Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Buta
Jilid 10
Di kaki
gunung itu, di bawah pohon yang besar, Song-bun-kwi dan Kun Hong berhenti dan
duduk di atas akar pohon yang menonjol ke luar dari tanah.
"Jurusmu
tadi benar-benar luar biasa sekali, kelak kalau kau sudah dapat melakukannya
dengan sempurna, kiraku tidak akan ada orang yang mampu menahannya,"
Song-bun-kwi mulai bicara.
"Akan
tetapi, Locianpwe. Ketika pertama kali saya menggunakan jurus itu, saya berada
dalam keadaan tidak sadar sehingga tidak ingat sama sekali tentang gerakan itu.
Menurut permintaan Locianpwe, saya tadi melakukannya sungguh pun saya tahu
bahwa jurus itu keduanya mengandung hawa pukulan yang bertentangan, sehingga
akibatnya saya tidak kuat menahan dan roboh pingsan. Bagaimana bisa dibilang
jurus lihai?"
Kakek itu
tertawa. "Tadinya aku pun bingung dan heran sekali. Akan tetapi sekarang
aku mengerti. Kau berhasil menggunakan jurus itu, justru karena kau sedang
dalam keadaan sedih dan marah. Dalam kesedihan luar biasa, hawa Im di tubuhmu
bergolak, sebaliknya ketika kau marah dan sakit hati, hawa Yang bergolak. Oleh
karena inilah maka ketika kau melakukan pukulan-pukulan yang dua macam dan
bertentangan itu, kedua hawa itu dapat kau pergunakan lewat pukulanmu dan dalam
kemarahan serta kesedihan tadi kau dapat mendorong dua macam hawa yang
berlawanan itu keluar tubuh. Itulah sebabnya kenapa pukulan-pukulan itu hebat
bukan main sehingga aku sendiri hampir mampus karenanya. Ada pun ketika kau
mencoba untuk melakukannya kembali, kau sudah dapat menguasai kesedihan dan
kemarahanmu, karena kau tidak berniat menyerang orang, maka kau tidak mendorong
keluar kedua hawa itu. Akibatnya kedua hawa berlawanan itu mengamuk di dalam
tubuhmu dan saling gempur sendiri. Tentu saja kau tidak kuat menahan. Masih
baik kau tidak mati tadi, ha-ha-ha!"
"Wah,
kalau begitu jurus tadi jahat sifatnya, Locianpwe."
"Di
dunia ini tidak ada sesuatu yang jahat atau baik. Tergantung dari orangnya
sendiri yang mempergunakannya. Ilmu tetap ilmu, jurus tetap jurus dan jurus
yang kau temukan secara tidak sengaja tadi merupakan anugerah yang harus kau
pelajari baik-baik. Dengar baik-baik, Kun Hong. Dalam keadaan terdesak dan
terpaksa ketika menghadapi ancaman lawan tangguh yang hendak mencelakakan
dirimu, kau boleh mempergunakan jurus itu. Akan tetapi kau harus betul-betul
berniat merobohkan lawan, sehingga dua macam hawa itu dapat kau salurkan dan
dorong keluar menghantam lawan. Hanya kau seorang yang dapat mainkan jurus itu,
karena kedua gerakan itu berdasarkan ilmu silat sakti yang telah kau pelajari.
Nah, kau cobalah sekarang dan kau serang pohon ini dengan jurusmu tadi. Jangan
kuatir, asal kau dapat menganggap pohon itu sebagai musuh besar yang sangat
tangguh dan yang harus kau robohkan, pasti kau tidak akan mengalami hal seperti
tadi."
Di dalam
hatinya, Kun Hong tak suka dengan jurus yang dianggapnya keji dan ganas ini.
Akan tetapi mendengar getaran penuh gairah, penuh kegembiraan dalam suara kakek
itu, dia tidak tega dan merasa tidak enak apa bila harus menolak. Tidak apalah
untuk berlatih dengan pohon saja, akan tetapi dia yakin bahwa akan sukar
baginya untuk memaksa hati menggunakan jurus pukulan ini terhadap seorang
manusia.
Dia bangkit
berdiri, mengingat-ingat gerakan tadi, memasang kuda-kuda ajaib dengan kaki
kanan di depan, ujungnya diangkat berjungkit dan kaki belakang ditekuk
lututnya. Tangan kanan yang memegang tongkat agak diangkat ke atas dengan
tongkat melintang, tangan kiri dibuka jari-jari tangannya, ditekuk ke bawah
seperti orang hendak mengambil sesuatu dari tanah.
Song-bun-kwi
memandang dengan mata bersinar-sinar saking kagum dan girang hatinya. Matanya
sampai dipaksa supaya jangan berkedip agar dia bisa mengikuti semua gerakan
pemuda itu dengan baik. Kun Hong mengumpulkan seluruh tenaganya, namun merasa
betapa dua macam tenaga yang berlawanan berkumpul dan berputaran di dada,
membuat dadanya sesak. Dia ingin memaksa tenaga itu keluar melalui kedua
lengannya, akan tetapi sulit sekali dan akhirnya dia menarik kembali tenaganya,
menurunkan kedua tangan, tidak jadi menyerang ke arah depan.
"Ehh,
kenapa?" Song-bun-kwi berteriak, kecewa dan marah. "Kenapa tidak kau
teruskan? Sudah bagus sekali tadi!"
Kun Hong
menarik napas panjang dan menggeleng kepala. "Saya tidak bisa, Locianpwe.
Tidak bisa memaksa hati membenci pohon, apa lagi kalau membayangkan bahwa pohon
ini adalah pengganti seorang manusia, hati menjadi ngeri..."
Song-bun-kwi
membanting-banting kakinya. Benar-benar seorang pemuda yang berhati lemah dan
berwatak halus. Masa terhadap sebatang pohon saja tidak tega menjatuhkan tangan
maut?
"Bodoh
kau! Ini penting untuk latihan. Anggap saja bahwa pohon itu musuhmu!"
"Saya
tidak punya musuh, Locianpwe."
"Apa?
Kau bisa bilang tidak punya musuh? Sudah lupa lagikah kau betapa Thai-san-pai
dibakar orang, adikmu Cui Sian telah diculik orang dan rumah tangga pamanmu
Beng San menjadi rusak berantakan? Yang berdiri di depanmu itu bukan lagi pohon
biasa, akan tetapi dia adalah musuhmu yang telah berlaku keji dan jahat
terhadap Thai-san-pai."
Mendadak Kun
Hong mengeluarkan suara bentakan nyaring, tubuhnya bergerak seperti tadi, lalu
bagaikan kilat menyambar kedua tangannya itu menyerang dengan berbareng,
melakukan gerak jurus yang maha dahsyat itu.
Tongkat
berkelebat menjadi sinar merah menembus pohon, tangan kiri mencengkeram dan
pohon itu masih tetap berdiri tanpa bergoyang sedikit pun sedangkan Kun Hong
sudah melompat ke belakang dengan berjungkir balik beberapa kali.
"Hebat...
hebat...!" kakek itu bersorak.
Angin datang
bertiup menggerakkan daun-daun pohon itu dan lambat-lambat pohon itu tumbang,
patah di tengah-tengah di mana tadi dilalui sinar merah, roboh mengeluarkan suara
hiruk-pikuk dan batang sebelah atas remuk-remuk terkena cengkeraman tangan kiri
Kun Hong tadi. Kiranya tadi hanya kelihatannya saja tidak apa-apa, padahal
batang pohon itu telah patah-patah dan bagian yang dicengkeram telah remuk di
bagian dalam!
"Bagus
sekali, Kun Hong! Dengan jurus ini agaknya kau yang akan dapat membalaskan
sakit hati pamanmu. Mudah diduga bahwa musuh yang dapat mengacau dan merusak
ketenteraman di Thai-san-pai, pasti adalah orang-orang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Kalau kau berhasil bertemu dengan mereka dan tidak dapat
mengalahkan mereka dengan ilmu silat biasa, kau pergunakanlah jurus ini."
"Saya
akan mencari mereka, Locianpwe," kata Kun Hong dengan suara penuh dendam.
"Saya akan mencari pembunuh paman Tan Hok, mencari mereka yang melakukan
fitnah dan mengadu domba antara Thai-san-pai dengan orang-orang gagah, mencari
penculik adik Cui Sian."
"Jurus
tadi hanya kau seorang yang sanggup melakukan, namun karena tercipta di luar
kesadaranmu dan aku yang pertama kali melihatnya, maka aku yang hendak memberi
nama," kata kakek itu sambil tertawa bergelak, nampaknya puas sekali.
"Terserah
kepada Locianpwe."
"Jurusmu
tadi tercipta karena peluapan rasa duka dan amarah, jurus yang hanya dapat
dilakukan tanpa membahayakan diri sendiri dengan landasan dendam, maka kuberi
nama jurus serangan Sakit Hati. Bagaimana pikirmu, cocok tidak?"
Di dalam
hatinya Kun Hong tidak setuju. Semenjak dahulu dia menganggap bahwa asas dendam
dan sakit hati amatlah berlawanan dengan pribudi dan kebajikan. Kalau sekarang
dia hendak mencari orang-orang yang merusak Thai-san-pai, mencari penculik Cui
Sian, kalau perlu menghukum atau membasmi mereka, semata-mata karena dia
menganggap orang-orang itu amatlah jahat dan kalau dibiarkan dan tidak
ditentang tentu akan semakin merajalela dan mendatangkan banyak malapetaka di
dunia ini. Sekali-kali bukan karena dendam dan sakit hatinya.
Akan tetapi,
oleh karena dia sendiri maklum bahwa tanpa adanya Song-bun-kwi, ia sendiri tak
akan dapat menemukan jurus hebat ini, maka dia anggap bahwa jurus itu adalah
hasil ciptaan Song-bun-kwi, maka kakek itulah yang berhak memberi nama.
"Saya
setuju, Locianpwe." Kemudian disambungnya, "Locianpwe, karena paman
Beng San tertimpa malapetaka hebat, saya rasa hal yang paling dahulu harus
dilakukan adalah memberi tahu kepada putera-puteranya."
“Betul
katamu, memang harus demikianlah. Walau pun Kong Bu goblok, akan tetapi dia
putera Beng San dan dia wajib membantu untuk mencari adiknya serta membalas
sakit hati ini. Juga Sin Lee di Lu-liang-san harus diberi tahu. Kun Hong,
biarlah aku sendiri yang akan memberi tahu kepada dua orang itu, ini termasuk
kewajibanku. Kau sendiri hendak ke mana sekarang?"
"Saya
adalah seorang buta, Locianpwe, tentu amatlah sulit untuk melakukan
penyelidikan seorang diri. Oleh karena itu, saya bermaksud pergi dulu ke kota
raja untuk mencari para anggota kaipang (perkumpulan pengemis), karena dari
mereka inilah agaknya saya akan dapat mencari keterangan tentang orang-orang
jahat yang memusuhi Thai-san-pai. Selain itu, juga saya mempunyai urusan
penting yang ada hubungannya dengan mahkota ini, untuk saya sampaikan kepada
yang berhak."
Song-bun-kwi
sebetulnya amat suka berada dekat dengan Kun Hong dan bercakap-cakap dengan si
buta ini. Akan tetapi sebagai seorang tokoh besar, tentu saja dia tidak suka
melakukan perjalanan berkawan. Apa lagi sekarang mereka mempunyai tujuan
masing-masing, maka dia segera menepuk-nepuk pundak Kun Hong dan berkata,
"Kita
berpisah di sini. Ingat, Kun Hong, lekas kau mencari jodoh dan jangan lupa,
anakmu kelak akan menjadi muridku!"
Kun Hong
tersenyum pahit dan mukanya menjadi merah. Dia tak dapat menjawab, hanya
mengangguk-angguk, lalu menjura dalam-dalam ketika dia mendengar betapa kakek
itu berkelebat cepat pergi dari situ. Hanya suara ketawanya saja terdengar dari
tempat yang sudah jauh.
Dia menarik
napas panjang dan kagum sekali. Kakek itu memang aneh, kadang-kadang amat kejam
seperti iblis kata orang, akan tetapi Kun Hong maklum bahwa pada dasarnya kakek
ini hanyalah seorang manusia biasa yang mempunyai kelemahan-kelemahannya. Dia
pun lalu berjalan perlahan, meraba-raba dengan tongkatnya dengan tujuan bertanya
orang jalan ke kota raja….
Loan Ki
adalah seorang gadis yang berdarah perantau. Dia tidak dapat bertahan terlalu
lama untuk tinggal di rumah. Semenjak kecil dia sudah biasa melakukan
perjalanan jauh, merantau bersama ayahnya. Bahkan semenjak berusia lima belas
tahun, ketika ayahnya menganggap bahwa ilmu kepandaiannya sudah cukup tinggi
untuk menjaga diri sendiri, dara lincah ini sudah melakukan perantauan seorang
diri!
Telah
dituturkan di bagian depan betapa Pek-tiok-lim, tempat tinggal Tan Beng Kui di
tepi laut Po-hai, didatangi Song-bun-kwi sehingga menimbulkan kekacauan, bahkan
beberapa orang anak buah Pek-tiok-lim tewas dan akhirnya oleh kecerdikan dan
kepandaian bicara Loan Ki, Song-bun-kwi suka pergi dari tempat itu. Tan Beng
Kui adalah seorang yang memiliki ambisi (cita-cita) besar. Di dalam cerita Raja
Pedang dan Rajawali Emas dapat kita baca betapa tokoh ini telah beberapa kali
berusaha untuk mencari kedudukan tinggi, tetapi selalu usahanya mengalami
kegagalan. Sekarang, biar pun usianya sudah agak tua, ketika dia mendengar
tentang perebutan kekuasaan dan tentang kekacauan di kota raja, timbul lagi
penyakit lama ini.
"Loan
Ki," dia berkata, sehari setelah terjadi keributan karena kedatangan
Song-bun-kwi, "kini kau harus tinggal dan berjaga di rumah. Kedatangan
Song-bun-kwi yang dibawa oleh seorang kaki tangan kota raja tentu ada sebabnya
dan aku ingin sekali ke kota raja untuk menyelidiki dan melihat, apakah yang
sedang terjadi di sana."
Maka
pergilah Tan Beng Kui dari Pek-tiok-lim, meninggalkan anak gadisnya seorang
diri, tentu saja bersama para anak buah Pek-tiok-lim yang puluhan orang
banyaknya. Biar pun tak berhasil menduduki pangkat di kota raja, Tan Beng Kui
telah berhasil menjadi seorang yang kaya raya dan hidup bagai raja kecil di
Pek-tiok-lim itu, dengan rumah-rumah gedung mewah dan besar di tengah hutan dan
mempunyai anak buah yang kuat-kuat.
Di dalam
rumah gedung, Loan Ki dilayani oleh para pelayan yang banyak pula jumlahnya,
hidup sebagai seorang puteri. Ada pun ibu anak ini sudah lama meninggal ketika
Loan Ki masih kecil.
Baru
beberapa hari setelah ayahnya pergi, Loan Ki sudah tidak dapat tahan lagi
tinggal di rumah seorang diri. Karena itu, tanpa mempedulikan pencegahan para
pelayan tua yang mengingatkannya bahwa ayahnya tentu akan marah kalau pulang
tidak melihatnya, Loan Ki memaksa diri pergi meninggalkan Pek-tiok-lim.
Beberapa jam
kemudian dia sudah meninggalkan Pek-tiok-lim seorang diri, menggendong
sebungkus pakaian, membekal potongan-potongan emas dan perak, serta tak
ketinggalan tiga butir mutiara itu dibawanya pula.
Pakaiannya
serba hitam, terbuat dari pada kain yang mengkilap seperti sutera. Potongan
pakaiannya ringkas dan ketat, dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang
pendek. Rambutnya yang hitam dan panjang itu ia gelung ke atas dan ditutup
dengan kain kepala berwarna hitam pula. Ikat pinggangnya dari sutera kuning
emas, begitu pula warna sapu tangan yang mengikat lehernya serta sepatunya.
Dari jauh ia
seperti seorang pemuda saja. Namun segala gerak-geriknya secara menyolok
menyatakan bahwa ia adalah orang muda kang-ouw yang sedang melakukan perjalanan
mengandalkan perlindungan pedang dan ilmu silatnya.
Siapa pun
dia yang menyaksikan Loan Ki melakukan perjalanan pasti akan ikut gembira.
Gadis yang berwajah cantik jelita ini selalu berseri mukanya, mulut yang manis
itu selalu tersenyum dan kedua matanya bersinar-sinar. Memang sudah biasa bagi
Loan Ki untuk memandang segala keadaan di dunia ini dari segi yang
menggembirakan. Ia gadis jenaka yang tak pernah mau mengenal susah.
Beberapa jam
setelah keluar dari Pek-tiok-lim, ia sudah tampak berjalan ke arah selatan,
kadang-kadang berloncatan dan berlarian cepat, kadang kala berjalan perlahan
menikmati keindahan tamasya alam di sepanjang jalan. Kalau sudah melakukan
perjalanan seorang diri seperti ini, baru gadis ini merasakan kebahagiaan hidup
bebas.
Sekerat roti
kering rasanya jauh lebih lezat dari pada bermacam masakan yang biasa
dihidangkan di rumahnya. Air pancuran di gunung rasanya lebih segar dari pada
air teh wangi di rumahnya. Tidur di atas cabang pohon besar lebih nikmat dari
pada tidur di atas ranjang dalam kamarnya yang mewah.
Tiga hari
semenjak ia meninggalkan Pek-tiok-lim, tibalah ia di dalam hutan Pegunungan
Shan-tung yang amat lebat dan liar. Hutan besar itu sama sekali tidak
menakutkan hati Loan Ki, sebaliknya malah mendatangkan kegembiraannya.
Alangkah
indahnya sinar matahari menerobos di antara daun-daun pohon yang rindang. Suara
auman binatang-binatang buas bagi gadis perkasa ini malah menambah suasana
gembira.
Tiba-tiba ia
mendengarkan penuh perhatian. Sebagai seorang gadis perantau yang sudah sering
menghadapi bahaya serangan binatang buas di tengah hutan, dia dapat mengenal
suara harimau yang sedang marah dan bertemu lawan. Dara ini merasa kuatir
kalau-kalau binatang buas itu sedang mengancam keselamatan seorang manusia,
maka cepat ia lalu berlari menuju ke arah suara itu.
Benar saja
dugaannya. Ia melihat seekor harimau yang besar sekali, sebesar anak lembu
sedang berhadapan dengan seorang laki-laki yang kelihatan tenang-tenang saja.
Harimau itu berindap-indap maju dengan perut diseret di atas tanah,
kadang-kadang mengeluarkan auman yang dapat membuat seorang penakut menggigil
ketakutan. Akan tetapi lelaki itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar,
matanya tajam menentang, sikapnya tenang waspada, malah mulutnya agak tersenyum
seakan-akan ia merasa amat gembira.
Loan Ki
dapat menduga bahwa laki-laki yang berpakaian aneh itu tentu orang yang kuat,
maka ia cepat meloncat ke atas sebatang pohon besar, duduk di atas cabang pohon
itu dan diam-diam mempersiapkan diri untuk melayang turun dan menolong andai
kata orang itu terancam bahaya. Dengan mata kagum ia memperhatikan orang itu.
Usianya
masih muda, kira-kira sebaya dengan Kun Hong Si Pendekar Buta. Akan tetapi
tubuh orang ini jauh lebih tegap dan nampak kuat sekali. Pakaiannya aneh. Bajunya
telah dibuka dan baju itu kini tergantung pada pundaknya. Agaknya dia tadi
merasa panas dan membuka bajunya. Tinggal celananya yang berwarna kebiruan,
ringkas dan pada bagian bawahnya tertutup pembalut kaki sebagai pengganti kaos
kaki.
Sepatunya
dari kulit. Tubuh atas yang telanjang itu berkilat-kilat karena peluh,
urat-uratnya melingkar-lingkar membayangkan tenaga yang dahsyat. Rambut
laki-laki itu aneh pula. Digelung ke atas dan di tengah-tengah rambut ditusuk
dengan sebuah tusuk konde hitam, ujung rambut dibiarkan terurai ke belakang.
Seperti bentuk rambut seorang pendeta tosu, tapi lain lagi. Pendeknya, aneh
dalam pandangan Loan Ki dan belum pernah dia melihat seorang laki-laki dengan
gelung rambut seperti itu.
Di pinggang
laki-laki itu tergantung sebatang pedang dengan sarung pedang indah, terukir
dan berwarna keemasan. Demikian pula gagang pedang itu. Akan tetapi anehnya,
sarung pedang itu agak melengkung dan gagang pedang itu terlalu panjang menurut
ukuran dan anggapan Loan Ki. Wajah laki-laki itu gagah dan tampan. Pendeknya,
dalam pandangan Loan Ki, laki-laki itu amat menarik hati dan aneh sekali.
Ketika
harimau itu sudah dekat, laki-laki itu mendadak mengeluarkan suara seperti
orang berkata-kata dan tertawa-tawa. Kadang-kadang nampaklah giginya yang putih
berkilau ketika dia tertawa. Loan Ki makin tertarik.
Jelas bahwa
laki-laki ini seorang yang memiliki kepandaian. Kalau tidak, mana mungkin bisa
tertawa-tawa seenak itu menghadapi seekor harimau yang amat besar dan buas ini.
Kekhawatirannya berkurang, biar pun ada keraguan di dalam hatinya. Harimau itu
adalah harimau betina yang amat galak, dan ia cukup mengenal kehebatan harimau
seperti ini. Tidak sembarang orang akan dapat mengalahkannya.
Benarkah
laki-laki aneh itu memiliki kepandaian cukup tinggi untuk menyelamatkan diri?
Atau, jangan-jangan dia seorang yang miring otaknya? Ucapan yang keluar dari
mulutnya tadi seperti ucapan orang gila, sama sekali dia tidak mengerti
artinya.
Pada saat
melihat betapa laki-laki itu menghentak-hentakkan kakinya dan berteriak-teriak
seperti orang menghardik dan mengancam, wajahnya pun berseri-seri kelihatan
gembira sekali, Loan Ki mengerutkan kening. Agaknya benar telah gila orang ini,
kenapa mengajak harimau itu bermain-main, tidak lekas mencabut pedangnya?
Anehnya,
harimau itu pun agaknya selama hidupnya baru kali ini bertemu dengan seorang
manusia seberani itu, maka tampak ragu-ragu, ekornya yang panjang bergerak
perlahan. Harimau itu tiba-tiba mendekam dan Loan Ki berdebar jantungnya. Ia
tahu apa artinya itu. Harimau itu hendak melompat dan menerkam, dan biasanya
gerakan ini amat hebat, kuat dan cepat sekali. Dan lelaki itu masih
tenang-tenang saja berdiri mengejek, seakan-akan tidak akan terjadi sesuatu.
Harimau itu
lalu mengeluarkan gerengan yang hebat, seakan-akan menggetarkan seluruh hutan.
Tubuhnya yang besar itu menerkam dengan loncatan yang tak dapat dibayangkan
cepatnya, menubruk dengan dua cakar kaki depan dan taring mulut yang terbuka
lebar.
Celaka,
pikir Loan Ki, menolong pun terlambat sekarang. Mengapa dia begitu sombong
sehingga aku enggan menolongnya? Dia merasa agak ngeri, tetapi dasar gadis
pendekar yang tabah, matanya terbelalak memandang penuh perhatian.
Ia melihat
betapa dengan cekatan orang muda itu melompat ke kiri, disusul kilatan sinar
pedang dan jeritan,
"Yaaatt...!
Yaaat!!"
Dua kali
sinar pedang berkelebat, dua kali menyilaukan mata dan... tubuh harimau besar
itu terbanting roboh tak bergerak lagi, lehernya hampir putus sedangkan
perutnya robek berantakan!
Loan Ki
melongo. Ilmu pedang apa itu? Pemuda itu masih memegangi pedangnya yang
berkilauan saking tajamnya. Cara memegangnya aneh, dengan kedua tangan
memegangi gagang pedang yang panjang dan pedang itu agak melengkung bentuknya.
Bukan main!
Ilmu pedang
yang sangat aneh dan juga lucu, akan tetapi ganas luar biasa. Yang amat
mengagumkan hati Loan Ki adalah kehebatan tenaga orang itu, di samping
ketabahan dan ketenangannya yang patut dipuji.
Dengan
tenang dan muka berseri, pemuda aneh itu membersihkan pedangnya dari darah
dengan cara menggosok-gosok senjata itu pada kulit harimau yang berbulu indah,
baru dia memasukkan pedang di dalam sarungnya lagi. Lalu dengan muka gembira
sekali dia mencabut sebatang pisau pendek yang amat tajam. Tangannya bekerja
cepat sekali dan tahu-tahu dia telah mengiris putus paha kanan sebelah belakang
dari binatang itu, terus dipanggulnya pergi ke arah sebatang anak sungai yang
mengalir tak jauh dari tempat itu. Sisa bangkai harimau itu dia tinggalkan
begitu saja.
Loan Ki
dalam keheranan dan kekagumannya terus mengikuti dari jauh. Ia bersembunyi di
balik gerombolan pohon-pohon, mengintai dan ingin sekali tahu apa yang akan
dilakukan pemuda aneh itu. Tadi ketika melihat pemuda itu menggunakan pisau, ia
mengira bahwa pemuda itu seorang pemburu. Akan tetapi kemudian perkiraan ini ia
bantah sendiri. Tak mungkin seorang pemburu akan meninggalkan kulit harimau
yang begitu berharga dan hanya pergi membawa sebuah paha.
Pemuda aneh
itu berjongkok di pinggir anak sungai menyalakan api, membuat gantungan di
kanan kiri api dan ternyata dia mulai memanggang paha harimau itu. Dia tertawa-tawa
senang dan hidungnya kembang-kempis, beberapa kali dia bicara dengan bahasa
yang tak dimengerti Loan Ki.
Gadis ini
pun hidungnya mulai kembang-kempis ketika mencium bau sedap dan gurih dari
daging harimau yang dipanggang itu. Perutnya memang sudah lapar, sekarang
mencium bau daging panggang, alangkah sedapnya!
Tiba-tiba
saja keningnya berkerut, matanya terbelalak, kemudian mendadak ia membuang muka
dan meramkan mata. Apa yang terjadi? Pernuda itu ternyata menanggalkan semua
pakaiannya dan dengan bertelanjang bulat pemuda itu terjun ke dalam air anak
sungai yang amat jernih.
"Anak
setan!" Loan Ki memaki, geli sendiri. "Kurang ajar betul dia, berani
bertelanjang di depan mataku?"
Kemudian dia
teringat bahwa pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa ada orang yang
mengintai, maka tentu saja tidak dapat dibilang kurang ajar. Wajahnya memerah
karena sebetulnya ia sendirilah yang kurang ajar, mengintai orang yang sedang
mandi. Kemudian timbul pikiran yang amat nakal. Memang Loan Ki seorang gadis
remaja yang nakal sekali.
Ia memandang
lagi dan lega hatinya melihat bahwa orang itu mandi dengan merendam tubuh
sebatas dada, jadi leluasa ia memandang. Ia melihat betapa pemuda itu dengan
tubuhnya yang berotot kekar berkali-kali menyelam ke dalam air. Cepat ia
menyelinap di antara pepohonan menanti saat baik.
Sementara
itu, daging paha harimau itu agaknya sudah matang, baunya membuat ia tak kuat
menahan laparnya lagi. Pada saat pemuda itu sekali lagi menyelam, cepat laksana
kijang melompat, Loan Ki keluar dari tempat sembunyinya dan sekali sambar kayu
yang menusuk paha itu telah berada di tangannya. Ia cepat melompat dan lenyap
menyelinap di balik semak-semak belukar.
Di lain
saat, gadis itu sudah duduk ongkang-ongkang di atas cabang pohon yang tinggi,
repot sendiri. Ia sibuk sekali meniup-niup daging yang panas, menggigit,
mengunyah dan tertawa-tawa ditahan sambil mendesis-desis kepanasan dan
keenakan. Gurih dan sedap bukan main paha harimau yang setengah matang itu.
Tiba-tiba ia
mendengar suara banyak orang di bawah. Kiranya ada dua puluh orang lebih lewat
di bawah pohon dan kagetlah ia ketika mengenal bahwa yang lewat itu adalah para
perampok, anak buah Hui-houw-pang. Ia bisa mengenal mereka karena yang
mengepalai rombongan ini tak lain adalah ketua Hui-houw-pang yang bernama Lauw
Teng, si kepala rampok gemuk pendek bermuka kuning yang pernah ia permainkan
dahulu itu.
Orang-orang
itu agaknya sudah melihat si pemuda aneh yang sedang mandi, buktinya mereka
berseru dan pergi ke tempat itu.
Sekali lagi
terpaksa Loan Ki meramkan mata. Kali ini ia tidak membuang muka karena sedang
asyik menggerogoti paha harimau, akan tetapi dia meramkan mata rapat-rapat
ketika melihat betapa laki-laki itu meloncat ke luar dari dalam air sambil
mengeluarkan suara yang tidak dimengertinya, tetapi ia dapat menduga bahwa
orang itu tentu sedang memaki-maki.
Geli juga
hatinya dan sejenak kemudian ia mengintai dari balik bulu matanya yang panjang.
Belum berani ia membuka matanya dan mata kiri yang dibuka sedikit saja itu siap
ditutup kembali cepat-cepat kalau orang aneh itu masih juga belum berpakaian.
Akan tetapi
setelah mengintai dari balik bulu mata, ia menjadi lega. Dibukanya sepasang
mata yang lebar itu, dan jelita itu terbelalak. Dia melihat betapa laki-laki
aneh itu sudah berpakaian, malah sedang memakai bajunya. Dia marah-marah dan
memaki-maki dengan bahasa asing itu sambil menuding-nuding ke arah rombongan
Lauw Teng dan ke arah api unggun yang sudah mulai padam di mana tadi paha
harimau dipanggangnya.
Lauw Teng
dan rombongannya agaknya juga bingung menghadapi orang yang tak dapat
dimengerti bahasanya itu. Tiba-tiba seorang anak buah perampok itu berseru,
"Wah,
dia orang Jepangl Dia tentu bajak laut Jepang, entah bagaimana bisa kesasar ke
sini!"
Ramai mereka
bicara dan semua orang sudah mencabut senjata untuk mengeroyok bajak laut
Jepang yang selalu dimusuhi oleh semua orang itu.
Mendadak
orang aneh itu bicara dalam bahasa daerah yang kaku, akan tetapi cukup jelas
dan lancar. "Tutup mulut! Enak saja kalian menyangka orang. Aku memang
orang Jepang, akan tetapi sama sekali bukan bajak laut!"
Tiba-tiba
matanya memandang ke arah belakang rombongan di mana terdapat beberapa orang
wanita yang dibelenggu kedua tangannya dan ujung rantai panjang dipegang oleh
beberapa orang pula seperti orang-orang menuntun domba saja. Orang itu
memaki-maki lagi dalam bahasa Jepang, lalu menudingkan telunjuknya ke arah
orang-orang perempuan itu dan bertanya,
"Siapa
mereka itu? Kalian ini mau apa menangkapi mereka? Heh, kalian menyebut aku
bajak laut, agaknya kalian inilah bangsa penjahat yang menculik gadis-gadis
orang!"
Lauw Teng
melangkah maju, suaranya kereng, "Hei, orang asing, jangan kau berlancang
mulut! Ketahuilah, kau berhadapan dengan Hui-houw-pang, dan akulah Hui-houw
Pangcu Lauw Teng. Hayo menyerah menjadi tawanan kami, agar sekalian kami bawa
ke kota raja, dari pada kau menjadi makanan golokku yang tak akan mengenal
ampun lagi."
Laki-laki
Jepang itu tertawa pendek, lalu menepuk dada dengan tangan kiri dan menepuk
gagang pedangnya dengan tangan kanan "Huh, kiranya kalian ini hanya
ular-ular tanah biasa. Wah, memang nasibku, jauh-jauh datang dari negeriku
untuk mencari guru yang pandai di sini, kiranya yang kujumpai sama sekali bukan
guru-guru pandai, melainkan penjahat-penjahat biadab. Ehh, Lauw Teng, tentang
menangkap aku menjadi tawanan mudah saja, akan tetapi katakan lebih dulu,
siapakah wanita-wanita itu dan mengapa kau menculiknya? Seorang laki-laki harus
berani mempertanggung jawabkan perbuatannya."
Lauw Teng
tertawa bergelak. Agaknya ucapan ini menggelikan hatinya. Dia mengangkat dada
dan berkata, "Hei, orang gila... dengarlah baik-baik. Memang pekerjaan
kami adalah penjaga gunung dan hutan, akan tetapi kami bukan tukang menculik
gadis-gadis cantik. Ketahuilah, semua gadis-gadis ini akan kami bawa ke kota
raja sebab kaisar baru sedang mengadakan pemilihan gadis-gadis cantik untuk
menambah jumlah selir barunya. Gadis yang dengan suka rela hendak memasuki
pemilihan itu tentu diangkut dengan tandu, akan tetapi gadis-gadis kepala batu
yang menolak ini terpaksa kami belenggu dan kami bawa dengan paksa."
Laki-laki
itu menyumpah-nyumpah dalam bahasa Jepang, membanting kaki kanannya, lalu
berkata, "Keparat... Kiranya di mana-mana sama saja. Orang-orang besar
kerjanya hanya memuaskan nafsu jahatnya, tenggelam dalam kemewahan dan
kesenangan. Aha, penjahat-penjahat rendah. Untuk perbuatan kalian mencuri
daging panggangku, aku mau memberi ampun. Akan tetapi untuk perbuatan menculik
gadis itu, jangan harap aku dapat mengampuni kalau kalian tidak segera
membebaskan mereka!"
"Aduh...!"
Loan Ki baiknya dapat menahan jeritnya sambil menutup mulut dengan tangan.
Ia tadi
sedang makan daging sambil seluruh perhatiannya tertuju ke bawah, amat kagum
mendengar ucapan orang asing yang ternyata seorang Jepang itu. Begitu asyiknya
dia mendengarkan sampai-sampai beberapa kali ia kena menggigit tulang paha,
malah baru saja ia salah menggigit bibir sehingga tanpa terasa ia mengeluarkan
keluhan mengaduh!
"Huh,
dasar daging curian, dimakan pun dapat mendatangkan celaka!" gerutunya
sambil melempar paha yang tinggal tulang-tulangnya saja itu.
Bibirnya
agak menyendol oleh gigitan tadi. Ia kini nongkrong di atas cabang dan
mengintai terus, hatinya tertarik sekali dan kegembiraan memenuhi hatinya
karena ia merasa yakin akan menyaksikan pertandingan yang menarik.
Sementara
itu, ketua Hui-houw-pang sebetulnya kagum melihat pemuda Jepang yang bertubuh
kokoh kuat dan bersikap gagah itu. Diam-diam dia merasa sayang dan alangkah
baiknya kalau dia dapat menarik orang ini menjadi anak buahnya, karena selain
dia dapat mempergunakan tenaganya, juga orang ini tentu akan dapat dijadikan perantara
untuk berhubungan dengan para bajak Jepang yang terkenal itu sehingga menambah
kekuatan Hui-houw-pang.
Maka dia
kemudian berkata, "Orang muda Jepang, kau benar-benar sombong. Kalau kau
hendak mencari guru, tidak usah jauh-jauh, sekarang juga kau sudah berhadapan
dengan seorang guru. Siapakah namamu dan kalau kau mau, aku suka menerima kau
sebagai muridku."
Pemuda itu
mengerutkan alisnya yang tebal panjang berbentuk golok, memandang tajam.
"Kau...? Kepala tukang culik gadis menjadi guruku? Hemmm, aku Nagai Ici,
di negeriku terkenal dengan julukan Samurai Merah! Orang yang patut menjadi
guruku harus dapat mengalahkan pedang samuraiku lebih dulu!"
"Buaya
Jepang, jangan menjual lagak di sini!" bentak seorang anak buah
Hui-houw-pang yang menjadi kaki tangan Lauw Teng.
Perampok itu
bertubuh tinggi besar dan terkenal akan tenaganya yang kuat seperti gajah.
Melihat betapa seorang pemuda Jepang yang ukuran tubuhnya hanya sedang saja
berani menghina dan menantang kepalanya, dia tak dapat menahan sabar lagi.
"Pangcu
(ketua), biarlah saya menghajarnya!"
Lauw Teng
menganggukkan kepala. Memang dia ingin menguji kepandaian orang Jepang ini agar
dia dapat menilai sampai di mana kemampuannya.
Pembantunya
itu sambil berseru keras lalu menyerbu dengan tangan kosong, melakukan
penyerangan dengan kedua lengannya yang besar dan kuat. Kepalan tangannya yang
sebesar kepala orang itu menyambar, bertubi-tubi menghantam ke arah leher dan
dada Nagai Ici.
Nagai Ici
yang berjuluk Samurai Merah itu seperti semua pendekar di negerinya, sama pula
dengan para pendekar di Tiongkok, tidak mau sembarangan menggunakan pedang bila
tidak terpaksa. Melihat datangnya serangan yang biar pun amat kuat namun lamban
ini, dia bersikap tenang-tenang saja.
Begitu
kepalan tangan itu menyambarnya, dia tidak mengelak mundur, malah melangkah
maju sambil miringkan tubuhnya, kemudian secepat kilat dari pinggir dia
mencengkeram, sekaligus dia berhasil mencengkeram belakang siku kanan lawan dan
belakang leher. Kakinya cepat digeser memasuki selangkangan lawan, tubuhnya
direndahkan dan...sekali gentak tubuh lawannya yang tinggi besar itu terbang ke
atas sampai tiga meter tingginya, lalu terbanting roboh seperti pohon tumbang.
Orang itu terbanting keras dan tidak mampu bangun kembali!
Nagai Ici
tersenyum mengejek. "Begini sajakah kemampuan orangmu? Hemmm, pantas
pekerjaannya menculik gadis-gadis lemah!"
Dari tempat
yang tinggi di atas pohon, Loan Ki menonton dengan penuh perhatian. Dia kagum
karena ilmu gulat yang dipergunakan orang Jepang itu benar-benar cepat dan
tangkas. Itulah ilmu yang mengandung tenaga lweekang dengan cara meminjam
tenaga lawan, sekali gentak dapat membikin lawan terlempar dan terbanting.
Benar-benar cerdik sekali gerakan tadi dan dia dapat menduga bahwa menghadapi
orang Jepang ini amatlah tidak baik kalau lawan sampai kena terpegang.
Lauw Teng
juga amat kagum dan gembira. Ternyata dugaannya tidak keliru. Orang muda Jepang
ini kuat dan tangkas, cukup berharga untuk dijadikan pembantunya. Akan tetapi
dia belum yakin betul, maka dia memberi tanda kepada tiga orang pembantunya
untuk maju mengeroyok.
Tiga orang
pembantu ini meloncat ke depan dan menghunus golok mereka. Mereka ini adalah
tiga orang yang boleh diandalkan karena termasuk murid-murid pilihan dari Lauw
Teng yang sudah menerima pelajaran ilmu golok ketua Hui-houw-pang itu,
"Eh-ehh,
beginikah kegagahan Hui-houw-pang? Ha-ha-ha, macan terbang macam apa ini,
beraninya melakukan pengeroyokan?" Nagai Ici mengejek.
Hui-houw-pang
berarti Perkumpulan Macan Terbang, maka ejekan ini benar-benar sudah memanaskan
hati orang-orang Hui-houw-pang. Akan tetapi Lauw Teng yang mempunyai maksud
menarik pemuda Jepang itu untuk memperkuat kedudukan perkumpulannya tidak marah
melainkan menjawab,
"Kau
kalahkan dulu tiga orang pembantuku ini, kalau bisa mengalahkan mereka baru kau
cukup berharga untuk melawanku." Dengan ucapan ini, sekaligus Lauw Teng
menangkis ejekan itu dan malah mengangkat kedudukan dirinya sendiri.
"Bagus!
Majulah!" Nagai Ici menantang tiga perampok itu tanpa mencabut pedangnya,
akan tetapi kuda-kudanya yang kokoh kuat membayangkan bahwa setiap saat ia siap
mencabut senjata itu karena tangan kirinya dengan jari-jari terbuka berdiri
lurus di depan dada sedangkan tangan kanannya melintang di pinggang mendekati
gagang pedang.
"Jepang
sombong, cabut pedangmu!" bentak seorang di antara tiga pembantu Lauw Teng
itu.
Mereka ini
terkenal sebagai tukang-tukang pukul ketua Hui-houw-pang, ilmu golok mereka
ditakuti orang, masa sekarang sekaligus maju bertiga menghadapi seorang Jepang
yang bertangan kosong?
"Hehh,
tidak biasa Samurai Merah diperintah orang untuk mencabut samurai atau tidak.
Samurai dicabut untuk dipergunakan, bukan untuk pameran seperti golok kalian.
Apa bila saatnya tiba, tak usah kalian minta, samurai tentu akan kucabut dan
kalau sudah begitu, kalian menyesal pun sudah terlambat!"
Ucapan ini
gagah dan tabah, akan tetapi juga memanaskan hati. Tiga orang itu menjadi marah
sekali, sambil berteriak memaki lantas menggerakkan golok masing-masing. Sinar
golok berkilauan segera menyambar dan mengurung diri Samurai Merah.
Pendekar
muda dari Jepang itu berusaha untuk menggunakan kegesitannya menghindar dan
mencari kesempatan untuk menangkap lengan lawan. Tetapi diam-diam dia merasa
terkejut. Pendekar ini belum lama datang dari Jepang, belum banyak bertanding
melawan jago-jago silat di Tiongkok sehingga dia tidak begitu mengerti akan
sifat ilmu silat yang asing baginya ini.
Ilmu silat
mengutamakan kecepatan, sama sekali tak memberi kesempatan kepada lawan untuk
balas menyerang. Apa lagi ilmu golok adalah ilmu permainan senjata yang paling
cepat gerakannya, yang mengutamakan bacokan, guratan dan tusukan sehingga mata
golok yang amat tajam dan ujungnya yang runcing itu tiada hentinya menyambar
mencari kulit dan daging lawan.
Melihat
betapa tiga batang golok itu mengurung dirinya dari semua penjuru, sibuk
jugalah Nagai Ici. Baiknya dia memang memiliki kegesitan yang luar biasa
sehingga biar pun dia harus pontang-panting, melejit dan berjumpalitan ke sana
ke mari, masih dapat juga dia menyelamatkan dirinya. Dia berteriak keras dan
tubuhnya mencelat lima meter jauhnya keluar dari kalangan pertempuran.
Tiga orang
pengeroyoknya mendapat hati, mengira bahwa jago Jepang itu terdesak dan
ketakutan sehingga melarikan diri. Sambil memaki dan tertawa mengejek ketiganya
lalu menyerbu sekaligus dan menghujani serangan kepada Nagai Ici Si Samurai
Merah.
Tiba-tiba
terdengar pekik dahsyat dari mulut jago Jepang itu,
"Yaaaat…!
Yaaaat…! Yaaaat…!" disusul menyambarnya sinar kemerahan tiga kali pula.
Terdengar
pekik kesakitan, golok jatuh berdencing dan pertempuran kacau balau. Ketika keadaan
hening kembali, jago muda dari Jepang itu sudah berdiri dengan kuda-kudanya
yang gagah, yaitu kedua kaki dipentang lebar, tubuh merendah, tangan kiri
diangkat tinggi di atas kepala dengan jari-jari terbuka lurus ke atas, tangan
kanan di atas gagang pedang samurai yang ternyata sekarang sudah bersarang
kembali ke dalam sarung pedang pada pinggangnya.
Sepasang
matanya yang tajam berkilau itu menyapu kanan kiri. Sikapnya garang dan gagah
seperti seekor harimau menghadapi bahaya!
Loan Ki
kagum bukan main. Ini merupakan pemandangan yang baru baginya. Tiga orang
pengeroyok tadi kini terhuyung-huyung ke belakang memegangi lengan kanan
masing-masing yang sudah tidak bertangan lagi! Kiranya tangan kanan mereka
sudah putus sebatas pergelangan dan jatuh berikut golok yang dipegangnya. Hebat
sekali gerakan samurai tadi.
Di samping
kekagumannya, Loan Ki juga gembira sekali. Selama hidupnya belum pernah dia
menyaksikan sikap dan gerak-gerik seorang jago silat seperti orang itu. Setiap
orang jago silat yang dia ketahui, mengandalkan kecepatan yang wajar, mengambil
inti sari ilmu silat yang praktis dan pada pertandingan langsung dipakai untuk
mencapai kemenangan mendahului lawan. Akan tetapi jago Jepang ini lain lagi.
Dia nampak tenang dan diam, seperti ayam jantan kalau lagi berlagak, diam tapi
menanti saat untuk merobohkan lawan seperti yang dia perbuat tadi.
Samurai
telah dicabut dan benar seperti katanya tadi, sekali mencabut samurai pasti
akan digunakan dengan hasil baik dan sekarang, sebelum pulih mata yang menjadi
silau oleh kelebatan samurai, pedang itu sendiri telah bersarang kembali di
tempatnya!
Lauw Teng
juga kagum. Meski tiga orang pembantunya menjadi orang-orang tiada guna lagi
karena tangan kanan mereka buntung, namun dia tidak kehilangan kegembiraannya.
Makin besar hasratnya menarik jago Jepang itu menjadi pembantunya, dan dia
merasa bahwa dia tak akan kalah dalam hal ilmu silat melawan jago Jepang ini.
"Bagus,
Nagai Ici. Kau benar-benar gagah perkasa. Makin suka aku untuk menerimamu
sebagai murid atau pembantuku. Lebih baik kita sudahi saja pertentangan ini dan
kau kuangkat menjadi pembantuku, juga muridku. Bagaimana?"
Pandang mata
Nagai Ici melayang ke arah lima orang gadis tawanan itu dan mukanya menjadi
merah. Dia berkata marah, "Siapa sudi menjadi penculik gadis-gadis!"
Lauw Teng
tersenyum, lalu memberi isyarat kepada orang-orangnya. Kelima orang gadis
tawanan yang ternyata sangat cantik-cantik itu digiring maju, juga dua orang
memanggul dua buah peti kayu hitam.
Lauw Teng
menghampiri dua peti kayu itu, lalu dibukanya. Kiranya terisi barang-barang
perhiasan terbuat dari pada perak dan emas terhias batu-batu permata yang
berkilauan!
"Nagai
Ici, kau lihat ini. Indah dan berharga sekali, bukan? Nah, dua peti benda
berharga ini kuhadiahkan kepadamu kalau kau suka menjadi pembantuku dan
seterusnya kau akan hidup dalam kemewahan!"
Pemuda
Jepang itu mendengus seperti kuda mencium asap. "Heh! Samurai Merah tidak
tamak akan harta benda!" jawabnya dengan suara kereng. "Lauw Teng,
tidak perlu kau membujukku dengan pameran emas permata. Biar kau tambah sepuluh
kali itu, aku tidak sudi!"
Lauw Teng
menutupkan kembali dua peti emas itu, lalu menarik tangan seorang gadis tawanan
yang paling cantik di antara kelima orang gadis itu. Gadis ini masih muda,
paling tua lima belas tahun usianya, tubuhnya ramping wajahnya cantik jelita.
Sayang gadis itu nampak berduka, matanya sayu dan mukanya agak pucat, kain
penutup leher terbuka sehingga terbayang kulit lehernya yang putih kuning
berkulit halus.
"Ehh,
Nagai Ici, kau lihat gadis ini. Cantik jelita dan molek! Pantas ia menjadi
selir baru terkasih dari kaisar. Akan tetapi, biarlah kuberikan ia kepadamu!
Atau, kau boleh pilih di antara mereka ini, biar kuberikan kepadamu asal kau
suka membantu kami. Apa katamu? Kau gagah dan masih muda, patut mempunyai
kekasih secantik ia ini, ha-ha-ha!"
Sepasang
mata pemuda Jepang itu memandangi gadis itu, dari atas ke bawah, lalu ke atas
lagi untuk kemudian berhenti menatapi wajah gadis itu. Yang dipandang menunduk
saja. Pandang mata Nagai Ici kemudian beralih kembali kepada Lauw Teng yang
sedang memandangnya dengan senyum penuh harap.
"Lauw-pangcu,
aku suka sekali menjadi muridmu asal kau dapat memenuhi tiga macam
syaratku."
Lauw Teng
sama sekali bukan terlalu ingin menarik pemuda Jepang itu sebagai murid. Maksud
sebenarnya dari pada keinginan hatinya ini berdasarkan kepada perhitungan agar
melalui orang Jepang ini dia dapat mengadakan hubungan baik dan saling bantu
dengan para bajak laut Jepang yang terkenal kuat. Hatinya tentu saja mendongkol
sekali melihat sikap Nagai Ici yang demikian ‘jual mahal’.
Akan tetapi
dia tersenyum dan menjawab. "Boleh... boleh..., katakan apa
syarat-syaratmu yang tiga itu."
Loan Ki yang
masih mengintai dan mendengarkan dari atas pohon, tertarik sekali dan alangkah
kecewa, mendongkol dan marah hatinya ketika ia mendengar jawaban Nagai Ici yang
mengemukakan syarat-syaratnya. "Syarat pertama, dua peti harta itu
diberikan kepadaku..."
"Ha-ha-ha,
boleh... boleh...! Memang tadi pun hendak kuberikan kepadamu!" jawab Lauw
Teng sambil tertawa bergelak.
"Syarat
ke dua, lima orang nona itu semua diserahkan kepadaku..."
Sepasang
mata Lauw Teng terbelalak melotot, kemudian dia tertawa berkakakan sampai
perutnya yang gendut itu bergoyang-goyang. "Ha-ha-ha-ha, waduh lahapnya!
Lima sekaligus? Ha-ha-ha, tidak kusangka kau begini... begini...
Ha-ha-ha-ha!"
"Setuju
tidak dengan syarat kedua ini?" desak Nagai Ici tanpa pedulikan kelakar
orang. Wajahnya masih kereng dan sikapnya sungguh-sungguh.
"...eeehmmm,
sebetulnya susah... mereka ini untuk kaisar... tetapi biarlah, kami akan cari
penggantinya. Nah, kau boleh ambil semua gadis ini, memang mereka cantik-cantik
dan masing-masing memiliki keindahan khas. Ha-ha-ha-ha, boleh kau ambil semua,
Nagai Ici. Sekarang katakan, apa syarat ke tiga?"
"Nanti
dulu, aku akan membereskan yang sudah diberikan padaku," kata pemuda
Jepang itu sambil tersenyum. Wajahnya yang gagah tampan itu berseri ketika dia
menghampiri lima orang gadis tawanan itu.
Gadis-gadis
itu memandang kepadanya dengan pelbagai perasaan. Ada yang nampak girang penuh
harapan, ada yang takut-takut, akan tetapi rata-rata mereka merasa lebih senang
terjatuh ke dalam tangan pemuda asing yang ganteng ini dari pada berada di
tangan para perampok yang kasar dan bermulut kotor itu. Loan Ki merasa mukanya
panas dan dadanya penuh hawa amarah. Ingin dia meloncat turun dan menyerang
orang Jepang yang tamak dan mata keranjang itu. Masa lima orang gadis
dimintanya semua? Ini sudah keranjingan namanya! Akan tetapi dia menahan diri
dan memandang terus, kali ini pandang matanya terhadap pemuda Jepang itu sudah
tidak bersinar kagum seperti tadi, akan tetapi bersinar panas berapi-api.
Nagai Ici
dengan muka berseri-seri dan mulut tersenyum lalu mendekati gadis pertama,
tangannya bergerak maju seperti orang hendak memeluk, mukanya pun mendekat
seperti orang hendak mencium! Gadis itu menjadi merah mukanya dan mundur
selangkah, akan tetapi Nagai Ici maju terus dan di lain saat tali yang
membelenggu kedua tangan gadis itu sudah putus oleh sekali renggutan tangan
Nagai Ici yang amat kuat...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment