Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 21
PADA hari ke
empatnya, tubuh Ang I Niocu sudah mulai bergerak-gerak dengan gelisah, akan
tetapi tubuhnya ternyata lemah sekali. Karena gerakan yang gelisah itu,
beberapa kali mantel yang menutupi tubuhnya terbuka tapi dengan cepat dan
sopan, Kong Sian lalu menutupkannya kembali. Kemudian dia lalu mengurut jalan
darah gadis itu hingga Ang I Niocu merasa mendingan dan tidak begitu gelisah
lagi, akan tetapi gadis itu masih belum membuka matanya.
Sambil
bergerak perlahan dengan mata tertutup ia berbisik, “Lin Lin…. Hai-ji….”
Kemudian sambil mengeluarkan ujung lidah yang disapu-sapukan di bibirnya ia
berbisik lagi, “Air…. air….”
Ketika Kong
Sian meraba jidatnya, maka ternyata panasnya sudah naik lagi. Kong Sian merasa
kuatir sekali dan segera mengambil air yang sudah dimatangkannya, lalu dengan
sebuah sendok yang terbuat dari kayu, dia menyuapi air matang ke dalam mulut
Ang I Niocu yang menelannya dengan lahap sekali. Kong Sian lalu mengambil bubur
gandum yang tadi telah dimasaknya, lalu dengan pelan-pelan dia menyuapkan bubur
ini sesendok demi sesendok ke dalam mulut gadis itu yang menelannya tanpa
membuka mata.
Sesudah
diberi makan bubur, gadis itu lalu tertidur kembali dan panasnya menurun. Kong
Sian tetap menjaganya dengan perasaan penuh iba. Dalam perawatan ini, timbullah
rasa cinta yang amat besar dan mendalam di hati pemuda yang telah berusia tiga
puluh lima tahun ini.
Memang
tadinya Kong Sian mengambil keputusan untuk tak akan kawin selama hidupnya dan
terus tinggal di pulau itu menjadi pertapa, mempelajari ilmu batin, ilmu silat,
dan ilmu pengobatan. Akan tetapi semenjak pertemuannya dengan Ang I Niocu dalam
keadaan yang ganjil ini, hatinya selalu bergoncang keras dan dia merasa betapa
hidup ini baginya menjadi berubah sama sekali.
Sering kali
ia duduk di dekat Ang I Niocu dan kemudian membayangkan betapa akan hancur
hatinya dan kosong hidupnya apa bila gadis cantik ini meninggal dunia karena
sakitnya. Sesudah dirawat dengan sangat teliti serta telaten oleh Kong Sian
selama dua hari dua malam dalam keadaan setengah sadar, dan selama itu pula Ang
I Niocu belum pernah membuka matanya, maka lenyaplah demam yang menyerang
dirinya. Tubuhnya menjadi segar kembali dan biar pun tubuhnya masih agak lemah,
akan tetapi ia tidak gelisah lagi.
Pada hari ke
tujuh semenjak dia tiba di situ, pagi-pagi hari Ang I Niocu membuka kedua
matanya bagaikan baru bangun dari alam mimpi yang sangat dahsyat. Ia bangun
sambil tersentak kaget dan begitu membuka mata, dia segera bangun duduk sambil
memanggil nyaring.
"Lin
Lin…. Hai-ji….. " dan cahaya kekuatiran hebat terbayang pada wajahnya yang
cantik.
Akan tetapi,
alangkah kaget dan herannya ketika dia mendapat kenyataan bahwa kini dia sedang
duduk diatas setumpuk rumput kering di dalam sebuah goa dan melihat seorang
laki-laki cakap duduk di dekatnya sambil memandangnya dengan kagum sekali
karena setelah kini Ang I Niocu membuka matanya Kong Sian merasa seakan-akan
dia melihat seorang bidadari yang duduk di situ. Alangkah indah mata gadis itu!
Ang I Niocu
meloncat ke atas karena kagetnya dan terlepaslah mantel penutup tubuhnya
sehingga Kong Sian juga buru-buru melompat ke belakang dan memutar tubuhnya
untuk membelakangi gadis itu.
"Nona,
pakailah mantel itu baik-baik, baru kita bicara!" katanya perlahan dan
halus.
Sementara
itu Ang I Niocu terkejut bukan main melihat betapa pakaiannya telah robek tak karuan
hingga ia hampir telanjang! Buru-buru dan dengan muka merah karena jengah, ia
lalu menyambar mantel itu kembali dan menyelimuti tubuh dengan mantel itu
dengan ikat pinggangnya yang berwarna kuning emas. Setelah selesai, maka dengan
mata bernyala ia lalu menubruk dan menyerang Kong Sian dari belakang.
"Bangsat
kurang ajar! Kau berani menghinaku?" serunya.
Mendengar
ada sambaran angin pukulan, Kong Sian merasa terkejut sekali dan cepat dia
mengelak sambil berkata,
"Ehh,
Nona, sabar dulu... aku... aku …."
Walau pun
merasa tubuhnya masih lemah, akan tetapi oleh karena marah maka Ang I Niocu
tetap menyerang dengan hebat sambil mengeluarkan ilmu silat Kong-ciak Sin-na.
Kong Sian merasa terkejut sekali oleh karena tentu saja dia juga mengenal ilmu
silat dari suhu-nya ini, maka dengan heran ia lalu melayani Ang I Niocu dengan
baik.
Makin
kagumlah dia ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu gerakan gadis ini ternyata
lihai sekali dan biar pun tenaganya masih lemah, akan tetapi ginkang dan
lweekang gadis ini menyatakan bahwa dia menghadapi seorang pendekar wanita yang
tidak boleh dibuat gegabah.
Ia pikir
bahwa gerakan-gerakan ini akan membahayakan kesehatan gadis yang baru saja
sembuh itu, maka dengan cepat ia lalu membalas serangan Ang I Niocu dengan
totokan- totokan luar biasa dan karena Ang I Niocu belum cepat gerakannya
disebabkan tubuhnya yang masih lemah, lagi pula oleh karena ilmu kepandaian
silat Kong Sian memang masih lebih tinggi, maka sebentar saja pemuda itu
berhasil menotok pundak Ang I Niocu yang segera mengeluh dan roboh dengan
lemas!
Kong Sian
segera mengangkat tubuh Ang I Niocu dan membawanya keluar goa di mana ia
menaruh tubuh gadis itu di bawah sebatang pohon sehingga angin gunung yang
sejuk membuat Ang I Niocu merasa nyaman sekali.
"Nona,
banyak sekali hal yang perlu kita bicarakan. Harap kau bersabar mendengarkan
bicaraku. Pertama-tama yang perlu kau ketahui ialah kau sama sekali keliru
menyangka padaku. Aku bukanlah orang jahat dan sama sekali aku tidak mempunyai
maksud buruk terhadapmu. Ketahuilah bahwa aku adalah seorang yang mengasingkan
diri di pulau ini dan tujuh hari yang lalu, Sin-kim-tiauw datang terbang ke
mari sambil mencengkeram tubuhmu yang sedang pingsan! Kemudian kau jatuh sakit
tidak sadarkan diri sampai tujuh hari dan aku merawatmu di dalam goa itu!"
Mendengar
ucapan ini, lenyaplah sinar marah dari mata Ang I Niocu dan Kong Sian lalu
mengulur tangan memulihkan totokannya pada pundak gadis itu sambil berkata,
"Biarlah, kalau kau tetap tidak percaya padaku, kau seranglah aku lagi,
aku tak hendak membalas untuk menyatakan bahwa kata-kataku tadi benar
belaka!"
Setelah
sadar dari totokan, Ang I Niocu memandang dengan mata bengong dan dia tidak
berkutik dari tempat duduknya. Tubuhnya masih terasa lemah sehingga ia
menyandarkan diri saja pada pohon itu.
"Benar-benar
masih hidupkah aku?" tanyanya perlahan setengah berbisik, karena kini dia
teringat betapa dia sudah dilontarkan ke atas oleh ledakan dahsyat itu dan
kemudian dia tidak ingat apa-apa lagi.
Kong Sian
tersenyum dan wajahnya yang tadi nampak bersungguh-sungguh itu berubah sesudah
dia tersenyum. Sekarang dia tampak tampan dan matanya memancarkan seri gembira.
"Tentu
saja kau masih hidup, Nona, kalau tidak bagaimana kau bisa berada di sini? Kau berada
di Pulau Pek-le-to dan di pulau ini hanya akulah penghuni satu-satunya."
"Bagaimana
seekor rajawali dapat membawaku ke sini?" Di mana burung itu?" tanya
Ang I Niocu yang masih merasa ragu-ragu oleh karena ia masih kurang percaya
kepada cerita yang aneh itu.
Lie Kong
Sian lalu berdiri dan bersuit keras. Dari atas lalu terdengar suara balasan
dari seekor burung dan tiba-tiba nampaklah setitik hitam yang tinggi menyambar
turun dengan cepatnya. Setelah tiba mendekat, ternyata yang melayang turun itu
adalah seekor burung rajawali besar, mengingatkan Ang I Niocu kepada burung
rajawali yang dulu menyambar-nyambar dirinya di atas perahu ketika dia masih
mencari Pulau Kim-san-to di atas perahu bersama Cin Hai dan Ceng To Tosu dan
Ceng Tek Hwesio. Akan tetapi rajawali ini lebih besar dan bulunya indah sekali.
Sin-kim-tiauw terbang rendah lalu turun di hadapan Kong Sian, memandang kepada
Ang I Niocu dengan sepasang matanya yang tajam sinarnya.
"Nah,
inilah Sin-kim-tiauw yang membawamu ke sini. Sekarang akulah yang ingin minta
keterangan kepadamu bagaimana kau bisa terbawa oleh burung sakti ini."
"Aku….
aku berada di Pulau Kim-san-to dan pulau itu terbakar lalu meledak hingga aku
terlempar ke udara oleh ledakan itu kemudian aku tak ingat apa-apa lagi.
Agaknya ketika tubuhku melayang di udara dalam keadaan pingsan, burung sakti
ini menyambar diriku dan membawanya ke sini. Kalau begitu, dia adalah penolong
jiwaku!" Sesudah berkata demikian, Ang I Niocu lalu berdiri dan ia
berlutut di depan burung itu!
Kim-tiauw itu
adalah seekor burung yang luar biasa cerdiknya. Melihat Ang I Niocu, dia
agaknya tahu dan sambil mengeluh panjang dia kemudian menundukkan kepalanya dan
membelai kepala Ang I Niocu dengan lehernya yang berbulu tebal. Kemudian,
sambil memekik gembira burung itu lalu terbang ke atas dan berputaran di udara
seakan-akan merasa girang sekali bahwa ada orang yang berterima kasih dan
berlutut padanya!
"Kau
katakan tadi bahwa aku sudah jatuh sakit dan tidak ingat diri sampai tujuh hari
di sini?" tanya Ang I Niocu sambil menghadapi Kong Sian kembali. Mereka
masih duduk di atas rumput, saling berhadapan.
Kong Sian
mengangguk. "Ya, kau pingsan selama tiga hari tiga malam dan tubuhmu panas
sekali. Kau terserang demam hebat dan tiap hari mengigau dalam keadaan tidak
ingat orang. Kemudian kau dapat bergerak, akan tetapi kau gelisah dan panas
sekali dan sama sekali tidak membuka matamu. Aku telah merasa kuatir sekali dan
sudah hampir habis harapanku untuk dapat melihat kau hidup lagi."
Ketika Kong
Sian sedang bercerita, Ang I Niocu memandang dengan penuh keheranan. Duduk
berhadapan dengan Kong Sian dan mendengar suara orang ini bercerita tentang
keadaannya, dia merasa seakan-akan dia telah menjadi kenalan lama, apa lagi
ketika dia dapat menangkap nada suara yang penuh getaran karena terharu pada
saat pemuda itu menceritakan kegelisahannya melihat dia sakit!
“Kalau
begitu, selama tujuh hari aku menderita sakit… akan tetapi… sungguh heran…
bagaimana aku masih dapat hidup….?”
Kong Sian
merasa segan dan malu untuk menceritakan betapa ia telah merawat gadis ini
selama sakit, maka ia hanya menjawab, “Thian itu adil dan selalu melindungi
orang-orang baik, maka Thian telah melindungimu dari keadaan yang membahayakan
jiwamu itu.”
Ang I Niocu
menggelengkan kepalanya. “Betapa pun juga, jika dalam keadaan sakit aku tidak
diberi obat dan selama tujuh hari tidak makan apa-apa, tak mungkin aku akan
dapat hidup! Siapakah yang merawatku dan siapa yang memberi makan padaku?”
Merahlah
wajah Kong Sian mendengar ini. Sikapnya menjadi canggung sekali, ada pun
suaranya menjadi gagap ketika ia menjawab, “Memang… aku telah… aku yang memberi
obat kepadamu dan… dan melihat kau begitu lemah dan gelisah…. aku memberi bubur
gandum kepadamu."
Ketika
mendengar ini, terbayang sinar terima kasih yang amat mendalam pada mata Ang I
Niocu karena biar pun pemuda itu tidak menceritakannya, ia sudah dapat
menduganya. Sikap ragu-ragu untuk memberitahukan bahwa pemuda itu sudah
merawatnya, membuat pandangannya terhadap pemuda itu semakin tinggi dan kagum
sekali. Sikap ini hanyalah menunjukkan betapa tinggi pribadi orang ini.
Akan tetapi,
tiba-tiba Ang I Niocu teringat akan sesuatu dan sinar kemarahan tercampur
keraguan membayang kembali pada wajahnya yang menjadi makin memerah.
"Dan...
keadaan pakaianku ini…!”
Dia lalu
melompat berdiri lagi, kedua tangannya terkepal, "katakanlah terus terang,
apa yang terjadi dengan pakaianku? Dan mengapa pula kau menyelimutkan dengan
mantel? Mantel siapakah ini?" Pertanyaan ini diucapkan dengan ketus dan
marah oleh karena ia merasa bercuriga.
Kong Sian
menarik napas panjang. "Nona, kalau saja bukan kau yang bersikap seperti
ini dan menyangka yang bukan-bukan terhadap aku, tentu aku akan naik darah dan
menjadi amat marah! Kau kira aku Lie Kong Sian ini orang macam apakah? Nona,
kau boleh maki padaku, bahkan kau boleh menyerangku, akan tetapi janganlah
sekali-kali kau menduga aku sudah berlaku rendah dan biadab terhadap dirimu!
Pada waktu Sin-kim-tiauw datang membawamu ke sini, pakaianmu sudah robek semua
dan tidak keruan macamnya, maka lalu aku menyelimutimu dengan mantelku. Nah,
itulah keadaan yang sebenarnya!"
Sambil
berkata demikian, teringatlah Kong Sian akan hal itu sehingga dia menundukkan
kepala dengan kemalu-maluan. Kalau saja ia tidak menundukkan mukanya, tentu ia
akan melihat betapa Ang I Niocu menjadi merah sekali mukanya dan betapa kedua
mata gadis itu mencucurkan air mata!
Tiba-tiba
Ang I Niocu lalu menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah di depan pemuda itu
sambil berkata dengan suara penuh keharuan, "In-kong (Tuan Penolong), kau
maafkan aku yang kasar dan sudah menuduhmu yang bukan-bukan! Kau telah menolong
jiwaku, telah merawatku selama tujuh hari, memberi obat, menyuapkan makan, akan
tetapi aku yang tertolong bahkan sudah menuduhmu yang bukan-bukan! Maafkanlah
aku…" Ang I Niocu mengucapkan kata-kata ini sambil menangis karena tidak
saja dia merasa terharu, akan tetapi dia juga teringat akan semua peristiwa dan
dia menguatirkan keadaan Lin Lin dan Cin Hai!
Lie Kong
Sian lalu berkata dengan halus, "Duduklah, Nona, dan kini legalah hatiku
sebab sekarang kau telah percaya kepadaku."
Ang I Niocu
bangun, lantas duduk kembali sambil menyusuti air matanya dengan ujung
mantelnya. Ia kini merasa sangat jengah dan malu sehingga dia tidak berani
memandang langsung kepada pemuda itu.
"Yang
amat mengherankan," katanya kemudian, "kenapa tubuhku tak terluka
sedangkan aku dicengkeram dan dibawa terbang oleh seekor burung rajawali yang
begitu besar dan ganas.”
“Tidak usah
kau merasa heran, Nona. Sin-kim-tiauw bukanlah burung rajawali biasa. Dia telah
terlatih baik sekali oleh Supek-ku yang sakti, dan mungkin hanya Supek Bu Pun
Su saja yang dapat melatihnya.”
Ang I Niocu
mengangkat kepalanya dan memandang tajam. “Apa? Jadi kau adalah murid keponakan
dari Suhu Bu Pun Su?”
Kong Sian
juga memandang heran. “Benar, mendiang Suhu-ku yang bernama Han Le adalah sute
dari Supek Bu Pun Su. Nona, ketika kau menyerangku di dalam goa tadi kau telah
mainkan Ilmu Silat Kong-ciak Sinna. Dari siapakah kau memperoleh ilmu itu?”
Dengan
girang sekali Ang I Niocu berkata, “Kalau begitu, kau masih terhitung seheng-ku
(kakak seperguruan) karena aku pernah menerima latihan silat dari Suhu Bu Pun
Su! Biar pun sebetulnya Suhu Bu Pun Su masih menjadi susiok couw-ku sendiri
karena mendiang ayahku ialah murid keponakannya. Akan tetapi akhir-akhir ini
aku juga mendapat latihan Kong-ciak Sinna serta Pek-in Hoat-sut dari Suhu Bu
Pun Su sehingga aku boleh juga menyebutnya Suhu!"
Bukan main
girang rasa hati Kong Sian "Ahh, ahh, dunia ini memang tidak berapa luas!
Siapa tahu bahwa aku sudah menolong seorang saudara sendiri. Sumoi, sungguh aku
merasa girang sekali mendengar ini. Akan tetapi, siapakah mendiang
Ayahmu?"
"Ayahku
adalah Kiang Liat," jawab Ang I Niocu dengan singkat oleh karena dia
merasa malu membicarakan ayahnya yang mati karena gila!
Kong Sian
mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku sudah pernah mendengar dari Suhu
tentang ayahmu itu yang berjuluk Jian-jiu Sianjin (Manusia Dewa Tangan Seribu).
Ketika merantau, aku juga pernah mendengar nama besar dari seorang pendekar
wanita yang berjuluk Ang I Niocu, apakah kau sendiri orang itu?"
Ang I Niocu
mengangguk. "Memang itu nama julukanku yang kosong tak berisi. Namaku
adalah Kiang Im Giok, seorang yatim piatu yang hidup sunyi dan penuh
penderitaan."
"Sumoi,
kata-katamu ini benar-benar menyentuh jiwaku. Aku Lie Kong Sian juga merasa
bosan sekali di dunia ramai karena hidupku sebatang kara penuh kesunyian."
Keduanya
lalu berdiam sampai lama, dan tenggelam dalam lamunan masing-masing.
Kemudian
Kong Sian minta kepada Ang I Niocu supaya menceritakan pengalamannya sampai dia
dapat berada di Pulau Kim-san-to. Dengan panjang lebar Ang I Niocu lalu
menceritakan semua pengalamannya dan menyebut nama-nama Cin Hai, Lin Lin, Kwee
An, Ma Hoa, Nelayan Cengeng dan juga nama Yousuf dan lain-lainnya. Setelah
selesai bercerita, Kong Sian lalu menepuk kepalanya sendiri sambil berkata,
"Ah,
memang aku yang percuma dihidupkan di atas dunia ini! Telah terjadi peristiwa
yang besar dan demikian banyaknya serta membutuhkan tenaga bantuanku, akan
tetapi yang kukerjakan hanyalah duduk melamun di pulau ini! Sampai-sampai Pulau
Kim-san-to telah kutinggalkan bertahun-tahun hingga sekarang lenyap dimakan
api! Ah, arwah Suhu tentu marah melihat sikapku ini. Memang aku hanya orang
yang berjiwa lemah!" Ia menghela napas berulang-ulang dan merasa kecewa
terhadap diri sendiri.
"Suheng,
kau adalah seorang gagah dan mulia dan melihat gerakanmu saat kau menotok roboh
padaku tadi, aku yakin bahwa ilmu kepandaianmu tentu tinggi sekali. Mengapa kau
sia-siakan diri di tempat ini? Mengapa kau tidak mau terjun di dunia ramai dan
melakukan darma bakti sebagai orang yang berkepandaian? Kalau kau mengasingkan diri
di tempat ini, bukankah berarti sia-sia saja kau mempelajari kepandaian sampai
bertahun-tahun?"
Seperti
biasanya, Ang I Niocu selalu merasa bahwa dia lebih berpengalaman dan lebih
‘berakal’ dari pada orang lain, maka di dalam ucapannya ini terkandung nasehat-nasehat,
teguran dan penyesalan, seperti biasa orang-orang tua menasehati anak-anak atau
guru menasehati murid. Memang, selama ia menjelajah di dunia kang-ouw, yang
disegani oleh Ang I Niocu dan yang membuat ia tunduk hanya Bu Pun Su seorang,
sedangkan kepada lain-lain orang ia bersikap ‘lebih tinggi’.
Kong Sian
tersenyum mendengar ucapannya ini. "Sumoi, memang demikianlah apa bila
dipandang sepintas lalu saja. Akan tetapi, selama kau malang melintang di dunia
ramai, apakah yang kau dapat? Hanya permusuhan, kejahatan, dan perkelahian
mengadu jiwa, bunuh-membunuh sesama manusia. Aku sudah bosan menghadapi semua
itu. Di sini aku mendapatkan ketenteraman jiwa dan tak terpengaruh oleh
kejahatan-kejahatan manusia yang terjadi di dunia ramai. Memang, sewaktu-waktu
aku tentu keluar dari pulau ini untuk meninjau dunia ramai sehingga tidak
terputus hubunganku dengan manusia umum, akan tetapi, tempat ini sudah kupilih
untuk menjadi tempat tinggalku yang tetap di mana aku dapat hidup dengan
tenteram dan aman sentosa!"
Ucapan ini
membuat Ang I Niocu menjadi tertegun. Terutama kata-kata pertanyaan yang
diucapkan oleh suheng-nya ini berkesan di dalam hatinya. Apakah yang dia dapat
selama ini? Hanya kesedihan, kekecewaan, dan permusuhan belaka.
Demikianlah,
kedua orang itu kemudian bercakap-cakap dengan asyiknya, menceritakan
pengalaman masing-masing. Ketika mendengar tentang Cin Hai yang menjadi murid
Bu Pun Su dan yang kepandaiannya sangat dipuji oleh Ang I Niocu, Lie Kong Sian
merasa kagum sekali.
"Ahh,
ingin sekali aku bertemu dengan dia itu! Memang sungguh mengagumkan bahwa
seorang pemuda yang masih demikian muda telah mewarisi ilmu-ilmu kepandaian
pokok dari Supek Bu Pun Su. Dahulu Suhu pernah mengatakan bahwa ilmu pengertian
pokok segala gerakan ilmu silat adalah kepandaian tunggal Supek yang membuat
dia menjadi seorang yang tak ada lawannya dalam dunia persilatan. Dan dia sudah
mampu mencipta sendiri ilmu pedangnya. Mengagumkan sekali." Diam-diam Kong
Sian membandingkan anak muda itu dengan sute-nya Song Kun yang juga amat lihai
ilmu silatnya.
Sambil
merawat dan memulihkan kesehatannya, Ang I Niocu berdiam di pulau itu dan
melatih ilmu-ilmu silat bersama Kong Sian. Ia telah menggunakan waktu senggang
untuk menjahit kembali pakaiannya hingga kini tak perlu lagi ia menyelimuti
diri dengan mantel pemuda itu.
Dalam
latihan ilmu silat, ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat pemuda itu
benar-benar hebat dan lihai sekali sehingga boleh dikata masih lebih tinggi
setingkat dari pada ilmu kepandaiannya sendiri. Oleh karena ini, dia mendapat
petunjuk-petunjuk dari suheng-nya ini yang juga merasa kagum sekali melihat
kepandaian sumoi-nya.
Ketika
mendengar tentang Song Kun, Ang I Niocu menyatakan pendapatnya,
"Suheng
sudah terang bahwa sute-mu itu jahat dan membahayakan keselamatan umum, mengapa
kau tidak pergi mencari dan menasehatinya?"
“Dulu sudah
pernah aku mencarinya, akan tetapi dia tidak mau mendengar nasehatku,"
jawab Kong Sian dengan suara sedih.
"Kalau
begitu, kau harus menggunakan kekerasan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk
memberantas kejahatan, dan siapa pun juga orangnya yang berlaku jahat, maka
harus kita berantas!"
"Kami
bahkan pernah bertempur dan aku tidak dapat mengalahkan. Ilmu kepandaiannya
walau pun tidak lebih dari pada kepandaianku, namun ia memiliki bakat luar
biasa serta kelincahan yang mengagumkan sekali. Dan… dan aku tidak tega melihat
dia mendapat celaka. Aku amat menyayangnya seperti adik sendiri, sumoi."
Ang I Niocu
memandangnya tajam dan kagum. "Kau memang orang yang berhati mulia, akan
tetapi kau terlalu lemah, Suheng. Agaknya, kalau kau sudah mencinta seseorang,
kau akan membelanya sampai mati! Sayang tidak ada seseorang wanita yang
mendapat kehormatan menerima cinta di hatimu itu, Suheng. Alangkah bahagianya
seorang wanita yang mendapat cinta hati seorang mulia seperti kau ini!"
Ucapan ini
sebenarnya hanya muncul dari watak yang jujur dari Ang I Niocu karena dia
merasa betapa ada persesuaian antara dia dan Kong Sian. Dia sendiri pun kalau
sudah mencinta orang, dia rela membelanya dengan taruhan jiwa sekali pun.
Seperti halnya Lin Lin dan Cin Hai, ia rela untuk mengorbankan jiwa demi
kebahagiaan mereka! Akan tetapi, tanpa disangkanya, ketika mendengar ucapan
yang diucapkan sewajarnya ini, mendadak Kong Sian menjadi pucat sekali.
"Suheng,
kau….. kau kenapakah?"
Sambil
menundukkan kepala dan tak berani menentang mata Ang I Niocu, Kong Sian lalu
berkata pelan, "Sumoi, sebetulnya lidahku seolah-olah beku untuk
mengeluarkan ucapan ini, akan tetapi biarlah kini aku berterus terang saja.
Sebelum bertemu dengan kau, tak pernah terpikir olehku mengenai diri seorang
wanita dan aku telah mengambil keputusan untuk hidup menyendiri di pulau ini
hingga mati. Akan tetapi, setelah aku bertemu dengan kau… bahkan sebelum aku
mengetahui siapa adanya kau, melihat kau menderita sakit tanpa mengetahui apakah
kau orang baik-baik atau orang jahat, hatiku sudah… tertarik sekali kepadamu
dan… dan…" kemudian ia mengangkat mukanya dan dengan wajah pucat ia
memandang kepada gadis itu dengan mata sayu, "Sumoi… maafkan kata-kataku
ini… kita sama-sama hidup tidak berisi seakan-akan kosong dan sunyi. Maukah
kau... maukah kau menghabiskan sisa hidupmu dengan aku di pulau ini?"
Warna merah
menjalar di seluruh muka Ang I Niocu sampai ke telinganya, dan matanya
terbelalak ketika dia memandang pemuda itu. "Suheng... apakah
maksudmu?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Sumoi,
kalau kau sudi, marilah kita hidup bersama di pulau ini... maksudku, kita hidup
sebagai suami isteri!"
Kini mata
Ang I Niocu memandang tajam. “Kenapa, Suheng? Kenapa kau mengajukan usul ini?
Apakah yang mendorongmu?"
Sementara
itu, Kong Sian sudah dapat menetapkan hatinya yang tadi berguncang hebat.
Dengan gagah dia lalu mengangkat muka, memandang wajah Ang I Niocu sepenuhnya.
"Sumoi, biarlah kau mendengar pengakuanku. Meski pun kau akan
mentertawaiku, akan mencaci, biarlah! Aku cinta kepadamu, Sumoi, sebagai cinta
seorang laki-laki terhadap seorang wanita! Belum pernah ada perasaan demikian
di hatiku, akan tetapi sesudah aku melihatmu, aku cinta kepadamu, cinta dengan
sepenuh jiwaku! Karena itu, sekarang aku mengajukan pinangan kepadamu, Sumoi,
apa bila kau sudi, sukalah kiranya kau menjadi isteriku dan kita menghabiskan
sisa hidup sebagai suami isteri di pulau ini."
Tiba-tiba
saja tanpa dapat ditahan lagi, mengalirlah air mata dari kedua mata Ang I Niocu
sehingga Kong Sian menjadi terkejut dan berkata halus,
"Sumoi,
kalau aku menyinggung dan melukai hatimu, ampunkanlah aku. Aku tidak akan
memaksamu, Sumoi, demi Tuhan Yang Maha Kuasa, apa bila kau tidak suka menerima
katakanlah tanpa ragu-ragu atau sungkan-sungkan lagi. Aku takkan menyesal
kepadamu, hanya akan menyesali diri sendiri yang bodoh dan tidak tahu
diri!"
Sambil
menghapus air matanya, Ang I Niocu menggelengkan kepalanya berkali-kali dan
berkata, "Bukan demikian, Suheng. Jangan kau salah sangka. Aku... aku
hanya merasa terharu sekali mendengar pernyataanmu yang sama sekali tak pernah
kusangka-sangka itu. Aku telah menerima budi pertolonganmu yang besar yang
selama hidupku tidak akan pernah kulupa. Kau sudah menolong jiwaku dan apa bila
seandainya tidak ada kau, aku Kiang Im Giok pasti sudah mati! Dan seandainya
aku tidak terjatuh ke dalam tanganmu, akan tetapi ke dalam tangan laki-laki
lain ahh... entah nasib apa yang akan kuderita! Kau seorang gagah dan mulia,
Suheng, terlalu mulia bagiku... aku... aku seorang yang jahat dan kotor!
Ketahuilah, pada waktu aku masih muda, aku telah jatuh cinta yang akhirnya
mengorbankan nyawa Ayahku sendiri. Aku tidak berharga bagimu, Suheng."
"Im
Giok, aku sudah tahu tentang hal itu dari Suhu-ku. Aku pernah mendengar betapa
kekasihmu dibunuh oleh ayahmu sendiri. Akan tetapi, kau tidak bersalah dalam
hal itu. Ayahmu meninggal dunia oleh karena serangan penyakit jantung yang
berbahaya. Wajar bagi seorang gadis untuk jatuh cinta!"
"Bukan
itu saja, Suheng. Semenjak peristiwa itu, aku membenci laki-laki! Banyak pemuda
yang jatuh cinta kepadaku, sengaja kupermainkan perasaan cintanya sehingga
mereka menjadi seperti gila! Aku berlagak membalas perasaan mereka dan apa bila
mereka telah menjadi gila betul-betul, aku pergi meninggalkannya. Banyak yang
sudah menjadi korban, bahkan seorang pemuda yang baik budi bernama Kang Ek
Sian, yang dulu bahkan telah dipilih oleh Suhu Bu Pun Su sendiri untuk menjadi
suamiku, juga telah kupermainkan dan kupatahkan hatinya!"
Kong Sian
menggelengkan kepala dan menarik napas dalam. "Memang kau telah berlaku
kejam dan sesat, Sumoi, akan tetapi pengakuanmu ini telah meringankan dosamu,
tanda bahwa kau sudah insyaf. Aku tidak menyesal mendengar ini dan tidak
mengurangi rasa cintaku padamu."
"Masih
ada lagi, Suheng... " kata Ang I Niocu sambil mengusap air mata yang
menitik ke atas pipinya, "aku... aku yang tidak tahu diri akhirnya telah
jatuh hati! Dan aku jatuh hati serta mencinta dengan sepenuh jiwaku kepada
seorang pemuda yang usianya jauh lebih muda dariku, padahal ketika aku bertemu
dengan dia, aku telah berusia dua puluh tahun lebih dan dia baru berusia dua
belas tahun! Aku... aku yang tidak tahu malu ini diam-diam mencinta kepadanya,
dan... dan orang itu adalah Cin Hai, murid Suhu Bu Pun Su yang pernah
kuceritakan padamu!"
"Hmm,
jadi karena itukah maka kau mati-matian hendak mengorbankan nyawamu untuk
menolong Lin Lin seperti yang kau ceritakan itu? Sumoi, kau benar- benar
seorang mulia yang bernasib malang dan patut dikasihani! Aku dapat membayangkan
betapa suci dan mulia rasa cintamu kepada Cin Hai! Melihat pemuda itu mencinta
seorang gadis lain, kau tidak sakit hati, bahkan kau berdaya sekuat tenaga
hendak mempertemukan mereka! Aku tahu, Sumoi, aku dapat menyelami jiwamu dan
aku merasa bersyukur sekali bahwa kau dapat mengatasi perasaan-perasaan yang
kurang baik. Sumoi, cerita dan pengakuanmu ini mempertinggi nilai dirimu dalam
pandanganku."
Ang I Niocu
mengangkat muka dan memandang heran. "Apa? Kau tidak marah padaku, Suheng?
Kau tidak memandang rendah terhadapku setelah segala apa yang kuceritakan
padamu itu?"
Kong Sian
menggeleng-geleng kepalanya sambil tersenyum, dan dari matanya bersinar cinta
kasih yang diliputi kekaguman hati. "Pengakuanmu bahkan telah mempertebal
rasa cintaku, Sumoi. Sudah wajar bagi tiap manusia untuk melakukan kekeliruan,
akan tetapi, setiap kekeliruan akan musnah apa bila orang itu sudah menyadari
dan menginsyafinya. Kau adalah seorang mulia."
Mendengar
ini, lemaslah seluruh anggota tubuh Ang I Niocu dan dia lalu menjatuhkan
dirinya duduk di atas rumput sambil menangis.
"Im
Giok, jangan kau merasa berat untuk menolak permintaanku tadi. Aku maklum bahwa
aku memang mungkin terlalu tua bagimu dan... "
"Tidak
Suheng. Usia kita tidak berselisih jauh."
"Apa??
Jangan kau membohongi aku, Sumoi!" kata Kong Sian dengan heran.
Ang I Niocu
tersenyum sedih di antara air matanya. "Aku tidak bohong, Suheng. Memang
mungkin aku nampak jauh lebih muda oleh karena aku banyak makan telur dari
pek-tiauw (rajawali putih), akan tetapi sesungguhnya aku telah berusia tiga
puluh lebih, sedikitnya tiga puluh dua tahun!"
Kong Sian
mengangguk-angukkan kepalanya, karena sebagai seorang ahli pengobatan yang
menerima warisan kepandaian dari Han Le, ia maklum akan khasiat yang besar dari
telur burung rajawali putih.
"Pantas,
pantas saja! Dan hal ini lebih-lebih menunjukkan kegagahanmu, oleh karena tak
sembarangan orang dapat mengambil telur pek-tiauw! Melihat wajahmu, agaknya
engkau paling banyak baru berusia dua puluh lima lebih! Bagaimana Sumoi.
Bersediakah kau menerima aku yang bodoh dan buruk rupa sebagai kawan
hidupmu?"
Ang I Niocu
menggunakan tangan untuk menutup mukanya. Ia merasa bingung sekali. Di dalam
hati ia mengaku bahwa mungkin di dunia ini tidak ada seorang pemuda yang layak
dan patut menjadi suaminya selain Kong Sian. Kepandaiannya tinggi melebihinya
sendiri, rupanya tampan dan sikapnya halus dan sopan santun. Pribadinya tinggi
dan hal ini telah ia buktikan ketika pemuda itu mendapatkan dirinya yang berada
dalam keadaan setengah telanjang itu dan ketika pemuda ini merawatnya dengan
penuh kesabaran.
Semua ini
telah menunjukkan bahwa pemuda ini sungguh-sungguh mencintanya dengan sepenuh
jiwa. Terutama sekali, di dalam hal usia pemuda ini sebanding dengan dia! Apa
lagi? Pemuda ini bahkan telah menolong jiwanya sehingga sampai mati pun belum
tentu ia bisa membalas budinya.
Akan tetapi,
jika dia menerima pinangan itu, seakan-akan ia terlalu murah memberi harga
kepada dirinya! Dia memang berwatak tinggi hati dan keras, dan tidak mau
ditundukkan dengan mudah. Akan tetapi, untuk menolak dia pun tidak berani!
"Suheng,”
katanya setelah dia berpikir dengan masak-masak, "aku harus menghaturkan
beribu terima kasih atas budi kecintaanmu itu. Bagaimana aku dapat menolak
pinangan seorang seperti kau? Akan tetapi hal ini terjadi terlalu tiba-tiba
sehingga aku belum dapat memutuskannya karena masih merasa bingung! Sekarang
begini saja, Suheng. Biarlah kau anggap aku telah menerima pinanganmu itu dan
aku pun takkan malu-malu mengaku bahwa aku telah menjadi tunanganmu. Akan
tetapi, soal pernikahan antara kita baru bisa terlaksana setelah kau memenuhi
beberapa syarat!"
Kong Sian
tersenyum dan dari ucapan ini saja ia yang sudah paham akan tabiat manusia,
dapat mengetahui bahwa gadis kekasih hatinya ini memiliki adat yang tinggi dan
keras! Ia menjawab sambil masih tersenyum. "Sumoi, katakanlah, apa
syarat-syaratmu itu?"
"Pertama,
kau harus menanti sampai aku bisa bertemu kembali dengan kawan-kawanku,
terutama dengan Cin Hai dan Lin Lin. Sebelum aku dapat mempertemukan kedua sejoli
ini atau melihat mereka telah berkumpul kembali, tidak mungkin aku dapat
mengikat diri dengan laki-laki lain!"
Kong Sian
mengangguk-angguk, karena maklum akan isi hati Ang I Niocu.
“Kedua, kita
harus mendapat perkenan dari Suhu Bu Pun Su, oleh karena dahulu beliau
mempunyai maksud dan kehendak untuk menjodohkan aku dengan Kang Ek Sian, yang
biar pun mencintaku, akan tetapi tak kubalas cintanya itu.”
Syarat ke
dua ini diam-diam menggirangkan hati Kong Sian, oleh karena dari ucapan
terakhir yang menyatakan bahwa gadis ini tidak menerima pinangan Kang Ek Sian
oleh karena tidak mencintanya, hampir menyatakan bahwa biar pun sedikit, gadis
ini ‘ada hati’ padanya, kalau tidak, tentu ia akan menolaknya pula! Karena itu
ia mengangguk-angguk kembali dengan mulut tersenyum.
“Ke tiga,”
kata lagi Ang I Niocu, “kau harus keluar dari pulau ini dan turun ke dunia
ramai untuk mencari sute-mu Song Kun itu dan memenuhi pesan Suhu-mu, yaitu
menasehati dia atau menggunakan kekerasan terhadapnya.”
“Ahh, yang
ke tiga ini berat sekali, Sumoi! Kau tahu bahwa aku amat mencintanya dan tidak
tega untuk mencelakakannya!”
“Inilah
kelemahan yang membuat hatiku tak puas! Kau tidak tega kepada Sute-mu karena
kau mencintanya, akan tetapi apakah kau akan bertega hati melihat betapa wanita-wanita
diganggunya? Kelemahanmu ini menimbulkan ketidak adilan di dalam hatimu yang
tidak layak dan tidak patut dimiliki oleh seorang pendekar silat.”
Kong Sian
menghela napas, kemudian menjawab, “Biarlah, hal ini perlu kurenungkan dan
kupikirkan baik-baik, sumoi. Masih ada lagikah syarat-syaratmu?”
Pertanyaan
ini membuat Ang I Niocu menjadi merah mukanya karena dia merasa telah
keterlaluan mengajukan sekian banyak syarat. Akan tetapi, syarat-syarat itu
setidaknya dapat ‘mengangkat’ harga dirinya, tidak semurah kalau ia menerimanya
mentah-mentah!
“Masih ada
satu hal lagi,” katanya dengan muka merah dan menundukkan kepala, “akan tetapi
yang terakhir ini baru akan kuceritakan kalau kau telah memenuhi yang ketiga
itu.”
“Baiklah,
Sumoi. Kuterima semua syarat-syaratmu.” Kemudian Lie Kong Sian meloloskan pedangnya
dari pinggang dan memberikan itu kepada Ang I Niocu, lalu berkata, “Sumoi,
terimalah Cian-hong-kiam ini sebagai bukti dari pada ikatan yang ada di antara
kita, dan biarlah Thian yang menjadi saksi atas pertunangan kita ini.”
Kata-kata ini diucapkan oleh Kong Sian dengan suara bergetar hingga mengharukan
hati Ang I Niocu yang menerima pedang itu.
Kemudian Ang
I Niocu mengambil perhiasan rambutnya yang terbuat dari pada mutiara dan
memberikannya kepada Kong Sian. “Aku tidak mempunyai apa-apa, Suheng dan
biarlah benda ini menjadi bukti dari pada kesetiaanku.”
Tak ada
upacara yang mengesahkan pertunangan mereka itu selain dari pada penukaran
benda yang dilakukan dengan sikap sederhana ini akan tetapi diramaikan oleh
pertemuan pandang mata mereka yang menembus ke hati masing-masing.
Sesudah itu,
Ang I Niocu lalu berpamit hendak pergi mencari Cin Hai dan Lin Lin. Kong Sian
segera mengambil perahunya dan ia lalu mengantarkan tunangannya itu sampai ke
darat di pesisir Tiongkok. Si Rajawali Emas tidak mau ketinggalan, ikut
mengantar sambil terbang di atas perahu itu.
Pada saat
keduanya telah mendarat dan Ang I Niocu hendak meninggalkannya, mereka saling
pandang dan Ang I Niocu berbisik, “Semoga Thian memberkahi perjodohan kita dan
semoga cita-cita kita bersama akan terlaksana, Koko.”
Kedua mata
Kong Sian menjadi basah karena terharu dan girang mendengar sebutan ini dan
semakin yakinlah dia bahwa diam-diam Ang I Niocu juga mempunyai perasaan yang
sama dengan perasaan hatinya.
“Selamat
Jalan, Moi-moi, dan biarlah Sin-kim-tiauw mengawanimu.”
Ang I Niocu
girang sekali. Ia berkata kepada burung rajawali itu, “Sin-kim-tiauw, kau
ikutlah padaku!”
Burung itu
agaknya mengerti ucapan ini, karena dia cepat menoleh kepada Kong Sian
seakan-akan minta perkenannya. Dia tak akan berani pergi sebelum mendapat
perkenan dari Kong Sian.
“Pergilah
kau ikut dia, Kim-tiauw, dan jagalah dia baik-baik!”
Burung itu
lalu mengeluarkan bunyi karena girang dan ketika Ang I Niocu berlari cepat
meninggalkan tempat itu, dia lalu terbang dan mengejar. Kong Sian kembali ke
pulaunya untuk merenungkan peristiwa yang tak tersangka-sangka telah terjadi
dalam hidupnya itu.
Demikianlah
kisah pengalaman Ang I Niocu yang diduga telah tewas itu. Beberapa bulan
lamanya ia merantau mencari-cari Cin Hai dan Lin Lin. Ia kembali ke pesisir
dari mana ia menyeberang ke Pulau Kim-san-to, tetapi dia tidak mendapatkan
jejak kawan-kawannya sehingga ia segera menuju ke barat. Oleh karena mendengar
bahwa Lin Lin ikut dengan seorang Turki dan bahwa pada waktu itu di daerah
Kansu banyak terdapat orang-orang Turki, ia lalu merantau ke barat.
PADA suatu
hari dia tiba di sebuah bukit di daerah Sui-yan. Dia berlari cepat, akan tetapi
Sin-kim-tiauw telah mendahuluinya, terbang rendah sambil mengeluarkan bunyi
karena ia merasa girang bahwa Ang I Niocu tidak dapat mengejarnya!
Tiba-tiba
burung itu memekik keras dan pekik kemarahan ini mengherankan Ang I Niocu
hingga membuatnya mempercepat larinya. Ketika ia tiba di tempat itu, ia menjadi
marah sekali oleh karena melihat betapa ada tiga orang-orang tua tengah
melempar-lempar batu kecil ke arah Sin-kim-tiauw yang beterbangan dan
menyambar-nyambar di atas mereka dengan marah!
Burung itu
cepat mengelak dan mengebut sambitan batu dengan sayapnya sehingga tiga orang
tua itu berseru kagum, “Burung bagus!”
Ketiga orang
tua itu adalah seorang nenek buruk rupa, berhidung panjang dan bongkok seperti
hidung kakak tua, dan berpunggung bongkok seperti punggung onta, sedangkan dua
orang tua lainnya adalah seorang kakek berjubah hitam dan bersorban dan seorang
lagi tosu yang bermata lebar.
Melihat
betapa rajawali itu dapat mengelak dari setiap sambitan, bahkan salah satu batu
yang dikebut oleh sayapnya berbalik meluncur ke arah nenek itu, Si Nenek Tua
yang buruk menjadi marah. “Burung siluman! Rasakan sambitanku ini!”
Dan ketika
ia menggerakkan tangan kanannya, puluhan batu-batu kecil melayang dengan
hebatnya ke arah tubuh rajawali emas! Sin-kim-tiauw cepat mengelak sambil
mengebut dengan sayapnya, akan tetapi sebuah dari pada batu-batu itu tepat
mengenai pahanya sehingga dia merasa sakit sekali dan memekik-mekik kesakitan!
“Nenek
jahat! Jangan kau mengganggu burungku!” Ang I Niocu berseru marah sambil
melompat ke hadapan nenek itu.
Ketika
melihat seorang gadis berbaju merah melompat maju dan menegurnya, nenek itu menjadi
marah dan tanpa berkata sesuatu langsung menyerang dengan cengkeraman tangannya
ke arah pundak Ang I Niocu! Dara Baju Merah ini segera mengangkat lengan dan
menangkis, akan tetapi dia menjadi terhuyung-huyung ke belakang karena ternyata
bahwa tenaga lengan tangan nenek itu besar sekali! Melihat kelihaian nenek ini,
Ang I Niocu cepat-cepat mencabut pedangnya Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong
Sian dan dia pun segera menyerang dengan cepat.
Dan pada
saat dia bertempur dengan seru melawan nenek bongkok itu, datanglah Kwee An dan
Ma Hoa yang terheran-heran melihat Dara Baju Merah yang tadinya disangka telah
mati itu!
Dua orang
kakek yang tadinya hanya menjadi penonton saja, ketika melihat betapa Nona Baju
Merah itu ternyata lihai sekali ilmu pedangnya dan dapat mendesak nenek
bongkok, segera berseru keras, dan maju menyerbu dengan kebutan ujung lengan
baju mereka yang panjang. Ang I Niocu merasa terkejut oleh karena sambaran
angin pukulan mereka ternyata jauh lebih hebat dari pada serangan nenek bongkok
itu, terutama pendeta yang bersorban! Maka dia lalu memutar pedangnya dengan
lebih cepat lagi dan mainkan ilmu pedangnya Ngo-lian-hoan Kiam-hoat.
Melihat hal
ini, Kwee An beserta Ma Hoa langsung menerjang dengan pedang di tangan dan
membantu Ang I Niocu. Mereka berdua telah bermufakat untuk diam saja dan tidak
menegur Ang I Niocu, untuk membuktikan bahwa benar-benar Dara Baju Merah itu
Ang I Niocu.
Saat melihat
ada dua bayangan berkelebat membantunya dan ternyata bahwa dua orang penolong
itu adalah Kwee An dan Ma Hoa, bukan main girangnya hati Ang I Niocu dan dia
segera menegur,
“Ma Hoa...!
Kwee An...!”
Berdebarlah
tubuh kedua anak muda itu mendengar suara ini karena kini mereka tidak perlu
merasa ragu-ragu lagi, terutama sekali Ma Hoa yang tidak dapat menahan isaknya!
Sambil menangkis ujung lengan baju pendeta bersorban yang sedang melayang ke
arah mukanya, dia berseru dengan isak tertahan,
“Enci Im
Giok...!”
Juga Kwee An
berseru girang, “Ang I Niocu...!”
Sementara
itu, tiga orang tua yang mendengar nama Ang I Niocu disebut-sebut, segera
melompat mundur dengan hati terkejut. Kesempatan ini digunakan oleh Ma Hoa dan
Ang I Niocu untuk saling tubruk dan saling peluk.
“Enci Im
Giok..., kau... kau masih hidup...?”
“Adik Ma
Hoa...,” mereka berpelukan sambil mencucurkan air mata karena girang dan
keduanya saling pandang dengan tersenyum.
“Ha-ha-ha-ha,
jadi kalian adalah Ang I Niocu, Ma Hoa, dan Kwee An?” berkata tosu tadi.
”Kebetulan sekali!”
Juga nenek
bongkok itu lalu berkata, “Hmm, memang sudah takdir bahwa kalian harus mampus
di tangan kami! Ang I Niocu, ketahuilah bahwa aku adalah Siok Kwat Moli dan
kedua kakek ini adalah sahabat-sahabat baikku. Mereka bernama Wai Sauw Pu dan
Lok Kun Tojin.” Ia menunjuk ke arah pendeta bersorban lalu ke arah tosu itu.
“Tak perlu aku bercerita panjang lebar mengapa kami memusuhi kalian, cukup
kalau kuberi tahu bahwa Hai Kong Hosiang yang kalian siksa itu adalah
seheng-ku!”
Sekarang
mengertilah Ang I Niocu serta kedua orang kawannya, dan mereka maklum bahwa
pertempuran mati-matian tak dapat dielakkan lagi.
“Memang
burung gagak selalu berkawan dengan burung-burung mayat juga!” kata Ang I Niocu
sambil tersenyum sindir. “Hai Kong Hosiang belum terhitung jahat apa bila belum
mempunyai seorang sumoi seperti kau ini dan mempunyai sahabat-sahabat yang
terdiri dari pendeta-pendeta palsu pula!”
Bukan main
marahnya ketiga orang itu mendengar hinaan ini. Sambil berseru keras, nenek itu
lalu mencabut keluar senjata yang istimewa, yaitu sehelai sabuk kuning emas
yang panjang hingga ketika ia pegang dengan kedua tangan maka merupakan
sepasang senjata lemas yang luar biasa.
Wai Sauw Pu
pendeta yang bersorban itu adalah seorang dari Sin-kiang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan ia pun telah kena terbujuk oleh Hai Kong Hosiang hingga
ikut pula membela pendeta gundul itu. Pendeta bersorban ini mengeluarkan
senjatanya yang jarang terlihat, yaitu seuntai tasbeh yang terbuat dari pada
gading gajah dan merupakan lingkaran panjang.
Lok Kun
Tojin, seorang pertapa yang sakti dari Thaisan, juga mencabut senjatanya yang
lebih lihai, yaitu sepasang roda memakai tali sehingga roda-roda itu bila
digerakkan bisa berputaran bagaikan kitiran dan membuat bingung kepada
lawannya.
Sambil
berseru keras, ketiga orang itu lalu menyerbu. Si Nenek bongkok menghadapi Ang
I Niocu, pendeta bersorban menghadapi Ma Hoa, dan tosu itu menghadapi Kwee An.
Pertempuran hebat segera berlangsung dengan ramai sekali.
Ang I Niocu
memegang pedang Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong Sian, yaitu sebuah pedang
pusaka yang ampuh. Kwee An memegang pedang Oei-kang-kiam pemberian Meilani,
juga pedang pusaka hingga ia tidak takut menghadapi roda-roda Lok Kun Tojin.
Ada pun Ma Hoa dengan sepasang bambu runcingnya yang dimainkan secara luar biasa
itu dapat mengimbangi permainan tasbeh yang hebat dari Wai Sauw Pu!
Setelah
bertempur belasan jurus, ketiga orang tua itu baru benar-benar merasa terkejut
oleh karena tadinya mereka memandang rendah kepada tiga orang lawan muda itu
yang sama sekali tak pernah mereka sangka demikian lihainya.
Ang I Niocu
maklum akan kelihaian Kwee An, maka ia tidak perlu menguatirkan keadaan pemuda
itu, akan tetapi tadinya dia merasa cemas melihat betapa Ma Hoa menghadapi
kakek bersorban yang nampaknya kuat dan lihai sekali. Namun begitu melihat
permainan bambu runcing Ma Hoa, diam-diam ia merasa amat kagum dan juga heran,
maka dengan hati gembira Ang I Niocu lalu melayani nenek bongkok sambil berkata
kepada Ma Hoa,
“Adikku, kau
kini hebat sekali!”
Mendengar
pujian ini, Ma Hoa lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang baru saja
didapatnya dari Hok Peng Taisu dan biar pun tasbeh di tangan kakek bersorban
itu luar biasa gerakannya, akan tetapi sepasang bambu runcingnya juga merupakan
senjata lihai yang gerakannya belum dikenal oleh Wai Sauw Pu!
Ada pun
rajawali emas yang terus beterbangan dan berputar-putar di atas kepala mereka
yang sedang bertempur, kini mulai menyambar turun dan siap membantu. Yang
terutama dibantunya ialah Ang I Niocu dan beberapa kali ia menyerang kepala
nenek bongkok itu hingga Si Nenek Bongkok memaki-maki kalang kabut.
“Burung
jahanam! Burung siluman! Akan kusembelih lehermu, akan kumakan dagingmu
mentah-mentah!” Sambil berkata begitu, dengan tangan kanan menggunakan sabuknya
untuk melayani Ang I Niocu ada pun ujung sabuk di tangan kiri beberapa kali
mengebut ke arah Sin-kim-tiauw tiap kali burung itu menyambar turun.
Mendadak
ketika burung itu menyambar turun, tosu yang berkelahi melawan Kwee An
menggerakkan roda pada tangan kirinya dan roda itu terputar cepat menyambar ke
arah burung yang terbang di atas kepala nenek bongkok itu! Ternyata bahwa tali
yang ada di tengah-tengah roda itu amat panjangnya sehingga roda itu dapat
terbang tinggi dan jauh! Hampir saja rajawali itu terkena hantaman roda,
baiknya ia cepat mengelak dan terbang ke atas sambil berteriak marah. Kini ia
menyambar turun dan menyerang Lok Kun Tojin!
“Sin-kim-tiauw,
jangan!” teriak Ang I Niocu oleh karena gadis ini maklum betapa lihainya
roda-roda tosu itu.
Akan tetapi
rajawali yang sedang marah ini mana mau mendengarkan cegahannya. Dia tetap
menyerang dan menyambar-nyambar dengan ganasnya.
“Sin-kim-tiauw,
tak maukah kau menurut perintahku?” bentak Ang I Niocu dan suaranya menyatakan
kemarahan besar yang terdorong oleh kekuatirannya.
Rajawali itu
terkejut mendengar bentakan Ang I Niocu dan pada saat itu, sebuah roda dari Lok
Kun Tojin dengan keras mengenai dadanya! Burung itu terpental ke atas udara
sambil berteriak-teriak kesakitan. Kemudian, karena merasa dadanya sangat sakit
dan pula karena mendongkol mendengar bentakan dan cegahan Ang I Niocu yang
dibelanya, ia lalu terbang tinggi sekali dan terus terbang pergi jauh!
Ang I Niocu
merasa cemas sekali, sebaliknya Lok Kun Tojin merasa pukulan rodanya tadi amat
berbahaya dan keras. Jangankan kulit daging, bahkan batu karang pun akan hancur
apa bila terpukul oleh rodanya, akan tetapi burung itu tidak tewas karenanya,
bahkan lalu terbang pergi dengan cepat!
Dengan Ilmu
Silat Bambu Runcing yang lihai, Ma Hoa dapat membikin jeri hati lawannya yang
sebenarnya masih lebih tinggi ilmu silatnya. Sedangkan ilmu pedang Ang I Niocu
juga membuat nenek bongkok itu merasa gentar.
Tak pernah
disangkanya bahwa musuh-musuh suheng-nya yang muda-muda mempunyai ilmu
kepandaian yang begini luar biasa. Tidak heran apa bila suheng-nya yang lihai
itu sampai kena dikalahkan.
Sebaliknya,
sungguh pun ilmu pedang yang dimiliki Kwee An juga bukanlah ilmu pedang
sembarangan, yaitu ilmu pedang Kim-san-pai warisan suhu-nya yang pertama, yaitu
Eng Yang Cu, dan Ilmu Pedang Hai-liong Kiam-sut warisan Nelayan Cengeng, akan
tetapi sepasang roda di tangan tosu yang menjadi lawannya itu benar-benar luar
biasa.
Beberapa
kali pemuda ini hampir saja menjadi korban pukulan roda, untung dia masih dapat
mengelak sambil mengeluarkan ilmu silat yang dia pelajari dari Hek Mo-ko,
hingga Lok Kun Tojin merasa kagum. Jarang sekali tosu ini mendapatkan lawan
yang sanggup mengimbangi ilmu kepandaiannya dan sekarang, baru saja ia turun
gunung dan bertemu dengan musuh-musuh sahabatnya, ia telah bertemu dengan seorang
pemuda yang dapat bertahan melawannya sampai hampir seratus jurus!
Kwee An
maklum bahwa apa bila dilanjutkan, ia tak akan menang dan juga kedua orang
kawannya belum tentu akan dapat menang pula, maka ketika ia melihat rajawali
terbang pergi, ia mendapat akal dan berkata,
“Bagus,
Sin-kim-tiauw tentu akan memanggil Suhu-mu!”
Benar saja,
ucapan ini membuat ketiga orang tua itu merasa kaget dan kuatir sekali. Baru
murid-muridnya saja sudah begini lihai, apa lagi kalau suhu mereka yang datang!
Maka, nenek bongkok itu berkata, “Jiwi bengyu, mari kita pergi! Kita jumpai Hai
Kong lebih dulu, lain kali mudah untuk mengambil nyawa ketiga tikus kecil itu!”
Ketiga orang
tua itu lalu melompat pergi dan segera lari secepatnya meninggalkan tempat itu.
Ang I Niocu yang memiliki watak tidak mau kalah itu merasa penasaran dan
kecewa, maka ia menegur Kwee An,
”Kongcu,
mengapa kau menggunakan akal mengusir mereka?”
“Mereka itu
sebenarnya tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan kita, untuk apa berkelahi
mati-matian?” kata Kwee An sambil menarik napas lega.
“Akan
tetapi, Sin-kim-tiauw telah dilukainya!” kata Ang I Niocu.
“Belum tentu
kim-tiauw itu terluka, karena kalau benar terluka, bagaimana ia bisa terbang
begitu tinggi dan cepat?” Ma Hoa membela kekasihnya. “Enci Im Giok, mereka itu
lihai sekali. Sudahlah jangan membicarakan mereka pula, yang perlu sekarang
lekaslah kau ceritakan pengalamanmu. Kami semua, terutama Cin Hai dan Lin Lin,
merasa berduka sekali, karena menyangka bahwa kau tentu sudah meninggal di atas
Pulau Kim-san-to yang terbakar hebat dan meledak itu.” Sambil berkata demikian,
Ma Hoa lalu memegang tangan Ang I Niocu dan ketiganya lalu duduk di bawah
sebatang pohon untuk beristirahat dan bercakap-cakap.
Mendengar
disebutnya nama Cin Hai dan Lin Lin, lenyaplah rasa kecewa dari wajah Ang I
Niocu yang cantik, dan sekarang wajahnya berseri gembira. “Apa katamu? Lin Lin
dan Cin Hai, apakah benar-benar mereka itu selamat dan sudah saling bertemu?”
Ma Hoa lalu
menuturkan pengalaman-pengalamannya dan menuturkan segala peristiwa yang
terjadi semenjak mereka berpisah, juga pengalamannya sendiri ketika terjatuh
dari atas tebing bersama Kwee An.
Mendengar
cerita itu, Ang I Niocu mengucap syukur karena kawan-kawan baiknya telah
terhindar dari bahaya maut. Akan tetapi ketika mendengar betapa kini kedua
orang muda itu tidak tahu bagaimana nasib Lin Lin dan Yousuf yang dikejar-kejar
orang-orang Turki, di mana pula adanya Cin Hai, ia menghela napas dan berkata,
”Ah, sungguh
kasihan sekali Lin Lin dan Cin Hai. Baru saja bertemu, mereka sudah harus
berpisah pula. Sekarang kita harus mencari mereka sampai dapat.”
“Memang kami
berdua pun sedang mencari jejak mereka, Niocu.” kata Kwee An. “Yang mengejar
Lin Lin dan Yo-siokhu adalah orang-orang Turki, maka pada waktu mendengar bahwa
di daerah Kansu banyak terdapat orang-orang Turki, kami lalu menuju ke barat
untuk menyelidiki di sana. Tidak tahunya kebetulan sekali kita saling bertemu
di sini.”
“Sayang
sekali Sin-kim-tiauw sudah terbang pergi, entah di mana dia sekarang berada,”
kata Ang I Niocu.
Tentu saja
ketiga orang muda ini tidak tahu bahwa Rajawali Sakti itu sudah berjumpa dengan
Bu Pun Su sehingga nyawanya tertolong, karena kakek jembel ini yang melihat
Sin-kim-tiauw terbang tinggi di udara, lalu mengerahkan tenaga khikang-nya
memanggil, kemudian ia mengobati luka pada dada burung sakti itu yang
selanjutnya mengikuti kakek jembel itu.
Setelah
menanti sampai senja dan burung itu tidak juga kembali, Ang I Niocu, Kwee An,
serta Ma Hoa lalu melanjutkan perjalanan mencari Lin Lin ke arah barat. Tujuan
mereka adalah Propinsi Kansu sebelah barat.
***************
Cin Hai
melarikan Pek-gin-ma dengan amat cepatnya, diikuti oleh burung bangau di atas
kepalanya. Dia telah menjelajah di sekitar daerah perbatasan Tiongkok dan
Mongol untuk mencari jejak Lin Lin dan Yousuf, akan tetapi sia-sia belaka.
Akhirnya, tepat sebagaimana yang diduga oleh Kwee An dan Ma Hoa dia lalu menuju
ke barat oleh karena dia pun berpikir bahwa boleh jadi Yousuf melarikan diri ke
barat.
Pada suatu
hari, ketika dia sedang menjalankan kudanya perlahan sambil merenungkan
nasibnya yang selalu terpisah dari Lin Lin, ia merasa seolah-olah ada orang
mengikutinya dari belakang. Beberapa kali ia menoleh, akan tetapi ia tidak
melihat bayangan seorang pun. Akan tetapi, apa bila ia melanjutkan
perjalanannya, kembali ia merasa seakan-akan ada sepasang mata memandang
dirinya dan sepasang kaki berjalan cepat dengan amat ringannya di belakang
kuda.
Dengan
tiba-tiba Cin Hai berpaling lagi, akan tetapi kembali ia kecele, oleh karena ia
tidak melihat ada orang. Setankah yang mengikutinya? Atau orang yang berkepandaian
tinggi? Seingatnya, yang mungkin mengikutinya secara luar biasa cepatnya dan
diam-diam, tidak ada orang lain kecuali suhu-nya saja yang akan sanggup
melakukannya. Akan tetapi tak mungkin suhu-nya mengikuti dengan diam-diam.
Cin Hai lalu
melarikan kudanya cepat-cepat, akan tetapi kembali dia mendengar tindakan kaki
yang amat ringannya mengikutinya dengan cepat pula. Ketika dia menengok, masih
saja kosong di belakangnya, tidak nampak seorang pun.
Sungguh
mengherankan, dan dengan penasaran dia lalu turun dari kudanya dan berjalan
sambil menuntun Pek-gin-ma. Setelah berjalan kaki, Cin Hai merasa makin yakin
bahwa benar-benar ada orang yang mengikutinya dari belakang dan orang ini tentu
mempunyai kepandaian tinggi sekali oleh karena selain tindakan kakinya yang
ringan sekali, juga tiap kali menengok, orang itu tiba-tiba telah dapat
melenyapkan diri dan bersembunyi dengan cara yang luar biasa.
Ia bisa
menduga bahwa dengan mengandalkan ginkang-nya yang sempurna, tentu orang itu
telah melompat ke belakang pohon pada saat ia menengok, oleh karena di
sepanjang jalan yang dilaluinya memang terdapat banyak sekali pohon-pohon
besar. Oleh karena ini, dia lantas mendapat akal.
Ia sengaja
menuntun kudanya keluar dari tempat itu dan melalui jalan yang membelok ke kanan
di mana tidak terdapat sebatang pohon juga. Ia hendak melihat apakah orang itu
masih berani mengikutinya dan kalau ia menengok, orang itu hendak lari
bersembunyi ke mana?
Benar saja,
ketika ia melalui jalan yang tidak berpohon, tindakan kaki yang mengikutinya
lalu berhenti. Akan tetapi, alangkah terkejut dan herannya ketika ia mendengar
lagi suara tindakan kaki itu di belakangnya. Alangkah beraninya orang itu,
pikirnya penasaran dan secepat kilat dia menggerakkan kepala berpaling
memandang ke belakang. Dan kini dia melihat seorang lelaki yang berpakaian
indah sedang berjalan dengan seenaknya, sama sekali tidak gugup atau hendak
pergi bersembunyi ketika dia menengok!
“Sobat,
kenapa kau mengikuti aku?” tanya Cin Hai gemas.
Orang itu
tertawa, suara tawanya sangat nyaring dan tinggi, mengandung ejekan seperti
biasanya suara ketawa orang yang berwatak sombong. Orang ini masih muda,
usianya paling banyak baru tiga puluh tahun. Tubuhnya sedang, wajahnya tampan
serta gagah, keningnya tinggi sedangkan pakaiannya terdiri dari baju warna
kuning dan celana biru. Di luar bajunya masih memakai sehelai mantel abu-abu
yang indah sekali. Pada rambutnya yang hitam itu nampak hiasan dari batu giok
yang merupakan seekor naga terbang.
Cin Hai
merasa heran karena setelah dekat, ia melihat betapa pada kedua pipi laki-laki
ini nampak warna kemerah-merahan yang tidak asli, seakan-akan pipi itu dibedaki
dengan yanci dan bedak yang seperti biasa dipakai wanita bersolek!
Setelah
tertawa nyaring laki-laki pesolek ini lalu berkata,
“Aku hendak
berjalan di belakangmu atau di depanmu, mau pun di sebelahmu, apakah
hubungannya dengan kau? Aku berjalan di atas kedua kakiku sendiri dan jalan ini
adalah jalan umum! Padamu tidak ada sesuatu yang menarik hatiku, kecuali kuda
putih ini dan burung bangau itu!”
Dia tertawa
lagi sambil memandang dengan mata mengandung ejekan. Biar pun hatinya
mendongkol, akan tetapi Cin Hai dapat merasakan juga bahwa kata-kata orang ini
ada benarnya juga. Ia berjalan sendiri dan tidak mengganggunya, mengapa ia
harus merasa penasaran dan gemas? Maka timbul kejenakaannya dan ia menjawab,
“Peribahasa
kuno menyatakan bahwa orang harus berlaku waspada terhadap orang yang berada di
belakangnya dan tidak perlu takut kepada orang yang berada di hadapannya! Kau
selalu berjalan di belakang, bahkan dengan cara bersembunyi, maka teringatlah
aku akan peribahasa itu. Bukan maksudku hendak menyebutmu pengecut, namun
maksud peribahasa itu bahwa orang harus berhati-hati terhadap orang yang selalu
melakukan hal dengan sembunyi-sembunyi karena orang demikian itu adalah seorang
yang berbahaya dan berwatak pengecut!”
Ucapan yang
diputar-putar ini biar pun tidak langsung memaki, akan tetapi sudah dua kali
Cin Hai menyebut orang di depannya itu sebagai pengecut!
Lelaki
pesolek itu tidak menjadi marah, hanya tersenyum dibuat-buat. Dia lalu
meloloskan sehelai tali yang banyak bergelantungan di ujung bajunya, lalu
mempermainkan tali itu di antara jari tangannya.
“Kau pandai
berkelakar anak muda, tetapi tetap saja aku menganggap bahwa kuda dan burungmu
itu lebih baik dari padamu!”
Pada saat
itu burung bangau melayang dari atas. Melihat betapa Cin Hai berhadapan dengan
orang asing, ia lalu menyambar ke atas kepala orang itu.
“Ang-siang-kiam,
jangan kurang ajar!” seru Cin Hai.
Akan tetapi
dengan tenang, seakan-akan tidak diserang oleh seekor burung bangau yang besar
dan ganas, orang itu lalu menggerakkan tangannya ke arah burung itu, kemudian
ia menjura kepada Cin Hai sambil berkata,
“Ahh,
burungmu mulai membosankan aku, anak muda. Selamat tinggal!”
Bukan main
terkejutnya hati Cin Hai ketika merasa betapa dari kedua tangan orang yang
sedang menjura kepadanya itu, menyambar angin pukulan yang hebat ke arah
dadanya! Cin Hai buru-buru membungkukkan tubuhnya dan balas menjura sambil
mengerahkan khikang-nya dan ketika kedua tenaga mereka bertemu, keduanya
melangkah mundur dua tindak! Ternyata bahwa tenaga mereka berimbang.
Orang itu
memandang kepada Cin Hai dengan mulut tersenyum mengejek, akan tetapi kedua
matanya mengeluarkan pandangan kagum.
“Bagus,
bagus, aku telah bertemu dengan seorang ahli!” Tubuhnya lalu berkelebat dan
sebentar saja lenyaplah dia dari pandang mata Cin Hai.
Pemuda ini
merasa heran dan kagum. Akan tetapi ketika memandang ke arah burung bangau yang
sudah terbang turun, keheranannya berubah kekagetan karena dia melihat betapa
burung itu kini sedang bergulingan di atas tanah sambil mencakar-cakar paruhnya
sendiri!
Sesudah Cin
Hai menghampiri, ternyata bahwa sepasang paruh burung yang bagaikan sepasang
pedang merah itu telah terikat menjadi satu oleh tali yang tadi dipegang oleh
laki-laki pesolek itu! Dia cepat menggunakan pedangnya memutuskan tali yang
mengikat paruh burung bangau, akan tetapi ternyata bahwa tali itu kuat bukan
main dan tak mudah diputuskan. Sesudah dia mengerahkan tenaga, barulah tali
istimewa itu dapat diputuskan dan burung itu lalu terbang tinggi dengan
ketakutan!
Cin Hai
mengeluarkan keringat dingin. Bukan main lihainya orang itu yang hanya dengan
sehelai tali dapat membuat burung itu tidak berdaya. Orang yang dapat melontarkan
tali hingga dapat melibat dan mengikat burung yang sedang terbang menyambarnya,
dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu silatnya! Masih untung bahwa orang itu
tidak turun tangan dan memusuhinya, kalau terjadi demikian belum tentu ia akan
dapat mengalahkan lawan yang sedemikian tangguhnya itu!
Teringatlah
Cin Hai akan kata-kata suhu-nya dulu, bahwa di dunia terdapat banyak sekali
orang-orang pandai. Ia lalu menaiki punggung Pek-gin-ma lagi dan bersuit
memberi tanda kepada burung bangau untuk melanjutkan perjalanan menuju ke
barat.
Sesudah dia
melakukan perjalanan sampai beberapa puluh li jauhnya, hari telah menjadi senja
dan ia tiba di luar sebuah kota yang temboknya telah terlihat dari situ.
Tiba-tiba ia mendengar suara kaki kuda di sebelah belakang.
Ia berhenti
dan alangkah herannya ketika melihat bahwa kira-kira seperempat li jauhnya di
sebelah belakang, ada seorang penunggang kuda yang juga menghentikan kudanya!
Ia lantas menggerakkan Pek-gin-ma lagi dan ternyata orang itu pun melarikan
kudanya pula. Ketika ia berhenti dengan tiba-tiba, orang itu pun berhenti.
“Kurang
ajar!” kata Cin Hai sambil membalikkan kudanya dan melarikan kuda mengejar
orang yang mengikutinya itu!
Dia sudah
merasa bosan untuk diikuti orang saja dan siapa pun juga orang itu, dia akan
menghajarnya! Orang itu pun membalikkan tubuh kuda dan melarikan kudanya dengan
cepat dan Cin Hai makin merasa heran oleh karena kini ia dapat melihat bahwa
orang itu adalah seorang Turki yang tinggi kurus! Orang yang dikejarnya itu
melarikan kudanya ke dalam sebuah hutan dan ketika Cin Hai mengejar dan
memasuki hutan pula, tiba-tiba dari depan melayang belasan batang anak panah
yang kesemuanya mengarah dada, leher, dan perut!
“Pengecut!”
ia berseru marah sambil mempergunakan ujung lengan bajunya mengebut ke depan
sehingga dia berhasil memukul jatuh semua anak panah, kemudian ia mengeprak
kudanya agar berlari lebih cepat.
Akan tetapi
tiba-tiba rumput yang diinjak oleh kudanya itu nyeplos ke bawah dan tubuh
Pek-gin-ma terjeblos ke dalam lubang perangkap yang besar dan yang tadi ditutup
oleh rumput-rumput hijau! Cin Hai cepat melompat dari kudanya hingga tidak ikut
terjeblos ke dalam lubang itu. Dia mendengar kudanya meringkik ngeri dan ketika
dia memandang ke dalam lubang, ternyata bahwa Pek-gin-ma sudah tertusuk oleh
tiga batang tombak yang sengaja dipasang di dalam lubang itu!
Melihat
tubuh kudanya berkelojotan, dengan marah dan hati penuh rasa iba, Cin Hai lalu
menarik keluar pedangnya dan menusuk punggung kuda itu ke arah jantungnya
sehingga kuda itu mati seketika itu juga! Kalau ia tidak melakukan tikaman ini,
kuda itu pasti akan mati, akan tetapi harus menderita lebih dulu beberapa
lamanya.
Kemudian,
Cin Hai memburu ke depan hendak mencari orang Turki tadi, akan tetapi dia tak
melihat bayangan orang di dalam hutan itu! Ia mencari-cari terus dan
berteriak-teriak memaki-maki akan tetapi setelah hari sudah mulai gelap dan
belum juga ia mendapatkan musuh yang curang itu, terpaksa ia pergi meninggalkan
hutan dengan hati marah sekali.
Burung
bangau yang terbang di atas hutan itu pun tak melihat adanya musuh dan burung
ini tidak berani turun seakan-akan dia masih merasa gentar menghadapi lawan
yang tadi telah secara aneh dapat mengikat paruhnya!
Cin Hai
melanjutkan perjalanan menuju ke kota di depan itu sambil berlari cepat.
Hatinya gemas sekali oleh karena dia merasa telah dipermainkan orang. Kota yang
dimasukinya adalah sebuah kota yang cukup ramai dan di situ ia melihat banyak
orang-orang Mongol, serta orang-orang dari suku bangsa lain.
Setelah
mencari kamar di sebuah rumah penginapan, Cin Hai lalu keluar dari kamarnya
untuk melihat-lihat dan sekalian mencari jejak Lin Lin, juga ingin sekali
bertemu dengan orang Turki tinggi kurus yang dilihatnya tadi.
Ia melihat
sebuah rumah makan besar yang penuh tamu, lalu masuk memesan makanan. Pelayan membawanya
ke loteng, oleh karena di bagian bawah sudah penuh. Ketika dia memasuki tangga
loteng, tiba-tiba saja ia mendengar percakapan tamu di loteng itu yang
membuatnya segera menahan tindakan kakinya dan mendengarkan dengan teliti.
Salah seorang di antara tamu-tamu itu telah membicarakan dan menyebut nama
Yousuf!
“Yousuf
sedang sakit dan tidak berdaya. Kalau sekarang kita menyerbu dengan tiba-tiba
dan berbareng, apa sukarnya menundukkan gadis itu?”
Hanya
sedemikianlah yang dapat didengar oleh Cin Hai, karena ketika pelayan muncul,
percakapan itu lalu dilakukan dalam bahasa Turki yang dia tak mengerti sama
sekali. Dia berjalan menundukkan muka, akan tetapi dia memperhatikan mereka.
Ternyata
bahwa ruang atas itu kosong dan hanya terdapat empat orang sedang duduk
mengelilingi sebuah meja penuh mangkok berisi hidangan. Seorang di antaranya
adalah seorang laki-laki berbangsa Turki, sedangkan yang tiga orang lainnya
adalah seorang nenek bongkok, seorang kakek bersorban, dan seorang pula
berpakaian seperti tosu.
Mereka ini
bukan lain ialah Giok Kwat Moli si Nenek Bongkok, Wai Sauw Pu si Kakek
Bersorban, dan Lok Kun Tojin, tiga orang yang dahulu pernah berjumpa dan
bertempur melawan Ang I Niocu, Kwee An, dan Ma Hoa! Akan tetapi Cin Hai belum
pernah melihat mereka.
Ketiga orang
tua itu ternyata pandai bercakap-cakap dalam bahasa Turki hingga Cin Hai hanya
duduk mendengarkan penuh perhatian dan meski pun tidak mengerti sama sekali,
akan tetapi beberapa kali ia mendengar nama Yousuf disebut-sebut, hingga
diam-diam ia berdebar girang. Tadi mereka menyebut seorang gadis yang hendak
mereka keroyok, bukankah gadis yang dimaksudkan itu Lin Lin adanya?
Cin Hai
tidak tahu bahwa keempat orang itu merasa mendongkol serta marah karena
percakapan mereka terganggu oleh kedatangannya, karena meski pun mereka
mengerti bahasa Turki, akan tetapi mereka lebih suka bercakap-cakap dalam
bahasa Han tanpa didengar oleh telinga lain orang. Tiba-tiba mereka itu bicara
dalam bahasa Han lagi, akan tetapi pembicaraan mereka kini telah berubah dan
Cin Hai mendengar tosu itu berkata dengan keras,
“Memang
sungguh menyebalkan orang-orang sekarang, terutama anak-anak mudanya. Mereka
bisanya hanya bersolek dan menjual lagak belaka. Yang paling kubenci adalah
pemuda-pemuda yang berpakaian seolah-olah ia seorang sasterawan pandai, akan
tetapi sebetulnya dia tak mengerti apa-apa. Kalau melihat orang pemuda
berpakaian pelajar, timbul keinginanku untuk mencekik lehernya!”
Tiga orang
kawannya tertawa lebar dan pada saat Cin Hai memandang ternyata bahwa dengan
terang-terangan mereka berempat sedang memandang kepadanya. Dia maklum bahwa
empat orang itu tentu sengaja menghinanya oleh karena ia memang mengenakan
pakaian sebagai seorang pelajar dan pedangnya disembunyikan ke dalam bajunya
yang lebar dan panjang. Hanya dia belum mengerti mengapa mereka itu menghinanya
tanpa sebab.
“Yang
menyebalkan ialah bahwa mereka itu tidak insyaf bahwa kehadiran mereka tidak
disukai orang. Dan sama sekali tidak mengerti bahwa kehadiran mereka mengganggu
percakapan orang lain!” terdengar suara nenek bongkok.
Kini Cin Hai
mengerti bahwa mereka itu merasa terganggu, maka berusaha menakut-nakutinya
agar dia segera berpindah tempat ke ruang bawah! Akan tetapi dia tidak peduli
dan ketika masakan yang dipesannya datang, dia lalu makan seakan-akan di ruang
atas itu tidak terdapat lain orang kecuali dia sendiri!
Tiba-tiba
tosu bercambang bauk itu membersihkan kerongkongannya dengan suara yang
menjijikkan sekali. Hal ini dilakukan berkali-kali dan dibarengi dengan suara
tertawa dari kawan-kawannya hingga Cin Hai hampir tak dapat menahan sabar lagi.
Lenyaplah nafsu makannya karena merasa jijik.
Sambil
menoleh dan meletakkan sumpitnya, ia berkata,
“Heran
sekali, mengapa orang-orang tua dan pendeta-pendeta di sini demikian tidak tahu
kesopanan dan bersikap seperti orang-orang liar?”
Ucapan Cin
Hai ini membuat Wai Sauw Pu, kakek bersorban itu, marah sekali. Ia bangun
berdiri dan tubuhnya yang tinggi besar itu membuat dia nampak garang sekali.
Tangan kanannya menyambar sepasang sumpitnya kemudian sekali dia menggerakkan
tangan, sebatang sumpit itu menyambar dan menancap di meja Cin Hai sampai
setengahnya lebih!
Cin Hai
mendongkol sekali karena terang-terangan mereka itu hendak menghina serta
mengajaknya berkelahi. Dengan tenang ia lalu memegang sumpitnya, kemudian
dengan perlahan ia memukulkan sumpitnya pada sumpit yang tertancap di atas
mejanya sambil berseru, “Kakek tua, hati-hatilah kau menggunakan sumpitmu,
jangan sampai terloncat ke meja lain!”
Ketika
sumpit yang tertancap di atas meja itu kena dipukul oleh sumpitnya, sumpit itu
mencelat lantas melayang kembali ke arah Wai Sauw Pu yang masih berdiri di
dekat mejanya sendiri. Kakek bersorban itu lalu menangkap sumpitnya yang melayang
kembali sambil tertawa bergelak dan berkata,
“Ha-ha-ha,
tidak tahunya bukan sembarang kutu buku, dan memiliki juga sedikit punsu
(kepandaian). Kau patut menerima penghormatanku. Terimalah sepotong daging
sebagai penghormatan!” Sambil berkata demikian, dia menusuk sepotong daging dan
ketika dia mengayun tangannya, sumpit berikut daging yang tertusuk itu melayang
ke arah mulut Cin Hai.
Pemuda ini
merasa marah sekali, maka ia hendak mendemonstrasikan kepandaiannya. Ia tidak
mengelak atau menangkap sumpit yang menyambar ke arah mulutnya itu, hanya
miringkan kepala sedikit dan pada saat sumpit itu lewat di depan mulutnya, ia
membuka mulut dan menggigit ujungnya. Daging dan sumpit dapat tergigit olehnya
dan ketika dia meniup, sumpit itu meluncur ke atas lantai dan patah menjadi
dua!
Kemudian dia
menghadapi Wai Sauw Pu dan sambil mengerahkan tenaga khikang lalu menyemburkan
daging dari mulutnya itu kepada kakek itu, disusul dengan kata-kata,
“Kakek yang
baik, kubayar lunas penghormatanmu dan terimalah kembali dagingmu yang busuk!”
Daging yang disemburkan itu cepat sekali meluncur ke arah mulut Wai Sauw Pu.
Kini
terkejutlah kakek ini dan dia segera memiringkan kepala hendak berkelit. Akan
tetapi semburan Cin Hai ini selain cepat, juga tidak terduga sehingga biar pun
daging itu tidak mengenai mulutnya, akan tetapi masih menyerempet pipinya
sehingga terasa pedas dan pipinya ternoda oleh kuah daging itu!
Wai Sauw Pu
menjadi marah sekali. Dengan tindakan kaki lebar dia lalu menghampiri Cin Hai
yang juga masih tetap duduk dengan tenang.
“Tikus
kecil! Berani betul kau berlaku kurang ajar di hadapanku!” teriak Wai Sauw Pu
dengan marah sekali.
“Kakek yang
baik, pernahkah kau mendengar sebuah ujar-ujar kuno yang sangat baik! Ujar-ujar
itu menyatakan, bahwa menghormat orang lain berarti menghormat diri sendiri!
Kau dan kawan-kawanmu sengaja menggangguku padahal aku tidak melakukan sesuatu
yang salah! Kalau kau tidak mau menghormat bahkan menghina orang lain, bukankah
itu artinya menyalahi ujar-ujar itu? Menghormati orang lain berarti menghormat
diri sendiri, sebaliknya menghina orang lain berarti menghina diri sendiri
karena dengan perbuatanmu yang menghina orang lain itu hanya menyatakan betapa
rendahnya martabatmu!”
Mendengar
ucapan ini, tertegunlah hati Wai Sauw Pu. Ia mulai menduga bahwa pemuda itu
bukanlah orang sembarangan. Namun, untuk daerah barat nama Wai Sauw Pu sudah
terkenal sekali, maka tentu saja ia tidak mau mengalah, apa lagi ia dihina oleh
pemuda itu di depan ketiga orang kawannya.
“Anak muda,
siapakah kau yang berani bermain gila di depan Wai Sauw Pu si Malaikat Tasbeh?
Katakan siapa namamu agar supaya aku tidak menghajar segala oang yang tak
bernama!”
Cin Hai
pura-pura memperlihatkan muka terkejut dan ketakutan mendengar nama yang
sesungguhnya belum pernah dikenalnya itu.
“Ahh,
kiranya kini aku berhadapan dengan seorang malaikat? Tentu kau masih terhitung
keluarga dengan Giam-lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa), karena menurut cerita
orang Giam-lo-ong juga bertubuh tinggi besar seperti kau! Aku hanya seorang
biasa saja, mana ada kehormatan untuk memperkenalkan nama kepada malaikat?
Sudahlah, kakek yang baik, kau maafkan aku saja dan jangan kau mencabut
nyawaku!” Ucapan ini dikeluarkan dengan suara sewajarnya dan tidak mengandung
ejekan, akan tetapi cukup memerahkan telinga Wai Sauw Pu.
“Boleh,
boleh! Kau boleh minta maaf akan tetapi kau harus mencukur gundul kepalamu di
hadapanku dulu, baru aku bisa memberi maaf dan tidak menghancurkan kepalamu!”
Cin Hai
adalah seorang yang mempunyai kesabaran besar, akan tetapi tidak ada ucapan
lain yang akan melebihi rasa sakit di dalam hatinya kecuali menyuruh dia
menggunduli kepalanya! Ucapan yang dikeluarkan oleh Wai Sauw Pu tanpa sengaja
itu mengingatkan dia akan hinaan-hinaan yang dideritanya pada saat dia masih
kanak-kanak dan berkepala gundul. Maka ia lalu menjawab,
“Pikiranmu
cocok sekali dengan keinginan hatiku! Aku pun ingin sekali melihat benda apa
yang tersembunyi di dalam sorbanmu itu! Ingin sekali aku melihat warna kulit
kepalamu, apakah kulitnya sama tebalnya dengan mukamu!”
“Keparat!”
teriak Wai Sauw Pu dan tahu-tahu tangannya telah menarik keluar tasbehnya yang
lihai, senjatanya yang ampuh itu! Tanpa mengeluarkan peringatan lagi, tahu-tahu
tasbehnya sudah meluncur dan menyerang ke arah kepala Cin Hai!
Pemuda ini
dengan tenang lalu mengelak, segera mempergunakan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na
untuk menghadapi tasbeh kakek itu dengan tangan kosong!
Tak hanya
Wai Sauw Pu yang terkejut melihat gerakan pemuda yang luar biasa cepatnya itu,
bahkan kawan-kawannya juga memandang dengan hati heran dan kagum. Meski pun
tasbeh itu membuat gerakan yang melingkar-lingkar dan mencegah seluruh jalan
keluar, namun dengan cepat tubuh Cin Hai dapat berkelebat mengikuti gulungan
sinar senjata dan menghindarkan diri dari setiap sambaran tasbeh!
”Kakek yang
baik, kau bukalah sorbanmu!”
Sambil
berkata demikian, sepasang tangan Cin Hai cepat bergerak dan dengan gerakan
Kong-ciak Jio-cu atau Merak Sakti Merampas Mustika, ia mencengkeram ke arah
kepala Wai Sauw Pu dengan tangan kirinya!
Kakek itu
terkejut sekali dan mengelak ke kanan. Akan tetapi secepat kilat tangan kanan
Cin Hai menyusul dan sebelum Wai Sauw Pu sempat berkelit, sorbannya sudah dapat
dicengkeram dan direnggutkan dari kepalanya oleh Cin Hai. Tertawalah anak muda
itu ketika melihat betapa kepala Wai Sauw Pu ternyata gundul pelontos seperi
kepalanya dulu!
“Ha-ha-ha!
Pantas saja kau minta aku mencukur gundul rambutku, tak tahunya kau telah
mendahuluiku mencukur gundul kepalamu! Ha-ha-ha, alangkah licinnya! Lalat pun
akan terpeleset apa bila hinggap di kepalamu!”
Biar pun
merasa marah sekali, ketiga kawan Wai Sauw Pu terpaksa menahan ketawa mereka
mendengar kata-kata yang lucu ini. Mereka bertiga kemudian meloloskan senjata
masing-masing dan menerjang maju hingga Cin Hai terkurung di tengah-tengah.
Melihat
gerakan mereka diam-diam Cin Hai terkejut juga karena tidak disangkanya bahwa
ilmu kepandaian keempat orang ini ternyata benar-benar tinggi dan hebat! Ia
pikir takkan ada gunanya untuk melawan mati-matian kepada mereka itu, karena
bukankah mereka ini mempunyai hubungan dengan lenyapnya Yousuf dan Lin Lin?
Maka ia lalu melompat ke sana ke mari dan membuat gerakan-gerakan Tarian
Bidadari hingga tubuhnya dengan mudah dapat mengelak dari setiap serangan,
sambil berkata,
“Aduh,
lihai... lihai sekali, aku terima kalah!” Ia lalu melompat ke atas dan cepat
pergi dari tempat itu, bersembunyi di tempat gelap di luar rumah makan.
Empat orang
itu segera mengejar dan melompat turun dari loteng sehingga semua tamu yang
mengenal mereka sebagai orang-orang berilmu tinggi menjadi panik dan berlarian
ketakutan!
Dengan
perasaan amat marah keempat orang itu mencari-cari, akan tetapi Cin Hai dapat
menyembunyikan diri dengan amat baiknya, bahkan lalu mengikuti mereka ketika
mereka pergi dengan berlari cepat sekali.
Empat orang
yang diikuti Cin Hai itu menuju ke sebelah timur kota dan mereka memasuki
sebuah pondok. Cin Hai mempergunakan ilmu ginkang-nya yang tinggi untuk
mengintai tanpa diketahui oleh penghuni pondok. Ketika dia memandang, alangkah
kagetnya oleh karena empat orang itu ternyata mengadakan pertemuan dengan tiga
orang tosu bangsa Han yang bukan lain orangnya adalah Kanglam Sam-lojin, yakni
ketiga tokoh besar dari Liong-san-pai yang pernah menjad guru-gurunya dahulu!
Giok Im Cu, Giok Yang Cu, dan Giok Keng Cu sudah kelihatan tua sekali akan
tetapi mereka masih bersikap gagah!
Ketujuh
orang di dalam pondok itu sedang membicarakan tentang pertemuan yang baru
dialami oleh keempat orang tua itu dengan Cin Hai. Si Kakek bersorban berkata,
“Jangan-jangan
pemuda yang aneh itu adalah kawannya Yousuf, atau jangan-jangan dia adalah
seorang penyelidik dari kaisar! Maka lebih baik malam ini juga kita menyerbu ke
pondok itu untuk menawan Yousuf!”
Setelah
mengadakan permufakatan, ketujuh orang itu lalu keluar dari pondok dan segera
berlari menuju ke sebuah hutan yang berada di luar kota. Cin Hai tetap
mengikuti mereka dengan hati berdebar.
Betaoa
banyaknya orang-orang pandai yang hendak menawan Yousuf! Benar-benarkah yang
hendak ditawan adalah Yousuf yang menjadi ayah angkat Lin Lin itu? Dengan hati
menduga-duga serta penuh harapan, Cin Hai terus mengikuti mereka masuk ke dalam
hutan.
Malam itu
terang bulan sehingga mereka dapat berjalan di dalam hutan tanpa banyak susah.
Mereka berhenti di luar sebuah pondok kayu sederhana yang agaknya masih baru
dibangun di tengah-tengah hutan itu.
“Yousuf! Kau
keluarlah dan menyerahlah dengan damai!” Wai Sau Pu berteriak dari luar.
Tiba-tiba
saja api penerangan yang tadinya tampak bernyala di dalam pondok itu menjadi
padam, dan terdengarlah suara yang merdu dan nyaring dari dalam pondok,
”Kawanan
penjahat rendah! Apa kau kira Nonamu akan membiarkan kau mengganggu ayahnya?”
Cin Hai
hampir berseru karena girang. Itulah suara Lin Lin! Maka tanpa terasa lagi ia
lalu mencabut keluar Liong-coan-kiam dari dalam jubahnya dan siap sedia untuk
membantu kekasihnya itu.
Diam-diam
Cin Hai lalu mengumpulkan kayu dan daun kering karena ia pikir bahwa kalau
keadaan di luar tidak cukup terang, maka akan berbahaya sekali bagi Lin Lin.
Apa bila di luar gelap maka pada saat gadis itu keluar, dia mudah diserang
dengan senjata rahasia, sedangkan tadi di rumah makan ia sudah mendapat
kenyataan betapa kakek bersorban itu pandai sekali menimpuk dengan sumpit,
tanda bahwa ia bisa mempergunakan senjata rahasia. Setelah kayu dan daun kering
dia tumpuk, lalu dia membuat api dan membakar tumpukan itu hingga berkobarlah
api yang membuat tempat itu menjadi terang sekali.
***************
Marilah kita
ikuti sebentar dan secara singkat pengalaman Yousuf bersama Lin Lin yang
memaksa mereka berlari meninggalkan tempat tinggal mereka di lereng bukit dekat
tapal batas sebelah utara itu.
Sambil
menanti berita dari Cin Hai yang pergi mencari jejak Ma Hoa dan Kwee An, Lin
Lin setiap hari melatih Ilmu Pedang Han-le Kiam-hoat yang sudah dipelajarinya
dari Cin Hai. Di samping itu ia merawat Yousuf yang terluka dengan penuh
kesabaran.
Beberapa
hari kemudian, selagi ia melatih ilmu pedangnya, dia melihat rombongan orang
Turki menyerbu naik bukit itu dan jumlah mereka tidak kurang dari sebelas
orang!
“Nona, di
mana adanya Yousuf?” tanya seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar
dan memegang sebuah golok di tangan.
“Ada
keperluan apakah kalian mencari Yousuf?” tanya Lin Lin dengan hati-hati
“Kami hendak
menawannya!”
Baru saja
mendapat jawaban ini, Lin Lin menyambar dengan hebat sehingga pemegang golok
itu terpelanting dengan luka pada lengan tangannya!
“Enak saja
kau bicara!” Lin Lin membentak. “Siapa pun tidak boleh menawan Ayahku!”
Orang-orang
Turki itu merasa sangat heran mendengar bahwa gadis ini ternyata adalah puteri
Yousuf sebab sepanjang pengetahuan mereka, Yousuf belum pernah beristeri, apa
lagi mempunyai seorang puteri! Mereka segera menyerbu dengan hebat yang
disambut dengan marah oleh Lin Lin. Pedang Han-le-kiam di tangannya walau pun
hanya pendek, akan tetapi gerakannya benar-benar luar biasa, seolah-olah seekor
naga sakti mengamuk kepada para penyerangnya.
Akan tetapi,
di antara para penyerbu ini terdapat seorang yang tinggi silatnya, yaitu Lok
Kun Tojin serta beberapa orang Turki yang terkenal jago-jago nomor satu di
negaranya! Sebentar saja Lin Lin terkurung rapat dan terdesak hebat.
Mendadak
terdengar pekik nyaring dari atas dan seekor burung merak besar menyambar turun
bagaikan halilintar dan begitu burung sakti itu menggerakkan sayap dan kakinya,
dua batang golok musuh telah terpental dan orangnya terpelanting!
Akan tetapi,
Lin Lin maklum bahwa pihak lawan kuat sekali, dan apa bila diteruskan, dia akan
lelah dan kalah, sedangkan Yousuf masih dalam keadaan lemah! Mengingat bahwa
mereka ini datang hendak menawan Yousuf, ia menjadi gelisah sekali maka secepat
kilat ia melompat mundur. Ketika pihak musuh mengejar, ia berseru,
“Kong-ciak-ko,
kau tahan mereka!”
Merak Sakti
agaknya mengerti akan maksud perintah ini karena ia kemudian menyambar-nyambar
dan menghalangi mereka yang hendak mengejar Lin Lin. Seorang pengeroyok yang
berlaku kurang hati-hati dan terlalu berani, sudah kena dipatuk matanya
sehingga menjadi buta!
Lin Lin
mempergunakan kesempatan itu berlari cepat ke arah pondok di mana Yousuf sedang
duduk dengan wajah muram. Orang tua ini selain menderita karena lukanya, juga
dia merasa gelisah sekali apa bila mengingat akan nasib Kwee An dan Ma Hoa yang
terjatuh ke dalam jurang!
“Ayah,
Ayah... ayo kita lekas lari!” tiba-tiba terdengar suara Lin Lin yang masuk
dengan wajah pucat.
“Kau kenapa,
Nak?” Yousuf bertanya tenang.
“Musuh
datang menyerbu! Rombongan orang-orang Turki yang lihai sekali!”
Yousuf
terkejut juga dan akhirnya menurut untuk melarikan diri dari belakang,
sementara musuh ditahan oleh Merak Sakti. Akan tetapi, oleh karena pihak musuh
memang terdiri dari orang-orang pandai, akhirnya Merak Sakti juga tidak kuat
bertahan lebih lama lagi setelah ia mendapat luka-luka ringan karena tusukan
golok, hingga sambil berteriak-teriak ia lalu terbang tinggi sekali. Ia melihat
dua orang kawannya yang berlari cepat, maka ia lalu melayang dan mengejar
mereka.
Ketika
rombongan orang Turki menyerbu ke dalam rumah, mereka hanya mendapatkan rumah
kosong dan pada saat itu Yousuf dan Lin Lin telah cukup jauh. Dengan gemas
orang-orang Turki itu lalu membakar rumah Yousuf serta melaksanakan pengejaran.
Di sepanjang jalan mereka melampiaskan rasa marah dan gemasnya kepada rakyat
dusun hingga rakyat dusun banyak yang menderita dan menjadi korban keganasan
mereka.
Sementara
itu, Lin Lin dan Yousuf terus melarikan diri, dikawal dari atas oleh Merak
Sakti. Beberapa kali mereka tersusul oleh rombongan pengejar, akan tetapi
berkat kegagahan Lin Lin serta pembelaan Merak Sakti yang setia, mereka selalu
dapat dipukul mundur hingga akhirnya mereka hanya mengejar dari belakang tanpa
berani menyerang lagi.
Akhirnya Lin
Lin dan Yousuf tinggal di dalam hutan itu dan mereka menyangka bahwa mereka
sudah terlepas dari kejaran orang-orang Turki itu oleh karena telah lama mereka
tidak nampak menyerang.
Padahal
rombongan itu masih tetap mengintai, bahkan mereka lalu mendatangkan bala bantuan
dari orang-orang pandai, di antaranya Si Nenek Bongkok Siok Kwat Moli yang
menjadi sumoi dari Hai Kong Hosiang dan yang sudah memberikan kesanggupan
kepada suheng-nya itu untuk membalaskan dendamnya kepada Cin Hai dan
kawan-kawannya, si kakek bersorban Wai Sau Pu yang gagah perkasa, jago dari
Sin-kiang itu, dan masih banyak lagi jago-jago yang mereka datangkan dari
Turki.
Ketika pada
malam hari itu rombongan musuh menyerbu lagi, Yousuf yang mendengar
musuh-musuhnya lalu berkata kepada Lin Lin,
“Lin Lin,
anakku yang baik, kau gunakanlah kepandaianmu untuk lari menyelamatkan diri.
Tinggalkanlah aku seorang diri, aku sudah tua dan aku berani menghadapi bencana
ini seorang diri. Akan tetapi kau, kau jangan sampai terbawa-bawa, anakku. Kau
mendapat berkah dan doaku, pergilah Lin Lin. Apa bila kau sampai terkena
bencana bersamaku, sampai mati pun aku akan merasa penasaran dan berduka!”
“Tidak,
tidak. Bagaimana pun juga aku akan tetap membelamu, Ayah!”
Yousuf
merasa terharu sekali melihat betapa anak pungutnya ini bersedia membelanya
dengan berkorban jiwa! Tak tertahan lagi air mata mengucur dan membasahi
pipinya.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment