Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Buta
Jilid 12
Kemudian The
Sun datang lagi mendekati Kun Hong dan berkata lirih. "Surat itu adalah
surat peninggalan mendiang kaisar tua yang diserahkan kepada bekas pembesar Tan
Hok. Isi surat itu mengatakan bahwa kaisar tua memberi kekuasaan penuh kepada
Raja Muda Yung Lo dari utara untuk mewakilinya memberi hukuman kepada kaisar
muda yang baru ini andai kata kaisar baru ini menyeleweng. Nah, bukankah amat
penting surat itu? Jika surat itu diperlihatkan kepada para menteri dan
pembesar yang berada di kota raja, tentu menimbulkan keributan besar karena
sebagian besar tentu saja akan tunduk kepada pesan terakhir kaisar tua pendiri
Kerajaan Beng. Sebaliknya apa bila terjatuh ke tangan musuh dan dimusnahkan,
tentu amat merugikan perjuangan."
Mendengar
ini, makin menipis keraguan hati Kun Hong. Tak salah lagi, pemuda gagah ini
tentulah seorang pejuang yang diberi kepercayaan dari Raja Muda Yung Lo. Memang
patut diberi kepercayaan karena orang ini amat cerdik. Kalau tidak cerdik, mana
mungkin seorang yang bertugas mata-mata dapat seenaknya tinggal di kota raja,
malah dikenal oleh para penjaga dan pengawal istana sebagai seorang kongcu dan
siucai?
Ingin sekali
dia tahu murid siapakah pemuda ini dan sampai di mana tingkat ilmu silatnya.
Tentu saja Kun Hong tidak berani bertanya tentang ini, apa lagi menguji
kepandaiannya, namun diam-diam dia sudah menjadi makin kagum saja.
"Wah,
kalau begitu benar-benar amat penting surat rahasia itu, The-twako. Sayang aku
tidak tahu akan hal itu. Tentang mahkota kuno ini, aku bermaksud untuk menyerahkannya
kepada seorang sahabat baikku. Karena itu kuharap kau sudi menolongku
mencarikan sahabatku itu. Dia seorang pejuang kawakan dan tentu kau
mengenalnya."
"Siapakah
dia?"
"Dia
adalah Hwa-i Lokai ketua dari perkumpulan pengemis Hwa-i Kaipang."
"Ahh,
dia...?" Suara The Sun terdengar seperti orang kaget. Akan tetapi menjadi
tenang kembali ketika dia berkata. "Tentu saja aku mengenalnya dengan
baik. Siapa yang tidak mengenal Hwa-i Lokai yang sangat lihai? Akan tetapi,
mencari Hwa-i Lokai kiranya lebih sulit dari pada mencari iblis sendiri.
Perkumpulan pengemis itu merupakan perkumpulan rahasia, pengaruhnya sama besar
seperti perkumpulan Pek-lian-pai yang juga menentang kaisar."
Kun Hong
mengangguk-angguk. "Kurasa kalau kau dapat mencari seorang dua orang
anggota Hwa-i Kaipang dan dapat mengajak mereka, tentu akan mudah menjumpai
Hwa-i Lokai. Tolonglah kau cari dia dan ajak Hwa-i Lokai datang ke sini
menemuiku. Asal kau katakan bahwa Kwa Kun Hong yang minta dia datang, pasti dia
akan datang ke sini."
"Wah-wah,
kiranya kau begini berpengaruh, Kwa-lote? Benar-benar membuat aku makin tunduk
dan kagum."
"Bukan,
bukan... hal ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan perjuangan. Soalnya
karena... beberapa tahun yang lalu aku pernah mencampuri urusan dalam mereka,
urusan Hwa-i Kaipang dan akhirnya aku diangkat mereka menjadi ketua kehormatan.
Itulah, tidak ada sebab lain."
The Sun diam
sampai lama, agaknya bimbang dan ragu apakah dia akan mampu mencari kakek itu.
Kemudian katanya lagi, "Kwa-lote, dari pada susah-susah mencari Hwa-i
Lokai, apakah bedanya kalau kau serahkan saja tugas itu kepadaku? Disuruh ke
mana pun aku akan pergi, asal saja urusan itu penting untuk perjuangan."
"Maaf,
The-twako, soalnya bukan tidak percaya kepadamu, akan tetapi aku harus tidak
mau mengecewakan paman Tan Hok yang sudah menaruh kepercayaan kepadaku."
Akhirnya The
Sun pergi setelah berkata, "Baik, akan kucari Hwa-i Lokai. Kau tunggulah
saja di sini, lote."
Ternyata Kun
Hong harus menunggu sehari penuh. Hari telah mulai sore dan Kun Hong sudah
kehabisan sabar. Selain merasa lelah menunggu dan lapar, dia juga tidak suka
berada dalam keadaan yang serba tidak pasti itu. Dia sudah hampir pergi
meninggalkan tempat itu untuk mencoba mencari sendiri ketika terdengar derap
langkah beberapa orang memasuki bangunan tua ini. Kun Hong cepat berdiri tegak
menanti dengan sikap tenang namun penuh kesiap siagaan. Kiranya The Sun yang
datang itu, bersama tiga orang kakek pengemis.
"Kwa-lote,
tak mungkin bertemu dengan Hwa-i Lokai karena dia sedang pergi keluar kota,
agaknya ke utara. Akan tetapi aku bertemu dengan tiga orang tokoh Hwa-i Kaipang,
dan sekarang mereka kuajak ke sini."
Sedangkan
ketiga orang pengemis tua yang pakaiannya berkembang-kembang itu begitu melihat
Kun Hong lalu serentak menjatuhkan diri berlutut dan seorang di antara mereka
berkata, "Ah, kiranya Kwa-pangcu (ketua pengemis Kwa) berada di sini! Kami
bertiga pengemis tua menyampaikan hormat kepada Kwa-pangcu."
"Sam-wi
lokai (Saudara pengemis tua bertiga) tidak usah berlutut dan terlalu sungkan,
akan tetapi aku tidak mengenal suara sam-wi. Maaf, sam-wi siapakah dan apa kedudukan
sam-wi di Hwa I Kai-pang?"
"Tidak
aneh jika Kwa-pangcu belum mengenal kami bertiga sebab sudah bertahun-tahun
Kwa-pangcu tidak pernah datang mengunjungi Hwa-i Kaipang. Kami bertiga
merupakan pembantu-pembantu Lo-pangcu di samping Coa Lokai, sebagai pengganti
dari Sun Lokai dan Beng Lokai yang telah diusir. Kami bertiga tahu semua akan
kejadian beberapa tahun yang lalu saat Kwa-pangcu datang dan membereskan
keruwetan yang terjadi pada Hwa-i Kaipang."
Kun Hong
mengangguk-angguk. Teringat ia akan semua pengalamannya beberapa tahun yang
lalu sebelum kedua matanya menjadi cacat. Memang, karena dia pernah berhasil
membereskan keributan yang terjadi karena perebutan kedudukan ketua di
perkumpulan Hwa-i Kaipang, dia malah diangkat menjadi ketua mereka! Dengan
mempergunakan akal untuk mencegah terjadinya keributan, dia lalu menerima
kedudukan ketua, akan tetapi dia mewakilkannya kembali kepada Hwa-i Lokai yang
dia angkat menjadi ji-pangcu (ketua ke dua).
Tiba-tiba
muka Kun Hong mengerut di bagian antara kedua matanya yang buta. Kenapa ketiga
orang pengemis tua ini menyebut Hwa-i Lokai sebagai lo-pangcu, tidak ji-pangcu?
"Lo-pangcu
kami sedang pergi ke utara untuk tugas perjuangan, namun pangcu sudah memesan
kepada kami bahwa kalau ada orang mencarinya untuk menyampaikan pesan rahasia
atau surat rahasia, boleh kami mewakilinya. Oleh karena itu, setelah mendengar
keterangan mengenai Kwa-pangcu dari The-kongcu, kami segera datang menghadap ke
sini. Sekarang, kami menanti perintah dan petunjuk Kwa-pangcu."
Mendadak Kun
Hong membuat gerakan kilat dan tahu-tahu tangannya sudah menangkap pergelangan
lengan pengemis terdekat, lalu dia membentak. "Siapakah kalian? Jangan
coba-coba mengelabui orang buta! Aku tahu pasti, kalian bukan pembantu-pembantu
Hwa-i Lokai!"
Pada saat
itu terdengar suara ribut-ribut di luar bangunan itu dan ternyata banyak sekali
orang berpakaian pengawal istana berlompatan masuk. Di antara suara mereka, Kun
Hong mengenal suara Tiat-jiu Souw Ki yang berseru, "Betul dia si buta yang
merampas mahkota kuno. Hati-hati dia lihai!"
Pengemis
yang dipegang pergelangan tangannya oleh Kun Hong itu berseru keras dan
meronta. Kun Hong terpaksa melepaskan pegangannya karena dia harus menghadapi
bahaya baru yang datang dari luar. Dia taksir bahwa yang datang ini ada belasan
orang banyaknya dan segera terdengar suara senjata tajam dicabut dan
digerakkan.
"Kwa
Kun Hong, kau sudah terkepung! Lebih baik menyerah dan serahkan mahkota serta
surat rahasia yang dipercayakan Tan Hok kepadamu!" terdengar suara seorang
laki-laki tua yang suaranya tinggi melengking.
Dari suara
gerak-gerik mereka itu Kun Hong tahu bahwa dia dikepung oleh orang-orang pandai
yang memiliki kepandaian tinggi. Namun dia tidak gentar, siap mempertahankan
mahkota kuno itu dengan taruhan nyawanya. Hanya satu hal yang membuat dia
gelisah, yaitu keselamatan The Sun. Kasihan bila pemuda itu sampai ikut celaka
akibat menolong dirinya. Dia hendak memancing pertempuran supaya semua orang
mengeroyoknya, dan dalam keributan itu memberi kesempatan kepada The Sun untuk
melarikan diri. Dia lalu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha,
anjing-anjing penjilat kaisar lalim! Kalau memang kaisar muda yang baru ini
seorang yang benar, mengapa takut akan segala surat rahasia peninggalan kaisar
tua? Aku tidak tahu di mana surat yang kalian cari-cari itu, akan tetapi kalau
mahkota kuno memang berada padaku. Akan tetapi jangan harap aku sudi menyerah
dan memberikan mahkota kuno itu kepada siapa pun juga di antara kalian! Kalau
kalian memang sanggup, boleh tangkap aku!"
Tentu saja
para pengawal istana itu marah sekali mendengar betapa ada seorang buta
menantang mereka. Mereka itu memaki-maki dan mulai mendesak maju untuk berlomba
menangkap atau merobohkan Kun Hong. Tiba-tiba tiga orang berpakaian pengemis
itu yang berdiri paling dekat dengan Kun Hong dan yang diam-diam sudah
menyiapkan senjata mereka, yaitu masing-masing sebatang tongkat, serentak
menyerang Kun Hong!
Bila saja
Kun Hong tadinya tidak menaruh hati curiga kepada tiga orang ini, agaknya dia
akan terkena serangan gelap, atau setidaknya akan terkejut sekali. Akan tetapi
dia tadi memang sudah menduga bahwa tiga orang pengemis ini adalah
anggota-anggota Hwa-i Kaipang yang palsu, yang agaknya sengaja menyamar sebagai
anggota-anggota Hwa-i Kaipang untuk menipunya. Maka sekarang menghadapi
serangan mereka, dia malah tertawa mengejek. Tubuhnya berkelebat cepat dan
aneh, kedua tangannya bekerja dan... berturut-turut tubuh tiga orang pengemis
tua itu melayang ke arah para pengawal yang maju hendak mengeroyoknya.
Akan tetapi Kun
Hong segera harus mencurahkan seluruh perhatiannya guna menghadapi pengeroyokan
para pengawal istana yang mulai dengan penyerangan mereka itu. Pada mulanya dia
hanya mempergunakan langkah-langkah ajaib untuk menghindarkan diri dari setiap
sambaran senjata, akan tetapi karena para pengeroyoknya terdiri dari
orang-orang berkepandaian tinggi, Kun Hong mulai menggerakkan tongkatnya untuk
menangkis.
"The-twako,
harap lekas kau pergi!" Kun Hong sempat berseru beberapa kali karena dia
benar-benar merasa khawatir kalau-kalau penolongnya itu akan terbawa-bawa.
Akan tetapi
tak mungkin dia dapat memperhatikan dan mencari tahu keadaan pemuda itu karena
kepungan dan pengeroyokan ketat para pengawal istana itu benar-benar membuat
dia sangat sibuk. Sudah ada beberapa buah senjata lawan dapat dia pukul dan
terlepas dari pegangan, sedangkan tangan kirinya juga telah merobohkan tiga
orang yang terkena dorongannya.
Akan tetapi
serbuan para pengeroyok semakin hebat sehingga terpaksa Kun Hong kini memainkan
Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam sambil tidak lupa mencelat ke sana ke mari
mempergunakan langkah sakti dari ilmu Silat Kim-tiauw-kun. Ributlah para
pengeroyok itu, terdengar seruan-seruan kaget dan beberapa orang roboh lagi.
Akan tetapi mereka itu roboh hanya untuk sejenak saja karena Kun Hong sama
sekali tidak mau menggunakan pukulan maut, cukup baginya kalau dapat mendorong
orang roboh atau membuat senjata mereka terlempar.
"The-twako,
tinggalkan aku...!" Dia sempat berseru lagi sambil berusaha membuka jalan
untuk ke luar dari rumah itu. Dia dapat menduga bahwa waktunya sekarang tentu
hampir malam, karena dia tadi telah menunggu sehari penuh dan hawa siang yang
panas telah mulai menghilang tadi.
"The-twako,
pergilah, biar aku menghadapi sendiri anjing-anjing ini!" serunya lagi.
Kun Hong
berpikir bahwa kalau hari sudah menjadi gelap dan dia sudah berhasil ke luar
dari kepungan dan lari ke luar rumah, agaknya akan lebih mudah baginya untuk
melarikan diri. Tentu saja dia akan dikejar, akan tetapi dia dapat merobohkan
setiap orang pengejar dan mencoba untuk lari keluar dari tembok kota raja, atau
mencari tempat sembunyi yang lebih baik.
"Kwa-lote,
jangan khawatir, aku membantumu!" mendadak terdengar suara The Sun dan
tahu-tahu pemuda itu telah berada di dekatnya, malah kini The Sun juga
menggerakkan pedangnya menangkis beberapa senjata para pengeroyok.
"Ahh,
jangan, The-twako. Tidak perlu kau membantuku, larilah...!" kata Kun Hong
sambil menghantam runtuh sebuah tombak panjang dengan tangan kirinya yang
dimiringkan.
"Aha,
kau hebat, Lote. Tetapi jangan kira aku pengecut! Aku pun berani mengorbankan
nyawa untuk perjuangan..."
"Ahh,
jangan..." Kun Hong terharu dan saking marahnya kepada para pengeroyok,
sekali kaki kirinya menendang, dua orang berteriak kesakitan dan terlempar ke
belakang.
"Kwa-lote,
kulihat para perwira kerajaan datang. Mereka lihai... aku tidak takut, akan
tetapi sayang... bagaimana kalau sampai rahasia yang kau bawa terjatuh ke
tangan mereka? Lebih baik kau serahkan padaku. Katakan ke mana harus kusampaikan,
rahasia itu lebih penting dari pada nyawa kita."
Kun Hong
memutar otaknya sambil menghadapi pengeroyokan yang semakin ketat itu. Benar
juga, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan mahkota kuno dengan rahasianya,
hanya menyerahkan kepada The Sun.
"Lekas,
ambil mahkota di buntalanku... kau bawa lari..."
"...mahkota...?"
The Sun berbisik, suaranya kecewa, "untuk apa benda itu? Surat rahasia itu
yang penting!"
"Tiada
waktu bicara panjang lebar..."
Kun Hong
mengambil keluar mahkota itu dan menyerahkannya kepada The Sun dengan tangan
kiri, sedangkan tongkatnya diputar melindungi mereka berdua. "Bawa ini
kepada anggota-anggota Pek-lian-pai, tentu mereka mengerti... lekas kau
pergi..."
The Sun
menerima mahkota itu. Pada waktu itu, empat orang perwira yang bersenjata golok
telah menerjang masuk. Gerakan golok mereka berat dan cepat. Desir angin
senjata mereka membuat Kun Hong maklum bahwa sekali ini dia harus
mempertahankan dirinya mati-matian karena selain jumlah musuh sangat banyak,
juga ternyata makin lama yang datang mengeroyoknya adalah orang-orang yang
makin tinggi ilmu kepandaiannya.
"The-twako
lekas pergi! Menanti apa lagi?" bentaknya ketika belum juga dia mendengar
sahabatnya itu melompat pergi meninggalkannya.
Lama The Sun
tidak menjawab, kemudian terdengar suaranya. "Nanti dulu, aku menanti saat
baik..."
Pada saat
itu pula, empat buah golok besar yang bergerak bagaikan empat ekor naga
menyambar, bercuitan di atas kepala Kun Hong, dibarengi bentakan seorang di
antara para perwira.
"Pemberontak
buta, lebih baik kau menyerah!"
Kun Hong
terkejut sekali. Jurus keempat buah golok yang dipersatukan ini benar-benar
amat berbahaya. Cepat dia melintangkan tongkatnya di depan dada dan kakinya
yang kiri tiba-tiba menyapu dengan gerakan cepat tak terduga.
Empat orang
perwira itu terkejut dan meloncat sambil membabatkan golok mereka. Kun Hong
menangkis sekaligus, tongkatnya seakan-akan tergencet empat batang golok dari
empat orang perwira yang mempersatukan tenaga. Kun Hong menunggu saat baik
untuk memperoleh kemenangan, akan tetapi tiba-tiba dia mendengar The Sun
mendekatinya. Dia mengira bahwa sahabatnya ini hendak membantu dirinya karena
mengkhawatirkan keadaannya.
Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika mendadak dia merasa betapa jalan darahnya di punggung
ditotok orang. Seketika tubuhnya menjadi lemas seperti lumpuh dan pada saat
itu, sebatang pedang tajam yang datang dari tempat The Sun menyambar, menikam
ke arah lambungnya!
Kun Hong
mengerahkan seluruh tenaga sakti di dalam tubuhnya. Dia berhasil mengusir
pengaruh totokan dan jalan darahnya normal kembali, akan tetapi karena
pengerahan tenaga ini, gerakannya kurang cepat ketika mengelak
dan..."Craattt!"
Ujung pedang
itu biar pun tidak mengenai lambungnya, masih menancap dan mengiris robek kulit
dan daging pada pangkal pahanya bagian belakang!
"The
Sun keparat jahanam!" Kun Hong menggereng.
Tubuhnya
menubruk maju, tongkat serta tangan kirinya dikerjakan. Gerakannya cepat
laksana kilat menyambar sehingga dia berhasil merampas kembali mahkota dari
tangan The Sun, akan tetapi dia tidak berhasil merobohkan The Sun yang cepat
menghindar pergi sambil tertawa mengejek. Agaknya pemuda yang ternyata adalah
seorang di antara para musuh itu sudah maklum akan kelihaian Kun Hong dan tidak
mau secara ceroboh menyambut serangan tadi.
Kun Hong
cepat menyimpan mahkota dalam buntalannya lagi dan dadanya penuh hawa amarah,
penuh dendam dan penasaran. Ternyata dia telah ditipu oleh The Sun! Dia telah
dipermainkan, dan tahulah pula dia sekarang bahwa tiga orang pengemis tua tadi
pun adalah kaki tangan The Sun ini yang menyamar sebagai anggota-anggota Hwa-i
Kaipang!
"The
Sun, jahanam pengecut! Hayo maju lawan aku, jangan sembunyi seperti seorang
pengecut hina!" Kun Hong menantang-nantang dengan kemarahan luar biasa.
Kun Hong
tidak lagi bergerak lincah seperti tadi, melainkan berdiri seperti seekor
harimau kepepet. Akan tetapi tiap ada senjata pengeroyok melayang dekat, sekali
menggerakkan tongkat senjata itu akan terpental kembali.
Dari jauh
terdengar The Sun menjawab dengan suara mengejek. "Pengemis buta hina, tak
usah kau sombong! Lebih baik menyerah dan takluk. Kalau tidak, sebentar lagi
pun kau akan roboh oleh luka itu, ha-ha-ha!"
Kun Hong
menggerakkan tubuhnya, mencelat ke arah suara. Tongkat dan tangan kirinya
bergerak aneh ke depan. Terdengar jerit mengerikan ketika dua orang perwira
yang tidak sempat menyingkir, tahu-tahu pinggang mereka telah terbabat putus
dan kepala mereka hancur mengerikan terkena hantaman atau cengkeraman tangan
kiri Kun Hong. Kiranya dalam keadaan marah luar biasa ini, tanpa disadarinya
Kun Hong telah mempergunakan jurus ‘Sakit Hati’ hasil ciptaannya sendiri yang
ditunjukkan oleh kakek sakti Song-bun-kwi!
Bukan main
marahnya para perwira ketika melihat dua orang teman mereka roboh tanpa
bernyawa dalam keadaan yang begitu mengerikan. Mereka merasa ngeri, akan tetapi
kemarahan membuat mereka nekat menyerbu sambil berteriak-teriak. Kini yang
menyerbu adalah para perwira pilihan yang memiliki kepandaian tinggi, karena
yang berkepandaian lebih rendah tingkatnya dari pada dua orang perwira yang
tewas itu tidak ada yang berani maju mendekat!
Seorang
perwira tinggi besar bermuka hitam, dia ini adalah orang yang siang tadi datang
bersama The Sun dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun, seorang yang mempunyai
kepandaian tinggi dan senjatanya adalah sepasang ruyung baja yang dipasangi
duri-duri, sekarang maju dan menerjang Kun Hong dengan sepasang ruyungnya
menyambar dari kiri dan dari atas.
Berbareng
dengan serangan ini, seorang perwira lain yang bertubuh gemuk pendek sudah
menerjang pula dengan pedangnya dari belakang, menusuk punggung Kun Hong sambil
menggerakkan tangan kiri dengan pengerahan tenaga lweekang untuk bersiap
menyusul dengan pukulan apa bila pedangnya tidak berhasil.
Beberapa
detik kemudian dari pada serangan pedang ini, seorang perwira lain yang kurus
dan bermuka kuning menyerang pula dari sebelah kanan. Senjatanya adalah
sepasang kongce (tombak cagak) yang bergagang pendek. Gerakannya cepat
bertenaga dan ujung kongce itu tergetar dengan hebat ketika dia menusuk ke arah
lambung Kun Hong.
Kun Hong
sudah seperti orang keranjingan. Dia tidak bergerak, seperti sebuah patung,
akan tetapi andai kata Song-bun-kwi berada di situ, tentu kakek yang dijuluki
iblis ini akan merasa ngeri melihat kedudukan tubuh atau pasangan kuda-kuda
pemuda buta itu, sebab dia mengenal betul kuda-kuda mukjijat itu.
Tubuh pemuda
buta ini tak bergerak seperti patung, kaki kanan di depan dengan ujungnya
berjungkit, kaki kiri di belakang dengan lututnya ditekuk, tangan kanan
memegang tongkat melintang di atas kepala, tangan kirinya dengan jari-jari
tangan terbuka bagaikan hendak mencengkeram sesuatu dari tanah, mulutnya agak
terbuka, hidungnya kembang-kempis, dadanya turun naik dan dari ubun-ubun serta
kedua lengannya mengepul uap putih! Inilah kuda-kuda dari jurus Sakit Hati yang
amat dahsyat dan mukjijat itu!
Kun Hong
seakan-akan membiarkan tiga orang perwira dengan senjata masing-masing itu
menerjangnya, dan seakan-akan sepasang ruyung baja itu sudah tentu akan
meremukkan kepalanya, pedang si gemuk pendek sudah hampir menembus punggungnya
dan senjata kongce itu pasti akan menembus lambungnya.
"Haiiiiittttttt!"
Tiba-tiba
suara nyaring bagai guntur ini memekakkan telinga semua pengeroyok. Tampak sinar
kemerahan menyambar menyilaukan mata, tubuh Kun Hong bergerak sedikit dan
ketiga orang perwira itu seakan-akan tertahan gerakannya karena tiba-tiba saja
gerakan mereka terhenti, tubuh mereka berdiri kaku bagaikan disambar
halilintar, sedangkan Kun Hong sudah memasang kuda-kuda lagi seperti tadi.
Semua
pengeroyok berdiri bengong, lantas muka mereka menjadi pucat dan hati mereka
ngeri bukan main ketika tiga orang perwira yang tadinya berdiri tegak kaku itu
mendadak roboh ke atas tanah dan tubuh mereka putus menjadi dua di bagian
pinggang sedangkan kepala mereka hancur!
Tanpa ada
orang yang dapat melihat atau mengetahui bagaimana caranya, tiga orang perwira
itu tadi sudah mati seketika karena pinggang mereka terbabat putus dan kepala
mereka dihantam remuk! Inilah akibat dari jurus Sakit Hati yang kembali telah
merobohkan tiga orang korban dalam waktu beberapa detik saja.
Kun Hong
menggigit bibirnya menahan sakit. Luka pada pangkal paha sebelah belakang amat
perih dan panas, juga ada rasa gatal-gatal yang amat nyeri. Seluruh punggungnya
terasa kaku. Dia tahu bahwa lukanya itu amat berbahaya, tertusuk pedang yang
ujungnya diberi racun yang amat berbahaya, mungkin racun ular.
Tentu saja
dia akan dapat menyembuhkan luka itu kalau dia mendapat kesempatan. Akan tetapi
dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk itu, maka satu-satunya jalan yang
dapat dia lakukan hanyalah mengerahkan tenaga dalam dan mendorong hawa sakti di
tubuhnya untuk menahan racun itu agar jangan menjalar ke dalam tubuh.
Sementara
itu hatinya risau bukan main. Dia telah membunuh lima orang dalam waktu
beberapa detik saja. Dia dapat membayangkan betapa hebat dan mengerikan
kematian lima orang lawannya itu. Akan tetapi pada saat itu, walau pun agak
risau dan tak enak hatinya, pikirannya memaksanya untuk tidak ambil peduli. Dia
didesak, diancam maut, dan perasaannya dilukai oleh penipuan The Sun.
Betapa pun
marahnya, Kun Hong bukanlah orang nekat yang hendak mengadu nyawa dengan
musuh-musuhnya. Setelah merobohkan tiga orang dan tidak lagi mendengar ada
pengeroyok bergerak menyerang, kakinya otomatis bergerak melangkah, menggunakan
langkah-langkah yang dia namakan Hui-thian Jip-te itu menuju ke pintu bangunan
tua. Dia bermaksud untuk melarikan diri, menghindarkan pertempuran lebih jauh.
Tadinya dia
melayani pertempuran hanya karena dia hendak melindungi mahkota itu. Dan hampir
tanpa dia sadari dia telah menggunakan jurus dahsyat itu sampai menewaskan lima
orang akibat terdorong amarah yang hebat terhadap The Sun yang telah menipunya.
"Penjahat
buta jangan lari!" terdengar bentakan. Kembali belasan senjata
mengepungnya.
Kun Hong
tersenyum mengejek, akan tetapi hatinya mengeluh. Agaknya para perwira ini
benar-benar merupakan anjing-anjing penjilat yang beraninya hanya mengeroyok.
"Aku
bosan mendengar suara kalian, aku hendak pergi dari sini. Siapa berani
melarang?" Katanya perlahan sambil melanjutkan langkahnya keluar.
Sebatang
toya dengan kuatnya menghantam belakang kepalanya dari kanan, digerakkan oleh
dua buah tangan yang bertenaga besar.
"Blukkk!"
Ujung toya
menghantam kepala demikian kerasnya sehingga robohlah seketika orang itu dengan
kepala keluar kecap! Tetapi orang itu bukan Kun Hong, melainkan si pemegang
toya sendiri.
Pada saat
toya tadi menyambar, Kun Hong melejit ke samping, tongkatnya bergerak dan
dengan tenaga ‘menempel’ tongkatnya seolah-olah menangkap toya itu, lalu
meneruskan dengan meminjam tenaga malah ditambahnya dengan tenaga sendiri,
memaksa toya itu terayun balik dan menghantam kepala si pemegangnya sendiri!
Para perwira
bengong. Inilah aneh! Mana mungkin seorang perwira berkepandaian tinggi,
terkenal sebagai ahli toya di antara mereka, mempunyai jurus yang demikian aneh
dan goblok sehingga toya itu berbalik menghantam kepala sendiri? Memang bagi
orang luar, nampaknya di pemegang toya tadi seperti memukul kepala dengan
toyanya sendiri karena gerakan Kun Hong demikian cepatnya sehingga sukar
diikuti pandangan mata.
Hanya
sebentar saja para perwira itu bengong, segera mereka menerjang kembali, lebih
marah dan penasaran lagi. Mana patut jika sekian banyaknya perwira pilihan dari
istana mengepung seorang pemuda buta saja sampai tak mampu merobohkan atau
menawan?
Kun Hong
terpaksa menggerakkan tongkatnya lagi. Tak mungkin ia hanya mengandalkan
langkah-langkah ajaib saja menghadapi pengeroyokan dan pengepungan demikian
ketat. Kembali dia mengeluh karena terpaksa dia berlaku kejam, menggunakan
kepandaiannya untuk merobohkan setiap orang yang menghalang jalannya.
Dia tidak
mau memberi hati, tidak mau bersabar lagi karena soalnya sekarang adalah mati
atau hidup. Kalau dia kalah, tentu dia akan mati dan kalau dia ingin hidup, dia
terpaksa harus merobohkan, melukai bahkan mungkin membunuh orang!
Hebat
pertempuran itu. Bagaikan hujan bermacam-macam senjata menerjang Kun Hong dari
semua jurusan. Dan semua orang kaget, heran, kagum tiada habisnya. Orang buta
itu seperti orang memiliki puluhan pasang mata saja, seakan-akan semua bagian
tubuhnya bermata! Gerakannya aneh dan tampak amat lambat, tapi pada hakekatnya
cepat sekali. Pukulan dan hantaman tongkatnya perlahan tapi pada hakekatnya
amatlah kuat melihat betapa setiap benturan senjata pasti membuat senjata
pengeroyok terlepas.
Sudah
belasan orang roboh oleh tongkat, tamparan tangan kiri, atau tendangan kaki Kun
Hong. Sedikit demi sedikit dia telah mendekati pintu. Biar pun belum lama dia
tinggal di rumah tua ini, dia telah hafal dan sekarang tahulah dia bahwa dia
sudah berada dekat dengan pintu keluar.
Dia
mengeluarkan suara keras, tongkatnya berkelebat dan kembali robohlah tiga orang
pengeroyoknya yang menghadang di depannya. Sekali dia menggenjot tubuh, dia
sudah berhasil menerobos pintu dan kini dia telah berada di luar rumah.
Hawa malam
yang dingin segar menyambutnya setelah dia keluar dari bangunan itu. Timbul semangatnya
dan dia sudah siap melompat dan menggunakan ilmu lari cepatnya dengan
untung-untungan karena kalau dia menabrak pohon atau terjerumus jurang, tentu
dia akan celaka, Dia harus dapat membebaskan diri dari orang-orang itu, apa
lagi kini selain luka itu membuat dia lelah dan kaku, juga terasa amat nyeri.
"Kwa
Kun Hong, kau hendak lari ke mana? Lebih baik menyerah dan kalau kau bersedia
takluk, aku yang tanggung kau akan mendapat kedudukan besar sebagai tabib
negara!" tiba-tiba terdengar suara orang.
Mendengar
suara ini seketika muka Kun Hong menjadi merah saking marahnya. Itulah suara
The Sun!
Munculnya
The Sun ini tiba-tiba menghentikan semua pengeroyokan. Dengan telinganya Kun
Hong dapat mendengar betapa para perwira yang mengepungnya tadi dan yang kini
sudah mengejar sampai di luar, membuat lingkaran lebar seakan-akan memberi
tempat kepadanya untuk berhadapan dengan The Sun. Depan bangunan itu memang
merupakan pekarangan rumput yang luas.
Kun Hong
berhati-hati, tidak mau berlaku sembrono. Dia telah mendengar pula suara api
menyala-nyala, dan dapat menduga bahwa tempat itu tentu diterangi oleh banyak
obor yang dipegang oleh para pengawal dan penjaga.
Dia maklum
bahwa The Sun memiliki kepandaian tinggi, hal ini dapat dibuktikan tadi ketika
dia menerjang The Sun, dia tidak berhasil mengenai pemuda itu, hanya dapat
merampas kembali mahkota kuno. Akan tetapi sebaliknya dia kena dicurangi dan
dilukai.
Juga dia
tahu bahwa kalau dia melanjutkan pertempuran di tempat yang diterangi api obor
itu, menghadapi pengeroyokan orang-orang pandai sedangkan dia sudah menderita
luka parah, akhirnya dia akan roboh. Hal ini tidak ada gunanya.
Dia tidak
takut mati, akan tetapi khawatir kalau-kalau mahkota berikut rahasianya itu
dapat dirampas orang-orang ini. Yang paling penting menyelamatkan mahkota itu
lebih dahulu, menyerahkan kepada orang yang dapat dipercaya, baru kemudian
menghadapi The Sun dan menghajar orang ini.
Pikiran ini
membuat Kun Hong menahan amarahnya, mendengar kata-kata The Sun yang
membujuknya supaya menyerah dengan janji diberi kedudukan mulia. Tanpa
menjawab, secara cepat dan sangat tiba-tiba, dia melayang ke arah orang itu
sambil menggerakkan tongkatnya yang berkelebat lenyap berubah menjadi sinar
kemerahan itu.
"Tranggggg!"
Pedang di tangan The Sun menangkis dan bertemu dengan tongkat itu.
Kun Hong
merasa betapa pedang pemuda itu adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh sehingga
tidak rusak oleh pedang di dalam tongkatnya, juga ternyata betapa tenaga The
Sun amat kuat. Tergetarlah telapak tangannya ketika kedua senjata tadi bertemu.
Di lain
pihak, The Sun semakin kagum karena pedang pusakanya yang ampuh itu tidak mampu
membikin patah tongkat si buta ini dan telapak tangannya bahkan terasa sakit.
Siapakah sebetulnya The Sun, pemuda yang amat cerdik, juga amat lihai ini?
Baiklah kita menjenguk keadaan pemuda itu.
Di
pegunungan Go-bi-san terdapat banyak sekali puncak-puncak yang menjulang tinggi
di angkasa. Karena keadaan pegunungan yang amat luas dan penuh dengan rahasia
alam ini, maka banyaklah pertapa-pertapa, orang-orang pandai dan sakti yang
mengasingkan diri di sana. Malah partai Go-bi-pai terkenal sebagai partai
persilatan besar yang memiliki banyak murid pandai.
Akan tetapi
bukan hanya Go-bi-pai saja yang terdapat di pegunungan itu. Masih banyak lagi
orang-orang pandai yang tak bergabung di partai Go-bi-pai ini, diam-diam
melakukan pertapaan, bahkan kadang-kadang mereka mempunyai seorang dua orang
murid rahasia yang tiada sangkut-pautnya dengan Go-bi-pai yang besar.
The Sun
adalah seorang pemuda dari Go-bi-san. Ayahnya seorang bekas pembesar pada
Pemerintahan Mongol yang melarikan diri setelah bangsa Mongol terusir oleh Ciu
Goan Ciang dan para pejuang. Ayahnya yang bernama The Siu Kai adalah seorang
pembesar militer yang mempunyai kepandaian tinggi dan merupakan seorang tokoh
dari Go-bi-san pula. The Sun masih kecil sekali ketika dibawa lari mengungsi
oleh ayahnya, sedangkan keluarga lain semuanya tewas dalam kekacauan perang.
The Siu Kai
yang terluka hebat ketika lari ke Go-bi-san membawa puteranya, akhirnya mampu
juga mencapai sebuah puncak di mana tinggal gurunya, yaitu seorang tosu tua
yang bermuka dan berkulit hitam, yang puluhan tahun bertapa di puncak itu tanpa
mau mencampuri urusan dunia ramai. Tosu tua ini karena kulitnya yang hitam disebut
orang Hek Lojin (Orang Tua Hitam). Luka parah ditambah penderitaan selama
melarikan diri ini tak dapat tertahan lagi oleh The Siu Kai dan dia pun tewas
di depan kaki gurunya setelah berhasil membujuk gurunya agar supaya sudi
mendidik The Sun putera tunggalnya.
Demikianlah,
The Sun yang masih kecil itu akhirnya dipelihara dan dididik oleh Hek Lojin,
diberi pelajaran ilmu silat dan ilmu sastra sehingga akhirnya menjadi seorang
pemuda yang amat pandai, lihai dan cerdik. Makin lama Hek Lojin makin cinta
kepada murid cilik ini sehingga bangkit pula gairahnya untuk urusan duniawi,
akan tetapi bukan demi dirinya sendiri, melainkan demi muridnya terkasih
itulah.
Dia sengaja
membawa The Sun turun gunung ke kota raja, malah menyuruh muridnya ini menempuh
ujian di kota raja sehingga berhasil memperoleh gelar siucai. Akhirnya karena
kepandaiannya, The Sun mendapat kepercayaan dari Pangeran Kian Bun Ti dan
sesudah pangeran ini menjadi kaisar, The Sun tetap menjadi orang
kepercayaannya, bahkan dia mendapat tugas untuk menghimpun kekuatan,
mengumpulkan orang-orang pandai untuk memperkuat kedudukan kaisar baru ini yang
maklum akan adanya ancaman-ancaman terhadap kedudukannya.
Memang The
Sun orang yang cerdik sekali. Dia lalu menyebar mata-mata untuk menjaga
keamanan kota raja, menyebar orang-orang pandai untuk menghubungi para tokoh
besar di dunia kang-ouw, malah dia berhasil mendatangkan banyak orang pandai,
di antaranya beberapa orang sakti yang kini sudah tinggal di kota raja pula.
"Sayang,
orang muda begini cerdik pandai dan lihai merendahkan diri menjadi anjing
kaisar!" tak terasa lagi Kun Hong berseru ketika pemuda itu dapat
menangkis tongkatnya dengan tenaga lweekang yang mengagumkan!
The Sun
tertawa mengejek. "Kaulah yang patut disayangkan, seorang pendekar buta
ahli pengobatan tetapi merendahkan diri menjadi pemberontak, mudah saja dihasut
oleh para pengkhianat yang hendak memberontak terhadap pemerintah yang
sah!"
Akan tetapi
Kun Hong tidak mendengarkan ejekan ini karena kembali dia sudah bergerak, kini
ke kiri untuk mencari jalan ke luar. Akan tetapi angin bertiup dari arah The
Sun dan kembali pedang The Sun dengan amat cepatnya telah menghadang di
depannya, bahkan mengirim tusukan maut yang amat dahsyat.
Pedang yang
ampuh serta digerakkan dengan jurus-jurus ilmu pedang dari Go-bi-san ini
benar-benar luar biasa. Bagi mereka yang bisa melihat tampak sinar yang
berkeredepan, bagi Kun Hong terdengar bunyi berdesing-desing laksana sebuah
gasing berputar cepat atau seperti kitiran angin dilanda angin kencang.
"Hebat!"
Dia memuji dan cepat menggerakkan tongkat.
"Trang-tring-trang-tring!”
Kembali
terdengar bunyi nyaring pada saat tongkat bertemu dengan pedang dan sesudah
saling serang bertukar tikaman dan babatan maut sampai tujuh jurus, keduanya
kembali terpental ke belakang oleh benturan senjata yang amat keras.
Kun Hong
diam-diam mengeluh di dalam hatinya. Pemuda ini benar-benar lihai. Agaknya
kalau dilawan dengan Kim-tiauw-kun atau Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam saja,
walau pun akan menang akan tetapi akan mempergunakan banyak waktu karena ilmu
kepandaian pemuda itu memang tinggi sekali. Untuk menggunakan jurus sakit Hati,
dia merasa tidak tega, Sayang seorang pemuda begini hebat dibunuh.
"Kwa
Kun Hong, kau tidak mungkin dapat meloloskan diri. Lebih baik kau menyerah dan takluk,
mari kita bekerja sama!" kembali The Sun membujuk.
"Tutup
mulut dan tak perlu kau membujukku." Kun Hong membentak marah.
"Hemmm,
kalau begitu kau memang harus mampus!" The Sun juga membentak dan dia
segera menerjang dengan kilatan pedangnya yang diputar cepat di depan dadanya.
Kun Hong
tahu akan kelihaian lawan ini, maka dia cepat menggerakkan tongkatnya untuk
menghadapi dengan jurus-jurus Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam. Hebat sekali ilmu
pedang warisan Si Raja Pedang Tan Beng San ini karena ke arah mana pun pedang
The Sun bergerak, pada akhirnya selalu terbentur oleh tongkat yang bahkan
otomatis dapat pula membalas, bacokan demi bacokan atau tusukan dengan tusukan.
Mengagumkan melihat dua orang muda itu bertanding.
Keduanya
sama tampan, sama lincah cekatan, sama tinggi ilmu pedangnya. Baru kali ini Kun
Hong menghadapi lawan yang kuat dalam ilmu pedang sehingga dia makin kagum dan
makin menyesal mengapa orang seperti ini harus menjadi lawannya.
Karena tiada
niat di dalam hatinya untuk bertempur terus, dia mencari kesempatan baik.
Dengan gerakan memutar, tongkatnya melakukan tusukan tujuh kali ke arah
punggung lawan. Menghadapi jurus aneh dari Im-yang Sin-kiam ini, The Sun kaget.
Lawan berada di depan, bagaimana ujung tongkatnya seakan-akan mengarah tengkuk
dan punggungnya? Cepat dia melompat ke kiri dan memutar pedangnya melindungi
tubuh.
Kesempatan
ini dipergunakan Kun Hong untuk lari ke kanan, menggunakan langkah ajaib dari
Kim-tiauw-kun sehingga beberapa bacokan golok dari para perwira yang berdiri di
tempat itu mampu dia hindarkan dengan mudah. Tiga orang perwira lainnya yang
sudah menghadang dia robohkan dengan dua kali dorongan tangan kirinya,
sedangkan kakinya melangkah terus berloncatan ke sana ke mari ketika mainkan
langkah-langkah Hui-thian Jip-te. Sebentar saja Kun Hong sudah berhasil lolos
dari kepungan yang begitu ketatnya!
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar bentakan berpengaruh di sebelah depannya.
"Pemberontak
buta, jangan lari! The-siucai, serahkan dia padaku!" kata-kata ini
dibarengi desir angin tusukan pedang.
Kun Hong
terkejut sekali dan segera dia membanting diri ke kiri. Gerakan menyelematkan
diri ini dia lakukan tergesa-gesa sehingga luka pada pangkal pahanya terasa
nyeri sekali, akan tetapi dia selamat dari pada sebuah tusukan yang hampir
tidak mengeluarkan suara, demikian halus akan tetapi demikian kuatnya. Celaka,
pikirnya, ilmu pedang orang ini luar biasa sekali.
Karena
maklum bahwa yang dihadapinya seorang ahli pedang kawakan yang amat lihai, Kun
Hong cepat menggerakkan tongkatnya membalas serangan tadi. Segera dia terlibat
dalam pertandingan pedang sampai belasan jurus dengan penyerang baru ini. Makin
lama makin heran dan terkejut hati Kun Hong.
Pada jurus
ke lima belas, dia menggunakan tongkatnya menangkis keras sehingga kedua
senjata yang bertemu itu terpental ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan
oleh Kun Hong untuk berseru.
"Bukankah
tuan ini Sin-kiam-eng Tan Beng Kui lo-enghiong?"
"Hemmm,
kalau sudah kenal baik lekas menyerah, tak perlu melawan," jawab orang itu
yang bukan lain adalah Sin-kiam-eng Tan Beng Kui, majikan Pek-tiok-lim di
pantai Po-hai, yaitu ayah dari Tan Loan Ki si dara lincah!
Kun Hong
cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat, wajahnya berubah penuh harapan
ketika dia berkata, "Lo-enghiong, harap jangan lanjutkan pertempuran, kita
orang sendiri! Bukankah adik Loan Ki baik-baik saja? Dia dan aku sudah seperti
saudara sendiri, kami bertemu dan bersama mengalami hal-hal hebat di Pulau
Ching-coa-to, dan..."
"Tutup
mulutmu! Tak perlu membawa-bawa nama anakku ke sini, keparat!"
Sin-kiam-eng membentak sambil menerjang lagi, kini malah lebih hebat karena dia
marah sekali.
Kun Hong
cepat mengelak dan mengeluh. Celaka, pikirnya, agaknya gadis nakal lincah itu
tidak pernah bercerita kepada ayahnya tentang dia sehingga sekarang
Sin-kiam-eng tidak mengenalnya dan tentu saja pendekar itu amat marah mendengar
puterinya disebut-sebut namanya oleh seorang yang tidak dikenal!
Sesungguhnya
bukan demikianlah soalnya. Sin-kiam-eng Tan Beng Kui yang sudah sejak tadi
melihat sepak terjang dan gerakan Kun Hong, diam-diam terkejut dan heran sekali
karena gerakan dan langkah-langkah ajaib yang dilakukan oleh pemuda buta ini
persis seperti yang dia lihat dilakukan oleh Loan Ki ketika menghadapi
serangan-serangan kakek Song-bun-kwi!
Diam-diam
dia terheran-heran akan tetapi juga penasaran dan amat marah. Jadi puterinya
itu dalam perantauannya telah melakukan hubungan dengan seorang buta, dan
menerima pelajaran dari seorang buta yang kini ternyata adalah seorang
mata-mata pemberontak pula.
Inilah
sebabnya ketika melihat betapa The Sun tidak sanggup mengalahkan Kun Hong, dia
segera turun tangan, tidak saja untuk menyatakan kemarahannya karena persamaan
ilmu pemuda ini dengan puterinya, juga untuk mencari jasa. Sebagai seorang
pendatang baru yang diterima oleh The Sun, Tan Beng Kui yang bercita-cita besar
ini segera ingin memperoleh kedudukan tinggi dengan jasa besar.
Ilmu pedang
Sin-kiam-eng Tan Beng Kui memang hebat bukan main. Dia adalah murid kepala dari
mendiang Bu-Tek Kiam-ong Cia Hui Gan ayah Cia Li Cu yang sekarang menjadi
Nyonya Tan Beng San. Nyonya ini saja ilmu pedangnya sudah hebat luar biasa, apa
lagi ilmu pedang Sin-kiam-eng yang menjadi kakak seperguruannya.
Memang
dahulu ketika masih muda, Tan Beng Kui menjadi harapan mendiang gurunya, karena
itu semua kepandaiannya diturunkan kepadanya. Ilmu Pedang Sian-Ii Kiam-sut
adalah ilmu pedang turunan yang sesumber dengan Im-yang Sin-kiam, apa lagi
dimainkan oleh seorang pendekar besar yang sudah matang dalam pengalaman
seperti Tan Beng Kui, benar-benar membuat Kun Hong kelabakan ketika dia
diterjang dengan dahsyat oleh Sin-kiam-eng.
Dengan
langkah-langkah Hui-thian Jip-te, Kun Hong berusaha menghindarkan diri dari
kurungan sinar pedang lawan. Dia merasa segan untuk balas menyerang setelah
kini dia tahu bahwa orang ini adalah ayah dari Loan Ki.
Tidak sampai
hatinya, kalau dia teringat akan suara ketawa dan celoteh Loan Ki yang nakal
dan lincah itu. Betapa dia ada hati untuk melawan ayah gadis jenaka itu. Dia
merasa menyesal bukan main, menyesal mengapa justru ayah dara lincah itu yang
kini sedang menghalangi jalan larinya, mengapa ayah Loan Ki justru menjadi
pembantu kaisar baru?
Selain
kebimbangan ini, ditambah lagi luka di pangkal pahanya yang parah membuat Kun
Hong kurang gesit menghadapi ilmu pedang yang hebat dari Tan Beng Kui. Betapa
pun lihai dan aneh langkah-langkah ajaibnya, tapi menghadapi seorang jago
kawakan seperti Tan Beng Kui, tanpa melakukan perlawanan sungguh-sungguh,
akhirnya dia celaka juga.
"Lo-enghiong,
aku tak mau bertempur melawanmu...," kata Kun Hong dan kesempatan ini
digunakan oleh lawannya untuk mendesak, memainkan jurus yang paling sulit
dihadapi.
Kun Hong
kaget dan masih berusaha menjatuhkan diri ke belakang, namun ujung pedang
lawannya masih sempat menggores dagunya, terus merobek baju di dada dan merobek
pula kulit dadanya sehingga darah bercucuran membasahi bajunya. Kun Hong
terkejut juga karena baru saja dia terhindar dari bahaya maut, sebab ujung
pedang itu sebenarnya tadi mengarah leher dilanjutkan ke ulu hatinya. Lebih
hebat lagi, pada saat itu dari belakang menyambar gerakan pedang yang amat
cepat membabat ke arah lehernya.
Inilah
pedang di tangan The Sun yang kemudian membentak pula, "Mampuslah engkau,
jembel buta!"
Akan tetapi
The Sun terlalu memandang rendah kepada Kun Hong kalau mengira bahwa sekali
babat akan berhasil memenggal leher Pendekar Buta. Tongkat di tangan Kun Hong
bergerak cepat.
"Tranggg...!"
The Sun
kaget setengah mati karena begitu bertemu, tongkat itu terus menyerong melalui bawah
lengannya, menusuk ke arah tenggorokannya secara amat aneh dan sama sekali
tidak disangka-sangka olehnya.
"Celaka...!"
Dia berseru keras dan cepat tubuhnya mencelat ke belakang dalam usahanya
menghindarkan diri dari bahaya maut ini.
Kun Hong
yang sudah marah sekali kepada The Sun juga melesat dalam pengejarannya tanpa
menghentikan ancaman tongkatnya ke arah tenggorokan lawan.
"Penjahat
buta, jangan sombong kau!" tiba-tiba terdengar seruan yang amat
berpengaruh, dibarengi melayangnya lengan baju yang membawa serta angin pukulan
dahsyat sekali.
"Plakkk!"
Tanpa dapat
ditangkis atau dihindarkan lagi oleh Kun Hong yang pada saat itu tubuhnya
sedang mengapung dalam usahanya mengejar The Sun, ujung lengan baju itu
tahu-tahu sudah menghantam punggungnya. Kun Hong segera mengerahkan tenaga
Iweekang-nya untuk menahan pukulan, akan tetapi pukulan itu hebat bukan main
sehingga dia merasa seolah-olah terpukul benda keras yang ribuan kati beratnya.
Tubuh Kun
Hong terlempar dan terbanting ke atas tanah sampai bergulingan! Dua batang
pedang lain mengejarnya dan langsung menyambar dari kanan kiri.
"Wuuuttt!
Singgg!"
Kun Hong
melenting ke atas. Begitu kedua kakinya menginjak tanah, otomatis dia telah
membuat gerakan jurus Sakit Hati.
"Tranggg!
Wesss!"
Tongkat dan
tangan kirinya telah bergerak tanpa dapat dicegah lagi. Dua orang perwira yang
tadi berlomba untuk membunuhnya setelah melihat dia terluka dan bergulingan,
kini berdiri tegak bagai patung, kemudian pelan-pelan roboh terguling dan
pinggang mereka ternyata telah putus dan kepala mereka remuk-remuk!
Bukan main
ngerinya hati para perwira menyaksikan ini. Malah orang-orang sakti yang kini
sudah berada di situ melengak heran.
"Penjahat
keji!" Terdengar Sin-kiam-eng Tan Beng Kui berseru marah dan pedangnya
menyambar dengan suara mendesing-desing.
Kun Hong
merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit. Luka di pangkal paha makin panas dan
perih, gatal dan sukar ditahan nyerinya. Luka di dagu dan dada terus
mengucurkan darah sedangkan punggungnya terasa patah-patah tulangnya oleh
hantaman ujung lengan baju yang amat hebat tadi.
Dia
terheran-heran, siapakah gerangan si pemukul ini. Melihat hebatnya hantaman
itu, dia taksir tingkat kepandaian orang ini tidak di bawah Song-bun-kwi.
Celaka, kiranya di kota raja telah berkumpul begini banyak orang sakti! Karena
ini, dengan pikiran sudah pening, Kun Hong berlaku nekat dan menanti setiap
lawan dengan jurus Sakit Hati!
Sambaran
pedang yang datang cepat laksana kilat dari Sin-kiam-eng itu sudah ditunggu
oleh Kun Hong. Dia tidak ingat lagi siapa lawannya, yang teringat olehnya hanya
bahwa dia harus melindungi surat rahasia di dalam mahkota dan harus mengalahkan
tiap orang musuhnya untuk dapat melarikan diri dari kepungan. Setelah serangan
itu tiba, tubuhnya bergerak, tongkatnya menyambar berbareng dengan tangan
kirinya mencengkeram.
"Ayaaaa…!"
Sin-kiam-eng berteriak keras.
Tubuhnya
melayang sampai lima enam meter jauhnya, lalu dia terbanting ke atas tanah dan
terengah napasnya, mukanya pucat. Nyaris dia menjadi korban jurus Sakit Hati
yang amat mukjijat itu.
Meski pun
dia tidak menjadi korban, namun tetap saja hawa pukulan tangan kiri Kun Hong
yang mengandung hawa Yang-kang itu telah membuat dadanya serasa panas terbakar.
Cepat-cepat Sin-kiam-eng duduk bersila mengatur napas memulihkan tenaga agar
jangan sampai isi dadanya terluka.
"Omitohud,
ilmu siluman apakah ini?" kembali terdengar suara berpengaruh yang tadi
dan segumpal hawa dingin menyambar ke arah Kun Hong.
Pemuda buta
ini maklum bahwa lawannya yang bersenjata ujung lengan baju, yang tadi berhasil
menghantam punggungnya, ternyata adalah seorang hwesio. Maklumlah dia kini
bahwa semakin lama dia berada di tempat ini, semakin besar pula bahayanya.
Hantaman kali ini yang mendatangkan segumpal hawa dingin menandakan bahwa dalam
hal ilmu tenaga dalam hwesio ini sudah mencapai tingkat tertinggi sehingga
sukar dilawan.
Akan tetapi
dia sudah nekat. Tiada artinya kalau dia hanya mengelak ke sana ke mari,
akhirnya tentu celaka juga. Lebih baik mengadu tenaga dan tinggal pilih satu
antara dua. Menang dan lolos, atau kalah dan tewas! Dengan pikiran ini,
sambaran dingin itu lalu dia sambut dengan jurus Sakit Hati.
"Dess!
Bukkk!"
Tubuh Kun
Hong serasa didorong oleh tenaga yang maha kuat sehingga kuda-kuda jurus Sakit
Hati itu biar pun masih tetap, namun sudah tidak di tempatnya lagi karena kedua
kakinya itu bergeser sejauh dua meter lebih, membuat garis pada tanah yang
dalamnya sampai dua dim lebih!
Dari tempat
lima enam meter jauhnya terdengar hwesio itu berseru heran, "Omitohud...
hebat... hebat"
Diam-diam
Kun Hong mengeluh. Tadi tongkat yang dia gerakkan bertemu dengan benda lemas,
agaknya ujung lengan baju, ada pun tangan kirinya bertemu dengan lengan hwesio
itu yang mengandung getaran tenaga dalam yang hebat pula.
Berkat dua
ilmu sakti Kim-tiauw-kun dan Im-yang Sin-kiam, dia tadi dapat menggunakan
tenaga mukjijat. Kalau diukur berdasarkan benturan tadi, dia sama sekali tidak
kalah. Tapi hwesio yang dapat menyambut jurus Sakit Hati ini sudah terang
merupakan lawan yang paling berat! Dia sudah memasang kuda-kuda lagi dan
bersiap sedia mengadu nyawa.
Tiba-tiba
terdengar suara hiruk-pikuk, dari atas terdengar pula suara bentakan nyaring.
"Jago-jago kawakan yang mengaku para tokoh istana, kiranya hanya
cacing-cacing busuk yang beraninya mengeroyok seorang pemuda buta!”
Pada waktu
itu terdengar sorak-sorai, disusul dengan suara senjata saling beradu, tanda
terjadi pertempuran besar di tempat itu antara para perwira dan banyak orang
yang baru datang dipimpin oleh orang yang membentak tadi. Kun Hong mengerutkan
kening dan mencoba mengingat-ingat, dia merasa kenal suara tadi.
Pada saat
itu pula suara tadi berkata perlahan kepadanya, "Pangcu (ketua), silakan
pergi mengaso."
"Hwa-i
Lokai...!" Kun Hong berseru kaget.
Memang
benar. Yang datang adalah Hwa-i Lokai bersama anak buahnya yang dengan nekat
sekarang bertanding melawan para jagoan istana itu. Karena tidak ada kesempatan
untuk bicara lagi setelah Hwa-i Lokai kini bertanding melawan tokoh-tokoh
istana, Kun Hong lantas mengamuk, menggunakan jurus Sakit Hati sambil melompat
ke sana ke mari. Para perwira yang lancang berani menyambut atau menghadangnya
langsung roboh tak bernyawa lagi.
Dengan jalan
membuka jalan darah ini, akhirnya Kun Hong berhasil keluar dari kepungan yang
ketat itu. Mulailah dia melarikan diri karena merasa betapa tubuhnya sudah
makin lemas dan gemetar. Ia mengerahkan tenaga terakhir dan lari sekuatnya di
malam gelap, lari secara ngawur karena tidak dapat melihat. Ia hanya
menyerahkan nasibnya ke tangan Thian Yang Maha Kuasa.
Agaknya
Thian memang masih melindunginya karena secara aneh sekali Kun Hong dapat
berlari jauh meninggalkan tempat itu. Akan tetapi akhirnya, di tempat yang
sunyi, agaknya daerah penduduk kota yang miskin, dia menabrak pohon besar yang
berdiri di belakang sebuah pondok kecil. Karena dia tertumbuk pada batang pohon
itu dengan dahi di depan, pendekar buta ini roboh terguling dalam keadaan
pingsan!
Hening
sejenak sesudah suara kepala beradu dengan batang pohon dan robohnya tubuh Kun
Hong. Lalu pintu pondok berderit terbuka dan sinar lampu menyorot keluar
mengantar bayangan seorang anak laki-laki yang agaknya kaget mendengar suara
tadi. Anak ini melangkah ke luar pintu belakang dan memandang ke kanan kiri.
Seorang anak laki-laki yang tabah. Biasanya anak sebesar itu, berusia sekitar
enam tujuh tahun, suka takut-takut terhadap tempat gelap. Akan tetapi anak ini
meski pun tadi mendengar suara gedebukan aneh, masih berani membuka pintu
belakang dan keluar di tempat gelap.
Tidak lama
kemudian dia sudah menghampiri tubuh yang menggeletak miring di bawah pohon itu
dan terdengar teriakannya. "Ibu...! Ibu... mari ke sini, ada orang
jatuh... mari bantu aku...!"
Tanpa
ragu-ragu sedikit pun anak itu sudah mulai berusaha membangunkan Kun Hong yang
masih pingsan. Kali ini kembali membayangkan ketabahan hati anak itu, bahkan
juga membayangkan wataknya yang baik dan suka menolong orang lain.
Seorang
wanita muda muncul dari pintu belakang. Dia ragu-ragu sejenak, ngeri melihat
kesunyian dan kegelapan malam. "A-wan...! Kau di mana? Siapa yang
jatuh?"
"Di
sini, Bu. Lekas, jangan-jangan dia mati."
Ibu muda itu
datang menghampiri, tersentak kaget mendengar ucapan terakhir.
"Apa...?
Ma... mati...?"
"Mungkin
juga belum. Aduh beratnya, lekas bantu, Bu. Mari kita bawa masuk dan beri
pertolongan."
Ibu muda itu
membulatkan hatinya dan melangkah maju. Dengan susah payah Kun Hong diangkat
dan setengah diseret oleh ibu dan anak itu, lalu dibawa masuk ke dalarn rumah
melalui pintu belakang yang segera ditutup kembali.
"Inkong...!"
"Paman
buta...! Betul, dia paman buta...!"
Ibu dan
anaknya itu terbelalak memandang wajah Kun Hong yang kini sudah direbahkan di
atas tempat tidur bambu yang sangat sederhana. Keduanya menubruk, memeluk serta
mengguncang-guncang tubuh Kun Hong. Terdengar Kun Kong mengeluh, bibirnya
bergerak perlahan. "...terlalu banyak musuh... terlalu banyak..."
Kemudian dia menjadi lemas dan mengigau tidak karuan.
"Inkong,
ingatlah... Inkong, ini aku janda Yo..."
"Paman,
aku A Wan..."
Kun Hong
mendengar suara ini, nampak terheran-heran, lalu berkata lirih,
"Yo-twaso...? A Wan...? Bagaimana... ahhhhh..." Dia menjadi lemas dan
pingsan lagi.
"Celaka!
Inkong terluka hebat. Lihat darahnya begini banyak. Wah, bagaimana ini? A Wan
lekas kau buka pakaiannya, bersihkan luka-lukanya, aku akan memasak
air..."
Janda itu
dengan gugup sekali lalu lari ke sana ke mari mempersiapkan segala keperluan,
akan tetapi sesungguhnya tidak tahu betul bagaimana ia harus menolong Kun Hong
yang mandi darah itu.
A Wan adalah
seorang anak yang tabah. Biar pun ngeri juga dia melihat semua baju Kun Kong
penuh darah, akan tetapi dengan cepat dia membuka pakaian, lalu menurunkan
buntalan dari punggung Kun Hong. Pada saat dia membuka buntalan itu untuk
mencari pengganti baju, dia melihat mahkota kecil dari emas yang mencorong
terkena sinar lampu. Terkejutlah dia dan diambilnya mahkota itu,
diamat-amatinya penuh perhatian.
A Wan adalah
anak yang cerdik, otaknya lantas bekerja. Tadi paman buta bicara tentang musuh
banyak, tentu habis berkelahi dan dikeroyok oleh banyak musuh, pikirnya. Kenapa
berkelahi? Paman buta ini adalah seorang miskin, pendekar berbudi yang miskin,
lalu dari mana bisa mempunyai benda begini indah? Tak salah lagi, tentu paman
buta berebutan benda ini dengan banyak orang jahat, akhirnya dikeroyok dan
luka-luka.
Pikiran ini
membuat A Wan cepat membawa lari mahkota itu keluar kamar. Agak lama dia pergi
ke belakang rumah di luar tahu ibunya yang sibuk memasak air. Setelah dia
kembali menyelinap ke dalam kamar, dia sudah tidak membawa mahkota tadi. Dengan
cepat A Wan membersihkan luka-luka di badan Kun Hong, menggunakan sehelai kain
bersih.
Ibunya
datang membawa air panas. Janda ini cepat mengusir rasa jengah dan malu ketika
melihat keadaan Kun Hong yang setengah telanjang itu, malah perasaan ini lenyap
sama sekali dan terganti rasa ngeri dan cemas melihat betapa dada pemuda buta
itu tergurat membujur dari atas ke bawah, juga dagunya terluka serta pangkal
paha sebelah belakang biru mengembung, punggungnya pun kebiruan. Badan pemuda
ini panas sekali, napasnya terengah-engah.
Dengan air
mata mengalir saking bingung dan cemasnya, janda itu lalu membersihkan
luka-luka Kun Hong dengan kain yang dicelup air panas. Hilang sudah semua rasa
malu dan sungkan. Air matanya mengalir semakin deras ketika dia melihat betapa
wajah yang tampan itu nampak pucat dan mulutnya terbuka menahan nyeri.
"A Wan,
lekas kau pergi panggil sinshe (tukang obat) Thio di jalan raya utara. Katakan
di rumah ada orang sakit, luka-luka, lekaslah!"
"Baik,
Ibu. Kasihan paman buta, bagaimana kalau dia... mati...?"
"Hushh...?
Jangan bicara dengan siapa juga mengenai dia, ini rahasia, mengerti? Lekas
pergi dan lekas kembali!"
A Wan
mengangguk dan melompat ke luar, lenyap di dalam kegelapan malam.
Setelah anak
itu pergi, janda muda ini tak sanggup menahan sedu-sedannya lagi. Sambil
membersihkan luka-luka itu, dia merangkul dan mengguncang-guncang tubuh Kun
Hong sambil berseru lirih memanggil, "Inkong...! Inkong... sadarlah,
Inkong..."
Melihat
betapa muka itu makin lama seakan-akan makin pucat, dia menjadi amat cemas.
Terbayanglah dia akan semua pengalamannya dulu ketika pemuda buta ini
menolongnya, dan sekarang melihat penolong yang selama ini tak pernah
meninggalkan lubuk hatinya itu sedang menggeletak seperti mayat di depannya,
nyonya janda Yo tak dapat menahan luapan perasaan hatinya.
"Inkong...!"
Dia mendekap kepala itu, diciuminya penuh perasaan dan dibanjirinya dengan air
mata. "Jangan mati, Inkong... jangan tinggalkan aku lagi setelah Thian
mengembalikan kau kepadaku..."
Kemudian
kegelisahan lebih menguasai hatinya. Dia berhenti menangis dan memeriksa dengan
teliti luka-luka pada tubuh Kun Hong di bawah sinar lampu remang-remang. Dia
bergidik, jelas bahwa luka-luka itu adalah luka bekas bacokan. Nampak
tanda-tanda yang jelas bahwa penolongnya ini baru saja habis berkelahi dengan
hebat.
Wajahnya
tiba-tiba pucat. Kalau penolongnya terluka seperti ini, berarti musuh-musuhnya
masih ada. Siapa tahu melakukan pengejaran sampai ke sini! Ia tahu bahwa
penolongnya sakti, akan tetapi dalam keadaan pingsan seperti ini, jika musuh
datang lalu bagaimana? Ia kembali bergidik dan merasa ngeri, lalu menoleh ke
kanan kiri, matanya jelalatan penuh ketakutan.
Melihat
tongkat Kun Hong menggeletak di atas lantai, cepat ia mengambilnya dan dengan
tangan gemetar ia menyusupkan tongkat itu ke bawah tilam pembaringan. Matanya
cepat mencari-cari lagi, siap menghapus tanda-tanda akan adanya Kun Hong di
situ.
Pakaian Kun
Hong yang penuh darah berada di sudut kamar. Cepat dia menyambarnya dan
melemparkannya ke kolong pembaringan. Lalu dengan cekatan ia menggosok-gosok
dan menghapus tanda-tanda darah di lantai dengan sehelai kain.
Setelah
keadaan kamar itu normal kembali, dia lalu duduk lagi di pinggiran pembaringan,
memegang lengan tangan Kun Hong dan memandang bingung. Bagaikan seekor kelinci
bersembunyi dari kejaran harimau, sebentar-sebentar dia menoleh ke arah pintu
depan, bibirnya gemetar berbisik lirih, "A Wan... kenapa kau belum juga
pulang...?"
Terdengar
suara langkah kaki di luar rumah. Janda muda itu berseri wajahnya.
"A Wan
dan sinshe datang...," pikirnya dan ia sudah bangkit berdiri.
Akan tetapi
alangkah kagetnya ketika dia mendengar suara seorang laki-laki di luar pintu
pondoknya itu, suara halus tapi penuh ejekan.
"Hemmm,
si buta keparat itu menghilang di sini."
"Tok-tok-tok!"
terdengar pintu itu diketuk dari luar.
Menggigil
kedua kaki janda Yo, sesaat ia seperti terpaku dan tak mampu menjawab atau
bergerak sedikit pun juga.
"Tok-tok-tok!”
kembali pintu diketuk dari luar.
“Hee,
sahabat pemilik rumah, harap buka pintu sebentar, aku ingin bertanya!"
suara halus tadi kini terdengar berteriak.
Seperti
kilat menyambar sebuah pikiran menyelinap ke dalam kepala janda muda itu. Dia
tahu benar bahwa orang di luar pondoknya itu tentu musuh penolongnya yang
datang membawa niat buruk. Berdegup jantungnya kalau ia ingat bahwa orang itu
datang untuk membunuh Si Pendekar Buta!
Hanya
beberapa detik pikiran ini memenuhi kepalanya dan timbullah akal seorang wanita
yang dengan sepenuh perasaannya berusaha menolong seorang yang sangat
dikasihinya dan dipujanya dari bahaya maut. Rasa takut dan cemas sekaligus lenyap
ketika timbul kenekatan di dalam hatinya untuk membela serta melindungi
penolongnya itu. Wajahnya memancarkan kecerdikan dan tubuhnya tidak menggigil
lagi.
Cekatan
sekali ia meraih selubung lampu minyak, menggosokkan jari-jari tangannya pada
langes yang menempel pada selubung lampu, lalu menghampiri Kun Hong dan
memupuri muka pemuda itu dengan langes. Dalam waktu sekejap saja muka itu sudah
berubah jadi hitam, menyembunyikan muka yang asli dari pemuda itu. Tangan lain
meraih dinding yang masih ada sisa kapurnya, digosok-gosokkan seperti tadi lalu
ia menggosokkan kapur yang menempel di tangannya pada rambut Kun Hong.
Melihat
hasilnya kurang memuaskan, ia segera memutar otak, memandang ke kanan kiri,
lalu mengambil tempat bedaknya dan menaburkan bedak itu pada kepala Kun Hong
yang kini berubah menjadi keputih-putihan seperti rambut ubanan seorang
laki-laki tua!
"Tok-tok-tok!
Sahabat, bukakan pintu, kalau tidak kau buka, terpaksa akan kurobohkan!"
suara di luar mendesak tidak sabar lagi.
"Tunggu
sebentar...!" Janda muda itu berseru kaget, menarik selimut menutupi tubuh
Kun Hong sampai ke leher.
Ia lalu
melangkah ke pintu kamar, menoleh sekali lagi. Lega hatinya melihat bahwa kini
tak ada lagi tanda-tanda bahwa yang berbaring dalam kamar itu adalah seorang
pemuda yang pingsan, akan tetapi kelihatan seperti seorang laki-laki tua tidur
pulas!
Tergesa-gesa
ia keluar kamar. Tiba-tiba dia teringat akan sesuatu, pikirannya yang cerdik
bekerja keras dalam usahanya menolong Pendekar Buta itu. Dia melirik ke arah
pakaian di tubuhnya dan cepat dia membuka dua buah kancing di dekat leher dan
melonggarkan ikat pinggangnya, mengusutkan pakaiannya di sana sini, melepaskan
sebagian rambut dari pita rambutnya yang ia kendurkan, kemudian cepat ia
berlari-lari ke arah pintu yang sudah mulai digedor lagi oleh orang di luar
itu.
"Aku
datang...! Tunggu sebentar... siapa sih yang suka mengganggu orang tidur?"
kata nyonya janda ini dengan suara yang tiba-tiba berubah genit!
Di ruang
tengah ia menyambar lilin yang sudah menyala, kemudian dengan lilin dipegang
tinggi-tinggi dengan tangan kiri, ia membuka palang pintu depan dengan tangan
kanan.
"Kriiiiitt!"
Daun pintu
berderit pada saat dibuka perlahan oleh tangan nyonya janda Yo yang sedikit
gemetar. Sinar lilin bergerak-gerak tertiup angin, menerangi wajahnya serta
wajah orang yang berdiri di luar pintu.
"Ohhhhh...!"
Dua buah mulut mengeluarkan seruan sama dan dua pasang mata saling pandang.
Mata nyonya
Yo memandang dengan perasaan cemas, heran dan seruannya tadi yang memang ia
sengaja untuk melengkapi aksinya bergenit tadi menjadi sumbang karena rasa
heranannya ini. Sama sekali dia tidak menyangka akan melihat seorang pemuda
yang berpakaian seperti seorang kongcu terpelajar, yang sikapnya halus dan sama
sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda orang jahat. Hal ini membuatnya
ragu-ragu dan sejenak dia hanya bengong, tidak tahu harus berbuat dan berkata
apa.
Di lain
pihak, seruan yang keluar dari mulut orang muda itu adalah seruan tercengang
dan kagum, lalu sepasang matanya menjelajahi pemandangan di hadapannya itu dari
atas ke bawah lalu kembali lagi dari bawah ke atas.
Sanggul
rambut yang awut-awutan, sebagian rambut terurai menutupi sebuah muka yang
berkulit putih kuning berbentuk bulat telur, mata yang jernih, hidung mancung
mulut kecil manis. Pakaian yang biar pun sederhana akan tetapi membayangkan
bentuk tubuh yang padat dan bagus, baju yang terbuka kancingnya di bagian atas
memperlihatkan sebagian leher dan dada yang berkulit halus bersih. Apa lagi di
bawah cahaya api lilin yang mobat-mabit karena angin. Wanita yang berdiri di
depannya benar-benar amat manis dan menggairahkan hati!
Orang muda
itu bukan lain adalah The Sun. Pemuda cerdik ini diam-diam meninggalkan
gelanggang pertempuran karena maklum bahwa para pengemis anggota Hwa-i Kaipang
itu tidak akan mungkin dapat lepas dari pada hantaman para perwira yang selain
menang banyak, juga dibantu oleh tokoh-tokoh lihai.
Yang dia
pentingkan adalah Kwa Kun Hong, maka cepat dia mengejar ketika melihat Si
Pendekar Buta itu mampu meloloskan diri dari pada kepungan. Akan tetapi karena
dia pun maklum bahwa Pendekar buta itu memiliki jurus aneh yang amat dahsyat,
dia lalu berlaku hati-hati dan mengejar secara diam-diam. Dia maklum bahwa
orang itu sudah terluka parah dan dia akan mencari kesempatan baik untuk turun
tangan. Akan tetapi dia sama sekali tidak mengira bahwa lawannya itu yang
bermata buta dapat berlari secepat itu sampai dia kehilangan jejaknya.
The Sun
penasaran dan melakukan pengejaran ke sana ke mari. Dengan penuh perhatian dia
mencari jejak si buta itu dan akhirnya pemuda cerdik ini dapat menyusul sampai
ke pondok janda Yo!
Hanya
sebentar saja The Sun terpesona oleh kemanisan wajah nyonya janda muda itu. Ia
memang seorang pemuda yang romantis dan kadang kala tidak melewatkan kesempatan
baik untuk melayani wanita-wanita cantik yang tergila-gila kepada ketampanan
wajahnya atau kepada kedudukannya yang tinggi.
Akan tetapi
hal ini bukan berarti bahwa The Sun adalah seorang mata keranjang atau hidung
belang yang suka mengganggu wanita, sama sekali bukan. Hanya dapat dikatakan
bahwa pertahanan terhadap kecantikan wanita tidaklah begitu kuat. Ketika dia teringat
lagi akan buronannya, secepat kilat dia menarik ke luar pedangnya dan
mengelebatkan pedangnya yang tajam itu di depan muka nyonya Yo yang menjadi
pucat seketika.
"Katakan
di mana jahanam buta itu, hayo cepat mengaku sebelum pedangku memenggal lehermu
yang putih itu!" The Sun mengancam, tapi matanya tak lepas dari kulit
leher putih yang mengintai dari balik baju yang terbuka dua buah kancingnya.
"Apa...
apa maksudmu? Ehh, Kong-cu, harap kau jangan main-main dan cepat simpanlah
senjatamu itu yang bisa membikin aku mati ketakutan! Aku sedang pusing dan
jengkel memikirkan suamiku tua bangka yang berpenyakitan ini, kau datang-datang
mengganggu dengan gedoran pintu dan sekarang menuduh yang bukan-bukan, bicara
tentang jahanam buta yang sama sekali tidak kumengerti artinya! Apa sih
maksudmu sebenarnya dan kau ini siapakah, Kongcu?"
Aneh sekali,
ucapan dan nada suara nyonya janda ini jauh berbeda dari pada biasanya.
Sekarang kata-katanya centil, sikapnya genit dan matanya yang bagus itu
menyambar-nyambar wajah tampan The Sun!
"Hemmm,
tak usah kau pura-pura!" bentak The Sun tanpa menurunkan pedangnya.
"Aku mengejar seorang penjahat buta dan jejaknya lenyap di tempat ini.
Tentu dia bersembunyi di dalam rumahmu ini, hayo lekas mengaku dan tunjukkan
aku di mana dia!"
Jantung di
dalam dada nyonya janda itu serasa hendak meloncat ke luar saking takutnya.
Akan tetapi ia pura-pura marah dan memandang kepada The Sun dengan mata melotot
akan tetapi malah menambah kemanisan wajahnya karena bibir yang mungil itu
mengarah senyum dan sikapnya menantang.
"Apa
kau bilang, Kongcu? Hemmm... harap kau jangan pandang rendah kepadaku! Biar pun
suamiku tua bangka dan berpenyakitan, tapi jangan kira aku mau berdekatan
dengan seorang penjahat, apa lagi kalau dia itu buta. Cih, menjijikkan!"
Kembali lirikan matanya menyambar dalam kerlingan yang amat manis memikat.
Mau tak mau
The Sun tersenyum, jantungnya mulai berdebar. Hemm, jelas sekali wanita muda
yang cantik manis ini ‘memberi hati’ kepadanya dengan sikapnya menantang
sekali. Benarkah suaminya tua bangka serta berpenyakitan? Hal ini saja sudah
menjadi alasan kuat. Akan tetapi, betulkah Kun Hong tidak bersembunyi di situ?
Dia tidak boleh sembrono dan lebih baik menyelidiki lebih dulu.
"Aku
tidak percaya! Hayo lekas kau tunjukkan di mana suamimu dan biar aku melakukan
penggeledahan dulu. Dengan siapa saja kau di sini?"
Janda Yo
sengaja cemberut, bibirnya yang merah itu diruncingkan ketika ia melangkah ke
samping memberi jalan kepada The Sun. "Kongcu begini halus dan tampan,
tapi galaknya bukan main!" ia bersungut-sungut. "Sudah terang suamiku
tua bangka muka hitam yang buruk dan berpenyakitan, kau masih ingin
menjenguknya lagi, apakah untuk bahan ejekan dan memperolokku?"
Kembali The
Sun berdebar dan tersenyum. "Mana bisa aku percaya kalau belum melihat
sendiri? Siapa dapat percaya seorang cantik jelita seperti kau ini suaminya tua
bangka berpenyakitan?"
"Ihh,
Kongcu ceriwis!" Janda Yo membuang muka dengan lagak yang genit dan
memikat sekali. Di dalam hatinya nyonya janda ini berdoa supaya musuh
penolongnya ini akan percaya dan tidak akan memeriksa ke dalam kamar.
Akan tetapi
The Sun bukan orang bodoh. Dia amat cerdik dan biar pun kali ini jantungnya
sudah berjungkir-balik terkena pengaruh kecantikan janda muda itu, akan tetapi
dia tidak kehilangan kewaspadaannya dan mendahulukan tugasnya dari pada
kesenangan hatinya.
"Hayo,
perlihatkan aku kamar suamimu!"
Janda Yo
mengangkat lilin dan dengan kaki agak menggigil ia melangkah ke arah pintu
kamarnya. Dia berdoa semoga penolongnya itu masih pingsan seperti tadi.
Pada saat
dia dan The Sun melangkahkan kaki ke ambang pintu kamar, janda Yo sengaja
menggoyang-goyang tempat lilin sehingga api lilin itu bergerak-gerak dan
keadaan dalam kamar itu tidak begitu jelas, hanya tampak remang-remang oleh The
Sun betapa seorang laki-laki bermuka kehitaman dan berambut penuh uban sedang
berbaring tidak bergerak, tidur pulas agaknya!
"Sshhhhh,
harap jangan berisik. Kalau dia bangun, batuknya akan kumat dan akulah yang
berabe harus terus mengurut-urut dadanya..." bisik nyonya janda Yo sambil
mendekatkan mukanya di telinga The Sun sehingga orang muda itu mencium bau
sedap yang agaknya keluar dari rambut wanita muda itu.
Terpikat
oleh ini, The Sun tidak jadi melangkah masuk, hanya melepas pandang dengan
tajamnya ke arah ‘kakek’ itu lalu sinar matanya berkeliaran ke seluruh kamar
yang hanya kecil sederhana itu. Tiba-tiba pedangnya berkelebat dan mengeluarkan
bunyi mendesing menyambar ke depan!
"Crakkk!"
Papan ujung pembaringan itu tahu-tahu telah terbelah.
"Oh-ohh...
jangan... ahh...!" Janda Yo kaget setengah mati dan menubruk lalu
merangkul pundak The Sun, lilin yang dipegangnya jatuh dan padam.
The Sun
tersenyum lega. Kakek itu ternyata masih enak tidur saja. Kalau di dalam kamar
itu terdapat Kun Hong yang bersembunyi, sebagai seorang ahli silat sudah pasti
akan keluar mendengar desingan pedangnya tadi. Terang di situ tidak terdapat
orang yang dia kejar, sedangkan kakek tua bangka suami wanita muda yang cantik
jelita ini jelas adalah orang yang tiada guna. Dia menyimpan pedangnya kembali,
kemudian tertawa perlahan sambil menarik tangan nyonya Yo yang masih gemetar
ketakutan itu keluar kamar. Gelap pekat di luar kamar karena sekarang tidak ada
lilin lagi.
"Kau
cantik manis..."
"Ah,
pergilah... jangan kau ganggu kami yang tidak berdosa... pergilah dari sini,
kasihani aku dan suamiku yang tua dan sakit..."
The Sun
tertawa, tidak halus seperti biasanya lagi, melainkan suara tertawa yang parau
dan mengandung nafsu kotor. "Manis, kalau aku tidak kasihan dan cinta
kepadamu, tentu pedangku tadi sudah memenggal leher suamimu si tua bangka tiada
guna, ha-ha-ha!"
Tak lama
kemudian yang terdengar hanya desah napas dan rintih perlahan….
The Sun
sudah lama pergi meninggalkan pondok tempat tinggal janda muda itu. Kini dia
tampak terguguk menangis menahan isaknya sambil memeluki dada Kun Hong. Dengan
rambutnya yang kusut dan seluruh mukanya basah air mata, janda muda ini
merintih-rintih dalam tangisnya.
"Inkong...
bangunlah... jangan mati, Inkong, sembuhlah kembali, jangan engkau sia-siakan
pengorbananku..." kembali ia menangis dengan amat sedihnya sampai-sampai
napasnya menjadi sesak.
Pada saat
itu pula, dari pintu kamar melayang masuk sesosok bayangan orang yang amat
ringan dan gesit. Begitu masuk bayangan ini lantas menendang sehingga tubuh
nyonya janda ini terguling roboh.
"Ahh...
Ahh...!" Nyonya Yo bersambat lirih, tapi rasa nyeri pada tubuhnya tak ia
pedulikan lagi karena hatinya dipenuhi kekhawatiran terhadap keselamatan Kun
Hong yang masih pingsan.
Tadinya ia
mengira bahwa sosok bayangan itu adalah orang muda musuh Kun Hong yang tadi
datang dan sudah siap untuk menegur. Akan tetapi alangkah kaget dan heran serta
takutnya ketika dia melihat wajah yang jauh berlainan tertimpa sinar api lilin
di kamar itu.
Wajah
seorang wanita! Tubuh ramping seorang wanita! Seorang wanita muda dengan muka
kehitaman dan pedang di tangan, kelihatan berdiri dengan penuh amarah.
Nyonya Yo
segera menubruk Kun Hong dan memeluk dadanya untuk melindungi pemuda itu.
"Jangan ganggu dia...! Jangan bunuh dia...!" dia berteriak dengan
suara mengandung isak tangis.
Wanita itu
kembali bergerak. Sekali lagi tubuh nyonya Yo terlempar dari tepi pembaringan,
malah kini terguling-guling sampai di sudut kamar.
"Perempuan
jalang! Pelacur! Jangan pegang-pegang dia dengan tanganmu yang kotor!"
bentak wanita itu yang sudah menyarungkan pedangnya dan melangkah maju
mendekati pembaringan. Cekatan sekali dia membungkuk dan kedua tangannya
bergerak, tahu-tahu tubuh Kun Hong sudah dikempitnya.
"Heeeiiiii...
jangan ganggu dia.….!"
Meski merasa
seluruh tubuhnya sakit-sakit, dengan nekat Nyonya Yo berdiri dan hendak
merampas tubuh Kun Hong dari tangan wanita itu.
"Diam
kau, perempuan hina!" wanita itu membentak lagi. "Dia ini adalah
sahabat baikku, tak boleh berada di tempat hina ini berdekatan dengan perempuan
lacur macam kau!"
Mata janda
muda itu terbelalak, diam-diam bersyukur bahwa orang ini bukanlah musuh
penolongnya. "Aku... aku... tidak... ahhh, dia adalah...
penolongku...," katanya gagap.
Wanita itu
mendengus marah. "Huh, dia penolong semua orang, akan tetapi perempuan rendah
macam engkau tidak perlu ditolong!"
"Nona,
kau siapa? Mengapa engkau memaki-maki aku? Meski pun aku miskin... aku... aku
betul-betul berusaha mengobatinya dan..."
"Tutup
mulutmu! Apa kau kira aku tidak tahu betapa kau main gila dengan setiap orang laki-laki?
Hemmm, siapa laki-laki yang barusan keluar dari sini? Bukankah dia kekasihmu
pula? Huh, dan kau berani mendekatkan tubuhmu yang hina dan kotor itu dengan
Kwa Kun Hong? Menyebalkan!"
Bayangan
wanita itu berkelebat dan dalam sekejap mata saja dia dan Kun Hong yang
dipondongnya sudah lenyap dari situ. Nyonya janda Yo berdiri terkesiap, mukanya
pucat bagai mayat, matanya terbelalak lebar dan dari kedua matanya itu turun
air mata bertitik-titik, deras mengalir di sepanjang kedua pipinya. Untuk sesaat
tidak ada suara keluar dari mulutnya, kecuali napas yang terengah-engah.
Teringat dia akan segala hal yang tadi menimpa dirinya, akan segala yang sudah
dilakukannya.
Kedatangan
The Sun tadi membuat ia berada dalam ketakutan hebat. Takut dan cemas akan keselamatan
penolongnya membuat ia bertekat untuk melindungi dan membelanya,
menyelamatkannya dengan jalan apa pun juga. Sebagai seorang wanita yang lemah
dan tak berdaya, dia tahu bahwa satu-satunya senjata miliknya hanyalah
kecantikannya. Dan dia sudah pergunakan itu, sudah memberikan dirinya dengan
kata-kata manis dan mulut tersenyum namun dengan hati perih dan seperti
disayat-sayat. Namun usahanya berhasil.
Dia telah
menyelamatkan Kun Hong, telah membeli keselamatan penolongnya itu dengan
pengorbanan yang paling besar yang dapat dilakukan seorang wanita lemah seperti
dia. Akan tetapi sekarang muncul wanita gagah itu yang memaki-makinya, yang
telah melihat perbuatannya tadi.
"Ya
Tuhan... aku perempuan hina... perempuan rendah..." Janda Yo tak kuat
lagi. Kedua lututnya lemas dan dia pun jatuh nglumpruk di atas lantai, menutupi
muka dengan kedua tangannya.
Tiba-tiba
dia terbelalak memandang ke kanan kiri, menatap pembaringan yang kini sudah
kosong, telinganya terus mendengar gema wanita tadi memaki-makinya.
"Perempuan
jalang! Pelacur! Jangan pegang-pegang dia dengan tanganmu yang kotor!"
lalu terdengar lagi, "Bukankah laki-laki tadi kekasihmu? Uh, dan kau
berani mendekatkan tubuhmu yang hina dan kotor itu dengan Kwa Kun Hong?"
"Ooohhhhh...!"
Janda Yo menangis lagi, sekarang tersedu-sedan, kemudian dia menubruk
pembaringan yang kosong itu. "Kwa Kun Hong... jadi namamu Kwa Kun Hong,
Inkong? Setidaknya wanita itu berjasa memberi tahu namamu. Orang mengatakan aku
kotor, hina, jalang, lacur... Inkong (Tuan penolong), tidak apalah, asalkan kau
selamat. Badan dan namaku kotor bisa dicuci dengan... ini..."
Janda muda
itu melolos ikat pinggangnya dan matanya memandang ke atas, mencari-cari tiang
atau usuk genteng rumah itu.
"A
Wan...!" Hanya jerit ini saja terdengar satu kali dari dalam pondok di
malam sunyi itu, kemudian sunyi tak terdengar suara apa-apa lagi.
"Ibu...!"
A Wan lari memasuki rumah itu.
Anak ini
tidak berhasil mengundang datang sinshe Thio. Hal ini tidaklah mengherankan.
Sinshe mana yang sudi dipanggil oleh keluarga miskin? Selain tidak dapat
mengharapkan pembayaran yang banyak, jangan-jangan malah harus merogoh saku
untuk membelikan obat!
Pada saat
Sinshe Thio mendengar permintaan A Wan supaya suka datang ke rumahnya mengobati
seorang paman yang ‘jatuh’ dan luka-luka, dia hanya menggelengkan kepala sambil
mengebulkan asap huncwe (pipa tembakau) yang tebal dan berbau apek ke muka A
Wan. Tanpa ‘uang muka’ dua tail perak dia tidak akan sudi berangkat, katanya. A
Wan terus membujuk-bujuk, memohon dan bahkan menangis, akan tetapi sinshe Thio
tetap tak melayaninya, malah ditinggal masuk.
A Wan adalah
anak yang keras hati, dia tidak putus asa, terus saja dia mengetuk-ngetuk pintu
dan merengek-rengek. Akhirnya, bukan dituruti permohonannya, malah kepalanya
mendapat benjol-benjol karena pukulan huncwe sinshe itu pada kepalanya.
Sambil
menangis akhirnya A Wan berlari pulang dan dia merasa hatinya amat tidak enak
memikirkan keadaan si paman buta. Jarak ke rumahnya yang amat jauh itu
ditempuhnya sambil berlari-lari. Seperti ada firasat tidak baik dia kemudian
mempercepat larinya, malah telinganya serasa mendengar suara ibunya
memanggil-manggilnya.
Dapat
dibayangkan betapa kaget, ngeri, dan bingungnya ketika dia memasuki pondok, dia
melihat tubuh ibunya sedang tergantung pada ikat pinggang yang ditalikan ke
atas tiang. Ikat pinggang itu melilit leher ibunya dan dengan mata terbelalak
dia melihat betapa kedua kaki ibunya masih berkelojotan.
Biar pun
merasa ngeri dan takut, namun A Wan adalah anak cerdik. Dia hanya terpaku
sebentar saja. Cepat dia merayap naik tiang sambil memekik-mekik dan memanggil
nama ibunya. Jari-jari tangannya gemetar pada saat dia merenggut-renggut ikat
pinggang yang terikat kuat-kuat pada tiang. Bagaikan seekor kera dia melorot
kembali, berlari ke dapur mengambil pisau dan merayap naik lagi. Akhirnya dia
dapat memotong ikat pinggang itu sampai putus dan tubuh ibunya jatuh berdebuk di
atas tanah.
"Ibu...!
Ibu...!"
A Wan
menubruk dan merangkul ibunya, menangis sambil menciumi muka ibunya yang pucat
membiru. "Ibu... kenapa Ibu... ahhh, bagaimana ini...? Ibuuuuu...!"
Jeritan
terakhir yang keluar dari mulut A Wan ini seakan-akan sanggup membetot kembali
semangat janda muda itu yang sudah mulai meninggalkan tubuhnya. Bibir yang biru
itu berkomat-kamit, biji mata yang sudah melotot tanpa cahaya itu
bergerak-gerak perlahan, lalu terdengar suara janda muda yang bernasib malang
itu berbisik-bisik.
"A
Wan... balas... budi Kwa Kun Hong... balas... dendam The Sun..."
"Ibu...!
Ibuuu...!! Ibuuuuuu...!!!"
A Wan
menggoncang-guncang tubuh ibunya yang makin lama makin lemas dan makin dingin
karena pada saat itu janda muda ini sudah terbebas dari pada duka nestapa dan
derita sengsara dunia. Matanya yang tadi melotot sudah meram, mulutnya
menyungging senyum dan biar pun muka itu kini pucat dan rambutnya awut-awutan,
namun kelihatan tenang dan damai, makin nyata kecantikan aslinya. Sebaliknya,
puteranya yang masih hidup, yang masih sedang berkembang dalam hidup, menangis
menggerung-gerung dan memanggil-manggilnya. Alangkah ganjil penglihatan ini.
Yang hidup
menangisi yang mati. Yang hidup merasa penuh duka lara. Yang mati tenang diam
begitu damai dan tenteram. Tidak janggalkah ini? Sudah benarkah itu kalau yang
hidup menangisi yang mati? Ataukah harus sebaliknya…..?
***************
Kita
tinggalkan dulu Yo Wan atau A Wan yang sedang menangis menggerung-gerung
memenuhi malam sunyi itu, suara tangisannya tersaing oleh kentung peronda dan
dengan suara doa dari kelenteng-kelenteng berdekatan.
Mari kita
mengikuti keadaan Kun Hong yang dalam keadaan pingsan dibawa lari oleh seorang
gadis aneh. Kun Hong benar-benar tidak tahu apa yang sudah terjadi dengan
dirinya sejak dia menabrak pohon dan roboh pingsan di belakang pondok itu. Dia
tidak tahu apa yang telah terjadi dengan janda Yo setelah dia siuman sebentar
hanya untuk mengenal suara mereka ibu dan anak. Malah dia pun tidak sadar
ketika tubuhnya dikempit oleh seorang wanita dan dibawa lari berlompatan di
dalam gelap dengan gerakan ringan dan cepat.
Dengan
kesigapan dan kecepatan gerakan yang luar biasa hebatnya, wanita itu akhirnya
membawa tubuh Kun Hong meloncat tinggi ke atas genteng sebuah rumah gedung,
kemudian bagaikan seekor kucing saja ringan dan cepatnya, ia telah melayang
turun dan menerobos masuk ke sebuah kamar di dalam gedung itu melalui jendela
yang terbuka daunnya. Sebuah kamar yang besar dan sangat indah, dengan
pembaringan, meja rias, kursi-kursi dan perabotan lain yang serba halus dan
mahal. Sebuah kamar milik seorang gadis yang kaya-raya, atau patutnya kamar
puteri seorang bangsawan besar.
Gadis itu
dengan cepat merebahkan tubuh Kun Hong di atas pembaringan yang bertilam kasur
dan kain merah berkembang. Dengan cekatan ia melakukan pemeriksaan di bawah
penerangan lampu yang cukup terang dan besar. Keningnya berkerut dan sepasang
mata yang bening itu menjadi cemas ketika ia melihat luka membiru di punggung
dan kulit yang membengkak di pangkal paha karena sebuah luka bergurat panjang
yang menghitam!
"Keji!"
Perlahan dia memaki. "Senjata beracun dan pukulan maut yang amat
kuat..." Tanpa ragu-ragu lagi dia merobek lebih lebar pakaian yang
menutupi pangkal paha Kun Hong, lalu mencabut pedangnya dan dengan ujung
pedangnya yang tajam dan runcing itu ia menggurat luka membengkak yang darahnya
sudah mengering. Pecahlah kulit itu dan keluar darah yang menghitam.
Gadis itu
meletakkan pedangnya di atas ranjang, berlutut di atas ranjang di sebelah Kun
Hong, lalu dia membungkuk dan... tanpa ragu-ragu lagi dia menggunakan mulutnya
yang mungil untuk mengecup dan menyedot ke luar darah hitam dari luka di
pangkal paha itu! Beberapa kali meludahkan darah yang telah disedotnya ke atas
lantai, lalu menyedot lagi tanpa mempedulikan bau darah menghitam yang tidak
enak itu. Baru ia berhenti setelah ia menyedot darah yang merah segar.
"Hebat..."
gumamnya. "Kun Hong benar-benar mempunyai sinkang (hawa sakti) yang luar
biasa di dalam tubuhnya sehingga meski pun dia pingsan, racun itu tidak dapat
menjalar terus ke dalam tubuh, hanya berhenti di sekitar luka. Kalau tidak
demikian, ahh, tentu dia tidak akan dapat disembuhkan lagi..."
Gadis itu
kemudian duduk bersila, menempelkan dua telapak tangan pada punggung Kun Hong
yang dia dorong miring, kemudian dia menyalurkan hawa sakti di dalam tubuhnya
untuk memulihkan tenaga dan menyembuhkan luka di dalam dada Kun Hong.
Sejam
kemudian Kun Hong bergerak, mengeluh panjang. Gadis itu cepat menarik kembali
kedua tangannya. Gerakan ini perlahan sekali akan tetapi cukup membuat Kun Hong
maklum bahwa dia sedang berbaring dan di dekatnya ada seorang yang sedang duduk
bersila. Serentak Kun Hong menggerakkan tubuhnya dan di lain saat dia sudah
meloncat turun dari pembaringan dan berdiri dengan bingung tetapi siap dan
waspada.
"Kun
Hong, syukur kau telah siuman..."
"Hui
Kauw...!"
Hampir saja
Kun Hong tidak percaya ketika mendengar suara itu, akan tetapi sekarang
hidungnya mencium keharuman yang biasa keluar dari rambut gadis itu. Apa lagi
suara itu tidak mungkin dapat dia lupakan. Di antara seribu macam suara orang
dia pasti akan mengenal suara Hui Kauw si nona bidadari!
"Betul
Kun Hong. Aku Hui Kauw dan kau berada di dalam kamarku."
Kini Kun
Hong teringat segalanya dan dia meraba luka di belakang pangkal pahanya. Dia
menjadi heran sekali. Luka itu sudah bersih dari pada racun yang tadinya
mengeram di sekitar luka. Dia menunduk dan tiba-tiba tercium olehnya bau tak
enak dari darah yang kotor oleh racun, bau darah yang agaknya berada di lantai.
"Hui
Kauw... kau... kau... dengan cara bagaimana kau tadi mengeluarkan racun dari luka
di pahaku?"
"Lukamu
tadi menghitam, berbahaya sekali kalau menjalar sampai ke jantung. Aku tidak
mengerti cara lain, maka tadi kusedot keluar sampai bersih." Menjawab
begini, agak berubah air muka gadis ini karena sekarang dia teringat betapa
perbuatannya tadi sesungguhnya amat tidak sopan dan memalukan...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment