Sunday, July 29, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Buta Jilid 09



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
           Serial Pendekar Buta

                     Jilid 09


Tan Beng Kui melongo sampai mulutnya terbuka lebar dan lupa ditutupnya kembali. Hebat terjangan-terjangan Song-bun-kwi yang kini benar-benar berusaha sekuat tenaga untuk merobohkan Loan Ki. Akan tetapi lebih hebat pula gerakan-gerakan Loan Ki yang tetap aneh bagaikan orang mabuk atau orang menari-nari menggila namun satu kali pun juga pukulan-pukulan kakek itu tak pernah menyinggung kulitnya!

"He, kakek Song-bun-kwi! Sudah empat puluh jurus lebih kau menyerangku dan masih tak mampu merobohkan, apakah engkau tidak mau berhenti juga? Seorang kakek tua bangka mengejar-ngejar seorang gadis cilik, mau apa sih? Cih, tak tahu malu benar!"

Seketika Song-bun-kwi menghentikan serangannya. Matanya mendelik saking marahnya. Dia tahu bahwa gadis ini tak mampu menyerang kembali karena agaknya hanya memiliki ilmu mengelak yang luar biasa sekali itu. Diam-diam dia kagum bukan main dan teringatlah dia kepada Kwa Kun Hong. Dahulu Kun Hong juga pernah membuat heran semua orang di Thai-san dengan ilmunya mengelak yang ajaib. Apakah sama dengan ilmu yang dipergunakan gadis ini? Tetapi dia malu untuk bertanya. Sambil bersungut-sungut dia membentak.

"Aku kalah janji, siapa kejar-kejar iblis cilik macammu? Tan Beng Kui, biarlah kali ini aku mengaku kalah bertaruh karena diakali anakmu si setan neraka. Tetapi lain kali aku akan mencari kesempatan untuk melanjutkan pertandingan kita sampai puas tanpa gangguan setan ini!" Dia lalu mengibaskan lengan bajunya yang buntung dan melangkah pergi dari tempat itu.

"Hee, Song-bun-kwi kakek tukang pukul! Kalau gatal-gatal kepalamu minta dijotosi orang, kau pergilah ke Ching-coa-to, tentu kau akan berubah matang biru dan bengkak-bengkak sampai puas!" teriak Loan Ki.

Song-bun-kwi tidak menoleh tidak menjawab, akan tetapi diam-diam dia mencatat nama tempat ini. Ada apa sih di Ching-coa-to, pikirnya. Agaknya gadis itu hendak memamerkan kehebatan orang-orang tertentu di pulau itu. Hemmm, pikirnya sambil memperlebar langkahnya. Kalau aku tidak bisa mengobrak-abrik Ching-coa-to, bocah itu tentu makin memandang rendah kepadaku. Kalau yang tinggal di sana itu orang-orang yang ia andalkan, biar kuhancurkan tempat itu, baru ia tahu rasa dan mengenal kehebatanku. Dengan pikiran ini kakek itu lalu melanjutkan perjalanannya sambil berlari cepat dan mulai mencari keterangan tentang letaknya Ching-coa-to….

Telah terlalu lama kita meninggalkan Kwa Kun Hong, pendekar kita yang buta itu. Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, sesudah pertemuannya dengan Tan Hok kemudian mendengar keterangan-keterangan tentang kepahlawanan, bangkit semangat Kun Hong. Dia ingin sekali berdarma bakti terhadap nusa bangsa. Ingin sekali dia menyumbangkan tenaganya untuk tanah air. Dia tahu betapa pentingnya arti mahkota kuno yang menyimpan rahasia besar itu dan alangkah akan baiknya kalau dia dapat merampas kembali benda itu dan memberikannya kepada Tan Hok. Akan tetapi apa dayanya. Dia seorang buta, bagaimana mungkin dapat pergi seorang diri ke pulau itu? Selain pulau itu penuh dengan rahasia-rahasia yang amat berbahaya, ular-ular yang berbisa, juga di sana terdapat orang-orang yang amat lihai.

Sepeninggal Tan Hok, Kun Hong duduk termenung di dalam kuil rusak itu, dia menyesali keadaannya yang buta, bingung tak tahu apa yang harus dia lakukan mengenai niatnya hendak merampas kembali mahkota. Baru pertama kali ini semenjak dia buta, dia merasa menyesal bukan main. Teringat dia akan Cui Bi sehingga berkali-kali dia menarik napas panjang sambil di dalam hati menyebut nama kekasihnya yang telah tiada.

Siapa pun juga yang melihat keadaan Kun Hong di saat itu tentu akan merasa kasihan. Seorang pemuda buta yang pakaiannya kotor dan kumal, rambutnya juga awut-awutan karena pembungkusnya tidak rapi lagi, sepatunya penuh lumpur dan sudah bolong-bolong pula, duduk bersandar dalam sebuah kuil rusak yang juga kumal dan kotor seperti dirinya, menarik napas berkali-kali, kelihatan susah sekali. Dia merupakan seorang jembel muda buta yang amat miskin.

Padahal bukanlah demikian sifat Kun Hong. Dia amat benci akan keadaan yang kotor dan walau pun pakaiannya sederhana, biasanya amat bersih. Sekali ini, karena keributan dan pengalamannya di Pulau Chin-coa-to, maka pakaiannya menjadi seperti itu dan dia belum mendapat kesempatan untuk mencari pengganti pakaiannya. Agaknya pada saat itu memang ada orang yang menaruh kasihan kepadanya, buktinya orang itu semenjak tadi berdiri memandangi wajah orang buta yang duduk menarik napas panjang berkali-kali sambil menunduk itu. Orang ini menggeleng kepala dan mendesislah helaan napasnya.

Helaan napas yang halus panjang, namun cukup bagi Kun Hong untuk mengetahui bahwa ada orang yang secara diam-diam mengintainya. Tanpa bangkit dari tempat duduknya di lantai yang kotor itu, dia menoleh dan menegur lirih, "Sahabat di luar, kalau ada keperluan dengan aku si buta, masuklah saja."

Pendengaran Kun Hong yang tajam menangkap bunyi napas tertahan, lalu ada sambaran angin meliuk masuk lewat jendela dan sepasang kaki yang amat ringan gerakannya turun di atas lantai dalam ruangan itu, di depannya. Dia kaget karena dapat menduga bahwa yang datang ini adalah seorang yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi segera jantungnya berdebar tidak karuan ketika alat penggandanya bekerja. Lubang hidungnya kembang-kempis dan dia melompat bangun.

"Nona Hui Kauw...!"

Kedua kakinya gemetar pada saat dia berdiri dengan tubuh agak membungkuk memberi hormat. Orang yang baru masuk itu memang Hui Kauw adanya. Tentu saja Hui Kauw kaget dan heran bagaimana pemuda buta ini dapat mengenalinya sebelum ia membuka suara. Akan tetapi ia tidak peduli akan hal ini dan suaranya yang halus merdu itu terdengar penuh sesal,

"Kwa Kun Hong, aku datang untuk perhitungan. Mari ke luar dan pedang kita yang akan menentukan siapa yang harus mati menebus hinaan."

Perih rasa hati Kun Hong. Dia menunduk, dahinya berkerut dan dia berkata, "Aku tahu, Nona, tanpa kusadari, aku sudah melukai hati serta perasaanmu, aku telah menimpakan hinaan besar pada dirimu. Aku tak hendak menyangkal lagi. Kau maafkanlah aku, Nona."

Hui Kauw memandang tajam. "Apa maksudmu? Kau... kau... tahukah kau apa yang telah menyakitkan hatiku?"

Dengan kepala masih tunduk Kun Hong menjawab, suaranya lirih dan lambat, satu-satu seakan-akan amat sukar keluar dari lubuk hatinya. "Aku tahu, Nona, atau setidak-tidaknya aku dapat menduga. Karena bujukan dan tipuan, kau mau menjalani upacara sembahyangan perkawinan dengan aku, mengira bahwa aku pun sudah tahu dan sudah setuju akan hal itu. Kemudian, di depan banyak orang, aku seakan-akan menolakmu. Inilah hinaan yang tiada taranya, yang paling besar yang dapat menimpa diri seorang gadis seperti Nona."

Mendadak Hui Kauw menjatuhkan diri berlutut di atas lantai, pedangnya berkerontangan jatuh dan ia menangis terisak-isak. Sedih sekali tangis ini dan Kun Hong maklum betapa perasaan gadis itu amat sakit, dendam dan penuh rasa malu, tertahan-tahan dalam dada bagaikan api dalam sekam. Hal ini berbahaya sekali bagi kesehatan, dan cara terbaik untuk memberikan jalan keluar adalah melalui tangis dan air mata. Karena itu, meski pun dia amat terharu dan berduka mendengar tangis ini, dia diam saja tak bergerak, hanya perlahan dia duduk bersila dan tunduk mendengarkan dengan kerut merut di antara kedua matanya yang buta.

Lama nona itu menangis. Derita dan sakit hati yang selama bertahun-tahun sengaja dia tahan di dalam dadanya, sekarang seperti gunung berapi meletus dan hawa panas dapat mengalir keluar melalui tangisnya itu. Tiada hentinya air matanya bercucuran, terisak-isak dan sesenggukan sampai napasnya terasa sesak. Akhirnya reda juga desakan hawa dari dada melalui tangisnya ini. Dadanya terasa ringan kosong, dan seluruh tubuhnya menjadi lelah sekali.

Tangisnya terhenti, tinggal isak kecil-kecil dan jarang. Ia mengangkat muka memandang laki-laki yang sedang duduk bersila dengan tubuh diam tak bergerak bagaikan patung. Di muka dengan mata meram itu kelihatan kerut merut, amat menyedihkan.

"Siapa orangnya dapat menahan semua ini?" dia berkata lirih seperti kepada diri sendiri, suaranya sudah tenang tapi masih terputus-putus menahan isak. "Perbuatanmu yang kau lakukan tanpa maksud menyakiti hatiku itu hanyalah merupakan pukulan terakhir yang mematikan kesabaranku dan membangkitkan perlawanan dalam hatiku. Tadinya aku telah putus asa. Ibu memaksa aku supaya menikah dengan pangeran Mongol yang kubenci itu. Kemudian muncul engkau yang mengakibatkan serangkaian peristiwa di pulau. Hampir aku mati disiksa ibu, kau melupakan keselamatan sendiri membela dan melindungi aku. Bahkan akhirnya kau pula yang memulihkan kesehatanku. Sesudah apa yang terjadi di dalam kamar pada saat kau mengobatiku, aku tak dapat menolak ketika ibu membujukku untuk menikah denganmu. Kata ibu kau pun sudah setuju, dan semua ini dilakukan demi menjaga nama baikku serta nama keluarga ibu. Tidak ada pilihan lain bagiku. Dari pada menjadi isteri pangeran Mongol yang kubenci, dan pula... kau amat baik kepadaku, dan seorang pendekar sejati... maka aku pun menurut. Tetapi siapa tahu..." kembali gadis itu menangis.

"Aku sudah dapat menduga semua itu, Nona. Memang terlalu sekali ibumu, anak sendiri dibujuk dan ditipu, dibantu oleh orang-orang seperti Ka Chong Hoatsu. Benar-benar aneh sekali. Kenapa pula ibumu mau mengambil aku sebagai... ehh, sebagai mantu, padahal aku seorang buta tiada guna dan malah mendatangkan keributan di pulaunya?"

"Kau pandai, ilmu silatmu tinggi dan luar biasa. Ibu dapat mempergunakan tenaga dan kepandaianmu..."

"Hemmm, benar-benar jahat, demi kepentingan diri sendiri sampai hati mengorbankan anaknya. Nona, aku tidak percaya seorang ibu sejahat itu dapat mempunyai anak seperti kau."

Hening sejenak, kemudian terdengar suara nona itu amat lirih, "Memang dia bukanlah ibu kandungku..." Ia menahan isak lalu melanjutkan. "Meski pun kau orang luar, kau adalah penolongku dan kuanggap orang sendiri, maka biarlah rahasia ini kubuka padamu. Dahulu ketika aku masih kecil, ibu menculikku dari rumah ayah bundaku yang asli dan semenjak itu aku dijadikan anaknya. Dia amat kasih dan sayang kepadaku... sampai Hui Siang lahir. Memang mereka itu baik kepadaku, namun kadang-kadang... ahhh, entah mengapa, aku tersiksa batin... tak perlu kuceritakan sejelasnya. Sampai kau muncul dan... penolakanmu itu merupakan pukulan terakhir. Aku tak kuat lagi, lalu aku lari. Aku hendak mencari orang tuaku. Menurut penuturan seorang pelayan tua, orang tuaku seorang hartawan di kota raja, she Kwee!"

"Sungguh baik niatmu itu, Nona, kuharap saja kau akan dapat berjumpa dan berkumpul kembali dengan orang tuamu," kata Kun Hong sejujurnya, suaranya mengandung iba.

"Tapi masih ada ganjalan di hatiku..." gadis itu melanjutkan, suaranya gemetar, “ganjalan terhadap kau. Aku merasa sangat terhina oleh penolakanmu... betapa tidak... karena itu, menurutkan nafsu hati dan amarah, aku sengaja menantimu untuk membuat perhitungan. Maksudku, lebih baik salah seorang di antara kita tewas... takkan menjadi kenangan yang memalukan lagi..."

Kun Hong bangkit berdiri, wajahnya membayangkan kedukaan.

"Kau keliru, Nona. Kita berdua menjadi korban fitnah. Kau sekarang tahu, bahwa sama sekali tiada niat dalam hatiku untuk menghinamu, juga kau tidak pernah menghinaku. Kita hanya menjadi korban. Akan tetapi kalau kau memang merasa terhina olehku, nah, kau tancapkan pedangmu itu di dadaku, aku Kwa Kun Hong sanggup menerima kematian di tanganmu!"

"Tidak... tidak... sekarang aku sudah insyaf. Kau sama sekali bukan menghina atau ingin mempermainkan, akan tetapi karena... kau memang... ahhh, siapa sih yang akan tertarik hatinya... inilah yang meragukan hatiku, ayah ibu sendiri andai kata melihat, belum tentu sudi mengakui..."

"Apa maksudmu, Nona?" tanya Kun Hong kaget mendengar betapa suara yang halus itu menggetar-getar penuh kesedihan.

"Tidak apa-apa. Nah, selamat tinggal saudara Kwa Kun Hong, aku hendak pergi mencari orang tuaku di kota raja." Terdengar gadis itu menggeser kaki hendak ke luar dari kuil itu.

Mendengar disebutnya ‘kota raja’ ini, teringatlah Kun Kong akan urusan mahkota kuno, maka cepat sekali dia berseru memanggil, "Nona Hui Kauw, tunggu dulu...!"

Gadis itu serentak berhenti dan cepat sekali sudah kembali lagi ke hadapan Kun Hong, seakan-akan memang ia mengharapkan pemuda buta itu memanggilnya kembali.

"Ada apakah?" tanya Hui Kauw, suaranya penuh harapan aneh.

"Nona, aku hendak mohon sesuatu darimu, mohon bantuanmu, sekiranya kau tidak akan keberatan."

"Tentu saja aku tidak keberatan! Beberapa kali kau telah menolong dan menyelamatkan nyawaku dari pada maut, tentu saja aku siap sedia membantumu!"

Tak enak hati Kun Hong ketika nona itu menyebut-nyebut tentang pertolongannya, karena itu cepat-cepat dia berkata untuk menghabisi hal itu, "Aku hanya ingin kau memberikan petunjuk kepadaku, menjadi penunjuk jalan ke Ching-coa-to, Nona."

Hui Kauw kaget bukan main dan memandang dengan mata melebar. "Apa? Kau minta aku mengantarkan kau kembali ke pulau?" lalu dia menghapus kebimbangannya dengan pertanyaan, "Kun Hong, apa kehendakmu hendak kembali ke sana?"

Berdebar-debar hati Kun Hong mendengar betapa nona itu memanggil namanya begitu saja seakan-akan seorang sahabat lama yang sudah biasa saling menyebut nama tanpa banyak peraturan lagi.

"Aku harus kembali ke sana untuk mengambil mahkota yang dirampas mereka dari tangan Loan Ki," katanya dengan suara biasa.

"Tapi mahkota kuno itu dirampas oleh Ka Chong Hoatsu! Dia lihai sekali, belum lagi yang lain-lain. Meski aku suka membantumu, agaknya kita berdua takkan menangkan mereka, mana bisa mengambil kembali mahkota?" Kemudian gadis itu menyambung cepat-cepat, "Jangan salah duga bahwa aku takut, sama sekali tidak, aku suka membantumu. Akan tetapi, aku hanya mengkhawatirkan bahwa usahamu tidak akan berhasil dan malah kau akan tertimpa malapetaka."

Kun Hong menjura, penuh rasa terima kasih. "Meski menghadapi bahaya, akan kutempuh karena hal ini penting sekali, lebih penting dari pada nyawaku." Ucapan ini keluar begitu saja sebagai gema dari ucapan Tan Hok.

"Aku tidak berani mengharapkan tenagamu untuk melawan mereka, Nona. Dan andai kata aku dapat pergi ke sana sendiri, sudah tentu aku pun tidak akan berani minta bantuanmu karena aku maklum betapa berat memintamu kembali ke tempat yang telah menimpakan banyak kesengsaraan padamu itu. Namun apa dayaku, aku seorang buta, tidak mungkin dapat masuk ke pulau itu tanpa bantuanmu." Dia berhenti sebentar, tersenyum-senyum dan memukul-mukulkan tongkatnya di atas lantai di depannya. "Sebelum sampai di sana mungkin aku sudah terjungkal ke dalam selokan!"

Akan tetapi kelakar ini diterima oleh Hui Kauw dengan alis berkerut, sama sekali tak lucu baginya. "Marilah, Kun Hong, mari kuantarkan kau ke Pulau Ching-coa-to!" katanya dan seketika hati Kun Hong berdebar tidak karuan ketika tangannya dipegang oleh gadis itu dan ditarik keluar dari kuil. Telapak tangan yang halus itu seakan-akan menyalurkan getaran yang membuat jantungnya meloncat-loncat seperti katak kepanasan.

Segera dia menekan perasaannya dan diam-diam dia memaki-maki diri sendiri, "Kau betul mata keranjang, hidung belang seperti yang dikatakan Loan Ki padamu! Gadis ini dengan hati jujur dan bersih menuntun tanganmu karena mengingat kebutaanmu, kenapa hatimu jadi geger tidak karuan?"

Tidaklah aneh bila dengan bantuan Hui Kauw, Kun Hong dengan mudah dapat memasuki Pulau Ching-coa-to. Hui Kauw dikenal oleh para anak buah dan penjaga sebagai puteri Ching-toanio. Memang mereka sudah mendengar desas-desus mengenai keributan yang terjadi antara nona ini dengan ibunya, tetapi tetap saja mereka tak berani memperlihatkan sikap berbeda terhadap Hui Kauw.

Apa lagi mereka tahu betul betapa lihai nona ini. Bahkan selain amat lihai, juga nona ini merupakan satu-satunya orang Ching-coa-to yang disegani oleh semua anak buah karena sikapnya yang selalu baik, sabar, dan suka menolong. Seperti bumi dan langit bedanya antara nona ini dengan ibu dan saudaranya yang kejam dan mudah saja membunuhi anak buah yang bersalah.

Hui Kauw mudah mendapatkan perahu dan bersama Kun Hong ia mendayung perahu itu cepat-cepat ke darat. Ia tidak mempedulikan pandang mata para anak buah ibunya yang terheran-heran melihat ia datang bersama Kun Hong, orang buta yang tadinya dianggap musuh yang datang mengacau Ching-coa-to.

Akan tetapi keheranan ini pun hanya sebentar saja. Para anak buah Ching-coa-to sudah terlalu sering menyaksikan keanehan-keanehan di antara para tamu pulau itu, keanehan orang-orang kang-ouw sehingga mereka juga tidak begitu mempedulikan kejadian kali ini di pulau.

Setelah menyeberangi telaga dan tiba di pulau, Hui Kauw mengajak Kun Hong mendarat. Tegang juga hati Kun Hong pada waktu kakinya sudah menginjak daratan pulau itu dan hidungnya segera mencium bau aneka bunga.

"Apakah kita tiba di taman...?" tanyanya perlahan.

"Betul, inilah tempat terbaik untuk mendarat dan dari sini mudah kita pergi menyelidiki tentang benda itu."

"Hui Kauw…," Kun Hong memegang tangan gadis itu tanpa ragu-ragu lagi karena dia merasa berterima kasih sekali dan pula sikap gadis itu yang amat ramah dan sewajarnya membuat dia tidak menjadi sungkan atau malu lagi, "Kau tunggulah saja di sini, jangan sampai ada yang melihatmu. Biar aku sendiri yang akan mencari Ka Chong Hoatsu dan terang-terangan meminta kembali mahkota itu. Apa bila sudah berhasil, baru aku minta bantuanmu lagi untuk mengajak aku menyeberangi telaga."

Kali ini mau tidak mau Hui Kauw tersenyum dan menarik tangannya. "Kun Hong, kau benar-benar berlaku sungkan kepadaku. Jangan kau kira bahwa aku demikian pengecut, membiarkan kau sendirian menghadapi mereka yang lihai. Tidak, Kun Hong. Aku sudah sanggup dan hanya ada dua pilihan bagiku. Berhasil merampas kembali mahkota dan dengan selamat bersamamu meninggalkan pulau ini, atau kita gagal dan mati bersama di sini."

Terharu hati Kun Hong. Dia menjura sampai dalam dan berkata lirih, "Kau baik sekali, kau benar-benar bidadari lahir batin. Aku berterima kasih kepadamu..."

"Hushhh, diam, ada orang-orang datang," Hui Kauw cepat menarik tangan Kun Hong dan diajak menyusup ke dalam gerombolan pohon kembang.

Tentu saja Kun Hong dapat mendengar pula suara orang, hanya tadi karena dia terharu, maka dia kurang perhatian dan kalah dulu oleh nona itu yang selain mampu mendengar juga dapat melihat. Yang datang adalah dua orang, mereka berjalan perlahan-lahan sambil bercakap-cakap. Setelah jarak antara mereka dengan tempat persembunyian Kun Hong tinggal sepuluh meter kurang lebih, Kun Hong mengenal suara mereka yang bukan lain adalah Hui Siang dan Bun Wan, putera ketua Kun-lun-pai.

Tadinya dia sama sekali tidak merasa heran karena dia memang sudah tahu bahwa putera Kun-lun-pai itu menjadi tamu di Ching-coa-to. Akan tetapi setelah dia mendengar percakapan dua orang muda yang kini berhenti dan duduk di atas rumput tebal tak jauh dari situ, dia kaget dan tiba-tiba mukanya menjadi merah. Dia merasa segan dan sungkan sekali terpaksa harus mencuri dengar percakapan antara dua orang muda yang agaknya sedang bercumbu berkasih mesra!

Terdengar suara Hui Siang yang merdu merayu, suaranya mengandung kegenitan serta penuh kemanjaan. "Kanda Bun Wan, kau sudah tahu dan tentu sudah yakin akan cintaku yang suci murni terhadapmu. Akan tetapi, sebaliknya... mana dapat aku tahu akan isi hatimu? Mana bisa aku yakin bahwa cintamu kepadaku pun sama sucinya? Kanda Bun Wan, kalau sekarang kau tinggalkan pulau ini... ahh, bagaimana kalau kau tidak akan kembali kepadaku?"

Kun Hong mendengar ini merasa bulu tengkuknya meremang dan dia sudah bergerak hendak pergi diam-diam dari tempat itu, menjauhi mereka dan tidak sudi mencuri dengar percakapan semacam itu. Akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh tangan Hui Kauw yang mencengkeram erat-erat, diguncang-guncang sedikit seperti memberi isyarat supaya dia jangan bergerak. Kun Hong merasa heran sekali mengapa tangan nona itu dingin dan gemetar. Tentu saja dia tidak tahu betapa dengan muka pucat gadis ini melihat betapa adiknya itu membujuk rayu, memeluk-meluk dengan sikap yang tidak tahu malu.

Tiba-tiba Kun Hong merasa dadanya sakit. Teringatlah dia ketika dahulu mencuri dengar percakapan antara Hui Kauw dan ibu angkatnya. Ching-toanio pernah memaki Hui Kauw bahwa dia tergila-gila kepada Bun Wan! Hemmm, apakah sekarang Hui Kauw menjadi cemburu dan iri hati melihat pemuda Kun-lun yang digilainya itu bercumbu rayu dengan Hui Siang?

Aneh sekali, pikiran ini yang menimbulkan rasa perih di hatinya, sekaligus membuat dia mengambil keputusan untuk mendengarkan terus dan melihat Hui Kauw tersiksa karena cemburu dan iri! Memang aneh sekali watak orang muda kalau sudah terbius asmara!

"Hui Siang, kau begini manis, begini cantik jelita. Mana mungkin aku tidak cinta padamu dengan seluruh hatiku?" terdengar oleh Kun Hong suara Bun Wan, namun aneh baginya, dia menangkap nada suara agak mengkal.

"Ahhh, kanda Bun Wan, mana aku bisa percaya begitu saja? Cinta kasihku sudah aku buktikan, aku sudah menyerahkan raga dan kesucianku kepadamu. Tapi kau? Wan-koko, kau bersumpahlah..."

Suara Bun Wan menghibur, tetapi tetap saja kemengkalan yang tadi masih tertangkap oleh pendengaran Kun Hong yang amat tajam.

"Hui Siang... yang sudah-sudah mengapa kau tonjol-tonjolkan kembali? Kau tahu benar bahwa bukan salahku semata, tapi kau... ah, kenapa kau begini cantik dan kau pula yang mendorongku dengan sikapmu? Aku cinta padamu, tak perlu bersumpah."

"Aku percaya, kau seorang laki-laki gagah, tentu takkan menjilat ludah sendiri. Tapi... kau tentu segera mengajak orang tuamu datang untuk melamarku kepada ibu, bukan? Betul ya, Koko? Jangan terlalu lama, ya?"

"Hemm... soal itu... aku belum berani memastikan, kekasihku. Ayahku amat keras hati..."

Terdengar isak tangis tertahan. "Kau harus dapat membujuknya, Koko... kau harus bisa... kalau kau tidak lekas-lekas datang kembali, aku akan menyusulmu ke Kun-lun, aku tidak peduli...!"

"Baiklah... kau tenang dan sabarlah. Dan jangan menangis, sayang pipimu yang halus menjadi basah. Sekarang, buktikan bahwa kau benar-benar cinta padaku. Malam tadi kau berjanji hendak mengambil benda itu dan memberikan kepadaku. Mana?"

Suara Hui Siang tiba-tiba berubah manja ketika ia menjawab sambil memeluk leher Bun Wan, "Koko yang nakal, kau masih tak percaya setelah semua yang kulakukan padamu? Badan dan nyawa sudah kuserahkan, apa lagi hanya benda macam ini. Sudah sejak tadi kubawa."

Kiranya gadis itu mengeluarkan sebuah benda yang bukan lain adalah mahkota kuno itu dan diberikannya kepada Bun Wan! Pemuda itu menerimanya, memandangi dan menarik napas panjang.

"Heran sekali, benda macam ini saja diperebutkan orang. Hui Siang, andai kata ibumu dan orang-orang lain tidak sedang pergi meninggalkan pulau, kiraku kau tidak akan berani mengambilkan benda ini untukku."

"Ihh, siapa bilang? Sebaliknya, mana kau berani datang dan malam-malam mencari aku? Hi-hik, agaknya kau sudah amat rindu kepadaku, ya? Dapat kulihat dari pandang matamu ketika kau datang dahulu..."

"Hemmm, sebaliknya kau pun selalu mengharapkan kedatanganku. Hayo sangkal kalau berani!" Dua orang itu kini tertawa-tawa, diselingi cumbu rayu yang memanaskan telinga Kun Hong dan membuatnya tidak betah tinggal di tempat persembunyiannya itu.

"Hui Siang, kalau aku sudah membawa pergi mahkota ini dan ibumu kembali, bagaimana kalau dia bertanya tentang mahkota ini padamu?" Mendengar pertanyaan Bun Wan ini, seketika Kun Hong menaruh perhatian penuh.

Eh, kiranya mahkota yang dia cari-cari itukah yang tadi disebut-sebut sebagai benda oleh mereka? Baru sekarang dia tahu dan perhatiannya tertarik pula.

Hui Siang yang tadi baru menangis sekarang tertawa-tawa genit. "Apa sukarnya mencari jawaban itu? Aku bilang saja bahwa enci Hui Kauw yang datang dan memaksaku minta mahkota itu. Habis perkara!"

"Enak saja kau membohong, apa ibumu bisa percaya? Kalau hanya ia yang datang, apa kau tidak bisa melawan? Paling sedikitnya kepandaianmu tidak berada di sebelah bawah tingkatnya," bantah Bun Wan. "Ibumu tentu tidak percaya."

"Koko yang tampan tapi bodoh. Kalau aku bilang bahwa enci Hui Kauw datang bersama si setan buta yang membantunya, tentu ibu percaya."

Tiba-tiba Kun Hong merasa betapa tubuh Hui Kauw menggigil, napasnya agak memburu, tanda bahwa gadis itu sedang marah bukan main. Benar saja dugaannya, karena Hui Kauw segera meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan membentak,

"Hui Siang apa yang kau lakukan ini? Ke mana harga dirimu sebagai seorang wanita? Kau membiarkan dirimu dipermainkan nafsu dan tiada hentinya kau hendak melakukan fitnah! Dan kau manusia Bun, sungguh kurang ajar berani kau melanggar susila di sini, keparat!"

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati dua orang muda yang sedang tenggelam dalam permainan nafsu, ketika tiba-tiba Hui Kauw muncul sambil membentak marah itu. Lebih lagi Hui Siang yang merasa sangat malu, terkejut dan heran. Perasaan-perasaan itu lalu berkumpul menjadi satu dan berubah menjadi kemarahan besar.

"Budak hitam, tutup mulutmu! Ibu sudah tidak mengakui lagi kau sebagai anak angkatnya, kau bukan apa-apa denganku, mau apa kau mencampuri urusanku? Hayo minggat, kau hanya mengotori pulau ini dengan telapak kakimu!" Sambil berkata demikian Hui Siang sudah mencabut pedang dan serta menyerang bekas enci angkatnya itu dengan tusukan kilat.

Hui Kauw tenang saja. Dia menghindar sambil berkata, "Hui Siang, betapa pun juga, aku masih mengingat hubungan antara kita semenjak kecil. Kau sudah tersesat...," suaranya mengandung kedukaan besar.

"Siapa sudi nasehatmu? Tengok dirimu sendiri, berjinah dengan jembel buta masih hendak rnengganggu orang bercinta. Wan-koko, kau bantu aku bunuh mampus setan betina ini!"

Kembali Hui Siang menyerang, kini lebih hebat lagi. Dasar dia memang mempunyai ilmu pedang yang ganas dan gerakan yang lincah, maka serangan ini tidak boleh dipandang ringan. Hui Kauw maklum pula betapa lihainya adik angkat ini, maka sambil melompat menjauhi ia pun mencabut pedangnya. Ia tidak berlaku sungkan lagi dan segera mengeluarkan ilmu pedang simpanannya yang selama ini dirahasiakan.

Kaget bukan main Hui Siang karena tiba-tiba lawannya itu menggerakkan pedang secara aneh dan membingungkan, sama sekali tak dikenalnya. Hebatnya, semua serangannya tenggelam tanpa bekas menghadapi sinar pedang Hui Kauw yang aneh itu. Malah tidak demikian saja, selewatnya sepuluh jurus gulungan sinar pedang Hui Kauw sudah sangat rapat menyelimuti dirinya, menghadang semua jalan keluar dan ia terkurung rapat tanpa dapat balas menyerang lagi.

Tiada habis keheranan menekan hati Hui Siang. Selama ini, walau pun dia tidak berani menyatakan bahwa tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada Hui Kauw yang pendiam dan tidak suka pamer, akan tetapi jika dibilang ia lebih rendah juga tidak mungkin. Sering kali mereka berlatih dan dalam latihan ini tak pernah ia terdesak, biar pun mereka sudah berlatih pedang sampai seratus jurus lebih.

Akan tetapi mengapa baru belasan jurus saja ia sudah tidak berdaya oleh jurus-jurus yang amat aneh ini? Mungkinkah ibu menurunkan ilmu istimewa kepadanya tanpa kuketahui? Tak mungkin, pikirnya. Malah beberapa macam ilmu warisan ayahnya telah ia pelajari, di antaranya ilmu menguasai ular-ular, sedangkan Hui Kauw tidak suka mempelajari ilmu ini kecuali ilmu untuk menolak ular.

"Wan-koko... kau bantulah aku...!" Tanpa malu-malu lagi Hui Siang berseru minta tolong kepada kekasihnya.

Sementara itu, Bun Wan tadi berdiri terlongong dengan muka merah padam. Sama sekali dia tidak pernah menyangka bahwa adegan antara dia dengan Hui Siang disaksikan oleh orang lain. Malunya bukan main, apa lagi terhadap Hui Kauw yang sudah dia ketahui wataknya yang halus dan budi pekertinya yang jauh berbeda kalau dibandingkan dengan Hui Siang atau ibunya.

Sudah beberapa kali dia datang berkunjung ke pulau ini dan diam-diam dia selalu merasa kagum kepada Hui Kauw, nona bermuka hitam itu. Siapa kira nona yang dia segani dan kagumi ini sekarang menjadi saksi hidup akan perbuatan dirinya bersama Hui Siang yang melanggar susila.

"Bun Wan koko, hayo kau bantu aku!" kembali Hui Siang berseru, kini suaranya penuh penyesalan mengapa kekasihnya itu masih saja bengong dan tidak segera turun tangan membantunya yang sudah sangat terdesak oleh gelombang sinar pedang Hui Kauw yang amat aneh.

Bun Wan sadar dari lamunannya dan ketika dia memandang, dia kaget menyaksikan betapa Hui Siang yang ilmu pedangnya sudah amat lihai itu tidak berdaya menghadapi gempuran-gempuran Hui Kauw. Cepat dia mencabut pedangnya dan pada saat tubuhnya berkelebat ke depan, sinar pedangnya yang sangat kuat itu bergulung bagaikan naga mengamuk.

"Nona Hui Kauw harap mundur!" bentaknya dengan suara nyaring.

Dua gulungan sinar pedang bertemu dan keduanya lalu melompat mundur tiga langkah dengan kaget. Masing-masing mengagumi getaran hebat yang keluar dari pedang lawan. Ilmu pedang Bun Wan adalah Kun-lun Kiam-sut yang sudah terkenal sekali di seluruh permukaan bumi akan kehebatannya. Juga pemuda ini adalah putera tunggal dari ketua Kun-lun-pai, tentu saja dapat diketahui betapa hebat kepandaiannya apa lagi kalau diingat bahwa semenjak kecil memang pemuda ini sangat gemar berlatih silat dan memang dia memiliki bakat yang baik.

Tadi ketika dia menerjang maju untuk mengundurkan Hui Kauw dan menolong kekasihnya yang terdesak, dia hanya mengeluarkan jurus sederhana dengan penggunaan setengah bagian tenaga saja. Akan tetapi, kagetlah dia ketika dia merasa betapa pedangnya telah membentur hawa pedang yang amat ampuh dan luar biasa sehingga memaksa dia harus melompat mundur tiga langkah.

Sebaliknya, Hui Kauw kaget dan kagum sekali ketika ia dipaksa mundur oleh sinar pedang pemuda Kun-lun ini dalam satu gebrakan saja. Masing-masing berdiri dalam jarak enam tujuh langkah dan saling memandang seperti hendak mengukur keadaan dan kekuatan masing-masing. Akan tetapi Hui Siang yang sudah amat marah itu segera menerjang lagi, menyerang Hui Kauw dengan besar hati karena ia kini mengandalkan bantuan kekasihnya.

"Hui Siang, kedatanganku ini bukan untuk bertempur denganmu, juga tidak ada urusanku dengan orang Kun-lun ini. Akan tetapi menyaksikan perbuatan kalian yang tak tahu malu, benar-benar aku prihatin. Hui Siang, kau dengarkan kata-kataku...!" Hui Kauw mencoba menyabarkan adiknya dan menghindarkan diri dari beberapa tusukan.

"Tutup mulut, budak hitam. Kau harus mampus! Wan-koko, hayo kita binasakan budak hitam kurang ajar ini!" Hui Siang memaki sambil menerjang terus. Dengan terpaksa Hui Kauw mengangkat pedangnya dan kembali dua orang gadis itu bertempur hebat.

Bun Wan sudah menggerakkan pedang hendak membantu, akan tetapi tiba-tiba berkesiur angin dari belakang tubuhnya. Cepat dia membabitkan pedangnya ke belakang, kemudian membalikkan tubuh dan mengganti kedudukan kaki sekaligus melakukan tusukan ke arah belakang dengan lengan diputar.

Hebat gerakan ini dan seorang lawan yang membokongnya pasti akan dapat dirobohkan dengan jurus yang hebat ini karena tidak akan menduganya. Akan tetapi, matanya hanya melihat bayangan berkelebat lenyap. Begitu cepat gerakan bayangan ini. Tahu-tahu dia merasa punggungnya dilanggar tangan.

Cepat bagaikan kilat Bun Wan membalikkan tubuh dan kakinya mendahului dengan satu tendangan maut ke bawah pusar dan pedangnya berkelebat dari atas pundak menyambar ke arah leher. Dia merasa yakin bahwa serangannya kali ini pasti berhasil. Memang hebat bukan main gerakan pemuda Kun-lun ini.

"Bagus...!" terdengar suara orang memuji dan bayangan itu melompat mundur lima atau enam langkah menghindarkan jurus dahsyat dari Bun Wan ini.

Kiranya bayangan itu adalah Kun Hong yang kini berdiri dengan tongkat di tangan kanan dan mahkota kuno di tangan kiri, tersenyum-senyum dan matanya yang buta tak berbiji itu menggetar. Berdetak hati Bun Wan ketika melihat siapa orangnya yang tadi diserangnya itu, apa lagi saat melihat mahkota itu. Otomatis tangan kirinya meraba punggung di mana buntalannya tersimpan. Mahkota kuno yang dia terima dari Hui Siang tadi telah disimpannya di dalam buntalan pakaiannya. Tangan kirinya meraba-raba dan hatinya mengeluh.

Mahkota itu sudah lenyap dan terang bahwa yang dipegang Kun Hong itulah mahkota tadi. Wajahnya seketika menjadi pucat. Dia cukup maklum akan kesaktian Kun Hong yang pernah dia saksikan beberapa tahun yang lalu di puncak Thai-san, akan tetapi setelah orang ini menjadi buta, bagaimana agaknya malah lebih lihai dari pada dahulu?

Betapa pun juga, Bun Wan tidak takut dan dia melangkah maju sambil membentak, "Kwa Kun Hong! Berkali-kali kau menghinaku dan agaknya sengaja hendak menjadi perintang jalan hidupku."

Kun Hong tersenyum pahit dan menggelengkan kepala sambil menarik napas. "Saudara Bun Wan. Memang hidup ini ada kalanya aneh sekali. Agaknya jalan hidup kita sudah ditakdirkan oleh Thian selalu saling memotong. Dahulu aku bersalah padamu, akan tetapi kesalahan yang tidak aku sengaja sama sekali, dan untuk kesalahan itu pun aku sudah mengorbankan banyak sekali. Nyawa orang yang paling kusayang di dunia ini beserta anggota badan yang paling kusayang pula kukorbankan. Akan tetapi sekarang lain lagi, saudara Bun Wan. Aku berdiri di depanmu dan menentangmu bukan tidak sengaja malah, karena kau yang berada di jalan sesat!"

Wajah yang pucat itu menjadi merah lagi, merah padam. Ucapan ini merupakan ujung pedang yang seakan-akan menancap dl ulu hatinya.

"Kwa Kun Hong, agaknya kau memang seorang laki-laki yang tidak suka melihat orang lain bahagia. Aku berbaik dengan seorang gadis cantik, ada hubungan apakah urusan ini denganmu? Apakah kau iri hati dan berusaha hendak merampas lagi seperti dulu? Ho-ho, belum tentu bisa sekarang, sahabat, karena matamu yang buta itu tidak menarik lagi untuk dipandang!"

Kun Hong menggeleng kepala, suaranya terdengar kereng, "Bun Wan, biar pun urusanmu dengan orang-orang wanita tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, tetapi aku mengingat akan hubungan antara orang-orang tua kita, maka sudah sepatutnya pula apa bila aku menegur sikapmu yang tidak baik. Bukanlah seorang gagah kalau suka mempermainkan wanita secara rendah! Meminang dan berjodoh sudah ada aturan-aturannya sendiri dan kau maklum bahwa siapa yang melakukan hubungan di luar nikah, dia adalah manusia berwatak rendah seperti binatang! Akan tetapi, kali ini aku tidak ada waktu mengurus hal itu. Yang kumaksudkan tadi adalah mengenai mahkota ini. Benda ini bukan milikmu, juga bukan milik penghuni Ching-coa-to. Aku tahu siapa yang berhak memiliki mahkota ini, oleh karena itu harus kuambil kembali."

"Kun Hong, kau terlalu menghinaku! Kembalikan mahkota itu!" bentak Bun Wan sambil menerjang dengan pedangnya.

Kun Hong cepat mengelak dan diam-diam dia mengagumi gerakan pedang yang hebat ini. Terpaksa dia pun menggunakan tongkatnya untuk menghadapi lawan tangguh ini. Tiga belas kali berturut-turut dia menangkis sambil berkata, "Bun Wan, aku tidak ingin bertempur denganmu, juga tidak ingin bermusuhan denganmu. Percayalah, mahkota ini akan kuserahkan kepada yang berhak menerima. Kau biarkan aku pergi dengan aman dari pulau ini."

Akan tetapi mana Bun Wan mau mengalah begitu saja? Dia menghendaki mahkota itu bukan semata-mata karena ingin memilikinya atau untuk dijadikan tanda cinta kasih Hui Siang, sama sekali bukan. Ada alasan yang lebih kuat baginya untuk memiliki mahkota itu, maka dia sekarang menjadi nekat dan melawan.

Pedang di tangan Bun Wan meluncur dengan gerakan miring dari samping kiri, menjurus ke arah tubuh bagian bawah lengan atau iga kanan Kun Hong. Gerakan ini selain miring juga agak diputar sehingga sekelebatan hawa tusukannya akan terasa datang mengarah punggung, sedangkan kaki kanan Bun Wan dibanting ke depan untuk disusul tendangan kaki kiri ke arah sambungan lutut lawan. Inilah gerak tipu dalam jurus Sin-seng Kan-goat (Bintang Sakti Mengejar Bulan) dari Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut. Cepat dan kuatnya bukan kepalang!

Kun Hong yang hanya mengandalkan pendengaran dan perasaannya, terkejut juga akan perubahan angin tusukan pedang yang berubah-ubah itu. Cepat-cepat dia menekuk lutut mendoyongkan tubuh ke belakang, mencokel dengan tongkatnya ke arah ujung pedang lawan. Kemudian, maklum akan gerak susulan tendangan itu, siku lengannya memapaki untuk menotok pergelangan kaki lawan dengan ujung siku.

Aneh dan cepat gerakannya Kun Hong ini dan hampir saja kaki Bun Wan kena dihajar. Pemuda Kun-lun ini mengeluarkan seruan kaget dan heran, cepat dia menahan kakinya dan menggeser kaki itu ke kanan untuk meluputkan diri dari serangan susulan lawannya. Akan tetapi ternyata Kun Hong tidak menyerangnya. Orang buta ini hanya diam tidak bergerak, siap sedia menanti penyerangan berikutnya.

Bun Wan mengeluarkan bentakan nyaring, mengumpulkan seluruh tenaga dalam, lantas pedangnya berputaran cepat berubah menjadi gulungan sinar seperti payung. Kemudian, dari gulungan sinar itu menyambar cahaya tiga kali berturut-turut, sekali mengarah ke tenggorokan, kedua kali mengarah ulu hati dan ketiga kalinya mengarah pusar.

Kiranya pemuda Kun-lun itu dalam penasarannya telah mempergunakan beberapa jurus simpanannya. Gerakan pertama tadi adalah jurus yang disebut Kim-mo Sam-bu (Payung Emas Menari Tiga Kali) disusul gerakan menyerang Lian-cu Sam-kiam (Tiga Kali Tikaman Berantai).

"Hebat...!" Kun Hong memuji.

Terpaksa dia pun mengeluarkan kepandaian simpanannya untuk menghadapi serangan yang amat dahsyat ini. Dari angin serangan saja dia maklum bahwa jangankan ujung pedang, baru angin yang datang karena gerakan menikam ini saja mengandung bahaya besar karena mampu membolongi baju menembus kulit daging.

Dia berseru keras dan tongkat di tangannya berubah menjadi kemerahan yang bergulung-gulung dan mengeluarkan hawa dingin. Tidak terdengar suara benturan senjata, namun tahu-tahu pedang di tangan Bun Wan tiga kali terpental balik, bahkan yang ketiga kalinya hampir saja melanggar pundak pemuda itu sendiri. Hampir saja senjata makan tuan jika Bun Wan tidak segera melepaskan pegangannya dan membiarkan pedangnya terpukul runtuh!

Dia berdiri dengan muka pucat, memandang pedangnya di atas tanah dan bergantian memandang pemuda buta yang kini berdiri tegak di depannya dengan tongkat melintang di depan dada. Dada Bun Wan serasa akan meledak. Dahulu pernah dia terhina oleh Kun Hong dalam urusan tunangannya, Cui Bi, yang ‘diserobot’ pemuda ini. Sekarang, untuk kedua kalinya dia menerima penghinaan, malah lebih hebat lagi.

Sementara itu, Hui Siang juga mati kutunya menghadapi Hui Kauw. Kalau Hui Kauw mau sudah sejak tadi dia dapat merobohkan adiknya. Akan tetapi dia tidak tega dan sekarang melihat betapa Bun Wan sudah kalah ia pun berseru nyaring, terdengar suara keras dan pedang di tangan Hui Siang mencelat dan terbang entah ke mana!

Gadis cantik jelita yang galak itu, seperti juga Bun Wan, telah dilucuti. Kini ia pun berdiri tegak di depan Hui Kauw dengan mata mendelik penuh kebencian. Akan tetapi Hui Kauw tidak peduli kepadanya, melainkan bergerak melangkah ke depan Bun Wan. Matanya mengeluarkan sinar berapi-api yang membuat Bun Wan bergidik. Ada sesuatu dalam sikap nona muka hitam ini yang membuat dia tunduk dan bergidik.

"Orang she Bun! Tanpa sengaja aku tadi sudah mendengar semua perbuatanmu yang tak senonoh dan sangat merusak kehormatan nama penghuni Ching-coa-to. Ingat baik-baik ucapanku ini. Biar pun mulai sekarang aku tidak menjadi penghuni Ching-coa-to lagi, akan tetapi kalau kelak aku mendengar bahwa kau tidak mau bertanggung jawab dan tidak mau menikah dengan adikku Hui Siang secara sah, aku bersumpah akan mencarimu sampai dapat, dan mengadu nyawa!"

"Saudara Bun Wan, ucapan nona Hui Kauw ini memang betul. Sebagai laki-laki sudah berani berbuat harus berani bertanggung jawab," kata pula Kun Hong.

Bun Wan tidak menjawab, hanya menarik napas panjang menekan perasaannya, ada pun Hui Siang yang mendengar betapa saudara angkat yang dibencinya itu juga si mata buta bicara untuk kepentingannya, ia hanya bisa terisak menangis.

"Kun Hong, mari kita pergi!"

Hui Kauw menyambar tangan Kun Hong dan keduanya dengan gerakan cepat laksana burung-burung terbang, pergi dari pulau itu menuju pantai. Mereka tidak bicara sesuatu, tenggelam dalam perasaan masing-masing ketika menyeberangi telaga.....

Baru setelah mereka berdua meloncat ke daratan, Kun Hong berkata, "Nona..."

"Kun Hong, kuharap kau tidak menggunakan sebutan itu," potong Hui Kauw cepat-cepat.

"Hui Kauw, budi pertolonganmu kali ini besar sekali artinya. Aku sangat berterima kasih kepadamu dan takkan melupakan bantuan ini selamanya. Kau benar seorang yang amat berbudi dan berhati mulia."

Sampai lama Hui Kauw tidak menjawab, membuat Kun Hong heran dan menduga-duga sambil memasang telinga. Akan tetapi dia menjadi kaget ketika mendengar betapa gadis itu mengeluarkan suara keluhan lirih seperti orang mengerang atau merintih.

"Hui Kauw, kau kenapakah...?" tanyanya sambil melangkah maju. "Apakah kau sakit? Kau terluka...?"

Mendengar suara yang mengandung penuh kekuatiran ini dan melihat wajah pemuda buta itu kerut merut, Hui Kauw terisak perlahan tapi lalu ditahannya. "Memang sakit, tak terperikan nyerinya... memang terluka, perih dan seperti ditusuk-tusuk jarum beracun rasanya..."

Kun Hong seperti kena pukul, tunduk dan kerut di antara kedua matanya makin jelas. Dia lalu menarik napas panjang, maklum apa yang dimaksud oleh gadis itu. Yang sakit adalah perasaannya, yang terluka adalah hatinya. Dia maklum akan keadaan gadis itu. Dengan suara menggetar penuh keharuan dia berkata, mukanya tetap tunduk, "Hui Kauw, akulah orangnya yang membuat kau menjadi begini. Dosaku telah bertumpuk terhadapmu, sebaliknya budimu amat besar bagiku sehingga tidak mungkin aku sanggup membalasnya. Kiranya tidak mungkin selama hidupku aku akan dapat membalas budimu, biarlah kelak di penjelmaan lain aku terlahir sebagai anjingmu atau kudamu..."

"Kun Hong... jangan kau bilang begitu...," suara Hui Kauw mengandung tangis.

"Hui Kauw, ucapanku tidak berlebihan. Tadinya kau hidup sebagai seorang nona majikan Ching-coa-to, hidup aman tenteram dan berbahagia di pulau itu bersama ibu dan adikmu. Setelah aku datang, terjadi mala petaka hebat menimpa dirimu. Malah paling akhir aku melakukan penghinaan, menolakmu di depan umum. Hebat sekali penghinaan ini. Dan apa balasmu? Kau malah tadi membantuku untuk mendapatkan kembali mahkota yang amat penting ini. Dengan pengorbanan terakhir lagi, yaitu permusuhan antara kau dan Hui Siang. Aku tahu, peristiwa itu tidak memungkinkan kau kembali ke pulau lagi. Padahal kau hidup sebatang kara... ahhh, Hui Kauw, bagaimana aku dapat balas menolongmu?"

Tiba-tiba Hui Kauw melangkah maju dan memegang kedua lengan Kun Hong. Pemuda buta ini merasa betapa tangan itu agak dingin menggigil dan mencengkeram tangannya erat-erat. Dia pun balas menggenggam sehingga dua puluh jari-jemari tangan itu saling genggam, menyalurkan perasaan hati masing-masing yang menggelora. "Kun Hong... Kun Hong... di samping perasaan iba di hatimu terhadapku, tidak adakah... rasa kasih sayang sedikit saja?"

Suara hati Kun Hong meluap melalui mulutnya tanpa dia sadari lagi. "Demi Tuhan Yang Maha kasih, Hui Kauw, aku... aku amat sayang kepadamu, aku amat kasih kepadamu semenjak pertama kali aku mendengar suaramu..."

Hui Kauw mengeluarkan suara perlahan seperti orang merintih, lalu ia tiba-tiba merangkul leher Kun Hong dan menangis di dada pemuda itu. Kun Hong menepuk-nepuk pundak serta mengelus-elus rambut yang halus dan berbau harum itu sambil menghela napas berkali-kali. "Terima kasih, Kun Hong. Kalau begitu... biarlah aku ikut denganmu ke mana saja kau pergi."

Sampai lama Kun Hong tak dapat menjawab. Kesadarannya kembali. Kemudian tergetar suaranya ketika berkata, "Tidak mungkin, Hui Kauw... tidak mungkin... biar pun aku amat cinta kepadamu, tak mungkin aku melakukan itu..."

"Mengapa tidak, Kun Hong? Bukankah kita berdua sudah pernah berlutut bersama-sama di depan meja sembahyang biar pun kau kemudian menolaknya? Kun Hong, aku... aku... menganggap bahwa aku… aku sudah menjadi... isterimu... apa pun yang terjadi... aku telah berhutang nyawa kepadamu dan aku... ahhh... aku cinta kepadamu, Kun Hong..."

Kun Hong merasa betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk. Dia lalu menggelengkan kepala keras-keras karena terbayang dia akan wajah Cui Bi. "Tidak, Hui Kauw, jangan begitu. Aku seorang buta, aku tidak berharga... tak berani aku membawa kau turut menderita. Kau mulia dan agung, kau adalah seorang gadis cantik jelita seperti bidadari, kau patut bersuamikan seorang pemuda yang berbudi dan gagah perkasa, menjadi isteri seorang pria yang terhormat, bukan seorang jembel buta macam aku..."

"Tidak, tidak...! Kun Hong, engkau selalu merendahkan diri sendiri. Kau semulia-mulianya orang dalam pandanganku. Walau pun kau buta, hatimu tidak buta. Tentang aku... ahhh, alangkah indahnya kata-katamu yang memujiku seperti bidadari. Sebenarnya aku buruk rupa, Kun Hong."

"Siapa bilang? Kau secantik-cantiknya orang, kaulah bidadari!" pemuda itu membantah dengan suara keras.

Hui Kauw mengeluarkan suara ketawa aneh, pahit dan perih, kemudian ia melepaskan rangkulannya. "Kun Hong, bagaimana kau begini yakin akan kecantikanku? Bukankah kau tak pandai… melihat?"

"Cukup dengan mendengar suaramu, Hui Kauw. Kalau aku... ehh, andai kata aku dapat meraba mukamu, tentu aku akan lebih yakin lagi... tapi maaf, ini hanya seandainya..."

"Nah, kau rabalah! Kau rabalah biar kau tahu betapa mukaku hitam dan buruk."

"Aku tidak berani, Hui Kauw... aku tak berani kurang ajar padamu..." Kun Hong menolak akan tetapi suaranya gemetar karena betapa pun juga, amat sangat inginnya dia meraba muka gadis itu untuk dapat membayangkan bentuk mukanya.

"Kun Hong, aku telah dapat melihat mukamu sepuas hatiku, tapi kau... ahhh, kau rabalah supaya kau dapat mengenalku, dapat mengenal seorang wanita yang selama hidup akan selalu mengenangmu, akan mencintaimu selama hayat di kandung badan, biar kau telah menolaknya, biar kau tidak mau menerimanya..." Sampai di sini Hui Kauw menangis.

"Hui Kauw...! Jangan bilang begitu."

Akan tetapi sambil menangis terisak-isak Hui Kauw menyambar kedua tangan Kun Hong, ditariknya ke arah mukanya sambil tersendat-sendat berkata, "Rabalah... rabalah..."

Sepuluh jari tangan yang amat halus perasaannya itu meraba muka Hui Kauw yang basah air mata. Seperti dalam mimpi Kun Hong meraba dahi yang halus tertutup rambut sinom berurai ke bawah, bergerak ke bawah meraba alis yang panjang melengkung, pelupuk mata tipis terhiasi dengan bulu mata panjang, sepasang pipi yang halus dengan bentuk sempurna, hidung yang kecil mancung, bibir yang lunak, dagu meruncing, telinga, leher... lalu kembali lagi ke atas. Bibirnya bergerak-gerak mengeluarkan bisikan berkali-kali,

"Kau cantik jelita... kau cantik jelita... ahhh, Hui Kauw... alangkah cantiknya engkau..."

Kata-kata ini memperhebat tangis gadis itu yang kembali memeluknya dan menempelkan muka ke dadanya. "Aduh, Kun Hong... selama aku hidup, baru sekali ini ada orang memuji kecantikanku... semua orang mengejekku, mengatakan aku si muka hitam, si muka buruk... Kun Hong, kau kasihanilah aku, kalau betul kau mencintaku seperti aku mencintamu, kau bawalah aku, biarlah aku ikut denganmu..."


cerita silat online karya kho ping hoo


Tiba-tiba Kun Hong sadar lagi. Dia memegang pundak gadis itu, didorong menjauhinya, lalu dia berkata, suaranya tegas, "Hui Kauw, cukup semuanya ini! Kau adalah seorang gadis perkasa, tidak seharusnya bersikap lemah. Aku pun harus malu akan kelemahan hatiku sendiri. Hui Kauw, mukamu tidak apa-apa. Warna hitam itu hanya karena racun dan aku sanggup untuk mengobatimu, membuat kulit mukamu kembali putih bersih. Biarlah aku mengobatimu agar kau mendapatkan kecantikanmu kembali, agar kau dapat bertemu dengan jodoh yang terhormat, yang gagah, yang baik dan..."


"Diam!" Tiba-tiba Hui Kauw berteriak keras, agaknya marah sekali. "Kun Hong, jangan kau kira aku seorang wanita semacam itu! Sekali aku sudah menyerahkan hatiku kepadamu, sampai mati aku akan tetap bersetia. Meski pun kau tidak suka menerimaku, aku tetap menganggap diriku telah menjadi isterimu dan selama hidup aku takkan menikah dengan orang lain. Biarlah mukaku tetap begini karena aku tidak berniat menarik hati orang lain. Tapi, setidaknya, kau katakanlah mengapa hatimu sekeras ini. Aku dapat merasa betapa kau pun benar-benar membalas cintaku, akan tetapi mengapa kau menolakku? Mengapa? Aku bisa mati penasaran kalau kau tidak memberi tahu sebabnya."

Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipi pemuda buta itu. Hui Kauw perih hatinya melihat pemuda buta ini bisa pula menitikkan air mata. Ingin dia memeluknya, ingin dia menghapus air mata di muka si buta itu, tapi dia tetap berdiri, menanti penjelasan.

"Hui Kauw, ketahuilah. Aku pun seorang manusia yang sudah menyerahkan hati kepada seseorang dan berniat tetap bersetia kepadanya, biar pun ia sudah tiada lagi di dunia. Ia... ia mati karena aku, Hui Kauw..." Kemudian dengan suara terputus-putus saking terharu, Kun Hong menceritakan kepada gadis itu tentang Cui Bi, sekaligus mengenai kebutaan matanya.

Hui Kauw mendengarkan dengan mulut ternganga dan mata terbelalak, dan dari pelupuk matanya mengucurlah air mata di sepanjang kedua pipinya. Dia demikian terpesona dan terharu oleh cerita itu sehingga ia seperti tak merasa akan membanjirnya air matanya ini dan ia tidak mengusapnya. Makin lama ia mendengarkan cerita Kun Hong, semakin tidak tahanlah ia dan akhirnya ia terisak-isak menangis ketika Kun Hong menceritakan peristiwa yang terjadi di puncak Thai-san-pai.

"Aduh, Kun Hong...!" Hui Kauw akhirnya menubruk pemuda itu dan memeluknya. "Kau… kasihan sekali kau... laki-laki yang berhati mulia, semulia-mulianya orang. Cinta kasihmu demikian suci murni... ah, alangkah bahagianya Cui Bi. Aku iri kepadanya, Kun Hong. Aku pun mau mati seribu kali kalau bisa mendapatkan cinta kasihmu seperti itu besarnya. Kasihan kau..."

Menghadapi gadis ini, tak dapat menahan pula Kun Hong akan jatuhnya dua titik air mata lagi di atas pipinya. Lalu dia mengerahkan kekuatan batin menekan perasaannya.

"Sudahlah, Hui Kauw. Tiada gunanya bertangis-tangisan seperti ini. Sekarang kau tahu sendiri betapa tidak mungkin aku memenuhi dorongan hatiku yang mengandung kasih sayang kepadamu. Kau maafkanlah aku."

Hui Kauw melangkah mundur, mengusap air matanya. Kedua matanya kini memandang penuh kekaguman, penuh perasaan kasih dan penuh iba. "Kau benar, Kun Hong. Biarlah aku mengalah dan memang sudah nasib hidupku harus banyak menderita. Biarlah aku tak akan mengganggumu lagi. Akan tetapi aku tetap bersumpah bahwa peristiwa di Pulau Ching-coa-to, di mana kau dan aku sudah berlutut di depan meja sembahyang, tak akan dapat terhapus dari hatiku. Sampai mati aku akan menganggap bahwa aku sudah menjadi milikmu lahir batin dan aku tidak akan menikah dengan orang lain. Selamat tinggal, Kun Hong, kita akan bertemu kembali kelak, kalau tidak di dunia tentu di akhirat. Di sana aku akan minta kepada Cui Bi agar ia rela membiarkan kau membagi cinta kasihmu sebagian untukku..." Gadis itu terisak dan melompat pergi jauh meninggalkan tempat itu.

"Hui Kauw...! Biarkan aku mengobati mukamu...!" Kun Hong berteriak memanggil.

Akan tetapi Hui Kauw tidak berhenti hanya menjawab sambil berlari cepat, "Biarlah, Kun Hong. Apa gunanya bagiku...?"

Dalam kalimat terakhir ini terkandung kepatahan hati yang membuat Kun Hong terduduk di atas tanah saking perihnya hati dan perasaannya. Sampai lama dia duduk bersila di atas tanah di pinggir telaga itu dan terbayanglah wajah Hui Kauw yang cantik jelita.

Sekarang dia sudah mengenal Hui Kauw, tidak hanya mengenal suaranya, juga mengenal bentuk mukanya. Berkali-kali dia mengeluh panjang pendek, bukan main penderitaan hati yang penuh rindu dendam. Dia merasa seakan-akan semangatnya sudah terbawa pergi oleh gadis itu. Dia berdongak dan mulutnya berkemak-kemik.

"Cui Bi... Cui Bi... bantulah aku, perkuatlah hatiku..."

Dengan bisikan-bisikan ini dia merasa mendapat kekuatan baru dan wajah Cui Bi yang riang jenaka itu perlahan-lahan mengusir bayangan Hui Kauw, dan memulihkan kembali ketenangan di dalam dadanya. Entah beberapa jam lamanya dia duduk seperti itu, seperti seorang pertapa di tepi telaga. Tiba-tiba terdengar suara orang, suara yang besar dan dalam, mengandung tenaga hebat.

"Waahhhhh, mimpikah aku atau betul-betul bertemu dengan Kun Hong di sini?"

Karena tadinya dalam keadaan melamun, Kun Hong kaget dan tidak mendengar suara ini dengan segera. Akan tetapi dia merasa seperti telah mengenal suara ini, maka cepat dia bangun berdiri dan membalikkan tubuhnya ke arah suara itu.

"Locianpwe (orang tua gagah) siapakah?" tanyanya sambil membungkuk dengan hormat.

"Ha-ha-ha! Hebat sekali! Matanya buta akan tetapi begitu aku membuka suara segera tahu bahwa aku seorang tua bangka bangkotan. Ha-ha-ha!"

"Kakek Kwee...!" Kun Hong berseru girang sekali.

Song-bun-kwi Kwee Lun tertawa bergelak-gelak dan maju merangkul Kun Hong, memeluk pemuda buta itu. "Kun Hong, kau sudah tak pandai melihat tetapi bisa berkeliaran sampai di sini! Apa saja yang kau kerjakan di sini? Wah tongkatmu itu entah sudah berapa banyak mengirim orang ke Giam-lo-ong (Raja Maut)?"

Kun Hong tertawa. "Locianpwe, mana saya berani menggunakan tongkat hadiahmu ini untuk membunuh orang? Locianpwe hendak ke manakah?"

"Ha-ha-ha-ha, bagus, kau masih menghargai pemberian seorang tua bangka. Kun Hong, tahukah kau di mana adanya Ching-coa-to?"

Kun Hong kaget. "Di seberang itulah Ching-coa-to. Locianpwe apakah mempunyai urusan dengan penghuni Ching-coa-to?"

Bingung Song-bun-kwi bagaimana harus menjawab pertanyaan ini. Seperti kita ketahui, dia pergi mencari Ching-coa-to hanya karena hatinya terkena ‘dibakar’ oleh si gadis nakal Loan Ki yang mengatakan bahwa kalau kakek itu ingin dijotosi orang sampai mukanya matang biru, harus pergi ke Ching-coa-to. Hanya karena kata-kata Loan Ki itu saja dia nekat mencari Ching-coa-to sampai dapat.

Bagaimana dia bisa mengatakan kepada Kun Hong bahwa dia mencari Ching-coa-to hanya karena itu? Terhadap lain orang kakek ini bersikap tidak peduli dan mau membawa kehendak sendiri, mau menang sendiri. Akan tetapi terhadap Kun Hong lain lagi sikapnya. Dia merasa kagum kepada pemuda ini dan tidak menganggap pemuda buta ini sebagai seorang muda yang dipandang rendah.

"Tidak ada urusan apa-apa, hanya aku mendengar di sana banyak orang pandai. Ingin aku menyaksikan dengan kedua mata dan kedua tanganku sendiri, ha-ha-ha!"

Kun Hong maklum akan watak kakek ini, juga tahu akan kesukaan kakek ini berkelahi mengadu kepandaian. "Locianpwe terlambat. Memang banyak orang pandai di pulau itu, akan tetapi pada waktu ini mereka semua sudah pergi meninggalkan pulau. Saya baru saja keluar dari sana."

"Kau? Ke sana? Wah-wah, agaknya banyak pengalaman hebat yang kau alami. Sayang, aku bermalas-malasan di gunung, kalau aku ikut pergi bersamamu, sedikitnya aku akan ikut menikmati pengalaman-pengalaman itu. Apa yang kau cari di sana?"

Dengan singkat tanpa menyebut-nyebut soal Loan Ki serta Hui Kauw, Kun Hong lalu bercerita mengenai mahkota yang dirampas dari tangan Tan Hok sampai mahkota itu terjatuh ke tangan orang-orang Ching-coa-to dan bagaimana dia berhasil merampasnya kembali. Akhirnya dia menutup penuturannya,

"Mahkota ini biar pun benda kuno, akan tetapi amat penting, Locianpwe. Karena itu saya mati-matian merampasnya kembali dan sekarang hendak saya antarkan kepada paman Tan Hok."

"Di mana adanya Tan Hok?"

"Tadinya paman Tan Hok pergi ke Thai-san-pai untuk minta bantuan paman Tan Beng San dalam hal merebut kembali mahkota ini. Karena itu saya pikir, lebih baik saya susul ke Thai-san-pai untuk menyerahkan mahkota ini kepadanya."

"Ke Thai-san-pai? Bagus sekali memang aku pun sudah lama kangen, hendak melancong ke Thai-san. Kebetulan pula, aku pun ingin bertemu dengan ketua Thai-san-pai, mantuku yang pintar itu agar dia memberi hajaran kepada anaknya yang goblok!"

Kun Hong melengak, tidak tahu apa maksud kata-kata ini. "Bagaimana dengan keadaan saudara Kong Bu dan isterinya? Ahh, mereka selamat-selamat saja, bukan?"

Kun Hong tersenyum karena dia teringat akan keponakannya, Kui Li Eng yang sekarang sudah menjadi nyonya Tan Kong Bu, ingat betapa keponakannya itu lincah jenaka, nakal seperti Loan Ki!

"Itulah. Mereka itulah yang menyakitkan hatiku dan hendak kuadukan kepada Beng San. Sialan betul aku mempunyai cucu goblok!"

"Ehhh, mengapa, Locianpwe? Apa kesalahan saudara Kong Bu dan isterinya? Kalau ada kesalahan, sayalah yang mintakan maaf dan ampun kepada Locianpwe..."

"Siapa orangnya yang tidak mendongkol. Di sini menanti-nanti, di sana enak-enak dan menganggap sepi saja. Masa sampai empat tahun aku mengharap-harap, belum juga mereka mempunyai anak! Coba pikir, apa ini tidak menjengkelkan?"

Mulut Kun Hong ternganga heran. "Anak...?"

"Ya, anak! Aku sampai mimpi setiap malam memondong cucu buyut. Dasar Kong Bu tidak becus!"

Hampir saja Kun Hong tak dapat menahan ledakan tawanya. Akan tetapi dia menekan perasaannya dan tidak tertawa, maklum bahwa yang dia anggap lucu itu bagi kakek ini agaknya merupakan sebuah soal yang amat gawat. Maka dia malah menghibur,

"Harap Locianpwe bersabar. Saya merasa yakin bahwa seorang gagah perkasa seperti Locianpwe ini, kelak pasti dikurniai cucu buyut yang banyak!"

Benar saja. Omongan ini bagaikan segelas air es untuk seorang kehausan di tengah hari. Mendinginkan perasaan. Kakek itu tertawa-tawa lagi dan berkata, "Kun Hong, kau harus lekas-lekas kawin! Orang seperti kau ini tentu jauh lebih berharga dari pada cucuku Kong Bu. Aku tanggung bahwa kau kawin setahun aku sudah akan dapat memondong anakmu yang pasti akan kuanggap cucuku sendiri. Ha-ha-ha, alangkah senangnya kalau aku bisa menyaksikan anakmu dan menurunkan semua ilmuku padanya. Ha-ha-ha, Song-bun-kwi si setan bangkotan akan mati dengan mata meram!"

Merah muka Kun Hong. Dia merasa jengah, akan tetapi juga terharu sekali karena di dalam kekasarannya, kakek ini membayangkan kasih sayang yang sangat besar dan rasa kekeluargaan yang mendalam. Dia berterima kasih sekali, akan tetapi untuk mencegah kakek ini melantur dan berkepanjangan mengenai kawin, dia segera mengajak kakek itu berangkat ke Thai-san.

Akan tetapi, dia tidak dapat mencegah kakek itu menggali-gali soal lama ketika berkata, "Kun Hong, kau tidak boleh selalu mengenang Cui Bi. Yang sudah mati sudahlah. Kau masih hidup dan kau harus mencari gantinya. Seorang yang tidak berketurunan adalah orang yang paling puthauw (murtad) di dunia ini! Kau tirulah pamanmu Beng San. Dahulu dia sampai menjadi gila ditinggal mati oleh anakku, akan tetapi kemudian dia toh dapat berbahagia dengan Li Cu dan punya anak lagi!"

Kun Hong berdebar keras jantungnya, akan tetapi dia diam saja tidak menjawab, hanya hatinya berdoa supaya kakek itu tidak berkepanjangan bicara tentang hal yang amat tidak enak baginya itu. Mendapat penunjuk jalan seperti Song-bun-kwi, tentu saja Kun Hong dapat melakukan perjalanan yang amat cepat. Di sepanjang jalan, tiada hentinya Song-bun-kwi mengobrol dan hanya pada pemuda inilah dia dapat mencurahkan semua isi hatinya.

Beberapa hari kemudian sampailah mereka di lereng Thai-san. Keduanya lantas merasa terheran-heran melihat kesunyian daerah sekitar puncak. Kalau jantung Kun Hong merasa berdebar-debar karena teringat akan Cui Bi dan semua peristiwa yang terjadi di puncak ini empat tahun yang lalu, adalah Song-bun-kwi yang terheran-heran dan mulai merasa tidak enak hatinya.

"Kun Hong, mengapa begini sunyi di sini? Biasanya tentu ada anak murid Thai-san-pai yang hilir mudik. Mengapa Thai-san-pai sekarang begini sepi?"

"Locianpwe, lebih baik kita langsung naik ke puncak saja, agaknya para anak murid sedang dikumpulkan di puncak oleh paman Tan Beng San. Siapa tahu datangnya paman Tan Hok mendatangkan perubahan di Thai-san-pai karena menghadapi urusan penting."

"Huh, orang-orang muda itu selalu ribut-ribut saja tentang urusan negara. Huh, bosan aku! Kaisar dan para pembesar istana itu orang-orang apa sih? Mereka juga manusia biasa seperti kita! Akan tetapi mengapa untuk segelintir dua gelintir manusia seperti itu, untuk jatuh bangunnya seorang dua orang kaisar, selalu rakyat yang laksaan banyaknya harus dijadikan korban?"

Kalau saja Kun Hong belum mendengar filsafat dari mulut Tan Hok, tentu dia akan setuju seratus prosen terhadap pendapat kakek itu. Akan tetapi sekarang, berdasarkan filsafat dari Tan Hok, dia sudah mempunyai pendapat yang lebih jelas tentang urusan negara. Tanpa pemimpin yang menentukan hukum-hukum negara, tak akan ada kehidupan yang tenteram, tidak akan ada tata-tertib karena rakyat hanya akan mengenal hukum rimba, hukumnya dunia persilatan.

Bayangkan saja kalau yang berkuasa adalah orang macam kakek ini, yang tidak pedulian, yang aneh, kadang-kadang amat kejam, akan jadi apakah penghidupan ini? Negara harus ada pengaturnya, rakyat harus ada pemimpinnya, mencontoh keadaan alam semesta. Alam semesta ini pun membutuhkan pimpinan dan penguasa yang mengatur segalanya. Bayangkan saja, tanpa adanya Tuhan Seru Sekalian Alam, tanpa ada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, alangkah akan kacau-balaunya alam semesta ini. Mungkin matahari akan kehilangan panasnya, bintang-bintang akan saling bertubrukan, akhirnya segalanya akan hancur lebur!

Demikianlah, rakyat dan negara harus mempunyai pimpinan. Dan segala keributan terjadi, segala perang saudara pecah, disebabkan masing-masing golongan, masing-masing fihak menghendaki calon pimpinan pilihan hati masing-masing. Tentu saja ini karena menurut keyakinan masing-masing, pilihan hati itu adalah orang-orang yang mereka percaya akan mampu menjadi pemimpin yang baik.

Sekarang terjadi perebutan tahta kerajaan, tentu saja bagi para pembesar itu karena mereka memperebutkan kedudukan yang akan menjamin hidup kaya raya dan terhormat. Tetapi bagi rakyat yang mati-matian membela mereka, dasarnya hanyalah ingin memiliki para pemimpin yang benar-benar akan dapat membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi kehidupan rakyat.

Karena mempunyai dasar filsafat ini, maka Kun Hong hanya tersenyum saja mendengar ucapan Song-bun-kwi tadi. Ia tak menjawab melainkan mengajak kakek itu terus mendaki puncak. Kalau bukan Song-bun-kwi yang menjadi penunjuk jalannya, Kun Hong tak akan berani mengajak naik ke puncak karena dia maklum bahwa menaiki puncak Thai-san merupakan perjalanan yang jauh lebih sulit dan berbahaya dari pada memasuki Pulau Ching-coa-to! Akan tetapi, kakek itu pernah tinggal di situ dan karenanya hafal benar akan semua rahasia di puncak Thai-san.

Setelah melalui jalan rahasia yang berakhir dengan sebuah terowongan, akhirnya mereka sampailah di puncak Thai-san. Mereka meloncat ke luar dari mulut terowongan yang juga merupakan sebuah goa rahasia. Kagetlah Kun Hong ketika dia mendengar Song-bun-kwi berseru keras, "Celaka...!"

Hidung dan telinga Kun Hong meneliti penuh perhatian, namun tidak ada sesuatu yang aneh bagi penciuman serta pendengarannya. Terpaksa dia bertanya kuatir, "Locianpwe, ada apakah?"

Kakek itu melangkah maju, terus maju, diikuti dari belakang oleh Kun Hong yang mulai merasa gelisah karena tempat ini benar-benar sunyi. Setelah tiba di puncak, kenapa Beng San dan isterinya, juga murid-murid Thai-san-pai tidak ada yang keluar menyambut?

"Locianpwe, kenapa begini sunyi?" Ada apakah? Di mana mereka, mengapa tidak ada orang menyambut kita?"

Masih saja Song-bun-kwi berjalan ke sana ke mari, berputar-putaran di sekitar puncak. Kemudian dia membanting-banting kaki dan berkata, "Celaka... agaknya belum lama ini Thai-san-pai tertimpa malapetaka. Wah, hebat...! Kun Hong, Thai-san-pai telah dibakar orang, dibasmi sampai semua pohon-pohonnya habis dan rusak binasa."

"Apa...?!" Kun Hong berteriak, lalu melangkah ke sana ke mari, tangan yang memegang tongkat meraba-raba tanah yang sudah rata dan tidak ada sebatang pun pohon tumbuh lagi di sana. "Bagaimana hal ini bisa terjadi...?" pertanyaan ini keluar dari hatinya yang penuh kegelisahan, terdengar agak gemetar.

"Bagaimana kita bisa tahu? Tidak ada seorang pun tinggal di sini. Agaknya mereka semua sudah..." Song-bun-kwi sendiri yang biasanya tidak pedulian itu, kini sikap dan bicaranya tidak bisa percaya kalau Thai-san-pai dapat dibakar dan dibasmi orang dan semua penghuni puncak Thai-san sampai lenyap semua.

"Tidak mungkin, Locianpwe! Tak mungkin paman Beng San beserta bibi dan semua anak murid dapat dibasmi begitu saja! Aku tidak percaya!"

"Tuh di sana ada bayangan orang bergerak, mari kita ke sana!" tiba-tiba kakek itu berseru dan menarik tangan Kun Hong diajak lari menuruni puncak, lalu mendaki sebuah puncak yang lebih kecil.

Setelah tiba di situ, dia melihat bayangan orang tadi ternyata adalah seorang laki-laki yang kini sedang duduk bersila di sebuah kuburan yang puluhan jumlahnya. Kuburan-kuburan yang masih baru mengelilingi orang yang berpakaian putih itu, rambutnya awut-awutan seperti orang kurang waras.

Meremang bulu tengkuk Song-bun-kwi melihat kuburan-kuburan ini. Bukan karena merasa seram, karena dia sendiri adalah seorang iblis yang tidak takut akan sesuatu, apa lagi hanya kuburan dan orang aneh itu. Akan tetapi yang membuat dia merasa seram dan ngeri adalah dugaan yang timbul pada waktu melihat kuburan-kuburan itu. Siapa tahu di antaranya adalah kuburan Beng San dan Li Cu!

Segera dia melompat ke depan dan sekali sambar saja sudah berhasil mencengkeram leher laki-laki itu sambil membentak dengan suara menyeramkan, "Siapa kau dan apa yang kau lakukan di sini?!"

Tubuh itu sudah dia angkat tinggi-tinggi dan siap dibantingkan ke atas batu-batu besar yang banyak terdapat di tanah kuburan itu. Akan tetapi dengan gerakan yang tangkas dan cekatan sekali, orang itu menggoyang tubuh dan...

"Brettttt!" leher bajunya robek akan tetapi dia berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Song-bun-kwi!

Kakek ini kaget dan kagum. Jarang ada orang, apa lagi semuda itu, dapat melepaskan diri dari pada cengkeraman tangannya. Dia sudah siap untuk menerjang lagi karena sekaligus timbul rasa penasaran, juga kegembiraannya sebab akan mendapat lawan yang lumayan.

Akan tetapi tiba-tiba orang itu berseru, "Kwee-locianpwe...!"

Lalu dia menjatuhkan diri berlutut dan menangis menggerung-gerung. Di antara tangisnya, dia menyebut nama Kun Hong.

"Kwa-taihiap... celaka...!" Sangat sukar dia bicara karena tangisnya terus menyesakkan kerongkongannya.

Bukan main kagetnya hati Song-bun-kwi ketika mengenal bahwa orang yang mukanya pucat seperti mayat, matanya cekung dan tubuhnya kurus dengan rambut awut-awutan dan pakaian putih seperti orang gila ini ternyata bukan lain ialah Su Ki Han, murid kepala Thai-san-pai!

"Ki Han, bukankah kau ini? Apakah yang terjadi? Hayo cepat ceritakan!" Sepasang mata Song-bun-kwi liar memandang ke arah tanah-tanah kuburan yang masih baru itu.

Ada pun Kun Hong yang mendadak merasa kedua kakinya lemas saking gelisahnya, lalu duduk di atas sebuah batu besar, telinganya mendengarkan penuh perhatian. Jantungnya berdebar-debar, karena kebutaannya membuat dia tidak dapat melihat sesuatu dan hal ini menambah kegelisahannya. Alangkah besar keinginan hatinya untuk dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana keadaan puncak Thai-san yang dikatakan telah rusak binasa dan terbasmi itu. Hampir-hampir saja tak dapat dia percaya bahwa tempat tinggal pamannya yang demikian saktinya itu dapat dihancurkan oleh musuh.

"Ahhh, Kwee-locianpwe... celaka sekali... malapetaka hebat menimpa Thai-san-pai, dua pekan yang lalu..."

"Ki Han, bukankah kau murid kepala Thai-san-pai? Mengapa sekarang menangis seperti anak kecil? Huh, mana jiwa pendekarmu? Memalukan sekali. Hayo, bangun kau bicara yang betul kalau tidak mau kutendang mampus!" bentak Song-bun-kwi.

Su Ki Han, murid Thai-san-pai yang hancur luluh perasaan hatinya oleh kedukaan itu jadi terbangun semangatnya. Dia segera bangkit berdiri, menunduk dan berkata, "Maafkan saya, Locianpwe, maafkan kelemahan hati saya yang tidak kuat menderita kedukaan ini. Siapa orangnya yang tidak akan hancur hatinya. Thai-san-pai hancur binasa, siauw-sumoi (adik seperguruan kecil) diculik orang, subo pun lenyap melakukan pengejaran, kemudian suhu juga turun gunung mengejar, bahkan menyatakan bahwa Thai-san-pai dibubarkan untuk sementara waktu. Sembilan orang sute-ku tewas, sisanya sekarang tersebar tidak karuan. Kwee-locianpwe, hati siapa takkan menjadi sedih?"

Terdengar teriakan menyeramkan keluar dari kerongkongan Kun Hong yang telah bangkit berdiri dengan muka pucat. "Iblis jahanam! Siapa berani melakukan hal itu terhadap Thai-san-pai? Su Ki Han, hayo kau ceritakan sebenarnya apa yang telah terjadi!" Suara Kun Hong menggeledek, tanda bahwa dia dalam keadaan marah besar sehingga mendatangkan rasa kaget dan heran pada Song-bun-kwi yang biasanya mengenal pemuda itu sebagai seorang yang sangat lemah lembut dan penyabar.

Sebetulnya hal ini tidaklah aneh. Kun Hong cukup maklum betapa hancur luluh hati ibu Cui Bi ketika gadis kekasihnya itu tewas secara menyedihkan. Sekarang, setelah memiliki seorang anak perempuan lagi sebagai pengganti diri Cui Bi, ternyata hilang diculik orang. Thai-san-pai dibasmi dan dibumi-hanguskan, anak-anak murid Thai-san-pai banyak yang tewas. Sungguh-sungguh ini merupakan mala petaka yang maha hebat dan inilah yang menyakitkan hatinya.

Dengan suara tersendat-sendat saking sedihnya, Ki Han kemudian bercerita, bagaimana orang-orang Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai yang marah sekali datang menyerbu hingga terjadi pertempuran yang amat tak dikehendaki ketua Thai-san-pai, karena maklum bahwa bentrokan di antara mereka yang sehaluan itu adalah karena hasutan dan fitnah musuh rahasia. Diceritakan pula betapa kemarahan Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai itu adalah karena kematian Tan Hok dan murid-murid Kong-thong-pai yang terjadi di lereng Thai-san dan yang mereka katakan dilakukan oleh anak-anak murid Thai-san-pai.

Lalu bagaimana pada saat pertempuran berlangsung, puncak Thai-san-pai diserbu musuh yang tidak diketahui siapa. Nyonya ketua Thai-san-pai dengan gagah berani masih dapat menghalau pihak musuh, akan tetapi tidak dapat mencegah penculikan terhadap Cui Sian puterinya dan pembunuhan terhadap para pelayan.

Dengan air mata bercucuran Ki Han menutup ceritanya, "Kwee-locianpwe... Kwa-taihiap... alangkah hancur hati saya melihat suhu seperti itu. Suhu lalu mengamuk setelah subo (ibu guru) pergi melarikan diri untuk mencari puterinya... Suhu menghancurkan segala yang ada di puncak... lalu menyatakan pembubaran Thai-san-pai..."

"Iblis neraka!" Song-bun-kwi membanting kakinya saking marahnya. "Keparat Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai! Awas kalian, Song-bun-kwi akan melakukan pembalasan, membasmi semua orang Kong-thong-pai dari muka bumi."

Tiba-tiba Su Ki Han memandang terbelalak ke depan, lalu dia menjadi pucat dan berkata, "Kwa-taihiap..."

Song-bun-kwi cepat memutar tubuh memandang ke arah Kwa Kun Hong dan dia sendiri pun terbelalak. Bukan main keadaan Kun Hong pada waktu itu. Berdiri tegak dengan alis mata seolah-olah berdiri, sepasang mata yang buta itu terbuka lebar dan memperlihatkan rongga dalamnya yang kosong menghitam.

Mukanya berubah merah bagai terbakar, tubuhnya menggigil hingga mengeluarkan hawa getaran, hidungnya kembang-kempis, mulutnya terbuka berkali-kali tanpa mengeluarkan suara. Tangan kanannya memegang tongkat dan tangan kirinya bergerak-gerak perlahan dengan jari-jari terbuka tertutup seperti cakar harimau hendak mencengkeram.

Mendadak kedua tangannya membuat gerakan berbareng yang sangat aneh, tangan kiri mencengkeram ke depan dengan gerakan melengkung dari bawah ke atas miring ke kanan, sedangkan tangan kanan yang memegang tongkat membuat gerakan membabat dari kanan ke kiri, menyerong dari atas ke bawah. Gerakan yang berlawanan dari kedua tangan itu menimbulkan suara angin bersiut keras dibarengi bentakannya yang bukan main hebatnya.

"Haaiiiittttttt…!"

Hebat akibatnya. Batu besar berwarna hitam, sejenis batu gunung yang amat keras, yang tadi dia duduki, terkena serangan ini. Batu itu sama sekali tidak bergerak, seakan-akan tangan kiri dan tongkat tadi lewat begitu saja menembus batu, sedangkan kedua kaki Kun Hong membuat gerakan ke depan, langkah ajaib. Ketika tubuhnya menggeser lewat meninggalkan batu itu, mendadak batu itu bergoyang dan runtuh bagian atasnya, sapat di tengah-tengah seperti agar-agar teriris pisau tajam, belah menjadi dua dan bagian atas yang terkena cengkeraman tangan kiri tadi, perlahan-lahan runtuh hancur seperti tepung!

Song-bun-kwi memandang dengan dua mata terbelalak dan mulut ternganga. Dia melihat betapa dari ubun-ubun kepala Kun Hong mengepul uap berwarna putih, betapa muka yang kini menjadi sangat menyeramkan itu mengeluarkan keringat besar-besar seperti kacang kedele, dan betapa dada pemuda buta itu melembung seperti hendak meletus. Sekali lagi Kun Hong yang meraba-raba dengan tongkatnya mendapatkan batu besar dan langsung diserangnya seperti tadi. Sekali serang dengan gerakan aneh tadi, batu itu pun hancur lebur tanpa mengeluarkan suara!

Sekarang dia melangkah lagi dan mulutnya berbisik-bisik. "Keji... keji... manusia-manusia iblis... keji...!"

Tiba-tiba Song-bun-kwi melayang ke depan sambil berseru, "Kun Hong, ingat! Kau bisa mencelakakan dirimu sendiri. Ingatlah dan tekan perasaanmu...!"

Tubuh kakek itu menyambar ke depan dengan maksud hendak memegang pundak Kun Hong dan menyadarkannya. Akan tetapi alangkah kaget dan ngeri hatinya ketika tiba-tiba Kun Hong memapakinya dengan gerakan persis seperti tadi, tangan kiri mencengkeram dan tongkat membabat.

"Ayaaa... celaka...!" Kakek itu memekik.

Cepat dia mengerahkan segenap tenaganya, melejit merendahkan tubuh untuk mengelak dari pada sambaran maut tongkat itu sedangkan kedua tangannya dia pergunakan untuk menghantam lengan kiri Kun Hong yang bercuitan bunyinya mengarah iganya. Juga kali ini tak terdengar suara ketika lengan kiri Kun Hong bertemu dengan dua lengan kakek itu. Akan tetapi akibatnya hebat bukan main.

Tubuh kakek itu terlempar seperti selembar layang-layang putus talinya, kemudian jatuh berdebuk dalam jarak enam tujuh meter jauhnya. Sedangkan tubuh Kun Hong dengan kedudukan kaki masih tetap seperti tadi, tergeser mundur sampai satu meter lebih, kedua kakinya membuat guratan dalam tanah sedalam sepuluh senti!

Song-bun-kwi tertawa bergelak dengan suara aneh menyeramkan, lalu dia merangkak bangun dan... darah segar tersembur ke luar dari mulutnya!

"Hebat... hebat... bukan main...!" Dia mengomel lalu menjatuhkan diri duduk bersila, sekali lagi muntahkan darah segar. Dia lalu meramkan mata mengatur napas karena benturan tadi telah mendatangkan sakit di dalam dadanya, tanda bahwa ia telah terluka dalam!

Ada pun Kun Hong yang tadinya seperti orang kemasukan setan, sekarang agaknya baru sadar. Dia melongo, menoleh ke sana ke mari, lalu... menangis terisak-isak, menyebut-nyebut nama Cui Bi. Kiranya pemuda ini karena sangat hancur hatinya mengingat akan nasib paman dan bibinya, sekaligus teringat kepada Cui Bi.

Ki Han tidak berani bergerak dari tempat dia berdiri. Dia tadi melihat kejadian yang amat hebat. Belum pernah selama hidupnya dia menyaksikan ilmu kesaktian seperti tadi. Dia merasa seram dan ngeri, juga merasa sedih karena kedukaan Kun Hong itu seperti pisau yang merobek kembali luka dalam hatinya. Dia hanya berdiri dengan air mata bercucuran.

Berkat hawa murni dan tenaga dalam yang sudah amat kuat, benturan pukulan sakti tadi tidak mengakibatkan luka parah di dalam dada Song-bun-kwi. Beberapa menit kemudian dia telah dapat menyembuhkan akibat yang menimbulkan rasa nyeri di dada. Dia segera membuka mata, memandang Kun Hong yang sedang terisak-isak menangis. Cepat kakek ini melompat bangun dan dengan langkah-langkah lebar ia menghampiri Kun Hong, terus merangkulnya.

"Uhh, dengan jurus sakti yang kau miliki tadi, tidak patut kau mengeluarkan air mata, Kun Hong. Hebat sekali gerakanmu tadi dan hampir nyawaku yang sudah tua ini melayang kalau aku tadi tidak cepat-cepat mengelak. Bukan main!" Dia memuji dengan muka berseri gembira sekali.

"Kwee-locianpwe, aku akan membalas dendam ini! Aku tidak terima paman Beng San dan bibi dihina dan diperlakukan seperti ini. Aku akan mencari Cui Sian sampai dapat dan aku bersumpah takkan mau hidup lagi kalau tidak dapat membalas kejahatan orang-orang itu!"

"Ha-ha-ha, ini baru ucapan seorang jantan! Benar, Kun Hong, kejahatan harus ditumpas habis. Dan dengan jurus yang kau miliki tadi, tak akan ada tokoh di dunia ini yang akan mampu melawanmu. Ha-ha-ha!"

Kun Hong yang sudah berhenti menangis itu terheran. "Locianpwe, jurus apa yang kau maksudkan? Aku tadi hampir pingsan oleh kemarahan yang menyesakkan dada, aku tidak sadar lagi yang kulakukan."

"Ha-ha-ha, hampir kau memukul mampus padaku, masa kau tidak ingat?"

Bukan main kaget hati Kun Hong. Disangkanya kakek yang biasanya memang berwatak aneh dan gila-gilaan ini main-main dengannya.

"Saudara Su Ki Han, betulkah kata-kata Kwee-locianpwe ini?"

Murid kepala Thai-san-pai itu sudah cukup memiliki dasar ilmu silat tinggi sehingga dia maklum apa yang telah terjadi tadi. Dia menjawab, "Saya tidak mengerti apa yang telah terjadi, Taihiap. Hanya tadi saya melihat Taihiap memukul hancur dua buah batu besar, kemudian ketika locianpwe mendekat, Taihiap menyerangnya sehingga terjadi benturan yang mengakibatkan..." Dia tidak berani melanjutkan.

Song-bun-kwi tertawa. "Ha-ha-ha, akibatnya aku terlempar dengan nyawa hampir putus! Hebat sekali, Kun Hong."

Pemuda itu bingung. "Tetapi... benar-benar saya tidak tahu dengan jurus apa saya telah berlancang tangan menyerang Locianpwe."

Song-bun-kwi adalah seorang tokoh besar dunia persilatan. Tentu saja pengetahuannya dalam hal ilmu silat amatlah mendalam dan luas. Dia dapat menduga bahwa kemarahan dalam batin si buta itu membuat dia melakukan gerakan otomatis yang timbul dari pada dasar tenaga sakti di dalam tubuhnya. Dengan demikian terciptalah sejurus pukulan yang luar biasa hebat tanpa disadari oleh pemuda itu sendiri. Dia tahu pula bahwa Kun Hong memiliki pendengaran yang amat tajam sebagai pengganti mata, maka dia lalu berkata, "Kau pinjamkan sebentar tongkatmu kepadaku, biar kucoba tiru gerakanmu tadi. Nah, kau tadi membabat dengan tongkat begini!"

Song-bun-kwi seberapa dapat dan seingatnya melakukan gerakan seperti yang dilakukan Kun Hong tadi dengan tongkat itu, membabat dari kanan ke kiri miring dari atas ke bawah.

Kagetlah Kun Hong. Itulah sebagian dari pada jurus Pedang Im-yang Sin-kiam yang dulu dia dapatkan dari Tan Beng San.

"Dan berbareng tangan kirimu mencengkeram dari kiri ke kanan mengarah iga, bergerak dari bawah seperti ini, tetapi mengeluarkan suara bercuitan." Kembali kakek itu meniru pukulan atau cengkeraman dari tangan kiri Kun Hong tadi.

Sekali lagi Kun Hong terkejut. Itulah ilmu pukulan dari Kim-tiauw-kun yang paling hebat, seperti juga gerakan pedang tadi merupakan jurus simpanan yang rahasia dari Im-yang Sin-kiam.

"Kau melakukan dua gerakan ini sekaligus menjadi sebuah jurus yang sakti, tentu saja aku tidak mampu melakukannya, karena tampaknya berlawanan sekali gerakan itu, juga sambaran tenaga dari kedua tanganmu berlawanan. Benar-benar aneh dan hebat sekali. Kun Hong coba kau mainkan lagi jurus ini, dengan kedua tanganmu, ingin sekali aku menyaksikan sekali lagi!" Dia mengembalikan tongkatnya.

Kun Hong ragu-ragu. Menurut teori, tidak mungkin kedua macam pukulan itu disatukan, sungguh pun keduanya dia faham benar. Ilmu Silat Im-yang Sin-hoat biar pun terdiri dari penggunaan dua macam tenaga, tetapi tenaga Im-kang dan Yang-kang selalu digunakan secara bergantian untuk membingungkan lawan. Karena pergantian-pergantian yang tidak terduga-duga inilah maka ilmu itu merupakan ilmu yang selama ini dapat merajai dunia persilatan. Akan tetapi bagaimana mungkin mempergunakan dua macam tenaga dalam satu gerakan? Namun demikian, mendengar kesungguhan suara kakek itu, dia merasa tidak enak kalau tidak mau mencobanya.

"Baiklah, akan kucoba, Locianpwe. Mengharap petunjuk Locianpwe yang berharga..."

Setelah berkata demikian, Kun Hong memasang kuda-kuda dari Ilmu Silat Kim-tiauw-kun, kemudian dia mengerahkan tenaga karena dia ingin bergerak sungguh-sungguh. Tangan kirinya menyambar dibarengi sambaran tongkatnya dari kanan. Terdengar suara bercuitan seperti tadi, akan tetapi tiba-tiba Kun Hong mengeluh, tubuhnya limbung dan... dia roboh pingsan dengan muka pucat!

"Ah-ahh... sudah kuduga... waah, tua bangka goblok." Song-bun-kwi memukuli kepalanya sendiri lalu cepat dia berlutut mendekati Kun Hong dan memeriksanya.

Napas pemuda buta itu empas-empis, tubuhnya sebentar panas dan sebentar dingin, mukanya sebentar pucat sebentar merah. Kakek itu setelah memeriksa jalan darahnya, kaget mendapat kenyataan bahwa di dalam tubuh itu, dua kekuatan yang berlawanan sedang saling desak untuk menguasai tubuh itu.

Inilah berbahaya, pikirnya, karena gempuran-gempuran yang terjadi antara dua macam hawa sakti ini akan dapat merusak jantung Kun Hong. Dia sendiri adalah seorang yang ahli dalam tenaga sakti Yang-kang, maka segera dia menempelkan telapak tangannya pada dada Kun Hong, mengerahkan tenaga Yang-kang untuk membantu tenaga di dalam tubuh pemuda itu menindih tenaga Im.

Dengan penambahan tenaga Yang-kang yang amat kuat dari kakek ini, ternyata tenaga Im di tubuh Kun Hong yang meliar itu dapat ditundukkan. Muka pemuda buta ini sekarang lebih lama merahnya dari pada pucatnya, juga napasnya mulai kuat akan tetapi tubuhnya semakin panas saja. Hal ini adalah karena dia masih pingsan sehingga tidak mampu mengendalikan hawa Yang-kang di tubuhnya yang sekarang sudah mulai bisa menguasai tubuhnya.

Setengah jam kemudian Kun Hong sadar. Dia mengeluh dan cepat-cepat mengerahkan tenaga yang hampir saja membuat tubuhnya meledak saking panasnya itu berputaran di seluruh tubuh sehingga dia normal kembali. Song-bun-kwi melepaskan tangannya, keringat membasahi seluruh tubuh dan setelah mengumpulkan tenaganya dia berkata, "Waahh, berbahaya sekali. Jurusmu itu memang hebat bukan main, Kun Hong, hebat dan amat berbahaya bagi lawan. Akan tetapi juga berbahaya bagi dirimu sendiri."

Kun Hong maklum bahwa dia telah ditolong, maka dia pun berlutut menghaturkan terima kasih. "Mohon petunjuk Locianpwe," katanya sederhana.

Song-bun-kwi menoleh kepada Su Ki Han yang menyaksikan semua itu dengan melongo penuh keheranan dan kekaguman. Lalu kakek itu meloncat berdiri, menarik tangan Kun Hong supaya berdiri.

"Marilah kita turun gunung, biar nanti kujelaskan kepadamu. Ki Han, kau adalah murid Thai-san-pai yang setia dan jujur, mudah-mudahan kejadian semua ini akan menambah pengertianmu dan memperdalam ilmumu. Kau berjagalah di sini, menunggu kembalinya gurumu. Kami berdua tentu takkan tinggal diam, akan kubantu gurumu mencari puterinya. Hayo, Kun Hong, kita pergi!" Kakek itu mengandeng tangan Kun Hong. Keduanya melesat lenyap dari puncak itu.....
























Terima kasih telah membaca Serial ini

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12