Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Buta
Jilid 11
Gadis itu
tercengang, melihat kedua tangannya yang telah bebas dan dengan bingung kini
memandang pemuda asing yang telah menghampiri gadis ke dua, melepaskan
belenggu, kemudian maju untuk menolong gadis-gadis yang lain. Setelah lima
orang gadis itu bebas semua, dia mundur dan membungkuk dengan dalam di depan
lima orang gadis itu yang kini hanya dapat berdiri melongo memandangnya dengan
sinar mata bingung, heran, dan juga terima kasih bercampur keraguan.
Nagai Ici
kemudian menghampiri dua kotak tadi, membukanya dan mengambil
perhiasan-perhiasan berharga itu, membagi-bagikan kepada kelima orang gadis
tadi sekuat tenaga mereka membawa, malah ia membantu mengalung-ngalungkan
perhiasan pada leher dan lengan mereka. Semua ini ditonton oleh Lauw Teng yang
tertawa-tawa, juga para perampok tertawa-tawa akibat merasa geli melihat
tingkah laku pemuda Jepang yang agaknya hendak mengambil hati para gadis itu
sebelum memaksa mereka menjadi selir-selirnya. Benar-benar seorang pemuda yang
cerdik, pikir mereka. Hal pertama yang dia lakukan adalah membanjiri para gadis
itu dengan barang-barang hadiah untuk merebut hati dan kasih!
Yang paling
mendongkol adalah Loan Ki. Hatinya lantas memaki-maki, "Laki-laki ceriwis!
Pemuda gila perempuan! Si mata keranjang menyebalkan!"
Akan tetapi
semua orang menjadi terheran-heran, juga Loan Ki, ketika melihat Samurai Merah
itu sekali lagi menjura dalam sampai kepalanya hampir menyentuh tanah di depan
para gadis itu sambil berkata, "Sekarang, Nona sekalian silakan pulang ke
rumah masing-masing. Kalian kubebaskan!"
Lima orang
gadis itu menjadi lebih heran dan bingung lagi. Mereka saling pandang, tidak
kuasa mengeluarkan kata-kata saking terharu serta bingungnya, hanya nampak
mereka menggeleng kepala, malah ada yang mulai menangis.
Nagai Ici
memandang dengan mata terbelalak, kemudian mengerutkan alisnya yang tebal,
menggeleng-geleng kepala dan berkata, "Ahh, agaknya Nona sekalian tidak
berani pulang sendiri? Baiklah, silakan kalian mengaso di sana, di bawah pohon
besar itu, biar aku menyelesaikan urusanku dengan orang-orang ini. Nanti saya
yang akan mengantar Nona semua pulang ke kampung dan rumah masing-masing.”
Lima orang
gadis itu menjadi girang bukan main. Mulailah wajah mereka berseri-seri dan
senyum-senyum manis tersembul di balik keharuan dan air mata, menambah jelita
wajah dara-dara muda itu. Dengan langkah halus dan tertatih-tatih karena beban
barang-barang berharga itu terlampau berat, mereka mentaati permintaan Nagai
Ici dan pergi ke bawah pohon besar, lalu duduk bersimpuh di atas akar pohon.
Loan Ki yang
bersembunyi di atas pohon itu, diam-diam menjadi merah mukanya, malu kepada
diri sendiri yang tadi telah memaki-maki pemuda Jepang itu dengan tuduhan yang
bukan-bukan. Sekarang ia kembali mencurahkan perhatiannya pada pendekar muda
dari Jepang itu.
Sementara
itu, Lauw Teng mulai curiga dan marah. Dia melangkah maju, meraba gagang
goloknya dan suaranya sudah kehilangan keramahannya ketika dia bertanya,
"Nagai Ici, apa maksudmu dengan semua ini? Jangan kau main-main
denganku!"
Dengan
senyum mengejeknya pemuda Jepang itu membalikkan tubuh menghadapi ketua
Hui-houw-pang, membungkuk dengan caranya yang dalam pandangan Loan Ki amat lucu
itu dan berkata, "Hui-houw Pangcu Lauw Teng. Kau tadi menyanggupi tiga
macam syarat, dan yang dua sudah kau penuhi, terima kasih. Tinggal sebuah
syarat lagi, kalau ini kau penuhi, aku Nagai Ici Si Samurai Merah berjanji akan
suka menjadi muridmu atau malah pembantumu sekali pun."
"Hemmm,
kau katakan lekas, apa syarat ke tiga itu?"
"Kau
dan anak buahmu bukanlah manusia baik-baik. Orang macam kau ini mana patut
menjadi guruku? Andai kata kau sepuluh kali lipat lebih pandai sekali pun,
tidak sudi aku menjadi murid dari seorang penjahat keji yang suka menculik
gadis dan merampok harta orang lain. Lauw Teng, dengarlah. Syaratku ketiga
adalah, kalau kau bisa memenangkan samuraiku dan mampu memenggal batang
leherku, barulah aku suka menjadi murid atau pembantumu."
Loan Ki di
atas pohon terkikik menahan tawa. Geli hatinya melihat Lauw Teng si gendut yang
menjadi melongo penuh amarah dan kecewa itu, di samping hatinya merasa girang
bahwa pemuda Jepang yang menarik hatinya serta mengagumkannya itu ternyata
benar seorang gagah yang hebat. Kembali ia bersiap sedia untuk membantu Samurai
Merah itu andai kata terancam bahaya.
Memang marah
sekali Lauw Teng. Sambil berseru keras dia mencabut goloknya yang tajam
berkilauan. "Bagus, kau Jepang keparat! Kalau kau ingin mampus, mengapa
tidak sejak tadi bilang terus terang? Manusia tak tahu diri, diberi hati
merogoh jantung, keparat!"
Golok Lauw
Teng berkelebat dan dengan kemarahan meluap-luap ketua Hui-houw-pang itu
menerjang Ici. Serangannya hebat dan dahsyat, golok menyambar menjadi kilat
maut menyilaukan mata.
Samurai
Merah terkejut juga dan maklum bahwa kini dia menghadapi lawan yang pandai.
Oleh karena itu ia pun tidak berani memandang ringan. Cepat dia melompat ke
belakang sejauh dua meter dan tangannya meraih pinggang.
"Srattt!"
Sinar
berkilau ketika samurai yang merupakan pedang panjang melengkung itu tercabut
dari sarungnya.
Baru
sekarang Loan Ki dapat melihat pedang itu dengan jelas. Dia kagum dan heran.
Kagum karena sebagai puteri seorang pendekar pedang, tentu saja ia juga seorang
ahli pedang dan tahu akan pedang-pedang baik. Biar pun hanya melihat dari
tempat jauh, ia dapat menduga bahwa pedang aneh itu terbuat dari pada bahan
yang baik sekali. Bukan baja yang baik kalau tidak dapat mengeluarkan suara
mengaung seperti itu ketika dicabut dari sarungnya.
Pedang itu
tajam seperti silet, bermata sebelah dan termasuk golongan pedang panjang. Akan
tetapi karena agak melengkung, tentu cara memainkannya seperti orang bermain
golok. Anehnya, gagangnya terlampau panjang sehingga Loan Ki meragu apakah
dengan gagang pedang macam itu orang dapat bersilat dengan baik?
Dengan hati
berdebar Loan Ki melihat betapa pemuda Jepang itu sudah siap, memasang
kuda-kuda yang amat teguh. Tubuhnya merendah, mata tenang tajam memandang lawan
dan... kedua tangannya memegang gagang pedang itu. Hampir Loan Ki tertawa.
Inilah aneh, pikirnya.
Walau pun
tadi sudah menyaksikan sendiri betapa lihainya Samurai Merah ini membabat
buntung tangan ketiga orang pembantunya, akan tetapi melihat pasangan kuda-kuda
jago muda Jepang itu, Lauw Teng hanya memandang rendah. Sambil membentak
nyaring dia menerjang lagi, goloknya bagaikan baling-baling yang diputar makin
lama semakin cepat, merupakan gulungan sinar putih mengurung diri lawan.
"Haiiiiit!"
Samurai Merah mengayun samurai sambil meloncat.
Terdengar
suara nyaring disusul bunga api muncrat pada saat dua senjata itu bertemu di
udara. Diam-diam mereka memuji tenaga lawan yang sanggup membuat tangan
masing-masing bergetar. Namun Lauw Teng yang sudah banyak pengalaman itu terus
menerjang, mempergunakan kegesitannya karena melihat betapa ilmu pedang lawan
ini kurang gesit nampaknya.
Dugaannya
keliru. Biar pun gerak-geriknya kaku dan aneh, kiranya jago muda Jepang itu
sanggup mengimbangi permainannya, melompat-lompat dan seakan-akan bukan dia
yang memainkan pedang, tapi pedangnya yang bergerak-gerak dan membawa serta
tubuhnya. Tubuh Nagai Ici dan pedangnya seakan-akan menjadi satu ketika
mencelat ke kanan kiri untuk menangkis dan balas membacok!
Kalau sudah
bersilat seperti itu, tidak banyak bedanya kedudukan tubuhnya dengan para ahli
pedang di Tiongkok. Akan tetapi setiap kali ada kesempatan dan tidak terdesak,
tentu dia akan berdiri tegak memasang kuda-kuda di atas tanah, diam tak
bergerak bagaikan patung, hanya biji matanya saja yang liar bergerak mengikuti
gerakan lawan, sedangkan pedangnya yang dipegang dengan kedua tangan itu
diacungkan ke depan dada, ujungnya mengikuti gerakan lawan pula.
Loan Ki
tertawa senang. Boleh juga bocah ini, pikirnya. Apa lagi kalau dia sedang
berdiri seperti itu mengikuti gerakan lawan, gagah juga!
"Keparat,
mampuslah!" teriak Lauw Teng yang sudah menerjang lagi.
Sejenak dia
berhenti dan mengkal hatinya melihat lawannya laksana patung tidak balas
menyerang atau lebih tepat, tidak mau mendahului menyerang itu. Akan tetapi
begitu dia kembali menyerang, Samurai Merah itu selain menangkis dan mengelak,
juga cepat balas membacok. Bahkan kali ini tidak ada bacokan golok yang tidak
dibalas. Setiap bacokan dibalas dengan bacokan pula sehingga pertandingan itu
ramai bukan main. Amat seru dan setiap kali pedang atau golok berkilat, berarti
tangan maut menjangkau mencari nyawa!
"Aduh
sayang...," diam-diam Loan Ki menyesal melihat jalannya pertandingan
seperti itu. "Ilmu pedangnya aneh dan boleh juga, akan tetapi mengapa
demikian lambat dan banyak membiarkan kesempatan berlalu percuma? Kurang
agresip, wah, sayang benar. Jika lebih agresip sedikit saja, hanya dalam
belasan jurus saja si katak gendut itu tentu sudah dapat dikalahkan."
Memang
pendapat Loan Ki ini benar. Ilmu pedang Samurai Merah itu sangat kuat dalam
pertahanan, bahkan setiap kali bertahan selalu dirangkai dengan serangan
balasan. Akan tetapi kurang cepat dan kurang agresip.
Biasanya,
pemain pedang malah menghujani serangan dengan maksud membuat lawan bingung dan
pertahanannya menjadi lemah sehingga banyak tercipta lowongan-lowongan untuk
dimasuki. Akan tetapi, permainan pedang gaya Jepang ini agaknya hanya mencari
lowongan di waktu lawan menyerang.
Memang hal
itu benar juga karena setiap penyerangan berarti membuka pintu pertahanan, akan
tetapi karena dia sendiri sudah diserang, maka tentu saja penyerangan
balasannya kurang kuat karena tidak dilakukan dengan tenaga dan perhatian
sepenuhnya. Sebagian tenaga dan perhatian sudah dipakai untuk mempertahankan
diri dari penyerangan lawan.
Betapa pun
juga, lambat laun Samurai Merah dapat pula mendesak Lauw Teng. Memang harus
diakui bahwa selain ilmu pedangnya aneh dan sulit diduga perkembangannya, juga
pemuda ini menang gesit dan menang kuat. Kini penyerangan Lauw Teng makin lemah
dan balasan dari Samurai Merah itu makin hebat. Malah setiap bacokan dibalas
dengan dua tiga kali bacokan sekaligus yang membuat Lauw Teng kelabakan!
Karena makin
lama semakin repot, timbullah rasa takut di hati Lauw Teng sehingga ketua
Hui-houw-pang yang amat terkenal di Propinsi Shan-tung sebagai perkumpulan
perampok yang ganas ini mulai berteriak-teriak minta tolong dan bantuan dari
anak buahnya!
Inilah saat
yang ditunggu-tunggu oleh para perampok itu. Semenjak tadi mereka sudah
mendongkol dan marah sekali terhadap pemuda yang agaknya akan diambil hatinya
oleh ketua mereka. Begitu mendengar teriakan sang ketua, serentak mereka lalu
melakukan pengeroyokan dengan senjata di tangan.
Samurai
Merah tertawa bergelak, lalu mengamuk. Berkali-kali terdengar pekiknya yang
dahsyat.
"Yaaaattt!"
Setiap kali
dia memekik, tentu seorang di antara pengeroyoknya roboh mandi darah, dan
samurainya selalu berhasil mendapatkan korban, membabat putus tangan, kaki,
hidung, telinga, bahkan ada dua orang yang buntung lehernya!
Pertempuran
semakin hebat mengerikan. Walau pun jagoan muda Jepang itu mengamuk seperti
seekor harimau muda, menghadapi pengeroyokan para perampok yang nekat dan
rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi itu, akhirnya dia kewalahan juga.
Loan Ki
merasa sudah cukup lama menjadi penonton. Ia melayang turun dari atas cabang
pohon, membuat kelima orang gadis yang sudah ketakutan setengah mati
menyaksikan orang-orang bertempur, darah muncrat serta tubuh luka-luka itu,
kini terkejut bukan main melihat betapa dari atas pohon tiba-tiba ada seorang
manusia ‘terbang’ melewati kepala mereka!
"Hemmm,
Lauw Teng perampok hina, masih beranikah kau menjual lagak mengandalkan
pengeroyokan menghina orang?"
Lauw Teng
menengok dan wajahnya seketika menjadi pucat. Tentu saja dia mengenal gadis
yang berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang dengan sikap gagah
itu. Siapa lagi kalau bukan dara lincah yang amat gagah perkasa, yang pernah
tanpa gentar merobohkan banyak anak buah Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang
digabung menjadi satu.
Apa lagi
kalau dia ingat bahwa munculnya gadis sakti ini mungkin sekali disusul pula
oleh pendekar buta yang seperti iblis itu. Hatinya sudah setengah membeku
saking takut dan gentarnya.
"Kawan-kawan...
mundur...!" Ia memekikkan aba-aba ini sambil mendahului anak buahnya lari
tunggang-langgang meninggalkan gelanggang pertempuran.
Tentu saja
para anak buahnya juga sangat ketakutan melihat munculnya Loan Ki yang sudah
mereka kenal kelihaian pedangnya. Jago muda Jepang itu saja sudah cukup berat
dilawan, apa lagi muncul dara hebat ini.
Maka
terjadilah perlombaan yang menarik, yaitu lomba lari tunggang-langgang
bersicepat meninggalkan tempat itu tanpa mempedulikan lagi teman-teman yang
tewas atau terluka. Bahkan mereka yang terluka berusaha pula ikut melarikan
diri, walau pun mereka harus merangkak-rangkak dan terhuyung-huyung.
Sebentar
saja keadaan di situ sudah sunyi. Para penjahat yang tinggal hanyalah mereka
yang sudah tewas, yaitu dua orang yang putus lehernya karena mereka ini tentu
saja tak mungkin dapat berlari lagi. Selain mayat dua orang penjahat ini, di
situ berserakan pula potongan-potongan tangan, kaki, hidung, telinga dan
ceceran darah. Mengerikan sekali!
Sampai lama
Nagai Ici berdiri melongo memandang Loan Ki yang masih tersenyum geli
menyaksikan tingkah laku para perampok itu. Hampir saja jago muda dari Jepang
ini tidak percaya akan pandangan mata sendiri serta pendengaran telinga
sendiri. Mimpikah dia? Ataukah dia betul-betul melihat bidadari turun dari
kahyangan dan begitu melihat bidadari ini para perampok yang ganas dan kejam
itu lari tunggang-langgang ketakutan?
Inilah hal
aneh yang baru pertama kali selama hidupnya dia saksikan. Seorang dara jelita
berpakaian bagai seorang pendekar, yang membawa-bawa pedang di pinggangnya,
gadis cilik berusia belasan tahun, ditakuti kawanan perampok yang ganas dan
kejam?
Hampir Nagai
Ici tertawa geli. Melihat lima orang gadis tawanan tadi, timbul kasihan dalam
hatinya karena sifat mereka itu sama dengan wanita-wanita di negerinya,
lemah-lembut dan tidak berdaya, membutuhkan pertolongan pria yang kuat. Akan
tetapi dara muda ini, yang membawa-bawa pedang, sama sekali tak membutuhkan
perlindungan dan bantuan dirinya, malah sebaliknya seperti sudah membantunya
karena kemunculannya mengusir para penjahat yang tadi sudah membuat dia kewalahan
dan repot terdesak.
Laki-laki
atau perempuankah orang ini? Melihat dari sikap dan gerak-geriknya yang begitu
gesit cekatan dan gagah, patutnya seorang pria. Akan tetapi melihat wajah yang
begitu manis dan kulit yang begitu halus, bentuk tubuh yang begitu ramping dan
padat tanpa otot-otot tentunya seorang wanita. Malah wanita yang cantik jelita,
dengan mata seperti bintang kejora, pipi sehat kemerahan, mulut yang amat
manis. Bukan main! Manusiakah atau bidadarikah?
Setelah
semua penjahat itu melarikan diri, tiba-tiba saja Loan Ki merasa seakan-akan
ada sesuatu yang menarik dan memaksanya menoleh. Dia membalikkan tubuh
memandang dan... dua pasang mata saling pandang, dua sinar mata bertemu di
udara. Seakan-akan mengandung besi sembrani, sinar mata itu bertaut dan saling
tempel sulit dilepaskan lagi! Pandang mata si pemuda penuh keheranan,
kekaguman, dan penghormatan. Pandang mata si pemudi penuh keramahan,
pengertian, kegigihan dan setengah mengejek bahkan menantang!
Bibir Loan
Ki bergerak mengarah senyum. Geli dan senang hatinya melihat betapa orang itu
melongo seperti orang yang lupa ingatan, pedang bengkok itu masih dipegang
dengan kedua tangan, kedua kaki masih memasang kuda-kuda yang lucu dan aneh
itu. Alangkah bagusnya kalau orang itu menjadi patung dan dipasang di depan
jalan masuk Pek-tiok-lim tempat tinggal ayahnya, pikir dara nakal ini.
Pikirannya itu membuat senyumnya melebar sehingga berkilatlah deretan gigi
putih.
Agaknya
kilauan gigi putih ini menyadarkan pula Nagai Ici yang terpesona itu. Dia
menarik dua kakinya, memasukkan pedang Samurai ke dalam sarung pedang,
merangkap kedua tangan dalam bentuk sembah, ditempelkan di depan dada lalu
membungkuk dalam sekali sampai tubuhnya hampir berlipat dua.
Makin geli
hati Loan Ki menyaksikan penghormatan seperti ini, tapi sebagai seorang gadis
ia membalas pula dengan mengangkat dua tangan ke depan dada dalam bentuk
kepalan, dan tubuhnya dibongkokkan sedikit dengan cara menekuk sedikit lutut
kirinya.
"Bolehkah
hamba bertanya... tuan ini siapakah? Manusia ataukah dewa?" tanya Nagai
Ici dengan bahasanya yang kaku namun cukup jelas.
Segera dia
melengak kaget dan kembali melongo pada saat melihat betapa makhluk yang
disangkanya dewa itu mendadak terkekeh, tertawa geli sambil menutupi mulutnya
dengan tangan, ciri kewanitaan yang berlaku juga di Jepang!
"Hi-hi-hik...
aduh lucunya... hi-hi-hik, maafkan aku... tak tahan aku... ahh, kau lucu
sekali. Ehh, Nagai Ici yang berjuluk Samurai Merah, pertanyaanmu tadi
kukembalikan kepadamu, coba kau terka, aku ini manusia ataukah dewa? Wah,
jangan-jangan kau malah tidak tahu pula dari jenis apa aku ini, laki-laki
ataukah perempuan..."
Merah
seluruh muka Nagai Ici. Makin bingunglah dia. Juga makin heran dan kaget. Kalau
disebut dewa, terang bukan karena ujudnya jelas manusia, menginjak tanah, tak
memiliki sayap, dan malah ada bau yang harum menyentuh hidungnya. Tetapi apa
bila dikatakan manusia, mengapa begini aneh dan datang-datang sudah mengenal
nama dan julukannya segala!
"Saya...
saya tidak tahu... ehh, maksud saya... ehh, tuan seperti manusia... dan
tentunya seorang wanita pula, tapi... ehh, kalau wanita masa ditakuti para
perampok dan apa bila manusia, mana mungkin manusia wanita bisa meloncat turun
dari atas pohon yang begitu tinggi? Dan tuan... ehh, sudah tahu akan nama saya
pula..."
Kembali Loan
Ki tertawa. "Nagai Ici, kau cukup gagah perkasa, akan tetapi sungguh amat
bodoh. Sudah pasti aku manusia, dan sudah jelas aku bukan laki-laki, masa kau
tidak dapat membedakan? Tentang namamu, tentu saja aku tahu karena sudah sejak
tadi aku mengintai dari atas pohon. Tentang meloncat turun dari pohon, apa sih
sukarnya? Yang lebih tinggi lagi aku sanggup meloncati. Perkara
perampok-perampok itu takut kepadaku, apa pula anehnya kalau mereka itu pernah
kuhajar?"
Kini pandang
mata Nagai Ici berubah kagum, kagum bukan main karena baru pertama kali ini
selama hidupnya dia menyaksikan seorang wanita yang begini perkasa.
"Maaf,
Nona... wah, kau hebat sekali." Tiba-tiba pandang matanya berubah dan dia
lalu mendekat, matanya lekat-lekat memandang arah mulut Loan Ki.
"Astaga!
Jadi kau malah pencurinya?"
Kini Loan Ki
yang menjadi bingung dan heran, juga geli melihat tingkah orang Jepang yang
aneh ini. Baru saja begitu ketakutan seakan-akan hendak berlutut menyembahnya
karena mengira ia dewa, kemudian berubah kemalu-maluan dan ramah, tetapi
sekarang tiba-tiba seperti kurang ajar!
"Apa
maksudmu? Pencuri apa?" tanyanya dengan kening berkerut.
Pemuda
Jepang itu meloncat-loncat, kaki tangannya bergerak-gerak dan mukanya seperti
orang marah, "Siapa lagi kalau bukan kau. Ya, kau pencurinya! Tidak usah
menyangkal, kau gadis nakal. Kau minta pun akan kuberi, kenapa mencuri? Hayo
kau mengaku!"
Loan Ki
makin terheran dan makin lama ia makin marah. "Setan alas kau! Jangan
kurang ajar, ya? Kau kira aku takut kepadamu?"
Nagai Ici
tersenyum mengejek. "Wah, ini mana dapat dibilang gagah kalau tidak berani
mempertanggung jawabkan perbuatan sendiri? Sudah pandai mencuri, kemudian
pandai berpura-pura dan menyangkal pula. Hayo, di kanan dan kiri bibirmu yang
merah itu masih berlepotan minyak, malah ujung hidungmu yang mancung itu pun
berminyak. Kau belum sempat mencucinya, ya? Wah, agaknya sudah habis kau
ganyang semua panggang paha macan punyaku tadi. Celaka!"
Loan Ki
melongo dan baru teringatlah ia akan perbuatannya yang nakal tadi, yaitu
mencuri panggang paha macan orang yang sedang mandi. Tiba-tiba saja mukanya
menjadi merah bagai udang direbus dan otomatis tangan kirinya diangkat untuk
menghapus bibirnya yang kiranya benar-benar penuh minyak!
Wah,
repotlah Loan Ki sekarang menggunakan dua tangannya. Karena malu dan bingung,
Loan Ki menjadi marah sekali. Dengan telunjuknya yang runcing dia menuding ke
arah hidung Nagai Ici, pandang matanya melotot.
"Setan
kau! Berani kau memperolokku?"
Nagai Ici
tertama, tubuhnya bergerak-gerak. "Kau... kau pencuri daging, tukang
nyolong!"
Kemarahan
Loan Ki bukan kepalang lagi, "Kau... tikus, cacing, kadal, anjing, monyet,
babi, kuda!" Ia memaki-maki sejadinya dan menyebut nama semua binatang.
Paling akhir dia mencabut pedangnya dan menantang. "Hayo kita buktikan di
antara kita siapa yang lebih gagah!"
Memang
sebenarnya inilah yang dikehendaki Samurai Merah. Begitu bertemu dengan dara
ini, semangatnya langsung terbetot, perhatiannya tertarik, hatinya terpikat
tanpa dia sadari lagi. Tadinya dia hampir percaya bahwa dara jelita dan gagah
perkasa ini adalah sebangsa peri atau bidadari. Akan tetapi setelah ‘bidadari’
itu bersuara, tahulah dia bahwa makhluk ini ternyata adalah seorang dara jelita
yang wajar, seorang manusia yang hidup dan segar gembira lahir batinnya.
Dia kagum
bukan main dan melihat cara gadis ini tadi bergerak turun dari pohon, dia pun
menduga bahwa tentu ilmu kepandaian gadis ini juga hebat. Apa lagi kalau
diingat bahwa menurut kata gadis itu sendiri, para perampok jahat itu tadi
ketakutan melihatnya karena pernah ia beri hajaran. Tentu saja hal ini dia
sendiri tidak dapat begitu saja mempercayai.
Inilah
sebabnya, ketika melihat bibir dan ujung hidung yang amat lucu indah itu
berlepotan minyak, dia sengaja menuduh dan mengejek, dengan maksud
membangkitkan amarah gadis itu dan mendapat alasan untuk menguji kepandaiannya.
Dia kurang percaya kalau seorang gadis sehalus dan secantik ini, masih amat
muda lagi, dapat ‘memberi hajaran’ kepada seorang kepala penjahat seperti Lauw
Teng dan anak buahnya.
Akan tetapi
dia juga dapat menduga bahwa gadis yang ‘besar mulut’ ini sedikitnya tentu
memiliki ilmu pedang yang lumayan, terbukti dari caranya mencabut pedang yang
cukup cepat dan cekatan itu. Karena itu dia tidak berani memandang rendah dan
dia pun segera melolos pedang samurainya dari sarungnya.
"Nona
cilik..."
"Jangan
sebut-sebut nona cilik. Apa kau sudah tua bangka? Kau sendiri pun masih cilik,
paling-paling hanya beberapa tahun lebih tua dari pada aku. Lagaknya seperti
orang tua saja!"
Nagai Ici
tertawa. Dia sebetulnya seorang yang berwatak pendiam dan serius
(sungguh-sungguh), akan tetapi berhadapan dengan dara lincah seperti ini mau
tidak mau bangkit kegembiraannya. Sepasang matanya yang biasanya tenang dan
tajam itu kini bersinar-sinar, wajahnya yang gagah tampan berseri-seri.
"Hayo,
kau mau bilang apa lekas bilang sebelum pedangku bicara, jangan cuma
cengar-cengir seperti kunyuk mencium cuka!" Loan Ki membentak lagi. Dasar
gadis lucu jenaka, sedang marah pun lucu, sama sekali tidak membuat orang
takut.
"Nona...
besar, maksudku... ehhh, apa perlunya kita mengadu senjata? Senjata pedang
adalah benda tajam yang berbahaya, bagaimana kalau sampai melanggar tubuh?
Lebih baik kita mengadu kepandaian dengan tangan kosong saja."
"Ihhh,
siapa sudi? Tadi sudah kulihat bahwa hanya dengan pedangmu yang bengkok itu kau
pandai berkelahi. Kalau bertangan kosong, kau hanya mengandalkan cengkeraman
dan tangkapan. Mana aku sudi bersentuh tangan dengan kau? Hayo lekas serang
dengan pedangmu!"
Nagai Ici
tetap ragu-ragu. Ia telah belasan tahun mempelajari ilmu pedang, dan selama ini
samurainya amat ganas dan dikenal sebagai Samurai Merah. Ilmu pedangnya adalah
ilmu pedang khusus untuk merobohkan lawan, begitu samurainya berkelebat, tentu
membabat putus sesuatu. Mana dia tega melukai nona yang dia kagumi ini?
"Wah,
kenapa bengong saja? Apa kau kira aku takut melihat pedangmu yang bengkok dan
jelek itu? Pedang apa itu, pantasnya untuk potong babi!"
Diejek
begini, panas juga hati Nagai Ici. Ia akan memperlihatkan kepandaiannya dan
tentu saja dia akan berhati-hati agar jangan sampai salah tangan melukai dara
ini.
"Hemmm,
kau hendak mengenal Samurai Merah? Bersiaplah!" bentaknya.
"Samurai
Merah atau samurai belang bonteng, peduli apa aku? Hayo serang kalau berani,
ngomong saja dari tadi kerjanya!" ejek Loan Ki.
Ia sendiri
memang berwatak aneh, mudah marah, mudah gembira, namun lebih banyak gembiranya
dari pada marahnya. Sekarang pun kemarahannya karena tadi dimaki tukang nyolong
sudah mereda dan ia menghadapi pedang jago muda Jepang itu terutama sekali
karena ingin menguji sampai di mana kehebatan ilmu pedang aneh itu.
"Awas!"
teriak Nagai Ici.
Samurainya
berkelebat membuat gerakan segitiga di depan tubuhnya. Indah sekali gaya
pertahanan pertama ini. Dan dia lalu diam tak bergerak, hanya biji matanya yang
hidup meneliti setiap gerakan lawan, terutama gerakan kedua lengan.
Loan Ki
sudah tahu bahwa ilmu pedang orang ini memang aneh, sifatnya diam menanti
serangan. Kalau ia pun diam menanti, agaknya mereka berdua akan berdiri
berhadapan memasang kuda-kuda dan berdiam terus seperti patung sampai seorang
di antara mereka kalah karena menjadi kesemutan akibat berdiri diam terlalu
lama. Akan tetapi dia tak sudi menjadi patung. Cepat bagai kilat menyambar,
pedangnya berkelebat menjadi segunduk sinar menerjang maju.
"Haaaaiiiiit!"
Nagai Ici
berseru keras saking kagetnya melihat betapa seakan-akan ujung pedang gadis itu
berubah menjadi belasan batang, tergetar dan menerjang kepadanya secara aneh,
sukar diduga ke arah mana ujung pedang itu akan menusuk! Dia segera, memutar
samurainya sekuat tenaga, membabat ke arah bayangan ujung-ujung pedang itu
dengan maksud mempergunakan tenaganya untuk menghantam pedang gadis itu agar
terlepas dari pegangan.
"Wuuuuuttttt!"
Samurainya
yang berat, tajam dan bergerak cepat itu ternyata hanya menghantam angin belaka
karena secara tiba-tiba belasan ujung pedang lawan itu sudah lenyap dan kembali
berubah menjadi segundukan sinar pedang menyerangnya, kini dari kanan kiri atas
bawah tak tentu ujung pangkalnya.
"Bagus...!"
Mau tak mau Nagai Ici berseru memuji.
Inilah
hebat, pikirnya. Ilmu pedang yang luar biasa, jauh lebih hebat dari pada ilmu
golok ketua Hui-houw-pang tadi. Maklumlah dia bahwa gadis itu benar-benar bukan
sekedar memiliki ilmu ‘gertak sambal’ belaka, tetapi benar-benar seorang gadis
muda yang ‘berisi’, yaitu yang memiliki kepandaian tinggi.
Hatinya
makin gembira dan berkurang keraguannya karena sekarang dia tidak takut lagi
untuk salah tangan sebab maklum bahwa gadis itu cukup mampu menjaga diri. Cepat
dia memutar samurainya sehingga sinar pedang samurai itu berkilat-kilat
menyambar ke arah gulungan sinar pedang Loan Ki.
Dari angin
sambaran pedang samurai, Loan Ki maklum bahwa orang muda itu memiliki tenaga
gwakang (tenaga luar) yang amat kuat, maka ia tidak berani mengadu pedang,
kuatir kalau-kalau pedangnya akan rusak bertemu dengan samurai yang digerakkan
oleh tenaga gajah itu. Ia menggunakan kegesitannya dan bersilat dengan Ilmu
Pedang Sian-li Kiam-sut yang luar biasa.
Gerakannya
indah dan lemah lembut, seperti seorang bidadari kahyangan tengah menari.
Pinggangnya yang ramping bergerak-gerak lemas dan lehernya ikut pula
bergerak-gerak. Langkahnya berlenggang-lenggok dan untuk melengkapi ilmu pedang
ini yang memang mengharuskannya sebagai taktik, ia pun tersenyum-senyum dan mengerling
dengan amat manis dan ayunya.
Memang
dahulu pencipta ilmu pedang ini, yaitu Si Pendekar Baju Merah Ang I Niocu,
sengaja menciptakan ilmu pedang yang luar biasa untuk mengalahkan lawan-lawan
berat. Bentuk tarian indah gemulai disertai senyum dikulum dan kerling memikat
sesuai dengan wajah yang cantik jelita, semata-mata merupakan taktik untuk
mengacaukan konsentrasi (pemusatan pikiran) dan melemahkan daya tempur lawan.
Tentu saja
Nagai Ici pun melihat ini semua dan hatinya berdebar tak karuan. Bukan main
indahnya ilmu pedang yang seperti tarian itu dan wajah gadis lincah itu makin
lama makin cantik menarik.
Akan tetapi
pemuda Jepang ini bukan seorang manusia biasa yang mudah lumpuh oleh kecantikan
wanita. Semenjak kecil dia sudah digembleng oleh seorang daimyo (pendekar
bernama besar) yang sakti, tidak saja diwarisi ilmu bermain samurai yang ampuh,
juga sudah digembleng memperkuat batin dengan cara bersemedhi dan menyatukan
pikiran.
Oleh karena
ini, biar pun dia amat tertarik dan kagum melihat lawannya, dia segera dapat
menekan perasaannya dan memperhebat gerakan samurainya, malah kini dia menguras
semua jurus pilihan dan yang paling rahasia dari ilmu pedangnya untuk menghadapi
ilmu pedang lawan yang lemah-gemulai akan tetapi mengandung daya serangan yang
sangat dahsyat.
Diam-diam
Loan Ki kagum juga. Ilmu silat aneh dengan pedang aneh pula ini, sesudah
bergebrak kiranya tidaklah selambat yang dia duga. Pertahanannya kokoh kuat dan
biar pun serangannya tidak terlalu sering, namun tiap kali menyerang laksana
kilat menyambar dari udara cerah.
Inilah inti
ilmu pedang lawannya dan inilah pula yang membuat samurainya itu berkali-kali
berhasil tiap kali berkelebat. Kiranya inti ilmu lawannya memang mengandung
gerakan menyerang tersembunyi seperti kilat yang menyambar dari angkasa yang
sehingga sama sekali tidak tersangka-sangka datangnya. Ia pun merasa malu kalau
sampai kalah, maka ia kemudian mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan
semua simpanan jurus ilmu pedangnya.
Hebat bukan
main pertandingan itu. Jauh lebih hebat dari pada tadi. Akan tetapi sekarang
tidak nampak mengerikan sehingga lima orang gadis tawanan itu yang sejak tadi
melongo dan terheran-heran, sekarang pada berdiri menonton dengan kagum.
Bagi mereka
yang tidak mengerti ilmu silat, dua orang muda itu terlihat seperti sedang
menari-nari secara indah dan aneh. Pedang dan samurai itu lenyap dari pandangan
mata mereka, yang tampak hanyalah segulung sinar pedang seperti awan putih
bergerak-gerak, dibarengi melesatnya sinar seperti kilat menyambari awan itu!
Seratus
jurus lebih mereka bertanding, hampir satu jam lamanya. Mereka berdua sudah
gobyos (bermandi peluh) dan sudah mulai lelah karena dalam pertandingan itu
mereka mempergunakan semua tenaga dan kepandaian.
Loan Ki
mulai penasaran dan tak sabar. Ia menanti kesempatan baik dan tiba-tiba dengan
pengerahan tenaga lweekang-nya ia menghantam samurai lawan sekuatnya.
"Tranggggg!"
Bunga api
berpijar menyilaukan mata ketika dua batang pedang itu bertemu dengan amat
kerasnya. Nagai Ici mengeluarkan suara keras seperti harimau menggereng dan
tubuhnya terhuyung mundur tiga langkah. Loan Ki sendiri tergetar telapak
tangannya dan cepat dia memindahkan pedang pada tangan kirinya. Oleh karena
sempat melompat ke samping, maka dia tidak sampai terhuyung seperti lawannya.
Keduanya
memeriksa pedang, kemudian saling pandang dengan napas terengah-engah. Nagai
Ici tertawa lebih dahulu. Kagumnya bukan kepalang, akan tetapi dia juga puas
dan merasa bangga karena betapa pun juga, gadis luar biasa itu sudah berkenalan
dengan samurainya yang lihai.
"Heh-heh,
kau benar hebat, Nona. Selama hidupku baru kali ini aku melihat seorang gadis
muda yang begini hebat. Sebelum ini, mendengar pun belum pernah. Ilmu pedangmu
luar biasa, kepandaianmu hebat bukan main. Akan tetapi, betapa pun juga kau
takkan mampu mengalahkan aku."
"Ihh,
sombongnya! Baru mengandalkan pedang bengkok itu saja sudah berani membuka
mulut besar. Kau tidak merasa bahwa aku tadi sengaja mengalah mengingat bahwa
kau orang asing? Huh, benar-benar tidak punya perasaan dan tidak malu. Pedang
bengkokmu itu siapa sih yang takut? Kalau mau, dalam segebrakan saja aku
sanggup membikin putus lehermu, tahu?"
"Ha-ha-ha,
Nona sungguh-sungguh pandai berkelakar! Sudah jelas kita bertanding sampai
mandi keringat belum ada yang terluka, belum ada yang kalah atau menang,
bagaimana kau bisa bilang dalam segebrakan dapat memenggal leherku? Ha-ha-ha,
lucu!"
"Hemm,
dasar tak tahu malu, tak berperasaan. Kau mau bukti?"
Tentu saja
Nagai Ici tidak percaya, dia merasa penasaran sekali. Dia, Samurai Merah yang
di Jepang sudah terkenal sekali, mana mungkin dalam segebrakan saja terpenggal
lehernya oleh seorang gadis cilik?
"Boleh!
Kau buktikanlah dan coba kau penggal leherku, jangan dalam segebrakan, malah
dalam seribu gebrakan sekali pun boleh!" dia menantang dan sengaja dia
mengulurkan lehernya.
"Huh,
kau kira aku adalah algojo?" Loan Ki mendengus marah. "Biar pun kau
kurang ajar setengah mati, tadi kau menentang penjahat, berarti kau bukan
penjahat. Aku tidak biasa membunuh orang yang bukan penjahat. Tetapi aku bisa
membuktikan bahwa aku seribu kali lebih pandai dari padamu dan bahwa tadi aku
sudah sengaja mengalah, hanya kau yang buta perasaan dan tidak tahu diri."
"Heh-heh,
kau tekebur sekali. Bagaimana kau akan membuktikan?"
"Kau
boleh gunakan pedang bengkok pemotong babi itu untuk melawan aku yang akan
melayanimu dengan bertangan kosong!" Loan Ki tersenyum mengejek. Tanpa
pedulikan wajah lawan yang kelihatan kaget itu ia menyambung, "Lebih dari
itu malah, dengar wahai kadal, kuda, babi! Tidak saja aku melayani pedang
bengkokmu itu dengan tangan kosong, juga aku akan membiarkan kau menyerang
sesukamu tanpa membalas. Kalau nanti aku membalas sekali pukulan saja boleh
dianggap kalah!"
Nagai Ici
melengak. Benar-benar terlalu gadis liar ini, pikirnya dengan perut terasa
panas. Menghina orang tanpa takaran. Mana ada aturan seperti ini? Seorang
jantan tulen seperti dia menyerang seorang gadis bertangan kosong menggunakan
samurai? Dan gadis itu malah tidak akan membalas sama sekali? Waduh, dia
dianggap anak kecil yang masih ingusan saja oleh gadis nakal itu. Keparat!
"Nona,
apakah otakmu waras?"
Kini Loan Ki
yang melengak, lalu membanting-banting kaki tanda marah. "Kau yang edan!
Kau yang gila, gendeng dan miring otakmu!" Ia memaki-maki marah lagi
sejadi-jadinya asal hatinya yang mengkal dapat merasa ‘plong’.
Melihat
sikap yang sungguh-sungguh itu, mulai meragulah hati Nagai Ici. Siapa tahu
gadis ini bicara sungguh-sungguh? Wah, hebat kalau begitu.
"Nona,
begini saja sekarang. Bukan watakku untuk menyerang seorang lawan, apa lagi
seorang gadis seperti kau, menggunakan samurai sedangkan yang kuserang
bertangan kosong dan tidak akan membalas. Sekarang begini saja, aku menerima
tantanganmu tapi caranya begini. Aku akan menyerangmu selama tiga jurus dan aku
tanggung dalam tiga jurus itu, aku akan dapat memilih dengan samuraiku satu di
antara empat macam benda di tubuhmu, yaitu pertama pita rambutmu, ke dua ujung
ikat pinggangmu, ke tiga ujung ronce pedangmu dan ke empat ujung lengan bajumu.
Dalam tiga jurus saja pasti sebuah di antara yang empat tadi dapat kubabat
putus, bahkan mungkin lebih dari satu atau keempatnya sekaligus! Tetapi kalau
hal ini terjadi, kau harus menyatakan bahwa aku tidak kalah olehmu dan bahwa
ilmu kepandaianku tidak berada di bawah kepandaianmu. Nah, bukankah ini adil
namanya!"
Loan Ki
mengernyitkan hidungnya, ditarik ke atas ujung hidungnya sehingga nampak lucu
sekali. "Aduh-aduh, sombongnya! Tiga jurus katamu? Jadikan tiga puluh
jurus baru aku sudi melayani. Nah, tiga puluh jurus kau boleh menyerangku
dengan pedang pemotong babi itu. Kalau dapat kau tebas sedikit saja sebuah di
antara yang empat itu, biarlah aku mengaku kalah. Akan tetapi kalau dalam tiga
puluh jurus tak berhasil bagaimana?"
"Tiga
puluh jurus? Tidak berhasil? Tak mungkin!"
"Janji
tinggal janji, jangan menyombong dulu. Wah laki-laki kok ceriwis amat, bicara
saja!"
"Biarlah
aku berjanji, kalau dalam tiga puluh jurus pedangku ini tidak berhasil membabat
putus sebuah di antara empat benda tadi, biarlah aku mengangkat kau menjadi
guruku!"
"Hi-hi-hik,
punya murid macam kau bikin repot saja! Kau berjanji akan merubah sikapmu,
tidak ceriwis dan cerewet lagi dan akan taat serta menuruti segala perintahku,
bersedia menjadi bujang atau pelayanku?"
Merah wajah
Nagai Ici. Inilah penghinaan besar. Akan tetapi dia yakin sekali bahwa dia
tidak mungkin kalah dalam taruhan ini. Andai kata dia kalah, hal itu berarti
bahwa gadis ini benar-benar seorang dewi yang sakti, bahkan lebih sakti dari
pada gurunya di Jepang, maka sudah sepatutnya kalau dia angkat menjadi gurunya
yang baru dan sebagai murid, tentu saja dia harus mentaati gurunya dan rela
mengabdi dan menjadi pelayan.
"Baik,
aku berjanji!" Dia berkata sambil mengacungkan samurainya ke atas di depan
dahi sebagai tanda sumpah.
"Nah,
mulai seranglah!" seru Loan Ki setelah menyimpan pedangnya.
Sengaja ia
memiringkan tubuh dan melambai-lambaikan ujung lengan baju, ikat pinggang, pita
rambut dan ronce pedangnya agar mudah dibabat pedang lawan! Melihat ini, Nagai
Ici berseru keras lalu mulai menyerang. Samurainya berkilat menyambar,
kemerahan dan dengan kecepatan yang dahsyat.
Namun tiba-tiba
jago muda Jepang itu berseru terheran-heran. Dia melihat betapa gadis itu
sekarang bergerak amat aneh, jauh bedanya dengan gerakan tadi ketika melawannya
dengan pedang.
Tadi gadis
itu gerakannya lemah gemulai, seperti seorang penari dari surga, begitu indah
menarik. Sekarang, gadis itu melangkah ke sana ke mari dengan gerakan kaku dan
aneh, terhuyung-huyung serta meloncat-loncat sambil jongkok berdiri tidak
karuan. Tubuhnya ditekuk ke sana ke mari, miring ke kanan kiri depan belakang.
Pendeknya gerakan
gadis itu sekarang sangat buruk dilihat seperti gerakan orang mabuk. Akan
tetapi hebatnya, semua sambaran samurainya mengenai angin belaka dan betapa pun
cepat dan kuat dia menerjang, dia seakan-akan sedang menghadapi dan menyerang
bayangannya sendiri.
Tentu saja
jago muda Jepang ini tidak pernah mimpi bahwa gadis itu sekarang sedang
menggunakan langkah ajaib dari Ilmu Silat Kim-tiauw-kun, ilmu yang tergolong di
deretan paling tinggi di dunia persilatan. Inilah ilmu langkah ajaib yang
diberi nama Hui-thian Jip-te (Terbang ke Langit Ambles ke Bumi) dan yang
dipelajari oleh Loan Ki dari Si Pendekar Buta Kwa Kun Hong!
Kiranya
karena memiliki modal ilmu ini maka Loan Ki berani menantang dan bersombong di
depan Samurai Merah itu. Tadi ia telah mengerahkan seluruh kepandaiannya, namun
ia maklum bahwa untuk merobohkan lawan tangguh ini, bukanlah hal mudah baginya.
Akan tetapi sebaliknya, Samurai Merah juga tak akan mungkin dapat
merobohkannya, apa lagi kalau ia menggunakan Hui-thian Jip-te untuk menyelamatkan
diri.
Makin lama
Nagai Ici menjadi makin penasaran, ia pun bertekad mencapai kemenangan. Ia
mengeluarkan pekiknya yang dahsyat, samurainya menyambar-nyambar laksana naga
sakti mengamuk, namun hanya tampaknya saja samurainya hampir mengenai sasaran,
kenyataannya selalu hanya berhasil membacok angin kosong.
Setelah
belasan kali serangannya tidak berhasil, mulailah dia merasa terkejut, heran,
dan kagum, bahkan kemudian bulu tengkuknya berdiri meremang saking ngerinya
melihat betapa dengan berjongkok dan melompat-lompat seperti katak atau seperti
seorang anak kecil bermain-main, gadis itu dengan sangat mudahnya menghindarkan
diri dari sambaran samurainya! Ilmu ibliskah yang dipergunakan gadis ini?
Tiga puluh
jurus lewat dan jangankan samurai itu mengenai sasaran. Mencium sedikit pun tak
pernah. Nagai Ici adalah seorang lelaki sejati. Tepat sesudah jurus ke tiga
puluh lewat tanpa hasil, dia lalu menghentikan serangannya, melempar samurainya
ke atas tanah lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Loan Ki dan berkata,
"Mulai saat ini murid mentaati segala petunjuk dan perintah Guru."
Terbelalak
mata Loan Ki memandang. Namun yang dipandangnya tetap berlutut dengan kepala
tunduk sehingga yang tampak olehnya hanya rambut hitam digelung ke atas itu.
Inilah sama sekali tidak pernah diduganya! Sama sekali dia tidak pernah mengira
bahwa pemuda ini benar-benar hendak memenuhi janjinya dan mengangkatnya sebagai
guru!
"Gila!"
teriaknya. "Siapa sudi menjadi gurumu? Apa bila kau muridku, berarti aku
gurumu dan kau akan menyebut ibu guru kepadaku? Setan, jangan kau menghina, ya?
Aku belum tua, lebih muda dari padamu, mana bisa menjadi guru orang
dewasa?"
Nagai Ici
mengangkat kedua tangannya ke depan dada memberi hormat dalam keadaan masih
berlutut. "Saya sudah menikmati kehebatan ilmu kepandaian Guru dan sudah
kalah janji. Terserah bagaimana kehendak Guru, murid hanya akan menurut dan
mentaati."
"Baik,
kalau begitu dengarkan perintahku. Pertama, kau tidak boleh berlutut, hayo
lekas berdiri. Aku bukan ratu, bukan pula puteri istana dan kau lebih tua dari
padaku. Bisa kualat aku kalau kau sembah-sembah. Berdirilah!"
Nagai Ici
bangkit berdiri dengan sikap hormat.
"Nah,
sekarang dengarkan perintahku selanjutnya. Namaku Loan Ki, Tan Loan Ki dan di
dunia kang-ouw aku diberi julukan Bi-yan-cu (Si Walet Jelita). Kau tidak boleh
menyebut aku ibu guru, sebut saja namaku dan aku pun akan menyebutmu Nagai Ici
begitu saja. Mengerti?!"
Nagai Ici
mengangguk, di dalam hatinya bingung dan juga geli melihat sikap gadis yang
luar biasa dan yang sekaligus meruntuhkan hatinya ini. Juga kelima orang gadis
tawanan yang sejak tadi menonton, diam-diam saling pandang dan tersenyum
simpul.
"Sekarang
tugasmu yang pertama adalah membantuku mengantar para gadis tawanan itu pulang
ke kampung masing-masing."
"Baik,
Nona. Tapi... izinkanlah murid mengubur..."
Nagai Ici
berhenti bicara ketika melihat betapa Loan Ki melotot marah.
"Mengapa
mesti menyebut diri sendiri murid? Aku bukan gurumu! Bilang saja aku, habis
perkara!"
"Maaf,
aku... aku akan mengubur mayat-mayat itu lebih dulu..."
Loan Ki
mengangguk. Hatinya sangat setuju dan diam-diam dia memuji pribudi orang ini.
Akan tetapi mulutnya mengomel. "Manusia yang jahat seperti binatang,
mayatnya sama pula dengan bangkai, perlu apa banyak rewel? Hayo lekas, cepat
saja kubur dan jangan biarkan aku terlalu lama menunggu."
Nagai Ici
tersenyum dan cepat-cepat dia menggali lubang untuk mengubur mayat-mayat para
penjahat yang menjadi korban samurainya tadi. Ada pun Loan Ki mendekati para
gadis tawanan yang menyambutnya penuh hormat.
Dengan
terharu mereka menjawab pertanyaan Loan Ki tentang kampung halaman mereka dan
tentang pengalaman mereka diculik oleh para penjahat Hui-houw-pang untuk dibawa
secara paksa ke kota raja. Mereka ini kiranya adalah gadis-gadis yang tinggal
di kampung dekat Sungai Kuning, anak-anak dari para petani. Memang mereka
cantik-cantik karena memang mereka adalah kembang yang paling cantik di dalam
dusun masing-masing.
Menurut
penuturan mereka, sudah terlalu sering terjadi perampokan gadis-gadis ini, baik
oleh orang-orang Hui-houw-pang mau pun oleh para bajak Kiang-liong-pang atau
para penjahat lain yang berusaha untuk mengeduk keuntungan sebesar-besarnya
atau mencari muka baik dari kaisar baru dan para pejabat tinggi di kota raja
yang akan menyambut gembira persembahan berupa gadis-gadis cantik itu.
Loan Ki
mendengarkan dengan hati sakit. Ia seorang gadis berjiwa sederhana yang tidak
mengerti tentang tata negara, tidak tahu-menahu akan keadaan di kota raja dan
tentang kehidupan para pembesar. Akan tetapi, mendengar penuturan yang disertai
cucuran air mata oleh para gadis itu, pendekar wanita ini menggertak gigi dan
langsung menyatakan kebenciannya terhadap kaisar baru beserta para kaki
tangannya dengan memaki-maki sejadinya.
Memang,
sangat menyedihkan apa bila dalam sebuah negara, para pembesar yang oleh rakyat
dianggap pemimpin malah melakukan penyelewengan-penyelewengan dan hanya
mementingkan kesenangan pribadi saja. Sudah terlampau banyak contoh terdapat
dalam sejarah kuno betapa kaum ningrat, kaum berkuasa yang duduk di tampuk
pemerintahan, selalu mabuk akan kekuasaan dan apa bila kekuasaan sudah berada
di tangan, langsung dimabuk segala macam kemaksiatan! Mengapa begini?
Mengapa
banyak sekali terjadi contoh-contoh menyolok, di mana bekas-bekas pejuang yang
dahulu ikut berjuang menumbangkan kekuasaan Mongol, yang dahulu benar-benar
menjadi seorang ksatria yang rela dan siap mengorbankan nyawa guna tanah air
dan bangsa, setelah perjuangan berhasil dan dia mendapat kedudukan, lalu
berubah tabiatnya seperti bumi dengan langit, berubah menjadi ningrat atau
pembesar yang menimbun diri dengan perbuatan maksiat? Mengapa terjadi ini
semua? Jawaban satu-satunya kiranya hanya terletak pada diri pribadi
masing-masing!
Kemaksiatan
timbul karena dorongan nafsu yang tak dapat dikekang dan yang memaksa
manusianya melaksanakan dorongannya. Ini hanya dapat terjadi bila si manusia
itu lemah batinnya, lemah pertahanan dalam hatinya sehingga tidak kuat
menghadapi penyerbuan nafsu-nafsu yang laksana iblis setiap saat mendobrak
pertahanan batin manusia.
Kekuatan
batin melemah akibat pengaruh keadaan sekeliling, karena keadaan lingkungan
hidupnya, karena contoh-contoh hidup yang diperlihatkan atasannya. Apa bila
atasannya mabuk kedudukan, bawahannya pun tentulah demikian. Kalau atasannya
mabuk wanita, bawahannya pun tak akan berbeda jauh dan demikian selanjutnya.
Bagaimana
akibatnya kalau kaum ningrat dan para pembesar sudah tenggelam ke dalam
gelombang perbuatan maksiat? Celakalah! Negara akan menjadi lemah dan rakyat
akan menjadi sengsara. Tanda-tanda tentang keadaan para pembesar yang demikian
itu, selalu dapat dilihat dari keadaan di kota raja.
Kalau
seorang pembesar, baik dia berkedudukan tinggi sekali atau pun hanya rendahan,
tenggelam dan mabuk atas kemewahan, itulah tanda bahwa pertahanan batinnya
menjadi lemah dan dia akan mudah tergelincir ke dalam tindakan maksiat. Dan
segala macam tindakan maksiat di dunia ini mempunyai pengaruh seperti madat.
Diberi satu ingin dua, mendapat dua ingin empat dan seterusnya, tak kenal puas
tak kenal kenyang.
Sekali
seorang manusia mabuk akan kedudukan, biar dia sudah menjadi kaisar sekali pun,
dia akan merasa tak puas dan iri melihat kaisar-kaisar di negara lain yang
lebih besar kedudukannya, dan andai kata dia sudah menjadi kaisar yang paling
tinggi kedudukannya di dunia, agaknya dia masih akan mengiri akan kedudukan
Tuhan!
Sekali
seorang manusia sudah mabuk akan wanita, biar dia sudah mempunyai isteri dan
selir sebanyak seribu orang sekali pun, matanya yang berminyak kiranya masih
selalu akan jelalatan (melotot ke sana-sini) untuk mencari seorang wanita
lainnya yang belum dia miliki!
Setelah
selesai mengubur mayat-mayat itu, Nagai Ici lalu diajak Loan Ki mengantar para
gadis bekas tawanan itu. Untung bahwa perkampungan mereka tidak jauh dari hutan
itu sehingga dalam waktu dua hari saja mereka telah dapat sampai di rumah
masing-masing. Tentu saja mereka dan orang-orang tua mereka girang dan terharu bukan
main, berlutut menghaturkan terima kasih kepada Loan Ki dan Nagai Ici. Akan
tetapi kedua orang muda perkasa ini tidak mau menerima atau melayani
penghormatan mereka dan cepat-cepat pergi tanpa pamit lagi.
Pada pagi
hari berikutnya, Loan Ki dan Nagai Ici sudah menunggang kuda berendeng sambil
bercakap-cakap. Nagai Ici kini sudah berubah pakaiannya, merupakan seorang pria
muda yang berpakaian gagah, tidak aneh lagi kecuali pedang samurainya yang
memang berbeda dengan pedang-pedang yang biasa dibawa oleh para ahli silat di
situ.
Loan Ki yang
memaksanya berganti pakaian karena gadis ini tidak ingin melihat teman
seperjalanannya menjadi pusat perhatian dan keheranan orang. Dengan sisa-sisa
uang rampasan dari para perampok Hui-houw-pang, mereka membeli pakaian dan
membeli dua ekor kuda karena Loan Ki bermaksud untuk mengadakan perjalanan
jauh, menyusul ayahnya ke kota raja!
Nagai Ici
yang tunduk benar kepadanya, sungguh penurut dan tidak pernah membantah,
betul-betul menyenangkan hati Loan Ki. Senang dan gembira juga mendapatkan
seorang pengiring yang selain gagah dan tampan, juga amat penurut dan setia
seperti pemuda Jepang itu. Dalam perjalanan pada pagi hari itu, Loan Ki minta
kepada Nagai Ici untuk menceritakan keadaannya!
Menurut
penuturan Nagai Ici, di Jepang pada waktu itu (sekitar tahun 1399-1400) baru
saja terdapat perdamaian setelah puluhan tahun di negeri itu terjadi perebutan
kekuasaan yang mengakibatkan perang saudara terus-menerus. Kemenangan terakhir
pada tahun 1392 tercapai oleh Ashikaga Takauyi dan mulailah di tahun itu apa
yang dinamakan jaman Maromaci karena Ashikaga Takauyi menempatkan markasnya di
bagian kota Kyoto dan bernama Maromaci.
Sungguh pun
kaisarnya masih keturunan keluarga Tenno yang berada di istana Tenno, tapi
keadaan kaisar ini tidak ubahnya seperti boneka belaka. Kekuasaan yang
sebenarnya berada di tangan Ashikaga Takauyi inilah.
Nagai Ici
semenjak belasan tahun sudah menjadi yatim piatu. Selanjutnya dia dirawat dan
dididik oleh gurunya, yaitu seorang daimyo (pendekar besar) yang membantu
perjuangan Ashikaga Takauyi.
Setelah
dalam usia lima belas tahun ikut pula mengayun samurai dan membantu perang
saudara yang sudah hampir berakhir itu, Nagai Ici dinyatakan tamat dari
perguruan dan dia pun diperbolehkan berdiri sendiri menjadi seorang di antara
golongan Samurai! Sepak terjangnya sebagai seorang pendekar amat mengesankan
sehingga pada beberapa tahun kemudian, dalam usia dua puluh tahun saja dia
sudah dijuluki orang Samurai Merah.
Nagai Ici
memiliki darah perantau atau mungkin juga jiwa petualangnya ingin dia puaskan
dengan perantauan. Seluruh negeri Jepang sudah dia jelajahi dan akhirnya karena
pada jaman itu hubungan Jepang dan Tiongkok sudah sangat baik, dia pun
mendengar banyak tentang Tiongkok.
Kebudayaan
dari negara besar itu, termasuk ilmu silatnya, terbawa ke Jepang dan amat
terkenal. Banyak dongeng yang sering didengar Nagai Ici dalam perantauannya,
betapa jago-jago silat di Tiongkok bagai dewa-dewa saja saktinya. Inilah
mula-mula yang menjadi pendorong baginya untuk menyeberangi laut menuju ke
Tiongkok dengan cita-cita untuk mencari seorang guru seperti dewa dan
mempelajari kesaktian!
Lama sekali,
setelah beberapa tahun lagi, barulah dia memperoleh kesempatan berlayar ke
Tiongkok bersama perahu ikan yang dengan berani mati menempuh perjalanan yang
amat berbahaya itu dengan perahu ikan yang kecil.
Seperti
telah kita baca dalam bagian terdahulu, begitu mendarat, Nagai Ici dibikin
kecewa dan marah menyaksikan perbuatan para bajak laut bangsanya yang merampoki
sebuah kota pelabuhan. Oleh karena merasa malu akan perbuatan bangsanya yang di
negerinya terkenal sebagai orang-orang kaya itu, Nagai Ici turun tangan
membasmi dan mengusir para bajak laut Tengkorak Hitam. Dia kemudian menghilang
karena tak ingin dilihat orang lain bahwa dia, seorang Jepang juga, mengamuk
dan membasmi bajak laut bangsanya sendiri.
Sampai
berpekan-pekan dalam perjalanan selanjutnya, Nagai Ici mulai kecewa karena
ternyata bahwa di negara besar yang dahulunya dia sangka segalanya pasti serba
hebat itu, kiranya tidak banyak bedanya dengan negerinya sendiri, kalau tidak
mau dibilang lebih buruk.
Para petani
demikian miskinnya sampai-sampai hidupnya tak layak lagi sebagai manusia. Di
mana-mana banyak terdapat perampok dan para penjahat. Penghuni-penghuni dusun
demikian sederhana hidupnya dan amatlah bodohnya sehingga kadang-kadang Nagai
Ici kehabisan harapan dapat bertemu dengan seorang sakti seperti dewa di antara
bangsa yang malah amat miskin ini.
Demikianlah,
sehingga akhirnya pertemuan dengan Loan Ki sangat mengagumkan dan menggirangkan
hatinya. Mulailah timbul harapannya. Apa bila ada seorang gadis remaja sehebat
ini, tidak mustahil dia akan bertemu dengan seorang guru sesakti dewa. Baru
gadis ini saja, bukan main! Belum pernah dia mendengar, apa lagi menyaksikan
seorang dara remaja memiliki kepandaian seperti ini.
Samurainya
itu tidak berdaya sama sekali terhadap gadis ini yang bertangan kosong!
Bukankah ini aneh sekali? Gurunya sendiri, Daimyo Matsumori yang sangat terkenal
di Jepang, belum tentu berani menghadapi tiga puluh jurus serangan samurainya
dengan tangan kosong tanpa membalas!
Inilah yang
membuat Nagai Ici menjadi penurut. Biasanya, di negerinya kaum wanita tidak
mendapat tempat terlalu tinggi, dianggap sebagai mahkluk lemah yang tugasnya
hanya menjadi penghibur kehidupan pria belaka. Kini dia bertemu ‘batunya’,
seorang dara lincah yang hebat, yang sekaligus membangkitkan harapannya untuk
mendapatkan guru pandai di samping sekaligus menjatuhkan hatinya pula, membuat
dia bertekuk lutut di dalam hati, tak kuasa menentang sinar mata jeli dari si
juwita itu.
Anehkah
kalau jago muda dari Jepang itu tersenyum-senyum gembira, wajahnya berseri
matanya bersinar-sinar ketika dia mengendarai kuda di samping Loan Ki…..?
Setelah Kian
Bun Ti menduduki singgasana menjadi kaisar dan terkenal juga dengan nama Hui Ti
(tahun 1399), timbullah persaingan hebat di kota raja untuk memperebutkan
kedudukan. Sebagian banyak pangeran tua merasa tidak puas melihat Hui Ti
menjadi kaisar, karena mereka sudah mengenal Pangeran Kian Bun Ti sebagai orang
muda yang hanya mengejar kesenangan belaka.
Akan tetapi,
para pangeran muda dan para pembesar yang mendapat kedudukan baik setelah Kian
Bun Ti naik tahta, tentu saja mati-matian membela kaisar baru ini. Dengan
demikian, maka diam-diam terjadilah permusuhan. Keadaan kota raja seperti api
dalam sekam, sewaktu-waktu tentu akan meletus.
Walau pun
kaisar Hui Ti yang muda itu sendiri adalah seorang yang keahliannya hanya
mengejar wanita cantik dan bersenang-senang, akan tetapi para pembantunya yang
juga mempertahankan kedudukan mereka masing-masing merupakan orang-orang pintar
yang banyak pengalaman. Oleh karena itu, untuk memperkuat kedudukan kaisar baru
ini, para menteri dan pembesar tinggi, terutama dari golongan bu (militer)
segera memperkuat penjagaan, memperkuat barisan dan mendatangkan banyak
ahli-ahli dari luar. Selain itu, setiap hari selalu diadakan pembersihan untuk
membasmi mereka yang dianggap sebagai lawan, mereka yang dianggap membahayakan
kedudukan Hui Ti beserta para pembesar pendukungnya.
Seperti
sudah lazim terjadi, bila mana ada angin puyuh bertiup, yang rontok bukan hanya
daun-daun kering dan buah-buah busuk, juga daun-daun segar dan buah-buah muda
bisa saja turut terlanda angin puyuh dan rontok semua. Dalam keadaan negara pun
demikian. Bila mana keributan terjadi, yang menjadi korban bukan hanya mereka
yang memang tersangkut, juga yang tidak tahu apa-apa bisa saja menjadi korban.
Sudah tentu
saja menurut rencana para pembesar yang mengatur ini semua, yang harus
dibersihkan adalah mereka yang berbahaya, mereka yang diam-diam memiliki niat
untuk melawan dan menumbangkan kekuasaan kaisar baru untuk diganti dengan
kaisar pilihan mereka sendiri. Akan tetapi dalam pelaksanaannya banyak sekali
terjadi penyelewengan dan penyalah gunaan kekuasaan sehingga banyaklah terjadi
pemerasan, penyelewengan dan kejahatan yang berdasafkan fitnah.
Bisa saja
terjadi seorang petugas kecil mendatangi seorang hartawan dan melancarkan
fitnah keji bahwa hartawan itu termasuk anti kaisar baru. Kemudian dengan
alasan akan ‘melindungi’, si petugas kecil itu menerima ‘uang jasa’ yang
jumlahnya melebihi besarnya jumlah upahnya sepuluh tahun! Ini baru contoh
kecil-kecilan saja, banyak terjadi hal yang lebih hebat dari pada contoh itu.
Kota raja
goncang karena pertentangan-pertentangan ini. Penduduk kota raja dicekam
kekuatiran. Banyak malah yang pergi mengungsi keluar daerah, memilih tempat
tinggal di dusun-dusun jauh dari kota raja, di mana rakyatnya tidak sedikit pun
merasakan akibat ketegangan politik di kota raja.
Akan tetapi
ketenteraman ini pun hanya sementara saja mereka rasakan, karena tak lama
kemudian pembersihan dilakukan sampai ke dusun-dusun pula di mana tangan-tangan
iseng dari manusia-manusia berbatin rendah itu menyebar fitnah ke sana ke mari
sambil mencari kesempatan mengeduk kekayaan sebanyak mungkin.
Kota raja
dijaga ketat. Semua pintu gerbang kota raja dijaga oleh para pasukan pilihan,
dan di dalam kota raja sendiri penuh dengan mata-mata yang melakukan
penyelidikan supaya jangan sampai kota raja diselundupi kaki tangan lawan.
Memang paling repot menghadapi lawan yang tidak diketahui dari mana datangnya
ini. Lawan-lawan yang bisa saja menyelundup ke dalam golongan pedagang,
pengemis, buruh, seniman, malah bisa jadi menyelundup ke dalam golongan
pembesar dan prajurit sendiri.
Pada suatu
pagi, pagi-pagi sekali di luar pintu gerbang sebelah utara, tampak seorang
laki-laki muda yang pakaiannya sederhana tapi bersih, berdiri dengan tongkat di
tangan dan kepala tunduk. Orang ini bukan lain adalah Si Pendekar Buta, Kwa Kun
Hong.
Telah kita
ketahui bahwa setelah berpisah dari Song-bun-kwi, Pendekar Buta ini pergi ke
kota raja. Banyak hal harus dia selidiki, selain persoalan yang menyangkut
Thai-san-pai juga soal mahkota kuno yang mengandung rahasia kenegaraan besar
itu, yang sekarang berada dalam bungkusan pakaian yang digendongnya. Biar pun
dia buta, namun karena kepandaiannya yang tinggi, dia dapat juga melakukan
perjalanan cepat.
Sambil
bertanya-tanya di sepanjang jalan, akhirnya dia sampai juga di luar pintu
gerbang sebelah utara. Baru saja dia mendengar keterangan bahwa tidak mudah
untuk memasuki kota raja, karena setiap orang pasti dicurigai dan pintu gerbang
dijaga keras. Sedikit saja menimbulkan kecurigaan para penjaga, tentu akan
ditangkap dan dimasukkan tahanan.
Inilah yang
membuat Kun Hong ragu-ragu dan hati-hati. Dia tidak takut dicurigai, tidak
takut pula ditangkap. Akan tetapi karena mahkota kuno itu berada padanya,
amatlah tidak baik kalau sampai dia tertawan. Mahkota itu harus dia jaga, kalau
perlu berkorban nyawa.
Betapa pun
juga, pada dasarnya Kun Hong sudah mempunyai watak berhati-hati, tidak mau
sembarangan mempercayai berita yang didengamya tentang keburukan seseorang. Dia
sudah mendengar dari Tan Hok tentang Pangeran Kian Bun Ti yang sekarang sudah
menjadi kaisar dan bahwa hal ini amatlah buruk akibatnya.
Pangeran itu
bukanlah seorang yang patut menjadi kaisar. Karena itulah maka mendiang kaisar
tua sudah meninggalkan surat rahasia yang disimpan di dalam mahkota kuno itu,
surat rahasia yang memberi kuasa penuh kepada Pangeran Tua Yung Lo di utara
untuk bertindak terhadap kaisar baru.
Akan tetapi,
Kun Hong tidak merasa puas kalau tidak mendengar sendiri keadaan di kota raja.
Oleh karena ini, dia sengaja pergi ke kota raja hendak melakukan penyelidikan
dan mencari sahabat-sahabatnya, yaitu perkumpulan Hwa-i Kaipang. Dia dapat
mempercayai Hwa-i Kaipang, karenanya dia hendak minta bantuan kepada mereka,
selain menyelidiki tentang keadaan kaisar baru, juga menyelidiki tentang
musuh-musuh Thai-san-pai itu.
Selagi Kun
Hong berdiri ragu-ragu di luar pintu gerbang tembok kota raja, menimbang-nimbang
bagaimana dia dapat memasuki kota raja yang terjaga kuat itu, tiba-tiba saja
dia mendengar langkah kaki dua orang mendekatinya dari arah belakang.
Dia mengira
bahwa dua orang itu tentulah orang-orang yang lewat dan akan memasuki pintu
gerbang, maka dia tidak menaruh perhatian. Baru dia kaget dan heran ketika dua
orang itu berhenti di depannya dan terdengar suara halus seorang laki-laki
muda,
"Aduh
kasihan, semuda ini menanggung derita, tak pandai melihat! Saudara yang buta,
kau hendak pergi ke manakah? Biarlah aku menunjukkan jalan yang hendak kau
tuju."
Dengan
pendengarannya yang tajam Kun Hong dapat mengerti bahwa dia berhadapan dengan
seorang pria muda, paling banyak hanya beberapa tahun lebih tua dari padanya,
seorang yang gerak-gerik dan tutur bahasanya halus, pantasnya seorang muda
terpelajar. Akan tetapi dalam suara itu juga terkandung tenaga seorang ahli
tenaga dalam, seorang yang biasa melakukan semedhi dan menguasai peraturan
bernapas.
Kun Hong
cepat menjura dengan hormat dan berkata sambil tersenyum, "Terima kasih
banyak. Anda baik hati benar, sudi memperhatikan seorang buta seperti
saya."
Orang itu
tertawa, suara ketawanya lembut seperti ketawa wanita. "Aku dapat menduga
bahwa kau bukanlah seorang buta biasa saja. Wajah dan pakaianmu menunjukkan
bahwa kau seorang yang berpengetahuan dan terdidik. Kata-kata yang kau ucapkan
memperkuat dugaanku. Sahabat, jangan kau curiga. Aku The Sun bermaksud baik
terhadap seorang buta yang menarik hatiku. Apakah kau hendak memasuki kota
raja? Hayo, engkau boleh bersamaku dan aku tanggung kau takkan diganggu para
penjaga goblok itu. Aku sudah mereka kenal baik."
Berdebar
hati Kun Hong. Ia memang tadinya menaruh hati curiga, akan tetapi mendengar
penawaran ini, dia benar-benar bersyukur di dalam hati. Ini kesempatan terbaik
baginya. Cepat-cepat dia menjura lagi dan berkata,
"Saudara
The benar-benar budiman. Aku Kwa Kun Hong seorang buta sangat berterima kasih
padamu. Sesungguhnyalah, aku bermaksud memasuki kota raja mengadu untung, siapa
tahu di kota raja aku dapat menolong banyak orang dan mendapat banyak
rejeki."
Hening
sejenak, agaknya The Sun itu mengamat-amatinya baik-baik, lalu terdengar dia
berkata, "Ahh, saudara Kwa, apakah kau seorang tukang gwamia (ahli
nujum)!"
Memang
banyak terdapat orang-orang buta yang membuka praktek sebagai ahli nujum,
menceritakan nasib orang-orang dengan cara meraba telapak tangan mereka. Tentu
saja, seperti biasa, ahli-ahli nujum ini sebagian besar hanyalah tukang bohong
belaka, mencari korban di antara orang-orang bodoh yang mudah ‘dikempongi’ dan
ditarik uangnya.
Kun Hong
menggeleng kepala. "Bukan, aku hanyalah seorang tukang obat biasa, saudara
The."
"Ah,
begitukah? Baiklah, mari kita memasuki kota raja dan kau akan kuantarkan ke
pusat kota yang paling ramai. Mudah-mudahan saja kau akan dapat menyembuhkan
banyak orang sakit dan mendapatkan banyak rejeki seperti yang kau
harapkan."
Sambil
berkata demikian, orang itu menggerakkan tangannya hendak menangkap tongkat Kun
Hong. Akan tetapi ternyata dia hanya menangkap angin saja karena seperti tanpa
sengaja, Kun Hong sudah lebih dahulu menarik tongkatnya sambil tertawa.
"Terima
kasih atas kebaikanmu. Marilah, aku akan mengikuti di belakangmu."
The Sun
tertawa, lalu berjalanlah dia perlahan-lahan menuju ke pintu gerbang, diikuti
oleh Kun Hong. Dengan pendengaran telinganya Kun Hong tahu bahwa orang ke dua
juga ikut berjalan di samping The Sun dan diam-diam dia terkejut juga karena
orang itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup hebat, akan
tetapi masih juga tidak mampu menandingi kepandaian The Sun yang muda karena
jejak kaki The Sun ini sama sekali tidak mengeluarkan suara dan oleh
pendengarannya yang amat tajam sekali pun hanya terdengar sedikit seperti
langkah seekor kucing saja.
Kun Hong
mulai menaruh curiga. Terang bahwa orang yang mengaku bernama The Sun bersama
temannya yang tak diperkenalkan kepadanya ini adalah dua orang yang memiliki
kepandaian silat tinggi. Kebetulankah The Sun ini seorang yang berbudi dan
menaruh kasihan kepadanya? Ataukah memang sengaja hendak mendekatinya?
Dia harus
berhati-hati. Karena kehati-hatiannya ini pulalah maka tadi dia sengaja tidak
membiarkan tongkatnya dipegang orang itu. Tongkatnya merupakan senjata yang
paling dia andalkan.
Ketika
mereka melewati pintu gerbang memasuki kota raja, Kun Hong melangkah dengan
hati-hati dan telinganya mendengarkan penuh perhatian. Tak terjadi sesuatu pun,
kecuali agaknya ada seorang di antara para penjaga yang menegur dengan suara
menghormat.
"Sepagi
ini The-kongcu (tuan muda The) baru pulang, agaknya mendapatkan kesenangan
malam tadi. Selamat pagi, Kongcu!"
Kemudian
disusul suara penjaga ke dua, "Lo-ji, kau benar lancang mulut! Seorang
siucai (lulusan pelajar) seperti The-kongcu mana dapat kau samakan dengan kau
yang suka keluyuran di waktu malam? Kongcu, kalau Kongcu kehendaki, biar saya
mewakili Kongcu menampar muka Lo-ji yang kurang ajar ini!"
The Sun itu
tertawa perlahan, agaknya dia amat dihormati, disegani, dan juga disukai para
penjaga, terbukti dari keramahannya dan dari sikap para penjaga yang walau pun
sangat menghormatinya dan sangat takut kepadanya, namun berani pula
bermain-main.
"Sudahlah,
sepagi ini sudah berkelakar. Jaga saja baik-baik sampai kalian diganti penjaga
baru. Aku hendak mengajak sahabat buta tukang obat ini memasuki pintu gerbang,
aku yang menanggung dia."
"Silakan...
silakan...," serempak mulut penjaga berkata ramah.
Setelah
mereka berhasil melewati pintu gerbang dan tiga lapis penjagaan lagi, Kun Hong
mendengar The Sun berkata, "Mulai sekarang tidak ada penjagaan lagi."
Kun Hong
menjura dengan hormat, "Saudara ternyata adalah seorang kongcu dan juga
seorang siucai, harap suka memaafkan karena mata saya buta, saya tidak tahu dan
telah berlaku kurang hormat. Budi Kongcu sangat besar, Kongcu amat baik kepada
saya dan terima kasih saya ucapkan."
"Ah,
saudara Kwa Kun Hong, kenapa begini banyak sungkan? Biar pun kau seorang yang
menderita kebutaan, akan tetapi aku pun dapat menduga bahwa kau bukan seorang
biasa yang tidak tahu apa-apa, Sikapmu penuh sopan dan kau tahu aturan, tanda
bahwa kau pun seorang yang pernah mempelajari kebudayaan. Marilah, mari kuantar
kau ke tempat yang ramai agar di sana kau dapat mulai dengan pekerjaan itu."
Kembali Kun
Hong menjura. Di dalam hati dia merasa amat curiga, akan tetapi di luarnya dia
pura-pura bersikap tidak enak.
"Mana
saya berani mengganggu Kongcu lebih lama lagi? Budi Kongcu membawa saya masuk
saja sudah amat besar. Harap Kongcu meninggalkan saya di sini saja, biar saya
berjalan perlahan sambil mencari-cari langganan. Dengan tanya-tanya agaknya
saya akan sampai juga ke tempat ramai."
"Ihh,
mana bisa begitu? Aku pun hendak menuju sejalan denganmu. Marilah, tidak usah
sungkan."
Telinga Kun
Hong yang tajam mendengar betapa orang ke dua yang sejak tadi berjalan bersama
The Sun, kini berjalan cepat sekali meninggalkan tempat itu. Dia heran, akan
tetapi tidak bertanya dan pura-pura tidak tahu. Karena The Sun mendesaknya, tak
dapat pula dia menolak dan terpaksa Kun Hong mengikuti pemuda itu menuju ke
tengah kota.
Makin lama
makin ramailah orang hilir-mudik dan makin ramai orang bercakap-cakap. Biar pun
sepasang mata Kun Hong tidak dapat melihat lagi, akan tetapi dahulu sebelum dia
menjadi buta kedua matanya, pernah dia datang ke kota raja, malah pernah dia
menjadi tamu dari Pangeran Kian Bun Ti yang sekarang menjadi kaisar. Oleh
karena itu, sekarang dia dapat membayangkan keadaan kota raja ini dengan hanya
mendengar keramaian di sekelilingnya dengan pendengaran saja.
"Saudara
Kwa, mari kita masuk ke rumah makan ini dulu. Makan dahulu sebelum bekerja
adalah hal yang paling baik," kata The Sun sambil tertawa gembira.
Kun Hong
mengerutkan keningnya. Terlalu baik orang ini. Apakah dia benar-benar baik
terhadapnya, ataukah ada sesuatu yang tersembunyi di balik keramahan ini? Mana
ada seorang siucai yang agaknya kaya raya dan berpengaruh di kota raja suka
menolong, malah sekarang hendak menjamu seorang buta seperti dia? Akan tetapi,
semua ini baru dugaan dan amatlah tidak baik kalau dia menolak tawaran dan
keramahan orang, apa lagi memang dia merasa tertarik hatinya untuk mengetahui
apa gerangan yang menjadi dasar keramahan orang ini.
Sambil
mengangguk-angguk dan berucap terima kasih dia mengikuti The Sun memasuki rumah
makan yang sudah menyambut mereka dengan asap dan uap yang gurih dan sedap.
Diam-diam timbul pula harapannya untuk dapat bertemu dengan seorang anggota
Hwa-i Kaipang, karena bukankah sudah lazim kalau pengemis-pengemis berada di
dekat rumah makan untuk mengemis sisa makanan?
Pesanan
masakan The Sun cepat dilayani oleh para pelayan yang juga menyebutnya kongcu
dan melayaninya dengan sikap hormat.
"Mari
silakan, saudara Kwa," pemuda itu berkata sambil mengisi cawan arak,
kemudian menyerahkannya kepada Kwa Kun Hong.
Orang buta
ini dengan berterima kasih tetapi tetap berhati-hati segera mulai makan minum
dengan pengundangnya yang aneh dan ramah.
Rumah makan
itu tidak banyak didatangi tamu pada saat itu. Kun Hong mendengar ada beberapa
orang tamu saja di meja sebelah kanannya. Tiba-tiba dia mendengar beberapa
orang memasuki rumah makan itu. Dari bunyi derap langkah mereka tahulah dia
bahwa orang-orang ini adalah ahli-ahli silat, malah beberapa orang di antaranya
adalah ahli silat tinggi. Dia mulai waspada.
Sukar
menghitung tepat di tempat gaduh itu, akan tetapi dia tahu bahwa sedikitnya
tentu ada lima orang yang datang ini. Lalu terdengarlah ribut-ribut di sebelah
kanannya, dan terdengar suara kereng berkata, "Diam semua, duduk di
tempat. Buka semua buntalan, kami datang melakukan penggeledahan!"
Kun Hong
mengerutkan keningnya dan bertanya lirih kepada The Sun, "Saudara The Sun,
apakah yang terjadi di sana?"
The Sun
tertawa, "Ah, tidak apa-apa, biasa saja terjadi di kota raja. Penggeledahan,
apa lagi? Di kota raja sekarang ini banyak terdapat orang-orang jahat, dan
semenjak kaisar muda menggantikan mendiang kaisar tua, banyak sekali terjadi
keributan. Hampir setiap hari ada orang yang ditangkap dan dihukum mati karena
dia menjadi mata-mata musuh dan pengkhianat."
Kun Hong
kaget sekali, "Kalau begitu, kita nanti juga akan digeledah?"
Dia tahu
bahwa kalau buntalannya digeledah dan mahkota itu dilihat oleh para pemeriksa,
tentu dia akan ditangkap. Ini masih tidak hebat, lebih celaka lagi mahkota itu
tentu akan dirampas dan dengan demikian, surat rahasia itu ikut terampas pula
sehingga segala yang telah dia lakukan selama ini untuk mendapatkan kembali
mahkota itu sia-sia belaka!
"Ahh,
terhadap aku mereka takkan menggeledah," kata The Sun tertawa,
"karena mereka semua sudah mengenalku. Mereka hanya menggeledah
orang-orang asing yang datang ke kota raja dan orang-orang yang mencurigakan
saja."
Meski pun
Kun Hong tidak gentar menghadapi para penggeledah itu, akan tetapi dia juga
merasa tidak enak kalau belum apa-apa dia harus menimbulkan keributan di kota
raja. Selama dia belum dapat menemukan orang-orang Hwa-i Kaipang dan masih
membawa mahkota itu, tidak baik menimbulkan keributan dan menjadi perhatian
para penjaga kota. Dia segera bangkit berdiri dan berkata,
"Saudara
The, banyak terima kasih atas segala kebaikanmu. Kini aku sudah kenyang dan
hendak pergi saja, mulai dengan pekerjaanku."
The Sun
memperdengarkan suara kaget, "Ehhh, saudara Kwa. Mengapa tergesa-gesa?
Apakah kau takut digeledah? Kau kan hanya tukang obat, yang kau bawa di
buntalanmu, tentu hanya pakaian dan obat-obatan. Mengapa takut
kelihatannya?"
"Tidak...
tidak takut. Akan tetapi segan juga aku kalau harus digeledah. Siapa tahu kalau
obat-obatku bisa hilang sebagian."
Tiba-tiba
The Sun memegang tangan kiri Kun Hong. "Saudara Kwa, percayalah kepadaku.
Aku akan melindungimu dari tangan anjing-anjing itu," bisiknya.
Kun Hong
berdebar hatinya. Tidak salahkah pendengarannya? Siapa yang menyebut para
pembantu kaisar dengan sebutan ‘anjing’ atau ‘anjing penjilat’, berarti orang
itu termasuk golongan anti kaisar? Betulkan The Sun ini seorang yang segolongan
dengan Tan Hok? Segolongan dengan Pek-lian-pai dan para orang gagah yang
menentang kaisar baru yang dikatakan tidak tepat menduduki singgasana karena
wataknya yang tidak baik? Dia tidak mau percaya begitu saja karena suara orang
muda ini mengandung getaran yang sukar ditangkap dasarnya.
The Sun
meneriaki pelayan dan cepat membayar harga makanan sambil memberi persen besar
kepada pelayan. Kemudian dia menggandeng tangan Kun Hong dan diajak keluar.
Bisiknya perlahan, "Saudara Kwa, apakah kau membawa sesuatu yang kau tidak
suka dilihat oleh anjing-anjing itu?"
Sukar bagi
Kun Hong untuk menjawab, maka dia diam saja.
Selagi
mereka berdua berjalan menuju ke pintu, tiba-tiba terdengar oleh Kun Hong orang
membentak, "Hei, orang buta! Berhenti dulu kau, tidak boleh ke luar
sebelum digeledah!"
Kun Hong
berhenti, siap melawan untuk menyelamatkan surat rahasia di dalam mahkota.
The Sun
segera berkata nyaring, "Sahabat Kwa yang buta ini datang bersamaku, apa
kalian tidak lihat? Dia tamuku, seorang ahli pengobatan yang hanya membawa
pakaian dan obat-obatan. Apa perlunya digeledah kalau aku sudah
menanggungnya?"
Terdengar
oleh Kun Hong suara pimpinan para penggeledah itu yang cukup keras dan
mengandung tenaga, "Maaf The-kongcu. Kami mendapat perintah atasan agar
hari ini kami menggeledah setiap orang yang belum pernah kami geledah. Orang
buta ini belum pernah kami lihat, terpaksa kami tidak berani lepaskan sebelum
digeledah karena kalau kami lakukan hal ini, tentu kami akan mendapat hukuman."
The Sun
berkata mengejek, "Hemmm, kalau begitu lekas selesaikan dulu penggeledahan
orang-orang itu, kami menanti di sini." Dia menarik tangan Kun Hong diajak
duduk di atas bangku di pojok. Lalu berbisik. "Lekas, kau titipkan surat
rahasia itu kepadaku!"
Kun Hong
kaget dan heran bukan main. Apa yang dimaksudkan oleh The Sun? Apakah yang
dimaksudkan surat rahasia yang berada di dalam mahkota? Bagaimana orang ini
bisa tahu? Dia sendiri yang selalu membawa mahkota itu, tidak tahu di mana
disimpannya surat itu.
"Apa
maksudmu?" bisiknya tak mengerti, atau pura-pura tidak mengerti. "Aku
tidak membawa surat apa-apa."
"Ah,
Saudara Kwa yang baik, masih tidak percayakah kau kepadaku?" bisik The
Sun, lalu ditambahkan lebih lirih lagi, "Aku segolongan denganmu... aku
membantu perjuangan... aku membantu utara..."
Kun Hong
lebih tidak mengerti lagi. Dia sendiri pun tidak tahu dia itu termasuk golongan
mana karena biar pun dia mendengar dari Tan Hok tentang pergerakan dan
pertentangan di kota raja, namun kalau dia belum mendapat kepastian siapa yang
tidak benar dalam hal ini, bagaimana dia bisa membantu satu pihak?
Hanya dia
dapat menduga bahwa agaknya pemuda she The ini adalah pendukung Raja Muda Yung
Lo di utara. Padahal surat yang disimpan di dalam mahkota itu pun adalah surat
rahasia dari mendiang kaisar untuk diserahkan kepada Raja Muda Yung Lo. Tidak
akan kelirukah dia kalau mahkota itu dia berikan kepada pemuda ini supaya
disampaikan kepada yang berhak menerimanya?
Karena
keraguan Kun Hong ini, dia terlambat. Terdengar derap langkah menghampiri dan
bentakan orang tadi.
"Heii,
orang buta. Hayo turunkan buntalanmu itu dan buka. Juga pakaian luarmu, biarkan
kami menggeledahmu!"
Kun Hong
berdebar, lalu menjawab, "Saya hanya seorang tukang obat biasa saja, tidak
membawa sesuatu, harap kalian jangan mengganggu aku seorang buta..."
"Ha-ha-ha,
kau kira akan mampu mengelabui aku Bhe Hap Si Malaikat Bumi? Ha-ha-ha, orang
buta, kau menyerahlah!"
Angin
cengkeraman yang amat dahsyat menuju dada Kun Hong. Dia merasa kaget sekali.
Ini bukanlah serangan orang biasa, melainkan jurus yang dikeluarkan oleh
seorang ahli silat kelas tinggi! Masa kalau pangkatnya hanya tukang geledah
saja memiliki kepandaian begini tinggi?
Pada saat
itu juga dari kanan dan kiri menyambar pula angin pukulan yang membuktikan
jelas bahwa penyerang-penyerangnya merupakan orang-orang yang memiliki
kepandaian hebat. Kun Hong cepat menggerakkan kedua kakinya dan dengan langkah
ajaib dia dapat menghindarkan tiga serangan sekaligus itu.
"Ha-ha-ha,
kau bilang seorang buta biasa?" Bhe Hap berseru mengejek dan merasa amat
penasaran sekali, lalu menerjang dengan hebat.
Kun Hong
diam-diam mengeluh. Mau tidak mau, belum apa-apa dia sudah menimbulkan
keributan yang tentu akan berekor tidak baik. Dia telah siap menggunakan
kepandaiannya untuk merobohkan orang-orang ini ketika tiba-tiba The Sun
membentak,
"Orang-orang
tak tahu aturan. Kalian berani menghina tamuku?"
Kun Hong
merasa betapa angin menyambar di sampingnya ketika pemuda yang ramah itu
berkelebat ke depannya. Terdengar suara gaduh disusul keluhan orang.
"The-kongcu
jangan ikut campur!" Bhe Hap membentak.
Akan tetapi
The Sun menjawab. "Menyerang tamuku sama dengan menghinaku!"
"The-kongcu,
kami bukan bermaksud begitu..." Bhe Hap membantah.
"Sudahlah,
bebaskan saudara Kwa ini dari pemeriksaan, kalau tidak, terpaksa aku akan
melawan kalian."
"Hemmm,
terpaksa pula kami menggunakan kekerasan!" bantah Bhe Hap.
Terjadilah
pertandingan hebat di rumah makan itu. Kun Hong bingung. Haruskah dia turut
membantu? Dengan pendengaran telinganya, dia dapat menangkap betapa gerakan Bhe
Hap dan empat orang pembantunya yang lain amat kuat, cepat dan juga memiliki
tenaga lweekang yang tinggi.
Akan tetapi
agaknya orang muda she The ini benar-benar mempunyai kepandaian hebat seperti
yang sudah diduga oleh Kun Hong. Buktinya tadi hanya dalam segebrakan saja
telah merobohkan seorang lawan dan kini dikeroyok lima tidak terdesak sama
sekali.
Meja kursi
beterbangan dan secara kebetulan agaknya beberapa kali dengan amat keras meja
dan kursi melayang ke arah tubuh Kun Hong. Terpaksa pemuda ini mengelak dan hal
ini tentu saja mengherankan mereka yang melihatnya. Seorang buta bagaimana bisa
mengelak dari sambaran meja kursi itu?
Kun Hong
yang berdiri tegak dan diam memperhatikan jalannya pertandingan, menjadi
terheran-heran ketika tiba-tiba saja Bhe Hap dan teman-temannya meloncat keluar
rumah makan dan orang itu berkata, "Hebat kepandaianmu, The-kongcu. Akan
tetapi, si buta itu pasti akan dapat tertawan oleh kami!" Lalu terdengar
mereka itu berlarian pergi.
The Sun
menangkap tangan Kun Hong.
"Lekas,"
bisiknya, "mereka itu hanya untuk sementara saja mampu kuusir. Mereka
tentu akan datang kembali dengan teman yang lebih banyak, malah jika
tokoh-tokoh pengawal yang lebih kosen datang, kita bisa celaka. Mari cepat kau
ikut denganku."
Kun Hong
tidak mendapat jalan lain kecuali ikut berlarian cepat bersama The Sun, Dia
tidak tahu ke mana dia dibawa, jalannya berliku-liku dan lebih satu jam lamanya
mereka melarikan diri. Akhirnya mereka berhenti di tempat yang sunyi dan The
Sun mengajak Kun Hong memasuki sebuah rumah tua di pinggir kota yang sunyi ini.
"Di
manakah kita ini?" Kun Hong bertanya, tongkatnya meraba lantai yang sudah
bolong-bolong dan dinding yang tua dan retak-retak.
"Dalam
sebuah bangunan bekas kuil tua yang tak dipakai lagi. Di sini kita aman, takkan
ada yang menduga bahwa kau akan bersembunyi di tempat ini. Mari masuklah saja,
di belakang ada sebuah kamar yang cukup bersih, kau boleh bersembunyi di
sana."
"Saudara
The Sun, kau baik sekali..."
Kun Hong
menangkap lengan tangan kanan orang muda itu. Gerakannya ini cepat sekali dan
memang sangat mengherankan bagaimana seorang yang tidak pandai melihat dapat
menangkap lengan orang hanya dengan mendengarkan gerakan orang itu.
"Ahhh...!"
Kun Hong menghentikan kata-katanya tadi dan kini dia berseru kaget sambil
meraba-raba lengan kanan The Sun. "Saudara The, kau... kau
terluka...?"
"Wah,
hebat sekali kau, Kwa-lote! Begitu memegang lenganku kau sudah tahu bahwa aku
terluka. Benar-benar ilmu pengobatan yang kau miliki amat tinggi!" The Sun
berseru kaget dan heran.
Tapi Kun
Hong tidak mempedulikan pujian ini, melainkan segera memeriksa lengan kanan
sampai ke pundak, "Luka ini baru saja. The-kongcu... kau terluka ketika
bertempur tadi!" Suara Kun Hong agak gemetar saking terharu mengingat
betapa orang yang baru saja bertemu dengannya ini telah membelanya sampai
terluka.
"Kwa-lote,
jangan panggil kongcu kepadaku, bikin aku tidak enak saja. Aku sedikit lebih
tua darimu, sebut saja twako kepadaku. Tentang luka ini..." dia menarik
napas panjang. "Memang anjing-anjing itu amat lihai, maka untung tadi kita
sempat melarikan diri. Kalau datang tokoh yang lebih sakti, celaka..."
Kun Hong
terheran. "Tapi... bukankah kau tadi berhasil mengusir mereka? Bagaimana
kau bisa terluka?"
The Sun
tertawa mengejek. "Kadang-kadang dengan kepandaian silat saja tidak cukup
untuk mencapai kemenangan, Kwa-lote. Sering kali terjadi, kecerdikan dan akal
bahkan dapat mengalahkan kepandaian silat. Di antara para petugas istana tadi,
terdapat seorang ahli pukulan Gin-kong-jiu (Tangan Sinar Perak) yang lihai,
karena selain ilmu pukulan ini mengandung hawa beracun, juga dilakukan dengan
mengerahkan tenaga Jeng-kin-kang (Tenaga Seribu Kati). Tadi dalam pengeroyokan
dia sudah menyerangku dengan pukulan itu. Karena menghadapi pengeroyokan
orang-orang yang berkepandaian tinggi, aku tidak memiliki kesempatan mengelak
lagi, terpaksa aku menyambut pukulan itu dengan tangan kananku. Aku tahu bahwa
pada saat itu aku menderita luka dalam, akan tetapi kalau hal itu
kuperlihatkan, kita tentu sudah celaka tadi. Aku pura-pura tidak merasa akan
hal ini, malah menyerang mereka kalang-kabut. Hal inilah yang membuat mereka
kaget dan jeri, mengira bahwa pukulan hebat itu sama sekali tidak
mempengaruhiku dan ini pula yang menyebabkan mereka mengaku kalah dan melarikan
diri. Ha-ha-ha, Kwa-lote, kau pikir, bukankah sekali ini ilmu silat kalah oleh
akal dan kecerdikan?"
"The-twako
sungguh-sungguh gagah dan berbudi. Untuk aku seorang buta, engkau sudah
mengorbankan diri menderita luka, membuat aku merasa tidak enak sekali."
"Kwa-lote,
di antara kita, perlu apa bicara sungkan seperti itu? Sekali bertemu muka aku
tahu bahwa kau bukanlah seorang tukang obat buta biasa saja. Malah aku hampir
merasa yakin sekali bahwa kaulah orangnya yang disebut-sebut para teman
seperjuangan yang mendesas-desuskan bahwa surat rahasia itu berada di
tanganmu."
"Surat
rahasia ? Apa maksudmu ?"
The Sun
terdengar kecewa sekali. "Ah, sampai sekarang kau agaknya masih belum mau
percaya padaku, Kwa-lote. Semua orang di antara para pejuang tahu bahwa surat
rahasia peninggalan mendiang kaisar tua berada di tangan bekas pembesar Tan
Hok, kemudian dikabarkan bahwa kaulah yang agaknya sudah menguasai surat itu.
Kalau memang betul demikian, akulah orangnya yang akan membawa dan mengantarkan
surat itu kepada Raja Muda Yung Lo di utara."
Berdebar
jantung Kun Hong. Ah, kiranya pemuda gagah ini adalah utusan atau pembantu dari
raja muda dari utara itu! Sungguh kebetulan. Memang dia sedang mencari orang
yang berhak menerima mahkota kuno berikut rahasianya itu untuk disampaikan
kepada Raja Muda Yung Lo.
Akan tetapi,
kehati-hatiannya membuat dia berpikir lebih jauh lagi. Baru sekarang ini dia
berkenalan dengan The Sun. Bagaimana dia dapat menyerahkan mahkota demikian
saja?
"The-twako,
nanti saja kita bicara tentang itu. Sekarang biarkan aku mengobati
lukamu," katanya sambil menotok dan mengurut jalan-jalan darah di seluruh
lengan dan pundak The Sun, kemudian menyalurkan hawa murni melalui telapak
tangan kanan pemuda itu. The Sun terkejut dan berkali-kali mengeluarkan suara
memuji sesudah luka dalam itu sembuh oleh pengobatan Kun Hong yang
mempergunakan sinkang di tubuhnya.
The Sun
menarik napas panjang dan berkata, "Ahhh, ternyata biar pun aku bermata,
aku lebih buta dari pada kau, Kwa-lote. Aku mengira bahwa kau hanyalah seorang
di antara saudara-saudara seperjuangan yang menentang kekuasaan kaisar muda
yang talim. Tak tahunya kau adalah seorang ahli yang memiliki kesaktian seperti
ini! Benar-benar amat memalukan kalau kuingat betapa tadi aku memperlihatkan
kebodohan dan kedangkalan ilmu silatku di depan seorang sakti!"
Kun Hong
tersenyum dan menjura. "The-twako, kau orang yang lihai, tak perlu
merendah seperti ini. Aku bukan apa-apa, hanya mempunyai sedikit ilmu
pengobatan. Terus terang saja, aku bukanlah anggota pejuang, aku tak bisa
disamakan dengan kau seorang patriot. Secara kebetulan saja aku mempunyai tugas
yang ada hubungannya dengan perjuangan menentang kaisar baru."
"Sudah
kuduga, sudah kuduga sebelumnya, kau tentu bukanlah seorang biasa. Betulkah
desas-desus itu bahwa kau telah menerima surat rahasia dari bekas pembesar Tan
Hok? Atau masih belum percayakah kau kepadaku?"
Bimbang hati
Kun Hong. Pikirannya bekerja keras dan dia mendapat akal. "Bukan begitu,
The-twako, akan tetapi soalnya karena aku harus berhubungan dengan orang yang
berhak. Sesungguhnya, walau pun aku mempunyai hubungan dengan paman Tan Hok,
akan tetapi aku tidak pernah diserahi sebuah pun surat rahasia, hanya aku telah
merampas kembali sebuah mahkota kuno yang tadinya terampas dari tangan paman
Tan Hok."
"Mahkota
kuno? Ah, segala benda berharga, apa artinya diperebutkan?" terdengar
suara The Sun kecewa.
Diam-diam
Kun Hong mengambil kesimpulan bahwa pemuda pejuang ini ternyata belum tahu akan
rahasia mahkota kuno yang menjadi tempat penyimpanan surat rahasia yang
diperebutkan itu.
"Ahh,
sayang sekali kalau kau tidak tahu tentang surat itu, Kwa-lote. Surat itu luar
biasa pentingnya bagi perjuangan dan celakalah kalau sampai terjatuh ke tangan
musuh."
"Surat
apakah yang kau maksudkan itu, The-twako?" Kun Hong memancing.
The Sun
tidak segera menjawab, dari gerakannya tahulah Kun Hong bahwa pemuda itu pergi
mendekati pintu, agaknya menyelidik kalau-kalau ada orang yang mendengarkan di
tempat itu. Akan tetapi dengan ketajaman telinganya Kun Hong yakin bahwa di
tempat itu, selain mereka berdua, tidak ada orang lain lagi...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment