Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 18
BEBERAPA
tahun yang lalu pada saat dia merasa bahwa dirinya telah amat tua dan telah
banyak darah dia alirkan melalui pedang ini, dia merasa menyesal sekali dan
takut untuk menerima hukuman dari semua dosanya. Maka ia lalu bersumpah takkan
menggunakan pedang ini untuk membunuh orang lagi. Akan tetapi, oleh karena
sekarang dia merasa marah sekali, dia tidak ingat lagi akan sumpah itu dan
mencabut keluar senjatanya yang hebat.
Cin Hai
terkejut melihat gerakan ini. Dia tidak mempunyai permusuhan dengan Kiam Ki
Sianjin dan tadi pun dia hanya ingin menolong Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu
saja serta hendak mencoba kepandaian kakek luar biasa ini. Sekarang melihat
betapa kakek itu mencabut keluar pedangnya, maka tahulah bahwa kakek itu sudah
marah sekali dan bermaksud mengadu jiwa.
“Kiam Ki
Sianjin!” Cin Hai berkata keras-keras, “kita tak pernah saling bermusuhan
hingga tak perlu mengadu jiwa!”
Kiam Ki
Sianjin telah salah mengerti dan menduga bahwa pemuda itu merasa jeri melihat
pedangnya. Maka, sambil tertawa cekikikan dia lalu menerjang maju dengan
cepatnya.
“Baiklah,
agaknya kau hendak membela muridmu yang durhaka Hai Kong Hosiang itu!” kata Cin
Hai.
Secepat
kilat pemuda ini pun kemudian mengelak sambil mencabut keluar pedangnya,
Liong-coan-kiam. Karena maklum bahwa ilmu kepandaian kakek ini hebat sekali dan
dia takkan dapat mengambil kemenangan apa bila ia hanya mengandalkan pengertian
pokok persilatan dan hanya mengikuti gerakan serangan orang tua itu tanpa
membalas dengan serangan berbahaya, maka dengan ilmu pedang yang dia ciptakan
bersama Ang I Niocu dan yang telah diyakinkan sempurna itu, pedangnya lantas
bergerak-gerak aneh laksana terbang ke udara dan tiada ubahnya dengan seekor
naga sakti yang keluar dari surga dan menyambar-nyambar ke arah Kiam Ki Sianjin
dengan garangnya.
Akan tetapi,
Kiam Ki Sianjin benar-benar hebat dan luar biasa sekali ilmu silatnya. Walau
pun dia merasa sangat terkejut melihat ilmu pedang yang seumur hidupnya belum
pernah disaksikan itu, namun pengalamannya membuat dia dapat menduga ke mana
arah tujuan pedang Cin Hai dan sanggup menjaga diri dengan baiknya serta dapat
pula melancarkan serangan balasan yang tak kalah hebatnya.
Kedua orang
ini bertempur mengadu ilmu sampai tiga ratus jurus lebih dan para penonton
sudah merasa pening karena terpengaruh oleh gerakan pedang yang dimainkan
secara hebat itu. Bahkan Kwee An sampai menjadi merah matanya karena tidak
tahan melihat menyambarnya sinar pedang. Juga para perwira yang tadinya
berseru-seru, kini diam tak bergerak dan hanya memandang dengan muka pucat.
Banyak di antara mereka yang mengalirkan air mata karena mata mereka terasa
pedas sekali sehingga terpaksa mereka mengalihkan pandangan matanya dan tidak
langsung memandang ke arah pertempuran.
Hanya Eng
Yang Cu dan Nelayan Cengeng saja yang masih sanggup menonton dengan
tertariknya, akan tetapi juga kedua orang ini agak pucat karena maklum bahwa
sekarang sedang berlangsung pertandingan tingkat tinggi yang langka terlihat.
Kini mereka makin kagum saja kepada Cin Hai yang bagaikan sebuah batu mustika,
baru sekarang tergosok dan kelihatan betul-betul sinar dan nilainya. Kedua
tokoh besar ini diam-diam menghela napas saking tertarik dan kagumnya.
Biar pun di
luarnya tidak menyatakan perubahan, namun sebetulnya Kiam Ki Sianjin telah merasa
lelah sekali. Rasa penasaran dan marah telah berkobar di dalam dadanya yang
membuat seluruh tubuhnya terasa panas sekali. Inilah kesalahannya dan ia pun
maklum akan hal ini, akan tetapi ia tidak berdaya. Nafsu marah dan penasaran
yang sudah lama dapat ditenggelamkan pada dasar hatinya, kini tiba-tiba
melonjak dan timbul pula dengan serentak, maka tentu saja tangannya menjadi
semakin lemah.
Baiknya Cin
Hai memang tidak bermaksud membunuh atau melukainya, karena betapa pun juga,
pemuda ini merasa kasihan melihat kakek yang sangat tua hingga merupakan rangka
hidup ini. Ia dapat menduga bahwa kakek ini telah mulai lelah, maka ia mendesak
makin hebat dengan maksud agar kakek ini dapat menyerah karena kelelahannya.
Benar saja,
desakannya sudah membuat Kiam Ki Sianjin merasa lelah sekali. Tubuhnya sudah
penuh keringat dan napasnya mulai terengah-engah hingga membuat gerakannya
menjadi lambat.
Ternyata
bahwa Yousuf menggunakan poci teh itu untuk mencoba pemuda yang berani
mendekati Ma Hoa atau Lin Lin dan lemparan poci ini adalah semacam kepandaian
sihir yang digerakkan oleh tenaga khikang.
Melihat
menyambarnya poci teh ke arah kepalanya, Kwee An terkejut sekali karena dia
telah merasa datangnya serangan angin sambaran benda itu. Namun Kwee An tidak
saja sudah mempunyai ilmu silat yang cukup tinggi, bahkan sekarang setelah lama
melakukan perjalanan dengan Cin Hai, ia mendapat petunjuk-petunjuk berharga
dari pemuda itu dan kepandaiannya telah mengalami banyak kemajuan. Di samping
itu, Cin Hai juga memberi petunjuk tentang penyempurnaan latihan lweekang
hingga dalam hal tenaga lweekang dan khikang, Kwee An juga mendapat kemajuan
pesat.
Melihat
datangnya poci teh yang menyambar, Kwee An lalu mengulur tangan kanannya dan
dia semakin terkejut ketika merasa betapa poci itu terdorong oleh tenaga yang
kuat sekali. Akan tetapi dia dapat mengerahkan lweekang-nya dan menerima poci
teh dengan baik, bahkan air teh yang di dalam poci sama sekali tidak tumpah
keluar!
“Bagus,
bagus! Ma Hoa, siapakah pemuda yang gagah ini?” tanya Yousuf yang segera
melangkah menghampiri.
“Lekas kau
minum air teh dari poci. Ini adalah Yo-peh-peh,” bisik Ma Hoa.
Tanpa
ragu-ragu Kwee An melakukan apa yang dikatakan oleh kekasihnya itu dan dia
minum air teh dari mulut poci begitu saja tanpa cawan. Yousuf makin girang dan
tertawa bergelak-gelak.
“Yo-peh-peh,
ini adalah An-koko yang sering kali kau dengar namanya itu.”
Yousuf
terkejut dan tahu bahwa dia tadi telah salah sangka. Maka cepat dia menghampiri
dan membungkuk. “Maaf, Kwee-taihiap, aku tua bangka sembrono sudah berlaku
kurang ajar.”
Akan tetapi,
dengan hormat sekali Kwee An lalu menjura sesudah memberikan poci teh kepada
kekasihnya dan berkata, “Yo-peh-peh, setelah Hoa-moi menyebut kau Peh-peh, maka
kau bukanlah orang lain dan perkenankanlah aku menyebut Peh-peh pula padamu
yang baik hati dan berkepandaian tinggi!”
Yousuf makin
girang melihat sikap yang sopan santun dari pemuda ini, maka dia segera maju
memeluknya. “Bagus, Ma-Hoa tidak keliru memilih. Memang Nelayan Cengeng itu
pandai memilih jodoh muridnya!”
Ia lalu
melihat kepala kampung itu dan segera memanggilnya, dan beramai-ramai mereka
lalu masuk ke dalam rumah.
“Di mana Lin
Lin?” tanya Kwee An dan baru sekarang ia teringat kepada adiknya.
Ma Hoa
memandangnya dengan mata berseri, lalu menjawab, “Entahlah, semenjak tadi dia
keluar dengan Sin-kong-ciak. Sebentar lagi tentu dia datang. Dan di manakah
adanya Sie-taihiap? Mengapa ia tidak datang bersamamu?”
“Kebetulan
sekali! Dia tadi mendengar suara kong-ciak dan pergi mencarinya, tentu dia
telah bertemu dengan Lin Lin!”
Kemudian
ketiga orang itu saling menceritakan tentang pengalaman mereka, disaksikan dan
didengar oleh kepala kampung.
***************
Ketika Cin
Hai lari cepat ke arah puncak di mana dia mendengar burung merak memekik
nyaring, dia mendengar lagi pekik burung merak itu yang agaknya sedang marah.
Cin Hai mempercepat larinya dan ketika dia tiba di puncak, dia melihat
pertempuran yang hebat antara seekor burung merak yang bulunya indah dan
bertubuh besar sekali melawan seorang hwesio tinggi besar. Alangkah kaget dan
girangnya ketika melihat bahwa hwesio itu bukan lain Hai Kong Hosiang!
Ternyata
bahwa hwesio jahat ini dapat mengetahui tempat tinggal Yousuf, Lin Lin dan Ma
Hoa. Maka timbullah niatnya hendak mengganggu gadis itu, terutama Lin Lin oleh
karena ia tahu bahwa gadis ini adalah puteri Kwee-ciangkun yang menjadi musuh
besarnya!
Demikianlah,
saat ia mengintai ke bukit itu, kebetulan sekali ia melihat Lin Lin dan burung
merak, maka segera ia muncul untuk menangkap Lin Lin. Tidak dinyana, burung
merak itu dengan ganas sekali telah menyerangnya dan sebentar saja manusia dan
burung ini bertempur sengit.
Ketika Cin
Hai tiba di situ, burung merak sedang menyambar-nyambar dari atas dan Hai Kong
Hosiang melawan dari bawah. Pertempuran berjalan ramai sekali, akan tetapi pada
saat Cin Hai memperhatikan, dia menjadi terkejut oleh karena melihat betapa
gerakan burung itu kaku sekali, seakan-akan telah mendapat luka berat!
Memang
benar, sebelum Cin Hai datang, Hai Kong Hosiang yang kosen itu telah berhasil
melukai Sin-kong-ciak dengan sebuah pukulan tangannya. Pukulan ini tepat
mengenai dada kanan Merak Sakti itu dan kalau saja Merak Sakti tidak mempunyai
kekebalan dan tenaga luar biasa, pasti ia telah tewas dan dadanya hancur pada
saat itu juga! Namun, Merak Sakti telah mendapat gemblengan luar biasa dari Bu
Pun Su dan sute-nya yang sakti dan sudah menjadi seekor binatang sakti yang
memiliki kekuatan luar biasa maka pukulan ini biar pun telah melukainya, akan
tetapi tidak dapat membunuhnya.
Betapa pun
juga, kepandaian Hai Kong Hosiang terlampau tinggi baginya dan kini meski pun
dia menyambar-nyambar namun dia tak berdaya menyerang Hai Kong Hosiang dan
bahkan tiap kali mereka bergebrak hampir saja Merak Sakti itu terkena serangan
dahsyat dari Hai Kong Hosiang!
Melihat ini
Cin Hai menjadi marah dan sekali loncat saja ia telah berada di dekat tempat
pertempuran. Alangkah herannya ketika melihat seekor kuda yang dikenalnya
baik-baik berada pula di situ, makan rumput hijau tanpa mempedulikan.
Kuda itu
adalah kuda Pek-gin-ma atau Kuda Perak Putih kepunyaan Pangeran Vayami yang
dulu telah dibawa oleh Bu Pun Su untuk dikembalikan kepada yang punya. Ia dapat
menduga bahwa kuda ini terjatuh ke dalam tangan Hai Kong Hosiang dan dugaannya
memang betul. Hai Kong Hosiang datang ke bukit itu sambil menunggang Pek-gin-ma
yang semenjak dia pergi dengan Pangeran Vayami ke Pulau Kim-san-to, memang
sudah berada di tangannya dan dipelihara baik-baik di kota raja.
“Hai Kong
Hosiang, mari kita menentukan perhitungan terakhir hari ini!” kata Cin Hai yang
menyambung ucapannya itu dengan suara halus ke arah Merak Sakti.
“Sin-kong-ciak-ko,
biarlah siauwte menghadapi hwesio gundul kurang ajar ini dan engkau
beristirahatiah dulu!”
Merak Sakti
ini agaknya maklum bahwa pemuda yang datang adalah seorang yang boleh
dipercaya, maka ia lalu terbang ke atas dahan pohon di dekat situ dan setelah
hinggap di sana dia lalu menggunakan paruh serta kepalanya untuk mengusap-usap
dada kanannya yang terluka dan terasa sakit.
Ketika Hai
Kong Hosiang melihat siapa yang datang, bukan kepalang marahnya.
“Bangsat
besar, akhirnya aku dapat juga bertemu dengan engkau!” katanya dan sedikit pun
dia tidak merasa jeri.
Memang dia
tahu bahwa kepandaian pemuda ini tinggi sekali sebagaimana sudah dia rasakan
ketika mereka bertempur di atas perahu Pangeran Vayami, akan tetapi kini dia
telah memiliki ilmu kepandaian tinggi supek-nya.
Setelah
mengeluarkan makian marah, Hai Kong Hosiang langsung maju dengan tongkat
ularnya. Cin Hai mencabut pedangnya Liong-coan-kiam dan menangkis hingga
sebentar saja dua orang musuh besar ini sudah bertempur mati-matian di atas
bukit itu, disaksikan oleh Sin-kong-ciak yang bertengger di atas dahan pohon.
Setelah
bertempur beberapa puluh jurus, keduanya tercengang dan kaget sekali melihat
kemajuan ilmu silat lawan. Akan tetapi kekagetan Hai Kong Hosiang lebih besar
lagi oleh karena tenaga lweekang-nya yang telah dilatih sempurna itu tidak
berdaya menghadapi Cin Hai! Ia merasa betapa pemuda ini sekarang memiliki
tenaga lweekang yang berlipat ganda hebatnya dari pada dulu.
Dan ketika
Cin Hai membuka serangan dengan ilmu pedangnya yang baru diciptakannya sendiri
itu, maklumlah Hai Kong Hosiang bahwa pemuda ini sekarang sudah memiliki ilmu
kepandaian hampir menyamai tingkat Bu Pun Su sendiri! Diam-diam dia menjadi
bingung dan jeri terutama sekali ketika Cin Hai dengan senyum sindir berkata,
“Hai Kong,
sekarang kau harus menghadap Supek-mu!”
Hai Kong
Hosiang maklum bahwa supek-nya telah meninggal dunia dan hal ini membuat ia
semakin jeri lagi. Ia tak perlu bertanya bagaimana supek-nya meninggal namun
dapat menduga bahwa tentulah pemuda ini yang merobohkannya, kalau tidak, tidak
nanti Cin Hai mengeluarkan kata-kata yang bermaksud melemahkan pertahanannya
dan membuat kacau pikirannya itu.
Dengan nekad
Hai Kong Hosiang kemudian menyerang lagi dengan Ilmu Silat Tongkat Jian-coa
Tung-hoat atau Ilmu Tongkat Seribu Ular yang menjadi kebanggaannya. Akan
tetapi, serangan dengan ilmu tongkat yang telah dikenal baik-baik oleh Cin Hai
ini, hanya memperlebar senyum di mulut pemuda itu saja.
Ketika Cin Hai
mengeluarkan seruan keras dan menggerakkan jurus ke dua puluh satu dari ilmu
pedangnya, mendadak tongkat di tangan Hai Kong Hosiang terlempar ke udara dan
terdengar sayap mengibas karena saat melihat tongkat hwesio itu melayang ke
atas, Merak Sakti cepat menyambarnya dan membawa terbang tongkat itu untuk
dilempar jauh ke dalam sebuah jurang yang curam sekali!
Hai Kong
Hosiang menjadi marah sekali dan tiba-tiba ia berjungkir balik dengan kepala di
atas tanah dan kedua kaki bergerak-gerak di atas! Gerakannya sangat cepat dan
hebat, dan kedua kakinya mengeluarkan tenaga luar biasa karena anginnya saja
menyambar-nyambar membuat daun-daun pohon yang bergantungan di situ
bergoyang-goyang bagai tertiup angin keras!
Namun Hai
Kong Hosiang tak dapat menakut-nakuti Cin Hai dengan ilmunya ini, bahkan pemuda
ini lalu dengan tenangnya menyimpan kembali pedangnya, oleh karena dia tidak
mau disebut licin akibat melawan seorang bertangan kosong dengan senjata di
tangan! Ia maju menghadapi Hai Kong Hosiang yang telah berdiri dengan terbalik
itu.
Hai Kong
Hosiang mengeluarkan seruan keras dan mengerikan kemudian kedua kakinya
menyambar dalam serangan-serangan kilat dan maut! Cin Hai segera menyambutnya
dengan Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut yang ajaib, dan benar saja. Ilmu silat yang
dilakukan dengan tubuh terbalik ini tidak berdaya menghadapi Pek-in Hoat-sut
dan setiap kali hawa pukulan kaki itu menyambar dan terpukul balik oleh uap
putih yang keluar dari sepasang lengan Cin Hai, maka kaki Hai Kong lantas
terpental kembali yang membuat tubuhnya bergoyang-goyang.
Cin Hai
maklum bahwa dalam keadaan terbalik itu, agak sulit baginya untuk mencari jalan
darah lawan dalam keadaan jungkir balik itu. Kalau saja Hai Kong Hosiang
bertempur sambil berdiri di atas kedua kakinya, tak akan sukar agaknya bagi dia
untuk merobohkan hwesio itu.
Cin Hai yang
sejak tadi memperhatikan gerakan Hai Kong Hosiang, tiba-tiba mengambil
keputusan untuk meniru gerakan lawannya ini. Segera dia berseru keras dan
berjungkir balik, kepala di atas tanah dan kedua kaki di atas. Maka
bertempurlah mereka dalam keadaan aneh itu dengan hebatnya.
Kembali Hai
Kong Hosiang menjadi terkejut setengah mati. Bagaimana pemuda ini dapat
melakukan ilmu silat ini dengan sama baiknya?
“Siluman!”
bentaknya dengan hati ngeri dan menyerang kembali dengan nekad.
Tubuhnya
berputar-putar di atas kepala dan kedua kakinya menyambar-nyambar, akan tetapi
oleh karena kini Cin Hai juga berdiri di atas kepalanya seperti dia, sedangkan
ilmu silatnya ini khusus diadakan untuk menghadapi seorang yang berkelahi
dengan normal, maka semua pukulan kakinya ini menjadi ngawur. Kaki yang tadinya
harus menyerang ke pundak lawan yang berdiri biasa, kini menyerang tumit kaki
Cin Hai.
Hai Kong
Hosiang benar-benar bingung hingga kepalanya menjadi pening. Ia lalu berseru
keras dan berdiri lagi di atas kedua kakinya, akan tetapi Cin Hai juga sudah
berdiri dan menyerangnya dengan hebat.
Menghadapi
Pek-in Hoat-sut dengan berdiri di atas kedua kakinya, Hai Kong Hosiang tak kuat
menahan lagi dan dengan telak jari tangan Cin Hai berhasil menotok pundaknya
dan tangan kiri anak muda itu menepuk pinggangnya. Hai Kong Hosiang tanpa
mengeluarkan suara lalu roboh terbanting dalam keadaan lumpuh kaki tangannya.
Sebelum Cin
Hai sempat mengeluarkan kata-kata atau menurunkan tangan keras untuk menghabisi
jiwa hwesio itu, tiba-tiba Merak Sakti turun menyambar. Agaknya Merak Sakti ini
hendak membalas dendamnya oleh karena dadanya dilukai oleh Hai Kong Hosiang,
dan kini sambil memekik-mekik marah dia menyambar dan mematuk ke arah kedua
mata Hai Kong Hosiang.
Biar pun
kedua kaki tangannya telah lumpuh, namun hwesio ini masih mempunyai tenaga
untuk mengguling-gulingkan tubuhnya sehingga ia dapat berhasil mengelak paruh
merak yang hendak mematuk matanya.
Cin Hai
melangkah mundur, kemudian berdiri di dekat Pek-gin-ma yang masih enak-enak
makan rumput. Sambil bertolak pinggang Cin Hai melihat pergulatan ini dan
berkata,
“Kong-ciak-ko,
jangan kau habisi jiwanya. Itu bukan tugasmu.”
Setelah
beberapa kali menggulingkan tubuhnya untuk menghindarkan sepasang matanya dari
serangan Merak Sakti, akhirnya Hai Kong Hosiang terpaksa menyerah juga. Sambil
mengeluarkan jeritan ngeri, Hai Kong Hosiang masih berusaha mengelak, akan
tetapi dia terlambat. Patuk yang merah dan kecil runcing dari Merak Sakti itu
telah bergerak dua kali dan kedua mata Hai Kong Hosiang menjadi buta!
Pada saat
itu pula terdengar seruan girang, “Hai-ko!”
Cin Hai
cepat berpaling dan melihat bahwa yang berseru itu tak lain adalah Lin Lin!
Gadis ini ternyata tadi sudah terjun ke dalam sebuah jurang dan bersembunyi
ketika diserang hebat oleh Hai Kong Hosiang! Lin Lin maklum bahwa ia bukan
lawan hwesio ini, maka ia berusaha melarikan diri dan memanggil Ma Hoa dan
Yousuf untuk membantunya, akan tetapi ia kehabisan jalan dan akhirnya jalan
satu-satunya ialah terjun ke dalam jurang itu! Untung baginya bahwa jurang itu
dangkal dan pada saat itu, Sin-kong-ciak sudah datang membelanya.
“Lin
Lin...!” Cin Hai berseru girang sekali. Mereka lalu saling berpegangan tangan
dengan hati penuh kebahagiaan. “Lihat, Hai Kong yang jahat pun harus makan buah
yang sudah ditanamnya sendiri!” Mereka sambil berpegang tangan lalu menonton
betapa Merak Sakti menyerang Hai Kong Hosiang.
Setelah
berhasil membalas sakit hatinya, Merak Sakti terbang melayang ke angkasa dan
memekik-mekik girang. Dan pada saat itu, dari lereng bukit berlari-lari Kwee
An, Ma Hoa, dan Yousuf menuju ke tempat itu. Mereka juga mendengar pekik Merak
Sakti dan merasa kuatir, maka ketiga orang ini lalu berlari cepat menyusul Cin
Hai.
Melihat Hai
Kong Hosiang sudah rebah di tanah dengan mata buta dan tak berdaya lagi, Kwee
An segera mencabut pedangnya dan hendak menusuk tubuh musuh besarnya itu.
Akan tetapi
tiba-tiba Ma Hoa menjerit, “Koko, jangan!”
Kalau orang
lain yang mencegah, mungkin takkan dihiraukan oleh Kwee An yang sedang merasa
marah sekali. Akan tetapi suara Ma Hoa ini memiliki pengaruh yang melemaskan
tubuhnya dan memadamkan api kemarahannya.
“Jangan,
An-ko, biarlah kita ampuni jiwa anjing ini supaya jangan menodai kegembiraan
pertemuan kita!”
Kwee An
memandang kepada kekasihnya lama sekali, kemudian ia menghela napas dan segera
berpaling kepada Lin Lin. Ia melihat betapa adik perempuannya yang masih saling
berpegang tangan dengan Cin Hai juga tidak berniat menurunkan tangan membunuh
Hai Kong Hosiang, maka mereka lalu hanya saling pandang dengan bingung.
Yousuf
tertawa. “'Anak-anak! Demikianlah seharusnya orang yang memiliki pribudi tinggi.
Jangan terlalu mengandalkan kekuatan dan kepandaian untuk secara mudah
mengambil nyawa orang lain, betapa besar pun dosanya terhadap kita! Ada
kekuasaan terbesar di dunia ini yang akan mengadili segala sesuatu yang
dilakukan oleh manusia dan biarlah Dia mengatur sendiri hukuman yang akan
ditimpakan kepadanya!”
Cin Hai
merasa kagum sekali mendengar ucapan ini, dan Lin Lin lalu memimpin tangan
kekasihnya untuk mendekati Yousuf. “Ayah, inilah calon mantumu dan Hai-ko,
ketahuilah bahwa orang tua ini adalah ayah angkatku!”
Cin Hai
memberi hormat dan dibalas dengan selayaknya oleh Yousuf.
Mendadak
tubuh Hai Kong Hosiang bergerak dan bergulingan sambil mulutnya berteriak,
“Bangsat-bangsat rendah, kalian kira aku tak akan dapat membalas dendam?
Tunggulah pembalasanku!”
Sambil
memaki-maki dan berteriak-teriak, Hai Kong Hosiang lalu menggulingkan dirinya
cepat sekali dan tahu-tahu tubuhnya terguling masuk ke dalam sebuah jurang yang
amat dalam!
“Nah,
begitulah hukuman seorang jahat!” kata lagi Yousuf dan dia lalu mengajak mereka
semua kembali ke rumahnya. Cin Hai tak lupa membawa Pek-gin-ma bersama mereka.
Malam yang
indah. Bulan bersinar gemilang dan penuh hingga keadaan malam itu sama dengan
siang, akan tetapi lebih indah. Daun-daun pohon menghitam dan mendatangkan
pemandangan yang menarik sekali.
Di bawah
pohon nampak dua orang muda berdiri dan bercakap-cakap dengan asyik dan mesra.
Mereka ini adalah Lin Lin dan Cin Hai. Dengan suara penuh cinta kasih, kedua
orang ini saling menuturkan pengalaman masing-masing diselingi pandangan mata
yang menyatakan betapa besarnya cinta kasih mereka.
Ketika Lin
Lin mendengar tentang nasib Ang I Niocu, gadis ini menangis karena terharu dan
kasihan sehingga Cin Hai lalu mengelus dan membelai rambutnya sambil berkata,
“Lin Lin,
kita tak boleh melupakan Ang I Niocu yang sudah mengorbankan jiwanya dalam
usahanya mempertemukan kita. Akan tetapi, kita pun tak boleh terlalu bersedih.
Biar pun dia telah pergi ke alam akhir, akan tetapi dia juga meninggalkan
sesuatu untuk kita buat sebagai kenangan.”
Sesudah
berkata demikian, Cin Hai lalu mengeluarkan potongan kain merah dari pakaian
Ang I Niocu yang dia temukan di permukaan air laut itu. Lin Lin menahan sedu
sedannya dan mendekap kain itu ke dadanya.
“Enci Im
Giok....” bisiknya pelan, “kau... kau di manakah?” Kemudian, matanya terbelalak
memandang kepada Cin Hai sambil berkata, “Engko Hai, aku tidak percaya bahwa
Enci Im Giok telah meninggal dunia! Kalau aku tidak melihat jenazahnya dengan
mata kepala sendiri aku tidak percaya jika seorang seperti dia dapat meninggal
dunia!”
Cin Hai
menghela napas dan menjawab lirih, “Mudah-mudahan saja betul dugaanmu itu. Akan
tetapi, menghadapi ledakan dan kebakaran hebat semacam itu, manusia manakah
yang sanggup menyelamatkan dirinya?”
Untuk
beberapa lama mereka berdiam diri saja, seakan-akan berdoa kepada Thian Yang
Maha Kuasa untuk keselamatan Ang I Niocu yang mereka sayangi. Kemudian, sesudah
keharuan hatinya agak mereda, Lin Lin lalu menceritakan kepada kekasihnya
mengenai pertemuannya dengan Bu Pun Su dan tentang pedang pendek Han-le-kiam
yang dibuat oleh kakek sakti dan diberikan kepadanya. Kemudian ia berkata,
“Hai-ko,
Suhu-mu berpesan agar supaya engkau memberi pelajaran ilmu pedang padaku,
karena setelah aku memiliki pedang ini aku berhak pula mempelajari ilmu
pedangnya.”
Cin Hai
menghela napas dan berkata, “Lin-moi, ketahuilah. Dulu ketika aku mempelajari
ilmu silat dari Suhu, aku diharuskan bersumpah.”
“Aku pun
bersedia bersumpah!” memotong Lin Lin sambil cemberut.
Cin Hai
tersenyum. “Bukan begitu maksudku Lin-moi. Aku dulu harus bersumpah bahwa
selain harus mempergunakan ilmu kepandaian itu untuk kebenaran dan keadilan
juga aku tidak boleh mengajarkan kepada orang lain, siapa pun juga orang itu.”
“Apa kau
tidak percaya kepadaku?” Lin Lin memotongnya lagi.
Cin Hai
memegang lengan kekasihnya. “Kau harus belajar bersabar, Lin-moi. Aku hanya
hendak menyatakan kepadamu bahwa apa bila bukan atas kehendak Suhu sendiri,
walau pun di dalam hati aku ingin sekali memberi pelajaran kepadamu, namun aku
tidak akan berani. Sekarang Suhu bahkan menyuruh aku memimpinmu, tentu saja aku
merasa amat girang dan berbahagia! Akan tetapi, oleh karena telah menjadi
keharusan, kau pun harus mengucapkan sumpah, Lin-moi. Dengan demikian, sungguh
pun Suhu tidak menyaksikan sendiri, akan tetapi kita tidak melakukan
pelanggaran, oleh karena syarat terutama bagi seorang murid kepada gurunya yang
terpenting ialah ketaatan dan kesetiaan!”
Lin Lin
mengangguk girang. Kemudian ia lalu memegang pedang pendek Han-le-kiam itu
dengan dua tangannya, diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berlutut.
Dengan suaranya yang nyaring dan merdu, dara jelita itu bersumpah,
“Teecu Kwee
Lin, dengan disaksikan oleh Pedang Han-le-kiam pemberian Suhu Bu Pun Su, dan
disaksikan pula oleh Hai-ko, dan oleh bulan purnama, oleh langit dan bumi,
teecu bersumpah bahwa kalau teecu sudah mempelajari ilmu silat dan ilmu pedang
dari Hai-ko sebagai wakil Suhu Bu Pun Su, kepandaian itu akan teecu gunakan
semata-mata untuk menjaga diri dari serangan orang jahat, untuk menolong sesama
hidup yang menderita, dan untuk membasmi penjahat-penjahat dan penindas
rakyat.”
Cin Hai
menyaksikan sumpah ini sambil berdiri di bawah pohon dan memandang dengan wajah
sungguh-sungguh. Kemudian mereka lalu kembali ke pondok kecil di lereng bukit
itu.
Keadaan di
bukit itu demikian indahnya hingga Cin Hai dan Kwee An merasa kerasan sekali.
Mereka mengambil keputusan untuk berdiam di tempat indah itu beberapa bulan
sebelum mengajak dua orang gadis kekasih mereka kembali ke pedalaman.
Dan mulai
keesokan harinya Cin Hai mengajarkan ilmu-ilmu silatnya yang dia dapatkan dari
Bu Pun Su. Akan tetapi, untuk dapat memiliki kepandaian mengenai dasar ilmu
silat sebagaimana yang sudah dia miliki, bukanlah pelajaran yang dapat
dipahamkan dalam beberapa bulan saja, maka Cin Hai lalu menurunkan Ilmu Pukulan
Pek-in Hoat-sut dan Kong-ciak Sin-na kepada Lin Lin. Juga memberi pelajaran
ilmu pedang yang dulu sudah diciptakannya sendiri itu.
“Apakah
namanya kiam-hoat (ilmu pedang) ini?” tanya Lin Lin.
Cin Hai
memandang dengan sinar mata bodoh, oleh karena sesungguhnya ia sendiri juga
tidak tahu. Ia telah ciptakan ilmu pedangnya dan bahkan ilmu pedangnya yang
luar biasa itu telah berjasa ketika digunakan dalam pertempuran hebat
menghadapi Kiam Ki Sianjin yang tangguh, akan tetapi sampai sekarang, ia
sendiri masih belum tahu apa nama ilmu pedang ini.
“Ehh, kenapa
kau hanya bengong saja?” Lin Lin bertanya. “Kau bilang bahwa kau sendiri
pencipta ilmu pedang ini, masa tidak tahu namanya?”
“Lin-moi,
bayi yang baru terlahir tidak membawa nama pula.”
Lin Lin
tertawa geli. “Jadi kau menganggap ilmu pedangmu ini seperti bayi? Kalau begitu
kau terlambat memberi nama kepada bayimu! Jangan-jangan dia sudah jenggotan
masih belum mempunyai nama!”
Cin Hai
tertawa juga mendengar kelakar ini, kemudian dia lalu berkata dengan
sungguh-sungguh,
“Lin-moi,
ilmu pedang ini kuciptakan atas anjuran dan desakan Ang I Niocu, kalau tidak
dia yang mendesak dan memberi saran, mungkin sampai sekarang atau selamanya aku
tak akan bisa menciptakan kiam-hoat sendiri. Pada waktu aku menciptakan
kiam-hoat ini, selain Ang I Niocu yang memberi petunjuk-petunjuk, juga aku
mendapat bantuan yang amat berharga dari daun-daun bambu.”
Lin Lin
merasa heran sekali mendengar ini, sehingga Cin Hai harus menceritakan bagai
mana dia mencipta ilmu pedangnya itu, dan betapa Ang I Niocu telah memberi
petunjuk-petunjuk pula tentang gaya gerakan untuk memperindah kiam-hoatnya.
“Aku sudah
mempelajari Tari Bidadari dari Ang I Niocu dan karenanya, selain suka akan seni
suara, aku pun suka akan seni tari. Menurut pikiranku, ilmu silat tiada jauh
bedanya dengan seni tari, atau boleh kusebut saja bahwa ilmu silat adalah seni
tari yang tidak saja mempunyai gerakan indah dan manis dipandang, akan tetapi
juga memerlukan bakat dan darah seni untuk dapat melakukannya dengan sempurna.
Bedanya antara keduanya itu, yaitu antara tarian biasa dengan ilmu silat adalah
bahwa tarian hanya menggambarkan keindahan, sebaliknya ilmu silat khusus
mengatur gerakan kaki tangan yang seluruhnya ditujukan untuk menjadi gerakan
yang cepat, baik dalam menyerang dan menangkis atau mengelak.”
“Eh, ehh,
Hai-ko, biar pun uraianmu itu amat menarik hati, akan tetapi telah melantur jauh
dari pada inti percakapan kita semula,” kata Lin Lin menggoda sambil tersenyum
karena melihat betapa pandangan mata pemuda itu telah melayang jauh seperti
orang melamun. “Kalau kau bercakap seperti ini, kau seperti seorang kakek-kakek
saja.”
Cin Hai bagaikan
terbetot kembali dari alam renungan dan turut tersenyum pula. “Oh ya, kita
sedang mempercakapkan soal nama ilmu pedang kita. Hm, apakah gerangan nama yang
terbaik? Akan tetapi, apa pula artinya memberi nama yang indah?” ia lalu
mencela sendiri.
Tak tertahan
pula geli hati Lin Lin hingga ia tertawa. “Bagaimana sih kau ini?
Berbantah-bantah seorang diri, seolah-olah dalam dirimu terdapat dua orang yang
sekarang sedang bertengkar!”
“Biarlah
kuberi nama Ilmu Pedang Daun Bambu saja!”
Sepasang
mata Lin Lin yang indah itu bersinar gembira. “Alangkah lucu dan anehnya nama
itu. Ilmu Pedang Daun Bambu! Aneh seperti... penciptanya!”
Cin Hai
memandang dengan mata terbelalak. “Apa? Apakah dalam pandanganmu aku ini orang
aneh?”
“Memang,
aneh sekali! Karena di seluruh dunia ini tidak mungkin aku berjumpa dengan
seorang pemuda seperti engkau. Engkau berbeda dengan orang-orang lain, bukankah
itu aneh namanya?”
“Kalau
begitu sama saja dengan kau. Aku pun belum pernah dan rasanya takkan pernah
bertemu dengan gadis seperti kau, semanis kau, secantik kau, dan se... nakal
engkau!”
Lin Lin
mengulurkan tangannya dan jari-jari yang halus itu mencubit lengan Cin Hai yang
tertawa dengan hati beruntung.
“Sudahlah,
Moi-moi, kalau kita bersendau-gurau saja, sampai kapan engkau akan dapat
menghafal pelajaran Kiam-hoat-mu?”
“Tapi aku
tidak suka nama kiam-hoat itu. Ilmu Pedang Daun Bambu, sungguh lucu! Kalau aku
bertanding dengan seorang lawan mempergunakan ilmu pedang ini, kemudian lawan
itu kalah sehingga aku menjadi bangga, tetapi apa bila lawan yang kalah itu
menanyakan nama ilmu pedangku, bukankah kebanggaanku akan musnah dan terganti
rasa malu bila aku menyebutkan bahwa ilmu pedang yang hebat itu, yang telah
dapat mengalahkannya, namanya tak kurang tak lebih hanya Ilmu Pedang Daun Bambu
saja? Murah sekali!”
“Apa yang
murah?”
“Daun bambu
itu!”
Cin Hai
hanya tertawa. “Kalau begitu, biarlah ilmu pedangku ini akan dirubah sedikit
untuk sekalian disesuaikan dengan gerakan-gerakanmu serta dengan pedangmu yang
pendek ini. Kemudian, setelah kau dengan aku menciptakan ilmu pedang baru
berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, kau lalu memberi nama sendiri. Bagaimana?”
Bersinar-sinar
mata Lin Lin mendengar ini. “Bagus! Hai-ko! Bagus sekali, bahkan aku sudah
dapat nama itu!”
Cin Hai
terheran. ”Sudah ada namanya? Ini lebih aneh lagi! Bayinya belum terlahir sudah
diberi nama! Apakah namanya?”
“Namanya
Han-le Kiam-sut, sesuai dengan nama pedang pemberian Suhu.”
Cin Hai
merasa girang karena menurut pikirannya, nama itu pun baik dan cocok sekali.
Begitulah, mulai saat itu Cin Hai mengajar ilmu pedang kepada Lin Lin,
berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, namun diadakan perubahan di sana-sini untuk
disesuaikan dengan pedang pendek di tangan Lin Lin.
Memang
gerakan-gerakan pedang pendek berbeda dengan pedang panjang, oleh karena pedang
pendek yang merupakan sebilah belati atau pisau itu harus digunakan lebih cepat
supaya jangan didahului oleh ujung senjata yang lebih panjang. Senjata yang
pendek ini harus dipergunakan dalam pertempuran secara mendekat dan rapat baru
dapat berhasil, dan ini pun ada kebaikannya, karena dalam menghadapi seorang
lawan yang bersenjata toya, lebih menguntungkan apa bila menghadapinya secara
rapat sehingga gerak senjata yang panjang itu menjadi kurang leluasa. Sudah
tentu hal ini membutuhkan keberanian dasar dan ketenangan serta kewaspadaan,
juga terutama sekali harus memiliki ginkang (ilmu meringankan badan) yang
tinggi hingga gerakan bisa dilakukan dengan lincah dan cepat.
Akan tetapi,
Lin Lin memang sudah mempelajari dasar-dasar ilmu silat yang cukup baik dan
tinggi serta ginkang-nya memang sudah hebat, apa lagi kini mendapat petunjuk
dan latihan lweekang dan ginkang, maka dalam beberapa hari saja ilmu
kepandaiannya telah maju dengan pesatnya.
Tak hanya
Cin Hai dan Lin Lin yang hidup penuh kebahagiaan di lereng bukit yang indah
itu. Kwee An dan Ma Hoa juga hidup dengan penuh kebahagiaan. Mereka berdua
saling mencinta dan saling mengindahkan, saling menghormati dan seperti halnya
Cin Hai dan Lin Lin, kedua teruna remaja ini pun bergaul dengan mesra akan
tetapi penuh kesopanan dan jangankan dalam perbuatan, bahkan di dalam pikiran
pun sama sekali tidak terdapat hal-hal yang melanggar norma kesusilaan.
Keadaan ini
membuat Yousuf merasa girang dan kagum sekali. Diam-diam orang tua ini, seperti
halnya orang-orang tua lain, amat memperhatikan pergaulan anak-anak muda itu.
Tadinya timbul juga perasaan curiga dan tidak senang melihat pergaulan yang
bebas itu, yang tidak dapat dilarangnya oleh karena memang sudah biasa bagi
orang-orang gagah untuk bergaul secara bebas.
Akan tetapi,
melihat betapa keempat anak muda itu bergaul dengan penuh kesopanan, ia menjadi
amat kagum. Makin yakin dan pasti perasaan hatinya bahwa mereka itu memang
cocok untuk menjadi jodoh masing-masing, sama-sama cakap, sama-sama gagah, dan
jsama-sama sopan pula!
Biar pun
selalu memilih tempat terpisah dari Lin Lin dan Cin Hai, tiap hari Kwee An dan
Ma Hoa berjalan-jalan di pegunungan yang luas itu, menikmati keindahan tamasya
alam sambil membicarakan mengenai ilmu silat. Tidak jarang mereka berlatih
bersama, saling mengisi kekurangan dan saling belajar. Pada saat itu, tingkat
kepandaian Kwee An lebih tinggi setingkat dari Ma Hoa, maka dia lalu memberi
pelajaran kepada kekasihnya itu.
Telah
beberapa hari ini, Ma Hoa selalu melepaskan rambutnya yang hitam dan kering
indah di atas pundaknya. Rambutnya yang amat indah melambai-lambai tertiup
angin dan mengeluarkan keharuman bunga yang selalu menghias rambutnya. Hal ini
terjadi sejak malam terang bulan pada waktu ia berjalan-jalan bersama Kwee An
bermandikan cahaya bulan yang sejuk.
Angin gunung
bertiup perlahan dan tiba-tiba saja ikatan rambut Ma Hoa terlepas, hingga
rambutnya itu terurai ke atas pundaknya. Kebetulan sekali dia berdiri menghadapi
bulan hingga mukanya tertimpa cahaya sepenuhnya. Ketika ia menggunakan kedua
tangannya hendak menyanggul dan mengikat rambutnya, Kwee An yang sedang berdiri
memandang padanya dengan mata terbelalak segera mengangkat tangan berkata,
“Jangan...
jangan sanggul rambutmu, Hoa-moi, biarkan saja...”
“Eh, ehh,
kau kenapa, An-ko?” tanya Ma Hoa dengan heran sambil melepaskan kembali
rambutnya yang telah dipegangnya.
“Kau... kau
nampak cantik sekali dalam keadaan seperti ini, Moi-moi. Dengan rambutmu yang halus
hitam berombak-ombak di sekitar lehermu dan melambai-lambai tertiup angin,
seakan-akan setiap lembar rambut itu hidup dan bernyawa, kau seperti seorang
bidadari yang baru turun dari surga. Demi segala kecantikan dan keindahan,
jangan kau sanggul rambutmu, Moi-moi, biarkan saja terurai di atas kedua
pundakmu!”
Mata Ma Hoa
sampai bertitik dua butir air mata karena merasa amat terharu dan girang
mendengar pujian yang keluar dari mulut kekasihnya ini dan semenjak saat itu
dia berjanji tidak akan menyanggul rambutnya lagi. Tentu saja dia tidak memberi
tahu kepada orang lain tentang hal ini dan hanya mengatakan bahwa dia lebih
suka mengurai rambutnya.
Lin Lin dan
Cin Hai, begitu pula Yousuf, menyatakan kagumnya karena dengan mengurai
rambutnya yang berombak menghitam itu sesuai sekali dengan potongan wajahnya
yang membulat telur.
Pada suatu
hari, pada saat Kwee An bersama Ma Hoa sedang berdiri sambil mengagumi
pemandangan di sebuah lereng yang baru kali itu mereka datangi, menikmati
keindahan yang ditimbulkan oleh matahari yang baru muncul sehingga indah luar
biasa itu, tiba-tiba mereka melihat dua orang mendaki bukit dengan tindakan
kaki cepat sekali. Keduanya merasa terkejut oleh karena kedua orang itu berlari
cepat sekali, tanda ginkang mereka sudah mencapai tingkat tinggi.
Keduanya
lalu berdiri menunggu dengan hati berdebar-debar dan menduga-duga, siapa
gerangan orang asing itu. Ketika mereka datang dekat Kwee An dan Ma Hoa,
ternyata bahwa mereka adalah seorang hwesio gundul yang tua dan seorang laki-laki
muda yang rambutnya juga panjang terurai tertiup angin.
Di samping
berambut panjang, laki-laki itu pun berpakaian secara aneh sekali. Potongan
baju itu berbeda dengan pakaian bangsa Han yang biasanya dipakai orang. Juga
kakinya mengenakan sepatu yang panjang sampai ke atas betis. Akan tetapi
gerak-gerik laki-laki ini gesit dan cepat, agaknya kepandaiannya tidak di
sebelah bawah hwesio gundul itu.
Agaknya
kedua pendaki bukit yang aneh itu pun sudah melihat Kwee An dan Ma Hoa, karena
mereka segera menuju ke arah kedua anak muda itu. Setelah sampai di hadapan
Kwee An dan Ma Hoa yang memandang heran, hwesio tua itu lalu menjura dan
bertanya,
“Jiwi mohon
tanya di mana rumah seorang Turki bernama Yousuf?”
Kwee An dan
Ma Hoa saling pandang, sedangkan orang muda berambut panjang itu memandang Ma
Hoa dengan sinar mata kagum yang tidak disembunyikan.
“Suhu ini
siapakah dan apakah perlunya mencari rumah Yo-sianseng?” tanya Kwee An yang
berlaku hati-hati karena menaruh curiga kepada dua orang pengunjung ini.
“Ehh,
siapakah nama Nona yang cantik bagaikan bidadari ini? Kumaksudkan rambutnya
yang cantik dan indah, alangkah bagusnya,” kata pemuda berambut panjang itu
dengan kagum.
Suaranya
juga aneh, karena terdengar seperti suara wanita halus dan merdu. Akan tetapi
tak perlu disangsikan lagi bahwa ia adalah seorang pria, sebab selain potongan
tubuhnya yang kuat dan dadanya yang bidang itu, juga jelas nampak kalamenjing
di lehernya yang tak akan terdapat pada leher seorang wanita.
Ma Hoa
menjadi marah sekali dan memandang dengan mata bernyala-nyala. Dia hendak
menegur dan mendamprat, akan tetapi Kwee An memberi isyarat padanya agar supaya
dia bersabar.
”Pinceng
hendak mencari dua orang gadis yang berada dengan orang Turki itu. Kenalkah
Jiwi kepada dua orang nona bernama Ma Hoa dan Lin Lin?”
Makin curiga
dan terkejutlah Kwee An dan Ma Hoa mendengar pertanyaan ini.
“Akulah yang
bernama Ma Hoa. Suhu mencari aku ada keperluan apakah?”
Tiba-tiba
saja mata hwesio itu terbelalak dan dia tertawa terbahak-bahak dengan girang.
“Ha-ha-ha! Dicari-cari sampai pusing tidak bertemu, tahu-tahu mencari
keterangan pada orang yang dicari! Ini namanya memang harus mampus di tangan
pinceng ini hari!”
Bukan main
terkejutnya hati Kwee An dan Ma Hoa mendengar ini, karena sungguh tidak pernah
mereka sangka bahwa kiranya hwesio tua ini mencari Ma Hoa dan Lin Lin dengan
maksud jahat!
Kwee An
melompat maju dengan marah. “Hwesio tua! Apa maksud kata-katamu yang jahat itu?
Siapakah kau dan mengapa kau datang-datang mengandung niat yang buruk dan
jahat?”
“Buka
lebar-lebar mata dan telingamu! Pinceng adalah Bo Lang Hwesio dan Boan Sip
adalah muridku. Muridku itu telah terbunuh mati oleh Ma Hoa dan Lin Lin, maka
sekarang pinceng mencari dua orang pembunuh itu untuk maksud apa lagi?” Sambil
berkata begini, Bo Lang Hwesio tertawa lagi bergelak. “Dan ketahuilah bahwa
anak muda kawanku ini adalah Ke Ce, pendekar gagah dari Mongolia Dalam. Dia
adalah adik sepupu Pangeran Vayami dan datang hendak membalas dendam terhadap
Yousuf! Karena Yousuf orang Turki itulah yang telah menggagalkan usaha Pangeran
Vayami dan mungkin orang Turki itu pula yang telah membunuh Pangeran Vayami!”
Bukan main
marahnya Kwee An mendengar ucapan ini. “Hm, jadi kau ini guru Boan Sip yang
jahat? Pantas muridnya jahat, tidak tahu, gurunya juga berpemandangan sempit
dan berpikiran dangkal! Ada pun pembunuh Vayami bukanlah Yo-sianseng akan
tetapi Hek Pek Mo-ko dan tak perlu kau mencari kedua orang tua itu, cukup aku
wakilnya!”
“Bagus!” Bo
Lang Hwesio membentak marah dan dia segera melompat ke arah Ma Hoa dan mengirim
serangan kilat!
“Bo Lang
Suhu, jangan kau bunuh bidadari itu, tangkap hidup-hidup untukku!” teriak Ke Ce
sambil menyerbu dan menyerang Kwee An.
“Ha-ha-ha,
dasar kau mata keranjang!” kata Bo Lang Hwesio.
Ma Hoa
terkejut melihat serangan Bo Lang Hwesio yang mencengkeram dan hendak menangkap
pundaknya, karena serangan ini mendatangkan angin gerakan yang lihai. Ia maklum
bahwa lweekang hwesio tua ini tinggi sekali dan merupakan lawan yang tangguh,
maka dia cepat mempergunakan ginkang-nya untuk melompat ke pinggir dan
mengelak.
Sementara
itu, Kwee An dengan tenang lalu menangkis pukulan Ke Ce dan keduanya berseru
heran dan kagum karena ketika kedua lengan tangan mereka beradu, keduanya
terpental mundur karena hebatnya tenaga lawan. Diam-diam Kwee An terkejut
karena tak disangkanya bahwa pendekar dari Mongolia Dalam ini memiliki tenaga
dalam yang begitu besarnya sehingga tidak kalah oleh tenaganya sendiri! Maka ia
segera membalas dengan serangan kilat dan mengerahkan kepandaiannya karena
maklum bahwa kali ini lawannya bukan orang lemah.
Pada waktu
Bo Lang Hwesio dan Ke Ce datang, Kwee An dan Ma Hoa sedang berdiri di dekat
tebing gunung yang curam sekali hingga hutan dan pohon-pohon nampak kecil di
bawah mereka. Oleh karena itu, ketika mereka berdua diserang, mereka sedang
berdiri membelakangi tebing itu hingga keadaan mereka amat berbahaya.
Hal ini pun
diketahui oleh Bo Lang Hwesio dan Ke Ce, maka mereka mendesak dengan hebat dan
tidak mau memberi kesempatan kepada dua orang muda itu untuk berpindah tempat.
Dengan ilmu silatnya yang tinggi Kwee An masih dapat mempertahankan diri dari
serbuan Ke Ce, bahkan pada saat dia membalas dengan serangan-serangannya, Ke Ce
menjadi sibuk sekali karena harus berlaku awas untuk menghindarkan diri dari
kaki dan tangan Kwee An yang mempunyai gerakan gesit dan tak terduga sama
sekali itu.
Akan tetapi
Ma Hoa yang menghadapi Bo Lang Hwesio, menjadi terdesak hebat sekali sehingga
gadis ini makin mundur mendekati tebing yang curam dan berbahaya! Kwee An yang
melihat hal ini, merasa kuatir sekali, maka dia pun segera mengirim serangan
kilat dengan tipu gerakan menyerampang dengan kaki kanan sambil membarengi
memukul dengan tangan kanan hingga Ke Ce terpaksa harus mempergunakan gerakan
Ikan Leehi Melompati Ombak. Tubuh pemuda rambut panjang itu melompat ke atas
dan berjungkir balik ke belakang dan karenanya dapat menghindarkan diri dari
serangan Kwee An yang berbahaya tadi.
Kesempatan
ini digunakan oleh Kwee An untuk cepat melompat ke dekat Ma Hoa sambil berseru,
“Hoa-moi, hati-hati di belakangmu tebing!”
Sambil
berseru demikian, dia lantas menyerbu untuk menahan serangan Bo Lang Hwesio
yang lihai itu. Akan tetapi, pada saat itu, Ke Ce yang sudah mengejarnya, lalu
mengirim pukulan yang berupa dorongan dengan kedua telapak tangan dibarengi
bentakan yang keras sekali, bagaikan seekor harimau mengaum!
Kwee An
merasa terkejut sekali ketika dari dorongan ini keluar tenaga dan angin yang
luar biasa hingga ia terhuyung ke belakang dan pada saat itu, Bo Lang Hwesio
yang tahu bahwa Kwee An mempunyai ilmu kepandaian cukup lihai, segera mengejar
dan mengirim tendangan maut ke arah perut Kwee An yang sedang terhuyung ke
belakang itu!
Ma Hoa
menjerit ngeri melihat ini karena tendangan ini benar-benar berbahaya sekali
dan agaknya Kwee An tidak akan dapat mengelak lagi. Akan tetapi, Kwee An sudah
memiliki ketenangan serta kepandaian yang hampir sempurna, maka pada waktu
merasa betapa tendangan maut mengancam perutnya, dia berseru keras dan tubuhnya
mumbul ke atas dengan gesit seperti seekor burung walet. Cara menghindarkan
diri dari tendangan maut ini sama sekali tidak diduga oleh Bo Lang Hwesio
sendiri hingga tak terasa lagi hwesio ini mengeluarkan seruan kagum.
Akan tetapi,
selagi tubuh Kwee An masih berada di udara, tiba-tiba Ke Ce menyerang lagi
dengan pukulan atau dorongan kedua telapak tangannya dibarengi bentakan hebat
tadi. Kembali Kwee An merasa betapa besar tenaga yang mendorongnya sedangkan
pada saat itu tubuhnya masih terapung di udara. Tanpa dapat dicegah lagi ia
terdorong mundur dan ketika tubuhnya melayang turun, ia telah berada di sebelah
sana tebing.
Ma Hoa
menjerit lagi dengan lebih ngeri dan ketika tubuh dara ini berkelebat, ternyata
ia pun telah menyusul melompat ke dalam tebing yang curam itu, menyusul tubuh
Kwee An yang sudah meluncur ke bawah. Keduanya jatuh ke dalam tebing yang tak
dapat diukur dalamnya.
Pada saat
Kwee An melihat betapa tubuh Ma Hoa juga jatuh menyusul dirinya, ia segera mengulur
tangannya. Ma Hoa menangkap tangan itu dan keduanya lalu meluncur terus ke
bawah sambil saling berpegangan tangan. Entah kenapa, setelah mereka berpegang
tangan, rasa takut karena terjatuh itu lenyap sama sekali.
Inilah daya
rasa cinta yang besar dan dia mengalahkan segala rasa takut. Bahkan maut
sendiri tidak dapat melenyapkan perasaan sentosa dan aman yang ditimbulkan oleh
rasa cinta.
***************
MELIHAT
betapa Ma Hoa ikut meloncat ke dalam jurang yang curam itu, Ke Ce menyatakan
penyesalannya. “Sayang... sayang sekali…,” katanya.
Akan tetapi
sebaliknya Bo Lang Hwesio tertawa bergelak. “Boan Sip, muridku!” teriaknya
bagaikan gila sambil berdongak ke angkasa memandang awan, “seorang pembunuhmu
telah tewas, kau terimalah nyawanya, dan sekarang tinggal yang seorang lagi!”
“Pendeta
jahat dan rendah! Kau apakan kedua anak muda itu?” tiba-tiba terdengar suara
yang keras dan Yousuf yang berlari mendatangi telah berada di situ.
Dari jauh
tadi dia telah melihat betapa Kwee An dan Ma Hoa terguling ke dalam jurang,
maka alangkah marah dan terkejutnya. Ketika ia memandang kepada pemuda berambut
panjang itu, ia berkata lagi, “Hm, Ke Ce, kau juga menempuh kejahatan, apakah
kau tidak takut akan tertimbun oleh dosa?”
Melihat
kedatangan Yousuf, Ke Ce menjadi marah sekali. “Bangsat rendah!” ia memaki.
“Kaulah yang berdosa besar, kau telah merintangi kehendak Kakanda Vayami yang
suci, bahkan kau telah memberanikan diri untuk berusaha merampas Pulau
Kim-san-to!”
Sambil
berkata demikian, Ke Ce lalu menerjang dan menyerang dengan sengit. Yousuf yang
merasa gelisah memikirkan nasib Kwee An dan Ma Hoa, segera menyambutnya dan
membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya. Melihat bahwa kegesitan dan
tenaga orang Turki ini masih mengatasi Ke Ce, Bo Lang Hwesio tidak mau membuang
waktu lagi dan segera maju mengeroyok.
“Majulah,
majulah! Biar kubinasakan sekalian kau hwesio jahat, untuk membalaskan dua anak
muda itu!” teriak Yousuf dengan gemas karena kalau dia teringat akan kedua anak
muda yang dilihatnya terguling ke dalam jurang tadi, rasanya dia mau berteriak
keras dan menangis.
Akan tetapi,
dia segera terkejut sekali oleh karena ilmu kepandaian dan tenaga hwesio gundul
ini sungguh lihai sekali. Baru menghadapi Ke Ce saja, mungkin setelah bertempur
lama baru dia akan dapat mengalahkannya, apa lagi sekarang ditambah dengan Bo
Lang Hwesio yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi lagi.
Tanpa terasa
lagi Yousuf lalu mengumpulkan khikang-nya dan berseru memanggil, “Lin Lin…! Cin
Hai...! Lekas ke sini...!”
“Ha-ha-ha!
Kau memanggil kawan-kawanmu, ha-ha-ha!” Ke Ce menyindir dengan tertawa
menghina, “Panggillah semua agar lebih puas hatiku membasmi kau sekalian semua
kaki tanganmu.”
Akan tetapi
Bo Lang Hwesio menjadi girang sekali pada waktu mendengar nama Lin Lin disebut.
Akan terlaksana agaknya usaha membalas dendam kali ini. Kalau benar-benar yang
bernama Lin Lin itu adalah Kwee Lin pembunuh muridnya, maka akan bereslah
tugasnya membalas dendam.
Teriakan
Yousuf itu dilakukan dengan tenaga khikang sepenuhnya, karena itu suaranya
bergema keras dan dapat terdengar sampai di tempat jauh. Ketika itu, Lin Lin
dan Cin Hai sedang berlatih ilmu pedang di dekat rumah, maka ketika mendengar teriakan
memanggil ini, keduanya terkejut sekali.
Lin Lin lalu
segera meloncat tanpa membuang waktu lagi, sambil membawa Han-le-kiam di tangan
kanannya. Cin Hai juga lalu meloncat bahkan ia mendahului Lin Lin oleh karena
ia maklum bahwa Yousuf berada dalam bahaya. Pendengarannya yang lebih tajam
dari pada pendengaran Lin Lin dapat menangkap suara yang penuh kecemasan itu.
Cin Hai yang
datang terlebih dahulu dari pada Lin Lin, ketika melihat Yousuf didesak dan
dikeroyok dua oleh seorang hwesio serta seorang pemuda gagah yang berpakaian
aneh dan berambut panjang, tanpa banyak cakap lagi lalu menyerbu karena ia
melihat betapa kedua orang lawan Yousuf itu tangguh dan hebat ilmu silatnya.
Ia tidak mau
mencabut pedangnya karena melihat betapa ketiga orang itu pun bertempur dengan
tangan kosong dan memang menjadi pantangan bagi Cin Hai untuk melawan musuh
yang bertangan kosong dengan menggunakan senjata. Apa lagi memang dengan kedua
tangannya dia cukup kuat menghadapi musuh yang bagaimana lihai pun, maka kalau
tidak sangat terpaksa, dia pun tidak mau menggunakan Liong-coan-kiam.
Sebaliknya,
pada saat Bo Lang Hwesio dan Ke Ce melihat sepak terjang anak muda ini, mereka
terkejut sekali karena baik kegesitan mau pun tenaga Cin Hai benar-benar luar
biasa, dan membuat mereka menjadi gentar! Bo Lang Hwesio menjadi penasaran oleh
karena belum pernah dia melihat seorang yang masih begini muda dapat memiliki
ilmu kepandaian yang lebih tinggi darinya, maka dia kemudian mengerahkan
tenaganya dan mengeluarkan ilmu kepandaian untuk menghadapi Cin Hai seorang
diri dan pertempuran berjalan seru dan hebat!
Tak lama
kemudian sampailah Lin Lin di tempat pertempuran dan begitu melihat bahwa yang
sedang bertempur dengan Cin Hai adalah hwesio tua yang telah dikenalnya sebagai
guru Boan Sip, dia segera berteriak keras, “Hai-ko, iblis tua itu adalah Bo
Lang Hwesio, suhu dari Boan Sip yang jahat!”
Cin Hai
terkejut sekali dan tanpa terasa ia melompat mundur. Juga Bo Lang Hwesio yang
melihat Lin Lin, segera bertanya, “Apakah kau yang bernama Kwee Lin dan yang
telah membunuh muridku?”
“Benar!” Lin
Lin menjawab tanpa merasa takut sedikit pun juga. “Aku dan Ma Hoa sudah
menghancurkan kepala Boan Sip, kau mau apa?”
“Celaka dan
sungguh sayang,“ Ke Ce yang juga berhenti sebentar dan bersama Yousuf
memperhatikan percakapan mereka, tiba-tiba berkata, “Mengapa musuh-musuhmu
begini cantik-cantik seperti bidadari, Bo Lang Suhu? Celaka, celaka dan sayang
sekali!”
“Anak muda!”
berkata Bo Lang Hwesio kepada Cin Hai. “Kau mendengar sendiri bahwa Nona itu
adalah pembunuh muridku, karena itu janganlah kau turut campur. Biarkan aku
bertempur mengadu jiwa dengan dia!” Ucapan ini secara tidak langsung
menunjukkan bahwa ia merasa jeri terhadap Cin Hai yang lihai.
Akan tetapi
sambil tersenyum, Cin Hai menjawab, “Bo Lang Hwesio, ketahuilah bahwa kalau
kiranya aku bertemu dengan muridmu itu, aku pun tentu akan membunuhnya untuk
yang kedua kalinya! Muridmu adalah pembunuh keluarga nona ini, dan kebetulan
sekali ibu nona ini adalah bibiku pula! Muridmu sudah membunuh keluarganya dan
dia telah membalas dan membunuh muridmu yang murtad itu, bukankah ini sudah
pantas? Kalau sekarang kau hendak membela murid jahat itu, maka banyak
kemungkinan semua orang akan menuduh bahwa kaulah orangnya yang salah dalam
mendidik murid itu! Peribahasa menyatakan bahwa pohon yang tidak sehat
menghasilkan buah yang masam, itu berarti bahwa guru yang buruk tentu
menjadikan muridnya jahat pula.”
Merahlah
muka Bo Lang Hwesio mendengar ini karena marahnya.
“Jangan
banyak cakap, kalau kau mau membela perempuan ini, pinceng pun tidak takut!”
“Hai-ko,
biarlah aku melawan sendiri pendeta siluman ini dengan pedangku!” seru Lin Lin.
Dan Cin Hai
yang maklum bahwa gadis ini tentu hendak mencoba Ilmu Pedang Han-le Kiam-sut
yang baru dipelajarinya, segera berpikir bahwa baik juga membiarkan gadis itu
mencoba ilmu pedangnya karena dia telah memberi latihan ginkang dan lweekang.
Akan tetapi oleh karena ilmu pedang itu baru saja dipelajari sehingga tentu
saja belum matang dan sempurna ia lalu berkata,
“Baik,
Moi-moi, kau lawanlah dia, bila dia terlalu berat bagimu, baru aku yang akan
turun tangan!”
Dengan
seruan garang, Lin Lin lalu maju menerjang dengan pedang Han-le-kiam. Ketika
mencipta ilmu pedang ini, Lin Lin yang berwatak jenaka dan gembira itu sudah
memberi nama pada tiap jurus dan gerakan bersama dengan Cin Hai. Maka muncullah
sebutan-sebutan aneh dan lucu dalam tiap gerakan yang hanya dikenal dan
dimengerti oleh Lin Lin dan Cin Hai.
Ada gerak
tipu-gerak tipu yang diberi nama Cin-hai Kwa-houw atau Cin Hai Menunggang
Harimau, ada Pula Lin-lin Chio-cu atau Lin Lin Merebut Mustika, bahkan ada nama
Ang-I Lo-be atau Ang I Niocu Turun Dari Kuda.
Ketika dia
menerjang maju, dia menggunakan tipu gerakan Lin-lin Chio-cu. Tangan kanan yang
memegang pedang menusuk tenggorokan Bo Lang Hwesio, sedangkan tangan kiri bukan
diangkat ke belakang sebagai imbangan badan, akan tetapi bahkan melaksanakan
serangan pula dengan sebuah gerakan dari Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na.
Hebatnya Ilmu
Pedang Han-le Kiam-sut ini ialah perkembangan atau perubahannya yang
benar-benar tak terduga dan semua serangan hanya merupakan pancingan belaka
yang kemudian disusul menurut gerak dan serangan pembalasan lawan.
Maka ketika
Bo Lang Hwesio yang menggunakan kedua ujung lengan bajunya mengebut ke arah
pedang pendek yang menyambar ke tenggorokan, dan lengan kiri dengan tenaga
lweekang sepenuhnya menghantam pergelangan tangan kiri Lin Lin yang
mencengkeram dada, tiba-tiba pedang pendek itu sudah meluncur ke bawah mengubah
sasaran dan kini bergerak menusuk iga kiri, sedangkan tangan kiri dara itu yang
tadi mencengkeram dada ketika hendak dihantam oleh tangan Bo Lang Hwesio,
tiba-tiba ditarik mundur dan terus diluncurkan ke atas dengan dua jari terbuka,
mengarah kedua mata lawan.
Hwesio itu
terkejut bukan main melihat perubahan gerakan yang sekaligus mematahkan
serangan atau tangkisannya itu dan yang terus dilanjutkan dengan serangan
lainnya. Dia cepat mengebutkan ujung lengan bajunya yang panjang untuk menangkis
dan membelit pedang lawan yang mengarah iga kirinya, sedangkan untuk
menghindarkan serangan jari pada matanya, ia menundukkan kepala.
Akan tetapi,
kembali Lin Lin merubah gerakannya karena sebelum pedangnya tertangkis dan
terlibat oleh ujung lengan baju, pedang itu dengan mengeluarkan suara angin
sudah berkelebat dengan belokan indah dan kini melakukan serangan hendak
memenggal leher hwesio yang sedang menundukkan kepala itu, sedangkan tangan
kiri ditarik dan langsung menyodok perut.
Memang hebat
bukan main llmu Pedang Han-le Kiam-sut ciptaan Cin Hai ini. Gerakan-gerakannya
demikian cepat dan perubahannya amat tak terduga-duga sehingga tiap kali
serangan tak berhasil, lalu disusul dengan gerak serangan lain yang disesuaikan
dengan kedudukan atau posisi lawan.
Sungguh
sayang bahwa Lin Lin belum mahir dan belum cepat betul dalam menjalankan
serangan-serangan sehingga meski pun perubahannya cepat, tetapi semua masih
dapat dilihat oleh lawan hingga masih sempat mengelak. Kalau saja yang mainkan
itu Cin Hai atau Ang I Niocu yang sudah memiliki kecepatan tubuh yang otomatis
dan memiliki gaya gerakan yang tidak sewajarnya hingga dapat membuat gerakan
palsu yang tidak terduga, tentu ilmu pedang ini akan merupakan ilmu pedang yang
amat sukar dilawan.
Betapa pun
juga, Bo Lang Hwesio sudah dapat dibikin bingung dan untuk menghindari
serangan-serangan selanjutnya yang bertubi-tubi dan yang seakan-akan otomatis
serta timbul dari cara ia menangkis atau pun mengelak itu, dia lalu berseru dan
melangkah ke belakang dua tombak lebih jauhnya.
Sesudah jauh
dari Lin Lin barulah dia terhindar dari serangan yang bertubi-tubi dan kini dia
menghadapi gadis itu dengan hati-hati sekali, lalu maju menyerang dengan cepat,
memutar-mutar dua ujung lengan baju bagaikan kitiran angin cepatnya.
Sementara
itu, semenjak tadi Ke Ce hanya berdiri dan memandang dengan kagum, sama sekali
lupa kepada Yousuf yang masih berdiri saja karena orang Turki ini tidak akan
mau menyerang apa bila tak diserang. Yousuf hanya berdiri dengan tegak sambil
memandang pertempuran itu dan ia pun merasa kagum sekali melihat kehebatan ilmu
pedang Lin Lin. Karena ia maklum bahwa gadis itu mendapat latihan dan pelajaran
dari Cin Hai, maka makin kagum dan hormatlah dia terhadap pemuda itu.
Tiba-tiba
melihat betapa Bo Lang Hwesio agaknya tak dapat mengalahkan Lin Lin dalam waktu
pendek, Ke Ce yang curang hatinya itu lantas membentak keras dan kedua lengan
tangannya mendorong ke arah Lin Lin. Ini adalah Pukulan Angin Taufan yang hebat
dan merupakan semacam pukulan khikang yang tinggi tingkatnya di daerah Mongolia
Dalam dan yang tak sembarang orang bisa menguasai atau mempelajarinya dengan
sempurna. Tenaga khikang Ke Ce sudah hampir sempurna, maka Kwee An sendiri
sampai tak dapat menahan serangan ini!
Akan tetapi,
kali ini Ke Ce tercengang sekali ketika tiba-tiba saja angin pukulannya yang
dahsyat bagaikan tenaga angin taufan itu membalik dan membuat dia sendiri
bergoyang-goyang! Ketika dia memandang, ternyata bahwa dari tempat di mana dia
berdiri, Cin Hai dengan tubuh setengah membongkok juga mengulurkan dua
tangannya dan melakukan gerakan yang sama dengan gerakannya sendiri dan
ternyata bahwa tenaga pukulan atau dorongan yang keluar dari kedua lengan anak
muda itu lebih kuat sehingga telah berhasil menggempur tenaga dorongannya!
Terbelalak
mata Ke Ce memandang oleh karena bagaimana seorang bangsa Han dapat memiliki
ilmu mendorong ini? Dia tidak tahu bahwa Cin Hai mengerti semua gerakan ilmu
pukulan dan baru melihat gerakan pundak dan lengannya saja, pemuda itu sudah
dapat menirunya kemudian pada saat yang tepat telah mengirim kembali tenaga
yang tadinya ditujukan dengan maksud merobohkan Lin Lin itu.
“Ehh, jangan
main curang, kawan!” kata Cin Hai sambil tersenyum memandang.
Yousuf
menjadi marah sekali melihat betapa dengan curangnya Ke Ce sudah menyerang Lin
Lin yang masih bertempur ramai melawan Bo Lang Hwesio, maka ia berseru, “Ke Ce,
bila tubuhmu sudah gatal-gatal ingin dipukul, akulah lawanmu!” ia lalu
menerjang dengan marah dan hebat hingga Ke Ce terpaksa melayani.
Cin Hai memandang
dengan penuh perhatian dan sebentar saja maklumlah dia bahwa meski pun ilmu
kepandaian kedua orang ini tidak jauh selisihnya, akan tetapi kepandaian Yousuf
masih lebih kuat dan tak perlu dikuatirkan keadaannya. Maka ia lalu memusatkan
perhatiannya kepada Lin Lin lagi.
Ia melihat
betapa gadis itu dengan garang melakukan serangan, akan tetapi menghadapi Bo
Lang Hwesio dia kalah pengalaman. Bo Lang Hwesio ternyata gagah sekali dan Cin
Hai maklum bahwa apa bila pergelangan tangan Lin Lin kena dikebut oleh ujung
lengan baju atau pedang Han-le-kiam dilibat, tentu Lin Lin akan kalah dan
mendapat celaka.
Baru saja
dia berpikir demikian, tiba-tiba saja dengan membentak keras Bo Lang Hwesio
menyerang dengan telapak tangan dimiringkan memukul leher gadis itu dan pada
waktu Lin Lin dengan lincahnya berkelit, tiba-tiba ujung lengan baju hwesio
yang kosen itu telah berhasil melibat ujung pedang Han-le-kiam. Lin Lin
berusaha mencabutnya, tapi pedang itu seakan-akan telah melengket pada lengan
baju dan tidak dapat ditarik kembali.
Cin Hai
berseru keras, dan sekali tubuhnya berkelebat dia dapat mengirim serangan ke
arah leher hwesio itu yang cepat mengangkat tangan yang tadinya dipakai memukul
leher Lin Lin untuk menangkis karena sudah tidak ada jalan lain lagi baginya
untuk mengelak. Pada saat kedua lengan tangan mereka beradu, Bo Lang Hwesio
mengerahkan seluruh tenaga lweekang-nya, maka ketika Lin Lin menarik
pedangnya…..
“Brettt!”
sobeklah ujung lengan bajunya! Sedangkan tubuhnya menjadi terhuyung mundur
ketika tenaga Cin Hai yang luar biasa mendorongnya dari pertemuan lengan itu!
“Hebat!”
serunya sambil meloncat mundur kemudian mengangkat kedua tangan memberi hormat.
“Aku yang tua dan lemah tak kuat melawan terus, biar lain kali bertemu pula! Ke
Ce hayo kita pergi!” teriaknya kepada kawannya yang sementara itu telah didesak
hebat oleh Yousuf!
“Sampai lain
kali!” kata Ke Ce.
Pada saat
itu juga tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik empat kali di udara dan
turun melayang ke tempat agak jauh hingga tentu saja kegesitan ini membuat
Yousuf dan yang lain-lainnya merasa kagum sekali. Memang sungguh hebat gerakan
tadi dan jarang dapat dilakukan oleh orang yang ilmu ginkang-nya belum tinggi!
Setelah kedua orang itu berlari turun gunung dengan cepat, Yousuf lalu menceritakan
bahwa Kwee An dan Ma Hoa telah terdorong masuk ke dalam jurang!
“Celaka!”
kata Cin Hai dan Lin Lin yang segera berlari ke pinggir jurang dan menjenguk.
Lin Lin
menjerit ngeri dan menangis sedih ketika melihat betapa jurang itu dalamnya tak
terkira hingga tidak kelihatan dasarnya! Cin Hai menggeleng-gelengkan kepala.
“Ayah,
kenapa tidak semenjak tadi kau memberitahu?” kata Lin Lin sambil menangis dan
membanting-banting kaki dengan gemasnya. “Kalau tadi aku tahu, tentu aku tidak
akan melepaskan dua binatang kejam dan busuk itu!”
Juga Cin Hai
merasa kecewa karena kalau dia tahu bahwa Kwee An dan Ma Hoa telah terbinasa
dan terlempar ke dalam jurang oleh kedua orang tadi tentu dia juga tidak akan
melepas mereka! Yousuf merasa menyesal sekali dan merasa bahwa ia telah lupa
sama sekali untuk menceritakan hal itu.
“Biar aku
mencari mereka di dalam jurang!” kata Yousuf yang lalu berlari secepat terbang
ke rumahnya. Tidak lama kemudian dia kembali lagi membawa segulung tambang yang
panjang sekali.
"Peganglah
ini, Cin Hai, aku hendak turun dan mencari Kwee An dan Ma Hoa,” katanya sambil
memberikan tambang itu kepada Cin Hai.
“Jangan,
Yo-pe-peh, biar aku saja yang turun. Kau dan Lin Lin yang memegang tambang
itu!” kata Cin Hai.
“Biarkanlah
aku yang turun,” kata pula Yousuf dan tiba-tiba dari kedua mata orang tua ini
mengalir turun air mata!
Lin Lin dan
Cin Hai maklum bahwa orang tua ini merasa bersalah sekali dan dia merasa
demikian menyesal sehingga sekarang ia hendak menebus kesalahannya dan ingin
turun mencari mereka yang jatuh ke dalam jurang.
Lin Lin
merasa sangat terharu dan lalu menubruk dan memeluk pundak ayah angkat itu,
“Ayah... maafkanlah kami berdua... kami tidak menyalahkan kau. Ayah... biarkan
Hai-ko saja yang turun.”
“Benar,
Yo-peh-peh, kau sudah tua dan aku yang muda lebih bertanggung jawab akan tugas
berat ini. Tidak ada yang bersalah dalam hal ini dan soal kedua orang bangsat
kecil itu, biar lain kali kita mencari mereka untuk membalas dendam!!”
Akhirnya
Yousuf menurut juga dan tambang yang panjang itu lalu dilempar ke bawah dan
ujungnya dipegang oleh Yousuf serta Lin Lin. Akan tetapi ternyata bahwa tambang
yang panjangnya tak kurang dari seratus kaki itu masih bergoyang-goyang, yang
menandakan bahwa tambang itu belum mencapai dasar jurang! Lin Lin bergidik dan
ngeri.
“Alangkah
dalamnya!” katanya dengan bibir gemetar.
“Di rumah
sudah tidak ada tambang lagi,” kata Yousuf yang juga pucat wajahnya.
“Biarlah,
sebegini juga cukuplah. Biar aku turun sampai di ujung tambang dan melihat apa
yang berada di bawahnya,” Cin Hai berkata. “Peganglah tambang kuat-kuat!”
Pemuda itu
melangkah ke pinggir jurang dan tiba-tiba Lin Lin memegang lengannya. Cin Hai
menengok.
“Ko-ko...
hati-hatilah kau...”
Cin Hai
tersenyum dan meraba dagu gadis itu, kemudian dia segera turun ke bawah
menyusur tambang. Karena dia telah memiliki kepandaian ginkang yang sempurna,
maka mudah saja dia merayap melalui tambang itu. Ternyata bahwa tebing itu
tinggi sekali dan di bawahnya tertutup oleh awan atau halimun tebal hingga
keadaannya gelap benar.
Sesudah
kedua kakinya merasa sudah tiba di ujung tambang paling bawah, Cin Hai lalu
meraba-raba dengan kaki dan ternyata memang benar bahwa tambang itu masih dalam
keadaan tergantung di udara dan belum sampai ke tanah. Ia lalu mengayun
tubuhnya ke depan sehingga tambang itu ikut terayun.
Tubuhnya
terayun-ayun beberapa kali, makin lama semakin keras dan akhirnya dia dapat
menyentuh tanah di depannya. Ternyata bahwa tanah itu bukan batu karang yang
keras, dan ditumbuhi rumput dan pohon kecil. Akan tetapi karena tanah itu
letaknya tegak lurus ke arah atas, tentu saja tidak mungkin baginya untuk
mendarat di sana. Dia berkali-kali memejamkan mata dan membukanya lagi untuk
dapat membiasakan mata itu menembus halimun. Kemudian matanya memandang ke
sekelilingnya mencari-cari.
Baik Cin Hai
mau pun Lin Lin dan Yousuf sama sekali tidak pernah menyangka atau pun menaruh
curiga terhadap Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa
sebenarnya kedua orang itu masih belum pergi dari situ. Memang benar bahwa
mereka sudah lari turun gunung, akan tetapi tiba-tiba Ke Ce berhenti berlari
dan berkata perlahan, “Bo Lang Suhu, mari kita kembali ke atas!”
“Apa kau
gila?” seru Bo Lang Hwesio yang tak dapat menangkap maksudnya,
“Dara manis
itu... ia cantik jelita dan ia musuhmu, bukan? Kalau saja kita bisa menyergap
dia, tanpa bantuan Yousuf dan pemuda lihai itu, kita berdua masa tak dapat
menangkap dia?” Sambil berkata demikian, sepasang mata Ke Ce yang cerdik itu
berputar-putar dan mulutnya tersenyum.
Untuk
beberapa lama Bo Lang Hwesio tertegun karena merasa malu dan rendah untuk
melakukan hal ini. Akan tetapi menghadapi mereka bertiga yang tangguh, sampai
kapan dia dapat membalas sakit hati muridnya terhadap Lin Lin? Akhirnya dia
menganggukkan kepalanya yang gundul. Mereka berdua dengan berindap-indap dan sembunyi-sembunyi
lalu naik lagi ke atas bukit.
Pada saat
mereka tiba di tempat itu sambil mengintai dan bersembunyi di balik pohon, Cin
Hai masih berada di bawah dan ujung tambang masih dipegang oleh Yousuf dan Lin
Lin. Bukan main girang hati Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Sambil tertawa dan
membentak keras mereka berdua keluar dari tempat persembunyian mereka, dan lari
cepat ke arah Yousuf dan Lin Lin yang masih memegang tambang di mana tubuh Cin
Hai bergantung di bawah.
Tidak perlu
diceritakan lagi alangkah terkejut hati Yousuf dan Lin Lin melihat kedatangan
mereka. Keduanya memandang dengan wajah pucat sekali dan merasa bahwa sekarang
mereka berdua berikut Cin Hai, pasti akan binasa.
“Pegang
tambang itu kuat-kuat, aku melawan mereka mati-matian,” kata Yousuf.
Lin Lin lalu
memegang tambang itu seorang diri dengan sekuat tenaga karena biar pun
sesungguhnya tenaganya sudah lebih dari cukup untuk memegang ujung tambang yang
digantungi tubuh kekasihnya, akan tetapi oleh karena merasa takut kalau-kalau
tambang itu terlepas dari tangan dan ngeri memikirkan nasib Cin Hai kalau
terjadi hal demikian, maka dia lalu memegangnya erat-erat, seakan-akan nyawanya
sendiri yang tergantung di ujung tambang itu.
Yousuf yang
tadi ketika mengambil tambang juga mengambil pedangnya, lalu mencabut pedang
itu dan menyambut mereka sambil berlari agar pertempuran dapat dilakukan di
tempat yang jauh dari Lin Lin. Akan tetapi, Bo Lang Hwesio dan Ke Ce yang
hendak bertindak cepat, lalu menerjang dengan hebat hingga sebentar saja Yousuf
terkurung dan terdesak hebat sekali.
Sementara
itu, Cin Hai yang tidak tahu apa-apa tentang peristiwa yang sedang terjadi di
atas, masih mencari-cari dengan matanya. Ketika dia menggunakan ketajaman
matanya menembus halimun tebal dan melihat ke bawah, ia hanya melihat warna
putih kebiruan yang bergerak-gerak di bawah kakinya, jauh di bawah. Dia menduga
bahwa itu mungkin juga daun-daun pohon.
Cin Hai lalu
mencari akal, dan ketika tangannya menyentuh akar-akar serta daun pohon kecil,
ia segera memegang akar pohon itu kuat-kuat dan sambil menggantungkan kedua
kakinya pada akar pohon, dia lalu mempergunakan kedua tangan untuk mengikat
ujung tambang itu pada pinggangnya. Dengan demikian, dia mulai mencari-cari ke
kanan-kiri sambil merayap dan berpegangan pada akar-akar pohon tanpa takut
terpeleset atau akar itu patah, karena pinggangnya telah terikat tambang.
Pada waktu
Lin Lin memandang dengan berdebar cemas betapa Yousuf terkurung hebat oleh dua
orang musuh yang tangguh itu tiba-tiba ia mendengar suara di atas kepalanya.
Alangkah girangnya karena melihat Merak Sakti terbang berkeliling di atasnya.
“Kong-ciak-ko,
lekas tolong Ayah!” teriak Lin Lin dengan keras.
Merak Sakti
menyambar turun bagaikan tahu akan perintah Lin Lin, dan juga berkat rasa
kesetiaannya timbul melihat Yousuf dikeroyok, lalu dia menyambar ke arah Ke Ce
sambil memekik keras!
Ke Ce
terkejut sekali ketika melihat bayangan kuning kebiru-biruan menyambar turun
dari angkasa ke arah kepalanya. Ia cepat mengelak dan mengeluarkan keringat
dingin ketika patuk merak yang kecil merah serta tajam itu meluncur di dekat
kepalanya, hampir saja berhasil mematuk matanya! Saat Merak Sakti menyambar
lagi, ia cepat mengulur tangan dengan gerakan Eng-jiauw-kang untuk mencengkeram
dan menangkap leher merak yang bagus itu.
Akan tetapi
merak itu bukan burung sembarang burung, melainkan peliharaan orang sakti dan
telah menerima latihan-latihan sehingga dia menjadi seekor merak sakti.
Menghadapi serangan ini, dia tak menjadi gentar dan sambil terbang ia mengebut
tangan yang hendak mencengkeramnya itu dengan sayap.
“Blekkk!”
Ke Ce hampir
saja mengeluarkan pekik karena tangannya yang terpukul sayap itu terasa sakit
dan pedas. Ternyata bahwa kebutan sayap merak itu mengandung tenaga yang bukan
main besarnya! Ke Ce menjadi marah sekali dan mempergunakan ilmu pukulan Angin
Taufan untuk mendorong jauh merak yang lihai itu.
Akan tetapi
Merak Sakti yang agaknya sudah maklum pula akan kelihaian pukulan yang
mendatangkan angin ini sehingga setiap kali Ke Ce memukul, dia selalu mengelak
cepat. Betapa pun juga, serangan-serangan Ke Ce dengan ilmu pukulan ini membuat
merak itu tak berdaya untuk menyerangnya.
Biar pun
kini hanya menghadapi seorang lawan saja, namun oleh karena kepandaian Bo Lang
Hweso lebih tinggi dari pada kepandaiannya, tetap saja Yousuf terdesak hebat
dan berada dalam keadaan berbahaya! Lin Lin mengeluarkan keringat dingin ketika
melihat betapa bantuan Sin-kong-ciak tetap belum dapat menolong ayah angkatnya,
bahkan kini merak itu hanya berani terbang berputaran di atas kepala Ke Ce oleh
karena tadi hampir saja pukulan Angin Taufan orang mongol itu mengenai dadanya!
Lin Lin
mulai menarik-narik tambang membetot-betot untuk memberi tanda kepada Cin Hai.
Tiba-tiba saja dia merasa tambang itu dikedut dari bawah, tanda bahwa Cin Hai
telah merasa akan isyarat yang dia berikan dan kini membalas dengan kedutan
seakan-akan hendak bertanya.
“Hai-ko...
lekas kau naik...!” Lin Lin berteriak ke arah bawah tebing, akan tetapi
suaranya ditelan halimun dan tak dapat menembus ke bawah.
Ia berteriak
berkali-kali dan Ke Ce yang melihat hal ini, segera melompat ke arahnya! Lin
Lin segera menggunakan tangan kiri untuk menahan tambang, ada pun tangan
kanannya cepat mencabut pedangnya! Dia hanya berdiri dengan mata tajam
menentang Ke Ce dan pedangnya siap di tangan kanan. Tekadnya hendak melawan
mati-matian dan apa bila ia kalah, dia tetap takkan melepaskan tambang itu dan
bersedia melompat ke dalam tebing menyusul kekasihnya!
Sementara
itu, pada saat melihat betapa Ke Ce menghampiri Lin Lin, Sin-kong-ciak lalu
berteriak-teriak nyaring dan mulai menyambar kepala Ke Ce lagi! Ke Ce segera
memukul, memaksa merak itu mengelak dan kembali terbang ke atas dengan jeri. Ke
Ce tertawa menyeringai dan menghadapi Lin Lin sambil berkata,
“Nona manis,
kau lepaskan saja tambang itu dan kau ikut aku pergi ke…”
Pada saat
itu, Sin-kong-ciak menyambar lagi dan mencakar ke arah mukanya sehingga
terpaksa Ke Ce mengelak dan tak melanjutkan ucapannya terhadap Lin Lin.
“Burung
celaka!” makinya. “Burung bedebah! Apa bila aku berhasil menangkapmu, akan
kupanggang dagingmu sampai gosong!”
Tetapi Merak
Sakti itu hanya terbang berkeliling di atas kepalanya sambil mengeluarkan pekik
nyaring berkali-kali. Pekik inilah yang kemudian terdengar oleh Cin Hai dan
yang membuat pemuda itu menjadi curiga, terlebih lagi karena dia merasa betapa
tambang itu berkali-kali ditarik dari atas. Dengan cepat Cin Hai lalu mulai
memanjat tambang itu untuk naik kembali ke atas oleh karena penyelidikannya
tidak menghasilkan sesuatu.
Sementara
itu, berkat sambaran-sambaran yang dilakukan oleh Sin-kong-ciak, Ke Ce tak
mendapat kesempatan untuk mengganggu Lin Lin, karena apa bila ia telah usir
merak itu dengan pukulan Angin Taufannya dan ia menghampiri Lin Lin, gadis itu
telah siap dengan pedangnya yang tidak boleh dipandang ringan biar pun
gerakannya tidak leluasa karena tangan kiri memegang tambang.
Sebelum Ke
Ce dapat bertindak lebih jauh, merak itu sudah turun menyambar lagi hingga
pemuda Mongol ini menjadi marah benar-benar. Lin Lin yang merasa gugup dan
cemas melihat keadaan Yousuf dan keadaannya sendiri, beberapa kali berseru,
“Hai-ko,
lekas... lekas keluar...!”
Mendengar
ini dan melihat betapa tambang di tangan Lin Lin bergoyang-goyang, Ke Ce
menjadi takut. Hanya Cin Hai saja yang dia takuti, maka kini menduga bahwa
pemuda itu akan segera muncul, dia lalu angkat kaki lebar sambil mengajak Bo
Lang Hwesio,
“Bo
Lang-Suhu, lekas pergi!”
Sementara
itu, Yousuf telah beberapa kali terkena sampokan ujung lengan baju Bo Lang Hwesio
yang sangat lihai, bahkan pukulan terakhir yang mengenainya telah menghantam
pundak dekat leher yang membuat dadanya terasa sesak dan sakit. Akan tetapi
berkat ilmu lweekang-nya yang sudah tinggi, ia dapat mengumpulkan tenaga dan
masih dapat melawan dengan gigih!
Bo Lang
Hwesio merasa heran sekali melihat keuletan orang Turki ini, karena
pukulan-pukulan ujung lengan bajunya tadi biasanya cukup untuk membinasakan
seorang lawan gagah dengan sekali pukul saja. Kakek Turki ini telah empat kali
menerima pukulannya dan masih saja kuat melakukan perlawanan! Diam-diam dia
merasa kagum dan gentar juga. Apakah kakek ini memiliki ilmu kekebalan yang
hebat?
Karena
hatinya sudah gentar, maka ketika Ke Ce melarikan diri dan mengajak dia untuk
kabur, ia lalu meloncat jauh dan mengejar kawannya itu, lari turun gunung
dengan cepat. Dan kali ini mereka benar-benar lari dari atas gunung itu karena
takut akan pembalasan Cin Hai!
Ketika Cin
Hai sudah mendarat dan berada di atas tebing, dia menjadi terkejut sekali
melihat Lin Lin memegang ujung tambang dengan pedang di tangan kanan dan air
mata gadis itu mengalir di kedua pipi. Ketika ia memandang ke arah Yousuf, ia
segera berseru kaget karena kakek itu roboh tak sadarkan diri!
Keduanya
lalu berlari menghampiri dan sambil memeriksa keadaan luka-luka pada tubuh
Yousuf, Cin Hai mendengar keterangan Lin Lin dengan mata berapi dan muka merah.
“Keparat
betul dua bangsat rendah itu!” katanya sambil mengertak gigi. “Alangkah curang
dan rendahnya perbuatan mereka!”
Cin Hai agak
lega melihat bahwa biar pun Yousuf mendapat luka-luka yang hebat, namun tenaga
dalam kakek itu sudah cukup kuat untuk melindungi jantung serta paru-parunya
sehingga tidak sampai menderita luka. Akan tetapi ia memerlukan rawatan teliti
dan lama sebelum dapat sembuh sama sekali. Kemudian dia lalu memondong tubuh
Yousuf dan bersama Lin Lin dia kembali ke rumah untuk segera memberi
pertolongan kepada orang Turki itu.
Sesudah
mendapat urutan dan pencetan pada jalan darahnya, kakek itu siuman kembali dan
ia lalu tersenyum melihat bahwa Lin Lin dan Cin Hai masih selamat dan berada di
dekatnya!
“Lain kali
akan kubalas dia...,” katanya lemah.
Kemudian Cin
Hai lalu menceritakan pengalamannya ketika dia mencari-cari jejak kedua kawan
yang terjatuh ke dalam tebing.
“Halimun
terlalu tebal dan tebing itu terlalu dalam hingga sukar untuk melihat nyata.
Akan tetapi oleh karena tebing itu merupakan lereng gunung, aku akan mencoba
untuk mencari dari kaki gunung dan hendak memanjat ke atas pada tempat itu.
Mudah-mudahan saja Thian Yang Maha Kuasa melindungi mereka berdua!”
Tiba-tiba
Lin Lin menepuk jidatnya dengan perlahan. “Ahh... mengapa kita begitu bodoh?
Kong-ciak-ko tentu dapat mencari mereka.”
Mendengar
ini, Cin Hai dan Yousuf girang sekali karena mereka juga berpendapat bahwa
burung merak itu tentu saja dapat mencari mereka.
“Pergilah
kalian segera membawa Sin-kong-ciak dan suruh burung itu mencari Kwee An dan Ma
Hoa. Lekas!” kata Yousuf dengan suara gembira.
Lin Lin dan
Cin Hai lalu berlari-lari keluar dan Lin Lin bersuit memanggil burung merak
yang segera terbang datang.
“Kong-ciak-ko,
mari kau ikut kami!” katanya sambil berlari cepat kembali ke tebing tadi.
Burung merak itu mengeluarkan suara girang dan terbang mengikuti di atas
mereka.
Sesudah tiba
di tebing Lin Lin lalu memberi tanda dengan tangannya, menyuruh burung merak
itu turun. Kemudian, sambil menunjuk ke bawah tebing, Lin Lin berkata,
“Kong-ciak-ko,
kau dengarlah baik-baik! Kwee An dan Ma Hoa hilang di bawah sana, kau carilah
mereka sampai dapat!” Sesudah mengulangi perintah ini sampai beberapa kali,
tiba-tiba merak itu lalu memekik girang dan segera terbang ke bawah tebing.
Ternyata ia telah dapat menangkap maksud perintah tadi!
Lin lin
merasa begitu tegang dan gembira sehingga dia memegang tangan Cin Hai dan
keduanya lalu berdiri menanti di pinggir tebing dengan wajah agak tegang dan
tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya hati dua anak muda ini yang
berdebar-debar dan bersama-sama berdoa semoga burung merak itu akan dapat menemukan
kedua kawan mereka dan kembali sambil membawa berita baik!
Lama sekali
mereka menanti dan tiba-tiba saja mereka mendengar merak itu memekik di sebelah
bawah. Dan bukan main heran hati mereka karena pekik merak itu adalah pekik
kemarahan, seperti biasanya dikeluarkan apa bila dia menghadapi seorang lawan!
Merak itu memekik berkali-kali, dan dengan wajah pucat Lin Lin bertanya kepada
Cin Hai,
“Siapakah
gerangan yang membuat Kong-ciak-ko demikian marah?”
Cin Hai juga
tak bisa menduga dan hanya menjenguk ke bawah yang terlihat putih pekat
tertutup halimun itu dengan penuh perhatian dan harap-harap cemas.
Sesudah
terdengar pekik merah itu beberapa kali lagi, lalu di bawah menjadi sunyi,
sunyi yang makin menggelisahkan hati kedua teruna remaja itu. Tiba-tiba saja
terdengar bunyi pukulan sayap merak itu, lantas muncullah Sin-kong-ciak
menembus halimun, terbang ke atas dan langsung mendarat di dekat Lin Lin.
Dia
mengangguk-anggukkan kepala sambil mengeluarkan keluhan-keluhan aneh. Ketika
Cin Hai dan Lin Lin memandang, ternyata bahwa pada kaki merak itu sudah
terlibat oleh seutas tali hijau yang ternyata terbuat dari pada semacam akar
pohon. Tali itu di bagian depan mengikat sepotong batu karang kecil yang agaknya
digunakan untuk disambitkan sehingga tali dapat melibat kaki Merak Sakti.
Tentu saja
ilmu kepandaian melempar tali dengan batu karang ini yang dapat melibat kaki
Merak Sakti, menunjukkan bahwa pelemparnya tentulah seorang luar biasa.
Jangankan tali itu sampai dapat melibat kaki Merak Sakti yang lihai dan pandai
mengelak, sedangkan untuk menangkap burung biasa dengan cara aneh itu pun
agaknya tidak akan mudah dilakukan oleh sembarang orang! Dan yang membuat kedua
anak muda itu merasa heran adalah sepotong kertas yang berada di ujung tali
itu.
Cin Hai
cepat-cepat mencabut kertas itu dan ternyata bahwa di situ terdapat tulisan
yang dilakukan dengan corat-coret kasar dan berbunyi,
Pergilah
kalian dan pelihara Merak ini baik-baik. Kalau ada jodoh, kelak bertemu.
“Aneh...“
kata Cin Hai, “tulisan siapakah ini dan apa pula maksudnya? Apa hubungannya
dengan Kwee An dan Ma Hoa?”
Lin Lin yang
membaca surat itu berkali-kali, juga tidak mengerti dan hanya memandang dengan
bengong. “Tentu di sebelah bawah yang penuh rahasia itu ada seorang yang luar
biasa pandai,” katanya, “dengan batu dia mampu membelitkan tali bersurat kepada
kaki Kong-ciak-ko dan ia dapat mengetahui pula keadaan kita berdua di sini.
Sungguh heran dan ajaib!”
Sekali lagi
Cin Hai membaca surat itu dengan teliti. “Dengan kata-kata pergilah kalian,
orang aneh itu sudah mengetahui bahwa kita berdua berada di sini dan menyuruh
pergi, tentu karena kedua orang saudara kita itu selamat. Ia menyuruh kita
memelihara merak baik-baik karena agaknya ia kagum dan suka sekali kepada merak
ini, ada pun kata-kata bila ada jodoh kelak bertemu merupakan ucapan yang biasa
dilakukan oleh pertapa atau orang-orang tua yang sakti. Ini hanya dugaanku
saja, terutama mengenai keselamatan Kwee An dan Ma Hoa, aku sendiri belum dapat
memastikan benar.”
Mereka lalu
kembali ke rumah Yousuf dan menceritakan kejadian itu sambil menunjukkan surat
itu. Yousuf juga merasa heran, akan tetapi dia berkata dengan suara mengandung
penuh harapan, “Orang yang mengirim surat secara aneh ini tentu seorang pandai
dan kalau dia dapat mengetahui keadaan kalian di atas tebing, tentu dia tahu
pula apa yang kalian cari. Maka menurut dugaanku, Kwee An dan Ma Hoa tentu
tertolong olehnya!”
“Akan,
tetapi, kalau benar demikian halnya, mengapa dia tidak menyuruh An-ko dan Ma
Hoa kembali ke sini?” tanya Lin Lin.
Yousuf
menggeleng-gelengkan kepala dan memejamkan matanya sebab pembicaraan ini biar
pun dilakukan sambil berbaring, tapi cukup melelahkan tubuhnya yang lemah.
Yousuf ialah seorang perantau yang banyak pengalaman dan ia mengerti pula cara
pengobatan, maka ia dapat merawat luka-lukanya sendiri.
Semenjak
terjadinya peristiwa yang menguatirkan itu, yaitu lenyapnya Kwee An dan Ma Hoa
serta terlukanya Yousuf, Cin Hai lalu menggembleng Lin Lin lebih rajin dan
tekun lagi sambil memberi nasehat agar supaya gadis kekasihnya itu melatih diri
baik-baik siang dan malam karena Cin Hai hendak meninggalkannya.
“Kau harus
dapat menguasai Ilmu Pedang Han-le Kiam-sut beserta kedua Ilmu Pukulan Pek-in
Hoat-sut dan Kong-ciak Sin-na baik-baik untuk menjaga dari bahaya mendatang,
sebab aku harus meninggalkan kau dan Yo-peh-peh beberapa lama untuk mencari
Kwee An dan Ma Hoa. Hatiku takkan tenteram sebelum dapat menemukan mereka,”
katanya.
Lin Lin juga
menyatakan setuju. Tentu saja ia ingin sekali ikut akan tetapi keadaan Yousuf
yang rebah dengan tubuh masih amat lemah dan belum sembuh lukanya itu
memerlukan tenaga bantuan dan rawatannya sehingga ia merasa tidak tega untuk
meninggalkan ayah angkatnya yang dikasihinya itu. Demikianlah, sejak saat itu
mereka berlatih siang malam tanpa kenal lelah sehingga setelah digembleng
secara demikian untuk sebulan lamanya, Cin Hai menjadi puas sekali.
“Lin-moi,”
katanya girang setelah ia mencoba melawan Lin Lin dan mendapat kenyataan bahwa
ilmu pedang gadis itu kini benar-benar sudah hebat sekali. “Sekarang, biarlah
Bo Lang Hwesio dan Ke Ce datang, bahkan biarlah mereka itu membawa dua tiga
orang kawan lagi. Dengan adanya kau di sini, seorang diri saja engkau akan
sanggup memukul roboh mereka semua.”
“Benarkah
itu, Koko? Menurut pendapatku sendiri, kepandaianku masih sama saja.”
Cin Hai
tersenyum “Memang demikianlah adanya. Kemajuan sendiri pasti takkan pernah
terasa atau terlihat oleh diri sendiri, orang lain yang bisa menentukannya.
Makin pandai seseorang ia akan makin merasa dirinya bodoh. Kau ingat akan nama
guru kita? Bu Pun Su, artinya Tiada Kepandaian! Suhu yang ilmunya telah mencapai
puncak kesempurnaan itu, bahkan mengaku bahwa beliau tak memiliki kepandaian
sama sekali. Kepandaianmu sekarang telah berlipat beberapa kali kalau
dibandingkan dengan sebulan yang lalu. Jika kau tidak percaya, mari kita
tanyakan kepada Yo-pekhu.”
Keduanya
lalu mendatangi Yousuf yang berangsur sembuh dan kini telah dapat duduk.
“Yo-pekhu,
coba kau lihat ilmu pedang Lin Lin dan nyatakan pendapatmu!” kata Cin Hai.
Yousuf
tersenyum sambil mengangguk-angguk dan Lin Lin lantas bersilat dengan pedang pendeknya
di depan Yousuf. Pedang pendek Han-le-kiam menyambar-nyambar sehingga merupakan
sinar putih kebiru-biruan berkelebat di sekeliling tubuh Lin Lin yang laksana
menari-nari dengan gaya indah.
Walau pun
pedang itu pendek saja, namun sinarnya seakan-akan menjadi senjata yang panjang
hingga dapat dibayangkan bahwa gerakan pedang itu cepat sekali. Yang hebat
ialah bahwa tangan kiri Lin Lin tak tinggal diam, akan tetapi membarengi
gerakan tangan kanan yang memegang pedang pendek dan melakukan serangan pula
sambil mainkan jurus-jurus yang lihai dan aneh dan Ilmu Silat Pek-in Hoatsut
dan Kong-ciak Sin-na.
Setelah ia
berhenti mainkan ilmu pedangnya, ia lalu memandang ke arah ayah angkatnya itu
dengan mata mengandung pertanyaan. Yousuf menarik napas panjang karena tadi ia
seperti menahan napas karena kagumnya.
“Ah, sungguh
sulit dipercaya bahwa kepandaian ini baru kau pelajari beberapa puluh hari
saja. Terus terang saja, kini aku sendiri belum tentu kuat menghadapimu dalam
sepuluh jurus. Kau hebat, anakku dan terima kasih kepada Cin Hai yang telah
mendidikmu.”
Cin Hai
tersenyum girang, lalu menjura sambil berkata, “Terima kasih itu tak seharusnya
ditujukan kepadaku, Yo-pekhu, akan tetapi kepada Suhu Bu Pun Su. Sekarang aku
akan turun gunung hendak mencari jejak Kwee An dan Ma Hoa. Dengan kepandaian
Lin Lin sekarang, aku dapat meninggalkan kalian berdua dengan hati tenteram.
Lin-moi, harap kau jangan malas untuk melatih diri selama aku pergi.”
Lin Lin
mengerling tajam. “Apakah memang aku biasanya malas? Koko, jangan terlalu lama
pergi!”
“Mana aku
kuat meninggalkan kau terlalu lama?”
Kemudian,
sesudah sekali lagi memandang kepada Lin Lin dan menjura kepada Yousuf, Cin Hai
lalu melompat dan tubuhnya berkelebat lenyap dari hadapan kedua orang itu.
“Lin Lin,
kau tentu bahagia sekali mendapat jodoh seperti Cin Hai,” kata Yousuf dengan
suara gembira.
Lin Lin
tidak menjawab, hanya menjatuhkan diri duduk di atas sebuah kursi pembaringan
Yousuf sambil tersenyum dan pandang matanya melayang jauh dalam lamunan.
Cin Hai
mempergunakan ilmunya untuk berlari cepat menuruni bukit itu. Dia terus turun
sampai di kaki bukit, lantas mengambil jalan memutar menuju ke kaki gunung di
bawah tebing yang curam di mana Kwee An dan Ma Hoa terjatuh.
Ternyata
bagian ini ialah bagian sebelah timur, penuh dengan hutan belukar, dan lereng
gunung itu walau pun terdiri dari tanah yang tidak keras, akan tetapi sukar
dilalui karena penuh dengan jurang-jurang dan rawa-rawa yang penuh alang-alang.
Bahkan ada bagian yang nampaknya seperti tanah rata ditumbuhi rumput tebal,
akan tetapi ketika terinjak, ternyata bahwa di bawahnya merupakan tanah lumpur
yang berbahaya sebab sekali saja kedua kaki masuk ke situ, orang tak akan mampu
menarik kembali kedua kakinya yang makin lama tersedot makin dalam!
Karena rawa
yang demikian ini luas sekali dan tak mungkin diloncati begitu saja karena
lebarnya, Cin Hai kemudian mencari akal. Ia menggunakan pedangnya untuk
memotong banyak batang pohon bambu dan melemparkan bambu itu ke atas rumput
itu.
Dia membawa
beberapa batang bambu yang panjang dan menginjak bambu yang telah dilempar di
atas rumput, kemudian dia menurunkan bambu sebatang lagi disambungkan kepada
bambu yang diinjaknya. Dengan cara demikian dia membuat jembatan bambu yang
sambung menyambung dan yang dapat diinjaknya tanpa kuatir tenggelam, hingga
akhirnya setelah menghabiskan tujuh bambu panjang, ia dapat juga menyeberang
rawa yang aneh dan berbahaya ini!......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment