Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Buta
Jilid 02
Tetapi
tiba-tiba kelihatan sinar merah berkilat menyambar-nyambar, merupakan gulungan
sinar merah yang menyilaukan mata, disusul suara nyaring berdencingnya senjata
tajam saling bertemu dan Tiga orang pengeroyok ini berseru kaget dan
masing-masing melompat mundur sampai tiga meter lebih.
Ketika semua
orang yang tadi menjadi silau matanya oleh sinar merah yang bergulung-gulung
itu kini dapat memandang penuh perhatian, mereka melihat bahwa Bhe Ham Ko
bengong memandang dayungnya yang sudah patah menjadi dua potongan kecil di
kedua tangannya. Lauw Teng melongo menatap tangan kanannya yang hanya memegangi
gagang golok sedangkan Ban Kwan Tojin merah mukanya karena pedangnya yang kanan
terbang entah ke mana sedangkan yang kiri sudah semplok (patah) ujungnya!
Apa bila
semua orang memandang kepada pemuda buta itu, ternyata si buta ini masih saja
berdiri seperti tadi dengan tangan kiri tinggi-tinggi di atas kepala memegang
mahkota emas sedangkan tangan kanan masih memegang tongkat melintang!
Apakah
pemuda buta ini main sihir? Demikian para anak buah dua perkumpulan penjahat
itu bertanya-tanya dan merasa bingung, juga kaget, heran dan gentar. Akan
tetapi tentu saja dugaan ini tidak betul dan para pengeroyok tadi, juga si
gadis baju hitam tahu belaka betapa secara hebat pemuda buta itu tadi
menggerakkan tongkatnya yang butut dan tampaklah sinar merah bergulung-gulung
yang menangkis dan merusak semua senjata itu. Mereka dibuat begitu heran akan
kehebatan tongkat itu yang demikian ampuhnya sehingga bisa mematahkan senjata-senjata
tajam dan berat. Bukankah tongkat itu hanya tongkat kayu belaka?
Tentu saja
tidak demikian keadaan yang sesungguhnya. Walau pun hanya tongkat kayu, akan
tetapi sebelah dalamnya berisi pedang Ang-hong-kiam, pedang pusaka yang ampuh
sekali. Apa lagi digerakkan oleh tangan yang memiliki tenaga dan kepandaian
sakti seperti Kun Hong, sudah tentu para kepala penjahat itu bukanlah
tandingannya!
Kun Hong
tersenyum kemudian berkata, "Mahkota sudah berada di tanganku, dan akan
kukembalikan kepada yang berhak. Kalian tidak usah saling bermusuhan, apa lagi
sampai bunuh-membunuh. Lebih tidak baik lagi apa bila kalian meneruskan
pekerjaan kalian yang hina dan kotor ini, pasti kelak tidak akan membawa kalian
kepada keselamatan hidup. Sudahlah, aku akan pergi..."
Setelah
berkata demikian, dengan langkah perlahan-lahan pemuda buta itu berjalan maju.
Tongkatnya yang dipakai meraba-raba ke depan mendahului kedua kakinya. Oleh
karena dia buta, tentu saja dia tidak tahu bahwa dia telah salah mengambil
jurusan sehingga dia bukan hendak meninggalkan tempat itu, melainkan dia malah
menuju ke arah kelompok pohon-pohon besar yang memenuhi hutan kecil di lereng
bukit.
Kun Hong
agak bingung ketika tongkatnya bertemu dengan batang-batang pohon. Dia lalu
meraba-raba dan berjalan di antara pohon-pohon. Ketika dia melangkah maju, dia
tidak melihat bahwa di atasnya ada sebuah cabang pohon yang tergantung rendah.
Tahu-tahu kepalanya tertumbuk kepada batang pohon ini. Kagetnya bukan main
karena jika yang memukul kepala itu adalah serangan lawan, tentu dia dapat
mendengar angin pukulannya. Cepat dia miringkan kepala, akan tetapi tak dapat
dia mencegah keluarnya ‘telur kecil’ menyendul di dahinya yang mencium batang
pohon tadi!
Semua orang
yang berada di situ saling pandang dan tanpa terasa lagi muka tiga orang tokoh
yang keheranan tadi berubah menjadi merah sekali. Orang buta macam begitu saja
tak mampu mereka robohkan! Bahkan hanya dalam satu kali gebrakan saja mereka
telah kehilangan senjata! Padahal si buta itu mencari jalan pun tidak becus!
"Serang
dia!" Hampir berbareng Lauw Teng dan Bhe Ham Ko berseru.
Ributlah
para anak buah bajak dan rampok berlarian maju, menghujani tubuh Kun Hong
dengan serbuan senjata mereka. Akan tetapi kini Kun Hong tidak mau memberi hati
lagi. Dia tadi turun tangan dengan maksud untuk mencegah mereka saling bunuh
dan sengaja dia menimpakan rasa permusuhan mereka kepada dirinya karena dia
yakin bahwa dia mampu menjaga diri sendiri.
Melihat
dirinya dikepung dan diserbu, dia cepat menggerakkan tongkatnya ke arah suara
senjata yang menyerangnya. Sinar merah bergulung-gulung dan segera terdengar
suara senjata beradu bertubi-tubi, disusul pekik kesakitan dan tampaklah
senjata-senjata para pengeroyok itu beterbangan seperti daun-daun kering rontok
tertiup angin.
Kali ini Kun
Hong sengaja menujukan tongkatnya kepada tangan-tangan yang memegang senjata
sehingga dalam sekejap mata saja belasan pengeroyok sudah terluka tangannya,
luka berdarah yang meski pun tidak membahayakan keselamatan mereka, namun cukup
parah sehingga membuat mereka tak berdaya dan tak dapat mengeroyok pula.
Serbuan gelombang ke dua juga mengakibatkan belasan orang pengeroyok lain
mundur dan memegangi tangan yang terluka, malah kali ini tidak ketinggalan
tangan Lauw Teng, Bhe Ham Ko dan tosu Ban Kwan Tojin juga terluka!
Melihat
kehebatan pemuda buta ini, para pengeroyok menjadi gentar juga, apa lagi ketika
Kun Hong yang kini berdiri tegak menghadapi mereka itu berkata, suaranya
nyaring dan penuh pengaruh, "Jangan kira bahwa aku tidak mampu mengubah
luka pada tangan dengan tebasan pada leher atau tusukan pada ulu hati. Hemmm,
orang-orang sesat, apakah kalian masih ingin merampas mahkota ini yang bukan
menjadi hak milik kalian? Sadarlah bahwa perbuatan busuk tak akan pernah
mendatangkan kebahagiaan dan keselamatan!"
Semua orang
kini memandang betapa si buta itu melanjutkan perjalanannya, hati-hati sekali
berjalan didahului rabaan tongkatnya, malah sekarang agak membungkuk-bungkuk
karena takut kalau-kalau kepalanya bertumbukan dengan dahan pohon yang rendah
lagi.
"Sinshe
buta, berhenti kau!" tiba-tiba saja orang tinggi besar muka hitam yang
tadi datang bersama Bhe Ham Ko melompat ke depan dan menghadang di depan Kun
Hong.
Mendengar
desir angin lompatan ini, Kun Hong maklum bahwa orang yang baru datang
menyusulnya ini mempunyai kepandaian yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
tiga orang pengeroyoknya tadi.
"Sahabat
siapakah dan ada keperluan apa menahanku?"
"Kau
tinggalkan mahkota itu dan aku masih akan mengampuni perbuatanmu mengacau di
sini dan menghina kakak iparku, Kiang-liong Pangcu!"
"Hemm,
kau siapakah berani bicara sesombong ini?" Kun Hong bertanya.
"Bukalah
telingamu baik-baik. Tuan besarmu ini adalah Tiat-jiu (Si Tangan Besi) Souw Ki,
seorang di antara tujuh pengawal kaisar. Mahkota itu adalah benda pusaka dari
dalam istana yang dicuri kemudian dibawa lari oleh bekas pembesar Tan Hok yang
berhenti dan mengundurkan diri. Siapa yang merampas mahkota ini berarti dialah
pencurinya dan patut dihukum sebagai pengkhianat atau pemberontak. Nah, kau
serahkan benda itu padaku!"
Pihak
Hui-houw-pang terkejut bukan main mendengar pengakuan orang tinggi besar ini.
Mereka, terutama Lauw Teng, lalu memandang penuh perhatian. Kun Hong sendiri
juga terkejut. Tak disangkanya bahwa dia akan bertemu kembali dengan seorang di
antara tujuh pengawal Pangeran Mahkota Kian Bun Ti yang sekarang sudah menjadi
calon kaisar karena kematian kaisar tua sehingga dengan sendirinya tujuh orang
pengawalnya itu akan naik pangkat menjadi pengawal kaisar pula. Setelah mendengar
namanya, baru Kun Hong mengenal kembali suara orang ini.
Agaknya
Tiat-jiu Souw Ki sendiri lupa kepadanya dan tidak mengenalnya. Hal ini tidak
aneh pula karena dia sudah menjadi buta dan di puncak Thai-san tiga tahun yang
lalu, ketika Tiat-jiu Souw Ki dan keenam orang temannya datang pula mengacau,
Kun Hong belum buta. Lebih besar lagi keheranan dan kekagetannya ketika dia
mendengar dari mulut pengawal itu bahwa pembesar yang sudah dirampok, yang
katanya telah mengambil dan melarikan mahkota ini dari istana, bukan lain
adalah Tan-taijin yang merupakan kakak angkat dari Tan Beng San!
"Tidak
boleh orang merampas dari tanganku," kata Kun Hong tenang dan suaranya
keras. "Kalau kalian tadinya merampas benda ini dari pembesar she Tan itu,
maka aku harus mengembalikan kepadanya juga."
"Keparat,
berani kau melawan pengawal kaisar?!" Tiat-jiu Souw Ki membentak.
Tanpa
menanti jawaban Kun Hong dia sudah mengirim pukulan dengan tangan kanannya yang
disertai hawa pukulan dan tenaga dalam yang membuat kepalannya itu sekeras
besi. Memang Souw Ki ini pada waktu mudanya melatih tangannya dengan bubuk besi
sehingga sekarang dia memiliki Ilmu Tiat-see-ciang (Pukulan Pasir Besi) yang
membuat kepalannya keras bagai besi dan karena ini pula dia mendapat julukan
Tiat-jiu (Si Tangan Besi). Sambaran pukulan tangan ini sudah cukup untuk
diketahui Kun Hong mengenai keahlian lawan. Akan tetapi dia tak gentar, malah
mengempit tongkatnya dan menggunakan tangan dan memapaki pukulan itu dengan
dorongan telapak tangannya.
"Dukkk!"
Kepalan yang
besar dan keras itu bertemu dengan telapak tangan Kun Hong yang putih dan halus
bagaikan tangan wanita. Akibatnya luar biasa sekali. Souw Ki merasa betapa
kepalannya bagai bertemu dengan kapas, seolah-olah tenaganya tenggelam ke dalam
air dan sebelum dia sempat menarik tangannya, dari telapak tangan itu timbul
hawa panas yang membakar tangannya. Tubuhnya menggigil, dia jatuh berlutut dan
lengan tangannya serasa lumpuh. Kagetnya bukan main dan cepat-cepat dia menarik
tangannya sambil mengerahkan tenaga.
Kun Hong
melepaskan tangan lawannya. Betapa kaget hati Souw Ki saat melihat kepalan
tangannya membengkak dan mulailah terasa nyeri menusuk-nusuk. Dia segera
melompat mundur dan menyeringai kesakitan. "Tanganmu tidak apa-apa, besok
akan lenyap rasa nyerinya," kata Kun Hong. "Salahmu sendiri
menggunakan tenaga beracun dan kini hawa pukulan sudah menyerang tanganmu
sendiri." Setelah berkata demikian, Kun Hong melanjutkan langkahnya.
Tak seorang
pun akan mencoba untuk menyerang lagi sekarang, setelah melihat betapa semua
serangan dapat dipatahkan sekali gebrak saja oleh pemuda buta. Melihat si buta
itu berjalan dengan tongkat di depan, kelihatannya begitu lemah, begitu tak
berdaya, akan tetapi hampir seratus orang banyaknya itu tidak dapat menghalanginya
membawa pergi mahkota itu, benar-benar amat mengherankan! Orang-orang itu hanya
mengikutinya dari jauh tak seorang pun mengeluarkan suara.
Diam-diam
gadis jelita baju hitam itu pun mengikuti dari jauh. Ia makin kagum kepada Kun
Hong, dan dia juga dapat melihat sikap para penjahat itu yang agaknya tidak
akan mau mengalah begitu saja. Siapakah pemuda buta ini? Lihai bukan main! Dari
mana datangnya dan apa maksud sebenarnya membawa pergi mahkota kuno? Demikian
bermacam pikiran mengaduk di hati Bi-yan-cu. Sengaja gadis ini menyelinap di
antara pepohonan dan menghilang dari pandangan mata orang banyak, lalu
diam-diam ia mengikuti semua kejadian atas diri Kun Hong.
Setelah Kun
Hong menembus hutan kecil penuh pepohonan itu, barulah si gadis jelita itu
terkejut sekali dan maklum apa yang diharapkan oleh para penjahat itu. Kiranya,
tanpa diketahuinya, orang buta itu salah jalan. Dia menuju ke sebuah tebing
yang buntu karena berujung jurang yang amat curam dan luas, tak mungkin dilalui
manusia!
Tanpa
diketahuinya, si buta itu berjalan perlahan-lahan, tongkatnya meraba-raba
menuju ke pinggir jurang. Ada pun di belakangnya, hampir seratus orang dari
kedua perkumpulan penjahat itu mengikutinya, siap sedia dengan senjata di
tangan, bahkan ada yang sudah mementang busur!
Melihat
betapa orang buta itu menghadapi bahaya maut yang hebat, Bi-yan-cu ingin
berteriak memberi peringatan. Akan tetapi ia menahan hatinya. Mengapa ia harus
berbuat demikian? Ia tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan si buta, kecuali
bahwa mahkota itu kini berada pada si buta dan harus ia rampas. Si buta itu
boleh mampus di tangan penjahat-penjahat ini, apa sangkut pautnya dengannya?
Pula, orang
buta itu masih muda dan tampan sekali, kalau ia seorang gadis tanpa alasan
membelanya, bukankah orang akan menyangka yang bukan-bukan terhadap dirinya?
Apa lagi kalau diingat betapa si buta tadi demikian dekat dan baik dengan gadis
pesolek genit anak Lauw Teng, dapat diduga bahwa orang buta itu pun bukan orang
baik-baik biar pun kepandaiannya benar-benar amat lihai. Biarlah mereka saling
gempur, dan ia mencari kesempatan baik merampas mahkota itu. Inilah siasat
membiarkan anjing-anjing merebutkan daging sambil menunggu kesempatan untuk
menyambar daging itu!
Ketika
akhirnya tongkatnya meraba tempat kosong, Kun Hong juga merasa kaget sekali.
Diraba-rabanya sekali lagi ke depan, kanan kiri sama saja. Sudah jelas bahwa
tongkatnya memang meraba tempat kosong. Dia berjongkok, mencoba untuk mengukur
dalamnya ‘lobang’ di depannya itu, siapa tahu hanya sungai kecil. Tapi, biar
pun dia sudah mengulur lengan dan tongkatnya, masih juga belum menyentuh
dasarnya. Dan dia tidak mendengar suara air sungai.
Dia lalu
mundur dan melangkah dua tindak ke belakang, keningnya berkerut. Telinganya
mendengar suara burung jauh di bawah ketika dia berjongkok tadi. Tahulah dia
sekarang bahwa di depannya adalah jurang yang sangat curam, bahwa di ‘bawah’
sana itu adalah kaki gunung, dusun-dusun dan pohon-pohon di mana burung-burung
beterbangan!
"Kwa-sinshe,
kau masih tidak mau menyerahkan mahkota itu?!"
Tiba-tiba
saja dia mendengar suara bentakan di belakangnya, suara Lauw Teng, juga dia
mendengar langkah kaki puluhan orang banyaknya, bergerak berindap-indap ke
arahnya dari belakang, kanan dan kiri. Dia maklum bahwa dirinya sudah terkurung
dari kanan kiri belakang oleh para lawannya, sedangkan dari depan dihalangi
jurang yang tidak mungkin dilalui. Dia membalik, tersenyum dan menjawab,
"Pangcu,
kalau mahkota ini terjatuh ke tanganmu, tentu orang-orang Kiang-liong-pang tak
akan diam begitu saja dan akan merampasnya dari tanganmu, sebaliknya kalau
kuberikan kepada ketua Kiang-liong-pang, tentu kau dan semua anak buahmu juga
tidak akan mau menerima begitu saja. Karena itu, biarlah tetap di tanganku dan
kalian tidak usah saling bermusuhan." Kun Hong melangkah maju, ingin
segera menjauhi pinggir jurang karena hal ini amat berbahaya baginya.
Akan tetapi
atas dorongan ketua kedua perkumpulan, para bajak dan perampok segera menyerbu,
didahului melayangnya puluhan batang anak-anak panah ke arah Kun Hong! Pemuda
buta itu cepat memutar tongkatnya dan anak-anak panah itu runtuh semua, ada
yang melejit dan meluncur kembali menyerang tuannya sendiri.
Meski Kun
Hong dihujani anak panah, akan tetapi tak sebuah pun dapat menyentuhnya.
Tongkat yang dia gerakkan merupakan perisai yang sangat tangguh, juga
gerakannya mengandung hawa sakti yang amat kuat sehingga anginnya saja cukup
untuk mengusir pergi anak panah yang mendekatinya.
Akan tetapi
puluhan orang itu terus mendesak maju, kini menggunakan toya, tombak dan
senjata-senjata panjang lainnya. Kun Hong menangkis, mematahkan banyak tombak
dan toya, merobohkan banyak pengeroyoknya dengan melukai mereka tanpa
membahayakan keselamatan nyawa.
Karena
menghadapi pengeroyokan berat, dia terpaksa harus bergerak ke sana ke mari,
mulai menendang untuk membantu tongkatnya. Dia tak gentar menghadapi
pengeroyokan orang-orang yang baginya bukan merupakan lawan yang tangguh itu...
akan tetapi karena para penjahat itu mengeroyoknya sambil berteriak, hal ini
sangat membingungkan Kun Hong.
Harus
diketahui bahwa pemuda buta ini dalam setiap pertempuran hanya mengandalkan
telinganya. Sekarang orang-orang itu mengeluarkan teriakan-teriakan gaduh,
tentu saja pendengarannya menjadi kacau-balau sehingga dia tidak dapat
menangkap desir angin sambaran senjata lagi. Dalam keadaan begini terpaksa Kun
Hong hanya mainkan tongkat melindungi dirinya saja, dan terpaksa dia
menggunakan kakinya untuk menendang dan merobohkan lawan, sebab untuk
merobohkan lawan dengan tongkatnya, dia juga khawatir kalau-kalau akan
menewaskannya.
Mendadak di
antara para pengeroyok itu ada yang mengeluarkan tambang panjang, yang dipegang
melintang serta dipasang di depan Kun Hong yang masih sibuk menghadapi
pengeroyokan. Secara tiba-tiba tambang lalu ditarik dan digunakan untuk
membetot kaki orang buta itu. Kun Hong kaget dan cepat melompat ke sana ke
mari. Akan tetapi celakalah dia kalau sampai jatuh karena libatan tambang.
Orang-orang yang mengeroyoknya bersorak dan pengeroyokan menjadi semakin ketat.
"Manusia-manusia
curang!"
Bi-yan-cu
tak dapat menahan kemarahannya lagi dan sesosok bayangan hitam berkelebat
didahului sinar pedang yang amat menyilaukan mata. Pekik kesakitan segera
terdengar susul-menyusul, dan beberapa orang penjahat roboh oleh pedang si
gadis yang ampuh.
"Hee...
jangan...!" Kun Hong berteriak mendengar jeritan-jeritan itu, akan tetapi
pada saat itu dia lupa dan melompat agak jauh.
Celaka baginya,
dia justru melompat ke arah jurang, tepat di tepinya. Kakinya terpeleset dan
tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terguling masuk ke dalam jurang. Para bajak
dan perampok bersorak-sorai dan mereka kini membalik untuk mengeroyok gadis
jelita baju hitam yang mengamuk seperti seekor naga betina.
Sebetulnya,
ketua dari dua perkumpulan penjahat itu tidak ada nafsu untuk mengeroyok
Bi-yan-cu, karena selain mereka tidak suka bermusuhan dengan puteri
Sin-kiam-eng Tan Beng Kui si raja kecil dari pantai Po-hai, juga mahkota kuno
yang diperebutkan berada di tangan si buta yang kini sudah terjungkal ke dalam
jurang. Perlu apa ribut-ribut dengan gadis liar itu?
Akan tetapi,
keadaannya lain sekarang. Bukan mereka yang sengaja mengeroyok, adalah
Bi-yan-cu yang sengaja mengamuk! Entah bagaimana, melihat betapa pemuda buta
itu dikeroyok sampai terjungkal ke dalam jurang, gadis ini menjadi marah sekali
dan lantas mengamuk seperti ayam betina diganggu anaknya. Karena amukan gadis
ini merobohkan banyak anak buah bajak dan perampok, dua orang ketua itu bersama
para pembantunya menjadi marah. Mereka lalu berbareng menyerbu, maka
dikeroyoklah Bi-yan-cu oleh banyak orang kosen.
Ilmu pedang
gadis itu benar-benar hebat, tepat seperti yang diduga oleh Kun Hong tadi.
Gerakannya lincah dan lemas, seperti gadis sedang menari-nari dengan indahnya,
namun setiap gerakan pedang pasti mematahkan senjata lawan atau melukainya.
Betapa pun
juga, menghadapi pengeroyokan Lauw Teng, Ban Kwan Tojin, Bhe Ham Ko, lima orang
tamu undangan termasuk Tiat-jiu Souw Ki yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi
juga, gadis ini mulai terdesak. Ilmu pedangnya yang sakti, yaitu Ilmu Pedang
Sian-li Kiam-sut (Ilmu Pedang Bidadari) sementara ini memang mampu
menyelamatkan dirinya. Gerakannya masih tetap lincah dan indah, akan tetapi
lewat seratus jurus, ia mulai lelah.
"Ha-ha-ha-ha,
gadis liar, apakah engkau masih hendak mengamuk lagi? Hemmm, melihat muka
ayahmu, asal kau melepaskan pedang dan berlutut minta maaf, biarlah kulepaskan
kau!" kata Lauw Teng yang bagaimana pun juga masih merasa khawatir
kalau-kalau dia menimbulkan bibit permusuhan dengan raja kecil pantai Po-hai
yang amat terkenal itu.
"Lebih
baik mampus dari pada minta maaf kepada penjahat-penjahat keji macam
kalian!" Bi-yan-cu berseru sambil memutar pedangnya dengan cepat sehingga
pedang itu berubah menjadi gundukan sinar kemilauan. Gadis itu bahkan memaki.
"Manusia-manusia curang, kalau memang gagah jangan main keroyokan!"
Sekali
gulungan sinar pedang itu menyambar ke kiri, salah seorang pengeroyok menjerit
akibat pundaknya terbabat pedang. Baiknya ia masih sempat melempar diri ke
belakang sehingga hanya kulit dan bagian daging pundaknya saja yang sapat oleh
pedang. Namun cukup mendatangkan rasa perih dan nyeri bukan main sehingga ia
pun melompat mundur sambil merintih-rintih.
Lagi
terdengar jeritan keras ketika pedang Bi-yan-cu yang dikelebatkan ke
belakangnya berhasil merobek kulit dan daging paha seorang pengeroyok lainnya,
malah dalam detik berikutnya pedang itu sudah menusuk ke arah leher Bhe Ham Ko
dengan kecepatan kilat. Orang she Bhe ini berseru kaget dan tak kuasa untuk
menangkis atau mengelak lagi, dia sudah meramkan mata menanti datangnya maut.
"Tranggg!"
Ruyung di
tangan Tiat-jiu Souw Ki menangkis pedang yang akan merenggut nyawa kakak
isterinya itu. Ujung ruyungnya terbabat putus, akan tetapi tubuh gadis itu
sendiri terhuyung mundur, tangannya terasa sakit. Bi-yan-cu maklum bahwa tenaga
lweekang dari Si Tangan Besi itu benar-benar amat kuat. Sebelum dia berhasil
mengambil kedudukannya, kembali dia sudah diserang gencar oleh senjata-senjata
lawan secara bertubi-tubi. Sekali putar saja pedangnya dapat menangkis semua
senjata, sedangkan ruyung yang sudah menghantam pinggangnya telah ia tangkis
dengan sebuah tendangan keras menggunakan tumit kakinya.
Pada saat
itu pula, golok dan pedang lawan yang lain sudah menggempurnya. Bi-yan-cu
menggoyang pedangnya, tapi agaknya para pengeroyoknya yang terdiri dari
orang-orang pandai ini sudah bersepakat untuk mengalahkannya. Dari kanan kiri
datang golok dan pedang yang menjepit pedangnya. Bi-yan-cu kaget, mengerahkan
tenaga untuk menarik pulang pedangnya. Akan tetapi pada saat itu, sebatang
pedang lain menyerampang kakinya. Cepat ia meloncat ke atas dan tak dapat
dicegah lagi ia harus menerima hantaman dayung yang datang dari arah kanan,
menggunakan pangkal lengan kanannya.
"Bukkk!"
Hantaman itu
membuat tubuhnya tergetar, tangan kanannya lumpuh kaku dan terpaksa ia
melepaskan pedangnya untuk dapat meloncat ke atas, lalu membalik ke belakang
dan keluar dari kepungan.
"Hayo
berlutut minta ampun kalau tidak mau mampus!" sekali lagi Hui-houw Pangcu
Lauw Teng membentaknya.
Gadis itu
berdiri dengan tegak, matanya berapi-api, kepalanya dikedikkan dan mulutnya
tersenyum mengejek. Ia adalah puteri seorang gagah perkasa dan semenjak kecil
sudah digembleng tentang kegagahan. Mati bukanlah apa-apa bagi Bi-yan-cu.
Sambil mengeluarkan pekik nyaring gadis ini malah menerjang maju lagi dengan tangan
kosong, menggunakan kepalan tangan dan tendangan kaki! Para pengeroyoknya yang
sudah menjadi marah itu menyambutnya dengan hujan bacokan.
"Cring-cring-cring...!"
Sinar merah
berkelebat dan senjata-senjata para pengeroyok itu berpelantingan. Semua orang
mundur penuh keheranan dan ... kiranya si buta sudah berada di situ. Si buta
inilah yang tadi menangkis semua senjata itu, menolong nyawa Bi-yan-cu. Dan
tangan kiri yang diangkat tinggi-tinggi itu masih memegang mahkota yang
diperebutkan!
Pada waktu
Kun Hong menginjak pinggir jurang yang mengakibatkan dia terperosok dan
terguling ke dalam jurang, pemuda ini tidak kehilangan akal. Dengan menahan
napas dia mengerahkan seluruh kekuatan ginkang-nya, memutar tongkatnya
menusuk-nusuk ke kiri dan kanan. Akhirnya usahanya berhasil. Sebelum terlalu
dalam dia terjatuh, ujung tongkat yang ditusukkan telah menancap pada dinding
jurang yang merupakan tanah keras. Dia bergantungan di situ. Mahkota itu dia
selipkan dalam buntalan di punggungnya, kemudian tangan kirinya meraba-raba.
Begitu mendapat pegangan, yaitu batu yang menonjol pada dinding itu, dia
mencabut pedang, menggunakan tangan kiri menarik tubuh ke atas dan menancapkan
pedangnya di sebelah atas.
Demikianlah,
meski lambat akhirnya dia berhasil merambat ke atas kembali dan meloncat ke
luar dari jurang yang merupakan mulut maut yang akan menelannya. Dan tepat
sekali dia masih keburu menyelamatkan Bi-yan-cu dari bahaya maut di tangan para
penjahat.
Melihat
munculnya si buta ini, Lauw Teng dan kawan-kawannya menjadi amat kaget dan
khawatir sekali. Akan tetapi Tiat-jiu Souw Ki yang berpikiran cepat dan cerdik
itu segera berkata, "Tawan dulu gadis liar ini!" Dia mendahului
menubruk ke arah Bi-yan-cu, disusul kawan-kawannya.
Gadis itu
tadinya merasa amat heran, kaget dan juga girang melihat Kun Hong, sekarang
dengan cepat dia berusaha untuk melawan. Akan tetapi karena lengan kanannya
terasa kaku dan lumpuh, sia-sia saja dia melawan dan akhirnya dapatlah dia
diringkus dan diikat kaki tangannya.
"Sinshe
buta, jangan bergerak atau... gadis ini akan kami bunuh lebih dulu!"
teriak Tiat-jiu Souw Ki dengan suara nyaring sambil menempelkan ruyungnya pada
kepala Bi-yan-cu.
Lemas
seluruh tubuh Kun Hong mendengar ini. Karena matanya sudah buta, ilmu silatnya
hanya bisa dia pergunakan untuk menjaga diri, yaitu dia dapat menghadapi tiap
serangan dan sekalian merobohkan lawannya. Akan tetapi untuk menyerang orang,
sungguh sukar baginya, apa lagi untuk menolong gadis yang dikeroyok itu.
Dengan
mengandalkan pendengarannya terhadap angin pukulan senjata, tadi dia masih
dapat menggerakkan tongkat untuk menghalau semua senjata itu. Sekarang tak
mungkin dia secara mengawur dapat mengamuk. Pula, bukan maksudnya untuk
menyerang orang kalau dia sendiri tidak diganggu. Maka sejenak dia menjadi
bingung, tak tahu dengan cara bagaimana dia dapat menolong puteri dari
Sin-kiam-eng Tan Beng Kui.
"Sudahlah,"
akhirnya ia pun berkata dengan suara rendah. "Kalian menghendaki mahkota
butut ini? Nah, kalian boleh menerimanya asal gadis itu dibebaskan."
Lauw Teng,
Ban Kwan Tojin, Souw Ki, dan Bhe Ham Ko saling memandang. Lalu Tiat-jiu Souw Ki
mewakili mereka semua bersuara,
"Sinshe
buta, kami baru mau membebaskan gadis ini kalau kau suka menyerah menjadi
tawanan kami dan menyerahkan mahkota itu."
Kun Hong
mengerutkan kening. Tentu saja sangat berbahaya baginya kalau dia sampai
menyerah dan menjadi tawanan orang-orang yang kejam ini. Besar kemungkinan ia
akan dibunuh mati. Sebaliknya, jika tidak menyerah dan mengamuk, sungguh pun
dia mampu mengalahkan mereka, namun gadis puteri Tan Beng Kui itu pun terancam
keselamatan nyawanya.
Gadis yang
menurut suaranya baru belasan tahun usianya itu benar-benar amat sayang kalau
harus mati, apa lagi ia adalah puteri Tan Beng Kui, atau lebih tepat lagi, ia
apa lagi kemenakan Tan Beng San Taihiap! Berbeda dengan dia, hanya seorang buta
yang tidak berharga, baik jiwa mau pun raganya. Mati baginya hanya berarti
mempercepat persatuan kembali dengan mendiang Tan Cui Bi, kekasihnya, matahari
hidupnya!
"Baiklah,
aku menyerah. Lekas kalian bebaskan gadis itu!" katanya sambil menarik
napas panjang.
"Ha-ha-ha,
pengemis buta! Jangan dikira kami begitu bodoh. Kau harus menyerah untuk
dibelenggu kedua tanganmu!" Bhe Ham Ko tertawa mengejek.
Kun Hong
tersenyum masam, menahan kemarahannya, lalu ia mengulurkan kedua lengan
disejajarkan ke depan. "Boleh, kalian belenggulah."
Seorang anak
buah Kiang-liong-pang yang diberi isyarat oleh ketuanya lalu melangkah maju,
membawa tambang kulit kerbau yang kuat sekali.
"Jangan
mau menyerah! Kau akan dibunuh oleh penjahat-penjahat jahanam ini!"
tiba-tiba Bi-yan-cu berseru nyaring.
Kun Hong
menggelengkan kepala. "Lebih baik aku yang dibunuh. Apa sih artinya orang
buta seperti aku? Hayo, kalian belenggulah aku, tapi lepaskan dulu gadis
itu!"
"Kau
harus dibelanggu lebih dulu!" Kata Bhe Ham Ko. Tentu saja dia tidak
menghendaki si buta ini kemudian tidak memegang janjinya setelah si gadis
dibebaskan.
"Hah,
kalian tidak percaya kepadaku. Hemmm, sebaliknya bagaimana aku dapat percaya
kepada kalian?"
"Jangan
mau diperdayai!" kembali gadis itu mencela dengan suaranya yang nyaring.
"Jika mereka berani menggangguku, ayah tentu akan datang dan menghancurkan
jiwa anjing mereka, tidak seekor pun akan diampuni!"
Kun Hong
tidak membantah ketika anak buah bajak itu membelenggu kedua pergelangan
tangannya dengan tali kulit yang amat kuat itu. Juga mahkota itu diambil dari
buntalannya dan diserahkan orang kepada Souw Ki yang lalu tertawa bergelak.
"Lepaskan
gadis liar itu," kata Souw Ki. "Jangan sampai dunia kang-ouw
mengatakan kita tidak memegang janji. Nona, katakan pada ayahmu bahwa bukan
sekali-kali kami hendak memusuhinya, akan tetapi karena kau sendiri yang memusuhi
kami, maka terpaksa kami bertindak. Kau harus tahu bahwa aku adalah pengawal
kaisar. Karena benda ini adalah milik istana, sudah menjadi kewajibanku untuk
mengambilnya kembali."
Nona itu
dibebaskan. Ia meloncat berdiri akan tetapi terhuyung-huyung. Kakinya terasa
kaku dan tangan kanannya tak dapat digerakkan, agaknya ada tulang yang patah.
Ia pergi menjemput pedangnya yang menggeletak di atas tanah, memegangnya dengan
tangan kiri, dipegangnya erat-erat sambil menggigit bibir.
Ingin dia
mengamuk dan membunuh semua penjahat ini untuk merampas mahkota dan menolong si
buta, akan tetapi dia tidak begitu bodoh dan tahu-pula bahwa usahanya ini akan
sia-sia dan hanya akan mengorbankan nyawa dengan sia-sia belaka. Andai kata
belum terluka lengan kanannya tentu ia tak akan menyerah mentah-mentah.
Ia berdiri
seperti patung melihat betapa ujung belenggu yang masih panjang ditarik orang
dan si buta itu diseret seperti orang menuntun kerbau saja. Beberapa kali kaki
Kun Hong tersandung batu dan terhuyung-huyung akan jatuh, ditertawai oleh anak
buah bajak dan rampok.
Tanpa
menggunakan tongkatnya untuk meraba jalan di depan kakinya, tentu saja dia tak
dapat berjalan dengan baik, tak dapat melihat adanya batu-batu yang menghalang
kedua kakinya, apa lagi diseret-seret seperti itu. Tongkat itu masih
dipegangnya, akan tetapi tak dapat digunakan karena kedua tangannya harus
diangkat agak tinggi ketika diseret.
"Kenapa...
kenapa kau lakukan ini...?" gadis itu berteriak, menahan isak.
Kun Hong
mendengar ini, biar pun teriakan itu sebenarnya hanya nyaring di dalam hati
gadis itu, yang keluar dari bibirnya hanya keluhan perlahan. Ia menengok dan
tersenyum, berkata, "Nona, mengingat pamanmu, Tan Beng San taihiap, aku
rela melakukan ini..."
Sementara
itu, kesibukan nampak pada para pimpinan kedua perkumpulan yang tadinya saling
bermusuhan tapi sekarang telah berbaik kembali.
"Souw-ciangkun,
dalam merampas kembali mahkota ini dari tangan bekas pembesar Tan, kami pun
mempunyai jasa, harap jangan lupakan ini!" terdengar Lauw Teng berkata.
Tiat-jiu
Souw Ki tertawa. "Jangan khawatir, Lauw-pangcu. Aku akan membawa kembali
mahkota ini ke kota raja dan di hadapan sri baginda kaisar pasti akan
kulaporkan tentang jasa Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang. Tunggu saja, tak
lama lagi kalian semua akan memperoleh anugerah dari kaisar."
Para anak
buah bajak dan rampok bersorak gembira. Souw Ki lalu memilih sepuluh orang dari
Hui-houw-pang dan sepuluh orang lagi dari Kiang-liong-pang untuk mengawalnya ke
kota raja. Malah Ban Kwan Tojin yang hendak berpesiar ke kota raja pun turut
menyertai rombongan ini. Hui-houw-pang yang merasa berterima kasih bahwa adik
ipar dari bekas musuhnya ini ternyata tidak memusuhinya cepat menyediakan dua
puluh dua ekor kuda yang kuat-kuat untuk rombongan itu.
Berangkatlah
dua puluh dua orang itu naik kuda. Anak buah yang kudanya jalan paling belakang
memegang ujung tali belenggu tangan Kun Hong. Begitu kuda bergerak, tubuh Kun
Hong tersentak ke depan. Terpaksa pemuda buta ini lari pontang-panting,
meloncat-loncat agar jangan tersandung batu, dengan kedua tangan diacungkan ke
depan. Dia terhuyung-huyung ke depan dan agaknya penglihatan ini amat lucu bagi
kedua golongan hitam, buktinya mereka tertawa bergelak-gelak dengan geli.
Bi-yan-cu menyelinap pergi di antara pepohonan, tangan kiri yang menggenggam
gagang pedang diusapkan ke depan muka untuk menghapus air mata yang berderai
jatuh ke atas kedua pipinya….
Tiat-jiu
Souw Ki memang seorang yang amat cerdik. Ketika mendengar bahwa pemuda buta ini
pandai ilmu pengobatan, timbul niat hatinya untuk memaksa pemuda itu ikut ke
kota raja agar dapat dipergunakan kepandaiannya itu. Tentang kepandaiannya ilmu
silat yang demikian hebatnya, ah, tak usah dikhawatirkan karena betapa pun
pandainya orang buta tentu mudah ditipu. Meski kuda-kuda itu berlari tidak
terlalu cepat, tapi keadaan Kun Hong yang diseret-seret cukup sengsara.
Berkali-kali dia terperosok ke dalam lubang di tanah, atau tersandung batu
sehingga tubuhnya terjungkal ke depan dan terseret oleh kuda.
Baiknya
pemuda ini memang memiliki ginkang yang tinggi dan tubuhnya sudah memiliki hawa
murni yang membuat kulitnya kebal. Biar pun tampaknya dia tersiksa sedemikian
hebatnya, namun sesungguhnya dia tidak sampai menderita nyeri dan tidak terluka
sama sekali.
Tadi memang
dia menyerahkan diri untuk menggantikan gadis itu, dan dia juga sengaja menurut
saja diseret-seret sampai beberapa jam lamanya untuk memberi kesempatan kepada
gadis itu pergi menjauhkan diri. Selain itu, juga lebih mudah baginya untuk
turun gunung dengan cara ‘membonceng’ seperti ini dari pada harus mencari jalan
sendiri di tempat yang asing baginya. Memang cocok sekali harapannya, dia
diseret turun gunung dan hari telah menjelang senja pada saat rombongan itu
memasuki sebuah dusun di kaki gunung.
Bukan hal
aneh pada masa itu bahwa rakyat amat takut terhadap setiap rombongan orang yang
bersenjata, baik rombongan ini merupakan pasukan tentara pemerintah atau bukan.
Ini terjadi akibat tekanan-tekanan dan gangguan yang selalu dilakukan oleh
rombongan-rombongan macam itu untuk menyenangkan diri sendiri tiap kali mereka
melewati sebuah dusun. Merampas makanan tanpa membayar, memaksa penduduk
membawakan beban, merampas kaum wanita dan sebagainya.
Oleh karena
itu, ketika pada sore hari itu rombongan Tiat-jiu Souw Ki memasuki dusun di
kaki gunung ini, semua penduduknya sudah pada lari menyembunyikan diri,
rumah-rumah sebagian besar ditutup pintunya. Rombongan itu lalu berhenti di
tengah-tengah dusun, di depan sederetan rumah-rumah gubuk kecil terbuat dari
pada bambu, rumah orang-orang miskin.
Juga
rumah-rumah ini biar pun tidak ditutup pintunya, kelihatan sunyi tiada
penghuninya. Memang perlu apa rumah-rumah ini ditutup pintunya kalau di
dalamnya tiada sesuatu apa pun yang cukup berharga untuk dicuri orang?
Tiat-jiu
Souw Ki yang merasa lapar dan haus, yang merasa lelah setelah tadi mengalami
pertempuran, ingin beristirahat dan bermalam di kampung ini. Melihat kesunyian
tempat itu, dia mengerutkan kening dan mengomel.
"Sungguh
tidak sopan penduduk dusun ini!"
Ban Kwan
Tojin lalu menjawab. "Memang sebagian besar dusun-dusun seperti ini selalu
dikosongkan kalau ada rombongan orang-orang asing lewat, Ciangkun. Karena itu,
kalau pemerintah yang baru sekarang ini benar-benar sudah lengkap, harus segera
diusahakan adanya pejabat-pejabat kecil di tiap dusun sehingga segala sesuatu
mengenai penghuni dusun-dusun dapat diatur sebaiknya."
Tiat-jiu
melirik ke arah tosu itu dan diam-diam dia dapat menjeguk isi hati tosu ini
yang seperti juga orang-orang lain ternyata memiliki ambisi untuk menjadi orang
berpangkat. Dia sedang hendak memerintahkan orang-orangnya untuk mencari tempat
penginapan yang baik baginya, tentu saja bukan rumah penginapan umum karena di
dusun sekecil itu mana ada losmen?
Yang dia
maksudkan adalah rumah terbaik, tak peduli tempat tinggal siapa pun, untuk dia
mengaso malam itu. Akan tetapi tiba-tiba dari sebuah di antara rumah-rumah
gubuk itu keluarlah seorang anak laki-laki kecil. Usianya paling banyak lima
tahun, tubuhnya kurus kering dan setengah telanjang.
Anak ini
keluar setengah berlari, akan tetapi tiba-tiba terhenyak di depan pintunya
ketika dia melihat begitu banyak kuda-kuda besar ditunggangi orang sedang
berkumpul di depan rumahnya. Kedua matanya yang bening itu berseri gembira dan
mulutnya segera berseru,
"Kuda
bagus... kuda bagus...!"
"...A
Wan... A Wan..." tiba-tiba terdengar suara wanita memanggil dari dalam
gubuk itu, suaranya yang terdengar gemetar ketakutan.
Akan tetapi
anak kecil itu berjalan tertatih-tatih menonton kuda sampai dia tiba di bagian
paling belakang rombongan itu. Sejenak dia tertegun memandang kepada Kun Hong.
Pemuda buta
ini berdiri dalam keadaan terbelenggu kedua tangannya, ujung tambang belenggu
dipegang si penunggang kuda. Pakaian si buta itu robek-robek semua di bagian
punggung, di bagian lain sudah kotor oleh debu, juga mukanya berkeringat penuh
debu, membuat muka itu kotor dan hitam.
Akan tetapi
orang buta ini mulutnya tersenyum karena sesungguhnya Kun Hong girang juga pada
saat mendapat kenyataan bahwa dia telah dapat ‘membonceng’ rombongan itu sampai
ke sebuah dusun. Kalau dia sendiri yang turun dari puncak tanpa penunjuk jalan,
kiranya dia akan tersesat dan entah sampai kapan baru dapat bertemu dengan
dusun atau orang.
"Kasihan
paman buta... lepaskan... lepas...!" Anak itu berteriak-teriak sambil
mendekati Kun Hong.
"Anak
baik...!" Kun Hong berkata halus, suara anak itu menggetarkan jantungnya.
"Anak
haram, minggat!" seorang di antara para pengiring Souw Ki membentak dan…
"Tar!
tar!" cambuknya menyambar ke tubuh anak itu.
Anak itu
menjerit dan berlari mundur sambil menangis. Dari dalam gubuk berlari ke luar
seorang wanita yang serta merta menubruk anaknya, lalu bersama anak itu ia
berlutut.
"Ampun,
Tai-ya... ampunkan kami..." Wanita itu terus memohon sambil dia
mengangguk-anggukkan kepalanya sampai menyentuh tanah. Wajahnya pucat dan
ketika ia melirik ke arah Kun Hong, melihat orang buta ini dibelenggu serta
pakaiannya rompang-ramping dan mukanya kotor penuh debu, dia menjadi semakin
ngeri dan ketakutan sampai tubuhnya menggigil!
Kun Hong
tidak tahu mengapa si kejam itu tiba-tiba menahan cambuknya. Lalu terdengar
orang-orang itu tertawa kecil, malah si pemegang cambuk lalu berkata perlahan,
"Aiihh, cantik..."
Kemudian
terdengar suara Tiat-jiu Souw Ki, "Suruh dia melayaniku nanti!"
Si pemegang
cambuk mengajukan kudanya. Ia mendekati wanita yang berlutut bersama anaknya
yang masih terisak-isak itu dan berkata dengan suaranya yang parau.
"He,
manis, kau dengar sendiri ucapan Souw-ciangkun tadi. Sebentar malam kau diajak
minum arak manis, ha-ha-ha! Hayo kau ikut sekarang juga."
"Tidak...,"
perempuan itu menangis.
"Apa
katamu? Setan! Berani kau menolak?"
"Ampun,
Tai-jin... hamba... hamba tidak bisa..."
"Tar!
Tar!" Cambuk berbunyi mengerikan di udara, di atas kepala wanita itu.
"Anakmu
berbuat kurang ajar, ciangkun masih mengampuni malah hendak mengajak kau minum
arak, tetapi kau benar-benar kurang terima. Agaknya kau hendak melihat anakmu
dibanting mampus dulu baru menurut!" Cambuk itu menyambar ke arah bocah
tadi dan tahu-tahu telah melibat tubuhnya terus dihentakkan ke atas.
Berbareng
dengan jerit mengerikan dari ibu muda itu, terdengar suara menggereng hebat.
Sesosok bayangan menyambar ke arah si pemegang cambuk dan pada detik lainnya si
pemegang cambuk itu telah terbanting jatuh dari kudanya dan anak kecil itu
telah berada dalam pondongan Kun Hong!
Kiranya
pendekar buta yang sakti ini tidak dapat menahan lagi hatinya mendengar semua
peristiwa yang tak dapat dilihatnya itu. Karena maklum bahwa ibu dan anak itu
terancam bahaya hebat, sekali renggut saja belenggu yang mengikat pergelangan
tangannya putus semua dan sekali mengenjot tubuh dia telah menerjang si
pemegang cambuk yang kejam, mendorongnya jatuh sambil merampas bocah tadi. Kini
dengan tangan kiri memondong A Wan dan tangan kanannya memegang tongkat
erat-erat, Kun Hong menggeser kakinya mendekati si wanita yang masih berlutut
dan menangis.
"Tiat-jiu
Souw Ki, kau sejak dahulu tak pernah mengubah watakmu yang jahat!" Kun
Hong memaki, berdiri dengan tegak dan gagah. "Kau dan enam orang kawanmu
benar-benar merupakan tujuh pengawal yang amat jahat. Dahulu Pangeran Kian Bun
Ti yang hendak menggangu keponakan-keponakanku, sekarang kau dan para anak
buahmu ternyata juga bukan manusia baik-baik. Hemmm, kalau tidak lekas-lekas membawa
orang-orangmu ini pergi meninggalkan dusun ini jangan bilang aku keterlaluan
kalau aku membikin kalian semua tidak dapat lagi meninggalkan tempat ini!"
Sambil berkata demikian Kun Hong membuat gerakan melintangkan tongkatnya di
depan dada, gerakan yang sudah dikenal baik oleh Souw Ki dan teman-temannya
ketika Kun Hong mengamuk dikeroyok tadi.
Souw Ki
terkejut dan pucat wajahnya. Dia memandang penuh perhatian, serasa pernah
melihat orang muda yang bersikap begini tabah dan berani, malah yang sekarang berani
sekali menyebut-nyebut nama kaisar baru begitu saja.
"Kau...
kau siapakah? Siapa namamu...?"
"Namaku
Kun Hong. Apa kau hendak laporkan kepada Kian Bun Ti yang sekarang telah
menjadi kaisar? Boleh, dia sudah mengenal baik nama ini, bahkan dia pernah
makan minum semeja dengan aku!"
Bukan main
kaget dan herannya Tiat-jiu Souw Ki. Teringatlah ia sekarang. Tapi pemuda ini
dahulu adalah seorang pemuda pelajar yang lemah, sungguh pun tak dapat
disangkal memiliki keberanian yang sukar dicari bandingnya.
Di dalam
cerita Rajawali Emas memang telah dituturkan betapa Kun Hong dan dua orang
keponakan perempuan, yaitu Kui Eng dan Thio Hui Cu, diundang kemudian dijamu
oleh Pangeran Mahkota Kian Bun Ti. Pada waktu itu, pengeran muda mata keranjang
ini jatuh hati kepada dua orang nona Hoa-san-pai ini dan hendak mengganggunya,
malah mereka telah ditawan. Kemudian dua orang nona itu dirampas oleh
Song-bun-kwi, sedangkan Kun Hong dapat menyelamatkan diri mempergunakan ilmu
sihirnya.
"Kau...
kau anak Hoa-san-pai... putera ketua Hoa-san-pai...?" Dia bertanya gagap.
Kun Hong
tersenyum, kemudian dia menarik napas panjang. "Cukup kau ketahui namaku,
siapa menyebut-nyebut Hoa-san-pai segala? Hayo pergi!"
Tiat-jiu
Souw Ki sudah maklum akan kehebatan kepandaian Kun Hong. Tadi pada waktu
dikeroyok puluhan orang saja pemuda ini dapat membuat semua orang tak berdaya,
apa lagi sekarang dia hanya berkawan sebanyak dua puluh orang lebih. Selain
itu, sekarang mahkota sudah berada di tangannya dan kalau membawa tawanan macam
pemuda buta ini, tentu hanya akan menimbulkan kesulitan saja di tengah jalan.
Ada pun tentang wanita itu, ahhh, dia hanya iseng-iseng saja, tidak ada
harganya untuk diperebutkan.
"Pergi...!"
Dia memberi aba-aba kepada para pengikutnya, lalu mengeprak kudanya.
Penunggang
kuda yang tadi menyeret-nyeret Kun Hong dengan wajah pucat juga segera
membalapkan kudanya pergi dari situ. Akan tetapi seorang perampok yang
mendongkol hatinya dan masih memandang rendah pada seorang buta seperti Kun
Hong, mengejek,
"Ho-ho,
kiranya si buta juga mata keranjang! Kau hendak memiliki sendiri si manis ini,
heh? Hati-hati, manis, kau tuntun si buta ini baik-baik, ha-ha-ha!"
Kun Hong
cepat menggerakkan tangannya. Sebagian tambang yang tadi membelenggu tangannya
dan masih menempel pada pergelangan tangannya menyambar ke arah muka penjahat
itu. Terdengar suara keras dan si mulut kotor itu berteriak-teriak kesakitan.
"Aduhh...
aduh... mulutku... gigiku rontok semua... aduh...!" Dan dia pun
membalapkan kudanya mengejar kawan-kawannya sambil mengaduh-aduh. Kun Hong
masih berdiri tanpa bergerak. Kedua kakinya terpentang, tangan kanan masih
memegang tongkat melintang di depan dadanya, sama sekali tak bergerak seperti patung
sampai suara derap kaki kuda tak terdengar lagi oleh telinganya.
Pemuda buta
ini merasa betapa dada dan mukanya panas sekali, bukan main marahnya mendengar
ucapan kotor penjahat tadi. Dia menahan napas dan menekan perasaannya sampai
perlahan-lahan hawa panas di dalam dadanya menurun dan akhirnya kembali
tersenyum yang jarang meninggalkan bibirnya itu. Matanya yang berlubang itu
tadi agak terbuka pelupuknya ketika dia marah, kini tertutup lagi pelupuknya
dan kulit di antara kedua matanya agak berkerut.
"In-kong
(tuan penolong)... terima kasih atas budi In-kong yang sudah menyelamatkan
nyawa kami ibu dan anak...," dengan suara tergetar penuh keharuan wanita
itu berlutut di depannya dan menyentuh kakinya yang tertutup sepatu rusak-rusak
dan penuh debu.
Kun Hong
kaget mendengar suara ini. Cepat-cepat dia menarik kakinya, lalu melangkah
mundur dua tindak. Dia mendengar suara seorang wanita yang masih amat muda,
suara wanita berusia dua puluh tahun lebih. Akan tetapi wanita ini adalah
seorang ibu, seorang ibu muda.
"Jangan
berlutut... jangan berlebihan, yang bisa menyelamatkan nyawa manusia hanyalah
Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab itu bangkitlah, Twaso (kakak), aku tak berani
menerima penghormatan seperti ini."
Wanita itu
bangkit sambil menahan isaknya yang masih menyesakkan kerongkongannya.
"Ibu,
orang-orang nakal itu sudah pergi?" anak kecil itu bertanya, keberaniannya
timbul pula setelah orang-orang berkuda itu pergi tidak tampak lagi.
"Sudah,
A Wan, mereka sudah pergi. Lain kali kau jangan nakal, jangan keluar sendiri.
Kau anak bandel, ibu sudah melarang tetapi kau nekat saja. Untung ada paman ini
yang menolong kita..."
"Ibu,
paman buta ini jagoan, ya? Orang-orang nakal itu takut!" Anak itu lalu
tertawa-tawa senang dan menghampiri Kun Hong sambil meraba tangannya.
"Paman buta, kenapa kau tadi diikat?"
Kun Hong
tersenyum, membungkuk kemudian memondong anak itu dengan penuh kasih sayang.
"Anak baik, kau sudah dapat membedakan orang jahat dan tidak, itu bagus.
Kelak kau tidak boleh menjadi orang seperti mereka itu, ya!"
"Tidak!"
jawab anak itu keras sambil merangkul leher Kun Hong. "Aku kelak ingin
menjadi seperti Paman yang jagoan. Tapi... Paman buta..."
"Hush,
A Wan, jangan lancang mulutmu!" bentak ibunya. "In-kong, mari silakan
singgah di dalam gubukku, biar kita bicara di dalam."
"Tak
usahlah, Twaso, terima kasih. Aku harus melanjutkan perjalananku." Kun
Hong mencegah. Dia dapat menduga bahwa ibu dan anak ini tentu keluarga miskin,
terbukti dari pakaian anak itu yang kasar dan ada tambalannya, tidak bersepatu
pula. Dia tidak mau mengganggu orang yang memang keadaannya sudah amat
kekurangan itu.
"Jangan,
In-kong. Kau harus singgah dulu. Pakaianmu robek-robek semua, lagi kotor. Aku
mempunyai satu setel pakaian, boleh kau pakai dan pakaianmu itu akan kucuci,
kujahit. Dan... dan... kau harus makan dulu..."
Suara itu
tergetar penuh keharuan dan belas kasihan. Melihat orang buta itu
menggerak-gerakkan tangan seperti hendak menolak, wanita itu cepat-cepat
melanjutkan, suaranya penuh permohonan,
"In-kong,
tak boleh kau menolak. Kau telah menyelamatkan nyawa kami ibu dan anak, kau
telah menanam budi sebesar gunung sedalam lautan, aku... aku tak dapat
membalasnya. Biarlah aku menjahitkan dan mencuci pakaianmu serta memberi
hidangan sekedarnya untuk menyatakan terima kasihku. Kalau kau menolak dan
pergi begitu saja... ah, In-kong, selama hidup aku akan merasa menyesal kepada
diri sendiri. A Wan, kau ajak pamanmu masuk ke dalam!"
Anak itu
dengan suara merdu berkata, "Paman buta, marilah kita masuk. Ibu tadi
masak bubur dan ubi merah..."
"A
Wan..." Dengan suara perih ibu itu mencegah anaknya membuka rahasia
kemiskinan mereka.
Kun Hong
merasa hatinya tertusuk. Dipeluknya anak itu dan dia berkata sambil tertawa,
"Anak baik, biarlah kubikin lega hatimu dan hati ibumu. Kalian
manusia-manusia baik..."
"Paman
buta, mari kutuntun kau masuk." Anak itu lalu melorot turun dan
menggandeng tangan Kun Hong.

Ibunya
memandang dengan senyum lega menghias wajahnya karena tadinya dia sudah merasa
bingung apakah dia yang harus menuntun tamunya itu memasuki rumah. Tentu saja
dia tidak tahu bahwa dengan mudah tamunya ini akan dapat memasuki rumah tanpa
dituntun, asalkan dia berjalan terlebih dahulu karena tamunya itu dapat
mengikutinya dari pendengarannya yang tajam, yang dapat mendengar tindakan
kakinya.
Sambil
tersenyum Kun Hong membiarkan dirinya dituntun oleh anak itu memasuki rumah
yang berlantai tanah. Baru saja melangkahi ambang pintu, anak itu sudah
berhenti. Hal itu berarti bahwa rumah itu benar-benar amat kecilnya.
"Mari
silakan duduk, In-kong. Maaf, tidak ada apa-apa, hanya ada tikar
rombeng..."
Kembali Kun
Hong menangkap getaran suara yang menusuk hatinya.
"Sini,
Paman, sini duduklah..." Anak itu pun mempersilakannya.
Kun Hong
maju dua langkah dan ternyata di situ terbentang sehelai tikar di atas tanah!
Dia lalu duduk bersila di atas tikar dan ketika tangannya meraba ternyata tikar
itu rombeng dan di bawah tikar ditilami rumput kering. Kerut di antara kedua
mata yang buta itu makin mendalam. Alangkah miskinnya keluarga ini.
"Silakan
duduk dulu, In-kong. Aku hendak mengambil pakaian untukmu."
Kun Hong
cepat menggoyang-goyang tangannya ke atas. "Tidak usah, Twaso, tidak usah.
Kalau ada pakaian, biarlah dipakai oleh A Wan ini... aku... aku tak perlu
berganti pakaian."
Ibu muda itu
mengeluarkan suara seperti orang tertawa kecil. "Pakaian yang kusimpan itu
adalah pakaian orang tua, mana bisa dipakai A Wan? Tunggulah sebentar."
"Itu
pakaian ayah, Paman. Kau boleh pakai!" anak itu berkata.
Hati Kun
Hong tidak karuan rasanya. Terang bahwa keluarga ini miskin, mungkin pakaian
itu merupakan satu-satunya yang menjadi simpanan ayah anak ini, bagaimana boleh
dia pakai? Ah, dia mendapat akal.
Perempuan
ini mempunyai perasaan yang halus, terdorong oleh budinya yang baik. Tidak
boleh dia mengecewakan hatinya. Biarlah dia berganti pakaian dan membiarkan
wanita itu mencuci kemudian menambal pakaiannya sendiri yang robek-robek.
Setelah itu dia boleh memakai lagi pakaiannya sendiri kemudian mengembalikan
pakaian yang dipakai untuk sementara itu. Dengan demikian, tanpa merugikan
keluarga ini banyak-banyak, dia dapat memuaskan hati nyonya rumah. Gemersik
pakaian menandakan bahwa wanita itu sudah datang lagi.
"Marilah
kau berganti dengan pakaian ini, In-kong, dan biarkan pakaianmu yang kotor dan
robek-robek itu di sini, sebentar akan kucuci dan kujahit. Aku permisi hendak
menyiapkan makanan. A Wan, kau temani pamanmu. Baik-baik jangan nakal,
ya!"
"Tapi...
tapi..." Kun Hong berusaha membantah.
"Harap
In-kong jangan menolak, biar pun pakaian tua dan hidangan sederhana, kuharap
In-kong sudi menerima tanda terima kasihku yang mendalam..." Suara itu
mengandung permohonan yang mutlak dan tak dapat dia bantah lagi.
"Tapi
badanku kotor semua... aku harus membersihkan badan dulu... begini kotor mana
boleh memakai pakaian bersih dan makan?"
Mendengar
ini, ibu muda itu tertawa. Kun Hong tertarik sekali mendengar suara ketawa ini.
Merdu dan sopan. Hanya orang dengan hati putih bersih dan jiwa murni yang dapat
tertawa seperti itu. Anak itu pun turut tertawa karena menganggap ucapan Kun
Hong ini sebagai kelakar yang lucu.
Memang sikap
dan gerak-gerik seorang buta kadang-kadang nampak amat lucu, lucu dan
mengharukan hati. Mendengar ibu dan anak itu tertawa-tawa geli, mau tak mau Kun
Hong tertawa pula sehingga di dalam rumah gubuk yang sepi miskin itu sekali ini
penuh tawa menggembirakan, seperti cahaya matahari menyinari tempat gelap.
"A Wan,
kau antarkan pamanmu ini ke anak sungai di belakang dusun!" kata wanita
itu sambil pergi ke belakang dengan suara ketawanya masih terdengar.
"Hayo,
Paman buta!" Bocah itu menggandeng tangan Kun Hong dan pergilah keduanya
ke luar dari pondok, menuju ke anak sungai. Ketika ke luar dari pondok dan
berjalan ke anak sungai, Kun Hong mendengar bahwa di depan pondok berkumpul
banyak orang, malah di tengah perjalanan dia mendengar pula orang-orang
berjalan.
"Siapa
mereka, A Wan?" tanya Kun Hong.
"Paman-paman
dan bibi-bibi tetangga penduduk dusun, Paman," jawab anak itu dengan
singkat. Agaknya anak ini mempunyai rasa tidak senang terhadap penduduk dusun
dan anehnya, tak ada seorang pun di antara mereka yang menegur anak ini!
Setelah
mandi di sungai kecil yang airnya jernih dan segar itu, Kun Hong segera
berganti pakaian bersih dan dia malah mencuci pakaiannya sendiri, dibantu oleh
A Wan. Ternyata pakaian bersih yang terbuat dari pada kain kasar itu, pas betul
dengan tubuhnya. Agaknya ayah anak ini sama perawakannya dengan dia.
Dalam
perjalanan pulang, mereka juga bertemu dengan orang-orang dusun. Terasa amat
aneh bagi pendengaran Kun Hong, orang-orang yang tengah bercakap-cakap mendadak
menghentikan percakapan mereka di kala Kun Hong dan A Wan lewat.
Ketika
mereka sampai di dekat pondok, tiba-tiba Kun Hong berkata kepada A Wan,
"Kau diam saja, A Wan, dan jangan mengeluarkan suara."
Dia lalu
bersama anak itu mendekati rumah dan terdengarlah suara ibu anak itu, suaranya
marah bercampur isak tertahan.
"...peduli
apa kau dengan urusan pribadiku? Baju suamiku kuberikan kepada siapa pun juga,
ada sangkut pautnya apakah denganmu? Kau... kau selalu mengganggu... saudara
misan yang durhaka!"
"Huh,
dasar perempuan tak tahu malu! Semua orang memandangmu dengan hina, hanya aku
yang masih mau mempedulikan. Semua ini karena aku masih ingat bahwa di antara
kita masih ada hubungan keluarga, tahukah kau? Apa bila tidak ada aku, apakah
kau dan anakmu tidak sudah kelaparan dan menjadi jembel pengemis? Awas kau,
semua ini akan kulaporkan kepada Song-wangwe (hartawan Song)!" Terdengar
suara laki-laki memaki.
"Pergi...!
Pergi...! Aku tidak sudi mendengar ocehanmu lagi...!" Wanita itu berseru
marah.
"Ibu...!
Apakah paman Tiu mengganggumu lagi?" A Wan tidak dapat menahan suaranya
dan merenggut tangannya lalu lari membuka pintu belakang.
"A Wan,
kau sudah pulang?" Ibunya menegur.
Kun Hong
mendengar betapa kaki seorang laki-laki dengan tergesa meninggalkan tempat itu
kemudian dia mendengar tindakan kaki ibu A Wan dan anak itu sendiri
menyambutnya. Langkah kaki ibu anak itu secara tiba-tiba terhenti dan tidak
terdengar suaranya bergerak sedikit pun juga, sedangkan A Wan berlari
menghampirinya dan memegang tangannya lagi.
Memang ibu A
Wan terkejut dan memandang ke wajah Kun Hong dengan mata terbuka lebar. Setelah
wajah pemuda buta itu tercuci bersih. alangkah jauh bedanya dengan tadi. Kalau
tidak datang bersama anaknya dan tidak mengenakan pakaian yang sudah sangat
dikenalnya, tentu ia akan pangling. Wajah si buta itu berkulit putih halus,
wajah yang amat tampan, wajah seorang kongcu (tuan muda)!
Kemudian ia
melihat pakaian yang sudah dicuci, maka serunya penuh penyesalan, "Aiihh,
In-kong, kenapa dicuci sendiri pakaiannya? Ah, mana bisa bersih? Berikan
kepadaku, biar sebentar kucuci lagi supaya bersih. Syukur, kulihat pakaian itu
pas benar dengan badan In-kong."
"Terima
kasih... terima kasih... aku menyusahkan saja," berkata Kun Hong dan dia
tidak membantah ketika cucian itu diambil orang dari tangannya.
Kun Hong
memuji bahwa ibu muda ini benar-benar seorang yang baik. Mengenal budi,
peramah, dan amat pandai menyimpan penderitaan hati. Dia berpura-pura tidak
tahu akan persoalan yang baru saja ia dengar tadi, dan telah mengambil
keputusan bahwa ia akan segera pergi meninggalkan tempat itu setelah pakaiannya
sendiri kering.
Tidak lama
kemudian nyonya rumah itu datang mengantar sebuah mangkok terisi bubur hampir
penuh. Dengan ujung-ujung jarinya Kun Hong dapat mengetahui bahwa mangkok itu
terbuat dari pada tanah lempung dan sepasang sumpit dari bambu. Sungguh
alat-alat makan yang paling sederhana dan murah yang dapat dipergunakan
manusia.
"Waduh,
enak, Paman buta. Buburnya pakai ubi merah! Hi-hik, kau tahu? Ubi merah ini
kucuri dari kebun paman Lui.”
"A
Wan!" ibunya menegurnya.
"Paman,
ibu selalu bilang bahwa mencuri adalah perbuatan yang jahat. Aku tidak pernah
mencuri. Tetapi paman Lui ubinya begitu banyak dan aku... aku dan ibu sudah
lama tak makan ubi merah."
Hampir saja
Kun Hong tersedak karena keharuan membuat hawa dari dalam dada naik ke
kerongkongannya. "Ibu betul, A Wan, mencuri adalah perbuatan yang jahat.
Lebih baik kau minta saja kepada pemilik ubi..."
"Minta?
Uhh, pernah aku minta, tapi bukan mendapat ubi melainkan mendapat cambukan pada
pantatku. Tak sudi lagi aku minta. Tapi aku pun tidak akan mencuri lagi karena
ibu marah-marah," kata anak itu dengan suara manja.
Bubur yang
mereka makan itu sangat encer, terlalu banyak airnya dan ini pun sekali lagi
membuktikan alangkah miskinnya keluarga itu. Sesudah selesai makan, selesai
sebelum kenyang, nyonya rumah menyingkirkan mangkok-mangkok itu dan menyapu
tikar dengan kebutan.
Senja sudah
lewat. Ibu dan anak itu menyalakan sebuah pelita kecil, dipasang pada sudut
pondok. A Wan duduk di pangkuan Kun Hong dan agaknya anak ini masih menderita
oleh peristiwa sore tadi. Punggungnya yang kena sambaran cambuk diurut-urut
oleh Kun Hong dan sebentar saja anak itu tidur di pangkuannya.
"Dia
sudah tidur, Twaso. Di mana tempat tidurnya?" tanya Kun Hong perlahan.
Sampai lama
barulah terdengar jawaban lirih. "...di sini juga... disini juga…”
Kun Hong
menghela napas panjang. Tangannya mengelus-elus muka anak itu, meraba dahinya,
alisnya, mata, hidung, mulut dan dagu. Muka yang tampan, hidungnya mancung
mulutnya kecil.
"In-kong,
memang kami tidak mempunyai apa-apa. Dalam rumah ini kosong, hanya ada tikar
inilah tempat kami duduk, makan dan tidur..."
"Maaf,
Twaso, sejak tadi aku belum mendengar twako (kakak) pulang. Ke manakah
dia?"
Kembali
sampai lama tiada jawaban, kemudian jawaban itu bercampur isak tertahan,
"Dia sudah... sudah tidak ada..."
"Tidak
ada? Ke mana?" Kun Hong tidak menduga buruk.
"...sudah
meninggal dunia... tiga bulan yang lalu..."
"Ahhh...!"
Kerut di antara kedua mata yang buta itu mendalam.
Ah, sekarang
tahulah Kun Hong akan sikap para penghuni dusun itu. Kiranya ibu muda ini
seorang janda muda. Dia tahu apa artinya menjadi janda di masa itu. Janda muda
lagi. Betapa sukarnya hidup bagi seorang janda yang miskin.
Penghinaan
akan menimpa dari segenap penjuru, penghinaan lahir batin. Semua mata wanita
akan mengincarnya, penuh rasa cemburu. Setiap gerak dapat menimbulkan fitnah.
Sedang mata pria akan memandangnya secara lain lagi, pandangan yang penuh nafsu
mempermainkan.
Seorang
janda bagaikan sebuah biduk kehilangan layar dan kemudi, terombang-ambing di
tengah samudera hidup dan menjadi permainan gelombang. Janda tua tentu saja
lain lagi, yang pertama mengandalkan hartanya, yang belakangan mengandalkan
anak-anaknya.
Kembali
jari-jari tangan Kun Hong meraba-raba muka A Wan. "Twaso, apakah wajah A
Wan ini sama dengan wajahmu?"
Lama tak
menjawab. Kun Hong tidak dapat melihat betapa wajah tanpa bedak yang amat manis
itu menunduk dan kedua pipi yang sehat itu memerah.
"Orang-orang
bilang dia mirip dengan aku."
Hemmm, tak
salah dugaanku, pikir Kun Hong. Janda muda lagi cantik. Makin berbahaya kalau
begini.
"Dan
kau tentu belum ada dua puluh lima tahun usiamu," katanya pula.
"...baru
dua puluh tiga umurku.”
Kun Hong
merebahkan tubuh A Wan di atas tikar, lalu dia sendiri bangkit berlutut dan
berkata, "Twaso, maaf. Tolong ambilkan pakaianku tadi, aku akan berganti
pakaian dan aku harus pergi sekarang juga."
"...kenapa...?
In-kong, kenapa kau hendak pergi sekarang? Bajumu masih belum kering benar, dan
sedang kutambal punggungnya..."
Kun Hong
menggelengkan kepala, mengulurkan kedua tangan untuk minta pakaian dan bangkit
berdiri. "Aku harus pergi. Twaso, kau janda masih baru, kau berwajah
cantik dan umurmu baru dua puluh tiga tahun..."
Wanita itu
mengeluarkan jerit lirih dan sambil menangis ia pun menubruk kedua kaki Kun
Hong! Tentu saja Kun Hong menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus
dilakukannya.
"In-kong...
engkau juga begitu...? Ahh, kalau begitu lekas kau pukulkan saja tongkatmu itu
kepadaku... kau bunuh saja aku, In-kong ... apa artinya hidup kalau semua
orang... juga kau yang kumuliakan... memandang serendah itu kepadaku...? Kau
bunuhlah aku... kau bunuhlah…"
Karena
tangis ini, A Wan menjadi terbangun dan begitu melihat ibunya menangis sambil
merangkul kedua kaki Kun Hong yang berdiri bagaikan patung, serta merta anak
itu ikut menangis sambil merangkul ibunya. "Ibu... ibu."
"In-kong...
kau bunuhlah kami... biar terbebas kami dari pada penderitaan ini..."
Hancur
perasaan hati Kun Hong mendengar ibu dan anak itu menangis sambil memeluki
kedua kakinya.
"Kau
salah sangka... kau salah mengerti...," katanya sambil duduk kembali.
"Aku sama sekali tidak pernah memandang rendah atau menyangka yang
bukan-bukan terhadapmu, Twaso..."
"In-kong..."
wanita itu tersedu-sedu dan sejenak menangis dengan muka di atas dada Kun Hong.
Pemuda buta
itu membiarkannya saja, maklum betapa hancur hati wanita itu, malah dia
menepuk-nepuk bahunya dengan menghibur sambil mengusap-usap rambut A Wan yang
menangis di atas pangkuannya.
"Tenanglah,
duduklah Twaso, dan mari kita bicara baik-baik."
Agaknya baru
wanita itu sadar akan keadaan dirinya yang menangis sambil bersandar di dada
tamunya. "...ohhh... maafkan aku, In-kong..."
Ia
cepat-cepat mundur dan duduk menekuk lutut, membendung air mata yang bercucuran
dengan ujung lengan bajunya. A Wan diraihnya dan anak ini menidurkan kepala di
atas pangkuan ibunya sekarang.
"Twaso,
agaknya kau tadi sudah salah duga. Aku hendak pergi sekali-kali bukan karena
memandang rendah kepadamu, sama sekali tidak. Malah sebaliknya. Aku sangat
kagum kepadamu dan menghormatimu, karena itu aku hendak pergi agar jangan
sampai nama baikmu dirusak orang akibat kehadiranku di sini malam ini. Lebih
baik aku tidur di pinggir jalan dari pada tidur menginap di sini dengan akibat
merusak namamu, Twaso!"
"Tidak
ada bedanya, In-kong, sebelum kau datang, namaku sudah dirusak orang setiap
hari. Peduli apa dengan omongan orang asalkan kita betul-betul bersih? Dalam
beberapa bulan saja aku sudah kebal terhadap fitnah-fitnah dan omongan-omongan
kotor mereka, In-kong. Kalau mereka hendak melakukan fitnah dengan kehadiranmu
malam ini di sini, biarlah mereka lakukan. Aku tidak peduli karena aku yakin
bahwa kau yang kuhormati dan kumuliakan mengetahui akan kebersihanku."
Kun Hong
menarik napas panjang, semakin kagum. Wanita ini biar pun miskin dan janda yang
tak berdaya, ternyata seorang yang berpendirian.
"Twaso,
maafkan kata-kataku, akan tetapi kupikir... akan lebih baik kiranya bagimu dan
bagi anakmu kalau kau menikah lagi."
"In-kong,
siapakah di dunia ini mau secara jujur menikah dengan seorang janda miskin yang
mempunyai seorang anak? Kecuali laki-laki mata keranjang yang hanya bermaksud
mempermainkan saja. Semua laki-laki di sekitar tempat ini memandangku seperti
itu, tentu banyak yang mau memeliharaku, akan tetapi... mereka hanya ingin
mempermainkan saja, In-kong. Aku tidak sudi... apa lagi Song-wangwe, aku tidak
sudi. Biarlah, dia boleh suruh tukang-tukang pukulnya memaksaku."
Kun Hong
harus mengakui kebenaran kata-kata ini. Memang banyak laki-laki di dunia ini
yang wataknya seperti itu. Menganggap wanita hanya sebagai barang mainan,
menarik hanya karena kecantikannya, suka menikah dengan janda muda yang cantik
hanya untuk dipermainkan belaka. Sudah tentu tidak semua laki-laki berwatak
demikian karena segala sesuatu di dunia ini tentu ada pengecualiannya, akan
tetapi seperti itulah sifat dan watak sebagian besar laki-laki.
"Susah
kalau begitu. Twaso, apakah kau tidak mempunyai keluarga?"
"Ada
seorang pamanku yang tinggal jauh di kota Cin-an, akan tetapi aku tidak tahu
betul di mana rumahnya. Satu-satunya orang yang tahu adalah saudara misanku
yang jahat, si Tiu keparat yang membantu cepatnya maut merenggut nyawa suamiku
dan yang selalu membujuk-bujukku untuk menuruti kehendak hartawan Song!"
Suara wanita itu terdengar marah ketika menyebut-nyebut nama Tiu dan Song.
"Orang
yang datang tadi? Hemmm, sebetulnya, mengapa suamimu mati di waktu masih muda?
Dan apa maksud Tiu dan Song, Twaso?"
Dengan suara
menyedihkan janda muda itu lalu bercerita…..
Tadinya dia
hidup bahagia bersama suaminya, seorang petani muda she Yo. Walau pun
keadaannya tidak dapat dikata berlebihan, namun dengan sebidang sawah milik
mereka, dapatlah mereka menutupi kebutuhan hidup sederhana, bertiga dengan
putera mereka, si kecil Yo Wan.
Mereka
sebenarnya adalah suami isteri pendatang baru dari lain dusun di daerah banjir.
Mereka merupakan korban-korban yang lari mengungsi dan akhirnya menetap di
dusun itu setelah menukar seluruh barang-barang mereka dengan sebidang tanah.
Akan tetapi,
malapetaka mulai mengintai mereka ketika di dusun itu datang pula Lao Tiu,
saudara misan Yo Kui, petani muda itu. Lao Tiu ini orangnya licik, curang dan
kerjanya hanya berjudi dan sangat terkenal sebagai seorang buaya petualang.
Akhirnya si Lao Tiu ini menjadi kaki tangan tuan tanah kaya raya yang menguasai
sebagian besar tanah di sekitar tempat itu dan yang pengaruh dan kekuasaannya
dikenal hingga di dusun-dusun sekitarnya.
Tuan tanah
hartawan ini adalah Song-wangwe (hartawan she Song). Dia seorang laki-laki
setengah tua yang mata keranjang dan terkenal tak akan dapat tidur nyenyak
sebelum mendapatkan wanita yang dirindukan, baik wanita itu isteri orang lain
atau bukan.
Karena
kelicikan dan tipu muslihat Lao Tiu ini, akhirnya Yo Kui masuk perangkap si
tuan tanah. Mula-mula dia diberi hutang untuk membeli bibit padi dan kerbau,
dan karena Yo Kui seorang buta huruf, maka dia tidak tahu bahwa tuan tanah dan
Lao Tiu yang ‘berbudi’ itu membuat surat perjanjian jual beli kemudian menyuruh
dia menanda-tangani dengan cap jempol.
Dengan
ditandainya surat perjanjian yang tidak diketahui isinya itu, Yo Kui berarti
sudah menjual tanahnya, atau lebih tepat, menukar tanahnya hanya dengan kerbau
seekor dan bibit padi sekarung! Semenjak itu, mulailah Lao Tiu mengerjakan
lidahnya yang berbisa. Malah dengan berani mati dia membujuk Yo Kui supaya
‘menyerahkan’ isteri yang cantik manis itu menjadi ‘penghibur’ tuan tanah Song,
dan merelakan setiap kali hartawan itu membutuhkannya.
Tentu saja
Yo Kui menjadi marah luar biasa dan serta merta menghajar Lao Tiu saudara
misannya itu sampai jatuh bangun. Akan tetapi pada beberapa hari berikutnya,
lima orang tukang pukul tuan tanah itu datang kepada Yo Kui dan menagih
pembayaran sewa tanah.
Yo Kui
memaki-maki, bilang bahwa dia mengerjakan sawahnya sendiri, mengapa harus bayar
sewa? Kalau si hartawan menghendaki kembalinya kerbau dan bibit, boleh diambil
kembali kerbaunya, ada pun bibitnya akan dikembalikan kelak kalau sudah panen.
Terjadi keributan dan Yo Kui disiksa oleh lima orang tukang pukul itu. Pemuda
tani ini jatuh sakit, muntah-muntah darah. Namun dia masih belum mau menyerah.
Setelah penyakitnya agak sembuh, dia pergi ke kota melapor kepada pembesar
setempat tentang perbuatan hartawan Song dengan kaki tangannya. Apakah yang
terjadi? Mudah diduga!
Di dalam
negara yang masih kacau seperti Tiongkok pada masa itu, jarang ada pembesar
yang betul-betul memperhatikan kepentingan rakyat, terlebih lagi kepentingan
rakyat kecil. Hukum diinjak-injak, peri kemanusiaan lenyap dari lubuk hati
manusia, bahkan agaknya orang lupa kepada Tuhan, mengumbar nafsu
sejadi-jadinya, mengandalkan setan yang di waktu itu merubah diri dalam
tumpukan harta dan tingginya kedudukan dan pangkat. Yang berharta dan
berpangkat, merekalah yang berkuasa, dialah yang menang, akhirnya siapa yang
menang, dialah yang benar!
Oleh karena
inilah maka tidak mengherankan bila pembesar yang dilaporinya itu segera turun
tangan melakukan tindakan, periksa sana dan periksa sini, lalu keluarlah
keputusan ‘pengadilan’, bahwa tanah itu telah menjadi milik Song-wangwe dengan
sah, bahwa Yo Kui harus membayar lunas uang sewa tanah dan mengembalikan tanah itu,
dan bahwa Yo Kui harus membayar biaya pengaduannya kepada pembesar itu!
Melihat dan
mendengar keputusan pengadilan macam ini, kontan saja Yo Kui jatuh sakit!
Memang dia sudah mendapat luka di dalam tubuhnya karena pengeroyokan para
tukang pukul, ditambah lagi tekanan batin hebat membuat dia tak dapat turun
dari pembaringan. Isterinya menjadi gelisah sekali. Kerbau dan alat pertanian
terpaksa dijual, sebagian untuk membayar apa yang sudah diputuskan oleh
pembesar itu, sebagian lagi untuk pembeli obat dan makan.
Akan tetapi
penyakit yang diderita Yo Kui makin payah. Dia sakit sampai berbulan-bulan dan
sesudah semua barang yang ada di dalam rumah dijual oleh isterinya untuk obat
dan makan, akhirnya dia mati meninggalkan isterinya yang masih muda dan anaknya
yang masih kecil!
"Demikianlah,
In-kong..." janda muda itu mengakhiri cerita sambil menghapus air matanya
yang bercucuran deras. "Penderitaanku tidak hanya sampai di situ saja...
setelah suamiku meninggal, lalu bermunculan setan-setan berupa orang-orang
lelaki mata keranjang yang seakan-akan bersaingan dan berebutan untuk membujuk
diriku menjadi isteri muda atau piaraan. Terutama sekali si jahat Lao Tiu itu,
yang setiap hari membujuk-bujukku supaya menyerah kepada hartawan Song..."
Kun Hong
menahan kemarahan yang seakan-akan hendak meledakkan dadanya setelah mendengar
penuturan janda muda ini.
"…akan
tetapi… aku bukanlah wanita rendah seperti yang mereka inginkan...," janda
itu melanjutkan, masih terisak, "bagiku, lebih baik aku mati dari pada
menuruti kehendak mesum mereka, In-kong... jika saja aku tidak melihat A Wan...
ah... agaknya telah lama aku menyusul suamiku..." Dia menangis lagi,
sekarang lebih menyedihkan, sambil mendekap kepala puteranya di pangkuan.
"Besarkan
hatimu, Twaso, dan percayalah bahwa Thian Maha Adil selalu akan menolong
manusia yang sengsara. Kau tidurlah sekarang dan besok masih ada waktu untuk
kita mencari jalan sebaiknya. Hanya satu hal ingin kuketahui. Pamanmu yang
tinggal di Cin-an itu, andai kata kau dan anakmu datang kepadanya, apakah
kiranya dia mau menerima kalian?"
"Dia
orang baik, In-kong, dia adik mendiang ibuku, agaknya dia pasti mau menerima
kami, biar aku bekerja sebagai bujang tidak mengapa..."
Percakapan
terhenti dan janda muda itu biar pun berkali-kali diminta oleh Kun Hong agar
supaya mengaso, tetap saja duduk di dekat lampu untuk menyelesaikan
pekerjaannya menambal dan menjahit pakaian Kun Hong. Beberapa kali ia menengok
dan memandang ke arah tuan penolongnya, ternyata si buta itu duduk bersila tak
bergerak seperti patung.
"Inkong...
kau tidurlah..."
"Biarlah,
Twaso, aku biasa tidur sambil duduk. Kau mengasolah, kurasa sudah hampir tengah
malam sekarang."
"Aku
hendak menyelesaikan ini dulu...," jawab janda muda itu.
Akan tetapi
setelah selesai menambal pakaian itu, ia duduk termenung sambil menatap wajah
yang tidak dapat balas memandangnya itu. Hatinya penuh keterenyuhan, iba
hatinya melihat wajah tampan yang berkerut di antara kedua matanya itu.
Aduh
kasihan, muda belia yang malang, pikir janda muda ini. Apa bedanya bagi dia
siang dan malam? Ah, mengapa aku tadi menyuruh dia tidur? Bukankah selamanya
dia seperti orang tidur kedua matanya? Jantungnya serasa diiris-iris kalau ia
menatap kedua pelupuk mata yang tertutup rata itu, mulut yang mengarah senyum
namun membayangkan bekas penderitaan batin yang hebat. Muda belia buta yang malang...!
Memang aneh!
Janda muda yang sebetulnya juga amat menderita batin dalam hidupnya itu, kini
duduk termenung memandang ke arah pemuda buta itu dengan hati penuh belas
kasihan.
Hawa malam
mulai dingin. Janda itu menyelimutkan sehelai karung tipis di atas tubuh
puteranya, lalu menengok ke arah Kun Hong yang masih saja duduk seperti patung.
Dia memperhatikan pernapasan Kun Hong yang rata dan panjang. Benarkah si buta
ini bisa tidur sambil duduk? Orang aneh. Muda belia yang malang dan aneh.
"In-kong...?"
Ia berbisik untuk meyakinkan apakah dia benar-benar tidur.
Ingin dia
menawarkan selimut, selimutnya sendiri, juga sehelai karung tipis. Akan tetapi
Kun Hong tidak bergerak, tidak menjawab. Ah, dia sudah tidur, tak boleh
diganggu. Janda muda itu meniup padam api penerangan, kemudian merebahkan diri
di dekat anaknya, mendekap anaknya, meringkuk seperti udang di atas tikar
rombeng yang dingin.
Kun Hong
tidak tidur. Dia tengah bersemedhi. Dia mendengar suara janda itu tadi, akan
tetapi sengaja tidak menjawab. Hatinya baru lega pada waktu janda itu
memadamkan api penerangan yang baginya tiada bedanya itu, karena hal itu
berarti si janda akan tidur dan dia dapat bersemedhi dengan bebas.
Ayam telah
berkokok menyambut datangnya fajar ketika Kun Hong sadar dari tidurnya. Dia
segera menggosok-gosokkan jari tangan kepada jalan darah di sekeliling
kepalanya untuk menyegarkan perasaan. Pernapasan ibu beserta anak yang tidur di
hadapannya itu membuktikan bahwa mereka masih pulas. Kun Hong tersenyum merasakan
perbedaan keadaan mereka berdua itu antara hari kemarin dan sekarang ini.
Duka mau pun
suka sebetulnya hanya bersifat sementara saja, seperti halnya hidup ini
sendiri. Kedukaan yang betapa pun besarnya akan lenyap di kala tidur, seperti
halnya ibu dan anak pada saat itu, tentu sama sekali lupa akan segala
penderitaan hidup, lupa akan segala ancaman-ancaman bahaya, lupa bahwa mereka
hidup serba kekurangan, malah kalau dikaji (dipikirkan masak-masak) benar,
dalam keadan sepulas mereka itu, apa sih bedanya hidup kaya atau miskin, apa
bedanya tidur di ranjang berkasur atau di atas tikar rombeng?
Kun Hong
merasa badannya sangat segar. Kokok ayam jantan saling sahut menyegarkan
perasaan serta membangkitkan semangatnya. Malam tadi sudah diambilnya
keputusan. Dia harus menolong ibu dan anak ini dan dia harus memberi hajaran
kepada orang-orang jahat yang menindas penghidupan orang-orang miskin di dusun
itu.
Mendadak Kun
Hong memiringkan kepalanya. Dia mendengar derap banyak kaki orang menuju ke
rumah gubuk ini! Mencurigakan juga kalau sepagi itu ada serombongan orang
laki-laki mendatangi tempat itu, bahkan dari suara langkah kaki yang
tergesa-gesa dan berat itu dapat diduga bahwa orang-orang itu sedang marah!
"Perempuan
tidak tahu malu! Kau benar-benar membikin kotor dusun kami!" terdengar
bentakan suara laki-laki yang segera dikenal oleh Kun Hong sebagai suara Lao
Tiu yang kemarin sore diusir oleh janda muda itu.
"Dung!
Dung-dung!" Pintu gubuk itu digedor-gedor dari luar.
Janda muda
itu dan anaknya terkejut lalu bangun. A Wan segera menangis ketakutan. Janda
muda itu pun ketakutan, akan tetapi amatlah terharu hati Kun Hong ketika janda
itu berbisik.
"Celaka,
In-kong..., mereka tentu akan mencelakakan kau dengan fitnah..."
Benar-benar
seorang yang berpribudi, pikir Kun Hong. Terang orang-orang itu beralamat tidak
baik bagi si janda itu sendiri, namun yang dikhawatirkan oleh janda itu adalah
diri tamunya, bukan dirinya sendiri!
"Tenanglah,
Twaso... tenang dan jangan takut. Orang yang benar akan dilindungi Thian. Nanti
kalau aku berdiri dan keluar, kau gendonglah A Wan dan kau harus selalu ikut di
belakangku, jangan terlalu jauh. Kau percayalah kepadaku, tak seorang pun akan
berani mengganggu kau atau A Wan."
"Dung-dung-brakk!"
Pintu itu hampir roboh oleh pukulan-pukulan dari luar.
"Sundal!
Perempuan hina! Keluarlah bersama pacarmu, laki-laki hina si jembel buta itu...
kalau tidak rumah ini akan kurobohkan!" teriakan Lao Tiu kembali
terdengar. "Dipelihara Song-wangwe tidak mau, sekarang malah memasukkan
jembel buta, benar-benar seperti anjing menolak roti mencari tai!"
"Kreeeeettttt...!"
Pintu dibuka oleh Kun Hong dari dalam.
Semua mata
mereka yang merubung di depan pintu pondok itu memandang. Si buta itu berdiri
tegak di ambang pintu, tongkatnya melintang di depan dada, wajahnya tenang dan
mulutnya tersenyum, akan tetapi kerut merut di antara kedua matanya makin
dalam. Di belakangnya tampak janda itu berdiri sambil memondong anaknya, jelas
bahwa janda itu amat ketakutan, rambutnya awut-awutan dan mukanya pucat.
"Wah,
tak tahu malu... tak tahu malu... berjinah dengan jembel buta... kawan-kawan,
hayo hajar mampus si buta, seret perempuan hina ini ke depan kaki
Song-wangwe!"
Sementara
itu tanpa mempedulikan Lao Tiu mencak-mencak, Kun Hong berbisik kepada janda
tadi menanyakan siapa mereka itu. Janda itu berbisik menjawab, "Lao Tiu
dan lima orang tukang pukul Song-wangwe..."
Panas rasa
seluruh tubuh Kun Hong. Apa lagi setelah Lao Tiu memberi aba-aba kepada lima
orang kawannya untuk turun tangan dan kelima orang itu bergerak menyerbu. Kun
Hong tak dapat menahan sabar lagi.
Keenam orang
itu, yaitu Lao Tiu dan lima orang tukang pukul, hanya melihat bayangan
berkelebat, sinar hitam menyambar-nyambar ke sekitar diri mereka dan tahu-tahu
mereka mengalami rasa sakit yang hebat. Seorang demi seorang menjerit, roboh
bergulingan di atas tanah bagai cacing yang terkena abu panas, mengaduh-aduh
kesakitan tanpa dapat mengerti sebetulnya bagian mana dari tubuh mereka yang
terasa nyeri.
Sungguh aneh
dan lucu mereka itu, kadang-kadang menekan perut, lalu kepala, pundak, dada dan
lain-lain bagai orang dikeroyok oleh ribuan ekor semut. Ada pun Lao Tiu sendiri
tahu-tahu sudah dicengkeram tengkuknya oleh tangan yang sangat kuat. Dia
berusaha memberontak, namun tengkuknya serasa hendak hancur dan panas seperti
terbakar.
"Aduhh...
a... a... aduhhh... lepaskan..." dia menjerit-jerit seperti seekor babi
disembelih, mukanya menengadah dan tidak dapat ditundukkan.
Dia masih
belum dapat melihat siapa orangnya yang mencengkeram tengkuknya karena dia
tidak mampu menggerakkan lehernya, hanya matanya melirik ke sana ke mari penuh
rasa takut karena kini dia dapat menduga bahwa yang mencekik tengkuknya pasti
si buta itu, juga yang merobohkan lima orang kawan yang dia andalkan.
Sementara
itu, para penduduk dusun yang tadi beramai-ramai mengikuti rombongan ini dan
hendak menonton, memandang dengan mata terbelalak, malah rumah-rumah gubuk itu
sekarang terbuka semua pintunya dan berbondong-bondong penghuninya keluar untuk
menonton ramai-ramai di waktu fajar ini.
"Manusia
berhati iblis! Manusia bermulut kotor!" Berkali-kali Kun Hong berkata
perlahan, lalu memaksa Lao Tiu untuk membungkuk, terus membungkuk sampai
akhirnya mukanya menyentuh tanah. Beberapa kali Kun Hong menggosok-gosok muka
itu dengan mulut di depan pada tanah, memukul-mukulkannya perlahan. Lao Tiu
hanya bisa bersuara ah-ah-uh-uh saja dan pada waktu Kun Hong mengangkat dia
kembali, mukanya penuh tanah dan mulutnya berdarah, beberapa buah giginya
copot!
"Mulutmu
harus dirobek biar lebih mudah kau buka lebar-lebar mencaci maki orang!"
kata pula Kun Hong yang masih diracuni kemarahan itu. Tongkatnya digerakkan ke
arah mulut Lao Tiu.
"In-kong,
jangan... kasihan dia...," janda itu berseru penuh kengerian.
Kun Hong
makin gemas. Tongkatnya tidak jadi merobek mulut, melainkan menampar pipi kanan
kiri sehingga kedua pipi itu menggembung.
"Manusia
keparat! Dengarlah kau? Dia yang kau caci maki, kau hina, kau fitnah, kau bikin
sengsara hidupnya, dia malah mintakan ampun untukmu! Ah, kalau kau masih ada
sedikit saja sifat manusia, tidak malukah engkau? Manusia keji, ahhh, alangkah
inginku merobek mulutmu dari telinga kiri sampai ke telinga kanan!"
"Am...
Am... ampun... ampun..." dengan seluruh tubuh yang menggigil ketakutan Lao
Tiu meratap.
Kun Hong
menengok ke kanan kiri, mengetahui bahwa orang-orang dusun itu berkumpul semua
di situ, menonton.
"Dengar
kalian semua, sahabat-sahabat penghuni dusun ini! Kalian adalah orang-orang
bernyali kecil yang karena sifat pengecut kalian itu memang sudah patut untuk
dijadikan orang-orang yang tertindas! Kalian tahu betapa jahatnya
manusia-manusia macam ini dan gembongnya yang merupakan diri hartawan dan tuan
tanah Song, akan tetapi kalian tidak menaruh kasihan kepada Yo-twaso yang
tertindas ini, bahkan turut menghinanya hanya untuk menyenangkan hati
Song-wangwe dan kaki tangannya! Hemmm, hari ini kebetulan aku lewat di sini dan
mendengar urusan penasaran ini, harap kalian jadikan contoh agar di lain waktu
kalian dapat bersatu padu melawan penindas yang membuat sengsara hidup
kalian!"
Kun Hong
menjambak rambut Lao Tiu dan didorongnya orang itu untuk berjalan. "Hayo
antar aku ke rumah majikanmu!"
Kepada para
penduduk yang berdiri terpaku keheranan itu Kun Hong berkata, "Kubiarkan
lima orang tukang pukul ini menderita sebentar di sini, biarlah mereka
merasakan betapa sakitnya orang disiksa sambil memberi kesempatan kepada mereka
untuk mengingat dan mengenangkan roh dari mendiang Yo Kui. Sahabat-sahabat
semua tunggu saja di sini, jangan ikut aku ke rumah Song-wangwe. Aku hanya
titip Yo-twaso dan anaknya!"
Setelah
berkata demikian, dia mendorong tubuh Lao Tiu yang karena ketakutan kemudian
mengantarkannya ke rumah gedung keluarga Song yang sangat megah dan besar. Di
depan pintu gerbang gedung itu, Kun Hong memaksa Lao Tiu untuk minta menghadap
Song-wangwe karena urusan yang sangat penting.
Lao Tiu
sudah mati kutunya, tidak berani membantah dan minta kepada penjaga untuk
menyampaikan kepada Song-wangwe bahwa dia minta bertemu untuk urusan ‘si janda
Yo’! Kiranya kalau bukan urusan ini yang diajukan oleh Lao Tiu, hartawan mata
keranjang itu belum tentu mau turun dari tempat tidurnya yang hangat.
Sambil
mengomel panjang pendek kenapa si Lao Tiu begitu kurang ajar membangunkan
dirinya sepagi itu, Song-wangwe keluar juga karena memang sudah amat lama si
bandot tua ini merindukan isteri Yo Kui yang cantik manis, yang seperti bandot
mengilar ingin mendapatkan daun muda yang segar kehijauan.
Akan tetapi
kemarahannya lenyap seketika, terganti harapan dan kegembiraan ketika dia
melihat Lao Tiu di tempat yang agak gelap itu datang bersama seorang lainnya.
Keadaan masih remang-remang dan mata tuanya sudah agak lamur, karena itu
hartawan mata keranjang ini menyangka bahwa Lao Tiu datang bersama si janda
cantik!
"Aiih,
Lao Tiu, kau pagi-pagi sudah memaksa aku meninggalkan ranjangku yang empuk.
Ehh, kau datang dengan janda manis yang kurindukan? He-heh-heh, mari masuk,
manis, kebetulan sekali."
Tiba-tiba
kata-kata yang ramah itu terhenti, terganti seruan kaget yang hanya berbunyi
"eh-eh, ah-ah, oh-oh" saja karena seperti halnya Lao Tiu tadi,
tengkuknya sudah dicekik oleh Kun Hong yang bergerak cepat menyerbunya. Kun
Hong menyeret Song-wangwe dan Lao Tiu dengan kedua tangannya.
Beberapa
orang penjaga datang memburu dan memaki, "Penjahat kurang ajar, apakah kau
sudah gila? Lepaskan Song-wangwe!”
Akan tetapi
kata-kata makian ini hanya sampai di situ saja karena si pemakinya bersama
seorang kawannya yang lain sudah terlempar sejauh tiga meter lebih oleh
tendangan kaki Kun Hong. Penjaga-penjaga lain datang dengan senjata di tangan.
"Mundur
semua!" Kun Hong membentak. "Kalau tidak, lebih dulu akan kupatahkan
leher majikanmu. Aku tidak akan membunuhnya, hanya akan membereskan urusan
penasaran janda Yo!" Setelah mengancam demikian, Kun Hong kemudian
mendorong terus kedua orang tawanannya itu kembali ke tempat tinggal janda Yo
Kui.
Para penjaga
menjadi bingung dan tentu saja tidak berani turun tangan untuk menjaga
keselamatan majikan mereka. Penjaga-penjaga itu berkumpul dan hanya berani
mengikuti di belakang Kun Hong, sambil berunding bagaimana caranya harus
menyerang si buta yang menawan majikan mereka.
"Jangan
serang... uh-uhh... jangan serang... goblok...!" Song-wangwe berkali-kali
berteriak mencegah kaki tangannya karena dia betul-betul ketakutan dan sama
sekali tidak dapat berkutik dalam cengkeraman yang amat kuat dan menyakitkan
leher itu.
Para
penduduk dusun berseru keheranan, penuh kekagetan dan kekaguman pada waktu
mereka melihat si buta itu datang lagi, kini sambil menyeret Lao Tiu dan
Song-wangwe sedangkan di belakangnya berjalan banyak penjaga yang tak berani
bergerak menyerang sehingga dipandang sepintas lalu seakan-akan mereka ini
malah menjadi anak buah Kun Hong si buta!
Setibanya di
depan pondok janda Yo, Kun Hong melemparkan tubuh Lao Tiu ke bawah. Lao Tiu
bergulingan saling tindih dengan lima orang tukang pukul yang masih terdengar
merintih-rintih seperti ikan dilempar ke darat. Lao Tiu terlampau takut dan
terlampau sakit-sakit mukanya, sehingga dia pun tak mampu bangkit lagi. Kedua
pipinya membengkak besar membiru, matanya merah, mukanya kotor dan mulutnya
berdarah, bibirnya bengkak-bengkak tebal, giginya banyak yang copot.
"Song-wangwe,
apakah kau tahu apa sebabnya aku menawanmu dan menyeretmu ke tempat ini?"
tanya Kun Hong, suaranya tegas berwibawa.
Hartawan itu
diam saja. Maka Kun Hong memperkeras cengkeramannya dan membentak, "Hayo
jawab!"
"Tidak...
ti... tidak tahu...," suaranya gemetar tubuhnya menggigil.
"Hayo
lekas kau ceritakan tentang urusanmu dengan mendiang Yo Kui dan juga tentang
kehendakmu yang kotor terhadap nyonya janda Yo. Tentang Lao Tiu yang kau suruh
membujuk-bujuk, tentang penipuanmu menggunakan surat perjanjian tanah, tentang
cara kotormu menyogok pembesar yang melakukan pengadilan, tentang lima orangmu
yang mengeroyok dan memukul mendiang Yo Kui. Hayo cepat ceritakan, kalau ada
yang kau lewatkan satu saja... hemmm, aku benar-benar akan mematahkan batang
lehermu yang lapuk ini!"
Karena
nyawanya benar-benar terancam maut di tangan kuat pemuda buta itu, dengan suara
yang tersendat-sendat si tua Song terpaksa menceritakan semua tipu muslihatnya
terhadap mendiang Yo Kui, dan betapa dengan bantuan tukang pukulnya dan Lao
Tiu, dia berusaha keras untuk menarik diri janda Yo menjadi kekasihnya...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment