Sunday, July 29, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Buta Jilid 07



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
           Serial Pendekar Buta

                     Jilid 07


Akan tetapi oleh karena dasar dari pada sifat kepahlawanan ini pun sama, yaitu sifat yang mementingkan kemakmuran rakyat dari pada diri sendiri, yaitu sifat yang sangat indah dan baik, maka dengan mudah dia dapat menerimanya.

"Terima kasih, Paman. Sekarang aku telah mengerti dan maafkan atas prasangkaku yang bukan-bukan akan usahamu yang ternyata suci murni dan gagah perkasa itu. Nah, kini giliranku untuk bercerita tentang mahkota kuno itu."

Dengan singkat, Kun Hong menceritakan tentang mahkota itu kepada Tan Hok. Bahwa mahkota itu dijadikan rebutan antara Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang yang hendak menggunakan benda itu untuk mencari kedudukan serta mencari muka di depan kaisar baru. Bahwa kemudian mahkota itu terjatuh ke dalam tangan Tiat-jiu Souw Ki akan tetapi terampas kembali oleh seorang gadis pendekar bernama Loan Ki, tapi kemudian dalam kunjungan ke pulau Ular Hijau bersama dia, mahkota itu akhirnya terampas oleh majikan pulau Ular Hijau yang dibantu banyak orang pandai.

Mendengar ini, Tan Hok menjadi sangat gembira. "Memang bukan hal menggembirakan mendengar benda itu terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat yang lihai, akan tetapi masih tidak begitu buruk. Celakalah kalau mahkota itu sampai terjatuh ke tangan kaisar baru, tentu akan musnah pula surat rahasia itu. Kun Hong, bagaimanakah keadaan Pulau Ching-coa-to di telaga itu? Adakah harapan andai kata aku diam-diam menyelidik ke sana dan mencari kesempatan untuk merampasnya kembali? Aku sudah menghubungi banyak teman, bekas anak buahku di Pek-lian-pai dahulu dan aku bisa mengumpulkan tenaga-tenaga yang dapat dipercaya."

Kun Hong menggeleng kepala. "Berbahaya, Paman. Majikan pulau itu, Ching-toanio dan anak perempuannya, adalah dua orang yang berilmu tinggi, sukar dikalahkan. Pulau itu sendiri penuh jebakan dan perangkap yang sangat berbahaya. Ini semua masih belum hebat, yang paling sulit adalah kenyataan bahwa Ching-toa-nio sudah mendapat bantuan orang-orang pandai dan benar-benar lihai. Apa lagi Ka Chong Hoatsu, dia benar-benar merupakan tokoh yang sukar dilawan. Harap kau jangan sembrono menyerbu ke sana, sebaiknya dicari jalan yang baik."

Berkali-kali Tan Hok mengeluh. "Aku sudah tahu hingga di mana hebatnya kepandaianmu, Hiante, akan tetapi kau sendiri masih memuji penghuni Ching-coa-to, berarti tentu mereka benar-benar lihai. Kalau begini, tidak ada lain jalan bagiku kecuali pergi ke Thai-san dan minta bantuan adikku Beng San, Thai-san Ciang-bun-jin (ketua Thai-san-pai)."

Kun Hong mengangguk-angguk. "Kiranya memang hanya paman Beng San yang akan sanggup merampas kembali mahkota itu."

Tan Hok memegang pundak Kun Hong. "Terima kasih atas pertolonganmu dan terutama atas keterangan tentang mahkota itu, Hiante. Sekarang juga aku akan berangkat menuju ke Thai-san agar tidak terlambat. Tolong kau beri tahukan kepadaku resep obat itu."

Kun Hong lalu menyebutkan nama bahan-bahan obat. Dia sengaja memilih ramuan yang tidak banyak macamnya tetapi yang paling manjur. Kemudian mereka berpisah dan Kun Hong tidak mencegah perginya kakek itu karena dia maklum akan pentingnya tugas kakek patriot ini.

Setelah kakek raksasa Tan Hok itu pergi, Kun Hong termenung di dalam kuil rusak. Cerita kakek itu luar biasa mempengaruhi hatinya. Bangkit jiwa kepahlawanannya. Memang, apa artinya hidup ini apa bila tidak mampu berbuat kemanfaatan bagi sesama manusia? Dan kiranya kemanfaatan yang paling utama adalah kebaktian terhadap nusa dan bangsa, kebaktian yang tak kenal batas, kebaktian berdasarkan rela berkorban, baik harta benda, badan, mau pun nyawa. Betapa mulianya, betapa besarnya. Dan Tan Hok adalah seorang pahlawan, seorang patriot seperti itu.

Tetapi dia adalah seorang buta. Apa yang dapat dia lakukan untuk ikut-ikutan berdarma bakti terhadap tanah air dan bangsa? Kepandaiannya hanya dapat dia pergunakan untuk membela diri, atau melindungi orang-orang tertindas yang kebetulan bertemu dengannya. Terbatas dan sempit sekali. Bagaimana dia akan dapat ikut membantu perjuangan seperti yang dilakukan kakek Tan Hok?

Kun Hong termenung sedih. Keadaan negara sedang kacau balau. Orang-orang besar berebutan pangkat, saling serang saling menjatuhkan, untuk membantu golongan masing-masing, untuk mengangkat kaisar pilihan masing-masing.

Kun Hong seorang ahli filsafat. Dia dapat menduga apa akan jadinya kalau orang-orang yang memiliki bakat dan kepandaian memimpin rakyat, sibuk maunya sendiri berebutan kedudukan. Lupa bahwa mereka itu menjadi pembesar dan pemimpin untuk mengatur kehidupan rakyat, untuk mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat.

Kalau para pembesar dan yang menyebut dirinya sendiri atau disebut orang pemimpin-pemimpin itu bisa saling bekerja sama mencurahkan pikiran dan tenaga demi kepentingan rakyat, sudah tentu negara akan menjadi aman dan baik, kesejahteraan rakyat terjamin, kesukaran-kesukaran teratasi. Akan tetapi sebaliknya kalau orang-orang besar ini saling cakar untuk berebutan kedudukan, agaknya kesejahteraan atau kemakmuran hanya akan terasa oleh mereka sendiri, negara menjadi kacau, keamanan rusak, hukum dan keadilan tidak berlaku, hukum liar atau hukum rimba merajalela, siapa kuat dia menang dan siapa menang dia benar selalu.

Semua renungan ini membuat Kun Hong berduka karena dia tidak berdaya untuk turut menggulung lengan baju dan membantu usaha para patriot. Kemudian dia teringat akan mahkota itu. Mahkota yang menyimpan sehelai surat rahasia dari mendiang kaisar. Surat itu penting sekali, karena siapa tahu kekuasaan dan pengaruh surat peninggalan kaisar itu akan dapat mengakhiri kedudukan Kaisar Muda Kian Bun Ti tanpa harus terjadi banyak pertumpahan darah.

Ah, mengapa dia tidak berusaha mendapatkan surat itu? Ini pun akan merupakan sebuah usaha perjuangan untuk membantu para patriot! Dia harus kembali ke Ching-coa-to dan berusaha mendapatkan mahkota itu! Akan tetapi bagaimana? Selain dia buta, juga pulau itu amat berbahaya, penuh rahasia, bagaimana dia bisa mencari mahkota itu? Belum lagi diingat bahwa penghuni pulau amat lihai sehingga merampas mahkota merupakan hal yang amat tak mungkin baginya. Akan berbeda kiranya kalau dia tidak buta.

"Duhai Cui Bi..." keluhnya sedih, "...ternyata pengorbananku membutakan mata ini sama sekali tidak hanya merugikan aku, sebaliknya malah merugikan cita-cita baik, merugikan perjuangan dan menambah dosaku belaka..."

Kita tinggalkan dulu Kun Hong yang berkeluh kesah dan mari kita menjenguk keadaan di puncak Thai-san….


Pegunungan Thai-san dengan banyak puncaknya merupakan pegunungan yang terkenal dengan pemandangan alamnya yang amat indah dan sebagian besar masih liar, belum terjamah tangan dan terinjak kaki manusia. Beberapa tahun akhir-akhir ini, nama Thai-san muncul menjadi nama terkenal di dunia persilatan dengan berdirinya Partai Persilatan Thai-san-pai. Biar pun baru beberapa tahun berdirinya, namun para partai persilatan memandang partai baru ini dengan segan dan hormat karena mereka mengenal siapa orang yang menjadi pendiri dan tulang punggung partai baru ini. Siapakah di antara orang-orang kang-ouw tak pernah mendengar nama Raja Pedang Tan Beng San?

Inilah ketua Thai-san-pai, bahkan pendiri Thai-san-pai, seorang pendekar gagah perkasa yang memiliki ilmu pedang tinggi sehingga mendapat julukan Raja Pedang yang baru. Ada pun raja pedang lama adalah ayah mertuanya yang sudah meninggal, yaitu Raja Pedang Cia Hui Gan yang berjuluk Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tiada Bandingan). Tentu saja isteri ketua Thai-san-pai ini, puteri Bu-tek-kiam-ong, juga seorang ahli pedang yang sulit dicari bandingannya. Memang demikianlah, nyonya ketua Thai-san-pai ini amat pandai dalam ilmu pedang, apa lagi Ilmu Pedang Sian-li Kiam-hoat (Ilmu Pedang Bidadari) yang menjadi kepandaian warisan.

Seperti dituturkan jelas dalam cerita Rajawali Emas, ketua Thai-san-pai ini mempunyai tiga orang anak. Pertama adalah Tan Sin Lee, puteranya yang terlahir dari mendiang Kwa Hong, yang sejak kecil dididik oleh ibunya itu sangat lihai. Yang ke dua adalah Tan Kong Bu, puteranya yang terlahir dari mendiang Kwee Bi Goat dan putera ke dua ini sejak kecil dirawat dan dididik oleh kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun Si Iblis Berkabung. Anaknya yang ketiga, terlahir dari Cia Li Cu isterinya terakhir, adalah mendiang Tan Cui Bi. Semua ini telah dituturkan dengan jelas dan hebat di dalam cerita Rajawali Emas.

Seperti sudah diceritakan dalam Rajawali Emas, di Thai-san dirayakan pernikahan antara Tan Sin Lee dengan Thio Hui Cu dan Tan Kong Bu dengan Kui Li Eng. Perayaan itu amat meriah dan sekaligus ketua Thai-san-pai ini berbesan dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai karena dua orang gadis itu, Hui Cu dan Li Eng adalah anak murid Hoa-san-pai.

Beberapa bulan sesudah menikah. Tan Sin Lee lalu membawa isterinya ke Pegunungan Lu-liang-san tempat tinggal mendiang ibunya. Di tempat ini dia mempunyai sebuah rumah gedung yang lengkap dan mewah, juga mempunyai sawah ladang yang cukup luas. Bersama isterinya dia hidup dengan penuh kebahagiaan di tempat dingin ini, disegani dan dihormati oleh para penduduk di sekitar pegunungan itu karena sikap kedermawanan dan keramahan mereka.

Ada pun Tan Kong Bu lain lagi kesukaannya. Dia membawa isterinya dan juga diikuti oleh kakeknya ke Pegunungan Min-san di mana dia bercita-cita mendirikan partai seperti yang dilakukan ayahnya, untuk memperkembangkan ilmu silat yang dia miliki. Juga isterinya merupakan seorang pendekar wanita yang sangat tinggi ilmu silatnya, ilmu silat Hoa-san yang asli.

Suami isteri muda ini bercita-cita untuk menggabungkan ilmu silat mereka yang berlainan ragamnya ini menjadi ilmu silat partai mereka. Song-bun-kwi yang sudah tua tentu saja menjadi pelindung dan penasehat. Di dalam masa tuanya kakek ini dapat juga mengecap kebahagiaan dengan menyaksikan kerukunan cucunya itu.

Demikianlah, walau pun tadinya bergembira ria dalam merayakan pernikahan Sin Lee dan Kong Bu, setelah anak-anak itu pergi membawa isteri masing-masing, ketua Thai-san-pai serta isterinya merasa kesunyian. Puteri mereka satu-satunya, gadis lincah jenaka yang amat mereka sayang, sudah meninggal dunia dalam keadaan mengenaskan, membunuh diri karena patah hati dalam cinta kasihnya dengan Kwa Kun Hong. Sekarang, dua orang putera yang baru saja muncul mengakui ayah mereka setelah mereka itu dewasa, telah pergi pula.

Baiknya tak lama setelah pernikahan-pernikahan itu dilangsungkan, Cia Li Cu melahirkan anak perempuan. Bayi ini merupakan sinar terang di dalam cuaca gelap, menerangi hati suami isteri yang sedang diliputi kegelapan itu karena puteri mereka, Cui Bi, telah mati. Akan tetapi sekarang lahir seorang anak perempuan, pengganti Cui Bi! Anak itu mungil, montok sehat dan tangisnya nyaring.

Dengan muka berseri-seri ketua Thai-san-pai itu memondong bayinya, mengamat-amati muka bayi itu sambil tertawa-tawa senang.

"Aha, kau Cui Bi cilik! Ha-ha-ha, serupa benar, cuma bibirnya lebih runcing, tentu lebih suka mengoceh dari pada mendiang cici-nya, ha-ha!"

Li Cu yang masih rebah di pembaringan memandang terharu. Dua titik air mata menghias bulu matanya.

"Siapa... siapa namanya...?" tanyanya lirih.

Mendengar suara ini Beng San menengok dan dia pun menggigit bibir melihat dua titik air mata itu. Dengan hati-hati dia meletakkan puterinya di dekat Li Cu, dan mengusap dahi isterinya penuh kasih sayang lalu berkata, "Cui Sian namanya, ya... dia Cui Sian..."

Setelah mencium dahi isterinya perlahan, Beng San cepat keluar dari kamar itu agar tidak terlihat oleh isterinya betapa dia pun menitikkan dua butir air mata. Akan tetapi Li Cu tahu akan hal ini karena air mata itu tertinggal di dahinya ketika suami itu tadi menciumnya. Bayangan mendiang Cui Bi lah yang mendorong keluarnya air mata dari mata pasangan suami isteri ini.

Kehadiran Cui Sian dalam rumah tangga ketua Thai-san-pai benar-benar mendatangkan kegembiraan. Hal ini tentu saja amat menggirangkan hati para anak murid Thai-san-pai karena sekarang guru mereka mulai rajin kembali melatih ilmu silat. Tadinya, semenjak peristiwa hebat di puncak Thai-san-pai itu, semenjak kematian Cui Bi, ketua Thai-san-pai ini selalu tampak murung dan malas mengajar sehingga para anak murid menjadi khawatir karena hal ini berarti akan melemahkan partai persilatan itu. Akan tetapi kelahiran Cui Sian benar-benar mengubah segalanya. Bahkan nyonya ketua sendiri berkenan turun tangan dan kadang-kadang memberi petunjuk kepada murid-murid pilihan.

Cui Sian sendiri ternyata makin besar menjadi semakin mungil. Ia menjadi kesayangan semua orang di Thai-san-pai, bahkan disayang pula oleh anak-anak para penduduk di sekitar pegunungan itu. Biar pun dia menjadi ketua partai persilatan, namun Beng San dan isterinya tidak mengasingkan diri. Sering kali mereka mengajak puterinya ini turun dari puncak untuk mengunjungi para penduduk kampung dan beramah tamah, membiarkan Cui Sian bermain-main dengan anak-anak kampung.

Tiga tahun berlalu cepat. Thai-san-pai berkembang pesat dan tampak tanda-tanda bahwa perkumpulan ini nanti akan menjadi sebuah partai persilatan yang besar dan berpengaruh. Hal ini terjadi karena Beng San memang pandai memilih murid yang memiliki bakat dan dasar yang baik. Dia tak mengutamakan jumlah yang banyak, melainkan mengutamakan mutu.

Anak murid Thai-san-pai kurang lebih lima puluh orang laki perempuan, sebagian besar tinggal di bawah gunung dan hanya beberapa hari sekali naik ke puncak untuk menerima petunjuk dan untuk memperlihatkan hasil latihan di depan kedua guru mereka. Ada pula sebagian orang anak murid, yaitu mereka yang datang dari jauh dan terutama sekali yang tidak mempunyai keluarga lagi, juga tinggal di Thai-san-pai, di bawah puncak, mendirikan pondok-pondok kayu yang makin lama semakin banyak dan merupakan perkampungan tersendiri. Mereka yang bertempat tinggal di situlah yang mengerjakan sawah dan ladang sebagai sumber penghasilan Thai-san-pai, di samping pemberian para anak murid yang memiliki tempat tinggal sendiri dan yang mampu menyumbang.

Pada hari itu, saat menjelang senja, serombongan orang mendaki Pegunungan Thai-san. Rombongan ini besar juga, lebih dari dua puluh orang berkuda, dan mereka menghentikan kuda di bagian lereng bukit yang tidak mungkin dapat dilalui kuda. Seorang kakek tinggi besar setelah melompat turun dari atas punggung kudanya dan menambatkan kendali kuda pada batang pohon, berkata kepada teman-temannya,

"Tidak patut kalau kita semua naik ke puncak. Biar pun ketuanya adalah terhitung saudara angkat yang lebih muda, tapi dia adalah seorang ketua partai besar yang harus dihormati. Saudara-saudara tinggallah menanti di sini, juga ji-wi-enghiong (saudara gagah berdua) dan ji-wi-loenghiong (orang tua gagah berdua), biarlah saya sendiri yang naik ke puncak menemui Thai-san-paicu (ketua Thai-san-pai). Setelah mendapatkan perkenan dari pihak tuan rumah, barulah saudara-saudara naik."

Yang bicara ini bukan lain adalah Tan Hok, dan sebagian besar di antara para temannya adalah bekas-bekas anggota dan tokoh Pek-lian-pai. Dua orang laki-laki yang berusia tiga puluhan tahun dan berwajah tampan dengan tubuh tegap itu adalah Kam-hengte (dua saudara Kam) dari Lok-yang, sepasang kakak beradik gagah perkasa yang terkenal dengan julukan Lok-yang Siang-houw (Sepasang Harimau Lok-yang) dan terkenal pula sebagai pendekar-pendekar perkasa anak murid Kong-thong-pai.

Yang tua bernama Kam Bok, yang muda bernama Kam Siok. Mereka ini adalah jago-jago Kong-thong-pai, murid Yang Ki Cu, tokoh Kong-thong-pai yang dahulu menjadi seorang pejuang juga. Agaknya darah patriot menurun kepada sepasang anak murid ini sehingga dalam banyak hal kedua orang saudara Kam ini suka membantu Pek-lian-pai dan Tan Hok. Mereka terkenal dengan keahlian bermain golok, tentu saja mengandalkan pada Ilmu Golok Kong-thong To-hoat.

Ada pun dua orang kakek tua yang ikut dalam rombongan itu dan yang disebut sebagai locianpwe (orang tua gagah) oleh Tan Hok adalah dua orang pendeta beragama To yang jelas dapat dilihat dari pakaian mereka yang berwarna kuning polos dan rambut putih mereka yang diikatkan ke atas. Seorang yang punggungnya agak bongkok dan tubuhnya kurus kering adalah seorang tokoh Bu-tong-pai, seorang ahli pedang bernama Seng Tek Cu.

Orang ke dua ialah sahabat baiknya, seorang tosu (pendeta To) perantauan, penggemar permainan catur yang namanya tidak banyak dikenal orang namun sesungguhnya adalah seorang ahli silat tinggi yang sangat lihai. Dia tidak membawa senjata apa-apa kecuali sebatang cambuk biasa seperti cambuk penggembala kerbau yang terbuat dari pada bambu dengan ujung tali.

Pada punggungnya tergantung sebuah papan catur, sedangkan di pinggangnya terdapat sebuah kantung berisi biji-biji catur. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya selalu tersenyum ramah. Inilah Koai Tojin, nama yang selalu dia pakai. Tentu saja ini adalah nama samaran belaka karena Koai Tojin berarti Pendeta To Aneh. Dua orang tosu ini sedikitnya tentu ada enam puluh tahun usianya.

Seperti sudah dituturkan di bagian depan, setelah dirinya kehilangan mahkota kuno yang mengandung rahasia itu sehingga menderita luka-luka, Tan Hok mengadakan hubungan dengan bekas anak-anak buahnya yaitu para orang gagah dari Pek-lian-pai, kebetulan dia dapat bertemu pula dengan Kun Hong sehingga mendapat pertolongan dan disembuhkan.

Kemudian Tan Hok lalu mengumpulkan teman-temannya yang sementara itu juga sudah mencari bala bantuan, bahkan berhasil mendapat bantuan Kam-hengte dan kedua orang tosu lihai itu. Mendengar penuturan Tan Hok mengenai mahkota yang terjatuh ke tangan penghuni Pulau Ching-coa-to, dua orang tosu itu kaget karena mereka sudah mendengar kehebatan pulau ini. Maka serta merta mereka menyatakan kegembiraan dan persetujuan ketika Tan Hok menyatakan hendak minta bantuan ketua Thai-san-pai Si Raja Pedang. Berangkatlah rombongan itu sampai berpekan-pekan lamanya dan menjelang senja itu mereka tiba di lereng Thai-san.

Mendengar permintaan Tan Hok agar mereka menanti di situ, Koai Tojin tertawa bergelak, lalu menurunkan papan catur dan membuka kantong biji catur sambil berkata, "Ha-ha-ha, Tan-sicu baik sekali, memberi kesempatan kepada pinto (aku) untuk mengaso dan bermain catur dengan Seng Tek Cu. Hayo, sobat, kita main catur sampai kenyang, siapa tahu kita akan segera menghadapi urusan penting sehingga tak akan sempat main catur lagi!"

Dalam sekejap mata saja papan catur telah diletakkan di atas tanah dan biji-bijinya diatur di atas papan. Seng Tek Cu tertawa pula dan menyambut tantangan ini. Tak Hok tertawa, kemudian berpamit lagi lalu segera mendaki puncak karena khawatir kalau-kalau malam segera tiba sehingga membuat pendakian itu sukar. Teman-temannya memandang dan melihat punggung orang gagah yang bertubuh raksasa itu lenyap di balik sebuah batu karang besar. Kemudian karena tidak ada pekerjaan lain, sebagian di antara mereka asyik menonton dua orang tosu yang sedang mengadu otak bermain catur, dan sebagian lagi duduk bercakap-cakap.

Kita ikuti Tan Hok yang dengan sigapnya berloncatan menuju ke puncak Thai-san-pai. Mendadak dengan kaget dia melihat tujuh orang berloncatan ke luar dari balik batu-batu gunung dan pohon, langsung menghadangnya dengan pedang di tangan dan sikap penuh ancaman.

Tan Hok tersenyum dan menegur, "Sahabat-sahabat di depan bukankah para enghiong (orang gagah) dari Thai-san-pai?"

"Tentu saja kami adalah anak-anak murid Thai-san-pai. Kau ini siapakah berani lancang memasuki wilayah Thai-san-pai tanpa ijin?" jawab salah seorang di antara mereka dengan suara keras dan sikap yang angkuh.

Diam-diam Tan Hok merasa heran sekali. Sangat boleh jadi kalau anak-anak Thai-san-pai ada yang belum pernah melihatnya karena tiga tahun yang lalu adalah waktu yang cukup lama dan mungkin orang-orang ini adalah anak-anak murid baru. Akan tetapi melihat sikap yang begini kasar, benar-benar sangat mengherankan hatinya karena tidak sesuai dengan watak Beng San, ketua mereka. Akan tetapi menghadapi orang-orang muda dia berlaku sabar dan tersenyum, lalu memberi hormat.

"Ahh, harap kalian memaafkan aku karena tergesa-gesa sehingga tidak sempat memberi kabar kedatanganku. Aku adalah Tan Hok, kakak angkat dari ketua kalian..."

"He kiranya kau pelarian itu? Saudara-saudara, kebetulan sekali penjahat besar yang lari sambil mencuri barang-barang berharga dari istana itu datang ke sini. Ular mencari gebuk, Hayo serang!"

Dan serta merta tujuh orang itu menyerang Tan Hok dengan pedang mereka. Bukan main kagetnya Tan Hok. Cepat dia mengelak dan masih sempat berseru,

"Saudara-saudara, jangan serang aku...! Beri tahukan kedatanganku kepada Beng San, ketua kalian. Aku bukan musuh...!"

Akan tetapi mana mungkin dia dapat menghadapi serangan-serangan itu sambil bicara? Pundaknya sudah termakan ujung pedang sehingga terpaksa Tan Hok juga mencabut pedangnya melakukan perlawanan sedapatnya.

Tan Hok adalah seorang pejuang yang memiliki kepandaian bukan rendah, akan tetapi ternyata tujuh orang itu rata-rata lihai sekali ilmu pedangnya. Selain itu, kesehatannya belum pulih benar, masih lemas. Kiranya melawan seorang di antara mereka saja belum tentu dia akan dapat menang, apa lagi sekarang dikeroyok tujuh. Tan Hok bingung dan bangkitlah rasa penasaran dan marah.

Dia mengamuk. Tetapi sia-sia saja, karena berkali-kali tubuhnya termakan senjata lawan sehingga dia menderita luka-luka parah. Terpaksa Tan Hok lalu memutar pedang sekuat tenaga dan selagi tujuh orang pengeroyoknya itu mundur menjaga diri, dia meloncat ke belakang dan lari turun dari lereng itu untuk minta bantuan teman-temannya. Tujuh orang itu mengejarnya dan... dari balik-balik pohon dan batu muncul banyak orang yang ikut pula melakukan pengejaran.

Cuaca sudah mulai gelap ketika Tan Hok dengan napas terengah-engah tiba di tempat teman-temannya mengaso. Semua orang kaget sekali melihat datangnya kakek raksasa ini, pakaiannya cabik-cabik dan tubuhnya mandi darah.

"Salah mengerti... aku... aku dikeroyok orang-orang Thai-san-pai...," kata Tan Hok yang langsung roboh dengan tubuh lemas.

Teman-temannya marah sekali. Dua orang tosu tua itu pun sudah meloncat berdiri dan siap dengan senjata mereka. Beberapa menit kemudian dari atas turunlah banyak orang, dua puluh lebih, laki-laki dan wanita, semua memegang pedang. Di dalam gelap itu sukar mengenal wajah mereka, malah ada beberapa orang wanita yang menutupi muka dengan sehelai sapu tangan hitam.

Tanpa banyak cakap lagi orang-orang ini menyerbu teman-teman Tan Hok dan terjadilah pertempuran hebat di tempat gelap itu! Hiruk-pikuk suara senjata beradu, bunyi dencing pedang bertemu pedang, mendesir-desir angin senjata yang digerakkan oleh tangan yang terlatih kuat.

Seng Tek Cu mainkan pedangnya dengan cepat sehingga di mana dia bersilat tampak cahaya pedangnya berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar mencari mangsa. Ahli pedang Bu-tong-pai ini kaget bukan main karena rata-rata musuh-musuh yang menyerbu ini memiliki kepandaian tinggi, apa lagi tiga orang wanita yang menutupi muka dengan sapu tangan.

Dia dikeroyok oleh lima orang, di antaranya dua dari tiga wanita berkedok itu. Sama sekali dia tidak dapat mengenal ilmu pedang mereka, akan tetapi benar-benar pengeroyokan lima orang ini membuat dia kewalahan sekali dan dalam tiga puluh jurus saja dia sudah menderita luka bacokan pada pangkal lengan kirinya.

Keadaan Koai Tojin juga tidak menyenangkan. Tosu aneh ini mengamuk dan memainkan senjatanya yang aneh, yaitu pecut di tangan kanan dan papan catur di tangan kiri. Papan itu terbuat dari pada baja dan dia pergunakan seperti sebuah perisai, sedangkan pecutnya menyambar-nyambar ganas mengeluarkan suara nyaring. Hebat kepandaian Koai Tojin ini.

Akan tetapi pada saat itu dia pun kerepotan menghadapi pengeroyokan tiga orang, yaitu seorang adalah wanita berkedok sapu tangan hitam, dan dua adalah orang-orang tinggi besar yang bertenaga besar dan mainkan golok besar serta ruyung. Dia terdesak hebat sekali dan hampir saja papan caturnya terlepas ketika berkali-kali bertemu dengan ruyung, malah kemudian terdengar suara keras dan papan caturnya pecah menjadi dua!

Akan tetapi, Koai Tojin tidak menjadi gugup. Dia mengeluarkan suara gerengan keras dan pecutnya menyambar-nyambar mengeluarkan suara nyaring, mencegah para pengeroyok mendesak terlampau dekat. Betapa pun para orang gagah Pek-lian-pai itu melawan dengan nekat, akan tetapi pihak pengeroyok ternyata jauh lebih kuat. Apa lagi karena teman-teman Tan Hok ini bertempur dengan hati penuh keraguan dan kebimbangan, serta kacau balau kehilangan pemimpin karena Tan Hok sendiri sudah tidak berdaya. Mereka, seperti juga Tan Hok, merasa ragu dan bingung kenapa orang-orang Thai-san-pai malah menyerang dan memusuhi mereka.

Tiba-tiba terdengar bentakan mengguntur di dalam gelap itu dan sesosok bayangan kakek tinggi besar mengamuk. Kakek ini tidak mempergunakan senjata, kedua lengan bajunya yang lebar dan panjang berkibar-kibar ke sana ke mari dan setiap orang Pek-lian-pai yang tersambar ujung lengan baju, pasti terlempar dan tak dapat melawan lagi! Kakek ini sekali melompat sudah tiba di depan Tan Hok, sambil tertawa-tawa tangan kanannya memukul ke arah dada Tan Hok yang sudah duduk di atas tanah.

Tan Hok kaget setengah mati. Ia berusaha menangkis dan berseru penuh keheranan dan kemarahan, "Song-bun-kwi...!"

Akan tetapi suaranya terhenti, tubuhnya terlempar dan kakek patriot ini menggeletak tak bernyawa lagi oleh pukulan hebat yang meremukkan isi dadanya!

Kacau balaulah rombongan Tan Hok. Tak kuat mereka melawan lagi. Seng Tek Cu dan Koai Tojin maklum bahwa kalau mereka melawan terus, agaknya akan berakibat tak enak bagi pihak mereka. Lawan terlampau kuat, apa lagi dibantu kakek luar biasa itu.

Lebih-lebih kekagetan mereka mendengar saat Tan Hok sebelum tewas menyebut nama Song-bun-kwi. Kalau benar kakek ini Song-bun-kwi, celakalah mereka. Sudah terlampau sering mereka mendengar nama besar Song-bun-kwi yang selama bertahun-tahun ini tak pernah terdengar lagi muncul di dunia kang-ouw.

"Saudara-saudara, mundur...! Lari turun gunung...!" Seng Tek Cu berseru keras.

Orang-orang Pek-lian-pai adalah bekas pejuang yang sudah biasa bertempur, maklum bahwa kemunduran mereka kali ini bukanlah mundur untuk seterusnya, namun mundur karena menghadapi lawan terlampau kuat dan mundur untuk mengatur siasat. Apa lagi setelah Tan Hok tewas, mereka perlu mengadakan perundingan bersama lebih dulu untuk menghadapi orang-orang Thai-san-pai yang secara tiba-tiba berubah menjadi musuh ini.

Sambil menyeret dan menyambar tubuh teman-teman yang terluka atau tewas, mereka beramai mengundurkan diri dan lari turun gunung. Namun sepasang orang muda murid Kong-thong-pai tidak sudi meninggalkan gelanggang pertempuran.

Mereka berdua ini, Kam Bok dan Kam Siok, adalah orang-orang muda yang baru saja turun ke dalam gelanggang perjuangan. Darah muda mereka, sifat kesatria mereka yang menjunjung tinggi kegagahan, yang beranggapan bahwa bagi orang-orang gagah pantang meninggalkan gelanggang pertempuran dengan nyawa masih di tubuh, membuat mereka berkeras kepala tak mau ikut teman-teman mereka lagi. Lok-yang Siang-houw, sepasang harimau dari Lok-yang ini malah mengeluarkan bentakan-bentakan keras, mainkan golok di tangan mereka dan merobohkan beberapa orang pengeroyok.

"Mundur semua, biar pinceng (aku) bereskan bocah-bocah sombong ini!"

Mendengar kata-kata kakek tinggi besar ini semua pengeroyok segera mundur sehingga berhadapanlah dua orang saudara Kam ini dengan kakek yang tadi membunuh Tan Hok ini. Lok-yang Siang-houw maklum bahwa kakek ini sangat sakti, maka mereka segera menyerang berbareng dengan Ilmu Golok Kong-thong-pai yang amat cepat. Dua batang golok di tangan mereka berkelebatan seperti sepasang naga menyambar korban.

"He-he, bocah-bocah Kong-thong-pai masih ingusan sudah berani menjual lagak di sini? Ha-ha-ha!"

Hwesio tinggi besar ini menggerakkan kedua lengannya. Ujung lengan baju seperti hidup bergerak ke depan memapaki sinar golok, ketika bertemu dengan golok lalu melibat bagai ular. Dua orang saudara Kam itu kaget sekali, berusaha mencabut golok masing-masing namun ternyata golok mereka seperti telah berakar di lengan baju itu, tidak dapat dicabut kembali.

Sambil tertawa-tawa kakek itu menghentakkan kedua lengannya dan dua orang saudara Kam itu terhuyung ke depan. Terpaksa dengan kaget sekali mereka melepaskan gagang golok. Akan tetapi dengan nekat mereka kembali menerjang dengan kepalan tangan, menyerang kakek tinggi besar itu dengan pukulan-pukulan keras. Kakek itu kini menggunakan pinggir telapak tangan menangkis dua kali.

"Krekk! Krekk!"

Tubuh dua orang saudara Kam terpental dan lengan tangan mereka patah-patah oleh tangkisan yang mengandung pukulan ini.

"Ha-ha-ha, bocah-bocah macam kalian mana mampu melawan Song-bun-kwi?" Kakek itu tertawa bergelak.

Kam Bok dan Kam Siok menggigit bibir menahan sakit lalu bangun berdiri dengan muka pucat.

"Hwesio jahat, kau bukan Song-bun-kwi...!" bentak Kam Bok.

Dia sudah pernah mendengar bahwa Song-bun-kwi meski pun juga seorang tinggi besar akan tetapi bukanlah seorang hwesio dan tokoh besar itu tak pernah bertempur secara keroyokan melainkan selalu turun tangan seorang diri tanpa teman.

"Kalian semua bukan orang-orang Thai-san-pai!" seru Kam Siok sambil memandang ke sekeliling. "Orang-orang Thai-san-pai tak akan berbuat curang seperti pengecut-pengecut macam kalian!"

Ucapan dua orang saudara Kam ini membangkitkan kemarahan. Terdengar suara wanita memberi aba-aba dan segera orang-orang itu menyerbu ke depan mengeroyok Kam Bok dan Kam Siok. Kasihan sekali dua orang saudara dari Lok-yang ini. Mereka berusaha melawan sedapat mungkin dengan tangan kiri, namun mana bisa tangan kiri dipergunakan untuk menangkis sekian banyaknya senjata tajam yang datang menyerang bertubi-tubi?

Lengan tangan mereka sebentar saja remuk penuh luka, kemudian tubuh mereka dihujani senjata tajam. Tetapi hebatnya, dua orang saudara Kam yang masih muda ini tak pernah mengeluarkan rintihan sedikit pun sampai tubuh mereka roboh dan masih saja dijadikan bulan-bulanan senjata sehingga terpotong-potong dan rusak mengerikan!

Setelah pertempuran berhenti, orang-orang yang mengaku orang-orang Thai-san-pai ini menghilang ke dalam kegelapan malam. Keadaan sunyi kembali di tempat itu, sunyi yang menyeramkan. Apa lagi ketika bintang-bintang di langit sudah muncul, memberi sedikit penerangan di tempat pertempuran tadi, keadaan makin menyeramkan dan mengerikan. Beberapa ekor binatang hutan yang dalam keadaan remang-remang itu tak diketahui jelas bentuknya, hati-hati dan perlahan berdatangan di tempat itu. Terjadilah pesta pora ketika binatang-binatang ini menjilati darah yang berceceran di atas rumput….


                    ***************


Berpekan-pekan lamanya Beng San serta isterinya merasa gelisah. Peristiwa pada tiga pekan yang lampau benar-benar menggegerkan Thai-san-pai. Dia dan isterinya turun dan memeriksa sendiri ketika ada seorang anak murid melapor bahwa di lereng sebelah barat terdapat dua buah mayat manusia yang keadaannya rusak teraniaya. Ketua Thai-san-pai ini dan isterinya lalu melakukan pemeriksaan. Alangkah gelisah hati mereka melihat betapa di samping mayat dua orang laki-laki muda yang mengerikan itu, juga tampak bekas-bekas pertempuran besar di tempat itu.

"Apakah artinya ini?" Dengan muka berubah khawatir, Cia Li Cu bertanya pada suaminya, Tan Beng San ketua Thai-san-pai. Yang ditanya mengerutkan kening, menggeleng-geleng kepala perlahan.

"Dua orang yang menjadi mayat itu sukar dikenali mukanya, dan agaknya pertempuran yang terjadi di sini baru malam tadi terjadi. Sayang kita tidak mendengarnya sama sekali sehingga tidak dapat mengetahui siapa yang telah bertempur dan apa sebabnya. Tetapi, dengan adanya dua mayat di tempat ini, dan kenyataan bahwa pertempuran dilakukan di wilayah Thai-san-pai, terang bahwa hal-hal yang tidak baik sedang terjadi dan hal itu tentu menyangkut Thai-san-pai."

Sejak hari itu pula, Beng San memberi perintah kepada para muridnya yang mondok di Thai-san-pai, untuk berjaga-jaga dan meronda setiap malam. Namun hatinya selalu terasa tidak tenteram. Juga Li Cu merasa tak enak hatinya semenjak terjadi hal yang penuh rahasia di lereng barat itu. Kekhawatirannya yang hendak disembunyikan dapat diketahui bahwa dia tidak memperbolehkan lagi Cui Sian bermain-main di luar pondok di puncak. Anak perempuan yang baru berusia empat tahun kurang itu selalu harus berada di dekatnya, tidak boleh berpisah sebentar pun.

Beng San maklum akan perasaan isterinya, maka pada suatu hari dia menghiburnya. "Isteriku, tak perlu kau terlalu gelisah. Bukan baru sekarang kita tahu bahwa banyak sekali orang-orang jahat di dunia kang-ouw selalu menaruh dendam dan memusuhi kita. Mereka itu mau apa? Kita bisa melawan, tentang mati hidup berada di tangan Thian Yang Maha Kuasa. Kenapa harus gelisah?"

Li Cu menarik napas panjang. Semenjak kematian puterinya, Cui Bi, nyonya ini nampak lebih kurus. Kehadiran Cui San sebagai pengganti Cui Bi, memang juga membawa serta kekhawatiran besar, khawatir kalau-kalau nantinya Cui Sian akan mengalami nasib seperti cici-nya (kakak perempuannya). Karena anaknya inilah maka ia berkhawatir sekarang ini.

"Suamiku, kiranya engkau sudah cukup mengenal watakku. Akan menjadi buah tertawaan dunia agaknya apa bila aku sampai ketakutan menghadapi ancaman orang jahat. Tidak, Suamiku, semenjak kecil aku sudah dididik oleh mendiang ayah untuk menjunjung tinggi akan kegagahan dan tidak takut akan kematian. Akan tetapi, kau lihat puteri kita ini... Cui Sian masih begini kecil. Hanya kalau teringat kepadanya maka hatiku menciut, nyaliku mengecil dan perasaanku diliputi kekhawatiran."

"Sudahlah, kita serahkan saja kepada Thian Yang Maha Kuasa. Sampai pucat mukamu, agaknya kau kurang tidur dalam beberapa hari ini."

"Memang demikian, hatiku tidak enak saja..."

Enam pekan kemudian semenjak terjadinya peristiwa di lereng barat itu. Malam itu amat indah. Bulan bersinar tenang sejuk. Pohon-pohon dan rumput bermandikan cahaya bulan nampak segar. Dari puncak Bukit Thai-san, bulan seakan-akan mengambang di antara mega, begitu dekat seperti mudah dijangkau tangan.

Para anak murid Thai-san-pai, setelah sebulan lebih bekerja keras melakukan penjagaan, malam itu pun mulai malas untuk meronda. Malam ini terlalu indah untuk memikirkan hal yang bukan-bukan, untuk menguatirkan hal yang tidak-tidak. Tidak mungkin rasanya pada malam seindah itu akan terjadi hal-hai yang tidak baik. Kata orang, cahaya bulan purnama membangkitkan kasih sayang di hati manusia sehingga pada malam seperti itu, sukarlah untuk menaruh hati benci kepada orang lain.

Cui Sian bersama ayah bundanya juga bergembira di pekarangan depan pondok mereka. Tak ada habisnya anak itu bertanya kepada ibunya tentang puteri di bulan, tentang kakek bulan seperti yang didongengkan ibunya kepadanya.

"Ibu, apakah cici Cui Bi juga di bulan?” dengan kata-kata lucu dan tidak jelas anak itu bertanya sambil merebahkan kepalanya di atas pangkuan ibunya dan matanya yang lebar bening itu terbelalak memandang bulan.

Sejenak Li Cu bertukar pandang dengan suaminya. "Betul, nak, cici-mu juga di bulan." Li Cu memeluk dan menciumi dahi puterinya itu.

"Ibu, aku juga ingin terbang ke bulan..." Cui Sian merengek.

Ibunya menghibur dan memelukinya, diam-diam berdoa mohon kepada kakek bulan agar supaya kelak Cui Sian lebih bahagia dalam cinta kasihnya, tidak seperti Cui Bi. Pada saat itu tangan Beng San menyentuh lengannya penuh arti. Li Cu menengok dan memandang ke arah pandangan suaminya. Hatinya berdebar tegang.

Terang sekali, di udara sebelah barat kelihatan meluncur ke atas sepucuk sinar merah, berulang-ulang sampai tiga kali. Tidak salah lagi, itulah panah api yang sengaja dilepas orang sebagai tanda rahasia. Belum hilang kagetnya, di sebelah utara meluncur lain sinar, kini kehijauan, lebih terang dari pada tadi.

"Bawa dia masuk...," kata Beng San perlahan kepada isterinya, nada suaranya tenang.

Li Cu bangkit, memondong anaknya. Cui Sian tidak mau dan menangis ingin menonton bulan.

"Mari masuk, Sian-ji, di luar banyak angin," ibunya menghibur dan membawanya masuk ke rumah, lalu menyerahkan anak itu kepada inang pengasuh, bibi Cang.

Cui Sian tetap menangis dan rewel, akan tetapi Li Cu memaksa anak itu dibawa masuk dan dihibur bibi Cang serta para pelayan yang berada di pondok itu. Ia sendiri setelah mengambil pedangnya, lalu kembali keluar. Dia melihat suaminya sedang berdiri sambil memandang ke arah barat. Ia segera berdiri di sisi suaminya, melayangkan pandang ke arah barat dan utara di mana tadi tampak panah-panah api berwarna merah dan hijau.

"Siapakah yang datang? Apa maksud mereka?" bisiknya.

Beng San menggeleng kepala, mengerutkan kening. "Entah, belum pernah mendengar tokoh menggunakan panah api. Biasanya panah-panah api dipergunakan oleh rombongan yang memberi tanda rahasia..."

Mendadak terdengar suara tinggi melengking dari arah barat, disusul suara hampir sama dari arah utara. Tubuh suami isteri itu menegang.

"Li Cu, aku harus segara turun dari sini untuk melakukan pemeriksaan ke bawah. Siapa tahu murid-murid kita menghadapi musuh."

Tanpa menanti persetujuan Li Cu, Beng San menggerakkan kaki hendak lari turun. Akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang Li Cu yang menahannya. Dia heran, dan menoleh.

"Kau di sini saja, menjaga Cui Sian, biarkan aku sendiri."

"Jangan...!" pinta Li Cu.

Beng San terheran-heran. Baru kali ini selama menjadi isterinya, Li Cu memperlihatkan keraguan yang amat mengherankan ini. Dia memegang kedua pundak isterinya, pandang matanya mencari-cari ke dalam mata isterinya, lalu tanyanya heran,

"Li Cu...! Jangan bilang bahwa kau... takut?"

Wanita itu menarik napas panjang, mengandung isak. "Entahlah... aku tak enak sekali hatiku. Kau di sinilah saja bersamaku, menjaga keselamatan Cui Sian."

Beng San memandang dengan mata terbelalak. Hampir-hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Kemudian dia tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, isteriku, kau seperti anak kecil merengek-rengek! Alangkah lucunya! Siapakah berani mengganggu anak kita? Pula, biar aku turun puncak, kau berada di sini dan siapa yang dapat mengganggu Cui Sian bila kau berada di sini? Huh, cacing busuk dari mana berani menghadapi isteriku! Pedangmu akan mampu membasmi seratus orang lawan, lagi pula, jalan ke puncak ini tidak mudah, tidak sembarangan orang mampu melewati jalan rahasia kita."

"Tidak, suamiku... sekali ini saja... kau bersamaku menjaga Cui Sian."

Beng San mencabut pedangnya dan tampak sinar berkilat ketika Liong-cu-kiam tercabut. Sekali berkelebat pedang itu sudah membelah sebuah batu besar di depannya, hampir tanpa bersuara!

"Li Cu!" Suara Beng San terdengar tegas dan kereng. "Baiknya tadi hanya batu ini yang mendengar ucapanmu. Karena sudah mendengarkan suara isteriku, maka kubinasakan dia! Bagaimana kalau ada manusia yang mendengar isteri ketua Thai-san-pai berbicara seperti itu? Kau jelas tahu, aku adalah ketua Thai-san-pai, dan perkumpulan ini harus kupertahankan dengan nyawaku kalau perlu! Mana mungkin jika Thai-san-pai kedatangan musuh, ketuanya bersembunyi saja di sini membiarkan anak-anak murid Thai-san-pai menghadapi bahaya tanpa pimpinan? Li Cu, insyaflah, tak mungkin kita berubah menjadi pengecut!"

Ucapan suaminya ini agaknya merupakan air dingin yang menyadarkan Li Cu. Ia terisak, menundukkan kepalanya, lalu berkata perlahan, "Maafkan aku... kau pergilah, kau benar. Tapi... hatiku tidak enak... aku khawatir anakku, bukan keselamatan kita..."

"Li Cu, perlihatkanlah keberanianmu sebagai seorang gagah!" Beng San menuntut.

"Srattt!"

Kembali selarik sinar berkelebat ketika pedang Liong-cu-kiam yang pendek tercabut. Sinar pedang menyambar dan batu yang tadi terbabat menjadi dua potong kini terbabat menjadi empat potong oleh pedang Li Cu, hanya sedikit menimbulkan suara dan bunga api!

"Aku siap menjaga puncak ini dengan taruhan nyawa!"

Beng San tersenyum, mendekatkan muka mencium pipi isterinya, lalu sekali berkelebat dia sudah melompat jauh dan berlari turun puncak, dipandang oleh isterinya yang tanpa terasa menitikkan dua butir air mata. Li Cu lalu menjaga di depan pondok, menyesali diri sendiri yang hampir saja kehilangan pegangan, kehilangan kepercayaan pada diri sendiri. Ini semua karena kekhawatirannya kehilangan Cui Sian. Ia menjadi penakut setelah satu kali ia kehilangan Cui Bi.

Melalui jalan rahasia, Beng San cepat tiba di lereng gunung, di mana dia melihat dari jauh banyak obor menyala dan bahkan terdengar pula suara senjata beradu. Kagetnya bukan kepalang dan cepat dia mengerahkan ilmu lari cepat menuju ke tempat itu. Diam-diam dia menyesal mengapa dia datang terlambat. Baiknya pertempuran itu baru saja dimulai, buktinya di kedua belah pihak belum jatuh korban. Dia melihat belasan orang muridnya menghadapi serbuan puluhan orang, bahkan masih banyak terdapat kelompok orang-orang yang berjajar di sebelah barat dan sekelompok lagi di sebelah utara.

Matanya menyapu cepat. Ia melihat bahwa kelompok di utara itu adalah orang-orang dari Kong-thong-pai yang dipimpin oleh seorang tosu tua. Ada pun di sebelah barat dengan kaget dia mengenal beberapa orang dari Pek-lian-pai. Hatinya berubah lega. Orang-orang sendiri, pikirnya. Tapi mengapa terjadi pertempuran? Tentu salah paham! Cepat dia berseru keras,

"Saudara-saudara, harap suka menahan senjata dulu!"

Para anak murid Thai-san-pai dengan girang mengenal suara guru mereka. Cepat mereka melompat mundur dan menahan pedang masing-masing, lalu berkumpul dan berdiri di belakang Beng San. Dari pihak lawan terdengar pula tosu Kong-thong-pai menyuruh anak muridnya berhenti, juga di pihak Pek-lian-pai yang dipimpin oleh dua orang tosu pula.

"Bagus! Ketua Thai-san-pai sendiri keluar. Urusan ini harus diselesaikan!" kata seorang tosu tua yang kurus kering, bongkok, dan memegang pedang.

Melihat tosu ini, kembali Beng San terkejut dan cepat-cepat menjura. "Ah, kiranya totiang Seng Tek Cu yang datang berkunjung. Juga kalau tidak keliru sangka, totiang yang lain ini tentulah seorang tokoh Kong-thong-pai yang terhormat. Bahkan aku mengenal beberapa saudara dari Pek-lian-pai di sini. Maaf-maaf... tamu-tamu terhormat datang, aku tidak tahu dan tidak mengadakan penyambutan."

Kemudian Beng San menoleh pada para anak muridnya dan membentak kereng. "Kalian ini bagaimana tidak bisa membedakan siapa kawan siapa lawan? Mengapa berani berlaku kurang ajar terhadap tamu-tamu terhormat? Kau... Ki Han! Jawablah, kau yang memimpin saudara-saudaramu melakukan penjagaan. Bagaimana bisa terjadi hal ini?"

Su Ki Han merupakan murid tertua dari Thai-san-pai, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun, seorang gagah yang sudah dipercaya oleh Beng San. Dia cepat berlutut di depan Beng San dan menjawab, "Mana teecu (murid) berani tidak mentaati aturan suhu? Sama sekali murid dan para adik seperguruan tidak berani bersikap kurang hormat terhadap tamu. Akan tetapi orang-orang ini sama sekali tak mau memberi kesempatan kepada kami untuk bicara. Datang-datang mereka menyerang kami dan sudah tentu saja kami terpaksa mempertahankan diri dan mempertahankan nama besar Thai-san-pai. Harap suhu sudi menyelidiki dan kalau teecu dan adik-adik seperguruan salah, kami sanggup menerima hukumannya."

Lega hati Beng San dan dia percaya penuh kepada murid-muridnya ini. Dia lalu menoleh kembali kepada Seng Tek Cu, memandang penuh kekhawatiran dan pertanyaan sambil berkata. "Totiang mendengar sendiri ucapan muridku. Sebetulnya apakah yang terjadi dan mengapa Totiang membawa serta pasukan yang terdiri dari saudara-saudara Pek-lian-pai, malah ada rombongan Kong-thong-pai, lalu datang-datang menyerang murid-muridku?"

Seng Tek Cu, tosu kurus kering bongkok dari Bu-tong-pai ini, mendengar sambil tertawa mengejek.

"Huh, alangkah lucunya kenyataan yang tidak lucu! Pinto dan semua murid Bu-tong-pai, semua orang gagah yang selama hidup menjunjung kegagahan, kebenaran dan keadilan. Semua tokoh dunia kang-ouw memandang tinggi pada ketua Thai-san-pai yang dianggap seorang berilmu yang berjiwa pendekar. Sebulan lewat yang lalu, kalau ada orang bilang bahwa ketua Thai-san-pai seorang pengecut yang tak mengenal pribudi, pasti pinto (aku) akan turun tangan memukul rusak mulut orang yang bilang demikian itu. Sekarang pinto menyaksikan sendiri betapa kabar orang tentang kehebatan ketua Thai-san-pai ternyata bohong belaka!"

Diam-diam Beng San kaget sekali, tetapi dia tidak heran. Jawabnya dengan suara masih tenang, "Totiang, dunia ini memang makin lama semakin kotor oleh perbuatan manusia-manusia yang tidak benar. Banyak kejahatan dilakukan orang, akan tetapi kejahatan yang paling keji adalah fitnah. Dalam urusan ini pun saya rasa ada pihak yang melakukan fitnah terhadap Thai-san-pai, harap Totiang suka berhati-hati menghadapi fitnah dan menyelidiki terlebih dulu dengan seksama sebelum menjatuhkan keputusan."

"Ho-ho-ho, ketua Thai-san-pai! Mata pinto masih belum buta! Tidak hanya pinto melihat dengan kedua mata sendiri, bahkan pinto juga ikut merasai pukulan-pukulan anak murid Thai-san-pai yang gagah perkasa, he-he-he, terlalu gagah sehingga sombong dan galak. Kejadian satu setengah bulan yang lalu di lereng ini bukanlah impian buruk, melainkan kenyataan yang pinto alami sendiri. Maka tak perlu kau berpura-pura tidak tahu. Apakah kau begitu pengecut untuk menyangkal kejadian yang disaksikan oleh puluhan pasang mata? Mayat-mayat masih belum hancur di dalam kuburannya, orang-orang yang terluka masih belum sembuh, semua akibat sepak terjang Thai-san-pai, dan kau masih ada muka untuk menyangkal?"

Berubah wajah Beng San. Inilah hebat! Teringat dia akan keadaan di lereng barat, di mana terdapat mayat dua orang tak dikenal dan bekas-bekas pertempuran besar. "Totiang, dan cu-wi (tuan-tuan sekalian), harap dengarkan keteranganku! Dalam hal ini pasti terjadi salah pengertian yang besar! Memang pada satu setengah bulan yang lalu, aku dan para murid Thai-san-pai melihat bekas pertempuran di lereng barat, kemudian menemukan dua mayat yang tidak kami kenal, dalam keadaan rusak teraniaya. Kami sendiri masih bingung memikirkan siapa adanya dua mayat yang sudah kami kubur itu, tapi..."

"Jahanam! Itulah dua orang murid pinto, Lok-yang Siang-houw Kam-heng-te! Hayo kau ganti nyawa dua orang murid pinto!" tiba-tiba saja tosu tua yang memimpin rombongan Kong-thong-pai berseru sambil mencabut sebatang golok tipis dari pinggangnya.

Tosu ini bukan lain adalah Yang Ki Cu, seorang tosu tokoh Kong-thong-pai yang terkenal dengan ilmu goloknya, seorang bekas pejuang. Golok di tangannya ini istimewa sekali, tipis dan mudah melengkung, akan tetapi jangan dipandang rendah karena golok tipis ini sangat kuat dan tajam sehingga mampu membabat putus senjata lain yang terbuat dari pada baja. Semua anak murid Kong-thong-pai juga mencabut golok mereka dan sikap mereka sudah mengancam sekali.

Beng San makin kaget. Kiranya mayat-mayat itu adalah mayat Lok-yang Siang-houw yang sudah dia kenal nama harumnya. Dia cepat mengangkat tangan mencegah terjadinya pertempuran karena murid-muridnya juga menjadi panas menghadapi fitnah keji terhadap Thai-san-pai ini.

"Ji-wi Totiang dan saudara semua, harap suka bicara lebih dahulu sebelum turun tangan! Sebetulnya, apakah yang telah terjadi di sini satu setengah bulan yang lalu?"

Sekarang Seng Tek Cu yang bicara, "Ketua Thai-san-pai, sebetulnya tidak perlu diulang lagi karena buktinya sudah cukup kuat. Akan tetapi karena pada waktu itu engkau tidak muncul, biarlah kau sekarang mempertanggung jawabkan perbuatan murid-muridmu yang biadab, dibantu oleh mertuamu si iblis Song-bun-kwi. Dengar! Waktu itu pinto dan Koai Tojin ini, juga beberapa saudara dari Pek-lian-pai, dibantu oleh Lok-yang Siang-houw, mengantar saudara Tan Hok untuk menemuimu dan minta bantuanmu tentang perkara perjuangan yang penting. Akan tetapi, ketika saudara Tan Hok naik ke puncak seorang diri, ia bertemu dengan murid-murid Thai-san-pai yang langsung memaki dan menyerang dia. Siapa tahu Thai-san-pai telah dijadikan kaki tangan kaisar baru sehingga begitu tega mengkhianati perjuangan orang yang tadinya kau akui sebagai kakak angkatmu. Saudara Tan Hok lalu turun dikejar murid-muridmu yang jahat, tentu saja kami lalu menghadapi murid-muridmu, terjadi pertempuran mati-matian dan muncullah mertuamu si iblis laknat itu membuat kami menderita kekalahan. Saudara Tan Hok tewas di tangan Song-bun-kwi, dan kedua saudara Kam juga tewas, di samping banyak saudara Pek-lian-pai yang gugur. Nah, sekarang kau mau bilang apa lagi?"


cerita silat online karya kho ping hoo


Kalau ada kilat menyambar dirinya di saat itu, kiranya Beng San tidak akan sekaget ketika mendengar kata-kata ini. Mukanya berubah pucat kehijauan dan dia pun menoleh kepada murid-muridnya. Serentak para muridnya berseru, "Bohong! Fitnah belaka! Bohong semua itu, Suhu. Teecu sekalian tidak pernah bertempur dengan mereka ini!"


Beng San merasa seperti dalam sebuah mimpi buruk sekali. Kakak angkatnya, Tan Hok, tewas di tempatnya ini dalam perjalanan hendak menemuinya? Dan yang membunuh Tan Hok adalah kakek Song-bun-kwi?

"Tak mungkin ini...," dia berkata keras-keras akan tetapi tidak ditujukan kepada siapa pun karena kata-katanya ini adalah suara hatinya yang keluar melalui mulutnya, "...terang tak mungkin murid-muridku malah mengeroyok Tan-twako! Andai kata gak-hu (ayah mertua) Song-bun-kwi membunuh Tan-twako dan Lok-yang Siang-houw, tentu di sana telah terjadi kesalah pahaman di antara mereka."

"Ketua Thai-san-pai! Setelah kau mendengar semuanya, bagaimana tanggung jawabmu? Atau kau akan membela murid-muridmu dan memaksa kami turun tangan menghancurkan Thai-san-pai?"

Suara Seng Tek Cu ini menyadarkan Beng San dari pada lamunannya. Dia mengerutkan kening dan mukanya yang kehijauan sudah pulih kembali karena keyakinannya bahwa murid-muridnya pasti tidak melakukan perbuatan seperti difitnahkan orang itu.

"Totiang dan cu-wi sekalian. Sudah terang bahwa terjadi hal hebat dan curang di sini. Agaknya ada pihak-pihak yang ingin merusakkan nama baikku dan Thai-san-pai. Karena anak muridku bukanlah orang-orang jahat, apa lagi memusuhi Tan-twako yang menjadi kakak angkatku yang kukasihi. Pertanggungan jawab bagaimana yang cu-wi kehendaki?"

"Kau harus menghukum pembunuh-pembunuh itu, kau harus membunuh murid-muridmu yang pada malam hari itu mengeroyok kami, membunuh mereka sekarang juga di depan kami. Kalau kau mau melakukan hal itu, barulah pinto dan saudara-saudara di sini suka menghabiskan perkara ini dan menganggap bahwa kau tetap seorang pendekar besar yang tidak tahu-menahu akan perbuatan keji murid-muridmu di waktu itu," jawab Seng Tek Cu yang diiringi anggukan kepala para anggota Pek-lian-pai.

"Thai-san Ciang-bun-jin, kau harus dapat pula mengantarkan kepala si iblis Song-bun-kwi kepadaku sebagai pembalasan atas kematian dua orang muridku yang tidak berdosa, barulah pinto mau menyudahi perkara ini!" kata pula Yang Ki Cu, tosu tua Kong-thong-pai yang suaranya tinggi melengking.

Beng San tertegun. Betul-betul pertanggungan jawab yang hebat dan gila. Mana mungkin dia menghukum mati murid-muridnya yang sama sekali tidak bersalah, yang dia yakin sama sekali tidak tahu-menahu dengan peristiwa di lereng barat itu? Apa lagi permintaan tosu Kong-thong-pai itu, mana mungkin bisa dia mengantarkan kepala ayah mertuanya, Song-bun-kwi, kepada tosu ini?

"Gila!" bentaknya marah karena merasa tersinggung kehormatan serta kewibawaannya. "Kalian mau menetapkan sendiri syarat-syarat yang tak mungkin! Mana bisa ini dianggap sebagai keputusan orang-orang gagah? Pertanggungan jawab yang kalian ajukan itu gila dan sewenang-wenang, mana bisa dibilang adil?"

"Hemmm, kalau menurut pikiranmu, bagaimana seharusnya pertanggungan jawab itu?" tanya Seng Tek Cu menahan marah.

"Totiang, sebetulnya aku sama sekali tidak tahu-menahu mengenai peristiwa di lereng sebelah barat itu. Akan tetapi karena peristiwa itu terjadi di wilayah Thai-san, apa lagi karena malapetaka itu menimpa diri Tan-twako dan Lok-yang Siang-houw, juga saudara-saudara Pek-lian-pai, maka sudah menjadi kewajibanku untuk membersihkan nama baik Thai-san-pai, membalaskan penasaran Tan-twako dengan jalan mencari sampai dapat pembunuh-pembunuh yang sebenarnya. Tentang gak-hu Song-bun-kwi, biarlah aku akan mencarinya dan menanyakan hal itu, karena aku masih ragu-ragu apakah benar-benar beliau yang melakukannya."

"Ketua Thai-san-pai! Telingaku sendiri mendengar betapa Tan Hok sicu menyebut-nyebut nama Song-bun-kwi sebelum tewas, dan kedua mataku sendiri melihat iblis tua itu ketika mengamuk. Dan sekarang kau masih hendak menyangkal lagi?!" bentak Seng Tek Cu.

"Pinto juga minta pertanggungan jawab sekarang juga! Kematian murid-murid pinto harus dibalas!" Yang Ki Cu juga berseru marah.

"Ganyang penjahat-penjahat Thai-san-pai! Balaskan saudara-saudara kita!" teriak para anggota Pek-lian-pai yang masih mendendam karena kematian banyak saudara mereka.

Beng San masih bersabar, akan tetapi murid-muridnya yang tidak dapat menahan diri lagi. "Suhu, orang menghina Thai-san-pai semaunya. Kesabaran ada batasnya. Teecu tidak takut melayani mereka!" kata Su Ki Han dengan tangan di gagang pedangnya.

Beng San mengangkat tangannya mencegah. "Nanti dulu, Ki Han. Mereka itu bukanlah musuh, ada orang-orang jahat yang sengaja hendak mengadu domba antara kita dengan mereka..." Akan tetapi Beng San tak dapat melanjutkan kata-katanya.

Tiba-tiba saja terdengar jerit-jerit mengerikan dan robohlah tiga orang dalam rombongan Pek-lian-pai dibarengi robohnya dua orang dirombongan Kong-thong-pai. Ribut keadaan di situ, apa lagi ketika mereka mendapat kenyataan bahwa kelima orang itu telah tewas dengan leher atau ulu hati tertusuk pisau-pisau kecil yang agaknya sudah disambitkan orang-orang secara menggelap.

"Thai-san-pai curang! Serbu dan ganyang Thai-san-pai!"

Orang-orang di kedua rombongan itu berteriak-teriak dan tanpa menunggu komando lagi orang-orang Kong-thong-pai dan Pek-lian-pai lalu menyerbu ke arah Beng San dengan senjata di tangan!

Akan tetapi dengan gerakan yang cepat laksana burung terbang, ketua Thai-san-pai ini sudah lenyap dari tempatnya berdiri sehingga penyerangan orang-orang itu disambut oleh murid-murid Thai-san-pai yang sudah marah.

Terjadilah pertempuran hebat di antara mereka. Murid-murid Thai-san-pai yang pada saat itu berada di situ hanya ada delapan belas orang, tetapi mereka ini adalah murid-murid yang bertempat tinggal di Thai-san-pai dan mereka sudah berada di situ semenjak Thai-san-pai berdiri empat tahun yang lalu. Oleh karena itu mereka ini rata-rata sudah memiliki ilmu silat yang tinggi sehingga permainan pedang mereka pun lihai.

Su Ki Han murid kepala Thai-san-pai menyambut golok tosu Yang Ki Cu, oleh karena dia melihat tosu ini hebat betul permainan goloknya. Murid Thai-san-pai ke dua yang bernama Liok Sui menyambut pedang Seng Tek Cu tosu Bu-tong-pai sedangkan murid ke tiga yang bernama Coa Bu Heng menghadapi Koai Tojin yang amat berbahaya cambuk dan papan caturnya.

Ada pun lima belas orang anak murid Thai-san-pai yang lain menghadapi pengeroyokan puluhan orang musuh sehingga rata-rata setiap orang harus menghadapi empat atau lima orang lawan! Benar-benar keadaan Thai-san-pai terancam sekali karena segera kelihatan betapa pihak mereka terdesak hebat. Tiga orang murid kepala itu pun terdesak oleh tiga orang tosu lihai yang tingkatnya jauh melebihi mereka.

Kenapa Beng San malah melenyapkan diri? Kiranya pendekar ini tadi dengan amat kaget melihat berkelebatnya pisau-pisau terbang yang merobohkan lima orang. Dia pun maklum bahwa hal ini dilakukan oleh orang-orang yang hendak mengadu domba, maka secepat kilat dia melompat kemudian menerobos gerombolan pohon dari mana pisau-pisau itu beterbangan dan hanya terlihat olehnya.

Di bawah sinar bulan purnama dia melihat ada bayangan tiga orang yang bertubuh kecil langsing. Bayangan-bayangan itu gesit sekali dan sedang berlari meninggalkan tempat itu.

"Perlahan dulu...!" dia membentak sambil melompat, mengulur tangan hendak menangkap salah seorang di antara mereka.

Tiba-tiba terdengar suara mengejek. Bayangan itu melejit dan cengkeraman Beng San menangkap angin!

Ketua Thai-san-pai ini terkejut bukan main. Tidak sembarang orang dapat menghindarkan cengkeramannya tadi, maka dari gebrakan ini saja dapat diduga bahwa orang-orang ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia segera menerjang lagi dengan pukulan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menyambar orang ke dua yang datang hendak membantu orang pertama. Orang ke tiga menggerakkan tangan dan angin berciutan ke arahnya.

Beng San terkejut bukan main. Pukulannya tertangkis lengan kecil berkulit halus namun memiliki tenaga lweekang yang hebat. Biar pun dia dapat membuat lawan itu terhuyung karena peraduan lengan itu, dia merasa betapa lengannya sendiri panas, tanda bahwa tenaga lawan ini benar-benar tak boleh dipandang ringan.

Cengkeramannya pada orang ke dua juga meleset, malah orang itu mengirim tendangan yang aneh gerakannya ke arah bawah pusarnya. Serangan yang singkat tapi mematikan. Dan pada saat itu, orang ke tiga mengirim serangan dengan telunjuk menuding dan yang mengeluarkan angin berciutan ke arah lehernya.

Cepat Beng San menggerakkan tangan kiri berusaha menangkap kaki yang menendang. Dia berhasil menangkapnya, tetapi cepat-cepat melepaskannya kembali ketika tangannya merasa memegang sebuah kaki bersepatu yang kecil, kaki seorang wanita! Sedangkan pukulan aneh yang mendatangkan angin berciutan itu, dia sampok dengan tangan sambil mengerahkan hawa pukulan Pek-in Hoat-sut. Karena dia tidak mengira akan kehebatan pukulan ini, dia mendiamkan saja ketika pukulan meleset mengenai ujung lengan bajunya.

"Brettt!" Ujung lengan baju itu robek seperti ditusuk pedang!

"Hebat...!" serunya kagum, maklumlah dia bahwa tiga orang ini agaknya tiga wanita yang sakti.

"Siapakah kalian? Kenapa datang-datang memusuhi aku?" Dia berusaha untuk mengenal muka mereka, akan tetapi ternyata muka mereka tertutup sutera hitam, hanya pakaian mereka berwarna merah berkembang.

"Hi-hi-hik!" tiga orang wanita itu hanya tertawa. Tampak gigi-gigi putih mengkilap tertimpa cahaya bulan, disusul berkilatnya tiga batang pedang yang mereka cabut berbareng.

Beng San berseru keras ketika tiga batang pedang itu seperti terbang menyerangnya dari tiga jurusan. Dia mengerti bahwa tiga orang lawan sakti ini tak mungkin dihadapi dengan tangan kosong, maka dia cepat menggerakkan tangan dan tampaklah sinar menyilaukan mata ketika Liong-cu-kiam dihunus.

Dia harus sanggup merobohkan mereka, atau setidaknya menangkap seorang di antara mereka. Mereka inilah yang tahu akan fitnah yang menimpa Thai-san-pai. Akan tetapi merobohkan tiga orang ini benar-benar tidak mudah. Ilmu pedang mereka amat aneh dan lihai, malah pedang di tangan mereka berani membentur Liong-cu-kiam tanpa rusak.

Beng San penasaran. Diputarnya pedangnya sedemikian rupa dan mulailah dia mainkan Im-yang Sin-kiam. Beberapa kali terdengar ketiga orang wanita itu berteriak kaget dan menjerit. Im-yang-sin kiam benar-benar terlampau sakti bagi mereka.

Tiba-tiba terdengar mereka bersuit aneh dan sinar-sinar putih berkelebatan menyambar dari tubuh mereka ke arah Beng San. Hebat sekali senjata ini dan agaknya ini adalah pisau-pisau kecil yang tadi sudah merobohkan lima orang. Beng San memutar pedang menyampok, terdengar suara nyaring berkali-kali dan pisau-pisau itu beterbangan ke kanan kiri.

Akan tetapi ketika dia memandang ke depan, tiga orang wanita itu sudah lenyap ditelan bayangan-bayangan gelap. Dia hendak meloncat dan mengejar, akan tetapi niat itu lantas diurungkan ketika dia mendengar teriakan-teriakan dan senjata beradu dari arah sebelah belakangnya.

Teringatlah dia akan anak-anak murid Thai-san-pai yang tentunya sedang menghadapi serbuan mereka itu, maka hatinya menjadi amat gelisah. Mana mungkin murid-muridnya yang hanya delapan belas orang itu dapat mengatasi bahaya yang mengancam?

Dia tahu pula bahwa tiga orang tosu itu saja takkan bisa dilawan, baik oleh murid kepala Thai-san-pai sekali pun. Jika dia terus mengejar tiga orang wanita aneh tadi, tentu para muridnya akan terancam bahaya maut. Tapi bila membiarkan tiga orang itu lari, dia akan kehilangan bukti akan kebersihan Thai-san-pai. Dia merasa serba salah.

Akhirnya dia mengambil keputusan membantu murid-muridnya yang terancam bahaya. Kalau memang Thai-san-pai bersih, tidak usah takut menghadapi fitnah, pikirnya. Mudah kelak mencari rahasia dan mengejar orang-orang jahat yang menimbulkan fitnah.

Pada waktu dia berlari dan melompat ke tempat pertempuran, hatinya berduka sekali dan perasaannya amat terpukul. Banyak di antara para penyerbu menggeletak tak bernyawa terkena bacokan pedang murid-muridnya, juga beberapa orang muridnya menggeletak tak bernyawa. Yang masih bertempur telah luka-luka hebat pula.

Su Ki Han melawan Yang Ki Cu dengan mati-matian akan tetapi terdesak hebat, pundak kirinya sudah robek berdarah. Coa Bu Heng muridnya ke tiga yang berusia dua puluh lima tahun, murid yang amat berbakat, didesak hebat oleh Koai Tojin dan pakaiannya sudah compang-camping berikut kulit tubuhnya pecah-pecah terhajar cambuk. Liok Sui muridnya yang sebaya dengan Su Ki Han juga sudah payah, darah mengalir dari pahanya yang terluka oleh pedang Seng Tek Gu tosu Bu-tong-pai. Sebentar lagi, tiga orang muridnya ini tentu akan roboh berikut murid-murid yang lain.

"Tahan semua...!" Dia membentak. "Kita terhasut fitnah! Orang-orang yang jahat berada di sini..."

Tetapi pihak penyerbu yang sudah marah dan merasa berada di ambang kemenangan itu sama sekali tidak mau berhenti. Beng San menjadi marah sekali. Sambil berseru keras tubuhnya berkelebat, berubah menjadi segulung sinar yang menerjang ke sana ke mari.

Terdengar teriakan kaget berturut-turut ketika Koai Tojin terhuyung ke belakang, papan caturnya pecah dua dan cambuknya putus disusul Seng Tek Cu yang pedangnya terputus dan Yang Ki Cu yang goloknya terbang entah ke mana. Mereka berundur dengan muka pucat, memandang orang-orangnya yang kacau balau akibat diterjang gulungan sinar itu. Pedang dan golok beterbangan, orang-orang terlempar karena dorongan atau tendangan.

"Hayo, siapa tidak mau berhenti? Manusia-manusia tolol kalian! Berhenti! Siapa yang tak berhenti akan kurobohkan!" Beng San berteriak sambit menerjang ke sana ke mari.

Sebentar saja orang-orang itu mundur dengan jeri. Bukan main hebatnya sepak terjang Beng San sang ketua Thai-san-pai ini. Sekarang dia tampak berdiri tegak dengan pedang Liong-cu-kiam di tangan, menghadapi mereka dengan mata berapi-api.

"Siapa masih berkepala batu? Majulah!" tantangnya penuh kemarahan.

Seng Tek Cu melangkah maju dan tersenyum pahit. "Ketua Thai-san-pai, hebat memang kepandaianmu. Kami tak mampu melawanmu. Akan tetapi, jangan kira bahwa kami akan menerima begini saja dan..."

"Tutup mulut! Sudah banyak jatuh korban sia-sia. Kukatakan tadi bahwa kalian kena hasut fitnah dan orang-orang yang mengakibatkan itu berada di sini, merekalah tadi yang secara diam-diam menyerang lima orang-orangmu secara menggelap. Kalian benar-benar bodoh dan tidak mau mendengarkan alasanku!"

Kaget sekali Seng Tek Cu. Mulai dia meragu. Juga Yang Ki Cu yang segera bertanya.

"Mana mereka? Siapa mereka itu? Buktikan!"

"Mereka orang-orang lihai. Tadi hampir saja tertangkap, tapi gagal. Ahh... akibat ketololan kalian banyak jatuh korban..." Beng San sedih bukan main melihat mayat bergelimpangan di sana-sini.

Tiba-tiba Su Ki Han mengeluh, "...Suhu... di sana... apa itu...?"

Suara murid kepala ini membuat tengkuk Beng San meremang. Cepat dia menoleh dan... wajahnya langsung berubah pucat kehijauan pada waktu dia melihat api menyala-nyala di puncak, didahului asap hitam mengebul tinggi.

"Celaka...!" Dia memekik keras dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ.

Tahu-tahu dia sudah jauh lari ke puncak, diikuti semua murid yang masih dapat berjalan. Sambil terpincang-pincang dan terhuyung-huyung murid-murid yang terluka ikut berlari ke puncak.

Koai Tojin, Seng Tek Cu, beserta Yang Ki Cu ikut pula mengejar, mengikuti para murid Thai-san-pai. Wajah mereka pucat, jantung pun berdebar keras. Murid-murid Thai-san-pai yang rata-rata gugup dan gelisah itu membiarkan mereka bertiga mengikuti ke puncak melalui jalan rahasia.

Orang-orang Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai berdiri kebingungan, tidak berani turut ke puncak tanpa diperintah. Mereka lalu mulai menolong orang-orang yang terluka, termasuk orang-orang Thai-san-pai.

Banyak jatuh korban. Sembilan orang murid Thai-san-pai tewas, empat luka-luka berat, sisanya ikut naik ke puncak. Pihak Kong-thong-pai termasuk dua orang yang tewas oleh senjata rahasia, menderita kerugian enam orang tewas dan lima luka-luka berat. Pihak Pek-lian-pai tewas tujuh orang yang terkena senjata rahasia, dua belas luka-luka!

Dengan hati berdebar tidak karuan Beng San lari secepat terbang ke puncak. Ketika tiba di puncak, ngeri hatinya menyaksikan betapa semua pondoknya telah terbakar. Api bagai menjilat-jilat langit dan atap rumah itu sudah menyala seluruhnya.

Tapi hanya sedetik dia memandang ke arah api, matanya kelihatan mencari ke sana ke mari. Akhirnya dia dapat mendengar suara isterinya di sebelah belakang pondok. Cepat dia meloncat ke sana, dilihatnya isterinya dengan pedang di tangan, muka pucat, rambut awut-awutan dan mata terbelalak sedang menjerit-jerit, "Cui Sian...! Cui Sian...!"

Seakan terhenti detak jantung Beng San. Tanpa bertanya lagi dia lalu meloncat ke depan, menerjang dinding pondoknya. Sekali terjang bobollah dinding itu. Tanpa mempedulikan panasnya api dan bahaya keruntuhan atap rumahnya, dia mencari-cari. Dilihatnya empat orang sudah menggeletak tak bernyawa dengan luka pada dada.

Dia mencari terus, tapi tidak melihat bayangan Cui San. Tiba-tiba atap rumah ambruk ke bawah dan hanya dengan kecepatan luar biasa saja Beng San dapat meloncat ke luar rumah. Ketika dia tiba di luar, murid-murid dan tiga orang tosu sudah tiba pula di situ. Mereka memandang bengong ke arah Beng San yang pada saat itu mukanya mengerikan sekali.

Muka pendekar ini hitam, pakaiannya hangus di sana-sini, sepasang matanya menyaingi panasnya api itu sendiri. Isterinya seperti orang tak sadar masih menjerit-jerit memanggil nama Cui Sian.

Seng Tek Cu terharu bukan main. Dia cepat melangkah maju, menjura dalam sekali dan berkata, "Sicu, maafkan pinto... maafkan pinto..."

Beng San tidak peduli, melainkan menghampiri isterinya. Li Cu yang dipegang pundaknya oleh Beng San seperti baru sadar. Matanya tetap terbelalak dan begitu melihat suaminya memegang pundaknya, dia cepat menjerit pergi dan menudingkan pedangnya ke muka suaminya.

"Kau...! Kalau tidak pergi... takkan terjadi begini... kau... kau...!” Dan wanita ini menangis tersedu-sedu sambil berdiri tegak, tidak berusaha mengusap air matanya, hanya menatap wajah Beng San penuh kebencian!

Ucapan ini makin menusuk hati Seng Tek Cu, Koai Tojin, dan juga Yang Ki Gu. Tahulah mereka sekarang bahwa semua ini adalah jebakan musuh yang sengaja mengadu domba dan akhirnya, karena kebodohan mereka, Beng San terpaksa turun puncak dan agaknya inilah yang dimaksudkan oleh para penjahat gelap itu. Memancing harimau ke luar sarang, kemudian selagi Beng San bersitegang dengan mereka, penjahat-penjahat itu langsung mengobrak-abrik sarang!

"Taihiap, maafkan pinto... pinto semua bodoh sekali... pinto semua yang menyebabkan malapetaka ini..." kata pula Seng Tek Cu.

Pedang Beng San berkelebat dan sebuah batu besar di dekat tiga orang tosu itu menjadi bulan-bulanan. Beberapa kali pedang berkelebat dan batu itu berubah seperti tahu yang dicacah-cacah!

"Pergi...! Pergi kalian dari sini...! Demi Tuhan... lekas pergi sebelum kubunuh...!" Telunjuk tangan kiri Beng San menuding ke luar.

Tiga orang tosu itu menunduk, lalu berjalan pergi dengan langkah-langkah gontai.

"Antar mereka ke luar, urus jenazah adik-adikmu," kata Beng San kepada Su Ki Han yang cepat menjalankan perintah suhunya, mendahului tiga orang tosu menjadi penunjuk jalan.

Hati Ki Han gelisah. Murid ini sama sekali tak merasakan lukanya. Murid-murid yang lain tanpa diperintah juga pergi mengikuti twa-suheng mereka, maklum bahwa guru dan ibu guru mereka tak mau diganggu orang lain.

Setelah semua orang pergi, Beng San menengok ke arah isterinya. Jantungnya merasa ditusuk pedang oleh pandangan mata isterinya yang penuh penyesalan, penuh dengan penderitaan dan penuh kebencian. Seakan-akan dari pandang mata Beng San terungkap seribu satu macam pertanyaan dan otomatis Li Cu berkata, suaranya lirih seperti suara orang menangis,

"Mereka datang... lima orang mengeroyokku... yang lain membakar rumah... kulihat Cui Sian dibawa lari..." Tiba-tiba dia menangis menggerung-gerung. "Anakku...! Cui Sian terus berteriak-teriak memanggilku... anakku... Cui Sian... Cui Sian...!"

Beng San makin hancur hatinya, dia melangkah maju, hendak memeluk isterinya. "Li Cu... kenalkah kau siapa mereka? Biar kucari mereka, kurampas kembali anak kita..."

"Jangan sentuh aku!" Pedangnya berkelebat dan hampir saja lengan tangan Beng San terbabat putus kalau dia tidak cepat-cepat menariknya. "Aku tidak kenal mereka. Peduli apa dengan kau! Kau lebih mementingkan Thai-san-pai! Nah, uruslah Thai-san-pai-mu itu. Aku akan pergi mencari anakku!" Setelah berkata demikian, Li Cu berlari pergi menuruni puncak.

"Li Cu...! Tunggu dulu...!"

Beng San melompat melampaui isterinya, menghadangnya. "Kau maafkanlah aku... mari kita bicara baik-baik..."

"Jangan mendekat!" Kembali pedang Li Cu berkelebat. "Kau uruslah Thai-san-pai, jangan pedulikan aku dan anakku. Aku bersumpah... dengarlah Beng San, aku bersumpah takkan sudi melihat mukamu lagi tanpa adanya Cui Sian!"

Pedangnya membabat ke depan dan selagi Beng San meloncat minggir, dia berlari terus meninggalkan suaminya.

Beng San menggigit bibir, menahan suaranya yang hendak menjerit-jerit. Hampir tak kuat ia menahan gelora hatinya yang kalang kabut menghadapi mala petaka hebat ini. Seluruh batinnya diliputi kemarahan luar biasa. Kemudian kakinya menendang. Sebuah batu besar terlempar bergulingan. Pedangnya dikerjakan. Pohon-pohon roboh malang melintang.

Beng San terus menyerbu pondoknya yang masih terbakar. Ditendangnya, dihantamnya, dibabatnya sehingga hiruk-pikuk suara pondok itu roboh. Batu-batu beterbangan, tidak ada sebatang pun pohon utuh, semua dibabat rata dengan tanah!

Ia mengamuk terus, dari kerongkongannya terdengar suara menggereng-gereng, matanya liar dan semalam itu dia membuat puncak yang tadinya indah menjadi tempat yang rusak binasa. Tanam-tanaman bunga ludes, pondok habis, pohon-pohon ambruk, batu-batu pun malang melintang, banyak yang hancur.

Dalam keadaan seperti inilah tiga orang murid kepala mendapatkan gurunya. Beng San masih berdiri seperti patung, pedang di tangan, muka beringas mata liar.

"Suhu...!" tiga orang murid itu menjatuhkan diri berlutut dan terdengar mereka menangis terisak.

Beng San menoleh, menunduk, matanya dikejap-kejapkan mengusir dua butir air mata yang sejak tadi menggantung tak mau jatuh. Seperti orang baru sadar dari mimpi buruk dia lalu menengok ke kanan kiri, melihat kerusakan yang diakibatkan oleh kemarahannya. Diam-diam dia bersyukur bahwa tidak ada seorang pun manusia di situ malam tadi. Kalau ada, entah apa akan jadinya.

Dia menarik napas panjang, terasa sakit di dada. Tahu bahwa dia terluka oleh hawa amarahnya sendiri! Cepat dia menyalurkan hawa murni ke dada, bernapas panjang-panjang memulihkan tenaga dan kesehatan. Dia insyaf akan kegilaannya. Boleh jadi Li Cu pun tak dapat menahan hantaman nasib seperti ini.

Dia tidak menyalahkan isterinya. Seorang wanita bagaimana pun juga lebih lemah daya tahan batinnya. Apa lagi pernah kehilangan Cui Bi, kini kehilangan Cui San. Amat berat tentu.

Tapi dia seorang laki-laki. Hampir lima puluh tahun hidupnya. Banyak sudah pengalaman. Masa belum juga matang jiwanya oleh gemblengan pengalaman hidup yang pahit getir? Kesadaran tidak boleh tertutup kegelapan nafsu. Dia harus tetap berpendirian. Seorang gagah tak akan mudah goyah imannya. Sekali lagi dia menarik napas panjang.

"Ki Han, siapa saja di antara adikmu yang tewas dan berapa yang terluka?" tanyanya, suaranya sudah biasa kembali. Beng San sudah pulih menjadi ketua Thai-san-pai yang berwibawa.

Sambil menangis Ki Han menyebutkan nama sembilan orang adik seperguruannya yang tewas dan empat orang yang luka-luka. Kembali Beng San menarik napas panjang untuk menyedot hawa murni guna menguatkan batinnya yang kembali terpukul kedukaan.

"Murid-muridku, kuharap kalian suka mengubur jenazah adik-adikmu baik-baik. Kemudian bubarlah kalian, pulang ke rumah masing-masing. Mereka yang tidak mempunyai rumah boleh saja tinggal di pegunungan ini. Akan tetapi ingat, mulai saat ini Thai-san-pai tidak ada lagi..."

"Suhu...!" Ki Han terisak. "Di mana subo (ibu guru) dan adik Cui Sian?"

"Adikmu diculik orang. Subo-mu pergi mengejar. Aku pun akan turun gunung menyusul mereka. Ingat, Thai-san-pai tidak ada lagi..."

"Suhu...!" Kini terdengar seruan mereka serentak menyatakan keberatan hati.

"Atau... biarlah untuk sementara ini Thai-san-pai dibekukan. Tunggu sampai aku pulang. Kalau aku tidak pulang selamanya, berarti Thai-san-pai tidak akan bangun lagi. Beri tahu kepada semua adikmu yang tidak tinggal di sini. Terserah cara kalian mencari jalan hidup masing-masing. Aku tidak akan mengurus sepak terjang kalian selama kalian juga tidak menggunakan nama Thai-san-pai. Akan tetapi, percayalah akan kemurahan Thian. Kalau Thian menghendaki, aku akan kembali membangun lagi Thai-san-pai yang rusak binasa di hari ini. Nah, selamat tinggal, murid-muridku..." Suara terakhir ini mengandung isak dan semua murid menangis.

Akan tetapi mereka hanya melihat bayangan suhu mereka berkelebat pergi dan lenyap. Murid-murid itu saling rangkul dan bertangisan. Keadaan pada pagi hari itu menyedihkan sekali. Thai-san-pai yang dibangun selama empat tahun dan tadinya terkenal sebagai partai baru yang kuat dan disegani, dalam semalam runtuh dan hancur binasa….



Kita tinggalkan dulu keadaan Thai-san-pai yang rusak binasa dan ketuanya yang rusak pula ketenteraman rumah tangganya. Mari kita menengok keadaan di puncak Min-san. Telah dituturkan di bagian depan bahwa Tan Kong Bu putera Tan Beng San bersama isterinya, Kui Li Eng dan kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun, setelah menikah lalu pindah ke Min-san di mana dia dibantu oleh isterinya menerima murid-murid yang berbakat dan berusaha mendirikan sebuah perkumpulan baru, yaitu Min-san-pai.

Belum banyak murid yang diterima oleh suami isteri ini karena mereka masih muda, lagi pula mereka tidak mau menerima sembarangan murid. Kalau ada anak yang benar-benar berbakat barulah mereka mau menurunkan ilmu silat sehingga dalam waktu empat tahun, baru mempunyai murid sebanyak dua belas orang saja, terdiri dari anak-anak muda laki perempuan berusia antara sepuluh sampai lima belas tahun.

Suami isteri ini hidup rukun saling mencinta. Di samping mengajar silat kepada para murid cilik ini mereka hidup sebagai petani, bercocok tanam sayur-sayur dan buah-buahan yang dapat hidup subur di Min-san. Song-bun-kwi juga hidup tenang tenteram di Min-san. Kakek ini sekarang menjadi gemuk dan sehat. Akan tetapi lewat empat tahun, dia mulai mengeluh dan menjadi malas karena kerjanya hanya makan tidur belaka. Berkali-kali dia mengeluh dan menyatakan ketidak puasan dan kebosanan hatinya di depan cucunya dan cucu mantunya.

Pagi hari itu dia nampak marah-marah dan gelisah. Semenjak subuh tadi Kong Bu dan isterinya melihat dengan cemas betapa kakek itu tidak hentinya berlatih silat di kebun belakang. Dan tidak seperti biasanya, terdengar suara keras. Ketika mereka lari menengok, kiranya dua batang pohon besar sudah roboh dipukul dan ditendang kakek itu! Masih saja Song-bun-kwi bersilat. Angin pukulannya mendesir-desir dan dia sama sekali tidak mempedulikan munculnya cucu dan cucu mantunya. Wajahnya cemberut dan matanya sayu.

Kong Bu saling pandang dengan Li Eng. Dia menarik napas panjang, lalu menggandeng tangan isterinya diajak masuk rumah. Dia masgul sekali, duduk bertopang dagu, teringat akan percekcokan dengan kakek itu semalam. Seperti biasa, malam tadi Song-bun-kwi makan bersama Kong Bu dan Li Eng yang juga melayani suami dan kakeknya. Song-bun-kwi sudah berbeda dari pada biasanya, banyak menenggak arak dan selalu minta tambah.

Dan akhirnya, selesai makan Song-bun-kwi menggebrak meja sampai mangkok-mangkok menari-nari di atas meja.

"Kau anak sial! Tidak becus!" dia memaki Kong Bu.

Tidak heran Kong Bu melihat kakeknya seperti itu. Sudah semenjak kecil dia tahu akan keanehan watak kakek ini yang mudah marah dan mudah gembira, kadang-kadang bagi yang tidak tahu tentu disangka gila. Dengan tenang dia tersenyum dan bertanya,

"Apa lagi yang tak menyenangkan hatimu, Kongkong (kakek)? Kesalahan apakah kali ini yang kulakukan?"

"Kesalahan apa? Bocah tolol! Aku ingin punya buyut, kau dengar? Aku ingin punya buyut dan kau tidak becus!"

Mendengar omongan ini seketika wajah Li Eng menjadi merah dan dengan berpura-pura membawa mangkok-mangkok kotor dia cepat-cepat lari ke belakang, namun telinga kakek dan cucu yang lihai itu masih dapat mendengar isaknya tertahan-tahan.

Kong Bu mengerutkan heningnya. Terlalu kakeknya ini. Sudah melewati batas sekarang. Sudah berkali-kali kakeknya ini marah-marah kepadanya, memakinya tidak becus, tidak mampu segala macam, hanya karena dia dan Li Eng sampai sekarang belum juga punya keturunan, belum punya anak!

Kakeknya memang orang aneh, ini dia tahu. Akan tetapi kalau sudah mencelanya tentang tak punya anak di depan Li Eng, tentu saja isterinya merasa tersinggung sekali.

"Kakek, lagi-lagi kau ribut-ribut soal cucu buyut!" tegurnya dengan suara agak kasar. "Soal keturunan adalah soal yang ditentukan oleh Thian. Manusia mana dapat menentukan? Mengapa kakek ribut-ribut saja urusan buyut? Apakah tidak tahu bahwa ucapanmu tadi amat menyakiti hati Li Eng?"

"Aaahh, dasar kau yang tidak becus! Laki-laki goblok kau, sudah menikah empat tahun belum juga punya anak. Uuhhh!" kakek itu mencak-mencak dengan amat berangnya.

Kong Bu tak dapat menahan kesabarannya. Suara kakeknya terlalu keras sehingga biar pun Li Eng berada di belakang, tentu isterinya itu dapat mendengar jelas.

"Kongkong, kau terlalu sekali! Kau ingin punya cucu buyut untuk apa sih?"

"Wah, untuk apa katanya? Tentu saja untuk kuwarisi kepandaian yang kulatih puluhan tahun ini. Untuk apa lagi? Aku tidak akan mati meram sebelum kepandaianku kuwariskan kepada buyutku. Tahu kau?"

Kong Bu tertawa, berusaha mendinginkan hati kakeknya. "Ahh, kalau hanya untuk itu saja, mengapa Kongkong harus susah-susah menanti buyut yang tak tentu kapan datangnya? Bukankah cucu muridmu ada dua belas orang di sini, boleh kau pilih mana yang kau sukai untuk dijadikan murid-muridmu. Bukankah ini baik sekali, Kongkong?"

"Murid-murid tahi kerbau!" Kakek itu makin marah. "Kalau memang mau cari murid, aku bisa cari sendiri. Ahh, sudahlah, dasar kau yang tolol dan tidak becus!"

Demikianlah keributan malam tadi, keributan berdasarkan soal yang itu-itu juga dan yang membuat Song-bun-kwi Kwee Lun murung. Pagi itu sejak subuh dia sudah bersilat dan dengan pukulan saktinya merobohkan pohon besar. Biasanya, sesudah matahari terbit, kakek ini tentu akan masuk ke ruangan depan, berjemur sinar matahari melalui jendela ruangan itu sambil menghadapi minuman hangat yang disediakan oleh Li Eng. Dia akan duduk di bangku panjang dan berbaring, meram melek nikmat seperti seekor singa tua bermalasan.

Akan tetapi pagi itu dia tidak masuk ke ruangan. Sampai matahari naik tinggi, kakek itu tidak nampak pulang. Kong Bu merasa heran dan mencari ke belakang. Tidak ada. Ke depan lalu ke sekeliling tempat itu. Tidak ada. Kakek itu tidak nampak bayangannya lagi. Isterinya ikut mencari dan memanggil-manggil. Namun kakek itu tidak kelihatan lagi mata hidungnya. Kong Bu mendekati isterinya. Mereka saling pandang.

"Dia kumat penyakitnya, dasar berdarah perantauan!" kata Kong Bu.

Li Eng mengerutkan kening, menunduk. "Karena aku..."

Kong Bu kaget, memandang isterinya. Dilihatnya dua titik air mata membasahi pipi Li Eng. Dia merangkulnya. "Hushh, siapa bilang karena kau? Tentang itu, tak perlu kita pikirkan, isteriku. Kita serahkan saja kepada Thian Yang Maha Kuasa."

Li Eng memang bukan seorang pemurung. Semenjak gadisnya, dia amat periang, kocak dan jenaka. Sekarang pun hanya sebentar ia digerumuti rasa kecewa dan duka. Di lain saat sambil tersenyum manis dia berkata, "Hemm, dunia kang-ouw tentu bakal geger dan heboh karena munculnya kakek!"

Kong Bu juga tersenyum. "Tentu saja, boleh kita pastikan itu! Kita dengar-dengar saja, tentu terjadi keonaran. Memang kakekku itu tukang mencari geger. Ha-ha-ha!" Mereka tertawa-tawa dan seketika lenyaplah awan mendung yang mengancam sinar kebahagiaan mereka.

Benar dugaan Kong Bu. Kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun memang sudah pergi dari Min-san. Kekesalan hatinya karena belum juga dia dapat menimang seorang buyut yang dinanti-nantikan, membangkitkan rindunya akan dunia ramai, membuat penyakitnya suka merantau kambuh kembali. Seperti telah menjadi wataknya semenjak dahulu, dia selalu pergi tanpa pamit dan pulang tanpa memberi tahukan.

Akan tetapi, tidak seperti dugaan Kong Bu bahwa di dunia ramai kakeknya tentu akan menimbulkan kegemparan, kali ini Song-bun-kwi melakukan perjalanan dengan tenteram, tidak mempunyai nafsu untuk mencari perkara. Hal ini adalah karena hatinya sudah menjadi dingin karena mengingat bahwa tokoh-tokoh setingkat dengannya seperti Siauw-ong-kui, Pak-thian Lo-cu, atau Hek-hwa Kui-bo dan Toat-beng Yok-mo, semua sudah mati. Kalau ada mereka, terutama Siauw-ong-kui, tentu dia akan mencarinya dan diajak berkelahi sampai tiga hari tiga malam!

Hanya tinggal seorang tokoh yang setingkat dengannya, atau setidaknya hampir setingkat dengannya, yaitu Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang, itu tokoh besar dari pantai timur. Karena teringat akan orang tua inilah maka kini Song-bun-kwi melakukan perjalanan ke timur, ke pantai timur untuk mencari Tai-lek-sin. Keperluannya hanya satu, mencari orang tua itu dan kalau sudah berjumpa, hendak diajak berkelahi mengadu ilmu...
























Terima kasih telah membaca Serial ini

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12