Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 25
SEMENTARA
itu, Cin Hai dan Lin Lin masih terus melakukan perjalanan menuju ke barat,
menyusul Bu Pun Su yang menjadi ‘tawanan’ Wi Wi Toanio beserta kawan-kawannya.
Ternyata
bahwa Balaki semenjak dikalahkan oleh Cin Hai, lalu melarikan diri dari Yagali
Khan dan kemudian ia bergabung dengan Hai Kong Hosiang dan seorang pendeta
Sakya Buddha. Ia maklum akan kelihaian Hai Kong Hosiang maka ia lalu
menceritakan tentang harta pusaka di daerah Kansu itu dan mengusulkan untuk
pergi mencari bersama.
Hai Kong
Hosiang yang cerdik itu telah mendapat tahu tentang riwayat Bu Pun Su ketika
mudanya, maka mereka lalu mencari dan menjumpai Wi Wi Toanio yang sudah menjadi
janda. Melihat bahwa Wi Wi Toanio ternyata juga lihai sekali ilmu
kepandaiannya, maka mereka lalu membujuk nyonya tua itu untuk ikut pula mencari
harta pusaka dan kemudian atas rencana dan siasat Hai Kong Hosiang yang licin,
mereka berhasil menundukkan Bu Pun Su untuk dipergunakan kepandaiannya mencari
harta itu!
Cin Hai
tidak berani melakukan perjalanan terlalu cepat sehingga ia dan Lin Lin tidak
bisa mengejar rombongan yang menawan Bu Pun Su. Maka beberapa hari kemudian,
setelah mereka mendekati batas Propinsi Kansu dan beristirahat dalam sebuah
hutan menikmati hawa yang nyaman dan buah-buahan yang lezat, tiba-tiba dari
jauh mendatangi seorang laki-laki dan ketika orang itu datang mendekat, Cin Hai
merasa terkejut sekali hingga tak terasa lagi ia memegang tangan Lin Lin. Ia
mengenal baik muka laki-laki yang datang itu, laki-laki muda pesolek yang
tampan.
“Song
Kun...,” katanya dengan dada berdebar karena dia maklum bahwa pertemuan ini
tentu akan menjadi pertempuran hebat!
Sementara
itu, Song Kun sudah melihat mereka pula. Mula-mula wajahnya yang tampan melihat
dengan terheran-heran karena dia sendiri tidak pernah menyangka akan bertemu
dengan gadis yang membuatnya tergila-gila itu bersama Cin Hai, pemuda yang
sangat dibencinya dan yang hendak dibunuhnya! Ia memandang ke kanan kiri,
kuatir kalau-kalau Bu Pun Su supek-nya itu berada pula di situ, akan tetapi
ketika melihat bahwa tidak ada orang lain di situ, bibirnya tersenyum girang
dan ia segera menghampiri.
“Ha-ha-ha!
Pendekar Bodoh, Pendekar Tolol dan goblok! Sute-ku yang baik budi, kekasih
Supek Bu Pun Su! Agaknya kau berdua saja dengan bidadari yang telah lama
kurindukan ini. Atau, membawa juga anjing penjagamu yang tua itu?”
Cin Hai
dapat menduga bahwa yang dimaki ‘anjing penjaga tua’ itu adalah Bu Pun Su
suhu-nya, maka bukan kepalang marahnya hingga debar hatinya yang tadi agak
kuatir itu lenyap, terganti dengar debar marah.
“Song Kun!
Siapakah yang kau maki itu?”
“Siapa lagi
kalau bukan Suhu-mu yang tua dan lebih goblok dari padamu itu?”
“Kurang
ajar! Kau kira aku takut kepadamu?”
“Cin Hai,
kau telah merasakan kelihaianku, apakah kau belum kapok? Dengarlah, bocah
sombong. Aku mempunyai hati yang lemah dan suka menaruh kasihan pada anak-anak
kecil. Aku masih ingat bahwa kau adalah Sute-ku sendiri, karena itu aku akan
memberi ampun padamu. Pergilah kau dengan aman, dan tinggalkan kekasih hatiku
ini. Aku akan menjaganya dan mencintanya dengan baik, lebih baik dari pada
kalau kau menjaganya. Kelak bila mana kau ingin menikah, katakan saja kepada
Seheng-mu ini gadis mana yang kau sukai, tentu aku membantumu sehingga kau
berhasil mendapatkannya!” Ucapan ini dikeluarkan dengan muka sungguh-sungguh
sehingga Cin Hai hanya dapat memandang dengan melongo dan tak dapat
mengeluarkan kata-kata!
Akan tetapi,
sementara itu Lin Lin sudah tidak dapat menahan marahnya lagi. Gadis ini
mukanya sampai menjadi pucat karena marahnya hingga dia memandang kepada Song
Kun seakan-akan ia hendak meremukkan kepala pemuda pesolek itu dengan pandangan
matanya kalau mungkin.
“Bangsat
rendah, keparat jahanam! Aku bersumpah hendak membunuh kau!” seru Lin Lin
sambil melompat dan mencabut pedang Han-le-kiam, terus menyerang dengan
hebatnya!
Song Kun
mengelak dengan mudah sambil berkata, “Sayang, jangan kau marah-marah, karena
dengan setulus hati aku mencintaimu. Salahkah hatiku kalau tertarik dan runtuh
melihat kecantikanmu? Lin Lin, ahhh, namamu indah sekali. Janganlah kau
menurunkan tangan kejam kepadaku, sayang!”
Bukan main
marahnya Lin Lin mendengar kata-kata ini hingga ia menjerit dan menyerang
semakin hebat sambil mengucurkan air mata karena marah dan mendongkol tidak
dapat membikin mampus orang itu dengan sekali tusuk! Cin Hai merasa khawatir
sekali melihat keadaan Lin Lin, karena dia maklum bahwa kemarahan dan
perkelahian akan membuat keadaan Lin Lin makin memburuk saja.
“Lin-moi,
mundurlah. Tak perlu kau mengotorkan tanganmu dengan bedebah itu. Biarkan aku
yang mengadu jiwa dengan bajingan ini!”
Sambil
berkata demikian, Cin Hai lalu mencabut sebatang dari pada sepasang pedang
Liong-cu-kiam yang panjang lalu melompat dan menyerang dengan hebat! Sementara
itu, dengan hati membakar panas Lin Lin terpaksa melompat mundur lantas berdiri
dengan mata berapi.
Song Kun
kaget melihat bahwa pedang di tangan Cin Hai mengeluarkan sinar gemilang, maka
tanpa membuang waktu lagi ia segera mencabut keluar pedang pusakanya Ang-ho
Sian-kiam yang mengeluarkan cahaya merah seperti api itu! Ketika Cin Hai
menyerang hebat, Song Kun lalu menyabet dengan pedangnya dengan maksud hendak
membuat pedang Cin Hai terbabat putus sekaligus!
“Tranggg…!”
Kedua pedang
beradu dan berpancaranlah bunga-bunga api yang menyilaukan mata. Cin Hai merasa
betapa telapak tangannya tergetar maka menarik pulang pedang cepat-cepat dan
memeriksanya. Dia merasa lega karena pedang Liong-cu-kiam tidak menjadi rusak
karena peraduan itu.
Sementara
itu, Song Kun yang juga merasa tergetar telapak tangannya, merasa kaget sekali
karena pedangnya ternyata tak dapat memutuskan pedang Cin Hai. Ia memandang
dengan mata terbelalak marah dan kemudian ia menjadi marah sekali.
“Bangsat!
Agaknya kau sudah dapat mencuri pedang pusaka! Baik, jangan kira pedang yang
baik saja akan dapat melindungi jiwamu! Hari ini tentu kau akan mampus dalam
tanganku!”
Sesudah
berkata demikian, Song Kun tiba-tiba menggerakkan pedangnya secara hebat dan
ganas sekali sehingga lenyaplah bayangan tubuhnya, menjadi satu dengan cahaya
pedangnya yang bercahaya merah api bagaikan segulung api yang dahsyat
menyambar-nyambar ke arah tubuh Cin Hai dengan gerakan yang cepat dan luar
biasa sekali!
Cin Hai
maklum bahwa baru kali ini dia menghadapi lawan yang betul-betul tangguh dan
yang kepandaiannya tak berada di sebelah tingkat kepandaiannya sendiri! Bahkan
dasar pelajaran mereka datang dari satu sumber. Dia kalah pengalaman, kalah
lama berlatih dan dalam hal ginkang, mungkin ia masih kalah cepat oleh Song Kun
yang benar-benar memiliki kecepatan yang membuat bayangannya tepat disebut
Bayangan Iblis itu!
Akan tetapi
Cin Hai tidak menjadi gentar. Betapa pun juga, intisari kepandaian silat belum
pernah diturunkan kepada siapa juga oleh Bu Pun Su dan kepandaian itu hanya
dimiliki oleh Bu Pun Su sendiri, bahkan sute dari Bu Pun Su yaitu Han Le
Sianjin yang menjadi guru Song Kun, juga tidak mempunyai pengetahuan ajaib ini.
Maka, pengetahuan tentang dasar-dasar dan pokok-pokok pergerakan ilmu silat
inilah yang membuat Cin Hai berhati tenang dan tetap, karena pengetahuan ini
dapat menutup kekurangan dan kekalahannya dalam hal ginkang dan pengalaman
tadi.
Song Kun
merasa penasaran dan marah melihat betapa Cin Hai dapat menahan semua
penyerangannya, maka sambil berseru gemas ia pun menggerakkan pedangnya laksana
halilintar menyambar-nyambar, dan tangan kirinya juga tidak tinggal diam, akan
tetapi ikut mengirim serangan-serangan maut dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut
dan lain-lain ilmu pukulan yang mengarah jiwa lawannya.
Akan tetapi
Cin Hai tetap berlaku tenang dan mengembalikan setiap pukulan lawannya dengan
hati-hati. Dia cukup maklum akan berbahayanya Song Kun, dan maklum pula bahwa
sekali saja serangan lawan ini mengenai tubuhnya, maka nyawanya berada dalam
bahaya besar. Oleh karena itu, ia berlaku hati-hati sekali dan selain
mempertahankan diri, ia juga mengirim serangan balasan yang cukup membuat Song
Kun berlaku hati-hati.
Demikianlah,
kedua orang muda itu saling serang dan saling gempur bagaikan dua ekor naga
sakti saling menyerang dengan mati-matian. Tubuh mereka tak tampak lagi, dan
hanya cahaya pedang mereka yang saling gulung dan saling desak dengan hebatnya.
Song Kun
memang amat lincah dan cepat, akan tetapi menghadapi Cin Hai yang tenang dan
kuat serta yang telah tahu akan semua gerakannya, ia merasa tak berdaya,
sungguh pun untuk mengalahkan Song Kun, bagi Cin Hai bukanlah merupakan hal
yang mudah. Baik Song Kun mau pun Cin Hai merasa betapa baru sekali itulah
selama hidup mereka menghadapi lawan yang benar-benar tangguh dan berimbang,
baik kepandaian mau pun tenaga.
Lin Lin
memandang pertempuran itu dengan hati kagum sekali. Bagi matanya yang telah
terlatih dan menjadi tajam sekali penglihatannya, ia masih dapat melihat
gerakan-gerakan kedua orang itu dan diam-diam ia harus mengakui bahwa gerakan
Song Kun masih lebih lincah dan cepat, sungguh pun Cin Hai tidak menjadi
terdesak karenanya.
Song Kun
yang merasa amat penasaran karena setelah bertempur puluhan jurus belum juga
dapat mendesak Cin Hai, lalu berseru keras dan tangan kirinya bergerak. Sebuah
cahaya merah meluncur dari tangannya itu dan Cin Hai melihat betapa sehelai
sabuk merah bergerak bagaikan hidup menyambar ke arah lehernya. Cin Hai cepat
mengelak ke kiri, akan tetapi sabuk merah itu dengan lihainya bergerak juga ke
kiri seakan-akan bernyawa dan kini mengebut ke arah matanya.
Inilah semacam
ilmu kepandaian yang istimewa dari Han Le Sianjin dan sudah diturunkan kepada
muridnya itu. Cin Hai belum pernah mempelajari, dan juga karena pergerakan
sabuk ini bukan mengandalkan gerakan lengan, akan tetapi mengandalkan
pergerakan pergelangan tangan, maka sukar bagi Cin Hai untuk dapat melihat dan
mengikuti gerakan lawannya ini.
Setiap
pukulan selalu berpusat kepada pundak yang menjadi pangkal lengan. Akan tetapi
sabuk ini digerakkan oleh Song Kun dengan cara menggerakkan pergelangan
tangannya tanpa mempengaruhi lengan, sehingga kali ini Cin Hai benar-benar
tidak dapat menduga lebih dahulu ke mana sabuk lawan itu akan meluncur!
Song Kun
maklum pula bahwa Cin Hai tentu sudah mewarisi ilmu kepandaian Bu Pun Su yang
sakti, yakni ilmu kepandaian mengenal serta mengetahui segala pokok-pokok dan
dasar pergerakan ilmu pukulan, karena itu dia sengaja mengeluarkan sabuknya itu
untuk mencapai kemenangan.
Dulu
suhu-nya, Han Le Sianjin pernah berkata kepadanya bahwa ilmu kepandaian Bu Pun
Su tak ada lawannya di dunia ini oleh karena Bu Pun Su telah memiliki
pengetahuan tentang pokok dan dasar ilmu silat, akan tetapi apa bila Bu Pun Su
menghadapi senjata yang digerakkan dengan pergelangan tangan seperti senjata
sabuk yang lihai itu, tentu Bu Pun Su sendiri tidak akan dapat menduga
sebelumnya ke arah mana sabuk itu akan diserangkan!
Cin Hai betul-betul
terkejut ketika tahu-tahu sabuk itu telah mengejarnya dan mengancam matanya. Ia
tidak mau mengelak lagi, akan tetapi segera mengerjakan Liong-cu-kiam di
tangannya untuk membuat putus sabuk yang berbahaya itu. Akan tetapi tiba-tiba
saja dia berseru terkejut karena bukan saja pedangnya tidak mampu membabat
putus sabuk itu, bahkan sabuk merah itu lalu membelit pedangnya sehingga tak
dapat digerakkan lagi!
Lin Lin
melihat pula hal ini dengan jelas, maka bukan main kuatir rasa hatinya melihat
keselamatan kekasihnya terancam bahaya. Ia menjerit keras dan roboh pingsan!
Dalam keadaan seperti itu, Lin Lin lupa akan pantangannya dan menjadi kuatir
sehingga racun di dalam tubuhnya menyerang jantung dengah hebat yang membuatnya
roboh pingsan.
Sementara
itu, ketika sabuk merahnya telah berhasil membelit pedang Cin Hai, Song Kun
sambil tertawa mengejek segera menyerang dengan pedang Ang-ho Sian-kiam di
tangan kanannya ke arah dada Cin Hai!
Sebetulnya
bukan karena pedang Liong-cu-kiam kurang tajam maka tak dapat membabat putus
sabuk itu, akan tetapi oleh karena sabuk itu terbuat dari sutera lemas dan
sangat ulet hingga tentu saja kalau berada di tangan seorang ahli yang tinggi
ilmu lweekang-nya, pedang yang bagaimana tajam pun akan kehilangan dayanya dan
takkan bisa membabat putus sabuk itu, biar pun pedang Liong-cu-kiam itu akan
membabat putus segala macam senjata besi atau baja.
Biar pun
berada dalam keadaan yang amat berbahaya, namun murid Bu Pun Su ini tidak
menjadi bingung atau gentar. Secepat kilat dia mencabut pedang Liong-cu-kiam
pendek yang masih terselip di punggungnya dan dengan pedang ini di tangan kiri
dia menangkis tusukan pedang Song Kun pada dadanya, kemudian dia menggunakan
pantulan pedang untuk membabat sabuk yang masih melibat pedang di tangan kanan.
Sekali sabet
saja, sabuk itu terputus menjadi dua potong! Ini dapat terjadi oleh karena
setelah melibat pedang maka sabuk itu menjadi tertarik dan tertahan oleh pedang
yang dilibatnya dan tangan Song Kun yang memegangnya, maka dalam keadaan
merentang ini tentu saja dengan mudah sabuk itu dapat dibabat putus!
Song Kun
terkejut sekali, akan tetapi, pada saat itu terdengar jeritan Lin Lin yang
roboh pingsan. Cin Hai cepat melompat dan setelah melihat kekasihnya roboh
pingsan, ia lalu menyimpan pedangnya dan menubruk kekasihnya itu dengan bingung
dan cemas.
“Lin Lin...
Lin-moi... ahhh, mengapa kau berkuatir...?”
Melihat
betapa Cin Hai dengan wajah pucat memeluk Lin Lin dan melihat pula muka gadis
itu yang menjadi pucat bagaikan mayat, Song Kun merasa heran dan juga kaget. Ia
tadi merasa terkejut sekali melihat betapa dalam keadaan sesulit itu Cin Hai
masih dapat menyelamatkan diri bahkan berhasil pula membabat putus pedangnya,
maka diam-diam ia merasa amat kagum dan juga sedikit jeri. Kini melihat Lin Lin
roboh pingsan bagaikan telah mati, ia merasa kasihan dan berkuatir. Memang di
dalam hatinya, ia amat mencinta gadis itu.
“Dia
kenapakah...?” tanyanya terheran.
Tanpa
menengok, Cin Hai lalu menjawab, “Dia telah terkena racun jahat dari Hai Kong
Hosiang, dan dalam seratus hari dia akan mati.”
“Apa...?!
Dia tidak boleh mati. Apakah tidak ada obatnya?” tanya Song Kun dengan hati
berdebar cemas.
Cin Hai
mengangguk. “Hanya ada satu macam obat dan obat itu berada di tangan Hai Kong
Hosiang. Untuk itulah maka kami berdua menuju ke barat.”
“Racun
apakah itu?”
“Racun Ular
Hijau yang jahat dari yang hanya terdapat di daerah Mongol, maka obatnya pun harus
dari sana.”
“Tidak, dia
tidak boleh mati! Dia harus menjadi isteriku, karenanya dia tidak boleh mati!
Cin Hai, biar aku titipkan dulu dia kepadamu dan karena itulah maka kau tidak
kubunuh sekarang dan kuberi ampun. Aku hendak mencari obat untuknya dan setelah
dapat, aku akan datang menjemput calon isteriku ini!”
Song Kun
lalu menyimpan pedangnya dan melompat pergi lalu lari cepat sekali. Cin Hai
tidak mempedulikannya, bahkan menengoknya pun tidak oleh karena dia merasa
gelisah sekali melihat betapa wajah Lin Lin menjadi agak kebiru-biruan.
Akan tetapi
ternyata bahwa serangan racun itu hanya berlangsung sebentar saja dan tak lama
kemudian Lin Lin telah siuman kembali. Cahaya merah kembali ke mukanya dan ia
membuka matanya. Ketika dia melihat bahwa dia berada dalam pelukan Cin Hai, dia
lalu merangkul leher pemuda itu dan terisak menangis.
“Lin-moi,
mengapa kau melanggar pantanganmu?”
“Hai-ko, aku
tidak ingat akan hal itu, tadi aku terlalu kuatir melihat kau terancam bahaya
sehingga aku terlupa bahwa aku tidak boleh berkuatir.”
Cin Hai
tersenyum. “Jangan kuatir, Moi-moi. Walau pun harus kuakui bahwa Song Kun
memang lihai, akan tetapi aku takkan kalah terhadapnya. Lihat sajalah kalau
lain kali dia berani mengganggu kita lagi, akan kuhabiskan nyawanya!”
“Dia di
mana, Koko?”
Cin Hai
hendak menceritakan apa yang telah terjadi, akan tetapi ia takut kalau-kalau
Lin Lin akan merasa berkuatir mendengar betapa pemuda pesolek itu hendak
mencari obat baginya dan hendak kembali menjemputnya kelak! Maka dia lalu menjawab,
“Setelah aku berhasil membabat putus sabuk merahnya, agaknya dia menjadi jeri
dan lalu melarikan diri.”
Lin Lin
menarik napas lega dan mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke
barat dengan perlahan dan tidak tergesa-gesa.
***************
Pada suatu
hari, seperti biasa, Ang I Niocu berjalan-jalan di depan goa-goa Tung-huang
untuk memeriksa keadaan goa tempat harta pusaka itu tersembunyi, dan sekali ini
dia dikawani oleh Ma Hoa.
Tiba-tiba
dia merasa terkejut sekali ketika melihat beberapa orang Mongol berkerumun di
depan goa itu! Dia pun berseru,
“Ma Hoa,
celaka, agaknya mereka telah menemukan tempat itu.”
Maka
berlari-larilah Ang I Niocu dan Ma Hoa ke tempat itu dan ketika mereka tiba di
situ, ternyata bahwa orang-orang itu dipimpin oleh Thai Kek Losu, Sian Kek
Losu, Bo Lang Hwesio, dan lain-lain perwira Mongol!
Melihat
pihak lawan yang berat dan cukup banyak ini, Ang I Niocu tidak ingin berlaku
sembrono, karena ia menduga bahwa biar pun goa itu telah mereka temukan, akan
tetapi belum tentu mereka dapat mencari tahu tentang rahasia untuk membuka
lubang tempat penyimpanan harta pusaka. Ia lalu menarik tangan Ma Hoa dan
diajaknya bersembunyi di balik sebuah gunung karang yang kecil dan mengintai
dari situ.
Tidak lama
kemudian, dari jurusan lain datanglah serombongan orang yang bukan lain adalah
rombongan perwira kerajaan yang dipimpin oleh Kam Hong Sin! Selain panglima
yang lihai ini, tampak juga Ceng Tek Hosiang, Ceng To Tosu dan banyak
perwira-perwira tinggi lainnya yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh
orang.
Pihak Mongol
yang melihat kedatangan para perwira kerajaan itu, segera maju menyerbu
sehingga terjadilah pertempuran hebat di depan goa rahasia itu. Ang I Niocu dan
Ma Hoa memandang dengan penuh kekuatiran sebab dengan adanya dua fihak yang
sama-sama menghendaki harta pusaka itu, maka keadaan lawan makin bertambah
berat saja.
“Biar...”
bisik Ang I Niocu sambil menggenggam tangan Ma Hoa, “biarkan mereka saling
gempur hingga binasa seluruhnya!”
Pertempuran
berjalan ramai sekali, karena kedua fihak sama kuat. Kam Hong Sin yang tangguh
itu mendapat lawan berat, yaitu Thai Kek Losu, sedangkan Ceng To Tosu harus
melawan Sian Kek Losu, dan Ceng Tek Hwesio melawan Bo Lang Hwesio!
Sesungguhnya,
di antara ketiga pasangan ini, fihak Mongol lebih kuat, akan tetapi oleh karena
pada fihak tentara kerajaan masih terdapat beberapa orang perwira yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi dan mengeroyoknya, maka keadaan mereka menjadi seimbang.
Pada saat
Ang I Niocu dan Ma Hoa sedang menonton dengan hati tegang, tiba-tiba saja
datang rombongan lain dan ketika mereka memandang, mereka menjadi gembira
sekali, karena di dalam rombongan orang itu terdapat Bu Pun Su!
Akan tetapi,
kegembiraan mereka segera berubah menjadi keheranan dan kekhawatiran karena ternyata
bahwa yang datang bersama Bu Pun Su adalah seorang nenek yang bertelanjang
kaki, seorang pendeta Mongol, seorang perwira Mongol, dan juga Hai Kong
Hosiang! Melihat Hai Kong Hosiang yang jahat dan yang sangat mereka benci ini
berjalan bersama Bu Pun Su, sungguh membuat kedua orang gadis itu berdiri
bengong saking herannya!
Melihat
pertempuran hebat itu, Bu Pun Su lalu menghampiri mereka dan berseru keras,
“Tahan pertempuran ini!”
Suaranya
amat nyaring dan berpengaruh hingga Ang I Niocu dan Ma Hoa sendiri yang berdiri
di tempat agak jauh juga terkena getaran suara dan terpengaruh oleh gema suara
itu. Apa lagi mereka yang sedang bertempur, mendengar suara ini mereka tak
terasa lagi segera melompat mundur sambil menahan senjata masing-masing. Mereka
memandang kepada kakek itu dengan terheran-heran.
Thai Kek
Losu beserta kawan-kawannya yang melihat Balaki datang bersama kakek itu
menjadi terkejut, akan tetapi sebelum mereka bertanya, Bu Pun Su telah
mendahuluinya dengan ucapan yang halus,
“Kalian ini
bertempur bukankah memperebutkan harta pusaka yang tersimpan di dalam goa ini?
Bodoh amat! Untuk apa bertempur mengadu jiwa hanya untuk setumpuk harta yang
tidak berharga dan yang hanya mendatangkan kekacauan belaka?”
Biar pun
sikap Bu Pun Su lemah lembut dan kelihatannya seperti seorang lemah, namun
menyaksikan pengaruh yang keluar dari bentakannya tadi, baik pihak Mongol mau
pun pihak perwira kerajaan dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang
berilmu tinggi.
“Kami yang
lebih dahulu mendapatkan tempat ini, akan tetapi perwira-perwira kerajaan
hendak merampasnya dari kami!” kata Thai Kek Losu sebagai pembelaan diri.
“Tempat ini
termasuk wilayah kerajaan, tidak boleh orang lain memiliki harta pusaka itu
selain Kaisar!” kata Kam Hong Sin dengan suara garang.
Bu Pun Su
tersenyum kemudian menjawab, “Semua salah! Yang mendapatkan tempat ini bukan
orang-orang Mongol dan yang berhak memiliki harta ini bukanlah Kaisar, karena
harta ini berasal dari milik rakyat yang dulu dirampok! Dari pada bersitegang
dan mencari kebenaran sendiri dengan berperang dan mengorbankan nyawa secara
sia-sia, lebih baik diatur begini saja. Kita mengajukan jago-jago untuk mengadu
kepandaian dan siapa yang paling pandai, dialah yang berhak memiliki tempat
ini!”
“Boleh, bolehl”
kata Thai Kek Losu yang merasa bahwa pihaknya lebih banyak memiliki orang-orang
lihai. “Kita majukan tiga orang jago masing-masing, dan dari pihak kami, aku
majukan tiga orang, yaitu aku sendiri, Sian Kek Losu, dan Bo Lang Hwesio.”
Sambil
berkata demikian, Thai Kek Losu menunjuk kepada Sian Kek Losu dan kepada Bo
Lang Hwesio, akan tetapi ia merasa heran sekali melihat betapa Bo Lang Hwesio
sedang memandang kepada Bu Pun Su dengan wajah pucat!
“Dia... dia
adalah Bu Pun Su yang lihai...!” kata Bo Lang Hwesio dengan berbisik hingga
Thai Kek Losu yang pernah mendengar nama ini pun menjadi gentar sekali.
“Kam Hong
Sin, kau boleh majukan tiga orang jago-jagomu!” Thai Kek Losu menantang kepada
perwira itu, akan tetapi Kam Hong Sin membentak marah.
“Aku tidak
mau mentaati perintah siapa juga selain perintah dari Kaisar! Betapa pun juga,
tak boleh orang-orang menggunakan aturan sendiri seakan-akan di negara ini
tidak ada pemerintah!”
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa bergelak dan Hai Kong Hosiang maju ke depan. “Tidak
menurut pun tak apa! Pendeknya masing-masing fihak harus mengajukan paling
banyak tiga orang jagonya. Fihakku hanya cukup mengajukan seorang jago saja!
Ha-ha-ha! Yang tidak merasa gembira untuk ikut dalam pertandingan ini boleh
cepat mundur dan jangan mengganggu orang lain!”
Dengan
tangannya Thai Kek Losu memberi isyarat kepada Balaki dan memanggil perwira
Mongol itu agar datang mendekat. Akan tetapi Balaki hanya tertawa mengejek saja
tanpa mempedulikannya.
“Balaki, kau
tidak menurut perintahku'?” teriak Thai Kek Losu dengan marah dan heran.
Balaki
tertawa. “Siapa yang sudi menurut perintahmu? Aku tidak mempunyai hubungan
apa-apa lagi denganmu!”
Thai Kek
Losu dan kawan-kawannya tercengang mendengar ini. “Balaki, kau hendak menjadi
pemberontak?”
“Tutup
mulutmu!” bentak Hai Kong Hosiang dengan marah.
Pada saat
itu, kembali muncul serombongan orang dan ternyata yang kini muncul adalah
rombongan orang-orang Turki pengikut Pangeran Muda dengan dipimpin oleh Siok
Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin dan ketiga saudara Kanglam Sam-lojin, diikuti pula
oleh beberapa orang perwira lain.
Ternyata
bahwa Siok Kwat Mo-li beserta kawan-kawannya masih merasa penasaran dan
melanjutkan usaha mereka mencari harta pusaka itu dengan mengerahkan
orang-orang Turki dan membohongi mereka dengan janji bahwa setelah harta pusaka
bisa diperoleh, harta pusaka itu akan diberikan kepada mereka dan dibagi-bagi.
Padahal dalam hatinya, Siok Kwat Mo-li dan juga kawan-kawannya itu sama sekali
tidak mempunyai niat untuk membagi harta pusaka itu kepada orang-orang Turki.
Melihat
kedatangan mereka, Hai Kong Hosiang berkata sambil tertawa, “Nah, sekarang
lebih ramai lagi! Siok Kwat Mo-li, kau datang bersama orang-orang Turki ini
hendak melakukan apakah?”
“Suheng, aku
bersama Lok Kun Tojin, juga kawan Wai Sauw Pu tadinya sengaja datang memenuhi
undanganmu hendak membantu, akan tetapi karena kami tidak dapat bertemu dengan
kau, maka terpaksa kami mengambil jalan kami sendiri, dan dalam usaha kami itu
ternyata bahwa kawan Wai Sauw Pu telah terbinasa dalam tangan pengikut Pangeran
Tua dari Turki dan kawan-kawannya.”
“Dan
sekarang, kau membawa orang-orang Turki ini dengan maksud apakah? Apa kalian
juga hendak mencari harta pusaka itu? Kalau memang demikian kehendakmu, lebih
baik kau pulang saja dan bawa kawan-kawanmu itu pergi dari sini, karena harta
itu adalah bagianku dan kawan-kawanku, dan kau tidak boleh mengganggu!”
Mendengar
ucapan suheng-nya itu, Siok Kwat Mo-li merasa penasaran sekali sebab dulu
suheng-nya minta pertolongan dan bantuannya untuk menghadapi lawan-lawannya dan
juga untuk mencari harta pusaka itu dengan janji hendak dibagi-bagi, akan
tetapi tidak tahunya sekarang suheng-nya itu telah memilih kawan-kawan lain.
Akan tetapi,
oleh karena maklum akan kelihaian Hai Kong Hosiang, ia diam saja dan tidak
berani membantah. Hanya Lok Kun Tojin yang merasa penasaran dan tentu saja ia
tidak mau menerima dengan demikian saja. Ia segera melompat maju menghadapi Hai
Kong Hosiang dan membentak keras,
“Hai Kong!
Mengingat akan persahabatan di kalangan kang-ouw aku sudah turut turun gunung
dengan Sumoi-mu ini karena hendak membantumu untuk sama-sama mencari pusaka
berharga. Akan tetapi sekarang kedatangan kami ini tidak kau hargai, bahkan kau
hendak mengusir kami. Kau anggap kami ini orang macam apakah? Apakah tanpa kau
kami tak dapat mencari sendiri dengan menggunakan kepandaian kami?”
“Ha-ha-ha!
Lok Kun Tojin, jangan kau menyombong di hadapanku! Apa bila kau hendak mencari
harta pusaka itu, siapakah yang sudi melarangmu? Bahkan kuanjurkan supaya
kalian turut pula dalam pertandingan memperebutkan harta itu. Lihatlah, kini
semua telah berkumpul dan kita semua telah bermufakat untuk mengajukan masing-masing
tiga orang jago. Pihak Mongol telah mengajukan jago-jago mereka, yaitu Thai Kek
Losu, Sian Kek Losu, dan Bo Lang Hwesio. Fihak kami mengajukan seorang jago,
yaitu kakek jembel ini!” Ia menuding ke arah Bu Pun Su yang berdiri sambil
menundukkan kepala. “Akan tetapi sayangnya di fihak perwira kerajaan agaknya
tidak berani mengajukan jago-jago mereka. Ha-ha-ha!”
“Hai Kong,
jangan kau sombong!“ Kam Hong Sin berteriak dengan muka merah karena marahnya.
“Hendak kulihat kalian ini pemberontak-pemberontak rendah hendak berbuat kurang
ajar sampai seberapa jauh. Aku tidak sudi mengadakan segala macam perjanjian
dengan kalian, dan hendak kulihat siapa yang akan berkeras mengambil harta
pusaka itu, pasti akan kuhadapi dengan taruhan jiwaku sebagai seorang petugas
setia dari Kaisar!”
Hai Kong
Hosiang tertawa bergelak dan berkata, “Kam Hong Sin, baru menjadi panglima
besar Kaisar saja kau telah berkepala batu! Kalau saja aku tidak teringat bahwa
semua orang telah menyetujui untuk mengajukan jago-jago masing-masing, tentu
akan kuhadapi sendiri orang macam kau! Akan tetapi biarlah aku bersabar dulu,
dan kalau tidak mau ikut dalam pertandingan ini, biarlah kau menjadi penonton
dan boleh kami anggap sebagai saksi! Ha-ha-ha!”
Sementara
itu, Lok Kun Tojin dan Siok Kwat Mo-li berbisik-bisik sedang mengadakan
perundingan, akhirnya Lok Kun Tojin barkata, “Baik, kami ikut dalam
pertandingan ini dan kami mengajukan tiga jago kami, yaitu Siok Kwat Mo-li, aku
sendiri, dan Sahali.” Sambil berkata demikian dia menunjuk ke arah Siok Kwat
Mo-li dan seorang Perwira Turki yang bertubuh pendek kecil dan berkulit hitam.
“Bagus,
bagus! Sekarang akan menjadi ramai!” kata Hai Kong Hosiang sambil tertawa
terbahak-bahak.
Sementara
itu Bu Pun Su berpikir bahwa gara-gara Hai Kong Hosiang, maka bila mana
dilanjutkan, tentu akan terjadi pertandingan hebat dan hal ini tidak dia
kehendaki, oleh karena tentu akan banyak terjatuh korban yang terluka hebat
atau bahkan binasa. Maka dia segera berkata kepada semua orang dengan suara
sembarangan,
“Aku tua
bangka jembel hendak bicara dan kalian semua jika akan menganggap bicaraku
sebagai suatu kesombongan, apa boleh buat. Dengarkan baik-baik. Untuk
menyingkat waktu, kupersilakan semua fihak maju seorang demi seorang dan
menghadapi aku orang tua. Kalau saja aku sampai dirobohkan, terluka mau pun
binasa, maka kuanggap bahwa pihakku kalah, dan tidak berhak lagi untuk
mendapatkan harta benda itu!”
Tentu saja
ucapan ini dianggap sombong sekali sehingga semua mata memandangnya dengan
penasaran dan marah, kecuali Bo Lang Hwesio yang sudah cukup maklum akan
kelihaian Bu Pun Su.
“Kakek tua!
Alangkah sombongmu! Kau seorang diri hendak menghadapi jago-jago dari Mongol
dan Turki sebanyak enam orang. Meski pun kau tangguh dan lihai, patutkah bagi
seorang yang berkepandalan tinggi untuk bersikap sesombong ini?”
Juga Siok
Kwat Mo-li yang marah sekali membentak, “Kakek yang mau mampus! Belum pernah
selama hidupku mendengar bual seorang sesombong kau! Kau tidak memandang mata
kepada kami sekalian!”
Memang,
menurut kebiasaan di kalangan kang-ouw, orang-orang yang kepandaiannya sudah
tinggi biasanya merendahkan diri, oleh karena mereka selalu berhati-hati
menjaga kalau-kalau akhirnya dia kena dijatuhkan orang lain sehingga
kesombongannya itu hanya akan menjatuhkan namanya belaka. Makin tinggi
kepandaian seseorang, makin pendiam maka makin merendahlah dia.
Karena ini,
ucapan Pun Su tadi tentu saja dianggap keterlaluan sekali sehingga membuat
mereka merasa penasaran dan marah. Akan tetapi mereka belum mengenal adat Bu
Pun Su yang kukoai (ganjil), atau yang sudah pernah mengenalnya juga tak
mengetahui betul adatnya itu.
Bu Pun Su
tidak biasa menyombongkan kepandaiannya. Baru nama yang dipilihnya saja, yaitu
Bu Pun Su yang berarti Tiada Berkepandaian, sudah menunjukkan bahwa dia tidak
suka akan segala macam nama kosong belaka. Kalau kali ini ia mengucapkan
tantangan yang bersifat sombong, bukanlah semata timbul dari watak sombong,
akan tetapi karena ia mengandung semacam maksud, yaitu ingin mencegah
terjadinya pertumpahan darah hanya karena memperebutkan harta pusaka belaka!
Melihat
kemarahan orang-orang itu, diam-diam Bu Pun Su menjadi gembira sekali karena
bahwa maksudnya berhasil baik, maka untuk menambah ‘minyak’ supaya api yang
mulai membakar hati mereka itu menjadi makin berkobar dan agar persoalan itu
cepat selesai, maka dia lalu menambahkan ucapannya tadi sambil tersenyum,
“Kalau
kalian menganggap aku sombong, biarlah, kuakui bahwa aku memang sombong.
Kesombonganku barusan itu masih belum seberapa hebat apa bila dibandingkan
dengan usulku yang berikut ini. Oleh karena dari pihak kami hanya maju seorang
jago dan dari pihak Mongol mau pun pihak Turki diajukan tiga orang jago, maka
aku menantang kalian untuk maju berbareng, yaitu tiga orang sekaligus!”
Benar saja,
ucapan ini membuat semua orang menjadi bengong sehingga untuk sejenak mereka
tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Akhirnya Thai Kei Losu, Sian Kek
Losu dan Bo Lang Hwesio maju berbareng dengan marah dan mereka ini memandang
kepada Bu Pun Su dengan muka merah.
“Bu Pun Su!
Aku mendengar namamu dari Bo Lang Hwesio dan sudah sejak lama aku mendengar
bahwa Bu Pun Su adalah seorang berilmu tinggi yang sakti dan yang patut disebut
Lo-cianpwe (Orang Tua Gagah). Akan tetapi, tidak tahunya Bu Pun Su hanyalah
seorang tua bangka yang sudah pikun dan yang telah menjadi gila dan sombong
sekali! Baiklah, kau sendiri yang menantang untuk dikeroyok tiga, dan kalau kau
tewas di tangan kami, janganlah merasa penasaran karena kau sendiri yang minta
mati!”
Dimaki
sehebat itu, Bu Pun Su hanya memandang dengan senyum simpul dan dia lalu
menjawab, “Baiklah, Robot. Kalau sampai aku Si Tua Bangka ini terbunuh mati di
tangan kalian, tak usah kalian memasang meja sembahyang!”
Thai Kek
Losu marah sekali dan sekali tangannya bergerak, maka ia telah mengeluarkan
senjatanya yang mengerikan, yaitu tengkorak anak-anak yang dipasang tali.
Tengkorak itu diputar-putar sehingga dalam pandangan banyak orang seperti
kepala seorang anak kecil yang meringis dan suara angin yang masuk dan keluar
dari lubang-lubang tengkorak itu terdengar bagaikan suara tangis.
Semua orang
langsung bergidik dan merasa ngeri melihat kehebatan senjata ini, akan tetapi
Bu Pun Su tersenyum dan berkata, “Losu, mengapa bukan kepalamu sendiri yang kau
ikat itu?”
Sementara
itu, Sian Kek Losu juga mengeluarkan senjatanya yang tidak kalah lihainya,
yaitu sebuah gendewa bertali, senjata yang jarang sekali dapat dimainkan oleh
ahli silat, oleh karena memang amat sukar untuk mainkan senjata ini. Akan
tetapi apa bila orang sudah dapat memainkan, senjata itu merupakan senjata yang
amat sukar dilawan karena lihainya.
Juga Bo Lang
Hwesio ikut menarik keluar senjatanya, yaitu sepasang poan-koan-pit yang
berbentuk pensil bulu kecil saja, namun sepasang senjata ini merupakan
penyambung tangan untuk melakukan serangan tiam-hoat (ilmu menotok jalan darah)
kepada lawan dan kelihatan sepasang poan-koan-pit ini memang sudah amat
ditakuti orang.
Memang
biasanya Bo Lang Hwesio jarang mempergunakan senjata dalam perkelahian, cukup
dengan sepasang tangannya ditambah ujung lengan bajunya saja, karena dengan
ilmu pukulan tangan kosong saja memang sudah sangat sukar mengalahkan dia. Akan
tetapi sekarang ia maklum bahwa biar pun mengeroyok tiga, ia menghadapi seorang
sakti yang tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi, maka ia pun sengaja
mengeluarkan senjatanya itu.
“Sudah
siap?” tanya Bu Pun Su dengan tenang. “Nah, mari kita mulai!”
“Keluarkan
senjatamu!” bentak Thai Kek Losu yang sebagai orang berilmu tinggi merasa segan
untuk menyerang seorang yang bertangan kosong.
“Eh, Thai
Kek Losu, bukalah matamu baik-baik. Bukankah aku sudah siap dengan empat buah
senjataku ini?” sambil berkata demikian dia menggerak-gerakkan kedua tangan dan
dua kakinya. “Thian telah memberi senjata-senjata yang tiada bandingannya di
dunia ini kepada kita, akan tetapi kalian masih saja menanyakan senjata,
bukankah itu kurang berterima kasih kepada Thian namanya?”
Bukan main
mendongkolnya hati Thai Kek Losu mendengar ini. Ia anggap kakek jembel ini
menghina sekali. “Kau mencari mampus sendiri!” teriaknya dan tengkorak kecil di
tangannya itu tiba-tiba menyambar ke arah muka Bu Pun Su dengan cepatnya.
Akan tetapi
baru saja tengkorak itu bergerak, tubuh Bu Pun Su sudah menyingkir terlebih
dulu sehingga serangannya mengenai angin saja. Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio
juga maju menyerbu dan sebentar saja Bu Pun Su dihujani serangan-serangan kilat
yang amat berbahaya dari tiga orang ahli dan tokoh besar itu.
Bu Pun Su
maklum bahwa ketiga orang lawannya ini merupakan orang-orang yang sudah tinggi
tingkat kepandaiannya dan tidak boleh dilawan dengan sembrono, maka dia segera
mengerahkan ilmu kepandaiannya yang luar biasa dan menghadapi mereka dengan
Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang dimainkan secara luar biasa sekali.
Kalau Cin
Hai yang mainkan ilmu silat ini, maka hanya pada dua lengan tangannya saja yang
mengebulkan uap putih. Akan tetapi ketika Bu Pun Su yang mengerahkan tenaga
dalamnya mainkan ilmu silat itu, tidak hanya kedua lengannya bahkan seluruh
tubuhnya mengebulkan uap putih yang melindungi tubuhnya sehingga setiap kali
ada senjata lawan mendekati tubuhnya dalam serangan yang dilakukan oleh lawan
itu, maka senjatanya itu seakan-akan tertahan oleh semacam tenaga yang luar
biasa kuatnya!
Ketiga orang
pengeroyok itu menjadi terkejut dan kagum sekali oleh karena selama hidup belum
pernah mereka menghadapi seorang lawan yang demikian tangguh, yang dengan
bertangan kosong sanggup menghadapi mereka bertiga dan kini ternyata dapat
melawan senjata-senjata mereka dengan baiknya. Jangankan menghadapi, bahkan
menyaksikan kepandaian yang seperti ini pun baru sekali ini mereka alami.
Akan tetapi,
sebagai tokoh-tokoh besar yang berilmu tinggi, mereka merasa malu apa bila
memperlihatkan rasa ketakutan, maka mereka memperhebat serangan dan mengerahkan
seluruh kepandaian. Tenaga lweekang mereka juga sudah sampai di tingkat yang
tinggi, karena itu biar pun beberapa kali senjata mereka kena terbentur dan
terpental oleh hawa yang keluar dari gerakan kedua tangan Bu Pun Su, akan
tetapi ada beberapa kali pula senjata mereka berhasil memecahkan pertahanan itu
dan hanya berkat kelincahan serta ginkang-nya yang luar biasa saja maka Bu Pun
Su dapat terhindar dari bahaya maut!
Kalau dia
menghendaki, dengan sekali pukulan tangannya yang ampuh, Bu Pun Su akan sanggup
menghancurkan tengkorak itu. Akan tetapi oleh karena kakek yang telah banyak
pengalaman ini tahu pula bahwa di dalam tengkorak itu tersimpan senjata-senjata
rahasia yang mengandung racun berbahaya sehingga kalau tengkorak terpecah, biar
pun ia tidak kuatir akan keselamatan dirinya sendiri, akan tetapi takut
kalau-kalau senjata rahasia itu akan menewaskan orang-orang lain di sekitar
tempat itu, karena itu maka dia tidak berani memukulnya.
Keraguan ini
membuat Thai Kek Losu mendapat hati, bahkan menyangka bahwa kakek jembel itu
benar-benar merasa gentar terhadap senjatanya. Karena itu ia memutar-mutar
senjata lihai itu makin cepat mengarah bagian-bagian berbahaya dari tubuh Bu
Pun Su!
Ada pun
senjata gendewa di tangan Sian Kek Losu menyambar-nyambar dari atas bagai
seekor burung garuda yang menyerang kepala dan tubuh bagian atas. Gendewa itu
berat dan menyambar dengan dorongan tenaga yang bukan main besarnya sehingga
biar pun Bu Pun Su sudah sangat lihai, akan tetapi sekali saja terkena pukulan
gendewa itu pada kepalanya, tentu ia akan mengalami celaka!
Bo Lang
Hwesio juga tidak kurang berbahaya. Sepasang poan-koan-pit pada tangannya
adalah senjata kecil yang dapat digerakkan cepat sekali mengarah jalan-jalan
darah yang paling berbahaya dari tubuh kakek jembel itu.
Melihat
kelihaian tiga orang lawannya, Bu Pun Su mengambil keputusan untuk bertindak
cepat dan menyingkirkan lawan-lawan ini agar dia tidak membuang waktu terlalu
banyak. Tiba-tiba saja dia berseru keras hingga ketiga orang lawannya itu
menjadi terkejut karena jantung mereka tergetar oleh gema suara yang hebat ini.
Pada saat
itu, tengkorak di tangan Thai Kek Losu sedang melayang dan mengarah ke kepala
Bu Pun Su, senjata gendewa Sian Kek Losu dengan gerakan yang hebat sekali
menusuk ke arah ulu hatinya, ada pun kedua poan-koan-pit di tangan Bo Lang
Hwesio menotok ke arah iganya! Akan tetapi, perasaan kaget tadi sudah membuat
mereka agak tercengang sehingga gerakan mereka menjadi lambat.
Bu Pun Su
lantas memperlihatkan kelihaiannya yang benar-benar hebat dan sukar untuk
dipercaya oleh orang-orang yang menyaksikannya! Kakek jembel itu tidak mengelak
dari sambaran tengkorak ke arah kepalanya, bahkan dia lalu mengulurkan tangan
kanan serta menggunakan jari telunjuk dan jari tengah untuk menjepit serta
menggunting tali pengikat tengkorak itu hingga dengan mengeluarkan suara
nyaring tali itu putus dan tengkorak itu telah berpindah ke dalam tangannya!
Pada waktu
itu pula sepasang poan-koan-pit sudah mencapai sasarannya dan menotok tepat di
bagian iga Bu Pun Su. Akan tetapi, alangkah terkejut dan herannya hati Bo Lang
Hwesio ketika dia merasa betapa sepasang poan-koan-pit-nya itu mengenai tempat
yang lunak, seakan-akan dia telah menusuk air saja! Dia cepat menarik kembali
poan-koan-pit itu dan dengan mata terbelalak dia melihat betapa kedua
poan-koan-pit-nya sudah patah dua!
Gendewa di
tangan Sian Kek Losu yang lebih berat itu datang paling akhir dan dengan
kekuatan luar biasa menyambar ke arah ulu hati Bu Pun Su! Kakek jembel ini
sudah tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak, dan agaknya ulu hatinya pasti
akan tertembus oleh ujung gendewa yang keras dan kuat itu! Akan tetapi,
tiba-tiba kakek itu meniup ke arah muka Sian Kek Losu.
Pada saat
angin tiupan yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang hebat luar biasa
itu menyambar mukanya, Sian Kek Losu merasa betapa kulit mukanya menjadi perih
dan matanya tak dapat dibuka lagi ! Terpaksa ia memejamkan matanya dan karena
terkejut dan sakit, gerakan tusukannya mengendur.
Kesempatan
ini dipergunakan oleh Bu Pun Su untuk menjatuhkan diri ke belakang dan
berjungkir balik dengan kaki di atas dan kepala di bawah lalu berdiri lagi dan
terlepaslah ia dari ancaman senjata gendewa itu. Sebelum Sian Kek Losu dapat
membuka mata, Bu Pun Su sudah melompat maju dan sekali dia mengebutkan tangan
ke arah tengah-tengah gendewa itu, patahlah gendewa di tangan Sian Kek Losu!
Bu Pun Su
tidak berhenti sampai di situ saja dan sekali tubuhnya berkelebat ke arah tiga
orang lawannya, mereka merasa ada tenaga yang besar menyambar ke arah dada,
maka mereka terpaksa mengangkat tangan menangkis. Akan tetapi, dengan hati
heran mereka melihat Bu Pun Su melompat mundur lagi sambil tertawa girang,
sedangkan mereka tidak merasa mendapat pukulan.
Selagi tiga
orang itu memandang heran, tiba-tiba saja Hai Kong Hosiang yang tadi berdiri
bengong dan bergidik melihat demonstrasi kepandaian yang hebat itu, tertawa
bergelak-gelak.
“Ha-ha-ha!
Dengan mudah jago kami sudah menjatuhkan ketiga jago dari Mongol! Thai Kek
Losu, kau dan kawan-kawanmu telah kalah, maka kalian harus mundur dan memberi
kesempatan kepada jago-jago lain untuk mencoba kepandaian mereka!”
Thai Kek
Losu memandang dengan marah, “Kami memang sudah kehilangan senjata, akan tetapi
itu bukan berarti bahwa kami telah kalah, karena kami belum dirobohkan!”
Hai Kong
Hosiang kembali tertawa bergelak. “Manusia goblok dan tidak tahu kebodohan
sendiri! Kalian telah mendapat ampun dari jago kami, akan tetapi masih belum
mengakui kebodohan sendiri? Lihatlah dadamu, Thai Kek Losu dan kalian juga,
Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio!”
Tiga orang
pendeta itu melihat ke arah dadanya, dan terkejutlah mereka oleh karena baju
mereka pada bagian dada sebelah kiri ternyata sudah berlubang! Mereka menjadi
pucat dan bergidik oleh karena ternyata bahwa setelah membalas dengan sekali
serangan saja, kakek jembel itu telah berhasil membuat baju mereka berlubang
dan kalau saja kakek itu menghendaki, maka untuk membunuh mereka bagi kakek itu
sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan sendiri!
“Hebat,
hebat sekali!” Thai Kek Losu menarik napas panjang. “Bu Pun Su, kepandaianmu
membuat aku merasa takluk dan aku mengaku kalah.”
Sesudah
berkata demikian, Thai Kek Losu lantas memberi perintah kepada semua anak
buahnya untuk mundur dan dia bersama kawan-kawannya lalu pergi dari situ.
“Thai Kek
Losu, kau bawalah senjatamu ini dan jangan gunakan lagi senjata itu karena
akhirnya tentu akan mencelakakan dirimu sendiri!” Bu Pun Su berteriak sambil
melempar tengkorak itu ke arah Thai Kek Losu.
Thai Kek
Losu mengulurkan tangan menyambut tengkorak kecil itu dan berkata sambil
tersenyum, “Biar pun aku sudah kalah olehmu, akan tetapi kau tak berhak
melarang aku mempergunakan senjata buatanku sendiri!”
Setelah
berkata demikian, dengan hati penuh dendam, Thai Kek Losu lalu pergi dengan
cepat meninggalkan tempat itu. Dia telah merasa putus harapan oleh karena
menghadapi kakek jembel itu dia tak berdaya dan percuma saja kalau dia hendak
melanjutkan usaha mencari harta pusaka. Karena itu dia lalu memimpin anak
buahnya untuk kembali kepada Yagali Khan membuat laporan.
“Sekarang
jago-jago Turki dipersilakan untuk memperlihatkan kepandaiannya,” kata Hai Kong
Hosiang yang merasa gembira sekali karena sebagaimana telah dia duga, dengan
adanya Bu Pun Su di pihaknya, maka dengan sangat mudah mereka mengalahkan pihak
lawan yang hendak memperebutkan harta pusaka itu.
Memang, biar
pun tanpa bantuan dari Bu Pun Su, belum tentu dia dan kawan-kawannya yang cukup
lihai akan dapat dikalahkan oleh pihak lawan, akan tetapi hal itu merupakan hal
yang belum pasti dan juga amat berbahaya.
Siok Kwat
Mo-li, Lo Kun Tojin, dan Perwira Turki yang bernama Sahali itu, turut merasa
terkejut sekali melihat betapa hebat sepak terjang Bu Pun Su tadi. Akan tetapi
sebagai orang-orang berilmu tinggi, tentu saja mereka pun tak sudi menyerah
sebelum mencoba.
Sekarang,
mendengar ucapan suheng-nya yang telah menipunya, Siok Kwat Mo-li lantas
mencabut keluar senjatanya yang sangat lihai, yakni sebatang tongkat hitam,
diikuti oleh Lok Kun Tojin yang mengeluarkan sepasang rodanya dan Perwira Turki
itu mengeluarkan sepasang golok (siang-to) yang tajam mengkilap.
“Bu Pun Su,
jagalah serangan kami!” seru Siok Kwat Moli dengan keras sambil
memutar-mutarkan tongkat hitamnya.
“Majulah,
majulah!” jawab Bu Pun Su tenang.
Sementara
itu, Ang I Niocu dan Ma Hoa yang tadi bersembunyi dan mengintai, ketika
menyaksikan pertandingan antara Bu Pun Su dan tiga orang jago tadi, saking
tertariknya mereka sudah keluar dari tempat persembunyian dan memandang penuh
kekaguman, akan juga dengan keheranan besar mengapa Bu Pun Su bekerja sama,
bahkan membela Hai Kong Hosiang yang jahat! Hal ini sungguh-sungguh membuat Ang
I Niocu heran dan juga amat penasaran. Akan tetapi ia memang sudah maklum akan
adat aneh dari susiok-couwnya itu, maka ia hanya menonton dan tidak berani mengganggunya.
Sebenarnya,
kalau mau dibuat pertandingan tentang ilmu kepandaian, maka tingkat ilmu
kepandaian jago-jago yang berdiri di pihak Turki ini dengan jago-jago Mongol
yang telah dikalahkan tadi, mungkin masih lebih tinggi kepandaian jago-jago
Turki ini karena di situ terdapat Siok Kwat Mo-li yang amat lihai, apa lagi
senjata Lok Kun Tojin yang merupakan sepasang roda itu sangat berbahaya sekali.
Juga Sahali bukanlah seorang lemah karena dia adalah jago yang sudah sangat
disegani di Turki dan merupakan tangan kanan yang mendapat kepercayaan penuh
dari Pangeran Muda.
Maka
mengingat akan kepandaian sendiri, ketiga orang ini tidak menjadi gentar bahkan
mempunyai harapan untuk merobohkan Bu Pun Su dan mendapatkan harta pusaka yang
belum pernah mereka lihat itu. Hasil penyelidikan mata-mata mereka membuat
mereka tahu bahwa goa tempat di mana harta pusaka disembunyikan itu sudah
didapatkan oleh orang-orang Mongol, maka mereka lalu menyerbu ke situ hingga
secara kebetulan semua pihak dapat bertemu di depan goa di mana tersembunyi
harta pusaka yang diperebutkan.
Bu Pun Su
menghadapi ketiga orang lawannya yang baru ini dengan ketenangan yang amat
mengagumkan. Dari gerakan-gerakan senjata ketiga lawannya yang mewakili pihak
Turki ini, dia segera dapat memaklumi bahwa ilmu silat mereka ini tak kalah
lihainya dari kepandaian ketiga lawan yang telah dikalahkan tadi, maka dia
berlaku amat hati-hati.
Siok Kwat
Mo-li adalah sumoi dari Hai Kong Hosiang yang jahat dan lihai, maka tongkat
hitam di tangannya pun berbahaya sekali. Ketika dia membuat gerakan menyerang
maka tongkat itu seolah-olah berubah menjadi banyak bagai ular-ular hidup
berlenggak-lenggok menyambar ke arah tubuh Bu Pun Su. Ternyata bahwa seperti
halnya Hai Kong Hosiang, ilmu tongkatnya berdasarkan ilmu tongkat Jeng-coa
Tung-hoat atau Ilmu Tongkat Seribu Ular yang mempunyai gerakan-gerakan luar
biasa cepatnya.
Lok Kun
Tojin memiliki sepasang senjata roda bertali yang jarang dapat dimainkan orang
karena memang amat sukar untuk memainkan senjata macam itu. Akan tetapi di
tangan pendeta itu sepasang roda bertali merupakan senjata yang amat ampuh dan
berbahaya, yang menyambar-nyambar bagaikan mustika-mustika naga bermain-main di
udara.
Perwira
Turki bernama Sahali itu adalah tangan kanan Pangeran Muda dan ilmu golok
sepasang yang dimainkannya ini hebat dan berbahaya. Dia mempunyai cara
bertempur yang aneh dan ilmu silatnya pasti akan membingungkan lawannya karena
di Tiongkok tidak terdapat ilmu golok seperti itu. Akan tetapi kini dia
menghadapi Bu Pun Su yang mengenal ilmu silat bukan berdasarkan permainannya,
akan tetapi berdasarkan gerakan kaki tangan yang bagaimana pun juga mempunyai
dasar-dasar yang sama.
Sebagaimana
diketahui, rombongan ini tadinya dibantu oleh Wai Sauw Pu yang lihai dan juga
Kanglam Sam-lojin. Akan tetapi Wai Sauw Pu sudah tewas di dalam tangan Ibrahim,
sedangkan Kam-lam Sam-lojin yang merasa gentar menghadapi lawan-lawannya, sudah
melarikan diri dan kembali ke timur, lenyap nafsu mereka untuk ikut mencari
harta pusaka itu karena maklum bahwa mereka akan menghadapi lawan-lawannya yang
tangguhnya luar biasa. Akan tetapi, Siok Kwat Mo-li dan Lok Kun Tojin yang
berilmu tinggi, tidak putus harapan meski pun ditinggalkan oleh kawan-kawannya
ini, apa lagi ketika dari pihak Turki yang mereka bantu itu datang pula Sahali
yang lihai.
Tadi ketika
Bu Pun Su dikeroyok bertiga oleh Thai Kek Losu dan kawan-kawannya, Siok Kwat
Mo-li sudah melihat dengan penuh perhatian. Permainan silat Pek-in Hoat-sut
yang hebat itu terlihat amat kuat menghadapi lawan dari depan mau pun dari
belakang, karena pergerakan kaki tangan secara otomatis berpindah-pindah dan
setiap kali bahaya datang dari belakang, tubuh kakek itu dengan mudah membalik
ke belakang.
Dalam
permainannya, seakan-akan kakek itu mempunyai empat mata, di depan serta di
belakang! Dan Thai Kek Losu serta kawan-kawannya yang mengeroyok dari depan dan
belakang menjadi tidak berdaya! Siok Kwat Mo-li yang cerdik itu dapat melihat
hal ini dan kini dia telah mendapat cara untuk mengeroyok kakek jembel itu maka
ia berbisik kepada dua kawannya,
“Kalian
menyerang dari sisi kanan dan kirinya, sedangkan aku akan menghadapinya dari
depan!”
Kini Bu Pun
Su dikeroyok oleh lawan yang mempergunakan bentuk segitiga, yakni dari depan,
kanan dan kiri, tidak menyerang dari belakang! Serangan yang dilakukan dari
tiga jurusan ini jauh lebih berbahaya dari pada serangan yang dilakukan hanya
dari depan dan belakang, karena hanya datang dari dua jurusan, maka diam-diam
ia merasa kagum dan memuji kecerdikan nenek bongkok itu. Memang benar, ketika
dikeroyok dengan cara demikian, ia akan menderita lelah sekali karena sekarang
ia harus membuat lebih banyak gerakan untuk menghadapi ketiga orang lawan itu.
Bu Pun Su
adalah seorang sakti yang pada masa itu sukar dicari bandingannya, maka tentu
saja tipu muslihat ini tak membuatnya menjadi bingung. Tiba-tiba dia berseru,
“Siok Kwat Mo-li, kau betul-betul cerdik. Akan tetapi aku Si Tua Bangka ini
tidak memiliki banyak waktu dan tenaga untuk melayani kalian bermain-main!”
Sesudah
berkata demikian, Bu Pun Su mengambil sepotong gendewa yang sudah patah milik
dari Sian Kek Losu tadi yang kini panjangnya hanya tinggal satu kaki lebih.
Biar pun benda itu hanya merupakan sepotong baja bengkok, akan tetapi setelah
berada di tangan Bu Pun Su akan merupakan sebuah senjata yang luar biasa
ampuhnya. Kakek jembel ini berseru keras dan baja bengkok itu lantas menyambar
hebat, merupakan gulungan sinar yang panjang dan dahsyat.
“Lepaskan
senjata!” terdengar teriakan nyaring Bu Pun Su dari dalam gulungan sinar itu,
sedangkan tubuh kakek itu sendiri lenyap ditelan gulungan sinar senjatanya yang
diputar secara luar biasa itu.
Terdengar
suara logam beradu keras sekali dan segera disusul oleh pekik kesakitan dan
terkejut oleh tiga buah mulut pengeroyoknya. Sepasang golok di tangan Sahali
terpental dan melayang ke atas sedangkan dua buah roda dari Lok Kun Tojin juga
melayang ke kanan kiri karena talinya telah putus.
Ada pun Siok
Kwat Moli yang mempunyai lweekang lebih tinggi dari pada kedua orang kawannya
itu, masih sanggup mempertahankan senjatanya sehingga tidak terlepas dari
tangannya walau pun kulit telapak tangannya serasa akan pecah. Namun ternyata
bahwa tongkatnya itu tak sekuat tangannya sehingga pada saat ia memandang,
ternyata bahwa tongkatnya itu sudah putus di tengah-tengah dan kini hanya
merupakan sebatang tongkat yang amat pendek saja.
Ternyata
bahwa tadi Bu Pun Su telah mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang sangat
dahsyat, yang disebutnya Gerakan Halilintar Menyambar Bumi. Kehebatan gerakan
ini memang luar biasa sehingga jangankan baru ada tiga orang lawan yang
bersenjata, biar pun ada puluhan lawan agaknya takkan ada yang dapat
mempertahankan sambarannya ini yang dilakukan dengan tenaga lweekang
sepenuhnya!
Siok Kwat
Mo-li dan kedua orang kawannya berdiri bengong karena mereka sendiri tidak tahu
bagaimana cara kakek itu membuat senjata mereka terpental dan patah-patah. Akan
tetapi, nenek bongkok itu menjadi marah sekali dan ketika melihat Bu Pun Su
berdiri di depannya dengan tenang, akan tetapi nyata bahwa kakek itu sedang
mengatur kembali pernapasannya yang agak tersengal karena tadi telah
menggunakan tenaga sepenuhnya sedangkan usianya sudah sangat tua, maka sambil
memekik keras Siok Kwat Mo-li lalu mengayun tangannya dan berhamburanlah
jarum-jarum hitam ke tubuh Bu Pun Su!
Ang I Niocu
dan Ma Hoa terkejut sekali melihat hal ini. Sebagai orang-orang yang sudah
mempelajari ilmu silat tinggi, mereka maklum bahwa pada waktu itu Bu Pun Su
sedang mengatur napas dan karenanya dilarang membuat gerakan-gerakan besar
karena hal ini akan membahayakan keselamatannya.
Ma Hoa dan
Ang Niocu memang sangat tertarik melihat pertandingan ke dua yang lebih hebat
itu, maka tak terasa pula mereka telah mendekat, dan bahkan Ma Hoa telah
berdiri dekat Bu Pun Su, sedangkan Ang I Niocu yang masih merasa takut-takut
kepada Bu Pun Su, berdiri agak jauh.
Melihat
keadaan Bu Pun Su yang sangat berbahaya itu, Ma Hoa cepat melompat dengan
sepasang bambu runcingnya di tangan. Dia melompat ke depan Bu Pun Su dan cepat
sekali dia memutar-mutar dua batang bambu runcing itu menangkisi jarum-jarum
hitam sehingga semua jarum dapat dipukul runtuh ke atas tanah.
“Ehh, anak
lancang, lekas kau mundur! Im Giok, jangan perbolehkan kawanmu ini maju!” kata
Bu Pun Su dengan suara perlahan, akan tetapi berpengaruh hingga Ma Hoa menjadi
terkejut dan segera melompat kembali ke dekat Ang I Niocu.
Bu Pun Su
memandang kepada Siok Kwat Mo-li sambil tersenyum. “Apa bila kau masih merasa
penasaran, kau boleh menyerang lagi dengan jarum-jarummu!”
Akan tetapi,
Siok Kwat Mo-li yang melihat betapa Ma Hoa dan Ang I Niocu yang telah ia kenal
kelihaiannya itu berdiri di situ dan agaknya akan membantu pula kepada Bu Pun
Su, merasa bahwa perlawanan dari pihaknya takkan ada gunanya, maka ia memandang
dengan mata mengandung penuh kebencian ke arah Ma Hoa, kemudian tanpa berkata
sesuatu ia lalu membalikkan tubuhnya dan berlari pergi, diikuti oleh
kawan-kawannya dan semua anak buah Turki.
Sekarang
keadaan di situ makin sunyi dan hanya tinggal Kam Hong Sin seorang bersama anak
buahnya yang masih berdiri di tempat semula. Kam Hong Sin menyaksikan semua
pertandingan itu dan diam-diam dia pun sangat kagum terhadap Bu Pun Su. Dia
maklum bahwa kepandaiannya sendiri belum ada sepersepuluh bagian kepandaian
kakek itu.
Akan tetapi
Kam Hong Sin juga terkenal sebagai seorang panglima gagah yang pantang mundur
dalam melakukan tugasnya. Sebelum ia dikalahkan, betapa pun juga ia tak mau
mengalah begitu saja. Maka ia segera melangkah maju dan menjura kepada Bu Pun
Su.
“Locianpwe,
sungguh hebat kepandaianmu dan selama hidupku baru kali ini aku melihat
kesaktian yang sedemikian hebatnya. Akan tetapi, sebagai seorang utusan Kaisar
yang berkuasa, aku melarangmu mengambil harta pusaka yang menjadi hak milik
kerajaan itu!”
Bu Pun Su
tersenyum dan di dalam hatinya ia mengagumi dan memuji sikap yang gagah berani
dari perwira ini.
“Dan
bagaimana kalau aku tetap hendak mengambil harta pusaka itu?” tanyanya dengan
tenang.
“Terpaksa
aku harus menangkap dan menawanmu untuk dibawa ke kota raja!”
Terdengar
suara tertawa riuh rendah. Ternyata bahwa yang tertawa itu adalah Hai Kong
Hosiang, Wi Wi Toanio, perwira serta pendeta Mongol yang menjadi
kawan-kawannya. Hai Kong Hosiang berkata kepada Balaki, perwira Mongol yang
kini menjadi kawannya itu.
“Balaki,
kaulihat bagaimana sombongnya perwira yang masih kanak-kanak itu, ha-ha-ha!”
Tiba-tiba Bu
Pun Su berpaling kepada mereka dan membentak, “Diam! Perwira ini lebih gagah
dan jantan dari pada kalian semua, mengapa mentertawakannya?”
Hai Kong
Hosiang beserta kawan-kawannya tercengang mendengar bentakan ini karena mereka
benar-benar tidak menyangka bahwa Bu Pun Su akan menjadi demikian marah. Mereka
tidak tahu bahwa sebenarnya, di dalam hatinya Bu Pun Su merasa segan untuk
melawan perwira yang gagah perkasa dan yang setia akan tugasnya ini.
“Kam-ciangkun,”
kata kakek itu kemudian, “lebih baik Ciangkun kali ini mengalah saja dan
kembali ke Kota Raja. Biarlah lain kali bila mana ada ketika, aku orang tua
akan datang menyatakan maaf.”
“Tidak
mungkin, Locianpwe. Tugas kewajiban harus dilaksanakan, biar pun aku terpaksa
mempertaruhkan jiwaku. Apa bila Locianpwe hendak melanjutkan usaha mengambil
harta pusaka itu, betapa pun juga terpaksa aku harus turun tangan dan
menangkapmu.”
“Hmm, kalau
begitu, silakan kau maju dan menangkapku kalau kau sanggup, Ciangkun, dan
bukalah matamu baik-baik supaya kau tidak melewatkan kesempatan baik ini dengan
sia-sia!”
Kam Hong Sin
tak mengerti akan maksud ucapan ini, akan tetapi ia tidak merasa gentar dan
ketika Bu Pun Su menantangnya untuk menangkap, ia segera mempergunakan ilmu
tangkapan tangan yang dulu dia pernah pelajari dari seorang perantau dari
seberang laut timur.
Perantau itu
datang dari seberang timur dan dalam perantauannya ke daratan Tiongkok, dia
sudah bertemu dengan Kam Hong Sin dan memberinya pelajaran silat yang sifatnya
seperti Sin-na-hoat. Oleh karena itu, ia memiliki kepandaian yang luar biasa
dan sekali ia dapat menangkap kedua lengan orang, maka sukarlah bagi orang itu
untuk melepaskan dirinya lagi!
Ketika Kam
Hong Sin melangkah maju hendak menangkapnya, Bu Pun Su hanya berdiri tersenyum
dan bahkan mengulurkan kedua lengannya untuk ditangkap! Kam Hong Sin merasa
heran dan segera menyambar kedua lengan itu untuk terus diputar ke belakang
tubuh Bu Pun Su dalam pegangan yang kuat sekali! Gerakan ini demikian cepat
hingga tahu-tahu kedua lengan tangan kakek itu telah ditekuk ke belakang
punggung dan ikatan belenggu besi pun tidak akan lebih kuat dan meyakinkan dari
pada pegangan ini.
“Ciangkun,
perhatikan baik-baik!” kata Bu Pun Su.
Kam Hong Sin
segera maklum bahwa kakek itu tentu akan menggunakan ilmunya untuk melepaskan
diri, maka cepat-cepat ia lalu mempererat pegangannya dan menekuk kedua lengan
kakek itu semakin tinggi di atas punggungnya!
Bu Pun Su
mengangkat sebelah kakinya lalu ditendangkan ke belakang dengan perlahan
sehingga Kam Hong Sin yang berdiri di belakangnya itu tentu saja harus mengelak
dari tendangan yang mengarah ke bagian berbahaya dari tubuhnya. Dia miringkan
tubuh dan mengganti kedudukan kakinya dan saat inilah yang dipergunakan oleh Bu
Pun Su untuk melepaskan diri. Saat Kam Hong Sin mengangkat kaki untuk membuat
perobahan posisi kakinya, tiba-tiba Bu Pun Su membungkuk dan sekali Bu Pun Su
berseru keras maka tubuh Kam Hong Sin itu terpelanting melewati kepala Bu Pun
Su hingga jatuh tunggang langgang!
Sampai tiga
kali Kam Hong Sin mencoba menangkap Bu Pun Su dengan mengeluarkan berbagai ilmu
menangkap, akan tetapi selalu akibatnya terpelanting dan terbanting jatuh di
depan kakek itu. Dan anehnya, ketika terbanting itu, Kam Hong Sin tidak merasa
sakit karena tidak terbanting keras dan tiap kali melakukan gerakan untuk
melepaskan diri dari tangkapan, Bu Pun Su sengaja berlaku lambat sehingga Kam
Hong Sin dapat mengikuti gerakannya dan dapat memahami ilmu gerakan itu hingga
seakan-akan mereka bukan sedang bertanding sungguh-sungguh, akan tetapi hanya
merupakan latihan saja, yaitu Kam Hong Sin mendapat latihan tiga macam ilmu
gerakan yang hebat dari Bu Pun Su!
“Terima
kasih atas pengajaran Locianpwe. Saya mengaku kalah dan biarlah kekalahan ini
kulaporkan ke Kota Raja.”
Setelah
berkata demikian, Kam Hong Sin lalu memimpin anak buahnya untuk kembali ke
timur, memberi laporan tentang gagalnya tugas yang dijalankannya! Walau pun ia
merasa penasaran dan kecewa, namun diam-diam dia merasa girang karena menerima
pelajaran tipu gerakan yang lihai dari kakek sakti itu!
Hai Kong
Hosiang tertawa dan sambil menuding ke arah Ang I Niocu dan Ma Hoa, ia pun
berkata keras, “Kalian apakah hendak merebut harta pusaka pula? Jika demikian
halnya, boleh kalian maju melawan jago kami. Ha-ha-ha,”
Walau pun
merasa gemas dan marah, akan tetapi Ang I Niocu dan Ma Hoa tidak berani berlaku
sembrono di depan Bu Pun Su. Mereka hanya berdiri bingung dan memandang ke arah
kakek itu. Pada waktu Bu Pun Su berpaling kepada mereka, Ang I Niocu segera
menjatuhkan diri berlutut.
Akan tetapi
sambil mengerutkan keningnya, Bu Pun Su membuat gerakan dengan tangan mengusir
mereka dan berkata, “Pergilah, pergilah...”
Ang I Niocu
dan Ma Hoa tidak berani membantah dan terpaksa mereka pergi dari sana tanpa
berani bertanya apa-apa lagi. Mereka cepat-cepat pulang ke rumah Yousuf untuk
menceritakan peristiwa mengherankan ini kepada Nelayan Cengeng dan Yousuf.
Sementara
itu, setelah berhasil mengusir semua pihak yang ingin mencari harta pusaka itu,
Bu Pun Su lalu membawa kawan-kawannya masuk ke dalam goa itu.
“Inilah goa
penyimpanan harta-pusaka itu.” katanya.
“Bu Pun Su,
kau berjanji untuk mendapatkan harta pusaka itu, bukan hanya goanya,” kata Hai
Kong Hosiang dengan senyum menyeringai.
“Kita harus
mencari rahasianya,” keluh kakek jembel itu yang segera mencari-cari.
Ia adalah
seorang yang sudah memiliki pengalaman luas, maka meski pun tanpa bantuan peta,
dia dapat menduga bahwa patung yang berdiri di dekat dinding itu tentulah bukan
sengaja dipasang di sana, karena biasanya patung Buddha itu selalu dipasang di
tengah dan di tempat yang khusus untuk menjadi pujaan.
Maka ia
lantas menggerak-gerakkan patung itu dan benar saja, terdengar bunyi di bagian
atas dan segera tampaklah lubang tempat persembunyian harta itu. Bu Pun Su
kemudian menggerakkan tubuhnya dan memasuki lubang kecil itu sebagaimana
dilakukan oleh Cin Hai dahulu. Tak lama kemudian, ia turun kembali dan berkata
kepada Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio,
“Harta ada
di dalam sana, kalian boleh mengambilnya dan sekarang lekas keluarkanlah obat
untuk muridku itu!”
“Obat itu
tidak ada padaku,” jawab Hai Kong Hosiang.
Bu Pun Su
memandang dengan mata bersinar-sinar sehingga Hai Kong Hosiang menjadi takut
dan mundur dua langkah.
“Aku tidak
membohongimu, Bu Pun Su. Obat itu memang ada, yaitu dalam tangan dukun tua dari
Mongol yang juga sudah kami ajak ke tempat ini dan kami sembunyikan di dalam
sebuah tempat rahasia di dalam hutan.”
“Lebih dulu
bawa aku ke sana untuk mengambil obat, setelah itu kau serahkan kepadaku,
barulah kalian boleh mengambil semua harta ini!” Sambil berkata demikian, Bu
Pun Su lalu menggerakkan kembali patung itu sehingga lubang tadi tetutup kembali.
“Benarkah
harta itu berada di tempat itu?” tanya Wi Wi Toanio kepada Bu Pun Su.
“Wi Wi, aku
adalah seorang lelaki sejati. Pernahkah aku membohong?” Bu Pun Su amat
mendongkol dan ia kembali menggerakkan patung untuk membuka. “Kau lihatlah
sendiri, perempuan curang!”
Wi Wi Toanio
tertawa menjemukan lantas melompat ke atas dan memasuki lubang itu. Sampai lama
dia tidak keluar hingga Hai Kong Hosiang terpaksa berseru memanggilnya.
Akhirnya kepala perempuan itu muncul kembali dan sepasang matanya
bersinar-sinar bagaikan seorang yang merasa girang sekali.
“Aduhhh,
bukan main hebatnya!” katanya sehingga ucapan yang pendek itu sudah cukup
menyakinkan hati Hai Kong Hosiang, Balaki dan kawan-kawannya.
Bu Pun Su
menutup kembali lubang itu dan berkata, “Hayo cepat antar aku ke dukun itu
untuk mengambil obatnya!”
Mereka lalu
membawa Bu Pun Su ke dalam sebuah hutan di luar kota, di mana terdapat sebuah
pondok yang terjaga oleh beberapa orang Mongol kawan-kawan Balaki. Namun ketika
mereka datang, para penjaga lalu menyambut mereka dengan muka pucat.
“Celaka,
baru saja ada seorang muda yang mengacau di sini. Kami semua tidak berdaya
terhadapnya, karena ia lihai sekali!”
Hai Kong
Hosiang beserta kawan-kawannya, juga Bu Pun Su menjadi terkejut sekali dan
mereka segera memburu ke dalam pondok. Dukun tua yang kurus itu sedang duduk di
atas bangku sambil menundukkan kepala seperti orang yang mengantuk.
“Muhambi,
apakah yang terjadi?” teriak Hai Kong Hosiang dengan kuatir.
“Tak ada
apa-apa, hanya seorang pemuda yang memaksaku menyerahkan obat penolak racun
dari kembang semut merah itu.”
Hai Kong
Hosiang menjadi pucat. “Celaka! Justru obat itulah yang kami butuhkan! Siapa
orangnya yang berani merampasnya?”
“Entahlah,”
jawab Mahambi, dukun itu. “Ia adalah seorang pemuda tampan yang mengaku bernama
Song Kun!”
Mendengar
ini, Bu Pun Su menjadi pucat dan ia pun segera berkata, “Wi Wi, dan kau Hai
Kong! Aku telah memenuhi janjiku untuk mengusir semua lawan dan mendapatkan
tempat disimpannya harta pusaka, akan tetapi ternyata kalian tidak dapat
memenuhi janjimu!”
“Sabar dulu,
Bu Pun Su,” kata Hai Kong Hosiang yang segera memegang pundak dukun itu sambil
mengancam, “Buatkan lagi obat itu untuk kami!”
Mahambi
menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah penuh uban. “Aku harus menanti
berkembangnya kembang semut merah itu kira-kira setengah tahun lagi.”
“Aku pergi!”
kata Bu Pun Su. “Jangan harap kalian akan dapat membawa harta pusaka itu!”
Setelah berkata demikian, kakek itu melompat keluar pondok dan lenyap.
Hai Kong
Hosiang dan Wi Wi Toanio sejenak tertegun. Alangkah ingin mereka mengejar dan
memaksa Bu Pun Su agar mengambilkan harta pusaka itu. Akan tetapi, apakah daya
mereka terhadap kakek sakti itu.
***************
Cin Hai dan
Lin Lin yang sedang melakukan perjalanan dengan perlahan dan seenaknya,
akhirnya sampai pula di luar batas kota Lan-couw dan di tempat ini mereka lalu
berhenti untuk beristirahat dalam sebuah goa di luar hutan.
“Mudah-mudahan
Suhu akan berhasil mendapatkan obat itu secepatnya agar hatiku tidak menjadi
gelisah sekali,” kata Cin Hai.
“Hai-ko,
jangan kau gelisah. Suhu pasti akan bisa mendapatkan obat itu dan andai kata
Suhu gagal, aku masih tetap percaya bahwa akhirnya kau akan berhasil menolongku,”
kata Lin Lin dengan mata memandang mesra dan penuh kepercayaan.
Melihat
kedua orang itu berhenti di dalam goa, tiga ekor burung sakti, yaitu
Sin-kong-ciak, Kim-tiauw dan Ang-siang-kiam Si burung bangau, lalu melayang
turun dan mengeluarkan suara seakan-akan mereka merasa kecewa, oleh karena bagi
mereka tempat itu memang kurang menyenangkan. Tempat itu merupakan tanah tidak
berumput, penuh gunung batu karang dan banyak pula goa-goa besar di situ,
dengan batu-batu karang bergantungan dari atas merupakan pedang tajam dan di
dalam goa pun lantainya dari batu karang yang menyakitkan kaki bila
menginjaknya.
Akan tetapi
oleh karena panas terik matahari sedang membakar tempat yang gundul tak
berpohon itu, maka goa di mana mereka berteduh merupakan tempat yang sangat
enak dan melindungi mereka dari serangan matahari yang panas.
“Lin-moi,”
kata Cin Hai sambil membelai kepala Sin-kong-ciak yang mendekatinya, “Kalau
kita telah beristirahat dan menghilangkan lelah, kita harus segera melanjutkan
perjalanan memasuki kota Lan-couw. Betapa pun juga, aku merasa amat gelisah
mengingat akan nasib Suhu yang berada dalam pengaruh dan kekuasaan orang-orang
jahat seperti Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya.”
“Tenangkanlah
hatimu, Hai-ko. Suhu bukan sembarangan orang yang akan mudah dapat dicelakai
oleh orang-orang macam Hai Kong itu. Aku yakin sepenuh hatiku bahwa Suhu pasti
akan tiba dengan segera membawa obat itu.”
Tiba-tiba
Sin-kong-ciak dan kedua burung yang lain itu berteriak keras dan ketiga-tiganya
lalu terbang keluar goa sambil memekik-mekik marah. Cin Hai melompat keluar,
diikuti oleh Lin Lin.
Mereka
terkejut sekali karena melihat bahwa yang datang itu adalah Song Kun! Ketiga
burung itu sudah mengenal Song Kun dan sudah mengetahui kelihaiannya, maka
mereka hanya terbang rendah sambil mengeluarkan suara teriakan seakan-akan
memberi tanda kepada Cin Hai dan Lin Lin agar supaya bersiap menghadapi lawan.
“Obat sudah
kudapatkan!” teriak Song Kun dengan wajah berseri. “Cin Hai, adikku yang baik.
Sekarang akulah yang berhak membawa gadis ini, karena jiwanya berada di dalam
tanganku. Aku telah mendapatkan obat itu dan akulah pula yang berhak
mendapatkannya karena hanya aku yang dapat menyembuhkannya!”
Cin Hai
menjadi pucat dan dia memandang penuh ketidak percayaan.
“Kau tidak
percaya?” kata Song Kun sambil tersenyum dan melirik ke arah Lin Lin. “Inilah
obat itu!” Ia mengeluarkan sebotol obat warna merah dari saku bajunya dan
mengangkat tinggi-tinggi.
“Song Kun!
Betulkah bicaramu itu?” tanya Cin Hai dengan hati berdebar.
“Kau anggap
aku ini orang apakah maka bicaraku harus kau ragukan lagi? Dengar, Sute. Obat
untuk menyembuhkan Lin Lin hanyalah sebotol ini yang berada di tangan dukun
Mongol. Obat inilah yang seharusnya diberikan kepada orang yang berhasil
mendapatkan harta pusaka untuk rombongan yang dikepalai oleh Hai Kong Hosiang,
demikian menurut dukun Mongol itu. Akan tetapi dengan bersikeras, aku berhasil
merampas botol ini, dan segera aku mencari kalian untuk mengobati Lin Lin. Akan
tetapi, aku baru memberi obat ini kepada Lin Lin kalau dia mau berjanji untuk
menjadi isteriku yang tercinta.” Song Kun berkata demikian sambil
mempermain-mainkan botol itu di tangannya dan mengerling ke arah Lin Lin yang
menjadi merah mukanya.
“Suheng!”
teriak Cin Hai yang merasa girang dan juga kaget. Girang karana ada harapan
bagi Lin Lin untuk sembuh kembali akan tetapi, kaget mendengar permintaan dan
syarat Song Kun itu.
“Kau
tolonglah Lin Lin dan berikan obat itu kepadanya. Kesembuhannya merupakan hal
yang terpenting bagiku dan walau pun kau menghendaki jiwaku, akan kuberikan
dengan rela asalkan kau suka menyembuhkan Lin Lin. Akan tetapi, janganlah kau
memaksanya menjadi isterimu kalau dia tidak suka.”
Song Kun
tertawa bergelak, “Sute, kau membolak-balik omonganmu sendiri. Kau tak ingin
melihat tunanganmu itu meninggal dan juga tidak ingin melihat ia menjadi isteri
orang lain! Cin Hai, apakah kau benar-benar mencinta kepadanya?”
“Tak perlu
kau bertanya lagi. Aku rela mengorbankan nyawa untuknya.”
“Kalau benar
cintamu itu murni, kau tentu tidak keberatan untuk mengalah padaku. Pilih saja,
membiarkan ia sembuh sama sekali dan menjadi isteriku, atau akan kubuang obat
ini dan membiarkan dia mati.” Sambil berkata demikian, Song Kun membuat gerakan
seolah-olah dia benar-benar hendak melempar botol itu ke dalam jurang batu
karang!
Cin Hai
menjadi bingung karena dia maklum bahwa seorang macam Song Kun itu bukan hanya
pandai menggertak saja, akan tetapi dapat melakukan segala perbuatan yang keji.
"Jangan
kau buang botol itu, Suheng! Tentu saja aku lebih suka melihat Lin Lin sembuh
kembali!”
“Dan menjadi
isteriku?” tanya Song Kun.
“Soal itu
terserah kepadanya,” jawab Cin Hai tanpa berani memandang muka kekasihnya.
Lin Lin
semenjak tadi mendengarkan percakapan mereka itu dengan hati panas, akhirnya
tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Ia melompat berdiri dan mencabut
pedang pendeknya.
“Song Kun
manusia berbatin rendah! Aku lebih baik seribu kali mati dari pada menjadi
isterimu. Buanglah botol itu! Kau kira aku takut mati?” Sambil berkata
demikian, dengan kemarahan besar gadis itu lalu menerjang Song Kun dengan
pedang pendeknya dalam serangan yang hebat.
Song Kun
cepat menyimpan botol itu kembali ke dalam saku bajunya, kemudian segera
mencabut pedangnya Ang-ho Sian-kiam untuk menghadapi serangan Lin Lin yang
tidak boleh dipandang ringan itu.
Melihat
betapa kekasihnya menjadi nekat, Cin Hai cepat-cepat mencabut keluar pedang
Liong-cu-kiam dan ikut menerjang sambil berseru, “Song Kun, jangan kau lawan
dia yang masih lemah. Akulah lawanmu!” Dengan tikaman hebat dia menyerang yang
segera ditangkis oleh Song Kun.
Lin Lin
tetap menyerang dan membantu kekasihnya, akan tetapi Cin Hai yang berkuatir
melihat kelemahan Lin Lin segera berkata kepadanya, “Lin-moi mundurlah dan
biarkan aku menghadapi iblis ini! Aku telah yakin akan perasaan hatimu dan
jangan kau kuatir. Kalau perlu, kita akan mati bersama!”
Lin Lin
melompat mundur dan membiarkan kekasihnya menghadapi lawan yang baginya
terlampau tangguh itu, apa lagi karena dia memang merasa pening dan lemah. Ia
berdiri saja memandang dan menyaksikan pertempuran yang berjalan hebat itu.
Sekali lagi
dua orang muda yang amat lihai itu mengadu kepandaian di antara batu-batu
karang yang menjulang tinggi, disaksikan oleh Lin Lin dan ketiga ekor burung
sakti yang hanya beterbangan di atas dan kadang-kadang saja menyambar turun
untuk membantu. Akan tetapi, sinar pedang Ang-ho Sian-kiam yang hebat dan
mengeluarkan hawa panas itu membuat mereka tidak tahan mendekati Song Kun dan
terpaksa hanya beterbangan di atas mereka yang sedang bertempur sambil
mengeluarkan pekikan-pekikan nyaring.
Karena
hatinya telah bulat untuk merobohkan Song Kun yang dibencinya ini, Cin Hai lalu
mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya, hingga ia
dapat mendesak Song Kun setelah mereka bertempur selama puluhan jurus dengan
hebatnya.
Diam-diam
Song Kun merasa terkejut sekali karena kini dia mendapat kenyataan bahwa
betul-betul pengertian tentang dasar-dasar ilmu silat membuat Cin Hai menjadi
lihai sekali dan dapat mengembalikan setiap serangannya yang bagaimana lihai pun.
Juga pedang Liong-cu-kiam di tangan Cin Hai merupakan senjata ampuh yang
sanggup mengimbangi kehebatan Ang-ho Sian-kiam yang tadinya merupakan pedang
tunggal dan jarang sekali menemukan tandingannya.
Song Kun
adalah seorang yang tidak saja pandai dan tinggi ilmu silatnya, akan tetapi dia
juga cerdik dan memiliki sifat curang. Melihat kehebatan sepak terjang Cin Hai,
tiba-tiba dia menarik keluar botol obat itu dan membuat gerakan seakan-akan
hendak melempar obat itu ke jurang.
Gerakan ini
tentu saja membuat Cin Hai menjadi pucat, karena betapa pun juga, dia tidak
ingin melihat obat tunggal itu dibuang sehingga jiwa Lin Lin tak akan dapat
tertolong lagi. Ia menggigil kalau memikirkan bahwa kekasihnya itu akan mati
karena racun tanpa dapat ditolong lagi. Botol obat di tangan Song Kun itu
nampak olehnya seakan-akan nyawa Lin Lin, maka gerakan Song Kun itu tak dapat
tiada membuat ia memekik tanpa terasa lagi, “Jangan lempar botol itu!”
Tentu saja
pikiran yang bingung itu membuat gerakan pedangnya menjadi kacau hingga pada
saat yang tepat, pedang Ang-ho Sian-kiam di tangan Song Kun menyerang seperti
kilat dan menusuk ke arah matanya! Cin Hai cepat menundukkan kepalanya, akan
tetapi gerakan itu terlalu cepat sehingga ujung pedang masih menggores kulit
jidatnya!
Darah
mengucur dari kulit itu, terus mengalir turun di sepanjang hidung dan pipinya.
Cin Hai menggunakan lengan baju tangan kiri mengusap mukanya dan pada saat itu
kembali pedang Song Kun meluncur dalam suatu serangan yang dahsyat, yaitu
dengan bacokan ke arah lehernya.
Serangan ini
datangnya tak tersangka-sangka. Karena rasa perih pada jidatnya membuat Cin Hai
kurang dapat memperhatikan pergerakan lawan, maka cepat ia lalu menjatuhkan
diri ke belakang untuk berjungkir balik sambil menghindarkan diri dari serangan
itu, akan tetapi kembali ujung pedang Song Kun masih berhasil melukai kulit
pundak kirinya! Darah mengucur lagi dan kini lebih banyak karena sedikit daging
di bahunya ikut terpapas oleh pedang yang tajam itu!
Melihat hal
ini, tanpa tertahankan pula Lin Lin menjerit dan roboh pingsan karena kembali
kekuatiran telah membuat jantungnya terserang racun di tubuhnya!
Melihat
keadaan kekasihnya, timbullah kemarahan besar di hati Cin Hai. Ia menjadi nekat
dan maklum bahwa menghadapi seorang yang tangguh dan kejam semacam Song Kun,
dia tidak boleh merasa khawatir karena betapa pun juga, tentu Song Kun tidak
akan mau memberikan obat itu kepadanya.
Karena itu
dia lalu menggigit bibirnya dan mempererat pegangan tangan pada pedangnya lalu
membentak, “Song Kun, kalau bukan kau, tentu aku yang akan menggeletak tak
bernyawa di tempat ini!”
Setelah
berkata demikian, Cin Hai lantas mengirim serangan-serangan balasan kilat yang
luar biasa hebatnya, karena ia telah mengerahkan seluruh kepandaian dan
kecepatannya dan juga menyerang dengan maksud merobohkan dan membunuh lawannya
ini. Memang gerakan serangan Cin Hai ini terjadi dengan otomatis.
Dalam
keadaan sabar, gerakan Cin Hai menjadi tenang dan kuat. Tetapi kini dia dalam
keadaan marah dan menggelora, maka gerakan pedangnya berubah menjadi amat ganas
seolah-olah seorang iblis mengamuk! Tiap gerakan pedang merupakan tusukan,
tikaman, atau sabetan yang dapat membawa maut!
Song Kun
terkejut sekali. Ia berseru sambil menangkis serangan Cin Hai, “Mundur, kalau
tidak, benar-benar obat ini hendak kulempar ke jurang,”
Akan tetapi,
Cin Hai telah menjadi gelap mata dan tidak mau memikirkan lain hal kecuali
merobohkan lawan yang dibencinya ini. Ia tidak menjawab, bahkan segera
memperhebat desakannya. Song Kun terpaksa melayani dengan sungguh hati, karena
benar berbahaya baginya.
“Benar-benar
kulemparkan botol ini!” teriaknya mencoba sekali lagi.
Akan tetapi
sekarang Cin Hai tidak dapat digertak lagi. Song Kun menjadi gemas dan dia
melompat ke belakang, agak jauh dari Cin Hai. Dengan napas memburu karena
menahan marahnya Cin Hai mengejar, akan tetapi ia melihat Song Kun benar-benar
melemparkan botol itu ke dalam jurang!
Melihat hal
ini, mau tidak mau Cin Hai merasa betapa hatinya menjadi perih seakan-akan
melihat Lin Lin meninggal dunia pada saat itu! Ia memekik keras dan ngeri
sambil melihat arah botol itu dilemparkan.
Akan tetapi,
pada saat itu, dari dalam jurang itu, berkelebat sosok bayangan orang dan
tahu-tahu Bu Pun Su telah berdiri di situ dengan botol tadi diangkat
tinggi-tinggi.
“Ha,
akhirnya obat ini terdapat juga olehku!” katanya girang.
Bukan main
girangnya hati Cin Hai melihat ini sehingga tak terasa pula air matanya lalu
mengalir turun, bercampuran dengan darahnya yang tadi mengucur keluar dari luka
pada jidatnya.
Sementara
itu, Song Kun menjadi marah sekali. “Tua bangka!” ia memaki supek-nya. “Kau
selalu memusuhi aku dan membela muridmu! Majulah dan mari kita mengadu jiwa di
sini!”
Bu Pun Su
hanya tersenyum dengan tenang. “Aku tidak sudi mengotorkan tanganku. Cin Hai,
kau lawanlah dia!”
Cin Hai yang
merasa beruntung sekali seakan-akan melihat Lin Lin bangkit kembali dari alam
baka itu, segera memutar pedangnya dan berkata, “Suhu, teecu mohon ijin dan
restu untuk mengakhiri hidup manusia iblis ini!”
“Memang
kejahatan harus dibalas dengan keadilan, dan orang macam dia ini sudah amat
pantas apa bila dibasmi. Laksanakanlah tugasmu menjadi wakil mendiang Susiok-mu
dan juga wakilku!” kata Bu Pun Su yang kemudian berdiri dengan tegak dan
wajahnya tampak bersungguh-sungguh.
Cin Hai lalu
maju menyerang dan terjadilah pertempuran yang lebih hebat dari tadi. Kini
keduanya berusaha keras untuk menjatuhkan lawan, dan semua serangan dimaksudkan
untuk menewaskan lawan. Pedang Ang-ho Sian-kiam berubah menjadi gulungan cahaya
merah, sedangkan pedang Liong-cu-kiam ketika dimainkan, berubah menjadi sinar
putih yang terang sekali.
Sinar pedang
kedua pihak bergulung-gulung menyelimuti tubuh mereka dan kalau yang
menyaksikan pertandingan ini hanya orang-orang biasa, pasti mereka akan merasa
heran sekali melihat sinar putih dan merah bergulung-gulung tanpa melihat
bayangan orang dan pedang, dan tentu mereka menyangka bahwa dongeng-dongeng
tentang para kiam-hiap (pendekar pedang) yang dapat menerbangkan pedangnya yang
disebut hui-kiam (pedang terbang) itu memang benar-benar ada!
Akan tetapi,
mata Bu Pun Su dapat melihat dengan nyata betapa Cin Hai mulai berhasil
mendesak Song Kun yang kini hanya dapat menangkis saja. Biar pun Song Kun
menang gesit dan menang pengalaman serta keuletan, tetapi karena pemuda itu
selalu menjalani kehidupan sebagai seorang pemogoran yang terlalu banyak pelesir,
maka kesehatannya tidak sedemikian sempurna.
Sesudah
terdesak oleh Cin Hai dalam sebuah pertempuran yang memakan waktu lama dan
mereka telah berkelahi seratus jurus lebih, pada akhirnya dia menjadi lelah dan
daya tahannya sudah banyak berkurang. Sebaliknya, Cin Hai yang telah
mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, biar pun banyak darah keluar dari
dua lukanya, masih tetap segar dan bahkan mendesak makin hebat!
Akhirnya
Song Kun terdesak sampai ke pinggir jurang dan ketika kaki kirinya menginjak tempat
kosong sehingga tubuhnya terjengkang, secepat kilat Cin Hai menusuk ke arah
dadanya. Dia masih berusaha memiringkan tubuh, akan tetapi kurang cepat dan
pedang Liong-cu-kiam sudah masuk ke dalam dada kanannya dan tubuhnya lalu
terguling masuk ke dalam jurang!
Cin Hai
memandang ke dalam jurang yang dalam itu dan melihat betapa tubuh Song Kun itu
terguling-guling dan makin lama makin kecil sehingga akhirnya lenyap dari
pandangan matanya!
“Bagus, Cin
Hai, kepandaianmu sudah banyak maju!”
Cin Hai
bagaikan baru sadar dari lamunan dan ia segera berlutut di depan gurunya tanpa
dapat mengeluarkan sepatah pun kata. Mereka cepat-cepat menghampiri Lin Lin
yang masih pingsan dan Bu Pun Su segera menuangkan isi botol itu ke dalam mulut
Lin Lin yang dibuka oleh Cin Hai.
Pemuda itu
lalu memondong tubuh Lin Lin, dibawa masuk ke dalam goa supaya jangan terserang
panas matahari. Bu Pun Su mengikuti dari belakang. Setelah dengan hati-hati
sekali dan penuh kasih sayang Cin Hai meletakkan tubuh kekasihnya di atas batu
karang, dia bersama suhu-nya lalu duduk tanpa bergerak mau pun mengeluarkan
suara. Seluruh perhatian mereka menuju kepada keadaan Lin Lin, dengan hati
penuh harap dan cemas!
Makin lama,
wajah Lin Lin yang tadinya nampak pucat itu, makin menjadi merah, bahkan
terlalu merah bagaikan orang yang sedang marah! Kemudian Lin Lin membuka kedua
matanya dan melihat Bu Pun Su, dia lalu melompat dan bangun berdiri. Kedua
matanya yang indah itu memandang marah kepada Bu Pun Su dan tiba-tiba dia sudah
mencabut Han-le-kiam, terus menyerang kakek itu!
Tentu saja
kejadian ini membuat Bu Pun Su dan Cin Hai terkejut dan heran sekali. Bu Pun Su
mengelak dan Cin Hai cepat memburu dan berseru, “Lin-moi, mengapa kau menyerang
Suhu?”
“Siapa yang
menjadi Suhu-ku? Dia orang jahat! Dia harus dibunuh... lekas kau bantu aku,
Hai-ko kekasihku!” Sambil berkata demikian, kembali Lin Lin menyerang Bu Pun
Su.
Cin Hai
makin terkejut oleh karena selain gadis ini tidak mengenal pula kepada Bu Pun
Su gurunya sendiri, juga di depan orang lain gadis ini menyebutnya ‘kekasihku’,
satu hal yang belum pernah terjadi! Dengan hati berdebar khawatir, timbul
persangkaan di dalam hatinya bahwa kekasihnya ini telah terganggu ingatannya!
Maka dia cepat menubruk dari belakang, memeluk pinggang kekasihnya itu dan
merampas pedangnya.
“Lin Lin...
dia adalah Suhu kita...!” Lin Lin tak berdaya dalam pelukan Cin Hai yang kuat,
akan tetapi dia masih memandang ke arah Bu Pun Su dengan mata melotot.
“Lin Lin,
aku adalah Bu Pun Su!” kakek jembel itu berkata dengan suara mengharukan karena
dia merasa bersedih melihat keadaan muridnya yang terkasih itu.
“Tidak,
tidak! Kau laki-laki kurang ajar yang hendak membunuh kekasihku. Pergi...
pergi... Kalau tidak, kau akan kubunuh!”
Setelah
memaki-maki lagi, akhirnya tubuh Lin Lin menjadi lemas dan ia jatuh pulas dalam
pelukan Cin Hai!
Bu Pun Su
serta Cin Hai menjadi cemas sekali dan ketika Cin Hai membaringkan tubuh
kekasihnya di atas lantai goa, ternyata bahwa jalan pernapasan gadis itu normal
dan tak nampak tanda-tanda bahwa kesehatannya terganggu, bahkan ketika dia
memeluk Lin Lin yang mengamuk tadi, Cin Hai merasa betapa tenaga gadis itu
telah pulih kembali!
“Bagaimana
baiknya, Suhu…?” tanya Cin Hai dengan bingung.
“Sabar dan tunggulah
saja perkembangannya lebih jauh. Mungkin sekali mereka sengaja memberi obat
yang bukan semestinya!”
Tak lama
kemudian, Lin Lin terbangun dari tidurnya dan dia memandang sekeliling bagai
seorang yang baru saja sadar dari mimpi buruk. Ketika melihat Bu Pun Su, dia
lalu maju berlutut dan berseru, “Suhu...!”
Bu Pun Su
dan Cin Hai saling pandang dengan mata terbelalak.
“Lin Lin,
mengapa tadi kau mengamuk dan menyerang Suhu?” tanya Cin Hai.
Lin Lin
memandangnya dengan heran dan menjawab, “Hai-ko, apakah arti pertanyaanmu itu?
Aku menyerang Suhu dan mengamuk? Ahh, kau mengimpi barang kali!”
Ternyata
bahwa Lin Lin tidak ingat sama sekali, bahwa tadi ia telah menyerang suhu-nya
sendiri dan mengamuk bagaikan orang kemasukan setan! Ketika Bu Pun Su memeriksa
nadi tangannya, kakek ini mengangguk puas dan untuk melenyapkan rasa penasaran,
dia minta gadis itu mainkan ilmu silat dengan pedangnya.
Lin Lin
segera mencabut keluar Han-le-kiam dan bersilat di depan guru serta kekasihnya.
Mereka berdua merasa kagum karena ternyata gadis ini telah sembuh benar, tenaga
dan kegesitannya kembali sedia kala. Akan tetapi kalau mereka mengingat hal
tadi, mereka menjadi gelisah juga.
“Cin Hai,
marilah kita datangi mereka itu untuk bertanya kepada dukun Mongol mengapa
setelah minum obat itu, pikiran Lin Lin menjadi terganggu. Lin Lin, kau
menantilah saja di sini, dengan kembalinya tenaga dan kepandaianmu kami tidak
perlu kuatir meninggalkan engkau seorang diri di sini. Apa lagi kau dikawani
oleh tiga burung sakti itu.” kata Bu Pun Su yang segera bersuit nyaring
memanggil Merak Sakti dan kawan-kawannya.
Tiga ekor
burung besar melayang turun dan masuk ke dalam goa itu.
“Kalian
bertiga jagalah baik-baik pada Lin Lin!” kata Bu Pun Su kepada tiga burung itu.
Kemudian ia
bersama Cin Hai lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu untuk mencari
keterangan kepada dukun Mongol.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment