Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Buta
Jilid 01
Puncak Lao
San tampak menjulang tinggi di antara pegunungan di Propinsi Shantung yang
kecil-kecil, biar pun sebenarnya Lao-san hanya 1100 meter tingginya.
Pemandangan alam dari puncak ini amat indahnya. Memandang ke sebelah timur
tampak Laut Kuning yang luas, ke sebelah utara Selat Pohai, ke sebelah barat
Pegunungan Shantung dengan puncak Thai-san tampak gagah menjulang tinggi,
kemudian pada sebelah selatan tampak sawah ladang dan perkampungan yang subur.
Hari masih
pagi benar, namun sepagi itu sudah ada seorang manusia duduk di atas batu
gunung di puncak Lao-san. Angin dari Laut Kuning membuat hawa gunung menjadi
makin dingin sejuk, memecahkan kulit muka dan menusuk-nusuk tulang. Akan tetapi
orang yang duduk di atas batu itu seakan-akan tidak merasakan ini semua. Tentu
orang akan mengira dia sudah membeku atau membatu, kalau saja mulutnya tidak
terdengar bersajak dengan suara nyaring, jelas dan bersemangat.
Wahai kasih,
aku di sini!
Di puncak
Lao-san menjulang tinggi
Menjadi raja
sunyi di angkasa raya,
Naga-naga
awan muncul dari laut di bawah kaki
Terbang
melayang menuju kemari
Bersujud di
sekelilingku meniupkan angin sejuk,
Kasih, aku
menanti kehadiranmu
Memberi
cahaya dan kehangatan pada jiwa ragaku
Wahai kasih,
aku di sini!
Agaknya
orang ini merasa sangat gembira dengan sajak yang dikarangnya sambil duduk itu.
Diulangnya sajak ini, malah kemudian dinyanyikannya dengan suara nyaring.
Tangan kanannya memukul-mukulkan tongkat pada batu dan menimbulkan bunyi
‘tok-tak-tok-tak’ berirama, mengiringi suara nyanyiannya. Suaranya yang nyaring
bergema di puncak, terbawa angin dan kadang-kadang terdengar bergetar penuh
perasaan, terutama di bagian ‘...kasih, aku di sini....’
Kadang-kadang
tangan kirinya meraba-raba ke atas tanah di mana terdapat dua macam bungkusan.
Agaknya dia khawatir kalau-kalau angin yang keras akan menerbangkan dua
bungkusan pakaian dan obat-obatan itu. Melihat cara ia tadi meraba-raba, mudah
diduga bahwa orang ini adalah seorang buta. Memang sebenarnyalah. Dia seorang
buta. Masih muda benar, baru dua puluh tahun lebih, takkan lewat dari dua puluh
lima tahun umurnya.
Sesungguhnya
wajahnya sangat tampan. Kulit mukanya putih bersih dengan dahi lebar, daun
telinga panjang, hidung mancung dan mulut yang manis bentuknya. Alisnya yang
hitam dan berbentuk golok melindungi sepasang mata yang selalu dipejamkan, mata
yang sudah tiada bijinya sehingga kelihatan pelupuknya mencekung, mendatangkan
keharuan bagi yang melihatnya. Rambutnya yang hitam digelung ke atas serta
dibungkus kain kepala hijau. Pakaiannya amat sederhana, baju berlengan panjang
dan lebar berwarna kuning kemerahan, celana berwarna kuning dan meski pun
pakaian ini terbuat dari bahan yang kasar, namun amat bersih.
"Wahai
kasih, aku di sini...!" Pemuda buta ini bangkit berdiri dan mengembangkan
kedua lengannya, seakan-akan hendak menyambut atau memeluk kedatangan
kekasihnya. Tapi kekasihnya itu tidak ada, yang ada hanya sinar matahari pagi
yang mulai menyembul ke luar dari permukaan Laut Kuning.
"Kekasihku...
matahariku... dengan kehadiranmu di sampingku… aku sanggup bertahan seribu
tahun lagi..."
Si buta ini
tersenyum-senyum dan wajah itu menjadi semakin tampan, akan tetapi juga makin
mengharukan. Ia benar-benar kelihatan gembira sekali. Setelah ‘menyambut
kekasihnya’ yang agaknya sinar matahari itulah, si buta lalu duduk kembali,
membuka bungkusan pakaiannya, mengeluarkan sepotong roti kering dan dia mulai
sarapan dengan enaknya. Agaknya dia tidak tahu bahwa sudah sejak tadi, kurang
lebih seratus meter di sebelah belakangnya, berdiri seorang laki-laki tinggi
besar bermuka hitam.
Laki-laki
ini usianya empat puluhan, berkumis panjang tanpa jenggot, pakaiannya serba
hitam dan gerak-geriknya kasar. Di pinggangnya tergantung sebatang golok
telanjang dan di punggungnya sebuah bungkusan kain kuning. Setelah
memperhatikan beberapa lama kepada si buta dan melihat si buta mulai sarapan
pagi, laki-laki tinggi besar ini mengomel.
"Sialan!
Sekali mendapat mangsa, seorang buta gila!"
Dia terbatuk
beberapa kali. Angin sejuk itu agaknya sangat mengganggu pernapasannya. Akan
tetapi dia tidak menghentikan langkahnya mendekati si buta yang sedang makan.
Setelah tiba di belakang si buta dalam jarak satu meter, dia berhenti dan
membentak.
''He, buta
gila! Apa isi kedua bungkusanmu itu?''
Orang muda
buta itu memutar diri, masih duduk dan cepat-cepat menjawab dengan suara ramah.
"Wah, ada teman! Bagus, mari silakan duduk, sahabat. Rotiku masih banyak,
mari kita sarapan bersama."
Tangannya
meraba-raba, mengeluarkan sepotong besar roti kering dari bungkusannya itu dan
dengan wajah tersenyum serta pelupuk mata cekung itu bergerak pula, kemudian
dia mengangsurkan roti itu kepada si muka hitam.
Si muka
hitam dengan geram menggerakkan kaki dan roti di tangan si buta itu terlempar
jauh, menggelinding dan lenyap ke dalam jurang. "Siapa sudi roti
busukmu?"
Orang muda
buta itu menyeringai, tapi menghela napas panjang dan suaranya tetap halus pada
saat dia berkata, "Sahabat, kiranya kau tidak lapar. Heran sekali ada
orang menolak makan di saat cahaya kehidupan mulai menerangi bumi. Semua
makhluk sibuk mencari makan, jangan-jangan kau sakit..."
"Cerewet!
Berikan bungkusan pakaianmu kepadaku!" bentak si muka hitam.
"Oooh,
jadi pakaiankah yang kau butuhkan?" si buta mengangguk-angguk dan
tangannya diulur ke depan, meraba ujung baju si muka hitam. "Hemmm,
pakaianmu masih baik tapi amat kotor. Boleh, boleh, biarlah kuberi satu stel
kepadamu, aku masih mempunyai tiga stel di dalam bungkusan ini..."
"Buta
gila, serahkan semua pakaianmu kepadaku!" dengus si muka hitam yang
disusul oleh suara batuk-batuk. "Semua milikmu harus kau serahkan kepadaku
kalau kau ingin tetap hidup."
Si buta
menggeleng-gelengkan kepalanya dan menarik napas panjang. ''Aihh, kiranya kau
benar-benar sakit! Dua macam penyakit sedang mencengkerammu, sahabat. Yang satu
adalah penyakit akibat luka dalam di tubuhmu, di dalam tubuhmu sudah kemasukan
hawa beracun yang menimbulkan rasa gatal pada kerongkonganmu dan sewaktu-waktu,
apa lagi kalau kau marah-marah seperti sekarang ini, timbul rasa sesak di dalam
dada sebelah kanan. Penyakit pertama ini tidak hebat, paling-paling merenggut
nyawa dari tubuh, akan tetapi penyakitmu yang ke dua lebih payah lagi karena
merupakan penyakit jiwa yang membuat kau tidak pernah menaruh kasihan kepada
orang lain, membuat kau kejam dan suka mempergunakan kekerasan untuk mengganggu
orang lain."
"Tutup
mulutmu dan serahkan bungkusan-bungkusan itu!" Si muka hitam bergerak maju
dan menyambar bungkusan pakaian. Akan tetapi dia tidak berhasil merampas
bungkusan obat yang dipeluk erat-erat oleh si buta.
"Ambillah...!
Ambillah bungkusan pakaianku. Aku tidak gila pakaian seperti engkau. Tapi
bungkusan obat ini sama sekali tak boleh kau ambil, aku sendiri tidak
membutuhkan, akan tetapi orang-orang lain yang sakit akan membutuhkannya."
Ia sudah
berdiri sekarang, bungkusan obat itu dia sampirkan di pundak, tongkat dipegang
di tangan kiri. Si muka hitam ragu-ragu, tidak jadi merampas bungkusan obat,
tetapi juga tidak segera pergi dari situ. Dia memandang tajam, lalu bertanya
dengan suara kasar, "Heh, buta, bagaimana kau bisa tahu bahwa aku
menderita luka dalam?"
Orang muda
buta itu tersenyum lebar. Deretan giginya yang sehat kuat mengkilap terkena
cahaya matahari pagi, putih seperti deretan mutiara.
"Aku si
buta ini tukang obat, kau tahu? Tentu saja aku dapat mengetahui keadaanmu
karena kau terbatuk-batuk tadi. Sahabat, maukah kau kuobati?"
Si muka
hitam melengak, memandang penuh selidik. Mana dia bisa percaya? Baru saja dia
merampas pakaian orang ini, mungkinkah dia mau mengobatinya?
"Tidak
sudi! Kau kira aku begitu bodoh?" jawabnya sambil tertawa mengejek.
"Kau hanya pura-pura hendak mengobati, padahal kau tentu akan memberi
racun untuk membunuhku, membalas dendam karena pakaianmu kurampas. Ha-ha-ha,
jangan kau kira aku tolol. Aku adalah Hek-twa-to (Si Hitam Bergolok Besar),
mana bisa kau akali begitu saja? Bukan aku yang akan mati karena kau racuni,
melainkan kau yang akan mampus di tanganku. Kau tahu aku terluka, pasti kau
anak buah si tua bangka Bhe jahanam!" Setelah berkata begitu si muka hitam
melangkah maju dan tangan kanannya menghantam ke arah orang muda buta itu.
Hebat
pukulannya, keras sekali sampai mendatangkan sambaran angin! Agaknya dengan
sekali pukulan ini si muka hitam yang berjuluk Hek-twa-to itu bermaksud untuk
membikin remuk kepala si buta. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba
lengan kanannya terbentur dengan sesuatu yang keras dan membuat tangannya
lumpuh, kemudian dia merasa dadanya bagai diraba orang, membuat napasnya sesak
dan dia terhuyung-huyung mundur. Dia terheran-heran melihat si buta itu masih
berdiri dan tersenyum-senyum seperti tadi. Sama sekali ia tak melihat si buta
ini tadi bergerak. Akan tetapi siapakah tadi yang menangkis pukulannya dan
siapa pula yang meraba-raba ke arah dadanya?
Ia merasa
jeri, mengira bahwa tentu ada orang sakti membantu si buta ini, atau
jangan-jangan si tua bangka Bhe sendiri yang berada di sini? Punggungnya terasa
dingin dan seram. Cepat dicabutnya golok besarnya. Betapa pun juga kalau
benar-benar orang she Bhe itu muncul, dia hendak melawan mati-matian. Dengan
garang goloknya dia gerak-gerakkan ke kanan kiri sampai terlihat cahaya kilat
menyambar-nyambar ketika golok itu tertimpa sinar matahari.
Mendadak si
buta tertawa dan berkata. "Sahabat tinggi besar, untung kau bahwa luka
dalam di tubuhmu sudah lenyap sekarang..."
Dan orang
buta itu membalikkan tubuh, duduk di atas batu tadi dan tidak mempedulikan
pemegang golok yang masih menggerak-gerakkan goloknya. Hek-twa-to makin curiga.
Jelas bahwa tidak ada orang lain di situ. Selihai-lihainya si tua Bhe, kalau
dia berada di situ tentu akan nampak olehnya. Habis siapa yang melawannya tadi?
Si buta inikah? Tak mungkin!
Perlahan-lahan
dia menghampiri. Sekali bacok akan mampuslah si buta. Sudah banyak dia membunuh
orang, baik bersebab mau pun tidak. Saat itu dia sedang mengkal hati,
dikalahkan orang dan terluka hebat. Si buta ini tahu dia terluka, memalukan
saja, maka harus dibunuh. Goloknya bergerak cepat ke leher orang. Dia seakan
melihat ada kilat dari angkasa yang menyambar-nyambar dua kali, merasa betapa
tangan kanannya tergetar, lalu ada tenaga aneh mendorongnya ke belakang sampai
lima tindak. Wajahnya pucat sekali. Golok itu tinggal gagangnya saja dan di
bawah kakinya kelihatan dua buah potongan golok!
Ada pun si
buta tadi masih saja duduk di atas batu sambil memegangi tongkat yang kini
dipukul-pukulkan ke atas batu sambil bernyanyi,
"Wahai
kasih, aku di sini..."
Hek-twa-to
menggigil, lalu membuang gagang goloknya dan larilah dia menuruni puncak, tidak
lupa membawa serta bungkusan pakaian yang dirampasnya tadi. Dia melarikan diri
seperti dikejar iblis gunung!
Dari jauh
dia masih mendengar suara si buta bernyanyi-nyanyi. Suara nyanyian ini amat
menyeramkan baginya, seolah-olah mengejarnya, membuat dia memperhebat tenaganya
untuk lari…..
***************
Hari telah
siang ketika serombongan orang tergesa-gesa mendaki puncak Lao-san. Lima belas
orang ini adalah laki-laki semua, rata-rata bertubuh tegap kuat dengan
gerak-gerik yang kasar. Melihat cara mereka mendaki puncak yang amat sukar
dilalui itu secara cepat dan cekatan, bisa diduga bahwa mereka adalah
orang-orang yang telah biasa melakukan perjalanan di gunung-gunung serta
memiliki tubuh yang kuat. Apa lagi melihat betapa setiap orang membawa senjata
tajam, tergantung di punggung atau di pinggang. Yang berjalan paling depan
adalah si muka hitam tinggi besar yang pagi hari tadi bertemu dengan orang muda
buta di puncak itu, ialah Hek-twa-to, Si Golok Besar Muka Hitam. Setelah tiba
di puncak, di mana si buta tadi duduk bernyanyi, hiruk-pikuklah suara mereka.
"Mana
dia si buta itu, Twako?" bertubi-tubi pertanyaan ini menyerang Hek-twa-to
yang menjadi sibuk juga. Bisa celaka dia kalau tidak dapat menemukan orang muda
buta tadi.
Seperti
telah kita ketahui, Hek-twa-to ini tadi lari tunggang langgang ketakutan setelah
dua kali menyerang si buta dia roboh secara aneh. Dengan napas terengah-engah
dia masuk hutan di pegunungan sebelah barat di mana kawan-kawannya berada,
kemudian dengan hati masih merasa seram dia menceritakan semua pengalamannya.
Hek-twa-to
ialah seorang di antara anak buah atau anggota perkumpulan Hui-houw-pang
(Perkumpulan Harimau Terbang), yaitu satu perkumpulan golongan hitam (penjahat)
yang anggotanya terdiri dari para perampok-perampok di Shantung. Hui-houw-pang
berpusat di Pegunungan Shantung dan dikepalai oleh seorang bernama Lauw Teng
yang berusia lima puluh tahun, bertubuh gemuk pendek dan bermuka kuning.
Pada waktu
itu, Hui-houw-pang sedang berada dalam kedukaan karena baru saja mereka kalah
berperang melawan musuh lama mereka, yaitu orang-orang dari Kiang-liong-pang
(Perkumpulan Naga Sungai). Banyak di antara mereka yang terluka, bahkan
Hui-houw Pangcu Lauw Teng sendiri juga terluka hebat. Dalam usahanya untuk
membalas dendam, Lauw Teng mendatangkan beberapa orang sahabatnya yang pada waktu
itu sudah berkumpul di situ. Ketika mendengar penuturan Hek-twa-to, Lauw Teng
sangat tertarik, terlebih lagi melihat gerak-gerik Hek-twa-to yang berbeda
dengan tadi sebelum bertemu dengan orang buta aneh itu.
"Buka
bajumu!" Lauw Teng memerintah.
Hek-twa-to
tidak mengerti apa maksud perintah ini, namun dia tidak berani membantah dan ia
pun membuka bajunya. Lauw Teng mendekati, meraba dada anak buahnya ini dan
mengeluarkan seruan tertahan.
"Kau
benar manusia tolol!" tiba-tiba dia berseru. "Lukamu sudah
disembuhkan orang dan kau menganggap dia anak buah musuh. Dia itu seorang ahli
pengobatan yang pandai. Kerbau goblok kau! Hayo lekas bawa beberapa orang
kawan, cari dia dan suruh ke sini. Siapa tahu dia dapat mengobati kita
semua!"
Hek-twa-to
kaget dan juga girang ketika dia mendapat kenyataan bahwa memang betul lukanya
di dalam tubuh akibat pukulan beracun dari pihak lawan sudah sembuh. Bintik
merah di dadanya telah lenyap dan tidak ada rasa nyeri sedikit pun juga. Biar
pun dia amat terheran-heran bagaimana dan kapan orang mengobatinya namun dia
tidak berani banyak bicara lagi, maklum akan watak ketuanya yang amat keras.
Dia pun
khawatir takkan dapat mencari orang buta itu. Karena inilah, maka dia menjadi
sibuk dan bingung ketika dia dan kawan-kawannya tiba di puncak Lao-san dia tak
melihat orang muda buta yang tadi.
"Tak
mungkin dia bisa pergi jauh," katanya.
Hatinya
berdebar penuh kekhawatiran karena dia pun tahu bahwa kalau dia tidak dapat
membawa si buta itu ke depan ketuanya, dia tentu akan menerima hukuman yang
hebat.
"Seorang
buta mana bisa turun dari puncak dengan cepat? Tanpa dibantu tongkatnya dia
takkan mampu melangkahkan kaki." Ucapan ini dikeluarkan dengan suara
tenang karena dia percaya bahwa orang buta itu pasti belum pergi jauh.
"Hek-twako,
jangan pandang rendah orang aneh itu. Apa bila dia bisa naik ke puncak ini
tentu juga mampu turun," kata seorang kawannya. Hek-twa-to menjadi pucat
mendengar ini.
"Celaka,
hayo kita cepat mencarinya. Kita berpencar ke empat penjuru. Aku akan naik ke
pohon besar itu untuk melihat dari atas."
Dengan cepat
dia kemudian lari menghampiri pohon dan sekali mengenjot kedua kakinya,
tubuhnya melayang naik ke atas pohon. Hebat juga kepandaian si muka hitam ini.
Pantas saja pagi tadi dia lari ketakutan ketika dua kali menyerang si buta, dia
sendiri yang kalah tanpa dapat tahu siapa yang telah mengalahkannya.
Siapa yang
tidak akan merasa seram? Kepandaiannya cukup tinggi. Apa lagi menghadapi
seorang pemuda buta, belum tentu dia akan kalah dalam pertempuran. Akan tetapi
pagi tadi dia merasa seakan-akan melawan iblis yang melindungi si buta!
"Heeeii,
itu dia di sana. Ha-ha-ha, apa kataku? Dia tidak kan bisa pergi jauh!"
tiba-tiba Hek-twa-to berseru kegirangan sambil meloncat turun dari cabang
pohon.
Kawan-kawannya
yang sudah mulai berpencar mencari ke empat penjuru, mendengar teriakan ini
ikut menjadi girang. Mereka juga mengharapkan si tabib buta itu akan dapat
menyembuhkan ketua mereka dan dua puluh lebih teman-teman lain yang juga
terluka hebat.
Setelah
Hek-twa-to turun, lima belas orang ini berlari-lari cepat menuruni puncak,
dipimpin oleh Hek-twa-to. Betul saja, tak lama kemudian mereka melihat orang
muda buta itu.
Dengan tongkatnya
meraba-raba dan memukul-mukul ke tanah di depan kakinya, orang buta ini
berjalan perlahan-lahan. Buntalan obat tergantung di punggungnya dan dari jauh
sudah terdengar suaranya bernyanyi-nyanyi!
Siapakah
sebetulnya orang muda tampan yang buta ini? Dia bukan orang sembarangan.
Namanya Kwa Kun Hong, putera tunggal dari ketua Hoa-san-pai yang bernama Kwa
Tin Siong dan berjuluk Hoa-san It-kiam (Si Pedang Tunggal dari Hoa-san),
seorang pendekar gagah perkasa. Ibunya juga seorang tokoh Hoa-san-pai yang
kosen berjuluk Kiam-eng-cu (Si Bayangan Pedang).
Akan tetapi
orang muda buta yang sakti ini sama sekali bukan murid ayah bundanya sendiri.
Secara kebetulan dia mewarisi Ilmu Silat Rajawali Emas (Kim-tiauw-kun), malah
akhir-akhir ini dia menerima pula Ilmu Silat Im-yang Sin-hoat dari Si Raja
Pedang Tan Beng San ketua dari Thai-san-pai.
Karena
inilah, maka biar pun usianya baru dua puluh lima tahun, dia telah mewarisi
ilmu kesaktian yang luar biasa. Kwa Kun Hong bukan buta semenjak lahir. Baru
saja tiga tahun dia menjadi buta.
Dia buta
karena secara nekat sudah mencokel ke luar kedua biji matanya sendiri, karena
penyesalan hatinya karena kekasihnya, puteri ketua Thai-san-pai, telah membunuh
diri. Gadis itu telah ditunangkan dengan putera ketua Kun-lun-pai dan telah
membunuh diri di depannya akibat putus asa dalam cinta kasihnya dengan Kwa Kun
Hong.
Semenjak
hatinya patah dalam cinta kasih dan dua biji matanya dia korbankan, pemuda ini
lalu merantau, ke mana saja kedua kakinya membawanya. Dahulu dia telah mewarisi
ilmu pengobatan dari kitab-kitab milik Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut
Nyawa), maka kini dalam perantauannya ia menjadi seorang tabib buta yang selalu
siap menolong orang-orang sakit.
Tentu saja
karena kebutaannya, biar pun dia memiliki kepandaian tinggi, dia tidak dapat
melakukan perjalanan cepat. Hanya dapat maju karena bantuan tongkatnya dan
kakinya membawanya dari dusun ke dusun, dari kota ke kota dan dari gunung ke
gunung.
Dia sengaja
tidak pernah mau bertanya kepada orang lain tentang tempat yang akan dia
datangi karena memang dia tidak mempunyai tujuan tertentu. Sesudah tiba pada
suatu tempat, barulah dia akan bertanya dan adalah hal yang mendatangkan
kegirangan juga mengetahui sebuah tempat yang sama sekali tak pernah diduga
sebelumnya.
Pada sore
hari kemarin dia mendaki ke puncak Lao-san yang pernah dia dengar tentang
keindahannya. Semalam suntuk dia berdiam di puncak ini dan meski pun dia sudah
tidak dapat mempergunakan kedua matanya lagi untuk menikmati tamasya alam
indah, namun dengan perasaannya dia dapat menikmati hawa sejuk dan kehangatan
matahari terbit, dengan hidungnya dia dapat menikmati keharuman bunga-bunga dan
tetumbuhan yang sedap, dengan telinganya dia dapat menikmati suara merdu dari
kicau burung di antara desir angin yang berdendang dan bergurau dengan
daun-daun pohon. Ketika dia duduk bersanjak di puncak Lao-san, khayalnya
menciptakan tamasya alam yang agaknya jauh lebih indah dari pada kenyataan yang
tak dapat dilihatnya lagi itu.
Kwa Kun Hong
memang seorang pemuda yang luar biasa. Ilmu silatnya tinggi sekali, ilmu
pengobatannya juga tinggi dan selain kedua ilmu ini, dia pun sangat pandai
dalam hal kesusasteraan, pandai bersajak, bernyanyi, dan tulisan tangannya amat
indah. Kalau saja sepasang matanya tidak buta lagi, dia pun merupakan seorang
ahli dalam hal ilmu sihir yang pernah dia pelajari dari paman gurunya, yaitu
Sin-eng-cu (Garuda Sakti) Lui Bok! Tentu saja biar pun ilmu sihir yang
berdasarkan hawa murni dan kekuatan batin ini masih terdapat di tubuhnya, namun
dia tidak dapat lagi mempergunakannya karena penggunaan ilmu ini harus melalui
pandangan mata! Peristiwa aneh yang dialami Hek-twa-to, sama sekali bukanlah
perbuatan iblis atau orang sakti yang melindungi Kun Hong.
Pemuda buta
ini sendiri yang menggunakan kesaktian ilmu silatnya untuk mengalahkan
Hek-twa-to dan sekaligus untuk menyembuhkan dari pada luka dalam yang mengancam
keselamatan nyawanya. Dari peristiwa ini saja dapat dibayangkan betapa hebat
pemuda ini.
Tidak saja
hebat ilmu kepandaiannya, yang lebih hebat lagi adalah pribudinya. Hek-twa-to
sudah memakinya, menghinanya, bahkan sudah menyerangnya dengan niat membunuh.
Akan tetapi Kun Hong masih berhati lapang, tidak hanya memaafkan ini semua,
malah telah mengobatinya dengan beberapa totokan pada jalan darah di dada
sehingga orang kasar itu menjadi sembuh!
Pada saat
rombongan lima belas orang anggota Hui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong
tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak
ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang
burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai.
Tiba-tiba
dia memiringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini
menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap
derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan
telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan
agak memiringkan kepalanya ketika telinganya memperhatikan sesuatu.
Dia terus
berjalan, terus saja menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang semakin
mendekat dari belakang itu.
"Hee,
tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia
menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia merasa
amat berterima kasih kepada pemuda buta ini.
Kun Hong
segera menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuh perlahan, mulutnya
tersenyum lebar akan tetapi kedua telinga tetap waspada mendengarkan dan
mengikuti segala gerak-gerik di sekitarnya. Tentu saja dia mengenal suara
perampok kasar yang dia jumpai pagi tadi, akan tetapi dia pura-pura tidak
mengenalnya dan bertanya,
"Saudara
siapa dan apa maksud saudara mengejar aku si buta ini?"
Dia tahu
bahwa orang kasar itu kini menjura kepadanya, membungkuk-bungkuk beberapa kali
sebagai tanda penghormatan. Gerakan tubuh ini saja tidak dapat terlepas dari
pada pendengarannya yang amat tajam melebihi orang biasa yang tidak buta. Hal
ini sangat menggembirakan dan melegakan hatinya karena dia dapat menduga bahwa
kedatangan belasan orang ini kiranya tidak mengandung niat jahat.
"Tuan
muda, saya Hek-twa-to datang untuk minta maaf atas kelancangan saya pagi tadi
dan untuk mengembalikan bungkusan pakaianmu."
Wajah itu
makin berseri, senyuman makin melebar ketika dia mengulurkan tangan untuk
menyambut bungkusan.
"Ahhh,
terima kasih, twako. Sebetulnya aku tidak begitu membutuhkan pakaian ini, akan
tetapi kalau kau tidak memerlukan, baik kuterima untuk pengganti kalau yang
kupakai ini sudah kotor. Berada padaku atau padamu sama saja, pakaian gunanya
untuk dipakai, siapa pun yang memakainya tidak menjadi soal. Terima
kasih." Dia lalu menggantungkan buntalan pakaian itu di pundaknya.
Hek-twa-to
menjura lagi. "Juga saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan sinshe
(sebutan untuk tabib) yang telah menyembuhkan luka di dalam dadaku."
Kun Hong
tertawa. "Tidak perlu berterima kasih. Yang menyembuhkan adalah kau
sendiri, Twako. Pada waktu kau menggunakan tenaga menghantam ke depan tadi,
hawa pukulan yang tertahan oleh jalan darah yang buntu merupakan kekuatan yang
hebat. Aku hanya membantu membuka jalan darah itu sehingga hawa itu dapat
menerobos dan sekaligus menghalau hawa beracun yang mengeram di tubuhmu. Sama
sekali tidak perlu berterima kasih."
Hek-twa-to
terkejut. Kiranya si buta ini yang menyentuh dadanya. Kenapa dia sama sekali tidak
melihatnya? Setelah saling pandang penuh keheranan dengan kawan-kawannya, dia
lalu menjura lagi dan berkata,
"Sekarang
kami minta dengan hormat supaya Sinshe suka ikut dengan kami ke tempat tinggal
kami di sebelah barat bukit ini..."
"Sayang,
tidak bisa..." Kun Hong memotong, "aku adalah seorang manusia bebas,
tidak mau terikat oleh segala budi. Terima kasih, Twako, biarlah aku
melanjutkan perjalananku seenaknya dan harap kau dan teman-temanmu kembali
saja."
Salah
seorang kawan Hek-twa-to yang paling kasar wataknya di antara para perampok itu
menjadi marah dan berteriak, "Kita gusur saja tabib buta yang sombong
ini!"
Kun Hong
tersenyum sabar, maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang kasar yang
berwatak keji.
"Aku
adalah seorang buta lagi miskin tidak memiliki apa-apa, juga aku akan mengalah
kalau kalian menghendaki barang-barangku kecuali bungkusan obat dan tongkat
ini. Akan tetapi jangan harap aku akan suka menuruti paksaan orang, sungguh pun
paksaan untuk menjamuku dengan hidangan-hidangan mahal."
"Tong-te,
kau tutup mulutmu!" bentak Hek-twa-to kepada kawannya yang kasar tadi,
lalu dia menghadapi Kun Hong lagi. "Siauw-sinshe, harap kau maafkan
temanku yang lancang mulut ini. Sesungguhnya kami mengharap kau suka ikut
dengan kami karena kami perlu pertolonganmu untuk mengobati ketua kami dan dua
puluh orang lebih teman-teman kami yang menderita luka-luka berat. Harap kau
suka menolong kami seperti kau telah lakukan kepadaku tadi. Jangan khawatir,
untuk biaya pengobatan ini, berapa pun juga kau minta, ketua kami sudah pasti
akan memenuhinya."
Kening di
muka yang tampan itu agak berkerut. Kun Hong maklum bahwa orang-orang ini bukan
orang-orang baik, tentu ketuanya juga bukan orang baik. Agaknya golongan hitam
pengacau rakyat. Sebetulnya kalau mengingat keadaan mereka, tidak patut
ditolong. Akan tetapi dia dapat membayangkan betapa sengsaranya mereka yang
menderita sakit itu dan hatinya yang penuh welas asih tidak kuasa menahan
hasratnya hendak menolong.
"Hemmm,
begitukah? Kalau kalian mengundangku untuk menolong orang-orang sakit, lain
lagi halnya. Tidak usah bicara tentang upah, apa bila aku berhasil dapat
mengurangi rasa nyeri yang mereka derita, sudah cukup bagus untukku. Mari kita
berangkat."
Rombongan
itu lantas berangkat turun bukit. Akan tetapi meski tongkatnya telah dituntun
oleh Hek-twa-to, seorang buta seperti Kun Hong tentu saja tidak mampu berjalan
cepat. Rombongan itu tidak sabar dan ketika Hek-twa-to mengusulkan untuk
menggendong tabib buta itu, Kun Hong tidak menolak. Maka digendonglah pemuda
itu oleh Hek-twa-to yang kuat dan rombongan ini berlari-lari turun bukit dengan
cepat.
Hati Kun
Hong makin merasa curiga. Di atas gendongan, dia dapat mengira-ngira tingkat
kepandaian mereka. Ilmu lari cepat mereka lumayan, tanda bahwa mereka ini,
terutama Hek-twa-to, memiliki kepandaian silat.
Ketua mereka
tentu seorang kosen. Kalau sampai ketua mereka terluka, juga dua puluh orang
lebih anak buahnya, alangkah tangguhnya musuh mereka itu. Dan mengingat sikap
mereka yang jahat, agaknya yang menyebabkan mereka menderita luka-luka itu
tentulah seorang pendekar. Berkali-kali dia menarik napas panjang di atas
gendongan Hek-twa-to.
Pendekar itu
merobohkan dan melukai orang-orang karena tugasnya sebagai pendekar yang
membasmi kejahatan. Akan tetapi dia pergi akan menyembuhkan mereka, juga hal
ini karena tugasnya sebagai seorang ahli pengobatan yang tidak boleh memilih
penderita, baik dia kaya atau miskin, jahat atau tidak.
Ketika ketua
Hui-houw-pang dan para tamunya yang terdiri dari jagoan-jagoan di dunia
kang-ouw dan bu-lim itu melihat bahwa tabib buta itu ternyata hanyalah seorang
laki-laki yang masih sangat muda, mereka terbelalak keheranan, saling pandang
dan ragu-ragu. Para tamu yang hadir di sana adalah undangan-undangan Lauw Teng,
terkenal sebagai tokoh-tokoh kang-ouw. Malah di antaranya terdapat seorang tosu
bermuka bopeng (burik) yang mempunyai sinar mata tajam berkilat dan pada
punggungnya tergantung sepasang pedang tipis.
Mereka ini
banyak mengenal orang pandai, malah pernah mendengar tentang setan obat
Toat-beng Yok-mo, juga sudah banyak melihat tabib-tabib pandai. Namun belum
pernah mereka melihat seorang ahli pengobatan yang masih begini muda. Tidak
mengherankan apa bila mereka lalu memperdengarkan suara mencemooh dan memandang
rendah.
Ketua
Hui-houw-pang kecewa bukan main. Diam-diam dia marah kepada Hek-twa-to yang
dianggapnya telah membohong dan menipu dirinya. Untuk menutupi kekecewaannya,
dia kemudian bertanya dengan nada suara keras memandang rendah.
"Heh,
orang muda buta. Apakah betul kau yang telah menyembuhkan Hek-twa-to seorang
anggotaku?"
Kun Hong
tidak tahu siapa yang tadi bicara dengannya, akan tetapi terang bahwa dia ini
adalah ketua yang dimaksudkan oleh Hek-twa-to tadi, entah ketua apa. Dia
tersenyum dan menjawab, "Dia yang menyembuhkan dirinya sendiri, aku hanya
membantu."
Kata-katanya
halus, akan tetapi sama sekali tidak merendahkan diri atau menghormat. Ketua
Hui-houw-pang yang biasanya disembah-sembah oleh anak buahnya yang pandai
menjilat, ditakuti semua orang, mendongkol juga melihat dan mendengar sikap
orang buta ini.
"Orang
buta, jangan kau main-main di sini. Apakah benar kau pandai mengobati orang
sakit dan terluka?"
"Tak
ada orang pandai di dunia ini, sahabat. Yang pandai hanya Tuhan. Aku hanya
diberi pengertian tentang pengobatan, pengertian kecil tak berarti. Kalau Tuhan
menghendaki, tentu akan menyembuhkan orang sakit."
"Dengar,
orang muda. Kami dua puluh orang lebih sedang menderita luka-luka. Kalau kau
bisa menyembuhkan kami, berapa saja upah yang kau minta, akan kubayar. Akan
tetapi jika ternyata kau tidak mampu menyembuhkan kami, hemm, jangan tanya akan
dosamu, kau tentu akan kubunuh mampus karena kau sudah mengetahui keadaan kami.
Apakah kau sanggup?"
Diam-diam
Kun Hong mendongkol sekali. Tidak salah dugaannya tadi bahwa ketua ini tentulah
orang yang berwatak keji pula. Namun sesuai dengan wataknya yang sabar dan
bijaksana, wajahnya tetap tersenyum.
"Aku
selalu siap mengobati orang sakit. Sembuh atau tidaknya terserah ke dalam
tangan Tuhan. Jika bisa sembuh, aku tak menentukan upahnya, terserah kepada
penderita sakit. Kalau tidak dapat sembuh, itu sudah nasibnya, kenapa kau
hendak membunuhku? Bukan kau yang memberi kehidupan pada tubuhku, lantas
bagaimana kau dapat bicara tentang mengambilnya, sahabat?"
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa melengking tinggi yang disusul suara halus,
"Lauw-sicu, omongan bocah ini ada isinya, kau berhati-hatilah!"
Kun Hong
tercengang, kiranya di tempat itu terdapat orang pandai, pikirnya. Pembicara
ini adalah seorang kakek berusia lima puluhan, memiliki Iweekang yang kuat dan
pandang mata yang tajam. Semua ini dapat dia mengerti dari pendengarannya,
tentu saja dia tidak tahu bahwa kakek yang bicara itu adalah seorang tosu yang
bermuka burik, seorang di antara para tamu undangan.
Kun Hong
agak miringkan kepalanya. Dia dapat mendengar betapa tuan rumah bersama kakek
yang bicara tadi kini menggerak-gerakkan tangan dan jari, agaknya saling
memberi isyarat agar apa yang mereka kehendaki tidak terdengar olehnya.
"Sinshe
muda," kata Lauw Teng dengan suara agak berubah, tidak segalak tadi,
"biarlah kuanggap saja kau memang pandai mengobati. Nah, kau mulailah
mengobati salah satu anak buahku yang menderita luka di dalam tubuhnya,"
Setelah
berkata demikian, Lauw Teng lalu berteriak, "He, A Sam, kau yang paling
berat lukamu, kau merangkaklah ke sini biar diobati oleh Siauw-sinshe
ini!"
Kun Hong
terheran. Sejak tadi sesudah bercakap-cakap dengan ketua ini, dia tahu atau
dapat menduga, bahwa ketua ini menderita luka yang amat parah di dalam tubuhnya
yang perlu segera diobati. Kenapa ketua ini sekarang menyuruh dia mengobati
seorang anak buahnya lebih dulu? Apakah ketua ini sengaja mengalah terhadap
anak buahnya? Tidak mungkin, orang yang berhati keji selalu mementingkan diri
sendiri. Ataukah masih belum percaya kepadanya maka menyuruh anak buahnya maju
untuk mencoba-coba?
Tapi Kun
Hong tidak pedulikan ini semua. Dia lalu duduk di atas bangku yang disediakan
untuknya dan menurunkan buntalan obat. Dia tahu bahwa dari depan berjalan
seseorang dengan langkah perlahan, kemudian orang ini jongkok di depannya
sambil mengeluarkan suara rintihan dan berkata lemah.
"Siauw-sinshe,
tolonglah saya... tak kuat lagi saya... sampai merangkak pun hampir tidak kuat.
Aku terkena pukulan beracun kakek Bhe jahanam..."
Semenjak
kecil Kun Hong sudah memiliki kecerdikan yang luar biasa. Begitu mendengar
kata-kata ini, segeralah terbuka semua rahasia yang tidak dapat dilihatnya.
Kiranya ketua she Lauw tadi bersama kakek itu bersekongkol untuk mempermainkan
dan menguji dia.
Orang ini
hanya pura-pura menderita luka pukulan, disuruh datang minta tolong sehingga
mereka itu akan segera tahu tentang kepandaiannya mengobati. Hemmm, mereka
tidak percaya dan hendak mempermainkan aku, pikir Kun Hong. Baiklah, aku akan
melayani sandiwara kalian.
Sambil
membungkuk Kun Hong meraba nadi tangan dan dada di dekat leher A Sam itu,
mengerutkan keningnya lalu berkata, "Aihhh, kau benar-benar sedang
menderita penyakit berbahaya sekali! Biang batuk sudah berkumpul di pintu
paru-paru. Sekarang memang belum terasa olehmu, akan tetapi begitu tertawa,
akan meledaklah batukmu dan sukar ditolong lagi. Kau sama sekali tidak terluka
oleh pukulan orang she Bhe atau orang she Ma, melainkan karena terlalu banyak
keluar malam sehingga masuk angin jahat!" Tentu saja sambil berkata
demikian, jari-jari tangan Kun Hong yang dapat bergerak secara luar biasa dan
secepat kilat itu telah menekan beberapa jalan darah tertentu di dada dan
leher.
Mendengar
keterangan ini, meledaklah suara ketawa para perampok itu, termasuk juga
ketuanya, Lauw Teng serta para tamu undangan. Hanya tosu burik itu saja yang
tidak tertawa, melainkan memandang dengan mata tajam. Lauw Teng tidak marah
karena biar pun keterangan Kun Hong itu sangat lucu, namun orang ini dapat
mengetahui bahwa A Sam tidak terluka oleh pukulan beracun.
Lucunya, A
Sam adalah seorang yang sehat dan tidak pernah batuk, biar pun memang suka
keluar malam akan tetapi lucu kiranya kalau seorang gemblengan seperti A Sam
itu mudah saja masuk angin! A Sam juga tertawa terpingkal-pingkal.
Akan tetapi,
tiba-tiba semua orang yang tadi tertawa geli itu menghentikan suara ketawa
mereka. Kini hanya terdengar sebuah suara saja, yaitu suara orang
berbatuk-batuk amat hebatnya. Maka tidak aneh apa bila semua orang kini
memandang terheran-heran karena yang batuk secara hebat itu bukan lain adalah A
Sam!
Tadinya A
Sam sendiri mengira bahwa batuknya ini adalah secara kebetulan saja. Akan
tetapi dia mulai menjadi khawatir dan gugup setelah batuknya itu tidak juga mau
berhenti, malah semakin hebat sampai dia tak dapat menahannya lagi. Di dalam
leher dan dadanya serasa dikitik-kitik, mendatangkan rasa gatal-gatal dan geli.
Tak
tertahankan lagi A Sam terbatuk-batuk sambil memegangi perut dan dada, badannya
membungkuk-bungkuk dan akhirnya dia sampai jatuh bergulingan. Penderitaannya
bukan main hebatnya.
Tadinya
orang-orang mengira bahwa A Sam yang suka berkelakar itu memang sengaja
mempermainkan si tabib buta. Akan tetapi karena A Sam tak juga berhenti batuk,
mereka mulai khawatir, lalu mendekat dan dengan mata terbelalak melihat bahwa A
Sam sampai mendelik-delik matanya karena terbatuk-batuk terus.
"Aduh...
uh-uh-uh... aduh... tolonglah...uh-uh-uh, Siauw-sinshe ...uk-uh-uh..."
Sukar sekali A Sam mengeluarkan kata-kata ini karena batuk membuat napasnya
sesak dan suaranya hampir hilang.
"Hemmm,
sudah kukatakan tadi, kau tidak boleh tertawa. Siapa kira kau masih tertawa
terbahak-bahak sehingga ledakan batukmu tidak tertahankan lagi. Kalau didiamkan
saja, kau akan terus terbatuk-batuk sampai jantungmu pecah dan aku akan
mendiamkan saja, A Sam, kecuali bila kau suka berterus terang mengapa kau tadi
pura-pura terluka parah."
"Ampun...
uh-uh, ampun Sinshe... uh-uh-uh, saya disuruh mencoba, uh-uh, main-main...
ampun..."
Lauw Teng
melangkah maju. "Siauw-sinshe, harap kau suka mengobatinya. Terus terang
saja, tadi kami meragukan kepandaianmu maka sengaja hendak mengujimu.
Maafkanlah."
Kun Hong
memang bukan seorang pendendam. Tentu saja dia memaafkan mereka yang tadi
hendak main-main kepadanya. Bahkan perbuatannya terhadap A Sam ini pun hanya
untuk main-main belaka. Dia segera maju mendekat, beberapa kali dia membetot
urat-urat di leher serta di bawah pangkal lengan. Sebentar saja berhentilah A
Sam berbatuk-batuk, peluhnya keluar semua dan dia segera terduduk saking
lelahnya.
"Siauw-sinshe,
sekarang kuharap kau suka mengobati semua orangku, juga mengobati lukaku
sendiri. Ketahuilah bahwa aku adalah Hui-houw Pangcu (ketua Hui-houw-pang) Lauw
Teng. Tentu kau sudah mendengar tentang Hui-houw-pang, bukan?”
Ketua ini
mengira bahwa tentu sinshe buta yang masih muda ini akan terkejut sekali bila
mengetahui bahwa dia sedang berada di dalam markas Hui-houw-pang yang sudah
amat terkenal di seluruh Propinsi Shantung. Akan tetapi dia terheran dan juga
kecewa ketika orang muda buta itu menggeleng kepalanya dan berkata tak acuh.
"Aku
baru saja datang di daerah pegunungan ini, Lauw-pangcu, maka aku tidak mengenal
perkumpulanmu. Akan kucoba mengobati kalian. Suruh orang-orangmu yang menderita
luka sama dengan Hek-twa-to, yang ada bintik merahnya pada tubuh mereka, maju
dan berjejer di depanku."
Ada delapan
orang yang menderita luka persis seperti Hek-twa-to. Lima belas orang lain
menderita luka senjata yang parah dan luka-luka itu membengkak dan keracunan.
Ketika mengetahui bahwa belasan orang ini terluka oleh macam-macam senjata, Kun
Hong pun dapat menduga tentu telah terjadi pertempuran hebat antara orang-orang
Hui-houw-pang ini melawan rombongan lain yang agaknya dikepalai oleh seorang
she Bhe yang sudah melukai delapan orang itu dan tentunya seorang yang berkepandaian
tinggi juga.
Cepat dia
menuliskan resep obat untuk orang-orang yang terluka. Tulisannya cepat dan
tidak mempedulikan seruan-seruan heran dari semua orang yang melihat betapa
seorang buta dapat menulis secepat dan seindah itu. Untuk luka-luka yang dapat
dia obati dengan obat-obatan yang tersedia dalam buntalannya, segera dia obati.
Akan tetapi
ketika Kun Hong memeriksa tubuh Lauw Teng, diam-diam dia terkejut sekali.
Dengan rabaan tangannya dia mendapat kenyataan bahwa ketua ini memiliki tubuh
yang kuat dan Iweekang yang tinggi. Namun ternyata dia terkena pukulan beracun
yang amat keji.
Pukulan yang
mengenai pundak itu busuk menghitam sedangkan tulang pundaknya telah
remuk-remuk. Hebat bukan main penderitaan ketua ini, akan tetapi dia tadi masih
dapat menahannya, membuktikan bahwa Lauw Teng adalah seorang yang amat kuat.
Diam-diam
Kun Hong mengeluh. Agaknya dugaannya bahwa orang yang merobohkan orang-orang
ini tentulah seorang pendekar kiranya tidak betul. Seorang pendekar gagah tidak
mungkin memiliki ilmu pukulan yang begini keji, atau andai kata memiliki juga,
tidak akan sudi mempergunakan. Kalau begini keadaannya, agaknya pihak yang
menjadi lawan Hui-houw-pang ini pun bukan golongan baik-baik!
Kun Hong
menarik napas panjang, menyesalkan dirinya yang kini tanpa disengaja telah
memasuki dunia golongan hitam. Akan tetapi dia tetap berusaha menolong Lauw
Teng, menggunakan sebatang jarum perak untuk mengoperasi luka itu, lalu
mengurut beberapa jalan darah dan menempelkan obat luka buatannya sendiri yang
amat manjur. Kemudian dia menulis sebuah resep obat untuk ketua Hui-houw-pang
ini.
Begitu dia
selesai mengobati Lauw Teng dan ketua ini mengucapkan terima kasihnya,
tiba-tiba terdengar suara keras dan tahu-tahu ada hawa menyambar ke arah Kun
Hong. Pemuda buta ini maklum bahwa ada orang menyerangnya, maka dia cepat
menjatuhkan jarumnya ke bawah dan membungkuk untuk memungut jarum itu. Hal ini
dia lakukan untuk mengelak dengan gerakan seperti tidak disengaja.
Akan tetapi
kiranya serangan itu bukan untuk memukulnya, melainkan untuk menangkap
pergelangan tangannya. Kun Hong tersenyum dan membiarkan saja pergelangan
tangan kanannya dicengkeram orang. Dia pura-pura kaget dan berseru,
"Ehh,
siapa memegang lenganku? Kau mau apa?"
"Orang
muda, lekas katakan, apa hubunganmu dengan Toat-beng Yok-mo?” Penanya ini
adalah kakek bersuara halus melengking tadi.
"Orang
tua, beginikah caranya orang bertanya? Apa harus mencengkeram lengan orang yang
ditanya? Pakaianmu seperti pendeta, kenapa sikapmu kasar seperti
penjahat?"
Tosu tua itu
cepat melepaskan cengkeraman tangannya, mukanya yang bopeng menjadi merah
sekali dan dia melangkah mundur tiga langkah. Heran sekali dia bagaimana orang
buta ini dapat mengenal pakaiannya? Tentu saja dia tidak tahu bahwa pendengaran
Kun Hong yang luar biasa dapat menggambarkan bentuk pakaian!
"Siauw-sinshe,
tamuku yang terhormat ini adalah Ban Kwan Tojin yang berdiam di Kuil
Pek-kiok-si (Kuil Seruni Putih). Beliau seorang tokoh pantai timur yang
terkenal, harap kau suka menjawab pertanyaannya."
Kun Hong
menjura ke arah Ban Kwan Tojin. "Maaf, kiranya seorang tosu. Ban Kwan
Tojin tadi bertanya tentang Toat-beng Yok-mo? Dia terhitung guruku karena aku
mendapatkan ilmu pengobatan ini dari kitab-kitabnya."
Tidak hanya
Ban Kwan Tojin yang berseru kaget, bahkan Lauw Teng dan anak buahnya menjadi
kaget sekali, juga girang.
Siapa yang
tidak mengenal nama mendiang Toat-beng Yok-mo yang bukan saja terkenal sebagai
setan obat, akan tetapi juga sebagai seorang sakti yang luar biasa? Di samping
kekagetan, keheranan dan kegirangan ini, kembali timbul keraguan dan rasa tak
percaya. Apa lagi Ban Kwan Tojin yang tahu betul bahwa belum pernah Toat-beng
Yok-mo memiliki seorang murid buta.
"Siauw-sinshe,
bolehkah pinto mengetahui namamu yang terhormat?" dia bertanya, kini
suaranya menghormat karena bagaimana pun juga, pemuda buta ini sudah
membuktikan kepandaiannya tentang ilmu pengobatan.
"Namaku
Kwa Kun Hong, Totiang."
"Hemm,
serasa belum pernah mendengar nama ini..."
"Tentu
saja belum, apa sih artinya nama seorang tabib buta?" Kun Hong tersenyum
polos.
"Kwa-sinshe,
kalau kau betul murid Toat-beng Yok-mo, tahukah kau di mana sekarang gurumu itu
berada?"
Pertanyaan
dari tosu ini terdengar oleh Kun Hong sebagai pancingan, kata-kata penuh nafsu
menyelidiki.
"Dia
sudah meninggal dunia, tiga tahun yang lalu," jawabnya bersahaja.
"Ahh,
jadi kau tahu bahwa tiga tahun yang lalu dia tewas dalam pertempuran di puncak
Thai-san, pada saat Thai-san-pai didirikan? Dan kau diam saja tidak berusaha
membalas dendam? Tahukah kau siapa yang membunuhnya, Sinshe?"
Pertanyaan
yang bertubi-tubi dari tosu itu hanya diterima dengan senyum saja. Sudah tentu
saja dia tahu bagaimana tewasnya Toat-beng Yok-mo karena kakek iblis itu tewas
ketika bertanding melawan dia sendiri. Kakek berhati iblis yang amat jahat itu
tewas akibat bertindak curang kepadanya dalam pertempuran itu dan boleh
dibilang tewasnya adalah karena perbuatannya sendiri.
"Tentu
saja aku tahu siapa yang membunuhya. Yang membunuhnya adalah dia sendiri, ya...
dia membunuh diri sendiri."
Hati Kun
Hong mulai tidak enak. Jangan-jangan tosu ini tiga tahun yang lalu hadir pula
di Thai-san dan melihat betapa Toat-beng Yok-mo tewas pada waktu berhadapan
dengan dia sebelum dia buta dan sekarang tosu ini sengaja memancing-mancing.
"Totiang,
kalau tiga tahun yang lalu kau sendiri juga turut hadir di sana, mengapa mesti
bertanya-tanya?" jawabnya pendek.
Tosu itu
tertawa. "Ha-ha-ha, kalau pinto hadir tidak nanti bertanya lagi. Sayangnya
pinto tidak hadir ketika itu, hanya mendengar berita dari kawan-kawan bahwa
gurumu itu telah tewas dalam pertempuran. Kau yang menjadi muridnya tentu tahu
lebih jelas bukan?"
"Sudah
kujelaskan bahwa dia mati karena perbuatannya sendiri."
"Jadi
kau tidak ada niat untuk mencari musuh-musuh gurumu itu dan membalas dendam?
Hemmm, murid yang baik kau itu, Kwa-sinshe." Ban Kwan Tojin mengejek.
"Toat-beng
Yok-mo terkenal jahat. Biar pun dia guruku, akan tetapi hanya guru dalam ilmu
pengobatan saja. Dia boleh bermusuhan dengan orang lain, akan tetapi aku tidak
berniat bermusuhan. Kepandaianku menyembuhkan orang sakit supaya sehat, bukan
menjadikan orang sehat supaya sakit. Sudahlah, Lauw-pangcu, sesudah selesai
tugasku di sini, aku mohon diri hendak melanjutkan perjalananku."
Dia menjura
ke depan ke kanan kiri, lalu membereskan buntalan obatnya dan bersiap-siap
untuk pergi. Ketika mengerjakan semua ini, juga ketika tadi melakukan
pengobatan, Kun Hong tak lupa menyelipkan tongkatnya di punggung. Bagi orang
buta seperti dia, tongkat merupakan pengganti mata dalam melakukan perjalanan,
terlebih lagi apa bila tongkat itu seperti tongkatnya, yaitu tongkat yang
berisi pedang pusaka Ang-hong-kiam, tongkat yang sengaja dibuat oleh kakek
sakti Song-bun-kwi (Setan Berkabung) untuknya.
Pada saat
itu terdengar suara seorang wanita, "Ayah...!"
Lauw Teng
menengok. Keningnya berkerut pada saat dia melihat anaknya, seorang gadis
berusia dua puluh tahun, gadis yang berdandan secara mewah, muncul di pintu
samping.
Gadis ini
perawakannya tinggi besar, cukup manis serta gerak-geriknya kasar dan genit.
Pakaiannya serba indah dan mewah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang
yang gagangnya terhias ronce-ronce merah, berkibar di dekat rambutnya yang
disanggul tinggi dan dihias kupu-kupu emas bertabur mutiara.
"Swat-ji,
ada keperluan apa kau datang ke sini?" tegur Lauw Teng marah.
Seharusnya
anaknya itu berdiam bersama ibunya serta keluarga Hiu-houw-pang di dalam
perkampungan. Biar pun dia menjadi kepala para perampok, akan tetapi dia tidak
senang melihat anak perempuannya bergaul dengan para perampok yang kasar dan
sudah biasa mengeluarkan ucapan-ucapan kotor dan tak sopan.
Memang
beginilah watak orang seperti Lauw Teng. Biar pun dia sendiri sudah biasa tidak
menghormati kaum wanita, namun dia tidak suka melihat wanita-wanita keluarganya
tidak dihormati orang!
Dengan lagak
genit sambil tersenyum-senyum dan melirik-lirik gadis itu menjawab, "Ayah,
kau dan semua orang sibuk berobat, kabarnya ada tabib pandai di sini, mengapa
tidak menyuruh tabib itu datang ke kampung? Ibu menderita batuk, bibi masuk
angin dan aku sendiri sering merasa dingin kalau malam. Suruh dia ke kampung
Ayah."
Mendengar
ucapan terakhir ini di sana-sini sudah terdengar suara orang terkekeh-kekeh,
akan tetapi segera berhenti ketika Lauw Teng dengan mata tajam menengok ke arah
suara orang-orang tertawa itu.
"Huh, dasar
perempuan, baru sakit batuk dan masuk angin sedikit saja sudah ribut-ribut.
Pulanglah, biar nanti kumintakan obat kepada siauw-sinshe."
Akan tetapi
ketika dia menengok lagi, dia melihat anaknya itu berdiri di dekat Kun Hong,
memandang bengong kepada pemuda buta yang sedang membereskan buntalannya.
"Swat-ji,
lekas pulang!" tegur ayahnya.
Swat-ji,
gadis itu, seperti baru sadar, menengok kepada ayahnya dan berkata, "Ayah,
dia inikah tabibnya? Masih muda benar dan... dan agaknya dia... dia buta,
Ayah."
Mendengar
gadis itu bicara dekat di depannya Kun Hong merasa tidak enak sekali. Akan
tetapi dia segera bangkit berdiri, menjura dan berkata sambil tersenyum ramah.
"Bukan agaknya lagi, Nona, memang aku seorang buta."
Sejenak
Swat-ji berdiri bengong memandang wajah Kun Hong. Belum pernah ia melihat
seorang pemuda setampan ini, apa lagi ketika tersenyum, benar-benar membuat
Swat-ji seperti kena pesona. Mata yang buta itu bahkan menambah rasa kasihan
yang sangat mendalam.
"Swat-ji,
pulang kataku!" Lauw Teng membentak marah.
"Ayah,
kulihat kau dan para paman sudah sembuh. Tentu sinshe buta ini yang menolong
kalian. Setelah ditolong, kenapa tidak berterima kasih? Sepatutnya kita
membawanya ke kampung, kemudian menjamunya dengan pesta tanda terima kasih.
Ayah, kalau sekarang kau membiarkan penolongmu pergi begitu saja, bukankah
Hui-houw-pang akan ditertawai orang dan dianggap tak kenal budi?"
"Ha-ha-ha,
tepat sekali ucapan Nona! Lauw-sicu, benar-benar pinto tidak pernah mengira
bahwa kau mempunyai seorang anak perempuan yang begini cantik lahir batinnya.
Pinto benar-benar kagum dan terpaksa pinto berpihak kepada puterimu,
Lauw-sicu."
Mendapat
bantuan omongan tosu itu, Swat-ji tersenyum dan melirik. Kun Hong diam-diam
merasa muak mendengar ucapan tosu itu, apa lagi dia dapat menangkap getaran
dalam suara itu dan bisa menduga bahwa tosu ini biar pun tua tentulah seorang
mata keranjang. Nona bernama Swat-ji itu tentu seorang gadis yang cantik dan
dia dapat tahu pula bahwa gadis itu berwatak genit.
Cepat-cepat
Kun Hong menjura. "Tidak usah... tidak usah, aku tidak dapat tinggal lama,
Nona. Malah tadi aku sudah berpamit pada ayahmu, aku harus segera pergi
melanjutkan perjalananku."
"Ahh,
mana bisa begitu? Sinshe, kau harus menerima pernyataan terima kasih kami dulu,
terutama dari aku sendiri yang sangat berterima kasih karena kau sudah
menyembuhkan ayah. Mari, mari kuantar kau, Sinshe. Biar kutuntun tongkatmu.”
Pada saat
Kun Hong berdiri bingung menghadapi desakan gadis yang ‘nekat’ ini, tiba-tiba
semua orang terkejut melihat datangnya seorang di antara mereka yang
berlari-lari dalam keadaan luka parah.
"Musuh...
musuh... telah menyerbu...!" katanya dan dia pun roboh terguling.
Keadaan
menjadi panik, semua orang berlari-lari untuk melakukan persiapan menyambut
serbuan musuh. Lauw Teng tidak pedulikan anaknya lagi, dia sibuk memberi
perintah dan mengatur para anak buahnya yang berjumlah enam puluh orang lebih
itu untuk melakukan penjagaan di sana-sini. Hanya tosu itu yang kelihatan
tenang-tenang saja.
"Lauw-sicu,
jangan gugup. Biarlah kita menanti kedatangan mereka di sini, hendak pinto
lihat apakah orang she Bhe itu mempunyai tiga kepala dan enam lengan?"
Sementara
itu, tiba-tiba saja Kun Hong merasa betapa telapak tangan yang halus sudah
memegang tangannya dan terdengar bisikan gadis itu, "Sinshe, mari kita
bersembunyi ke sudut sana sambil menonton. Biarlah nanti kuceritakan kepadamu
jalannya pertandingan, sebentar lagi akan terjadi pertempuran hebat."
Sedianya Kun
Hong akan menolak dan pergi. Akan tetapi karena dia amat tertarik ingin
mengetahui apakah sebenarnya yang telah terjadi dan siapa pula musuh
Hui-houw-pang ini, pula ia ingin seberapa bisa mencegah terjadinya pertempuran
dan bunuh-membunuh, maka dia diam saja dan menurut ketika gadis itu menuntunnya
pergi dari situ. Malah dia berharap untuk mendapatkan keterangan dari gadis ini
tentang sebab-sebab permusuhan.
Oleh karena
semua orang tengah sibuk mengatur penjagaan, Swat-ji mengajak Kun Hong duduk di
atas bangku panjang yang tersembunyi di sudut ruangan muka. Gadis itu masih
tetap menggandeng tangan Kun Hong dan baru setelah mereka duduk di atas bangku,
Kun Hong menarik tangannya dan bertanya,
"Nona,
ada apakah ribut-ribut ini? Siapakah yang menyerbu dan mengapa sampai terjadi
permusuhan?"
Gadis itu
tertawa merdu dan genit. "Ah, biasa saja berebutan mangsa! Akan tetapi
kali ini yang diperebutkan adalah suatu barang yang amat berharga sehingga ayah
membelanya secara mati-matian. Mereka yang datang menyerbu adalah orang-orang
Kiang-liong-pang (Perkumpulan Naga Sungai)."
"Kiang-liong-pang?
Perkumpulan seperti apa itu dan perkumpulan ayahmu yang bernama Hui-houw-pang
ini pun perkumpulan apakah sebetulnya?"
"Ihh,
kiranya kau tidak tahu apa-apa! Hui-houw-pang amat terkenal di Propinsi
Shantung, setidaknya tidak kalah terkenal dengan Kiang-liong-pang. Semua
perampok di wilayah ini tunduk kepada Hui-houw-pang, dan ayah merupakan penarik
pajak jalan yang paling adil di dunia ini."
"Apa
itu pekerjaan penarik pajak jalan? Kau maksudkan perampok?"
"Sebaliknya
dari perampok! Anggota-anggota kami menjaga jalan-jalan sunyi di gunung dan
hutan, dan sama sekali tidak merampok rombongan pedagang atau pelancong yang
lewat, karena itu mereka harus memberi pajak jalan kepada kami. Bukankah itu
adil? Jika mereka memberi pajak jalan, mereka tidak akan diganggu."
Kun Hong
mengangguk-angguk, namun dalam hati dia mencela. Apa bedanya pemerasan dengan
perampokan?
"Sedangkan
Kiang-liong-pang adalah perkumpulan para bajak air atau bajak sungai yang
menguasai semua bajak di Yang-ce dan Huang-ho sampai ke muara. Memang sering
kali terjadi perebutan kekuasaan antara darat dan sungai ini. Orang-orang
Kiang-liong-pang memang betul-betul kurang ajar. Belum lama ini kami terpaksa
menyita rombongan bekas pembesar yang mengundurkan diri karena pembesar sombong
itu tidak mau membayar pajak jalan. Pertempuran terjadi dan kami berhasil
melukai pembesar itu dan membunuh orang-orangnya. Akan tetapi, tiba-tiba muncul
orang-orang Kiang-liong-pang yang segera turun tangan pula, menyatakan bahwa
pembesar itu sedang menawar sebuah perahu dan karenanya menjadi mangsa mereka.
Terjadi perang lebih hebat lagi memperebutkan harta pusaka yang ternyata sangat
banyak. Banyak orang kami luka-luka termasuk ayah yang kau obati tadi. Akan
tetapi barang-barang pusaka yang paling berharga dapat kami bawa pulang, di
antaranya sebuah mahkota emas penuh permata yang tidak ternilai harganya,
mahkota yang dibawa oleh bekas pembesar itu dari istana. Kabarnya itu adalah
bekas mahkota yang dipakai oleh permaisuri kaisar di jaman Kerajaan Tang
dahulu."
Muak rasa
hati Kun Hong setelah mendengar penuturan ini. Tidak salah dugaannya yang
mengecewakan hatinya tadi bahwa baik perkumpulan Hui-houw-pang mau pun
lawannya, yaitu Kiang-liong-pang, merupakan perkumpulan golongan hitam. Kiranya
mereka adalah perampok-perampok yang sekarang sedang bertengkar dengan para
bajak!
"Sebenarnya,
biar pun saling bersaingan, bila hanya untuk urusan harta benda biasa saja tak
mungkin kedua pihak sampai bertempur," gadis itu melanjutkan penuturannya.
"Akan tetapi untuk mahkota ini kami tidak mau mengalah begitu saja."
"Apakah
karena terlalu berharga?" Kun Hong tertarik.
"Bukan,
tetapi karena mahkota itu dapat menjadi jalan agar kami dapat mendekati kaisar
baru, mengambil hatinya dan memperoleh kedudukan tinggi di dalam kerajaan.
Kabarnya kaisar muda yang baru ini amat mudah diambil hatinya."
"Kaisar
baru? Kaisar muda? Apa maksudmu?!" Kun Hong menahan gelora hatinya ketika
mendengar kata-kata ini.
"Iihhh,
kau benar-benar buta!" Gadis itu tertawa.
"Memang
aku buta, siapa pernah membantah?" Kun Hong terpaksa melayani kelakar ini
agar si gadis suka melanjutkan ceritanya yang mulai menarik hatinya.
Dengan lagak
genit Swat-ji mencubit lengan Kun Hong. "Kau memang buta, akan tetapi kau
tampan dan pandai... ehhh, aku suka padamu, kau lucu..."
Tentu saja
Kun Hong tidak mau melayani kegenitan gadis itu, akan tetapi dia pun tidak
mencelanya, dia hanya berkata halus. "Nona, aku ingin sekali mendengar
penjelasanmu tentang kaisar baru tadi."
"Kau
benar-benar belum mendengarnya? Kaisar tua telah meninggal tiga bulan yang
lalu, dan sekarang di kota raja terjadi keributan dalam menentukan siapa yang
akan menjadi penggantinya. Akan tetapi sudah tentu calon kaisar adalah Pangeran
Kian Bun Ti, cucu kaisar yang tercinta, sebagai anak dari pangeran sulung yang
telah tiada. Nah, kau tahu sekarang dan tentang mahkota itu, sebetulnya sudah
dilarikan oleh bekas pembesar dari kota raja yang agaknya menggunakan saat kota
raja ribut-ribut, kemudian lari membawa mahkota kuno yang tak ternilai harganya
itu. Sekarang mahkota itu berada di tangan kami, dan tentu akan dapat membawa
ayah ke hadapan kaisar untuk menerima anugerah dan kedudukan.”
Diam-diam
Kun Hong kaget juga. Selama tiga tahun ini dia merantau dan tidak pernah
memperhatikan persoalan dunia. Kiranya Kaisar Thai-cu, yaitu pendiri dari
Kerajaan Beng, seorang pahlawan yang sejak dahulu sering dipuji-puji ayahnya,
sekarang telah meninggal dunia dan singgasana kerajaan agaknya dijadikan bahan
perebutan oleh para pangeran.
Mengingat
bahwa Pangeran Kian Bun Ti dicalonkan menjadi kaisar, diam-diam Kun Hong
menarik napas panjang. Dia sudah pernah bertemu dengan pangeran ini, dan dia
sudah mengenal watak yang kurang baik dari pangeran itu yang dahulu tidak
segan-segan untuk mencoba memaksa kedua orang keponakannya, yaitu Thio Hui Cu
dan Kui Li Eng, untuk menjadi selir-selirnya!
Tiba-tiba
dia sadar dari lamunannya ketika kembali lengannya dicubit dan suara gadis itu
terkekeh, "Hi-hik, kenapa kau termenung setelah mendengar tentang kaisar?
Apakah kau ingin menjadi kaisar? Hi-hi-hi, alangkah lucu dan bagusnya, kaisar
buta! Sinshe yang baik, kau tak usah melamun menjadi kaisar, biarlah kau
menjadi tabib kami saja di sini, malam nanti kau boleh memijati tubuhku yang
lelah. Tentu kau pandai memijat, bukan?" Gadis itu menggeser duduknya,
merapatkan tubuhnya yang hangat itu kepada Kun Hong.
Kun Hong
tidak mempedulikan hal ini karena pikirannya sedang bekerja keras. Telinganya
sudah dapat menangkap derap kaki orang banyak menuju ke tempat itu. Berdebar
dia bila ingat betapa sebentar lagi akan terjadi pertempuran, bunuh-membunuh di
depan matanya yang buta.
"Nona,
sebentar lagi musuh-musuhmu menyerbu. Melihat betapa ayahmu dan para anak
buahnya terluka, tentu musuh itu amat kuat. Apakah kau tidak takut?"
"Ihh,
mengapa harus takut? Dengan pedangku aku mampu menjaga diri. Malah aku ingin
mencobai kelihaian jahanam tua she Bhe itu dengan pedangku!"
"Tapi...
mereka datang untuk mahkota itu. Bagaimana kalau mereka menyerbu ke rumah
ayahmu dan merampas mahkota? Kupikir, mahkota itu harus disembunyikan
dulu..."
"Ahhh,
ternyata kau pintar!" Tangan yang halus itu mengusap dagu Kun Hong,
membuat pemuda buta ini merasa dingin di belakang punggungnya. "Tapi ayah
dan aku lebih pintar. Mahkota itu tak pernah terpisah dari tubuhku,"
kata-kata ini dibisikkan di dekat telinga Kun Hong sehingga pemuda buta ini
dapat merasa betapa napas Swat-ji panas-panas meniup pipinya.
Cepat
laksana kilat Kun Hong menggerakkan tangannya dan pada detik lain tahulah dia
bahwa mahkota yang dimaksudkan itu berada dalam buntalan yang digendong oleh
gadis ini.
Pada saat
itu terdengar bentakan-bentakan nyaring dan Kun Hong mendengar suara kaki
beberapa orang yang mempergunakan ilmu meringankan tubuh memasuki ruangan depan
tempat Swat-ji berbisik, "Mereka sudah datang, Bhe Ham Ko sendiri yang
memimpin..."
Gadis ini
pun tak berani main-main lagi sekarang. Ia mengalihkan perhatiannya dari tabib
buta yang menarik hatinya itu kepada para musuh yang kini sudah berada di situ.
Yang kelihatan berada di luar halaman saja sedikitnya ada dua puluh orang
Kiang-liong-pang.
Ada pun yang
telah meloncat memasuki pekarangan adalah seorang tua tinggi kurus yang
memegang sebatang dayung kuningan. Swat-ji pun menduga bahwa tentu inilah
orangnya yang bernama Bhe Ham Ko, ketua dari Kiang-liong-pang yang telah
melukai ayahnya.
Di samping
kakek ini berdiri lima orang laki-laki tinggi besar yang dilihat dari
pakaiannya tentulah tokoh-tokoh dalam perkumpulan bajak itu. Di belakang
mereka, berdiri acuh tak acuh, tampak seorang lelaki tinggi besar bermuka
hitam, berusia empat puluh tahun lebih.
Berbeda dengan
Bhe Ham Ko dan lima orang pembantunya yang berdiri dengan senjata di tangan,
laki-laki bermuka hitam ini membiarkan ruyung bajanya tergantung di pinggang
dan tidak memperlihatkan muka yang serius, bahkan menengok ke sana ke mari
seperti seorang pelancong melihat-lihat pemandangan indah.
"Hui-houw
Pangcu Lauw Teng, kami dari dewan pengurus Kiang-liong-pang telah datang
mengunjungimu. Keluarlah supaya kita dapat merundingkan perkara sampai
beres!" kakek she Bhe itu mengeluarkan suaranya. "Kami pun sudah membawakan
obat dan ahli untuk menyembuhkan luka-luka para sahabat dari
Hui-houw-pang!"
Jelas
terdengar dalam suara ini bahwa ketua Kiang-liong-pang ini mengandung ancaman
dan bujukan. Membujuk untuk berbaik di samping mengingatkan pula bahwa
pertempuran hanya akan mendatangkan kerusakan dan kerugian pada pihak
Hui-houw-pang!
"Kiang-liong
Pangcu Bhe Ham Ko, luka-luka yang kecil dan tiada artinya itu tak perlu lagi
dibicarakan. Kami sudah siap menanti kedatanganmu!" Muncullah Lauw Teng
diiringi tujuh orang pembantunya dengan langkah gagah dan senjata siap di
tangan kanan!
Berubah
wajah Bhe Ham Ko melihat bekas lawannya itu terlihat sehat benar, malah para
pembantunya yang tadinya terkena pukulannya yang mengandung hawa beracun kini
juga sudah muncul dalam keadaan sehat! Akan tetapi keheranannya lenyap ketika
dia melirik dan melihat seorang tosu berjalan keluar dari samping. Sambil
mengelus jenggotnya yang tipis, dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha,
kiranya Lauw-pangcu telah mendapat bantuan orang pandai. Pantas saja tidak lagi
membutuhkan obat-obatan dari kami. Ataukah kini engkau hendak mempelajari kitab
To-tek-keng bersama anak buahmu? Memang pantas jika gedung ini diubah menjadi
kuil." Inilah ucapan menghina dan menyindir karena di pihak Hui-houw-pang
terdapat seorang tosu tua.
Merah
sekujur wajah Lauw Teng, juga dia menjadi heran sekali. Biasanya, seperti yang
dia ketahui, ketua Kiang-liong-pang ini adalah seorang yang amat berhati-hati
dan bukan seorang kasar yang sembrono. Mengapa hari ini menjadi begini sombong,
berani sekali menghinanya dan malah berani mengejek Ban Kwan Tojin? Tentu ada
sebabnya, pikirnya dan saat dia melihat sikap acuh tak acuh dari orang tinggi
besar muka hitam di belakang rombongan ketua Kiang-liong-pang itu, dapatlah dia
menduga bahwa tentu orang itu yang dijadikan andalan.
"Bhe-pangcu,
tak perlu banyak bicara lagi kiranya. Kita sudah lama tahu apa maksudmu datang
mengunjungiku pada saat ini, lengkap dengan anak buah dan senjata. Nah, lekas
keluarkan isi hatimu. Bagi kami, tetap kami tidak akan suka mengalah, oleh
karena kami merasa bahwa pembesar she Tan itu merupakan mangsa kami di daratan.
Barang-barang bekalnya yang terampas oleh kami menjadi hak kami dan tak seekor
setan pun boleh mengambilnya begitu saja dari tangan kami!"
Bhe Ham Ko
tertawa menyeringai dan menggerak-gerakkan dayungnya. "Aku tahu akan
kekerasan hati Lauw-pangcu, tahu pula bahwa benda pusaka itu kau kukuhi bukan
karena harganya, akan tetapi dikarenakan pentingnya guna membuka pintu kota
raja. Bukankah begitu?"
Kembali
wajah Lauw Teng menjadi merah. "Apa pun yang akan kulakukan dengan benda
hakku itu, bukan menjadi urusanmu, Bhe-pangcu. Dan kiranya... tiap orang berhak
untuk mencari kemajuan dalam hidupnya..." Dia merasa segan dan sungkan
untuk bicara terus terang dengan hasratnya mencari kedudukan di kota raja.
"Jadi
kau tetap berkukuh hendak memiliki mahkota pusaka kerajaan itu?!" Bhe Ham
Ko membentak.
"Memang!
Dan kami akan mempertahankannya dengan senjata kami!" jawab Lauw Teng
berani.
Hati Ketua
Hui-houw-pang ini tentu saja menjadi besar sebab dia mengandalkan bantuan Ban Kwan
Tojin beserta tiga orang gagah lainnya yang menjadi tamu undangannya, yang
sekarang pun sudah memasuki pekarangan dan berdiri dengan sikap gagah di dekat
Ban Kwan Tojin.
Tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring. "Tua bangka she Bhe jangan menjual lagak di
sini!" Bayangan merah berkelebat dan ternyata Swat-ji sudah melompat ke
depan rombongan lawan dengan pedang di tangan, sikapnya gagah.
"Swat-ji...!"
Lauw Teng menegur kaget, bukan akibat melihat puterinya hendak menentang lawan,
tetapi kaget karena tidak melihat buntalan di pungung Swat-ji, buntalan mahkota
yang sengaja dia suruh bawa anak gadisnya yang dia tahu mempunyai ilmu pedang
yang cukup tinggi. Dalam hal ilmu silat, puteri ini tidak kalah lihai dari
padanya sendiri.
"Ayah,
biarkan aku mengusir anjjng tua ini supaya jangan banyak menjual lagak di
sini." Gadis yang galak ini segera menggerakkan pedangnya menyerang Bhe
Ham Ko.
Ketua
Kiang-liong-pang tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, bapaknya harimau liar
anaknya pun sama juga. Biarlah aku orang tua menjinakkan macan betina liar
ini!"
Dengan
tenang orang she Bhe ini menggerakkan dayungnya menangkis, tetapi diam-diam dia
mengerahkan tenaga lweekang-nya untuk membuat pedang gadis itu terlempar hanya
dengan sekali tangkis.
Swat-ji
bukan seorang bodoh. Tentu saja ia sudah mendengar tentang tenaga lweekang yang
tangguh dari kakek ini, karena itu dengan gerakan pergelangan tangannya ia
cepat menyelewengkan pedangnya menghindarkan benturan senjata lawan, lantas
dari samping pedangnya dengan cepat mengirim tusukan miring ke arah lambung.
"Aiiih,
tidak jelek...!" Bhe Ham Ko berseru.
Dia
cepat-cepat melompat mundur sambil mengelebatkan dayungnya yang menyambar dari
atas ke arah kepala Swat-ji. Tetapi gadis itu dengan gerakan yang lincah dapat
pula mengelak sambil meneruskan dengan serangan berantai. Gerakannya memang
cepat dan agaknya dengan kecepatan ini ia hendak mencapai kemenangan. Pedangnya
kemudian menyambar-nyambar dan sama sekali dia tidak memberi kesempatan kepada
lawannya untuk membentur senjatanya.
"Bagus!
Lauw-pangcu, kepandaian anakmu bagus juga!" Bhe Ham Ko berseru dan kakek
ini pun terpaksa memutar dayungnya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya dari
pada hujan tusukan dan bacokan.
Dengan
menggunakan ketajaman pendengarannya Kun Hong dapat menduga bahwa biar pun
Swat-ji mempunyai gerakan yang amat cepat, namun ia takkan menang menghadapi
lawannya yang mempunyaii gerakan antep, bertenaga, dan tenang itu. Dia
mengerutkan keningnya. Pertandingan besar-besaran dan mati-matian tentu takkan
dapat dicegah lagi.
Sebetulnya
dia boleh tidak usah ambil peduli karena kedua pihak yang akan bertanding
bunuh-membunuh adalah golongan hitam atau orang-orang yang mempunyai pekerjaan
merampok dan membunuh. Mereka adalah orang-orang jahat. Akan tetapi, pemuda
buta ini merasa tidak tega untuk membiarkan sesama manusia saling membunuh,
hanya untuk memperebutkan sebuah benda mati yang oleh Swat-ji dititipkan
padanya dan kini berada di buntalan pakaiannya itu.
Alangkah
bodohnya manusia. Untuk mencari harta atau kedudukan, rela mengorbankan nyawa,
malah tega untuk membunuh sesama manusia. Kun Hong berpikir keras, mencari akal
untuk mencegah permusuhan antara kedua golongan itu.
Akan tetapi,
baru saja dia bangkit berdiri untuk mencegah menghebatnya perkelahian, mendadak
saja di sana-sini terdengar seruan heran dan marah. Sesosok bayangan hitam
berkelebat dan tahu-tahu dayung di tangan Bhe Ham Ko sudah terpental ke
belakang, sedangkan Swat-ji terhuyung-huyung.
Ketika
mereka memandang, di sana sudah berdiri seorang gadis cantik jelita yang masih
amat muda. Gadis ini berpakaian serba hitam yang ringkas dan sikapnya gagah.
Kedua matanya yang jeli memandang ke kanan dan kiri. Alisnya yang hitam panjang
itu berkerut, terbayang kekerasan hati dan keangkuhan dari mulut yang kecil
dengan bibir merah segar itu.
Dengan hanya
sekali gerakan saja dapat mengundurkan Bhe Ham Ko dan Swat-ji, dapat
dibayangkan bahwa gadis jelita ini mempunyai ilmu kepandaian yang hebat.
Swat-ji yang terhuyung-huyung itu amat marah, tapi sebelum ia sempat
mengembalikan keseimbangan tubuhnya, bagai seekor burung walet gadis baju hitam
itu bergerak, tubuhnya menyambar dan tahu-tahu Swat-ji merasa dirinya diangkat
ke atas.
Kiranya
tengkuk Swat-ji telah dicengkeram oleh gadis itu. Betapa pun dia berusaha untuk
melepaskan diri, ia tidak mampu bergerak, bahkan pedang yang masih dipegangnya
itu tak dapat pula ia gerakkan seakan-akan seluruh tubuhnya menjadi lumpuh!
"Kaum
kotor dari Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang, dengarlah! Nonamu datang hari
ini untuk mengambil mahkota pusaka. Kalian tak boleh ribut-ribut lagi dan harus
mengalah kepada nonamu!"
Sikap yang
sangat sombong ini menimbulkan kemarahan, juga kegelian. Apa lagi Lauw Teng
yang melihat anaknya ditangkap seperti itu, kemarahannya memuncak dan dia pun
lalu membentak,
"Gadis
liar dari mana datang mengacau? Kau siapa berani membuka mulut besar di
sini?"
Gadis muda
itu tersenyum mengejek. Manis sekali ia kalau tersenyum sehingga banyak di
antara para anak buah kedua pihak itu terpesona melihat cahaya gigi gemerlapan
di balik bibir yang merah dan berbentuk indah itu.
"Kau
ketua dari Hui-houw-pang, tak perlu banyak cakap. Aku tahu bahwa mahkota berada
di tanganmu, lekas serahkan kepada nonamu, kalau tidak, akan kubanting hancur
anak perempuanmu yang tak tahu malu ini!"
Hemmm,
kiranya bocah ini hendak memaksaku dengan menangkap anakku, pikir Lauw Teng
yang segera menjawab dengan tersenyum mengejek. "Boleh kau banting anak
tiada guna itu, mana bisa aku memberikan mahkota pusaka kepadamu? Gadis liar,
lebih baik lekas mengaku kau siapa dan siapa menyuruhmu datang mencampuri
urusan kami?"
Gadis
pakaian hitam itu nampak sangat kecewa, lalu melemparkan tubuh Swat-ji sambil
mengomel, "Gadis sialan, sampai ayah sendiri tidak sayang kepadamu!"
Swat-ji
terlempar dan jatuh bergulingan, akan tetapi ia cepat melompat lagi dengan mata
berapi-api dan muka merah sekali. Jika saja ia tak ingat bahwa tingkat
kepandaian gadis baju hitam itu jauh lebih tinggi darinya, tentu akan
diserangnya mati-matian, bukan main marahnya pada saat itu.
"Pangcu
dari Hui-houw-pang, juga kalian orang-orang Kiang-liong-pang. Kalian mau tahu
siapa nonamu ini? Dunia kang-ouw menyebutku Bi-yan-cu (Si Walet Jelita). Nama
asliku tak perlu kuberi tahu, karena kalian kurang berharga untuk mengenalnya.
Ayahku adalah Sin-kiam-eng Tan Beng Kui."
Pada waktu
nona muda itu memperkenalkan julukannya, para penjahat itu saling pandang
sambil tersenyum-senyum karena memang nama itu tidak terkenal. Akan tetapi
ketika gadis itu menyebut nama Sin-kiam-eng Tan Beng Kui sebagai ayahnya,
berubah wajah mereka. Bahkan kedua pangcu itu dan para tamu undangan nampak
kaget sekali.
Sin-kiam-eng
Tan Beng Kui memang jarang muncul di dunia Kang-ouw, namun namanya dikenal
sebagai seorang tokoh besar yang berilmu tinggi, yang sekarang hidup sebagai
seorang ‘raja kecil’ di pantai Laut Pohai, di lembah muara Sungai Kuning. Oleh
karena kepandaiannya yang tinggi tak seorang pun bajak laut atau perampok
berani mengganggu perkampungan raja kecil ini. Sekarang tahu-tahu ada gadis
jelita yang datang mengaku sebagai puterinya dan bermaksud merampas mahkota
pusaka yang sedang diperebutkan oleh golongan itu.
Swat-ji yang
masih merasa penasaran, ketika mendengar ini segera tahu bahwa gadis yang
dibencinya itu tentulah akan dimusuhi oleh kedua pihak, maka keberaniannya
timbul kembali. Baginya yang belum banyak merantau, ia tidak mengenal siapa itu
Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti) Tan Beng Kui.
"Budak
liar jangan menjual lagak di sini!" Swat-ji memaki dan segera menyerbu
dengan pedangnya, dari belakang langsung menyerang gadis yang berjuluk
Bi-yan-cu itu.
Si Walet
Jelita, gadis yang cantik itu, mengeluarkan suara mengejek dan ketika tubuhnya
bergerak dengan luar biasa indahnya, ternyata ia telah dapat mengelak tanpa
mengubah kedudukan kakinya dan selagi pedang lawannya menyambar lewat, tangan
kirinya segera mendorong.
Tanpa dapat
tertahankan lagi tubuh Swat-ji terdorong ke depan, apa lagi dari belakang
ditambah pula dengan sebuah tendangan ke tubuh belakang.
“Plokk!”
Tubuh
Swat-ji terperosok ke depan, pedangnya mencelat dan hidungnya yang mencium tanah
dengan keras itu mengeluarkan darah.
"Tangkap
gadis liar ini!" terdengar Hui-houw Pangcu Lauw Teng memberi aba-aba.
"Bunuh
saja dia!" terdengar ketua Kiang-liong-pang berseru.
Dua pihak
yang tadinya bermusuhan, untuk sementara melupakan permusuhan mereka dan tanpa
berunding sudah bersekutu untuk mengalahkan gadis berbahaya itu.
Dengan
pendengarannya yang sangat tajam Kun Hong dapat mengikuti semua peristiwa itu.
Hatinya berdebar ketika dia mendengar pengakuan gadis yang baru datang itu.
Nama Tan Beng Kui tentu saja dikenalnya baik sungguh pun belum pernah dia
bertemu muka dengan orangnya.
Dia sudah
banyak mendengar dari ayah bundanya tentang Tan Beng Kui karena orang ini dulu
juga seorang pejuang gagah, murid pertama dari Raja Pedang Cia Hui Gan. Bukan
itu saja, malah Tan Beng Kui ini adalah kakak kandung dari Tan Beng San yang
sekarang menjadi ketua Thai-san-pai.
Kun Hong
amat kagum dan takluk kepada Tan Beng San, orang yang amat dia hormati karena
kegagahannya. Apa lagi jika dia ingat bahwa Tan Beng San merupakan ayah dari
mendiang kekasihnya, Tan Cui Bi. Malah boleh dibilang dia adalah murid langsung
dari Tan Beng San Si Raja Pedang itu, yang ketika dia baru menjadi buta, telah
membisikkan rahasia dari Ilmu Sakti Im-yang Sin-kun-hoat.
Sekarang
gadis yang mengaku berjuluk Bi-yan-cu Si Walet Jelita ini, yang bukan lain
adalah keponakan dari Tan Beng San, berada di sini dan terancam bahaya
pengeroyokan dua pihak yang tadinya bertentangan. Angin gerakan gadis itu tadi
membuktikan bahwa ia berkepandaian tinggi, tentu telah mewarisi Ilmu Silat
Sian-li Kun-hoat dari ayahnya. Akan tetapi menghadapi pengeroyokan demikian
banyaknya orang, tentu berbahaya juga.
Seorang
gadis yang menurut suaranya takkan lebih dari delapan belas tahun usianya itu
mana boleh mati dikeroyok, juga amat tidak baik jika mengamuk dan menjadi
pembunuh puluhan orang manusia. Dia harus segera turun tangan, demikian Kun
Hong mengambil keputusan.
Sudah
terdengar olehnya suara senjata beradu disusul pekik kesakitan banyak orang.
Ah, jelas bahwa gadis lihai itu tentu sudah mengamuk, pikirnya. Cepat Kun Hong
melompat berdiri, tongkatnya siap di tangan kanan dan tangan kirinya
mengeluarkan mahkota itu, diangkatnya tinggi-tinggi lalu dia berseru nyaring,
"Heeii,
kalian semua berhentilah bertempur dan lihat apa yang berada di tanganku
ini!"
Oleh karena
ketika berseru ini Kun Hong mengerahkan sedikit tenaga khikang dari dalam
perutnya, tentu saja suaranya amat nyaring dan mengatasi semua kegaduhan.
Mendadak semua pertempuran berhenti ketika mereka melihat benda emas mengkilap
yang terhias permata berkilauan berada di tangan kiri pemuda buta itu.
"Mahkota
pusaka...!" terdengar teriakan di sana-sini.
"Kalian
bertempur untuk memperebutkan benda ini, bukan? Benar-benar kalian tidak tahu
malu. Benda ini bukanlah milik kalian, terang bahwa benda ini dirampok dari
tangan seorang pembesar. Sungguh tak baik kalian. Rakyat sudah cukup
penderitaannya, kalian orang-orang kuat dan memiliki kepandaian, mengapa
justeru mempergunakan kekuatan itu untuk menambah kekacauan dan memperberat
penderitaan rakyat? Sekarang benda ini sudah berada di tanganku, hendak
kukembalikan kepada yang berhak. Siapa saja tidak boleh merampas benda ini dan
kalian tidak perlu saling bermusuhan lagi!"
Semua orang
itu berdiri melongo. Siapa yang tidak akan terheran-heran menyaksikan aksi
orang buta itu? Dan akhirnya meledaklah suara ketawa saking geli di samping
marah dan mendongkol.
Yang paling
marah dan mendongkol adalah Lauw Teng. Ia amat marah kepada puterinya. Benda
itu dia suruh simpan atau bawa puterinya agar tidak diketahui orang, siapa duga
oleh puterinya dititipkan kepada sinshe buta ini.
"Kwa-sinshe,
apakah... apakah kau sudah gila?!" bentaknya marah.
Yang lebih
dulu bergerak adalah Swat-ji. Gadis ini kaget dan takut sekali akan kemarahan
ayahnya ketika melihat orang buta itu begitu saja memperlihatkan mahkota kepada
semua orang. Ia cepat meloncat ke depan dengan hidung masih berdarah, menyambar
dengan tangannya untuk merampas mahkota itu dari tangan Kun Hong.
"Sinshe,
kau kembalikan titipanku!" katanya.
Akan tetapi
aneh sekali, sambarannya tidak mengenai sasaran sehingga tubuhnya malah
terhuyung-huyung ke depan.
Ia membalik
dan dengan suara merayu ia membujuk, "Sinshe yang baik, kau kembalikan
benda itu kepadaku."
"Nona
Lauw mahkota ini bukan milikmu, menyesal sekali tidak dapat kuberikan kepada
siapa pun juga."
Swat-ji
marah dan menyerbu untuk merampas mahkota, namun tiba-tiba ia terjungkal dan
untuk kedua kalinya ia mencium tanah. Hidung yang tadinya berdarah, kini malah
berubah menjadi bengkak.
"Aduh..."
ia pun mengeluh, "kau... keterlaluan... kau kejam. Tadi kau begitu baik...
sinshe, bukankah malam nanti kau mau memijati badanku? Mengapa sekarang kau
merampas mahkota?"
Kembali
beberapa orang tertawa mendengar ini dan muka Kun Hong yang berkulit putih itu
menjadi kemerahan. "Nona, harap jangan keluarkan omongan bukan-bukan!
Sebagai seorang gadis seharusnya kau tidak bertingkah seperti ini..."
Tapi pada
saat itu Lauw Teng sudah menerjang maju, tangan kanan menghantam dada Kun Hong
sedangkan tangan kiri berusaha merampas mahkota sambil berseru.
"Sinshe
buta, kiranya kau hendak mengacau!"
Seperti
halnya Swat-ji, pukulan ini tidak mengenai sasaran, juga mahkota tidak
terampas, sebaliknya entah kenapa dan cara bagaimana, tahu-tahu tubuh ketua
Hui-houw-pang itu terjungkal ke bawah! Inilah hebat! Ketua Hui-houw-pang ini
terkenal seorang yang cukup kosen, berkepandaian tinggi. Bagaimana ketika
menyerang sinshe muda buta itu seperti tersandung batu kakinya dan terjungkal
begitu mudah?
Orang-orang
tidak ada yang dapat mengikuti gerakan Kun Hong dan bagi mereka pemuda buta itu
seakan-akan tidak bergerak apa-apa kecuali mengangkat mahkota itu tinggi-tinggi
seperti takut dirampas! Hanya beberapa orang saja yang menjadi tertegun dan
berubah air mukanya.
Mereka ini
adalah Lauw Teng sendiri, ketua Kiang-liong-pang, Bhe Ham Ko, tosu dan Kwan
Tojin, laki-laki tinggi besar muka hitam, beberapa orang tamu undangan Lauw
Teng, dan juga, nona baju hitam yang baru datang. Mereka itulah yang sempat
melihat betapa ketua Hui-houw-pang tadi dirobohkan oleh gerakan tangan yang
perlahan dan hampir tak kelihatan dari sinshe buta itu!
Keadaan
menjadi gempar dan kini segala kemarahan dan perhatian ditumpahkan semua kepada
si buta! Semua orang lupa akan urusan yang tadi, lupa akan pertengkaran antara
Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang, lupa pula akan si nona baju hitam yang
tadinya hendak mereka keroyok.
Sekarang
mahkota berada di tangan sinshe buta, tentu saja dia inilah yang kini menjadi
sasaran. Dan hal ini tepat seperti yang dikehendaki oleh Kun Hong.
Setelah
menyaksikan betapa dengan aneh Lauw Teng roboh sendiri pada waktu hendak
merampas mahkota, orang-orang tidak berani bertindak sembrono. Mereka memandang
orang buta itu dengan heran dan ragu-ragu apa yang harus mereka lakukan. Kun
Hong juga berdiri tak bergerak, siap untuk membela diri dari setiap serangan.
Seorang
anggota Kiang-liong-pang maju perlahan. Tangan kanannya memegang sebuah ruyung
besi yang berat. Semenjak tadi dia mengincar Kun Hong dan dia tak percaya kalau
tidak mampu menjatuhkan si buta ini. Apa sih sukarnya mengalahkan orang buta?
Sekali pukul beres. Agaknya si buta ini pandai silat, pikirnya, maka harus
digunakan akal.
Dengan amat
hati-hati dia melangkah terus maju sampai dekat sekali dengan Kun Hong, dalam
jarak satu meter. Pemuda itu tetap tidak, bergerak seakan-akan tidak tahu bahwa
dia, didekati lawan dari depan yang kini sudah menggeletar seluruh urat di
tubuhnya untuk menghantamnya.
Tanpa
mengeluarkan kata-kata, orang itu sekarang mengangkat ruyungnya tinggi-tinggi,
menghimpun tenaga lalu…
"Wheerrrrr!"
ruyungnya menimpa ke arah kepala Kun Hong yang agaknya akan pecah berantakan
tertimpa ruyung besi yang berat itu.
Seperti tadi
pula, tanpa menggeser kakinya Kun Hong memiringkan kepala dan sekali jari
tangannya bergerak, lawan itu jatuh tersungkur, mengaduh-aduh kesakitan karena
ujung ruyungnya sudah mencium kepalanya sendiri sampai benjol sebesar telur
angsa.
Seorang anak
buah Hui-houw-pang dari belakang Kun Hong berindap-indap menghampiri dengan
tombak runcing di tangan. Setelah dekat tiba-tiba dia menusuk. Tombak menusuk
angin, terdengar suara keras, tombak patah menjadi tiga dan tubuh orang itu
terlempar ke belakang.
Sekarang
barulah semua orang tahu atau menduga bahwa si buta itu kiranya bukanlah
seorang sembarangan, melainkan seorang yang mempunyai kepandaian luar biasa!
Akan tetapi karena dialah yang kini memegang mahkota yang amat diinginkan itu,
semua orang kini mulai mendekat dengan sikap mengancam.
Dengan
kepala dimiringkan Kun Hong dapat mendengar betapa orang-orang itu mendekat dan
mengepungnya, malah yang mengurungnya kini bukanlah orang-orang biasa seperti
yang tadi telah menyerangnya. Agaknya tokoh-tokoh penting dari dua pihak mulai
hendak turun tangan secara mengeroyoknya, juga dari sebelah kirinya dia tahu
bahwa gadis yang berjuluk Bi-yan-cu itu pun hendak ikut pula menyerbu dan
merampas mahkota. Kun Hong memegang tongkatnya erat-erat di tangan kanannya.
Dia tidak
usah menanti lama. Segera didengarnya angin menyambar, angin senjata yang
menyerang dari kanan-kiri, depan dan belakang. Cepat dia menggerakkan
tongkatnya.
"Cring-cring-cring!"
terdengar suara berulang-ulang disusul dengan suara gaduh dan jerit kesakitan.
Orang-orang
yang belum ikut menyerbu memandang dengan mata terbelalak keheranan. Mereka
tadi melihat orang-orang pilihan dari kedua pihak menyerbu dan hanya tampak
kilat berkelebatan, tapi... tahu-tahu banyak pedang, golok dan tombak
beterbangan dalam keadaan patah menjadi dua sedangkan lima orang sekaligus
roboh bergulingan, menjerit jerit karena tangan atau lengan mereka berdarah,
luka tergores benda tajam! Hebatnya, ketika mereka melihat lagi ke arah
sasaran, si buta itu masih berdiri seperti biasa, dengan tangan kiri memegang
mahkota tinggi dan tangan kanan membawa tongkat!
"Minggir...!"
Bentakan ini keluar dari mulut ketua Kiang-liong-pang dan kakek ini dengan
dayungnya menerjang hebat.
Lauw Teng
yang tidak ingin melihat ketua pihak saingan ini dapat merampas mahkota, cepat
mencabut golok besarnya dan hampir berbarengan turut pula menyerbu ke depan.
Gerakannya ini diikuti oleh Ban Kwan Tojin yang sudah mencabut sepasang
pedangnya karena tosu ini yang berpemandangan tajam sudah mengetahui bahwa
pemuda buta ini bukan orang sembarangan dan memiliki kepandaian yang hebat. Apa
lagi kalau diingat keterangan pemuda ini yang mengaku sebagai murid Toat-beng
Yok-mo, tentu saja patut miliki ilmu silat yang luar biasa.
Sementara
itu, gadis baju hitam berjuluk Bi-yan-cu, semenjak tadi menahan senjatanya. Ia
seorang gadis yang mewarisi ilmu kepandaian tinggi, pandang matanya awas dan
tajam. Melihat gerak-gerik si buta ini, jantungnya berdebar. Segera ia dapat
mengenal dasar-dasar gerakan yang aneh dan luar biasa, dasar ilmu silat yang
sakti. Oleh karena itu, meski pun ia ikut mendekat, namun ia tidak berani
sembrono melakukan penyerangan. Ia masih belum tahu apa kehendak orang buta
yang aneh itu, tidak tahu apakah dia itu kawan atau lawan dan apa pula yang
hendak dilakukan dengan perampasan mahkota itu.
Akan tetapi
melihat si buta menentang dua perkumpulan penjahat sekaligus, di dalam hati
gadis itu sudah menganggap Kun Hong sebagai kawan. Karena itu ia bersikap
waspada, pedang di tangan untuk siap membantu kalau-kalau pemuda buta itu
terancam bahaya pengeroyokan puluhan orang banyaknya itu.
Dalam waktu
hampir bersamaan pelbagai senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan terlatih
itu menyambar ke arah tubuh Kun Hong. Yang terdahulu sekali adalah dayung di
tangan Bhe Ham Ko yang menyambar ke arah kepalanya, mengeluarkan suara mengiung
saking kerasnya. Dayung ini menyambar dari kanan ke kiri. Lalu disusul
berkelebatnya golok besar di tangan Lauw Teng. Sambaran golok ini mengarah ke
leher, juga cepat dan bertenaga hingga mengeluarkan suara mendesing. Kemudian
sepasang pedang di tangan Ban Kwan Tojin pembantu Lauw Teng itu meluncur
datang, yang kiri menusuk lambung yang kanan menyerampang kaki. Gerakan ini
dilakukan oleh tosu itu dengan menekuk lutut, cepat dan berbahaya sekali
datangnya pedang, hampir tak dapat diikuti pandangan mata.
Diam-diam
gadis jelita baju hitam mengeluarkan keringat dingin. Ia harus mengaku bahwa
tiga orang ini bukanlah merupakan lawan yang lunak. Andai kata ia sendiri yang
diserang secara berbareng seperti itu, hanya dengan meloncat jauh mengandalkan
ginkang (ilmu meringankan tubuh) saja agaknya akan dapat menyelamatkan dirinya.
Akan tetapi orang buta itu tak kelihatan bergerak sama sekali, masih berdiri tegak
dengan tangan kiri yang memegang mahkota diangkat tinggi, ada pun tangan kanan
memegangi tongkat melintang di depan dada...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment