Oleh karena
memang berwatak baik, di sepanjang jalan Ang I Niocu tiada hentinya selalu
mengulurkan tangan menggunakan kepandaiannya untuk menolong mereka yang sedang
menderita, membela kaum tertindas serta membasmi para penjahat yang mengganas.
Maka di daerah barat namanya pun menjadi terkenal sekali.
Setelah dia
tiba di sebuah kota yang disebut Bok-chiu, akhirnya dia mendapat keterangan
tentang nama suci-nya. Kiranya suci-nya terkenal sekali di kota ini sebab
dengan seorang diri saja Giok-gan Kui-bo telah menghajar habis-habisan pada
kawanan Piauwsu Harimau Kuning yang terkenal sekali di kota Bok-chiu.
Pertempuran
ini terjadi pada saat para piauwsu itu bermusuhan dengan seorang piauwsu baru
yang belum lama membuka perusahaan piauwkiok (kantor pengirim barang) di kota
itu. Memang Oei-houw Piauwkiok terkenal mempunyai barisan yang terdiri dari
jago-jago silat berkepandaian tinggi dan karenanya ditakuti oleh semua orang di
kota itu. Juga para penjahat dan perampok yang biasa mencegat di hutan-hutan
dan gunung-gunung apa bila melihat bendera warna kuning dengan gambar kepala
harimau, tidak ada yang berani mengganggu.
Akan tetapi
Oei-houw Piauwkiok memasang tarip terlalu tinggi untuk biaya pengiriman dan
pengawalan barang. Oleh karena itu, pada waktu piauwsu yang baru itu membuka
perusahaannya, para saudagar yang hendak mengirimkan barang mulai mempercayakan
barang-barangnya kepada piauwsu yang bernama Ong Hu Lin itu. Hal ini membuat
para piauwsu dari Oei-houw Piauwkiok menjadi marah sekali dan terjadilah
permusuhan.
Ong Hu Lin
ialah seorang piauwsu yang masih muda dan berwajah tampan. Ilmu silatnya
lumayan juga dan ia mempunyai ilmu golok yang lihai. Almarhum ayahnya juga
seorang piauwsu yang ternama di daerah barat dan dia hanya menggantikan
kedudukan ayahnya oleh karena tidak dapat mencari pekerjaan lain. Dengan
mengandalkan kepandaiannya, dia lalu mencari nafkah dengan mengawal
barang-barang berharga dan mendapat upah sekedarnya.
Pada suatu
hari, Ong Hu Lin mendapat kepercayaan dari hartawan Lui untuk mengawal kiriman
segerobak cita yang amat mahal harganya. Ketika melalui sebuah hutan, tiba-tiba
dia diganggu oleh kawanan perampok yang terdiri dari belasan orang.
Ong Hu Lin
menghadapi kepala rampok itu dan berkata, “Sahabat, harap kalian jangan
mengganggu aku yang sedang mencari nafkah. Kalau kalian menghargai persahabatan,
maka sepulangku dari tempat ke mana barang ini harus kukirim, aku akan singgah
untuk memberi hormat dan akan membawa sekedar barang hadiah sebagai tanda
hormatku.”
Akan tetapi
Ong Hu Lin sama sekali tidak tahu bahwa perampok-perampok itu bukan lain adalah
kaki tangan para piauwsu di Oei-houw Piauwkiok yang sengaja menyewa tenaga
mereka untuk mengganggu Ong Hu Lin. Maka tentu saja kata-katanya itu
ditertawakan saja oleh kawanan perampok, dan kepala perampok yang tinggi besar
itu membentak,
“Piauwsu hijau
jangan banyak cakap. Tinggalkan semua barang-barang ini di sini dan kau
pergilah kalau kau sayangi jiwamu. Orang macam kau tidak pantas menjadi piawsu,
dan lebih baik kau tutup saja perusahaanmu itu! Ha-ha-ha!”
Ong Hu Lin
marah sekali. Dicabutnya golok yang tergantung di pinggangnya dan dia lalu
dikeroyok. Akan tetapi, ternyata bahwa kepandaian Ong-piauwsu cukup tangguh
hingga tak lama kemudian beberapa orang anggota perampok telah roboh mandi
darah. Dengan ilmu goloknya yang lihai ia dapat mendesak sekalian perampok itu.
Pada saat
itu mendadak muncul tiga orang yang membantu para perampok mengeroyok
Ong-piauwsu dan mereka ini bukan lain adalah para piauwsu dari Oei-houw
Piauwkiok! Ternyata kepandaian ketiga orang piauwsu ini lihai juga dan sebentar
saja Ong-piauwsu terdesak hebat dan jiwanya terancam.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment