Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Buta
Jilid 03
Kata-katanya
yang terputus-putus ini didengar oleh semua orang tanpa ada yang berani
mengeluarkan suara, hanya terdengar isak tangis nyonya janda muda itu yang
merasa terharu dan juga bangga karena sekali ini selain ia dapat membalas sakit
hati, membuat roh suaminya tidak penasaran, juga sekaligus ia dapat mencuci
bersih namanya di depan umum. Sebetulnya, hal ini bukanlah rahasia bagi para
penduduk dusun itu, karena mereka semua sudah tahu macam apa adanya tuan tanah
Song dengan sekalian kaki tangannya. Akan tetapi baru kali ini mereka mendengar
hal ini dibongkar dan diceritakan oleh si tuan tanah sendiri. Benar-benar hal
yang amat luar biasa!
Setelah
selesai membuat pengakuan, dengan suara serak tuan tanah itu meratap-ratap,
"...ampunkan saya, Taihiap (pendekar besar), ampunkanlah saya... saya
berjanji... tidak berani lagi..."
Gatal-gatal
tangan para penjaga dan kaki tangan tuan tanah itu, akan tetapi mereka tak
berdaya dan tidak berani bergerak karena maklum bahwa si buta itu tak boleh
dipandang ringan. Buktinya, lima orang tukang pukul yang pandai silat itu pun
sekarang masih saja merintih-rintih dan tak dapat bangun. Pula, kalau mereka
hendak mengeroyok, tentu tuan tanah itu akan terbunuh lebih dulu.
"Mudah
saja mengampunkan orang macam kamu, tapi bagaimana dengan orang-orang yang
sudah mati karena perbuatanmu? Bagaimana dengan wanita-wanita yang sudah kau
hina?" Kun Hong membentak.
"Ampun...
ampun..."
"Hayo
kau suruh seorang di antara kaki tanganmu untuk mengambil lima ratus tail perak
untuk mengganti kerugian nyonya Yo, sediakan sebuah gerobak berikut kudanya.
Cepat! Hanya itu yang akan menjadi pengganti nyawamu."
Tanpa ayal
lagi tuan tanah itu menyuruh seorang kepercayaannya yang berdiri melongo di
tempat itu untuk segera memenuhi permintaan Kun Hong ini. Para penduduk ramai
membicarakan hal ini, ada yang terheran-heran, ada yang kagum, juga ada yang
iri hati terhadap nyonya janda yang sekarang berdiri dengan muka pucat dan
bingung, terlalu terkejut menghadapi semua kejadian yang sekaligus mengubah jalan
hidupnya ini.
Dengan
berdiri tegak Kun Hong menanti sampai pesuruh tuan tanah itu datang kembali
membawa sebuah gerobak berikut kudanya yang cukup baik, terisi lima ratus tail
perak! Semua penduduk memandang dengan melongo. Selama hidupnya belum pernah
mereka melihat uang perak sebanyak itu, jangankan melihat, mimpi pun belum
pernah!
"Twaso,
gerobak dan uang ini milikmu. Dengan gerobak ini kau dan anakmu bisa mencari
pamanmu ke Cin-an dan uang ini dapat kau pakai sebagai modal hidup.”
"...ahh...
terlalu... terlalu banyak untuk apa...?" Janda itu berkata gagap.
Kun Hong
tersenyum. "Untuk apa, terserah kepadamu karena uang ini milikmu yang
sah!"
Janda itu
memandang ke kanan kiri. Dia melihat betapa para penduduk memandangnya dengan
mata terbelalak, dengan wajah mereka yang kurus-kurus serta pakaian mereka yang
tambal-tambalan. Mendadak janda muda itu sambil memondong anaknya berlari ke
arah gerobak, melihat lima kantong uang perak bertumpuk di situ, lalu berpaling
kepada seorang dusun yang sudah tua.
"Chi-lopek
(uwak Chi), kau turunkan tiga karung dan kau bagi-bagikan rata kepada semua
saudara penduduk dusun kita."
Hampir saja
semua orang tidak dapat percaya apa yang mereka dengar ini, kemudian setelah
janda itu mengulang perkataannya, serentak terdengar mereka bersorak sorai lalu
memuji-muji nyonya Yo. Malah beberapa orang wanita berlari menghampiri,
memeluknya, menciuminya sambil menangis. Yang lelaki pada tertawa lebar, wajah
yang kurus-kurus itu berseri-seri, timbul harapan baru dengan adanya tambahan
bantuan uang yang tidak sedikit itu.
Kun Hong
mengangguk-angguk, diam-diam dia kagum sekali dan benar-benar dia puas telah
menolong seorang yang memiliki pribudi setinggi nyonya janda itu. Biar pun
seorang dusun, ternyata wanita ini benar-benar seorang bidadari, pikirnya dan
terbayanglah wajah Cui Bi di depan mukanya. Setelah selesai tiga karung
diturunkan, Kun Hong lalu melepaskan tuan tanah, dengan jari tangannya dia
menotok punggung dan pangkal paha. Tuan tanah itu berteriak dan roboh, dari
mulutnya keluar darah.
"Kau
tidak akan mati," kata Kun Hong, "akan tetapi ingat, jika sekali lagi
kau melakukan gangguan kepada orang-orang yang tak bersalah, aku akan datang
kembali dan membikin perhitungan yang lebih hebat denganmu. Pulanglah!"
Tuan tanah
itu merangkak bangun, segera dituntun dan diangkat oleh orang-orangnya. Dia
tidak tahu bahwa semenjak saat itu dia takkan dapat lagi melakukan perbuatan hina,
tidak akan dapat mengganggu wanita lagi karena dengan kepandaiannya, Kun Hong
telah membuatnya menjadi seorang laki-laki lemah.
Kemudian Kun
Hong menyembuhkan lima orang tukang pukul tadi, akan tetapi mereka ini pun
mendapat bagian. Dengan memijat urat darah terpenting Kun Hong membuat mereka
berlima itu kehilangan tenaga pada kedua lengannya, sehingga selanjutnya mereka
tidak akan dapat menjadi tukang pukul lagi!
"Oleh
karena kau masih saudara misan Yo-twaso, kau kuampuni. Akan tetapi kau harus
mengantar Yo-twaso ke Cin-an sampai dia bertemu dengan pamannya. Awas, jangan
kau main-main karena sekali kau menyeleweng, nyawamu tak akan tertolong
lagi," kata Kun Hong kepada Lao Tiu sambil cepat-cepat dia menyentuh jalan
darah di dadanya.
Lao Tiu
merintih, merasa betapa jantungnya berdetak keras dan ada rasa nyeri dan perih
di dekat lehernya.
"Kau
terancam maut oleh luka di dadamu," berkata Kun Hong, "dan obatnya
hanya akan dimengerti oleh Yo-twaso. Kalau kau sudah mengantarkan dia dengan
selamat sampai di Cin-an dan bertemu dengan pamannya, barulah dia akan memberi
tahu kepadamu cara pengobatannya sampai kau sembuh. Nah, dengan jaminan ini,
sekali kau menyeleweng, kau akan mampus dan tubuhmu akan menjadi busuk sebelum
nyawamu melayang."
Kun Hong
sengaja mengeluarkan ancaman ini, padahal yang tadi dia lakukan itu hanyalah
totokan biasa saja dan sama sekali tidak ada bahayanya, dalam waktu sebulan
rasa tak enak itu akan hilang sendiri. Akan tetapi dia perlu mengancam dan
menakut-nakuti orang berwatak buruk seperti Lao Tiu.
"Yo-twaso,
mari kita masuk pondok. Akan kuberi tahu rahasia pengobatan dia itu dan aku
akan menukar pakaianku."
Dengan
tongkat meraba-raba ke depan Kun Hong memasuki pondok Nyonya Janda Yo sambil
menggandeng tangan A Wan yang lari mengikuti. Sampai di dalam pondok, janda
muda ini tak dapat menahan lagi hatinya yang penuh perasaan haru, girang, dan
bahagia. Sambil terisak menangis wanita ini menubruk Kun Hong dan merangkulnya,
menangis tersedu-sedu.
"In-kong...
ahhh, In-kong... kau sudah menyelamatkan hidupku... menyelamatkan nama baikku…
In-kong, budimu setinggi gunung dan kau seorang buta...! Ah, betapa inginku
membalas budimu... In-kong, andai kata dapat, aku rela untuk memberikan dua
mataku untukmu!"
Dengan penuh
perasaan nyonya muda itu menarik leher Kun Hong dan tanpa malu-malu karena
perasaan terima kasih yang meluap-luap ia lalu menciumi kedua mata yang buta
itu!
"Twaso,
jangan...!" Suara Kun Hong tersedak karena dia sedang menahan perasaannya.
Kedua tangannya memegang pundak wanita itu, didorong menjauh.
Sejenak
wanita itu menatap wajahnya, melihat betapa mata yang buta itu bergerak-gerak,
celah-celah belahan pelupuk itu membasah, hidung yang mancung itu
kembang-kemping, bibirnya bergerak-gerak gemetar.
"In-kong...!"
wanita itu lalu menjatuhkan dirinya, kini memeluk kedua kaki Kun Hong dan
menciumi sepatunya yang kotor, membasahi dengan air mata dan menggosok-gosoknya
dengan rambut.
"In-kong,
selama hidupku takkan dapat aku bertemu dengan manusia seperti In-kong... apa
artinya menempuh hidup baru di Cin-an kalau aku tak akan dapat bertemu dengan
orang sepertimu lagi? In-kong, biarkan aku membalas budimu dengan menghambakan
diriku... biarkan aku menjadi bujangmu. A Wan juga... biarkan kami berdua
merawatmu, biarkan aku menuntunmu..."
"Yo-twaso,
diam...!" Kun Hong mengeluarkan suara bentakan dan dengan sekali tarik dia
membuat wanita itu berdiri. "Kau wanita baik-baik, kau seorang suci dan
mulia hatimu. Thian pasti akan memberkatimu. Hayo kita keluar, kau harus
berangkat sekarang juga. Mana pakaianku?"
Dengan masih
terisak wanita itu berkata sedih, "Tidak akan kukembalikan, Inkong. Kalau
tidak dapat berkumpul dengan orangnya, biarlah pakaiannya menjadi
kenang-kenangan. Kuganti dengan pakaian suamiku pula... yang juga pergi
meninggalkan kami berdua..." ia terisak lagi.
Kun Hong
maklum bahwa paling berat adalah mempertahankan nafsu hati, oleh karena itu dia
tidak mau banyak ribut tentang pakaian, segera dia menuntun tangan A Wan keluar
dari pintu diikuti oleh janda itu. Sambil terisak janda itu minta diri dari
semua tetangganya, lalu ia naik gerobak bersama A Wan. Lao Tiu sudah duduk di
depan, orang ini sekarang taat benar.
"Aku
akan mengantar sampai keluar dusun," kata Kun Hong dan berangkatlah
mereka.
Gerobak
ditarik kuda berjalan perlahan meninggalkan kampung. Di belakang gerobak Kun
Hong berjalan sambil memegang tongkat. Di belakangnya, orang-orang dusun
mengantar sampai ke pinggir dusun, melambaikan tangan kepada A Wan dan ibunya.
Setelah gerobak
meninggalkan dusun itu sejauh sepuluh li dan sampai di jalan simpang empat, Kun
Hong berkata, "Lao Tiu, berhenti dulu."
Gerobak
berhenti dan dia berkata kepada janda Yo, "Yo-twaso, nah, sampai di sini
kita berpisah. Selamat jalan dan semoga kau bahagia. A Wan, kau jaga ibumu
baik-baik, ya? Sudah, Lao Tiu, sekarang kau balapkan kudamu."
"Nanti
dulu...!" Nyonya janda itu melompat begitu saja turun dari gerobak, lalu
berlarian menghampiri Kun Hong dan berlutut di depannya. "Sekali lagi,
In-kong... bolehkan aku dan A Wan menghambakan diri padamu. Biar kami ikut ke
mana kau pergi..." Suaranya penuh permohonan.
"Bodoh,
kau orang baik. Aku seorang buta, seorang pengemis..."
"Tidak
apa, aku masih bermata. Mataku sama dengan matamu, dan aku... aku sanggup
bekerja untukmu... andai kata harus mengemis sekali pun... aku yang akan
mengemis, In-kong..."
"Cukup
semua ini! Twaso, jangan lemah, ingatlah anakmu. Aku berjanji, kelak akan
kucari kau dan A Wan di Cin-an."
"Betulkah?"
Terdengar suara mengandung harapan. "In-kong, hingga kini belum kuketahui
namamu yang mulia."
Kun Hong
tersenyum pahit, "Apa artinya nama? Kenalilah aku sebagai si buta... dan
ehh, jangan lupa..." Ia mendekatkan mukanya sambil mengangkat janda itu
bangun berdiri.
"...si
Lao Tiu tidak kuapa-apakan, kelak bilang saja obatnya minum abu hio, sehari
satu sendok sampai sebulan. Nah, selamat jalan!"
Kun Hong
yang tak ingin wanita itu menunda-nunda perjalanannya, tiba-tiba mengangkat
tubuh wanita itu dan melontarkannya ke depan. Janda itu menjerit lirih, lalu
tubuhnya melayang dan jatuh dalam keadaan duduk tepat di atas gerobak, di dekat
A Wan yang tertawa-tawa melihat ibunya ‘terbang’ tadi.
Gerobak
dijalankan cepat. Kun Hong masih terus berdiri tegak sampai lama menghadap ke
arah gerobak. Sudah lama gerobak itu menikung dan penumpangnya tidak melihatnya
lagi, namun telinganya masih dapat mendengar derap kaki kuda yang makin
menjauh. Dia menarik napas panjang, lega hatinya karena tadi ia benar-benar
gelisah saat menghadapi bujukan dan permohonan janda muda itu.
"Berbahaya...
!" pikirnya.
Dia masih
terharu kalau mengenangkan janda muda dan puteranya itu. Akan tetapi dia segera
mengusir perasaan ini dan melanjutkan perjalanannya sambil bernyanyi.
"Wahai
kasih, aku di sini...! Menyongsong sinarmu yang hangat..."
Kata-kata di
dalam nyanyian Kun Hong selalu berbeda, disesuaikan dengan keadaan dan
perasaannya pada saat itu, namun selalu didahului dan diakhiri dengan kata-kata
"wahai kasih, aku di sini...!"
Hal ini
adalah karena dalam setiap nyanyian yang dibuatnya, pikirannya selalu melayang
dan terkenang kepada Cui Bi, kekasihnya yang telah tiada. Baginya, sinar
matahari, kicau burung, desir angin, dendang air sungai, harum bunga dan
rumput, semua itu merupakan pengganti diri Ciu Bi!
Sebetulnya
pada saat itu dia merasa lapar sekali. Akan tetapi setelah berjalan setengah
hari lebih belum juga dia bertemu orang atau dusun, maka terpaksa dia menahan
lapar dan bernyanyi-nyanyi.
"Wahai
kasih aku di sini...! Dalam perjalanan nan sunyi..."
Tiba-tiba
Kun Hong miringkan kepalanya seperti tak disengaja, akan tetapi sebetulnya dia
mengelak sambaran sebuah benda yang menyambar kepalanya dari atas.
“Plokk!”
Benda itu
jatuh ke tanah dan pecah. Kiranya yang menyambarnya tadi adalah sebutir buah
apel masak, dari atas pohon di pinggir jalan. Tak mungkin buah masak jatuh
seperti itu cepatnya, pasti disambitkan orang, pikir Kun Hong. Dia menghentikan
langkahnya dan dengan telinga memperhatikan ke atas pohon.
"Perutku
memang sangat lapar dan wangi buah masak itu sedap benar. Kuminta belas kasihan
sahabat yang bermata untuk memberi beberapa butir kepadaku," akhirnya dia
berkata sambil mendongak ke atas.
"Hi-hi-hik-hik!"
terdengar suara seorang wanita, suara ketawa merdu yang membuat Kun Hong
mengerutkan keningnya. Serasa pernah dia mendengar suara ketawa ini. Kemudian
tubuh orang itu dengan ringannya melayang dari atas pohon, turun di depannya
tanpa mengeluarkan banyak suara gaduh. Ternyata ginkang (ilmu meringankan
tubuh) orang ini tinggi juga.
Kembali ada
benda-benda melayang ke arah Kun Hong. Pemuda buta ini menggunakan kedua
tangannya menangkap dan ternyata buah-buah yang masak serta harum baunya berada
di tangannya. Dia tersenyum girang, lalu makan buah yang manis dan sedap itu.
Dengan mulut
penuh daging buah dia pun berkata. "Terima kasih... terima kasih..."
sambil membungkuk-bungkuk ke depan, ke arah pemberi buah.
"Siapa
sih yang kau rindukan sepanjang jalan itu? Ingin benar aku tahu, apakah si
genit puteri Hui-hou Pangcu ataukah si janda muda tak tahu malu?"
Kun Hong
merasa tersedak, cepat batuk-batuk untuk mencegah makanan memasuki jalan
pernapasannya. Kiranya wanita ini adalah Bi-yan-cu, gadis lincah yang mengaku
puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui!
"Ehh,
kiranya kau... Bi-yan-cu, Nona? Ahh, sambitanmu tadi membikin kaget orang
saja..."
Sungguh sama
sekali di luar dugaannya, ucapannya ini membuat gadis itu tiba-tiba saja
menjadi marah! Gadis ini membanting-banting kakinya dan berkata dengan suara
penuh kejengkelan.
"Kalau
lengan kananku yang terkutuk ini tidak begini nyeri, tak mungkin sambitanku
tidak mengenai kepala seorang buta! Aku tidak biasa menyambit dengan tangan
kiri!"
Kun Hong
tersenyum, diam-diam merasa aneh dengan watak gadis ini, akan tetapi dia tak
menjawab, melainkan menghabiskan dua butir buah dengan lahap dan enaknya.
Kesunyian kembali membangkitkan amarah gadis itu, ini terbukti dengan suaranya
yang nyaring merdu dan penuh kejengkelan, "Ihhh, orang macam apa kau ini,
tidak menjawab omongan orang hanya makan saja, tidak ingat dari siapa kau
menerima buah itu!"
"Aku
sudah bilang terima kasih tadi," jawab Kun Hong tenang, memasukkan sisa
terakhir buah itu ke dalam mulut.
"Siapa
butuh terima kasihmu? Yang kubutuhkan sekarang jawabanmu."
"Jawaban
apa?"
"Siapa
yang kau rindukan di sepanjang jalan, si genit puteri Hui-houw Pangcu ataukah
si janda muda?"
"Bagaimana
kau tahu tentang janda itu?"
"Cih,
kau kira aku buta? Tentu saja aku tahu, hemm, siapa tidak melihat kau bermalam
di rumahnya, menolongnya mati-matian dan siapa pula yang tidak melihat adegan
sandiwara mesra di perempatan jalan tadi pagi? Hi-hi-hik, semua ditinggalkan,
akan tetapi kemudian nyanyi-nyanyi seorang diri di jalan penuh rindu. Lucu
benar kau!" Suara gadis itu penuh ejekan dan muka Kun Hong menjadi merah.
Namun dia
tersenyum dan diam-diam dia heran sekali karena benar-benar sukar untuk dapat
menyelami hati dan watak seorang gadis seperti ini. Dia tidak merasa sakit hati
mendengar gadis itu bicara tentang buta, karena dari suaranya dia maklum bahwa
gadis itu tidak sengaja hendak menghina atau menyakiti hatinya.
"Aku
tidak merindukan siapa-siapa, tidak merasa berduka."
"Habis,
siapa itu kasih?" Lalu dengan suara keras menggemaskan ia meniru suara Kun
Hong bernyanyi tadi, "Wahai kasih, aku di sini...!"
Kun Hong
hanya tersenyum. "Kau benar-benar hebat, bisa tahu segalanya. Masih begini
muda, pandai menyelidiki keadaan orang lain. Hai, adik nakal, mengapa kau
semenjak kemarin terus mengikuti aku?"
"Ih,
ngawur! Dua kali ngawur! Pertama-tama, bagaimana kau berani memanggil aku adik,
padahal aku jauh lebih tua dari padamu."
"Tak
mungkin! Usiamu belum ada dua puluh tahun!"
"Ihhh,
ngawurnya! Kau tidak bisa melihat aku, mana tahu aku tua atau muda? Umurku
sudah dua kali umurmu, tahu?"
Kun Hong
tertawa. Walau pun menyinggung-nyinggung kebutaannya, namun jelas bahwa dara
remaja ini bukan bermaksud menyakiti hati, melainkan bermaksud mempermainkan
dirinya. Hal ini dapat dia tangkap jelas pada suara gadis itu. Hemm, seorang
dara remaja yang biasa dimanjakan, keras hati, keras kepala, keras
segala-galanya. Tapi belum tentu jahat, buktinya pernah turun tangan
menolongnya ketika dia dikeroyok.
"Kau
bocah nakal! Biar pun mataku buta tak dapat melihatmu, aku berani bertaruh
potong kepala bahwa usiamu belum ada dua puluh tahun dan bahwa kau seorang dara
lincah yang nakal, cantik jelita, dan manja!"
"Idihhh,
ngawur lagi. Bagaimana kau bisa katakan aku cantik jelita? Dasar laki-laki mata
keranjang kau... ehh, tak bermata mana bisa mata keranjang? Kau... kau hidung
belang, buktinya setiap bertemu wanita lantas memuji dan main gila seperti yang
kau lakukan dengan puteri Hui-hou Pangcu dan janda muda."
"Bohong!
Fitnah belaka itu!"
"Bohong
apa? Fitnah apa? Hayo kau sangkal, bukankah puteri Lauw-pangcu yang genit itu
minta kau memijatinya waktu malam? Hi-hik, meski pun matamu buta, apakah
jari-jari tanganmu juga buta? Dan janda itu, kau bermalam di gubuknya, kau
menolongnya, kau... sudahlah, kau menjemukan!"
Kun Hong
semakin geli. Anak ini benar-benar manja. Bilang menjemukan tetapi malah
mengajak dia bercakap-cakap dan tidak mau pergi dari situ.
"Yah,
sudahlah. Aku ngawur, tapi baru satu kali. Yang ke dua kalinya lagi ngawur
dalam hal apa?"
"Kau
bilang aku mengikutimu semenjak kemarin. Cih, siapa sudi mengikutimu? Apa ingin
menontonmu? Kalau orang gila, masih boleh dan menarik ditonton, tapi orang
buta, apa sih menariknya untuk ditonton? Paling-paling hanya menimbulkan
kasihan di hati..."
"Wah,
kau berkasihan kepadaku, Bibi tua? Aku yang muda menghaturkan terima kasih atas
belas kasihanmu itu dan..."
"Gila!
Kau buta gelap! Kau ngawur, kau menghina, ya? Panggil bibi tua, setan...!"
Mendengar
gadis itu mencak-mencak saat disebut bibi tua, Kun Hong tertawa bergelak,
"Ha-ha-ha-ha-ha!"
"Setan
alas, masih tertawa lagi! Kau minta dihajar barang kali."
"Ampun,
Bibi tua. Keponakanmu ini takkan berani nakal lagi. Kau tadi bilang bahwa kau
dua kali lebih tua dari padaku, bukankah sudah sepatutnya kalau aku menyebutmu
bibi tua? Kenapa marah-marah seperti kebakaran jenggot?"
"Gila
lagi. Aku mana berjenggot?"
Kun Hong
tertawa makin geli mendengar ini dan gadis itu pun tertawa kini.
"Betul
juga kau, aku yang salah. Sudah, jangan sebut aku bibi tua lagi, bisa menangis
aku!"
"Nona
yang lucu, coba kau katakan, kalau kau tidak mengikuti aku, biar pun sebenarnya
aku tidak tahu dan tidak menduga, habis bagaimana kau bisa tahu mengenai janda
dan segala yang kualami itu?"
"Aku
mengikuti rombongan itu untuk mengambil ini." Lupa akan kebutaan Kun Hong,
gadis itu mengeluarkan sebuah barang dari dalam buntalannya, dan benda itu
adalah mahkota yang tadinya sudah dirampas oleh Tiat-jiu Souw Ki.
Biar pun Kun
Hong tak dapat melihatnya, namun dia mendengar angin gerakan gadis itu yang
mengeluarkan sesuatu dari buntalan, dia dapat menduga benda apa itu. Kun Hong
terkejut juga, karena hal ini benar-benar tak pernah disangkanya.
"Hah,
kau sudah merampasnya kembali?"
"Tentu
saja! Setelah kau main gila dengan janda itu, aku lalu mengejar mereka dan apa
artinya mereka bagiku?" Suaranya bernada sombong. "Kemarin aku kalah
karena mereka mengeroyokku, puluhan, bahkan ratusan orang banyaknya! Dan
sebenarnya kemarin itu pun aku tidak akan kalah kalau saja..."
"Kalau
apa?" Kun Hong tersenyum, diam-diam geli hatinya.
Gadis ini
benar-benar lincah dan lucu dan bagaikan penambah cahaya matahari mendatangkan
perasaan gembira, menularkan kepadanya silat gembira dan tiba-tiba saja Kun
Hong kehilangan watak pendiamnya dan jadi bersendau-gurau dengan gadis ini!
"Kalau
saja aku tidak muak oleh bau keringat mereka!"
"Bau
keringat? Ho-ho-ho, kok aneh amat!"
"Aneh
apanya? Ratusan orang laki-laki kasar tak pernah mandi mengeroyokku, keringat
mereka bercucuran, baunya melebihi biang cuka dan membuat aku sesak bernapas.
Mau muntah rasanya, mana mungkin bertempur dengan baik?"
Kun Hong tak
dapat menahan kegelian hatinya dan tertawalah dia terbahak-bahak, tidak tahu
bahwa gadis itu sedang memandangnya dengan cemberut karena merasa ditertawai.
Selama tiga tahun ini agaknya baru kali ini dia dapat tertawa seenak ini. Tapi
ketika dia teringat akan kekejaman gadis ini merobohkan lawan-lawannya
tiba-tiba saja ketawanya terhenti, keningnya berkerut ketika dia bertanya,
"Dan
kau bunuh mereka semua dua puluh satu orang itu?"
"Hemmm,
lenganku yang terkutuk inilah yang menjadi penghalang! Aku hanya sanggup
merampas mahkota, merobohkan tosu bau dan anjing kaisar dengan melukai mereka. Sayang
lenganku begini sakit, kalau tidak, hemmmm... mereka semua akan menjadi setan
tanpa kepala!"
"Kau
ganas sekali." Suara Kun Hong dingin.
"Apa,
ganas? Mereka itu orang-orang jahat, membunuhi orang-orang tak berdaya dan tak
berdosa, merekalah yang ganas. Aku membasmi orang-orang jahat kau sebut ganas?
Kalau kau membiarkan mereka melakukan kejahatan, maka kaulah yang ganas!"
Kun Hong
merasa kalah berdebat. Pengetahuan gadis ini masih dangkal sekali, mana tahu
tentang perkara yang menyinggung hal pelik ini?
"Sudahlah,
sekarang katakan, sesudah kau berhasil merampas mahkota, kau kemudian mengikuti
aku dan bahkan menyusul, apa kehendakmu?"
"Wah,
banyak sekali! Dengar baik-baik. Kau sudah menghinaku tiga kali dan kau hutang
penjelasan kepadaku sebanyak dua kali."
"Waduh,
berat kalau begitu perkaranya. Hemmm, coba kau sebutkan satu-satu apa yang kau
maksudkan semua itu."
"Pertama,
kau tadinya menolongku, itu tanda kau suka kepadaku, tapi ternyata mau main
gila, memijati tubuh perempuan genit itu, ini penghinaan nomor satu. Penghinaan
nomor dua, di depan mataku kau berani pula main gila dengan janda itu.
Penghinaan nomor tiga, kau pura-pura berkorban untukku, menukar aku yang
tertawan dengan dirimu sendiri, kiranya kau hanya main-main dan tidak
sungguh-sungguh berkorban, lalu melepaskan diri dengan mudah!"
Kembali Kun
Hong tertawa. Bocah ini lucu bukan main. Dia tadi sudah khawatir bahwa dia menghina
orang, tidak tahunya urusan begitu dianggap penghinaan!
"Wah-wah,
berat! Lalu hutang penjelasan itu bagaimana?"
"Pertama,
kau harus jelaskan kepadaku mengapa kau menolongku. Ke dua kalinya, apa
maksudmu menyebut-nyebut nama Tan Beng San dan apa hubunganmu dengan manusia
itu!"
Ucapan
terakhir ini mengejutkan hati Kun Hong. Tapi dia bersabar lalu menjawab,
"Kujawab
satu demi satu. Ketiga penghinaan itu hanya dugaanmu belaka. Aku tidak main
gila pada siapa pun juga. Tidak pernah memijati puteri Lauw-pangcu biar pun dia
secara tak tahu malu menyebut-nyebutnya. Juga tidak main gila dengan janda itu,
kau harus tahu bahwa dia seorang yang berhati putih bersih dan bermartabat
tinggi. Ke tiga kalinya, aku memang menggantikan kau karena tak ingin melihat kau
celaka di tangan mereka. Nah, sekarang tentang penjelasan. Tentu saja aku
menolongmu, andai kata bukan kau yang terancam bahaya, aku pun pasti akan
menolong siapa saja yang menghadapi bahaya maut. Tentang diri Tan Beng San
taihiap, dia itu jelas adalah pamanmu kalau memang betul kau adalah puterinya
Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Sedangkan hubunganku dengan beliau, beliau adalah
guruku. Nah puas?"
"Tidak
puas... tidak puas... omongan orang lelaki mana bisa dipercaya?" Gadis itu
diam sejenak, memandang tajam kemudian tiba-tiba ia meloncat ke atas dan…
"Srattt"
pedangnya sudah dicabutnya.
"Tapi
aku puas! Aku benar-benar puas!" katanya lagi, kini nada suaranya gembira
sekali.
Kun Hong
sampai menjadi bingung dan terpaksa harus memasang telinga baik-baik untuk
dapat menangkap getaran suara itu dan untuk menyelami isi hati gadis yang aneh
ini.
"Kau
tidak puas dan kau puas? Bagaimana ini?"
"Aku
tidak puas karena kata-katamu tidak dapat dipercaya. Siapa berani tanggung
bahwa kau tidak bohong? Tetapi aku puas karena kau ternyata murid Tan Beng San.
Hemmm, dengan gurunya belum juga aku dapat kesempatan mengadu kepandaian,
sekarang bisa mencoba muridnya juga sudah cukup memuaskan. Orang buta,
bersiaplah menghadapi pedangku!"
Bukan main
mendongkolnya hati Kun Hong. Gadis manja ini benar-benar keterlaluan. Salah
orang tuanya yang terlalu memanjakannya sehingga gadis ini mempunyai watak yang
takabur dan tinggi hati, merasa diri paling pintar dan paling lihai. Dia segera
bangkit perlahan dan dengan senyum tanpa meninggalkan bibirnya dia berkata,
"Ah,
kiranya kau membenci dan memusuhi pamanmu sendiri. Adik kecil, kau menantang
aku? Apa kau lupa bahwa aku hanya seorang buta yang tak dapat melihat? Masa
seorang buta ditantang bertempur?"
"Kau
benar buta, apa bedanya? Biar pun buta, kau lebih pandai dari pada yang tidak
buta, siapa tidak tahu hal ini? Sebaliknya, aku pun terluka pada tangan
kananku, gerakanku menjadi kaku, rasanya sakit sekali. Jadi keadaan kita sudah
seimbang, tidak boleh kau bilang aku menggunakan kebutaanmu untuk mencari
kemenangan. Hayo, siap!"
Diam-diam
ingin juga hati Kun Hong untuk menguji sampai di mana kepandaian gadis ini yang
begini besar hati dan besar kepala. Dia sudah tahu akan kelihaian Ilmu Pedang
Sian-li Kiam-hoat, bahkan dahulu sudah pernah melihatnya sebelum dia buta.
Bukankah kekasihnya dahulu juga telah mewarisi ilmu pedang itu?
Teringat
akan kekasihnya ini makin besar keinginan hatinya untuk menghadapi gadis ini
memainkan Ilmu Pedang Sian-li Kiam-hoat. Dia lalu melintangkan tongkatnya di
depan dada dan berkata tenang.
"Aku
sudah siap."
Akan tetapi
gadis itu tidak segera mulai, tetapi berkata dulu dengan nada suara angkuh.
"Aku sudah dapat menduga bahwa di dalam tongkatmu itu tersembunyi senjata
yang amat ampuh, maka jangan nanti katakan aku menyerang lawan yang hanya
bertongkat. Nah, awas pedangku!"
Kun Hong
tersenyum. Betapa pun juga, gadis ini selain mempunyai keangkuhan, juga jujur
dan ada sifat ‘satria’ dalam hatinya.
Mendengar
desir angin serangannya, Kun Hong cepat menggerakkan tongkat menangkis. Dia
sengaja tidak mau menggunakan mata pedang Ang-hong-kiam karena khawatir kalau
merusak pedang lawan itu. Dari samping dia menangkis, meminjam tenaga lawan
karena maksudnya hanya hendak menguji tenaga.
Dalam
gebrakan pertama ini dia sudah tahu bahwa gadis ini mengandalkan kepandaian
pada kegesitannya. Ginkang atau ilmunya meringankan tubuh memang sudah boleh
juga, hanya kalah setingkat bila dibandingkan dengan Cui Bi, mendiang
kekasihnya. Akan tetapi tenaga lweekang-nya ternyata masih jauh dari pada
cukup.
Dia segera
melayani semua serangan gadis itu dengan tenang, mengimbangi tenaga dan
kecepatannya. Hatinya amat gembira saat mendapat kenyataan bahwa Sian-li
Kiam-hoat yang dimainkan gadis ini adalah ilmu pedang yang tulen.
Gerakan-gerakannya
begitu halus dan lemas. Keindahannya bisa dia rasakan dari desiran anginnya. Di
dalam khayalnya Kun Hong seolah-olah melihat kekasihnya sendiri bergerak menari
pedang.
Hatinya
terharu bukan main dan dalam kegembiraannya dia sampai lupa bahwa dia tadi
hendak menguji gadis itu. Dia selalu mengimbangi gadis itu, tidak memberi
kesempatan kepada gadis itu untuk bisa melukai tubuhnya, akan tetapi juga dia
tidak mau mengambil kesempatan untuk merobohkannya.
Dua ratus
jurus telah lewat dan tiba-tiba gadis itu menghentikan gerakannya, malah lalu
tidak mau menyerang lagi. Kun Hong juga berhenti bersilat, berdiri tegak dengan
muka pucat karena baru sekarang dia teringat bahwa dia sama sekali tidak sedang
menari-nari dengan kekasihnya. Dia mendengar penuh perhatian dan alangkah
kagetnya pada waktu mendengar gadis itu yang kini sudah duduk di atas tanah
terisak menangis!
Dia pun
cepat-cepat berjongkok. Permainan pedang gadis itu yang sama benar dengan
mendiang Cui Bi sehingga mendatangkan rasa simpati besar dan di dalam hatinya
timbul rasa sayang kepada dara lincah ini.
"Nona,
kau... kenapa kau menangis? Kau tidak terluka, juga tidak kalah..."
"...tidak
kalah... ! Memang tidak kalah... hu-hu... tapi juga tidak menang...
u-hu-huu...!"
Tangisnya
makin menjadi sehingga Kun Hong menjadi bingung sekali. Beberapa kali dia
mengulur tangan hendak menghibur, tetapi ditariknya kembali. Jantungnya serasa
copot dan seluruh tubuhnya serasa lemas mendengar tangis ini. Aneh bin ajaib,
mengapa tangis gadis ini sama dengan tangis Cui Bi? Isaknya sama, suara
sedu-sedannya juga senada.
"Jangan...
jangan menangis, Nona... biarlah aku mengaku kalah kalau kau menghendaki
begitu."
"Siapa
sudi berlaku serendah itu? Hah, kalah sih bukan soal!" tiba-tiba saja
tangisnya menghilang dan suaranya kembali nyaring. Benar-benar gadis yang aneh
sehingga Kun Hong mendengarkan sambil terlongong. "Akan tetapi, hati siapa
yang tidak mendongkol? Sampai hampir copot rasanya lengan kananku yang terkutuk
ini, sampai sakit bukan main dan kupaksa-paksakan tadi, akan tetapi tetap saja
aku tidak mampu mengalahkan kau seorang yang buta! Baru kau muridnya yang buta
saja begini hebat, apa lagi gurunya yang tidak buta. Ahhh, aku berdebat dengan
ayah, aku tidak menerima kata-kata ayah bahwa aku tidak akan mungkin dapat
mengalahkan dia. Dan ternyata aku kalah bertaruh. Hu-hu-huu...!" Dia
menangis lagi tersedu-sedu seperti anak kecil minta permen ditolak.
"Tan
Beng San taihiap adalah seorang pendekar besar, Nona dan kau harusnya bangga
karena dia itu pamanmu. Dia tak mungkin mau memusuhimu, selain lihai dan sakti,
juga dia memiliki hati emas, pribudinya luhur dan dia seorang satria
sejati."
Tiba-tiba
tangis itu terhenti dan suaranya marah lagi. "Kalau hatiku berbulu, ya?
Pribudiku rendah dan aku bukan bandingannya sama sekali. Hatinya emas tetapi
hatiku tembaga. Begitukah? Pantas saja kau tidak peduli kepada orang rendah ini,
biar tubuh hampir kaku karena... lengan terkutuk ini... aduh!"
Baru
sekarang gadis itu mengeluh dengan suara rintihan lirih. Kun Hong terkejut. Dia
dapat menduga tadi bahwa lengan kanan gadis ini terluka, gerakannya pun kaku,
akan tetapi mendapat kenyataan bahwa gadis ini masih kuat memainkan pedangnya
sebegitu lama, tentu lukanya tidak hebat. Sekarang dari suara gadis ini dia
terkejut karena ada tanda-tanda bahwa gadis itu terserang demam panas akibat
lukanya.
"Berikan
lenganmu, biar kuperiksa!" katanya.
Dan sebelum
gadis itu sempat menjawab atau pun menolak, dia sudah dapat menangkap
pergelangan tangannya dan meneliti detik darahnya. Setelah memeriksa beberapa
menit, tiba-tiba muka Kun Hong menjadi merah sekali, melepaskan tangan itu dan
berseru,
"Celaka...!
Mana mungkin? Ahh...!" dan dia duduk termenung, beberapa kali menggeleng
kepala.
"Bagaimana?
Ada apa?" Gadis itu lenyap keangkuhannya dan memandang dengan wajah penuh
kegelisahan. "Jangan bilang tanganku tak dapat sembuh dan harus
dipotong."
"Bukan
demikian, tapi cara pengobatannya yang sukar kulakukan..."
"Sukar
bagaimana? Hayo katakan!" Gadis itu tak sabar lagi.
"Harus
memperbaiki jalan darah yan-goat-hiat, mana mungkin...?"
Jalan darah
itu letaknya di bawah ketiak, bagaimana dia dapat meraba bagian tubuh ini?
"Mengapa
tidak mungkin? Aneh benar kau ini, apa kau kira aku tidak mempunyai jalan darah
yan-goat-hiat? Bukankah ini di sini?"
Gadis itu
menggunakan tangan kiri meraba sebelah bawah pangkal lengannya, tapi dia segera
menjerit perlahan, "... aduuuhhh...!"
"Nah,
apa kataku, tentu sakit, Nona. Kau terkena pukulan pada pangkal lenganmu.
Berkat hawa murni dan lweekang dalam tubuh, kau dapat menahannya, tidak ada
tulang yang patah dan kau masih dapat melakukan pertempuran merampas mahkota,
itu benar-benar hebat. Akan tetapi tanpa kau ketahui, jalan darah itu menjadi
buntu oleh gumpalan darah matang dan dapat menimbulkan keracunan."
"Wah,
perlu apa kau berpidato? Aku tidak ingin menjadi tabib, juga tidak mau belajar
mengobati. Lebih baik kau lekas mengobatinya."
"...bagaimana
mungkin...?"
"Aih-aiihh,
bagaimana sih orang ini? Mengapa harus pakai bagaimana mungkin segala?
Pendeknya, kau becus tidak mengobatinya?"
"Tentu
saja bisa..."
"Nah,
sudah jangan banyak rewel, lekas obati!" Suara nona itu kehabisan sabar.
"...ya
tetapi... tapi... cara mengobatinya tidak hanya dapat dengan totokan biasa,
Nona. Harus diurut dan dihancurkan darah yang berkumpul di situ agar terbawa
mengalir dan..."
"Aduh-aduuuuuhh,
cerewetnya. Kalau harus diurut ya urutlah, kenapa sih ceriwis amat?"
"Tapi...
kau tahu sendiri yan-goat-hiat terdapat di... ketiak..."
"Aduh
kemaki (sombong) kau, ya? Kalau di ketiak kenapa? Apa kau kira ketiakku terlalu
kotor? Cih, ketiakmu lebih kotor, dekil, tidak pernah kau gosok kalau
mandi!" Nona itu suaranya marah sekali.
Kun Hong
menarik napas panjang, tanpa disadarinya lagi dia menggaruk-garuk belakang
telinganya, benar-benar kewalahan dan terdesak. Celaka, susahnya bicara dengan
gadis liar ini, pikirnya. Gadis jujur, agaknya tidak tahu apa-apa dan masih
bersih betul pikirannya akan perhubungan antara pria dan wanita, dan hal ini
mungkin terpengaruh oleh cara hidupnya sebagai seorang gadis perantau.
"Ehhh,
malah termenung, garuk-garuk kepala segala lagi! Hee, orang buta, apakah kau
memang tidak sudi menolongku?"
"...bukan
sekali-kali, Aku suka menolongmu, Nona, suka sekali. Tapi..."
"...tapi
apa lagi?"
"Ehh,
maaf... bagian yang diobati itu harus... harus... tidak tertutup..."
Hening
sejenak. Walau pun wataknya polos, agaknya kalau harus memperlihatkan ketiak
tanpa ditutup baju, membuat muka gadis itu menjadi merah sekali dan bingung.
Dengan kening berkerut ia memandang Kun Hong penuh selidik.
Apakah dia
sengaja hendak mempermainkan aku, pikirnya. Apakah dia seorang yang kurang
ajar? Akan tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa orang di depannya ini adalah
seorang buta.
"He,
orang aneh. Apakah matamu betul-betul buta?"
Melengak Kun
Hong mendengar pertanyaan ini. Ia tidak bermaksud menghina, suaranya jujur dan
pertanyaan itu sungguh-sungguh.
"Tentu
saja, masa ada buta pura-pura?"
"Sama
sekali tak dapat melihat? Sedikit pun tak dapat melihat?"
Kun Hong
tersinggung juga, dia menghela napas dan menjawab, "Bagiku, malam dan
siang sama gelapnya..."
Namun gadis
itu sama sekali tidak terpengaruh oleh suara menyedihkan ini, tidak menjadi
terharu malah segera berkata, "Kalau begitu, apa salahnya kubuka baju
bagian yang diobati? Hayo lekas kau kerjakan. Nih, sudah kubuka!"
Berdebar
juga jantung Kun Hong, tapi segera dia menindas perasaannya karena dia harus
mengakui bahwa sifat gadis ini benar-benar masih amat kekanak-kanakan, gadis
kasar, jujur, dan di dalam pikirannya masih bersih dari pada hal yang
bukan-bukan. Oleh karena itu dia pun lalu menangkap lengan kanan gadis itu,
terus jari-jarinya bergerak ke atas. Lengan yang kecil bulat, berisi, dengan
kulit yang halus seperti sutera.
"...aduh...!"
jerit gadis itu ketika ototnya di bawah pangkal lengan terpegang.
"Hemmm...
ternyata bahkan lebih hebat dari pada yang kuduga. Kalau terus kuurut, kau akan
banyak menderita kesakitan, Nona. Biarlah kubantu dengan tenaga lweekang agar
kumpulan darah itu agak membuyar karena panas. Maaf, kendurkan tenagamu
sebentar."
Kun Hong
kemudian membuka tangannya dan menempelkan telapak tangannya di bawah pangkal
lengan atau di ketiak kanan gadis itu. Dari tubuhnya dia mengerahkan tenaga
sakti, disalurkan melalui tangan dan gadis itu dengan penuh kekaguman memandang
ketika merasa betapa hawa panas sekali keluar dari telapak tangan si buta
menjalar ke dalam tubuhnya melalui ketiak. Mendadak dia menggigil karena hawa
panas itu berubah menjadi dingin sekali sampai membuat ia menggigil.
"Wah...
gila..." bibir Kun Hong berbisik dan gadis itu merasa betapa hawa itu
berubah panas kembali.
"Apa
yang gila? Siapa?" tak tertahan ia bertanya mendengar bisikan tadi.
Akan tetapi
ia tidak marah melihat wajah Kun Hong berkeringat. Ia tahu bahwa pemuda itu
sedang mengerahkan lweekang, maka tak menjawab juga tidak mengapa. Tentu saja
ia tak pernah menduga bahwa Kun Hong tadi memaki dirinya sendiri.
Ketika Kun
Hong menyalurkan tenaga lweekang tadi, pikirannya melayang dan sentuhan
tangannya dengan kulit halus hangat itu mendatangkan perasaan yang bukan-bukan
dan yang mengacaukan pengerahan tenaga saktinya sehingga akibatnya gadis itu
menggigil kedinginan. Dia memaki diri sendiri, mengusir semua perasaan,
mengumpulkan panca indera dan mengerahkan tenaga.
Sepuluh
menit kemudian dia melepaskan tangannya, lalu mulailah dia mengurut otot dan
jalan darah yang terluka. Mula-mula gadis itu merintih perlahan karena memang
masih terasa sakit. Akan tetapi lambat laun setelah darah mengental itu cair
dan mengalir, rasa nyeri berubah nikmat. Akhirnya tiba-tiba dia tertawa
cekikikan dan tubuhnya menggeliat-geliat.
Kun Hong
terheran dan bertanya, "Kenapa, Nona...?"
"Aiiihhh...
hi-hik, geli amat... jari-jarimu menggelitik..."
Cepat-cepat
Kun Hong menarik tangannya dan wajahnya kembali menjadi panas. Merah sekali wajahnya,
sampai ke telinga-telinganya.
"Kalau,
sudah merasa geli, itu berarti sudah sembuh, Nona."
Diam-diam
dia juga merasa geli hatinya karena memang sikap nona ini benar-benar lucu,
jujur dan kekanak-kanakan. Tanpa disadarinya timbullah rasa sayang kepada nona
ini.
Gadis itu
mengenakan kembali bajunya, bangkit berdiri dan menggerak-gerakkan lengan
kanannya, memukul beberapa jurus. Akhirnya ia berseru girang, "Bagus!
Tidak terasa sakit lagi, sembuh sama sekali. Kakak buta, aku adikmu yang bodoh
sekarang merasa takluk betul. Kau hebat!"
Gadis itu
memegang tangan Kun Hong dan menari-nari berputaran. Sambil tertawa Kun Hong
terpaksa mengikutinya dan mengomel,
"Aih,
kau benar-benar seorang adik yang nakal sekali. Perut masih lapar kau suruh aku
putar-putar begini, bisa pusing tujuh keliling aku!"
"Waah,
kakak buta yang baik, kau lapar? Tunggu sebentar di sini, ya? Duduklah di bawah
pohon, nah di sini..." katanya sambil menuntun Kun Hong ke bawah pohon,
menyuruhnya duduk di atas akar pohon yang menonjol ke luar dari tanah.
"Aku takkan lama dan kau akan kenyang nanti."
Sebelum Kun
Hong sempat mencegahnya, gadis itu sudah melesat cepat sekali dan tidak
terdengar lagi suaranya. Belum ada setengah jam gadis itu pergi, ia sudah
kembali lagi sambil tertawa-tawa girang dan kedua tangannya penuh
barang-barang.
Sepanci nasi
putih, semangkok besar masakan ang-sio-hi, semangkok besar pula cah udang dan
semangkok lagi panggang daging ayam. Semua masakan dan nasinya masih panas
mengepulkan asap sedap. Mangkok-mangkok berisi masakan ini semua dia kempit dan
bawa sedapat mungkin, malah tangannya masih menggenggam sebuah guci arak,
mangkok kosong dan sumpit!
"Hi-hi-hi,
dasar untung kita bagus, Kakak buta! Nah, tolong nih, terima dulu guci arak dan
mangkok-mangkok kosong. Awas, turunkan dahulu di atas tanah, masih banyak nih.
Wah, lenganku panas semua, itu sih, ang-sio-hi-nya miring mangkoknya ketika
kubawa lari, kuahnya tumpah sedikit ke lenganku!" Ribut-ribut gadis itu
bicara sedangkan Kun Hong terheran-heran dari mana gadis itu memperoleh masakan
sebanyak itu.
"Kan di
sini tidak ada restoran besar. Dari mana kau memperoleh masakan mahal ini! Wah,
araknya pun bukan arak sembarangan nih, arak wangi dan sudah disimpan lama
lagi. Eh, sumpitnya ini begini halus, apakah bukan dari gading? Dari mana kau
mendapat semua ini?" Kun Hong meraba sana meraba sini, kagum dan heran.
"Sudahlah,
Kakakku yang baik. Kita makan dulu, sikat habis ini semua baru nanti bicara.
Kalau sampai dingin masakan-masakan ini sebelum masuk ke dalam perut kita, kan
sayang! Hayo makan, nih araknya untukmu sudah kusediakan!"
Dengan
cekatan dan terampil gadis itu melayani Kun Hong makan. Ia sendiri pun makan,
akan tetapi tiada hentinya ia menggunakan sumpitnya untuk menjapitkan daging
pilihan untuk Kun Hong, berkali-kali pula mendesak supaya pemuda itu menambah
lagi nasi dan araknya.
Gembira
sekali mereka, apa lagi Kun Hong. Masakan-masakan itu sungguh lezat, nasi pun
putih dan pulen, araknya juga tulen. Kegembiraan dan kelezatan masakan membuat
mereka gembul dan menambah nafsu makan sehingga sebentar saja, sampai
seperempat jam, masakan dan arak benar-benar telah disikat habis oleh keduanya!
Agaknya
setelah kemasukan arak, gadis itu menjadi lebih gembira lagi, suara ketawanya
bebas lepas, sikapnya terbuka. Kun Hong merasa lebih senang lagi dan rasa
sayangnya bertambah.
Seorang
keponakannya, yaitu Kui Li Eng, juga lincah jenaka, akan tetapi masih kalah
oleh gadis ini yang benar-benar masih bersih pikirannya. Sayangnya, agaknya
anak ini terlalu dimanja dan agaknya sejak kecil dipenuhi segala kehendaknya
sehingga sekarang pun ia selalu ingin kehendaknya dipenuhi, menjadi orang yang
sifatnya ‘ingin menang sendiri’. Akan tetapi makin lama makin kelihatan bahwa
pada dasarnya anak perempuan ini tidak mempunyai watak yang ingin menang
sendiri, malah sangat jujur dan cukup mempunyai pertimbangan yang adil...
Kun Hong
duduk bersandar batang pohon, terengah kekenyangan. Gadis itu duduk pula di
atas tanah, di depannya. Sampai lama gadis itu menatap wajah Kun Hong, melihat
betapa Kun Hong meraba-raba dengan tangan ketika hendak beralih duduk ke atas
akar yang lebih rata, meraba-raba pula batang pohon yang hendak disandarinya,
kelihatan begitu tak berdaya.
"Kakak
buta, kau adalah seorang ahli dalam hal pengobatan. Mengapa matamu sendiri
sampai bisa menjadi buta? Apakah sebabnya matamu buta?" Kali ini gadis itu
berbicara tanpa nada kekanak-kanakan atau bergurau, suaranya
bersungguh-sungguh.
Kun Hong
terkejut mendengar pertanyaan ini, menghela napas dan menjawab, "Karena
salahku sendiri..."
"Hemm,
apakah ada yang membikin buta? Katakanlah siapa orangnya, adikmu ini pasti akan
mencarinya dan membalas membutakan matanya!"
Kun Hong
menggeleng kepala. Dia takkan merasa tersinggung kalau diejek orang tentang
kebutaannya, tetapi dia merasa sedih kalau orang mengingatkan dia akan sebab-sebab
kebutaan itu karena hal itu sama saja dengan memaksa dia mengenangkan Cui Bi.
"Aku sendiri yang membutakan kedua mataku."
Gadis itu
meloncat ke atas, kaget sekali. "Aku tidak percaya! Masa ada orang yang
mau membutakan matanya sendiri, kecuali orang gila!"
"Memang
aku gila, gila pada waktu itu." Kun Hong menangkap tangan gadis itu untuk
mencegahnya bicara soal ini lebih lanjut. "Adik yang baik, sudahlah,
jangan kita bicara soal sebab-sebab kebutaan mataku, maukah kau?"
Baru kali
ini Kun Hong merasa betapa gadis itu terdiam dalam keharuan, akan tetapi hanya
sebentar karena segera terdengar lagi suaranya yang nyaring dan gembira.
"Kakak buta, sebetulnya kau siapakah? Siapa namamu dan di mana tempat
tinggalmu?"
Kun Hong
timbul kembali senyumnya. Sikap yang amat cepat dan mudah berubah dari gadis
ini benar-benar menggembirakan serta mudah menular. Terhadap seorang gadis
seperti ini tak perlu dia menyembunyikan diri.
"Namaku
Kwa Kun Hong, Nona. Ada pun tempat tinggalku, heemm... untuk saat ini yah di
sini inilah! Dan kau sendiri, siapa namamu? Apakah cukup hanya Bi-yan-cu
saja?"
"Kwa
Kun Hong... nama yang bagus. Eh, Kwa-twako (Kakak Kwa), bagaimana kau bisa
mengenal nama ayahku dan bagaimana kau bisa tahu pula bahwa ayahku adalah kakak
Tan Beng San ketua Thai-san-pai?"
"Tentu
saja aku tahu. Aku memiliki hubungan baik dengan keluarga Thai-san-pai, bahkan
pernah menerima pelajaran ilmu dari Tan Beng San taihiap. Aku tahu pula bahwa
ayahmu selain kakaknya, juga menjadi suheng dari isteri beliau. Bukankah ayahmu
adalah murid pertama dari mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan?"
"Wah,
kiranya pengetahuanmu luas, Twako. Aku mendengar tentang pertempuran hebat pada
pembukaan Thai-san-pai tiga tahun yang lalu di puncak Thai-san, apakah kau
hadir juga?"
Berdebar
rasa jantung Kun Hong. Teringat dia akan semua pengalamannya di puncak itu,
tentang Cui Bi apa lagi. Dia termenung sejenak. Bagaimana dia tidak akan tahu
tentang hal itu? Dia sendiri berada di sana, malah dia mengambil bagian
terpenting.
"Aku
tahu... aku juga hadir di sana..." Dia cepat menambah untuk menghilangkan
curiga gadis itu. "Aku bersama ayah ibuku..." Akan tetapi dia segera
teringat bahwa tidak perlu dia menyebut-nyebut ayah bundanya.
"Twako,
siapa ayahmu? Tentu tokoh hebat..."
Sudah
terlanjur bicara, Kun Hong tidak dapat mundur lagi. "Ayahku adalah Kwa Tin
Siong, ketua Hoa-san-pai."
Gadis itu
segera kembali meloncat ke atas. "Walah! Kiranya putera Hoa-san
Ciangbunjin (ketua Hoa-san-pai)! Maaf... maaf, ya, Twako? Kiranya kau seorang
besar, keturunan jagoan, putera seorang ketua Hoa-san-pai yang terkenal!"
"Hushh,
jangan melebih-lebihkan, malah kuminta jangan lagi kau menyebut-nyebut nama
keturunanku. Aku sudah menjadi seorang buta, miskin dan hidup sebatang-kara,
aku tidak suka nama keturunanku dibawa-bawa. Kau jangan menyebutku Kwa-twako
lagi."
"Habis
harus menyebut apa? Namamu Kwa Kun Hong... hemm, baiknya kusebut Hong-ko (kakak
Hong) saja. Bagus, kan?"
Kembali
jantung Kun Hong berdebar. Mendiang Cui Bi kekasihnya dahulu juga menyebut dia
Hong-ko, dan suara gadis ini begitu mirip suara Cui Bi, seakan Cui Bi belum
mati dan kini berada di sampingnya!
"Sesukamulah,"
dia mengusir kenangan yang mengganggu hatinya itu, "tetapi kau sendiri
belum memperkenalkan namamu."
Gadis itu
tertawa gembira. "Hong-ko, namaku buruk sekali. Aku lebih suka kalau
dipanggil Bi-yan-cu..." Nada suaranya manja.
Kun Hong
juga tersenyum lebar. "Apa kulitmu hitam?"
"Siapa
bilang hitam? Kulitku putih kuning, malah ayah bilang kalau kulitku amat bagus
dan sehat, tidak seperti kulit gadis-gadis kota dan puteri-puteri istana yang
pucat-pucat seperti kekurangan darah. Lihat lenganku ini... ehh, kau mana bisa
lihat! Mengapa kau mengira kulitku hitam, Hong-ko?"
Biar pun
matanya tak dapat melihat, Kun Hong dapat membayangkan betapa gadis itu
memandangnya dengan bibir mungil yang cemberut.
"Aku
ingat bahwa burung walet (yan-cu) bulunya hitam, dan sepanjang ingatanku, tidak
ada burung walet yang cantik. Maka julukanmu Bi-yan-cu (Walet Cantik Jelita)
amat tidak cocok kalau kulitmu tidak sehitam bulu burung walet. Nah, kurasa
betapa pun buruknya namamu, tidak akan seburuk julukanmu."
"Wah,
kau pandai mencela, Hong-ko. Awas, lain kali kuminta kau mencari julukan baru untukku.
Namaku sebetulnya adalah Tan Loan Ki. Nah buruk sekali, bukan? Seperti nama
laki-laki."
"Tidak
buruk. Nama Loan Ki manis benar, juga julukanmu itu sebenarnya sudah tepat,
mengingat bahwa kau mempunyai gerakan yang lincah dan cepat bagaikan burung
walet. Siauw-moi (adik kecil), mulai sekarang aku akan menyebutmu Ki-moi (adik
Ki), boleh kan?"
Tiba-tiba
mereka berhenti bicara karena terdengar seruan orang dari jauh.
"Betina
liar itu tentu tak akan lari jauh!" terdengar suara seorang wanita yang
serak.
"Hemm,
kalau ia dapat kutangkap, akan kujadikan bakso. Anak kurang ajar itu!"
Sambung seorang laki-laki yang suaranya besar.
Kun Hong
mengerutkan keningnya. Otaknya yang cerdas cepat menghubungkan sebutan ‘betina
liar’ tadi dengan Loan Ki.
"Ki-moi,
kau tertawa mengejek! Siapa mereka dan mengapa marah-marah?"
"Dasar
pelit!" Gadis itu mengomel. "Baru kehilangan nasi dan masakan begitu
saja sudah mencak-mencak seperti merak kehilangan ekor."
"Wah,
jadi yang kita makan tadi..." Kun Hong berseru kaget.
"Heh-heh,
barang curian tentu. Habis dari mana kalau tidak mencuri?" enak saja
jawaban gadis ini. "Kau menyesal, Hong-ko? Nah, kau muntahkanlah
kembali." Ia lalu tertawa-tawa menggoda.
"Jangan
main-main, Ki-moi. Kurasa dua orang yang datang ini bukan bermaksud baik dan
mereka mempunyai kepandaian yang tak boleh kau pandang ringan begitu
saja!"
Baru saja
Kun Hong mengeluarkan kata-kata ini, kedua orang itu sudah tiba di situ dan
terdengar bentakan yang perempuan. "Nah, ini dia si bocah liar bersama
seorang buta!"
Yang
laki-laki membentak, "Gadis kurang ajar, kembalikan makanan dan arak
tadi..." dia lalu berseru kaget melihat mangkok-mangkok dan guci arak yang
sudah kosong, "Wah, celaka si keparat, sudah disikat habis!"
Karena tidak
dapat melihat, Kun Hong hanya dapat menaksir keadaan dua orang yang datang itu
dengan pendengarannya. Laki-laki itu paling sedikit berusia empat puluh tahun
dan si wanita sukar diduga karena suaranya serak dan kasar, akan tetapi tentu
tidak lebih muda dari pada yang laki-laki. Gerakan kaki si wanita itu ringan
membayangkan ginkang yang tinggi sedangkan derap kaki yang laki-laki mengandung
tenaga lweekang membuat tanah di sekitarnya seperti tergetar. Akan tetapi Loan
Ki yang dapat melihat kedua orang itu mendapatkan kesan yang lebih
mengagetkannya.
Wanita itu
berpakaian serba hitam dengan tambalan kain lebar berwarna putih ditalikan di
leher menggantung ke bawah. Mukanya penuh bopeng (burik), rambutnya masih hitam
serta disisir rapi. Matanya besar sebelah dengan pandangan galak.
Tangan
kanannya memegang sebuah senjata besi yang agak aneh bentuknya, bergagang dua
dan ujungnya runcing. Kiranya senjata itu adalah sebuah penjepit arang yang
biasa dipergunakan di dapur untuk mengambil arang. Tangan kirinya memegang
sebuah kipas dapur yang lebar dan bergagang besi pula. Memang aneh kedua alat
dapur ini karena ukurannya selain lebih besar dari pada biasa, juga terbuat
dari besi yang kelihatan kokoh kuat mengerikan.
Ada pun
laki-laki itu juga berpakaian serba hitam, memakai ikat kepala kuning. Matanya
sangat lebar seakan-akan hendak meloncat ke luar dari tempatnya. Tubuhnya
tinggi besar dan mukanya hitam, kedua lengan tangannya yang tak berbaju penuh
bulu hitam. Tangan kanannya memegang sebuah pisau pemotong babi yang lebar,
yang seukuran golok tapi bentuknya persegi, dan mengkilap sekali saking
tajamnya.
Loan Ki
adalah seorang anak perempuan yang semenjak kecilnya hidup di dunia kangouw dan
sudah banyak bertemu dengan orang-orang aneh. Karena itu munculnya dua orang
ini tidak mengagetkannya, juga suara mereka tidak membuat ia gentar, bahkan ia
tertawa ketika berdiri dan menyambut mereka dengan suara mengejek.
"Kalian
ini dua orang kasar datang-datang marah tidak karuan lalu membuka mulut dan
menyemburkan kata-kata kotor, sebetulnya hendak mencari siapakah?"
Akan tetapi
dua orang itu tidak menjawab. Mereka saling pandang dan memandang ke arah
mangkok-mangkok kosong, lalu membanting-banting kaki, memaki-maki,
"Keparat,
anjing-anjing kelaparan! Sudah dihabiskannya semua, celaka. Toanio (nyonya)
akan memukuli kepalaku sampai bengkak-bengkak karena arak seperti itu sudah
habis dari simpanan. Aduh, celaka dua anjing kelaparan!"
Laki-laki
muka hitam itu berteriak-teriak, matanya makin melotot ketika dia memandang ke
arah Loan Ki.
"Dan
aku... ahhh, aku yang kasihan... dari mana aku harus mendapatkan ikan emas itu
setelah ang-sio-hi tinggal tulang-tulang ikan saja? Mampuslah aku kalau siocia
memaksa aku menyelam di telaga untuk memperoleh ikan baru... celakanya, siocia
tidak akan mau sudah kalau belum kudapatkan ikan yang serupa dengan yang
tadi."
Setelah puas
memaki-maki, wanita itu menudingkan penjepit arangnya ke muka Loan Ki.
"Hayo mengaku, kau gadis busuk. Tentu kau telah mencuri makanan dari
dapurku, malah menotok roboh dua orang pembantuku!"
"Dan
kau yang mencuri guci penuh arak simpanan dari pembantuku!" bentak
laki-laki itu sambil mengacung-acungkan golok pemotong babinya.
Loan Ki
tersenyum manis. "Betul aku, Uwak dan Empek yang baik. Tapi ketahuilah bahwa
tadi perutku dan perut si dia ini lapar sekali. Aku sedang mencari pengisi
perut kami yang kosong, hidungku tertarik oleh bau sedap dan gurih, lalu
melihat masakan-masakan itu tak dapat aku menahan keinginan hatiku lagi.
Maafkan saya, Uwak dan Empek, kelak bila kalian kelaparan dan kebetulan berada
di dekat rumahku, kalian boleh balas mencuri tiga kali lipat banyaknya. Aku
berjanji tidak akan marah kalau kalian menyikat habis masakan-masakanku dari
dapur rumahku. Nah, bukankah sudah adil janjiku ini?"
"Adil
matamu...!" nenek itu memaki.
"Adil
mukamu... yang jelita!" kakek itu pun memaki.
Kun Hong
menggeleng-gelengkan kepala. Dua orang ini adalah orang-orang aneh, tetapi Loan
Ki telah mengeluarkan janji yang sungguh-sungguh tak masuk di akal dan seenak
perutnya sendiri. Mana mungkin pencuri di ‘bayar’ dengan janji kalau kelak dua
orang itu kelaparan boleh balas mencuri pula di dapur rumahnya? Tidak masuk di
akal dan alasan anak-anak.
Maka dia pun
lalu bangkit berdiri, menjura dengan hormat kepada dua orang itu sambil
berkata, "Jiwi Locianpwe harap sudi memaafkan kami berdua yang muda. Sesungguhnya,
tadi siauwte yang kelaparan dan siauwte minta adik siauwte ini agar mengemis
makanan. Siapa kira dia tak berani mengemis malah mencuri. Untuk hal ini,
siauwte mohon sudilah kiranya jiwi Locianpwe memaafkan kami berdua."
Dua orang
itu saling pandang, wajah mereka berseri. Selama hidup baru kali ini semenjak
menjadi pekerja dapur mereka menerima kata-kata yang terdengar enak sekali
memasuki telinga mereka. Mereka memandang Kun Hong dan mengangguk-anggukkan
kepala.
"Orang
muda baik, biarlah kalau memang kau kelaparan. Paling-paling aku akan dimaki
oleh toanio," kata kakek itu dengan suara sabar sekali.
"Pemuda
buta yang tampan, kau amat sopan. Ikan itu dapat kucarikan gantinya dengan
menjala, juga daging babi dan ayam masih banyak. Siocia pun bisa kubujuk. Dua
orang locianpwe harus bersikap sabar, bukan begitu, Sun-laote?" kata si
nenek dan kakek itu pun mengangguk-angguk membenarkan.
"Hong-ko,
mereka ini hanyalah seorang koki masak dan seorang tukang jagal, kenapa kau
sebut-sebut mereka locianpwe segala? Wah, kepala mereka bisa menjadi semakin
besar dan kulit muka mereka makin tebal!" tiba-tiba Loan Ki mencela Kun
Hong yang menjadi kaget sekali melihat cara temannya ini ‘merusak’ suasana yang
sudah begitu baik.
Celaka,
pikirnya, benar-benar bocah setan, tidak mengerti siasat damai yang dia
lakukan. Benar saja kekhawatirannya. Dua orang itu mengeluarkan seruan marah,
memaki-maki lagi dan wanita itu menerjang maju, menyerang Loan Ki dengan
penjepit arangnya.
Loan Ki
tertawa mengejek, menghindarkan serangan ini dengan menggeliatkan tubuhnya ke
belakang dan tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar ke arah mukanya. Kaget
juga gadis ini, karena ternyata susulan serangan kipas ini amat cepatnya.
Ia
menjejakkan kakinya ke atas tanah, tubuhnya mencelat ke belakang dan terhindar
dari hantaman kipas. Pada lain saat dia telah menghadapi wanita galak itu
dengan pedang di tangan dan senyum simpul menghias bibir.
Kun Hong
sangat tidak senang melihat perkembangannya menjadi pertempuran. Namun karena
dari gerakan-gerakan nenek itu dia maklum bahwa kepandaian Loan Ki masih jauh
lebih tinggi, maka dia mendiamkannya saja, hanya berkata halus,
"Ki-moi,
setelah mencuri, jangan kau membunuh atau melukai orang! Jika kau melanggar aku
tidak mau bicara lagi denganmu!"
Loan Ki
hanya tertawa lirih dan sebentar saja nenek itu menjadi bingung dan
berkunang-kunang matanya. Gerakan gadis ini benar-benar lincah sehingga baginya
seakan-akan gadis itu mempunyai lima buah bayangan yang mengeroyoknya dari
segala penjuru! Ilmu serangannya menjadi kacau balau. Dengan nekat dan ngawur
dia menyerang membabi buta, menepak-nepak dengan kipas dapurnya seperti orang
berusaha menepuk lalat yang terlalu gesit.
"Sun-laote,
kau bantu aku menangkap bocah liar ini!" Akhirnya nenek itu berteriak minta
bantuan kepada temannya.
Agaknya
kakek itu ragu-ragu, lalu mengomel, "Heran benar, masa Hek-kui-nio (Iblis
Betina Hitam) tidak dapat menangkap seorang gadis cilik?" Kemudian dia
menoleh kepada Kun Hong. "Orang muda, bukan aku Ban-gu-thouw (Selaksa
Kepala Kerbau) dari golongan cianpwe hendak menghina yang muda, tetapi
sahabatmu gadis liar itu agaknya terlalu lincah untuk Hek-kui-nio. Terpaksa aku
harus menangkapnya!"
Akan tetapi
pada saat itu terdengar Hek-kui-nio berteriak kesakitan dan dia
berjingkrak-jingkrak dengan kaki kanannya karena kakinya yang kiri kena digajul
(ditendang dengan ujung sepatu) oleh Loan Ki sehingga bukan main nyerinya,
ngilu sampai menusuk-nusuk tulang sumsum!
Laki-laki
tinggi besar yang berjuluk Ban-gu-thouw itu dengan marah lalu memutar-mutar
golok pemotong babinya, atau mungkin juga pemotong kerbau sesuai dengan
julukannya. Angin menderu dan diam-diam Kun Hong menjadi terkejut dan khawatir.
Jelas terdengar olehnya betapa Ban-gu-thouw ini mempunyai tenaga dahsyat yang
tidak boleh dipandang ringan.
Biar pun dia
maklum bahwa ilmu silat pedang yang dimiliki Loan Ki jauh lebih hebat dan
mempunyai dasar yang tinggi tingkatnya, namun menghadapi seorang lawan kasar
yang bertenaga besar dan memegang senjata yang agaknya amat berat itu, tetap
merupakan bahaya bagi Loan Ki.
"Locianpwe,
jangan memperhebat permusuhan!" Kun Hong berseru.
Tubuhnya
tiba-tiba melesat ke arah si tinggi besar itu, kedua tangannya bergerak dengan
jari-jari tangan terbuka dan... pada lain saat Kun Hong sudah berhasil merampas
golok pemotong kerbau itu!
Ban-gu-thouw
berteriak keras saking kagetnya. Cepat-cepat dia membalikkan tubuhnya dan
memandang dengan mata terbelalak. "Heeei, kalau begitu kau tidak
buta!"
"Siauwte
memang seorang buta," jawab Kun Hong.
"Kalau
buta bagaimana dapat merampas golokku?"
Tanpa
menjawab Kun Hong mengangsurkan golok itu kepada pemiliknya. Ban-Gu-Thouw
menerima kembali goloknya dan wajahnya merah sekali karena pada waktu itu Loan
Ki tertawa haha-hihi.
Dia menjadi
marah dan berkata, "Orang muda buta, kenapa kau merampas golokku?"
"Kuharap
Locianpwe tidak melanjutkan pertempuran yang tidak ada gunanya. Makanan itu
sudah masuk perutku, dan aku sudah sanggup untuk minta maaf."
"Enak
saja kau bicara! Kami berdua yang akan menerima hukuman dari toanio dan siocia,
namun karena omonganmu tadi enak didengar, kami akan melupakannya saja dan siap
menerima hukuman. Siapa tahu sahabatmu si harimau betina itu suka menghina
orang dan sekarang kau malah merampas golokku. Ban-gu-thouw dan Hek-kui-nio
tidak bisa menerima hinaan orang!"
Kun Hong
cepat menjura. "Harap sekali lagi kalian orang-orang tua sudi memaafkan
kami orang-orang muda. Jika perlu, biarlah kami menghadap majikan kalian untuk
minta maaf. Kurasa majikan kalian akan menghabiskan urusan makanan yang tak
berarti ini."
Dua orang
itu saling pandang, lalu tertawa terbahak-bahak, membuat Kun Hong yang tak
dapat melihat itu terheran-heran. Malah nenek yang sekarang sudah tidak nyeri
lagi kaki kirinya itu tertawa tak kalah kerasnya oleh temannya. Kemudian
Ban-gu-thouw berkata,
"Ha-ha,
bagus sekali. Kalian mau menghadap toanio atau siocia? Ha-ha-ha, orang muda,
sungguh-sungguh lucu bila mana ada orang berani begini tenangnya menyatakan
hendak menghadap majikan kami setelah berani mencuri makanan. Tetapi agaknya
kalian hendak mengandalkan kepandaian kalian, dan kau ini orang buta agaknya
juga berkepandaian. Sebelum kau menghadap majikan kami, biar kucoba lebih
dahulu. Bisakah kau merampas golokku sekali lagi? Awas serangan!"
Dengan
gerakan kuat sekali Ban-gu-thouw membacok ke arah kepala Kun Hong. Pemuda ini
dengan tenang miringkan kepala, jari tangannya meluncur ke arah pergelangan
tangan disusul cengkeraman ke arah gagang golok dan sebelum Ban-gu-thouw tahu
mengapa tiba-tiba tangannya menjadi gringgingen (kesemutan), goloknya sudah
pindah ke tangan orang buta itu! Tanpa berkata apa-apa kembali Kun Hong
mengangsurkan golok kepada pemiliknya.
"Hek-cici,
dia ini siluman, lebih baik kita pulang dan siap-siap menerima hukuman!"
kata Ban-gu-thouw sambil menyambar goloknya dan berlari pergi diikuti temannya.
Loan Ki
mengikuti mereka dengan suara ketawanya yang nyaring sampai mereka tidak
kelihatan lagi punggung mereka.
"Hi-hi-hik
alangkah lucunya dua orang badut itu!" Loan Ki berkata sambil duduk di
depan Kun Hong yang sudah duduk pula di atas akar pohon.
"Apanya
yang lucu?! Ki-moi, kau benar-benar keterlaluan. Sudah mencuri, memperolok
mereka yang tentu akan menerima hukuman dari majikan mereka. Hanya aku amat
heran, siapakah majikan yang mempunyai koki dan jagal seperti mereka itu? Kepandaian
mereka itu tidak patut dimiliki seorang koki dan jagal biasa. Tentu majikan itu
luar biasa pula dan bukan orang sembarangan. Sudah sepatutnya kita datang ke
sana minta maaf."
Loan Ki
cemberut. "Aku tidak sudi minta maaf! Apa lagi kepada toanio dan siocia
yang mereka sebut-sebut tadi. Huh, lebih baik kupergunakan pedangku untuk
memberi hajaran kepada mereka."
Kun Hong
menghela napas. "Sudahlah, kalau begitu kita tidak usah pergi ke sana.
Tapi tidak baik pula kita tinggal bersama-sama di sini. Kalau mereka datang
lagi tentu hanya akan menimbulkan keributan belaka. Ki-moi, aku sungguh merasa
beruntung sekali dapat berkenalan denganmu. Adik yang baik, selanjutnya kau
berhati-hatilah dalam melakukan perjalanan, akan lebih baik kalau kau segera
pulang dan jangan merantau seorang diri. Seorang dara remaja seperti kau ini
lebih aman apa bila berada di rumah orang tuamu sendiri. Jauhkan permusuhan,
jangan terlalu menurut nafsu hati. Nah, Ki-moi kita berpisah di sini.
Mudah-mudahan pada lain waktu ada kesempatan bagi kita untuk saling bertemu
kembali."
Kun Hong
tidak tahu betapa gadis itu memandangnya dengan mata terbelalak bagaikan orang
kaget. Agaknya dia sama sekali tidak ingat bahwa pertemuan itu akan berakhir
dengan perpisahan. Tiba-tiba ia memegang tangan Kun Hong dan ditariknya pemuda
buta itu berdiri.
"Hong-ko,
hayo berangkat!" ajaknya.
"Ehh,
ke mana? Jalan kita bersimpang di sini."
"Iihh,
siapa bilang? Kita mengejar mereka, mengunjungi majikan dua orang badut
tadi."
"Heh?!"
Kun Hong melengak heran, "Kau bilang tadi tidak sudi ke sana, tidak sudi
minta maaf!"
"Sekarang
aku ingin sekali ke sana! Ingin aku melihat si muka hitam kepala kerbau itu
dipukuli kepalanya oleh toanio sampai bengkak-bengkak dan melihat si nenek
setan itu menyelam di air sampai perutnya kembung, hi-hi-hik!"
Kun Hong
hanya dapat menarik napas panjang karena gadis itu sudah menariknya dan
mengajak lari. Sebetulnya dia tidak ingin pergi berdua lebih lama lagi dengan
gadis yang merupakan penggoda batinnya ini, akan tetapi dia pun tidak tega
membiarkan gadis itu pergi seorang diri menemui majikan yang aneh dan
mencurigakan itu. Dia tahu dengan pasti bahwa sekali sudah menyatakan keinginan
hatinya, tidak ada lautan api yang dapat menghalangi gadis kepala batu ini.
Perumahan
itu ternyata luas sekali, terdiri dari sembilan buah bangunan gedung besar dan
tinggi bertingkat. Dari jauh saja sudah kelihatan catnya yang beraneka warna.
Dan hebatnya, perumahan itu dikelilingi oleh air sehingga merupakan pulau kecil
di tengah danau yang besar dan luas.
Memang
demikian halnya. Tadinya, di dalam hutan itu terdapat sebuah danau besar dan di
tengah danau terdapat pulaunya. Sudah hampir tiga puluh tahun yang lalu danau
itu dijadikan perumahan. Memang janggal kelihatannya di tempat sunyi itu, jauh
dari kota, terdapat rumah-rumah gedung di tengah danau.
Penduduk
dusun-dusun yang paling dekat terletak dua puluh li dari danau itu, mengenal
tempat itu dengan nama Ching-coa-ouw (Danau Ular Hijau) dan pulau itu pun
disebut Ching-coa-to (Pulau Ular Hijau). Mereka ini tidak tahu betul siapa
penghuni perumahan mentereng itu, hanya tahu betul bahwa majikan daerah Ular
Hijau ini mempunyai banyak pelayan yang galak-galak, aneh-aneh, dan rata-rata
memiliki kepandaian tinggi sehingga sekitar sepuluh li di sekeliling danau itu
yang disebut ‘Daerah Ular Hijau’ seakan-akan berada di bawah kekuasaan majikan
Ular Hijau.
Orang
mencari kayu kering sekali pun tak akan berani mencari nafkahnya dalam daerah
Ular Hijau! Memang terdapat sebuah jalan besar yang cukup rata menuju ke danau
itu dan jalan ini merupakan jalan umum, akan tetapi setibanya di danau kecil
itu, mereka akan mendapatkan jalan buntu.
Para
pedagang sayur-sayuran serta kebutuhan sehari-hari lainnya banyak mendapatkan
untung kalau menjual dagangan mereka di tempat itu. Akan tetapi tak ada seorang
pun di antara mereka pernah berurusan sendiri dengan majikan Ular Hijau karena
segala urusan tentu dibereskan oleh para pelayan. Para pelayan inilah yang
kemudian menyeberang ke pulau dengan perahu-perahu yang memang banyak dimiliki
oleh majikan Ular Hijau.
Ada
desas-desus di antara penduduk dusun di sekitarnya, desas-desus yang merupakan
dongeng bahwa majikan Ular Hijau bukanlah manusia biasa, melainkan seorang dewi
dan seorang puteri yang secantik bidadari dan yang pandai ‘berlari di atas air’
dan pandai ‘terbang’! Sudah tentu saja hal ini merupakan dongeng dari mulut ke
mulut karena kalau ditanya sungguh-sungguh, tak ada seorang pun yang pernah
menyaksikan dengan mata sendiri.
"Hong-ko,
keadaan mereka benar-benar aneh," di tengah jalan Loan Ki bercerita sambil
menuntun Kun Hong. "Aku mendengar dari orang-orang dusun bahwa daerah
Ching-coa itu merupakan daerah terlarang. Entah orang-orang macam apa yang
menguasai daerah ini. Dari jauh kulihat rumah-rumah gedung di atas pulau kecil
di tengah danau, sunyinya bukan main."
"Kalau
begitu, bagaimana kau dapat pergi ke gedung itu?"
"Aku
tidak pergi ke sana. Tadinya aku hendak mencari makanan, siapa kira tempat ini
sepi sekali, tak kulihat sebuah dusun. Akhirnya aku bertemu dengan pedagang
sayur yang hendak mengantarkan sayuran kepada Ching-coa-to, maka aku ikut
dengan dia. Sampai di pinggir telaga, pedagang itu berurusan dengan pelayan
tempat itu. Kebetulan sekali datang gerobak yang membawa masakan-masakan lezat
itu, juga arak. Aku minta beli, tapi malah dimaki-maki. Aku hilang sabar, lalu
menotok roboh empat orang pelayan dan merampas makanan dan arak.”
"Kau
memang nakal."
"Kalau
perut lapar orang jadi nekat, Hong-ko. Keadaan mereka benar-benar aneh dan
mencurigakan. Kita tak mungkin dapat secara berterang mengunjungi mereka."
"Habis
bagaimana?"
"Aku
ada akal. Kulihat tadi ada sekumpulan perahu bercat hijau diikat di pinggir
telaga. Kurasa perahu-perahu itu pun milik majikan Ching-coa-to. Kita pergunakan
saja perahu itu, kita menyeberang dan melihat keadaan di sana."
"Sesukamulah,
asal kau jangan menimbulkan onar," jawab Kun Hong yang juga mulai tertarik
oleh penuturan tentang keadaan penuh rahasia itu.
Betul saja
seperti diceritakan oleh Loan Ki tadi, jalan itu sunyi sekali dan sampai mereka
tiba di pinggir telaga, keadaan tetap sunyi tak tampak seorang pun manusia.
Dari tempat itu kelihatan tembok perumahan di atas pulau, tetapi juga tidak
kelihatan ada manusia di sekitar telaga.
Hari sudah
menjelang senja, matahari yang kemerahan membayangkan cahayanya di atas air
telaga yang berkeriput seperti sutera biru kemerahan. Akan tetapi Loan Ki tidak
memperhatikan keindahan alam di senja hari ini, sedangkan Kun Hong yang suka
akan keindahan alam tidak dapat melihatnya. Gadis itu sedang mencari-cari
dengan matanya dan akhirnya dia menarik Kun Hong ke dalam hutan kecil di
sebelah kiri jalan, kemudian menyelinap di antara pohon-pohon.
"Hong-ko,
aku melihat ada perahu di pinggir sana. Hayo lekas kita pergunakan perahu itu
sebelum pemiliknya datang melihat kita."
"Huh,
kau hendak mencuri lagi?"
"Ih,
bukan mencuri, hanya pinjam sebentar untuk kita pakai menyeberang. Hatimu
benar-benar terlalu suci, Hong-ko!" Loan Ki mengomel dan Kun Hong terpaksa
tersenyum.
"Baiklah.
Kalau tidak dituruti kehendakmu, aku takut kau menangis."
Loan Ki
tertawa dan menarik tangan Kun Hong. Sambil bergandengan tangan mereka lari ke
arah perahu kecil yang sedang terapung-apung di pinggir telaga, tersembunyi di
antara pepohonan yang tumbuh menjulang ke pinggir telaga.
Perahu itu
kecil mungil, bentuknya amat ramping dan ujungnya meruncing, terikat pada
sebatang tonggak kayu yang sengaja dipasang di situ. Di dalam perahu terdapat
sebatang dayung yang gagangnya terukir indah merupakan gambar ular melingkar
pada dayung itu dan terdapat ukiran huruf 'CHING-COA' (ULAR HIJAU)'.
"Wah,
perahu ini pun milik Ching-coa-to, Hong-ko. Mari naik."
Kun Hong
dituntun melangkah dan masuk ke dalam perahu, terus duduk. Dara itu pun masuk
setelah melepaskan tali dan mendayung. Perahu kecil meluncur cepat ke tengah
telaga.
"Perahu
kecil tetapi bagus!" Kun Hong memuji. "Imbangannya tepat, kayunya
kuat dan ringan, luncurannya laju. Ditambah tenaga dalammu yang kuat, ahh...
terasa nikmat betul berperahu seperti ini. Hemmm... sayang tidak ada
arak..."
Loan Ki
tertawa. "Dasar pelamun dan pemalas. Sungguh tak pantas seorang lelaki
duduk enak-enak membiarkan seorang wanita mendayung perahu."
"Eh,
mana dayungnya. Tapi aku tidak tanggung perahu ini akan meluncur ke mana. Kalau
kembali ke daratan sana jangan salahkan aku yang tak bermata!"
"Tidak
usah, Hong-ko. Aku hanya berkelakar, masa sungguh-sungguh? Apa sih sukarnya
berdayung begini, aku memang ahli dayung, semenjak kecil sudah biasa aku
berlayar, malah di samudera besar bersama ayah."
Memang hawa
di tengah telaga nyaman sekali. Angin bertiup perlahan-lahan membawa keharuman
aneka macam bunga yang tumbuh di tepi telaga dan di pulau, hawanya sejuk dan
sunyi. Suara air terkena dayung berirama amat menyedapkan pendengaran.
Suasana ini
menimbulkan kegembiraan di dalam hati Kun Hong, dan otomatis pikirannya
merangkai sebuah sajak yang segera dia senandungkan perlahan mempergunakan
suara dayung menimpa air sebagai irama pengiring nyanyian.
Biduk kecil
meluncur laju
menentang hembusan
angin lalu
membawa
harum seribu kembang
tambah
nyaman ayunan gelombang
membikin si
buta ingin bertembang
wahai kasih
aku di sini!
Tiba-tiba
suara dayung menimpa air terhenti, biduk berhenti melaju dan Loan Ki bertanya
kaku, "Yang mana kasihmu itu, Hong-ko? Kau terkenang kepada si janda
muda?"
Kun Hong
tertawa. "Jangan membawa-bawa janda itu ke sini, semoga ia sudah berjumpa
dengan pamannya dan hidup berbahagia bersama anaknya. Dunianya dan duniaku jauh
berpisahan, Ki-moi."
Agaknya
senang hati gadis itu mendengar jawaban ini, buktinya dia tidak lagi bertanya
tentang kekasih Kun Hong, sebaliknya malah terdengar ia memuji.
"Kau
pandai benar bersajak dan bertembang, Hong-ko. Kata-katamu muluk, lagunya pun
sedap didengar, dan suaramu empuk benar."
Kun Hong
tertawa lepas. "Kau lebih pandai lagi memuji orang, sebentar lagi
bisa-bisa aku membubung tinggi ke awang-awang karena pujianmu. Heee, Ki-moi,
sudah lama sekali perahu melaju, kenapa belum juga sampai di pulau? Kalau pulau
itu tadi dapat kau lihat dari darat tentu tidak sejauh ini!"
"Aku
sengaja memutar, Hong-ko. Masa aku begitu bodoh mendarat di pulau itu dari arah
depan? Ingat, kunjungan kita ini bukan kunjungan terundang. Aku akan mengitari
pulau, mencari tempat yang tepat untuk mendarat sehingga mereka yang di pulau
tidak melihat kedatangan kita."
Kun Hong
mengerutkan keningnya, "Sebetulnya aku tak suka bila mengunjungi tempat
orang dengan sembunyi seperti pencuri saja. Adik Loan Ki, apakah tidak lebih
baik kalau kita secara berterang mengunjungi mereka untuk menyatakan penyesalan
dan permintaan maaf kita? Mungkin majikan pulau itu akan menghabiskan urusan
kecil itu dan bersikap manis."
"Hemm,
agaknya kau telah membayangkan siocia cantik jelita dan manis menyambutmu
dengan senyum di bibir dan bintang di manik mata, ya? Dasar kau ini..."
"Bukan
begitu, Ki-moi. Tapi kan lebih baik menjadi tamu terhormat dari pada tamu tak
diundang?"
"Apa
kau lupa bahwa kita sudah memakai perahu mereka tanpa ijin? Mana ada orang
datang minta maaf dengan jalan mencuri perahu pula? Jangan-jangan begitu
berjumpa kita akan dicaci maki. Tidak, aku tidak ingin bertemu dengan mereka,
baik toanio atau siocia itu, baik si iblis betina tua mau pun si iblis betina
muda. Aku hanya ingin sekali menyaksikan betapa lucunya koki dan jagal tadi
menerima hukuman mereka, hi-hi-hik!"
"Kau
memang nakal, Ki-moi... heeeiii, bukan main harumnya...!"
Loan Ki
tiba-tiba memegang lengan Kun Hong, kemudian terdengar gadis ini berseru lirih,
"Aduuhhh, hebat...! Bukan main...! Majikan pulau ini benar-benar telah
menjadikan pulau ini sebagai taman surga...!"
"Ada
apa, Ki-moi? Kau melihat apa?" Penuh gairah Kun Hong bertanya, kepalanya
agak dimiringkan, hidungnya kembang kempis, kerut-merut antara kedua matanya
yang buta. Telinga serta hidung, dua alat pengganti mata untuk mengetahui
apakah sebenarnya di depan sana, sekarang dikerahkan.
"Taman
yang amat indah, penuh kembang beraneka warna, menara-menara merah dan kuning,
patung ukir-ukiran di sana-sini, kolam-kolam dengan air berwarna, buah-buahan
tergantung rendah... ah, entah apa lagi di sana, sudah agak gelap, Hong-ko...
wah, kulihat banyak kijang, ada kelinci... monyet-monyet di pohon...
burung-burung beterbangan, juga merak... aduh indahnya..."
Wajah Kun
Hong berseri gembira, kerut-merut di antara matanya tampak semakin jelas,
senyumnya membayangkan kepahitan.
Agaknya Loan
Ki menoleh dan menatap wajahnya. Gadis ini kembali memegang lengan Kun Hong dan
kini suaranya telah kehilangan kegembiraan. "Ah, sebetulnya hanya taman
biasa, Hong-ko. Masih tidak menang dengan taman ayahku. Tetapi, merupakan
tempat pendaratan yang baik bagi kita."
Loan Ki
mendayung perahunya ke pinggir. Tiba-tiba ia berseru kaget dan perahu berhenti
melaju.
"Ada
apa, Ki-moi?"
Dara itu
menyumpah perlahan. "Gila benar! Banyak sekali teratai liar di sini,
sambung-menyambung dan tebal. Perahu kita tak dapat lewat, celaka. Biar kucari
jalan dari sana. Sebelah sana itu agaknya kelihatan bersih dari gangguan
tanaman-tanaman ini."
Ia mendayung
kembali perahunya mundur untuk melepaskan diri dari taman teratai di air ini.
Agak lama ia mendayung mencari air bersih untuk meminggirkan perahunya. Akhirnya
dapat juga ia minggir.
"Kita
mendarat, Hong-ko."
Gadis itu
memegang ujung tambang, lalu menggandeng tangan Kun Hong. Keduanya melompat ke
darat dan Loan Ki mengikatkan tambang kepada sebatang pohon di pinggir telaga.
"Lho,
di mana kita ini...?" Tiba-tiba dia mengeluh. Suaranya terdengar begitu
kaget dan heran sehingga Kun Hong cepat memegang tangannya.
"Ada
apa lagi, Ki-moi?"
"Aneh,
Hong-ko. Benar-benar aku bingung dan tak mengerti. Ke mana lenyapnya taman
surga tadi? Baru saja masih ada, aku tahu betul, malah perahu kudaratkan di
pinggir taman, tampak jelas dari perahu tadi. Tapi setelah kita mendarat,
kenapa kita di tempat yang buruk, liar merupakan hutan gelap begini?"
"Barang
kali hutan ini merupakan bagian dari pada taman tadi, Ki-moi. Mari kita cari ke
depan. Anehnya, ganda harum tadi juga lenyap dan sekarang... hemmm, baunya amat
tidak enak, Ki-moi."
"Benar,
Hong-ko. Aku pun merasa muak dan ingin muntah. Bau apa sih ini?" Pegangan
tangan Kun Hong pada lengan gadis itu tiba-tiba menjadi lebih erat.
"Ki-moi,
mari kita kembali saja. Kalau aku tidak salah duga, ini bau... amisnya
ular-ular beracun! Agaknya pulau ini banyak rahasianya dan merupakan tempat
amat berbahaya bagi seorang luar."
"Tidak,
Hong-ko. Aku tidak takut! Aku malah makin ingin sekali menyelidiki tempat aneh
ini berikut penghuni-penghuninya. Hayo kita maju, Hong-ko."
Dengan
berhati-hati kedua orang muda itu berjalan maju. Belum ada sepuluh langkah
mereka memasuki hutan liar itu, tiba-tiba Kun Hong menggerakkan tongkatnya ke
kiri, cepat seperti kilat menyambar.
Loan Ki amat
kaget dan menengok ke kiri dan... ia menahan jeritnya melihat seekor ular
sebesar lengan tangan telah hancur kepalanya, berkelojotan dan
menggeliat-geliat di atas tanah. Ular itu kulitnya berwarna hijau mengkilap,
seluruh tubuhnya mengeluarkan lendir berminyak ketika dia berkelojotan itu. Bau
amis makin memuakkan.
Dalam
kengeriannya, Loan Ki diam-diam makin kagum dan heran sekali pada pemuda buta
ini. Bagaimana seorang buta malah dapat lebih ‘awas’ dari pada dia yang selain
berkepandaian tinggi, juga memiliki sepasang mata yang tajam?
"Ki-moi,
daerah ini berbahaya sekali. Apakah warna kulit ular itu?"
"Hijau..."
jawab Loan Ki, suaranya masih gemetar sedikit karena tegang. Dia maklum betapa
berbahayanya ular itu, ular berbisa yang amat jahat.
"Hemm,
ching-coa (ular hijau)... agaknya penghuni asli pulau ini... Ki-moi, kau
keluarkan pedangmu, bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Aku khawatir
kalau-kalau kita dikurung musuh."
Mendadak
dari arah belakang mereka terdengar suara yang sayup sampai dibawa angin,
"Haaiiiii! Anak-anak nakal, jangan tergesa-gesa mendarat...!"
Kun Hong dan
Loan Ki terkejut, cepat membalikkan tubuh. Kun Hong memasang telinga
memperhatikan tapi tidak mendengar suara apa-apa.
"Apa
yang kau lihat, Ki-moi? Siapa yang datang dari telaga?" bisiknya.
Loan Ki
membelalakkan mata memandang. Cuaca sudah mulai gelap, akan tetapi ia bisa
melihat datangnya sebuah perahu besar berlayar kuning dengan cepat menuju
pantai. Ia kaget sekali dan mengira bahwa suara tadi ditujukan kepada mereka.
Mungkinkah dari jarak yang begitu jauh orang di dalam perahu itu mampu melihat
mereka? Ia menarik tangan Kun Hong, diajak menyelinap bersembunyi di balik
rumpun pohon kembang.
"Ki-moi,
apakah ada perahu datang?"
Sekali lagi
Loan Ki heran dan kagum. Jalan pikiran Kun Hong benar-benar tajam dan cerdik
walau pun pemuda ini tidak dapat melihat lagi. Memang sesungguhnya Kun Hong
cerdik. Kalau ada orang atau apa saja berada di darat di sekitar tempat itu
yang terlihat oleh Loan Ki, tentu akan dapat ditangkap oleh telinga atau
hidungnya. Terang bahwa Loan Ki melihat sesuatu, dan karena tidak mendengar
apa-apa, maka dapat dia menduga bahwa suara orang tadi tentulah datang dari
perahu.
"Perahu
besar...," kata Loan Ki, "berlayar kuning... ada lima orang lelaki
berpakaian hijau di atas perahu, memegang tongkat... eh, seperti suling. Perahu
sudah minggir, Hong-ko... kulihat benda-benda panjang kecil meloncat ke air, ke
darat, seperti ranting-ranting kayu panjang... heiii, benda-benda itu
bergerak... ohh, Hong-ko. Ular! Ular-ular besar dan kecil, banyak sekali,
puluhan... ahhh, ratusan mungkin juga ribuan. Dan lima orang itu berjalan di
belakang mereka. Apa itu...? Ahh, mereka... mereka agaknya menggembala
ular-ular itu!"
Kun Hong
miringkan kepala, hidungnya mengembang-kempis. "Ki-moi, kau lihat
baik-baik. Apakah di antara mereka terdapat seorang tua bongkok yang bercacat,
telinga kiri dan lengan kiri buntung, mata kiri buta, dan mulutnya lebar
seperti robek?"
"Tidak
ada, Hong-ko. Tapi... tapi ular-ular itu menuju ke sini, Hong-ko. Celaka, mari
kita lari menjauhi mereka!" Loan Ki memegang tangan kiri Kun Hong dan
menariknya lari dari situ, memasuki hutan. Tangan gadis itu agak dingin, tanda
bahwa ia merasa ngeri sekali.
Siapa tidak
akan merasa ngeri kalau melihat ular-ular yang sangat banyak itu bergerak-gerak
maju seperti mengejar, dengan baunya yang amis bukan main? Apa lagi tak lama
kemudian terdengar seorang di antara lima ‘penggembala ular’ itu berteriak
keras.
"Heeiii,
seekor peliharaan kita mati dengan kepala hancur di sini! Wah, ini tentu
perbuatan orang. Hayo kita cari!"
"Jangan-jangan
perahu kecil tadi yang membawa orang asing datang ke sini," kata suara
lain.
"Ular
ini baru saja bertemu musuh, tubuhnya masih berkelojotan. Tentu pembunuhnya
belum pergi jauh. Hayo kejar, pergunakan anak-anak kita!" kata suara
pertama bernada memimpin. Lalu terdengar suara suling yang ditiup secara aneh
sekali.
Mendengar
ini, Kun Hong berkata perlahan. "Hemm, kiranya benar ular-ular terpelihara.
Jangan-jangan dia di belakang ini semua."
"Dia
siapa, Hong-ko?"
Kun Hong
memegang lengan gadis itu dan berkata, suaranya sungguh-sungguh, "Ki-moi,
kalau benar dugaanku, kita benar-benar sudah berada di tempat yang amat
berbahaya. Terang bahwa suling itu bersuara untuk memberi aba-aba kepada
ular-ular itu untuk mengejar kita. Heii, awas!"
Tiba-tiba
Kun Hong menggerakkan tongkatnya ke kanan dua kali dan ketika Loan Ki
menoleh... kiranya ada dua ekor ular sebesar paha sudah putus lehernya. Darahnya
menyembur-nyembur dan tubuh ular yang empat lima meter panjangnya itu
berkelojotan, saling belit! Dengan hati penuh ketegangan, Loan Ki lalu menarik
tangan Kun Hong dan mengajak pemuda itu lari lebih cepat lagi.
"Wah,
suara suling itu malah memberi perintah kepada semua ular yang berada di tempat
ini," kata Kun Hong. "Hati-hati, Ki-moi!"
Benar saja
dugaan Kun Hong, karena beberapa kali mereka diserang ular-ular besar kecil.
Loan Ki menggunakan pedangnya membunuh beberapa ekor ular yang rnenghadang di
depan, juga Kun Hong selalu menggunakan tongkatnya untuk membunuh ular-ular
yang hendak mengganggu. Mereka tidak pernah berhenti, terus berlari ke depan
dan akhirnya mereka keluar dari hutan itu.
Jalan mulai
memburuk, penuh batu karang dan kiranya di situ terdapat pegunungan batu karang
yang sukar dilalui. Karena tidak mengenal jalan kedua orang itu terpaksa maju
terus dan sementara itu, cuaca sudah mulai gelap, senja telah lewat terganti
datangnya malam.
Suara
ular-ular yang mendesis-desis serta para penggembala yang tadi berteriak-teriak
sudah tak terdengar lagi. Dua orang itu mendaki gunung kecil.
"Kita
harus cepat mencari tempat sembunyi yang aman," kata Loan Ki. "Dengan
adanya ular-ular itu, tak mungkin kita bergerak di waktu malam gelap."
Kun Hong
menghela napas. Jalan itu benar sukar dan andai kata dia tidak dituntun oleh
Loan Ki, tentu akan amat lambat dia dapat maju mencari jalan.
"Siapa
kira, karena kau ingin melihat tontonan lucu, akhirnya menjadi tidak lucu. Kita
menjadi buronan di pulau orang. Baiknya besok kita segera kembali saja ke
daratan sana."
"Hong-ko,
bukankah pengalaman kita tadi cukup hebat, menegangkan dan lucu? Mungkin besok
kita bertemu dengan pengalaman yang lebih lucu dan hebat lagi, siapa tahu?
Sementara ini, kita masih selamat. Nah, itu di depan kulihat banyak
lubang-lubang besar di dinding karang, tentu ada gua yang dapat kita pakai
tempat bersembunyi."
Mereka
mempercepat pendakian yang sukar itu. Baiknya Loan Ki memiliki ginkang yang
cukup tinggi sehingga Kun Hong bisa mengikutinya dengan baik, tanpa
mengkhawatirkan keadaan temannya itu. Akhirnya mereka pun tiba di dekat dinding
karang yang banyak berlubang dan merupakan goa-goa besar, jalannya menjadi
rata.
Tiba-tiba
terdengar bentakan dari depan, "Siapa berani masuk Ching-coa-to tanpa
ijin? Benar-benar sudah bosan hidup!"
Dan
muncullah seorang laki-laki pendek yang bersenjata ruyung baja. Tanpa banyak
cakap lagi laki-laki itu segera menerjang maju sambil mengerahkan ruyungnya.
Loan Ki marah dan dengan pedang di tangan ia memapaki. Ketika ruyung menyambar
ke arah kepalanya, gadis itu meliukkan tubuh ke kiri tanpa menunda
terjangannya.
Sambil
miring ke kiri pedangnya menyambar secepat kilat. Orang itu berteriak kaget,
akan tetapi masih sempat membuang diri ke kiri sambil membabatkan ruyungnya.
Dia terhindar dari bahaya, akan tetapi keringat dingin membasahi dahinya. Tak
dia sangka bahwa gadis remaja itu demikian hebat ilmu pedangnya...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment