Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 19
CIN HAI
terus maju dengan hati-hati sekali, pedang Liong-coan-kiam siap di tangan sebab
dia tidak tahu apa yang akan muncul di tempat yang belum pernah terinjak oleh
kaki manusia itu. Akhirnya dia tiba juga di suatu tempat yang merupakan lereng
yang curam dan yang tegak ke atas. Ketika dia memandang ke atas ternyata di
atas penuh dengan halimun dan mengira-ngira di mana kiranya Kwee An dan Ma Hoa
terjatuh.
Ketika ia
maju sedikit ia melihat banyak goa di lereng itu, besar-besar dan gelap.
Hatinya berdebar amat keras. Boleh jadi sekali orang aneh yang telah mengirim
surat itu tinggal di salah sebuah di antara goa-goa ini!
Ia lalu
meneliti setiap goa dan memeriksa tanah lembek di depan goa. Kalau goa itu ada
orangnya, pasti ia akan melihat tapak kaki di depan goa itu, karena betapa pun
tinggi ilmu ginkang seseorang, kalau menginjak tanah lembek itu pasti
meninggalkan bekas. Setelah meneliti dan memeriksa beberapa buah goa, akhirnya
ia berseru perlahan.
Di depan goa
yang besar dan gelap, ia melihat kaki manusia! Ketika ia memeriksa lebih
teliti, hatinya tergoncang karena tapak kaki itu demikian tipisnya, seakan-akan
tanah itu hanya disentuh saja oleh orang yang berjalan di atasnya.
Ia kemudian
mengerahkan ginkang-nya dan berjalan di dekat tapak-tapak kaki itu dengan
ringan sekali. Akan tetapi ia melihat, ternyata bahwa tapak kakinya lebih dalam
dari pada tapak kaki yang dilihatnya itu. Dari sini dapat dia menduga bahwa
ilmu ginkang orang itu ternyata lebih tinggi dari pada ginkang-nya sendiri!
Cin Hai
berlaku makin berhati-hati karena dia tahu bahwa orang itu tentu seorang yang
memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur sampai di mana tingginya dan ia
belum tahu pula apakah orang itu kawan atau lawan. Ia segera membuat api dari
kayu kering, dan dengan sebatang obor menyala yang dibuatnya dari pada
alang-alang yang sudah kering, ia lalu memasuki goa itu, obor di tangan kiri
dan Liong-coan-kiam di tangan kanan.
Goa itu
ternyata lebar dan dalam sekali. la melihat beberapa buah batu hitam licin yang
halus permukaannya hingga dapat dibuat duduk orang, maka semakin keras
dugaannya bahwa di situ tentu pernah tinggal seorang manusia atau pertapa. Akan
tetapi, selain batu-batu itu, tidak terdapat benda lain, juga tidak nampak
seorang pun di dalam goa.
la menjadi
kecewa dan tiba-tiba saja kepalanya tertumbuk pada sebuah batu kecil yang
ternyata tergantung di atas langit-langit goa. Ia mengangkat obornya ke atas
dan betapa girangnya ketika melihat bahwa batu kecil yang tertumbuk oleh
kepalanya itu ternyata adalah sepotong batu karang yang diikat dengan tali,
persis seperti yang dahulu dipakai untuk membelit kaki Sin-kong-ciak!
Dia tidak
ragu-ragu lagi. Di sinilah tempat orang aneh yang berahasia itu. Dia memeriksa
semakin teliti dan ketika ia mengangkat obornya ke sebelah kiri, ia melihat
corat-coret di atas dinding tanah batu itu. Dia segera menghampiri dan ternyata
bahwa corat-coret itu merupakan lukisan orang dalam berbagai posisi yang jelas
menggambarkan orang yang sedang bermain silat!
Di sana-sini
terdapat tulisan-tulisan dan ketika ia membaca tulisan itu, ia menjadi tertarik
sekali karena tulisan-tulisan itu merupakan ujar-ujar dari Khongcu yang diambil
dari kitab Tiong-yong! Di antara sekian banyaknya ujar-ujar yang ditulis di
atas dinding itu, dengan gaya tulisan yang persis sama seperti yang dituliskan
di atas kertas yang terbawa oleh kaki Sin-kong-ciak, ia tertarik akan sebuah
ujar-ujar yang dulu pernah dia pelajari dari Kui Sianseng, gurunya yang suka
memukul kepalanya itu. Ujar-ujar ini demikian bunyinya,
Kou Kuncu
Put Kho-i Put Siu-sin. Su siu-sin Put kho-i Put Su-jin. Su Su-jin Put-kho-i
Ti-jin. Su Ti-jin, Put Kho-i Put Ti Thian!
Ia teringat
kepada Kui Sianseng yang memecahkan arti ujar-ujar tersebut sebagai berikut,
‘seorang
Budiman seharusnya menyempurnakan diri (batin dan pikiran) pribadi. Untuk dapat
menyempurnakan diri pribadi, tak dapat tidak harus mencinta dan berbakti kepada
ayah bunda. Untuk dapat mencinta dan berbakti pada ayah bunda, tak dapat tidak
harus mengetahui tentang peri kemanusiaan. Dan untuk dapat mengetahui tentang
peri kemanusiaan, tak dapat tiada ia harus mengetahui tentang Ketuhanan.”
Setelah
membaca ujar-ujar yang dulu sering dihafalkan itu, tiba-tiba saja Cin Hai
berdiri bengong karena ia teringat kepada ayah bundanya dan ingat pula bahwa ia
belum juga mencari kuburan mereka! Sampai lama juga ia berdiri diam tak
bergerak hingga setelah api obornya padam, barulah ia sadar dan segera keluar
dari goa itu oleh karena merasa malu dan tidak enak hati untuk berdiam lebih lama
dalam tempat kediaman orang lain tanpa seijin tuan rumah!
Ia terus
mencari hingga sehari penuh ia keluar masuk goa untuk mencari jejak Kwee An dan
Ma Hoa. Akan tetapi jangankan orangnya, bayangannya pun tidak dilihatnya!
Cin Hai
merasa kecewa, akan tetapi ia juga merasa lega karena tidak melihat bukti-bukti
bahwa dua orang yang dikasihinya itu telah tewas! Karena, andai kata keduanya
terjatuh dan terbanting mati di situ, tentu ia akan melihat tanda-tanda atau
bekas-bekasnya.
Karena hari
telah mulai gelap, maka Cin Hai lalu memasuki goa yang penuh tulisan dan
lukisan itu lagi untuk bermalam. Dia anggap bahwa goa itu paling bersih dan
paling baik, tidak mengandung hawa dan bau yang tidak enak seperti goa lainnya,
dan lagi pula, ada kemungkinan penghuni goa itu datang sehingga dia dapat
bertemu dengannya! Dia ingin sekali bertemu dengan ahli ujar-ujar Khongcu ini
yang sudah mengirim berita ketika dia berada di atas dengan Lin Lin dan dia
merasa yakin bahwa penulis surat itu tentu tahu akan nasib Kwee An dan Ma Hoa!
Karena
merasa asing di dalam goa seorang diri, maka Cin Hai lalu menyalakan api lagi
dan memeriksa lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan di dinding itu. Ternyata
lukisan-lukisan itu mengandung pelajaran ilmu silat yang aneh dan tinggi. Akan
tetapi sebagai seorang berjiwa gagah, Cin Hai tidak mau mencuri dan mempelajari
ilmu silat orang lain, maka ia lalu mengalihkan perhatian pada tulisan-tulisan
dan ujar-ujar yang selalu menarik hatinya.
Mendadak dia
melihat lukisan-lukisan yang mengerikan, yaitu sebuah tengkorak, sebuah tubuh
manusia dengan segala macam kekotorannya, dan sebuah muka yang amat jahat,
sejahat-jahatnya bagaikan setan sendiri memperlihatkan muka!
Dan di bawah
tiga buah lukisan aneh itu, terdapat syair yang sangat menarik hatinya. Dia
lalu membaca dengan penuh perhatian,
Alangkah
buruk nasibku! Aku dipaksa untuk tinggal di tubuh hina. Dikurung dalam segala
kerendahan jasmani! Diliputi oleh segala kepanasan hawa nafsu!
Hanya satu
hiburan bagiku. Akan tiba saatnya aku pergi meninggalkan semua keburukan ini.
Dan kembali ke tempat asal, kembali ke tempat suci!
Sekali lagi
Cin Hai dibikin bengong dan termenung membaca syair yang penuh arti ini. Ia
maklum dan dapat merasakan bahwa syair ini merupakan rintihan jiwa atau roh
manusia, bukan penulis syair itu saja akan tetapi setiap manusia, termasuk dia
sendiri!
Ia lantas
bergidik memandang tengkorak itu yang tiba-tiba nampak menjadi tengkoraknya
sendiri, ngeri melihat tubuh dengan segala kekotoran itu, dan meremang bulu
tengkuknya melihat wajah mengerikan itu, wajah yang penuh diliputi nafsu-nafsu
jahat yang tiap saat menyerang batin manusia! Siapakah pelukis dan penyair ini?
Makin tertarik hatinya sebab ia merasa bahwa orang ini bukanlah orang
sembarangan.
Tiba-tiba
terdengar suara, “Ah… ah... uh... uh...!” yang keras di belakangnya dan secepat
kilat Cin Hai membalikkan tubuhnya.
Dia melihat
seorang tua kurus tinggi tahu-tahu sudah berdiri di pintu goa tanpa terdengar
olehnya. Orang itu kelihatan marah sekali dan tiba-tiba dia mengangkat tangan
kanannya lalu digerakkan ke arah Cin Hai.
Bukan main
terkejutnya Cin Hai sebab tiba-tiba dari tangan itu menyambar angin pukulan
yang keras sekali. Cin Hai cepat mengelak ke samping, akan tetapi angin pukulan
yang keras itu telah menyambar dan membikin padam api obor yang dipegangnya!
Di dalam goa
menjadi gelap sekali. Jangankan untuk melihat orang lain, memandang jari tangan
sendiri di depan mata pun tak kelihatan! Cin Hai maklum bahwa betapa pun tinggi
kepandaian seorang dan betapa pun tajam pandangan mata seseorang, namun, tanpa
ada sinar yang menerangi sama sekali, mata tidak akan ada gunanya lagi. Maka
dia lalu meraba-raba dan berdiri mepet dinding goa.
Ia mendengar
angin pukulan orang itu masih menyerang secara membabi buta. Ia pun maklum
bahwa meski angin pukulan itu akan dapat ditahannya dan takkan mencelakakan
dirinya karena ia pun memiliki tenaga lweekang cukup tinggi, namun apa bila ia
membuat gerakan, akan terdengar oleh orang itu dan jika orang itu menyerang
dengan nekad di dalam gelap, tentu mau tidak mau dia harus membalas dan
pertempuran di dalam gelap hanya dapat diakhiri dengan maut! Dan hal ini tidak
ia kehendaki, karena ia tidak punya permusuhan sesuatu dengan orang itu.
Ia pun tidak
berani membuka mulut, karena ia tidak tahu akan watak orang aneh itu. Ia hanya
menanti sampai orang itu membuka mulut, akan tetapi ternyata orang itu pun
tidak bicara sesuatu, hanya ah-ah-uh-uh seperti suara monyet!
Semalam itu
Cin Hai hanya duduk saja menyandar dinding dengan mengatur napas dan bersemedhi
karena hanya dengan jalan duduk diam begini dia dapat beristirahat sambil
mencurahkan perasaannya sehingga tak mudah diserang lawan secara diam-diam.
Pada esok
harinya, ketika sinar matahari mulai menerangi tempat itu, Cin Hai mendapat
kenyataan bahwa kakek itu tidak ada pula di tempat itu! Ia lalu berdiri dan
keluar dari goa dan ternyata bahwa kakek itu telah berdiri di depan goa sambil
bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan marah!
“Locianpwe,
mohon kau orang tua suka memberi maaf kepadaku kalau tanpa disengaja aku telah
mengganggu,” kata Cin Hai sambil menjura penuh hormat.
Akan tetapi,
orang tua itu dengan muka merengut, menggerak-gerakkan kedua tangannya
seolah-olah mengusir supaya Cin Hai lekas pergi dari situ sambil mulutnya
mengeluarkan suara, “Ah-ah uh-uh!” dan terkejutlah Cin Hai karena dia mendapat
kenyataan bahwa empek-empek itu ternyata adalah orang gagu!
“Locianpwe,
aku datang bukan dengan maksud jahat. Apakah kau orang tua yang sudah mengirim
surat yang diikatkan di kaki Sin-kong-ciak dulu itu?”
Kakek itu
menggeleng-gelengkan kepala dengan keras sehingga kembali Cin Hai tertegun
karena kalau bukan kakek ini, siapa lagi yang tinggal di tempat itu?
“Locianpwe,
kalau begitu, tolonglah kau memberi tahukan tentang dua orang muda yang terjun
di tempat ini dari atas!” kata lagi Cin Hai sambil menggerak-gerakkan kedua
tangan membantu kata-katanya agar lebih jelas bagi kakek gagu itu.
Akan tetapi
kembali kakek itu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil bersuara “ah-ah uh-uh”
tidak karuan dan tangannya semakin cepat bergerak mengusir Cin Hai karena dia
beberapa kali menuding ke arah bawah bukit.
“Locianpwe,
aku tidak akan turun sebelum mendapat keterangan kedua orang muda yang menjadi
kawan-kawanku itu,” kata Cin Hai sambil menggelengkan kepala.
Tiba-tiba
saja kakek itu menjadi marah dan sambil mengeluarkan seruan laksana seekor
binatang buas, dia menerkam Cin Hai dengan ilmu pukulan yang aneh dan cepat.
Cin Hai biar pun belum pernah melihat ilmu pukulan macam ini, namun
pandangannya yang awas dan pengertiannya yang mendalam dalam hal gerakan
pundak, tahu bahwa inilah ilmu silat seperti yang dilukiskan di dalam goa itu.
Ia cepat mengelak dan tidak mau membalas karena ingin tahu sampai di mana
kelihaian orang aneh ini.
Lima jurus
kakek itu menyerang dan semakin lama makin heranlah kakek itu dan jelas nampak
pada mukanya bahwa dia benar-benar merasa heran sekali karena serangannya itu
dapat dielakkan dengan mudah oleh Cin Hai. Cin Hai mendapat kenyataan bahwa
biar pun ilmu pukulan kakek itu hebat dan dalam hal keganasan tidak kalah
dengan ilmu silat Hek Pek Moko, namun tingkat kepandaian kakek ini masih belum
sangat tinggi dan juga ginkang kakek ini masih jauh dari pada sempurna.
Maka dia
segera maklum bahwa selain kakek gagu ini, tentu masih ada seorang lain yang
betul-betul tinggi dan sakti kepandaiannya. Mungkin kakek ini hanyalah kawan
atau murid saja dari orang pandai yang sebenarnya dan yang belum juga mau
memperlihatkan diri.
Sesudah
menyerang lagi lima jurus tanpa hasil, tiba-tiba kakek itu lalu berseru keras
dan melarikan diri ke atas bukit. Walau pun dalam hal ilmu silat Cin Hai masih
jauh lebih lihai dari padanya, namun ketika menyaksikan betapa kakek itu
mendaki bukit dengan cepat sekali bagaikan orang berlari di tanah datar saja,
diam-diam Cin Hai menjadi kagum sekali. Akan tetapi ia merasa menyesal dan
kecewa sekali karena pertemuannya dengan kakek gagu yang aneh ini pun tidak
menghasilkan sesuatu dan tentang Kwee An dan Ma Hoa masih tetap merupakan
teka-teki gelap baginya.
Dia mengejar
dan melompat ke atas sebuah batu besar, akan tetapi dia urungkan niatnya untuk
mengejar terus. Apa gunanya? Kalau pun dia dapat menyusul kakek itu, takkan ada
gunanya karena ia tak dapat mengajak kakek itu bercakap-cakap.
Ia berdiri
termenung di atas tempat yang tinggi itu dan tiba-tiba ia mendengar suara riuh
dari jauh. Ia segera memandang dan melihat betapa dari jurusan utara datang
sepasukan tentara yang panjang dan besar jumlahnya. Debu mengepul ke atas
ketika tanah yang kering terinjak oleh banyak kaki orang itu.
Tiba-tiba
dari jurusan selatan, nampak pasukan lain lagi. Pasukan ini tidak begitu
panjang akan tetapi pada bagian depan terdapat beberapa orang penunggang kuda
yang agaknya menjadi pemimpin pasukan itu. Juga debu mengepul hebat di bawah
kaki pasukan ini. Kedua pasukan itu agaknya hendak berperang, sebab
masing-masing membawa bendera yang berkibar dan keduanya bergerak maju untuk
saling bertemu.
Cin Hai
menjadi tertarik sekali, maka ia segera melompat turun dari batu karang, terus
lari pergi dari tempat itu. Dia mempergunakan jembatan bambu yang dibuatnya
kemarin dan setelah meninggalkan rawa itu, ia berlari cepat menuju ke tempat di
mana kedua pasukan bertemu.
Dan setelah
dia sampai di sana, terdengarlah sorak sorai yang hebat dan dibarengi suara
senjata beradu dan pekik manusia berperang. Cin Hai mendekati dan ketika dia
melihat bahwa yang sedang bertempur itu adalah pasukan kerajaan melawan pasukan
bangsa Mongol, dia segera menyerbu dan ikut membantu pasukan kerajaan. Melihat
orang-orang Mongol ini, dia teringat kepada Pangeran Vayami dan Ke Ce yang
menimbulkan benci di dalam hatinya.
Sebelum Cin
Hai datang, tentara kerajaan sedang terdesak oleh amukan tentara Mongol yang
dikepalai seorang panglima perang bangsa Mongol yang kosen sekali. Juga jumlah
mereka yang lebih besar membuat tentara kerajaan melawan dengan sia-sia dan
banyak korban jatuh di pihak mereka.
Akan tetapi
ketika Cin Hai menyerbu, di mana saja ia datang tentu pihak Mongol menjadi
kocar-kacir, karena baik dengan kedua tangan atau pun kakinya, setiap gerakan
pemuda ini membuat seorang bangsa Mongol terguling!
Melihat
datangnya seorang pemuda Han yang amat lihai membantu pihak mereka, timbul
kembali semangat pasukan kerajaan sehingga mereka lalu menyerbu lagi dengan
nekad dan penuh semangat sehingga ketika Cin Hai membantu ke sana ke mari,
pihak tentara kerajaan kini mendapat kemajuan dan musuh dapat dibikin kacau.
Akan tetapi,
pada waktu Cin Hai menyerbu sampai di tengah-tengah, dia melihat seorang
panglima bangsa Mongol yang amat kosen dan yang sedang dikeroyok oleh empat
orang panglima kerajaan, yaitu Perwira-perwira Sayap Garuda yang bersenjata
pedang. Akan tetapi, panglima Mongol yang berkulit hitam serta bertubuh tinggi
besar itu mengamuk dengan hebatnya hingga empat orang Perwira Sayap Garuda itu
terdesak hebat. Bahkan di atas tanah menggeletak tiga orang Perwira Sayap
Garuda dalam keadaan mandi darah dan mati!
Bukan main
marahnya Cin Hai karena ia maklum bahwa Panglima Mongol yang tangguh ini takkan
menemukan tandingan. Melihat betapa empat orang perwira kerajaan terdesak hebat
dan bahkan telah ada tiga orang yang tewas, dia lalu berseru keras dan menyerbu
menghadapi perwira Mongol itu sambil berseru,
“Cuwi
Ciangkun, mundurlah dan biarkan aku menghadapi raksasa Mongol ini!”
Keempat
Perwira Sayap Garuda menjadi girang mendapat bantuan ini dan oleh karena mereka
tadi memang sudah kewalahan menghadapi lawan tangguh itu, maka mereka lalu
meloncat ke belakang membiarkan anak muda itu menggantikan mereka.
Panglima
Mongol tinggi besar itu tertawa lebar pada saat melihat bahwa kini yang maju
menghadapinya hanyalah seorang muda berpakaian seperti seorang pelajar.
“Ha-ha-ha!
Agaknya kalian telah kehabisan panglima hingga harus mengajukan seorang
kanak-kanak yang masih harus berada dalam pelukan ibunya!” ia menyindir.
Cin Hai
menghadapi sindiran dan hinaan ini dengan tersenyum saja, lalu ia pun bertanya,
“Panglima yang sombong, siapakah kau dan apakah kau masih mempunyai hubungan
dengan Pangeran Vayami?”
Panglima
tinggi besar muka hitam itu tercengang mendengar disebutnya nama ini. “Hmm,
dari mana kau tahu nama pengkhianat kami itu? Vayami adalah seorang
pengkhianat, jangan dihubungkan dengan aku, Balaki, seorang pahlawan sejati
dari Mongol!”
Balaki ini
sebenarnya adalah seorang panglima tinggi di daerah Mongol, tangan kanan Yagali
Khan, raja muda yang memimpin dan memerintah Mongolia pada masa itu. Dan ilmu
kepandaian Balaki amat tinggi.
Ketika
mendengar tentang gagalnya expedisi Mongolia mencari Pulau Kim-san-to, maka
ketika Yagali Khan mengadakan serbuan ke pedalaman Tiongkok, dia lalu
menawarkan diri untuk mengepalai sendiri barisan Mongol. Tiap pasukan Han yang
bertemu dengan pasukan pimpinan Balaki ini, pasti dihancurkan dan dikalahkan
dengan mudah. Pasukan yang kini sedang bertempur, tentu akan hancur binasa pula
kalau tidak kebetulan Cin Hai muncul sebagai bintang penolong.
“Anak muda,”
kata pula Balaki, “kau siapakah dan mengapa pula kau yang berpakaian pelajar
ini berani maju menyambutku?”
“Aku adalah
seorang rakyat biasa yang tentu saja takkan tinggal diam melihat kau bangsa
Mongol bermain gila di tanah airku!” jawab Cin Hai dengan tenang.
Balaki
tertawa terbahak-bahak. “Ha, kau ingin bermain menjadi patriot? Ha-ha-ha,
bagus, aku akan membuat kau tewas sebagai seorang pahlawan negara!”
Sambil
berkata begitu, Balaki lalu menerjang maju dengan golok besarnya. Gerakannya
antep dan cepat sehingga Cin Hai tidak berani memandang ringan, lalu cepat
mencabut pedangnya dan melayaninya dengan hati-hati.
Pada saat
melihat pertempuran hebat ini, para anak buah tentara kedua pihak menjadi
gembira dan mereka yang berada dekat pertempuran ini segera menghentikan
serbuan masing-masing dan kini menonton sambil bersorak menambah semangat jago
masing-masing! Juga keempat Perwira Sayap Garuda melihat kelihaian Cin Hai,
menjadi kagum dan berbesar hati oleh karena selama ini belum pernah ada yang
kuat menghadapi Balaki yang terkenal kosen itu.
Seperti
biasanya, Cin Hai hanya mempertahankan diri dulu untuk mengukur kepandaian
lawan dan ternyata bahwa ilmu kepandaian Balaki dengan ilmu golok tunggalnya,
walau pun benar-benar lihai namun masih tidak dapat mengimbangi kegesitan Cin
Hai sehingga pemuda ini dengan mudah dapat mengelak atau pun menangkis semua
serangan yang datang bertubi-tubi itu.
Hal ini
tentu saja membuat Balaki merasa penasaran sekali oleh karena belum pernah ia
melihat seorang lawan yang mampu menahan serangannya tanpa membalas sedemikian
lamanya. Ia lalu berseru keras dan tiba-tiba tangan kirinya mengeluarkan sebuah
benda yang bulat.
Cin Hai
mengira bahwa itu tentu semacam senjata rahasia, maka ia berlaku waspada dan
cepat bersiap sedia menghadapi serangan senjata gelap musuh. Akan tetapi Balaki
tidak menggunakan senjata aneh itu, hanya menggenggamnya di tangan kiri, ada
pun golok di tangan kanannya masih menyerang ganas.
Tiba-tiba
ketika Cin Hai mengelak dari serangan golok lawannya, Balaki membuka tangan
kirinya dan tahu-tahu selarik sinar keemasan yang bercahaya terang menyambar ke
arah muka Cin Hai. Sinar ini demikian cepat datangnya sehingga tidak mungkin
lagi dikelit oleh kegesitan seorang manusia, maka Cin Hai merasa terkejut
sekali dan tak terasa pula ia berseru.
Akan tetapi,
ternyata bahwa sinar atau cahaya itu tidak menyakitinya, hanya membuat matanya
terasa pedas sekali karena ternyata bahwa benda di tangan kiri Balaki itu
adalah sebuah cermin yang digunakannya untuk memantulkan cahaya matahari yang
bersinar terang. Pantulan cahaya matahari itu dipergunakan untuk menyerang mata
lawan, dan mengagetkannya sehingga tentu saja orang itu akan menjadi silau dan
kaget.
Benar saja,
Cin Hai yang lihai itu sama sekali tak menduga akan kelihaian lawan hingga
ketika matanya bertemu dengan pantulan cahaya matahari yang disinarkan dari
cermin itu, dia pun tidak kuat menahan dan terpaksa menutup kedua matanya. Saat
inilah yang dimaksudkan oleh senjata cermin itu dan pada saat Cin Hai tersilau
dan meramkan mata, golok di tangan Balaki menyambar cepat dan hebat ke arah
leher Cin Hai.
Sudah banyak
sekali lawan yang tewas dalam tangan Balaki terkena tipu ini, dan kali ini pun
dia sudah merasa pasti bahwa pemuda ini tentu akan roboh dengan kepala terpisah
dari tubuh. Akan tetapi, kalau ia berpendapat demikian, ia belum kenal dan
belum tahu betul siapa adanya Cin Hai!
Pemuda ini
selain sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan luar biasa, juga sudah
menerima gemblengan hebat dari Bu Pun Su, ditambah lagi pengalaman bertempur
yang banyak menghadapi lawan-lawan tangguh, hingga dalam keadaan bagaimana
berbahaya pun, hatinya tetap tenang dan kewaspadaannya tidak tergoncang.
Memang,
ketika matanya tersorot sinar matahari, ia merasa terkejut dan tidak tahan
untuk tidak memejamkan mata. Akan tetapi hanya matanya saja yang tertutup dan
untuk saat itu tidak dapat dipergunakan, akan tetapi, telinga dan perasaannya
masih tajam dan tidak terpengaruh sama sekali.
Dia dapat
merasa dan mendengar suara angin serangan golok yang mengarah lehernya. Maka,
ketika semua orang sudah merasa ngeri, terutama keempat orang Perwira Sayap
Garuda, dan menyangka bahwa pemuda itu pasti akan binasa di tangan Balaki
seperti orang-orang lain yang pernah menghadapinya, tiba-tiba saja tubuh Cin
Hai melompat ke belakang dengan cepat sekali sehingga mata golok itu lewat
menyerempet di dekat kulit lehernya.
Tidak hanya
Balaki yang amat terkejut, akan tetapi semua orang yang melihat lompatan ke
belakang secara aneh itu merasa kagum sekali. Belum pernah mereka dapat melihat
seorang melompat ke belakang sedemikian cepatnya dan tepat pada saat bahaya maut
sedang mengancam leher.
Kini Cin Hai
merasa marah juga karena hampir saja ia tadi menjadi korban senjata golok
pahlawan Mongol ini. Sebaliknya, Balaki menyangka bahwa pemuda itu menjadi
gentar, maka dia tidak ingin menyia-nyiakan waktu dan cepat mengejar untuk
mengirim serangan dengan ilmu golok yang paling ia andalkan. Goloknya
terputar-putar garang bagai seekor naga mengamuk hingga tubuhnya sendiri lenyap
di dalam gulungan golok.
“Rasakan
pembalasanku!” kata Cin Hai dan pemuda ini mulai memainkan jurus-jurus limu
Pedang Daun Bambu ciptaan sendiri.
Ketika ia
mencipta ilmu pedang ini, ia menusukkan pedangnya dan menyerang batang-batang
bambu yang runcing bagaikan golok dan dapat mengenai sasaran dengan tepat tanpa
menyentuh daun-daun itu. Kini menghadapi putaran golok Balaki, meski pun dalam
pandangan mata orang lain tubuh Balaki sudah lenyap tergulung sinar golok,
namun bagi mata Cin Hai, ia masih dapat melihat berkelebatnya ujung golok
hingga dengan cepat ia dapat ‘memasukkan’ pedangnya di antara sinar golok.
Terdengar
Balaki memekik. Pekik ini ia keluarkan bukan karena kesakitan, akan tetapi juga
karena terkejut dan takjub. Ia tidak tahu bagaimana lawannya dapat menyerangnya
dan tahu-tahu dia merasa lengan tangannya sakit sekali sehingga goloknya
terlepas dari pegangan dan ternyata bahwa lengannya telah tertusuk ujung pedang
Cin Hai.
Bukan main
girangnya hati keempat Perwira Sayap Garuda melihat ini, akan tetapi Balaki
segera memberi aba-aba keras dan menyerbulah semua anak buahnya, sedangkan dia
sendiri cepat meloloskan diri dari keributan itu hingga Cin Hai tidak dapat
mengejar dan merobohkannya. Pertempuran hebat terjadi, akan tetapi kini tentara
Mongol telah lemah semangat bertempurnya dan tidak lama kemudian mereka
melarikan diri, meninggalkan kawan-kawan yang telah tewas atau terluka sehingga
tempat itu penuh orang-orang mati dan luka.
Ini
merupakan kekalahan besar pertama kali yang diderita oleh Balaki semenjak dia
mulai menginjakkan kakinya di pedalaman Tiongkok. Keempat orang Perwira Sayap
Garuda itu merasa girang dan berterima kasih sekali kepada Cin Hai.
Melihat
sikap mereka yang baik, Cin Hai menjadi heran sekali karena mereka ini berbeda
sekali dengan perwira-perwira Sayap Garuda yang pernah dilihatnya ketika dia
dan Kwee An mengamuk di dalam Eng-hiong-koan di kota raja dulu pada waktu ia
membasmi para perwira yang menjadi musuh besar Kwee-ciangkun.
“Hohan
(orang baik atau orang gagah) yang muda sudah memiliki ilmu kepandaian amat
tinggi, sungguh membuat kami berempat menaruh hormat dan merasa kagum serta
amat berterima kasih sekali!” kata salah seorang di antara empat Perwira Sayap
Garuda itu. “Bolehkah kami mengetahui nama Hohan yang gagah perkasa?”
Dengan suara
merendah, Cin Hai berkata terus terang untuk mencoba dan melihat sikap mereka,
“Siauwte yang muda dan bodoh bernama Sie Cin Hai. Mungkin Cuwi-ciangkun akan
teringat dengan nama hamba apa bila teringat akan peristiwa pembasmian keluarga
Kwee-ciangkun!” sambil berkata demikian, Cin Hai memandang tajam.
Jelas sekali
nampak betapa empat orang perwira itu terkejut sekali dan saling pandang.
Segera mereka lalu mengangkat tangan memberi hormat, sedangkan pemimpin mereka
yang tertua berkata,
“Ah, tak
tahunya Sie-taihiap yang menolong kami! Pantas saja demikian lihai!
Sie-taihiap, kami semua Perwira Sayap Garuda, sudah tentu saja pernah mendengar
nama Taihiap yang gagah perkasa, bahkan kaisar sendiri telah lama sekali
mencari-cari Taihiap!”
Cin Hai
benar-benar merasa tertegun dan heran melihat sikap mereka ini.
“Apa? Apakah
kaisar mencari untuk menghukum aku yang dulu telah pernah membunuh beberapa
orang perwira jahat?”
“Ahh,
agaknya sudah lama Sie-taihiap tidak ke kota raja hingga tidak tahu akan
keadaan dan perubahan di sana,” berkata salah seorang di antara mereka dan
kemudian mereka menceritakan hal yang amat menggembirakan hati Cin Hai.
Ternyata
bahwa semenjak Beng Kong Hosiang yang menjadi pemimpin para perwira itu tewas
di tangan Balutin, kemudian para perwira tinggi yang jahat telah tewas pula,
yang menggantikan dan memegang pucuk pimpinan ialah seorang panglima baru yang
masih muda dan gagah perkasa bernama Kam Hong Sin.
Panglima Kam
ini selaih gagah perkasa, juga berjiwa gagah dan tidak palsu seperti Beng Kong
Hosiang dan perwira lain yang dulu memegang kekuasaan. Bahkan Panglima Kam ini
mengindahkan kaum kang-ouw dan memiliki pergaulan yang luas dengan orang-orang
gagah sehingga dia sangat dihormati dan disegani. Panglima ini pula yang
menyadarkan pikiran kaisar hingga kaisar tidak lagi mempunyai pandangan buruk
terhadap orang-orang kang-ouw.
Dengan
tangan besi Kam Hong Sin lalu memilih ulang perwira-perwira Sayap Garuda dan
mengadakan peraturan-peraturan keras dengan ancaman hukuman berat. Kalau
seorang perwira sedikit saja melanggar, dia akan dihukum dan dipecat dari
kedudukannya. Oleh karena tindakan ini, maka banyak muncul perwira-perwira baru
pilihan Kam-ciangkun dan bahkan tidak sedikit orang-orang kang-ouw yang masuk
menjadi Perwira Sayap Garuda!
“Karena
inilah, Sie-taihiap, maka selain Kam-ciangkun sendiri, juga kaisar ingin
bertemu dengan Taihiap. Telah lama Kam-ciangkun mengagumi Taihiap dan lain-lain
orang gagah dan mengharapkan untuk dapat bertemu serta berkenalan,” kata
Perwira Sayap Garuda itu.
Tentu saja
Cin Hai menjadi girang sekali mendengar mengenai perubahan baik ini. Tanpa
diminta lagi dia lalu menyediakan tenaga untuk membantu mengusir para penyerbu
dari Mongol.
Ketika ia
bertanya tentang penyerbuan orang-orang Mongol ini, perwira itu menceritakan,
“Sudah sebulan lebih tentara Mongol yang dipimpin oleh Yagali Khan menyerbu
daerah Tiongkok dan raja muda ini mempunyai banyak sekali pembantu-pembantu
yang pandai. Balaki tadi adalah seorang di antara para jagonya itu, maka
kedudukannya kuat sekali. Kam-ciangkun lalu menggerakkan banyak tentara yang
dipecah-pecah menjadi beberapa bagian dan mengadakan pengepungan terhadap
barisan induk dari tentara Mongol yang berkedudukan di sebelah dalam tembok
besar, di daerah Tiang-lo-sia. Pasukan kami ini merupakan bagian dari barisan
yang harus mengadakan pengepungan dari selatan, akan tetapi tak terduga-duga
kami bertemu dengan barisan Balaki tadi sehingga jika saja tidak mendapat
bantuan dari taihiap, tentu kami mendapat bencana besar.”
Kemudian Cin
Hai mendengar betapa tentara kerajaan sering kali menderita kekalahan sehingga
ia pun menjadi penasaran dan mengambil keputusan untuk ikut ke Tiang-lo-sia
membantu usaha para pasukan kerajaan mengusir musuh. Tentu saja para perwira
itu merasa girang sekali oleh karena dengan adanya pembantu yang sangat lihai
ini, banyak harapan usaha mereka akan berhasil dan sekarang mereka tidak usah
kuatir menderita kekalahan apa bila di jalan bertemu dengan pasukan musuh.
Pada saat
pasukan di mana Cin Hai berada tiba di Tiang-lo-sia, di sebelah luar daerah
kekuasaan Yagali Khan, mereka bertemu dengan pasukan-pasukan lain yang
mengurung dari lain jurusan. Pengepungan dilakukan, dan tak lama kemudian
berturut-turut pasukan-pasukan kerajaan datang dari segenap penjuru hingga
daerah Tiang-lo-sia akhirnya telah dikurung.
Pimpinan
serbuan ini adalah seorang perwira tinggi she Liang. Dia lalu mencari seorang
untuk dijadikan utusan, oleh karena ia membawa surat dari kaisar yang ditujukan
kepada Yagali Khan. Surat ini berisi bujukan halus yang juga mengandung ancaman
agar supaya Yagali Khan suka untuk menarik kembali pasukannya dan jangan
melanggar tapal batas negara.
Ketika
mendengar bahwa komandan pasukan-pasukan kerajaan mencari seorang utusan untuk
mengantar surat kaisar, Cin Hai segera mengajukan diri untuk melakukan tugas
ini. Keempat perwira yang pernah ditolongnya dari serbuan Balaki lalu
menceritakan kepada Liang-ciangkun akan kegagahan dan jasa Cin Hai dan betapa
pemuda ini dengan mudah sudah mengalahkan Balaki. Liang-ciangkun menjadi kagum
dan tanpa ragu-ragu lagi dia lalu memberikan tugas membawa surat itu kepada Cin
Hai.
Yagali Khan
beserta para pembantunya sudah mendengar bahwa pihak tentara Han akan mengirim
utusan yang membawa surat dari kaisar, dan bahwa utusan ini adalah seorang
pemuda yang pernah mengalahkan Balaki. Oleh karena ini, kedatangan Cin Hai yang
tak mau dikawal dan hanya datang seorang diri itu disambut oleh
Panglima-panglima Mongol dan kemudian Cin Hai dibawa menghadap kepada Yagali
Khan.
Cin Hai kagum
sekali melihat keangkeran tempat itu, karena selain pengawal dan prajurit
berbaris rapi dengan golok besar di tangan sambil berdiri tegak, juga para
perwira yang menyambutnya rata-rata bertubuh tinggi besar dan kelihatan gagah
sekali. Dan ketika ia tiba di ruang di mana Yagali Khan duduk di atas sebuah
kursi indah, ia melihat bahwa di dekat raja muda ini duduk pula tiga orang
panglima besar, seorang di antaranya bukan lain adalah Balaki sendiri!
Orang ke dua
adalah seorang tua berambut putih panjang yang terurai di pundak, ada pun
pakaiannya mengingatkan dia kepada Pangeran Vayami, jubah merah yang indah.
Orang ke tiga pendek gemuk setengah tua, juga berpakaian merah hingga dapat
diduga bahwa kedua orang ini tentulah pendeta-pendeta Sakya Buddha atau pendeta
Agama Buddha Merah seperti halnya Pangeran Vayami.
Sikap ketiga
orang yang duduk di dekat Yagali Khan ini nampak angker dan mereka tidak
bergerak bagaikan patung. Akan tetapi dari mata mereka memancarkan sinar
berapi-api yang ditujukan kepada Cin Hai yang masuk dengan tindakan kaki gagah
dan tenang.
Melihat
bahwa orang yang pernah mengalahkan Balaki hanyalah seorang pemuda yang usianya
paling banyak dua puluh tahun saja, Yagali Khan merasa heran bukan main. Ia
menyambut kedatangan Cin Hai dengan dingin dan tidak berdiri dari tempat
duduknya, hanya berkata dengan suara nyaring dan dalam bahasa Han yang cukup
fasih.
“Tuankah
utusan kaisar?”
“Betul,
Yagali Khan, akulah yang mendapatkan kehormatan untuk menjadi utusan kaisar,”
jawab Cin Hai dengan tenang dan dia sama sekali tidak mau memberikan hormat
karena melihat sikap mereka demikian dingin.
Dari saku
bajunya ia mengeluarkan surat kaisar yang ditujukan kepada Raja Muda Yagali
Khan dan memberikannya kepada raja muda Mongol itu. Baik Yagali Khan sendiri
mau pun ketiga panglima besar yang duduk di sampingnya, merasa penasaran dan
heran atas sikap dingin dan keberanian Cin Hai.
“Anak muda,
kau berani dan tinggi hati. Apakah ini terdorong oleh sifatmu yang sombong dan
karena kau mengandalkan ilmu kepandaianmu?” bertanya pula Yagali Khan sambil
menerima surat itu.
“Tidak
demikian, Yagali Khan. Aku adalah seorang utusan, dan pada saat ini aku boleh
dibilang sebagai wakil kaisar yang memerintahkan datang untuk memberikan surat
serta untuk mengadakan perundingan dengan kau. Maka sesuai pula dengan
kebesaran kaisar negaraku, aku pun tidak boleh merendahkan diri di depan
seorang raja muda asing, apa lagi karena aku berada di atas tanah sendiri
sedangkan kau dan barisanmu merupakan tamu-tamu belaka.”
Jawaban ini
diucapkan dengan tenang dan tabah sehingga Yagali Khan merasa makin heran dan
kagum.
“Anak muda,
kalau aku menggerakkan seluruh perwira dan pasukanku, apa kau kira kau yang
hanya seorang diri ini, betapa pun tinggi kepandaianmu, akan dapat membela diri
dan pulang dengan selamat?”
“Aku tidak
takut karena hal seperti itu tak mungkin terjadi,” jawab Cin Hai.
“Kenapa kau
bisa berkata demikian? Dengan hanya mengangkat tangan kananku, ribuan prajurit
akan menyerbu dan menghancurkan tubuhmu dengan golok dan pedang.”
“Sekali lagi
aku yakin bahwa hal ini tak akan mungkin terjadi. Pertama karena aku adalah
seorang utusan, dan negara mana pun di dunia ini tak akan mengganggu seorang
utusan kaisar! Ke dua kalinya, kalau kau melanggar aturan ini dan mengerahkan
prajurit untuk mongeroyokku, aku akan melawan mati-matian dan sebelum aku mati,
tentu aku akan berhasil merobohkan ratusan orang-orangmu hingga mati pun tak
akan rugi. Dan ke tiga kalinya, bila kau melakukan pelanggaran ini, nama Yagali
Khan akan tenggelam ke dalam lumpur kehinaan hingga andai kata kelak kau bisa
menjadi seorang raja yang bagaimana pun besarnya, namamu akan tetap dipandang
rendah sebagai seorang raja yang curang dan tidak tahu akan kesopanan negara.”
Semua yang
hadir di sana tertegun mendengar jawaban yang berani sekali akan tetapi tepat
ini. Wajah Yagali Khan berubah merah dan kalau saja yang mengucapkan kata-kata
ini bukan seorang utusan kaisar, tentu dia akan mencabut pedangnya lantas
memenggal kepala orang itu dengan tangannya sendiri.
Ia hanya
mengeluarkan suara, “hmm, hmm…”
Kemudian
setelah menatap wajah Cin Hai yang membalas pandangannya dengan tenang dan
mulut tersenyum, lalu dia membuka surat kaisar itu.
Sebagai
seorang utusan, Cin Hai sudah diberi tahu oleh komandan pasukan kerajaan
mengenai isi surat agar ia dapat mengetahui baik-baik akan tugasnya. Isi surat
itu adalah bujukan halus yang mengandung ancaman supaya Yagali Khan suka insyaf
serta tidak menanam bibit permusuhan dan mengacau daerah Tiongkok, karena hal
ini hanya akan mengakibatkan kehancurannya dan kerusakan kedua belah pihak.
Setelah
membaca surat itu, Yagali Khan memandang kepada Cin Hai dan berkata, “Hm,
kaisarmu ini sama saja dengan kau, sombong dan mengagulkan diri! Apakah yang
kalian andalkan? Kami memiliki pasukan yang jumlahnya besar dan kuat, senjata
kami lengkap dan perwira-perwira kami berkepandaian tinggi! Jangan kau menjadi
sombong sesudah berhasil mengalahkan salah seorang di antara perwira-perwira
kami. Apakah kaisarmu itu menjadi sombong karena mengandalkan kau?”
Cin Hai
tersenyum. “Yagali Khan, jangan kau memandang rendah pada negara Tiongkok! Betapa
pun besar jumlah barisanmu, dibandingkan dengan barisan dan rakyat Tiongkok,
belum ada seper seratusnya! Tentang senjata dan kekuatan, kami pun tidak akan
kalah. Ada pun tentang orang pandai, kami tidak kekurangan. Ketahuilah, bahwa
baru aku saja yang hanya menjadi utusan biasa dan bukan seorang panglima, namun
aku tidak gentar untuk menghadapi perwiramu yang mana pun juga! Apa lagi
panglima kami yang gagah perkasa dan ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dari
pada kepandaianku! Dan jumlah panglima yang gagah perkasa di pihak kami bukan
hanya ratusan atau ribuan jumlahnya, bahkan ada laksaan! Sia-sia saja kalau kau
hendak menyerbu ke negara kami. Lagi pula, apakah perlunya? Kau dan kami adalah
tetangga yang harus mengadakan perhubungan baik. Apakah kau belum mendengar
betapa para Lama di Tibet juga telah mengadakan hubungan baik dan damai dengan
kami? Padahal mereka itu kuat sekali, lebih kuat dari pada barisanmu. Oleh
karena inilah, dan demi menjaga keamanan rakyat, kaisar kami minta kepadamu
untuk menggunakan kebijaksanaan dan kembali pulang dengan damai.”
Ucapan Cin
Hai ini sebenarnya bukan omong kosong, oleh karena negeri mana di dunia ini
yang memiliki rakyat lebih banyak dari pada Tiongkok? Ada pun tentang
kepandaian, Cin Hai maklum bahwa banyak sekali orang-orang pandai di negaranya,
maka meski pun agak berlebihan ketika ia mengatakan bahwa masih banyak sekali
orang-orang yang jauh lebih pandai darinya, akan tetapi ada benarnya juga.
Para perwira
yang mendengar ucapan ini diam-diam merasa gentar juga, bahkan Yagali Khan
sendiri juga merasa ngeri. Akan tetapi dia tidak mau menyatakan ini, bahkan
lalu berkata,
“Anak muda,
jangan kau kira aku merasa takut mendengar ocehanmu itu! Dan mengenai
kesombonganmu yang sanggup dan berani menghadapi setiap perwira kami, baiklah
kau buktikan! Kami bukan hendak mencelakakan seorang utusan sebab kami bukanlah
orang rendah seperti yang orang kira, akan tetapi kami mengajak kau secara
terang-terangan untuk mengadu kepandaian. Apa bila kau dapat merobohkan seorang
jago yang kutunjuk, biarlah kami anggap bicaramu tadi tidak bohong belaka dan
kami akan menarik mundur pasukan-pasukan kami!”
Cin Hai
maklum bahwa sekarang semua terletak penuh di atas kedua pundaknya untuk
menentukan apakah bujukan kaisar ini berhasil atau tidak. Kalau ia bisa
merobohkan jago yang ditunjuk oleh Yagali Khan, mereka tentu akan merasa jeri
juga menghadapi perwira-perwira yang ia sombongkan memiliki kepandaian yang
lebih tinggi darinya. Akan tetapi kalau dia sampai kalah, maka tidak saja
jiwanya terancam, akan tetapi juga kata-katanya tadi akan dianggap bohong dan
raja muda itu tentu akan melanjutkan serbuannya!
Dia
menganggap bahwa perlu sekali raja muda ini diberi bukti akan kelihaiannya
supaya dapat tunduk. Maka ia menjawab sambil tersenyum tenang,
”Boleh,
boleh, Yagali Khan. Apakah kau akan mengajukan Balaki?”
Merah wajah
Balaki mendengar ini dan dia segera memandang kepada Cin Hai dengan mata
melotot. “Biarkan hamba mengadu jiwa dengan orang ini!” katanya kepada Yagali
Khan.
Akan tetapi
raja muda itu sambil tersenyum lalu berkata, “Bukan kau lawannya, Balaki.”
Lalu ia
menyuruh pendeta Jubah Merah yang rambutnya putih itu dalam bahasa Mongol.
Pendeta itu tersenyum, lalu berdiri dan membungkukkan tubuhnya dalam-dalam di
depan junjungannya, kemudian barulah dia menghampiri Cin Hai yang sudah siap.
“Anak muda,”
katanya dengan suara yang halus dan dalam bahasa Han yang amat kaku, “siapakah
namamu? Aku tidak biasa menewaskan seorang tanpa mengenal namanya.”
Walau pun
kata-kata ini diucapkan dengan suara halus, namun mengandung pandangan yang
merendahkan sekali. Cin Hai tertawa dan menjawab,
“Agaknya kau
telah yakin benar bahwa aku pasti akan tewas dalam tanganmu! Namaku adalah Sie
Cin Hai atau kau boleh saja sebut aku sebagai Pendekar Bodoh karena nama inilah
yang dikenal oleh orang-orang yang menjadi lawanku. Pakaianmu mengingatkan aku
akan Pangeran Vayami. Agaknya kau sepaham dengan dia.”
“Jangan kau
ngaco, Vayami bukanlah apa-apaku! Aku adalah pendeta tinggi dari Sakya Buddha
dan disebut Thai Kek Losu. Anak muda, apakah kau betul-betul berani menerima
tantangan ini? Ketahuilah, bahwa sekali Thai Kek Losu turun tangan, biasanya
pasti akan ada orang melepaskan nyawanya!”
“Thai Kek
Losu, seorang laki-laki kalau sudah mengeluarkan kata-kata, biar sampai mati
pun tak akan menelan kembali kata-kata itu. Aku telah menerima tantangan ini
dan tentu saja akan kuhadapi sampai akhir. Ada pun mengenai kematian, siapakah
orangnya yang akhirnya tidak akan mati? Hanya bedanya, ada orang mati seperti
harimau dan ada pula yang mati seperti babi. Dan aku memilih yang pertama itu!
Kau majulah!”
Oleh karena
maklum bahwa lawannya ini tidak boleh dipandang ringan, maka Cin Hai lalu
mencabut Liong-coan-kiam dari pinggangnya, dan melintangkan pedang itu di
dadanya. Thai Kek Losu tertawa bergelak mendengar kata-kata Cin Hai itu.
“Pendekar
Bodoh, tidak tahunya kau mempunyai semangat dan kegagahan juga! Bagus, bagus,
kau hadapi senjataku ini yang akan membebaskan jiwamu dari pada penderitaan
hidup!”
Sambil
berkata demikian, pendeta rambut putih ini lalu mengeluarkan sebuah tengkorak
dari dalam bajunya yang lebar. Tengkorak ini mungkin tengkorak anak-anak,
karena kecil saja dan pada leher tengkorak itu dipasangi rantai warna kuning
yang panjangnya kurang lebih lima kaki. Dengan memegang ujung rantai itu, maka
tengkorak yang mengerikan ini menjadi senjata yang luar biasa sekali, senjata
rantai yang berujung tengkorak!
Cin Hai
merasa terkejut juga melihat senjata ini karena selama hidupnya belum pernah ia
melihat senjata semacam ini, maka dia berlaku waspada dan tidak mau menyerang
lebih dulu. Melihat keraguan Cin Hai, Thai Kek Losu lalu melangkah maju sambil
mengayunkan rantainya. Tengkorak kecil itu langsung melayang dan menyambar ke
arah muka Cin Hai, seakan-akan hendak menciumnya!
CIN HAI
bergidik akibat ngeri, maka ia cepat-cepat menahan napas untuk menenteramkan
hatinya yang secara aneh sekali tiba-tiba tergoncang ketika melihat tengkorak
itu dan dia lalu melompat ke samping. Ia dapat menduga bahwa senjata aneh ini
tentu mengandung kekuatan hoatsut (sihir) yang dapat membuat lawan merasa
terkejut, semangatnya lemah dan ngeri, maka ia lalu menggerak-gerakkan tangan
kirinya yang tak memegang senjata itu untuk memainkan Ilmu Silat Pek-in-hoatsut
atau Ilmu Sihir Awan Putih!
Beberapa kali
dia menggerakkan lengan kiri sambil mengerahkan semangat serta tenaga lweekang
hingga dari lengannya yang kiri itu mengepul uap putih! Kembali tengkorak itu
menyambar ke arah kepalanya dan cepat sekali Cin Hai segera membacok tengkorak
itu dengan pedangnya.
Akan tetapi
segera ia menarik kembali pedangnya dan melompat lagi untuk mengelakkan diri.
Entah bagaimana, ia merasa tak tega untuk membacok dan memecahkan tengkorak itu
yang tiba-tiba saja tampak seolah-olah menjadi kepala seorang anak-anak yang masih
utuh, lengkap dengan mata, rambut, dan hidung serta mulutnya!
Memang
senjata di tangan Thai Kek Losu ini bukan senjata biasa. Sebelum tengkorak itu
diikat dengan rantai, sudah lebih dulu dibawa bertapa dan dimasuki ilmu sihir.
Hendaknya diketahui bahwa kepala itu diambil dari kepala seorang anak yang
masih hidup, yang dikorbankan secara kejam dan tak mengenal peri kemanusiaan
oleh pendeta itu!
Khasiat
senjata ini ialah dapat menyihir lawan dan membuat lawan di samping serasa
pusing dan gentar, juga apa bila lawan hendak melawan dengan sungguh-sungguh,
maka tengkorak itu akan nampak seperti masih hidup dan lengkap merupakan kepala
seorang anak kecil yang menangis!
Oleh karena
maklum akan kelihaian senjata ini, Cin Hai lalu menyabarkan diri dan hanya memperhatikan
gerak lawannya saja. Ia mempergunakan kelincahannya untuk mengelak dari setiap
serangan. Setelah ia memperhatikan serangan lawan, ia mendapat kenyataan bahwa
ilmu silat kakek ini benar-benar lihai serta tenaga lweekang-nya belum tentu
kalah olehnya!
Akan tetapi
dengan kepandaian serta pengertiannya mengenai pokok-pokok dasar segala macam
gerak dan serangan lawan, Cin Hai sebetulnya tidak perlu merasa gentar. Hanya
senjata hebat itulah yang membuatnya ragu-ragu dan ngeri.
Baiknya dia
sudah memainkan Pek-in Hoat-sut dengan tangan kirinya sehingga sebagian besar
hawa siluman yang merupakan daya sihir itu telah dapat ditolak sebagian. Namun
ternyata bahwa kekuatan sihir atau ilmu hitam dari Thai Kek Losu kuat sekali.
Meski pun kini Cin Hai tidak merasa gentar lagi, akan tetapi tetap dia tidak
tega untuk membacok kepala atau tengkorak itu.
Cin Hai
lantas mengeluarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, dan sesudah dia membalasnya dengan
serangan-serangan yang amat lihai itu, Thai Kek Losu baru merasa terkejut. Ilmu
pedang lawannya yang muda ini memang luar biasa. Tadi ketika dia melihat bahwa
Cin Hai tak terpengaruh oleh daya sihir senjatanya dan lengan kiri pemuda itu
begerak-gerak menurut garis Pat-kwa sehingga dapat menolak daya sihir, dia
telah merasa kagum dan maklum bahwa ia menghadapi murid seorang sakti.
Akan tetapi
dia maklum bahwa pemuda itu masih belum mampu menolak daya sihir yang membuat
dia tidak tega membacok tengkorak itu dan diam-diam dia merasa girang oleh
karena dengan ilmu silatnya yang tinggi, tentu dia akan mampu mendesak dan
akhirnya mengalahkan lawannya ini. Tak usah banyak-banyak, jika sekali saja
muka atau kepala lawannya dapat tercium oleh mulut tengkorak itu, pasti ia akan
roboh dan tewas.
Kini setelah
Cin Hai mengeluarkan Ilmu Silat Daun Bambu, baru ia terkejut sekali karena
gerakan anak muda itu membuat ia terpaksa mencurahkan sebagian perhatiannya
untuk menjaga diri. Serangan-serangan ujung pedang Liong-coan-kiam sungguh
hebat dan sulit diduga, sedangkan untuk melukai kepala lawannya dengan
tengkoraknya, juga bukanlah merupakan hal yang mudah karena pemuda itu memiliki
kegesitan yang jauh lebih tinggi dari pada kepandaian ginkang-nya sendiri.
Untuk dapat
mempercepat kemenangannya, Thai Kek Losu lantas merogoh saku jubah dengan tangan
kirinya dan ketika tangan kirinya itu bergerak, maka menyambarlah tujuh batang
jarum hitam ke arah jalan darah di seluruh tubuh Cin Hai, antaranya dua batang
menuju matanya. Inilah Hek-kang-ciam atau Jarum Baja Hitam yang cepat sekali
lajunya karena biar pun kecil akan tetapi berat sekali.
Cin Hai
dengan tenang memutar pedangnya dan aneh sekali! Semua jarum itu menempel pada
Pedang Liong-coan-kiam dan melengket di sana. Kemudian sambil berseru keras,
ketika Cin Hai menggerakkan pedangnya, semua jarum itu menyambar kembali ke
arah tuannya.
Thai Kek
Losu merasa terkejut sekali dan cepat-cepat dia melompat ke samping untuk
menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarumnya sendiri! Sebenarnya tidak aneh,
oleh karena Liong-coan-kiam adalah sebatang pedang pusaka yang mengandung daya
tarik sembrani sehingga jarum-jarum kecil itu dapat lengket dengan mudah.
Kemudian sambil mengerahkan lweekang-nya, pemuda itu dapat membuat jarum-jarum
yang menempel itu terlepas dan melayang ke arah lawannya.
Kemudian
tangan kiri Thai Kek Losu bergerak dan kali ini Cin Hai hanya mengelak, oleh
karena yang menyambar hanya tiga batang jarum saja, akan tetapi kesempatan itu
lalu digunakan oleh Thai Kek Losu untuk menghantamkan tengkoraknya ke arah
batok kepala Cin Hai. Serangan ini tiba-tiba datangnya dan selain tidak terduga
oleh karena perhatian Cin Hai tercurah kepada jarum-jarum itu, juga cepat
sekali hingga tanpa terasa pula Cin Hai menangkis dengan pedangnya.
Terdengar
suara keras ketika tengkorak itu mencium pedang dan tiba-tiba saja dari muka
tengkorak itu menyambar keluar tujuh batang jarum-jarum yang berwarna
kehijau-hijauan dan berbau amis karena mengandung racun. Inilah kelihaian
tengkorak itu yang sengaja diserangkan dengan tiba-tiba supaya ditangkis oleh
lawannya. Dari kedua lubang hidung keluar empat batang jarum, sedangkan dari
mulut tengkorak itu keluar pula tiga batang. Semua jarum ini menyambar ke arah
tubuh Cin Hai dengan cepat sekali.
Kali ini Cin
Hai benar-benar terkejut karena sama sekali tak pernah menduga akan hal ini. Ia
cepat melempar tubuh ke belakang hingga seperti jatuh terjengkang dan ini pun
hampir saja tidak dapat menolongnya oleh karena jarum-jarum itu lewat dekat
sekali dengan kulit mukanya hingga hidungnya mencium bau yang luar biasa amis
dan busuknya.
Setelah
pengalaman ini, Cin Hai menjadi marah sekali, sebaliknya Thai Kek Losu menjadi
kecewa dan gentar. Memang tipu tadi adalah tipu terakhir yang disengaja karena
ia pasti akan dapat merobohkan lawannya. Tak tahunya, anak muda itu benar-benar
hebat sekali sehingga pada saat dan keadaan yang agaknya tak mungkin dapat
melepaskan diri dari bahaya maut itu, Cin Hai masih dapat mengelaknya.
Ia merasa
rugi oleh karena tipu itu tidak berhasil, sebab Cin Hai takkan merasa tidak
tega lagi kepada tengkorak itu oleh karena ketika pedangnya membentur
tengkorak, ternyata tengkorak itu tidak pecah. Sekaligus pengalaman ini membuat
hati pemuda itu menjadi tetap dan rasa kasihan serta tidak tega terhadap
tengkorak itu menjadi lenyap, bahkan tergantikan rasa benci oleh karena
ternyata bahwa tengkorak kecil yang dikasihinya tadi mengandung senjata maut
yang hampir saja menewaskannya.
Kini Cin Hai
menerjang maju lagi sambil memutar-mutar pedangnya serta mengeluarkan gerakan
dan jurus-jurus Ilmu Pedang Daun Bambu yang paling hebat sehingga Thai Lek Losu
terdesak mundur tanpa dapat membalas.
Pada ketika
yang baik, Cin Hai menusukkan pedangnya ke arah tenggorokan Thai Kek Losu
melalui cahaya rantai musuh dengan gerakan miring. Thai Kek Losu mencoba untuk
menghindarkan serangan ini dengan mengadu nyawa, yakni dia membarenginya dengan
memukulkan tengkoraknya pada muka Cin Hai. Dua senjata itu menyerang dengan
cepat dalam waktu hampir bersamaan, dan kalau sekiranya kedua orang itu tidak
mau menarik kembali serangan mereka, tentu kedua-duanya akan tewas.
Akan tetapi,
tentu saja Cin Hai tidak sudi mengadu jiwanya. Ia maklum bahwa tengkorak itu
berbahaya sekali dan mengandung racun hebat dan sekali saja ia kena tercium
mulut tengkorak yang kebiru-biruan itu, maka dia akan mengalami bencana besar.
Secepat
kilat dia membalik gerakan pedangnya yang memang mudah berubah-ubah itu, dan
kini pedang itu menyambar ke arah rantai. Sebelum tengkorak mengenai mukanya,
pedang Liong-coan-kiam dengan dorongan tenaga lweekang sepenuhnya sudah
berhasil menebas putus rantai itu hingga tengkorak yang berada di ujung rantai
terpental jauh dan menggelinding bagaikan bal. Pada saat itu juga, kaki kiri
Cin Hai dengan cepat melayang dan mendupak dada Thai Kek Losu yang lantas terpental
pula seperti tengkorak tadi dan kebetulan sekali dia jatuh ke arah tempat duduk
Balaki.
Balaki tidak
berani menyambut tubuh Thai Kek Losu, hanya cepat bukan main tubuhnya melayang
pergi dari kursinya dan pada lain saat, tubuh Thai Kek Losu telah jatuh di atas
kursi itu dan duduk dengan muka pucat.
“Yagali
Khan, kuharap saja sebagai seorang raja besar, kau suka pegang teguh semua
ucapanmu!” kata Cin Hai yang kemudian bertindak pergi keluar dari situ dengan
langkah tenang.
Yagali Khan
mengertak giginya. Jagonya yang nomor satu telah dikalahkan oleh seorang utusan
atau pembawa surat saja, apa lagi kalau menghadapi panglima besar kaisar.
“Pendekar
Bodoh, kami akan memegang janji, akan tetapi pada lain waktu apa bila kami
mengundangmu, harap kau tidak menolak karena takut!” teriaknya.
Akan tetapi
Cin Hai pura-pura tidak mendengarnya dan mempercepat langkahnya, oleh karena
dia tidak mau mengikat dirinya dengan perjanjian semacam itu yang hanya akan
memperbesar permusuhan belaka. Dan pula, entah kenapa, ia merasa kepalanya
pening sekali dan selalu seperti hendak muntah.
Karena
kepeningan kepalanya, maka Cin Hai telah mengambil jalan keliru dan ia tersesat
jalan tanpa dia sadari. Pada suatu jalan simpang tiga, seharusnya dia membelok
ke kiri, akan tetapi sebaliknya ia justru membelok ke kanan. Kepalanya makin
pening dan kedua kakinya gemetar, akan tetapi dia berlari terus secepatnya.
Ketika dia
masuk dalam sebuah hutan yang liar dan terus berlari cepat, tiba-tiba saja dia
mendengar suara harimau mengaum. Akan tetapi, berbeda dengan auman harimau yang
biasa, auman ini luar biasa kerasnya hingga Cin Hai sendiri sampai tergetar
jantungnya. Ia segera menekan perasaan peningnya dan berlari menuju ke arah
auman harimau itu karena setelah suara auman itu hilang gemanya, terdengar
suara orang bersuara.
Sesudah dia
tiba di satu tempat terbuka, dia menyaksikan pemandangan yang aneh dan
mengagumkan. Dua orang laki-laki, yang seorang sudah tua dengan rambut dan
jenggot putih, dan yang kedua setengah tua, tengah tertawa-tawa sambil
mempermainkan seekor harimau yang luar biasa besar dan galaknya.
Cin Hai
melangkah mendekati dan menyaksikan sepak terjang dua orang tua itu. Kakek
jenggot putih itu berdiri berhadapan dengan harimau sambil dia mempermainkan
bibirnya yang seakan-akan mengolok-oloknya. Orang ke dua berdiri di belakang
harimau sambil tangannya bertolak pinggang. Sikap mereka ini seakan-akan bukan
sedang menghadapi seekor harimau yang besar, akan tetapi seakan-akan dua orang
anak-anak menghadapi seekor kucing yang jinak!
Tiba-tiba
harimau itu menggereng keras dan melompat tinggi, menerkam kakek jenggot putih!
Kakek itu diam saja tidak mengelak akan tetapi setelah harimau itu melayang
dekat ia segera berseru dan tahu-tahu tubuhnya telah mencelat ke atas, melalui
tubuh harimau dan sambil berjungkir balik di udara dia lalu menjatuhkan diri
pula menduduki punggung harimau!
“Heh-heh-heh!
Hayo lekas menari...!” katanya menepuk-nepuk punggung harimau besar itu dengan
kedua tangannya persis anak kecil naik kuda-kudaan!
“Ha-ha-ha,
Twako, jangan lepaskan dia. Ha-ha-ha!” Lelaki setengah tua yang berjenggot
hitam itu tertawa gembira dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah menyambar ke
arah harimau yang sedang marah sekali itu.
Harimau itu
menggoyang-goyang tubuhnya membuka mulutnya lebar-lebar dan ekornya bergerak
cepat dan tiba-tiba bagaikan sebatang toya, ekor yang panjang itu menyambar
kepala kakek jenggot putih dari belakang. Cin Hai merasa terkejut, akan tetapi
tiba-tiba seakan-akan kepala kakek itu ada mata di belakangnya, kakek itu
menundukkan kepala sehingga sabetan ekor harimau mengenai tempat kosong.
Sementara
itu, Si Jenggot Hitam yang sudah melompat di dekat tubuh harimau, lantas
mengulurkan tangan kanannya dan menjiwir telinga harimau itu sehingga binatang
liar ini menggerung-gerung kesakitan.
Ketika ekor
harimau itu menyabet kembali, dengan mudah Si Jenggot Hitam menangkap ekor tadi
dan menahannya di belakang hingga harimau yang hendak lari ke depan itu jadi
tertahan dan tak dapat bergerak.
“Hayo,
menyerah tidak kau!” kata kakek jenggot putih sambil menggenjot-enjot tubuhnya
di punggung harimau.
Binatang itu
hendak menggulingkan diri dan mencakar kakek itu, akan tetapi dia merasa betapa
tubuh kakek itu bukan main beratnya hingga dia tak kuat berdiri lagi dan
perutnya menempel pada tanah.
Cin Hai
melihat dengan kagum dan heran akan kelihaian dan kegesitan kedua orang itu.
Pada saat itu, dia mendengar suara keras berbunyi di udara, dan ketika dia
memandang, ternyata di angkasa sedang terjadi pertempuran yang terlebih aneh
lagi.

Seekor
burung bangau besar sedang bertempur dengan serunya melawan seekor burung
rajawali. Rajawali itu terus menyambar-nyambar dengan ganasnya, akan tetapi
dengan patuknya yang runcing serta panjang bagaikan dua batang pedang itu,
burung bangau dapat mempertahankan diri dengan baiknya. Ketika dua orang laki-laki
itu menengok ke atas karena tertarik oleh suara burung-burung yang sedang
berkelahi, mereka juga terkejut sekali.
“Kau
mendekamlah!' kakek jenggot putih berseru sambil menepuk dan menotok urat di
punggung harimau.
Dan aneh
sekali, harimau itu tiba-tiba menjadi lemas dan mendekam tanpa berdaya lagi.
Ternyata bahwa kakek itu tahu akan jalan-jalan darah binatang itu hingga dapat
mengirim tiam-hoat (totokan) dengan tepat sekali. Ada pun Si jenggot Hitam
segera memandang ke atas dan berseru keras, “Ang-siang-kiam, kau turunlah!”
Kemudian dia
mengeluarkan suara bersuit yang nyaring sekali. Burung bangau itu diberi nama
Ang-siang-kiam atau Sepasang Pedang Merah sebab patuknya memang berwarna merah
dan panjang seperti sepasang pedang.
Mendengar
suitan ini, dengan cepat bangau itu lalu meluncur turun dan di belakangnya,
rajawali itu menyambar pula mengejar.
“Rajawali
keparat!” Si Jenggot Hitam itu memaki.
Tiba-tiba
tangan kanannya bergerak dan sebatang pelor putih yang bulat meluncur cepat ke
arah dada rajawali yang mengejar bangau itu. Akan tetapi, rajawali ini gesit
sekali dan sebelum pelor mengenai dadanya, dia sudah mengelak ke kiri. Sebutir
pelor putih lainnya menyusul dan mengarah lehernya. Rajawali itu segera mengebutkan
sayapnya dan pelor kena terpukul jatuh!
Melihat
kelihaian rajawali itu, kedua orang laki-laki itu menjadi terkejut dan
mengeluarkan seruan tertahan. Ada pun Cin Hai yang juga memandang dengan
perhatian lalu teringat akan rajawali yang dulu pernah bertanding melawan Ang I
Niocu di atas perahu. Banyak persamaannya antara kedua burung rajawali itu.
Sementara
itu, burung bangau yang diberi nama Ang-siang-kiam itu telah turun di atas
tanah dan kini berdiri di dekat kakek jenggot hitam. Tubuh burung bangau itu
tinggi sekali sehingga merupakan seekor burung bangau yang langka terdapat. Ada
pun rajawali tadi karena tahu akan kelihaian dua orang manusia yang berada di
bawah, lalu hanya terbang berputaran sambil mengeluarkan pekik menantang tanpa
berani turun ke bawah.
Pada saat
itu terdengar bentakan halus, “Sin-kim-tiauw, jangan kurang ajar!”
Mendengar
suara ini, rajawali tadi lalu melayang turun dan Cin Hai menjadi girang dan
juga terkejut sekali oleh karena ia mengenal suara ini sebagai suara gurunya,
Bu Pun Su!
Benar saja,
pada waktu kedua orang laki-laki itu pun memandang, dari sebuah tikungan,
muncullah seorang kakek tua sekali yang berpakaian penuh tambalan hingga
merupakan seorang jembel tua. Rajawali emas tadi telah turun dan kini berjalan
di belakang kakek itu bagaikan seekor anjing yang jinak sekali.
“Suhu!” Cin
Hai berseru dan segera berlari dan menghampiri, akan tetapi hampir saja ia
roboh terguling karena kepalanya terasa pening sekali ketika dia berlari itu.
Untung dia masih dapat menetapkan kaki dan segera berlutut.
“Cin Hai,
lekas kau duduk, kumpulkan semangat dan bersihkan napas!” terdengar kakek itu
berseru setelah memandang wajah muridnya.
Sekali
pandang saja kakek sakti ini tahu bahwa muridnya ini telah terkena hawa beracun
yang berbahaya sekali. Walau pun merasa heran, Cin Hai segera menurut dan taat
akan perintah gurunya itu. Ia segera duduk bersila, meramkan mata dan
merangkapkan kedua tangan di depan dada.
Tiba-tiba ia
merasa betapa telapak tangan suhu-nya yang halus itu memegang tangannya dan
dari telapak tangan suhu-nya mengalirlah hawa yang luar biasa hangat dan
kuatnya melalui telapak tangannya sendiri dan terus membantu hawa kekuatan
tubuhnya sendiri. Oleh karena ini, dia merasa betapa hawa tenaga di dalam
tubuhnya kini menjadi berlipat ganda dan lalu ia gunakan hawa itu diputar-putar
ke seluruh tubuh karena tidak tahu akan maksud suhu-nya.
“Penuhkan di
dada, bersihkan paru-paru dan usir hawa racun yang tadi masuk melewati lubang
hidungmu!” kakek itu berbisik perlahan.
Cin Hai
diam-diam merasa terkejut dari teringatlah dia akan pertempurannya melawan Thai
Kek Losu tadi. Jarum-jarum berbisa yang amat lihai dan yang keluar dari
tengkorak Pendeta Sakya Buddha itu hampir saja tadi mengenainya dan menyambar
dekat sekali di depan hidungnya hingga dia mencium bau yang amis dan busuk!
Bukan main jahatnya jarum-jarum berbisa itu. Baru baunya saja telah
mempengaruhinya, apa lagi kalau sampai terluka oleh jarum itu!
Cin Hai
segera mengerahkan hawa di dalam tubuh itu di dikumpulkan di dada, mendesak
keluar segala hawa kotor yang terbawa masuk oleh pernapasan ke dalam
paru-parunya, sehingga ketika dia mendesak hawa itu keluar hidungnya, kembali
ia mencium bau yang amis dan busuk itu! Ternyata bahwa bau yang amis dari
senjata tadi telah mengeram di dalam paru-parunya. Bukan main berbahaya dan
jahatnya!
Sementara
itu, kedua orang penakluk harimau tadi berdiri dengan heran dan kagum pada saat
melihat cara guru itu menyembuhkan muridnya. Mereka pun maklum bahwa kakek
jembel itu tentu lihai sekali, maka mereka tidak berani mengganggu dan hanya
berdiri memandang. Tidak lama kemudian, Bu Pun Su melepaskan genggaman
tangannya pada telapak tangan Cin Hai dan dia berdiri kembali.
“Sudah,
sudah bersih...,” katanya. Cin Hai membuka kedua matanya dan segera berlutut.
“Senjata
siapakah yang hampir mencelakaimu tadi, Cin Hai?”
Cin Hai lalu
menceritakan mengenai pengalamannya, betapa dia menjadi utusan kaisar,
menyampaikan surat kepada Yagali Khan dan betapa dia mengadu kepandaian dengan
Thai Kek Losu dan berhasil mengalahkannya tanpa menyadari bahwa dia sudah
hampir mendapat celaka karena senjata rahasia yang hebat dari pendeta itu.
Bu Pun Su
mengangguk-anggukkan kepala. “Bagus, bagus. Memang itu sudah menjadi
tugasmu...”
Ketika
mendengar cerita ini, dua orang pemilik burung bangau tadi segera menghampiri
dan menjura dengan sikap hormat sekali.
“Ah, tidak
mengira bahwa kami berdua mendapat kehormatan besar sekali untuk bertemu dengan
seorang patriot yang gagah perkasa beserta suhu-nya yang sakti. Mohon tanya,
siapakah Locianpwe ini dan siapa pula muridmu yang gagah perkasa?” bertanya
kakek jenggot putih itu sambil menjura kepada Bu Pun Su yang jauh lebih tua
darinya.
Bu Pun Su
tidak membalas pemberian hormat itu, sebagaimana biasa dia memang tidak
menyukai segala penghormatan, lalu menjawab seakan-akan mereka telah lama
menjadi kawan baik saja,
“Burung
bangaumu itu hebat sekali. Bukankah kau yang bernama Sie Lok dan disebut Si
Pemelihara Harimau?”
Kakek
jenggot putih itu nampak tercengang. “Eh, sungguh heran! Locianpwe benar-benar
berpemandangan tajam. Memang nama siauwte Sie Lok dan ini adalah adikku Sie
Kiong. Kami berdua saudara memang tukang memelihara harimau. Bolehkah kami
mengetahui nama Locianpwe yang mulia?”
“Siapakah
aku ini? Ahh, aku sendiri sudah hampir lupa siapa namaku. Kalian tanya saja
kepada muridku ini!” jawabnya tak acuh sambil mendekati burung bangau dan
memeriksa seluruh bulu dan tubuh burung itu dengan penuh perhatian dan tertarik
sekali. Berkali-kali ia menganggukkan kepala dan berkata, “Bagus, bagus,”
seolah-olah seorang ahli barang antik sedang mengagumi sebuah benda kuno yang
berharga dan menarik.
Cin Hai yang
sudah tahu akan sifat aneh dari suhu-nya, merasa kurang enak terhadap kedua
orang tua itu, maka dia segera menjura dengan hormat sambil berkata, “Jiwi yang
gagah, suhu-ku itu bernama Bu Pun Su dan siauwte sendiri bernama Sie Cin Hai.”
Kedua orang
itu nampak amat terkejut karena mereka telah mendengar nama Bu Pun Su sebagai
seorang kakek sakti yang luar biasa. Akan tetapi, agaknya mereka lebih tertarik
mendengar nama Cin Hai karena kakek jenggot putih itu kemudian melangkah maju
dan bertanya,
“Anak muda,
wajahmu mengingatkan aku akan seseorang. Siapakah nama ayahmu dan siapa pula
nama ibumu?”
Berdebarlah
hati pemuda itu. Tadinya dia mengira bahwa persamaan she dengan kedua orang itu
hanya kebetulan saja, akan tetapi mendengar pertanyaan ini, timbul perasaan
ganjil di dalam hatinya.
Sambil
menggeleng kepala dia menjawab, ”Siauwte tidak tahu, tak tahu siapa nama ayah
dan ibu...,” sampai di sini ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya, karena
hatinya merasa terharu.
Tiba-tiba Bu
Pun Su berkata dengan suara sambil lalu, “Eh, pemelihara harimau, apakah kau
ketahui tentang seorang she Sie yang terbunuh mati sekeluarganya karena
dianggap pemberontak?”
Mendadak
kedua orang itu menjadi pucat wajahnya dan memandang kepada Bu Pun Su dengan
mata terbelalak. “Locianpwe... apa... apa maksud pertanyaanmu ini...?”
Kedua orang
itu teringat bahwa pemuda itu adalah utusan kaisar, maka tentu saja akan
memusuhi orang-orang yang dianggap pemberontak.
Akan tetapi,
Cin Hai yang mendengar pertanyaan suhu-nya ini dan yang melihat sikap kedua
orang itu, tiba-tiba merasa makin berdebar. “Lo-peh, tahukah kau tentang dia
yang memberontak itu? Tahukah kau...? Katakanlah, Lo-peh!”
Kakek
jenggot putih itu memandang tajam lalu bertanya. “Kau bilanglah lebih dahulu
apa maksudmu dengan pertanyaan itu? Kau adalah seorang utusan kaisar, apa
hubungannya dengan segala pemberontak?”
“Pemberontak
she Sie adalah ayahku sendiri!” kata Sie Cin Hai dengan suara pilu.
Kini kakek
jenggot putih itu melangkah mundur dan wajahnya menjadi amat pucat, tanda bahwa
ia terkejut sekali. Si Jenggot Hitam yang bernama Sie Kiong itu pun
mengeluarkan seruan kaget.
“Apa
katamu...? Anak muda... mukamu memang sama benar dengan Sie Gwat Leng,
pemberontak she Sie itu. Dia itu adalah adikku dan kakak dari Sie Kiong. Anak
muda, apakah kau mau bilang bahwa kau adalah anak Gwat Leng...?”
Dengan kedua
mata terbelalak Cin Hai lalu bertanya, suaranya gemetar. “Katakanlah...
katakanlah... apakah Jiwi kenal kepada seorang wanita bernama Loan Nio yang
menjadi isteri Kwee In Liang?”
“Tentu saja
kenal. Dia adalah adik ipar dari Gwat Leng...”
“Ya
Tuhan...! Kalau begitu kalian adalah paman-pamanku...!” terdengar Cin Hai
berkata dengan dada naik turun karena menahan gelora hatinya. “Pekhu...
Siokhu... aku Sie Cin Hai memang putera Sie Gwat Leng itu... tak salah lagi...”
Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang itu sambil menahan air
matanya!
Sie Lok dan
Sie Kiong lalu menubruk Cin Hai dan memeluknya. “Kau anak Gwat Leng yang ikut
Bibimu itu...? Ah, tak kusangka kita masih akan dapat bertemu...!” kata Sie
Lok.
Bu Pun Su
menghampiri mereka dan berkata, “Tidak ada perceraian yang tidak berakhir.
Agaknya Thian sudah menghendaki sehingga kalian dapat saling berjumpa dengan
tak tersangka-sangka. Sudah lama aku mendengar nama kalian berdua pemelihara
harimau, dan telah timbul persangkaanku, maka hari ini memang aku datang hendak
menyelidiki. Siapa tahu, kebetulan sekali Cin Hai datang ke sini pula dalam
keadaan terpengaruh racun jahat. Sungguh, ini namanya jodoh!”
“Siokhu,
Pekhu, Suhu-ku inilah yang memungkinkan keponakanmu ini sampai sekarang masih
hidup!” kata Cin Hai setelah keharuan hati mereka mereda.
“Sudah lama
kami mendengar nama besar Locianpwe, tidak tahunya Locianpwe adalah guru dan
penolong dari keponakan kami yang tunggal ini. Terimalah pernyataan terima
kasih kami, Locianpwe!” Setelah berkata demikian, Sie Lok dan Sie Kiong lalu
berlutut di depan Bu Pun Su.
“Sudahlah,
sudahlah, tak perlu bersikap seperti kanak-kanak,” kata Bu Pun Su dan ketika ia
menggerakkan kedua tangannya menyentuh pundak kedua orang itu, mau tidak mau
keduanya harus berdiri lagi karena ada tenaga yang amat besarnya mengangkat
mereka bangun! Kemudian, Bu Pun Su berkata kepada Cin Hai,
“Muridku,
sesudah bertemu dengan kedua pamanmu, tentu kau akan mendengar riwayat orang
tuamu. Sekarang aku akan pergi, tubuhku yang sudah amat tua dan lapuk ini tak
kuat untuk merantau lebih lama lagi. Sekarang aku hendak kembali ke Goa
Tengkorak dan membawa Sin-kim-tiauw bersamaku. Kalau kau bertemu dengan Im
Giok, suruh dia menyusulku ke sana!”
Cin Hai
memandang kepada muka suhu-nya dengan bengong. “Suhu maksudkan Ang I Niocu?
Bukankah Niocu sudah... sudah...,” ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
“Kekuasaan
Thian tidak ada batasnya, anak bodoh. Aku sendiri belum memastikan benar apakah
Im Giok masih hidup dan bukankah pada saat peristiwa hebat itu terjadi, baik
burung ini mau pun Im Giok berada di pulau itu? Sudahlah, Cin Hai, kalau tidak
dapat bertemu dengan Im Giok, akhirnya aku pun akan dapat menemuinya, entah di
sini entah di sana...,“ setelah berkata demikian, sekali saja kakek itu
mengebutkan lengan bajunya, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ, tanpa
berpamit kepada Sie Lok dan Sie Kiong!
Memang
demikianlah watak Bu Pun Su yang aneh dan selalu tidak mengacuhkan segala hal
yang dianggapnya kurang perlu! Sin-kim-tiauw lalu memekik keras dan terbang
cepat menyusul kakek itu.
Sie Lok
menghela napas. “Telah banyak aku melihat orang pandai dan sakti, akan tetapi
baru kali ini aku melihat orang yang betul-betul pandai dan berilmu tinggi.
Mari, Cin Hai, mari kita pulang ke rumahku dan di sana bercakap-cakap dengan
leluasa. Hari ini adalah hari yang paling gembira dan baik semenjak kami
ditinggal oleh ayahmu.”
Sambil
digandeng tangannya oleh Sie Kong, Cin Hai lalu ikut mereka pulang dan keluar
dari hutan itu, sedangkan harimau yang telah ditotok tadi, setelah dikalungi
tambang dan dipulihkan keadaannya, lalu diseret dan akhirnya berlari mengikuti
mereka dengan jinak. Ternyata bahwa harimau itu pun maklum akan kelihaian kakek
itu hingga menyerah kalah dan tidak berani memberontak!
Dan
demikianlah cara kedua orang she Sie itu menangkap harimau dan menjinakkannya.
Tiap kali bertemu dengan harimau buas, mereka lalu mengganggu dan mempermainkan
harimau itu dengan kepandaian mereka yang amat tinggi. Kemudian, setelah
harimau itu ditundukkan, leher harimau lalu dicancang dan dibawa pulang,
bagaikan orang menuntun anjing saja.
Setelah
sampai di rumah Sie Lok dan Sie Kiong yang berada di atas sebuah lereng bukit
penuh dengan pohon pek dan siong, Cin Hai merasa kagum sekali oleh karena
ternyata di sekeliling rumah besar itu terdapat banyak sekali harimau yang
berkeliaran di sekitar rumah dengan jinak bagaikan binatang peliharaan biasa.
Ketika Cin
Hai mencoba untuk menghitung jumlah harimau, yang kelihatan saja olehnya sudah
ada dua puluh ekor lebih. Kemudian dia mendengar dari pamannya bahwa mereka
mempunyai lebih dari empat puluh ekor harimau yang besar dan galak.
Bagaikan
anjing-anjing penjaga rumah, ketika melihat Cin Hai dan menciumi bau manusia
baru yang asing, harimau-harimau itu menggereng sambil memperlihatkan gigi dan
taring akan tetapi ketika kedua orang she Sie itu mengangkat tangan kanan,
semua harimau itu menjadi ketakutan dan mengundurkan diri. Bukan main kagumnya
hati Cin Hai melihat pengaruh dan kekuasaan dua orang pamannya itu atas sekian
banyaknya harimau buas.
Setelah
masuk ke dalam rumah dan duduk saling berhadapan, maka berceritalah Sie Lok
kepada Cin Hai. Ternyata bahwa keluarga Sie terdiri dari empat orang saudara
laki-laki bernama Sie Lok, Sie Gwat Leng, Sie Ban Leng dan Sie Kiong. Keempat
saudara ini pada waktu mudanya rajin mempelajari ilmu silat, dan di antara
mereka, yang pandai sekali dan tinggi ilmu silatnya adalah Sie Gwat Leng dan
Sie Ban Leng oleh karena kedua orang ini mendapat didikan dari seorang pertapa
sakti Gobi-san.
Ada pun Sie
Lok dan Sie Kiong mendapat didikan dari seorang hwesio perantau yang juga
mempunyai ilmu kepandaian tinggi dan menjadi ahli penakluk semua binatang buas.
Dari hwesio inilah Sie Lok dan Sie Kiong mendapat ilmu atau cara menaklukkan
harimau dan lain-lain binatang buas, bahkan mereka juga mempelajari cara
menotok tubuh binatang-binatang itu.
Setelah
tamat belajar, keempat saudara ini bertemu lagi dan ketika diadakan pengukuran
kepandaian, ternyata bahwa Sie Gwat Leng adalah yang paling pandai, kemudian
Sie Ban Leng, kemudian Sie Lok dan Sie Kiong sungguh pun bagi orang biasa boleh
disebut telah memiliki ilmu silat yang amat tinggi, namun dibandingkan dengan
kedua saudaranya yang menjadi anak murid Gobi-san itu, kepandaian mereka masih
jauh.
Kecuali Sie
Ban Leng yang mempunyai watak buruk, ketiga saudara yang lainnya adalah
orang-orang yang berjiwa ksatria dan gagah, bahkan Sie Gwat Leng tiada
henti-hentinya menggunakan kepandaian untuk menolong sesama manusia yang
menderita. Gwat Leng merasa tidak puas sekali melihat keadaan rakyat jelata
yang miskin dan papa, karena itu sering kali ia menyatakan ketidak-senangan
hatinya terhadap kaisar dan pemerintahnya.
Berbeda
dengan Gwat Leng dan yang lain-lain, Ban Leng selalu mengumbar hawa nafsu
jahat, bergaul dengan segala macam penjahat dan membiasakan diri dengan segala
jenis permainan judi. Gwat Leng juga sering kali menegurnya sehingga beberapa
kali mereka bercekcok oleh karena Ban Leng tak pernah takut atau tunduk kepada
kakaknya ini. Ada pun Sie Lok yang menjadi saudara tertua tak berdaya apa-apa
oleh karena dia memang jauh lebih lemah dari pada Ban Leng.
Namun, betapa
pun juga, Sie Ban Leng masih berlaku hati-hati dan tidak berani berlaku jahat
secara berterang oleh karena dia takut kepada suhu-nya yang sudah menyuruhnya
bersumpah ketika menjadi muridnya dulu. Kepada Gwat Leng dia tidak takut oleh
karena biar pun ilmu kepandaian Gwat Leng lebih tinggi, akan tetapi dia tahu
akan kesayangan kakaknya itu terhadap dirinya, maka dia yakin bahwa Gwat Leng
tentu takkan tega untuk mencelakakannya.
Kemudian Sie
Gwat Leng menikah dengan seorang gadis dusun yang cantik dan halus budi
bahasanya. Mereka berdua hidup dengan rukun dan saling mencinta, penuh dengan
kebahagiaan. Setahun kemudian terlahirlah seorang anak laki-laki yang diberi
nama Sie Hai yang kemudian ditambah dengan huruf ‘Cin’ oleh Loan Nio karena
nyonya ini tidak ingin kalau ada orang mengetahui bahwa anak itu adalah putera
Sie Gwat Leng yang memberontak.
Akan tetapi
celakanya, ketika melihat isteri Sie Gwat Leng yang cantik manis, timbul hati
jahat di dalam dada Ban Leng yang berwatak buruk itu. Dia mencoba untuk
menggoda soso-nya sendiri hingga timbullah pertengkaran yang diakhiri dengan
perkelahian antara dia dan kakaknya.
Ban Leng
kena dikalahkan oleh Gwat Leng. Dengan hati sakit dan mendendam, Sie Ban Leng
lalu lari meninggalkan saudara-saudaranya. Sampai bertahun-tahun tidak
terdengar lagi berita mengenai dirinya. Akan tetapi, sesudah guru Gwat Leng,
pertapa Gobi-san itu meninggal dunia, mereka mendengar lagi tentang keadaan Ban
Leng dan ternyata bahwa Ban Leng sudah berada di kota raja, menjadi seorang jago
muda yang jarang mendapat tandingan dan disegani orang banyak hingga mendapat
julukan Gobi Sin-liong atau Naga Sakti dari Gobi-san!
Sie Gwat
Leng masih saja bercita-cita untuk menolong kaum tani dan rakyat jelata yang
lemah dan miskin. Ia mulai dengan usahanya di dalam dusun sendiri. Ia
mengumpulkan orang-orang kampung, mendidik mereka dengan ilmu silat, kemudian
mendesak dengan kekerasan dan pengaruh kepandaiannya kepada mereka yang
tergolong hartawan untuk mengulurkan tangan membantu.
Akhirnya ia
pun berhasil membuat kampungnya menjadi makmur. Semua orang bertubuh sehat dan
mendapat didikan ilmu silat sehingga dapat menjaga kampung dari serangan orang
jahat dan tidak ada lagi orang yang mengalami kemelaratan karena semua orang
mendapat penghasilan yang cukup.
Hal ini lalu
terdengar oleh kampung lain yang merasa iri dan kemudian dikabarkan orang bahwa
keluarga Sie hendak mengadakan pemberontakan dan telah bersiap-siap dengan
melatih orang-orang dusun dengan ilmu silat untuk kelak dipergunakan memberontak
dan memukul kerajaan!
Hal ini
terdengar oleh seorang perwira yang bertugas di satu tempat tak jauh dari dusun
itu. Perwira ini orangnya sombong dan tanpa menanti perintah dari pusat, ia
telah lancang mengadakan tindakan sendiri untuk mencari pahala.
Dia membawa
anak buahnya sebanyak empat puluh orang dan menyerbu ke dusun itu! Anak buahnya
mengamuk dan tidak hanya memukul dan menawan orang-orang, bahkan mengganggu
anak bini orang dan merampas harta mereka!
Tentu saja
Sie Gwat Leng menjadi marah sekali. Dia mengumpulkan orang-orang dusun dan
melawan penyerbu-penyerbu itu hingga tentara di bawah pimpinan perwira sombong
itu dapat dimusnakan berikut pemimpinnya!
Segera kota
raja mendengar mengenai peristiwa ini, dan Sie Gwat Leng lalu dianggap sebagai
pemberontak! Kaisar kemudian memerintahkan Kwee In Liang untuk memimpin
serombongan tentara terdiri dari seratus orang untuk menawan kawanan
pemberontak-pemberontak itu.
Di dalam
rombongan ini ikut pula Sie Ban Leng karena orang ini mendapat kesempatan untuk
membalas dendam kepada kakaknya sendiri. Biar dia tidak secara terang-terangan
ikut di dalam rombongan Kwee-ciangkun, akan tetapi diam-diam dia ikut pergi
kembali ke dusunnya sendiri dengan maksud membantu penindasan pemberontak,
sebab ia maklum bahwa dengan adanya tiga saudaranya di dalam dusun, maka akan
sukarlah bagi tentara kerajaan untuk menindas dan mengalahkan dusun itu.
Terjadilah
pertempuran hebat antara tentara kerajaan dan orang-orang dusun di bawah
pimpinan ketiga saudara Sie yang melakukan perlawanan karena mereka sudah
merasa benci sekali terhadap kerajaan, yang ditimbulkan oleh sepak terjang yang
jahat dari para tentara di bawah pimpinan perwira yang dulu menyerbu dan
berhasil dihancurkan.
Benar saja
dugaan Ban Leng. Kwee Ciangkun tidak berdaya menghadapi ketiga saudara Sie yang
benar-benar kosen dan tangguh. Selagi dia merasa bingung, datanglah Sie Ban
Leng membantunya.
Dengan licik
dan curang sekali, Sie Ban Leng datang kepada kakaknya dan menyatakan
penyesalannya, kemudian berkata bahwa ia sengaja datang ingin membantu
perjuangan saudara-saudaranya mengusir barisan kerajaan. Tentu saja Gwat Leng,
Sie Lok dan Sie Kiong merasa gembira sekali, dan menerima saudara yang sesat
ini dengan dua tangan terbuka.
Tidak
tahunya, pada malam harinya, ketika Sie Gwat Leng sedang tidur karena lelahnya
memimpin orang-orang dusun melawan tentara negeri, Ban Leng lalu berlaku curang
dan menotok kedua pundak kakaknya yang sedang tidur itu!
Sie Lok dan
Sie Kiong yang melihat hal ini menjadi amat marah lalu menyerang Ban Leng yang
berkhianat. Akan tetapi kepandaian mereka belum mampu melawan Ban Leng dan pada
saat itu pula, sesuai dengan rencana Ban Leng dan Kwee-ciangkun, tentara negeri
segera menyerbu!
Dalam
keadaan tidak berdaya karena totokan Ban Leng membuatnya lumpuh, Gwat Leng
ditawan, orang-orang kampung banyak yang mati dan sebagian pula ditawan,
kampung dibakar habis dan semua keluarga Sie ditawan pula! Dalam suasana ribut
itu, Ban Leng hendak menculik serta mengganggu isteri Gwat Leng, akan tetapi
Kwee In Liang dengan marah mencegahnya.
“Semua orang
tidak boleh mengganggu wanita, siapa melanggar akan dihukum!” katanya dengan
garang.
Ban Leng
sendiri sebetulnya tidak takut kepada Kwee In Liang, akan tetapi tiba-tiba
isteri Gwat Leng yang merasa putus harapan itu, segera menggunakan kesempatan
ini untuk membenturkan kepala sendiri pada dinding hingga kepalanya menjadi
pecah dan tewas pada saat itu juga. Dengan hati menyesal, Ban Leng lalu
meninggalkan tempat itu.
Adik
perempuan isteri Gwat Leng yaitu Loan Nio, yang pada saat itu sudah remaja
puteri, sambil menggendong Sie Hai yang masih kecil mencoba lari, akan tetapi
dia ditangkap oleh seorang anggota tentara yang kagum melihat kecantikannya.
Akan tetapi, untunglah bahwa pada waktu itu Kwee In Liang melihat hal ini
terjadi. Perwira ini memberi pukulan keras hingga tentara itu pingsan,
sedangkan dia lalu menolong Loan Nio dan anak kecil yang disangka anak Loan Nio
itu, dibawa ke dalam rumahnya.
Loan Nio
lalu diambil sebagai pelayan di rumah gedung Kwee In Liang, dan gadis yang
cerdik ini lalu menitipkan Sie Hai kepada seorang wanita di luar gedung dengan
memberi belanja setiap pekan, yaitu uang gajinya sendiri, seluruhnya diberikan
kepada wanita itu.
Demikianlah,
Sie Hai yang kemudian dinamakan Cin Hai oleh Loan Nio itu, yang di waktu itu
baru berusia setahun lebih, dipelihara dengan diam-diam oleh Loan Nio. Dan
setelah Loan Nio diambil sebagai isteri oleh Kwee-ciangkun, baru dia memberi
tahu dengan jujur kepada suaminya bahwa Cin Hai adalah putera Sie Gwat Leng.
Karena sangat mencintai dan sayang kepada isterinya yang baik budi ini,
Kwee-ciangkun mau juga menerima Cin Hai di dalam gedungnya.
Ada pun Sie
Lok dan Sie Kiong yang mempunyai ilmu kepandaian, dapat melarikan diri setelah
mereka tidak berhasil menghukum Ban Leng yang sangat jahat dan yang sudah
mengkhianati kakak sendiri itu. Mereka lalu merantau dengan hati duka. Apa lagi
ketika mereka mendengar betapa Gwat Leng menjalankan hukuman mati dalam keadaan
masih lumpuh, sedangkan isterinya mati membunuh diri dan keluarga lain dihukum
mati pula, kedua saudara ini hanya bisa menangis dan sedih.
Mereka
merasa benci sekali kepada manusia, oleh karena dianggapnya manusia adalah
makhluk yang sejahat-jahatnya. Seorang saudara kandung sendiri seperti Ban Leng
bisa berlaku sejahat itu, apa lagi orang lain? Maka, mereka lalu mengasingkan
diri di hutan, dan menaklukkan banyak harimau untuk menjadi kawan-kawan dan
penjaga mereka!
Mendengar
cerita Sie Liok ini, Cin Hai merasa sedih, terharu, marah dan menyesal sekali.
“Pek-hu dan
Siok-hu, di manakah adanya Paman Sie Ban Leng, manusia yang berwatak rendah dan
biadab itu? Ingin sekali aku dapat melihat muka orang yang berhati binatang
itu!” katanya gemas dan marah, sambil mengepal tangannya.
“Entahlah,
kami berdua dulu pernah mencarinya untuk membalas dendam, akan tetapi dua kali
kami sudah kena dikalahkan dan kemudian kabarnya dia merasa menyesal atas perbuatannya
yang terkutuk itu dan dia telah mengasingkan diri entah di mana.”
Kemudian,
atas permintaan kedua pamannya, Cin Hai dengan singkat lalu menceritakan
pengalamannya. Kedua orang tua itu merasa kagum sekali. Akan tetapi, mereka
masih penasaran jika belum mencoba dan mengukur sendiri kelihaian keponakannya
ini, maka Sie Kiong yang berwatak gembira lalu berkata,
“Cin Hai
coba kau perlihatkan kepandaianmu agar hatiku puas.”
Cin Hai
tersenyum, lantas mengikuti mereka berdua keluar dari rumah di mana terdapat
halaman yang cukup luas.
“Bagaimanakah
aku harus memperlihatkan kebodohanku?” tanyanya kepada Sie Lok dan Sie Kiong.
“Kau
lawanlah kami berdua, agar kami dapat mengukur apakah kepandaianmu ini dapat
dibandingkan dengan Ayahmu atau Pamanmu yang jahat itu?” kata Sie Lok yang
segera menggulung lengan bajunya.
Cin Hai
maklum bahwa betapa pun tinggi ilmu kepandaian dua pamannya ini, akan tetapi
melihat gerakan mereka ketika menawan harimau tadi, dia merasa yakin bahwa dia
tentu akan dapat mengalahkan mereka.
“Baiklah,
aku akan berusaha menjaga diri,” kata Cin Hai dengan tenang.
“Awas
serangan!” tiba-tiba Sie Kiong berseru gembira.
Ia lalu
menerkam dengan serangan yang cukup lihai berbahaya, sedangkan Sie Lok yang
hendak menguji kelihaian keponakannya juga segera membarengi menyerang dari
lain jurusan. Cin Hai mengerti akan kehebatan serangan kedua pamannya ini, maka
tubuhnya lalu berkelebat dan dia pun mengeluarkan ginkang-nya yang sudah
sempurna.
Kedua mata
Sie Lok dan Sie Kiong menjadi kabur ketika mereka melihat betapa tubuh
keponakan itu tiba-tiba berkelebat dan lenyap dari tengah-tengah kepungan. Dan
tiba-tiba mereka mendengar suara Cin Hai di tempat yang jauhnya tiga tombak
lebih, “Aku berada di sini.”
Bukan main
heran kedua orang tua itu, dan dengan cepat mereka segera menerjang lagi,
sekarang dengan cepat sekali supaya jangan sampai pemuda itu mendapat
kesempatan mengelak. Sie Lok menyerang dengan jari tangan kanan dibuka dan
menotok ke arah jalan darah di lambung Cin Hai, sedangkan Sie Kiong menyerang
dengan pukulan tangan miring ke arah leher keponakannya.
Cin Hai
berseru keras, dan dengan menundukkan kepala ia dapat mengelak dari pukulan Sie
Kiong, sedangkan untuk menghadapi totokan Sie Lok, dia cepat mengulur tangan
dan mendahului dengan totokan ke arah pergelangan tangan pamannya itu. Sie Lok
terkejut dan menarik kembali tangannya lantas menyerang lagi dengan hebat,
demikian pula Sie Kiong.
Akan tetapi,
Cin Hai kemudian mengeluarkan Ilmu Silat Sianli Utauw atau Tarian Bidadari
sambil berkata, “Inilah Sianli Utauw yang kupelajari dari Ang I Niocu.”
Setiap
serangan kedua orang tua itu dia kelit dan sampok dengan gerakan tubuh yang
lemas seakan-akan orang menari, akan tetapi serangan-serangan kedua pamannya
itu tidak mampu mengenai tubuhnya sama sekali. Kedua orang tua itu merasa kagum
sekali dan juga heran betapa dengan hanya menari-nari saja keponakannya ini
dapat mengelak dari serangan-serangan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Cin Hai
memang sengaja mendemonstrasikan kepandaiannya kepada kedua pamannya, karena ia
ingin membuat kedua pamannya itu girang dan senang. Maka setelah mainkan Sianli
Utauw berapa belas jurus untuk menghadapi serangan-serangan kedua pamannya, ia
lalu merubah gerakannya dan berkata pula,
“Dan
sekarang aku memainkan kepandaian pokok ilmu silat yang kupelajari dari Suhu Bu
Pun Su!” Setelah ia berkata demikian, ia lalu memperhatikan gerakan-gerakan
pamannya dan ia lalu mengembalikan setiap serangan dengan gerakan yang sama
seperti ilmu silat kedua pamannya.
Kalau tadi
menyaksikan Sianli Utauw membuat kedua orang itu terheran-heran, sekarang
menghadapi betapa keponakannya itu melawan mereka dengan ilmu silat mereka
sendiri, maka kedua orang she Sie itu sesudah mengeluarkan ilmu pukulan yang
paling sulit dan berbahaya akan tetapi yang dikembalikan dengan sama baiknya
oleh Cin Hai, keduanya tak dapat menahan keheranan mereka lagi dan dengan cepat
melompat mundur.
“Nanti dulu!
Dari mana pula kau mempelajari ilmu silat kami itu?” tanya Sie Lok dengan
terheran-heran dan mata terbelalak!
“Aku belum
pernah mempelajari ilmu-ilmu silat itu, akan tetapi memang Suhu Bu Pun Su telah
melatihku untuk mengetahui semua dasar-dasar ilmu silat yang pada hakekatnya
sama, sehingga setiap kali aku diserang dengan semacam ilmu silat, aku dapat
meniru gerakan itu dan mengembalikannya kepada lawan dengan jurus itu juga.”
Sie Lok dan
Sie Kiong saling pandang dengan heran dan mereka ini hampir tidak dapat
mempercayai keterangan ini. Akan tetapi oleh karena tadi mereka telah
menyaksikannya sendiri dan beberapa belas jurus pukulan yang paling terahasia
dan terlihai dari mereka sudah dilakukan dengan sempurna oleh Cin Hai, mereka
hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Bukan
main!” kata pula Sie Kiong. “Akan tetapi Kanda Ban Leng mempunyai kepandaian
Eng-jiauw-kang yang lihai sehingga ia mampu menghadapi kami berdua yang
memegang senjata dengan tangan kosong saja. Maka cobalah kau menghadapi kami
dengan tangan kosong pula sedangkan kami menyerang dengan senjata tajam!”
Sie Lok juga
menyetujui cara percobaan kepandaian ini dan Sie Kiong lalu berlari masuk untuk
mengambil dua batang pedang. Setelah menyerahkan sebatang kepada kakaknya,
kedua orang tua ini lalu menghadapi Cin Hai, dan Sie Lok berkata,
“Cin Hai kau
berhati-hatilah, karena ilmu pedang kami bukanlah kepandaian rendah!” Lalu ia
melangkah maju dan mulai dengan serangannya. Demikianlah Sie Kong yang segera
memutar pedang di atas kepala dan mengirim serangan hebat.
Cin Hai lalu
memperlihatkan ilmu silat tangan kosong yang dipelajarinya dari Bu Pun Su,
yaitu Kong-ciak Sin-na. Tubuhnya dengan ringan sekali melompat-lompat ke atas
laksana seekor burung merak yang sedang terbang saja dan kemudian dari atas dia
menghadapi serangan pedang dengan tendangan serta cengkeraman untuk merampas
senjata kedua pamannya.
Sementara
itu, semenjak tadi burung bangau yang besar itu hanya berdiri memandang,
kadang-kadang terbang ke atas dan berputaran di atas kepala ketiga orang yang
sedang bertempur. Akan tetapi, sesudah ia menyaksikan betapa tubuh Cin Hai
melayang ke atas bagaikan burung, ia lalu memekik keras dan tubuhnya melayang
lalu menyambar dengan sepasang patuknya yang runcing bagai pedang itu, yang
digerakkan secara hebat untuk menyerang Cin Hai.
“Ang-siang-kiam,
jangan!” teriak Sie Lok.
Akan tetapi
Cin Hai lalu berkata sambil tersenyum. “Biarlah, Pek-hu, dia juga mau ikut
bergembira, mengapa tidak boleh?”
Demikianlah,
dengan ilmu Silat Kongciak Sinna, Cin Hai melayani kedua pamannya yang dibantu
oleh burung bangau itu sehingga kini dia dikeroyok tiga. Akan tetapi ilmu
silatnya sungguh hebat sehingga tubuhnya seakan-akan tidak pernah mengambah
bumi. Tiap kali tubuhnya turun, ia kemudian menggunakan ujung sepatunya untuk
mengenjot lagi hingga tubuhnya kembali melayang ke atas.
Serangan
burung bangau itu dia gagalkan dengan kepretan tangan ke arah paruh burung itu
sehingga tiap kali jari tangannya menyentuh paruh, maka burung bangau itu
hampir jatuh ke bawah! Sementara itu, dua pedang Sie Lok dan Sie Kiong yang
bergerak bagai dua ekor ular sakti menyambar-nyambar itu dapat dihindarkannya
dengan tendangan kaki dan cengkeraman yang sebaliknya bahkan mengancam
pergelangan tangan mereka dan bagian tubuh lain!
Setelah
menghadapi serangan tiga pengeroyok ini sampai tiga puluh jurus lebih, Cin Hai
tiba-tiba melompat turun dan berkata, ”Sekarang setelah permainan Kong-ciak
Sin-na tadi, aku akan mainkan Pek-in Hoat-sut, juga yang diturunkan oleh Suhu
Bu Pun Su!”
Jauh sekali
perbedaan ilmu silatnya ini dengan yang tadi. Apa bila tadi gerakannya gesit
sekali, kini dia berdiri dengan tenang dan kokoh di atas tanah, kedua lengan
tangannya digerak-gerakkan dan tiba-tiba dari kedua lengan ini mengebul uap
putih! Burung bangau menyambar turun, lalu dikebut dengan tangan kiri dan
ketika uap putih itu menyambar, burung itu memekik keras dan terlempar, lalu
terbang lagi ke atas tanpa berani menyerang lagi!
“Hebat!”
kata Sie Lok yang segera menyerang lagi, disusul oleh Sie Kiong.
Akan tetapi
alangkah terkejut hati mereka ketika sekali saja Cin Hai menangkis, pedang
mereka hampir saja terlepas dari pegangan!
“Sungguh
lihai sekali!” kata Sie Lok sambil berhenti menyerang dan memandang Cin Hai
dengan wajah berseri. “Cin Hai, kalau tidak menyaksikan dan merasakan sendiri,
aku tak akan dapat percaya bahwa kau mempunyai ilmu kepandaian seperti ilmu
sihir saja! Ahh, anakku, jangankan baru seorang Ban Leng, biar dia menjadi tiga
pun tak mungkin dapat mengalahkan kau! Hebat, hebat!”
“Akan
tetapi, semenjak tadi Hai-ji (Anak Hai) hanya menangkis dan menjaga diri saja.
Aku belum merasai kehebatan serangan balasannya. Cin Hai, coba kau cabut
pedangmu agar kami dapat pula menyaksikan kiamsut-mu!”
“Baiklah,”
kata Cin Hai sambil mencabut keluar Liong-coan-kiam dari pinggangnya. “Nah,
Pek-hu dan Siok-hu, bersiap sedialah, aku hendak menyerang dengan Ilmu Pedang
Daun Bambu!”
Sie Lok dan
Sie Kong segera memutar pedang mereka dengan cepat untuk melindungi diri
sehingga jangankan pedang lawan, biar pun air sepikul pun kalau disiramkan ke
arah mereka tak mungkin akan dapat menembus sinar pedang mereka yang melindungi
tubuh!
Cin Hai lalu
menggerakkan pedangnya. Gerakannya cepat luar biasa dan matanya yang tajam
sudah dapat melihat lowongan-lowongan di antara sinar pedang kedua pamannya.
“Awas!”
teriaknya dan dua kali pedangnya lalu berkelebat secara luar biasa sekali. Maka
terdengarlah kain robek dua kali, lantas Cin Hai menarik kembali pedangnya dan
berdiri tegak!
Sie Lok dan
Sie Kiong merasa heran dan segera menghentikan gerakan mereka pula. Alangkah
terkejut hati mereka ketika melihat betapa baju di dada mereka telah robek dan
bolong terkena ujung pedang Cin Hai yang baru menyerang segebrakan saja itu!
Keduanya
lalu melempar pedang masing-masing dan maju memeluk Cin Hai. Tak terasa pula,
mata mereka berlinang air mata karena girang, puas dan bangga.
“Hai-ji...
kalau bangsat Ban Leng itu berada di sini, akan mampus dia di tanganmu!” kata
Sie Lok.
“Cin Hai,
anakku yang gagah perkasa! Ahh... kalau saja Kanda Gwat Leng masih hidup, tentu
dia akan merasa bangga sekali melihat kau selihai ini...,” kata Sie Kiong dan
orang tua berjenggot hitam ini menggunakan punggung tangan untuk mengusir pergi
dua butir air mata yang terloncat keluar dari kedua matanya.
Dengan hati
terharu Cin Hai lalu bertanya, “Di manakah makam Ibu? Dan di manakah pula
jenazah Ayah dikuburkan?”
“lbumu
dikuburkan di dusun Kang-cou, dan jenazah ayahmu yang dulu dibakar oleh para
petugas di kota raja, dapat kami curi dan kami tanam pula di dekat makam Ibumu.
Dusun itu berada di kaki Bukit Houw-san.”
Untuk dua
pekan lamanya Cin Hai tinggal bersama kedua pamannya dan selama itu dia
mempelajari cara-cara menangkap semua binatang buas. Burung bangau menjadi
kawan baiknya dan ia merasa suka sekali kepada burung ini hingga burung itu
menjadi jinak dan ke mana pun dia pergi burung itu selalu mengikutinya. Melihat
hal ini, kedua pamannya kemudian menyatakan bahwa burung itu diberikan kepada
Cin Hai untuk menjadi kawan seperjalanannya.
“Bawalah
Ang-siang-kiam, dia dapat menjadi kawan baik dalam perjalanan,” kata Sie Lok
dan Cin Hai menerimanya dengan girang hati.
Dalam waktu
senggang, Cin Hai menuturkan pengalaman-pengalamannya dan bercerita pula
tentang sahabat-sahabatnya, tentang Nelayan Cengeng, tentang Kwee An dan Ma
Hoa, dan tidak lupa pula menceritakan tentang diri Lin Lin yang diakuinya
sebagai calon isterinya sehingga kedua orang tua itu menjadi girang sekali.
“Kelak kalau
kau akan menikah, tak boleh tidak kau harus memberi kabar supaya kami dapat
datang minum arak kegirangan.”
Kemudian Cin
Hai berpamit karena dia sudah terlalu lama meninggalkan Lin Lin. Kedua pamannya
tidak dapat menahannya dan berangkatlah ia meninggalkan kedua pamannya dengan
semua harimau itu, pergi dengan ilmu berlari cepat. Burung bangau yang besar terbang
di atasnya dan ikut pergi bersamanya.
***************
Karena Cin
Hai melakukan perjalanan dengan mempergunakan ilmu lari cepat dan jarang
berhenti dalam kerinduannya hendak segera bertemu kembali dengan Lin Lin,
sambil tidak lupa mencari-cari jejak Kwee An dan Ma Hoa yang lenyap tak
meninggalkan bekas itu, maka beberapa hari kemudian sampailah dia di kaki bukit
tempat tinggal Yousuf. Dia merasa heran sekali melihat betapa dusun-dusun di
sekitar bukit itu sudah kosong dan tiada bermanfaat lagi!
Dengan hati
berdebar cemas dia berlari ke atas bukit dan betul saja seperti apa yang dia
khawatirkan, rumah Yousuf sudah roboh dan nampak seperti bekas dibakar! Dengan
hati cemas dan wajah pucat Cin Hai mencari dan membongkar tumpukan puing, akan
tetapi dia menjadi lega oleh karena tidak melihat tanda-tanda bahwa kekasihnya
dan Yousuf menjadi korban api yang membakar rumah. Dia berdiri di depan
tumpukan puing dengan tubuh lemas, dan tiba-tiba dia mendengar suara ringkik
kuda dari jauh.
“Pek-gin-ma!”
ia berseru dan melompat terus lari cepat mengejar ke arah suara itu.
Dan di dalam
sebuah hutan dia melihat kuda itu sedang makan rumput dan kadang kala meringkik
sedih seolah-olah kehilangan kawan dan merasa kesunyian. Pada saat Cin Hai lari
menghampiri, ia lalu mengangkat kepalanya dan meringkik lagi, seakan-akan
hendak menceritakan sesuatu.
Cin Hai
memeluk leher kuda itu dan merasa menyesal sekali mengapa dia tidak menjadi
kuda saja supaya dapat mengerti apa yang hendak diceritakan oleh Pek-gin-ma
tentang kekasihnya!
“Pek-gin-ma,
apakah yang telah terjadi pada mereka? Pek-gin-ma, kalau kau tahu tempat
mereka, bawalah aku kepada Lin Lin...”
Akan tetapi,
kuda itu hanya menggaruk-garuk tanah dengan kedua kaki depannya. Sementara itu,
burung bangau yang ikut datang bersama Cin Hai, terbang berputaran di atas
melihat-lihat daerah yang asing baginya itu. Cin Hai lantas menunggang
Pek-gin-ma dan bersuit memanggil Ang-siang-kiam yang segera meluncur turun dan
mengikuti ke mana pemuda itu melarikan kudanya.
Cin Hai turun
dari lereng dan memeriksa dusun-dusun di sekitar daerah itu. Pada saat dia
sedang berdiri di tengah dusun yang kosong sambil menuntun Pek-gin-ma,
tiba-tiba dia mendengar suara tindakan kaki. Dia segera melompat ke belakang
sebuah pohon besar dan dapat menangkap lengan tangan seorang penduduk dusun
yang hendak melarikan diri. Orang itu masih muda dan meronta-ronta, kemudian
setelah merasa bahwa ia tidak kuasa melepaskan diri lalu menjatuhkan diri
berlutut sambil memohon.
“Ampun,
Hohan, jangan bunuh aku,” katanya dengan tubuh menggigil.
“Berdirilah,
sahabat. Aku bukan orang jahat, dan aku hanya hendak bertanya kepadamu apa yang
sudah terjadi di pegunungan ini. Ke mana perginya semua penduduk dusun ini dan
tahukah kau ke mana perginya orang Turki dan nona yang dulu tinggal di lereng
itu?”
Ketika
melihat bahwa Cin Hai bukanlah orang yang ditakutinya, pemuda dusun itu lalu
bercerita bahwa beberapa hari yang lalu, pegunungan itu didatangi serombongan
orang Turki yang terdiri dari puluhan orang banyaknya, sambil menunggang
kuda-kuda besar mereka menyerang dusun-dusun seperti orang-orang gila.
Kemudian
orang-orang Turki ini menyerbu naik ke atas bukit untuk menangkap Yousuf.
Terjadilah pertempuran hebat dan orang-orang dusun yang bersembunyi lantas
melihat betapa Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti melarikan diri dari situ dengan
cepat, dikejar-kejar oleh rombongan orang Turki itu!
“Entah ke
mana mereka melarikan diri, agaknya mereka tidak kuat menghadapi serbuan
orang-orang Turki itu!” pemuda dusun tadi mengakhiri ceritanya.
Cin Hai
merasa terkejut sekali. Kalau Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti sampai tidak kuat
menghadapi rombongan itu, tentu di dalam rombongan itu terdapat orang-orang
pandai, pikirnya. Ia heran sekali, siapakah orangnya yang dapat mengalahkan Lin
Lin yang sudah dilatihnya dengan ilmu-ilmu silat tinggi itu? Dia benar-benar
tak mengerti dan kemudian turun gunung dengan hati cemas dan pikiran bingung,
diikuti oleh burung bangau yang dengan setia terbang rendah di atas kepalanya.......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment