Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bodoh
Jilid 17
PADA suatu
pagi yang cerah, di kala matahari dengan sinarnya yang nakal mengusir awan dan
halimun pagi dari udara dan muka bumi dan burung-burung menyambut kedatangan
Raja Siang itu dengan nyanyian dan pujian yang merdu dan sedap didengar, Lin
Lin dan Ma Hoa sudah berada di taman bunga mereka dan mencabuti rumput-rumput
liar yang hendak mengganggu keindahan bunga. Mereka bekerja sambil bersenda
gurau karena memang hawa pagi itu membuat dan memaksa orang untuk bergembira.
“Lin Lin,”
kata Ma Hoa sambil tersenyum manis. “Alangkah senangnya hatimu kalau pada saat
yang indah ini Saudara Cin Hai berada di sini!”
Menghadapi
serangan godaan ini, Lin Lin yang pandai bicara serta lincah itu juga segera
tersenyum dan memandang tajam, lalu mengangguk-anggukkan kepala dan menjawab,
“Memang betul, tentu saja hatimu akan merasa senang sekali, akan tetapi kau
bersabar saja, kawan! Tak lama lagi tentu kau akan dapat bertemu kembali dengan
dia itu!”
Ma Hoa
melengak dan tidak mengerti. “Ih, eh, apa maksudmu? Siapa yang kau maksud
dengan dia itu?”
Lin Lin
berpura-pura memandang heran. “Siapa lagi, bukankah yang tadi kau maksudkan
adalah Engko Kwee An?”
“Eh, anak
bengal! Apakah telingamu sudah menjadi tuli? Kau dengar aku bilang apakah
tadi?”
Lin Lin
memandang kepada Ma Hoa dengan wajah berseri. “Enci Hoa, bukankah kau tadi
berkata begini. Alangkah senang hatiku kalau pada saat yang indah ini Kanda
Kwee An berada di sini?”
Ma Hoa
memandang dengan gemas dan mengulurkan tangan hendak mencubit Lin Lin, akan
tetapi gadis itu segera mengelak.
“Lin Lin,
jangan kau bicara tak karuan! Aku tidak pernah mengeluarkan ucapan itu dari
mulutku.”
“Tapi
siapakah yang mendengar ucapan mulutmu? Aku tadi justru mendengar suara yang
keluar dari hatimu sehingga aku tidak mendengar jelas suara yang keluar dari
mulutmu! Bukankah hatimu tadi berkata seperti yang kuulangi tadi?”
Ma Hoa
mengerling tajam dengan bibir menyatakan kegemasan hatinya. Memang walau pun
mulutnya menyatakan dan menyebut-nyebut nama Cin Hai, akan tetapi tepat sebagai
mana godaan Lin Lin, hatinya memaksudkan Kwee An! Maka karena malu dan gemas,
Ma Hoa lalu mengejar Lin Lin dan hendak dicubitnya, akan tetapi Lin Lin berlari
mengitari bunga-bunga sambil tertawa-tawa dan berkata, “Awas, Enci Hoa, apa
bila engkau mencubit aku, kelak aku akan minta Engko An untuk membalasnya.”
Ma Hoa makin
gemas dan sambil tertawa, mereka berkejaran di dalam taman bunga itu, bagaikan
dua ekor kupu-kupu yang cantik dan indah. Mendadak keduanya berhenti tertawa,
bahkan lalu berdiri diam sambil memasang telinga dengan penuh perhatian. Di
antara kicau burung yang bermacam-macam itu, terdengar Merak Sakti yang
memekik-mekik aneh sekali karena mereka belum pernah mendengar suara merak itu
memekik seperti ini sehingga mereka tidak tahu apakah merak itu sedang marah
atau sedang bergirang.
Biasanya
kedua orang gadis ini telah hafal akan tanda-tanda yang dikeluarkan oleh suara
Merak Sakti, akan tetapi kali ini mereka saling pandang dengan hati heran dan
terkejut. Kemudian, serentak mereka lalu melompat dan berlari cepat ke arah
suara tadi.
Pada waktu
mereka tiba di sebuah lereng yang penuh rumput hijau, mereka menyaksikan
pemandangan yang membuat mereka segera tertegun dan berhenti dengan tiba-tiba.
Di atas rumput yang tebal itu, tampak Sin-kong-ciak sedang mendekam seperti
berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya ke bawah sambil mengeluarkan pekik
yang aneh itu, sedangkan seorang kakek yang tua sekali dan yang memakai pakaian
penuh tambalan dan butut, sedang membelai-belai leher dan kepala merak itu.
Yang membuat
Lin Lin dan Ma Hoa terheran sekali adalah sikap merak itu. Kedua orang gadis
ini cukup kenal adat Merak Sakti yang angkuh dan tidak mau tunduk kepada siapa
pun juga, maka melihat betapa merak itu sekarang berlutut dan
mengangguk-anggukkan kepala, mereka menjadi heran sekali.
Tiba-tiba
saja kakek itu memegang kedua kaki Merak Sakti, lalu melemparkannya ke atas
sambil tertawa-tawa. Merak itu menurut saja dan membiarkan dirinya untuk
dilemparkan tanpa mengembangkan sayap untuk terbang. Saat burung itu jatuh
kembali, dua kakinya lalu diterima oleh tangan kiri kakek itu, kemudian
dilempar lagi ke atas berulang-ulang.
Permainan
ini dilakukan oleh kakek itu sambil tertawa-tawa girang. Ada pun Merak Sakti
juga mengeluarkan suara yang dikenal oleh kedua orang gadis itu sebagai
pernyataan hatinya yang senang dan gembira.
Meski pun
mendengar suara gembira dari merak itu, namun Lin Lin menjadi marah sekali dan
mengira bahwa kakek ini tentu menggunakan kepandaiannya yang membuat Merak
Sakti tidak berdaya kemudian mempermainkan burung itu. Gadis ini melompat maju
dan membentak, “Kakek jahat, lepaskan burung merakku!”
Akan tetapi
jangankan mentaati perintah Lin Lin, bahkan kakek itu menengok pun tidak, terus
melempar-lemparkan tubuh burung itu ke atas sambil tertawa-tawa dan kemudian
bertanya kepada Merak Sakti, “Kong-ciak, apakah kau sudah puas?”
Lin Lin
marah sekali, lalu maju menyerang dan memukul dengan tangan kanan ke arah dada
kakek itu untuk mendorongnya roboh. Akan tetapi alangkah terkejut dan herannya
ketika ia merasa betapa kepalan tangannya seakan-akan memukul kapas hingga
tenaga pukulannya menjadi lenyap sendiri, sedangkan kakek tua itu tetap saja
sama sekali tidak memandangnya seakan-akan Lin Lin tidak ada di situ.
Ma Hoa yang
melihat Lin Lin mulai menyerang kakek itu, lalu membantu dan kedua orang gadis
ini lalu menyerang berbareng kepada si kakek tua itu. Sementara itu, Merak
Sakti yang agaknya telah merasa puas dengan permainannya lalu mengembangkan
sayapnya dan terbang ke atas cabang pohon, bertengger di situ sambil menonton pertempuran.
Sesungguhnya
ucapan ini saja sudah cukup bagi kedua gadis itu untuk menyadari bahwa kakek
tua ini tak bermaksud jahat. Akan tetapi karena Lin Lin dan Ma Hoa merasa marah
dan penasaran, maka mereka lalu maju berbareng dan menyerang dengan hebat.
Akan tetapi,
biar pun kakek tua itu agaknya tak berpindah dari tempatnya, namun pukulan
kedua orang dara muda itu satu kali pun tak pernah berhasil mengenai tubuhnya.
Lin Lin merasa penasaran sekali, demikian pula Ma Hoa, karena mengira bahwa
kakek ini tentu mempergunakan ilmu sihir. Semakin besar dugaan mereka ketika
mereka merasa telah hampir mengenai tubuh orang tua itu, tiba-tiba saja tangan
mereka melesat ke samping seakan-akan didorong oleh tangan kuat yang tidak
kelihatan.
Mereka ini
keduanya sama sekali tidak tahu bahwa mereka sedang berhadapan dengan tokoh
persilatan tertinggi yang bukan lain orang adalah Bu Pun Su sendiri.
Sebenarnya, Bu Pun Su tidak menggunakan ilmu sihir, hanya mengerahkan tenaga
khikang-nya yang sudah sempurna itu sehingga hawa yang keluar dari kedua
tangannya cukup kuat untuk menangkis tiap pukulan Lin Lin dan Ma Hoa.
Pada saat
kedua orang gadis itu menjadi sibuk serta makin terheran dan marah, tiba-tiba
terdengar bentakan orang,
“Kakek tua!
Jangan kau mengganggu kedua anakku!”
Ternyata
yang datang ini adalah Yousuf sendiri. Lin Lin dan Ma Hoa merasa girang sekali
dan Lin Lin segera berteriak,
“Ayah, kau
usir kakek yang pandai sihir ini!”
Juga Ma Hoa
berkata, “Dia telah menyihir dan mempermainkan Sin-kong-ciak!”
Yousuf
menjadi marah sekali, lalu membentak dua gadis itu, “Kalian minggirlah, biarkan
aku menghadapinya!” Kemudian ia meloncat ke depan Bu Pun Su dan membentak,
“Kakek tua!
Memalukan sekali untuk mengganggu seekor burung merak dan dua orang anak yang
masih bodoh. Marilah kita tua lawan tua!”
Tiba-tiba Bu
Pun Su tertawa terkekeh-kekeh sehingga Yousuf cepat-cepat menggunakan tenaga
dalamnya untuk menolak tenaga yang keluar dari suara ketawa ini.
“Hi-hi-hi,
kau orang Turki ini benar-benar berbeda dengan yang lain! Kau benar-benar lain
daripada yang lain. Bagus, bagus! Kau lucu sekali! Usiamu paling banyak hanya
setengah umurku, tapi kau bilang tua lawan tua! Eh, kakek-kakek tua bangka,
mari kita main-main sebentar.”
Ucapan Bu
Pun Su ini mendapat sambutan suara Merak Sakti yang mengeluarkan suara
terkekeh-kekeh pula, suara yang dikenal oleh Lin Lin dan Ma Hoa apa bila merak
sakti itu sedang merasa gembira. Sungguh aneh. Lin Lin masih mengira bahwa
merak itu masih terkena sihir, maka ia segera menghampiri di bawah pohon di
mana merak itu bertengger dan memanggil,
“Kong-ciak-ko,
kau turunlah ke sini!”
Akan tetapi
Merak Sakti itu sama sekali tidak mau turun. Hal ini semakin mempertebal dugaan
Lin Lin dan Ma Hoa bahwa kakek luar biasa itu tentu telah menyihir Merak Sakti,
karena biasanya merak itu sangat taat terhadap perintah Lin Lin.
“Ha-ha-ha-ha!
Nona, jangan kau heran, kong-ciak itu bukannya bersifat palsu dan karena
mendapat kawan baru lalu melupakan kawan lama. Akan tetapi adalah bertemu
majikan lama melupakan majikan baru.”
“Kakek tua,
majulah dan hendak kulihat sampai di mana kesaktianmu!” Yousuf berteriak
melihat betapa kakek itu memandang ringan kepada mereka semua.
Sambil
berkata demikian, Yousuf lalu menyerang dengan kedua tangannya dengan ilmu silat
Turki yang paling lihai. Kedua tangannya ini yang kanan memukul, sedang yang
kiri mencengkeram ke arah lambung lawan, dan kaki kirinya juga menendang ke
arah depan dengan cepat.
“Ha-ha-ha!
Bagus, aku mendapat kesempatan menyaksikan ilmu silat Turki yang lihai!” kata
kakek itu yang masih tertawa haha-hihi sambil mengelak perlahan.
Sungguh aneh
sekali, agaknya kakek itu sudah tahu bahwa di antara ketiga serangan ini, yang
sungguh-sungguh adalah serangan kaki, oleh karena dua tangan yang menyerang
hanya untuk menarik dan mengalihkan perhatian lawan saja. Bu Pun Su sama sekali
tak mengelak dari serangan kedua tangan, hanya mengelak dari tendangan kaki
Yousuf.
Ketika tidak
mengenai sasaran, tendangan ini tidak ditarik mundur sebagaimana biasanya
tendangan dalam ilmu silat Tiongkok, akan tetapi lalu diteruskan dan dibanting
ke pinggir terus memutar ke belakang hingga tubuh Yousuf terputar di atas
sebelah kaki dan sekali putaran dia lantas mengayun lagi kaki itu menendang,
dibarengi dengan serangan kedua tangan lagi! Ini adalah gerak tipu yang luar
biasa dan tidak terduga, dan biasanya dengan gerakan ini, Yousuf dapat
menjatuhkan lawannya.
Akan tetapi,
kali ini dia benar-benar kecele, karena Bu Pun Su agaknya sudah tahu akan
maksud dan gerakannya sehingga dapat mengelak pada waktu yang tepat. Bahkan
pada saat kakek jembel ini balas menyerangnya, Yousuf langsung melengak sebab
Bu Pun Su menggunakan serangan yang persis seperti yang telah dilakukannya
tadi. Malah gerakan kakek jembel ini lebih cepat dan lebih hebat dari pada
gerakannnya sendiri.
Yousuf
penasaran sekali, lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Akan tetapi, makin
lama ia menjadi makin heran sehingga dia bertempur dengan mata terbelalak dan
mulut menyelangap oleh karena makin banyak ia mengeluarkan kepandaiannya, makin
banyak pula gerakan-gerakannya ditiru dengan tepat oleh Bu Pun Su!
Juga Lin Lin
dan Ma Hoa ketika melihat betapa kakek itu melawan Yousuf dengan ilmu silat
Turki yang sama, tak terasa pula saling pandang dengan terheran-heran.
“Ayah, ia
tentu sudah menggunakan ilmu sihir!” Lin Lin memberi peringatan kepada ayah
angkatnya.
Yousuf
teringat dan timbul persangkaan demikian pula, maka tiba-tiba saja orang Turki
ini mengheningkan cipta, mengumpulkan tenaga di dalam pusar dan setelah
mengerahkan seluruh tenaga batinnya ke mulut, dia membentak sambil menunjuk ke
arah dada kakek jembel itu dan kedua matanya yang amat tajam dan hitam itu
menatap mata kakek itu, “Kau berlututlah!”
Ini adalah
sejenis ilmu sihir yang didasarkan tenaga batin untuk mempengaruhi semangat dan
kemauan lawan yang disebut Ilmu Penakluk Semangat. Bahkan Lin Lin dan Ma Hoa
yang tidak diserang langsung oleh ilmu ini, akan tetapi karena mereka
memperhatikan dan turut mendengar bentakan yang memerintah dan berpengaruh itu,
tanpa terasa pula mendapat desakan hebat dan tiba-tiba tanpa disadarinya lagi
mereka lalu menjatuhkan diri berlutut!
Akan tetapi
sesudah Yousuf mengeluarkan bentakan tadi, bukan kakek jembel itu yang
berlutut, bahkan Yousuf sendiri yang menjatuhkan diri berlutut di depan kakek
jembel!
“Ha-ha-ha!
Aku jembel tua bangka tidak layak menerima penghormatan ini!” kata Bu Pun Su
sambil tertawa bergelak dan suara ketawanya ini agaknya sudah membuyarkan ilmu
sihir Yousuf sehingga ketiga orang itu sadar bahwa mereka sedang berlutut di
depan Si Kakek jembel!
Yousuf kaget
sekali oleh karena yang dapat melawan ilmunya ini adalah gurunya sendiri, seorang
pertapa tua yang sakti di Turki dan ia ingat gurunya pernah menerangkan bahwa
apa bila Ilmu Penakluk Semangat ini digunakan untuk menyerang orang yang
mempunyai ilmu batin lebih tinggi dan kuat, maka akibatnya dapat terbalik
karena tenaga itu terpental dan memukul dirinya sendiri!
Yousuf cepat
melompat bangun dengan muka merah, sedangkan kedua orang gadis itu pun dengan
malu lalu mencabut pedang mereka. Yousuf juga mencabut pedangnya dan ketiga
orang ini lalu menyerbu dan menyerang Bu Pun Su!
Tiba-tiba
terdengar pekik marah dari atas dan Merak Sakti sambil mengibaskan sayapnya
lalu menangkis pedang ketiga orang itu! Karena Merak Sakti itu pun mempunyai
tenaga besar, maka ia berhasil menangkis senjata Yousuf dan Lin Lin, bahkan
pedang di tangan Lin Lin terpental jauh sekali! Akan tetapi, ternyata bahwa
Merak Sakti itu tidak berniat jahat dan hanya ingin mencegah ketiga orang itu
menyerang Bu Pun Su dengan senjata tajam dan setelah menangkis satu kali, merak
itu lalu terbang lagi ke cabang tadi!
“Ha-ha-ha,
bagus, Kong-ciak! Tak percuma aku memeliharamu sejak kecil!” kata kakek jembel
itu sambil tertawa girang.
Yousuf dan
Ma Hoa tercengang mendengar ini, akan tetapi Lin Lin yang merasa marah sekali
karena pedangnya dibikin terpental oleh Merak Sakti, lalu tak terasa lagi
mencabut keluar pedang karatan yang dulu dia ambil dari goa di pulau
Kim-san-to. Dengan pedang buntung yang bobrok ini ia maju lagi menyerang.
Tiba-tiba
wajah Bu Pun Su berubah pada saat dia melihat pedang itu dan cepat sekali
tangannya bergerak ke depan. Lin Lin tidak tahu bagaimana kakek itu bergerak
karena tahu-tahu pedangnya telah berpindah tangan.
“Han Le...
betul-betulkah kau telah mendahului aku?” kata Bu Pun Su sambil memandang
pedang itu dengan muka berduka dan kepalanya yang putih tiada hentinya
menggeleng-geleng. “Han Le Sute... mengapa kau mendahului Seheng-mu? Ahhh…, aku
Bu Pun Su benar-benar telah tua sekali dan sudah cukup lama hidup di dunia
ini...” setelah berkata demikian, ia menghela napas panjang.
Bukan main
terkejutnya Lin Lin, Ma Hoa dan Yousuf, mendengar bahwa kakek luar biasa ini
adalah Bu Pun Su, guru dari Cin Hai. Yousuf pernah diceritakan oleh Lin Lin
tentang kehebatan kepandaian Cin Hai, dan menceritakan pula bahwa suhu pemuda
itu bernama Bu Pun Su, tokoh yang namanya telah terkenal di seluruh penjuru.
Lin Lin dan
Ma Hoa cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su, sedangkan Yousuf
segera membungkuk dalam-dalam hingga jidatnya hampir menyentuh tanah, satu cara
penghormatan yang paling besar dari bangsa Turki.
“Locianpwe,
mohon beribu ampun bahwa teecu telah berani berlaku kurang ajar,” kata Lin Lin
dengan hormat.
Bu Pun Su
menghela napas. “Sudahlah, aku orang tua tak tahu diri ini yang harus minta
maaf. Ketahuilah, kadang-kadang aku mempunyai keinginan untuk menjadi
kanak-kanak kembali dan ingin mempermainkan orang. Agaknya aku sudah pikun dan
sudah terlalu tua...” Kemudian ia berkata dengan suara sungguh-sungguh, “Aku
tahu siapa kalian ini. Kau tentu Lin Lin tunangan muridku Cin Hai. Syukur bahwa
kau sudah bisa terlepas dari cengkeraman Boan Sip si jahat itu. Dan kau ini
tentu Ma Hoa murid Nelayan Cengeng. Hm, kepandaianmu yang kau keluarkan tadi
jelas menunjukkan bahwa kau adalah murid Si Cengeng itu. Dan kau, Sahabat, kau
tentulah Yo Su Pu yang terkenal.” Memang, nama Yousuf apa bila diucapkan oleh
lidah orang Han akan berubah, ada yang menyebut Yo Suhu, Yo Se Fei, Yo Su Pu
dan lain-lain.
Yousuf
kembali menjura, “Saya yang bodoh dan rendah memperoleh kehormatan besar sekali
dapat bertemu dengan Lo-suhu yang sakti.”
Bu Pun Su
lalu berkata lagi, “Apakah artinya kesaktian dan kepandaian? Hanya sepintas
lalu saja. Siapa yang mau belajar dia tentu akan menjadi pandai. Tidak dengan
sengaja aku bertemu dengan Kong-ciak di tempat ini, maka aku merasa ingin tahu
siapa yang membawa Kong-ciak ke sini? Dan melihat pedang ini di tangan Lin Lin,
tahulah aku tadi bahwa kalian tentu telah mengunjungi pulau itu. Pedang inilah
yang menceritakan padaku bahwa Sute-ku yang tinggal di pulau itu telah
meninggal dunia, karena ini adalah pedang miliknya! Coba kau tuturkan
pengalamanmu mendapatkan pedang dan burung merak ini,” perintahnya kepada Lin
Lin.
Sementara
itu, Merak Sakti telah terbang turun dan dan hinggap di atas pundak Bu Pun Su.
Dengan singkat Lin Lin menuturkan pengalaman mereka di Pulau Kim-san-to dan
ketika ia menceritakan betapa pulau itu terbakar musnah, Bu Pun Su
mengangguk-angguk.
“Ya, ya, ya.
Aku kemarin aku sudah melihat dari pantai bahwa pulau itu telah lenyap dari
permukaan laut. Dan harimau bertanduk serta rajawali emas tentu telah tewas
pula.”
Kakek ini
menghela napas dan pada waktu mendengar disebutnya kedua binatang itu, Si Merak
Sakti lalu mengeluarkan keluhan panjang, kemudian dua butir air mata runtuh
dari sepasang matanya yang indah. Kemudian merak ini terbang ke atas dan
berputar-putar di udara.
“Hmm,
kong-ciak itu memang perasa sekali. Tentu dia bersedih mendengar nasib kedua
kawannya. Ketahuilah, merak itu dan dua binatang lain di atas pulau yang musnah
adalah binatang-binatang peliharaanku. Terutama merak ini, semenjak kecil dia
telah ikut aku di pulau itu. Sesudah aku meninggalkan pulau, maka sute-ku yang
bernasib malang itu tinggal di pulau dan bertapa di sana. Tidak tahunya
sekarang ia telah menjadi rangka dan pedangnya pun telah tinggal sepotong. Hm,
demikianlah nasib manusia. Kepandaiannya yang luar biasa pun turut lenyap tak
berbekas. Manusia... manusia... kau calon rangka dan debu ini, masih mau
mengagulkan apamukah...?”
Kata-kata
ini diucapkan oleh kakek itu sambil memandang ke atas dan Yousuf merasa terkena
sekali hatinya sehingga dia menundukkan muka dengan penuh khidmat.
“Lin Lin,”
Bu Pun Su berkata, “Kau memang berjodoh dengan pedang ini, maka Sute-ku sengaja
memilih kau untuk memilikinya. Ketahuilah, pedang ini bukan sembarang pedang
dan yang tinggal sepotong ini adalah sari pedang itu. Tadi kulihat ketika kau
memegang pedang pendek ini, agaknya kau lebih pandai menggunakan pedang pendek,
karena itu biarlah pedang buntung ini kubuat menjadi pedang pendek untukmu.”
Lin Lin
merasa girang sekali dan dia cepat menghaturkan terima kasih pada Bu Pun Su.
Kakek tua itu lalu tinggal di atas bukit itu selama tiga pekan untuk
menggembleng dan membuat pedang pendek dari sisa pedang berkarat itu. Kemudian
dia berikan pedang yang menjadi sebatang belati panjang kepada Lin Lin sambil
berkata,
“Terimalah
pedang pendek ini yang kuberi nama Han-le-kiam untuk memperingati nama Sute-ku
Han Le. Dan untuk memperlengkapi kehendak Sute-ku yang memberi pedang ini
kepadamu, kau berhak menerima pelajaran ilmu silat dari persilatan kami.”
Bukan main
girangnya hati Lin Lin yang segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek
sakti itu.
“Akan tetapi
bukan aku si tua bangka yang hendak menurunkan kepandaian ini padamu. Aku sudah
satu kali menerima murid dan itu sudah lebih dari cukup. Cin Hai atau calon
suamimu itulah yang akan bertugas menurunkan ilmu kepandaian padamu. Jangan kau
anggap aku main-main, akan tetapi tanpa perkenanku, tidak nanti dia berani
menurunkan ilmu kepandaian yang dipelajarinya dariku, biar kepada isterinya
sekali pun.”
Lin Lin
segera bertanya dengan berani, “Akan tetapi, Locianpwe, teecu masih belum tahu
di mana adanya... dia!” Ma Hoa dan Yousuf diam-diam tersenyum dan Bu Pun Su
tertawa bergelak,
“Seperti
juga tidak ada persatuan yang tidak berakhir, demikian pun tidak ada perceraian
yang kekal. Kelak tentu tiba saatnya kau bertemu kembali dengan Cin Hai dan Ma
Hoa dengan Kwee An. Dan bila mana kau sudah bertemu calon suamimu itu,
sampaikanlah pesanku supaya kau diberi pelajaran pokok yang telah kuajarkan
kepadanya, kemudian memberi pelajaran ilmu pedang yang baru diciptakannya
kepadamu.”
Kemudian
sambil memandang kepada Yousuf, Bu Pun Su berkata pula, “Kau tidak salah
memilih Saudara Yo Su Pu ini sebagai ayah angkatmu karena memang dia ini orang
baik dan berhati mulia. Saudara Yo, akan lebih baik lagi kalau mimpi buruk yang
mengganggu hatimu itu dapat dilenyapkan sama sekali.”
Yousuf
terkejut sekali, oleh karena mendengar ucapan ini dia dapat mengetahui bahwa
kakek sakti ini ternyata telah dapat membaca isi hatinya yang bercita-cita
menjadi kaisar di negerinya. Dia lalu tersenyum dan menjura sambil berkata,
“Lo-suhu,
terima kasih atas nasehatmu ini. Memang, semenjak bertemu dengan anakku ini,
cita-cita gila itu telah kubuang jauh-jauh.”
“Bagus
sekali, itu hanya menambah tebal keyakinanku bahwa kau memang mempunyai
kebijaksanaan besar yang jarang dimiliki oleh sembarangan orang.”
Kemudian Bu
Pun Su pergi dari tempat itu sesudah membelai leher dan kepala Merak Sakti yang
nampak sedih ditinggalkan oleh majikan lamanya ini.
***************
Oleh karena
menyangka kalau-kalau Lin Lin dan Ma Hoa sudah mendahului pulang ke kampung Lin
Lin, maka Kwee An dan Cin Hai lalu menuju ke selatan untuk kembali ke daerah
Tiang-an.
Ketika
mereka sampai di rumah Kwee An, ternyata bahwa rumah itu masih tertutup dan
ketika mereka bertanya kepada orang di kampung itu yang menyambut kedatangan
Kwee An dengan girang, mereka mendapat keterangan bahwa Lin Lin belum pernah
kembali ke situ, dan bahwa Kwee Tiong masih tetap tinggal di kelenteng
Ban-hok-tong di Tiang-an, dan bahwa Kwee Tiong sekarang bahkan telah mencukur
rambutnya dan masuk menjadi hwesio!
Hal ini
mengejutkan hati Kwee An, maka ia lalu mengajak Cin Hai mengunjungi kakaknya
itu di Kelenteng Ban-hok-tong di kota Tiang-an. Pada waktu mereka sampai di
kelenteng Ban-hok-tong yang mengingatkan Cin Hai akan pengalamannya ketika
masih kecil dan mempelajari ilmu kesusasteraan dari Kui-sianseng guru
sasterawan yang kurus kering itu, mereka pun disambut oleh seorang hwesio tua
yang bertubuh tegap dan sikapnya masih gagah.
Hwesio ini
adalah Tong Kak Hosiang, hwesio perantau yang dahulu mengajar silat pada
putera-putera Kwee Ciangkun, seorang pendeta yang selain mempunyai ilmu silat
cukup tinggi dari cabang Kun-lun-pai, juga mempunyai pengertian yang dalam
mengenai Agama Buddha serta menjalankan ibadat dengan sungguh-sungguh.
Pada saat
Tong Kak Hosiang mendengar pengakuan Kwee An bahwa pemuda ini adalah putera
termuda dari Kwee In Liang, dia menyambut dengan girang sekali.
“Ahh,
ternyata Kwee-kongcu! Silakan masuk!” Hwesio ini memandang kepada Kwee An
dengan mata kagum karena Kwee Tiong sering kali menceritakan mengenai kegagahan
serta ketinggian ilmu silat adiknya ini.
“Lo-suhu,
teecu mohon bertemu dengan kakakku Kwee Tiong.”
Tong Kak
Hosiang tersenyum, “Baik, baik, tentu saja, Kwee-kongcu. Tiong Yu memang telah
lama merindukan kau. O ya, hampir lupa pinceng memberi tahukan bahwa kakakmu
kini bernama Tiong Yu Hwesio.”
Ketika
hwesio tua itu mengantar mereka masuk ke ruangan dalam, mereka mendengar suara
Kwee Tiong yang amat lantang membaca liamkeng (kitab suci yang dibaca sambil
berdoa) diiringi suara kayu yang dipukul-pukulkan untuk mengikuti irama doa dan
untuk menghalau segala gangguan yang memasuki pikiran di waktu membaca
liamkeng.
“Tiong-ko!”
Kwee An memanggil dengan suara di kerongkongan.
Suara
liamkeng berhenti dan Kwee Tiong berpaling. Alangkah bedanya wajah pemuda ini
dibandingkan dengan dahulu dan hal ini pun dilihat jelas oleh Cin Hai. Pada
wajah yang cakap itu kini terbayang kesabaran dan ketenangan yang besar
sehingga diam-diam Cin Hai merasa kagum sekali dan juga girang melihat
perubahan besar ini.
Ketika
melihat Kwee An, Kwee Tiong segera bangkit berdiri dengan tenang dan keduanya
lalu berpelukan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Agaknya dalam pelukan mesra
ini keduanya telah saling mencurahkan keharuan di hati masing-masing.
Pada saat
Kwee Tiong melepaskan pelukannya dan memegang kedua pundak Kwee An sambil
memandang wajah adiknya, ia melihat dua butir air mata membasahi mata Kwee An.
Kwee Tiong lalu tersenyum untuk membesarkan hati adiknya sambil
mengguncang-guncangkan pundak adiknya dan berkata lantang,
“An-te, kau
kelihatan semakin gagah dan tampan saja!” Sambil berkata demikian, Kwee Tiong
cepat menggunakan ujung lengan bajunya untuk menghapus dua tetes air mata yang
telah menetes di atas pipi adiknya.
“Tiong-ko,
kau...”
Akan tetapi
Kwee Tiong tidak memberi kesempatan kepada adiknya untuk melanjutkan
kata-katanya dan untuk melampiaskan keharuan hatinya, maka dengan muka girang
dia kemudian menarik tangan adiknya itu ke ruang tamu, sedangkan gerakan
kakinya masih menunjukkan kegagahan dan kejantanannya seperti yang dulu.
Ketika
melihat Kwee Tiong, Cin Hai yang menunggu di ruang tamu lalu menjura dengan
hormat.
”Eh, ehh,
Pendekar Bodoh ikut datang pula! Kau memang hebat sekali, Cin Hai adikku. Tiada
habisnya aku mengagumi kau.” Ucapan ini keluar dari hatinya yang tulus sehingga
Cin Hai merasa girang dan terharu, maka dia lalu angkat kedua tangan memberi
hormat lagi.
“Tiong Yu
Hwesio saudaraku yang baik. Kebijaksanaanmu yang sudah mengambil jalan suci ini
membuat aku yang bodoh dan kasar menjadi malu saja.”
Kwee Tiong
menghampiri Cin Hai dan menepuk-nepuk pundaknya. “Ahh, jangan begitu, Cin Hai!
Aku masih Kwee Tiong bagimu, seperti dulu. Hanya saja bedanya, kini kedua
mataku telah terbuka dan aku benar-benar girang bertemu dengan kau. O ya, di
mana Lin Lin adikku yang manis?” Matanya mencari-cari dan mengharapkan
munculnya Lin Lin di situ.
Sesudah
duduk menghadapi meja, Kwee An lalu menceritakan pengalamannya, bahwa kini
mereka berdua sedang mencari Lin Lin. Ketika mendengar tentang pembalasan sakit
hati yang hampir selesai dan tinggal Hai Kong seorang itu, pada wajah Kwee
Tiong tidak tampak kegirangan sebagaimana yang diduga semula, bahkan pemuda
yang kini menjadi hwesio itu menghela napas dan merangkapkan kedua tangan, lalu
berkata,
“Ah, inilah
yang membuat aku mengambil keputusan untuk menjadi orang yang beribadat.
Tadinya aku selalu merasa takut kepada musuh, sedih karena kehilangan orang tua
dan saudara-saudara, dan penasaran karena ingin membalas dendam. Tetapi apakah
artinya semua perasaan yang hanya mengganggu batin itu? Setelah aku mendapat
petunjuk dari Tong Kak Suhu dan masuk menjadi hwesio, baru terbukalah mataku.
Aku kini merasa berbahagia dan tidak menakuti sesuatu oleh karena di dalam
hatiku memang tidak ada perasaan bermusuh kepada siapa pun juga. Tentang
pembalasan sakit hati itu, Adikku, biarlah kau yang memiliki kepandaian tinggi
dan yang merasa sakit hati, kau perjuangkan sebagai sebuah tugas suci
berdasarkan kebaktian. Sedangkan aku yang tiada memiliki kepandaian ini,
biarlah aku setiap waktu berdoa untuk keselamatanmu, keselamatan Lin Lin, dan
keselamatan semua kawan-kawan baik.”
Cin Hai yang
mendengar ucapan ini, mengangguk-angguk dan dia maklum sepenuhnya bahwa memang
jalan yang diambil oleh Kwee Tiong itu dianggapnya tepat sekali.
Sesudah
saling menuturkan pengalaman masing-masing dan melepas kerinduan dengan
mengobrol semalam penuh, pada keesokan harinya Kwee An dan Cin Hai meninggalkan
Kelenteng Ban-hok-tong.
“Kwee An
marilah kita mampir sebentar di Tiang-an, karena sudah lama aku tidak pernah
menginjakkan kaki di kota itu. Sering kali aku terkenang kepada kota di mana
aku tinggal ketika kita masih kecil.”
Juga Kwee An
ingin melihat kota kelahirannya, maka ia menyetujui ajakan Cin Hai ini dan
keduanya lalu memasuki kota Tiang-an yang berada di dekat Kelenteng
Ban-hok-tong itu. Mereka lalu berjalan-jalan di dalam kota itu sampai sore. Dan
ketika mereka berjalan sampai di ujung timur, tiba-tiba saja mereka mendengar
suara yang lantang dari dalam sebuah rumah. Mendengar suara ini, Cin Hai
menyentuh tangan Kwee An dan berbisik,
“Coba, kau
dengarkan itu, apakah kau masih mengenalnya?”
Kwee An
segera memasang telinga dengan penuh perhatian, dan dari jendela rumah itu
terdengar suara yang jelas sekali.
“Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-yaaaa...”
Kwee An
hampir tertawa bergelak, tapi cepat-cepat ia menggunakan tangan kanan untuk
menutup mulutnya dan menahan ketawanya. “Itulah Kui Sianseng!” katanya.
Cin Hai
tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Kalau tidak salah tentu dia. Siapa lagi
yang dapat mengucapkan ujar-ujar itu demikian bagusnya? Tahukah kau berapa kali
dia dulu pernah memukul dan mengetok kepalaku yang dulu gundul?”
Kwee An
hampir tertawa keras-keras dan dia lalu membelalakkan mata kepada Cin Hai
sambil tersenyum lebar. “Kau juga?”
Cin Hai
bertanya heran, “Apa maksudmu?”
“Kau juga
menjadi korban kesukaannya memukul kepala murid-muridnya? Ha-ha, jangan kata
kau yang dulu memang banyak orang membenci, sedangkan aku sendiri pun entah
sudah berapa kali merasakan ketokan di kepalaku.”
Cin Hai
benar-benar tak pernah menyangka hal ini dan sedikit kebencian yang berada di
hatinya terhadap Kui Sianseng lenyap seketika.
“Kalau
begitu, Si Tua itu tentu masih saja mengobral hadiah ketokan kepala itu kepada
anak-anak yang sekarang menjadi murid-muridnya. Hayo, kita mengintai dia!”
Bagaikan dua
orang anak-anak nakal, Cin Hai dan Kwee An menghampiri rumah kecil itu dengan
perlahan dan mengintai dari balik jendela. Benar juga dugaan mereka, di dalam
rumah itu Kui Sianseng yang tampak sudah tua sekali dan tubuhnya makin kurus
kering, sedang berdiri dengan tangan kanan di belakang punggung dan tangan kiri
memegang sebuah kitab yang dikenal baik sekali oleh Cin Hai dan Kwee An, oleh
karena kitab yang terbungkus kulit kambing itu adalah kitab yang dulu dipakai
untuk mengajar mereka pula.
Di hadapan
kakek sastrawan ini duduk di bangku dengan kedua tangan bersilang, tiga orang
anak laki-laki yang mengerutkan kening seperti kakek-kakek yang sedang berpikir
keras.
“Kalian
anak-anak goblok, bodoh dan tolol! Dengarkan sekali lagi! Seng-cia-cu-seng-ya.
Ji-to-cu-to-ya! Apakah artinya, siapa tahu?”
Kwee An dan
Cin Hai mengintai dan menahan geli hatinya, dan Cin Hai lalu teringat akan
segala yang dialaminya di waktu kecil, karena sifat dan sikap Kui Sianseng sama
sekali tidak berubah seperti dulu.
Seorang di
antara para murid yang jumlahnya tiga orang anak-anak itu bangkit berdiri dan
mengacungkan tangan, lalu berkata dengan suara lantang,
“Seng-cia-cu-seng-ya.
Ji-to-cu-to-ya, artinya: kesempurnaan hati suci murni harus dicapai sendiri
dengan penyempurnaan watak pribadi. Jalan kebenaran yang menjadi sifat setiap
orang harus diajukan dalam perbuatan sendiri.”
Kakek kurus
kering itu mengangguk-anggukkan kepala bagai burung sedang makan padi. “Bagus,
bagus! Begitulah sifat seorang kuncu (budiman) tulen!” ia memuji. “Kok-ji,
kitab apa yang mengandung ujar-ujar itu dan fasal ke berapa?”
Anak yang
tadi menjawab dengan lagak bagaikan seorang ahli pikir yang sudah seumur
kakek-kakek itu, menjawab lantang,
“Terdapat di
dalam kitab Tiong-yong, fasal... fasal...,” anak ini tidak mampu melanjutkan
jawabannya dan memandang ke kanan kiri dengan bingung.
“Anak bodoh
dan tolol!” gurunya memaki.
Cin Hai baru
melihat bahwa makian ini agaknya memang telah menjadi kembang bibir Kui
Sianseng. Baru saja anak itu dipuji-pujinya, sekarang sudah dimaki tolol.
Kemudian Kui Sianseng berkata lagi,
“Dengarlah,
ujar-ujar itu terdapat dalam... fasal...” Ia juga lupa dan mencari-cari di
dalam kitabnya, membuka-buka buku kitab itu dengan bingung.
Sambil
menahan rasa geli yang membuat perutnya kaku, Cin Hai lalu menjawab dari luar,
“Dalam pasal dua puluh lima ayat pertama!”
Kui Sianseng
terkejut sekali dan menoleh ke arah jendela yang rendah, dan nampak dua sosok
bayangan masuk ke dalam kamar. Kedua anak muda itu lalu menjura dan memberi
hormat kepada Kui Sianseng. Cin Hai berkata,
“Kui
Sianseng, hakseng berdua menghaturkan hormat.”
Kui Sianseng
terheran dan ragu-ragu. “Jiwi ini siapakah?”
“Kui
Sianseng,” kata Kwee An, “sudah lupakah kepadaku? Aku adalah Kwee An, putera
Kwee-ciangkun!”
Kui Sianseng
melengak, kemudian setelah teringat, ia lalu tersenyum lebar dan wajahnya berseri-seri.
Kelihatan sekali kebanggaannya melihat betapa muridnya kini sudah menjadi
dewasa, gagah, dan cakap! Dia lalu memegang lengan Kwee An dan dengan muka yang
terang berkata kepada ketiga anak muridnya,
“Nah, kalian
lihatlah! Kwee-kongcu ini dulu adalah muridku yang baik dan pandai. Kalau
kalian belajar baik-baik dari aku, kelak kau pun akan menjadi seorang berguna
seperti dia ini!”
Kemudian dia
teringat kepada Cin Hai yang sudah dapat menemukan fasal dalam kitab Tiong
Yong, maka dia lalu menjura dengan hormat kepada Cin Hai dan bertanya, “Dan
kongcu yang cerdik pandai serta hafal akan pasal dan ayat di dalam kitab Nabi
kita ini, siapakah namamu yang mulia?”
Cin Hai
menahan geli hatinya, lalu menjawab sambil menjura, “Sianseng, sudah lupakah
kepada hakseng yang tolol dan bodoh?”
Selagi Kui
Sianseng memandang heran dan mengingat-ingat, Kwee An yang tidak dapat menahan
kegembiraan hatinya lalu berkata, “Kui Sianseng, ini adalah Cin Hai, juga salah
seorang muridmu yang dulu belajar darimu di Kelenteng Ban-hok-tong!”
Cin Hai
tertawa bergelak. “Kui Sianseng, sekarang hakseng tak berani lagi menggunduli
kepala, supaya jangan dijadikan sasaran pukulan dan ketokan!”
Merahlah
muka Kui Sianseng dan ia merasa betapa ia dulu memang sering kali memukul
kepala anak gundul ini. Akan tetapi, sebagaimana sudah lazimnya sifat manusia
yang selalu teringat adalah sifai-sifat keburukan orang lain, maka Kui Sianseng
lalu memegang tangan Cin Hai dan kini dengan suara sungguh-sungguh berkata
kepada para muridnya,
“Lihatlah
Kongcu ini, begitu gagah dan tampannya! Ketahuilah, dulu dia ini juga seorang
muridku! Aku sayang sekali kepadanya maka tidak heran sekarang dia menjadi
seorang pandai dan sekali mendengar saja sudah dapat menjawab pertanyaan
tentang fatsal tadi! Kalian tadi mendengar bahwa dahulu aku sering mengetok
kepalanya? Nah, jangan dikira bahwa ketokan kepalanya tidak ada gunanya! Tanpa
diketok kepalanya, seorang murid tak akan menjadi pandai!”
Hati Cin Hai
yang dulu sering kali mengenangkan guru ini dengan benci dan mendongkol, kini
menjadi lemah, bahkan dia merasa kasihan sekali melihat betapa pakaian guru ini
butut dan tambal-tambalan, tanda bahwa keadaannya miskin sekali, sedangkan
tubuhnya makin kurus kering dan lemah bagaikan mayat hidup!
Betapa pun
juga, guru-guru yang pandai ujar-ujar akan tetapi tak mampu melaksanakan ini
patut dikasihani oleh karena dia adalah seorang jujur dan rela hidup dalam
kemiskinan dan masih tekun menurunkan ilmu-ilmu batin yang hanya dikenal di
bibir saja itu kepada anak-anak dengan menerima upah kecil! Ia mengerti bahwa
segala penderitaan, makian, pukulan yang diterima dari guru ini dalam waktu
mengajar, bukan tak ada gunanya! Sakit dan derita merupakan obat pahit yang
dapat menguatkan batin dan meneguhkan iman.
Maka
teringatlah ia kepada ucapan Bu Pun Su dulu, “Segala apa di dunia ini mempunyai
dua muka yang berlainan dan baik buruknya muka itu terpandang oleh seseorang,
hal ini tergantung sepenuhnya pada orang itu sendiri, oleh karenanya banyak
pertentangan di dunia ini yang terjadi karena perbedaan pandangan ini!”
Dan ia
merasa betapa tepatnya ucapan ini. Dulu ia memandang perbuatan Kui Sianseng
kepadanya amat buruk dan kejam sehingga menimbulkan rasa benci dan sakit hati.
Akan tetapi sekarang, dia telah mempunyai pandangan lain dan menganggap bahwa
perbuatan Kui Sianseng itu sudah menjadi watak guru ini dan bukan timbul karena
membencinya, maka dia bahkan menganggap semua siksaan itu besifat baik,
sehingga sebaliknya kini menimbulkan rasa terima kasih!
Cin Hai lalu
memberi isyarat dengan matanya kepada Kwee An dan ia merogoh sakunya,
mengeluarkan beberapa potong uang emas yang ada padanya. Ia masukkan uang itu
ke dalam saku Kui Sianseng tanpa dilihat oleh guru ini, kemudian setelah mereka
berkelebat maka lenyaplah keduanya dari depan Kui Sianseng. Tentu saja hal ini
tak terduga sama sekali oleh guru itu, juga oleh anak anak tadi yang menganggap
kedua pemuda ini main sulap.
“Hebat,
hebat... mereka sudah menjadi orang-orang gagah yang memiliki kepandaian luar biasa,”
katanya. Kemudian dia berkata keras-keras agar terdengar oleh murid-muridnya
yang kecil-kecil. “Mereka hebat luar biasa dan mereka itu adalah murid-muridku.
Kalian bertiga yang bodoh ini jika mau belajar sungguh-sungguh, kelak pun tentu
akan menjadi seperti mereka.”
Ketika
seorang muridnya menjatuhkan kitab ke atas tanah karena terheran-heran melihat
lenyapnya Kwee An dan Cin Hai hingga tanpa disengaja kitab yang dipegangnya
jatuh, Kui Sianseng marah sekali dan melangkah maju, siap dengan jari-jarinya
untuk mengetuk kepala yang gundul itu. Akan tetapi tiba-tiba bayangan Cin Hai
kembali muncul dan guru ini teringat akan kejadian dulu-dulu, maka ia lalu
menahan tangannya, dan sebaliknya ia lalu mengetok kepalanya sendiri yang sudah
botak.
“Jangan kau lakukan
kepada orang lain apa yang kau sendiri tidak mau diperlakukan oleh orang lain
kepadamu,” kata-kata Cin Hai yang dulu bergema di dalam telinganya.
Sejak saat
itu Kui Sianseng memiliki kebiasaan baru, yaitu setiap kali ia mengetok kepala
muridnya, tentu ia juga menambahkan sebuah ketokan kepada kepalanya sendiri.
***************
Cin Hai dan
Kwee An sambil tertawa-tawa mengenangkan peristiwa pertemuan dengan Kui
Sianseng tadi, lalu berjalan cepat meninggalkan Tiang-an. Mereka keluar dari
kota itu dari jurusan timur dan tidak melewati Kelenteng Ban-hok-tong yang
berada di sebelah barat kota itu. Hari telah agak gelap ketika mereka tiba di
sebuah hutan di luar kota.
Tiba-tiba
mereka mendengar suara orang berseru minta tolong dan ketika mereka berlari
menghampiri, ternyata seorang laki-laki tua yang berpakaian seperti piauwsu
(pengawal kiriman barang berharga) sedang dikeroyok oleh lima orang perampok.
Meski piauwsu ini melawan secara nekad sambil memutar-mutar goloknya, namun
pengeroyoknya ternyata memiliki kepandaian yang lihai hingga pundak kiri
piauwsu itu telah berlumur darah akibat mendapat luka bacokan pedang. Akan
tetapi, sambil berseru minta tolong, piauwsu itu terus saja melawan dengan
nekad.
Cin Hai
marah sekali melihat pengeroyokan ini dan sekali pandang saja ia maklum bahwa
piauwsu ini tentu tengah dirampok, oleh karena di pinggir tampak sebuah kereta
dan para pendorongnya yang terdiri dari empat orang telah berjongkok sambil
menggigil ketakutan di belakang kereta.
“Perampok
ganas, pergilah dari sini!” katanya dan tubuhnya langsung menyambar cepat ke
arah tempat pertempuran.
Cin Hai
tidak mau membuang banyak waktu, ia segera mempergunakan kepandaian Ilmu Silat
Tangan Kosong Kong-ciak Sin-na yang hebat. Memang ilmu silat yang belum lama ia
pelajari dari Bu Pun Su ini lihai sekali.
Begitu kedua
tangannya bergerak, pedang kelima orang perampok itu tahu-tahu sudah kena
dibikin terpental dan sebelum kelima orang perampok yang juga memiliki ilmu
silat lumayan itu tahu apa yang terjadi, tahu-tahu mereka sudah dipegang oleh
tangan kanan kiri pemuda itu dan dilempar-lemparkan ke kanan kiri seperti orang
melempar-lemparkan kentang busuk saja.
Tentu saja
mereka merasa jeri dan ngeri melihat ilmu kepandaian sehebat ini dan tanpa
menoleh lagi mereka lalu berlari secepatnya ke jurusan yang sama sehingga
merupakan balap lari yang ramai. Kwee An tertawa bergelak, sedangkan Cin Hai
hanya tersenyum saja melihat pemandangan yang lucu itu.
Sedangkan
piauwsu itu ketika melihat pemuda luar biasa lihainya yang sudah menolong
jiwanya, segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Cin Hai
sambil berkata dengan suara terharu,
“Taihiap
yang gagah perkasa sudah menolong jiwaku yang tak berharga, aku tua bangka
lemah tidak akan dapat membalas budi besar ini dan untuk menyatakan terima
kasihku, biarlah Taihiap menyebut nama Taihiap yang mulia agar dapat kuingat
selama hidupku!”
Cin Hai
merasa tidak enak sekali melihat dirinya sedemikian dihormati oleh piauwsu itu,
maka buru-buru ia memegang pundak piauwsu itu dan menariknya berdiri sambil
berkata,
“Lo-piauwsu
janganlah berlaku demikian. Pertolongan yang tak ada artinya ini untuk apa
dibesar-besarkan?”
Ketika
piauwsu tua itu mengangkat muka dan memandang dengan sepasang matanya yang luar
biasa lebar, Cin Hai merasa bahwa dia seperti pernah melihat muka ini, akan
tetapi tidak ingat lagi di mana dan bila mana. Tiba-tiba Kwee An berseru sambil
meloncat menghampiri,
“Tan-kauwsu!
Kaukah ini?”
Memang
benar, piauwsu itu ternyata adalah Tan-kauwsu, guru silat yang dahulu pernah
mengajar silat kepada putera-putera keluarga Kwee In Liang! Tan-kauwsu memandang
heran dan dia segera mengenali Kwee An, maka sambil menjura ia berkata girang,
“Kwee-kongcu!
Tak kuduga kita telah bertemu di sini! Ah, aku orang tua telah mendengar
tentang kemajuan dan kelihaianmu dan telah mendengar pula bahwa kau sudah menjadi
murid Eng Yang Cu Locianpwe tokoh Kim-san-pai yang lihai itu! Sukurlah,
kepandaianmu tentu telah berlipat ganda dan aku orang tua yang tidak berguna
ini hanya turut merasa gembira!”
Kemudian dia
memandang kepada Cin Hai dengan mata kagum dan dia pun melanjutkan
kata-katanya,
“Akan
tetapi, siapakah Taihiap yang muda akan tetapi telah mempunyai kepandaian yang
demikian lihainya sehingga belum pernah mataku yang tua menyaksikan kelihaian
seperti yang telah Taihiap lakukan tadi?”
Ketika
mengingat bahwa piauwsu ini bukan lain adalah Tan-kauwsu yang dulu membenci
dirinya dan bahkan mengejarnya untuk membunuh, timbul pula rasa benci Cin Hai,
maka ia tidak mau menjawab dan hanya memandang tajam dengan muka tidak senang.
Kwee An
belum pernah mendengar tentang kekejaman Tan-kauwsu kepada Cin Hai, oleh karena
Cin Hai memang tidak menceritakan hal itu kepada siapa pun juga, maka Kwee An
lalu tertawa girang dan berkata,
“Tan-kauwsu,
sebenarnya pemuda kawanku ini pun bukan orang luar, akan tetapi kurasa kau tak
akan dapat menduganya dia ini siapa biar pun kau akan mengingat-ingat sampai
semalam penuh! Biarlah aku membantumu. Dia ini adalah Cin Hai anak gundul yang
dulu pernah pula belajar silat padamu!”
Tiba-tiba
saja pucatlah wajah Tan-kauwsu mendengar bahwa anak muda yang luar biasa
gagahnya yang baru saja telah menolong jiwanya itu, bukan lain adalah Si Cin
Hai, anak gundul yang dahulu hendak diambil jiwanya! Kedua kaki Tan-kauwsu
menggigil dan ia tak dapat menahan dirinya lagi. Serta merta ia menjatuhkan
diri berlutut lagi di depan Cin Hai dan tak tertahan lagi kedua matanya
mengucurkan air mata!
“Taihiap...
aku... aku... ahh, apakah yang harus kukatakan? Kalau Taihiap suka, ambillah
jiwaku. Aku tua bangka yang tak tahu diri akan mati dengan rela di dalam
tanganmu!”
Kwee An
memandang heran dan segera berkata, “Ehh, ehhh, apa-apan ini? Tan-kauwsu,
apakah kau mendadak telah menjadi mabok?”
Akan tetapi
Cin Hai mengejapkan mata pada kawannya itu dan kini ia tidak mengangkat bangun
tubuh orang tua yang berlutut di depannya.
“Tan-kauwsu,
memang benarlah kata ujar-ujar kuno yang menyatakan bahwa apa yang diperbuat
orang pada masa mudanya, akan mendatangkan sesal pada masa tuanya. Kau dulu
berkeras hendak membunuhku, namun sekarang kau bahkan minta dibunuh olehku
dengan rela. Bukankah ini merupakan buah dari pohon kebencian yang dulu kau
tanam dengan dua tanganmu sendiri? Kau minta aku membalas dendam? Tidak,
Tan-kauwsu! Akan terlalu senang bagimu. Biarlah kau pikir-pikirkan lagi
perbuatanmu yang sewenang-wenang dulu itu dan menyesalinya. Kau tak berhutang
jiwa padaku, maka bagaimana aku bisa membunuhmu? Nah, selamat tinggal! Mari,
Kwee An, kita pergi dari sini!”
Sesudah
berkata demikian, Cin Hai lalu melompat pergi dan terpaksa Kwee An menyusul
kawannya itu dengan heran. Kemudian, atas desakan Kwee An, Cin Hai lalu
menuturkan pengalamannya. Kwee An menghela napas dan berkata,
“Memang
nasib manusia itu tidak tentu. Sekali waktu ia boleh berada di bawah, di tempat
yang serendah-rendahnya, akan tetapi akan datang masanya dia akan berada di
atas, di tempat yang setinggi-tingginya.”
Setelah
meninggalkan Tiang-an, kedua pemuda itu lalu menuju ke kota raja, oleh karena
selain mencari jejak Lin Lin dan Ma Hoa, keduanya juga tidak pernah lupa untuk
mencari Hai Kong Hosiang, hwesio yang kini merupakan musuh besar satu-satunya
yang masih belum berhasil mereka balas. Dan ke mana lagi mencari hwesio itu
kalau tidak di kota raja? Mereka merasa ragu-ragu apakah Hai Kong Hosiang
berada di sana, akan tetapi karena tidak mempunyai pandangan lain di mana
hwesio itu mungkin berada, mereka pun hendak mencoba-coba dan pergi ke kota
raja.
Mereka
langsung menuju ke Enghiong-koan, gedung perhimpunan para perwira Sayap Garuda
di mana dahulu mereka pernah datang mengacau dan berhasil membunuh mati
musuh-musuhnya. Pada waktu mereka tiba di atas genteng gedung itu, mereka
melihat dua orang sedang bertempur mengeroyok seorang kakek, ada pun di
sekeliling tempat pertempuran, para perwira Sayap Garuda menonton sambil
berseru-seru membesarkan hati kakek yang dikeroyok itu.
Melihat
gerakan kakek tua renta itu, terkejut Kwee An dan Cin Hai oleh karena gerakan
kakek ini yang benar-benar luar biasa hebatnya sehingga kedua pengeroyoknya
terdesak mundur terus. Dan ketika Cin Hai memandang tegas, ternyata bahwa kakek
tua renta itu adalah Kiam Ki Sianjin sedangkan dua pengeroyoknya adalah Eng
Yang Cu guru Kwee An dan Nelayan Cengeng sendiri.
Melihat
betapa Eng Yang Cu dan Kong Hwat Lojin terdesak hebat oleh ilmu silat Kiam Ki
Sianjin yang hebat luar biasa, kedua pemuda itu segera melompat turun.
“Kwee An,
jangan kau ikut turun tangan, biarlah aku sendiri menghadapi kakek tua renta
itu. Ia adalah supek dari Hai Kong Hosiang.”
Kwee An
kaget sekali dan menjadi jeri. Kalau Hai Kong Hosiang saja telah begitu hebat,
apa lagi supek-nya.
Cin Hai
melompat masuk ke gelanggang pertempuran dan berkata dengan suara hormat kepada
Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu,
“Jiwi
Locianpwe, biarkan teecu yang menghadapi setan ini, dan kalau teecu tidak dapat
menandinginya, barulah jiwi berdua maju memberi hajaran kepadanya.”
Sesungguhnya
Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng telah terdesak sekali, dan kata-kata yang
diucapkan oleh Cin Hai ini terang menandakan bahwa pemuda ini pandai membawa
diri dan menghormat mereka, maka keduanya lalu melompat mundur.
“Kiam Ki
Sianjin!” kata Cin Hai dengan tenang, “dahulu Suhu-ku Bu Pun Su sudah pernah
mengampuni kau, maka apakah sekarang kau yang begini tua masih mau memamerkan
kepandaian di depan mata umum?”
Kiam Ki
Sianjin memandang kepada Cin Hai dengan sepasang matanya yang telah tua akan
tetapi masih awas itu, lalu dia pun tertawa cekikikan dan tangan kanannya
membuat gerakan merendah seperti hendak berkata bahwa Cin Hai masih kanak-kanak
dan masih kecil, sedang tangan kirinya menuding keluar. Dengan gerakan ini Kiam
Ki Sianjin hendak berkata bahwa Cin Hai yang masih muda dan masih kanak-kanak
itu jangan datang untuk mengantar kematian, lebih baik keluar dan pergi saja
sebelum terlambat!
“Kiam Ki
Sianjin, tak perlu kau menggertak. Keluarkanlah semua kepandaianmu jika kau
memang gagah!” Cin Hai menantang akan tetapi sikapnya tetap tenang dan waspada.
Kiam Ki
Sianjin menjadi marah sekali. Sambil mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, dia lalu
menerjang maju dengan hebat sekali!
Nelayan
Cengeng dan Eng Yang Cu adalah tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Akan
tetapi menghadapi Kiam Ki Sianjin, mereka berdua terdesak hebat setelah
bertempur dua ratus jurus lebih, oleh karena itu kini mereka memandang ke arah
Cin Hai dengan penuh kekuatiran.
Mereka
maklum bahwa sebagai murid tunggal Bu Pun Su, pemuda itu tentu memiliki
kepandaian yang tinggi sekali, akan tetapi, tetap saja mereka merasa ragu-ragu
dan cemas oleh karena sekarang pemuda itu menghadapi seorang lawan yang jauh
lebih berpengalaman dan yang telah mereka rasakan sendiri kehebatan ilmu
kepandaiannya!
Akan tetapi,
mereka menjadi kagum sekali ketika melihat betapa dengan lincahnya Cin Hai dapat
mengimbangi ginkang dari kakek itu. Bahkan ketika melihat betapa pemuda itu
berani mengadu lengan dengan Kiam Ki Sianjin, tanpa terasa pula Nelayan Cengeng
lalu tertawa terbahak-bahak sambil mengalirkan air mata dari kedua matanya. Ini
merupakan tanda bahwa Nelayan Tua ini merasa gembira sekali.
Tadi ia
pernah beradu lengan dengan Kiam Ki Sianjin, akan tetapi adu lengan yang sekali
itu saja sudah cukup membuatnya kapok oleh karena betapa lengannya sakit sekali
dan seakan-akan ada puluhan jarum yang menusuk-nusuk ke dalam daging lengannya!
Kini dia
melihat betapa Cin Hai berani beradu tenaga dengan kakek sakti itu tanpa merasa
sakit dan bahkan agaknya Kiam Ki Sianjin tidak saja nampak terkejut, akan
tetapi juga terdorong sedikit tiap kali keduanya mengadu tenaga dalam!
Sementara
itu, Kwee An memandang pertempuran hebat itu dengan bengong dan anak muda ini
merasa heran sekali kenapa kini kepandaian Cin Hai agaknya telah bertambah
berlipat ganda! Tadinya Kwee An merasa bangga bahwa dia telah menerima pelajaran
ilmu silat dari ayah angkatnya, yaitu Hek Mo-ko dan diam-diam ia mengharapkan
bahwa sekarang tingkat ilmu kepandaiannya sudah menyusul kepandaian Cin Hai.
Tak tahunya kepandaian Cin Hai kini pun meningkat luar biasa sekali dan bahkan
ia merasa bahwa kepandaian pemuda ini sekarang berada di tingkat yang lebih
tinggi dari pada kepandaian Hek Pek Mo-ko sendiri.
Tentu saja
mereka ini tidak tahu bahwa Cin Hai sudah mengeluarkan llmu Silat Pek-in
Hoat-sut atau Ilmu Silat Awan Putih! Kedua lengan tangannya mengeluarkan uap
putih yang menimbulkan tenaga hebat sekali hingga lweekang yang tinggi dari
Kiam Ki Sianjin masih saja tidak cukup kuat menghadapi ilmu pukulan ini!
Selama
hidupnya baru sekali Kiam Ki Sianjin menerima tandingan yang lebih tinggi ilmu
kepandaiannya dari kepandaiannya sendiri, yaitu ketika dia berhadapan dengan Bu
Pun Su. Sudah tiga kali selama hidupnya ia bertemu dengan Bu Pun Su dan tiap
kali bertemu ia selalu dipermainkan oleh kakek jembel itu.
Sekarang
baru pertama kalinya dia menghadapi seorang pemuda yang dapat menandingi
kelihaiannya sehingga tentu saja dia menjadi marah, penasaran dan gemas sekali!
Ia tadi ketika menghadapi Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng walau pun dapat
mendesak, tapi agak sukar merobohkan kedua orang lawan yang bukan sembarang
orang itu dan yang telah termasuk tingkat tokoh besar dalam lapangan ilmu
silat, maka ia telah mengerahkan tenaganya, hingga membuat tubuhnya yang telah
tua sekali itu menjadi lelah luar biasa.
Kini ketika
menghadapi Cin Hai yang ternyata lebih lihai lagi dari pada kedua kakek itu, ia
benar-benar merasa terkejut dan marah. Namanya yang sudah terkenal menjulang
tinggi sampai ke langit itu akan runtuh kalau dia tak dapat mengalahkan pemuda
ini. Jika diingat bahwa pemuda ini adalah murid Bu Pun Su, maka ia merasa makin
penasaran dan ingin membalas kekalahannya yang dulu-dulu dari Bu Pun Su kepada
muridnya ini.
Karena
marahnya, Kiam Ki Sianjin lalu melupakan sumpahnya sendiri dan tiba-tiba saja
dia mencabut keluar sebatang pedang yang aneh bentuknya. Pedang ini tipis
sekali dan seakan-akan lemas tak bertenaga, akan tetapi, di bawah ujungnya yang
runcing terdapat dua buah kaitan di kanan-kirinya dan pedang ini mengeluarkan
cahaya berkilauan saking tajamnya......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment