Sunday, July 29, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Buta Jilid 02



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
           Serial Pendekar Buta

                     Jilid 02



Tetapi tiba-tiba kelihatan sinar merah berkilat menyambar-nyambar, merupakan gulungan sinar merah yang menyilaukan mata, disusul suara nyaring berdencingnya senjata tajam saling bertemu dan Tiga orang pengeroyok ini berseru kaget dan masing-masing melompat mundur sampai tiga meter lebih.

Ketika semua orang yang tadi menjadi silau matanya oleh sinar merah yang bergulung-gulung itu kini dapat memandang penuh perhatian, mereka melihat bahwa Bhe Ham Ko bengong memandang dayungnya yang sudah patah menjadi dua potongan kecil di kedua tangannya. Lauw Teng melongo menatap tangan kanannya yang hanya memegangi gagang golok sedangkan Ban Kwan Tojin merah mukanya karena pedangnya yang kanan terbang entah ke mana sedangkan yang kiri sudah semplok (patah) ujungnya!

Apa bila semua orang memandang kepada pemuda buta itu, ternyata si buta ini masih saja berdiri seperti tadi dengan tangan kiri tinggi-tinggi di atas kepala memegang mahkota emas sedangkan tangan kanan masih memegang tongkat melintang!

Apakah pemuda buta ini main sihir? Demikian para anak buah dua perkumpulan penjahat itu bertanya-tanya dan merasa bingung, juga kaget, heran dan gentar. Akan tetapi tentu saja dugaan ini tidak betul dan para pengeroyok tadi, juga si gadis baju hitam tahu belaka betapa secara hebat pemuda buta itu tadi menggerakkan tongkatnya yang butut dan tampaklah sinar merah bergulung-gulung yang menangkis dan merusak semua senjata itu. Mereka dibuat begitu heran akan kehebatan tongkat itu yang demikian ampuhnya sehingga bisa mematahkan senjata-senjata tajam dan berat. Bukankah tongkat itu hanya tongkat kayu belaka?

Tentu saja tidak demikian keadaan yang sesungguhnya. Walau pun hanya tongkat kayu, akan tetapi sebelah dalamnya berisi pedang Ang-hong-kiam, pedang pusaka yang ampuh sekali. Apa lagi digerakkan oleh tangan yang memiliki tenaga dan kepandaian sakti seperti Kun Hong, sudah tentu para kepala penjahat itu bukanlah tandingannya!

Kun Hong tersenyum kemudian berkata, "Mahkota sudah berada di tanganku, dan akan kukembalikan kepada yang berhak. Kalian tidak usah saling bermusuhan, apa lagi sampai bunuh-membunuh. Lebih tidak baik lagi apa bila kalian meneruskan pekerjaan kalian yang hina dan kotor ini, pasti kelak tidak akan membawa kalian kepada keselamatan hidup. Sudahlah, aku akan pergi..."

Setelah berkata demikian, dengan langkah perlahan-lahan pemuda buta itu berjalan maju. Tongkatnya yang dipakai meraba-raba ke depan mendahului kedua kakinya. Oleh karena dia buta, tentu saja dia tidak tahu bahwa dia telah salah mengambil jurusan sehingga dia bukan hendak meninggalkan tempat itu, melainkan dia malah menuju ke arah kelompok pohon-pohon besar yang memenuhi hutan kecil di lereng bukit.

Kun Hong agak bingung ketika tongkatnya bertemu dengan batang-batang pohon. Dia lalu meraba-raba dan berjalan di antara pohon-pohon. Ketika dia melangkah maju, dia tidak melihat bahwa di atasnya ada sebuah cabang pohon yang tergantung rendah. Tahu-tahu kepalanya tertumbuk kepada batang pohon ini. Kagetnya bukan main karena jika yang memukul kepala itu adalah serangan lawan, tentu dia dapat mendengar angin pukulannya. Cepat dia miringkan kepala, akan tetapi tak dapat dia mencegah keluarnya ‘telur kecil’ menyendul di dahinya yang mencium batang pohon tadi!

Semua orang yang berada di situ saling pandang dan tanpa terasa lagi muka tiga orang tokoh yang keheranan tadi berubah menjadi merah sekali. Orang buta macam begitu saja tak mampu mereka robohkan! Bahkan hanya dalam satu kali gebrakan saja mereka telah kehilangan senjata! Padahal si buta itu mencari jalan pun tidak becus!

"Serang dia!" Hampir berbareng Lauw Teng dan Bhe Ham Ko berseru.

Ributlah para anak buah bajak dan rampok berlarian maju, menghujani tubuh Kun Hong dengan serbuan senjata mereka. Akan tetapi kini Kun Hong tidak mau memberi hati lagi. Dia tadi turun tangan dengan maksud untuk mencegah mereka saling bunuh dan sengaja dia menimpakan rasa permusuhan mereka kepada dirinya karena dia yakin bahwa dia mampu menjaga diri sendiri.

Melihat dirinya dikepung dan diserbu, dia cepat menggerakkan tongkatnya ke arah suara senjata yang menyerangnya. Sinar merah bergulung-gulung dan segera terdengar suara senjata beradu bertubi-tubi, disusul pekik kesakitan dan tampaklah senjata-senjata para pengeroyok itu beterbangan seperti daun-daun kering rontok tertiup angin.

Kali ini Kun Hong sengaja menujukan tongkatnya kepada tangan-tangan yang memegang senjata sehingga dalam sekejap mata saja belasan pengeroyok sudah terluka tangannya, luka berdarah yang meski pun tidak membahayakan keselamatan mereka, namun cukup parah sehingga membuat mereka tak berdaya dan tak dapat mengeroyok pula. Serbuan gelombang ke dua juga mengakibatkan belasan orang pengeroyok lain mundur dan memegangi tangan yang terluka, malah kali ini tidak ketinggalan tangan Lauw Teng, Bhe Ham Ko dan tosu Ban Kwan Tojin juga terluka!

Melihat kehebatan pemuda buta ini, para pengeroyok menjadi gentar juga, apa lagi ketika Kun Hong yang kini berdiri tegak menghadapi mereka itu berkata, suaranya nyaring dan penuh pengaruh, "Jangan kira bahwa aku tidak mampu mengubah luka pada tangan dengan tebasan pada leher atau tusukan pada ulu hati. Hemmm, orang-orang sesat, apakah kalian masih ingin merampas mahkota ini yang bukan menjadi hak milik kalian? Sadarlah bahwa perbuatan busuk tak akan pernah mendatangkan kebahagiaan dan keselamatan!"

Semua orang kini memandang betapa si buta itu melanjutkan perjalanannya, hati-hati sekali berjalan didahului rabaan tongkatnya, malah sekarang agak membungkuk-bungkuk karena takut kalau-kalau kepalanya bertumbukan dengan dahan pohon yang rendah lagi.

"Sinshe buta, berhenti kau!" tiba-tiba saja orang tinggi besar muka hitam yang tadi datang bersama Bhe Ham Ko melompat ke depan dan menghadang di depan Kun Hong.

Mendengar desir angin lompatan ini, Kun Hong maklum bahwa orang yang baru datang menyusulnya ini mempunyai kepandaian yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tiga orang pengeroyoknya tadi.

"Sahabat siapakah dan ada keperluan apa menahanku?"

"Kau tinggalkan mahkota itu dan aku masih akan mengampuni perbuatanmu mengacau di sini dan menghina kakak iparku, Kiang-liong Pangcu!"

"Hemm, kau siapakah berani bicara sesombong ini?" Kun Hong bertanya.

"Bukalah telingamu baik-baik. Tuan besarmu ini adalah Tiat-jiu (Si Tangan Besi) Souw Ki, seorang di antara tujuh pengawal kaisar. Mahkota itu adalah benda pusaka dari dalam istana yang dicuri kemudian dibawa lari oleh bekas pembesar Tan Hok yang berhenti dan mengundurkan diri. Siapa yang merampas mahkota ini berarti dialah pencurinya dan patut dihukum sebagai pengkhianat atau pemberontak. Nah, kau serahkan benda itu padaku!"

Pihak Hui-houw-pang terkejut bukan main mendengar pengakuan orang tinggi besar ini. Mereka, terutama Lauw Teng, lalu memandang penuh perhatian. Kun Hong sendiri juga terkejut. Tak disangkanya bahwa dia akan bertemu kembali dengan seorang di antara tujuh pengawal Pangeran Mahkota Kian Bun Ti yang sekarang sudah menjadi calon kaisar karena kematian kaisar tua sehingga dengan sendirinya tujuh orang pengawalnya itu akan naik pangkat menjadi pengawal kaisar pula. Setelah mendengar namanya, baru Kun Hong mengenal kembali suara orang ini.

Agaknya Tiat-jiu Souw Ki sendiri lupa kepadanya dan tidak mengenalnya. Hal ini tidak aneh pula karena dia sudah menjadi buta dan di puncak Thai-san tiga tahun yang lalu, ketika Tiat-jiu Souw Ki dan keenam orang temannya datang pula mengacau, Kun Hong belum buta. Lebih besar lagi keheranan dan kekagetannya ketika dia mendengar dari mulut pengawal itu bahwa pembesar yang sudah dirampok, yang katanya telah mengambil dan melarikan mahkota ini dari istana, bukan lain adalah Tan-taijin yang merupakan kakak angkat dari Tan Beng San!

"Tidak boleh orang merampas dari tanganku," kata Kun Hong tenang dan suaranya keras. "Kalau kalian tadinya merampas benda ini dari pembesar she Tan itu, maka aku harus mengembalikan kepadanya juga."

"Keparat, berani kau melawan pengawal kaisar?!" Tiat-jiu Souw Ki membentak.

Tanpa menanti jawaban Kun Hong dia sudah mengirim pukulan dengan tangan kanannya yang disertai hawa pukulan dan tenaga dalam yang membuat kepalannya itu sekeras besi. Memang Souw Ki ini pada waktu mudanya melatih tangannya dengan bubuk besi sehingga sekarang dia memiliki Ilmu Tiat-see-ciang (Pukulan Pasir Besi) yang membuat kepalannya keras bagai besi dan karena ini pula dia mendapat julukan Tiat-jiu (Si Tangan Besi). Sambaran pukulan tangan ini sudah cukup untuk diketahui Kun Hong mengenai keahlian lawan. Akan tetapi dia tak gentar, malah mengempit tongkatnya dan menggunakan tangan dan memapaki pukulan itu dengan dorongan telapak tangannya.

"Dukkk!"

Kepalan yang besar dan keras itu bertemu dengan telapak tangan Kun Hong yang putih dan halus bagaikan tangan wanita. Akibatnya luar biasa sekali. Souw Ki merasa betapa kepalannya bagai bertemu dengan kapas, seolah-olah tenaganya tenggelam ke dalam air dan sebelum dia sempat menarik tangannya, dari telapak tangan itu timbul hawa panas yang membakar tangannya. Tubuhnya menggigil, dia jatuh berlutut dan lengan tangannya serasa lumpuh. Kagetnya bukan main dan cepat-cepat dia menarik tangannya sambil mengerahkan tenaga.

Kun Hong melepaskan tangan lawannya. Betapa kaget hati Souw Ki saat melihat kepalan tangannya membengkak dan mulailah terasa nyeri menusuk-nusuk. Dia segera melompat mundur dan menyeringai kesakitan. "Tanganmu tidak apa-apa, besok akan lenyap rasa nyerinya," kata Kun Hong. "Salahmu sendiri menggunakan tenaga beracun dan kini hawa pukulan sudah menyerang tanganmu sendiri." Setelah berkata demikian, Kun Hong melanjutkan langkahnya.

Tak seorang pun akan mencoba untuk menyerang lagi sekarang, setelah melihat betapa semua serangan dapat dipatahkan sekali gebrak saja oleh pemuda buta. Melihat si buta itu berjalan dengan tongkat di depan, kelihatannya begitu lemah, begitu tak berdaya, akan tetapi hampir seratus orang banyaknya itu tidak dapat menghalanginya membawa pergi mahkota itu, benar-benar amat mengherankan! Orang-orang itu hanya mengikutinya dari jauh tak seorang pun mengeluarkan suara.

Diam-diam gadis jelita baju hitam itu pun mengikuti dari jauh. Ia makin kagum kepada Kun Hong, dan dia juga dapat melihat sikap para penjahat itu yang agaknya tidak akan mau mengalah begitu saja. Siapakah pemuda buta ini? Lihai bukan main! Dari mana datangnya dan apa maksud sebenarnya membawa pergi mahkota kuno? Demikian bermacam pikiran mengaduk di hati Bi-yan-cu. Sengaja gadis ini menyelinap di antara pepohonan dan menghilang dari pandangan mata orang banyak, lalu diam-diam ia mengikuti semua kejadian atas diri Kun Hong.

Setelah Kun Hong menembus hutan kecil penuh pepohonan itu, barulah si gadis jelita itu terkejut sekali dan maklum apa yang diharapkan oleh para penjahat itu. Kiranya, tanpa diketahuinya, orang buta itu salah jalan. Dia menuju ke sebuah tebing yang buntu karena berujung jurang yang amat curam dan luas, tak mungkin dilalui manusia!

Tanpa diketahuinya, si buta itu berjalan perlahan-lahan, tongkatnya meraba-raba menuju ke pinggir jurang. Ada pun di belakangnya, hampir seratus orang dari kedua perkumpulan penjahat itu mengikutinya, siap sedia dengan senjata di tangan, bahkan ada yang sudah mementang busur!

Melihat betapa orang buta itu menghadapi bahaya maut yang hebat, Bi-yan-cu ingin berteriak memberi peringatan. Akan tetapi ia menahan hatinya. Mengapa ia harus berbuat demikian? Ia tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan si buta, kecuali bahwa mahkota itu kini berada pada si buta dan harus ia rampas. Si buta itu boleh mampus di tangan penjahat-penjahat ini, apa sangkut pautnya dengannya?

Pula, orang buta itu masih muda dan tampan sekali, kalau ia seorang gadis tanpa alasan membelanya, bukankah orang akan menyangka yang bukan-bukan terhadap dirinya? Apa lagi kalau diingat betapa si buta tadi demikian dekat dan baik dengan gadis pesolek genit anak Lauw Teng, dapat diduga bahwa orang buta itu pun bukan orang baik-baik biar pun kepandaiannya benar-benar amat lihai. Biarlah mereka saling gempur, dan ia mencari kesempatan baik merampas mahkota itu. Inilah siasat membiarkan anjing-anjing merebutkan daging sambil menunggu kesempatan untuk menyambar daging itu!

Ketika akhirnya tongkatnya meraba tempat kosong, Kun Hong juga merasa kaget sekali. Diraba-rabanya sekali lagi ke depan, kanan kiri sama saja. Sudah jelas bahwa tongkatnya memang meraba tempat kosong. Dia berjongkok, mencoba untuk mengukur dalamnya ‘lobang’ di depannya itu, siapa tahu hanya sungai kecil. Tapi, biar pun dia sudah mengulur lengan dan tongkatnya, masih juga belum menyentuh dasarnya. Dan dia tidak mendengar suara air sungai.

Dia lalu mundur dan melangkah dua tindak ke belakang, keningnya berkerut. Telinganya mendengar suara burung jauh di bawah ketika dia berjongkok tadi. Tahulah dia sekarang bahwa di depannya adalah jurang yang sangat curam, bahwa di ‘bawah’ sana itu adalah kaki gunung, dusun-dusun dan pohon-pohon di mana burung-burung beterbangan!

"Kwa-sinshe, kau masih tidak mau menyerahkan mahkota itu?!"

Tiba-tiba saja dia mendengar suara bentakan di belakangnya, suara Lauw Teng, juga dia mendengar langkah kaki puluhan orang banyaknya, bergerak berindap-indap ke arahnya dari belakang, kanan dan kiri. Dia maklum bahwa dirinya sudah terkurung dari kanan kiri belakang oleh para lawannya, sedangkan dari depan dihalangi jurang yang tidak mungkin dilalui. Dia membalik, tersenyum dan menjawab,

"Pangcu, kalau mahkota ini terjatuh ke tanganmu, tentu orang-orang Kiang-liong-pang tak akan diam begitu saja dan akan merampasnya dari tanganmu, sebaliknya kalau kuberikan kepada ketua Kiang-liong-pang, tentu kau dan semua anak buahmu juga tidak akan mau menerima begitu saja. Karena itu, biarlah tetap di tanganku dan kalian tidak usah saling bermusuhan." Kun Hong melangkah maju, ingin segera menjauhi pinggir jurang karena hal ini amat berbahaya baginya.

Akan tetapi atas dorongan ketua kedua perkumpulan, para bajak dan perampok segera menyerbu, didahului melayangnya puluhan batang anak-anak panah ke arah Kun Hong! Pemuda buta itu cepat memutar tongkatnya dan anak-anak panah itu runtuh semua, ada yang melejit dan meluncur kembali menyerang tuannya sendiri.

Meski Kun Hong dihujani anak panah, akan tetapi tak sebuah pun dapat menyentuhnya. Tongkat yang dia gerakkan merupakan perisai yang sangat tangguh, juga gerakannya mengandung hawa sakti yang amat kuat sehingga anginnya saja cukup untuk mengusir pergi anak panah yang mendekatinya.

Akan tetapi puluhan orang itu terus mendesak maju, kini menggunakan toya, tombak dan senjata-senjata panjang lainnya. Kun Hong menangkis, mematahkan banyak tombak dan toya, merobohkan banyak pengeroyoknya dengan melukai mereka tanpa membahayakan keselamatan nyawa.

Karena menghadapi pengeroyokan berat, dia terpaksa harus bergerak ke sana ke mari, mulai menendang untuk membantu tongkatnya. Dia tak gentar menghadapi pengeroyokan orang-orang yang baginya bukan merupakan lawan yang tangguh itu... akan tetapi karena para penjahat itu mengeroyoknya sambil berteriak, hal ini sangat membingungkan Kun Hong.

Harus diketahui bahwa pemuda buta ini dalam setiap pertempuran hanya mengandalkan telinganya. Sekarang orang-orang itu mengeluarkan teriakan-teriakan gaduh, tentu saja pendengarannya menjadi kacau-balau sehingga dia tidak dapat menangkap desir angin sambaran senjata lagi. Dalam keadaan begini terpaksa Kun Hong hanya mainkan tongkat melindungi dirinya saja, dan terpaksa dia menggunakan kakinya untuk menendang dan merobohkan lawan, sebab untuk merobohkan lawan dengan tongkatnya, dia juga khawatir kalau-kalau akan menewaskannya.

Mendadak di antara para pengeroyok itu ada yang mengeluarkan tambang panjang, yang dipegang melintang serta dipasang di depan Kun Hong yang masih sibuk menghadapi pengeroyokan. Secara tiba-tiba tambang lalu ditarik dan digunakan untuk membetot kaki orang buta itu. Kun Hong kaget dan cepat melompat ke sana ke mari. Akan tetapi celakalah dia kalau sampai jatuh karena libatan tambang. Orang-orang yang mengeroyoknya bersorak dan pengeroyokan menjadi semakin ketat.

"Manusia-manusia curang!"

Bi-yan-cu tak dapat menahan kemarahannya lagi dan sesosok bayangan hitam berkelebat didahului sinar pedang yang amat menyilaukan mata. Pekik kesakitan segera terdengar susul-menyusul, dan beberapa orang penjahat roboh oleh pedang si gadis yang ampuh.

"Hee... jangan...!" Kun Hong berteriak mendengar jeritan-jeritan itu, akan tetapi pada saat itu dia lupa dan melompat agak jauh.

Celaka baginya, dia justru melompat ke arah jurang, tepat di tepinya. Kakinya terpeleset dan tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terguling masuk ke dalam jurang. Para bajak dan perampok bersorak-sorai dan mereka kini membalik untuk mengeroyok gadis jelita baju hitam yang mengamuk seperti seekor naga betina.

Sebetulnya, ketua dari dua perkumpulan penjahat itu tidak ada nafsu untuk mengeroyok Bi-yan-cu, karena selain mereka tidak suka bermusuhan dengan puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui si raja kecil dari pantai Po-hai, juga mahkota kuno yang diperebutkan berada di tangan si buta yang kini sudah terjungkal ke dalam jurang. Perlu apa ribut-ribut dengan gadis liar itu?

Akan tetapi, keadaannya lain sekarang. Bukan mereka yang sengaja mengeroyok, adalah Bi-yan-cu yang sengaja mengamuk! Entah bagaimana, melihat betapa pemuda buta itu dikeroyok sampai terjungkal ke dalam jurang, gadis ini menjadi marah sekali dan lantas mengamuk seperti ayam betina diganggu anaknya. Karena amukan gadis ini merobohkan banyak anak buah bajak dan perampok, dua orang ketua itu bersama para pembantunya menjadi marah. Mereka lalu berbareng menyerbu, maka dikeroyoklah Bi-yan-cu oleh banyak orang kosen.

Ilmu pedang gadis itu benar-benar hebat, tepat seperti yang diduga oleh Kun Hong tadi. Gerakannya lincah dan lemas, seperti gadis sedang menari-nari dengan indahnya, namun setiap gerakan pedang pasti mematahkan senjata lawan atau melukainya.

Betapa pun juga, menghadapi pengeroyokan Lauw Teng, Ban Kwan Tojin, Bhe Ham Ko, lima orang tamu undangan termasuk Tiat-jiu Souw Ki yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi juga, gadis ini mulai terdesak. Ilmu pedangnya yang sakti, yaitu Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut (Ilmu Pedang Bidadari) sementara ini memang mampu menyelamatkan dirinya. Gerakannya masih tetap lincah dan indah, akan tetapi lewat seratus jurus, ia mulai lelah.

"Ha-ha-ha-ha, gadis liar, apakah engkau masih hendak mengamuk lagi? Hemmm, melihat muka ayahmu, asal kau melepaskan pedang dan berlutut minta maaf, biarlah kulepaskan kau!" kata Lauw Teng yang bagaimana pun juga masih merasa khawatir kalau-kalau dia menimbulkan bibit permusuhan dengan raja kecil pantai Po-hai yang amat terkenal itu.

"Lebih baik mampus dari pada minta maaf kepada penjahat-penjahat keji macam kalian!" Bi-yan-cu berseru sambil memutar pedangnya dengan cepat sehingga pedang itu berubah menjadi gundukan sinar kemilauan. Gadis itu bahkan memaki. "Manusia-manusia curang, kalau memang gagah jangan main keroyokan!"

Sekali gulungan sinar pedang itu menyambar ke kiri, salah seorang pengeroyok menjerit akibat pundaknya terbabat pedang. Baiknya ia masih sempat melempar diri ke belakang sehingga hanya kulit dan bagian daging pundaknya saja yang sapat oleh pedang. Namun cukup mendatangkan rasa perih dan nyeri bukan main sehingga ia pun melompat mundur sambil merintih-rintih.

Lagi terdengar jeritan keras ketika pedang Bi-yan-cu yang dikelebatkan ke belakangnya berhasil merobek kulit dan daging paha seorang pengeroyok lainnya, malah dalam detik berikutnya pedang itu sudah menusuk ke arah leher Bhe Ham Ko dengan kecepatan kilat. Orang she Bhe ini berseru kaget dan tak kuasa untuk menangkis atau mengelak lagi, dia sudah meramkan mata menanti datangnya maut.

"Tranggg!"

Ruyung di tangan Tiat-jiu Souw Ki menangkis pedang yang akan merenggut nyawa kakak isterinya itu. Ujung ruyungnya terbabat putus, akan tetapi tubuh gadis itu sendiri terhuyung mundur, tangannya terasa sakit. Bi-yan-cu maklum bahwa tenaga lweekang dari Si Tangan Besi itu benar-benar amat kuat. Sebelum dia berhasil mengambil kedudukannya, kembali dia sudah diserang gencar oleh senjata-senjata lawan secara bertubi-tubi. Sekali putar saja pedangnya dapat menangkis semua senjata, sedangkan ruyung yang sudah menghantam pinggangnya telah ia tangkis dengan sebuah tendangan keras menggunakan tumit kakinya.

Pada saat itu pula, golok dan pedang lawan yang lain sudah menggempurnya. Bi-yan-cu menggoyang pedangnya, tapi agaknya para pengeroyoknya yang terdiri dari orang-orang pandai ini sudah bersepakat untuk mengalahkannya. Dari kanan kiri datang golok dan pedang yang menjepit pedangnya. Bi-yan-cu kaget, mengerahkan tenaga untuk menarik pulang pedangnya. Akan tetapi pada saat itu, sebatang pedang lain menyerampang kakinya. Cepat ia meloncat ke atas dan tak dapat dicegah lagi ia harus menerima hantaman dayung yang datang dari arah kanan, menggunakan pangkal lengan kanannya.

"Bukkk!"

Hantaman itu membuat tubuhnya tergetar, tangan kanannya lumpuh kaku dan terpaksa ia melepaskan pedangnya untuk dapat meloncat ke atas, lalu membalik ke belakang dan keluar dari kepungan.

"Hayo berlutut minta ampun kalau tidak mau mampus!" sekali lagi Hui-houw Pangcu Lauw Teng membentaknya.

Gadis itu berdiri dengan tegak, matanya berapi-api, kepalanya dikedikkan dan mulutnya tersenyum mengejek. Ia adalah puteri seorang gagah perkasa dan semenjak kecil sudah digembleng tentang kegagahan. Mati bukanlah apa-apa bagi Bi-yan-cu. Sambil mengeluarkan pekik nyaring gadis ini malah menerjang maju lagi dengan tangan kosong, menggunakan kepalan tangan dan tendangan kaki! Para pengeroyoknya yang sudah menjadi marah itu menyambutnya dengan hujan bacokan.

"Cring-cring-cring...!"

Sinar merah berkelebat dan senjata-senjata para pengeroyok itu berpelantingan. Semua orang mundur penuh keheranan dan ... kiranya si buta sudah berada di situ. Si buta inilah yang tadi menangkis semua senjata itu, menolong nyawa Bi-yan-cu. Dan tangan kiri yang diangkat tinggi-tinggi itu masih memegang mahkota yang diperebutkan!

Pada waktu Kun Hong menginjak pinggir jurang yang mengakibatkan dia terperosok dan terguling ke dalam jurang, pemuda ini tidak kehilangan akal. Dengan menahan napas dia mengerahkan seluruh kekuatan ginkang-nya, memutar tongkatnya menusuk-nusuk ke kiri dan kanan. Akhirnya usahanya berhasil. Sebelum terlalu dalam dia terjatuh, ujung tongkat yang ditusukkan telah menancap pada dinding jurang yang merupakan tanah keras. Dia bergantungan di situ. Mahkota itu dia selipkan dalam buntalan di punggungnya, kemudian tangan kirinya meraba-raba. Begitu mendapat pegangan, yaitu batu yang menonjol pada dinding itu, dia mencabut pedang, menggunakan tangan kiri menarik tubuh ke atas dan menancapkan pedangnya di sebelah atas.

Demikianlah, meski lambat akhirnya dia berhasil merambat ke atas kembali dan meloncat ke luar dari jurang yang merupakan mulut maut yang akan menelannya. Dan tepat sekali dia masih keburu menyelamatkan Bi-yan-cu dari bahaya maut di tangan para penjahat.

Melihat munculnya si buta ini, Lauw Teng dan kawan-kawannya menjadi amat kaget dan khawatir sekali. Akan tetapi Tiat-jiu Souw Ki yang berpikiran cepat dan cerdik itu segera berkata, "Tawan dulu gadis liar ini!" Dia mendahului menubruk ke arah Bi-yan-cu, disusul kawan-kawannya.

Gadis itu tadinya merasa amat heran, kaget dan juga girang melihat Kun Hong, sekarang dengan cepat dia berusaha untuk melawan. Akan tetapi karena lengan kanannya terasa kaku dan lumpuh, sia-sia saja dia melawan dan akhirnya dapatlah dia diringkus dan diikat kaki tangannya.

"Sinshe buta, jangan bergerak atau... gadis ini akan kami bunuh lebih dulu!" teriak Tiat-jiu Souw Ki dengan suara nyaring sambil menempelkan ruyungnya pada kepala Bi-yan-cu.

Lemas seluruh tubuh Kun Hong mendengar ini. Karena matanya sudah buta, ilmu silatnya hanya bisa dia pergunakan untuk menjaga diri, yaitu dia dapat menghadapi tiap serangan dan sekalian merobohkan lawannya. Akan tetapi untuk menyerang orang, sungguh sukar baginya, apa lagi untuk menolong gadis yang dikeroyok itu.

Dengan mengandalkan pendengarannya terhadap angin pukulan senjata, tadi dia masih dapat menggerakkan tongkat untuk menghalau semua senjata itu. Sekarang tak mungkin dia secara mengawur dapat mengamuk. Pula, bukan maksudnya untuk menyerang orang kalau dia sendiri tidak diganggu. Maka sejenak dia menjadi bingung, tak tahu dengan cara bagaimana dia dapat menolong puteri dari Sin-kiam-eng Tan Beng Kui.

"Sudahlah," akhirnya ia pun berkata dengan suara rendah. "Kalian menghendaki mahkota butut ini? Nah, kalian boleh menerimanya asal gadis itu dibebaskan."

Lauw Teng, Ban Kwan Tojin, Souw Ki, dan Bhe Ham Ko saling memandang. Lalu Tiat-jiu Souw Ki mewakili mereka semua bersuara,

"Sinshe buta, kami baru mau membebaskan gadis ini kalau kau suka menyerah menjadi tawanan kami dan menyerahkan mahkota itu."

Kun Hong mengerutkan kening. Tentu saja sangat berbahaya baginya kalau dia sampai menyerah dan menjadi tawanan orang-orang yang kejam ini. Besar kemungkinan ia akan dibunuh mati. Sebaliknya, jika tidak menyerah dan mengamuk, sungguh pun dia mampu mengalahkan mereka, namun gadis puteri Tan Beng Kui itu pun terancam keselamatan nyawanya.

Gadis yang menurut suaranya baru belasan tahun usianya itu benar-benar amat sayang kalau harus mati, apa lagi ia adalah puteri Tan Beng Kui, atau lebih tepat lagi, ia apa lagi kemenakan Tan Beng San Taihiap! Berbeda dengan dia, hanya seorang buta yang tidak berharga, baik jiwa mau pun raganya. Mati baginya hanya berarti mempercepat persatuan kembali dengan mendiang Tan Cui Bi, kekasihnya, matahari hidupnya!

"Baiklah, aku menyerah. Lekas kalian bebaskan gadis itu!" katanya sambil menarik napas panjang.

"Ha-ha-ha, pengemis buta! Jangan dikira kami begitu bodoh. Kau harus menyerah untuk dibelenggu kedua tanganmu!" Bhe Ham Ko tertawa mengejek.

Kun Hong tersenyum masam, menahan kemarahannya, lalu ia mengulurkan kedua lengan disejajarkan ke depan. "Boleh, kalian belenggulah."

Seorang anak buah Kiang-liong-pang yang diberi isyarat oleh ketuanya lalu melangkah maju, membawa tambang kulit kerbau yang kuat sekali.

"Jangan mau menyerah! Kau akan dibunuh oleh penjahat-penjahat jahanam ini!" tiba-tiba Bi-yan-cu berseru nyaring.

Kun Hong menggelengkan kepala. "Lebih baik aku yang dibunuh. Apa sih artinya orang buta seperti aku? Hayo, kalian belenggulah aku, tapi lepaskan dulu gadis itu!"

"Kau harus dibelanggu lebih dulu!" Kata Bhe Ham Ko. Tentu saja dia tidak menghendaki si buta ini kemudian tidak memegang janjinya setelah si gadis dibebaskan.

"Hah, kalian tidak percaya kepadaku. Hemmm, sebaliknya bagaimana aku dapat percaya kepada kalian?"

"Jangan mau diperdayai!" kembali gadis itu mencela dengan suaranya yang nyaring. "Jika mereka berani menggangguku, ayah tentu akan datang dan menghancurkan jiwa anjing mereka, tidak seekor pun akan diampuni!"

Kun Hong tidak membantah ketika anak buah bajak itu membelenggu kedua pergelangan tangannya dengan tali kulit yang amat kuat itu. Juga mahkota itu diambil dari buntalannya dan diserahkan orang kepada Souw Ki yang lalu tertawa bergelak.

"Lepaskan gadis liar itu," kata Souw Ki. "Jangan sampai dunia kang-ouw mengatakan kita tidak memegang janji. Nona, katakan pada ayahmu bahwa bukan sekali-kali kami hendak memusuhinya, akan tetapi karena kau sendiri yang memusuhi kami, maka terpaksa kami bertindak. Kau harus tahu bahwa aku adalah pengawal kaisar. Karena benda ini adalah milik istana, sudah menjadi kewajibanku untuk mengambilnya kembali."

Nona itu dibebaskan. Ia meloncat berdiri akan tetapi terhuyung-huyung. Kakinya terasa kaku dan tangan kanannya tak dapat digerakkan, agaknya ada tulang yang patah. Ia pergi menjemput pedangnya yang menggeletak di atas tanah, memegangnya dengan tangan kiri, dipegangnya erat-erat sambil menggigit bibir.

Ingin dia mengamuk dan membunuh semua penjahat ini untuk merampas mahkota dan menolong si buta, akan tetapi dia tidak begitu bodoh dan tahu-pula bahwa usahanya ini akan sia-sia dan hanya akan mengorbankan nyawa dengan sia-sia belaka. Andai kata belum terluka lengan kanannya tentu ia tak akan menyerah mentah-mentah.

Ia berdiri seperti patung melihat betapa ujung belenggu yang masih panjang ditarik orang dan si buta itu diseret seperti orang menuntun kerbau saja. Beberapa kali kaki Kun Hong tersandung batu dan terhuyung-huyung akan jatuh, ditertawai oleh anak buah bajak dan rampok.

Tanpa menggunakan tongkatnya untuk meraba jalan di depan kakinya, tentu saja dia tak dapat berjalan dengan baik, tak dapat melihat adanya batu-batu yang menghalang kedua kakinya, apa lagi diseret-seret seperti itu. Tongkat itu masih dipegangnya, akan tetapi tak dapat digunakan karena kedua tangannya harus diangkat agak tinggi ketika diseret.

"Kenapa... kenapa kau lakukan ini...?" gadis itu berteriak, menahan isak.

Kun Hong mendengar ini, biar pun teriakan itu sebenarnya hanya nyaring di dalam hati gadis itu, yang keluar dari bibirnya hanya keluhan perlahan. Ia menengok dan tersenyum, berkata, "Nona, mengingat pamanmu, Tan Beng San taihiap, aku rela melakukan ini..."

Sementara itu, kesibukan nampak pada para pimpinan kedua perkumpulan yang tadinya saling bermusuhan tapi sekarang telah berbaik kembali.

"Souw-ciangkun, dalam merampas kembali mahkota ini dari tangan bekas pembesar Tan, kami pun mempunyai jasa, harap jangan lupakan ini!" terdengar Lauw Teng berkata.

Tiat-jiu Souw Ki tertawa. "Jangan khawatir, Lauw-pangcu. Aku akan membawa kembali mahkota ini ke kota raja dan di hadapan sri baginda kaisar pasti akan kulaporkan tentang jasa Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang. Tunggu saja, tak lama lagi kalian semua akan memperoleh anugerah dari kaisar."

Para anak buah bajak dan rampok bersorak gembira. Souw Ki lalu memilih sepuluh orang dari Hui-houw-pang dan sepuluh orang lagi dari Kiang-liong-pang untuk mengawalnya ke kota raja. Malah Ban Kwan Tojin yang hendak berpesiar ke kota raja pun turut menyertai rombongan ini. Hui-houw-pang yang merasa berterima kasih bahwa adik ipar dari bekas musuhnya ini ternyata tidak memusuhinya cepat menyediakan dua puluh dua ekor kuda yang kuat-kuat untuk rombongan itu.

Berangkatlah dua puluh dua orang itu naik kuda. Anak buah yang kudanya jalan paling belakang memegang ujung tali belenggu tangan Kun Hong. Begitu kuda bergerak, tubuh Kun Hong tersentak ke depan. Terpaksa pemuda buta ini lari pontang-panting, meloncat-loncat agar jangan tersandung batu, dengan kedua tangan diacungkan ke depan. Dia terhuyung-huyung ke depan dan agaknya penglihatan ini amat lucu bagi kedua golongan hitam, buktinya mereka tertawa bergelak-gelak dengan geli. Bi-yan-cu menyelinap pergi di antara pepohonan, tangan kiri yang menggenggam gagang pedang diusapkan ke depan muka untuk menghapus air mata yang berderai jatuh ke atas kedua pipinya….

Tiat-jiu Souw Ki memang seorang yang amat cerdik. Ketika mendengar bahwa pemuda buta ini pandai ilmu pengobatan, timbul niat hatinya untuk memaksa pemuda itu ikut ke kota raja agar dapat dipergunakan kepandaiannya itu. Tentang kepandaiannya ilmu silat yang demikian hebatnya, ah, tak usah dikhawatirkan karena betapa pun pandainya orang buta tentu mudah ditipu. Meski kuda-kuda itu berlari tidak terlalu cepat, tapi keadaan Kun Hong yang diseret-seret cukup sengsara. Berkali-kali dia terperosok ke dalam lubang di tanah, atau tersandung batu sehingga tubuhnya terjungkal ke depan dan terseret oleh kuda.

Baiknya pemuda ini memang memiliki ginkang yang tinggi dan tubuhnya sudah memiliki hawa murni yang membuat kulitnya kebal. Biar pun tampaknya dia tersiksa sedemikian hebatnya, namun sesungguhnya dia tidak sampai menderita nyeri dan tidak terluka sama sekali.

Tadi memang dia menyerahkan diri untuk menggantikan gadis itu, dan dia juga sengaja menurut saja diseret-seret sampai beberapa jam lamanya untuk memberi kesempatan kepada gadis itu pergi menjauhkan diri. Selain itu, juga lebih mudah baginya untuk turun gunung dengan cara ‘membonceng’ seperti ini dari pada harus mencari jalan sendiri di tempat yang asing baginya. Memang cocok sekali harapannya, dia diseret turun gunung dan hari telah menjelang senja pada saat rombongan itu memasuki sebuah dusun di kaki gunung.

Bukan hal aneh pada masa itu bahwa rakyat amat takut terhadap setiap rombongan orang yang bersenjata, baik rombongan ini merupakan pasukan tentara pemerintah atau bukan. Ini terjadi akibat tekanan-tekanan dan gangguan yang selalu dilakukan oleh rombongan-rombongan macam itu untuk menyenangkan diri sendiri tiap kali mereka melewati sebuah dusun. Merampas makanan tanpa membayar, memaksa penduduk membawakan beban, merampas kaum wanita dan sebagainya.

Oleh karena itu, ketika pada sore hari itu rombongan Tiat-jiu Souw Ki memasuki dusun di kaki gunung ini, semua penduduknya sudah pada lari menyembunyikan diri, rumah-rumah sebagian besar ditutup pintunya. Rombongan itu lalu berhenti di tengah-tengah dusun, di depan sederetan rumah-rumah gubuk kecil terbuat dari pada bambu, rumah orang-orang miskin.

Juga rumah-rumah ini biar pun tidak ditutup pintunya, kelihatan sunyi tiada penghuninya. Memang perlu apa rumah-rumah ini ditutup pintunya kalau di dalamnya tiada sesuatu apa pun yang cukup berharga untuk dicuri orang?

Tiat-jiu Souw Ki yang merasa lapar dan haus, yang merasa lelah setelah tadi mengalami pertempuran, ingin beristirahat dan bermalam di kampung ini. Melihat kesunyian tempat itu, dia mengerutkan kening dan mengomel.

"Sungguh tidak sopan penduduk dusun ini!"

Ban Kwan Tojin lalu menjawab. "Memang sebagian besar dusun-dusun seperti ini selalu dikosongkan kalau ada rombongan orang-orang asing lewat, Ciangkun. Karena itu, kalau pemerintah yang baru sekarang ini benar-benar sudah lengkap, harus segera diusahakan adanya pejabat-pejabat kecil di tiap dusun sehingga segala sesuatu mengenai penghuni dusun-dusun dapat diatur sebaiknya."

Tiat-jiu melirik ke arah tosu itu dan diam-diam dia dapat menjeguk isi hati tosu ini yang seperti juga orang-orang lain ternyata memiliki ambisi untuk menjadi orang berpangkat. Dia sedang hendak memerintahkan orang-orangnya untuk mencari tempat penginapan yang baik baginya, tentu saja bukan rumah penginapan umum karena di dusun sekecil itu mana ada losmen?

Yang dia maksudkan adalah rumah terbaik, tak peduli tempat tinggal siapa pun, untuk dia mengaso malam itu. Akan tetapi tiba-tiba dari sebuah di antara rumah-rumah gubuk itu keluarlah seorang anak laki-laki kecil. Usianya paling banyak lima tahun, tubuhnya kurus kering dan setengah telanjang.

Anak ini keluar setengah berlari, akan tetapi tiba-tiba terhenyak di depan pintunya ketika dia melihat begitu banyak kuda-kuda besar ditunggangi orang sedang berkumpul di depan rumahnya. Kedua matanya yang bening itu berseri gembira dan mulutnya segera berseru,

"Kuda bagus... kuda bagus...!"

"...A Wan... A Wan..." tiba-tiba terdengar suara wanita memanggil dari dalam gubuk itu, suaranya yang terdengar gemetar ketakutan.

Akan tetapi anak kecil itu berjalan tertatih-tatih menonton kuda sampai dia tiba di bagian paling belakang rombongan itu. Sejenak dia tertegun memandang kepada Kun Hong.

Pemuda buta ini berdiri dalam keadaan terbelenggu kedua tangannya, ujung tambang belenggu dipegang si penunggang kuda. Pakaian si buta itu robek-robek semua di bagian punggung, di bagian lain sudah kotor oleh debu, juga mukanya berkeringat penuh debu, membuat muka itu kotor dan hitam.

Akan tetapi orang buta ini mulutnya tersenyum karena sesungguhnya Kun Hong girang juga pada saat mendapat kenyataan bahwa dia telah dapat ‘membonceng’ rombongan itu sampai ke sebuah dusun. Kalau dia sendiri yang turun dari puncak tanpa penunjuk jalan, kiranya dia akan tersesat dan entah sampai kapan baru dapat bertemu dengan dusun atau orang.

"Kasihan paman buta... lepaskan... lepas...!" Anak itu berteriak-teriak sambil mendekati Kun Hong.

"Anak baik...!" Kun Hong berkata halus, suara anak itu menggetarkan jantungnya.

"Anak haram, minggat!" seorang di antara para pengiring Souw Ki membentak dan…

"Tar! tar!" cambuknya menyambar ke tubuh anak itu.

Anak itu menjerit dan berlari mundur sambil menangis. Dari dalam gubuk berlari ke luar seorang wanita yang serta merta menubruk anaknya, lalu bersama anak itu ia berlutut.

"Ampun, Tai-ya... ampunkan kami..." Wanita itu terus memohon sambil dia mengangguk-anggukkan kepalanya sampai menyentuh tanah. Wajahnya pucat dan ketika ia melirik ke arah Kun Hong, melihat orang buta ini dibelenggu serta pakaiannya rompang-ramping dan mukanya kotor penuh debu, dia menjadi semakin ngeri dan ketakutan sampai tubuhnya menggigil!

Kun Hong tidak tahu mengapa si kejam itu tiba-tiba menahan cambuknya. Lalu terdengar orang-orang itu tertawa kecil, malah si pemegang cambuk lalu berkata perlahan, "Aiihh, cantik..."

Kemudian terdengar suara Tiat-jiu Souw Ki, "Suruh dia melayaniku nanti!"

Si pemegang cambuk mengajukan kudanya. Ia mendekati wanita yang berlutut bersama anaknya yang masih terisak-isak itu dan berkata dengan suaranya yang parau.

"He, manis, kau dengar sendiri ucapan Souw-ciangkun tadi. Sebentar malam kau diajak minum arak manis, ha-ha-ha! Hayo kau ikut sekarang juga."

"Tidak...," perempuan itu menangis.

"Apa katamu? Setan! Berani kau menolak?"

"Ampun, Tai-jin... hamba... hamba tidak bisa..."

"Tar! Tar!" Cambuk berbunyi mengerikan di udara, di atas kepala wanita itu.

"Anakmu berbuat kurang ajar, ciangkun masih mengampuni malah hendak mengajak kau minum arak, tetapi kau benar-benar kurang terima. Agaknya kau hendak melihat anakmu dibanting mampus dulu baru menurut!" Cambuk itu menyambar ke arah bocah tadi dan tahu-tahu telah melibat tubuhnya terus dihentakkan ke atas.

Berbareng dengan jerit mengerikan dari ibu muda itu, terdengar suara menggereng hebat. Sesosok bayangan menyambar ke arah si pemegang cambuk dan pada detik lainnya si pemegang cambuk itu telah terbanting jatuh dari kudanya dan anak kecil itu telah berada dalam pondongan Kun Hong!

Kiranya pendekar buta yang sakti ini tidak dapat menahan lagi hatinya mendengar semua peristiwa yang tak dapat dilihatnya itu. Karena maklum bahwa ibu dan anak itu terancam bahaya hebat, sekali renggut saja belenggu yang mengikat pergelangan tangannya putus semua dan sekali mengenjot tubuh dia telah menerjang si pemegang cambuk yang kejam, mendorongnya jatuh sambil merampas bocah tadi. Kini dengan tangan kiri memondong A Wan dan tangan kanannya memegang tongkat erat-erat, Kun Hong menggeser kakinya mendekati si wanita yang masih berlutut dan menangis.

"Tiat-jiu Souw Ki, kau sejak dahulu tak pernah mengubah watakmu yang jahat!" Kun Hong memaki, berdiri dengan tegak dan gagah. "Kau dan enam orang kawanmu benar-benar merupakan tujuh pengawal yang amat jahat. Dahulu Pangeran Kian Bun Ti yang hendak menggangu keponakan-keponakanku, sekarang kau dan para anak buahmu ternyata juga bukan manusia baik-baik. Hemmm, kalau tidak lekas-lekas membawa orang-orangmu ini pergi meninggalkan dusun ini jangan bilang aku keterlaluan kalau aku membikin kalian semua tidak dapat lagi meninggalkan tempat ini!" Sambil berkata demikian Kun Hong membuat gerakan melintangkan tongkatnya di depan dada, gerakan yang sudah dikenal baik oleh Souw Ki dan teman-temannya ketika Kun Hong mengamuk dikeroyok tadi.

Souw Ki terkejut dan pucat wajahnya. Dia memandang penuh perhatian, serasa pernah melihat orang muda yang bersikap begini tabah dan berani, malah yang sekarang berani sekali menyebut-nyebut nama kaisar baru begitu saja.

"Kau... kau siapakah? Siapa namamu...?"

"Namaku Kun Hong. Apa kau hendak laporkan kepada Kian Bun Ti yang sekarang telah menjadi kaisar? Boleh, dia sudah mengenal baik nama ini, bahkan dia pernah makan minum semeja dengan aku!"

Bukan main kaget dan herannya Tiat-jiu Souw Ki. Teringatlah ia sekarang. Tapi pemuda ini dahulu adalah seorang pemuda pelajar yang lemah, sungguh pun tak dapat disangkal memiliki keberanian yang sukar dicari bandingnya.

Di dalam cerita Rajawali Emas memang telah dituturkan betapa Kun Hong dan dua orang keponakan perempuan, yaitu Kui Eng dan Thio Hui Cu, diundang kemudian dijamu oleh Pangeran Mahkota Kian Bun Ti. Pada waktu itu, pengeran muda mata keranjang ini jatuh hati kepada dua orang nona Hoa-san-pai ini dan hendak mengganggunya, malah mereka telah ditawan. Kemudian dua orang nona itu dirampas oleh Song-bun-kwi, sedangkan Kun Hong dapat menyelamatkan diri mempergunakan ilmu sihirnya.

"Kau... kau anak Hoa-san-pai... putera ketua Hoa-san-pai...?" Dia bertanya gagap.

Kun Hong tersenyum, kemudian dia menarik napas panjang. "Cukup kau ketahui namaku, siapa menyebut-nyebut Hoa-san-pai segala? Hayo pergi!"

Tiat-jiu Souw Ki sudah maklum akan kehebatan kepandaian Kun Hong. Tadi pada waktu dikeroyok puluhan orang saja pemuda ini dapat membuat semua orang tak berdaya, apa lagi sekarang dia hanya berkawan sebanyak dua puluh orang lebih. Selain itu, sekarang mahkota sudah berada di tangannya dan kalau membawa tawanan macam pemuda buta ini, tentu hanya akan menimbulkan kesulitan saja di tengah jalan. Ada pun tentang wanita itu, ahhh, dia hanya iseng-iseng saja, tidak ada harganya untuk diperebutkan.

"Pergi...!" Dia memberi aba-aba kepada para pengikutnya, lalu mengeprak kudanya.

Penunggang kuda yang tadi menyeret-nyeret Kun Hong dengan wajah pucat juga segera membalapkan kudanya pergi dari situ. Akan tetapi seorang perampok yang mendongkol hatinya dan masih memandang rendah pada seorang buta seperti Kun Hong, mengejek,

"Ho-ho, kiranya si buta juga mata keranjang! Kau hendak memiliki sendiri si manis ini, heh? Hati-hati, manis, kau tuntun si buta ini baik-baik, ha-ha-ha!"

Kun Hong cepat menggerakkan tangannya. Sebagian tambang yang tadi membelenggu tangannya dan masih menempel pada pergelangan tangannya menyambar ke arah muka penjahat itu. Terdengar suara keras dan si mulut kotor itu berteriak-teriak kesakitan.

"Aduhh... aduh... mulutku... gigiku rontok semua... aduh...!" Dan dia pun membalapkan kudanya mengejar kawan-kawannya sambil mengaduh-aduh. Kun Hong masih berdiri tanpa bergerak. Kedua kakinya terpentang, tangan kanan masih memegang tongkat melintang di depan dadanya, sama sekali tak bergerak seperti patung sampai suara derap kaki kuda tak terdengar lagi oleh telinganya.

Pemuda buta ini merasa betapa dada dan mukanya panas sekali, bukan main marahnya mendengar ucapan kotor penjahat tadi. Dia menahan napas dan menekan perasaannya sampai perlahan-lahan hawa panas di dalam dadanya menurun dan akhirnya kembali tersenyum yang jarang meninggalkan bibirnya itu. Matanya yang berlubang itu tadi agak terbuka pelupuknya ketika dia marah, kini tertutup lagi pelupuknya dan kulit di antara kedua matanya agak berkerut.

"In-kong (tuan penolong)... terima kasih atas budi In-kong yang sudah menyelamatkan nyawa kami ibu dan anak...," dengan suara tergetar penuh keharuan wanita itu berlutut di depannya dan menyentuh kakinya yang tertutup sepatu rusak-rusak dan penuh debu.

Kun Hong kaget mendengar suara ini. Cepat-cepat dia menarik kakinya, lalu melangkah mundur dua tindak. Dia mendengar suara seorang wanita yang masih amat muda, suara wanita berusia dua puluh tahun lebih. Akan tetapi wanita ini adalah seorang ibu, seorang ibu muda.

"Jangan berlutut... jangan berlebihan, yang bisa menyelamatkan nyawa manusia hanyalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab itu bangkitlah, Twaso (kakak), aku tak berani menerima penghormatan seperti ini."

Wanita itu bangkit sambil menahan isaknya yang masih menyesakkan kerongkongannya.

"Ibu, orang-orang nakal itu sudah pergi?" anak kecil itu bertanya, keberaniannya timbul pula setelah orang-orang berkuda itu pergi tidak tampak lagi.

"Sudah, A Wan, mereka sudah pergi. Lain kali kau jangan nakal, jangan keluar sendiri. Kau anak bandel, ibu sudah melarang tetapi kau nekat saja. Untung ada paman ini yang menolong kita..."

"Ibu, paman buta ini jagoan, ya? Orang-orang nakal itu takut!" Anak itu lalu tertawa-tawa senang dan menghampiri Kun Hong sambil meraba tangannya. "Paman buta, kenapa kau tadi diikat?"

Kun Hong tersenyum, membungkuk kemudian memondong anak itu dengan penuh kasih sayang. "Anak baik, kau sudah dapat membedakan orang jahat dan tidak, itu bagus. Kelak kau tidak boleh menjadi orang seperti mereka itu, ya!"

"Tidak!" jawab anak itu keras sambil merangkul leher Kun Hong. "Aku kelak ingin menjadi seperti Paman yang jagoan. Tapi... Paman buta..."

"Hush, A Wan, jangan lancang mulutmu!" bentak ibunya. "In-kong, mari silakan singgah di dalam gubukku, biar kita bicara di dalam."

"Tak usahlah, Twaso, terima kasih. Aku harus melanjutkan perjalananku." Kun Hong mencegah. Dia dapat menduga bahwa ibu dan anak ini tentu keluarga miskin, terbukti dari pakaian anak itu yang kasar dan ada tambalannya, tidak bersepatu pula. Dia tidak mau mengganggu orang yang memang keadaannya sudah amat kekurangan itu.

"Jangan, In-kong. Kau harus singgah dulu. Pakaianmu robek-robek semua, lagi kotor. Aku mempunyai satu setel pakaian, boleh kau pakai dan pakaianmu itu akan kucuci, kujahit. Dan... dan... kau harus makan dulu..."

Suara itu tergetar penuh keharuan dan belas kasihan. Melihat orang buta itu menggerak-gerakkan tangan seperti hendak menolak, wanita itu cepat-cepat melanjutkan, suaranya penuh permohonan,

"In-kong, tak boleh kau menolak. Kau telah menyelamatkan nyawa kami ibu dan anak, kau telah menanam budi sebesar gunung sedalam lautan, aku... aku tak dapat membalasnya. Biarlah aku menjahitkan dan mencuci pakaianmu serta memberi hidangan sekedarnya untuk menyatakan terima kasihku. Kalau kau menolak dan pergi begitu saja... ah, In-kong, selama hidup aku akan merasa menyesal kepada diri sendiri. A Wan, kau ajak pamanmu masuk ke dalam!"

Anak itu dengan suara merdu berkata, "Paman buta, marilah kita masuk. Ibu tadi masak bubur dan ubi merah..."

"A Wan..." Dengan suara perih ibu itu mencegah anaknya membuka rahasia kemiskinan mereka.

Kun Hong merasa hatinya tertusuk. Dipeluknya anak itu dan dia berkata sambil tertawa, "Anak baik, biarlah kubikin lega hatimu dan hati ibumu. Kalian manusia-manusia baik..."

"Paman buta, mari kutuntun kau masuk." Anak itu lalu melorot turun dan menggandeng tangan Kun Hong.



cerita silat online karya kho ping hoo



Ibunya memandang dengan senyum lega menghias wajahnya karena tadinya dia sudah merasa bingung apakah dia yang harus menuntun tamunya itu memasuki rumah. Tentu saja dia tidak tahu bahwa dengan mudah tamunya ini akan dapat memasuki rumah tanpa dituntun, asalkan dia berjalan terlebih dahulu karena tamunya itu dapat mengikutinya dari pendengarannya yang tajam, yang dapat mendengar tindakan kakinya.


Sambil tersenyum Kun Hong membiarkan dirinya dituntun oleh anak itu memasuki rumah yang berlantai tanah. Baru saja melangkahi ambang pintu, anak itu sudah berhenti. Hal itu berarti bahwa rumah itu benar-benar amat kecilnya.

"Mari silakan duduk, In-kong. Maaf, tidak ada apa-apa, hanya ada tikar rombeng..."

Kembali Kun Hong menangkap getaran suara yang menusuk hatinya.

"Sini, Paman, sini duduklah..." Anak itu pun mempersilakannya.

Kun Hong maju dua langkah dan ternyata di situ terbentang sehelai tikar di atas tanah! Dia lalu duduk bersila di atas tikar dan ketika tangannya meraba ternyata tikar itu rombeng dan di bawah tikar ditilami rumput kering. Kerut di antara kedua mata yang buta itu makin mendalam. Alangkah miskinnya keluarga ini.

"Silakan duduk dulu, In-kong. Aku hendak mengambil pakaian untukmu."

Kun Hong cepat menggoyang-goyang tangannya ke atas. "Tidak usah, Twaso, tidak usah. Kalau ada pakaian, biarlah dipakai oleh A Wan ini... aku... aku tak perlu berganti pakaian."

Ibu muda itu mengeluarkan suara seperti orang tertawa kecil. "Pakaian yang kusimpan itu adalah pakaian orang tua, mana bisa dipakai A Wan? Tunggulah sebentar."

"Itu pakaian ayah, Paman. Kau boleh pakai!" anak itu berkata.

Hati Kun Hong tidak karuan rasanya. Terang bahwa keluarga ini miskin, mungkin pakaian itu merupakan satu-satunya yang menjadi simpanan ayah anak ini, bagaimana boleh dia pakai? Ah, dia mendapat akal.

Perempuan ini mempunyai perasaan yang halus, terdorong oleh budinya yang baik. Tidak boleh dia mengecewakan hatinya. Biarlah dia berganti pakaian dan membiarkan wanita itu mencuci kemudian menambal pakaiannya sendiri yang robek-robek. Setelah itu dia boleh memakai lagi pakaiannya sendiri kemudian mengembalikan pakaian yang dipakai untuk sementara itu. Dengan demikian, tanpa merugikan keluarga ini banyak-banyak, dia dapat memuaskan hati nyonya rumah. Gemersik pakaian menandakan bahwa wanita itu sudah datang lagi.

"Marilah kau berganti dengan pakaian ini, In-kong, dan biarkan pakaianmu yang kotor dan robek-robek itu di sini, sebentar akan kucuci dan kujahit. Aku permisi hendak menyiapkan makanan. A Wan, kau temani pamanmu. Baik-baik jangan nakal, ya!"

"Tapi... tapi..." Kun Hong berusaha membantah.

"Harap In-kong jangan menolak, biar pun pakaian tua dan hidangan sederhana, kuharap In-kong sudi menerima tanda terima kasihku yang mendalam..." Suara itu mengandung permohonan yang mutlak dan tak dapat dia bantah lagi.

"Tapi badanku kotor semua... aku harus membersihkan badan dulu... begini kotor mana boleh memakai pakaian bersih dan makan?"

Mendengar ini, ibu muda itu tertawa. Kun Hong tertarik sekali mendengar suara ketawa ini. Merdu dan sopan. Hanya orang dengan hati putih bersih dan jiwa murni yang dapat tertawa seperti itu. Anak itu pun turut tertawa karena menganggap ucapan Kun Hong ini sebagai kelakar yang lucu.

Memang sikap dan gerak-gerik seorang buta kadang-kadang nampak amat lucu, lucu dan mengharukan hati. Mendengar ibu dan anak itu tertawa-tawa geli, mau tak mau Kun Hong tertawa pula sehingga di dalam rumah gubuk yang sepi miskin itu sekali ini penuh tawa menggembirakan, seperti cahaya matahari menyinari tempat gelap.

"A Wan, kau antarkan pamanmu ini ke anak sungai di belakang dusun!" kata wanita itu sambil pergi ke belakang dengan suara ketawanya masih terdengar.

"Hayo, Paman buta!" Bocah itu menggandeng tangan Kun Hong dan pergilah keduanya ke luar dari pondok, menuju ke anak sungai. Ketika ke luar dari pondok dan berjalan ke anak sungai, Kun Hong mendengar bahwa di depan pondok berkumpul banyak orang, malah di tengah perjalanan dia mendengar pula orang-orang berjalan.

"Siapa mereka, A Wan?" tanya Kun Hong.

"Paman-paman dan bibi-bibi tetangga penduduk dusun, Paman," jawab anak itu dengan singkat. Agaknya anak ini mempunyai rasa tidak senang terhadap penduduk dusun dan anehnya, tak ada seorang pun di antara mereka yang menegur anak ini!

Setelah mandi di sungai kecil yang airnya jernih dan segar itu, Kun Hong segera berganti pakaian bersih dan dia malah mencuci pakaiannya sendiri, dibantu oleh A Wan. Ternyata pakaian bersih yang terbuat dari pada kain kasar itu, pas betul dengan tubuhnya. Agaknya ayah anak ini sama perawakannya dengan dia.

Dalam perjalanan pulang, mereka juga bertemu dengan orang-orang dusun. Terasa amat aneh bagi pendengaran Kun Hong, orang-orang yang tengah bercakap-cakap mendadak menghentikan percakapan mereka di kala Kun Hong dan A Wan lewat.

Ketika mereka sampai di dekat pondok, tiba-tiba Kun Hong berkata kepada A Wan, "Kau diam saja, A Wan, dan jangan mengeluarkan suara."

Dia lalu bersama anak itu mendekati rumah dan terdengarlah suara ibu anak itu, suaranya marah bercampur isak tertahan.

"...peduli apa kau dengan urusan pribadiku? Baju suamiku kuberikan kepada siapa pun juga, ada sangkut pautnya apakah denganmu? Kau... kau selalu mengganggu... saudara misan yang durhaka!"

"Huh, dasar perempuan tak tahu malu! Semua orang memandangmu dengan hina, hanya aku yang masih mau mempedulikan. Semua ini karena aku masih ingat bahwa di antara kita masih ada hubungan keluarga, tahukah kau? Apa bila tidak ada aku, apakah kau dan anakmu tidak sudah kelaparan dan menjadi jembel pengemis? Awas kau, semua ini akan kulaporkan kepada Song-wangwe (hartawan Song)!" Terdengar suara laki-laki memaki.

"Pergi...! Pergi...! Aku tidak sudi mendengar ocehanmu lagi...!" Wanita itu berseru marah.

"Ibu...! Apakah paman Tiu mengganggumu lagi?" A Wan tidak dapat menahan suaranya dan merenggut tangannya lalu lari membuka pintu belakang.

"A Wan, kau sudah pulang?" Ibunya menegur.

Kun Hong mendengar betapa kaki seorang laki-laki dengan tergesa meninggalkan tempat itu kemudian dia mendengar tindakan kaki ibu A Wan dan anak itu sendiri menyambutnya. Langkah kaki ibu anak itu secara tiba-tiba terhenti dan tidak terdengar suaranya bergerak sedikit pun juga, sedangkan A Wan berlari menghampirinya dan memegang tangannya lagi.

Memang ibu A Wan terkejut dan memandang ke wajah Kun Hong dengan mata terbuka lebar. Setelah wajah pemuda buta itu tercuci bersih. alangkah jauh bedanya dengan tadi. Kalau tidak datang bersama anaknya dan tidak mengenakan pakaian yang sudah sangat dikenalnya, tentu ia akan pangling. Wajah si buta itu berkulit putih halus, wajah yang amat tampan, wajah seorang kongcu (tuan muda)!

Kemudian ia melihat pakaian yang sudah dicuci, maka serunya penuh penyesalan, "Aiihh, In-kong, kenapa dicuci sendiri pakaiannya? Ah, mana bisa bersih? Berikan kepadaku, biar sebentar kucuci lagi supaya bersih. Syukur, kulihat pakaian itu pas benar dengan badan In-kong."

"Terima kasih... terima kasih... aku menyusahkan saja," berkata Kun Hong dan dia tidak membantah ketika cucian itu diambil orang dari tangannya.

Kun Hong memuji bahwa ibu muda ini benar-benar seorang yang baik. Mengenal budi, peramah, dan amat pandai menyimpan penderitaan hati. Dia berpura-pura tidak tahu akan persoalan yang baru saja ia dengar tadi, dan telah mengambil keputusan bahwa ia akan segera pergi meninggalkan tempat itu setelah pakaiannya sendiri kering.

Tidak lama kemudian nyonya rumah itu datang mengantar sebuah mangkok terisi bubur hampir penuh. Dengan ujung-ujung jarinya Kun Hong dapat mengetahui bahwa mangkok itu terbuat dari pada tanah lempung dan sepasang sumpit dari bambu. Sungguh alat-alat makan yang paling sederhana dan murah yang dapat dipergunakan manusia.

"Waduh, enak, Paman buta. Buburnya pakai ubi merah! Hi-hik, kau tahu? Ubi merah ini kucuri dari kebun paman Lui.”

"A Wan!" ibunya menegurnya.

"Paman, ibu selalu bilang bahwa mencuri adalah perbuatan yang jahat. Aku tidak pernah mencuri. Tetapi paman Lui ubinya begitu banyak dan aku... aku dan ibu sudah lama tak makan ubi merah."

Hampir saja Kun Hong tersedak karena keharuan membuat hawa dari dalam dada naik ke kerongkongannya. "Ibu betul, A Wan, mencuri adalah perbuatan yang jahat. Lebih baik kau minta saja kepada pemilik ubi..."

"Minta? Uhh, pernah aku minta, tapi bukan mendapat ubi melainkan mendapat cambukan pada pantatku. Tak sudi lagi aku minta. Tapi aku pun tidak akan mencuri lagi karena ibu marah-marah," kata anak itu dengan suara manja.

Bubur yang mereka makan itu sangat encer, terlalu banyak airnya dan ini pun sekali lagi membuktikan alangkah miskinnya keluarga itu. Sesudah selesai makan, selesai sebelum kenyang, nyonya rumah menyingkirkan mangkok-mangkok itu dan menyapu tikar dengan kebutan.

Senja sudah lewat. Ibu dan anak itu menyalakan sebuah pelita kecil, dipasang pada sudut pondok. A Wan duduk di pangkuan Kun Hong dan agaknya anak ini masih menderita oleh peristiwa sore tadi. Punggungnya yang kena sambaran cambuk diurut-urut oleh Kun Hong dan sebentar saja anak itu tidur di pangkuannya.

"Dia sudah tidur, Twaso. Di mana tempat tidurnya?" tanya Kun Hong perlahan.

Sampai lama barulah terdengar jawaban lirih. "...di sini juga... disini juga…”

Kun Hong menghela napas panjang. Tangannya mengelus-elus muka anak itu, meraba dahinya, alisnya, mata, hidung, mulut dan dagu. Muka yang tampan, hidungnya mancung mulutnya kecil.

"In-kong, memang kami tidak mempunyai apa-apa. Dalam rumah ini kosong, hanya ada tikar inilah tempat kami duduk, makan dan tidur..."

"Maaf, Twaso, sejak tadi aku belum mendengar twako (kakak) pulang. Ke manakah dia?"

Kembali sampai lama tiada jawaban, kemudian jawaban itu bercampur isak tertahan, "Dia sudah... sudah tidak ada..."

"Tidak ada? Ke mana?" Kun Hong tidak menduga buruk.

"...sudah meninggal dunia... tiga bulan yang lalu..."

"Ahhh...!" Kerut di antara kedua mata yang buta itu mendalam.

Ah, sekarang tahulah Kun Hong akan sikap para penghuni dusun itu. Kiranya ibu muda ini seorang janda muda. Dia tahu apa artinya menjadi janda di masa itu. Janda muda lagi. Betapa sukarnya hidup bagi seorang janda yang miskin.

Penghinaan akan menimpa dari segenap penjuru, penghinaan lahir batin. Semua mata wanita akan mengincarnya, penuh rasa cemburu. Setiap gerak dapat menimbulkan fitnah. Sedang mata pria akan memandangnya secara lain lagi, pandangan yang penuh nafsu mempermainkan.

Seorang janda bagaikan sebuah biduk kehilangan layar dan kemudi, terombang-ambing di tengah samudera hidup dan menjadi permainan gelombang. Janda tua tentu saja lain lagi, yang pertama mengandalkan hartanya, yang belakangan mengandalkan anak-anaknya.

Kembali jari-jari tangan Kun Hong meraba-raba muka A Wan. "Twaso, apakah wajah A Wan ini sama dengan wajahmu?"

Lama tak menjawab. Kun Hong tidak dapat melihat betapa wajah tanpa bedak yang amat manis itu menunduk dan kedua pipi yang sehat itu memerah.

"Orang-orang bilang dia mirip dengan aku."

Hemmm, tak salah dugaanku, pikir Kun Hong. Janda muda lagi cantik. Makin berbahaya kalau begini.

"Dan kau tentu belum ada dua puluh lima tahun usiamu," katanya pula.

"...baru dua puluh tiga umurku.”

Kun Hong merebahkan tubuh A Wan di atas tikar, lalu dia sendiri bangkit berlutut dan berkata, "Twaso, maaf. Tolong ambilkan pakaianku tadi, aku akan berganti pakaian dan aku harus pergi sekarang juga."

"...kenapa...? In-kong, kenapa kau hendak pergi sekarang? Bajumu masih belum kering benar, dan sedang kutambal punggungnya..."

Kun Hong menggelengkan kepala, mengulurkan kedua tangan untuk minta pakaian dan bangkit berdiri. "Aku harus pergi. Twaso, kau janda masih baru, kau berwajah cantik dan umurmu baru dua puluh tiga tahun..."

Wanita itu mengeluarkan jerit lirih dan sambil menangis ia pun menubruk kedua kaki Kun Hong! Tentu saja Kun Hong menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

"In-kong... engkau juga begitu...? Ahh, kalau begitu lekas kau pukulkan saja tongkatmu itu kepadaku... kau bunuh saja aku, In-kong ... apa artinya hidup kalau semua orang... juga kau yang kumuliakan... memandang serendah itu kepadaku...? Kau bunuhlah aku... kau bunuhlah…"

Karena tangis ini, A Wan menjadi terbangun dan begitu melihat ibunya menangis sambil merangkul kedua kaki Kun Hong yang berdiri bagaikan patung, serta merta anak itu ikut menangis sambil merangkul ibunya. "Ibu... ibu."

"In-kong... kau bunuhlah kami... biar terbebas kami dari pada penderitaan ini..."

Hancur perasaan hati Kun Hong mendengar ibu dan anak itu menangis sambil memeluki kedua kakinya.

"Kau salah sangka... kau salah mengerti...," katanya sambil duduk kembali. "Aku sama sekali tidak pernah memandang rendah atau menyangka yang bukan-bukan terhadapmu, Twaso..."

"In-kong..." wanita itu tersedu-sedu dan sejenak menangis dengan muka di atas dada Kun Hong.

Pemuda buta itu membiarkannya saja, maklum betapa hancur hati wanita itu, malah dia menepuk-nepuk bahunya dengan menghibur sambil mengusap-usap rambut A Wan yang menangis di atas pangkuannya.

"Tenanglah, duduklah Twaso, dan mari kita bicara baik-baik."

Agaknya baru wanita itu sadar akan keadaan dirinya yang menangis sambil bersandar di dada tamunya. "...ohhh... maafkan aku, In-kong..."

Ia cepat-cepat mundur dan duduk menekuk lutut, membendung air mata yang bercucuran dengan ujung lengan bajunya. A Wan diraihnya dan anak ini menidurkan kepala di atas pangkuan ibunya sekarang.

"Twaso, agaknya kau tadi sudah salah duga. Aku hendak pergi sekali-kali bukan karena memandang rendah kepadamu, sama sekali tidak. Malah sebaliknya. Aku sangat kagum kepadamu dan menghormatimu, karena itu aku hendak pergi agar jangan sampai nama baikmu dirusak orang akibat kehadiranku di sini malam ini. Lebih baik aku tidur di pinggir jalan dari pada tidur menginap di sini dengan akibat merusak namamu, Twaso!"

"Tidak ada bedanya, In-kong, sebelum kau datang, namaku sudah dirusak orang setiap hari. Peduli apa dengan omongan orang asalkan kita betul-betul bersih? Dalam beberapa bulan saja aku sudah kebal terhadap fitnah-fitnah dan omongan-omongan kotor mereka, In-kong. Kalau mereka hendak melakukan fitnah dengan kehadiranmu malam ini di sini, biarlah mereka lakukan. Aku tidak peduli karena aku yakin bahwa kau yang kuhormati dan kumuliakan mengetahui akan kebersihanku."

Kun Hong menarik napas panjang, semakin kagum. Wanita ini biar pun miskin dan janda yang tak berdaya, ternyata seorang yang berpendirian.

"Twaso, maafkan kata-kataku, akan tetapi kupikir... akan lebih baik kiranya bagimu dan bagi anakmu kalau kau menikah lagi."

"In-kong, siapakah di dunia ini mau secara jujur menikah dengan seorang janda miskin yang mempunyai seorang anak? Kecuali laki-laki mata keranjang yang hanya bermaksud mempermainkan saja. Semua laki-laki di sekitar tempat ini memandangku seperti itu, tentu banyak yang mau memeliharaku, akan tetapi... mereka hanya ingin mempermainkan saja, In-kong. Aku tidak sudi... apa lagi Song-wangwe, aku tidak sudi. Biarlah, dia boleh suruh tukang-tukang pukulnya memaksaku."

Kun Hong harus mengakui kebenaran kata-kata ini. Memang banyak laki-laki di dunia ini yang wataknya seperti itu. Menganggap wanita hanya sebagai barang mainan, menarik hanya karena kecantikannya, suka menikah dengan janda muda yang cantik hanya untuk dipermainkan belaka. Sudah tentu tidak semua laki-laki berwatak demikian karena segala sesuatu di dunia ini tentu ada pengecualiannya, akan tetapi seperti itulah sifat dan watak sebagian besar laki-laki.

"Susah kalau begitu. Twaso, apakah kau tidak mempunyai keluarga?"

"Ada seorang pamanku yang tinggal jauh di kota Cin-an, akan tetapi aku tidak tahu betul di mana rumahnya. Satu-satunya orang yang tahu adalah saudara misanku yang jahat, si Tiu keparat yang membantu cepatnya maut merenggut nyawa suamiku dan yang selalu membujuk-bujukku untuk menuruti kehendak hartawan Song!" Suara wanita itu terdengar marah ketika menyebut-nyebut nama Tiu dan Song.

"Orang yang datang tadi? Hemmm, sebetulnya, mengapa suamimu mati di waktu masih muda? Dan apa maksud Tiu dan Song, Twaso?"

Dengan suara menyedihkan janda muda itu lalu bercerita…..

Tadinya dia hidup bahagia bersama suaminya, seorang petani muda she Yo. Walau pun keadaannya tidak dapat dikata berlebihan, namun dengan sebidang sawah milik mereka, dapatlah mereka menutupi kebutuhan hidup sederhana, bertiga dengan putera mereka, si kecil Yo Wan.

Mereka sebenarnya adalah suami isteri pendatang baru dari lain dusun di daerah banjir. Mereka merupakan korban-korban yang lari mengungsi dan akhirnya menetap di dusun itu setelah menukar seluruh barang-barang mereka dengan sebidang tanah.

Akan tetapi, malapetaka mulai mengintai mereka ketika di dusun itu datang pula Lao Tiu, saudara misan Yo Kui, petani muda itu. Lao Tiu ini orangnya licik, curang dan kerjanya hanya berjudi dan sangat terkenal sebagai seorang buaya petualang. Akhirnya si Lao Tiu ini menjadi kaki tangan tuan tanah kaya raya yang menguasai sebagian besar tanah di sekitar tempat itu dan yang pengaruh dan kekuasaannya dikenal hingga di dusun-dusun sekitarnya.

Tuan tanah hartawan ini adalah Song-wangwe (hartawan she Song). Dia seorang laki-laki setengah tua yang mata keranjang dan terkenal tak akan dapat tidur nyenyak sebelum mendapatkan wanita yang dirindukan, baik wanita itu isteri orang lain atau bukan.

Karena kelicikan dan tipu muslihat Lao Tiu ini, akhirnya Yo Kui masuk perangkap si tuan tanah. Mula-mula dia diberi hutang untuk membeli bibit padi dan kerbau, dan karena Yo Kui seorang buta huruf, maka dia tidak tahu bahwa tuan tanah dan Lao Tiu yang ‘berbudi’ itu membuat surat perjanjian jual beli kemudian menyuruh dia menanda-tangani dengan cap jempol.

Dengan ditandainya surat perjanjian yang tidak diketahui isinya itu, Yo Kui berarti sudah menjual tanahnya, atau lebih tepat, menukar tanahnya hanya dengan kerbau seekor dan bibit padi sekarung! Semenjak itu, mulailah Lao Tiu mengerjakan lidahnya yang berbisa. Malah dengan berani mati dia membujuk Yo Kui supaya ‘menyerahkan’ isteri yang cantik manis itu menjadi ‘penghibur’ tuan tanah Song, dan merelakan setiap kali hartawan itu membutuhkannya.

Tentu saja Yo Kui menjadi marah luar biasa dan serta merta menghajar Lao Tiu saudara misannya itu sampai jatuh bangun. Akan tetapi pada beberapa hari berikutnya, lima orang tukang pukul tuan tanah itu datang kepada Yo Kui dan menagih pembayaran sewa tanah.

Yo Kui memaki-maki, bilang bahwa dia mengerjakan sawahnya sendiri, mengapa harus bayar sewa? Kalau si hartawan menghendaki kembalinya kerbau dan bibit, boleh diambil kembali kerbaunya, ada pun bibitnya akan dikembalikan kelak kalau sudah panen. Terjadi keributan dan Yo Kui disiksa oleh lima orang tukang pukul itu. Pemuda tani ini jatuh sakit, muntah-muntah darah. Namun dia masih belum mau menyerah. Setelah penyakitnya agak sembuh, dia pergi ke kota melapor kepada pembesar setempat tentang perbuatan hartawan Song dengan kaki tangannya. Apakah yang terjadi? Mudah diduga!

Di dalam negara yang masih kacau seperti Tiongkok pada masa itu, jarang ada pembesar yang betul-betul memperhatikan kepentingan rakyat, terlebih lagi kepentingan rakyat kecil. Hukum diinjak-injak, peri kemanusiaan lenyap dari lubuk hati manusia, bahkan agaknya orang lupa kepada Tuhan, mengumbar nafsu sejadi-jadinya, mengandalkan setan yang di waktu itu merubah diri dalam tumpukan harta dan tingginya kedudukan dan pangkat. Yang berharta dan berpangkat, merekalah yang berkuasa, dialah yang menang, akhirnya siapa yang menang, dialah yang benar!

Oleh karena inilah maka tidak mengherankan bila pembesar yang dilaporinya itu segera turun tangan melakukan tindakan, periksa sana dan periksa sini, lalu keluarlah keputusan ‘pengadilan’, bahwa tanah itu telah menjadi milik Song-wangwe dengan sah, bahwa Yo Kui harus membayar lunas uang sewa tanah dan mengembalikan tanah itu, dan bahwa Yo Kui harus membayar biaya pengaduannya kepada pembesar itu!

Melihat dan mendengar keputusan pengadilan macam ini, kontan saja Yo Kui jatuh sakit! Memang dia sudah mendapat luka di dalam tubuhnya karena pengeroyokan para tukang pukul, ditambah lagi tekanan batin hebat membuat dia tak dapat turun dari pembaringan. Isterinya menjadi gelisah sekali. Kerbau dan alat pertanian terpaksa dijual, sebagian untuk membayar apa yang sudah diputuskan oleh pembesar itu, sebagian lagi untuk pembeli obat dan makan.

Akan tetapi penyakit yang diderita Yo Kui makin payah. Dia sakit sampai berbulan-bulan dan sesudah semua barang yang ada di dalam rumah dijual oleh isterinya untuk obat dan makan, akhirnya dia mati meninggalkan isterinya yang masih muda dan anaknya yang masih kecil!

"Demikianlah, In-kong..." janda muda itu mengakhiri cerita sambil menghapus air matanya yang bercucuran deras. "Penderitaanku tidak hanya sampai di situ saja... setelah suamiku meninggal, lalu bermunculan setan-setan berupa orang-orang lelaki mata keranjang yang seakan-akan bersaingan dan berebutan untuk membujuk diriku menjadi isteri muda atau piaraan. Terutama sekali si jahat Lao Tiu itu, yang setiap hari membujuk-bujukku supaya menyerah kepada hartawan Song..."

Kun Hong menahan kemarahan yang seakan-akan hendak meledakkan dadanya setelah mendengar penuturan janda muda ini.

"…akan tetapi… aku bukanlah wanita rendah seperti yang mereka inginkan...," janda itu melanjutkan, masih terisak, "bagiku, lebih baik aku mati dari pada menuruti kehendak mesum mereka, In-kong... jika saja aku tidak melihat A Wan... ah... agaknya telah lama aku menyusul suamiku..." Dia menangis lagi, sekarang lebih menyedihkan, sambil mendekap kepala puteranya di pangkuan.

"Besarkan hatimu, Twaso, dan percayalah bahwa Thian Maha Adil selalu akan menolong manusia yang sengsara. Kau tidurlah sekarang dan besok masih ada waktu untuk kita mencari jalan sebaiknya. Hanya satu hal ingin kuketahui. Pamanmu yang tinggal di Cin-an itu, andai kata kau dan anakmu datang kepadanya, apakah kiranya dia mau menerima kalian?"

"Dia orang baik, In-kong, dia adik mendiang ibuku, agaknya dia pasti mau menerima kami, biar aku bekerja sebagai bujang tidak mengapa..."

Percakapan terhenti dan janda muda itu biar pun berkali-kali diminta oleh Kun Hong agar supaya mengaso, tetap saja duduk di dekat lampu untuk menyelesaikan pekerjaannya menambal dan menjahit pakaian Kun Hong. Beberapa kali ia menengok dan memandang ke arah tuan penolongnya, ternyata si buta itu duduk bersila tak bergerak seperti patung.

"Inkong... kau tidurlah..."

"Biarlah, Twaso, aku biasa tidur sambil duduk. Kau mengasolah, kurasa sudah hampir tengah malam sekarang."

"Aku hendak menyelesaikan ini dulu...," jawab janda muda itu.

Akan tetapi setelah selesai menambal pakaian itu, ia duduk termenung sambil menatap wajah yang tidak dapat balas memandangnya itu. Hatinya penuh keterenyuhan, iba hatinya melihat wajah tampan yang berkerut di antara kedua matanya itu.

Aduh kasihan, muda belia yang malang, pikir janda muda ini. Apa bedanya bagi dia siang dan malam? Ah, mengapa aku tadi menyuruh dia tidur? Bukankah selamanya dia seperti orang tidur kedua matanya? Jantungnya serasa diiris-iris kalau ia menatap kedua pelupuk mata yang tertutup rata itu, mulut yang mengarah senyum namun membayangkan bekas penderitaan batin yang hebat. Muda belia buta yang malang...!

Memang aneh! Janda muda yang sebetulnya juga amat menderita batin dalam hidupnya itu, kini duduk termenung memandang ke arah pemuda buta itu dengan hati penuh belas kasihan.

Hawa malam mulai dingin. Janda itu menyelimutkan sehelai karung tipis di atas tubuh puteranya, lalu menengok ke arah Kun Hong yang masih saja duduk seperti patung. Dia memperhatikan pernapasan Kun Hong yang rata dan panjang. Benarkah si buta ini bisa tidur sambil duduk? Orang aneh. Muda belia yang malang dan aneh.

"In-kong...?" Ia berbisik untuk meyakinkan apakah dia benar-benar tidur.

Ingin dia menawarkan selimut, selimutnya sendiri, juga sehelai karung tipis. Akan tetapi Kun Hong tidak bergerak, tidak menjawab. Ah, dia sudah tidur, tak boleh diganggu. Janda muda itu meniup padam api penerangan, kemudian merebahkan diri di dekat anaknya, mendekap anaknya, meringkuk seperti udang di atas tikar rombeng yang dingin.

Kun Hong tidak tidur. Dia tengah bersemedhi. Dia mendengar suara janda itu tadi, akan tetapi sengaja tidak menjawab. Hatinya baru lega pada waktu janda itu memadamkan api penerangan yang baginya tiada bedanya itu, karena hal itu berarti si janda akan tidur dan dia dapat bersemedhi dengan bebas.

Ayam telah berkokok menyambut datangnya fajar ketika Kun Hong sadar dari tidurnya. Dia segera menggosok-gosokkan jari tangan kepada jalan darah di sekeliling kepalanya untuk menyegarkan perasaan. Pernapasan ibu beserta anak yang tidur di hadapannya itu membuktikan bahwa mereka masih pulas. Kun Hong tersenyum merasakan perbedaan keadaan mereka berdua itu antara hari kemarin dan sekarang ini.

Duka mau pun suka sebetulnya hanya bersifat sementara saja, seperti halnya hidup ini sendiri. Kedukaan yang betapa pun besarnya akan lenyap di kala tidur, seperti halnya ibu dan anak pada saat itu, tentu sama sekali lupa akan segala penderitaan hidup, lupa akan segala ancaman-ancaman bahaya, lupa bahwa mereka hidup serba kekurangan, malah kalau dikaji (dipikirkan masak-masak) benar, dalam keadan sepulas mereka itu, apa sih bedanya hidup kaya atau miskin, apa bedanya tidur di ranjang berkasur atau di atas tikar rombeng?

Kun Hong merasa badannya sangat segar. Kokok ayam jantan saling sahut menyegarkan perasaan serta membangkitkan semangatnya. Malam tadi sudah diambilnya keputusan. Dia harus menolong ibu dan anak ini dan dia harus memberi hajaran kepada orang-orang jahat yang menindas penghidupan orang-orang miskin di dusun itu.

Mendadak Kun Hong memiringkan kepalanya. Dia mendengar derap banyak kaki orang menuju ke rumah gubuk ini! Mencurigakan juga kalau sepagi itu ada serombongan orang laki-laki mendatangi tempat itu, bahkan dari suara langkah kaki yang tergesa-gesa dan berat itu dapat diduga bahwa orang-orang itu sedang marah!

"Perempuan tidak tahu malu! Kau benar-benar membikin kotor dusun kami!" terdengar bentakan suara laki-laki yang segera dikenal oleh Kun Hong sebagai suara Lao Tiu yang kemarin sore diusir oleh janda muda itu.

"Dung! Dung-dung!" Pintu gubuk itu digedor-gedor dari luar.

Janda muda itu dan anaknya terkejut lalu bangun. A Wan segera menangis ketakutan. Janda muda itu pun ketakutan, akan tetapi amatlah terharu hati Kun Hong ketika janda itu berbisik.

"Celaka, In-kong..., mereka tentu akan mencelakakan kau dengan fitnah..."

Benar-benar seorang yang berpribudi, pikir Kun Hong. Terang orang-orang itu beralamat tidak baik bagi si janda itu sendiri, namun yang dikhawatirkan oleh janda itu adalah diri tamunya, bukan dirinya sendiri!

"Tenanglah, Twaso... tenang dan jangan takut. Orang yang benar akan dilindungi Thian. Nanti kalau aku berdiri dan keluar, kau gendonglah A Wan dan kau harus selalu ikut di belakangku, jangan terlalu jauh. Kau percayalah kepadaku, tak seorang pun akan berani mengganggu kau atau A Wan."

"Dung-dung-brakk!" Pintu itu hampir roboh oleh pukulan-pukulan dari luar.

"Sundal! Perempuan hina! Keluarlah bersama pacarmu, laki-laki hina si jembel buta itu... kalau tidak rumah ini akan kurobohkan!" teriakan Lao Tiu kembali terdengar. "Dipelihara Song-wangwe tidak mau, sekarang malah memasukkan jembel buta, benar-benar seperti anjing menolak roti mencari tai!"

"Kreeeeettttt...!" Pintu dibuka oleh Kun Hong dari dalam.

Semua mata mereka yang merubung di depan pintu pondok itu memandang. Si buta itu berdiri tegak di ambang pintu, tongkatnya melintang di depan dada, wajahnya tenang dan mulutnya tersenyum, akan tetapi kerut merut di antara kedua matanya makin dalam. Di belakangnya tampak janda itu berdiri sambil memondong anaknya, jelas bahwa janda itu amat ketakutan, rambutnya awut-awutan dan mukanya pucat.

"Wah, tak tahu malu... tak tahu malu... berjinah dengan jembel buta... kawan-kawan, hayo hajar mampus si buta, seret perempuan hina ini ke depan kaki Song-wangwe!"

Sementara itu tanpa mempedulikan Lao Tiu mencak-mencak, Kun Hong berbisik kepada janda tadi menanyakan siapa mereka itu. Janda itu berbisik menjawab, "Lao Tiu dan lima orang tukang pukul Song-wangwe..."

Panas rasa seluruh tubuh Kun Hong. Apa lagi setelah Lao Tiu memberi aba-aba kepada lima orang kawannya untuk turun tangan dan kelima orang itu bergerak menyerbu. Kun Hong tak dapat menahan sabar lagi.

Keenam orang itu, yaitu Lao Tiu dan lima orang tukang pukul, hanya melihat bayangan berkelebat, sinar hitam menyambar-nyambar ke sekitar diri mereka dan tahu-tahu mereka mengalami rasa sakit yang hebat. Seorang demi seorang menjerit, roboh bergulingan di atas tanah bagai cacing yang terkena abu panas, mengaduh-aduh kesakitan tanpa dapat mengerti sebetulnya bagian mana dari tubuh mereka yang terasa nyeri.

Sungguh aneh dan lucu mereka itu, kadang-kadang menekan perut, lalu kepala, pundak, dada dan lain-lain bagai orang dikeroyok oleh ribuan ekor semut. Ada pun Lao Tiu sendiri tahu-tahu sudah dicengkeram tengkuknya oleh tangan yang sangat kuat. Dia berusaha memberontak, namun tengkuknya serasa hendak hancur dan panas seperti terbakar.

"Aduhh... a... a... aduhhh... lepaskan..." dia menjerit-jerit seperti seekor babi disembelih, mukanya menengadah dan tidak dapat ditundukkan.

Dia masih belum dapat melihat siapa orangnya yang mencengkeram tengkuknya karena dia tidak mampu menggerakkan lehernya, hanya matanya melirik ke sana ke mari penuh rasa takut karena kini dia dapat menduga bahwa yang mencekik tengkuknya pasti si buta itu, juga yang merobohkan lima orang kawan yang dia andalkan.

Sementara itu, para penduduk dusun yang tadi beramai-ramai mengikuti rombongan ini dan hendak menonton, memandang dengan mata terbelalak, malah rumah-rumah gubuk itu sekarang terbuka semua pintunya dan berbondong-bondong penghuninya keluar untuk menonton ramai-ramai di waktu fajar ini.

"Manusia berhati iblis! Manusia bermulut kotor!" Berkali-kali Kun Hong berkata perlahan, lalu memaksa Lao Tiu untuk membungkuk, terus membungkuk sampai akhirnya mukanya menyentuh tanah. Beberapa kali Kun Hong menggosok-gosok muka itu dengan mulut di depan pada tanah, memukul-mukulkannya perlahan. Lao Tiu hanya bisa bersuara ah-ah-uh-uh saja dan pada waktu Kun Hong mengangkat dia kembali, mukanya penuh tanah dan mulutnya berdarah, beberapa buah giginya copot!

"Mulutmu harus dirobek biar lebih mudah kau buka lebar-lebar mencaci maki orang!" kata pula Kun Hong yang masih diracuni kemarahan itu. Tongkatnya digerakkan ke arah mulut Lao Tiu.

"In-kong, jangan... kasihan dia...," janda itu berseru penuh kengerian.

Kun Hong makin gemas. Tongkatnya tidak jadi merobek mulut, melainkan menampar pipi kanan kiri sehingga kedua pipi itu menggembung.

"Manusia keparat! Dengarlah kau? Dia yang kau caci maki, kau hina, kau fitnah, kau bikin sengsara hidupnya, dia malah mintakan ampun untukmu! Ah, kalau kau masih ada sedikit saja sifat manusia, tidak malukah engkau? Manusia keji, ahhh, alangkah inginku merobek mulutmu dari telinga kiri sampai ke telinga kanan!"

"Am... Am... ampun... ampun..." dengan seluruh tubuh yang menggigil ketakutan Lao Tiu meratap.

Kun Hong menengok ke kanan kiri, mengetahui bahwa orang-orang dusun itu berkumpul semua di situ, menonton.

"Dengar kalian semua, sahabat-sahabat penghuni dusun ini! Kalian adalah orang-orang bernyali kecil yang karena sifat pengecut kalian itu memang sudah patut untuk dijadikan orang-orang yang tertindas! Kalian tahu betapa jahatnya manusia-manusia macam ini dan gembongnya yang merupakan diri hartawan dan tuan tanah Song, akan tetapi kalian tidak menaruh kasihan kepada Yo-twaso yang tertindas ini, bahkan turut menghinanya hanya untuk menyenangkan hati Song-wangwe dan kaki tangannya! Hemmm, hari ini kebetulan aku lewat di sini dan mendengar urusan penasaran ini, harap kalian jadikan contoh agar di lain waktu kalian dapat bersatu padu melawan penindas yang membuat sengsara hidup kalian!"

Kun Hong menjambak rambut Lao Tiu dan didorongnya orang itu untuk berjalan. "Hayo antar aku ke rumah majikanmu!"

Kepada para penduduk yang berdiri terpaku keheranan itu Kun Hong berkata, "Kubiarkan lima orang tukang pukul ini menderita sebentar di sini, biarlah mereka merasakan betapa sakitnya orang disiksa sambil memberi kesempatan kepada mereka untuk mengingat dan mengenangkan roh dari mendiang Yo Kui. Sahabat-sahabat semua tunggu saja di sini, jangan ikut aku ke rumah Song-wangwe. Aku hanya titip Yo-twaso dan anaknya!"

Setelah berkata demikian, dia mendorong tubuh Lao Tiu yang karena ketakutan kemudian mengantarkannya ke rumah gedung keluarga Song yang sangat megah dan besar. Di depan pintu gerbang gedung itu, Kun Hong memaksa Lao Tiu untuk minta menghadap Song-wangwe karena urusan yang sangat penting.

Lao Tiu sudah mati kutunya, tidak berani membantah dan minta kepada penjaga untuk menyampaikan kepada Song-wangwe bahwa dia minta bertemu untuk urusan ‘si janda Yo’! Kiranya kalau bukan urusan ini yang diajukan oleh Lao Tiu, hartawan mata keranjang itu belum tentu mau turun dari tempat tidurnya yang hangat.

Sambil mengomel panjang pendek kenapa si Lao Tiu begitu kurang ajar membangunkan dirinya sepagi itu, Song-wangwe keluar juga karena memang sudah amat lama si bandot tua ini merindukan isteri Yo Kui yang cantik manis, yang seperti bandot mengilar ingin mendapatkan daun muda yang segar kehijauan.

Akan tetapi kemarahannya lenyap seketika, terganti harapan dan kegembiraan ketika dia melihat Lao Tiu di tempat yang agak gelap itu datang bersama seorang lainnya. Keadaan masih remang-remang dan mata tuanya sudah agak lamur, karena itu hartawan mata keranjang ini menyangka bahwa Lao Tiu datang bersama si janda cantik!

"Aiih, Lao Tiu, kau pagi-pagi sudah memaksa aku meninggalkan ranjangku yang empuk. Ehh, kau datang dengan janda manis yang kurindukan? He-heh-heh, mari masuk, manis, kebetulan sekali."

Tiba-tiba kata-kata yang ramah itu terhenti, terganti seruan kaget yang hanya berbunyi "eh-eh, ah-ah, oh-oh" saja karena seperti halnya Lao Tiu tadi, tengkuknya sudah dicekik oleh Kun Hong yang bergerak cepat menyerbunya. Kun Hong menyeret Song-wangwe dan Lao Tiu dengan kedua tangannya.

Beberapa orang penjaga datang memburu dan memaki, "Penjahat kurang ajar, apakah kau sudah gila? Lepaskan Song-wangwe!”

Akan tetapi kata-kata makian ini hanya sampai di situ saja karena si pemakinya bersama seorang kawannya yang lain sudah terlempar sejauh tiga meter lebih oleh tendangan kaki Kun Hong. Penjaga-penjaga lain datang dengan senjata di tangan.

"Mundur semua!" Kun Hong membentak. "Kalau tidak, lebih dulu akan kupatahkan leher majikanmu. Aku tidak akan membunuhnya, hanya akan membereskan urusan penasaran janda Yo!" Setelah mengancam demikian, Kun Hong kemudian mendorong terus kedua orang tawanannya itu kembali ke tempat tinggal janda Yo Kui.

Para penjaga menjadi bingung dan tentu saja tidak berani turun tangan untuk menjaga keselamatan majikan mereka. Penjaga-penjaga itu berkumpul dan hanya berani mengikuti di belakang Kun Hong, sambil berunding bagaimana caranya harus menyerang si buta yang menawan majikan mereka.

"Jangan serang... uh-uhh... jangan serang... goblok...!" Song-wangwe berkali-kali berteriak mencegah kaki tangannya karena dia betul-betul ketakutan dan sama sekali tidak dapat berkutik dalam cengkeraman yang amat kuat dan menyakitkan leher itu.

Para penduduk dusun berseru keheranan, penuh kekagetan dan kekaguman pada waktu mereka melihat si buta itu datang lagi, kini sambil menyeret Lao Tiu dan Song-wangwe sedangkan di belakangnya berjalan banyak penjaga yang tak berani bergerak menyerang sehingga dipandang sepintas lalu seakan-akan mereka ini malah menjadi anak buah Kun Hong si buta!

Setibanya di depan pondok janda Yo, Kun Hong melemparkan tubuh Lao Tiu ke bawah. Lao Tiu bergulingan saling tindih dengan lima orang tukang pukul yang masih terdengar merintih-rintih seperti ikan dilempar ke darat. Lao Tiu terlampau takut dan terlampau sakit-sakit mukanya, sehingga dia pun tak mampu bangkit lagi. Kedua pipinya membengkak besar membiru, matanya merah, mukanya kotor dan mulutnya berdarah, bibirnya bengkak-bengkak tebal, giginya banyak yang copot.

"Song-wangwe, apakah kau tahu apa sebabnya aku menawanmu dan menyeretmu ke tempat ini?" tanya Kun Hong, suaranya tegas berwibawa.

Hartawan itu diam saja. Maka Kun Hong memperkeras cengkeramannya dan membentak, "Hayo jawab!"

"Tidak... ti... tidak tahu...," suaranya gemetar tubuhnya menggigil.

"Hayo lekas kau ceritakan tentang urusanmu dengan mendiang Yo Kui dan juga tentang kehendakmu yang kotor terhadap nyonya janda Yo. Tentang Lao Tiu yang kau suruh membujuk-bujuk, tentang penipuanmu menggunakan surat perjanjian tanah, tentang cara kotormu menyogok pembesar yang melakukan pengadilan, tentang lima orangmu yang mengeroyok dan memukul mendiang Yo Kui. Hayo cepat ceritakan, kalau ada yang kau lewatkan satu saja... hemmm, aku benar-benar akan mematahkan batang lehermu yang lapuk ini!"

Karena nyawanya benar-benar terancam maut di tangan kuat pemuda buta itu, dengan suara yang tersendat-sendat si tua Song terpaksa menceritakan semua tipu muslihatnya terhadap mendiang Yo Kui, dan betapa dengan bantuan tukang pukulnya dan Lao Tiu, dia berusaha keras untuk menarik diri janda Yo menjadi kekasihnya...
























Terima kasih telah membaca Serial ini

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12