Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Buta
Jilid 08
Pada suatu
hari kakek ini memasuki sebuah kota pelabuhan di pantai timur yang cukup ramai,
karena kota ini selain menjadi pusat perdagangan para pedagang laut yang datang
dari selatan dan utara, juga terkenal sebagai pintu keluar hasil-hasil bumi dan
akar-akar obat. Sayangnya sering kali kota ini diganggu bajak laut Jepang
sehingga sebagian besar pedagangnya datang dari lain kota dan jarang yang
mendirikan bangunan di situ.
Sudah
menjadi kebiasaan setiap orang pedagang keliling yang membawa banyak barang berharga,
mesti ada saja pengawalnya yang terdiri dari jagoan-jagoan pengawal bayaran
yang lajim disebut piauwsu. Pengawal-pengawal bayaran dan para pedagang inilah
yang meramaikan restoran-restoran yang banyak dibuka di situ sehingga begitu
memasuki kota ini, Song-bun-kwi segera mengembang kempiskan hidungnya karena
mencium bau harum masakan yang sedap dan gurih.
"Gurih...
gurih... wah betapa sedapnya...!" dia menggerutu berkali-kali. Matanya
kemudian mencari-cari hingga akhirnya dia melangkah lebar memasuki sebuah
restoran yang paling besar dan berada di pinggir jalan besar dekat tempat
pemberhentian perahu-perahu. Bau amis perahu-perahu yang membawa muatan ikan
malah menambah sedap.
Kehadiran
kakek ini menarik perhatian orang. Betapa tidak. Seorang kakek yang usianya
kurang lebih tujuh puluh tahun, rambutnya jarang-jarang dan pendek setengah
gundul, kumis dan jenggot pendek-pendek pula dan kaku, sebagian besar sudah
putih. Pantasnya kepala seperti ini dimiliki seorang pendeta, akan tetapi
pakaiannya sama sekali bukan pakaian pendeta. Pakaian yang membungkus tubuh
tinggi besar kokoh kuat itu adalah pakaian petani yang kumal dan longgar.
Lengan bajunya lebar sekali seperti lengan baju tukang-tukang main sulap yang
menyembunyikan benda-benda di dalamnya.
"Heee,
pelayan!" suaranya menggeledek dan menggetarkan ruangan restoran itu.
"Bawa ke sini cepat seguci besar arak baik, tiga kati mi, dua kati daging
babi panggang dan tiga empat macam masakanmu yang paling terkenal. Lekas
kataku, perutku lapar nih!"
Sambil
menarik napas panjang dengan nikmat kakek ini menjatuhkan diri ke atas sebuah
bangku yang lantas mengeluarkan bunyi mengenaskan karena hampir tak kuat
menadahi tubuhnya yang besar dan berat itu, lalu jari-jari tangan kanannya
mengetruk-ngetruk meja di depannya sampai meja itu bergoyang-goyang. Semua tamu
yang duduk di situ menoleh dan memandang heran. Di mana di dunia ini ada orang
yang begitu gembul? Tiga kati mi dan dua kati daging ditambah lagi tiga macam
masakan, masih didorong masuk oleh seguci besar arak, bukankah itu jumlahnya
lebih sepuluh kati? Perut manusia biasa mana kuat dimasuki sepuluh kati makanan
sekaligus?
Juga
pelayan-pelayan saling pandang, tak ada yang menyanggupi karena mereka merasa
ragu-ragu. Selain aneh, juga harga masakan-masakan yang dipesan itu bukanlah
sedikit uangnya!
Kakek itu
merasa juga akan keraguan muka pelayan ini. Dia menggereng dan tangannya
menekan meja di hadapannya yang tiba-tiba ambles ke bumi sampai setengahnya
lebih! "Heh, pelayan-pelayan. Kalian ini manusia-manusia ataukah patung?
Kalau patung tunggu kublesekkan kalian ke dalam tanah seperti meja ini!"
Kagetlah
semua orang, kaget dan jeri. Juga para pelayan berseliweran dan separuh lari
menyediakan pesanan kakek itu. Mereka tak peduli lagi apakah kakek itu nanti bisa
bayar atau tidak, itu urusan pengurus restoran. Paling perlu cepat-cepat
sediakan pesanannya agar mereka selamat!
Dengan
senyum manis dibuat-buat sehingga senyuman itu pringas-pringis mengandung
perasaan takut, para pelayan lalu antri mengantarkan makanan-makanan yang
dipesan Song-bun-kwi dan mengaturnya di atas meja yang rendah itu. Begitu
selesai mereka terbirit-birit menjauhkan diri. Juga para tamu yang nyalinya
kurang besar, cepat-cepat menghabiskan makanan, membayar dan pergi meninggalkan
tempat di mana terdapat kakek yang menyeramkan itu.
Akan tetapi
yang nyalinya besar, malah menjadi girang dan diam-diam ingin menyaksikan
perkembangan lebih lanjut dan menikmati keanehan yang jarang mereka lihat. Di
antara mereka itu terdapat seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun yang
duduk seorang diri di sudut restoran, laki-laki yang bermata tajam berhidung
betet berpakaian mentereng. Mencium bau arak dari sebuah guci besar yang berada
di atas sebuah meja di depannya, sepasang mata Song-bun-kwi bersinar-sinar. Dia
telah amat rindu melihat arak, kini begitu bertemu dia segera menyambar guci,
mengangkatnya ke atas maka terdengarlah suara bergelogok seperti suara air
pancuran jatuh di kolam. Tak setetes pun terbuang.
Setelah agak
lama mulut-mulut orang yang menyaksikan ini melongo, baru Song-bun-kwi
meletakkan guci itu kembali ke atas meja dan setengah isinya sudah ia pindah ke
dalam perutnya. Tanpa mempedulikan mata orang-orang yang berada di situ, dia
menyambar sumpitnya dan segera menyikat masakan-masakan di depannya. Seperti
mesin saja sumpit-sumpitnya bergerak. Seperti disulap, mi, daging dan
masakan-masakan itu terbang ke dalam mulutnya, dikunyah sebentar lalu masuk ke
dalam lubang di kerongkongannya. Kadang-kadang masakan itu menyesakkan
kerongkongan karena terlalu dijejal, dan terpaksa harus didorong arak
menggelogok.
Tiba-tiba
terdengar suara ribut-ribut di luar, disusul orang lari berserabutan ke sana ke
mari. Ramai orang berteriak-teriak, "Bajak laut...! Bajak laut!"
Di dalam
restoran itu sendiri terjadi keributan luar biasa. Para tamu lari berserabutan
ke luar, pelayan-pelayan lari pula sambil membawa barang-barang yang dianggap
berharga, pengurus restoran membawa lari uang. Semua lari berserabutan
meninggalkan tempat itu. Nelayan-nelayan, pedagang-pedagang dan mereka yang
merasa memiliki barang-barang berharga cepat-cepat berlarian meninggalkan
tempat itu. Hanya mereka yang merasa tak mempunyai apa-apa, tidak lari, hanya
bersembunyi dengan muka pucat ketakutan.
Sejenak
Song-bung-kwi menengok, lalu makan terus tanpa mempedulikan kegaduhan di
sekelilingnya. Restoran itu sekarang kosong, kecuali laki-laki yang berpakaian
mentereng tadi. Tapi laki-laki ini pun nampak tegang dan beberapa kali meraba
gagang golok yang tersembunyi di balik jubah panjangnya. Matanya memandang ke
luar, ke arah laut.
Dengan
kecepatan luar biasa, beberapa buah perahu kecil runcing berlayar ke pantai.
Perahu-perahu ini agaknya diturunkan dari sebuah perahu besar yang berlabuh
beberapa li dari pantai dan di setiap kepala perahu kecil ini berkibar bendera
putih dengan gambar tengkorak hitam. Itulah perahu-perahu bajak laut yang
datang menyerbu kota pelabuhan ini. Jumlah perahu kecil ada sembilan buah,
masing-masing ditumpangi lima orang anak buah bajak. Seorang lelaki gemuk
pendek tampak berdiri di kepala perahu terdepan, tangannya memegang sebatang
pedang yang besar dan panjang, pedang bengkok model Jepang.
"Bajak
laut Jepang...!"
"Si
Tengkorak Hitam...!"
Demikian
telinga Song-bun-kwi mendengar teriakan mereka yang lari ketakutan. Namun dia
pura-pura tidak mendengar dan makan terus. Para pedagang besar yang membawa
banyak barang dagangan dan dikawal oleh jagoan-jagoan pengawal, sibuk
mengumpulkan para jagoannya untuk melindungi barang mereka. Yang berani menjaga
barang yang dipercayakan mereka hanya pengawal-pengawal yang merasa dirinya
berkepandaian dan memiliki banyak teman saja, sedikitnya belasan orang anak
buah.
Begitu
bajak-bajak itu mendarat, terdengar teriakan-teriakan mereka yang menyeramkan.
Golok dan pedang mereka angkat tinggi-tinggi dan dengan pekik serta
sorak-sorai, para bajak ini menyerbu ke darat. Segera terjadi pertempuran
dengan para jagoan pengawal yang jumlah semuanya tidak kurang dari tiga puluh
orang. Hiruk-pikuk suara yang bertempur. Bunyi senjata tajam yang beradu
mendencing-dencing, diiringi dengan pekik kesakitan dan sorak kemenangan yang
mulai terdengar bersama muncratnya darah dan robohnya tubuh manusia.
Lima orang
anak buah bajak lari ke dalam restoran besar. Mereka berteriak-teriak girang
karena membayangkan pesta pora. Alangkah heran hati mereka ketika melihat
betapa di dalam restoran besar itu terdapat dua orang tamu yang masih belum
pergi. Seorang kakek gundul berusia lanjut enak-enakan saja makan, sedikit pun
tidak melirik kepada lima orang bajak yang memasuki restoran. Malah ketika
seorang bajak memekik sambil menendang meja hingga terguling, ia malah
mengangkat guci araknya dan minum seenaknya. Orang ke dua adalah laki-laki
berpakaian mewah yang duduk tenang-tenang saja, dengan tangan di gagang
goloknya.
Para bajak
itu memang sudah terlalu lama berada di tengah lautan dan kini melihat kakek
itu makan minum, mereka lantas menjadi mengilar. Maka berebutanlah empat orang
lari menghampiri Song-bun-kwi, sedangkan seorang di antara mereka tertarik
dengan pakaian mewah laki-laki yang duduk di pojok, maka dia lari kepada orang
itu. Sambil mengeluarkan kata-kata yang sama sekali tidak dimengerti oleh
Song-bun-kwi, empat orang bajak itu menyerbu. Ada yang menghantam kepala gundul
kakek itu, ada yang membacok lehernya dengan golok, dan ada pula yang menyambar
guci arak untuk merampasnya. Kesudahannya hebat sekali.
Kakek itu
tanpa menoleh barang sedikit, menggerakkan tangan yang memegang sumpit,
perlahan saja namun cepat seperti kilat menyambar. Empat orang bajak seketika
seperti orang terlongong, kemudian membalikkan tubuh dan berjalan
terhuyung-huyung ke pintu restoran, mulut mereka bergerak-gerak hendak memekik
akan tetapi yang keluar hanya suara mengorok bagai babi disembelih! Dan sebelum
mereka tiba di tempat teman-teman mereka di luar, robohlah mereka, terkulai
satu demi satu, dan hampir berbareng mereka mengeluarkan suara jeritan ngeri!
Kepala bajak
yang gemuk pendek itu hebat sekali. Pedangnya yang panjang dan bengkok
menyambar-nyambar dan banyaklah jagoan pengawal roboh dengan leher putus atau
pun dada robek oleh pedangnya. Akan tetapi selagi enak dia mengamuk, seorang
temannya berteriak sambil menuding ke arah empat orang anak buah yang roboh
tanpa diserang lawan itu.
Si kepala
bajak sekali melompat sudah tiba di situ. Dengan kaki kirinya dia
membalik-balikkan tubuh empat orang anak buahnya dan... ternyata mereka telah
putus nyawanya dengan mata mendelik, mulut berdarah sedangkan leher mereka
nampak bolong sebesar jari tangan!
Mata kepala
bajak itu menjadi merah saking marahnya. Dia juga merasa heran sebab tak
melihat ada lawan di dekat empat orang anak buahnya ini. Matanya lalu
mencari-cari dan terlihatlah olehnya cucuran-cucuran darah merah yang tercecer
sepanjang jalan mulai dari tempat itu ke pintu restoran.
Dilihatnya
seorang kakek duduk di dalam restoran. Tampak pula seorang anak buahnya tengah
bertempur dengan seorang lelaki yang mainkan golok. Jelas bahwa anak buahnya
itu terdesak hebat. Sambil memekik dengan suara yang keluar dari dasar perut,
kepala bajak yang berjuluk Tengkorak Hitam ini kemudian berlari, pedangnya
teracung ke depan, mulutnya memekik panjang.
"Yaaaaaaa…!!"
Dua orang
jagoan pengawal mengira bahwa kepala bajak itu hendak menerjang mereka,
berbareng dua orang ini memapakinya dengan pedang mereka. Akan tetapi bukan
main hebatnya kepala bajak ini. Tanpa menghentikan larinya ke arah restoran,
pedang panjang di tangannya berkelebat dan... dua orang jagoan pengawal itu
rebah dengan perut robek dan isi perutnya berantakan ke luar!
Kepala bajak
terus berlari tanpa menghentikan pekiknya yang panjang menyeramkan itu. Akan
tetapi begitu sampai di ambang pintu restoran, tiba-tiba dari dalam ada
bayangan menubruknya. Si Tengkorak Hitam yang baru saja berhenti memekik
panjang, sekarang membentak.
"Yaaaaattt…!"
pedangnya yang bengkok panjang itu bergerak ke depan dan berkelebat menyilaukan
mata.
"Craaaatttt!"
Pedang yang
amat tajam itu membabat pinggang bayangan itu yang... putus menjadi dua. Darah
menyembur-nyembur mengerikan dibarengi suara terbahak-bahak si kepala bajak
yang tertawa girang.
Tiba-tiba
suara ketawanya berhenti ketika dia mendengar suara mendengus penuh ejekan di
dalam restoran. Ketika dia menundukkan muka memandang, tiba-tiba muka Tengkorak
Hitam menjadi pucat. Kiranya bayangan yang dibacoknya putus menjadi dua tadi
adalah anak buahnya sendiri yang agaknya telah dilemparkan lawan.
Dia
mengarahkan pandang matanya yang berapi-api ke dalam restoran. Kakek itu masih
duduk makan minum sedangkan laki-laki bergolok yang tadi bertempur melawan anak
buahnya sekarang berdiri dengan golok melintang di depan dada.
Tengkorak
Hitam tak dapat menahan kemarahannya lagi. Sekali lagi dia memekik panjang dan
lari menyerbu ke dalam restoran, langsung menerjang si pemegang golok.
Biasanya, setiap sabetan pedangnya tidak pernah gagal, kalau tidak merobohkan
lawan, sedikitnya melukai atau mematahkan senjatanya. Akan tetapi sekali ini
dia salah duga.
Pedangnya
bertemu dengan sebuah golok yang kuat hingga terdengar suara berdencing nyaring
yang dibarengi muncratnya bunga api berhamburan. Cepat-cepat kedua lawan ini
menarik senjata masing-masing, memeriksa sebentar, lega mendapat kenyataan
bahwa senjata masing-masing tidak rusak.
Tengkorak
Hitam lagi-lagi menerjang, sekali ini gerakannya lebih kuat dan cepat sekali.
Pedangnya berkelebat tiada henti, membobat-babit dari kanan kembali ke kiri,
dari atas ke bawah seperti seorang akrobat mainkan dua obor api. Laki-laki
bergolok itu beberapa kali mengeluarkan seruan kaget karena hampir saja
pertahanannya bobol, akan tetapi dia terus melawan sedapat mungkin dengan
permainan goloknya.
Song-bun-kwi
tidak pedulikan itu semua, masih saja makan minum. Melirik pun tidak dia. Akan
tetapi ketika araknya habis, dia melingukan ke sana ke mari, kemudian mulutnya
mendamprat, "Pelayan keparat! Ke mana kalian? Hayo tambah lagi arak seguci
penuh!"
Tentu saja
tidak ada setan yang menjawabnya karena semua pelayan sudah melarikan diri jauh
dari tempat itu. Song-bun-kwi marah-marah, digebraknya meja sampai
mangkok-mangkok yang kosong bergulingan. "Pelayan ke mana kalian
pergi?"
Tiba-tiba si
pemegang golok yang menjawab, "Locianpwe, semua pelayan lari ketakutan
karena bajak ini!"
Baru
sekarang Song-bun-kwi menengok dan melihat pertempuran itu. Dia melihat seorang
laki-laki pendek gemuk berkepala botak kelimis tetapi di sebelah pinggir dan
belakangnya berambut gemuk hitam. Laki-laki pendek gemuk ini tidak berbaju,
hanya memakai celana panjang yang komprang (kebesaran). Tubuhnya kelihatan kuat
sekali, ada pun permainan pedangnya aneh bukan main, namun tak boleh dibilang
lemah.
Sepintas
lalu Song-bun-kwi dapat menilai si pemegang golok memainkan ilmu golok dari
selatan. Kepandaian orang ini tidak lemah, akan tetapi agaknya tidak kuat
menandingi ilmu pedang aneh bajak pendek itu.
Timbul
kemarahan Song-bun-kwi kepada bajak itu. Benar-benar tidak memandang mata
kepadanya. Sedang enak-enak makan berani datang mengacau sampai semua pelayan
lari. Dengan langkah lebar dia menghampiri tempat pertempuran.
"Heh,
babi buntung! Berani kau membikin kacau sampai semua pelayan pergi, ya? Hayo
kau gantikan pekerjaan mereka, layani aku baik-baik!"
Si pemegang
golok yang sempat melihat cara Song-bun-kwi mengalahkan empat orang bajak tadi,
dapat mengerti bahwa kakek itu adalah seorang sakti. Maka sekarang melihat
kakek itu mau turun tangan, dia pun cepat memutar goloknya lalu melompat ke
samping menjauhi kepala bajak yang lihai.
Tengkorak
Hitam terkejut mendengar bentakan Song-bun-kwi. Agaknya dia sudah sering kali
menjelajah pantai timur ini sehingga dia mengerti juga bahasa daerah itu.
Dengan kaku dia membentak sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.
"Iblis
tua bangka, kau memaki siapa?!"
"Memaki
kau, siapa lagi? Hayo lekas ambilkan arak seguci!" Song-bun-kwi membentak.
Bukan main
marahnya Tengkorak Hitam. Dia adalah seorang kepala bajak yang sudah terkenal.
Hanya di seberang sini saja dia menjadi kepala bajak, kalau sudah pulang ke
seberang sana membawa barang-barang rampasan, dia adalah seorang yang mempunyai
gedung indah dan dihormati semua orang. Sekarang dia dihina oleh seorang tua
bangka, padahal biasanya di seberang sana dia amat ditakuti orang, tentu saja
dia marah sekali. Pedangnya diobat-abitkan di atas kepala, kata-katanya tidak
jelas dan tercampur bahasa Jepang,
"Bakeiroo...!
Kau mau mampus, ya?"
Pedang itu
menyambar ke arah leher Song-bun-kwi, agaknya hanya dengan sekali tebas saja Si
Tengkorak Hitam hendak menjadikan kakek itu setan tanpa kepala. Song-bun-kwi
mendengus sambil bangkit berdiri, lalu tangan kirinya membabat dari samping
memapaki pedang.
"Krekkk!"
Pedang itu
patah-patah menjadi tiga potong saking hebatnya gempuran tangan kakek ini. Si
kepala bajak seketika pucat, terbelalak memandang pedang yang tinggal gagangnya
saja itu.
Namun dia
adalah seorang bajak laut yang buas dan tak kenal takut. Sambil
menyumpah-nyumpah dia membanting gagang pedangnya dan segera kaki tangannya
bergerak-gerak mempergunakan ilmu gulat yang sangat dia andalkan. Jari-jari
tangannya terbuka seperti cengkeraman, siap untuk menangkap lawan dan diangkat
serta dibantingkan.
Biasanya dia
tidak pernah gagal dalam membanting lawan menggunakan ilmu ini. Malah lawan
yang jauh lebih muda dan lebih tinggi besar dari pada kakek itu juga pernah dia
permainkan, dia banting-banting seperti penatu membanting cuciannya.
Song-bun-kwi
tidak mengenal ilmu berkelahi semacam ini, tetapi melihat kuda-kuda yang
diberatkan ke bawah dan melihat pula kedua tangan yang siap mencengkeram, dia
dapat menduga bahwa ilmu ini tentulah semacam Ilmu Kim-na-chiu, yaitu ilmu
tangkap atau ilmu gulat. Dia terkekeh lalu mengulurkan tangan kirinya, sengaja
dia berikan untuk ditangkap lawan!
Seorang ahli
silat tentunya akan ragu-ragu dan tidak berani menerima umpan selunak ini.
Namun Tengkorak Hitam agaknya tidak mengenal istilah umpan dalam ilmunya
berkelahi, atau memang dia terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri sehingga
umpan itu pun dia caplok mentah-mentah.
Cepat
laksana bintang jatuh dia menerkam maju dan di lain saat lengan kiri Song-bun-kwi
sudah ditangkapnya, diputar dengan gaya selicin belut, kemudian tubuhnya
menyelinap dan membalik sehingga kedudukan lengan Song-bun-kwi terbalik dan
dilandaskan di atas pundaknya. Dia lalu mengerahkan tenaga dari perut sambil
memekik keras, menggentak lengan kiri kakek itu dengan gaya melemparkan tubuh
si kakek ke atas melewati pundak dan punggungnya.
Tubuh itu
terlempar ke atas sampai membentur langit-langit rumah, lalu jatuh menimpa meja
makan yang belum keburu dibereskan sehingga kuah masakan di dalam mangkok
memercik ke atas menyiram muka orang yang jatuh itu. Tapi bukan tubuh
Song-bun-kwi yang terlempar, melainkan tubuh Tengkorak Hitam sendiri!
Kepala bajak
ini gelagapan, cepat menyusuti mukanya, terengah-engah meloncat turun dari
kursi. Kepalanya digoyang-goyang keras seperti laku seekor anjing habis
kecemplung kolam, matanya terbeliak memandang kakek itu seakan-akan dia tidak
percaya bahwa yang baru saja dia alami bukanlah mimpi buruk.
Sambil
menahan rasa nyeri di seluruh tubuhnya kembali dia menggereng dan menubruk.
Kali ini ia menangkap kaki Song-bun-kwi. Kakek itu hanya berdiri dan tunduk
memandang orang pendek yang nekat itu. Tengkorak Hitam berkutetan, mengerahkan
tenaga untuk mengangkat kaki itu supaya dia mendapat peluang untuk melontarkan
si kakek. Namun kaki itu tak bergeming sedikit pun juga. Sampai payah dia
mengerahkan semua tenaga perut, mulutnya terengah-engah.
Mendadak
kaki itu terangkat sedikit. Girang hatinya. Mampus kau sekarang tua bangka,
pikirnya. Tubuhnya menyelinap ke bawah selakangan kakek itu, kaki itu di
pundaknya dan kini dia mengerahkan seluruh tenaganya sambil menggentak.
"Bulllll!"
Seperti
layang-layang putus talinya tubuh itu mumbul ke atas, sekali lagi menghantam
langit-langit sampai jebol kemudian terbanting ke bawah membikin remuk bangku
yang ditimpanya. Juga kali ini tubuh Tengkorak Hitamlah yang melayang-layang,
bukan tubuh si kakek kosen.
Sakit,
marah, dan malu memenuhi benak Tengkorak Hitam, apa lagi ketika dia melihat
betapa mulai berdatangan orang menonton. Dia pun menjadi nekat dan sekarang
hendak menggunakan ilmu pukulan. Dia menerjang lagi dengan tangan terkepal.
Tiba-tiba
tubuhnya yang merunduk dengan kepala di depan seperti laku seekor domba hendak
menanduk ayam, berhenti di tengah jalan, tepat di muka kakek itu. Kepalanya
tertahan sesuatu. Matanya melirik dan alangkah marahnya melihat bahwa kakek
itulah yang menahan kepalanya dengan telapak tangan. Dia mengumpat caci, kedua
tangannya menghantam bergantian, disusul kakinya yang juga mengirim tendangan-tendangan
maut.
Akan tetapi,
serangan-serangannya mengenai tempat kosong belaka, atau tegasnya, tak dapat
mencapai ke tubuh si kakek. Seperti diketahui, bajak laut ini bertubuh pendek,
dua lengannya pun pendek-pendek sekali, demikian pula kedua kakinya. Tentu saja
setelah kakek itu yang bertubuh tinggi besar dan berlengan panjang menahan
kepalanya dengan lengan diluruskan, semua pukulan dan tendangannya gagal, tidak
sampai ke sasarannya.
Terdengar
suara ketawa di sana-sini. Bajak itu marah sekali, kini ia menghantam lengan
yang menahan kepalanya. Namun sia-sia saja, malah kedua tangannya sakit-sakit
seperti menghantam baja layaknya.
Tiba-tiba
dia merasa betapa telapak tangan yang menahan kepalanya itu menjadi panas
sekali. Dia berusaha menarik kepalanya yang botak, namun alangkah kagetnya
ketika merasa betapa botaknya itu lengket pada telapak tangan lawan. Dan
panasnya tak dapat dia menahannya lebih lama, seakan-akan botaknya ditempel
arang merah!
Dia mulai
mengerling ke luar restoran dan tanpa malu-malu lagi mulutnya berteriak-teriak
memanggil anak-anak buahnya agar membantunya melawan kakek yang aneh ini. Akan
tetapi, begitu matanya mengerling ke luar, seketika wajahnya pucat. Apa yang
dilihatnya?
Satu pun
batang hidung anak buahnya sudah tidak kelihatan, bahkan sebuah perahunya pun
tidak tampak lagi. Pantas saja banyak orang berdatangan menonton pertunjukan di
dalam restoran, kiranya sekarang di luar restoran sudah tidak ada bajak laut
lagi!
Apakah
sebetulnya yang telah terjadi di luar restoran? Seperti telah kita ketahui,
pada saat kepala bajak itu beraksi di depan Song-bun-kwi, para bajak laut itu
sedang bertempur menyerbu para jagoan pengawal yang melawan mati-matian. Namun
karena kalah banyak jumlahnya, para pengawal itu kena desak dan mulai mundur
tak teratur. Mulai banyaklah berjatuhan korban di kedua pihak, terutama sekali
di pihak para pengawal.
Pada saat
itu terdengar bentakan mengguntur, disusul suara nyaring, "Keparat
jahanam! Beginikah perbuatan kalian di sini? Dari rumah mengaku berdagang,
kiranya melakukan perampokan. Bajak-bajak keparat, membikin malu saja kalian
ini. Hayo pergi!"
Yang
membentak ini adalah seorang laki-laki muda yang bertubuh tegap dan kokoh kuat.
Wajahnya membayangkan kegagahan, bajunya terbuat dari kain tipis sehingga
terbayang dadanya yang bidang. Rambutnya hitam panjang dan gemuk, digelung ke
atas dengan model yang asing, dijepit di bagian atas dengan hiasan rambut
perak.
Sebatang
pedang yang panjang sekali dan bentuknya agak melengkung tergantung pada
pinggangnya. Pedang ini sarung dan gagangnya berukir kembang-kembang indah,
merah warnanya, dengan ronce-ronce merah pula, gagangnya agak panjang.
Para bajak
laut kaget sekali mendengar suara bangsanya sendiri, karena pemuda itu tadi
menggunakan bahasa Jepang. Sesudah menengok, mereka lebih kaget lagi karena
dari dandanan, sikap, dan pedang pemuda itu, amat mudah diterka bahwa pemuda
itu adalah seorang pendekar Samurai, yaitu kaum pendekar pedang yang amat
terkenal di Jepang.
Akan tetapi
karena pendekar itu masih amat muda, paling banyak baru dua puluh tahun
usianya, apa lagi karena bajak laut itu mengandalkan banyak teman dan bukan
berada di daratan sendiri, mereka tidak takut.
"Berhenti
dan pulang semua kataku!" Pendekar Samurai muda itu berseru lagi, suaranya
benar-benar nyaring dan wibawa.
Ketika para
bajak itu tidak mempedulikannya, tiba-tiba dia menggerakkan kedua tangan, sinar
kemerahan berkelebat-kelebat menyambar bagaikan kilat di musim hujan. Terdengar
pekik dan jerit di sana-sini dan di mana sinar kemerahan itu tiba, tentu ada
bajak yang roboh dengan senjata mereka terlempar atau patah!
"Hayo
siapa tidak menurut, akan kubasmi di sini juga. Memalukan orang-orang macam
kalian ini!" lagi-lagi si pemuda berteriak. "Samurai Merah tak
mengijinkan kalian merusak nama kehormatan bangsa!"
Melihat
sepak terjang pemuda itu dan mendengar nama sebutan Samurai Merah, para bajak
menjadi kaget dan ketakutan bukan main. Itulah nama pendekar yang amat terkenal
kebengisannya terhadap kaum penjahat. Kawanan bajak itu segera membuang senjata
masing-masing, menyambar tubuh teman-teman yang luka atau tewas, lalu
berserabutan lari ke perahu masing-masing.
Dalam
sekejap mata saja bajak-bajak itu sudah berlayar pergi, tidak merampok apa-apa
hanya meninggalkan korban-korban di pihak pengawal dan saking bingung serta
takutnya mereka tadi lupa bahwa pemimpin mereka, si Tengkorak Hitam masih
tertinggal di dalam restoran!
Para
pengawal kagum dan berterima kasih kepada pendekar Jepang itu. Akan tetapi
berbareng dengan kaburnya para bajak laut, pendekar muda Jepang itu pun lenyap
dari situ. Apakah dia ikut dengan perahu-perahu bajak atau tidak, tak seorang
pun mengetahui karena tadi keadaannya kacau-balau.
Akan tetapi
ketika orang-orang ini mendengar adanya pertempuran lain di dalam restoran,
segera mereka mendatangi tempat ini. Ternyata mereka menjadi saksi akan
pertandingan yang lebih menarik lagi karena lucu sekali. Juga para jagoan
pengawal itu diam-diam kaget dan kagum ketika mengenal bahwa yang sedang
dipermainkan kakek tua itu bukan lain adalah Tengkorak Hitam, si kepala bajak
yang terkenal akan kekejaman, keganasan dan juga kesaktiannya.
Pertempuran
di dalam restoran itu memang lucu sekali, terutama bagi para penonton yang
semuanya membenci si kepala bajak. Tengkorak Hitam seperti seekor cecak
terjepit pintu. Kepalanya yang botak menempel di telapak tangan kakek itu yang
diluruskan ke depan.
Pukulan dan
tendangannya gagal semua tidak mengenai sasaran, bahkan dia sekarang mulai
meringis-ringis dan keluar air mata dari kedua matanya tanpa dia sengaja. Air
mata ini keluar akibat saking nyerinya ketika dari telapak tangan itu keluar
hawa panas seperti api yang membakar kepalanya yang botak. Akhirnya dia tak
tahan lagi, menjerit-jerit dan melolong-lolong minta ampun dengan suaranya yang
pelo (cedal).
"Ampun,
orang tua gagah... ampun..."
Song-bun-kwi
mendengus. Dia pun tidak suka dijadikan tontonan. "Aku sedang makan kau membikin
ribut saja, menyebalkan sekali! Hayo lekas kau ambilkan tambahan arak!"
Sekali dia mendorongkan lengannya, kepala bajak itu terlempar ke belakang
menabrak bangku.
Dengan muka
pucat serta tubuh menggigil kepala bajak yang biasanya ditakuti orang ini
merangkak bangun, ada pun Song-bun-kwi dengan tenang duduk kembali ke bangkunya
menghadapi meja makan. Dengan kening berkerut dia mengomel panjang pendek.
"Menyebalkan!
Makanan ini sudah dingin semua, araknya sudah habis!"
Tiba-tiba
saja para pelayan berdatangan membawakan arak dan masakan-masakan baru. Seperti
main sulap saja tukang-tukang masak itu berlomba membuatkan masakan untuk kakek
yang gagah perkasa ini.
Ada pun
kepala bajak Si Tengkorak Hitam tadi sudah menjadi bulan-bulanan kemarahan para
penduduk dan para jagoan pengawal. Dia diseret keluar kemudian digebuki sampai
terkencing-kencing dan orang-orang baru menyudahi penyiksaan mereka setelah
kepala bajak yang sudah membunuh ribuan itu tak bernapas lagi. Setelah itu
barulah ramai-ramai mereka mengubur para korban dan merawat para pengawal yang
terluka.
Sebentar
saja kota pelabuhan itu menjadi ramai kembali seperti biasa. Kali ini memang
sepatutnya mereka bergembira karena bukankah bajak laut-bajak laut yang
menyerbu itu selain dapat dihancurkan, juga kepalanya sudah dapat ditewaskan?
Jarang terjadi hal ini sehingga patut mereka bergembira.
Song-bun-kwi
menoleh ke arah laki-laki yang tadi merupakan orang satu-satunya yang tidak
lari dari restoran. Kebetulan laki-laki itu juga memandang kepadanya dan
laki-laki itu cepat berdiri membungkuk dengan hormat lalu berkata,
"Saya
merasa tunduk dan kagum sekali atas kegagahan locianpwe."
Song-bun-kwi
mengerutkan keningnya yang mulai beruban, lalu dia melambaikan tangan,
"Hayo kau ikut makan dengan aku. Meski pun kepandaianmu tidak seberapa,
akan tetapi keberanianmu membikin kau cukup berharga untuk makan
bersamaku."
Laki-laki
itu tidak merasa tersinggung atau tak senang mendengar kata-kata yang angkuh
ini. Cepat dia datang sambil membungkuk-bungkuk menyatakan terima kasihnya.
Dengan lagak amat sopan dia lalu menarik bangku dan duduk di depan
Song-bun-kwi.
Menyaksikan
sikap merendah-rendah ini diam-diam Song-bun-kwi mendapat kesan tidak baik dan
menganggap laki-laki ini sikapnya terlalu menjilat-jilat. Akan tetapi karena
sudah terlanjur, dia lalu menyilakan laki-laki itu menikmati minuman dan
masakan yang sudah disediakan oleh para pelayan yang merasa amat berterima
kasih kepada dua orang itu karena sesungguhnya apa bila tidak ada dua orang
tamu itu, tentu restoran mereka sudah habis dan rusak oleh para bajak.
Akhirnya
Song-bun-kwi merasa kenyang juga. Dengan lengan bajunya yang lebar dia
mengusapi mulutnya dan tangan kirinya mengelus-elus perut. Laki-laki di
depannya itu membungkuk sambil tersenyum dan berkata,
"Locianpwe
yang gagah perkasa, nama saya Teng Cun Le dari kota raja, hanya seorang
pelancong biasa. Bolehkah kiranya saya mengetahui nama Locianpwe yang
mulia?"
Sebal hati
Song-bun-kwi mendengar ini. Dia sudah menyesal dan kecewa mengapa dia tadi
mengundang orang ini yang kiranya hanya mendatangkan kesebalan di hatinya dan
mengganggu ketenteramannya seorang diri. Dengan gerakan tangan seakan tidak
sabar dia menjawab, "Aku she Kwee... sudahlah."
Tiba-tiba
dia teringat sesuatu dan cepat berkata, "Kau tentu tahu akan semua
bajingan di daerah pantai timur ini, bukan?"
Orang itu
terkejut, gugup bagaimana harus menjawab. Tapi segera dia dapat menguasai
hatinya. "Apakah yang Locianpwe maksudkan? Jika yang dimaksudkan
bangsat-bangsat cilik tiada nama, tentu saja saya tidak kenal. Akan tetapi
tokoh-tokoh besar di pantai timur ini banyak juga yang saya ketahui."
Wajah
Song-bun-kwi yang biasanya laksana kedok itu kini membayangkan kegirangan,
"Bagus, kalau begitu, hayo lekas kau tunjukkan di mana tempat tinggal si
iblis bangkotan Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang?"
"Tentu
saja aku tahu, Locianpwe. Akan tetapi pada saat ini hwesio tua itu tidak berada
di kelentengnya. Saya mendengar dari teman-teman bahwa dia sering kali
berkunjung dan tinggal di tempat lain..."
"Sayang
sekali!" Song-bun-kwi membanting kakinya sehingga tanah dalam rumah makan
itu tergetar.
Kembali
laki-laki yang mengaku bernama Teng Cun Le itu tercengang kagum.
"Jauh-jauh
kucari iblis bangkotan itu, hendak kuajak dia bertanding selama tiga malam,
kiranya dia malah minggat dan kabur! Huh, Thai-lek-sin iblis tua bangka, apa
kau sudah menduga akan kunjunganku ke sini lalu kabur? Sayang...!" Sesudah
berkata demikian, Song-bun-kwi bangkit dari bangkunya, kemudian tanpa pamit
kepada siapa pun juga pergi meninggalkan restoran itu!
Para pelayan
berikut para pengurus semua mengantar sambil membungkuk-bungkuk dan mulut
mereka berdendang, "Selamat jalan, pendekar tua yang gagah perkasa!"
Namun
Song-bun-kwi tidak mempedulikan mereka dan tidak peduli pula bahwa dia tidak
membayar makanan, tidak peduli betapa orang-orang memandangnya dengan kagum dan
penuh hormat. Dia terus saja melangkah lebar keluar dari restoran, tidak mau
tahu biar pun dia bisa melihat betapa lelaki yang mengajaknya bicara tadi
melemparkan beberapa keping uang perak ke atas meja makan, dan betapa para
pengurus restoran berusaha menolak pembayaran yang royal ini.
Namun sebal
juga hati Song-bun-kwi ketika mendapat kenyataan bahwa Teng Cun Le itu
mengejarnya sambil berlari-lari cepat! Setibanya di luar kota pelabuhan itu,
Song-bun-kwi membalikkan tubuh, tangannya mendorong dan... Teng Cun Le roboh
terjungkal!
Baiknya,
meski marah Song-bun-kwi yang berwatak aneh itu masih ingat akan kegagahan
orang ini ketika melawan para bajak tadi, maka tidak bermaksud mengambil
nyawanya. Maka dia hanya merasa terdorong oleh tenaga raksasa sehingga orang
itu tidak mampu mempertahankan diri lagi dan roboh. Dengan rasa kaget dan muka
pucat Teng Cun Le merangkak bangun karena seketika dia merasa tubuhnya lemas
dan kakinya menjadi lumpuh. Tahu-tahu kakek itu sudah berdiri di depannya
dengan muka merah.
"Cacing
busuk! Kau berani mengikuti dan mengganggu aku?" bentak Song-bun-kwi.
Melihat
kemarahan kakek itu, Teng Cun Le tidak jadi berdiri, malah terus saja berlutut
dan mengangguk-angguk. "Mohon beribu ampun, Locianpwe. Bukan sekali-kali
maksud saya untuk mengikuti apa lagi mengganggu Locianpwe, hanya saya amat
terdorong oleh rasa kagum… dan pula, teringat bahwa Locianpwe jauh-jauh datang
mencari Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang, agaknya saya dapat menunjukkan di mana
adanya hwesio itu sekarang ini agaknya..."
"Hemm,
kenapa tidak dari tadi kau bilang? Kalau tadi-tadi kau bilang, aku takkan
curiga padamu dan takkan membikin kau roboh. Orang she Teng, mari tunjukkan aku
di mana adanya hwesio bangkotan itu dan kau boleh ikut denganku untuk menonton
pertempuran menarik antara aku dan dia."
Song-bun-kwi
benar-benar gembira mendengar ada orang bisa mengantar dia kepada Thai-lek-sin.
Bagus untungnya, baru saja makan lezat sekenyangnya dan sedikit ‘berlatih’
dengan Tengkorak Hitam bajak Jepang, dan sekarang dapat pula berkelahi
sepuasnya melawan seorang tokoh setingkat!
Teng Cun Le
dengan wajah berseri-seri segera bangkit dan berkata gembira, "Wah, kalau
Locianpwe hanya ingin mencari lawan tangguh, kiraku kali ini Locianpwe akan
mendapat kepuasan. Menurut pendengaran saya, sering kali Thai-lek-sin Swi Lek
Hosiang datang mengunjungi Pek-tiok-lim, tempat tinggal sahabatnya."
"Pek-tiok-lim
(Hutan Bambu Putih)? Di mana itu? Tempat tinggal siapa?" Song-bun-kwi
mendesak gembira.
"Heran
sekali bahwa Locianpwe belum mendengar tentang Pek-tiok-lim! Di sana adalah
tempat tinggal seorang tokoh besar yang tak kalah terkenalnya bila dibandingkan
dengan Thai-lek-sin. Dia itu adalah Sin-kiam-eng (Si Pendekar Pedang Sakti),
ilmu pedangnya amat hebat dan anak perempuannya juga bukan main. Pendeknya,
bila Locianpwe dapat bertanding melawan dia, tentu akan puas betul. Akan
tetapi, saya benar-benar merasa ragu-ragu apakah saya akan mampu membawa
Locianpwe ke sana."
"Kenapa?"
Song-bun-kwi bertanya penasaran. Hatinya sudah panas mendengar orang ini
memuji-muji majikan dari Pek-tiok-lim itu.
"Pek-tiok-lim
adalah daerah yang penuh dengan rahasia. Jalan-jalannya sangat sukar dan
kabarnya, orang yang memasukinya berarti mengantar nyawa karena jangan harap
akan dapat keluar kembali dengan nyawa masih di badan."
Song-bun-kwi
tak menjawab, tangan kanannya bergerak memukul dan kakinya menyapu. Serangan
ini dia tujukan pada sebatang pohon besar, sebesar tubuh manusia batangnya dan
sekali kena dihajar tangan dan kaki kakek itu, terdengar suara keras dan pohon
itu seketika tumbang berikut akar-akarnya terjebol dari tanah. Dengan suara
hiruk-pikuk luar biasa pohon itu roboh dan orang she Teng itu buru-buru
melompat jauh karena khawatir tertimpa cabang-cabang pohon itu.
"Ha-ha-ha,
apakah pohon-pohon bambu putih itu kuatnya melebihi pohon ini?"
Song-bun-kwi
tertawa bergelak melihat orang itu ketakutan sampai mukanya pucat dan lidahnya
terjulur keluar.
"Hebat...
luar biasa... Locianpwe seperti malaikat...!" Teng Cun Le memuji.
Benar-benar
baru sekali ini selama hidupnya dia melihat manusia kosen ini. Diam-diam dia
merasa girang. "Saya percaya bahwa Locianpwe pasti akan sanggup menggempur
Pek-tiok-lim!"
Teng Cun Le
dengan girang lalu mengajak kakek itu berlari cepat menyusuri pantai timur itu
menuju ke utara. Pek-tiok-lim itu terletak di dekat pantai Laut Po-hai, dan
memang tempat ini sudah bertahun-tahun dijadikan tempat tinggal seorang tokoh
ilmu pedang yang terkenal, yaitu murid pertama dari mendiang Raja Pedang
Bu-tek-kiam-ong Cia Hui Gan.
Nama tokoh
ini adalah Tan Beng Kui dan mempunyai julukan Sin-kiam-eng. Seperti telah
disebut di bagian depan dari cerita ini, Tan Beng Kui ini merupakan kakak kandung
dari ketua Thai-san-pai, dan bukan lain adalah ayah dari pada si dara lincah
Tan Loan Ki yang sudah kita kenal baik itu.
Benarkah
Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang sering kali datang ke Pek-tiok-lim? Kenyataannya
tidak demikian! Sebetulnya tanpa disadarinya, Song-bun-kwi si tokoh yang
ditakuti dunia kang-ouw puluhan tahun yang lalu itu terkena bujukan halus.
Apakah kehendak Teng Cun Le dan mengapa dia melakukan hal ini?
Teng Cun Le
sebenarnya adalah seorang mata-mata dari istana. Dia adalah seorang di antara
banyak kepercayaan kaisar baru untuk melakukan penyelidikan ke daerah-daerah
melihat reaksi para tokoh daerah atas pengangkatan diri Pangeran Kian Bun Ti
menjadi kaisar, menggantikan kaisar tua yang meninggal dunia. Teng Cun Le ini
mendapat tugas memata-matai daerah pantai timur. Tentu saja seorang yang sudah
dipercayai tugas seperti ini mempunyai kepandaian yang cukup tinggi dan hal ini
sudah terbukti ketika dia menyaksikan penyerbuan para bajak laut. Selain
berkepandaian silat, juga orang yang diangkat menjadi mata-mata tentu saja
orang yang cerdik dan memang Teng Cun Le ini cerdik sekali orangnya.
Beberapa
hari yang lalu dia bertemu dengan seorang dara lincah yang sangat menarik
perhatiannya. Dara itu bukan lain adalah Loan Ki. Melihat seorang gadis muda
seorang diri melakukan perjalanan, Teng Cun Le maklum bahwa gadis ini tentulah
seorang gadis kang-ouw yang mempunyai kepandaian. Dia menjadi curiga dan
diam-diam melakukan pengintaian.
Sama sekali
dia tidak menduga bahwa gadis itu benar-benar amat lihai sehingga Loan Ki
diam-diam tahu bahwa dirinya diintai orang! Dasar ia seorang anak yang memiliki
watak nakal dan suka mempermainkan orang, maka sengaja gadis ini di dalam
kamarnya membuka buntalannya, memamerkan bekal uang dan tiga buah mutiara
Ya-beng-cu yang mengeluarkan cahaya di dalam gelap! Ia lakukan ini karena tahu
bahwa di luar kamar ada orang itu yang selalu mengintainya selama ini!
Teng Cun Le
menjadi terkejut dan gembira bukan main melihat tiga butir mutiara ini. Sebagai
seorang kaki tangan kaisar, tentu saja dia mengenal mutiara itu yang tadinya
menjadi penghias mahkota kuno yang telah hilang. Memang termasuk tugasnya untuk
mencari jejak bekas pembesar Tan Hok karena menurut perintah rahasia yang dia
terima, mahkota itu mengandung rahasia hebat dan harus dirampas kembali ke
istana. Sekarang dia melihat mutiara-mutiara itu, tentu saja girangnya bukan
kepalang. Jika ada mutiara itu tentu ada pula mahkotanya, dan kalau ada
mahkotanya tentu pengkhianat Tan Hok ada pula.
Loan Ki yang
nakal itu pura-pura tidak tahu bahwa ia selalu diikuti. Dengan enak-enakan ia
malah berjalan pulang ke Pek-tiok-lim seperti sengaja menunjukkan kepada orang
itu di mana tempat tinggalnya. Melihat betapa dengan berani mati orang itu
menguntitnya terus memasuki Pek-tiok-lim, diam-diam dia tertawa geli dan
sebentar saja dia lenyap di jalan rahasia dalam hutan wilayah ayahnya itu.
Celakalah
Teng Cun Le. Hampir saja binasa di dalam hutan ini. Untungnya dia sudah mulai
curiga dan sebelumnya sudah mencari keterangan mengenai keadaan di situ. Dia
sudah mendengar tentang Pek-tiok-lim, tempat kediaman tokoh besar Sin-kiam-eng
dan puterinya. Maka melihat keadaan hutan yang penuh bambu putih ini, dia
segera sadar dengan tengkuk meremang bahwa yang dia ikuti selama ini adalah
puteri Sin-kiam-eng. Hal inilah yang menolongnya karena dia segera meninggalkan
hutan itu dan kabur tanpa berani menoleh lagi.
Demikianlah
pengalaman Teng Cun Le. Hatinya masih merasa penasaran. Segera dia mengadakan
hubungan dengan kurir yang berkuda cepat ke kota raja. Alangkah kagetnya pada
saat dia mendengar berita bahwa memang mahkota kuno itu yang tadinya sudah
terampas oleh panglima istana Souw Ki, sudah dirampas kembali oleh seorang
gadis liar puteri Sin-kiam-eng.
Dia girang
bercampur bingung. Girang karena tahu betul bahwa mahkota itu tentu berada di
Pek-tiok-lim, namun bingung bagaimana dia dapat merampasnya kembali. Dia hendak
mengirim utusan ke istana, mengusulkan agar secara resmi kaisar mengutus
rombongan meminta kembali mahkota itu secara baik-baik dari Sin-kiam-eng. Kalau
kaisar yang meminta, sudah tentu akan dikembalikan dan tidak akan terjadi
sesuatu keributan. Andai kata Sin-kiam-eng berani menolak, berarti dia telah
memberontak dan boleh saja digempur menggunakan pasukan.
Sambil
menunggu keputusan, Teng Cun Le iseng-iseng mendatangi kota pelabuhan dan
secara tidak disengaja bertemu dengan Song-bun-kwi. Dia masih belum dapat
menduga siapa adanya kakek yang hebat ini, akan tetapi segera otaknya yang
cerdik bekerja ketika mendapat kenyataan betapa kakek sakti ini seperti
gatal-gatal tangannya hendak mencari lawan yang setingkat.
Maka, dia
kini hendak mempergunakan kesaktian kakek ini untuk memasuki Pek-tiok-lim,
menggunakan kesaktian kakek ini untuk merampas kembali mahkota itu. Dengan cara
ini, selain lebih cepat juga semua pahala akan terjatuh ke dalam tangannya….
"Heh,
keparat! Tua bangka gila dari mana yang berani mati merusak bambu peliharaan di
Pek-tiok-lim...?!" bentak dua orang penjaga yang bertubuh tinggi besar dan
bersenjata pedang.
Tentu saja
mereka ini marah sekali melihat betapa seorang kakek tinggi besar, sambil
tertawa-tawa mencabut, menendang, serta melempar-lemparkan bambu-bambu putih di
hutan itu begitu mudah seperti seorang mencabuti dan membuang-buang rumput
kering saja!
Semenjak
Pek-tiok-lim dimiliki oleh majikan mereka, jangankan manusia, malah setan pun
kiranya tak akan berani merusak tanaman di situ. Ehh, tahu-tahu sekarang ada
seorang kakek tua ini seperti seorang gila merusak tanaman dan di belakang
kakek itu berdiri seorang laki-laki berpakaian mentereng yang tertawa-tawa
juga.
Kakek itu
bukan lain adalah Song-bun-kwi. Dia sudah mulai merusak bambu-bambu yang berada
di luar hutan, dalam usahanya menyerbu Pek-tiok-lim untuk mencari Thai-lek-sin,
menantangnya dan sekalian menantang pemilik hutan ini, yang menurut orang she
Teng itu adalah seorang tokoh besar berjulukan Sin-kiam-eng. Sengaja
Song-bun-kwi mencari perkara. Hatinya yang masih mengkal terbawa dari Min-san
belum mencair dan dia mesti mendapatkan sesuatu untuk melampiaskan
kemendongkolan hatinya.
Melihat
munculnya dua orang penjaga yang memakinya, kakek itu diam saja seperti tak
mendengar dan tetap melanjutkan pekerjaannya merusak tanaman di situ. Tentu
saja dua orang penjaga itu marah sekali. Sambil membentak dan memaki mereka
menerjang kakek itu dengan kepalan tangan.
Akan tetapi
biar pun tak kompak kakek itu bergerak menangkis atau memukul, tahu-tahu dua
orang itu sendirilah yang terjengkang ke belakang dengan kepala benjol-benjol
akibat terbanting ke atas tanah yang berbatu! Mereka kaget, heran berbareng
marah. Sambil mengutuk keras mereka mencabut pedang.
"Kakek
gila, kau sudah bosan hidup!" teriak mereka sambil menerjang, kini dua
batang pedang itu menyambar dari kanan kiri.
Namun
Song-bun-kwi terus saja merobohkan dan mencabuti bambu-bambu putih tanpa
mempedulikan sambaran kedua pedang. Seperti juga tadi, dia tidak kelihatan
bergerak menangkis atau mengelak apa lagi memukul, tapi tahu-tahu dua orang itu
terjengkang ke kanan kiri dan pedang mereka terlepas dari tangan. Celakanya,
kini mereka jatuh menyusup ke tumpukan bambu yang telah dicabut sehingga
pakaian mereka menjadi robek semua. Tubuh mereka juga babak-bundas berdarah
akibat tertusuk batang-batang bambu.
"Ha-ha-ha,
anjing-anjing rendah. Apa mata kalian buta berani menyerang locianpwe ini?
Lebih baik lekas panggil ke sini majikan kalian untuk bicara." Teng Cun Le
menggunakan kesempatan ini untuk memancing keluar Sin-kiam-eng.
Dua orang
itu merangkak bangun lalu tiba-tiba seorang di antara mereka meniup sebuah
terompet kecil yang berbunyi nyaring. Song-bun-kwi terus saja melangkah maju
sambil merusak pohon-pohon bambu di kanan kirinya. Teng Cun Le mengikuti jejak
langkahnya, sama sekali tidak berani menyeleweng karena tahu bahwa di situ
banyak tempat rahasia. Sebentar saja mereka telah memasuki hutan...
Tiba-tiba
terdengar suara keras, tanah yang diinjak Song-bun-kwi melesak ke bawah dan
tubuh kakek itu tergelincir masuk! Teng Cun Le menjadi pucat wajahnya. Baiknya
tanah yang melesak ke bawah itu belum diinjaknya dan tepinya tepat berada di
depan kakinya sehingga dia dapat menyaksikan betapa tubuh kakek tinggi besar
itu tergelincir. Hebat dan ngerinya, dari bawah tanah lantas menyambar puluhan
batang bambu runcing seolah-olah dilontarkan ke atas. Tentu saja tubuh kakek
yang sedang tergelincir itu seperti dihujani bambu runcing dari bawah!
Akan tetapi
Song-bun-kwi sama sekali tidak kaget, malah mengeluarkan suara ketawa mengejek.
Kedua kakinya menendang ke kanan kiri, lengan bajunya juga mengebut ke
sekeliling tubuhnya. Ketika empat buah bambu runcing yang tepat menyambar di
bawah tubuhnya sudah mendekati kaki, dia malah menerima ujung bambu runcing itu
dengan kedua kakinya!
Teng Cun Le
hampir meramkan mata saking ngerinya karena apa bila kakek ini tewas, bukankah
berarti dia sendiri juga terancam malapetaka? Akan tetapi, anehnya, bambu
runcing empat buah itu sama sekali tidak menembus kaki si kakek, malah seperti
tangan-tangan orang mendorong kakek itu mencelat kembali ke atas dan di lain
saat kakek itu sudah melompati sumur besar yang terjadi karena tanah ambles
itu!
Dari tepi
lain, kakek itu menoleh kepadanya dan memberi isyarat supaya dia melompat. Teng
Cun Le cepat menggunakan ginkang melompati sumur itu dan bergidiklah dia pada
saat melihat betapa ujung-ujung bambu runcing itu tampak hitam kehijauan, tanda
bahwa ujungnya sudah diberi racun!
Kini makin
tebal kepercayaannya akan kelihaian si kakek. Dia kini dapat menduga bahwa
kakek itu tadi sudah mempergunakan ginkang yang sangat luar biasa untuk
menerima serangan bambu runcing, kemudian menggunakannya sebagai landasan untuk
melompat ke atas. Betapa hebatnya! Menggunakan landasan benda runcing untuk
mengenjot tubuh ke atas hanya dapat dilakukan oleh ahli-ahli silat kelas
tertinggi.
Diam-diam
Teng Cun Le mulai menduga-duga siapa adanya kakek yang sangat sakti ini dan
kadang-kadang dia merasa bulu tengkuknya berdiri. Dia maklum bahwa kini dia
telah memasuki pintu perjalanan yang amat berbahaya. Belum seratus langkah
mereka maju, dari depan dan kanan kiri muncullah belasan orang bersenjata
pedang atau tombak. Mereka segera mengurung dan salah seorang di antara mereka
membentak,
"Kalian
berdua menyerah saja untuk kami bawa menghadap majikan kami."
Teng Cun Le
melirik dan melihat betapa orang-orang itu semakin banyak saja, juga kini
beberapa orang muncul di belakangnya sehingga sekejap saja mereka telah
dikurung oleh lebih dari tiga puluh orang yang dikepalai oleh empat orang yang
kelihatannya gagah dan kuat. Diam-diam dia bersiap sedia dan meraba gagang
goloknya.
Song-bun-kwi
tertawa bergelak, lalu menoleh kepada Teng Cun Le sambil berkata, "Kau
bilang majikan Pek-tok-lim tokoh yang gagah? Huh, agaknya dia hanya orang kaya
yang memelihara banyak anjing-anjing pemakan tahi belaka!"
Hebat hinaan
ini. Empat orang penjaga tanpa diperintah pemimpinnya lantas membentak marah
dan mengerjakan tombak mereka. Mereka adalah pemain tombak yang kuat sebab
mereka menerima latihan dari majikan mereka sendiri. Ujung tombak-tombak itu
tergetar saking besarnya tenaga yang menggerakkan ketika menusuk ke arah
Song-bun-kwi dari empat jurusan.
"Tua
bangka mau mampus masih amat sombong!" bentak seorang di antara mereka.
Melihat cara
mereka menerjang dengan tombak, Teng Cun Le masih berdebar gelisah karena
benar-benar kali ini puluhan orang yang mengurung mereka adalah orang-orang
yang kuat dan tidak boleh dipandang rendah seperti halnya dua orang penyerang
pertama tadi. Melihat getaran ujung tombak itu dia sendiri merasa sangsi apakah
dia akan dapat menangkan empat orang lawan ini sekaligus. Akan tetapi dengan
amat tenang sambil mengeluarkan suara mendengus, Song-bun-kwi menggerakkan
kedua lengan bajunya. Hebat kesudahannya.
Terdengar
suara pletak-pletak terpatahkannya gagang-gagang tombak itu. Mata tombak secara
aneh dan cepat sekali menyambar ke arah tuan masing-masing. Empat orang itu
memekik ngeri dan tak ada seorang pun di antara mereka yang dapat membebaskan
diri dari serangan mata tombak mereka sendiri itu yang menancap ke dada atau
perut mereka sampai tak nampak lagi. Keempatnya lalu roboh terjengkang,
berkelojotan dan sebentar kemudian tak bergerak lagi untuk selamanya.
Hebat akibat
sepak terjang kakek ini. Teng Cun Le sendiri sampai mengkirik ngeri dan
memandang dengan mata terbelalak. Celaka, pikirnya, tidak dinyana sama sekali
bahwa kakek ini begini ganas, sekali turun tangan lantas membunuh empat orang.
Maksudnya
memancing kakek itu ke Pek-tiok-lim sebetulnya hanya hendak dia ‘boncengi’
saja, dan kepandaian kakek ini hendak dia gunakan untuk memaksa Sin-kiam-eng
agar mengembalikan mahkota kuno. Siapa kira sekarang kakek itu agaknya hendak
berpesta seperti tadi di restoran, kalau tadi berpesta makan minum, sekarang
hendak berpesta membunuhi orang. Kalau begini caranya, kecil harapannya untuk
minta kembali mahkota, karena perkelahian ini akan mengakibatkan permusuhan
hebat dan dia mau tak mau akan terlibat di dalamnya. Celaka sekali!
Memang benar
apa yang dikhawatirkan oleh Cun Le itu. Para anak buah Sin-kiam-eng menjadi
kaget dan marah bukan main ketika menyaksikan tewasnya empat orang teman
mereka. Sambil berteriak-teriak mereka lalu serentak menyerbu dan di lain saat
terjadilah pertempuran hebat. Song-bun-kwi dikeroyok oleh puluhan orang,
dipimpin oleh empat orang gagah itu yang hebat pula ilmu pedangnya. Akan
tetapi, Song-bun-kwi melayani meraka sambil tertawa bergelak-gelak seperti seorang
anak kecil mendapat permainan bagus.
Harus
diketahui bahwa Song-bun-kwi ini dahulu merupakan manusia berwatak iblis yang
amat jahat dan kejam di samping perangainya yang aneh. Kesukaannya hanya satu,
yaitu berkelahi dan mengalahkan orang lain. Maka tidak aneh kalau kini, dalam
kemarahannya terhadap cucunya, dia pergi dengan tangan dan hati gatal-gatal
untuk sengaja mencari permusuhan dengan siapa pun juga. Tentu saja dia merasa
kurang gembira kalau bertemu dengan lawan yang rendah tingkat kepandaiannya,
dan barulah hatinya bergembira kalau bertanding melawan jagoan yang setingkat.
Makin kosen lawannya, makin gembiralah hatinya. Oleh karena sifat yang aneh ini
pula maka dia mati-matian mencari Thai-lek-sin.
Kasihan
sekali para pengeroyok itu. Mereka seperti serombongan nyamuk menyerang api.
Siapa dekat dengan kakek itu pasti roboh, kalau tidak terus tewas tentu
luka-luka. Siapa yang sudah roboh tidak akan dapat bangun untuk mengeroyok
kembali karena luka yang dideritanya tentu patah tulang!
Sambil dengan
enaknya membabati para pengeroyoknya bagai orang membabat rumput, kakek itu
berseru berulang kali, "Panggil si tua bangka Thai-lek-sin ke sini,
ha-ha-ha-ha, dialah lawanku, panggil dia ke sini...!"
Sementara
itu, Teng Cun Le hanya berdiri di belakang Song-bun-kwi, siap dengan golok di
tangannya tapi dia tidak menggerakkan golok kalau tidak diserang orang. Akan
tetapi para pengeroyok juga tidak ada yang menyerangnya karena melihat betapa
orang ini tidak mengamuk seperti kakek itu. Pada saat anak buah Pek-tiok-lim
itu kocar-kacir dihajar kedua lengan baju Song-bun-kwi yang amat lihat,
tiba-tiba tampak berkelebat bayangan orang yang amat cepat dan ringan
gerakannya, kemudian segulung sinar pedang menyambar ke arah Song-bun-kwi.
"Ha-ha-ha,
bagus!" Kakek itu yang terkejut sedetik, tertawa sambil cepat berjungkir
balik ke belakang untuk menghindarkan diri dari pada ancaman pedang yang
gerakannya amat kuat ini. Girang sekali hatinya bahwa akhirnya muncul seorang
lawan yang tangguh ilmu pedangnya.
Ketika dia sudah
turun lagi ke atas tanah, dia memandang dan melihat seorang laki-laki berusia
kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tegap bermuka tampan dan gagah, berdiri
di depannya dengan sebatang pedang di tangan. Sikap laki-laki ini gagah dan
berwibawa. Sepasang matanya mencorong laksana mata harimau, tarikan mulutnya
membayangkan kekerasan dan keangkuhan hati. Pakaiannya berbentuk sederhana tapi
terbuat dari pada sutera halus. Sungguh seorang yang nampak gagah perkasa dan
mudah diketahui bahwa orang dengan sikap seperti ini sudah pasti memiliki ilmu
silat yang tinggi.
Sebaliknya,
laki-laki itu ketika melihat wajah Song-bun-kwi, segera kelihatan terkejut dan
cepat menegur, "Kiranya Song-bun-kwi Kwee lo-enghiong yang datang! Kwee
lo-enghiong, apa artinya ini semua? Mengapa kau orang tua datang-datang
mengamuk dan membunuh banyak anak buah dan muridku?"
Song-bun-kwi
juga kaget saat mengenal majikan Hutan Bambu Putih ini. Tak disangkanya sama
sekali bahwa yang berjuluk Sin-kiam-eng itu kiranya adalah Tan Beng Kui, kakak
kandung Tan Beng San ketua Thai-san-pai. Akan tetapi sebagai seorang tokoh aneh
yang tak mau kalah dan selalu membawa kehendak sendiri, dia tertawa bergelak
dan berkata,
"Ha-ha-ha,
kaukah majikan Pek-tiok-lim? Sungguh kebetulan sekali bertemu denganmu di sini.
Hayo kau suruh Thai-lek-sim si tua bangka itu keluar, biar melayani aku
bertanding seribu jurus. Atau kau juga gatal tangan hendak memamerkan ilmu
pedangmu? Ha-ha-ha, kalau begitu biar aku mewakili Beng San memberi hajaran
kepadamu!"
Yang amat
sangat kaget hatinya adalah Teng Cun Le. Ketika mendengar bahwa kakek itu
adalah Song-bun-kwi, dia merasa semangatnya seakan terbang melayang
meninggalkan raganya. Tentu saja dia sudah pernah, bahkan sering kali,
mendengar nama Song-bun-kwi sebagai iblis yang ganas. Siapa kira sekarang dia
telah main-main dengan iblis itu! Meremang bulu tengkuknya seketika karena
maklum bahwa main-main dengan seorang terkenal sebagai iblis ini sama artinya
dengan main-main dengan nyawanya sendiri!
Tapi ketika
mendengar betapa iblis tua itu malah menantang Sin-kiam-eng Tan Beng Kui,
hatinya lega juga. Sudah terlanjur dia main-main, biarlah dia lanjutkan dan
membonceng kesaktian kakek iblis itu demi keuntungannya. Sejak tadi ia berdiam
diri, ini penting sekali. Andai kata Song-bun-kwi kalah, dia akan mudah mencari
alasan agar tidak dipersalahkan oleh Sin-kiam-eng berdasarkan tidak ikutnya
mengamuk melawan anak buah Pek-tiok-lim. Sebaliknya kalau Song-bun-kwi menang,
dia akan menggunakan kemenangan kakek itu untuk minta kembali mahkota kuno dari
tangan orang gagah itu.
Sementara
itu, Sin-kiam-eng sudah menjadi marah sekali begitu dia mendengar jawaban
Song-bun-kwi tadi. Dengan sikap kereng dan mata berapi dia membentak. "Tua
bangka she Kwee, kau benar-benar iblis yang tidak aturan. Kalau hendak mencari
Thai-lek-sin yang tidak berada di sini, atau hendak menantang aku mengadu
kepandaian, kenapa mesti pakai membunuh-bunuhi orang-orangku yang tidak tahu
apa-apa? Apakah ini perbuatan orang gagah?"
"Ha-ha-ha-ha,
Tan Beng Kui bocah sombong. Kalau mereka tidak mengeroyok aku si tua bangka,
apakah mereka itu bisa mampus sendiri? Hayo lekas keluarkan ilmu pedangmu,
ha-ha-ha, sudah lama benar aku merindukan Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut, ilmu
pedang yang berhasil dipakai oleh murid untuk membunuh gurunya sendiri itu,
ha-ha-ha!"
Ucapan
Song-bun-kwi benar-benar menusuk ulu hati Beng Kui. Seperti dikisahkan dalam
cerita Rajawali Emas, Sin-kiam-eng Tan Beng Kui ini dulu adalah murid kepala
dari Raja Pedang Cia Hui Gan dan raja pedang ini tewas karena pengeroyokan
beberapa orang tokoh tinggi, di antaranya juga Song-bun-kwi Kwee Lun sendiri.
Dan yang paling hebat, murid kepala itu juga ikut mengeroyok gurunya!
Seketika
wajah Beng Kui menjadi pucat bukan main. Dengan mata berapi dia membentak,
"Song-bun-kwi iblis laknat! Kaulah seorang pengeroyok guruku itu dan
biarlah sekarang aku menebus dosa terhadap guru dengan membalaskan sakit
hatinya kepadamu." Sinar berkilauan menyambar dan tahu-tahu pedang di
tangan Sin-kiam-eng Tan Beng Kui telah menyerbu ke arah Song-bun-kwi.
Kaget juga
iblis tua ini menyaksikan kehebatan ilmu pedang lawannya. Dalam beberapa tahun
ini agaknya Tan Beng Kui tidak menganggur saja, akan tetapi memperdalam ilmu
pedangnya sehingga makin cepat dan kuat, mengandung hawa serangan yang dahsyat.
Song-bun-kwi cepat mengibaskan ujung lengan bajunya menangkis sinar pedang yang
demikian cepat mengancam dadanya.
"Brettt!"
Ujung lengan
baju itu terbabat putus, akan tetapi Sin-kiam-eng sendiri terhuyung mundur dua
langkah. Dari keadaan ini saja dapat dibayangkan betapa hebatnya dua orang yang
kini sedang berhadapan ini. Keduanya merupakan jago-jago tua yang tak boleh
dipandang ringan.
Kaget hati
Song-bun-kwi. Akan tetapi segera dia kegirangan sekali karena walau pun dia
tidak bertemu dengan Thai-lek-sin, kiranya jago pedang ini cukup tangguh untuk
dia ajak berlatih. Memang bagi seorang tokoh bangkotan seperti Song-bun-kwi,
bertempur hanya merupakan latihan belaka dan luka atau pun tewas dalam latihan
ini bukanlah apa-apa baginya, lumrah saja!
Terbabat
putus ujung lengan bajunya, Song-bun-kwi malah tertawa bergelak. Tahu-tahu
sebatang pedang sudah berada pada tangannya dan segera terjadilah pertandingan
yang hebat bukan main. Ilmu pedang yang dimainkan oleh Tan Beng Kui merupakan
ilmu pedang keturunan yang bersumber pada Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam pula,
yaitu ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut (ilmu Pedang Bidadari). Akan tetapi karena
ilmu pedang ini dahulunya khusus diciptakan untuk pemain wanita, maka oleh Beng
Kui telah diubah dan ditambah sedemikian rupa sehingga ketika dia yang mainkan,
dari sebuah ilmu pedang seperti tari-tarian yang amat indah, ilmu pedang ini
berubah menjadi sebuah ilmu pedang yang sifatnya ganas serta sukar diikuti
perubahan dan perkembangannya.
Pedangnya berubah
menjadi segulung sinar pedang yang pecah ke sana ke mari seperti bunga api.
Akan tetapi bagaikan bunga api, setiap pecahan atau letupan bunga api juga
merupakan penyerangan ujung pedang yang akan dapat merobohkan lawan karena yang
diserang selalu bagian-bagian tubuh yang lemah. Apa lagi kini menghadapi
seorang tokoh besar seperti Song-bun-kwi, tentu saja Sin-kiam-eng Tan Beng Kui
tak berani main-main. Dia sengaja mengerahkan seluruh tenaganya dan
mengeluarkan seluruh ilmu simpanan yang dimilikinya.
Di lain
pihak, Song-bun-kwi bukan seorang jagoan baru. Siapa yang tidak mengenai Si
Setan Berkabung ini? Namanya dahulu menggegerkan kolong langit, dikenal oleh
semua jagoan sejagat. Selain ilmu kepandaiannya beraneka macam dan hebat-hebat,
juga pada akhir-akhir ini dia telah menemukan kitab yang mengandung inti
pelajaran Yang-sin-kiam sehingga kalau dia boleh diumpamakan sebagai seekor
singa, dengan mendapatkan ilmu Yang-sin-kiam ini dia seakan-akan mendapat
sepasang sayap menjadi singa bersayap!
Begitu hebat
kepandaian kakek ini sehingga amat jarang orang di dunia persilatan melihat dia
bertempur menggunakan pedangnya. Biasanya, hanya dengan menggunakan senjata
berupa sepasang ujung lengan bajunya saja, sukarlah lawan mengalahkan kakek
sakti ini. Akan tetapi, menghadapi Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang dimainkan
oleh Tan Beng Kui sekarang ini, tidak mungkin kakek sakti ini hanya melawan
dengan kedua ujung lengan bajunya. Sin-kiam-eng terlampau kuat untuk itu, dan
Sian-li Kiam-sut adalah ilmu pedang pilihan di seluruh muka bumi ini, masih
merupakan pemecahan dari ilmu sakti Im-yang Sin-kiam, karenanya tidak boleh
dibuat main-main. Inilah sebabnya kenapa terpaksa kali ini Song-bun-kwi
mengeluarkan pedangnya dan segera pula mainkan Yang-sin Kiam-sut untuk menghadapi
ilmu pedang lawan.
Sesungguhnya,
Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut masih satu sumber dengan Ilmu Pedang Yang-sin
Kiam-sut. Keduanya bersumber dari inti sari Ilmu Im-yang Sin-hoat yang ratusan
tahun yang lampau dimiliki oleh Pendekar Sakti Bu Pun Su. Hanya saja Sian-li
Kiam-sut adalah ciptaan Pendekar Wanita Ang I Niocu menurut sumber itu,
sedangkan Yang-sin Kiam-sut langsung datang dari Pendekar Sakti Bu Pun Su.
Sayangnya,
Yang-sin Kiam-sut merupakan ilmu pedang tidak lengkap, karena lengkapnya adalah
Im-yang Sin-kiam yang merupakan ilmu pedang gabungan dari Im-sin-kiam dan
Yang-sin-kiam, yang berdasarkan pada dua jenis tenaga dalam tubuh, yaitu tenaga
halus dan tenaga kasar, hawa dingin dan hawa panas. Seperti diketahui, ilmu
pedang Im-yang Sin-kiam sekarang ini hanya dimiliki oleh ketua Thai-san-pai,
yaitu Tan Beng San, dan malah sudah diturunkan oleh pendekar ini kepada Kwa Kun
Hong setelah pemuda ini menjadi buta kedua matanya. Agaknya karena satu sumber
inilah, maka pertandingan yang terjadi antara Sin-kiam-eng Tan Beng Kui dengan
Song-bung-kwi Kwee Lun hebat luar biasa. Memang harus diakui bahwa menurut
pertimbangan umum, tingkat kakek ini lebih tinggi dari pada tingkat Tan Beng
Kui.
Namun selama
beberapa tahun menyembunyikan diri setelah kalah oleh adik kandungnya sendiri,
Tan Beng San, Tan Beng Kui tidak tinggal diam dan tekun memperdalam ilmu
kepandaiannya sehingga sekarang dalam menghadapi Song-bun-kwi, dia tidak kalah
jauh dalam hal tenaga lweekang. Ia hanya masih kalah dalam pengalaman dan
keuletan sebab jika kakek iblis ini diumpamakan daging adalah daging gerotan
yang tidak akan menjadi empuk biar digodog selama tiga tahun juga!
Jurus demi
jurus dikeluarkan oleh kedua orang jago kawakan itu, akan tetapi setiap jurus
serangan selalu dapat dipunahkan oleh jurus pertahanan lawan. Pada mulanya Beng
Kui berusaha mendobrak pertahanan lawan dengan mengandalkan tenaganya,
menggunakan kekerasan untuk mencapai kemenangan. Pikirnya bahwa dia yang lebih
muda tentu lebih bertenaga. Akan tetapi melesetlah perkiraannya karena kakek itu
benar-benar makin tua makin kuat tenaganya, atau setidaknya tak pernah
tenaganya berkurang sehingga pada saat pedang mereka bertemu, keduanya lantas
tergetar, bunga api berpijar menyambar ke sana sini, dan telapak tangan mereka
terasa sakit-sakit.
Cepat mereka
memeriksa pedang masing-masing. Mereka baru menjadi lega dan saling menyerang
lagi setelah mendapat kenyataan bahwa pedang mereka tidak rusak karena benturan
hebat itu. Sesudah beberapa kali tenaga besarnya membentur karang, Beng Kui
tidak mau lagi menggunakan kekerasan. Dia mulai main halus mengandalkan
kelincahan dan keindahan Sian-li Kiam-sut sambil mencari kesempatan serta
lowongan. Namun, hebat pertahanan Song-bun-kwi dengan Yang-sin Kiam-sut-nya,
malah kakek ini dapat balas menyerang tak kalah hebatnya.
Setelah
lewat lima ratus jurus, terasalah bagi Beng Kui bahwa betapa pun juga, ia
takkan mampu menangkan kakek sakti ini. Dia berseru keras dan tiba-tiba
pedangnya berubah menjadi segulung sinar yang memusat dan terbang lurus
menyerang ke arah dada lawan. Hebat sekali serangan ini yang merupakan jurus
inti dari Sian-li Kiam-sut. Seakan-akan semua kehebatan dari ilmu pedang itu,
semua kelincahan dan kekuatan, dipusatkan pada gerakan ini dan pedang didorong
oleh tenaga serta semangat sepenuhnya, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya!
"Bagus!"
Song-bun-kui mau tak mau memuji lawannya karena memang jurus serangan ini hebat
bukan main, hawa pedang mendahului dan terasa sangat dingin menusuk tulang
sedangkan matanya sampai silau oleh sinar pedang lawan.
Untuk
menyelamatkan dirinya, dia memutar pedangnya melindungi dada. Namun betapa
kagetnya ketika gulungan sinar itu masih mampu menerobos perisai yang tercipta
oleh pemutaran pedang itu, tahu-tahu hampir saja mencium dadanya. Cepat
bagaikan kilat Song-bun-kwi membuang diri ke belakang sambil berseru keras dan
mengibaskan lengan baju kiri.
"Brettttt!"
Lagi-lagi
ujung lengan bajunya terbabat buntung, akan tetapi dia selamat dan mukanya
berubah merah saking marahnya. Tiba-tiba saja dia mengeluarkan lengking tinggi
seperti orang menangis dan tahu-tahu tangan kirinya sudah mengeluarkan senjata
jimatnya yang puluhan tahun tidak pernah dikeluarkan, yaitu sebatang suling.
Inilah ‘suling tangis’ yang dahulu setiap kali terdengar suaranya membuat
penjahat-penjahat bagaikan setan jatuh bangun dan iblis tunggang langgang.
Kini
Song-bun-kwi mengamuk seperti iblis itu sendiri. Pedang dan sulingnya
menyambar-nyambar merupakan dua gulungan cahaya yang kadang-kadang berkumpul
menjadi satu menyelubungi Beng Kui dari segala penjuru. Makin lama
penyerangannya semakin hebat dan dahsyat dan makin lemahlah pertahanan Tan Beng
Kui yang merasa terkejut bukan main.
Beng Kui tak
menyangka bahwa suling di tangan kiri kakek itu tak kalah hebatnya dengan
pedang yang berada di tangan kanan. Dia merasa seakan-akan dikeroyok oleh dua
orang lawan. Seorang Song-bun-kwi masih mampu dia hadapi, tapi dua orang
Song-bun-kwi...? Terlalu banyak dan terlalu kuat baginya. Dia pun mengeluh dan
maklum bahwa terhadap seorang lawan seperti kakek ini tidak ada kata ampun,
tidak ada istilah mundur, yang ada hanya menang atau mati.
Tiba-tiba
berkelebat bayangan yang amat ringan gerak-geriknya, disusul bentakan yang
nyaring merdu, "Berhenti dulu! Tahan senjata!"
Tahu-tahu di
situ sudah muncul seorang gadis muda dengan pedang di tangan, seorang gadis
yang cantik manis, lincah, tabah. Dara lincah ini bukan lain adalah Loan Ki.
Namun terhadap bentakan seorang dara muda seperti Loan Ki ini, Song-bun-kwi
mana mau peduli? Tentu saja Tan Beng Kui tidak dapat menahan senjata sepihak,
karena hal ini berarti dia akan celaka. Kalau kakek itu tidak menghendaki
berhenti, bagaimana dia bisa menghentikan pertempuran yang mati-matian itu?
Memang dia ingin sekali menghentikan pertandingan, karena dia merasa lelah setelah
bertanding selama lima ratus jurus lebih!
"Ihh,
Kakek Song-bun-kwi ternyata namanya saja yang besar. Orangnya sih begitu-begitu
saja, malah curang dan pengecut! Kalau tidak begitu masa menggunakan kesempatan
menghina orang lain? Agaknya kalau berhenti sebentar saja lalu khawatir kalah.
Hi-hi-hik, inikah tokoh nomor satu dari barat?"
Tan Beng Kui
terkejut, juga para anak buahnya yang mendengar ucapan ini. Alangkah nekatnya
Loan Ki, alangkah beraninya menghina seperti itu terhadap seorang iblis seperti
Song-bun-kwi. Tentu saja kakek itu sendiri pun mendengar semua ucapan Loan Ki.
Mendadak dia mengeluarkan suara gerengan laksana harimau, tubuhnya melayang
cepat sekali ke arah Loan Ki. Gadis itu kaget sekali, menggerakkan pedangnya,
tapi tahu-tahu pedangnya terpental jauh dan kakek itu sudah berdiri di
hadapannya sambil menodong batang lehernya dengan pedang!
"Bocah
bermulut busuk!" Song-bun-kwi memaki. "Apa kau bilang tadi?"
Beng Kui
pucat mukanya. Dia merasa takkan mampu melindungi puterinya yang ditodong
sedemikian rupa oleh kakek yang lihai ini. Dia hanya bisa berteriak,
"Song-bun-kwi, jangan layani bocah. Lepaskan anakku dan hayo kita
lanjutkan pertempuran seribu jurus lagi!"
Ucapan ini
benar saja membuat Song-bun-kwi meragu dan menurunkan pedang yang tadi ujungnya
menodong leher Loan Ki. "Anakmu terlalu lancang mulut..." dia
mengomel.
Loan Ki
mencebirkan bibirnya yang kecil merah, lalu berkata, "Biarlah Ayah, biar
saja dia ini mendengarkan ucapanku lebih dulu. Setelah mendengar ucapanku, baru
aku tantang dia bertempur sampai sepuluh ribu jurus. Ehh, tua bangka, kau
berani tidak?"
"Setan
cilik! Tidak berani padamu lebih baik mampus!"
"Nah,
kalau begitu mampuslah, sebab kau tidak berani mendengarkan kata-kataku. Berani
tidak mendengarkan kata-kataku?"
Song-bun-kwi
membanting-banting kaki. Tangannya gatal-gatal untuk sekali menggaplok
menghancurkan kepala cantik yang memanaskan hatinya ini.
"Buka
bacotmu, lekas kau mau bilang apa jangan banyak tingkah!"
Loan Ki
tersenyum dan memainkan matanya yang jeli, mengerling ke arah Teng Cun Le yang
menjadi tidak enak hatinya ketika mengenal gadis yang mempunyai mutiara-mutiara
hiasan mahkota kuno itu. "Kakek Song-bun-kwi, seorang tokoh tua macam kau
ini mana pantas menurunkan tangan kepada seorang bocah seperti aku? Nah,
dengarlah omonganku. Jika kau tidak menjawab dengan semestinya, mulai sekarang
ini aku yang masih kanak-kanak akan menganggap bahwa semua nama besarmu kosong
melompong belaka, bahwa mungkin kau Song-bun-kwi palsu karena yang tulen bukan
macam begini tingkahnya..."
"Cukup,
lekas bicara! Setan!" Song-bun-kwi membentak.
Loan Ki
meleletkan lidahnya. "Waduh galaknya, kalau begitu kau agaknya yang tulen,
bukan pengecut, bukan iblis curang. Kakek Song-bun-kwi, kau katanya seorang
pendekar gagah segala jaman, kenapa hari ini melakukan perbuatan begini
memalukan, menyerbu tempat tinggal ayahku dan membunuhi orang-orang kami tanpa
alasan? Memusuhi orang tanpa punya alasan hanyalah perbuatan manusia rendah dan
sepanjang pendengaranku, Song-bun-kwi si iblis tua sama sekali bukanlah orang
rendah! Nah, jawab, mengapa kau melakukan semua ini, memusuhi ayahku tanpa
sebab?"
Dengan
cemberut Song-bun-kwi terpaksa menjawab karena kalau dia tidak menjawab, sama
saja artinya dengan mengakui bahwa dia seorang pengecut, curang dan manusia
rendah! Dia boleh jadi lihai sekali dalam ilmu silat, namun dalam hal silat
kata-kata mana dia becus melawan Loan Ki si dara lincah yang amat cerdik dan
nakal ini?
"Bocah
setan jangan coba bicara pokrol-pokrolan kepadaku. Aku datang ke sini hendak
mencari si tua bangka Thai-lek-sin, tapi orang-orangmu tidak tahu aturan
mengeroyokku. Mereka mampus karena tak ada kepandaian, kenapa salahkan aku?
Ayahmu merupakan lawan yang lumayan, kenapa selagi kami berdua sedang enak-enak
saling gebuk untuk menentukan siapa lebih kuat, kau datang-datang mengacau?
Heh, Tan Beng Kui, apa kau tidak bisa jewer telinga anakmu yang cerewet ini?
Jewer dan usir ia, mari kita bertempur terus!"
Akan tetapi
Loan Ki mana mau habis sampai di situ saja? Anak ini terlalu cerdik hingga ia
tahu betul bahwa kalau pertandingan dilanjutkan, ayahnya tentu akan celaka.
Sebelum ayahnya yang juga gemar bertanding itu terbujuk oleh lawan, ia
mendahului dengan suara nyaring,
"Kakek
tua, kau benar-benar pandai mencari alasan! Selama hidupku belum pernah aku
melihat tua bangka berjuluk Thai-lek-sin di tempat ayah ini, dan sekarang kau
menyebut namanya untuk alasan perbuatanmu mengacau di sini! Huh, siapa sudi
untuk kau akali? Benar-benar tak kusangka bahwa jagoan tua tenar Song-bun-kwi
ternyata hanya seorang tukang bohong belaka!"
"Bocah,
jangan sembarangan menuduh yang bukan-bukan! Aku tak menggunakan alasan kosong.
Orang she Teng ini yang bilang bahwa aku akan dapat menemukan Thai-lek-sin di
sini. Betul tidak, orang she Teng?!" bentaknya sambil menoleh ke arah Teng
Cun Le yang menjadi pucat dan kedua kakinya menggigil. Akan tetapi terpaksa dia
menjawab dengan kepalanya mengangguk-angguk dan bibirnya berkata lirih.
"...aku
mendengar di luaran begitu... ehh... Thai-lek-sin sering ke sini..."
Tiba-tiba
Loan Ki tertawa nyaring dan menudingkan telunjuknya kepada Teng Cun Le, lalu
berkata kepada Song-bun-kwi, "Wah, kakek tua goblok Song-bun-kwi, kau kena
dipedayai orang! Nanti dulu, aku hendak bertanya, pernahkah kau mendengar
adanya anjing-anjing penjilat? Nah, manusia ini adalah seekor di antara
anjing-anjing penjilat. Dia orang dari kota raja, mudah diduga. Ia selalu
mengikuti aku karena tertarik akan mutiara Ya-beng-cu yang kubawa. Dan dia
telah menggunakan kau orang tua goblok untuk menyerbu ke sini karena dia
sendiri mana mampu? He-he, Song-bun-kwi kakek bodoh, kau diperalat anjing ini
masih tidak tahu."
Teng Cun Le
bukan seorang bodoh. Dia tadinya kaget setengah mati mendengar semua kata-kata
Loan Ki dan diam-diam dia mengeluh. Gadis ini benar-benar pandai bicara dan
kakek yang sudah setengah pikun itu kalau sampai kena diakali oleh gadis ini,
dialah yang akan celaka. Cepat dia bicara,
"Locianpwe,
harap Locianpwe jangan mendengarkan ocehan gadis ini. Jelas ia berusaha
menolong ayahnya yang tadi hampir kalah oleh Locianpwe dan sengaja hendak
mengadu domba kita. Locianpwe, mari kita gempur orang-orang ini, Locianpwe
lanjutkan menghajar Sin-kiam-eng dan serahkanlah gadis itu kepada saya, saya
sanggup menghajar kekurang ajarannya."
Sambil
berkata demikian, Teng Cun Le menggerakkan goloknya hendak menyerang Loan Ki.
"Tunggu
dulu dan dengar kata-kataku sampai habis!" Loan Ki menjerit. "Kalau
tidak mau mendengarkan, itu tandanya kau sengaja memperalat Song-bun-kwi!"
Terpaksa
Teng Cun Le menahan goloknya karena kalau dia teruskan khawatir kalau-kalau
kakek itu kena diakali omongan pancingan ini.
"He,
orang she Teng. Kau seorang laki-laki, hayo jawab betul tidak kau sudah
mengikuti aku sejak beberapa hari yang lalu dan bahwa kau mengincar tiga butir
mutiaraku atau... mungkin juga kau ingin mengetahui tentang sebuah mahkota?
Jawab!"
Teng Cun Le
sudah tak bisa mundur lagi, terutama karena dia melihat Song-bun-kwi amat memperhatikan
percakapan itu. "Memang betul. Kau telah membawa tiga butir mutiara yang
tadinya menghias mahkota yang dicuri dari istana kaisar. Sudah semestinya kau
mengembalikan mahkota itu padaku untuk kubawa kembali ke kota raja!"
"Bagus,
manusia she Teng! Kau hendak merampas mahkota dari kami? Apa kau berani melawan
ayah dan aku?" tantangnya.
Tentu saja
Teng Cun Le menjadi sibuk sekali. Tak disangkanya gadis itu akan memutar mutar
omongan sedemikian rupa sehingga dia selalu terdesak. Akan tetapi dia pun bukan
bodoh, maka dia pun segera menjawab berani. "Tentu saja berani karena
Kwee-locianpwe tentu akan membantuku menghadapi ayahmu yang memang patut
menjadi lawannya."
"Uhu-hu,
sekarang mengertikah kau, kakek Song-bun-kwi? Kau dengar sendiri bahwa dia ini
adalah seekor anjing penjilat kaisar dan kau telah dibodohinya, diperalat
olehnya. Agar kau mau diperalat dan mau menyerbu ke sini, dia membohongimu
dengan pernyataan bahwa Thai-lek-sin berada di sini. Padahal tua bangka
Thai-lek-sin itu melihat pun aku belum pernah. Nah, tidak benarkah aku apa bila
aku bilang bahwa Song-bun-kwi si jago kawakan itu ternyata sekarang mudah saja
dikempongi oleh seekor anjing penjiiat kaisar? Hi-hik!" Dengan gaya nakal
sekali Loan Ki menyambung hidungnya yang kecil mancung itu dengan jari-jari
tangannya untuk mengejek Song-bun-kwi.
Song-bun-kwi
menjadi merah sekali mukanya. Racun yang disebar oleh Loan Ki melalui
kata-katanya barusan telah mengenai hatinya. Dia seorang tokoh besar dari dunia
bagian barat, dapat dengan mudah dikempongi oleh seorang anjing penjilat kaisar
dan diperalat di luar kesadarannya. Benar-benar memalukan sekali. Dia menoleh
dengan mata melotot kepada Teng Cun Le sambil memaki,
"Kau
berani membawa aku untuk bantu menjadi perampok? Setan alas!"
"Tidak...
Locianpwe... tidak...!"
Akan tetapi
tangan Song-bun-kwi sudah bergerak. Teng Cun Le dalam takutnya nekat menangkis
dengan goloknya, tapi akibatnya golok itu patah-patah dan tubuhnya melayang
sampai sejauh lima meter lebih dan dia tak dapat bangun kembali karena dadanya
sudah remuk tulang-tulangnya!
Hebat
kejadian ini, namun Loan Ki memandang dengan senyum simpul saja sedangkan Tan
Beng Kui yang memang wataknya angkuh tidak mau memandang siapa pun juga. Sejak
tadi hanya berdiri tegak dengan pedang siap di tangan dan diam-diam dia
mengatur napas serta memulihkan tenaga di dalam tubuhnya, siap menghadapi
pertempuran lagi kalau perlu. Setelah membunuh orang yang mempermainkannya
dengan sekali gempur, kakek itu menoleh pada Loan Ki, sepasang matanya
memancarkan ancaman yang menyeramkan. Bulu tengkuk dara lincah itu meremang,
akan tetapi dengan memberanikan hati ia tetap tersenyum-senyum seakan-akan
kejadian mengerikan itu ‘bukan apa-apa’ baginya.
Beginilah
sikap seorang cabang atas, pikirnya, dan dia tidak mau kalah dalam berlagak.
Pandang matanya pada kakek itu seolah-olah menyuarakan tantangan, "kau mau
apa?"
"Bocah,
jangan kau ketawa-tawa dahulu. Memang bangsat she Teng itu sudah menipuku, maka
dia layak mampus. Akan tetapi kau pun telah mempermainkan aku, jangan kira aku
takut untuk memberi hajaran kepadamu di depan ayahmu!"
Gadis itu
tertawa mengejek. "Kakek Song-bun-kwi, kau terlalu sombong. Agaknya kau
tidak mau melihat tingginya langit dalamnya lautan. Ayah adalah seorang gagah
yang tak mau begitu saja menanam permusuhan, kau tahu? Ayah sudah mendengar
bahwa kau adalah seorang tokoh besar kawakan, maka tadi ayah telah menjaga muka
dan namamu, kau tahu? Kalau ayah mau sungguh-sungguh melawanmu, dengan mudah
dia akan dapat merobohkanmu, kau tahu?"
"Loan
Ki! Omongan apa yang kau keluarkan ini?" Ayahnya menegur marah karena dia
merasa betapa sekali ini gadisnya benar-benar keterlaluan. Masa seorang tokoh
setingkat Song-bun-kwi mau di-‘kecap’-i seperti itu?
Benar saja,
Song-bun-kwi sudah tak sanggup menguasai kemarahan hatinya lagi. Sambil
menggerak-gerakkan pedang dan sulingnya, dia berkaok-kaok,
"Siluman!
Setan! Iblis jejadian, neraka jahanam! Ayo kalian ayah dan anak maju bersama,
biar kalian buktikan macam apa adanya Song-bun-kwi Kwee Lun!" Muka kakek
itu merah sekali, sepasang matanya melotot, alisnya yang sudah putih itu
bergerak-gerak terangkat tinggi. Marah betul-betul dia.
"Song-bun-kwi,
jangan kira aku Sin-kiam-eng takut kepadamu. Hayoh!"
Beng Kui
menantang sambil melintangkan pedangnya di depan dada. Dalam pertempuran tadi
dia belum kalah. Memang dia agak kehabisan tenaga karena kalah ulet, akan
tetapi setelah beristirahat tadi, tenaganya pulih kembali dan dia merasa
sanggup menghadapi kakek yang sakti itu. Dia maklum bahwa memang sukar mencapai
kemenangan, namun keangkuhannya melarang dia mengalah terhadap si kakek.
"Bagus!
Mari bertanding sampai salah seorang di antara kita menggeletak!"
Song-bun-kwi tertawa bergelak. "Kita berdua adalah lelaki sejati, mana
sudi cerewet seperti perempuan tukang celoteh?" Dia mengejek Loan Ki dan
membalikkan tubuh untuk menghampiri Tan Beng Kui.
Tetapi
tiba-tiba bayangan gadis itu berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di depannya.
Sampai kaget Song-bun-kwi menyaksikan kegesitan gadis ini. "Kakek tua
bangka pikun Song-bun-kwi! Kau benar-benar tidak bermalu! Takut melawan aku kau
mau meninggalkan aku begitu saja dan menantang ayah. Huh, tak tahu diri. Ayah
tadi mengalah dan kau masih tidak tahu? Kau tidak cukup pandai, tidak berharga
menjadi lawan ayahku. Siapa orangnya yang sudah bisa mengalahkan aku, baru
cukup berharga untuk bertanding sungguh-sungguh melawan ayah. Song-bun-kwi,
apakah engkau berani melawan aku?"
"Loan
Ki...!" mau tidak mau Beng Kui menegur puterinya.
Memang dia
merasa bangga menyaksikan keberanian dan ketabahan Loan Ki, akan tetapi
mendengar gadisnya itu menantang Song-bun-kwi, benar-benar keterlaluan! Apanya
yang akan dibuat menang? Dia sendiri setengah mampus melawannya, masa sekarang
Loan Ki hendak melawan kakek itu? Huh, biar dikeroyok sepuluh orang Loan Ki
juga masih bukan lawan Song-bun-kwi!
Anaknya yang
baru tiga hari pulang dari perantauannya ini memang benar-benar bersikap aneh,
sama persis anehnya seperti ketika kemarin dia menegur karena gadis itu duduk
termenung seperti orang kehilangan semangat!
"Biarlah,
Ayah, aku tanggung kakek yang sudah dekat lubang kubur ini tak akan mampu
mengalahkan aku. Hei, dengar tidak kau Song-bun-kwi kakek tua renta? Atau
barang kali kau sudah agak tuli? Perlu kuulangi kembalikah? Aku tadi
menantangmu, beranikah kau melawan aku?"
Memang amat
pandai Loan Ki bersilat lidah. Kali ini ia benar-benar berhasil memancing
Song-bun-kwi sehingga kakek ini menjadi marah bukan main. Siapa orangnya yang
tidak akan dongkol dan marah sekali, seorang kakek tokoh besar seperti dia
mentah-mentah ditantang oleh seorang bocah perempuan?
Dengan gemas
dia menyimpan kedua senjatanya dan membentak. "Bocah neraka! Kau patut
menjadi cucuku, berani menantang seorang tua seperti aku? Apa kau sudah bosan
hidup? Kalau aku tidak dapat membantingmu dalam sepuluh jurus, biar aku orang
tua mengaku kalah!"
Song-bun-kwi
siap menubruk gadis yang memanaskan hatinya itu.
"Hee,
nanti dulu!" Loan Ki menyetop dengan isyarat tangannya. "Kenapa kau
menyimpan pedangmu? Kalau dalam sepuluh jurus kau tak mampu mengalahkan aku,
tentu kau kelak memakai alasan bahwa kau bertangan kosong. Tak mau aku! Hayo
kakek tua renta, kau boleh gunakan pedangmu dan aku akan menandingimu, bukan
sepuluh jurus melainkan tiga puluh jurus. Tiga puluh jurus, kau dengar?"
"Iblis
cilik, mulutmu benar jahat!" Song-bun-kwi membentak.
"Tapi
kau yang menyebut diri tokoh besar dari barat, awas jangan kau menjilat ludahmu
sendiri, ya? Kalau kau tidak bisa menangkan aku dalam tiga puluh jurus, kau
harus pergi dari sini dan jangan mengganggu kami lagi. Ayah tidak mau bermusuh
denganmu. Kalau tangan dan kepalamu merasa gatal-gatal ingin menerima gebukan,
kau pergilah saja ke Ching-coa-to, nah, di sana banyak sekali setan-setan
bangkotan yang sama kwalitasnya denganmu. Tetapi kau tentu tidak berani ya,
memasuki Ching-coa-to. Huh, mana kau berani?"
"Cukup,
jangan pentang mulut lagi, lihat seranganku!" Song-bun-kwi berseru dan
mulai menyerang dengan tangan kosong.
Dia pikir
sekali bergerak tentu akan berhasil menangkap gadis ini. Biar pun membunuh bagi
Song-bun-kwi bukan apa-apa, namun dia tidak sudi membunuh seorang dara cilik
seperti Loan Ki. Niatnya hendak menangkap gadis itu dan membantingnya di depan
Tan Beng Kui sampai kelenger (pingsan) agar tidak banyak mengoceh lagi sehingga
dia dapat melanjutkan pertandingannya melawan Sin-kiam-eng. Maka, begitu
menyerang dia mencengkeram dengan tangan kiri ke arah pundak gadis itu
sedangkan tangan kanannya mendahului membuat gertakan memukul ke arah pusar.
Pukulan ini mendatangkan angin dan tentu akan membuat gadis yang masih pelonco
itu kebingungan sehingga memudahkan tangan kirinya mencengkeram pundak.
Agaknya
kalau penyerangan kakek sakti ini terjadi beberapa hari yang lalu saja, kiranya
akan berhasil. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa gadis lincah ini beberapa hari
yang lalu telah mewarisi ilmu mukjijat dari Kwa Kun Hong, yaitu yang diberi
nama dua puluh empat langkah Hui-thian Jip-te (Terbang ke Langit Ambles ke
Bumi). Maka melihat datangnya serangan yang hebat ini, tubuh Loan Ki
terhuyung-huyung ke belakang seperti orang kena pukul.
Tan Beng Kui
kaget sekali dan siap melompat untuk melindungi anaknya. Akan tetapi dia sangat
heran mendengar seruan aneh kakek Song-bun-kwi karena ternyata bahwa kedua
pukulannya itu hanyalah mengenai angin belaka! Dalam terhuyung ini ternyata
gadis itu sudah berhasil menghindarkan diri secara aneh sekali. Kembali kakek
Song-bun-kwi menerjang maju, kali ini malah sekaligus mengembangkan kedua
lengannya hendak menerkam pinggang yang ramping itu untuk diangkat kemudian
dibanting. Tapi aneh bin ajaib. Gadis yang masih terhuyung-huyung itu malah
melangkah maju memapakinya. Pada saat kedua lengannya hampir berhasil
menyingkap pinggang, tahu-tahu tubuh gadis itu miring seperti akan jatuh dan...
sekali lagi berhasil lolos!
"Kakek
tua bangka, sudah dua jurus. Hi-hik-hik!" berkata Loan Ki yang ternyata
sudah melangkah ke kiri dan... berjongkok.
Kemarahan
Song-bun-kwi menjadi-jadi. Dia mengira bahwa gadis itu tadi menggunakan
kegesitannya dan sekarang mengejek. Mana ada orang berkelahi memasang kuda-kuda
dengan berjongkok? Dia tidak mengerti bahwa memang sebetulnya begitulah
kedudukan sebuah langkah dari Hui-thian Jip-te yang dipelajari Loan Ki dari Kwa
Kun Hong. Ilmu langkah ini bukan lain merupakan sebagian dari ilmu langkah
ajaib Kim-tiauw-kun, maka sama sekali tak dikenal oleh Song-bun-kwi. Sambil
mengeluarkan bentakan hebat dia menyerang Loan Ki yang masih berjongkok seperti
orang mau buang air itu, kedua tangannya kini bergerak menjambak rambut.
Dengan tubuh
masih berjongkok, kedua kaki Loan Ki main dengan gesitnya, sett-sett-sett
dan... kembali Song-bun-kwi yang menerjangnya hanya dapat menjambak bau harum
dari rambut hitam panjang itu.
"Jurus
ke tiga, Kakek!" Loan Ki mengejek sambil tersenyum.
Kini dia
sudah berdiri dengan tubuh membelakangi Song-bun-kwi, kaki kanan diangkat
dengan tumit menempel paha kaki kiri, leher menoleh ke belakang dan
berkedip-kediplah matanya kepada kakek itu, kedua tangannya dikembangkan,
persis seperti seekor burung kuntul hendak terbang. Tan Beng Kui kaget dan
heran bukan main melihat kejadian yang berlangsung di depan matanya. Dia
sendirilah yang menjadi guru anaknya ini dan dia tahu betul bahwa tidak pernah
dia mengajari gerakan-gerakan menggila seperti yang sedang dilakukan anaknya
sekarang ini. Mana bisa dia mengajari kalau dia sendiri tidak mengenal dan
tidak tahu akan gerakan-gerakan gila itu?
Siapakah
yang main gila ini, Loan Ki ataukah Song-bun-kwi? Dia tidak percaya bahwa
dengan gerakan-gerakan gila itu anaknya bisa menghindarkan serangan kakek itu
hingga tiga kali dan sudah tentu si kakek yang main gila, pura-pura tidak dapat
mengenai tubuh Loan Ki. Kalau memang main gila, apa pula kehendaknya? Ahh,
jangan-jangan kakek itu sengaja berbuat demikian sambil menanti sampai sepuluh
jurus atau tiga puluh jurus, kemudian merobohkan Loan Ki untuk membuat malu.
"Loan
Ki, jangan kurang ajar! Kuda-kuda jurus apa itu pakai angkat-angkat sebelah
kaki segala?" Tan Beng Kui membentak keras dengan maksud supaya
Song-bun-kwi mengerti bahwa bukan dia yang mengajari gadisnya menggila seperti
itu, karena betapa pun juga hatinya malu menyaksikan aksi anak gadisnya yang
dianggapnya kosong melompong ini.
"Ayah,
memang jurus ini mesti mengangkat sebelah kaki. Habis, apa yang bisa kulakukan
untuk merubahnya? Kalau kedua kakiku kuangkat semua, tentu aku akan
jatuh." Terang bahwa ucapan ini hanya kelakar saja untuk lebih memanaskan
hati Song-bun-kwi. "Ini namanya burung bangau tidur, tapi sebetulnya tidak
tidur, melainkan sedang memancing katak tua di belakangnya."
Song-bun-kwi
menggereng seperti seekor beruang. Sekarang dia betul-betul menyerang Loan Ki,
tidak seperti tadi lagi. Tadi dia hanya hendak menangkap dan membantingnya
kelenger di depan Tan Beng Kui, tetapi sekarang dia menyerang untuk
merobohkannya dengan pukulan berbahaya. Dia menyerang dari belakang dengan
sangat hebatnya dan merasa yakin bahwa kali ini dia akan berhasil merobohkan
Loan Ki.
"Ki-ji
(anak Ki), awas...!" Tan Beng Kui terpaksa berseru saking kaget dan
khawatirnya menyaksikan penyerangan dahsyat itu.
"Tidak
usah khawatir, Ayah!" Gadis itu masih sempat membuka mulut, padahal ia
kaget setengah mati.
Cepat-cepat
ia mengeluarkan ilmu langkah mukjijat seperti yang ia pelajari dari Kun Hong.
Hebat penyerangan Song-bun-kwi kali ini sehingga Loan Ki masih merasa angin
pukulan menyerempet pundaknya, membuat kulit pundak di bawah pakaian itu terasa
panas. Dia sampai mengeluarkan keringat dingin, namun dasar dia nakal, masih
saja dia mengejek setelah pukulan itu gagal. "Sudah empat jurus!"
Sekarang
Song-bun-kwi tak mau berlaku sungkan-sungkan lagi. Dia menerjang terus dan
mengirim pukulan bertubi-tubi, malah mengisi pukulan-pukulannya dengan
lweekangnya yang dahsyat sehingga rambut dan pakaian Loan Ki berkibar-kibar
seperti diserang angin besar. Loan Ki juga tidak berani main gila lagi. Ia
cukup maklum akan kesaktian kakek ini, maka ia mengerahkan seluruh perhatiannya
untuk menjalankan langkah-langkah Hui-thian Jip-te guna menyelamatkan
dirinya...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment