Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 23
DUA hari
kemudian, sampailah ia di Lan-couw, ibu kota Kansu. Ketika dia sampai di luar
tembok kota, dia melihat ada sebuah rumah terpencil di pinggir jalan. Tadinya
dia hendak melewatinya saja, akan tetapi, tiba-tiba dia dapat melihat bayangan
beberapa orang Turki berkelebat di rumah itu, maka ia menjadi tertarik dan
segera melompat pula menghampiri pondok itu. Ketika dia sampai di dekat jendela
pondok yang terbuka, ia mendengar suara orang bicara.
Pada saat
itu dia mengalami dua macam hal yang sangat mengejutkan hatinya, bahkan membuat
wajahnya menjadi pucat. Yang pertama adalah suara yang keluar dari dalam pondok
itu! Jelas terdengar olehnya ada dua orang, seorang laki-laki dan seorang
wanita, sedang bicara dan suara wanita itu mengingatkan ia kepada Ang I Niocu!
Hal kedua
yang mengejutkan hatinya ialah ketika mendapat kenyataan bahwa rumah itu
berikut dirinya, telah dikurung dari segenap penjuru oleh orang-orang Turki
yang dipimpin oleh Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin, bahkan Si Nenek Bongkok Siok
Kwat Moli juga ikut kelihatan bayangannya!
Akan tetapi
dia tak mempedulikan hal yang ke dua ini, yang lebih menarik hatinya adalah
suara wanita itu. Dia mendekatkan telinganya pada jendela dan mendengar suara
wanita itu berkata dengan suara yang tandas dan nyaring, akan tetapi merdu,
“Jangan kau
ulangi lagi ucapanmu tadi!”
“Lihiap...
tidak kasihankah kau padaku? Biarlah kau boleh menjadi marah dan boleh pula
membunuhku, akan tetapi aku harus selalu mengulangi pernyataanku tadi. Memang
aku cinta kepadamu, Lihiap! Apa dayaku? Aku adalah seorang berdosa besar yang
tadinya sudah hendak mengasingkan diri dan menyucikan diri untuk menebus dosa.
Akan tetapi, semenjak aku melihat wajahmu, timbul kegembiraan hidupku. Lihiap,
mungkin di dunia ini tak ada orang yang mencintaimu seperti aku!” terdengar
suara seorang laki-laki berkata.
“Cukup,
tutup mulutmu! Untuk ucapan ini saja, apa bila aku tidak ingat bahwa kau pernah
menolongku, dan tidak ingat bahwa kau mengingatkan aku akan seseorang yang
sangat kuhargai, tentu sekarang juga sudah kucabut pedangku untuk menebas
batang lehermu!”
“Lihiap,
kalau aku melawan, belum tentu kau akan dapat menang, akan tetapi, aku tidak
sampai hati mengangkat tangan melawanmu. Kau boleh perlakukan aku sesuka
hatimu, akan tetapi kasihanilah aku dan janganlah kausia-siakan cinta kasihku!”
Cin Hai tak
dapat menahan lagi gelora hatinya oleh karena ia tak ragu-ragu lagi bahwa itu
adalah suara Ang I Niocu! Ia cepat membuka daun jendela dan memandang ke dalam.
Benar saja, yang berada di dalam pondok itu adalah Ang I Niocu dan seorang
laki-laki. Ang I Niocu berdiri tegak dengan tangan kanan di gagang pedangnya
sedangkan laki-laki itu berlutut di depannya!
“Niocu...!”
Cin Hai berteriak dengan wajah pucat dan bibir menggigil karena masih belum
percaya bahwa dara yang baju merah itu benar-benar Ang I Niocu!
Dara Baju
Merah itu berpaling cepat dan mulutnya tersenyum girang ketika ia melihat Cin
Hai. “Hai-Ji...!” serunya dengan suara menggetar, lalu tubuhnya melompat keluar
jendela.
Mereka
berdiri berhadapan, sedangkan Cin Hai memandang dengan mata terbelalak.
“Niocu...
Niocu... benar-benarkah kau ini... apakah aku tidak sedang bermimpi...?” Sambil
berkata demikian, air mata mengalir ke atas kedua pipi Cin Hai.
Ang I Niocu
memegang kedua tangan Cin Hai. “Hai-ji... tidak, kau tidak sedang dalam mimpi.
Aku betul Kiang Im Giok yang telah terlepas dari bencana di Pulau Kim-san-to.”
Saking
girangnya, ingin Cin Hai memeluk dara ini, akan tetapi sebaliknya pemuda ini
lalu menjatuhkan diri berlutut. Ang Niocu mengangkat bangun padanya lalu sambil
menaruh kedua tangan pada pundak pemuda itu, dan air mata berlinang di bulu
matanya, Ang I Niocu berkata sambil tersenyum penuh keharuan hati dan
kegirangan,
“Hai-ji, kau
benar-benar sudah dewasa sekarang. Bahkan kau juga telah nampak masak. Di mana
Lin Lin?”
“Dia ikut
belajar silat dengan Suhu.”
Ang I Niocu
mengangguk girang, dan sebelum ia melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba dari
jendela itu berkelebat bayangan Ban Leng yang langsung mengayun rebabnya ke
atas kepala Cin Hai. Cin Hai berkelit cepat dan sekarang barulah dia mengenali
laki-laki ini sebagai orang yang dulu pernah pula menyerangnya di tepi Sungai
Huangho.
”Eh, eh,
tunggu dulu, kawan!” teriaknya dengan marah dan heran.
Sedangkan
Ang I Niocu membentak pula, “Saudara Sie Ban Leng, jangan kau sembarangan turun
tangan!”
Bukan main
terkejut hati Cin Hai mendengar nama ini hingga ia tertegun bagaikan patung dan
memandang ke arah pamannya itu dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Jadi
inilah paman Sie Ban Leng yang dulu mengkhianati ayah bundanya?
Akan tetapi,
sebelum ia sempat membuka mulut, tiba-tiba orang-orang Turki yang tadi ia
lihat, telah mendatangi dengan cepat dan mengurung rumah itu! Sie Ban Leng
terkejut sekali dan tiba-tiba saja ia bersuit keras memberi tanda kepada
kawan-kawannya, lalu ia sendiri tanpa banyak cakap lalu memutar-mutar rebabnya
menyerang Wai Sauw Pu.
Wai Sauw Pu
menggerakkan tasbehnya dan berkata dengan marah, “Tangkap tiga tikus ini!”
Maka majulah
semua orang Turki mengeroyok, sehingga Ang I Niocu segera mencabut pedangnya
dan Cin Hai juga langsung menggerakkan sulingnya, bertempur menghadapi sekian
banyaknya pengeroyok di dekat Ang I Niocu.
Tidak lama
kemudian, datanglah kawan-kawan Sie Ban Leng, yaitu perwira-perwira yang
menyamar. Bahkan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu muncul pula hingga sebentar
saja terjadi pertempuran hebat antara orang-orang kaisar melawan orang-orang
Turki.
“Niocu,
sebenarnya mereka ini datang hendak menangkap aku!” Cin Hai berkata sambil
menangkis serangan lawan yang sekarang tidak begitu rapat lagi karena datangnya
bala bantuan.
“Mengapa?”
tanya Ang I Niocu sambil mengirim tendangan kepada seorang pengeroyok hingga
orang yang tertendang itu terguling dan tak dapat bangun pula.
“Karena aku
membawa sebuah tutup cawan perak yang tidak berharga!” jawab Cin Hai sambil
tertawa. Akan tetapi mendengar jawaban ini, tiba-tiba Ang I Niocu memandangnya
dengan mata terbelalak.
“Tutup cawan
perak yang berukir di atasnya?” tanyanya.
“Betul,”
jawab Cin Hai sambil memandang heran. “Bagaimana kau bisa tahu?”
“Hai-ji,
cepat! Mari kita keluar dari kepungan ini! Saat yang baik kita pergunakan.
Selagi mereka bertempur, kita boleh bekerja cepat!”
Meski pun
tidak mengerti akan maksud gadis itu, namun Cin Hai lalu memutar sulingnya dan
dengan cepat lalu mengikuti Ang I Niocu yang sudah melompat keluar dari
kalangan pertempuran, lalu keduanya lari cepat memasuki kota Lan-couw.
Ternyata Ang
I Niocu telah membawanya menuju ke Goa Tun-huang yang beratus-ratus banyaknya
itu.
“Coba kau
keluarkan tutup cawan itu, Hai-ji,” kata Ang I Niocu.
Pada saat
Cin Hai membuka bungkusan tutup cawan dan memberikannya kepada gadis itu, Ang I
Niocu juga mengeluarkan sebuah cawan dan ternyata bahwa tutup itu memang pas
betul. Ketika tutup cawan itu dipasang di atas cawan, Ang I Niocu memperhatikan
gambar ukirannya dengan seksama. Tiba-tiba wajahnya berseri-seri, dan ia
berkata,
“Goa ke tiga
puluh enam dari kiri! Hayo Cin Hai, jangan membuang waktu!”
Sambil
berlari-lari mencari goa ke tiga puluh enam dari kiri Cin Hai tak tahan lagi
untuk tidak bertanya tentang rahasia cawan dan tutupnya.
“Ketahuilah
bahwa sepasang cawan dan tutupnya ini merupakan peta yang menunjukkan kita ke
arah tempat penyimpanan harta pusaka terpendam yang berada di dalam goa-goa
ini.”
Cin Hai
makin terheran dan ia segera berkata, “Niocu, aku pun mendapat tugas dari Suhu
untuk mencari sepasang pedang, yaitu Liong-cu-kiam yang katanya tersimpan di
dalam salah satu goa-goa di Tun-huang ini.”
“Nah,
itulah,” kata Ang I Niocu girang. “Dan selain sepasang pedang itu, masih
terdapat harta yang luar biasa banyaknya!”
Cin Hai
hendak bertanya lagi, akan tetapi mereka telah tiba di goa ke tiga puluh enam
itu dan segera mereka masuk ke dalam goa yang besar itu.
“Mari kita
memeriksa kalau-kalau ada terowongan atau pintu tembusan lain!” kata Ang I
Niocu.
Keduanya
lalu memeriksa seluruh lantai dan dinding goa yang penuh dengan ukiran dan
batu-batu berupa patung-patung Buddha, akan tetapi mereka tidak mendapatkan
sesuatu yang mencurigakan. Mereka sudah mendorong-dorong dinding dan
membersihkan lantai, juga memeriksa dengan amat teliti, akan tetapi hasilnya
nihil.
Cin Hai
menjadi hilang sabar. Dia lalu duduk mengaso dan berkata kepada Ang I Niocu
yang masih mencari-cari.
“Niocu,
untuk apakah tergesa-gesa? Marilah kita duduk bercakap-cakap dahulu dan kau
ceritakan semua pengalamanmu. Aku ingin sekali mendengar dan juga kau tentu
ingin mendengar pengalamanku semenjak berpisah.”
“Nanti saja,
Hai-ji, orang-orang Mongol dan Turki serta orang-orang kaisar juga mencari
harta pusaka ini. Kalau mereka tahu kita berada di sini tentu mereka akan
segera datang menyerbu,” kata Ang I Niocu sambil masih melanjutkan memeriksa
kanan kiri. “Tentang pengalamanmu, sebagian banyak aku sudah mendengar dari
Kwee An dan Ma Hoa.”
“Apa?!” Cin
Hai melompat memegang lengannya. “Kau sudah bertemu dengan mereka? Masih
hidupkah mereka?”
Ang I Niocu
tersenyum manis sambil memandangnya. “Kalau mereka sudah meninggal, bagaimana
aku dapat bertemu dengan mereka?”
Bukan main
girang hati Cin Hai mendengar warta ini. “Aduh, betapa mulia dan besarnya hari
ini!” dia berkata sambil memandang ke atas seakan-akan berdoa dan memuji nama
Thian Yang Agung. “Melihat Niocu masih hidup, juga mendengar Ma Hoa dan Kwee An
selamat…”
Tiba-tiba
saja dia melompat bangun dan berkata, “Niocu kita sudah memeriksa lantai dan
dinding, mengapa kita lupakan yang di atas?”
“Apa
maksudmu?” tanya Ang I Niocu heran.
“Langit-langit
itu,” kata Cin Hai sambil menuding ke atas, “Siapa tahu kalau-kalau di situ
letak rahasia yang kita cari?”
Ang I Niocu
berseri dan pada wajahnya yang cantik timbul harapan baru. Mereka segera
memeriksa lagi dengan lebih teliti dan akhirnya mereka harus memeriksa cawan
itu lagi dengan segala ukirannya. Setelah memeriksa sampai mata mereka terasa
pedas, pada akhirnya mereka mendapatkan sebuah lukisan pada tutup cawan itu
yaitu lukisan patung Buddha yang duduk bersila.
“Ahh, aku
tadi pernah melihat lukisan ini!” kata Cin Hai dan ia bersama Ang I Niocu mulai
mencari-cari kembali dan memeriksa seluruh ukiran yang berada pada
langit-langit dan di dinding.
“Itulah
dia!” kata Ang I Niocu sambil menunjuk ke atas.
Benar saja,
pada ujung kiri dari langit-langit goa ini, terdapat sebuah lukisan yang serupa
benar dengan ukiran pada kepala cawan itu, yakni sebuah patung Buddha yang
duduk bersila. Mereka lalu meneliti cawan itu lagi, oleh karena masih belum
tahu apa maksud persamaan ukiran ini. Dan tahulah mereka kini.
Meski pun
ukiran itu campur aduk, akan tetapi apa bila diteliti melihatnya, ternyata
bahwa ada setangkai bunga yang menghubungkan Patung Buddha itu ke bawah. Mereka
lalu mencari tangkai bunga ini pada dinding goa dan akhirnya mereka dapat
menemukannya. Dari ukiran di atas itu terdapat ukiran bunga yang terus menuju
ke bawah dan berakhir pada punggung sebuah batu yang berdiri di dekat dinding.
“Jangan-jangan
inilah rahasianya!” kata Cin Hai sambil memutar-mutar patung itu, akan tetapi
biar pun tidak berapa besar, ternyata patung itu berat sekali.
“Niocu,
marilah kita pindahkan patung yang berat ini, siapa tahu kalau-kalau di
bawahnya terdapat pintu rahasia!” Ang I Niocu kemudian membantu dan dengan
persatuan tenaga mereka, terangkatlah patung itu.
“Awas!”
tiba-tiba Ang I Niocu berseru.
Mereka
segera menurunkan kembali patung itu dan cepat melompat mundur karena dari atas
tiba-tiba terbuka sebuah lubang di atas itu! Ternyata bahwa patung ini
dipasangi tali baja yang menghubungkan patung itu dengan sebuah pintu di
langit-langit goa. Tali baja ini tidak dapat dilihat oleh karena dipasang di
sebelah dalam dinding batu yang sengaja dibuat oleh orang-orang kuno untuk
menutupi rahasia ini.
Begitu pintu
pada langit-langit terbuka, dari lubang di balik pintu itu segera meluncur
turun sebuah barang. Cin Hai dan Ang I Niocu sangat terkejut, dan cepat bukan
main keduanya sudah melompat ke belakang sambil bersiap menghadapi segala
serangan. Akan tetapi serangan itu tidak pernah datang, yang terjadi adalah
tiba-tiba terdengar suara keras saat barang yang tadi meluncur turun, yang
ternyata ialah sebuah peti, jatuh menimpa lantai.
Ang I Niocu
dan Cin Hai merasa terkejut sekali akan tetapi juga girang. Mereka berdua
saling pandang sambil tersenyum dan walau pun hati mereka sangat ingin membuka
peti itu, akan tetapi mereka masih berdebar-debar maka untuk beberapa lama
mereka hanya berdiri saja.
“Niocu, hayo
kita buka peti itu. Siapa tahu di dalamnya penuh dengan emas permata!”
“Jangan-jangan
terisi binatang beracun. Bagaimana kalau ada ular berbisa di dalamnya?” kata
Ang I Niocu sambil tertawa.
Keduanya
lalu maju dan bersama-sama membuka tutup peti itu dan mereka tercengang sekali.
Pada saat tutup peti itu dibuka, nampaklah sinar cahaya yang berkilauan
gemilang keluar dari dalam peti dan ketika mereka sudah membiasakan mata mereka
yang tadinya menjadi kesilauan, mereka melihat bahwa peti kecil itu berisikan
dua batang pedang yang indah sekali dan yang mengeluarkan cahaya berkilauan!
“Ah, inilah
Liong-cu-kiam!” kata Cin Hai dan Ang I Niocu mengangguk.
“Agaknya
benar juga, inilah pedang yang dimaksudkan oleh Susiok-couw Bu Pun Su itu!”
Otomatis
mereka lalu mengulurkan tangan dan tanpa disengaja mereka telah mengambil
pedang yang sesuai dengan mereka. Cin Hai mengambil pedang yang lebih panjang
dan yang pada gagangnya selain tertulis nama pedang itu, yaitu Liong-cu-kiam,
juga terdapat huruf ‘jantan’, sedangkan pedang yang terambil oleh Ang I Niocu
terdapat huruf ‘betina’!
“Bagaimana
Niocu? Harus kita apakan pedang ini?”
“Ehh, anak
bodoh!” kata Ang I Niocu dan wajah Cin Hai menjadi merah berseri karena sudah
lama dia rindu akan sebutan ini yang keluar dari mulut Ang I Niocu. “Tentu saja
dua pedang ini kita serahkan kepada Susiok-couw! Akan tetapi sementara ini
biarlah kita membawa pedang ini seorang satu.”
“Niocu,
lubang di atas itu besar dan gelap, mungkin di sanalah tersimpannya harta yang
kau sebutkan itu.”
Keduanya
lalu berdiri dan memandang ka atas, akan tetapi karena lubang itu benar-benar
gelap menghitam, mereka tidak melihat sesuatu.
“Marilah
kita periksa ke atas, biarkan aku memasukinya,” kata Cin Hai, akan tetapi pada
saat itu di luar terdengar banyak suara kaki orang.
“Hai-ji,
lekas kita kembalikan patung itu!” Keduanya lalu mengangkat kembali patung tadi
ke tempat semula dan aneh! Lubang itu tertutup dengan sendirinya dari atas!
Cin Hai
sudah hendak berlari keluar, akan tetapi tiba-tiba tangan Ang I Niocu memegang
lengannya, “Jangan keluar dulu, mungkin kalau terlihat oleh mereka, akan
menimbulkan kecurigaan!”
Keduanya
segera bersembunyi sambil mengintai dari dalam goa dan setelah rombongan orang
yang terdengar bunyi kakinya itu lewat, Ang I Niocu dan Cin Hai cepat melompat
keluar dari dalam goa dengan pedang Liong-cu-kiam di tangan.
Sesudah tiba
di luar goa, keduanya memandang kepada pedang masing-masing dengan amat kagum
oleh karena setelah berada di tempat terang ternyata sepasang pedang ini
mengeluarkan cahaya yang amat indahnya. Sinar matahari yang menimpa mata
pedang, terpantul kembali menimbulkan berbagai warna pada sinar pedang itu
hingga keduanya selain merasa kagum, juga merasa girang sekali.
“Lebih baik
kita simpan pedang ini, apa bila terlihat orang akan menimbulkan keheranan,”
kata Ang I Niocu dan keduanya lalu menyimpan pedang itu di dalam baju
masing-masing.
“Sekarang
tiba waktunya bagimu untuk menceritakan segala pengalamanmu, Niocu. Aku sudah
amat ingin mendengarkannya,” Cin Hai berkata sambil duduk di atas sebuah batu
yang besar.
Ang I Niocu
duduk di dekatnya dan mulai bercerita tentang segala hal yang dialaminya. Akan
tetapi dia masih merasa malu untuk menceritakan tentang pertunangannya dengan
Lie Kong Sian. Pada saat dia menceritakan pertemuannya dengan Sie Ban Leng, Cin
Hai berkata,
“Dia itu
adalah pamanku sendiri yang telah mengkhianati Ayah Bundaku.”
Terkejutlah
hati Ang I Niocu mendengar ucapan ini. “Ahh, pantas saja ada persamaan pada
mukanya dan mukamu. Hayo, kau sekarang ceritakan pengalamanmu!”
Cin Hai lalu
menceritakan semua pengalamannya pula, dan ketika pemuda itu bercerita tentang
pertandingannya melawan Song Kun.
Ang I Niocu
tanpa terasa ia berseru, “Ah, Song Kun itu adalah Sute-mu yang jahat!”
“Sute
siapa?” tanya Cin Hai terheran.
Tiba-tiba
wajah Ang I Niocu menjadi merah. “Sute dia… ehhh, penolongku itu, Lie Kong
Sian. Mereka berdua adalah murid-murid dari Han Le Sianjin, adik seperguruan
Susiok-couw!”
Akhirnya,
mengertilah Cin Hai dan ia berkata, “Menurut Suhu Bu Pun Su, pedang yang dapat
menghadapi pedang Song Kun yang jahat itu hanyalah pedang Liong-cu-kiam ini.
Sekarang pedang ini sudah kupegang, maka aku tidak takut lagi menghadapi dia!”
“Jangan
kuatir, Hai-ji, aku pun bersedia membantumu untuk merobohkan dia itu, biar pun
kepandaianku jauh berada di bawah tingkat kepandaianmu!”
“Ahh, jangan
kau terlampau merendahkan diri, Niocu.”
Kemudian,
Ang I Niocu lalu minta pada Cin Hai agar supaya pemuda ini memperlihatkan ilmu
pedang yang dahulu diciptakan atas bantuannya. Dengan suka hati Cin Hai segera
mengeluarkan pedang Liong-cu-kiam, lantas mulai bersilat sehingga Ang I Niocu
menjadi kagum sekali.
“Ahh,
kepandaianmu makin maju saja,” katanya. ”Sungguh aku merasa gembira melihat
kawan-kawan mendapat kemajuan hebat. Terutama sekali yang sekarang menerima
ilmu silat luar biasa adalah Ma Hoa. Ia sungguh lihai sekali dan permainannya
bambu runcing benar-benar mengagumkan,”
“Tak
disangka bahwa Ma Hoa yang tadinya terjerumus ke dalam tebing yang demikian
tinggi, tidak saja selamat, bahkan menerima pelajaran ilmu silat tinggi.
Sungguh nasib orang tidak tentu. Akan tetapi, selain Ma Hoa, Lin Lin juga
bernasib baik oleh karena kini ia mendapat gemblengan dari Suhu.” Ketika
membicarakan hal kekasihnya ini, wajah Cin Hai berseri dan matanya bersinar.
“Hai-ji
demikian besar kasih sayangmu pada Lin Lin,” kata Ang I Niocu sambil tersenyum,
“dan aku percaya bahwa cinta kasih gadis itu kepadamu tidak kalah besarnya. Aku
girang sekali melihat kau bahagia, Hai-ji.”
Cin Hai
merasa terharu sekali karena teringat akan pengorbanan Ang I Niocu di Pulau
Kim-san-to demi kebahagiaannya dan Lin Lin.
Dengan mesra
dan suara penuh harapan, Cin Hai memandang Ang I Niocu dan berkata, “Niocu,
memang hatimu mulia sekali. Kudoakan sepenuh hatiku semoga kau pun akan
dikaruniai kebahagiaan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan mendapatkan seorang jodoh
yang baik, sebagaimana diharapkan pula oleh Suhu.”
Merahlah
seluruh muka Ang I Niocu sampai ke telinganya mendengar ucapan pemuda itu. Cin
Hai merasa kuatir kalau-kalau Nona Baju Merah itu menjadi marah mendengar
kata-katanya yang lancang itu, maka dia buru-buru melanjutkan bicaranya. “Maaf,
Niocu, aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu...”
Ang I Niocu
mengerling padanya dan tersenyum manis. “Mengapa minta maaf? Aku tidak marah
dan ucapanmu itu memang berharga untuk dipertimbangkan. Mari kita kembali ke
goa itu. Mereka telah pergi dan sekarang kita memiliki kesempatan untuk mencari
harta terpendam yang menurut keterangan seharusnya ada di tempat itu.”
Cin Hai
merasa girang sekali mendengar ucapan Ang I Niocu tadi, maka diam-diam dia
mengharapkan perubahan perasaan Ang I Niocu terhadap Kang Ek Sian, pemuda yang
amat mencinta Dara Baju Merah itu.
Mendengar
ajakan Ang I Niocu untuk mencari harta terpendam, sungguh pun dia sendiri tidak
ingin mendapatkan harta itu, namun tanpa membantah lagi dia lalu bangun berdiri
dan mengikuti nona itu kembali ke dalam goa di mana mereka tadi sudah mendapatkan
Liong-cu-kiam.
“Niocu,
lubang di atas itu kecil dan tak akan dapat dimasuki oleh dua orang, biarlah
nanti aku saja yang masuk dan kau menjaga di luar goa, takut kalau-kalau ada
orang yang akan melihat kita dan mengetahui rahasia tempat ini.”
“Baik, akan
tetapi kau berhati-hatilah karena bukan tidak mungkin bahwa dalam tempat yang
aneh terdapat hal-hal yang aneh dan berbahaya pula. Kabarnya pendeta-pendeta
yang dulu menyimpan benda-benda ini adalah orang-orang berkepandaian tinggi
sekali.”
Cin Hai menjadi
tertarik sekali. “Niocu, sebelum kita bertindak lebih jauh, terlebih dulu harap
kau suka ceritakan padaku tentang riwayat harta terpendam itu karena tidak enak
mengerjakan sesuatu yang belum diketahui baik keadaannya.”
Ang I Niocu
dapat mengerti perasaan dan pendapat Cin Hai ini, maka dia lalu duduk di atas
sebuah batu dalam goa itu dan berkata, “Memang seharusnya kau tahu akan hal
itu, akan tetapi aku sendiri pun hanya mendengar dari lain orang dan ceritanya
hanya berupa samar-samar saja,” Nona Baju Merah itu lalu menceritakan riwayat
harta terpendam di dalam goa itu sebagaimana yang ia dengar dari lain orang.
Menurut
pendengarannya, diceritakan orang bahwa ratusan tahun yang lalu, pada waktu
pendeta-pendeta Buddha mulai memperluas perkembangan agamanya ke daerah timur,
mereka mendapat tantangan keras dari orang-orang yang tidak menyetujui
pelajaran agama mereka hingga tak jarang terjadi pertempuran hebat yang
mengorbankan banyak jiwa orang.
Pada masa
itu, di dekat perbatasan Tiongkok sebelah barat laut terdapat suku bangsa Kazak
yang amat tangguh dan kuat akan tetapi dipimpin oleh seorang jahat. Orang-orang
Kazak ini tiada hentinya menyerang ke wilayah pedalaman serta melakukan
perampokan-perampokan yang ganas, mengumpulkan banyak barang berharga sehingga
mereka itu memiliki banyak sekali emas dan permata hasil perampokan itu.
Hal ini
membuat kaisar menjadi marah dan karena keadaan mereka memang kuat sekali,
akhirnya kaisar membaiki para pendeta Buddha dan dapat menggunakan tenaga
mereka untuk menyerbu dan menghancurkan bangsa Kazak yang suka merampok itu.
Akan tetapi,
sesudah para pendeta Buddha itu berhasil membasmi para perampok serta merampas
kembali barang-barang berharga, kaisar berlaku curang dan bahkan kemudian mengerahkan
tentara untuk mengusir pendeta-pendeta itu dan merampas barang-barang berharga
itu.
Karena tidak
pernah menyangka-nyangka, para pendeta itu dapat terpukul hingga cerai berai
dan sebagian di antara mereka segera melarikan diri ke goa-goa Tun-huang serta
menyimpan harta benda itu di tempat rahasia. Akan tetapi, mereka itu dapat
dikejar dan ditewaskan sehingga tiada seorang pun tahu di mana tempat harta
pusaka itu disimpan. Hanya ada seorang di antara mereka yang dapat meloloskan
diri dan kemudian membuat peta pada cawan dan tutupnya.
“Nah, hanya
sekianlah yang kudengar dari keterangan orang-orang, tetapi benar tidaknya
entahlah,” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai yang mendengarkan dengan hati
tertarik.
“Kalau
begitu, seandainya kita mendapatkan kembali harta itu, akan kita gunakan untuk
apakah?” tanyanya dengan muka memandang bodoh.
Ang I Nicu
tersenyum. “Hai-ji, kau benar-benar linglung! Baru kau saja orangnya yang tak
tahu harus mempergunakan harta benda untuk apa! Biarlah kita mencarinya dahulu
dan kalau sudah berhasil, kita bertanya kepada Susiok-couw yang tentu akan tahu
apa yang harus kau lakukan.”
“Tapi, kau
sendiri, Niocu? Untuk apakah harta benda itu bagimu?”
“Anak bodoh!
Aku sih hanya membantu kau saja. Aku sendiri tidak membutuhkan segala macam
barang itu!”
“Aku pun
tidak membutuhkan! Kalau begini halnya, mengapa kita berdua harus bersusah
payah mencarinya?”
“Hai-ji,
ketahuilah. Selain kita, masih banyak pihak yang mencari harta itu dan apa bila
harta benda yang besar itu terjatuh ke tangan orang jahat, tentu akan
menimbulkan mala petaka belaka!”
Cin Hai
mengangguk-angguk dan berkata, “Benar, benar! Sekarang aku ingat akan bunyi
ujar-ujar yang menyatakan bahwa harta benda di tangan orang budiman akan
merupakan alat hidup yang berguna dan mulia, akan tetapi sebaliknya apa bila
harta benda terjatuh di tangan orang rendah budi akan menjadi alat hidup yang
jahat dan merusak. Kau benar, Niocu!”
Ang I Niocu
tertawa “Ah, kau dan ujar-ujarmu! Hayo kita bekerja dan jangan mencoba menjadi
guru sastera di dalam goa ini!”
Cin Hai juga
tertawa, kemudian mereka lalu bekerja sama untuk menggerakkan patung yang
menjadi kunci pembuka pintu di atas goa. Sesudah lubang di langit-langit goa
itu terbuka, Cin Hai segera melompat ke atas dan mempergunakan tangan kanannya
untuk menyambar pinggiran lubang dan bergantungan di situ, kemudian dia
mengayun kakinya dan masuk merayap ke dalam lubang kecil itu.
“Ahh, gelap
sekali, Niocu!” katanya.
“Biasakan
dulu matamu di tempat yang gelap itu, aku akan membuat api unggun di dalam goa
ini agar cahayanya akan masuk ke situ dan menerangi dalam lubang,” kata Ang I
Niocu yang segera mengumpulkan kayu-kayu kering di luar goa.
Tiba-tiba
ketika ia sedang mengumpulkan kayu bakar itu, ia melihat dari jauh mendatangi
seorang perwira. Cepat dia masuk ke dalam goa dan berkata kepada Cin Hai,
“Hai-ji kau cepatlah bekerja, di luar sana ada orang, biar aku pancing dia
pergi ke tempat lain!”
Setelah
menyalakan api unggun, Ang I Niocu lalu meninggalkan Cin Hai dan berlari ke
luar dari goa. Ia mengintai dan melihat betapa perwira itu berjalan dengan
langkah lebar menuju ke situ! Ang I Niocu segera melompat jauh dan memapaki
orang itu dan setelah dekat sehingga perwira itu melihatnya, dia lalu membelok
ke kanan dan memperlihatkan muka takut-takut.
Perwira itu
segera merasa curiga melihat seorang wanita di tempat yang sunyi itu yang
memperlihatkan sikap takut-takut dan bersembunyi ketika melihatnya. Maka dia
segera mengejar dan berseru, “Nona, tunggu dulu!”
Akan tetapi,
Ang I Niocu berlari terus menjauhkan diri dari goa di mana Cin Hai sedang
mencari harta pusaka dan setelah tiba di tempat yang cukup jauh, ia berhenti
berlari dan berdiri sambil bertolak pinggang.
Perwira itu
cepat sekali larinya dan sesudah berhadapan muka, dia memandang kepada Ang I
Niocu dengan hati heran dan kagum. Tadinya dia mengira bahwa wanita itu adalah
seorang penduduk situ, yaitu seorang perempuan suku bangsa Hui. Akan tetapi
alangkah herannya ketika sekarang melihat bahwa wanita yang dikejarnya ternyata
adalah seorang perempuan yang cantik jelita bagaikan seorang bidadari! Dia
memandang dengan mata terbelalak dan lupa untuk menegur karena kagumnya.
Sementara
itu, Ang I Niocu juga tercengang ketika menyaksikan betapa perwira itu tadi
telah mempergunakan ilmu lari cepat yang cukup mengagumkan, dan tahulah dia
bahwa perwira ini bukanlah orang sembarang. Dia lalu memandang penuh perhatian.
Perwira itu
memakai topi pahlawan yang indah dan dihias bulu-bulu, ada pun rambutnya yang
panjang dan hitam itu dikuncir dan tergantung pada punggungnya. Usianya masih
muda, paling banyak baru tiga puluh lima tahun, tubuhnya sedang namun nampak
kuat, sedangkan di pinggangnya tergantung sebatang pedang. Sikapnya gagah dan
sepasang matanya bersinar tajam berpengaruh.
Ang I Niocu
tidak tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan panglima tertinggi di seluruh
kerajaan pada waktu itu, yaitu Kam Hong Sin, yang kini menjadi panglima nomor
satu di kerajaan! Ia datang menyusul para anak buahnya karena menganggap bahwa
keadaan di barat sangat genting sehingga perlu turun tangan sendiri. Karena
berhak bekerja secara diam-diam, maka perwira ini meninggalkan kudanya dan
melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki.
“Perwira
gadungan!” Ang I Niocu sengaja memaki untuk mencari perkara agar perwira itu
tidak melanjutkan perjalanannya dan melihat Cin Hai, “Mengapa kau mengejarku?”
Dimaki
demikian itu, Kam Hong Sin hanya tersenyum dan menjawab, “Nona yang cantik,
mengapa pula kau melarikan diri dariku? Kau adalah seorang Han, apa pula
kerjamu di daerah ini?”
“Kau peduli
apa? Pergi!” Ang I Niocu yang segera mengulur tangan kanan mendorong agar
perwira itu roboh dan lari ketakutan.
Dorongannya
ini bukanlah gerakan sembarangan saja, karena ia menggunakan pukulan dari Ilmu
Silat Pek-in Hoat-sut yang kelihaiannya luar biasa dan tidak mungkin ditangkis
oleh orang sembarangan saja.
Akan tetapi
bukan main terkejutnya gadis ini ketika tubuh perwira itu tiba-tiba berkelebat
dan berhasil mengelak dengan gerakan yang amat cepat! Perwira itu juga terkejut
melihat serangan yang demikian hebat dan sudah mendatangkan angin yang terasa
panas ketika menyerempet ujung jari tangannya itu!
“Eh, ehh, siapakah
kau yang lihai ini?!” teriaknya.
Akan tetapi
Ang I Niocu menyerang lagi dengan penasaran sambil membentak, “Peduli apakah
kau siapa adanya aku?”
Kini perwira
tertinggi di kerajaan itu tidak berani main-main lagi dan ia lalu mengeluarkan
ilmu kepandaiannya untuk menghadapi serangan-serangan Ang I Niocu yang tidak
boleh dibuat gegabah.
Ang I Niocu
merasa kagum dan terheran-heran melihat seorang perwira kerajaan yang dapat
menghadapi ilmu silatnya Pek-in Hoat-sut dan bahkan dapat membalas dengan serangan-serangan
yang tak kurang hebatnya! Ilmu ginkang perwira muda itu betul-betul membuat Ang
I Niocu tertegun oleh karena gerakannya demikian ringan hingga tubuhnya
berkelebat bagaikan seekor burung saja sehingga setiap serangan dari Pek-in
Hoat-sut dapat dihindarkannya dengan cepat, bahkan lweekang dari perwira itu
pun tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri.
Ang I Niocu
merasa penasaran sekali melihat betapa semua serangan-serangannya tak
mendatangkan hasil, maka sambil membentak marah dia mencabut Liong-cu-kiam yang
tersembunyi di dalam jubahnya.
“Perwira
gadungan, rasakan kelihaian Ang I Niocu!”
Bukan main
terkejutnya Kam Hong Sin mendengar bahwa wanita baju merah ini adalah Ang I
Niocu yang tersohor dan yang sudah lama ingin sekali dijumpainya. Ia melompat
ke belakang lalu mengangkat kedua lengan sebagai penghormatan.
“Ahh, ahh,
tidak tahunya siauwte sekarang berhadapan dengan Ang I Niocu yang sudah
menggemparkan dunia kang-ouw. Maaf, maaf, siauwte tidak tahu maka berani
berlaku kurang ajar kepada Lihiap.”
“Ciangkun
siapakah?” tanya Ang I Niocu heran.
“Siauwte
adalah Kam Hong Sin.”
Kini Ang I
Niocu yang terkejut karena tidak pernah disangkanya bahwa perwira muda itu
adalah panglima tertinggi di kerajaan. Pantas saja kepandaiannya demikian
hebat.
“Ah, kiranya
Kam-ciangkun yang gagah perkasa. Mengapa Ciangkun meninggalkan kota raja dan
berada di tempat asing dan sunyi ini?”
Akan tetapi
pada saat itu, kedua mata Kam Hong Sin yang tajam itu sedang memandang dengan
penuh perhatian pada pedang Ang I Niocu sehingga ia tak menjawab pertanyaan
gadis itu, bahkan membalas dengan sebuah pertanyaan pula,
“Lihiap,
bukankah pedang di tanganmu itu pedang Liong-cu-kiam?”
“Ciangkun,
di dunia kang-ouw ada peraturan yang tidak membenarkan orang bertanya tentang
pedang lain orang.”
Kam Hong Sin
tersenyum, kemudian berkata dengan suara tenang, “Siauwte tahu akan peraturan
itu. Akan tetapi harap diingat bahwa pada saat ini siauwte bukan berhadapan
dengan Lihiap sebagai orang yang menaruh perhatian dan kagum. Kalau kiranya
Lihiap merasa keberatan untuk menjawab, siauwte tetap masih akan mengulangi
pertanyaan itu dengan mengingat kedudukan siauwte sebagai seorang perwira yang
bertugas mencari pedang pusaka kerajaan yang hilang pada ratusan tahun yang
lalu. Benarkah pedang di tanganmu itu pedang Liong-cu-kiam?”
Terpaksa Ang
I Niocu yang tak mau membohong menganggukkan kepala.
“Dari
manakah kau dapatkan Liongcu-kiam ini, Lihiap?”
“Hal ini tak
perlu kuberitahukan kepada siapa pun juga,” Ang I Niocu menjawab setengah
marah.
Kam Hong Sin
tertawa dan berkata, “Biar pun kau tak memberitahukan, aku tahu bahwa pedang
ini tentu kau dapatkan di sebuah di antara goa-goa Tun-huang ini. Lihiap,
pedang ini adalah pedang pusaka kerajaan dan yang berhak memiliki dan
menyimpannya adalah kaisar sendiri. Maka, kuminta kau dengan hormat sukalah kau
mengembalikan pedang itu kepadaku agar dapat kuserahkan kepada kaisar.”
Ang I Niocu
tersenyum sindir. “Enak saja kau bicara, Ciangkun. Aku yang mendapatkan pedang
ini dan akulah yang berhak! Kecuali aku, orang-orang Turki serta Mongol juga
mencarinya dan kalau pedang ini terjatuh ke dalam tangan mereka, apakah mereka
mau mengembalikan kepadamu?”
Kam Hong Sin
memandang tajam, “Lihiap, sudah lama aku mengagumi namamu sebagai seorang
pendekar besar, dan aku merasa segan sekali untuk melawanmu, walau pun hal ini
bukan berarti bahwa aku merasa takut. Akan tetapi, kalau kau tidak mau
menyerahkan pedang itu, sebagai seorang panglima yang setia maka terpaksa aku
mesti menggunakan kekerasan!”
Sepasang
mata Ang I Niocu yang indah itu bercahaya marah. “Bagus, hendak kulihat
bagaimana caramu menggunakan kekerasan!”
“Sudah
kukatakan bahwa aku mengagumi padamu, akan tetapi bukan berarti takut!” kata
Kam Hong Sin dengan suara masih tenang akan tetapi tiba-tiba ia mencabut
pedangnya yang pada gagangnya tergantung sehelai tali hitam panjang. Ia
membelitkan tali itu pada pergelangan tangannya dan berkata, “Lihiap, kalau kau
tidak mau menyerahkan pedang kerajaan itu dengan jalan damai dan tak mau
memberitahukan di mana pula tempat harta pusaka itu, terpaksa aku menggunakan
jalan kekerasan dengan pedang di tangan!”
“Siapa takut
kepadamu?!” bentak Ang I Niocu dengan marah sambil menyerang dengan pedang
Liong-cu-kiam.
Kam Hong Sin
lalu berseru keras dan menangkis dengan pedangnya yang juga bukan pedang
sembarangan, lalu balas menyerang dengan hebat. Ilmu pedang perwira ini luar
biasa sekali karena selain gerakannya cepat dan kuat, juga mengandalkan
ginkang-nya yang luar biasa sehingga membuat tubuhnya berkelebat bagaikan
halilintar menyambar.
Akan tetapi
Ang I Niocu telah memiliki ilmu pedang yang mencapai tingkat tinggi sehingga ia
lantas melakukan desakan-desakan hebat dan tubuhnya berputar cepat menggerakkan
Liong-cu-kiam yang bercahaya berkilauan itu. Dengan gerakannya yang indah dan
cepat, Ang I Niocu mendesak terus sehingga Kam Hong Sin benar-benar merasa
terkejut dan kagum.
Sudah lama
ia mendengar bahwa ilmu pedang Ang I Niocu telah menggemparkan dunia persilatan
dan sudah lama dia ingin bertemu dan apa bila mungkin mencoba kepandaian
pendekar wanita itu. Kini keinginannya terkabul sebab bukan saja ia memiliki
kesempatan untuk mencoba ilmu pedang gadis itu, bahkan mereka bertempur dengan
mati-matian. Terpaksa dia mengandalkan ginkang-nya untuk menghindarkan diri
dari rangsekan gadis itu.
Ang I Niocu
merasa penasaran karena belum juga dia berhasil merobohkan lawan yang tangguh
dan gesit ini, maka lalu maju menyerang dan merobah ilmu pedangnya, meniru
gerakan Cin Hai dengan serangan Ilmu Pedang Daun Bambu yang lihai. Biar pun ia
tidak mempelajari ilmu pedang ini, akan tetapi pada saat menciptakan ilmu
pedang ini Cin Hai mendapat bantuan darinya, maka sedikitnya ada beberapa jurus
terlihai yang masih bisa teringat olehnya dan kini dia mendesak sambil
mengeluarkan ilmu silat itu.
Melihat
hebatnya Liong-cu-kiam yang digerakkan menyambar pinggangnya dari arah kiri ke
kanan, Kam Hong Sin merasa terkejut sekali dan sambil bersuara keras ia
mengenjot tubuhnya ke udara sambil berputar. Ginkang-nya benar-benar hebat dan
mengagumkan sekali.
Dengan
gerakan tersebut ia melompat tinggi dengan tubuh berputar beberapa kali hingga
terhindar dari serangan dahsyat yang dilancarkan oleh Ang I Niocu. Kemudian,
dari atas Kam Hong Sin membalas serangan Ang I Niocu dengan meluncurkan
pedangnya ke arah kepala Ang I Niocu dan aneh! Pedangnya itu terlepas dari
tangannya dan melayang ke arah kepala Ang I Niocu bagaikan sebatang tombak yang
diluncurkan!
Ang I Niocu
cepat mengelak dan ketika pedang itu meluncur hendak menyentuh tanah, tiba-tiba
saja pedang itu dapat bergerak kembali ke tangan Kam Hong Sin yang sudah
melompat turun! Bukan main terkejutnya Ang I Niocu melihat ilmu pedang yang
aneh dan lihai ini dan baru dia tahu bahwa tali hitam panjang yang mengikat
gagang pedang dan yang dibelitkan di pergelangan tangan perwira itu bukan tidak
ada gunanya.
Dengan tali
panjang itu, maka pedang dapat disambitkan hingga dapat menyerang lawan dari
jarak jauh tanpa kuatir pedang itu akan lenyap karena dapat dibetot kembali
pada saat pedang itu tidak mengenai sasaran! Hal ini tidak begitu mengherankan,
akan tetapi yang mengagumkan adalah cara Kam Hong Sin menggerakkan pedangnya
pada waktu menyambit. Agaknya dia telah mempelajari ilmu pedang yang aneh ini
sampai mendalam betul hingga pedang itu dapat dilepas dan ditarik sesuka
hatinya.
Menghadapi
ilmu pedang yang aneh dan lihai ini, Ang I Niocu berlaku hati-hati sekali dan
mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling hebat. Mereka lalu bertempur kembali
dengan serunya dan kali ini karena mengandalkan pedangnya yang sering kali
diluncurkan untuk menyerang dari jauh, Kam Hong Sin dapat mengimbangi permainan
pedang Ang I Niocu yang kini menjadi terdesak oleh serangan-serangan aneh dan
berbahaya itu.
Dia merasa
seakan-akan Kam Hong Sin memiliki ilmu kepandaian kiam-sut yang disebut
hui-kiam atau pedang terbang yang sering dia dengar dari dongeng-dongeng yang
belum pernah disaksikan. Kini mengertilah Ang I Niocu bahwa yang disebut
hui-kiam atau pun pedang terbang itu tentulah ilmu pedang seperti yang dimiliki
oleh Kam Hong Sin ini, yaitu pada gagang pedang diikat dengan sehelai tali
panjang yang dapat mulur hingga pedang dapat disambitkan, dilayangkan dengan
betotan pada talinya.
Akan tetapi,
walau pun Ang I Niocu mulai terdesak oleh perwira yang tangguh dan ilmu
kepandaiannya benar-benar tinggi itu, dia sama sekali tidak menjadi gentar
karena bagi Ang I Niocu, di dalam hatinya tak pernah ada rasa takut menghadapi
lawan. Ia melawan dengan gerakan-gerakan tenang dan cukup kuat sehingga
sukarlah agaknya bagi Kam Hong Sin untuk merobohkan lawan yang luar biasa ini.
Diam-diam
perwira itu mengeluh karena kalau saja ia bisa menarik gadis lihai ini menjadi
kawan di pihaknya, maka ia tentu akan merasa lebih yakin akan keberhasilan
tugas yang sedang dijalankannya.
Pada saat
pertempuran masih berjalan seru, tiba-tiba terdengar suitan tiga kali dari
jauh. Kam Hong Sin memperlihatkan muka girang dan membalas bersuit keras tiga
kali pula. Tidak lama kemudian, muncullah Sie Ban Leng dan dua orang pertapa
yang bukan lain ialah Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang! Melihat betapa Kam
Hong Sin bertempur dengan Ang I Niocu, Sie Ban Leng teringat akan sakit hatinya
terhadap Dara Baju Merah yang telah menolak cintanya itu, maka ia lalu melompat
menghampiri dan berkata,
“Ang I
Niocu! Mengapa kau memusuhi Kam-ciangkun pula?”
Melihat
datangnya tiga orang ini, Ang I Niocu dan Kam Hong Sin lalu menunda senjata
masing-masing dan melompat mundur.
“Ang I
Niocu!” seru pula Ceng To Tosu sambil mewek hampir menangis “Mengapa Lihiap
bertempur melawan Kam-ciangkun?”
Sementara
itu, Ceng Tek Hosiang berpaling kepada Kam Hong Sin kemudian berkata,
“Kam-ciangkun, Nona ini adalah Ang I Niocu seorang pendekar gagah dan bukan
musuh kita!”
Kam Hong Sin
tersenyum. “Sebetulnya aku pun segan melawan dia. Akan tetapi, ia telah mendapatkan
tempat itu dan tidak mau memberitahukan kepadaku.”
“Apa...?”
Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang berseru keras sambil membelalakkan mata penuh
ketidak percayaan.
“Lihat saja,
dia telah mendapatkan pedang Liong-cu-kiam, akan tetapi dia juga tidak mau
mengembalikan pedang itu kepadaku.”
Tiba-tiba
Sie Ban Leng mendapat kesempatan baik untuk membalas dendam.
“Ha-ha-ha,
Ang I Niocu, tidak tahunya kedatanganmu di sini karena kau juga mengingini
harta pusaka dan pedang itu! Kembalikanlah pedang Liong-cu-kiam kepada kami,
kalau kau membangkang berarti kau akan mendapat bencana.”
“Aku tidak
hendak menyerahkan pedang ini, habis kalian mau apa?” bentak Ang I Niocu dengan
garang.
“Memang kau
tidak tahu budi! Kau pernah kutolong, akan tetapi kau bahkan menghinaku dan
menolak maksud baikku, sekarang kau mencuri pedang kerajaan pula,” cela Sie Ban
Leng dengan gemas.
Tiba-tiba
Ang I Niocu menudingkan pedangnya ke arah muka Sie Ban Leng dan memaki. “Sie
Ban Leng, manusia tak berbudi! Kau pandai memutar lidah dan kau tak mau melihat
mukamu sendiri! Kau seorang yang telah mengkhianati kakaknya, yang sudah
membuat kakaknya sekeluarga habis binasa, masih mau bicara tentang budi? Tak
tahu malu!!”
Ang I Niocu
teringat akan cerita Cin Hai mengenai kejahatan Sie Ban Leng yang sudah menjadi
biang keladi kebinasaan seluruh keluarga pemuda itu, sebab itu hatinya menjadi
panas dan kalau mungkin pada saat itu juga ia hendak memenggal batang leher Sie
Ban Leng.
Sie Ban Leng
merasa terkejut sekali hingga wajahnya menjadi pucat. “Bangsat wanita, jangan
kau berbicara yang bukan-bukan!” katanya sambil mengayunkan senjatanya yang
hebat, yaitu sebuah rebab yang mengeluarkan suara mengiung ketika ia gerakkan
menyambar kepala Ang I Niocu.
“Akan
kubalaskan sakit hati mendiang Sie Gwat Leng, kakakmu itu!” teriak Ang I Niocu
sambil mengelak dan menyerang dengan hebat.
Pedang
Liong-cu-kiam yang tajam luar biasa itu menyambar dan beradu dengan rebab di
tangan Sie Ban Leng. Terdengarlah suara keras dan ternyata beberapa helai tali
senar rebab yang terbuat dari pada kawat baja itu putus.
Sie Ban Leng
merasa terkejut dan marah sekali, maka dia lalu menyerang kalang-kabut.
Sementara itu, Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang hanya berdiri memandang dengan
bengong, akan tetapi ketika Kam Hong Sin memberi aba-aba supaya mereka
membantu, mereka terpaksa mengeluarkan senjata dan mengeroyok Ang I Niocu! Juga
Kam Hong Sin berseru sambil menerjang.
“Ang I
Niocu, lepaskan pedang Liong-cu-kiam itu!”
Akan tetapi,
jangankan baru dikeroyok empat, biar pun dia dikepung oleh ratusan orang, Ang I
Niocu takkan merasa gentar sungguh pun kepandaian empat orang pengeroyoknya itu
bukan main hebatnya hingga sebentar saja dia telah terkurung dan terdesak
hebat!
Dia mainkan
ilmu pedangnya Ngo-lian-hoan Kiam-hoat yang cepat dan tubuhnya lenyap
terbungkus sinar pedang Liong-cu-kiam, melindungi tubuhnya dari senjata-senjata
lawan yang datang bagaikan air hujan itu! Dia hanya dapat bertahan dan
melindungi diri saja, tanpa dapat membalas sedikit pun juga.
***************
Sementara
itu, Cin Hai yang ditinggal seorang diri di lubang kecil pada langit-langit
goa, setelah membiasakan matanya di tempat gelap dan mendapat sedikit
penerangan dari api unggun yang dibuat oleh Ang I Niocu, lalu merangkak maju ke
dalam lubang yang ternyata merupakan jalan terowongan kecil itu. Jalan itu
besarnya hanya tiba pas saja dengan tubuhnya, maka ia merangkak maju lagi
sambil meraba-raba.
Tiba-tiba ia
melihat dua benda yang mencorong di sebelah depan, seperti sepasang mata
harimau atau binatang buas lain! Ia terkejut sekali dan cepat mempersiapkan
pedangnya di tangan, karena jalan mundur tak dapat ditempuhnya cepat-cepat.
Dalam tempat yang merupakan lubang sempit itu, tak mungkin membalikkan tubuh
dan jalan keluar baginya hanyalah merangkak mundur! Kalau dua benda yang
bersinar itu ternyata mata binatang buas, ular besar umpamanya, maka dia
terpaksa harus menghadapinya dalam keadaan merangkak!
Berbahaya
sekali dalam keadaan demikian melawan seekor binatang buas, apa lagi bila
binatang itu berbisa! Akan tetapi, yang aneh sekali, kedua benda bagaikan mata
yang mencorong itu, tidak bergerak-gerak dari tempatnya meski pun sinarnya yang
mencorong itu tertimpa cahaya api unggun nampak berkeredepan bagaikan mata
binatang hidup.
Apakah
gerangan benda itu? Untuk beberapa lama Cin Hai mendekam tanpa bergerak, takut
kalau-kalau binatang itu jadi terkejut dan menyerang maju. Akan tetapi kemudian
ia menduga bahwa boleh jadi binatang itu sudah mati dengan mata terbuka, karena
kalau binatang itu masih hidup, mengapa sama sekali tak pernah bergerak? Namun
dia masih ragu-ragu karena memang ada juga binatang yang sanggup berdiam lama
sekali tanpa bergerak bagaikan mati, seperti halnya seekor ular. Sesudah lama
menunggu, timbul pula keberaniannya dan dengan hati-hati sekali dia bergerak
maju lagi dengan pedang siap disodorkan ke depan!
Setelah maju
kurang lebih lima kaki jauhnya, dia sudah berada dekat sekali dengan dua buah
benda yang mencorong itu, lalu benda itu disentuhnya dengan ujung pedangnya.
“Tingg…!”
Ujung
pedangnya berdenting dan benda itu bergerak menggelinding. Ternyata benda itu
adalah dua potong batu yang pada waktu dipegangnya hanya sebesar telur burung!
Akan tetapi batu itu bercahaya dan ketika ia pandang penuh perhatian ternyata
olehnya bahwa batu-batu itu bercahaya indah sekali.
Hatinya
berdebar keras. Inilah sebagian dari pada harta pusaka itu. Dia maju terus, dan
semakin banyak batu-batu bercahaya seperti itu, bahkan kini ia melihat banyak
potongan emas dan perak. Yang hebat adalah batu-batu permata itu, karena
bertumpuk-tumpuk sangat banyaknya pada suatu tempat, membuat terowongan kecil
itu buntu, tertutup oleh benda-benda berharga itu.
Cin Hai
merasa girang sekali. Tidak salah lagi, inilah harta pusaka yang dicari-cari.
Dia membawa dua buah batu permata yang terbesar, besarnya tidak kurang dari
sebutir telur ayam, lalu ia merayap keluar lagi. Ketika ia tiba di mulut
terowongan, ia tidak melihat Ang I Niocu dan lalu melompat turun.
Ia
mengeluarkan dua buah batu itu dari sakunya dan hampir saja ia berseru keras
saking kagumnya. Dua buah batu itu adalah mutiara-mutiara yang besar dan
cahayanya sangat indah. Dua butir mutiara besar ini saja sudah tak ternilai
harganya, apa lagi yang masih bertumpuk di terowongan itu! Cin Hai cepat
memutar patung batu itu sekuat tenaga ke tempat asalnya sehingga lubang pada
langit-langit itu tertutup kembali, kemudian setelah menyimpan dua butir mutiara
itu, ia lalu berlari keluar mencari Ang I Niocu.
Di luar
sunyi saja, maka ia lalu melompat ke atas goa dan berdiri di tempat tinggi.
Maka terlihatlah olehnya betapa di tempat yang agak jauh dari situ, ada empat
orang sedang mengeroyok Ang I Niocu yang berada dalam keadaan terdesak sekali.
Dengan marah dan cemas Cin Hai lalu melompat turun dan berlari cepat ke tempat
itu. Kalau saja dia tidak merasa kuatir akan keselamatan Ang I Niocu dan tidak
demikian tergesa-gesa, tentu dia akan melihat bayangan seorang pendeta Mongol
berkelebat dan mengintai ketika dia keluar dari goa itu!
Begitu tiba
di tempat pertempuran, Cin Hai langsung berseru, “Niocu, jangan kuatir, aku
membantumu!”
Dan pedang
Liong-cu-kiam di tangannya berkelebat secara luar biasa sekali hingga Kam Hong
Sin merasa bukan main terkejutnya. Siapakah pemuda yang gagah perkasa dan yang
memiliki ilmu pedang sehebat itu.
“Hai-ji,
mereka hendak merampas pedang kita!” teriak Ang I Niocu dengan girang melihat
datangnya pemuda itu.
Ketika Cin
Hai melihat Sie Ban Leng, ia merasa gemas sekali lalu membentak, “Ah, inikah
macamnya orang yang telah mengkhianati Ayahku?” Pedangnya menyerang hebat dan
dengan suara keras, rebab itu terbelah dua!
Sie Ban Leng
terkejut sekali, bukan hanya karena rusaknya senjatanya, akan tetapi juga
karena kata-kata Cin Hai.
“Siapakah
kau?” bentaknya.
“Kau masih
ingat kepada Sie Gwat Leng? Nah, dialah Ayahku!”
Pucatlah
wajah Sie Ban Leng mendengar ucapan ini hingga tubuhnya menggigil. Pada
pandangan matanya, wajah Cin Hai tiba-tiba berubah menjadi wajah kakaknya yang
dulu telah dikhianatinya itu! Dan sebelum dia sempat mengeluarkan sepatah kata
pun, pedang Liong-cu-kiam di tangan Cin Hai telah menyambar dengan cepat. Maka
robohlah Sie Ban Leng dengan dada kiri tertembus pedang dan tewas pada saat itu
juga!
Melihat
betapa dengan beberapa gebrakan saja pemuda itu telah berhasil menjatuhkan Sie
Ban Leng, bukan main kagetnya hati Kam Hong Sin. Ia lalu bersuit keras sekali
dan memutar pedangnya secara hebat untuk menahan serbuan Ang I Niocu mau pun
Cin Hai. Maka, secara berturut-turut datanglah beberapa orang perwira kerajaan
yang mempunyai kepandaian tinggi sehingga kini yang mengeroyok kedua orang muda
itu tak kurang dari sepuluh orang!
Akan tetapi,
Ang I Niocu dan Cin Hai memainkan pedang dengan seenaknya saja, karena mereka
ini hanya membela diri saja dan tidak berniat untuk menjatuhkan para perwira
itu. Terutama sekali mereka tidak tega melukai Ceng Tek Hosiang yang bertempur
sambil tersenyum dan Ceng To Tosu yang mewek dengan sedihnya itu.
Pada saat
pertempuran masih berjalan dengan serunya, tiba-tiba terdengar teriakan riuh
dan muncullah serombongan orang Mongol yang dikepalai oleh Thai Kek Losu, Sian
Kek Losu dan Bo Lang Hwesio!
“Pendekar
Bodoh, hayo kau serahkan tutup cawan itu kepada kami!” teriak Thai Kek Losu
sambil menerjang dan menyerang Cin Hai.
Melihat
kedatangan rombongan yang terdiri dari belasan orang pendeta Mongol berjubah
merah itu, Cin Hai kemudian memberi tanda kepada Ang I Niocu untuk melarikan
diri. Sedangkan para perwira kerajaan ketika melihat pendeta-pendeta Mongol ini
pun segera menyerangnya, sehingga terjadilah pertempuran antara perwira-perwira
kerajaan dengan pendeta-pendeta Mongol.
Sebenarnya
hal ini tidak dikehendaki oleh Kam Hong Sin mau pun oleh Thai Kek Losu, akan
tetapi Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu yang sudah mendahului menyerang para
pendeta Mongol itu, karena diam-diam mereka berdua ini suka kepada Cin Hai dan
Ang I Niocu sehingga ketika para orang Mongol datang menyerang, mereka berdua
lalu membantu Cin Hai dan menyerang para pendeta Mongol itu!
Memang di
antara kedua golongan ini telah ada rasa benci membenci hingga mudah saja
membakar api diantara mereka. Serangan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu cukup
membuat yang lain lain lalu menyerbu dan saling gempur dengan sengitnya!
Sementara
itu, Ang I Niocu dan Cin Hai sudah melarikan diri secepatnya meninggalkan
tempat pertempuran itu.
“Niocu,
harta pusaka itu benar-benar berada di terowongan kecil itu!” kata Cin Hai
kepada Ang I Niocu dan secara singkat ia menuturkan betapa banyaknya harta itu
bertumpuk di dalam terowongan kecil. Ia memperlihatkan bukti dua butir mutiara
itu kepada Ang I Niocu yang memandangnya dengan kagum.
“Kalau kau
suka, ambillah, Niocu,” Cin Hai berkata sambil memberikan dua butir mutiara
besar itu.
Ang I Niocu
menerimanya, akan tetapi lalu ia kembalikan sebutir sambil berkata, “Simpanlah
yang sebutir ini untuk diberikan kepada Lin Lin kelak.”
“Sekarang
bagaimana baiknya, Niocu? Pihak Kaisar dan Mongol juga menghendaki harta benda
itu, malah pihak Turki juga tak mau ketinggalan. Bagaimana kita harus mengambil
harta itu tanpa mereka ketahui dan kalau sudah kita ambil, lalu untuk apa?”
Setelah
mendengar banyaknya harta yang terdapat di tempat itu, Ang I Niocu sendiri pun
menjadi bingung dan tidak tahu harus menjawab bagaimana.
“Lebih baik
kita membuat laporan kepada Susiok-couw saja, Hai-ji. Kau bawalah kedua pedang
Liong-cu-kiam ini dan berikan kepada Susiok-couw, sekalian kau ceritakan pula
tentang harta pusaka itu dan tentang keadaan di sini.”
“Mengapa
hanya aku yang harus menceritakan? Bukankah kita pergi ke sana berdua?” tanya
Cin Hai.
“Tidak, kau
pergilah sendiri. Aku harus tinggal di sini dan mengamat-amati goa itu, jangan
sampai didapatkan oleh lain orang. Apa bila kita berdua pergi dan harta itu
diambil orang lain, kita tidak akan dapat berbuat sesuatu.”
Cin Hai
mengangguk-angguk, dan bertanya lagi, “Kalau kedua pedang kubawa, habis kau
bagaimana, Niocu? Kau perlu memiliki pedang yang cukup baik agar dapat
menghadapi bahaya. Tempat ini penuh dengan orang-orang pandai dan jahat.”
Ang I Niocu
tersenyum, kemudian menyerahkan pedang Liong-cu-kiam kepada Cin Hai. Dia lalu
mencabut pedang Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong
“Pedang ini
cukup baik dan kuat. Kau lihatlah!”
Ang I Niocu
mengayun pedangnya membacok sebuah batu karang hitam di pinggir jalan dan batu
terbelah dengan mudah. Cin Hai mengangguk-angguk dan memuji.
“Po-kiam
(pedang pusaka) yang bagus!”
Cin Hai lalu
berangkat menuju ke tempat pertapaan suhu-nya, yaitu di Goa Tengkorak di mana
dulu dia mempelajari ilmu silat dari Bu Pun Su. Sedangkan Ang I Niocu tinggal
di Lan-couw untuk menjaga serta mengamat-amati goa rahasia di mana tersimpan
harta pusaka yang besar itu.
Cin Hai
melakukan perjalanan dengan cepat menuju ke timur. Jarang dia berhenti kalau
tidak hendak makan dan beristirahat, sebab dia hendak cepat-cepat sampai di
tempat itu, seakan-akan ada besi sembrani yang menariknya, yaitu Lin Lin.
Pemuda itu baru saja berpisah beberapa lama, tetapi sudah merasa rindu sekali
dan kini ia tergesa-gesa bukan lain ialah karena ingin bertemu dengan
kekasihnya itu.
Pada suatu
hari ia tiba di sebuah dusun dan tertariklah hatinya melihat betapa penduduk
dusun itu seakan-akan sedang mengadakan semacam pesta keramaian. Tadinya ia
ingin lewat terus saja, akan tetapi pada waktu melihat beberapa orang dusun
memikul sebuah orang-orangan dari kertas yang besar dan rupanya seperti Hai
Kong Hosiang, ia menjadi terheran sekali dan menunda perjalanannya.
Ia menduga
bahwa persamaan wajah orang-orangan itu dengan Hai Kong Hosiang tentu merupakan
hal yang kebetulan saja. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dia bertanya
gambar siapakah yang mereka gotong itu, ia mendapat jawaban,
“Gambar si
keparat Hai Kong.”
Cin Hai
tertarik sekali dan ingin melihat apakah yang hendak dilakukan oleh orang-orang
kampung itu dan mengapa mereka menggotong gambar Hai Kong Hosiang yang mereka
maki-maki keparat. Rombongan itu menuju ke sebuah rumah kecil yang sudah
dipenuhi orang dan di depan pintu rumah itu terdapat sebuah meja sembahyang.
Setelah
orang-orangan itu digotong ke situ, semua orang berdiri dan memaki-maki, “Hai
Kong keparat! Hai Kong Hwesio bangsat!” dan makian lain-lainnya lagi yang
menyatakan kemarahan mereka.
Kemudian
beramai-ramai semua orang mengeroyok orang-orangan itu dengan pukulan serta
menghujani dengan senjata tajam hingga orang-orangan dari kertas itu
robek-robek dan hancur, kemudian sisa-sisanya dibakar dibawah sorak-sorai yang
riuh!
Cin Hai
makin terheran-heran dan menonton saja. Kemudian orang-orang dusun itu lalu
bersembahyang dan semuanya berlutut di hadapan meja sembahyang itu dengan muka
berduka, bahkan ada pula beberapa orang wanita yang menangis! Cin Hai tak dapat
lagi menahan keheranannya, maka ia lalu bertanya kepada seorang laki-laki tua
yang berada di belakang dan juga ikut bertutut,
“Lopek,
mengapa kalian demikian membenci Hai Kong Hosiang dan meja sembahyang siapa
ini?”
Kakek itu
memandang kepada Cin Hai dengan tajam dan sesudah mengetahui bahwa pemuda itu
adalah orang dari luar dusun, ia lalu menjawab,
“Siangkong,
ketahuilah. Dulu di dusun kami ini datang seorang hwesio jahat bernama Hai Kong
Hosiang yang mengganggu kami, bahkan hampir membunuh seorang anak kecil di
dusun ini. Kemudian datanglah dua orang pendekar wanita yang membela kami dan
bertempur melawan Hai Kong Hosiang si keparat itu, akan tetapi dua orang
pendekar wanita itu tewas di dalam tangan Si Bangsat Gundul. Oleh karena kami
berterima kasih sekali terhadap kedua orang pendekar wanita yang sudah
mengorbankan nyawa demi pertolongannya kepada kami maka kini kami mengadakan
peringatan untuk menghormati jasanya itu.”
Cin Hai
merasa amat tertarik mendengar ini. “Lopek, siapakah nama dua orang pendekar
wanita yang gagah dan mulia itu?”
“Entahlah,
kami juga tidak tahu dan tidak mendapat kesempatan untuk mengetahui hal itu.
Akan tetapi senjata kedua pendekar itu masih kami simpan dan sekarang pun kami
memuja senjata-senjata mereka itu yang ditaruh di atas meja sembahyang.”
Oleh karena
tertarik, Cin Hai lalu menghampiri meja itu, diikuti oleh pandang mata semua
orang kampung yang merasa heran dan curiga. Cin Hai mendekati meja dan kemudian
memandang. Alangkah terkejutnya ketika dia melihat sebuah hud-tim (kebutan
pertapa) warna merah dan sebatang pedang.
Ia melangkah
maju untuk memandang lebih teliti lagi dan menjadi pucat saat ia mengenal
senjata-senjata itu. Kebutan merah itu adalah senjata Biauw Suthai, ada pun
pedang itu adalah pedang Pek I Toanio, guru dan suci dari Lin Lin!
Lemaslah tubuh
Cin Hai dan kedua kakinya lantas gemetar. Dia segera berlutut dan ikut
bersembahyang bersama semua orang kampung yang kini lenyap kecurigaan mereka
melihat pemuda itu pun memberi hormat!
Selesai
bersembahyang, Cin Hai segera minta keterangan penjelasan dari kakek tadi dan
setelah ia mendengar cerita tentang dua orang pendekar wanita itu, bahwa yang
seorang adalah seorang pendeta wanita tua dan yang kedua adalah seorang wanita
berpakaian putih yang cantik, dia tidak ragu-ragu lagi. Biauw Suthai dan Pek I
Toanio sudah tewas di dalam tangan si jahat Hai Kong! Kalau saja dia tidak
melihat bahwa Hai Kong Hosiang sudah menggelinding ke dalam jurang, tentu dia
semakin merasa dendam dan sakit hati kepada hwesio jahat itu!
Cin Hai
tidak pernah bermimpi bahwa Hai Kong Hosiang yang disangkanya telah mati itu
sebetulnya masih hidup dan sebentar lagi akan bertemu dengannya!
Dia lalu
melanjutkan perjalanannya dan berpikir-pikir bagaimana ia harus menyampaikan
berita sedih ini kepada Lin Lin. Dia maklum bahwa Lin Lin pasti akan merasa
berduka sekali mendengar tentang matinya gurunya dan suci-nya yang amat
dikasihinya itu.
Pada
keesokan harinya, dia telah sampai dekat Goa Tengkorak, hanya tinggal
perjalanan beberapa belas li saja. Pada saat ia masuk ke dalam sebuah hutan,
tiba-tiba ia melihat serombongan orang berjalan cepat dari depan. Melihat
gerakan mereka yang cepat, Cin Hai menjadi heran dan segera dia bersembunyi di
balik sebatang pohon besar kemudian mengintai.
Ketika
rombongan itu telah datang dekat, tiba-tiba ia membelalakkan kedua matanya dan
menggosok-gosok mata itu seakan-akan ia tidak percaya kepada kedua matanya
sendiri. Tidak salah lagi, yang berjalan di depan adalah Hai Kong Hosiang!
Bentuk badan dan pakaian hwesio itu masih sama dengan dulu, hanya bedanya
sekarang matanya tinggal sebelah, yang kanan tertutup dan buta, sedangkan yang
kiri terdapat cacat bekas terobek dan menjadi lebih lebar dari biasa! Muka
hwesio itu kelihatan buruk dan menyeramkan sekali.
Dan yang
lebih mengherankan hati Cin Hai adalah ketika ia melihat Bu Pun Su berjalan di
tengah-tengah rombongan itu. Anehnya, gurunya ini nampak sedih dan putus asa,
hanya berjalan sambil menundukkan kepala, sebagai seorang tawanan! Aneh sekali!
Siapakah orangnya yang dapat menawan dan menundukkan suhu-nya? Tidak mungkin
Hai Kong Hosiang!
Cin Hai
memandang rombongan itu dan selain Hai Kong Hosiang, ia melihat pula Balaki,
perwira Mongol yang dulu sudah pernah dikalahkannya itu, seorang perwira Mongol
lain, seorang pendeta Mongol jubah merah, dan seorang wanita tua berbaju putih
bercelana hitam dan tidak bersepatu!
Wanita ini
nampak aneh karena walau pun nampak tua, akan tetapi rambutnya masih hitam dan
meski pun pakaiannya amat sederhana bahkan ia tidak bersepatu, akan tetapi
sabuk yang mengikat pinggangnya terbuat dari pada sutera merah yang sangat
panjang dan indah, sabuk yang biasanya dipakai oleh nona-nona muda! Pada jidat
wanita tua itu nampak garis palang hitam, tepat di tengah-tengah alis namun
agak di atas. Nenek aneh ini berjalan di sebelah kiri Bu Pun Su.
Cin Hai
menjadi bengong dan terheran-heran. Apakah mungkin orang-orang ini sanggup
mengalahkan serta menawan suhu-nya yang demikian sakti? Hampir dia tidak
percaya, akan tetapi semua yang dipandang oleh kedua matanya bukanlah terlihat
di alam mimpi!
Dari
perasaan heran Cin Hai menjadi marah sekali terhadap rombongan itu. Ia mencabut
sepasang pedang Liong-cu-kiam, memegangnya erat-erat di tangan kanan kiri,
kemudian melompat keluar sambil berseru,
“Hai Kong
keparat! Kau berani menghina Suhu-ku?!” bentaknya. Kemudian dia langsung
menerjang mereka.
Semua orang
sangat terkejut melihat berkelebatnya bayangan Cin Hai yang memegang sepasang
pedang yang bersinar dan menggerakkannya secara hebat sekali! Balaki dan
pendeta Mongol berjubah merah menyambut serangannya dengan senjata mereka, akan
tetapi sekali bentrokan saja senjata kedua orang itu langsung terpental jauh,
terlepas dari pegangan!
Cin Hai
hendak menyerang Hai Kong dan nenek tua itu, akan tetapi mendadak terdengar
suhu-nya berseru keras, “Cin Hai, tahan pedangmu!”
Suara ini
menyiram api yang membakar di dalam dada Cin Hai dan ia berdiri memandang
kepada suhu-nya dengan heran dan cemas. “Suhu...” katanya menahan napas,
“mereka ini... mau apakah?”
“Jangan
sembarangan turun tangan!” kata pula Bu Pun Su dengan suaranya yang amat
berpengaruh. “Kau pergilah saja ke Goa Tengkorak dan kau tolong Lin Lin.”
“Lin Lin...
kenapa dia, Suhu...?” tanya Cin Hai dengan wajah pucat.
Dan aneh
sekali, Bu Pun Su menarik napas panjang dengan wajah berduka. Baru kali ini Cin
Hai melihat suhu-nya berduka! “Pergilah dan kau akan mendapat penjelasan dari
Lin Lin.”
Cin Hai
mendengar suara ketawa bergelak dan dia cepat berpaling memandang kepada Hai
Kong Hosiang yang masih tertawa sehingga menimbulkan rasa bencinya. Ingin dia
menggerakkan pedangnya menusuk dada hwesio yang jahat itu.
“Akan
tetapi, Suhu...,” ia mencoba membantah.
“Diam! Dan
jangan banyak cakap lagi. Pergilah!” seru Bu Pun Su marah.
Dengan
kepala tunduk dan beberapa kali menengok, Cin Hai lalu bertindak pergi.
“Ha-ha-ha-ha!
Pendekar Bodoh, kau benar-benar tolol dan bodoh. Bu Pun Su lebih pintar dari
padamu! Nyawa Lin Lin kekasihmu itu berada di dalam tanganku, dan tergantung
pada Suhu-mu apakah ia menghendaki kekasihmu itu hidup atau mati. Awas, jangan
kau berani main-main dengan kami apa bila menghendaki Suhu-mu dan kekasihmu itu
dapat hidup! Ha-ha-ha!” Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak hingga menggema
di dalam hutan itu.
Dari suara
tertawanya saja membuktikan bahwa kini ilmu lweekang hwesio itu telah naik
berlipat ganda sehingga diam-diam Cin Hai merasa tertegun. Akan tetapi,
kepandaian itu masih jauh dari pada cukup untuk mengalahkan suhu-nya!
Dia tidak
berani membantah perintah suhu-nya. Apa lagi mendengar ancaman Hai Kong Hosiang
tadi, membuat ia merasa gelisah dan cemas memikirkan nasib Lin Lin. Maka ia
segera berlari cepat menuju ke Goa Tengkorak diikuti oleh gema suara tertawa
Hai Kong Hosiang......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment