Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 05
PADA waktu
itu, dia sudah dua tahun bekerja sebagai bujang di Bukoan Louw Sun Bi, dan
usianya telah hampir empat belas tahun. Karena telah mendekati masa dewasa, ia
dapat menduga bahwa di antara Louw Bin Nio dengan Ting Sun pasti ada hubungan
yang tidak sebenarnya. Hal ini harus diberantas, pikirnya.
Louw Sun Bi
sudah melepas budi padanya, dan guru silat tua itu hendak dicemarkan oleh
anaknya sendiri dan oleh pembantunya. Dia harus menghalangi hal ini. Sudah
menjadi kewajibannya untuk membela nama baik Louw-kauwsu!
Dengan
pikiran ini Cin Hai lalu membuka surat gadis itu dengan hati-hati sekali
kemudian membacanya. Ia tahu bahwa perbuatannya ini tidak layak dan tidak
seharusnya dilakukan oleh seorang laki-laki, tetapi demi untuk membela dan
membalas kebaikan Louw Sun Bi, ia rela melakukan hal yang tidak patut ini!
Dengan cepat
dibacanya surat Bin Nio untuk Ting Sun itu dan benar saja sebagaimana
dugaannya, gadis itu berjanji hendak menunggu kedatangan guru silat pendek
gemuk itu besok malam di pekarangan tempat berlatih silat! Waktu yang
dijanjikan adalah tengah malam!
Cin Hai
merasa gemas sekali. Sungguh manusia-manusia yang tak tahu malu. Ting Sun
adalah pembantu Louw Sun Bi dan masih murid seperguruan dan bahkan mengangkat
saudara sehingga Ting Sun menyebut twako kepada Louw-kauwsu, sebaliknya guru
silat she Louw itu menyebut Ting Sun dengan sebutan adik, hingga boleh dibilang
bahwa Bin Nio merupakan keponakan Ting Sun sendiri! Namun ternyata dua orang
itu sudah saling mencinta bagaikan dua orang kekasih. Cin Hai lalu memutar
otaknya, mencari jalan untuk menggagalkan pertemuan ini.
Semalaman
penuh Cin Hai tidak dapat tidur. Pada keesokan harinya, dengan diam-diam
setelah Ting Sun yang tinggal di luar bukoan itu datang, ia berhasil memberikan
surat Bin Nio kepada guru-silat itu.
Ting Sun
menerima surat dan membacanya dengan wajah gembira. Berbeda dari pada biasanya,
dia berlaku manis terhadap Cin Hai dan bahkan memberi persen uang sepuluh chie.
Ia menganggap anak itu kini dapat merupakan jembatan bagi hubungannya dengan
Bin Nio.
Sesudah
memberikan surat itu kepada Ting Sun, Cin Hai lalu menjumpai Louw Sun Bi di
kamarnya. Guru silat yang berhati sabar itu heran melihat betapa Cin Hai
datang-datang berlutut di depannya dan menangis!
Ia cepat
memegang pundak anak itu dan menyuruhnya duduk di atas sebuah bangku. “Cin Hai
kau kenapakah? Siapa yang sudah mengganggumu? Kau pucat sekali, apakah kau
sakit?”
“Loya, saya
hendak menyampaikan sesuatu yang mungkin akan membuat Loya marah dan sedih
sekali!”
Louw Sun Bi
memandang heran. Ia suka sekali kepada Cin Hai yang jujur, rajin dan tidak
banyak cerewet ini.
“Katakanlah,
jangan takut-takut!”
“Sebelumnya
saya harap Loya suka siap sedia menerima pukulan ini dan terlebih dahulu saya
mohon maaf sebesar-besarnya karena sesudah hal ini saya ceritakan kepada Loya,
saya hendak mohon diri dan hendak melanjutkan perantauan saya.”
Kini
terkejutlah Louw-kauwsu. “Apa? Peristiwa hebat apakah yang telah terjadi
sehingga kau hendak keluar dari sini? Ceritakanlah!”
Dengan
perlahan Cin Hai lalu menceritakan mengenai surat Bin Nio dan bahwa malam nanti
kedua orang itu akan mengadakan pertemuan. Cin Hai menutup pembicaraannya
dengan berkata sedih, “Saya sangat bersedih dengan adanya peristiwa ini, Loya. Loya
adalah seorang yang berbudi mulia dan telah berlaku begitu baik kepada saya.
Sekarang melihat Loya yang baik hati tertimpa kejadian macam ini, ahhh...” Cin
Hai menundukkan kepala karena ia tidak berani memandang muka Louw Sun Bi yang
makin pucat itu.
Guru silat
itu mendengar penuturan Cin Hai dengan dada terasa panas hampir meledak.
Penasaran, marah, malu, kecewa membuat dia bisu tak dapat berkata-kata. Ia
telah tahu akan hubungan puterinya dengan Ting Sun dan dulu dia bahkan telah
melarang anaknya itu belajar ilmu pedang dari Ting Sun karena dilihatnya
gejala-gejala yang kurang sehat timbul di antara mereka berdua. Tetapi sama
sekali tak diduganya bahwa anaknya berani menulis surat kepada Ting Sun.
Melihat
betapa Louw-kauwsu duduk diam tidak bergerak bagaikan patung batu, Cin Hai
terharu sekali, lalu ia berkata, “Loya, harap Loya sebagai orang tua dapat
menenangkan hati dan pikiran. Socia tergoda oleh nafsu dan hal ini tidak aneh,
karena manusia manakah yang tak pernah khilaf? Saya teringat akan bunyi
ujar-ujar yang menyatakan bahwa lebih baik Loya menjaga datangnya penyakit dari
pada mengobatinya sesudah datang! Karena itu, maka dari pada ribut-ribut dan
marah sehingga semua orang mendengar hal yang belum terjadi ini, lebih baik
Loya menjaganya agar jangan sampai terjadi. Pertemuan itu belum belum
berlangsung, maka tak perlu dibuat sedih dan menyesal!”
Terhiburlah
hati Louw Sun Bi mendengar ini. Dia memandang wajah Cin Hai dengan hati heran,
karena hampir tak percaya bahwa kata-kata tadi keluar dari mulut anak itu!
“Cin Hai,
kau adalah seorang anak yang luar biasa dan baik. Peristiwa ini sama sekali
tidak menyangkut dirimu, mengapa kau tadi mengatakan bahwa kau hendak keluar
dari sini?”
“Loya,
Siocia sudah mempercayakan kepada saya untuk menyerahkan surat itu. Tetapi
dengan lancang dan tidak tahu malu saya telah membuka dan membaca suratnya itu.
Hal ini membuat saya malu untuk bertemu muka dengan Siocia lagi, maka lebih
baik saya pergi melanjutkan perantauan.”
Louw Sun Bi
menghela napas dan sekali lagi dia terheran akan sikap Cin Hai yang polos dan
bersifat gagah ini.
“Kau
mundurlah, dan tentang keluar itu lebih baik kita bicarakan besok setelah
peristiwa ini kubereskan.”
“Loya, kalau
boleh, saya hendak pergi hari ini juga.”
Louw Sun Bi
memandangnya tajam. “Apa? Kau takut kepada Ting Sun? Jangan kau takut akan
pembalasannya, ada aku di sini!”
Mendengar
ini, terbangun semangat Cin Hai. “Loya, biar pun saya hanya seorang bodoh dan
lemah, tetapi saya tidak takut menghadapi kebenaran! Baiklah, saya akan
menunggu sampai besok dan jika besok terjadi sesuatu antara Ji-kauwsu dan saya,
saya harap Loya jangan ikut-ikut!” Setelah berkata demikian, ia lalu bertindak
keluar.
Malam hari
itu bulan bersinar penuh. Pada menjelang tengah malam, sesosok bayangan hitam
dengan gesit sekali melompat ke atas tembok yang mengelilingi bukoan. Bayangan
itu bukan lain Ting Sun yang hendak menjumpai kekasihnya. Dia langsung meloncat
ke pelataran tempat berlatih silat dan begitu kakinya menginjak tanah, dia
langsung berdiri diam bagaikan patung!
Di sana, di
bawah pohon dekat tembok, duduk di atas bangku dengan kedua lengan di atas
dada, Louw Sun Bi sedang memandangnya dengan kedua mata bersinar tajam!
“Ting Sun,
tengah malam buta kau datang ada keperluan apakah? Lagi pula, kau datang bukan
sebagai tamu tetapi sebagai seorang pencuri!”
Ting Sun
kaget bukan main dan merasa seakan-akan ada petir menyambar kepalanya. Tubuhnya
gemetar dan ia tak kuasa mengucapkan sepatah kata pun!
“Orang she
Ting, aku sudah mengetahui maksudmu yang buruk. Semenjak saat ini kita tidak
punya hubungan apa-apa lagi. Besok kau boleh mengatakan kepada semua murid
bahwa kau hendak pergi jauh dan tidak kembali lagi, sehingga kepergianmu dari
kota ini takkan menimbulkan kecurigaan. Selanjutnya, jangan kau berani-berani
memperlihatkan mukamu di sini!”
Setelah
berkata demikian, Louw Sun Bi lalu meninggalkan Ting Sun yang masih berdiri
bagaikan patung. Otak guru silat ini berputar. Celaka sekali! Orang tua itu
telah mengetahui sebelumnya bahwa malam ini ia datang ke situ hingga sengaja
menanti di bawah pohon! Dan ini tentu gara-gara bujang tolol itu! Ting Sun
mengertak giginya dengan gemas sekali. Ia akan pergi meninggalkan tempat ini,
tapi setelah lebih dulu menghancurkan kepala Cin Hai yang membocorkan
rahasianya!
Pada
keesokan harinya, sesudah semua anak murid berkumpul, Louw Sun Bi sengaja
mengajak Bin Nio untuk hadir di sana dan mendengarkan serta menyaksikan Ting
Sun berpamit. Sengaja Louw Sun Bi mengajak Bin Nio untuk memberi pelajaran
kepada anak gadisnya itu bahwa sebagai seorang gadis baik-baik dia harus tahu
menjaga kehormatan nama keluarganya, dan tidak mudah menyerah kepada godaan
dari luar.
Melihat
betapa Louw-kauwsu pagi-pagi benar sudah berada di sana, semua murid yang
berjumah delapan belas orang itu saling berbisik dan menduga-duga bahwa tentu
akan terjadi hal yang penting. Bagaikan tak terjadi sesuatu dan tak pernah
berani menentang pandangan mata Bin Nio, Cin Hai melakukan pekerjaan seperti
biasanya, yakni pagi-pagi sekali ia menyapu lantai yang dikotori oleh daun-daun
kering yang malam tadi rontok dari pohon.
Akhirnya
orang yang dinanti-nantikan, Ting Sun, datang dari pintu luar. Dengan tindakan
gagah serta dada terangkat, guru silat itu memasuki pelataran itu lalu menjura
kepada Louw Sun Bi. Kemudian dia melihat ke arah Cin Hai yang sedang menyapu
lantai dan matanya berkilat menahan napas. Akhirnya dia menghadapi semua murid
dan berkata,
“Anak-anak
sekalian, aku membawa berita yang penting sekali untuk kalian. Mulai hari ini
kalian akan dilatih oleh Louw-kauwsu sendiri, karena hari ini juga aku akan
berangkat meninggalkan Ki-bun.”
“Hendak
pergi ke mana, Suhu?” tanya seorang murid.
“Pergi jauh
mengerjakan sebuah tugas penting. Belum tentu aku akan kembali ke sini. Tetapi
kalian tidak usah kuatir, karena di bawah pimpinan Louw-kauwsu, kepandaianmu
pasti akan lebih maju. Sekarang aku datang hanya untuk mengucapkan selamat
berpisah kepadamu sekalian. Sebelum aku pergi, aku hendak menerangkan kepada
kalian tentang ilmu tiam-hoat yang paling penting, yakni untuk menotok jalan
darah tai-twi-hiat yang ada di punggung. He, bujang tolol, kau ke sinilah!”
Cin Hai
maklum bahwa saat yang dikuatirkan sudah tiba. Dia menghampiri guru silat itu
dengan tenang dan pura-pura tidak melihat pandang mata yang penuh kemarahan dan
kebencian itu.
“Nah,
anak-anak, seperti biasa agar lebih jelas terlihat olehmu, aku hendak
menggunakan jembel busuk ini untuk contoh!” Memang sudah biasa Ting Sun
memanggil dan menyebut Cin Hai dengan segala sebutan menghina. “Lihatlah
baik-baik, untuk menotok jalan darah tai-twi-hiat kedudukan jari harus begini.”
Ia menyusun
telunjuk dan jari tengah disatukan dan yang tiga lainnya ditekuk ke dalam.
“Perhatikan tempat yang akan kutotok!” Sambil berkata demikian dia lalu
menggerakkan jarinya itu menotok punggung Cin Hai.
Tetapi
sambil berpura-pura ketakutan, Cin Hai melompat mundur hingga totokan itu tidak
mengenai sasaran.
“Jangan,
Siauwya, jangan…!” Cin Hai berkata sambil menggoyang-goyangkan tangannya
mencegah serangan Ting Sun. Akan tetapi guru silat itu marah sekali melihat
betapa tadi totokannya dikelit.
“Bangsat
rendah! Kau berani melawanku?” bentaknya.
Ia mengirim
tendangan ke arah lambung Cin Hai. Tendangan ini hebat sekali dan kalau
terkena, pasti nyawa anak itu akan melayang ke akhirat.
Louw Sun Bi
amat terkejut dan marah. Pada saat dia bangun berdiri dan hendak loncat
menolong, tiba-tiba ia merasa terheran-heran dan duduk kembali dengan mata
terbelalak. Ternyata sambil terhuyung-huyung mundur ketakutan, ketika kaki Ting
Sun menyambar ke arah lambungnya, Cin Hai berkelit ke samping hingga tendangan
itu tidak mengenai sasaran.
Dengan terus
berpura-pura ketakutan, Cin Hai berdiri lagi kemudian berlari-lari memutari
pelataran berlatih silat itu. Tetapi anehnya, kalau dikatakan takut dan
melarikan diri, anak itu tidak mau lari keluar dari kalangan!
Ting Sun
yang tidak mengenal gelagat, biar pun dua kali serangannya telah dapat dikelit,
masih terus mengirim serangan-serangan bertubi-tubi. Kalau dibicarakan memang
sangat aneh, tetapi benar-benar terjadi. Cin Hai terhuyung-huyung dan bahkan
sekarang mulai menari-nari!
Semua murid
bukoan itu, termasuk Bin Nio bukan main herannya melihat sikap Cin Hai. Mereka
menganggap anak itu tiba-tiba menjadi gila. Mana ada orang diserang oleh lawan
tidak berkelit atau menangkis, tetapi bahkan menari-nari?
Dalam
pandangan mata anak-anak murid dan Bin Nio, disangka bahwa Ting Sun merasa
kasihan kepada Cin Hai dan tidak menyerang sungguh-sungguh hanya untuk
menakut-nakuti saja, maka setiap pukulan dan tendangannya selalu tidak mengenai
sasaran dan hanya menyerempet sedikit pakaian Cin Hai!
Mereka ini
sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pada saat itu Ting Sun merasa terkejut
dan terheran-heran sekali karena sudah lebih dari dua puluh jurus dia menyerang
sambil mengeluarkan pukulan-pukulan maut yang paling berbahaya, namun
pukulannya itu selalu meleset dan tidak pernah mampu mengenai tubuh Cin Hai.
Pada saat pukulan hampir mengenai sasaran, tiba-tiba saja tubuh atau bagian
tubuh anak muda itu bergerak mengelak dengan cara yang luar biasa dan aneh
sekali!
Yang dapat
mengetahui hal yang sebenarnya hanyalah Louw Sun Bi seorang. Guru silat tua ini
duduk bengong dengan mulut ternganga dan mata terbelalak heran. Ia tahu bahwa
Cin Hai sedang memainkan semacam ilmu silat yang aneh dan yang belum pernah
dilihat seumur hidupnya, akan tetapi yang kelihatannya betul-betul
mengherankan. Ia tidak tahu bahwa Cin Hai sedang memainkan Tari Bidadari yang
dipelajarinya dari Ang I Niocu. Biar pun belum banyak mempelajari ilmu silat
mujijat ini, namun mana seorang kasar seperti Ting Sun dapat melawannya?
Makin cepat
Ting Sun menyerang, makin lincah pula gerakan Cin Hai dan makin indah gerakan
tarinya. Sesudah merasa cukup mempermainkan Ting Sun dengan kelitan dan
loncatan, Cin Hai menganggap sudah tiba waktunya untuk memberi hajaran kepada
guru sombong itu.
Pada saat
Ting Sun menendang, cepat ia menggeser tubuh ke samping dan tanpa dapat diduga
lebih dulu kaki kirinya bergerak dan menotok urat pergelangan kaki Ting Sun
yang berdiri. Maka, tanpa ampun lagi guru silat itu roboh terguling-guling!
Ting Sun loncat
berdiri dengan marah sekali, tetapi berkali-kali dia dibikin jatuh bangun oleh
Cin Hai yang kini menggunakan Ilmu Silat Liong-san Kun-hoat yang ganas! Setelah
memainkan ilmu silat ini barulah Ting Sun dan Louw Sun Bi tahu bahwa Cin Hai
memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya!
Tetapi
karena sudah merasa terlanjur dan malu untuk mundur, Ting Sun berlaku nekat
sekali dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Tetapi dia hanya merupakan
makanan yang lunak bagi Cin Hai. Dengan gerakan Hong-tan-ci atau Burung Hong
Mementang Sayap dia berhasil menotok iga Ting Sun yang merasa tubuhnya
tiba-tiba menjadi lemas dan roboh di atas tanah!
“He,
Siauwya, kau kenapakah?” Cin Hai mengejek sambil mengoyang-goyang tubuh Ting
Sun yang rebah di atas tanah.
Dalam
gerakan mengoyang-goyang ini, Cin Hai sengaja memusnahkan totokannya tadi
sehingga Ting Sun dapat bergerak kembali dan pada saat guru silat itu meloncat
berdiri Cin Hai sudah mendahuluinya dengan totokan lain yang membuat guru silat
itu berdiri kaku bagaikan sebuah patung!
“Ehh, ehhh,
Siauwya! Mengapa kau berdiri seperti patung?” kata Cin Hai lagi.
Melihat
betapa Cin Hai mempermainkan Ting Sun, murid-murid bukoan menjadi heran sekali
dan pada saat itu Louw Sun Bi meloncat ke dekat Cin Hai dan tertawa
bergelak-gelak.
“Anak-anak
semua. Lihat, ini namanya tiam-hoat yang tepat sekali mengenai jalan darah
tai-hwi-hiat hingga Ting-kauwsu menjadi kaku. Kalian sudah melihat baik-baik?
Contohlah anak ini, sebenarnya dia seorang berilmu tinggi, tetapi dapat
bertahan menyembunyikan rahasianya di sini sampai bertahun-tahun sehingga
jangankan kalian, bahkan aku sendiri tidak tahu bahwa dia adalah murid seorang
ahli!”
Sambil
berkata begini, Louw Sun Bi menepuk pundak Ting Sun yang kemudian dapat
bergerak kembali. Guru silat ini sekarang maklum bahwa ilmu kepandaian Cin Hai
sangat lihai, maka dengan muka merah karena malu ia lalu lari ke luar dari
bukoan tanpa berani menengok lagi!
Louw Sun Bi
mengiringnya dengan suara tawa bergelak-gelak. Guru silat ini benar-benar kagum
kepada Cin Hai, karena itu dia lalu bertanya, “He, anak muda! Engkau
keterlaluan sekali, sampai-sampai kau tega menipu aku orang tua! Sesungguhnya
engkau ini murid siapakah. Bukankah kau murid dari Liong-san-pai?”
Dengan sikap
hormat dan merendah Cin Hai menjura. “Bukan. Loya, saya bukan murid
siapa-siapa.”
Memang ia
tidak membohong karena ia baru belajar silat dari Kanglam Sam-lojin dan Ang I
Niocu, sedangkan mereka ini memang bukan guru-gurunya. Ia boleh mengaku bahwa
gurunya adalah Bu Pun Su, tetapi kenyataannya, ia belum pernah belajar silat
satu jurus pun dari gurunya itu.
Louw Sun Bi
mengira bahwa Cin Hai adalah seorang pendekar kecil yang telah dipesan oleh
gurunya untuk menyembunyikan nama guru itu, maka ia tidak berani mendesak lagi,
hanya menyatakan kagumnya. Akan tetapi Cin Hai lalu minta maaf banyak-banyak
serta menghaturkan terima kasih atas kebaikan Louw-kauwsu terhadapnya sampai
dua tahun lebih itu.
Louw-kauwsu
tak dapat lagi menahan Cin Hai yang hendak melanjutkan perantauannya. Akan
tetapi guru silat ini memaksanya untuk menerima bekal uang dan pakaian sebagai
pengganti jasanya yang telah bekerja beberapa tahun itu.
Cin Hai
menerimanya dengan ucapan terima kasih. Kemudian sesudah memberi hormat lagi,
Cin Hai pergi meninggalkan tempat itu. Dia tak lupa memberi hormat sambil
berkata, “Siocia, aku mohon beribu maaf atas segala kesalahanku selama aku
berada di sini dan jagalah dirimu baik-baik!”
Bin Nio
hanya menundukkan muka dan air matanya mengalir turun. Dia insaf betapa dia
telah salah mengenal orang.
***************
Cin Hai
merantau lagi dan hidup sebatang kara menjelajah ribuan li tanpa tujuan
tertentu. Kini ia telah berusia hampir lima belas tahun dan karena tubuhnya
terpelihara baik-baik semenjak tinggal di bukoan dari Louw Sun Bi, ia telah
merupakan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Tubuhnya tinggi dan tegap,
matanya lebar dan mukanya bulat, muka yang membayangkan kejujuran dan
ketinggian pribudi.
Setelah
mengalami banyak derita, matanya terbuka lebar dan ia maklum bahwa tugasnya
sebagai seorang berkepandaian ialah harus menolong sesama hidup yang
membutuhkan pertolongannya. Kalau dulu ia sering bersedih mengingat bahwa
hidupnya tak bersanak kadang, kini perasaan itu lenyap. Ia kini mengerti akan
maksud ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu bahwa ‘Di empat penjuru lautan, semua orang
adalah saudara!’
Dulu ia
sering kali menggoda guru sastera dengan ujar-ujar ini yang dianggapnya kosong
dan bohong. Akan tetapi sekarang dia mengerti betapa tepat serta mulianya
ujar-ujar ini. Ujar-ujar ini harus dipergunakan secara aktip, tidak boleh
secara pasip, yaitu seharusnya kitalah yang bertindak terhadap semua orang
seperti terhadap saudara sendiri, sehingga sudah sepatutnya kita menolong
saudara-saudara itu bila mereka di dalam kesukaran.
Janganlah
kita memandang ujar-ujar itu sebagai dorongan yang bersifat ingin senang
sendiri dan menuntut supaya orang berlaku baik kepada kita bagaikan layaknya
saudara-saudara berlaku kepada kita. Memang segala apa di dunia ini, sesuatu
yang baik dapat menjadi buruk, dan yang buruk bisa menjadi baik, semua
tergantung sepenuhnya kepada yang mengganggapnya.
Bila kita
dijauhi hendak hidup sendiri atau hendak senang sendiri maka akan terbukalah
mata kita bahwa hidup ini tidak hanya sekedar makan dan tidur saja, bahwa di
samping kedua kebutuhan hidup itu, masih terdapat banyak sekali tugas-tugas
kewajiban yang luhur dan suci, di antaranya memperhatikan keadaan orang lain
atau ‘saudara’ kita yang hidup menderita kesusahan.
Sesudah
menanjak dewasa, sedikit demi sedikit Cin Hai dapat menangkap intisari segala
ujar-ujar yang dulu pada waktu masih kecil dihafalkannya di luar kepala bagaikan
seekor burung beo saja. Kini ia dapat mengerti dan tahu apa yang dimaksudkan
dan dikehendaki oleh para nabi itu dalam ujar-ujar mereka.
Dengan
kepandaiannya, walau pun dia baru mempelajari tiga perempat bagian saja dari
Liong-san Kun-hoat dan setengah bagian dari Ngo-lian-hwa Kiam-hoat, namun
sudahlah cukup untuk membuat namanya menjadi terkenal. Orang-orang di kalangan
kang-ouw menyebutnya ‘Pendekar Bodoh’ karena wajahnya yang tampan dengan mata
yang lebar itu memang tampaknya bodoh.
Pada suatu
hari, ketika memasuki dusun, dia mendengar suara tangis seorang wanita. Karena
tertarik, dia lalu mempercepat tindakan kakinya dan alangkah marahnya melihat
seorang anggota Sayap Garuda sedang menculik seorang perawan desa yang
meronta-ronta di dalam pelukannya. Sambil memondong korbannya, orang itu
meloncat ke atas seekor kuda besar dan hendak kabur.
Tetapi
sekali meloncat saja Cin Hai sudah menghadang di depannya dan membentak,
“Bangsat rendah! Lepaskan Nona itu!”
Anggota
Sayap Garuda itu marah sekali dan tangan kanannya terayun ke arah Cin Hai.
Sebatang piauw (senjata rahasia) melayang dan menyambar leher Cin Hai, tetapi
anak muda itu dengan mudah dapat menangkap dengan menjepitnya di antara dua
jari tangan.
Melihat
kelihaian Cin Hai, orang itu segera membedal kudanya dan kabur dari situ.
Tetapi secepat kilat Cin Hai lalu menggerakkan tangannya dan mengembalikan
piauw tadi yang tepat menancap pundak anggota Sayap Garuda itu.
Si Penculik
menjerit kesakitan, namun ternyata dia adalah seorang yang bertubuh kuat,
karena biar pun telah terluka, dia tetap masih dapat kabur sambil membawa gadis
yang diculiknya itu!
Cin Hai
sudah banyak mendengar mengenai kekejaman gerombolan Sayap Garuda yang
merupakan barisan pengawal istana yang tersebar di mana-mana dan berlaku keji
dan hina mengandalkan pengaruh serta kekuasaan mereka. Maka kini melihat dengan
mata sendiri betapa salah seorang anggota gerombolan itu menculik seorang gadis
dusun, dia menjadi marah sekali. Dia cepat lari mengejar untuk menolong gadis
itu.
Setelah
berkejar-kejaran sejauh lima li lebih dan hampir dapat menyusul kuda besar yang
lari cepat itu, tiba-tiba dari depan datang pula serombongan anggota Sayap
Garuda yang dikepalai oleh seorang hwesio gundul. Melihat betapa Cin Hai
mengejar seorang anggota mereka, rombongan itu lalu mengepung Cin Hai dan
sebentar saja terjadilah pertempuran yang hebat!
Selama dalam
perantauannya, Cin Hai tidak pernah mempergunakan senjata lain kecuali
sulingnya! Dengan suling bambunya itu dia sudah banyak menjatuhkan lawannya
yang bersenjata tajam, karena gerakan sulingnya yang hebat dapat digunakan
untuk menotok jalan darah lawan.
Akan tetapi
sekali ini, menghadapi keroyokan gerombolan Sayap Garuda yang rata-rata
mempunyai kepandaian tinggi, dia terdesak dan sibuk juga. Akan tetapi berkat
kegesitan tubuhnya untuk beberapa lama dia dapat mempertahankan diri dan dia
mengelak ke sana ke mari.
Tiba-tiba
hwesio gundul yang gemuk dan tadi mengepalai rombongan berseru, “Semua mundur!
Biar pinceng tangkap bangsat kecil ini!” Hwesio itu merasa penasaran sekali
betapa kawan-kawannya yang berjumlah delapan orang itu agaknya tidak mudah
merobohkan Cin Hai.
Semua
pengeroyok Cin Hai mundur dan kini hwesio gundul yang maju menghadapi Cin Hai.
Anak muda itu maklum bahwa lawannya ini tentu berkepandaian tinggi, karena itu
ia mendahuluinya dan langsung mengirim serangan dengan suling yang ditotokkan
ke arah leher lawan.
Tetapi
sungguh aneh! Lawannya tidak berkelit mau pun menangkis dan ketika sulingnya
tepat mengenai leher, tangan hwesio itu sudah terulur maju dan hendak
mencengkeram pundaknya dengan gerakan Eng-jiauw-kang yang lihai sekali! Dan
meski pun ujung suling tepat menotok jalan darah di leher hwesio itu, namun
pendeta gundul itu agaknya tidak merasa apa-apa!
Cin Hai
terkejut sekali dan terpaksa dia melepaskan sulingnya lantas membuang diri ke
belakang untuk menghindari cengkeraman lawannya! Hwesio itu tertawa
bergelak-gelak melihat betapa Cin Hai menggelinding di atas tanah dan
menjauhinya.
“Ha-ha-ha!
Anak kecil, kau baru tahu kelihaian pinceng, ya?” Dan dengan tindakan kaki
lebar, ia menghampiri Cin Hai yang sudah bertangan kosong!
Tetapi pada
saat itu terdengar bentakan keras, “Biauw Leng-sute! Bagus sekali perbuatanmu,
kau telah berani mengotori diri dan bergaul dengan segala kaki anjing?”
Sebutan kaki
anjing merupakan sebutan untuk menghina kaum pembela Kaisar seperti barisan
Sayap Garuda itu. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di situ sudah
berdiri seorang wanita tua yang berwajah buruk sekali! Mukanya hitam bagaikan
pantat kuali, pipinya keriput ada pun matanya yang sebelah kanan buta!
Nenek-nenek ini memegang sebuah hudtim dan di punggungnya tampak gagang pedang.
Ketika Cin
Hai memandang, ia mengenal nenek-nenek ini sebagai Biauw Suthai, wanita aneh
yang dulu menculik Lin Lin puteri dari Kwee-ciangkun! Hampir saja dia berteriak
dan menanyakan hal Lin Lin, tetapi pada saat itu terdengar jawaban Biauw Leng
Hosiang, “Biauw suci, mengapa kau turut mencampuri urusanku?”
“Tetapi aku
tidak akan tinggal diam saja kalau kau merendahkan diri dan membantu kaki
anjing. Kau tidak boleh mencemarkan perguruan kita dengan kerendahan ini!”
Hwesio itu
menghela napas. “Baiklah, baiklah... memang kau selalu jail dan
menghalang-halangi Sute-mu yang hendak menikmati sedikit kesenangan dunia!”
Setelah
berkata demikian, Biauw Leng Hosiang segera meloncat pergi dan Biauw Suthai
juga menggerakkan tubuh dan lenyap dari situ!
Cin Hai
kagum sekali akan kegagahan kedua orang itu, tetapi dia tidak diberi kesempatan
untuk melamun terlebih jauh karena dengan marah sekali kawanan Sayap Garuda
lantas menumpahkan kegemasan mereka yang ditinggal pergi oleh hwesio itu,
kepada Cin Hai. Ia terpaksa melawan, tetapi kali ini karena ia tidak bersenjata
lagi ia sangat terdesak dan keadaannya berbahaya sekali.
Mendadak
nampak berkelebat sinar putih yang gemilang dibarengi dengan sinar merah, dan
begitu bayangan itu bergerak, seorang anggota Sayap Garuda roboh mandi darah!
“Niocu!”
Tiba-tiba Cin Hai berseru keras.
Kedua
matanya dikejap-kejapkan seolah-olah dia tak percaya pada pandangan matanya
sendiri. Sesudah jelas bahwa yang menolong dirinya dan sedang mengamuk itu
adalah Ang I Niocu, tak terasa pula mata Cin Hai basah oleh air mata.
“Niocu... !”
sekali lagi ia berseru dengan lirih dan mesra.
“Hai-ji…”
Ang I Niocu menjawab dan menjatuhkan lagi dua orang pengeroyok.
Di antara
kawanan Sayap Garuda itu terdapat seorang yang telah mengenal Ang I Niocu, maka
ia berteriak keras, “Ang I Niocu yang datang, lekas lari!”
Dan ia
mendahului kawan-kawannya lari secepatnya dari gadis yang kosen itu! Sebentar
saja kawanan Sayap Garuda itu lari dan meninggalkan gadis tawanan yang diculik
tadi. Melihat bahwa korban mereka telah ditinggalkan, Ang I Niocu tidak
mengejar.
“Niocu...!”
Sekali lagi Cin Hai berseru girang.
Gadis itu
memandangnya dengan matanya yang bagus. Untuk beberapa lama mereka saling
pandang dan melihat betapa Cin Hai sekarang sudah menjadi seorang pemuda yang
tampan dan gagah, tanpa terasa pula Ang I Niocu mencucurkan air mata karena
girang dan terharu. Ia lalu memegang tangan Cin Hai erat-erat dan berkata,
“Hai-ji, kau baik-baik saja, bukan?”
“Niocu...
Niocu... jangan kau tinggalkan aku lagi!”
Mendengar
ucapan yang masih bersifat kekanak-kanakan ini, mau tidak mau Ang I Niocu
tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala. Mereka berdua lalu mengantar gadis
yang diculik itu pulang ke dusun. Kemudian Ang I Niocu mengajak Cin Hai pergi
dari situ. Di sepanjang jalan tiada hentinya Ang I Niocu bertanya mengenai
pengalaman Cin Hai sambil memandang wajah pemuda yang tampan itu dengan senang.
Tanpa
menyembunyikan sesuatu Cin Hai lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya
sehingga ketika mendengar betapa anak itu menderita karena ia tinggalkan, Ang I
Niocu menangis tersedu-sedu sambil memegang lengan Cin Hai.
“Dan
bagaimana dengan pengalamanmu, Niocu?” Cin Hai bertanya sambil memandang wajah
yang masih tetap cantik jelita, bahkan kini makin manis itu. Melihat gadis itu
dan pakaian merahnya, ia merasa seakan-akan baru kemarin mereka berpisah.
“Jangan
menanyakan hal ini sekarang, Hai-ji. Aku mempuyai tugas penting sekali. Aku
sedang menyelidiki sebuah goa rahasia yang disebut Goa Tengkorak Raksasa.
Menurut peta yang kudapat, ternyata bahwa goa itu berada di puncak bukit yang
tampak dari sini itu! Oleh karena itu kebetulan saja aku lewat di sini dan
dapat bertemu dengan engkau kembali! Kalau sengaja dicari-cari, belum tentu
dapat bertemu.”
Dengan
singkat Ang I Niocu menceritakan betapa dia sudah menurutkan jalan di petanya
sampai sebulan lebih dan akhirnya petanya itu membawanya ke daerah itu.
“Bukit itu
disebut Bukit Tengkorak Raksasa,” katanya sambil menunjuk ke arah bukit yang
menjulang tinggi tidak jauh dari situ, “dan sekarang juga aku harus dapat
mencari goa itu di sana. Ketahuilah bahwa selain aku, masih terdapat banyak
orang-orang pandai hendak mendahuluiku mendapatkan goa itu. Karena itu marilah
kau turut bersamaku, kita jangan menyia-nyiakan waktu lebih lama lagi!”
Melihat
bahwa urusan itu agaknya penting sekali, Cin Hai tidak berani membantah dan
dengan hati luar biasa gembiranya karena dapat berjalan bersama dengan Ang I
Niocu lagi, dia mengikuti nona itu dan mereka secepatnya mendaki Bukit
Tengkorak Raksasa.
Dengan
bantuan petanya, akhirnya Ang I Niocu berhasil juga mendapatkan goa itu yang
tertutup oleh tumpukan batu-batu yang ratusan banyaknya. Dengan tidak mengenal
lelah, mereka berdua membongkar semua batu-batu itu dan akhirnya tampaklah
sebuah goa yang luar biasa besarnya dan gelap!
Mereka masuk
ke dalam dan setelah berjalan dengan hati-hati serta merayap beberapa lamanya,
ternyata di sebelah dalam goa itu terdapat penerangan yang turun dari sebuah
lubang di atas. Mereka terus maju ke dalam hingga akhirnya tiba di depan sebuah
pintu besar yang tertutup. Karena pintu itu berat sekali, maka mereka terpaksa
mendorong dengan tenaga dan akhirnya berhasil juga mereka membuka pintu raksasa
itu. Dengan hati berdebar keduanya masuk, Ang I Niocu lebih dulu dan Cin Hai di
belakangnya.
Ketika
mereka memasuki ruang di balik pintu itu, mereka terkejut sekali dan Cin Hai
merasa ngeri dan takut. Ternyata di sepanjang dinding di kanan kiri ruang yang
luas dan tinggi itu, tampaklah tengkorak-tengkorak yang tinggi besar berdiri
berderet-deret dengan mulut mereka yang dahsyat itu menyeringai memperlihatkan
gigi besar-besar. Tengkorak itu tingginya paling sedikit tiga kali tinggi
manusia biasa hingga dapat dibayangkan betapa hebat dan mengerikan pemandangan
dalam ruangan besar itu.
Keduanya
berdiri termangu-mangu dengan bulu tengkuk berdiri. Mendadak Ang I Niocu yang
dapat menenangkan hati lebih dulu, berkata perlahan, “Hai-ji, lihat di sana
itu. Bukankah aneh sekali?”
Cin Hai
bagaikan baru sadar dari mimpi dan dia memandang ke arah depan. Dan benar saja,
di ujung ruangan itu tampak sebuah pintu lagi yang daun pintunya terpentang
lebar. Daun pintu itu terbuat dari pada batu yang sangat tebal dan di dalamnya
terdapat ruang atau kamar lain yang gelap hitam.
Di tengah-tengah
kamar itu tampak sebuah hio-louw (periuk tempat hio) tertutup dan dari dalam
hio-louw keluar asap bergulung-gulung naik memenuhi kamar! Ruangan yang luar
biasa luasnya ini dihias raksasa mengerikan, dan di sana ada hio-louw besar
sekali yang masih mengebulkan asap putih, sungguh pemandangan yang bisa membuat
seseorang menjadi mati ketakutan!
“Aneh,” kata
Cin Hai dengan suara gemetar, “Mengapa hio-louw itu masih mengebulkan asap?”
“Itulah yang
kupikirkan,” jawab Ang I Niocu, “Tak mungkin selama ini api dalam hio-louw tak
pernah padam! Tentu ada orang yang mendahului kita dan membakar dupa di dalam
hio-louw itu.”
Cin Hai
menganggap kata-kata Ang I Niocu itu benar, karena tercium olehnya bau dupa
yang harum sekali. Tetapi siapakah yang dapat memasuki tempat seperti ini! Tadi
pun goa masih tertutup oleh banyak batu dan pintu kamar ini masih tertutup
rapat, dari mana orang dapat masuk?
Ang I Niocu
lalu bertindak perlahan menuju ke kamar tempat hio-louw itu. Dia berjalan
perlahan sambil memandang ke kanan kiri dengan mata tajam dan tangan kanannya
siap di gagang pedangnya yang tergantung di pinggangnya.
Cin Hai
mengikuti di belakangnya dengan hati berdebar kencang dan mulut terasa kering.
Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi pengalaman sehebat dan sengeri ini.
Seperti
halnya Ang I Niocu, Cin Hai juga memandang ke sana ke mari, dan dia merasa
seakan-akan sekalian tengkorak raksasa yang berdiri itu bergerak-gerak!
Seakan-akan sepasang mata yang bolong itu melirik-lirik dan gigi yang
besar-besar itu berkeretakan! Ia merasa betapa bulu tengkuknya berdiri saking
ngeri dan takutnya.
Tiba-tiba
Cin Hai melihat sesuatu dan mukanya menjadi pucat sekali. Tak terasa lagi dia
memegang tangan kiri Ang I Niocu dengan tangan menggigil. Matanya tidak pernah
lepas memandang kepada sebuah tengkorak yang berdiri tak jauh dari situ.
“Niocu...”
katanya terengah-engah, “lihat...“
Ang I Niocu
cepat berpaling dan apa yang dilihatnya membuat dia menjadi terkejut dan ngeri.
Gadis yang gagah perkasa dan belum pernah merasa takut menghadapi lawan yang
betapa tangguh pun ini, sekarang merasa betapa kedua kakinya menggigil sedikit!
Ternyata tengkorak yang dipandang oleh Cin Hai dan yang kedua lengannya
tergantung di kanan kiri itu kini bergerak-gerak sedangkan kepalanya bergerak
ke kanan-kiri!
Ang I Niocu
cepat-cepat mencabut pedangnya kemudian siap sedia menghadapi segala
kemungkinan. Cin Hai meloncat di belakang gadis itu dan bingung karena tak
membawa senjata. Sulingnya telah terinjak patah oleh Biauw Leng Hosiang, hingga
ia kini bertangan kosong. Di sudut kamar itu ia melihat setumpuk tulang-tulang
manusia yang besar-besar, maka tanpa berpikir panjang lagi dia lalu memungut
sepotong tulang kaki raksasa yang besar dan siap sedia membantu Ang I Niocu
dengan senjata istimewa itu di tangannya!
Tiba-tiba
terdengar suara tertawa bergelak-gelak! Suara tertawa ini bergema hebat di
dalam ruangan itu dan terdengar menyeramkan sekali.
“Hai-ji, kau
berhati-hatilah. Benar-benar ada orang mendahului kita!”
“Niocu...
benar-benar orangkah yang tertawa itu?”
“Hushh...”
“Kiang Im
Giok! Bagus, kau dapat sampai ke sini lebih dulu dari orang-orang lain! Lekas
sembunyi di belakang tengkorak! Lekas! Hei, kau gundul tolol! Kau kira aku tak
mengenal mukamu? Hayo, kau juga sembunyi di belakang tengkorak! Cepat, mereka
sudah datang dan berada di luar goa!”
Kini mereka
tahu siapakah yang bersuara itu. Bu Pun Su, kakek jembel yang luar biasa,
Susiok-couw dari Ang I Niocu! Maka tanpa menyia-nyiakan waktu lagi keduanya
meloncat dan bersembunyi di belakang tengkorak-tengkorak raksasa.
Baru saja
Ang I Niocu dan Cin Hai meloncat dan bersembunyi di belakang
tengkorak-tengkorak raksasa, tiba-tiba saja dari luar terdengar suara orang
bercakap-cakap dan tiga bayangan orang cepat sekali menyambar masuk. Cin Hai
heran sekali pada saat melihat bahwa yang datang itu bukan lain ialah Kanglam
Sam-lojin, tosu yang pernah mengajar silat kepadanya yakni Giok Im Cu dan kedua
sute-nya!
Akan tetapi
pada saat itu tiga tosu ini nampak tegang dan bersiap sedia untuk bertempur
karena Giok Im Cu telah memegang sebatang ranting pohon. Giok Yang Cu yang
tinggi besar itu juga telah meloloskan pedangnya, sedangkan Giok Keng Cu yang
pendek gesit memegang sebatang golok. Mereka bertiga berdiri di ruangan itu
sambil memandang ke kanan kiri.
“Orang yang
berada di dalam goa, keluarlah untuk bertemu dengan kami!” terdengar Giok Im Cu
berteriak. Suaranya bergema di dalam goa besar itu seakan-akan menjadi jawaban
bagi teriakan itu.
Akan tetapi
Ang I Niocu dan Cin Hai tidak berani bergerak, karena mereka harus mentaati perintah
Bu Pun Su yang sangat ditakuti oleh Ang I Niocu itu. Diam-diam Cin Hai merasa
heran kenapa kakek itu bersembunyi! Kalau hanya menghadapi ketiga orang tosu
ini apa harus bersembunyi? Ang I Niocu seorang diri pun akan sanggup
menghadapinya!
Akan tetapi
pada saat itu dari luar goa terdengar suara orang dengan suara yang parau
menyeramkan, “Hai! Siapa yang berani mampus mendahului aku masuk goa ini?”
Sebelum gema
suara ini lenyap, orangnya sudah berkelebat masuk dan kembali Cin Hai terkejut
sekali karena orang ini ternyata adalah Hai Kong Hosiang, hwesio gundul tinggi
besar yang bermata besar itu. Jubahnya yang merah kotak-kotak terbuka,
memamerkan dadanya yang berbulu. Juga hwesio ini memegang senjatanya yang
lihai, yakni sebatang tongkat ular.
Ketika
melihat Kanglam Sam-lojin, Hai Kong Hosiang tertawa bergelak sambil berdongak
ke atas. Suara ketawanya mendatangkan gema yang riuh, seakan-akan semua
tengkorak raksasa yang berdiri di dalam goa itu ikut tertawa hingga keadaan
menyeramkan sekali!
“Lagi-lagi
orang-orang tua bangka mau mampus yang mendahuluiku. Sekarang kalian tak akan
dapat melarikan diri lagi dan agaknya memang telah menjadi nasibmu untuk binasa
di dalam tanganku!”
Giok Yang Cu
marah sekali. “Hai Kong manusia sombong! Kalau di Tiang-an kami tidak berhasil
membunuhmu adalah karena kau secara pengecut dibantu oleh ular-ularmu. Kini
kami akan menebus kekalahan itu!”
“Ha-ha-ha!
Boleh, boleh! Majulah untuk menerima kematian!”
Mereka lalu
bertempur hebat, dan Ang I Niocu memegang tangan Cin Hai sambil berbisik, “Ah,
kepandaian hwesio gundul ini telah maju hebat sekali! Kanglam Sam-lojin pasti
akan kalah!”
Memang benar
kata-kata Nona Baju Merah ini. Memang kepandaian Hai Kong Hosiang dengan ilmu
tongkatnya yang berdasarkan Jian-coa Kun-hoat atau Ilmu Toya Seribu Ular luar
biasa sekali gerakan-gerakannya dan tongkatnya sangat cepat dan hebat sehingga
seakan-akan berubah menjadi ribuan ular yang datang menyerang lawannya. Hwesio
itu agaknya telah melatih diri hingga ilmu tongkatnya makin hebat saja.
Hal ini pun
terasa sekali oleh Kanglam Sam-lojin. Ketiga tosu ini segera mengeluarkan
kepandaian mereka, yakni Liong-san Kun-hoat yang juga luar biasa dan lihai.
Akan tetapi ketika senjata mereka beradu dengan senjata Hai Kong Hosiang,
mereka terkejut sekali karena tenaga lweekang dari hwesio itu telah maju pesat
dan kini berada setingkat lebih tinggi dari pada tenaga mereka! Percuma saja
mereka mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka sebab permainan tongkat
Hai Kong Hosiang betul-betul hebat sekali dan mengurung mereka bertiga dengan
ancaman-ancaman maut!
Hai Kong
Hosiang yang melihat betapa dia dapat mendesak tiga orang lawannya, merasa
gembira sekali. Hwesio gundul ini tertawa ha-ha hi-hi sambil memperhebat
serangannya. “Ehh, tiga orang tua bangka! Menyerahlah untuk mampus!”
Akan tetapi,
meski pun dia sudah dapat mendesak ketiga lawannya, namun karena ketiga tosu
itu bukanlah sembarangan tosu yang berkepandaian rendah dan karena Liong-san
Kun-hoat memang merupakan ilmu silat yang tinggi, masih tidak mudah bagi Hai
Kong Hosiang untuk dapat merobohkan ketiga lawannya itu dalam waktu pendek.
“Niocu,
benar hebat kepandaian hwesio itu.” kata Cin Hai sambil memandang muka Ang I
Niocu yang berada begitu dekat dengan mukanya sendiri, “dapatkah kau
mengalahkan si gundul itu?”
Ang I Niocu
membalas pandangan mata anak muda itu, kemudian bibirnya yang manis dan merah
tersenyum.
“Agaknya tak
akan mudah mengalahkan dia, akan tetapi juga bukan tak mungkin!”
Cin Hai
telah bertahun-tahun berpisah dengan Ang I Niocu dan telah lama ia merindukan
Gadis Baju Merah ini. Sekarang dalam persembunyiannya dia berada begitu dekat
Ang I Niocu, maka hatinya merasa girang dan terharu sekali.
Tanpa terasa
Cin Hai menggerakkan tangan dan memegang tangan gadis itu erat-erat. Ia merasa
betapa tangan yang berkulit halus dan berjari kecil itu membalas genggamannya
dengan tekanan kuat, akan tetapi mendadak tangan gadis itu mengendur, dan
akhirnya ditarik terlepas dari pegangan Cin Hai. Pada saat pemuda itu
memandang, Ang I Niocu memberi tanda dengan mukanya untuk menonton pertempuran
yang masih berlangsung hebat di dalam ruang tengkorak itu.
Ketika Cin
Hai memandang, ia mendapat kenyataan bahwa sekarang Kanglam Sam-lojin
benar-benar terdesak dan keadaan mereka sudah berbahaya sekali, sementara itu
Hai Kong Hosiang semakin gagah dan ganas saja.
Pada saat
itu kembali terdengar suara gaduh di luar goa, tetapi kali ini dari suara
tindakan kaki dapat diduga bahwa yang datang adalah serombongan orang yang
besar jumlahnya, bahkan terdengar pula ringkik dan suara kaki kuda!
“Hai Kong,
bangsat gundul! Ada orang-orang datang, kami tidak punya waktu lagi untuk
melayanimu terlebih jauh,” Giok Im Cu berseru.
“Ha-ha,
Kanglam Sam-lojin, hari ini sekali lagi aku ampuni jiwa kalian, dan lekaslah
kalian pergi dari tempat ini dan jangan mengganggu aku!”
Kanglam
Sam-lojin yang menginsafi akan kelihaian Hai Kong Hosiang tidak menjawab hinaan
ini, lalu mereka menerobos keluar untuk meninggalkan tempat berbahaya itu. Hai
Kong Hosiang lalu melangkah maju ke arah balik pintu di mana terdapat hiolouw
yang masih mengebulkan asap itu. Ia membuka tutup hiolouw dan menjenguk ke
dalamnya.
Asap
mengepul semakin banyak ketika tutup hiolouw itu terbuka dan Hai Kong Hosiang
buru-buru mengembalikan tutup itu. Dia lalu melongok ke sana-sini seperti orang
sedang mencari-cari, kemudian ia mendekati hiolouw itu dan membaca huruf-huruf
yang terukir di hiolouw raksasa itu. Ia mengangguk-angguk dan segera memasang
kuda-kuda dengan kedua kaki dipentang kuat-kuat.
Dia lalu
memegang kaki hiolouw dengan tangan kanan dan mencoba untuk mengangkat hiolouw.
Tapi hiolouw itu tidak dapat terangkat. Jangankan terangkat, bahkan bergoyang
pun tidak!
Hai Kong
Hosiang memaki-maki dan Cin Hai terpaksa mempergunakan tangannya untuk menutupi
mulutnya agar jangan sampai tertawa. Dia geli sekali melihat betapa hwesio itu
tidak kuat mengangkat hiolouw dan kini mendengar maki-makian yang keluar dari
mulut Hai Kong Hosiang, ia pun merasa geli bercampur heran. Tak pernah
disangkanya bahwa mulut seorang hwesio dapat mengeluarkan makian-makian sekotor
itu! Juga Ang I Niocu memandang dengan mata menunjukkan kegelian hatinya.
Kini Hai
Kong Hosiang turun tangan dengan sungguh-sungguh. Dia menggunakan kedua
tangannya untuk mengangkat hiolouw itu dan benda yang besar itu mulai
bergerak-gerak! Akan tetapi, pada saat itu dari luar goa masuk seorang hwesio
lain yang bertubuh gemuk dan berkepala gundul.
Cin Hai
makin heran ketika mengenal bahwa yang masuk ini adalah Biauw Leng Hosiang,
hwesio yang sangat lihai dan yang menjadi adik seperguruan Biauw Suthai! Kenapa
ada banyak sekali orang-orang lihai datang ke goa ini?
Sementara
itu, ketika mendengar suara orang masuk ke dalam goa, Hai Kong Hosiang lalu
mengurungkan maksudnya mengangkat hiolouw itu dan ketika ia berdiri memandang
ke arah Biauw Leng Hosiang, wajahnya telah berubah merah, tanda bahwa tadi ia
telah menggunakan banyak tenaga untuk mencoba mengangkat hiolouw besar itu!
Melihat
bahwa yang datang adalah Biauw Leng Hosiang yang telah dikenalnya, dia lantas
tersenyum menyindir, “Hm, agaknya Biauw Leng Hosiang juga tak mau ketinggalan
dan mencari-cari pusaka ke dalam goa ini?”
Biauw Leng
Hosiang membalas sindiran orang dengan suara memandang rendah, “Hai Kong,
bercerminlah dulu sebelum mencela orang lain. Dan pinceng tidak ada waktu untuk
mengobrol denganmu pada saat ini. Harap kau suka mengalah dan keluar dari sini,
nanti apa bila pinceng telah selesai dengan urusanku, kau boleh berdiam di
tempat ini sampai selama hidupmu!”
“Biauw Leng,
kau sungguh tidak memandang orang lain! Kepandaian apakah yang kau andalkan
maka kau berani berkata semacam itu kepada orang seperti aku?”
“Sudahlah
jangan banyak cakap lagi dan keluarlah!” Biauw Leng Hosiang yang berwatak keras
itu kembali berkata.
Sekarang Hai
Kong Hosiang menjadi marah sekali. Ia membanting-banting kakinya dan
menggunakan telunjuknya menuding sambil berkata keras,
“Biauw Leng!
Kau sungguh tak mengerti aturan kang-ouw! Bukankah aku yang masuk ke sini
terlebih dulu? Mengapa kau mendesak supaya aku keluar dan mengalah kepada kau?
Ketahuilah, aku masih memandang muka Suci-mu, Biauw Suthai yang selain gagah
perkasa juga patut dihargai sebab memegang teguh peraturan kang-ouw. Jangan
sampai aku lupa diri menggunakan kekerasan!”
Kini
tiba-tiba Biauw Leng Hosiang tertawa, suara ketawanya tinggi nyaring seperti
suara ketawa seorang wanita.
”Hai Kong!
Sudah kukatakan tadi, sebelum memaki orang, kau bercerminlah dulu! Kau bilang
bahwa kau datang lebih dulu, akan tetapi, apakah kau kira bahwa aku tidak
melihat Kanglam Sam-lojin keluar dari sini? Aku tidak melihat mereka masuk,
akan tetapi melihat keluarnya. Bukankah ini berarti bahwa mereka masuk lebih
dulu dari padamu?”
Hai Kong
Hosiang menjadi malu dan semakin marah. “Tidak perlu kita mengadu lidah!
Pendeknya, kalau kau menghendaki aku keluar, kau pun harus dapat mengantarkan!”
Ini adalah tantangain berkelahi!
“Hai Kong!
Kau kira pinceng tidak akan dapat menyeretmu keluar dari sini?” Biauw Leng
Hosiang membentak dan keduanya telah saling berhadapan, siap untuk bertempur!
Yang paling
merasa senang adalah Cin Hai. Memang sejak kecil ia suka sekali menonton orang
bertempur mengadu kepandaian silat, maka kini tentu saja ia merasa senang
sekali melihat betapa beberapa kali terjadi pertempuran di antara tokoh-tokoh
persilatan yang berilmu tinggi,. Ia maklum akan kelihaian Biauw Leng Hosiang
yang pernah dilawannya, akan tetapi ia pun tahu bahwa Hai Kong Hosiang memiliki
kepandaian tinggi juga.
Sambil
berseru keras Biauw Leng Hosiang yang memiliki darah panas itu sudah mulai
menyerang secara hebat. Hwesio ini menggunakan senjata sebuah kebutan di tangan
kiri dan sebuah pedang pendek pada tangan kanannya, gerakannya cepat dan berat,
kedua senjatanya bergerak bergantian! Hai Kong Hosiang tidak mau didahului dan
berbareng mengirim tangkisan berikut serangan balasan yang tidak kalah
hebatnya!
Sambil
mengintai Cin Hai berbisik kepada Ang I Niocu tanpa memandang gadis itu sebab
dia sedang mencurahkan seluruh perhatian ke arah pertempuran. “Niocu, kau duga
siapa yang akan menang?”
Sejak tadi
Ang I Niocu melihat gerak-gerik Cin Hai. Entah bagaimana, ia merasa sayang dan
suka sekali kepada anak muda ini. Dahulu ketika Cin Hai masih kecil dan
berkepala gundul, dia merasa suka dan kasihan sekali dan merasa seakan-akan
anak itu menjadi adiknya sendiri. Kini Cin Hai telah hampir dewasa dan melihat
perawakannya, ia bahkan sudah dewasa karena tubuhnya memang tinggi tegap.
Akan tetapi,
semenjak tadi Ang I Niocu melihat betapa anak muda itu terus memandang
pertempuran dengan mata berkilat-kilat, wajah berseri-seri, serta mulut
tersenyum kecil, tanda bahwa hatinya senang sekali! Hal ini menyatakan betapa
sebetulnya dia itu masih seperti seorang kanak-kanak saja. Ang I Niocu merasa
heran dan tidak mengerti kenapa hatinya seakan-akan berbisik bahwa ia takkan
merasa senang dan bahagia hidupnya jika berada jauh dari Cin Hai!
“Apa
katamu?” ia balas berbisik.
Sesudah Cin
Hai mengulangi pertanyaannya, dia lalu memandang ke arah pertempuran. ”Entahlah
siapa yang akan menang, kepandaian mereka berimbang. Walau pun ilmu silat Biauw
Leng Hosiang lebih tinggi dan lebih lihai geraknya, akan tetapi Hai Kong
Hosiang agaknya lebih menang dalam hal mempergunakan senjatanya yang lihai,
juga Hai Kong memiliki banyak tipu-tipu curang dalam setiap gerakannya. Mungkin
pertempuran ini akan berjalan lama.”
Cin Hai
memperhatikan baik-baik. Baginya, setiap pertempuran merupakan penambahan
pengertiannya dalam ilmu silat, karena dari gerakan-gerakan mereka dia dapat
memetik beberapa pelajaran. Melihat gerakan-gerakan di dalam pertempuran antara
jago tua itu, dia merasa betapa kepandaiannya sendiri sebenarnya masih dangkal
sekali. Dia merasa bahwa untuk dapat mempunyai kepandaian tinggi dan mampu
menghadapi orang-orang seperti Hai Kong dan yang lain-lain, dia masih harus belajar
banyak!
Karena
merasa jengkel tidak dapat segera menjatuhkan Hai Kong Hosiang yang ternyata
memiliki kepandaian lebih lihai dari pada yang semula dia sangka, Biauw Leng
Hosiang merasa tidak sabar dan tiba-tiba dia bersuit keras.
Dari luar
goa terdengar suitan-suitan balasan dan tiba-tiba saja dari luar menerobos lima
orang yang berpakaian seragam. Mereka ternyata adalah perwira-perwira Sayap
Garuda yang sudah tinggi pangkatnya. Begitu masuk kelima orang ini lalu maju
mengeroyok Hai Kong Hosiang!
Perlu
diketahui bahwa barisan Sayap Garuda terdiri dari beberapa tingkat perwira yang
dibagi menurut tingkat kepandaian mereka masing-masing. Dan lima orang yang
masuk ini tingkatnya sudah ke tiga, maka mereka memiliki ilmu kepandaian yang
sudah lumayan juga, dan senjata mereka adalah pedang panjang.
Sudah tentu
saja masuknya lima orang yang membantu Biauw Leng Hosiang ini segera membuat
Hai Kong Hosiang yang memang sudah terdesak, menjadi semakin sibuk lagi.
Akhirnya sebuah totokan yang dilakukan dengan ujung kebutan di tangan kiri
Biauw Leng Hosiang tak dapat dihindarkan sudah mengenai pundak Hai Kong Hosiang
hingga hwesio ini berteriak keras sekali lalu roboh!
Apa bila
orang lain yang terkena totokan kebutan Biauw Leng Hosiang yang dilakukan
dengan tenaga lweekang yang kuat, maka nyawanya tentu melayang. Hai Kong
Hosiang bukan orang lemah dan tubuhnya sudah memiliki kekebalan sehingga ia
hanya menderita luka dalam yang tak membahayakan jiwanya. Akan tetapi, totokan
itu cukup hebat untuk merobohkannya sehingga untuk beberapa lama dia hanya
duduk bersila sambil mengatur napasnya untuk menyembuhkan atau setidaknya
meringankan luka di pundaknya yang menembus hingga dadanya.
”Biauw Leng
Sute, kau sungguh bandel sekali!” tiba-tiba terdengar teriakan suara wanita dan
tahu-tahu Biauw Suthai wanita pertapa dari Hoa-san yang bermuka laksana pantat
kuali dan matanya sebelah kanan buta ini, tahu-tahu telah berada di ruangan
itu, tangan kiri memegang hudtim dan tangan kanan memegang pedang.
Bukan main
terkejutnya Biauw Leng Hosiang melihat suci-nya telah berada di situ! Hal ini
sama sekali tidak pernah diduganya.
Sebenarnya,
setelah menegur adik seperguruannya yang sesat itu pada saat Biauw Leng Hosiang
menjatuhkan Cin Hai, Biauw Suthai segera pergi. Akan tetapi ia masih merasa
curiga pada adik seperguruannya yang sudah berkali-kali melakukan pelanggaran
aturan perguruan mereka dan berkali-kali dia tegur karena menjalankan kejahatan
itu. Maka dia lalu mengikuti adik seperguruannya itu secara diam-diam.
Alangkah
marahnya ketika melihat betapa Biauw Leng Hosiang mengadakan pertemuan lagi
dengan para perwira Sayap Garuda, bahkan bersama lima orang perwira menyerbu ke
Goa Tengkorak itu. Dia terus mengikuti ke mana mereka pergi dan sesudah melihat
betapa sute-nya mengeroyok dan merobohkan Hai Kong Hosiang, ia langsung
menyerbu masuk dan telah mengambil keputusan tetap untuk menghajar sute-nya
yang tersesat.
“Biauw-suci,
kau lagi-lagi menghalang-halangi maksud dan sepak terjangku. Sebenarnya ada
sangkut paut apakah segala perbuatanku dengan kau orang tua?” kata Biauw Leng
Hosiang yang mulai memberontak dan hendak melawan karena dia dapat mengandalkan
bantuan kelima perwira yang kosen itu.
“Biauw Leng!
Apakah kau sudah melupakan sumpahmu kepada mendiang Suhu dahulu? Percuma saja
kau menjadi pendeta apa bila kau selalu melanggar pantangan kita dan melakukan
perbuatan-perbuatan sesat. Kau tentunya masih ingat bahwa di antara segala
pantangan, Suhu almarhum paling benci melihat orang membela kaisar lalim dan
menjadi anjing penjilat. Telah berkali-kali kau kuperingatkan dan selalu aku
masih bersabar sebab mengingat hubungan kita sebagai saudara seperguruan. Akan
tetapi tetap saja kau selalu melanggar. Sekarang, marilah kau ikut aku untuk
mengadakan sumpah di depan makam Suhu!”
“Biauw-suci
kau sungguh terlalu! Mengingat bahwa kau dulu sering melatih dan memberi
pelajaran kepadaku, maka aku selalu mengalah saja terhadapmu. Tapi kau jangan
terlalu mendesak! Ingat, seekor semut pun akan membalas dengan gigitan dan akan
melawan jika diinjak, apa lagi aku sebagai manusia. Kau pulanglah, Suci yang
baik dan janganlah kau mempedulikan lagi diriku. Aku bukan anak kecil!”
Wajah Biauw
Suthai yang sudah buruk itu semakin memburuk dan matanya yang tinggal satu di
sebelah kiri itu mengeluarkan cahaya kilat tanda bahwa dia marah sekali. Biauw
Leng Hosiang maklum akan hal ini dan sebenarnya ia menjadi takut dan jeri juga,
akan tetapi ia segera memberi tanda kepada kelima perwira itu.
“Biauw Leng,
lepaskan senjatamu dan kau berlutut!” perintah Biauw Suthai yang tiba-tiba
mengeluarkan sebuah hudtim berbulu merah dari pinggangnya.
Biauw Leng
Hosiang terkejut melihat ini, karena ia ingat bahwa kebutan ini adalah milik
mendiang suhu mereka dan yang apa bila dikeluarkan, berarti bahwa hukuman mati
akan dijatuhkan kepada seorang murid yang murtad! Kini Biauw Suthai sudah
mengeluarkan kebutan merah ini dan jika ia tidak berlutut minta ampun, ia pun
tentu akan dihukum mati oleh suci-nya sendiri!
Akan tetapi,
Biauw Leng Hosiang dapat menetapkan hatinya dan setelah memberi tanda kepada
kawan-kawannya, mereka berenam lalu maju menyerbu dan menyerang Biauw Suthai.
Cin Hai
pernah ditolong oleh Biauw Suthai, yaitu ketika dia dirobohkan oleh Biauw Leng
Hosiang, maka dia merasa bersimpati kepada tokouw ini. Apa lagi kalau dia ingat
bahwa tokouw yang buruk rupa ini adalah guru dari Lin Lin, maka dia tidak dapat
lagi menahan hatinya melihat tokouw itu dikeroyok enam! Ia memegang erat-erat
tulang paha manusia yang masih dipegangnya pada saat ia pergi bersembunyi, lalu
ia meloncat keluar sambil berteriak,
“He, kawanan
Sayap Garuda! Jangan berlaku pengecut dan curang dengan keroyokan!”
Ang I Niocu
terkejut sekali melihat sepak terjang Cin Hai. Dia maklum bahwa kepandaian Cin
Hai masih terlampau lemah untuk melayani orang-orang berilmu tinggi itu, maka
dia lupa akan perintah Bu Pun Su tadi dan meloncat keluar pula mengejar Cin Hai
sambil berseru,
“Hai-ji,
hati-hati!”
Biauw Leng
Hosiang terkejut melihat bahwa ternyata di ruangan itu telah ada orang yang
datang dan bersembunyi, akan tetapi dia tak berdaya karena Biauw Suthai
mendesaknya dengan hebat! Terpaksa ia melawan sekuat tenaga.
Sementara
itu, ketika melihat keluarnya seorang pemuda dengan tulang di tangan, untuk
sejenak kelima perwira Sayap Garuda tertegun. Kemudian sesudah Ang I Niocu
keluar mereka maklum bahwa pihak musuh bertambah, maka dua orang di antara
mereka lalu menyambut Cin Hai dan Ang I Niocu.
Cin Hai
melawan dengan tulang itu sambil mengeluarkan ilmu silat yang sudah pernah ia
pelajari. Oleh karena ternyata bahwa lawannya cukup tangguh maka ia lalu
mencampur-adukkan Ilmu Silat Liong san Kun-hoat! Dengan ilmu silat campuran ini
ternyata Cin Hai dapat mengimbangi kepandaian Perwira Sayap Garuda itu.
Ada pun
perwira yang bertanding melawan Ang I Niocu, dalam beberapa gebrakan saja sudah
menjadi sibuk dan dibingungkan oleh ilmu pedang Dara Baju Merah yang bagaikan
menari-nari di depannya itu!
Melihat
betapa kini perwira ini terancam oleh bahaya pedang di tangan Ang I Niocu yang
gagah, dua orang perwira maju pula mengeroyok Ang I Niocu yang masih tetap
gagah dan bahkan nampak gembira sekali dikeroyok tiga! Selain menghadapi ketiga
lawannya, nona ini juga berusaha mendekati Cin Hai sehingga dapat bersiap sedia
membela serta menolong pemuda itu apa bila sampai terdesak dan berada dalam
bahaya.
Sementara
itu, karena kini yang mengeroyoknya hanya Biauw Leng Hosiang dan seorang
perwira saja, Biauw Suthai dapat mendesak adik seperguruannya dengan hebat
sekali. Suatu saat dia mengeluarkan seruan keras sekali dan kebutan merah yang
dipegangnya telah dipakai menghantam dan tepat mengenai dada kiri Biauw Leng
Hosiang! Hwesio ini mengeluarkan jeritan ngeri dan roboh sambil muntah darah
dan tewas seketika itu juga!
Semua
perwira merasa amat terkejut dan melompat mundur dengan wajah pucat. Melihat
betapa orang yang mereka andalkan sudah tewas, maka mereka tidak berani
bertempur lagi.
Ketika
melihat sute-nya rebah di atas lantai batu dan telah binasa, tiba-tiba Biauw
Suthai menubruk sambil menangis tersedu-sedu!
“Sute… Sute…
mengapa kau mencari kematian di tanganku?” Tokouw iin berkeluh-kesah dengan
suara memilukan.
Biauw Suthai
lantas menghampiri Hai Kong Hosiang yang masih duduk meramkan mata untuk
mengobati luka di dalam dadanya. Tokouw ini menggunakan tangannya menepuk
pundak Hai Kong Hosiang yang terluka hingga hwesio ini merasa betapa totokan
Biauw Leng tadi dapat dipunahkan dan lukanya menjadi berkurang sakitnya.
“Hai Kong
Hosiang, kau maafkan Sute-ku yang telah menebus dosanya dengan jiwanya.”
Hai Kong
Hosiang hanya mengangguk, kemudian hwesio ini pergi meninggalkan tempat itu.
Biauw Suthai kemudian mengangkat sute-nya dan sambil memondong tubuh yang tak
bernyawa lagi itu, ia hendak meninggalkan goa.
Akan tetapi
Cin Hai melangkah maju dan sambil memberi hormat dia bertanya, “Suthai yang
mulia, mohon tanya tentang keadaan Adikku Lin Lin. Bukankah dia muridmu?”
Biauw Suthai
memandang heran kepada Cin Hai dan bertanya, “Ehh, anak muda yang berani, kau
siapakah?”
“Suthai
tentu sudah lupa kepada anak kecil yang dulu bersama dengan Lin Lin ketika kau
mencu... ehhh… membawanya pergi!”
Biauw Suthai
teringat akan anak gundul itu, “Hm, ia baik... ia baik…” Lalu ia pergi sambil
memondong jenazah sute-nya!
Kelima
Perwira Sayap Garuda itu pun pergi dengan cepat karena tanpa pembantu yang
pandai, mereka merasa jeri menghadapi Ang I Niocu yang kelihaiannya tadi telah
mereka kenal.
Ang I Niocu
juga tidak mau mengejar karena sebenarnya nona ini sedang merasa kuatir sekali
akan mendapat teguran dari susiok-couw-nya karena sudah berani-berani keluar
dari tempat persembunyiannya. Oleh karena ini, sebelum ia menerima teguran ia
segera membetot tangan Cin Hai dan bersama pemuda itu segera menjatuhkan diri
berlutut di situ sambil berkata,
“Susiok-couw,
mohon dimaafkan kelancangan teecu berdua dan kami bersedia menerima hukuman!”
Akan tetapi
tidak terdengar jawaban apa-apa. Ada pun Cin Hai merasa sangat tidak puas
melihat sikap nona itu yang agaknya sangat takut terhadap Bu Pun Su. Pemuda ini
lalu mengangkat kepala dan bukan main heran dan terkejutnya ketika melihat yang
berada di depannya, telah berdiri seorang yang aneh sekali.
Orang ini
bertubuh pendek sekali, barang kali sama tingginya dengan seorang anak-anak
berusia sepuluh tahun. Kedua matanya bundar besar melirik kian ke mari tiada
hentinya seperti mata sebuah boneka mainan, kedua telinganya lebar sekali
laksana telinga gajah, sedangkan mulutnya berbibir tebal. Ia memakai jubah
panjang yang menggantung hingga ke tanah dan yang mencolok sekali adalah warna
jubah ini yang hitam sekali.
“Eh, siapa
orang kate ini?” Tak terasa pula Cin Hai bangun dari tanah karena ia tidak sudi
berlutut di depan orang kate itu.
Ang I Niocu
juga menengok dan terkejutlah dia, terkejut sebab mengingat betapa lihainya
orang ini yang dapat datang ke sana tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
Bahkan dia sendiri dalam berlutut tadi tidak mendengar suara kaki orang, tetapi
tahu-tahu orang kate ini telah berdiri di depannya.
Ketika ia
bangun dan memandang, ia memperhatikan jubah orang kate itu maka kagetlah Ang I
Niocu. Ia dapat mengetahui bahwa orang aneh ini tentulah Hek Moko Si Iblis
Hitam yang telah terkenal sekali sebagai seorang jago tua yang sukar dapat
dicari tandingannya di dunia kang-ouw bagian barat!
Ang I Niocu
kemudian mengangkat kedua tangan di dada dan menjura sambil berkata, “Locianpwe
kami yang muda memberi hormat.”
Tiba-tiba
Hek Moko tertawa dan suara ketawanya ini kalau didengar di dalam gelap tanpa
terlihat orangnya, tentu akan disangka orang suara setan. Suara ketawanya
mula-mula rendah sekali bagaikan suara kodok besar, lalu perlahan-lahan
meninggi menjadi nyaring dan kecil. Tiba-tiba Hek Moko menahan tawanya karena
mendengar Cin Hai juga tertawa geli.
“Pemuda
tolol! Kau siapakah? Kau ini apanya Ang I Niocu?” Hek Moko bertanya dengan
kata-kata kasar sedangkan kedua matanya berputar-putar.
Cin Hai
tidak menjawab tetapi bahkan tertawa semakin geli dan keras. Ketika tadi
melihat bentuk dan rupa Hek Moko, ia telah merasa ngeri bukan main, apa lagi
melihat sepasang telinganya. Ketika Ang I Niocu berbicara kepada Hek Moko dan
menyebutnya locianpwe (orang tua gagah), dia merasa semakin geli karena
alangkah ganjilnya menyebut seorang yang tingginya hanya sama dengan tinggi
pinggangnya dengan sebutan locianpwe.
Kemudian,
ketika Hek Moko tertawa dengan suara yang menyeramkan dan lucu itu, dia melihat
betapa telinga gajah itu bergerak-gerak bagaikan telinga gajah yang benar-benar
digerak-gerakkan untuk mengipas tubuh. Maka pemuda ini tidak dapat lagi menahan
rasa geli di hatinya dan tertawa keras. Kini melihat Hek Moko mengajukan
pertanyaan sambil memutar-mutar kedua matanya, Cin Hai makin geli dan
tertawanya makin keras pula.
”Hai, tolol!
Kenapa kau tertawa?” Hek Moko membentak dengan muka heran.
“Kakek kate,
aku tertawa mendengar kau tertawa!”
Hek Moko
melengak dan menggerakkan kepalanya ke belakang. Belum pernah selama ia
merantau ada orang berani mentertawakan suara tawanya!
“Tolol!
Hati-hatilah menjaga lidahmu. Mengapa kau tertawakan aku?”
Melihat
sikap Hek Moko, Cin Hai tahu bahwa orang ini marah, maka dia berkata, “Orang
tua, orang baru tertawa kalau hatinya senang. Kau tadi tiada hujan tiada angin
tertawa, tentulah berarti kau senang bertemu dengan kami. Aku pun menjadi
senang dan tertawa juga, apa salahnya? Eh, kakek kate, tahukah kau akan sebuah
ujar-ujar tentang tertawa?”
Kembali Hek
Moko tertegun. Ia kuatir kalau-kalau anak muda ini sedang mempermainkan
dirinya, akan tetapi dia juga ingin sekali tahu apakah ujar-ujar tentang
tertawa itu. “Coba kau ceritakan, aku belum mendengar,” jawabnya dengan dua
mata tetap berputar-putar.
Cin Hai lalu
mendongakkan kepala dan dengan suara sungguh-sungguh menirukan suara dan lagak
gurunya yang dulu mengajarnya sastera,
“Mati
diantar tangis, lahir disambut tawa. Namun bagaimanakah sikap orang bijaksana?
Kurangi tangis dan perbanyaklah tawa!”
“Bagus,
bagus, bagus!” Hek Moko memuji dan dia tertawa lagi. Lenyaplah rasa marahnya
yang tadi karena menyangka bahwa Cin Hai mempermainkannya.
“Dan
kenapakah kau tertawa, orang tua yang aneh dan lucu?” tanya Cin Hai sedangkan
Ang I Niocu terheran-heran melihat keberanian Cin Hai yang bercakap-cakap
dengan kakek itu bagaikan dua orang sahabat baik sedang mengobrol!
“Kenapa aku
tertawa? Ha-ha-ha! Siapa takkan tertawa melihat Bu Pun Su jembel tua itu begitu
malas! He, Bu Pun Su, benar-benarkah kau begitu malas dan memandang rendah
kepadaku hingga masih terus mendengkur dan tidak mau keluar menyambut?”
Tiba-tiba
orang kate ini mengebutkan jubahnya yang hitam dan angin besar menyambar ke
arah salah satu tengkorak sehingga tengkorak yang dikebutnya itu
bergoyang-goyang seakan-akan hendak roboh!
“Hek Moko,
kau jangan terlalu sheji (malu-malu). Suruhlah Pek Moko masuk juga!” Tiba-tiba
terdengar suara Bu Pun Su, akan tetapi Cin Hai benar-benar tidak tahu dari mana
datangnya suara itu, seakan-akan ada beberapa orang yang bicara dari berbagai
penjuru!
Ternyata
dalam kata-katanya ini Bu Pun Su telah mendemonstrasikan kehebatan tenaga
khikang-nya yang sudah dapat mengirim suaranya ke berbagai tempat dan biar pun
dia tidak meninggalkan goa itu, namun dia telah tahu bahwa Hek Moko datang
bersama Pek Moko.
Hek Moko
diam-diam memuji dan dia lalu mengeluarkan suara bersuit yang nyaring dan tajam
menyakitkan anak telinga. Dari luar goa terdengar pula suara suitan yang sama
bunyinya dan sebelum gema suara suitan itu lenyap, dari luar goa menyambar
sinar putih dan tahu-tahu Cin Hai melihat seorang yang tidak kalah anehnya
berdiri di hadapan Hek Moko!
Orang yang
baru datang itu adalah Pek Moko Si Iblis Putih. Tubuhnya tinggi besar akan
tetapi anggota mukanya kecil-kecil, bahkan matanya hanya berupa dua garis
melintang panjang sedangkan daun telinganya hampir tak tampak karena kecilnya!
Hek Moko dan
Pek Moko adalah sepasang saudara seperguruan yang sudah terkenal sekali di
dunia kang-ouw, terutama di daerah barat. Mereka datang dari sebelah selatan
Tibet dan memiliki kepandaian silat yang luar biasa tingginya. Walau pun
tubuhnya kate, tetapi Hek Moko adalah saudara tua dan Pek Moko sute-nya.
Kalau Hek
Moko selalu mengenakan jubah warna hitam, Pek Moko selalu mengenakan jubah
warna putih bersih. Oleh karena warna jubahnya inilah maka mereka disebut Iblis
Hitam dan Iblis Putih, sedangkan nama asli mereka sudah dilupakan orang.
Berbareng
dengan datangnya Pek Moko, maka Bu Pun Su juga muncul keluar dari balik
tengkorak. Kakek tua ini berjalan dengan tindakan perlahan dan
bermalas-malasan.
“Kalian
Iblis Hitam dan Iblis Putih, sesudah lebih dari lima belas tahun tidak
berjumpa, kepandaianmu makin meningkat saja. Kalian jauh-jauh dari barat menuju
ke sini, apakah juga silau oleh gemerlapnya emas dan perak?” Bu Pun Su berkata
sesudah berhadapan dengan mereka.
“Bu Pun Su
kakek jembel, kau benar-benar panjang umur! Tak kuduga kau masih hidup. Apakah
kali ini kau pun hendak menjadi perintang bagi kami berdua saudara?” tanya Hek
Moko sambil memutar-mutar matanya.
“Hek Moko,
jangan berbicara seperti anak kecil. Kau tahu betul bahwa aku jembel tua bukan
manusia usilan. Asalkan kau tidak mengganggu orang, kenapa takut aku menjadi
perintang? Berbuatlah apa yang kau suka, aku tak akan peduli.”
Girang wajah
Hek Moko mendengar ucapan ini. Memang, semenjak tadi dia telah dapat melihat
kakek jembel yang lihai itu dan ia merasa jeri hingga diam-diam ia menyuruh Pek
Moko menunggu di luar untuk berjaga-jaga. Belasan tahun yang lampau, ia dan
sute-nya pernah bentrok dengan Bu Pun Su dan roboh dalam tangan orang tua lihai
itu sehingga mereka masih merasa jeri dan ragu-ragu untuk memusuhi orang tua itu.
“Ha-ha-ha,
bagus, Bu Pun Su!” Kemudian Hek Moko berpaling kepada Ang I Niocu dan Cin Hai.
“Hai, kau Nona cantik dan anak muda yang aneh. Kalian tadi sudah mendengar
kata-kata Bu Pun Su si Kakek Jembel? Nah, kalian menjadi saksi!”
Setelah
berkata demikian, Hek Moko segera melangkah maju menghampiri hiolouw besar yang
berdiri di tengah kamar di balik pintu itu. Ia membungkuk dan menggunakan
tangan untuk menggeser hiolouw yang beratnya seribu kati itu. Hiolouw itu
bergerak dan tergeser dengan mudah! Di bawah hiolouw itu ternyata terdapat
sebuah lubang yang cukup besar.
Hek Moko
menjenguk dan dia segera meloncat sambil memperdengarkan suara tawanya yang
aneh. Sementara itu, Pek Moko yang juga ikut menjenguk melihat keadaan lubang,
lalu membalikkan tubuh dan memandang ke arah Bu Pun Su. Kedua kakak beradik
yang aneh itu berdiri bagaikan patung dan memandang ke arah Bu Pun Su yang
masih berdiri tak mengacuhkan sama sekali.
“Bu Pun Su
tua bangka menyebalkan! Kembali kau mempermainkan kami!” Pek Moko berseru dan
suaranya juga kecil dan tinggi, tidak sesuai dengan tubuhnya yang besar.
“Biarlah
sekali lagi kami mencoba-coba kelihaianmu!” teriak Hek Moko dan tiba-tiba Iblis
Hitam ini menggunakan kedua tangannya memegang kaki hiolouw dan sekali ayun
saja hiolouw itu melayang ke arah Bu Pun Su!
Cin Hai
merasa terkejut dan ngeri sekali. Ia dan Ang I Niocu berdiri di dekat Bu Pun Su
sehingga hiolouw itu tidak hanya mengancam Si Kakek Jembel saja, tetapi juga
sekaligus mengancam mereka berdua!
Hiolouw
raksasa itu begitu berat sehingga sebelum datang, anginnya sudah menyambar ke
arah mereka. Benda kuno itu beratnya seribu kati lebih, kini dilontarkan dengan
tenaga raksasa sehingga dapat dibayangkan betapa hebat jika tertimpa hiolouw
terbang ini!
Akan tetapi
di hadapan Ang I Niocu dan Bu Pun Su, Cin Hai tidak mau memperlihatkan sikap
takut atau ngeri. Karena itu dia tidak meloncat pergi untuk menghindarkan diri
dari serangan hiolouw, hanya berdiri dengan urat-urat seluruh tubuhnya menegang
dan mata terbelalak.
Biar pun telah
memiliki kepandaian tinggi, namun Ang I Niocu mengerti bahwa tenaganya masih
belum cukup untuk menyambut datangnya hiolouw, maka dia hanya bersiap untuk
menolak benda itu ke samping apa bila jatuhnya menimpa dia atau Cin Hai. Gadis
ini tentu saja cukup tahu diri dan tidak bergerak karena di situ terdapat kakek
gurunya, takut kalau-kalau dianggap lancang tangan.
Akan tetapi,
alangkah heran dan terkejutnya Cin Hai ketika melihat bahwa Bu Pun Su yang
berdiri miring agaknya sama sekali tidak mempedulikan datangnya hiolouw yang
menyambar ke arah dirinya! Keringat dingin mulai keluar membasahi jidat pemuda
ini, karena betapa tabah pun hatinya, menghadapi bahaya maut di depan mata
tanpa kuasa menghindarkannya membuat ia merasa cemas sekali.
Ketika
hiolouw itu menyambar dekat sekali hingga Ang I Niocu telah mengangkat kedua
tangan hendak menolak benda itu ke samping, tiba-tiba Bu Pun Su melangkah maju
dua langkah dan ia menyambut hiolouw itu dengan kepalanya! Heran sekali, pada
waktu kaki hiolouw itu menimpa kepalanya maka kepala Bu Pun Su seolah-olah besi
sembrani yang menarik hiolouw itu sehingga kaki hiolouw menempel pada kulit
kepala dan berdiri lurus tanpa bergoyang-goyang sedikit pun. Hiolouw itu kini
terletak di atas kepala Bu Pun Su, seakan-akan benda yang ringan dan yang
diletakkan dengan hati-hati di atas kepala!
Tidak hanya
Cin Hai yang tanpa terasa lagi terpaksa meleletkan lidah saking kagum dan
herannya, akan tetapi Ang I Niocu juga memandang dengan mata kagum karena baru
sekarang ia menyaksikan sucouw-nya mendemonstrasikan kekuatan lweekang-nya yang
tak terbatas tingginya itu. Kedua Iblis Hitam Putih juga tertegun.
Terdengar
kakek tua itu tertawa ha-ha hi-hi, lantas berkata dengan suara lemah lembut,
“Hek Pek Moko, hiolouw adalah benda suci tempat orang memuja dan bersembahyang,
maka harus dihormati. Apa lagi benda ini umurnya telah ribuan tahun, jauh lebih
tua dari pada kalian atau aku, maka tidak boleh kita merusakkannya. Baiknya kau
melemparkan dengan hati-hati dan tidak sampai menumpahkan isinya. Kalau tidak,
tentu aku tak akan mengampunimu, Hek Moko!”
Sesudah
berkata demikian, Bu Pun Su dengan hiolouw masih berdiri di atas kepala lalu
berjalan seenaknya menuju ke tempat di mana hiolouw itu tadi berdiri. Hek Moko
dan Pek Moko melangkah ke kanan kiri dan kedua iblis ini segera bergerak cepat.
Mereka
memang maklum bahwa kepandaian Bu Pun Su masih jauh lebih tinggi dari pada
kepandaian mereka sendiri dan biar pun mereka mengeroyoknya, belum tentu mereka
akan berhasil merebut kemenangan. Akan tetapi, sekarang melihat bahwa kakek
jembel yang lihai itu sedang berjalan dengan kepala membawa beban yang berat
sekali, mereka melihat keuntungan bagus.
Untuk bisa
menahan beban seberat itu di atas kepala, orang harus mengerahkan tenaga lweekang-nya
dan meski pun tenaga lweekang kakek itu sangat hebat, namun sedikitnya harus
mempergunakan tenaga itu tiga perempat bagian untuk dapat membawa hiolouw di
atas kepala. Dan keadaan ini tentu saja amat menguntungkan mereka, maka mengapa
tidak mempergunakan kesempatan baik ini?
Biar pun
mereka tidak menyatakan isyarat sesuatu, namun jalan pikiran mereka agaknya tak
berbeda jauh karena ketika Bu Pun Su berjalan lewat di dekat mereka, tiba-tiba
saja keduanya lalu mengayun tangan mengirim serangan dari kanan kiri! Serangan
kedua iblis ini lihai dan berbahaya sekali karena mereka tidak hanya bermaksud
untuk main-main. Hek Moko dari kiri menyerang dengan tangan kanan dimiringkan
dan menampar jalan darah di leher, sedangkan Pek Moko dari kanan menggunakan tangan
kiri menotok urat kematian di iga belakang!
Ang I Niocu
mengeluarkan jerit tertahan sedangkan Cin Hai berseru, “Sungguh curang!”
Akan tetapi
dengan tenang sekali Bu Pun Su menggerakkan kepalanya dan hiolouw itu terlempar
ke atas dan pada saat yang hanya sekejap itu dia sudah mementang kedua
lengannya dengan jari tangan terbuka kemudian mendahului mengirim totokan ke
arah pergelangan tangan kedua iblis yang memukulnya!
Bukan main
kagetnya Hek Moko dan Pek Moko karena mereka tak menduga sedikit pun bahwa Bu
Pun Su mempunyai kecepatan tangan sedemikian rupa. Kalau saja mereka tetap
meneruskan serangan mereka, maka sebelum pukulan tangan mereka mengenai
sasaran, tentu terlebih dahulu pergelangan tangan mereka akan tertotok.
Cepat mereka
menarik kembali tangan mereka untuk disusul dengan serangan lainnya! Mereka
berpikir bahwa kali ini Si Jembel Tua itu tak akan dapat menyelamatkan diri
lagi, karena serangan tidak hanya datang dari mereka yang menyerang dari kanan
kiri tetapi juga dari atas, karena hiolouw yang tadi terlempar ke atas kini
melayang turun lagi akan menimpa kepala Bu Pun Su!
Kini Ang I
Niocu tak terasa lagi berseru, “Celaka!”
Tubuhnya
merupakan bayangan merah segera berkelebat ke arah tempat pertempuran,
sedangkan Cin Hai lalu membungkuk untuk memungut kembali sepotong tulang
raksasa yang tadi telah dilepaskan ke tanah!
Kini Hek
Moko menyerang dengan pukulan ke arah dada dan Pek Moko menyerang dari atas ke
arah kepala Bu Pun Su! Sementara itu, hiolouw yang berat itu semakin cepat
meluncur ke bawah hendak menimpa kepala kakek jembel itu sehingga anginnya
telah membuat rambut kakek itu berkibar.......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment