Wednesday, July 4, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Bodoh Jilid 24



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
         Serial Pendekar Bodoh

                   Jilid 24


Cin Hai berlari cepat, mengerahkan seluruh kepandaiannya karena benar-benar merasa gelisah sekali. Kalau saja Lin Lin kalian ganggu, pikirnya dengan gemas, awaslah kalian! Saat tiba di depan Goa Tengkorak hatinya merasa berdebar. Ia tidak mendengar sesuatu, keadaan sunyi sekali, membuat hatinya berdebar cemas dan hampir saja ia tidak berani masuk karena merasa takut melihat hal-hal mengerikan yang terjadi pada diri kekasihnya.

Sesudah menetapkan hatinya, dia lalu melompat masuk ke dalam ruang besar di mana tengkorak-tengkorak raksasa masih berdiri dengan megahnya. Bertahun-tahun dia tinggal di tempat ini mempelajari ilmu silat, maka pemandangan ini tak menimbulkan keseraman di hatinya lagi. Ia segera memandang dengan kedua matanya mencari-cari, dan karena tidak melihat Lin Lin di ruang itu, dia lalu berlari masuk ke dalam kamar tempat menaruh hio-louw (tempat hio). Dan di situ ia melihat Lin Lin rebah telentang, pucat tak bergerak bagaikan mayat.

Cin Hai berdiri terpaku di atas lantai, tak kuasa bergerak, wajahnya pucat dan kepalanya terasa pening. Hampir saja dia jatuh pingsan kalau dia tidak menekan perasaannya dan menguatkan hatinya.

“Lin Lin...!” akhirnya dia dapat berseru dan menggerakkan kakinya, menubruk maju dan memeriksa keadaan kekasihnya.

Ternyata bahwa Lin Lin hanya pingsan saja dan pernapasannya masih berjalan, sungguh pun amat lemah. Tidak ada tanda-tanda luka hebat di tubuh Lin Lin, kecuali bintik hijau yang terdapat pada lehernya, dan ketika Cin Hai meraba bintik itu, rasa panas menyerang jari tangannya. Dia merasa terkejut sekali dan dapat menduga bahwa kekasihnya tentu telah terkena senjata jarum yang mengandung racun hebat.

Bukan main marahnya Cin Hai. Kenapa suhu-nya mendiamkannya saja, malah menyerah menjadi tawanan musuh? Cin Hai lalu memondong tubuh Lin Lin dan melompat keluar. Ia tidak mau menerimanya begitu saja. Ia harus mengejar mereka itu dan memaksa mereka agar segera memberikan obat pemunah bagi kekasihnya, atau kalau mereka tak sanggup menyembuhkan Lin Lin, dia hendak mengamuk serta membunuh mereka semua dengan taruhan jiwa.

Biar pun andai kata suhu-nya akan melarang, ia akan nekat dan tidak menurut perintah suhu-nya. Cintanya pada Lin Lin jauh lebih besar dari pada ketaatannya kepada gurunya. Kecemasan telah menggelapkan jalan pikiran Cin Hai dan sambil memondong tubuh Lin Lin yang lemas tak berdaya dan meramkan kedua matanya itu, Cin Hai mempergunakan ilmu berlari cepat, melompati jurang dan mengejar secepatnya.

Akan tetapi, ketika dia tiba di sebuah hutan yang sunyi, tiba-tiba tubuh Lin Lin bergerak-gerak. Pada saat dia memandang, ternyata kekasihnya telah membuka matanya. Cin Hai berhenti berlari dan mendekap kepala Lin Lin sambil berbisik, “Lin-moi... Lin-moi... kau kenapakah...?”

Untuk sejenak Lin Lin tak menjawab, hanya memandang pada wajah Cin Hai seolah-olah baru sadar dari mimpi, lalu tangannya merangkul leher Cin Hai dan dia mulai menangis terisak-isak di dada pemuda itu.

Cin Hai mendiamkannya saja dan sesudah tangis Lin Lin mereda, dia baru menurunkan tubuh kekasihnya itu, didudukkan di atas rumput, ada pun ia sendiri duduk di sebelahnya. Dia merasa heran melihat betapa tubuh Lin Lin kini pulih kembali seperti biasanya, hanya wajahnya masih nampak sangat pucat. Cin Hai memegang tangan Lin Lin dan bertanya lagi dengan wajah kuatir, “Lin-moi, kau kenapakah?”

“Hai-ko, syukur sekali kau keburu datang. Telah terjadi mala petaka hebat menimpa Suhu dan diriku.”

Cin Hai mengangguk. “Aku tahu bahwa Suhu telah ditawan oleh keparat itu. Anehnya, ketika aku hendak menolongnya, Suhu bahkan melarangku dan pergi dengan suka rela menjadi tawanan mereka!”

“Kau tidak tahu, Hai-ko. Suhu sengaja mengalah dan menurut menerima hinaan mereka hanya untuk menolong jiwaku.”

Terkejutlah Cin Hai mendengar ini dan teringatlah dia akan kata-kata Hai Kong Hosiang yang mengejek pada saat ia hendak pergi meninggalkan mereka. “Apa... apa maksudmu, Moi-moi...?”

Lin Lin menarik napas panjang lalu bercerita seperti berikut.

Semenjak ikut pergi dengan Bu Pun Su, Lin Lin memperdalam ilmu pedangnya di bawah pimpinan kakek jembel yang sakti itu. Mereka berdua lebih dulu singgah di dalam hutan dan membawa serta burung Merak Sakti dan Bangau Sakti, hingga kini di Goa Tengkorak itu terdapat tiga burung sakti, yaitu Sin-kong-ciak si Merak Sakti, Sin-kim-tiauw si Rajawali Emas dan Ang-siang-kiam si Bangau Sakti.

Gadis ini melatih diri dengan giat sekali dan sebentar saja dia sudah mencapai kemajuan yang luar biasa sehingga kalau dia memainkan pedang Han-le-kiam dengan ilmu pedang yang diciptakan oleh Cin Hai untuknya, maka gerakannya menjadi luar biasa hebatnya! Bu Pun Su sudah memperbaiki gerakan-gerakannya itu dengan gerakan yang sesuai dan tepat, disesuaikan dengan pedang yang pendek itu.

Pada suatu pagi, selagi Lin Lin berlatih seorang diri di luar goa karena gadis yang rajin ini setiap hari bangun pagi-pagi sekali untuk berlatih seorang diri, datanglah rombongan Hai Kong Hosiang itu. Seperti juga Cin Hai, Lin Lin merasa terkejut dan heran sekali melihat bahwa pendeta jahat itu masih hidup. Dia melihat empat orang lain datang bersama Hai Kong Hosiang, yakni dua orang perwira Mongol, seorang pendeta Sakya Buddha serta seorang nenek tua yang aneh.

“Hai Kong si Jahat! Kau belum mampus?” teriak Lin Lin dengan terheran-heran.

Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak mendengar ucapan ini hingga sebelah matanya yang kiri itu melotot dan mengeluarkan air mata!

“Kwee Lin, anak jahat! Kau bersama Pendekar Bodoh yang membuat aku menjadi begini, akan tetapi, Sang Buddha adalah adil dan bijaksana! Kau memaki aku jahat, akan tetapi sebetulnya kaulah yang jahat. Buktinya, walau pun aku sudah menggelundung ke dalam jurang, akan tetapi ternyata Sang Buddha masih melindungiku dan cabang-cabang pohon menangkap dan menolong nyawaku ketika aku tergelincir jatuh ke dalam jurang! Kini aku telah datang kembali dan aku harus mencongkel salah satu matamu sebelum kubunuh mampus kau dan Cin Hai untuk membalas dendamku. Ha-ha-ha!”

“Gundul keparat, jangan sombong!” Lin Lin dengan garang memaki.

Lin Lin sekarang bukanlah Lin Lin dulu, karena sekarang ia telah mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi apa bila dibandingkan dengan dulu. Setelah membentak, ia segera menyerang dengan pedang Han-le-kiam di tangannya.

Hai Kong memandang rendah dan menghadapi gadis itu hanya dengan tangan kosong, maksudnya hendak dengan satu dua jurus saja bisa menggulingkan gadis itu, akan tetapi kesombongannya ini hampir saja membuat nyawanya melayang!

Pada waktu Lin Lin menyerang dengan gerakan Ilmu Pedang Han-le-kiam yang diberi nama Ang-I To-hwa atau Ang I Niocu Memetik Kembang, pedang pendeknya membacok ke arah jidat yang licin dari hwesio itu dengan cepat sekali. Hai Kong Hosiang tersenyum sindir dan membentak keras, lalu mempergunakan tangan kiri menyambar dari samping ke arah pergelangan tangan Lin Lin untuk merampas pedang, sedangkan tangan kanan mengeluarkan jari telunjuk, ditotolkan ke arah mata kiri Lin Lin untuk mencongkel keluar mata itu.

Tak tahunya, Lin Lin tidak melanjutkan serangannya dan secepat kilat ujung Han-le-kiam telah dibalikkan hingga dari gerakan membacok jidat berubah menjadi tusukan ke bawah mengancam tenggorokan hwesio itu dengan gerakan Cin Hai Membacok Kayu! Ada pun untuk menghadapi tusukan telunjuk Hai Kong ke arah matanya, Lin Lin mengelak sambil merendahkan tubuh dan tangan kirinya tidak mau tinggal diam akan tetapi membarengi gerakan pedangnya mengirim pukulan ke arah dada kiri Hai Kong Hosiang dengan ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut yang dilakukan dengan sepenuh tenaga!

Bukan main terkejutnya hati Hai Kong Hosiang saat melihat perubahan yang tak pernah disangka-sangkanya ini. Kalau saja ia tak memandang rendah dan berlaku hati-hati tentu takkan mudah dibikin terkejut oleh serangan ini, biar pun serangan Lin Lin ini benar-benar merupakan gerakan silat yang tinggi tingkatnya.

Akan tetapi karena tadinya memandang rendah dan tidak menyangka, Hai Kong Hosiang hanya dapat mengelak dari serangan pedang ke arah tenggorokannya saja, yaitu dengan jalan miringkan tubuh ke kiri. Akan tetapi menghadapi pukulan Pek-in Hoat-sut itu, ia tidak keburu berkelit lagi tetapi hanya dapat memutar dada dan menerima pukulan itu yang kini tak mengenai dada kiri, akan tetapi mengenai dada kanannya!

Hai Kong Hosiang berseru kaget lagi dan untung ia telah merasai hebatnya angin pukulan yang panas sehingga telah mengerahkan lweekang-nya ke arah dada kanan, kalau tidak pasti akan pecahlah dadanya! Tubuhnya terpental ke belakang, dan meski pun dia masih dapat mencegah tubuhnya terhuyung dan jatuh, akan tetapi dada kanannya masih terasa panas dan ketika ia melihat, ternyata kulit dadanya telah menjadi biru!

Ia mengeluarkan keringat dingin, karena kalau tadi pukulan itu mengenai dada kiri, pasti jantungnya akan terluka! Dia merasa bergidik memikirkan bagaimana gadis ini sekarang telah mempunyai ilmu kepandaian sehebat itu.

Sedangkan Lin Lin yang melihat betapa pukulan dari Ilmu Pek-in Hoat-sut yang ampuh itu tak dapat merobohkan Hai Kong Hosiang, juga menjadi terkejut dan maklum bahwa ilmu kepandaian hwesio ini telah mencapai tingkat tinggi yang sukar diukur lagi! Dia menjadi nekat dan kembali maju menyerang dengan keras, sedangkan Hai Kong Hosiang yang merasa marah segera mencabut senjatanya yang masih seperti dulu, yaitu tongkat dari tubuh ular kering, akan tetapi ular ini sekarang berwarna hijau dan mengerikan sekali.

Sambil membentak marah Hai Kong Hosiang menyambut terjangan Lin Lin dan mereka pun bertempur dengan serunya. Pendeta Sakya Buddha kawan Hai Kong Hosiang yang melihat betapa gagah gadis itu sehingga mampu mempertahankan diri dari serangan Hai Kong Hosiang dengan baiknya, menjadi habis sabar dan cepat maju mengeroyok sambil mainkan pedangnya yang juga lihai.

Pada saat Lin Lin bertempur dikeroyok dua dengan serunya, terdengar suara dari dalam goa, “Siancai... siancai….” dan muncullah tubuh Bu Pun Su dengan langkah tenang dan perlahan. “Aha, Hai Kong... engkaukah yang kembali datang mengacau? Mundurlah dan jangan bermuka tebal mengeroyok seorang gadis muda!”

Sambil berkata, Bu Pun Su membuat gerakan mendorong dengan tangan kanannya ke arah Hai Kong Hosiang dan pendeta baju merah itu, dan terkejutlah Hai Kong Hosiang serta kawannya karena dorongan ini benar-benar merupakan angin puyuh yang membuat mereka terhuyung mundur.

Lin Lin juga menahan pedangnya dan berdiri sambil memandang suhu-nya, karena pada saat itu terjadi hal yang aneh. Setelah mendorong Hai Kong dan pendeta Sakya Buddha tadi, kini Bu Pun Su berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada nenek yang tak bersepatu itu, dan berseru perlahan, “Wi Wi... kau datang juga...?”

Nenek itu tersenyum menyindir, lalu berkata dengan suaranya yang terdengar merdu dan halus bagaikan suara seorang nyonya bangsawan terpelajar, “Lu Kwan Cu, di manakah ada perceraian yang kekal?”

“Wi Wi, tak kusangka bahwa kau masih hidup...”

“Kau sendiri masih betah tinggal di dunia, mengapa aku tidak?”

Melihat sikap Bu Pun Su yang agaknya takut-takut terhadap nenek itu dan mendengar percakapan mereka yang aneh ini, Lin Lin berdiri bengong dengan seluruh perhatiannya tertuju kepada suhu-nya dan nenek itu, hingga ia tidak menduga datangnya bencana dari pihak Hai Kong Hosiang.

Pada waktu melihat gadis yang gagah itu berdiri bengong, pendeta Sakya Buddha lalu mengayun tangannya dan belasan batang jarum hitam segera menyambar ke arah dada dan leher gadis itu.

Lin Lin telah mempunyai perasaan dan pendengaran yang amat halus dan tajam, maka kedatangan belasan batang jarum yang menyambar ke arahnya itu meski tidak dilihatnya tetapi dapat ditangkap oleh telinganya, maka ia menjadi terkejut sekali. Tak ada lain jalan baginya selain menggulingkan tubuh di atas tanah sehingga dengan demikian sambaran jarum-jarum itu mengenai tempat kosong dan ia dapat menghindarkan diri.

Akan tetapi dia tidak menyangka bahwa ketika itu, Hai Kong Hosiang menunjuk dengan tongkat ularnya yang ketika ditekannya segera memuntahkan jarum-jarum hijau ke arah tubuh Lin Lin yang masih bergulingan! Lin Lin mencoba berkelit, akan tetapi datangnya jarum-jarum yang lihai dan cepat itu sukar sekali dikelit atau ditangkis, maka meski pun gerakan Lin Lin cukup cepat, sebatang jarum hijau masih berhasil mengenai leher!

Lin Lin sudah mengerahkan lweekang-nya untuk membuat kulit dan dagingnya mengeras hingga jarum halus itu tidak sampai menancap seluruhnya dan ia segera melompat dan mencabut jarum itu, lalu dengan marahnya hendak menyerang Hai Kong Hosiang. Akan tetapi, tiba-tiba ia merasa pening dan menjerit keras terus roboh tak berdaya. Tubuhnya terasa panas dan lumpuh, sedangkan kepalanya pening sekali.

Ia masih melihat betapa Bu Pun Su menjadi kaget dan marah. Tadi kalau kakek itu tidak sedang terheran-heran dan seluruh perhatiannya tertarik dan hatinya tergoncang karena perjumpaannya dengan nenek itu, pasti dia dapat mempergunakan kepandaiannya untuk menolong Lin Lin.

Akan tetapi, keadaan kakek jembel itu tadi seperti seorang yang kena hikmat dan tidak ingat apa-apa. Bahkan ketika Lin Lin diserang oleh Hai Kong dan pendeta baju merah, ia tidak tahu atau mendengar sama sekali. Setelah Lin Lin menjerit dan roboh, barulah ia sadar dan cepat memandang.

“Hai Kong, pengecut berbatin rendah!” dia berteriak marah sambil menggerakkan kedua tangannya.

Kalau dua tangan Bu Pun Su itu jadi diangkat dan digerakkan ke arah Hai Kong Hosiang, entah nasib apakah yang akan dialami pendeta gundul itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nenek itu dengan halus akan tetapi nyaring.

“Lu Kwan Cu, jangan bergerak!”

Bu Pun Su memandang, kemudian melangkah mundur dengan muka pucat. Kini nenek itu memegang sebatang tusuk konde terbuat dari pada perak yang berbentuk naga indah sekali dan bermata intan, lantas diangkatnya tusuk konde itu tinggi-tinggi sambil matanya memandang ke arah Bu Pun Su dengan tajam. Lemaslah tubuh kakek itu dan dia cepat menurunkan kembali kedua tangannya.

“Wi Wi, kau hendak mempergunakan itu untuk membela kejahatan?” bisiknya.

“Kwan Cu, apakah kau yang sudah tua bangka ini hendak melanggar sumpahmu?”

Bu Pun Su menggelengkan kepala. “Tidak, aku tidak akan melanggar sumpahku biar pun tubuhku akan hancur lebur. Apakah yang kau kehendaki, Wi Wi?”

“Kehendakku yang harus kau turuti adalah kau tidak boleh mengganggu kawan-kawan ini selama mereka berada di sampingku!”

Bu Pun Su menarik napas panjang dan mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baik, baik, aku takkan mengganggu mereka selama mereka berada di sampingmu!” ia berjanji.

Nenek itu tersenyum dan menyimpan kembali tusuk kondenya yang begitu berpengaruh terhadap Bu Pun Su itu. Sedangkan kakek jembel itu dengan muka penuh kecemasan lalu menghampiri Lin Lin yang masih rebah miring dan memandang semua peristiwa itu dengan mata terbelalak heran. Bu Pun Su memeriksa luka di leher Lin Lin dan ketika dia meraba luka bintik warna hijau itu, dia menjadi terkejut sekali.

“Hai Kong, kau kejam sekali!” katanya sambil memandang kepada hwesio gundul yang berdiri sambil tersenyum penuh kepuasan.

“Bu Pun Su, jembel tua! Tahukah kau racun apa yang mengancam jiwa gadis ini?” tanya Hai Kong Hosiang dengan senyum sindir.

“Kau telah mempergunakan racun Ular Hijau yang hidup di Mongolia. Alangkah kejamnya hatimu!” kata Bu Pun Su.

“Ha-ha-ha. Matamu masih cukup awas!” Hai Kong Hosiang menyindir. “Tahukah kau cara bekerjanya racun itu? Ha-ha-ha! Racun Ular Hijau bekerja lambat akan tetapi pasti. Dan tidak ada obat di dunia yang dapat menyembuhkan orang yang terkena racun itu. Gadis ini hanya akan hidup selama seratus hari lagi. Keadaannya akan biasa saja, tidak merasa sakit apa-apa asalkan dia jangan merasa kuatir. Kalau dia merasa kuatir, racun itu akan lebih hebat kerjanya dan akan menyerang jantungnya hingga ia akan jatuh pingsan! Akan tetapi hal itu pun tidak berbahaya, dan pendeknya, ia akan hidup sampai seratus hari lagi. Ha-ha-ha!”

“Hai Kong, demi KeTuhanan dan Perikemanusiaan, janganlah kau sekejam itu. Aku tahu bahwa untuk racun ini ada sejenis obat di Mongolia dan kau yang bermain-main dengan racun ini tentu mempunyai pula obat penyembuhnya. Berikanlah obat itu untuk menolong nyawa muridku ini!”

“Ha-ha-ha-ha! Enak saja kau bicara, pengemis tua!” Hai Kong menjadi berani karena dia maklum bahwa kakek jembel itu berada di dalam kekuasaannya. “Aku tidak begitu bodoh untuk membawa-bawa obat itu bersamaku. Obat itu berada di suatu empat yang aman!”

“Hai Kong, aku minta kepadamu, serahkan obat itu untuk menolong dia! Aku sudah tua dan tak akan lama lagi hidup di dunia. Aku tidak takut akan kematian, akan tetapi dia ini masih muda dan masih berhak untuk hidup lebih lama lagi. Berikanlah obat itu dan aku berjanji hendak melakukan apa saja yang kau minta, asal bukan kejahatan yang harus kulakukan!” kata lagi Bu Pun Su dengan suara mengandung permohonan.

Melihat dan mendengar semuanya ini, Lin Lin segera bangkit duduk dan pada saat itu, agaknya serangan racun di tubuhnya sudah banyak mengurang.

“Suhu, teecu tidak takut mati. Biarlah teecu diancam bahaya maut, tidak apa. Akan tetapi perkenankan teecu mengadu jiwa dengan pendeta rendah budi itu!”

Bu Pun Su menggelengkan kepala. “Jangan, muridku. Bukan saatnya, jangan gunakan kekerasan...” kemudian ia memandang kepada Wi Wi Toanio, nenek yang aneh itu. “Wi Wi, sekarang apakah kehendakmu lagi?”

“Kau harus ikut dengan kami dan membantu kami mendapatkan harta pusaka terpendam di goa Tun-huang.”

“Hanya itukah?”

“Ya, hanya itu dan setelah berhasil mendapatkan harta itu, kau boleh bebas. Akan tetapi ketahuilah bahwa pihak Turki dan juga Kaisar mencari-cari pula harta itu dan kau harus melindungi kami melawan dan mengundurkan mereka!”

“Aku menurut, Wi Wi, akan tetapi hanya dengan satu syarat, tanpa dipenuhinya syarat itu, aku tak akan menurut, biar pun dengan berbuat demikian berarti aku melanggar sumpah! Marilah kita masuk ke dalam goaku dan di sana kita bicarakan hal ini lebih mendalam pula.”

Sambil menuntun tangan Lin Lin, Bu Pun Su mendahului rombongan itu memasuki Goa Tengkorak.

“Lin Lin kau beristirahatiah dalam kamar hio-louw itu dan bersemedhilah dengan tenang, membersihkan pernapasanmu supaya racun yang menyerangmu itu tidak begitu keras jalannya,” katanya kepada Lin Lin tanpa mempedulikan suara ketawa Hai Kong Hosiang yang mengejeknya.

Lin Lin melontarkan pandang mata membenci ke arah pendeta gundul itu, lalu ia mentaati perintah suhu-nya dan masuk ke dalam kamar hiolouw lalu bersila dan mengatur napas. Akan tetapi, ia memasang telinganya dan mendengarkan semua percakapan mereka.

Akhirnya diputuskan oleh Bu Pun Su, Hai Kong Hosiang, dan Wi Wi Toanio, bahwa Bu Pun Su harus membantu mereka mendapatkan harta pusaka itu, kemudian apa bila harta pusaka itu telah jatuh ke dalam tangan mereka, barulah Hai Kong Hosiang akan memberi obat penyembuh racun yang menguasai Lin Lin.

Mendengar percakapan itu, Lin Lin merasa terhina sekali dan dia juga merasa penasaran mengapa Bu Pun Su menjadi sedemikian lemah dan tidak berdaya terhadap nenek itu? Apakah nenek itu lebih lihai dari pada Bu Pun Su? Andai kata lebih lihai juga, mungkinkah suhu-nya bersikap demikian pengecut dan takluk tanpa mengadakan perlawanan terlebih dulu? Ia menjadi gelisah dan duduknya tidak bisa diam.

Tiba-tiba terdengar Bu Pun Su berkata, “Lin Lin, aku tahu mengapa kau merasa gelisah dan penasaran.” Kemudian, kakek yang lihai ini lalu berkata kepada Wi Wi Toanio, “Wi Wi, jangan kau membuat aku dipandang rendah oleh muridku sendiri. Kalau kau tak mau menceritakan riwayat kita berdua hingga terdengar muridku dengan jelas, jangan harap kau akan dapat membawaku ke barat untuk mencari harta pusaka itu.”

“Apa?” nenek itu berseru heran. “Kau tidak takut rahasia kita itu kubongkar?”

“Apakah yang kutakuti lagi? Nama buruk? Biarlah, aku sudah tak bernama lagi,” jawab Bu Pun Su.

“Tidak akan merasa malukah kau?”

“Di manakah letaknya malu? Perbuatan yang sudah dilakukan tak perlu disimpan-simpan! Telah puluhan tahu kita menyimpan rahasia itu, lebih baik sekarang dibuka sebelum kita mati.”

“Tetapi... tetapi mengapa kau masih tunduk kepadaku apa bila kau tidak takut rahasia itu terbongkar?” nenek itu suaranya mengandung gelora penuh keheranan dan kejutan.

Bu Pun Su tersenyum. “Itulah rahasiaku sendiri, Wi Wi. Sekarang ceritakanlah semuanya dengan jelas sebelum kita berangkat.”

Dengan suara gemetar, berceritalah nenek yang aneh itu…..

Dulu ketika muda dan masih berusia dua puluh lima tahun, Bu Pun Su bernama Lu Kwan Cu, muda, tampan, dan gagah. Ilmu kepandaiannya amat tinggi hingga pada masa itu ia menjagoi di seluruh daerah dan merupakan pendekar yang ditakuti para penjahat.

Karena kakeknya, Perdana Menteri Lu Pin, menderita akibat pemberontakan An Lu Shan, maka Lu Kwan Cu membenci semua orang Tartar dan mencari mereka untuk dibunuhnya sebagai pembalasan dendamnya. Yang terutama dicarinya adalah keturunan An Lu Shan yang bernama An Kai Seng dan yang sudah menjadi orang Han semenjak kawin dengan seorang gadis Han yang cantik.

An Kai Seng sendiri biar pun berkepandaian tinggi, namun merasa takut sekali kepada Lu Kwan Cu yang mencari-carinya, hingga diam-diam ia melatih diri bersama isterinya, yaitu yang bernama Wi Wi, seorang gadis Han yang masih berdarah Tartar juga dan yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Akhirnya Lu Kwan Cu berhasil menjumpai mereka dan walau pun dikeroyok oleh banyak kawan-kawan An Kai Seng namun tak seorang pun dapat menghadapinya. An Kai Seng menjadi gelisah dan takut sekali hingga tiba-tiba muncullah isterinya, yaitu Wi Wi Toanio yang cantik.

Melihat suaminya berada dalam bahaya, Wi Wi Toanio lalu menggunakan kecantikannya untuk menggoda hati Lu Kwan Cu dan sengaja memancingnya dan menantangnya untuk mengadu jiwa di dalam sebuah hutan antara pendekar itu dan Ang Kai Seng suami isteri. Tantangan ini tentu saja diterima oleh Lu Kwan Cu dengan baik, dan ketika pendekar muda ini pergi ke hutan itu pada saat yang telah ditetapkan, dia hanya menjumpai Wi Wi seorang diri.

Wi Wi mempergunakan segala kecantikannya untuk memikat dan menjatuhkan hati Lu Kwan Cu dengan cara yang tak patut dituturkan di sini. Pendeknya, tahu sendirilah…

Lu Kwan Cu adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam hubungan dengan wanita dan darah mudanya langsung menggelora ketika dia menghadapi Wi Wi yang cantik dan pandai menggairahkan hatinya itu. Keteguhan imannya runtuh dan bagaikan tak sadar ia menuruti kehendak wanita itu bagaikan seekor ikan bodoh yang tidak tahu akan bahaya umpan pancing!

Sejak saat itu, ia jatuh bertekuk lutut di depan Wi Wi yang cantik dan menjadi tergila-gila. Sering kali mereka mengadakan pertemuan rahasia, dan Lu Kwan Cu sama sekali tidak sadar bahwa dia sudah melakukan perbuatan terkutuk dan melanggar kesusilaan dengan isteri orang lain, bahkan isteri musuh besarnya yang tadinya akan dibunuhnya!

Semenjak saat itu, jangankan bercita-cita membunuhnya, bahkan segala permintaan Wi Wi diturutinya belaka. Ini masih belum hebat, yang celaka sekali ialah ketika dia memberi sebatang tusuk konde kepada wanita itu pada saat dia mengucapkan sumpahnya bahwa selama hidupnya, ia akan menurut pada segala perkataan wanita yang juga bersumpah ‘mencintanya’ itu, dan tusuk konde itu menjadi saksi.

Lu Kwan Cu benar-benar mabok asmara dan tergila-gila. Dia percaya sepenuh hatinya bahwa Wi Wi benar-benar mencintainya dengan setulus hati.

Akhirnya, ketika pada suatu hari dia mengadakan pertemuan dengan Wi Wi di hutan, dia mendengar gerakan orang. Cepat dia melompat dan menangkap orang itu yang ternyata bukan lain adalah Ang Kai Seng sendiri yang mengintai. Dia hendak memukulnya, akan tetapi tiba-tiba Wi Wi mengeluarkan tusuk konde itu dan minta dia melepaskan suaminya!

Bukan main terkejut dan herannya hati Lu Kwan Cu melihat akan hal ini. Ternyatalah kini bahwa tanpa terduga-duga sekali, An Kai Seng sudah mengetahui akan perhubungan itu, dan bahkan dengan berani sekali Wi Wi mengeluarkan tusuk konde pemberiannya itu di depan suaminya untuk menolong suami itu.

Terbukalah matanya bahwa agaknya An Kai Seng dengan sengaja merencanakan hal itu bersama isterinya, yaitu sudah menggunakan isterinya yang cantik sebagai umpan untuk menjebaknya! Dalam takutnya, An Kai Seng beserta isterinya sudah menjalankan siasat keji dan rendah itu untuk menyelamatkan jiwa mereka.

Hancurlah hati Lu Kwan Cu melihat kenyataan ini, akan tetapi dia adalah seorang gagah yang selalu menetapi janji. Oleh karena dia sudah berjanji kepada Wi Wi terpaksa dia lalu meninggalkan tempat itu.

Semenjak itu, dia lalu menjauhkan diri dari Wi Wi yang merupakan bahaya besar baginya itu. Ia takut kalau-kalau Wi Wi mempergunakan tusuk konde yang mempunyai kekuasaan besar itu untuk memerasnya dan memaksanya membantu wanita itu melakukan hal-hal yang jahat!

Maka dia melarikan diri dan merantau jauh meninggalkan tempat itu, bahkan lalu beralih nama menjadi Bu Pun Su dan bertapa di sebuah pulau kosong, yaitu Pulau Kim-san-to! Ia menyangka bahwa wanita itu tentu telah mati. Tetapi tidak tahunya, setelah menjadi tua, tiba-tiba saja wanita iblis itu kembali muncul lagi membuat gara-gara hingga terpaksa dia memegang teguh sumpah dan janjinya dulu dan terpaksa membiarkan Lin Lin terluka dan terancam bahaya maut pula.

Setelah Wi Wi Toanio menceritakan semua ini yang tidak saja didengarkan oleh Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya, akan tetapi juga oleh Lin Lin, lantas terdengar Bu Pun Su menarik napas panjang dan berkata,

“Tepat sekali ujar-ujar Nabi Khong Cu yang berbunyi, Pok-hian-houw-in, Bok-hian-houw-bi, Koh-kuncu-sin-ki-tok-ha! (Tidak ada yang lebih jelas dari pada yang tersembunyi, dan tak ada yang lebih tegas dari pada yang paling lembut. Maka seorang budiman selalu berhati-hati terhadap hal yang tersembunyi). Ujar-ujar ini jelas memperingatkan manusia akan bahayanya musuh yang bersembunyi di dalam hati dan pikiran sendiri. Segala hal yang diperbuat oleh lahir, selalu datangnya dari dalam, bagaikan munculnya tunas yang mekar terdorong oleh suatu tenaga yang keluar dari dalam cabang! Hemm, usia muda memang penuh bahaya!”

Setelah berkata demikian, Bu Pun Su lalu berkata kepada Lin Lin, “Muridku, kau telah mendengar hal itu semua, dan kau tentu mengerti mengapa aku tidak dapat melanggar sumpah sendiri. Kau tenanglah dan tunggu saja di sini dengan baik-baik bersama tiga burung kita, tunggu sampai aku kembali membawa obat penawar lukamu!”

Setelah berkata demikian, pergilah mereka meninggalkan Goa Tengkorak meninggalkan Lin Lin seorang diri di kamar hio-louw itu. Dan di dalam hatinya, Lin Lin merasa berkuatir sekali, bukan kuatir terhadap diri sendiri, karena Lin Lin berhati tabah dan tidak takut mati, akan tetapi dia menguatirkan keadaan suhu-nya. Ia lupa bahwa ia tidak boleh mempunyai perasaan kuatir, maka begitu perasaan itu mendesak jantungnya, ia menjerit keras lantas jatuh pingsan!

Dan kemudian datanglah Cin Hai menemukannya dalam keadaan masih pingsan!

Cin Hai mendengarkan penuturan itu dengan sangat tertarik, gelisah dan terharu. Jarang terdapat orang seperti suhu-nya. Gagah perkasa, memegang teguh sumpahnya, sungguh pun sumpah terhadap seorang jahat, tetapi rela mengorbankan dirinya demi keselamatan muridnya!

“Apa bila demikian halnya, kau harus menenangkan hatimu, Lin-moi. Seratus hari adalah waktu yang cukup banyak bagi kita untuk berusaha mencari obat bagimu. Meski pun aku percaya penuh kepada Suhu bahwa dia tentu akan berhasil membawa obat penyembuh itu, akan tetapi, terlebih baik pula kalau kita tidak tinggal diam dan marilah kita juga pergi ke Kansu untuk menyusul mereka. Jangan kau kuatir, Adikku, aku telah berada di sisimu dan demi Tuhan Yang Maha Agung, kau pasti akan tertolong.”

Lin Lin tidak membantah kehendak Cin Hai. Lagi pula, baginya ke barat tiada bedanya dengan ke timur atau ke mana pun, selama dia berada bersama kekasihnya. Malam itu mereka berkemas dan tidur di Goa Tengkorak, Cin Hai di ruang depan di mana terdapat banyak patung tengkorak sedangkan Lin Lin di ruang hio-louw.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali saat sinar matahari masih berwarna kemerahan, sepasang kekasih itu keluar dari goa, mulai melakukan perjalanan jauh mengejar suhu mereka menuju Kansu di barat sana. Mereka sengaja hendak meninggalkan tiga burung peliharaan mereka karena selain harus menempuh perjalanan jauh, juga mereka belum tahu akan mati hidup diri sendiri. Sesudah berjalan sejauh sepuluh li, mereka mulai keluar dari hutan yang mengelilingi Goa Tengkorak.

Pada saat itu pula, di udara nampak tiga titik hitam yang melayang turun dan tidak lama kemudian, tiga burung yang menjadi kawan Lin Lin, yaitu Merak Sakti, Rajawali Emas, dan Bangau Sakti, menyambar turun dan berdiri di dekat mereka sambil mengeluarkan suara riuh rendah, seakan-akan menegur mereka mengapa meninggalkan begitu saja.

“Marilah kalian ikut kami pergi ke barat,” kata Lin Lin.

Cin Hai lalu melanjutkan perjalanan bersama Lin Lin menuju ke barat, diikuti oleh ketiga burung sakti yang terbang tinggi di atas udara. Mengingat akan keadaan Lin Lin, Cin Hai diam-diam merasa berduka dan gelisah, sedangkan Lin Lin yang mengetahui keadaan kekasihnya itu, menghiburnya dengan berlaku riang gembira dan jenaka hingga Cin Hai merasa terhibur juga.

Melihat sikap Lin Lin, seakan-akan ia tidak menderita sakit apa-apa. Dan memang benar ucapan Hai Kong Hosiang bahwa racun Ular Hijau itu sangat halus kerjanya hingga orang yang terkena seakan-akan tidak merasa apa-apa padahal orang itu makin hari semakin mendekati maut!

Dalam usahanya menghibur Cin Hai, Lin Lin bahkan mempergiat latihan pedangnya. Cin Hai bukanlah seorang pemuda yang berhati lemah dan bersemangat kecil, maka dia pun segera dapat melupakan kekuatirannya. Sikap Lin Lin yang gembira ini banyak menolong Cin Hai, bahkan dia lalu sadar bahwa mestinya dialah yang harus memperlihatkan sikap gembira supaya kekasihnya itu tidak memikirkan keadaan dirinya dan tidak timbul rasa kuatir, perasaan yang menjadi pantangan bagi Lin Lin itu. Maka dengan gembira dia pun lalu membantu dan memberi petunjuk-petunjuk sehingga ilmu pedang Lin Lin kini menjadi semakin maju saja.

Cin Hai tidak mau menceritakan kepada Lin Lin tentang tewasnya Biauw Suthai dan Pek Toanio karena dia maklum bahwa hal ini akan membahayakan kesehatannya. Bahkan dia sengaja mengambil jalan memutar dan tidak mau melalui dusun di mana kedua pendekar wanita itu tewas.


                  ***************


Kita mengikuti keadaan Ang I Niocu yang ditinggal seorang diri oleh Cin Hai yang pergi memberi laporan kepada Bu Pun Su. Dara Baju Merah itu menanti kembalinya Cin Hai sambil menjaga goa rahasia tempat harta pusaka itu, juga sambil menunggu datangnya rombongan Kwee An, Ma Hoa, beserta Nelayan Cengeng yang juga menuju ke Kansu dengan mengambil jalan lain.

Pada suatu hari, karena merasa kesal tidak ada kawan dan tidak ada sesuatu yang bisa dikerjakan, Ang I Niocu lalu keluar dan pergi berjalan-jalan di sekeliling ibu kota Lan-couw yang sangat ramai.

Daerah Kansu adalah daerah bagian barat daratan Tiongkok dan di sana banyak terdapat suku-suku bangsa, bahkan banyak pula orang-orang asing yang berdagang di situ. Oleh karena ini, maka banyak sekali nampak pemandangan-pemandangan yang ganjil, yaitu jalan-jalan penuh orang-orang yang mengenakan pakaian bermacam ragam dan warna. Banyak pula wanita-wanita suku Hui dan lain-lain yang berwajah manis dengan pakaian mereka yang berbeda dengan pakaian orang-orang Han.

Akan tetapi, pada saat Ang I Niocu berjalan-jalan dengan pakaiannya yang serba merah, langkahnya yang gagah, tubuhnya yang ramping dan wajahnya yang cantik jelita itu, dia merupakan pemandangan yang amat mencolok mata dan yang jarang dapat terlihat oleh orang-orang di sana. Oleh karenanya hampir semua mata memandang Dara Baju Merah itu dengan penuh kekaguman.

Akan tetapi Ang I Niocu sudah terbiasa dengan pandangan-pandangan mata seperti ini. Maka, dia tidak mengacuhkannya sama sekali, seakan-akan mereka semua itu hanyalah patung-patung batu yang memandangnya tanpa berkedip.

Saat lewat di depan sebuah toko yang menjual barang-barang kuno, Ang I Niocu teringat akan cawan tertutup yang menjadi penunjuk jalan baginya dan Cin Hai untuk menemukan rahasia goa rahasia itu. Dia teringat betapa anehnya dia mendapatkan cawan berukir itu, yaitu dari seorang gila!

Ketika itu dia sedang berjalan menuju ke Kansu, yaitu sebelum bertemu dengan Cin Hai. Tiba-tiba dia melihat seorang yang berpakaian tak karuan dan hampir telanjang duduk di tepi jalan, tertawa-tawa seorang diri. Orang itu adalah seorang Turki sudah tua, dan yang amat aneh adalah biar pun pakaiannya compang-camping tidak karuan dan keadaannya menunjukkan kemiskinan yang sangat besar, namun dia memegang sebuah cawan perak yang indah sekali!

Pada saat Ang I Niocu sedang memandang dengan terheran-heran, datanglah tiga orang bangsa Hui yang mendekati orang gila itu dengan mata melirik ke sana ke mari. Melihat bahwa tempat itu sunyi dan hanya ada seorang gadis baju merah berdiri di tempat yang agak jauh, ketiga orang itu lalu maju dan hendak merampas cawan perak itu.

Si Gila lalu berteriak-teriak, berdiri dan menendang-nendang, mencakar-cakar melakukan perlawanan, sambil mulutnya mengomel, “Pergi, pergi! Kalian tidak berhak mendapatkan harta pusaka ini! Pergi!”

Seorang di antara ketiga orang yang hendak merampas cawan itu lalu mengubah siasat dan sambil tersenyum dia berkata,

“Kakek sinting, biarlah kami menukarnya dengan uang untuk membeli nasi!” orang itu lalu mengeluarkan uang perak beberapa potong.

Akan tetapi orang gila itu mendekap cawan itu erat-erat sambil terus memaki. “Perampok-perampok, pergi! Aku tidak butuh uang! Harta pusaka ini milikku!”

Tiga orang itu menubruk hendak merampas cawan, namun tiba-tiba mereka roboh sambil merintih-rintih. Ternyata Ang I Niocu telah bertindak karena kasihan kepada orang gila itu.

Tiga orang laki-laki bangsa Hui itu kembali bangkit dan hendak menyerang, akan tetapi kembali tubuh Ang I Niocu bergerak cepat dan sebelum mereka tahu apakah yang terjadi dan menimpa diri mereka, tahu-tahu ketiga orang itu sudah terlempar lagi dengan tubuh sakit-sakit! Mereka memandang dengan mata terbelalak ketakutan seakan-akan melihat setan di tengah hari, lalu berlari pergi secepat kaki mereka dapat bergerak!

Orang gila itu menghampiri Ang I Niocu dan karena orang itu bertubuh tinggi sekali, maka ketika dia mengulurkan kedua tangannya yang kotor ke atas kepala Ang I Niocu, kedua tangan itu menumpang di atas kepala gadis itu, seakan-akan seorang pendeta memberi berkah.

“Kau gagah, ha-ha, mereka lari pontang-panting, ha-ha-ha! Kau patut menjadi ratu, patut memiliki harta pusaka itu. Ini, kau terimalah harta pusaka yang tak ternilai harganya!” Dia memberikan cawan perak itu kepada Ang I Niocu yang menerimanya dengan heran.

“Untuk apa cawan ini?” tanyanya.

Orang gila itu memandangnya dengan marah. “Untuk apa katamu? Itu bukanlah cawan. Bodoh, menyebut harta pusaka sebagai cawan biasa!” Si Gila itu kemudian pergi dengan langkah lebar dan terdengar ia bernyanyi dalam bahasa Turki yang tidak karuan.

Ang I Niocu mengamat-amati cawan itu dan melihat ukir-ukiran yang indah, hingga timbul rasa sayangnya. Dia lalu memasukkan cawan itu ke dalam saku dan tidak tahu maksud ucapan orang gila itu hingga ia bertemu dengan Cin Hai yang membawa tutup cawannya.

Demikianlah, sambil mengenangkan semua kejadian ini, Ang I Niocu tak sengaja berhenti di depan toko barang antik itu sambil melamun. Tiba-tiba saja dia melihat dua orang Turki berkelebat masuk ke dalam toko dan ketika seorang di antara mereka memandang keluar toko, maka nampak wajahnya yang dibayangi ketakutan hebat!

Ang I Niocu menjadi tertarik dan curiga, maka ia segera melompat ke pinggir rumah dan terus mengintai dari atas genteng. Ia melihat dua orang itu bicara dengan seorang Turki lainnya dan agaknya mereka membicarakan hal-hal yang mengandung rahasia.

Akan tetapi hanya ada sebuah kata saja yang dimengerti oleh Ang I Niocu karena mereka bicara dalam bahasa Turki, yaitu kata-kata mereka ‘Yousuf’! Kata-kata ini cukup untuk membuat ia memperhatikan mereka baik-baik dan ketika ketiga orang itu keluar dari luar rumah melalui pintu belakang lalu berlari-lari cepat, dia segera mengikuti mereka dengan diam-diam.

Dengan mudah ia dapat mengikuti ketiga orang itu tanpa mereka mengetahuinya. Untuk beberapa lama ketiga orang itu masuk keluar hutan hingga kemudian sampai di sebuah perkampungan kecil di mana terdapat banyak rumah-rumah model Turki.

Tiga orang Turki itu masuk ke dalam rumah yang terbesar. Ang I Niocu segera melompat naik ke atas genteng dari bagian belakang dan menuju ke wuwungan di sebelah tengah. Ia membuka genteng dan mengintai ke dalam dengan hati-hati. Dilihatnya ketiga orang tadi masuk ke dalam sebuah ruangan yang kebetulan sekali berada tepat di bawahnya. Di dalam ruangan yang lebar itu nampak duduk dua orang Turki.

Seorang di antara mereka telah tua sekali, dan yang seorang lagi setengah tua, sikapnya gagah. Juga kakek yang sudah sangat tua dan rambutnya sudah putih semua sehingga menimbulkan kontras yang mencolok dengan kulitnya yang hitam, nampak lemah lembut akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam berpengaruh.

Setelah melihat mereka, ketiga orang Turki itu segera maju dan memberi hormat dengan membungkukkan tubuh dalam-dalam dengan kedua tangan di depan. Mereka bertiga lalu bicara seakan-akan membuat laporan kepada dua orang itu. Tidak lama kemudian, orang setengah tua tadi menjawab dengan beberapa kalimat yang agaknya memberi perintah, karena setelah mendengar ucapan itu, tiga orang pendatang tadi lalu pergi lagi.

Tiba-tiba, orang setengah tua itu tertawa dan sambil menengok ke atas ke arah genteng yang dipijak oleh kaki Ang I Niocu ia berkata dalam bahasa Han yang lancar, “Sahabat yang berada di atas genteng, harap kau suka turun saja apa bila ada perlu dengan kami.”

Ang I Niocu terkejut sekali. Tidak pernah disangkanya bahwa orang itu dapat melihat atau mendengarkannya, dan selagi dia merasa ragu-ragu, tiba-tiba kakek rambut putih itu juga berkata,

“Nona berbaju merah agaknya Ang I Niocu! Kalau benar, kami persilakan turun karena kita masih kawan sendiri!”

Makin terkejutlah hati Ang I Niocu mendengar ini. Kalau laki-laki setengah tua itu hanya dapat mengetahui bahwa di atas genteng terdapat orang sedang mengintai, adalah kakek berambut putih itu bahkan tahu bahwa yang mengintai adalah seorang gadis baju merah, bahkan dapat menduga namanya dengan tepat! Ang I Niocu masih merasa ragu-ragu untuk turun, maka dia teringat sesuatu dan bertanya,

“Apakah seorang di antara Jiwi ada yang bernama Yousuf?”

Mendengar pertanyaan ini, laki-laki setengah tua itu berseri wajahnya dan sambil berdiri ia menjawab girang. “Akulah yang bernama Yousuf! Kalau begitu Nona tentu benar-benar Ang I Niocu adanya! Lihiap, silakan turun!”

Kini Ang I Niocu tidak merasa ragu-ragu lagi. Ia membuka beberapa potong genteng dan melayang turun sambil berkata, “Mohon dimaafkan sebanyaknya atas kelancanganku!”

Yousuf memandang kepada Nona Baju Merah itu dengan mata kagum, lalu dia menjura sambil berkata girang, “Betul, betul! Kau tentu Ang I Niocu. Aku telah lama mengenalmu dari penuturan anakku Lin Lin!”

Ang I Niocu menjadi girang sekali. “Dan aku pun sudah lama mengenal nama Yo-lopek dari kawan-kawan.”

Mendengar bahwa tanpa ragu-ragu lagi Ang I Niocu menyebut dirinya lopek (uwa) seperti Cin Hai, Kwee An dan yang lain-lain. Yousuf merasa girang sekali.

“Ang I Niocu, kedatanganmu ini bagiku laksana jatuhnya sebuah bintang dari langit! Kau disangka telah tewas di atas Pulau Kim-san-to sehingga melihat kesedihan kawan-kawan kita, aku sendiri merasa sangat berduka. Dan sekarang, tiba-tiba saja kau muncul dalam keadaan yang kebetulan sekali!”

Ang I Niocu memandang ke arah kakek berambut putih yang lihai tadi, lalu dia bertanya, “Siapakah Locianpwe yang terhormat ini?”

Kakek itu tertawa bergelak, kemudian menjawab, “Ang I Niocu, kau tentu belum pernah mendengar namaku, sungguh pun telah sering kali aku mendengar namamu dari muridku ini.”

“Ahh, kalau begitu Locianpwe tentu yang bernama Ibrahim!” kata Ang I Niocu.

Baik Ibrahim mau pun Yousuf menjadi tercengang. “Bagaimana kau bisa tahu, Lihiap?” tanya Yousuf heran.

Ang I Niocu lalu menceritakan pengalamannya, bahwa Cin Hai pernah bercerita tentang pertemuannya dengan guru Yousuf itu ketika Ibrahim menangkap ular.

Bukan main girangnya hati Yousuf pada saat mendengar bahwa Ma Hoa dan Kwee An berada dalam keadaan selamat pula, bahkan kini sedang menuju ke Lan-couw sehingga banyak kemungkinan dia akan bertemu dengan mereka kembali. Kalau tadinya dia masih agak muram wajahnya, kini dia menjadi riang gembira dan berkata,

“Lihiap, tadi kukatakan bahwa kedatanganmu ini seperti bintang jatuh dari langit, akan tetapi sekarang ternyata bahwa kau bukan merupakan bintang saja, bahkan seakan-akan bulan sendiri jatuh di pangkuanku! Kau tidak saja memperkuat fihakku, bahkan kau telah membawa berita yang sangat menggembirakan hatiku. Patut aku mengucap syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Tunggal.” Sambil berkata demikian, orang Turki itu mengangkat kedua tangan ke atas sebagai puji syukur kepada Tuhan.

“Sebenarnya, apakah yang sedang terjadi, Yo-lopek? Tadi aku melihat tiga orang itu dan aku merasa curiga. Ketika mendengar namamu disebut-sebut, aku lalu mengikuti mereka ke sini dan agaknya mereka membuat laporan. Ada apakah?” tanya Ang I Niocu yang sama sekali tak mengerti karena selama ini semua pembicaraan dilakukan dalam bahasa Turki.

Yousuf menarik napas panjang. “Sebetulnya hal yang sedang terjadi dan akan terjadi ini adalah urusan pribadi Turki sendiri. Akan tetapi, karena di sini terkandung juga soal-soal kejahatan, maka kami percaya bahwa kau tentu akan suka membantu kami. Orang-orang Turki yang berada di daerah ini terpecah menjadi dua golongan, yaitu pengikut-pengikut Pangeran Tua yang pada waktu ini masih menjadi raja di Turki, dan sebagian pula ialah pengikut-pengikut Pangeran Muda yang selalu menimbulkan kekacauan. Kami adalah para pengikut Pangeran Tua, kami selalu mengambil sikap baik dan bersahabat terhadap negerimu, akan tetapi politiknya yang bersahabat itu dikacau dan dirusak oleh Pangeran Muda yang selalu mencari perkara. Sekarang para pengikut Pangeran Muda itu bahkan memiliki maksud menyerbu ke pedalaman Tiongkok, dan mereka datang hendak mencari harta pusaka yang bukan menjadi hak orang Turki. Nah, kami para pengikut Pangeran Tua mendapat tugas untuk menghalangi maksud jahat ini, karena kalau maksud mereka itu terus dilanjutkan, yang akan menderita rugi adalah bangsa kami sendiri, karena tentu dianggap jahat oleh bangsamu. Kami bertugas menghalangi niat mereka mencuri harta pusaka itu, dan mencegah mereka melanjutkan usaha menyerbu ke wilayah Tiongkok!”

Ang I Niocu mengangguk-angguk maklum. “Kalau begitu, kau bersama kawan-kawanmu memang orang-orang gagah yang mulia, Yo-lopek. Aku pun pernah mendengar sedikit-sedikit tentang maksud orang-orang Turki itu, akan tetapi tak pernah menyangka bahwa ada dua rombongan yang bertentangan. Di fihak siapakah orang-orang seperti Siok Kwat Moli, Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin dan yang lain-lain itu berdiri?”

Tiba-tiba Ibrahim berdiri dari tempat duduknya dan berkata dengan gemas,

“Nah, itulah yang amat menyebalkan hati kami. Para pengikut Pangeran Muda itu sudah mempergunakan cahaya emas untuk menggunakan orang-orang jahat seperti mereka itu dalam usaha mereka yang rendah. Yang menyebalkan hati, bagaimana orang-orang Han sendiri sudi membantu usaha pengikut-pengikut Pangeran Muda yang memiliki maksud buruk terhadap negeri mereka sendiri?” Ibrahim menarik napas panjang.

Ang I Niocu tersenyum. “Tidak sangat aneh, Locianpwe. Iman yang lemah dikuasai hati, hati yang kotor dikuasai pikiran dan pikiran yang picik dikuasai oleh mata. Apa bila mata mereka sudah silau dan buta karena cahaya harta benda, kejahatan apakah lagi yang pantang bagi mereka?”

Ibrahim mengangguk-angguk. “Kau benar, kau benar...” lalu kakek rambut putih itu duduk melamun tidak mempedulikan lagi keadaan di sekelilingnya.

“Ang I Niocu,” Yousuf berkata, “sekarang kami menghadapi puncak pertentangan antara kami dan mereka. Tadi kawan-kawan sudah melaporkan bahwa para pengikut Pangeran Muda agaknya sudah mendapatkan kunci yang membawa mereka kepada tempat harta pusaka itu! Kabarnya bahwa mereka telah berhasil mendapatkan cawan yang berukirkan peta yang menunjukkan di mana tempat harta itu, yang dirampasnya dari seorang gila. Kalau hal ini betul, kami harus menghalangi mereka!”

Ang I Niocu tersenyum. “Tak usah lagi, Yo-lopek. Harta pusaka itu telah diketemukan dan yang mendapatkannya bukan lain ialah aku sendiri dan Cin Hai.”

Yousuf memandangnya dengan bengong sehingga Ang I Niocu kemudian menceritakan pengalamannya. Yousuf menjadi girang bukan main sehingga ia segera berpaling kepada gurunya dan menuturkan semua cerita Ang I Niocu dengan cepat kepada gurunya dalam bahasa Turki, karena tadi ketika Ang I Niocu bercerita, agaknya kakek itu masih melamun dan tidak mendengar apa-apa! Ibrahim juga merasa girang dan tertawa senang.

“Akan tetapi, Lihiap, kini mereka sedang menuju ke sini untuk menyerbu kami, demikian menurut laporan kawan-kawan. Kami sudah siap sedia menghadapi serbuan mereka dan kalau perlu, kami bersedia untuk bertempur pula.”

“Jangan kuatir, Yo-lopek. Aku telah berada di sini dan aku pasti akan membantu kalian.”

Pada saat itu, dari luar masuklah seorang penjaga dan memberi laporan singkat kepada Yousuf yang segera dijawabnya dengan perintah singkat pula. Orang itu lantas pergi lagi dan Yousuf lalu berkata kepada Ang I Niocu,

“Mereka telah datang dan kuminta pemimpin-pemimpin mereka agar datang ke sini untuk mengadakan pembicaraan.”

“Kalau begitu aku harus mengundurkan diri,” kata Ang I Niocu, yang menganggap bahwa tidak sepantasnya ia ikut bicara tentang urusan negara orang lain, apa lagi kalau mereka bicara dalam bahasa mereka yang tidak dimengertinya sama sekali itu.

Akan tetapi Yousuf mengangkat tangannya. “Tidak usah Lihiap. Kau duduklah saja di sini, mengawani kami berdua. Mereka yang datang ini pun hanya wakil-wakil dan para utusan saja, Semua pembicaraan akan dilakukan dalam bahasa Han, sebab mereka itu sebagian besar juga orang-orang Han yang telah kau kenal tadi.”

Rombongan tamu yang datang itu adalah tujuh orang yang terdiri dari seorang Turki tua yang bersorban merah, diiringkan oleh Siok Kwat Moli, Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin dan ketiga Kanglam Sam-lojn, yaitu Giok Im Cu, Giok Yang Cu dan Giok Keng Cu.

YOUSUF menyambut mereka dengan sikap dingin dan angkuh, karena sebagai pemimpin pengikut Pangeran Tua itu dia merasa lebih tinggi derajatnya, sedangkan Ibrahim hanya duduk saja tak mempedulikan mereka sama sekali, ada pun Ang I Niocu duduk dengan tegak dan gagah.

Rombongan itu merasa heran juga ketika melihat bahwa penyambut mereka hanya tiga orang saja, akan tetapi ketika mereka melihat bahwa Ang I Niocu berada di situ, mereka menjadi terkejut.

“Hemm, agaknya kau juga sudah mendapat bantuan seorang Han, Saudara Yousuf yang baik!” pemimpin Turki ini berkata sambil tersenyum sindir. Seperti keterangan Yousuf tadi, orang Turki ini mempergunakan bahasa Han oleh karena para pembelanya menghendaki demikian.

“Nona yang berdiri di pihakku ini adalah seorang pendekar wanita yang selalu membela persahabatan dan keadilan, tidak seperti pembantu-pembantumu yang hanya membela uang dan emas yang kau sodorkan kepada mereka, mana mereka bisa dipersamakan?” jawab Yousuf menyindir hingga wajah enam orang itu menjadi merah karena marah dan malu.

Yousuf segera berkata lagi kepada pemimpin orang Turki itu, “Sahimba, apakah maksud kedatanganmu membawa sekalian tukang-tukang pukulmu ini?”

Sahimba tertawa, kemudian berkata dengan sikap angkuh, “Yousuf, di negeri kami kau boleh berlaku sebagai seorang kepercayaan raja dan kami harus tunduk kepadamu. Akan tetapi sekarang kita berada di negeri orang lain dan kau tidak berhak untuk mencampuri urusan kami! Kami melakukan usaha kami sendiri hendak mencari keuntungan di tempat ini, mengapa kau beserta orang-orangmu begitu tidak tahu malu untuk menghalangi kami sehingga menimbulkan permusuhan di antara bangsa sendiri?”

“Sahimba, jika usahamu itu baik dan jujur, siapa yang akan sudi mencampuri urusanmu? Akan tetapi, kau bahkan menurut perintah dan nafsu jahat dari Pangeran Muda, hendak mengacau negeri lain orang, bahkan hendak mencuri hak lain bangsa. Hal ini tentu saja akan memalukan bangsa kita, dan sebagai seorang patriot, tentu saja kami tidak akan membiarkannya saja! Dengan perbuatanmu yang memalukan bangsa sendiri, kau boleh dianggap sebagai seorang pengkhianat yang merusak nama negara dan bangsa, apakah ini harus didiamkan saja?”

“Yousuf, kau manusia sombong! Kau mengandalkan apakah maka berani berkata begitu? Orang yang mencampuri urusan lain orang dan yang ingin tahu usaha orang lain adalah orang yang rendah! Kuperingatkan kepadamu sekali lagi sebagai orang-orang sebangsa, lebih baik kau lepaskan tanganmu dan jangan ikut-ikut urusan kami, agar kami tak usah merepotkan tangan membasmi kau dan kawan-kawanmu!”

Yousuf menjadi marah sekali, akan tetapi ia tetap tersenyum ketika menjawab, “Sahimba, kau bicara tanpa mempergunakan pikiran sehat! Aku adalah hamba dari Pangeran Tua yang menjadi raja di negeri kita, sedangkan kau adalah pengikut seorang pangeran yang selalu membuat kacau, ada apakah lagi yang dapat dirundingkan antara kita? Jangan kau anggap kami merasa takut akan semua ancamanmu yang hanya merupakan raung anjing di waktu malam terang bulan!”

“Kalau begitu, kita harus putuskan hal ini dengan senjata!” kata Sahimba dengan marah, dan dia bersama keenam orang-orangnya itu meraba gagang senjata!

“Terserah kepadamu, Sahimba!” kata Yousuf sambil menepuk tangan tiga kali dan dari segala lubang pintu muncullah puluhan orang dengan senjata lengkap!

“Kami sudah bersiap sedia!”

Sahimba dan kawan-kawannya memandang ke sekeliling. Ternyata bahwa kawan-kawan Yousuf, yaitu pengikut Pangeran Tua, sudah mengurung rumah itu dan menjaga dengan kuat!

“Kau hendak menggunakan orang banyak dan mengeroyok kami?” kata Sahimba dengan senyum sindir untuk menyembunyikan kegelisahannya.

“Hanya orang-orang macam kaulah yang suka mengeroyok dan mengandalkan banyak kawan!” jawab Yousuf. “Kawan-kawanku siap sedia bukan untuk mengeroyok, akan tetapi untuk menjaga kalau-kalau kau yang berkawan banyak ini berani berlagak!”

“Yousuf!” terdengar si Nenek Bongkok Siok Kwat Mo-li berseru. “Jangan kau sesombong itu! Kalau kau memang laki-laki, marilah kita adu kepandaian, seorang lawan seorang, jangan main keroyok.”

Ibrahim mengeluarkan suara batuk-batuk dan sikapnya masih tenang ketika dia berkata, “Aduh, galak benar! Yousuf, kalau tamu-tamu kita menghendakinya, sebagai tuan rumah seharusnya kita menerima untuk membuktikan keramahan kita terhadap tamu-tamu yang datang tanpa diundang!”

Yousuf lalu menghadapi Sahimba. “Kau telah mendengar sendiri ucapan Guruku dan bila kau menghendaki, boleh kita mengajukan jago-jago untuk mengadu kepandaian!”

“Boleh…, boleh! Inilah kesempatan bagus untuk membikin mampus kalian dalam sebuah pertandingan yang jujur,” jawab Sahimba.

Yousuf kemudian memberi aba-aba dan beberapa orang penjaga langsung masuk untuk membersihkan ruangan yang lebar itu. Meja kursi segera disingkirkan sehingga ruangan itu kini menjadi sebuah tempat yang cukup luas di mana orang boleh bertempur sesuka hatinya.

Yousuf berkata lagi, “Karena di pihakku hanya ada tiga orang jago, sedangkan aku lihat bahwa kau membawa enam orang tukang pukul, maka kau boleh mengajukan tiga orang tukang pukulmu.”

“Orang sombong, kau anggap kami tukang pukul? Jaga lidahmu baik-baik!” berkata Giok Yang Cu, orang ke dua Kanglam Sam-lojin yang bertubuh tinggi besar.

Yousuf tersenyum dan memandangnya dengan tatap mata mengejek, “Aku adalah tuan rumah, mengapa harus menjaga lidah? Kaulah yang harus menjaga lagakmu baik-baik. Apakah kau merupakan orang pertama yang maju mewakili pihakmu?”


Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su


Sebelum Giok Yang Cu menjawab, terdengar suara tertawa bergelak dari luar rumah dan terdengarlah suara orang, “Sahabatku Yo Se Pu, jangan kau borong semua babi-babi itu, berilah kesempatan kepadaku untuk menikmati dagingnya juga!”


Dan dari luar berkelebatlah tiga bayangan orang memasuki rumah itu. Mereka ini bukan lain adalah Nelayan Cengeng yang mengeluarkan kata-kata tadi, diikuti oleh Kwee An dan Ma Hoa!

Bukan main girangnya hati Yousuf melihat Kwee An dan Ma Hoa sehingga dia melompat maju dan memeluk mereka berdua seolah-olah seorang ayah bertemu dengan dua orang anaknya yang telah disangka mati. Kedua mata orang Turki ini basah dengan air mata. Ia pun lalu memegang tangan Nelayan Cengeng dengan hati girang, lantas berkata kepada Sahimba,

“Dasar kau yang sedang berbintang gelap! Dengan kedatangan ketiga orang ini, keadaan kita menjadi berimbang jumlahnya!”

Kemudian, tanpa peduli akan Sahimba dan kawan-kawannya, Yousuf lalu mengenalkan Ibrahim kepada Nelayan Cengeng, Ma Hoa, dan Kwee An sehingga mereka bertiga lalu menjura memberi hormat yang dibalas dengan gembira oleh Ibrahim.

“Nama kalian sudah kukenal lama sekali dan setelah melihat orang-orangnya, aku makin merasa kagum saja!” kata kakek itu.

Sementara itu, Giok Yang Cu yang sudah maju ke depan akan tetapi tidak mendapatkan pelayanan dari tuan rumah yang sebaliknya bahkan sibuk bercakap-cakap dengan ketiga orang pendatang baru itu, menjadi mendongkol sekali.

“Yousuf apakah tidak ada orang yang berani melawanku?” tegurnya marah.

Melihat laku Giok Yang Cu, Nelayan Cengeng tertawa lagi bergelak-gelak dan berkata kepada Yousuf, “Saudara Yo, mengapa kau tidak segera memberi sepotong tulang busuk kepada anjing itu supaya dia tidak melolong-lolong lagi?” kemudian ia tertawa lagi dengan geli hati hingga keluar air mata bercucuran dari kedua matanya!

“Orang gila, jangan kau menghinaku!” seru Giok Yang Cu yang segera mencabut pedang dari sarungnya.

Akan tetapi sebelum dia maju dan menyerang Nelayan Cengeng, Yousuf telah melompat di depannya dan berkata, “Sebagai tuan rumah, biarlah aku turun tangan lebih dulu!”

Orang Turki ini lalu mencabut pedangnya pula dan dua orang ini segera bertempur hebat, disaksikan oleh semua orang yang berada di situ.

Ilmu kepandaian Giok Yang Cu jauh lebih lihai dari pada dahulu oleh karena Ilmu Pedang Liong-san Kiam-hoat telah banyak mengalami perubahan dan kemajuan, ada pun pertapa tinggi besar ini terkenal sebagai ahli gwakang yang memiliki tenaga sebesar gajah, maka ketika ia mainkan pedangnya, pedang itu mendatangkan angin dan mengeluarkan suara.

Akan tetapi selain tinggi ilmu kepandaiannya, Yousuf juga telah mempunyai banyak sekali pengalaman bertempur menghadapi orang-orang pandai, maka ia dapat bergerak dengan tenang menghadapi gempuran-gempuran dahsyat dari lawannya itu. Lagi pula, semenjak dekat dengan Nelayan Cengeng, Lin Lin dan lainnya, Yousuf sudah banyak memahami rahasia-rahasia ilmu silat daratan Tiongkok sehingga pengertiannya menjadi sangat luas dan kepandaiannya banyak maju.

Giok Yang Cu tadinya merasa girang melihat bahwa yang maju menghadapinya adalah orang Turki itu, karena betapa pun juga, ia anggap bahwa kepandaian orang itu tentu tak seberapa tinggi. Akan tetapi setelah bertempur dua puluh jurus lebih dia menjadi terkejut dan diam-diam mengeluh.

Dalam hal kecepatan dan tenaga, orang Turki itu tidak kalah. Bahkan lawannya itu hebat sekali gerakan pedangnya, ada pun tingkat ginkang-nya lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri! Akan tetapi dia tidak mau memperlihatkan kejeriannya dan maju mendesak makin hebat dengan serangan-serangan yang ditujukan ke bagian-bagian yang berbahaya.

Yousuf tidak menjadi gugup walau pun desakan lawannya yang menggunakan gerakan terlihai dari Liong-sam-hoat yang dinamakan Naga Liong-san Mengamuk itu hebat sekali. Dengan ketenangannya yang juga diperkuat oleh kekuatan batinnya, Yousuf menghadapi serbuan sambil terus mainkan pedangnya dengan cepat sehingga tubuhnya tertutup oleh gulungan sinar pedangnya.

Tiba-tiba terdengar pekik kesakitan Giok Yang Cu dan Si Tinggi Besar itu roboh dengan dada terluka oleh pedang Yousuf. Sungguh pun luka itu tidak membahayakan nyawanya, akan tetapi cukup membuat ia pada waktu itu tak berdaya lagi dan harus mengundurkan diri sambil dibantu oleh adiknya yaitu Giok Keng Cu. Yousuf juga melangkah mundur dan berkata kepada Sahimba,

“Seorang tukang pukulmu telah kalah, Sahimba!”

Terdengar bentakan keras dan tahu-tahu Giok Im Cu, yaitu saudara tertua dari Kanglam Sam-lojin, telah melompat maju dengan gesit sekali dan tangannya memegang sebatang bambu panjang. Giok Im Cu hendak menebus kekalahan sute-nya, maka tanpa bertanya lagi kepada Sahimba dia telah melompat ke tengah lapangan bersilat.

“Biar pinto menerima pengajaran dari tuan rumah!” katanya.

“Pek-hu, biarkan aku main-main dengan Tosu ini,” kata Ma Hoa yang mendahului Ang I Niocu, karena ia merasa tertarik melihat bahwa tosu itu pun bersenjata sebatang tongkat.

“Kau?” Yousuf memandang ragu-ragu.

Akan tetapi Nelayan Cengeng segera berkata, “Saudara Yo, keponakan Ma Hoa ini telah mempelajari cara memukul anjing, biarkan dia maju!”

Yousuf selamanya tidak pernah meragukan ucapan Nelayan Cengeng, apa lagi dalam hal ini tentu saja Nelayan Cengeng juga tidak akan membiarkan muridnya yang terkasih itu menghadapi bencana, maka dia lalu menganggukkan kepala sambil berkata kepada Ma Hoa,

“Baiklah, akan tetapi kau berhati-hatilah!”

Ma Hoa tersenyum dan segera melangkah maju menghadapi Giok Im Cu yang merasa tak enak sekali. Ia merasa sungkan dan dipandang rendah. Masa ia seorang tokoh besar di kalangan kang-ouw harus menghadapi seorang gadis muda yang cantik dan bertangan kosong ini?

“Nona, dengan senjata apakah kau hendak memberi pengajaran kepada pinto?”

Ma Hoa tersenyum sambil mencabut keluar sepasang bambu runcingnya yang berwarna kuning dan bentuknya pendek itu. “Dengan ini!” jawabnya singkat.

Terbelalak mata Giok Yang Cu memandang senjata yang aneh itu, akan tetapi berbareng pada saat itu juga dia merasa berdebar karena teringat akan seorang sakti yang menjadi ahli dalam permainan sepasang bambu runcing yang pendek. Segera dia menggerak-gerakkan senjatanya dan berkata,

“Mari, mari, majulah!”

Ma Hoa tidak berlaku sungkan lagi dan segera menyerang dengan kedua bambu runcing yang digerakkan secara luar biasa. Yousuf yang belum pernah melihat Ma Hoa bermain bambu runcing itu merasa terheran-heran sehingga tanpa terasa lagi terjatuh ke dalam kursinya, duduk sambil memandang bengong.

Gerakan gadis ini benar-benar lihai dan sangat indah dipandang. Rambutnya yang terurai bergerak-gerak di sekeliling kepalanya, ada pun bambu runcing itu saat digerakkan untuk menyerang, gerakannya demikian cepat sehingga seakan-akan berubah menjadi puluhan batang!

Giok Im Cu tercengang melihat ini dan dia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi serangan yang sangat aneh ini. Makin keras dugaannya ketika melihat permainan ini karena selama dia hidup, baru sekali dia pernah menyaksikan permainan sepasang tongkat yang luar biasa, yaitu yang dimainkan oleh Hok Peng Taisu, seorang pertapa sakti yang lihai.

Ia mengigit bibir dan sebagai seorang ahli lweekang dia lalu mengerahkan lweekang-nya sehingga setiap sambaran tongkatnya membawa tenaga besar yang ganas. Dia hendak mengandalkan tenaga lweekang-nya untuk mengalahkan gadis yang pandai memainkan bambu runcing itu.

Akan tetapi kembali dia tercengang karena gadis itu dengan pandainya tak mau mengadu tenaga. Dara ini hanya mengandalkan kelincahan untuk berkelebat di antara sambaran tongkat lawannya, dan mengirim serangan-serangan berupa totokan dan tusukan ke arah jalan darah lawan!

Ramai sekali mereka bertempur, dan kini Yousuf tak dapat menguasai kegembiraannya lagi. Berkali-kali dia berseru dengan girang sambil mengeluarkan pujian-pujian.

Lima puluh jurus telah lewat dan Giok Im Cu mulai terkurung oleh pukulan batang bambu runcing yang seakan-akan bergerak berbareng mengurung dirinya itu. Ia mencoba untuk mengirim pukulan maut, akan tetapi, tiba-tiba dia merasa sebelah tubuhnya bagian kanan menjadi lumpuh dan mati sehingga tak terasa lagi tongkatnya terlepas dari pegangan dan jatuh ke atas lantai. Ternyata jalan darah Ta-sen-hiat sudah tertotok oleh ujung bambu runcing Ma Hoa. Gadis itu pun menahan sepasang senjatanya dan memandang sambil mengeluarkan senyuman.

Wai Sauw Pu pendeta bersorban itu segera melompat dan seketika dia mengeluarkan tangan menepuk pundak dan mengurut punggung Giok Im Cu, tosu itu pulih kembali jalan darahnya. Giok Im Cu menjura kepada Ma Hoa dan bertanya, “Nona, apakah hubunganmu dengan Hok Peng Taisu?”

“Ada perlu apakah kau menanyakan Suhu-ku?”

“Ohh... jadi kau murid Hok Peng Taisu? Pantas... pantas….” dengan kecewa sekali Giok Im Cu mengundurkan diri.

Dia tadi merasa penasaran dan malu sekali karena dikalahkan sedemikian macam oleh seorang gadis muda yang tidak terkenal. Bagi seorang jagoan, jauh lebih baik dikalahkan sampai tewas dalam pertandingan dari pada dikalahkan secara demikian, yaitu tertotok sampai tak berdaya yang hampir sama dengan penghinaan namanya.

Akan tetapi setelah dia mendengar bahwa gadis itu adalah murid Hok Peng Taisu, rasa penasarannya sebagian besar lenyap. Ia telah menyaksikan kepandaian Hok Peng Taisu dan maklum bahwa ilmu kepandaian mainkan bambu runcing itu adalah semacam ilmu yang tak akan dapat dilawannya, biar pun ia akan melatih diri sepuluh tahun lagi!

Dengan gembira sekali, juga disertai kebanggaan hati, Yousuf lalu menghampiri Ma Hoa dan berkata, “Anak nakal, kelak kau harus menceritakan kepadaku dari mana kau bisa mendapatkan ilmu silat yang luar biasa itu!”

Melihat betapa sudah dua kali pihaknya mengalami kekalahan, Sahimba gelisah sekali dan hendak minta kepada Siok Kwat Mo-li yang dianggapnya paling lihai di antara semua pembantunya untuk menebus kekalahan. Akan tetapi, Wai Sauw Pu yang merasa amat penasaran dan marah, telah mendahului dan kini pendeta bersorban yang tinggi besar itu telah berdiri sambil bersedakap dan menantang.

“Dia yang mempunyai kepandaian boleh maju!”

Pendeta dari Sin-kiang ini selain bertubuh tinggi besar, juga sepasang matanya tajam dan berpengaruh sekali. Ia memang sudah mempelajari banyak ilmu kepandaian yang tinggi, diantaranya ia mempelajari pula hoat-sut (ilmu sihir) yang datang dari barat. Pernah ia menghadapi Ang I Niocu dan tahu bahwa dalam hal ilmu silat, belum tentu ia akan dapat menangkan rombongan lawan yang biar pun masih muda-muda akan tetapi memiliki ilmu silat tinggi, maka kini ia mengambil keputusan untuk melawannya dengan ilmu silat yang dipengaruhi sihir! Oleh karena itu, ia memasang kuda-kuda dengan berpangku tangan seperti orang hendak bertapa berdiri!

Ketika Ang I Niocu hendak maju, tiba-tiba Ibrahim berseru, “Ang I Niocu, tahan dulu, yang besar ini adalah bagianku!”

Dengan langkah yang sembarangan bagai orang lelah atau malas, Ibrahim menghampiri Wai Sauw Pu yang memandangnya dengan muka memperlihatkan kegelian hatinya. Si Pendeta Tinggi Besar itu tertawa ketika ia berkata,

“Aku tadi mendengar bahwa kau diperkenalkan sebagai guru dari Yousuf, apakah engkau orang tua yang sudah tinggal menanti saat terakhir ini juga hendak meniru kedunguan muridmu dan mencampuri urusan orang lain?”

“Wai Sauw Pu, sebagai seorang yang mempelajari kebatinan, agaknya kau sudah lupa akan dua perkara. Pertama, bahwa jalan yang ditunjuk Tuhan bagi manusia adalah jalan kebenaran yang berdasarkan amal kebaikan dan bahwa mereka yang berjalan di atas ini saja akan mendapat berkah abadi. Ke dua, bahwa akhir kehidupan tidak tergantung dari pada usia tua, bila mana saja Tuhan menghendaki, setiap manusia, tua mau pun muda, akan berakhir hidupnya! Akan tetapi kau sudah melanggar syarat pertama dan tidak mau berjalan di atas jalan kebenaran, bahkan kau membiarkan hatimu ditunggangi oleh nafsu keduniaan dan menjadi silau oleh sinar emas yang sebenarnya tak ada bedanya dengan tanah lempung biasa! Pula, kau telah mengingkari kekuasaan Tuhan yang berkuasa atas nyawa tiap manusia dengan mengatakan bahwa saat terakhir bagiku sudah dekat, karena menurut pandanganku yang bodoh bila kau tidak lekas-lekas mengubah dan menginsyafi kesesatanmu, agaknya kaulah yang akan mendahului aku masuk ke dalam neraka!”

Tadinya Wai Sauw Pu sengaja mengucapkan omongan menghina itu untuk memancing kemarahan dalam hati kakek tua itu, akan tetapi tidak tahunya sekarang dia sendiri yang menjadi marah mendengar petuah ini! Ia hendak membikin lawan yang akan dihadapinya marah karena ia maklum bahwa kemarahan akan melemahkan batin orang agar mudah dipengaruhi oleh ilmu sihirnya. Ia tidak tahu bahwa ia berhadapan dengan Ibrahim, tokoh tua yang dihormati orang di Turki oleh karena selain pandai ilmu silat dan pengobatan, kakek ini terkenal sebagai seorang ahli kebatinan berilmu tinggi!

“Kalau begitu, hendak kita lihat bersama saja, siapa yang akan mampus terlebih dahulu!” teriak Wai Sauw Pu sambil mengeluarkan senjatanya yang luar biasa, yaitu seikat tasbeh dari gading.

Ang I Niocu, Ma Hoa dan Kwee An pernah merasakan kelihaian Wai Sauw Pu ini, maka mereka memandang dengan penuh kekuatiran. Apakah kakek rambut putih yang terlihat lemah itu dapat menghadapi pendeta tinggi besar itu? Hanya Yousuf seorang yang masih tenang karena dia percaya penuh akan kelihaian gurunya.

Gerakan tasbeh gading di tangan Wai Sauw Pu sekali ini agak berbeda dengan gerakan biasanya, karena kini ia bersilat dengan ilmu sihir sehingga dari sambaran gadingnya itu seakan-akan keluar hawa yang berpengaruh melemahkan semangat lawan dan membuat hati menjadi gentar.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara halus dari Ibrahim dan kakek rambut putih ini pun lalu menarik keluar satu ikat tasbeh kecil yang terbuat dari pada batu-batu kemala putih! Tasbeh ini kecil saja dan digerakkan dengan lambat dan perlahan, akan tetapi aneh, tiap kali tasbeh gading dari Wai Sauw Pu menyambar dan bertemu dengan tasbeh kecil itu, senjata pendeta bersorban itu terpukul dan balik menyambar ke arah muka atau tubuh pemegangnya sendiri!

Wai Sauw Pu terkejut sekali karena dia baru maklum bahwa kakek itu ternyata memiliki ilmu batin yang kuat sehingga ilmu sihir yang dia kerahkan dalam serangan tasbehnya ternyata sudah dikembalikan dan membahayakan dirinya sendiri! Ia cepat menghentikan ilmu sihirnya dan kini menyerang dengan menggunakan seluruh tenaga dan kepandaian silatnya!

Ia bertindak benar. Kalau saja ia melanjutkan serangannya mengandalkan ilmu sihir, dia pasti akan menderita celaka karena di dalam hal ilmu sihir, gurunya sendiri belum tentu akan dapat mengatasi kekuatan Ibrahim! Akan tetapi dalam hal ilmu silat, ternyata bahwa keadaan mereka seimbang.

Ibrahim yang sudah tua itu harus mengerahkan semua kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang benar-benar tangguh ini! Kalau saja dia mau, Ibrahim dengan mudah dapat menggunakan kekuatan batinnya untuk merobohkan Wai Sauw Pu tanpa mengeluarkan tenaga tubuh, akan tetapi ia tidak mau melakukan hal ini.

Bila lawannya menggunakan ilmu hitam barulah ia akan menjaga diri dan mengembalikan segala serangan itu. Akan tetapi, oleh karena Wai Sauw Pu kini hanya mengandalkan kepandaian silatnya, Ibrahim yang tidak mau bermain curang itu pun lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melawan.

Biar pun ilmu silat mereka seimbang, akan tetapi Ibrahim kalah tenaga dan kalah ganas, biar pun ia masih unggul dalam hal ketenangan dan pengalaman. Oleh karena itu, kedua orang itu bertempur dengan ramai sekali, sukar diduga siapa yang akan mendapatkan kemenangan terakhir.

Ang I Niocu, Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng menjadi gelisah juga dan merasa kasihan melihat betapa Ibrahim yang sudah tua sekali itu terpaksa bertempur mati-matian menghadapi Wai Sauw Pu yang mempunyai gerakan ganas dan kuat. Akhirnya Nelayan Cengeng tak dapat menahan hatinya lagi dan dengan keras ia berkata,

“Ha-ha-ha-ha! Alangkah lucunya! Seorang tinggi besar dan kuat seperti itu tidak berdaya menghadapi seorang kakek tua renta. Hanya tasbehnya saja gede-gede, segede obrolan dan kesombongannya. Ha-ha-ha. Lihatlah, aku berani bertaruh apa saja, dalam sepuluh jurus lagi ia tentu akan roboh bertekuk lutut!”

Bukan main marahnya Wai Sauw Pu mendengar ejekan ini, karena dia pun tadi sudah merasa penasaran dan panas perut karena kakek rambut putih itu ternyata sukar sekali dijatuhkan. Kini ditambah lagi dengan sindiran Nelayan Cengeng, ia tidak dapat menahan marahnya lagi dan sekali dia berseru, tangan kirinya telah mengayun senjata rahasianya yang lihai sekali, yaitu golok-golok kecil yang disebut Hui-to (Golok Terbang).

Hui-to yang jumlahnya tiga buah itu langsung meluncur cepat ke arah Ibrahim. Hui-to ini selain harus menggunakan tenaga lweekang untuk menyambitkannya, juga disertai ilmu sihir sehingga golok itu seakan-akan hidup dan menyambar bagaikan sedang digerakkan oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan.

Ibrahim tertawa bergelak dan berkata, “Wai Sauw Pu, mengapa kau menyerang dirimu sendiri dengan hui-to?”

Dan aneh, sesudah kakek itu mengeluarkan ucapan ini disertai gerakan tangan kirinya, tiga batang golok yang meluncur ke arahnya itu tiba-tiba saja membelok dan membuat gerakan kembali serta menyerang ke arah Wai Sauw Pu sendiri.

Bukan main terkejutnya pendeta bersorban itu ketika melihat betapa tiga batang hui-tonya menyerang dia dan tak dapat dikendalikan oleh kekuatan sihirnya lagi. Maka cepat-cepat dia mengebut dengan tasbehnya ke arah tiga batang golok itu sambil membentak.

“Runtuh!”

Benar saja, ketiga batang golok itu runtuh ke bawah, akan tetapi yang sebatang masih menghantam kakinya sehingga kakinya pun terluka oleh ujung golok.

Tepat pada saat itu, di luar terdengar sorak sorai hebat dan Sahimba dengan senyum menyeringai lalu berseru, “Yousuf, tibalah saatnya kalian binasa di ujung senjata!”

Sambil berkata demikian, Sahimba lalu mencabut pedang dan menyerang Yousuf, diikuti oleh Siok Kwat Mo-li yang mencabut sabuk kuning emas dan mainkan sabuk itu dengan hebat. Lok Kun Tojin lalu mengeluarkan senjatanya yang lihai, yaitu sepasang roda yang diikat dengan tali. Juga ketiga orang tosu Kanglam Sam-lojin lalu menarik keluar senjata masing-masing dan maju menyerbu kepada Yousuf dan kawan-kawannya.

“Manusia-manusia curang!” Nelayan Cengeng berseru sambil memutar-mutar dayungnya yang hebat bagaikan seekor naga sungai mengamuk.

Ang I Niocu juga lalu mencabut pedang Cian-hong-kiam, Kwee An mencabut pedangnya Oei-hong-kiam yang bercahaya kuning, sedangkan Ma Hoa lantas menggerak-gerakkan sepasang bambu runcingnya!

Pertempuran di dalam ruangan itu makin menghebat, dan kini mereka bertempur bukan untuk mengadu kepandaian lagi, akan tetapi mengadu jiwa! Ternyata bahwa sorakan tadi datang dari kawan-kawan Sahimba yang memang sudah direncanakan untuk menyerbu masuk. Jumlah mereka sangat besar sehingga orang-orang kampung pengikut Pangeran Tua yang dikepalai oleh Yousuf langsung terdesak. Para penyerbu itu telah tiba di depan pintu Yousuf dan sebentar lagi mereka menyerbu ke dalam, hendak membantu Sahimba dan kawan-kawannya!

Siok Kwat Mo-li dilawan oleh Ang I Niocu, Lok Kun Tojin dilawan oleh Nelayan Cengeng sedangkan Kanglam Sam-lojin bertempur melawan Ma Hoa dan Kwee An. Kepandaian mereka berimbang dan pertempuran pasti akan berjalan seru dan lama kalau saja pihak Sahimba tidak mempergunakan kecurangan.

Terdengar seruan Siok Kwat Mo-li dan iblis wanita ini lalu menyebar jarum-jarumnya yang berbahaya. Ada pun Wai Sauw Pu kembali mengeluarkan hui-to-hui-to yang tidak kurang berbahayanya pula.

Tidak lama kemudian, selagi Yousuf dan kawan-kawannya terdesak karena pihak lawan menyebar senjata-senjata rahasia yang lihai itu, dari luar masuklah para penyerbu yang ternyata telah berhasil menembus pertahanan para anak buah Yousuf. Pengikut-pengikut Pangeran Muda lebih ganas dan lebih banyak jumlahnya sehingga banyak sekali anggota pengikut Pangeran Tua kena dilukai atau dibinasakan.

Melihat itu, Ibrahim segera berseru nyaring bagaikan seorang berdoa, “Ampunkan hamba, Tuhan! Bukan maksud hamba ingin mengotorkan tangan membunuh, akan tetapi demi keselamatan semua kawan ini!” ia lalu mengerahkan kesaktiannya dan tiba-tiba dia mementangkan kedua lengannya ke depan dengan mata memandang penuh kekuatan batin.

“Sahimba... serta enam orang kawanmu... dengarlah... aku perintahkan kalian berlutut... berlutut... berlutut...!”

Hal yang aneh terjadi. Sahimba serta kawan-kawannya tiba-tiba merasa kepala mereka pening dan tak dapat menguasai diri sendiri lagi. Akhirnya, seorang demi seorang segera menjatuhkan diri berlutut dan melempar senjata! Hanya Wai Sauw Pu yang juga memiliki ilmu sihir itu masih kuat mempertahankan diri.

“Ha-ha-ha... tua bangka... kau harus mampus...” Dan secepat kilat dia mengayun enam batang hui-to ke arah Ibrahim yang masih berdiri diam dengan tangan terpentang laksana patung.

Enam batang hui-to itu menancap dengan jitu pada sasarannya sehingga tubuh Ibrahim terhuyung-huyung lalu roboh. Wai Sauw Pu tertawa bergelak-gelak, akan tetapi pada saat itu sebatang dayung di tangan Nelayan Cengeng menghantamnya dan biar pun ia masih mencoba mengelak, akan tetapi dayung itu tetap masih menghantam dadanya sehingga beberapa tulang iganya patah-patah dan ia roboh di dekat mayat Ibrahim dalam keadaan tidak bernyawa pula!

Sementara itu, karena tewasnya Ibrahim maka pengaruh sihirnya pun lenyap sehingga Sahimba beserta kawan-kawannya menjadi sadar kembali. Akan tetapi, sebelum mereka sempat mengambil kembali senjata-senjata mereka, Yousuf yang marah sekali telah maju menyerang Sahimba sehingga tembuslah punggung Sahimba oleh pedang Yousuf.

Juga Ang I Niocu dan kawan-kawannya lalu menyerang lawan-lawannya yang sekarang melakukan perlawanan dengan tangan kosong. Akan tetapi, para penyerbu yang terdiri dari anak buah Sahimba, sudah masuk dan mengeroyok, sehingga Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin serta ketiga Kanglam Sam-lojin telah mendapat kesempatan untuk mengambil senjata mereka kembali.

Pertempuran hebat berlangsung terus dan kini Yousuf dan kawan-kawannya mengamuk seperti harimau-harimau berebut daging. Terutama sekali Nelayan Cengeng yang sambil tertawa bergelak dengan mata mengalirkan air mata, memutar-mutar dayungnya secara dahsyat sehingga tidak saja para penyerbu menjadi gentar, akan tetapi juga Siok Kwat Moli dan kawan-kawannya menjadi jeri juga.

Dalam perkelahian itu, Siok Kwat Mo-li mendapatkan luka akibat tusukan pedang Ang I Niocu pada pundaknya, sedangkan sebuah roda milik Lok Kun Tojin sudah terampas oleh bambu runcing Ma Hoa. Oleh karena ini, mereka semakin cemas dan lenyaplah nafsu perlawanan mereka, apa lagi karena kini Sahimba yang mereka bantu telah tewas dan anak buahnya mulai melarikan diri pula.

Dengan teriakan keras, Siok Kwat Mo-li lantas mengajak kawan-kawannya untuk kabur. Yousuf tidak mengejar mereka, bahkan dia mencegah kawan-kawannya yang hendak mengejar, “Biarlah, sudah terlalu banyak orang binasa dalam perang saudara yang terkutuk ini!”

Yousuf cepat mengumpulkan anak buahnya yang masih ada dan mereka lalu merawat semua orang, baik kawan mau pun lawan yang terluka di dalam pertempuran itu, serta mengurus yang telah tewas.

Ang I Niocu, Nelayan Cengeng, Kwee An dan Ma Hoa tidak mau mengganggu Yousuf yang sedang berduka dan sedang sibuk mengurus semua itu, maka mereka kemudian beristirahat dalam sebuah rumah di dalam kampung itu yang disediakan untuk mereka.

Sesudah mereka berempat ramai membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi serta mengambil keputusan untuk membantu Yousuf selama para pengacau dari Turki masih mengganggunya, tiba-tiba Ma Hoa lalu berkata kepada Kwee An.

“An-ko, mengapa kita lupa untuk memberi selamat kepada Enci Im Giok?” gadis ini bicara sambil tersenyum gembira sehingga Ang I Niocu menjadi terheran. Apa lagi ketika dia melihat Kwee An memandangnya dengan tersenyum pula.

Selagi dia hendak bertanya, tiba-tiba Nelayan Cengeng tertawa girang dan berkata, “Tadi kita tidak ada kesempatan. Sekarang akulah orang pertama yang harus memberi selamat kepadanya!” Kemudian dia menghadapi Ang I Niocu lalu mengangkat kedua lengannya memberi selamat sambil berkata keras-keras,

“Ang I Niocu, kionghi... kionghi… (selamat, selamat)!”

Ucapan ini diturut oleh Kwee An dan Ma Hoa yang juga berdiri memberi selamat.

Ang I Niocu memandang berganti-ganti kepada mereka bertiga lalu katanya gagap, “Nanti dulu...! Memberi selamat sih mudah, akan tetapi terangkanlah dulu, untuk apakah kalian memberi selamat...?”

“Ha, masih berpura-pura lagi! Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!” Ma Hoa menggodanya sambil memegang lengan Ang I Niocu. “Enci Im Giok, kau memang tidak ingat kepada kawan. Mengapa urusan itu kau rahasiakan saja?”

“Adik Hoa, kalau kau tidak mau lekas menceritakan padaku apa maksud kalian ini, tentu akan kucubit bibirmu!” kata Ang I Niocu dengan gemas sambil memandang kepada Ma Hoa dengan mata dipelototkan.

“Ha-ha-ha!” Nelayan Cengeng tertawa bergelak. “Urusan pertunangan dan jodoh adalah hal biasa saja, mengapa harus dirahasiakan terhadap kawan-kawan?”

“Pertunangan...? Jodoh... ?” Ang I Niocu memandang heran.

“Enci Im Giok, janganlah kau berpura-pura lagi. Kami tanpa disengaja sudah mengetahui rahasiamu!” kata Ma Hoa, sedangkan Kwee An hanya tersenyum saja karena ia merasa malu dan tidak berani menggoda Ang I Niocu.

“Nanti dulu, Adik Hoa, aku masih belum mengerti. Urusan pertunangan yang manakah kau maksudkan?”

“Aduh, pandainya bermain sandiwara!” Ma Hoa menggunakan telunjuknya yang runcing menuding ke arah muka Ang I Niocu. “Siapa lagi kalau bukan urusan pertunanganmu? Jangan kau menyangkal bahwa kau telah bertunangan, Enci Im Giok! Buktinya nampak di depan mata!”

“Apa buktinya?”

Ma Hoa menuding ke arah pedang yang tergantung di pinggang Dara Baju Merah itu. “Bukankah pedang yang kau pakai itu adalah Cian-hong-kiam pemberian tunanganmu?”

Mulai berdebar dada Ang I Niocu. “Dari mana kau dapat mengetahui hal ini?” tanyanya.

“Dari siapa lagi kalau bukan dari Lie-taihiap!”

Ang I Niocu bangkit berdiri dari tempat duduknya. “Di... di mana dia...?”

Ma Hoa bertepuk tangan. “Nah, nah... sekarang kau mencari-carinya. Kau mencari dia... siapakah, Enci...?”

Dengan gemas Ang I Niocu mengulurkan tangan hendak mencubit pipi Ma Hoa. “Jangan main-main, Adik Hoa. Benar-benarkah kau bertemu dengan dia?”

“Ehh... dia siapakah...? Jelaskan namanya, ahhh...” Ma Hoa menggoda lagi.

Akan tetapi Kwee An merasa kasihan pada Ang I Niocu maka ia berkata, “Kami memang telah bertemu dengan taihiap Lie Kong Sian.”

“Di mana? Dan bagaimana kalian bisa bertemu dengan dia?” tanya Ang I Niocu dengan heran.

“Sabar, Enci Im Giok. Sabar dan tenang. Kau duduklah baik-baik dan dengarlah ceritaku bagaimana kami bertemu dengan... calon suamimu yang gagah perkasa itu!”

Dengan muka merah karena jengah dan malu, Ang I Niocu yang ‘mati kutunya’ terhadap godaan Ma Hoa itu, lalu duduk dan mendengarkan penuturan Ma Hoa.

Sesudah berpisah dengan Ang I Niocu di dalam hutan, Ma Hoa, Kwee An, serta Nelayan Cengeng lantas melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat. Tujuan mereka adalah Propinsi Kansu dan ibu kotanya, yakni Lan-couw. Mereka bertiga kini lebih bergembira melanjutkan perjalanan, oleh karena kenyataan bahwa Ang I Niocu benar-benar masih hidup membuat mereka merasa gembira sekali, lebih-lebih Ma Hoa yang merasa suka sekali kepada Dara Baju Merah yang lihai itu.

Gadis ini merasa betapa beruntungnya hidup ini. Dia dan kekasihnya selamat, bahkan mendapat guru baru yang lihai, dan kini mendapat kenyataan bahwa Ang I Niocu juga selamat pula. Dan dia merasa yakin bahwa Lin Lin dan Yousuf tentu akan terhindar dari bahaya pula. Alangkah akan senangnya kalau dia dapat bertemu dengan Lin Lin lagi.

Kegembiraannya membuat ia merasa seakan-akan seekor burung yang terbang bebas di udara, sehingga sering kali ia mendahului Kwee An dan Nelayan Cengeng, berlari-lari di depan. Kwee An dan Nelayan Cengeng hanya tertawa saja melihat kegembiraan gadis itu.

Mereka berdua dalam hati serta dengan cara masing-masing mengagumi Ma Hoa dan memandang rambut gadis yang terurai dan berkibar-kibar di belakang leher itu. Kwee An merasa terharu melihat kesetiaan Ma Hoa yang untuk menyenangkan hatinya, benar saja menepati janjinya dan selalu membiarkan rambutnya terurai indah.

Ketika Ma Hoa sedang berlari-lari seorang diri di depan dan Kwee An bersama Nelayan Cengeng berjalan di belakang seenaknya, mendadak gadis itu mendengar teguran suara halus,

“Aduh, alangkah indah dan jelitanya bidadari berambut panjang.”

Ketika dia memandang, dia melihat seorang pemuda yang tampan dan yang berpakaian indah mewah sedang duduk di atas cabang pohon di atasnya sambil memandang dengan kagum dan tersenyum kepadanya.

“Laki-laki ceriwis! Tutup mulutmu yang lancang!” kata Ma Hoa dan ia tidak mau terganggu kegembiraannya, karena di dalam hatinya ia merasa bangga dan girang mendapat pujian itu.

Wanita manakah yang tidak suka menerima pujian tentang kecantikannya, apa lagi kalau yang memuji itu seorang pemuda tampan? Ma Hoa melanjutkan perjalanannya, akan tetapi dia menahan tindakan kakinya karena pemuda, itu berkata lagi sambil tertawa.

“Bidadari manis! Hatimu gembira menerima pujianku, kenapa kau tidak membentangkan sayapmu dan terbang melayang ke sini, duduk di atas cabang yang enak ini di sisiku, menikmati angin yang bersilir di pohon?”

Kini marahlah Ma Hoa. “Bangsat bermulut lancang! Apakah kau sudah ingin mampus?”

“Ehh, ehhh, makin manis saja kalau lagi marah-marah. Jarang aku melihat seorang gadis semanis kau! Tapi sayang sekali rambut itu terlalu liar dan seharusnya diikat dengan pita merah ini!” Sambil berkata demikian, pemuda itu lalu mengeluarkan sehelai pita merah dan sekali dia mengayun tangannya, pita merah itu meluncur ke bawah dan menyambar kepala Ma Hoa!

Ma Hoa mengelak dan miringkan kepalanya. Akan tetapi agaknya pemuda itu memang telah memperhitungkan hal ini, karena itu ia menyambit ke arah belakang kepala, karena ketika Ma Hoa miringkan kepala, rambutnya terbawa angin gerakan ini kemudian terurai di belakangnya sehingga dengan tepat pita merah itu mengenai rambutnya dan secara aneh sekali pita merah itu betul-betul membelit rambutnya, seakan-akan dipasang oleh tangan seorang ahli!

Ma Hoa marah sekali. Ia merenggutkan pita merah itu, membantingnya ke atas tanah dan menginjak-injaknya!

“Bangsat liar! Kau betul-betul sudah bosan hidup!” teriaknya sambil meloloskan sepasang bambu runcingnya dan dengan gerakan kilat ia melompat ke atas sambil menyerang!

Pemuda itu terkejut juga karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa gadis yang digodanya itu pandai ilmu silat yang luar biasa ini. Maka dia lalu menggerakkan tubuh dan mengelak sambil melayang turun, lalu berdiri dan bertolak pinggang.

“Ahh, ahhh, tidak tahunya bidadari rambut panjang ini lihai juga! Mari, kau majulah untuk main-main denganku sebentar!”

Ma Hoa tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi saking marahnya. Dia lalu menyerang dengan gesit dan sengit sehingga pemuda tampan itu terpaksa harus berlaku waspada. Akan tetapi, begitu ia bergerak, Ma Hoa merasa kaget. Sambaran angin yang keluar dari kebutan tangan pemuda itu telah berhasil membuat serangan bambu runcingnya menjadi miring! Alangkah hebatnya tenaga ini. Maka dia lalu menyerang lagi bertubi-tubi dengan ganas dan penasaran.

Pada saat itu, datanglah Kwee An dan Nelayan Cengeng. Melihat betapa Ma Hoa sedang menggunakan sepasang bambu runcing menyerang seorang laki-laki yang hebat sekali gerakannya, mereka lalu berlari cepat menghampiri.

“Tahan...!” kata Nelayan Cengeng hingga Ma Hoa meloncat mundur dengan taat.

Pemuda tampan itu memandang kepada Nelayan Cengeng dan Kwee An, kemudian dia mengernyitkan hidungnya dengan pandang menghina dan bertanya.

“Tuan besarmu sedang main-main dengan gadis cantik, mengapa kalian ini budak-budak hina berani mengganggu?”

Merahlah wajah Kwee An mendengar ini, karena itu dia segera mencabut pedang dan membentak, “Dari mana datangnya bajingan yang kurang ajar?”

Sementara itu, Nelayan Cengeng yang menerima hinaan ini balas mengejek, “Eh, ehh! Ma Hoa, Kwee An, kalian lihatlah baik-baik. Manusia ini bukan seorang laki-laki asli, juga bukan seorang wanita.”

Kwee An tidak tahu bahwa kakek ini sedang berolok-olok, karena itu dengan heran ia pun bertanya, “Kalau bukan laki-laki juga bukan wanita, habis apa?”

“Banci…! Dia seorang banci...! Ha-ha-ha!” dan Nelayan Cengeng tertawa bergelak-gelak sehingga bercucuranlah air matanya. Juga Ma Hoa dan Kwee An ikut pula tertawa.

Akan tetapi, laki-laki tampan itu dengan masih bertolak pinggang, lalu bertanya, “Kakek gila, dengan alasan apakah kau menyebutku banci?”

“Tidak ada laki-laki yang membedaki mukanya dan tidak ada perempuan yang berlagak seperti ini, akan tetapi kau tidak hanya membedaki mukamu, bahkan kulihat memakai yancu dan pemerah bibir! Ha-ha-ha!”

Memang laki-laki itu pesolek bukan main sehingga mukanya sampai dibedaki dan diberi merah-merah. Akan tetapi ketika mendengar kata-kata ini ia menjadi marah dan berkata,

“Kakek gila, kau belum lagi tahu siapa adanya orang yang kau hina ini, maka kau berani membuka mulut secara sembrono. Ketahuilah, aku Song Kun yang berjuluk Kwie-eng-cu Si Bayangan Iblis, tidak biasa memberi ampun kepada orang yang telah menghinaku!”

Setelah berkata demikian, secara tiba-tiba pemuda itu lalu menggerakkan tangannya dan memukul kepada Nelayan Cengeng. Melihat pukulan ini, terkejutlah Nelayan Cengeng karena pukulan itu luar biasa sekali dan dari tangan yang melakukan pukulan mengepul uap putih! Inilah Pek-in Hoat-sut yang pernah ia mendengarnya dan yang dimiliki oleh Cin Hai!

Dia cepat melompat jauh untuk menghindarkan diri dari serangan itu dan karena maklum bahwa pemuda ini tangguh sekali, sambil melompat dia langsung mengayun dayungnya, memukul dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, pemuda itu memang pantas diberi gelar Si Bayangan Iblis, oleh karena gerakan tubuhnya luar biasa cepatnya dan hampir tak dapat diikuti oleh pandangan mata!

Melihat kelihaian pemuda ini, Kwee An tak mau tinggal diam dan lalu menyerang dengan pedangnya, juga Ma Hoa maju pula mengerjakan sepasang bambu runcingnya.

Pemuda itu memang benar Song Kun adanya, murid dari Han Le Sianjin yang lihai. Inilah sute dari Lie Kong Sian yang menjalani kesesatan dan yang telah bertemu dan bertempur dengan Cin Hai!

Tadinya Song Kun memandang rendah tiga lawannya, akan tetapi sesudah menyaksikan gerakan pedang Kwee An dan gerakan dayung di tangan Nelayan Cengeng, diam-diam ia terperanjat dan mengeluh bahwa ia ternyata telah ‘salah tangan’ dan mencari perkara dengan orang-orang yang berilmu tinggi!

Akan tetapi, ilmu silatnya memang hebat dan sesudah beberapa lama dia menghadapi mereka dengan tangan kosong, akhirnya dia mencabut pedang Ang-ho Sian-kiam yang mengeluarkan cahaya merah berapi-api dan berhawa panas itu!

Nelayan Cengeng terkejut sekali melihat pedang itu dan dia berseru kepada Ma Hoa dan Kwee An, “Hati-hati terhadap pedangnya!”

Song Kun tertawa mengejek dan ia lalu memutar-mutar pedangnya dengan gerakan luar biasa cepat dan hebatnya sehingga sibuklah ketiga orang itu mengeroyok dari kanan kiri! Biar pun tidak berani mengadu pedangnya, namun Kwee An yang mempergunakan ilmu silat yang diwarisinya dari Hek Mo-ko, cukup hebat dan berbahaya.

Sementara itu, Ma Hoa juga merupakan pengeroyok yang berbahaya oleh karena gadis ini selain memiliki Ilmu Silat Bambu Runcing yang aneh, juga tidak takut untuk mengadu senjata, oleh karena bambu lemas kecil itu tidak takut terkena pedang tajam.

Di samping kedua orang anak muda yang tangguh ini, masih ada lagi Nelayan Cengeng yang mempunyai ilmu silat tinggi dan tenaganya luar biasa sehingga Song Kun sendiri merasa ragu-ragu untuk mengadu pedangnya dengan dayung yang besar serta berat itu, takut kalau-kalau pedangnya akan menjadi rusak!

Oleh karena ini, maka pertempuran berjalan seru dan ramai. Akan tetapi mereka lebih banyak bertempur dari jarak jauh dan berlaku amat hati-hati sehingga bisa diduga bahwa pertempuran itu akan berjalan lama sekali.

Song Kun memaklumi hal ini dan karena itu dia lalu mendesak maju. Pada saat dayung Nelayan Cengeng menyambar, dia memapaki dengan pedangnya yang disabetkan dan putuslah ujung dayung itu! Nelayan Cengeng terkejut dan hampir saja dia menjadi korban sabetan pedang pada pinggangnya kalau saja Ma Hoa yang telah menjadi nekat itu tidak melakukan serangan kilat dari belakang, menotok ke arah kedua iga lawan itu!

Song Kun menarik kembali pedangnya dan kalau ia mau, ia akan dapat menjatuhkan Ma Hoa dengan serangan pedang. Akan tetapi Song Kun memang mempunyai kelemahan terhadap wanita cantik. Dia tidak tega melukai Ma Hoa, maka dia hanya menahan kedua bambu runcing itu dengan pedangnya di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya dia ulur ke depan untuk mengusap pipi Ma Hoa!

Gerakannya ini adalah pecahan dari limu Silat Kong-ciak Sin-na, dan kecepatannya luar biasa sehingga colekan itu pun berhasil! Ma Hoa yang merasa betapa pipinya diusap oleh tangan Song Kun, menjerit marah dan menyerang lebih seru!

Namun dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, Song Kun mampu menjaga diri dan kini bahkan melancarkan serangan-serangan yang mematikan ke arah Nelayan Cengeng dan Kwee An! Dia mengambil keputusan untuk membunuh dua orang laki-laki itu untuk dapat melarikan gadis muda berambut panjang ini!

Pada saat itu, terdengarlah bentakan keras, “Song Kun...! Janganlah kau terjerumus ke jurang makin dalam saja!”

Mendengar suara ini, Song Kun terkejut sekali dan melompat jauh ke belakang. “Suheng...!” katanya.

Nelayan Cengeng, Kwee An, dan Ma Hoa lalu memandang. Ternyata yang datang adalah seorang lelaki yang berusia tiga puluh lebih, bermuka bundar dan gagah, bersikap tenang dengan kumis kecil menghias di atas bibirnya. Tubuhnya tegap dan bidang, sedangkan sepasang matanya bercahaya tajam dan berpengaruh.

“Song Kun, sesudah berpisah bertahun-tahun, setiap hari aku mengharapkan dan berdoa supaya kau dapat insyaf akan kesesatanmu. Tidak kusangka bahwa kau semakin dalam terjerumus ke dalam jurang kejahatan!” orang itu yang bukan lain adalah Lie Kong Sian adanya, berkata dengan suara mengandung penuh penyesalan.

Song Kun mengeluarkan suara ketawa mengandung ejekan. “Lie Kong Sian! Tadi sempat aku menyebut Suheng kepadamu oleh karena kukira kau hendak berbaik, tidak tahunya datang-datang kau memaki orang! Apakah kau masih merasa penasaran karena dahulu kalah olehku? Jangan kau kira aku takut akan kedatanganmu ini, dan segala perbuatanku adalah aku sendiri yang melakukan dan aku sendiri pula yang menanggung jawabnya! Kau peduli apakah?”

“Dasar batinmu yang amat rendah! Jika begitu, terpaksa sekali lagi aku harus memenuhi perintah mendiang Suhu dan menghajarmu dengan kekerasan.”

“Ha-ha-ha, majulah! Hendak kulihat sampai di mana kemajuanmu!”

Ucapan ini bagi seorang sute terhadap suheng-nya memang amat kurang ajar, maka Lie Kong Sian lantas menerjang sambil mencabut pedangnya. Song Kun mengelak dan balas menyerang dan sebentar saja kedua orang itu bertempur hebat.

Tingkat pelajaran mereka memang berimbang, dan dulu ketika mereka bertempur, Lie Kong Sian dapat dikalahkan oleh sute-nya yang memang memiliki bakat yang luar biasa sekali. Sekarang, sungguh pun Lie Kong Sian telah melatih diri dengan keras hingga ilmu kepandaiannya sudah meningkat tinggi, akan tetapi di lain pihak Song Kun telah memiliki pedang Ang-ho Sian-kiam yang luar biasa sehingga Lie Kong Sian tidak berani mengadu pedangnya karena takut kalau-kalau pedang pemberian Ang I Niocu itu akan putus.

Karena ini, untuk kedua kalinya dia terdesak hebat oleh serangan adik seperguruannya yang menyerang sambil tertawa mengejek, walau pun diam-diam dia mengakui kelihaian suheng-nya dan maklum bahwa biar pun suheng-nya tidak berani beradu pedang, namun agaknya tidak akan mudah baginya untuk menjatuhkan suheng itu.

Sementara itu, Nelayan Cengeng, Kwee An, dan Ma Hoa menyaksikan pertandingan itu dengan penuh kekaguman. Tadi mereka sudah merasa terkejut, heran dan kagum sekali menyaksikan kepandaian Song Kun yang sanggup mendesak mereka, dan kini mereka melihat seorang pemuda lainnya yang seimbang kepandaiannya dengan pemuda pesolek yang lihai itu. Sesudah Cin Hai dan Bu Pun Su, belum pernah mereka menyaksikan ilmu kepandaian orang-orang muda selihai itu.

Melihat bahwa Lie Kong Sian datang dan membela mereka, maka mereka bertiga tentu saja tak mau tinggal diam dan dengan seruan keras, Nelayan Cengeng lalu mengerjakan dayungnya diikuti oleh Ma Hoa dan Kwee An. Kini Song Kun menjadi sibuk. Karena harus menghadapi keroyokan empat orang yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi itu, tentu saja ia merasa kewalahan sekali. Setelah bertahan sampai puluhan jurus, terpaksa ia lalu melompat jauh dan berkata,

“Lie Kong Sian! Lain kali bila mana kita bertemu berdua saja dan kau tidak mengandalkan keroyokan, tentu aku akan menebas batang lehermu!” Kemudian kepada Ma Hoa dia menyeringai dan berkata. “Sayang, bidadari rambut panjang, kita belum berjodoh!”

Keempat orang itu marah sekali, akan tetapi dengan sekali berkelebat saja Song Kun telah lari jauh dan meninggalkan tempat itu.

“Lihai sekali!” kata Nelayan Cengeng dengan kagum.

“Memang Sute-ku itu lihai sekali dan jahat,” kata Lie Kong Sian menarik napas panjang. “Lo-enghiong, melihat dayungmu yang hebat itu, apa bila tidak salah dugaanku tentu kau adalah Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng. Betulkah?”

Nelayan Cengeng menjura, kemudian ia menjawab, “Benar, Taihiap. Dari mana kau tahu namaku?”

Lie Kong Sian tersenyum. “Dan kalau tidak salah, Saudara yang gagah ini tentulah Kwee An dan Nona ini Ma Hoa.”

Ketiga orang itu memandangnya dengan heran. “Lie-taihiap, dari mana kau bisa tahu?” tanya Kwee An, sedangkan Ma Hoa tiba-tiba berkata sambil menuding kepada pedang yang dipegang oleh Lie Kong Sian.

“Ehh, bukankah pedang itu pedang milik Ang I Niocu?”

Kini Lie Kong Sian tersenyum dan mengangguk, “Memang ini pedang Kiang Im Giok, dan aku adalah tunangan Ang I Niocu!”

Kemudian Lie Kong Sian yang jujur itu lalu mengaku dan menceritakan pengalamannya betapa dia menolong Ang I Niocu dan akhirnya menjadi calon jodohnya. Lie Kong Sian suka sekali melihat sikap tiga orang yang telah lama dikenal dari penuturan Ang I Niocu itu dan yang dipuji oleh kekasihnya, maka dia kemudian mengaku terus terang mengenai pertunangannya itu dan demikianlah maka mereka tahu akan pertunangan Ang I Niocu dengan Lie Kong Sian yang gagah perkasa. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan dengan terpisah, karena Lie Kong Sian hendak mengejar dan menyusul sute-nya untuk memenuhi syarat Ang I Niocu, yaitu merobohkan sute-nya yang ternyata bukan insyaf, bahkan semakin jahat itu.

Setelah Ma Hoa menceritakan semua pengalamannya kepada Ang I Niocu, tahulah Nona Baju Merah itu bagaimana mereka dapat mengetahui hal pertunangannya hingga mereka tadi menggodanya. Terutama Ma Hoa menggodanya sehingga muka Ang I Niocu menjadi semerah bajunya. Ia tidak dapat marah karena maklum bahwa Ma Hoa menggoda karena rasa girangnya.

“Ma Hoa, sudahlah jangan kau menggodaku lebih lanjut. Kalau menggoda terus, aku tak akan menceritakan kepadamu perihal Lin Lin.”

Ma Hoa memegang lengan tangan Ang I Niocu dan bertanya, “Lin Lin? Apakah kau telah bertemu dengan dia, Cici yang baik? Bagaimana keadaannya? Selamatkah ia dan bagai mana dengan Cin Hai?” Dihujani pertanyaan ini, Ang I Niocu tersenyum dan sengaja berlaku lambat-lambatan sehingga tidak saja Ma Hoa menjadi tidak sabar, bahkan Kwee An dan Nelayan Cengeng juga mendesaknya untuk segera menceritakan hal Lin Lin.

“Maka jangan suka menggoda orang,” kata Ang I Niocu. “Baikiah, aku akan menceritakan pengalamanku.”

Kemudian tiba giliran Ang I Niocu untuk menuturkan semua pengalamannya, betapa dia bertemu dengan Cin Hai dan mendapatkan sepasang pedang Liong-cu-kiam serta harta pusaka di dalam Goa Tung-huang dan pengalaman-pengalaman lainnya. Dan juga dia menceritakan betapa Lin Lin sudah dibawa oleh Bu Pun Su untuk diberi pelajaran silat sebagaimana yang ia dengar dari Cin Hai.

Mendengar penuturan ini, bertitik air mata dari kedua mata Ma Hoa karena terharu dan girangnya. Sekarang harapannya sudah terkabul semua. Seluruh kawan-kawannya telah selamat dan terlepas dari bahaya. Begitu pula Kwee An dan Nelayan Cengeng. Mereka berempat itu sama sekali tidak tahu bahwa telah terjadi peristiwa hebat di Goa Tengkorak yang membuat Lin Lin terluka dan terancam jiwanya!

“Sekarang tugas kita cari-mencari ini telah selesai karena orang-orang yang dicari telah ditemukan,” kata Nelayan Cengeng. “Akan tetapi kita harus melindungi Yo Se Pu dari bahaya dan juga, oleh karena menurut penuturan Ang I Niocu tadi bahwa Cin Hai akan kembali ke sini dan Ang I Niocu sendiri ditugaskan menjaga goa tempat harta pusaka, kita semua lebih baik untuk sementara waktu tinggal di sini, menanti datangnya Cin Hai untuk kemudian bersama-sama kembali ke timur.”

Semua orang menyetujui usul ini dan sesudah Yousuf selesai mengurus semua kawan dan lawan yang terluka dan tewas, dia pun lalu datang dan mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing. Nelayan Cengeng bersama yang lain-lain mencoba sedapat mereka untuk menghibur hati Yousuf yang masih berduka karena kematian gurunya dan banyak kawan-kawannya.

“Sebenarnya, tentang kematian tak perlu kusedihkan benar karena soal itu bukanlah soal yang aneh dan harus disesalkan. Yang sekarang membuat hatiku berduka ialah adanya perpecahan dan permusuhan di antara bangsa sendiri. Baiknya kalian membawa berita bahwa anakku Lin Lin telah diselamatkan dan bahkan kini memperdalam ilmu kepandaian di bawah pimpinan Bu Pun Su, kalau tidak, tentu aku akan semakin gelisah dan cemas saja.”

Demikianlah, mereka berempat lalu tinggal di kampung Yousuf dan kawan-kawannya itu sehingga pengikut Pangeran Muda tidak berani datang untuk bermain gila lagi. Hampir tiga atau empat kali dalam sehari Ang I Niocu menyelidiki keadaan goa itu, menjaga dan memeriksa kalau-kalau ada orang yang mengetahui tempat itu. Kadang-kadang ia pergi seorang diri, tapi tidak jarang ditemani oleh Ma Hoa, bahkan beberapa kali Kwee An dan Nelayan Cengeng juga ikut.


                  ***************























Terima kasih telah membaca Serial ini

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12