Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 22
Lin Lin lalu
menerjang keluar sambil memutar-mutar pedang Han-le-kiam-nya. Meski pun
pedangnya hanya sebuah, akan tetapi ketika dia mainkan Han-le Kiam-hoat, pedang
itu seakan-akan berubah menjadi puluhan pedang. Juga pada saat itu, Merak Sakti
sudah menyambar keluar dari pintu pondok dan mengamuk tak kalah hebatnya.
Siok Kwat
Moli si nenek bongkok yang melihat kehebatan Merak Sakti menjadi marah sekali.
Ia lalu mencabut sebatang pisau kecil dan mengayunkan tangannya. Merak Sakti
dapat melihat berkelebatnya pisau yang mengancam dada, maka cepat dia menyampok
dengan kaki kirinya.
Akan tetapi
tidak tahunya, bahwa pisau itu lihai sekali, tidak bergagang dan pada kedua
ujungnya tajam. Ketika disampok, pisau itu tidak terpental bahkan lalu melejit
dan meleset menancap pada paha burung merak itu. Merak Sakti memekik kesakitan
dan terbang tinggi ke atas dengan pisau masih menancap pada pahanya.
Cin Hai
segera melompat dan menerjang dengan pedangnya sambil berseru,
“Moi-moi,
jangan kau takut, aku datang membantumu!”
Alangkah
girangnya hati Lin Lin melihat pemuda kekasihnya ini, maka ia lantas memutar
pedangnya makin hebat dan bersemangat sambil berteriak,
“Koko...!”
Sementara
itu, empat orang tua yang tadi telah bertemu dengan Cin Hai di rumah makan,
menjadi terkejut sekali melihat bahwa pemuda itu kini tiba-tiba muncul dan
membantu gadis yang gagah itu.
“Tikus
kecil, kau berani muncul kembali?” Wai Sauw Pu membentak dan tasbehnya lalu
menyambar.
“Tikus
besar, mengapa aku tidak berani?” balas Cin Hai membentak.
Biar pun
dikeroyok hebat, hati pemuda ini merasa girang dan gembira sekali karena telah
dapat bertemu dengan kekasihnya. Pedang Liong-coan-kiam berkelebatan dan
sinarnya menyilaukan mata para pengeroyoknya ketika dia mainkan ilmu pedangnya
Daun Bambu yang lihai.
Pada waktu
Kanglam Sam-lojin ikut maju mengeroyok Cin Hai, pemuda ini lalu menegur mereka,
“Sam-wi Totiang, apakah Sam-wi selama ini baik saja?”
Giok Yang Cu
yang tinggi besar dan itu lalu membentak, “Setan kecil, siapakah engkau yang
berpura-pura telah kenal kami tiga saudara?”
“Ha-ha-ha,
Giok Yang Cu Totiang, lupakah kau kepada Cin Hai si Anak Gundul?”
Bukan main
terkejut dan herannya ketiga orang tosu itu mengetahui bahwa pemuda itu
benar-benar Cin Hai, anak gundul yang dahulu pernah ikut mereka. Tak mereka
sangka bahwa anak yang kelihatan bodoh dan gundul itu, dan kemudian pergi
bersama Ang I Niocu, kini telah menjadi seorang pemuda yang demikian lihainya.
Mereka lalu berbalik mengeroyok Lin Lin lagi oleh karena mereka merasa tidak
enak hati mengeroyok Cin Hai, anak yang dulu pernah menolong jiwa mereka!
Biar pun Cin
Hai lihai sekali kepandaiannya dan Lin Lin juga sudah memiliki ilmu pedang yang
hebat, akan tetapi oleh karena para pengeroyok itu terdiri dari para tokoh
persilatan yang berilmu tinggi, lagi pula karena ilmu pedang Lin Lin belum
begitu sempurna dan matang betul, maka terpaksa Cin Hai harus mengerahkan
tenaga untuk bersilat di dekat gadis kekasihnya untuk membelanya di waktu
perlu, sehingga keadaan keduanya segera terkurung rapat! Celakanya bahwa
Sin-kong-ciak yang lihai telah terluka dan tidak berani turun membantu lagi!
Yousuf yang
menderita sakit karena selain lukanya belum sembuh, juga kegelisahannya
berhubung dengan jatuhnya Kwee An dan Ma Hoa di dalam jurang telah mendatangkan
tekanan batin yang hebat, kini menghadapi penyerbuan yang membahayakan ini
menjadi bingung sekali. Ia lalu menganggap dirinya berdosa besar, karena
perpisahan antara Lin Lin dan Cin Hai pun terjadi oleh karena urusannya.
Kalau
rombongan orang Turki itu tidak datang menyerbu untuk menawannya dan Lin Lin
tidak membelanya, tentu gadis itu tidak perlu pergi dari lereng gunung di utara
itu dan tak akan terpisah dari Cin Hai. Dan sekarang kembali gadis itu berada
di dalam bahaya oleh karena membelanya. Kalau gadis itu sampai terbinasa,
alangkah besar dosanya! Maka ia lalu paksakan diri keluar sambil membawa
sebatang pedang, akan tetapi tubuhnya amat lemas!
Pada saat ia
muncul di ambang pintu, matanya lantas terbelalak ketika ia melihat seorang
pemuda bertempur membantu Lin Lin dan ternyata bahwa pemuda itu adalah Cin Hai!
“Cin
Hai...!” serunya girang, akan tetapi segera dia roboh tertotok oleh Wai Sauw Pu
yang telah melompat dan segera menawannya.
“Cuwi,
tangkaplah aku akan tetapi jangan kalian mengganggu kedua orang muda itu!”
Yousuf masih sempat berteriak sebelum Wai Sauw Pu membawanya lari!
Lin Lin
terkejut sekali dan hendak mengejar, akan tetapi para pengeroyoknya tidak mau
memberi kesempatan kepadanya. Juga Cin Hai tak dapat meninggalkan Lin Lin
seorang diri, maka kedua orang muda itu merasa gelisah sekali.
Dan pada
saat itu, terdengar suara ketawa yang nyaring sekali, lalu disusul
berkelebatnya bayangan yang gesit sekali ke arah Wai Sauw Pu yang sedang
berlari sambil mengempit tubuh Yousuf. Sekali bayangan itu bergerak, Wai Sauw
Pu roboh terpelanting dan Yousuf telah dipulihkan kembali dari totokan!
Yousuf
dengan lemah lalu merayap ke pinggir dan tiba-tiba terdengar bisikan orang,
“Paman
Yousuf, mari ikut aku!”
Yousuf
memandang dan ternyata nampak seorang Turki keluar dari tempat gelap. Ketika
dia memperhatikan, orang itu bukan lain adalah keponakannya sendiri yang
cepat-cepat menggendongnya dan membawanya lari ke dalam gelap!
Sementara
itu, penolong yang datang secara mendadak itu kembali tertawa dan berkata,
“Kalian ini semut-semut kecil hendak berlagak ganas, melarikan orang sakit dan
berani mengeroyok seorang nona manis? Ha-ha-ha-ha, itu namanya tidak memandang
mukaku. Sungguh terlalu, terlalu sekali!” Sesudah berkata demikian, orang itu
lalu menyerbu dan gerakan kaki tangannya ringan dan cepat sekali!
Bukan main
herannya hati Cin Hai pada saat mengenal bahwa orang ini adalah laki-laki
pesolek yang tampan dan yang pernah menaklukkan burung bangau secara lihai
sekali itu! Dan bukan main terkejutnya ketika ia melihat betapa laki-laki itu
lalu bersilat dengan ilmu silat yang hampir sama dengan Pek-in Hoat-sut!
Menghadapi
Cin Hai berdua Lin Lin saja, semua pengeroyok sudah merasa sukar untuk
menjatuhkannya, apa lagi ditambah dengan seorang yang demikian lihainya. Mereka
lalu melompat mundur dan hanya dapat bertahan saja.
Beberapa
kali Si Pesolek itu tertawa bergelak sambil bersilat di dekat Lin Lin dan
ketika pengeroyok mulai mengendur kurungan mereka, tiba-tiba saja laki-laki itu
lalu mengulur tangan dan menotok iga kiri Lin Lin!
Serangan ini
adalah sebuah tipu dalam limu Silat Kong-ciak Sin-na yang dilakukan secara baik
sekali sehingga Lin Lin yang sama sekali tidak pernah menduga bahwa penolong
itu akan menyerang dirinya, tidak sempat mengelak dan tiba-tiba tubuhnya
menjadi lemas. Secepat sambaran burung walet, laki-laki itu sambil tertawa lalu
mengempit tubuh Lin Lin dan melompat cepat melarikan diri!
Bukan main
terkejutnya hati Cin Hai melihat hal ini.
“Orang
rendah, kau hendak lari ke mana?” Ia lalu mengejar dengan cepat pula ke arah
mana bayangan orang tadi menghilang.
Rombongan
orang Turki yang tiba-tiba melihat ketiga lawan mereka menghilang dan juga
Yousuf tidak nampak bayangannya, lalu menolong kawan-kawan yang terluka dan
cepat meninggalkan tempat itu dengan hati penasaran dan kecewa. Mereka juga
bingung dan menduga-duga melihat sepak terjang orang aneh yang tadinya menolong
tetapi akhirnya bahkan menculik gadis itu!
Ternyata
bahwa laki-laki yang melarikan Lin Lin itu memiliki ilmu lari cepat yang hebat
sekali sehingga biar pun Cin Hai telah mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaiannya, ia hanya dapat mengikutinya saja tanpa dapat merobah jarak
antara dia dan orang yang dikejarnya.
Sebaliknya,
orang itu pun merasa terheran-heran karena pemuda yang mengejarnya itu ternyata
tidak pernah tertinggal jauh, walau pun dia sudah mengeluarkan Ilmu Lari Cepat
Jauw-sang-hwe (Terbang di Atas Rumput)! Demikianlah, mereka berkejar-kejaran
selama setengah malam penuh sampai fajar menyingsing, dan mereka tetap
berlarian melewati hutan-hutan dan melompati jurang-jurang! Tak seorang pun di
antara mereka yang mau mengalah!
Sementara
itu, ketika pada esok harinya pagi-pagi sekali, burung bangau Ang-siang-kiam
beterbangan di atas hutan itu berputar-putar mencari Cin Hai, ia dapat
mendengar keluh kesakitan dari Merak Sakti yang berada di atas sebuah pohon
tinggi dan berdiri di atas cabang dengan sebelah kaki tertancap pisau. Burung
bangau lalu terbang menyambar turun dan ketika melihat Sin-kong-ciak, ia lalu
terbang dan hinggap di depannya.
Kedua burung
ini sudah mendapat didikan dan dapat membedakan kawan atau lawan. Burung bangau
melihat betapa burung merak sedang terluka, lalu mengeluarkan suara mengeluh,
dan dia lalu menggunakan sepasang paruhnya yang panjang dan tajam untuk
menjepit pisau itu dan mencabutnya. Memang dia sudah mendapat latihan-latihan
untuk melakukan pertolongan sehingga dengan mudah dia dapat mengeluarkan pisau
itu.
Melihat
perbuatan yang menolongnya ini, Sin-kong-ciak tahu bahwa burung bangau ini
bermaksud baik, maka ia maklum bahwa Ang-siang-kiam adalah seorang kawan.
Setelah pisau yang menancap di kakinya sudah tercabut, keduanya lalu terbang
tinggi di udara, merupakan kawan baik dan bersama-sama terbang berputar-putar
mencari jejak majikan mereka.
***************
Ang I Niocu,
Kwee An serta Ma Hoa melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat untuk
mencari Lin Lin dan Yousuf. Pada suatu hari ketika mereka tiba di sebuah hutan,
mereka melihat seorang kakek sedang dikeroyok oleh rombongan perampok yang
terdiri dari belasan orang bersenjata golok.
Kakek ini
gagah sekali, bertempur sambil tertawa bergelak dan memutar-mutar sebatang
dayung dengan hebatnya. Tiga orang pengeroyoknya sudah roboh dengan tulang
patah dan kulit matang biru, sedangkan sisa pengeroyok-pengeroyok terdesak
hebat.
“Nelayan
Cengeng!” seru Ang I Niocu.
Ketiga orang
muda itu segera menerjang kawanan perampok itu yang segera melarikan diri
karena baru menghadapi seorang kakek saja mereka sudah sangat terdesak, apa
lagi kini datang tiga orang muda membantu kakek itu!
Ketika
melihat kedatangan Ang I Niocu, Ma Hoa dan Kwee An, Nelayan Cengeng tertawa
gembira sekali. Ia mengusap-usap rambut Ma Hoa pada waktu gadis itu berlutut di
depan suhu-nya, mulutnya tiada hentinya tertawa, akan tetapi sepasang matanya
mengalirkan air mata!
“Ma Hoa,
alangkah senangnya hatiku dapat bertemu dengan kau di sini. Kau sekarang telah
berubah banyak, muridku! Dengan rambutmu terurai seperti ini, apa bila tidak
ada Kwee An dan Ang I Niocu, mungkin aku akan pangling!”
Ternyata
bahwa Nelayan Cengeng telah menyusul muridnya ke lereng bukit di utara itu,
akan tetapi hanya mendapatkan tumpukan puing belaka sehingga dia pun menyusul
dan mengejar ke barat. Ketika tiba di dalam hutan itu, dia dikeroyok oleh
perampok-perampok yang merupakan makanan lunak bagi dayungnya sehingga dia
mempermainkan mereka dengan gembira, tak mengira sama sekali bahwa di situ dia
akan dapat bertemu dengan murid yang dicari-carinya itu.
“Ketika aku
mencarimu di utara, aku mendengar tentang Lin Lin dan Yo Se Pu sedang
dikejar-kejar oleh orang Turki. Di mana mereka itu sekarang? Dan di mana pula
adanya Cin Hai? Sungguh tak kusangka tadinya bahwa kalian semua akan
terpisah-pisah seperti ini. Dan Ang I Niocu seolah-olah baru saja kembali dari
lubang kubur! Ketahuilah, Niocu, bahwa tak seorang pun pernah menduga bahwa kau
masih hidup! Syukurlah, semuanya berada dalam selamat, ini menambahkan
keyakinanku bahwa kalian adalah orang-orang baik yang berada dalam lindungan
Thian!”
Dengan
singkat Ang I Niocu menceritakan pengalamannya bagaimana dia sampai dapat
tertolong dari pulau yang meledak itu, akan tetapi sama sekali dia tidak
menyebut nama Lie Kong Sian. Sedangkan Ma Hoa lalu menuturkan pengalamannya
ketika dia dan Kwee An terjerumus ke dalam jurang dan betapa dia mendapat
pelajaran dari seorang pertapa bernama Hok Peng Taisu, kakek botak yang telah
mengajarkan Ilmu Silat Bambu Kuning kepadanya.
“Hebat,
hebat! Kau beruntung sekali, Ma Hoa! Ketahuilah bahwa Hok Peng Taisu adalah
seorang tokoh besar dan dulu ketika aku masih muda, pernah aku mendapat
pertolongan dari Si Botak itu hingga sampai sekarang gurumu ini masih dapat
hidup! Dulu aku pernah dikepung oleh imam-imam dari perkumpulan Agama
Ngo-bwe-kauw dan ketika aku telah terdesak hebat dan terancam bahaya maut, Si
Botak itu yang datang menolongku. Dan sekarang, kembali dia menolong jiwamu dan
bahkan memberi pelajaran ilmu silat yang tinggi kepadamu! Bagus, bagus, sebelum
aku mati, aku harus menemui Si Botak itu untuk berlutut menghaturkan terima
kasih padanya. Kini kau perlihatkanlah kepandaianmu yang baru itu!”
Ma Hoa
menganggap Nelayan Cengeng seperti ayah sendiri, maka tanpa ragu-ragu lagi ia
segera mengeluarkan sepasang bambu runcingnya dan bersilat dengan cepat.
Melihat betapa gadis itu dengan rambut berkibar melambai-lambai menggerakkan
kedua batang bambu runcing hingga kedua batang bambu yang berwarna kuning itu
merupakan sinar panjang berbelit-belit bagaikan ratusan ekor ular kuning sedang
saling belit dan bergerak-gerak dengan ruwet dan aneh, tidak saja Kwee An
memandang dengan kagum dan rasa kasih sayangnya bertambah, juga Ang I Niocu dan
Nelayan Cengeng merasa kagum luar biasa. Setelah Ma Hoa selesai bersilat,
gurunya kembali tertawa dengan gembira dan air matanya mengucur makin deras!
“Adik Ma
Hoa, ilmu silatmu sekarang sudah maju hebat, sungguh membuat aku merasa kagum
sekali,” kata Ang I Niocu dengan sejujurnya.
“Ah, Enci Im
Giok, jangan kau terlalu memuji. Aku masih banyak mengharapkan petunjuk
darimu,” kata Ma Hoa sambil menyimpan kembali kedua batang bambu runcingnya.
Kembali Ang
I Niocu mengusulkan untuk mencari Lin Lin dan Cin Hai secara terpisah agar
lebih banyak harapan dan lebih cepat bertemu dengan kedua anak muda itu.
“Biarlah
Kong Hwat Lojin mengawani kalian berdua, dan aku akan mencari sendiri,” kata
Ang I Niocu yang memang lebih suka melakukan perjalanan seorang diri.
Biar pun Ma
Hoa merasa agak sayang untuk berpisah lagi dengan wanita pandekar yang
disayanginya itu, namun ia anggap usul ini betul juga.
“Akan tetapi
kita harus menentukan tempat berkumpul kembali supaya kita tidak saling mencari
tanpa mengetahui di mana kita harus saling mengadakan pertemuan,” Nelayan
Cengeng berkata.
Lalu mereka
mengadakan permufakatan untuk bertemu di rumah Kwee An. Semua orang setuju dan
pada waktu mereka hendak melanjutkan perjalanan secara terpisah, tiba-tiba
mereka mendengar dengan sayup-sayup suara orang bertempur. Mereka saling
pandang dengan heran dan keempatnya lalu lari menuju ke arah dari mana suara
itu datang.
Pada waktu
itu hari telah mulai menjadi gelap, akan tetapi di udara banyak bintang hingga
keadaan tak terlalu gelap. Suara beradunya senjata dan teriakan-teriakan itu
datang dari tengah hutan dan ketika mereka tiba, di suatu tempat terbuka,
mereka melihat dua orang laki-laki sedang bertempur dengan hebatnya!
Seorang di
antara mereka adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang berusia kira-kira
empat puluh tahun lebih. Dia bersenjata sebuah alat tetabuhan yang memiliki
empat tali. Gerakannya sangat hebat dan angin gerakannya membuat daun-daun
pohon bergoyang-goyang!
Lawannya
juga seorang yang lihai sekali, yaitu seorang pendeta bertubuh pendek gemuk,
berjubah merah dan memegang sebuah gendewa sebagai senjata. Gerakannya juga
lihai sekali dan setiap kali ujung gendewanya beradu dengan senjata lawannya,
bunga api lalu memercik tinggi, tanda bahwa selain kedua senjata itu terbuat
dari logam yang keras, juga bahwa tenaga mereka besar dan seimbang!
Mereka
berempat, bahkan Nelayan Cengeng sendiri tidak tahu siapa adanya dua orang yang
berilmu tinggi itu. Sebenarnya, orang yang bersenjata alat musik itu bukan lain
ialah Sie Ban Leng atau paman Cin Hai yang dahulu telah mengkhianati ayah Cin
Hai hingga keluarganya terbinasa! Sedangkan pendeta jubah merah itu adalah Sian
Kek Losu, yaitu seorang pendeta Sakya Buddha, atau sute dari Thai Kek Losu yang
lihai dan menjadi jago nomor dua dari semua tangan kanan Yagali Khan, Raja Muda
Mongol itu!
Makin
bertambah banyaknya orang-orang Turki yang mendatangi Tiongkok bagian barat,
membuat kaisar menaruh curiga, maka kemudian kaisar memerintahkan panglimanya
untuk mengirim seorang utusan atau penyelidik. Kam Hong Sin atau Kam-ciangkun
yang kini menjadi panglima tertinggi kerajaan ialah seorang yang amat lihai
dalam melakukan tugasnya. Ia maklum bahwa tugas seorang penyelidik di barat
bukanlah suatu tugas yang ringan dan yang dapat dilakukan oleh sembarang orang
saja, karena itu dia lalu minta pertolongan kawan baiknya dengan memberi hadiah
dan upah besar. Kawan baiknya ini bukan lain ialah Sie Ban Leng!
Juga Yagali
Khan menyebar orang-orangnya untuk melihat gerak-gerik orang Turki yang menjadi
musuhnya. Di antara orang-orangnya ini, Sian Kek Losu turut pula melakukan
perjalanan ke barat untuk melihat keadaan. Maka bertemulah Sian Kek Losu dengan
Sie Ban Leng di tempat ini hingga setelah mengetahui bahwa mereka datang dari
pihak yang bermusuhan, bertempurlah mereka dengan hebatnya.
Gerakan
serangan Sie Ban Leng benar-benar hebat luar biasa. Senjatanya yang aneh itu
menyambar-nyambar dan tak pernah berhenti menyerang karena setiap kali
serangannya dapat dielak, senjatanya itu membuat gerakan melengkung lantas
terus membabat dan memukul lagi hingga serangan itu dilakukan tanpa pernah
tertunda, merupakan serangan bertubi-tubi sehingga membuat pendeta Sakya Buddha
itu tersedak hebat.
Tiba-tiba
saja pendeta Sakya Buddha itu melompat mundur dan gerakan tubuhnya yang pendek
itu amat gesitnya hingga sekali melompat ia telah berada di tempat yang jauhnya
tidak kurang dari lima tombak. Ketika Sie Ban Leng melompat untuk menerjang
lagi, Sian Kek Losu telah mengeluarkan anak panah yang lalu dipasangnya pada
gendewanya dan begitu terdengar suara tali gendewa menjepret, tujuh batang anak
panah sekaligus lantas melayang ke arah tubuh Sie Ban Leng di beberapa bagian!
Terkejutlah
Nelayan Cengeng beserta kawan-kawannya melihat kehebatan dan bahaya besar yang
mengancam orang Han itu. Betapa pun juga, dan biar pun mereka tidak kenal siapa
adanya dua orang itu dan mengapa pula mereka bertempur, akan tetapi sebagai
orang-orang Han, sedikit banyak mereka memihak bangsa sendiri. Ini merupakan
watak manusia pada umumnya, maka melihat bahaya yang mengancam Sie Ban Leng,
tanpa terasa pula Nelayan Cengeng mengeluarkan seruan tertahan.
Akan tetapi
kalau kepandaian memanah dari Sian Kek Losu hebat, maka kegesitan Sie Ban Leng
lebih hebat lagi. Ia berseru keras dan untuk mengelak sambaran tujuh batang
anak panah yang dilepas dari dekat dan yang melayang dengan kecepatan luar
biasa itu memang sudah tak mungkin, maka tiba-tiba ia mengenjot kakinya dan
kaki itu melayang ke atas dengan kepala di bawah.
Dengan
demikian, maka tubuh bagian bawah yang terancam oleh panah sudah terhindar dari
bahaya dan untuk menjaga kepalanya ia memutar-mutar senjatanya sedemikian rupa
sehingga dua batang anak panah yang tadinya mengarah ke mata dan
tenggorokannya, dengan suara keras lantas beradu dengan senjatanya.
Sebatang
anak panah dapat dipukul jatuh, akan tetapi yang sebatang lagi menancap di
perut alat musik itu. Anak panah yang terpukul itu melayang dengan masih
cepatnya ke arah Ang I Niocu yang berdiri paling depan.
Dengan
tenang Ang I Niocu segera memegang ujung ikat pinggangnya yang melambai ke
bawah dan sekali dia menggerakkan tangan, ikat pinggangnya meluncur dan
ujungnya dapat menangkis anak panah yang menuju kepadanya hingga jatuhlah anak
panah itu di atas tanah.
“Kau berani
merusak alat musikku?!” teriak Sie Ban Leng dengan marah dan ia melompat lalu mengirim
serangan berupa pukulan hebat ke arah kepala pendeta pendek itu.
Kalau
pukulan itu mengenai sasaran, pasti kepala Sian Kek Losu akan menjadi remuk.
Akan tetapi Sian Kek Losu sudah siap sedia. Walau pun dia tadi merasa terkejut
sekali melihat betapa lawannya sanggup menghindarkan diri dari semua anak
panahnya, akan tetapi ketika lawannya menyerbu dengan pukulan senjata, dia lalu
maju dan menggempur senjata lawan itu dengan gendewanya. Akan tetapi, sekali
ini Sie Ban Leng benar-benar mengerahkan seluruh tenaganya sehingga saat
gendewa itu beradu dengan senjatanya, Sian Kek Losu terdorong ke belakang
dengan keras!
Sie Ban Leng
tidak mau memberi hati dan mendesak terus. Akan tetapi pada saat itu, dari
dalam gerumbulan pohon keluarlah tujuh orang pahlawan Mongol, di antaranya
nampak Balaki yang lihai. Segera mereka menyerbu dan mengeroyok Sie Ban Leng
yang tertawa bergelak dan berkata,
“Majulah!
Majulah kalian tikus-tikus Mongol!” dan dia memutar-mutar senjatanya dengan
hebat.
Tadi ketika
Sian Kek Losu bertempur dengan Sie Ban Leng, Kwee An mengusulkan untuk
membantu, akan tetapi dia dicegah oleh Ang I Niocu yang menyatakan bahwa orang
Han itu tidak akan kalah.
Akan tetapi
kini setelah melihat betapa banyak orang Mongol yang berilmu silat tinggi dan
lihai membantu dan mengeroyok orang Han itu, tanpa mendapat komando lagi Nelayan
Cengeng lalu menyerbu sambil memutar-mutar dayungnya dengan hebat dan
berteriak, “Pengecut, pengecut! Mengapa terjadi pengeroyokan??”
Ang I Niocu,
Kwee An dan Ma Hoa juga lalu menerjang maju hingga sebentar saja pihak Mongol
menjadi kacau balau karena biar pun mereka itu lihai, namun empat orang yang
membantu Sie Ban Leng ini adalah orang-orang yang mempunyai ilmu kepandaian
lebih tinggi dari pada mereka, sedangkan pihak mereka yang dapat mengimbangi
kepandaian Nelayan Cengeng dan kawan-kawannya hanyalah Sian Kek Losu dan
Balaki. Maka atas aba-aba yang dikeluarkan oleh Balaki, mereka lalu melompat
mundur dan menghilang di dalam gelap.
“Ha-ha-ha-ha!
Hanya begitu saja kelihaian orang-orang Mongol!” Sie Ban Leng berseru dengan
suara menyatakan kebanggaannya.
Mendengar
kata-kata serta melihat lagak Sie Ban Leng ini, diam-diam Nelayan Cengeng
merasa tak suka, apa lagi ketika orang itu memandang ke arah Ang I Niocu dengan
mata terbelalak kagum dan bibir tersenyum dibuat-buat. Pandangan ini dapat pula
ditangkap oleh Ang I Niocu dan tahulah ia bahwa batin laki-laki ini tidak
bersih.
“Cuwi gagah
perkasa sekali dan kalau Cuwi tak keburu datang, tentu akan makan waktu lama
sebelum aku dapat merobohkan mereka seorang demi seorang,” kata Sie Ban Leng
sambil mengerling kepada Ang I Niocu.
Kwee An dan
Ma Hoa merasa mendongkol mendengar ucapan sombong ini! Kalau saja mereka tahu
bahwa orang yang sudah dibantunya ini demikian sombongnya, belum tentu mereka
mau turun tangan.
“Ha-ha-ha,
pendeta pendek tadi adalah jago ke dua dari Yagali Khan yang bernama Sian Kek
Losu, tak tahunya hanya sebegitu saja kepandaiannya. Kalau kawan-kawannya tidak
keburu datang mengeroyokku, pasti kepalanya yang licin itu akan remuk oleh
senjataku!” Kembali Sie Ban Leng menyombong. “Kalau terjadi demikian barulah
mereka tahu bahwa aku Sie Ban Leng Si Tubuh Baja bukanlah orang yang boleh
dibuat permainan!”
Biar pun
ucapan ini seakan-akan ucapan yang ditujukan kepada diri sendiri, namun jelas
bahwa maksudnya adalah memperkenalkan diri berikut nama julukannya Si Tubuh
Baja! Ang I Niocu yang merasa sebal karena beberapa kali dilirik, lalu berkata
kepada Nelayan Cengeng,
“Lo-enghiong,
mari kita lekas keluar dari tempat yang gelap dan kotor ini dan melanjutkan
perjalanan kita!”
Juga Kwee An
dan Ma Hoa kemudian membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat itu. Nelayan
Cengeng tertawa bergelak-gelak hingga keluar air matanya ketika dia bertindak
pergi meningalkan Sie Ban Leng sambil berkata, “Sobat, kau cukup gagah perkasa,
akan tetapi kalau kau berdiri di tempat terlampau tinggi, ada bahayanya kau
akan tergelincir jatuh!”
Sie Ban Leng
merasa penasaran sekali oleh karena keempat orang itu, terutama Dara Baju Merah
yang cantik bagaikan bidadari itu belum memperkenalkan diri. Akan tetapi oleh
karena mereka telah pergi, ia tidak dapat menahan mereka. Diam-diam ia
mengikuti mereka dari jauh dan ketika tiba di luar hutan, melihat bahwa Ang I
Niocu memisahkan diri dan berpisah dari tiga orang yang lain, hatinya girang
bukan main dan diam-diam dia lalu mengejar Ang I Niocu!
Ada pun Kwee
An, Ma Hoa dan Nelayan Cengeng, lalu melanjutkan perjalanan mereka ke Kansu. Di
sepanjang jalan mereka membicarakan pertemuan mereka dengan Sie Ban Leng yang
sombong itu.
“Dulu aku
pernah mendengar nama Si Tubuh Baja itu, kalau tidak keliru, beberapa tahun
yang lalu dia menjagoi di kota raja dan mempunyai hubungan erat dengan para
Perwira Sayap Garuda. Akan tetapi kemudian dia lalu menjelajah ke daerah barat.
Mungkin dia inilah orangnya!”
Ma Hoa
sendiri biar pun menjadi putera seorang Perwira Sayap Garuda, akan tetapi oleh
karena semenjak kecil lebih sering berada bersama Nelayan Cengeng mempelajari
ilmu silat, maka ia belum pernah bertemu dengan Sie Ban Leng atau mendengar
namanya.
Ketiga orang
ini segera melanjutkan perjalanan menuju ke Propinsi Kansu, dan baru saja
mereka mulai memasuki Propinsi ini, mereka telah bertemu dengan banyak orang
yang terdiri dari berbagai suku bangsa, akan tetapi yang terbanyak adalah suku
bangsa Hui. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke ibu kota Kansu, yaitu
Lan-couw yang besar dan ramai. Di sinilah terdapat banyak sekali
perantau-perantau dari Turki yang menjadi saudagar dan membeli banyak kulit dan
bulu onta yang panjang dan tinggi mutunya dari daerah ini.
***************
Cin Hai
terus mengejar pria pesolek yang melarikan Lin Lin sambil mengerahkan seluruh
kepandaiannya berlari cepat. Dia merasa heran sekali karena biar pun ilmu
ginkang-nya sudah mencapai tingkat yang tinggi, namun orang itu masih saja
belum dapat tersusul olehnya, padahal orang itu berlari sambil mengempit tubuh
Lin Lin yang tidak berdaya karena telah tertotok secara lihai sekali!
Akan tetapi
ia tidak mau kalah dan andai kata orang itu membawa lari Lin Lin menuju ke
lautan api sekali pun, ia akan tetap mengejar! Fajar telah menyingsing dan
matahari telah mulai timbul ketika mereka masih saja berkejaran hingga mereka
tiba di tanah datar yang kering dan luas.
Akhirnya,
orang pesolek itu melarikan diri naik ke sebuah bukit kecil di sebelah kiri,
terus dikejar oleh Cin Hai. Melihat betapa pengejarnya tidak mau mengalah,
akhirnya pesolek itu lalu berhenti dan sambil mengempit tubuh Lin Lin di dalam
pelukan lengan kirinya, dia menunggu dengan mulut tersenyum akan tetapi
sepasang matanya memancarkan sinar mengancam hebat!
Cin Hai
berlari dan melompat ke hadapannya sambil memaki, “Bangsat berjiwa rendah! Kau
masih tidak hendak melepaskan gadis itu?”
“Ehh, bocah
kurang ajar, kau ini siapakah maka berani berlaku kurang ajar di depanku?
Apakah kau tidak tahu bahwa kini kau tengah berhadapan dengan Kwi-eng-cu
(Bayangan Setan) yang berarti akan mendatangkan maut bagimu apa bila kau
menentangnya? Dan apakah hubunganmu dengan gadis ini? Kuperingatkan kepadamu
agar segera pergi dan jangan ikut mencampuri urusanku!”
“Orang
rendah! Ternyata yang kau hias hanya mukamu saja sehingga biar pun di luar kau
nampak cakap dan bersih, tetapi sebetulnya di sebelah dalam dari tubuhmu
bersembunyi batin yang rendah, buruk dan kotor! Kuakui bahwa kepandaianmu
memang tinggi, akan tetapi jangan kau kira bahwa aku takut kepadamu! Aku
Pendekar Bodoh, tak pernah takut menghadapi seorang penjahat, betapa pun
gagahnya dia! Lepaskan gadis itu kalau kau masih sayang jiwamu sendiri!”
“Ha-ha-ha!
Masih baik kalau kau mengaku bodoh, karena memang kau bodoh dan tolol! Mungkin
kau memang pendekar, karena kepandaianmu berlari cepat tidak rendah, dan kau
memang bodoh karena tidak tahu akan kehendak seorang laki-laki seperti aku!
Gadis ini cantik jelita dan manis, ada pun aku seorang laki-laki yang gagah dan
tampan, maka sekarang aku menawannya dengan maksud apa? Tentu saja, kau akan
mengerti sendiri kalau saja kau tidak sedemikian bodoh! Aku hendak mengambil
dara ini sebagai isteriku, isteri yang tercinta, karena gadis seperti inilah
yang sejak dulu kucari-cari untuk menjadi jodohku! Nah, sekarang kau sudah
mendengar maksudku membawa gadis ini, maka kau pulanglah ke rumah ibumu dan
jangan mencari penyakit dengan ikut mencampuri urusan pribadi orang lain!”
“Bangsat
cabul!” Cin Hai memaki marah bukan main. “Bukalah telingamu baik-baik! Gadis
ini ialah tunanganku! Siapa sudi untuk mencampuri urusanmu yang kotor? Kau
lepaskan tunanganku ini dan baru aku mau mengampuni jiwamu yang rendah!”
Mendengar
ucapan ini, berdirilah kedua alis orang itu. Hidungnya yang mancung itu lalu
berkembang-kempis, dan meski pun mulutnya masih tersenyum, namun Cin Hai
melihat betapa sinar matanya bernyala-nyala bercahaya.
“Bagus,
kalau begitu mampuslah kau!” tiba-tiba saja orang itu membentak dan sekali saja
tubuhnya berkelebat, ia menyerang Cin Hai dengan tangan kanannya! Serangan ini
hebat sekali dan dari lengan tangan orang itu mengepul uap putih.
Melihat
betapa orang ini mempergunakan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut, kembali Cin Hai
terheran dan dia segera melawan dengan Pek-in Hoat-sut juga! Orang itu terkejut
sekali melihat gerakan Cin Hai ini, dan cepat ia merobah ilmu silatnya dengan
Kong-ciak Sinna. Akan tetapi kembali ia terheran sampai mengeluarkan suara
tertahan ketika Cin Hai juga melawannya dengan Ilmu Silat Kong-ciak Sinna yang
sama pula!
Kembali
orang itu merobah ilmu silatnya dengan berbagai macam pukulan yang lihai dan
permainan silat pilihan yang tinggi, namun dengan mempergunakan pengertiannya
dalam hal segala macam gerakan tangan dan kaki, Cin Hai melayaninya dengan
gerakan yang sama pula.
“Ehg, ehh
tahan dulu!” kata orang itu sambil melompat ke belakang.
“Apa
kehendakmu?” tanya Cin Hai sambil berdiri tenang dan memandang tajam.
“Kau yang
mengerti Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak Sinna serta yang paham akan dasar
persilatan, siapakah kau dan siapa pula Gurumu?”
“Aku pun
sedang terheran-heran melihat betapa seorang yang pandai Ilmu Silat Pek-in
Hoat-sut dan Kong-ciak Sinna sampai terjerumus ke dalam lembah kehinaan seperti
kau! Sebelum aku bertanya, kau sudah mengajukan pertanyaan lebih dahulu, maka
dengarlah baik-baik! Aku bernama Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh dan suhu-ku
ialah Bu Pun Su!”
Untuk sesaat
wajah pesolek itu menjadi pucat dan dia memandang seakan-akan melihat setan,
namun dari sinar matanya mengandung ketidak percayaan.
“Maukah kau
bersumpah bahwa kau benar-benar murid Bu Pun Su?” tanyanya.
“Bukan hanya
aku, bukalah lebar-lebar kedua matamu, karena gadis yang kau tawan itu pun
seorang murid Suhu Bu Pun Su pula,” kata Cin Hai.
Tiba-tiba
berubahlah wajah orang itu. Dia tersenyum dan tiba-tiba dia mengangkat tangan
dengan girang. “Kalau begitu, kau adalah Sute-ku dan gadis ini adalah Sumoi-ku!
Lebih baik lagi! Sute, dengarlah bahwa Bu Pun Su adalah Supek-ku (Uwa Guru)
karena aku adalah murid dari Guruku Han Le!”
Cin Hai
merasa terkejut sekali dan mengertilah dia mengapa orang ini demikian lihainya
dan mengerti Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak Sinna dengan baiknya.
“Hm, hmm,
kalau begitu kau benar adalah Seheng-ku sendiri. Mengapa Suhu tak pernah
menceritakan tentang kau. Siapakah namamu?”
Sambil
tertawa orang itu berkata “Namaku adalah Song Kun dan ketika aku mempelajari
ilmu silat dari Suhu di atas Pulau Kim-san-to, Supek sering kali datang dan
bahkan beliau pernah memberi pelajaran beberapa ilmu kepadaku, dan sekarang aku
perintahkan agar supaya kau tinggalkan aku dan Sumoi!”
“Apakah yang
hendak kau perbuat kepada tunanganku ini?” tanya Cin Hai dengan suara gemas.
“Sute,
dengarlah baik-baik. Sebagai seorang saudara muda yang baik dan berbakti, kau
harus mengalah padaku. Sumoi-ku ini hendak kubawa pulang dan hendak kuambil
untuk menjadi isteriku. Terus terang saja, semenjak aku melihatnya, timbul
cintaku yang besar kepadanya.”
“Tapi dia
adalah tunanganku!” kata Cin Hai penasaran.
“Sute, sudah
selayaknya apa bila seorang saudara muda mengalah terhadap kakaknya. Suheng-nya
belum kawin, mana sute-nya boleh bertunangan? Kau mengalahlah padaku kali ini,
Sute. Biar lain kali aku mencarikan jodoh yang manis dan jelita untukmu!”
“Aku tidak
mempunyai seorang Suheng seperti macammu!” teriak Cin Hai dengan sangat
marahnya. “Kalau kau tidak mau melepaskan Lin Lin, biarlah kita mengadu jiwa di
tempat ini!”
Kedua mata
Song Kun berkilat. “Apakah benar-benar kau sudah bosan hidup? Dengarlah kau,
bocah sombong! Jangankan baru kau, biar Suhu hidup kembali atau Supek datang
membantumu, jangan harap kau akan bisa menangkan Kwie-eng-cu!”
“Jangan
banyak cakap dan kau cobalah saja!” seru Cin Hai sambil melangkah maju.
Bukan main
marahnya Kwie-eng-cu melihat sikap Cin Hai yang menantang ini. Tangan kanannya
bergerak dan tahu-tahu sebatang pedang sudah berada di tangan itu. Cin Hai
terkejut bukan main melihat pedang ini karena pedang itu mengeluarkan cahaya
yang menyilaukan dan sinar merah yang keluar dari pedang itu mendatangkan hawa
panas!
Inilah
pedang Ang-ho Sian-kiam yang luar biasa dan yang ratusan tahun yang lalu telah
menjadi pedang pusaka yang keramat di istana kaisar. Ketika pedang ini jatuh ke
dalam tangan Song Kun, maka seakan-akan dia menjadi seekor naga yang tumbuh
sayap!
Cin Hai juga
mencabut keluar Liong-coan-kiam dari dalam bajunya dan ketika Song Kun melompat
dan menerjangnya, dia lalu mengeluarkan ilmu pedangnya Daun Bambu yang lihai!
Song Kun terkejut sekali melihat gerakan ilmu pedang ini oleh karena biar pun
dia telah mewarisi hampir seluruh kepandaian Han Le, belum pernah ia melihat
gerakan ilmu pedang yang sedemikian aneh dan lucunya, akan tetapi berbareng
juga lihai sekali.
Dan oleh
karena tangan kirinya masih mengempit tubuh Lin Lin maka gerakannya kurang
leluasa sekali. Apa lagi ketika selain menggerakkan pedang untuk menyerang, Cin
Hai juga menggunakan tangan kiri untuk mengirim pukulan-pukulan ke arah jalan
darahnya!
Song Kun
lantas memutar-mutar pedangnya dengan ganas dan mencoba untuk mengadu pedangnya
itu dengan pedang Cin Hai. Akan tetapi Cin Hai cukup maklum bahwa pedang
lawannya ini berbahaya sekali maka ia selalu menghindarkan beradunya kedua
senjata, dan bahkan memperhebat serangan tangan kirinya.
Pada suatu
kesempatan, tangan kiri Cin Hai mendorong dengan tenaga penuh ke arah pelipis
lawannya dan dalam keadaan terdesak, Song Kun terpaksa melemparkan tubuh Lin
Lin untuk mengangkat tangan kirinya menangkis. Tubuh Lin Lin terlempar ke kiri
dan terus masuk ke dalam sebuah jurang yang curam!
Cin Hai
menjerit ngeri melihat betapa tubuh kekasihnya terlempar ke dalam jurang dan
saat itu dipergunakan oleh Song Kun yang telah menjadi marah sekali itu untuk
mengirim tusukan ke arah dadanya, dibarengi dengan pukulan tangan yang
dimiringkan ke arah lambung Cin Hai. Cin Hai merasa terkejut sekali, ia lalu
mempergunakan gerakan Awan Putih Mengusir Mendung dengan tangan kirinya,
sedangkan pedangnya diangkat untuk menangkis.
Dua batang
pedang beradu keras dan terpentallah pedang Liong-coan-kiam dari tangan Cin Hai
dalam keadaan patah menjadi dua sedangkan tubuh Cin Hai terhuyung-huyung ke
belakang! Ketika ia diserang tadi, semangatnya sedang melayang mengikuti tubuh
Lin Lin dan hatinya berdebar kuatir, maka ia menjadi korban serangan berbahaya
dari Song Kun Yang lihai itu.
Song Kun
tertawa girang dan penuh ejekan, kemudian ia terus menyerang dengan hebat
hingga Cin Hai terpaksa menggunakan ginkang-nya untuk mengelak dan mengeluarkan
Ilmu Pukulan Kong-ciak Sinna untuk menghadapi lawannya yang lihai bersilat
dengan tangan kosong.
Pada saat
itu pula, dari jurang di mana tadi Lin Lin jatuh, melayang keluar seorang kakek
sambil menggendong tubuh Lin Lin dan ternyata bahwa kakek ini bukan lain ialah
Bu Pun Su! Kakek ini langsung melompat ke tempat pertempuran dan sekali dia
mengebutkan lengan bajunya yang panjang, pedang di tangan Song Kun kena
tertangkis hingga tangan Song Kun menjadi tergetar dan dia melompat ke belakang
dengan kaget sekali.
“Suhu...!”
kata Cin Hai dengan girang sekali sebab melihat betapa suhu-nya telah berhasil
menolong Lin Lin. Saking girangnya, pemuda ini sampai menitikkan dua butir air
mata.
“Ahh,
kiranya Supek yang datang!” kata Song Kun dengan pedang dilintangkan di dada
dan dia tidak mau memberi hormat sama sekali terhadap supek-nya itu.
“Song Kun
kau terjerumus ke dalam lembah kesesatan, tidak insyafkah kau?” berkata Bu Pun
Su dengan suara kereng.
Song Kun
tersenyum dengan penuh ejekan dan kesombongan.
“Teecu tidak
tahu akan maksud ucapan Supek ini,” jawabnya.
“Orang
tersesat! Baiknya Suhu-mu telah meninggal, kalau tidak, dia tentu akan berduka
sekali melihat betapa muridnya yang terkasih menjadi seorang yang berbudi
rendah! Song Kun, perbuatanmu yang rendah masih nampak di depan mata, apakah
kau masih saja belum mau mengakuinya? Kau menculik seorang gadis dan walau pun
kau sudah mengetahui bahwa dia ini adalah seorang Sumoi-mu sendiri tetapi kau
masih tetap akan melanjutkan kesesatanmu.”
“Teecu
mencinta dia, apakah salahnya itu? Apakah Supek akan merintangi orang muda yang
mencinta seorang wanita dan hendak mengambilnya menjadi isteri? Supek, hal ini
adalah urusan orang-orang muda dan orang tua tidak berhak mencampurinya!”
Ucapan ini
benar-benar kurang ajar sekali hingga Cin Hai merasa betapa dua tangannya
gatal-gatal hendak turun tangan menyerang suheng yang jahat itu.
“Sesudah
Suhu meninggal, yang berhak mengajar teecu hanyalah seheng-ku, Lie Kong Sian
seorang! Akan tetapi, kalau Supek hendak merendahkan dan menurunkan tangan
kejam kepada teecu, silakan, teecu sedikit pun tidak merasa takut!”
Kalau
kiranya bukan Bu Pun Su yang menerima tantangan ini, tentu dia akan menjadi
marah dan tak bersabar lagi. Akan tetapi kakek jembel ini memiliki kesabaran
yang luar biasa dan lagi ia merasa tidak tega untuk menurunkan tangan besi
kepada seorang murid sute-nya.
“Song Kun,
Suhu-mu dahulu sudah keliru memilih murid. Aku tidak sudi untuk mengotori
tanganku pada tubuhmu. Akan tetapi, jika kau hendak memaksa dan melanjutkan
niatmu ingin menculik muridku perempuan ini, kau majulah dan boleh kau
coba-coba kepandaian Supek-mu!” Sambil berkata demikian, Bu Pun Su melangkah
maju dan menghadapi Song Kun dengan dada terangkat.
Kalau saja
Song Kun mengangkat tangan dan menusuk dengan pedangnya, maka dada kakek itu
akan tercapai oleh ujung pedang. Akan tetapi Song Kun tidaklah sedemikian bodoh
untuk melakukan hal ini.
Ia maklum
bahwa ilmu kepandaian Bu Pun Su amat tinggi dan bahwa saat itu Bu Pun Su sedang
memancing-mancing agar ia turun tangan lebih dulu hingga kakek ini mempunyai
alasan untuk menghajarnya! Kalau tadi dia mengeluarkan ucapan menantang, itu
hanya karena ia merasa yakin bahwa Bu Pun Su takkan mau turun tangan
terhadapnya. Maka, sambil tertawa mengejek ia berkata dan memasukkan pedangnya
kembali.
“Supek,
dunia bukanlah sebesar telapak tangan. Di mana-mana banyak terdapat wanita
cantik, maka untuk apakah teecu harus berebut seorang gadis dengan Supek-ku
sendiri? Ha-ha-ha, ini amat menggelikan dan akan menjadi buah tutur orang-orang
saja! Supek, teecu tidak mau nekat merebut perempuan ini, biarlah kalau Supek
menghendakinya, dia boleh diambil! Akan tetapi,” katanya sambil menuding kepada
Cin Hai dengan pandangan mata mengancam, “kau telah berani turun tangan kepada
aku yang menjadi Seheng-mu, maka awaslah kau! Lain kali bila kita bertemu,
jangan harap aku akan dapat mengampuni jiwamu lagi!” Setelah berkata demikian,
Song Kun menjura di depan Bu Pun Su sambil tersenyum menyindir, kemudian
tubuhnya berkelebat dan lari turun dari bukit itu!
Bu Pun Su
menghela napas. “Kasihan sekali bahwa Han Le harus pula menerima nama busuk
sesudah mati oleh karena perbuatan muridnya itu! Ahh, begitulah kalau guru
salah menerima murid. Tidak heran bahwa jarang ada orang-orang cerdik pandai
yang mau mengambil murid. Cin Hai, kau sudah menyaksikan sendiri betapa tinggi
ilmu silat Song Kun dan betapa hebat pedang Ang-ho Sian-kiam itu sehingga
Liong-coan-kiam sendiri sampai terputus olehnya! Melihat mukanya, orang seperti
dia itu tentu akan membuktikan ancamannya, maka mulai sekarang kau harus
berlaku hati-hati sekali. Juga Lin Lin berada dalam bahaya, maka baiknya
biarlah dia ikut padaku untuk memperdalam ilmu silatnya sehingga cukup kuat apa
bila kelak bertemu dengan Song Kun.”
Kakek itu
lalu membebaskan totokan yang mempengaruhi tubuh Lin Lin hingga gadis itu dapat
bergerak kembali dan berlutut di depannya.
“Lin Lin,
kalian sudah menanam bibit permusuhan dengan Song Kun yang merupakan lawan
tangguh sekali. Jangankan kau, bahkan Cin Hai sendiri apa bila tidak mempunyai
pedang yang mampu melawan Ang-ho Sian-kiam, agaknya akan sukar sekali untuk
dapat merobohkan dia. Maka, sekarang kau ikutlah aku untuk memperdalam ilmu
pedangmu yang masih mentah. Dan kau, Cin Hai, kau pergilah ke Kansu. Di antara
ratusan buah goa yang terdapat di Kansu, yaitu goa-goa Tun-huang, di situ
terdapat sebuah goa yang menyimpan sepasang pedang mustika yaitu Liong-cu
Siang-kiam atau Sepasang Pedang Mustika Naga. Hanya pedang itulah agaknya yang
sanggup dihadapkan dengan Ang-ho Sian-kiam (Pedang Dewa Api Merah) dari Song
Kun tadi! Kelak, kau boleh menyusul Lin Lin ke Goa Tengkorak.”
Cin Hai lalu
berlutut dan menyatakan bahwa dia hendak mentaati perintah suhu-nya itu.
Kemudian Bu Pun Su meninggalkan tempat itu bersama Lin Lin sesudah kedua orang
muda itu saling lirik dengan pandangan mata yang mesra.
Cin Hai lalu
bangun dan berdiri memandang sampai bayangan dua orang itu terlenyap di sebuah
tikungan. Hatinya merasa lega dan gembira, Lin Lin telah tertolong dan selamat
dan kini ia tidak perlu merasa kuatir lagi oleh karena di dalam tangan Bu Pun
Su, gadis itu akan aman sentosa melebihi dari pada dalam pelukan ibu sendiri!
Ia lalu
memikirkan keadaan Yousuf yang lenyap dan menguatirkan keadaan orang Turki yang
budiman itu. Akan tetapi, kebetulan sekali dia mendapat tugas mencari pedang di
Propinsi Kansu dan dia mengambil keputusan untuk sekalian mencari jejak Yousuf
dan apa bila perlu menolong orang Turki itu. Dia hanya menyayangkan bahwa dalam
berlari mengejar Song Kun, dia telah meninggalkan hutan di mana Yousuf tinggal
itu jauh sekali hingga dia pun tidak tahu di mana adanya burung bangau yang
ditinggalkannya di dalam hutan.
Cin Hai
tidak tahu bahwa Lin Lin yang menceritakan pengalamannya kepada Bu Pun Su di
tengah jalan, lalu minta kepada kakek itu untuk mampir di hutan itu. Mereka
mencari jejak Yousuf, kemudian mendengar dari seorang Turki bahwa Yousuf telah
dilarikan oleh keponakannya sendiri dan kini entah berada di mana.
Dan di dalam
hutan itu juga, Lin Lin mendapatkan kembali meraknya, bahkan di samping
Sin-kong-ciak, di situ terdapat pula Ang-siang-kiam si Burung Bangau Besar itu
sehingga kedua burung sakti itu lalu dibawa oleh Bu Pun Su ke Goa Tengkorak.
***************
Cin Hai
melanjutkan perjalanannya hingga masuk Propinsi Kansu. Propinsi ini merupakan
daerah pegunungan yang tinggi dan terjal letaknya di sebelah utara Propinsi
Se-cuan. Di sebelah baratnya adalah Propinsi Cing-hai, dan pada sebelah
utaranya terletak Propinsi Ning-sia dan kemudian perbatasan Mongolia.
Tembok besar
yang terkenal di Tiongkok itu juga dimulai dari Propinsi Kansu ini dan terus
memanjang menuju ke timur. Bahkan Sungai Kuning (Huang-ho) juga melalui
propinsi ini dan di sepanjang Sungai Kuning terdapat tanah pertanian yang
subur. Iklim di daerah ini istimewa keringnya, hingga dengan adanya sungai
Kuning yang lewat di daerah itu maka hal ini merupakan berkah yang besar bagi
rakyat yang tinggal di Kansu.
Propinsi
Kansu memiliki banyak kekayaan alam dan pemandangan yang cukup indah. Di ibu
kota ada Bukit Pagoda Putih dan Pegunungan Cilian yang penuh dengan hutan-hutan
yang kaya akan berbagai binatang. Selain pertanian yang hidup subur pada sepanjang
lembah Sungai Kuning, juga usaha peternakan amat besar dikerjakan orang di
tempat ini. Bulu onta dan daging lembu keluaran daerah ini terkenal sekali
karena tinggi mutunya.
Di selatan
terdapat padang-padang pengembalaan alam yang luas dan baik, rumputnya subur
dan airnya jernih. Goa-goa Tun-huang yang beratus-ratus, bahkan mungkin seribu
lebih banyaknya itu, merupakan pemandangan indah peninggalan budaya kuno.
Goa-goa ini penuh dengan patung-patung dan lukisan-lukisan dinding Agama Buddha
yang dibuat kira-kira pada abad ke empat.
Tidak heran
apa bila daerah ini menarik perhatian orang-orang dari luar negeri. Dan yang
terbanyak adalah orang-orang Turki yang datang mengembara dan mencari
penghasilan di daerah yang kaya ini. Juga di sini terdapat banyak sekali
suku-suku bangsa dari barat dan utara.
Pada suatu
hari Cin Hai tiba di kota Ling-sia. Kota ini berada di sebelah utara tepi
Sungai Huangho. Dengan hati gembira Cin Hai memasuki kota itu, berjalan pelan
di sepanjang jalan raya yang penuh dengan bangunan-bangunan besar di kanan kiri.
Tiba-tiba
dia mendengar suara suling berbunyi aneh, maka dia segera menghampiri arah
datangnya suara itu. Ternyata bahwa yang menyuling itu adalah orang Turki yang
sedang bermain sulap di sebuah lapangan terbuka. Banyak orang menonton dan
mengelilinginya.
Orang Turki
itu sudah tua dan dia duduk bersila di depan sebuah keranjang bambu yang besar
sambil meniup sulingnya. Suling yang ditiupnya berbentuk ular dan saat dia
meniup sulingnya semakin keras, tiba-tiba tutup keranjang itu terbuka
perlahan-lahan dari dalam dan tersembullah kepala seekor ular yang sangat
besar! Ular itu mendengar suara suling lalu merayap keluar, melingkar di atas
tanah dan lehernya terangkat ke atas.
Ternyata
ular itu besar sekali dan di bawah kepalanya melar berupa sendok yang besar.
Itulah semacam ular kobra atau ular sendok yang berbahaya, akan tetapi terhadap
suara suling itu ia terpengaruh hebat sekali hingga ia mulai menari-nari
menggeleng-gelengkan kepalanya dan lehernya pun bergerak-gerak menari mengikuti
irama suara suling!
Orang-orang
yang menonton menjadi gembira dan mendengar suara kagum di sana-sini, ada juga
suara orang yang menyatakan ngeri dan takut! Hati Cin Hai tidak tertarik
melihat ular itu, akan tetapi amat tertarik mendengar suara suling dan
diam-diam dia mengingat lagu suling ini di dalam hatinya.
Pada saat
dia meninggalkan tempat itu tiba-tiba di lain bagian lapangan itu ia mendengar
suara gembreng dan tambur, dibarengi suara orang berkata-kata dan gelak suara
para penonton. Dan kiranya pada bagian itu, juga terdapat orang yang sedang
memperlihatkan kepandaiannya dan ketika ia mendekati, alangkah herannya melihat
bahwa yang menjual kepandaian di situ adalah seorang hwesio dan seorang tosu.
Mudah saja
baginya mengenal wajah hwesio yang selalu tertawa dengan muka dan perut yang
gemuk itu, dan mengenal wajah tosu yang selalu mewek mau menangis! Hwesio itu
sedang membadut, perutnya yang gendut dan tidak tertutup dengan pakaian itu
sebentar mengempis dan sebentar pula mengembang sampai besar dan gendut!
Pemandangan
ini bagi orang-orang biasa merupakan hal yang lucu sekali, akan tetapi bagi
orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian, menimbulkan kekaguman. Oleh karena
perbuatan Si Gendut itu menunjukkan bahwa ia memiliki khikang yang tinggi
hingga perut yang demikian besarnya dapat ditarik ke dalam hingga kempis sama
sekali!
“Cuwi
sekalian,” kata Si Gendut sambil tidak pernah mengubah tarikan muka yang selalu
tersenyum bagaikan sebuah arca Jai-lai-hud yang peramah. “Kepandaian
mengempiskan perutku hingga kecil ini banyak sekali gunanya. Di Tiongkok banyak
terdapat daerah yang kekurangan makan, sedangkan pinceng adalah seorang
perantau. Pada waktu pinceng berada di daerah kering, kalau tidak ada makanan
yang boleh dimasukkan perut, pinceng lalu menarik perut ke dalam hingga menjadi
kempis dan kecil, sehingga diberi minum air semangka pun sudah kenyang!
Sebaiknya, kalau pinceng berada di tempat yang subur seperti Kansu ini pinceng
bisa melembungkan perut sebesar-besarnya agar supaya dapat menikmati segala
macam makanan. Bahkan daging unta pun dapat masuk ke dalam perutku!”
Sambil
berkata demikian, ia mengembang-kempiskan perutnya dan menggeleng-geleng
kepalanya yang bulat seperti bal. Kembali orang-orang tertawa geli dan Cin Hai
juga ikut tertawa. Meski pun dahulu kedua orang ini pernah membawa lari
perahunya, akan tetapi terhadap Si Gendut ini yang selalu tertawa, tak mungkin
orang dapat marah kepadanya!
“Akan
tetapi,” kata pula hwesio itu, “Saudaraku yang kurus seperti cecak mati ini
memiliki kepandaian yang lebih hebat lagi.”
Sambil
berkata demikian dia menuding ke arah Ceng To Tosu yang duduk berjongkok dengan
muka bagaikan mau menangis. Tidak perlu disertai kata-kata lucu, baru melihat
mukanya saja sudah menimbulkan rasa geli di dalam hati sehingga kembali orang-orang
tertawa bergelak.
“Jangan Cuwi
mentertawakan Suheng-ku ini,” berkata pula hwesio gendut tadi, “banyak orang
lihai dan berkepandaian di dunia ini, bahkan banyak pula orang yang mempunyai
kekebalan hingga segala macam senjata tajam tidak dapat melukai kulitnya! Akan
tetapi, saudaraku ini lebih hebat lagi. Dia tidak bisa mati oleh karena dia ini
tidak mempunyai darah!”
Terdengar
seruan-seruan tidak percaya. “Kalau orang tidak mempunyai darah, ia akan mati,”
terdengar suara seorang penonton mencela.
“Memang
kata-kata itu benar,” kata Ceng Tek Hosiang, “akan tetapi saudaraku itu adalah
seorang sakti. Kalau Cuwi tidak percaya sekarang hendak kubuktikan!” Sambil
berkata demikian, Si Gendut mengeluarkan sebuah pisau belati yang bergagang
panjang. Pisau itu putih mengkilap, nampaknya tajam dan baru.
“Nah,
lihatlah baik-baik. Pisau ini akan kutusukkan padanya dan akan kutusuk tubuhnya
sampai seluruh mata pisau ini terbenam ke dalam dagingnya!” Setelah berkata
demikian, ia menghampiri Ceng To Tosu yang masih saja duduk dengan mewek.
Benar saja,
hwesio itu menusuk leher tosu itu hingga banyak orang memekik karena cemas.
Bahkan Cin Hai merasa terkejut sekali melihat betapa pisau belati itu menancap
di leher Ceng To Tosu sampai ke gagangnya! Pada saat Ceng Tek Hosiang mencabut
pisaunya, benar saja tidak nampak darah sedikit pun pada leher itu, bahkan luka
sedikit pun tidak!
Semua orang
memandang dengan mata terbelalak, bahkan Cin Hai sendiri hampir tidak percaya
pada kedua matanya sendiri. Bagaimana tosu ini dapat memiliki ilmu kepandaian
yang demikian anehnya? Ilmu kekebalan untuk menolak ujung senjata yang menusuk
kulit, bukanlah hal yang aneh baginya, akan tetapi kulit dan daging yang sudah
tertusuk pisau sekian dalamnya akan tetapi tidak terluka dan tidak mengeluarkan
darah sama sekali, adalah hal yang tak mungkin terjadi. Ilmu sihirkah yang
dipergunakan oleh kedua orang ini?
Ceng To Tosu
lalu membuka bajunya dan tiga kali ia ditusuk dadanya yang kurus seperti
kerangka hidup itu, lalu lambungnya, dan bahkan pipinya mendapat tusukan pula.
Dan semua tusukan itu biar pun dilakukan dengan kuat hingga pisau sampai
menancap habis, namun setelah dicabut kembali, tosu itu sama sekali tidak
terluka sedikit pun. Kemudian hwesio gendut itu melempar pisau itu ke arah sebatang
pohon dan pisau itu menancap dengan keras sampai ke gagangnya.
“Nah, Cuwi
lihat, bahkan batang pohon itu pun tertancap dengan mudah, menunjukkan bahwa
pisau pinceng ini benar-benar tajam dan tidak palsu, namun menghadapi ilmu
kepandaian Seheng-ku ini, pinceng tidak berdaya.”
“Lihai
sekali...,” semua orang berseru.
Hwesio
gendut itu lalu menjura sambil berkata, “Pertunjukan kami selesai sampai di
sini saja, kalau ada jodoh kita saling bertemu lagi!” Maka semua penonton lalu
bubaran dan tiada hentinya mereka membicarakan kelihaian tosu yang kurus kering
itu.
Cin Hai yang
menyaksikan itu semua, dari rasa heran menjadi rasa penasaran hebat. Ia pernah
menyaksikan kepandaian dua pertapa ini dan ternyata bahwa kepandaian mereka
biar pun lihai, namun tidak melebihi kepandaiannya sendiri. Akan tetapi ilmu
kepandaian yang baru diperlihatkan oleh Ceng To Tosu itu, benar-benar membuat
dia kagum dan tak mengerti.
Maka setelah
semua orang bubaran, ia lalu bertindak menghampiri dan menjura.
“Jiwi-suhu
apakah baik-baik saja?”
Ketika
hwesio dan tosu itu melihat Cin Hai, keduanya merasa terkejut, akan tetapi Ceng
Tek Hosiang tetap tertawa dan Ceng To Tosu tetap mewek.
“Ahh, ahh,
kiranya Sie-taihiap Si Pendekar Bodoh!” kata Ceng To Tosu. “Bagaimana bisa
sampai di sini, Taihiap?”
Sementara
itu sambil tertawa-tawa, Ceng Tek Hosiang mendahului Cin Hai. “Dulu ketika kau
bersama Ang I Niocu melompat ke atas kapal, kami berdua menjadi ketakutan dan
terpaksa pergi lebih dulu.”
Cin Hai
terseyum. “Tidak apa, hal yang sudah lalu tak perlu digali lagi. Akan tetapi,
dulu aku menemukan perahu kalian terbalik di atas laut, bagaimana kalian bisa
selamat dan sampai di sini?”
“Thian
melindungi orang-orang baik,” hwesio gendut itu berkata, “maka kami terdampar
oleh ombak besar dan dilempar ke tepi laut dengan selamat.”
“Dan
sekarang jiwi-suhu berada di darat ini sedang apakah?”
“Taihiap
sudah menyaksikan sendiri bahwa kami menjual kepandaian sambil merantau,” jawab
Ceng To Tosu.
Cin Hai
mengangguk-angguk dan keterangan ini memang masuk di akal. “Kepandaianmu tadi
benar-benar lihai sekali, Ceng To Totiang,” katanya memuji.
Akan tetapi
dengan tertawa ha-ha hi-hi Ceng Tek Hosiang lalu mengeluarkan pisau belati itu
dan berkata, “Dengan pisau yang sengaja kami buat secara khusus untuk keperluan
ini, apakah yang lihai?”
Cin Hai
memegang pisau belati itu dan berkata, “Pisau ini pisau biasa dan tadi pun
dapat menancap di pohon, apanya yang aneh? Mungkin kalian telah menggunakan
ilmu sihir!”
Tiba-tiba
Ceng Tek Hosiang tertawa bergelak sedangkan Ceng To Tosu yang sebetulnya hendak
tertawa, akan tetapi mulutnya bahkan makin mewek dan makin menyedihkan!
“Ah, ahh,
kami benar-benar merasa puas, puas, dan bangga! Pujian semua orang-orang itu
bagi kami tiada artinya, akan tetapi keheranan pada muka Taihiap
sungguh-sungguh membikin kami merasa puas dan bangga!”
Ceng To Tosu
juga berkata, “Sie-taihiap, pisau kami itu ada rahasianya! Kau lihat besi kecil
hitam pada gagangnya itu? Kalau besi kecil itu tidak ditekan, maka pisau ini
adalah pisau biasa yang akan melukai orang. Akan tetapi coba kau tekan besi
kecil itu, dan kau akan melihat keanehannya!”
Cin Hai
melihat besi hitam yang kecil pada ujung gagangnya dan pada saat dia menekan,
ternyata pisau itu apa bila ditekan pada sesuatu lalu masuk ke dalam gagangnya
yang panjang hingga tidak kelihatan lagi ujungnya! Sungguh sakti.
Demikianlah
akal yang digunakan oleh kedua pertapa itu. Ketika Si Hwesio menusukkan
pisaunya pada tubuh tosu itu, ia menekan besi hitam tadi hingga memang
kelihatannya pisau itu menancap pada tubuhnya sampai ke gagang, padahal pisau
itu ketika menekan kulitnya, lalu masuk ke dalam gagang dan tidak kelihatan
lagi, seakan-akan semuanya masuk ke dalam tubuh orang yang ditusuk!
Hampir saja
Cin Hai tertawa bergelak karena geli. Dia mengangguk-angguk kagum dan hatinya
merasa senang bertemu dengan kedua orang tua ini, karena dari pembukaan rahasia
pisau ini saja dapat membuktikan bahwa mereka menaruh kepercayaan padanya.
“Taihiap,
sesungguhnya kami berdua sedang melakukan sebuah tugas!” kemudian Ceng Tek
Hosiang berbisik.
“Tugas?
Tugas apa dan dari siapa?”
“Dari siapa
lagi kalau bukan dari pemerintah kita. Kami berdua sekarang telah membantu
kerajaan. Panglima besar yang sekarang, yaitu Kam-ciangkun, adalah orang gagah
yang budiman, maka kami berdua mau membantunya dan kini kami diutus datang ke
propinsi ini untuk semacam tugas!”
Cin Hai
mengangguk. “Aku telah mendengar tentang berita menggirangkan itu. Syukurlah
jika memang demikian halnya, memang sudah waktunya bagi pemerintah kerajaan
untuk mengganti semua panglima yang busuk dengan orang-orang yang betul-betul
gagah dan budiman.”
“Memang
kata-katamu ini benar sekali, Taihiap, apa lagi oleh karena sekarang keadaan
negara sedang dalam bahaya besar.”
Cin Hai
terkejut. “Apa maksudmu?”
Dengan suara
berbisik Ceng To Tosu berkata, “Terlihat gejala-gejala bahwa orang-orang Turki
hendak mengadakan serangan ke wilayah Tiongkok sesudah terjadinya perebutan
Pulau Kim-san-to dahulu itu. Dan sikap orang-orang Mongol juga sangat
mencurigakan sehingga kita seakan-akan terancam dari dua pihak. Karena inilah
maka Kam-ciangkun lalu mengadakan penyelidikan, sebagian ke daerah utara dan
sebagian pula ke daerah barat. Kami mendapat tugas untuk menyelidiki keadaan
mereka di Propinsi Kansu dan di samping kami berdua, masih banyak pula
perwira-perwira yang menyamar dan menjadi penyelidik, bahkan kabarnya
Kam-ciangkun sendiri pun hendak datang ke daerah ini oleh karena agaknya
pergerakan musuh yang terbesar berada di daerah ini.”
Cin Hai
mengangguk-angguk maklum kemudian berkata, “Terima kasih atas kepercayaan
kalian kepadaku, Totiang, akan tetapi harap kalian berdua suka berhati-hati dan
jangan sembarangan bicara dengan orang lain mengenai hal ini.”
Ceng Tek
Hosiang tertawa bergelak-gelak. “Tentu saja, Taihiap, kepadamu kami tak perlu
menyimpan rahasia.”
Kedua orang
pendeta aneh itu lalu berpamit dan mereka lalu berpisah dari Cin Hai.
Setelah
berpisah dengan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu, Cin Hai berjalan-jalan di
luar kota dan pergi ke tepi Sungai Huangho yang airnya kuning. Keadaan di situ
sunyi, penuh dengan sawah ladang dan rumput. Di sepanjang tepi sungai amat
subur kehijau-hijauan. Keadaan ini membuat Cin Hai merasa girang sekali.
Memang,
semenjak pertemuannya dengan Lin Lin, dia merasa sangat gembira dan kini
setelah gadis itu pergi dengan Bu Pun Su untuk mempelajari ilmu silat, hatinya
merasa tenteram dan aman. Sedikit ganjalan hati yang terbit oleh karena
peristiwa yang menimpa diri Ma Hoa dan Kwee An, dia hibur dengan dugaan bahwa
kedua orang itu pasti masih hidup oleh karena mayat mereka tak dapat
diketemukan. Juga pertemuannya dengan kakek gagu di goa yang berada di bawah
tebing di mana Kwee An dan Ma Hoa terjatuh, juga surat yang dikirim oleh
seorang sakti dan yang dikirim melalui kaki Merak Sakti dulu itu, mempertebal
keyakinannya bahwa kedua orang kawannya itu pasti masih hidup.
Cin Hai
duduk di tepi sungai dan ia teringat akan kakek bangsa Turki yang menyuling dan
bermain-main dengan ularnya tadi. Ia mengingat-ingat lagu yang ditiup oleh
suling kakek itu, kemudian tanpa terasa dia lalu mencabut keluar sulingnya
terus ditiup menirukan lagu kakek tadi!
Dia memang
pandai sekali meniup suling dan ingatannya kuat sehingga biar pun kurang
sempurna namun ia dapat menyulingkan lagu yang didengarnya tadi dengan baik!
Makin ditiup makin terasalah kenikmatan irama lagu yang asing itu, maka
sebentar saja Cin Hai telah tenggelam dalam permainan sulingnya.
Tidak
disangka sama sekali, bahwa suara sulingnya itu telah menarik perhatian
sepasang ular sendok yang tinggal di dalam sebuah lubang di tepi sungai itu.
Tadinya Cin Hai tidak tahu akan kedatangan kedua ekor ular itu yang datang
sambil berlenggak-lenggok tanpa menerbitkan suara. Tahu-tahu kedua ular itu
telah berada di hadapannya dengan kepala terangkat tinggi-tinggi dan lidahnya
yang merah menjilat-jilat keluar sambil lehernya yang menggembung itu
bergerak-gerak ke kanan kiri!
Bukan main
terkejut dan ngerinya rasa hati Cin Hai melihat betapa tiba-tiba saja, muncul
dua ekor ular sendok besar dan panjang di depannya. Karena merasa terkejut dan
jijik, ia menghentikan tiupan sulingnya dengan tiba-tiba. Kedua ekor ular itu
nampak marah dan bingung, kemudian dari mulut mereka keluarlah suara mendesis
yang keras dan tiba-tiba mereka menyerang Cin Hai yang sedang duduk di atas
rumput itu dengan cepat sekali!
Cin Hai
berseru keras kemudian menangkis dengan sulingnya. Tangkisannya itu berhasil
membuat seekor ular terpental ke samping, akan tetapi yang seekor lagi cepat
mengelak dan terus menyerangnya dengan mulut terbuka lebar-lebar!
Terpaksa Cin
Hai menjatuhkan diri ke belakang lalu bergulingan sampai jauh dari tempat itu.
Ternyata bahwa ular itu pun mengejar dengan cepatnya! Cin Hai lalu melompat berdiri
dan dia mulai menjadi marah. Dia melihat betapa ular yang terpental tadi pun
kini sudah merayap maju dengan kepala berdiri dan agaknya marah sekali
kepadanya.
Ia tidak
usah takut menghadapi dua ekor ular itu dan sebetulnya kalau pada saat itu ia
lari pergi, kedua binatang itu pun takkan berdaya dan takkan dapat mengejarnya.
Akan tetapi Cin Hai sudah marah karena tadi benar-benar dia dikejutkan oleh
kedua binatang itu.
Dia tidak
mau mengotorkan sulingnya, maka dia lalu menyimpan suling itu dan mencabut
sebatang rumput alang-alang yang besar dan yang banyak tumbuh di dekat situ.
Ketika ular yang pertama telah datang dekat dan menyambar kakinya, Cin Hai
memukul dengan rumput alang-alang itu ke arah kepala ular sambil mengerahkan
tenaga lweekang-nya.
Akan tetapi
ular itu betul-betul gesit karena dengan merendahkan kepala secara tiba-tiba,
ia dapat mengelak dari sabetan Cin Hai! Pemuda itu menjadi kagum dan ia mulai merasa
gembira menghadapi dua ekor binatang yang gesit ini!
Pada waktu
ia hendak menyabet kembali tiba-tiba terdengar seruan orang, “Jangan bunuh
mereka!”
Cin Hai
cepat melompat ke belakang dan ketika dia menengok, ternyata seorang Turki yang
berkulit hitam dan berambut putih karena sudah tua berlarian mendatangi dengan
cepat. Melihat gerakannya yang gesit serta larinya yang cepat, Cin Hai dapat
menduga bahwa orang itu tentu memiliki ilmu kepandaian lumayan juga.
“Menawan
ular seharusnya bukan dipukul dengan senjata,” katanya pula.
Ia kemudian
menghampiri kedua ular itu dengan merangkak di atas kedua pasang kaki
tangannya! Ular-ular itu memandang tajam dan marah, lalu ular yang jantan
menyambar ke arah lehernya untuk digigit!
Kakek Turki
itu lalu mengangkat tangannya dengan gerakan tangan laksana seekor ular juga,
dan ketika kepala ular itu sudah datang dekat, mendadak jari-jari tangan
kanannya dibuka seperti mulut ular sedang menyerang dan ia menerkam leher ular
itu, dipegangnya dengan tepat dan erat-erat! Ular itu membelit-belit lengannya
sambil meronta-ronta, akan tetapi dengan cepat sekali tangan kiri orang itu
menangkap tubuh ular itu dan dibetot atau diurutnya ke belakang dengan kuat.
Aneh sekali,
setelah tubuhnya diurut ke belakang sampai pada ekornya, ular itu menjadi
lumpuh dan ketika kakek itu melepaskan punggungnya, ular itu menjadi lemas dan
jatuh di atas tanah tanpa berdaya lagi. Ular betina menjadi marah sekali
melihat kawannya dikalahkan, maka ia lalu mendesis-desis dan menyerang hebat.
Akan tetapi,
kakek Turki yang gesit dan gagah itu kembali mengulangi perbuatannya dan ular
betina ini pun dapat tertangkap dan kini kedua ekor ular itu berkelojotan di
atas tanah dalam keadaan lumpuh. Setelah itu barulah kakek Turki itu berpaling
pada Cin Hai sambil tersenyum.
“Sepasang
ular sendok jantan dan betina yang keluar bersama bukanlah hal yang mudah
dijumpai. Hal ini menandakan bahwa ular betina ini tentu sedang bertelur dan
telur-telur muda yang masih berada di dalam perutnya merupakan obat-obat yang
luar biasa dan sukar didapat. Sungguh aku merasa beruntung sekali bertemu
dengan kau dan dua ekor ular ini. Kalau tadi kau membunuh ular-ular itu, maka
khasiat telur di dalam perutnya akan lenyap tak berguna lagi.”
Cin Hai
memandang kagum. “Kau hebat sekali, Lopek,” katanya karena selain dia merasa
kagum akan kelihaian kakek ini, juga dia merasa heran mengapa orang Turki ini
fasih sekali berbicara dalam bahasa Han, bahkan tak kalah fasihnya dari pada
Yousuf sendiri. “Kau tentu seorang ahli penangkap ular.”
Kakek Turki
itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bukan, aku bukan penangkap ular, akan
tetapi aku hanyalah seorang ahli pengobatan bangsa Turki yag sederhana pula.”
“Akan tetapi
ilmu kepandaianmu hebat sekali!”
“Tidak ada
sepersepuluh bagian dari pada kepandaianmu, anak muda. Pada saat dunia sedang
kacau balau dan banyak kejahatan merajalela di mana-mana, apa bila kita tidak
memiliki sedikit tenaga, pasti sukar untuk hidup terus.”
Cin Hai
terkejut. Orang ini tentu bukan orang sembarangan, pikirnya. Dia teringat akan
cerita kedua pendeta yang membantu kerajaan. Apakah kakek ini seorang yang
penting dalam rombongan orang Turki yang hendak menyerang Tiongkok? Dia lebih
terkejut lagi ketika tiba-tiba kakek itu berkata,
“Anak muda,
harap kau jangan menyangka yang bukan-bukan! Kau tentulah Si Pendekar Bodoh,
bukan? Aku bukan anggota orang-orang Turki yang akan menyerang negerimu!”
Hampir saja Cin Hai melompat tinggi karena kaget dan herannya.
“Ehhh,
Lopek, kau... bagaimana kau bisa tahu namaku dan bagaimana pula kau dapat
membaca apa yang sedang kupikirkan?”
Kakek itu
tersenyum, lalu membungkuk dan menangkap leher ular yang masih bergerak-gerak,
lalu dengan cekatan sekali ia menggulung tubuh ular itu seperti orang menggulung
sehelai tambang. Lalu ia mencabut rumput alang-alang dan mengikat gulungan
tubuh ular itu dengan eratnya.
Ular ke dua
pun diperlakukan demikian sehingga tak lama kemudian kedua ular itu telah
merupakan dua buah gulungan yang tak bergerak, hanya lidah mereka saja masih
sering kali menjulur-julur keluar. Kemudian dia duduk di atas rumput yang tebal
dan memberi isyarat agar supaya Cin Hai duduk pula di sampingnya. Dengan penuh
keheranan, Cin Hai lalu duduk di sampingnya.
“Taihiap,
aku bisa menduga bahwa kau tentu Sie Cin Hai taihiap, oleh karena di samping
gerakanmu yang lihai ketika kau diserang ular sendok tadi, juga siapakah
orangnya yang pandai bermain suling seperti kau itu? Kau tentu kenal kepada
Yousuf, bukan?”
Cin Hai
mengangguk cepat. “Di mana dia? Bagaimana keadaannya?” tanyanya.
“Dia sudah
diselamatkan dan sekarang berangsur sembuh. Dari dialah maka aku dapat
mengenalmu, karena ia telah menceritakan segala pengalamannya dan
menyebut-nyebut namamu, juga nama lain-lain sahabat baiknya. Berhari-hari dia
mengigau dan menyebut-nyebut nama anak angkatnya Lin Lin, bagaimanakah keadaan
anak itu?”
Cin Hai
merasa girang dapat bertemu dengan orang yang agaknya menjadi sahabat baik
Yousuf. “Lin Lin sudah tertolong dan kini sedang bersama suhu-nya memperdalam
ilmu silatnya,” katanya dan kemudian segera disambungnya, “Siapakah Lopek yang
terhormat dan masih ada hubungan apakah dengan Yo-pekhu?”
“Yousuf
adalah muridku, dan namaku Ibrahim.”
Cin Hai
terkejut sekali mendengar bahwa kakek ini adalah guru Yousuf, maka dia cepat
berdiri dan menjura dengan hormat sekali. “Ah, tidak tahu bahwa aku berhadapan
dengan seorang berilmu tinggi. Maafkan kelancanganku, Locianpwe.”
Ibrahim
melambai-lambaikan tangannya. “Jangan terlalu banyak sungkan, anak muda. Aku
lebih menyukai kesederhanaan, karena hidup ini sudah terlalu kacau dan menjadi
suram karena tertutup oleh kepalsuan segala peradatan dan kesopanan pura-pura!”
Mendengar
ucapan ini, Cin Hai lantas teringat akan suhu-nya, Bu Pun Su, yang agaknya
mempunyai banyak persamaan dengan kakek ini. Juga Bu Pun Su tidak menyukai
segala penghormatan dan kesopanan, serta hidup dengan sederhana sekali. Maka
dia makin menaruh hormat kepada kakek ini yang dapat diduga tentu berkepandaian
tinggi sekali, oleh karena baru muridnya saja, yaitu Yousuf, telah memiliki
ilmu kepandaian yang hebat.
“Locianpwe,
aku mendengar desas-desus tentang pergerakan orang-orang Turki, apakah betul
berita yang kudengar itu?”
Kakek rambut
putih itu menarik napas panjang. “Memang betul, dan inilah yang membuat hatiku
gelisah. Ketahuilah anak muda yang gagah, bahwa pada bangsa Turki telah terjadi
perpecahan, yaitu di antara para pengikut pangeran muda yang memiliki kehendak
untuk memerangi Tiongkok, dan antara pengikut pangeran tua yang tidak
menyetujui kehendak ini. Yousuf dan kawan-kawan kami termasuk golongan pengikut
pangeran tua, maka kami dimusuhi oleh pengikut-pengikut pangeran muda yang
terdiri dari banyak orang gagah di negeri kami, bahkan mereka sudah berhasil
membeli tenaga orang-orang kang-ouw dari bangsa Han sendiri! Bagiku sendiri,
aku sudah merasa bosan dengan segala kekacauan dunia dan aku tidak mau
ikut-ikut, kecuali kalau melihat kejahatan terjadi di depan mata barulah
terpaksa aku harus turun tangan!”
Kemudian
Ibrahim menuturkan betapa Yousuf telah ditolong oleh seorang keponakannya
sendiri dan sekarang berada dalam perawatannya dan tinggal di kota Lan-cou, ibu
kota Kansu. Ketika Cin Hai bertanya mengenai pergerakan orang-orang Mongol,
kakek itu lalu berkata,
“Memang
semenjak dulu, orang-orang Mongol memiliki adat yang tinggi dan memandang
rendah bangsa lain. Mereka agaknya merasa sakit hati dan marah sekali karena
wilayah mereka dilanggar oleh barisan Turki pada waktu orang-orang Turki
mengadakan ekpedisi ke Kim-san-to untuk mencari emas, sehingga kini jago-jago
mereka di bawah perintah Yagali Khan hendak mengadakan pembalasan oleh karena
mereka tahu bahwa di daerah ini banyak terdapat orang-orang Turki. Ahh, memang
di dunia ini banyak sekali terjadi permusuhan yang semata-mata ditimbulkan oleh
sifat ingin menang dan kesombongan kosong! Sie-taihiap, kalau kau berada di
kota Lan-couw, harap kau suka mampir untuk berjumpa dengan Yousuf. Kami tinggal
di luar kota sebelah barat dan apa bila kau keluar dari tembok kota dan
bertanya kepada orang-orang di situ, kiranya tidak ada yang tidak kenal
namaku.”
Setelah
berkata demikian, kakek itu lalu memegang leher kedua ular sendok itu di kedua
tangan, menjura kepada Cin Hai dan sekali melompat dia sudah berada di tempat
yang jauhnya tidak kurang dari sepuluh kaki dan berlari cepat sekali
meninggalkan tepi Sungai Huangho!
Cin Hai
diam-diam merasa kagum sekali. Pertemuan dengan Ibrahim ini menggirangkan
hatinya, oleh karena selain mendengar bahwa Yousuf telah tertolong dan selamat,
juga ia kini semakin terbuka matanya dan dapat mengerti keadaan-keadaan yang
terjadi pada masa itu di daerah Kansu.
Diam-diam
hatinya berdebar tegang apa bila mengingat betapa pada saat itu, di daerah
Kansu terdapat empat rombongan yang berpaham lain dan yang mungkin akan bertemu
dan menimbulkan permusuhan hebat, yaitu golongan pertama ialah golongan
penyelidik Kerajaan Tiongkok, golongan ke dua adalah golongan orang-orang
Mongol, sedangkan golongan ke tiga dan ke empat ialah para pengikut pangeran
tua dan pangeran muda dari Turki!
Cin Hai
duduk lagi di atas rumput sambil melihat air sungai Huangho mengalir. Ia
melihat perahu-perahu nelayan pulang bersama perahu-perahu ikan dan para
nelayan duduk di kepala perahu sambil bernyanyi. Lagu yang mereka nyanyikan
adalah lagu daerah yang sederhana akan tetapi karena enam buah perahu itu semua
ditumpangi oleh orang-orang yang bernyanyi gembira, maka suasana menjadi
gembira sekali dan suara nyanyian itu terdengar merdu!
Bunyi riak
air di bawah kaki Cin Hai seakan-akan ikut berdendang sehingga hati pemuda itu
menjadi gembira sekali. Ia mencabut sulingnya dan bersuling lagi, meniru lagu
yang dinyanyikan oleh para nelayan itu!
Mendengar
bunyi suling yang merdu, para nelayan memandang ke arahnya dan suara nyanyian
mereka terdengar makin bersemangat dan mereka melambai-lambaikan tangan ketika
perahu mereka lewat di depan Cin Hai. Ketika perahu itu telah lalu jauh dan
suara nyanyian mereka telah terdengar sayup sampai, tiba-tiba saja Cin Hai yang
masih meniup sulingnya itu mendengar suara tetabuhan yang mengikuti lagu yang
ditiup!
Ketika ia
memandang, ternyata suara itu keluar dari sebuah perahu yang ditumpangi oleh
seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dan orang itu sedang
memetik semacam alat tetabuhan seperti gitar yang nyaring dan merdu sekali
suaranya!
Laki-laki
itu ternyata hanya duduk sendirian di dalam perahu yang dijalankan oleh tukang
perahu. Agaknya dia adalah seorang pelancong yang menikmati keindahan suasana
dan pemandangan di situ. Sesudah lagu yang dimainkan habis, orang itu lantas
tertawa dan melambai kepada Cin Hai sambil berkata,
“Anak muda,
suara tiupan sulingmu bagus sekali!”
“Masih lebih
bagus suara rebabmu itu!” Cin Hai berkata sambil tertawa juga. Wajah orang yang
tampan itu mendatangkan rasa suka di dalam hatinya. “Saudara yang baik, kalau
kau sudi, naiklah ke sini dan mari kita main bersama,” kata Cin Hai lagi.
“Anak muda,
aku hanya menyukai suara sulingmu, akan tetapi mukamu membuat mataku tak sedap
melihatnya!” jawab orang tua itu yang membuat Cin Hai memandang dengan penuh
keheranan. Mengapa orang ini mendadak menyatakan tidak suka kepadanya? Dia
menjadi penasaran sekali karena jawaban itu benar-benar menyakiti hatinya.
“Ahh,
sayang, adatmu tidak sebaik suara rebabmu!” jawabnya.
Tiba-tiba
orang itu pun berdiri di kepala perahu dan sekali ia gerakkan tubuhnya, ia
telah melompat dari perahu dan dengan rebabnya ia menyambar dan memukul kepala
Cin Hai yang masih berdiri di tepi sungai! Cin Hai terkejut bukan main melihat
hebatnya gerakan ini, maka ia segera mengangkat sulingnya menangkis. Tangkisan
ini membuat orang itu merasa betapa telapak tangannya tergetar, maka sambil
berseru keras ia melompat jauh dan pergi dari situ tanpa menoleh lagi!
Cin Hai
menghela napas. Banyak sekali terdapat orang-orang aneh yang berkepandaian
tinggi di daerah ini. Ia melihat bahwa orang tadi adalah seorang Han dan logat
bicaranya, menunjukkan bahwa orang itu datang dari Tiongkok Selatan.
Yang sangat
mengherankan hatinya adalah mengapa orang yang berwajah tampan dan menyenangkan
hatinya itu ternyata mempunyai adat yang buruk serta hati yang kejam. Kalau
saja bukan dia yang diserang secara demikian, tentu orang yang diserang itu
akan remuk kepalanya!
Dari
tangkisannya tadi ia maklum bahwa orang itu memiliki tenaga yang besar dan ilmu
kepandaian yang tinggi. Tentu dia tak pernah menduga bahwa orang itu bukan lain
ialah Sie Ban Leng, atau pamannya sendiri yang dulu mengkhianati dan
mencelakakan orang tuanya! Dan dia tidak tahu pula bahwa Sie Ban Leng sedang mengikuti
Ang I Niocu yang kebetulan sekali juga berada di kota Ling-sia.
Melihat
betapa Ang I Niocu bermalam dalam sebuah rumah penginapan di dalam kota, Sie
Ban Leng lalu melancong ke luar kota dan menyewa perahu hingga tanpa sengaja ia
bertemu dengan Cin Hai yang mengejutkan hatinya dan yang membuatnya jeri dengan
tangkisan hebat itu!
Cin Hai lalu
kembali ke rumah penginapan dan malam itu ia tidak keluar dari kamar. Ia tidak
tahu bahwa tak jauh dari rumah penginapannya itu, dalam sebuah penginapan lain,
bermalam Ang I Niocu yang telah hampir dilupakannya itu karena disangkanya
telah mati!
Ang I Niocu
sendiri tidak tahu bahwa semenjak dia berpisah dari Kwee An, Ma Hoa, dan
Nelayan Cengeng, dia diikuti oleh Sie Ban Leng yang tergila-gila kepadanya.
Dara Baju Merah ini melanjutkan perjalanan dan ketika tiba di kota Ling-sia,
dia bermalam dalam sebuah hotel tanpa keluar lagi dari situ.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi benar ia telah keluar dari hotel dan segera
melanjutkan perjalanannya menuju ke Lan-cou untuk mencari Lin Lin dan Yousuf,
serta bila mungkin, mencari Cin Hai juga.
Dia telah
mengambil jalan sebelah selatan sehingga tidak dapat bertemu dengan Cin Hai.
Sedangkan Kwee An, Ma Hoa dan Nelayan Cengeng mengambil jalan di sebelah utara,
ada pun Cin Hai yang mengambil jalan di tengah-tengah antara keduanya itu tidak
dapat bertemu pula dengan rombongan ini.
Jalan yang
ditempuh oleh Ang I Niocu dan Cin Hai, bertemu di kota Ling-sia, akan tetapi
mereka mendiami dua buah hotel yang berlainan dan tak dapat bertemu pula!
Ketika Ang I Niocu melanjutkan perjalanan pada pagi hari itu, Cin Hai masih
berada dalam kamarnya!
Hanya
seorang yang memperhatikan keberangkatan Ang I Niocu, malah orang ini segera
mengikuti dengan diam-diam, yaitu Sie Ban Leng yang selalu mengikuti Dara Baju
Merah itu dan mencari kesempatan yang baik untuk menghubunginya.
Ang I Niocu
yang melakukan perjalanan dengan amat cepat, sama sekali tak tahu bahwa secara
diam-diam ada orang yang mengikutinya. Ketika ia tiba di sebuah jalan yang sunyi
dan di kanan-kirinya tampak tanah yang penuh rumput hingga merupakan padang
rumput yang luas, hari telah menjadi senja. Para penggembala tengah menghalau
ternak mereka untuk pulang ke kandang, sehingga di tempat itu ramai suara lembu
menguak dan domba mengembik.
Tiba-tiba,
dari jalan simpang sebelah kiri, muncul dua orang pendeta yang ketika dekat
segera menghadang di tengah jalan sambil memandang pada Ang I Niocu dengan
tajam. Pendeta-pendeta itu bukan lain ialah Sian Kek Losu dan Thai Kek Losu,
jago nomor satu dan nomor dua dari Mongol!
Ang I Niocu
mengenal Sian Kek Losu sebagai pendeta yang pernah bertempur melawan orang
sombong di dalam hutan itu, maka diam-diam dia menjadi terkejut. Dia tidak
peduli terhadap mereka dan hendak berjaIan terus, akan tetapi Sian Kek Losu
segera berkata kepada suheng-nya,
“Inilah
seorang di antara mereka.” kemudian sambil menuding ke arah Ang I Niocu dan
sengaja menghadang jalan gadis itu, dia pun membentak,
“Mata-mata
kerajaan, kau mau lari ke mana?” Sambil berkata demikian, pendeta pendek ini
lalu mengeluarkan gendewanya dan tiba-tiba tiga batang anak panah menyambar ke
arah tubuh Ang I Niocu di bagian leher, dada dan lambung!
Ang I Niocu
telah menyaksikan kelihaian anak panah pendeta pendek ini, maka dengan cepat
dia lalu mengenjot tubuhnya ke atas sehingga tiga batang anak panah itu lewat
di bawah kakinya dengan cepat sekali! Sebatang di antara tiga buah anak panah
itu terus meluncur cepat dan tepat sekali menancap di punggung seekor lembu
hingga binatang itu menguak kesakitan dan berlari menubruk sana-sini,
mengacaukan lembu-lembu dan domba-domba lain yang segera berlari cerai berai!
Para
penggembala menjadi kaget sekali. Mereka segera mengayun cambuk mereka yang
panjang hingga terdengar suara cambuk riuh rendah, dibarengi teriakan-teriakan
mereka dalam usaha menenangkan ternaknya dan mengumpulkan sekalian binatang
yang kini berlari-larian itu!
Ang I Niocu
menjadi marah sekali. “Pendeta pengecut! Kau kira aku takut kepadamu? Rasakan
pembalasan Ang I Niocu!”
Secepat
kilat Ang I Niocu lalu mencabut pedang Cian-hong-kiam pemberian tunangannya dan
maju menerjang pendeta pendek itu! Sian Kek Losu cepat mengangkat gendewanya
dan mereka segera bertempur dengan seru!
Sebagai jago
nomor dua dari Mongol, tentu saja Sian Kek Losu memiliki ilmu silat yang sudah
berada pada tingkat yang tinggi sehingga Ang I Niocu harus mengerahkan seluruh
kepandaiannya. Ia lalu mainkan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan Kiam-hoat, dibarengi dengan
gerakan-gerakan Sianli Utauw yang lihai dan indah.
“Bagus,
bagus sekali!' Thai Kek Losu memuji oleh karena pendeta tua ini merasa kagum
melihat ilmu pedang yang amat indah gerakannya itu.
Ia maklum
bahwa gadis baju merah ini merupakan lawan yang tangguh, apa lagi setelah ia
mendengar bahwa gadis ini bukan lain ialah Ang I Niocu yang telah tersohor
namanya sebagai seorang pendekar wanita yang lihai. Maka sambil berseru keras
dia segera maju menerjang dan membantu sute-nya.
Hati Ang I
Niocu terkejut melihat betapa angin pukulan yang dilakukan dengan kebutan ujung
lengan baju Thai Kek Losu luar biasa sekali. Diam-diam dia mengeluh oleh karena
untuk menjatuhkan Sian Kek Losu saja dia harus mengerahkan seluruh
kepandaiannya, apa lagi sekarang ada seorang pendeta tua yang luar biasa dan
yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi dari pada pendeta pendek
itu. Dia menggigit bibirnya dan mainkan ilmu pedangnya dengan sekuat tenaga.
Pedang
Cian-hong-kiam berkelebat cepat merupakan segulung cahaya berkilauan hingga
seluruh tubuhnya terkurung rapat. Namun, serangan kedua orang pendeta Sakya
Buddha yang berjubah merah itu benar-benar luar biasa, terutama serangan ujung
lengan baju Thai Kek Losu berat sekali menekannya hingga beberapa kali
pedangnya kena disampok sampai lengannya terasa kesemutan.
Pada saat
itu terdengar bentakan orang, “Pendeta-pendeta jahat, jangan kalian berani
mengganggu kawan baikku!”
Dan ketika
seorang laki-laki melompat dan menggunakan senjatanya yang berupa rebab,
tahulah Ang I Niocu bahwa orang ini bukan lain adalah Sie Ban Leng yang
berjuluk Si Tubuh Baja itu. Betapa pun tidak sukanya melihat kesombongan orang
ini, akan tetapi bantuannya yang datang secara tiba-tiba membuat Ang I Niocu
merasa berterima kasih dan bernapas lega.
Dia lalu
memutar pedangnya dan menghadapi Thai Kek Losu yang lihai. Sedangkan Sie Bang
Leng lalu menyerang Sian Kek Losu hingga kedua orang ini bertempur lagi dengan
seru.
Para
penggembala yang melihat pertempuran ini menjadi ketakutan dan sebentar saja
tempat itu menjadi sunyi karena semua ternak telah dihalau dengar buru-buru
oleh para penggembala sehingga kini yang terdengar hanyalah suara rebab Sie Ban
Leng beradu dengan gendewa Sian Kek Losu. Memang dua orang ini memiliki ilmu
kepandaian yang setingkat tingginya hingga pertempuran mereka merupakan
pertempuran yang ramai.
Sementara
itu, Thai Kek Losu merasa kewalahan juga menghadapi kelincahan Ang I Niocu yang
luar biasa, dan tiba-tiba ia berseru keras dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan
senjatanya yang mengerikan, yaitu sebuah tengkorak anak kecil yang terikat oleh
rantai.
Begitu
senjata itu menyambar, Ang I Niocu sudah merasa bergidik bulu tengkuknya dan
gerakan pedangnya menjadi kacau. Tidak saja dari tengkorak itu mengeluarkan bau
yang membuatnya menjadi muak dan pusing, akan tetapi juga tengkorak yang
meringis dan seakan-akan muka anak kecil tengah menangis itu membuat hatinya
lemah dan ngeri.
Sebentar
saja permainan pedangnya menjadi kalut, dan Thai Kek Losu mendesaknya dengan
hebat. Keadaan Ang I Niocu berbahaya sekali, dan hal ini pun mempengaruhi Sie
Ban Leng karena ketika dia melihat betapa gadis yang menggiurkan hatinya itu
terancam bahaya, perhatiannya terpecah dan kesempatan ini dipergunakan oleh
Sian Kek Losu untuk mendesaknya dengan gendewanya yang digerakkan secara luar
biasa.
Seperti
halnya Cin Hai ketika mengadapi Thai Kek Losu, maka tengkorak yang seperti muka
seorang anak-anak sedang menangis itu membuat Ang I Niocu menjadi lemah dan ia
tidak berani menggunakan pedangnya untuk menangkis atau membacok tengkorak itu,
karena hal ini seakan-akan seperti dia membacok kepala seorang kanak-kanak.
Hatinya tidak tega dan berbareng merasa ngeri oleh karena selama hidupnya belum
pernah dia menghadapi sebuah senjata sehebat ini.
Orang yang
sedang mainkan senjata, apa lagi di waktu bertempur menghadapi seorang lawan
tangguh, yang terutama harus berhati tabah, tenang dan seluruh perhatian harus
dicurahkan terhadap pertempuran itu. Dengan demikian, barulah ia akan dapat
berkelahi dengan baik dan sempurna.
Oleh sebab
itu, setelah sebagian besar perhatiannya dikacaukan oleh senjata lawan yang
mengerikan itu, maka ilmu pedang Ang I Niocu menjadi kacau balau dan dia pun banyak
membuat kesalahan-kesalahan. Sementara itu, desakan-desakan Thai Kek Losu
semakin hebat saja! Hanya berkat ketangkasan kaki tangannya yang sudah
diperoleh dari banyak pengalaman berkelahi saja yang membuat Ang I Niocu masih
dapat bertahan selama itu!
Pada saat
keadaan Ang I Niocu sangat berbahaya dan juga Sie Ban Leng ikut terancam pula,
tiba-tiba terdengar suara orang ketawa dan dua bayangan tubuh orang berkelebat
mendatangi lalu tanpa banyak cakap kedua orang ini lalu menyerbu dan membantu
Ang I Niocu dan Sie Ban Leng!
Sesudah
melihat bahwa yang datang membantu ini adalah seorang tosu yang mulutnya mewek
mau menangis bersama seorang hwesio yang mulutnya menyeringai kegirangan, bukan
main herannya hati Ang Niocu. Tak terasa pula ia berseru, “Ceng Tek Hosiang dan
Ceng To Tosu! Bagaimana kalian bisa sampai ke sini? Dari mana Jiwi tiba-tiba
datang?” Akan tetapi sambil berseru demikian Ang I Niocu tetap menggunakan
kegesitan tubuhnya untuk mengelak dari serangan Thai Kek Losu.
“Ha-ha-ha,
Ang I Niocu! Tak nyana kita dapat bertemu kembali di sini!” Ceng Tek Hosiang
menjawab. “Tentu saja pinceng datang dari alam kosong!”
Setelah
menjawab dengan kelakar ini, Ceng Tek Hosiang lantas membantu Sie Ban Leng
menghadapi Sian Kek Losu, ada pun Ceng To Tosu membantu Ang I Niocu menghadapi
Thai Kek Losu!
Biar pun dia
dapat mendesak Ang I Niocu, akan tetapi Thai Kek Losu maklum bahwa dia tak
dapat cepat-cepat menjatuhkan Ang I Niocu yang benar-benar gagah itu, sedangkan
Sian Kek Losu hanya bisa melawan Sie Ban Leng dalam keadaan berimbang saja.
Maka kini melihat datangnya seorang hwesio dan seorang tosu yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi juga, diam-diam Thai Kek Losu menjadi gentar.
Sambil
tertawa bergelak, Ceng Tek Hosiang berkata “Ehhh, dua orang pendeta merah, bukalah
matamu lebar-lebar! Kalian ini anak-anak kemarin sore tapi berani mengganggu
kawan-kawan pinceng? Apakah kalian belum kenal akan kesaktianku? Lihat ini!”
Sambil berkata demikian, hwesio gendut yang selalu tertawa itu mengeluarkan
pisau belatinya yang mengkilap.
Thai Kek
Losu dan Sian Kek Losu bersiap sedia melihat hwesio itu mengeluarkan pisau
belati oleh karena mereka menyangka bahwa pisau itu tentunya akan dilontarkan
ke arah mereka dan menduga bahwa hwesio itu tentu seorang ahli hui-to (golok
terbang). Akan tetapi betapa heran mereka ketika melihat betapa pisau itu
diayun, kemudian ditusukkan ke arah perut yang gendut itu hingga pisau itu
menancap sampai ke gagangnya! Akan tetapi segera keheranan mereka berubah
menjadi terkejut sekali ketika melihat betapa setelah pisau itu dicabut, perut
yang gendut itu sedikit pun tidak terluka!
Berkali-kali
Ceng Tek Hosiang menancapkan ‘pisau wasiatnya’ ke dalam perut sehingga kedua
pendeta Sakya Buddha itu benar-benar merasa heran dan terkejut! Hanya Buddha sendiri
yang dapat memiliki ilmu kesaktian seperti itu!
“Cobalah kau
tiru perbuatanku tadi, kalau kau sanggup, biarlah pinceng mengalah tanpa
berkelahi!” kata Ceng Tek Hwesio sambil melontarkan pisau itu ke arah dada Thai
Kek Losu.
Dengan mudah
Thai Kek Losu menjepit pisau itu dengan dua jarinya. Karena ia merasa
penasaran, ia lalu memeriksa pisau itu seperti apa yang diperbuat oleh Cin Hai
ketika ia bertemu dengan hwesio ini. Ketika dia melihat bahwa pisau itu
benar-benar pisau tulen dan tidak palsu, maka buru-buru dia menjura sambil
berkata,
“Kami yang
bodoh telah bertemu dengan seorang sakti. Maafkan kami!”
Maka ia lalu
melempar pisau itu dengan perlahan ke arah Ceng Tek Hwesio yang ketika
menyambut gagang pisau itu merasa betapa tangannya menjadi tergetar. Akan
tetapi pada saat itu Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu yang merasa gentar
menghadapi hwesio gendut yang mukanya bulat bagai Jai-lai-hud dan yang
kesaktiannya dapat dibandingkan dengan Sang Buddha sendiri itu telah pergi dengan
cepat sekali!
Ang I Niocu
sendiri hanya berdiri bagaikan patung karena heran dan terkejutnya melihat
pertunjukan ini, akan tetapi Sie Ban Leng yang sudah tahu, hanya tertawa
bergelak saja. Sebenarnya, kedua orang pendeta ini masih berada di bawah kekuasaan
Sie Ban Leng, oleh karena ketika Kam-ciangkun memberi perintah kepada mereka
dan perwira-perwira lain, Sie Ban Leng ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi
sekaligus wakil Kam-ciangkun!
Diam-diam
Sie Ban Leng memberi isyarat dengan kedua matanya hingga kedua orang pendeta
itu segera menghampiri Ang I Niocu sambil menjura.
“Apakah
Niocu selama ini baik-baik saja?” kata Ceng To Tosu sambil mewek.
“Terima
kasih, dan atas pertolongan Jiwi, aku tak lupa menyatakan bersyukur dan terima
kasih pula.” Sambil berkata demikian, Ang I Niocu masih saja memandang kepada
Ceng Tek Hosiang dengan kagum dan heran. Kepandaian seperti yang
didemonstrasikan oleh hwesio gendut, biar pun Bu Pun Su sendiri belum tentu
akan sanggup melakukannya!
Setelah
menjura lagi kepada Ang I Niocu dan Sie Ban Leng, kedua pertapa yang sudah
memperoleh perintah untuk pergi dengan isyarat mata dari Sie Ban Leng tadi,
kemudian meninggalkan mereka tanpa banyak cakap lagi.
“Mereka itu
orang-orang aneh,” kata Ang I Niocu.
“Memang,
orang-orang sakti memang bersikap aneh,” Sie Ban Leng berkata sambil maju
mendekati Ang I Niocu dengan senyum yang memikat.
Sebenarnya,
yang mengherankan hati Ang I Niocu dan yang membuat dia menganggap mereka aneh
itu adalah demonstrasi dengan pisau tadi. Dahulu dia pernah bertempur dengan
Ceng Tek Hosiang dan tahu sampai di mana kepandaiannya, mengapa sekarang hwesio
gendut itu dapat memiliki ilmu kesaktian sehebat itu? Kemudian Dara Baju Merah
ini teringat bahwa dia telah ditolong oteh Sie Ban Leng, maka cepat dia menjura
sambil berkata,
“Sie-enghiong
telah menolongku, banyak-banyak terima kasih!”
Sie Ban Leng
membalas penghormatan ini dan berkata sambil tersenyum, “Ahh, Niocu terlalu
merendah dan sungkan. Di antara kita sendiri perlu apa harus berlaku sungkan?
Jika kita tak saling membantu, apakah patut kita disebut orang-orang gagah?
Sebetulnya, kalau aku boleh bertanya, Niocu hendak pergi ke manakah?”
“Aku hendak
pergi ke Lan-couw,” jawab Ang I Niocu sejujurnya.
“Kebetulan
sekali, aku pun hendak ke ibu kota itu. Apa bila tidak menjadi halangan dan
kalau kau sudi, marilah kita jalan bersama-sama agar setiap waktu kalau bertemu
dengan orang-orang jahat, kita dapat saling membantu. Di daerah sekitar sini
memang banyak sekali terdapat orang-orang Mongol yang jahat, dan ada pula
orang-orang Turki yang suka mengganggu bangsa kita.”
Ang I Nocu
merasa serba salah. Ia merasa sungkan untuk jalan bersama orang ini, akan
tetapi, Ban Leng telah menolongnya dan mereka memang setujuan, bagaimana ia
dapat mengeluarkan kata-kata menolak atau menyatakan keberatan?
“Aku tidak
takut segala macarn penjahat, biar bangsa apa pun juga!” jawabnya sambil
memandang tajam. “Akan tetapi kalau tujuan perjalanan kita sama, tiada salahnya
kita jalan bersama.”
Bukan main
girang hati Ban Leng oleh karena kesempatan yang dinanti-nanti itu kini telah
tiba. Ia tidak perlu lagi mengikuti Dara Baju Merah yang telah menawan hatinya
itu! Dan karena Ban Leng memang pandai membawa diri dan cukup cerdik untuk
tidak bersikap sombong dan kurang ajar, malah ia selalu memperlihatkan sikap
sopan dan menghormat terhadap Ang I Niocu, maka gadis itu pun mulai percaya
kepadanya dan menganggapnya sebagai seorang kawan baik.
Ketika Ang I
Niocu secara sambil lalu bertanya kepada Ban Leng tentang keperluannya
mengembara di barat dan pergi ke Kansu, Ban Leng menarik napas panjang kemudian
menjawab,
“Lihiap,
sebetulnya hal ini merupakan rahasia besar dan belum pernah kuceritakan pada
orang lain.” Semenjak Ang I Niocu menyatakan tidak suka disebut ‘Niocu’ maka
Ban Leng lalu mengubah sebutan menjadi ‘Lihiap’.
“Ahh, kalau
memang rahasia, tak perlu pula diceritakan kepadaku,” jawab Ang I Niocu.
“Kepadamu
aku tidak memiliki rahasia sesuatu, Lihiap. Terus terang saja kuberi tahukan
kepadamu bahwa kini aku bekerja untuk kaisar dan kedatanganku ke daerah ini pun
atas perintah kerajaan.”
Ang I Niocu
tercengang. “Ah, kalau begitu kau adalah seorang perwira yang menyamar?”
“Bukan, aku
bukan seorang perwira akan tetapi aku hanya diminta untuk membantu saja,
mewakili pekerjaan Kam-ciangin yang sekarang telah menjadi pemimpin perwira
kerajaan menggantikan kedudukan Beng Kong Hosiang yang sudah tewas. Oleh karena
banyak terjadi hal-hal yang mencurigakan di daerah Kansu ini, dilakukan oleh
orang-orang Turki dan Mongol, maka aku mendapat tugas untuk menyelidiki keadaan
mereka. Bahkan dua orang yang dahulu menolong kita, Ceng Tek Hosiang dan Ceng
To Tosu, juga menjadi pembantu-pembantuku. Kami bekerja dengan cara diam-diam
dan sebelum mendapatkan bukti-bukti, kami tidak mau turun tangan, sesuai dengan
perintah Kam-ciangkun.”
Ang I Niocu
mengangguk-angguk maklum. “Sebenarnya, apakah yang sedang dilakukan oleh
orang-orang Turki dan Mongol itu di daerah ini?”
“Inilah yang
lagi kami selidiki, dan menurut laporan-laporan para pembantuku, memang ada hal
yang amat menarik hati di samping maksud-maksud serombongan orang Turki yang
hendak menyerbu negeri kita. Menurut hasil penyelidikan di daerah Kansu selain
menjadi sumber penghasilan bagi perantau-perantau itu, juga di ibu kota
terdapat harta terpendam yang luar biasa besar nilainya. Harta terpendam inilah
agaknya yang menarik hati jago-jago dari Mongol dan Turki mendatangi tempat ini
dalam usaha mereka untuk mencari dan mendapatkannya.”
Ang I Niocu
merasa tertarik sekali, akan tetapi ia tidak banyak cakap dan diam-diam ia
mengambil keputusan untuk menyelidiki sendiri keadaan ini. Dalam perjalanan
bersama ini, makin lama makin nampak jelas sikap Ban Leng yang sering kali
memandang dengan mata mengandung perasaan hatinya secara terbuka, bahkan dalam
sikapnya juga mudah saja diterka bahwa laki-laki ini ‘jatuh hati’ kepadanya.
Hal ini
tidak dipedulikan oleh Ang I Niocu walau pun ada juga sedikit perasaan iba
dalam hatinya. Entah bagaimana, dalam penglihatannya, kedua mata Ban Leng
mengingatkan dia akan Cin Hai. Sama benar mata Ban Leng ini dengan mata Cin
Hai, sama lebar dan sama tajam, hanya sedikit bedanya kalau Cin Hai
menggerakkan bola matanya dengan tenang hingga nampak seperti orang bodoh, adalah
Ban Leng menggerakkannya dengan lincah, tanda bahwa otaknya bekerja cepat dan
wataknya cerdik.
***************
Sementara
itu, Cin Hai tertinggal dua hari oleh Ang I Niocu karena pemuda ini melakukan
perjalanan dengan seenaknya dan tak tergesa-gesa. Tiap kali melalui bukit, ia
menikmati tamasya alam di daerah itu dan setiap kali melalui dusun atau kota,
ia tentu akan berhenti sebentar, malah kadang kala bermalam untuk mengenal
tempat itu lebih baik. Kehidupan di daerah itu menarik hatinya, terutama
melihat banyaknya macam-macam suku bangsa yang berdiam di tempat itu secara
berkelompok-kelompok.
Pada suatu
hari Cin Hai melihat serombongan orang Turki terdiri dari lima orang berjalan
masuk ke dalam sebuah dusun. Ketika melihat bahwa Wai Sauw Pu, kakek bersorban
itu berada di dalam rombongan tadi, timbul keinginan hati Cin Hai untuk
mengikuti mereka.
Kelima orang
itu masuk ke dalam sebuah pondok dan karena hari itu sudah mulai gelap, dengan
berani dan cekatan Cin Hai melompat ke atas genteng dan bersembunyi di atas
sambil mengikuti. Akan tetapi alangkah kecewanya saat mendengar pembicaraan
mereka dilakukan dalam bahasa Turki yang ia tidak mengerti. Ia hendak
meninggalkan tempat itu, akan tetapi pada saat ia mendengar Wai Suaw Pu
menyebut-nyebut nama Yousuf, ia lalu membatalkan niatnya itu dan terus
mengintai.
Tak lama
kemudian, kelima orang itu yang agaknya menunggu sampai malam tiba, lalu
meninggalkan pondok dan pergi menuju ke sebuah pondok yang terpencil dan berada
di sebelah utara di ujung dusun itu. Wai Sauw Pu lalu mengetuk pintunya dan
sesudah pintu dibuka oleh seorang Turki yang sudah tua, kelima orang itu tanpa permisi
lalu melangkah masuk.
Cin Hai
melihat betapa kedua mata kakek Turki itu terbelalak ketakutan, maka dia segera
melompat naik ke atas genteng dan membuka sebuah genteng melakukan pengintaian.
Cin Hai melihat betapa kelima orang itu melakukan pertanyaan-pertanyaan dengan
wajah bengis, sedangkan kakek itu menjawab dengan takut-takut seakan-akan
kelima orang itu sedang mendesak untuk mengakui sesuatu yang disangkal oleh
kakek itu, sebab ternyata bahwa berkali-kali ia menggeleng-geleng kepala dan
menggoyang-goyangkan tangan.
Kemudian,
agaknya Wai Sauw Pu menjadi marah sekali karena dengan tangan kiri dia memegang
leher baju orang tua itu sambil membentak-bentaknya. Tangan kanannya lalu
menampar sehingga tubuh kakek itu terlempar dan menubruk dinding. Tamparan
tangan Wai Sauw Pu ini keras sekali hingga kakek itu mengeluh dengan suara
perlahan dan tak dapat bangun pula.
Wai Sauw Pu
melangkah maju, hendak menampar pula agaknya. Akan tetapi pada saat itu, sebuah
benda melayang dari atas dan hampir saja mengenai tangannya kalau saja ia tidak
cepat mengelak. Sambaran benda yang ternyata sepotong genteng itu, disusul oleh
melayangnya tubuh Cin Hai dalam pondok, sambil membentak,
“Orang-orang
kejam, jangan menyiksa orang tua yang lemah!”
Bukan main
terkejutnya hati Wai Sauw Pu ketika melihat bahwa yang melayang turun itu
adalah pemuda yang dulu membela Yousuf dan Lin Lin di dalam hutan. Ia telah
merasai kelihaian pemuda ini, maka hatinya menjadi gentar.
Tidak
demikian dengan keempat orang kawannya yang belum mengenal Cin Hai. Maka,
dengan golok di tangan mereka maju menerjang pemuda asing ini.
Cin Hai
cepat-cepat menggerakkan kedua tangannya dan oleh karena kawan-kawan Wai Siauw
Pu itu ternyata memiliki ilmu silat biasa saja, sekali tubuhnya bergerak, dua
batang golok telah dapat dirampasnya dan pemilik-pemilik golok terpelanting
roboh! Dua batang golok yang kini berada di tangan Cin Hai itu tiba-tiba
dilontarkan ke arah Wai Siauw Pu yang segera melompat ke samping.
Sesudah
mengelak dari sambitan golok, kakek bersorban ini langsung melompat melalui
jendela dan lari! Kawan-kawannya juga segera melarikan diri keluar dari pintu,
sedangkan dua orang yang tadi terpelanting jatuh, merayap-rayap dan kemudian
lari pula ke luar. Ternyata bahwa Wai Siauw Pu tidak berani menghadapi Cin Hai
seorang diri saja oleh karena kawan-kawannya adalah orang biasa yang tak dapat
diandalkan tenaganya.
Cin Hai
tidak mau mengejar, hanya menghampiri kakek yang masih rebah di atas lantai
sambil merintih-rintih itu.
“In-kong
(Tuan Penolong)... terima kasih... terima kasih...,” katanya dalam bahasa Han
yang kaku sambil terengah-engah.
Ketika Cin
Hai mengangkat tubuh kakek itu untuk dibaringkan di atas dipan, dia menjadi
kaget sekali oleh karena melihat betapa kepala kakek itu yang tadi terbentur
tembok telah mendapat luka yang besar dan berbahaya sekali.
“Lopek,
mengapa mereka itu memusuhimu?”
“Mereka
adalah pengikut-pengikut… Pangeran muda... kejam dan ganas...” akan tetapi
tiba-tiba wajah yang menyeringai kesakitan itu lalu tersenyum, “akan tetapi
jangan harap akan dapat merampas ini... biar mereka membunuhku sekali pun...”
Ia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam bajunya.” In kong... aku sudah
tua, lukaku juga berat, tiada gunanya kau tolong aku... kalau kau memang
seorang gagah yang berhati mulia... kau tolonglah saja benda ini, jangan sampai
terjatuh ke dalam tangannya...”
Cin Hai
menerima bungkusan itu dengan perasaan kasihan dan terheran. Tiba-tiba saja ia
teringat sesuatu dan bertanya, “Lopek, apakah kau seorang pengikut Pangeran tua
dan kenalkah kau kepada Ibrahim dan Yousuf?”
Mata yang
sudah layu itu bercahaya kembali. “Tentu saja... Yousuf adalah kemenakanku,
kau... kau jagalah benda ini baik-baik... mereka menghendaki benda ini...
bangsa-bangsa itu, agaknya berani mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan benda
ini... In-kong, kau boleh pergunakan benda ini dan... dan selain Yousuf atau
Ibrahim sendiri, jangan berikan benda ini kepada orang lain!”
“Baiklah,
Lopek. Kau tidak keliru memilih, karena terus terang saja, aku adalah seorang
sahabat baik dari Yousuf.”
Wajah kakek
itu berseri, akan tetapi segera berkata, “Pergilah, lekas pergi!”
Pada saat
melihat wajah Cin Hai yang ragu-ragu dan tidak tega meninggalkannya dalam
keadaan demikian, kakek itu berkata lagi, “Pergilah lekas dan jangan kuatirkan
aku... aku dapat merawat diri sendiri...!”
Terpaksa Cin
Hai lantas melompat pergi dari tempat itu dengan benda terbungkus itu di dalam
saku bajunya. Ia tidak tahu bahwa belum lama ia pergi, beberapa bayangan orang
Turki masuk ke dalam pondok itu dan kemudian setelah mereka meninggalkan
pondok, kakek itu telah tak bernyawa pula dengan dada tertusuk pisau!
Sambil
melanjutkan perjalanannya, Cin Hai mencoba untuk melihat apakah gerangan isi
bungkusan yang demikian dikehendaki oleh Wai Sauw Pu dan kawan-kawannya. Benda
itu terbungkus dengan kain kuning dan ketika ia membuka bungkusan itu, ternyata
bahwa isinya hanyalah sebuah tutup cawan terbuat dari pada perak!
Cin Hai
hampir tak dapat menahan gelak tawanya melihat benda ini. Hanya tutup cawan
dari perak yang harganya tidak beberapa banyak! Dia membolak-balik benda itu di
atas telapak tangannya dan memandangnya dengan heran.
Tutup cawan
itu kecil saja, terbuat dari pada perak bakar dan pada mukanya terdapat ukiran-ukiran
berupa bunga-bunga yang tidak dapat disebut indah. Selain ukiran ini, tidak ada
apa-apa lagi yang patut diceritakan pada tutup cawan ini. Kalau saja tidak
teringat akan permintaan kakek itu, tentu Cin Hai sudah melemparkan benda itu
jauh-jauh, karena menurut pendapatnya, apakah harganya sebuah tutup cawan?
Akan tetapi
Cin Hai memiliki watak yang setia dan sifat yang gagah, maka sekali berjanji,
betapa pun juga tentu akan memegang teguh janjinya itu. Maka sambil tersenyum
ia lalu membungkus kembali tutup cawan itu dan memasukkannya kembali ke dalam
saku.
Ketika ia
melanjutkan perjalanannya, mendadak dari belakang terdengar derap kaki kuda dan
ketika enam orang peunggang kuda telah datang dekat, ternyata bahwa mereka itu
adalah Wai Sauw Pu dan kawan-kawannya! Wai Sauw Pu melompat turun dari kudanya
dan menjura kepada Cin Hai yang memandangnya dengan terheran tanpa membalas
penghormatan itu.
“Sicu, kami
harap kau suka mengembalikan tutup cawan itu kepada kami.”
“Apa
maksudmu?” Cin Hai membentak marah. “Aku tidak mempunyai hubungan sesuatu
dengan kalian dan selama hidupku belum pernah aku meminjam atau menerima sebuah
tutup cawan dari kalian!”
Wai Sauw Pu
tersenyum, akan tetapi matanya memandang tajam.
“Sicu, harap
kau maafkan kalau beberapa kali kita bertemu dalam keadaan yang kurang enak.
Sebetulnya kami tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan Sicu atau dengan
kawan-kawan Sicu. Akan tetapi tutup cawan itu adalah barang pusaka kami yang
tercuri oleh kakek tua itu, maka tentu saja Sicu takkan sudi untuk menyimpannya
lebih jauh oleh karena kami tahu bahwa maling tua itu telah memberikannya
kepadamu.”
“Memang
barang itu ada padaku, akan tetapi aku pun telah berjanji kepada kakek tua itu
untuk menyimpannya dan tak boleh memberikannya kepadamu!”
“Jadi Sicu
lebih percaya kepada maling tua yang jahat itu?”
“Maling tua
itu, kalau benar-benar dia maling, tidak lebih jahat dari pada kau beserta kaki
tanganmu!” bentak Cin Hai yang marah pada saat teringat betapa kakek bersorban
yang tinggi besar ini telah memukul kakek itu dengan kejam.
Mendengar
ucapan ini, Wai Sauw Pu menjadi marah sekali dan cepat dia mengeluarkan
senjatanya yang ampuh, yaitu segulung tasbeh dari gading. Juga kawan-kawannya
telah mengeluarkan senjata masing-masing.
Ketika Cin
Hai memandang, ia melihat bahwa di antara semua kawanan itu, terdapat juga Lok
Kun Tojin, tosu yang bersenjata sepasang roda pakai tali itu! Ia maklum bahwa
kali ini dia menghadapi lawan yang tangguh. Apa lagi sekarang dia tidak
mempunyai pedang dan terpaksa harus melawan mereka dengan tangan kosong saja,
paling banyak dengan sulingnya!
“Sicu,
sekali lagi dengarlah kata-kataku. Kau masih muda dan gagah, ada pun di antara
kita tak ada permusuhan sesuatu. Tutup cawan dari perak itu, apakah harganya
bagimu? Apa bila kau suka, kami sanggup mengganti atau menukarnya dengan tutup
cawan dari emas tulen!” kata pula Wai Sauw Pu membujuk.
“Ehh,
sebenarnya, apakah kehendak kalian dengan tutup cawan itu?” tanya Cin Hai. “Aku
mengukuhi benda itu bukan karena ingin memilikinya, akan tetapi hanya karena
aku telah berjanji untuk melindunginya. Ini tidak aneh, akan tetapi kalian ini
yang benar-benar aneh! Mengapa untuk sebuah tutup cawan jelek dari perak kalian
hendak menggantinya dengan sebuah dari emas?”
“Sicu, ini
merupakan urusan dan kepentingan pribadi, kepentingan bangsa kami. Sudah kukatakan
tadi bahwa benda itu adalah barang pusaka kerajaan kami, maka harap Sicu suka
memaklumi hal ini dan mengembalikan barang itu,” kata pula Wai Sauw Pu, bahkan
kawan-kawannya pun memandangnya dengan heran.
“Malaikat
tasbeh! Kau jangan membohongi aku, karena biar pun aku disebut Pendekar Bodoh,
akan tetapi aku bukanlah seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa! Kau tadi
menyebut Kerajaan Turki sebagai kerajaan kalian sedangkan aku tahu bahwa kau
adalah seorang dari Sin-kiang! Bahkan beberapa orang kawanmu ini pun bukan
seorang bangsa Turki. Apakah kau ini seorang belian dari Turki, ataukah
sekarang Sin-kiang telah menjadi tanah jajahan Turki? Ha-ha-ha! Wai Sauw Pu,
peribahasa kuno menyatakan bahwa anak yang melawan orang tuanya adalah seorang
durhaka, tetapi seorang yang mengkhianati negara sendiri adalah orang yang
berbatin rendah sekali! Dan kau tentu tidak suka kalau disebut seorang
pengkhianat negara?”
“Bangsat
bermulut lancang!” Wai Sauw menggerakkan tasbehnya dengan penuh amarah. “Jangan
banyak cakap, pendeknya kau kembalikan benda itu atau tidak?”
”Tidak ada
persoalan menerima dan mengembalikan,” jawab Cin Hai dengan tenang, “Aku tak
pernah menerimanya darimu dan takkan mau pula mengembalikan. Ucapan dan janji
seorang gagah lebih berharga dari pada jiwa, tahukah kau?”
“Keparat!”
Wai Sauw Pu lalu menggerakkan tasbehnya dan menyerang ke arah Cin Hai!
Dengan
sigapnya pemuda ini mengelak. Akan tetapi kawan-kawan Wai Sauw Pu sudah
melompat turun lantas menggerakkan senjata masing-masing mengeroyok Cin Hai
yang bertangan kosong!
Cin Hai
terpaksa mencabut keluar sulingnya karena menghadapi sekian banyaknya orang
lihai dengan bertangan kosong adalah hal yang sangat berbahaya. Walau pun
sulingnya hanya terbuat dari pada bambu tipis, akan tetapi oleh karena dia
mainkan suling itu dalam Ilmu Pedang Daun Bambu, maka ujung sulingnya mengancam
jalan-jalan darah semua lawannya sehingga mereka tidak berani mengurung terlalu
dekat!
Akan tetapi,
tasbeh milik Wai Sauw Pu beserta senjata roda Lok Kun Tojin benar-benar
berbahaya dan tiap kali sulingnya yang ringan itu akan terbentur oleh kedua
senjata itu, sulingnya terpaksa dia gerakkan untuk menghindari benturan ini karena
takut kalau-kalau sulingnya pecah dan rusak!
Sebetulnya
apa bila Cin Hai tidak menguatirkan kerusakan sulingnya, ia tak usah merasa
gentar, oleh karena yang terlihai di antara semua pengeroyoknya hanyalah Wai
Sauw Pu dan Lok Kun Tojin, sedangkan empat orang yang lainnya adalah
orang-orang yang hanya memiliki tenaga besar belaka, akan tetapi tingkat ilmu
silat mereka masih jauh di bawah dia.
Akan tetapi
ia pikir bahwa sebenarnya ia tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan mereka,
maka tidak ada perlunya untuk menewaskan mereka atau melayani mereka lebih lama
lagi. Dia segera memutar-mutar sulingnya dan memainkan tangan kirinya dengan
pukulan-pukulan Pek-in Hoat-sut hingga dua orang pengeroyok dapat dia robohkan
tanpa menderita luka hebat, kemudian dia segera melompat keluar dari kurungan
mereka dan berlari secepatnya meninggalkan tempat itu!
Lawan-lawannya
segera mengejar sambil menunggang kuda. Akan tetapi mereka tidak sanggup
mengejar Cin Hai yang mempergunakan Ilmu Lari Cepat Jouw-sang-hui, hingga sebentar
saja ia telah meninggalkan mereka jauh-jauh!
Akan tetapi
musuh-musuhnya itu tak mau membiarkan dia pergi dengan aman dan sejak saat itu,
Cin Hai selalu merasa bahwa dia diikuti orang! Ke mana juga dia pergi, bahkan
ketika dia bermalam di hotel-hotel ia merasa pasti bahwa dirinya sedang diintai
dan diikuti orang secara diam-diam.
Dia menjadi
sangat jengkel dan mulai merasa betapa tugas yang ditimpakan oleh kakek Turki
itu ke atas pundaknya, bukanlah tugas yang ringan. Dia maklum bahwa pada suatu
saat, orang-orang Turki pengikut pangeran muda itu pasti akan muncul lagi dan
kembali mengeroyoknya dengan tenaga sepenuhnya. Karena itu dia menjadi gelisah
juga, sebab sedikitnya, walau pun dia tidak pernah merasa takut, hal ini
mengganggu tidurnya dan dia tidak dapat menikmati perjalanannya lagi, karena
dia selalu harus berlaku waspada serta hati-hati......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment