Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 20
MARILAH kita
ikuti pengalaman Kwee An dan Ma Hoa semenjak mereka terguling ke dalam jurang
tebing yang amat curam itu.
Telah
diceritakan pada bagian depan bahwa Kwee An terkena dorongan hawa pukulan Angin
Taufan dari Ke Ce yang lihai hingga dia terguling ke dalam jurang, sedangkan Ma
Hoa cepat melompat menyusul kekasihnya itu sehingga mereka berdua ketika jatuh
ke dalam jurang saling berpegangan tangan dan mendapat kekuatan batin luar
biasa karena sentuhan tangan ini!
Akan tetapi
betapa pun juga, merasa betapa tubuhnya meluncur turun dengan cepatnya ke dalam
jurang yang luar biasa dalamnya itu tanpa berdaya sedikit pun, Ma Hoa merasa
ngeri sekali hingga ia menjadi pingsan! Sebaliknya, Kwee An biar pun juga tidak
berdaya, tetapi ia masih sadar dan di dalam jatuhnya, ia masih berusaha
menggerakkan tubuhnya dan mengulur tangan untuk mencari pegangan!
Akhirnya ia
pun berhasil dan sebelah tangannya dapat menangkap sebatang pohon yang tumbuh
pada permukaan jurang yang curam itu. Akan tetapi, tiba-tiba dia merasa betapa
tangan Ma Hoa yang memegangnya menjadi lemas dan ketika pegangan tangannya di
cabang pohon itu menahan luncuran tubuhnya, pegangan pada tangan Ma Hoa itu
lalu terlepas tanpa dapat ia tahan lagi hingga tubuh Ma Hoa terus ke bawah,
terpisah darinya!
Kwee An
merasa betapa tangannya yang memegang pohon itu sakit, dan seakan-akan
sambungan tulang pada pundaknya terlepas oleh karena sentakan tenaga
luncurannya yang tiba-tiba tertahan itu keras sekali. Dia berpegang kuat-kuat
pada pohon itu sambil memandang ke bawah dengan penuh kengerian. Melihat betapa
tubuh kekasihnya itu terus meluncur ke bawah hingga lenyap tertutup halimun
tebal, ia mengeluh keras-keras.
“Ma Hoa...”
Kemudian ia
pun roboh pingsan! Untung baginya bahwa di mana ia berada itu memiliki banyak
cabang dan daun, sehingga pada saat tubuhnya terkulai karena ia roboh pingsan,
tubuhnya tertahan oleh ranting-ranting pohon dan tidak sampai jatuh ke bawah.
Setelah
beberapa lama berada dalam keadaan pingsan, lambat laun dia siuman kembali dan
teringat akan nasib Ma Hoa, Kwee An menangis sedih di atas dahan pohon itu. Dia
ingin melemparkan dirinya ke bawah untuk ikut mati bersama Ma Hoa, akan tetapi
masih belum putus harapan. Siapa tahu kalau Ma Hoa juga tertolong jiwanya?
Lebih dulu dia harus menyelidiki dengan teliti.
Maka dia
segera merangkak dengan hati-hati sekali di antara cabang pohon. Dia melihat
betapa pohon itu tumbuhnya melintang dan bahwa permukaan jurang itu lurus ke
atas dan tak mungkin dilalui. Dengan amat hati-hati dia lalu menggunakan
batu-batu menonjol di pinggir atau dinding tebing itu untuk merayap ke atas.
Dengan
pertolongan batu-batu karang dan akar-akar pohon, dia dapat juga meninggalkan
pohon di mana dia tersangkut tadi dan akhirnya dia mendapatkan sebuah goa di
dinding tebing. Karena merasa lelah sekali, dia lalu masuk ke dalam goa kecil
itu dan beristirahat.
Semalaman
penuh dia beristirahat di dalam goa itu, memikirkan nasib Ma Hoa dengan gelisah
dan akhirnya ia mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanannya merayap dan
mencari jalan keluar dari dinding tebing yang curam dan luas itu, kemudian
mencari kekasihnya.
Sementara
itu, tubuh Ma Hoa meluncur ke bawah dengan kecepatan makin besar. Tak dapat
disangsikan lagi, jika tubuh dara ini jatuh menimpa batu atau tanah, pasti
tubuhnya akan hancur lebur. Akan tetapi, Thian Yang Maha Agung mempunyai
kekuasaan yang tak terbatas. Bila belum dikehendakinya, ada saja jalan atau
penolong yang menyelamatkan nyawa seseorang dari kematian.
Pada saat
tubuh Ma Hoa telah meluncur mendekati tanah, tiba-tiba saja terdengar orang
mengeluarkan seruan kaget, “Ya Tuhan Yang Maha Agung!” seruan ini dikeluarkan oleh
seorang kakek berkepala botak.
Secepat
kilat kakek botak ini segera menanggalkan mantelnya dan ketika tubuh Ma Hoa
jatuh hendak menimpa tanah, dia menggerakkan mantel itu yang menangkap tubuh Ma
Hoa, dan sekali mantel disentakkan, tubuh Ma Hoa yang tadinya meluncur ke
bawah, lalu tenaga luncurannya dibelokkan ke kiri, kemudian diteruskan ke atas
sehingga tubuh itu melayang ke atas! Inilah cara luar biasa untuk mematahkan
tenaga luncuran yang keras itu.
Ketika tubuh
Ma Hoa melayang lagi ke bawah, dengan tenaga yang telah patah sehingga daya
luncurannya jauh berkurang, kakek botak itu lalu menangkapnya dan membawanya
masuk ke dalam sebuah goa yang berada tak jauh dari tempat itu.
Setelah
memeriksa keadaan Ma Hoa, kakek botak itu menarik napas lega oleh karena ia
tahu bahwa gadis itu pingsan bukan karena menderita luka, akan tetapi akibat
kengerian, ketakutan dan juga karena tekanan hawa yang menyesakkan
pernapasannya ketika dia jatuh dari tempat yang luar biasa tingginya itu tadi!
Maka kakek
botak itu lalu membiarkan saja Ma Hoa pingsan, karena memang sebaiknya gadis
itu dibiarkan sampai siuman sendiri. Dia hanya mengangkat kedua tangan Ma Hoa
beberapa kali, dan mengurut-urut leher gadis itu untuk memulihkan jalan
pernapasannya kembali, kemudian ia membiarkan gadis itu terlentang di atas
tanah, lalu ia duduk di atas batu hitam yang bundar dan lebar untuk bersemedhi,
seakan-akan tidak terjadi sesuatu.
Tidak lama
kemudian, dari luar goa masuklah seorang tua lain yang tinggi kurus. Ketika
melihat tubuh Ma Hoa yang rebah terlentang di atas tanah, di belakang kakek
botak yang duduk bersemedhi, orang tua tinggi kurus ini membelalakkan matanya
dan mengeluarkan suara, “Ah, ah, uh, uh...“ lalu menggerak-gerakkan kedua
tangannya. Ternyata bahwa dia adalah seorang kakek gagu!
Kakek botak
itu membuka matanya dan tersenyum melihat lagak Si Gagu.
“A Tok!
Jangah kau heran! Gadis ini bukan turun dari langit, akan tetapi dia terjatuh
dari atas tebing itu. Ia mempunyai tulang dan bakat baik sekali untuk menjadi
muridku, maka sejak sekarang, dia menjadi sumoi-mu! Keluarlah kau mencari Daun
Siu-hwa putih untuk mengobati pengaruh kaget dan takutnya.”
A Tok yang
gagu itu lalu terkekeh-kekeh girang dan pergi dari situ. Akan tetapi, tak lama
kemudian dia sudah kembali lagi sambil tangannya membawa beberapa helai daun
yang berwarna putih dan tangannya lalu bergerak-gerak serta dikembangkan ke
kanan dan kiri meniru gerakan burung dan mulutnya tetap mengeluarkan suara,
“ah, ah, uh, uh” seperti tadi.
“Hmm, burung
besar? Biarlah aku keluar melihatnya, A Tok!”
Kakek botak
itu lalu bertindak keluar dengan tenang. Dan benar saja, dia melihat seekor
burung merak yang besar dan indah melayang turun dengan kedua mata mencari-cari
seperti lakunya seekor rajawali mencari mangsa. Ini adalah Sin-kong-ciak yang
disuruh oleh Lin Lin untuk mencari Kwee An dan Ma Hoa.
Ketika
melihat kakek yang berdiri di depan goa itu, Sin-kong-ciak lalu turun menyambar
dengan cepat, kedua kakinya siap mencengkeram dan patuknya siap menotok.
“Ha-ha-ha,
burung merak yang lihai!” kata kakek botak itu sambil menggerakkan tangan
kanannya.
Dari tangan
itu lalu menyambar hawa yang kuat dan yang mendorong merak itu hingga terpental
kembali ke atas. Merak Sakti maklum bahwa kakek itu lihai sekali, maka dia
hanya memekik-mekik keras sambil terbang berputaran di atas kepala kakek botak
itu.
Sedangkan
kakek itu kemudian mengeluarkan kertas dan menulis beberapa huruf yang
dicoret-coret, kemudian dia mengambil sehelai tali yang mengikat batu karang
kecil pada ujungnya.
“Merak baik,
kau kembalilah dan berikan surat ini kepada orang-orang yang menyuruhmu turun!”
Ia lalu
menyelipkan kertas bersurat itu pada tali dan sekali ia menggerakkan tangan,
batu karang berikut tali dan surat itu melayang bagaikan seekor ular terbang
menuju ke arah Merak Sakti!
Sin-kong-ciak
menyangka bahwa kakek itu menyambitnya dengan batu atau senjata lain, maka dia
cepat mengelak. Akan tetapi aneh sekali, ternyata bahwa kakek itu menyambit
dengan cara yang luar biasa sehingga ketika merak itu mengelak, ujung tali
membelit sebuah kakinya dan batu itu terputar-putar sedemikian rupa hingga tali
membelit dengan erat pada kaki itu! Sin-kong-ciak biar pun tidak merasa sakit,
akan tetapi ia terkejut sekali sehingga kembali ia memekik-mekik keras,
kemudian ia terbang ke atas karena takut dan ngeri menghadapi kakek botak yang
luar biasa itu! Demikianlah, kakek botak itu memberi tahu kepada Cin Hai dan
Lin Lin dengan suratnya sebagaimana yang telah dituturkan di bagian depan.
Ketika
akhirnya Ma Hoa siuman kembali dan membuka kedua matanya, ia merasa heran
mendapatkan dirinya rebah di atas tanah yang lembek dan berada di dalam sebuah
goa yang gelap. Ia lalu bangun duduk dan timbul perasaannya bahwa ia mungkin
sudah mati karena segera terbayang kembali peristiwa tadi.
Ia memandang
ke sekeliling untuk mencari Kwee An, dan alangkah herannya ketika dia melihat
bahwa di atas dua buah batu besar dua orang kakek sedang duduk bersemedhi.
Kakek botak itu mendengar gerakannya, lalu membuka mata dan turun dari atas
batu.
“Anak,
jangan kau kaget, kau berada di tempat yang aman,” katanya halus.
“Teecu...
berada di manakah... dan siapakah Locianpwe?”
“Kau tadi
terjatuh dari atas dan kebetulan sekali bertemu dengan aku hingga aku berhasil
mencegah tubuhmu dari kehancuran. Kau makan dulu daun-daun ini untuk
melenyapkan rasa kagetmu.” Sambil berkata demikian, kakek botak itu memberi
lima helai daun-daun kecil yang berwarna putih dan yang tadi dia suruh A Tok
mencari.
Tanpa
ragu-ragu lagi Ma Hoa menerima daun-daun itu dan memakannya. Rasanya agak
masam, akan tetapi karena memang dia merasa betapa dada kirinya
berdenyut-denyut keras, dia lalu makan habis daun itu dan aneh, denyutan keras
itu segera mengurang dan akhirnya lenyap. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di
depan kakek botak itu dan berkata,
“Locianpwe,
teecu menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Locianpwe. Dan mohon
tanya, bagaimanakah nasib seorang kawanku yang jatuh bersama teecu?” Sambil
berkata demikian Ma Hoa memandang kepada wajah kakek botak itu dengan cemas.
“Seorang
kawanmu?” kakek itu berkata, “aku tidak melihat orang lain kecuali kau yang
melayang jatuh dari atas.”
“Ahh...
kalau begitu, biarlah teecu mencarinya,” kata Ma Hoa sambil berdiri.
“Nanti dulu,
Nak. Sebetulnya siapakah kau ini dan siapa pula kawanmu yang ikut jatuh?
Mengapa pula kau dan kawanmu sampai terjatuh dari tempat setinggi itu?”
Biar pun
hatinya ingin sekali lekas keluar dari goa itu untuk mencari Kwee An, akan
tetapi karena dia telah tertolong jiwanya oleh kakek itu, maka Ma Hoa lalu
menuturkan singkat pengalamannya, betapa dia dan kawannya bertempur melawan Bo
Lang Hwesio dan Ke Ce. Kakek botak itu mengangguk-angguk dan berkata,
“Pantas saja
kau dan kawanmu kalah melawan Bo Lang Hwesio yang pernah kudengar namanya
ketika aku masih muda dan masih menjelajah di dunia kang-ouw. Akan tetapi, tiga
bulan saja kau mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning dari aku, tak usah kau takut
lagi menghadapi mereka!”
Ma Hoa
terkejut mendengar ini, karena kata-kata itu menyatakan bahwa kakek botak ini
hendak mengambil dia sebagai muridnya! Maka dia segera menjatuhkan diri
berlutut dan berkata, “Lo-cianpwe, bukan teecu tidak tahu terima kasih, akan
tetapi mengenai belajar silat ini lebih baik ditunda setelah teecu dapat
mencari kawanku yang jatuh itu.”
“Hemm, tidak
boleh! Kau berjodoh untuk menjadi muridku dan ketahuilah, kalau tidak atas
kehendakku sendiri, biar orang berlutut dan bermohon di depanku sampai dia
mati, tidak mungkin dia dapat menjadi muridku. Tentang kawanmu itu, percayalah
bahwa selain kau tak ada lagi orang lain jatuh dari atas. Maka menurut
dugaanku, kawanmu itu tentu telah dapat menolong jiwanya sendiri dan telah
selamat, oleh karena bila dia memiliki ginkang yang tinggi, pada waktu jatuh
dia dapat menangkap cabang-cabang pohon yang banyak tumbuh di samping tebing
itu.”
Mendengar
ucapan ini Ma Hoa menjadi lega juga dan ia percaya penuh bahwa kakek luar biasa
ini tidak berbohong. Ia pun merasa girang mendengar janji kakek ini bahwa
setelah mempelajari ilmu silat tiga bulan saja, dia akan dapat melawan Bo Lang
Hwesio dan Ke Ce! Ingin sekali ia mencari dan membalas kedua orang yang hampir
saja menewaskan dirinya itu. Maka ia lalu mengangguk-anggukkan kepala dan
berkata,
“Suhu, teecu
Ma Hoa menurut perintah dan petunjuk Suhu!”
Kakek botak
itu tertawa bergelak-gelak karena girangnya. “Bagus, bagus! Ketahuilah, aku
bernama Hok Peng Taisu, dan kakek gagu ini adalah seheng-mu bernama A Tok!”
Ma Hoa lalu
menjura kepada suheng-nya yang sudah tua itu hingga A Tok menjadi girang dan
membalas pemberian hormat itu sambil berseru “Ah, ah… uh, uh…” dan tangannya
bergerak-gerak.
“Tempat ini
kurang baik untuk belajar silat,” kata Hok Peng Taisu, “mari kau ikut aku ke
Hong-lun-san!”
Ma Hoa
menurut dan kedua guru serta murid itu berlari cepat meninggalkan tempat itu,
menuju ke sebuah bukit lain yang dari sana nampak puncaknya. Ma Hoa mengerahkan
ilmunya berlari cepat, akan tetapi meski pun suhu-nya hanya kelihatan berjalan
perlahan saja, namun dia selalu tertinggal di belakang! Maka dia merasa girang
sekali oleh karena mendapat kenyataan bahwa suhu-nya yang baru ini
sungguh-sungguh mempunyai ilmu kepandaian tinggi.
Setelah tiba
di Hong-lun-san, Ma Hoa menjadi kagum melihat bahwa di puncak bukit ini
terdapat pondok suhu-nya dan pemandangan di situ tidak kalah indahnya dengan
tempat tinggal Yousuf. Semenjak saat itu, ia mendapat latihan IImu Silat Bambu
Kuning yang luar biasa dari suhu-nya, Hok Peng Taisu.
Ilmu silat
ini dimainkan dengan menggunakan dua batang bambu kuning yang runcing. Sepasang
bambu runcing ini pendek saja sehingga merupakan siangkiam atau sepasang pedang
yang aneh karena terbuat dari bambu biasa dan tidak tajam, ujungnya runcing.
Biar pun
hanya sepasang bambu runcing kering, akan tetapi senjata ini hebatnya tidak
kalah dengan senjata-senjata lain yang terbuat dari besi atau baja. Hok Peng
Taisu telah menggunakan waktu bertahun-tahun untuk mencipta ilmu silat ini dan
di waktu mencipta, dia telah memasukkan segala kemungkinan menghadapi senjata
lawan yang bagaimana pun.
Kemudian,
pada waktu muda dia telah merantau puluhan tahun tanpa dapat menemukan
tandingan yang dapat merobohkan ilmu silatnya ini. Setelah dia mengundurkan
diri dan bertapa, dia bahkan memperdalam lagi Ilmu Silat Bambu Kuning dengan
cita-cita untuk menurunkannya pada seorang murid yang berbakat dan baik. Dan secara
kebetulan dan tak terduga sekali, pilihannya jatuh pada Ma Hoa.
Ma Hoa sudah
memiliki dasar-dasar ilmu silat yang tinggi dari Nelayan Cengeng, bahkan ilmu
pedangnya Hai-liong Kiamsut lihai sekali. Dan oleh karena ginkang-nya sudah
cukup tinggi maka kini ia dapat mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning dengan tak
banyak susah lagi.
Sesudah
mempelajari ilmu silat yang aneh itu selama tiga bulan, maka dia sudah dapat
mainkan dua batang bambu runcing itu dengan sempurna dan hanya tinggal melatih
dan mematangkannya saja. Oleh karena maklum bahwa muridnya ini sangat
menguatirkan keadaan Kwee An, Hok Peng Taisu tidak menahannya lagi ketika Ma
Hoa menyatakan keinginannya untuk turun gunung dan mencari kekasihnya. Kakek
ini hanya memesan agar Ma Hoa berhati-hati dan jangan lupa untuk sewaktu-waktu
mengunjunginya.
Ma Hoa
langsung menuju ke bukit tempat tinggal Yousuf, oleh karena dia merasa pasti
bahwa kalau Kwee An tertolong dari bahaya maut dan masih hidup, tentu pemuda
itu akan kembali ke tempat tinggal orang Turki itu. Akan tetapi, alangkah
kecewa dan cemas hatinya ketika tiba di tempat itu ia melihat rumah Yousuf
telah menjadi tumpukan puing dan keadaan di situ sunyi sekali.
Dengan cepat
Ma Hoa lalu turun dari bukit dan menemui penduduk dusun yang kini telah
berangsur-angsur kembali lagi ke rumah masing-masing. Gadis itu mendapat
keterangan tentang adanya penyerbuan rombongan orang Turki yang hendak
menangkap Yousuf.
Seperti juga
Cin Hai, ia merasa heran mengapa Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti dapat dikalahkan
dan sampai melarikan diri dari serbuan rombongan itu. Pada waktu ia mencari
keterangan tentang Kwee An dan Cin Hai, tak seorang pun dapat menceritakannya,
oleh karena memang Kwee An tidak pernah datang ke tempat itu, sedangkan ketika
Cin Hai datang, orang-orang kampung sedang lari mengungsi.
Bukan main
bingung hati Ma Hoa, karena tidak saja dia tidak tahu akan nasib Kwee An,
bahkan kini dia tidak tahu pula bagaimana keadaan kawan-kawan lainnya serta di
mana mereka sekarang berada. Maka dia lalu meninggalkan tempat itu dan setelah
memeriksa tempat di mana dia dan Kwee An terjatuh dari tebing, ia lalu turun
gunung dan mengambil keputusan hendak mencari Kwee An di sekitar gunung ini.
***************
Setelah
bermalam di dalam goa, pada keesokan harinya Kwee An terjaga dari tidurnya
dengan tubuh terasa panas sekali. Ketika ia menggerakkan tubuhnya, ia menjadi
terkejut karena seluruh tubuhnya terasa kaku dan sakit. Ternyata bahwa pukulan
Angin Taufan dan kemudian kejatuhan itu mendatangkan akibat yang hebat juga.
Ia menderita
sakit dan agaknya keadaan goa yang kotor dan kekurangan hawa segar itu telah
mendatangkan demam kepadanya! Terpaksa ia rebah di dalam goa itu dan selama
tiga hari panas tubuhnya meningkat hingga ia rebah dalam keadaan sakit dan
mengigau karena panasnya.
Keadaannya
berbahaya sekali karena selain tidak ada yang merawatnya, juga dia tidak dapat
makan sesuatu. Akan tetapi, pada hari ke empat, panasnya berkurang sehingga ia
dapat menggerakkan tubuhnya merangkak perlahan ke mulut goa. Ia melihat
tetumbuhan kecil di mulut goa itu dan oleh karena dia merasa lapar sekali, dia
mengambil daun-daun muda dan memakannya!
Demikianlah,
dia hidup dengan sengsara sekali selama berbulan-bulan di dalam goa itu, hanya
makan akar-akar pohon dan daun-daun yang ada di dekat goa. Setelah tubuhnya
menjadi kuat kembali, barulah dia merayap-rayap dengan jalan mencari pegangan
pada akar-akar pohon dan menginjak batu-batu karang yang menonjol, berupaya
keluar dari tempat tahanan alam ini!
Sesudah dia
dapat menginjak tanah datar lagi, ternyata bahwa tempat itu jauh berbeda dengan
keadaan lereng gunung di mana Yousuf tinggal. Bagian bukit ini penuh dengan
hutan-hutan liar dan tanpa dia sadari dia telah tiba di bagian utara gunung
itu, sedangkan tempat tinggal Yousuf adalah di bagian selatan. Dia juga tidak
ingat lagi bahwa dia telah berada di goa itu selama tiga bulan lebih!
Kwee An lalu
memasuki sebuah hutan yang terdekat, kemudian mencari buah-buah yang banyak
tumbuh dari pohon-pohon besar di sana, dan makanlah dia sepuas-puasnya dan
sekenyangnya.
Namun, baru
saja dia turun dari pohon, mendadak dari hutan muncul serombongan orang yang
segera datang mengurungnya sambil berteriak-teriak. Orang-orang ini mengenakan
pakaian aneh, setengah pakaian Han dan setengah Mongol. Potongan tubuh serta
wajah mereka bagus dan tidak ada banyak bedanya dengan orang-orang Han biasa,
akan tetapi bahasa mereka terdengar aneh dan mirip bahasa Mongol.
Mereka ini
adalah kelompok sisa dari bangsa Haimi yang telah dipukul pecah dan diusir oleh
bangsa Mongol. Orang-orang Haimi ini sebenarnya masih memiliki darah campuran,
yaitu darah Han dan Mongol dan mereka mempunyai potongan muka yang boleh
disebut tampan.
Kwee An
merasa terheran-heran melihat bahwa semua orang yang aneh ini mempunyai kumis
indah yang panjang dan dilingkarkan ke atas. Akan tetapi mereka semua mencukur
habis jenggot mereka, bahkan yang sudah agak tua pun tidak memelihara jenggot,
hanya memelihara kumis yang melintang di bawah hidung! Lebih aneh lagi, bahkan
orang-orang setengah dewasa yang berada di antara mereka, juga memelihara kumis
pula!
Rombongan
orang berkumis melintang ini lalu mengepung Kwee An sambil mengajaknya
bercakap-cakap dalam bahasa mereka yang sama sekali tidak dimengerti olehnya.
“Apakah yang
kalian kehendaki? Aku tak mengerti,” kata Kwee An kepada mereka sambil
tersenyum dan mengangkat pundak. Betapa pun juga, dia melihat sikap mereka
bukanlah seperti orang-orang liar yang hendak mencelakakan atau menyerangnya,
maka hatinya menjadi lega.
Tiba-tiba
salah seorang di antara mereka yang telah putih rambutnya, akan tetapi masih
memiliki kumis yang hitam indah melintang di bawah hidungnya, maju
menghampirinya dan bertanya dalam bahasa Han campuran yang kaku.
“Siapakah
kau dan dari mana kau datang?”
Kwee An
merasa girang sekali. Dia cepat menjura memberi hormat kepada orang tua itu dan
menjawab, “Syukur sekali engkau bisa bicara bahasa Han, Lopek. Siauwte bernama
Kwee An dan aku datang ke sini bukan disengaja, hanya kebetulan saja. Tempat
apakah ini dan siapakah kalian ini?”
Dengan sukar
sekali kakek ini lalu menjawab. “Kami adalah bangsa Haimi yang mengikuti
pemimpin kami dan sekarang tinggal di hutan ini. Telah bertahun-tahun kami tak
bertemu dengan orang Han, maka kami merasa heran sekali dapat bertemu dengan
kau di sini.”
“Mengapa
kalian mengurungku?” tanya Kwee An dengan hati tidak enak juga.
“Kau harus
ikut kami menghadap kepada pemimpin kami di dalam hutan.”
Biar pun
tidak merasa keberatan untuk bertemu dengan pemimpin orang-orang Haimi ini,
akan tetapi Kwee An merasa tidak senang juga sebab ia seolah-olah hendak
dipaksa dan dijadikan tawanan pula. Apa perlunya ia harus menghadap pimpinan
mereka?
Ada pun
orang-orang yang mengelilinginya, terutama yang muda-muda, memandangnya
seakan-akan dia adalah seorang yang lucu. Dia merasa betapa pandang mata mereka
ini semua ditujukan pada hidungnya sehingga diam-diam Kwee An merasa amat heran
dan beberapa kali ia lalu menggunakan ujung lengan baju untuk menggosok-gosok
hidungnya karena kuatir kalau-kalau tanpa disengaja ia telah mengotorkan
hidungnya. Ia tidak tahu bahwa para pemuda berkumis panjang itu memandangnya
dengan tertawa-tawa karena geli melihat ia tidak berkumis sama sekali!
Bagi mereka,
melihat seorang pria tidak berkumis sama dengan melihat harimau yang tak
berkumis atau kera tak berbulu! Salah seorang di antara mereka yang berwajah
tampan dan mempunyai kumis kecil panjang melingkar ke atas sedangkan usianya
paling banyak baru lima belas tahun, bahkan maju mendekatinya. Sambil menunjuk
ke bawah hidung Kwee An, ia tertawa-tawa berkata dalam bahasanya.
Semua orang
tertawa mendengar ucapan pemuda tanggung ini dan biar pun tak mengerti bahasa
mereka, namun Kwee An dapat merasa, bahwa ia dijadikan bahan olok-olok.
“Tidak, aku
tidak mau pergi menghadap pemimpinmu!” kata Kwee An yang merasa sebal dan marah
juga.
Orang tua
itu melangkah mundur dua tindak dan bicara dalam bahasanya sendiri, yang
maksudnya memberi tahu kepada semua kawannya bahwa orang asing ini tak mau
pergi menghadap kepala mereka.
Tiba-tiba
sikap orang-orang yang tadinya tertawa-tawa itu berubah. Mereka lalu mundur dan
ketika tangan mereka bergerak, mereka semua sudah mencabut golok kecil dengan
tangan kiri dan melepaskan seutas cambuk panjang dengan tangan kanan. Sikap
mereka mengancam sekali.
“Ehh, ehh,
apakah kalian hendak memaksaku?” tanya Kwee An kepada kakek tadi yang juga
sudah mencabut keluar seutas cambuk panjang berwarna merah dan sebilah golok
kecil yang tajam sekali.
Kakek itu
mengangguk. “Apa bila kau tidak mau menghadap dengan suka rela, terpaksa kami
akan memaksamu. Siapa pun orang yang lewat di sini, harus menghadap kepada
pemimpin kami karena daerah ini menjadi daerah kami dan berada di bawah
kekuasaan kami! Jangan kau mencoba untuk melawan, anak muda, karena kau takkan
keluar dari tempat ini dengan bernyawa kalau kau tidak menuruti permintaan
kami!”
Tiba-tiba,
anak muda belasan tahun yang tadi memperolok-oloknya, melompat maju ke hadapan
Kwee An sambil memutar-mutar cambuknya ke atas. Cambuk itu berbunyi keras
sekali dan menyambar-nyambar ke atas dengan ganasnya sehingga diam-diam Kwee An
menjadi terkejut dan juga kagum. Tak mudah menggerakkan cambuk seperti itu jika
tidak mempunyai kepandaian dan tidak melatih diri dengan baik. Cambuk itu dapat
merupakan senjata yang berbahaya!
“Siapakah
anak ini dan apa kehendaknya?” tanya Kwee An kepada kakek itu.
Orang tua
itu lalu berkata dengan suara dingin. “Dia adalah putera pemimpin kami yang
merasa tak puas melihat sikapmu. Ia menganggap kau tidak menghormat ayahnya
maka sekarang ia menantang kau untuk mengadu cambuk!”
“Mengadu
cambuk? Apa artinya itu?”
“Ini
merupakan semacam adu kepandaian yang menjadi tradisi bangsa kami. Orang yang
mengadu kepandaian memegang cambuk di tangan kanan dan golok di tangan kiri.
Yang boleh digunakan untuk menyerang hanyalah cambuk itu saja, sedangkan golok
itu hanya digunakan untuk mencoba membabat putus cambuk lawan. Siapa yang
cambuknya bisa dibuat putus berarti kalah. Apa bila keduanya dapat menjaga
sehingga cambuk masing-masing tidak terputus, maka siapa yang terbanyak
mendapat luka cambukan, ia kalah.”
Kwee An
mengangguk-angguk dan ia pun memandang kepada pemuda belasan tahun itu dengan
kagum. Sikapnya memang gagah sekali. Tubuhnya kuat dan sepasang matanya
menyinarkan keberanian yang besar, sedangkan kedua tangan yang memegang senjata
itu nampak tetap dan sigap.
“Aku terima
tantangannya,” kata Kwee An dengan wajah berseri karena dia ingin sekali
mencoba sampai di mana kepandaian anak muda yang tampan itu.
Ketika kakek
itu memberi tahu bahwa Kwee An menerima tantangan pemuda itu, sikap mereka
berubah lagi. Kalau tadi mereka bersungut-sungut dan marah, sekarang mereka
bersorak dan bergembira, karena mereka memang menghargai kegagahan.
Melihat
bahwa Kwee An berani melawan pemuda yang menjadi jago di antara mereka itu,
mereka merasa kagum! Segera mereka berpencar dan duduk di atas rumput
mengelilingi mereka dan memberi tempat yang cukup luas untuk dua orang yang
hendak bertanding itu. Sedangkan kakek itu lalu memberi pinjaman sebatang
cambuk panjang dan sebuah golok kepada Kwee An.
Sebetulnya
Kwee An tak gentar untuk menghadapi pemuda tanggung itu dengan tangan kosong.
Akan tetapi oleh karena dia kuatir kalau-kalau dianggap memandang rendah, ia
lalu menerima kedua senjata itu dan memegang di tangan dengan sembarangan saja.
Tentu saja
sikapnya ini menjadikan buah tertawaan lagi oleh karena bagi mereka, dari cara
memegang kedua macam senjata itu saja sudah menunjukkan tingkat kepandaian pemegangnya.
Menurut teori mereka, memegang cambuk itu harus di atas kepala dan selalu
diayun-ayun dan diputar-putar, sedangkan tangan kiri yang memegang golok harus
membalikkan golok itu dengan bagian yang tajam di atas agar mudah menangkis dan
memutuskan cambuk lawan. Akan tetapi Kwee An memegang cambuk yang tergantung ke
bawah, sedangkan goloknya ia pegang seperti orang memegang golok untuk
bersilat.
Pemuda
tanggung itu tiba-tiba berseru keras dan Kwee An maklum bahwa itu tentu tanda
bahwa lawannya hendak mulai menyerang, maka dengan tenang dan waspada ia
berdiri memasang kuda-kuda dan memandang tajam. Benar saja, cambuk pemuda itu
tiba-tiba berbunyi keras dan berkelebat menyambar ke arah lehernya.
Kwee An
segera mengelak sambil merendahkan tubuhnya. Akan tetapi ternyata bahwa yang
menyambar lehernya adalah bagian tengah cambuk itu, sedangkan ujungnya yang
kecil lemas dan masih panjang itu tiba-tiba saja dapat bergerak ke arah
dadanya.
Hanya dengan
pengerahan lweekang cukup tinggi yang dapat menggerakkan cambuk itu pada
ujungnya seakan-akan cambuk itu hidup. Melihat ini, Kwee An merasa kagum juga
dan cepat ia mengelak lagi dengan lompatan cepat ke samping.
Kwee An
terlepas dari pada serangan pertama dan semua orang yang duduk mengelilingi
tempat itu dan menonton, mengeluarkan seruan-seruan karena mereka merasa sangat
heran melihat cara Kwee An mempertahankan diri.
Memang,
mereka itu biasanya tidak mengandalkan kecepatan tubuh untuk mengelak dari
serangan dan biasanya ketika diserang, mereka akan menggunakan golok di tangan
kiri untuk menangkis dan mencoba memutuskan cambuk lawan, sedangkan cambuk
sendiri harus segera dikerjakan untuk mengirim serangan balasan. Jadi ilmu
cambuk mereka itu pada hakekatnya didasarkan atas kecepatan membalas serangan
lawan serta ketepatan menangkis dengan golok.
Gerakan Kwee
An yang cepat itu membuat mereka terheran-heran. Akan tetapi ketika pemuda itu
menyerang terus bertubi-tubi hingga cambuknya menyambar-nyambar sambil
memperdengarkan suara keras mengurung seluruh tubuh Kwee An, dan betapa Kwee An
lalu mempergunakan ginkang-nya berkelebat ke sana ke mari di antara sinar dan
ujung cambuk, semua orang menjadi bengong karena tiba-tiba saja mereka tidak
melihat lagi tubuh Kwee An dan hanya melihat bayangannya saja berkelebatan.
Bahkan kakek tua itu pun tiada habisnya mengeluarkan seruan memuji.
Tiba-tiba
pemuda tanggung itu menghentikan serangannya. Dengan muka merah karena penasaran
dan marah, ia bicara dengan suara keras kepada Kwee An yang juga berdiri
tenang.
Kakek itu
lantas berkata dari tempat duduknya, “Dia merasa penasaran karena kau tidak
menggunakan cara bertanding yang biasa. Kau mempergunakan cara berkelahi
terhadap musuh, sedangkan permainan ini sama sekali bukan berkelahi, namun
hanya mengadu kepandaian. Sekarang kau pilih, hendak berkelahi mengadu jiwa
atau hendak bertanding mengadu kepandaian? Kalau hendak bertanding, kau harus
membalas dengan cara yang sama dan menyerang dengan cambukmu!”
Kwee An
terkejut. Tanpa sengaja ia telah melukai perasaan pemuda tanggung itu, maka ia
pun cepat-cepat berkata, “Baiklah, aku akan membalas dengan serangan cambuk.
Aku akan merampas cambuk dari tangannya!”
Ketika kakek
itu memberitahukan hal ini kepada pemuda itu. Dia lalu tersenyum senang dan
mulai menyerang lagi. Kini Kwee An tidak mau mempergunakan ginkang-nya lagi,
dan ketika cambuk lawan menyambar, dia pun lalu menggerakkan cambuk di
tangannya dan menggerakkan tenaga lweekang-nya hingga cambuknya kemudian
membelit cambuk lawan. Ketika dia berseru keras dan membetot, tanpa tertahan
lagi pemuda tanggung itu berteriak kaget dan terlepaslah cambuk itu dari
tangannya.
“Nah, aku
menang, karena cambuknya telah dapat kurampas!” kata Kwee An kepada kakek itu
yang duduk sambil memandang cara tadi dengan mata terbelalak heran.
Semua orang,
termasuk pemuda tanggung itu, merasa heran sekali. Bagaimana cambuk dapat
dipakai untuk merampas senjata sedemikian mudahnya? Akan tetapi, pemuda itu
melangkah maju lantas kembali mengeluarkan kata-kata keras dengan muka
penasaran. Sesudah dia habis berkata-kata, terdengar semua orang yang duduk
mengelilingi mereka itu tertawa bergelak.
“Ada apa
lagi?” tanya Kwee An kepada kakek yang menjadi juru bahasa itu.
Kakek itu
tersenyum geli mendengar kata-kata anak muda tadi. “Ia bilang bahwa laki-laki
tanpa kumis memang seperti seorang perempuan yang berhati lemah. Dia menganggap
kau tidak tahan melihat darah seperti seorang perempuan, dan karena kau tak berkumis,
maka tentu saja kau berhati curang dan tadi mempergunakan ilmu sihir yang jahat
untuk mengalahkannya. Ia tidak merasa kalah karena selain cambuknya masih belum
terputus oleh golokmu, dia pun tidak mendapat satu pun luka dari cambukmu. Dia
menantangmu bertanding secara laki-laki, jangan seperti seorang perempuan!”
Merahlah
muka Kwee An mendengar ini. Ia lalu melempar cambuk yang dirampasnya itu kepada
pemuda tadi, dan setelah berseru keras, ia mulai menyerang dengan cambuknya
yang disabetkan ke arah pinggang pemuda itu!
Pemuda itu
berseru gembira dan mengangkat golok, dengan membabat keras dan cepat sekali
dengan niat memutuskan cambuk Kwee An yang berarti bahwa ia akan mendapat
kemenangan!
Kwee An
terkejut juga melihat gerakan golok itu, oleh karena ternyata ketika menangkis
pemuda tanggung itu mempergunakan gerakan silat golok Bidadari Memalang Pintu!
Ia maklum bahwa sabetan golok itu berbahaya sekali bagi keselamatan cambuknya,
maka ia menggerakkan tangannya hingga cambuk memutar kembali lalu menyerampang
kedua kaki pemuda itu dengan gerakan cepat.
Ia menyangka
bahwa pemuda itu tentu tidak memiliki ilmu ginkang sehingga lemah pada
pergerakan kaki dan kegesitannya. Akan tetapi ia kecele karena dengan cepat,
pemuda itu melompat ke atas dan dari atas cambuknya segera menyambar ke arah
kepala Kwee An! Kembali Kwee An terkejut. Gerakan melompat tadi adalah gerakan
ilmu silat bernama Ikan Melompati Ombak!
Maka dia
tidak berlaku sungkan-sungkan lagi dan menerjang dengan cambuknya yang diputar
cepat sekali mengurung tubuh pemuda itu! Pemuda tanggung itu nampak makin
gembira dan melawan dengan hebat, dan ternyata bagi Kwee An bahwa ilmu
kepandaian bermain cambuk dari pemuda ini benar-benar lihai!
Sekarang
para penonton bersorak dengan girang sekali karena mereka kini menyaksikan
pertandingan main cambuk yang benar-benar hebat dan ramai! Bahkan kakek tadi
sudah mengeluarkan sebuah huncwe (pipa tembakau) yang pendek, lalu mengepulkan
asap dari huncwe-nya dan dia duduk menonton dengan asyiknya seakan-akan yang
sedang berlangsung di depannya adalah pertunjukan yang amat indah menarik!
Betapa pun
pandai permainan cambuk anak muda itu, namun ia bukanlah lawan Kwee An yang
memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Untuk menangkis tiap sabetan lawan, Kwee
An tidak perlu menggunakan goloknya, karena cambuknya sudah cukup digunakan
untuk menangkis. Sedangkan tiap kali pemuda itu menyabet cambuknya, dengan
mengerahkan lweekang-nya, Kwee An dapat membuat cambuknya menjadi lemas, licin
dan kuat hingga pada waktu beradu dengan mata golok, cambuknya hanya terpental
saja dan tidak dapat diputuskan!
Ia mulai
mengirim cambukan dan mula-mula ia hanya mencambuk punggung pemuda itu saja.
Bukan main herannya semua penonton ketika melihat betapa setiap kali Kwee An
mengayun cambuk, selalu ujung cambuknya mengenai punggung lawannya!
Juga pemuda
tanggung itu merasa heran dan penasaran karena tidak dia sangka sama sekali
bahwa pemuda asing tanpa kumis ini ternyata adalah seorang jago cambuk yang
luar biasa! Dia adalah seorang jago yang nomor satu di antara para pemuda dan
telah lama dikagumi, tak nyana bahwa sekarang dia menjadi korban cambuk seorang
pemuda tanpa kumis dan sama sekali tak dapat membalas!
Maka ia
menjadi marah dan penasaran sekali, lalu menyerang terus dengan nekad walau pun
bajunya pada bagian punggungnya telah robek semua oleh ujung cambuk Kwee An!
Memang Kwee An tidak bermaksud melukai pemuda itu sehingga tiap kali cambuknya
mengenai sasaran, dia selalu menyimpan tenaga dan tidak membuat kulit lawan
menjadi terluka, hanya merobek-robek bajunya saja.
Tadinya Kwee
An bermaksud agar supaya pemuda itu menginsyafi kelemahannya dan suka mengaku
kalah. Akan tetapi sesudah melihat betapa pemuda itu bahkan mendesak makin
nekad, maka dia menjadi penasaran juga. Ia mulai menambah tenaga pada ujung
cambuknya sehingga pecahlah kulit punggung pemuda itu terkena ujung cambuk.
Darah mengalir membasahi bajunya yang sudah sobek.
Alangkah
heran hati Kwee An ketika tiba-tiba semua orang bersorak melihat darah itu,
seakan-akan menyaksikan peristiwa yang sangat menggembirakan dan yang menambah
keindahan pada pertandingan itu! Kwee An mengirim beberapa kali cambukan lagi
yang membuat kulit punggung lawannya penuh dengan darah karena kulit itu
terpukul pecah.
Sungguh pun
Kwee An tak bermaksud melukainya terlalu dalam, akan tetapi seharusnya cambukan-cambukan
itu cukup menyakitkan. Akan tetapi anehnya, pemuda itu bukannya menyerah,
bahkan menjadi makin nekad dan menyerang semakin hebat!
Kwee An
menjadi kewalahan juga. Melihat dari sikap pemuda ini dan sorak-sorakan para
penonton yang menjadi gembira, dia maklum bahwa pemuda tanggung yang gagah ini
tentu mengambil keputusan hendak melawan sampai darahnya habis atau sampai
tidak kuat lagi, sedangkan para penonton semakin merasa gembira saja. Ketika ia
mengerling dan memandang ke arah kakek tua tadi, ternyata bahwa kakek itu pun
sedang menonton sambil mengepul-ngepulkan asap huncwe-nya, seolah-olah dia
menikmati pemandangan yang menyenangkan hati!
Maka Kwee An
lalu mendapat akal. Ia mulai mengeluarkan ilmu silat yang berdasarkan ilmu
silat warisan Hek Mo-ko. Tubuhnya berkelebat dan melompat ke atas dan bergerak
mengelilingi pemuda itu yang menjadi pening dan kabur matanya.
Tiba-tiba,
tanpa terlihat orang lain, Kwee An mengulurkan jari tangan dan dengan tepat
sekali menotok jalan darah thian-hu-hiat sehingga pemuda itu roboh dengan lemas
tanpa dapat bergerak lagi.
Melihat
pemuda itu roboh dengan tubuh lemas, semua orang mengira bahwa pemuda itu tentu
telah amat lelah dan terlalu banyak mengeluarkan darah, maka dianggap kalah dan
semua orang lalu menolongnya! Kwee An juga pura-pura menolongnya, akan tetapi
saat dia mengangkat pundak pemuda itu, dia menekan dengan jarinya hingga
totokannya tadi dapat dilenyapkan, hingga kesehatan pemuda itu pulih kembali.
Pemuda itu
hanya memandang dengan heran dan kagum, kemudian tiba-tiba dia berdiri, memeluk
leher Kwee An dan menciumi pipinya! Inilah tanda dari rasa persahabatan dan
kekaguman sehingga tadinya Kwee An merasa heran sekali. Tetapi setelah dia
mendapat keterangan dari kakek itu, dia merasa lega dan sangat senang.
Semua orang
tiada habisnya memuji serta mengagumi Kwee An dan seketika itu juga Kwee An
mendapatkan julukan Malaikat Cambuk! Betapa tidak? Pemuda tanggung itu adalah
putera pemimpin mereka yang memiliki ilmu cambuk tertinggi di antara anak-anak
muda di situ, dan sekarang Kwee An dapat mengalahkannya tanpa menderita
cambukan sekali pun!
Sekarang
semua orang bukan memaksa, akan tetapi membujuk-bujuk Kwee An supaya menemui
pemimpin mereka. Melihat keramahan mereka ini, Kwee An merasa kurang enak hati
untuk menolaknya, maka ia lalu ikut mereka masuk ke dalam hutan yang liar itu.
Kedatangan
mereka disambut oleh banyak orang dan kembali Kwee An terheran-heran, oleh
karena semua orang laki-laki di kampung itu berkumis! Kumis mereka semodel,
yaitu panjang melintang dan dipilin ke atas, membuat mereka nampak gagah dan
kereng! Akan tetapi yang membuatnya benar-benar tak mengerti adalah bahwa
anak-anak muda yang baru dua belas atau tiga belas tahun pun mempunyai kumis
macam itu!
Pada saat
melihat ada seorang anak laki-laki paling banyak berusia sebelas tahun sudah
kumisan, Kwee An tidak terasa pula mengulurkan tangan untuk memeriksa apakah
kumis itu tulen. Akan tetapi ketika dia mencabutnya perlahan, anak itu
berteriak kesakitan dan semua orang menjadi heran melihat kelakuan Kwee An itu!
Hanya kakek
juru bahasa tadi saja yang mengerti akan maksudnya, maka ia pun berkata, “Semua
kumis yang kami pakai adalah kumis tulen, kumis yang tumbuh dengan wajar dari
kulit!”
“Tapi...
tapi anak kecil itu... usianya baru sebelas tahun!” berkata Kwee An dengan
heran sekali.
Kakek itu
tertawa. “Kenapa tidak? Usia sebelas tahun sudah dewasa! Menurut kebiasaan
kami, anak laki-laki yang telah berusia sepuluh tahun, dianggap dewasa dan
padanya lalu dikenakan upacara tumbuh kumis, yakni dengan perayaan gembira,
anak itu dinyatakan dewasa dan di atas bibirnya kemudian digosok dengan obat
tumbuh kumis. Dalam waktu setahun saja kumisnya akan tumbuh dengan baiknya
seperti yang kau lihat pada anak tadi.”
Kwee An baru
mengerti setelah mendengar penuturan ini. Pantas semua orang di sana memelihara
kumis. Yang lebih mengherankannya lagi ialah ketika orang-orang wanitanya
muncul. Mereka ini rata-rata berkulit halus putih dan walau pun potongan muka
hampir sama dengan orang-orang Han, namun mata mereka lebar-lebar dan bagus.
Akan tetapi
ketika wanita-wanita itu tertawa, Kwee An terkejut oleh karena gigi mereka yang
kecil dan berderet rapi itu ternyata berwarna hitam mengkilat! Diam-diam Kwee
An mengeluh dan menyayangkan mengapa wanita-wanita cantik manis itu bergigi
hitam!
Kwee An
dibawa menghadap pada seorang Haimi yang bertubuh tinggi besar dan yang
mempunyai kumis indah dan panjang sekali. Matanya lebar berpengaruh, usianya
belum tua benar, paling banyak empat puluh tahun. Ketika melihat Kwee An, dia
lalu turun dari tempat duduknya dan menyambutnya dengan ramah.
“Sahabat,
kunjungan seorang Han merupakan kehormatan besar sekali bagi kami!”
Bukan main
dan herannya hati Kwee An mendengar betapa pemimpin Haimi ini dapat bicara
bahasa Han dengan amat baiknya! Ia lalu menjura dan berkata girang,
“Akulah yang
mendapat kehormatan besar sekali kini dapat bertemu dengan orang-orang gagah
bangsa Haimi, dan girang sekali hatiku karena ternyata bahwa selain kakek itu
kau pun pandai berbahasa Han!”
Tempat di
mana Kwee An disambut oleh kepala suku bangsa Haimi itu adalah sebuah pondok
yang cukup besar terbuat dari pada kayu-kayu hutan. Pada saat itu, dari ruang
dalam muncul seorang wanita muda dan ketika Kwee An memandang, ia menjadi
kagum.
Dara ini
cantik sekali, terutama sepasang matanya yang lebar dan sangat indah. Dengan
gerakan lemah lembut dan tanpa sungkan-sungkan lagi, dara muda itu mengambil
tempat duduk di dekat pemimpin itu kemudian memandang Kwee An dengan sinar mata
kagum, menatap secara langsung tanpa malu-malu seperti biasa kelakuan para
gadis bangsanya sendiri! Oleh karena dipandang secara demikian itu, Kwee Anlah
yang merasa malu dan sungkan!
“Ini adalah
puteriku yang bernama Meilani,” kata pemimpin itu kepada Kwee An dan gadis itu
tersenyum kepadanya.
Kembali
datang rasa kecewa dalam hati pemuda itu ketika melihat betapa senyum manis itu
dikacaukan oleh cahaya gigi yang hitam berkilau itu. Kenapa orang merusak gigi
yang bagus itu?
Pemuda yang
tadi dikalahkan oleh Kwee An, lalu menghampiri ayahnya dan menuturkan tentang
pertandingan tadi kepada ayahnya sambil menggerak-gerakkan dua tangannya. Ia
memandang kepada Kwee An dengan kagum dan agaknya ia memuji-muji kepandaian
Kwee An karena Kwee An melihat betapa pemimpin itu lalu memandangnya dengan
mata terbelalak, sedangkan Meilani bahkan lalu berdiri dari tempat duduknya dan
menghampiri dia sambil memandangnya penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki,
seperti seorang memeriksa dan menaksir-naksir benda yang indah menarik!
Kwee An sama
sekali tidak berani bergerak ketika didekati oleh dara ini, dan pada waktu
gadis ini mendekatinya dia mencium keharuman yang ganjil, seperti bau bunga
mawar!
Ketika Kwee
An mengerling ternyata ruang yang luas itu sudah penuh orang-orang, lelaki dan
wanita, serta kanak-kanak yang semuanya memandang kepadanya dengan kagum!
Dikelilingi oleh sekian banyak laki-laki berkumis sedangkan dia sendiri tidak,
juga sekian banyak wanita-wanita cantik yang bergigi hitam, ia merasa
seolah-olah ia sedang berada di dunia lain!
“Anak muda,
ketahuilah bahwa aku adalah Sanoko, yaitu pemimpin rombongan bangsaku yang
terdiri dari dua ratus jiwa lebih. Meilani adalah puteriku dan pemuda yang tadi
kau kalahkan adalah puteraku. Kau siapakah dan di mana kau mempelajari ilmu
cambuk yang begitu hebat hingga sudah mengalahkan puteraku?” pertanyaan ini
diajukan dengan mata memandang kagum.
“Aku bernama
Kwee An, dan tentang ilmu cambuk itu, sesungguhnya aku belum pernah
mempelajarinya. Hanya sedikit ilmu silat bangsaku pernah kupelajari sehingga
aku dapat mempertahankan diri terhadap serangan cambuk puteramu.”
Tiba-tiba
gadis yang bernama Meilani itu bicara kepada ayahnya, dan ternyata suaranya
sangat merdu dan nyaring.
Ayahnya
tertawa bergelak, lalu bertanya kepada Kwee An, “Kwee-taihiap, apakah engkau
juga pandai bermain golok?”
Mendengar
bahwa kepala suku bangsa Haimi ini tiba-tiba menyebutnya taihiap (pendekar
besar), Kwee An merasa sungkan juga, maka sambil merendah ia menjawab,
“Aku pernah
mempelajari sedikit ilmu pedang, akan tetapi sayang sekali pedangku sudah
hilang di jalan.”
Ketika
Sanoko menterjemahkan ucapan Kwee An kepada anak perempuannya, tiba-tiba gadis
itu berlari masuk ke dalam rumah dan keluar kembali sambil membawa sebatang
pedang yang terbungkus kain kuning. Ia lalu menyerahkan pedang itu kepada Kwee
An yang ketika menerima dan melihat pedang itu, menjadi terkejut sekali karena
pedang itu bukan pedang sembarangan, akan tetapi sebuah pedang mustika yang
ringan sekali dan tajam serta mengeluarkan cahaya kekuningan! Meilani lalu
bicara kepada ayahnya yang menjelaskan pada Kwee An,
“Anakku
Meilani dulu pernah menemukan golok dan pedang ini di dalam sebuah goa dan oleh
karena kami tidak pernah mempelajari ilmu pedang, hanya mempelajari sedikit
ilmu golok, maka pedang ini tidak ada yang dapat menggunakannya. Maka karena
anakku juga pernah belajar main golok, ia sekarang minta supaya kau suka
melawannya dengan pedang ini dan apa bila kau dapat mengalahkannya, maka pedang
ini akan dihadiahkan kepadamu!”
Bukan main
girang hati Kwee An, oleh karena ia maklum bahwa ini benar-benar pedang yang
ampuh dan tajam. Pada tempat di dekat gagang dia melihat ukiran dua huruf ‘OEI
KANG’ yang berarti ‘Baja Kuning’. Akan tetapi, ketika itu ia tidak sempat
memperhatikan keadaan Oei-kang-kiam itu terlebih teliti lagi oleh karena dia
merasa terkejut mendengar bahwa dara cantik bergigi hitam itu mengajaknya pibu!
Tak pernah disangkanya bahwa gadis itu pun pandai ilmu golok.
Ketika dia
melihat golok itu, dia maklum pula bahwa golok itu pun terbuat dari pada logam
yang sama dengan pedangnya, karena juga mengeluarkan cahaya kekuningan. Sebagai
seorang ahli silat, tentu saja Kwee An tidak menolak ditantang pibu, maka dia
pun segera menjawab,
“Baik, hanya
kuharap saja Nona Meilani akan berlaku murah hati kepadaku.”
Setelah
mendengar jawaban pemuda itu, Meilani lalu bertindak keluar dari pondok,
diikuti oleh ayahnya dan adiknya. Kwee An juga keluar dari tempat itu sambil
membawa pedang Oei-kang-kiam, dan semua orang lalu keluar pula dengan wajah
berseri gembira, mereka seakan-akan hendak menghadiri pesta perayaan yang
menarik hati.
Sesudah
berada di halaman pondok yang luas, Meilani lantas melompat dengan gerakan yang
ringan dan lincah sambil membawa goloknya. Gadis ini kemudian mempererat ikat
pinggangnya, mengikat pula dua kuncir rambutnya yang lalu diselipkan di dalam
baju di belakang punggung. Setelah itu, dengan gagah dan cantik, dia berdiri
menanti Kwee An dengan golok di tangan kanan dan senyum manis menghias
bibirnya.
Ketika
melihat gerakan gadis yang melompat tadi, Kwee An merasa kagum juga karena
Meilani ternyata memiliki gerakan yang gesit. Maka dia menjadi gembira juga dan
sambil memegang pedang Oei-kang-kiam di tangan kanan, ia lalu membuat gerakan
Naga Sakti Menembus Awan, melompat ke hadapan gadis itu. Ia telah melompat
cepat dari tempat yang jauhnya kira-kira lima tombak, maka gerakannya ini
disambut dengan tampik sorak oleh semua penonton yang secara cepat sekali
mengelilingi tempat adu silat itu!
Melihat
bahwa pemuda ini sudah melompat ke hadapannya, Meilani berseru nyaring yang
maksudnya memberitahu bahwa ia hendak mulai menyerang. Ia langsung menggerakkan
goloknya, diputar-putar di atas kepalanya seperti gerakan orang Haimi bermain
cambuk, kemudian tubuhnya menerjang dengan sebuah lompatan cepat dan golok itu
menyambar ke arah leher Kwee An!
Seperti juga
pedang Oei-kang-kiam, golok di tangan gadis itu tipis dan tajam, akan tetapi
ringan sekali hingga gerakan Meilani cepat sekali datangnya. Kwee An hendak
mencoba pedangnya, maka dia lalu mengangkat pedang menangkis. Terdengar suara
nyaring dan ketika dua batang senjata itu beradu, dari pedang dan golok yang
terbuat dari logam yang sama itu keluarlah bunga-bunga api berwarna hijau.
Meilani berseru kaget karena ketika goloknya beradu dengan Oei-kang-kiam,
hampir saja senjata itu lepas dari pegangannya!
“Hebat
sekali tenagamu!” katanya dalam bahasa yang tak dimengerti oleh Kwee An, akan
tetapi yang membuat para pendengarnya, terutama Sanoko, menjadi kagum, karena
dia tahu bahwa puterinya itu sudah diberi latihan tenaga dalam yang cukup
tinggi, karena itu dengan sekali tangkis saja dapat membuat puterinya memuji,
tentu pemuda tanpa kumis itu benar-benar lihai!
Meilani lalu
memutar-mutar goloknya dan mainkan ilmu golok yang cukup hebat. Golok di
tangannya lalu berubah menjadi sinar kuning yang bergulung-gulung laksana
gelombang menderu mengancam diri Kwee An. Akan tetapi Kwee An lalu mengeluarkan
ilmu pedang Hai-liong Kiam-sut yang dulu dia pelajari dari Nelayan Cengeng.
Melihat
betapa pemuda itu berkelebat cepat sekali seolah-olah menerobos di antara sinar
goloknya dan kadang-kadang lenyap dari pandangan matanya, Meilani menjadi
terkejut sekali. Sedangkan semua penonton menjadi melongo keheranan melihat
kehebatan ilmu sitat Kwee An dan pertandingan yang seru itu membuat mereka
menahan napas dan lupa untuk bersorak.
Sanoko juga
merasa kagum sekali karena puterinya yang tadinya menggerakkan golok hendak
mengurung, kini bahkan kena dikurung oleh pedang Kwee An. Saking tegangnya, dia
sampai berdiri dari tempat duduknya kemudian memandang dengan penuh perhatian.
Gerakan pedang Kwee An benar-benar bagai seekor naga laut yang mengamuk hingga
diam-diam Sanoko mengakui bahwa belum pernah ia menyaksikan ilmu silat
sedemikian lihainya.
Kwee An yang
merasa sangat gembira karena mendapatkan pedang yang baik sekali, segera
mendemonstrasikan ilmu pedangnya tanpa bermaksud melukai lawannya, hanya
mengurung dengan pedangnya saja. Apa bilas dia mau, dengan mudah saja dia dapat
menjatuhkan Meilani, akan tetapi mana hatinya tega untuk melukai gadis cantik
yang tak bermaksud buruk terhadap dirinya itu.
Dikurung
oleh sinar pedang Kwee An yang lihai, lambat laun Meilani merasa pening dan
pandangan matanya kabur. Mendadak dia berseru keras dan segera tubuhnya
melompat tinggi dan jauh. Ketika ia turun, ia berdiri memandang dengan wajah
kemerah-merahan, kemudian setelah memandang dengan kagum kepada pemuda itu dia
lalu melemparkan goloknya kepada Kwee An yang disambut dengan baik oleh tangan
kiri Kwee An!
Melihat hal
ini, semua orang bersorak riang dan bahkan ada beberapa orang yang cepat
menghampiri Kwee An, memeluk dan menciumi pipinya hingga pemuda itu merasa geli
sekali karena merasa betapa kumis-kumis mereka itu seakan-akan
mengitik-itiknya.
Kakek yang
dapat berbahasa Han itu pun menghampirinya dan menjura sambil berkata,
“Kionghi, kionghi, (selamat, selamat)...!”
Kwee An
hanya mengira bahwa kakek itu memberi selamat atas kemenangannya, maka alangkah
terkejutnya ketika Sanoko datang menghampirinya, memeluknya sambil berkata dengan
suara yang penuh keharuan.
“Kwee An,
puteriku sudah memilih jodohnya dan aku merasa gembira sekali mendapat seorang
mantu seperti engkau!”
“Apa...?
Apakah maksudmu...?” Ia bertanya sambil memandang dengan mata terbelalak heran.
“Meilani
telah memberikan goloknya dan kau pun telah menerimanya dengan baik, masih
ingin bertanya apa lagi? Harap kau berlaku seperti seorang laki-laki sejati dan
jangan berpura-pura atau malu-malu. Upacara pernikahan dilakukan besok pagi dan
sementara itu, kau boleh mengadakan persiapan dan akan dibantu oleh pamanku
ini!” kata Sanoko sambil menunjuk kepada kakek penghisap huncwe yang ternyata
adalah paman Sanoko sendiri. Kemudian ia masuk ke dalam rumah dengan tindakan
kaki gagah.
Kwee An
berdiri bagaikan sebuah patung dan ketika kakek itu menarik dirinya menuju ke
sebuah pondok tak berjauhan dari tempat itu, Kwee An segera bertanya, “Lopek,
apakah maksudnya ini semua?”
“Barang kali
kau tidak tahu, anak muda. Sudah menjadi kebiasaan kami bahwa apa bila seorang
gadis memberikan goloknya pada seorang pemuda dan pemberian itu diterima, maka
itu berarti bahwa mereka telah mengikatkan diri menjadi jodoh masing-masing.
Tadi Meilani telah memberikan goloknya kepadamu dan kau telah menerimanya, maka
berarti bahwa kau adalah jodoh Meilani. Kau boleh merasa bangga dan berbahagia
oleh karena Meilani merupakan gadis tercantik di antara bangsa kami dan telah
banyak pemuda yang merindukannya. Di samping memiliki kepandaian tinggi dan
menjadi puteri kepala kami, dia juga berilmu tinggi dan berbudi baik. Tidak kau
lihatkah betapa cantik jelitanya dia?”
Pucatlah
wajah Kwee An mendengar ini. “Tapi… tapi… bukan maksudku untuk menerima dia
sebagai… sebagai… jodohku. Aku tidak tahu akan kebiasaan menerima golok itu.
Dia melemparkan goloknya kepadaku, sudah tentu saja kusambut dengan tanganku.
Lopek, tolonglah aku karena aku sungguh-sungguh tak dapat menerima perjodohan
ini!”
Wajah kakek
itu berubah tak senang. “Mengapa begitu? Apakah dia kurang cantik? Anak muda,
ingatlah bahwa di seluruh daerah ini tak mungkin kau akan mendapatkan seorang
gadis seperti Meilani. Dia telah memilihmu tanpa mempedulikan wajahmu yang tak
patut karena tidak berkumis, semata-mata karena dia kagum melihat kelihaian
ilmu pedangmu. Sanoko juga telah menyetujuinya, maka kau tidak boleh menolak.
Penolakanmu ini akan berarti penghinaan pada kami seluruh suku bangsa Haimi,
dan tentu kau akan dikeroyok dan dibunuh kalau kau berani menolak. Untung bahwa
penolakanmu ini hanya terdengar olehku yang masih dapat berpikir panjang, kalau
terdengar oleh orang lain terutama oleh Sanoko, tentu kau akan dibunuh!”
Bukan main
terkejut hati Kwee An mendengar keterangan ini. Ia segera berdiri dan sambil
menyerahkan kembali golok Meilani kepada kakek itu, ia lalu berkata, “Lopek,
tolong kau kembalikan golok ini dan sampaikan salam serta rasa hormatku kepada
Sanoko, dan juga penyesalan serta permohonan maafku kepada Meilani, karena
kalau memang demikian halnya, sekarang juga aku mau pergi agar jangan timbul
hal-hal yang tidak diinginkan.”

Akan tetapi
begitu menerima kembali golok baja kuning itu kakek ini lalu melompat berdiri
dengan sikap mengancam. ”Tidak bisa, anak muda! Ketahuilah bahwa perbuatanmu
ini hanya akan membuat Meilani malu sekali sehingga dia pasti akan membunuh
diri sesuai dengan adat kami. Karena ini, sebagai paman kakek gadis itu, aku
tak akan membiarkan kau pergi! Kau baru bisa meninggalkan tempat ini setelah
melewati mayatku!”
“Jangan,
Lopek, biarkan aku pergi!” kata Kwee An dengan gugup.
Akan tetapi,
kakek itu lalu menyerangnya dengan golok di tangan! Penyerangannya hebat
sekali, jauh lebih lihai dari pada gerakan golok Meilani, sehingga Kwee An
terpaksa harus mengeluarkan ilmu silat yang dia pelajari dari Hek Mo-ko. Dan
sekali tubuhnya berkelebat dan tangannya diulurkan, golok itu telah terampas
olehnya!
“Kau
benar-benar lihai, nah, kau bunuhlah dulu aku sebelum pergi dari sini!”
Lemaslah
tubuh Kwee An. Ia merasa bingung sekali. Kalau sampai benar-benar gadis itu
membunuh diri karena dia tinggal pergi, dia merasa tidak tega sekali. Karena
itu dia lalu memandang kakek itu dengan mata mengandung permintaan tolong.
“Kakek,
aku... tidak dapat melukaimu. Kalian sudah berlaku sangat baik kepadaku, begitu
ramah tamah, bagaimana aku sampai hati mendatangkan mala petaka? Tapi
perkawinan itu sungguh-sungguh tidak mungkin kulakukan. Ketahuilah bahwa aku
sudah mempunyai seorang tunangan. Aku tidak bisa kawin dengan gadis lain.”
Mendengar
ini, kakek itu berpikir keras. “Kalau menurut kebiasaan kami, tiada halangan bagi
seorang pemuda untuk memiliki dua orang isteri, sungguh pun hal itu sangat
jarang terjadi. Aku maklum akan penolakanmu, dan ternyata kau memang seorang
yang baik budi. Baiknya diatur begini saja, yang terpenting bagi seorang gadis
kami ialah upacara pernikahan. Apa bila upacara itu sudah dilangsungkan, kau
tidak berhalangan untuk pergi meninggalkan isterimu walau pun tidak menjadi
isteri dalam arti sesungguhnya. Setelah upacara selesai, kau boleh pergi kalau
itu benar-benar kau kehendaki dan Meilani hanya akan merasa malu dan membunuh
diri. Dengan demikian, kau tidak menghina bangsa kami dan tidak menghina
Meilani.”
“Akan
tetapi, Lopek, tentu Meilani akan memandang aku sebagai seorang laki-laki
berhati rendah dan seakan-akan menipunya kalau setelah melakukan upacara
pernikahan aku lalu pergi meninggalkannya!” Kwee An membantah.
“Jangan
kuatir, sebelum upacara dilangsungkan, malam ini juga aku akan memberi tahu
kepadanya bahwa kau menjalankan upacara ini hanyalah untuk melindungi mukanya
dari perasaan rendah dan malu, dan bahwa kau tidak mungkin menjadi suaminya
karena kau telah mempunyai calon istri lain.”
Kwee An memegang
tangan kakek itu dengan pernyataan terima kasihnya oleh karena ia anggap itu
adalah cara terbaik.
Malam itu,
lima orang gadis yang berwajah manis-manis serta bergigi hitam mengkilap,
menyerbu masuk ke kamarnya di pondok kakek itu. Sambil tertawa-tawa dan bicara
tidak karuan karena tidak dimengerti oleh Kwee An, gadis-gadis itu menghampiri
Kwee An. Ada yang memegang tangannya dan menarik-nariknya, ada yang memegang
kepalanya, dan ada pula yang hendak menggunakan sesuatu untuk digosokkan di
bawah hidungnya. Kwee An terkejut sekali dan dengan hati berdebar ketakutan dia
lalu memberontak dan melepaskan diri dari serbuan kelima orang gadis itu!
“Ehh, ehh,
kalian pergilah! Keluarlah dari kamar ini! Apakah kalian sudah gila dan hendak
menggangguku?” katanya dengan keras dan mata terbelalak.
Akan tetapi
oleh karena kelima orang gadis itu tidak mengerti ucapannya, mereka hanya
tertawa saja dan menghampirinya kembali! Kwee An berlarian ke sana ke mari di
dalam kamarnya, akan tetapi terus dikejar-kejar oleh para gadis itu sambil
tertawa-tawa! Karena merasa ngeri dan takut, Kwee An berteriak dan tidak lama
kemudian, datanglah kakek penghisap huncwe itu ke dalam kamarnya untuk melihat
apakah yang terjadi di situ.
Melihat
betapa Kwee An telah melompat ke atas pembaringan dan berdiri mepet di sudut
sambil memandang lima orang gadis yang mengurungnya dengan mata terbelalak
bagai seekor tikus melihat lima ekor kucing, tak tertahan lagi kakek itu
tertawa bergelak! Girang sekali hati Kwee An melihat kedatangan kakek itu dan
ia lalu melompat turun dan lari ke belakang tubuh kakek tadi.
“Lopek,
tolonglah aku. Mereka ini apakah tiba-tiba menjadi gila?”
“Ini pun
termasuk upacara perayaan pernikahan yang akan dilangsungkan besok. Mereka ini
datang untuk menggodamu dan untuk menggosok hidungmu dengan obat penumbuh
kumis!”
“Apa?” Kwee
An berseru sambil menutupi hidungnya dengan tangan kanan, seolah-olah merasa
ngeri sekali bahwa hidungnya tadi telah terkena obat itu dan tumbuh kumis! “Aku
tidak mau... aku tidak mau, Lopek. Usirlah mereka keluar!” Sedangkan di dalam
hatinya, Kwee An berkata, “Alangkah akan kagetnya Ma Hoa kalau ia kelak melihat
aku berkumis panjang menjungat ke atas!”
Kakek itu
kemudian mengucapkan perkataan kepada para gadis itu yang lalu pergi sambil
terkekeh-kekeh, akan tetapi pada waktu mereka memandang Kwee An, mereka merasa
kecewa sekali! Kwee An menghela napas panjang karena hatinya lega ketika
melihat gadis-gadis itu sudah pergi.
“Bagaimana
Lopek, apakah kau memberi tahu dan berterus terang kepada Meilani?”
Kakek itu
mengangguk dengan muka sedih.
“Dan
marahkah dia kepadaku?”
“Tidak,
tidak marah. Hanya kecewa dan berduka. Kau... kau memang kejam.”
“Ehh,
mengapa kau berkata demikian, Lopek? Pernikahan ini terjadi karena salah sangka
dan bukan terjadi atas kehendakku. Bahkan upacara ini pun terpaksa kulakukan
hanya untuk menolong dia.”
Kakek itu
mengangguk-angguk dan kembali dia menghela napas. “Alangkah baiknya bila kau
benar-benar menjadi suami Meilani dan menjadi anggota keluarga kami. Kepandaian
yang kau miliki lihai sekali dan kau dapat kami harapkan untuk membantu kami
mengusir para pengganggu kami, keparat-keparat Mongol itu!”
Tergerak
hati Kwee An melihat wajah kakek yang telah keriputan itu nampak sedih sekali.
“Lopek, untuk membantu kalian, tidak perlu aku harus menjadi keluarga. Kalau
memang terdapat kesulitan dan aku mampu membantu, pasti aku akan membantu
sekuat tenaga. Katakanlah, apakah yang sudah terjadi dan apa pula yang
diperbuat oleh orang-orang Mongol terhadap bangsamu?”
Sesudah
berulang kali menghela napas, kakek itu lalu bercerita, “Bangsa kami, yaitu
suku bangsa Haimi, adalah bangsa yang besar dan memiliki kebudayaan tinggi. Akan
tetapi, oleh karena kami merupakan bangsa perantau dan tidak punya tempat
tinggal yang tetap, maka inilah yang merupakan kelemahan kami. Selama beberapa
tahun ini, kami selalu mendapat pukulan dan gangguan dari bangsa Mongol yang
hendak memperluas daerah kekuasaan mereka. Banyak anggota keluarga kami
dibinasakan, wanita diculik, dan harta benda kami dirampas! Hinaan-hinaan ini
terpaksa kami terima dengan cucuran air mata dan dengan helaan napas, oleh
karena kami tak berdaya. Makin banyak kami melakukan perlawanan, makin banyak
jatuh korban di pihak kami hingga makin lama makin kecillah jumlah keluarga
kami, oleh karena pihak Mongol memang jauh lebih kuat dari pada kami. Telah
lama kami mengimpikan datangnya bintang penolong, dan setelah kini kau datang, maka
besarlah harapanku dan harapan Sanoko bahwa engkaulah orangnya yang mampu
menolong kami membalas dendam kepada orang-orang Mongol serta mengusir mereka
kalau berani datang mengganggu lagi. Akan tetapi, memang nasib bangsaku yang
buruk, kau bahkan mengecewakan kami, juga menghancurkan hati puteri kami yang
bernasib malang...”
Setelah
mengucapkan kata-kata itu, dari kedua mata kakek itu mengalirlah beberapa butir
air mata! Kwee An merasa terharu sekali dan ia segera memegang lengan kakek
itu.
“Lopek, janganlah
kau kuatir. Aku bersumpah bahwa aku akan mengusir dan menghajar orang-orang
Mongol yang berani mengganggu kalian. Tunjukkan di mana mereka berada, akan
kudatangi dan kuhajar mereka!” kata-kata ini diucapkan dengan penuh semangat
sehingga kakek itu dapat tersenyum lagi.
“Hal itu
mudah, nanti apa bila upacara perkawinan sudah dilanjutkan akan kutunjukkan
padamu di mana keparat-keparat itu berada.”
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali, kakek itu telah memberi sesetel pakaian
Haimi yang indah kepada Kwee An, lengkap dengan ikat kepala yang lebar.
“Pakailah ini, hanya untuk memenuhi syarat upacara adat.”
Agar supaya
tidak melukai perasaan kakek itu dan semua orang, terpaksa Kwee An lalu
mengenakan pakaian itu.
“Ahh, kau
memang gagah sekali. Apa bila kau membiarkan kumismu tumbuh, kau akan menjadi
pemuda yang paling tampan di antara kami dan kau akan menjadi suami yang cocok
sekali bagi Meilani! Sayang... sayang...,” kata kakek itu sambil memandang
dengan kagum.
Kemudian,
sambil menabuh gendang dan tambur, serombongan anak gadis ‘mengambil’ pengantin
laki-laki dan diiringkan menuju ke pondok pengantin perempuan. Ketika kedua
mempelai dipertemukan, Kwee An melihat betapa wajah ‘isterinya’ itu basah
dengan air mata dan diam-diam dia lalu menghela napas panjang dan terkenanglah
dia kepada Ma Hoa. Ahhh, alangkah baiknya kalau yang menjadi mempelai wanita
itu Ma Hoa.
Seorang
pendeta Haimi membaca doa-doa dalam bahasa Haimi, namun dari cara-cara ia
membaca doa, tahulah Kwee An bahwa upacara adat ini berdasarkan Agama Buddha
yang telah berubah, disesuaikan dengan kepercayaan nenek moyang mereka.
Kwee An
harus mengakui kecantikan Meilani yang benar-benar jelita itu, akan tetapi bila
mengingat gigi yang dihitamkan itu, ia merasa sayang sekali. Ketika upacara dilakukan,
tiba-tiba seorang pemuda Haimi datang dengan tergesa-gesa dan melaporkan
sesuatu kepada Sanoko. Mendengar laporan ini, ributlah orang-orang yang berada
di situ. Bahkan Meilani lantas membuka penutup mukanya dan segera mengambil
goloknya yang sudah dikembalikan oleh Kwee An.
“Apakah yang
telah terjadi?” Kwee An bertanya kepada Sanoko yang memberi aba-aba dan
mengatur orang-orangnya yang telah berkumpul dengan senjata di tangan.
“Seorang
Perwira Mongol yang kosen dan yang sering mengganggu kami sudah datang dengan
seorang kawannya. Dia sudah menculik dua orang gadis serta membunuh tiga orang
pemuda kami!”
“Keparat!”
Kwee An memaki sambil mencabut Oei-kang-kiam. “Hayo tunjukkan di mana ia
berada!”
“Kami hendak
mengeroyoknya, karena kepandaiannya tinggi sekali!” kata Sanoko dengan
ragu-ragu.
“Jangan
kuatir, biar aku yang menghadapinya!” Maka semua orang segera mengiringkan
pemuda itu, berlari keluar dari hutan.
Akan tetapi
ketika mereka tiba di tempat yang dimaksudkan, ternyata bahwa dua orang gadis
yang diculik itu telah tertolong oleh orang lain! Dan pada saat itu, kedua
orang jahat itu sedang bertempur melawan seorang gadis yang gagah perkasa.
Hampir saja
Kwee An menjerit karena girang, terkejut dan heran. Ternyata bahwa dua orang
pengacau yang dimaksudkan itu adalah Ke Ce sendiri dan Bo Lang Hwesio! Ada pun
gadis berambut riap-riapan yang cantik jelita dan yang memainkan sepasang bambu
runcing dengan amat hebatnya melawan dua orang kosen itu, bukan lain adalah Ma
Hoa sendiri!
“Hoa-moi...!”
Kwee An berseru dan dia segera menerjang maju pedangnya.
Ketika Ma
Hoa memandang, dia terbelalak heran melihat kekasihnya berada di tempat itu dan
mengenakan pakaian yang aneh itu.
“Koko, marilah
kita gempur bangsat-bangsat ini dan membalas dendam!” katanya sambil tetap
mengerjakan kedua batang bambu runcingnya dengan hebat dan luar biasa.
Walau pun
merasa heran sekali melihat betapa kekasihnya itu dapat memainkan senjata aneh
secara lihai itu, namun Kwee An tidak sempat bertanya. Ia lalu memutar
pedangnya dan menyerang Bo Lang Hwesio yang bersenjata sebatang pedang pula
karena merasa kewalahan menghadapi Ma Hoa dengan tangan kosong saja.
Melihat
munculnya Kwee An, Ke Ce menjadi jeri karena dia maklum bahwa setelah kini
gadis itu mempunyai ilmu silat yang sedemikian lihainya, maka ditambah dengan
bantuan Kwee An yang juga lihai sekali, tidak mungkin pihaknya akan memperoleh
kemenangan. Apa lagi ia melihat bahwa serombongan besar orang-orang Haimi
dengan golok mereka di tangan juga ikut datang pula. Orang Mongol yang licik
ini lalu berseru keras dan segera melompat pergi dengan maksud melarikan diri.
Akan tetapi,
Ma Hoa tentu saja tidak mau melepaskannya. Sambil berseru nyaring, dara itu lalu
melompat ke atas sebuah batu besar dan ketika Ke Ce lari, ia segera menyambar
turun dengan kedua bambu runcing di tangan, bagai seekor burung rajawali
menyambar korbannya. Ke Ce menjadi terkejut sekali ketika tiba-tiba dari atas
terdengar bentakan Ma Hoa yang halus tapi nyaring,
“Bangsat
keji hendak lari ke mana?”
Ke Ce
menengok ke belakang dan mempercepat larinya oleh karena tadi ia telah merasa
betapa lihai sepasang bambu runcing di tangan gadis ini hingga ia merasa
percuma saja untuk melawan terus. Ia hendak menggunakan ginkang-nya yang tinggi
untuk melarikan diri, akan tetapi Ma Hoa mengejar sambil berlompatan sehingga
sebentar saja dia sudah melompati kepala Ke Ce dan berdiri menghadang di depan
pemuda Mongol itu!
“Kalau mau
lari, hanya boleh lari ke neraka untuk menerima hukuman!” kata lagi Ma Hoa
sambil mengirim tusukan dengan kedua bambu runcingnya, yang kiri ke arah leher
lawan, sedangkan yang kanan ke arah jalan darah di dada!
Ke Ce
terkejut sekali melihat betapa ginkang gadis ini sudah sedemikian sempurnanya
dan terlebih kaget lagi ketika dia menghadapi serangan berbahaya itu. Ia
membuang diri ke kiri, bergulingan di atas tanah sampai beberapa kaki jauhnya
lalu melompat berdiri dan cepat menggerakkan dua tangannya hendak mengirim
pukulan Angin Topan yang hebat!
Akan tetapi
Ma Hoa sudah siap menghadapi ilmu pukulan yang pernah membuat dia dan Kwee An
terjungkal ke dalam jurang itu. Maka sambil berseru keras dia melompat ke kiri
dan cepat sekali tangan kanannya bergerak.
Bambu
runcing di tangan kirinya lantas meluncur dengan kecepatan melebihi anak panah
terlepas dari busur dan sebelum Ke Ce dapat berkelit, kembali bambu runcing di
tangan kanannya meluncur menyusul bambu pertama!
“Cepp…!
Cepp…!”
Kedua bambu
runcing itu menancap di tubuh Ke Ce, yang sebatang di tengah dada dan sebatang
lagi di lehernya. Tubuh orang Mongol itu roboh dan nyawanya melayang pergi
meninggalkan tubuh pada saat itu juga!
Terdengar
sorak sorai riuh rendah dari orang-orang Haimi ketika melihat betapa musuh
besar mereka itu binasa! Ma Hoa segera menghampiri tubuh Ke Ce dan mencabut
keluar kedua bambu runcingnya serta membersihkan ujung bambu itu pada pakaian
lawannya. Kemudian ia menghampiri rombongan orang Haimi yang menyambutnya dengan
berlutut.
Ma Hoa
mendekati Meilani dan mengangkat bangun gadis yang cantik itu. Akan tetapi
ketika dia bertanya, gadis itu menjawab dengan bahasa yang asing baginya. Gadis
itu hanya menunjuk ke arah Kwee An dan Ma Hoa menengok.
Ternyata
bahwa Kwee An tengah bertempur dengan hebatnya melawan Bo Lang Hwesio.
Kepandaian Bo Lang Hwesio benar-benar lihai sekali, karena meski pun Kwee An
sudah mengeluarkan Ilmu Pedang Hai-liong Kiam-sut, akan tetapi hwesio itu
sanggup menahan serangannya secara baik dan bahkan dapat membalas dengan
serangan yang tak kalah hebatnya!
Kwee An lalu
mengeluarkan ilmu silat yang dulu dia pelajari dari Hek Mo-ko, dan setelah
mainkan ilmu silat ini dengan tangan kiri, barulah ia dapat mengimbangi desakan
Bo Lang Hwesio. Akan tetapi, dalam lweekang dia masih kalah setingkat sehingga
tiap kali pedang mereka bertemu, Kwee An merasa betapa tangannya gemetar!
Untungnya ia memegang pedang Oei-kang-kiam yang ampuh, kalau dia memegang
pedang biasa tentu pedangnya akan bisa dipatahkan oleh pedang Bo Lang Hwesio
yang di samping merupakan pedang mustika, juga digerakkan dengan tenaga
lweekang yang tinggi itu.
Melihat ini,
Ma Hoa berseru, “An-ko, jangan kuatir, aku membantumu!”
Tubuh gadis
ini lalu berkelebat dan segera kedua batang bambu runcingnya menyerang secara
hebat bukan main. Bo Lang Hwesio harus mengerahkan seluruh kepandaian dan
tenaganya, karena baru menghadapi Kwee An seorang saja biar pun dia tidak akan
kalah akan tetapi sudah amat sulit merobohkan anak muda itu, sekarang ditambah
pula dengan permainan kedua bambu runcing Ma Hoa dalam gerakan Ilmu Silat Bambu
Kuning yang luar biasa, maka dia menjadi sibuk sekali!
Dengan
perlahan akan tetapi tentu, Ma Hoa serta Kwee An mendesak hwesio itu hingga
keringat dingin mulai mengucur keluar dari jidat Bo Lang Hwesio. Kwee An merasa
girang sekali oleh karena ia mendapat kenyataan betapa gerakan ilmu silat Ma
Hoa amat lihai.
Sedangkan Bo
Lang Hwesio amat gelisah menghadapi serangan sepasang orang muda yang lihai
ini. Dia pun sangat heran menyaksikan ilmu silat gadis itu karena dia teringat
bahwa yang memiliki ilmu Silat Bambu Kuning ini hanyalah seorang pertapa sakti
yang bernama Hok Peng Taisu! Kenapa tiba-tiba gadis ini dapat memiliki ilmu
kepandaian ini?
Ketika Ma
Hoa mendesak makin hebat, akhirnya ujung bambu di tangan kirinya berhasil
menusuk pundak Bo Lang Hwesio yang berteriak kesakitan oleh karena sungguh pun
dia memiliki lweekang yang membuat kulitnya menjadi kebal, namun tetap saja
ujung bambu yang tajam itu telah melukainya. Sambil berseru hebat ia memutar
pedangnya dan ketika kedua lawannya mengelak, dia lalu melompat ke belakang
dengan cepat dan kabur dari tempat itu. Ma Hoa hendak mengejar, akan tetapi
Kwee An mencegahnya dan berkata,
“Yang
mencelakai kita dulu adalah Ke Ce. Biarlah kita ampuni jiwa rendah hwesio itu!”
Ma Hoa dan
Kwee An berdiri saling pandang dan sekarang setelah musuh pergi, mereka saling
pandang dengan perasaan terharu sekali. Tanpa terasa lagi dari mata mereka lalu
mengalir air mata karena rasa girang dan terharu, seakan-akan melihat
kekasihnya baru bangkit dari lubang kuburan! Bagaikan ditarik oleh tenaga
mukjijat, keduanya lalu saling rangkul sambil berbisik,
“Koko...”
“Moi-moi...,
serasa dalam mimpi dapat berjumpa dengan kau lagi...”
“Koko...,”
kata Ma Hoa setelah melepaskan diri dari rangkulan Kwee An dan memandang kepada
pemuda itu dengan mata basah tapi bibir tersenyum, “kau... kelihatan lucu
sekali! Dari mana kau peroleh pakaian seperti itu?”
“Untung saja
kau tidak melihat aku berkumis seperti mereka itu!” Kwee An berkata sambil
menahan ketawanya.
Ma Hoa heran
sekali mendengar ini dan ketika ia menengok, orang-orang Haimi telah lari
menghampiri mereka, dan Meilani lalu memegang tangan Kwee An dengan mesra, oleh
karena ia tidak tahu bahwa Ma Hoa adalah wanita yang menjadi tunangan pemuda
ini. Hati Meilani terlalu girang, karena Ke Ce terbunuh mati dan terlampau
bangga karena betapa pun juga, pemuda yang gagah berani dan yang telah berhasil
mengusir musuh itu adalah ‘suaminya’.
“Engko An,
siapakah gadis manis ini?”
“Dia adalah
isterinya, lihiap!” Sanoko menjawab, “dan aku adalah pemimpin suku bangsa
Haimi, juga menjadi ayah mertua Kwee An!”
Bukan main
terkejut hati Ma Hoa mendengar keterangan Sanoko ini dan ia memandang kepada
Kwee An dengan wajah pucat. Kwee An memegang tangan Ma Hoa dan berkata,
“Tenanglah, Moi-moi, hal ini memerlukan penjelasan!”
Kemudian ia
berkata kepada Sanoko dengan suara tegas, “Dengarlah Sanoko! Kau tentu sudah
mendengar keterangan dari Pamanmu dan ketahuilah kini bahwa Nona ini adalah
tunanganku yang kuceritakan itu!”
Oleh karena
di situ terdapat banyak orang-orang Haimi, meski pun mereka tidak mengerti
percakapan mereka, akan tetapi Kwee An merasa tidak enak karena kalau sampai terjadi
salah paham, maka Ma Hoa tentu akan marah sekali dan Meilani akan tersinggung,
maka ia lalu memberi isyarat kepada Sanoko dan kakek penghisap huncwe untuk
ikut bicara di tempat yang agak jauh dari mereka. Meilani hanya memandang
dengan heran dan tidak mengerti, akan tetapi ia tidak berani ikut bicara
mencampuri pembicaraan mereka yang dilakukan dalam bahasa Han yang tidak
dimengertinya.
“Lopek,
sekarang harap kau suka ceritakan hal ini terus terang kepada tunanganku, agar
tidak sampai terjadi kesalah pahaman,” kata Kwee An kepada kakek itu sesudah
mereka berada jauh dari rombongan itu.
“Lihiap,
kata-kata Kwee-taihiap ini memang benar. Walau pun dia terpaksa menjalankan
upacara pernikahan dengan Meilani, akan tetapi hal itu hanya untuk menjaga
kehormatan puteri kami itu saja. Kwee-taihiap tadinya juga bersikeras menolak,
akan tetapi akhirnya menyetujui untuk melakukan upacara pernikahan berdasarkan
menolong gadis itu.”
Maka dengan
panjang lebar kakek itu lalu menuturkan bagaimana sudah terjadi kesalah pahaman
ketika Kwee An menerima golok dari Meilani, dan betapa bila pemuda itu tidak
mau memenuhi kebiasaan adat mereka, maka gadis itu tentu akan membunuh diri
karena malu.
Ma Hoa
mendengarkan semua ini dengan terharu. Tadinya dia marah sekali, akan tetapi
setelah tahu akan duduknya perkara, dia malah merasa kasihan sekali kepada
Meilani.
“An-ko, apa
bila kau memang suka kepada gadis itu, kawinlah dengan dia dan jangan kau
pikirkan aku lagi!”
“Ehh, ehh,
Moi-moi, mengapa kau berkata demikian? Selain dengan kau aku tidak mau kawin
dengan wanita lain! Sesudah mendengar keterangan tadi, apakah kau masih juga
merasa cemburu kepadaku?”
“Bukan
cemburu, akan tetapi aku merasa kasihan sekali kepada Meilani!” Kemudian Ma Hoa
lalu bertindak menghampiri Meilani dan memeluknya.
Biar pun
Meilani tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, akan tetapi oleh karena dia
sudah mendengar dari Kwee An bahwa pemuda itu tidak bisa menjadi suaminya
karena telah bertunangan dengan seorang gadis Han, maka ia dapat juga menduga.
Ketika
melihat hubungan antara Ma Hoa dengan Kwee An, ia dapat menduga pula bahwa
tentu gadis inilah yang menjadi tunangan Kwee An. Ia tidak hanya kagum akan
kelihaian Ma Hoa, akan tetapi juga kagum melihat kecantikannya, sehingga dia
merasa bahwa memang gadis itu lebih cocok menjadi calon isteri Kwee An. Ketika
Ma Hoa memeluknya, ia hanya dapat mengalirkan air mata saja.
Sanoko juga
sudah tahu akan hal itu dan dia pun tidak merasa kecewa karena ternyata bahwa
‘gadis saingan’ puterinya adalah seorang pendekar wanita yang bahkan memiliki
kepandaian yang lebih hebat dari pada Kwee An sendiri. Bahkan gadis itu juga
sudah meneewaskan seorang musuh yang telah banyak membunuh bangsanya!
Maka ketika
kedua orang muda itu berpamit, dia hanya menghaturkan selamat jalan dan terima
kasih. Meilani tidak kuat melihat Kwee An pergi, maka ia mendahului lari masuk
ke dalam hutan dan menangis di dalam pondoknya dengan hati hancur.
Ada pun semua
orang Haimi, ketika melihat Kwee An pergi meninggalkan ‘isterinya’ yang baru
saja menikah dengannya, merasa tidak puas. Akan tetapi mereka tak berani banyak
bertanya, hanya merasa berduka mengingat akan nasib Meilani.
Demikianlah,
Ma Hoa dan Kwee An meninggalkan orang-orang Haimi itu dengan diikuti pandangan
mata mereka yang merasa kagum sekali melihat betapa kedua orang muda bangsa Han
itu berlari cepat sekali melebihi larinya rusa! Tentu saja Kwee An dan Ma Hoa
merasa bahagia sekali dapat bertemu dalam keadaan selamat, bahkan pada waktu
mendengar dari Ma Hoa bahwa dara itu telah mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning
yang luar biasa dari Hok Peng Taisu, Kwee An menjadi gembira dan girang sekali.
Sebaliknya,
pada waktu Kwee An menceritakan betapa dia telah menderita sakit sampai
berbulan-bulan di dalam goa dengan keadaan amat menderita dan sengsara,
kekasihnya menjadi terharu dan merasa iba sekali. Namun, masih saja dalam
perasaan hati Ma Hoa merasa tidak enak oleh karena peristiwa yang terjadi
dengan Kwee An ketika terpaksa menikah dengan Meilani itu.
"Koko,"
katanya di tengah perjalanan, "agaknya kau suka kepada gigi hitam!
Bagaimana kalau aku membikin hitam gigiku.”
Kwee An
tersenyum pahit. "Sudahlah, Hoa-moi, jangan kau menggoda terus. Sebenarnya
aku merasa ngeri tiap kali teringat akan gigi hitam dan kumis melintang!"
Ma Hoa
tertawa. "Bila kubayangkan sungguh lucu. Kau berkumis panjang melintang
yang ujungnya melingkar ke atas, sedangkan aku bergigi hitam mengkilap!"
"Betapa
pun juga, bangsa Haimi itu adalah orang-orang baik, akan tetapi nasib mereka
buruk sekali. Moi-moi, biarlah kita jangan berbicara tentang mereka lagi.
Sekarang yang terpenting ialah, ke mana kita harus mencari Lin Lin, Cin Hai dan
Paman Yousuf?"
“Lin-lin dan
Paman Yo dikejar-kejar oleh orang-orang Turki yang datang dari barat daya.
Sebelum bertemu dengan kau, aku banyak mendengar orang bercerita bahwa di
daerah Kansu dan Cinghai di barat kini terdapat orang-orang Turki yang menjadi
pedagang. Aku mendengar bahwa di Kansu pemandangannya amat indah dan di sana
terdapat goa-goa kuno yang terkenal. Jika hendak mendengar tentang Lin Lin dan
Paman Yo, baiknya kita merantau ke barat dan menyelidiki orang-orang Turki itu,
sekalian melihat pemandangan di kedua daerah itu. Bagaimana pendapatmu?”
Bagi Kwee
An, jangankan dia harus pergi merantau dan menikmati perjalanan ke
daerah-daerah yang indah dan menarik hati, biar pun harus ke neraka sekali pun,
kalau bersama Ma Hoa, dia akan pergi dengan senang hati.
“Dugaanmu
ini memang berdasar juga. Mudah-mudahan saja Cin Hai juga berpendapat sama dan
pergi ke barat pula,” katanya.
Demikianlah,
kedua sejoli itu lalu mulai melakukan perjalanan ke barat melalui sepanjang
tapal batas Mongolia Dalam, menyeberangi Propinsi-propinsi Sui-yuan dan
Ning-sia.
***************
Siapa yang
pernah melakukan perjalanan dengan seorang tunangan atau kekasih yang dicinta
dan mencinta, tentu akan maklum pula bahwa di dalam perjalanan itu yang terasa
hanyalah kegembiraan besar. Segala benda di dunia ini nampak seakan-akan
bercahaya gemilang dan berseri, setiap daun dan bunga tersenyum manis, setiap
suara terdengar bagaikan nyanyi indah dan merdu!
Pendek kata,
Ma Hoa dan Kwee An melakukan perjalanan berdua dengan hati dipenuhi kebahagiaan
dan kegembiraan. Apa lagi mereka melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang
sama sekali belum pernah mereka kunjungi sehingga pemandangan yang ganjil di
daerah itu menambah kegembiraan mereka.
Suatu hari
di tapal batas daerah Sui-yuan, ketika mereka sedang berjalan cepat melalui
sebuah daerah yang berbukit, tiba-tiba mereka mendengar seruan seperti yang
biasanya dikeluarkan oleh orang yang sedang berkelahi. Mereka menjadi tertarik
dan segera berlari menuju ke arah suara itu. Ketika mereka tiba di sebuah
tikungan, mereka melihat dua orang sedang bertempur dengan luar biasa hebatnya.
Ketika
mereka telah tiba agak dekat, tiba-tiba Ma Hoa memegang lengan tangan Kwee An
dan pemuda ini merasa betapa jari-jari tangan Ma Hoa menggigil. Ia segera
menatap wajah kekasihnya yang tiba-tiba berhenti itu, dan melihat betapa wajah
Ma Hoa menjadi pucat sekali.
Sepasang
mata gadis itu memandang ke arah orang-orang yang sedang bertempur itu dengan
terbelalak penuh keheranan dan tampaknya amat terkejut bagaikan melihat setan
di tengah hari! Kwee An segera memandang dan memperhatikan pula dua orang yang
bertempur itu. Tiba-tiba dia pun memandang dengan mulut celangap.
Ma Hoa
menggosok-gosok kedua matanya dan bibirnya bergerak mengeluarkan bisikan,
"Koko... apakah kau juga melihat apa yang kulihat?"
Kwee An
hanya berkata perlahan, "Heran…. heran….. bukankah nona yang berpedang itu
benar-benar dia?"
"Siapa
lagi? Walau pun lupa akan wajah dan bentuk badannya, aku tak akan melupakan
gerakan dan ilmu silatnya. Dia benar-benar Enci Im Giok!"
"Mari
kita membantunya!" kata Kwee An, akan tetapi Ma Hoa menjawab,
"Jangan
dulu! Enci Im Giok paling tidak suka dibantu apa bila keadaannya tidak
terdesak. Lihat, dia sedang mendesak lawannya, dan dua orang pendeta yang
menonton itu, entah mereka itu kawan atau lawan. Sebaiknya kita menonton sambil
bersembunyi dan melihat gelagat."
Keduanya
lantas mengintai dari balik pohon. Ternyata bahwa yang bertempur itu adalah
seorang nenek tua yang mengerikan. Tubuhnya bongkok karena punggungnya tinggi
dan di sana terdapat daging yang menonjol, merupakan punggung onta.
Rambutnya
digelung dan diikat dengan sapu tangan bersulam yang kecil. Telinganya memakai
anting-anting yang besar melingkar. Nenek itu sedang bertempur dengan tangan
kosong menghadapi seorang dara jelita berpakaian merah yang memegang pedang.
Nona ini
cantik sekali dan sekali pandang saja orang yang sudah pernah melihatnya tak
akan ragu-ragu lagi bahwa dia ini bukan lain adalah Ang I Niocu! Apa bila
gerakan Ang I Niocu indah menarik dan gesit sekali hingga nampaknya seperti
sedang menari dengan pedangnya, gerakan nenek itu tidak kalah hebatnya.
Tubuh nenek
itu berlompatan ke atas sambil menyerang dahsyat dengan cengkeraman-cengkeraman
tangan yang jari-jarinya ditekuk bagaikan cakar burung garuda! Di dekat tempat
pertempuran itu, dua orang kakek berdiri menonton dengan tertarik. Seorang di
antara mereka bertubuh tinggi besar, berjubah hitam panjang dan kepalanya
ditutup oleh sebuah sorban. Kakek ke dua adalah seorang tosu yang mukanya penuh
cambang bauk.
Pada waktu
itu, Ang I Niocu sedang mendesak hebat dengan ilmu pedangnya. Apa bila gerakan
nenek itu boleh diumpamakan sebagai seekor garuda yang ganas menyambar-nyambar
korbannya, Ang I Niocu merupakan seekor burung merah yang indah dan luar biasa
gesitnya.
Di samping
memiliki ginkang yang tinggi dan sempurna, ternyata nenek itu juga memiliki
tenaga dalam yang hebat karena selain serangan mencengkeram yang mirip dengan
Ilmu Silat Eng-jiauw-kang dari ahli silat Tiongkok Selatan, juga kadang-kadang
dia mengirim pukulan-pukulan yang anginnya saja membuat rambut Ang I Niocu
berkibar dan menjadi awut-awutan!
Akan tetapi,
pedang Ang I Niocu sangat lihainya, sinar pedangnya dapat mendesak terus
sehingga nenek itu terpaksa berkelahi sambil mundur. Pada saat nenek itu mundur
dan melompat ke atas sebuah batu karang, Ang I Niocu membabat dengan pedangnya
ke arah kaki lawannya dengan gerakan Bidadari Menyebar Bunga hingga hampir saja
kaki nenek itu terbabat.
Akan tetapi,
dengan cepat sekali nenek itu lantas melompat ke atas sambil mengeluarkan
teriakan keras, dan ketika tubuhnya masih berada di atas, tiba-tiba saja kedua
tangannya digerakkan dan berhamburanlah hancuran batu menyerang ke arah Ang I
Niocu!
Ternyata
bahwa ketika tadi nenek itu meloncat ke atas batu karang, kedua tangannya lalu
mencengkeram batu karang hingga hancur di dalam kedua tangannya dan sekarang
dia menggunakan hancuran batu karang itu untuk menyerang Ang I Niocu! Hancuran
batu karang yang menjadi kerikil kecil-kecil ini tak boleh dipandang ringan,
oleh karena tenaga lemparan yang disertai tenaga khikang ini membuat batu-batu
kecil itu dapat menembus kulit dan daging, dan setiap potongan kecil merupakan
sebuah senjata rahasia yang lihai!
Akan tetapi
Ang I Niocu yang berkepandaian tinggi tidak gentar menghadapi serangan hebat
ini. Dengan tenang dia segera memutar pedangnya hingga tubuhnya seakan-akan
terlindung oleh dinding baja dan semua potongan batu kecil itu dapat terpukul
jatuh.
Kembali
mereka bertempur seru, masing-masing mengeluarkan ilmu kepandaian mereka yang
paling tinggi. Meski pun Ang I Niocu selalu mendesak, namun agaknya tidak mudah
menjatuhkan nenek yang lihai itu.
Sebelum kita
maju lebih lanjut dengan cerita ini, lebih baik kita ikuti dulu pengalaman Ang
I Niocu semenjak dia berada di Pulau Kim-san-to, karena pembaca tentu merasa
heran bagaimana Ang I Niocu bisa muncul di sini sedangkan dulu ia berada di
Pulau Kim-san-to ketika pulau itu terbakar dan meledak? Baiklah kita mundur
sejenak supaya selanjutnya cerita ini dapat diikuti dengan lancar.
Sebagaimana
telah dituturkan pada bagian depan, Ang I Niocu mendahului Cin Hai pergi ke
Pulau Kim-san-to untuk mencari Lin Lin. Dengan nekat Gadis Baju Merah itu naik
ke atas puncak untuk mencari Lin Lin, akan tetapi bukan Lin Lin yang ia jumpai,
bahkan ia melihat pemandangan yang amat mengerikan, yaitu seluruh danau di
bukit itu terbakar hingga merupakan neraka yang dahsyat.
Ia melihat
bayangan Vayami seperti sedang melambai-lambai memanggilnya dari tengah lautan
api itu, maka dengan hati ngeri sekali Ang I Niocu mencari-cari Lin Lin,
berlari ke sana ke mari dan suaranya sampai serak karena terus-menerus ia
memanggil,
“Lin Lin….
Lin Lin….! Di mana kau…?”
Ketika ia
sedang berlari menubruk sana menubruk sini memanggil-manggil Lin Lin seperti
orang gila, tiba-tiba saja terdengar sebuah letusan hebat dan daya tenaga
raksasa yang keluar dari ledakan itu membuat tubuh Ang I Niocu terlempar ke
atas udara. Walau pun semangat Ang I Niocu seolah-olah terbang keluar dari
tubuhnya karena hebatnya ledakan itu, namun ia masih sempat berteriak lagi
memanggil, "Lin Lin…. Lin Lin…. Hai-ji…. "
Ang I Niocu
kemudian pingsan selagi tubuhnya masih melayang di udara! Memang mati atau
hidup seseorang sepenuhnya berada di dalam kekuasaan dan tangan Yang Maha
Kuasa. Kalau Tuhan menghendaki, seorang yang sudah berada di mulut harimau
masih akan dapat tertolong dan hidup, sedangkan seorang segar bugar dapat
tiba-tiba mati. Hal ini harus diakui oleh semua orang karena banyak terjadi
bukti-bukti akan kekuasaan yang besar ini. Tidak ada hal yang tidak mungkin
terjadi dalam tangan Tuhan!
Begitu pula
dengan nasib Ang I Niocu. Agaknya Tuhan belum menghendaki dia terbebas dari
hidup di dunia, maka tubuhnya terlempar ke angkasa tanpa terluka. Hal ini
memang tidak begitu aneh oleh karena dapat diketahui sebab-sebabnya.
Kalau
sekiranya Ang I Niocu tidak berada terlalu dekat dengan bukit yang meledak itu,
seperti halnya para tentara Turki dan tentara kerajaan yang terbasmi habis
seluruhnya, tentu Dara Baju Merah itu pun akan tewas juga, termakan oleh api
dan minyak panas. Akan tetapi saat ledakan terjadi, tubuh Ang I Niocu berada
dekat sekali sehingga sebelum api dapat membakar tubuhnya, hawa letusan yang
luar biasa kerasnya itu telah membuat tubuhnya terlempar ke udara!
Karena
hebatnya tekanan ledakan itu, pakaiannya yang merah sampai terobek ke sana
sini. Potongannya lalu terlempar dan melayang-layang terbawa angin yang
didatangkan oleh ledakan hingga sepotong dari pakaian ini kemudian ditemukan
oleh Cin Hai di atas laut.
Biar pun
pada saat dia terlempar ke udara, Ang I Niocu terhindar dari bahaya api yang
mengamuk, akan tetapi dia masih belum terlepas dari bahaya maut sama sekali,
karena dia telah menjadi pingsan dan kalau dia jatuh kembali, maka tubuhnya
tentu akan hancur dan dimakan api! Akan tetapi, memang Tuhan belum menghendaki
kematiannya, maka kembali Yang Maha Kuasa memperlihatkan kekuasaanNya lagi.
Di antara
semua makhluk hidup yang berada di atas Pulau Kim-san-to pada saat ledakan
terjadi, selain Ang I Niocu yang selamat, masih ada yang lainnya lagi, yakni
Sin-kim-tiauw atau rajawali sakti berbulu emas. Kebetulan sekali pada waktu
ledakan terjadi, burung rajawali ini sedang terbang tinggi di atas pulau karena
ia merasa terkejut melihat sekian banyak orang sedang berperang di atas
pulaunya yang biasanya sunyi dan tenteram itu.
Ia terbang
berputar-putar di angkasa sambil berteriak-teriak marah, karena perasaannya
memberi tahukannya bahwa orang-orang yang sedemikian banyaknya itu bukanlah
orang baik-baik. Dia hendak mengamuk serta menyerang, akan tetapi tidak berani
dan merasa takut untuk menghadapi sekian banyak orang, maka kini dia hanya
terbang tinggi sambil memekik-mekik marah.
Pada waktu
terjadi ledakan, Sin-kim-tiauw merasa terkejut sekali dan sambil
menyambar-nyambar ke bawah dengan marah, ia pun menjadi bingung dan takut
melihat api berkobar hebat membakar pulaunya. Kemudian, tiba-tiba dia melihat tubuh
orang yang berpakaian merah melayang ke udara dengan kecepatan luar biasa.
Tadinya
burung itu merasa terkejut dan takut, oleh karena belum pernah ia melihat orang
yang dapat terbang! Tentu ilmu kepandaiannya lihai sekali, pikirnya. Karena itu
dia hanya terbang mengelilingi dan tidak berani menyerang, sungguh pun dia
merasa marah sekali.
Akan tetapi,
ketika Ang I Niocu menjadi pingsan dan tubuhnya menjadi lemas terkulai dan
tubuh itu mulai melayang jatuh kembali ke bawah, Sin-kim-tiauw kemudian menyambar
dan mencengkeram tubuh itu. Perlu diketahui bahwa Sin-kim-tiauw bukanlah burung
liar sembarangan saja, akan tetapi adalah burung peliharaan yang telah dilatih
oleh Bu Pun Su dan adik seperguruannya Han Le, hingga burung ini telah dapat
membawa apa saja dalam cengkeramannya tanpa melukai. Maka ketika ia
mencengkeram tubuh Ang I Niocu yang pingsan, ia tidak melukai tubuh itu, hanya
membawanya terbang menuju ke timur dengan cepat sambil berteriak-teriak girang
seperti biasa kalau ia menang berkelahi!
Burung
rajawali yang besar itu membawa tubuh Ang I Niocu terus ke timur lalu membelok
ke arah tenggara, dan selama itu Ang I Niocu masih saja pingsan tak sadarkan
diri sebab ledakan hebat itu betul-betul telah mengguncang jantungnya,
sedangkan perasaan kuatir dan takut membuat semangatnya seakan-akan terbang
meninggalkan tubuhnya.
Burung
rajawali itu terbang terus dan setelah berputar-putaran tinggi di atas pulau
yang banyak terdapat di permukaan Laut Tiongkok, dia lalu menyambar turun ke
atas sebuah pulau kecil yang penuh dengan pohon-pohon hijau. Ketika ia telah
terbang rendah di atas pulau itu, tiba-tiba terdengar suara orang bersuit keras
dan Sin-kim-tiauw segera terbang ke arah suara suitan itu.
"Ehh,
Kim-tiauw, siapakah yang kau bawa itu?" mendadak terdengar bentakan halus
dan seorang lelaki keluar dari sebuah goa memandang pada Kim-tiauw yang terbang
rendah itu.
"Lepaskan
dia!" teriaknya dan Sin-kim-tiauw dengan taat segera melepaskan tubuh Ang
I Niocu dari cengkeraman kakinya.
Tubuh Dara
Baju Merah itu melayang ke bawah dan dengan gerakan cepat, laki-laki itu lalu
menyambut tubuhnya. Merahlah muka laki-laki itu melihat betapa Ang I Niocu
hampir tidak berpakaian lagi karena pakaiannya yang merah sudah robek di
sana-sini oleh hawa ledakan tadi! Cepat-cepat laki-laki itu menanggalkan
mantelnya, menyelimuti tubuh yang segera dibawanya masuk ke dalam goa itu,
kemudian diletakkannya di atas tanah yang bertilamkan rumput-rumput kering.
Dengan
hati-hati laki-laki itu lalu memeriksa nadi pergelangan tangan Ang I Niocu,
lalu ia menarik napas lega. Dari sudut goa dia segera mengambil bungkusan
pakaiannya dan mengeluarkan sebuah kulit buah labu yang telah dikeringkan dan
dipergunakan sebagai tempat air. Ternyata bahwa isinya bukanlah air biasa, akan
tetapi sari buah-buahan yang mengandung khasiat menguatkan tubuh dan
mendatangkan ketenangan pada hati.
Dengan
hati-hati, dia lalu membuka bibir dan mulut Ang I Niocu dengan tangan kanan dan
menuangkan sedikit isi tempat air itu ke dalam mulut gadis itu. Kemudian, sesudah
menyimpan tempat air ke dalam bungkusannya kembali, ia lalu berdiri memandang
wajah dara itu dengan penuh perhatian lalu menarik napas panjang dan keluar
dari goa.
Burung
rajawali melihat kedatangannya, lalu berjalan menghampiri sambil mengeluarkan
keluhan panjang.
"Sin-kim-tiauw,
dari manakah kau datang dan siapakah gadis itu? Aku mendengar suara ledakan
keras dari arah Pulau Kim-san-to dan melihat api berkobar-kobar. Heran sekali,
apakah yang telah terjadi?"
Kim-tiauw
itu mengeluarkan keluhan keras dan aneh, lalu dia mengembangkan sayapnya dan
memukul-mukul tanah, seakan-akan hendak menceritakan peristiwa hebat yang telah
menimpa pulaunya. Akan tetapi tentu saja laki-laki itu tidak mengerti sama
sekali, hanya dia dapat menyangka bahwa tentu telah terjadi hal yang aneh
sekali, karena tidak biasa Sin-kim-tiauw berlaku seaneh ini.
Siapakah
laki-laki yang tinggal seorang diri di sebuah pulau kecil yang asing dan tiada
berkawan ini? Ia adalah seorang laki-laki yang berwajah cukup tampan, berkening
lebar dan sinar matanya tajam berkilat. Tubuhnya tegap dan sedang, ada pun
usianya paling banyak tiga puluh lima tahun. Pakaiannya terbuat dari pada bahan
kasar berwarna biru dan sebilah pedang tergantung di pinggangnya.
Sesungguhnya
orang ini adalah seorang pendekar silat yang mengasingkan diri, seorang berilmu
tinggi yang patah hati oleh karena kecewa melihat keadaan dunia yang penuh
kepalsuan. Dulu dia tinggal di atas Pulau Kim-san-to, ikut belajar silat kepada
suhu-nya yang bukan lain adalah Han Le atau sute dari Bu Pun Su! Mereka tinggal
bertiga dengan seorang sute-nya, karena Han Le memiliki dua orang murid, yaitu
lelaki ini yang bernama Lie Kong Sian, dan seorang pemuda bernama Song Kun.
Baik Lie
Kong Sian mau pun Song Kun, keduanya adalah anak-anak yatim piatu yang menjadi
korban keganasan tentara Mongol. Ayah bunda mereka sudah tewas pada saat
tentara Mongol menyerbu dusun-dusun dan mereka berdua mendapat pertolongan dari
Han Le yang lalu membawa mereka ke atas Pulau Kim-san-to dan mengangkat mereka
menjadi murid.
Walau pun
Lie Kong Sian mempunyai bakat yang baik sekali sehingga ia dapat mewarisi
kepandaian suhu-nya, namun dia masih kalah apa bila dibandingkan dengan Song
Kun yang memiliki bakat luar biasa sekali. Bahkan Han Le sendiri pernah berkata
kepada Lie Kong Sian yang dipercaya penuh dan disayangi seperti anak sendiri.
"Muridku,
kau lihat saja, Song Kun kelak akan mempunyai ilmu kepandaian yang jarang
mendapatkan tandingan oleh karena anak itu memiliki tulang dan bakat yang luar
biasa. Dalam hal ilmu silat, bakat mempunyai pengaruh hebat sekali oleh karena
biar pun ilmu silat yang dipelajarinya sama dengan yang kau pelajari, akan
tetapi bakatnya akan dapat membuat ilmu silatnya menjadi lebih lihai dan hebat,
karena mendapat tambahan sendiri oleh bakatnya yang baik. Akan tetapi dia masih
sangat muda, muridku, dan apa bila aku sudah tidak ada lagi di dunia ini,
kaulah yang harus menjadi wakilku untuk menuntunnya ke arah jalan benar."
Bertahun-tahun
kedua orang murid ini digembleng oleh Han Le di atas Pulau Kim-san-to, kemudian
Han Le mengajak kedua muridnya itu berkelana untuk mencari pengalaman di dunia
ramai. Dan hal inilah yang kemudian membuat Song Kun berubah. Kelihatanlah
watak aslinya ketika pemuda ini melihat benda-benda berharga dan hal-hal yang
terjadi di dunia ramai. Ia mulai menjadi sesat dan pengaruh-pengaruh buruk
menguasai hatinya. Sebuah di antara wataknya yang buruk ialah kesukaannya akan
wanita cantik.
Baik Han Le
mau pun Lie Kong Sian mengetahui hal ini, maka setelah berkelana selama dua
tahun, Han Le lalu mengajak Song Kun kembali ke Pulau Kim-san-to dan menyuruh
Lie Kong Sian mengembara seorang diri untuk meluaskan pengalaman dan
menjalankan pekerjaan sebagai seorang pendekar yang harus menolong sesama hidup
yang sedang menderita kesukaran.
Diam-diam
Song Kun merasa mendongkol sekali kepada suhu-nya, akan tetapi dia tidak berani
menyatakan dengan terus terang, bahkan ia lalu dengan cerdiknya merubah sikap
menjadi penurut dan berbakti sekali. Ia melayani suhu-nya dengan amat baiknya,
bahkan ketika Bu Pun Su datang berkunjung ke pulau itu, ia dapat pula menipu
kakek jembel ini hingga Bu Pun Su juga salah sangka dan memuji murid adik
seperguruannya ini, lalu menurunkan semacam kepandaian ilmu silat kepada Song
Kun.
Di atas
pulau itu, selain Song Kun dan gurunya, sudah ada tiga ekor binatang sakti yang
dahulu dipelihara oleh Bu Pun Su, yaitu Rajawali Emas, Harimau Bertanduk dan
Merak Sakti. Ketika dulu Bu Pun Su bertapa di pulau itu, ia memelihara ketiga
ekor binatang ini dan kemudian meninggalkannya kepada Han Le yang tetap berdiam
di pulau itu.
Selama Lie Kong
Sian pergi merantau, Song Kun dapat menipu suhu-nya dan membujuk sehingga Han
Le lalu memberi pelajaran ilmu silat yang lebih tinggi lagi. Dan pada suatu
hari, tanpa memberi tahu kepada suhu-nya, Song Kun minggat dari pulau itu! Han
Le terkejut sekali dan mulailah ia merasa sedih dan jatuh sakit berat di atas
pulau itu.
Kebetulan
sekali Lie Kong Sian datang ke Pulau Kim-san-to untuk mengunjungi suhu-nya dan
sute-nya. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat suhu-nya dalam keadaan sakit
berat. Cepat-cepat dia menolong serta merawatnya, akan tetapi terlambat.
Agaknya memang sudah menjadi takdir bagi Han Le untuk meninggalkan dunia ini di
pulau itu! Sebelum ia menutup mata, ia meninggalkan pesan kepada Lie Kong Sian.
“Muridku,
kalau aku telah mati, kuburkanlah mayatku di dalam goa ini, dan juga pedangku
ini harus ikut ditanam pula, kemudian kau pergilah mencari sute-mu Song Kun.
Selidikilah keadaannya karena aku kuatir sekali kalau-kalau ia akan mencemarkan
namaku dengan perbuatan rendah. Akan tetapi, kau berhati-hatilah menghadapinya,
Kong Sian, karena ilmu silatnya hampir sempurna. Kalau kau perlu bantuan, kau
carilah supek-mu Bu Pun Su untuk membantu menangkapnya. Selain supek-mu Bu Pun
Su, kukira tidak ada orang lain yang akan dapat melawannya!”
Tidak lama
kemudian, sesudah Lie Kong Sian memenuhi pesanan suhu-nya yang telah meninggal,
yaitu mengubur jenazah suhu-nya bersama pedangnya di dalam goa yang penuh pasir
itu, lalu ia meninggalkan Pulau Kim-san-to. Ketiga ekor binatang sakti masih
berdiam di pulau itu dengan sedih dan kesunyian.
Lie Kong
Sian berhasil bertemu dengan sute-nya, akan tetapi, biar pun ia melihat bahwa
sute-nya ini menyimpang dari perjalanan hidup yang benar, dia tidak tega untuk
minta pertolongan Bu Pun Su. Sejak kecil ia hidup di atas pulau, belajar silat
bersama sute-nya ini hingga ia pandang Song Kun seperti adik sendiri yang amat
ia kasihi, maka ketika ia melihat akan kesesatan Song Kun, ia hanya memberi
nasehat.
Akan tetapi,
benar sebagaimana dugaan suhu-nya, adiknya itu tak mau menurut bahkan
menantangnya hingga mereka lalu berkelahi! Tingkat kepandaian mereka memang
sama, akan tetapi Song Kun memiliki kecepatan yang lebih hebat hingga akhirnya
Lie Kong Sian dapat dikalahkan dan terpaksa melarikan diri.
Hal ini amat
mendukakan hati Lie Kong Sian. Untuk minta bantuan Bu Pun Su, ia tidak tega
melihat adiknya terhukum, kalau didiamkan saja bagaimana. Maka dalam keraguan
dan kebimbangan, dia lalu kembali ke Pulau Kim-san-to dan menangis di depan
kuburan suhu-nya, mengakui akan kelemahannya.
Kemudian dia
lalu mengasingkan diri dan bertapa di sebuah pulau kosong tidak jauh dari
Kim-san-to, yaitu sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Pek-le-to. Sering kali
Merak Sakti terbang ke pulau itu untuk mengunjunginya, dan juga beberapa kali
Lie Kong Sian mendayung perahu kecil mengunjungi pulau di mana suhu-nya
dimakamkan itu.
Demikianlah
selama beberapa tahun bertapa di Pulau Pek-le-to, Kong Sian menuntut
penghidupan tenteram, sampai pada hari itu ia dikejutkan oleh ledakan yang
datang dari arah Pulau Kim-san-to. Kemudian datang pula Sin-kim-tiauw yang
membawa tubuh Ang I Niocu yang pingsan, maka tentu saja ia menjadi heran, akan
tetapi kepada siapa ia harus bertanya? Sesudah menepuk-nepuk punggung rajawali
itu, Kong Sian kembali ke dalam goa.
Seperti
tadi, dia berdiri memandang Ang I Niocu lagi dan kembali dia merasa jantungnya
berdebar aneh. Ia menjadi terkejut sekali oleh karena belum pernah selama
hidupnya dia mendapat perasaan seperti ini, sungguh pun telah banyak ia jumpai
wanita-wanita cantik selama ia merantau.
Ia segera
maklum pengaruh apa yang mencengkeram hatinya, maka dengan wajah pucat dia
segera membuang muka dan tidak mau memandang lagi. Akan tetapi, oleh karena
hatinya masih saja berdebar, dia lalu pergi ke sudut goa di mana terdapat
sebuah batu besar yang pada bagian atasnya ia tilami jerami kering, lalu duduk
dan bersemedhi untuk menenteramkan hatinya yang terguncang!
Tidak lama
kemudian, Kong Sian berhasil menekan perasaan hatinya yang bergelora itu, maka
ia lalu turun dari atas batu dan menghampiri Ang I Niocu kembali. Dilihatnya
betapa wajah dara itu merah sekali dan pernapasannya sesak.
Ia
mengulurkan tangan meraba jidat gadis itu dan mendapat kenyataan bahwa gadis
itu terserang demam hebat. Maka cepat dia keluar dari goa dan mencari daun obat
yang banyak tumbuh di atas pulau Pek-le-to, lalu memeras daun itu dan
meminumkan airnya pada Ang I Niocu, kemudian dengan sapu tangan yang dibasahi
air ia lalu mengompres kepala Ang I Niocu.
Kekagetan
dan ketakutan yang menyerang Ang I Niocu, ditambah lagi dengan pukulan hawa
ledakan yang dahsyat itu, membuat gadis itu pingsan dan menderita sakit demam
hebat selama tiga hari. Dan selama itu pula, dengan setia dan hati penuh iba
Kong Sian terus menjaga di sampingnya, merawatnya dengan penuh kesabaran dan
ketelitian.
Akan tetapi
selama tiga hari itu, beberapa belas kali terpaksa Lie Kong Sian yang biasa
berhati teguh dan beriman baja itu harus pergi untuk bersemedhi dan mengatur
pernapasannya serta menekan perasaan yang menggelora di dalam dadanya!......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment