Sunday, July 29, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Buta Jilid 06



























        Cerita Silat Kho Ping Hoo
          Serial Pendekar Buta

                    Jilid 06


Kun Hong tidak pedulikan lagi Ching-toanio yang masih bengong keheranan, dia malah menghampiri Hui Kauw, membungkuk dan sekali bergerak gadis itu sudah dipondongnya lagi.

"Saudara Kwa... jangan... kau lepaskanlah aku...," Hui Kauw berkata lemah. Hatinya tidak karuan rasanya dan dia merasa amat malu dipondong oleh seorang laki-laki muda, biar pun buta, di depan banyak orang itu….

"Sshhh, diamlah, Nona. Kau tidak boleh banyak bergerak, kau tidak boleh mengeluarkan suara dan tenaga... lukamu amat hebat... kurasa sedikitnya sebuah tulang rusukmu patah, jantungmu tergoncang, hawa beracun telah memasuki darahmu, aku harus mengobatimu, jangan kau banyak bergerak, kau menurutlah saja..."

Pada waktu itu ada angin menyambar dari arah depan dan suara yang hampir tak dapat ditangkap pendengaran Kun Hong menunjukkan betapa orang yang meloncat dan turun di depan Kun Hong benar-benar memiliki kepandaian yang amat tinggi tingkatnya. Kun Hong maklum akan hal ini, dia bersiap-siap sambil memondong Hui Kauw, keningnya berkerut karena dia benar-benar merasa serba susah bagaimana harus melindungi gadis ini dari ancaman sekian banyaknya orang pandai.

Pada saat itu terdengar suara Hui Kauw mengeluh panjang dan tubuh gadis itu menjadi lemas. Kiranya gadis ini kembali jatuh pingsan setelah tadi mengeluarkan banyak tenaga dalam menghadapi ibu angkatnya untuk mengelak dari bahaya maut. Kun Hong merasa lega. Dengan pingsannya gadis ini, akan lebih leluasa baginya untuk bergerak. Sekarang dia dapat mengempit tubuh itu tanpa sungkan-sungkan dan tak akan mendatangkan rasa malu kepada gadis itu.

Dia cepat mengubah caranya memondong tubuh Hui Kauw, kini dia menggunakan lengan kirinya memeluk pinggang gadis yang pingsan itu dan mengempitnya. Tangan kanannya yang memegang tongkat siap menghadapi serbuan lawan. Terdengar oleh Kun Hong suara yang tenang dan berat, suara yang mengandung tenaga dalam yang amat hebat.

"Omitohud, pinceng sebetulnya harus malu menghadapi seorang pemuda yang tak dapat melihat lagi. Orang muda, kau benar-benar hebat sekali. Kelihaianmu telah mengalahkan banyak orang pandai membuat pinceng mengesampingkan rasa malu dan ingin pinceng mencoba kehebatan kepandaianmu yang sangat aneh. Akan tetapi sebelumnya pinceng ingin sekali tahu, siapakah gurumu yang mewariskan ilmu-ilmu aneh ini kepadamu?"

Kun Hong kaget dan maklum bahwa yang berada di depannya adalah seorang hwesio yang berilmu tinggi. Cepat dia menjura dan menjawab, "Syukurlah bahwa di sini terdapat Lo-suhu yang saya percaya mempunyai pertimbangan adil dan pemandangan yang luas. Lo-suhu, tentang riwayat saya bukanlah hal penting, malah tidak berharga untuk didengar oleh orang lain. Lo-suhu, kedatangan saya ini sesungguhnya sama sekali bukan ingin bermusuhan atau berkelahi, oleh karena itu harap Lo-suhu sudi melimpahkan kemurahan hati dan dapat menghentikan perkelahian-perkelahian yang tidak saya kehendaki ini. Terhadap seorang suci seperti Lo-suhu, mana berani saya yang muda dan bodoh berlaku kurang ajar?"

Pendeta itu tertawa bergelak. Kun Hong tentu saja tidak tahu betapa hwesio ini dengan kedipan matanya memberi isyarat kepada orang-orang yang berada di sana. Kemudian bertanya, "Orang muda, meski pun matamu buta tapi hatimu melek. Tentu saja pinceng tidak mau memaksa kalau kau tidak menghendaki perkelahian. Akan tetapi kau datang di sini menimbulkan keributan, apa sih yang kau inginkan sekarang?"

"Maaf, Lo-suhu. Sama sekali saya tidak bermaksud mengadakan keributan. Semua yang dilontarkan kepada saya dan nona Hui Kauw ini hanyalah fitnah belaka. Tidak ada yang saya kehendaki kecuali agar orang tidak membunuh nona Hui Kauw, membiarkan saya mengobatinya sampai sembuh kemudian memberi kebebasan kepada saya beserta nona Loan Ki untuk meninggalkan pulau ini dengan aman."

Kembali Ka Chong Hoatsu mengedipkan matanya kepada Ching-toanio dan yang lain-lain, kemudian dia tertawa lagi. "Omitohud, kiranya sahabat muda yang lihai pandai pula ilmu pengobatan. Nona itu kulihat menderita luka-luka amat berat akibat pukulan, sanggupkah kau menyembuhkannya?"

"Jika Thian menghendaki, tentu dapat. Saya yang buta sedikit banyak paham akan ilmu pengobatan."

"Hwesio tua, jangan kau memandang rendah kepadanya. Orang sakit apa pun juga asal belum mampus tentu dapat dia sembuhkan. Dia adalah murid Toat-beng Yok-mo, masa tidak bisa mengobati?"

Ucapan Loan Ki ini membuat Kun Hong mengerutkan kening dan dia tidak tahu bahwa gadis nakal itu tentu pernah mendengar dia menyebut nama Toat-beng Yok-mo, kalau tidak salah ketika dia mengobati orang-orang Hui-houw-pang di mana gadis itu diam-diam sudah lama bersembunyi dan mengintai.

Tidak hanya Kun Hong yang mengerutkan kening, bahkan semua orang di situ, terutama sekali Ka Chong Hoatsu, menjadi heran dan kaget sekali. Tentu saja semua orang pernah mendengar nama Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut Nyawa), siapa orangnya yang belum pernah mendengar nama tabib iblis yang luar biasa pandai mengobati, akan tetapi selalu membunuh orang yang telah diobatinya sampai sembuh itu?

Seketika pandangan mereka terhadap Kun Hong berubah, karena boleh dibilang bahwa Toat-beng Yok-mo adalah orang ‘segolongan’ dengan mereka.

"Omitohud! Betulkah kau adalah murid Yok-mo, orang muda?" Ka Chong Hoatsu akhirnya bertanya.

Kun Hong adalah seorang yang jujur dan tak suka membohong, maka dengan suara biasa dia menjawab, "Diangkat murid sih tidak, akan tetapi mendiang Yok-mo pernah memberi ijin kepadaku untuk membaca kitab-kitabnya tentang ilmu pengobatan, entah hal ini boleh dianggap saya sebagai muridnya ataukah tidak terserah."

"Oho!" Ka Chong Hoatsu kembali memberi isyarat kepada yang lain, maju ke depan dan menyentuh pundak Kun Hong. "Kiranya kau masih orang sendiri! Kwa-sicu, kalau begitu tidak ada urusan lagi di antara kita dan soal pertempuran tadi kita anggap saja sebagai kunci perkenalan. Ching-toanio, pinceng harap kau sudi menghabiskan urusan dan biarlah diberi tempat untuk Kwa-sicu mengobati puterimu."

Kun Hong menjadi melengak ketika urusan berbalik secara demikian. Semua orang, termasuk juga Hui Siang gadis yang galak itu, mengucapkan maaf kepadanya, juga Bouw Si Ma, Pangeran Souw Bu Lai, dan Ching-toanio. Malah terdengar suara Ngo Kui Ciau, orang pertama dari Ang Hwa Sam-cimoi yang bersuara kecil melengking,

"Pantas saja lihai, kiranya murid si tua bangka Yok-mo. Hi-hi-hik, tak perlu ribut-ribut, biar buta tapi amat tampan dan gagah, lagi lihai dan murid Yok-mo. Toanio, kurasa pantas dia menjadi mantumu, hi-hi-hik!"

Mendongkol sekali Kun Hong, akan tetapi juga wajahnya berubah merah tanpa dapat dia cegah, karena mendengar ucapan seperti itu, entah mengapa, jantungnya berdebar tidak karuan. Dia tidak banyak bicara dan menurut saja ketika dia diajak ke dalam bangunan itu yang untuk sementara diserahkan kepadanya sebagai tempat untuk mengobati Hui Kauw.

"Tidak lama... tidak lama..." katanya gugup. "Sebentar saja akan kupulihkan kedudukan urat-uratnya, kusambung tulangnya dan kubersihkan hawa beracun yang menyerangnya. Besok ia sudah pulih kembali, hanya tinggal memperkuat pertumbuhan tulang-tulang yang disambung. Aku tidak bisa lama-lama tinggal di sini dan akan segera keluar dari pulau ini bersama nona Loan Ki."

Dia merasa heran sekali mengapa Loan Ki diam saja, tidak ada suaranya sama sekali. Dia tidak melihat betapa nona ini biar pun berada pula di situ, mukanya murung dan cemberut terus. Pangeran Souw Bu Lai yang beberapa kali berusaha untuk memikatnya dengan omongan-omongan manis, tidak diacuhkannya sama sekali. Akhirnya pangeran itu bosan sendiri dan nampak mendekati Hui Siang, bercakap-cakap gembira dan disambut manis oleh nona cantik jelita yang galak itu.

Orang-orang menjadi kagum menyaksikan cara Kun Hong mengobati Hui Kauw. Dengan tusukan-tusukan jarum perak dia dapat memulihkan kesehatan nona ini, mengusir ke luar hawa beracun akibat pukulan-pukulan Ching-toanio yang ampuh.

Kemudian dia meminta semua orang laki-laki keluar dari kamar karena dia hendak mulai menyambung tulang, dan untuk keperluan ini terpaksa baju nona Hui Kauw harus dibuka. Hanya Ching-toanio, Loan Ki, Ang Hwa Sam-cimoi, Hui Siang dan tiga orang pelayan wanita yang masih berada di kamar. Biar pun maklum di situ terdapat banyak orang pula yang menyaksikan, tangan Kun Hong sedikit gemetar juga ketika dia meraba kulit dada dan punggung yang halus pada waktu dia menyambung tulang iga yang patah!

Setengah hari dia bekerja keras dan akhirnya dia selesai, kemudian duduk bersila dan menempelkan dua tangannya ke pundak Hui Kauw dekat leher untuk menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh nona itu dan membantunya sekuat tenaga. Sejam dia melakukan ini dan mulailah pernapasan nona itu normal kembali dan mukanya menjadi merah sehat.

Pada saat itu Ching-toanio memberi isyarat kepada semua orang untuk meninggalkan kamar itu. Loan Ki tadinya hendak tinggal di situ, akan tetapi Ching-toanio berkata lirih, "Nona Tan, setelah sekarang kita menjadi sahabat, perlu kita bicara tentang urusan yang juga menyangkut ayahmu. Marilah, biar Kwa-sicu mengaso dulu, kulihat Hui Kauw sudah sembuh kembali."

Tak enak juga hati Loan Ki untuk membandel. Ia mengerling dengan mata ragu ke arah Kun Hong yang masih duduk bersila, lalu sinar matanya menyambar seperti kilat ke arah muka Hui Kauw yang hitam, setelah itu ia mendengus marah dan ikut keluar pula.

Kamar itu sunyi. Suara orang-orang di luar bercakap-cakap tidak dapat terdengar jelas oleh karena daun pintu kamar itu ditutup dari luar. Kun Hong melepaskan kedua telapak tangannya dari pundak nona itu, kemudian dengan perlahan dia mengurut jalan darah di punggung dan belakang leher. Terdengar nona ini mengerang perlahan. Kun Hong cepat menarik kembali tangannya dan melompat turun dari pembaringan, berdiri menanti.

"Uuuhhh, panas...," nona itu merintih.

"Tidak apa-apa, Nona. Hawa panas itu kau perlukan untuk mendorong peredaran darah di tubuhmu sehingga engkau akan menjadi sembuh benar-benar."

Hui Kauw membuka matanya, kaget melihat betapa tubuhnya bagian atas tidak berbaju, apa lagi melihat Kun Hong berdiri di situ dengan kepala tunduk. Dia cepat bangun dan menyambar bajunya yang berada di dekatnya, terus digunakan untuk menutupi tubuhnya.

"Bagaimana ini... apa yang terjadi... kau mengapa berada di sini...?" pertanyaan yang terputus-putus ini diajukan dengan suara gemetar.

Kun Hong dapat menangkap perasaan sedih, malu dan terhina dalam suara itu, maka dia membungkuk dengan hormat, kemudian berkata, "Kau menderita luka-luka, aku berusaha mengobatimu, disaksikan oleh keluargamu, Nona. Kini kau sudah selamat, perkenankan aku keluar dari tempat ini."

Tanpa menanti jawaban, dengan cepat Kun Hong lalu melangkah ke arah pintu, membuka daun pintu dan keluar dari situ.

Ka Chong Hoatsu sendiri menyambutnya. "Bagaimana Kwa-sicu, berhasilkan usahamu?"

"Dengan berkah Thian ia dapat pulih kembali kesehatannya," jawab Kun Hong sederhana.

Ching-toanio lantas berlari memasuki kamar dan Kun Hong masih mendengar suaranya, "Aduh, kasihan anakku..."

Kun Hong mengerutkan kening. Suara Ching-toanio ini adalah suara palsu. Hemm, akan berbuat apa lagikah wanita majikan pulau ini yang jahat dan palsunya sama saja dengan ular-ular hijaunya yang berbisa? Bukan urusanku, pikirnya, aku harus segera pergi dari tempat ini.

"Ki-moi, hayo kita pergi..."
Tidak ada jawaban.
"Di mana nona Loan Ki?" tanyanya kepada Ka Chong Hoatsu.

Hwesio tua itu tertawa. "Semua orang termasuk sahabatmu itu lagi berkumpul di ruangan sembahyang. Mari, Kwa-sicu, oleh karena pada saat ini kau pun menjadi seorang tamu terhormat, kau pun dipersilakan untuk ikut berpesta sambil ikut pula merayakan pelepasan perkabungan keluarga Ching-toanio."

"Pesta apa? Sembahyangan apa?" Kun Hong tak mengerti.

"Suaminya meninggal tiga setengah tahun yang lalu. Hari ini kebetulan sedang diadakan sembahyangan lalu diadakan sedikit pesta untuk merayakan pelepasan perkabungan ibu dan kedua anak."

"Maaf, Lo-suhu, aku... aku akan pergi saja. Tolong kau panggilkan nona Tan Loan Ki..."

"Ha-ha-ha, Kwa-sicu, apakah kau sebagai seorang yang sudah banyak merantau di dunia kangouw, tidak mau mengindahkan peraturan? Kau dianggap tamu terhormat, keluarga Ching-toanio hendak menyampaikan terima kasih, dan di sini sedang dilakukan upacara sembahyangan pula. Masa kau akan pergi begitu saja?"

Kun Hong menarik napas panjang. Memang betul juga ucapan hwesio itu. Apa lagi Loan Ki agaknya juga sudah berbaik dengan orang-orang itu, maka dia terpaksa mengangguk lemah.

"Baiklah, setelah sembahyang aku akan mengajak Loan Ki segera pergi. Tidak usah ikut berpesta, makanan dan arak yang dicuri Loan Ki dari sini sudah cukup mengakibatkan heboh!"

Hwesio itu tertawa lalu berjalan, sengaja memberatkan kakinya agar mudah diikuti oleh Kun Hong yang berjalan di belakangnya sambil meraba jalan dengan tongkatnya. Kiranya tidak jauh dari situ mereka sudah sampai di tempat yang dimaksudkan. Sebuah bangunan yang agak besar.

Telinga Kun Hong menangkap suara banyak sekali orang di situ, banyak suara wanita dan agaknya orang-orang pada sibuk bekerja, mungkin mengatur meja sembahyangan karena dia mendengar suara mangkuk-mangkuk ditaruh di atas meja dan tercium bau lilin besar dinyalakan di samping dupa harum memenuhi ruangan itu. Ia segera duduk pada sebuah kursi yang sudah disediakan untuknya.

Karena tempat itu ramai dengar suara orang, dia tidak dapat tahu apakah Loan Ki berada di situ ataukah tidak, untuk bertanya dia merasa kurang enak. Tentu saja dia tidak dapat melihat betapa di sudut ruangan itu Loan Ki duduk menyendiri dengan muka pucat dan sepasang mata gadis itu memandang ke arahnya dengan melotot penuh kemarahan!

Dugaannya memang benar. Di tempat itu selain orang-orang kosen yang telah disebutkan tadi berkumpul, makan minum sambil tertawa-tawa di ruangan itu bagian tengah, juga di sana terdapat belasan orang pelayan wanita berpakaian serba indah sedang mengatur meja sembahyang yang besar dan megah. Dua batang lilin naga warna merah dinyalakan di atas meja sembahyang yang dihias seperti meja sembahyang pengantin saja!

Kemudian terdengar suara Ka Chong Hoatsu berkata kepadanya, "Kwa-sicu, silakan kau melakukan sembahyang untuk menghormat abu jenazah mendiang suami Ching-toanio."

Pendeta itu menyerahkan beberapa batang hio (dupa batang) kepada Kun Hong. Pemuda buta ini bingung, akan tetapi merasa tidak enak untuk menolak. Penghormatan kepada abu jenazah merupakan syarat kesopanan yang tidak mungkin ditolak. Dia menurut saja ketika dituntun ke depan meja sembahyang.

"Bersembahyang di depan abu jenazah seorang yang tinggi tingkatnya, harus berlutut,"' Ka Chong Hoatsu berbisik.

Kun Hong yang pada dasarnya berwatak sopan dan suka merendahkan diri, kali ini juga tidak membantah, lalu berlutut, menyelipkan tongkat di pinggang dan memegangi batang-batang hio itu di antara tangannya.

Pada saat itu dia mendengar suara banyak kaki secara halus melangkah datang. Di sana sini lalu terdengar suara wanita tertawa tertahan, kemudian dia mendengar suara orang berlutut di samping kirinya. Lalu kagetlah dia ketika dia mencium bau harum yang sudah amat dikenalnya, keharuman yang sama benar dengan ganda yang diciumnya ketika dia mengobati Hui Kauw di dalam kamar tadi.

Tidak dapat diragukan lagi, Hui Kauw tentu orangnya yang sekarang berlutut di sebelah kirinya! Apa artinya semua ini? Kenapa ia harus bersembahyang di depan abu jenazah itu berdampingan dengan Hui Kauw? Dia menjadi ragu-ragu dan menahan diri, tidak segera bersembahyang.

Pada saat itu, di antara suara hiruk-pikuk para pelayan, dia mendengar suara Loan Ki, penuh ejekan, penuh kebencian. "Hah, yang lelaki buta, yang perempuan bermuka hitam. Belum pernah selama hidupku melihat sepasang pengantin begini buruk!"

Kun Hong terkejut setengah mati. Tangan kirinya bergerak meraba dan... dia mendapat kenyataan bahwa Hui Kauw memakai pakaian pengantin, dengan muka berkerudung!

"Apa artinya ini?" Dia berseru dan bangkit berdiri membuang hio-nya ke samping.

Tiba-tiba sebuah tangan yang kuat menekan pundaknya, jari-jari tangan yang amat kuat itu mencengkeram jalan darahnya di pundak yang mengancam, karena begitu diremas dia akan menjadi lumpuh! Lalu terdengar bisikan suara Ka Chong Hoatsu,

"Orang she Kwa, jangan menolak! Kau sudah mencemarkan nama baik nona Giam Hui Kauw, kau malah sudah mengobatinya sampai sembuh. Untuk membalas budimu, dan untuk membersihkan namanya, kau sudah dipilih untuk menjadi suami yang sah. Nona Hui Kauw sendiri sudah setuju. Bagaimana kau dapat menolaknya?"

Muka Kun Hong sebentar merah sebentar pucat. Dia tidak mengerti bagaimana urusan berbalik menjadi begini. Dia memang suka kepada Hui Kauw, suka dan menaruh simpati besar, juga sangat berkasihan menghadapi nasib buruk nona bersuara bidadari ini. Baru suaranya saja sudah mampu merampas rasa kasih sayangnya.

Akan tetapi tentu saja dia tidak mau dijodohkan secara begini, secara paksa dan tiba-tiba. Juga, di lubuk hatinya tidak ada sedikit pun niat untuk menikah dengan wanita lain setelah dia kehilangan Cui Bi. Orang buta seperti dia mana mampu mendatangkan kebahagiaan bagi seorang isteri?

"Tidak... tidak...! Aku bukan boneka yang boleh kalian permainkan begitu saja! Aku adalah seorang manusia!" bantahnya, tidak peduli betapa tekanan pada pundaknya terasa makin menghebat yang berarti hwesio itu memperhebat pula ancamannya.

"Orang she Kwa, kau tidak boleh menolak! Tidak ada pilihan lain bagimu, menerima dan menjadi mantu Ching-toanio untuk membersihkan nama baik nona Hui Kauw yang kau cemarkan kemudian membantu semua usaha kita bersama, atau sekarang juga kau harus mati!" Kemudian dengan suara lebih perlahan di dekat telinga Kun Hong, "Bocah tolol, tak usah kau berpura-pura. Kau mencinta dia, bukan? Nah, apa lagi soalnya?"

"Tidak! Sekali lagi tidak. Tak sudi aku dijadikan begini...!" Kun Hong berteriak lagi dengan marah sekali, seluruh urat-urat di tubuhnya telah menegang untuk melakukan perlawanan. Akan tetapi terpaksa dia menahan kemarahannya karena ancaman pada jalan darah di pundaknya itu benar-benar berbahaya sekali.

Tiba-tiba Hui Kauw yang berlutut di sampingnya itu terisak-isak menangis, lalu terdengar gadis itu menjerit tinggi satu kali, disusul kata-kata yang memilukan, "Ya Tuhan... apa dosaku sehingga kalian menghina aku begini rupa?"

Setelah itu, cepat laksana kilat gadis ini menerjang ke kanan dan menyerang Ka Chong Hoatsu dengan pedangnya yang tadi dia sembunyikan di balik pakaian pengantin yang longgar. Kini kerudung kepalanya sudah dibuka dan wajahnya yang berkulit hitam itu jelas nampak agak pucat dan basah air mata. Serangan ini hebat bukan main karena Hui Kauw mempergunakan jurus dari pada ilmu pedangnya yang ia rahasiakan.

Ka Chong Hoatsu adalah seorang tokoh besar yang amat lihai, namun dia terkesiap juga menghadapi serangan luar biasa ini, yang seperti halilintar menyambar ke arah dadanya. Terpaksa dia melepaskan cengkeramannya pada pundak Kun Hong dan berjungkir balik ke belakang sambil mengibaskan ujung lengan bajunya yang panjang.

Hampir terpental lepas pedang di tangan Hui Kauw ketika dikebut oleh ujung lengan baju ini. Akan tetapi Hui Kauw tidak menyerang terus, melainkan terisak-isak dan meloncat jauh, berlari sambil menangis lenyap dalam gerombolan pohon di hutan. Dari jauh masih terdengar suara tangisnya yang kian menghilang. Kun Hong merasa amat bersyukur. Ia maklum bahwa tadi gadis itu menyerang Ka Chong Hoatsu dengan maksud menolongnya terlepas dari pada cengkeraman yang membuat ia tidak berdaya.

Pada saat itu terdengar Loan Ki berseru. "Bagus, Hong-ko. Jangan takut, aku bantu kau!" Dan gadis ini pun sudah meloncat ke tengah ruangan itu, di depan meja sembahyang, berdiri tegak dengan pedang di tangan di sebelah Kun Hong!

Kembali Kun Hong melengak heran. Bagaimana sih gadis lincah ini? Sebentar membantu dirinya, sejenak kemudian mencelakainya, kadang-kadang membelanya, tapi ada kalanya mengkhianatinya. Tadi baru saja dia mencemooh dan dengan ucapan mengandung suara menghina telah mengejeknya, tetapi sekarang suaranya berbeda sekali ketika menyebut ‘Hong-ko’ dan sekarang malah siap membantunya.

Dia benar-benar bingung, apa lagi mengingat perbuatan Hui Kauw tadi. Mengapa gadis yang sudah bisa dia kenal watak perangainya yang halus dan murni itu mau saja disuruh bersembahyang sebagai pengantin dengannya, kemudian kenapa pula gadis itu menangis sedih dan malah menerjang Ka Chong Hoatsu untuk menolongnya, tapi setelah itu malah melarikan diri? Benar-benar dia tidak mengerti akan sikap gadis-gadis ini.

Akan tetapi dia juga merasa khawatir sekali. Dia maklum betapa lihainya orang-orang di pulau ini dan kepandaian Loan Ki masih jauh dari pada cukup untuk menghadapi mereka. Dia sendiri pun belum tentu akan dapat menangkan mereka yang lihai-lihai itu, apa lagi Ka Chong Hoatsu si hwesio tua yang tadi mencengkeram pundaknya. Andai kata Hui Kauw tidak lari dan mau membantunya, gadis bersuara bidadari itu memiliki kepandaian hebat dan boleh diandalkan. Tadi saja dengan sekali gebrakan, sejurus serangan saja, gadis itu telah mampu memaksa Ka Chong Hoatsu melepaskan cengkeramannya.

"Orang muda, kau benar-benar sombong. Orang telah memperlakukan kau dengan baik, sungguh pun kau telah menimbulkan keributan. Kau dimaafkan, bahkan kelakuanmu yang merusak dan mencemarkan nama baik seorang gadis sudah dimaafkan, sebaliknya dari pada dihukum, kau malah diangkat pula menjadi mantu. Akan tetapi dengan sombong kau menolak, ini bukan saja merupakan penghinaan terhadap nyonya rumah, akan tetapi juga kau telah menghancurkan perasaan seorang gadis dan kau telah menghina pinceng (aku) pula yang bertindak sebagai perantara! Dosamu bertumpuk dan sekarang pinceng takkan sudi lagi memandang kebutaan matamu atau wajah mendiang gurumu, Yok-mo."

Kun Hong melangkah maju, sengaja agar Loan Ki berada di belakangnya untuk menjaga kalau hwesio yang lihai itu mengirim serangan, jangan sampai Loan Ki menjadi korban. Kemudian dia tersenyum sinis dan menegur, "Lo-suhu, kalau aku tidak salah menduga, kau adalah seorang hwesio, pemeluk Agama Buddha yang luhur serta mulia. Lo-suhu, apakah kau lupa akan ajaran-ajaran suci dalam kitab-kitab Buddha? Lupakah engkau akan ayat-ayat dalam kitab misalnya Dhammapada yang mengingatkan manusia sewaktu hidup akan segala maksiat yang akan merugikan diri sendiri?"

Sampai di sini Kun Hong lalu mendongak. Suaranya yang nyaring itu melagukan nyanyian yang merupakan doa dari kitab Agama Buddha.

Dia yang dapat menahan kemarahan,
seperti seorang menahan kaburnya kereta,
dialah patut disebut seorang kusir sejati.
Kalahkan amarah dengan kasih,
tundukkan kejahatan dengan kebajikan,
kerakusan dengan kerelaan,
dan kebohongan dengan kebenaran.

Sampai di sini Ka Chong Hoatsu sudah tertawa bergelak sehingga Kun Hong cepat-cepat menghentikan nyanyiannya. "Ha-ha-ha, bocah buta masih ingusan, kau berani mengajari pinceng tentang ayat kitab Dhammapada? Ha-ha-ha, seperti orang mengajar ikan tentang caranya berenang!"

"Kalau perlu boleh saja, Lo-suhu, Sungguh pun ikan pandai berenang, kadang-kadang dia akan tersesat karena tertarik oleh kemilaunya kotoran-kotoran di permukaan air sehingga tanpa disadari ikan itu akan berenang menentang arus dan menemui kehancurannya."

"Huh, bocah she Kwa. Agaknya kau mengandalkan kepandaianmu untuk bersikap kurang ajar dan sombong di depan pinceng. Hemm, bocah buta, Yok-mo sendiri yang kau sebut sebagai gurumu masih tidak berani memandang rendah terhadap pinceng. Majulah dan coba perlihatkan kepandaianmu!"

Akan tetapi Kun Hong tidak bergerak. "Lo-suhu, aku tak ingin berkelahi dengan siapa pun juga..."

"Ha, kau jeri kepada Ka Chong Hoatsu?" hwesio itu mengejek.

"Aku pun tidak jeri atau takut kepada siapa pun juga."

"Kalau begitu majulah, hayo perlihatkan kepandaianmu!"

"Lo-suhu, aku tidak ingin berkelahi, hanya ingin supaya aku dan nona ini dibolehkan pergi dengan aman. Kami tidak bermaksud mengganggu kalian penghuni pulau ini..."

"Taisu, mengapa berdebat dengan setan kurang ajar itu? Tolong kau tangkap dia untukku, biar puas aku memberi hukuman kepadanya!" kata Ching-toanio dengan suara gemas.

"Bocah Kwa, lihat tongkat!" bentak Ka Chong Hoatsu.

Kun Hong cepat-cepat mendorong Loan Ki ke belakang agak jauh karena dia mendengar ada sambaran angin yang dahsyat sekali menyambar ke arahnya. Bukan main hebatnya serangan ini dan Kun Hong memusatkan pikiran dan perasaannya, mengumpulkan hawa murni dan tenaga dalam di tubuhnya.

Dia tahu bahwa angin dahsyat itu menyembunyikan tongkat yang menyambar ke arah pinggangnya. Sengaja dia melambatkan gerakannya. Begitu tongkat itu telah menyambar dekat, dengan pengerahan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dia lalu meloncat ke atas.

Tongkat itu mendesing di bawah kakinya, tidak lebih dari sepuluh senti jaraknya, namun angin pukulan tongkat itu telah membuat Kun Hong seperti didorong dari bawah sehingga tubuhnya mumbul lagi belasan senti tingginya. Dia makin kagum dan maklum bahwa kali ini dia menghadapi seorang lawan yang luar biasa tangguhnya, malah mungkin tak kalah lihai kalau dibandingkan dengan lawan yang paling ampuh yang pernah dihadapinya, yaitu pada tiga tahun yang lalu di puncak Thai-san, si tua bangka Pak-thian Lo-cu, guru dari Si Tangan Maut Bouw Si Ma, orang Mancu yang sekarang hadir di sini.

Kekaguman tidak hanya berada di pihak Kun Hong. Juga Ka Chong Hoatsu kagum bukan main. Cara pemuda buta itu menghadapi serangannya tadi betul-betul di luar dugaannya, dan cara ini sekaligus membingungkannya karena sama sekali bukan ilmu silat seperti yang pernah dia lihat dimainkan oleh Bu Beng Cu.

Memang, Kun Hong tadi tidak menggunakan jurus dari Kim-tiauw-kun dalam menghadapi penyerangan ini, akan tetapi dia mempergunakan sebuah jurus pertahanan dari Ilmu Silat Im-yang Kun-hoat yang dia terima dari Si Raja Pedang Tan Beng San.

Jurus tadi lewat cepat sekali seperti menyambarnya halilintar. Kini Kun Hong sudah berdiri tegak, kaki kanannya ditekuk dengan ujung berdiri dan tumit menempel di kaki kiri, tangan kanan yang memegang tongkat ditaruh di depan dada dan tongkatnya tegak lurus ke atas menempel ujung hidung, tangan kiri dengan jari-jari terbuka lurus ke depan seperti sedang menunjuk. Seluruh tubuh tak bergerak, semua urat dalam tubuh menegang serta segenap perhatian dicurahkan ke depan dan sekelilingnya dalam sikap menjaga diri.

Ka Chong Hoatsu juga memasang kuda-kuda, akan tetapi dia meragu dan tidak segera menjatuhkan serangannya. Betapa pun juga, dia masih sungkan untuk menyerang secara sungguh-sungguh.

Dia adalah seorang yang memiliki kedudukan besar dan dipandang tinggi di utara, sejajar dengan Pak Thian Locu, hanya kalau Pak-thian Lo-cu menganut aliran Agama To adalah dia merupakan wakil dari golongan Buddha. Sudah jauh dia merantau, bahkan belasan tahun dia berada di India. Sejak pulang dari India, dia makin dipandang dan merupakan orang yang paling berkuasa di samping kepala suku di antara bangsanya, yaitu Bangsa Mongol yang sudah kalah perang dan kehilangan kedudukan itu.

Bahkan dia merupakan orang yang dipilih untuk mendidik Pangeran Souw Bu Lai yang dipandang menjadi seorang bangsawan yang memiliki harapan untuk merampas kembali kerajaan yang hilang. Kedudukannya demikian besar dan tinggi, masa sekarang dia harus menggunakan kepandaiannya untuk bertempur sungguh-sungguh melawan pemuda yang usianya dua puluh lima tahun paling banyak, yang buta kedua matanya lagi?

Inilah yang membuat Ka Chong Hoatsu ragu-ragu karena dalam pertempuran ini, kalau dia menang takkan berarti apa-apa akan tetapi kalau sampai kalah namanya akan hancur luluh sekaligus! Dia pun maklum bahwa pemuda buta ini benar-benar memiliki simpanan rahasia ilmu yang tak boleh dipandang ringan.

Dua jagoan ini sudah saling berhadapan memasang kuda-kuda, seperti dua buah patung tak bergerak sama sekali. Ka Chong Hoatsu biar pun sudah tua namun tubuhnya tinggi besar dan kuda-kudanya gagah, kedua kaki terpentang, tubuh agak direndahkan, tongkat yang panjang dan amat berat itu melintang di depan dada, kedudukannya membayangkan tenaga yang dahsyat sekali. Kun Hong sebaliknya tenang, namun kokoh kuat seperti batu karang menghadapi serbuan ombak samudera.

"Bun-taihiap dari Kun-lun-pai yang terhormat sudah tiba untuk bertemu dengan toanio...!" terdengar seruan wanita penjaga dari jauh.

Belum lenyap gema suara itu, berkelebat bayangan putih dan seperti sehelai daun kering yang tertiup angin, melayanglah turun seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah sekali, berpakaian serba putih dan pada punggungnya tergantung sebatang pedang yang tertutup sarung pedang terukir indah. Begitu tiba di situ pemuda ini melihat keadaan Ka Chong Hoatsu, memandang heran lalu mengerling ke arah Kun Hong yang buta.

"Ah, kiranya Ka Chong Hoatsu sedang memberi pelajaran, sungguh kedatanganku sangat kebetulan!" kata pemuda itu.

Ka Chong Hoatsu sudah semenjak tadi membatalkan serangannya, lalu dia mengetukkan tongkatnya di atas tanah dan tertawa bergelak.

"Sungguh tidak tahu malu pinceng yang sudah tua bangka mau melayani seorang bocah buta, menjadikan buah tertawaan Bun-sicu dari Kun-lun-pai saja. Ha-ha-ha!"

Akan tetapi pemuda baju putih itu tidak memperhatikan Ka Chong Hoatsu karena pada saat itu dia sedang memandang ke arah Kun Hong dengan bengong, malah dia segera melangkah mendekati dan mengamat-amati wajah Kun Hong dengan pandang matanya yang penuh selidik. Suaranya berubah ketika dia bertanya.

"Ka Chong Hoatsu, mau apakah dia datang ke sini dan kenapa pula hendak bertempur melawanmu?"

Ka Chong Hoatsu tertawa lagi. Dia pernah beberapa kali datang ke Kun-lun-san dan dia mengenal pemuda Kun-lun yang lihai ini, yang selalu bersikap terbuka serta bersahaja terhadapnya, tidak menjilat-jilat akan tetapi amat jujur.

"Ha-ha, Bun-sicu, sebetulnya pinceng malu karena harus turun tangan terhadap seorang bocah buta. Tapi dia ini memang menjemukan, bermain gila dengan nona Hui Kauw..."

Pemuda baju putih itu mengeluarkan suara mendengus penuh ejekan. "Hemmm, kiranya sesudah kedua matanya buta, Kwa Kung Hong masih sama saja merupakan seorang pemuda hidung belang yang suka merayu dan menundukkan hati wanita. Lucu sekali! Kwa Kun Hong, apakah kau tidak kenal padaku?"

Tentu saja Kun Hong mengenalnya. Biar pun dahulu belum mendapat kesempatan untuk berkenalan secara mendalam, namun mana bisa dia melupakan pemuda putera ketua Kun-lun-pai yang dahulu menjadi tunangan dari kekasihnya, Tan Cui Bi?

Dia tahu bahwa pemuda ini adalah Bun Wan, putera dari ketua Kun-lun-pai yang biar pun dahulu lantas pulang dengan marah bersama ayahnya dari puncak Thai-san, dan tidak menjadi saksi atas peristiwa mengerikan yang mengakibatkan kematian Cui Bi dan kebutaan matanya namun agaknya pemuda ini sudah mendengar tentang kebutaannya.

Dia menjura dengan hormat, mengangkat kedua tangan yang memegang gagang tongkat ke depan dada. "Tentu saja aku ingat dan mengenal suara Bun-enghiong dari Kun-lun-pai. Tetapi sayang sekali semenjak bertahun-tahun ini pandanganmu masih sesempit dulu, terutama dalam menilai watak seseorang. Sayang..."

Kembali Bun Wan, pemuda itu, mendengus mencemooh atas ucapan ini. Kemudian dia menoleh ke arah Ching-toanio dan berkata, "Toanio, karena aku telah datang di sini, aku harap Toanio suka mengampuni dia dan membebaskannya. Harap Toanio ketahui bahwa antara ayahnya dan ayahku ada hubungan persahabatan di waktu muda, oleh karena itu amatlah tidak enak kalau dia ini menerima hukuman di mana aku hadir. Tentu ayah akan menegurku."

Ching-toanio menggerutu, "Dia ini terlalu kurang ajar, terlalu menghina kami, mana bisa aku memberi ampun?"

Akan tetapi Ka Chong Hoatsu cepat-cepat berkata, "Ching-toanio, biarlah, melihat muka Bun-sicu yang terhormat, biarlah kita mengampuninya dan membiarkan si buta ini pergi dari pulau. Apa lagi bila mengingat akan nama besar Ciang-bun-jin dari Kun-lun-pai, ayah Bun-sicu yang kita hormati."

Melihat kesempatan yang baik ini, Loan Ki segera menggandeng tangan Kun Hong dan berkata, "Hayo, Hong-ko, kita pergi dari tempat terkutuk ini!" Ia lalu menarik tangan Kun Hong dari situ sambil menjebirkan bibir dan melerok ke sana ke mari kepada orang-orang yang berada di situ!

"He-he-he-he, bocah nakal. Kau tidak boleh pergi! Masih ada urusan yang akan pinceng bicarakan denganmu sebagai wakil ayahmu, urusan penting sekali. Si buta ini boleh pergi sekarang juga, tapi kau tidak. Kembalilah!" kata Ka Chong Hoatsu.

Mendengar ini Ching-toanio tersenyum dan tahulah ia sekarang mengapa hwesio yang menjadi tamu agung dan orang andalannya ini tadi membiarkan Kun Hong dibebaskan. Kiranya hwesio itu bermaksud supaya si buta itu mencari jalan ke luar dari pulau itu seorang diri dan hal ini terang tidak mungkin dan akhirnya tentu akan membuat pemuda buta itu terjeblos ke dalam perangkap-perangkap rahasia dan tak akan terlepas dari pada hukuman dan pembalasannya juga!

"Betul, Nona. Setelah menjadi tamu kami, kau tak boleh pergi dulu dari sini. Kami hendak mengadakan hubungan dengan ayahmu melalui kau!" katanya.

Loan Ki memutar otaknya. Dia maklum bahwa jumlah lawan yang banyak ini amat sukar dilawan, biar oleh Kun Hong sekali pun. Dia melepaskan tangan Kun Hong dan berjalan dengan langkah lebar ke dekat Ka Chong Hoatsu, langsung ia menegur,

"Hwesio tua, kau benar-benar mau mempermainkan aku seorang bocah perempuan? Aku tidak suka berada di sini, di dekat kalian ini, dan aku mau pergi sekarang juga. Apa bila nonamu ini mau pergi, siapa yang sanggup melarang? Aku berani bertaruh, kalau aku sungguh-sungguh menghendaki pergi, tongkatmu yang panjang dan tiada gunanya ini tak akan mampu menghalangiku, Hwesio tua!"

Ka Chong Hoatsu tertawa, juga orang-orang yang berada di situ semua tertawa mengejek mendengar kata-kata itu. Sebaliknya Kun Hong diam-diam mengeluh. Benar-benar Loan Ki adalah seorang bocah yang tidak genah (normal), pikirnya, tak mengerti tingginya langit dalamnya lautan. Sudah terang bahwa tingkat kepandaiannya masih kepalang tanggung, matang tidak mentah pun tidak, jika dibandingkan dengan kepandaian Ka Chong Hoatsu masih tertinggal jauh sekali. Bagaimana sekarang berani mengucapkan tantangan yang begitu menggelikan? Seperti katak dalam tempurung!

"Ha-ha-ha-ha, pinceng kagum akan ketabahannmu, Nona cilik. Betulkah tongkat pinceng yang butut ini tidak akan mampu menghalangi kau pergi?"

"Tentu saja tidak mampu. Berani aku bertaruh! Kau boleh jadi lebih kuat dan lebih matang ilmu silatmu dibandingkan dengan aku karena kau sudah tua, akan tetapi aku menang muda sehingga aku lebih cepat dari padamu. Kalau aku berlari cepat, mana kau mampu mengejarku?"

Kembali ucapan ini menggelikan dan Ka Chong Hoatsu juga tertawa bergelak. Dia merasa malu untuk berdebat dengan seorang bocah, apa lagi dalam soal kepandaian silat, maka biar pun hatinya mendongkol, dirinya tertawa dan diam-diam ingin mengalahkan bocah ini biar kapok dan tidak membuka mulut besar.

"Tentu saja, pinceng sudah tua mana dapat berlari cepat? Akan tetapi, agaknya kau ini seorang bocah perempuan cilik, juga tidak akan dapat melangkah lebar seperti pinceng, ha-ha-ha!"

"Ehh, Hwesio tua, jangan pandang rendah padaku, ya? Berani kau bertaruh dengan aku berlomba lari cepat? Mana kau berani. Huh, kau hanya berani menghina seorang bocah perempuan mengandalkan kepandaian dan usia tua. Hayo, kalau kau berani berlomba lari cepat, biar kita bertaruh. Bila kau kalah, kau dan semua orang ini tak boleh menghalangi aku pergi dari pulau ini, kalau aku yang kalah, terserah kepadamu. Berani tidak?"

Sekali lagi Kun Hong mengeluh. Mengapa Loan Ki begitu goblok? Kalau tadi tidak usah banyak cakap, tetap berada di dekatnya, tentu dia kan dapat melindungi nona cilik nakal itu. Sekarang nona itu malah mencari penyakit sendiri. Mana mungkin menang berlomba lari cepat melawan hwesio yang sakti itu?

"Ha-ha-ha, kau lucu sekali, Nona cilik. Masa orang tua diajak balap lari. Tapi biarlah, kalau tidak dituruti kehendakmu, aku khawatir kau akan rewel dan ngambek, bisa gagal maksud pinceng menghubungi ayahmu. Ha-ha-ha!"

"Bagus, kau lihat bunga bwee yang tumbuh di sana itu?"

Ka Chong Hoatsu mengangguk sambil tersenyum lebar. Pohon bunga bwee itu tumbuh di sebelah kiri bangunan, kurang lebih dua ratus meter jaraknya dari tempat itu. Bagi kakek ini, beberapa belas kali lompatan saja di sudah akan sampai di sana!

"Nah, kita berlomba lari cepat sampai di tempat itu. Siapa yang dapat memegang bunga bwee itu lebih dulu, dia menang. Setuju?"

"Ha-ha-ha setuju, setuju!" jawab hwesio tua.

"Nah, kau bersiaplah, Hwesio. Aku akan menghitung sampai tiga, dan sebelum hitungan sampai tiga kau tidak boleh mulai lari. Jangan curang!"

"Ha-ha-ha, boleh... boleh..." Ka Chong Hoatsu menjawab, gembira juga dia menyaksikan permainan kanak-kanak ini.

Akan tetapi Loan Ki tidak segera menghitung, melainkan berdiri saja sambil mengerutkan keningnya yang bagus.

"Hayo lekas mulai!" tegur Ka Chong Hoatsu.

Loan Ki menggeleng kepalanya. "Percuma... aku masih belum percaya benar kepadamu, jangan-jangan setelah kalah kau masih curang dan menjilati janji sendiri. Kau benar-benar berjanji akan membebaskan kami berdua tanpa mengganggu pula kalau kalah balapan lari denganku?"

Ka Chong Hoatsu memandang dengan mata melotot besar. "Bocah kurang ajar, pinceng Ka Chong Hoatsu mana sudi menjilat ludah sendiri? Hayo mulai!"

"Orang gagah lebih baik mati dari pada menjilat ludah sendiri tidak menepati janji. He, Ka Chong Hoatsu, kau berjanji akan membebaskan kami dan membiarkan kami pergi dari pulau ini kalau kau kalah balapan lari dengan aku?"

"Pinceng berjanji, gadis liar!"

Loan Ki tersenyum, manis sekali. "Dan kau berjanji takkan berlaku curang dalam balapan lari ini, tidak akan mulai lari sebelum aku menghitung sampai tiga?"

"Setan cilik, siapa sudi bermain curang? Tak usah bermain curang, lebih baik pinceng tak akan lari selamanya kalau kalah cepat lariku dari pada larimu. Hayo mulai!"

"Betulkah itu? Hi-hik, coba kita lihat dan saksikan bersama."

Gadis ini memasang kuda-kuda, siap untuk balapan lari, seperti orang hendak merangkak, berdiri dengan kaki dan tangan di atas tanah, tubuh belakangnya sengaja ditonjolkan ke atas sehingga ia nampak lucu sekali.

"Ha-ha-ha, kau seperti seekor kuda betina tanpa ekor!" Ka Chong Hoatsu tertawa geli.

Loan Ki tidak peduli, malah bicara dengan nyaring kepada semua orang yang berada di sana, "Kalian semua mendengar janji hwesio tua bangka ini! Sebelum aku menghitung sampai tiga, dia tidak boleh mulai lari!"

Kemudian ia mulai menghitung dengan suara lantang, "Satu..."

Suasana menjadi tegang dan sunyi karena biar pun semua orang yakin bahwa gadis itu tentunya akan kalah, akan tetapi menyaksikan sikap bersungguh-sungguh dari Loan Ki, mereka menduga-duga dengan ilmu apa gadis ini akan menghadapi kecepatan Ka Chong Hoatsu. Juga hwesio itu yang tadinya menganggap ringan dan sudah merasa yakin akan menang, melihat sikap ini dan mendengar suara aba-aba, menjadi tegang juga dan tanpa disadarinya dia sendiri pun sudah siap memasang kuda-kuda untuk segera ‘tancap gas’ kalau hitungan itu sudah sampai tiga.

"Dua..."

Urat-urat di tubuh Ka Chong Hoatsu semakin menegang, tumitnya sudah diangkat untuk segera melompat. Akan tetapi hitungan ‘tiga’ tidak keluar-keluar dari mulut Loan Ki, malah sekarang gadis itu berdiri dan berjalan cepat ke depan tanpa melanjutkan hitungannya. Semua orang terheran, juga Ka Chong Hoatsu yang mengira bahwa gadis itu tentu akan mengatur sesuatu maka berjalan ke depan ke arah bunga bwee itu.

Akan tetapi setelah berada dekat sekali, kurang lebih dua meter dari pohon bunga bwee itu, tiba-tiba saja Loan Ki berteriak nyaring sekali, "... tiga...!" dan dia pun berlari maju memegang kembang itu sambil tertawa-tawa dan bersorak-sorak ''Aku menang...! Hi-hik hwesio tua, kau kalah!"

Ka Chong Hoatsu melengak. Tentu saja tadi dia tidak sudi lari, karena kalau lari pun tak mungkin dapat menangkan Loan Ki yang sudah berada di dekat pohon itu, hanya tinggal mengulur tangan saja. Dari heran dia menjadi marah sekali.

"Gadis liar! Kau curang! Mana ada aturan begitu?" bentaknya.

Loan Ki meloncat dengan gerakan ringan cepat sekali, tahu-tahu ia sudah berada di depan Ka Chong Hoatsu, menudingkan telunjuknya dengan marah.

"Ka Chong Hoatsu, kau seorang hwesio tua, seorang yang namanya sudah terkenal di seluruh kolong langit, apakah hari ini engkau hendak menjilat ludah sendiri dan berlaku curang? Ingat baik-baik bagaimana janji kita tadi. Bukankah kau sudah setuju dan berjanji takkan lari sebelum aku menghitung sampai tiga? Perjanjian menunggu sampai hitungan ke tiga ini tadi hanya dikenakan kepadamu, tidak kepadaku. Siapa yang berjanji bahwa aku juga harus menanti sampai hitungan ke tiga? Aku tidak melanggar janji siapa-siapa, juga aku tidak curang, dan kau sudah kalah, kalah mutlak. Coba katakan apa kau berani melanggar janjimu sendiri?"

Ka Chong Hoatsu terkesima. Untuk beberapa lama dia tidak mampu bicara. Kemudian dia membanting-banting tongkatnya hingga tanah yang bercampur batu di depannya menjadi bolong-bolong seperti agar-agar ditusuki biting saja.

"Bocah liar, kau memang menang, akan tetapi bukan menang karena kecepatan berlari, melainkan menang karena akal bulus!"

Loan Ki tersenyum manis dan menjura sampai dahinya hampir menyentuh tanah. "Terima kasih, Ka Chong Hoatsu hwesio tua yang manis! Kau telah menyatakan sendiri sekarang bahwa aku menang. Nah, memang aku menang dalam balapan ini dan karenanya juga aku menang dalam taruhan, bukan? Soal menang menggunakan akal bulus atau pun akal udang, itu tidak diadakan larangan dalam perjanjian tadi. Nah, selamat tinggal, Hoatsu."

Dengan langkah manja gadis ini lalu berjalan menghampiri Kun Hong.....

Mendadak Loan Ki mendengar angin berdesir di belakangnya. Cepat dia menengok dan membalikkan tubuh, siap menanti penyerangan gelap. Akan tetapi tidak ada apa-apa dan ia melihat Ka Chong Hoatsu berdiri sambil tertawa bergelak. Ia memandang ke kanan kiri, semua orang yang berada di situ tertawa belaka. Loan Ki mengangkat kedua pundaknya, kemudian membalikkan tubuh lagi terus berjalan menghampiri Kun Hong, menggandeng lengan pemuda buta itu dan berbisik, "Mari kita pergi, Hong-ko." Ditariknya pemuda itu.

"Ki-moi, kau tadi dipermainkan Ka Chong Hoatsu, buntalanmu di punggung apakah masih ada?" bisik Kun Hong.

Loan Ki terkejut, cepat meraba punggung dan... ternyata mahkota kuno yang berada di dalam buntalan itu telah lenyap! Ia cepat membalikkan tubuhnya memandang. Eh, kiranya mahkota itu kini sudah berada di tangan kiri Ka Chong Hoatsu yang masih tertawa-tawa. "Hwesio tua, kau curi benda itu dari buntalanku, ya?" Loan Ki membentak sambil melotot.

Ka Chong Hoatsu semakin gembira tertawa. "Ha-ha-ha, pinceng tak akan melanggar janji nona cilik, tapi perlu membuktikan bahwa pinceng jauh lebih cepat dari padamu, sehingga benda ini kuambil tanpa kau dapat tahu atau merasa. Ke dua kalinya, benda ini kami tahan di sini sebagai undangan kepada ayahmu."

"Bagus! Ayah pasti akan datang untuk merampasnya dari tanganmu, hwesio sombong!"

Setelah berkata demikian, Loan Ki memperlihatkan muka marah dan menarik Kun Hong pergi dari situ, menuju ke pantai yang kini sudah dia ketahui jalannya. Setelah pergi jauh dan tidak terdengar lagi suara mereka di belakang, Loan Ki lalu berkata lirih, "Hayaaaa, sungguh berbahaya! Baiknya aku mendapat akal dan bisa menang berlomba lari"

"Kau memang cerdik, nakal dan... aneh...," kata Kun Hong.

"Bila tidak menggunakan kecerdikan, mana bisa kita ke luar dari tempat ini? He, Hong-ko, kau sudah kenal pemuda baju putih yang gagah tadi? Wah, dia kelihatan lihai sekali, ya? Dan dia telah menolongmu."


cerita silat online karya kho ping hoo


Kun Hong tersenyum. Terbayang dalam benaknya wajah Bun Wan yang memang gagah, dan terbayang pula wajah Cui Bi, maka bangkitlah perasaan bangga dan terharu, juga sedih. Cui Bi sudah mempunyai tunangan segagah Bun Wan, kenapa memberatkan dia? Padahal wajah dan bentuk tubuh Bun Wan benar-benar dapat menjatuhkan hati setiap orang wanita, dan buktinya Loan Ki gadis lincah yang berhati angkuh ini sekali berjumpa terus memuji-muji.


"Dia putera tunggal ketua Kun-lun-pai, tentu saja gagah dan lihai."

Hening sejenak. Kun Hong heran, merasa betapa gadis di sebelahnya yang sekarang menggandeng tangannya ini agaknya berpikir dan menimbang-nimbang, entah apa yang dipikirkannya.

"Tapi aku tidak suka kepadanya, Hong-ko," katanya tiba-tiba.

"Heee? Apa maksudmu? Kenapa tidak suka?" tanya Kun Hong heran karena pertanyaan yang tiba-tiba itu memang tak diduganya sama sekali. Tadi memuji sekarang tidak suka, bagaimana ini?

"Aku malah benci padanya! Dia tadi datang-datang memakimu sebagai seorang pemuda hidung belang yang senang merayu hati wanita. Sungguh pun pernyataan itu memang betul!"

"Ehh, kau juga menganggap aku begitu? Tidak betul itu..."

"Sudahlah, kau memang hidung belang! Jangan bantah lagi. Kulihat tadi gadis cantik jelita puteri Ching-toanio bermain mata dengan orang she Bun dari Kun-lun-pai itu. Hemmm, memang Hui Siang itu cantik jelita sekali, Hong-ko, cantik bagaikan bidadari. Heran aku mengapa kau tidak jatuh hati kepadanya, sebaliknya malah tergila-gila kepada Hui Kauw yang buruk rupa."

Kun Hong menarik napas panjang. "Aku tidak tergila-gila kepada siapa pun juga, Ki-moi... kau tidak tahu..."

Tiba-tiba Loan Ki berhenti melangkah dan Kun Hong juga terkejut ketika mendengar suara mendesis-desis. Mereka mencium bau yang amis. Ular! Banyak sekali ular menggeleser datang dari empat penjuru dan sebentar saja mereka terkurung ular yang amat banyak.

"Heeeiii, Ka Chong Hoatsu, tua bangka bau! Apakah kau begini tidak tahu malu untuk melanggar janjimu sendiri?" Loan Ki berteriak nyaring ke arah belakang

Tidak terdengar jawaban dari belakang, akan tetapi dari depan sana terdengar lapat-lapat suara wanita tertawa disusul kata-kata mengejek, "Ular-ular bukan manusia, tak termasuk dalam perjanjian. Yang ingin meninggalkan Ching-coa-to harus dapat melalui barisan ular hijau." Walau pun hanya lapat-lapat, jelas bahwa itu adalah suara Hui Siang gadis cantik jelita yang galak itu.

"Hui Siang budak genit!" Loan Ki berteriak marah. "Kau kira kami berdua tidak mampu membubarkan barisan anak-anakmu yang sial ini?"

Kun Hong sudah siap dengan tongkatnya untuk menghajar setiap ular yang berani maju mendekat. Akan tetapi Loan Ki menggandeng tangannya diajak maju terus.

"Hati-hati," bisik Kun Hong. "Siapkan senjatamu. Wah, sayang sekali mahkota kuno itu dirampas oleh Ka Chong Hoatsu."

Loan Ki mengikik tertawa. "Kau kira aku begitu bodoh? Hayo maju terus, Hong-ko, jangan takut ular-ular itu. Mainan kanak-kanak!" dia menyombong dan menarik tangan Kun Hong untuk maju terus.

Kun Hong merasa heran dan kaget ketika mendengar betapa barisan ular itu menyimpang di kala mereka lewat, seakan-akan binatang-binatang itu takut kepada mereka.

"Ehh, bagaimana ini... Ki-moi, mengapa ular-ular itu..." tiba-tiba dia tersenyum, "Ha, kau benar-benar bocah nakal dan cerdik. Tentu mutiara-mutiara mustika itu sudah kau ambil dari mahkota."

"Hussh, diam saja, Hong-ko. Kau biar pun buta memang cerdik. Mari kita maju terus, itu pantai sudah tampak dari sini."

Dari jauh Loan Ki melihat bayangan Hui Siang berkelebat cepat disusul suara kecewa nona cantik itu yang agaknya terheran-heran dan kecewa melihat mereka berdua ternyata dapat lolos dari kurungan barisan ular secara mudah.

Sementara itu, Kun Hong dan Loan Ki sudah tiba di pinggiran telaga. Di sana tidak ada perahu, akan tetapi Loan Ki yang cerdik tidak menjadi bingung. Dengan pedangnya dia menebang pohon besar dua batang, mengikat dua batang pohon menjadi satu dijadikan rakit atau perahu. Dengan kepandaian dan tenaga mereka mudah saja bagi mereka untuk menggunakan perahu istimewa ini dan mendayungnya ke pantai seberang.

Sebentar saja mereka telah menurunkan perahu ke dalam air, Kun Hong duduk di depan sedangkan gadis itu di belakang. Keduanya sudah memegang sebuah dayung terbuat dari pada cabang pohon yang besar dan kuat.

"Ahooi...! Orang-orang Ching-coa-to...!" Loan Ki mengeluarkan suaranya sebelum perahu itu didayung ke tengah. "Aku sudah menerima penyambutan di Ching-coa-to, kalau kalian memang punya nyali, lain waktu kutunggu kunjungan balasan kalian di Pek-tiok-lim pantai Pohai."

Namun tidak ada jawaban. Loan Ki mendayung perahunya ke tengah menuju ke pantai yang tampak di seberang sana. Gadis ini tersenyum-senyum dan terlihat gembira sekali. Ditepuknya pundak Kun Hong.

"He, Hong-ko, kenapa kau diam saja? Hayo nyanyi lagi seperti ketika kita berangkat."

Melihat betapa Kun Hong tersenyum pahit, gadis itu mengerutkan keningnya dan berkata mengejek, "Aha, agaknya hatimu tertinggal di pulau itu, ya? Waah, memang kasihan Hui Kauw, dia amat mencintamu, Hong-ko!"

Ucapan ini mendebarkan jantung Kun Hong. "Ki-moi, kau terlalu mudah menuduh orang. Siapa sudi mencinta seorang tak bermata? Ki-moi, bagaimana kau bisa bilang begitu?"

"Ehh, siapa bohong? Kalau ia tidak mencintamu, tak mungkin ia sudi menjalani upacara pernikahan denganmu"

Kun Hong jadi semakin tertarik, karena memang hal yang amat aneh baginya itu sangat membingungkan. "Loan Ki moi-moi yang baik, apa bila kau tahu akan persoalan itu, kau ceritakanlah kepadaku. Sampai sekarang aku benar-benar masih bingung sekali. Aku tak mengerti kenapa tiba-tiba mereka hendak mengawinkan aku dan kenapa pula ia tadinya suka melakukan upacara itu."

Loan Ki tertawa. "Semua gara-gara Ka Chong Hoatsu itulah. Karena tadinya aku dianggap oleh mereka ‘orang sendiri’ maka aku boleh mendengarkan semua perundingan mereka, hi-hi-hik. Sesudah kau menyembuhkan Hui Kauw, ibunya itu mendatangi Hui Kauw dan membujuknya agar suka menikah denganmu. Ibunya, si toanio yang jahat itu mengatakan kepada Hui Kauw bahwa kau juga sudah setuju menjadi suaminya, bahwa pernikahan itu sudah seharusnya karena perhubungan kau dengan Hui Kauw sudah menjadi buah bibir para pelayan dan kalau sampai bocor ke luar tentu akan mencemarkan nama Hui Kauw. Pula bahwa kau sudah menyembuhkan luka-lukanya dengan cara yang sebetulnya tidak boleh dilakukan oleh orang lain, yaitu menelanjangi tubuh bagian atas. Akhirnya Hui Kauw setuju. Biar pun dia tidak bilang apa-apa, buktinya dia tidak menolak ketika dirias seperti pengantin. Hi-hik aku geli dan juga muak melihat semua itu. Benar-benar tak tahu malu!"

Kun Hong mengerutkan keningnya. Dia merasa sangat berkasihan kepada Hui Kauw si nona bersuara bidadari itu. Sekarang dia dapat menerka apa yang sudah terjadi, dapat menyelami perasaan nona itu dan dapat menduga betapa hancur hatinya.

Sebelumnya dia sempat mendengar percakapan antara Hui Kauw dengan ibunya yang hendak memaksa anaknya itu berjodoh dengan Pangeran Mongol dan hal ini ditolak tegas oleh Hui Kauw. Lalu terjadilah kehebohan fitnah ketika dia muncul, disusul dengan terluka dan hampir tewasnya nona itu dan akhirnya pengobatan yang dia lakukan.

Agaknya karena keadaan amat terdesak Hui Kauw menerima saja keputusan dijodohkan dengan dia, ataukah di sana ada lain dasar? Cinta kasih? Tak mungkin! Mungkinkah kalau seorang gadis bidadari seperti Hui Kauw sampai jatuh cinta kepada seorang buta macam dia?

Tak mungkin, bantah hatinya. Betapa pun juga, karena dia tidak menyangka akan hal-hal ini sebelumnya, ketika mengetahui bahwa dia sedang melakukan upacara sembahyangan pengantin, dia sudah menolaknya. Tentu saja, dia dapat membayangkan ini dengan hati perih, tentu saja Hui Kauw amat tersinggung, bahkan terhina oleh penolakannya itu.

Gadis itu menjalani upacara hanya karena terhasut, dibohongi dan mengira bahwa dia pun sudah setuju. Siapa tahu gadis itu mendengar betapa dia menolaknya. Seorang gadis ditolak oleh mempelai pria! Alangkah hebat penderitaan batin gadis itu. Dapatkah gadis itu memaafkannya? Mungkinkah ada maaf untuk penghinaan sehebat itu?

"Tak mungkin!" kini jawaban hati Kun Hong disertai suara bibirnya yang bergerak.

"Apa yang tak mungkin, Hong-Ko?" Loan Ki bertanya.

Kun Hong kaget dan baru sadar bahwa dia terlalu dalam tenggelam dalam lamunannya. "Tidak apa-apa, Ki-moi. Aku hanya merasa heran akan sikapmu ketika berada di pulau. Pada saat aku menghadapi mereka kenapa kau malah merobohkan aku dengan totokan? Kenapa kau menyerangku secara menggelap? Bukankah perbuatan itu benar-benar aneh sekali, Ki-moi?"

Gadis itu cemberut. "Aneh apa? Habis melihat kau mati-matian melindungi dan membela Hui Kauw, siapa orangnya tidak menjadi dongkol hatinya!"

Kun Hong semakin heran. Mungkinkah gadis lincah ini timbul rasa cemburu dan iri hati terhadap Hui Kauw? Heran, tanpa adanya cinta mana bisa timbul cemburu dan iri hati? Apakah gadis ini... cinta kepadanya? Kun Hong menggeleng kepalanya keras-keras. Tak mungkin lagi ini!

"Ki-moi, kau benar-benar orang aneh. Mula-mula kau menotokku roboh, di lain detik kau malah membelaku ketika Ching-toanio hendak menghabisi nyawaku, lalu kau bersekutu dengan mereka, membiarkan aku dijadikan bahan permainan dan disuruh sembahyang. Kau diam saja malah juga ikut mentertawakan."

"Tentu saja. Biar pun mendongkol aku belum ingin melihat kau mampus. Tapi kau... kau kembali membela Hui Kauw mati-matian. Kau mencinta Hui Kauw seperti juga kau cinta Lauw Swat-ji si gadis genit puterinya Hui-houw Pangcu itu dan seperti kau cinta si janda muda pula. Cih, orang mata keranjang macammu mana patut dibantu?"

"Hemmm, lidahmu tajam luar biasa, adik Loan Ki. Akan tetapi mengapa kau tadi kembali membantu aku secara tiba-tiba dan mengajakku ke luar dari pulau itu?"

Suara Loan Ki terdengar kaku membayangkan kemengkalan hatinya, "Habis, ternyata kau tidak suka menikah dengan Hui Kauw, masa yang begini saja kau tanya?"

Makin heranlah Kun Hong. Mendengar ini semua, jawabannya hanya satu, yaitu bahwa gadis ini cinta kepadanya. Akan tetapi sikapnya sama sekali bukan seperti orang yang mencinta.

"Kau melongo seperti orang bingung. Benar-benar bodoh sekali. Masa yang begini saja tidak mengerti, Hong-ko? Kalau kau tergila-gila kepada seorang gadis masa aku harus berbaik kepadamu? Tidak sudi!"

"Ki-moi..." suara Kun Hong agak gemetar sebab ia amat khawatir kalau-kalau dugaannya betul, bahwa gadis ini cinta kepadanya. "Tentang hal itu... andai kata aku tergila-gila pada seorang gadis lain, ada sangkutan apakah dengan dirimu?"

"Sangkutan apa? Tentu saja aku tidak ada sangkut paut apa-apa! Akan tetapi, di depanku kau tidak semestinya tergila-gila kepada lain gadis, hemmm... pendeknya aku tidak suka, dan habis perkara!"

Kun Hong semakin tak mengerti. Gadis aneh. Akan tetapi lega juga dia karena didengar dari ucapan ini, agaknya dugaannya tidak betul, bahwa gadis ini tak mungkin jatuh cinta kepadanya.

"Sudah sampaikah ke tepi daratan, Ki-moi?"

Perahu batang pohon itu berhenti, menabrak karang.

"Sudah, mari kita melompat!" Dengan menggandeng tangan Kun Hong, Loan Ki mengajak pemuda itu melompat ke depan dan benar saja, mereka telah tiba di daratan.

Tapi begitu mendarat, serta merta Loan Ki menangis tersedu-sedu sambil mendeprok di atas tanah, menutupi mukanya dengan sapu tangan. Kun Hong heran dan kaget sekali.

"Ehh..., kenapa kau menangis?"

Sampai lama Loan Ki tidak dapat menjawab karena isak tangisnya membuat ia tak dapat berkata-kata. Kun Hong terpaksa berlutut di hadapannya dan berkali-kali mengajukan pertanyaan dengan hati cemas.

"Kau kenapakah? Sakitkah kau?" Dipegangnya nadi lengan gadis itu, ternyata tidak ada gangguan kesehatannya. "Kau tidak apa-apa, kenapa menangis?"

"Tidak apa-apa katamu? Enak saja kau bicara. Dasar kau tidak punya liangsim (pribudi), melihat orang terhina serendah-rendahnya malah kau berpura-pura tidak tahu dan masih bertanya-tanya segala!"

"Terhina? Kau? Oleh siapa dan bagaimana?" Kun Hong benar-benar bingung.

Tiba-tiba gadis itu meloncat bangun dan membanting-banting kaki, menangis lagi. Kun Hong juga bangun, menggeleng-geleng kepala dan makin bingung. Benar-benar dia tidak mengerti dan tidak dapat menduga apa yang menyebabkan gadis ini berhal seperti itu.

"Ki-moi, aku mengaku bodoh, kau katakanlah, siapa yang menghinamu dan dengan cara bagaimana aku benar-benar tidak mengerti!"

"Berkali-kali aku dikalahkan orang di pulau Ching-coa-to, aku tidak berdaya, bukankah itu berarti penghinaan-penghinaan yang paling rendah? Kau masih pura-pura bertanya lagi?" Ia membentak marah.

Kun Hong tersenyum, "Ah, itukah yang kau anggap penghinaan? Ki-moi, menang atau kalah dalam pertempuran merupakan hal yang lumrah di dunia persilatan, mengapa kau merasa terhina? Biar kalah dalam pertempuran asalkan tidak salah. Orang yang berada di pihak benar boleh kalah bertempur namun di dalam batin senantiasa merasa menang."

"Enak saja! Aku puteri tunggal dari Pek-tiok-lim, selama hidupku tak pernah kalah dalam pertempuran. Sekarang di pulau terkutuk itu berkali-kali dikalahkan orang, sedangkan kau seorang buta saja tidak pernah kalah. Bukankah ini memalukan sekali? Ahhh, celaka... celaka..." dan ia menangis lagi dengan amat sedihnya.

Kun Hong merasa kasihan. Dia akan berpisah dengan gadis ini dan kalau dia tinggalkan dalam keadaan begitu, kecewa dan berduka, sungguh dia tidak tega.

"Ki-moi, mari kuajari kau beberapa langkah yang akan membikin kau tidak mudah untuk dikalahkan orang lagi."

Seketika suara tangis gadis itu berhenti seperti seekor jangkerik terpijak. Malah suaranya mengandung kegembiraan besar, "Benarkah, Hong-ko? Kau hendak memberi pelajaran ilmu pukulan kepadaku?"

"Bukan ilmu pukulan, melainkan ilmu langkah rahasia. Kau lihat dan perhatikan baik-baik, semua ada dua puluh empat langkah rahasia. Lihat dan ingat baik-baik, aku mulai!" Kun Hong lalu memasang kuda-kuda dan mulailah dia menjalankan langkah-langkah rahasia berdasarkan Kim-tiauw-kun (Ilmu Silat Rajawali Emas).

Melihat betapa Kun Hong melangkah dengan cara aneh, terhuyung-huyung, membongkok kadang-kadang jinjit (berdiri di atas ujung kaki), Loan Ki merasa kecewa. Agaknya tarikan nafasnya tidak terlepas dari pendengaran Kun Hong yang tertawa sambil berkata,

"Ki-moi, jangan kau pandang rendah ilmu langkah ini, kau cabutlah pedangmu dan kau boleh mencoba untuk menyerangku. Dengan langkah-langkah ini semua seranganmu akan gagal."

Dasar seorang gadis jujur, tanpa sungkan lagi Loan Ki mencabut pedangnya dan menyerang kalang-kabut. Akan tetapi ia merasa seperti menyerang bayangan saja. Kilatan pedangnya yang seakan-akan sudah akan mengenai Kun Hong sampai ia menjadi kaget sendiri, ternyata hanya lewat di samping tubuh pemuda itu yang terus melangkah dengan cara aneh itu. Lewat tiga puluh jurus ia pun berhenti menyerang dan menyimpan pedangnya.

"Wah, Hong-ko, hebat ilmu langkah itu. Mari kupelajari baik-baik. Kau melangkahlah, tapi jangan cepat-cepat!" katanya gembira sekali.

Maka belajarlah gadis itu dengan tekun dan penuh perhatian. Dasar ia berbakat baik dan memang sudah memiliki dasar-dasar yang kuat, setelah berlatih beberapa hari lamanya ia sudah hafal dan dapat melangkah dengan cukup baik. Saking girangnya gadis ini sambil menari-nari lalu memeluk Kun Hong!

"Hong-ko, terima kasih. Ilmu langkah ini apa namanya, Hong-ko?"

Kun Hong bingung. Pada waktu dia mempelajari ilmu langkah ini, dia sendiri tidak tahu namanya. Pikirannya bekerja, kemudian dengan cerdik dia berkata, "Inilah Ilmu Langkah Hui-thian Jip-te (Terbang ke Langit Amblas ke Bumi) sebanyak dua puluh empat langkah. Dengan ilmu ini setelah kau latih dengan sempurna, tidak mudah kau dirobohkan orang."

Dengan cerdik Kun Hong mengatakan ‘dirobohkan orang’ karena tentu saja dengan ilmu itu masih mungkin gadis yang lincah ini dikalahkan orang. Akan tetapi untuk dirobohkan, kiranya tidaklah mudah.

Loan Ki masih kegirangan, menari-nari dan melatih ilmu langkah yang baru ia pelajari itu. Memang pada dasarnya dia gesit dan lincah, tentu saja kini mendapatkan ilmu langkah yang ajaib itu, ia bagaikan seekor anak kijang tumbuh sayap! Saking asyiknya melatih diri, Loan Ki sampai tidak memperhatikan atau menengok lagi kepada Kun Hong.

"Nah, selamat berpisah, Ki-moi. Semoga Thian akan selalu memberkahimu dan terutama sekali, menuntunmu ke jalan benar."

Baru kaget hati Loan Ki ketika mendengar kata-kata ini. Ia berhenti dan menoleh. "Kau... hendak ke mana, Hong-ko?"

Kun Hong tersenyum, "Tiada pertemuan tanpa akhir di dunia ini, Ki-moi. Kini kita harus berpisah melanjutkan perjalanan masing-masing. Kau pulanglah ke rumah orang tuamu yang tentu sudah mengharap-harap pulangmu sedangkan aku... aku akan pergi ke mana saja nasib membawaku."

"Ihh, jangan begitu, Hong-ko. Mari kau ikut saja dengan aku ke Pek-tiok-lim, ayah tentu senang bertemu denganmu."

Kun Hong menggeleng kepala. "Terima kasih, Ki-moi. Biarlah lain kali kalau kebetulan aku lewat di sana, aku akan singgah menyampaikan hormatku kepada orang tuamu. Sekarang belum waktunya. Nah, selamat tinggal, adikku. Jangan lupa, janganlah kau terlalu mudah membunuh orang. Kepandaian memang untuk menjaga diri dan membela kebenaran dan keadilan, akan tetapi sekali-sekali bukanlah untuk mendahului Tuhan mencabut nyawa orang. Selamat tinggal." Kun Hong melangkah sambil meraba-raba dengan tongkatnya.

"Hong-ko...!"

Akan tetapi Kun Hong tidak mau banyak rewel lagi. Dia tahu bahwa kalau dia melayani gadis ini, akan sukar baginya untuk dapat berpisah. Maka dengan nekat Kun Hong lalu menggunakan kepandaiannya berlari bagaikan terbang cepatnya sehingga sebentar saja lenyap dari pandangan mata Loan Ki yang berdiri bengong ketika tak mampu mengejar, kemudian mengusap-usap kedua matanya.

Kun Hong tidak berani terlalu lama berlari cepat seperti itu. Dia telah berlaku nekat untuk cepat-cepat meninggalkan Loan Ki. Kalau nasibnya sedang sial, mudah saja dia terjeblos ke dalam lubang atau terguling ke selokan ketika berlari cepat seperti itu tanpa dapat mengetahui apa yang berada di depannya. Setidaknya kepalanya bisa benjol terbentur sesuatu yang keras tanpa dapat dia elakkan. Baiknya dia ternyata mujur karena kebetulan sekali dia berlari cepat di atas tanah yang rata.

Segera dia memperlambat larinya ketika tidak mendengar suara Loan Ki mengejar dan pada detik selanjutnya dia hanya berjalan biasa, meraba-raba dengan tongkatnya dan menggerutu seorang diri. Dia marah kepada diri sendiri mengapa sekarang hatinya berhal lain dari pada biasanya.

Biasanya, semua pengalaman dan peristiwa yang menimpa kepadanya, sesudah berlalu tak akan dia kenangkan lagi, malah sebagian besar terlupa sudah. Akan tetapi mengapa sekarang benaknya penuh dengan kenangan di pulau Ular Hijau dan pendengarannya masih penuh suara yang halus seperti suara bidadari? Kenapa dia tidak dapat melupakan Hui Kauw?

Banyak pertanyaan mengaduk-aduk pikirannya. Kemana Hui Kauw sekarang? Bagaimana keadaannya? Mengapa gadis bidadari itu agaknya amat dibenci oleh ibunya dan adiknya? Kenapa pula beberapa kali Loan Ki menyebut nona bersuara bidadari itu sebagai ‘nona muka buruk’ atau ‘nona muka hitam’?

Benar-benar dia tidak dapat menjawab. Juga dia tidak mengerti mengapa suara nona itu menggores dalam-dalam di hatinya dan kesan satu-satunya di dalam hati adalah bahwa nona Hui Kauw adalah seorang nona seperti bidadari!

"Cui Bi... ahhh, Bi-moi... kau bantulah aku... mengapa hatiku begini lemah?" gerutunya beberapa kali dan sesudah dia mengerahkan kenangannya kepada mendiang kekasihnya itu, perlahan-lahan terusirlah kenangan mengenai Hui Kauw dan kegembiraannya bangkit kembali.

Sejam kemudian orang sudah dapat melihat orang muda buta ini berjalan keluar masuk hutan sambil berdendang dengan suara nyaring.

"Wahai kasih, aku di sini..."

Pada saat kebetulan dia memasuki sebuah dusun, maka nyanyiannya terhenti dan diganti teriakan-teriakan nyaring, "Usir penyakit... sembuhkan penyakit...! Jika di antara saudara ada yang sakit, cobalah beri kesempatan kepada saya untuk memeriksa dan mengobati! Biaya sesukanya, serelanya, cuma-cuma bagi si miskin!" Ucapan ini terus dia ulangi dan dengan cara inilah Kun Hong tidak sampai kehabisan bekal di perjalanan.

Banyak orang-orang kaya yang membalas budinya dengan hadiah banyak uang emas dan perak, akan tetapi banyak pula yang hanya membalas dengan ucapan terima kasih, malah tidak kurang jumlahnya mereka yang tidak saja menerima pemeriksaan cuma-cuma malah yang obatnya pun dibelikan oleh Kun Hong!

Hari ketiga semenjak dia meninggalkan Loan Ki, Kun Hong berjalan memasuki sebuah dusun di kaki gunung. Begitu telinganya mendengar suara orang-orang dusun, dia segera meneriakkan penawarannya untuk mengobati orang-orang yang sakit. Seperti biasa di setiap tempat yang dia datangi, teriakan ini selalu disambut ejekan dan cemooh dan selalu orang tidak mau percaya kepadanya sampai ada bukti dia menyembuhkan seorang sakit.

Wah, mana bisa orang buta menyembuhkan orang sakit, ejek mereka. Masih begitu muda lagi. Tentu hanya tukang menipu, kata yang lain pula. Malah ada yang secara mengejek menyakitkan hati berkata, "Mata sampai buta tidak bisa menyembuhkan, masih tak tahu malu hendak mengobati orang lain!"

Sekarang juga di dalam dusun itu, tak seorang pun menghiraukannya kecuali beberapa orang anak nakal yang mengikutinya sambil tertawa-tawa menggoda, bahkan ada yang meniru teriakan-teriakannya. Namun, seperti biasanya Kun Hong hanya tersenyum sabar, semenjak dia kehilangan Cui Bi dan kedua biji matanya, kesabarannya menebal.

Memang luar biasa sekali besarnya kesabaran Kun Hong, dan sangatlah mengharukan ketika ada beberapa orang anak nakal menggunakan batu-batu kerikil menyambitinya. Dia berhenti berjalan, menengok ke arah anak-anak itu dan berkata dengan suara halus tapi penuh peringatan.

"Anak-anak, senangkah hati kalian bisa mengganggu seorang buta? Kalian senang, akan tetapi yang kalian ganggu belum tentu senang. Anak-anak, coba kalian meramkan mata sejenak dan bayangkan keadaan seorang buta. Andai kata kalian tiba-tiba menjadi buta, tidak bisa memandang wajah ayah bunda kalian... kemudian kalian... kalian diganggu oleh anak-anak seperti sekarang ini, bagaimana rasa hati kalian?"

Ucapan ini halus dan sama sekali tidak mengandung kemarahan, akan tetapi langsung menusuk jantung anak-anak dusun itu. Memang bocah dusun amat jauh bedanya dengan bocah kota. Bocah dusun belumlah terlalu rusak oleh keduniawian, batinnya masih cukup bersih dan mudah mereka menerima hal-hal yang langsung menyinggung perasaan. Oleh karena ini, ucapan halus ini membuat mereka sejenak berdiam. Malah di antara mereka mulai saling menyalahkan karena mengganggu seorang buta.

Kun Hong gembira sekali, tertawa dan mengeluarkan beberapa keping uang tembaga, "Anak-anak baik, aku si orang buta tidak punya apa-apa, hanya ada uang kecil ini. Nah, bagi-bagilah rata di antara kalian."

Anak-anak itu semua adalah anak-anak dusun yang miskin. Tentu saja mereka menjadi girang sekali dan bersorak-sorak menerima hadiah yang sama sekali tidak tersangka-sangka itu. Yang paling besar maju menerima uang dari Kun Hong dan dibagi-bagilah uang itu merata. Diam-diam Kun Hong kagum dan girang. Biar pun nakal seperti lajimnya anak-anak lelaki tanggung, namun ternyata bahwa mereka itu rukun dan jujur, terbukti ketika uang-uang dibagi tidak terjadi keributan.

"Paman buta ini baik sekali!" berteriak seorang anak kecil.

"Hari ini hari baik!" berkata yang lain. "Kita bertemu dengan kakek tua hampir mati di kuil rusak, kemudian dengan paman buta ini. Apa bila banyak orang seperti mereka berdua, alangkah senangnya hidup kita!"

Kun Hong tertarik lalu mendekat. "Anak-anak yang baik, siapakah kakek tua hampir mati?"

"Dia seorang kakek tua, tinggi besar seperti raksasa, tapi dia menderita sakit dan hampir mati. Biar pun hampir mati, dia amat baik, membagi-bagikan barang dan uangnya kepada kami!" kata seorang anak.

"Apakah dia tidak punya keluarga? Kenapa tinggal di kuil rusak?" Kun Hong mendesak, hatinya terharu.

"Dia bilang tidak punya keluarga, sebatang kara dan kuil rusak itu memang sudah tidak digunakan lagi. Dia luka-luka, yang paling hebat luka di tengkuknya, ihhh banyak sekali darahnya keluar."

Kun Hong segera memegang tangan anak itu, begitu cepat sehingga bocah itu kaget. Tak seorang pun di antara mereka ingat betapa anehnya seorang buta sanggup menangkap tangan anak itu seperti dapat melihat saja.

"Anak baik, hayo kau antarkan aku ke kuil itu," katanya.

"Mau apa kau ke sana? Dia berpesan supaya orang jangan mengganggunya," anak itu ragu-ragu.

"Aku bisa mengobati luka-lukanya, siapa tahu bisa menyembuhkannya."

"Wah, baik sekali ini!" Anak-anak itu bersorak. "Bawa dia ke sana, dua orang yang baik hati bertemu dan berkumpul. Paman buta kalau betul bisa menyembuhkannya, tentu dia senang hati!"

Beramai-ramai tujuh orang anak itu mengantarkan Kun Hong ke sebuah kuil rusak yang berada di luar dusun. Tempat yang sunyi, yang tidak pernah didatangi orang kecuali anak yang suka bermain-main di tempat sunyi seperti itu. Anak-anak itu mengajak Kun Hong memasuki kuil, akan tetapi mereka menjadi kecewa ketika tiba di dalam.

"Ah, dia sudah pergi...!" kata anak-anak itu setelah mencari ke sana ke mari tidak melihat kakek yang mereka ceritakan tadi.

Akan tetapi Kun Hong dengan pendengarannya dapat menangkap adanya orang itu yang bersembunyi di atas! Hemmm, mengapa orang itu bersembunyi? Agaknya dia tidak suka bertemu dengan orang lain, pikir Kun Hong.

"Anak-anak, kakek itu sudah pergi. Biarlah, dan sekarang tempat ini untuk sementara akan kupergunakan untuk mengaso. Kalian pergilah sana main-main, jangan ganggu aku yang hendak mengaso di sini. Tentang kakek itu, seperti yang dia sudah pesan kepada kalian, jangan kalian ceritakan kepada siapa pun juga, ya?"

Seperti burung-burung di waktu pagi anak-anak itu menjawab, lalu berserabutan mereka lari keluar dari kuil itu. Kun Hong lalu meraba dengan tangannya membersihkan lantai yang penuh debu, kemudian duduk bersandar dinding yang retak-retak saking tua dan tak terpelihara. Dengan pendengarannya yang luar biasa Kun Hong dapat menangkap tarikan napas yang berat, tanda bahwa orang itu terluka parah. Namun masih mampu bersembunyi di atas membuktikan bahwa orang itu bukanlah orang sembarangan.

"Bertemu dengan seorang buta tidak ada bahayanya karena dia tidak pandai mengenal muka orang. Lo-enghiong (orang tua gagah) silakan turun, siapa tahu siauwte (aku yang muda) dapat membantu luka-lukamu," katanya perlahan.

Terdengar napas ditahan, agaknya orang itu terkejut. Kemudian menyambar turun tubuh seseorang, akan tetapi kakinya menimbulkan suara berat ketika dia sudah meloncat turun ke bawah, terang bahwa selain ilmu ginkang-nya kurang hebat, mungkin juga dikarenakan luka-lukanya yang berat. Kun Hong tahu bahwa orang itu sudah berdiri di depannya, maka dia bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

"Kau... kau... bukankah kau Kwa Kun Hong dari Hoa-san-pai?" tiba-tiba orang itu berkata, suaranya besar.

Kun Hong cepat bangkit berdiri, lalu menjura penuh penghormatan. "Ah, kiranya Tan-taijin (pembesar Tan) yang berada di sini, cocok dengan dugaanku. Benar, Tan-taijin, aku si buta adalah Kwa Kun Hong..."

Belum habis Kun Hong bicara, orang itu sudah menubruk dan memeluknya sambil berkata dengan suara terharu, "Ahh, anakku... kasihan sekali kau... siapa kira kau akan menjadi begini."

Kun Hong menggigit bibirnya dan dia maklum akan keharuan kakek gagah perkasa ini. Dahulu dia pernah bertemu dengan Tan Hok ini ketika Tan Hok masih menjadi pembesar kepercayaan kaisar di kota raja. Kemudian untuk kedua kalinya bertemu lagi di puncak Thai-san, malah kakek ini menjadi saksi pula akan peristiwa hebat di puncak Thai-san yang mengakibatkan kematian Cui Bi dan kebutaan matanya.

Sekarang, agaknya karena teringat akan peristiwa itu dan melihat keadaan dirinya seperti seorang pengemis buta ini, maka kakek itu mengeluarkan ucapan seperti itu. Kun Hong memaksa diri tersenyum dan balas memeluk.

"Tan-taijin... kau benar-benar seorang yang berbudi mulia. Dirimu sendiri sedang terluka parah, menderita akibat menjadi korban perampokan, akan tetapi kau masih bisa menaruh kasihan kepada seorang seperti aku..."

Tan Hok melepaskan pelukannya, agaknya terkejut dan heran.

"Kun Hong... bagaimana kau bisa tahu akan keadaanku?"

"Tan-taijin..."

"Hushh, jangan sebut aku taijin lagi, aku bukan lagi pembesar. Aku lebih patut menjadi pamanmu!" tukas bekas pembesar itu.

"Maaf, Paman Tan Hok, memang benar ucapanmu itu. Mari duduklah dan sebelum kita bicara biarlah aku memeriksa dan berusaha mengobati luka-lukamu."

Kakek tinggi besar itu memang Tan Hok adanya. Dia adalah bekas pejuang yang dahulu namanya amat terkenal sebagai salah seorang di antara pemimpin pasukan Pek-lian-pai, berjuang bahu membahu dengan para patriot lain dalam usaha mereka menumbangkan kekuasaan Mongol. Setelah usaha ini berhasil dan Ciu Goan Ciang mendirikan Kerajaan Beng dan menjadi kaisar, karena jasanya yang amat besar, Tan Hok lalu diangkat menjadi pembesar di kota raja. Ketika dalam perjuangannya itu, Tan Hok malah mengangkat tali persaudaraan dengan Si Raja Pedang Tan Beng San, sekarang ketua Thai-san-pai. Sekarang bekas pembesar itu malah menjadi buronan, tinggal di dalam sebuah kuil rusak dalam keadaan terluka parah sekali. Sungguh nasib manusia tak dapat disangka-sangka sebelumnya.

Cepat Kun Hong melakukan pemeriksaan. Tan Hok menderita banyak luka-luka, akan tetapi yang paling hebat adalah luka di tengkuk dan di punggung bekas bacokan senjata tajam. Oleh karena tidak segera mendapat pengobatan, kini luka-luka itu keracunan dan membengkak, mendatangkan demam hebat. Kun Hong segera mengeluarkan sebatang jarum perak, membuka luka-luka membengkak itu, mengeluarkan darah yang menghitam, lalu menaruh obat bubuk yang selalu tersedia di dalam buntalannya, bahkan memberikan sebungkus obat lainnya untuk diminum.

"Syukur keadaan luka-lukamu belum terlalu lama," katanya menghibur. "Sesudah minum obat dalam tiga hari tentu akan pulih kembali tenaga paman. Biarlah aku mencari seorang anak untuk disuruh membeli obat."

"Tidak usah, hiante. Di dusun ini mana ada toko obat? Kau katakan saja nama obat-obat itu, aku akan mencarinya di kota. Sekarang pun rasanya sudah banyak enakan, terima kasih. Kwa-hiante, sekarang kau ceritakanlah bagaimana kau tahu bahwa aku mengalami perampokan?"

Kun Hong tersenyum. "Aku malah sudah pernah memegang mahkota kuno yang dirampas perampok-perampok Hui-houw-pang dari tanganmu, Paman Tan Hok."

Dengan tangan gemetar Tan Hok mendadak memegang lengan Kun Hong. "Betulkah itu? Kun Hong, betul-betul kau pernah melihat mahkota itu..."

"Melihat sih tak mungkin Paman..."

"Ah, maafkan, sampai lupa aku... tapi, tahukah kau di mana sekarang mahkota itu?"

Suara yang penuh gairah ini menimbulkan keheranan di hati Kun Hong. Masa orang yang sudah dia ketahui sebagai seorang gagah yang berbudi ini sekarang begini serakah dan begini loba akan harta benda?

Pula, kalau betul apa yang dia dengar, bukankah semua harta itu termasuk mahkota kuno adalah benda simpanan kerajaan yang dicuri dan dilarikan oleh Tan Hok? Dan kenapa dia melarikan diri membawa harta curian, bagaimana pula keadaan keluarganya? Mengapa dia tidak menceritakan keadaannya, tidak menyusahkan keadaannya malah seperti tidak peduli akan luka-lukanya sebaliknya serta merta menanyakan mahkota itu?

Kun Hong merasa tidak puas dan tidak ingin menceritakan apa yang dia ketahui tentang mahkota itu sebelum dia mendengar jelas duduknya perkara.

"Paman Tan Hok, mengapa benda itu agaknya amat penting untukmu. Milik Pamankah benda itu?"

Mendengar nada suara kecewa dari pemuda ini Tan Hok lantas menarik napas panjang. “Memang kedengarannya bodoh pertanyaanku tadi, seakan-akan tiada yang lebih penting dari pada benda berharga itu. Memang sesungguhnya demikian, Kwa-hiante. Keluargaku binasa, isteriku tewas, hampir aku sendiri tewas, namun bagiku mahkota itu lebih penting. Kau dengarkan baik-baik penuturanku."

Tan Hok lalu bercerita…..

Seperti telah diketahui, ketika kaisar pertama Kerajaan Beng-tiauw sudah tua dan mulai berpenyakitan, maka terjadilah perebutan kekuasaan di kota raja. Akan tetapi karena para pangeran atau mereka yang telah berjasa dalam menumbangkan Kerajaan Mongol masih merasa segan dan takut kepada kaisar sebagai pendiri Kerajaan Beng, sewaktu kaisar masih hidup, mereka tidak berani berterang. Diam-diam terjadi persaingan hebat, malah didesas-desuskan bahwa putera mahkota kaisar juga diam-diam terbunuh oleh seorang di antara saingannya, terbunuh dengan racun. Kemudian cucu kaisar, yaitu putera pangeran mahkota yang meninggal, bernama Pangeran Kian Bun Ti, diangkat menjadi calon kaisar.

Hal ini tentu saja mendatangkan rasa iri hati dan dendam yang disembunyikan. Namun sebaliknya, Pangeran Kian Bun Ti yang pandai mengambil hati kakeknya, memperkuat kedudukan dan pengaruhnya. Bahkan akhirnya ketika kaisar yang tua itu berpenyakitan dan semakin lemah, boleh dibilang segala keputusan kaisar tua tergantung dari pengaruh Pangeran Kian Bun Ti inilah.

Sayang sekali bahwa pangeran ini sangat terkenal sebagai seorang pemuda pemogoran, pemuda hidung belang, dan pemuda yang gampang sekali dipermainkan dan dipengaruhi oleh para penjilat. Pendeknya, seorang muda yang dangkal sekali pikirannya dan tidak bijaksana. Orang-orang yang mengelilinginya adalah orang-orang dari golongan hitam.

Tentu hal ini amat mengkhawatirkan hati para pembesar yang setia kepada kaisar tua dan Pemerintah Beng yang baru. Di antaranya terdapat Tan Hok yang menjadi kepercayaan Kaisar Thai Cu, yaitu pejuang Ciu Goan Ciang yang berhasil merobohkan kekuasaan Mongol. Diam-diam mereka ini memberi ingat kepada kaisar, akan tetapi ternyata kaisar itu selain sudah terkena pengaruh dan amat mencinta cucunya, juga karena kekuasaan Pangeran Kian Bun Ti sudah amat kuat, tidak mempercayainya.

Akan tetapi Kaisar Thai Cu akhirnya terbuka juga pikirannya dan melihat gejala tidak baik dalam watak cucunya. Namun segala sesuatu telah terlambat, dia telah menjadi lemah berpenyakitan, sedangkan pembesar-pembesar tinggi dan berkuasa sudah jatuh di bawah pengaruh pangeran mahkota. Andai kata kaisar tua ini akan mengambil tindakan, dia pun khawatir kalau-kalau terjadi pemberontakan dan alangkah akan malu hatinya kalau dalam keadaan tua menghadapi kematian itu dia harus menghadapi pemberontakan cucunya sendiri. Dia tidak berdaya dan kesehatannya makin mundur karena hatinya tertekan.

"Demikianlah, Kwa-hiante, keadaan akan kota raja. Keadaannya panas seperti api dalam sekam. Para setiawan terhadap kaisar tua merasa hidup di atas ujung pedang dan kami maklum bahwa setiap saat bila kaisar tiada, tentu kami akan dihalau, bahkan nyawa kami terancam. Kalau pangeran mahkota belum berani terang-terangan memusuhi kami adalah karena dia masih sungkan terhadap kaisar." Tan Hok mengaso sebentar untuk bernapas panjang, nampaknya patriot tua ini merasa berduka sekali akan keadaan negaranya.

"Beberapa pekan sebelum kaisar meninggal dunia, aku dipanggil menghadap dan kaisar mengusir semua orang ke luar dari kamarnya. Kaisar kemudian menyerahkan sebuah surat perintah di mana kaisar memerintahkan puteranya yang menjadi raja muda di utara, yaitu Pangeran Yung Lo, untuk bertindak dan menggantikan kedudukan kaisar apa bila kelak ternyata Pangeran Kian Bun Ti tidak benar dalam menjalankan tugas sebagai kaisar baru. Pendeknya, dalam surat perintah itu, mendiang kaisar memberi kekuasaan kepada puteranya itu untuk menjadi penghukum atas diri keponakannya, yaitu Pangeran Kian Bun Ti. Surat itu dipercayakan kepadaku untuk kelak disampaikan kepada Pangeran Yung Lo pada waktu keadaan memerlukannya."

Kun Hong sebetulnya tidak peduli akan keadaan pemerintah, karena memang dia tidak menaruh perhatian atas kehidupan kaisar dan para pembesar. Akan tetapi mendengar penuturan ini, dia tertarik.

"Kemudian bagaimana, Paman Tan?" Tan Hok menarik napas panjang.

"Tugasku itu berat sekali karena aku termasuk orang yang dianggap musuh oleh Kian Bun Ti. Banyak hal yang membikin dia tidak senang kepadaku, di antaranya peristiwa dengan dua orang keponakanmu dahulu itu dan peristiwa di puncak Thai-san. Karena tahu akan ancaman bahaya ini, maka surat penting itu lalu kusembunyikan, tidak di dalam rumahku. Kemudian kekhawatiranku menjadi kenyataan, beberapa bulan setelah kaisar wafat. Kian Bun Ti yang sudah mengangkat diri menjadi kaisar itu melakukan pembersihan terhadap pembesar-pembesar setiawan, di antaranya termasuk pula aku. Rumahku disita, isteriku sampai tewas dalam keributan, aku dapat melawan dan melarikan diri dengan pertolongan anak buahku yang setia. Tidak lupa aku membawa surat rahasia itu bersamaku. Namun celaka sekali, nasib sedang buruk, di dalam perjalananku melarikan diri itu, aku diserang oleh perampok-perampok Hui-houw-pang sehingga menderita luka-luka. Ini masih belum apa-apa, yang membuat aku putus asa adalah surat itu kena terampas juga sungguh pun tidak ada orang yang mengetahui di mana tempatnya."

"Hemm, agaknya surat itu Paman sembunyikan di dalam mahkota kuno itu, bukan?"

"Betul, Hiante! Inilah sebabnya mengapa aku ingin tahu di mana adanya mahkota itu sekarang. Benda itu jauh lebih berharga dari pada nyawaku!"

Mendengar ucapan yang bersemangat ini, Kun Hong mengerutkan keningnya.

"Paman Tan Hok, surat itu hanyalah surat yang menyangkut urusan perebutan warisan mahkota dan kedudukan kaisar, urusan keluarga kaisar belaka. Bagaimana kau anggap lebih berharga dari pada nyawamu? Keadaanmu sendiri amat sengsara, isteri meninggal, rumah tangga berantakan, bahkan diri sendiri menderita begini hebat. Mengapa kau lebih mementingkan urusan kaisar? Apakah karena Paman mempunyai harapan bahwa kelak kalau Pangeran Yung Lo berhasil merebut kekuasaan, lalu Paman akan diberi kedudukan tinggi?"

Sejenak Tan Hok tak berkata apa-apa. Kun Hong tidak tahu betapa orang tua tinggi besar itu memandang kepadanya dengan mata mendelik alis berdiri, bukan main marahnya!

"Hiante... Hiante... kalau aku tidak ingat kau sudah buta, kalau aku tidak ingat bahwa kau putera Kwa Tin Siong, kalau aku tidak tahu bahwa kau seorang pendekar gagah perkasa dan bahwa ucapanmu ini hanya karena tidak mengerti, telah kujatuhkan kedua tanganku untuk memukulmu sampai mati!"

Kun Hong kaget setengah mati sampai dia meloncat ke atas dalam keadaan masih duduk bersila. Perbuatan ini tidak dia sengaja saking kagetnya, namun Tan Hok menjadi kagum bukan main. Sedikit banyak orang she Tan ini adalah seorang pejuang kawakan, seorang yang mengerti akan ilmu silat tinggi, akan tetapi ilmu meringankan tubuh seperti ini baru sekarang dia melihatnya.

Kun Hong yang sudah duduk kembali cepat berkata sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. "Maaf, Paman. Aku benar-benar kaget. Kuanggap kaulah yang keliru dan terlalu mementingkan harta dan kedudukan, siapa kira kau anggap aku yang keliru. Harap jelaskan, kekeliruan bagaimana yang kulakukan dengan ucapanku tadi, agar terbuka mata hatiku."

Tan Hok memegang lengan Kun Hong. "Anak muda, kau pandai ilmu silat, kau ahli filsafat, kau pun seorang yang berbudi dan penuh welas asih, akan tetapi agaknya ayahmu tidak menurunkan pengetahuan tentang jiwa kepahlawanan padamu. Ketahuilah bahwa semua usahaku ini kulakukan bukan sekali-kali untuk mencari kedudukan, bukan sekali-kali untuk membela kaisar semata-mata, melainkan demi kepentingan negara dan bangsa!"

Kun Hong kaget. "Bagaimana penjelasannya, Paman? Aku tidak mengerti."

"Ketahuilah bahwa jatuh bangunnya kebangsaan adalah dalam tangan pemerintah yang memegang tampuk pimpinan. Demikian pula dengan kesejahteraan rakyat, kemakmuran, kemajuan, ketenteraman hidup, semuanya berada di tangan pemerintah yang berkuasa. Kalau orang-orang yang memegang tampuk kekuasaan terdiri dari orang-orang yang tidak bersih batinnya, yang tidak baik martabat dan wataknya, pemerintah akan menjadi lemah, kacau-balau dan rakyat akan hidup sengsara. Walau pun kita telah berhasil menghalau pemerintah penjajah dan menjadi merdeka, namun bahaya masih selalu mengancam dari segenap penjuru. Bajak-bajak laut Jepang selalu merongrong keamanan di pantai timur, terutama sekali orang-orang Mongol yang hendak membalas dendam atas kekalahannya selalu berusaha menyerang dari utara. Juga suku-suku bangsa di sekitar perbatasan barat mengincar kedudukan di pusat sehingga jika pemegang pemerintahan lemah, ada bahaya besar mengancam negara dan bangsa. Aku melihat sendiri betapa lemah Pangeran Kian Bun Ti, betapa buruk wataknya dan dia hanya mementingkan kesenangan diri pribadinya tanpa mempedulikan bangsanya dan tugasnya sebagai pemimpin. Oleh karena inilah aku sebagai seorang pencinta bangsa dan negara, harus ikut bertindak, kalau perlu membantu Pangeran Yung Lo menjatuhkan Pangeran Kian Bun Ti sehingga keadaan pemerintahan kuat, negara dan bangsa menjadi makmur. Itulah cita-citaku, sama sekali bukan untuk kepentingan diriku sendiri dan inilah cita-cita semua patriot yang mencintai bangsanya."

Inilah pelajaran baru bagi Kun Hong. Semenjak kecil, ketika dia dahulu masih gemar membaca kitab-kitab, dia selalu membaca kitab-kitab filsafat, kebatinan dan kesasteraan. Belum pernah dia mempelajari tentang tata negara, tentang politik, mau pun sifat-sifat pahlawan yang berjiwa patriot...
























Terima kasih telah membaca Serial ini


No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12