Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Buta
Jilid 07
Akan tetapi
oleh karena dasar dari pada sifat kepahlawanan ini pun sama, yaitu sifat yang
mementingkan kemakmuran rakyat dari pada diri sendiri, yaitu sifat yang sangat
indah dan baik, maka dengan mudah dia dapat menerimanya.
"Terima
kasih, Paman. Sekarang aku telah mengerti dan maafkan atas prasangkaku yang
bukan-bukan akan usahamu yang ternyata suci murni dan gagah perkasa itu. Nah,
kini giliranku untuk bercerita tentang mahkota kuno itu."
Dengan
singkat, Kun Hong menceritakan tentang mahkota itu kepada Tan Hok. Bahwa
mahkota itu dijadikan rebutan antara Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang yang
hendak menggunakan benda itu untuk mencari kedudukan serta mencari muka di
depan kaisar baru. Bahwa kemudian mahkota itu terjatuh ke dalam tangan Tiat-jiu
Souw Ki akan tetapi terampas kembali oleh seorang gadis pendekar bernama Loan
Ki, tapi kemudian dalam kunjungan ke pulau Ular Hijau bersama dia, mahkota itu
akhirnya terampas oleh majikan pulau Ular Hijau yang dibantu banyak orang
pandai.
Mendengar
ini, Tan Hok menjadi sangat gembira. "Memang bukan hal menggembirakan
mendengar benda itu terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat yang lihai, akan
tetapi masih tidak begitu buruk. Celakalah kalau mahkota itu sampai terjatuh ke
tangan kaisar baru, tentu akan musnah pula surat rahasia itu. Kun Hong,
bagaimanakah keadaan Pulau Ching-coa-to di telaga itu? Adakah harapan andai
kata aku diam-diam menyelidik ke sana dan mencari kesempatan untuk merampasnya
kembali? Aku sudah menghubungi banyak teman, bekas anak buahku di Pek-lian-pai
dahulu dan aku bisa mengumpulkan tenaga-tenaga yang dapat dipercaya."
Kun Hong
menggeleng kepala. "Berbahaya, Paman. Majikan pulau itu, Ching-toanio dan
anak perempuannya, adalah dua orang yang berilmu tinggi, sukar dikalahkan.
Pulau itu sendiri penuh jebakan dan perangkap yang sangat berbahaya. Ini semua
masih belum hebat, yang paling sulit adalah kenyataan bahwa Ching-toa-nio sudah
mendapat bantuan orang-orang pandai dan benar-benar lihai. Apa lagi Ka Chong
Hoatsu, dia benar-benar merupakan tokoh yang sukar dilawan. Harap kau jangan
sembrono menyerbu ke sana, sebaiknya dicari jalan yang baik."
Berkali-kali
Tan Hok mengeluh. "Aku sudah tahu hingga di mana hebatnya kepandaianmu,
Hiante, akan tetapi kau sendiri masih memuji penghuni Ching-coa-to, berarti
tentu mereka benar-benar lihai. Kalau begini, tidak ada lain jalan bagiku
kecuali pergi ke Thai-san dan minta bantuan adikku Beng San, Thai-san
Ciang-bun-jin (ketua Thai-san-pai)."
Kun Hong
mengangguk-angguk. "Kiranya memang hanya paman Beng San yang akan sanggup
merampas kembali mahkota itu."
Tan Hok
memegang pundak Kun Hong. "Terima kasih atas pertolonganmu dan terutama
atas keterangan tentang mahkota itu, Hiante. Sekarang juga aku akan berangkat
menuju ke Thai-san agar tidak terlambat. Tolong kau beri tahukan kepadaku resep
obat itu."
Kun Hong
lalu menyebutkan nama bahan-bahan obat. Dia sengaja memilih ramuan yang tidak
banyak macamnya tetapi yang paling manjur. Kemudian mereka berpisah dan Kun
Hong tidak mencegah perginya kakek itu karena dia maklum akan pentingnya tugas
kakek patriot ini.
Setelah
kakek raksasa Tan Hok itu pergi, Kun Hong termenung di dalam kuil rusak. Cerita
kakek itu luar biasa mempengaruhi hatinya. Bangkit jiwa kepahlawanannya.
Memang, apa artinya hidup ini apa bila tidak mampu berbuat kemanfaatan bagi
sesama manusia? Dan kiranya kemanfaatan yang paling utama adalah kebaktian
terhadap nusa dan bangsa, kebaktian yang tak kenal batas, kebaktian berdasarkan
rela berkorban, baik harta benda, badan, mau pun nyawa. Betapa mulianya, betapa
besarnya. Dan Tan Hok adalah seorang pahlawan, seorang patriot seperti itu.
Tetapi dia
adalah seorang buta. Apa yang dapat dia lakukan untuk ikut-ikutan berdarma
bakti terhadap tanah air dan bangsa? Kepandaiannya hanya dapat dia pergunakan
untuk membela diri, atau melindungi orang-orang tertindas yang kebetulan
bertemu dengannya. Terbatas dan sempit sekali. Bagaimana dia akan dapat ikut
membantu perjuangan seperti yang dilakukan kakek Tan Hok?
Kun Hong
termenung sedih. Keadaan negara sedang kacau balau. Orang-orang besar berebutan
pangkat, saling serang saling menjatuhkan, untuk membantu golongan
masing-masing, untuk mengangkat kaisar pilihan masing-masing.
Kun Hong
seorang ahli filsafat. Dia dapat menduga apa akan jadinya kalau orang-orang
yang memiliki bakat dan kepandaian memimpin rakyat, sibuk maunya sendiri
berebutan kedudukan. Lupa bahwa mereka itu menjadi pembesar dan pemimpin untuk
mengatur kehidupan rakyat, untuk mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi
rakyat.
Kalau para
pembesar dan yang menyebut dirinya sendiri atau disebut orang pemimpin-pemimpin
itu bisa saling bekerja sama mencurahkan pikiran dan tenaga demi kepentingan
rakyat, sudah tentu negara akan menjadi aman dan baik, kesejahteraan rakyat
terjamin, kesukaran-kesukaran teratasi. Akan tetapi sebaliknya kalau
orang-orang besar ini saling cakar untuk berebutan kedudukan, agaknya
kesejahteraan atau kemakmuran hanya akan terasa oleh mereka sendiri, negara
menjadi kacau, keamanan rusak, hukum dan keadilan tidak berlaku, hukum liar
atau hukum rimba merajalela, siapa kuat dia menang dan siapa menang dia benar
selalu.
Semua
renungan ini membuat Kun Hong berduka karena dia tidak berdaya untuk turut
menggulung lengan baju dan membantu usaha para patriot. Kemudian dia teringat
akan mahkota itu. Mahkota yang menyimpan sehelai surat rahasia dari mendiang
kaisar. Surat itu penting sekali, karena siapa tahu kekuasaan dan pengaruh
surat peninggalan kaisar itu akan dapat mengakhiri kedudukan Kaisar Muda Kian
Bun Ti tanpa harus terjadi banyak pertumpahan darah.
Ah, mengapa
dia tidak berusaha mendapatkan surat itu? Ini pun akan merupakan sebuah usaha
perjuangan untuk membantu para patriot! Dia harus kembali ke Ching-coa-to dan
berusaha mendapatkan mahkota itu! Akan tetapi bagaimana? Selain dia buta, juga
pulau itu amat berbahaya, penuh rahasia, bagaimana dia bisa mencari mahkota
itu? Belum lagi diingat bahwa penghuni pulau amat lihai sehingga merampas
mahkota merupakan hal yang amat tak mungkin baginya. Akan berbeda kiranya kalau
dia tidak buta.
"Duhai
Cui Bi..." keluhnya sedih, "...ternyata pengorbananku membutakan mata
ini sama sekali tidak hanya merugikan aku, sebaliknya malah merugikan cita-cita
baik, merugikan perjuangan dan menambah dosaku belaka..."
Kita
tinggalkan dulu Kun Hong yang berkeluh kesah dan mari kita menjenguk keadaan di
puncak Thai-san….
Pegunungan
Thai-san dengan banyak puncaknya merupakan pegunungan yang terkenal dengan
pemandangan alamnya yang amat indah dan sebagian besar masih liar, belum
terjamah tangan dan terinjak kaki manusia. Beberapa tahun akhir-akhir ini, nama
Thai-san muncul menjadi nama terkenal di dunia persilatan dengan berdirinya
Partai Persilatan Thai-san-pai. Biar pun baru beberapa tahun berdirinya, namun
para partai persilatan memandang partai baru ini dengan segan dan hormat karena
mereka mengenal siapa orang yang menjadi pendiri dan tulang punggung partai
baru ini. Siapakah di antara orang-orang kang-ouw tak pernah mendengar nama
Raja Pedang Tan Beng San?
Inilah ketua
Thai-san-pai, bahkan pendiri Thai-san-pai, seorang pendekar gagah perkasa yang
memiliki ilmu pedang tinggi sehingga mendapat julukan Raja Pedang yang baru.
Ada pun raja pedang lama adalah ayah mertuanya yang sudah meninggal, yaitu Raja
Pedang Cia Hui Gan yang berjuluk Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tiada Bandingan).
Tentu saja isteri ketua Thai-san-pai ini, puteri Bu-tek-kiam-ong, juga seorang
ahli pedang yang sulit dicari bandingannya. Memang demikianlah, nyonya ketua
Thai-san-pai ini amat pandai dalam ilmu pedang, apa lagi Ilmu Pedang Sian-li
Kiam-hoat (Ilmu Pedang Bidadari) yang menjadi kepandaian warisan.
Seperti
dituturkan jelas dalam cerita Rajawali Emas, ketua Thai-san-pai ini mempunyai
tiga orang anak. Pertama adalah Tan Sin Lee, puteranya yang terlahir dari
mendiang Kwa Hong, yang sejak kecil dididik oleh ibunya itu sangat lihai. Yang
ke dua adalah Tan Kong Bu, puteranya yang terlahir dari mendiang Kwee Bi Goat
dan putera ke dua ini sejak kecil dirawat dan dididik oleh kakeknya, Song-bun-kwi
Kwee Lun Si Iblis Berkabung. Anaknya yang ketiga, terlahir dari Cia Li Cu
isterinya terakhir, adalah mendiang Tan Cui Bi. Semua ini telah dituturkan
dengan jelas dan hebat di dalam cerita Rajawali Emas.
Seperti
sudah diceritakan dalam Rajawali Emas, di Thai-san dirayakan pernikahan antara
Tan Sin Lee dengan Thio Hui Cu dan Tan Kong Bu dengan Kui Li Eng. Perayaan itu
amat meriah dan sekaligus ketua Thai-san-pai ini berbesan dengan tokoh-tokoh
Hoa-san-pai karena dua orang gadis itu, Hui Cu dan Li Eng adalah anak murid
Hoa-san-pai.
Beberapa
bulan sesudah menikah. Tan Sin Lee lalu membawa isterinya ke Pegunungan
Lu-liang-san tempat tinggal mendiang ibunya. Di tempat ini dia mempunyai sebuah
rumah gedung yang lengkap dan mewah, juga mempunyai sawah ladang yang cukup
luas. Bersama isterinya dia hidup dengan penuh kebahagiaan di tempat dingin
ini, disegani dan dihormati oleh para penduduk di sekitar pegunungan itu karena
sikap kedermawanan dan keramahan mereka.
Ada pun Tan
Kong Bu lain lagi kesukaannya. Dia membawa isterinya dan juga diikuti oleh
kakeknya ke Pegunungan Min-san di mana dia bercita-cita mendirikan partai
seperti yang dilakukan ayahnya, untuk memperkembangkan ilmu silat yang dia
miliki. Juga isterinya merupakan seorang pendekar wanita yang sangat tinggi
ilmu silatnya, ilmu silat Hoa-san yang asli.
Suami isteri
muda ini bercita-cita untuk menggabungkan ilmu silat mereka yang berlainan
ragamnya ini menjadi ilmu silat partai mereka. Song-bun-kwi yang sudah tua
tentu saja menjadi pelindung dan penasehat. Di dalam masa tuanya kakek ini
dapat juga mengecap kebahagiaan dengan menyaksikan kerukunan cucunya itu.
Demikianlah,
walau pun tadinya bergembira ria dalam merayakan pernikahan Sin Lee dan Kong
Bu, setelah anak-anak itu pergi membawa isteri masing-masing, ketua
Thai-san-pai serta isterinya merasa kesunyian. Puteri mereka satu-satunya,
gadis lincah jenaka yang amat mereka sayang, sudah meninggal dunia dalam
keadaan mengenaskan, membunuh diri karena patah hati dalam cinta kasihnya
dengan Kwa Kun Hong. Sekarang, dua orang putera yang baru saja muncul mengakui
ayah mereka setelah mereka itu dewasa, telah pergi pula.
Baiknya tak
lama setelah pernikahan-pernikahan itu dilangsungkan, Cia Li Cu melahirkan anak
perempuan. Bayi ini merupakan sinar terang di dalam cuaca gelap, menerangi hati
suami isteri yang sedang diliputi kegelapan itu karena puteri mereka, Cui Bi, telah
mati. Akan tetapi sekarang lahir seorang anak perempuan, pengganti Cui Bi! Anak
itu mungil, montok sehat dan tangisnya nyaring.
Dengan muka
berseri-seri ketua Thai-san-pai itu memondong bayinya, mengamat-amati muka bayi
itu sambil tertawa-tawa senang.
"Aha,
kau Cui Bi cilik! Ha-ha-ha, serupa benar, cuma bibirnya lebih runcing, tentu
lebih suka mengoceh dari pada mendiang cici-nya, ha-ha!"
Li Cu yang
masih rebah di pembaringan memandang terharu. Dua titik air mata menghias bulu
matanya.
"Siapa...
siapa namanya...?" tanyanya lirih.
Mendengar
suara ini Beng San menengok dan dia pun menggigit bibir melihat dua titik air
mata itu. Dengan hati-hati dia meletakkan puterinya di dekat Li Cu, dan
mengusap dahi isterinya penuh kasih sayang lalu berkata, "Cui Sian
namanya, ya... dia Cui Sian..."
Setelah
mencium dahi isterinya perlahan, Beng San cepat keluar dari kamar itu agar
tidak terlihat oleh isterinya betapa dia pun menitikkan dua butir air mata.
Akan tetapi Li Cu tahu akan hal ini karena air mata itu tertinggal di dahinya
ketika suami itu tadi menciumnya. Bayangan mendiang Cui Bi lah yang mendorong
keluarnya air mata dari mata pasangan suami isteri ini.
Kehadiran
Cui Sian dalam rumah tangga ketua Thai-san-pai benar-benar mendatangkan
kegembiraan. Hal ini tentu saja amat menggirangkan hati para anak murid
Thai-san-pai karena sekarang guru mereka mulai rajin kembali melatih ilmu
silat. Tadinya, semenjak peristiwa hebat di puncak Thai-san-pai itu, semenjak
kematian Cui Bi, ketua Thai-san-pai ini selalu tampak murung dan malas mengajar
sehingga para anak murid menjadi khawatir karena hal ini berarti akan
melemahkan partai persilatan itu. Akan tetapi kelahiran Cui Sian benar-benar
mengubah segalanya. Bahkan nyonya ketua sendiri berkenan turun tangan dan kadang-kadang
memberi petunjuk kepada murid-murid pilihan.
Cui Sian
sendiri ternyata makin besar menjadi semakin mungil. Ia menjadi kesayangan
semua orang di Thai-san-pai, bahkan disayang pula oleh anak-anak para penduduk
di sekitar pegunungan itu. Biar pun dia menjadi ketua partai persilatan, namun
Beng San dan isterinya tidak mengasingkan diri. Sering kali mereka mengajak
puterinya ini turun dari puncak untuk mengunjungi para penduduk kampung dan
beramah tamah, membiarkan Cui Sian bermain-main dengan anak-anak kampung.
Tiga tahun
berlalu cepat. Thai-san-pai berkembang pesat dan tampak tanda-tanda bahwa
perkumpulan ini nanti akan menjadi sebuah partai persilatan yang besar dan
berpengaruh. Hal ini terjadi karena Beng San memang pandai memilih murid yang
memiliki bakat dan dasar yang baik. Dia tak mengutamakan jumlah yang banyak,
melainkan mengutamakan mutu.
Anak murid
Thai-san-pai kurang lebih lima puluh orang laki perempuan, sebagian besar
tinggal di bawah gunung dan hanya beberapa hari sekali naik ke puncak untuk
menerima petunjuk dan untuk memperlihatkan hasil latihan di depan kedua guru
mereka. Ada pula sebagian orang anak murid, yaitu mereka yang datang dari jauh
dan terutama sekali yang tidak mempunyai keluarga lagi, juga tinggal di
Thai-san-pai, di bawah puncak, mendirikan pondok-pondok kayu yang makin lama
semakin banyak dan merupakan perkampungan tersendiri. Mereka yang bertempat
tinggal di situlah yang mengerjakan sawah dan ladang sebagai sumber penghasilan
Thai-san-pai, di samping pemberian para anak murid yang memiliki tempat tinggal
sendiri dan yang mampu menyumbang.
Pada hari
itu, saat menjelang senja, serombongan orang mendaki Pegunungan Thai-san.
Rombongan ini besar juga, lebih dari dua puluh orang berkuda, dan mereka
menghentikan kuda di bagian lereng bukit yang tidak mungkin dapat dilalui kuda.
Seorang kakek tinggi besar setelah melompat turun dari atas punggung kudanya
dan menambatkan kendali kuda pada batang pohon, berkata kepada teman-temannya,
"Tidak
patut kalau kita semua naik ke puncak. Biar pun ketuanya adalah terhitung
saudara angkat yang lebih muda, tapi dia adalah seorang ketua partai besar yang
harus dihormati. Saudara-saudara tinggallah menanti di sini, juga
ji-wi-enghiong (saudara gagah berdua) dan ji-wi-loenghiong (orang tua gagah berdua),
biarlah saya sendiri yang naik ke puncak menemui Thai-san-paicu (ketua
Thai-san-pai). Setelah mendapatkan perkenan dari pihak tuan rumah, barulah
saudara-saudara naik."
Yang bicara
ini bukan lain adalah Tan Hok, dan sebagian besar di antara para temannya
adalah bekas-bekas anggota dan tokoh Pek-lian-pai. Dua orang laki-laki yang
berusia tiga puluhan tahun dan berwajah tampan dengan tubuh tegap itu adalah
Kam-hengte (dua saudara Kam) dari Lok-yang, sepasang kakak beradik gagah
perkasa yang terkenal dengan julukan Lok-yang Siang-houw (Sepasang Harimau
Lok-yang) dan terkenal pula sebagai pendekar-pendekar perkasa anak murid
Kong-thong-pai.
Yang tua
bernama Kam Bok, yang muda bernama Kam Siok. Mereka ini adalah jago-jago
Kong-thong-pai, murid Yang Ki Cu, tokoh Kong-thong-pai yang dahulu menjadi
seorang pejuang juga. Agaknya darah patriot menurun kepada sepasang anak murid
ini sehingga dalam banyak hal kedua orang saudara Kam ini suka membantu
Pek-lian-pai dan Tan Hok. Mereka terkenal dengan keahlian bermain golok, tentu
saja mengandalkan pada Ilmu Golok Kong-thong To-hoat.
Ada pun dua
orang kakek tua yang ikut dalam rombongan itu dan yang disebut sebagai
locianpwe (orang tua gagah) oleh Tan Hok adalah dua orang pendeta beragama To
yang jelas dapat dilihat dari pakaian mereka yang berwarna kuning polos dan
rambut putih mereka yang diikatkan ke atas. Seorang yang punggungnya agak
bongkok dan tubuhnya kurus kering adalah seorang tokoh Bu-tong-pai, seorang
ahli pedang bernama Seng Tek Cu.
Orang ke dua
ialah sahabat baiknya, seorang tosu (pendeta To) perantauan, penggemar
permainan catur yang namanya tidak banyak dikenal orang namun sesungguhnya adalah
seorang ahli silat tinggi yang sangat lihai. Dia tidak membawa senjata apa-apa
kecuali sebatang cambuk biasa seperti cambuk penggembala kerbau yang terbuat
dari pada bambu dengan ujung tali.
Pada
punggungnya tergantung sebuah papan catur, sedangkan di pinggangnya terdapat
sebuah kantung berisi biji-biji catur. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya selalu
tersenyum ramah. Inilah Koai Tojin, nama yang selalu dia pakai. Tentu saja ini
adalah nama samaran belaka karena Koai Tojin berarti Pendeta To Aneh. Dua orang
tosu ini sedikitnya tentu ada enam puluh tahun usianya.
Seperti
sudah dituturkan di bagian depan, setelah dirinya kehilangan mahkota kuno yang
mengandung rahasia itu sehingga menderita luka-luka, Tan Hok mengadakan
hubungan dengan bekas anak-anak buahnya yaitu para orang gagah dari
Pek-lian-pai, kebetulan dia dapat bertemu pula dengan Kun Hong sehingga
mendapat pertolongan dan disembuhkan.
Kemudian Tan
Hok lalu mengumpulkan teman-temannya yang sementara itu juga sudah mencari bala
bantuan, bahkan berhasil mendapat bantuan Kam-hengte dan kedua orang tosu lihai
itu. Mendengar penuturan Tan Hok mengenai mahkota yang terjatuh ke tangan
penghuni Pulau Ching-coa-to, dua orang tosu itu kaget karena mereka sudah
mendengar kehebatan pulau ini. Maka serta merta mereka menyatakan kegembiraan
dan persetujuan ketika Tan Hok menyatakan hendak minta bantuan ketua
Thai-san-pai Si Raja Pedang. Berangkatlah rombongan itu sampai berpekan-pekan
lamanya dan menjelang senja itu mereka tiba di lereng Thai-san.
Mendengar
permintaan Tan Hok agar mereka menanti di situ, Koai Tojin tertawa bergelak,
lalu menurunkan papan catur dan membuka kantong biji catur sambil berkata,
"Ha-ha-ha, Tan-sicu baik sekali, memberi kesempatan kepada pinto (aku)
untuk mengaso dan bermain catur dengan Seng Tek Cu. Hayo, sobat, kita main
catur sampai kenyang, siapa tahu kita akan segera menghadapi urusan penting
sehingga tak akan sempat main catur lagi!"
Dalam
sekejap mata saja papan catur telah diletakkan di atas tanah dan biji-bijinya
diatur di atas papan. Seng Tek Cu tertawa pula dan menyambut tantangan ini. Tak
Hok tertawa, kemudian berpamit lagi lalu segera mendaki puncak karena khawatir
kalau-kalau malam segera tiba sehingga membuat pendakian itu sukar.
Teman-temannya memandang dan melihat punggung orang gagah yang bertubuh raksasa
itu lenyap di balik sebuah batu karang besar. Kemudian karena tidak ada
pekerjaan lain, sebagian di antara mereka asyik menonton dua orang tosu yang
sedang mengadu otak bermain catur, dan sebagian lagi duduk bercakap-cakap.
Kita ikuti
Tan Hok yang dengan sigapnya berloncatan menuju ke puncak Thai-san-pai.
Mendadak dengan kaget dia melihat tujuh orang berloncatan ke luar dari balik
batu-batu gunung dan pohon, langsung menghadangnya dengan pedang di tangan dan
sikap penuh ancaman.
Tan Hok
tersenyum dan menegur, "Sahabat-sahabat di depan bukankah para enghiong
(orang gagah) dari Thai-san-pai?"
"Tentu
saja kami adalah anak-anak murid Thai-san-pai. Kau ini siapakah berani lancang
memasuki wilayah Thai-san-pai tanpa ijin?" jawab salah seorang di antara
mereka dengan suara keras dan sikap yang angkuh.
Diam-diam
Tan Hok merasa heran sekali. Sangat boleh jadi kalau anak-anak Thai-san-pai ada
yang belum pernah melihatnya karena tiga tahun yang lalu adalah waktu yang
cukup lama dan mungkin orang-orang ini adalah anak-anak murid baru. Akan tetapi
melihat sikap yang begini kasar, benar-benar sangat mengherankan hatinya karena
tidak sesuai dengan watak Beng San, ketua mereka. Akan tetapi menghadapi
orang-orang muda dia berlaku sabar dan tersenyum, lalu memberi hormat.
"Ahh,
harap kalian memaafkan aku karena tergesa-gesa sehingga tidak sempat memberi
kabar kedatanganku. Aku adalah Tan Hok, kakak angkat dari ketua kalian..."
"He
kiranya kau pelarian itu? Saudara-saudara, kebetulan sekali penjahat besar yang
lari sambil mencuri barang-barang berharga dari istana itu datang ke sini. Ular
mencari gebuk, Hayo serang!"
Dan serta
merta tujuh orang itu menyerang Tan Hok dengan pedang mereka. Bukan main
kagetnya Tan Hok. Cepat dia mengelak dan masih sempat berseru,
"Saudara-saudara,
jangan serang aku...! Beri tahukan kedatanganku kepada Beng San, ketua kalian.
Aku bukan musuh...!"
Akan tetapi
mana mungkin dia dapat menghadapi serangan-serangan itu sambil bicara?
Pundaknya sudah termakan ujung pedang sehingga terpaksa Tan Hok juga mencabut
pedangnya melakukan perlawanan sedapatnya.
Tan Hok
adalah seorang pejuang yang memiliki kepandaian bukan rendah, akan tetapi
ternyata tujuh orang itu rata-rata lihai sekali ilmu pedangnya. Selain itu,
kesehatannya belum pulih benar, masih lemas. Kiranya melawan seorang di antara
mereka saja belum tentu dia akan dapat menang, apa lagi sekarang dikeroyok
tujuh. Tan Hok bingung dan bangkitlah rasa penasaran dan marah.
Dia
mengamuk. Tetapi sia-sia saja, karena berkali-kali tubuhnya termakan senjata
lawan sehingga dia menderita luka-luka parah. Terpaksa Tan Hok lalu memutar
pedang sekuat tenaga dan selagi tujuh orang pengeroyoknya itu mundur menjaga
diri, dia meloncat ke belakang dan lari turun dari lereng itu untuk minta
bantuan teman-temannya. Tujuh orang itu mengejarnya dan... dari balik-balik
pohon dan batu muncul banyak orang yang ikut pula melakukan pengejaran.
Cuaca sudah
mulai gelap ketika Tan Hok dengan napas terengah-engah tiba di tempat
teman-temannya mengaso. Semua orang kaget sekali melihat datangnya kakek
raksasa ini, pakaiannya cabik-cabik dan tubuhnya mandi darah.
"Salah
mengerti... aku... aku dikeroyok orang-orang Thai-san-pai...," kata Tan
Hok yang langsung roboh dengan tubuh lemas.
Teman-temannya
marah sekali. Dua orang tosu tua itu pun sudah meloncat berdiri dan siap dengan
senjata mereka. Beberapa menit kemudian dari atas turunlah banyak orang, dua
puluh lebih, laki-laki dan wanita, semua memegang pedang. Di dalam gelap itu
sukar mengenal wajah mereka, malah ada beberapa orang wanita yang menutupi muka
dengan sehelai sapu tangan hitam.
Tanpa banyak
cakap lagi orang-orang ini menyerbu teman-teman Tan Hok dan terjadilah
pertempuran hebat di tempat gelap itu! Hiruk-pikuk suara senjata beradu, bunyi
dencing pedang bertemu pedang, mendesir-desir angin senjata yang digerakkan
oleh tangan yang terlatih kuat.
Seng Tek Cu
mainkan pedangnya dengan cepat sehingga di mana dia bersilat tampak cahaya
pedangnya berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar mencari mangsa. Ahli
pedang Bu-tong-pai ini kaget bukan main karena rata-rata musuh-musuh yang
menyerbu ini memiliki kepandaian tinggi, apa lagi tiga orang wanita yang
menutupi muka dengan sapu tangan.
Dia
dikeroyok oleh lima orang, di antaranya dua dari tiga wanita berkedok itu. Sama
sekali dia tidak dapat mengenal ilmu pedang mereka, akan tetapi benar-benar
pengeroyokan lima orang ini membuat dia kewalahan sekali dan dalam tiga puluh
jurus saja dia sudah menderita luka bacokan pada pangkal lengan kirinya.
Keadaan Koai
Tojin juga tidak menyenangkan. Tosu aneh ini mengamuk dan memainkan senjatanya
yang aneh, yaitu pecut di tangan kanan dan papan catur di tangan kiri. Papan
itu terbuat dari pada baja dan dia pergunakan seperti sebuah perisai, sedangkan
pecutnya menyambar-nyambar ganas mengeluarkan suara nyaring. Hebat kepandaian
Koai Tojin ini.
Akan tetapi
pada saat itu dia pun kerepotan menghadapi pengeroyokan tiga orang, yaitu
seorang adalah wanita berkedok sapu tangan hitam, dan dua adalah orang-orang
tinggi besar yang bertenaga besar dan mainkan golok besar serta ruyung. Dia
terdesak hebat sekali dan hampir saja papan caturnya terlepas ketika
berkali-kali bertemu dengan ruyung, malah kemudian terdengar suara keras dan
papan caturnya pecah menjadi dua!
Akan tetapi,
Koai Tojin tidak menjadi gugup. Dia mengeluarkan suara gerengan keras dan
pecutnya menyambar-nyambar mengeluarkan suara nyaring, mencegah para pengeroyok
mendesak terlampau dekat. Betapa pun para orang gagah Pek-lian-pai itu melawan
dengan nekat, akan tetapi pihak pengeroyok ternyata jauh lebih kuat. Apa lagi
karena teman-teman Tan Hok ini bertempur dengan hati penuh keraguan dan
kebimbangan, serta kacau balau kehilangan pemimpin karena Tan Hok sendiri sudah
tidak berdaya. Mereka, seperti juga Tan Hok, merasa ragu dan bingung kenapa
orang-orang Thai-san-pai malah menyerang dan memusuhi mereka.
Tiba-tiba
terdengar bentakan mengguntur di dalam gelap itu dan sesosok bayangan kakek
tinggi besar mengamuk. Kakek ini tidak mempergunakan senjata, kedua lengan
bajunya yang lebar dan panjang berkibar-kibar ke sana ke mari dan setiap orang
Pek-lian-pai yang tersambar ujung lengan baju, pasti terlempar dan tak dapat
melawan lagi! Kakek ini sekali melompat sudah tiba di depan Tan Hok, sambil
tertawa-tawa tangan kanannya memukul ke arah dada Tan Hok yang sudah duduk di
atas tanah.
Tan Hok
kaget setengah mati. Ia berusaha menangkis dan berseru penuh keheranan dan
kemarahan, "Song-bun-kwi...!"
Akan tetapi
suaranya terhenti, tubuhnya terlempar dan kakek patriot ini menggeletak tak
bernyawa lagi oleh pukulan hebat yang meremukkan isi dadanya!
Kacau
balaulah rombongan Tan Hok. Tak kuat mereka melawan lagi. Seng Tek Cu dan Koai
Tojin maklum bahwa kalau mereka melawan terus, agaknya akan berakibat tak enak
bagi pihak mereka. Lawan terlampau kuat, apa lagi dibantu kakek luar biasa itu.
Lebih-lebih
kekagetan mereka mendengar saat Tan Hok sebelum tewas menyebut nama
Song-bun-kwi. Kalau benar kakek ini Song-bun-kwi, celakalah mereka. Sudah
terlampau sering mereka mendengar nama besar Song-bun-kwi yang selama
bertahun-tahun ini tak pernah terdengar lagi muncul di dunia kang-ouw.
"Saudara-saudara,
mundur...! Lari turun gunung...!" Seng Tek Cu berseru keras.
Orang-orang
Pek-lian-pai adalah bekas pejuang yang sudah biasa bertempur, maklum bahwa
kemunduran mereka kali ini bukanlah mundur untuk seterusnya, namun mundur
karena menghadapi lawan terlampau kuat dan mundur untuk mengatur siasat. Apa
lagi setelah Tan Hok tewas, mereka perlu mengadakan perundingan bersama lebih
dulu untuk menghadapi orang-orang Thai-san-pai yang secara tiba-tiba berubah menjadi
musuh ini.
Sambil
menyeret dan menyambar tubuh teman-teman yang terluka atau tewas, mereka
beramai mengundurkan diri dan lari turun gunung. Namun sepasang orang muda
murid Kong-thong-pai tidak sudi meninggalkan gelanggang pertempuran.
Mereka berdua
ini, Kam Bok dan Kam Siok, adalah orang-orang muda yang baru saja turun ke
dalam gelanggang perjuangan. Darah muda mereka, sifat kesatria mereka yang
menjunjung tinggi kegagahan, yang beranggapan bahwa bagi orang-orang gagah
pantang meninggalkan gelanggang pertempuran dengan nyawa masih di tubuh,
membuat mereka berkeras kepala tak mau ikut teman-teman mereka lagi. Lok-yang
Siang-houw, sepasang harimau dari Lok-yang ini malah mengeluarkan
bentakan-bentakan keras, mainkan golok di tangan mereka dan merobohkan beberapa
orang pengeroyok.
"Mundur
semua, biar pinceng (aku) bereskan bocah-bocah sombong ini!"
Mendengar
kata-kata kakek tinggi besar ini semua pengeroyok segera mundur sehingga
berhadapanlah dua orang saudara Kam ini dengan kakek yang tadi membunuh Tan Hok
ini. Lok-yang Siang-houw maklum bahwa kakek ini sangat sakti, maka mereka
segera menyerang berbareng dengan Ilmu Golok Kong-thong-pai yang amat cepat.
Dua batang golok di tangan mereka berkelebatan seperti sepasang naga menyambar
korban.
"He-he,
bocah-bocah Kong-thong-pai masih ingusan sudah berani menjual lagak di sini?
Ha-ha-ha!"
Hwesio
tinggi besar ini menggerakkan kedua lengannya. Ujung lengan baju seperti hidup
bergerak ke depan memapaki sinar golok, ketika bertemu dengan golok lalu
melibat bagai ular. Dua orang saudara Kam itu kaget sekali, berusaha mencabut
golok masing-masing namun ternyata golok mereka seperti telah berakar di lengan
baju itu, tidak dapat dicabut kembali.
Sambil
tertawa-tawa kakek itu menghentakkan kedua lengannya dan dua orang saudara Kam
itu terhuyung ke depan. Terpaksa dengan kaget sekali mereka melepaskan gagang
golok. Akan tetapi dengan nekat mereka kembali menerjang dengan kepalan tangan,
menyerang kakek tinggi besar itu dengan pukulan-pukulan keras. Kakek itu kini menggunakan
pinggir telapak tangan menangkis dua kali.
"Krekk!
Krekk!"
Tubuh dua
orang saudara Kam terpental dan lengan tangan mereka patah-patah oleh tangkisan
yang mengandung pukulan ini.
"Ha-ha-ha,
bocah-bocah macam kalian mana mampu melawan Song-bun-kwi?" Kakek itu
tertawa bergelak.
Kam Bok dan
Kam Siok menggigit bibir menahan sakit lalu bangun berdiri dengan muka pucat.
"Hwesio
jahat, kau bukan Song-bun-kwi...!" bentak Kam Bok.
Dia sudah
pernah mendengar bahwa Song-bun-kwi meski pun juga seorang tinggi besar akan
tetapi bukanlah seorang hwesio dan tokoh besar itu tak pernah bertempur secara
keroyokan melainkan selalu turun tangan seorang diri tanpa teman.
"Kalian
semua bukan orang-orang Thai-san-pai!" seru Kam Siok sambil memandang ke
sekeliling. "Orang-orang Thai-san-pai tak akan berbuat curang seperti
pengecut-pengecut macam kalian!"
Ucapan dua
orang saudara Kam ini membangkitkan kemarahan. Terdengar suara wanita memberi
aba-aba dan segera orang-orang itu menyerbu ke depan mengeroyok Kam Bok dan Kam
Siok. Kasihan sekali dua orang saudara dari Lok-yang ini. Mereka berusaha
melawan sedapat mungkin dengan tangan kiri, namun mana bisa tangan kiri
dipergunakan untuk menangkis sekian banyaknya senjata tajam yang datang
menyerang bertubi-tubi?
Lengan
tangan mereka sebentar saja remuk penuh luka, kemudian tubuh mereka dihujani
senjata tajam. Tetapi hebatnya, dua orang saudara Kam yang masih muda ini tak
pernah mengeluarkan rintihan sedikit pun sampai tubuh mereka roboh dan masih
saja dijadikan bulan-bulanan senjata sehingga terpotong-potong dan rusak
mengerikan!
Setelah
pertempuran berhenti, orang-orang yang mengaku orang-orang Thai-san-pai ini
menghilang ke dalam kegelapan malam. Keadaan sunyi kembali di tempat itu, sunyi
yang menyeramkan. Apa lagi ketika bintang-bintang di langit sudah muncul,
memberi sedikit penerangan di tempat pertempuran tadi, keadaan makin
menyeramkan dan mengerikan. Beberapa ekor binatang hutan yang dalam keadaan remang-remang
itu tak diketahui jelas bentuknya, hati-hati dan perlahan berdatangan di tempat
itu. Terjadilah pesta pora ketika binatang-binatang ini menjilati darah yang
berceceran di atas rumput….
***************
Berpekan-pekan
lamanya Beng San serta isterinya merasa gelisah. Peristiwa pada tiga pekan yang
lampau benar-benar menggegerkan Thai-san-pai. Dia dan isterinya turun dan
memeriksa sendiri ketika ada seorang anak murid melapor bahwa di lereng sebelah
barat terdapat dua buah mayat manusia yang keadaannya rusak teraniaya. Ketua
Thai-san-pai ini dan isterinya lalu melakukan pemeriksaan. Alangkah gelisah
hati mereka melihat betapa di samping mayat dua orang laki-laki muda yang
mengerikan itu, juga tampak bekas-bekas pertempuran besar di tempat itu.
"Apakah
artinya ini?" Dengan muka berubah khawatir, Cia Li Cu bertanya pada
suaminya, Tan Beng San ketua Thai-san-pai. Yang ditanya mengerutkan kening,
menggeleng-geleng kepala perlahan.
"Dua
orang yang menjadi mayat itu sukar dikenali mukanya, dan agaknya pertempuran
yang terjadi di sini baru malam tadi terjadi. Sayang kita tidak mendengarnya
sama sekali sehingga tidak dapat mengetahui siapa yang telah bertempur dan apa
sebabnya. Tetapi, dengan adanya dua mayat di tempat ini, dan kenyataan bahwa
pertempuran dilakukan di wilayah Thai-san-pai, terang bahwa hal-hal yang tidak
baik sedang terjadi dan hal itu tentu menyangkut Thai-san-pai."
Sejak hari
itu pula, Beng San memberi perintah kepada para muridnya yang mondok di
Thai-san-pai, untuk berjaga-jaga dan meronda setiap malam. Namun hatinya selalu
terasa tidak tenteram. Juga Li Cu merasa tak enak hatinya semenjak terjadi hal
yang penuh rahasia di lereng barat itu. Kekhawatirannya yang hendak
disembunyikan dapat diketahui bahwa dia tidak memperbolehkan lagi Cui Sian bermain-main
di luar pondok di puncak. Anak perempuan yang baru berusia empat tahun kurang
itu selalu harus berada di dekatnya, tidak boleh berpisah sebentar pun.
Beng San
maklum akan perasaan isterinya, maka pada suatu hari dia menghiburnya.
"Isteriku, tak perlu kau terlalu gelisah. Bukan baru sekarang kita tahu
bahwa banyak sekali orang-orang jahat di dunia kang-ouw selalu menaruh dendam
dan memusuhi kita. Mereka itu mau apa? Kita bisa melawan, tentang mati hidup
berada di tangan Thian Yang Maha Kuasa. Kenapa harus gelisah?"
Li Cu
menarik napas panjang. Semenjak kematian puterinya, Cui Bi, nyonya ini nampak
lebih kurus. Kehadiran Cui San sebagai pengganti Cui Bi, memang juga membawa
serta kekhawatiran besar, khawatir kalau-kalau nantinya Cui Sian akan mengalami
nasib seperti cici-nya (kakak perempuannya). Karena anaknya inilah maka ia
berkhawatir sekarang ini.
"Suamiku,
kiranya engkau sudah cukup mengenal watakku. Akan menjadi buah tertawaan dunia
agaknya apa bila aku sampai ketakutan menghadapi ancaman orang jahat. Tidak,
Suamiku, semenjak kecil aku sudah dididik oleh mendiang ayah untuk menjunjung
tinggi akan kegagahan dan tidak takut akan kematian. Akan tetapi, kau lihat
puteri kita ini... Cui Sian masih begini kecil. Hanya kalau teringat kepadanya
maka hatiku menciut, nyaliku mengecil dan perasaanku diliputi
kekhawatiran."
"Sudahlah,
kita serahkan saja kepada Thian Yang Maha Kuasa. Sampai pucat mukamu, agaknya
kau kurang tidur dalam beberapa hari ini."
"Memang
demikian, hatiku tidak enak saja..."
Enam pekan
kemudian semenjak terjadinya peristiwa di lereng barat itu. Malam itu amat
indah. Bulan bersinar tenang sejuk. Pohon-pohon dan rumput bermandikan cahaya
bulan nampak segar. Dari puncak Bukit Thai-san, bulan seakan-akan mengambang di
antara mega, begitu dekat seperti mudah dijangkau tangan.
Para anak
murid Thai-san-pai, setelah sebulan lebih bekerja keras melakukan penjagaan,
malam itu pun mulai malas untuk meronda. Malam ini terlalu indah untuk
memikirkan hal yang bukan-bukan, untuk menguatirkan hal yang tidak-tidak. Tidak
mungkin rasanya pada malam seindah itu akan terjadi hal-hai yang tidak baik.
Kata orang, cahaya bulan purnama membangkitkan kasih sayang di hati manusia
sehingga pada malam seperti itu, sukarlah untuk menaruh hati benci kepada orang
lain.
Cui Sian bersama
ayah bundanya juga bergembira di pekarangan depan pondok mereka. Tak ada
habisnya anak itu bertanya kepada ibunya tentang puteri di bulan, tentang kakek
bulan seperti yang didongengkan ibunya kepadanya.
"Ibu,
apakah cici Cui Bi juga di bulan?” dengan kata-kata lucu dan tidak jelas anak
itu bertanya sambil merebahkan kepalanya di atas pangkuan ibunya dan matanya
yang lebar bening itu terbelalak memandang bulan.
Sejenak Li
Cu bertukar pandang dengan suaminya. "Betul, nak, cici-mu juga di
bulan." Li Cu memeluk dan menciumi dahi puterinya itu.
"Ibu,
aku juga ingin terbang ke bulan..." Cui Sian merengek.
Ibunya
menghibur dan memelukinya, diam-diam berdoa mohon kepada kakek bulan agar
supaya kelak Cui Sian lebih bahagia dalam cinta kasihnya, tidak seperti Cui Bi.
Pada saat itu tangan Beng San menyentuh lengannya penuh arti. Li Cu menengok
dan memandang ke arah pandangan suaminya. Hatinya berdebar tegang.
Terang
sekali, di udara sebelah barat kelihatan meluncur ke atas sepucuk sinar merah,
berulang-ulang sampai tiga kali. Tidak salah lagi, itulah panah api yang
sengaja dilepas orang sebagai tanda rahasia. Belum hilang kagetnya, di sebelah
utara meluncur lain sinar, kini kehijauan, lebih terang dari pada tadi.
"Bawa
dia masuk...," kata Beng San perlahan kepada isterinya, nada suaranya
tenang.
Li Cu
bangkit, memondong anaknya. Cui Sian tidak mau dan menangis ingin menonton
bulan.
"Mari
masuk, Sian-ji, di luar banyak angin," ibunya menghibur dan membawanya
masuk ke rumah, lalu menyerahkan anak itu kepada inang pengasuh, bibi Cang.
Cui Sian
tetap menangis dan rewel, akan tetapi Li Cu memaksa anak itu dibawa masuk dan
dihibur bibi Cang serta para pelayan yang berada di pondok itu. Ia sendiri
setelah mengambil pedangnya, lalu kembali keluar. Dia melihat suaminya sedang
berdiri sambil memandang ke arah barat. Ia segera berdiri di sisi suaminya,
melayangkan pandang ke arah barat dan utara di mana tadi tampak panah-panah api
berwarna merah dan hijau.
"Siapakah
yang datang? Apa maksud mereka?" bisiknya.
Beng San
menggeleng kepala, mengerutkan kening. "Entah, belum pernah mendengar
tokoh menggunakan panah api. Biasanya panah-panah api dipergunakan oleh
rombongan yang memberi tanda rahasia..."
Mendadak
terdengar suara tinggi melengking dari arah barat, disusul suara hampir sama
dari arah utara. Tubuh suami isteri itu menegang.
"Li Cu,
aku harus segara turun dari sini untuk melakukan pemeriksaan ke bawah. Siapa
tahu murid-murid kita menghadapi musuh."
Tanpa
menanti persetujuan Li Cu, Beng San menggerakkan kaki hendak lari turun. Akan
tetapi tiba-tiba tangannya dipegang Li Cu yang menahannya. Dia heran, dan
menoleh.
"Kau di
sini saja, menjaga Cui Sian, biarkan aku sendiri."
"Jangan...!"
pinta Li Cu.
Beng San
terheran-heran. Baru kali ini selama menjadi isterinya, Li Cu memperlihatkan
keraguan yang amat mengherankan ini. Dia memegang kedua pundak isterinya,
pandang matanya mencari-cari ke dalam mata isterinya, lalu tanyanya heran,
"Li
Cu...! Jangan bilang bahwa kau... takut?"
Wanita itu
menarik napas panjang, mengandung isak. "Entahlah... aku tak enak sekali
hatiku. Kau di sinilah saja bersamaku, menjaga keselamatan Cui Sian."
Beng San memandang
dengan mata terbelalak. Hampir-hampir dia tidak percaya akan pendengarannya
sendiri. Kemudian dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha,
isteriku, kau seperti anak kecil merengek-rengek! Alangkah lucunya! Siapakah
berani mengganggu anak kita? Pula, biar aku turun puncak, kau berada di sini
dan siapa yang dapat mengganggu Cui Sian bila kau berada di sini? Huh, cacing
busuk dari mana berani menghadapi isteriku! Pedangmu akan mampu membasmi
seratus orang lawan, lagi pula, jalan ke puncak ini tidak mudah, tidak sembarangan
orang mampu melewati jalan rahasia kita."
"Tidak,
suamiku... sekali ini saja... kau bersamaku menjaga Cui Sian."
Beng San
mencabut pedangnya dan tampak sinar berkilat ketika Liong-cu-kiam tercabut.
Sekali berkelebat pedang itu sudah membelah sebuah batu besar di depannya,
hampir tanpa bersuara!
"Li
Cu!" Suara Beng San terdengar tegas dan kereng. "Baiknya tadi hanya batu
ini yang mendengar ucapanmu. Karena sudah mendengarkan suara isteriku, maka
kubinasakan dia! Bagaimana kalau ada manusia yang mendengar isteri ketua
Thai-san-pai berbicara seperti itu? Kau jelas tahu, aku adalah ketua
Thai-san-pai, dan perkumpulan ini harus kupertahankan dengan nyawaku kalau
perlu! Mana mungkin jika Thai-san-pai kedatangan musuh, ketuanya bersembunyi
saja di sini membiarkan anak-anak murid Thai-san-pai menghadapi bahaya tanpa
pimpinan? Li Cu, insyaflah, tak mungkin kita berubah menjadi pengecut!"
Ucapan
suaminya ini agaknya merupakan air dingin yang menyadarkan Li Cu. Ia terisak,
menundukkan kepalanya, lalu berkata perlahan, "Maafkan aku... kau
pergilah, kau benar. Tapi... hatiku tidak enak... aku khawatir anakku, bukan
keselamatan kita..."
"Li Cu,
perlihatkanlah keberanianmu sebagai seorang gagah!" Beng San menuntut.
"Srattt!"
Kembali
selarik sinar berkelebat ketika pedang Liong-cu-kiam yang pendek tercabut.
Sinar pedang menyambar dan batu yang tadi terbabat menjadi dua potong kini terbabat
menjadi empat potong oleh pedang Li Cu, hanya sedikit menimbulkan suara dan
bunga api!
"Aku
siap menjaga puncak ini dengan taruhan nyawa!"
Beng San
tersenyum, mendekatkan muka mencium pipi isterinya, lalu sekali berkelebat dia
sudah melompat jauh dan berlari turun puncak, dipandang oleh isterinya yang
tanpa terasa menitikkan dua butir air mata. Li Cu lalu menjaga di depan pondok,
menyesali diri sendiri yang hampir saja kehilangan pegangan, kehilangan
kepercayaan pada diri sendiri. Ini semua karena kekhawatirannya kehilangan Cui
Sian. Ia menjadi penakut setelah satu kali ia kehilangan Cui Bi.
Melalui
jalan rahasia, Beng San cepat tiba di lereng gunung, di mana dia melihat dari
jauh banyak obor menyala dan bahkan terdengar pula suara senjata beradu.
Kagetnya bukan kepalang dan cepat dia mengerahkan ilmu lari cepat menuju ke
tempat itu. Diam-diam dia menyesal mengapa dia datang terlambat. Baiknya
pertempuran itu baru saja dimulai, buktinya di kedua belah pihak belum jatuh
korban. Dia melihat belasan orang muridnya menghadapi serbuan puluhan orang,
bahkan masih banyak terdapat kelompok orang-orang yang berjajar di sebelah
barat dan sekelompok lagi di sebelah utara.
Matanya
menyapu cepat. Ia melihat bahwa kelompok di utara itu adalah orang-orang dari
Kong-thong-pai yang dipimpin oleh seorang tosu tua. Ada pun di sebelah barat
dengan kaget dia mengenal beberapa orang dari Pek-lian-pai. Hatinya berubah
lega. Orang-orang sendiri, pikirnya. Tapi mengapa terjadi pertempuran? Tentu
salah paham! Cepat dia berseru keras,
"Saudara-saudara,
harap suka menahan senjata dulu!"
Para anak
murid Thai-san-pai dengan girang mengenal suara guru mereka. Cepat mereka
melompat mundur dan menahan pedang masing-masing, lalu berkumpul dan berdiri di
belakang Beng San. Dari pihak lawan terdengar pula tosu Kong-thong-pai menyuruh
anak muridnya berhenti, juga di pihak Pek-lian-pai yang dipimpin oleh dua orang
tosu pula.
"Bagus!
Ketua Thai-san-pai sendiri keluar. Urusan ini harus diselesaikan!" kata
seorang tosu tua yang kurus kering, bongkok, dan memegang pedang.
Melihat tosu
ini, kembali Beng San terkejut dan cepat-cepat menjura. "Ah, kiranya
totiang Seng Tek Cu yang datang berkunjung. Juga kalau tidak keliru sangka,
totiang yang lain ini tentulah seorang tokoh Kong-thong-pai yang terhormat.
Bahkan aku mengenal beberapa saudara dari Pek-lian-pai di sini. Maaf-maaf...
tamu-tamu terhormat datang, aku tidak tahu dan tidak mengadakan
penyambutan."
Kemudian
Beng San menoleh pada para anak muridnya dan membentak kereng. "Kalian ini
bagaimana tidak bisa membedakan siapa kawan siapa lawan? Mengapa berani berlaku
kurang ajar terhadap tamu-tamu terhormat? Kau... Ki Han! Jawablah, kau yang
memimpin saudara-saudaramu melakukan penjagaan. Bagaimana bisa terjadi hal
ini?"
Su Ki Han
merupakan murid tertua dari Thai-san-pai, seorang laki-laki berusia tiga puluh
tahun, seorang gagah yang sudah dipercaya oleh Beng San. Dia cepat berlutut di
depan Beng San dan menjawab, "Mana teecu (murid) berani tidak mentaati
aturan suhu? Sama sekali murid dan para adik seperguruan tidak berani bersikap
kurang hormat terhadap tamu. Akan tetapi orang-orang ini sama sekali tak mau
memberi kesempatan kepada kami untuk bicara. Datang-datang mereka menyerang
kami dan sudah tentu saja kami terpaksa mempertahankan diri dan mempertahankan
nama besar Thai-san-pai. Harap suhu sudi menyelidiki dan kalau teecu dan
adik-adik seperguruan salah, kami sanggup menerima hukumannya."
Lega hati
Beng San dan dia percaya penuh kepada murid-muridnya ini. Dia lalu menoleh
kembali kepada Seng Tek Cu, memandang penuh kekhawatiran dan pertanyaan sambil
berkata. "Totiang mendengar sendiri ucapan muridku. Sebetulnya apakah yang
terjadi dan mengapa Totiang membawa serta pasukan yang terdiri dari
saudara-saudara Pek-lian-pai, malah ada rombongan Kong-thong-pai, lalu
datang-datang menyerang murid-muridku?"
Seng Tek Cu,
tosu kurus kering bongkok dari Bu-tong-pai ini, mendengar sambil tertawa
mengejek.
"Huh,
alangkah lucunya kenyataan yang tidak lucu! Pinto dan semua murid Bu-tong-pai,
semua orang gagah yang selama hidup menjunjung kegagahan, kebenaran dan
keadilan. Semua tokoh dunia kang-ouw memandang tinggi pada ketua Thai-san-pai
yang dianggap seorang berilmu yang berjiwa pendekar. Sebulan lewat yang lalu,
kalau ada orang bilang bahwa ketua Thai-san-pai seorang pengecut yang tak
mengenal pribudi, pasti pinto (aku) akan turun tangan memukul rusak mulut orang
yang bilang demikian itu. Sekarang pinto menyaksikan sendiri betapa kabar orang
tentang kehebatan ketua Thai-san-pai ternyata bohong belaka!"
Diam-diam
Beng San kaget sekali, tetapi dia tidak heran. Jawabnya dengan suara masih
tenang, "Totiang, dunia ini memang makin lama semakin kotor oleh perbuatan
manusia-manusia yang tidak benar. Banyak kejahatan dilakukan orang, akan tetapi
kejahatan yang paling keji adalah fitnah. Dalam urusan ini pun saya rasa ada
pihak yang melakukan fitnah terhadap Thai-san-pai, harap Totiang suka
berhati-hati menghadapi fitnah dan menyelidiki terlebih dulu dengan seksama
sebelum menjatuhkan keputusan."
"Ho-ho-ho,
ketua Thai-san-pai! Mata pinto masih belum buta! Tidak hanya pinto melihat
dengan kedua mata sendiri, bahkan pinto juga ikut merasai pukulan-pukulan anak
murid Thai-san-pai yang gagah perkasa, he-he-he, terlalu gagah sehingga sombong
dan galak. Kejadian satu setengah bulan yang lalu di lereng ini bukanlah impian
buruk, melainkan kenyataan yang pinto alami sendiri. Maka tak perlu kau
berpura-pura tidak tahu. Apakah kau begitu pengecut untuk menyangkal kejadian
yang disaksikan oleh puluhan pasang mata? Mayat-mayat masih belum hancur di
dalam kuburannya, orang-orang yang terluka masih belum sembuh, semua akibat
sepak terjang Thai-san-pai, dan kau masih ada muka untuk menyangkal?"
Berubah
wajah Beng San. Inilah hebat! Teringat dia akan keadaan di lereng barat, di
mana terdapat mayat dua orang tak dikenal dan bekas-bekas pertempuran besar.
"Totiang, dan cu-wi (tuan-tuan sekalian), harap dengarkan keteranganku!
Dalam hal ini pasti terjadi salah pengertian yang besar! Memang pada satu
setengah bulan yang lalu, aku dan para murid Thai-san-pai melihat bekas
pertempuran di lereng barat, kemudian menemukan dua mayat yang tidak kami
kenal, dalam keadaan rusak teraniaya. Kami sendiri masih bingung memikirkan
siapa adanya dua mayat yang sudah kami kubur itu, tapi..."
"Jahanam!
Itulah dua orang murid pinto, Lok-yang Siang-houw Kam-heng-te! Hayo kau ganti
nyawa dua orang murid pinto!" tiba-tiba saja tosu tua yang memimpin
rombongan Kong-thong-pai berseru sambil mencabut sebatang golok tipis dari
pinggangnya.
Tosu ini
bukan lain adalah Yang Ki Cu, seorang tosu tokoh Kong-thong-pai yang terkenal
dengan ilmu goloknya, seorang bekas pejuang. Golok di tangannya ini istimewa
sekali, tipis dan mudah melengkung, akan tetapi jangan dipandang rendah karena
golok tipis ini sangat kuat dan tajam sehingga mampu membabat putus senjata
lain yang terbuat dari pada baja. Semua anak murid Kong-thong-pai juga mencabut
golok mereka dan sikap mereka sudah mengancam sekali.
Beng San
makin kaget. Kiranya mayat-mayat itu adalah mayat Lok-yang Siang-houw yang
sudah dia kenal nama harumnya. Dia cepat mengangkat tangan mencegah terjadinya
pertempuran karena murid-muridnya juga menjadi panas menghadapi fitnah keji
terhadap Thai-san-pai ini.
"Ji-wi
Totiang dan saudara semua, harap suka bicara lebih dahulu sebelum turun tangan!
Sebetulnya, apakah yang telah terjadi di sini satu setengah bulan yang
lalu?"
Sekarang
Seng Tek Cu yang bicara, "Ketua Thai-san-pai, sebetulnya tidak perlu
diulang lagi karena buktinya sudah cukup kuat. Akan tetapi karena pada waktu
itu engkau tidak muncul, biarlah kau sekarang mempertanggung jawabkan perbuatan
murid-muridmu yang biadab, dibantu oleh mertuamu si iblis Song-bun-kwi. Dengar!
Waktu itu pinto dan Koai Tojin ini, juga beberapa saudara dari Pek-lian-pai,
dibantu oleh Lok-yang Siang-houw, mengantar saudara Tan Hok untuk menemuimu dan
minta bantuanmu tentang perkara perjuangan yang penting. Akan tetapi, ketika
saudara Tan Hok naik ke puncak seorang diri, ia bertemu dengan murid-murid
Thai-san-pai yang langsung memaki dan menyerang dia. Siapa tahu Thai-san-pai
telah dijadikan kaki tangan kaisar baru sehingga begitu tega mengkhianati
perjuangan orang yang tadinya kau akui sebagai kakak angkatmu. Saudara Tan Hok
lalu turun dikejar murid-muridmu yang jahat, tentu saja kami lalu menghadapi
murid-muridmu, terjadi pertempuran mati-matian dan muncullah mertuamu si iblis
laknat itu membuat kami menderita kekalahan. Saudara Tan Hok tewas di tangan
Song-bun-kwi, dan kedua saudara Kam juga tewas, di samping banyak saudara Pek-lian-pai
yang gugur. Nah, sekarang kau mau bilang apa lagi?"
Kalau ada
kilat menyambar dirinya di saat itu, kiranya Beng San tidak akan sekaget ketika
mendengar kata-kata ini. Mukanya berubah pucat kehijauan dan dia pun menoleh
kepada murid-muridnya. Serentak para muridnya berseru, "Bohong! Fitnah
belaka! Bohong semua itu, Suhu. Teecu sekalian tidak pernah bertempur dengan
mereka ini!"
Beng San
merasa seperti dalam sebuah mimpi buruk sekali. Kakak angkatnya, Tan Hok, tewas
di tempatnya ini dalam perjalanan hendak menemuinya? Dan yang membunuh Tan Hok
adalah kakek Song-bun-kwi?
"Tak
mungkin ini...," dia berkata keras-keras akan tetapi tidak ditujukan
kepada siapa pun karena kata-katanya ini adalah suara hatinya yang keluar
melalui mulutnya, "...terang tak mungkin murid-muridku malah mengeroyok
Tan-twako! Andai kata gak-hu (ayah mertua) Song-bun-kwi membunuh Tan-twako dan
Lok-yang Siang-houw, tentu di sana telah terjadi kesalah pahaman di antara
mereka."
"Ketua
Thai-san-pai! Setelah kau mendengar semuanya, bagaimana tanggung jawabmu? Atau
kau akan membela murid-muridmu dan memaksa kami turun tangan menghancurkan
Thai-san-pai?"
Suara Seng
Tek Cu ini menyadarkan Beng San dari pada lamunannya. Dia mengerutkan kening
dan mukanya yang kehijauan sudah pulih kembali karena keyakinannya bahwa
murid-muridnya pasti tidak melakukan perbuatan seperti difitnahkan orang itu.
"Totiang
dan cu-wi sekalian. Sudah terang bahwa terjadi hal hebat dan curang di sini.
Agaknya ada pihak-pihak yang ingin merusakkan nama baikku dan Thai-san-pai.
Karena anak muridku bukanlah orang-orang jahat, apa lagi memusuhi Tan-twako
yang menjadi kakak angkatku yang kukasihi. Pertanggungan jawab bagaimana yang
cu-wi kehendaki?"
"Kau
harus menghukum pembunuh-pembunuh itu, kau harus membunuh murid-muridmu yang
pada malam hari itu mengeroyok kami, membunuh mereka sekarang juga di depan
kami. Kalau kau mau melakukan hal itu, barulah pinto dan saudara-saudara di
sini suka menghabiskan perkara ini dan menganggap bahwa kau tetap seorang
pendekar besar yang tidak tahu-menahu akan perbuatan keji murid-muridmu di
waktu itu," jawab Seng Tek Cu yang diiringi anggukan kepala para anggota
Pek-lian-pai.
"Thai-san
Ciang-bun-jin, kau harus dapat pula mengantarkan kepala si iblis Song-bun-kwi
kepadaku sebagai pembalasan atas kematian dua orang muridku yang tidak berdosa,
barulah pinto mau menyudahi perkara ini!" kata pula Yang Ki Cu, tosu tua
Kong-thong-pai yang suaranya tinggi melengking.
Beng San
tertegun. Betul-betul pertanggungan jawab yang hebat dan gila. Mana mungkin dia
menghukum mati murid-muridnya yang sama sekali tidak bersalah, yang dia yakin
sama sekali tidak tahu-menahu dengan peristiwa di lereng barat itu? Apa lagi
permintaan tosu Kong-thong-pai itu, mana mungkin bisa dia mengantarkan kepala
ayah mertuanya, Song-bun-kwi, kepada tosu ini?
"Gila!"
bentaknya marah karena merasa tersinggung kehormatan serta kewibawaannya.
"Kalian mau menetapkan sendiri syarat-syarat yang tak mungkin! Mana bisa
ini dianggap sebagai keputusan orang-orang gagah? Pertanggungan jawab yang
kalian ajukan itu gila dan sewenang-wenang, mana bisa dibilang adil?"
"Hemmm,
kalau menurut pikiranmu, bagaimana seharusnya pertanggungan jawab itu?"
tanya Seng Tek Cu menahan marah.
"Totiang,
sebetulnya aku sama sekali tidak tahu-menahu mengenai peristiwa di lereng
sebelah barat itu. Akan tetapi karena peristiwa itu terjadi di wilayah
Thai-san, apa lagi karena malapetaka itu menimpa diri Tan-twako dan Lok-yang
Siang-houw, juga saudara-saudara Pek-lian-pai, maka sudah menjadi kewajibanku
untuk membersihkan nama baik Thai-san-pai, membalaskan penasaran Tan-twako
dengan jalan mencari sampai dapat pembunuh-pembunuh yang sebenarnya. Tentang
gak-hu Song-bun-kwi, biarlah aku akan mencarinya dan menanyakan hal itu, karena
aku masih ragu-ragu apakah benar-benar beliau yang melakukannya."
"Ketua
Thai-san-pai! Telingaku sendiri mendengar betapa Tan Hok sicu menyebut-nyebut
nama Song-bun-kwi sebelum tewas, dan kedua mataku sendiri melihat iblis tua itu
ketika mengamuk. Dan sekarang kau masih hendak menyangkal lagi?!" bentak
Seng Tek Cu.
"Pinto
juga minta pertanggungan jawab sekarang juga! Kematian murid-murid pinto harus
dibalas!" Yang Ki Cu juga berseru marah.
"Ganyang
penjahat-penjahat Thai-san-pai! Balaskan saudara-saudara kita!" teriak
para anggota Pek-lian-pai yang masih mendendam karena kematian banyak saudara
mereka.
Beng San
masih bersabar, akan tetapi murid-muridnya yang tidak dapat menahan diri lagi.
"Suhu, orang menghina Thai-san-pai semaunya. Kesabaran ada batasnya. Teecu
tidak takut melayani mereka!" kata Su Ki Han dengan tangan di gagang
pedangnya.
Beng San
mengangkat tangannya mencegah. "Nanti dulu, Ki Han. Mereka itu bukanlah
musuh, ada orang-orang jahat yang sengaja hendak mengadu domba antara kita
dengan mereka..." Akan tetapi Beng San tak dapat melanjutkan kata-katanya.
Tiba-tiba
saja terdengar jerit-jerit mengerikan dan robohlah tiga orang dalam rombongan
Pek-lian-pai dibarengi robohnya dua orang dirombongan Kong-thong-pai. Ribut
keadaan di situ, apa lagi ketika mereka mendapat kenyataan bahwa kelima orang
itu telah tewas dengan leher atau ulu hati tertusuk pisau-pisau kecil yang
agaknya sudah disambitkan orang-orang secara menggelap.
"Thai-san-pai
curang! Serbu dan ganyang Thai-san-pai!"
Orang-orang
di kedua rombongan itu berteriak-teriak dan tanpa menunggu komando lagi
orang-orang Kong-thong-pai dan Pek-lian-pai lalu menyerbu ke arah Beng San
dengan senjata di tangan!
Akan tetapi
dengan gerakan yang cepat laksana burung terbang, ketua Thai-san-pai ini sudah
lenyap dari tempatnya berdiri sehingga penyerangan orang-orang itu disambut
oleh murid-murid Thai-san-pai yang sudah marah.
Terjadilah
pertempuran hebat di antara mereka. Murid-murid Thai-san-pai yang pada saat itu
berada di situ hanya ada delapan belas orang, tetapi mereka ini adalah
murid-murid yang bertempat tinggal di Thai-san-pai dan mereka sudah berada di
situ semenjak Thai-san-pai berdiri empat tahun yang lalu. Oleh karena itu
mereka ini rata-rata sudah memiliki ilmu silat yang tinggi sehingga permainan
pedang mereka pun lihai.
Su Ki Han
murid kepala Thai-san-pai menyambut golok tosu Yang Ki Cu, oleh karena dia
melihat tosu ini hebat betul permainan goloknya. Murid Thai-san-pai ke dua yang
bernama Liok Sui menyambut pedang Seng Tek Cu tosu Bu-tong-pai sedangkan murid
ke tiga yang bernama Coa Bu Heng menghadapi Koai Tojin yang amat berbahaya
cambuk dan papan caturnya.
Ada pun lima
belas orang anak murid Thai-san-pai yang lain menghadapi pengeroyokan puluhan
orang musuh sehingga rata-rata setiap orang harus menghadapi empat atau lima
orang lawan! Benar-benar keadaan Thai-san-pai terancam sekali karena segera
kelihatan betapa pihak mereka terdesak hebat. Tiga orang murid kepala itu pun
terdesak oleh tiga orang tosu lihai yang tingkatnya jauh melebihi mereka.
Kenapa Beng
San malah melenyapkan diri? Kiranya pendekar ini tadi dengan amat kaget melihat
berkelebatnya pisau-pisau terbang yang merobohkan lima orang. Dia pun maklum
bahwa hal ini dilakukan oleh orang-orang yang hendak mengadu domba, maka
secepat kilat dia melompat kemudian menerobos gerombolan pohon dari mana
pisau-pisau itu beterbangan dan hanya terlihat olehnya.
Di bawah
sinar bulan purnama dia melihat ada bayangan tiga orang yang bertubuh kecil
langsing. Bayangan-bayangan itu gesit sekali dan sedang berlari meninggalkan tempat
itu.
"Perlahan
dulu...!" dia membentak sambil melompat, mengulur tangan hendak menangkap
salah seorang di antara mereka.
Tiba-tiba
terdengar suara mengejek. Bayangan itu melejit dan cengkeraman Beng San
menangkap angin!
Ketua
Thai-san-pai ini terkejut bukan main. Tidak sembarang orang dapat menghindarkan
cengkeramannya tadi, maka dari gebrakan ini saja dapat diduga bahwa orang-orang
ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia segera menerjang lagi dengan pukulan
tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menyambar orang ke dua yang datang
hendak membantu orang pertama. Orang ke tiga menggerakkan tangan dan angin
berciutan ke arahnya.
Beng San
terkejut bukan main. Pukulannya tertangkis lengan kecil berkulit halus namun
memiliki tenaga lweekang yang hebat. Biar pun dia dapat membuat lawan itu
terhuyung karena peraduan lengan itu, dia merasa betapa lengannya sendiri
panas, tanda bahwa tenaga lawan ini benar-benar tak boleh dipandang ringan.
Cengkeramannya
pada orang ke dua juga meleset, malah orang itu mengirim tendangan yang aneh
gerakannya ke arah bawah pusarnya. Serangan yang singkat tapi mematikan. Dan
pada saat itu, orang ke tiga mengirim serangan dengan telunjuk menuding dan
yang mengeluarkan angin berciutan ke arah lehernya.
Cepat Beng
San menggerakkan tangan kiri berusaha menangkap kaki yang menendang. Dia
berhasil menangkapnya, tetapi cepat-cepat melepaskannya kembali ketika
tangannya merasa memegang sebuah kaki bersepatu yang kecil, kaki seorang
wanita! Sedangkan pukulan aneh yang mendatangkan angin berciutan itu, dia
sampok dengan tangan sambil mengerahkan hawa pukulan Pek-in Hoat-sut. Karena
dia tidak mengira akan kehebatan pukulan ini, dia mendiamkan saja ketika
pukulan meleset mengenai ujung lengan bajunya.
"Brettt!"
Ujung lengan baju itu robek seperti ditusuk pedang!
"Hebat...!"
serunya kagum, maklumlah dia bahwa tiga orang ini agaknya tiga wanita yang
sakti.
"Siapakah
kalian? Kenapa datang-datang memusuhi aku?" Dia berusaha untuk mengenal
muka mereka, akan tetapi ternyata muka mereka tertutup sutera hitam, hanya
pakaian mereka berwarna merah berkembang.
"Hi-hi-hik!"
tiga orang wanita itu hanya tertawa. Tampak gigi-gigi putih mengkilap tertimpa
cahaya bulan, disusul berkilatnya tiga batang pedang yang mereka cabut
berbareng.
Beng San
berseru keras ketika tiga batang pedang itu seperti terbang menyerangnya dari
tiga jurusan. Dia mengerti bahwa tiga orang lawan sakti ini tak mungkin
dihadapi dengan tangan kosong, maka dia cepat menggerakkan tangan dan tampaklah
sinar menyilaukan mata ketika Liong-cu-kiam dihunus.
Dia harus
sanggup merobohkan mereka, atau setidaknya menangkap seorang di antara mereka.
Mereka inilah yang tahu akan fitnah yang menimpa Thai-san-pai. Akan tetapi
merobohkan tiga orang ini benar-benar tidak mudah. Ilmu pedang mereka amat aneh
dan lihai, malah pedang di tangan mereka berani membentur Liong-cu-kiam tanpa
rusak.
Beng San
penasaran. Diputarnya pedangnya sedemikian rupa dan mulailah dia mainkan
Im-yang Sin-kiam. Beberapa kali terdengar ketiga orang wanita itu berteriak
kaget dan menjerit. Im-yang-sin kiam benar-benar terlampau sakti bagi mereka.
Tiba-tiba
terdengar mereka bersuit aneh dan sinar-sinar putih berkelebatan menyambar dari
tubuh mereka ke arah Beng San. Hebat sekali senjata ini dan agaknya ini adalah
pisau-pisau kecil yang tadi sudah merobohkan lima orang. Beng San memutar
pedang menyampok, terdengar suara nyaring berkali-kali dan pisau-pisau itu
beterbangan ke kanan kiri.
Akan tetapi
ketika dia memandang ke depan, tiga orang wanita itu sudah lenyap ditelan
bayangan-bayangan gelap. Dia hendak meloncat dan mengejar, akan tetapi niat itu
lantas diurungkan ketika dia mendengar teriakan-teriakan dan senjata beradu
dari arah sebelah belakangnya.
Teringatlah
dia akan anak-anak murid Thai-san-pai yang tentunya sedang menghadapi serbuan
mereka itu, maka hatinya menjadi amat gelisah. Mana mungkin murid-muridnya yang
hanya delapan belas orang itu dapat mengatasi bahaya yang mengancam?
Dia tahu
pula bahwa tiga orang tosu itu saja takkan bisa dilawan, baik oleh murid kepala
Thai-san-pai sekali pun. Jika dia terus mengejar tiga orang wanita aneh tadi,
tentu para muridnya akan terancam bahaya maut. Tapi bila membiarkan tiga orang
itu lari, dia akan kehilangan bukti akan kebersihan Thai-san-pai. Dia merasa
serba salah.
Akhirnya dia
mengambil keputusan membantu murid-muridnya yang terancam bahaya. Kalau memang
Thai-san-pai bersih, tidak usah takut menghadapi fitnah, pikirnya. Mudah kelak
mencari rahasia dan mengejar orang-orang jahat yang menimbulkan fitnah.
Pada waktu
dia berlari dan melompat ke tempat pertempuran, hatinya berduka sekali dan
perasaannya amat terpukul. Banyak di antara para penyerbu menggeletak tak
bernyawa terkena bacokan pedang murid-muridnya, juga beberapa orang muridnya
menggeletak tak bernyawa. Yang masih bertempur telah luka-luka hebat pula.
Su Ki Han
melawan Yang Ki Cu dengan mati-matian akan tetapi terdesak hebat, pundak
kirinya sudah robek berdarah. Coa Bu Heng muridnya ke tiga yang berusia dua
puluh lima tahun, murid yang amat berbakat, didesak hebat oleh Koai Tojin dan
pakaiannya sudah compang-camping berikut kulit tubuhnya pecah-pecah terhajar
cambuk. Liok Sui muridnya yang sebaya dengan Su Ki Han juga sudah payah, darah
mengalir dari pahanya yang terluka oleh pedang Seng Tek Gu tosu Bu-tong-pai.
Sebentar lagi, tiga orang muridnya ini tentu akan roboh berikut murid-murid
yang lain.
"Tahan
semua...!" Dia membentak. "Kita terhasut fitnah! Orang-orang yang
jahat berada di sini..."
Tetapi pihak
penyerbu yang sudah marah dan merasa berada di ambang kemenangan itu sama
sekali tidak mau berhenti. Beng San menjadi marah sekali. Sambil berseru keras
tubuhnya berkelebat, berubah menjadi segulung sinar yang menerjang ke sana ke
mari.
Terdengar
teriakan kaget berturut-turut ketika Koai Tojin terhuyung ke belakang, papan
caturnya pecah dua dan cambuknya putus disusul Seng Tek Cu yang pedangnya
terputus dan Yang Ki Cu yang goloknya terbang entah ke mana. Mereka berundur
dengan muka pucat, memandang orang-orangnya yang kacau balau akibat diterjang gulungan
sinar itu. Pedang dan golok beterbangan, orang-orang terlempar karena dorongan
atau tendangan.
"Hayo,
siapa tidak mau berhenti? Manusia-manusia tolol kalian! Berhenti! Siapa yang
tak berhenti akan kurobohkan!" Beng San berteriak sambit menerjang ke sana
ke mari.
Sebentar
saja orang-orang itu mundur dengan jeri. Bukan main hebatnya sepak terjang Beng
San sang ketua Thai-san-pai ini. Sekarang dia tampak berdiri tegak dengan
pedang Liong-cu-kiam di tangan, menghadapi mereka dengan mata berapi-api.
"Siapa
masih berkepala batu? Majulah!" tantangnya penuh kemarahan.
Seng Tek Cu
melangkah maju dan tersenyum pahit. "Ketua Thai-san-pai, hebat memang
kepandaianmu. Kami tak mampu melawanmu. Akan tetapi, jangan kira bahwa kami
akan menerima begini saja dan..."
"Tutup
mulut! Sudah banyak jatuh korban sia-sia. Kukatakan tadi bahwa kalian kena
hasut fitnah dan orang-orang yang mengakibatkan itu berada di sini, merekalah
tadi yang secara diam-diam menyerang lima orang-orangmu secara menggelap.
Kalian benar-benar bodoh dan tidak mau mendengarkan alasanku!"
Kaget sekali
Seng Tek Cu. Mulai dia meragu. Juga Yang Ki Cu yang segera bertanya.
"Mana
mereka? Siapa mereka itu? Buktikan!"
"Mereka
orang-orang lihai. Tadi hampir saja tertangkap, tapi gagal. Ahh... akibat ketololan
kalian banyak jatuh korban..." Beng San sedih bukan main melihat mayat
bergelimpangan di sana-sini.
Tiba-tiba Su
Ki Han mengeluh, "...Suhu... di sana... apa itu...?"
Suara murid
kepala ini membuat tengkuk Beng San meremang. Cepat dia menoleh dan... wajahnya
langsung berubah pucat kehijauan pada waktu dia melihat api menyala-nyala di
puncak, didahului asap hitam mengebul tinggi.
"Celaka...!"
Dia memekik keras dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ.
Tahu-tahu
dia sudah jauh lari ke puncak, diikuti semua murid yang masih dapat berjalan.
Sambil terpincang-pincang dan terhuyung-huyung murid-murid yang terluka ikut
berlari ke puncak.
Koai Tojin,
Seng Tek Cu, beserta Yang Ki Cu ikut pula mengejar, mengikuti para murid
Thai-san-pai. Wajah mereka pucat, jantung pun berdebar keras. Murid-murid
Thai-san-pai yang rata-rata gugup dan gelisah itu membiarkan mereka bertiga
mengikuti ke puncak melalui jalan rahasia.
Orang-orang
Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai berdiri kebingungan, tidak berani turut ke
puncak tanpa diperintah. Mereka lalu mulai menolong orang-orang yang terluka,
termasuk orang-orang Thai-san-pai.
Banyak jatuh
korban. Sembilan orang murid Thai-san-pai tewas, empat luka-luka berat, sisanya
ikut naik ke puncak. Pihak Kong-thong-pai termasuk dua orang yang tewas oleh
senjata rahasia, menderita kerugian enam orang tewas dan lima luka-luka berat.
Pihak Pek-lian-pai tewas tujuh orang yang terkena senjata rahasia, dua belas
luka-luka!
Dengan hati
berdebar tidak karuan Beng San lari secepat terbang ke puncak. Ketika tiba di
puncak, ngeri hatinya menyaksikan betapa semua pondoknya telah terbakar. Api
bagai menjilat-jilat langit dan atap rumah itu sudah menyala seluruhnya.
Tapi hanya
sedetik dia memandang ke arah api, matanya kelihatan mencari ke sana ke mari.
Akhirnya dia dapat mendengar suara isterinya di sebelah belakang pondok. Cepat
dia meloncat ke sana, dilihatnya isterinya dengan pedang di tangan, muka pucat,
rambut awut-awutan dan mata terbelalak sedang menjerit-jerit, "Cui
Sian...! Cui Sian...!"
Seakan
terhenti detak jantung Beng San. Tanpa bertanya lagi dia lalu meloncat ke
depan, menerjang dinding pondoknya. Sekali terjang bobollah dinding itu. Tanpa
mempedulikan panasnya api dan bahaya keruntuhan atap rumahnya, dia
mencari-cari. Dilihatnya empat orang sudah menggeletak tak bernyawa dengan luka
pada dada.
Dia mencari
terus, tapi tidak melihat bayangan Cui San. Tiba-tiba atap rumah ambruk ke
bawah dan hanya dengan kecepatan luar biasa saja Beng San dapat meloncat ke
luar rumah. Ketika dia tiba di luar, murid-murid dan tiga orang tosu sudah tiba
pula di situ. Mereka memandang bengong ke arah Beng San yang pada saat itu
mukanya mengerikan sekali.
Muka
pendekar ini hitam, pakaiannya hangus di sana-sini, sepasang matanya menyaingi
panasnya api itu sendiri. Isterinya seperti orang tak sadar masih
menjerit-jerit memanggil nama Cui Sian.
Seng Tek Cu
terharu bukan main. Dia cepat melangkah maju, menjura dalam sekali dan berkata,
"Sicu, maafkan pinto... maafkan pinto..."
Beng San
tidak peduli, melainkan menghampiri isterinya. Li Cu yang dipegang pundaknya
oleh Beng San seperti baru sadar. Matanya tetap terbelalak dan begitu melihat
suaminya memegang pundaknya, dia cepat menjerit pergi dan menudingkan pedangnya
ke muka suaminya.
"Kau...!
Kalau tidak pergi... takkan terjadi begini... kau... kau...!” Dan wanita ini
menangis tersedu-sedu sambil berdiri tegak, tidak berusaha mengusap air
matanya, hanya menatap wajah Beng San penuh kebencian!
Ucapan ini
makin menusuk hati Seng Tek Cu, Koai Tojin, dan juga Yang Ki Gu. Tahulah mereka
sekarang bahwa semua ini adalah jebakan musuh yang sengaja mengadu domba dan
akhirnya, karena kebodohan mereka, Beng San terpaksa turun puncak dan agaknya
inilah yang dimaksudkan oleh para penjahat gelap itu. Memancing harimau ke luar
sarang, kemudian selagi Beng San bersitegang dengan mereka, penjahat-penjahat
itu langsung mengobrak-abrik sarang!
"Taihiap,
maafkan pinto... pinto semua bodoh sekali... pinto semua yang menyebabkan
malapetaka ini..." kata pula Seng Tek Cu.
Pedang Beng
San berkelebat dan sebuah batu besar di dekat tiga orang tosu itu menjadi
bulan-bulanan. Beberapa kali pedang berkelebat dan batu itu berubah seperti
tahu yang dicacah-cacah!
"Pergi...!
Pergi kalian dari sini...! Demi Tuhan... lekas pergi sebelum kubunuh...!"
Telunjuk tangan kiri Beng San menuding ke luar.
Tiga orang
tosu itu menunduk, lalu berjalan pergi dengan langkah-langkah gontai.
"Antar
mereka ke luar, urus jenazah adik-adikmu," kata Beng San kepada Su Ki Han
yang cepat menjalankan perintah suhunya, mendahului tiga orang tosu menjadi
penunjuk jalan.
Hati Ki Han
gelisah. Murid ini sama sekali tak merasakan lukanya. Murid-murid yang lain
tanpa diperintah juga pergi mengikuti twa-suheng mereka, maklum bahwa guru dan
ibu guru mereka tak mau diganggu orang lain.
Setelah
semua orang pergi, Beng San menengok ke arah isterinya. Jantungnya merasa
ditusuk pedang oleh pandangan mata isterinya yang penuh penyesalan, penuh dengan
penderitaan dan penuh kebencian. Seakan-akan dari pandang mata Beng San
terungkap seribu satu macam pertanyaan dan otomatis Li Cu berkata, suaranya
lirih seperti suara orang menangis,
"Mereka
datang... lima orang mengeroyokku... yang lain membakar rumah... kulihat Cui
Sian dibawa lari..." Tiba-tiba dia menangis menggerung-gerung.
"Anakku...! Cui Sian terus berteriak-teriak memanggilku... anakku... Cui
Sian... Cui Sian...!"
Beng San makin
hancur hatinya, dia melangkah maju, hendak memeluk isterinya. "Li Cu...
kenalkah kau siapa mereka? Biar kucari mereka, kurampas kembali anak
kita..."
"Jangan
sentuh aku!" Pedangnya berkelebat dan hampir saja lengan tangan Beng San
terbabat putus kalau dia tidak cepat-cepat menariknya. "Aku tidak kenal
mereka. Peduli apa dengan kau! Kau lebih mementingkan Thai-san-pai! Nah,
uruslah Thai-san-pai-mu itu. Aku akan pergi mencari anakku!" Setelah
berkata demikian, Li Cu berlari pergi menuruni puncak.
"Li Cu...!
Tunggu dulu...!"
Beng San
melompat melampaui isterinya, menghadangnya. "Kau maafkanlah aku... mari
kita bicara baik-baik..."
"Jangan
mendekat!" Kembali pedang Li Cu berkelebat. "Kau uruslah
Thai-san-pai, jangan pedulikan aku dan anakku. Aku bersumpah... dengarlah Beng
San, aku bersumpah takkan sudi melihat mukamu lagi tanpa adanya Cui Sian!"
Pedangnya
membabat ke depan dan selagi Beng San meloncat minggir, dia berlari terus
meninggalkan suaminya.
Beng San
menggigit bibir, menahan suaranya yang hendak menjerit-jerit. Hampir tak kuat
ia menahan gelora hatinya yang kalang kabut menghadapi mala petaka hebat ini.
Seluruh batinnya diliputi kemarahan luar biasa. Kemudian kakinya menendang.
Sebuah batu besar terlempar bergulingan. Pedangnya dikerjakan. Pohon-pohon
roboh malang melintang.
Beng San
terus menyerbu pondoknya yang masih terbakar. Ditendangnya, dihantamnya,
dibabatnya sehingga hiruk-pikuk suara pondok itu roboh. Batu-batu beterbangan,
tidak ada sebatang pun pohon utuh, semua dibabat rata dengan tanah!
Ia mengamuk
terus, dari kerongkongannya terdengar suara menggereng-gereng, matanya liar dan
semalam itu dia membuat puncak yang tadinya indah menjadi tempat yang rusak
binasa. Tanam-tanaman bunga ludes, pondok habis, pohon-pohon ambruk, batu-batu
pun malang melintang, banyak yang hancur.
Dalam
keadaan seperti inilah tiga orang murid kepala mendapatkan gurunya. Beng San
masih berdiri seperti patung, pedang di tangan, muka beringas mata liar.
"Suhu...!"
tiga orang murid itu menjatuhkan diri berlutut dan terdengar mereka menangis
terisak.
Beng San
menoleh, menunduk, matanya dikejap-kejapkan mengusir dua butir air mata yang
sejak tadi menggantung tak mau jatuh. Seperti orang baru sadar dari mimpi buruk
dia lalu menengok ke kanan kiri, melihat kerusakan yang diakibatkan oleh
kemarahannya. Diam-diam dia bersyukur bahwa tidak ada seorang pun manusia di
situ malam tadi. Kalau ada, entah apa akan jadinya.
Dia menarik
napas panjang, terasa sakit di dada. Tahu bahwa dia terluka oleh hawa amarahnya
sendiri! Cepat dia menyalurkan hawa murni ke dada, bernapas panjang-panjang
memulihkan tenaga dan kesehatan. Dia insyaf akan kegilaannya. Boleh jadi Li Cu
pun tak dapat menahan hantaman nasib seperti ini.
Dia tidak
menyalahkan isterinya. Seorang wanita bagaimana pun juga lebih lemah daya tahan
batinnya. Apa lagi pernah kehilangan Cui Bi, kini kehilangan Cui San. Amat
berat tentu.
Tapi dia
seorang laki-laki. Hampir lima puluh tahun hidupnya. Banyak sudah pengalaman.
Masa belum juga matang jiwanya oleh gemblengan pengalaman hidup yang pahit
getir? Kesadaran tidak boleh tertutup kegelapan nafsu. Dia harus tetap
berpendirian. Seorang gagah tak akan mudah goyah imannya. Sekali lagi dia
menarik napas panjang.
"Ki
Han, siapa saja di antara adikmu yang tewas dan berapa yang terluka?"
tanyanya, suaranya sudah biasa kembali. Beng San sudah pulih menjadi ketua
Thai-san-pai yang berwibawa.
Sambil
menangis Ki Han menyebutkan nama sembilan orang adik seperguruannya yang tewas
dan empat orang yang luka-luka. Kembali Beng San menarik napas panjang untuk
menyedot hawa murni guna menguatkan batinnya yang kembali terpukul kedukaan.
"Murid-muridku,
kuharap kalian suka mengubur jenazah adik-adikmu baik-baik. Kemudian bubarlah kalian,
pulang ke rumah masing-masing. Mereka yang tidak mempunyai rumah boleh saja
tinggal di pegunungan ini. Akan tetapi ingat, mulai saat ini Thai-san-pai tidak
ada lagi..."
"Suhu...!"
Ki Han terisak. "Di mana subo (ibu guru) dan adik Cui Sian?"
"Adikmu
diculik orang. Subo-mu pergi mengejar. Aku pun akan turun gunung menyusul
mereka. Ingat, Thai-san-pai tidak ada lagi..."
"Suhu...!"
Kini terdengar seruan mereka serentak menyatakan keberatan hati.
"Atau...
biarlah untuk sementara ini Thai-san-pai dibekukan. Tunggu sampai aku pulang.
Kalau aku tidak pulang selamanya, berarti Thai-san-pai tidak akan bangun lagi.
Beri tahu kepada semua adikmu yang tidak tinggal di sini. Terserah cara kalian
mencari jalan hidup masing-masing. Aku tidak akan mengurus sepak terjang kalian
selama kalian juga tidak menggunakan nama Thai-san-pai. Akan tetapi, percayalah
akan kemurahan Thian. Kalau Thian menghendaki, aku akan kembali membangun lagi
Thai-san-pai yang rusak binasa di hari ini. Nah, selamat tinggal,
murid-muridku..." Suara terakhir ini mengandung isak dan semua murid
menangis.
Akan tetapi
mereka hanya melihat bayangan suhu mereka berkelebat pergi dan lenyap.
Murid-murid itu saling rangkul dan bertangisan. Keadaan pada pagi hari itu
menyedihkan sekali. Thai-san-pai yang dibangun selama empat tahun dan tadinya
terkenal sebagai partai baru yang kuat dan disegani, dalam semalam runtuh dan
hancur binasa….
Kita
tinggalkan dulu keadaan Thai-san-pai yang rusak binasa dan ketuanya yang rusak
pula ketenteraman rumah tangganya. Mari kita menengok keadaan di puncak
Min-san. Telah dituturkan di bagian depan bahwa Tan Kong Bu putera Tan Beng San
bersama isterinya, Kui Li Eng dan kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun, setelah
menikah lalu pindah ke Min-san di mana dia dibantu oleh isterinya menerima
murid-murid yang berbakat dan berusaha mendirikan sebuah perkumpulan baru,
yaitu Min-san-pai.
Belum banyak
murid yang diterima oleh suami isteri ini karena mereka masih muda, lagi pula
mereka tidak mau menerima sembarangan murid. Kalau ada anak yang benar-benar
berbakat barulah mereka mau menurunkan ilmu silat sehingga dalam waktu empat
tahun, baru mempunyai murid sebanyak dua belas orang saja, terdiri dari
anak-anak muda laki perempuan berusia antara sepuluh sampai lima belas tahun.
Suami isteri
ini hidup rukun saling mencinta. Di samping mengajar silat kepada para murid
cilik ini mereka hidup sebagai petani, bercocok tanam sayur-sayur dan
buah-buahan yang dapat hidup subur di Min-san. Song-bun-kwi juga hidup tenang
tenteram di Min-san. Kakek ini sekarang menjadi gemuk dan sehat. Akan tetapi
lewat empat tahun, dia mulai mengeluh dan menjadi malas karena kerjanya hanya
makan tidur belaka. Berkali-kali dia mengeluh dan menyatakan ketidak puasan dan
kebosanan hatinya di depan cucunya dan cucu mantunya.
Pagi hari
itu dia nampak marah-marah dan gelisah. Semenjak subuh tadi Kong Bu dan
isterinya melihat dengan cemas betapa kakek itu tidak hentinya berlatih silat
di kebun belakang. Dan tidak seperti biasanya, terdengar suara keras. Ketika
mereka lari menengok, kiranya dua batang pohon besar sudah roboh dipukul dan
ditendang kakek itu! Masih saja Song-bun-kwi bersilat. Angin pukulannya
mendesir-desir dan dia sama sekali tidak mempedulikan munculnya cucu dan cucu
mantunya. Wajahnya cemberut dan matanya sayu.
Kong Bu
saling pandang dengan Li Eng. Dia menarik napas panjang, lalu menggandeng
tangan isterinya diajak masuk rumah. Dia masgul sekali, duduk bertopang dagu,
teringat akan percekcokan dengan kakek itu semalam. Seperti biasa, malam tadi
Song-bun-kwi makan bersama Kong Bu dan Li Eng yang juga melayani suami dan
kakeknya. Song-bun-kwi sudah berbeda dari pada biasanya, banyak menenggak arak
dan selalu minta tambah.
Dan
akhirnya, selesai makan Song-bun-kwi menggebrak meja sampai mangkok-mangkok
menari-nari di atas meja.
"Kau
anak sial! Tidak becus!" dia memaki Kong Bu.
Tidak heran
Kong Bu melihat kakeknya seperti itu. Sudah semenjak kecil dia tahu akan
keanehan watak kakek ini yang mudah marah dan mudah gembira, kadang-kadang bagi
yang tidak tahu tentu disangka gila. Dengan tenang dia tersenyum dan bertanya,
"Apa
lagi yang tak menyenangkan hatimu, Kongkong (kakek)? Kesalahan apakah kali ini
yang kulakukan?"
"Kesalahan
apa? Bocah tolol! Aku ingin punya buyut, kau dengar? Aku ingin punya buyut dan
kau tidak becus!"
Mendengar
omongan ini seketika wajah Li Eng menjadi merah dan dengan berpura-pura membawa
mangkok-mangkok kotor dia cepat-cepat lari ke belakang, namun telinga kakek dan
cucu yang lihai itu masih dapat mendengar isaknya tertahan-tahan.
Kong Bu mengerutkan
heningnya. Terlalu kakeknya ini. Sudah melewati batas sekarang. Sudah
berkali-kali kakeknya ini marah-marah kepadanya, memakinya tidak becus, tidak
mampu segala macam, hanya karena dia dan Li Eng sampai sekarang belum juga
punya keturunan, belum punya anak!
Kakeknya
memang orang aneh, ini dia tahu. Akan tetapi kalau sudah mencelanya tentang tak
punya anak di depan Li Eng, tentu saja isterinya merasa tersinggung sekali.
"Kakek,
lagi-lagi kau ribut-ribut soal cucu buyut!" tegurnya dengan suara agak
kasar. "Soal keturunan adalah soal yang ditentukan oleh Thian. Manusia
mana dapat menentukan? Mengapa kakek ribut-ribut saja urusan buyut? Apakah
tidak tahu bahwa ucapanmu tadi amat menyakiti hati Li Eng?"
"Aaahh,
dasar kau yang tidak becus! Laki-laki goblok kau, sudah menikah empat tahun
belum juga punya anak. Uuhhh!" kakek itu mencak-mencak dengan amat
berangnya.
Kong Bu tak
dapat menahan kesabarannya. Suara kakeknya terlalu keras sehingga biar pun Li
Eng berada di belakang, tentu isterinya itu dapat mendengar jelas.
"Kongkong,
kau terlalu sekali! Kau ingin punya cucu buyut untuk apa sih?"
"Wah,
untuk apa katanya? Tentu saja untuk kuwarisi kepandaian yang kulatih puluhan
tahun ini. Untuk apa lagi? Aku tidak akan mati meram sebelum kepandaianku
kuwariskan kepada buyutku. Tahu kau?"
Kong Bu
tertawa, berusaha mendinginkan hati kakeknya. "Ahh, kalau hanya untuk itu
saja, mengapa Kongkong harus susah-susah menanti buyut yang tak tentu kapan
datangnya? Bukankah cucu muridmu ada dua belas orang di sini, boleh kau pilih
mana yang kau sukai untuk dijadikan murid-muridmu. Bukankah ini baik sekali,
Kongkong?"
"Murid-murid
tahi kerbau!" Kakek itu makin marah. "Kalau memang mau cari murid,
aku bisa cari sendiri. Ahh, sudahlah, dasar kau yang tolol dan tidak
becus!"
Demikianlah
keributan malam tadi, keributan berdasarkan soal yang itu-itu juga dan yang
membuat Song-bun-kwi Kwee Lun murung. Pagi itu sejak subuh dia sudah bersilat
dan dengan pukulan saktinya merobohkan pohon besar. Biasanya, sesudah matahari
terbit, kakek ini tentu akan masuk ke ruangan depan, berjemur sinar matahari
melalui jendela ruangan itu sambil menghadapi minuman hangat yang disediakan
oleh Li Eng. Dia akan duduk di bangku panjang dan berbaring, meram melek nikmat
seperti seekor singa tua bermalasan.
Akan tetapi
pagi itu dia tidak masuk ke ruangan. Sampai matahari naik tinggi, kakek itu
tidak nampak pulang. Kong Bu merasa heran dan mencari ke belakang. Tidak ada.
Ke depan lalu ke sekeliling tempat itu. Tidak ada. Kakek itu tidak nampak
bayangannya lagi. Isterinya ikut mencari dan memanggil-manggil. Namun kakek itu
tidak kelihatan lagi mata hidungnya. Kong Bu mendekati isterinya. Mereka saling
pandang.
"Dia
kumat penyakitnya, dasar berdarah perantauan!" kata Kong Bu.
Li Eng
mengerutkan kening, menunduk. "Karena aku..."
Kong Bu
kaget, memandang isterinya. Dilihatnya dua titik air mata membasahi pipi Li
Eng. Dia merangkulnya. "Hushh, siapa bilang karena kau? Tentang itu, tak
perlu kita pikirkan, isteriku. Kita serahkan saja kepada Thian Yang Maha
Kuasa."
Li Eng
memang bukan seorang pemurung. Semenjak gadisnya, dia amat periang, kocak dan
jenaka. Sekarang pun hanya sebentar ia digerumuti rasa kecewa dan duka. Di lain
saat sambil tersenyum manis dia berkata, "Hemm, dunia kang-ouw tentu bakal
geger dan heboh karena munculnya kakek!"
Kong Bu juga
tersenyum. "Tentu saja, boleh kita pastikan itu! Kita dengar-dengar saja,
tentu terjadi keonaran. Memang kakekku itu tukang mencari geger.
Ha-ha-ha!" Mereka tertawa-tawa dan seketika lenyaplah awan mendung yang
mengancam sinar kebahagiaan mereka.
Benar dugaan
Kong Bu. Kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun memang sudah pergi dari Min-san.
Kekesalan hatinya karena belum juga dia dapat menimang seorang buyut yang
dinanti-nantikan, membangkitkan rindunya akan dunia ramai, membuat penyakitnya
suka merantau kambuh kembali. Seperti telah menjadi wataknya semenjak dahulu,
dia selalu pergi tanpa pamit dan pulang tanpa memberi tahukan.
Akan tetapi,
tidak seperti dugaan Kong Bu bahwa di dunia ramai kakeknya tentu akan
menimbulkan kegemparan, kali ini Song-bun-kwi melakukan perjalanan dengan
tenteram, tidak mempunyai nafsu untuk mencari perkara. Hal ini adalah karena
hatinya sudah menjadi dingin karena mengingat bahwa tokoh-tokoh setingkat
dengannya seperti Siauw-ong-kui, Pak-thian Lo-cu, atau Hek-hwa Kui-bo dan
Toat-beng Yok-mo, semua sudah mati. Kalau ada mereka, terutama Siauw-ong-kui,
tentu dia akan mencarinya dan diajak berkelahi sampai tiga hari tiga malam!
Hanya
tinggal seorang tokoh yang setingkat dengannya, atau setidaknya hampir
setingkat dengannya, yaitu Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang, itu tokoh besar dari
pantai timur. Karena teringat akan orang tua inilah maka kini Song-bun-kwi
melakukan perjalanan ke timur, ke pantai timur untuk mencari Tai-lek-sin.
Keperluannya hanya satu, mencari orang tua itu dan kalau sudah berjumpa, hendak
diajak berkelahi mengadu ilmu...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment