Wednesday, July 4, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Bodoh Jilid 25



























        Cerita Silat Kho Ping Hoo
        Serial Pendekar Bodoh

                  Jilid 25


SEMENTARA itu, Cin Hai dan Lin Lin masih terus melakukan perjalanan menuju ke barat, menyusul Bu Pun Su yang menjadi ‘tawanan’ Wi Wi Toanio beserta kawan-kawannya.

Ternyata bahwa Balaki semenjak dikalahkan oleh Cin Hai, lalu melarikan diri dari Yagali Khan dan kemudian ia bergabung dengan Hai Kong Hosiang dan seorang pendeta Sakya Buddha. Ia maklum akan kelihaian Hai Kong Hosiang maka ia lalu menceritakan tentang harta pusaka di daerah Kansu itu dan mengusulkan untuk pergi mencari bersama.

Hai Kong Hosiang yang cerdik itu telah mendapat tahu tentang riwayat Bu Pun Su ketika mudanya, maka mereka lalu mencari dan menjumpai Wi Wi Toanio yang sudah menjadi janda. Melihat bahwa Wi Wi Toanio ternyata juga lihai sekali ilmu kepandaiannya, maka mereka lalu membujuk nyonya tua itu untuk ikut pula mencari harta pusaka dan kemudian atas rencana dan siasat Hai Kong Hosiang yang licin, mereka berhasil menundukkan Bu Pun Su untuk dipergunakan kepandaiannya mencari harta itu!

Cin Hai tidak berani melakukan perjalanan terlalu cepat sehingga ia dan Lin Lin tidak bisa mengejar rombongan yang menawan Bu Pun Su. Maka beberapa hari kemudian, setelah mereka mendekati batas Propinsi Kansu dan beristirahat dalam sebuah hutan menikmati hawa yang nyaman dan buah-buahan yang lezat, tiba-tiba dari jauh mendatangi seorang laki-laki dan ketika orang itu datang mendekat, Cin Hai merasa terkejut sekali hingga tak terasa lagi ia memegang tangan Lin Lin. Ia mengenal baik muka laki-laki yang datang itu, laki-laki muda pesolek yang tampan.

“Song Kun...,” katanya dengan dada berdebar karena dia maklum bahwa pertemuan ini tentu akan menjadi pertempuran hebat!

Sementara itu, Song Kun sudah melihat mereka pula. Mula-mula wajahnya yang tampan melihat dengan terheran-heran karena dia sendiri tidak pernah menyangka akan bertemu dengan gadis yang membuatnya tergila-gila itu bersama Cin Hai, pemuda yang sangat dibencinya dan yang hendak dibunuhnya! Ia memandang ke kanan kiri, kuatir kalau-kalau Bu Pun Su supek-nya itu berada pula di situ, akan tetapi ketika melihat bahwa tidak ada orang lain di situ, bibirnya tersenyum girang dan ia segera menghampiri.

“Ha-ha-ha! Pendekar Bodoh, Pendekar Tolol dan goblok! Sute-ku yang baik budi, kekasih Supek Bu Pun Su! Agaknya kau berdua saja dengan bidadari yang telah lama kurindukan ini. Atau, membawa juga anjing penjagamu yang tua itu?”

Cin Hai dapat menduga bahwa yang dimaki ‘anjing penjaga tua’ itu adalah Bu Pun Su suhu-nya, maka bukan kepalang marahnya hingga debar hatinya yang tadi agak kuatir itu lenyap, terganti dengar debar marah.

“Song Kun! Siapakah yang kau maki itu?”

“Siapa lagi kalau bukan Suhu-mu yang tua dan lebih goblok dari padamu itu?”

“Kurang ajar! Kau kira aku takut kepadamu?”

“Cin Hai, kau telah merasakan kelihaianku, apakah kau belum kapok? Dengarlah, bocah sombong. Aku mempunyai hati yang lemah dan suka menaruh kasihan pada anak-anak kecil. Aku masih ingat bahwa kau adalah Sute-ku sendiri, karena itu aku akan memberi ampun padamu. Pergilah kau dengan aman, dan tinggalkan kekasih hatiku ini. Aku akan menjaganya dan mencintanya dengan baik, lebih baik dari pada kalau kau menjaganya. Kelak bila mana kau ingin menikah, katakan saja kepada Seheng-mu ini gadis mana yang kau sukai, tentu aku membantumu sehingga kau berhasil mendapatkannya!” Ucapan ini dikeluarkan dengan muka sungguh-sungguh sehingga Cin Hai hanya dapat memandang dengan melongo dan tak dapat mengeluarkan kata-kata!

Akan tetapi, sementara itu Lin Lin sudah tidak dapat menahan marahnya lagi. Gadis ini mukanya sampai menjadi pucat karena marahnya hingga dia memandang kepada Song Kun seakan-akan ia hendak meremukkan kepala pemuda pesolek itu dengan pandangan matanya kalau mungkin.

“Bangsat rendah, keparat jahanam! Aku bersumpah hendak membunuh kau!” seru Lin Lin sambil melompat dan mencabut pedang Han-le-kiam, terus menyerang dengan hebatnya!

Song Kun mengelak dengan mudah sambil berkata, “Sayang, jangan kau marah-marah, karena dengan setulus hati aku mencintaimu. Salahkah hatiku kalau tertarik dan runtuh melihat kecantikanmu? Lin Lin, ahhh, namamu indah sekali. Janganlah kau menurunkan tangan kejam kepadaku, sayang!”

Bukan main marahnya Lin Lin mendengar kata-kata ini hingga ia menjerit dan menyerang semakin hebat sambil mengucurkan air mata karena marah dan mendongkol tidak dapat membikin mampus orang itu dengan sekali tusuk! Cin Hai merasa khawatir sekali melihat keadaan Lin Lin, karena dia maklum bahwa kemarahan dan perkelahian akan membuat keadaan Lin Lin makin memburuk saja.

“Lin-moi, mundurlah. Tak perlu kau mengotorkan tanganmu dengan bedebah itu. Biarkan aku yang mengadu jiwa dengan bajingan ini!”

Sambil berkata demikian, Cin Hai lalu mencabut sebatang dari pada sepasang pedang Liong-cu-kiam yang panjang lalu melompat dan menyerang dengan hebat! Sementara itu, dengan hati membakar panas Lin Lin terpaksa melompat mundur lantas berdiri dengan mata berapi.

Song Kun kaget melihat bahwa pedang di tangan Cin Hai mengeluarkan sinar gemilang, maka tanpa membuang waktu lagi ia segera mencabut keluar pedang pusakanya Ang-ho Sian-kiam yang mengeluarkan cahaya merah seperti api itu! Ketika Cin Hai menyerang hebat, Song Kun lalu menyabet dengan pedangnya dengan maksud hendak membuat pedang Cin Hai terbabat putus sekaligus!

“Tranggg…!”

Kedua pedang beradu dan berpancaranlah bunga-bunga api yang menyilaukan mata. Cin Hai merasa betapa telapak tangannya tergetar maka menarik pulang pedang cepat-cepat dan memeriksanya. Dia merasa lega karena pedang Liong-cu-kiam tidak menjadi rusak karena peraduan itu.

Sementara itu, Song Kun yang juga merasa tergetar telapak tangannya, merasa kaget sekali karena pedangnya ternyata tak dapat memutuskan pedang Cin Hai. Ia memandang dengan mata terbelalak marah dan kemudian ia menjadi marah sekali.

“Bangsat! Agaknya kau sudah dapat mencuri pedang pusaka! Baik, jangan kira pedang yang baik saja akan dapat melindungi jiwamu! Hari ini tentu kau akan mampus dalam tanganku!”

Sesudah berkata demikian, Song Kun tiba-tiba menggerakkan pedangnya secara hebat dan ganas sekali sehingga lenyaplah bayangan tubuhnya, menjadi satu dengan cahaya pedangnya yang bercahaya merah api bagaikan segulung api yang dahsyat menyambar-nyambar ke arah tubuh Cin Hai dengan gerakan yang cepat dan luar biasa sekali!

Cin Hai maklum bahwa baru kali ini dia menghadapi lawan yang betul-betul tangguh dan yang kepandaiannya tak berada di sebelah tingkat kepandaiannya sendiri! Bahkan dasar pelajaran mereka datang dari satu sumber. Dia kalah pengalaman, kalah lama berlatih dan dalam hal ginkang, mungkin ia masih kalah cepat oleh Song Kun yang benar-benar memiliki kecepatan yang membuat bayangannya tepat disebut Bayangan Iblis itu!

Akan tetapi Cin Hai tidak menjadi gentar. Betapa pun juga, intisari kepandaian silat belum pernah diturunkan kepada siapa juga oleh Bu Pun Su dan kepandaian itu hanya dimiliki oleh Bu Pun Su sendiri, bahkan sute dari Bu Pun Su yaitu Han Le Sianjin yang menjadi guru Song Kun, juga tidak mempunyai pengetahuan ajaib ini. Maka, pengetahuan tentang dasar-dasar dan pokok-pokok pergerakan ilmu silat inilah yang membuat Cin Hai berhati tenang dan tetap, karena pengetahuan ini dapat menutup kekurangan dan kekalahannya dalam hal ginkang dan pengalaman tadi.

Song Kun merasa penasaran dan marah melihat betapa Cin Hai dapat menahan semua penyerangannya, maka sambil berseru gemas ia pun menggerakkan pedangnya laksana halilintar menyambar-nyambar, dan tangan kirinya juga tidak tinggal diam, akan tetapi ikut mengirim serangan-serangan maut dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut dan lain-lain ilmu pukulan yang mengarah jiwa lawannya.

Akan tetapi Cin Hai tetap berlaku tenang dan mengembalikan setiap pukulan lawannya dengan hati-hati. Dia cukup maklum akan berbahayanya Song Kun, dan maklum pula bahwa sekali saja serangan lawan ini mengenai tubuhnya, maka nyawanya berada dalam bahaya besar. Oleh karena itu, ia berlaku hati-hati sekali dan selain mempertahankan diri, ia juga mengirim serangan balasan yang cukup membuat Song Kun berlaku hati-hati.

Demikianlah, kedua orang muda itu saling serang dan saling gempur bagaikan dua ekor naga sakti saling menyerang dengan mati-matian. Tubuh mereka tak tampak lagi, dan hanya cahaya pedang mereka yang saling gulung dan saling desak dengan hebatnya.

Song Kun memang amat lincah dan cepat, akan tetapi menghadapi Cin Hai yang tenang dan kuat serta yang telah tahu akan semua gerakannya, ia merasa tak berdaya, sungguh pun untuk mengalahkan Song Kun, bagi Cin Hai bukanlah merupakan hal yang mudah. Baik Song Kun mau pun Cin Hai merasa betapa baru sekali itulah selama hidup mereka menghadapi lawan yang benar-benar tangguh dan berimbang, baik kepandaian mau pun tenaga.

Lin Lin memandang pertempuran itu dengan hati kagum sekali. Bagi matanya yang telah terlatih dan menjadi tajam sekali penglihatannya, ia masih dapat melihat gerakan-gerakan kedua orang itu dan diam-diam ia harus mengakui bahwa gerakan Song Kun masih lebih lincah dan cepat, sungguh pun Cin Hai tidak menjadi terdesak karenanya.

Song Kun yang merasa amat penasaran karena setelah bertempur puluhan jurus belum juga dapat mendesak Cin Hai, lalu berseru keras dan tangan kirinya bergerak. Sebuah cahaya merah meluncur dari tangannya itu dan Cin Hai melihat betapa sehelai sabuk merah bergerak bagaikan hidup menyambar ke arah lehernya. Cin Hai cepat mengelak ke kiri, akan tetapi sabuk merah itu dengan lihainya bergerak juga ke kiri seakan-akan bernyawa dan kini mengebut ke arah matanya.

Inilah semacam ilmu kepandaian yang istimewa dari Han Le Sianjin dan sudah diturunkan kepada muridnya itu. Cin Hai belum pernah mempelajari, dan juga karena pergerakan sabuk ini bukan mengandalkan gerakan lengan, akan tetapi mengandalkan pergerakan pergelangan tangan, maka sukar bagi Cin Hai untuk dapat melihat dan mengikuti gerakan lawannya ini.

Setiap pukulan selalu berpusat kepada pundak yang menjadi pangkal lengan. Akan tetapi sabuk ini digerakkan oleh Song Kun dengan cara menggerakkan pergelangan tangannya tanpa mempengaruhi lengan, sehingga kali ini Cin Hai benar-benar tidak dapat menduga lebih dahulu ke mana sabuk lawan itu akan meluncur!

Song Kun maklum pula bahwa Cin Hai tentu sudah mewarisi ilmu kepandaian Bu Pun Su yang sakti, yakni ilmu kepandaian mengenal serta mengetahui segala pokok-pokok dan dasar pergerakan ilmu pukulan, karena itu dia sengaja mengeluarkan sabuknya itu untuk mencapai kemenangan.

Dulu suhu-nya, Han Le Sianjin pernah berkata kepadanya bahwa ilmu kepandaian Bu Pun Su tak ada lawannya di dunia ini oleh karena Bu Pun Su telah memiliki pengetahuan tentang pokok dan dasar ilmu silat, akan tetapi apa bila Bu Pun Su menghadapi senjata yang digerakkan dengan pergelangan tangan seperti senjata sabuk yang lihai itu, tentu Bu Pun Su sendiri tidak akan dapat menduga sebelumnya ke arah mana sabuk itu akan diserangkan!

Cin Hai betul-betul terkejut ketika tahu-tahu sabuk itu telah mengejarnya dan mengancam matanya. Ia tidak mau mengelak lagi, akan tetapi segera mengerjakan Liong-cu-kiam di tangannya untuk membuat putus sabuk yang berbahaya itu. Akan tetapi tiba-tiba saja dia berseru terkejut karena bukan saja pedangnya tidak mampu membabat putus sabuk itu, bahkan sabuk merah itu lalu membelit pedangnya sehingga tak dapat digerakkan lagi!

Lin Lin melihat pula hal ini dengan jelas, maka bukan main kuatir rasa hatinya melihat keselamatan kekasihnya terancam bahaya. Ia menjerit keras dan roboh pingsan! Dalam keadaan seperti itu, Lin Lin lupa akan pantangannya dan menjadi kuatir sehingga racun di dalam tubuhnya menyerang jantung dengah hebat yang membuatnya roboh pingsan.

Sementara itu, ketika sabuk merahnya telah berhasil membelit pedang Cin Hai, Song Kun sambil tertawa mengejek segera menyerang dengan pedang Ang-ho Sian-kiam di tangan kanannya ke arah dada Cin Hai!

Sebetulnya bukan karena pedang Liong-cu-kiam kurang tajam maka tak dapat membabat putus sabuk itu, akan tetapi oleh karena sabuk itu terbuat dari sutera lemas dan sangat ulet hingga tentu saja kalau berada di tangan seorang ahli yang tinggi ilmu lweekang-nya, pedang yang bagaimana tajam pun akan kehilangan dayanya dan takkan bisa membabat putus sabuk itu, biar pun pedang Liong-cu-kiam itu akan membabat putus segala macam senjata besi atau baja.

Biar pun berada dalam keadaan yang amat berbahaya, namun murid Bu Pun Su ini tidak menjadi bingung atau gentar. Secepat kilat dia mencabut pedang Liong-cu-kiam pendek yang masih terselip di punggungnya dan dengan pedang ini di tangan kiri dia menangkis tusukan pedang Song Kun pada dadanya, kemudian dia menggunakan pantulan pedang untuk membabat sabuk yang masih melibat pedang di tangan kanan.

Sekali sabet saja, sabuk itu terputus menjadi dua potong! Ini dapat terjadi oleh karena setelah melibat pedang maka sabuk itu menjadi tertarik dan tertahan oleh pedang yang dilibatnya dan tangan Song Kun yang memegangnya, maka dalam keadaan merentang ini tentu saja dengan mudah sabuk itu dapat dibabat putus!

Song Kun terkejut sekali, akan tetapi, pada saat itu terdengar jeritan Lin Lin yang roboh pingsan. Cin Hai cepat melompat dan setelah melihat kekasihnya roboh pingsan, ia lalu menyimpan pedangnya dan menubruk kekasihnya itu dengan bingung dan cemas.

“Lin Lin... Lin-moi... ahhh, mengapa kau berkuatir...?”

Melihat betapa Cin Hai dengan wajah pucat memeluk Lin Lin dan melihat pula muka gadis itu yang menjadi pucat bagaikan mayat, Song Kun merasa heran dan juga kaget. Ia tadi merasa terkejut sekali melihat betapa dalam keadaan sesulit itu Cin Hai masih dapat menyelamatkan diri bahkan berhasil pula membabat putus pedangnya, maka diam-diam ia merasa amat kagum dan juga sedikit jeri. Kini melihat Lin Lin roboh pingsan bagaikan telah mati, ia merasa kasihan dan berkuatir. Memang di dalam hatinya, ia amat mencinta gadis itu.

“Dia kenapakah...?” tanyanya terheran.

Tanpa menengok, Cin Hai lalu menjawab, “Dia telah terkena racun jahat dari Hai Kong Hosiang, dan dalam seratus hari dia akan mati.”

“Apa...?! Dia tidak boleh mati. Apakah tidak ada obatnya?” tanya Song Kun dengan hati berdebar cemas.

Cin Hai mengangguk. “Hanya ada satu macam obat dan obat itu berada di tangan Hai Kong Hosiang. Untuk itulah maka kami berdua menuju ke barat.”

“Racun apakah itu?”

“Racun Ular Hijau yang jahat dari yang hanya terdapat di daerah Mongol, maka obatnya pun harus dari sana.”

“Tidak, dia tidak boleh mati! Dia harus menjadi isteriku, karenanya dia tidak boleh mati! Cin Hai, biar aku titipkan dulu dia kepadamu dan karena itulah maka kau tidak kubunuh sekarang dan kuberi ampun. Aku hendak mencari obat untuknya dan setelah dapat, aku akan datang menjemput calon isteriku ini!”

Song Kun lalu menyimpan pedangnya dan melompat pergi lalu lari cepat sekali. Cin Hai tidak mempedulikannya, bahkan menengoknya pun tidak oleh karena dia merasa gelisah sekali melihat betapa wajah Lin Lin menjadi agak kebiru-biruan.

Akan tetapi ternyata bahwa serangan racun itu hanya berlangsung sebentar saja dan tak lama kemudian Lin Lin telah siuman kembali. Cahaya merah kembali ke mukanya dan ia membuka matanya. Ketika dia melihat bahwa dia berada dalam pelukan Cin Hai, dia lalu merangkul leher pemuda itu dan terisak menangis.

“Lin-moi, mengapa kau melanggar pantanganmu?”

“Hai-ko, aku tidak ingat akan hal itu, tadi aku terlalu kuatir melihat kau terancam bahaya sehingga aku terlupa bahwa aku tidak boleh berkuatir.”

Cin Hai tersenyum. “Jangan kuatir, Moi-moi. Walau pun harus kuakui bahwa Song Kun memang lihai, akan tetapi aku takkan kalah terhadapnya. Lihat sajalah kalau lain kali dia berani mengganggu kita lagi, akan kuhabiskan nyawanya!”

“Dia di mana, Koko?”

Cin Hai hendak menceritakan apa yang telah terjadi, akan tetapi ia takut kalau-kalau Lin Lin akan merasa berkuatir mendengar betapa pemuda pesolek itu hendak mencari obat baginya dan hendak kembali menjemputnya kelak! Maka dia lalu menjawab, “Setelah aku berhasil membabat putus sabuk merahnya, agaknya dia menjadi jeri dan lalu melarikan diri.”

Lin Lin menarik napas lega dan mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat dengan perlahan dan tidak tergesa-gesa.


                    ***************


Pada suatu hari, seperti biasa, Ang I Niocu berjalan-jalan di depan goa-goa Tung-huang untuk memeriksa keadaan goa tempat harta pusaka itu tersembunyi, dan sekali ini dia dikawani oleh Ma Hoa.

Tiba-tiba dia merasa terkejut sekali ketika melihat beberapa orang Mongol berkerumun di depan goa itu! Dia pun berseru,

“Ma Hoa, celaka, agaknya mereka telah menemukan tempat itu.”

Maka berlari-larilah Ang I Niocu dan Ma Hoa ke tempat itu dan ketika mereka tiba di situ, ternyata bahwa orang-orang itu dipimpin oleh Thai Kek Losu, Sian Kek Losu, Bo Lang Hwesio, dan lain-lain perwira Mongol!

Melihat pihak lawan yang berat dan cukup banyak ini, Ang I Niocu tidak ingin berlaku sembrono, karena ia menduga bahwa biar pun goa itu telah mereka temukan, akan tetapi belum tentu mereka dapat mencari tahu tentang rahasia untuk membuka lubang tempat penyimpanan harta pusaka. Ia lalu menarik tangan Ma Hoa dan diajaknya bersembunyi di balik sebuah gunung karang yang kecil dan mengintai dari situ.

Tidak lama kemudian, dari jurusan lain datanglah serombongan orang yang bukan lain adalah rombongan perwira kerajaan yang dipimpin oleh Kam Hong Sin! Selain panglima yang lihai ini, tampak juga Ceng Tek Hosiang, Ceng To Tosu dan banyak perwira-perwira tinggi lainnya yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang.

Pihak Mongol yang melihat kedatangan para perwira kerajaan itu, segera maju menyerbu sehingga terjadilah pertempuran hebat di depan goa rahasia itu. Ang I Niocu dan Ma Hoa memandang dengan penuh kekuatiran sebab dengan adanya dua fihak yang sama-sama menghendaki harta pusaka itu, maka keadaan lawan makin bertambah berat saja.

“Biar...” bisik Ang I Niocu sambil menggenggam tangan Ma Hoa, “biarkan mereka saling gempur hingga binasa seluruhnya!”

Pertempuran berjalan ramai sekali, karena kedua fihak sama kuat. Kam Hong Sin yang tangguh itu mendapat lawan berat, yaitu Thai Kek Losu, sedangkan Ceng To Tosu harus melawan Sian Kek Losu, dan Ceng Tek Hwesio melawan Bo Lang Hwesio!

Sesungguhnya, di antara ketiga pasangan ini, fihak Mongol lebih kuat, akan tetapi oleh karena pada fihak tentara kerajaan masih terdapat beberapa orang perwira yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mengeroyoknya, maka keadaan mereka menjadi seimbang.

Pada saat Ang I Niocu dan Ma Hoa sedang menonton dengan hati tegang, tiba-tiba saja datang rombongan lain dan ketika mereka memandang, mereka menjadi gembira sekali, karena di dalam rombongan orang itu terdapat Bu Pun Su!

Akan tetapi, kegembiraan mereka segera berubah menjadi keheranan dan kekhawatiran karena ternyata bahwa yang datang bersama Bu Pun Su adalah seorang nenek yang bertelanjang kaki, seorang pendeta Mongol, seorang perwira Mongol, dan juga Hai Kong Hosiang! Melihat Hai Kong Hosiang yang jahat dan yang sangat mereka benci ini berjalan bersama Bu Pun Su, sungguh membuat kedua orang gadis itu berdiri bengong saking herannya!

Melihat pertempuran hebat itu, Bu Pun Su lalu menghampiri mereka dan berseru keras, “Tahan pertempuran ini!”

Suaranya amat nyaring dan berpengaruh hingga Ang I Niocu dan Ma Hoa sendiri yang berdiri di tempat agak jauh juga terkena getaran suara dan terpengaruh oleh gema suara itu. Apa lagi mereka yang sedang bertempur, mendengar suara ini mereka tak terasa lagi segera melompat mundur sambil menahan senjata masing-masing. Mereka memandang kepada kakek itu dengan terheran-heran.

Thai Kek Losu beserta kawan-kawannya yang melihat Balaki datang bersama kakek itu menjadi terkejut, akan tetapi sebelum mereka bertanya, Bu Pun Su telah mendahuluinya dengan ucapan yang halus,

“Kalian ini bertempur bukankah memperebutkan harta pusaka yang tersimpan di dalam goa ini? Bodoh amat! Untuk apa bertempur mengadu jiwa hanya untuk setumpuk harta yang tidak berharga dan yang hanya mendatangkan kekacauan belaka?”

Biar pun sikap Bu Pun Su lemah lembut dan kelihatannya seperti seorang lemah, namun menyaksikan pengaruh yang keluar dari bentakannya tadi, baik pihak Mongol mau pun pihak perwira kerajaan dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang berilmu tinggi.

“Kami yang lebih dahulu mendapatkan tempat ini, akan tetapi perwira-perwira kerajaan hendak merampasnya dari kami!” kata Thai Kek Losu sebagai pembelaan diri.

“Tempat ini termasuk wilayah kerajaan, tidak boleh orang lain memiliki harta pusaka itu selain Kaisar!” kata Kam Hong Sin dengan suara garang.

Bu Pun Su tersenyum kemudian menjawab, “Semua salah! Yang mendapatkan tempat ini bukan orang-orang Mongol dan yang berhak memiliki harta ini bukanlah Kaisar, karena harta ini berasal dari milik rakyat yang dulu dirampok! Dari pada bersitegang dan mencari kebenaran sendiri dengan berperang dan mengorbankan nyawa secara sia-sia, lebih baik diatur begini saja. Kita mengajukan jago-jago untuk mengadu kepandaian dan siapa yang paling pandai, dialah yang berhak memiliki tempat ini!”

“Boleh, bolehl” kata Thai Kek Losu yang merasa bahwa pihaknya lebih banyak memiliki orang-orang lihai. “Kita majukan tiga orang jago masing-masing, dan dari pihak kami, aku majukan tiga orang, yaitu aku sendiri, Sian Kek Losu, dan Bo Lang Hwesio.”

Sambil berkata demikian, Thai Kek Losu menunjuk kepada Sian Kek Losu dan kepada Bo Lang Hwesio, akan tetapi ia merasa heran sekali melihat betapa Bo Lang Hwesio sedang memandang kepada Bu Pun Su dengan wajah pucat!

“Dia... dia adalah Bu Pun Su yang lihai...!” kata Bo Lang Hwesio dengan berbisik hingga Thai Kek Losu yang pernah mendengar nama ini pun menjadi gentar sekali.

“Kam Hong Sin, kau boleh majukan tiga orang jago-jagomu!” Thai Kek Losu menantang kepada perwira itu, akan tetapi Kam Hong Sin membentak marah.

“Aku tidak mau mentaati perintah siapa juga selain perintah dari Kaisar! Betapa pun juga, tak boleh orang-orang menggunakan aturan sendiri seakan-akan di negara ini tidak ada pemerintah!”

Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak dan Hai Kong Hosiang maju ke depan. “Tidak menurut pun tak apa! Pendeknya masing-masing fihak harus mengajukan paling banyak tiga orang jagonya. Fihakku hanya cukup mengajukan seorang jago saja! Ha-ha-ha! Yang tidak merasa gembira untuk ikut dalam pertandingan ini boleh cepat mundur dan jangan mengganggu orang lain!”

Dengan tangannya Thai Kek Losu memberi isyarat kepada Balaki dan memanggil perwira Mongol itu agar datang mendekat. Akan tetapi Balaki hanya tertawa mengejek saja tanpa mempedulikannya.

“Balaki, kau tidak menurut perintahku'?” teriak Thai Kek Losu dengan marah dan heran.

Balaki tertawa. “Siapa yang sudi menurut perintahmu? Aku tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi denganmu!”

Thai Kek Losu dan kawan-kawannya tercengang mendengar ini. “Balaki, kau hendak menjadi pemberontak?”

“Tutup mulutmu!” bentak Hai Kong Hosiang dengan marah.

Pada saat itu, kembali muncul serombongan orang dan ternyata yang kini muncul adalah rombongan orang-orang Turki pengikut Pangeran Muda dengan dipimpin oleh Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin dan ketiga saudara Kanglam Sam-lojin, diikuti pula oleh beberapa orang perwira lain.

Ternyata bahwa Siok Kwat Mo-li beserta kawan-kawannya masih merasa penasaran dan melanjutkan usaha mereka mencari harta pusaka itu dengan mengerahkan orang-orang Turki dan membohongi mereka dengan janji bahwa setelah harta pusaka bisa diperoleh, harta pusaka itu akan diberikan kepada mereka dan dibagi-bagi. Padahal dalam hatinya, Siok Kwat Mo-li dan juga kawan-kawannya itu sama sekali tidak mempunyai niat untuk membagi harta pusaka itu kepada orang-orang Turki.

Melihat kedatangan mereka, Hai Kong Hosiang berkata sambil tertawa, “Nah, sekarang lebih ramai lagi! Siok Kwat Mo-li, kau datang bersama orang-orang Turki ini hendak melakukan apakah?”

“Suheng, aku bersama Lok Kun Tojin, juga kawan Wai Sauw Pu tadinya sengaja datang memenuhi undanganmu hendak membantu, akan tetapi karena kami tidak dapat bertemu dengan kau, maka terpaksa kami mengambil jalan kami sendiri, dan dalam usaha kami itu ternyata bahwa kawan Wai Sauw Pu telah terbinasa dalam tangan pengikut Pangeran Tua dari Turki dan kawan-kawannya.”

“Dan sekarang, kau membawa orang-orang Turki ini dengan maksud apakah? Apa kalian juga hendak mencari harta pusaka itu? Kalau memang demikian kehendakmu, lebih baik kau pulang saja dan bawa kawan-kawanmu itu pergi dari sini, karena harta itu adalah bagianku dan kawan-kawanku, dan kau tidak boleh mengganggu!”

Mendengar ucapan suheng-nya itu, Siok Kwat Mo-li merasa penasaran sekali sebab dulu suheng-nya minta pertolongan dan bantuannya untuk menghadapi lawan-lawannya dan juga untuk mencari harta pusaka itu dengan janji hendak dibagi-bagi, akan tetapi tidak tahunya sekarang suheng-nya itu telah memilih kawan-kawan lain.

Akan tetapi, oleh karena maklum akan kelihaian Hai Kong Hosiang, ia diam saja dan tidak berani membantah. Hanya Lok Kun Tojin yang merasa penasaran dan tentu saja ia tidak mau menerima dengan demikian saja. Ia segera melompat maju menghadapi Hai Kong Hosiang dan membentak keras,

“Hai Kong! Mengingat akan persahabatan di kalangan kang-ouw aku sudah turut turun gunung dengan Sumoi-mu ini karena hendak membantumu untuk sama-sama mencari pusaka berharga. Akan tetapi sekarang kedatangan kami ini tidak kau hargai, bahkan kau hendak mengusir kami. Kau anggap kami ini orang macam apakah? Apakah tanpa kau kami tak dapat mencari sendiri dengan menggunakan kepandaian kami?”

“Ha-ha-ha! Lok Kun Tojin, jangan kau menyombong di hadapanku! Apa bila kau hendak mencari harta pusaka itu, siapakah yang sudi melarangmu? Bahkan kuanjurkan supaya kalian turut pula dalam pertandingan memperebutkan harta itu. Lihatlah, kini semua telah berkumpul dan kita semua telah bermufakat untuk mengajukan masing-masing tiga orang jago. Pihak Mongol telah mengajukan jago-jago mereka, yaitu Thai Kek Losu, Sian Kek Losu, dan Bo Lang Hwesio. Fihak kami mengajukan seorang jago, yaitu kakek jembel ini!” Ia menuding ke arah Bu Pun Su yang berdiri sambil menundukkan kepala. “Akan tetapi sayangnya di fihak perwira kerajaan agaknya tidak berani mengajukan jago-jago mereka. Ha-ha-ha!”

“Hai Kong, jangan kau sombong!“ Kam Hong Sin berteriak dengan muka merah karena marahnya. “Hendak kulihat kalian ini pemberontak-pemberontak rendah hendak berbuat kurang ajar sampai seberapa jauh. Aku tidak sudi mengadakan segala macam perjanjian dengan kalian, dan hendak kulihat siapa yang akan berkeras mengambil harta pusaka itu, pasti akan kuhadapi dengan taruhan jiwaku sebagai seorang petugas setia dari Kaisar!”

Hai Kong Hosiang tertawa bergelak dan berkata, “Kam Hong Sin, baru menjadi panglima besar Kaisar saja kau telah berkepala batu! Kalau saja aku tidak teringat bahwa semua orang telah menyetujui untuk mengajukan jago-jago masing-masing, tentu akan kuhadapi sendiri orang macam kau! Akan tetapi biarlah aku bersabar dulu, dan kalau tidak mau ikut dalam pertandingan ini, biarlah kau menjadi penonton dan boleh kami anggap sebagai saksi! Ha-ha-ha!”

Sementara itu, Lok Kun Tojin dan Siok Kwat Mo-li berbisik-bisik sedang mengadakan perundingan, akhirnya Lok Kun Tojin barkata, “Baik, kami ikut dalam pertandingan ini dan kami mengajukan tiga jago kami, yaitu Siok Kwat Mo-li, aku sendiri, dan Sahali.” Sambil berkata demikian dia menunjuk ke arah Siok Kwat Mo-li dan seorang Perwira Turki yang bertubuh pendek kecil dan berkulit hitam.

“Bagus, bagus! Sekarang akan menjadi ramai!” kata Hai Kong Hosiang sambil tertawa terbahak-bahak.

Sementara itu Bu Pun Su berpikir bahwa gara-gara Hai Kong Hosiang, maka bila mana dilanjutkan, tentu akan terjadi pertandingan hebat dan hal ini tidak dia kehendaki, oleh karena tentu akan banyak terjatuh korban yang terluka hebat atau bahkan binasa. Maka dia segera berkata kepada semua orang dengan suara sembarangan,

“Aku tua bangka jembel hendak bicara dan kalian semua jika akan menganggap bicaraku sebagai suatu kesombongan, apa boleh buat. Dengarkan baik-baik. Untuk menyingkat waktu, kupersilakan semua fihak maju seorang demi seorang dan menghadapi aku orang tua. Kalau saja aku sampai dirobohkan, terluka mau pun binasa, maka kuanggap bahwa pihakku kalah, dan tidak berhak lagi untuk mendapatkan harta benda itu!”

Tentu saja ucapan ini dianggap sombong sekali sehingga semua mata memandangnya dengan penasaran dan marah, kecuali Bo Lang Hwesio yang sudah cukup maklum akan kelihaian Bu Pun Su.

“Kakek tua! Alangkah sombongmu! Kau seorang diri hendak menghadapi jago-jago dari Mongol dan Turki sebanyak enam orang. Meski pun kau tangguh dan lihai, patutkah bagi seorang yang berkepandalan tinggi untuk bersikap sesombong ini?”

Juga Siok Kwat Mo-li yang marah sekali membentak, “Kakek yang mau mampus! Belum pernah selama hidupku mendengar bual seorang sesombong kau! Kau tidak memandang mata kepada kami sekalian!”

Memang, menurut kebiasaan di kalangan kang-ouw, orang-orang yang kepandaiannya sudah tinggi biasanya merendahkan diri, oleh karena mereka selalu berhati-hati menjaga kalau-kalau akhirnya dia kena dijatuhkan orang lain sehingga kesombongannya itu hanya akan menjatuhkan namanya belaka. Makin tinggi kepandaian seseorang, makin pendiam maka makin merendahlah dia.

Karena ini, ucapan Pun Su tadi tentu saja dianggap keterlaluan sekali sehingga membuat mereka merasa penasaran dan marah. Akan tetapi mereka belum mengenal adat Bu Pun Su yang kukoai (ganjil), atau yang sudah pernah mengenalnya juga tak mengetahui betul adatnya itu.

Bu Pun Su tidak biasa menyombongkan kepandaiannya. Baru nama yang dipilihnya saja, yaitu Bu Pun Su yang berarti Tiada Berkepandaian, sudah menunjukkan bahwa dia tidak suka akan segala macam nama kosong belaka. Kalau kali ini ia mengucapkan tantangan yang bersifat sombong, bukanlah semata timbul dari watak sombong, akan tetapi karena ia mengandung semacam maksud, yaitu ingin mencegah terjadinya pertumpahan darah hanya karena memperebutkan harta pusaka belaka!

Melihat kemarahan orang-orang itu, diam-diam Bu Pun Su menjadi gembira sekali karena bahwa maksudnya berhasil baik, maka untuk menambah ‘minyak’ supaya api yang mulai membakar hati mereka itu menjadi makin berkobar dan agar persoalan itu cepat selesai, maka dia lalu menambahkan ucapannya tadi sambil tersenyum,

“Kalau kalian menganggap aku sombong, biarlah, kuakui bahwa aku memang sombong. Kesombonganku barusan itu masih belum seberapa hebat apa bila dibandingkan dengan usulku yang berikut ini. Oleh karena dari pihak kami hanya maju seorang jago dan dari pihak Mongol mau pun pihak Turki diajukan tiga orang jago, maka aku menantang kalian untuk maju berbareng, yaitu tiga orang sekaligus!”

Benar saja, ucapan ini membuat semua orang menjadi bengong sehingga untuk sejenak mereka tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Akhirnya Thai Kei Losu, Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio maju berbareng dengan marah dan mereka ini memandang kepada Bu Pun Su dengan muka merah.

“Bu Pun Su! Aku mendengar namamu dari Bo Lang Hwesio dan sudah sejak lama aku mendengar bahwa Bu Pun Su adalah seorang berilmu tinggi yang sakti dan yang patut disebut Lo-cianpwe (Orang Tua Gagah). Akan tetapi, tidak tahunya Bu Pun Su hanyalah seorang tua bangka yang sudah pikun dan yang telah menjadi gila dan sombong sekali! Baiklah, kau sendiri yang menantang untuk dikeroyok tiga, dan kalau kau tewas di tangan kami, janganlah merasa penasaran karena kau sendiri yang minta mati!”

Dimaki sehebat itu, Bu Pun Su hanya memandang dengan senyum simpul dan dia lalu menjawab, “Baiklah, Robot. Kalau sampai aku Si Tua Bangka ini terbunuh mati di tangan kalian, tak usah kalian memasang meja sembahyang!”

Thai Kek Losu marah sekali dan sekali tangannya bergerak, maka ia telah mengeluarkan senjatanya yang mengerikan, yaitu tengkorak anak-anak yang dipasang tali. Tengkorak itu diputar-putar sehingga dalam pandangan banyak orang seperti kepala seorang anak kecil yang meringis dan suara angin yang masuk dan keluar dari lubang-lubang tengkorak itu terdengar bagaikan suara tangis.

Semua orang langsung bergidik dan merasa ngeri melihat kehebatan senjata ini, akan tetapi Bu Pun Su tersenyum dan berkata, “Losu, mengapa bukan kepalamu sendiri yang kau ikat itu?”

Sementara itu, Sian Kek Losu juga mengeluarkan senjatanya yang tidak kalah lihainya, yaitu sebuah gendewa bertali, senjata yang jarang sekali dapat dimainkan oleh ahli silat, oleh karena memang amat sukar untuk mainkan senjata ini. Akan tetapi apa bila orang sudah dapat memainkan, senjata itu merupakan senjata yang amat sukar dilawan karena lihainya.

Juga Bo Lang Hwesio ikut menarik keluar senjatanya, yaitu sepasang poan-koan-pit yang berbentuk pensil bulu kecil saja, namun sepasang senjata ini merupakan penyambung tangan untuk melakukan serangan tiam-hoat (ilmu menotok jalan darah) kepada lawan dan kelihatan sepasang poan-koan-pit ini memang sudah amat ditakuti orang.

Memang biasanya Bo Lang Hwesio jarang mempergunakan senjata dalam perkelahian, cukup dengan sepasang tangannya ditambah ujung lengan bajunya saja, karena dengan ilmu pukulan tangan kosong saja memang sudah sangat sukar mengalahkan dia. Akan tetapi sekarang ia maklum bahwa biar pun mengeroyok tiga, ia menghadapi seorang sakti yang tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi, maka ia pun sengaja mengeluarkan senjatanya itu.

“Sudah siap?” tanya Bu Pun Su dengan tenang. “Nah, mari kita mulai!”

“Keluarkan senjatamu!” bentak Thai Kek Losu yang sebagai orang berilmu tinggi merasa segan untuk menyerang seorang yang bertangan kosong.

“Eh, Thai Kek Losu, bukalah matamu baik-baik. Bukankah aku sudah siap dengan empat buah senjataku ini?” sambil berkata demikian dia menggerak-gerakkan kedua tangan dan dua kakinya. “Thian telah memberi senjata-senjata yang tiada bandingannya di dunia ini kepada kita, akan tetapi kalian masih saja menanyakan senjata, bukankah itu kurang berterima kasih kepada Thian namanya?”

Bukan main mendongkolnya hati Thai Kek Losu mendengar ini. Ia anggap kakek jembel ini menghina sekali. “Kau mencari mampus sendiri!” teriaknya dan tengkorak kecil di tangannya itu tiba-tiba menyambar ke arah muka Bu Pun Su dengan cepatnya.

Akan tetapi baru saja tengkorak itu bergerak, tubuh Bu Pun Su sudah menyingkir terlebih dulu sehingga serangannya mengenai angin saja. Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio juga maju menyerbu dan sebentar saja Bu Pun Su dihujani serangan-serangan kilat yang amat berbahaya dari tiga orang ahli dan tokoh besar itu.

Bu Pun Su maklum bahwa ketiga orang lawannya ini merupakan orang-orang yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya dan tidak boleh dilawan dengan sembrono, maka dia segera mengerahkan ilmu kepandaiannya yang luar biasa dan menghadapi mereka dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang dimainkan secara luar biasa sekali.

Kalau Cin Hai yang mainkan ilmu silat ini, maka hanya pada dua lengan tangannya saja yang mengebulkan uap putih. Akan tetapi ketika Bu Pun Su yang mengerahkan tenaga dalamnya mainkan ilmu silat itu, tidak hanya kedua lengannya bahkan seluruh tubuhnya mengebulkan uap putih yang melindungi tubuhnya sehingga setiap kali ada senjata lawan mendekati tubuhnya dalam serangan yang dilakukan oleh lawan itu, maka senjatanya itu seakan-akan tertahan oleh semacam tenaga yang luar biasa kuatnya!

Ketiga orang pengeroyok itu menjadi terkejut dan kagum sekali oleh karena selama hidup belum pernah mereka menghadapi seorang lawan yang demikian tangguh, yang dengan bertangan kosong sanggup menghadapi mereka bertiga dan kini ternyata dapat melawan senjata-senjata mereka dengan baiknya. Jangankan menghadapi, bahkan menyaksikan kepandaian yang seperti ini pun baru sekali ini mereka alami.

Akan tetapi, sebagai tokoh-tokoh besar yang berilmu tinggi, mereka merasa malu apa bila memperlihatkan rasa ketakutan, maka mereka memperhebat serangan dan mengerahkan seluruh kepandaian. Tenaga lweekang mereka juga sudah sampai di tingkat yang tinggi, karena itu biar pun beberapa kali senjata mereka kena terbentur dan terpental oleh hawa yang keluar dari gerakan kedua tangan Bu Pun Su, akan tetapi ada beberapa kali pula senjata mereka berhasil memecahkan pertahanan itu dan hanya berkat kelincahan serta ginkang-nya yang luar biasa saja maka Bu Pun Su dapat terhindar dari bahaya maut!

Kalau dia menghendaki, dengan sekali pukulan tangannya yang ampuh, Bu Pun Su akan sanggup menghancurkan tengkorak itu. Akan tetapi oleh karena kakek yang telah banyak pengalaman ini tahu pula bahwa di dalam tengkorak itu tersimpan senjata-senjata rahasia yang mengandung racun berbahaya sehingga kalau tengkorak terpecah, biar pun ia tidak kuatir akan keselamatan dirinya sendiri, akan tetapi takut kalau-kalau senjata rahasia itu akan menewaskan orang-orang lain di sekitar tempat itu, karena itu maka dia tidak berani memukulnya.

Keraguan ini membuat Thai Kek Losu mendapat hati, bahkan menyangka bahwa kakek jembel itu benar-benar merasa gentar terhadap senjatanya. Karena itu ia memutar-mutar senjata lihai itu makin cepat mengarah bagian-bagian berbahaya dari tubuh Bu Pun Su!

Ada pun senjata gendewa di tangan Sian Kek Losu menyambar-nyambar dari atas bagai seekor burung garuda yang menyerang kepala dan tubuh bagian atas. Gendewa itu berat dan menyambar dengan dorongan tenaga yang bukan main besarnya sehingga biar pun Bu Pun Su sudah sangat lihai, akan tetapi sekali saja terkena pukulan gendewa itu pada kepalanya, tentu ia akan mengalami celaka!

Bo Lang Hwesio juga tidak kurang berbahaya. Sepasang poan-koan-pit pada tangannya adalah senjata kecil yang dapat digerakkan cepat sekali mengarah jalan-jalan darah yang paling berbahaya dari tubuh kakek jembel itu.

Melihat kelihaian tiga orang lawannya, Bu Pun Su mengambil keputusan untuk bertindak cepat dan menyingkirkan lawan-lawan ini agar dia tidak membuang waktu terlalu banyak. Tiba-tiba saja dia berseru keras hingga ketiga orang lawannya itu menjadi terkejut karena jantung mereka tergetar oleh gema suara yang hebat ini.

Pada saat itu, tengkorak di tangan Thai Kek Losu sedang melayang dan mengarah ke kepala Bu Pun Su, senjata gendewa Sian Kek Losu dengan gerakan yang hebat sekali menusuk ke arah ulu hatinya, ada pun kedua poan-koan-pit di tangan Bo Lang Hwesio menotok ke arah iganya! Akan tetapi, perasaan kaget tadi sudah membuat mereka agak tercengang sehingga gerakan mereka menjadi lambat.

Bu Pun Su lantas memperlihatkan kelihaiannya yang benar-benar hebat dan sukar untuk dipercaya oleh orang-orang yang menyaksikannya! Kakek jembel itu tidak mengelak dari sambaran tengkorak ke arah kepalanya, bahkan dia lalu mengulurkan tangan kanan serta menggunakan jari telunjuk dan jari tengah untuk menjepit serta menggunting tali pengikat tengkorak itu hingga dengan mengeluarkan suara nyaring tali itu putus dan tengkorak itu telah berpindah ke dalam tangannya!

Pada waktu itu pula sepasang poan-koan-pit sudah mencapai sasarannya dan menotok tepat di bagian iga Bu Pun Su. Akan tetapi, alangkah terkejut dan herannya hati Bo Lang Hwesio ketika dia merasa betapa sepasang poan-koan-pit-nya itu mengenai tempat yang lunak, seakan-akan dia telah menusuk air saja! Dia cepat menarik kembali poan-koan-pit itu dan dengan mata terbelalak dia melihat betapa kedua poan-koan-pit-nya sudah patah dua!

Gendewa di tangan Sian Kek Losu yang lebih berat itu datang paling akhir dan dengan kekuatan luar biasa menyambar ke arah ulu hati Bu Pun Su! Kakek jembel ini sudah tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak, dan agaknya ulu hatinya pasti akan tertembus oleh ujung gendewa yang keras dan kuat itu! Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu meniup ke arah muka Sian Kek Losu.

Pada saat angin tiupan yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang hebat luar biasa itu menyambar mukanya, Sian Kek Losu merasa betapa kulit mukanya menjadi perih dan matanya tak dapat dibuka lagi ! Terpaksa ia memejamkan matanya dan karena terkejut dan sakit, gerakan tusukannya mengendur.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Bu Pun Su untuk menjatuhkan diri ke belakang dan berjungkir balik dengan kaki di atas dan kepala di bawah lalu berdiri lagi dan terlepaslah ia dari ancaman senjata gendewa itu. Sebelum Sian Kek Losu dapat membuka mata, Bu Pun Su sudah melompat maju dan sekali dia mengebutkan tangan ke arah tengah-tengah gendewa itu, patahlah gendewa di tangan Sian Kek Losu!

Bu Pun Su tidak berhenti sampai di situ saja dan sekali tubuhnya berkelebat ke arah tiga orang lawannya, mereka merasa ada tenaga yang besar menyambar ke arah dada, maka mereka terpaksa mengangkat tangan menangkis. Akan tetapi, dengan hati heran mereka melihat Bu Pun Su melompat mundur lagi sambil tertawa girang, sedangkan mereka tidak merasa mendapat pukulan.

Selagi tiga orang itu memandang heran, tiba-tiba saja Hai Kong Hosiang yang tadi berdiri bengong dan bergidik melihat demonstrasi kepandaian yang hebat itu, tertawa bergelak-gelak.

“Ha-ha-ha! Dengan mudah jago kami sudah menjatuhkan ketiga jago dari Mongol! Thai Kek Losu, kau dan kawan-kawanmu telah kalah, maka kalian harus mundur dan memberi kesempatan kepada jago-jago lain untuk mencoba kepandaian mereka!”

Thai Kek Losu memandang dengan marah, “Kami memang sudah kehilangan senjata, akan tetapi itu bukan berarti bahwa kami telah kalah, karena kami belum dirobohkan!”

Hai Kong Hosiang kembali tertawa bergelak. “Manusia goblok dan tidak tahu kebodohan sendiri! Kalian telah mendapat ampun dari jago kami, akan tetapi masih belum mengakui kebodohan sendiri? Lihatlah dadamu, Thai Kek Losu dan kalian juga, Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio!”

Tiga orang pendeta itu melihat ke arah dadanya, dan terkejutlah mereka oleh karena baju mereka pada bagian dada sebelah kiri ternyata sudah berlubang! Mereka menjadi pucat dan bergidik oleh karena ternyata bahwa setelah membalas dengan sekali serangan saja, kakek jembel itu telah berhasil membuat baju mereka berlubang dan kalau saja kakek itu menghendaki, maka untuk membunuh mereka bagi kakek itu sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan sendiri!

“Hebat, hebat sekali!” Thai Kek Losu menarik napas panjang. “Bu Pun Su, kepandaianmu membuat aku merasa takluk dan aku mengaku kalah.”

Sesudah berkata demikian, Thai Kek Losu lantas memberi perintah kepada semua anak buahnya untuk mundur dan dia bersama kawan-kawannya lalu pergi dari situ.

“Thai Kek Losu, kau bawalah senjatamu ini dan jangan gunakan lagi senjata itu karena akhirnya tentu akan mencelakakan dirimu sendiri!” Bu Pun Su berteriak sambil melempar tengkorak itu ke arah Thai Kek Losu.

Thai Kek Losu mengulurkan tangan menyambut tengkorak kecil itu dan berkata sambil tersenyum, “Biar pun aku sudah kalah olehmu, akan tetapi kau tak berhak melarang aku mempergunakan senjata buatanku sendiri!”

Setelah berkata demikian, dengan hati penuh dendam, Thai Kek Losu lalu pergi dengan cepat meninggalkan tempat itu. Dia telah merasa putus harapan oleh karena menghadapi kakek jembel itu dia tak berdaya dan percuma saja kalau dia hendak melanjutkan usaha mencari harta pusaka. Karena itu dia lalu memimpin anak buahnya untuk kembali kepada Yagali Khan membuat laporan.

“Sekarang jago-jago Turki dipersilakan untuk memperlihatkan kepandaiannya,” kata Hai Kong Hosiang yang merasa gembira sekali karena sebagaimana telah dia duga, dengan adanya Bu Pun Su di pihaknya, maka dengan sangat mudah mereka mengalahkan pihak lawan yang hendak memperebutkan harta pusaka itu.

Memang, biar pun tanpa bantuan dari Bu Pun Su, belum tentu dia dan kawan-kawannya yang cukup lihai akan dapat dikalahkan oleh pihak lawan, akan tetapi hal itu merupakan hal yang belum pasti dan juga amat berbahaya.

Siok Kwat Mo-li, Lo Kun Tojin, dan Perwira Turki yang bernama Sahali itu, turut merasa terkejut sekali melihat betapa hebat sepak terjang Bu Pun Su tadi. Akan tetapi sebagai orang-orang berilmu tinggi, tentu saja mereka pun tak sudi menyerah sebelum mencoba.

Sekarang, mendengar ucapan suheng-nya yang telah menipunya, Siok Kwat Mo-li lantas mencabut keluar senjatanya yang sangat lihai, yakni sebatang tongkat hitam, diikuti oleh Lok Kun Tojin yang mengeluarkan sepasang rodanya dan Perwira Turki itu mengeluarkan sepasang golok (siang-to) yang tajam mengkilap.

“Bu Pun Su, jagalah serangan kami!” seru Siok Kwat Moli dengan keras sambil memutar-mutarkan tongkat hitamnya.

“Majulah, majulah!” jawab Bu Pun Su tenang.

Sementara itu, Ang I Niocu dan Ma Hoa yang tadi bersembunyi dan mengintai, ketika menyaksikan pertandingan antara Bu Pun Su dan tiga orang jago tadi, saking tertariknya mereka sudah keluar dari tempat persembunyian dan memandang penuh kekaguman, akan juga dengan keheranan besar mengapa Bu Pun Su bekerja sama, bahkan membela Hai Kong Hosiang yang jahat! Hal ini sungguh-sungguh membuat Ang I Niocu heran dan juga amat penasaran. Akan tetapi ia memang sudah maklum akan adat aneh dari susiok-couwnya itu, maka ia hanya menonton dan tidak berani mengganggunya.

Sebenarnya, kalau mau dibuat pertandingan tentang ilmu kepandaian, maka tingkat ilmu kepandaian jago-jago yang berdiri di pihak Turki ini dengan jago-jago Mongol yang telah dikalahkan tadi, mungkin masih lebih tinggi kepandaian jago-jago Turki ini karena di situ terdapat Siok Kwat Mo-li yang amat lihai, apa lagi senjata Lok Kun Tojin yang merupakan sepasang roda itu sangat berbahaya sekali. Juga Sahali bukanlah seorang lemah karena dia adalah jago yang sudah sangat disegani di Turki dan merupakan tangan kanan yang mendapat kepercayaan penuh dari Pangeran Muda.


Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su


Maka mengingat akan kepandaian sendiri, ketiga orang ini tidak menjadi gentar bahkan mempunyai harapan untuk merobohkan Bu Pun Su dan mendapatkan harta pusaka yang belum pernah mereka lihat itu. Hasil penyelidikan mata-mata mereka membuat mereka tahu bahwa goa tempat di mana harta pusaka disembunyikan itu sudah didapatkan oleh orang-orang Mongol, maka mereka lalu menyerbu ke situ hingga secara kebetulan semua pihak dapat bertemu di depan goa di mana tersembunyi harta pusaka yang diperebutkan.


Bu Pun Su menghadapi ketiga orang lawannya yang baru ini dengan ketenangan yang amat mengagumkan. Dari gerakan-gerakan senjata ketiga lawannya yang mewakili pihak Turki ini, dia segera dapat memaklumi bahwa ilmu silat mereka ini tak kalah lihainya dari kepandaian ketiga lawan yang telah dikalahkan tadi, maka dia berlaku amat hati-hati.

Siok Kwat Mo-li adalah sumoi dari Hai Kong Hosiang yang jahat dan lihai, maka tongkat hitam di tangannya pun berbahaya sekali. Ketika dia membuat gerakan menyerang maka tongkat itu seolah-olah berubah menjadi banyak bagai ular-ular hidup berlenggak-lenggok menyambar ke arah tubuh Bu Pun Su. Ternyata bahwa seperti halnya Hai Kong Hosiang, ilmu tongkatnya berdasarkan ilmu tongkat Jeng-coa Tung-hoat atau Ilmu Tongkat Seribu Ular yang mempunyai gerakan-gerakan luar biasa cepatnya.

Lok Kun Tojin memiliki sepasang senjata roda bertali yang jarang dapat dimainkan orang karena memang amat sukar untuk memainkan senjata macam itu. Akan tetapi di tangan pendeta itu sepasang roda bertali merupakan senjata yang amat ampuh dan berbahaya, yang menyambar-nyambar bagaikan mustika-mustika naga bermain-main di udara.

Perwira Turki bernama Sahali itu adalah tangan kanan Pangeran Muda dan ilmu golok sepasang yang dimainkannya ini hebat dan berbahaya. Dia mempunyai cara bertempur yang aneh dan ilmu silatnya pasti akan membingungkan lawannya karena di Tiongkok tidak terdapat ilmu golok seperti itu. Akan tetapi kini dia menghadapi Bu Pun Su yang mengenal ilmu silat bukan berdasarkan permainannya, akan tetapi berdasarkan gerakan kaki tangan yang bagaimana pun juga mempunyai dasar-dasar yang sama.

Sebagaimana diketahui, rombongan ini tadinya dibantu oleh Wai Sauw Pu yang lihai dan juga Kanglam Sam-lojin. Akan tetapi Wai Sauw Pu sudah tewas di dalam tangan Ibrahim, sedangkan Kam-lam Sam-lojin yang merasa gentar menghadapi lawan-lawannya, sudah melarikan diri dan kembali ke timur, lenyap nafsu mereka untuk ikut mencari harta pusaka itu karena maklum bahwa mereka akan menghadapi lawan-lawannya yang tangguhnya luar biasa. Akan tetapi, Siok Kwat Mo-li dan Lok Kun Tojin yang berilmu tinggi, tidak putus harapan meski pun ditinggalkan oleh kawan-kawannya ini, apa lagi ketika dari pihak Turki yang mereka bantu itu datang pula Sahali yang lihai.

Tadi ketika Bu Pun Su dikeroyok bertiga oleh Thai Kek Losu dan kawan-kawannya, Siok Kwat Mo-li sudah melihat dengan penuh perhatian. Permainan silat Pek-in Hoat-sut yang hebat itu terlihat amat kuat menghadapi lawan dari depan mau pun dari belakang, karena pergerakan kaki tangan secara otomatis berpindah-pindah dan setiap kali bahaya datang dari belakang, tubuh kakek itu dengan mudah membalik ke belakang.

Dalam permainannya, seakan-akan kakek itu mempunyai empat mata, di depan serta di belakang! Dan Thai Kek Losu serta kawan-kawannya yang mengeroyok dari depan dan belakang menjadi tidak berdaya! Siok Kwat Mo-li yang cerdik itu dapat melihat hal ini dan kini dia telah mendapat cara untuk mengeroyok kakek jembel itu maka ia berbisik kepada dua kawannya,

“Kalian menyerang dari sisi kanan dan kirinya, sedangkan aku akan menghadapinya dari depan!”

Kini Bu Pun Su dikeroyok oleh lawan yang mempergunakan bentuk segitiga, yakni dari depan, kanan dan kiri, tidak menyerang dari belakang! Serangan yang dilakukan dari tiga jurusan ini jauh lebih berbahaya dari pada serangan yang dilakukan hanya dari depan dan belakang, karena hanya datang dari dua jurusan, maka diam-diam ia merasa kagum dan memuji kecerdikan nenek bongkok itu. Memang benar, ketika dikeroyok dengan cara demikian, ia akan menderita lelah sekali karena sekarang ia harus membuat lebih banyak gerakan untuk menghadapi ketiga orang lawan itu.

Bu Pun Su adalah seorang sakti yang pada masa itu sukar dicari bandingannya, maka tentu saja tipu muslihat ini tak membuatnya menjadi bingung. Tiba-tiba dia berseru, “Siok Kwat Mo-li, kau betul-betul cerdik. Akan tetapi aku Si Tua Bangka ini tidak memiliki banyak waktu dan tenaga untuk melayani kalian bermain-main!”

Sesudah berkata demikian, Bu Pun Su mengambil sepotong gendewa yang sudah patah milik dari Sian Kek Losu tadi yang kini panjangnya hanya tinggal satu kaki lebih. Biar pun benda itu hanya merupakan sepotong baja bengkok, akan tetapi setelah berada di tangan Bu Pun Su akan merupakan sebuah senjata yang luar biasa ampuhnya. Kakek jembel ini berseru keras dan baja bengkok itu lantas menyambar hebat, merupakan gulungan sinar yang panjang dan dahsyat.

“Lepaskan senjata!” terdengar teriakan nyaring Bu Pun Su dari dalam gulungan sinar itu, sedangkan tubuh kakek itu sendiri lenyap ditelan gulungan sinar senjatanya yang diputar secara luar biasa itu.

Terdengar suara logam beradu keras sekali dan segera disusul oleh pekik kesakitan dan terkejut oleh tiga buah mulut pengeroyoknya. Sepasang golok di tangan Sahali terpental dan melayang ke atas sedangkan dua buah roda dari Lok Kun Tojin juga melayang ke kanan kiri karena talinya telah putus.

Ada pun Siok Kwat Moli yang mempunyai lweekang lebih tinggi dari pada kedua orang kawannya itu, masih sanggup mempertahankan senjatanya sehingga tidak terlepas dari tangannya walau pun kulit telapak tangannya serasa akan pecah. Namun ternyata bahwa tongkatnya itu tak sekuat tangannya sehingga pada saat ia memandang, ternyata bahwa tongkatnya itu sudah putus di tengah-tengah dan kini hanya merupakan sebatang tongkat yang amat pendek saja.

Ternyata bahwa tadi Bu Pun Su telah mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang sangat dahsyat, yang disebutnya Gerakan Halilintar Menyambar Bumi. Kehebatan gerakan ini memang luar biasa sehingga jangankan baru ada tiga orang lawan yang bersenjata, biar pun ada puluhan lawan agaknya takkan ada yang dapat mempertahankan sambarannya ini yang dilakukan dengan tenaga lweekang sepenuhnya!

Siok Kwat Mo-li dan kedua orang kawannya berdiri bengong karena mereka sendiri tidak tahu bagaimana cara kakek itu membuat senjata mereka terpental dan patah-patah. Akan tetapi, nenek bongkok itu menjadi marah sekali dan ketika melihat Bu Pun Su berdiri di depannya dengan tenang, akan tetapi nyata bahwa kakek itu sedang mengatur kembali pernapasannya yang agak tersengal karena tadi telah menggunakan tenaga sepenuhnya sedangkan usianya sudah sangat tua, maka sambil memekik keras Siok Kwat Mo-li lalu mengayun tangannya dan berhamburanlah jarum-jarum hitam ke tubuh Bu Pun Su!

Ang I Niocu dan Ma Hoa terkejut sekali melihat hal ini. Sebagai orang-orang yang sudah mempelajari ilmu silat tinggi, mereka maklum bahwa pada waktu itu Bu Pun Su sedang mengatur napas dan karenanya dilarang membuat gerakan-gerakan besar karena hal ini akan membahayakan keselamatannya.

Ma Hoa dan Ang Niocu memang sangat tertarik melihat pertandingan ke dua yang lebih hebat itu, maka tak terasa pula mereka telah mendekat, dan bahkan Ma Hoa telah berdiri dekat Bu Pun Su, sedangkan Ang I Niocu yang masih merasa takut-takut kepada Bu Pun Su, berdiri agak jauh.

Melihat keadaan Bu Pun Su yang sangat berbahaya itu, Ma Hoa cepat melompat dengan sepasang bambu runcingnya di tangan. Dia melompat ke depan Bu Pun Su dan cepat sekali dia memutar-mutar dua batang bambu runcing itu menangkisi jarum-jarum hitam sehingga semua jarum dapat dipukul runtuh ke atas tanah.

“Ehh, anak lancang, lekas kau mundur! Im Giok, jangan perbolehkan kawanmu ini maju!” kata Bu Pun Su dengan suara perlahan, akan tetapi berpengaruh hingga Ma Hoa menjadi terkejut dan segera melompat kembali ke dekat Ang I Niocu.

Bu Pun Su memandang kepada Siok Kwat Mo-li sambil tersenyum. “Apa bila kau masih merasa penasaran, kau boleh menyerang lagi dengan jarum-jarummu!”

Akan tetapi, Siok Kwat Mo-li yang melihat betapa Ma Hoa dan Ang I Niocu yang telah ia kenal kelihaiannya itu berdiri di situ dan agaknya akan membantu pula kepada Bu Pun Su, merasa bahwa perlawanan dari pihaknya takkan ada gunanya, maka ia memandang dengan mata mengandung penuh kebencian ke arah Ma Hoa, kemudian tanpa berkata sesuatu ia lalu membalikkan tubuhnya dan berlari pergi, diikuti oleh kawan-kawannya dan semua anak buah Turki.

Sekarang keadaan di situ makin sunyi dan hanya tinggal Kam Hong Sin seorang bersama anak buahnya yang masih berdiri di tempat semula. Kam Hong Sin menyaksikan semua pertandingan itu dan diam-diam dia pun sangat kagum terhadap Bu Pun Su. Dia maklum bahwa kepandaiannya sendiri belum ada sepersepuluh bagian kepandaian kakek itu.

Akan tetapi Kam Hong Sin juga terkenal sebagai seorang panglima gagah yang pantang mundur dalam melakukan tugasnya. Sebelum ia dikalahkan, betapa pun juga ia tak mau mengalah begitu saja. Maka ia segera melangkah maju dan menjura kepada Bu Pun Su.

“Locianpwe, sungguh hebat kepandaianmu dan selama hidupku baru kali ini aku melihat kesaktian yang sedemikian hebatnya. Akan tetapi, sebagai seorang utusan Kaisar yang berkuasa, aku melarangmu mengambil harta pusaka yang menjadi hak milik kerajaan itu!”

Bu Pun Su tersenyum dan di dalam hatinya ia mengagumi dan memuji sikap yang gagah berani dari perwira ini.

“Dan bagaimana kalau aku tetap hendak mengambil harta pusaka itu?” tanyanya dengan tenang.

“Terpaksa aku harus menangkap dan menawanmu untuk dibawa ke kota raja!”

Terdengar suara tertawa riuh rendah. Ternyata bahwa yang tertawa itu adalah Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, perwira serta pendeta Mongol yang menjadi kawan-kawannya. Hai Kong Hosiang berkata kepada Balaki, perwira Mongol yang kini menjadi kawannya itu.

“Balaki, kaulihat bagaimana sombongnya perwira yang masih kanak-kanak itu, ha-ha-ha!”

Tiba-tiba Bu Pun Su berpaling kepada mereka dan membentak, “Diam! Perwira ini lebih gagah dan jantan dari pada kalian semua, mengapa mentertawakannya?”

Hai Kong Hosiang beserta kawan-kawannya tercengang mendengar bentakan ini karena mereka benar-benar tidak menyangka bahwa Bu Pun Su akan menjadi demikian marah. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya, di dalam hatinya Bu Pun Su merasa segan untuk melawan perwira yang gagah perkasa dan yang setia akan tugasnya ini.

“Kam-ciangkun,” kata kakek itu kemudian, “lebih baik Ciangkun kali ini mengalah saja dan kembali ke Kota Raja. Biarlah lain kali bila mana ada ketika, aku orang tua akan datang menyatakan maaf.”

“Tidak mungkin, Locianpwe. Tugas kewajiban harus dilaksanakan, biar pun aku terpaksa mempertaruhkan jiwaku. Apa bila Locianpwe hendak melanjutkan usaha mengambil harta pusaka itu, betapa pun juga terpaksa aku harus turun tangan dan menangkapmu.”

“Hmm, kalau begitu, silakan kau maju dan menangkapku kalau kau sanggup, Ciangkun, dan bukalah matamu baik-baik supaya kau tidak melewatkan kesempatan baik ini dengan sia-sia!”

Kam Hong Sin tak mengerti akan maksud ucapan ini, akan tetapi ia tidak merasa gentar dan ketika Bu Pun Su menantangnya untuk menangkap, ia segera mempergunakan ilmu tangkapan tangan yang dulu dia pernah pelajari dari seorang perantau dari seberang laut timur.

Perantau itu datang dari seberang timur dan dalam perantauannya ke daratan Tiongkok, dia sudah bertemu dengan Kam Hong Sin dan memberinya pelajaran silat yang sifatnya seperti Sin-na-hoat. Oleh karena itu, ia memiliki kepandaian yang luar biasa dan sekali ia dapat menangkap kedua lengan orang, maka sukarlah bagi orang itu untuk melepaskan dirinya lagi!

Ketika Kam Hong Sin melangkah maju hendak menangkapnya, Bu Pun Su hanya berdiri tersenyum dan bahkan mengulurkan kedua lengannya untuk ditangkap! Kam Hong Sin merasa heran dan segera menyambar kedua lengan itu untuk terus diputar ke belakang tubuh Bu Pun Su dalam pegangan yang kuat sekali! Gerakan ini demikian cepat hingga tahu-tahu kedua lengan tangan kakek itu telah ditekuk ke belakang punggung dan ikatan belenggu besi pun tidak akan lebih kuat dan meyakinkan dari pada pegangan ini.

“Ciangkun, perhatikan baik-baik!” kata Bu Pun Su.

Kam Hong Sin segera maklum bahwa kakek itu tentu akan menggunakan ilmunya untuk melepaskan diri, maka cepat-cepat ia lalu mempererat pegangannya dan menekuk kedua lengan kakek itu semakin tinggi di atas punggungnya!

Bu Pun Su mengangkat sebelah kakinya lalu ditendangkan ke belakang dengan perlahan sehingga Kam Hong Sin yang berdiri di belakangnya itu tentu saja harus mengelak dari tendangan yang mengarah ke bagian berbahaya dari tubuhnya. Dia miringkan tubuh dan mengganti kedudukan kakinya dan saat inilah yang dipergunakan oleh Bu Pun Su untuk melepaskan diri. Saat Kam Hong Sin mengangkat kaki untuk membuat perobahan posisi kakinya, tiba-tiba Bu Pun Su membungkuk dan sekali Bu Pun Su berseru keras maka tubuh Kam Hong Sin itu terpelanting melewati kepala Bu Pun Su hingga jatuh tunggang langgang!

Sampai tiga kali Kam Hong Sin mencoba menangkap Bu Pun Su dengan mengeluarkan berbagai ilmu menangkap, akan tetapi selalu akibatnya terpelanting dan terbanting jatuh di depan kakek itu. Dan anehnya, ketika terbanting itu, Kam Hong Sin tidak merasa sakit karena tidak terbanting keras dan tiap kali melakukan gerakan untuk melepaskan diri dari tangkapan, Bu Pun Su sengaja berlaku lambat sehingga Kam Hong Sin dapat mengikuti gerakannya dan dapat memahami ilmu gerakan itu hingga seakan-akan mereka bukan sedang bertanding sungguh-sungguh, akan tetapi hanya merupakan latihan saja, yaitu Kam Hong Sin mendapat latihan tiga macam ilmu gerakan yang hebat dari Bu Pun Su!

“Terima kasih atas pengajaran Locianpwe. Saya mengaku kalah dan biarlah kekalahan ini kulaporkan ke Kota Raja.”

Setelah berkata demikian, Kam Hong Sin lalu memimpin anak buahnya untuk kembali ke timur, memberi laporan tentang gagalnya tugas yang dijalankannya! Walau pun ia merasa penasaran dan kecewa, namun diam-diam dia merasa girang karena menerima pelajaran tipu gerakan yang lihai dari kakek sakti itu!

Hai Kong Hosiang tertawa dan sambil menuding ke arah Ang I Niocu dan Ma Hoa, ia pun berkata keras, “Kalian apakah hendak merebut harta pusaka pula? Jika demikian halnya, boleh kalian maju melawan jago kami. Ha-ha-ha,”

Walau pun merasa gemas dan marah, akan tetapi Ang I Niocu dan Ma Hoa tidak berani berlaku sembrono di depan Bu Pun Su. Mereka hanya berdiri bingung dan memandang ke arah kakek itu. Pada waktu Bu Pun Su berpaling kepada mereka, Ang I Niocu segera menjatuhkan diri berlutut.

Akan tetapi sambil mengerutkan keningnya, Bu Pun Su membuat gerakan dengan tangan mengusir mereka dan berkata, “Pergilah, pergilah...”

Ang I Niocu dan Ma Hoa tidak berani membantah dan terpaksa mereka pergi dari sana tanpa berani bertanya apa-apa lagi. Mereka cepat-cepat pulang ke rumah Yousuf untuk menceritakan peristiwa mengherankan ini kepada Nelayan Cengeng dan Yousuf.

Sementara itu, setelah berhasil mengusir semua pihak yang ingin mencari harta pusaka itu, Bu Pun Su lalu membawa kawan-kawannya masuk ke dalam goa itu.

“Inilah goa penyimpanan harta-pusaka itu.” katanya.

“Bu Pun Su, kau berjanji untuk mendapatkan harta pusaka itu, bukan hanya goanya,” kata Hai Kong Hosiang dengan senyum menyeringai.

“Kita harus mencari rahasianya,” keluh kakek jembel itu yang segera mencari-cari.

Ia adalah seorang yang sudah memiliki pengalaman luas, maka meski pun tanpa bantuan peta, dia dapat menduga bahwa patung yang berdiri di dekat dinding itu tentulah bukan sengaja dipasang di sana, karena biasanya patung Buddha itu selalu dipasang di tengah dan di tempat yang khusus untuk menjadi pujaan.

Maka ia lantas menggerak-gerakkan patung itu dan benar saja, terdengar bunyi di bagian atas dan segera tampaklah lubang tempat persembunyian harta itu. Bu Pun Su kemudian menggerakkan tubuhnya dan memasuki lubang kecil itu sebagaimana dilakukan oleh Cin Hai dahulu. Tak lama kemudian, ia turun kembali dan berkata kepada Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio,

“Harta ada di dalam sana, kalian boleh mengambilnya dan sekarang lekas keluarkanlah obat untuk muridku itu!”

“Obat itu tidak ada padaku,” jawab Hai Kong Hosiang.

Bu Pun Su memandang dengan mata bersinar-sinar sehingga Hai Kong Hosiang menjadi takut dan mundur dua langkah.

“Aku tidak membohongimu, Bu Pun Su. Obat itu memang ada, yaitu dalam tangan dukun tua dari Mongol yang juga sudah kami ajak ke tempat ini dan kami sembunyikan di dalam sebuah tempat rahasia di dalam hutan.”

“Lebih dulu bawa aku ke sana untuk mengambil obat, setelah itu kau serahkan kepadaku, barulah kalian boleh mengambil semua harta ini!” Sambil berkata demikian, Bu Pun Su lalu menggerakkan kembali patung itu sehingga lubang tadi tetutup kembali.

“Benarkah harta itu berada di tempat itu?” tanya Wi Wi Toanio kepada Bu Pun Su.

“Wi Wi, aku adalah seorang lelaki sejati. Pernahkah aku membohong?” Bu Pun Su amat mendongkol dan ia kembali menggerakkan patung untuk membuka. “Kau lihatlah sendiri, perempuan curang!”

Wi Wi Toanio tertawa menjemukan lantas melompat ke atas dan memasuki lubang itu. Sampai lama dia tidak keluar hingga Hai Kong Hosiang terpaksa berseru memanggilnya. Akhirnya kepala perempuan itu muncul kembali dan sepasang matanya bersinar-sinar bagaikan seorang yang merasa girang sekali.

“Aduhhh, bukan main hebatnya!” katanya sehingga ucapan yang pendek itu sudah cukup menyakinkan hati Hai Kong Hosiang, Balaki dan kawan-kawannya.

Bu Pun Su menutup kembali lubang itu dan berkata, “Hayo cepat antar aku ke dukun itu untuk mengambil obatnya!”

Mereka lalu membawa Bu Pun Su ke dalam sebuah hutan di luar kota, di mana terdapat sebuah pondok yang terjaga oleh beberapa orang Mongol kawan-kawan Balaki. Namun ketika mereka datang, para penjaga lalu menyambut mereka dengan muka pucat.

“Celaka, baru saja ada seorang muda yang mengacau di sini. Kami semua tidak berdaya terhadapnya, karena ia lihai sekali!”

Hai Kong Hosiang beserta kawan-kawannya, juga Bu Pun Su menjadi terkejut sekali dan mereka segera memburu ke dalam pondok. Dukun tua yang kurus itu sedang duduk di atas bangku sambil menundukkan kepala seperti orang yang mengantuk.

“Muhambi, apakah yang terjadi?” teriak Hai Kong Hosiang dengan kuatir.

“Tak ada apa-apa, hanya seorang pemuda yang memaksaku menyerahkan obat penolak racun dari kembang semut merah itu.”

Hai Kong Hosiang menjadi pucat. “Celaka! Justru obat itulah yang kami butuhkan! Siapa orangnya yang berani merampasnya?”

“Entahlah,” jawab Mahambi, dukun itu. “Ia adalah seorang pemuda tampan yang mengaku bernama Song Kun!”

Mendengar ini, Bu Pun Su menjadi pucat dan ia pun segera berkata, “Wi Wi, dan kau Hai Kong! Aku telah memenuhi janjiku untuk mengusir semua lawan dan mendapatkan tempat disimpannya harta pusaka, akan tetapi ternyata kalian tidak dapat memenuhi janjimu!”

“Sabar dulu, Bu Pun Su,” kata Hai Kong Hosiang yang segera memegang pundak dukun itu sambil mengancam, “Buatkan lagi obat itu untuk kami!”

Mahambi menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah penuh uban. “Aku harus menanti berkembangnya kembang semut merah itu kira-kira setengah tahun lagi.”

“Aku pergi!” kata Bu Pun Su. “Jangan harap kalian akan dapat membawa harta pusaka itu!” Setelah berkata demikian, kakek itu melompat keluar pondok dan lenyap.

Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio sejenak tertegun. Alangkah ingin mereka mengejar dan memaksa Bu Pun Su agar mengambilkan harta pusaka itu. Akan tetapi, apakah daya mereka terhadap kakek sakti itu.


                     ***************


Cin Hai dan Lin Lin yang sedang melakukan perjalanan dengan perlahan dan seenaknya, akhirnya sampai pula di luar batas kota Lan-couw dan di tempat ini mereka lalu berhenti untuk beristirahat dalam sebuah goa di luar hutan.

“Mudah-mudahan Suhu akan berhasil mendapatkan obat itu secepatnya agar hatiku tidak menjadi gelisah sekali,” kata Cin Hai.

“Hai-ko, jangan kau gelisah. Suhu pasti akan bisa mendapatkan obat itu dan andai kata Suhu gagal, aku masih tetap percaya bahwa akhirnya kau akan berhasil menolongku,” kata Lin Lin dengan mata memandang mesra dan penuh kepercayaan.

Melihat kedua orang itu berhenti di dalam goa, tiga ekor burung sakti, yaitu Sin-kong-ciak, Kim-tiauw dan Ang-siang-kiam Si burung bangau, lalu melayang turun dan mengeluarkan suara seakan-akan mereka merasa kecewa, oleh karena bagi mereka tempat itu memang kurang menyenangkan. Tempat itu merupakan tanah tidak berumput, penuh gunung batu karang dan banyak pula goa-goa besar di situ, dengan batu-batu karang bergantungan dari atas merupakan pedang tajam dan di dalam goa pun lantainya dari batu karang yang menyakitkan kaki bila menginjaknya.

Akan tetapi oleh karena panas terik matahari sedang membakar tempat yang gundul tak berpohon itu, maka goa di mana mereka berteduh merupakan tempat yang sangat enak dan melindungi mereka dari serangan matahari yang panas.

“Lin-moi,” kata Cin Hai sambil membelai kepala Sin-kong-ciak yang mendekatinya, “Kalau kita telah beristirahat dan menghilangkan lelah, kita harus segera melanjutkan perjalanan memasuki kota Lan-couw. Betapa pun juga, aku merasa amat gelisah mengingat akan nasib Suhu yang berada dalam pengaruh dan kekuasaan orang-orang jahat seperti Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya.”

“Tenangkanlah hatimu, Hai-ko. Suhu bukan sembarangan orang yang akan mudah dapat dicelakai oleh orang-orang macam Hai Kong itu. Aku yakin sepenuh hatiku bahwa Suhu pasti akan tiba dengan segera membawa obat itu.”

Tiba-tiba Sin-kong-ciak dan kedua burung yang lain itu berteriak keras dan ketiga-tiganya lalu terbang keluar goa sambil memekik-mekik marah. Cin Hai melompat keluar, diikuti oleh Lin Lin.

Mereka terkejut sekali karena melihat bahwa yang datang itu adalah Song Kun! Ketiga burung itu sudah mengenal Song Kun dan sudah mengetahui kelihaiannya, maka mereka hanya terbang rendah sambil mengeluarkan suara teriakan seakan-akan memberi tanda kepada Cin Hai dan Lin Lin agar supaya bersiap menghadapi lawan.

“Obat sudah kudapatkan!” teriak Song Kun dengan wajah berseri. “Cin Hai, adikku yang baik. Sekarang akulah yang berhak membawa gadis ini, karena jiwanya berada di dalam tanganku. Aku telah mendapatkan obat itu dan akulah pula yang berhak mendapatkannya karena hanya aku yang dapat menyembuhkannya!”

Cin Hai menjadi pucat dan dia memandang penuh ketidak percayaan.

“Kau tidak percaya?” kata Song Kun sambil tersenyum dan melirik ke arah Lin Lin. “Inilah obat itu!” Ia mengeluarkan sebotol obat warna merah dari saku bajunya dan mengangkat tinggi-tinggi.

“Song Kun! Betulkah bicaramu itu?” tanya Cin Hai dengan hati berdebar.

“Kau anggap aku ini orang apakah maka bicaraku harus kau ragukan lagi? Dengar, Sute. Obat untuk menyembuhkan Lin Lin hanyalah sebotol ini yang berada di tangan dukun Mongol. Obat inilah yang seharusnya diberikan kepada orang yang berhasil mendapatkan harta pusaka untuk rombongan yang dikepalai oleh Hai Kong Hosiang, demikian menurut dukun Mongol itu. Akan tetapi dengan bersikeras, aku berhasil merampas botol ini, dan segera aku mencari kalian untuk mengobati Lin Lin. Akan tetapi, aku baru memberi obat ini kepada Lin Lin kalau dia mau berjanji untuk menjadi isteriku yang tercinta.” Song Kun berkata demikian sambil mempermain-mainkan botol itu di tangannya dan mengerling ke arah Lin Lin yang menjadi merah mukanya.

“Suheng!” teriak Cin Hai yang merasa girang dan juga kaget. Girang karana ada harapan bagi Lin Lin untuk sembuh kembali akan tetapi, kaget mendengar permintaan dan syarat Song Kun itu.

“Kau tolonglah Lin Lin dan berikan obat itu kepadanya. Kesembuhannya merupakan hal yang terpenting bagiku dan walau pun kau menghendaki jiwaku, akan kuberikan dengan rela asalkan kau suka menyembuhkan Lin Lin. Akan tetapi, janganlah kau memaksanya menjadi isterimu kalau dia tidak suka.”

Song Kun tertawa bergelak, “Sute, kau membolak-balik omonganmu sendiri. Kau tak ingin melihat tunanganmu itu meninggal dan juga tidak ingin melihat ia menjadi isteri orang lain! Cin Hai, apakah kau benar-benar mencinta kepadanya?”

“Tak perlu kau bertanya lagi. Aku rela mengorbankan nyawa untuknya.”

“Kalau benar cintamu itu murni, kau tentu tidak keberatan untuk mengalah padaku. Pilih saja, membiarkan ia sembuh sama sekali dan menjadi isteriku, atau akan kubuang obat ini dan membiarkan dia mati.” Sambil berkata demikian, Song Kun membuat gerakan seolah-olah dia benar-benar hendak melempar botol itu ke dalam jurang batu karang!

Cin Hai menjadi bingung karena dia maklum bahwa seorang macam Song Kun itu bukan hanya pandai menggertak saja, akan tetapi dapat melakukan segala perbuatan yang keji.

"Jangan kau buang botol itu, Suheng! Tentu saja aku lebih suka melihat Lin Lin sembuh kembali!”

“Dan menjadi isteriku?” tanya Song Kun.

“Soal itu terserah kepadanya,” jawab Cin Hai tanpa berani memandang muka kekasihnya.

Lin Lin semenjak tadi mendengarkan percakapan mereka itu dengan hati panas, akhirnya tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Ia melompat berdiri dan mencabut pedang pendeknya.

“Song Kun manusia berbatin rendah! Aku lebih baik seribu kali mati dari pada menjadi isterimu. Buanglah botol itu! Kau kira aku takut mati?” Sambil berkata demikian, dengan kemarahan besar gadis itu lalu menerjang Song Kun dengan pedang pendeknya dalam serangan yang hebat.

Song Kun cepat menyimpan botol itu kembali ke dalam saku bajunya, kemudian segera mencabut pedangnya Ang-ho Sian-kiam untuk menghadapi serangan Lin Lin yang tidak boleh dipandang ringan itu.

Melihat betapa kekasihnya menjadi nekat, Cin Hai cepat-cepat mencabut keluar pedang Liong-cu-kiam dan ikut menerjang sambil berseru, “Song Kun, jangan kau lawan dia yang masih lemah. Akulah lawanmu!” Dengan tikaman hebat dia menyerang yang segera ditangkis oleh Song Kun.

Lin Lin tetap menyerang dan membantu kekasihnya, akan tetapi Cin Hai yang berkuatir melihat kelemahan Lin Lin segera berkata kepadanya, “Lin-moi mundurlah dan biarkan aku menghadapi iblis ini! Aku telah yakin akan perasaan hatimu dan jangan kau kuatir. Kalau perlu, kita akan mati bersama!”

Lin Lin melompat mundur dan membiarkan kekasihnya menghadapi lawan yang baginya terlampau tangguh itu, apa lagi karena dia memang merasa pening dan lemah. Ia berdiri saja memandang dan menyaksikan pertempuran yang berjalan hebat itu.

Sekali lagi dua orang muda yang amat lihai itu mengadu kepandaian di antara batu-batu karang yang menjulang tinggi, disaksikan oleh Lin Lin dan ketiga ekor burung sakti yang hanya beterbangan di atas dan kadang-kadang saja menyambar turun untuk membantu. Akan tetapi, sinar pedang Ang-ho Sian-kiam yang hebat dan mengeluarkan hawa panas itu membuat mereka tidak tahan mendekati Song Kun dan terpaksa hanya beterbangan di atas mereka yang sedang bertempur sambil mengeluarkan pekikan-pekikan nyaring.

Karena hatinya telah bulat untuk merobohkan Song Kun yang dibencinya ini, Cin Hai lalu mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya, hingga ia dapat mendesak Song Kun setelah mereka bertempur selama puluhan jurus dengan hebatnya.

Diam-diam Song Kun merasa terkejut sekali karena kini dia mendapat kenyataan bahwa betul-betul pengertian tentang dasar-dasar ilmu silat membuat Cin Hai menjadi lihai sekali dan dapat mengembalikan setiap serangannya yang bagaimana lihai pun. Juga pedang Liong-cu-kiam di tangan Cin Hai merupakan senjata ampuh yang sanggup mengimbangi kehebatan Ang-ho Sian-kiam yang tadinya merupakan pedang tunggal dan jarang sekali menemukan tandingannya.

Song Kun adalah seorang yang tidak saja pandai dan tinggi ilmu silatnya, akan tetapi dia juga cerdik dan memiliki sifat curang. Melihat kehebatan sepak terjang Cin Hai, tiba-tiba dia menarik keluar botol obat itu dan membuat gerakan seakan-akan hendak melempar obat itu ke jurang.

Gerakan ini tentu saja membuat Cin Hai menjadi pucat, karena betapa pun juga, dia tidak ingin melihat obat tunggal itu dibuang sehingga jiwa Lin Lin tak akan dapat tertolong lagi. Ia menggigil kalau memikirkan bahwa kekasihnya itu akan mati karena racun tanpa dapat ditolong lagi. Botol obat di tangan Song Kun itu nampak olehnya seakan-akan nyawa Lin Lin, maka gerakan Song Kun itu tak dapat tiada membuat ia memekik tanpa terasa lagi, “Jangan lempar botol itu!”

Tentu saja pikiran yang bingung itu membuat gerakan pedangnya menjadi kacau hingga pada saat yang tepat, pedang Ang-ho Sian-kiam di tangan Song Kun menyerang seperti kilat dan menusuk ke arah matanya! Cin Hai cepat menundukkan kepalanya, akan tetapi gerakan itu terlalu cepat sehingga ujung pedang masih menggores kulit jidatnya!

Darah mengucur dari kulit itu, terus mengalir turun di sepanjang hidung dan pipinya. Cin Hai menggunakan lengan baju tangan kiri mengusap mukanya dan pada saat itu kembali pedang Song Kun meluncur dalam suatu serangan yang dahsyat, yaitu dengan bacokan ke arah lehernya.

Serangan ini datangnya tak tersangka-sangka. Karena rasa perih pada jidatnya membuat Cin Hai kurang dapat memperhatikan pergerakan lawan, maka cepat ia lalu menjatuhkan diri ke belakang untuk berjungkir balik sambil menghindarkan diri dari serangan itu, akan tetapi kembali ujung pedang Song Kun masih berhasil melukai kulit pundak kirinya! Darah mengucur lagi dan kini lebih banyak karena sedikit daging di bahunya ikut terpapas oleh pedang yang tajam itu!

Melihat hal ini, tanpa tertahankan pula Lin Lin menjerit dan roboh pingsan karena kembali kekuatiran telah membuat jantungnya terserang racun di tubuhnya!

Melihat keadaan kekasihnya, timbullah kemarahan besar di hati Cin Hai. Ia menjadi nekat dan maklum bahwa menghadapi seorang yang tangguh dan kejam semacam Song Kun, dia tidak boleh merasa khawatir karena betapa pun juga, tentu Song Kun tidak akan mau memberikan obat itu kepadanya.

Karena itu dia lalu menggigit bibirnya dan mempererat pegangan tangan pada pedangnya lalu membentak, “Song Kun, kalau bukan kau, tentu aku yang akan menggeletak tak bernyawa di tempat ini!”

Setelah berkata demikian, Cin Hai lantas mengirim serangan-serangan balasan kilat yang luar biasa hebatnya, karena ia telah mengerahkan seluruh kepandaian dan kecepatannya dan juga menyerang dengan maksud merobohkan dan membunuh lawannya ini. Memang gerakan serangan Cin Hai ini terjadi dengan otomatis.

Dalam keadaan sabar, gerakan Cin Hai menjadi tenang dan kuat. Tetapi kini dia dalam keadaan marah dan menggelora, maka gerakan pedangnya berubah menjadi amat ganas seolah-olah seorang iblis mengamuk! Tiap gerakan pedang merupakan tusukan, tikaman, atau sabetan yang dapat membawa maut!

Song Kun terkejut sekali. Ia berseru sambil menangkis serangan Cin Hai, “Mundur, kalau tidak, benar-benar obat ini hendak kulempar ke jurang,”

Akan tetapi, Cin Hai telah menjadi gelap mata dan tidak mau memikirkan lain hal kecuali merobohkan lawan yang dibencinya ini. Ia tidak menjawab, bahkan segera memperhebat desakannya. Song Kun terpaksa melayani dengan sungguh hati, karena benar berbahaya baginya.

“Benar-benar kulemparkan botol ini!” teriaknya mencoba sekali lagi.

Akan tetapi sekarang Cin Hai tidak dapat digertak lagi. Song Kun menjadi gemas dan dia melompat ke belakang, agak jauh dari Cin Hai. Dengan napas memburu karena menahan marahnya Cin Hai mengejar, akan tetapi ia melihat Song Kun benar-benar melemparkan botol itu ke dalam jurang!

Melihat hal ini, mau tidak mau Cin Hai merasa betapa hatinya menjadi perih seakan-akan melihat Lin Lin meninggal dunia pada saat itu! Ia memekik keras dan ngeri sambil melihat arah botol itu dilemparkan.

Akan tetapi, pada saat itu, dari dalam jurang itu, berkelebat sosok bayangan orang dan tahu-tahu Bu Pun Su telah berdiri di situ dengan botol tadi diangkat tinggi-tinggi.

“Ha, akhirnya obat ini terdapat juga olehku!” katanya girang.

Bukan main girangnya hati Cin Hai melihat ini sehingga tak terasa pula air matanya lalu mengalir turun, bercampuran dengan darahnya yang tadi mengucur keluar dari luka pada jidatnya.

Sementara itu, Song Kun menjadi marah sekali. “Tua bangka!” ia memaki supek-nya. “Kau selalu memusuhi aku dan membela muridmu! Majulah dan mari kita mengadu jiwa di sini!”

Bu Pun Su hanya tersenyum dengan tenang. “Aku tidak sudi mengotorkan tanganku. Cin Hai, kau lawanlah dia!”

Cin Hai yang merasa beruntung sekali seakan-akan melihat Lin Lin bangkit kembali dari alam baka itu, segera memutar pedangnya dan berkata, “Suhu, teecu mohon ijin dan restu untuk mengakhiri hidup manusia iblis ini!”

“Memang kejahatan harus dibalas dengan keadilan, dan orang macam dia ini sudah amat pantas apa bila dibasmi. Laksanakanlah tugasmu menjadi wakil mendiang Susiok-mu dan juga wakilku!” kata Bu Pun Su yang kemudian berdiri dengan tegak dan wajahnya tampak bersungguh-sungguh.

Cin Hai lalu maju menyerang dan terjadilah pertempuran yang lebih hebat dari tadi. Kini keduanya berusaha keras untuk menjatuhkan lawan, dan semua serangan dimaksudkan untuk menewaskan lawan. Pedang Ang-ho Sian-kiam berubah menjadi gulungan cahaya merah, sedangkan pedang Liong-cu-kiam ketika dimainkan, berubah menjadi sinar putih yang terang sekali.

Sinar pedang kedua pihak bergulung-gulung menyelimuti tubuh mereka dan kalau yang menyaksikan pertandingan ini hanya orang-orang biasa, pasti mereka akan merasa heran sekali melihat sinar putih dan merah bergulung-gulung tanpa melihat bayangan orang dan pedang, dan tentu mereka menyangka bahwa dongeng-dongeng tentang para kiam-hiap (pendekar pedang) yang dapat menerbangkan pedangnya yang disebut hui-kiam (pedang terbang) itu memang benar-benar ada!

Akan tetapi, mata Bu Pun Su dapat melihat dengan nyata betapa Cin Hai mulai berhasil mendesak Song Kun yang kini hanya dapat menangkis saja. Biar pun Song Kun menang gesit dan menang pengalaman serta keuletan, tetapi karena pemuda itu selalu menjalani kehidupan sebagai seorang pemogoran yang terlalu banyak pelesir, maka kesehatannya tidak sedemikian sempurna.

Sesudah terdesak oleh Cin Hai dalam sebuah pertempuran yang memakan waktu lama dan mereka telah berkelahi seratus jurus lebih, pada akhirnya dia menjadi lelah dan daya tahannya sudah banyak berkurang. Sebaliknya, Cin Hai yang telah mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, biar pun banyak darah keluar dari dua lukanya, masih tetap segar dan bahkan mendesak makin hebat!

Akhirnya Song Kun terdesak sampai ke pinggir jurang dan ketika kaki kirinya menginjak tempat kosong sehingga tubuhnya terjengkang, secepat kilat Cin Hai menusuk ke arah dadanya. Dia masih berusaha memiringkan tubuh, akan tetapi kurang cepat dan pedang Liong-cu-kiam sudah masuk ke dalam dada kanannya dan tubuhnya lalu terguling masuk ke dalam jurang!

Cin Hai memandang ke dalam jurang yang dalam itu dan melihat betapa tubuh Song Kun itu terguling-guling dan makin lama makin kecil sehingga akhirnya lenyap dari pandangan matanya!

“Bagus, Cin Hai, kepandaianmu sudah banyak maju!”

Cin Hai bagaikan baru sadar dari lamunan dan ia segera berlutut di depan gurunya tanpa dapat mengeluarkan sepatah pun kata. Mereka cepat-cepat menghampiri Lin Lin yang masih pingsan dan Bu Pun Su segera menuangkan isi botol itu ke dalam mulut Lin Lin yang dibuka oleh Cin Hai.

Pemuda itu lalu memondong tubuh Lin Lin, dibawa masuk ke dalam goa supaya jangan terserang panas matahari. Bu Pun Su mengikuti dari belakang. Setelah dengan hati-hati sekali dan penuh kasih sayang Cin Hai meletakkan tubuh kekasihnya di atas batu karang, dia bersama suhu-nya lalu duduk tanpa bergerak mau pun mengeluarkan suara. Seluruh perhatian mereka menuju kepada keadaan Lin Lin, dengan hati penuh harap dan cemas!

Makin lama, wajah Lin Lin yang tadinya nampak pucat itu, makin menjadi merah, bahkan terlalu merah bagaikan orang yang sedang marah! Kemudian Lin Lin membuka kedua matanya dan melihat Bu Pun Su, dia lalu melompat dan bangun berdiri. Kedua matanya yang indah itu memandang marah kepada Bu Pun Su dan tiba-tiba dia sudah mencabut Han-le-kiam, terus menyerang kakek itu!

Tentu saja kejadian ini membuat Bu Pun Su dan Cin Hai terkejut dan heran sekali. Bu Pun Su mengelak dan Cin Hai cepat memburu dan berseru, “Lin-moi, mengapa kau menyerang Suhu?”

“Siapa yang menjadi Suhu-ku? Dia orang jahat! Dia harus dibunuh... lekas kau bantu aku, Hai-ko kekasihku!” Sambil berkata demikian, kembali Lin Lin menyerang Bu Pun Su.

Cin Hai makin terkejut oleh karena selain gadis ini tidak mengenal pula kepada Bu Pun Su gurunya sendiri, juga di depan orang lain gadis ini menyebutnya ‘kekasihku’, satu hal yang belum pernah terjadi! Dengan hati berdebar khawatir, timbul persangkaan di dalam hatinya bahwa kekasihnya ini telah terganggu ingatannya! Maka dia cepat menubruk dari belakang, memeluk pinggang kekasihnya itu dan merampas pedangnya.

“Lin Lin... dia adalah Suhu kita...!” Lin Lin tak berdaya dalam pelukan Cin Hai yang kuat, akan tetapi dia masih memandang ke arah Bu Pun Su dengan mata melotot.

“Lin Lin, aku adalah Bu Pun Su!” kakek jembel itu berkata dengan suara mengharukan karena dia merasa bersedih melihat keadaan muridnya yang terkasih itu.

“Tidak, tidak! Kau laki-laki kurang ajar yang hendak membunuh kekasihku. Pergi... pergi... Kalau tidak, kau akan kubunuh!”

Setelah memaki-maki lagi, akhirnya tubuh Lin Lin menjadi lemas dan ia jatuh pulas dalam pelukan Cin Hai!

Bu Pun Su serta Cin Hai menjadi cemas sekali dan ketika Cin Hai membaringkan tubuh kekasihnya di atas lantai goa, ternyata bahwa jalan pernapasan gadis itu normal dan tak nampak tanda-tanda bahwa kesehatannya terganggu, bahkan ketika dia memeluk Lin Lin yang mengamuk tadi, Cin Hai merasa betapa tenaga gadis itu telah pulih kembali!

“Bagaimana baiknya, Suhu…?” tanya Cin Hai dengan bingung.

“Sabar dan tunggulah saja perkembangannya lebih jauh. Mungkin sekali mereka sengaja memberi obat yang bukan semestinya!”

Tak lama kemudian, Lin Lin terbangun dari tidurnya dan dia memandang sekeliling bagai seorang yang baru saja sadar dari mimpi buruk. Ketika melihat Bu Pun Su, dia lalu maju berlutut dan berseru, “Suhu...!”

Bu Pun Su dan Cin Hai saling pandang dengan mata terbelalak.

“Lin Lin, mengapa tadi kau mengamuk dan menyerang Suhu?” tanya Cin Hai.

Lin Lin memandangnya dengan heran dan menjawab, “Hai-ko, apakah arti pertanyaanmu itu? Aku menyerang Suhu dan mengamuk? Ahh, kau mengimpi barang kali!”

Ternyata bahwa Lin Lin tidak ingat sama sekali, bahwa tadi ia telah menyerang suhu-nya sendiri dan mengamuk bagaikan orang kemasukan setan! Ketika Bu Pun Su memeriksa nadi tangannya, kakek ini mengangguk puas dan untuk melenyapkan rasa penasaran, dia minta gadis itu mainkan ilmu silat dengan pedangnya.

Lin Lin segera mencabut keluar Han-le-kiam dan bersilat di depan guru serta kekasihnya. Mereka berdua merasa kagum karena ternyata gadis ini telah sembuh benar, tenaga dan kegesitannya kembali sedia kala. Akan tetapi kalau mereka mengingat hal tadi, mereka menjadi gelisah juga.

“Cin Hai, marilah kita datangi mereka itu untuk bertanya kepada dukun Mongol mengapa setelah minum obat itu, pikiran Lin Lin menjadi terganggu. Lin Lin, kau menantilah saja di sini, dengan kembalinya tenaga dan kepandaianmu kami tidak perlu kuatir meninggalkan engkau seorang diri di sini. Apa lagi kau dikawani oleh tiga burung sakti itu.” kata Bu Pun Su yang segera bersuit nyaring memanggil Merak Sakti dan kawan-kawannya.

Tiga ekor burung besar melayang turun dan masuk ke dalam goa itu.

“Kalian bertiga jagalah baik-baik pada Lin Lin!” kata Bu Pun Su kepada tiga burung itu.

Kemudian ia bersama Cin Hai lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu untuk mencari keterangan kepada dukun Mongol.
























Terima kasih telah membaca Serial ini

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12