Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 24
Cin Hai
berlari cepat, mengerahkan seluruh kepandaiannya karena benar-benar merasa
gelisah sekali. Kalau saja Lin Lin kalian ganggu, pikirnya dengan gemas,
awaslah kalian! Saat tiba di depan Goa Tengkorak hatinya merasa berdebar. Ia
tidak mendengar sesuatu, keadaan sunyi sekali, membuat hatinya berdebar cemas
dan hampir saja ia tidak berani masuk karena merasa takut melihat hal-hal
mengerikan yang terjadi pada diri kekasihnya.
Sesudah
menetapkan hatinya, dia lalu melompat masuk ke dalam ruang besar di mana
tengkorak-tengkorak raksasa masih berdiri dengan megahnya. Bertahun-tahun dia
tinggal di tempat ini mempelajari ilmu silat, maka pemandangan ini tak
menimbulkan keseraman di hatinya lagi. Ia segera memandang dengan kedua matanya
mencari-cari, dan karena tidak melihat Lin Lin di ruang itu, dia lalu berlari
masuk ke dalam kamar tempat menaruh hio-louw (tempat hio). Dan di situ ia
melihat Lin Lin rebah telentang, pucat tak bergerak bagaikan mayat.
Cin Hai
berdiri terpaku di atas lantai, tak kuasa bergerak, wajahnya pucat dan
kepalanya terasa pening. Hampir saja dia jatuh pingsan kalau dia tidak menekan
perasaannya dan menguatkan hatinya.
“Lin
Lin...!” akhirnya dia dapat berseru dan menggerakkan kakinya, menubruk maju dan
memeriksa keadaan kekasihnya.
Ternyata
bahwa Lin Lin hanya pingsan saja dan pernapasannya masih berjalan, sungguh pun
amat lemah. Tidak ada tanda-tanda luka hebat di tubuh Lin Lin, kecuali bintik
hijau yang terdapat pada lehernya, dan ketika Cin Hai meraba bintik itu, rasa
panas menyerang jari tangannya. Dia merasa terkejut sekali dan dapat menduga
bahwa kekasihnya tentu telah terkena senjata jarum yang mengandung racun hebat.
Bukan main
marahnya Cin Hai. Kenapa suhu-nya mendiamkannya saja, malah menyerah menjadi
tawanan musuh? Cin Hai lalu memondong tubuh Lin Lin dan melompat keluar. Ia
tidak mau menerimanya begitu saja. Ia harus mengejar mereka itu dan memaksa
mereka agar segera memberikan obat pemunah bagi kekasihnya, atau kalau mereka
tak sanggup menyembuhkan Lin Lin, dia hendak mengamuk serta membunuh mereka
semua dengan taruhan jiwa.
Biar pun
andai kata suhu-nya akan melarang, ia akan nekat dan tidak menurut perintah
suhu-nya. Cintanya pada Lin Lin jauh lebih besar dari pada ketaatannya kepada
gurunya. Kecemasan telah menggelapkan jalan pikiran Cin Hai dan sambil
memondong tubuh Lin Lin yang lemas tak berdaya dan meramkan kedua matanya itu,
Cin Hai mempergunakan ilmu berlari cepat, melompati jurang dan mengejar
secepatnya.
Akan tetapi,
ketika dia tiba di sebuah hutan yang sunyi, tiba-tiba tubuh Lin Lin
bergerak-gerak. Pada saat dia memandang, ternyata kekasihnya telah membuka
matanya. Cin Hai berhenti berlari dan mendekap kepala Lin Lin sambil berbisik,
“Lin-moi... Lin-moi... kau kenapakah...?”
Untuk
sejenak Lin Lin tak menjawab, hanya memandang pada wajah Cin Hai seolah-olah
baru sadar dari mimpi, lalu tangannya merangkul leher Cin Hai dan dia mulai
menangis terisak-isak di dada pemuda itu.
Cin Hai
mendiamkannya saja dan sesudah tangis Lin Lin mereda, dia baru menurunkan tubuh
kekasihnya itu, didudukkan di atas rumput, ada pun ia sendiri duduk di
sebelahnya. Dia merasa heran melihat betapa tubuh Lin Lin kini pulih kembali
seperti biasanya, hanya wajahnya masih nampak sangat pucat. Cin Hai memegang
tangan Lin Lin dan bertanya lagi dengan wajah kuatir, “Lin-moi, kau kenapakah?”
“Hai-ko,
syukur sekali kau keburu datang. Telah terjadi mala petaka hebat menimpa Suhu
dan diriku.”
Cin Hai
mengangguk. “Aku tahu bahwa Suhu telah ditawan oleh keparat itu. Anehnya,
ketika aku hendak menolongnya, Suhu bahkan melarangku dan pergi dengan suka
rela menjadi tawanan mereka!”
“Kau tidak
tahu, Hai-ko. Suhu sengaja mengalah dan menurut menerima hinaan mereka hanya
untuk menolong jiwaku.”
Terkejutlah
Cin Hai mendengar ini dan teringatlah dia akan kata-kata Hai Kong Hosiang yang
mengejek pada saat ia hendak pergi meninggalkan mereka. “Apa... apa maksudmu,
Moi-moi...?”
Lin Lin
menarik napas panjang lalu bercerita seperti berikut.
Semenjak ikut
pergi dengan Bu Pun Su, Lin Lin memperdalam ilmu pedangnya di bawah pimpinan
kakek jembel yang sakti itu. Mereka berdua lebih dulu singgah di dalam hutan
dan membawa serta burung Merak Sakti dan Bangau Sakti, hingga kini di Goa
Tengkorak itu terdapat tiga burung sakti, yaitu Sin-kong-ciak si Merak Sakti,
Sin-kim-tiauw si Rajawali Emas dan Ang-siang-kiam si Bangau Sakti.
Gadis ini
melatih diri dengan giat sekali dan sebentar saja dia sudah mencapai kemajuan
yang luar biasa sehingga kalau dia memainkan pedang Han-le-kiam dengan ilmu
pedang yang diciptakan oleh Cin Hai untuknya, maka gerakannya menjadi luar
biasa hebatnya! Bu Pun Su sudah memperbaiki gerakan-gerakannya itu dengan
gerakan yang sesuai dan tepat, disesuaikan dengan pedang yang pendek itu.
Pada suatu
pagi, selagi Lin Lin berlatih seorang diri di luar goa karena gadis yang rajin
ini setiap hari bangun pagi-pagi sekali untuk berlatih seorang diri, datanglah
rombongan Hai Kong Hosiang itu. Seperti juga Cin Hai, Lin Lin merasa terkejut
dan heran sekali melihat bahwa pendeta jahat itu masih hidup. Dia melihat empat
orang lain datang bersama Hai Kong Hosiang, yakni dua orang perwira Mongol,
seorang pendeta Sakya Buddha serta seorang nenek tua yang aneh.
“Hai Kong si
Jahat! Kau belum mampus?” teriak Lin Lin dengan terheran-heran.
Hai Kong
Hosiang tertawa bergelak-gelak mendengar ucapan ini hingga sebelah matanya yang
kiri itu melotot dan mengeluarkan air mata!
“Kwee Lin,
anak jahat! Kau bersama Pendekar Bodoh yang membuat aku menjadi begini, akan tetapi,
Sang Buddha adalah adil dan bijaksana! Kau memaki aku jahat, akan tetapi
sebetulnya kaulah yang jahat. Buktinya, walau pun aku sudah menggelundung ke
dalam jurang, akan tetapi ternyata Sang Buddha masih melindungiku dan
cabang-cabang pohon menangkap dan menolong nyawaku ketika aku tergelincir jatuh
ke dalam jurang! Kini aku telah datang kembali dan aku harus mencongkel salah
satu matamu sebelum kubunuh mampus kau dan Cin Hai untuk membalas dendamku.
Ha-ha-ha!”
“Gundul
keparat, jangan sombong!” Lin Lin dengan garang memaki.
Lin Lin
sekarang bukanlah Lin Lin dulu, karena sekarang ia telah mempunyai kepandaian
yang jauh lebih tinggi apa bila dibandingkan dengan dulu. Setelah membentak, ia
segera menyerang dengan pedang Han-le-kiam di tangannya.
Hai Kong
memandang rendah dan menghadapi gadis itu hanya dengan tangan kosong, maksudnya
hendak dengan satu dua jurus saja bisa menggulingkan gadis itu, akan tetapi
kesombongannya ini hampir saja membuat nyawanya melayang!
Pada waktu
Lin Lin menyerang dengan gerakan Ilmu Pedang Han-le-kiam yang diberi nama Ang-I
To-hwa atau Ang I Niocu Memetik Kembang, pedang pendeknya membacok ke arah
jidat yang licin dari hwesio itu dengan cepat sekali. Hai Kong Hosiang
tersenyum sindir dan membentak keras, lalu mempergunakan tangan kiri menyambar
dari samping ke arah pergelangan tangan Lin Lin untuk merampas pedang,
sedangkan tangan kanan mengeluarkan jari telunjuk, ditotolkan ke arah mata kiri
Lin Lin untuk mencongkel keluar mata itu.
Tak tahunya,
Lin Lin tidak melanjutkan serangannya dan secepat kilat ujung Han-le-kiam telah
dibalikkan hingga dari gerakan membacok jidat berubah menjadi tusukan ke bawah
mengancam tenggorokan hwesio itu dengan gerakan Cin Hai Membacok Kayu! Ada pun
untuk menghadapi tusukan telunjuk Hai Kong ke arah matanya, Lin Lin mengelak
sambil merendahkan tubuh dan tangan kirinya tidak mau tinggal diam akan tetapi
membarengi gerakan pedangnya mengirim pukulan ke arah dada kiri Hai Kong
Hosiang dengan ilmu Pukulan Pek-in Hoat-sut yang dilakukan dengan sepenuh
tenaga!
Bukan main
terkejutnya hati Hai Kong Hosiang saat melihat perubahan yang tak pernah
disangka-sangkanya ini. Kalau saja ia tak memandang rendah dan berlaku
hati-hati tentu takkan mudah dibikin terkejut oleh serangan ini, biar pun
serangan Lin Lin ini benar-benar merupakan gerakan silat yang tinggi
tingkatnya.
Akan tetapi
karena tadinya memandang rendah dan tidak menyangka, Hai Kong Hosiang hanya
dapat mengelak dari serangan pedang ke arah tenggorokannya saja, yaitu dengan
jalan miringkan tubuh ke kiri. Akan tetapi menghadapi pukulan Pek-in Hoat-sut
itu, ia tidak keburu berkelit lagi tetapi hanya dapat memutar dada dan menerima
pukulan itu yang kini tak mengenai dada kiri, akan tetapi mengenai dada
kanannya!
Hai Kong
Hosiang berseru kaget lagi dan untung ia telah merasai hebatnya angin pukulan
yang panas sehingga telah mengerahkan lweekang-nya ke arah dada kanan, kalau
tidak pasti akan pecahlah dadanya! Tubuhnya terpental ke belakang, dan meski
pun dia masih dapat mencegah tubuhnya terhuyung dan jatuh, akan tetapi dada
kanannya masih terasa panas dan ketika ia melihat, ternyata kulit dadanya telah
menjadi biru!
Ia
mengeluarkan keringat dingin, karena kalau tadi pukulan itu mengenai dada kiri,
pasti jantungnya akan terluka! Dia merasa bergidik memikirkan bagaimana gadis
ini sekarang telah mempunyai ilmu kepandaian sehebat itu.
Sedangkan
Lin Lin yang melihat betapa pukulan dari Ilmu Pek-in Hoat-sut yang ampuh itu
tak dapat merobohkan Hai Kong Hosiang, juga menjadi terkejut dan maklum bahwa
ilmu kepandaian hwesio ini telah mencapai tingkat tinggi yang sukar diukur
lagi! Dia menjadi nekat dan kembali maju menyerang dengan keras, sedangkan Hai
Kong Hosiang yang merasa marah segera mencabut senjatanya yang masih seperti
dulu, yaitu tongkat dari tubuh ular kering, akan tetapi ular ini sekarang
berwarna hijau dan mengerikan sekali.
Sambil
membentak marah Hai Kong Hosiang menyambut terjangan Lin Lin dan mereka pun
bertempur dengan serunya. Pendeta Sakya Buddha kawan Hai Kong Hosiang yang
melihat betapa gagah gadis itu sehingga mampu mempertahankan diri dari serangan
Hai Kong Hosiang dengan baiknya, menjadi habis sabar dan cepat maju mengeroyok
sambil mainkan pedangnya yang juga lihai.
Pada saat
Lin Lin bertempur dikeroyok dua dengan serunya, terdengar suara dari dalam goa,
“Siancai... siancai….” dan muncullah tubuh Bu Pun Su dengan langkah tenang dan
perlahan. “Aha, Hai Kong... engkaukah yang kembali datang mengacau? Mundurlah
dan jangan bermuka tebal mengeroyok seorang gadis muda!”
Sambil
berkata, Bu Pun Su membuat gerakan mendorong dengan tangan kanannya ke arah Hai
Kong Hosiang dan pendeta baju merah itu, dan terkejutlah Hai Kong Hosiang serta
kawannya karena dorongan ini benar-benar merupakan angin puyuh yang membuat
mereka terhuyung mundur.
Lin Lin juga
menahan pedangnya dan berdiri sambil memandang suhu-nya, karena pada saat itu
terjadi hal yang aneh. Setelah mendorong Hai Kong dan pendeta Sakya Buddha
tadi, kini Bu Pun Su berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada nenek yang
tak bersepatu itu, dan berseru perlahan, “Wi Wi... kau datang juga...?”
Nenek itu
tersenyum menyindir, lalu berkata dengan suaranya yang terdengar merdu dan
halus bagaikan suara seorang nyonya bangsawan terpelajar, “Lu Kwan Cu, di
manakah ada perceraian yang kekal?”
“Wi Wi, tak
kusangka bahwa kau masih hidup...”
“Kau sendiri
masih betah tinggal di dunia, mengapa aku tidak?”
Melihat
sikap Bu Pun Su yang agaknya takut-takut terhadap nenek itu dan mendengar
percakapan mereka yang aneh ini, Lin Lin berdiri bengong dengan seluruh
perhatiannya tertuju kepada suhu-nya dan nenek itu, hingga ia tidak menduga
datangnya bencana dari pihak Hai Kong Hosiang.
Pada waktu
melihat gadis yang gagah itu berdiri bengong, pendeta Sakya Buddha lalu
mengayun tangannya dan belasan batang jarum hitam segera menyambar ke arah dada
dan leher gadis itu.
Lin Lin
telah mempunyai perasaan dan pendengaran yang amat halus dan tajam, maka
kedatangan belasan batang jarum yang menyambar ke arahnya itu meski tidak
dilihatnya tetapi dapat ditangkap oleh telinganya, maka ia menjadi terkejut
sekali. Tak ada lain jalan baginya selain menggulingkan tubuh di atas tanah
sehingga dengan demikian sambaran jarum-jarum itu mengenai tempat kosong dan ia
dapat menghindarkan diri.
Akan tetapi
dia tidak menyangka bahwa ketika itu, Hai Kong Hosiang menunjuk dengan tongkat
ularnya yang ketika ditekannya segera memuntahkan jarum-jarum hijau ke arah
tubuh Lin Lin yang masih bergulingan! Lin Lin mencoba berkelit, akan tetapi
datangnya jarum-jarum yang lihai dan cepat itu sukar sekali dikelit atau
ditangkis, maka meski pun gerakan Lin Lin cukup cepat, sebatang jarum hijau
masih berhasil mengenai leher!
Lin Lin
sudah mengerahkan lweekang-nya untuk membuat kulit dan dagingnya mengeras
hingga jarum halus itu tidak sampai menancap seluruhnya dan ia segera melompat
dan mencabut jarum itu, lalu dengan marahnya hendak menyerang Hai Kong Hosiang.
Akan tetapi, tiba-tiba ia merasa pening dan menjerit keras terus roboh tak
berdaya. Tubuhnya terasa panas dan lumpuh, sedangkan kepalanya pening sekali.
Ia masih
melihat betapa Bu Pun Su menjadi kaget dan marah. Tadi kalau kakek itu tidak
sedang terheran-heran dan seluruh perhatiannya tertarik dan hatinya tergoncang
karena perjumpaannya dengan nenek itu, pasti dia dapat mempergunakan
kepandaiannya untuk menolong Lin Lin.
Akan tetapi,
keadaan kakek jembel itu tadi seperti seorang yang kena hikmat dan tidak ingat
apa-apa. Bahkan ketika Lin Lin diserang oleh Hai Kong dan pendeta baju merah,
ia tidak tahu atau mendengar sama sekali. Setelah Lin Lin menjerit dan roboh,
barulah ia sadar dan cepat memandang.
“Hai Kong,
pengecut berbatin rendah!” dia berteriak marah sambil menggerakkan kedua
tangannya.
Kalau dua
tangan Bu Pun Su itu jadi diangkat dan digerakkan ke arah Hai Kong Hosiang,
entah nasib apakah yang akan dialami pendeta gundul itu, akan tetapi tiba-tiba
terdengar bentakan nenek itu dengan halus akan tetapi nyaring.
“Lu Kwan Cu,
jangan bergerak!”
Bu Pun Su
memandang, kemudian melangkah mundur dengan muka pucat. Kini nenek itu memegang
sebatang tusuk konde terbuat dari pada perak yang berbentuk naga indah sekali
dan bermata intan, lantas diangkatnya tusuk konde itu tinggi-tinggi sambil
matanya memandang ke arah Bu Pun Su dengan tajam. Lemaslah tubuh kakek itu dan
dia cepat menurunkan kembali kedua tangannya.
“Wi Wi, kau
hendak mempergunakan itu untuk membela kejahatan?” bisiknya.
“Kwan Cu,
apakah kau yang sudah tua bangka ini hendak melanggar sumpahmu?”
Bu Pun Su
menggelengkan kepala. “Tidak, aku tidak akan melanggar sumpahku biar pun
tubuhku akan hancur lebur. Apakah yang kau kehendaki, Wi Wi?”
“Kehendakku
yang harus kau turuti adalah kau tidak boleh mengganggu kawan-kawan ini selama
mereka berada di sampingku!”
Bu Pun Su
menarik napas panjang dan mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baik, baik, aku
takkan mengganggu mereka selama mereka berada di sampingmu!” ia berjanji.
Nenek itu
tersenyum dan menyimpan kembali tusuk kondenya yang begitu berpengaruh terhadap
Bu Pun Su itu. Sedangkan kakek jembel itu dengan muka penuh kecemasan lalu
menghampiri Lin Lin yang masih rebah miring dan memandang semua peristiwa itu
dengan mata terbelalak heran. Bu Pun Su memeriksa luka di leher Lin Lin dan
ketika dia meraba luka bintik warna hijau itu, dia menjadi terkejut sekali.
“Hai Kong,
kau kejam sekali!” katanya sambil memandang kepada hwesio gundul yang berdiri
sambil tersenyum penuh kepuasan.
“Bu Pun Su,
jembel tua! Tahukah kau racun apa yang mengancam jiwa gadis ini?” tanya Hai
Kong Hosiang dengan senyum sindir.
“Kau telah
mempergunakan racun Ular Hijau yang hidup di Mongolia. Alangkah kejamnya
hatimu!” kata Bu Pun Su.
“Ha-ha-ha.
Matamu masih cukup awas!” Hai Kong Hosiang menyindir. “Tahukah kau cara
bekerjanya racun itu? Ha-ha-ha! Racun Ular Hijau bekerja lambat akan tetapi
pasti. Dan tidak ada obat di dunia yang dapat menyembuhkan orang yang terkena
racun itu. Gadis ini hanya akan hidup selama seratus hari lagi. Keadaannya akan
biasa saja, tidak merasa sakit apa-apa asalkan dia jangan merasa kuatir. Kalau
dia merasa kuatir, racun itu akan lebih hebat kerjanya dan akan menyerang
jantungnya hingga ia akan jatuh pingsan! Akan tetapi hal itu pun tidak
berbahaya, dan pendeknya, ia akan hidup sampai seratus hari lagi. Ha-ha-ha!”
“Hai Kong,
demi KeTuhanan dan Perikemanusiaan, janganlah kau sekejam itu. Aku tahu bahwa
untuk racun ini ada sejenis obat di Mongolia dan kau yang bermain-main dengan
racun ini tentu mempunyai pula obat penyembuhnya. Berikanlah obat itu untuk
menolong nyawa muridku ini!”
“Ha-ha-ha-ha!
Enak saja kau bicara, pengemis tua!” Hai Kong menjadi berani karena dia maklum
bahwa kakek jembel itu berada di dalam kekuasaannya. “Aku tidak begitu bodoh
untuk membawa-bawa obat itu bersamaku. Obat itu berada di suatu empat yang
aman!”
“Hai Kong,
aku minta kepadamu, serahkan obat itu untuk menolong dia! Aku sudah tua dan tak
akan lama lagi hidup di dunia. Aku tidak takut akan kematian, akan tetapi dia
ini masih muda dan masih berhak untuk hidup lebih lama lagi. Berikanlah obat
itu dan aku berjanji hendak melakukan apa saja yang kau minta, asal bukan
kejahatan yang harus kulakukan!” kata lagi Bu Pun Su dengan suara mengandung
permohonan.
Melihat dan
mendengar semuanya ini, Lin Lin segera bangkit duduk dan pada saat itu, agaknya
serangan racun di tubuhnya sudah banyak mengurang.
“Suhu, teecu
tidak takut mati. Biarlah teecu diancam bahaya maut, tidak apa. Akan tetapi
perkenankan teecu mengadu jiwa dengan pendeta rendah budi itu!”
Bu Pun Su
menggelengkan kepala. “Jangan, muridku. Bukan saatnya, jangan gunakan
kekerasan...” kemudian ia memandang kepada Wi Wi Toanio, nenek yang aneh itu.
“Wi Wi, sekarang apakah kehendakmu lagi?”
“Kau harus
ikut dengan kami dan membantu kami mendapatkan harta pusaka terpendam di goa
Tun-huang.”
“Hanya
itukah?”
“Ya, hanya
itu dan setelah berhasil mendapatkan harta itu, kau boleh bebas. Akan tetapi
ketahuilah bahwa pihak Turki dan juga Kaisar mencari-cari pula harta itu dan
kau harus melindungi kami melawan dan mengundurkan mereka!”
“Aku
menurut, Wi Wi, akan tetapi hanya dengan satu syarat, tanpa dipenuhinya syarat
itu, aku tak akan menurut, biar pun dengan berbuat demikian berarti aku melanggar
sumpah! Marilah kita masuk ke dalam goaku dan di sana kita bicarakan hal ini
lebih mendalam pula.”
Sambil
menuntun tangan Lin Lin, Bu Pun Su mendahului rombongan itu memasuki Goa
Tengkorak.
“Lin Lin kau
beristirahatiah dalam kamar hio-louw itu dan bersemedhilah dengan tenang,
membersihkan pernapasanmu supaya racun yang menyerangmu itu tidak begitu keras
jalannya,” katanya kepada Lin Lin tanpa mempedulikan suara ketawa Hai Kong
Hosiang yang mengejeknya.
Lin Lin
melontarkan pandang mata membenci ke arah pendeta gundul itu, lalu ia mentaati
perintah suhu-nya dan masuk ke dalam kamar hiolouw lalu bersila dan mengatur
napas. Akan tetapi, ia memasang telinganya dan mendengarkan semua percakapan
mereka.
Akhirnya
diputuskan oleh Bu Pun Su, Hai Kong Hosiang, dan Wi Wi Toanio, bahwa Bu Pun Su
harus membantu mereka mendapatkan harta pusaka itu, kemudian apa bila harta
pusaka itu telah jatuh ke dalam tangan mereka, barulah Hai Kong Hosiang akan
memberi obat penyembuh racun yang menguasai Lin Lin.
Mendengar
percakapan itu, Lin Lin merasa terhina sekali dan dia juga merasa penasaran
mengapa Bu Pun Su menjadi sedemikian lemah dan tidak berdaya terhadap nenek
itu? Apakah nenek itu lebih lihai dari pada Bu Pun Su? Andai kata lebih lihai
juga, mungkinkah suhu-nya bersikap demikian pengecut dan takluk tanpa
mengadakan perlawanan terlebih dulu? Ia menjadi gelisah dan duduknya tidak bisa
diam.
Tiba-tiba
terdengar Bu Pun Su berkata, “Lin Lin, aku tahu mengapa kau merasa gelisah dan
penasaran.” Kemudian, kakek yang lihai ini lalu berkata kepada Wi Wi Toanio,
“Wi Wi, jangan kau membuat aku dipandang rendah oleh muridku sendiri. Kalau kau
tak mau menceritakan riwayat kita berdua hingga terdengar muridku dengan jelas,
jangan harap kau akan dapat membawaku ke barat untuk mencari harta pusaka itu.”
“Apa?” nenek
itu berseru heran. “Kau tidak takut rahasia kita itu kubongkar?”
“Apakah yang
kutakuti lagi? Nama buruk? Biarlah, aku sudah tak bernama lagi,” jawab Bu Pun
Su.
“Tidak akan merasa
malukah kau?”
“Di manakah
letaknya malu? Perbuatan yang sudah dilakukan tak perlu disimpan-simpan! Telah
puluhan tahu kita menyimpan rahasia itu, lebih baik sekarang dibuka sebelum
kita mati.”
“Tetapi...
tetapi mengapa kau masih tunduk kepadaku apa bila kau tidak takut rahasia itu
terbongkar?” nenek itu suaranya mengandung gelora penuh keheranan dan kejutan.
Bu Pun Su
tersenyum. “Itulah rahasiaku sendiri, Wi Wi. Sekarang ceritakanlah semuanya
dengan jelas sebelum kita berangkat.”
Dengan suara
gemetar, berceritalah nenek yang aneh itu…..
Dulu ketika
muda dan masih berusia dua puluh lima tahun, Bu Pun Su bernama Lu Kwan Cu,
muda, tampan, dan gagah. Ilmu kepandaiannya amat tinggi hingga pada masa itu ia
menjagoi di seluruh daerah dan merupakan pendekar yang ditakuti para penjahat.
Karena
kakeknya, Perdana Menteri Lu Pin, menderita akibat pemberontakan An Lu Shan,
maka Lu Kwan Cu membenci semua orang Tartar dan mencari mereka untuk dibunuhnya
sebagai pembalasan dendamnya. Yang terutama dicarinya adalah keturunan An Lu
Shan yang bernama An Kai Seng dan yang sudah menjadi orang Han semenjak kawin
dengan seorang gadis Han yang cantik.
An Kai Seng
sendiri biar pun berkepandaian tinggi, namun merasa takut sekali kepada Lu Kwan
Cu yang mencari-carinya, hingga diam-diam ia melatih diri bersama isterinya,
yaitu yang bernama Wi Wi, seorang gadis Han yang masih berdarah Tartar juga dan
yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Akhirnya Lu
Kwan Cu berhasil menjumpai mereka dan walau pun dikeroyok oleh banyak kawan-kawan
An Kai Seng namun tak seorang pun dapat menghadapinya. An Kai Seng menjadi
gelisah dan takut sekali hingga tiba-tiba muncullah isterinya, yaitu Wi Wi
Toanio yang cantik.
Melihat
suaminya berada dalam bahaya, Wi Wi Toanio lalu menggunakan kecantikannya untuk
menggoda hati Lu Kwan Cu dan sengaja memancingnya dan menantangnya untuk
mengadu jiwa di dalam sebuah hutan antara pendekar itu dan Ang Kai Seng suami
isteri. Tantangan ini tentu saja diterima oleh Lu Kwan Cu dengan baik, dan
ketika pendekar muda ini pergi ke hutan itu pada saat yang telah ditetapkan,
dia hanya menjumpai Wi Wi seorang diri.
Wi Wi
mempergunakan segala kecantikannya untuk memikat dan menjatuhkan hati Lu Kwan
Cu dengan cara yang tak patut dituturkan di sini. Pendeknya, tahu sendirilah…
Lu Kwan Cu
adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam hubungan dengan wanita dan darah
mudanya langsung menggelora ketika dia menghadapi Wi Wi yang cantik dan pandai
menggairahkan hatinya itu. Keteguhan imannya runtuh dan bagaikan tak sadar ia
menuruti kehendak wanita itu bagaikan seekor ikan bodoh yang tidak tahu akan
bahaya umpan pancing!
Sejak saat
itu, ia jatuh bertekuk lutut di depan Wi Wi yang cantik dan menjadi tergila-gila.
Sering kali mereka mengadakan pertemuan rahasia, dan Lu Kwan Cu sama sekali
tidak sadar bahwa dia sudah melakukan perbuatan terkutuk dan melanggar
kesusilaan dengan isteri orang lain, bahkan isteri musuh besarnya yang tadinya
akan dibunuhnya!
Semenjak
saat itu, jangankan bercita-cita membunuhnya, bahkan segala permintaan Wi Wi
diturutinya belaka. Ini masih belum hebat, yang celaka sekali ialah ketika dia
memberi sebatang tusuk konde kepada wanita itu pada saat dia mengucapkan
sumpahnya bahwa selama hidupnya, ia akan menurut pada segala perkataan wanita
yang juga bersumpah ‘mencintanya’ itu, dan tusuk konde itu menjadi saksi.
Lu Kwan Cu
benar-benar mabok asmara dan tergila-gila. Dia percaya sepenuh hatinya bahwa Wi
Wi benar-benar mencintainya dengan setulus hati.
Akhirnya,
ketika pada suatu hari dia mengadakan pertemuan dengan Wi Wi di hutan, dia
mendengar gerakan orang. Cepat dia melompat dan menangkap orang itu yang
ternyata bukan lain adalah Ang Kai Seng sendiri yang mengintai. Dia hendak
memukulnya, akan tetapi tiba-tiba Wi Wi mengeluarkan tusuk konde itu dan minta
dia melepaskan suaminya!
Bukan main
terkejut dan herannya hati Lu Kwan Cu melihat akan hal ini. Ternyatalah kini
bahwa tanpa terduga-duga sekali, An Kai Seng sudah mengetahui akan perhubungan
itu, dan bahkan dengan berani sekali Wi Wi mengeluarkan tusuk konde
pemberiannya itu di depan suaminya untuk menolong suami itu.
Terbukalah
matanya bahwa agaknya An Kai Seng dengan sengaja merencanakan hal itu bersama
isterinya, yaitu sudah menggunakan isterinya yang cantik sebagai umpan untuk
menjebaknya! Dalam takutnya, An Kai Seng beserta isterinya sudah menjalankan
siasat keji dan rendah itu untuk menyelamatkan jiwa mereka.
Hancurlah
hati Lu Kwan Cu melihat kenyataan ini, akan tetapi dia adalah seorang gagah
yang selalu menetapi janji. Oleh karena dia sudah berjanji kepada Wi Wi
terpaksa dia lalu meninggalkan tempat itu.
Semenjak
itu, dia lalu menjauhkan diri dari Wi Wi yang merupakan bahaya besar baginya
itu. Ia takut kalau-kalau Wi Wi mempergunakan tusuk konde yang mempunyai
kekuasaan besar itu untuk memerasnya dan memaksanya membantu wanita itu
melakukan hal-hal yang jahat!
Maka dia
melarikan diri dan merantau jauh meninggalkan tempat itu, bahkan lalu beralih
nama menjadi Bu Pun Su dan bertapa di sebuah pulau kosong, yaitu Pulau
Kim-san-to! Ia menyangka bahwa wanita itu tentu telah mati. Tetapi tidak
tahunya, setelah menjadi tua, tiba-tiba saja wanita iblis itu kembali muncul
lagi membuat gara-gara hingga terpaksa dia memegang teguh sumpah dan janjinya
dulu dan terpaksa membiarkan Lin Lin terluka dan terancam bahaya maut pula.
Setelah Wi
Wi Toanio menceritakan semua ini yang tidak saja didengarkan oleh Hai Kong
Hosiang dan kawan-kawannya, akan tetapi juga oleh Lin Lin, lantas terdengar Bu
Pun Su menarik napas panjang dan berkata,
“Tepat
sekali ujar-ujar Nabi Khong Cu yang berbunyi, Pok-hian-houw-in,
Bok-hian-houw-bi, Koh-kuncu-sin-ki-tok-ha! (Tidak ada yang lebih jelas dari
pada yang tersembunyi, dan tak ada yang lebih tegas dari pada yang paling
lembut. Maka seorang budiman selalu berhati-hati terhadap hal yang
tersembunyi). Ujar-ujar ini jelas memperingatkan manusia akan bahayanya musuh
yang bersembunyi di dalam hati dan pikiran sendiri. Segala hal yang diperbuat
oleh lahir, selalu datangnya dari dalam, bagaikan munculnya tunas yang mekar
terdorong oleh suatu tenaga yang keluar dari dalam cabang! Hemm, usia muda
memang penuh bahaya!”
Setelah
berkata demikian, Bu Pun Su lalu berkata kepada Lin Lin, “Muridku, kau telah
mendengar hal itu semua, dan kau tentu mengerti mengapa aku tidak dapat
melanggar sumpah sendiri. Kau tenanglah dan tunggu saja di sini dengan
baik-baik bersama tiga burung kita, tunggu sampai aku kembali membawa obat
penawar lukamu!”
Setelah
berkata demikian, pergilah mereka meninggalkan Goa Tengkorak meninggalkan Lin
Lin seorang diri di kamar hio-louw itu. Dan di dalam hatinya, Lin Lin merasa
berkuatir sekali, bukan kuatir terhadap diri sendiri, karena Lin Lin berhati
tabah dan tidak takut mati, akan tetapi dia menguatirkan keadaan suhu-nya. Ia
lupa bahwa ia tidak boleh mempunyai perasaan kuatir, maka begitu perasaan itu
mendesak jantungnya, ia menjerit keras lantas jatuh pingsan!
Dan kemudian
datanglah Cin Hai menemukannya dalam keadaan masih pingsan!
Cin Hai
mendengarkan penuturan itu dengan sangat tertarik, gelisah dan terharu. Jarang
terdapat orang seperti suhu-nya. Gagah perkasa, memegang teguh sumpahnya,
sungguh pun sumpah terhadap seorang jahat, tetapi rela mengorbankan dirinya
demi keselamatan muridnya!
“Apa bila
demikian halnya, kau harus menenangkan hatimu, Lin-moi. Seratus hari adalah
waktu yang cukup banyak bagi kita untuk berusaha mencari obat bagimu. Meski pun
aku percaya penuh kepada Suhu bahwa dia tentu akan berhasil membawa obat
penyembuh itu, akan tetapi, terlebih baik pula kalau kita tidak tinggal diam
dan marilah kita juga pergi ke Kansu untuk menyusul mereka. Jangan kau kuatir,
Adikku, aku telah berada di sisimu dan demi Tuhan Yang Maha Agung, kau pasti
akan tertolong.”
Lin Lin
tidak membantah kehendak Cin Hai. Lagi pula, baginya ke barat tiada bedanya
dengan ke timur atau ke mana pun, selama dia berada bersama kekasihnya. Malam
itu mereka berkemas dan tidur di Goa Tengkorak, Cin Hai di ruang depan di mana
terdapat banyak patung tengkorak sedangkan Lin Lin di ruang hio-louw.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali saat sinar matahari masih berwarna
kemerahan, sepasang kekasih itu keluar dari goa, mulai melakukan perjalanan
jauh mengejar suhu mereka menuju Kansu di barat sana. Mereka sengaja hendak
meninggalkan tiga burung peliharaan mereka karena selain harus menempuh
perjalanan jauh, juga mereka belum tahu akan mati hidup diri sendiri. Sesudah
berjalan sejauh sepuluh li, mereka mulai keluar dari hutan yang mengelilingi
Goa Tengkorak.
Pada saat
itu pula, di udara nampak tiga titik hitam yang melayang turun dan tidak lama
kemudian, tiga burung yang menjadi kawan Lin Lin, yaitu Merak Sakti, Rajawali
Emas, dan Bangau Sakti, menyambar turun dan berdiri di dekat mereka sambil
mengeluarkan suara riuh rendah, seakan-akan menegur mereka mengapa meninggalkan
begitu saja.
“Marilah
kalian ikut kami pergi ke barat,” kata Lin Lin.
Cin Hai lalu
melanjutkan perjalanan bersama Lin Lin menuju ke barat, diikuti oleh ketiga
burung sakti yang terbang tinggi di atas udara. Mengingat akan keadaan Lin Lin,
Cin Hai diam-diam merasa berduka dan gelisah, sedangkan Lin Lin yang mengetahui
keadaan kekasihnya itu, menghiburnya dengan berlaku riang gembira dan jenaka
hingga Cin Hai merasa terhibur juga.
Melihat
sikap Lin Lin, seakan-akan ia tidak menderita sakit apa-apa. Dan memang benar
ucapan Hai Kong Hosiang bahwa racun Ular Hijau itu sangat halus kerjanya hingga
orang yang terkena seakan-akan tidak merasa apa-apa padahal orang itu makin
hari semakin mendekati maut!
Dalam
usahanya menghibur Cin Hai, Lin Lin bahkan mempergiat latihan pedangnya. Cin
Hai bukanlah seorang pemuda yang berhati lemah dan bersemangat kecil, maka dia
pun segera dapat melupakan kekuatirannya. Sikap Lin Lin yang gembira ini banyak
menolong Cin Hai, bahkan dia lalu sadar bahwa mestinya dialah yang harus
memperlihatkan sikap gembira supaya kekasihnya itu tidak memikirkan keadaan
dirinya dan tidak timbul rasa kuatir, perasaan yang menjadi pantangan bagi Lin
Lin itu. Maka dengan gembira dia pun lalu membantu dan memberi
petunjuk-petunjuk sehingga ilmu pedang Lin Lin kini menjadi semakin maju saja.
Cin Hai
tidak mau menceritakan kepada Lin Lin tentang tewasnya Biauw Suthai dan Pek
Toanio karena dia maklum bahwa hal ini akan membahayakan kesehatannya. Bahkan
dia sengaja mengambil jalan memutar dan tidak mau melalui dusun di mana kedua
pendekar wanita itu tewas.
***************
Kita
mengikuti keadaan Ang I Niocu yang ditinggal seorang diri oleh Cin Hai yang
pergi memberi laporan kepada Bu Pun Su. Dara Baju Merah itu menanti kembalinya
Cin Hai sambil menjaga goa rahasia tempat harta pusaka itu, juga sambil
menunggu datangnya rombongan Kwee An, Ma Hoa, beserta Nelayan Cengeng yang juga
menuju ke Kansu dengan mengambil jalan lain.
Pada suatu
hari, karena merasa kesal tidak ada kawan dan tidak ada sesuatu yang bisa
dikerjakan, Ang I Niocu lalu keluar dan pergi berjalan-jalan di sekeliling ibu
kota Lan-couw yang sangat ramai.
Daerah Kansu
adalah daerah bagian barat daratan Tiongkok dan di sana banyak terdapat
suku-suku bangsa, bahkan banyak pula orang-orang asing yang berdagang di situ.
Oleh karena ini, maka banyak sekali nampak pemandangan-pemandangan yang ganjil,
yaitu jalan-jalan penuh orang-orang yang mengenakan pakaian bermacam ragam dan
warna. Banyak pula wanita-wanita suku Hui dan lain-lain yang berwajah manis
dengan pakaian mereka yang berbeda dengan pakaian orang-orang Han.
Akan tetapi,
pada saat Ang I Niocu berjalan-jalan dengan pakaiannya yang serba merah,
langkahnya yang gagah, tubuhnya yang ramping dan wajahnya yang cantik jelita
itu, dia merupakan pemandangan yang amat mencolok mata dan yang jarang dapat
terlihat oleh orang-orang di sana. Oleh karenanya hampir semua mata memandang
Dara Baju Merah itu dengan penuh kekaguman.
Akan tetapi
Ang I Niocu sudah terbiasa dengan pandangan-pandangan mata seperti ini. Maka,
dia tidak mengacuhkannya sama sekali, seakan-akan mereka semua itu hanyalah
patung-patung batu yang memandangnya tanpa berkedip.
Saat lewat
di depan sebuah toko yang menjual barang-barang kuno, Ang I Niocu teringat akan
cawan tertutup yang menjadi penunjuk jalan baginya dan Cin Hai untuk menemukan
rahasia goa rahasia itu. Dia teringat betapa anehnya dia mendapatkan cawan
berukir itu, yaitu dari seorang gila!
Ketika itu
dia sedang berjalan menuju ke Kansu, yaitu sebelum bertemu dengan Cin Hai.
Tiba-tiba dia melihat seorang yang berpakaian tak karuan dan hampir telanjang
duduk di tepi jalan, tertawa-tawa seorang diri. Orang itu adalah seorang Turki
sudah tua, dan yang amat aneh adalah biar pun pakaiannya compang-camping tidak
karuan dan keadaannya menunjukkan kemiskinan yang sangat besar, namun dia
memegang sebuah cawan perak yang indah sekali!
Pada saat
Ang I Niocu sedang memandang dengan terheran-heran, datanglah tiga orang bangsa
Hui yang mendekati orang gila itu dengan mata melirik ke sana ke mari. Melihat
bahwa tempat itu sunyi dan hanya ada seorang gadis baju merah berdiri di tempat
yang agak jauh, ketiga orang itu lalu maju dan hendak merampas cawan perak itu.
Si Gila lalu
berteriak-teriak, berdiri dan menendang-nendang, mencakar-cakar melakukan
perlawanan, sambil mulutnya mengomel, “Pergi, pergi! Kalian tidak berhak
mendapatkan harta pusaka ini! Pergi!”
Seorang di
antara ketiga orang yang hendak merampas cawan itu lalu mengubah siasat dan
sambil tersenyum dia berkata,
“Kakek
sinting, biarlah kami menukarnya dengan uang untuk membeli nasi!” orang itu
lalu mengeluarkan uang perak beberapa potong.
Akan tetapi
orang gila itu mendekap cawan itu erat-erat sambil terus memaki.
“Perampok-perampok, pergi! Aku tidak butuh uang! Harta pusaka ini milikku!”
Tiga orang
itu menubruk hendak merampas cawan, namun tiba-tiba mereka roboh sambil
merintih-rintih. Ternyata Ang I Niocu telah bertindak karena kasihan kepada
orang gila itu.
Tiga orang
laki-laki bangsa Hui itu kembali bangkit dan hendak menyerang, akan tetapi
kembali tubuh Ang I Niocu bergerak cepat dan sebelum mereka tahu apakah yang
terjadi dan menimpa diri mereka, tahu-tahu ketiga orang itu sudah terlempar
lagi dengan tubuh sakit-sakit! Mereka memandang dengan mata terbelalak
ketakutan seakan-akan melihat setan di tengah hari, lalu berlari pergi secepat
kaki mereka dapat bergerak!
Orang gila
itu menghampiri Ang I Niocu dan karena orang itu bertubuh tinggi sekali, maka
ketika dia mengulurkan kedua tangannya yang kotor ke atas kepala Ang I Niocu,
kedua tangan itu menumpang di atas kepala gadis itu, seakan-akan seorang
pendeta memberi berkah.
“Kau gagah,
ha-ha, mereka lari pontang-panting, ha-ha-ha! Kau patut menjadi ratu, patut
memiliki harta pusaka itu. Ini, kau terimalah harta pusaka yang tak ternilai
harganya!” Dia memberikan cawan perak itu kepada Ang I Niocu yang menerimanya
dengan heran.
“Untuk apa
cawan ini?” tanyanya.
Orang gila
itu memandangnya dengan marah. “Untuk apa katamu? Itu bukanlah cawan. Bodoh,
menyebut harta pusaka sebagai cawan biasa!” Si Gila itu kemudian pergi dengan
langkah lebar dan terdengar ia bernyanyi dalam bahasa Turki yang tidak karuan.
Ang I Niocu
mengamat-amati cawan itu dan melihat ukir-ukiran yang indah, hingga timbul rasa
sayangnya. Dia lalu memasukkan cawan itu ke dalam saku dan tidak tahu maksud
ucapan orang gila itu hingga ia bertemu dengan Cin Hai yang membawa tutup
cawannya.
Demikianlah,
sambil mengenangkan semua kejadian ini, Ang I Niocu tak sengaja berhenti di
depan toko barang antik itu sambil melamun. Tiba-tiba saja dia melihat dua
orang Turki berkelebat masuk ke dalam toko dan ketika seorang di antara mereka
memandang keluar toko, maka nampak wajahnya yang dibayangi ketakutan hebat!
Ang I Niocu
menjadi tertarik dan curiga, maka ia segera melompat ke pinggir rumah dan terus
mengintai dari atas genteng. Ia melihat dua orang itu bicara dengan seorang
Turki lainnya dan agaknya mereka membicarakan hal-hal yang mengandung rahasia.
Akan tetapi
hanya ada sebuah kata saja yang dimengerti oleh Ang I Niocu karena mereka
bicara dalam bahasa Turki, yaitu kata-kata mereka ‘Yousuf’! Kata-kata ini cukup
untuk membuat ia memperhatikan mereka baik-baik dan ketika ketiga orang itu
keluar dari luar rumah melalui pintu belakang lalu berlari-lari cepat, dia
segera mengikuti mereka dengan diam-diam.
Dengan mudah
ia dapat mengikuti ketiga orang itu tanpa mereka mengetahuinya. Untuk beberapa
lama ketiga orang itu masuk keluar hutan hingga kemudian sampai di sebuah
perkampungan kecil di mana terdapat banyak rumah-rumah model Turki.
Tiga orang
Turki itu masuk ke dalam rumah yang terbesar. Ang I Niocu segera melompat naik
ke atas genteng dari bagian belakang dan menuju ke wuwungan di sebelah tengah.
Ia membuka genteng dan mengintai ke dalam dengan hati-hati. Dilihatnya ketiga
orang tadi masuk ke dalam sebuah ruangan yang kebetulan sekali berada tepat di
bawahnya. Di dalam ruangan yang lebar itu nampak duduk dua orang Turki.
Seorang di
antara mereka telah tua sekali, dan yang seorang lagi setengah tua, sikapnya
gagah. Juga kakek yang sudah sangat tua dan rambutnya sudah putih semua
sehingga menimbulkan kontras yang mencolok dengan kulitnya yang hitam, nampak
lemah lembut akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam berpengaruh.
Setelah
melihat mereka, ketiga orang Turki itu segera maju dan memberi hormat dengan
membungkukkan tubuh dalam-dalam dengan kedua tangan di depan. Mereka bertiga
lalu bicara seakan-akan membuat laporan kepada dua orang itu. Tidak lama
kemudian, orang setengah tua tadi menjawab dengan beberapa kalimat yang agaknya
memberi perintah, karena setelah mendengar ucapan itu, tiga orang pendatang
tadi lalu pergi lagi.
Tiba-tiba,
orang setengah tua itu tertawa dan sambil menengok ke atas ke arah genteng yang
dipijak oleh kaki Ang I Niocu ia berkata dalam bahasa Han yang lancar, “Sahabat
yang berada di atas genteng, harap kau suka turun saja apa bila ada perlu
dengan kami.”
Ang I Niocu
terkejut sekali. Tidak pernah disangkanya bahwa orang itu dapat melihat atau
mendengarkannya, dan selagi dia merasa ragu-ragu, tiba-tiba kakek rambut putih
itu juga berkata,
“Nona
berbaju merah agaknya Ang I Niocu! Kalau benar, kami persilakan turun karena
kita masih kawan sendiri!”
Makin
terkejutlah hati Ang I Niocu mendengar ini. Kalau laki-laki setengah tua itu
hanya dapat mengetahui bahwa di atas genteng terdapat orang sedang mengintai,
adalah kakek berambut putih itu bahkan tahu bahwa yang mengintai adalah seorang
gadis baju merah, bahkan dapat menduga namanya dengan tepat! Ang I Niocu masih
merasa ragu-ragu untuk turun, maka dia teringat sesuatu dan bertanya,
“Apakah seorang
di antara Jiwi ada yang bernama Yousuf?”
Mendengar
pertanyaan ini, laki-laki setengah tua itu berseri wajahnya dan sambil berdiri
ia menjawab girang. “Akulah yang bernama Yousuf! Kalau begitu Nona tentu
benar-benar Ang I Niocu adanya! Lihiap, silakan turun!”
Kini Ang I
Niocu tidak merasa ragu-ragu lagi. Ia membuka beberapa potong genteng dan
melayang turun sambil berkata, “Mohon dimaafkan sebanyaknya atas
kelancanganku!”
Yousuf
memandang kepada Nona Baju Merah itu dengan mata kagum, lalu dia menjura sambil
berkata girang, “Betul, betul! Kau tentu Ang I Niocu. Aku telah lama mengenalmu
dari penuturan anakku Lin Lin!”
Ang I Niocu
menjadi girang sekali. “Dan aku pun sudah lama mengenal nama Yo-lopek dari
kawan-kawan.”
Mendengar
bahwa tanpa ragu-ragu lagi Ang I Niocu menyebut dirinya lopek (uwa) seperti Cin
Hai, Kwee An dan yang lain-lain. Yousuf merasa girang sekali.
“Ang I
Niocu, kedatanganmu ini bagiku laksana jatuhnya sebuah bintang dari langit! Kau
disangka telah tewas di atas Pulau Kim-san-to sehingga melihat kesedihan
kawan-kawan kita, aku sendiri merasa sangat berduka. Dan sekarang, tiba-tiba
saja kau muncul dalam keadaan yang kebetulan sekali!”
Ang I Niocu
memandang ke arah kakek berambut putih yang lihai tadi, lalu dia bertanya,
“Siapakah Locianpwe yang terhormat ini?”
Kakek itu
tertawa bergelak, kemudian menjawab, “Ang I Niocu, kau tentu belum pernah
mendengar namaku, sungguh pun telah sering kali aku mendengar namamu dari
muridku ini.”
“Ahh, kalau
begitu Locianpwe tentu yang bernama Ibrahim!” kata Ang I Niocu.
Baik Ibrahim
mau pun Yousuf menjadi tercengang. “Bagaimana kau bisa tahu, Lihiap?” tanya
Yousuf heran.
Ang I Niocu
lalu menceritakan pengalamannya, bahwa Cin Hai pernah bercerita tentang
pertemuannya dengan guru Yousuf itu ketika Ibrahim menangkap ular.
Bukan main
girangnya hati Yousuf pada saat mendengar bahwa Ma Hoa dan Kwee An berada dalam
keadaan selamat pula, bahkan kini sedang menuju ke Lan-couw sehingga banyak
kemungkinan dia akan bertemu dengan mereka kembali. Kalau tadinya dia masih
agak muram wajahnya, kini dia menjadi riang gembira dan berkata,
“Lihiap,
tadi kukatakan bahwa kedatanganmu ini seperti bintang jatuh dari langit, akan
tetapi sekarang ternyata bahwa kau bukan merupakan bintang saja, bahkan
seakan-akan bulan sendiri jatuh di pangkuanku! Kau tidak saja memperkuat
fihakku, bahkan kau telah membawa berita yang sangat menggembirakan hatiku.
Patut aku mengucap syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Tunggal.”
Sambil berkata demikian, orang Turki itu mengangkat kedua tangan ke atas
sebagai puji syukur kepada Tuhan.
“Sebenarnya,
apakah yang sedang terjadi, Yo-lopek? Tadi aku melihat tiga orang itu dan aku
merasa curiga. Ketika mendengar namamu disebut-sebut, aku lalu mengikuti mereka
ke sini dan agaknya mereka membuat laporan. Ada apakah?” tanya Ang I Niocu yang
sama sekali tak mengerti karena selama ini semua pembicaraan dilakukan dalam
bahasa Turki.
Yousuf
menarik napas panjang. “Sebetulnya hal yang sedang terjadi dan akan terjadi ini
adalah urusan pribadi Turki sendiri. Akan tetapi, karena di sini terkandung
juga soal-soal kejahatan, maka kami percaya bahwa kau tentu akan suka membantu
kami. Orang-orang Turki yang berada di daerah ini terpecah menjadi dua
golongan, yaitu pengikut-pengikut Pangeran Tua yang pada waktu ini masih
menjadi raja di Turki, dan sebagian pula ialah pengikut-pengikut Pangeran Muda
yang selalu menimbulkan kekacauan. Kami adalah para pengikut Pangeran Tua, kami
selalu mengambil sikap baik dan bersahabat terhadap negerimu, akan tetapi
politiknya yang bersahabat itu dikacau dan dirusak oleh Pangeran Muda yang
selalu mencari perkara. Sekarang para pengikut Pangeran Muda itu bahkan
memiliki maksud menyerbu ke pedalaman Tiongkok, dan mereka datang hendak
mencari harta pusaka yang bukan menjadi hak orang Turki. Nah, kami para
pengikut Pangeran Tua mendapat tugas untuk menghalangi maksud jahat ini, karena
kalau maksud mereka itu terus dilanjutkan, yang akan menderita rugi adalah
bangsa kami sendiri, karena tentu dianggap jahat oleh bangsamu. Kami bertugas
menghalangi niat mereka mencuri harta pusaka itu, dan mencegah mereka
melanjutkan usaha menyerbu ke wilayah Tiongkok!”
Ang I Niocu
mengangguk-angguk maklum. “Kalau begitu, kau bersama kawan-kawanmu memang
orang-orang gagah yang mulia, Yo-lopek. Aku pun pernah mendengar
sedikit-sedikit tentang maksud orang-orang Turki itu, akan tetapi tak pernah
menyangka bahwa ada dua rombongan yang bertentangan. Di fihak siapakah
orang-orang seperti Siok Kwat Moli, Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin dan yang
lain-lain itu berdiri?”
Tiba-tiba
Ibrahim berdiri dari tempat duduknya dan berkata dengan gemas,
“Nah, itulah
yang amat menyebalkan hati kami. Para pengikut Pangeran Muda itu sudah
mempergunakan cahaya emas untuk menggunakan orang-orang jahat seperti mereka
itu dalam usaha mereka yang rendah. Yang menyebalkan hati, bagaimana
orang-orang Han sendiri sudi membantu usaha pengikut-pengikut Pangeran Muda
yang memiliki maksud buruk terhadap negeri mereka sendiri?” Ibrahim menarik
napas panjang.
Ang I Niocu
tersenyum. “Tidak sangat aneh, Locianpwe. Iman yang lemah dikuasai hati, hati
yang kotor dikuasai pikiran dan pikiran yang picik dikuasai oleh mata. Apa bila
mata mereka sudah silau dan buta karena cahaya harta benda, kejahatan apakah
lagi yang pantang bagi mereka?”
Ibrahim
mengangguk-angguk. “Kau benar, kau benar...” lalu kakek rambut putih itu duduk
melamun tidak mempedulikan lagi keadaan di sekelilingnya.
“Ang I
Niocu,” Yousuf berkata, “sekarang kami menghadapi puncak pertentangan antara
kami dan mereka. Tadi kawan-kawan sudah melaporkan bahwa para pengikut Pangeran
Muda agaknya sudah mendapatkan kunci yang membawa mereka kepada tempat harta
pusaka itu! Kabarnya bahwa mereka telah berhasil mendapatkan cawan yang
berukirkan peta yang menunjukkan di mana tempat harta itu, yang dirampasnya
dari seorang gila. Kalau hal ini betul, kami harus menghalangi mereka!”
Ang I Niocu
tersenyum. “Tak usah lagi, Yo-lopek. Harta pusaka itu telah diketemukan dan
yang mendapatkannya bukan lain ialah aku sendiri dan Cin Hai.”
Yousuf
memandangnya dengan bengong sehingga Ang I Niocu kemudian menceritakan
pengalamannya. Yousuf menjadi girang bukan main sehingga ia segera berpaling
kepada gurunya dan menuturkan semua cerita Ang I Niocu dengan cepat kepada
gurunya dalam bahasa Turki, karena tadi ketika Ang I Niocu bercerita, agaknya
kakek itu masih melamun dan tidak mendengar apa-apa! Ibrahim juga merasa girang
dan tertawa senang.
“Akan
tetapi, Lihiap, kini mereka sedang menuju ke sini untuk menyerbu kami, demikian
menurut laporan kawan-kawan. Kami sudah siap sedia menghadapi serbuan mereka
dan kalau perlu, kami bersedia untuk bertempur pula.”
“Jangan
kuatir, Yo-lopek. Aku telah berada di sini dan aku pasti akan membantu kalian.”
Pada saat
itu, dari luar masuklah seorang penjaga dan memberi laporan singkat kepada
Yousuf yang segera dijawabnya dengan perintah singkat pula. Orang itu lantas
pergi lagi dan Yousuf lalu berkata kepada Ang I Niocu,
“Mereka
telah datang dan kuminta pemimpin-pemimpin mereka agar datang ke sini untuk
mengadakan pembicaraan.”
“Kalau
begitu aku harus mengundurkan diri,” kata Ang I Niocu, yang menganggap bahwa
tidak sepantasnya ia ikut bicara tentang urusan negara orang lain, apa lagi
kalau mereka bicara dalam bahasa mereka yang tidak dimengertinya sama sekali
itu.
Akan tetapi
Yousuf mengangkat tangannya. “Tidak usah Lihiap. Kau duduklah saja di sini,
mengawani kami berdua. Mereka yang datang ini pun hanya wakil-wakil dan para
utusan saja, Semua pembicaraan akan dilakukan dalam bahasa Han, sebab mereka
itu sebagian besar juga orang-orang Han yang telah kau kenal tadi.”
Rombongan
tamu yang datang itu adalah tujuh orang yang terdiri dari seorang Turki tua
yang bersorban merah, diiringkan oleh Siok Kwat Moli, Wai Sauw Pu, Lok Kun
Tojin dan ketiga Kanglam Sam-lojn, yaitu Giok Im Cu, Giok Yang Cu dan Giok Keng
Cu.
YOUSUF
menyambut mereka dengan sikap dingin dan angkuh, karena sebagai pemimpin
pengikut Pangeran Tua itu dia merasa lebih tinggi derajatnya, sedangkan Ibrahim
hanya duduk saja tak mempedulikan mereka sama sekali, ada pun Ang I Niocu duduk
dengan tegak dan gagah.
Rombongan
itu merasa heran juga ketika melihat bahwa penyambut mereka hanya tiga orang
saja, akan tetapi ketika mereka melihat bahwa Ang I Niocu berada di situ,
mereka menjadi terkejut.
“Hemm,
agaknya kau juga sudah mendapat bantuan seorang Han, Saudara Yousuf yang baik!”
pemimpin Turki ini berkata sambil tersenyum sindir. Seperti keterangan Yousuf
tadi, orang Turki ini mempergunakan bahasa Han oleh karena para pembelanya menghendaki
demikian.
“Nona yang
berdiri di pihakku ini adalah seorang pendekar wanita yang selalu membela
persahabatan dan keadilan, tidak seperti pembantu-pembantumu yang hanya membela
uang dan emas yang kau sodorkan kepada mereka, mana mereka bisa dipersamakan?”
jawab Yousuf menyindir hingga wajah enam orang itu menjadi merah karena marah
dan malu.
Yousuf
segera berkata lagi kepada pemimpin orang Turki itu, “Sahimba, apakah maksud
kedatanganmu membawa sekalian tukang-tukang pukulmu ini?”
Sahimba
tertawa, kemudian berkata dengan sikap angkuh, “Yousuf, di negeri kami kau
boleh berlaku sebagai seorang kepercayaan raja dan kami harus tunduk kepadamu.
Akan tetapi sekarang kita berada di negeri orang lain dan kau tidak berhak
untuk mencampuri urusan kami! Kami melakukan usaha kami sendiri hendak mencari
keuntungan di tempat ini, mengapa kau beserta orang-orangmu begitu tidak tahu
malu untuk menghalangi kami sehingga menimbulkan permusuhan di antara bangsa
sendiri?”
“Sahimba,
jika usahamu itu baik dan jujur, siapa yang akan sudi mencampuri urusanmu? Akan
tetapi, kau bahkan menurut perintah dan nafsu jahat dari Pangeran Muda, hendak
mengacau negeri lain orang, bahkan hendak mencuri hak lain bangsa. Hal ini
tentu saja akan memalukan bangsa kita, dan sebagai seorang patriot, tentu saja
kami tidak akan membiarkannya saja! Dengan perbuatanmu yang memalukan bangsa
sendiri, kau boleh dianggap sebagai seorang pengkhianat yang merusak nama
negara dan bangsa, apakah ini harus didiamkan saja?”
“Yousuf, kau
manusia sombong! Kau mengandalkan apakah maka berani berkata begitu? Orang yang
mencampuri urusan lain orang dan yang ingin tahu usaha orang lain adalah orang
yang rendah! Kuperingatkan kepadamu sekali lagi sebagai orang-orang sebangsa,
lebih baik kau lepaskan tanganmu dan jangan ikut-ikut urusan kami, agar kami
tak usah merepotkan tangan membasmi kau dan kawan-kawanmu!”
Yousuf
menjadi marah sekali, akan tetapi ia tetap tersenyum ketika menjawab, “Sahimba,
kau bicara tanpa mempergunakan pikiran sehat! Aku adalah hamba dari Pangeran
Tua yang menjadi raja di negeri kita, sedangkan kau adalah pengikut seorang
pangeran yang selalu membuat kacau, ada apakah lagi yang dapat dirundingkan
antara kita? Jangan kau anggap kami merasa takut akan semua ancamanmu yang
hanya merupakan raung anjing di waktu malam terang bulan!”
“Kalau
begitu, kita harus putuskan hal ini dengan senjata!” kata Sahimba dengan marah,
dan dia bersama keenam orang-orangnya itu meraba gagang senjata!
“Terserah
kepadamu, Sahimba!” kata Yousuf sambil menepuk tangan tiga kali dan dari segala
lubang pintu muncullah puluhan orang dengan senjata lengkap!
“Kami sudah
bersiap sedia!”
Sahimba dan
kawan-kawannya memandang ke sekeliling. Ternyata bahwa kawan-kawan Yousuf,
yaitu pengikut Pangeran Tua, sudah mengurung rumah itu dan menjaga dengan kuat!
“Kau hendak
menggunakan orang banyak dan mengeroyok kami?” kata Sahimba dengan senyum sindir
untuk menyembunyikan kegelisahannya.
“Hanya
orang-orang macam kaulah yang suka mengeroyok dan mengandalkan banyak kawan!”
jawab Yousuf. “Kawan-kawanku siap sedia bukan untuk mengeroyok, akan tetapi
untuk menjaga kalau-kalau kau yang berkawan banyak ini berani berlagak!”
“Yousuf!”
terdengar si Nenek Bongkok Siok Kwat Mo-li berseru. “Jangan kau sesombong itu!
Kalau kau memang laki-laki, marilah kita adu kepandaian, seorang lawan seorang,
jangan main keroyok.”
Ibrahim
mengeluarkan suara batuk-batuk dan sikapnya masih tenang ketika dia berkata,
“Aduh, galak benar! Yousuf, kalau tamu-tamu kita menghendakinya, sebagai tuan
rumah seharusnya kita menerima untuk membuktikan keramahan kita terhadap
tamu-tamu yang datang tanpa diundang!”
Yousuf lalu
menghadapi Sahimba. “Kau telah mendengar sendiri ucapan Guruku dan bila kau
menghendaki, boleh kita mengajukan jago-jago untuk mengadu kepandaian!”
“Boleh…,
boleh! Inilah kesempatan bagus untuk membikin mampus kalian dalam sebuah
pertandingan yang jujur,” jawab Sahimba.
Yousuf
kemudian memberi aba-aba dan beberapa orang penjaga langsung masuk untuk
membersihkan ruangan yang lebar itu. Meja kursi segera disingkirkan sehingga
ruangan itu kini menjadi sebuah tempat yang cukup luas di mana orang boleh
bertempur sesuka hatinya.
Yousuf
berkata lagi, “Karena di pihakku hanya ada tiga orang jago, sedangkan aku lihat
bahwa kau membawa enam orang tukang pukul, maka kau boleh mengajukan tiga orang
tukang pukulmu.”
“Orang
sombong, kau anggap kami tukang pukul? Jaga lidahmu baik-baik!” berkata Giok
Yang Cu, orang ke dua Kanglam Sam-lojin yang bertubuh tinggi besar.
Yousuf
tersenyum dan memandangnya dengan tatap mata mengejek, “Aku adalah tuan rumah,
mengapa harus menjaga lidah? Kaulah yang harus menjaga lagakmu baik-baik. Apakah
kau merupakan orang pertama yang maju mewakili pihakmu?”
Sebelum Giok
Yang Cu menjawab, terdengar suara tertawa bergelak dari luar rumah dan
terdengarlah suara orang, “Sahabatku Yo Se Pu, jangan kau borong semua
babi-babi itu, berilah kesempatan kepadaku untuk menikmati dagingnya juga!”
Dan dari
luar berkelebatlah tiga bayangan orang memasuki rumah itu. Mereka ini bukan
lain adalah Nelayan Cengeng yang mengeluarkan kata-kata tadi, diikuti oleh Kwee
An dan Ma Hoa!
Bukan main
girangnya hati Yousuf melihat Kwee An dan Ma Hoa sehingga dia melompat maju dan
memeluk mereka berdua seolah-olah seorang ayah bertemu dengan dua orang anaknya
yang telah disangka mati. Kedua mata orang Turki ini basah dengan air mata. Ia
pun lalu memegang tangan Nelayan Cengeng dengan hati girang, lantas berkata
kepada Sahimba,
“Dasar kau
yang sedang berbintang gelap! Dengan kedatangan ketiga orang ini, keadaan kita
menjadi berimbang jumlahnya!”
Kemudian,
tanpa peduli akan Sahimba dan kawan-kawannya, Yousuf lalu mengenalkan Ibrahim
kepada Nelayan Cengeng, Ma Hoa, dan Kwee An sehingga mereka bertiga lalu
menjura memberi hormat yang dibalas dengan gembira oleh Ibrahim.
“Nama kalian
sudah kukenal lama sekali dan setelah melihat orang-orangnya, aku makin merasa
kagum saja!” kata kakek itu.
Sementara
itu, Giok Yang Cu yang sudah maju ke depan akan tetapi tidak mendapatkan
pelayanan dari tuan rumah yang sebaliknya bahkan sibuk bercakap-cakap dengan
ketiga orang pendatang baru itu, menjadi mendongkol sekali.
“Yousuf
apakah tidak ada orang yang berani melawanku?” tegurnya marah.
Melihat laku
Giok Yang Cu, Nelayan Cengeng tertawa lagi bergelak-gelak dan berkata kepada
Yousuf, “Saudara Yo, mengapa kau tidak segera memberi sepotong tulang busuk
kepada anjing itu supaya dia tidak melolong-lolong lagi?” kemudian ia tertawa
lagi dengan geli hati hingga keluar air mata bercucuran dari kedua matanya!
“Orang gila,
jangan kau menghinaku!” seru Giok Yang Cu yang segera mencabut pedang dari
sarungnya.
Akan tetapi
sebelum dia maju dan menyerang Nelayan Cengeng, Yousuf telah melompat di
depannya dan berkata, “Sebagai tuan rumah, biarlah aku turun tangan lebih
dulu!”
Orang Turki
ini lalu mencabut pedangnya pula dan dua orang ini segera bertempur hebat,
disaksikan oleh semua orang yang berada di situ.
Ilmu
kepandaian Giok Yang Cu jauh lebih lihai dari pada dahulu oleh karena Ilmu
Pedang Liong-san Kiam-hoat telah banyak mengalami perubahan dan kemajuan, ada
pun pertapa tinggi besar ini terkenal sebagai ahli gwakang yang memiliki tenaga
sebesar gajah, maka ketika ia mainkan pedangnya, pedang itu mendatangkan angin
dan mengeluarkan suara.
Akan tetapi
selain tinggi ilmu kepandaiannya, Yousuf juga telah mempunyai banyak sekali
pengalaman bertempur menghadapi orang-orang pandai, maka ia dapat bergerak
dengan tenang menghadapi gempuran-gempuran dahsyat dari lawannya itu. Lagi
pula, semenjak dekat dengan Nelayan Cengeng, Lin Lin dan lainnya, Yousuf sudah
banyak memahami rahasia-rahasia ilmu silat daratan Tiongkok sehingga
pengertiannya menjadi sangat luas dan kepandaiannya banyak maju.
Giok Yang Cu
tadinya merasa girang melihat bahwa yang maju menghadapinya adalah orang Turki
itu, karena betapa pun juga, ia anggap bahwa kepandaian orang itu tentu tak
seberapa tinggi. Akan tetapi setelah bertempur dua puluh jurus lebih dia
menjadi terkejut dan diam-diam mengeluh.
Dalam hal
kecepatan dan tenaga, orang Turki itu tidak kalah. Bahkan lawannya itu hebat
sekali gerakan pedangnya, ada pun tingkat ginkang-nya lebih tinggi dari
kepandaiannya sendiri! Akan tetapi dia tidak mau memperlihatkan kejeriannya dan
maju mendesak makin hebat dengan serangan-serangan yang ditujukan ke
bagian-bagian yang berbahaya.
Yousuf tidak
menjadi gugup walau pun desakan lawannya yang menggunakan gerakan terlihai dari
Liong-sam-hoat yang dinamakan Naga Liong-san Mengamuk itu hebat sekali. Dengan
ketenangannya yang juga diperkuat oleh kekuatan batinnya, Yousuf menghadapi
serbuan sambil terus mainkan pedangnya dengan cepat sehingga tubuhnya tertutup
oleh gulungan sinar pedangnya.
Tiba-tiba
terdengar pekik kesakitan Giok Yang Cu dan Si Tinggi Besar itu roboh dengan
dada terluka oleh pedang Yousuf. Sungguh pun luka itu tidak membahayakan
nyawanya, akan tetapi cukup membuat ia pada waktu itu tak berdaya lagi dan
harus mengundurkan diri sambil dibantu oleh adiknya yaitu Giok Keng Cu. Yousuf
juga melangkah mundur dan berkata kepada Sahimba,
“Seorang
tukang pukulmu telah kalah, Sahimba!”
Terdengar
bentakan keras dan tahu-tahu Giok Im Cu, yaitu saudara tertua dari Kanglam
Sam-lojin, telah melompat maju dengan gesit sekali dan tangannya memegang
sebatang bambu panjang. Giok Im Cu hendak menebus kekalahan sute-nya, maka
tanpa bertanya lagi kepada Sahimba dia telah melompat ke tengah lapangan
bersilat.
“Biar pinto
menerima pengajaran dari tuan rumah!” katanya.
“Pek-hu,
biarkan aku main-main dengan Tosu ini,” kata Ma Hoa yang mendahului Ang I
Niocu, karena ia merasa tertarik melihat bahwa tosu itu pun bersenjata sebatang
tongkat.
“Kau?”
Yousuf memandang ragu-ragu.
Akan tetapi
Nelayan Cengeng segera berkata, “Saudara Yo, keponakan Ma Hoa ini telah
mempelajari cara memukul anjing, biarkan dia maju!”
Yousuf
selamanya tidak pernah meragukan ucapan Nelayan Cengeng, apa lagi dalam hal ini
tentu saja Nelayan Cengeng juga tidak akan membiarkan muridnya yang terkasih
itu menghadapi bencana, maka dia lalu menganggukkan kepala sambil berkata
kepada Ma Hoa,
“Baiklah,
akan tetapi kau berhati-hatilah!”
Ma Hoa
tersenyum dan segera melangkah maju menghadapi Giok Im Cu yang merasa tak enak
sekali. Ia merasa sungkan dan dipandang rendah. Masa ia seorang tokoh besar di
kalangan kang-ouw harus menghadapi seorang gadis muda yang cantik dan bertangan
kosong ini?
“Nona,
dengan senjata apakah kau hendak memberi pengajaran kepada pinto?”
Ma Hoa
tersenyum sambil mencabut keluar sepasang bambu runcingnya yang berwarna kuning
dan bentuknya pendek itu. “Dengan ini!” jawabnya singkat.
Terbelalak
mata Giok Yang Cu memandang senjata yang aneh itu, akan tetapi berbareng pada
saat itu juga dia merasa berdebar karena teringat akan seorang sakti yang
menjadi ahli dalam permainan sepasang bambu runcing yang pendek. Segera dia
menggerak-gerakkan senjatanya dan berkata,
“Mari, mari,
majulah!”
Ma Hoa tidak
berlaku sungkan lagi dan segera menyerang dengan kedua bambu runcing yang
digerakkan secara luar biasa. Yousuf yang belum pernah melihat Ma Hoa bermain
bambu runcing itu merasa terheran-heran sehingga tanpa terasa lagi terjatuh ke
dalam kursinya, duduk sambil memandang bengong.
Gerakan
gadis ini benar-benar lihai dan sangat indah dipandang. Rambutnya yang terurai
bergerak-gerak di sekeliling kepalanya, ada pun bambu runcing itu saat
digerakkan untuk menyerang, gerakannya demikian cepat sehingga seakan-akan
berubah menjadi puluhan batang!
Giok Im Cu
tercengang melihat ini dan dia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk
menghadapi serangan yang sangat aneh ini. Makin keras dugaannya ketika melihat
permainan ini karena selama dia hidup, baru sekali dia pernah menyaksikan permainan
sepasang tongkat yang luar biasa, yaitu yang dimainkan oleh Hok Peng Taisu,
seorang pertapa sakti yang lihai.
Ia mengigit
bibir dan sebagai seorang ahli lweekang dia lalu mengerahkan lweekang-nya
sehingga setiap sambaran tongkatnya membawa tenaga besar yang ganas. Dia hendak
mengandalkan tenaga lweekang-nya untuk mengalahkan gadis yang pandai memainkan
bambu runcing itu.
Akan tetapi
kembali dia tercengang karena gadis itu dengan pandainya tak mau mengadu
tenaga. Dara ini hanya mengandalkan kelincahan untuk berkelebat di antara
sambaran tongkat lawannya, dan mengirim serangan-serangan berupa totokan dan
tusukan ke arah jalan darah lawan!
Ramai sekali
mereka bertempur, dan kini Yousuf tak dapat menguasai kegembiraannya lagi.
Berkali-kali dia berseru dengan girang sambil mengeluarkan pujian-pujian.
Lima puluh
jurus telah lewat dan Giok Im Cu mulai terkurung oleh pukulan batang bambu
runcing yang seakan-akan bergerak berbareng mengurung dirinya itu. Ia mencoba
untuk mengirim pukulan maut, akan tetapi, tiba-tiba dia merasa sebelah tubuhnya
bagian kanan menjadi lumpuh dan mati sehingga tak terasa lagi tongkatnya
terlepas dari pegangan dan jatuh ke atas lantai. Ternyata jalan darah
Ta-sen-hiat sudah tertotok oleh ujung bambu runcing Ma Hoa. Gadis itu pun menahan
sepasang senjatanya dan memandang sambil mengeluarkan senyuman.
Wai Sauw Pu
pendeta bersorban itu segera melompat dan seketika dia mengeluarkan tangan
menepuk pundak dan mengurut punggung Giok Im Cu, tosu itu pulih kembali jalan
darahnya. Giok Im Cu menjura kepada Ma Hoa dan bertanya, “Nona, apakah
hubunganmu dengan Hok Peng Taisu?”
“Ada perlu
apakah kau menanyakan Suhu-ku?”
“Ohh... jadi
kau murid Hok Peng Taisu? Pantas... pantas….” dengan kecewa sekali Giok Im Cu
mengundurkan diri.
Dia tadi
merasa penasaran dan malu sekali karena dikalahkan sedemikian macam oleh
seorang gadis muda yang tidak terkenal. Bagi seorang jagoan, jauh lebih baik
dikalahkan sampai tewas dalam pertandingan dari pada dikalahkan secara
demikian, yaitu tertotok sampai tak berdaya yang hampir sama dengan penghinaan
namanya.
Akan tetapi
setelah dia mendengar bahwa gadis itu adalah murid Hok Peng Taisu, rasa
penasarannya sebagian besar lenyap. Ia telah menyaksikan kepandaian Hok Peng
Taisu dan maklum bahwa ilmu kepandaian mainkan bambu runcing itu adalah semacam
ilmu yang tak akan dapat dilawannya, biar pun ia akan melatih diri sepuluh
tahun lagi!
Dengan
gembira sekali, juga disertai kebanggaan hati, Yousuf lalu menghampiri Ma Hoa
dan berkata, “Anak nakal, kelak kau harus menceritakan kepadaku dari mana kau
bisa mendapatkan ilmu silat yang luar biasa itu!”
Melihat
betapa sudah dua kali pihaknya mengalami kekalahan, Sahimba gelisah sekali dan
hendak minta kepada Siok Kwat Mo-li yang dianggapnya paling lihai di antara
semua pembantunya untuk menebus kekalahan. Akan tetapi, Wai Sauw Pu yang merasa
amat penasaran dan marah, telah mendahului dan kini pendeta bersorban yang
tinggi besar itu telah berdiri sambil bersedakap dan menantang.
“Dia yang
mempunyai kepandaian boleh maju!”
Pendeta dari
Sin-kiang ini selain bertubuh tinggi besar, juga sepasang matanya tajam dan
berpengaruh sekali. Ia memang sudah mempelajari banyak ilmu kepandaian yang
tinggi, diantaranya ia mempelajari pula hoat-sut (ilmu sihir) yang datang dari
barat. Pernah ia menghadapi Ang I Niocu dan tahu bahwa dalam hal ilmu silat,
belum tentu ia akan dapat menangkan rombongan lawan yang biar pun masih
muda-muda akan tetapi memiliki ilmu silat tinggi, maka kini ia mengambil
keputusan untuk melawannya dengan ilmu silat yang dipengaruhi sihir! Oleh
karena itu, ia memasang kuda-kuda dengan berpangku tangan seperti orang hendak
bertapa berdiri!
Ketika Ang I
Niocu hendak maju, tiba-tiba Ibrahim berseru, “Ang I Niocu, tahan dulu, yang
besar ini adalah bagianku!”
Dengan langkah
yang sembarangan bagai orang lelah atau malas, Ibrahim menghampiri Wai Sauw Pu
yang memandangnya dengan muka memperlihatkan kegelian hatinya. Si Pendeta
Tinggi Besar itu tertawa ketika ia berkata,
“Aku tadi
mendengar bahwa kau diperkenalkan sebagai guru dari Yousuf, apakah engkau orang
tua yang sudah tinggal menanti saat terakhir ini juga hendak meniru kedunguan
muridmu dan mencampuri urusan orang lain?”
“Wai Sauw
Pu, sebagai seorang yang mempelajari kebatinan, agaknya kau sudah lupa akan dua
perkara. Pertama, bahwa jalan yang ditunjuk Tuhan bagi manusia adalah jalan
kebenaran yang berdasarkan amal kebaikan dan bahwa mereka yang berjalan di atas
ini saja akan mendapat berkah abadi. Ke dua, bahwa akhir kehidupan tidak
tergantung dari pada usia tua, bila mana saja Tuhan menghendaki, setiap
manusia, tua mau pun muda, akan berakhir hidupnya! Akan tetapi kau sudah
melanggar syarat pertama dan tidak mau berjalan di atas jalan kebenaran, bahkan
kau membiarkan hatimu ditunggangi oleh nafsu keduniaan dan menjadi silau oleh
sinar emas yang sebenarnya tak ada bedanya dengan tanah lempung biasa! Pula,
kau telah mengingkari kekuasaan Tuhan yang berkuasa atas nyawa tiap manusia
dengan mengatakan bahwa saat terakhir bagiku sudah dekat, karena menurut
pandanganku yang bodoh bila kau tidak lekas-lekas mengubah dan menginsyafi
kesesatanmu, agaknya kaulah yang akan mendahului aku masuk ke dalam neraka!”
Tadinya Wai
Sauw Pu sengaja mengucapkan omongan menghina itu untuk memancing kemarahan
dalam hati kakek tua itu, akan tetapi tidak tahunya sekarang dia sendiri yang
menjadi marah mendengar petuah ini! Ia hendak membikin lawan yang akan
dihadapinya marah karena ia maklum bahwa kemarahan akan melemahkan batin orang
agar mudah dipengaruhi oleh ilmu sihirnya. Ia tidak tahu bahwa ia berhadapan
dengan Ibrahim, tokoh tua yang dihormati orang di Turki oleh karena selain
pandai ilmu silat dan pengobatan, kakek ini terkenal sebagai seorang ahli
kebatinan berilmu tinggi!
“Kalau
begitu, hendak kita lihat bersama saja, siapa yang akan mampus terlebih
dahulu!” teriak Wai Sauw Pu sambil mengeluarkan senjatanya yang luar biasa,
yaitu seikat tasbeh dari gading.
Ang I Niocu,
Ma Hoa dan Kwee An pernah merasakan kelihaian Wai Sauw Pu ini, maka mereka
memandang dengan penuh kekuatiran. Apakah kakek rambut putih yang terlihat
lemah itu dapat menghadapi pendeta tinggi besar itu? Hanya Yousuf seorang yang
masih tenang karena dia percaya penuh akan kelihaian gurunya.
Gerakan
tasbeh gading di tangan Wai Sauw Pu sekali ini agak berbeda dengan gerakan biasanya,
karena kini ia bersilat dengan ilmu sihir sehingga dari sambaran gadingnya itu
seakan-akan keluar hawa yang berpengaruh melemahkan semangat lawan dan membuat
hati menjadi gentar.
Akan tetapi,
tiba-tiba terdengar suara halus dari Ibrahim dan kakek rambut putih ini pun
lalu menarik keluar satu ikat tasbeh kecil yang terbuat dari pada batu-batu
kemala putih! Tasbeh ini kecil saja dan digerakkan dengan lambat dan perlahan,
akan tetapi aneh, tiap kali tasbeh gading dari Wai Sauw Pu menyambar dan bertemu
dengan tasbeh kecil itu, senjata pendeta bersorban itu terpukul dan balik
menyambar ke arah muka atau tubuh pemegangnya sendiri!
Wai Sauw Pu
terkejut sekali karena dia baru maklum bahwa kakek itu ternyata memiliki ilmu
batin yang kuat sehingga ilmu sihir yang dia kerahkan dalam serangan tasbehnya
ternyata sudah dikembalikan dan membahayakan dirinya sendiri! Ia cepat
menghentikan ilmu sihirnya dan kini menyerang dengan menggunakan seluruh tenaga
dan kepandaian silatnya!
Ia bertindak
benar. Kalau saja ia melanjutkan serangannya mengandalkan ilmu sihir, dia pasti
akan menderita celaka karena di dalam hal ilmu sihir, gurunya sendiri belum
tentu akan dapat mengatasi kekuatan Ibrahim! Akan tetapi dalam hal ilmu silat,
ternyata bahwa keadaan mereka seimbang.
Ibrahim yang
sudah tua itu harus mengerahkan semua kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang
benar-benar tangguh ini! Kalau saja dia mau, Ibrahim dengan mudah dapat
menggunakan kekuatan batinnya untuk merobohkan Wai Sauw Pu tanpa mengeluarkan
tenaga tubuh, akan tetapi ia tidak mau melakukan hal ini.
Bila
lawannya menggunakan ilmu hitam barulah ia akan menjaga diri dan mengembalikan
segala serangan itu. Akan tetapi, oleh karena Wai Sauw Pu kini hanya
mengandalkan kepandaian silatnya, Ibrahim yang tidak mau bermain curang itu pun
lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melawan.
Biar pun
ilmu silat mereka seimbang, akan tetapi Ibrahim kalah tenaga dan kalah ganas,
biar pun ia masih unggul dalam hal ketenangan dan pengalaman. Oleh karena itu,
kedua orang itu bertempur dengan ramai sekali, sukar diduga siapa yang akan
mendapatkan kemenangan terakhir.
Ang I Niocu,
Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng menjadi gelisah juga dan merasa kasihan
melihat betapa Ibrahim yang sudah tua sekali itu terpaksa bertempur mati-matian
menghadapi Wai Sauw Pu yang mempunyai gerakan ganas dan kuat. Akhirnya Nelayan
Cengeng tak dapat menahan hatinya lagi dan dengan keras ia berkata,
“Ha-ha-ha-ha!
Alangkah lucunya! Seorang tinggi besar dan kuat seperti itu tidak berdaya
menghadapi seorang kakek tua renta. Hanya tasbehnya saja gede-gede, segede
obrolan dan kesombongannya. Ha-ha-ha. Lihatlah, aku berani bertaruh apa saja,
dalam sepuluh jurus lagi ia tentu akan roboh bertekuk lutut!”
Bukan main
marahnya Wai Sauw Pu mendengar ejekan ini, karena dia pun tadi sudah merasa
penasaran dan panas perut karena kakek rambut putih itu ternyata sukar sekali
dijatuhkan. Kini ditambah lagi dengan sindiran Nelayan Cengeng, ia tidak dapat
menahan marahnya lagi dan sekali dia berseru, tangan kirinya telah mengayun
senjata rahasianya yang lihai sekali, yaitu golok-golok kecil yang disebut
Hui-to (Golok Terbang).
Hui-to yang
jumlahnya tiga buah itu langsung meluncur cepat ke arah Ibrahim. Hui-to ini
selain harus menggunakan tenaga lweekang untuk menyambitkannya, juga disertai
ilmu sihir sehingga golok itu seakan-akan hidup dan menyambar bagaikan sedang
digerakkan oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan.
Ibrahim
tertawa bergelak dan berkata, “Wai Sauw Pu, mengapa kau menyerang dirimu
sendiri dengan hui-to?”
Dan aneh,
sesudah kakek itu mengeluarkan ucapan ini disertai gerakan tangan kirinya, tiga
batang golok yang meluncur ke arahnya itu tiba-tiba saja membelok dan membuat
gerakan kembali serta menyerang ke arah Wai Sauw Pu sendiri.
Bukan main
terkejutnya pendeta bersorban itu ketika melihat betapa tiga batang hui-tonya
menyerang dia dan tak dapat dikendalikan oleh kekuatan sihirnya lagi. Maka
cepat-cepat dia mengebut dengan tasbehnya ke arah tiga batang golok itu sambil
membentak.
“Runtuh!”
Benar saja,
ketiga batang golok itu runtuh ke bawah, akan tetapi yang sebatang masih
menghantam kakinya sehingga kakinya pun terluka oleh ujung golok.
Tepat pada
saat itu, di luar terdengar sorak sorai hebat dan Sahimba dengan senyum
menyeringai lalu berseru, “Yousuf, tibalah saatnya kalian binasa di ujung
senjata!”
Sambil
berkata demikian, Sahimba lalu mencabut pedang dan menyerang Yousuf, diikuti
oleh Siok Kwat Mo-li yang mencabut sabuk kuning emas dan mainkan sabuk itu
dengan hebat. Lok Kun Tojin lalu mengeluarkan senjatanya yang lihai, yaitu
sepasang roda yang diikat dengan tali. Juga ketiga orang tosu Kanglam Sam-lojin
lalu menarik keluar senjata masing-masing dan maju menyerbu kepada Yousuf dan
kawan-kawannya.
“Manusia-manusia
curang!” Nelayan Cengeng berseru sambil memutar-mutar dayungnya yang hebat
bagaikan seekor naga sungai mengamuk.
Ang I Niocu
juga lalu mencabut pedang Cian-hong-kiam, Kwee An mencabut pedangnya
Oei-hong-kiam yang bercahaya kuning, sedangkan Ma Hoa lantas menggerak-gerakkan
sepasang bambu runcingnya!
Pertempuran
di dalam ruangan itu makin menghebat, dan kini mereka bertempur bukan untuk
mengadu kepandaian lagi, akan tetapi mengadu jiwa! Ternyata bahwa sorakan tadi
datang dari kawan-kawan Sahimba yang memang sudah direncanakan untuk menyerbu
masuk. Jumlah mereka sangat besar sehingga orang-orang kampung pengikut
Pangeran Tua yang dikepalai oleh Yousuf langsung terdesak. Para penyerbu itu
telah tiba di depan pintu Yousuf dan sebentar lagi mereka menyerbu ke dalam,
hendak membantu Sahimba dan kawan-kawannya!
Siok Kwat
Mo-li dilawan oleh Ang I Niocu, Lok Kun Tojin dilawan oleh Nelayan Cengeng
sedangkan Kanglam Sam-lojin bertempur melawan Ma Hoa dan Kwee An. Kepandaian
mereka berimbang dan pertempuran pasti akan berjalan seru dan lama kalau saja
pihak Sahimba tidak mempergunakan kecurangan.
Terdengar
seruan Siok Kwat Mo-li dan iblis wanita ini lalu menyebar jarum-jarumnya yang
berbahaya. Ada pun Wai Sauw Pu kembali mengeluarkan hui-to-hui-to yang tidak
kurang berbahayanya pula.
Tidak lama
kemudian, selagi Yousuf dan kawan-kawannya terdesak karena pihak lawan menyebar
senjata-senjata rahasia yang lihai itu, dari luar masuklah para penyerbu yang
ternyata telah berhasil menembus pertahanan para anak buah Yousuf.
Pengikut-pengikut Pangeran Muda lebih ganas dan lebih banyak jumlahnya sehingga
banyak sekali anggota pengikut Pangeran Tua kena dilukai atau dibinasakan.
Melihat itu,
Ibrahim segera berseru nyaring bagaikan seorang berdoa, “Ampunkan hamba, Tuhan!
Bukan maksud hamba ingin mengotorkan tangan membunuh, akan tetapi demi
keselamatan semua kawan ini!” ia lalu mengerahkan kesaktiannya dan tiba-tiba
dia mementangkan kedua lengannya ke depan dengan mata memandang penuh kekuatan
batin.
“Sahimba...
serta enam orang kawanmu... dengarlah... aku perintahkan kalian berlutut...
berlutut... berlutut...!”
Hal yang
aneh terjadi. Sahimba serta kawan-kawannya tiba-tiba merasa kepala mereka
pening dan tak dapat menguasai diri sendiri lagi. Akhirnya, seorang demi
seorang segera menjatuhkan diri berlutut dan melempar senjata! Hanya Wai Sauw
Pu yang juga memiliki ilmu sihir itu masih kuat mempertahankan diri.
“Ha-ha-ha...
tua bangka... kau harus mampus...” Dan secepat kilat dia mengayun enam batang
hui-to ke arah Ibrahim yang masih berdiri diam dengan tangan terpentang laksana
patung.
Enam batang
hui-to itu menancap dengan jitu pada sasarannya sehingga tubuh Ibrahim
terhuyung-huyung lalu roboh. Wai Sauw Pu tertawa bergelak-gelak, akan tetapi
pada saat itu sebatang dayung di tangan Nelayan Cengeng menghantamnya dan biar
pun ia masih mencoba mengelak, akan tetapi dayung itu tetap masih menghantam
dadanya sehingga beberapa tulang iganya patah-patah dan ia roboh di dekat mayat
Ibrahim dalam keadaan tidak bernyawa pula!
Sementara
itu, karena tewasnya Ibrahim maka pengaruh sihirnya pun lenyap sehingga Sahimba
beserta kawan-kawannya menjadi sadar kembali. Akan tetapi, sebelum mereka
sempat mengambil kembali senjata-senjata mereka, Yousuf yang marah sekali telah
maju menyerang Sahimba sehingga tembuslah punggung Sahimba oleh pedang Yousuf.
Juga Ang I
Niocu dan kawan-kawannya lalu menyerang lawan-lawannya yang sekarang melakukan
perlawanan dengan tangan kosong. Akan tetapi, para penyerbu yang terdiri dari
anak buah Sahimba, sudah masuk dan mengeroyok, sehingga Siok Kwat Mo-li, Lok
Kun Tojin serta ketiga Kanglam Sam-lojin telah mendapat kesempatan untuk
mengambil senjata mereka kembali.
Pertempuran
hebat berlangsung terus dan kini Yousuf dan kawan-kawannya mengamuk seperti
harimau-harimau berebut daging. Terutama sekali Nelayan Cengeng yang sambil
tertawa bergelak dengan mata mengalirkan air mata, memutar-mutar dayungnya
secara dahsyat sehingga tidak saja para penyerbu menjadi gentar, akan tetapi
juga Siok Kwat Moli dan kawan-kawannya menjadi jeri juga.
Dalam
perkelahian itu, Siok Kwat Mo-li mendapatkan luka akibat tusukan pedang Ang I
Niocu pada pundaknya, sedangkan sebuah roda milik Lok Kun Tojin sudah terampas
oleh bambu runcing Ma Hoa. Oleh karena ini, mereka semakin cemas dan lenyaplah
nafsu perlawanan mereka, apa lagi karena kini Sahimba yang mereka bantu telah
tewas dan anak buahnya mulai melarikan diri pula.
Dengan
teriakan keras, Siok Kwat Mo-li lantas mengajak kawan-kawannya untuk kabur.
Yousuf tidak mengejar mereka, bahkan dia mencegah kawan-kawannya yang hendak
mengejar, “Biarlah, sudah terlalu banyak orang binasa dalam perang saudara yang
terkutuk ini!”
Yousuf cepat
mengumpulkan anak buahnya yang masih ada dan mereka lalu merawat semua orang,
baik kawan mau pun lawan yang terluka di dalam pertempuran itu, serta mengurus
yang telah tewas.
Ang I Niocu,
Nelayan Cengeng, Kwee An dan Ma Hoa tidak mau mengganggu Yousuf yang sedang
berduka dan sedang sibuk mengurus semua itu, maka mereka kemudian beristirahat
dalam sebuah rumah di dalam kampung itu yang disediakan untuk mereka.
Sesudah
mereka berempat ramai membicarakan peristiwa yang baru saja terjadi serta
mengambil keputusan untuk membantu Yousuf selama para pengacau dari Turki masih
mengganggunya, tiba-tiba Ma Hoa lalu berkata kepada Kwee An.
“An-ko,
mengapa kita lupa untuk memberi selamat kepada Enci Im Giok?” gadis ini bicara
sambil tersenyum gembira sehingga Ang I Niocu menjadi terheran. Apa lagi ketika
dia melihat Kwee An memandangnya dengan tersenyum pula.
Selagi dia
hendak bertanya, tiba-tiba Nelayan Cengeng tertawa girang dan berkata, “Tadi
kita tidak ada kesempatan. Sekarang akulah orang pertama yang harus memberi
selamat kepadanya!” Kemudian dia menghadapi Ang I Niocu lalu mengangkat kedua
lengannya memberi selamat sambil berkata keras-keras,
“Ang I
Niocu, kionghi... kionghi… (selamat, selamat)!”
Ucapan ini
diturut oleh Kwee An dan Ma Hoa yang juga berdiri memberi selamat.
Ang I Niocu
memandang berganti-ganti kepada mereka bertiga lalu katanya gagap, “Nanti
dulu...! Memberi selamat sih mudah, akan tetapi terangkanlah dulu, untuk apakah
kalian memberi selamat...?”
“Ha, masih
berpura-pura lagi! Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!” Ma Hoa
menggodanya sambil memegang lengan Ang I Niocu. “Enci Im Giok, kau memang tidak
ingat kepada kawan. Mengapa urusan itu kau rahasiakan saja?”
“Adik Hoa,
kalau kau tidak mau lekas menceritakan padaku apa maksud kalian ini, tentu akan
kucubit bibirmu!” kata Ang I Niocu dengan gemas sambil memandang kepada Ma Hoa
dengan mata dipelototkan.
“Ha-ha-ha!”
Nelayan Cengeng tertawa bergelak. “Urusan pertunangan dan jodoh adalah hal
biasa saja, mengapa harus dirahasiakan terhadap kawan-kawan?”
“Pertunangan...?
Jodoh... ?” Ang I Niocu memandang heran.
“Enci Im
Giok, janganlah kau berpura-pura lagi. Kami tanpa disengaja sudah mengetahui
rahasiamu!” kata Ma Hoa, sedangkan Kwee An hanya tersenyum saja karena ia
merasa malu dan tidak berani menggoda Ang I Niocu.
“Nanti dulu,
Adik Hoa, aku masih belum mengerti. Urusan pertunangan yang manakah kau
maksudkan?”
“Aduh,
pandainya bermain sandiwara!” Ma Hoa menggunakan telunjuknya yang runcing
menuding ke arah muka Ang I Niocu. “Siapa lagi kalau bukan urusan
pertunanganmu? Jangan kau menyangkal bahwa kau telah bertunangan, Enci Im Giok!
Buktinya nampak di depan mata!”
“Apa
buktinya?”
Ma Hoa
menuding ke arah pedang yang tergantung di pinggang Dara Baju Merah itu.
“Bukankah pedang yang kau pakai itu adalah Cian-hong-kiam pemberian
tunanganmu?”
Mulai
berdebar dada Ang I Niocu. “Dari mana kau dapat mengetahui hal ini?” tanyanya.
“Dari siapa
lagi kalau bukan dari Lie-taihiap!”
Ang I Niocu
bangkit berdiri dari tempat duduknya. “Di... di mana dia...?”
Ma Hoa
bertepuk tangan. “Nah, nah... sekarang kau mencari-carinya. Kau mencari dia...
siapakah, Enci...?”
Dengan gemas
Ang I Niocu mengulurkan tangan hendak mencubit pipi Ma Hoa. “Jangan main-main,
Adik Hoa. Benar-benarkah kau bertemu dengan dia?”
“Ehh... dia
siapakah...? Jelaskan namanya, ahhh...” Ma Hoa menggoda lagi.
Akan tetapi
Kwee An merasa kasihan pada Ang I Niocu maka ia berkata, “Kami memang telah
bertemu dengan taihiap Lie Kong Sian.”
“Di mana?
Dan bagaimana kalian bisa bertemu dengan dia?” tanya Ang I Niocu dengan heran.
“Sabar, Enci
Im Giok. Sabar dan tenang. Kau duduklah baik-baik dan dengarlah ceritaku
bagaimana kami bertemu dengan... calon suamimu yang gagah perkasa itu!”
Dengan muka
merah karena jengah dan malu, Ang I Niocu yang ‘mati kutunya’ terhadap godaan
Ma Hoa itu, lalu duduk dan mendengarkan penuturan Ma Hoa.
Sesudah
berpisah dengan Ang I Niocu di dalam hutan, Ma Hoa, Kwee An, serta Nelayan
Cengeng lantas melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat. Tujuan mereka
adalah Propinsi Kansu dan ibu kotanya, yakni Lan-couw. Mereka bertiga kini
lebih bergembira melanjutkan perjalanan, oleh karena kenyataan bahwa Ang I Niocu
benar-benar masih hidup membuat mereka merasa gembira sekali, lebih-lebih Ma
Hoa yang merasa suka sekali kepada Dara Baju Merah yang lihai itu.
Gadis ini
merasa betapa beruntungnya hidup ini. Dia dan kekasihnya selamat, bahkan
mendapat guru baru yang lihai, dan kini mendapat kenyataan bahwa Ang I Niocu
juga selamat pula. Dan dia merasa yakin bahwa Lin Lin dan Yousuf tentu akan
terhindar dari bahaya pula. Alangkah akan senangnya kalau dia dapat bertemu
dengan Lin Lin lagi.
Kegembiraannya
membuat ia merasa seakan-akan seekor burung yang terbang bebas di udara,
sehingga sering kali ia mendahului Kwee An dan Nelayan Cengeng, berlari-lari di
depan. Kwee An dan Nelayan Cengeng hanya tertawa saja melihat kegembiraan gadis
itu.
Mereka
berdua dalam hati serta dengan cara masing-masing mengagumi Ma Hoa dan
memandang rambut gadis yang terurai dan berkibar-kibar di belakang leher itu.
Kwee An merasa terharu melihat kesetiaan Ma Hoa yang untuk menyenangkan
hatinya, benar saja menepati janjinya dan selalu membiarkan rambutnya terurai
indah.
Ketika Ma
Hoa sedang berlari-lari seorang diri di depan dan Kwee An bersama Nelayan
Cengeng berjalan di belakang seenaknya, mendadak gadis itu mendengar teguran
suara halus,
“Aduh,
alangkah indah dan jelitanya bidadari berambut panjang.”
Ketika dia
memandang, dia melihat seorang pemuda yang tampan dan yang berpakaian indah
mewah sedang duduk di atas cabang pohon di atasnya sambil memandang dengan
kagum dan tersenyum kepadanya.
“Laki-laki
ceriwis! Tutup mulutmu yang lancang!” kata Ma Hoa dan ia tidak mau terganggu
kegembiraannya, karena di dalam hatinya ia merasa bangga dan girang mendapat
pujian itu.
Wanita
manakah yang tidak suka menerima pujian tentang kecantikannya, apa lagi kalau
yang memuji itu seorang pemuda tampan? Ma Hoa melanjutkan perjalanannya, akan
tetapi dia menahan tindakan kakinya karena pemuda, itu berkata lagi sambil
tertawa.
“Bidadari
manis! Hatimu gembira menerima pujianku, kenapa kau tidak membentangkan sayapmu
dan terbang melayang ke sini, duduk di atas cabang yang enak ini di sisiku,
menikmati angin yang bersilir di pohon?”
Kini
marahlah Ma Hoa. “Bangsat bermulut lancang! Apakah kau sudah ingin mampus?”
“Ehh, ehhh,
makin manis saja kalau lagi marah-marah. Jarang aku melihat seorang gadis
semanis kau! Tapi sayang sekali rambut itu terlalu liar dan seharusnya diikat
dengan pita merah ini!” Sambil berkata demikian, pemuda itu lalu mengeluarkan
sehelai pita merah dan sekali dia mengayun tangannya, pita merah itu meluncur
ke bawah dan menyambar kepala Ma Hoa!
Ma Hoa
mengelak dan miringkan kepalanya. Akan tetapi agaknya pemuda itu memang telah
memperhitungkan hal ini, karena itu ia menyambit ke arah belakang kepala,
karena ketika Ma Hoa miringkan kepala, rambutnya terbawa angin gerakan ini
kemudian terurai di belakangnya sehingga dengan tepat pita merah itu mengenai
rambutnya dan secara aneh sekali pita merah itu betul-betul membelit rambutnya,
seakan-akan dipasang oleh tangan seorang ahli!
Ma Hoa marah
sekali. Ia merenggutkan pita merah itu, membantingnya ke atas tanah dan
menginjak-injaknya!
“Bangsat
liar! Kau betul-betul sudah bosan hidup!” teriaknya sambil meloloskan sepasang
bambu runcingnya dan dengan gerakan kilat ia melompat ke atas sambil menyerang!
Pemuda itu
terkejut juga karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa gadis yang
digodanya itu pandai ilmu silat yang luar biasa ini. Maka dia lalu menggerakkan
tubuh dan mengelak sambil melayang turun, lalu berdiri dan bertolak pinggang.
“Ahh, ahhh,
tidak tahunya bidadari rambut panjang ini lihai juga! Mari, kau majulah untuk
main-main denganku sebentar!”
Ma Hoa tidak
dapat mengeluarkan kata-kata lagi saking marahnya. Dia lalu menyerang dengan
gesit dan sengit sehingga pemuda tampan itu terpaksa harus berlaku waspada.
Akan tetapi, begitu ia bergerak, Ma Hoa merasa kaget. Sambaran angin yang
keluar dari kebutan tangan pemuda itu telah berhasil membuat serangan bambu
runcingnya menjadi miring! Alangkah hebatnya tenaga ini. Maka dia lalu
menyerang lagi bertubi-tubi dengan ganas dan penasaran.
Pada saat
itu, datanglah Kwee An dan Nelayan Cengeng. Melihat betapa Ma Hoa sedang
menggunakan sepasang bambu runcing menyerang seorang laki-laki yang hebat
sekali gerakannya, mereka lalu berlari cepat menghampiri.
“Tahan...!”
kata Nelayan Cengeng hingga Ma Hoa meloncat mundur dengan taat.
Pemuda
tampan itu memandang kepada Nelayan Cengeng dan Kwee An, kemudian dia
mengernyitkan hidungnya dengan pandang menghina dan bertanya.
“Tuan
besarmu sedang main-main dengan gadis cantik, mengapa kalian ini budak-budak
hina berani mengganggu?”
Merahlah
wajah Kwee An mendengar ini, karena itu dia segera mencabut pedang dan
membentak, “Dari mana datangnya bajingan yang kurang ajar?”
Sementara
itu, Nelayan Cengeng yang menerima hinaan ini balas mengejek, “Eh, ehh! Ma Hoa,
Kwee An, kalian lihatlah baik-baik. Manusia ini bukan seorang laki-laki asli,
juga bukan seorang wanita.”
Kwee An
tidak tahu bahwa kakek ini sedang berolok-olok, karena itu dengan heran ia pun
bertanya, “Kalau bukan laki-laki juga bukan wanita, habis apa?”
“Banci…! Dia
seorang banci...! Ha-ha-ha!” dan Nelayan Cengeng tertawa bergelak-gelak
sehingga bercucuranlah air matanya. Juga Ma Hoa dan Kwee An ikut pula tertawa.
Akan tetapi,
laki-laki tampan itu dengan masih bertolak pinggang, lalu bertanya, “Kakek
gila, dengan alasan apakah kau menyebutku banci?”
“Tidak ada
laki-laki yang membedaki mukanya dan tidak ada perempuan yang berlagak seperti
ini, akan tetapi kau tidak hanya membedaki mukamu, bahkan kulihat memakai yancu
dan pemerah bibir! Ha-ha-ha!”
Memang
laki-laki itu pesolek bukan main sehingga mukanya sampai dibedaki dan diberi
merah-merah. Akan tetapi ketika mendengar kata-kata ini ia menjadi marah dan
berkata,
“Kakek gila,
kau belum lagi tahu siapa adanya orang yang kau hina ini, maka kau berani
membuka mulut secara sembrono. Ketahuilah, aku Song Kun yang berjuluk
Kwie-eng-cu Si Bayangan Iblis, tidak biasa memberi ampun kepada orang yang
telah menghinaku!”
Setelah
berkata demikian, secara tiba-tiba pemuda itu lalu menggerakkan tangannya dan
memukul kepada Nelayan Cengeng. Melihat pukulan ini, terkejutlah Nelayan
Cengeng karena pukulan itu luar biasa sekali dan dari tangan yang melakukan
pukulan mengepul uap putih! Inilah Pek-in Hoat-sut yang pernah ia mendengarnya
dan yang dimiliki oleh Cin Hai!
Dia cepat
melompat jauh untuk menghindarkan diri dari serangan itu dan karena maklum
bahwa pemuda ini tangguh sekali, sambil melompat dia langsung mengayun
dayungnya, memukul dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, pemuda itu memang pantas
diberi gelar Si Bayangan Iblis, oleh karena gerakan tubuhnya luar biasa
cepatnya dan hampir tak dapat diikuti oleh pandangan mata!
Melihat
kelihaian pemuda ini, Kwee An tak mau tinggal diam dan lalu menyerang dengan
pedangnya, juga Ma Hoa maju pula mengerjakan sepasang bambu runcingnya.
Pemuda itu
memang benar Song Kun adanya, murid dari Han Le Sianjin yang lihai. Inilah sute
dari Lie Kong Sian yang menjalani kesesatan dan yang telah bertemu dan
bertempur dengan Cin Hai!
Tadinya Song
Kun memandang rendah tiga lawannya, akan tetapi sesudah menyaksikan gerakan
pedang Kwee An dan gerakan dayung di tangan Nelayan Cengeng, diam-diam ia
terperanjat dan mengeluh bahwa ia ternyata telah ‘salah tangan’ dan mencari
perkara dengan orang-orang yang berilmu tinggi!
Akan tetapi,
ilmu silatnya memang hebat dan sesudah beberapa lama dia menghadapi mereka
dengan tangan kosong, akhirnya dia mencabut pedang Ang-ho Sian-kiam yang
mengeluarkan cahaya merah berapi-api dan berhawa panas itu!
Nelayan
Cengeng terkejut sekali melihat pedang itu dan dia berseru kepada Ma Hoa dan
Kwee An, “Hati-hati terhadap pedangnya!”
Song Kun
tertawa mengejek dan ia lalu memutar-mutar pedangnya dengan gerakan luar biasa
cepat dan hebatnya sehingga sibuklah ketiga orang itu mengeroyok dari kanan
kiri! Biar pun tidak berani mengadu pedangnya, namun Kwee An yang mempergunakan
ilmu silat yang diwarisinya dari Hek Mo-ko, cukup hebat dan berbahaya.
Sementara
itu, Ma Hoa juga merupakan pengeroyok yang berbahaya oleh karena gadis ini
selain memiliki Ilmu Silat Bambu Runcing yang aneh, juga tidak takut untuk
mengadu senjata, oleh karena bambu lemas kecil itu tidak takut terkena pedang
tajam.
Di samping
kedua orang anak muda yang tangguh ini, masih ada lagi Nelayan Cengeng yang
mempunyai ilmu silat tinggi dan tenaganya luar biasa sehingga Song Kun sendiri
merasa ragu-ragu untuk mengadu pedangnya dengan dayung yang besar serta berat
itu, takut kalau-kalau pedangnya akan menjadi rusak!
Oleh karena
ini, maka pertempuran berjalan seru dan ramai. Akan tetapi mereka lebih banyak
bertempur dari jarak jauh dan berlaku amat hati-hati sehingga bisa diduga bahwa
pertempuran itu akan berjalan lama sekali.
Song Kun
memaklumi hal ini dan karena itu dia lalu mendesak maju. Pada saat dayung
Nelayan Cengeng menyambar, dia memapaki dengan pedangnya yang disabetkan dan
putuslah ujung dayung itu! Nelayan Cengeng terkejut dan hampir saja dia menjadi
korban sabetan pedang pada pinggangnya kalau saja Ma Hoa yang telah menjadi
nekat itu tidak melakukan serangan kilat dari belakang, menotok ke arah kedua
iga lawan itu!
Song Kun
menarik kembali pedangnya dan kalau ia mau, ia akan dapat menjatuhkan Ma Hoa
dengan serangan pedang. Akan tetapi Song Kun memang mempunyai kelemahan
terhadap wanita cantik. Dia tidak tega melukai Ma Hoa, maka dia hanya menahan
kedua bambu runcing itu dengan pedangnya di tangan kanan, sedangkan tangan
kirinya dia ulur ke depan untuk mengusap pipi Ma Hoa!
Gerakannya
ini adalah pecahan dari limu Silat Kong-ciak Sin-na, dan kecepatannya luar
biasa sehingga colekan itu pun berhasil! Ma Hoa yang merasa betapa pipinya
diusap oleh tangan Song Kun, menjerit marah dan menyerang lebih seru!
Namun dengan
ilmu pedangnya yang luar biasa, Song Kun mampu menjaga diri dan kini bahkan
melancarkan serangan-serangan yang mematikan ke arah Nelayan Cengeng dan Kwee
An! Dia mengambil keputusan untuk membunuh dua orang laki-laki itu untuk dapat
melarikan gadis muda berambut panjang ini!
Pada saat
itu, terdengarlah bentakan keras, “Song Kun...! Janganlah kau terjerumus ke
jurang makin dalam saja!”
Mendengar
suara ini, Song Kun terkejut sekali dan melompat jauh ke belakang. “Suheng...!”
katanya.
Nelayan
Cengeng, Kwee An, dan Ma Hoa lalu memandang. Ternyata yang datang adalah
seorang lelaki yang berusia tiga puluh lebih, bermuka bundar dan gagah,
bersikap tenang dengan kumis kecil menghias di atas bibirnya. Tubuhnya tegap
dan bidang, sedangkan sepasang matanya bercahaya tajam dan berpengaruh.
“Song Kun,
sesudah berpisah bertahun-tahun, setiap hari aku mengharapkan dan berdoa supaya
kau dapat insyaf akan kesesatanmu. Tidak kusangka bahwa kau semakin dalam
terjerumus ke dalam jurang kejahatan!” orang itu yang bukan lain adalah Lie
Kong Sian adanya, berkata dengan suara mengandung penuh penyesalan.
Song Kun
mengeluarkan suara ketawa mengandung ejekan. “Lie Kong Sian! Tadi sempat aku
menyebut Suheng kepadamu oleh karena kukira kau hendak berbaik, tidak tahunya
datang-datang kau memaki orang! Apakah kau masih merasa penasaran karena dahulu
kalah olehku? Jangan kau kira aku takut akan kedatanganmu ini, dan segala
perbuatanku adalah aku sendiri yang melakukan dan aku sendiri pula yang
menanggung jawabnya! Kau peduli apakah?”
“Dasar
batinmu yang amat rendah! Jika begitu, terpaksa sekali lagi aku harus memenuhi
perintah mendiang Suhu dan menghajarmu dengan kekerasan.”
“Ha-ha-ha,
majulah! Hendak kulihat sampai di mana kemajuanmu!”
Ucapan ini
bagi seorang sute terhadap suheng-nya memang amat kurang ajar, maka Lie Kong
Sian lantas menerjang sambil mencabut pedangnya. Song Kun mengelak dan balas
menyerang dan sebentar saja kedua orang itu bertempur hebat.
Tingkat
pelajaran mereka memang berimbang, dan dulu ketika mereka bertempur, Lie Kong
Sian dapat dikalahkan oleh sute-nya yang memang memiliki bakat yang luar biasa
sekali. Sekarang, sungguh pun Lie Kong Sian telah melatih diri dengan keras
hingga ilmu kepandaiannya sudah meningkat tinggi, akan tetapi di lain pihak
Song Kun telah memiliki pedang Ang-ho Sian-kiam yang luar biasa sehingga Lie
Kong Sian tidak berani mengadu pedangnya karena takut kalau-kalau pedang
pemberian Ang I Niocu itu akan putus.
Karena ini,
untuk kedua kalinya dia terdesak hebat oleh serangan adik seperguruannya yang
menyerang sambil tertawa mengejek, walau pun diam-diam dia mengakui kelihaian
suheng-nya dan maklum bahwa biar pun suheng-nya tidak berani beradu pedang,
namun agaknya tidak akan mudah baginya untuk menjatuhkan suheng itu.
Sementara
itu, Nelayan Cengeng, Kwee An, dan Ma Hoa menyaksikan pertandingan itu dengan
penuh kekaguman. Tadi mereka sudah merasa terkejut, heran dan kagum sekali
menyaksikan kepandaian Song Kun yang sanggup mendesak mereka, dan kini mereka
melihat seorang pemuda lainnya yang seimbang kepandaiannya dengan pemuda
pesolek yang lihai itu. Sesudah Cin Hai dan Bu Pun Su, belum pernah mereka
menyaksikan ilmu kepandaian orang-orang muda selihai itu.
Melihat
bahwa Lie Kong Sian datang dan membela mereka, maka mereka bertiga tentu saja
tak mau tinggal diam dan dengan seruan keras, Nelayan Cengeng lalu mengerjakan
dayungnya diikuti oleh Ma Hoa dan Kwee An. Kini Song Kun menjadi sibuk. Karena
harus menghadapi keroyokan empat orang yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi itu,
tentu saja ia merasa kewalahan sekali. Setelah bertahan sampai puluhan jurus,
terpaksa ia lalu melompat jauh dan berkata,
“Lie Kong
Sian! Lain kali bila mana kita bertemu berdua saja dan kau tidak mengandalkan
keroyokan, tentu aku akan menebas batang lehermu!” Kemudian kepada Ma Hoa dia
menyeringai dan berkata. “Sayang, bidadari rambut panjang, kita belum
berjodoh!”
Keempat
orang itu marah sekali, akan tetapi dengan sekali berkelebat saja Song Kun
telah lari jauh dan meninggalkan tempat itu.
“Lihai sekali!”
kata Nelayan Cengeng dengan kagum.
“Memang
Sute-ku itu lihai sekali dan jahat,” kata Lie Kong Sian menarik napas panjang.
“Lo-enghiong, melihat dayungmu yang hebat itu, apa bila tidak salah dugaanku
tentu kau adalah Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng. Betulkah?”
Nelayan
Cengeng menjura, kemudian ia menjawab, “Benar, Taihiap. Dari mana kau tahu
namaku?”
Lie Kong
Sian tersenyum. “Dan kalau tidak salah, Saudara yang gagah ini tentulah Kwee An
dan Nona ini Ma Hoa.”
Ketiga orang
itu memandangnya dengan heran. “Lie-taihiap, dari mana kau bisa tahu?” tanya
Kwee An, sedangkan Ma Hoa tiba-tiba berkata sambil menuding kepada pedang yang
dipegang oleh Lie Kong Sian.
“Ehh,
bukankah pedang itu pedang milik Ang I Niocu?”
Kini Lie
Kong Sian tersenyum dan mengangguk, “Memang ini pedang Kiang Im Giok, dan aku
adalah tunangan Ang I Niocu!”
Kemudian Lie
Kong Sian yang jujur itu lalu mengaku dan menceritakan pengalamannya betapa dia
menolong Ang I Niocu dan akhirnya menjadi calon jodohnya. Lie Kong Sian suka
sekali melihat sikap tiga orang yang telah lama dikenal dari penuturan Ang I
Niocu itu dan yang dipuji oleh kekasihnya, maka dia kemudian mengaku terus
terang mengenai pertunangannya itu dan demikianlah maka mereka tahu akan pertunangan
Ang I Niocu dengan Lie Kong Sian yang gagah perkasa. Kemudian mereka
melanjutkan perjalanan dengan terpisah, karena Lie Kong Sian hendak mengejar
dan menyusul sute-nya untuk memenuhi syarat Ang I Niocu, yaitu merobohkan
sute-nya yang ternyata bukan insyaf, bahkan semakin jahat itu.
Setelah Ma
Hoa menceritakan semua pengalamannya kepada Ang I Niocu, tahulah Nona Baju
Merah itu bagaimana mereka dapat mengetahui hal pertunangannya hingga mereka
tadi menggodanya. Terutama Ma Hoa menggodanya sehingga muka Ang I Niocu menjadi
semerah bajunya. Ia tidak dapat marah karena maklum bahwa Ma Hoa menggoda
karena rasa girangnya.
“Ma Hoa,
sudahlah jangan kau menggodaku lebih lanjut. Kalau menggoda terus, aku tak akan
menceritakan kepadamu perihal Lin Lin.”
Ma Hoa
memegang lengan tangan Ang I Niocu dan bertanya, “Lin Lin? Apakah kau telah
bertemu dengan dia, Cici yang baik? Bagaimana keadaannya? Selamatkah ia dan
bagai mana dengan Cin Hai?” Dihujani pertanyaan ini, Ang I Niocu tersenyum dan
sengaja berlaku lambat-lambatan sehingga tidak saja Ma Hoa menjadi tidak sabar,
bahkan Kwee An dan Nelayan Cengeng juga mendesaknya untuk segera menceritakan
hal Lin Lin.
“Maka jangan
suka menggoda orang,” kata Ang I Niocu. “Baikiah, aku akan menceritakan
pengalamanku.”
Kemudian
tiba giliran Ang I Niocu untuk menuturkan semua pengalamannya, betapa dia
bertemu dengan Cin Hai dan mendapatkan sepasang pedang Liong-cu-kiam serta
harta pusaka di dalam Goa Tung-huang dan pengalaman-pengalaman lainnya. Dan
juga dia menceritakan betapa Lin Lin sudah dibawa oleh Bu Pun Su untuk diberi
pelajaran silat sebagaimana yang ia dengar dari Cin Hai.
Mendengar
penuturan ini, bertitik air mata dari kedua mata Ma Hoa karena terharu dan
girangnya. Sekarang harapannya sudah terkabul semua. Seluruh kawan-kawannya
telah selamat dan terlepas dari bahaya. Begitu pula Kwee An dan Nelayan
Cengeng. Mereka berempat itu sama sekali tidak tahu bahwa telah terjadi
peristiwa hebat di Goa Tengkorak yang membuat Lin Lin terluka dan terancam
jiwanya!
“Sekarang tugas
kita cari-mencari ini telah selesai karena orang-orang yang dicari telah
ditemukan,” kata Nelayan Cengeng. “Akan tetapi kita harus melindungi Yo Se Pu
dari bahaya dan juga, oleh karena menurut penuturan Ang I Niocu tadi bahwa Cin
Hai akan kembali ke sini dan Ang I Niocu sendiri ditugaskan menjaga goa tempat
harta pusaka, kita semua lebih baik untuk sementara waktu tinggal di sini,
menanti datangnya Cin Hai untuk kemudian bersama-sama kembali ke timur.”
Semua orang
menyetujui usul ini dan sesudah Yousuf selesai mengurus semua kawan dan lawan
yang terluka dan tewas, dia pun lalu datang dan mereka saling menceritakan
pengalaman masing-masing. Nelayan Cengeng bersama yang lain-lain mencoba
sedapat mereka untuk menghibur hati Yousuf yang masih berduka karena kematian
gurunya dan banyak kawan-kawannya.
“Sebenarnya,
tentang kematian tak perlu kusedihkan benar karena soal itu bukanlah soal yang
aneh dan harus disesalkan. Yang sekarang membuat hatiku berduka ialah adanya
perpecahan dan permusuhan di antara bangsa sendiri. Baiknya kalian membawa
berita bahwa anakku Lin Lin telah diselamatkan dan bahkan kini memperdalam ilmu
kepandaian di bawah pimpinan Bu Pun Su, kalau tidak, tentu aku akan semakin
gelisah dan cemas saja.”
Demikianlah,
mereka berempat lalu tinggal di kampung Yousuf dan kawan-kawannya itu sehingga
pengikut Pangeran Muda tidak berani datang untuk bermain gila lagi. Hampir tiga
atau empat kali dalam sehari Ang I Niocu menyelidiki keadaan goa itu, menjaga
dan memeriksa kalau-kalau ada orang yang mengetahui tempat itu. Kadang-kadang
ia pergi seorang diri, tapi tidak jarang ditemani oleh Ma Hoa, bahkan beberapa
kali Kwee An dan Nelayan Cengeng juga ikut.
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment