Sunday, July 29, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Buta Jilid 03



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
           Serial Pendekar Buta

                     Jilid 03


Kata-katanya yang terputus-putus ini didengar oleh semua orang tanpa ada yang berani mengeluarkan suara, hanya terdengar isak tangis nyonya janda muda itu yang merasa terharu dan juga bangga karena sekali ini selain ia dapat membalas sakit hati, membuat roh suaminya tidak penasaran, juga sekaligus ia dapat mencuci bersih namanya di depan umum. Sebetulnya, hal ini bukanlah rahasia bagi para penduduk dusun itu, karena mereka semua sudah tahu macam apa adanya tuan tanah Song dengan sekalian kaki tangannya. Akan tetapi baru kali ini mereka mendengar hal ini dibongkar dan diceritakan oleh si tuan tanah sendiri. Benar-benar hal yang amat luar biasa!

Setelah selesai membuat pengakuan, dengan suara serak tuan tanah itu meratap-ratap, "...ampunkan saya, Taihiap (pendekar besar), ampunkanlah saya... saya berjanji... tidak berani lagi..."

Gatal-gatal tangan para penjaga dan kaki tangan tuan tanah itu, akan tetapi mereka tak berdaya dan tidak berani bergerak karena maklum bahwa si buta itu tak boleh dipandang ringan. Buktinya, lima orang tukang pukul yang pandai silat itu pun sekarang masih saja merintih-rintih dan tak dapat bangun. Pula, kalau mereka hendak mengeroyok, tentu tuan tanah itu akan terbunuh lebih dulu.

"Mudah saja mengampunkan orang macam kamu, tapi bagaimana dengan orang-orang yang sudah mati karena perbuatanmu? Bagaimana dengan wanita-wanita yang sudah kau hina?" Kun Hong membentak.

"Ampun... ampun..."

"Hayo kau suruh seorang di antara kaki tanganmu untuk mengambil lima ratus tail perak untuk mengganti kerugian nyonya Yo, sediakan sebuah gerobak berikut kudanya. Cepat! Hanya itu yang akan menjadi pengganti nyawamu."

Tanpa ayal lagi tuan tanah itu menyuruh seorang kepercayaannya yang berdiri melongo di tempat itu untuk segera memenuhi permintaan Kun Hong ini. Para penduduk ramai membicarakan hal ini, ada yang terheran-heran, ada yang kagum, juga ada yang iri hati terhadap nyonya janda yang sekarang berdiri dengan muka pucat dan bingung, terlalu terkejut menghadapi semua kejadian yang sekaligus mengubah jalan hidupnya ini.

Dengan berdiri tegak Kun Hong menanti sampai pesuruh tuan tanah itu datang kembali membawa sebuah gerobak berikut kudanya yang cukup baik, terisi lima ratus tail perak! Semua penduduk memandang dengan melongo. Selama hidupnya belum pernah mereka melihat uang perak sebanyak itu, jangankan melihat, mimpi pun belum pernah!

"Twaso, gerobak dan uang ini milikmu. Dengan gerobak ini kau dan anakmu bisa mencari pamanmu ke Cin-an dan uang ini dapat kau pakai sebagai modal hidup.”

"...ahh... terlalu... terlalu banyak untuk apa...?" Janda itu berkata gagap.

Kun Hong tersenyum. "Untuk apa, terserah kepadamu karena uang ini milikmu yang sah!"

Janda itu memandang ke kanan kiri. Dia melihat betapa para penduduk memandangnya dengan mata terbelalak, dengan wajah mereka yang kurus-kurus serta pakaian mereka yang tambal-tambalan. Mendadak janda muda itu sambil memondong anaknya berlari ke arah gerobak, melihat lima kantong uang perak bertumpuk di situ, lalu berpaling kepada seorang dusun yang sudah tua.

"Chi-lopek (uwak Chi), kau turunkan tiga karung dan kau bagi-bagikan rata kepada semua saudara penduduk dusun kita."

Hampir saja semua orang tidak dapat percaya apa yang mereka dengar ini, kemudian setelah janda itu mengulang perkataannya, serentak terdengar mereka bersorak sorai lalu memuji-muji nyonya Yo. Malah beberapa orang wanita berlari menghampiri, memeluknya, menciuminya sambil menangis. Yang lelaki pada tertawa lebar, wajah yang kurus-kurus itu berseri-seri, timbul harapan baru dengan adanya tambahan bantuan uang yang tidak sedikit itu.

Kun Hong mengangguk-angguk, diam-diam dia kagum sekali dan benar-benar dia puas telah menolong seorang yang memiliki pribudi setinggi nyonya janda itu. Biar pun seorang dusun, ternyata wanita ini benar-benar seorang bidadari, pikirnya dan terbayanglah wajah Cui Bi di depan mukanya. Setelah selesai tiga karung diturunkan, Kun Hong lalu melepaskan tuan tanah, dengan jari tangannya dia menotok punggung dan pangkal paha. Tuan tanah itu berteriak dan roboh, dari mulutnya keluar darah.

"Kau tidak akan mati," kata Kun Hong, "akan tetapi ingat, jika sekali lagi kau melakukan gangguan kepada orang-orang yang tak bersalah, aku akan datang kembali dan membikin perhitungan yang lebih hebat denganmu. Pulanglah!"

Tuan tanah itu merangkak bangun, segera dituntun dan diangkat oleh orang-orangnya. Dia tidak tahu bahwa semenjak saat itu dia takkan dapat lagi melakukan perbuatan hina, tidak akan dapat mengganggu wanita lagi karena dengan kepandaiannya, Kun Hong telah membuatnya menjadi seorang laki-laki lemah.

Kemudian Kun Hong menyembuhkan lima orang tukang pukul tadi, akan tetapi mereka ini pun mendapat bagian. Dengan memijat urat darah terpenting Kun Hong membuat mereka berlima itu kehilangan tenaga pada kedua lengannya, sehingga selanjutnya mereka tidak akan dapat menjadi tukang pukul lagi!

"Oleh karena kau masih saudara misan Yo-twaso, kau kuampuni. Akan tetapi kau harus mengantar Yo-twaso ke Cin-an sampai dia bertemu dengan pamannya. Awas, jangan kau main-main karena sekali kau menyeleweng, nyawamu tak akan tertolong lagi," kata Kun Hong kepada Lao Tiu sambil cepat-cepat dia menyentuh jalan darah di dadanya.

Lao Tiu merintih, merasa betapa jantungnya berdetak keras dan ada rasa nyeri dan perih di dekat lehernya.

"Kau terancam maut oleh luka di dadamu," berkata Kun Hong, "dan obatnya hanya akan dimengerti oleh Yo-twaso. Kalau kau sudah mengantarkan dia dengan selamat sampai di Cin-an dan bertemu dengan pamannya, barulah dia akan memberi tahu kepadamu cara pengobatannya sampai kau sembuh. Nah, dengan jaminan ini, sekali kau menyeleweng, kau akan mampus dan tubuhmu akan menjadi busuk sebelum nyawamu melayang."

Kun Hong sengaja mengeluarkan ancaman ini, padahal yang tadi dia lakukan itu hanyalah totokan biasa saja dan sama sekali tidak ada bahayanya, dalam waktu sebulan rasa tak enak itu akan hilang sendiri. Akan tetapi dia perlu mengancam dan menakut-nakuti orang berwatak buruk seperti Lao Tiu.

"Yo-twaso, mari kita masuk pondok. Akan kuberi tahu rahasia pengobatan dia itu dan aku akan menukar pakaianku."

Dengan tongkat meraba-raba ke depan Kun Hong memasuki pondok Nyonya Janda Yo sambil menggandeng tangan A Wan yang lari mengikuti. Sampai di dalam pondok, janda muda ini tak dapat menahan lagi hatinya yang penuh perasaan haru, girang, dan bahagia. Sambil terisak menangis wanita ini menubruk Kun Hong dan merangkulnya, menangis tersedu-sedu.

"In-kong... ahhh, In-kong... kau sudah menyelamatkan hidupku... menyelamatkan nama baikku… In-kong, budimu setinggi gunung dan kau seorang buta...! Ah, betapa inginku membalas budimu... In-kong, andai kata dapat, aku rela untuk memberikan dua mataku untukmu!"

Dengan penuh perasaan nyonya muda itu menarik leher Kun Hong dan tanpa malu-malu karena perasaan terima kasih yang meluap-luap ia lalu menciumi kedua mata yang buta itu!

"Twaso, jangan...!" Suara Kun Hong tersedak karena dia sedang menahan perasaannya. Kedua tangannya memegang pundak wanita itu, didorong menjauh.

Sejenak wanita itu menatap wajahnya, melihat betapa mata yang buta itu bergerak-gerak, celah-celah belahan pelupuk itu membasah, hidung yang mancung itu kembang-kemping, bibirnya bergerak-gerak gemetar.

"In-kong...!" wanita itu lalu menjatuhkan dirinya, kini memeluk kedua kaki Kun Hong dan menciumi sepatunya yang kotor, membasahi dengan air mata dan menggosok-gosoknya dengan rambut.

"In-kong, selama hidupku takkan dapat aku bertemu dengan manusia seperti In-kong... apa artinya menempuh hidup baru di Cin-an kalau aku tak akan dapat bertemu dengan orang sepertimu lagi? In-kong, biarkan aku membalas budimu dengan menghambakan diriku... biarkan aku menjadi bujangmu. A Wan juga... biarkan kami berdua merawatmu, biarkan aku menuntunmu..."

"Yo-twaso, diam...!" Kun Hong mengeluarkan suara bentakan dan dengan sekali tarik dia membuat wanita itu berdiri. "Kau wanita baik-baik, kau seorang suci dan mulia hatimu. Thian pasti akan memberkatimu. Hayo kita keluar, kau harus berangkat sekarang juga. Mana pakaianku?"

Dengan masih terisak wanita itu berkata sedih, "Tidak akan kukembalikan, Inkong. Kalau tidak dapat berkumpul dengan orangnya, biarlah pakaiannya menjadi kenang-kenangan. Kuganti dengan pakaian suamiku pula... yang juga pergi meninggalkan kami berdua..." ia terisak lagi.

Kun Hong maklum bahwa paling berat adalah mempertahankan nafsu hati, oleh karena itu dia tidak mau banyak ribut tentang pakaian, segera dia menuntun tangan A Wan keluar dari pintu diikuti oleh janda itu. Sambil terisak janda itu minta diri dari semua tetangganya, lalu ia naik gerobak bersama A Wan. Lao Tiu sudah duduk di depan, orang ini sekarang taat benar.

"Aku akan mengantar sampai keluar dusun," kata Kun Hong dan berangkatlah mereka.

Gerobak ditarik kuda berjalan perlahan meninggalkan kampung. Di belakang gerobak Kun Hong berjalan sambil memegang tongkat. Di belakangnya, orang-orang dusun mengantar sampai ke pinggir dusun, melambaikan tangan kepada A Wan dan ibunya.

Setelah gerobak meninggalkan dusun itu sejauh sepuluh li dan sampai di jalan simpang empat, Kun Hong berkata, "Lao Tiu, berhenti dulu."

Gerobak berhenti dan dia berkata kepada janda Yo, "Yo-twaso, nah, sampai di sini kita berpisah. Selamat jalan dan semoga kau bahagia. A Wan, kau jaga ibumu baik-baik, ya? Sudah, Lao Tiu, sekarang kau balapkan kudamu."

"Nanti dulu...!" Nyonya janda itu melompat begitu saja turun dari gerobak, lalu berlarian menghampiri Kun Hong dan berlutut di depannya. "Sekali lagi, In-kong... bolehkan aku dan A Wan menghambakan diri padamu. Biar kami ikut ke mana kau pergi..." Suaranya penuh permohonan.

"Bodoh, kau orang baik. Aku seorang buta, seorang pengemis..."

"Tidak apa, aku masih bermata. Mataku sama dengan matamu, dan aku... aku sanggup bekerja untukmu... andai kata harus mengemis sekali pun... aku yang akan mengemis, In-kong..."

"Cukup semua ini! Twaso, jangan lemah, ingatlah anakmu. Aku berjanji, kelak akan kucari kau dan A Wan di Cin-an."

"Betulkah?" Terdengar suara mengandung harapan. "In-kong, hingga kini belum kuketahui namamu yang mulia."

Kun Hong tersenyum pahit, "Apa artinya nama? Kenalilah aku sebagai si buta... dan ehh, jangan lupa..." Ia mendekatkan mukanya sambil mengangkat janda itu bangun berdiri.

"...si Lao Tiu tidak kuapa-apakan, kelak bilang saja obatnya minum abu hio, sehari satu sendok sampai sebulan. Nah, selamat jalan!"

Kun Hong yang tak ingin wanita itu menunda-nunda perjalanannya, tiba-tiba mengangkat tubuh wanita itu dan melontarkannya ke depan. Janda itu menjerit lirih, lalu tubuhnya melayang dan jatuh dalam keadaan duduk tepat di atas gerobak, di dekat A Wan yang tertawa-tawa melihat ibunya ‘terbang’ tadi.

Gerobak dijalankan cepat. Kun Hong masih terus berdiri tegak sampai lama menghadap ke arah gerobak. Sudah lama gerobak itu menikung dan penumpangnya tidak melihatnya lagi, namun telinganya masih dapat mendengar derap kaki kuda yang makin menjauh. Dia menarik napas panjang, lega hatinya karena tadi ia benar-benar gelisah saat menghadapi bujukan dan permohonan janda muda itu.

"Berbahaya... !" pikirnya.

Dia masih terharu kalau mengenangkan janda muda dan puteranya itu. Akan tetapi dia segera mengusir perasaan ini dan melanjutkan perjalanannya sambil bernyanyi.

"Wahai kasih, aku di sini...! Menyongsong sinarmu yang hangat..."

Kata-kata di dalam nyanyian Kun Hong selalu berbeda, disesuaikan dengan keadaan dan perasaannya pada saat itu, namun selalu didahului dan diakhiri dengan kata-kata "wahai kasih, aku di sini...!"

Hal ini adalah karena dalam setiap nyanyian yang dibuatnya, pikirannya selalu melayang dan terkenang kepada Cui Bi, kekasihnya yang telah tiada. Baginya, sinar matahari, kicau burung, desir angin, dendang air sungai, harum bunga dan rumput, semua itu merupakan pengganti diri Ciu Bi!


Sebetulnya pada saat itu dia merasa lapar sekali. Akan tetapi setelah berjalan setengah hari lebih belum juga dia bertemu orang atau dusun, maka terpaksa dia menahan lapar dan bernyanyi-nyanyi.

"Wahai kasih aku di sini...! Dalam perjalanan nan sunyi..."

Tiba-tiba Kun Hong miringkan kepalanya seperti tak disengaja, akan tetapi sebetulnya dia mengelak sambaran sebuah benda yang menyambar kepalanya dari atas.

“Plokk!”

Benda itu jatuh ke tanah dan pecah. Kiranya yang menyambarnya tadi adalah sebutir buah apel masak, dari atas pohon di pinggir jalan. Tak mungkin buah masak jatuh seperti itu cepatnya, pasti disambitkan orang, pikir Kun Hong. Dia menghentikan langkahnya dan dengan telinga memperhatikan ke atas pohon.

"Perutku memang sangat lapar dan wangi buah masak itu sedap benar. Kuminta belas kasihan sahabat yang bermata untuk memberi beberapa butir kepadaku," akhirnya dia berkata sambil mendongak ke atas.

"Hi-hi-hik-hik!" terdengar suara seorang wanita, suara ketawa merdu yang membuat Kun Hong mengerutkan keningnya. Serasa pernah dia mendengar suara ketawa ini. Kemudian tubuh orang itu dengan ringannya melayang dari atas pohon, turun di depannya tanpa mengeluarkan banyak suara gaduh. Ternyata ginkang (ilmu meringankan tubuh) orang ini tinggi juga.

Kembali ada benda-benda melayang ke arah Kun Hong. Pemuda buta ini menggunakan kedua tangannya menangkap dan ternyata buah-buah yang masak serta harum baunya berada di tangannya. Dia tersenyum girang, lalu makan buah yang manis dan sedap itu.

Dengan mulut penuh daging buah dia pun berkata. "Terima kasih... terima kasih..." sambil membungkuk-bungkuk ke depan, ke arah pemberi buah.

"Siapa sih yang kau rindukan sepanjang jalan itu? Ingin benar aku tahu, apakah si genit puteri Hui-hou Pangcu ataukah si janda muda tak tahu malu?"

Kun Hong merasa tersedak, cepat batuk-batuk untuk mencegah makanan memasuki jalan pernapasannya. Kiranya wanita ini adalah Bi-yan-cu, gadis lincah yang mengaku puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui!

"Ehh, kiranya kau... Bi-yan-cu, Nona? Ahh, sambitanmu tadi membikin kaget orang saja..."

Sungguh sama sekali di luar dugaannya, ucapannya ini membuat gadis itu tiba-tiba saja menjadi marah! Gadis ini membanting-banting kakinya dan berkata dengan suara penuh kejengkelan.

"Kalau lengan kananku yang terkutuk ini tidak begini nyeri, tak mungkin sambitanku tidak mengenai kepala seorang buta! Aku tidak biasa menyambit dengan tangan kiri!"

Kun Hong tersenyum, diam-diam merasa aneh dengan watak gadis ini, akan tetapi dia tak menjawab, melainkan menghabiskan dua butir buah dengan lahap dan enaknya. Kesunyian kembali membangkitkan amarah gadis itu, ini terbukti dengan suaranya yang nyaring merdu dan penuh kejengkelan, "Ihhh, orang macam apa kau ini, tidak menjawab omongan orang hanya makan saja, tidak ingat dari siapa kau menerima buah itu!"

"Aku sudah bilang terima kasih tadi," jawab Kun Hong tenang, memasukkan sisa terakhir buah itu ke dalam mulut.

"Siapa butuh terima kasihmu? Yang kubutuhkan sekarang jawabanmu."

"Jawaban apa?"

"Siapa yang kau rindukan di sepanjang jalan, si genit puteri Hui-houw Pangcu ataukah si janda muda?"

"Bagaimana kau tahu tentang janda itu?"

"Cih, kau kira aku buta? Tentu saja aku tahu, hemm, siapa tidak melihat kau bermalam di rumahnya, menolongnya mati-matian dan siapa pula yang tidak melihat adegan sandiwara mesra di perempatan jalan tadi pagi? Hi-hi-hik, semua ditinggalkan, akan tetapi kemudian nyanyi-nyanyi seorang diri di jalan penuh rindu. Lucu benar kau!" Suara gadis itu penuh ejekan dan muka Kun Hong menjadi merah.

Namun dia tersenyum dan diam-diam dia heran sekali karena benar-benar sukar untuk dapat menyelami hati dan watak seorang gadis seperti ini. Dia tidak merasa sakit hati mendengar gadis itu bicara tentang buta, karena dari suaranya dia maklum bahwa gadis itu tidak sengaja hendak menghina atau menyakiti hatinya.

"Aku tidak merindukan siapa-siapa, tidak merasa berduka."

"Habis, siapa itu kasih?" Lalu dengan suara keras menggemaskan ia meniru suara Kun Hong bernyanyi tadi, "Wahai kasih, aku di sini...!"

Kun Hong hanya tersenyum. "Kau benar-benar hebat, bisa tahu segalanya. Masih begini muda, pandai menyelidiki keadaan orang lain. Hai, adik nakal, mengapa kau semenjak kemarin terus mengikuti aku?"

"Ih, ngawur! Dua kali ngawur! Pertama-tama, bagaimana kau berani memanggil aku adik, padahal aku jauh lebih tua dari padamu."

"Tak mungkin! Usiamu belum ada dua puluh tahun!"

"Ihhh, ngawurnya! Kau tidak bisa melihat aku, mana tahu aku tua atau muda? Umurku sudah dua kali umurmu, tahu?"

Kun Hong tertawa. Walau pun menyinggung-nyinggung kebutaannya, namun jelas bahwa dara remaja ini bukan bermaksud menyakiti hati, melainkan bermaksud mempermainkan dirinya. Hal ini dapat dia tangkap jelas pada suara gadis itu. Hemm, seorang dara remaja yang biasa dimanjakan, keras hati, keras kepala, keras segala-galanya. Tapi belum tentu jahat, buktinya pernah turun tangan menolongnya ketika dia dikeroyok.

"Kau bocah nakal! Biar pun mataku buta tak dapat melihatmu, aku berani bertaruh potong kepala bahwa usiamu belum ada dua puluh tahun dan bahwa kau seorang dara lincah yang nakal, cantik jelita, dan manja!"

"Idihhh, ngawur lagi. Bagaimana kau bisa katakan aku cantik jelita? Dasar laki-laki mata keranjang kau... ehh, tak bermata mana bisa mata keranjang? Kau... kau hidung belang, buktinya setiap bertemu wanita lantas memuji dan main gila seperti yang kau lakukan dengan puteri Hui-hou Pangcu dan janda muda."

"Bohong! Fitnah belaka itu!"

"Bohong apa? Fitnah apa? Hayo kau sangkal, bukankah puteri Lauw-pangcu yang genit itu minta kau memijatinya waktu malam? Hi-hik, meski pun matamu buta, apakah jari-jari tanganmu juga buta? Dan janda itu, kau bermalam di gubuknya, kau menolongnya, kau... sudahlah, kau menjemukan!"

Kun Hong semakin geli. Anak ini benar-benar manja. Bilang menjemukan tetapi malah mengajak dia bercakap-cakap dan tidak mau pergi dari situ.

"Yah, sudahlah. Aku ngawur, tapi baru satu kali. Yang ke dua kalinya lagi ngawur dalam hal apa?"

"Kau bilang aku mengikutimu semenjak kemarin. Cih, siapa sudi mengikutimu? Apa ingin menontonmu? Kalau orang gila, masih boleh dan menarik ditonton, tapi orang buta, apa sih menariknya untuk ditonton? Paling-paling hanya menimbulkan kasihan di hati..."

"Wah, kau berkasihan kepadaku, Bibi tua? Aku yang muda menghaturkan terima kasih atas belas kasihanmu itu dan..."

"Gila! Kau buta gelap! Kau ngawur, kau menghina, ya? Panggil bibi tua, setan...!"

Mendengar gadis itu mencak-mencak saat disebut bibi tua, Kun Hong tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha-ha!"

"Setan alas, masih tertawa lagi! Kau minta dihajar barang kali."

"Ampun, Bibi tua. Keponakanmu ini takkan berani nakal lagi. Kau tadi bilang bahwa kau dua kali lebih tua dari padaku, bukankah sudah sepatutnya kalau aku menyebutmu bibi tua? Kenapa marah-marah seperti kebakaran jenggot?"

"Gila lagi. Aku mana berjenggot?"

Kun Hong tertawa makin geli mendengar ini dan gadis itu pun tertawa kini.

"Betul juga kau, aku yang salah. Sudah, jangan sebut aku bibi tua lagi, bisa menangis aku!"

"Nona yang lucu, coba kau katakan, kalau kau tidak mengikuti aku, biar pun sebenarnya aku tidak tahu dan tidak menduga, habis bagaimana kau bisa tahu mengenai janda dan segala yang kualami itu?"

"Aku mengikuti rombongan itu untuk mengambil ini." Lupa akan kebutaan Kun Hong, gadis itu mengeluarkan sebuah barang dari dalam buntalannya, dan benda itu adalah mahkota yang tadinya sudah dirampas oleh Tiat-jiu Souw Ki.

Biar pun Kun Hong tak dapat melihatnya, namun dia mendengar angin gerakan gadis itu yang mengeluarkan sesuatu dari buntalan, dia dapat menduga benda apa itu. Kun Hong terkejut juga, karena hal ini benar-benar tak pernah disangkanya.

"Hah, kau sudah merampasnya kembali?"

"Tentu saja! Setelah kau main gila dengan janda itu, aku lalu mengejar mereka dan apa artinya mereka bagiku?" Suaranya bernada sombong. "Kemarin aku kalah karena mereka mengeroyokku, puluhan, bahkan ratusan orang banyaknya! Dan sebenarnya kemarin itu pun aku tidak akan kalah kalau saja..."

"Kalau apa?" Kun Hong tersenyum, diam-diam geli hatinya.

Gadis ini benar-benar lincah dan lucu dan bagaikan penambah cahaya matahari mendatangkan perasaan gembira, menularkan kepadanya silat gembira dan tiba-tiba saja Kun Hong kehilangan watak pendiamnya dan jadi bersendau-gurau dengan gadis ini!

"Kalau saja aku tidak muak oleh bau keringat mereka!"

"Bau keringat? Ho-ho-ho, kok aneh amat!"

"Aneh apanya? Ratusan orang laki-laki kasar tak pernah mandi mengeroyokku, keringat mereka bercucuran, baunya melebihi biang cuka dan membuat aku sesak bernapas. Mau muntah rasanya, mana mungkin bertempur dengan baik?"

Kun Hong tak dapat menahan kegelian hatinya dan tertawalah dia terbahak-bahak, tidak tahu bahwa gadis itu sedang memandangnya dengan cemberut karena merasa ditertawai. Selama tiga tahun ini agaknya baru kali ini dia dapat tertawa seenak ini. Tapi ketika dia teringat akan kekejaman gadis ini merobohkan lawan-lawannya tiba-tiba saja ketawanya terhenti, keningnya berkerut ketika dia bertanya,

"Dan kau bunuh mereka semua dua puluh satu orang itu?"

"Hemmm, lenganku yang terkutuk inilah yang menjadi penghalang! Aku hanya sanggup merampas mahkota, merobohkan tosu bau dan anjing kaisar dengan melukai mereka. Sayang lenganku begini sakit, kalau tidak, hemmmm... mereka semua akan menjadi setan tanpa kepala!"

"Kau ganas sekali." Suara Kun Hong dingin.

"Apa, ganas? Mereka itu orang-orang jahat, membunuhi orang-orang tak berdaya dan tak berdosa, merekalah yang ganas. Aku membasmi orang-orang jahat kau sebut ganas? Kalau kau membiarkan mereka melakukan kejahatan, maka kaulah yang ganas!"

Kun Hong merasa kalah berdebat. Pengetahuan gadis ini masih dangkal sekali, mana tahu tentang perkara yang menyinggung hal pelik ini?

"Sudahlah, sekarang katakan, sesudah kau berhasil merampas mahkota, kau kemudian mengikuti aku dan bahkan menyusul, apa kehendakmu?"

"Wah, banyak sekali! Dengar baik-baik. Kau sudah menghinaku tiga kali dan kau hutang penjelasan kepadaku sebanyak dua kali."

"Waduh, berat kalau begitu perkaranya. Hemmm, coba kau sebutkan satu-satu apa yang kau maksudkan semua itu."

"Pertama, kau tadinya menolongku, itu tanda kau suka kepadaku, tapi ternyata mau main gila, memijati tubuh perempuan genit itu, ini penghinaan nomor satu. Penghinaan nomor dua, di depan mataku kau berani pula main gila dengan janda itu. Penghinaan nomor tiga, kau pura-pura berkorban untukku, menukar aku yang tertawan dengan dirimu sendiri, kiranya kau hanya main-main dan tidak sungguh-sungguh berkorban, lalu melepaskan diri dengan mudah!"

Kembali Kun Hong tertawa. Bocah ini lucu bukan main. Dia tadi sudah khawatir bahwa dia menghina orang, tidak tahunya urusan begitu dianggap penghinaan!

"Wah-wah, berat! Lalu hutang penjelasan itu bagaimana?"

"Pertama, kau harus jelaskan kepadaku mengapa kau menolongku. Ke dua kalinya, apa maksudmu menyebut-nyebut nama Tan Beng San dan apa hubunganmu dengan manusia itu!"

Ucapan terakhir ini mengejutkan hati Kun Hong. Tapi dia bersabar lalu menjawab,

"Kujawab satu demi satu. Ketiga penghinaan itu hanya dugaanmu belaka. Aku tidak main gila pada siapa pun juga. Tidak pernah memijati puteri Lauw-pangcu biar pun dia secara tak tahu malu menyebut-nyebutnya. Juga tidak main gila dengan janda itu, kau harus tahu bahwa dia seorang yang berhati putih bersih dan bermartabat tinggi. Ke tiga kalinya, aku memang menggantikan kau karena tak ingin melihat kau celaka di tangan mereka. Nah, sekarang tentang penjelasan. Tentu saja aku menolongmu, andai kata bukan kau yang terancam bahaya, aku pun pasti akan menolong siapa saja yang menghadapi bahaya maut. Tentang diri Tan Beng San taihiap, dia itu jelas adalah pamanmu kalau memang betul kau adalah puterinya Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Sedangkan hubunganku dengan beliau, beliau adalah guruku. Nah puas?"

"Tidak puas... tidak puas... omongan orang lelaki mana bisa dipercaya?" Gadis itu diam sejenak, memandang tajam kemudian tiba-tiba ia meloncat ke atas dan…

"Srattt" pedangnya sudah dicabutnya.

"Tapi aku puas! Aku benar-benar puas!" katanya lagi, kini nada suaranya gembira sekali.

Kun Hong sampai menjadi bingung dan terpaksa harus memasang telinga baik-baik untuk dapat menangkap getaran suara itu dan untuk menyelami isi hati gadis yang aneh ini.

"Kau tidak puas dan kau puas? Bagaimana ini?"

"Aku tidak puas karena kata-katamu tidak dapat dipercaya. Siapa berani tanggung bahwa kau tidak bohong? Tetapi aku puas karena kau ternyata murid Tan Beng San. Hemmm, dengan gurunya belum juga aku dapat kesempatan mengadu kepandaian, sekarang bisa mencoba muridnya juga sudah cukup memuaskan. Orang buta, bersiaplah menghadapi pedangku!"

Bukan main mendongkolnya hati Kun Hong. Gadis manja ini benar-benar keterlaluan. Salah orang tuanya yang terlalu memanjakannya sehingga gadis ini mempunyai watak yang takabur dan tinggi hati, merasa diri paling pintar dan paling lihai. Dia segera bangkit perlahan dan dengan senyum tanpa meninggalkan bibirnya dia berkata,

"Ah, kiranya kau membenci dan memusuhi pamanmu sendiri. Adik kecil, kau menantang aku? Apa kau lupa bahwa aku hanya seorang buta yang tak dapat melihat? Masa seorang buta ditantang bertempur?"

"Kau benar buta, apa bedanya? Biar pun buta, kau lebih pandai dari pada yang tidak buta, siapa tidak tahu hal ini? Sebaliknya, aku pun terluka pada tangan kananku, gerakanku menjadi kaku, rasanya sakit sekali. Jadi keadaan kita sudah seimbang, tidak boleh kau bilang aku menggunakan kebutaanmu untuk mencari kemenangan. Hayo, siap!"

Diam-diam ingin juga hati Kun Hong untuk menguji sampai di mana kepandaian gadis ini yang begini besar hati dan besar kepala. Dia sudah tahu akan kelihaian Ilmu Pedang Sian-li Kiam-hoat, bahkan dahulu sudah pernah melihatnya sebelum dia buta. Bukankah kekasihnya dahulu juga telah mewarisi ilmu pedang itu?

Teringat akan kekasihnya ini makin besar keinginan hatinya untuk menghadapi gadis ini memainkan Ilmu Pedang Sian-li Kiam-hoat. Dia lalu melintangkan tongkatnya di depan dada dan berkata tenang.

"Aku sudah siap."

Akan tetapi gadis itu tidak segera mulai, tetapi berkata dulu dengan nada suara angkuh. "Aku sudah dapat menduga bahwa di dalam tongkatmu itu tersembunyi senjata yang amat ampuh, maka jangan nanti katakan aku menyerang lawan yang hanya bertongkat. Nah, awas pedangku!"

Kun Hong tersenyum. Betapa pun juga, gadis ini selain mempunyai keangkuhan, juga jujur dan ada sifat ‘satria’ dalam hatinya.

Mendengar desir angin serangannya, Kun Hong cepat menggerakkan tongkat menangkis. Dia sengaja tidak mau menggunakan mata pedang Ang-hong-kiam karena khawatir kalau merusak pedang lawan itu. Dari samping dia menangkis, meminjam tenaga lawan karena maksudnya hanya hendak menguji tenaga.

Dalam gebrakan pertama ini dia sudah tahu bahwa gadis ini mengandalkan kepandaian pada kegesitannya. Ginkang atau ilmunya meringankan tubuh memang sudah boleh juga, hanya kalah setingkat bila dibandingkan dengan Cui Bi, mendiang kekasihnya. Akan tetapi tenaga lweekang-nya ternyata masih jauh dari pada cukup.

Dia segera melayani semua serangan gadis itu dengan tenang, mengimbangi tenaga dan kecepatannya. Hatinya amat gembira saat mendapat kenyataan bahwa Sian-li Kiam-hoat yang dimainkan gadis ini adalah ilmu pedang yang tulen.

Gerakan-gerakannya begitu halus dan lemas. Keindahannya bisa dia rasakan dari desiran anginnya. Di dalam khayalnya Kun Hong seolah-olah melihat kekasihnya sendiri bergerak menari pedang.

Hatinya terharu bukan main dan dalam kegembiraannya dia sampai lupa bahwa dia tadi hendak menguji gadis itu. Dia selalu mengimbangi gadis itu, tidak memberi kesempatan kepada gadis itu untuk bisa melukai tubuhnya, akan tetapi juga dia tidak mau mengambil kesempatan untuk merobohkannya.

Dua ratus jurus telah lewat dan tiba-tiba gadis itu menghentikan gerakannya, malah lalu tidak mau menyerang lagi. Kun Hong juga berhenti bersilat, berdiri tegak dengan muka pucat karena baru sekarang dia teringat bahwa dia sama sekali tidak sedang menari-nari dengan kekasihnya. Dia mendengar penuh perhatian dan alangkah kagetnya pada waktu mendengar gadis itu yang kini sudah duduk di atas tanah terisak menangis!

Dia pun cepat-cepat berjongkok. Permainan pedang gadis itu yang sama benar dengan mendiang Cui Bi sehingga mendatangkan rasa simpati besar dan di dalam hatinya timbul rasa sayang kepada dara lincah ini.

"Nona, kau... kenapa kau menangis? Kau tidak terluka, juga tidak kalah..."

"...tidak kalah... ! Memang tidak kalah... hu-hu... tapi juga tidak menang... u-hu-huu...!"

Tangisnya makin menjadi sehingga Kun Hong menjadi bingung sekali. Beberapa kali dia mengulur tangan hendak menghibur, tetapi ditariknya kembali. Jantungnya serasa copot dan seluruh tubuhnya serasa lemas mendengar tangis ini. Aneh bin ajaib, mengapa tangis gadis ini sama dengan tangis Cui Bi? Isaknya sama, suara sedu-sedannya juga senada.

"Jangan... jangan menangis, Nona... biarlah aku mengaku kalah kalau kau menghendaki begitu."

"Siapa sudi berlaku serendah itu? Hah, kalah sih bukan soal!" tiba-tiba saja tangisnya menghilang dan suaranya kembali nyaring. Benar-benar gadis yang aneh sehingga Kun Hong mendengarkan sambil terlongong. "Akan tetapi, hati siapa yang tidak mendongkol? Sampai hampir copot rasanya lengan kananku yang terkutuk ini, sampai sakit bukan main dan kupaksa-paksakan tadi, akan tetapi tetap saja aku tidak mampu mengalahkan kau seorang yang buta! Baru kau muridnya yang buta saja begini hebat, apa lagi gurunya yang tidak buta. Ahhh, aku berdebat dengan ayah, aku tidak menerima kata-kata ayah bahwa aku tidak akan mungkin dapat mengalahkan dia. Dan ternyata aku kalah bertaruh. Hu-hu-huu...!" Dia menangis lagi tersedu-sedu seperti anak kecil minta permen ditolak.

"Tan Beng San taihiap adalah seorang pendekar besar, Nona dan kau harusnya bangga karena dia itu pamanmu. Dia tak mungkin mau memusuhimu, selain lihai dan sakti, juga dia memiliki hati emas, pribudinya luhur dan dia seorang satria sejati."

Tiba-tiba tangis itu terhenti dan suaranya marah lagi. "Kalau hatiku berbulu, ya? Pribudiku rendah dan aku bukan bandingannya sama sekali. Hatinya emas tetapi hatiku tembaga. Begitukah? Pantas saja kau tidak peduli kepada orang rendah ini, biar tubuh hampir kaku karena... lengan terkutuk ini... aduh!"

Baru sekarang gadis itu mengeluh dengan suara rintihan lirih. Kun Hong terkejut. Dia dapat menduga tadi bahwa lengan kanan gadis ini terluka, gerakannya pun kaku, akan tetapi mendapat kenyataan bahwa gadis ini masih kuat memainkan pedangnya sebegitu lama, tentu lukanya tidak hebat. Sekarang dari suara gadis ini dia terkejut karena ada tanda-tanda bahwa gadis itu terserang demam panas akibat lukanya.

"Berikan lenganmu, biar kuperiksa!" katanya.

Dan sebelum gadis itu sempat menjawab atau pun menolak, dia sudah dapat menangkap pergelangan tangannya dan meneliti detik darahnya. Setelah memeriksa beberapa menit, tiba-tiba muka Kun Hong menjadi merah sekali, melepaskan tangan itu dan berseru,

"Celaka...! Mana mungkin? Ahh...!" dan dia duduk termenung, beberapa kali menggeleng kepala.

"Bagaimana? Ada apa?" Gadis itu lenyap keangkuhannya dan memandang dengan wajah penuh kegelisahan. "Jangan bilang tanganku tak dapat sembuh dan harus dipotong."

"Bukan demikian, tapi cara pengobatannya yang sukar kulakukan..."

"Sukar bagaimana? Hayo katakan!" Gadis itu tak sabar lagi.

"Harus memperbaiki jalan darah yan-goat-hiat, mana mungkin...?"

Jalan darah itu letaknya di bawah ketiak, bagaimana dia dapat meraba bagian tubuh ini?

"Mengapa tidak mungkin? Aneh benar kau ini, apa kau kira aku tidak mempunyai jalan darah yan-goat-hiat? Bukankah ini di sini?"

Gadis itu menggunakan tangan kiri meraba sebelah bawah pangkal lengannya, tapi dia segera menjerit perlahan, "... aduuuhhh...!"

"Nah, apa kataku, tentu sakit, Nona. Kau terkena pukulan pada pangkal lenganmu. Berkat hawa murni dan lweekang dalam tubuh, kau dapat menahannya, tidak ada tulang yang patah dan kau masih dapat melakukan pertempuran merampas mahkota, itu benar-benar hebat. Akan tetapi tanpa kau ketahui, jalan darah itu menjadi buntu oleh gumpalan darah matang dan dapat menimbulkan keracunan."

"Wah, perlu apa kau berpidato? Aku tidak ingin menjadi tabib, juga tidak mau belajar mengobati. Lebih baik kau lekas mengobatinya."

"...bagaimana mungkin...?"

"Aih-aiihh, bagaimana sih orang ini? Mengapa harus pakai bagaimana mungkin segala? Pendeknya, kau becus tidak mengobatinya?"

"Tentu saja bisa..."

"Nah, sudah jangan banyak rewel, lekas obati!" Suara nona itu kehabisan sabar.

"...ya tetapi... tapi... cara mengobatinya tidak hanya dapat dengan totokan biasa, Nona. Harus diurut dan dihancurkan darah yang berkumpul di situ agar terbawa mengalir dan..."

"Aduh-aduuuuuhh, cerewetnya. Kalau harus diurut ya urutlah, kenapa sih ceriwis amat?"

"Tapi... kau tahu sendiri yan-goat-hiat terdapat di... ketiak..."

"Aduh kemaki (sombong) kau, ya? Kalau di ketiak kenapa? Apa kau kira ketiakku terlalu kotor? Cih, ketiakmu lebih kotor, dekil, tidak pernah kau gosok kalau mandi!" Nona itu suaranya marah sekali.

Kun Hong menarik napas panjang, tanpa disadarinya lagi dia menggaruk-garuk belakang telinganya, benar-benar kewalahan dan terdesak. Celaka, susahnya bicara dengan gadis liar ini, pikirnya. Gadis jujur, agaknya tidak tahu apa-apa dan masih bersih betul pikirannya akan perhubungan antara pria dan wanita, dan hal ini mungkin terpengaruh oleh cara hidupnya sebagai seorang gadis perantau.

"Ehhh, malah termenung, garuk-garuk kepala segala lagi! Hee, orang buta, apakah kau memang tidak sudi menolongku?"

"...bukan sekali-kali, Aku suka menolongmu, Nona, suka sekali. Tapi..."

"...tapi apa lagi?"

"Ehh, maaf... bagian yang diobati itu harus... harus... tidak tertutup..."

Hening sejenak. Walau pun wataknya polos, agaknya kalau harus memperlihatkan ketiak tanpa ditutup baju, membuat muka gadis itu menjadi merah sekali dan bingung. Dengan kening berkerut ia memandang Kun Hong penuh selidik.

Apakah dia sengaja hendak mempermainkan aku, pikirnya. Apakah dia seorang yang kurang ajar? Akan tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa orang di depannya ini adalah seorang buta.

"He, orang aneh. Apakah matamu betul-betul buta?"

Melengak Kun Hong mendengar pertanyaan ini. Ia tidak bermaksud menghina, suaranya jujur dan pertanyaan itu sungguh-sungguh.

"Tentu saja, masa ada buta pura-pura?"

"Sama sekali tak dapat melihat? Sedikit pun tak dapat melihat?"

Kun Hong tersinggung juga, dia menghela napas dan menjawab, "Bagiku, malam dan siang sama gelapnya..."

Namun gadis itu sama sekali tidak terpengaruh oleh suara menyedihkan ini, tidak menjadi terharu malah segera berkata, "Kalau begitu, apa salahnya kubuka baju bagian yang diobati? Hayo lekas kau kerjakan. Nih, sudah kubuka!"

Berdebar juga jantung Kun Hong, tapi segera dia menindas perasaannya karena dia harus mengakui bahwa sifat gadis ini benar-benar masih amat kekanak-kanakan, gadis kasar, jujur, dan di dalam pikirannya masih bersih dari pada hal yang bukan-bukan. Oleh karena itu dia pun lalu menangkap lengan kanan gadis itu, terus jari-jarinya bergerak ke atas. Lengan yang kecil bulat, berisi, dengan kulit yang halus seperti sutera.

"...aduh...!" jerit gadis itu ketika ototnya di bawah pangkal lengan terpegang.

"Hemmm... ternyata bahkan lebih hebat dari pada yang kuduga. Kalau terus kuurut, kau akan banyak menderita kesakitan, Nona. Biarlah kubantu dengan tenaga lweekang agar kumpulan darah itu agak membuyar karena panas. Maaf, kendurkan tenagamu sebentar."

Kun Hong kemudian membuka tangannya dan menempelkan telapak tangannya di bawah pangkal lengan atau di ketiak kanan gadis itu. Dari tubuhnya dia mengerahkan tenaga sakti, disalurkan melalui tangan dan gadis itu dengan penuh kekaguman memandang ketika merasa betapa hawa panas sekali keluar dari telapak tangan si buta menjalar ke dalam tubuhnya melalui ketiak. Mendadak dia menggigil karena hawa panas itu berubah menjadi dingin sekali sampai membuat ia menggigil.

"Wah... gila..." bibir Kun Hong berbisik dan gadis itu merasa betapa hawa itu berubah panas kembali.

"Apa yang gila? Siapa?" tak tertahan ia bertanya mendengar bisikan tadi.

Akan tetapi ia tidak marah melihat wajah Kun Hong berkeringat. Ia tahu bahwa pemuda itu sedang mengerahkan lweekang, maka tak menjawab juga tidak mengapa. Tentu saja ia tak pernah menduga bahwa Kun Hong tadi memaki dirinya sendiri.

Ketika Kun Hong menyalurkan tenaga lweekang tadi, pikirannya melayang dan sentuhan tangannya dengan kulit halus hangat itu mendatangkan perasaan yang bukan-bukan dan yang mengacaukan pengerahan tenaga saktinya sehingga akibatnya gadis itu menggigil kedinginan. Dia memaki diri sendiri, mengusir semua perasaan, mengumpulkan panca indera dan mengerahkan tenaga.

Sepuluh menit kemudian dia melepaskan tangannya, lalu mulailah dia mengurut otot dan jalan darah yang terluka. Mula-mula gadis itu merintih perlahan karena memang masih terasa sakit. Akan tetapi lambat laun setelah darah mengental itu cair dan mengalir, rasa nyeri berubah nikmat. Akhirnya tiba-tiba dia tertawa cekikikan dan tubuhnya menggeliat-geliat.

Kun Hong terheran dan bertanya, "Kenapa, Nona...?"

"Aiiihhh... hi-hik, geli amat... jari-jarimu menggelitik..."

Cepat-cepat Kun Hong menarik tangannya dan wajahnya kembali menjadi panas. Merah sekali wajahnya, sampai ke telinga-telinganya.

"Kalau, sudah merasa geli, itu berarti sudah sembuh, Nona."

Diam-diam dia juga merasa geli hatinya karena memang sikap nona ini benar-benar lucu, jujur dan kekanak-kanakan. Tanpa disadarinya timbullah rasa sayang kepada nona ini.

Gadis itu mengenakan kembali bajunya, bangkit berdiri dan menggerak-gerakkan lengan kanannya, memukul beberapa jurus. Akhirnya ia berseru girang, "Bagus! Tidak terasa sakit lagi, sembuh sama sekali. Kakak buta, aku adikmu yang bodoh sekarang merasa takluk betul. Kau hebat!"

Gadis itu memegang tangan Kun Hong dan menari-nari berputaran. Sambil tertawa Kun Hong terpaksa mengikutinya dan mengomel,

"Aih, kau benar-benar seorang adik yang nakal sekali. Perut masih lapar kau suruh aku putar-putar begini, bisa pusing tujuh keliling aku!"

"Waah, kakak buta yang baik, kau lapar? Tunggu sebentar di sini, ya? Duduklah di bawah pohon, nah di sini..." katanya sambil menuntun Kun Hong ke bawah pohon, menyuruhnya duduk di atas akar pohon yang menonjol ke luar dari tanah. "Aku takkan lama dan kau akan kenyang nanti."

Sebelum Kun Hong sempat mencegahnya, gadis itu sudah melesat cepat sekali dan tidak terdengar lagi suaranya. Belum ada setengah jam gadis itu pergi, ia sudah kembali lagi sambil tertawa-tawa girang dan kedua tangannya penuh barang-barang.

Sepanci nasi putih, semangkok besar masakan ang-sio-hi, semangkok besar pula cah udang dan semangkok lagi panggang daging ayam. Semua masakan dan nasinya masih panas mengepulkan asap sedap. Mangkok-mangkok berisi masakan ini semua dia kempit dan bawa sedapat mungkin, malah tangannya masih menggenggam sebuah guci arak, mangkok kosong dan sumpit!

"Hi-hi-hi, dasar untung kita bagus, Kakak buta! Nah, tolong nih, terima dulu guci arak dan mangkok-mangkok kosong. Awas, turunkan dahulu di atas tanah, masih banyak nih. Wah, lenganku panas semua, itu sih, ang-sio-hi-nya miring mangkoknya ketika kubawa lari, kuahnya tumpah sedikit ke lenganku!" Ribut-ribut gadis itu bicara sedangkan Kun Hong terheran-heran dari mana gadis itu memperoleh masakan sebanyak itu.

"Kan di sini tidak ada restoran besar. Dari mana kau memperoleh masakan mahal ini! Wah, araknya pun bukan arak sembarangan nih, arak wangi dan sudah disimpan lama lagi. Eh, sumpitnya ini begini halus, apakah bukan dari gading? Dari mana kau mendapat semua ini?" Kun Hong meraba sana meraba sini, kagum dan heran.

"Sudahlah, Kakakku yang baik. Kita makan dulu, sikat habis ini semua baru nanti bicara. Kalau sampai dingin masakan-masakan ini sebelum masuk ke dalam perut kita, kan sayang! Hayo makan, nih araknya untukmu sudah kusediakan!"

Dengan cekatan dan terampil gadis itu melayani Kun Hong makan. Ia sendiri pun makan, akan tetapi tiada hentinya ia menggunakan sumpitnya untuk menjapitkan daging pilihan untuk Kun Hong, berkali-kali pula mendesak supaya pemuda itu menambah lagi nasi dan araknya.

Gembira sekali mereka, apa lagi Kun Hong. Masakan-masakan itu sungguh lezat, nasi pun putih dan pulen, araknya juga tulen. Kegembiraan dan kelezatan masakan membuat mereka gembul dan menambah nafsu makan sehingga sebentar saja, sampai seperempat jam, masakan dan arak benar-benar telah disikat habis oleh keduanya!

Agaknya setelah kemasukan arak, gadis itu menjadi lebih gembira lagi, suara ketawanya bebas lepas, sikapnya terbuka. Kun Hong merasa lebih senang lagi dan rasa sayangnya bertambah.

Seorang keponakannya, yaitu Kui Li Eng, juga lincah jenaka, akan tetapi masih kalah oleh gadis ini yang benar-benar masih bersih pikirannya. Sayangnya, agaknya anak ini terlalu dimanja dan agaknya sejak kecil dipenuhi segala kehendaknya sehingga sekarang pun ia selalu ingin kehendaknya dipenuhi, menjadi orang yang sifatnya ‘ingin menang sendiri’. Akan tetapi makin lama makin kelihatan bahwa pada dasarnya anak perempuan ini tidak mempunyai watak yang ingin menang sendiri, malah sangat jujur dan cukup mempunyai pertimbangan yang adil...

Kun Hong duduk bersandar batang pohon, terengah kekenyangan. Gadis itu duduk pula di atas tanah, di depannya. Sampai lama gadis itu menatap wajah Kun Hong, melihat betapa Kun Hong meraba-raba dengan tangan ketika hendak beralih duduk ke atas akar yang lebih rata, meraba-raba pula batang pohon yang hendak disandarinya, kelihatan begitu tak berdaya.

"Kakak buta, kau adalah seorang ahli dalam hal pengobatan. Mengapa matamu sendiri sampai bisa menjadi buta? Apakah sebabnya matamu buta?" Kali ini gadis itu berbicara tanpa nada kekanak-kanakan atau bergurau, suaranya bersungguh-sungguh.

Kun Hong terkejut mendengar pertanyaan ini, menghela napas dan menjawab, "Karena salahku sendiri..."

"Hemm, apakah ada yang membikin buta? Katakanlah siapa orangnya, adikmu ini pasti akan mencarinya dan membalas membutakan matanya!"

Kun Hong menggeleng kepala. Dia takkan merasa tersinggung kalau diejek orang tentang kebutaannya, tetapi dia merasa sedih kalau orang mengingatkan dia akan sebab-sebab kebutaan itu karena hal itu sama saja dengan memaksa dia mengenangkan Cui Bi. "Aku sendiri yang membutakan kedua mataku."

Gadis itu meloncat ke atas, kaget sekali. "Aku tidak percaya! Masa ada orang yang mau membutakan matanya sendiri, kecuali orang gila!"

"Memang aku gila, gila pada waktu itu." Kun Hong menangkap tangan gadis itu untuk mencegahnya bicara soal ini lebih lanjut. "Adik yang baik, sudahlah, jangan kita bicara soal sebab-sebab kebutaan mataku, maukah kau?"

Baru kali ini Kun Hong merasa betapa gadis itu terdiam dalam keharuan, akan tetapi hanya sebentar karena segera terdengar lagi suaranya yang nyaring dan gembira. "Kakak buta, sebetulnya kau siapakah? Siapa namamu dan di mana tempat tinggalmu?"

Kun Hong timbul kembali senyumnya. Sikap yang amat cepat dan mudah berubah dari gadis ini benar-benar menggembirakan serta mudah menular. Terhadap seorang gadis seperti ini tak perlu dia menyembunyikan diri.

"Namaku Kwa Kun Hong, Nona. Ada pun tempat tinggalku, heemm... untuk saat ini yah di sini inilah! Dan kau sendiri, siapa namamu? Apakah cukup hanya Bi-yan-cu saja?"

"Kwa Kun Hong... nama yang bagus. Eh, Kwa-twako (Kakak Kwa), bagaimana kau bisa mengenal nama ayahku dan bagaimana kau bisa tahu pula bahwa ayahku adalah kakak Tan Beng San ketua Thai-san-pai?"

"Tentu saja aku tahu. Aku memiliki hubungan baik dengan keluarga Thai-san-pai, bahkan pernah menerima pelajaran ilmu dari Tan Beng San taihiap. Aku tahu pula bahwa ayahmu selain kakaknya, juga menjadi suheng dari isteri beliau. Bukankah ayahmu adalah murid pertama dari mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan?"

"Wah, kiranya pengetahuanmu luas, Twako. Aku mendengar tentang pertempuran hebat pada pembukaan Thai-san-pai tiga tahun yang lalu di puncak Thai-san, apakah kau hadir juga?"

Berdebar rasa jantung Kun Hong. Teringat dia akan semua pengalamannya di puncak itu, tentang Cui Bi apa lagi. Dia termenung sejenak. Bagaimana dia tidak akan tahu tentang hal itu? Dia sendiri berada di sana, malah dia mengambil bagian terpenting.

"Aku tahu... aku juga hadir di sana..." Dia cepat menambah untuk menghilangkan curiga gadis itu. "Aku bersama ayah ibuku..." Akan tetapi dia segera teringat bahwa tidak perlu dia menyebut-nyebut ayah bundanya.

"Twako, siapa ayahmu? Tentu tokoh hebat..."

Sudah terlanjur bicara, Kun Hong tidak dapat mundur lagi. "Ayahku adalah Kwa Tin Siong, ketua Hoa-san-pai."

Gadis itu segera kembali meloncat ke atas. "Walah! Kiranya putera Hoa-san Ciangbunjin (ketua Hoa-san-pai)! Maaf... maaf, ya, Twako? Kiranya kau seorang besar, keturunan jagoan, putera seorang ketua Hoa-san-pai yang terkenal!"

"Hushh, jangan melebih-lebihkan, malah kuminta jangan lagi kau menyebut-nyebut nama keturunanku. Aku sudah menjadi seorang buta, miskin dan hidup sebatang-kara, aku tidak suka nama keturunanku dibawa-bawa. Kau jangan menyebutku Kwa-twako lagi."

"Habis harus menyebut apa? Namamu Kwa Kun Hong... hemm, baiknya kusebut Hong-ko (kakak Hong) saja. Bagus, kan?"

Kembali jantung Kun Hong berdebar. Mendiang Cui Bi kekasihnya dahulu juga menyebut dia Hong-ko, dan suara gadis ini begitu mirip suara Cui Bi, seakan Cui Bi belum mati dan kini berada di sampingnya!

"Sesukamulah," dia mengusir kenangan yang mengganggu hatinya itu, "tetapi kau sendiri belum memperkenalkan namamu."

Gadis itu tertawa gembira. "Hong-ko, namaku buruk sekali. Aku lebih suka kalau dipanggil Bi-yan-cu..." Nada suaranya manja.

Kun Hong juga tersenyum lebar. "Apa kulitmu hitam?"

"Siapa bilang hitam? Kulitku putih kuning, malah ayah bilang kalau kulitku amat bagus dan sehat, tidak seperti kulit gadis-gadis kota dan puteri-puteri istana yang pucat-pucat seperti kekurangan darah. Lihat lenganku ini... ehh, kau mana bisa lihat! Mengapa kau mengira kulitku hitam, Hong-ko?"

Biar pun matanya tak dapat melihat, Kun Hong dapat membayangkan betapa gadis itu memandangnya dengan bibir mungil yang cemberut.


cerita silat online karya kho ping hoo


"Aku ingat bahwa burung walet (yan-cu) bulunya hitam, dan sepanjang ingatanku, tidak ada burung walet yang cantik. Maka julukanmu Bi-yan-cu (Walet Cantik Jelita) amat tidak cocok kalau kulitmu tidak sehitam bulu burung walet. Nah, kurasa betapa pun buruknya namamu, tidak akan seburuk julukanmu."


"Wah, kau pandai mencela, Hong-ko. Awas, lain kali kuminta kau mencari julukan baru untukku. Namaku sebetulnya adalah Tan Loan Ki. Nah buruk sekali, bukan? Seperti nama laki-laki."

"Tidak buruk. Nama Loan Ki manis benar, juga julukanmu itu sebenarnya sudah tepat, mengingat bahwa kau mempunyai gerakan yang lincah dan cepat bagaikan burung walet. Siauw-moi (adik kecil), mulai sekarang aku akan menyebutmu Ki-moi (adik Ki), boleh kan?"

Tiba-tiba mereka berhenti bicara karena terdengar seruan orang dari jauh.

"Betina liar itu tentu tak akan lari jauh!" terdengar suara seorang wanita yang serak.

"Hemm, kalau ia dapat kutangkap, akan kujadikan bakso. Anak kurang ajar itu!" Sambung seorang laki-laki yang suaranya besar.

Kun Hong mengerutkan keningnya. Otaknya yang cerdas cepat menghubungkan sebutan ‘betina liar’ tadi dengan Loan Ki.

"Ki-moi, kau tertawa mengejek! Siapa mereka dan mengapa marah-marah?"

"Dasar pelit!" Gadis itu mengomel. "Baru kehilangan nasi dan masakan begitu saja sudah mencak-mencak seperti merak kehilangan ekor."

"Wah, jadi yang kita makan tadi..." Kun Hong berseru kaget.

"Heh-heh, barang curian tentu. Habis dari mana kalau tidak mencuri?" enak saja jawaban gadis ini. "Kau menyesal, Hong-ko? Nah, kau muntahkanlah kembali." Ia lalu tertawa-tawa menggoda.

"Jangan main-main, Ki-moi. Kurasa dua orang yang datang ini bukan bermaksud baik dan mereka mempunyai kepandaian yang tak boleh kau pandang ringan begitu saja!"

Baru saja Kun Hong mengeluarkan kata-kata ini, kedua orang itu sudah tiba di situ dan terdengar bentakan yang perempuan. "Nah, ini dia si bocah liar bersama seorang buta!"

Yang laki-laki membentak, "Gadis kurang ajar, kembalikan makanan dan arak tadi..." dia lalu berseru kaget melihat mangkok-mangkok dan guci arak yang sudah kosong, "Wah, celaka si keparat, sudah disikat habis!"

Karena tidak dapat melihat, Kun Hong hanya dapat menaksir keadaan dua orang yang datang itu dengan pendengarannya. Laki-laki itu paling sedikit berusia empat puluh tahun dan si wanita sukar diduga karena suaranya serak dan kasar, akan tetapi tentu tidak lebih muda dari pada yang laki-laki. Gerakan kaki si wanita itu ringan membayangkan ginkang yang tinggi sedangkan derap kaki yang laki-laki mengandung tenaga lweekang membuat tanah di sekitarnya seperti tergetar. Akan tetapi Loan Ki yang dapat melihat kedua orang itu mendapatkan kesan yang lebih mengagetkannya.

Wanita itu berpakaian serba hitam dengan tambalan kain lebar berwarna putih ditalikan di leher menggantung ke bawah. Mukanya penuh bopeng (burik), rambutnya masih hitam serta disisir rapi. Matanya besar sebelah dengan pandangan galak.

Tangan kanannya memegang sebuah senjata besi yang agak aneh bentuknya, bergagang dua dan ujungnya runcing. Kiranya senjata itu adalah sebuah penjepit arang yang biasa dipergunakan di dapur untuk mengambil arang. Tangan kirinya memegang sebuah kipas dapur yang lebar dan bergagang besi pula. Memang aneh kedua alat dapur ini karena ukurannya selain lebih besar dari pada biasa, juga terbuat dari besi yang kelihatan kokoh kuat mengerikan.

Ada pun laki-laki itu juga berpakaian serba hitam, memakai ikat kepala kuning. Matanya sangat lebar seakan-akan hendak meloncat ke luar dari tempatnya. Tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam, kedua lengan tangannya yang tak berbaju penuh bulu hitam. Tangan kanannya memegang sebuah pisau pemotong babi yang lebar, yang seukuran golok tapi bentuknya persegi, dan mengkilap sekali saking tajamnya.

Loan Ki adalah seorang anak perempuan yang semenjak kecilnya hidup di dunia kangouw dan sudah banyak bertemu dengan orang-orang aneh. Karena itu munculnya dua orang ini tidak mengagetkannya, juga suara mereka tidak membuat ia gentar, bahkan ia tertawa ketika berdiri dan menyambut mereka dengan suara mengejek.

"Kalian ini dua orang kasar datang-datang marah tidak karuan lalu membuka mulut dan menyemburkan kata-kata kotor, sebetulnya hendak mencari siapakah?"

Akan tetapi dua orang itu tidak menjawab. Mereka saling pandang dan memandang ke arah mangkok-mangkok kosong, lalu membanting-banting kaki, memaki-maki,

"Keparat, anjing-anjing kelaparan! Sudah dihabiskannya semua, celaka. Toanio (nyonya) akan memukuli kepalaku sampai bengkak-bengkak karena arak seperti itu sudah habis dari simpanan. Aduh, celaka dua anjing kelaparan!"

Laki-laki muka hitam itu berteriak-teriak, matanya makin melotot ketika dia memandang ke arah Loan Ki.

"Dan aku... ahhh, aku yang kasihan... dari mana aku harus mendapatkan ikan emas itu setelah ang-sio-hi tinggal tulang-tulang ikan saja? Mampuslah aku kalau siocia memaksa aku menyelam di telaga untuk memperoleh ikan baru... celakanya, siocia tidak akan mau sudah kalau belum kudapatkan ikan yang serupa dengan yang tadi."

Setelah puas memaki-maki, wanita itu menudingkan penjepit arangnya ke muka Loan Ki. "Hayo mengaku, kau gadis busuk. Tentu kau telah mencuri makanan dari dapurku, malah menotok roboh dua orang pembantuku!"

"Dan kau yang mencuri guci penuh arak simpanan dari pembantuku!" bentak laki-laki itu sambil mengacung-acungkan golok pemotong babinya.

Loan Ki tersenyum manis. "Betul aku, Uwak dan Empek yang baik. Tapi ketahuilah bahwa tadi perutku dan perut si dia ini lapar sekali. Aku sedang mencari pengisi perut kami yang kosong, hidungku tertarik oleh bau sedap dan gurih, lalu melihat masakan-masakan itu tak dapat aku menahan keinginan hatiku lagi. Maafkan saya, Uwak dan Empek, kelak bila kalian kelaparan dan kebetulan berada di dekat rumahku, kalian boleh balas mencuri tiga kali lipat banyaknya. Aku berjanji tidak akan marah kalau kalian menyikat habis masakan-masakanku dari dapur rumahku. Nah, bukankah sudah adil janjiku ini?"

"Adil matamu...!" nenek itu memaki.

"Adil mukamu... yang jelita!" kakek itu pun memaki.

Kun Hong menggeleng-gelengkan kepala. Dua orang ini adalah orang-orang aneh, tetapi Loan Ki telah mengeluarkan janji yang sungguh-sungguh tak masuk di akal dan seenak perutnya sendiri. Mana mungkin pencuri di ‘bayar’ dengan janji kalau kelak dua orang itu kelaparan boleh balas mencuri pula di dapur rumahnya? Tidak masuk di akal dan alasan anak-anak.

Maka dia pun lalu bangkit berdiri, menjura dengan hormat kepada dua orang itu sambil berkata, "Jiwi Locianpwe harap sudi memaafkan kami berdua yang muda. Sesungguhnya, tadi siauwte yang kelaparan dan siauwte minta adik siauwte ini agar mengemis makanan. Siapa kira dia tak berani mengemis malah mencuri. Untuk hal ini, siauwte mohon sudilah kiranya jiwi Locianpwe memaafkan kami berdua."

Dua orang itu saling pandang, wajah mereka berseri. Selama hidup baru kali ini semenjak menjadi pekerja dapur mereka menerima kata-kata yang terdengar enak sekali memasuki telinga mereka. Mereka memandang Kun Hong dan mengangguk-anggukkan kepala.

"Orang muda baik, biarlah kalau memang kau kelaparan. Paling-paling aku akan dimaki oleh toanio," kata kakek itu dengan suara sabar sekali.

"Pemuda buta yang tampan, kau amat sopan. Ikan itu dapat kucarikan gantinya dengan menjala, juga daging babi dan ayam masih banyak. Siocia pun bisa kubujuk. Dua orang locianpwe harus bersikap sabar, bukan begitu, Sun-laote?" kata si nenek dan kakek itu pun mengangguk-angguk membenarkan.

"Hong-ko, mereka ini hanyalah seorang koki masak dan seorang tukang jagal, kenapa kau sebut-sebut mereka locianpwe segala? Wah, kepala mereka bisa menjadi semakin besar dan kulit muka mereka makin tebal!" tiba-tiba Loan Ki mencela Kun Hong yang menjadi kaget sekali melihat cara temannya ini ‘merusak’ suasana yang sudah begitu baik.

Celaka, pikirnya, benar-benar bocah setan, tidak mengerti siasat damai yang dia lakukan. Benar saja kekhawatirannya. Dua orang itu mengeluarkan seruan marah, memaki-maki lagi dan wanita itu menerjang maju, menyerang Loan Ki dengan penjepit arangnya.

Loan Ki tertawa mengejek, menghindarkan serangan ini dengan menggeliatkan tubuhnya ke belakang dan tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar ke arah mukanya. Kaget juga gadis ini, karena ternyata susulan serangan kipas ini amat cepatnya.

Ia menjejakkan kakinya ke atas tanah, tubuhnya mencelat ke belakang dan terhindar dari hantaman kipas. Pada lain saat dia telah menghadapi wanita galak itu dengan pedang di tangan dan senyum simpul menghias bibir.

Kun Hong sangat tidak senang melihat perkembangannya menjadi pertempuran. Namun karena dari gerakan-gerakan nenek itu dia maklum bahwa kepandaian Loan Ki masih jauh lebih tinggi, maka dia mendiamkannya saja, hanya berkata halus,

"Ki-moi, setelah mencuri, jangan kau membunuh atau melukai orang! Jika kau melanggar aku tidak mau bicara lagi denganmu!"

Loan Ki hanya tertawa lirih dan sebentar saja nenek itu menjadi bingung dan berkunang-kunang matanya. Gerakan gadis ini benar-benar lincah sehingga baginya seakan-akan gadis itu mempunyai lima buah bayangan yang mengeroyoknya dari segala penjuru! Ilmu serangannya menjadi kacau balau. Dengan nekat dan ngawur dia menyerang membabi buta, menepak-nepak dengan kipas dapurnya seperti orang berusaha menepuk lalat yang terlalu gesit.

"Sun-laote, kau bantu aku menangkap bocah liar ini!" Akhirnya nenek itu berteriak minta bantuan kepada temannya.

Agaknya kakek itu ragu-ragu, lalu mengomel, "Heran benar, masa Hek-kui-nio (Iblis Betina Hitam) tidak dapat menangkap seorang gadis cilik?" Kemudian dia menoleh kepada Kun Hong. "Orang muda, bukan aku Ban-gu-thouw (Selaksa Kepala Kerbau) dari golongan cianpwe hendak menghina yang muda, tetapi sahabatmu gadis liar itu agaknya terlalu lincah untuk Hek-kui-nio. Terpaksa aku harus menangkapnya!"

Akan tetapi pada saat itu terdengar Hek-kui-nio berteriak kesakitan dan dia berjingkrak-jingkrak dengan kaki kanannya karena kakinya yang kiri kena digajul (ditendang dengan ujung sepatu) oleh Loan Ki sehingga bukan main nyerinya, ngilu sampai menusuk-nusuk tulang sumsum!

Laki-laki tinggi besar yang berjuluk Ban-gu-thouw itu dengan marah lalu memutar-mutar golok pemotong babinya, atau mungkin juga pemotong kerbau sesuai dengan julukannya. Angin menderu dan diam-diam Kun Hong menjadi terkejut dan khawatir. Jelas terdengar olehnya betapa Ban-gu-thouw ini mempunyai tenaga dahsyat yang tidak boleh dipandang ringan.

Biar pun dia maklum bahwa ilmu silat pedang yang dimiliki Loan Ki jauh lebih hebat dan mempunyai dasar yang tinggi tingkatnya, namun menghadapi seorang lawan kasar yang bertenaga besar dan memegang senjata yang agaknya amat berat itu, tetap merupakan bahaya bagi Loan Ki.

"Locianpwe, jangan memperhebat permusuhan!" Kun Hong berseru.

Tubuhnya tiba-tiba melesat ke arah si tinggi besar itu, kedua tangannya bergerak dengan jari-jari tangan terbuka dan... pada lain saat Kun Hong sudah berhasil merampas golok pemotong kerbau itu!

Ban-gu-thouw berteriak keras saking kagetnya. Cepat-cepat dia membalikkan tubuhnya dan memandang dengan mata terbelalak. "Heeei, kalau begitu kau tidak buta!"

"Siauwte memang seorang buta," jawab Kun Hong.

"Kalau buta bagaimana dapat merampas golokku?"

Tanpa menjawab Kun Hong mengangsurkan golok itu kepada pemiliknya. Ban-Gu-Thouw menerima kembali goloknya dan wajahnya merah sekali karena pada waktu itu Loan Ki tertawa haha-hihi.

Dia menjadi marah dan berkata, "Orang muda buta, kenapa kau merampas golokku?"

"Kuharap Locianpwe tidak melanjutkan pertempuran yang tidak ada gunanya. Makanan itu sudah masuk perutku, dan aku sudah sanggup untuk minta maaf."

"Enak saja kau bicara! Kami berdua yang akan menerima hukuman dari toanio dan siocia, namun karena omonganmu tadi enak didengar, kami akan melupakannya saja dan siap menerima hukuman. Siapa tahu sahabatmu si harimau betina itu suka menghina orang dan sekarang kau malah merampas golokku. Ban-gu-thouw dan Hek-kui-nio tidak bisa menerima hinaan orang!"

Kun Hong cepat menjura. "Harap sekali lagi kalian orang-orang tua sudi memaafkan kami orang-orang muda. Jika perlu, biarlah kami menghadap majikan kalian untuk minta maaf. Kurasa majikan kalian akan menghabiskan urusan makanan yang tak berarti ini."

Dua orang itu saling pandang, lalu tertawa terbahak-bahak, membuat Kun Hong yang tak dapat melihat itu terheran-heran. Malah nenek yang sekarang sudah tidak nyeri lagi kaki kirinya itu tertawa tak kalah kerasnya oleh temannya. Kemudian Ban-gu-thouw berkata,

"Ha-ha, bagus sekali. Kalian mau menghadap toanio atau siocia? Ha-ha-ha, orang muda, sungguh-sungguh lucu bila mana ada orang berani begini tenangnya menyatakan hendak menghadap majikan kami setelah berani mencuri makanan. Tetapi agaknya kalian hendak mengandalkan kepandaian kalian, dan kau ini orang buta agaknya juga berkepandaian. Sebelum kau menghadap majikan kami, biar kucoba lebih dahulu. Bisakah kau merampas golokku sekali lagi? Awas serangan!"

Dengan gerakan kuat sekali Ban-gu-thouw membacok ke arah kepala Kun Hong. Pemuda ini dengan tenang miringkan kepala, jari tangannya meluncur ke arah pergelangan tangan disusul cengkeraman ke arah gagang golok dan sebelum Ban-gu-thouw tahu mengapa tiba-tiba tangannya menjadi gringgingen (kesemutan), goloknya sudah pindah ke tangan orang buta itu! Tanpa berkata apa-apa kembali Kun Hong mengangsurkan golok kepada pemiliknya.

"Hek-cici, dia ini siluman, lebih baik kita pulang dan siap-siap menerima hukuman!" kata Ban-gu-thouw sambil menyambar goloknya dan berlari pergi diikuti temannya.

Loan Ki mengikuti mereka dengan suara ketawanya yang nyaring sampai mereka tidak kelihatan lagi punggung mereka.

"Hi-hi-hik alangkah lucunya dua orang badut itu!" Loan Ki berkata sambil duduk di depan Kun Hong yang sudah duduk pula di atas akar pohon.

"Apanya yang lucu?! Ki-moi, kau benar-benar keterlaluan. Sudah mencuri, memperolok mereka yang tentu akan menerima hukuman dari majikan mereka. Hanya aku amat heran, siapakah majikan yang mempunyai koki dan jagal seperti mereka itu? Kepandaian mereka itu tidak patut dimiliki seorang koki dan jagal biasa. Tentu majikan itu luar biasa pula dan bukan orang sembarangan. Sudah sepatutnya kita datang ke sana minta maaf."

Loan Ki cemberut. "Aku tidak sudi minta maaf! Apa lagi kepada toanio dan siocia yang mereka sebut-sebut tadi. Huh, lebih baik kupergunakan pedangku untuk memberi hajaran kepada mereka."

Kun Hong menghela napas. "Sudahlah, kalau begitu kita tidak usah pergi ke sana. Tapi tidak baik pula kita tinggal bersama-sama di sini. Kalau mereka datang lagi tentu hanya akan menimbulkan keributan belaka. Ki-moi, aku sungguh merasa beruntung sekali dapat berkenalan denganmu. Adik yang baik, selanjutnya kau berhati-hatilah dalam melakukan perjalanan, akan lebih baik kalau kau segera pulang dan jangan merantau seorang diri. Seorang dara remaja seperti kau ini lebih aman apa bila berada di rumah orang tuamu sendiri. Jauhkan permusuhan, jangan terlalu menurut nafsu hati. Nah, Ki-moi kita berpisah di sini. Mudah-mudahan pada lain waktu ada kesempatan bagi kita untuk saling bertemu kembali."

Kun Hong tidak tahu betapa gadis itu memandangnya dengan mata terbelalak bagaikan orang kaget. Agaknya dia sama sekali tidak ingat bahwa pertemuan itu akan berakhir dengan perpisahan. Tiba-tiba ia memegang tangan Kun Hong dan ditariknya pemuda buta itu berdiri.

"Hong-ko, hayo berangkat!" ajaknya.

"Ehh, ke mana? Jalan kita bersimpang di sini."

"Iihh, siapa bilang? Kita mengejar mereka, mengunjungi majikan dua orang badut tadi."

"Heh?!" Kun Hong melengak heran, "Kau bilang tadi tidak sudi ke sana, tidak sudi minta maaf!"

"Sekarang aku ingin sekali ke sana! Ingin aku melihat si muka hitam kepala kerbau itu dipukuli kepalanya oleh toanio sampai bengkak-bengkak dan melihat si nenek setan itu menyelam di air sampai perutnya kembung, hi-hi-hik!"

Kun Hong hanya dapat menarik napas panjang karena gadis itu sudah menariknya dan mengajak lari. Sebetulnya dia tidak ingin pergi berdua lebih lama lagi dengan gadis yang merupakan penggoda batinnya ini, akan tetapi dia pun tidak tega membiarkan gadis itu pergi seorang diri menemui majikan yang aneh dan mencurigakan itu. Dia tahu dengan pasti bahwa sekali sudah menyatakan keinginan hatinya, tidak ada lautan api yang dapat menghalangi gadis kepala batu ini.

Perumahan itu ternyata luas sekali, terdiri dari sembilan buah bangunan gedung besar dan tinggi bertingkat. Dari jauh saja sudah kelihatan catnya yang beraneka warna. Dan hebatnya, perumahan itu dikelilingi oleh air sehingga merupakan pulau kecil di tengah danau yang besar dan luas.

Memang demikian halnya. Tadinya, di dalam hutan itu terdapat sebuah danau besar dan di tengah danau terdapat pulaunya. Sudah hampir tiga puluh tahun yang lalu danau itu dijadikan perumahan. Memang janggal kelihatannya di tempat sunyi itu, jauh dari kota, terdapat rumah-rumah gedung di tengah danau.

Penduduk dusun-dusun yang paling dekat terletak dua puluh li dari danau itu, mengenal tempat itu dengan nama Ching-coa-ouw (Danau Ular Hijau) dan pulau itu pun disebut Ching-coa-to (Pulau Ular Hijau). Mereka ini tidak tahu betul siapa penghuni perumahan mentereng itu, hanya tahu betul bahwa majikan daerah Ular Hijau ini mempunyai banyak pelayan yang galak-galak, aneh-aneh, dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi sehingga sekitar sepuluh li di sekeliling danau itu yang disebut ‘Daerah Ular Hijau’ seakan-akan berada di bawah kekuasaan majikan Ular Hijau.

Orang mencari kayu kering sekali pun tak akan berani mencari nafkahnya dalam daerah Ular Hijau! Memang terdapat sebuah jalan besar yang cukup rata menuju ke danau itu dan jalan ini merupakan jalan umum, akan tetapi setibanya di danau kecil itu, mereka akan mendapatkan jalan buntu.

Para pedagang sayur-sayuran serta kebutuhan sehari-hari lainnya banyak mendapatkan untung kalau menjual dagangan mereka di tempat itu. Akan tetapi tak ada seorang pun di antara mereka pernah berurusan sendiri dengan majikan Ular Hijau karena segala urusan tentu dibereskan oleh para pelayan. Para pelayan inilah yang kemudian menyeberang ke pulau dengan perahu-perahu yang memang banyak dimiliki oleh majikan Ular Hijau.

Ada desas-desus di antara penduduk dusun di sekitarnya, desas-desus yang merupakan dongeng bahwa majikan Ular Hijau bukanlah manusia biasa, melainkan seorang dewi dan seorang puteri yang secantik bidadari dan yang pandai ‘berlari di atas air’ dan pandai ‘terbang’! Sudah tentu saja hal ini merupakan dongeng dari mulut ke mulut karena kalau ditanya sungguh-sungguh, tak ada seorang pun yang pernah menyaksikan dengan mata sendiri.

"Hong-ko, keadaan mereka benar-benar aneh," di tengah jalan Loan Ki bercerita sambil menuntun Kun Hong. "Aku mendengar dari orang-orang dusun bahwa daerah Ching-coa itu merupakan daerah terlarang. Entah orang-orang macam apa yang menguasai daerah ini. Dari jauh kulihat rumah-rumah gedung di atas pulau kecil di tengah danau, sunyinya bukan main."

"Kalau begitu, bagaimana kau dapat pergi ke gedung itu?"

"Aku tidak pergi ke sana. Tadinya aku hendak mencari makanan, siapa kira tempat ini sepi sekali, tak kulihat sebuah dusun. Akhirnya aku bertemu dengan pedagang sayur yang hendak mengantarkan sayuran kepada Ching-coa-to, maka aku ikut dengan dia. Sampai di pinggir telaga, pedagang itu berurusan dengan pelayan tempat itu. Kebetulan sekali datang gerobak yang membawa masakan-masakan lezat itu, juga arak. Aku minta beli, tapi malah dimaki-maki. Aku hilang sabar, lalu menotok roboh empat orang pelayan dan merampas makanan dan arak.”

"Kau memang nakal."

"Kalau perut lapar orang jadi nekat, Hong-ko. Keadaan mereka benar-benar aneh dan mencurigakan. Kita tak mungkin dapat secara berterang mengunjungi mereka."

"Habis bagaimana?"

"Aku ada akal. Kulihat tadi ada sekumpulan perahu bercat hijau diikat di pinggir telaga. Kurasa perahu-perahu itu pun milik majikan Ching-coa-to. Kita pergunakan saja perahu itu, kita menyeberang dan melihat keadaan di sana."

"Sesukamulah, asal kau jangan menimbulkan onar," jawab Kun Hong yang juga mulai tertarik oleh penuturan tentang keadaan penuh rahasia itu.

Betul saja seperti diceritakan oleh Loan Ki tadi, jalan itu sunyi sekali dan sampai mereka tiba di pinggir telaga, keadaan tetap sunyi tak tampak seorang pun manusia. Dari tempat itu kelihatan tembok perumahan di atas pulau, tetapi juga tidak kelihatan ada manusia di sekitar telaga.

Hari sudah menjelang senja, matahari yang kemerahan membayangkan cahayanya di atas air telaga yang berkeriput seperti sutera biru kemerahan. Akan tetapi Loan Ki tidak memperhatikan keindahan alam di senja hari ini, sedangkan Kun Hong yang suka akan keindahan alam tidak dapat melihatnya. Gadis itu sedang mencari-cari dengan matanya dan akhirnya dia menarik Kun Hong ke dalam hutan kecil di sebelah kiri jalan, kemudian menyelinap di antara pohon-pohon.

"Hong-ko, aku melihat ada perahu di pinggir sana. Hayo lekas kita pergunakan perahu itu sebelum pemiliknya datang melihat kita."

"Huh, kau hendak mencuri lagi?"

"Ih, bukan mencuri, hanya pinjam sebentar untuk kita pakai menyeberang. Hatimu benar-benar terlalu suci, Hong-ko!" Loan Ki mengomel dan Kun Hong terpaksa tersenyum.

"Baiklah. Kalau tidak dituruti kehendakmu, aku takut kau menangis."

Loan Ki tertawa dan menarik tangan Kun Hong. Sambil bergandengan tangan mereka lari ke arah perahu kecil yang sedang terapung-apung di pinggir telaga, tersembunyi di antara pepohonan yang tumbuh menjulang ke pinggir telaga.

Perahu itu kecil mungil, bentuknya amat ramping dan ujungnya meruncing, terikat pada sebatang tonggak kayu yang sengaja dipasang di situ. Di dalam perahu terdapat sebatang dayung yang gagangnya terukir indah merupakan gambar ular melingkar pada dayung itu dan terdapat ukiran huruf 'CHING-COA' (ULAR HIJAU)'.

"Wah, perahu ini pun milik Ching-coa-to, Hong-ko. Mari naik."

Kun Hong dituntun melangkah dan masuk ke dalam perahu, terus duduk. Dara itu pun masuk setelah melepaskan tali dan mendayung. Perahu kecil meluncur cepat ke tengah telaga.

"Perahu kecil tetapi bagus!" Kun Hong memuji. "Imbangannya tepat, kayunya kuat dan ringan, luncurannya laju. Ditambah tenaga dalammu yang kuat, ahh... terasa nikmat betul berperahu seperti ini. Hemmm... sayang tidak ada arak..."

Loan Ki tertawa. "Dasar pelamun dan pemalas. Sungguh tak pantas seorang lelaki duduk enak-enak membiarkan seorang wanita mendayung perahu."

"Eh, mana dayungnya. Tapi aku tidak tanggung perahu ini akan meluncur ke mana. Kalau kembali ke daratan sana jangan salahkan aku yang tak bermata!"

"Tidak usah, Hong-ko. Aku hanya berkelakar, masa sungguh-sungguh? Apa sih sukarnya berdayung begini, aku memang ahli dayung, semenjak kecil sudah biasa aku berlayar, malah di samudera besar bersama ayah."

Memang hawa di tengah telaga nyaman sekali. Angin bertiup perlahan-lahan membawa keharuman aneka macam bunga yang tumbuh di tepi telaga dan di pulau, hawanya sejuk dan sunyi. Suara air terkena dayung berirama amat menyedapkan pendengaran.

Suasana ini menimbulkan kegembiraan di dalam hati Kun Hong, dan otomatis pikirannya merangkai sebuah sajak yang segera dia senandungkan perlahan mempergunakan suara dayung menimpa air sebagai irama pengiring nyanyian.

Biduk kecil meluncur laju
menentang hembusan angin lalu
membawa harum seribu kembang
tambah nyaman ayunan gelombang
membikin si buta ingin bertembang
wahai kasih aku di sini!

Tiba-tiba suara dayung menimpa air terhenti, biduk berhenti melaju dan Loan Ki bertanya kaku, "Yang mana kasihmu itu, Hong-ko? Kau terkenang kepada si janda muda?"

Kun Hong tertawa. "Jangan membawa-bawa janda itu ke sini, semoga ia sudah berjumpa dengan pamannya dan hidup berbahagia bersama anaknya. Dunianya dan duniaku jauh berpisahan, Ki-moi."

Agaknya senang hati gadis itu mendengar jawaban ini, buktinya dia tidak lagi bertanya tentang kekasih Kun Hong, sebaliknya malah terdengar ia memuji.

"Kau pandai benar bersajak dan bertembang, Hong-ko. Kata-katamu muluk, lagunya pun sedap didengar, dan suaramu empuk benar."

Kun Hong tertawa lepas. "Kau lebih pandai lagi memuji orang, sebentar lagi bisa-bisa aku membubung tinggi ke awang-awang karena pujianmu. Heee, Ki-moi, sudah lama sekali perahu melaju, kenapa belum juga sampai di pulau? Kalau pulau itu tadi dapat kau lihat dari darat tentu tidak sejauh ini!"

"Aku sengaja memutar, Hong-ko. Masa aku begitu bodoh mendarat di pulau itu dari arah depan? Ingat, kunjungan kita ini bukan kunjungan terundang. Aku akan mengitari pulau, mencari tempat yang tepat untuk mendarat sehingga mereka yang di pulau tidak melihat kedatangan kita."

Kun Hong mengerutkan keningnya, "Sebetulnya aku tak suka bila mengunjungi tempat orang dengan sembunyi seperti pencuri saja. Adik Loan Ki, apakah tidak lebih baik kalau kita secara berterang mengunjungi mereka untuk menyatakan penyesalan dan permintaan maaf kita? Mungkin majikan pulau itu akan menghabiskan urusan kecil itu dan bersikap manis."

"Hemm, agaknya kau telah membayangkan siocia cantik jelita dan manis menyambutmu dengan senyum di bibir dan bintang di manik mata, ya? Dasar kau ini..."

"Bukan begitu, Ki-moi. Tapi kan lebih baik menjadi tamu terhormat dari pada tamu tak diundang?"

"Apa kau lupa bahwa kita sudah memakai perahu mereka tanpa ijin? Mana ada orang datang minta maaf dengan jalan mencuri perahu pula? Jangan-jangan begitu berjumpa kita akan dicaci maki. Tidak, aku tidak ingin bertemu dengan mereka, baik toanio atau siocia itu, baik si iblis betina tua mau pun si iblis betina muda. Aku hanya ingin sekali menyaksikan betapa lucunya koki dan jagal tadi menerima hukuman mereka, hi-hi-hik!"

"Kau memang nakal, Ki-moi... heeeiii, bukan main harumnya...!"

Loan Ki tiba-tiba memegang lengan Kun Hong, kemudian terdengar gadis ini berseru lirih, "Aduuhhh, hebat...! Bukan main...! Majikan pulau ini benar-benar telah menjadikan pulau ini sebagai taman surga...!"

"Ada apa, Ki-moi? Kau melihat apa?" Penuh gairah Kun Hong bertanya, kepalanya agak dimiringkan, hidungnya kembang kempis, kerut-merut antara kedua matanya yang buta. Telinga serta hidung, dua alat pengganti mata untuk mengetahui apakah sebenarnya di depan sana, sekarang dikerahkan.

"Taman yang amat indah, penuh kembang beraneka warna, menara-menara merah dan kuning, patung ukir-ukiran di sana-sini, kolam-kolam dengan air berwarna, buah-buahan tergantung rendah... ah, entah apa lagi di sana, sudah agak gelap, Hong-ko... wah, kulihat banyak kijang, ada kelinci... monyet-monyet di pohon... burung-burung beterbangan, juga merak... aduh indahnya..."

Wajah Kun Hong berseri gembira, kerut-merut di antara matanya tampak semakin jelas, senyumnya membayangkan kepahitan.

Agaknya Loan Ki menoleh dan menatap wajahnya. Gadis ini kembali memegang lengan Kun Hong dan kini suaranya telah kehilangan kegembiraan. "Ah, sebetulnya hanya taman biasa, Hong-ko. Masih tidak menang dengan taman ayahku. Tetapi, merupakan tempat pendaratan yang baik bagi kita."

Loan Ki mendayung perahunya ke pinggir. Tiba-tiba ia berseru kaget dan perahu berhenti melaju.

"Ada apa, Ki-moi?"

Dara itu menyumpah perlahan. "Gila benar! Banyak sekali teratai liar di sini, sambung-menyambung dan tebal. Perahu kita tak dapat lewat, celaka. Biar kucari jalan dari sana. Sebelah sana itu agaknya kelihatan bersih dari gangguan tanaman-tanaman ini."

Ia mendayung kembali perahunya mundur untuk melepaskan diri dari taman teratai di air ini. Agak lama ia mendayung mencari air bersih untuk meminggirkan perahunya. Akhirnya dapat juga ia minggir.

"Kita mendarat, Hong-ko."

Gadis itu memegang ujung tambang, lalu menggandeng tangan Kun Hong. Keduanya melompat ke darat dan Loan Ki mengikatkan tambang kepada sebatang pohon di pinggir telaga.

"Lho, di mana kita ini...?" Tiba-tiba dia mengeluh. Suaranya terdengar begitu kaget dan heran sehingga Kun Hong cepat memegang tangannya.

"Ada apa lagi, Ki-moi?"

"Aneh, Hong-ko. Benar-benar aku bingung dan tak mengerti. Ke mana lenyapnya taman surga tadi? Baru saja masih ada, aku tahu betul, malah perahu kudaratkan di pinggir taman, tampak jelas dari perahu tadi. Tapi setelah kita mendarat, kenapa kita di tempat yang buruk, liar merupakan hutan gelap begini?"

"Barang kali hutan ini merupakan bagian dari pada taman tadi, Ki-moi. Mari kita cari ke depan. Anehnya, ganda harum tadi juga lenyap dan sekarang... hemmm, baunya amat tidak enak, Ki-moi."

"Benar, Hong-ko. Aku pun merasa muak dan ingin muntah. Bau apa sih ini?" Pegangan tangan Kun Hong pada lengan gadis itu tiba-tiba menjadi lebih erat.

"Ki-moi, mari kita kembali saja. Kalau aku tidak salah duga, ini bau... amisnya ular-ular beracun! Agaknya pulau ini banyak rahasianya dan merupakan tempat amat berbahaya bagi seorang luar."

"Tidak, Hong-ko. Aku tidak takut! Aku malah makin ingin sekali menyelidiki tempat aneh ini berikut penghuni-penghuninya. Hayo kita maju, Hong-ko."

Dengan berhati-hati kedua orang muda itu berjalan maju. Belum ada sepuluh langkah mereka memasuki hutan liar itu, tiba-tiba Kun Hong menggerakkan tongkatnya ke kiri, cepat seperti kilat menyambar.

Loan Ki amat kaget dan menengok ke kiri dan... ia menahan jeritnya melihat seekor ular sebesar lengan tangan telah hancur kepalanya, berkelojotan dan menggeliat-geliat di atas tanah. Ular itu kulitnya berwarna hijau mengkilap, seluruh tubuhnya mengeluarkan lendir berminyak ketika dia berkelojotan itu. Bau amis makin memuakkan.

Dalam kengeriannya, Loan Ki diam-diam makin kagum dan heran sekali pada pemuda buta ini. Bagaimana seorang buta malah dapat lebih ‘awas’ dari pada dia yang selain berkepandaian tinggi, juga memiliki sepasang mata yang tajam?

"Ki-moi, daerah ini berbahaya sekali. Apakah warna kulit ular itu?"

"Hijau..." jawab Loan Ki, suaranya masih gemetar sedikit karena tegang. Dia maklum betapa berbahayanya ular itu, ular berbisa yang amat jahat.

"Hemm, ching-coa (ular hijau)... agaknya penghuni asli pulau ini... Ki-moi, kau keluarkan pedangmu, bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Aku khawatir kalau-kalau kita dikurung musuh."

Mendadak dari arah belakang mereka terdengar suara yang sayup sampai dibawa angin, "Haaiiiii! Anak-anak nakal, jangan tergesa-gesa mendarat...!"

Kun Hong dan Loan Ki terkejut, cepat membalikkan tubuh. Kun Hong memasang telinga memperhatikan tapi tidak mendengar suara apa-apa.

"Apa yang kau lihat, Ki-moi? Siapa yang datang dari telaga?" bisiknya.

Loan Ki membelalakkan mata memandang. Cuaca sudah mulai gelap, akan tetapi ia bisa melihat datangnya sebuah perahu besar berlayar kuning dengan cepat menuju pantai. Ia kaget sekali dan mengira bahwa suara tadi ditujukan kepada mereka. Mungkinkah dari jarak yang begitu jauh orang di dalam perahu itu mampu melihat mereka? Ia menarik tangan Kun Hong, diajak menyelinap bersembunyi di balik rumpun pohon kembang.

"Ki-moi, apakah ada perahu datang?"

Sekali lagi Loan Ki heran dan kagum. Jalan pikiran Kun Hong benar-benar tajam dan cerdik walau pun pemuda ini tidak dapat melihat lagi. Memang sesungguhnya Kun Hong cerdik. Kalau ada orang atau apa saja berada di darat di sekitar tempat itu yang terlihat oleh Loan Ki, tentu akan dapat ditangkap oleh telinga atau hidungnya. Terang bahwa Loan Ki melihat sesuatu, dan karena tidak mendengar apa-apa, maka dapat dia menduga bahwa suara orang tadi tentulah datang dari perahu.

"Perahu besar...," kata Loan Ki, "berlayar kuning... ada lima orang lelaki berpakaian hijau di atas perahu, memegang tongkat... eh, seperti suling. Perahu sudah minggir, Hong-ko... kulihat benda-benda panjang kecil meloncat ke air, ke darat, seperti ranting-ranting kayu panjang... heiii, benda-benda itu bergerak... ohh, Hong-ko. Ular! Ular-ular besar dan kecil, banyak sekali, puluhan... ahhh, ratusan mungkin juga ribuan. Dan lima orang itu berjalan di belakang mereka. Apa itu...? Ahh, mereka... mereka agaknya menggembala ular-ular itu!"

Kun Hong miringkan kepala, hidungnya mengembang-kempis. "Ki-moi, kau lihat baik-baik. Apakah di antara mereka terdapat seorang tua bongkok yang bercacat, telinga kiri dan lengan kiri buntung, mata kiri buta, dan mulutnya lebar seperti robek?"

"Tidak ada, Hong-ko. Tapi... tapi ular-ular itu menuju ke sini, Hong-ko. Celaka, mari kita lari menjauhi mereka!" Loan Ki memegang tangan kiri Kun Hong dan menariknya lari dari situ, memasuki hutan. Tangan gadis itu agak dingin, tanda bahwa ia merasa ngeri sekali.

Siapa tidak akan merasa ngeri kalau melihat ular-ular yang sangat banyak itu bergerak-gerak maju seperti mengejar, dengan baunya yang amis bukan main? Apa lagi tak lama kemudian terdengar seorang di antara lima ‘penggembala ular’ itu berteriak keras.

"Heeiii, seekor peliharaan kita mati dengan kepala hancur di sini! Wah, ini tentu perbuatan orang. Hayo kita cari!"

"Jangan-jangan perahu kecil tadi yang membawa orang asing datang ke sini," kata suara lain.

"Ular ini baru saja bertemu musuh, tubuhnya masih berkelojotan. Tentu pembunuhnya belum pergi jauh. Hayo kejar, pergunakan anak-anak kita!" kata suara pertama bernada memimpin. Lalu terdengar suara suling yang ditiup secara aneh sekali.

Mendengar ini, Kun Hong berkata perlahan. "Hemm, kiranya benar ular-ular terpelihara. Jangan-jangan dia di belakang ini semua."

"Dia siapa, Hong-ko?"

Kun Hong memegang lengan gadis itu dan berkata, suaranya sungguh-sungguh, "Ki-moi, kalau benar dugaanku, kita benar-benar sudah berada di tempat yang amat berbahaya. Terang bahwa suling itu bersuara untuk memberi aba-aba kepada ular-ular itu untuk mengejar kita. Heii, awas!"

Tiba-tiba Kun Hong menggerakkan tongkatnya ke kanan dua kali dan ketika Loan Ki menoleh... kiranya ada dua ekor ular sebesar paha sudah putus lehernya. Darahnya menyembur-nyembur dan tubuh ular yang empat lima meter panjangnya itu berkelojotan, saling belit! Dengan hati penuh ketegangan, Loan Ki lalu menarik tangan Kun Hong dan mengajak pemuda itu lari lebih cepat lagi.

"Wah, suara suling itu malah memberi perintah kepada semua ular yang berada di tempat ini," kata Kun Hong. "Hati-hati, Ki-moi!"

Benar saja dugaan Kun Hong, karena beberapa kali mereka diserang ular-ular besar kecil. Loan Ki menggunakan pedangnya membunuh beberapa ekor ular yang rnenghadang di depan, juga Kun Hong selalu menggunakan tongkatnya untuk membunuh ular-ular yang hendak mengganggu. Mereka tidak pernah berhenti, terus berlari ke depan dan akhirnya mereka keluar dari hutan itu.

Jalan mulai memburuk, penuh batu karang dan kiranya di situ terdapat pegunungan batu karang yang sukar dilalui. Karena tidak mengenal jalan kedua orang itu terpaksa maju terus dan sementara itu, cuaca sudah mulai gelap, senja telah lewat terganti datangnya malam.

Suara ular-ular yang mendesis-desis serta para penggembala yang tadi berteriak-teriak sudah tak terdengar lagi. Dua orang itu mendaki gunung kecil.

"Kita harus cepat mencari tempat sembunyi yang aman," kata Loan Ki. "Dengan adanya ular-ular itu, tak mungkin kita bergerak di waktu malam gelap."

Kun Hong menghela napas. Jalan itu benar sukar dan andai kata dia tidak dituntun oleh Loan Ki, tentu akan amat lambat dia dapat maju mencari jalan.

"Siapa kira, karena kau ingin melihat tontonan lucu, akhirnya menjadi tidak lucu. Kita menjadi buronan di pulau orang. Baiknya besok kita segera kembali saja ke daratan sana."

"Hong-ko, bukankah pengalaman kita tadi cukup hebat, menegangkan dan lucu? Mungkin besok kita bertemu dengan pengalaman yang lebih lucu dan hebat lagi, siapa tahu? Sementara ini, kita masih selamat. Nah, itu di depan kulihat banyak lubang-lubang besar di dinding karang, tentu ada gua yang dapat kita pakai tempat bersembunyi."

Mereka mempercepat pendakian yang sukar itu. Baiknya Loan Ki memiliki ginkang yang cukup tinggi sehingga Kun Hong bisa mengikutinya dengan baik, tanpa mengkhawatirkan keadaan temannya itu. Akhirnya mereka pun tiba di dekat dinding karang yang banyak berlubang dan merupakan goa-goa besar, jalannya menjadi rata.

Tiba-tiba terdengar bentakan dari depan, "Siapa berani masuk Ching-coa-to tanpa ijin? Benar-benar sudah bosan hidup!"

Dan muncullah seorang laki-laki pendek yang bersenjata ruyung baja. Tanpa banyak cakap lagi laki-laki itu segera menerjang maju sambil mengerahkan ruyungnya. Loan Ki marah dan dengan pedang di tangan ia memapaki. Ketika ruyung menyambar ke arah kepalanya, gadis itu meliukkan tubuh ke kiri tanpa menunda terjangannya.

Sambil miring ke kiri pedangnya menyambar secepat kilat. Orang itu berteriak kaget, akan tetapi masih sempat membuang diri ke kiri sambil membabatkan ruyungnya. Dia terhindar dari bahaya, akan tetapi keringat dingin membasahi dahinya. Tak dia sangka bahwa gadis remaja itu demikian hebat ilmu pedangnya...
























Terima kasih telah membaca Serial ini

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12