Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Buta
Jilid 06
Kun Hong
tidak pedulikan lagi Ching-toanio yang masih bengong keheranan, dia malah
menghampiri Hui Kauw, membungkuk dan sekali bergerak gadis itu sudah
dipondongnya lagi.
"Saudara
Kwa... jangan... kau lepaskanlah aku...," Hui Kauw berkata lemah. Hatinya
tidak karuan rasanya dan dia merasa amat malu dipondong oleh seorang laki-laki
muda, biar pun buta, di depan banyak orang itu….
"Sshhh,
diamlah, Nona. Kau tidak boleh banyak bergerak, kau tidak boleh mengeluarkan
suara dan tenaga... lukamu amat hebat... kurasa sedikitnya sebuah tulang
rusukmu patah, jantungmu tergoncang, hawa beracun telah memasuki darahmu, aku
harus mengobatimu, jangan kau banyak bergerak, kau menurutlah saja..."
Pada waktu
itu ada angin menyambar dari arah depan dan suara yang hampir tak dapat
ditangkap pendengaran Kun Hong menunjukkan betapa orang yang meloncat dan turun
di depan Kun Hong benar-benar memiliki kepandaian yang amat tinggi tingkatnya.
Kun Hong maklum akan hal ini, dia bersiap-siap sambil memondong Hui Kauw,
keningnya berkerut karena dia benar-benar merasa serba susah bagaimana harus
melindungi gadis ini dari ancaman sekian banyaknya orang pandai.
Pada saat
itu terdengar suara Hui Kauw mengeluh panjang dan tubuh gadis itu menjadi
lemas. Kiranya gadis ini kembali jatuh pingsan setelah tadi mengeluarkan banyak
tenaga dalam menghadapi ibu angkatnya untuk mengelak dari bahaya maut. Kun Hong
merasa lega. Dengan pingsannya gadis ini, akan lebih leluasa baginya untuk
bergerak. Sekarang dia dapat mengempit tubuh itu tanpa sungkan-sungkan dan tak
akan mendatangkan rasa malu kepada gadis itu.
Dia cepat
mengubah caranya memondong tubuh Hui Kauw, kini dia menggunakan lengan kirinya
memeluk pinggang gadis yang pingsan itu dan mengempitnya. Tangan kanannya yang
memegang tongkat siap menghadapi serbuan lawan. Terdengar oleh Kun Hong suara
yang tenang dan berat, suara yang mengandung tenaga dalam yang amat hebat.
"Omitohud,
pinceng sebetulnya harus malu menghadapi seorang pemuda yang tak dapat melihat
lagi. Orang muda, kau benar-benar hebat sekali. Kelihaianmu telah mengalahkan
banyak orang pandai membuat pinceng mengesampingkan rasa malu dan ingin pinceng
mencoba kehebatan kepandaianmu yang sangat aneh. Akan tetapi sebelumnya pinceng
ingin sekali tahu, siapakah gurumu yang mewariskan ilmu-ilmu aneh ini
kepadamu?"
Kun Hong
kaget dan maklum bahwa yang berada di depannya adalah seorang hwesio yang
berilmu tinggi. Cepat dia menjura dan menjawab, "Syukurlah bahwa di sini
terdapat Lo-suhu yang saya percaya mempunyai pertimbangan adil dan pemandangan
yang luas. Lo-suhu, tentang riwayat saya bukanlah hal penting, malah tidak
berharga untuk didengar oleh orang lain. Lo-suhu, kedatangan saya ini
sesungguhnya sama sekali bukan ingin bermusuhan atau berkelahi, oleh karena itu
harap Lo-suhu sudi melimpahkan kemurahan hati dan dapat menghentikan
perkelahian-perkelahian yang tidak saya kehendaki ini. Terhadap seorang suci
seperti Lo-suhu, mana berani saya yang muda dan bodoh berlaku kurang
ajar?"
Pendeta itu
tertawa bergelak. Kun Hong tentu saja tidak tahu betapa hwesio ini dengan
kedipan matanya memberi isyarat kepada orang-orang yang berada di sana.
Kemudian bertanya, "Orang muda, meski pun matamu buta tapi hatimu melek.
Tentu saja pinceng tidak mau memaksa kalau kau tidak menghendaki perkelahian.
Akan tetapi kau datang di sini menimbulkan keributan, apa sih yang kau inginkan
sekarang?"
"Maaf,
Lo-suhu. Sama sekali saya tidak bermaksud mengadakan keributan. Semua yang
dilontarkan kepada saya dan nona Hui Kauw ini hanyalah fitnah belaka. Tidak ada
yang saya kehendaki kecuali agar orang tidak membunuh nona Hui Kauw, membiarkan
saya mengobatinya sampai sembuh kemudian memberi kebebasan kepada saya beserta
nona Loan Ki untuk meninggalkan pulau ini dengan aman."
Kembali Ka
Chong Hoatsu mengedipkan matanya kepada Ching-toanio dan yang lain-lain,
kemudian dia tertawa lagi. "Omitohud, kiranya sahabat muda yang lihai
pandai pula ilmu pengobatan. Nona itu kulihat menderita luka-luka amat berat
akibat pukulan, sanggupkah kau menyembuhkannya?"
"Jika
Thian menghendaki, tentu dapat. Saya yang buta sedikit banyak paham akan ilmu
pengobatan."
"Hwesio
tua, jangan kau memandang rendah kepadanya. Orang sakit apa pun juga asal belum
mampus tentu dapat dia sembuhkan. Dia adalah murid Toat-beng Yok-mo, masa tidak
bisa mengobati?"
Ucapan Loan
Ki ini membuat Kun Hong mengerutkan kening dan dia tidak tahu bahwa gadis nakal
itu tentu pernah mendengar dia menyebut nama Toat-beng Yok-mo, kalau tidak
salah ketika dia mengobati orang-orang Hui-houw-pang di mana gadis itu
diam-diam sudah lama bersembunyi dan mengintai.
Tidak hanya
Kun Hong yang mengerutkan kening, bahkan semua orang di situ, terutama sekali
Ka Chong Hoatsu, menjadi heran dan kaget sekali. Tentu saja semua orang pernah
mendengar nama Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut Nyawa), siapa orangnya
yang belum pernah mendengar nama tabib iblis yang luar biasa pandai mengobati,
akan tetapi selalu membunuh orang yang telah diobatinya sampai sembuh itu?
Seketika
pandangan mereka terhadap Kun Hong berubah, karena boleh dibilang bahwa
Toat-beng Yok-mo adalah orang ‘segolongan’ dengan mereka.
"Omitohud!
Betulkah kau adalah murid Yok-mo, orang muda?" Ka Chong Hoatsu akhirnya
bertanya.
Kun Hong
adalah seorang yang jujur dan tak suka membohong, maka dengan suara biasa dia
menjawab, "Diangkat murid sih tidak, akan tetapi mendiang Yok-mo pernah
memberi ijin kepadaku untuk membaca kitab-kitabnya tentang ilmu pengobatan,
entah hal ini boleh dianggap saya sebagai muridnya ataukah tidak terserah."
"Oho!"
Ka Chong Hoatsu kembali memberi isyarat kepada yang lain, maju ke depan dan
menyentuh pundak Kun Hong. "Kiranya kau masih orang sendiri! Kwa-sicu,
kalau begitu tidak ada urusan lagi di antara kita dan soal pertempuran tadi
kita anggap saja sebagai kunci perkenalan. Ching-toanio, pinceng harap kau sudi
menghabiskan urusan dan biarlah diberi tempat untuk Kwa-sicu mengobati
puterimu."
Kun Hong
menjadi melengak ketika urusan berbalik secara demikian. Semua orang, termasuk
juga Hui Siang gadis yang galak itu, mengucapkan maaf kepadanya, juga Bouw Si
Ma, Pangeran Souw Bu Lai, dan Ching-toanio. Malah terdengar suara Ngo Kui Ciau,
orang pertama dari Ang Hwa Sam-cimoi yang bersuara kecil melengking,
"Pantas
saja lihai, kiranya murid si tua bangka Yok-mo. Hi-hi-hik, tak perlu
ribut-ribut, biar buta tapi amat tampan dan gagah, lagi lihai dan murid Yok-mo.
Toanio, kurasa pantas dia menjadi mantumu, hi-hi-hik!"
Mendongkol
sekali Kun Hong, akan tetapi juga wajahnya berubah merah tanpa dapat dia cegah,
karena mendengar ucapan seperti itu, entah mengapa, jantungnya berdebar tidak
karuan. Dia tidak banyak bicara dan menurut saja ketika dia diajak ke dalam
bangunan itu yang untuk sementara diserahkan kepadanya sebagai tempat untuk
mengobati Hui Kauw.
"Tidak
lama... tidak lama..." katanya gugup. "Sebentar saja akan kupulihkan
kedudukan urat-uratnya, kusambung tulangnya dan kubersihkan hawa beracun yang
menyerangnya. Besok ia sudah pulih kembali, hanya tinggal memperkuat
pertumbuhan tulang-tulang yang disambung. Aku tidak bisa lama-lama tinggal di
sini dan akan segera keluar dari pulau ini bersama nona Loan Ki."
Dia merasa
heran sekali mengapa Loan Ki diam saja, tidak ada suaranya sama sekali. Dia
tidak melihat betapa nona ini biar pun berada pula di situ, mukanya murung dan
cemberut terus. Pangeran Souw Bu Lai yang beberapa kali berusaha untuk
memikatnya dengan omongan-omongan manis, tidak diacuhkannya sama sekali.
Akhirnya pangeran itu bosan sendiri dan nampak mendekati Hui Siang,
bercakap-cakap gembira dan disambut manis oleh nona cantik jelita yang galak
itu.
Orang-orang
menjadi kagum menyaksikan cara Kun Hong mengobati Hui Kauw. Dengan
tusukan-tusukan jarum perak dia dapat memulihkan kesehatan nona ini, mengusir
ke luar hawa beracun akibat pukulan-pukulan Ching-toanio yang ampuh.
Kemudian dia
meminta semua orang laki-laki keluar dari kamar karena dia hendak mulai
menyambung tulang, dan untuk keperluan ini terpaksa baju nona Hui Kauw harus
dibuka. Hanya Ching-toanio, Loan Ki, Ang Hwa Sam-cimoi, Hui Siang dan tiga
orang pelayan wanita yang masih berada di kamar. Biar pun maklum di situ
terdapat banyak orang pula yang menyaksikan, tangan Kun Hong sedikit gemetar
juga ketika dia meraba kulit dada dan punggung yang halus pada waktu dia
menyambung tulang iga yang patah!
Setengah
hari dia bekerja keras dan akhirnya dia selesai, kemudian duduk bersila dan
menempelkan dua tangannya ke pundak Hui Kauw dekat leher untuk menyalurkan hawa
murni ke dalam tubuh nona itu dan membantunya sekuat tenaga. Sejam dia
melakukan ini dan mulailah pernapasan nona itu normal kembali dan mukanya
menjadi merah sehat.
Pada saat
itu Ching-toanio memberi isyarat kepada semua orang untuk meninggalkan kamar
itu. Loan Ki tadinya hendak tinggal di situ, akan tetapi Ching-toanio berkata
lirih, "Nona Tan, setelah sekarang kita menjadi sahabat, perlu kita bicara
tentang urusan yang juga menyangkut ayahmu. Marilah, biar Kwa-sicu mengaso
dulu, kulihat Hui Kauw sudah sembuh kembali."
Tak enak
juga hati Loan Ki untuk membandel. Ia mengerling dengan mata ragu ke arah Kun
Hong yang masih duduk bersila, lalu sinar matanya menyambar seperti kilat ke
arah muka Hui Kauw yang hitam, setelah itu ia mendengus marah dan ikut keluar
pula.
Kamar itu
sunyi. Suara orang-orang di luar bercakap-cakap tidak dapat terdengar jelas
oleh karena daun pintu kamar itu ditutup dari luar. Kun Hong melepaskan kedua
telapak tangannya dari pundak nona itu, kemudian dengan perlahan dia mengurut
jalan darah di punggung dan belakang leher. Terdengar nona ini mengerang
perlahan. Kun Hong cepat menarik kembali tangannya dan melompat turun dari
pembaringan, berdiri menanti.
"Uuuhhh,
panas...," nona itu merintih.
"Tidak
apa-apa, Nona. Hawa panas itu kau perlukan untuk mendorong peredaran darah di
tubuhmu sehingga engkau akan menjadi sembuh benar-benar."
Hui Kauw
membuka matanya, kaget melihat betapa tubuhnya bagian atas tidak berbaju, apa
lagi melihat Kun Hong berdiri di situ dengan kepala tunduk. Dia cepat bangun
dan menyambar bajunya yang berada di dekatnya, terus digunakan untuk menutupi
tubuhnya.
"Bagaimana
ini... apa yang terjadi... kau mengapa berada di sini...?" pertanyaan yang
terputus-putus ini diajukan dengan suara gemetar.
Kun Hong
dapat menangkap perasaan sedih, malu dan terhina dalam suara itu, maka dia
membungkuk dengan hormat, kemudian berkata, "Kau menderita luka-luka, aku
berusaha mengobatimu, disaksikan oleh keluargamu, Nona. Kini kau sudah selamat,
perkenankan aku keluar dari tempat ini."
Tanpa
menanti jawaban, dengan cepat Kun Hong lalu melangkah ke arah pintu, membuka
daun pintu dan keluar dari situ.
Ka Chong
Hoatsu sendiri menyambutnya. "Bagaimana Kwa-sicu, berhasilkan
usahamu?"
"Dengan
berkah Thian ia dapat pulih kembali kesehatannya," jawab Kun Hong
sederhana.
Ching-toanio
lantas berlari memasuki kamar dan Kun Hong masih mendengar suaranya,
"Aduh, kasihan anakku..."
Kun Hong
mengerutkan kening. Suara Ching-toanio ini adalah suara palsu. Hemm, akan
berbuat apa lagikah wanita majikan pulau ini yang jahat dan palsunya sama saja
dengan ular-ular hijaunya yang berbisa? Bukan urusanku, pikirnya, aku harus
segera pergi dari tempat ini.
"Ki-moi,
hayo kita pergi..."
Tidak ada
jawaban.
"Di
mana nona Loan Ki?" tanyanya kepada Ka Chong Hoatsu.
Hwesio tua
itu tertawa. "Semua orang termasuk sahabatmu itu lagi berkumpul di ruangan
sembahyang. Mari, Kwa-sicu, oleh karena pada saat ini kau pun menjadi seorang
tamu terhormat, kau pun dipersilakan untuk ikut berpesta sambil ikut pula
merayakan pelepasan perkabungan keluarga Ching-toanio."
"Pesta
apa? Sembahyangan apa?" Kun Hong tak mengerti.
"Suaminya
meninggal tiga setengah tahun yang lalu. Hari ini kebetulan sedang diadakan
sembahyangan lalu diadakan sedikit pesta untuk merayakan pelepasan perkabungan
ibu dan kedua anak."
"Maaf,
Lo-suhu, aku... aku akan pergi saja. Tolong kau panggilkan nona Tan Loan
Ki..."
"Ha-ha-ha,
Kwa-sicu, apakah kau sebagai seorang yang sudah banyak merantau di dunia
kangouw, tidak mau mengindahkan peraturan? Kau dianggap tamu terhormat,
keluarga Ching-toanio hendak menyampaikan terima kasih, dan di sini sedang
dilakukan upacara sembahyangan pula. Masa kau akan pergi begitu saja?"
Kun Hong
menarik napas panjang. Memang betul juga ucapan hwesio itu. Apa lagi Loan Ki
agaknya juga sudah berbaik dengan orang-orang itu, maka dia terpaksa mengangguk
lemah.
"Baiklah,
setelah sembahyang aku akan mengajak Loan Ki segera pergi. Tidak usah ikut
berpesta, makanan dan arak yang dicuri Loan Ki dari sini sudah cukup
mengakibatkan heboh!"
Hwesio itu
tertawa lalu berjalan, sengaja memberatkan kakinya agar mudah diikuti oleh Kun
Hong yang berjalan di belakangnya sambil meraba jalan dengan tongkatnya.
Kiranya tidak jauh dari situ mereka sudah sampai di tempat yang dimaksudkan.
Sebuah bangunan yang agak besar.
Telinga Kun
Hong menangkap suara banyak sekali orang di situ, banyak suara wanita dan
agaknya orang-orang pada sibuk bekerja, mungkin mengatur meja sembahyangan
karena dia mendengar suara mangkuk-mangkuk ditaruh di atas meja dan tercium bau
lilin besar dinyalakan di samping dupa harum memenuhi ruangan itu. Ia segera
duduk pada sebuah kursi yang sudah disediakan untuknya.
Karena
tempat itu ramai dengar suara orang, dia tidak dapat tahu apakah Loan Ki berada
di situ ataukah tidak, untuk bertanya dia merasa kurang enak. Tentu saja dia
tidak dapat melihat betapa di sudut ruangan itu Loan Ki duduk menyendiri dengan
muka pucat dan sepasang mata gadis itu memandang ke arahnya dengan melotot
penuh kemarahan!
Dugaannya
memang benar. Di tempat itu selain orang-orang kosen yang telah disebutkan tadi
berkumpul, makan minum sambil tertawa-tawa di ruangan itu bagian tengah, juga
di sana terdapat belasan orang pelayan wanita berpakaian serba indah sedang
mengatur meja sembahyang yang besar dan megah. Dua batang lilin naga warna
merah dinyalakan di atas meja sembahyang yang dihias seperti meja sembahyang
pengantin saja!
Kemudian
terdengar suara Ka Chong Hoatsu berkata kepadanya, "Kwa-sicu, silakan kau
melakukan sembahyang untuk menghormat abu jenazah mendiang suami
Ching-toanio."
Pendeta itu
menyerahkan beberapa batang hio (dupa batang) kepada Kun Hong. Pemuda buta ini
bingung, akan tetapi merasa tidak enak untuk menolak. Penghormatan kepada abu
jenazah merupakan syarat kesopanan yang tidak mungkin ditolak. Dia menurut saja
ketika dituntun ke depan meja sembahyang.
"Bersembahyang
di depan abu jenazah seorang yang tinggi tingkatnya, harus berlutut,"' Ka
Chong Hoatsu berbisik.
Kun Hong
yang pada dasarnya berwatak sopan dan suka merendahkan diri, kali ini juga
tidak membantah, lalu berlutut, menyelipkan tongkat di pinggang dan memegangi
batang-batang hio itu di antara tangannya.
Pada saat
itu dia mendengar suara banyak kaki secara halus melangkah datang. Di sana sini
lalu terdengar suara wanita tertawa tertahan, kemudian dia mendengar suara
orang berlutut di samping kirinya. Lalu kagetlah dia ketika dia mencium bau
harum yang sudah amat dikenalnya, keharuman yang sama benar dengan ganda yang
diciumnya ketika dia mengobati Hui Kauw di dalam kamar tadi.
Tidak dapat
diragukan lagi, Hui Kauw tentu orangnya yang sekarang berlutut di sebelah
kirinya! Apa artinya semua ini? Kenapa ia harus bersembahyang di depan abu
jenazah itu berdampingan dengan Hui Kauw? Dia menjadi ragu-ragu dan menahan
diri, tidak segera bersembahyang.
Pada saat
itu, di antara suara hiruk-pikuk para pelayan, dia mendengar suara Loan Ki,
penuh ejekan, penuh kebencian. "Hah, yang lelaki buta, yang perempuan
bermuka hitam. Belum pernah selama hidupku melihat sepasang pengantin begini
buruk!"
Kun Hong
terkejut setengah mati. Tangan kirinya bergerak meraba dan... dia mendapat
kenyataan bahwa Hui Kauw memakai pakaian pengantin, dengan muka berkerudung!
"Apa
artinya ini?" Dia berseru dan bangkit berdiri membuang hio-nya ke samping.
Tiba-tiba
sebuah tangan yang kuat menekan pundaknya, jari-jari tangan yang amat kuat itu
mencengkeram jalan darahnya di pundak yang mengancam, karena begitu diremas dia
akan menjadi lumpuh! Lalu terdengar bisikan suara Ka Chong Hoatsu,
"Orang
she Kwa, jangan menolak! Kau sudah mencemarkan nama baik nona Giam Hui Kauw,
kau malah sudah mengobatinya sampai sembuh. Untuk membalas budimu, dan untuk
membersihkan namanya, kau sudah dipilih untuk menjadi suami yang sah. Nona Hui
Kauw sendiri sudah setuju. Bagaimana kau dapat menolaknya?"
Muka Kun
Hong sebentar merah sebentar pucat. Dia tidak mengerti bagaimana urusan
berbalik menjadi begini. Dia memang suka kepada Hui Kauw, suka dan menaruh
simpati besar, juga sangat berkasihan menghadapi nasib buruk nona bersuara
bidadari ini. Baru suaranya saja sudah mampu merampas rasa kasih sayangnya.
Akan tetapi
tentu saja dia tidak mau dijodohkan secara begini, secara paksa dan tiba-tiba.
Juga, di lubuk hatinya tidak ada sedikit pun niat untuk menikah dengan wanita
lain setelah dia kehilangan Cui Bi. Orang buta seperti dia mana mampu
mendatangkan kebahagiaan bagi seorang isteri?
"Tidak...
tidak...! Aku bukan boneka yang boleh kalian permainkan begitu saja! Aku adalah
seorang manusia!" bantahnya, tidak peduli betapa tekanan pada pundaknya
terasa makin menghebat yang berarti hwesio itu memperhebat pula ancamannya.
"Orang
she Kwa, kau tidak boleh menolak! Tidak ada pilihan lain bagimu, menerima dan
menjadi mantu Ching-toanio untuk membersihkan nama baik nona Hui Kauw yang kau
cemarkan kemudian membantu semua usaha kita bersama, atau sekarang juga kau
harus mati!" Kemudian dengan suara lebih perlahan di dekat telinga Kun
Hong, "Bocah tolol, tak usah kau berpura-pura. Kau mencinta dia, bukan?
Nah, apa lagi soalnya?"
"Tidak!
Sekali lagi tidak. Tak sudi aku dijadikan begini...!" Kun Hong berteriak
lagi dengan marah sekali, seluruh urat-urat di tubuhnya telah menegang untuk
melakukan perlawanan. Akan tetapi terpaksa dia menahan kemarahannya karena
ancaman pada jalan darah di pundaknya itu benar-benar berbahaya sekali.
Tiba-tiba
Hui Kauw yang berlutut di sampingnya itu terisak-isak menangis, lalu terdengar
gadis itu menjerit tinggi satu kali, disusul kata-kata yang memilukan, "Ya
Tuhan... apa dosaku sehingga kalian menghina aku begini rupa?"
Setelah itu,
cepat laksana kilat gadis ini menerjang ke kanan dan menyerang Ka Chong Hoatsu
dengan pedangnya yang tadi dia sembunyikan di balik pakaian pengantin yang
longgar. Kini kerudung kepalanya sudah dibuka dan wajahnya yang berkulit hitam
itu jelas nampak agak pucat dan basah air mata. Serangan ini hebat bukan main
karena Hui Kauw mempergunakan jurus dari pada ilmu pedangnya yang ia
rahasiakan.
Ka Chong
Hoatsu adalah seorang tokoh besar yang amat lihai, namun dia terkesiap juga
menghadapi serangan luar biasa ini, yang seperti halilintar menyambar ke arah
dadanya. Terpaksa dia melepaskan cengkeramannya pada pundak Kun Hong dan
berjungkir balik ke belakang sambil mengibaskan ujung lengan bajunya yang
panjang.
Hampir
terpental lepas pedang di tangan Hui Kauw ketika dikebut oleh ujung lengan baju
ini. Akan tetapi Hui Kauw tidak menyerang terus, melainkan terisak-isak dan
meloncat jauh, berlari sambil menangis lenyap dalam gerombolan pohon di hutan.
Dari jauh masih terdengar suara tangisnya yang kian menghilang. Kun Hong merasa
amat bersyukur. Ia maklum bahwa tadi gadis itu menyerang Ka Chong Hoatsu dengan
maksud menolongnya terlepas dari pada cengkeraman yang membuat ia tidak
berdaya.
Pada saat
itu terdengar Loan Ki berseru. "Bagus, Hong-ko. Jangan takut, aku bantu
kau!" Dan gadis ini pun sudah meloncat ke tengah ruangan itu, di depan
meja sembahyang, berdiri tegak dengan pedang di tangan di sebelah Kun Hong!
Kembali Kun
Hong melengak heran. Bagaimana sih gadis lincah ini? Sebentar membantu dirinya,
sejenak kemudian mencelakainya, kadang-kadang membelanya, tapi ada kalanya
mengkhianatinya. Tadi baru saja dia mencemooh dan dengan ucapan mengandung
suara menghina telah mengejeknya, tetapi sekarang suaranya berbeda sekali
ketika menyebut ‘Hong-ko’ dan sekarang malah siap membantunya.
Dia
benar-benar bingung, apa lagi mengingat perbuatan Hui Kauw tadi. Mengapa gadis
yang sudah bisa dia kenal watak perangainya yang halus dan murni itu mau saja
disuruh bersembahyang sebagai pengantin dengannya, kemudian kenapa pula gadis
itu menangis sedih dan malah menerjang Ka Chong Hoatsu untuk menolongnya, tapi
setelah itu malah melarikan diri? Benar-benar dia tidak mengerti akan sikap
gadis-gadis ini.
Akan tetapi
dia juga merasa khawatir sekali. Dia maklum betapa lihainya orang-orang di
pulau ini dan kepandaian Loan Ki masih jauh dari pada cukup untuk menghadapi
mereka. Dia sendiri pun belum tentu akan dapat menangkan mereka yang
lihai-lihai itu, apa lagi Ka Chong Hoatsu si hwesio tua yang tadi mencengkeram
pundaknya. Andai kata Hui Kauw tidak lari dan mau membantunya, gadis bersuara
bidadari itu memiliki kepandaian hebat dan boleh diandalkan. Tadi saja dengan
sekali gebrakan, sejurus serangan saja, gadis itu telah mampu memaksa Ka Chong
Hoatsu melepaskan cengkeramannya.
"Orang
muda, kau benar-benar sombong. Orang telah memperlakukan kau dengan baik,
sungguh pun kau telah menimbulkan keributan. Kau dimaafkan, bahkan kelakuanmu
yang merusak dan mencemarkan nama baik seorang gadis sudah dimaafkan, sebaliknya
dari pada dihukum, kau malah diangkat pula menjadi mantu. Akan tetapi dengan
sombong kau menolak, ini bukan saja merupakan penghinaan terhadap nyonya rumah,
akan tetapi juga kau telah menghancurkan perasaan seorang gadis dan kau telah
menghina pinceng (aku) pula yang bertindak sebagai perantara! Dosamu bertumpuk
dan sekarang pinceng takkan sudi lagi memandang kebutaan matamu atau wajah
mendiang gurumu, Yok-mo."
Kun Hong
melangkah maju, sengaja agar Loan Ki berada di belakangnya untuk menjaga kalau
hwesio yang lihai itu mengirim serangan, jangan sampai Loan Ki menjadi korban.
Kemudian dia tersenyum sinis dan menegur, "Lo-suhu, kalau aku tidak salah
menduga, kau adalah seorang hwesio, pemeluk Agama Buddha yang luhur serta
mulia. Lo-suhu, apakah kau lupa akan ajaran-ajaran suci dalam kitab-kitab
Buddha? Lupakah engkau akan ayat-ayat dalam kitab misalnya Dhammapada yang
mengingatkan manusia sewaktu hidup akan segala maksiat yang akan merugikan diri
sendiri?"
Sampai di
sini Kun Hong lalu mendongak. Suaranya yang nyaring itu melagukan nyanyian yang
merupakan doa dari kitab Agama Buddha.
Dia yang
dapat menahan kemarahan,
seperti
seorang menahan kaburnya kereta,
dialah patut
disebut seorang kusir sejati.
Kalahkan
amarah dengan kasih,
tundukkan
kejahatan dengan kebajikan,
kerakusan
dengan kerelaan,
dan
kebohongan dengan kebenaran.
Sampai di
sini Ka Chong Hoatsu sudah tertawa bergelak sehingga Kun Hong cepat-cepat
menghentikan nyanyiannya. "Ha-ha-ha, bocah buta masih ingusan, kau berani
mengajari pinceng tentang ayat kitab Dhammapada? Ha-ha-ha, seperti orang
mengajar ikan tentang caranya berenang!"
"Kalau
perlu boleh saja, Lo-suhu, Sungguh pun ikan pandai berenang, kadang-kadang dia
akan tersesat karena tertarik oleh kemilaunya kotoran-kotoran di permukaan air
sehingga tanpa disadari ikan itu akan berenang menentang arus dan menemui
kehancurannya."
"Huh,
bocah she Kwa. Agaknya kau mengandalkan kepandaianmu untuk bersikap kurang ajar
dan sombong di depan pinceng. Hemm, bocah buta, Yok-mo sendiri yang kau sebut
sebagai gurumu masih tidak berani memandang rendah terhadap pinceng. Majulah
dan coba perlihatkan kepandaianmu!"
Akan tetapi
Kun Hong tidak bergerak. "Lo-suhu, aku tak ingin berkelahi dengan siapa
pun juga..."
"Ha,
kau jeri kepada Ka Chong Hoatsu?" hwesio itu mengejek.
"Aku
pun tidak jeri atau takut kepada siapa pun juga."
"Kalau
begitu majulah, hayo perlihatkan kepandaianmu!"
"Lo-suhu,
aku tidak ingin berkelahi, hanya ingin supaya aku dan nona ini dibolehkan pergi
dengan aman. Kami tidak bermaksud mengganggu kalian penghuni pulau ini..."
"Taisu,
mengapa berdebat dengan setan kurang ajar itu? Tolong kau tangkap dia untukku,
biar puas aku memberi hukuman kepadanya!" kata Ching-toanio dengan suara
gemas.
"Bocah
Kwa, lihat tongkat!" bentak Ka Chong Hoatsu.
Kun Hong
cepat-cepat mendorong Loan Ki ke belakang agak jauh karena dia mendengar ada
sambaran angin yang dahsyat sekali menyambar ke arahnya. Bukan main hebatnya
serangan ini dan Kun Hong memusatkan pikiran dan perasaannya, mengumpulkan hawa
murni dan tenaga dalam di tubuhnya.
Dia tahu
bahwa angin dahsyat itu menyembunyikan tongkat yang menyambar ke arah
pinggangnya. Sengaja dia melambatkan gerakannya. Begitu tongkat itu telah
menyambar dekat, dengan pengerahan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dia lalu
meloncat ke atas.
Tongkat itu
mendesing di bawah kakinya, tidak lebih dari sepuluh senti jaraknya, namun
angin pukulan tongkat itu telah membuat Kun Hong seperti didorong dari bawah
sehingga tubuhnya mumbul lagi belasan senti tingginya. Dia makin kagum dan
maklum bahwa kali ini dia menghadapi seorang lawan yang luar biasa tangguhnya,
malah mungkin tak kalah lihai kalau dibandingkan dengan lawan yang paling ampuh
yang pernah dihadapinya, yaitu pada tiga tahun yang lalu di puncak Thai-san, si
tua bangka Pak-thian Lo-cu, guru dari Si Tangan Maut Bouw Si Ma, orang Mancu
yang sekarang hadir di sini.
Kekaguman
tidak hanya berada di pihak Kun Hong. Juga Ka Chong Hoatsu kagum bukan main.
Cara pemuda buta itu menghadapi serangannya tadi betul-betul di luar dugaannya,
dan cara ini sekaligus membingungkannya karena sama sekali bukan ilmu silat
seperti yang pernah dia lihat dimainkan oleh Bu Beng Cu.
Memang, Kun
Hong tadi tidak menggunakan jurus dari Kim-tiauw-kun dalam menghadapi
penyerangan ini, akan tetapi dia mempergunakan sebuah jurus pertahanan dari
Ilmu Silat Im-yang Kun-hoat yang dia terima dari Si Raja Pedang Tan Beng San.
Jurus tadi
lewat cepat sekali seperti menyambarnya halilintar. Kini Kun Hong sudah berdiri
tegak, kaki kanannya ditekuk dengan ujung berdiri dan tumit menempel di kaki
kiri, tangan kanan yang memegang tongkat ditaruh di depan dada dan tongkatnya
tegak lurus ke atas menempel ujung hidung, tangan kiri dengan jari-jari terbuka
lurus ke depan seperti sedang menunjuk. Seluruh tubuh tak bergerak, semua urat
dalam tubuh menegang serta segenap perhatian dicurahkan ke depan dan sekelilingnya
dalam sikap menjaga diri.
Ka Chong
Hoatsu juga memasang kuda-kuda, akan tetapi dia meragu dan tidak segera
menjatuhkan serangannya. Betapa pun juga, dia masih sungkan untuk menyerang
secara sungguh-sungguh.
Dia adalah
seorang yang memiliki kedudukan besar dan dipandang tinggi di utara, sejajar
dengan Pak Thian Locu, hanya kalau Pak-thian Lo-cu menganut aliran Agama To
adalah dia merupakan wakil dari golongan Buddha. Sudah jauh dia merantau,
bahkan belasan tahun dia berada di India. Sejak pulang dari India, dia makin
dipandang dan merupakan orang yang paling berkuasa di samping kepala suku di
antara bangsanya, yaitu Bangsa Mongol yang sudah kalah perang dan kehilangan
kedudukan itu.
Bahkan dia
merupakan orang yang dipilih untuk mendidik Pangeran Souw Bu Lai yang dipandang
menjadi seorang bangsawan yang memiliki harapan untuk merampas kembali kerajaan
yang hilang. Kedudukannya demikian besar dan tinggi, masa sekarang dia harus
menggunakan kepandaiannya untuk bertempur sungguh-sungguh melawan pemuda yang usianya
dua puluh lima tahun paling banyak, yang buta kedua matanya lagi?
Inilah yang
membuat Ka Chong Hoatsu ragu-ragu karena dalam pertempuran ini, kalau dia
menang takkan berarti apa-apa akan tetapi kalau sampai kalah namanya akan
hancur luluh sekaligus! Dia pun maklum bahwa pemuda buta ini benar-benar
memiliki simpanan rahasia ilmu yang tak boleh dipandang ringan.
Dua jagoan
ini sudah saling berhadapan memasang kuda-kuda, seperti dua buah patung tak
bergerak sama sekali. Ka Chong Hoatsu biar pun sudah tua namun tubuhnya tinggi
besar dan kuda-kudanya gagah, kedua kaki terpentang, tubuh agak direndahkan,
tongkat yang panjang dan amat berat itu melintang di depan dada, kedudukannya
membayangkan tenaga yang dahsyat sekali. Kun Hong sebaliknya tenang, namun kokoh
kuat seperti batu karang menghadapi serbuan ombak samudera.
"Bun-taihiap
dari Kun-lun-pai yang terhormat sudah tiba untuk bertemu dengan
toanio...!" terdengar seruan wanita penjaga dari jauh.
Belum lenyap
gema suara itu, berkelebat bayangan putih dan seperti sehelai daun kering yang
tertiup angin, melayanglah turun seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah
sekali, berpakaian serba putih dan pada punggungnya tergantung sebatang pedang
yang tertutup sarung pedang terukir indah. Begitu tiba di situ pemuda ini
melihat keadaan Ka Chong Hoatsu, memandang heran lalu mengerling ke arah Kun
Hong yang buta.
"Ah,
kiranya Ka Chong Hoatsu sedang memberi pelajaran, sungguh kedatanganku sangat
kebetulan!" kata pemuda itu.
Ka Chong
Hoatsu sudah semenjak tadi membatalkan serangannya, lalu dia mengetukkan
tongkatnya di atas tanah dan tertawa bergelak.
"Sungguh
tidak tahu malu pinceng yang sudah tua bangka mau melayani seorang bocah buta,
menjadikan buah tertawaan Bun-sicu dari Kun-lun-pai saja. Ha-ha-ha!"
Akan tetapi
pemuda baju putih itu tidak memperhatikan Ka Chong Hoatsu karena pada saat itu
dia sedang memandang ke arah Kun Hong dengan bengong, malah dia segera
melangkah mendekati dan mengamat-amati wajah Kun Hong dengan pandang matanya
yang penuh selidik. Suaranya berubah ketika dia bertanya.
"Ka
Chong Hoatsu, mau apakah dia datang ke sini dan kenapa pula hendak bertempur
melawanmu?"
Ka Chong
Hoatsu tertawa lagi. Dia pernah beberapa kali datang ke Kun-lun-san dan dia
mengenal pemuda Kun-lun yang lihai ini, yang selalu bersikap terbuka serta
bersahaja terhadapnya, tidak menjilat-jilat akan tetapi amat jujur.
"Ha-ha,
Bun-sicu, sebetulnya pinceng malu karena harus turun tangan terhadap seorang
bocah buta. Tapi dia ini memang menjemukan, bermain gila dengan nona Hui
Kauw..."
Pemuda baju
putih itu mengeluarkan suara mendengus penuh ejekan. "Hemmm, kiranya
sesudah kedua matanya buta, Kwa Kung Hong masih sama saja merupakan seorang
pemuda hidung belang yang suka merayu dan menundukkan hati wanita. Lucu sekali!
Kwa Kun Hong, apakah kau tidak kenal padaku?"
Tentu saja
Kun Hong mengenalnya. Biar pun dahulu belum mendapat kesempatan untuk berkenalan
secara mendalam, namun mana bisa dia melupakan pemuda putera ketua Kun-lun-pai
yang dahulu menjadi tunangan dari kekasihnya, Tan Cui Bi?
Dia tahu
bahwa pemuda ini adalah Bun Wan, putera dari ketua Kun-lun-pai yang biar pun
dahulu lantas pulang dengan marah bersama ayahnya dari puncak Thai-san, dan
tidak menjadi saksi atas peristiwa mengerikan yang mengakibatkan kematian Cui
Bi dan kebutaan matanya namun agaknya pemuda ini sudah mendengar tentang
kebutaannya.
Dia menjura
dengan hormat, mengangkat kedua tangan yang memegang gagang tongkat ke depan
dada. "Tentu saja aku ingat dan mengenal suara Bun-enghiong dari
Kun-lun-pai. Tetapi sayang sekali semenjak bertahun-tahun ini pandanganmu masih
sesempit dulu, terutama dalam menilai watak seseorang. Sayang..."
Kembali Bun
Wan, pemuda itu, mendengus mencemooh atas ucapan ini. Kemudian dia menoleh ke
arah Ching-toanio dan berkata, "Toanio, karena aku telah datang di sini,
aku harap Toanio suka mengampuni dia dan membebaskannya. Harap Toanio ketahui
bahwa antara ayahnya dan ayahku ada hubungan persahabatan di waktu muda, oleh
karena itu amatlah tidak enak kalau dia ini menerima hukuman di mana aku hadir.
Tentu ayah akan menegurku."
Ching-toanio
menggerutu, "Dia ini terlalu kurang ajar, terlalu menghina kami, mana bisa
aku memberi ampun?"
Akan tetapi
Ka Chong Hoatsu cepat-cepat berkata, "Ching-toanio, biarlah, melihat muka
Bun-sicu yang terhormat, biarlah kita mengampuninya dan membiarkan si buta ini
pergi dari pulau. Apa lagi bila mengingat akan nama besar Ciang-bun-jin dari
Kun-lun-pai, ayah Bun-sicu yang kita hormati."
Melihat
kesempatan yang baik ini, Loan Ki segera menggandeng tangan Kun Hong dan
berkata, "Hayo, Hong-ko, kita pergi dari tempat terkutuk ini!" Ia
lalu menarik tangan Kun Hong dari situ sambil menjebirkan bibir dan melerok ke
sana ke mari kepada orang-orang yang berada di situ!
"He-he-he-he,
bocah nakal. Kau tidak boleh pergi! Masih ada urusan yang akan pinceng
bicarakan denganmu sebagai wakil ayahmu, urusan penting sekali. Si buta ini
boleh pergi sekarang juga, tapi kau tidak. Kembalilah!" kata Ka Chong
Hoatsu.
Mendengar
ini Ching-toanio tersenyum dan tahulah ia sekarang mengapa hwesio yang menjadi
tamu agung dan orang andalannya ini tadi membiarkan Kun Hong dibebaskan.
Kiranya hwesio itu bermaksud supaya si buta itu mencari jalan ke luar dari
pulau itu seorang diri dan hal ini terang tidak mungkin dan akhirnya tentu akan
membuat pemuda buta itu terjeblos ke dalam perangkap-perangkap rahasia dan tak
akan terlepas dari pada hukuman dan pembalasannya juga!
"Betul,
Nona. Setelah menjadi tamu kami, kau tak boleh pergi dulu dari sini. Kami
hendak mengadakan hubungan dengan ayahmu melalui kau!" katanya.
Loan Ki
memutar otaknya. Dia maklum bahwa jumlah lawan yang banyak ini amat sukar
dilawan, biar oleh Kun Hong sekali pun. Dia melepaskan tangan Kun Hong dan
berjalan dengan langkah lebar ke dekat Ka Chong Hoatsu, langsung ia menegur,
"Hwesio
tua, kau benar-benar mau mempermainkan aku seorang bocah perempuan? Aku tidak
suka berada di sini, di dekat kalian ini, dan aku mau pergi sekarang juga. Apa
bila nonamu ini mau pergi, siapa yang sanggup melarang? Aku berani bertaruh,
kalau aku sungguh-sungguh menghendaki pergi, tongkatmu yang panjang dan tiada
gunanya ini tak akan mampu menghalangiku, Hwesio tua!"
Ka Chong
Hoatsu tertawa, juga orang-orang yang berada di situ semua tertawa mengejek
mendengar kata-kata itu. Sebaliknya Kun Hong diam-diam mengeluh. Benar-benar
Loan Ki adalah seorang bocah yang tidak genah (normal), pikirnya, tak mengerti
tingginya langit dalamnya lautan. Sudah terang bahwa tingkat kepandaiannya
masih kepalang tanggung, matang tidak mentah pun tidak, jika dibandingkan dengan
kepandaian Ka Chong Hoatsu masih tertinggal jauh sekali. Bagaimana sekarang
berani mengucapkan tantangan yang begitu menggelikan? Seperti katak dalam
tempurung!
"Ha-ha-ha-ha,
pinceng kagum akan ketabahannmu, Nona cilik. Betulkah tongkat pinceng yang butut
ini tidak akan mampu menghalangi kau pergi?"
"Tentu
saja tidak mampu. Berani aku bertaruh! Kau boleh jadi lebih kuat dan lebih
matang ilmu silatmu dibandingkan dengan aku karena kau sudah tua, akan tetapi
aku menang muda sehingga aku lebih cepat dari padamu. Kalau aku berlari cepat,
mana kau mampu mengejarku?"
Kembali
ucapan ini menggelikan dan Ka Chong Hoatsu juga tertawa bergelak. Dia merasa
malu untuk berdebat dengan seorang bocah, apa lagi dalam soal kepandaian silat,
maka biar pun hatinya mendongkol, dirinya tertawa dan diam-diam ingin
mengalahkan bocah ini biar kapok dan tidak membuka mulut besar.
"Tentu
saja, pinceng sudah tua mana dapat berlari cepat? Akan tetapi, agaknya kau ini
seorang bocah perempuan cilik, juga tidak akan dapat melangkah lebar seperti
pinceng, ha-ha-ha!"
"Ehh,
Hwesio tua, jangan pandang rendah padaku, ya? Berani kau bertaruh dengan aku
berlomba lari cepat? Mana kau berani. Huh, kau hanya berani menghina seorang
bocah perempuan mengandalkan kepandaian dan usia tua. Hayo, kalau kau berani
berlomba lari cepat, biar kita bertaruh. Bila kau kalah, kau dan semua orang
ini tak boleh menghalangi aku pergi dari pulau ini, kalau aku yang kalah,
terserah kepadamu. Berani tidak?"
Sekali lagi
Kun Hong mengeluh. Mengapa Loan Ki begitu goblok? Kalau tadi tidak usah banyak
cakap, tetap berada di dekatnya, tentu dia kan dapat melindungi nona cilik
nakal itu. Sekarang nona itu malah mencari penyakit sendiri. Mana mungkin
menang berlomba lari cepat melawan hwesio yang sakti itu?
"Ha-ha-ha,
kau lucu sekali, Nona cilik. Masa orang tua diajak balap lari. Tapi biarlah,
kalau tidak dituruti kehendakmu, aku khawatir kau akan rewel dan ngambek, bisa
gagal maksud pinceng menghubungi ayahmu. Ha-ha-ha!"
"Bagus,
kau lihat bunga bwee yang tumbuh di sana itu?"
Ka Chong
Hoatsu mengangguk sambil tersenyum lebar. Pohon bunga bwee itu tumbuh di
sebelah kiri bangunan, kurang lebih dua ratus meter jaraknya dari tempat itu.
Bagi kakek ini, beberapa belas kali lompatan saja di sudah akan sampai di sana!
"Nah,
kita berlomba lari cepat sampai di tempat itu. Siapa yang dapat memegang bunga
bwee itu lebih dulu, dia menang. Setuju?"
"Ha-ha-ha
setuju, setuju!" jawab hwesio tua.
"Nah,
kau bersiaplah, Hwesio. Aku akan menghitung sampai tiga, dan sebelum hitungan
sampai tiga kau tidak boleh mulai lari. Jangan curang!"
"Ha-ha-ha,
boleh... boleh..." Ka Chong Hoatsu menjawab, gembira juga dia menyaksikan
permainan kanak-kanak ini.
Akan tetapi
Loan Ki tidak segera menghitung, melainkan berdiri saja sambil mengerutkan
keningnya yang bagus.
"Hayo
lekas mulai!" tegur Ka Chong Hoatsu.
Loan Ki
menggeleng kepalanya. "Percuma... aku masih belum percaya benar kepadamu,
jangan-jangan setelah kalah kau masih curang dan menjilati janji sendiri. Kau
benar-benar berjanji akan membebaskan kami berdua tanpa mengganggu pula kalau
kalah balapan lari denganku?"
Ka Chong
Hoatsu memandang dengan mata melotot besar. "Bocah kurang ajar, pinceng Ka
Chong Hoatsu mana sudi menjilat ludah sendiri? Hayo mulai!"
"Orang
gagah lebih baik mati dari pada menjilat ludah sendiri tidak menepati janji.
He, Ka Chong Hoatsu, kau berjanji akan membebaskan kami dan membiarkan kami
pergi dari pulau ini kalau kau kalah balapan lari dengan aku?"
"Pinceng
berjanji, gadis liar!"
Loan Ki
tersenyum, manis sekali. "Dan kau berjanji takkan berlaku curang dalam
balapan lari ini, tidak akan mulai lari sebelum aku menghitung sampai
tiga?"
"Setan
cilik, siapa sudi bermain curang? Tak usah bermain curang, lebih baik pinceng
tak akan lari selamanya kalau kalah cepat lariku dari pada larimu. Hayo
mulai!"
"Betulkah
itu? Hi-hik, coba kita lihat dan saksikan bersama."
Gadis ini
memasang kuda-kuda, siap untuk balapan lari, seperti orang hendak merangkak,
berdiri dengan kaki dan tangan di atas tanah, tubuh belakangnya sengaja
ditonjolkan ke atas sehingga ia nampak lucu sekali.
"Ha-ha-ha,
kau seperti seekor kuda betina tanpa ekor!" Ka Chong Hoatsu tertawa geli.
Loan Ki
tidak peduli, malah bicara dengan nyaring kepada semua orang yang berada di
sana, "Kalian semua mendengar janji hwesio tua bangka ini! Sebelum aku
menghitung sampai tiga, dia tidak boleh mulai lari!"
Kemudian ia
mulai menghitung dengan suara lantang, "Satu..."
Suasana menjadi
tegang dan sunyi karena biar pun semua orang yakin bahwa gadis itu tentunya
akan kalah, akan tetapi menyaksikan sikap bersungguh-sungguh dari Loan Ki,
mereka menduga-duga dengan ilmu apa gadis ini akan menghadapi kecepatan Ka
Chong Hoatsu. Juga hwesio itu yang tadinya menganggap ringan dan sudah merasa
yakin akan menang, melihat sikap ini dan mendengar suara aba-aba, menjadi
tegang juga dan tanpa disadarinya dia sendiri pun sudah siap memasang kuda-kuda
untuk segera ‘tancap gas’ kalau hitungan itu sudah sampai tiga.
"Dua..."
Urat-urat di
tubuh Ka Chong Hoatsu semakin menegang, tumitnya sudah diangkat untuk segera
melompat. Akan tetapi hitungan ‘tiga’ tidak keluar-keluar dari mulut Loan Ki,
malah sekarang gadis itu berdiri dan berjalan cepat ke depan tanpa melanjutkan
hitungannya. Semua orang terheran, juga Ka Chong Hoatsu yang mengira bahwa
gadis itu tentu akan mengatur sesuatu maka berjalan ke depan ke arah bunga bwee
itu.
Akan tetapi
setelah berada dekat sekali, kurang lebih dua meter dari pohon bunga bwee itu,
tiba-tiba saja Loan Ki berteriak nyaring sekali, "... tiga...!" dan
dia pun berlari maju memegang kembang itu sambil tertawa-tawa dan
bersorak-sorak ''Aku menang...! Hi-hik hwesio tua, kau kalah!"
Ka Chong
Hoatsu melengak. Tentu saja tadi dia tidak sudi lari, karena kalau lari pun tak
mungkin dapat menangkan Loan Ki yang sudah berada di dekat pohon itu, hanya
tinggal mengulur tangan saja. Dari heran dia menjadi marah sekali.
"Gadis
liar! Kau curang! Mana ada aturan begitu?" bentaknya.
Loan Ki
meloncat dengan gerakan ringan cepat sekali, tahu-tahu ia sudah berada di depan
Ka Chong Hoatsu, menudingkan telunjuknya dengan marah.
"Ka
Chong Hoatsu, kau seorang hwesio tua, seorang yang namanya sudah terkenal di
seluruh kolong langit, apakah hari ini engkau hendak menjilat ludah sendiri dan
berlaku curang? Ingat baik-baik bagaimana janji kita tadi. Bukankah kau sudah
setuju dan berjanji takkan lari sebelum aku menghitung sampai tiga? Perjanjian
menunggu sampai hitungan ke tiga ini tadi hanya dikenakan kepadamu, tidak
kepadaku. Siapa yang berjanji bahwa aku juga harus menanti sampai hitungan ke
tiga? Aku tidak melanggar janji siapa-siapa, juga aku tidak curang, dan kau
sudah kalah, kalah mutlak. Coba katakan apa kau berani melanggar janjimu
sendiri?"
Ka Chong
Hoatsu terkesima. Untuk beberapa lama dia tidak mampu bicara. Kemudian dia
membanting-banting tongkatnya hingga tanah yang bercampur batu di depannya
menjadi bolong-bolong seperti agar-agar ditusuki biting saja.
"Bocah
liar, kau memang menang, akan tetapi bukan menang karena kecepatan berlari,
melainkan menang karena akal bulus!"
Loan Ki
tersenyum manis dan menjura sampai dahinya hampir menyentuh tanah. "Terima
kasih, Ka Chong Hoatsu hwesio tua yang manis! Kau telah menyatakan sendiri
sekarang bahwa aku menang. Nah, memang aku menang dalam balapan ini dan
karenanya juga aku menang dalam taruhan, bukan? Soal menang menggunakan akal
bulus atau pun akal udang, itu tidak diadakan larangan dalam perjanjian tadi.
Nah, selamat tinggal, Hoatsu."
Dengan
langkah manja gadis ini lalu berjalan menghampiri Kun Hong.....
Mendadak
Loan Ki mendengar angin berdesir di belakangnya. Cepat dia menengok dan
membalikkan tubuh, siap menanti penyerangan gelap. Akan tetapi tidak ada
apa-apa dan ia melihat Ka Chong Hoatsu berdiri sambil tertawa bergelak. Ia
memandang ke kanan kiri, semua orang yang berada di situ tertawa belaka. Loan
Ki mengangkat kedua pundaknya, kemudian membalikkan tubuh lagi terus berjalan
menghampiri Kun Hong, menggandeng lengan pemuda buta itu dan berbisik,
"Mari kita pergi, Hong-ko." Ditariknya pemuda itu.
"Ki-moi,
kau tadi dipermainkan Ka Chong Hoatsu, buntalanmu di punggung apakah masih
ada?" bisik Kun Hong.
Loan Ki
terkejut, cepat meraba punggung dan... ternyata mahkota kuno yang berada di
dalam buntalan itu telah lenyap! Ia cepat membalikkan tubuhnya memandang. Eh,
kiranya mahkota itu kini sudah berada di tangan kiri Ka Chong Hoatsu yang masih
tertawa-tawa. "Hwesio tua, kau curi benda itu dari buntalanku, ya?"
Loan Ki membentak sambil melotot.
Ka Chong
Hoatsu semakin gembira tertawa. "Ha-ha-ha, pinceng tak akan melanggar
janji nona cilik, tapi perlu membuktikan bahwa pinceng jauh lebih cepat dari
padamu, sehingga benda ini kuambil tanpa kau dapat tahu atau merasa. Ke dua
kalinya, benda ini kami tahan di sini sebagai undangan kepada ayahmu."
"Bagus!
Ayah pasti akan datang untuk merampasnya dari tanganmu, hwesio sombong!"
Setelah
berkata demikian, Loan Ki memperlihatkan muka marah dan menarik Kun Hong pergi
dari situ, menuju ke pantai yang kini sudah dia ketahui jalannya. Setelah pergi
jauh dan tidak terdengar lagi suara mereka di belakang, Loan Ki lalu berkata
lirih, "Hayaaaa, sungguh berbahaya! Baiknya aku mendapat akal dan bisa
menang berlomba lari"
"Kau
memang cerdik, nakal dan... aneh...," kata Kun Hong.
"Bila
tidak menggunakan kecerdikan, mana bisa kita ke luar dari tempat ini? He,
Hong-ko, kau sudah kenal pemuda baju putih yang gagah tadi? Wah, dia kelihatan
lihai sekali, ya? Dan dia telah menolongmu."
Kun Hong
tersenyum. Terbayang dalam benaknya wajah Bun Wan yang memang gagah, dan
terbayang pula wajah Cui Bi, maka bangkitlah perasaan bangga dan terharu, juga
sedih. Cui Bi sudah mempunyai tunangan segagah Bun Wan, kenapa memberatkan dia?
Padahal wajah dan bentuk tubuh Bun Wan benar-benar dapat menjatuhkan hati
setiap orang wanita, dan buktinya Loan Ki gadis lincah yang berhati angkuh ini
sekali berjumpa terus memuji-muji.
"Dia
putera tunggal ketua Kun-lun-pai, tentu saja gagah dan lihai."
Hening
sejenak. Kun Hong heran, merasa betapa gadis di sebelahnya yang sekarang
menggandeng tangannya ini agaknya berpikir dan menimbang-nimbang, entah apa
yang dipikirkannya.
"Tapi
aku tidak suka kepadanya, Hong-ko," katanya tiba-tiba.
"Heee?
Apa maksudmu? Kenapa tidak suka?" tanya Kun Hong heran karena pertanyaan
yang tiba-tiba itu memang tak diduganya sama sekali. Tadi memuji sekarang tidak
suka, bagaimana ini?
"Aku
malah benci padanya! Dia tadi datang-datang memakimu sebagai seorang pemuda
hidung belang yang senang merayu hati wanita. Sungguh pun pernyataan itu memang
betul!"
"Ehh,
kau juga menganggap aku begitu? Tidak betul itu..."
"Sudahlah,
kau memang hidung belang! Jangan bantah lagi. Kulihat tadi gadis cantik jelita
puteri Ching-toanio bermain mata dengan orang she Bun dari Kun-lun-pai itu. Hemmm,
memang Hui Siang itu cantik jelita sekali, Hong-ko, cantik bagaikan bidadari.
Heran aku mengapa kau tidak jatuh hati kepadanya, sebaliknya malah tergila-gila
kepada Hui Kauw yang buruk rupa."
Kun Hong
menarik napas panjang. "Aku tidak tergila-gila kepada siapa pun juga,
Ki-moi... kau tidak tahu..."
Tiba-tiba
Loan Ki berhenti melangkah dan Kun Hong juga terkejut ketika mendengar suara
mendesis-desis. Mereka mencium bau yang amis. Ular! Banyak sekali ular
menggeleser datang dari empat penjuru dan sebentar saja mereka terkurung ular
yang amat banyak.
"Heeeiii,
Ka Chong Hoatsu, tua bangka bau! Apakah kau begini tidak tahu malu untuk
melanggar janjimu sendiri?" Loan Ki berteriak nyaring ke arah belakang
Tidak
terdengar jawaban dari belakang, akan tetapi dari depan sana terdengar
lapat-lapat suara wanita tertawa disusul kata-kata mengejek, "Ular-ular
bukan manusia, tak termasuk dalam perjanjian. Yang ingin meninggalkan
Ching-coa-to harus dapat melalui barisan ular hijau." Walau pun hanya
lapat-lapat, jelas bahwa itu adalah suara Hui Siang gadis cantik jelita yang
galak itu.
"Hui
Siang budak genit!" Loan Ki berteriak marah. "Kau kira kami berdua
tidak mampu membubarkan barisan anak-anakmu yang sial ini?"
Kun Hong
sudah siap dengan tongkatnya untuk menghajar setiap ular yang berani maju
mendekat. Akan tetapi Loan Ki menggandeng tangannya diajak maju terus.
"Hati-hati,"
bisik Kun Hong. "Siapkan senjatamu. Wah, sayang sekali mahkota kuno itu
dirampas oleh Ka Chong Hoatsu."
Loan Ki
mengikik tertawa. "Kau kira aku begitu bodoh? Hayo maju terus, Hong-ko,
jangan takut ular-ular itu. Mainan kanak-kanak!" dia menyombong dan
menarik tangan Kun Hong untuk maju terus.
Kun Hong
merasa heran dan kaget ketika mendengar betapa barisan ular itu menyimpang di
kala mereka lewat, seakan-akan binatang-binatang itu takut kepada mereka.
"Ehh,
bagaimana ini... Ki-moi, mengapa ular-ular itu..." tiba-tiba dia
tersenyum, "Ha, kau benar-benar bocah nakal dan cerdik. Tentu mutiara-mutiara
mustika itu sudah kau ambil dari mahkota."
"Hussh,
diam saja, Hong-ko. Kau biar pun buta memang cerdik. Mari kita maju terus, itu
pantai sudah tampak dari sini."
Dari jauh
Loan Ki melihat bayangan Hui Siang berkelebat cepat disusul suara kecewa nona
cantik itu yang agaknya terheran-heran dan kecewa melihat mereka berdua
ternyata dapat lolos dari kurungan barisan ular secara mudah.
Sementara
itu, Kun Hong dan Loan Ki sudah tiba di pinggiran telaga. Di sana tidak ada
perahu, akan tetapi Loan Ki yang cerdik tidak menjadi bingung. Dengan pedangnya
dia menebang pohon besar dua batang, mengikat dua batang pohon menjadi satu
dijadikan rakit atau perahu. Dengan kepandaian dan tenaga mereka mudah saja
bagi mereka untuk menggunakan perahu istimewa ini dan mendayungnya ke pantai
seberang.
Sebentar
saja mereka telah menurunkan perahu ke dalam air, Kun Hong duduk di depan
sedangkan gadis itu di belakang. Keduanya sudah memegang sebuah dayung terbuat
dari pada cabang pohon yang besar dan kuat.
"Ahooi...!
Orang-orang Ching-coa-to...!" Loan Ki mengeluarkan suaranya sebelum perahu
itu didayung ke tengah. "Aku sudah menerima penyambutan di Ching-coa-to,
kalau kalian memang punya nyali, lain waktu kutunggu kunjungan balasan kalian
di Pek-tiok-lim pantai Pohai."
Namun tidak
ada jawaban. Loan Ki mendayung perahunya ke tengah menuju ke pantai yang tampak
di seberang sana. Gadis ini tersenyum-senyum dan terlihat gembira sekali.
Ditepuknya pundak Kun Hong.
"He,
Hong-ko, kenapa kau diam saja? Hayo nyanyi lagi seperti ketika kita
berangkat."
Melihat
betapa Kun Hong tersenyum pahit, gadis itu mengerutkan keningnya dan berkata
mengejek, "Aha, agaknya hatimu tertinggal di pulau itu, ya? Waah, memang
kasihan Hui Kauw, dia amat mencintamu, Hong-ko!"
Ucapan ini
mendebarkan jantung Kun Hong. "Ki-moi, kau terlalu mudah menuduh orang.
Siapa sudi mencinta seorang tak bermata? Ki-moi, bagaimana kau bisa bilang
begitu?"
"Ehh,
siapa bohong? Kalau ia tidak mencintamu, tak mungkin ia sudi menjalani upacara
pernikahan denganmu"
Kun Hong
jadi semakin tertarik, karena memang hal yang amat aneh baginya itu sangat
membingungkan. "Loan Ki moi-moi yang baik, apa bila kau tahu akan
persoalan itu, kau ceritakanlah kepadaku. Sampai sekarang aku benar-benar masih
bingung sekali. Aku tak mengerti kenapa tiba-tiba mereka hendak mengawinkan aku
dan kenapa pula ia tadinya suka melakukan upacara itu."
Loan Ki
tertawa. "Semua gara-gara Ka Chong Hoatsu itulah. Karena tadinya aku
dianggap oleh mereka ‘orang sendiri’ maka aku boleh mendengarkan semua
perundingan mereka, hi-hi-hik. Sesudah kau menyembuhkan Hui Kauw, ibunya itu
mendatangi Hui Kauw dan membujuknya agar suka menikah denganmu. Ibunya, si
toanio yang jahat itu mengatakan kepada Hui Kauw bahwa kau juga sudah setuju
menjadi suaminya, bahwa pernikahan itu sudah seharusnya karena perhubungan kau
dengan Hui Kauw sudah menjadi buah bibir para pelayan dan kalau sampai bocor ke
luar tentu akan mencemarkan nama Hui Kauw. Pula bahwa kau sudah menyembuhkan
luka-lukanya dengan cara yang sebetulnya tidak boleh dilakukan oleh orang lain,
yaitu menelanjangi tubuh bagian atas. Akhirnya Hui Kauw setuju. Biar pun dia
tidak bilang apa-apa, buktinya dia tidak menolak ketika dirias seperti
pengantin. Hi-hik aku geli dan juga muak melihat semua itu. Benar-benar tak
tahu malu!"
Kun Hong
mengerutkan keningnya. Dia merasa sangat berkasihan kepada Hui Kauw si nona
bersuara bidadari itu. Sekarang dia dapat menerka apa yang sudah terjadi, dapat
menyelami perasaan nona itu dan dapat menduga betapa hancur hatinya.
Sebelumnya
dia sempat mendengar percakapan antara Hui Kauw dengan ibunya yang hendak
memaksa anaknya itu berjodoh dengan Pangeran Mongol dan hal ini ditolak tegas
oleh Hui Kauw. Lalu terjadilah kehebohan fitnah ketika dia muncul, disusul
dengan terluka dan hampir tewasnya nona itu dan akhirnya pengobatan yang dia
lakukan.
Agaknya
karena keadaan amat terdesak Hui Kauw menerima saja keputusan dijodohkan dengan
dia, ataukah di sana ada lain dasar? Cinta kasih? Tak mungkin! Mungkinkah kalau
seorang gadis bidadari seperti Hui Kauw sampai jatuh cinta kepada seorang buta
macam dia?
Tak mungkin,
bantah hatinya. Betapa pun juga, karena dia tidak menyangka akan hal-hal ini
sebelumnya, ketika mengetahui bahwa dia sedang melakukan upacara sembahyangan
pengantin, dia sudah menolaknya. Tentu saja, dia dapat membayangkan ini dengan
hati perih, tentu saja Hui Kauw amat tersinggung, bahkan terhina oleh
penolakannya itu.
Gadis itu
menjalani upacara hanya karena terhasut, dibohongi dan mengira bahwa dia pun
sudah setuju. Siapa tahu gadis itu mendengar betapa dia menolaknya. Seorang
gadis ditolak oleh mempelai pria! Alangkah hebat penderitaan batin gadis itu.
Dapatkah gadis itu memaafkannya? Mungkinkah ada maaf untuk penghinaan sehebat
itu?
"Tak
mungkin!" kini jawaban hati Kun Hong disertai suara bibirnya yang
bergerak.
"Apa
yang tak mungkin, Hong-Ko?" Loan Ki bertanya.
Kun Hong
kaget dan baru sadar bahwa dia terlalu dalam tenggelam dalam lamunannya.
"Tidak apa-apa, Ki-moi. Aku hanya merasa heran akan sikapmu ketika berada
di pulau. Pada saat aku menghadapi mereka kenapa kau malah merobohkan aku
dengan totokan? Kenapa kau menyerangku secara menggelap? Bukankah perbuatan itu
benar-benar aneh sekali, Ki-moi?"
Gadis itu
cemberut. "Aneh apa? Habis melihat kau mati-matian melindungi dan membela
Hui Kauw, siapa orangnya tidak menjadi dongkol hatinya!"
Kun Hong
semakin heran. Mungkinkah gadis lincah ini timbul rasa cemburu dan iri hati
terhadap Hui Kauw? Heran, tanpa adanya cinta mana bisa timbul cemburu dan iri
hati? Apakah gadis ini... cinta kepadanya? Kun Hong menggeleng kepalanya
keras-keras. Tak mungkin lagi ini!
"Ki-moi,
kau benar-benar orang aneh. Mula-mula kau menotokku roboh, di lain detik kau
malah membelaku ketika Ching-toanio hendak menghabisi nyawaku, lalu kau
bersekutu dengan mereka, membiarkan aku dijadikan bahan permainan dan disuruh
sembahyang. Kau diam saja malah juga ikut mentertawakan."
"Tentu
saja. Biar pun mendongkol aku belum ingin melihat kau mampus. Tapi kau... kau
kembali membela Hui Kauw mati-matian. Kau mencinta Hui Kauw seperti juga kau
cinta Lauw Swat-ji si gadis genit puterinya Hui-houw Pangcu itu dan seperti kau
cinta si janda muda pula. Cih, orang mata keranjang macammu mana patut
dibantu?"
"Hemmm,
lidahmu tajam luar biasa, adik Loan Ki. Akan tetapi mengapa kau tadi kembali
membantu aku secara tiba-tiba dan mengajakku ke luar dari pulau itu?"
Suara Loan
Ki terdengar kaku membayangkan kemengkalan hatinya, "Habis, ternyata kau
tidak suka menikah dengan Hui Kauw, masa yang begini saja kau tanya?"
Makin
heranlah Kun Hong. Mendengar ini semua, jawabannya hanya satu, yaitu bahwa
gadis ini cinta kepadanya. Akan tetapi sikapnya sama sekali bukan seperti orang
yang mencinta.
"Kau
melongo seperti orang bingung. Benar-benar bodoh sekali. Masa yang begini saja
tidak mengerti, Hong-ko? Kalau kau tergila-gila kepada seorang gadis masa aku
harus berbaik kepadamu? Tidak sudi!"
"Ki-moi..."
suara Kun Hong agak gemetar sebab ia amat khawatir kalau-kalau dugaannya betul,
bahwa gadis ini cinta kepadanya. "Tentang hal itu... andai kata aku
tergila-gila pada seorang gadis lain, ada sangkutan apakah dengan dirimu?"
"Sangkutan
apa? Tentu saja aku tidak ada sangkut paut apa-apa! Akan tetapi, di depanku kau
tidak semestinya tergila-gila kepada lain gadis, hemmm... pendeknya aku tidak
suka, dan habis perkara!"
Kun Hong
semakin tak mengerti. Gadis aneh. Akan tetapi lega juga dia karena didengar
dari ucapan ini, agaknya dugaannya tidak betul, bahwa gadis ini tak mungkin
jatuh cinta kepadanya.
"Sudah
sampaikah ke tepi daratan, Ki-moi?"
Perahu
batang pohon itu berhenti, menabrak karang.
"Sudah,
mari kita melompat!" Dengan menggandeng tangan Kun Hong, Loan Ki mengajak
pemuda itu melompat ke depan dan benar saja, mereka telah tiba di daratan.
Tapi begitu
mendarat, serta merta Loan Ki menangis tersedu-sedu sambil mendeprok di atas
tanah, menutupi mukanya dengan sapu tangan. Kun Hong heran dan kaget sekali.
"Ehh...,
kenapa kau menangis?"
Sampai lama
Loan Ki tidak dapat menjawab karena isak tangisnya membuat ia tak dapat
berkata-kata. Kun Hong terpaksa berlutut di hadapannya dan berkali-kali
mengajukan pertanyaan dengan hati cemas.
"Kau
kenapakah? Sakitkah kau?" Dipegangnya nadi lengan gadis itu, ternyata
tidak ada gangguan kesehatannya. "Kau tidak apa-apa, kenapa
menangis?"
"Tidak
apa-apa katamu? Enak saja kau bicara. Dasar kau tidak punya liangsim (pribudi),
melihat orang terhina serendah-rendahnya malah kau berpura-pura tidak tahu dan
masih bertanya-tanya segala!"
"Terhina?
Kau? Oleh siapa dan bagaimana?" Kun Hong benar-benar bingung.
Tiba-tiba
gadis itu meloncat bangun dan membanting-banting kaki, menangis lagi. Kun Hong
juga bangun, menggeleng-geleng kepala dan makin bingung. Benar-benar dia tidak
mengerti dan tidak dapat menduga apa yang menyebabkan gadis ini berhal seperti
itu.
"Ki-moi,
aku mengaku bodoh, kau katakanlah, siapa yang menghinamu dan dengan cara
bagaimana aku benar-benar tidak mengerti!"
"Berkali-kali
aku dikalahkan orang di pulau Ching-coa-to, aku tidak berdaya, bukankah itu
berarti penghinaan-penghinaan yang paling rendah? Kau masih pura-pura bertanya
lagi?" Ia membentak marah.
Kun Hong
tersenyum, "Ah, itukah yang kau anggap penghinaan? Ki-moi, menang atau
kalah dalam pertempuran merupakan hal yang lumrah di dunia persilatan, mengapa
kau merasa terhina? Biar kalah dalam pertempuran asalkan tidak salah. Orang
yang berada di pihak benar boleh kalah bertempur namun di dalam batin
senantiasa merasa menang."
"Enak
saja! Aku puteri tunggal dari Pek-tiok-lim, selama hidupku tak pernah kalah
dalam pertempuran. Sekarang di pulau terkutuk itu berkali-kali dikalahkan
orang, sedangkan kau seorang buta saja tidak pernah kalah. Bukankah ini
memalukan sekali? Ahhh, celaka... celaka..." dan ia menangis lagi dengan
amat sedihnya.
Kun Hong
merasa kasihan. Dia akan berpisah dengan gadis ini dan kalau dia tinggalkan
dalam keadaan begitu, kecewa dan berduka, sungguh dia tidak tega.
"Ki-moi,
mari kuajari kau beberapa langkah yang akan membikin kau tidak mudah untuk
dikalahkan orang lagi."
Seketika
suara tangis gadis itu berhenti seperti seekor jangkerik terpijak. Malah
suaranya mengandung kegembiraan besar, "Benarkah, Hong-ko? Kau hendak
memberi pelajaran ilmu pukulan kepadaku?"
"Bukan ilmu
pukulan, melainkan ilmu langkah rahasia. Kau lihat dan perhatikan baik-baik,
semua ada dua puluh empat langkah rahasia. Lihat dan ingat baik-baik, aku
mulai!" Kun Hong lalu memasang kuda-kuda dan mulailah dia menjalankan
langkah-langkah rahasia berdasarkan Kim-tiauw-kun (Ilmu Silat Rajawali Emas).
Melihat
betapa Kun Hong melangkah dengan cara aneh, terhuyung-huyung, membongkok
kadang-kadang jinjit (berdiri di atas ujung kaki), Loan Ki merasa kecewa.
Agaknya tarikan nafasnya tidak terlepas dari pendengaran Kun Hong yang tertawa
sambil berkata,
"Ki-moi,
jangan kau pandang rendah ilmu langkah ini, kau cabutlah pedangmu dan kau boleh
mencoba untuk menyerangku. Dengan langkah-langkah ini semua seranganmu akan
gagal."
Dasar
seorang gadis jujur, tanpa sungkan lagi Loan Ki mencabut pedangnya dan
menyerang kalang-kabut. Akan tetapi ia merasa seperti menyerang bayangan saja.
Kilatan pedangnya yang seakan-akan sudah akan mengenai Kun Hong sampai ia
menjadi kaget sendiri, ternyata hanya lewat di samping tubuh pemuda itu yang
terus melangkah dengan cara aneh itu. Lewat tiga puluh jurus ia pun berhenti
menyerang dan menyimpan pedangnya.
"Wah,
Hong-ko, hebat ilmu langkah itu. Mari kupelajari baik-baik. Kau melangkahlah,
tapi jangan cepat-cepat!" katanya gembira sekali.
Maka
belajarlah gadis itu dengan tekun dan penuh perhatian. Dasar ia berbakat baik
dan memang sudah memiliki dasar-dasar yang kuat, setelah berlatih beberapa hari
lamanya ia sudah hafal dan dapat melangkah dengan cukup baik. Saking girangnya
gadis ini sambil menari-nari lalu memeluk Kun Hong!
"Hong-ko,
terima kasih. Ilmu langkah ini apa namanya, Hong-ko?"
Kun Hong
bingung. Pada waktu dia mempelajari ilmu langkah ini, dia sendiri tidak tahu
namanya. Pikirannya bekerja, kemudian dengan cerdik dia berkata, "Inilah
Ilmu Langkah Hui-thian Jip-te (Terbang ke Langit Amblas ke Bumi) sebanyak dua
puluh empat langkah. Dengan ilmu ini setelah kau latih dengan sempurna, tidak
mudah kau dirobohkan orang."
Dengan
cerdik Kun Hong mengatakan ‘dirobohkan orang’ karena tentu saja dengan ilmu itu
masih mungkin gadis yang lincah ini dikalahkan orang. Akan tetapi untuk
dirobohkan, kiranya tidaklah mudah.
Loan Ki
masih kegirangan, menari-nari dan melatih ilmu langkah yang baru ia pelajari
itu. Memang pada dasarnya dia gesit dan lincah, tentu saja kini mendapatkan
ilmu langkah yang ajaib itu, ia bagaikan seekor anak kijang tumbuh sayap!
Saking asyiknya melatih diri, Loan Ki sampai tidak memperhatikan atau menengok
lagi kepada Kun Hong.
"Nah,
selamat berpisah, Ki-moi. Semoga Thian akan selalu memberkahimu dan terutama
sekali, menuntunmu ke jalan benar."
Baru kaget
hati Loan Ki ketika mendengar kata-kata ini. Ia berhenti dan menoleh.
"Kau... hendak ke mana, Hong-ko?"
Kun Hong
tersenyum, "Tiada pertemuan tanpa akhir di dunia ini, Ki-moi. Kini kita
harus berpisah melanjutkan perjalanan masing-masing. Kau pulanglah ke rumah
orang tuamu yang tentu sudah mengharap-harap pulangmu sedangkan aku... aku akan
pergi ke mana saja nasib membawaku."
"Ihh,
jangan begitu, Hong-ko. Mari kau ikut saja dengan aku ke Pek-tiok-lim, ayah
tentu senang bertemu denganmu."
Kun Hong
menggeleng kepala. "Terima kasih, Ki-moi. Biarlah lain kali kalau
kebetulan aku lewat di sana, aku akan singgah menyampaikan hormatku kepada
orang tuamu. Sekarang belum waktunya. Nah, selamat tinggal, adikku. Jangan
lupa, janganlah kau terlalu mudah membunuh orang. Kepandaian memang untuk
menjaga diri dan membela kebenaran dan keadilan, akan tetapi sekali-sekali
bukanlah untuk mendahului Tuhan mencabut nyawa orang. Selamat tinggal."
Kun Hong melangkah sambil meraba-raba dengan tongkatnya.
"Hong-ko...!"
Akan tetapi
Kun Hong tidak mau banyak rewel lagi. Dia tahu bahwa kalau dia melayani gadis
ini, akan sukar baginya untuk dapat berpisah. Maka dengan nekat Kun Hong lalu
menggunakan kepandaiannya berlari bagaikan terbang cepatnya sehingga sebentar
saja lenyap dari pandangan mata Loan Ki yang berdiri bengong ketika tak mampu
mengejar, kemudian mengusap-usap kedua matanya.
Kun Hong
tidak berani terlalu lama berlari cepat seperti itu. Dia telah berlaku nekat
untuk cepat-cepat meninggalkan Loan Ki. Kalau nasibnya sedang sial, mudah saja
dia terjeblos ke dalam lubang atau terguling ke selokan ketika berlari cepat
seperti itu tanpa dapat mengetahui apa yang berada di depannya. Setidaknya
kepalanya bisa benjol terbentur sesuatu yang keras tanpa dapat dia elakkan. Baiknya
dia ternyata mujur karena kebetulan sekali dia berlari cepat di atas tanah yang
rata.
Segera dia
memperlambat larinya ketika tidak mendengar suara Loan Ki mengejar dan pada
detik selanjutnya dia hanya berjalan biasa, meraba-raba dengan tongkatnya dan
menggerutu seorang diri. Dia marah kepada diri sendiri mengapa sekarang hatinya
berhal lain dari pada biasanya.
Biasanya,
semua pengalaman dan peristiwa yang menimpa kepadanya, sesudah berlalu tak akan
dia kenangkan lagi, malah sebagian besar terlupa sudah. Akan tetapi mengapa
sekarang benaknya penuh dengan kenangan di pulau Ular Hijau dan pendengarannya
masih penuh suara yang halus seperti suara bidadari? Kenapa dia tidak dapat
melupakan Hui Kauw?
Banyak
pertanyaan mengaduk-aduk pikirannya. Kemana Hui Kauw sekarang? Bagaimana
keadaannya? Mengapa gadis bidadari itu agaknya amat dibenci oleh ibunya dan
adiknya? Kenapa pula beberapa kali Loan Ki menyebut nona bersuara bidadari itu
sebagai ‘nona muka buruk’ atau ‘nona muka hitam’?
Benar-benar
dia tidak dapat menjawab. Juga dia tidak mengerti mengapa suara nona itu
menggores dalam-dalam di hatinya dan kesan satu-satunya di dalam hati adalah
bahwa nona Hui Kauw adalah seorang nona seperti bidadari!
"Cui
Bi... ahhh, Bi-moi... kau bantulah aku... mengapa hatiku begini lemah?"
gerutunya beberapa kali dan sesudah dia mengerahkan kenangannya kepada mendiang
kekasihnya itu, perlahan-lahan terusirlah kenangan mengenai Hui Kauw dan
kegembiraannya bangkit kembali.
Sejam
kemudian orang sudah dapat melihat orang muda buta ini berjalan keluar masuk
hutan sambil berdendang dengan suara nyaring.
"Wahai
kasih, aku di sini..."
Pada saat
kebetulan dia memasuki sebuah dusun, maka nyanyiannya terhenti dan diganti
teriakan-teriakan nyaring, "Usir penyakit... sembuhkan penyakit...! Jika
di antara saudara ada yang sakit, cobalah beri kesempatan kepada saya untuk
memeriksa dan mengobati! Biaya sesukanya, serelanya, cuma-cuma bagi si
miskin!" Ucapan ini terus dia ulangi dan dengan cara inilah Kun Hong tidak
sampai kehabisan bekal di perjalanan.
Banyak
orang-orang kaya yang membalas budinya dengan hadiah banyak uang emas dan
perak, akan tetapi banyak pula yang hanya membalas dengan ucapan terima kasih,
malah tidak kurang jumlahnya mereka yang tidak saja menerima pemeriksaan
cuma-cuma malah yang obatnya pun dibelikan oleh Kun Hong!
Hari ketiga
semenjak dia meninggalkan Loan Ki, Kun Hong berjalan memasuki sebuah dusun di
kaki gunung. Begitu telinganya mendengar suara orang-orang dusun, dia segera
meneriakkan penawarannya untuk mengobati orang-orang yang sakit. Seperti biasa
di setiap tempat yang dia datangi, teriakan ini selalu disambut ejekan dan
cemooh dan selalu orang tidak mau percaya kepadanya sampai ada bukti dia
menyembuhkan seorang sakit.
Wah, mana
bisa orang buta menyembuhkan orang sakit, ejek mereka. Masih begitu muda lagi.
Tentu hanya tukang menipu, kata yang lain pula. Malah ada yang secara mengejek
menyakitkan hati berkata, "Mata sampai buta tidak bisa menyembuhkan, masih
tak tahu malu hendak mengobati orang lain!"
Sekarang
juga di dalam dusun itu, tak seorang pun menghiraukannya kecuali beberapa orang
anak nakal yang mengikutinya sambil tertawa-tawa menggoda, bahkan ada yang
meniru teriakan-teriakannya. Namun, seperti biasanya Kun Hong hanya tersenyum
sabar, semenjak dia kehilangan Cui Bi dan kedua biji matanya, kesabarannya
menebal.
Memang luar
biasa sekali besarnya kesabaran Kun Hong, dan sangatlah mengharukan ketika ada
beberapa orang anak nakal menggunakan batu-batu kerikil menyambitinya. Dia
berhenti berjalan, menengok ke arah anak-anak itu dan berkata dengan suara
halus tapi penuh peringatan.
"Anak-anak,
senangkah hati kalian bisa mengganggu seorang buta? Kalian senang, akan tetapi
yang kalian ganggu belum tentu senang. Anak-anak, coba kalian meramkan mata
sejenak dan bayangkan keadaan seorang buta. Andai kata kalian tiba-tiba menjadi
buta, tidak bisa memandang wajah ayah bunda kalian... kemudian kalian... kalian
diganggu oleh anak-anak seperti sekarang ini, bagaimana rasa hati kalian?"
Ucapan ini
halus dan sama sekali tidak mengandung kemarahan, akan tetapi langsung menusuk
jantung anak-anak dusun itu. Memang bocah dusun amat jauh bedanya dengan bocah
kota. Bocah dusun belumlah terlalu rusak oleh keduniawian, batinnya masih cukup
bersih dan mudah mereka menerima hal-hal yang langsung menyinggung perasaan.
Oleh karena ini, ucapan halus ini membuat mereka sejenak berdiam. Malah di
antara mereka mulai saling menyalahkan karena mengganggu seorang buta.
Kun Hong
gembira sekali, tertawa dan mengeluarkan beberapa keping uang tembaga,
"Anak-anak baik, aku si orang buta tidak punya apa-apa, hanya ada uang
kecil ini. Nah, bagi-bagilah rata di antara kalian."
Anak-anak
itu semua adalah anak-anak dusun yang miskin. Tentu saja mereka menjadi girang
sekali dan bersorak-sorak menerima hadiah yang sama sekali tidak
tersangka-sangka itu. Yang paling besar maju menerima uang dari Kun Hong dan
dibagi-bagilah uang itu merata. Diam-diam Kun Hong kagum dan girang. Biar pun
nakal seperti lajimnya anak-anak lelaki tanggung, namun ternyata bahwa mereka
itu rukun dan jujur, terbukti ketika uang-uang dibagi tidak terjadi keributan.
"Paman
buta ini baik sekali!" berteriak seorang anak kecil.
"Hari
ini hari baik!" berkata yang lain. "Kita bertemu dengan kakek tua
hampir mati di kuil rusak, kemudian dengan paman buta ini. Apa bila banyak
orang seperti mereka berdua, alangkah senangnya hidup kita!"
Kun Hong
tertarik lalu mendekat. "Anak-anak yang baik, siapakah kakek tua hampir
mati?"
"Dia
seorang kakek tua, tinggi besar seperti raksasa, tapi dia menderita sakit dan
hampir mati. Biar pun hampir mati, dia amat baik, membagi-bagikan barang dan
uangnya kepada kami!" kata seorang anak.
"Apakah
dia tidak punya keluarga? Kenapa tinggal di kuil rusak?" Kun Hong
mendesak, hatinya terharu.
"Dia
bilang tidak punya keluarga, sebatang kara dan kuil rusak itu memang sudah
tidak digunakan lagi. Dia luka-luka, yang paling hebat luka di tengkuknya, ihhh
banyak sekali darahnya keluar."
Kun Hong
segera memegang tangan anak itu, begitu cepat sehingga bocah itu kaget. Tak
seorang pun di antara mereka ingat betapa anehnya seorang buta sanggup menangkap
tangan anak itu seperti dapat melihat saja.
"Anak
baik, hayo kau antarkan aku ke kuil itu," katanya.
"Mau
apa kau ke sana? Dia berpesan supaya orang jangan mengganggunya," anak itu
ragu-ragu.
"Aku
bisa mengobati luka-lukanya, siapa tahu bisa menyembuhkannya."
"Wah,
baik sekali ini!" Anak-anak itu bersorak. "Bawa dia ke sana, dua
orang yang baik hati bertemu dan berkumpul. Paman buta kalau betul bisa
menyembuhkannya, tentu dia senang hati!"
Beramai-ramai
tujuh orang anak itu mengantarkan Kun Hong ke sebuah kuil rusak yang berada di
luar dusun. Tempat yang sunyi, yang tidak pernah didatangi orang kecuali anak
yang suka bermain-main di tempat sunyi seperti itu. Anak-anak itu mengajak Kun
Hong memasuki kuil, akan tetapi mereka menjadi kecewa ketika tiba di dalam.
"Ah,
dia sudah pergi...!" kata anak-anak itu setelah mencari ke sana ke mari
tidak melihat kakek yang mereka ceritakan tadi.
Akan tetapi
Kun Hong dengan pendengarannya dapat menangkap adanya orang itu yang
bersembunyi di atas! Hemmm, mengapa orang itu bersembunyi? Agaknya dia tidak
suka bertemu dengan orang lain, pikir Kun Hong.
"Anak-anak,
kakek itu sudah pergi. Biarlah, dan sekarang tempat ini untuk sementara akan
kupergunakan untuk mengaso. Kalian pergilah sana main-main, jangan ganggu aku
yang hendak mengaso di sini. Tentang kakek itu, seperti yang dia sudah pesan
kepada kalian, jangan kalian ceritakan kepada siapa pun juga, ya?"
Seperti
burung-burung di waktu pagi anak-anak itu menjawab, lalu berserabutan mereka
lari keluar dari kuil itu. Kun Hong lalu meraba dengan tangannya membersihkan
lantai yang penuh debu, kemudian duduk bersandar dinding yang retak-retak
saking tua dan tak terpelihara. Dengan pendengarannya yang luar biasa Kun Hong
dapat menangkap tarikan napas yang berat, tanda bahwa orang itu terluka parah.
Namun masih mampu bersembunyi di atas membuktikan bahwa orang itu bukanlah
orang sembarangan.
"Bertemu
dengan seorang buta tidak ada bahayanya karena dia tidak pandai mengenal muka
orang. Lo-enghiong (orang tua gagah) silakan turun, siapa tahu siauwte (aku
yang muda) dapat membantu luka-lukamu," katanya perlahan.
Terdengar
napas ditahan, agaknya orang itu terkejut. Kemudian menyambar turun tubuh
seseorang, akan tetapi kakinya menimbulkan suara berat ketika dia sudah
meloncat turun ke bawah, terang bahwa selain ilmu ginkang-nya kurang hebat,
mungkin juga dikarenakan luka-lukanya yang berat. Kun Hong tahu bahwa orang itu
sudah berdiri di depannya, maka dia bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
"Kau...
kau... bukankah kau Kwa Kun Hong dari Hoa-san-pai?" tiba-tiba orang itu
berkata, suaranya besar.
Kun Hong
cepat bangkit berdiri, lalu menjura penuh penghormatan. "Ah, kiranya
Tan-taijin (pembesar Tan) yang berada di sini, cocok dengan dugaanku. Benar,
Tan-taijin, aku si buta adalah Kwa Kun Hong..."
Belum habis
Kun Hong bicara, orang itu sudah menubruk dan memeluknya sambil berkata dengan
suara terharu, "Ahh, anakku... kasihan sekali kau... siapa kira kau akan
menjadi begini."
Kun Hong
menggigit bibirnya dan dia maklum akan keharuan kakek gagah perkasa ini. Dahulu
dia pernah bertemu dengan Tan Hok ini ketika Tan Hok masih menjadi pembesar
kepercayaan kaisar di kota raja. Kemudian untuk kedua kalinya bertemu lagi di
puncak Thai-san, malah kakek ini menjadi saksi pula akan peristiwa hebat di
puncak Thai-san yang mengakibatkan kematian Cui Bi dan kebutaan matanya.
Sekarang,
agaknya karena teringat akan peristiwa itu dan melihat keadaan dirinya seperti
seorang pengemis buta ini, maka kakek itu mengeluarkan ucapan seperti itu. Kun
Hong memaksa diri tersenyum dan balas memeluk.
"Tan-taijin...
kau benar-benar seorang yang berbudi mulia. Dirimu sendiri sedang terluka
parah, menderita akibat menjadi korban perampokan, akan tetapi kau masih bisa
menaruh kasihan kepada seorang seperti aku..."
Tan Hok
melepaskan pelukannya, agaknya terkejut dan heran.
"Kun
Hong... bagaimana kau bisa tahu akan keadaanku?"
"Tan-taijin..."
"Hushh,
jangan sebut aku taijin lagi, aku bukan lagi pembesar. Aku lebih patut menjadi
pamanmu!" tukas bekas pembesar itu.
"Maaf,
Paman Tan Hok, memang benar ucapanmu itu. Mari duduklah dan sebelum kita bicara
biarlah aku memeriksa dan berusaha mengobati luka-lukamu."
Kakek tinggi
besar itu memang Tan Hok adanya. Dia adalah bekas pejuang yang dahulu namanya
amat terkenal sebagai salah seorang di antara pemimpin pasukan Pek-lian-pai,
berjuang bahu membahu dengan para patriot lain dalam usaha mereka menumbangkan
kekuasaan Mongol. Setelah usaha ini berhasil dan Ciu Goan Ciang mendirikan
Kerajaan Beng dan menjadi kaisar, karena jasanya yang amat besar, Tan Hok lalu
diangkat menjadi pembesar di kota raja. Ketika dalam perjuangannya itu, Tan Hok
malah mengangkat tali persaudaraan dengan Si Raja Pedang Tan Beng San, sekarang
ketua Thai-san-pai. Sekarang bekas pembesar itu malah menjadi buronan, tinggal
di dalam sebuah kuil rusak dalam keadaan terluka parah sekali. Sungguh nasib
manusia tak dapat disangka-sangka sebelumnya.
Cepat Kun
Hong melakukan pemeriksaan. Tan Hok menderita banyak luka-luka, akan tetapi
yang paling hebat adalah luka di tengkuk dan di punggung bekas bacokan senjata
tajam. Oleh karena tidak segera mendapat pengobatan, kini luka-luka itu
keracunan dan membengkak, mendatangkan demam hebat. Kun Hong segera
mengeluarkan sebatang jarum perak, membuka luka-luka membengkak itu,
mengeluarkan darah yang menghitam, lalu menaruh obat bubuk yang selalu tersedia
di dalam buntalannya, bahkan memberikan sebungkus obat lainnya untuk diminum.
"Syukur
keadaan luka-lukamu belum terlalu lama," katanya menghibur. "Sesudah
minum obat dalam tiga hari tentu akan pulih kembali tenaga paman. Biarlah aku
mencari seorang anak untuk disuruh membeli obat."
"Tidak
usah, hiante. Di dusun ini mana ada toko obat? Kau katakan saja nama obat-obat
itu, aku akan mencarinya di kota. Sekarang pun rasanya sudah banyak enakan,
terima kasih. Kwa-hiante, sekarang kau ceritakanlah bagaimana kau tahu bahwa
aku mengalami perampokan?"
Kun Hong
tersenyum. "Aku malah sudah pernah memegang mahkota kuno yang dirampas
perampok-perampok Hui-houw-pang dari tanganmu, Paman Tan Hok."
Dengan
tangan gemetar Tan Hok mendadak memegang lengan Kun Hong. "Betulkah itu?
Kun Hong, betul-betul kau pernah melihat mahkota itu..."
"Melihat
sih tak mungkin Paman..."
"Ah,
maafkan, sampai lupa aku... tapi, tahukah kau di mana sekarang mahkota
itu?"
Suara yang
penuh gairah ini menimbulkan keheranan di hati Kun Hong. Masa orang yang sudah
dia ketahui sebagai seorang gagah yang berbudi ini sekarang begini serakah dan
begini loba akan harta benda?
Pula, kalau
betul apa yang dia dengar, bukankah semua harta itu termasuk mahkota kuno
adalah benda simpanan kerajaan yang dicuri dan dilarikan oleh Tan Hok? Dan
kenapa dia melarikan diri membawa harta curian, bagaimana pula keadaan
keluarganya? Mengapa dia tidak menceritakan keadaannya, tidak menyusahkan
keadaannya malah seperti tidak peduli akan luka-lukanya sebaliknya serta merta
menanyakan mahkota itu?
Kun Hong
merasa tidak puas dan tidak ingin menceritakan apa yang dia ketahui tentang
mahkota itu sebelum dia mendengar jelas duduknya perkara.
"Paman
Tan Hok, mengapa benda itu agaknya amat penting untukmu. Milik Pamankah benda
itu?"
Mendengar
nada suara kecewa dari pemuda ini Tan Hok lantas menarik napas panjang. “Memang
kedengarannya bodoh pertanyaanku tadi, seakan-akan tiada yang lebih penting
dari pada benda berharga itu. Memang sesungguhnya demikian, Kwa-hiante.
Keluargaku binasa, isteriku tewas, hampir aku sendiri tewas, namun bagiku
mahkota itu lebih penting. Kau dengarkan baik-baik penuturanku."
Tan Hok lalu
bercerita…..
Seperti
telah diketahui, ketika kaisar pertama Kerajaan Beng-tiauw sudah tua dan mulai
berpenyakitan, maka terjadilah perebutan kekuasaan di kota raja. Akan tetapi
karena para pangeran atau mereka yang telah berjasa dalam menumbangkan Kerajaan
Mongol masih merasa segan dan takut kepada kaisar sebagai pendiri Kerajaan
Beng, sewaktu kaisar masih hidup, mereka tidak berani berterang. Diam-diam
terjadi persaingan hebat, malah didesas-desuskan bahwa putera mahkota kaisar
juga diam-diam terbunuh oleh seorang di antara saingannya, terbunuh dengan
racun. Kemudian cucu kaisar, yaitu putera pangeran mahkota yang meninggal,
bernama Pangeran Kian Bun Ti, diangkat menjadi calon kaisar.
Hal ini
tentu saja mendatangkan rasa iri hati dan dendam yang disembunyikan. Namun
sebaliknya, Pangeran Kian Bun Ti yang pandai mengambil hati kakeknya,
memperkuat kedudukan dan pengaruhnya. Bahkan akhirnya ketika kaisar yang tua
itu berpenyakitan dan semakin lemah, boleh dibilang segala keputusan kaisar tua
tergantung dari pengaruh Pangeran Kian Bun Ti inilah.
Sayang
sekali bahwa pangeran ini sangat terkenal sebagai seorang pemuda pemogoran,
pemuda hidung belang, dan pemuda yang gampang sekali dipermainkan dan
dipengaruhi oleh para penjilat. Pendeknya, seorang muda yang dangkal sekali
pikirannya dan tidak bijaksana. Orang-orang yang mengelilinginya adalah
orang-orang dari golongan hitam.
Tentu hal
ini amat mengkhawatirkan hati para pembesar yang setia kepada kaisar tua dan
Pemerintah Beng yang baru. Di antaranya terdapat Tan Hok yang menjadi
kepercayaan Kaisar Thai Cu, yaitu pejuang Ciu Goan Ciang yang berhasil
merobohkan kekuasaan Mongol. Diam-diam mereka ini memberi ingat kepada kaisar,
akan tetapi ternyata kaisar itu selain sudah terkena pengaruh dan amat mencinta
cucunya, juga karena kekuasaan Pangeran Kian Bun Ti sudah amat kuat, tidak
mempercayainya.
Akan tetapi
Kaisar Thai Cu akhirnya terbuka juga pikirannya dan melihat gejala tidak baik
dalam watak cucunya. Namun segala sesuatu telah terlambat, dia telah menjadi
lemah berpenyakitan, sedangkan pembesar-pembesar tinggi dan berkuasa sudah
jatuh di bawah pengaruh pangeran mahkota. Andai kata kaisar tua ini akan
mengambil tindakan, dia pun khawatir kalau-kalau terjadi pemberontakan dan
alangkah akan malu hatinya kalau dalam keadaan tua menghadapi kematian itu dia
harus menghadapi pemberontakan cucunya sendiri. Dia tidak berdaya dan
kesehatannya makin mundur karena hatinya tertekan.
"Demikianlah,
Kwa-hiante, keadaan akan kota raja. Keadaannya panas seperti api dalam sekam.
Para setiawan terhadap kaisar tua merasa hidup di atas ujung pedang dan kami
maklum bahwa setiap saat bila kaisar tiada, tentu kami akan dihalau, bahkan
nyawa kami terancam. Kalau pangeran mahkota belum berani terang-terangan
memusuhi kami adalah karena dia masih sungkan terhadap kaisar." Tan Hok
mengaso sebentar untuk bernapas panjang, nampaknya patriot tua ini merasa
berduka sekali akan keadaan negaranya.
"Beberapa
pekan sebelum kaisar meninggal dunia, aku dipanggil menghadap dan kaisar
mengusir semua orang ke luar dari kamarnya. Kaisar kemudian menyerahkan sebuah
surat perintah di mana kaisar memerintahkan puteranya yang menjadi raja muda di
utara, yaitu Pangeran Yung Lo, untuk bertindak dan menggantikan kedudukan
kaisar apa bila kelak ternyata Pangeran Kian Bun Ti tidak benar dalam
menjalankan tugas sebagai kaisar baru. Pendeknya, dalam surat perintah itu,
mendiang kaisar memberi kekuasaan kepada puteranya itu untuk menjadi penghukum
atas diri keponakannya, yaitu Pangeran Kian Bun Ti. Surat itu dipercayakan
kepadaku untuk kelak disampaikan kepada Pangeran Yung Lo pada waktu keadaan
memerlukannya."
Kun Hong
sebetulnya tidak peduli akan keadaan pemerintah, karena memang dia tidak
menaruh perhatian atas kehidupan kaisar dan para pembesar. Akan tetapi
mendengar penuturan ini, dia tertarik.
"Kemudian
bagaimana, Paman Tan?" Tan Hok menarik napas panjang.
"Tugasku
itu berat sekali karena aku termasuk orang yang dianggap musuh oleh Kian Bun
Ti. Banyak hal yang membikin dia tidak senang kepadaku, di antaranya peristiwa
dengan dua orang keponakanmu dahulu itu dan peristiwa di puncak Thai-san.
Karena tahu akan ancaman bahaya ini, maka surat penting itu lalu kusembunyikan,
tidak di dalam rumahku. Kemudian kekhawatiranku menjadi kenyataan, beberapa
bulan setelah kaisar wafat. Kian Bun Ti yang sudah mengangkat diri menjadi
kaisar itu melakukan pembersihan terhadap pembesar-pembesar setiawan, di
antaranya termasuk pula aku. Rumahku disita, isteriku sampai tewas dalam
keributan, aku dapat melawan dan melarikan diri dengan pertolongan anak buahku
yang setia. Tidak lupa aku membawa surat rahasia itu bersamaku. Namun celaka
sekali, nasib sedang buruk, di dalam perjalananku melarikan diri itu, aku
diserang oleh perampok-perampok Hui-houw-pang sehingga menderita luka-luka. Ini
masih belum apa-apa, yang membuat aku putus asa adalah surat itu kena terampas
juga sungguh pun tidak ada orang yang mengetahui di mana tempatnya."
"Hemm,
agaknya surat itu Paman sembunyikan di dalam mahkota kuno itu, bukan?"
"Betul,
Hiante! Inilah sebabnya mengapa aku ingin tahu di mana adanya mahkota itu
sekarang. Benda itu jauh lebih berharga dari pada nyawaku!"
Mendengar
ucapan yang bersemangat ini, Kun Hong mengerutkan keningnya.
"Paman
Tan Hok, surat itu hanyalah surat yang menyangkut urusan perebutan warisan
mahkota dan kedudukan kaisar, urusan keluarga kaisar belaka. Bagaimana kau
anggap lebih berharga dari pada nyawamu? Keadaanmu sendiri amat sengsara,
isteri meninggal, rumah tangga berantakan, bahkan diri sendiri menderita begini
hebat. Mengapa kau lebih mementingkan urusan kaisar? Apakah karena Paman
mempunyai harapan bahwa kelak kalau Pangeran Yung Lo berhasil merebut
kekuasaan, lalu Paman akan diberi kedudukan tinggi?"
Sejenak Tan
Hok tak berkata apa-apa. Kun Hong tidak tahu betapa orang tua tinggi besar itu
memandang kepadanya dengan mata mendelik alis berdiri, bukan main marahnya!
"Hiante...
Hiante... kalau aku tidak ingat kau sudah buta, kalau aku tidak ingat bahwa kau
putera Kwa Tin Siong, kalau aku tidak tahu bahwa kau seorang pendekar gagah
perkasa dan bahwa ucapanmu ini hanya karena tidak mengerti, telah kujatuhkan
kedua tanganku untuk memukulmu sampai mati!"
Kun Hong
kaget setengah mati sampai dia meloncat ke atas dalam keadaan masih duduk
bersila. Perbuatan ini tidak dia sengaja saking kagetnya, namun Tan Hok menjadi
kagum bukan main. Sedikit banyak orang she Tan ini adalah seorang pejuang kawakan,
seorang yang mengerti akan ilmu silat tinggi, akan tetapi ilmu meringankan
tubuh seperti ini baru sekarang dia melihatnya.
Kun Hong
yang sudah duduk kembali cepat berkata sambil mengangkat kedua tangannya di
depan dada. "Maaf, Paman. Aku benar-benar kaget. Kuanggap kaulah yang
keliru dan terlalu mementingkan harta dan kedudukan, siapa kira kau anggap aku
yang keliru. Harap jelaskan, kekeliruan bagaimana yang kulakukan dengan
ucapanku tadi, agar terbuka mata hatiku."
Tan Hok
memegang lengan Kun Hong. "Anak muda, kau pandai ilmu silat, kau ahli
filsafat, kau pun seorang yang berbudi dan penuh welas asih, akan tetapi
agaknya ayahmu tidak menurunkan pengetahuan tentang jiwa kepahlawanan padamu.
Ketahuilah bahwa semua usahaku ini kulakukan bukan sekali-kali untuk mencari
kedudukan, bukan sekali-kali untuk membela kaisar semata-mata, melainkan demi
kepentingan negara dan bangsa!"
Kun Hong
kaget. "Bagaimana penjelasannya, Paman? Aku tidak mengerti."
"Ketahuilah
bahwa jatuh bangunnya kebangsaan adalah dalam tangan pemerintah yang memegang
tampuk pimpinan. Demikian pula dengan kesejahteraan rakyat, kemakmuran,
kemajuan, ketenteraman hidup, semuanya berada di tangan pemerintah yang
berkuasa. Kalau orang-orang yang memegang tampuk kekuasaan terdiri dari orang-orang
yang tidak bersih batinnya, yang tidak baik martabat dan wataknya, pemerintah
akan menjadi lemah, kacau-balau dan rakyat akan hidup sengsara. Walau pun kita
telah berhasil menghalau pemerintah penjajah dan menjadi merdeka, namun bahaya
masih selalu mengancam dari segenap penjuru. Bajak-bajak laut Jepang selalu
merongrong keamanan di pantai timur, terutama sekali orang-orang Mongol yang
hendak membalas dendam atas kekalahannya selalu berusaha menyerang dari utara.
Juga suku-suku bangsa di sekitar perbatasan barat mengincar kedudukan di pusat
sehingga jika pemegang pemerintahan lemah, ada bahaya besar mengancam negara
dan bangsa. Aku melihat sendiri betapa lemah Pangeran Kian Bun Ti, betapa buruk
wataknya dan dia hanya mementingkan kesenangan diri pribadinya tanpa
mempedulikan bangsanya dan tugasnya sebagai pemimpin. Oleh karena inilah aku
sebagai seorang pencinta bangsa dan negara, harus ikut bertindak, kalau perlu
membantu Pangeran Yung Lo menjatuhkan Pangeran Kian Bun Ti sehingga keadaan
pemerintahan kuat, negara dan bangsa menjadi makmur. Itulah cita-citaku, sama
sekali bukan untuk kepentingan diriku sendiri dan inilah cita-cita semua
patriot yang mencintai bangsanya."
Inilah
pelajaran baru bagi Kun Hong. Semenjak kecil, ketika dia dahulu masih gemar membaca
kitab-kitab, dia selalu membaca kitab-kitab filsafat, kebatinan dan
kesasteraan. Belum pernah dia mempelajari tentang tata negara, tentang politik,
mau pun sifat-sifat pahlawan yang berjiwa patriot...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment