Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Buta
Jilid 14
Inilah wajah
yang sering kali dia lihat di dalam mimpi, dan sekaligus hatinya jatuh. Kasih
sayang dan keharuan memenuhi hatinya, membuat dua matanya tak dapat menahan
lagi bertitiknya dua air mata. Mulutnya serasa kering, lehernya serasa tercekik
dan jantung di dalam dada meloncat-loncat.
Nyonya itu
juga seperti tercengang melihat Hui Kauw, keningnya berkerut mengingat-ingat
karena ia merasa seperti pernah melihat wajah gadis ini. Hanya muka yang
kehitaman itu membuat dia menjadi ragu-ragu karena seingatnya belum pernah dia
mengenal seorang nona bermuka hitam seperti nona ini.
Melihat
adanya The Sun dan Bhong Lo-koai yang sudah dikenalnya, ia segera menjura
dengan hormat yang cepat dibalas oleh kedua orang tamu itu, kemudian ia
menghadapi suaminya sambil berkata halus, "Ada keperluan apakah maka aku
dipanggil ke sini?"
Karena
hatinya masih merasa tegang, Kwee-taijin hanya menuding ke arah Hui Kauw sambil
berkata, "Nona ini... dia bilang tahu tentang... Ling-ji (anak Ling)...”
Seketika
wajah yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat, kedua mata yang sayu itu
memandang terbelalak kepada Hui Kauw. Kedua kakinya yang kecil lalu melangkah
maju sampai dekat. "Kau tahu... kau tahu... mana dia Ling Ling
anakku...?"
Hati Hui
Kauw seperti ditusuk-tusuk rasanya. Ia terharu sekali dan diam-diam ia merasa
bahagia karena ibu ini ternyata sangat kasih kepada puterinya yang hilang
diculik orang. Akan tetapi dia tidak boleh sembrono, tak boleh begitu saja
mengaku-aku sebagai anak mereka, karena biar pun hubungan darah di antara
mereka telah menggetarkan jiwanya, akan tetapi ia tidak mempunyai bukti yang
sah. Bagaimana kalau wanita ini bukan ibunya?
"Nyonya...,"
suaranya gemetar dan sukar keluarnya, "Dapatkah Nyonya katakan, apakah
anakmu yang hilang itu memiliki tanda-tanda atau ciri-ciri tertentu sehingga
dapat dikenal kembali?"
Nyonya itu
memejamkan kedua matanya, seakan-akan hendak membayangkan kembali anak kecil
yang lenyap di waktu malam itu, ingat ketika dengan amat gembira dan penuh bahagia
dia memandikan anak itu setiap hari, anak tunggal yang sangat disayanginya.
Dengan jelas
tampak dalam bayangan ini betapa anaknya memiiki sebuah tanda merah di belakang
leher, seperti tahi lalat tapi merah, dan dulu sering kali ia menggosok-gosok
agar tanda itu hilang. Malah suaminya menghiburnya bahwa tanda tahi lalat
seperti itu tidaklah buruk. Apa lagi bila anak itu sudah besar kelak, tentu
tanda itu akan tertutup oleh rambut. Pula, tanda sekecil itu kiranya malah
menjadi penambah manis pada leher yang berkulit putih.
"Ada...
ada..." katanya sambil membuka mata dan memandang suaminya. "...kau
tentu masih ingat, tahi lalat merah di belakang leher..."
Kwee-taijin
mengerutkan kening mengingat-ingat, kemudian dia berkata sambil tersenyum penuh
harapan, "Betul, ada tahi lalat merah di tengkuk, ibunya selalu meributkan
hal itu."
Mendengar
ini menggigil kedua kaki Hui Kauw dan serta merta ia menjatuhkan diri berlutut
di depan nyonya itu, memeluk kedua kakinya sambil menangis!
The Sun dan
Bhong Lo-koai sudah mencelat dari tempat duduk masing-masing karena mereka
tadinya mengira bahwa gadis aneh itu hendak melakukan penyerangan. Akan tetapi
melihat Hui Kauw hanya menangis sambil memeluk dan menciumi kaki nyonya itu,
mereka saling pandang dan berdiri bengong. Juga Kwee-taijin berdiri dari
kusinya dan memandang dengan penuh keheranan.
"Nyonya...
kau periksalah ini..."
Sambil
menangis dan dengan kepala tunduk Hui Kauw menyingkap rambutnya sehingga kulit
tengkuknya dapat terlihat. Nyonya Kwee, suaminya dan juga kedua orang tamu itu
memandang. Karena Hui Kauw berlutut di atas lantai, mudah bagi mereka untuk
melihat betapa pada kulit yang kuning halus dari tengkuk itu ternoda oleh
sebuah tahi lalat merah sebesar kedele.
Hening
sejenak di situ, semua orang bagai kena sihir, kemudian Nyonya Kwee mengeluh,
membungkuk meraba tengkuk Hui Kauw, memandang lagi, mulutnya berbisik-bisik,
"...ah, mungkinkah ini...? Kau... Ling Ling...? Kau anakku...?"
Juga
Kwee-taijin tak dapat menahan diri berseru, "Mungkinkah ini? Tidak
kelirukah...?"
Mendengar
keraguan suami isteri itu, dengan terisak-isak Hui Kauw bangkit berdiri, tegak
memandang suami isteri itu dan berkata, suaranya tegas.
"Taijin
dan Nyonya, memang sangatlah berat bagiku untuk memperkenalkan diri setelah
melihat bahwa ayah dan ibuku adalah orang-orang kaya raya dari golongan
bangsawan berpangkat. Alangkah mudahnya aku dituduh sebagai penipu! Lihatlah
baik-baik mukaku, mataku, diriku, dan andai kata Taijin berdua memang tak
mengenalku sebagai anak yang diculik orang belasan tahun yang lalu, biarlah aku
pergi dari sini."
Keadaan
tegang sekali. The Sun dan Bhong Lo-koai merasai ketegangan ini dan mereka
hanya berdiri tegak menjadi penonton. Kwee-taijin nampak bingung sekali,
ragu-ragu dan pandang matanya tidak pernah lepas dari pada wajah Hui Kauw.
Harus dia
akui bahwa wajah ini cantik sekali dan mirip wajah isterinya pada waktu muda,
akan tetapi mengapa hitam sehingga tampak buruk? Dia ingat betul bahwa dahulu
Ling-ji tidak berwajah hitam, malah kulit muka anaknya dahulu itu putih sekali.
Bagaimana dia bisa menerima gadis yang bermuka hitam, yang menjadi seorang
gadis kang-ouw dengan pedang selalu di pinggang ini sebagai puterinya?
Nyonya Kwee
mengejar maju kemudian memegang tangan kiri Hui Kauw dengan kedua tangannya
yang dingin dan gemetar, bibirnya berbisik lirih, "...lihat tanganmu...
aku ingat betul... di bawah jari manis kiri terdapat guratan seperti huruf
THIAN..."
Dia
membalikkan tangan gadis itu, menariknya dekat dan memandang penuh perhatian.
Benar saja, di situ di antara guratan-guratan telapak tangan itu, terdapat
guratan yang mirip dengan huruf THIAN, yaitu dua tumpuk garis melintang
dipotong garis tegak lurus yang di bawahnya bercabang dua!
"...ahh...
kau betul Ling Ling... kau anakku...!"
"Ibuuuu...!"
Dua orang wanita itu berpelukan, berciuman dan mereka bertangis-tangisan.
Pertemuan yang amat mengharukan.
"Ling
Ling... inilah Ayahmu... berilah hormat kepada Ayahmu..."
Hui Kauw
menjatuhkan diri berlutut di hadapan Kwee-taijin dan sambil terisak berkata,
"Ayahhhh..."
Kwee-taijin
mengerutkan kening. Diam-diam dia merasa kecewa sekali melihat nona ini yang
ternyata adalah puterinya sendiri yang dulu diculik orang. Kecewa melihat
anaknya bermuka hitam seperti ini. Ia menarik napas dan mengelus-elus rambut
Hui Kauw setelah menerima sambaran pandang mata isterinya yang seakan-akan
mencelanya.
"Ling-ji...
anakku, alangkah banyaknya engkau telah mendatangkan sengsara dalam hati
ibumu...," akhirnya dapat juga Kwee-taijin berkata.
Sementara
itu, The Sun dan Bhong Lo-koai juga tercengang, kemudian menjadi girang sekali
bahwa nona yang kosen itu ternyata adalah puteri Kwee-taijin yang hilang! Cepat
keduanya lalu menjura dan menghaturkan selamat kepada Kwee-taijin.
"Kionghi
(selamat), Kwee-taijin, kionghi! Siapa kira hari ini begitu baik sehingga tanpa
dinyana puterimu sudah kembali!" kata The Sun.
"Tidak
hanya sudah kembali, bahkan membawa kepandaian yang hebat. Kionghi, Taijin,
selamat bahwa kau mempunyai puteri yang menjadi anak angkat Siauw-coa-ong Giam
Kin yang sakti. Ha-ha-ha!" Bhong Lo-koai juga memberi selamat.
Kekecewaan
Kwee-taijin agak terhibur pada saat mendengar bahwa puterinya ini ternyata
memiliki kepandaian yang tinggi. Apa lagi nama besar Siauw-coa-ong tentu saja
pernah dia mendengarnya. Maka ketika dua orang tamunya itu berpamit hendak
pergi, dia cepat menahan mereka dan berkata,
"Ji-wi
yang membawa datang puteri kami, sudah sepantasnya saya menghaturkan terima
kasih dengan tiga cawan arak."
Dua orang
itu tertawa-tawa dan tidak dapat menolak. Cepat hidangan disiapkan di meja,
sedangkan Kwee-hujin segera mengajak puterinya itu ke dalam sambil memeluknya
dan menciuminya.
Setelah
berada di rumah ayah bundanya yang asli, Hui Kauw atau Kwee Ling mendengar
banyak. Ternyata ibunya hanya mempunyai anak dia seorang saja, ada pun dua
orang remaja yang dilihatnya itu adalah anak dari isteri muda Kwee-taijin.
Sebagai
seorang kaya raya dan bangsawan yang mempunyai pangkat tinggi pula, Kwee Taijin
mempunyai tiga orang isteri di samping beberapa orang selir yang juga dianggap
sebagai pelayan. Isteri pertama yang disebut Kwee-huijin adalah ibu Hui Kauw
itulah, isteri ke dua atau Ji-huijin (nyonya ke dua) tidak mempunyai anak
sedangkan Sam-huijin (nyonya ke tiga) mempunyai anak dua orang yaitu yang
bernama Kwee Kian, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun dan yang ke dua
adalah seorang dara remaja bernama Kwee Siok. Dua orang inilah yang berjumpa
dengan Hui Kauw pada waktu dia pertama datang di rumah orang tuanya.
Hui Kauw
bisa merasakan betapa kecuali ibu kandungnya, kehadirannya di rumah gedung itu
sangat tidak disukai oleh keluarga Kwee. Terutama sekali Sam-hujin dan dua
orang anaknya. Hal ini mudah sekali dimengerti karena sebelum hadir Hui Kauw,
maka Kwee Kian dan Kwee Siok merupakan dua orang keturunan keluarga Kwee yang
menjadi ahli waris. Sekarang datang Hui Kauw yang ternyata adalah anak dari
isteri pertama, tentu saja mereka merasa dirugikan dan merasa terancam
kedudukan mereka!
Hal ini
karena dapat dimengerti oleh Hui Kauw, maka tidak mendatangkan rasa sesal di
hatinya. Yang membuat gadis ini selalu murung dan tak enak hati adalah sikap
ayahnya. Ayahnya itu adalah ayah kandung, mengapa terhadap dia dingin saja,
sikapnya tidak semanis terhadap Kwee Kian dan Kwee Siok? Juga sikap ayahnya
terhadap ibunya tidak semanis sikapnya terhadap dua orang isterinya yang lain.
Hui Kauw
merasa amat kasihan kepada ibunya dan diam-diam dia tidak puas terhadap
ayahnya. Agaknya perasaan tidak puas inilah yang membuat Hui Kauw menyatakan
kepada ayah bundanya bahwa dia lebih suka bernama Hui Kauw dari pada Kwee Ling,
karena nama ini sudah dipakainya semenjak kecil, maka ia minta agar nama Hui
Kauw dijadikan nama alias atau namanya sehari-hari. Hanya ibu kandungnya sajalah
yang tetap menyebutnya Ling Ling, sedangkan orang lain menyebut dirinya Hui
Kauw, juga ayahnya sendiri.
Pada suatu
hari Hui Kauw diajak ayahnya menghadiri pesta yang diadakan di dalam istana
oleh kaisar! Kejadian yang luar biasa, apa lagi kalau diingat bahwa kehadiran
Hui Kauw itu adalah kehendak kaisar sendiri yang mendengar tentang kelihaian
gadis itu dari The Sun.
"Ayah,
perlu benarkah itu sehingga saya yang harus ikut ke istana? Saya tidak senang
dengan pesta-pesta besar," kata Hui Kauw kepada ayahnya.
Aneh ayahnya
kali ini, sikapnya manis sekali dan kini ayahnya tersenyum. "Hui Kauw,
anak baik, kau tidak tahu. Adalah kaisar sendiri yang minta supaya kau ikut
datang karena beliau telah mendengar bahwa anakku yang diculik dahulu telah
pulang dan selain beliau hendak memberi selamat kepadaku, juga ingin bertemu
sendiri denganmu. Ini merupakan hal yang baik sekali dan merupakan kehormatan
besar, anakku. Baiklah kita berdua akan menggunakan kesempatan ini untuk
menghaturkan selamat kepada kaisar atas pemilihan beberapa orang selir
baru."
Diam-diam
Hui Kauw merasa muak dalam hatinya. Banyak sudah ia mendengar dongeng mengenai
kaisar-kaisar dan para pembesar tinggi yang selalu mengumpulkan sebanyak
mungkin gadis-gadis cantik untuk dijadikan selir. Kejadian ini amat memanaskan
hatinya. Laki-laki yang memiliki kedudukan tinggi benar-benar merupakan
manusia-manusia yang hanya mau menangnya sendiri saja, yang bertindak
sewenang-wenang dan menganggap wanita-wanita hanya sebagai benda permainan
belaka!
Sebenarnya
tak sudi ia harus menghadapi semua ini, tak sudi ia harus menghadiri pesta itu,
akan tetapi bagaimana ia dapat membantah kehendak ayahnya? Baru beberapa hari
ia berkumpul dengan ayahnya, tak mungkin ia mengecewakan hati orang tua itu.
Apa lagi
dalam kesempatan ini, ayahnya juga mengajak Kwee Kian dan Kwee Siok yang
kelihatan gembira bukan main. Pemuda dan gadis remaja ini berdandan dengan
pakaian terbaru. Hui Kauw tidak dapat meniru ini, walau pun ia telah diberi
banyak pakaian indah oleh orang tuanya. Gadis ini berpakaian sederhana saja,
apa lagi ia pun maklum bahwa mukanya yang hitam itu membuat semua pakaian dan
hiasan badan tetap tidak patut.
Bukan main
meriahnya pesta yang diadakan dalam taman bunga istana itu. Kaisar baru muncul
setelah para undangan memenuhi taman dan semua orang termasuk Hui Kauw
menjatuhkan diri berlutut ketika kaisar berjalan dengan sikap agung menuju ke
tempat duduk kehormatan yang telah disediakan untuknya. Dengan kerling mata Hui
Kauw dapat melihat bahwa kaisar ini masih muda, berwajah tampan dan bersikap
gagah dengan mulut selalu memperlihatkan senyum yang menyembunyikan
keangkuhannya.
Sesudah
semua orang diperkenankan duduk, Kwee Siok menyentuh lengannya sambil berkata,
"Hui Kauw cici, lihat di sana itu duduk rombongan pengawal-pengawal istana
dan jagoan-jagoan undangan, semua adalah tokoh-tokoh persilatan tingkat
tertinggi."
Kwee Kian
juga tidak mau ketinggalan berkata lirih. "Dan yang duduk di sebelah kiri
itu, yang berpakaian serba merah, orang tua yang tinggi kurus dan
tersenyum-senyum itu, dialah suhu (guru) kami. Dialah tokoh besar berilmu
tinggi yang berjuluk Ang Mo-ko!"
Diam-diam
Hui Kauw menaruh perhatian. Memang seorang kakek yang aneh, sudah tua tapi
pakaiannya merah semua, duduknya tak jauh dari The Sun yang kelihatan
berpakaian serba indah. Ia tahu bahwa dua orang adik tirinya ini belajar ilmu
silat dari seorang tokoh pengawal istana yang berjuluk Ang Mo-ko, akan tetapi
baru sekarang ia melihat orangnya.
"Cici,"
kata pula Kwee Siok, "di antara tujuh orang pengawal ketika kaisar masih
menjadi pangeran mahkota, suhu adalah orang yang paling lihai di antara
mereka."
"Mungkin
tidak kalah oleh The-kongcu," kata Kwee Kian.
"Wah,
kalau dibandingkan dengan The-kongcu mungkin masih kalah satu tingkat,"
kata Kwee Siok. "Kian-koko, kau tahu bahwa The-kongcu adalah seorang tokoh
muda Go-bi yang mempunyai kesaktian luar biasa, masa di dunia ada keduanya?
Akan tetapi, kalau hanya dengan Bhong Lo-koai saja sudah pasti suhu lebih
menang!"
Hui Kauw
tersenyum di dalam hatinya mendengar perdebatan antara kedua adik tirinya ini
dan sekaligus ia dapat menduga bahwa adik tirinya Kwee Siok ini tergila-gila
kepada The Sun. Ia termenung dan diam-diam ia berdoa semoga adik ini tak akan
mengalami nasib buruk dalam percintaan seperti ia sendiri. Betapa pun adik
tirinya ini di dalam hatinya tidak suka kepadanya, namun Hui Kauw memang
memiliki watak yang penuh welas asih, dan pribudi yang mulia.
Dahulu pun
di Pulau Ching-coa-to, meski ia tahu bahwa Hui Siang diam-diam membenci
dirinya, namun ia selalu menaruh iba pada adik angkat ini. Apa lagi sekarang,
dua orang ini betapa pun juga adalah adik tirinya, anak-anak dari ayah
kandungnya!
Ternyata
menurut percakapan yang ia dengar, Hui Kauw tahu bahwa kali ini kaisar telah
memilih lima orang selir baru di antara puluhan orang gadis-gadis yang
didatangkan dari pelbagai daerah. Seperti telah sering kali terjadi,
gadis-gadis yang tidak diterima tentu saja menjadi bagian dari para pembesar
yang mengurusnya. Tidaklah mengherankan apa bila mereka kini berpesta pora amat
gembira, selain untuk memberi selamat kepada kaisar, juga untuk memberi selamat
kepada diri mereka sendiri!
Hui Kauw
merasa lega bahwa ayahnya tidak termasuk pembesar yang mengurus tentang
penarikan gadis-gadis ini sehingga kali ini ayahnya tak ikut bergembira karena
mendapat selir baru pula! Anehnya, selir-selir baru itu tidak hadir di tempat
pesta dan yang tampak hanyalah para pengunjung yang membanjiri hadiah-hadiah
berupa benda-benda berharga untuk para selir baru itu! Tentu saja hal ini
dilakukan untuk menjilat kaisarnya, karena benda-benda berharga yang
dikeluarkan itu hanya merupakan umpan untuk memancing ikan yang jauh lebih
berharga dari pada umpannya, yaitu berupa kenaikan pangkat dan lain-lain.
Hui Kauw
sudah merasa lega bahwa kaisar agaknya tak akan melihat dan mengenalnya, juga
agaknya ayahnya tidak akan menyinggung-nyinggung tentang dirinya. Siapa kira
tak lama kemudian, seorang pembesar mendatangi ayahnya dan berbisik-bisik.
Wajah orang tua itu seketika menjadi berseri-seri gembira dan dengan suara
bangga dia berkata,
"Hui
Kauw... eh, Ling-ji... Kaisar memanggil aku dan kau menghadap. Mari...!"
Ayah yang
bangga ini berdiri, lalu menggandeng tangan puterinya dan menjatuhkan diri
berlutut di tempat itu juga untuk menghormati panggilan kaisar, kemudian dia
mengajak Hui Kauw berdiri dan berjalan perlahan menuju ke tempat duduk kaisar.
Di depan kaisar, ayah dan anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut lagi,
menunduk tanpa berani mengangkat muka untuk memandang kaisar.
"Aha,
inikah Nona yang lihai ilmu silatnya itu?"
Betapa pun
juga, keadaan dan suara kaisar ini demikian berwibawa sehingga menekan perasaan
Hui Kauw dan membuat nona ini merasa mulutnya kaku dan tenggorokannya kering.
Tak dapat ia mengeluarkan suara untuk menjawab!
"Betul,
Yang Mulia, inilah anak hamba Kwee... Hui Kauw yang bodoh. Hamba berdua
menghaturkan selamat atas hari baik ini, semoga Yang Mulia bertambah
kebahagiaan dan dikurniai panjang usia selaksa tahun!"
Kaisar ini
tertawa senang. "Kwee Lai Kin, tidak kusangka kau mempunyai seorang anak
perempuan yang lihai ilmu silatnya, yang katanya malah menjadi murid dan anak
angkat Siauw-coa-ong Si Raja Ular! Ha-ha-ha! Eh, kau... Kwee Hui Kauw, benarkah
kau diangkat anak oleh Si Raja Ular?"
Tanpa berani
mengangkat muka sedikit pun, Hui Kauw yang telah mendapatkan kembali
ketenangannya menjawab, "Tidak salah, Yang Mulia..."
"Bagus!
Karena ayahmu adalah pembantuku, berarti kau pun pembantu istana pula. Hayo
lekas kau mainkan beberapa jurus ilmu silat supaya dinilai oleh para pengawal
dan agar menambah kegembiraan pesta ini."
Bingung dan
mengkal hati Hui Kauw. Betapa ceriwisnya kaisar ini, pikirnya. Akan tetapi
suasana di situ benar-benar amat berwibawa sehingga ia hampir kehilangan
ketenangan hatinya, "Mohon ampun sebesarnya, Yang Mulia, hamba tidak
berani memperlihatkan ilmu silat yang dangkal di hadapan Yang Mulia."
Semua orang
yang hadir di situ kaget dan khawatir. Setiap penolakan kehendak kaisar dapat
dianggap sebagai pembangkangan yang sama saja artinya dengan pemberontakan!
Wajah Kwee Taijin sudah berubah pucat seperti kertas kosong.
The Sun
mengerutkan keningnya. Akan tetapi pemuda yang cerdik ini cepat berlutut dan
berkata, "Mohon Yang Mulia sudi mengampuninya. Sebagai seorang gadis yang
baru kali ini berhadapan dengan Yang Mulia, dan baru kali ini menghadiri
pertemuan agung, tentu saja Nona Kwee Hui Kauw merasa malu-malu dan canggung
sekali. Hamba usulkan agar supaya salah seorang di antara para pengawal suka
mengawani dia sehingga selain Nona Kwee tidak akan sungkan, juga akan lebih
indah untuk ditonton dan lebih mudah dijadikan ukuran bagi kepandaian Nona Kwee
yang hebat!"
Kaisar
tertawa girang dan bertepuk tangan. "Bagus, kau memang pintar sekali, The
Sun! Kau yang memuji Nona ini kepadaku, tentu kau sudah tahu sampai di mana
tingkatnya dan aku beri ijin kepadamu untuk melakukan pemilihan di antara para
pengawal itu."
The Sun
tentu saja dapat menduga sampai di mana tingkat kepandaian Hui Kauw karena
pernah dia melihat gadis itu bertanding melawan Bhong Lo-koai. Tadinya dia
hendak mengusulkan supaya Bhong Lo-koai maju melayani nona ini, akan tetapi dia
ragu-ragu karena siapa tahu kalau-kalau Bhong Lo-koai akan kalah.
Biar pun
pertandingan kali ini hanya sebagai iseng-iseng dan menguji kepandaian belaka,
namun kalau sampai pihak istana kalah, bukankah hal ini akan merendahkan nama
besar kaisar sendiri yang dianggap mempunyai pengawal yang tidak becus? Oleh
karena itu, dia segera memandang Ang Mo-ko, tersenyum dan berkata,
"Menurut
pendapat hamba, hanya Ang Mo-ko lo-enghiong yang pantas untuk melayani Nona
Kwee, mengingat bahwa kepandaian Nona Kwee sudah amat tinggi dan kalau lain
orang yang melayaninya, akan sukarlah dapat digunakan sebagai ukuran."
Semua orang
terkejut mendengar ini, sedangkan Bhong Lo-koai menjadi merah mukanya. Terang
bahwa The Sun tidak percaya kepadanya, maka mengajukan Ang Mo-ko yang dianggap
lebih pandai. Memang semua pengawal di istana juga maklum bahwa sebelum datang
The Sun dan para tokoh undangan, di antara para pengawal lama, Ang Mo-ko
merupakan tenaga yang paling boleh diandalkan karena ilmu kepandaiannya memang
hebat.
Akan tetapi,
banyak di antara para pengawal istana merasa penasaran. Untuk menguji
kepandaian seorang nona yang begitu muda, mengapa mesti mengajukan Ang Mo-ko?
Agaknya beberapa orang pengawal muda saja sudah cukuplah. Benar-benar
The-kongcu sekali ini keterlaluan, pikir mereka.
Malah
diam-diam Kwee Taijin juga kaget sekali dan melirik ke arah orang muda itu. Apa
yang dikehendaki oleh orang muda ini, pikirnya tidak enak. Masa anakku harus
diadu dengan Ang Mo-ko yang lihai? Hemm, apakah dia sengaja hendak membikin
malu kepada Hui Kauw dan aku?
Akan tetapi
The Sun tak mempedulikan semua pandang mata yang ditujukan kepadanya penuh
pertanyaan itu. Juga kaisar yang tadinya terkejut pula, setelah memandang wajah
The Sun yang bersungguh-sungguh, diam-diam merasa amat kagum. Benarkah gadis
ini mempunyai kepandaian demikian tinggi sehingga patut dipertemukan dalam
pertandingan melawan Ang Mo-ko?
Kaisar
tertawa dan menjawab, "The Sun, kau lebih tahu dalam hal ini. Usulmu
diterima, lakukanlah!"
The Sun lalu
menghampiri Ang Mo-ko, berkata sambil tersenyum, "Ang lo-enghiong harap
suka turun tangan menggembirakan suasana pesta. Akan tetapi hati-hatilah, Nona
Kwee benar-benar lihai."
Ang Mo-ko
bangkit berdiri, mengangguk-angguk dan berkata, cukup keras sehingga dapat
terdengar oleh Hui Kauw. "Sungguh sebuah kehormatan besar untuk berkenalan
dengan kelihaian anak angkat Siauw-coa-ong Giam Kin yang sakti."
Yang paling
merasa tegang di saat itu adalah Kwee Kian dan Kwee Siok. Dua orang muda ini
saling pandang dan muka mereka berubah sebentar pucat sebentar merah. Memang
dari ayah mereka, mereka telah mendengar bahwa kakak tiri mereka memiliki
kepandaian tinggi, akan tetapi mereka sendiri yang menjadi murid tokoh besar di
istana, Ang Mo-ko, diam-diam memandang rendah kepada Hui Kauw. Malah diam-diam
mereka mencari kesempatan baik untuk ‘mencoba’ kepandaian nona muka hitam itu.
Siapa tahu sekarang di dalam pesta agung, di hadapan kaisar, kakak tiri itu
akan dipertandingkan dengan guru mereka!
Karena yang
memerintahnya adalah kaisar sendiri, Hui Kauw tentu saja tidak berani
membantah. Setelah memberi hormat dengan berlutut, ia lalu memenuhi isyarat The
Sun, bangkit berdiri dan berjalan tenang ke tengah ruangan, di mana terdapat
tempat yang agak tinggi dan memang sengaja dikosongkan.
Di dalam
taman itu, Kaisar dan para tamu duduknya mengelilingi tempat ini sehingga
tempat itu menjadi pusat perhatian. Ang Mo-ko yang bertubuh tinggi kurus sudah
berdiri di sana, menunggu dengan sikap tenang.
Kaisar
memerintahkan sesuatu kepada pengawal pribadinya yang cepat lari menghampiri
The Sun. Pemuda ini tersenyum mengangguk-angguk, kemudian berlari pula ke arena
pertandingan, berkata kepada Hui Kauw dan Ang Mo-ko yang sudah bediri
berhadapan.
"Menurut
perintah Kaisar, karena di antara para tamu banyak yang tidak tahu ilmu silat,
maka untuk menjaga kesusilaan dan mencegah persentuhan tangan, ji-wi (anda
berdua) diperintahkan menggunakan senjata dalam pertandingan persahabatan ini.
Silakan Nona Kwee memilih senjata apa yang dikehendaki, akan saya
sediakan."
Hui Kauw
memandang Ang Mo-ko untuk mengetahui pendapat orang tua yang diharuskan menjadi
lawannya itu. Dia melihat kakek itu sambil tersenyum lebar sudah mengeluarkan
senjatanya yang aneh, yaitu sebatang huncwe (pipa tembakau) yang putih kemilau
bagai perak.
Hun-cwe ini
panjangnya ada tiga perempat meter, ujungnya meruncing dan beberapa sentimeter
sebelum ujungnya terdapat ‘buahnya’, yaitu merupakan tempat tembakau yang
biasanya dinyalakan. Tahulah Hui Kauw bahwa lawannya adalah seorang ahli totok
yang berbahaya karena senjata seperti itu memang tepat untuk menotok jalan
darah, bentuknya meruncing tapi ujungnya tumpul.
"Aku
tidak ingin berkelahi sungguh-sungguh, mengapa harus memakai senjata?"
katanya ragu-ragu. "Pula, aku tidak membawa pedangku."
Memang semua
pengunjung tidak diperbolehkan membawa senjata, tentu saja kecuali para
pengawal yang sudah dipercaya penuh. Aturan ini belum lama diadakan setelah
terjadi perebutan kekuasaan dan makin lama makin banyak terdapat mata-mata dari
pihak yang anti kaisar berkeliaran di kota raja.
The Sun
tersenyum dan mencabut pedangnya, "Kalau kau biasa berpedang, kau boleh
mempergunakan pedangku, Nona."
"Terima
kasih." Hui Kauw terpaksa menerima pedang The Sun.
"Nah,
Kaisar telah memberi tanda. Kalian boleh mulai," kata The Sun yang segera
mundur dan berdiri di pinggiran.
Para tamu
menahan napas, apa lagi Kwee Taijin ketika melihat betapa anak gadisnya sudah
berdiri dengan pedang terhunus di hadapan Ang Mo-ko yang masih berdiri sambil
tersenyum-senyum itu.
Dengan gaya
lucu Ang Mo-ko sekali lagi berlutut memberi hormat kepada kaisar, lalu berdiri
dan berkata, "Nona Kwee, aku yang tua banyak mengharapkan petunjuk
darimu."
"Ahh,
lo-enghiong mengapa berlaku sungkan? Lekaslah bergerak dan lekas pula akhiri
permainan ini, aku mana bisa menang dibandingkan dengan seorang tokoh tua?"
jawab Hui Kauw hati-hati, pedangnya sudah melintang di depan dadanya.
Ang Mo-ko
tertawa lagi, lalu menggerakkan huncwe-nya sambil berseru, "Awas Nona, aku
mulai!"
Hui Kauw
maklum bahwa lawannya bukanlah orang lemah, hal ini tidak hanya dapat ia duga dari
sikap kakek itu, juga sekarang jelas dapat dilihat dari dahsyatnya sambaran
huncwe yang melakukan totokan ke arah leher dan lambungnya. Dua bagian tubuh
ini letaknya tidak berdekatan, akan tetapi ujung huncwe itu dapat menotok
secara beruntun dengan cepat sekali sehingga sukar diduga bagian mana yang akan
diserang lebih dahulu karena seakan-akan ujungnya berubah menjadi dua menyerang
dengan berbareng!
"Tring!
Tranggggg!"
Bunga api
berhamburan menyilaukan mata pada saat pedang yang diputar Hui Kauw itu
sekaligus bertemu dua kali dengan huncwe itu. Karena ia menggunakan pedang
orang lain, Hui Kauw dengan tabah berani menangkis sekalian hendak menguji
tenaga lawan. Ia merasa betapa tangannya tergetar hebat, akan tetapi dengan
pengerahan hawa murni ia dapat mengusir getaran itu.
Di lain
pihak, Ang Mo-ko berseru keras. Ia melompat mundur, cepat menarik huncwe-nya
dan diamat-amati dengan penuh perhatian dan kekhawatiran.
"Wah-wah-wah,
untungnya huncwe yang menjadi jimat hidupku ini tidak rusak!" katanya kemudian
sambil tertawa. Tadi dia memang takut kalau-kalau huncwe kesayangannya ini
lecet. Dengan lagak lucu kakek ini menerjang maju lagi mengirim
serangan-serangan kilat.
Hui Kauw
juga mainkan pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar putih. Makin cepat
kakek itu menyerangnya, makin cepat pula ia menggerakkan pedangnya, kini tidak
hanya untuk mempertahankan diri, juga untuk balas menyerang.
Hebat
pertandingan itu dan juga indah sekali karena sambaran huncwe yang bagaikan
kilat menyambar itu selalu lenyap digulung awan putih sinar pedang Hui Kauw.
Kadang-kadang dari dalam gulungan awan itu muncrat bunga api dibarengi suara
nyaring sekali seakan-akan halilintar menyambar dari gulungan awan mendung.
Tentu saja
Ang Mo-ko sudah maklum akan maksud pertandingan ini. Tadinya dia hanya
bermaksud menguji, tentu saja dia tidak akan menyerang sungguh-sungguh puteri
Kwee Taijin yang juga menjadi kakak dari pada kedua orang muridnya. Akan tetapi
makin lama penyerangannya menjadi makin dahsyat ketika dia mendapat kenyataan
bahwa nona ini ilmu pedangnya sungguh tak boleh dipandang ringan.
Dia harus
memeras keringat dan mengerahkan tenaga dan kepandaian kalau tidak mau
dikalahkan dan mendapat malu di dalam pertandingan agung itu! Setelah
bertanding lima puluh jurus lebih, Ang Mo-ko tidak berani main-main lagi dan
terpaksa dia mengeluarkan kepandaiannya agar jangan sampai kalah.
Pada lain
pihak, Hui Kauw juga hendak menjaga namanya, selain juga hendak menjaga muka
ayahnya. Kalau ia mudah saja dikalahkan, bukan hanya dia yang akan ditertawakan
orang, apa lagi oleh kedua orang adik tirinya, juga ayahnya tidak luput dari
pada ejekan.
Namun, ia
tetap tidak mau mempergunakan ilmu silatnya yang ia rahasiakan. Ia sengaja
hanya mainkan ilmu pedang yang ia pelajari dari ibu angkatnya dan ternyata ilmu
pedang itu sudah cukup untuk menandingi huncwe di tangan Ang Mo-ko.
Kaisar
menjadi amat gembira menyaksikan pertandingan pedang tingkat tinggi melawan
huncwe maut ini. Berkali-kali dia bertepuk tangan memuji karena kaisar ini pun
seorang yang suka sekali akan ilmu silat.
Setelah
seratus jurus lewat, Ang Mo-ko menjadi gelisah dan dia merasa khawatir sekali
kalau-kalau akan ditertawai kaisar serta pangkatnya akan diturunkan gara-gara
dia tidak dapat lekas-lekas mengalahkan nona muda itu dalam pertandingan ini.
Tiba-tiba
dia mengeluarkan seruan keras. Tangan kirinya bergerak melakukan serangan pukulan
yang aneh sekali, dengan jari tangan terbuka dan dilakukan dari bawah ke atas,
akan tetapi pukulan ini membawa angin panas yang luar biasa hebatnya. Kiranya
inilah ilmu pukulan simpanan dari Ang Mo-ko atau Iblis Merah, karena sebutan
ini bukan saja menyindir pakaiannya yang serba merah, akan tetapi juga ilmu
pukulannya Ang-tok-jiu (Tangan Racun Merah).
Ilmu pukulan
ini bukan main hebatnya, apa bila dilakukan, tangan kirinya berubah menjadi
merah seperti kepiting direbus dan dari tangan ini selain keluar hawa pukulan
yang panas dan dapat meremukkan tulang membakar kulit daging, juga mengandung
hawa beracun!
Hui Kauw
kaget bukan main ketika merasai hawa pukulan yang amat panas ini. Ia adalah
puteri angkat dari Ching-toanio dan semenjak kecil ia tinggal di Pulau Ular
Hijau, tentu saja ia tahu akan racun-racun berbahaya. Ia dapat menduga bahwa
pukulan lawan ini tentu mengandung racun, maka ia tidak berani menerimanya dan
cepat mengelak.
Ang Mo-ko
semakin penasaran, huncwe-nya terus mendesak diselingi pukulan-pukulan
Ang-tok-jiu. Kali ini dia sama sekali tidak mau memberi hati dan niat
satu-satunya adalah menjatuhkan atau mengalahkan gadis ini, baik secara halus
mau pun kasar. Hal ini dia anggap penting sekali untuk menjaga nama dan
kedudukannya di hadapan kaisar.
Setelah Ang
Mo-ko menggunakan ilmu pukulan Ang-tok-jiu ini, segera Hui Kauw menjadi
terdesak hebat. Gadis ini tidak sanggup mempertahankan diri lagi karena ia
harus selalu mengelak dari pukulan tangan kiri lawan sehingga permainan
pedangnya tidak dapat lagi membendung banjir serangan huncwe yang bertubi-tubi
dan terus menerus mendesaknya dengan totokan-totokan berbahaya.
Celaka,
pikirnya, kakek merah ini agaknya tidak main-main lagi dan terlalu bernafsu
untuk mengalahkanku, pikirnya. Dan ia tahu bahwa kalau kali ini ia kalah, itu
akan terjadi dalam keadaan yang amat berbahaya karena sekali terkena totokan
huncwe atau kena pukulan beracun, ia akan terluka parah. Baginya, kalah dari
kakek ini di depan kaisar bukanlah hal yang terlalu ditakuti, akan tetapi tentu
saja ia tidak sudi kalau harus menyerahkan diri untuk ditotok atau dipukul
sampai terluka parah.
Mendadak dia
mengeluarkan seruan nyaring dan ilmu pedangnya segera berubah hebat. Bila
tadinya ilmu pedangnya bagaikan ombak-ombak kecil yang amat cepat menggelora,
sekarang berubah tenang seperti gelombang lautan besar yang tampaknya tenang
dan lambat, namun yang menelan segala yang dihadapinya. Gerakannya menjadi
lambat dan aneh sekali.
Akan tetapi
bagi Ang Mo-ko amat hebat kesudahannya, karena kakek ini tiba-tiba saja melihat
betapa tangan kirinya tahu-tahu berhadapan dengan pedang yang mengandung tenaga
dalam yang dahsyat. Jika ia melanjutkan serangannya, berarti tangan kirinya
akan buntung! Cepat dia menarik tangan kirinya.
Akan tetapi
pedang itu dengan gerakan lambat dan aneh namun mengandung tenaga menempel yang
luar biasa, tahu-tahu sudah menghantam huncwe-nya. Terdengar suara nyaring
dan... huncwe itu terlepas dari tangan Ang Mo-ko yang tiba-tiba merasa betapa
tangan kanannya setengah lumpuh!
Ang Mo-ko
kaget sekali, mengeluarkan suara keras dan melompat ke belakang. Keringat
dingin membasahi lehernya karena maklum bahwa tadi kalau lawannya berniat
buruk, tentu dia akan terluka. Ternyata pedang itu tidak mengejarnya dan Hui
Kauw hanya berdiri dengan pedang melintang di depan dada.
"Kiam-hoat
bagus...!" Terdengar pujian dari salah seorang di antara mereka yang
tempat duduknya di dekat The Sun, seorang laki-laki setengah tua yang gagah dan
tampan, yang bermata tajam bersinar-sinar.
Terdengarlah
tepuk tangan, ternyata kaisar sendiri yang bertepuk tangan memuji. Semua orang
lalu mengikuti gerakan ini dan meledaklah tepuk tangan dan pujian di taman itu.
Kaisar mengangkat tangan dan semua suara itu berhenti.
"Kwee
Hui Kauw, sebagai seorang gadis muda, ilmu silatmu hebat bukan main. Apa bila
engkau sampai mendapat pujian dari Sin-kiam-eng Tan Beng Kui, itu berarti bahwa
ilmu pedangmu sudah mencapai tingkat tinggi. Bagus sekali!" kaisar berkata
dengan suara gembira.
Hui Kauw
baru teringat bahwa ia berada di dalam pertemuan agung di mana kaisar hadir.
Dan melihat betapa Ang Mo-ko sudah menjatuhkan diri berlutut, ia pun segera
berlutut menghadap kepada kaisar dengan penuh hormat. Diam-diam ia mencatat
ucapan kaisar tadi bahwa orang setengah tua yang memujinya itu adalah
Sin-kiam-eng Tan Beng Kui yang amat tersohor sebagai juara ilmu pedang!
"Kwee
Hui Kauw, menyaksikan kepandaianmu, kami mengangkatmu sebagai pembantu komandan
pengawal istana. The Sun yang akan membagi tugas kepadamu. He, The Sun kau
perkenalkan Nona perkasa ini kepada para enghiong yang hadir!"
Dengan sikap
gembira sekali kaisar itu lalu melanjutkan makan minum dan suasana pesta makin
gembira. Hui Kauw hanya dapat menghaturkan terima kasih sambil berlutut, lalu
ia mengiringkan The Sun yang mengajaknya untuk berkenalan dengan beberapa orang
tokoh yang duduk di bagian tamu kehormatan. Pertama-tama ia diperkenalkan
dengan orang setengah tua yang tadi memujinya, yaitu Sin-kiam-eng Tan Beng Kui!
Tokoh pedang
ini memandangnya dengan tajam penuh selidik, kemudian mengangguk dan berkata,
"Nona Kwee, sebagai puteri angkat Giam Kin, aku tidak tahu dari mana kau
mendapatkan ilmu pedang yang hebat tadi. Lain waktu bila ada kesempatan aku
ingin sekali mengajak kau bercakap-cakap tentang ilmu pedangmu itu."
Suara itu
terdengar manis memuji, akan tetapi mengandung sesuatu yang mendebarkan jantung
Hui Kauw, karena jelas terasa olehnya bahwa tokoh pedang ini nampak tidak puas.
Ia tidak dapat memperhatikan tokoh pedang ini lebih lanjut karena The Sun sudah
memperkenalkan dia kepada tokoh-tokoh lain yang banyak terdapat di bagian itu.
Orang ke dua
yang diperkenalkan oleh The Sun kepadanya adalah seorang kakek yang berpakaian
seperti tosu tua, bertubuh pendek gemuk akan tetapi mempunyai sepasang lengan
yang panjang sekali. Usianya sudah lebih dari lima puluh tahun namun mukanya
halus seperti muka kanak-kanak. Tosu ini adalah seorang undangan dan dia
bukanlah orang sembarangan karena dia ini bukan lain adalah paman guru The Sun
sendiri!
Tosu pendek
ini adalah seorang pertapa Go-bi, adik seperguruan Hek Lojin yang terkenal
dengan sebutan Lui-kong atau Malaikat Guntur! Ada pun julukan atau nama
pendetanya adalah Thian Te Cu. Menilik dari sebutan dan julukan ini, Lui-kong
Thian Te Cu, sudah membuktikan bahwa betapa tokoh ini mempunyai watak jumawa.
Akan tetapi kejumawaannya tidaklah kosong belaka karena dia memang memiliki
kepandaian yang amat luar biasa dan dia bahkan pernah membikin ribut di
Go-bi-pai, yaitu partai persilatan Go-bi-san yang amat tersohor.
Berbeda
dengan watak suheng-nya, Hek Lojin, yang lebih suka menyembunyikan diri di
puncak gunung, tosu pendek ini menerima undangan The Sun dengan gembira karena
sesungguhnya dia masih suka bersenang-senang menikmati kemuliaan duniawi.
"Heh-heh,
Nona Kwee masih amat muda tapi hebat ilmunya," kata Lui-kong Thian Te Cu
sambil memandang dengan matanya yang sipit dan menggerak-gerakkan dua lengannya
yang panjang. "Muka yang cantik jelita disembunyikan di balik kehitaman
yang disengaja. Heh-heh-heh, Giam Kin si iblis cilik benar-benar luar biasa,
sudah mati meninggalkan keturunan begini hebat!"
Bukan main
mengkalnya hati Hui Kauw mendengar ini dan diam-diam dia pun terkejut karena
kakek pendek itu benar-benar awas pandang matanya sehingga secara menyindir
sudah membuka rahasia mukanya yang hitam, agaknya dapat menduga bahwa mukanya
menjadi hitam karena racun. Lebih-lebih kagetnya ketika suara ketawa terkekeh
yang terakhir dari kakek itu membuat ia hampir roboh karena badannya serasa
tertekan hebat membuat kedua kakinya seperti lemah tak bertenaga.
Cepat-cepat
nona ini mengerahkan hawa murni di dalam tubuh melindungi jantung karena ia pun
maklum bahwa dengan suara ketawa itu, si kakek aneh telah menyerangnya atau
menguji tenaga dalamnya. Itulah semacam ilmu khikang yang hebat sekali, yang
dapat menggunakan suara ketawa untuk menyerang orang yang dikehendaki tanpa
membawa pengaruh terhadap orang lain di sekelilingnya. Hanya seorang yang
lweekang-nya sudah tinggi sekali dapat melakukan hal ini!
Cepat ia
menjura kepada kakek itu dan mengucapkan kata-kata merendah, "Saya yang
muda dan bodoh mana berani menerima pujian Locianpwe?"
Orang ke
tiga yang diperkenalkan oleh The Sun adalah seorang yang tidak kalah aneh dan
menariknya. Dia ini seorang hwesio yang bertubuh tinggi besar, berjubah
sederhana dengan dada setengah terbuka sehingga tampak bulu dadanya yang lebat.
Usianya tentu tidak kurang dari lima puluh tahun, kepalanya gundul kelimis dan
besar sekali sesuai dengan tubuhnya. Matanya lebar bundar tetapi jarang dibuka
karena sering kali meram, alisnya tebal berbentuk golok.
Wajah hwesio
ini tampak angker dan berwibawa, tidak mencerminkan sifat welas asih melainkan
mendatangkan rasa segan dan hormat karena jelas dari pribadinya bersinar sifat
keras dan kuat yang sukar ditundukkan. Berbeda dengan para tamu lain, hwesio
ini menghadapi meja kecil di mana terdapat hidangan dari sayur-sayuran tanpa
daging, tanda bahwa dia seorang yang ciak-jai (pantang daging) akan tetapi suka
minum arak, terbukti dari guci besar arak yang disediakan untuknya.
"Nona
Kwee, losuhu ini adalah Bhok Hwesio, tokoh besar dari Siauw-lim, seorang
patriot sejati yang siap mengorbankan tenaga dan jiwa untuk mempertahankan
negara. Apa kau pernah mendengar mengenai Heng-san Ngo-lo-mo (Lima Iblis Tua
dari Heng-san)? Nah, begitu Bhok losuhu ini menginjakkan kaki ke Heng-san dan
turun tangan, lima iblis tua itu terbasmi habis, sarangnya dibakar dan semua
dilakukan oleh Bhok losuhu seorang diri saja!"
Hui Kauw
terkejut. Pernah dia mendengar ketika masih berada di Ching-coa-to mengenai
Heng-san Ngo-lo-mo ini, yang terkenal kejam dan amat tinggi kepandaiannya, apa
lagi kalau maju berlima. Ibu angkatnya sendiri pernah menyatakan rasa jerinya
kalau harus menghadapi lima orang iblis tua itu dan sekarang hwesio tua ini
seorang diri saja mampu membasminya!
"Omitohud,
kaum pemberontak dan pengacau negara kalau tidak dibasmi, tentu membikin
sengsara rakyat," komentar hwesio itu tanpa membuka matanya, akan tetapi
senyum yang membayang di bibirnya yang tebal itu menjadi tanda bahwa dia merasa
senang akan pujian The Sun. "Syukur Nona Kwee sudah terlepas dari ayah
angkat macam Giam Kin yang jahat, seterusnya harap meneladani ayah sendiri yang
mengabdi kepada negara."
Hwesio itu
selanjutnya menutup mata dan mulut tidak peduli lagi kepada Hui Kauw. Masih
banyak tokoh-tokoh diperkenalkan oleh The Sun kepada Hui Kauw, akan tetapi
selain dua orang yang sudah disebutnya tadi, hanya ada dua orang lagi yang
menarik perhatian Hui Kauw, yaitu seorang laki-laki tinggi kurus berambut
keriting berkulit hitam yang diperkenalkan sebagai Bhewakala, seorang pendeta
Hindu yang tadinya adalah seorang pertapa di puncak Anapurna di Himalaya. Ia
seorang bangsa Nepal yang berilmu tinggi dan dalam perantauannya di timur
akhirnya dia bertemu dengan The Sun dan dapat dibujuk membantu kaisar baru
dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Seorang lagi
tokoh wanita yang usianya sudah mendekati lima puluh tahun, seorang ahli pedang
dari Kun-lun-pai. Sebetulnya tokoh wanita ini merupakan seorang pelarian dari
Kun-lun-pai beberapa tahun yang lampau karena sebagai anak murid Kun-lun-pai,
dia sudah melakukan pelanggaran susila dan ketika ditegur oleh ketua
Kun-lun-pai pada waktu itu, ialah Pek Gan Siansu, ia melawan dan akhirnya ia
dikalahkan dan diusir oleh Pek Gan Siansu.
Semenjak
itu, dia melakukan perantauan dan tidak berani kembali ke Kun-lun-pai. Akan
tetapi dalam perantauannya ini dia malah mendapat penambahan ilmu kepandaian
yang hebat sehingga dia kini merupakan tokoh yang lihai sekali. Wanita ini
bernama Gui Hwa dan berjuluk It-to-kiam (Setangkai Pedang).
"Demikianlah,
Kun Hong," berkata Hui Kauw mengakhiri penuturannya kepada Kun Hong.
"Selanjutnya aku tinggal bersama orang tuaku. Karena tak berani menolak
perintah kaisar, aku terpaksa membantu The Sun, akan tetapi bukan membantu di
dalam istana, hanya aku berjanji kepada The Sun akan membantu setiap kali
tenagaku dibutuhkan. Dia amat baik kepadaku dan memang keadaan di kota raja
amat kuat, banyak terdapat tokoh-tokoh pandai. Oleh karena itu, pada saat
mendengar bahwa ada seorang buta dikeroyok, hatiku terkejut bukan main.
Cepat-cepat aku keluar dan menuju ke tempat pertempuran untuk mencegah mereka
yang mengeroyokmu. Akan tetapi ternyata kau telah dapat melarikan diri dan aku
tak berdaya melihat penyembelihan yang dilakukan para pengawal terhadap
orang-orang Hwa-i Kaipang. Aku menyusul dan mencarimu dengan diam-diam dan aku
melihat jejak The Sun di rumah ini..." Hui Kauw memandang kepada mayat
janda Yo yang tak bergerak sambil menarik napas panjang. "Karena salah
sangka setelah melihat The Sun dilayani janda ini aku pun menjadi marah,
menghinanya dan merampasmu, Ah, aku menyesal sekali, Kun Hong."
Selama Hui
Kauw berceritera, Kun Hong hanya mendengarkan dengan penuh perhatian. Terutama
sekali penuturan Hui Kauw tentang orang-orang kosen di kota raja yang amat
menarik hatinya. Agaknya hwesio yang mampu menghadapi jurusnya ‘Sakit Hati’
tentulah Bhok Hwesio, jago tua Siauw-lim itu. Wah, berat kalau begini.
Dia merasa
bersyukur bahwa mahkota kuno itu tidak terampas oleh mereka. Teringat akan ini,
Kun Hong berkata heran. "Ahh, mengapa A Wan begini lama belum
kembali?"
Karena sejak
tadi Hui Kauw asyik berceritera, nona ini pun seperti lupa kepada A Wan.
Sekarang ia pun merasa heran dan curiga. "Biar aku mencarinya di belakang
rumah." Ia bangkit berdiri dan melompat ke luar dari pondok itu melalui
pintu belakang. Baru beberapa menit seperginya Hui Kauw, tiba-tiba Kun Hong
memiringkan kepalanya. Dia mendengar ada suara banyak kaki dengan gerakan
ringan sekali di sekeliling rumah! Otomatis tangan kanannya menggenggam tongkatnya
erat-erat, sedang seluruh tubuhnya tegang dalam persiapan.
Meski pun
luka-lukanya masih terasa sakit, akan tetapi sudah tidak berbahaya lagi. Hanya
punggungnya saja yang masih terasa kaku sekali. Dia masih tetap duduk bersila
di atas tikar dengan sikap tenang namun dengan hati tegang.
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa yang sudah amat dikenalnya, ketawa The Sun!
"Ha-ha-ha, Kwa Kun Hong, kiranya benar kau yang secara pengecut
bersembunyi di balik selimut janda muda, pura-pura menjadi seorang kakek. Ha-ha-ha!"
Berbareng
dengan ucapan itu, tubuh The Sun melayang masuk ke dalam pondok, lalu dia
tertawa-tawa lagi. "Perempuan keparat, berani kau menipuku, ya?"
Kun Hong
mendengarkan penuh perhatian, namun dia sudah bersiap sedia membela diri.
Terdengar The Sun hampiri jenazah janda Yo, kemudian pemuda itu menahan pekik.
"...ahhh…!"
Kun Hong
tersenyum mengejek. "The Sun manusia keparat, kau lihat baik-baik wanita
tak berdosa yang menjadi korbanmu!" Sehabis mengeluarkan ejekan ini,
tubuhnya tiba-tiba melesat ke arah The Sun dan tongkatnya sudah mengirim
tusukan maut.
The Sun
kaget dan cepat membanting diri ke kanan sehingga dinding pondok yang tidak
kuat itu menjadi jebol, terus tubuhnya menggelinding ke luar. Kun Hong mengejar
terus, juga melalui dinding yang jebol itu. Setibanya di luar pondok, Pendekar
Buta ini berhenti karena dia tidak mampu mengenali lagi di mana adanya The Sun.
Di depan pondok itu ternyata telah menanti banyak orang yang kini menghadapinya
setengah mengurung.
"Omitohud...
sayang pemuda berilmu tinggi menjadi pemberontak." Suara ini mengejutkan
hati Kun Hong karena dia segera mengenalinya sebagai suara hwesio kosen yang
pernah memukul punggungnya.
Tentu inilah
yang oleh Hui Kauw diceriterakan sebagai Bhok Hwesio, pikirnya. Entah ada
berapa orang tokoh lihai lagi di samping hwesio ini dan The Sun. Namun dia
tidak takut, hanya dia amat khawatir kalau-kalau mahkota kuno yang tadi sedang
diambil oleh A Wan itu dapat terampas oleh musuh.
Kun Hong
tidak dapat melihat bahwa selain Bhok Hwesio dan The Sun, di situ terdapat
banyak pengawal dan masih ada lagi seorang kosen, yaitu si pertapa dari Nepal
bernama Bhewakala yang berdiri tegak sambil memandang tajam dengan sepasang
matanya yang mengandung pengaruh sihir!
Mendengar
pujian Bhok Hwesio kepada pemuda buta ini, Bhewakala menaruh perhatian besar
karena dia sudah cukup maklum akan kesaktian Bhok Hwesio.
"Mata
buta tidak mengapa, tetapi kalau hati yang buta benar-benar amat sayang
sekali," katanya dengan suaranya yang besar dan bahasanya yang kaku.
Mendengar
suara ini, Kun Hong dapat menduga siapa tokoh ke dua ini karena dia sudah pula
mendengar nama orang itu dari penuturan Hui Kauw.
"Bhok
Hwesio dan pendeta Bhewakala adalah tokoh-tokoh tua yang memiliki ilmu tinggi,
sudah tahu aku seorang muda yang buta mengapa masih memusuhiku tanpa sebab? Apa
perbuatan ini tidak merendahkan derajat serta mencemarkan nama besar ji-wi
(kalian)?" katanya dengan suara keras.
Bhok Hwesio
melengak, lebih-lebih Bhewakala yang seketika itu menjadi pucat mukanya.
Pendeta Nepal ini datang dari Himalaya di mana kepercayaan akan keajaiban dan
tahyul masih sangat tebal. Sekarang mendengar seorang buta mengenal namanya
begitu saja, tentu dia menjadi heran dan takut-takut. Siapa tahu pemuda ini
adalah sebangsa ‘dewa’ yang menjelma menjadi manusia sehingga biar pun matanya
buta akan tetapi tahu akan segala kejadian di dunia ini? Hampir saja dia
menjatuhkan diri berlutut untuk minta maaf kalau saja The Sun tidak membentak
marah.
"Kwa
Kun Hong! Janganlah engkau coba-coba mempengaruhi dua orang Locianpwe yang
terhormat dengan ucapanmu yang amat beracun! Kau ternyata diakui sebagai ketua
oleh pemberontak-pemberontak Hwa-i Kaipang, jelas bahwa kau adalah seorang
pemberontak. Lebih baik kau menyerah dan kami berjanji akan mintakan ampun
kepada kaisar, asal kau suka berjanji untuk bekerja sama membela negara dari
pada rongrongan musuh. Melawan pun tak ada gunanya, kau sudah terluka dan apa
artinya kepandaianmu jika menghadapi kesaktian Bhok Losuhu dan Bhewakala?"
"The
Sun, dalam hatimu kau maklum bahwa kalau mau bicara tentang ucapan beracun dan
perangai binatang, maka kaulah orangnya yang paling tepat. Selama hidupku aku
tak pernah memusuhimu, mengapa kau mendesakku dan malah kau menjadi sebab
kematian seorang janda yang tak berdosa?"
"Tak
usah banyak cakap lagi, lebih baik surat rahasia yang kau terima dari Tan Hok
kau serahkan kepadaku, jika tidak jangan harap engkau dapat meninggalkan kota
raja dalam keadaan hidup!" The Sun membentak.
"Manusia
rendah, sudah kukatakan bahwa aku tidak membawa surat apa-apa. Terserah
kepadamu."
"Saudara
The, biarlah aku mencoba menangkap tuna netra yang amat bandel ini!" kata
Bhewakala yang amat tertarik mendengar percakapan itu dan kini ingin sekali dia
menguji kepandaian si buta ini yang tadi sudah dipuji-puji oleh Bhok Hwesio.
Bhok Hwesio
tertawa. "Saudara Bhewakala, berhati-hatilah kau, dia benar-benar sangat
lihai."
Pendeta
Nepal itu tersenyum. Dia adalah seorang pertapa Himalaya yang berilmu tinggi,
dalam hal kepandaian dan kesaktian, dibandingkan dengan Bhok Hwesio kiranya
hanya kalah setingkat, masa dia harus merasa jeri menghadapi seorang muda lagi
buta seperti Kun Hong ini?
"Orang
muda, menyerahlah, atau kalau tidak, bersiaplah kau kutangkap untuk kujadikan
tawananku!" katanya.
Tiba-tiba tubuh
Bhewakala sudah bergerak secara aneh, dua kakinya diangkat ujungnya sehingga
tubuhnya mendoyong ke belakang seperti orang akan terjengkang. Benar-benar
gerakan ini merupakan kuda-kuda yang sangat aneh dan lucu, terlebih lagi karena
kedua lengannya diulur ke depan bagai seorang bapak hendak memondong anaknya,
atau lebih mirip seorang yang akan jatuh ke belakang sedang minta tolong.
Kun Hong tak
dapat melihat gerakan ini, namun dia dapat mendengarkan dan maklum bahwa orang
yang akan menangkapnya ini memiliki kepandaian luar biasa dan berbeda dengan
orang-orang lain. Maka dia pun tidak mau memandang rendah, tubuhnya sudah
bergerak pula dengan perlahan, memasang kuda-kuda jurus Sakit Hati.
Kali ini dia
tidak mau memusingkan lagi tentang kesabaran, karena maklum bahwa dia sudah
terkurung dan berada dalam keadaan hidup atau mati. Apa lagi kalau teringat
akan janda Yo, hatinya sakit sekali. Ingin sekali rasanya dia membunuh The Sun
dengan hanya sekali pukul, ada pun semua orang yang membantu The Sun tentu saja
akan dilawannya mati-matian.
Ketika
Bhewakala melihat Pendekar Buta itu memasang kuda-kuda dan tidak menjawab
permintaannya agar menyerah, tiba-tiba dia mengeluarkan suara bentakan panjang
dalam bahasa asing. Kedua matanya menjadi lebar dan bercahaya seakan-akan
mengeluarkan sinar kilat, lalu tubuh yang doyong ke belakang itu tiba-tiba
bergerak maju dengan kedua tangan mencengkeram ke arah pundak dan dada Kun
Hong.
Serangan ini
hebat bukan main, terbukti dari hawa pukulan yang menggetarkan dada Kun Hong,
jauh sebelum kedua tangan orang Nepal itu datang dekat. Bentakan Bhewakala itu
juga mendatangkan perasaan aneh di kepalanya, seakan terdapat dorongan yang
hendak memaksa dia menjadi lumpuh.
Kun Hong
terkejut dan teringatlah dia akan ilmu ‘merampas semangat’ yang pernah dia
pelajari dari paman gurunya, Sin-eng-cu Lui Bok. Dahulu sebelum dia buta, dia
mampu mempergunakan ilmu ini untuk mengalahkan lawan, yaitu dengan kekuatan
lweekang dan batin yang disalurkan melalui pandangan matanya. Sekarang setelah
buta, tentu saja dia tidak dapat melakukan ilmu itu.
Teringat
ini, dia menduga bahwa lawannya yang aneh ini agaknya menggunakan ilmu itu
pula. Dia bersyukur bahwa kebutaan matanya membuat dia kebal terhadap
penyerangan ilmu ini, karena ilmu ini menundukkan lawan melalui pandangan mata
pula.
Dengan
pengerahan tenaga batinnya, Kun Hong menghadapi serangan ini dengan jurus Sakit
Hati. Tongkatnya berkelebat kemerahan dari kanan atas sedangkan tangan kirinya
menyambar dengan jari-jari terbuka dari kiri bawah.
"Siuuuuuttttt!"
Inilah jurus
Sakit Hati yang hebatnya bukan kepalang, sejurus ilmu pukulan gabungan dari
Ilmu Silat Im-yang Sin-hoat dan Kim-tiauw Kun-hoat, gabungan aneh dari dua
macam serangan yang memiliki dua tenaga gaib pula, yaitu Yang-kang dan Im-kang.
Bhewakala menjerit
ngeri menyaksikan betapa serangannya dihadapi oleh Si Pendekar Buta dengan
serangan pula yang luar biasa anehnya sehingga bulu tengkuknya berdiri semua
karena kedua tangannya tanpa sebab telah terpental oleh semacam hawa yang tidak
kelihatan, yang keluar dari gerakan Pendekar Buta itu. Tubuhnya yang tinggi
kurus secepat kilat ditekuk ke kiri untuk menghindarkan diri dari sambaran
tongkat yang memiliki hawa panas seperti baja membara ini, sedangkan kedua
tangannya cepat dia gerakkan untuk menangkis sambil mencengkeram pukulan tangan
kiri lawan yang menyambar dari bawah.
"Weeerrrrr...
desssss! Auuuuuhh...!"
Bagaikan
sebuah layangan putus talinya, tubuh Bhewakala melayang, terlempar sampai lima
meter lebih, sebagian rambut kepalanya hangus terlanggar tongkat sedangkan
kedua tangannya bertemu dengan tangan kiri Kun Hong tadi, membuat tubuhnya
terpental jauh.
Bhewakala
roboh terguling, akan tetapi cepat bangun lagi dengan kedua mata terbelalak
keheran-heranan, mukanya merah padam. Dia berusaha mempertahankan diri tetapi
tidak kuat karena tiba-tiba dia muntahkan segumpal darah merah dari mulutnya.
Hanya dalam satu gebrakan tadi dia telah terluka!
Melihat
Pendekar Buta itu masih memasang kuda-kuda Sakit Hati, tidak bergerak seperti
patung, kaki kanan di depan berjungkit, kaki kiri di belakang dan ditekuk
lututnya, tangan kanan memegang tongkat diangkat ke atas melintang, tangan kiri
terbuka seperti cakar dan tergantung ke bawah, tokoh Nepal ini menjadi
penasaran dan malu sekali.
Selama dua
bulan dia berada di kota raja sebagai seorang tokoh undangan, belum pernah dia
melakukan sesuatu jasa sungguh pun dia telah mendemonstrasikan kepandaiannya
kepada para pengawal. Sekarang, sekali turun tangan, menghadapi seorang
pengacau muda lagi buta saja, dalam segebrakan dia sudah muntah darah!
Dengan dada
panas penuh hawa amarah, Bhewakala lalu merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan
sebatang cambuk hitam yang ujungnya kecil dan panjang sekali. Cambuk ini
tadinya digulung kecil dan dimasukkan saku, sekarang setelah berada di
tangannya berubah menjadi cambuk panjang sekali, tidak kurang dari tiga meter
panjangnya!
Dia merasa
penasaran sekali dan hendak membalas kekalahannya. Sambil mengeluarkan bentakan
aneh, dia sudah memutar cambuknya di atas kepala, makin lama makin cepat dan
terdengarlah suara seperti suling ditiup orang. Aneh, makin cepat saja dia
memutar cambuk, maka suara seperti suling itu menjadi makin keras seperti suara
sirene!
Kun Hong
masih memasang kuda-kuda tanpa bergerak, seluruh inderanya tegang dan dia siap
menanti setiap serangan dengan jurus mautnya itu. Akan tetapi tiba-tiba dia
terkejut ketika ada hawa serangan ujung cambuk yang mengeluarkan suara mengaung
aneh itu.
Maklum bahwa
tiada gunanya menangkis serangan senjata lemas seperti ini, dia hanya
menggerakkan kedua kakinya dan dengan mudah saja mengelak. Namun ujung cambuk
tetap mengejarnya dengan kecepatan kilat, seakan-akan cambuk itu memiliki mata
pada ujungnya, dapat mengejar ke mana jua pun dia bergerak. Hebat ilmu cambuk
dari orang Nepal ini, aneh dan berbahaya.
Baiknya Kun
Hong memiliki ilmu langkah ajaib yang dinamai Hui-thian Jip-te, kalau tidak,
tentu dia akan celaka menghadapi penyerangan ilmu cambuk aneh itu. Tak mudah
untuk membalas serangan ini dengan serangan lagi karena lawannya yang memegang
cambuk berada dalam jarak tiga meter sedangkan ujung senjata itu terus
mengancamnya.
Terpaksa dia
menggunakan langkah ajaib dan berkali-kali orang Nepal itu mengeluarkan seruan
heran dan bingung sebab melihat betapa orang yang diserangnya itu enak-enakan
saja berloncatan, kadang-kadang terhuyung-huyung dan jongkok berdiri, namun
semua penyerangannya tidak pernah menyentuh kulit lawan!
Saking
bingung dan herannya, dia marah-marah dan mengira bahwa Pendekar Buta itu
memang sengaja mengejek dan mempermainkannya. Sama sekali dia tidak tahu bahwa
sikap Kun Hong itu sama sekali bukan mengejek, melainkan mati-matian
menyelamatkan diri dari kurungan ujung cambuk, karena langkah ajaib itu memang
terlihat aneh dan lucu.
Kemarahan
Bhewakala membuat dirinya tidak hati-hati lagi. Dia tidak tahu bahwa dalam
melakukan langkah ajaib menghindarkan ujung cambuk, Kun Hong dengan cara
memutar telah makin mendekatinya dan begitu ada kesempatan, pemuda buta ini
cepat membalas serangan lawan dengan jurus Sakit Hatinya.
"Haaiiiiittttt…!"
Dengan amat
hebatnya Kun Hong sudah menerjang lawannya dengan jurus mautnya itu. Bhewakala
kaget sekali, akan tetapi dia sudah siap sedia. Cambuknya tiba-tiba melingkar
pendek untuk memapaki tongkat lawan, sedangkan tangan kirinya sengaja dia
kerahkan dengan tenaga penuh untuk memapaki tangan Si Pendekar Buta.
"Saudara
Bhewakala, jangan...!" terdengar Bhok Hwesio berseru kaget. Namun
terlambat.
"Deeesssss…!
Blukkkkk!"
Cambuk itu
putus berhamburan saat bertemu tongkat dan tubuh Bhewakala untuk ke dua kalinya
melayang ke belakang, lalu roboh dan kali ini sampai lama dia tidak dapat
bangkit, dari mulutnya mengalir darah segar dan napasnya terengah-engah. Bhok
Hwesio segera menghampirinya.
"Omitohud...!"
seru hwesio Siauw-lim yang kosen ini sambil mengurut dada orang Nepal itu
beberapa kali.
Diam-diam
dia merasa kagum juga kepada Bhewakala karena beberapa menit kemudian tokoh
Nepal ini sudah sanggup bangun dan duduk bersila untuk memulihkan tenaganya. Agaknya
dia tidak terluka terlalu hebat sehingga masih tidak membahayakan keselamatan
nyawanya.
"Uuhh-uuhhh...
aku tak dapat mempengaruhinya dengan pandangan mataku... uh-uh-uh, dia hebat...
Bhok losuhu...," katanya dengan suara bernada kecewa.
Memang hatinya
kecewa bukan main karena dia harus menderita kekalahan. Andai kata lawannya
itu, biar pun memiliki ilmu silat luar biasa tingginya, tidak buta seperti
sekarang, belum tentu dia akan kalah seperti sekarang ini. Dengan pandangan
matanya dia dapat mengerahkan kekuatan batin, dapat menggunakan ilmu sihirnya
untuk membuat lawannya bertekuk lutut tanpa mengulurkan tangan. Akan tetapi,
apa daya, justru lawannya tidak mempunyai mata sehingga kekuatan batinnya tidak
mendapatkan ‘pintu’ untuk memasuki tubuh lawan.
Pada lain
pihak, diam-diam Kun Hong mengeluh. Dia telah menderita luka dalam akibat
pukulan Bhok Hwesio di punggungnya, sedangkan luka di pangkal pahanya biar pun
tidak berbahaya lagi, namun belum sembuh dan masih terasa nyeri dan perih, juga
sebagian tenaganya sudah banyak dipergunakan untuk mengusir racun dan untuk
menambah daya tahan terhadap luka-luka itu, sekarang dia harus menghadapi lawan
tangguh.
Tadi, dalam
dua kali bertemu tenaga dengan Bhewakala, walau pun dia berada di pihak unggul
berkat sinkang di tubuhnya dan jurus luar biasa itu, akan tetapi tenaga yang
dia gunakan sangatlah merugikan dirinya sendiri. Luka dalam di punggungnya
menjadi makin nyeri sampai menyesakkan dada, luka di pangkal paha mengucurkan
darah baru karena dorongan dari dalam ketika dia mengerahkan tenaga.
Namun pemuda
perkasa ini tidak menyatakan sesuatu, tetap memasang kuda-kuda jurus Sakit Hati
menghadapi segala kemungkinan, tetap tak bergerak seperti patung. Dia harus
mempertahankan nyawanya dan untuk ini, mau tidak mau dia harus berani
merobohkan lawan, kalau perlu membunuhnya!
Setelah
banyak mengalami hal-hal penasaran di dunia kang-ouw, pengertian Kun Hong mulai
terbuka mengapa banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal gagah perkasa dan dia
kagumi itu sering kali melakukan pembunuhan. Kiranya di dunia ini memang
terdapat banyak orang-orang yang sudah sepatutnya dibunuh sebab hidupnya hanya
mengotorkan dunia dan menjadi sumber segala kejahatan!
Sekarang dia
tak rela menyediakan nyawanya untuk dibunuh orang lain, karena hidupnya masih
mempunyai banyak tugas yang penting sekali. Pertama, mencari musuh-musuh
Thai-san-pai dan membantu paman Beng San membalas sakit hati. Ke dua, membantu
mencari adik Cui Sian yang hilang diculik orang. Ke tiga, melanjutkan tugas
dari paman Tan Hok untuk menyampaikan surat rahasia itu kepada yang berhak,
yaitu Raja Muda Yung Lo di utara. Ke empat, mendidik A Wan sebagai muridnya
agar dia dapat membalas budi mendiang Yo-twaso. Ke lima... Hui Kauw!
Ya, karena
adanya Hui Kauw maka dia tidak mau mati dan harus terus mempertahankan
hidupnya. Biar pun pikirannya melayang-layang seperti itu, namun Kun Hong tidak
sedikit pun mengurangi kesiap siagaannya menghadapi para lawan yang sudah
mengurungnya.
"Omitohud...,
orang muda buta benar-benar lihai sekali. Pinceng kagum... sayang kalau harus
membunuhnya. The-kongcu dan Tan-sicu, mari bersama-sama pinceng menangkap dia
hidup-hidup!"
Mendengar
kata-kata ini, Kun Hong mengerutkan kening. Hemmm, kiranya Sin-kiam-eng Tan
Beng Kui sudah berada di situ pula. Inilah berbahaya, pikirnya. Kalau tertawan
oleh orang-orang ini sama saja dengan mati. Kalau dia sudah tertawan, bagaimana
mungkin melepaskan diri?
Dulu ketika
dia belum buta, pernah pula dia ditawan di kota raja, akan tetapi dengan ilmu
sihirnya dia berhasil melarikan diri. Sekarang, sekali dia tertawan, apa
bedanya dengan mati? Tidak, dia tidak mau ditawan!
Begitu
mendengar deru angin dari tiga jurusan, Kun Hong cepat menggunakan
langkah-langkah ajaibnya untuk menyelamatkan diri, sedangkan kedua tangannya
sudah siap dan selalu mencari kesempatan membalas. Sayang baginya, jurus Sakit
Hati itu hanya sejurus saja, dan pula, hanya amat ampuh bila dipergunakan untuk
menghadapi seorang lawan yang menyerang sehingga menjadi serangan balasan yang
tak terhindarkan.
Sekarang,
menghadapi serangan tiga orang yang demikian tinggi ilmu silatnya, Dia sama
sekali tidak mempunyai kesempatan untuk menggunakan jurusnya ini. Pedang di
tangan Sin-kiam-eng bagaikan seekor garuda saja, menyambar-nyambar dari tempat
yang tidak terduga-duga. Bukan main hebatnya Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut dari
Sin-kiam-eng Tan Beng Kui ini sehingga pada saat menghadapinya, timbul
keinginan aneh di hati Kun Hong untuk dapat mempergunakan mata melihat permainan
pedang ini!
Tongkatnya
sudah repot digunakan menangkis serangan Sin-kiam-eng, sehingga tinggal sedikit
kesempatan untuk menangkis pedang The Sun yang juga amat ganas menyambar
nyambar. Berkali-kali dia berusaha untuk memukul runtuh pedang The Sun yang dia
tahu mengandung racun yang sangat berbahaya, lebih-lebih dari keinginan dan
nafsu hatinya untuk mendapat kesempatan menerjang The Sun dan merenggut nyawa
pemuda halus ini untuk membalas sakit hati janda Yo.
Akan tetapi
baru menghadapi dua pedang ini saja dia sudah repot bukan main, ditambah lagi
sambaran-sambaran aneh dan kuat bukan main dari kedua tangan Bhok Hwesio yang
berusaha menangkapnya. Mana mungkin dia melakukan serangan balasan?
Jika
sekarang Kun Hong kewalahan menghadapi lawan-lawannya, hal ini bukanlah terlalu
aneh. Pertama, dia sudah terluka hebat sehingga tenaganya hanya tinggal tiga
per empat bagian. Ke dua, dia sedang menghadapi pengeroyokan tiga orang lawan
yang tergolong jagoan-jagoan kelas satu. Ke tiga, hatinya sudah gelisah sekali
karena sampai saat itu dia tidak tahu ke mana perginya A Wan beserta Hui Kauw,
dan apa jadinya dengan mahkota yang menyimpan surat rahasia penting itu.
Pada saat
itu pedang The Sun menyambar ke arah kakinya dengan babatan cepat sekali. Kun
Hong melompat ke atas dan cepat sekali menggunakan tongkatnya untuk menindih
pedang ini, dengan maksud menggunakan kesempatan ini dia memukul The Sun dengan
tangan kiri. Akan tetapi pada saat itu pedang Sin-kiam-eng sudah menusuknya,
menusuk ke arah leher. Cepat-cepat dia miringkan tubuh dan tangan kirinya telah
siap melanjutkan pukulan kepada The Sun yang masih berkutetan hendak menariknya
tetapi tidak sanggup itu.
"Robohlah...!"
tiba-tiba terdengar bentakan Bhok Hwesio yang mendorong dari samping.
Hebat tenaga
dorongan hwesio ini, seperti angin puyuh saja datangnya. Kun Hong kaget sekali,
terpaksa ia harus membatalkan pukulannya pada The Sun, dan sebaliknya ia lalu
menggunakan tangan kirinya itu mendorong ke arah Bhok Hwesio.
"Deesssssss…!"
Tangan kiri
Kun Hong bertemu dengan tangan Bhok Hwesio, dan dari kedua lengan ini mengalir
hawa dorongan yang luar biasa saktinya. Bhok Hwesio berteriak perlahan, lalu
tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, sedangkan Kun Hong merasa dadanya sesak
dan dia pun terpaksa melompat ke belakang dan berusaha memulihkan napasnya.
Akan tetapi
alangkah kaget hati Kun Hong saat merasa betapa punggungnya yang masih luka itu
makin nyeri, membuat dia sulit bernapas. Kun Hong gugup, bingung, kecewa dan
marah bukan main. Haruskah dia mati dalam keadaan begini? Haruskah dia mati
sebelum menunaikan tugasnya?
Terlintas
pikiran aneh pula. Haruskah dia mati sebelum menyampaikan cinta kasihnya kepada
Hui Kauw? Tidak! Sekali-kali tidak boleh!
Dan
terdengarlah pekik melengking tinggi keluar dari kerongkongannya, pekik yang
amat mengerikan dan mendirikan bulu roma, dibarengi dengan melesatnya tubuhnya
dengan jurus Sakit Hati. Hampir saja Sin-kiam-eng Tan Beng Kui menjadi korban
karena jago tua ini yang berada di tempat terdekat.
Kun Hong
tidak peduli lagi siapa yang berada di dekatnya, tentu terus saja diterjangnya
dengan jurus Sakit Hati sambil mengeluarkan pekik melengking tinggi itu. Tan
Beng Kui terkejut dan cepat melompat jauh menghindarkan diri, juga The Sun
kaget bukan main sampai mukanya menjadi pucat dan dia pun menjauhkan diri.
Hanya Bhok Hwesio yang tetap berdiri di tempatnya, memandang dengan penuh
kekaguman.
"Dia
sudah seperti harimau luka, tinggal merobohkan saja!" kata hwesio itu
membesarkan hati.
The Sun dan
Tan Beng Kui mendesak maju lagi, menggerakkan pedang. Keadaan Kun Hong benar-benar
terancam hebat, kalau tidak akan roboh tewas, paling sedikit tentu dia akan
tertawan seperti yang dia khawatirkan.
Tiba-tiba
saja terdengar lengking panjang dari atas, lengking yang hampir sama dengan
pekik yang keluar dari mulut Kun Hong, akan tetapi lebih panjang dan nyaring.
Mendengar ini, Kun Hong terkejut dan mukanya berubah berseri-seri.
Dia lalu
memekik lagi sambil mengamuk terus, menggerakkan tongkatnya dengan cepat
sehingga tubuhnya tertutup sinar pedang kemerahan. Untuk menjaga dirinya dari
desakan tiga orang lawannya yang amat tangguh, tidak ada ilmu lain kecuali ilmu
Pedang Im-yang Sin-kiam yang dapat melindungi tubuhnya. Lengking panjang itu
makin keras dan tiba-tiba terdengar kelepak sayap di udara.
Bhok Hwesio
berseru kagum, "Omitohud... apa lagi ini...?”
Kiranya yang
datang ini adalah seekor burung rajawali yang besar bukan main. Indah dan gagah
burung itu. Seekor burung rajawali yang jarang kelihatan oleh manusia, bulunya
kuning bersih, paruh dan kuku kakinya seperti emas, matanya merah menyala.
Inilah
kim-tiauw si rajawali emas yang datang karena tertarik oleh pekik melengking
dari mulut Kun Hong tadi. Agaknya burung ini mengenal pekik sahabatnya dan
begitu tiba di situ melihat Kun Hong dikeroyok, dia segera mengeluarkan pekik dahsyat
dan tubuhnya yang keemasan itu menyambar turun dengan kekuatan ribuan kati!
"Awas...!"
Bhok Hwesio memperingatkan dua orang temannya, juga para pengawal yang
mengurung tempat itu.
Namun tetap
saja empat orang pengawal roboh terguling terkena sambaran sayap yang memukul
ke depan, dan paruh yang kuat itu menerjang Tan Beng Kui. Pendekar pedang yang
berilmu tinggi ini cepat-cepat mengelak sambil membacokkan pedangnya pada leher
burung.
Akan tetapi
siapa kira, burung itu sama sekali tidak mengelak, melainkan menggunakan
cakarnya untuk menyambar pedang yang membacoknya! Andai kata bukan Tan Beng Kui
yang menyerangnya, pasti pedang itu akan terampas oleh kim-tiauw. Tetapi
Sin-kiam-eng Tan Beng Kui segera menarik pedangnya, bahkan melompat mundur tiga
langkah untuk menghindarkan diri dari serangan cakar kedua yang menerjangnya.
"Kim-tiauw-ko
(kakak rajawali emas)!" seru Kun Hong girang ketika mendengar sepak
terjang burung itu.
Burung itu
bukan lain adalah burung kesayangannya, sahabat yang telah berpisah darinya
lama sekali. Kegirangan mendatangkan tenaga berlipat ganda sehingga dengan
bentakan hebat dia berhasil memukul pedang The Sun terlepas dari tangan pemuda
itu.
"Serbu!"
terdengar The Sun memberi aba-aba kepada para pengawal.
Akan tetapi
burung rajawali itu sudah menyambar ke depan dan di lain detik Kun Hong telah
melompat ke atas punggungnya, merangkul lehernya kemudian membiarkan dirinya
dibawa terbang meninggi. Puluhan batang anak panah diiringi caci maki segera
melayang mengejar burung itu, namun tak sebuah pun dapat mengenainya. Yang
menyambar dekat dengan mudah diruntuhkan oleh gerakan cakar kaki yang
menangkis! Benar-benar seekor burung yang amat tangguh dan kosen.
"Kim-tiauw
ajaib... omitohud...!" Bhok Hwesio memuji.
Saking kagum
dan herannya, kakek sakti ini tadi sampai terpesona dan tidak tahu harus
berbuat apa. Hal ini menguntungkan Kun Hong dan rajawali emas, karena kalau
kakek ini tidak terpaku dan menjadi pikun lalu tadi sempat turun tangan,
agaknya tidak semudah itu kim-tiauw dapat menolong dan melarikan Kun Hong dari
tempat yang berbahaya itu.
Kun Hong
hampir pingsan saking lelahnya pada saat dia duduk di atas punggung rajawali
sambil memeluk lehernya. Dengan terharu dia berbisik, "Tiauw-ko... ahh,
kau baik sekali, terima kasih, tiauw-ko..."
Burung itu
mengeluarkan bunyi perlahan seolah-olah dapat menerima ucapan Kun Hong, dan
terbangnya semakin pesat membubung tinggi di udara sampai kelihatan kecil
sekali, kemudian menukik ke barat dengan kecepatan kilat.
Belasan li
di sebelah barat, di luar tembok kota raja, terdapat sebuah hutan besar. Daerah
ini termasuk kaki Pegunungan Tapie-san. Burung rajawali emas yang membawa
terbang Kun Hong itu menukik ke bawah, ke arah hutan ini dan tak lama kemudian
dia sudah turun ke atas tanah di antara pohon-pohon besar di tengah hutan itu,
lalu mendekam. Kun Hong segera melompat turun dari punggung kim-tiauw.
"Bagus,
A-tiauw, kau berhasil menolong Kun Hong!" terdengar suara orang, halus dan
tenang.
Kun Hong
tercengang, mengingat sebentar kemudian dengan girang dia menjatuhkan diri
berlutut sambil berseru. "Susiok (paman guru)..."
Kakek itu
tertawa. Memang dia bukan lain adalah Sin-eng-cu Lui Bok, adik seperguruan
manusia sakti Bu Beng Cu, guru Kwa Kun Hong yang tak pernah dia lihat orangnya
itu.
Dalam cerita
Rajawali Emas dituturkan bahwa dahulu sebelum Kun Hong buta, pernah dibawa oleh
rajawali emas ini ke puncak Gunung Liong-thouw-san (Gunung Kepala Naga) dan di
tempat rahasia inilah dia menemukan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng peninggalan
Bu Beng Cu sehingga dengan bantuan rajawali emas, pemuda ini dapat mewarisi
ilmu silat yang dia namakan Kim-tiauw-kun (Ilmu Silat Rajawali Emas).
Dalam
ceritera Rajawali Emas pula, pernah Kun Hong bertemu dengan adik seperguruan Bu
Beng Cu, seorang aneh yang sakti pula, yaitu bukan lain adalah Sin-eng-cu (Si
Garuda Sakti) Lui Bok inilah yang pernah mengajarnya ilmu sihir yang disebut
ilmu merampas semangat.
Pada saat
itu, selagi Kun Hong berlutut penuh keharuan karena tak mengira bahwa yang
menyuruh rajawali emas menolongnya ternyata adalah susiok-nya sendiri ini,
terdengar kaki-kaki kecil berlari mendekati dan suara yang amat dikenalnya
berseru, "Suhu...!"
"A Wan,
kau di sini?" Kun Hong memeluk anak itu, girang dan juga heran.
"Dan
anak ini... siapakah?" Dia menoleh ke kiri karena telinganya juga dapat
menangkap gerakan seorang anak kecil lagi yang agaknya tadi digandeng oleh A
Wan dan sekarang duduk pula di dekatnya.
"Suhu,
dia adalah Cui Sian, adik kecil yang baik dan lucu..."
"Cui
San?! Anak paman Beng San...?" Kun Hong sampai berteriak keras saking
heran dan kagetnya sehingga A Wan yang tak tahu apa-apa menjadi bingung. Dengan
penuh keharuan tangannya meraih dan pada lain saat anak perempuan berusia empat
tahun itu telah dipeluknya.
Terdengar
suara anak perempuan itu, nyaring dan jelas suaranya, tidak seperti anak-anak
kecil lain yang sebaya. "Paman buta, kau ini menangis ataukah tertawa?
Karena aku tidak dapat membedakannya."
Kun Hong
tertawa, pertanyaan bodoh seorang kanak-kanak namun mengandung makna demikian
dalamnya, sedalam lautan, meliputi rahasia hidup karena kehidupan di dunia ini
memang hanya berisi dua hal, tangis dan tawa!
"Anak
baik... anak baik... aku menangis dan juga tertawa saking girangku mendengar
kau selamat..."
Tiba-tiba
dia teringat dan setelah melepaskan Cui Sian dari pelukan, dia bangkit berdiri,
menoleh ke arah Sin-eng-cu Lui Bok. Keningnya berkerut-kerut ketika dia
berkata, "Susiok... Cui Sian di sini bersama Susiok...? Bagaimanakah ini?
Bukankah Cui Sian diculik orang dari Thai-san? Apakah Susiok..." dia tidak
berani melanjutkan kata-katanya sungguh pun hatinya penuh kecurigaan yang
bukan-bukan.
Kakek itu
tertawa lembut. "Kenapa tidak kau lanjutkan, Kun Hong? Tak baik mengandung
curiga di dalam hati, karena kecurigaan yang dipendam dapat menimbulkan fitnah
tanpa disengaja. Kecurigaanmu keliru, Kun Hong. Aku bersama kim-tiauw ingin
menjengukmu di Thai-san dan kulihat Thai-san diserang banyak orang. Di puncak
kulihat nyonya ketua Thai-san yang gagah perkasa dikeroyok dan bangunan
dibakar. Karena anak ini terancam bahaya, maka aku berlancang tangan membawanya
pergi dari sana."
Mendengar
ini, merah muka Kun Hong. Tidak dapat dia sangkal lagi, sebelum mendengar
penjelasan ini, tadi dia telah menaruh curiga kepada susiok-nya. Dia segera
menjatuhkan diri berlutut lagi sambil berkata, nada suaranya penuh permohonan
dan juga penuh rasa dendam.
"Siapakah
mereka itu, Susiok? Si...siapakah mereka yang menyerang Thai-san?"
Kembali
kakek itu tertawa geli seakan-akan mendengar sesuatu yang amat lucu.
"Susiok,
mengapa Susiok mentertawakan teecu (murid)?" Kun Hong merasa heran dan
penasaran.
Apakah
pertanyaannya itu dianggap lucu? Tak mengerti dia mengapa dalam urusan yang
demikian pentingnya, orang tua itu malah tertawa-tawa dan seakan-akan
mentertawakan dirinya.
"Kau
hendak apakah menanyakan mereka yang menyerang Thai-san?"
"Keparat-keparat
itu telah berlaku keji terhadap paman Beng San, tentu saja teecu harus membalas
dendam sakit hati ini!"
"Ha-ha-ha,
sudah kuduga! Sudah kukhawatirkan akan beginilah jadinya. Sayang..." Kakek
itu tertawa lagi. "Balas-membalas, dendam-mendendam, roda karma terus
berputar tiada hentinya..."
Kun Hong
terkejut, lalu cepat bertanya, "Susiok, salahkah sikap teecu ini?"
Dan setelah berpikir sebentar dia melanjutkan, "Susiok sudah sampai di
Thai-san dan melihat semua itu, sudah berhasil menyelamatkan adik Cui Sian,
kenapa Susiok tidak membantu paman Beng San membasmi orang-orang jahat
itu?"
"Hemmm,
aku tidak mempunyai urusan dengan mereka semua, sudah terlalu lama aku
membebaskan diri dari pada libatan karma, Anakku. Sikapmu ini tidaklah salah,
hanya hatiku menjadi geli mendengar kata-kata dan melihat sikapmu ini. Agaknya
kau sudah lupa sama sekali beberapa tahun yang lalu ketika kau menasehati
seorang kakek seperti aku ini pada saat aku hendak mencari dan membunuh
Sin-chio The Kok atau Hwa-i Lokai. Ha-ha-ha!"
Kun Hong
tertegun dan seketika dia termenung. Terbayanglah kini semua pengalamannya
dahulu, ketika dia masih belum buta. Pertemuannya pertama dengan Sin-eng-cu Lui
Bok terjadi amat aneh, yaitu kakek itu menyatakan hendak mencari dan membunuh musuh
besarnya, Sin-chio The Kok yang menyembunyikan diri dan mengubah namanya
menjadi Hwa-i Lokai. Dialah yang dahulu menasehati orang tua ini agar jangan
membalas dan membunuh, supaya jangan terikat oleh tali-temali yang sangat kusut
dan sulit, yaitu tali dendam mendendam.
Dan
sekarang, persis seperti beberapa tahun yang lalu, sekarang di depan kakek itu
dia bersikeras hendak membalas dendam Thai-san-pai kepada orang-orang yang
menyerbu Thai-san. Seketika mukanya menjadi merah dan dia tidak dapat berkata sesuatu.
Kakek itu
menarik napas panjang, maklum akan isi hati Kun Hong. "Kau masih ingatkah,
Kun Hong, betapa dahulu aku pernah datang ke Thai-san dan membujuk kau supaya
ikut dengan aku menjadi pertapa, hidup bahagia membebaskan diri dari pada
ikatan karma? Kau tidak mau dan aku hanya dapat tunduk akan kehendak Thian. Aku
tak menyalahkan engkau. Pengertianmu tentang rahasia hidup memang sudah cukup,
tetapi pengertian itu hanya menjadi pengetahuan dari teori buku-buku lama saja,
akan tetapi kau belum dapat menguasai ilmu yang kau ketahui teorinya itu.
Betapa pun juga, teori yang pernah kau nasehatkan kepadaku dulu itu telah
menolongku, sebaliknya tak mampu menolong dirimu sendiri. Ini tidak aneh oleh
karena kau memang masih muda, masih suka melibatkan diri dengan dunia beserta
sekalian isi dan peristiwanya, kau masih belum mampu menguasai perasaan
muda."
Kun Hong
menunduk dan diam-diam dia dapat menangkap kebenaran kata-kata kakek ini.
"Kau
masih terlalu muda untuk dapat menyelami semua teori tentang filsafat dan
rahasia kehidupan, Anakku. Karena jiwamu belum masak, belum cukup kuat
menghadapi gejolak perasaan sehingga mudah terpengaruh keadaan dan hawa nafsu.
Sekarang pun karena bertemu dengan anak pamanmu, seluruh perasaanmu terpenuhi
oleh urusan Thai-san-pai sehingga kau lupa akan tugas yang telah kau ikatkan
dengan dirimu, tentang mahkota..."
Kakek itu
kembali tertawa. Suara ketawanya lebih keras ketika tiba-tiba Kun Hong seperti
orang tersentak kaget meraih A Wan dan serta merta bertanya,
"A Wan,
di manakah adanya mahkota itu? Sudah dapat kau ambilkah?" Suaranya penuh
harapan. Seperti yang tadi dikatakan oleh Sin-eng-cu Lui Bok, kini seluruh
perhatiannya terpusat kepada benda rahasia itulah sehingga boleh dibilang dia
lupa sama sekali akan urusan Thai-san-pai!
Sambil
berlutut anak itu berkata, suaranya takut-takut, "...ampunkan, Suhu,
mahkota itu... benda itu... telah dirampas orang..."
"Apa
katamu?" Kun Hong marah dan kecewa sekali, kemudian sambungnya agak tenang
setelah dia ingat bahwa seorang anak kecil seperti A Wan, mana sanggup
melindungi mahkota itu?
“Siapakah
yang merampasnya?"
Dengan suara
mengandung takut kalau-kalau gurunya akan marah kepadanya, A Wan menuturkan
pengalamannya.
"Tadinya
benda itu teecu sembunyikan dan kubur di belakang rumah dekat sumur. Ketika
Suhu menyuruh teecu mengambilnya, teecu segera pergi ke tempat itu dan
menggalinya. Akan tetapi baru saja teecu mengambil benda itu dan teecu
bersihkan dari tanah lumpur yang masuk ke dalam mahkota, teecu dibentak orang
dan mahkota itu hendak dirampas."
''Hemmm,
siapa dia? Laki-laki atau wanita?" tanya Kun Hong,
"Seorang
laki-laki, akan tetapi karena keadaan gelap, teecu tidak mengenal wajahnya.
Teecu mempertahankan mahkota itu, akan tetapi dia menggunakan kekerasan, lalu
teecu didorong dan benda itu dapat dirampas. Pada saat itu muncul pula seorang
wanita muda dan seorang laki-laki gagah dan masih muda pula. Serta merta orang
muda itu menyerang orang yang tadi merampas mahkota tadi, ada pun wanita muda
itu menolong teecu. Akan tetapi segera teecu ditinggalkan seorang diri ketika
wanita itu melihat teecu tidak apa-apa, kemudian wanita itu membantu temannya
mengeroyok laki-laki yang merampas mahkota. Entah bagaimana jadinya karena
mereka bertempur sambil berlari dan berkejaran. Teecu ikut mengejar sambil
berteriak-teriak minta agar benda itu dikembalikan. Tiba-tiba muncul banyak
orang yang galak-galak. Teecu ditangkap dan dipaksa menyerahkan mahkota. Untung
segera datang Kakek perkasa (Locianpwe) ini yang menolong teecu kemudian
membawa teecu pergi seperti terbang cepatnya."
Kun Hong
termenung mendengar ini. Kembali paman gurunya yang menolong A Wan, akan tetapi
kenapa tidak sekalian merampas mahkota itu? Dia menjadi amat kecewa.
"Jadi
mahkota itu dirampas orang?" katanya lambat-lambat dengan nada sedih.
"Suhu,
apa sih gunanya benda mengkilap itu? Jika memang amat diperlukan dan sangat
berharga bagi Suhu, biarlah teecu menyelundup masuk kembali ke kota raja dan
pergi menyelidikinya." A Wan berkata dengan suara sedih pula sebab anak
ini melihat suhunya demikian kecewa.
Kata-kata
ini menyadarkan Kun Hong dan seketika mukanya berubah biasa lagi. "Ah, kau
mana tahu, A Wan? Sebenarnya bukan benda emas itu yang berharga, melainkan
surat yang tersembunyi di dalamnya..."
"Surat?
Bertulis? Wahhh, kebetulan sekali Suhu! Teecu sudah menduga-duga surat apa ini.
Surat yang disembunyikan di dalam mahkota ada pada teecu."
Sambil
berkata demikian A Wan mengeluarkan segulung surat kekuning-kuningan dari dalam
saku bajunya. Kun Hong segera menyambar surat itu dan meraba-raba dengan
jari-jari tangannya, wajahnya berseri gembira dan bibirnya tersenyum.
"Bagaimana
kau bisa mendapatkan ini? Di dalam mahkota katamu?"
"Benar,
Suhu, Ketika teecu membersihkan mahkota itu, teecu menggosok-gosok sebelah
dalamnya yang kotor. Tiba-tiba terdengar bunyi berdetak dan tersembullah kertas
di sudut dalam mahkota. Lalu ketika mahkota itu hendak dirampas orang dan teecu
pertahankan, tanpa sengaja teecu yang memegangi mahkota dengan sebelah tangan
di dalamnya, mencengkeram keluar kertas ini. Teecu baru mengetahui bahwa kertas
ini berada dalam genggaman teecu setelah mahkota itu dibawa lari orang."
Kun Hong
mengangguk-angguk, meraba-raba kertas bergulung yang kecil itu, kemudian dia
menoleh ke arah Sin-eng-cu Lui Bok yang sejak tadi hanya berdiri sambil
membelai leher burung rajawali, sama sekali tidak mempedulikan percakapan
antara Kun Hong dan A Wan.
"Susiok,
tolonglah Susiok periksa gulungan kertas ini. Betulkah ini berisi perintah
rahasia mendiang kaisar?"
Terdengar
kakek itu tertawa lirih, lalu bergumam, "Terlalu dalam kau terjerumus ke
dalam persoalan dunia."
Akan tetapi
diterimanya juga gulungan kertas kecil itu, dibukanya dan dibacanya sebentar,
lalu digulung kembali dan diangkatnya tinggi-tinggi surat itu di atas kepala
sambil berkata, "Memang betul dan mendiang kaisar adalah seorang manusia
yang telah berbuat banyak jasa selama hidupnya untuk bangsa. Seorang pejuang
perkasa, seorang manusia berjiwa besar."
Dia
mengembalikan gulungan kertas itu kepada Kun Hong yang segera menyimpannya di
saku bajunya sebelah dalam. Lenyap semua kekecewaannya. Mahkota kuno itu
sendiri baginya tidak mempunyai harga, yang penting adalah surat rahasia
inilah.
"A Wan,
kau anak baik! Kau telah berjasa besar..."
Akan tetapi
A Wan yang dipuji gurunya hanya sebentar saja merasa girang karena dia teringat
akan ibunya dan bertanya. "Suhu, bagaimana dengan... Ibu? Siapa yang
merawat jenazahnya?"
Atas
pertanyaan ini Kun Hong tak mampu menjawab. Jelas tidak mungkin baginya untuk
ke rumah mendiang janda Yo yang menjadi pusat perhatian para pengawal istana.
Akan tetapi dia percaya bahwa Hui Kauw tidak akan membiarkan jenazah janda itu
terlantar. Dia percaya bahwa Hui Kauw yang bisa bergerak secara leluasa di kota
raja akan dapat mengatur sehingga jenazah itu dapat dikubur baik-baik.
"Kau
jangan khawatir, A Wan. Cici Hui Kauw tentu akan mengatur penguburan jenazah
ibumu."
"Teecu
hendak ke sana, Suhu! Teecu harus menunggui Ibu..." Sekarang anak itu
mulai menangis.
Kun Hong
mengerutkan keningnya dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak
bisa, A Wan. Kau sudah dikenal, kau pun terlibat dalam urusan perebutan surat
rahasia, kalau kau muncul pasti kau akan ditangkap."
"Biar
teecu ditangkap, biar teecu dibunuh, teecu tidak takut. Teecu harus merawat
jenazah Ibu...!"
Kun Hong
amat bingung mendengar tangis muridnya yang amat menyedihkan itu. Karena tidak
tahu bagaimana harus menghiburnya, dia membentak keras.
"Diam
kau, A Wan! Muridku tidak boleh berhati lemah seperti ini! Pantang bagi
laki-laki menangis!"
Seketika A
Wan berhenti menangis, air matanya masih bercucuran ke luar dari sepasang
matanya, akan tetapi mata itu kini dibuka terbelalak lebar memandang gurunya
dan dia menggigit bibirnya menahan tangis. Hanya pundaknya saja yang
digoyang-goyang oleh isak tangis yang tak mungkin ditahannya itu.
Kalau saja
Kun Hong dapat melihat sikap muridnya ini, tentu dia akan menjadi terharu dan
bangga sekali. Ketaatan bocah itu bukan sekali-kali karena takut. Semenjak
kecil A Wan mendapatkan cinta kasih dari ibunya yang berwatak halus, tidak
pernah dia mendapat perlakuan kasar sehingga dia tidak mempunyai sifat
takut-takut. Ketaatannya kepada Kun Hong berdasarkan keseganan dan kepercayaan
bahwa segala apa yang diperintahkan oleh gurunya yang dicintanya sebagai ibunya
sendiri itu, pastilah benar dan baik serta harus ditaatinya.
"A Wan,
muridku yang baik. Pergilah kau ke sana, ajaklah adikmu Cui Sian itu mencari
kembang, aku hendak bicara dengan Susiok-couw-mu (Paman kakek gurumu),"
kata Kun Hong.
Kemudian A
Wan segera berdiri, menuntun tangan Cui Sian dan mereka pergi menjauh. Tak lama
kemudian hanya terdengar suara ketawa Cui Sian yang nyaring ketika A Wan
mengajaknya menangkap kupu-kupu yang bersayap indah.
Kini kakek
itu berhadapan dengan Kun Hong. Pendekar Buta ini merasa lemah seluruh anggota
tubuhnya, terbawa oleh derita batin yang ditanggungnya selama ini. Semua tugas
yang dipikulnya belum ada yang terpenuhi dan kini dia menjadi bingung
menghadapinya. Bagaimana dia akan dapat menunaikan semua tugas itu dengan
sempurna?
"Susiok,
bagaimanakah pendapat Susiok? Teecu merasa bingung... teecu yang buta ini
benar-benar kehabisan akal, mohon petunjuk, Susiok."
Kembali
Sin-eng-cu Lui Bok tertawa geli. "Duduklah, Kun Hong, dan mari kita
bercakap-cakap."
Kun Hong
lalu duduk di atas tanah, bersila di depan kakek itu yang sudah duduk bersila
di atas rumput tebal...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment