Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Buta
Jilid 09
Tan Beng Kui
melongo sampai mulutnya terbuka lebar dan lupa ditutupnya kembali. Hebat
terjangan-terjangan Song-bun-kwi yang kini benar-benar berusaha sekuat tenaga
untuk merobohkan Loan Ki. Akan tetapi lebih hebat pula gerakan-gerakan Loan Ki
yang tetap aneh bagaikan orang mabuk atau orang menari-nari menggila namun satu
kali pun juga pukulan-pukulan kakek itu tak pernah menyinggung kulitnya!
"He,
kakek Song-bun-kwi! Sudah empat puluh jurus lebih kau menyerangku dan masih tak
mampu merobohkan, apakah engkau tidak mau berhenti juga? Seorang kakek tua
bangka mengejar-ngejar seorang gadis cilik, mau apa sih? Cih, tak tahu malu
benar!"
Seketika
Song-bun-kwi menghentikan serangannya. Matanya mendelik saking marahnya. Dia
tahu bahwa gadis ini tak mampu menyerang kembali karena agaknya hanya memiliki
ilmu mengelak yang luar biasa sekali itu. Diam-diam dia kagum bukan main dan
teringatlah dia kepada Kwa Kun Hong. Dahulu Kun Hong juga pernah membuat heran
semua orang di Thai-san dengan ilmunya mengelak yang ajaib. Apakah sama dengan
ilmu yang dipergunakan gadis ini? Tetapi dia malu untuk bertanya. Sambil
bersungut-sungut dia membentak.
"Aku
kalah janji, siapa kejar-kejar iblis cilik macammu? Tan Beng Kui, biarlah kali
ini aku mengaku kalah bertaruh karena diakali anakmu si setan neraka. Tetapi
lain kali aku akan mencari kesempatan untuk melanjutkan pertandingan kita
sampai puas tanpa gangguan setan ini!" Dia lalu mengibaskan lengan bajunya
yang buntung dan melangkah pergi dari tempat itu.
"Hee,
Song-bun-kwi kakek tukang pukul! Kalau gatal-gatal kepalamu minta dijotosi
orang, kau pergilah ke Ching-coa-to, tentu kau akan berubah matang biru dan
bengkak-bengkak sampai puas!" teriak Loan Ki.
Song-bun-kwi
tidak menoleh tidak menjawab, akan tetapi diam-diam dia mencatat nama tempat
ini. Ada apa sih di Ching-coa-to, pikirnya. Agaknya gadis itu hendak memamerkan
kehebatan orang-orang tertentu di pulau itu. Hemmm, pikirnya sambil memperlebar
langkahnya. Kalau aku tidak bisa mengobrak-abrik Ching-coa-to, bocah itu tentu
makin memandang rendah kepadaku. Kalau yang tinggal di sana itu orang-orang
yang ia andalkan, biar kuhancurkan tempat itu, baru ia tahu rasa dan mengenal
kehebatanku. Dengan pikiran ini kakek itu lalu melanjutkan perjalanannya sambil
berlari cepat dan mulai mencari keterangan tentang letaknya Ching-coa-to….
Telah
terlalu lama kita meninggalkan Kwa Kun Hong, pendekar kita yang buta itu.
Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, sesudah pertemuannya dengan Tan Hok
kemudian mendengar keterangan-keterangan tentang kepahlawanan, bangkit semangat
Kun Hong. Dia ingin sekali berdarma bakti terhadap nusa bangsa. Ingin sekali
dia menyumbangkan tenaganya untuk tanah air. Dia tahu betapa pentingnya arti
mahkota kuno yang menyimpan rahasia besar itu dan alangkah akan baiknya kalau
dia dapat merampas kembali benda itu dan memberikannya kepada Tan Hok. Akan
tetapi apa dayanya. Dia seorang buta, bagaimana mungkin dapat pergi seorang
diri ke pulau itu? Selain pulau itu penuh dengan rahasia-rahasia yang amat
berbahaya, ular-ular yang berbisa, juga di sana terdapat orang-orang yang amat
lihai.
Sepeninggal
Tan Hok, Kun Hong duduk termenung di dalam kuil rusak itu, dia menyesali
keadaannya yang buta, bingung tak tahu apa yang harus dia lakukan mengenai
niatnya hendak merampas kembali mahkota. Baru pertama kali ini semenjak dia
buta, dia merasa menyesal bukan main. Teringat dia akan Cui Bi sehingga
berkali-kali dia menarik napas panjang sambil di dalam hati menyebut nama
kekasihnya yang telah tiada.
Siapa pun
juga yang melihat keadaan Kun Hong di saat itu tentu akan merasa kasihan.
Seorang pemuda buta yang pakaiannya kotor dan kumal, rambutnya juga awut-awutan
karena pembungkusnya tidak rapi lagi, sepatunya penuh lumpur dan sudah
bolong-bolong pula, duduk bersandar dalam sebuah kuil rusak yang juga kumal dan
kotor seperti dirinya, menarik napas berkali-kali, kelihatan susah sekali. Dia
merupakan seorang jembel muda buta yang amat miskin.
Padahal
bukanlah demikian sifat Kun Hong. Dia amat benci akan keadaan yang kotor dan
walau pun pakaiannya sederhana, biasanya amat bersih. Sekali ini, karena
keributan dan pengalamannya di Pulau Chin-coa-to, maka pakaiannya menjadi
seperti itu dan dia belum mendapat kesempatan untuk mencari pengganti
pakaiannya. Agaknya pada saat itu memang ada orang yang menaruh kasihan
kepadanya, buktinya orang itu semenjak tadi berdiri memandangi wajah orang buta
yang duduk menarik napas panjang berkali-kali sambil menunduk itu. Orang ini
menggeleng kepala dan mendesislah helaan napasnya.
Helaan napas
yang halus panjang, namun cukup bagi Kun Hong untuk mengetahui bahwa ada orang
yang secara diam-diam mengintainya. Tanpa bangkit dari tempat duduknya di
lantai yang kotor itu, dia menoleh dan menegur lirih, "Sahabat di luar,
kalau ada keperluan dengan aku si buta, masuklah saja."
Pendengaran
Kun Hong yang tajam menangkap bunyi napas tertahan, lalu ada sambaran angin
meliuk masuk lewat jendela dan sepasang kaki yang amat ringan gerakannya turun
di atas lantai dalam ruangan itu, di depannya. Dia kaget karena dapat menduga
bahwa yang datang ini adalah seorang yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi
segera jantungnya berdebar tidak karuan ketika alat penggandanya bekerja.
Lubang hidungnya kembang-kempis dan dia melompat bangun.
"Nona
Hui Kauw...!"
Kedua
kakinya gemetar pada saat dia berdiri dengan tubuh agak membungkuk memberi
hormat. Orang yang baru masuk itu memang Hui Kauw adanya. Tentu saja Hui Kauw
kaget dan heran bagaimana pemuda buta ini dapat mengenalinya sebelum ia membuka
suara. Akan tetapi ia tidak peduli akan hal ini dan suaranya yang halus merdu
itu terdengar penuh sesal,
"Kwa
Kun Hong, aku datang untuk perhitungan. Mari ke luar dan pedang kita yang akan
menentukan siapa yang harus mati menebus hinaan."
Perih rasa
hati Kun Hong. Dia menunduk, dahinya berkerut dan dia berkata, "Aku tahu,
Nona, tanpa kusadari, aku sudah melukai hati serta perasaanmu, aku telah
menimpakan hinaan besar pada dirimu. Aku tak hendak menyangkal lagi. Kau
maafkanlah aku, Nona."
Hui Kauw
memandang tajam. "Apa maksudmu? Kau... kau... tahukah kau apa yang telah
menyakitkan hatiku?"
Dengan
kepala masih tunduk Kun Hong menjawab, suaranya lirih dan lambat, satu-satu
seakan-akan amat sukar keluar dari lubuk hatinya. "Aku tahu, Nona, atau
setidak-tidaknya aku dapat menduga. Karena bujukan dan tipuan, kau mau
menjalani upacara sembahyangan perkawinan dengan aku, mengira bahwa aku pun
sudah tahu dan sudah setuju akan hal itu. Kemudian, di depan banyak orang, aku
seakan-akan menolakmu. Inilah hinaan yang tiada taranya, yang paling besar yang
dapat menimpa diri seorang gadis seperti Nona."
Mendadak Hui
Kauw menjatuhkan diri berlutut di atas lantai, pedangnya berkerontangan jatuh
dan ia menangis terisak-isak. Sedih sekali tangis ini dan Kun Hong maklum
betapa perasaan gadis itu amat sakit, dendam dan penuh rasa malu,
tertahan-tahan dalam dada bagaikan api dalam sekam. Hal ini berbahaya sekali
bagi kesehatan, dan cara terbaik untuk memberikan jalan keluar adalah melalui
tangis dan air mata. Karena itu, meski pun dia amat terharu dan berduka
mendengar tangis ini, dia diam saja tak bergerak, hanya perlahan dia duduk
bersila dan tunduk mendengarkan dengan kerut merut di antara kedua matanya yang
buta.
Lama nona
itu menangis. Derita dan sakit hati yang selama bertahun-tahun sengaja dia
tahan di dalam dadanya, sekarang seperti gunung berapi meletus dan hawa panas
dapat mengalir keluar melalui tangisnya itu. Tiada hentinya air matanya
bercucuran, terisak-isak dan sesenggukan sampai napasnya terasa sesak. Akhirnya
reda juga desakan hawa dari dada melalui tangisnya ini. Dadanya terasa ringan
kosong, dan seluruh tubuhnya menjadi lelah sekali.
Tangisnya
terhenti, tinggal isak kecil-kecil dan jarang. Ia mengangkat muka memandang
laki-laki yang sedang duduk bersila dengan tubuh diam tak bergerak bagaikan
patung. Di muka dengan mata meram itu kelihatan kerut merut, amat menyedihkan.
"Siapa
orangnya dapat menahan semua ini?" dia berkata lirih seperti kepada diri
sendiri, suaranya sudah tenang tapi masih terputus-putus menahan isak.
"Perbuatanmu yang kau lakukan tanpa maksud menyakiti hatiku itu hanyalah
merupakan pukulan terakhir yang mematikan kesabaranku dan membangkitkan
perlawanan dalam hatiku. Tadinya aku telah putus asa. Ibu memaksa aku supaya
menikah dengan pangeran Mongol yang kubenci itu. Kemudian muncul engkau yang
mengakibatkan serangkaian peristiwa di pulau. Hampir aku mati disiksa ibu, kau
melupakan keselamatan sendiri membela dan melindungi aku. Bahkan akhirnya kau
pula yang memulihkan kesehatanku. Sesudah apa yang terjadi di dalam kamar pada
saat kau mengobatiku, aku tak dapat menolak ketika ibu membujukku untuk menikah
denganmu. Kata ibu kau pun sudah setuju, dan semua ini dilakukan demi menjaga
nama baikku serta nama keluarga ibu. Tidak ada pilihan lain bagiku. Dari pada
menjadi isteri pangeran Mongol yang kubenci, dan pula... kau amat baik
kepadaku, dan seorang pendekar sejati... maka aku pun menurut. Tetapi siapa
tahu..." kembali gadis itu menangis.
"Aku
sudah dapat menduga semua itu, Nona. Memang terlalu sekali ibumu, anak sendiri
dibujuk dan ditipu, dibantu oleh orang-orang seperti Ka Chong Hoatsu.
Benar-benar aneh sekali. Kenapa pula ibumu mau mengambil aku sebagai... ehh,
sebagai mantu, padahal aku seorang buta tiada guna dan malah mendatangkan
keributan di pulaunya?"
"Kau
pandai, ilmu silatmu tinggi dan luar biasa. Ibu dapat mempergunakan tenaga dan
kepandaianmu..."
"Hemmm,
benar-benar jahat, demi kepentingan diri sendiri sampai hati mengorbankan
anaknya. Nona, aku tidak percaya seorang ibu sejahat itu dapat mempunyai anak
seperti kau."
Hening
sejenak, kemudian terdengar suara nona itu amat lirih, "Memang dia
bukanlah ibu kandungku..." Ia menahan isak lalu melanjutkan. "Meski
pun kau orang luar, kau adalah penolongku dan kuanggap orang sendiri, maka
biarlah rahasia ini kubuka padamu. Dahulu ketika aku masih kecil, ibu
menculikku dari rumah ayah bundaku yang asli dan semenjak itu aku dijadikan
anaknya. Dia amat kasih dan sayang kepadaku... sampai Hui Siang lahir. Memang
mereka itu baik kepadaku, namun kadang-kadang... ahhh, entah mengapa, aku
tersiksa batin... tak perlu kuceritakan sejelasnya. Sampai kau muncul dan...
penolakanmu itu merupakan pukulan terakhir. Aku tak kuat lagi, lalu aku lari.
Aku hendak mencari orang tuaku. Menurut penuturan seorang pelayan tua, orang tuaku
seorang hartawan di kota raja, she Kwee!"
"Sungguh
baik niatmu itu, Nona, kuharap saja kau akan dapat berjumpa dan berkumpul
kembali dengan orang tuamu," kata Kun Hong sejujurnya, suaranya mengandung
iba.
"Tapi
masih ada ganjalan di hatiku..." gadis itu melanjutkan, suaranya gemetar,
“ganjalan terhadap kau. Aku merasa sangat terhina oleh penolakanmu... betapa
tidak... karena itu, menurutkan nafsu hati dan amarah, aku sengaja menantimu
untuk membuat perhitungan. Maksudku, lebih baik salah seorang di antara kita
tewas... takkan menjadi kenangan yang memalukan lagi..."
Kun Hong
bangkit berdiri, wajahnya membayangkan kedukaan.
"Kau
keliru, Nona. Kita berdua menjadi korban fitnah. Kau sekarang tahu, bahwa sama
sekali tiada niat dalam hatiku untuk menghinamu, juga kau tidak pernah
menghinaku. Kita hanya menjadi korban. Akan tetapi kalau kau memang merasa
terhina olehku, nah, kau tancapkan pedangmu itu di dadaku, aku Kwa Kun Hong
sanggup menerima kematian di tanganmu!"
"Tidak...
tidak... sekarang aku sudah insyaf. Kau sama sekali bukan menghina atau ingin
mempermainkan, akan tetapi karena... kau memang... ahhh, siapa sih yang akan tertarik
hatinya... inilah yang meragukan hatiku, ayah ibu sendiri andai kata melihat,
belum tentu sudi mengakui..."
"Apa
maksudmu, Nona?" tanya Kun Hong kaget mendengar betapa suara yang halus
itu menggetar-getar penuh kesedihan.
"Tidak
apa-apa. Nah, selamat tinggal saudara Kwa Kun Hong, aku hendak pergi mencari
orang tuaku di kota raja." Terdengar gadis itu menggeser kaki hendak ke
luar dari kuil itu.
Mendengar
disebutnya ‘kota raja’ ini, teringatlah Kun Kong akan urusan mahkota kuno, maka
cepat sekali dia berseru memanggil, "Nona Hui Kauw, tunggu dulu...!"
Gadis itu
serentak berhenti dan cepat sekali sudah kembali lagi ke hadapan Kun Hong,
seakan-akan memang ia mengharapkan pemuda buta itu memanggilnya kembali.
"Ada
apakah?" tanya Hui Kauw, suaranya penuh harapan aneh.
"Nona,
aku hendak mohon sesuatu darimu, mohon bantuanmu, sekiranya kau tidak akan
keberatan."
"Tentu
saja aku tidak keberatan! Beberapa kali kau telah menolong dan menyelamatkan
nyawaku dari pada maut, tentu saja aku siap sedia membantumu!"
Tak enak
hati Kun Hong ketika nona itu menyebut-nyebut tentang pertolongannya, karena
itu cepat-cepat dia berkata untuk menghabisi hal itu, "Aku hanya ingin kau
memberikan petunjuk kepadaku, menjadi penunjuk jalan ke Ching-coa-to,
Nona."
Hui Kauw kaget
bukan main dan memandang dengan mata melebar. "Apa? Kau minta aku
mengantarkan kau kembali ke pulau?" lalu dia menghapus kebimbangannya
dengan pertanyaan, "Kun Hong, apa kehendakmu hendak kembali ke sana?"
Berdebar-debar
hati Kun Hong mendengar betapa nona itu memanggil namanya begitu saja
seakan-akan seorang sahabat lama yang sudah biasa saling menyebut nama tanpa
banyak peraturan lagi.
"Aku
harus kembali ke sana untuk mengambil mahkota yang dirampas mereka dari tangan
Loan Ki," katanya dengan suara biasa.
"Tapi
mahkota kuno itu dirampas oleh Ka Chong Hoatsu! Dia lihai sekali, belum lagi
yang lain-lain. Meski aku suka membantumu, agaknya kita berdua takkan menangkan
mereka, mana bisa mengambil kembali mahkota?" Kemudian gadis itu
menyambung cepat-cepat, "Jangan salah duga bahwa aku takut, sama sekali
tidak, aku suka membantumu. Akan tetapi, aku hanya mengkhawatirkan bahwa
usahamu tidak akan berhasil dan malah kau akan tertimpa malapetaka."
Kun Hong
menjura, penuh rasa terima kasih. "Meski menghadapi bahaya, akan kutempuh
karena hal ini penting sekali, lebih penting dari pada nyawaku." Ucapan
ini keluar begitu saja sebagai gema dari ucapan Tan Hok.
"Aku
tidak berani mengharapkan tenagamu untuk melawan mereka, Nona. Dan andai kata
aku dapat pergi ke sana sendiri, sudah tentu aku pun tidak akan berani minta
bantuanmu karena aku maklum betapa berat memintamu kembali ke tempat yang telah
menimpakan banyak kesengsaraan padamu itu. Namun apa dayaku, aku seorang buta,
tidak mungkin dapat masuk ke pulau itu tanpa bantuanmu." Dia berhenti
sebentar, tersenyum-senyum dan memukul-mukulkan tongkatnya di atas lantai di
depannya. "Sebelum sampai di sana mungkin aku sudah terjungkal ke dalam
selokan!"
Akan tetapi
kelakar ini diterima oleh Hui Kauw dengan alis berkerut, sama sekali tak lucu
baginya. "Marilah, Kun Hong, mari kuantarkan kau ke Pulau
Ching-coa-to!" katanya dan seketika hati Kun Hong berdebar tidak karuan
ketika tangannya dipegang oleh gadis itu dan ditarik keluar dari kuil. Telapak
tangan yang halus itu seakan-akan menyalurkan getaran yang membuat jantungnya
meloncat-loncat seperti katak kepanasan.
Segera dia
menekan perasaannya dan diam-diam dia memaki-maki diri sendiri, "Kau betul
mata keranjang, hidung belang seperti yang dikatakan Loan Ki padamu! Gadis ini
dengan hati jujur dan bersih menuntun tanganmu karena mengingat kebutaanmu,
kenapa hatimu jadi geger tidak karuan?"
Tidaklah
aneh bila dengan bantuan Hui Kauw, Kun Hong dengan mudah dapat memasuki Pulau
Ching-coa-to. Hui Kauw dikenal oleh para anak buah dan penjaga sebagai puteri
Ching-toanio. Memang mereka sudah mendengar desas-desus mengenai keributan yang
terjadi antara nona ini dengan ibunya, tetapi tetap saja mereka tak berani
memperlihatkan sikap berbeda terhadap Hui Kauw.
Apa lagi
mereka tahu betul betapa lihai nona ini. Bahkan selain amat lihai, juga nona
ini merupakan satu-satunya orang Ching-coa-to yang disegani oleh semua anak
buah karena sikapnya yang selalu baik, sabar, dan suka menolong. Seperti bumi
dan langit bedanya antara nona ini dengan ibu dan saudaranya yang kejam dan
mudah saja membunuhi anak buah yang bersalah.
Hui Kauw
mudah mendapatkan perahu dan bersama Kun Hong ia mendayung perahu itu
cepat-cepat ke darat. Ia tidak mempedulikan pandang mata para anak buah ibunya
yang terheran-heran melihat ia datang bersama Kun Hong, orang buta yang tadinya
dianggap musuh yang datang mengacau Ching-coa-to.
Akan tetapi
keheranan ini pun hanya sebentar saja. Para anak buah Ching-coa-to sudah
terlalu sering menyaksikan keanehan-keanehan di antara para tamu pulau itu,
keanehan orang-orang kang-ouw sehingga mereka juga tidak begitu mempedulikan
kejadian kali ini di pulau.
Setelah
menyeberangi telaga dan tiba di pulau, Hui Kauw mengajak Kun Hong mendarat.
Tegang juga hati Kun Hong pada waktu kakinya sudah menginjak daratan pulau itu
dan hidungnya segera mencium bau aneka bunga.
"Apakah
kita tiba di taman...?" tanyanya perlahan.
"Betul,
inilah tempat terbaik untuk mendarat dan dari sini mudah kita pergi menyelidiki
tentang benda itu."
"Hui
Kauw…," Kun Hong memegang tangan gadis itu tanpa ragu-ragu lagi karena dia
merasa berterima kasih sekali dan pula sikap gadis itu yang amat ramah dan
sewajarnya membuat dia tidak menjadi sungkan atau malu lagi, "Kau
tunggulah saja di sini, jangan sampai ada yang melihatmu. Biar aku sendiri yang
akan mencari Ka Chong Hoatsu dan terang-terangan meminta kembali mahkota itu.
Apa bila sudah berhasil, baru aku minta bantuanmu lagi untuk mengajak aku
menyeberangi telaga."
Kali ini mau
tidak mau Hui Kauw tersenyum dan menarik tangannya. "Kun Hong, kau
benar-benar berlaku sungkan kepadaku. Jangan kau kira bahwa aku demikian
pengecut, membiarkan kau sendirian menghadapi mereka yang lihai. Tidak, Kun
Hong. Aku sudah sanggup dan hanya ada dua pilihan bagiku. Berhasil merampas
kembali mahkota dan dengan selamat bersamamu meninggalkan pulau ini, atau kita
gagal dan mati bersama di sini."
Terharu hati
Kun Hong. Dia menjura sampai dalam dan berkata lirih, "Kau baik sekali,
kau benar-benar bidadari lahir batin. Aku berterima kasih kepadamu..."
"Hushhh,
diam, ada orang-orang datang," Hui Kauw cepat menarik tangan Kun Hong dan
diajak menyusup ke dalam gerombolan pohon kembang.
Tentu saja
Kun Hong dapat mendengar pula suara orang, hanya tadi karena dia terharu, maka
dia kurang perhatian dan kalah dulu oleh nona itu yang selain mampu mendengar
juga dapat melihat. Yang datang adalah dua orang, mereka berjalan
perlahan-lahan sambil bercakap-cakap. Setelah jarak antara mereka dengan tempat
persembunyian Kun Hong tinggal sepuluh meter kurang lebih, Kun Hong mengenal
suara mereka yang bukan lain adalah Hui Siang dan Bun Wan, putera ketua
Kun-lun-pai.
Tadinya dia
sama sekali tidak merasa heran karena dia memang sudah tahu bahwa putera
Kun-lun-pai itu menjadi tamu di Ching-coa-to. Akan tetapi setelah dia mendengar
percakapan dua orang muda yang kini berhenti dan duduk di atas rumput tebal tak
jauh dari situ, dia kaget dan tiba-tiba mukanya menjadi merah. Dia merasa segan
dan sungkan sekali terpaksa harus mencuri dengar percakapan antara dua orang
muda yang agaknya sedang bercumbu berkasih mesra!
Terdengar
suara Hui Siang yang merdu merayu, suaranya mengandung kegenitan serta penuh
kemanjaan. "Kanda Bun Wan, kau sudah tahu dan tentu sudah yakin akan
cintaku yang suci murni terhadapmu. Akan tetapi, sebaliknya... mana dapat aku
tahu akan isi hatimu? Mana bisa aku yakin bahwa cintamu kepadaku pun sama
sucinya? Kanda Bun Wan, kalau sekarang kau tinggalkan pulau ini... ahh,
bagaimana kalau kau tidak akan kembali kepadaku?"
Kun Hong
mendengar ini merasa bulu tengkuknya meremang dan dia sudah bergerak hendak
pergi diam-diam dari tempat itu, menjauhi mereka dan tidak sudi mencuri dengar
percakapan semacam itu. Akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh tangan
Hui Kauw yang mencengkeram erat-erat, diguncang-guncang sedikit seperti memberi
isyarat supaya dia jangan bergerak. Kun Hong merasa heran sekali mengapa tangan
nona itu dingin dan gemetar. Tentu saja dia tidak tahu betapa dengan muka pucat
gadis ini melihat betapa adiknya itu membujuk rayu, memeluk-meluk dengan sikap
yang tidak tahu malu.
Tiba-tiba
Kun Hong merasa dadanya sakit. Teringatlah dia ketika dahulu mencuri dengar
percakapan antara Hui Kauw dan ibu angkatnya. Ching-toanio pernah memaki Hui
Kauw bahwa dia tergila-gila kepada Bun Wan! Hemmm, apakah sekarang Hui Kauw
menjadi cemburu dan iri hati melihat pemuda Kun-lun yang digilainya itu
bercumbu rayu dengan Hui Siang?
Aneh sekali,
pikiran ini yang menimbulkan rasa perih di hatinya, sekaligus membuat dia
mengambil keputusan untuk mendengarkan terus dan melihat Hui Kauw tersiksa
karena cemburu dan iri! Memang aneh sekali watak orang muda kalau sudah terbius
asmara!
"Hui
Siang, kau begini manis, begini cantik jelita. Mana mungkin aku tidak cinta
padamu dengan seluruh hatiku?" terdengar oleh Kun Hong suara Bun Wan,
namun aneh baginya, dia menangkap nada suara agak mengkal.
"Ahhh,
kanda Bun Wan, mana aku bisa percaya begitu saja? Cinta kasihku sudah aku
buktikan, aku sudah menyerahkan raga dan kesucianku kepadamu. Tapi kau?
Wan-koko, kau bersumpahlah..."
Suara Bun
Wan menghibur, tetapi tetap saja kemengkalan yang tadi masih tertangkap oleh
pendengaran Kun Hong yang amat tajam.
"Hui
Siang... yang sudah-sudah mengapa kau tonjol-tonjolkan kembali? Kau tahu benar
bahwa bukan salahku semata, tapi kau... ah, kenapa kau begini cantik dan kau
pula yang mendorongku dengan sikapmu? Aku cinta padamu, tak perlu
bersumpah."
"Aku
percaya, kau seorang laki-laki gagah, tentu takkan menjilat ludah sendiri.
Tapi... kau tentu segera mengajak orang tuamu datang untuk melamarku kepada
ibu, bukan? Betul ya, Koko? Jangan terlalu lama, ya?"
"Hemm...
soal itu... aku belum berani memastikan, kekasihku. Ayahku amat keras
hati..."
Terdengar
isak tangis tertahan. "Kau harus dapat membujuknya, Koko... kau harus
bisa... kalau kau tidak lekas-lekas datang kembali, aku akan menyusulmu ke
Kun-lun, aku tidak peduli...!"
"Baiklah...
kau tenang dan sabarlah. Dan jangan menangis, sayang pipimu yang halus menjadi
basah. Sekarang, buktikan bahwa kau benar-benar cinta padaku. Malam tadi kau
berjanji hendak mengambil benda itu dan memberikan kepadaku. Mana?"
Suara Hui
Siang tiba-tiba berubah manja ketika ia menjawab sambil memeluk leher Bun Wan,
"Koko yang nakal, kau masih tak percaya setelah semua yang kulakukan
padamu? Badan dan nyawa sudah kuserahkan, apa lagi hanya benda macam ini. Sudah
sejak tadi kubawa."
Kiranya
gadis itu mengeluarkan sebuah benda yang bukan lain adalah mahkota kuno itu dan
diberikannya kepada Bun Wan! Pemuda itu menerimanya, memandangi dan menarik
napas panjang.
"Heran
sekali, benda macam ini saja diperebutkan orang. Hui Siang, andai kata ibumu
dan orang-orang lain tidak sedang pergi meninggalkan pulau, kiraku kau tidak
akan berani mengambilkan benda ini untukku."
"Ihh,
siapa bilang? Sebaliknya, mana kau berani datang dan malam-malam mencari aku?
Hi-hik, agaknya kau sudah amat rindu kepadaku, ya? Dapat kulihat dari pandang
matamu ketika kau datang dahulu..."
"Hemmm,
sebaliknya kau pun selalu mengharapkan kedatanganku. Hayo sangkal kalau
berani!" Dua orang itu kini tertawa-tawa, diselingi cumbu rayu yang
memanaskan telinga Kun Hong dan membuatnya tidak betah tinggal di tempat
persembunyiannya itu.
"Hui
Siang, kalau aku sudah membawa pergi mahkota ini dan ibumu kembali, bagaimana
kalau dia bertanya tentang mahkota ini padamu?" Mendengar pertanyaan Bun
Wan ini, seketika Kun Hong menaruh perhatian penuh.
Eh, kiranya
mahkota yang dia cari-cari itukah yang tadi disebut-sebut sebagai benda oleh
mereka? Baru sekarang dia tahu dan perhatiannya tertarik pula.
Hui Siang
yang tadi baru menangis sekarang tertawa-tawa genit. "Apa sukarnya mencari
jawaban itu? Aku bilang saja bahwa enci Hui Kauw yang datang dan memaksaku
minta mahkota itu. Habis perkara!"
"Enak
saja kau membohong, apa ibumu bisa percaya? Kalau hanya ia yang datang, apa kau
tidak bisa melawan? Paling sedikitnya kepandaianmu tidak berada di sebelah bawah
tingkatnya," bantah Bun Wan. "Ibumu tentu tidak percaya."
"Koko
yang tampan tapi bodoh. Kalau aku bilang bahwa enci Hui Kauw datang bersama si
setan buta yang membantunya, tentu ibu percaya."
Tiba-tiba
Kun Hong merasa betapa tubuh Hui Kauw menggigil, napasnya agak memburu, tanda
bahwa gadis itu sedang marah bukan main. Benar saja dugaannya, karena Hui Kauw
segera meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan membentak,
"Hui
Siang apa yang kau lakukan ini? Ke mana harga dirimu sebagai seorang wanita?
Kau membiarkan dirimu dipermainkan nafsu dan tiada hentinya kau hendak
melakukan fitnah! Dan kau manusia Bun, sungguh kurang ajar berani kau melanggar
susila di sini, keparat!"
Dapat
dibayangkan betapa kagetnya hati dua orang muda yang sedang tenggelam dalam
permainan nafsu, ketika tiba-tiba Hui Kauw muncul sambil membentak marah itu.
Lebih lagi Hui Siang yang merasa sangat malu, terkejut dan heran.
Perasaan-perasaan itu lalu berkumpul menjadi satu dan berubah menjadi kemarahan
besar.
"Budak
hitam, tutup mulutmu! Ibu sudah tidak mengakui lagi kau sebagai anak angkatnya,
kau bukan apa-apa denganku, mau apa kau mencampuri urusanku? Hayo minggat, kau
hanya mengotori pulau ini dengan telapak kakimu!" Sambil berkata demikian
Hui Siang sudah mencabut pedang dan serta menyerang bekas enci angkatnya itu
dengan tusukan kilat.
Hui Kauw
tenang saja. Dia menghindar sambil berkata, "Hui Siang, betapa pun juga,
aku masih mengingat hubungan antara kita semenjak kecil. Kau sudah
tersesat...," suaranya mengandung kedukaan besar.
"Siapa
sudi nasehatmu? Tengok dirimu sendiri, berjinah dengan jembel buta masih hendak
rnengganggu orang bercinta. Wan-koko, kau bantu aku bunuh mampus setan betina
ini!"
Kembali Hui
Siang menyerang, kini lebih hebat lagi. Dasar dia memang mempunyai ilmu pedang
yang ganas dan gerakan yang lincah, maka serangan ini tidak boleh dipandang
ringan. Hui Kauw maklum pula betapa lihainya adik angkat ini, maka sambil
melompat menjauhi ia pun mencabut pedangnya. Ia tidak berlaku sungkan lagi dan
segera mengeluarkan ilmu pedang simpanannya yang selama ini dirahasiakan.
Kaget bukan
main Hui Siang karena tiba-tiba lawannya itu menggerakkan pedang secara aneh
dan membingungkan, sama sekali tak dikenalnya. Hebatnya, semua serangannya
tenggelam tanpa bekas menghadapi sinar pedang Hui Kauw yang aneh itu. Malah
tidak demikian saja, selewatnya sepuluh jurus gulungan sinar pedang Hui Kauw
sudah sangat rapat menyelimuti dirinya, menghadang semua jalan keluar dan ia
terkurung rapat tanpa dapat balas menyerang lagi.
Tiada habis
keheranan menekan hati Hui Siang. Selama ini, walau pun dia tidak berani
menyatakan bahwa tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari pada Hui Kauw yang
pendiam dan tidak suka pamer, akan tetapi jika dibilang ia lebih rendah juga
tidak mungkin. Sering kali mereka berlatih dan dalam latihan ini tak pernah ia
terdesak, biar pun mereka sudah berlatih pedang sampai seratus jurus lebih.
Akan tetapi
mengapa baru belasan jurus saja ia sudah tidak berdaya oleh jurus-jurus yang
amat aneh ini? Mungkinkah ibu menurunkan ilmu istimewa kepadanya tanpa
kuketahui? Tak mungkin, pikirnya. Malah beberapa macam ilmu warisan ayahnya
telah ia pelajari, di antaranya ilmu menguasai ular-ular, sedangkan Hui Kauw
tidak suka mempelajari ilmu ini kecuali ilmu untuk menolak ular.
"Wan-koko...
kau bantulah aku...!" Tanpa malu-malu lagi Hui Siang berseru minta tolong
kepada kekasihnya.
Sementara
itu, Bun Wan tadi berdiri terlongong dengan muka merah padam. Sama sekali dia
tidak pernah menyangka bahwa adegan antara dia dengan Hui Siang disaksikan oleh
orang lain. Malunya bukan main, apa lagi terhadap Hui Kauw yang sudah dia
ketahui wataknya yang halus dan budi pekertinya yang jauh berbeda kalau
dibandingkan dengan Hui Siang atau ibunya.
Sudah
beberapa kali dia datang berkunjung ke pulau ini dan diam-diam dia selalu
merasa kagum kepada Hui Kauw, nona bermuka hitam itu. Siapa kira nona yang dia
segani dan kagumi ini sekarang menjadi saksi hidup akan perbuatan dirinya
bersama Hui Siang yang melanggar susila.
"Bun
Wan koko, hayo kau bantu aku!" kembali Hui Siang berseru, kini suaranya
penuh penyesalan mengapa kekasihnya itu masih saja bengong dan tidak segera
turun tangan membantunya yang sudah sangat terdesak oleh gelombang sinar pedang
Hui Kauw yang amat aneh.
Bun Wan
sadar dari lamunannya dan ketika dia memandang, dia kaget menyaksikan betapa
Hui Siang yang ilmu pedangnya sudah amat lihai itu tidak berdaya menghadapi
gempuran-gempuran Hui Kauw. Cepat dia mencabut pedangnya dan pada saat tubuhnya
berkelebat ke depan, sinar pedangnya yang sangat kuat itu bergulung bagaikan
naga mengamuk.
"Nona
Hui Kauw harap mundur!" bentaknya dengan suara nyaring.
Dua gulungan
sinar pedang bertemu dan keduanya lalu melompat mundur tiga langkah dengan
kaget. Masing-masing mengagumi getaran hebat yang keluar dari pedang lawan.
Ilmu pedang Bun Wan adalah Kun-lun Kiam-sut yang sudah terkenal sekali di
seluruh permukaan bumi akan kehebatannya. Juga pemuda ini adalah putera tunggal
dari ketua Kun-lun-pai, tentu saja dapat diketahui betapa hebat kepandaiannya
apa lagi kalau diingat bahwa semenjak kecil memang pemuda ini sangat gemar
berlatih silat dan memang dia memiliki bakat yang baik.
Tadi ketika
dia menerjang maju untuk mengundurkan Hui Kauw dan menolong kekasihnya yang
terdesak, dia hanya mengeluarkan jurus sederhana dengan penggunaan setengah
bagian tenaga saja. Akan tetapi, kagetlah dia ketika dia merasa betapa
pedangnya telah membentur hawa pedang yang amat ampuh dan luar biasa sehingga
memaksa dia harus melompat mundur tiga langkah.
Sebaliknya,
Hui Kauw kaget dan kagum sekali ketika ia dipaksa mundur oleh sinar pedang
pemuda Kun-lun ini dalam satu gebrakan saja. Masing-masing berdiri dalam jarak
enam tujuh langkah dan saling memandang seperti hendak mengukur keadaan dan
kekuatan masing-masing. Akan tetapi Hui Siang yang sudah amat marah itu segera
menerjang lagi, menyerang Hui Kauw dengan besar hati karena ia kini
mengandalkan bantuan kekasihnya.
"Hui
Siang, kedatanganku ini bukan untuk bertempur denganmu, juga tidak ada urusanku
dengan orang Kun-lun ini. Akan tetapi menyaksikan perbuatan kalian yang tak
tahu malu, benar-benar aku prihatin. Hui Siang, kau dengarkan
kata-kataku...!" Hui Kauw mencoba menyabarkan adiknya dan menghindarkan
diri dari beberapa tusukan.
"Tutup
mulut, budak hitam. Kau harus mampus! Wan-koko, hayo kita binasakan budak hitam
kurang ajar ini!" Hui Siang memaki sambil menerjang terus. Dengan terpaksa
Hui Kauw mengangkat pedangnya dan kembali dua orang gadis itu bertempur hebat.
Bun Wan
sudah menggerakkan pedang hendak membantu, akan tetapi tiba-tiba berkesiur
angin dari belakang tubuhnya. Cepat dia membabitkan pedangnya ke belakang,
kemudian membalikkan tubuh dan mengganti kedudukan kaki sekaligus melakukan
tusukan ke arah belakang dengan lengan diputar.
Hebat gerakan
ini dan seorang lawan yang membokongnya pasti akan dapat dirobohkan dengan
jurus yang hebat ini karena tidak akan menduganya. Akan tetapi, matanya hanya
melihat bayangan berkelebat lenyap. Begitu cepat gerakan bayangan ini.
Tahu-tahu dia merasa punggungnya dilanggar tangan.
Cepat
bagaikan kilat Bun Wan membalikkan tubuh dan kakinya mendahului dengan satu
tendangan maut ke bawah pusar dan pedangnya berkelebat dari atas pundak
menyambar ke arah leher. Dia merasa yakin bahwa serangannya kali ini pasti berhasil.
Memang hebat bukan main gerakan pemuda Kun-lun ini.
"Bagus...!"
terdengar suara orang memuji dan bayangan itu melompat mundur lima atau enam
langkah menghindarkan jurus dahsyat dari Bun Wan ini.
Kiranya
bayangan itu adalah Kun Hong yang kini berdiri dengan tongkat di tangan kanan
dan mahkota kuno di tangan kiri, tersenyum-senyum dan matanya yang buta tak
berbiji itu menggetar. Berdetak hati Bun Wan ketika melihat siapa orangnya yang
tadi diserangnya itu, apa lagi saat melihat mahkota itu. Otomatis tangan
kirinya meraba punggung di mana buntalannya tersimpan. Mahkota kuno yang dia
terima dari Hui Siang tadi telah disimpannya di dalam buntalan pakaiannya.
Tangan kirinya meraba-raba dan hatinya mengeluh.
Mahkota itu
sudah lenyap dan terang bahwa yang dipegang Kun Hong itulah mahkota tadi.
Wajahnya seketika menjadi pucat. Dia cukup maklum akan kesaktian Kun Hong yang
pernah dia saksikan beberapa tahun yang lalu di puncak Thai-san, akan tetapi
setelah orang ini menjadi buta, bagaimana agaknya malah lebih lihai dari pada
dahulu?
Betapa pun
juga, Bun Wan tidak takut dan dia melangkah maju sambil membentak, "Kwa
Kun Hong! Berkali-kali kau menghinaku dan agaknya sengaja hendak menjadi
perintang jalan hidupku."
Kun Hong
tersenyum pahit dan menggelengkan kepala sambil menarik napas. "Saudara
Bun Wan. Memang hidup ini ada kalanya aneh sekali. Agaknya jalan hidup kita
sudah ditakdirkan oleh Thian selalu saling memotong. Dahulu aku bersalah
padamu, akan tetapi kesalahan yang tidak aku sengaja sama sekali, dan untuk
kesalahan itu pun aku sudah mengorbankan banyak sekali. Nyawa orang yang paling
kusayang di dunia ini beserta anggota badan yang paling kusayang pula
kukorbankan. Akan tetapi sekarang lain lagi, saudara Bun Wan. Aku berdiri di
depanmu dan menentangmu bukan tidak sengaja malah, karena kau yang berada di
jalan sesat!"
Wajah yang
pucat itu menjadi merah lagi, merah padam. Ucapan ini merupakan ujung pedang
yang seakan-akan menancap dl ulu hatinya.
"Kwa
Kun Hong, agaknya kau memang seorang laki-laki yang tidak suka melihat orang
lain bahagia. Aku berbaik dengan seorang gadis cantik, ada hubungan apakah
urusan ini denganmu? Apakah kau iri hati dan berusaha hendak merampas lagi
seperti dulu? Ho-ho, belum tentu bisa sekarang, sahabat, karena matamu yang buta
itu tidak menarik lagi untuk dipandang!"
Kun Hong
menggeleng kepala, suaranya terdengar kereng, "Bun Wan, biar pun urusanmu
dengan orang-orang wanita tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, tetapi aku
mengingat akan hubungan antara orang-orang tua kita, maka sudah sepatutnya pula
apa bila aku menegur sikapmu yang tidak baik. Bukanlah seorang gagah kalau suka
mempermainkan wanita secara rendah! Meminang dan berjodoh sudah ada
aturan-aturannya sendiri dan kau maklum bahwa siapa yang melakukan hubungan di
luar nikah, dia adalah manusia berwatak rendah seperti binatang! Akan tetapi,
kali ini aku tidak ada waktu mengurus hal itu. Yang kumaksudkan tadi adalah
mengenai mahkota ini. Benda ini bukan milikmu, juga bukan milik penghuni
Ching-coa-to. Aku tahu siapa yang berhak memiliki mahkota ini, oleh karena itu
harus kuambil kembali."
"Kun
Hong, kau terlalu menghinaku! Kembalikan mahkota itu!" bentak Bun Wan
sambil menerjang dengan pedangnya.
Kun Hong
cepat mengelak dan diam-diam dia mengagumi gerakan pedang yang hebat ini.
Terpaksa dia pun menggunakan tongkatnya untuk menghadapi lawan tangguh ini.
Tiga belas kali berturut-turut dia menangkis sambil berkata, "Bun Wan, aku
tidak ingin bertempur denganmu, juga tidak ingin bermusuhan denganmu.
Percayalah, mahkota ini akan kuserahkan kepada yang berhak menerima. Kau
biarkan aku pergi dengan aman dari pulau ini."
Akan tetapi
mana Bun Wan mau mengalah begitu saja? Dia menghendaki mahkota itu bukan semata-mata
karena ingin memilikinya atau untuk dijadikan tanda cinta kasih Hui Siang, sama
sekali bukan. Ada alasan yang lebih kuat baginya untuk memiliki mahkota itu,
maka dia sekarang menjadi nekat dan melawan.
Pedang di
tangan Bun Wan meluncur dengan gerakan miring dari samping kiri, menjurus ke
arah tubuh bagian bawah lengan atau iga kanan Kun Hong. Gerakan ini selain
miring juga agak diputar sehingga sekelebatan hawa tusukannya akan terasa
datang mengarah punggung, sedangkan kaki kanan Bun Wan dibanting ke depan untuk
disusul tendangan kaki kiri ke arah sambungan lutut lawan. Inilah gerak tipu
dalam jurus Sin-seng Kan-goat (Bintang Sakti Mengejar Bulan) dari Ilmu Pedang
Kun-lun Kiam-sut. Cepat dan kuatnya bukan kepalang!
Kun Hong
yang hanya mengandalkan pendengaran dan perasaannya, terkejut juga akan
perubahan angin tusukan pedang yang berubah-ubah itu. Cepat-cepat dia menekuk
lutut mendoyongkan tubuh ke belakang, mencokel dengan tongkatnya ke arah ujung
pedang lawan. Kemudian, maklum akan gerak susulan tendangan itu, siku lengannya
memapaki untuk menotok pergelangan kaki lawan dengan ujung siku.
Aneh dan
cepat gerakannya Kun Hong ini dan hampir saja kaki Bun Wan kena dihajar. Pemuda
Kun-lun ini mengeluarkan seruan kaget dan heran, cepat dia menahan kakinya dan
menggeser kaki itu ke kanan untuk meluputkan diri dari serangan susulan
lawannya. Akan tetapi ternyata Kun Hong tidak menyerangnya. Orang buta ini
hanya diam tidak bergerak, siap sedia menanti penyerangan berikutnya.
Bun Wan
mengeluarkan bentakan nyaring, mengumpulkan seluruh tenaga dalam, lantas
pedangnya berputaran cepat berubah menjadi gulungan sinar seperti payung.
Kemudian, dari gulungan sinar itu menyambar cahaya tiga kali berturut-turut,
sekali mengarah ke tenggorokan, kedua kali mengarah ulu hati dan ketiga kalinya
mengarah pusar.
Kiranya
pemuda Kun-lun itu dalam penasarannya telah mempergunakan beberapa jurus
simpanannya. Gerakan pertama tadi adalah jurus yang disebut Kim-mo Sam-bu
(Payung Emas Menari Tiga Kali) disusul gerakan menyerang Lian-cu Sam-kiam (Tiga
Kali Tikaman Berantai).
"Hebat...!"
Kun Hong memuji.
Terpaksa dia
pun mengeluarkan kepandaian simpanannya untuk menghadapi serangan yang amat
dahsyat ini. Dari angin serangan saja dia maklum bahwa jangankan ujung pedang,
baru angin yang datang karena gerakan menikam ini saja mengandung bahaya besar
karena mampu membolongi baju menembus kulit daging.
Dia berseru
keras dan tongkat di tangannya berubah menjadi kemerahan yang bergulung-gulung
dan mengeluarkan hawa dingin. Tidak terdengar suara benturan senjata, namun
tahu-tahu pedang di tangan Bun Wan tiga kali terpental balik, bahkan yang
ketiga kalinya hampir saja melanggar pundak pemuda itu sendiri. Hampir saja
senjata makan tuan jika Bun Wan tidak segera melepaskan pegangannya dan membiarkan
pedangnya terpukul runtuh!
Dia berdiri
dengan muka pucat, memandang pedangnya di atas tanah dan bergantian memandang
pemuda buta yang kini berdiri tegak di depannya dengan tongkat melintang di
depan dada. Dada Bun Wan serasa akan meledak. Dahulu pernah dia terhina oleh
Kun Hong dalam urusan tunangannya, Cui Bi, yang ‘diserobot’ pemuda ini.
Sekarang, untuk kedua kalinya dia menerima penghinaan, malah lebih hebat lagi.
Sementara
itu, Hui Siang juga mati kutunya menghadapi Hui Kauw. Kalau Hui Kauw mau sudah
sejak tadi dia dapat merobohkan adiknya. Akan tetapi dia tidak tega dan
sekarang melihat betapa Bun Wan sudah kalah ia pun berseru nyaring, terdengar
suara keras dan pedang di tangan Hui Siang mencelat dan terbang entah ke mana!
Gadis cantik
jelita yang galak itu, seperti juga Bun Wan, telah dilucuti. Kini ia pun
berdiri tegak di depan Hui Kauw dengan mata mendelik penuh kebencian. Akan
tetapi Hui Kauw tidak peduli kepadanya, melainkan bergerak melangkah ke depan
Bun Wan. Matanya mengeluarkan sinar berapi-api yang membuat Bun Wan bergidik.
Ada sesuatu dalam sikap nona muka hitam ini yang membuat dia tunduk dan
bergidik.
"Orang
she Bun! Tanpa sengaja aku tadi sudah mendengar semua perbuatanmu yang tak
senonoh dan sangat merusak kehormatan nama penghuni Ching-coa-to. Ingat
baik-baik ucapanku ini. Biar pun mulai sekarang aku tidak menjadi penghuni
Ching-coa-to lagi, akan tetapi kalau kelak aku mendengar bahwa kau tidak mau
bertanggung jawab dan tidak mau menikah dengan adikku Hui Siang secara sah, aku
bersumpah akan mencarimu sampai dapat, dan mengadu nyawa!"
"Saudara
Bun Wan, ucapan nona Hui Kauw ini memang betul. Sebagai laki-laki sudah berani
berbuat harus berani bertanggung jawab," kata pula Kun Hong.
Bun Wan
tidak menjawab, hanya menarik napas panjang menekan perasaannya, ada pun Hui
Siang yang mendengar betapa saudara angkat yang dibencinya itu juga si mata
buta bicara untuk kepentingannya, ia hanya bisa terisak menangis.
"Kun
Hong, mari kita pergi!"
Hui Kauw
menyambar tangan Kun Hong dan keduanya dengan gerakan cepat laksana
burung-burung terbang, pergi dari pulau itu menuju pantai. Mereka tidak bicara
sesuatu, tenggelam dalam perasaan masing-masing ketika menyeberangi telaga.....
Baru setelah
mereka berdua meloncat ke daratan, Kun Hong berkata, "Nona..."
"Kun Hong,
kuharap kau tidak menggunakan sebutan itu," potong Hui Kauw cepat-cepat.
"Hui
Kauw, budi pertolonganmu kali ini besar sekali artinya. Aku sangat berterima
kasih kepadamu dan takkan melupakan bantuan ini selamanya. Kau benar seorang
yang amat berbudi dan berhati mulia."
Sampai lama
Hui Kauw tidak menjawab, membuat Kun Hong heran dan menduga-duga sambil
memasang telinga. Akan tetapi dia menjadi kaget ketika mendengar betapa gadis
itu mengeluarkan suara keluhan lirih seperti orang mengerang atau merintih.
"Hui
Kauw, kau kenapakah...?" tanyanya sambil melangkah maju. "Apakah kau
sakit? Kau terluka...?"
Mendengar
suara yang mengandung penuh kekuatiran ini dan melihat wajah pemuda buta itu
kerut merut, Hui Kauw terisak perlahan tapi lalu ditahannya. "Memang
sakit, tak terperikan nyerinya... memang terluka, perih dan seperti
ditusuk-tusuk jarum beracun rasanya..."
Kun Hong
seperti kena pukul, tunduk dan kerut di antara kedua matanya makin jelas. Dia
lalu menarik napas panjang, maklum apa yang dimaksud oleh gadis itu. Yang sakit
adalah perasaannya, yang terluka adalah hatinya. Dia maklum akan keadaan gadis
itu. Dengan suara menggetar penuh keharuan dia berkata, mukanya tetap tunduk,
"Hui Kauw, akulah orangnya yang membuat kau menjadi begini. Dosaku telah
bertumpuk terhadapmu, sebaliknya budimu amat besar bagiku sehingga tidak
mungkin aku sanggup membalasnya. Kiranya tidak mungkin selama hidupku aku akan
dapat membalas budimu, biarlah kelak di penjelmaan lain aku terlahir sebagai
anjingmu atau kudamu..."
"Kun
Hong... jangan kau bilang begitu...," suara Hui Kauw mengandung tangis.
"Hui
Kauw, ucapanku tidak berlebihan. Tadinya kau hidup sebagai seorang nona majikan
Ching-coa-to, hidup aman tenteram dan berbahagia di pulau itu bersama ibu dan
adikmu. Setelah aku datang, terjadi mala petaka hebat menimpa dirimu. Malah
paling akhir aku melakukan penghinaan, menolakmu di depan umum. Hebat sekali
penghinaan ini. Dan apa balasmu? Kau malah tadi membantuku untuk mendapatkan
kembali mahkota yang amat penting ini. Dengan pengorbanan terakhir lagi, yaitu
permusuhan antara kau dan Hui Siang. Aku tahu, peristiwa itu tidak memungkinkan
kau kembali ke pulau lagi. Padahal kau hidup sebatang kara... ahhh, Hui Kauw,
bagaimana aku dapat balas menolongmu?"
Tiba-tiba
Hui Kauw melangkah maju dan memegang kedua lengan Kun Hong. Pemuda buta ini
merasa betapa tangan itu agak dingin menggigil dan mencengkeram tangannya
erat-erat. Dia pun balas menggenggam sehingga dua puluh jari-jemari tangan itu
saling genggam, menyalurkan perasaan hati masing-masing yang menggelora.
"Kun Hong... Kun Hong... di samping perasaan iba di hatimu terhadapku,
tidak adakah... rasa kasih sayang sedikit saja?"
Suara hati
Kun Hong meluap melalui mulutnya tanpa dia sadari lagi. "Demi Tuhan Yang
Maha kasih, Hui Kauw, aku... aku amat sayang kepadamu, aku amat kasih kepadamu
semenjak pertama kali aku mendengar suaramu..."
Hui Kauw
mengeluarkan suara perlahan seperti orang merintih, lalu ia tiba-tiba merangkul
leher Kun Hong dan menangis di dada pemuda itu. Kun Hong menepuk-nepuk pundak
serta mengelus-elus rambut yang halus dan berbau harum itu sambil menghela
napas berkali-kali. "Terima kasih, Kun Hong. Kalau begitu... biarlah aku
ikut denganmu ke mana saja kau pergi."
Sampai lama
Kun Hong tak dapat menjawab. Kesadarannya kembali. Kemudian tergetar suaranya
ketika berkata, "Tidak mungkin, Hui Kauw... tidak mungkin... biar pun aku
amat cinta kepadamu, tak mungkin aku melakukan itu..."
"Mengapa
tidak, Kun Hong? Bukankah kita berdua sudah pernah berlutut bersama-sama di
depan meja sembahyang biar pun kau kemudian menolaknya? Kun Hong, aku... aku...
menganggap bahwa aku… aku sudah menjadi... isterimu... apa pun yang terjadi...
aku telah berhutang nyawa kepadamu dan aku... ahhh... aku cinta kepadamu, Kun
Hong..."
Kun Hong
merasa betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk. Dia lalu menggelengkan kepala
keras-keras karena terbayang dia akan wajah Cui Bi. "Tidak, Hui Kauw,
jangan begitu. Aku seorang buta, aku tidak berharga... tak berani aku membawa
kau turut menderita. Kau mulia dan agung, kau adalah seorang gadis cantik
jelita seperti bidadari, kau patut bersuamikan seorang pemuda yang berbudi dan
gagah perkasa, menjadi isteri seorang pria yang terhormat, bukan seorang jembel
buta macam aku..."
"Tidak,
tidak...! Kun Hong, engkau selalu merendahkan diri sendiri. Kau
semulia-mulianya orang dalam pandanganku. Walau pun kau buta, hatimu tidak
buta. Tentang aku... ahhh, alangkah indahnya kata-katamu yang memujiku seperti
bidadari. Sebenarnya aku buruk rupa, Kun Hong."
"Siapa
bilang? Kau secantik-cantiknya orang, kaulah bidadari!" pemuda itu
membantah dengan suara keras.
Hui Kauw
mengeluarkan suara ketawa aneh, pahit dan perih, kemudian ia melepaskan
rangkulannya. "Kun Hong, bagaimana kau begini yakin akan kecantikanku?
Bukankah kau tak pandai… melihat?"
"Cukup
dengan mendengar suaramu, Hui Kauw. Kalau aku... ehh, andai kata aku dapat
meraba mukamu, tentu aku akan lebih yakin lagi... tapi maaf, ini hanya
seandainya..."
"Nah,
kau rabalah! Kau rabalah biar kau tahu betapa mukaku hitam dan buruk."
"Aku
tidak berani, Hui Kauw... aku tak berani kurang ajar padamu..." Kun Hong
menolak akan tetapi suaranya gemetar karena betapa pun juga, amat sangat
inginnya dia meraba muka gadis itu untuk dapat membayangkan bentuk mukanya.
"Kun
Hong, aku telah dapat melihat mukamu sepuas hatiku, tapi kau... ahhh, kau
rabalah supaya kau dapat mengenalku, dapat mengenal seorang wanita yang selama
hidup akan selalu mengenangmu, akan mencintaimu selama hayat di kandung badan,
biar kau telah menolaknya, biar kau tidak mau menerimanya..." Sampai di
sini Hui Kauw menangis.
"Hui
Kauw...! Jangan bilang begitu."
Akan tetapi
sambil menangis terisak-isak Hui Kauw menyambar kedua tangan Kun Hong,
ditariknya ke arah mukanya sambil tersendat-sendat berkata, "Rabalah...
rabalah..."
Sepuluh jari
tangan yang amat halus perasaannya itu meraba muka Hui Kauw yang basah air
mata. Seperti dalam mimpi Kun Hong meraba dahi yang halus tertutup rambut sinom
berurai ke bawah, bergerak ke bawah meraba alis yang panjang melengkung,
pelupuk mata tipis terhiasi dengan bulu mata panjang, sepasang pipi yang halus
dengan bentuk sempurna, hidung yang kecil mancung, bibir yang lunak, dagu
meruncing, telinga, leher... lalu kembali lagi ke atas. Bibirnya bergerak-gerak
mengeluarkan bisikan berkali-kali,
"Kau
cantik jelita... kau cantik jelita... ahhh, Hui Kauw... alangkah cantiknya
engkau..."
Kata-kata
ini memperhebat tangis gadis itu yang kembali memeluknya dan menempelkan muka
ke dadanya. "Aduh, Kun Hong... selama aku hidup, baru sekali ini ada orang
memuji kecantikanku... semua orang mengejekku, mengatakan aku si muka hitam, si
muka buruk... Kun Hong, kau kasihanilah aku, kalau betul kau mencintaku seperti
aku mencintamu, kau bawalah aku, biarlah aku ikut denganmu..."
Tiba-tiba
Kun Hong sadar lagi. Dia memegang pundak gadis itu, didorong menjauhinya, lalu
dia berkata, suaranya tegas, "Hui Kauw, cukup semuanya ini! Kau adalah
seorang gadis perkasa, tidak seharusnya bersikap lemah. Aku pun harus malu akan
kelemahan hatiku sendiri. Hui Kauw, mukamu tidak apa-apa. Warna hitam itu hanya
karena racun dan aku sanggup untuk mengobatimu, membuat kulit mukamu kembali
putih bersih. Biarlah aku mengobatimu agar kau mendapatkan kecantikanmu
kembali, agar kau dapat bertemu dengan jodoh yang terhormat, yang gagah, yang
baik dan..."
"Diam!"
Tiba-tiba Hui Kauw berteriak keras, agaknya marah sekali. "Kun Hong,
jangan kau kira aku seorang wanita semacam itu! Sekali aku sudah menyerahkan
hatiku kepadamu, sampai mati aku akan tetap bersetia. Meski pun kau tidak suka
menerimaku, aku tetap menganggap diriku telah menjadi isterimu dan selama hidup
aku takkan menikah dengan orang lain. Biarlah mukaku tetap begini karena aku
tidak berniat menarik hati orang lain. Tapi, setidaknya, kau katakanlah mengapa
hatimu sekeras ini. Aku dapat merasa betapa kau pun benar-benar membalas
cintaku, akan tetapi mengapa kau menolakku? Mengapa? Aku bisa mati penasaran
kalau kau tidak memberi tahu sebabnya."
Tak terasa
lagi dua titik air mata membasahi pipi pemuda buta itu. Hui Kauw perih hatinya
melihat pemuda buta ini bisa pula menitikkan air mata. Ingin dia memeluknya,
ingin dia menghapus air mata di muka si buta itu, tapi dia tetap berdiri,
menanti penjelasan.
"Hui
Kauw, ketahuilah. Aku pun seorang manusia yang sudah menyerahkan hati kepada
seseorang dan berniat tetap bersetia kepadanya, biar pun ia sudah tiada lagi di
dunia. Ia... ia mati karena aku, Hui Kauw..." Kemudian dengan suara
terputus-putus saking terharu, Kun Hong menceritakan kepada gadis itu tentang
Cui Bi, sekaligus mengenai kebutaan matanya.
Hui Kauw
mendengarkan dengan mulut ternganga dan mata terbelalak, dan dari pelupuk
matanya mengucurlah air mata di sepanjang kedua pipinya. Dia demikian terpesona
dan terharu oleh cerita itu sehingga ia seperti tak merasa akan membanjirnya
air matanya ini dan ia tidak mengusapnya. Makin lama ia mendengarkan cerita Kun
Hong, semakin tidak tahanlah ia dan akhirnya ia terisak-isak menangis ketika
Kun Hong menceritakan peristiwa yang terjadi di puncak Thai-san-pai.
"Aduh,
Kun Hong...!" Hui Kauw akhirnya menubruk pemuda itu dan memeluknya.
"Kau… kasihan sekali kau... laki-laki yang berhati mulia, semulia-mulianya
orang. Cinta kasihmu demikian suci murni... ah, alangkah bahagianya Cui Bi. Aku
iri kepadanya, Kun Hong. Aku pun mau mati seribu kali kalau bisa mendapatkan
cinta kasihmu seperti itu besarnya. Kasihan kau..."
Menghadapi
gadis ini, tak dapat menahan pula Kun Hong akan jatuhnya dua titik air mata
lagi di atas pipinya. Lalu dia mengerahkan kekuatan batin menekan perasaannya.
"Sudahlah,
Hui Kauw. Tiada gunanya bertangis-tangisan seperti ini. Sekarang kau tahu
sendiri betapa tidak mungkin aku memenuhi dorongan hatiku yang mengandung kasih
sayang kepadamu. Kau maafkanlah aku."
Hui Kauw
melangkah mundur, mengusap air matanya. Kedua matanya kini memandang penuh
kekaguman, penuh perasaan kasih dan penuh iba. "Kau benar, Kun Hong.
Biarlah aku mengalah dan memang sudah nasib hidupku harus banyak menderita.
Biarlah aku tak akan mengganggumu lagi. Akan tetapi aku tetap bersumpah bahwa
peristiwa di Pulau Ching-coa-to, di mana kau dan aku sudah berlutut di depan
meja sembahyang, tak akan dapat terhapus dari hatiku. Sampai mati aku akan
menganggap bahwa aku sudah menjadi milikmu lahir batin dan aku tidak akan
menikah dengan orang lain. Selamat tinggal, Kun Hong, kita akan bertemu kembali
kelak, kalau tidak di dunia tentu di akhirat. Di sana aku akan minta kepada Cui
Bi agar ia rela membiarkan kau membagi cinta kasihmu sebagian untukku..."
Gadis itu terisak dan melompat pergi jauh meninggalkan tempat itu.
"Hui
Kauw...! Biarkan aku mengobati mukamu...!" Kun Hong berteriak memanggil.
Akan tetapi
Hui Kauw tidak berhenti hanya menjawab sambil berlari cepat, "Biarlah, Kun
Hong. Apa gunanya bagiku...?"
Dalam
kalimat terakhir ini terkandung kepatahan hati yang membuat Kun Hong terduduk
di atas tanah saking perihnya hati dan perasaannya. Sampai lama dia duduk
bersila di atas tanah di pinggir telaga itu dan terbayanglah wajah Hui Kauw
yang cantik jelita.
Sekarang dia
sudah mengenal Hui Kauw, tidak hanya mengenal suaranya, juga mengenal bentuk
mukanya. Berkali-kali dia mengeluh panjang pendek, bukan main penderitaan hati
yang penuh rindu dendam. Dia merasa seakan-akan semangatnya sudah terbawa pergi
oleh gadis itu. Dia berdongak dan mulutnya berkemak-kemik.
"Cui
Bi... Cui Bi... bantulah aku, perkuatlah hatiku..."
Dengan
bisikan-bisikan ini dia merasa mendapat kekuatan baru dan wajah Cui Bi yang
riang jenaka itu perlahan-lahan mengusir bayangan Hui Kauw, dan memulihkan
kembali ketenangan di dalam dadanya. Entah beberapa jam lamanya dia duduk
seperti itu, seperti seorang pertapa di tepi telaga. Tiba-tiba terdengar suara
orang, suara yang besar dan dalam, mengandung tenaga hebat.
"Waahhhhh,
mimpikah aku atau betul-betul bertemu dengan Kun Hong di sini?"
Karena
tadinya dalam keadaan melamun, Kun Hong kaget dan tidak mendengar suara ini
dengan segera. Akan tetapi dia merasa seperti telah mengenal suara ini, maka
cepat dia bangun berdiri dan membalikkan tubuhnya ke arah suara itu.
"Locianpwe
(orang tua gagah) siapakah?" tanyanya sambil membungkuk dengan hormat.
"Ha-ha-ha!
Hebat sekali! Matanya buta akan tetapi begitu aku membuka suara segera tahu
bahwa aku seorang tua bangka bangkotan. Ha-ha-ha!"
"Kakek
Kwee...!" Kun Hong berseru girang sekali.
Song-bun-kwi
Kwee Lun tertawa bergelak-gelak dan maju merangkul Kun Hong, memeluk pemuda
buta itu. "Kun Hong, kau sudah tak pandai melihat tetapi bisa berkeliaran
sampai di sini! Apa saja yang kau kerjakan di sini? Wah tongkatmu itu entah
sudah berapa banyak mengirim orang ke Giam-lo-ong (Raja Maut)?"
Kun Hong
tertawa. "Locianpwe, mana saya berani menggunakan tongkat hadiahmu ini
untuk membunuh orang? Locianpwe hendak ke manakah?"
"Ha-ha-ha-ha,
bagus, kau masih menghargai pemberian seorang tua bangka. Kun Hong, tahukah kau
di mana adanya Ching-coa-to?"
Kun Hong
kaget. "Di seberang itulah Ching-coa-to. Locianpwe apakah mempunyai urusan
dengan penghuni Ching-coa-to?"
Bingung
Song-bun-kwi bagaimana harus menjawab pertanyaan ini. Seperti kita ketahui, dia
pergi mencari Ching-coa-to hanya karena hatinya terkena ‘dibakar’ oleh si gadis
nakal Loan Ki yang mengatakan bahwa kalau kakek itu ingin dijotosi orang sampai
mukanya matang biru, harus pergi ke Ching-coa-to. Hanya karena kata-kata Loan
Ki itu saja dia nekat mencari Ching-coa-to sampai dapat.
Bagaimana
dia bisa mengatakan kepada Kun Hong bahwa dia mencari Ching-coa-to hanya karena
itu? Terhadap lain orang kakek ini bersikap tidak peduli dan mau membawa
kehendak sendiri, mau menang sendiri. Akan tetapi terhadap Kun Hong lain lagi
sikapnya. Dia merasa kagum kepada pemuda ini dan tidak menganggap pemuda buta
ini sebagai seorang muda yang dipandang rendah.
"Tidak
ada urusan apa-apa, hanya aku mendengar di sana banyak orang pandai. Ingin aku
menyaksikan dengan kedua mata dan kedua tanganku sendiri, ha-ha-ha!"
Kun Hong
maklum akan watak kakek ini, juga tahu akan kesukaan kakek ini berkelahi
mengadu kepandaian. "Locianpwe terlambat. Memang banyak orang pandai di
pulau itu, akan tetapi pada waktu ini mereka semua sudah pergi meninggalkan
pulau. Saya baru saja keluar dari sana."
"Kau?
Ke sana? Wah-wah, agaknya banyak pengalaman hebat yang kau alami. Sayang, aku
bermalas-malasan di gunung, kalau aku ikut pergi bersamamu, sedikitnya aku akan
ikut menikmati pengalaman-pengalaman itu. Apa yang kau cari di sana?"
Dengan
singkat tanpa menyebut-nyebut soal Loan Ki serta Hui Kauw, Kun Hong lalu
bercerita mengenai mahkota yang dirampas dari tangan Tan Hok sampai mahkota itu
terjatuh ke tangan orang-orang Ching-coa-to dan bagaimana dia berhasil
merampasnya kembali. Akhirnya dia menutup penuturannya,
"Mahkota
ini biar pun benda kuno, akan tetapi amat penting, Locianpwe. Karena itu saya
mati-matian merampasnya kembali dan sekarang hendak saya antarkan kepada paman
Tan Hok."
"Di
mana adanya Tan Hok?"
"Tadinya
paman Tan Hok pergi ke Thai-san-pai untuk minta bantuan paman Tan Beng San
dalam hal merebut kembali mahkota ini. Karena itu saya pikir, lebih baik saya
susul ke Thai-san-pai untuk menyerahkan mahkota ini kepadanya."
"Ke
Thai-san-pai? Bagus sekali memang aku pun sudah lama kangen, hendak melancong
ke Thai-san. Kebetulan pula, aku pun ingin bertemu dengan ketua Thai-san-pai,
mantuku yang pintar itu agar dia memberi hajaran kepada anaknya yang
goblok!"
Kun Hong
melengak, tidak tahu apa maksud kata-kata ini. "Bagaimana dengan keadaan
saudara Kong Bu dan isterinya? Ahh, mereka selamat-selamat saja, bukan?"
Kun Hong
tersenyum karena dia teringat akan keponakannya, Kui Li Eng yang sekarang sudah
menjadi nyonya Tan Kong Bu, ingat betapa keponakannya itu lincah jenaka, nakal
seperti Loan Ki!
"Itulah.
Mereka itulah yang menyakitkan hatiku dan hendak kuadukan kepada Beng San.
Sialan betul aku mempunyai cucu goblok!"
"Ehhh,
mengapa, Locianpwe? Apa kesalahan saudara Kong Bu dan isterinya? Kalau ada
kesalahan, sayalah yang mintakan maaf dan ampun kepada Locianpwe..."
"Siapa
orangnya yang tidak mendongkol. Di sini menanti-nanti, di sana enak-enak dan
menganggap sepi saja. Masa sampai empat tahun aku mengharap-harap, belum juga
mereka mempunyai anak! Coba pikir, apa ini tidak menjengkelkan?"
Mulut Kun
Hong ternganga heran. "Anak...?"
"Ya,
anak! Aku sampai mimpi setiap malam memondong cucu buyut. Dasar Kong Bu tidak
becus!"
Hampir saja
Kun Hong tak dapat menahan ledakan tawanya. Akan tetapi dia menekan perasaannya
dan tidak tertawa, maklum bahwa yang dia anggap lucu itu bagi kakek ini agaknya
merupakan sebuah soal yang amat gawat. Maka dia malah menghibur,
"Harap
Locianpwe bersabar. Saya merasa yakin bahwa seorang gagah perkasa seperti
Locianpwe ini, kelak pasti dikurniai cucu buyut yang banyak!"
Benar saja.
Omongan ini bagaikan segelas air es untuk seorang kehausan di tengah hari.
Mendinginkan perasaan. Kakek itu tertawa-tawa lagi dan berkata, "Kun Hong,
kau harus lekas-lekas kawin! Orang seperti kau ini tentu jauh lebih berharga
dari pada cucuku Kong Bu. Aku tanggung bahwa kau kawin setahun aku sudah akan
dapat memondong anakmu yang pasti akan kuanggap cucuku sendiri. Ha-ha-ha,
alangkah senangnya kalau aku bisa menyaksikan anakmu dan menurunkan semua
ilmuku padanya. Ha-ha-ha, Song-bun-kwi si setan bangkotan akan mati dengan mata
meram!"
Merah muka
Kun Hong. Dia merasa jengah, akan tetapi juga terharu sekali karena di dalam
kekasarannya, kakek ini membayangkan kasih sayang yang sangat besar dan rasa
kekeluargaan yang mendalam. Dia berterima kasih sekali, akan tetapi untuk
mencegah kakek ini melantur dan berkepanjangan mengenai kawin, dia segera
mengajak kakek itu berangkat ke Thai-san.
Akan tetapi,
dia tidak dapat mencegah kakek itu menggali-gali soal lama ketika berkata,
"Kun Hong, kau tidak boleh selalu mengenang Cui Bi. Yang sudah mati
sudahlah. Kau masih hidup dan kau harus mencari gantinya. Seorang yang tidak
berketurunan adalah orang yang paling puthauw (murtad) di dunia ini! Kau
tirulah pamanmu Beng San. Dahulu dia sampai menjadi gila ditinggal mati oleh
anakku, akan tetapi kemudian dia toh dapat berbahagia dengan Li Cu dan punya
anak lagi!"
Kun Hong
berdebar keras jantungnya, akan tetapi dia diam saja tidak menjawab, hanya
hatinya berdoa supaya kakek itu tidak berkepanjangan bicara tentang hal yang
amat tidak enak baginya itu. Mendapat penunjuk jalan seperti Song-bun-kwi,
tentu saja Kun Hong dapat melakukan perjalanan yang amat cepat. Di sepanjang
jalan, tiada hentinya Song-bun-kwi mengobrol dan hanya pada pemuda inilah dia
dapat mencurahkan semua isi hatinya.
Beberapa
hari kemudian sampailah mereka di lereng Thai-san. Keduanya lantas merasa
terheran-heran melihat kesunyian daerah sekitar puncak. Kalau jantung Kun Hong
merasa berdebar-debar karena teringat akan Cui Bi dan semua peristiwa yang
terjadi di puncak ini empat tahun yang lalu, adalah Song-bun-kwi yang
terheran-heran dan mulai merasa tidak enak hatinya.
"Kun
Hong, mengapa begini sunyi di sini? Biasanya tentu ada anak murid Thai-san-pai
yang hilir mudik. Mengapa Thai-san-pai sekarang begini sepi?"
"Locianpwe,
lebih baik kita langsung naik ke puncak saja, agaknya para anak murid sedang
dikumpulkan di puncak oleh paman Tan Beng San. Siapa tahu datangnya paman Tan
Hok mendatangkan perubahan di Thai-san-pai karena menghadapi urusan penting."
"Huh,
orang-orang muda itu selalu ribut-ribut saja tentang urusan negara. Huh, bosan
aku! Kaisar dan para pembesar istana itu orang-orang apa sih? Mereka juga
manusia biasa seperti kita! Akan tetapi mengapa untuk segelintir dua gelintir
manusia seperti itu, untuk jatuh bangunnya seorang dua orang kaisar, selalu
rakyat yang laksaan banyaknya harus dijadikan korban?"
Kalau saja
Kun Hong belum mendengar filsafat dari mulut Tan Hok, tentu dia akan setuju
seratus prosen terhadap pendapat kakek itu. Akan tetapi sekarang, berdasarkan
filsafat dari Tan Hok, dia sudah mempunyai pendapat yang lebih jelas tentang
urusan negara. Tanpa pemimpin yang menentukan hukum-hukum negara, tak akan ada
kehidupan yang tenteram, tidak akan ada tata-tertib karena rakyat hanya akan
mengenal hukum rimba, hukumnya dunia persilatan.
Bayangkan
saja kalau yang berkuasa adalah orang macam kakek ini, yang tidak pedulian,
yang aneh, kadang-kadang amat kejam, akan jadi apakah penghidupan ini? Negara
harus ada pengaturnya, rakyat harus ada pemimpinnya, mencontoh keadaan alam
semesta. Alam semesta ini pun membutuhkan pimpinan dan penguasa yang mengatur
segalanya. Bayangkan saja, tanpa adanya Tuhan Seru Sekalian Alam, tanpa ada
kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, alangkah akan kacau-balaunya alam semesta ini.
Mungkin matahari akan kehilangan panasnya, bintang-bintang akan saling
bertubrukan, akhirnya segalanya akan hancur lebur!
Demikianlah,
rakyat dan negara harus mempunyai pimpinan. Dan segala keributan terjadi,
segala perang saudara pecah, disebabkan masing-masing golongan, masing-masing
fihak menghendaki calon pimpinan pilihan hati masing-masing. Tentu saja ini
karena menurut keyakinan masing-masing, pilihan hati itu adalah orang-orang
yang mereka percaya akan mampu menjadi pemimpin yang baik.
Sekarang
terjadi perebutan tahta kerajaan, tentu saja bagi para pembesar itu karena
mereka memperebutkan kedudukan yang akan menjamin hidup kaya raya dan
terhormat. Tetapi bagi rakyat yang mati-matian membela mereka, dasarnya
hanyalah ingin memiliki para pemimpin yang benar-benar akan dapat membawa
kesejahteraan dan kebahagiaan bagi kehidupan rakyat.
Karena
mempunyai dasar filsafat ini, maka Kun Hong hanya tersenyum saja mendengar
ucapan Song-bun-kwi tadi. Ia tak menjawab melainkan mengajak kakek itu terus
mendaki puncak. Kalau bukan Song-bun-kwi yang menjadi penunjuk jalannya, Kun
Hong tak akan berani mengajak naik ke puncak karena dia maklum bahwa menaiki
puncak Thai-san merupakan perjalanan yang jauh lebih sulit dan berbahaya dari
pada memasuki Pulau Ching-coa-to! Akan tetapi, kakek itu pernah tinggal di situ
dan karenanya hafal benar akan semua rahasia di puncak Thai-san.
Setelah
melalui jalan rahasia yang berakhir dengan sebuah terowongan, akhirnya mereka
sampailah di puncak Thai-san. Mereka meloncat ke luar dari mulut terowongan
yang juga merupakan sebuah goa rahasia. Kagetlah Kun Hong ketika dia mendengar
Song-bun-kwi berseru keras, "Celaka...!"
Hidung dan
telinga Kun Hong meneliti penuh perhatian, namun tidak ada sesuatu yang aneh
bagi penciuman serta pendengarannya. Terpaksa dia bertanya kuatir,
"Locianpwe, ada apakah?"
Kakek itu
melangkah maju, terus maju, diikuti dari belakang oleh Kun Hong yang mulai
merasa gelisah karena tempat ini benar-benar sunyi. Setelah tiba di puncak,
kenapa Beng San dan isterinya, juga murid-murid Thai-san-pai tidak ada yang
keluar menyambut?
"Locianpwe,
kenapa begini sunyi?" Ada apakah? Di mana mereka, mengapa tidak ada orang
menyambut kita?"
Masih saja
Song-bun-kwi berjalan ke sana ke mari, berputar-putaran di sekitar puncak.
Kemudian dia membanting-banting kaki dan berkata, "Celaka... agaknya belum
lama ini Thai-san-pai tertimpa malapetaka. Wah, hebat...! Kun Hong,
Thai-san-pai telah dibakar orang, dibasmi sampai semua pohon-pohonnya habis dan
rusak binasa."
"Apa...?!"
Kun Hong berteriak, lalu melangkah ke sana ke mari, tangan yang memegang
tongkat meraba-raba tanah yang sudah rata dan tidak ada sebatang pun pohon
tumbuh lagi di sana. "Bagaimana hal ini bisa terjadi...?" pertanyaan
ini keluar dari hatinya yang penuh kegelisahan, terdengar agak gemetar.
"Bagaimana
kita bisa tahu? Tidak ada seorang pun tinggal di sini. Agaknya mereka semua
sudah..." Song-bun-kwi sendiri yang biasanya tidak pedulian itu, kini
sikap dan bicaranya tidak bisa percaya kalau Thai-san-pai dapat dibakar dan
dibasmi orang dan semua penghuni puncak Thai-san sampai lenyap semua.
"Tidak
mungkin, Locianpwe! Tak mungkin paman Beng San beserta bibi dan semua anak
murid dapat dibasmi begitu saja! Aku tidak percaya!"
"Tuh di
sana ada bayangan orang bergerak, mari kita ke sana!" tiba-tiba kakek itu
berseru dan menarik tangan Kun Hong diajak lari menuruni puncak, lalu mendaki
sebuah puncak yang lebih kecil.
Setelah tiba
di situ, dia melihat bayangan orang tadi ternyata adalah seorang laki-laki yang
kini sedang duduk bersila di sebuah kuburan yang puluhan jumlahnya.
Kuburan-kuburan yang masih baru mengelilingi orang yang berpakaian putih itu,
rambutnya awut-awutan seperti orang kurang waras.
Meremang
bulu tengkuk Song-bun-kwi melihat kuburan-kuburan ini. Bukan karena merasa
seram, karena dia sendiri adalah seorang iblis yang tidak takut akan sesuatu,
apa lagi hanya kuburan dan orang aneh itu. Akan tetapi yang membuat dia merasa
seram dan ngeri adalah dugaan yang timbul pada waktu melihat kuburan-kuburan
itu. Siapa tahu di antaranya adalah kuburan Beng San dan Li Cu!
Segera dia
melompat ke depan dan sekali sambar saja sudah berhasil mencengkeram leher laki-laki
itu sambil membentak dengan suara menyeramkan, "Siapa kau dan apa yang kau
lakukan di sini?!"
Tubuh itu
sudah dia angkat tinggi-tinggi dan siap dibantingkan ke atas batu-batu besar
yang banyak terdapat di tanah kuburan itu. Akan tetapi dengan gerakan yang
tangkas dan cekatan sekali, orang itu menggoyang tubuh dan...
"Brettttt!"
leher bajunya robek akan tetapi dia berhasil melepaskan diri dari cengkeraman
Song-bun-kwi!
Kakek ini
kaget dan kagum. Jarang ada orang, apa lagi semuda itu, dapat melepaskan diri
dari pada cengkeraman tangannya. Dia sudah siap untuk menerjang lagi karena
sekaligus timbul rasa penasaran, juga kegembiraannya sebab akan mendapat lawan
yang lumayan.
Akan tetapi
tiba-tiba orang itu berseru, "Kwee-locianpwe...!"
Lalu dia
menjatuhkan diri berlutut dan menangis menggerung-gerung. Di antara tangisnya,
dia menyebut nama Kun Hong.
"Kwa-taihiap...
celaka...!" Sangat sukar dia bicara karena tangisnya terus menyesakkan
kerongkongannya.
Bukan main
kagetnya hati Song-bun-kwi ketika mengenal bahwa orang yang mukanya pucat
seperti mayat, matanya cekung dan tubuhnya kurus dengan rambut awut-awutan dan
pakaian putih seperti orang gila ini ternyata bukan lain ialah Su Ki Han, murid
kepala Thai-san-pai!
"Ki
Han, bukankah kau ini? Apakah yang terjadi? Hayo cepat ceritakan!"
Sepasang mata Song-bun-kwi liar memandang ke arah tanah-tanah kuburan yang
masih baru itu.
Ada pun Kun
Hong yang mendadak merasa kedua kakinya lemas saking gelisahnya, lalu duduk di
atas sebuah batu besar, telinganya mendengarkan penuh perhatian. Jantungnya
berdebar-debar, karena kebutaannya membuat dia tidak dapat melihat sesuatu dan
hal ini menambah kegelisahannya. Alangkah besar keinginan hatinya untuk dapat
menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana keadaan puncak Thai-san yang
dikatakan telah rusak binasa dan terbasmi itu. Hampir-hampir saja tak dapat dia
percaya bahwa tempat tinggal pamannya yang demikian saktinya itu dapat
dihancurkan oleh musuh.
"Ahhh,
Kwee-locianpwe... celaka sekali... malapetaka hebat menimpa Thai-san-pai, dua
pekan yang lalu..."
"Ki
Han, bukankah kau murid kepala Thai-san-pai? Mengapa sekarang menangis seperti
anak kecil? Huh, mana jiwa pendekarmu? Memalukan sekali. Hayo, bangun kau
bicara yang betul kalau tidak mau kutendang mampus!" bentak Song-bun-kwi.
Su Ki Han,
murid Thai-san-pai yang hancur luluh perasaan hatinya oleh kedukaan itu jadi
terbangun semangatnya. Dia segera bangkit berdiri, menunduk dan berkata,
"Maafkan saya, Locianpwe, maafkan kelemahan hati saya yang tidak kuat
menderita kedukaan ini. Siapa orangnya yang tidak akan hancur hatinya.
Thai-san-pai hancur binasa, siauw-sumoi (adik seperguruan kecil) diculik orang,
subo pun lenyap melakukan pengejaran, kemudian suhu juga turun gunung mengejar,
bahkan menyatakan bahwa Thai-san-pai dibubarkan untuk sementara waktu. Sembilan
orang sute-ku tewas, sisanya sekarang tersebar tidak karuan. Kwee-locianpwe,
hati siapa takkan menjadi sedih?"
Terdengar
teriakan menyeramkan keluar dari kerongkongan Kun Hong yang telah bangkit
berdiri dengan muka pucat. "Iblis jahanam! Siapa berani melakukan hal itu
terhadap Thai-san-pai? Su Ki Han, hayo kau ceritakan sebenarnya apa yang telah
terjadi!" Suara Kun Hong menggeledek, tanda bahwa dia dalam keadaan marah
besar sehingga mendatangkan rasa kaget dan heran pada Song-bun-kwi yang
biasanya mengenal pemuda itu sebagai seorang yang sangat lemah lembut dan
penyabar.
Sebetulnya
hal ini tidaklah aneh. Kun Hong cukup maklum betapa hancur luluh hati ibu Cui
Bi ketika gadis kekasihnya itu tewas secara menyedihkan. Sekarang, setelah
memiliki seorang anak perempuan lagi sebagai pengganti diri Cui Bi, ternyata
hilang diculik orang. Thai-san-pai dibasmi dan dibumi-hanguskan, anak-anak
murid Thai-san-pai banyak yang tewas. Sungguh-sungguh ini merupakan mala petaka
yang maha hebat dan inilah yang menyakitkan hatinya.
Dengan suara
tersendat-sendat saking sedihnya, Ki Han kemudian bercerita, bagaimana
orang-orang Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai yang marah sekali datang menyerbu
hingga terjadi pertempuran yang amat tak dikehendaki ketua Thai-san-pai, karena
maklum bahwa bentrokan di antara mereka yang sehaluan itu adalah karena hasutan
dan fitnah musuh rahasia. Diceritakan pula betapa kemarahan Pek-lian-pai dan
Kong-thong-pai itu adalah karena kematian Tan Hok dan murid-murid
Kong-thong-pai yang terjadi di lereng Thai-san dan yang mereka katakan
dilakukan oleh anak-anak murid Thai-san-pai.
Lalu
bagaimana pada saat pertempuran berlangsung, puncak Thai-san-pai diserbu musuh
yang tidak diketahui siapa. Nyonya ketua Thai-san-pai dengan gagah berani masih
dapat menghalau pihak musuh, akan tetapi tidak dapat mencegah penculikan
terhadap Cui Sian puterinya dan pembunuhan terhadap para pelayan.
Dengan air
mata bercucuran Ki Han menutup ceritanya, "Kwee-locianpwe...
Kwa-taihiap... alangkah hancur hati saya melihat suhu seperti itu. Suhu lalu
mengamuk setelah subo (ibu guru) pergi melarikan diri untuk mencari
puterinya... Suhu menghancurkan segala yang ada di puncak... lalu menyatakan
pembubaran Thai-san-pai..."
"Iblis
neraka!" Song-bun-kwi membanting kakinya saking marahnya. "Keparat
Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai! Awas kalian, Song-bun-kwi akan melakukan
pembalasan, membasmi semua orang Kong-thong-pai dari muka bumi."
Tiba-tiba Su
Ki Han memandang terbelalak ke depan, lalu dia menjadi pucat dan berkata,
"Kwa-taihiap..."
Song-bun-kwi
cepat memutar tubuh memandang ke arah Kwa Kun Hong dan dia sendiri pun
terbelalak. Bukan main keadaan Kun Hong pada waktu itu. Berdiri tegak dengan
alis mata seolah-olah berdiri, sepasang mata yang buta itu terbuka lebar dan
memperlihatkan rongga dalamnya yang kosong menghitam.
Mukanya
berubah merah bagai terbakar, tubuhnya menggigil hingga mengeluarkan hawa
getaran, hidungnya kembang-kempis, mulutnya terbuka berkali-kali tanpa
mengeluarkan suara. Tangan kanannya memegang tongkat dan tangan kirinya
bergerak-gerak perlahan dengan jari-jari terbuka tertutup seperti cakar harimau
hendak mencengkeram.
Mendadak
kedua tangannya membuat gerakan berbareng yang sangat aneh, tangan kiri
mencengkeram ke depan dengan gerakan melengkung dari bawah ke atas miring ke
kanan, sedangkan tangan kanan yang memegang tongkat membuat gerakan membabat
dari kanan ke kiri, menyerong dari atas ke bawah. Gerakan yang berlawanan dari
kedua tangan itu menimbulkan suara angin bersiut keras dibarengi bentakannya
yang bukan main hebatnya.
"Haaiiiittttttt…!"
Hebat
akibatnya. Batu besar berwarna hitam, sejenis batu gunung yang amat keras, yang
tadi dia duduki, terkena serangan ini. Batu itu sama sekali tidak bergerak,
seakan-akan tangan kiri dan tongkat tadi lewat begitu saja menembus batu,
sedangkan kedua kaki Kun Hong membuat gerakan ke depan, langkah ajaib. Ketika
tubuhnya menggeser lewat meninggalkan batu itu, mendadak batu itu bergoyang dan
runtuh bagian atasnya, sapat di tengah-tengah seperti agar-agar teriris pisau
tajam, belah menjadi dua dan bagian atas yang terkena cengkeraman tangan kiri
tadi, perlahan-lahan runtuh hancur seperti tepung!
Song-bun-kwi
memandang dengan dua mata terbelalak dan mulut ternganga. Dia melihat betapa
dari ubun-ubun kepala Kun Hong mengepul uap berwarna putih, betapa muka yang
kini menjadi sangat menyeramkan itu mengeluarkan keringat besar-besar seperti
kacang kedele, dan betapa dada pemuda buta itu melembung seperti hendak
meletus. Sekali lagi Kun Hong yang meraba-raba dengan tongkatnya mendapatkan
batu besar dan langsung diserangnya seperti tadi. Sekali serang dengan gerakan
aneh tadi, batu itu pun hancur lebur tanpa mengeluarkan suara!
Sekarang dia
melangkah lagi dan mulutnya berbisik-bisik. "Keji... keji...
manusia-manusia iblis... keji...!"
Tiba-tiba
Song-bun-kwi melayang ke depan sambil berseru, "Kun Hong, ingat! Kau bisa
mencelakakan dirimu sendiri. Ingatlah dan tekan perasaanmu...!"
Tubuh kakek
itu menyambar ke depan dengan maksud hendak memegang pundak Kun Hong dan
menyadarkannya. Akan tetapi alangkah kaget dan ngeri hatinya ketika tiba-tiba
Kun Hong memapakinya dengan gerakan persis seperti tadi, tangan kiri
mencengkeram dan tongkat membabat.
"Ayaaa...
celaka...!" Kakek itu memekik.
Cepat dia
mengerahkan segenap tenaganya, melejit merendahkan tubuh untuk mengelak dari
pada sambaran maut tongkat itu sedangkan kedua tangannya dia pergunakan untuk
menghantam lengan kiri Kun Hong yang bercuitan bunyinya mengarah iganya. Juga
kali ini tak terdengar suara ketika lengan kiri Kun Hong bertemu dengan dua
lengan kakek itu. Akan tetapi akibatnya hebat bukan main.
Tubuh kakek
itu terlempar seperti selembar layang-layang putus talinya, kemudian jatuh
berdebuk dalam jarak enam tujuh meter jauhnya. Sedangkan tubuh Kun Hong dengan
kedudukan kaki masih tetap seperti tadi, tergeser mundur sampai satu meter
lebih, kedua kakinya membuat guratan dalam tanah sedalam sepuluh senti!
Song-bun-kwi
tertawa bergelak dengan suara aneh menyeramkan, lalu dia merangkak bangun
dan... darah segar tersembur ke luar dari mulutnya!
"Hebat...
hebat... bukan main...!" Dia mengomel lalu menjatuhkan diri duduk bersila,
sekali lagi muntahkan darah segar. Dia lalu meramkan mata mengatur napas karena
benturan tadi telah mendatangkan sakit di dalam dadanya, tanda bahwa ia telah
terluka dalam!
Ada pun Kun
Hong yang tadinya seperti orang kemasukan setan, sekarang agaknya baru sadar.
Dia melongo, menoleh ke sana ke mari, lalu... menangis terisak-isak,
menyebut-nyebut nama Cui Bi. Kiranya pemuda ini karena sangat hancur hatinya
mengingat akan nasib paman dan bibinya, sekaligus teringat kepada Cui Bi.
Ki Han tidak
berani bergerak dari tempat dia berdiri. Dia tadi melihat kejadian yang amat
hebat. Belum pernah selama hidupnya dia menyaksikan ilmu kesaktian seperti
tadi. Dia merasa seram dan ngeri, juga merasa sedih karena kedukaan Kun Hong
itu seperti pisau yang merobek kembali luka dalam hatinya. Dia hanya berdiri
dengan air mata bercucuran.
Berkat hawa
murni dan tenaga dalam yang sudah amat kuat, benturan pukulan sakti tadi tidak
mengakibatkan luka parah di dalam dada Song-bun-kwi. Beberapa menit kemudian
dia telah dapat menyembuhkan akibat yang menimbulkan rasa nyeri di dada. Dia
segera membuka mata, memandang Kun Hong yang sedang terisak-isak menangis.
Cepat kakek ini melompat bangun dan dengan langkah-langkah lebar ia menghampiri
Kun Hong, terus merangkulnya.
"Uhh,
dengan jurus sakti yang kau miliki tadi, tidak patut kau mengeluarkan air mata,
Kun Hong. Hebat sekali gerakanmu tadi dan hampir nyawaku yang sudah tua ini
melayang kalau aku tadi tidak cepat-cepat mengelak. Bukan main!" Dia
memuji dengan muka berseri gembira sekali.
"Kwee-locianpwe,
aku akan membalas dendam ini! Aku tidak terima paman Beng San dan bibi dihina
dan diperlakukan seperti ini. Aku akan mencari Cui Sian sampai dapat dan aku
bersumpah takkan mau hidup lagi kalau tidak dapat membalas kejahatan
orang-orang itu!"
"Ha-ha-ha,
ini baru ucapan seorang jantan! Benar, Kun Hong, kejahatan harus ditumpas
habis. Dan dengan jurus yang kau miliki tadi, tak akan ada tokoh di dunia ini
yang akan mampu melawanmu. Ha-ha-ha!"
Kun Hong
yang sudah berhenti menangis itu terheran. "Locianpwe, jurus apa yang kau
maksudkan? Aku tadi hampir pingsan oleh kemarahan yang menyesakkan dada, aku
tidak sadar lagi yang kulakukan."
"Ha-ha-ha,
hampir kau memukul mampus padaku, masa kau tidak ingat?"
Bukan main
kaget hati Kun Hong. Disangkanya kakek yang biasanya memang berwatak aneh dan
gila-gilaan ini main-main dengannya.
"Saudara
Su Ki Han, betulkah kata-kata Kwee-locianpwe ini?"
Murid kepala
Thai-san-pai itu sudah cukup memiliki dasar ilmu silat tinggi sehingga dia
maklum apa yang telah terjadi tadi. Dia menjawab, "Saya tidak mengerti apa
yang telah terjadi, Taihiap. Hanya tadi saya melihat Taihiap memukul hancur dua
buah batu besar, kemudian ketika locianpwe mendekat, Taihiap menyerangnya
sehingga terjadi benturan yang mengakibatkan..." Dia tidak berani
melanjutkan.
Song-bun-kwi
tertawa. "Ha-ha-ha, akibatnya aku terlempar dengan nyawa hampir putus!
Hebat sekali, Kun Hong."
Pemuda itu
bingung. "Tetapi... benar-benar saya tidak tahu dengan jurus apa saya
telah berlancang tangan menyerang Locianpwe."
Song-bun-kwi
adalah seorang tokoh besar dunia persilatan. Tentu saja pengetahuannya dalam
hal ilmu silat amatlah mendalam dan luas. Dia dapat menduga bahwa kemarahan
dalam batin si buta itu membuat dia melakukan gerakan otomatis yang timbul dari
pada dasar tenaga sakti di dalam tubuhnya. Dengan demikian terciptalah sejurus
pukulan yang luar biasa hebat tanpa disadari oleh pemuda itu sendiri. Dia tahu
pula bahwa Kun Hong memiliki pendengaran yang amat tajam sebagai pengganti
mata, maka dia lalu berkata, "Kau pinjamkan sebentar tongkatmu kepadaku,
biar kucoba tiru gerakanmu tadi. Nah, kau tadi membabat dengan tongkat
begini!"
Song-bun-kwi
seberapa dapat dan seingatnya melakukan gerakan seperti yang dilakukan Kun Hong
tadi dengan tongkat itu, membabat dari kanan ke kiri miring dari atas ke bawah.
Kagetlah Kun
Hong. Itulah sebagian dari pada jurus Pedang Im-yang Sin-kiam yang dulu dia
dapatkan dari Tan Beng San.
"Dan
berbareng tangan kirimu mencengkeram dari kiri ke kanan mengarah iga, bergerak
dari bawah seperti ini, tetapi mengeluarkan suara bercuitan." Kembali
kakek itu meniru pukulan atau cengkeraman dari tangan kiri Kun Hong tadi.
Sekali lagi
Kun Hong terkejut. Itulah ilmu pukulan dari Kim-tiauw-kun yang paling hebat,
seperti juga gerakan pedang tadi merupakan jurus simpanan yang rahasia dari
Im-yang Sin-kiam.
"Kau
melakukan dua gerakan ini sekaligus menjadi sebuah jurus yang sakti, tentu saja
aku tidak mampu melakukannya, karena tampaknya berlawanan sekali gerakan itu,
juga sambaran tenaga dari kedua tanganmu berlawanan. Benar-benar aneh dan hebat
sekali. Kun Hong coba kau mainkan lagi jurus ini, dengan kedua tanganmu, ingin
sekali aku menyaksikan sekali lagi!" Dia mengembalikan tongkatnya.
Kun Hong
ragu-ragu. Menurut teori, tidak mungkin kedua macam pukulan itu disatukan,
sungguh pun keduanya dia faham benar. Ilmu Silat Im-yang Sin-hoat biar pun
terdiri dari penggunaan dua macam tenaga, tetapi tenaga Im-kang dan Yang-kang
selalu digunakan secara bergantian untuk membingungkan lawan. Karena
pergantian-pergantian yang tidak terduga-duga inilah maka ilmu itu merupakan
ilmu yang selama ini dapat merajai dunia persilatan. Akan tetapi bagaimana
mungkin mempergunakan dua macam tenaga dalam satu gerakan? Namun demikian,
mendengar kesungguhan suara kakek itu, dia merasa tidak enak kalau tidak mau
mencobanya.
"Baiklah,
akan kucoba, Locianpwe. Mengharap petunjuk Locianpwe yang berharga..."
Setelah
berkata demikian, Kun Hong memasang kuda-kuda dari Ilmu Silat Kim-tiauw-kun,
kemudian dia mengerahkan tenaga karena dia ingin bergerak sungguh-sungguh.
Tangan kirinya menyambar dibarengi sambaran tongkatnya dari kanan. Terdengar
suara bercuitan seperti tadi, akan tetapi tiba-tiba Kun Hong mengeluh, tubuhnya
limbung dan... dia roboh pingsan dengan muka pucat!
"Ah-ahh...
sudah kuduga... waah, tua bangka goblok." Song-bun-kwi memukuli kepalanya
sendiri lalu cepat dia berlutut mendekati Kun Hong dan memeriksanya.
Napas pemuda
buta itu empas-empis, tubuhnya sebentar panas dan sebentar dingin, mukanya
sebentar pucat sebentar merah. Kakek itu setelah memeriksa jalan darahnya,
kaget mendapat kenyataan bahwa di dalam tubuh itu, dua kekuatan yang berlawanan
sedang saling desak untuk menguasai tubuh itu.
Inilah
berbahaya, pikirnya, karena gempuran-gempuran yang terjadi antara dua macam
hawa sakti ini akan dapat merusak jantung Kun Hong. Dia sendiri adalah seorang
yang ahli dalam tenaga sakti Yang-kang, maka segera dia menempelkan telapak
tangannya pada dada Kun Hong, mengerahkan tenaga Yang-kang untuk membantu
tenaga di dalam tubuh pemuda itu menindih tenaga Im.
Dengan
penambahan tenaga Yang-kang yang amat kuat dari kakek ini, ternyata tenaga Im
di tubuh Kun Hong yang meliar itu dapat ditundukkan. Muka pemuda buta ini
sekarang lebih lama merahnya dari pada pucatnya, juga napasnya mulai kuat akan
tetapi tubuhnya semakin panas saja. Hal ini adalah karena dia masih pingsan
sehingga tidak mampu mengendalikan hawa Yang-kang di tubuhnya yang sekarang
sudah mulai bisa menguasai tubuhnya.
Setengah jam
kemudian Kun Hong sadar. Dia mengeluh dan cepat-cepat mengerahkan tenaga yang
hampir saja membuat tubuhnya meledak saking panasnya itu berputaran di seluruh
tubuh sehingga dia normal kembali. Song-bun-kwi melepaskan tangannya, keringat
membasahi seluruh tubuh dan setelah mengumpulkan tenaganya dia berkata,
"Waahh, berbahaya sekali. Jurusmu itu memang hebat bukan main, Kun Hong,
hebat dan amat berbahaya bagi lawan. Akan tetapi juga berbahaya bagi dirimu
sendiri."
Kun Hong
maklum bahwa dia telah ditolong, maka dia pun berlutut menghaturkan terima
kasih. "Mohon petunjuk Locianpwe," katanya sederhana.
Song-bun-kwi
menoleh kepada Su Ki Han yang menyaksikan semua itu dengan melongo penuh
keheranan dan kekaguman. Lalu kakek itu meloncat berdiri, menarik tangan Kun
Hong supaya berdiri.
"Marilah
kita turun gunung, biar nanti kujelaskan kepadamu. Ki Han, kau adalah murid
Thai-san-pai yang setia dan jujur, mudah-mudahan kejadian semua ini akan
menambah pengertianmu dan memperdalam ilmumu. Kau berjagalah di sini, menunggu
kembalinya gurumu. Kami berdua tentu takkan tinggal diam, akan kubantu gurumu
mencari puterinya. Hayo, Kun Hong, kita pergi!" Kakek itu mengandeng
tangan Kun Hong. Keduanya melesat lenyap dari puncak itu.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment