Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 09
PADA hari
yang ke tiga Cin Hai keluar dari kamarnya dan mencari hawa sejuk di belakang
rumah yang mempunyai sebuah taman yang luas dan indah. Ia teringat akan Ang I
Niocu dan berpikir dengan heran kenapa gadis itu pergi tanpa pamit. Ketika
diberitahu oleh Lin Lin akan kepergian Ang I Niocu dia hanya merasa menyesal
mengapa Gadis Baju Merah itu tidak memberitahukan kepergiannya sedangkan ia
masih pingsan.
Akan tetapi
dia tidak kecewa. Dia tidak mengerti mengapa kini setelah berkumpul dengan
ie-ie-nya dan dengan Lin Lin, kerinduannya terhadap Ang I Niocu lenyap. Dia
tidak tahu bahwa dahulu dia hidup sebatang kara dan hanya mempunyai teman Ang I
Niocu, tetapi sekarang dia telah berada di rumah Loan Nio, bibinya yang sangat
cinta kepadanya itu, dan di sini ada pula Lin Lin yang telah dapat merebut
hatinya dengan diam-diam.
Pada waktu
dia sedang duduk melamun, tiba-tiba terdengar suara merdu memanggilnya, “Engko
Hai... Engko Hai...”
Cin Hai
tersenyum. Dia mengenal baik suara Lin Lin, akan tetapi ia diam saja, bahkan
dia lalu duduk di bawah sebatang pohon di dalam taman itu. Akhirnya suara
panggilan Lin Lin terdengar penuh kekhawatiran, maka hati Cin Hai menjadi tidak
tega. Dia lalu menjawab, “Aku berada di sini!”
Lin Lin
berlari-lari menghampiri. Wajah gadis ini menjadi merah, matanya bersinar, akan
tetapi mulutnya cemberut.
“Engko Hai,
engkau nakal sekali. Mengapa engkau diam saja dan malah bersembunyi di sini?
Kukira engkau...”
“Kau kira
apa?”
“Kukira
engkau sudah pergi tanpa pamit, seperti Ang I Niocu...“ Lin Lin lalu
menjatuhkan diri duduk di dekat Cin Hai.
“Kalau aku
pergi, kenapakah?”
“Bila engkau
pergi, aku... ahh... ahh, Engko Hai jangan menanyakan yang bukan-bukan. Kau
lupa belum menelan pil ini!” Gadis itu lalu mengeluarkan sebutir pil dari
sakunya dan memberikan itu kepada Cin Hai.
Cin Hai
menerima pil itu sambil memandang wajah Lin Lin yang berada di dekatnya. “Lin
Lin... kenapakah engkau... sebaik ini kepadaku...?” suara Cin Hai terdengar
menggetar penuh perasaan.
Lin Lin
membalas memandang dan ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Cin
Hai, dia lalu menundukkan mukanya dengan wajah merah.
“Engkau
jangan memandang aku seperti itu, Engko Hai...,” katanya berbisik.
Cin Hai
memegang tangan Lin Lin dan merasa betapa tangan dara itu menggigil. “Lin Lin,
kenapakah? Kau pandanglah aku dan jawablah pertanyaanku tadi!”
Akan tetapi
Lin Lin tidak berani memandangnya dan menyembunyikan mukanya di dada. “Aku...
tidak berani, Hai-ko.”
“Lin Lin,
kau aneh sekali. Mengapa tidak berani? Katakanlah...”
Tiba-tiba
Lin Lin tertawa dan mencoba untuk merenggutkan tangannya yang terpegang, akan
tetapi tidak dapat. “Sudahlah, Engko Hai, jangan membikin aku merasa malu
sekali. Telanlah piI itu!”
Tetapi Cin
Hai tetap tidak melepas tangan gadis itu. “Jawab dulu pertanyaanku…”
Lin Lin
makin merasa malu dan kini tubuhnya menggigil. “Sudahlah, Engko Hai lepaskan
tanganku dan telanlah pil itu!” katanya memohon.
“Tidak,
sebelum kau menjawab pertanyaanku. Cintakah kau padaku?”
“Engkau
nakal sekali, Engko Hai!”
“Jawablah
dulu!”
Dengan
tersenyum kemalu-maluan serta matanya yang indah mengerling tajam, Lin Lin pun
mengangguk!
Bukan main
senangnya Cin Hai melihat pengakuan gadis ini. “Lin Lin, kini hidup ini berarti
bagiku. Alangkah indahnya dunia ini. Lihatlah semua pohon-pohon itu menari-nari
girang menyaksikan kebahagiaan kita!”
“Ahh, pohon
itu bergerak karena tertiup angin!” bantah Lin Lin.
“Dan
daun-daun itu melambai-lambai pada kita. Burung-burung itu pun bernyanyi karena
hendak turut menyatakan kebahagiaan mereka! Lin Lin, kau sungguh-sungguh
membuat aku berbahagia sekali. Adikku, aku... aku cinta kepadamu...”
“Sudahlah,
kau telan pil itu!” kata Lin Lin cemberut, tetapi hatinya berdebar-debar karena
gembira dan bahagia.
“Baiklah,
akan kutelan. Tapi kau jangan cemberut, karena kalau kau marah dan cemberut
wajahmu menjadi makin manis dan aku takkan dapat menelan pil pahit ini!”
“Kau... kau
memang nakal!” Lin Lin berkata sambil mencubit lengan pemuda itu.
Cin Hai lalu
menelan pil itu dan merasa betapa lukanya telah tak terasa lagi sakitnya. Ia
lalu mengeluarkan sulingnya.
“Lin Lin aku
akan melagukan sebuah nyanyian indah untukmu.”
Cin Hai
segera meniup sulingnya dan karena ia mencurahkan seluruh perasaannya yang
mencinta di dalam tiupan suling itu maka terdengarlah suara suling yang indah
merayu dan merdu sekali hingga Lin Lin meramkan matanya, karena di dalam suara
suling itu, dia seakan-akan mendengar pernyataan cinta kasih Cin Hai kepadanya.
Sesudah Cin
Hai selesai meniup sulingnya, dengan mata basah Lin Lin berkata, “Terima kasih,
Hai-ko, aku telah mendengar suara hatimu. Memang engkau semenjak dulu sangat
baik padaku. Ingatkah kau betapa dulu kau mati-matian melawan Guruku untuk
membela aku? Ahh, aku tidak dapat melupakan semua kejadian itu!”
Cin Hai
memandang wajah Lin Lin dengan tersenyum.
“Ha, kau
mengingatkanku akan hal-hal dahulu. Dulu kau seorang anak perempuan yang
berkuncir dua, yang nakal, bengal, dan bandel bukan main!” Cin Hai tertawa dan
matanya memandang penuh menggoda.
Lin Lin
cemberut. “Dan kau... kau... ahh, lucu sekali...”
“Aku
kenapa...?” Cin Hai menuntut.
“Engkau
buruk rupa, kepalamu gundul penuh kudis, dan engkau bodoh... dan nakal...” Lin
Lin tertawa geli dan Cin Hai lalu berdiri menangkapnya, tetapi Lin Lin lebih
cepat, karena gadis ini telah berdiri dan lari.
Cin Hai
mengejarnya sambil berkata, “Awas, kalau kena tangkap, kucubit bibirmu yang
nakal itu!”
Lin Lin
berlari memutari pohon dan tanaman kembang, Cin Hai mengejar dan mereka pun
berkejar-kejaran bagaikan dua orang anak kecil, begitu gembira, begitu mesra
dan penuh bahagia.
Tiba-tiba
Kwee Tiong muncul dari pintu belakang. Dengan wajah tak senang dia berkata,
“Lin Lin Ayah memanggilmu!”
Tanpa
menengok kepada Cin Hai, Kwee Tiong lalu masuk kembali ke dalam rumah. Lin Lin
memperlihatkan wajah kecewa.
Akan tetapi
Cin Hai berkata, “Pergilah, Lin-moi! Tentu ada suatu hal penting maka Ie-thio
memanggilmu.”
Lin Lin
kemudian masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Cin Hai yang kembali duduk
melamun dengan penuh kebahagiaan.
Ketika tiba
di kamar ayahnya, Lin Lin melihat ayahnya duduk seorang diri dengan muka muram.
Begitu melihat anak gadisnya masuk, ayah ini serta merta menegur, “Lin Lin
sikapmu sungguh tidak patut dan memalukan!”
Lin Lin
terkejut dan memandang kepada ayahnya dengan heran, “Ada apakah, Ayah?”
“Engkau
bergaul terlalu dekat dengan Cin Hai, hal ini tidak patut sekali.”
Lin Lin tahu
bahwa ayahnya ini tentu telah mendapat laporan-laporan dari Kwee Tiong.
“Ayah,
apakah salahnya kalau aku bergaul dengan Engko Hai? Bukankah ia keluarga kita
sendiri dan bukankah ia juga seorang pemuda yang baik dan gagah serta telah
menolong kita?” jawabnya dengan berani.
“Betul, akan
tetapi kau harus ingat bahwa engkau telah dewasa dan dia seorang pemuda dewasa
pula. Tidak patut kalau engkau berlaku terlalu manis dengan dia. Apa akan kata
orang luar kalau melihat?”
“Ayah,
mengapa engkau berkata demikian?” Lin Lin bertanya dengan marah. “Engko Hai
adalah seorang pemuda baik dan sopan. Aku... aku suka bergaul dengan dia!”
Memang
semenjak dulu Lin Lin sangat dimanja oleh ayahnya sehingga ia berani bersikap
bandel terhadap ayah ini.
“Lin Lin,”
Kwee In Liang menghela napas. “Di dalam hal ini engkau harus taat kepadaku.
Engkau sudah cukup dewasa dan setiap saat akan ada orang yang datang melamarmu.
Engkau harus memutuskan hubunganmu dengan Cin Hai dan jangan lagi kau bertemu
dengan dia kalau tidak ada keperluan penting.”
“Ayah!”
Gadis itu berseru.
“Diam!!
Engkau harus menurut, atau... apakah engkau ingin menjadi seorang anak yang
puthauw (tidak berbakti)?!”
Dibentak
seperti ini, Lin Lin menundukkan kepala dan menangis!
“Ayah,
kau... kau kejam!” katanya dan ia lalu melarikan diri menuju ke kamarnya, di
mana ia membantingkan dirinya di atas pembaringan sambil menangis tersedu-sedu.
Tak lama
kemudian, Loan Nio masuk ke kamar itu dengan tindakan perlahan. Ia memeluk
tubuh gadis itu dan berbisik mesra, “Lin Lin, aku sudah tahu akan kemarahan
Ayahmu. Anakku, apakah... kau suka kepada Cin Hai? Jawabnya terus terang,
anakku, bagaimana kalau aku mengajukan usul kepada Ayahmu agar kau dan Cin
Hai... di... jodohkan? Setujukah kau?”
Lin Lin tersentak
bangun dan menyusut air mata. Dia lalu memandang kepada Loan Nio dengan mata
terbelalak. Tak pernah terpikir olehnya tentang perjodohan dengan Cin Hai,
karena itu pertanyaan yang tiba-tiba datangnya ini lantas membuatnya bingung
dan malu. Kemudian, sambil terisak ia memeluk ibu tirinya dan menangis lagi.
“Lin Lin.”
kata Loan Nio sambil mengusap-usap rambut gadis itu, “kepadaku tak perlu kau
menyimpan rahasia hatimu. Kalau kau tidak setuju, katakanlah! Jika kau diam
saja, maka akan kuanggap bahwa kau setuju, dan sekarang juga aku akan bicara
dengan Ayahmu.”
Lin Lin diam
saja, hanya tubuhnya bergoyang-goyang karena menahan isak tangisnya!
“Sudahlah,
tenangkan hatimu dan kau serahkan saja persoalan ini padaku.” Dan setelah
menepuk-nepuk bahu Lin Lin, nyonya yang baik hati ini lalu meninggalkan kamar
Lin Lin dan menuju ke kamar suaminya.
Lin Lin
adalah seorang gadis yang berhati keras dan bersemangat. Ia tak dapat menahan
sabar menunggu hasil dari pada pembicaraan ibu tirinya dengan ayahnya. Maka,
setelah menanti sebentar, lalu dia mempergunakan kepandaiannya melompat keluar
dari jendela kamarnya, kemudian dengan hati-hati sekali dia mengintai di atas
genteng dan mengintai ke bawah, di mana ayahnya sedang bercakap-cakap dengan
Loan Nio!
Pada saat
itu Cin Hai dengan hati girang sekali masuk ke dalam rumah untuk memasuki
kamarnya. Tiba-tiba telinganya yang tajam dapat menangkap lapat-lapat suara
Kwee In Liang seperti orang sedang marah. Maka ia lalu mengambil jalan memutar,
keluar lagi ke belakang dan mempergunakan kepandaiannya melompat ke atas
genteng.
Alangkah
herannya ketika dia mendapatkan Lin Lin sedang mengintai pula, maka secara
diam-diam ia cepat menyelinap ke tempat lain dan mengintai dari bagian lain. Ia
tak perlu mengintai, hanya mempergunakan ketajaman telinganya untuk
mendengarkan.
“Tidak,
tidak! Sekali-kali tidak!” kata kata Kwee In Liang keras-keras dan dengan suara
marah. “Memang ia seorang yang cukup baik dan cukup gagah, akan tetapi orang
jaman dahulu pernah berkata bahwa memilih mantu harus melihat keadaan orang
tuanya. Dan apakah orang tua anak itu? Pemberontak! Apakah kau pikir aku harus
berbesan dengan seorang pemberontak?”
“Tetapi
ayahnya sudah meninggal dunia dan tidak perlu lagi kiranya kita membawa-bawa
namanya!” terdengar Loan Nio membantah.
“Hemm,
harimau mati meninggalkan kulitnya, manusia mati meninggalkan namanya! Dan nama
apakah yang ditinggalkan oleh orang she Sie itu? Nama busuk pula!”
“Pikirlah
dengan tenang. Cin Hai berbeda dengan ayahnya, ia adalah seorang anak yang
baik. Juga mereka berdua telah saling mencintai!”
“Apa?”
terdengar Kwee In Liang berseru marah. “Saling cinta? Bagaimanakau bisa tahu?”
“Lin Lin
sudah mengaku kepadaku!”
“Anak
keparat! Tidak, tidak boleh! Ia harus menjadi mantu keluarga Gan di See-tok,
dan habis perkara!”
Kedua suami
isteri yang sedang bertengkar ini tidak tahu betapa di atas genteng terdapat
dua orang yang pada saat itu berwajah pucat sekali. Air mata mengalir turun
membasahi pipi Lin Lin dan hatinya terasa bagaikan diremas-remas.
Sedangkan
Cin Hai berdiri pucat dan air matanya mengalir pula, akan tetapi bukan akibat
sedih, hanya sakit hati mendengar betapa ayahnya dan keluarganya dipandang hina
dan rendah sekali. Sakit hatinya yang dahulu, yang telah dapat dipadamkan
ketika ia bertemu kembali dengan ie-ie-nya dan terutama dengan Lin Lin, kini
timbul kembali.
Ayahnya
sekeluarga telah ditangkap oleh Kwee In Liang, dan kini bahkan dihinanya lagi!
Ayahnya yang telah menjadi tanah itu masih direndahkan!
Timbul
keangkuhan serta kemarahan di dalam hati Cin Hai. Kalau saja dia tidak ingat
kepada Lin Lin, tentu dia sudah meloncat turun dan menyerbu Kwe In Liang yang
berani merendahkan ayahnya!
Dengan hati
sangat terluka Cin Hai meloncat turun dan langsung menuju ke kamarnya,
mengambil semua pakaiannya dan segera keluar dari situ. Akan tetapi, ketika
keluar dari rumah itu, Lin Lin yang berada di atas genteng sambil menangis,
dapat melihatnya. Cepat gadis ini meloncat turun pula dan mengejar sambil
berseru,
“Hai-ko...
kau hendak ke mana...?”
Mendengar
suara panggilan Lin Lin, Cin Hai mengeraskan hatinya dan tanpa menengok lagi
dia malah mempercepat larinya!
Akan tetapi,
karena serangan batin yang amat hebat itu dan karena nafsu marahnya yang
menggelora, maka luka di dadanya yang belum sembuh betul itu lalu pecah kembali
dan tiba-tiba saja ia merasa betapa dadanya sesak dan panas! Cin Hai
mempertahankan rasa sakit ini dan terus berlari cepat, sedangkan Lin Lin tetap
mengejar sambil berteriak-teriak dan menangis.
“Engko
Hai... tunggu...! Engko Hai...!”
Setelah
hampir dua puluh li jauhnya, Cin Hai merasa tidak kuat lagi. Hari mulai gelap
dan kebetulan sekali dia melihat sebuah kuil di pinggir jalan. Dia lalu
membelok ke sana dan seorang hwesio tua menyambutnya.
“Losuhu,
tolonglah beri sebuah kamar padaku. Aku sedang terluka dan tolong kau cegah
siapa saja yang memasuki kamarku.”
Hwesio yang
baik hati ini membawa Cin Hai ke sebuah kamar di mana terdapat sebuah
pembaringan bambu sederhana. Cin Hai kemudian menutup kamar itu dan duduk di
atas pembaringan, lalu bersemedhi untuk melawan rasa sakit di dadanya.
Lin Lin yang
tidak tertinggal jauh karena selain ia memiliki ilmu berlari yang cukup cepat,
juga karena sakit di dada Cin Hai membuat pemuda itu agak lambat larinya, dapat
cepat menyusul dan gadis ini girang sekali ketika melihat bahwa Cin Hai
memasuki kuil itu. Ia juga masuk ke dalam kuil dan disambut oleh hwesio tua
tadi.
“Losuhu, di
manakah perginya orang tadi? Aku ingin bertemu dengan dia!”
Hwesio itu
dengan muka sabar berkata, “Duduklah dulu, Nona. Tuan tadi sudah berpesan bahwa
siapa pun tidak boleh bertemu dengan dia.”
Tetapi Lin
Lin menjadi tidak sabar. “Orang lain tak boleh bertemu dengan dia, tetapi aku
harus bicara dengan dia!” kata-katanya ini dikeluarkan dengan suara keras
sekali.
“Tidak baik
memaksa orang yang tidak mau bertemu muka, Nona,” hwesio tadi berkata dengan
masih sabar.
Kata-kata
ini membangkitkan keangkuhan Lin Lin, maka ia berkata, “Kalau memang tidak mau
bertemu, biarlah aku bicara dari luar kamarnya saja!”
Karena gadis
ini mendesak terus, akhirnya hwesio itu terpaksa mengantarkan Lin Lin ke kamar
Cin Hai.
“Engko
Hai...!” Suara Lin Lin mengandung isak ketika ia memanggil dari luar kamar.
Semenjak Lin
Lin datang, Cin Hai sudah mendengar suaranya, dan pemuda ini menahan gelora
hatinya yang ingin sekali keluar dan bertemu dengan gadis itu. Akan tetapi
hatinya berbisik, “Ayahnya telah menghina Ayahku!”
Maka ia lalu
menjawab dari dalam, “Lin Lin, ada apakah kau mengejarku? Bukankah kau sudah
mendengar sendiri kata-kata Ayahmu tadi?”
Hwesio itu
meninggalkan mereka karena ia maklum bahwa gadis ini benar-benar memiliki
hubungan dengan orang di dalam kamar.
“Hai-ko,
jangan kau samakan Ayah dengan aku!” kata Lin Lin dengan suara memohon.
“Sudahlah
Lin-moi, kau pulanglah karena Ayahmu tentu akan marah sekali jika tahu kau
menyusul ke sini. Pulanglah dan biarkan aku orang rendah ini merana seorang
diri. Kau lupakan aku, aku tidak berharga di hadapan keluarga Kwee yang
terhormat. Ingatlah, aku seorang keturunan pemberontak hina!”
“Engko
Hai...!” Lin Lin menangis sedih dan dengan nekat dia lalu mendorong daun pintu
kamar Cin Hai. Dia melihat betapa pemuda itu dengan muka pucat sedang rebah di
pembaringan bambu dan keadaannya menyedihkan sekali karena pipi pemuda itu
basah oleh air mata!
“Engko
Hai...!” Lin Lin menubruk dan gadis ini menangis tersedu-sedu sambil mendekap
kaki Cin Hai yang tertutup selimut.
Melihat
keadaan gadis kekasihnya yang benar-benar menyatakan cinta hati yang sangat
tulus kepadanya ini, hati Cin Hai melunak.
“Lin-moi...
Lin-moi... jangan kau bersedih, Adikku yang manis...,” katanya dengan penuh
kasih sayang.
Lin Lin
menyusut kering air matanya, dan di antara air mata yang membasahi bulu mata
yang panjang dan bagus itu, ia tersenyum. Hatinya girang lagi mendengar suara
Cin Hai yang penuh kasih sayang itu.
“Apa bila
kau tidak ingin aku menangis, janganlah kau membenciku dan jangan kau pergi
meninggalkan aku, Engko Hai.”
Cin Hai
merasa terharu sekali. “Adikku, percayalah, selama hayat di kandung badan, aku
takkan sanggup membenci kau. Aku akan tetap mencintaimu, mencinta dengan
sepenuh hati dan nyawa.”
Lin Lin
memandang dengan sayu. “Hai-ko... kau maafkanlah kata-kata Ayahku tadi. Dia
memang kejam... ah, akan kukatakan terus terang kepadanya. Aku tidak sudi
dijodohkan dengan orang lain, lebih baik aku mati atau... atau... aku akan
minggat dan pergi bersama kau, Engko Hai.”
Cin Hai
tersenyum sedih. “Jangan begitu, Lin Lin. Tidak baik seorang gadis gagah dan
berbudi seperti engkau melarikan diri.”
“Habis,
bagaimanakah baiknya, Hai-ko? Ayah begitu keras hati dan kukuh.”
“Puterinya
begini keras hati dan kukuh, kenapa ayahnya tidak?” Cin Hai menggoda. “Kita
harus bersabar. Aku tahu bahwa ayahmu bukan seorang jahat, maka biarlah kita
menanti sampai dia berubah pendirian dan tidak begitu membenciku.”
“Ayah tidak
membencimu, tetapi agaknya membenci Ayahmu.”
Cin Hai
menghela napas. “Itulah! Aku ingin sekali mengetahui riwayat Ayahku. Sekarang
kau pulanglah agar supaya kemarahan Ayahmu mereda. Percayalah, Lin Lin, aku
takkan melupakanmu dan pada suatu hari baik, pasti aku akan datang kembali”
Lin Lin
mengangkat mukanya. “Kau akan pergi ke mana, Hai-ko?”
“Aku akan
pergi ke kampung kelahiranku dan hendak mencari keterangan tentang orang
tuaku.”
“Tetapi...
kau pasti akan kembali kepadaku, bukan?”
“Tentu saja,
Lin-moi, kau kira aku akan merasa senang berjauhan dengan engkau?”
Lin Lin
kembali memeluk lutut Cin Hai yang masih rebah di pembaringan. “Hai-ko, kalau
kau tidak kembali, aku akan betul-betul minggat dari rumah dan akan mencarimu
sampai dapat!”
Akhirnya Lin
Lin meninggalkan tempat itu setelah berkali-kali Cin Hai diharuskan berjanji
bahwa pemuda itu benar-benar akan kembali. Akan tetapi, belum berapa lama gadis
itu pergi, tiba-tiba saja ia kembali lagi dengan wajah pucat sekali. Dengan
terengah-engah ia berkata setelah mendorong pintu kamar Cin Hai.
“Celaka,
Hai-ko, celaka...!” Gadis itu tak dapat melanjutkan kata-katanya, akan tetapi
lalu menangis dengan sedih.
Cin Hai
meloncat dari tempat tidurnya dan cepat memegang kedua pundak Lin Lin.
“Lin-moi,
tenanglah. Ada apakah yang terjadi?”
Lama sekali
Lin Lin menangis sedih, baru dia bisa berkata, “Celaka, Hai-ko! Rumah sudah
kedatangan musuh. Perwira-perwira jahanam itu kembali datang dan mencelakakan
serumah tanggaku! Semua terluka dan... dan Ayah...”
Tanpa banyak
cakap lagi Cin Hai cepat menarik tangan Lin Lin dan diajak keluar dari kuil
itu. Dia menggunakan kepandaiannya berlari cepat sambil menarik tangan Lin Lin
hingga gadis ini seakan-akan terbang. Mereka segera menuju ke rumah keluarga
Kwee dan dari jauh mereka telah mendengar suara tangis sedih.
Ketika Lin
Lin datang bersama Cin Hai, dengan pedang di tangan Kwee Tiong langsung
menyerang Lin Lin dengan hebat. Akan tetapi, sekali melayangkan kakinya, Lin
Lin telah berhasil menendang pergelangan tangan Kwee Tiong dan pedang itu
mencelat jauh.
“Perempuan
rendah! Sundal tak tahu malu!” teriak Kwee Tiong dengan mata beringas. “Engkau
main gila di luar, tidak tahu di rumah ditimpa malapetaka! Aku akan mencekik
lehermu dengan tanganku sendiri!”
Pemuda yang
sudah kalap ini lalu menubruk maju. Akan tetapi Cin Hai lalu mengulurkan jari
tangan menotoknya sehingga dia lantas roboh dengan lemas, tak dapat berkutik
mau pun berteriak lagi.
“Lebih baik
begini, agar dia jangan membuat gaduh lagi,” kata Cin Hai dan bersama Lin Lin
dia lalu lari memasuki rumah.
Pemandangan
yang nampak di dalam rumah itu membuat sepasang kaki Cin Hai terasa lemas dan
memeluk tubuh Kwee In Liang yang rebah di lantai mandi darah! Pada sudut masih
nampak banyak orang lain rebah mandi darah, di antaranya Loan Nio, Kwee Sin,
Kwee Bun, Kwee Siang, dan Kwee An!
Cin Hai
cepat melakukan pemeriksaan. Kwee In Liang menderita luka parah di dadanya
karena bacokan pedang dan jiwanya sukar ditolong lagi. Loan Nio ternyata sudah
tewas karena bacokan yang tepat mengenai lehernya. Demikian juga Kwee Sin, Kwee
Bun dan Kwee Siang telah tewas. Hanya Kwee An yang masih bisa diharapkan karena
biar pun ia menderita luka parah di pundak, akan tetapi tubuh pemuda ini jauh
lebih kuat dari pada saudara-saudaranya. Sungguh peristiwa yang mengerikan
sekali.
Cin Hai
tidak tahan dan ikut mengucurkan air mata. Dia mengangkat jenazah-jenazah itu
dengan baik-baik dan memanggil para pelayan untuk membantunya. Kemudian ia
segera menolong Kwee An dan Kwee In Liang.
Sesudah
menotok jalan darah dan mengurut pundak Kwee An, pemuda ini siuman, akan tetapi
sangat lemah hingga setelah terbelalak memandang dengan liar untuk mencari-cari
musuh-musuhnya, ia lalu rebah lagi dengan lemas dan meramkan mata.
Kwee An
kemudian dirawat oleh seorang pelayan yang memberi obat dan membalut luka
pemuda itu, sedangkan Lin Lin dan Cin Hai menolong Kwee In Liang. Setelah
pundaknya diurut oleh Cin Hai, orang tua ini membuka kedua matanya.
Untuk
beberapa saat kedua matanya memandang sayu seakan-akan tak dapat mengenal
keadaan di sekelilingnya, akan tetapi lambat laun pemandangan matanya semakin
terang sehingga dia dapat mengenal Cin Hai dan Lin Lin. Ia menggerak-gerakkan
kedua tangan dan menyuruh kedua anak muda itu mendekat, lalu dia
menggerak-gerakkan bibirnya.
Lin Lin dan
Cin Hai mendekatkan kepala mereka untuk dapat menangkap kata-kata orang tua
ini.
“Lin Lin kau
jaga baik-baik dirimu... aku tidak kuat lagi... Cin Hai, kau... kau... balaskan
sakit hati ini... jangan kau kawini Lin Lin sebelum kau balaskan sakit hati
ini”
Cin Hai
serta Lin Lin mengangguk-angguk dan Lin Lin menangis terisak-isak.
“Cin Hai...
kau berjanjilah…,” suara orang tua itu makin lemah.
“Aku
berjanji, Ie-thio!” kata Cin Hai dengan sungguh-sungguh, karena dia merasa
bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk membalaskan sakit hati bibinya yang
terbunuh secara kejam.
“Aku… aku
puas... balaskanlah sakit hati ini, basmi anjing-anjing itu... kalau telah
berhasil kau sungguh-sungguh mantuku yang sangat baik…,” setelah berkata
demikian, orang tua ini menghembuskan napas terakhir.
Lin Lin
menubruk jenazah ayahnya, tetapi akhirnya gadis ini jatuh pingsan! Setelah
sadar, dia menangis dengan amat sedihnya sambil menjambak-jambak rambutnya
sendiri sebab merasa menyesal mengapa kejadian itu terjadi di luar tahunya!
“Sudahlah,
Lin-moi, engkau bahkan harus bersukur bahwa engkau tidak berada di rumah.
Karena kalau berada di rumah, tentu engkau pun akan menjadi korban. Kwee An
yang begitu lihai pun dapat dirobohkan. Apa bila engkau dan semua menjadi
korban, siapakah yang akan dapat membalas dendam?”
Karena
hiburan-hiburan Cin Hai, Lin Lin dapat menenteramkan hatinya. Kwee Tiong lalu
dibebaskan dari totokan, dan dengan kata-kata tajam Cin Hai dapat mengusir
kemurkaan yang menggelora di dada pemuda itu. Kemudian Kwee Tiong menuturkan
peristiwa yang hebat itu.
Pada saat
Cin Hai dan Lin Lin sedang berkejar-kejaran, datanglah serombongan perwira
Sayap Garuda menuju ke rumah keluarga Kwee. Mereka ini adalah lima orang
perwira yang dahulu mengganggu pesta keluarga Kwee. Kini mereka datang bersama
tiga orang tua, yakni dua orang perwira Sayap Garuda lainnya yang menjadi
anggota dari Shantung Ngo-hiap, yaitu orang pertama dan ke dua, ada pun yang ke
tiga adalah seorang hwesio gundul yang bukan lain adalah Hai Kong Hosiang
adanya!
Kedatangan
mereka ini sebenarnya hendak mencari Cin Hai untuk menebus kekalahan mereka
yang lalu. Akan tetapi karena Cin Hai tidak berada di situ, mereka lalu
mengamuk membabi buta dan membunuh semua keluarga Kwee!
Tentu saja
Kwee In Liang dan putera-puteranya melawan dengan nekad, terutama Kwee An yang
dengan gagah berani menahan serbuan mereka. Dengan pertempuran hebat ini, Kwee
An dapat melukai beberapa orang perwira. Akan tetapi lawan itu terlampau banyak
dan terlampau tangguh terutama Hai Kong Hosiang, sehingga pada akhirnya semua
kena dirobohkan!
Hanya
pelayan-pelayan saja yang tidak dibunuh, sedangkan Loan Nio sendiri pun dengan
nekad menyerbu hingga dirobohkan dengan bacokan pedang. Kwee Tiong yang
bersifat pengecut dan licin, melihat kehebatan rombongan itu lalu cepat-cepat
melarikan diri dan bersembunyi sehingga dia terhindar dari pada kebinasaan!
Mendengar
penuturan Kwee Tiong yang tiada hentinya mencela serta mempersalahkan Cin Hai
dan Lin Lin, gadis itu kembali menangis tersedu-sedu.
“Sudahlah,
Saudara Kwee Tiong, jangan kau persalahkan adikmu lebih jauh. Ketahuilah,
sebenarnya aku pergi memang dengan sengaja dan tidak ada maksudku untuk kembali
lagi. Sedangkan Adik Lin Lin menyusulku dengan maksud membujuk supaya aku
kembali lagi, jangan kau menyangka yang tidak-tidak. Sekarang lebih baik kita
urus pemakaman jenazah-jenazah ini dan nanti bila mana Kwee An sudah sadar,
kita dapat mendengar penjelasan-penjelasan dari padanya.
Karena ia
hanya mengandalkan tenaga Cin Hai untuk membalas dendam, akhirnya Kwee Tiong
tidak mengomel lagi dan membantu merawat jenazah-jenazah itu dengan sedih.
Sesudah
sadar dari pingsan dan agak kuat bercakap-cakap, Kwee An dengan air mata
berlinang dan gigi dikertak karena sakit hati, berkata kepada Cin Hai. “Aku
bersumpah untuk membalas dendam ini! Mereka itu adalah kelima perwira yang
dahulu mengacau di sini ditambah tiga orang lagi, yakni orang pertama dan ke
dua dari Shantung Ngo-hiap, dan yang ke tiga adalah Hai Kong Hosiangl!”
“Hmm, aku
pernah bertemu dengan hwesio itu!” kata Cin Hai. “Kau tenangkanlah hatimu,
Saudaraku. Besok aku segera berangkat dan demi kehormatanku, aku akan berusaha
untuk membasmi delapan orang bangsat kejam itu!”
“Jangan, Cin
Hai! Kau jangan berangkat besok, tidak boleh!” Tiba-tiba Kwee An berkata penuh
semangat.
“Kenapa?”
“Kau kira
aku akan enak saja tinggal diam sedangkan orang lain hendak mengadu jiwa untuk
membalas dendam ini? Tidak, dendam ini harus kubalas sendiri!”
Cin Hai
tersenyum maklum. “Baiklah, aku akan menunggu sampai kau sembuh dan kita akan
pergi bersama!” Setelah mendapat jawaban ini barulah Kwee An merasa lega dan ia
lalu jatuh pulas.
Dengan
telaten Cin Hai dan Lin Lin menjaga dan melayani Kwee An dan Lin Lin bahkan
minta bantuan gurunya untuk mengobati kakaknya ini. Biauw Suthai ikut merasa
berduka dan gemas kemudian berjanji akan membantu usaha pembalasan sakit hati
itu.
Dan dua pekan
kemudian, berkat pengobatan Biauw Suthai dan perawatan yang sangat telaten dari
Lin Lin beserta Cin Hai, Kwee An sembuh kembali dari pada luka-luka yang
dideritanya. Sesudah melihat bahwa Kwee An sembuh dan kuat kembali, barulah Cin
Hai mengajak pemuda itu berangkat untuk mencari musuh-musuh mereka.
Pada saat
mereka hendak berangkat, Lin Lin minta supaya ia dibawa dan ikut membalas
dendam. Sebenarnya gadis ini merasa berat sekali untuk berpisah dengan Cin Hai
yang sangat dicintainya dan dia tidak rela melepas pemuda itu pergi untuk
menghadapi bahaya seorang diri. Akan tetapi ketika mereka berdua bicara di
dalam ruang belakang, Cin Hai berkata,
“Lin Lin,
kau sendiri tahu alangkah pentingnya perjalanan yang akan kulakukan bersama
Kwee An ini. Bukan saja penting akan tetapi amat berbahaya, maka biarkanlah aku
pergi berdua dengan Kwee An dan jangan kau ikut menghadapinya.”
Lin Lin
menyemberutkan mulutnya, “Justru karena penting dan berbahaya ini maka aku
harus ikut Engko Hai. Urusan sakit hati ini langsung menjadi tugasku,
mengapakah aku harus takut menghadapi bahaya karenanya? Dan kalau memang ada
bahaya, apa kau kira aku dapat enak-enak saja berpeluk tangan tinggal di rumah
dan membiarkan engkau dan Engko An pergi menempuhnya? Ah, Hai-ko engkau tahu
bahwa aku akan menderita karena khawatir dan cemas memikirkan nasibmu berdua.
Biarkan aku ikut, Engko Hai!”
Cin Hai
menjadi serba salah. Dia memang harus membenarkan pendapat gadis ini, akan
tetapi kepandaian gadis ini masih belum cukup tinggi untuk menghadapi perwira-perwira
Sayap Garuda yang lihai dan kejam itu. Kalau saja gadis ini dibiarkan ikut,
bukan dapat membantu usaha pembalasan sakit hati, sebaliknya akan menambah
beban saja, karena dia harus melindungi Lin Lin yang dia cinta.
“Jangan
engkau ikut, Adikku yang manis. Tidak percayakah engkau kepadaku? Engkau
mendengar sendiri pesan terakhir dari Ayahmu, dan biarkan tugas pembalasan
dendam itu menjadi syarat bagiku untuk dapat menjadi... suamimu!”
Akan tetapi
dengan sikap membandel Lin Lin bahkan lalu menangis sambil membanting-banting
kaki dan berkata, “Tidak... tidak... aku mau ikut...!”
Cin Hai
melihat sikap Lin Lin yang seperti seorang anak kecil hendak ditinggal pergi
oleh ibunya ini, lalu tersenyum dan menyentuh pundaknya, “Sudahlah, jangan
engkau marah. Biar kita merundingkan dahulu dengan kakakmu serta Gurumu, karena
aku bermaksud berangkat besok. Masih banyak waktu bagi kita untuk merudingkan
persoalan ini.”
Maka mereka
lalu mengadakan perundingan dengan Biauw Suthai dan Kwee An. Juga Pek I Toanio
yang sering berkunjung ke situ ikut pula merundingkan hal ini.
“Lin Lin,
muridku, pendapat Sie Taihiap memang betul. Engkau tak usah ikut pergi, sebab
kepandaianmu masih belum cukup untuk melakukan pembalasan dendam ini.
Ketahuilah, kepandaian musuh-musuhmu amat tinggi dan sama sekali bukan
lawanmu.”
“Akan tetapi
aku sama sekali tidak takut!” Lin Lin menjawab sambil berdiri dengan kedua
tangan dikepalkan dan kedua mata bernyala penuh semangat.
Biauw Suthai
dan yang lain-lain tersenyum melihat sikap gadis ini. “Aku percaya penuh akan
ketabahanmu,” berkata Biauw Suthai, “akan tetapi ketahuilah, bukan soal takut
atau berani yang terpenting dalam hal ini. Kalau engkau ikut, maka tidak saja
engkau tak akan membantu, justru akan menambah beban pada Sie-taihiap dan
kakakmu Kwee-kongcu.”
“Menambah
beban?” kata Lin Lin penasaran “Teecu tak minta digendong, teecu sanggup
berjalan sendiri, dan mereka berdua ini tak usah pedulikan teecu asal teecu
boleh ikut.”
“Lin Lin,
engkau sungguh bodoh,” kata gurunya. “Bukan demikian maksudku, akan tetapi apa
bila terjadi pertempuran, maka tentu engkau akan terancam dan hal ini merupakan
tambahan tugas yang lebih berat bagi kedua anak muda ini yang harus
melindungimu. Mengertikah engkau? Apakah kau akan senang apa bila pembalasan
dendam ini sampai gagal hanya karena kau memaksa ikut?”
Mendengar
alasan yang kuat ini, Lin Lin diam saja dan tak dapat menjawab lagi, hanya
mulutnya yang berbentuk manis itu cemberut menandakan kekecewaan hatinya.
Akhirnya dia dapat dibujuk oleh Pek I Toanio dan gurunya membatalkan
keinginannya.
Setelah
mendapat pesan dari Biauw Suthai, Pek I Toanio, Lin Lin, dan juga Kwee Tiong
yang mendengarkan perdebatan itu diam saja, maka berangkatlah Cin Hai dan Kwee
An. Mereka berdua tahu ke mana harus mencari musuh-musuh mereka, yakni ke kota
raja! Mereka berdua berangkat berjalan kaki saja sambil mempergunakan
kepandaian mereka berlari cepat.
Pada saat
Cin Hai dan Kwee An sudah pergi Lin Lin berlari masuk ke dalam kamarnya. Biauw
Suthai menggeleng-gelengkan kepala melihat ini dan ia lalu berkata kepada Pek I
Toanio,
“Anak itu
kecewa akibat ditinggal pergi oleh Sie-taihiap! Benar-benar anak panah asmara
sudah tertancap di hatinya, dan selain itu, dia pun merasa bersedih karena
merasa sunyi ditinggal seorang diri oleh mereka berdua. Sekarang kau pergilah,
hiburlah hatinya dan katakan bahwa kita akan tinggal di sini untuk sementara
waktu dan menemaninya.”
Sambil
tersenyum maklum, Pek I Toanio lalu mengejar Lin Lin ke dalam kamarnya dan ia
mendapatkan gadis itu sedang berbaring telungkup di atas tempat tidurnya dan
tubuhnya bergoyang-goyang oleh karena menahan isak tangisnya! Kakak seperguruan
yang amat mencintai sumoi-nya ini lalu memeluk pundaknya dan berkata menghibur,
“Sumoi,
seorang gadis gagah seperti engkau tidak patut bersikap begini lemah.”
Lin Lin
bangun dan duduk di dekat suci-nya, “Suci aku tidak sedih karena tidak boleh
ikut pergi, akan tetapi sedih karena yang menyebabkan aku tak bisa ikut adalah
kedangkalan ilmu silatku.”
“Sumoi,
kalau memang begitu, mengapa sementara menanti mereka kembali kau tidak memperdalam
ilmu silatmu? Ketahuilah, aku dan Suthai akan tinggal di sini menemanimu untuk
sementara waktu.”
Mendadak
wajah gadis yang muram itu berubah terang dan dia tersenyum! Pek I Toanio
menjadi geli melihat gadis yang aneh mudah berubah ini. Baru saja menangis
sekarang sudah tersenyum.
Lin Lin lalu
menghadap kepada gurunya dan dia sendiri lalu mengatur dua buah kamar di dalam
rumah yang besar itu untuk suci dan gurunya. Kemudian ia minta kepada gurunya
untuk memberi petunjuk-petunjuk untuk memperdalam ilmu silatnya. Ia berlatih
giat sekali karena dia berpikir bahwa untuk mengimbangi Cin Hai yang berilmu
tinggi, dia juga harus mempertinggi kepandaiannya!
Pada suatu
sore dia berlatih silat di dalam pekarangan belakang sambil mendengarkan
petunjuk-petunjuk Biauw Suthai yang berdiri memandang gerakan-gerakannya.
Sesudah selesai bersilat Lin Lin lalu duduk bercakap-cakap dengan Biauw Suthai.
“Suthai,
bagaimana pendapatmu tentang ilmu silat Engko Hai?”
“Ilmu silat
Sie Taihiap sudah mencapai tingkat yang tidak dapat diukur tingginya, muridku.
Ia telah mewarisi kepandaian tunggal dari Gurunya yakni Bu Pun Su yang luar
biasa. Biar pun anak muda itu tidak memperlihatkannya, akan tetapi sebenarnya
dia sudah memiliki segala inti sari ilmu silat dan mendapat gemblengan yang
hebat secara aneh dari Bu Pun Su orang tua sakti itu.”
“Suthai,
apakah teecu bisa mendapat kemajuan sampai setinggi tingkatnya?”
Biauw Suthai
tertawa dan wajahnya yang menyeramkan itu kini nampak gembira sekali. “Muridku,
kepandaian manusia tak ada batasnya dan asalkan orang mau berusaha, tentu dia
akan mencapai tujuannya. Akan tetapi untuk dapat memiliki kepandaian silat
seperti Sie-taihiap orang harus memiliki bakat dan jodoh dengan guru yang luar
biasa seperti Bu Pun Su.”
“Dan sampai
di mana tingkat kepandaian Ang I Niocu?” tiba-tiba Lin Lin bertanya.
“Dia? Ah,
kepandaiannya pun hebat, karena sesungguhnya ilmu kepandaiannya dan ilmu
kepandaian Sie-taihiap adalah satu cabang. Ketahuilah, kalau aku tak salah, Ang
I Niocu adalah cucu murid dari Bu Pun Su karena Kakek itu adalah
susiok-couw-nya. Dalam hal ilmu silat, walau pun Ang I Niocu memiliki gerakan
yang indah dan lebih matang, akan tetapi dia masih kalah setingkat oleh
Sie-taihiap.”
“Suthai,
teecu ingin sekali mencoba kepandaian Ang I Niocu. Agaknya teecu takkan kalah
melawan dia,” entah mengapa tiba-tiba suara Lin Lin terdengar marah dan sengit
karena perasaan cemburu telah menyerang hatinya.
Gurunya
heran mendengar ini, dan tiba-tiba Biauw Suthai yang berkepandaian tinggi bisa
mendengar suara tindakan kaki yang sangat ringan di belakang mereka. Ketika
nenek ini mengerling, ternyata Ang I Niocu sudah berada di belakang mereka,
bersembunyi di balik sebatang pohon.
“Wanita itu
agaknya sombong dan sangat bangga akan kecantikannya. Coba saja Suthai ingat
kembali betapa dia berlagak ketika memperlihatkan kepandaiannya dulu itu.”
“Lin Lin,
kalau belum tahu jelas, jangan suka menyangka yang tidak-tidak terhadap orang
lain. Lagi pula, bukankah dia telah membantu pihakmu dalam pertempuran dulu
itu?” kata Biauw Suthai yang hatinya merasa tidak enak sekali karena tentu saja
Ang I Niocu dapat mendengar percakapan mereka.
“Suthai,
teecu tidak menyangka yang tidak-tidak, karena sesungguhnya teecu juga tidak
mempunyai hubungan apa-apa dengan dia kecuali... karena dia... kawan baik Engko
Hai, maka ia pun boleh kuanggap sebagai kawan. Akan tetapi, jika dia tidak
sombong, kenapa ia pergi diam-diam dan tanpa pamit? Ia menjadi kawan baik Engko
Hai, akan tetapi ketika Engko Hai terluka, mengapa ia tidak peduli bahkan
meninggalkannya pergi?”
“Sudahlah
Lin Lin, kau membicarakan seorang yang berdiri tak jauh dari kita!” kata Biauw
Suthai, lalu nenek ini berpaling dan berkata, “Niocu, silakan duduk!”
Ang I Niocu
keluar dari belakang pohon dan Lin Lin cepat berdiri lalu memandang kepada Dara
Baju Merah itu dengan mata terbelalak. Ia merasa heran bukan main ketika
melihat betapa wajah Ang I Niocu sangat pucat dan dari kedua mata yang bagus
itu keluar dua titik air mata yang masih menetes di atas pipinya.
Akan tetapi,
pada waktu pandangan matanya bertemu dengan Lin Lin, bibir Ang I Niocu
mengeluarkan senyum sedih. “Adikku yang baik, semua kata-katamu benar belaka.
Aku memang seorang yang sombong dan bodoh. Adikku, aku maklum akan isi hatimu,
jangan kau khawatir. Hai-ji dan aku hanya... hanya kawan baik dan kawan senasib
belaka...”
Dara Baju
Merah itu memejamkan mata seakan-akan sedang menahan rasa sakit yang menyerang
dadanya, lantas dia berkata lagi, sekarang suaranya terdengar tegas, “Akan
tetapi dalam hal kepandaian silat, agaknya kau masih harus belajar banyak untuk
dapat mengimbangi kepandaianku, apa lagi jika hendak menyamai ilmu kepandaian
Hai-ji. Kau tadi menyatakan keinginanmu hendak mencoba ilmu silatku, bukan?
Nah, agar kau puas marilah kita main-main sebentar!”
Lin Lin
memang berhati tabah, sedikit pun dia tidak menjadi jeri. Dia lalu menarik
keluar sebilah belati pendek yang menjadi senjata ampuhnya. Biauw Suthai hendak
mencegah, akan tetapi Ang I Niocu menghadapi nenek ini sambil berkata dan
menjura,
“Suthai, aku
bukan anak kecil lagi, tak perlu Suthai salah sangka. Aku hanya bermaksud
menambah pengertiannya dan kepandaian Adik ini.”
Mendengar
ucapan dan melihat sikap Ang I Niocu, Biauw Suthai menarik napas lega. Dia
hanya menggerakkan tangannya kepada Lin Lin dan berkata. “Lin Lin, jangan kau
berlaku kurang ajar kepada tamu dan belajarlah baik-baik dari Ang I Niocu!”
Ang I Niocu
lalu menghunus pedangnya dan berkata kepada Lin Lin, “Nah, kau maju dan
seranglah, Adikku yang baik, dan jangan kau berlaku sungkan-sungkan lagi.”
Lin Lin
adalah seorang gadis yang masih sangat muda dan belum mempunyai banyak
pengalaman. Hatinya masih keras dan tabah, karena itu ketika mendengar ucapan
Ang I Niocu, dia merasa bahwa dia disindir dan dipandang ringan. Maka tanpa
mengeluarkan kata-kata lagi dia lalu menyerang dengan belatinya.
Ang I Niocu
mengelak cepat dan keduanya lantas bertempur seru. Senjata Lin Lin yang berupa
belati pendek itu membuat gerakan tangannya cepat sekali, jauh lebih cepat dari
pada gerakan pedang. Lagi pula, gadis ini sudah mendapat didikan ilmu silat
semenjak kecil oleh Biauw Suthai yang berilmu tinggi, maka dapat dimengerti
bahwa gadis ini telah mempunyai kepandaian yang lumayan dan tak mudah
dikalahkan oleh sembarang orang. Selain memiliki ilmu silat tinggi, juga
tubuhnya ringan sekali dan gerakannya gesit laksana seekor burung walet.
Akan tetapi
sekarang ia menghadapi Ang I Niocu yang selain memiliki kepandaian tinggi, juga
telah memiliki pengalaman lebih luas dari pada Lin Lin. Juga, jika Lin Lin
bertempur dengan bernafsu sekali, adalah Ang I Niocu menghadapinya dengan
tenang.
Nona Baju
Merah ini lalu memainkan pedangnya sambil mengeluarkan ilmu Pedang Tari
Bidadari yang indah dan lihai. Tubuhnya bergerak-gerak perlahan secara lemah
gemulai, pedangnya berkelebat cepat dan dapat menangkis setiap serangan Lin Lin
yang semakin bernafsu melancarkan serangan-serangan hebat.
Ang I Niocu
sengaja berlaku mengalah dan lebih banyak mempertahankan diri dari pada
menyerang. Ia biarkan Lin Lin melakukan serangan bertubi-tubi dan hanya
menggunakan sedikit gerakan untuk menangkis atau mengelak sehingga ia hanya
sedikit mengeluarkan tenaga, ada pun Lin Lin seperti seekor naga yang muda dan
ganas menyambar-nyambar dengan belatinya!
Lama juga
mereka saling mengeluarkan kepandaian. Lin Lin terus mengejar sedang Ang I
Niocu mengelak dan mempertahankan diri. Peluh telah membasahi wajah Lin Lin
yang menjadi kemerah-merahan dan kedua matanya yang indah itu bersinar-sinar
galak, ada pun Ang I Niocu tetap saja bermain dengan tenang.
Rambut Ang I
Niocu yang diikat dengan sapu tangan merah dan terurai ke belakang itu berkibar
mengikuti gerakannya, sedangkan rambut Lin Lin yang hitam dan panjang serta
dikuncir dua menyabet ke sana ke mari bagaikan dua ekor ular hitam.
Biauw Suthai
berdiri menonton pertempuran itu dengan mata kagum. Karena asyiknya ia
menonton, tak terasa lagi kadang-kadang Biauw Suthai menggerak-gerakkan
tangannya seakan-akan dia sendiri yang sedang bertempur menghadapi Ang I Niocu.
Kalau Lin Lin melakukan kesalahan dalam gerakannya, ia menjadi kecewa lantas
membanting-banting kakinya, sedangkan kalau Lin Lin melepaskan kesempatan baik
dalam sebuah serangan, ia menjadi marah dan mengeluarkan suara dengan lidahnya.
Orang tua ini benar lupa diri karena asyik dan kagumnya melihat pertempuran
itu.
Sebetulnya
Ang I Niocu hanya hendak mengukur saja sampai di mana kepandaian gadis itu.
Karena itu, setelah puas melayani Lin Lin, tiba-tiba dia merubah gerakannya dan
kini melancarkan serangan-serangan hebat sehingga pedangnya berkelebat amat
cepat dan bayangan tubuhnya bergulung-gulung akibat cepatnya gerakan tubuhnya.
Lin Lin terkejut sekali dan terdesak hebat. Akan tetapi Ang I Niocu tidak mau
menyerang terus, bahkan lalu melompat ke belakang sambil berkata, “Adik, sudah
cukup kita mengukur tenaga.”
Lin Lin
merasa kagum sekali. Kini ia tahu bahwa kepandaian Ang I Niocu jauh lebih
tinggi dari pada kepandaiannya sendiri dan tahu pula bahwa Nona Baju Merah itu
tidak berniat buruk. Maka buru-buru ia menyimpan belatinya dan menghampiri Ang
I Niocu.
“Cici,
kepandaianmu lihai sekali dan aku mohon engkau sudi memberi petunjuk.”
Ang I Niocu
pada saat mendengar kata-kata ini dan melihat sikap yang polos dari Lin Lin,
timbul perasaan sukanya. Ia memegang Lin Lin, dan berkata, “Adik Lin Lin,
engkau masih harus belajar banyak kalau ingin mengimbangi kepandaian Hai-ji.”
Ketika
melihat betapa wajah gadis ini tertutup oleh kedukaan, dia bertanya, “Adik Lin
Lin, kenapa wajahmu nampak amat murung? Bagaimana dengan keluargamu, baik-baik
saja bukan?”
Ternyata Ang
I Niocu sama sekali tidak tahu akan peristiwa hebat yang sudah menimpa keluarga
Kwee, oleh karena ketika rasa cemburu dan iri hati merusak hatinya sehingga
membuat ia angkat kaki dan pergi tanpa pamit dulu, ia lalu menjauhkan diri dari
dusun itu dan hendak melanjutkan perantauannya.
Telah
dicobanya dengan berkeras hati untuk melupakan Cin Hai, akan tetapi ternyata ia
gagal. Makin dilupa, justru ia makin teringat kepada pemuda itu dan akhirnya ia
tak dapat menahan hatinya lagi. Dia teringat betapa Cin Hai mendapat luka dan
dia menjadi kuatir sekali. Inilah yang membuat dia kembali ke kampung itu dan
dengan diam-diam masuk pekarangan belakang hingga mendengar percakapan antara
Lin Lin dan Biauw Suthai.
Ketika
mendapat pertanyaan dari Ang I Niocu tentang keluarganya, tak tertahan lagi Lin
Lin segera memeluk Nona Baju Merah itu sambil menangis keras dan sedih. Ang I
Niocu menjadi bingung, akan tetapi ketika dia memandang ke arah Biauw Suthai,
nenek tua ini memberi isyarat padanya hingga ia hanya mengelus-elus kepala Lin
lin yang disandarkan di dadanya.
“Adikku yang
baik. Tenangkanlah hatimu dan mari kita bicara dengan baik-baik.” Ia lalu
menuntun Lin Lin ke dalam rumah menurut isyarat yang diberikan oleh Biauw
Suthai.
Kwee Tong
dan Pek I Toanio menyambut Ang I Niocu yang dalam pandangan matanya tidak ada
bedanya bagaikan seorang bidadari! Maka Kwee Tiong lalu menyuruh pelayan
mengeluarkan hidangan dan dia melayani tamunya dengan hormat dan bermuka-muka.
Akan tetapi Ang I Niocu yang telah tahu akan sifat pemuda macam Kwee Tiong ini,
tidak ambil peduli kepadanya dan bersikap seolah-olah pemuda ini tidak ada.
Sesudah
mendengar penuturan Lin Lin tentang bencana yang menimpa keluarga Kwee, wajah
Ang I Niocu menjadi merah karena ia merasa marah sekali.
“Jahanam
benar perwira-perwira itu! Dan Hai Kong Hosiang selalu turut campur dalam
segala macam urusan busuk. Pendeta palsu itu sudah seharusnya dibasmi dari muka
bumi!” Sambil mengepal-ngepal tangannya Ang I Niocu menyatakan perasaannya.
“Dan bagaimana dengan luka kakakmu? Di mana adanya dia dan di mana Hai-ji?”
tanyanya kepada Lin Lin.
“Mereka
telah pergi lima hari yang lalu untuk mencari musuh-musuh kami itu kemudian
membalas dendam!”
Ang I Niocu
mengangguk. “Dan kau sendiri, Adik Lin, mengapa kau tidak ikut pergi?”
Pertanyaan
ini mengandung dua maksud. Pertama-tama sebab ia memang merasa heran kenapa Lin
Lin tidak mau ikut membalaskan sakit hati kedua orang tuanya. Kedua kalinya
karena ia hendak memancing dan menyelidiki sampai di mana hubungan antara gadis
ini dengan Cin Hai.
Mendengar
pertanyaan ini, mendadak Lin Lin menjadi marah dan cemberut. “Inilah yang
menyesalkan hatiku! Mereka itu tidak mau membawaku serta! Sungguh
menggemaskan!”
Pek I Toanio
turut bicara dan membela Cin Hai, “Sie-taihiap tidak mau membawa Sumoi oleh
karena memang apa bila Sumoi ikut, maka usaha membalas dendam itu akan lebih
sukar lagi.”
“Kepandaian
Lin Lin belum cukup tinggi menempuh bahaya besar itu,” kata Biauw Suthai dengan
sabar.
“Dan lagi,
kalau Lin Lin pergi, aku akan ditinggal seorang diri di rumah, bagaimana kalau
penjahat-penjahat itu datang kembali?” kata Kwee Tiong yang tidak sadar bahwa
ucapan ini menunjukkan sifatnya yang pengecut.
Ang I Niocu
tersenyum memandang Lin Lin. “Kau benar, Adikku. Tidak ada bahaya bagi seorang
anak yang hendak membalaskan sakit hati orang tuanya.”
Lin Lin
memandangnya dengan rasa berterima kasih karena ternyata Nona Baju Merah ini
membela dan membenarkannya. Pada waktu ia hendak menyatakan kemenangannya
kepada guru dan suci-nya, Ang I Niocu yang tidak mau berbantah dengan Biauw
Suthai telah berkata pula,
“Akan tetapi
betapa pun juga, kau harus tunduk kepada nasehat Gurumu.”
Ucapan ini
membuat Lin Lin menunduk dan tak jadi membuka mulut. Akan tetapi di dalam hati
ia merasa tertarik dan suka sekali kepada Ang I Niocu. Dengan sangat dia
kemudian membujuk-bujuk supaya wanita itu suka bermalam di rumahnya. Yang lain
ikut membujuk pula hingga akhirnya Ang I Niocu menyatakan setuju.
Lin Lin
gembira sekali dan dia menarik tangan Ang I Niocu ke kamarnya, karena dia tidak
mau berpisah dengan nona ini dan minta Ang I Niocu bermalam di dalam kamarnya
saja.
Dan pada
keesokan harinya, ternyata Lin Lin sudah pergi dari rumah itu bersama Ang I
Niocu. Gadis ini dengan sangat mernbujuk kepada Ang I Niocu untuk membawanya
pergi menyusul Cin Hai. Biauw Suthai hanya menggeleng-gelengkan kepalanya
sambil berkata kepada Pek I Toanio,
“Muridku,
biar pun keselamatan Lin Lin tak perlu dikhawatirkan karena dia pergi bersama
Ang I Niocu, akan tetapi hatiku merasa tidak tenteram. Lebih baik kita juga
pergi mencari mereka itu untuk membantu apa bila mereka berada dalam bahaya.”
Keduanya
segera berpamit kepada Kwee Tiong yang menjadi amat kecewa dan khawatir. “Kalau
Lin Lin pergi dan jiwi pergi pula, habis kalau sampai terjadi apa-apa di rumah
ini, aku harus berbuat apa?”
Pek I Toanio
mendongkol sekali melihat sikap pemuda yang penakut ini, maka katanya dengan
ketus, “Kongcu, mengapa memiliki hati sedemikian kecilnya? Adik-adikmu pergi
dengan nekad mencari musuh, akan tetapi engkau yang ditinggal di rumah seorang
diri saja merasa takut.”
Akan tetapi
Biauw Suthai yang tidak mau berbicara banyak dengan pemuda ini berkata,
“Kwee-kongcu, jika engkau merasa takut, kau pergi saja kepada Suhu-mu dan
tinggal di rumah kuil.” Kemudian guru bersama murid ini meninggalkan Kwee Tiong
tanpa memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk banyak membantah.
Kwee Tiong
lalu menutup pintu rumahnya, menghentikan semua pelayan yang membantu rumah
keluarga Kwee dan dia pergi ke Tiang-an lalu menemui gurunya, yaitu Tong Gak
Hosiang di kelenteng Ban-hok-tong, di mana dia kemudian berlutut sambil
menangis dan menceritakan segala hal ihwalnya kepada pendeta itu. Tong Gak
Hosiang hanya dapat menghela napas. Dia lalu menasehati muridnya untuk berdiam
saja untuk sementara waktu di kelenteng itu.
***************
Sesudah
melakukan perjalanan cepat tanpa berhenti, akhirnya Cin Hai dan Kwee An tiba di
kota raja. Di sepanjang perjalanan, dua anak muda ini saling menuturkan
pengalaman masing-masing dan Kwee An merasa kagum sekali akan hasil yang
diperoleh Cin Hai, anak yang ketika kecilnya gundul yang selalu dihina orang
itu. Ia makin suka kepada Cin Hai dan selama perjalanan tiada hentinya ia minta
petujuk-petunjuk dan nasehat-nasehat tentang persilatan.
Hanya dengan
melihat permainan silat Kwee An saja, Cin Hai dapat melihat
kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahannya sehingga ia dapat memberikan
petunjuk yang benar-benar sangat berguna bagi Kwee An dan berdasarkan petunjuk
ini, ilmu silat Kwee An menjadi lebih sempurna lagi.
Di kota raja
mereka berdua mencari keterangan dan mendengar bahwa asrama kaum perwira Sayap
Garuda adalah sebuah bangunan besar merupakan benteng yang disebut
Eng-hiong-koan atau Penginapan Para Pendekar. Dengan tabah dan berani sekali
Cin Hai dan Kwee An pada keesokan harinya, pagi-pagi sudah mengunjungi
Eng-hiong-koan dan memberitahukan kepada penjaga bahwa mereka ingin menemui
para perwira Sayap Garuda.
“Kami adalah
kenalan-kenalan baik dari Ma-ciangkun dan lain-lain perwira, terutama lima
orang Shantung Ngo-hiap.”
“Sayang
sekali bahwa sekarang ini semua perwira sedang mengadakan pertemuan besar
sehingga kurasa tak sempat menjumpai kalian berdua,” jawab penjaga itu.
“Pertemuan
apakah?” tanya Cin Hai.
“Di dalam
gedung sedang diadakan pemilihan tiga orang perwira yang hendak diangkat
menjadi kepala perwira istana dan menjadi pengawal pribadi Kaisar,” jawab
penjaga itu.
Akan tetapi
penjaga kedua yang tidak suka melihat kawannya mengajak kedua pemuda itu
mengobrol, lalu berkata, “Kamu berdua boleh datang lagi besok pagi saja.
Pendeknya pada saat ini tak seorang pun boleh memasuki Eng-hiong-koan.”
Kwee An dan
Cin Hai merasa dongkol sekali. Mereka saling pandang dan saling memberi tanda
dengan kejapan mata. Keduanya bergerak cepat dan hampir berbarengan mereka
mengulurkan tangan menotok kedua penjaga itu yang segera roboh dengan tubuh
lemas karena jalan darah mereka sudah tertotok oleh Cin Hai dan Kwee An!
Dengan
tenang dua pemuda gagah ini lalu bertindak masuk. Mereka langsung ke ruang
belakang di mana terdengar suara orang bersorak dan tanpa jeri sedikit pun
mereka lalu melangkah masuk dari sebuah pintu yang besar dan tinggi.
Ternyata
ruangan belakang itu amat luas dan di tengah ruang itu sudah terdapat sebuah
panggung karena memang ruang ini adalah ruang berlatih silat atau lian-bu-thia.
Kurang lebih tiga puluh orang perwira duduk mengitari panggung itu, ada pun di
kepala panggung duduk seorang hwesio gundul bertubuh tinggi kurus dan di
sebelahnya duduk beberapa orang perwira tua yang kelihatannya merupakan
perwira-perwira tingkat tinggi. Juga Ma Ing nampak duduk di sebelah hwesio itu.
Ketika itu
memang sedang diadakan pertandingan adu silat di antara para perwira yang
dicalonkan untuk menjadi pemimpin perwira penjaga istana. Pemilihan ini
dilakukan atas perintah kaisar sendiri yang minta supaya tiga orang panglima
yang berkepandaian tinggi dan lihai untuk menjadi pengawal pribadi di dalam
istana. Siapa orangnya yang tidak mau mencoba peruntungannya pada kesempatan
ini? Menjadi pengawal pribadi kaisar adalah sebuah pekerjaan yang enak dan
mulia.
Pemilihan
ini dilakukan dan diawasi oleh hwesio tinggi kurus itu yang sebenarnya adalah
hwesio kepala dalam Kuil See-thian-tong yang menjadi kuil di lingkungan istana
dan yang biasanya dikunjungi kaisar. Selain menjadi kepala hwesio di kuil kota
raja itu, juga hwesio yang bernama Beng Kong Hosiang ini diangkat pula menjadi
penasehat para perwira. Ini kedudukan yang tinggi, karena sebenarnya hwesio ini
bukan lain ialah suheng atau kakak seperguruan dari Hai Kong Hosiang yang sudah
terkenal kelihaiannya.
Di bawah
pengawasan Beng Kong Hosiang, maka sekarang diadakan pemilihan dan para perwira
itu mengadu kepandaian untuk merebut kedudukan itu. Pada waktu Cin Hai dan Kwee
An memasuki ruangan itu, dua orang perwira Sayap Garuda sedang bergumul di atas
panggung dan semua perwira yang menonton bersorak-sorak gembira, juga Beng Kong
Hosiang, Ma Ing dan perwira lain yang dianggap tertua dan terpandai, menikmati
pertandingan itu hingga mereka tidak melihat masuknya pemuda ini.
Cin Hai
berbisik kepada Kwee An dan keduanya lalu menggenjot tubuh mereka melalui
kepala para perwira kemudian melompat ke atas panggung di mana dua orang
perwira itu sedang mengadu kepandaian. Dengan gerakan ringan dan cepat, Cin Hai
dan Kwee An masing-masing memegang seorang perwira pada lehernya dan
melemparkan mereka ke bawah panggung seakan-akan orang melempar ayam saja!
Semua orang
terkejut, tidak terkecuali Beng Kong Hosiang. Ketika Ma Ing melihat siapa yang
datang mengacau, dia menjadi pucat karena dia telah mengenal Cin Hai yang telah
dirasai kelihaiannya itu.
Cin Hai lalu
memandang ke sekeliling dan keadaan di sana sunyi senyap karena semua orang
masih tercengang melihat peristiwa yang tak disangka-sangka itu. Siapakah orang
yang berani mati mengacau di dalam Eng-hiong-koan pada saat perwira-perwira
sedang mengadakan pemilihan, bahkan pada saat Beng Kong Hosiang berada di sana?
Mungkin setan pun tak berani mengacau, maka tindakan dua orang pemuda itu
sungguh-sungguh membuat mereka tercengang dan terheran!
“Cuwi-ciangkun
(para panglima yang terhormat), kedatangan kami berdua bukan sengaja hendak
mengacau bahkan kami sesungguhnya tidak mempunyai urusan apa pun dengan
Eng-hiong-koan ini. Akan tetapi karena musuh-musuh kami berada di sini,
terpaksa kami datang juga. Kini kami minta supaya para musuh besar kami itu suka
tampil ke muka dan mempertanggung jawabkan perbuatan mereka yang biadab!”
Semua orang
merasa heran mendengar ini dan mereka tercengang melihat ketenangan anak muda
itu. Yang tidak tahu akan persoalannya saling pandang dan angkat pundak.
Melihat
keberanian ini, Beng Kong Hosiang tertawa terkekeh-kekeh sebab ia memandang
rendah sekali pada kedua orang itu. Maka katanya dengan suaranya yang tinggi
nyaring,
“Ehh,
anak-anak muda yang berani mati! Siapakah musuh-musuhmu itu?”
Sekarang
Kwee An yang menjawab dengan suaranya yang halus nyaring, “Musuh-musuh kami
adalah si pengecut Boan Sip, kedua saudara Tan Song dan Tan Bu, kelima orang
kawanan yang disebut Shantung Ngo-hiap Ma Ing, Un Kong Sian serta tiga
saudaranya yang lain, dan yang terakhir adalah seorang hwesio keparat bernama
Hai Kong Hosiang. Manusia-manusia biadab yang namanya kusebutkan itu kalau
berada di tempat ini harap maju untuk menerima kematian!”
Semua orang
terkejut, tak terkecuali Beng Kong Hosiang. Betapa beraninya dua pemuda itu.
Orang-orang yang namanya mereka sebut adalah perwira-perwira kelas tinggi,
malah Ma Ing dan Un Kong Sian mendapat tempat duduk di deretan Beng Kong
Hosiang karena mereka itu sudah dianggap perwira-perwira yang tinggi kedudukan
dan kepandaiannya, demikian pula tiga orang saudara seperguruannya dan yang
kesemuanya berjumlah lima orang dan disebut Shantung Ngo-hiap. Terlebih lagi
nama yang terakhir, yakni Hai Kong Hosiang, karena hwesio ini merupakan sute
(adik sepergurunan) dari Beng Kong Hosiang sendiri!
Musuh-musuh
besar yang namanya disebutkan tadi semua berada di situ, kecuali Boan Sip dan
Hai Kong Hosiang. Biar pun wajah mereka menjadi berubah ketika nama-nama mereka
disebut, tapi karena berada di rumah sendiri dan memiliki banyak kawan-kawan,
terutama adanya Beng Kong Hosiang di situ membuat mereka tabah dan berani.
Secara
otomatis Tan Song dan Tan Bu segera berdiri dan menghampiri kelima saudara
Shantung Ngo-hiap yang duduk di dekat Beng Kong Hosiang. Juga lima orang jago
dari Shantung itu yakni Ma Ing, Un Kong Sian, dan tiga orang lain yang belum
pernah dilihat Cin Hai, lalu berdiri dari kursinya hingga ketujuh orang ini
berkelompok untuk menghadapi kedua musuh itu.
Sebetulnya
nama Shantung Ngo-hiap memang telah terkenal sekali. Urutan mereka ialah
seperti berikut: yang pertama Lauw Tek, kedua adalah adiknya Lauw Houw. Dua
saudara inilah yang dahulu ikut membasmi keluarga Kwee.
Orang ke
tiga adalah seorang tua yang berwajah sabar dan bernama Ma Keng In, dan dia ini
adalah satu-satunya orang dari kelima jago dari Shantung yang tak pernah
memusuhi keluarga Kwee dahulu. Akan tetapi karena dia juga menjadi anggota
Shantung Ngo-hiap, maka otomatis ia pun ikut berdiri dan bersatu dengan
saudara-saudara seperguruannya.
Orang ke
empat dan ke lima adalah Ma Ing dan Un Kong Sian. Melihat kepandaian orang ke
empat dan ke lima saja yang demikian hebatnya seperti terbukti ketika Un Kong
Sian dan Ma Ing memperlihatkan kepandaian di rumah keluarga Kwee dahulu, maka
dapatlah dibayangkan betapa tingginya kepandaian Ma Keng In, Lauw Houw dan Lauw
Tek!
Demikianlah,
kelima Shantung Ngo-hiap itu serta kedua saudara Tan Song dan Tan Bu setelah
berdiri merupakan satu kelompok, lalu Ma Ing membuka suara,
“Ehh, dua
anjing pemberontak muda! Kami bertujuh ada di sini, kalian mau apa?”
Sambil
berkata demikian, dia bergerak maju menuju ke panggung itu, diikuti oleh enam
orang lainnya. Sambil maju, mereka meloloskan senjata masing-masing. Para
perwira yang merasa marah sekali melihat kedatangan dua orang muda yang
mengacau ini, juga pada bergerak mendekati panggung sehingga Cin Hai dan Kwee
Ang seolah-olah hendak dikeroyok oleh puluhan orang perwira Sayap Garuda itu!
Cin Hai
memandang ke arah mereka dengan senyum sindir. “Hmm, hmm, tidak kusangka bahwa
selain menjadi manusia-manusia biadab yang kejam, juga para perwira Sayap
Garuda yang terkenal ganas ternyata hanyalah sekumpulan pengecut yang hanya
berani main keroyokan. Ha-ha-ha, kalian majulah!” Sambil berkata demikian,
tangannya segera bergerak dan tahu-tahu pedang pusaka Liong-coan-kiam telah
berada di tangannya!
Juga Kwee An
telah bersiap sedia dan ia mencabut pedangnya yang juga bukan pedang
sembarangan. Mereka sudah mengambil keputusan untuk bertempur dengan nekad dan
mengadu jiwa.
Tiba-tiba
terdengar bentakan Beng Kong Hosiang, “Tahan!”
Dan
tahu-tahu hwesio yang tinggi kurus ini sudah berada di atas panggung,
mendahului semua perwira. Dia menghadapi kedua pemuda itu dengan sikap yang
angkuh.
“Apakah
kalian tidak malu?” tegurnya kepada semua perwira yang bergerak maju. “Untuk
menangkap dua ekor cacing saja kalian hendak menggunakan tongkat besar?
Janganlah kalian bikin malu kepada pinceng, Cuwi-ciangkun!”
Memang
ucapan Beng Kong Hosiang ini beralasan sekali. Ia terkenal sebagai penasehat
para perwira dan juga terkenal sebagai seorang yang sangat disegani dan
ditakuti karena kepandaiannya yang sangat tinggi. Sekarang tempat itu dikacau
oleh dua orang pemuda, masakan para perwira hendak mengeroyoknya, seakan-akan
kehadirannya itu tidak ada artinya sama sekali!
Dia sudah
melihat gerakan kedua orang tadi ketika melompat ke atas panggung dan dia
maklum bahwa di antara kedua pemuda ini, yang harus diawasi adalah Cin Hai, ada
pun pemuda yang ke dua itu tidak berbahaya.
Mendengar
bentakan Beng Kong Hosiang semua perwira menahan gerakan mereka dan hanya
berdiri memandang kepada pemuda itu dengan mata mengancam.
Beng Kong
Hosiang lalu tertawa. “Anak-anak muda, kalian ini siapakah dan murid siapa
sehingga berani sekali mengganggu tempat kediaman kami?”
“Aku bernama
Sie Cin Hai dan ini adalah Kwee An,” jawab Cin Hai dengan suara tenang karena
dia belum kenal siapa sebetulnya hwesio tua ini. “Kedatangan kami ini tidak ada
hubungannya dengan orang lain, kecuali orang-orang yang namanya sudah disebut
tadi. Mereka itu secara kejam sekali telah membunuh keluarga Kwee dan kami
sengaja datang untuk menuntut balas!”
“Hemm,
mereka itu dibunuh karena mereka sudah memberontak dan berani menghina
perwira-perwira kerajaan. Kalian memiliki kepandaian apakah hingga berani
mengacau di sini? Ketahuilah, anak-anak muda, perbuatan kalian ini saja sudah
cukup menjadi alasan untuk menghukum kalian!”
“Kami hanya
ingin membasmi orang-orang yang menjadi musuh-musuh kami dan untuk itu kami
bersedia menghadapi siapa saja!” berkata Kwee An dengan marah karena dia dapat
menduga bahwa hwesio ini tentulah orang yang berpengaruh di kalangan perwira
Sayap Garuda.
“Ha-ha-ha!
Kau seperti anak-anak burung yang baru belajar terbang, tidak tahu sampai di
mana tingginya langit dan luasnya lautan! Lauw Tek-ciangkun, marilah kau dan
pinceng menghadapi dua ekor cacing-cacing tanah ini!”
Beng Kong
Hosiang berlaku cerdik. Dia tidak mau jika pihaknya disebut curang dan main
keroyokan, akan tetapi ia pun tidak menghendaki pihaknya mendapat kekalahan,
maka ia sengaja memanggil Lauw Tek, yaitu saudara tertua dari Shantung Ngo-hiap
atau perwira berkepandaian tertinggi yang pada waktu itu hadir di situ. Dia
maklum bahwa kepandaian Lauw Tek sudah cukup tinggi untuk menghadapi Kwee An,
sedangkan untuk menghadapi Cin Hai, dia sendiri hendak maju memperlihatkan
kepandaiannya!
Sambil
tersenyum Lauw Tek menggerakkan tubuh, segera melompat ke atas panggung
menghadapi Kwee An. Ia lalu menuding dan berkata kepada pemuda itu,
“Dulu kau
masih kuberi ampun sehingga jiwamu tak sampai melayang. Apakah karena itu kau
merasa menyesal dan sekarang sengaja datang untuk mengantar jiwa?”
Kwee An
mengenal orang ini sebagai salah seorang di antara mereka yang menyerbu
rumahnya, maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu menggerakkan pedangnya dan
menusuk dengan gerakan Rajawali Mematuk Ikan. Lauw Tek kemudian menggerakkan
pedangnya menangkis sambil tersenyum menyindir dan mereka berdua lalu bertempur
hebat.
“Ha-ha-ha,
anak muda, sambutlah hidanganku yang pertama!” kata Beng Kong Hosiang dan dia
mengebut dengan ujung lengan baju yang lebar dan panjang ke arah jalan darah
kin-hun-hiat di dada Cin Hai.
Sambaran ini
hebat dan kuat, akan tetapi dengan tenang Cin Hai lalu miringkan tubuhnya
mengelak dan tahu-tahu pedangnya membabat ke arah pergelangan tangan Beng Kong
Hosiang ini! Hampir saja lengan tangan Beng Kong Hosiang terbabat putus oleh
pedang Liong-coan-kiam.
Hwesio ini
terkejut sekali karena ia tak menyangka sama sekali akan kehebatan Cin Hai,
maka tadi dia berlaku lambat. Harus diketahui bahwa serangannya dalam kebutan
ujung lengan baju tadi bukanlah serangan yang sembarangan saja dan baru angin
pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan seorang lawan yang kuat, tetapi
ternyata pemuda ini dengan miringkan tubuhnya ke kiri sudah dapat mengelak dari
serangannya. Bagaimana pemuda ini tahu bahwa arah kebutan lengan bajunya
memutar ke kanan hingga dengan mudah ia dapat berkelit ke kiri?
Dia mengebut
lagi, kini dengan tipu Dewa Mabok Menyiram Arak. Gerakan ini dilakukan dengan
ujung lengan baju kanan dan mula-mula langsung meluncur ke depan mengarah muka
lawan, akan tetapi gerakan ini hanya untuk mengaburkan pandangan lawan belaka,
karena gerakan yang sesungguhnya adalah secepat kilat ujung lengan baju itu
diputar ke arah pergelangan orang yang memegang pedang untuk merampas pedang
lawan itu!
Akan tetapi,
lagi-lagi ia terkejut bukan main, bahkan mukanya menjadi berubah ketika Cin Hai
mendiamkan saja ujung lengan baju yang mengebut ke arah mukanya karena ujung
lengan baju itu memang tidak diteruskan, malah kini terputar cepat ke arah
pergelangan tangannya. Cin Hai cepat menggerakkan lengan tangannya dan
pedangnya menyabet ke bawah sehingga tanpa ampun lagi ujung lengan baju itu
terbabat putus!
Bukan main
terkejut dan marahnya Beng Kong Hosiang. Tadinya ia menyangka bahwa dalam satu
dua gebrakan saja dia akan dapat merobohkan lawan yang muda ini. Tidak tahunya,
serangannya dalam dua jurus itu tidak menghasilkan sesuatu bahkan ia sendiri
menderita kerugian karena ujung lengan baju yang merupakan senjata baginya itu
sudah terbabat putus!
Dengan muka
terheran-heran ia lalu mengeluarkan senjata yang luar biasa, yaitu sebuah pacul
yang bergagang bengkok dan mata pacul itu tajam juga lebar sekali. Akan tetapi
anehnya gagang pacul itu dapal dilipat dua dan oleh karena itu sesudah dilipat
menjadi pendek dan dapat diselipkan pada pinggangnya.
Sambil
membentak hebat Beng Kong Hosiang mengayunkan pukulannya dan menyerang dengan
cepat. Gerakannya aneh sekali laksana seorang petani mencangkul tanah. Akan
tetapi Cin Hai berlaku tangkas dan cepat melompat ke pinggir, lantas balas
menyerang dengan pedangnya.
Di lain
pihak, Kwee An mengeluarkan seluruh ketangkasan serta kepandaiannya untuk
mempertahankan diri terhadap serangan Lauw Tek yang benar-benar lihai itu.
Melihat permainan pedang Kwee An, Lauw Tek sambil menyerang berkata,
“Ehh, anak
muda she Kwee, bukanlah kau murid Eng Yang Cu dari Kim- san-pai?”
Kwee An
merasa terkejut ketika lawannya dapat mengenal ilmu pedangnya. Ia menahan
senjatanya dan membentak, “Kalau aku benar murid Kim-san-pai, kau mau apakah?”
Lauw Tek
tertawa menghina. “Kebetulan sekali, kau boleh mewakili Eng Yang Cu untuk
mampus di ujung senjataku!” Setelah berkata demikian ia segera mendesak makin
hebat hinggga Kwee An yang memang kalah tinggi kepandaiannya menjadi terdesak
hebat.
Tidak
tahunya Lauw Tek memang pernah bentrok dengan Eng Yang Cu, salah satu tokoh
dari Kim-san-pai. Hal ini terjadi belasan tahun yang lalu, sebelum Kwee An
menjadi murid Eng Yang Cu.
Ketika itu,
Shantung Ngo-hiap masih tinggal di Shantung dan menjadi jago yang ditakuti
karena di samping lihai juga terkenal ganas. Kebetulan pada waktu itu Eng Yang
Cu yang sedang merantau tiba di Shantung dan mendengar tentang keadaan Shantung
Ngo-hiap, lalu sengaja menantang pibu pada mereka. Pada waktu itu, Eng Yang Cu masih
berdarah panas hingga ia tak tahan mendengar betapa di Shantung ada Shantung
Ngo-hiap yang menjagoi dan berlaku sewenang-wenang.
Di dalam
pertandingan pibu ini, seorang demi seorang dari Shantung Ngo-hiap akhirnya
kena dikalahkan oleh Eng Yang Cu. Akan tetapi secara licik kelima jago Shantung
itu lalu mengeroyok sehingga Eng Yang Cu menjadi terdesak dan melarikan diri.
Semenjak itu, Shantung Ngo-hiap menaruh dendam kepada Eng Yang Cu.
Karena
pernah bertempur dengan Eng Yang Cu, maka Lauw Tek dapat mengenal ilmu silat
Kim-san-pai yang dimainkan oleh Kwee An dan karena melihat kelihaian Kwee An,
ia pun dapat menduga bahwa anak muda ini tentulah murid dari Eng Yang Cu. Dia
menjadi girang sekali karena sekarang mendapat kesempatan untuk membalas
dendamnya yang dulu kepada murid Eng Yang Cu ini.
Oleh karena
ini, Lauw Tek lalu mendesak hebat dan mengeluarkan serangan-serangan maut yang
berbahaya. Akan tetapi biar pun masih muda Kwee An bersemangat baja dan ia
berlaku nekad hingga gerakan pedangnya demikian tangkas dan untuk berpuluh
jurus ia masih dapat mempertahankan dirinya.
Pada waktu
itu dari luar berkelebat bayangan putih dan terdengar suara orang berseru,
“Lauw Tek, jangan kau menghina anak kecil. Akulah lawanmu, Kwee An, kau
mundurlah!”
Kwee An
merasa girang sekali karena ia mengenal itu suara Eng Yang Cu gurunya. Dia
segera mundur dan membiarkan gurunya menghadapi Lauw Tek.
Eng Yang Cu
adalah seorang tua berusia lima puluh tahun lebih, jenggot dan rambutnya sudah
putih dan pakaiannya seperti seorang tosu, juga berwarna putih. Senjatanya
ialah pedang panjang yang mengeluarkan cahaya berkeredepan.
“Eng Yang
Cu, manusia sombong. Bagus sekali kau datang mengantar jiwa!” Lauw Tek berseru
dan menyerang dengan ganas.
Melihat
kedatangan musuh lama ini, para saudaranya seketika segera datang menyerbu
hingga kini pertempuran lebih hebat lagi. Tiga orang dikeroyok oleh enam orang!
Melihat betapa pihak lawan mengeroyok, Kwee An tidak mau tinggal diam dan ia
menggerakkan pedangnya lagi, bahkan kini permainannya lebih hebat karena ia
mendapat hati dengan kedatangan suhu-nya itu.
Sementara
itu, dengan ilmu pedang campuran dari Ngo-lian Kiam-hoat, Sianli Kiam-hoat dan
Liong-san Kiam-hoat yang pernah dipelajarinya, juga kepandaiannya yang
dipelajari dari Bu Pun Su yaitu mengenal dasar-dasar semua gerakan lawannya,
Cin Hai berhasil membuat Beng Kong Hosiang tak berdaya.
Setiap
gerakan dan serangan hwesio ini telah dapat diduga oleh Cin Hai, sebaliknya
ilmu pedang Cin Hai yang campur aduk itu sangat membingungkan hwesio ini. Hanya
tenaga lweekang Beng Kong Hosiang yang tinggi saja yang masih menolongnya
sehingga ia belum dijatuhkan oleh Cin Hai.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment